Pencarian

Problema Keluarga Baru 1

Girl Talk 19 Problema Keluarga Baru Bagian 1


BAGIAN SATU Pagi ini aku terbangun oleh dengung bising weker. Sempat juga
membuatku kaget. Kugapai meja di samping tempat tidur untuk
mematikan weker itu. Ceklek! Nah!
Perlahan-lahan aku menggeliat, meluruskan tubuh sebelum
menyingkapkan selimut. Kemudian kuturunkan kakiku hingga
menyentuh karpet berwarna biru pucat yang menghampar di lantai
kamar. Di atas permukaannya yang lembut kugerak-gerakkan jari-jari
kakiku yang terasa masih kaku.
Lho, kok sudah pukul 06.45?! Kelihatannya aku bakal terlambat
lagi nih. Mudah-mudahan saja belum ada yang menggunakan kamar
mandi. Hujan gerimis yang turun di luar terlihat jelas lewat jendela
kamarku. Udara terasa dingin. Kuharap salju segera turun sehingga
aku bisa bermain ski es dengan sahabat-sahabatku: Sabrina Wells,
Allison Cloud, juga Randy Zak.
Aku tersentak ketika teringat bahwa hari ini adalah hari Senin.
Aku harus cepat-cepat berangkat sekolah. Tak perlu melamun tentang
hujan dan salju lagi. Yang terpenting sekarang adalah cepat-cepat
mandi atau terlambat pergi ke sekolah....
Rasanya aku masih juga belum percaya. Sudah sebulan ini
Ibuku menikah lagi. Lebih sulit dipercaya lagi, sejak dua minggu lalu,
suami baru Ibu, Jean-Paul Beauvais, dan putranya, Michel, pindah ke
rumah ini dan tinggal bersama-sama kami: Aku, Emily kakakku dan
Ibu. Tahu-tahu rumah terasa penuh sesak!
Bayangkan. Gudang bawah tanah tambah pengap, sarat
perabotan keluarga Beauvais. Michel tidur di ruang tamu sementara
ruang keluarga dipadati tumpukan kardus-kardus kertas serta kotak
kayu. Untuk nonton televisi saja repot. Aku harus lebih dulu
menyingkirkan barang-barang itu. Tapi yang paling repot adalah soal
kamar mandi. Satu kamar mandi untuk lima orang...jelas-jelas kurang
sekaligus jadi ajang rebutan!
Tiba-tiba kudengar Emily membuka pintu kamarnya. Aku harus
bertindak cepat! Harus kudahului dia menggunakan kamar mandi...
Soalnya dia lama sekali sih kalau mandi. Bisa-bisa aku tidak sempat
mandi pagi ini. Kusambar gaun handuk warna merah jambuku dan
segera berlari keluar kamar. Tepat saat aku mencapai pintu kamar
mandi, Emily pun keluar. "Aku duluan ya...?" rengekku. "Tahu nggak? Sabs punya tiga
saudara, tapi nggak pernah rebutan tuh. Malah aku bisa kebagian
keramas kalau lagi menginap di sana. Soalnya mereka mengatur
giliran mandi dengan baik. Disiplin lagi."
"Tenang saja Katherine. Aku cuma mau ngambil pengering
rambut kok," sahut kakakku, menggoda.
Aku benci sekali dipanggil Katherine, nama panjangku. Ia pun
tahu sebetulnya aku lebih suka dipanggil ?Katie? saja.
Emily mengambil pengering rambut dari lemari di bawah
wastafel, lantas kembali ke kamarnya. Cepat-cepat kukunci kamar
mandi sambil menghela nafas lega.
Nah, kini giliranku mandi dengan air panas. Kubayangkan,
betapa segarnya mandi air panas dalam cuaca dingin di pagi ini.
Kuputar kran air di atas kepalaku.
Aaaiiii! Aku menjerit dan serta-merta melompat menghindari guyuran
air dingin yang keluar dari kran. Benar-benar di luar dugaanku!
Kulitku pun segera meremang. Bulu kudukku sampai berdiri
semua karena kedinginan. Cepat-cepat kumatikan kran.
Bukan main. Untuk ketiga kalinya dalam minggu ini aku tak
kebagian air panas! Pasti sudah dihabiskan orang lain yang mandi
seenaknya. Kalau begini caranya, kelihatannya setiap pagi aku harus rela
bangun subuh agar tidak kedahuluan dan kehabisan air panas lagi.
Mungkin mulai besok aku harus bangun super pagi!
Rambutku sudah terlanjur basah tersemprot air kran tadi. Apa
boleh buat, kutuangkan shampo saja, sekalian keramas. Dengan gigi
gemertak kedinginan, aku kembali menyalakan pancuran. Rasanya
inilah mandi tercepat yang pernah kulakukan....
Dua menit kemudian aku sudah berdiri dengan tubuh terbalut
baju handuk. Gigiku masih bergemeretak ketika aku mencari handuk
untuk mengeringkan rambutku.
Payahnya, satu-satunya handuk yang masih kering hanyalah
handuk kecil yang biasa digunakan untuk mengeringkan tangan....
Tapi tak ada jalan lain. Dengan putus asa kugunakan juga handuk
mungil itu untuk mengeringkan rambutku yang panjang.
Tentu saja dalam beberapa detik handuk mini itu sudah basah
kuyup, padahal rambutku belum kering seluruhnya. Kulemparkan
handuk ke dalam keranjang cucian kotor dan segera keluar menuju
kamar Emily. Mudah-mudahan tubuhku jadi sedikit hangat setelah
mengeringkan rambut dengan hair dryer. Tepat pada saat aku hendak
mengetuk, Emily membuka pintu kamarnya.
"Rusak! Lagi-lagi rusak...!" gerutunya sambil merengut
menatap pengering rambut di tangannya. "Terlalu banyak yang pakai
sih. Kalau kepanasan kan jadi macet." Emily memberikan pengering
rambut itu padaku dan sambil tetap mengomel ia kembali masuk
kamar. Kutatap mesin pengering rambut yang rusak dalam genggaman
tanganku itu. Tentu saja macet. Panasnya saja seperti setrika!
Bagaimana tidak, sekarang ada lima orang yang menggunakan alat itu
setiap pagi.ebukulawas.blogspot.com
Wah, agaknya sekarang setiap hari akan dimulai dengan
kekacauan, nih! Ah, bukan, bukan setiap hari, tapi ...setiap pagi!
Apa yang harus kulakukan selain menunggu alat itu dingin dan
kembali berfungsi normal? Tak ada. Yah, kutunggu saja sambil
berpakaian. Kuletakkan pengering rambut di atas meja riasku lantas
kukeluarkan sweater dari laci lemari. Hari ini pakai apa ya? Ah, ini
saja: sweater warna merah jambu yang baru serta celana jeans
favoritku. Dari laci lain kukeluarkan sepasang kaus kaki berwarna
sama. Aku selalu mengatur pakaian-pakaianku sedemikian rupa
menurut urutan warna sehingga mudah dicari. Kuletakkan pakaian
tersebut di atas tempat tidur.
Selesai berpakaian kucoba lagi alat pengering rambut itu.
Syukurlah sudah bisa digunakan. Segera kukeringkan rambut
panjangku yang lurus dan berwarna keemasan itu. Setelah kusisir
kusematkan pita dari sutra warna merah jambu pada ikatan rambutku.
Akhirnya aku siap berangkat ke sekolah. Masih ada lima belas
menit lagi. Kukumpulkan buku- buku dari atas meja belajar lantas ke
ruang bawah untuk mengambil tas sekolah.
"KC! Untung kau muncul! Tahu nggak di mana Ibumu
menyimpan kotak sweater-sweaterku?"
Michel rupanya. Kakak tiriku itu pagi ini mengenakan t-shirt
dan jeans. Dia sekarang sibuk mencari sweaternya di antara karduskardus yang berserakan. Selain kardus, baju-baju Michel pun
berhamburan di mana-mana.
Aku terbelalak. Bukan karena pertanyaannya tapi karena
suasana ruang bawah itu. Kata porak-poranda barangkali kurang
?seru? untuk menggambarkan kesemrawutannya! Masak sih,
kehadiran Michel dan ayahnya mampu mengkacau-balaukan kerapian
rumahku dalam sekejap! Di tengah-tengah barang-barang yang kacau balau mirip kapal
pecah itu, aku benar-benar tidak tahu dari mana harus mulai mencari
sweaternya.... "Aduh sori ya Michel, aku nggak tahu tuh," sahutku.
"Sudah tanya Ibuku belum?"
"Ibumu belum keluar kamar. Tapi nggak apa-apa deh, aku pakai
ini saja..." Michel membungkuk untuk menarik t-shirt lengan panjang
dari bawah tumpukan pakaiannya. Begitu selesai, ia memasukkan
tumpukan itu kembali ke lemari, lantas ditendangnya pintu lemari
sampai tertutup. Brak! Aku menaikkan alis melihat gayanya sebelum buru-buru
beranjak ke dapur. Entah apa komentar Ibu jika beliau tahu bagaimana
cara Michel membuka dan menutup lemari, atau melihat tumpukan
pakaian anak itu yang tumpah berserakan keluar. Aku kenal betul
siapa Ibuku. Beliau tak akan tahan melihat barang-barang berantakan
atau diletakkan tidak pada tempatnya. Omelannya bisa terdengar
seharian penuh. Sebenarnya aku cukup menyukai Michel. Tapi tinggal serumah
dengannya sangat berbeda dengan menjadi temannya di sekolah.
Kami sama-sama duduk di kelas tujuh Bradley Junior High School
sejak ia dan ayahnya pindah dari Canada ke Acorn Falls beberapa
bulan lalu. Aku mengenalnya cukup dekat karena kami sama-sama
bergabung dalam tim hoki es sekolah.
Kurapikan buku-buku sekolah kemudian kututup tas sekolahku
sebelum melangkah ke dapur. Begitu pintu dapur kubuka, kelihatan
Jean-Paul sedang sibuk memasak.
Selama tiga belas tahun ini aku sudah terbiasa hidup bersama
seorang kakak perempuan saja. Agak sulit juga bagiku menyesuaikan
diri dengan kehadiran saudara cowok dan ayah baru. Apalagi ayah
kandungku baru meninggal tiga tahun lalu.
Jean-Paul punya kebiasaan menyiapkan sarapan untuk kami
sebelum berangkat ke kantor. Ibu sangat senang karena menurut
beliau, Jean-Paul meringankan tugasnya. Dan ? kata Ibuku nih,
soalnya aku tidak tahu pastinya ? suami yang mau memasak untuk
istrinya adalah suami yang romantis. Hihihi,...benar nggak ya begitu?
Aku sih nggak keberatan,...soalnya Jean-Paul dan Michel memang
banyak sekali makannya. Kulirik meja makan. Banyak sekali makanan
yang disediakan Jean-Paul pagi ini. Ada pancake, roti panggang, keju,
irisan daging, orak-arik telur, air jeruk sampai susu.
Michel menyusulku ke dapur dan langsung mengambil piring
besar. Aku sendiri tak biasa dan tak bisa sarapan terlalu banyak.
Biasanya cukup semangkuk bubur susu saja. Lagipula aku tak punya
cukup waktu untuk sarapan.
"Selamat pagi," sapaku. Setelah duduk kuambil segelas air
jeruk dan sepotong roti panggang.
"Bonjour Katie!" Jean-Paul tersenyum lebar sampai ujung
matanya berkerut. Wajah Jean-Paul dan Michel sangat mirip. Rambutnya samasama tebal dan berwarna coklat pekat. Ukuran tubuhnya pun samasama tinggi tegap. Menurut Sabs, Michel termasuk cowok yang super
keren. "Mon Dieu!" lanjut Jean-Paul dengan aksen CanadaPerancisnya yang kental, "kau harus membiasakan diri sarapan lebih
banyak supaya persediaan energimu cukup untuk aktivitas seharian
penuh, Katie." Jean-Paul dan Michel selalu menasehati agar aku menambah
porsi sarapanku. Menurut mereka, aku makan terlalu sedikit.
Untunglah telepon berdering sehingga pembicaraan terhenti.
"Halo," Jean-Paul mengangkat telepon. "Oh ya? Oke. Jadi
kontraknya sudah ditandatangani, ya?"
Aku tak begitu memperhatikan. Lagipula, ngapain sih
menguping pembicaraan orang.
Dalam percakapan telepon, Jean-Paul acapkali bicara soal bisnis
dan kontrak-kontrak yang harus ditandatangani. Ia memiliki perusahan
periklanan yang cukup besar.
"Tres Bien! Sampai ketemu di kantor nanti. Aurevoir," JeanPaul mengakhiri pembicaraan di telepon bersamaan dengan masuknya
Ibu dan Emily ke dapur. "Selamat pagi semua," sapa Ibu dengan senyum lebar.
Wajahnya nampak lebih berseri-seri semenjak menikah dengan JeanPaul. Bahkan kelihatannya, Ibu pun tak keberatan rumahnya menjadi
berantakan. "Siapa yang menelepon pagi-pagi begini?" tanya Ibu sambil
mengecup pipi Jean-Paul sekilas.
"Ada khabar baik Eileen. Tampaknya The Wingers sudah
sepakat dengan usulan kami," sahut Jean-Paul sambil memeluk Ibu.
"The Minnesota Wingers?" tanyaku mulai tertarik pada
pembicaraan. Aku penggemar olahraga hoki dan The Wingers adalah
tim hoki nasional favoritku.
"Oui. Ya. Saya sengaja merahasiakannya sampai semuanya
beres dan pasti. Sekarang...saya berhasil membeli The Wingers!" seru
Jean-Paul gembira. "Membeli mereka?" tanya Emily seperti tak percaya pada
pendengarannya. Jean-Paul mengangguk bangga. Michel melompat kegirangan
sambil berteriak, "Yeeah! Hebat sekali!"
Kurasa Michel sudah terbiasa dengan pekerjaan ayahnya: jualbeli. Mereka memang termasuk keluarga kaya. Sedangkan aku dan
Emily masih belum terbiasa menjadi anak orang ?kalangan atas?.
"Ibu senang semua berkumpul di sini pagi ini," kata Ibu, lagilagi memamerkan senyumnya, "sebab, Ibu dan Jean-Paul punya berita
gembira yang lain untuk kalian."
Ibu menuangkan secangkir kopi kemudian berdiri di samping
Jean-Paul yang masih sibuk membersihkan kompor.
Tiba-tiba saja aku merasakan gejolak aneh di perutku. Perasaan
aneh semacam ini terakhir kali muncul saat Jean-Paul dan Ibu
mengajak kami berkumpul untuk mendengarkan rencana pernikahan
mereka. Kejadian itu cukup membuatku terkejut. Sekarang, kejutan
apa lagi yang akan mereka rencanakan untuk kami?
BAGIAN DUA Kutatap Michel dan Emily bergantian. Aku yakin mereka pun
sama bingungnya seperti aku.
Kulirik arloji di pergelangan tangan. Tepat pukul 08.00. Tiga
puluh menit menjelang jam pertama sekolah dimulai. Apa pun berita
yang akan disampaikan Ibu, kuharap cukup singkat. Aku ingin tiba
lebih pagi di sekolah supaya punya cukup waktu untuk menyampaikan
berita tentang The Wingers yang baru dibeli Jean-Paul pada sahabatsahabatku.
"Kami berdua baru saja mencari rumah baru," kata Jean-Paul
sambil melingkarkan lengannya ke bahu Ibu.
Aku membelalakkan mata, terkejut. Apa maksudnya? Kita kan
sudah punya rumah? "Luar biasa!" seru Michel. Dia kelihatan gembira sekali
mendengar berita itu. "Jangan khawatir," Ibu menatapku, seolah-olah bisa membaca
keherananku. "Kami belum menandatangani surat-suratnya kok. Kami
ingin kalian ikut melihat rumah itu dan ikut memutuskannya juga.
Nah, nanti sore kita lihat sama-sama, ya? Kalau semua setuju, baru
kita urus surat-suratnya."
Emily duduk diam, hanya menunduk menatap piring makannya.
Aku dapat menerka jalan pikirannya. Rumah ini sudah kami tempati
sejak kami lahir. Aku mencintainya, lebih dari sekedar menyukainya.
Memang sih, rumah ini sudah agak tua. Di sana-sini perlu
perbaikan dan penambahan, apalagi dengan kehadiran Michael dan
Jean-Paul di rumah ini. Tapi itu toh bukan berarti kami harus pindah
rumah untuk menyelesaikan masalah ini, kan?
"Di mana sih letaknya rumah baru itu?" tanya Emily agak
khawatir. Wah, iya juga! Pertanyaan yang benar tuh. Aku kok sampai
nggak kepikiran, ya? Bagaimana kalau ternyata letaknya jauh dari
sekolah dan rumah teman-temanku? Apakah itu berarti aku harus
pindah sekolah juga? "Memang sih, agak di pinggiran kota. Tapi...di jalan Stone Hill,
daerah Granite Springs Drive," Ibu tersenyum menjelaskan.
"Wah, itu kan kawasan elit! Rumah-rumah di daerah itu kan
gede-gede dan mewah-mewah. Enggak jauh dari Acorn Falls Country
Club itu kan?" tanya Emily yang tiba-tiba berubah menjadi
bersemangat. Ibu mengangguk. "Ya. Cuma beberapa blok dari rumah teman


Girl Talk 19 Problema Keluarga Baru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ski es-mu, Laurel Spencer, Katie. Juga nggak begitu jauh dari rumah
Pak Hansen, kepala sekolahmu."
Lantas kenapa? batinku. Menurutku sih biasa-biasa saja.
Lagipula siapa sih yang suka bertetangga dengan Stacy Hansen, si
congkak anak kepala sekolahku itu? Lebih-lebih lagi, jaraknya jauh
dari rumah sahabat-sahabatku.
"Dan...karena rumah baru itu agak jauh, kalian tidak bisa lagi
jalan kaki ke sekolah...," lanjut Jean-Paul setengah menggantung
kalimatnya. "Oleh sebab itu,...Emily harus mengantarkan kalian
dengan mobil setiap hari. Nggak keberatan kan, Emily?" tanya JeanPaul dengan wajah jenaka.
"Maksudnya, maksudnya...aku bakalan punya mobil baru?
Mobil pribadi?" Emily berteriak gembira sambil melompat berdiri dari
kursinya. Ibu mengangguk, tetap tersenyum. "Ibu akan mengambil mobil
baru siang ini. Itu buat Ibu. Mobil yang lama buat kamu."
Emily segera menghambur memeluk Ibu dan Jean-Paul eraterat.
Aku? Sebenarnya sih lebih suka jalan kaki ke sekolah. Bisa bareng
teman-teman dan ngobrol di jalan. Tentu saja kalau sedang tidak hujan
deras seperti hari ini. Tapi aku tahu, Emily sudah lama sekali
mengidam-idamkan mobil pribadi sejak ia memperoleh SIM awal
tahun ini. "Tres Bien," Michel memotong kegembiraan Emily,
"jadi,...kapan kita pindah?"
Buat apa lagi ditanyakan?
Tampaknya ?rapat penentuan keputusan? sudah selesai dan
semua ?warga? dianggap sudah setuju. Ibu dan Jean-Paul mulai sibuk
membicarakan rumah baru tersebut. Emily langsung menghubungi
Reed, pacarnya, untuk menceritakan mobil barunya. Michel masih
belum selesai sarapan. Dia malah menambahkan orak-arik telur serta
pancake ke piringnya. Aku memutuskan untuk pergi lebih dulu ke
sekolah. Tidak bareng Michel. Aku ingin punya waktu sendirian untuk
memikirkan masalah pindah rumah ini, tanpa diganggu oleh siapa
pun. Setelah pamit, kusambar tas sekolah dan payung kemudian
bergegas keluar rumah. Di tengah hujan pagi ini aku menyusuri
jalanan yang basah menuju sekolah. Sepuluh menit kemudian aku
sudah tiba di depan lokerku. Kugantungkan payung sementara
pikiranku belum juga bisa membayangkan bagaimana rasanya
boyongan dan punya rumah baru yang lain sama sekali. Hhhh,
kuhembuskan nafas. "Katie!" Kulihat Sabs berlari menghampiriku sambil menenteng payung
bermotif bola-bola merah jambunya. Rambutnya yang ikal kelihatan
semakin keriting karena basah oleh percikan hujan. "KC, kau pasti tak
percaya mendengar berita yang baru saja kudengar di radio pagi ini!"
"Hai Sabs," aku membalas salamnya.
Sabs selalu punya berita yang menggemparkan. Setiap hari ada
saja yang bisa disampaikannya. Walau aku sudah terbiasa dengan
?kejutan-kejutan?-nya, tak urung masih suka takjub juga.
Sahabatku ini melepaskan jas hujan warna merahnya, lalu
menggantungkannya di pintu sebelah dalam loker. Sejak awal tahun
ajaran baru kami memang menempati loker yang sama.
"Sambil dandan tadi, aku ndengerin radio. Berita olahraga,"
sambung Sabs tergesa-gesa. "Tadinya aku sih nggak begitu antusias
sampai penyiarnya menyebut-nyebut nama Jean-Paul Beauvais. Katie,
kamu kok nggak cerita sih kalau ayahmu membeli The Minnesota
Wingers?" "Jangan sewot gitu dong Sabs. Aku juga baru tahu kok. JeanPaul baru menceritakan soal Minnesota Wingers waktu sarapan tadi.
Dan pagi inilah aku ingin menyampaikannya pada kalian semua.
Sungguh deh," sahutku.
"Waw! Hebat! Benar-benar hebat!" seru Sabs, memuji tak
habis-habisnya. "Apanya yang hebat?" tiba-tiba terdengar seru pertanyaan
Randy yang datang bersama-sama Allison.
Randy mengenakan pakaian serba hitam. Mulai dari ujung
rambut hingga sepatu bootnya. Hitam memang warna kesukaannya.
Kurasa warna hitam memang sangat populer di New York City.
Sebelum pindah ke Acorn Falls, Randy dan ibunya tinggal di kota
besar itu. "Halo Katie, hai Sabs," sapa Allison. Allison kelihatan manis
sekali. Ia mengenakan rok mini warna oranye dari sweater keemasan
yang dihiasi motif bunga-bunga merah dan oranye. Untuk kakinya dia
mengenakan stocking warna senada dan sepatu bot warna hitam
sebatas mata kaki. Rambut panjangnya yang lebat dan hitam itu
disemat rapi dengan bando kuning. Di pelukannya tampak setumpuk
buku milik perpustakaan sekolah.
"Jean-Paul membeli The Wingers!" seru Sabs menjawab
pertanyaan Randy. "O ya? Hebat dong! Mereka memang tim yang hebat bukan?"
tanya Randy. Randy sebetulnya penggemar berat tim dari New York,
The Rangers. Tapi karena sekarang tinggal di Minnesota, ia pun mulai
ikut memperhatikan The Wingers, tim hoki es dari daerah kami.
"Sekarang sih mereka sedang ada di peringkat satu Liga Hoki
Es karena baru saja memenangkan pertandingan nasional baru-baru
ini," jawab Allison tenang, namun bangga.
Al mempunyai daya ingat yang sangat baik. Setiap pagi,
sebelum berangkat sekolah, ia selalu menyempatkan diri membaca
habis isi surat khabar. Dan hebatnya, dia mampu mengingat semua
berita yang dibacanya itu. Aku sangat ingin memiliki daya ingat
sekuat itu. Kalau cepat menghafal, otomatis waktu yang kubutuhkan
untuk belajar pun lebih sedikit, bukan?
"Wah,...Jean-Paul pasti punya uang banyak sekali, nih. Tim
nasional terkuat saja bisa dia beli," sanjung Randy. "Apa
pekerjaannya?" "Mmm,...di Kanada dia punya perusahaan iklan warisan
ayahnya. Katanya sih gede juga," sahutku menjawab keingintahuan
teman-temanku. Mereka mengangkat alis.
Al menatapku agak heran. "Hei Kat, kamu kok kelihatannya
malah nggak gembira sih? Lagi sakit ya?" tanyanya. Al memang cepat
melihat ekspresi seseorang. Seolah-olah ia dapat membaca pikiran dan
perasaan kita. "Iya nih. Nggak suka mendengar ayahmu membeli tim hoki
itu?" tanya Randy. "Kau kan penggemar hoki kelas berat. Bagus dong,
sekarang kau bisa dapat kursi di deretan paling depan kalau mereka
bertanding!" "Bayangkan juga, kau juga bisa kenalan langsung dengan
pemain hoki yang keren-keren itu!" timpal Sabs. Ia begitu
bersemangat sampai-sampai melonjak-lonjak sedemikian rupa.
"Sebenarnya sih senang juga, tapi...," Aku baru saja hendak
menyampaikan rencana kepindahan rumah kami ? yang membuat
kacau perasaanku ? pada sobat-sobatku ini, tapi terpaksa kutunda
tiba-tiba. Soalnya dari depan BZ Latimer dan Laurel Spencer datang
menghampiri kami. Mereka berdua adalah teman se-geng Stacy
Hansen yang sama sekali tak pernah akur dengan kelompok kami.
Sebetulnya BZ dan Laurel sendiri cukup ramah padaku. Aku
dan Laurel bahkan sempat dekat waktu kami berpasangan mewakili
sekolah dalam kejuaran hoki es nasional. Sayang mereka di bawah
pengaruh si Hebat Stacy, sehingga hubungan kami tak begitu akrab
lagi. "Halo tetangga baru!" sapa Laurel seraya melempar senyum
padaku. "Kata Ibuku, keluargamu mau pindah ke Puri Higgens, ya?
Letaknya cuma enam blok dari rumahku."
Aku mengangguk dan mencoba tersenyum. Tiba-tiba bel
berdering tanda jam pelajaran pertama akan dimulai. Laurel dan BZ
pun bergegas pergi. Ketika aku membalikkan tubuh kembali ke arah
sahabat-sahabatku, kulihat mereka membelakkan mata, terkejut.
"Apa? Kau mau pindah?" desak Sabs dengan mulut ternganga
dan mata membelalak hingga demikian besar dan bulat.
"Kau? Tinggal di puri?" seru Randy dengan wajah takjub
bercampur penasaran. "Kita-kita kok nggak diceritain apa-apa sih?" tanya Allison
perlahan, tapi aku tahu,...ada nada tuntutan di dalamnya.
Kelihatannya teman-temanku agak tersinggung karena aku
sama sekali belum memberitahukan rencana kepindahan itu pada
mereka. Dan kini aku tak punya waktu lagi untuk menjelaskan duduk
persoalan yang sebenarnya. Bisa-bisa kami semua terlambat masuk
kelas! Rasanya aku jadi pening. Aku sendiri belum setuju masalah
pindah rumah, kini aku merasa 'bersalah? pada sahabat-sahabatku
karena 'terlambat' memberitahu mereka. Kurasakan dunia berputar.
Ingin rasanya aku masuk dan meringkuk mengunci diri di dalam loker
selama-lamanya. BAGIAN TIGA "Jam berapa Emily menjemput kita?" tanya Sabs hari Senin
pagi minggu berikutnya sepulang sekolah. Sabs duduk di sampingku
di kursi teras sekolah. Al dan Randy di sebelah kiriku.
"Katanya sih jam tiga," jawabku.
"Sekarang sudah jam tiga seperempat," Randy menunjukkan
jam fosfor-nya yang dapat bersinar jika terkena cahaya.
"Mudah-mudahan dia cepat datang deh. Aku sudah nggak sabar
lagi pingin lihat rumah itu," ujar Sabs seraya menghela nafas.
"Lagipula," sambung Randy, "nggak enak rasanya menunggu
seperti ini. Harus melihat dan ditonton murid-murid yang baru pulang.
Nanti kita disangka lagi mejeng."
Aku heran melihat semangat teman-temanku untuk melihat
rumah baruku. Untungnya mereka bisa mengerti alasan
keterlambatanku menceritakan rencana kepindahan keluarga kami
pada mereka. Soalnya, aku juga baru tahu sih...! Lagipula mereka bisa
mengerti bahwa sesunggguhnya aku tak begitu antusias pindah rumah
baru setelah menghuni rumah lama sekitar 13 tahun!
Ibu dan Jean-Paul sudah menandatangani surat-surat pembelian
rumah itu hari Jum?at lalu. Ibu memutuskan mengambil cuti sehari
agar bisa bertemu dengan para tukang yang akan memperbaiki rumah
tersebut seperti tukang cat, tukang lantai, tukang karpet, tukang
cerobong asap, petugas telepon dan macam-macam tukang lagilah.
Mereka harus menyiapkan rumah dalam tempo 12 hari.
Aku cukup terkejut ketika Ibu mengijinkan aku mengajak
sahabat-sahabatku melihat persiapan rumah baru kami. Kelihatannya
sih Ibu gembira dan bersemangat sekali dengan kepindahan rumah ini.
Apa saja yang berkaitan dengan rumah baru itu, beliau pasti oke.
Hari Senin sore minggu lalu, kami sekeluarga melihat ?calon?
rumah kami. Rumahnya baguuus sekali! Aku tak pernah
membayangkan akan tinggal di rumah seindah itu. Di sisi kanan agak
belakang ada kandang kuda dan gudang. Menurut Ibu, kami boleh
memelihara kuda begitu rumah baru itu kami tempati. Hal lain yang
juga mengagumkan adalah danau kecil di pelataran belakang yang
dapat kugunakan untuk main ski es di musim salju nanti.
Rumahnya sendiri tak cukup hanya disebut besar.
Soalnya,...besaaar sekali! Bayangkan, lantainya saja empat, kamar
tidurnya ada tujuh, lima kamar mandi besar dan sebuah kamar rias di
lantai pertama. Dapur, ruang makan, ruang keluarga dan ruang tamu
juga ada di lantai pertama itu. Di ruang keluarga terdapat sebuah
kamar mandi kecil. Bahkan ada juga ruangan untuk perpustakaan yang
berhubungan dengan ruang kerja dan kamar mandi kecil tadi. Ruangan
ini akan digunakan oleh Jean-Paul. Seumur hidup belum pernah aku
melihat rumah dengan kamar mandi sebanyak ini!
Emily sangat bersemangat, karena dia boleh memiliki lantai
empat untuk dirinya sendiri. Letaknya tepat di bawah atap. Dia pasti
sangat gembira, karena memiliki ruang duduk, ruang tidur dan kamar
mandi sendiri. ?Calon? ruang milik Emily itu sebelumnya digunakan sebagai
kamar pembantu oleh pemilik rumah terdahulu. Memang sih, ruang
itu tak terlalu luas, tapi Emily seolah-olah memiliki sebuah paviliun
kecil miliknya sendiri. Diam-diam aku ikut senang,...nggak perlu
rebutan kamar mandi lagi!
Kegembiraan itu tak berlangsung lama tatkala aku tahu bahwa
kamarku dan kamar Michel yang sama-sama terletak di lantai tiga,
ternyata bersebelahan! Satu kamar mandi yang besar menjadi pemisah
sekaligus penghubung kedua kamar tadi. Sekarang aku harus berbagi
kamar mandi dengan anak laki-laki! Ih. Kesel deh.
Kamar Ibu dan Jean-Paul merupakan ruangan yang paling
canggih di rumah ini. Bayangkan, dua kamar digabung jadi satu!
Gedenya, wah, wah,...jangan tanya deh! Kata Ibu, kamar sebesar itu
biasa disebut suite. Bahkan jika dibandingkan dengan ruang tamu di
rumah lama kami, kamar tidur ibu jauh lebih besar. Rasanya agak
aneh juga, ya? Kalau kita masuk kamar tidur raksasa itu, pertama-tama kita
akan masuk ke ruang duduk yang mewah. Di sisi kirinya dipasang
pintu kaca berukir yang menghadap ke teras. Di bagian lain ada satu
pintu yang berhubungan dengan kamar tidur. Di dalam kamar terdapat
dua lemari besar yang mirip lorong panjang. Kamar mandinya pun
canggih, dilengkapi dengan bak mandi air panas dan uap yang biasa
disebut Jacuzzi. Tiba-tiba Allison memotong lamunanku, "Hei KC, itu mobil
ibumu, kan?" Aku menghentikan lamunanku tentang rumah baru dan segera
menoleh ke arah yang di tunjuk Al. Sebuah mobil sport mungil warna
biru dengan tenang memasuki halaman sekolah.
"Oh itu,...sekarang jadi punya Emily," sahutku. Ya, sekarang
Ibu memiliki sedan mewah warna merah yang baru dibelikan JeanPaul hari Minggu lalu.
"Hebat dong sekarang Emily punya mobil sendiri. Jadi kita
nggak perlu lagi bergantung pada kakakku kalau minta diantar ke
mana-mana," ujar Sabs seraya bangkit berdiri.
"Si Luke...? Eh Sabs, gara-gara kita minta diantar ke Widmere
Mall tempo hari, kau masih harus mencucikan mobilnya setiap
Minggu?" tanya Randy.
Sabs mengangguk sambil merengut. Luke, kakak sulung Sabs,
memang ?itungan? banget. Dia selalu merasa direpotkan jika kami
minta tolong diantar, ke mana saja. Dan setelah itu, dia pasti minta
imbalan atas jasa-jasanya.
"Hmm, kadang-kadang aku merasa beruntung jadi anak
tunggal," gumam Randy tepat pada saat Emily menghentikan
mobilnya persis di depan kami. Terdengar suara musik agak keras saat
pintu mobil kubuka. "Hai Em," sapaku agak berseru, mencoba mengalahkan suara
radio. Emily agak mengecilkan suara radionya sementara sahabatsahabatku menyusulku masuk satu persatu ke dalam mobil.
"Halo cewek-cewek!" sapa balik Emily.
Eh, ada yang aneh deh rasanya.... Tiba-tiba saja gaya Emily
seperti anak gede aja, padahal umurnya hanya berselisih tiga tahun
denganku. Masak sih gara-gara bawa mobil sendiri?
"Kita harus buru-buru nih! Kata Ibu, penata ruangannya datang
jam tiga tepat," lanjut kakakku itu lagi.
Mata Sabs yang coklat kehijauan langsung terbelalak. "Penata
ruangan? Busyet,...luar biasa nih! kalau sudah jadi artis top nanti, mau
deh aku nyewa penata ruangan yang profesional untuk mendekor
rumahku." "Aku sih ragu menyerahkan penataan rumahku pada orang
lain," tukas Allison. "Kan lebih asyik ditata sendiri. Lebih klop


Girl Talk 19 Problema Keluarga Baru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan keinginanku sendiri."
Secara pribadi aku sependapat dengan Allison.
Tapi Ibu dan Jean-Paul kelihatannya akan lebih sering
mengadakan jamuan dan pesta di rumah untuk rekan-rekan bisnis
mereka. Itu sebabnya mengapa rumah kami perlu ditata secara
profesional oleh penata ruangan yang ahli. Supaya tidak memalukan,
begitulah kira-kira alasannya.
Ibu meyakinkan kami bahwa Bu Gold, dekorator pilihannya,
adalah seorang penata ruangan yang profesional. Katanya sih dia
banyak pengalaman dan mampu menyelesaikan tugas dalam waktu
singkat. Walau begitu aku juga diijinkan memilih sendiri warna-warna
untuk kamar tidurku. Itulah sebabnya aku harus bertemu dengan Bu
Gold dan Ibu hari ini. "Lihat, lihat! Rumahmu pasti yang itu!" pekik Sabs sambil
melonjak-lonjak di kursi belakang. Ia menunjuk rumah megah mirip
istana kecil yang dihiasi ornamen batu bata merah di sekeliling
temboknya. Di depan rumah terpancang papan bertuliskan: SUDAH
DIJUAL. Emily memasukkan mobil ke jalan setapak dan berhenti di
depan garasi besar yang mampu menampung enam mobil sekaligus.
Di sampingnya terparkir mobil baru Ibu dan sebuah mobil lagi, entah
punya siapa. Kami semua turun. Kulirik sahabat-sahabatku. Mereka
ternganga kagum. Emily segera melesat masuk sementara kami berempat masih
berdiri mengagumi rumah itu dari pelataran parkir. Benar-benar cantik
dan megah. Tapi kalau aku bilang, rumah sejenis ini akan terasa lebih
nyaman jika dijadikan ?rumah liburan?, bukan rumah tinggal.
"Wow!" puji Sabs. Ia tak henti-henti mengedarkan
pandangannya ke segala penjuru.
Randy memperhatikan bagian belakang, ke arah kandang kuda.
"Pingin deh, punya kuda," gumamnya.
"Di belakang sana apaan sih? Lapangan tenis, ya?" tanya Al
seraya menunjuk salah satu sudut taman belakang yang sebagian
ditutupi pagar besi yang dijalari tumbuhan rambat.
Aku mengangguk. Senang sekali rasanya bisa mengajak
sahabat-sahabatku ikut melihat rumah baru kami. Kelihatannya sih
semangat dan kegembiraan mereka mulai menular padaku. "Masuk
yuk, kalian harus melihat kamar tidurku," ajakku.
Aku melangkahi beberapa sikat lantai yang berserakan di muka
pintu masuk. Sikat itu tentu milik tukang yang sedang memoles lantai
kayu. Pintu masuknya terbuat dari kayu jati. Beratnya lumayan, tapi
bagus lho! Penuh ukir-ukiran indah. Pegangannya logam berlapis
emas. Terdengar suara berisik begitu pintu terbuka. Rupanya para
tukang masih sibuk bekerja.
Teman-temanku mengikuti dari belakang sambil terus
memperhatikan apa saja di sekeliling mereka. Sabs berdecak kagum
melihat tempat-tempat lilin dari kristal yang tergantung memanjang ke
bawah. "Ck ck ck,...semuanya serba besar!" komentarnya.
"Ruangan apa ini?" Allison menunjuk ke sepasang pintu dorong
dari kayu yang terbuka sebagian. Kelihatan beberapa tukang tengah
bekerja di dalam sana. Kuputuskan untuk tidak mengajak mereka
masuk ke sana. "Ibu menyebutnya parlour, tapi menurutku sih itu ruang tamu,"
sahutku setelah kami berhenti sejenak memperhatikan ruangan yang
ditanyakan Allison. "Kita naik tangga belakang aja, yuk," sambungku mengajak
sahabat-sahabatku terus berjalan ke kamarku. Dengan hati-hati aku
melangkah di antara lantai kayu yang tengah diperbaiki itu.
Kami harus memutar melewati seluruh ruangan di lantai
pertama untuk mencapai tangga belakang. Kuhentikan langkahku di
ruang makan yang dindingnya dilapisi kulit kayu. Lantas
kuperlihatkan tungku perapian dan pintu kaca besar yang
menghubungkan ruang makan dengan taman serta rumah kaca di
kebun belakang. "Hihihi..., rasanya kayak lagi piknik ke museum deh. Ada
guide-nya segala lagi," Allison tertawa geli melihat caraku
menunjukkan bagian demi bagian rumah ini. Tapi dia juga
berkomentar tentang luas dan lengkapnya rumah kami.
Berbeda dengan Sabs. Si imut-imut ini berulang kali berseru
kagum. Tapi hanya kata ?Wow? saja yang terlontar dari mulutnya.
Lama-lama kami merasa geli dibuatnya. Begitu banyak yang dilihat
tapi komentarnya cuma satu dan selalu itu: ?WOW! Pernah
membayangkan perjalanan yang isi komentarnya cuma ?wow?? Pasti
aneh juga ya? "Nah, ini dapurnya," kataku saat melangkah memasuki ruangan
berlantai hitam-putih. Randy mendekati kompor yang memiliki empat pemanas dan
dua buah oven. "Dengan dapur selengkap ini kau bisa membuat
macam-macam masakan Thailand yang lezat," gumamnya. Randy
memang penggemar makanan yang menggunakan banyak bumbu dan
perlu persiapan khusus untuk memasaknya.
"Mungkin kita bisa memasak bila menginap di sini," usul
Allison. "Tentu saja. Tapi kelihatannya sih buat rumah segede gini
bakalan ada koki khusus," sahut Randy.
"Entah ya. Aku nggak tahu, bakal ada koki khusus atau tidak.
Kalau aku sendiri sih lebih terbiasa tanpa koki, kan?" kilahku segera.
Di rumah lama kami, aku dan Emily bergantian bertugas
membersihkan rumah dan memasak setiap hari Minggu. Meskipun
rumah ini jauh lebih besar, kurasa pembagian tugas akan sama saja.
"Ibumu masih ngantor nggak?" tanya Allison. "Kelihatannya
sekarang Ibumu nggak perlu bekerja lagi deh."
"Ah, nggak gitulah ya. Ibuku menyukai pekerjaannya dan butuh
kesibukan," sahutku. Sebetulnya, Ibu justru baru saja diangkat
menjadi Kepala Bagian Kredit di bank tempatnya bekerja.
Kelihatannya beliau malah tambah bersemangat dengan pekerjaannya.
Sabs mengangguk-anggukkan kepalanya dengan gaya dramatis.
"Aku bisa mengerti. Kalau aku sudah jadi artis beken kelak, aku pasti
tetap membutuhkan pekerjaan. Apalagi yang ada hubungannya dengan
dunia akting," ujarnya dengan wajah serius.
"Wah, yang artis.... Kalau sudah nge-top jangan lupa sama kitakita ya...," goda Randy.
"Jelas dong! Buktinya, meskipun sekarang jadi anak orang
kaya, Katie sama sekali nggak berubah. Iya kan?" kilah Sabs.
Rasanya aneh juga mendengar kata-kata itu keluar dari mulut
Sabs. "Aku nggak kaya kok!" bantahku segera. Setahuku, banyak
orang-orang kaya yang cenderung bersikap sombong dan pilih-pilih
teman. Tapi aku tak mau seperti mereka. Lagipula yang punya banyak
uang adalah Jean-Paul, bukan aku.
"Katie? Kamu sudah datang?" kudengar suara Ibu dari arah
tangga belakang di balik dapur. "Cepat naik! Bu Gold ingin
menunjukkan beberapa contoh warna untuk kamarmu."
Kuajak teman-temanku naik ke atas melalui tangga yang
sebenarnya khusus digunakan untuk para pelayan. Sengaja aku tak
mengatakan hal itu pada mereka. Takut dibilang sombong! Atau
mereka merasa direndahkan, karena diajak naik tangga pelayan.
Padahal niatku kan baik, ya? Cuma ingin menunjukkan semua yang
ada di rumah ini.... Setelah menaiki dua jalur tangga, kami tiba di lantai tiga, persis
di depan kamar tidurku dan kamar tidur Michel. Tangga masih
berlanjut ke kamar Emily di lantai ke empat. Kalau boleh jujur nih,
sebenarnya aku agak pegal naik-turun tangga semacam ini. Tapi apa
boleh buat, kelihatannya aku harus membiasakan diri dengan tangga
ini. Dari tempat kami berdiri kulihat seorang wanita setengah baya
di samping Ibu. Ia mengenakan kaca mata setengah menggantung.
Rambutnya pirang. Mantel ungunya tampak mencolok. Ini pasti Bu
Gold. Di tangan kanannya ia membawa beberapa contoh karpet dan
wallpaper. Ia langsung menyambut kehadiran kami.
"Aaah, untung kalian sudah datang. Saya sudah siap mengatur
kamar anak-anak." Tanpa basa-basi atau kenalan dulu, dia langsung
mendahului kami semua membuka pintu kamarku.
Aku agak tersentak mencium bau parfum yang dikenakan
wanita ini. Uf, menyengat sekali...! Apa dia memakainya untuk
mandi? Segera kuikuti langkah Bu Gold ke kamar tanpa berani
menatap teman-temanku. Kalau hanya kami berempat, aku yakin kami
pasti tertawa terbahak-bahak karena memiliki pikiran yang sama
tentang bau parfum tersebut.
"Emm, siapa di antara mereka yang bernama Katie?" tanya Bu
Gold pada Ibu sambil menatap kami berempat.
Aku maju selangkah untuk memperkenalkan diri. "Saya Katie,"
sahutku sambil mengajak bersalaman.
Bu Gold menganggukkan kepala padaku lantas mengajak aku
mengelilingi ruangan. "Ruangan yang luas dan nyaman sekali,
bukan?" komentarnya.
Aku pun ikut memperhatikan sekeliling ruangan besar yang
belum berubah sama sekali keadaannya sejak pertama aku melihatnya
seminggu yang lalu. Jendelanya masih kosong melompong tanpa tirai.
Ruangannya pun sama: kosong dan dingin. Hanya saja kini kelihatan
bintik-bintik putih di dindingnya dan beberapa gombal bekas para
pekerja berserakan di lantai.
"Mauve!" tiba-tiba Bu Gold berseru keras.
Kami semua menoleh terkejut ke arahnya. Ada apa? Apa itu
Mauve? "Ruangan ini butuh nuansa warna Mauve!" katanya lagi.
Bu Gold menghentikan langkahnya, lantas mulai membukabuka buku besar berisi contoh wallpaper yang dibawanya. "Sekarang
untuk dindingnya..." Ia mulai mencari dan akhirnya berhenti pada
sebuah contoh wallpaper yang kelihatannya seperti coretan awutawutan yang dibuat Charlie, adik kecil Allison yang baru berumur
lima tahun. "Sebetulnya...," aku segera menyela pembicaraan sebelum
berlanjut terlalu jauh. Kelihatannya Bu Gold tipe orang yang tidak
mau memberi kesempatan bicara pada orang lain. Semua sontak
menoleh ke arahku, membuatku agak tergagap.
"Eng,...aku lebih suka wallpaper warna putih dengan motif
bunga mawar kecil-kecil dan karpet warna biru pucat," lanjutku
sebelum ide-ide Bu Gold berkembang lagi. Aku sendiri tak begitu
paham, seperti apa warna Mauve yang dikatakannya tadi, tapi aku
yakin bukan itu warna yang kuinginkan untuk kamarku.
"Tapi sayang...," akhirnya Ibu buka suara juga setelah sejak tadi
Bu Gold yang mendominasi percakapan. "Warna yang kamu pilih tadi
kan persis warna kamar tidurmu yang dulu? Kamu nggak pingin
sesuatu yang baru? Yang lain sama sekali?"
Bukankah pindah rumah dan menempati kamar yang baru sudah
merupakan perubahan besar-besaran, pikirku. Tapi tentu saja aku tak
dapat mengungkapkan isi pikiranku itu pada Ibu. "Tidak Bu. Aku
hanya suka warna-warna itu, putih, pink dan biru."
Bu Gold menghela nafas berat. Kuharap itu tandanya ia
menyerah. "Yah,...kalau begitu saya kira saya harus mencari
wallpaper yang diinginkan Katie." Lantas ia pun membuka-buka buku
besarnya lagi. Kami hanya diam memperhatikan.
"Nah, ini dia," serunya gembira. Dikeluarkannya potongan
contoh wallpaper dan diberikannya pada Ibu. Kujulurkan leherku
ingin ikut melihatnya. "Laura Ashley memiliki koleksi wallpaper yang
lengkap. Dia juga memiliki perlengkapan lain yang senada, seperti
kain gorden, sprei dan selimutnya. Kalau itu yang diinginkan putri
Anda...," dibiarkannya kalimatnya menggantung sambil melirikku dari
balik kaca matanya. "Hihihi..., gayanya! Seperti yang punya rumah aja," kudengar
Randy berbisik di belakangku. Untunglah Bu Gold sedang sibuk
memilih warna karpet sehingga tidak mendengar komentar Randy.
"Tapi saya benar-benar tidak setuju dengan warna biru pucat!"
seru Bu Gold lagi. Aduuuh, bagaimana sih dia ini,...selera kok
didebat! Seolah-olah warna biru merupakan warna yang menghambat
pekerjaannya. Lagipula yang mau menempati kamar ini kan aku,
bukan dia! "Begini saja deh. Bagaimana kalau diganti warna rumput
laut? Serasi sekali dengan warna dedaunan hijau muda di wallpaper
mawarmu bukan?" Dia menatap wajahku lekat-lekat, untuk
meyakinkan. Ditunjukkannya sebuah contoh karpet, kemudian diletakkannya
di lantai. "Saya akan memberi tanda pada warna-warna yang serasi
sehingga kamu dapat memikirkan dan memilihnya lagi. Bagaimana?"
Kemudian Bu Gold melangkah ke kamar mandi yang
menghubungkan kamarku dengan kamar Michel.
"Warna rumput laut? Ini rumput laut? Menurutku sih ini kayak
rumput kena lumpur!" komentar Sabs sambil memperhatikan warna
contoh karpet hijau muda yang tergeletak di lantai. Tiba-tiba ia
mengatupkan tangan ke mulutnya, kaget sendiri dengan komentarnya.
"Astaga Katie! Sori ya. Aku nggak bermaksud menghina lho!
Sebetulnya sih warna karpet ini nggak terlalu jelek kok," katanya
dengan rasa bersalah. "Nggak apa-apa kok Sabs," Aku tersenyum maklum. "Aku juga
punya pikiran sama dengan kamu kok. Warna seperti ini suram ya?"
aku meminta pendapat sahabat-sahabatku.
"Ah, tenang saja. Kau kan bisa membicarakan warna
keinginanmu pada Ibumu. Lagipula keputusan akhir kan ada di tangan
Ibumu. Bukan Bu Gold itu kan?" Allison menghiburku.
Kuharap saja Al benar, yang jelas aku masih merasa agak waswas dan kaget melihat gaya Bu Gold yang otoriter....
BAGIAN EMPAT Tak terasa dua belas hari telah berlalu. Rasanya cepat sekali,
sampai tak sempat lagi menghitung hari, karena setiap hari keluargaku
disibukkan oleh masalah rumah baru. Tahu-tahu, tiba juga saatnya
kami sekeluarga harus pindah total ke rumah baru.
Hari Sabtu pagi, aku duduk termangu di tengah kamar tidurku.
Mungkin ini untuk yang terakhir kalinya aku berada di sini, batinku.
Kuperhatikan sekelilingku. Uh, sarat kardus-kardus karton berisi
barang-barangku yang sudah kukemas rapi. Aneh rasanya
membayangkan isi kamarku bisa dikemas masuk ke dalam beberapa
buah kardus saja. Kulirik jam di meja samping tempat tidurku. Tapi kemudian
baru aku ingat bahwa jam wekerku pun sudah kukemas masuk dalam
kardus yang bertuliskan PUNYA KATIE.
"Katie! Setengah jam lagi truk pengangkut barang datang lho!
Sudah siap?" tanya Ibu dari bawah tangga. Minggu lalu Ibu
mengambil cuti seminggu penuh. Beliau benar-benar memanfaatkan
waktu cutinya total untuk berurusan dengan tukang-tukang serta Bu
Gold, sehingga rumah itu bisa kami tempati sesuai dengan rencana.
"Hampir selesai. Bu! Tinggal sweater!" sahutku. Kubuka laci
lemari paling atas lantas kupindahkan sweater-sweaterku dengan hatihati ke dalam kardus yang masih kosong.
Ibu telah menyiapkan beberapa kotak kardus yang cantik
khusus untuk pakaianku. Menurut Ibu kotak-kotak itu masih dapat
kupergunakan untuk menyimpan pakaian di lemari kamar baruku
nanti. Lemari pakaianku yang baru bentuknya lebih menyerupai
sebuah gudang kecil, lengkap dengan lampu, laci-laci, gantungan baju
serta tempat sepatu. Untuk memilih pakaian aku harus masuk ke
dalam ?gudang? itu. Dengan cepat aku menyelesaikan kemasan terakhir lantas
kusempatkan menikmati ?detik-detik terakhir? di kamar ini.
Semua koleksi posterku sudah kugulung dan kusimpan rapi


Girl Talk 19 Problema Keluarga Baru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dalam tabung-tabung karton. Bekas tempelannya masih kelihatan di
dinding, membuat dinding itu lebih cerah daripada bagian lainnya.
Buku-buku pun sudah kukemas semuanya. Yang tinggal hanya kasur
di atas tempat tidurku, meja rias, rak buku dan meja belajar.
Rasanya aku dijalari perasaan asing yang aneh. Kamar ini
merupakan ruangan paling nyaman di seluruh dunia. Bayangkan, aku
sudah melewatkan sebagian besar hari-hariku selama 13 tahun di
kamar ini. Dan kini aku harus meninggalkannya begitu saja.
Tiba-tiba kusadari bahwa aku harus segera berangkat. Bisa-bisa
aku menangis jika tinggal lebih lama lagi di sini. Kusempatkan
memeriksa kalau-kalau masih ada yang tertinggal. Setelah yakin, aku
melangkah keluar kamar. "KC!" panggil Michel. Ia tergopoh-gopoh. Dilangkahinya dua
anak tangga sekaligus. Pagi itu dia mengenakan jeans sobek-sobek
kesukaannya serta polo-shirt yang sama seperti yang dikenakannya
kemarin. "Di mana Ibu menyimpan perekat kardus?" tanyanya.
Kuharap itu pertanda dia sudah selesai mengemasi barangbarangnya.
Kuisyaratkan dia mengikutiku ke dapur, tempat Ibu menyimpan
gunting dan perekat. "Kamu sudah selesai berkemas?" tanyaku seraya
menyerahkan perekat padanya.
"Oui. Tapi aku butuh pertolonganmu," katanya.
Kuikuti Michel ke ruang duduk dan...langkahku langsung
terhenti melihat keadaan di sana!
"Astaga Michel! Kau bilang sudah selesai? Ini sih,...mulai saja,
belum!" seruku kaget sambil memperhatikan tumpukan pakaian yang
berserakan memenuhi lantai.
"Sudah kok," kilah Michel, "lihat saja...." Ditunjuknya sebuah
kotak kayu tempat ia menyimpan sikat gigi, sisir, buku-buku dan
beberapa barang lain miliknya. Aduh mak, caranya menaruh
barang,...terlalu semrawut untuk dapat dikatakan rapi. Seperti itukah
yang dikatakannya berkemas?
Michel kemudian menumpukkan pakaian ke dalam kardus. Ia
terus menumpuknya sampai keluar dari batas kardus.
"KC! Tolong dong, bantuin injak-injak bagian atas kardus
supaya aku bisa merekatkan tutupnya," pintanya sambil berusaha
keras menekan tutup kardus agar mau merapat.
Aku menatapnya dengan pandangan putus asa tapi toh aku
harus membantunya. Kutahan nafasku dan berdoa agar kardus itu
tidak pecah karena terlalu penuh isinya.
"Lompat-lompat sedikit dong biar ada tekanan!" ujar Michel
sambil terus berusaha merekat tutup kardus yang belum juga mau
merapat. "Bien! Fuih! Akhirnya sukses juga!" seru Michel lega. Aku
ikut menghela nafas lega lalu melompat turun dari kardus.
"Hei, ini ketinggalan!" Kutarik sebuah sweater yang
tersembunyi di bawah kursi.
"Ah, nggak masalah." Michel menyambar sweater itu dari
tanganku dan langsung melesakkannya di sela-sela sikat gigi dan
buku-bukunya begitu saja. Jorok! Minta ampun deh!
Tak lama berselang truk pengangkut barang tiba. Beberapa jam
berikutnya rumahku disibukkan dengan kegiatan memindahkan
barang ke truk. Begitu cepat, tapi juga begitu sibuk. Empat orang
pengangkut barang mondar-mandir mengangkati kardus demi kardus
dari rumah ke dalam truk dengan hati-hati. Bahkan kardus pakaian
Michel yang nyaris robek itu pun dapat diangkut dengan selamat! Aku
berusaha menangkap kucingku, si Pepper, yang kelihatan agak
bingung. Akhirnya Pepper berhasil kumasukkan ke dalam kurungan.
Yang lain juga kelihatan sibuk. Dan yap,...perjalanan dari rumah lama
ke rumah baru kini siap dimulai....
Aku tak begitu mengamati perjalanan. Apalagi menikmatinya.
Tahu-tahu saja aku sudah berdiri di muka rumah megah yang
selanjutnya akan menjadi tempat tinggal kami itu.
Ibu dan Jean-Paul segera melesat masuk untuk mengarahkan
para pekerja di mana harus meletakkan barang-barang. Emily sudah
berada di kamarnya, asyik ngobrol lewat telepon dengan pacarnya,
Reed. Aku belum melihat Michel, tapi rasa-rasanya sih pasti sudah
masuk ke dalam rumah juga. Ke mana dia, ya? Pingin tahu juga aku.
Aku melongok ke kamarnya sambil menunggu giliran mengatur para
pekerja untuk menempatkan barang-barangku.
"Fuih,...luar biasa! Hari yang hebat!" seru Michel begitu
melihatku. Ia melangkah keluar kamar lantas duduk di sampingku.
"Rumah baru, dua saudara cewek dan Ibu baru!"
Tak begitu kuperhatikan kegembiraannya. Yang kuperhatikan
justru kotak-kotak kardusku yang terkemas cantik dan rapi.
Kubandingkan dengan kardus-kardus Michel yang berantakan dan
porak-poranda. Kardus-kardusku seperti kado, sementara punya dia
seperti kapal karam yang pecah kena karang terus dibajak! Pokoknya
amburadul! Sementara mataku menilai kardus-kardus itu, sisi hatiku
berbicara lain. Jujur saja, aku belum dapat memastikan perasaanku
menghadapi keluarga baru. Tapi satu hal yang pasti, memiliki saudara
cowok tentunya akan menjadi pengalaman baru yang memberi makna
lain dalam kehidupanku! BAGIAN LIMA Hari Selasa siang aku duduk-duduk dengan Sabs, Randy dan
Allison di depan gerbang sekolah. Lagi-lagi menunggu jemputan
Emily. "Lama amat sih dia!" gerutuku resah. Kuperhatikan setiap
mobil yang lewat di jalanan dan halaman parkir sekolah, tapi mobil
Emily belum juga kelihatan.
Seminggu belakangan ini aku sibuk membereskan dan
merapikan kardus-kardus barang serta perabotan-perabotan baru.
Akhirnya semuanya beres. Lalu aku minta persetujuan Ibu untuk
mengajak teman-temanku mampir ke rumah sepulang sekolah hari ini.
Aku ingin memperlihatkan kamar baruku, begitulah alasan yang
kukemukakan. Tapi sebetulnya sih aku cuma ingin ditemani mereka.
Perasaan janggal dan asing karena tinggal di rumah baru dengan
keluarga baru, masih meliputi hatiku.
Emily sudah telat sekitar lima belas menit dari janjinya.
Kemarin malah lebih telat lagi. Kelihatannya sih besok-besok aku
bakalan menghabiskan waktu cukup lama untuk acara tunggumenunggu seperti ini. Untunglah teman-temanku kelihatannya tidak
keberatan. Malah Sabs melewatkan waktu dengan bergosip ria.
"...terus, waktu aku mengeluarkan wortel dari tasku di
perpustakaan, Stacy bilang begini, ?Ooo...pantas warna rambutmu
merah seperti wortel? Habis itu, ngakak habislah dia dengan Eva.
Sebel nggak?" cerita Sabs sambil menggerak-gerakkan kepalanya
sehingga rambut keritingnya ikut bergoyang-goyang. "Warna
rambutku ini kan merah tua, bukannya oranye seperti wortel! Aku
benci sekali mendengar ledekannya."
"Nggak usah dipikirin deh Sabs," hibur Allison, "si Stacy
barangkali cuma iri sama kamu."
"Yeah. Mungkin dia cuma pingin pamer saja di depan si Gigi
Hiu Eva Malone. Biar kelihatan berwibawa di depan badut-badut
pengikutnya, gitu deh," timpal Randy.
Tepat pada saat itu, Stacy, Eva, Laurel dan BZ keluar dari
gerbang sekolah dan melintas di hadapan kami. Tentu saja kami
berempat tak dapat menahan tawa.
"Katie, mau pulang bareng nggak? Yuk...," Laurel menawari
tumpangan pulang padaku. Meskipun Laurel termasuk kelompok
Stacy, hubungan kami berdua cukup baik. Dikatakan akrab banget sih
tidak, tapi dibilang musuhan juga tidak. Biasa-biasa sajalah. Hanya
saja sejak aku pindah ke rumah baru, sikap Laurel malah berubah
menjadi sangat ramah dan bersahabat.
Stacy tersenyum padaku ?jelek sekali, karena kelihatan
dibikin-bikin ? tapi langsung cemberut waktu bertemu pandang
dengan Randy, Al dan Sabs. "Tapi tempat duduk di mobil cuma
tinggal satu tuh," katanya sebelum melenggang ke mobil kakak
Laurel. Herannya dia tak lupa pada kebiasaannya yang menjengkelkan
kami, yaitu menyibakkan rambut pirangnya ke balik bahu. Eva
mengikutinya dari belakang.
"?Makasih deh Laurel. Aku dijemput kakakku kok," jawabku
pada Laurel tanpa menghiraukan Stacy sama sekali.
Laurel kelihatan agak malu dengan ulah Stacy. Ia, Eva dan BZ
melambaikan tangan lantas beranjak mengikuti Stacy ke mobil.
Sabs memelototi sampai mobil mereka berlalu. "Uhhh gemes
aku melihat tingkahnya! Kenapa sih dia harus bersikap menyebalkan
begitu?" "Dunia ini berputar Sabs," Randy berfilosofi.
"Maksudmu?" Sabs mengerenyitkan kening.
"Maksudnya, segala sikap jelek Stacy akan menjadi bumerang
dan kelak akan berbalik menyulitkan dirinya sendiri," Allison
menjelaskan. Randy mengangguk. "He-eh. Misalnya suatu hari ia memasang
wajah aneh dengan maksud melecehkan kita, mungkin saja wajahnya
akan jadi tetap aneh seumur hidupnya!" tuturnya.
Lantas Randy menirukan ekspresi wajah Stacy yang sok tahu
dan sombong itu. Aku tertawa terpingkal-pingkal sampai perutku
terasa sakit. Menyenangkan sekali berada di tengah sahabat-sahabat
dekatku ini. Tiba-tiba aku teringat pada ibu Allison. "Eh ya, apa khabar
Ibumu?" tanyaku pada Allison.
Beberapa minggu lalu, Allison mengabarkan bahwa ibunya
sedang mengandung. Kelihatannya sih Allison agak cemas
memikirkan hal itu. Soalnya Al sudah merasakan repotnya punya
seorang adik laki-laki, Charlie namanya.
"Baik-baik saja," sahut Al datar. "Cuma sekarang kelihatannya
gampang capek. Karena itu aku selalu berusaha membantunya
membereskan rumah semampuku."
"Hei, itu dia Emily datang!" seru Sabs. Ia segera melompat
berdiri dan menyandang tasnya. "Aduh Katie, untung sekali kau
punya kakak seperti dia. Tiap hari mau menjemput. Kalau si Luke,
mana mau repot-repot begini setiap hari."
Aku terkejut dengan komentar Sabs. Sungguh, aku lebih suka
jalan kaki. Aku tak mengira bahwa Sabs lebih suka diantar-jemput
mobil. "Bener juga. Aku suka banget pakai skateboard, ke mana aja.
Tapi kalau jauh-jauh sih lebih nyaman naik mobil dong. Apalagi kalau
naik skateboard di musim dingin. Begitu sampai sekolah, rasanya aku
sudah jadi es batu," timpal Randy. Ia lantas duduk di antara Al dan
Sabs sambil mengapit skateboard di antara kedua lututnya.
"Di mana si Michel? Seharusnya dia pulang sama-sama kita
hari ini kan?" tanya Allison sambil menoleh ke belakang, ke arah
sekolah. Aku menggeleng. "Ke rumah Scottie. Katanya sih pingin
nonton pertandingan The Wingers di teve sore ini. Soalnya di rumah
kami saluran olahraganya baru terpasang besok," aku menjelaskan.
"Tadi pagi aku baca koran. Katanya, kalau The Wingers
memenangkan pertandingan hari ini mereka sudah pasti masuk babak
final," Al menginformasikan.
"New York Islanders tahun ini lagi payah nih. Kelihatannya
malah The New York Rangers yang punya kesempatan lebih besar,"
Randy menyela. "Eh Randy, Kalau di final Rangers ketemu Wingers, kamu
mihak siapa?" tanya Sabs.
Aku dan Allison serentak memandang Randy, ingin tahu
jawabannya. Soalnya, walaupun selama ini tinggal di Acorn Falls, dia
tetap berhubungan dengan sahabatnya, Sheck, di New York City.
Randy tak segera menjawab. "Rasanya sih aku bakalan mihak
The Wingers" jawabnya setelah berpikir sejenak. "Apalagi sekarang
The Wingers sudah jadi milik Jean-Paul."
Aku, Sabs dan Al bertepuk-tangan menyambut jawabannya.
Kami gembira mendengarnya. Akhirnya Randy merasa menjadi
bagian dari tempat tinggalnya, Minnesota. Beberapa waktu lalu kami
sempat cemas memikirkan keinginan Randy untuk kembali ke New
York dan tinggal bersama ayahnya. Kurasa, jika Randy bisa menerima
perceraian orang tuanya untuk kemudian tinggal di rumah baru,
sekolah baru, lingkungan baru dan teman-teman baru, aku pun
seharusnya bisa menerima kenyataan seperti sekarang ini.
"Siapa tuh?" tanya Sabs ketika kami tiba di muka rumah
besarku. Ia menunjuk seorang lelaki setengah baya berambut kelabu
yang sedang memotong rumput di halaman.
"Emm,...tukang kebun," sahutku pelan dengan perasaan sedikit
tidak enak. "Baru kemarin mulai bekerja di sini. Ia akan menempati
paviliun kecil di samping garasi."
"Tukang kebun?" Randy mengangkat alis matanya tinggitinggi, menatapku seolah minta penjelasan lebih lanjut.
Sabs kelihatannya juga terkejut. "Wow! Pertama-tama ada
penata ruangan khusus. Sekarang tukan kebun. Astaga Katie, kau
sekarang bukan main deh. Beruntung sekali."
Beruntung? Ah tidak. Aku sama sekali tidak merasa beruntung.
Sebaliknya justru malu. Aku telah mengatakan pada sahabatsahabatku bahwa keadaan tak akan berubah hanya karena Jean-Paul,
ayah tiriku, adalah seorang pengusaha yang kaya raya. Tapi sekarang
nyatanya kami memiliki tukang kebun. Entah bagaimana caranya
mengatakan pada mereka bahwa kami juga memiliki pembantu rumah
tangga dan juru masak! Begitu banyak yang berubah. Ibu biasanya sangat menyukai
tanaman, dan aku serta Emily selalu bergantian membantu
membersihkan dedaunan yang berguguran mengotori halaman rumah
kami dulu. Pernah juga Ibu minta bantuan anak laki-laki tetangga
kami untuk membersihkan halaman. Tapi hanya sekali, dan itu pun
karena aku sangat sibuk ujian sedangkan Emily keluar kota. Jelasnya,
kami tak pernah memiliki tukang kebun pribadi seperti sekarang ini.
Kubuka pintu mobil dan menunggu sampai semua temantemanku keluar, sebelum masuk ke rumah. Ketika melewati tukang
kebun, ia menyapa kami dengan sopan, "Selamat siang, Nona-nona."
Randy segera menjawab, "Selamat siang juga, Pak."
"Hi...hi...rasanya kayak jadi putri raja deh," bisik Sabs
cekikikan. Ia dan Al kelihatan agak risi disapa seperti itu.
Kurasakan pipiku bersemu merah, maka cepat-cepat aku buka
pintu, agar pembicaraan di kebun segera berakhir. Tapi sebelum aku
sempat memutar gagang pintu, pintu besar itu sudah mengayun
terbuka.... Seorang pelayan menyambut kami. Dia berambut hitam,
mengenakan rok hitam dan blus putih.
"Selamat siang Nona Katie," sapanya, "Nyonya sudah bilang
bahwa Nona akan membawa beberapa teman siang ini. Saya sudah
menyiapkan susu dan kue-kue di dapur. Tukang masak mulai bekerja
hari ini. Dia sedang memanggang roti dan kue untuk sore ini."
Lantas pelayan itu membukakan pintu lebar-lebar sehingga
kami berempat bisa masuk dengan leluasa. Aku benar-benar merasa
janggal dengan panggilan "Nona Katie?.
"Ibu ada?" tanyaku.
"Tidak Nona. Nyonya pulang agak terlambat hari ini," sahut
pelayan dengan sopannya. Lantas diantarnya kami berempat ke dapur
melalui ruang makan. Sejak naik pangkat, Ibu memang sering pulang malam. Tadinya
kupikir aku dan Emily masih sanggup membereskan rumah berdua.
Sabs, Randy dan Allison menahan nafas waktu kami melewati
ruang makan. Di tengah-tengahnya terhampar karpet Persia menutupi
sebagian lantai kayu. Meja makannya panjang sekali. Cukup untuk 12
kursi yang ditata leluasa. Ukir-ukiran antik yang indah menghiasi


Girl Talk 19 Problema Keluarga Baru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bagian atas dan tepiannya. Jean-Paul sengaja mendatangkan meja ini
dari Canada. Di sebuah sudut terdapat lemari pajangan dari Cina yang
dipenuhi berbagai hiasan dari perak. Jean-Paul juga membeli dudukan
yang berukuran besar dan bermotif antik. Sebuah lukisan kota Paris
dalam ukuran raksasa tergantung di atas tungku perapian. Pintu kaca
yang menghadap taman ditutupi tirai putih berenda yang cantik dan
anggun. Pendeknya, ruang makan itu memang benar-benar
mempesona. Antik, artistik dan mewah!
"Ada telepon buat saya, Bu Smith?" tanya Emily pada pelayan
saat kami memasuki dapur. Kelihatannya Emily sama sekali tidak
merasa keberatan dan risi dengan kehadiran pelayan di rumah kami.
"Ada, Nona Emily. Dari Tuan Reed. Katanya, jam empat sore
nanti mau ke sini, menjemput Nona," sahut Bu Smith. Emily
mengucapkan terima kasih lalu naik ke kamarnya sementara aku dan
teman-temanku duduk mengelilingi meja makan yang ada di dapur.
Sabrina mencomot sepotong kue coklat dari piring yang sengaja
disediakan untuk kami di tengah meja. "Mmhh, masih hangat lho.
Anda mau coba, Nona Katie?" canda Sabs seraya menahan tawa.
"Sebentar. Aku harus ngasih makan si Pepper dulu," sahutku
sambil beranjak bangkit untuk mengambil makanan kucing dari rak.
Tapi Bu Smith mencegahku berdiri dengan tangannya.
"Sudah saya beri makan, Nona. Kucing Anda sangat manis,"
ujarnya. Beberapa detik aku hanya terpana, tak percaya. Sejak kelas satu,
akulah yang selalu memberi makan Pepper. Itu selalu kulakukan
sepulang sekolah. Kini, aku bahkan tak diijinkan memberi makan
kucing kesayanganku! Aku pun kembali duduk dan menggigit
sepotong kue sambil menahan jengkel. Tapi harus kuakui kuenya enak
sekali lho. Kami masih asyik ngemil dan ngerumpi ketika seorang wanita
yang belum pernah kukenal memasuki ruangan. Perawakannya
pendek, raut wajahnya galak dan berambut kelabu. Ia mengenakan
pakaian serba putih dengan celemek di pinggangnya. Kelihatannya sih
tukang masak kami yang baru.
"Hai! Kue ini bikinan Anda ya? Enak sekali lho!" seru ramah
Sabrina, memujinya. Perempuan itu hanya menjawab pujian Sabrina dengan
anggukan yang kaku. "Hai, saya Katie," sapaku memperkenalkan diri. Aku menunggu
jawaban darinya tapi nyatanya ia hanya menganggukan kepala sedikit
ke arahku. "Aku tinggal di sini," lanjutku. Aku merasa konyol dengan
perkataanku barusan, tapi kurasa aku perlu menjelaskan padanya.
Mungkin ia belum tahu siapa aku.
Tetapi...lagi-lagi ia hanya mengangguk.
"Nama Ibu siapa?" akhirnya aku menanyakan namanya.
Seandainya tidak ada teman-temanku, belum tentu aku seberani ini.
Bukan menghina nih, tapi wanita ini kelihatan seperti salah satu
monster yang sering muncul di film-film horor kesukaan Randy.
"Biasa dipanggil Koki," sahutnya singkat. Ia lantas mengambil
sebuah pisau besar lalu mengiris ketimun. Randy terkikik geli. Aku
yakin, dia pasti sedang teringat salah satu adegan dalam film horor
yang pernah ditontonnya. Kurasa teman-temanku pun merasa tidak nyaman berada di
dekat si juru masak ini. Walhasil kami berempat hanya mengunyah
kue saja, tanpa bercakap-cakap lagi.
Tiba-tiba Allison berseru, "Hei Katie, jadi nggak kita melihat
kamarmu?" "Jelas! Yuk," sahutku mengajak.
Kami meletakkan gelas-gelas kotor ke bak cuci piring sebelum
naik ke atas melalui tangga belakang. Sekarang baru aku tahu kenapa
Ibu menamakannya ?tangga khusus pelayan?: Rupanya kami benarbenar memiliki pelayan sekarang!
Tiba-tiba sebuah pikiran buruk menghentak di benakku.
Pelayan-pelayan ini tentunya juga tinggal di rumah ini! Bukankah
rumah ini masih memiliki tiga kamar tidur kosong? Aku harus segera
menanyakan hal ini pada Ibu.
Sabs, Randy dan Al belum melihat kamarku lagi sejak
pertemuan dengan Bu Gold tempo hari. Menurutku suasananya terasa
lebih nyaman sekarang. Kubuka pintu dan kubiarkan teman-temanku
masuk untuk melihat-lihatnya lebih dahulu, tanpa kukomentari.
Harus kuakui, kamar baruku kelihatan sangat cantik. Aku
membawa meja belajar, rak buku dan meja rias lamaku. Dan tentu saja
rumah boneka buatan almarhum Ayahku, hadiah dari beliau waktu
ultahku dulu. Ibu dan Jean-Paul sudah menyiapkan tempat tidur besi berlapis
emas untukku. Juga sebuah sofa besar, seukuran tempat tidur.
Sabs berlari-lari kecil ke dalam kamar dan berputar-putar. "Wah
kau juga punya te-ve pribadi di kamarmu!" serunya kagum.
Allison mendekati tempat duduk di muka jendela dan sedikit
menyibakkan tirai berwarna putih merah jambu itu. "Kau pasti akan
menyukai jendela ini. Di kamarku, aku biasa menghabiskan waktu
luang untuk membaca di muka jendela seperti ini. Lihat Randy, dari
sini kelihatan kandang kuda dan taman belakang!"
"Wow,...asyik banget!" Randy ikut melongok ke bawah.
Kemudian ia menjatuhkan diri ke atas kursi rotan putih yang dipesan
Ibu khusus untuk kamarku. Bu Gold-lah yang mengusahakannya.
Bantalannya berwarna senada dengan dinding kamarku. Putih dengan
bunga-bunga mawar kecil. "Untunglah kau tidak jadi memasang karpet warna hijau lumut
itu," komentar Randy sambil memperhatikan karpet biru muda di
lantai kamarku. Kuanggukkan kepala. "He-eh. Aku cuma bilang sama Ibuku
warna apa yang kuinginkan."
"Eh iya, Bu Gold jadi ngambek nggak?" tanya Sabs yang
sedang duduk di atas tempat tidurku.
"He-eh, gimana tuh dia? Katanya benci berat dengan warna biru
muda?" timpal Al. "Nggak masalah kok. Sebetulnya warna karpetku bernama biru
langit musim panas," ujarku.
Lantas aku ikut duduk di samping Sabs. Kurentangkan tubuhku
untuk mengelus Pepper yang tidur melingkar di ujung tempat tidur.
Aku lega kucing kesayanganku ini ternyata tak kesulitan untuk
menyesuaikan diri dengan tempat tinggal baru ini.
"Bagiku sih nggak ada bedanya dengan biru muda biasa,"
Randy tertawa. "Aku tahu. Tapi begitulah kata Bu Gold," sahutku, ikut tertawa.
Rasanya aku tambah menyukai kamar baruku ini karena kehadiran
teman-temanku ini deh. "Hei!" Tiba-tiba Sabs melompat berdiri. "Boleh nggak kita
lihat-lihat kamar Michel?"
"Enggak tahu ya," aku ragu sesaat. Kamar Michel dan kamarku
berdampingan, dan hanya dipisahkan oleh kamar mandi besar yang
harus kami pergunakan bersama. Tapi masak sih aku ngajak teman-
temanku melihatnya. Soalnya, aku sendiri pasti keberatan jika Michel
mengajak teman-temannya melihat kamarku jika aku sedang tidak di
rumah. "Ayolah,...cuma ngintip dikit aja deh. Boleh ya? Nggak bakalan
ada yang tahu kok," Sabs memohon.
Kelihatannya Randy dan Allison pun penasaran. Aku ragu di
bawah tatapan sahabat-sahabatku itu.
"Ya deh," akhirnya aku menyerah. "Tapi sebentar aja ya? Dan
ingat, kalian hanya boleh mengintip dari pintu kamar mandi!"
Kami berempat memasuki kamar mandi. Memang kamar mandi
yang besar sih, jadi cukup untuk berempat bahkan mungkin untuk
enam orang sekaligus...! "Aku nggak sabar, pingin tahu kreasi Bu Gold terhadap kamar
cowok," gurau Randy sambil memelototkan matanya.
Sebetulnya ?jujur saja nih ? aku pun penasaran ingin melihat
kamar Michel. Kemarin sih masih berantakan dan dipenuhi oleh
kardus-kardus barang yang belum dirapikan. Kalau anaknya
berantakan kayak gitu, kamarnya kayak apa ya?
Ngomong-ngomong soal kardus barang, rasa-rasanya aku
sendiri masih memiliki beberapa kardus yang belum sempat kubuka.
Pagi tadi masih ada, namun sekarang sudah tidak ada lagi. Kira-kira
siapa yang membuka dan merapikannya ya? Dan bagaimana caraku
menemukan barang-barang yang kubutuhkan jika orang lain yang
menyimpan dan merapikannya?
Kubuka pintu penghubung kamar mandi dengan kamar Michel.
Kami berempat mengintip dari situ.
Michel memiliki sebuah selimut bergaris-garis merah-biru,
sprei dan sarung bantal biru yang serasi dengan tirai jendela yang
berwarna biru pekat. Karpetnya juga berwarna biru laut sementara
meja belajar, meja rias dan kursi-kursi di kamarnya semua terbuat dari
kayu berwarna coklat gelap. Bahkan dindingnya pun dilapisi kayu
berwarna coklat tua. Kamar Michel kelihatannya menjadi begitu gelap
tapi juga nyaman dan berkesan jantan. Sangat berbeda dengan
kamarku yang serba lembut dan feminin.
"Bagus ya?" komentar Randy, "boleh juga selera si penata
ruangannya." Tiba-tiba terdengar suara-suara anak-anak cowok. Kelihatannya
bukan cuma sendirian. Bersamaan dengan itu pintu sekonyongkonyong terbuka dan Michel terlihat melangkah masuk. Aku panik!
Tanpa pikir panjang lagi kututup pintu kamar mandi secepat kilat.
"Auww!!!" pekik Sabrina, "rambutku!"
Astaganaga! Baru kusadari, sebagian rambut ikalnya terjepit di
daun pintu sehingga ia tak dapat bergerak dan tentu saja kesakitan.
Kubuka lagi pintu sedikit sehingga rambut Sabs terlepas. Mudahmudahan saja Michel dan teman-temannya tidak melihat adegan tadi.
"Fuih, hampir saja...," bisik Randy. Kami semua menghela
nafas lega. Namun keterkejutan kami belum berakhir.... Tiba-tiba pintu
kamar mandi terbuka dan...kepala Michel tahu-tahu sudah muncul di
depan kamar mandi! Celaka, mereka tahu juga rupanya. Matanya
keheranan menatap kami. "Ngapain sih kalian berempat ngumpul di kamar mandi?"
tanyanya bingung. Scottie Silver dan Flip Walsh ? dua temannya dari
tim hoki es sekolah ? melongok dari balik bahunya dengan
pandangan tak kalah herannya dengan Michel.
Aku mencoba menjawab, tapi...tak satu kata pun yang keluar.
Rasanya kok jadi kelu, ya? Apalagi berpikir untuk mencari-cari
alasan. Tentu saja aku tak mungkin mengatakan pada Michel bahwa
kami berempat sedang mengintip kamarnya tanpa ijin!
"Kalian...cewek-cewek...memang aneh," Flip menggelenggelengkan kepalanya berkali-kali melihat ulah kami.
Scottie menjulurkan kepalanya di samping bahu Flip dan
menyapa kami dengan senyum yang manis sekali, "Halo semua!"
Ah, sapaan itu agak meredakan keterkejutan dan rasa sungkan
kami. Apalagi ? menurutku lho ? Scottie Silver adalah cowok yang
cukup oke. Kami pernah jalan-jalan berdua beberapa kali, tapi telah
kuputuskan bahwa kami hanya berteman biasa saja. Cukuplah di situ
dulu. Nanti-nanti, ya...entahlah.
"Wah KC, kau seharusnya ikut nonton pertandingan itu. Seru!
Benar-benar hebat!" Tiba-tiba saja Michel berseru penuh semangat.
Aku tak tahu, dia cuma mengalihkan perhatian kami semua, atau
memang bersemangat untuk cerita. Yang penting aku malah merasa
tertolong dengan pembicaraannya.
"Sudah selesai?" tanyaku sambil melirik arloji di tanganku.
Michel mengangguk. "Oui. Ya sudah dong. Kalau belum selesai
masa aku sudah pulang. Yang menang The Wingers! Mereka sekarang
masuk final! Tadi aku nelpon Ayah di kantornya. Beliau janji
membelikan tiket pertandingan hari pertama! Kita nonton ya, Katie!"
"Heh, jangan lupa sama teman dong," Scottie menepuk bahu
Michel dari belakang. "Beres, beres. Jelas deh itu," balas Michel. "K.C., Ayah juga
bilang kita boleh mengundang semua teman untuk hadir di pesta
menjelang final. Waktunya, sehari sebelum pertandingan. Di pesta itu
kita bisa ketemu langsung dengan para pemain The Wingers!"
"Wow!" seru Sabs. "Apa iya? Rasanya aku nggak percaya
deh!" "Aduh asyik banget!" Randy ikut berseru gembira.
Al lebih kelihatan kalem. Dia hanya tersenyum sambil memuji,
"Kedengarannya menyenangkan juga ya?"
Aku setuju dengan teman-temanku. Aku masih merasa janggal
dengan rumah baruku ini sehingga lupa akan The Wingers yang telah
dibeli Jean Paul. Tapi pesta syukuran sebelum pertandingan ini pasti
akan menjadi pesta yang paling mengasyikkan dan berkesan seumur
hidupku! BAGIAN ENAM Hari berikutnya hampir semua murid di sekolah kami
membicarakan kemenangan The Wingers. Ketika Aku, Sabs, Randy
dan Al masuk ke jalur antrian makanan, kantin sudah sangat penuh.
Kata-kata Wingers dan Menang terdengar dari segala penjuru.
Rabu adalah hari khusus pizza di kantin sekolah Bradley. Tadi
pagi aku sudah berpesan pada koki agar tidak membawakan bekal dari
rumah karena ingin makan siang di kantin. Kuingatkan diriku untuk
memuji makan malam buatan si koki agar ia tidak tersinggung.
Aku merasa lega setelah Ibu mengatakan bahwa Bu Smith dan
si koki tidak akan tinggal bersama kami, tapi tentu saja aku masih
merasa aneh dengan kehadiran pelayan-pelayan itu di rumahku.
Kurasa aku membutuhkan waktu agak lama untuk membiasakan diri.
Kuedarkan pandangan ke sekeliling kantin yang ramai. Kami
datang agak terlambat karena Al harus menyerahkan puisi untuk
majalah sekolah seusai jam pelajaran Bahasa Inggris tadi. "Hei,
tunggu! Kelihatannya ada kursi kosong di sebelah sana," Sabs
menunjuk ke arah meja dekat jendela.
"Lupakan saja Sabs," Randy merengut, "Stacy dan begundalbegundalnya juga duduk di situ. Lebih baik aku duduk di lantai
daripada satu meja dengan mereka."
Aku setuju. Lagipula aku yakin Stacy pasti akan berusaha matimatian mengusir kami dari mejanya.
Tapi,...apa yang kulihat?
Hampir tak kupercayai penglihatanku. Dua detik setelah
melihatku, Stacy berdiri dan melambaikan tangannya ke arahku.
Mungkin pada orang lain di belakangku, pikirku. Kubalikkan tubuh,
tapi ternyata tak ada siapa-siapa.
"Hei Katie! Duduk sama-sama yuk!" Stacy tersenyum ramah
mengajakku. Selang beberapa detik kami berempat hanya dapat berdiri,
terkejut mendengar ajakan Stacy. Manis sekali sikapnya padaku. Ada
apa ya? Biasanya dia hobby berat dan memang selalu berusaha
melecehkan kami. Allison memecah kebingungan kami. "Sebaiknya kita duduk di
sana juga. Sebentar lagi jam makan siang selesai. Kalau nggak cepet
dapat kursi, kita nggak sempat makan nih," usulnya.
"Mudah-mudahan aku nggak keselek gara-gara duduk dekat
mereka," gerutu Randy saat mengikuti kami menghampiri meja Stacy.
"Minggu lalu aku melihat truk pengangkut barang di depan
rumah barumu, Katie. Selamat datang di lingkungan kami," Stacy
menyambutku dengan suara yang dibuat seakrab dan selembut
mungkin. Sebetulnya Stacy bukanlah tetanggaku. Rumahnya terletak
beberapa kilo lebih jauh. Kini ia menganggapku tetangga di
'lingkungannya?. Terus terang, aku tak tahu harus bersikap bagaimana
menanggapi obrolannya.

Girl Talk 19 Problema Keluarga Baru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Stacy benar-benar tidak mempedulikan teman-temanku. Dia
terus saja mengajakku ngobrol soal rumahku. Juga rencananya untuk
pulang dan pergi sekolah sama-sama setiap hari. Aku hanya
mengangguk-anggukkan kepala sambil berdoa agar celotehnya segera
berhenti. Untunglah akhirnya Eva ikut bercakap-cakap. Ia bercerita
tentang cowok kece yang baru dikenalnya. Aku menghela nafas lega,
terbebas dari celoteh Stacy.
"Bawel banget sih dia!" bisik Sabs dekat sekali dengan
telingaku agar tak terdengar siapa pun.
"Kira-kira ada apa ya di balik sikapnya yang sok ramah dan
manis itu?" tanya Randy curiga.
Tiba-tiba kantin menjadi lebih berisik. Kutengadahkan kepala.
Kulihat anak-anak tim hoki sekolah kami memasuki kantin. Cowokcowok itu kelihatan semangat sekali.
"Gembira amat mereka. Ada apa ya?" komentar Randy.
"Mungkin Michel sudah membicarakan rencana pesta Jean-Paul
untuk The Wingers," sahutku.
Agaknya Stacy mendengar perkataanku, sebab tiba-tiba
perhatiannya beralih dari Eva padaku. "Pesta? Kau mau bikin pesta?"
tanyanya. "Bukan, bukan aku, tapi Jean-Paul," sahutku merasa terganggu
karena percakapanku dengan teman-temanku terputus olehnya.
"Ya ya ya, aku juga tahu. Tapi bener kan, soal pesta untuk The
Wingers? Aku sudah dengar dari Scottie tadi pagi. Pasti seru sekali
pestanya nanti," ujar Stacy, lagi-lagi dengan senyum palsunya.
"Ah, bukan pesta besar kok," aku mengingatkannya.
Tiba-tiba saja terselip 'pikiran jelek? dalam benakku. Mengapa
Stacy tiba-tiba berubah menjadi ramah padaku dan sangat
bersemangat menanyakan pesta itu? Apa dia berharap diundang?
Aih,...enggaklah ya...! Sepanjang jam makan siang, aku dan sahabat-sahabatku
memilih diam sementara Stacy asyik ngobrol dengan badut-badut
pengikutnya. Untunglah bel sekolah berdering sehingga kami segera
dapat memisahkan diri dari mereka.
"Ckckck...Stacy itu! Benar-benar nekad! Muka badak! Nggak
punya malu sama sekali," Randy menggeleng-gelengkan kepalanya.
Al mengangguk. "Kenapa dia pasang tampang manis-manis
begitu ya? Supaya diundang ke pestamu?" tanya Al padaku.
"Enggak tahu deh. Yang jelas aku sih nggak akan ngundang
dia," ujarku mantap. ebukulawas.blogspot.com
"O ya, jangan lupa, pulang sekolah nanti kita kumpul di
Fitzie?s," Sabs mengingatkanku. "Pasti seru deh. Soalnya sejak kau
pindah rumah, kita kan belum pernah lagi kongkow-kongkow di
Fitzie?s." Sabs rupanya berusaha menghiburku. Dapat kurasakan itu.
Sebetulnya, aku juga sudah kangen berat pada Fitzie?s. Tempat
itu bukan cuma asyik untuk ?tiga ng?: ngobrol, ngerumpi, dan
ngeceng, tapi makanannya pun oke. Artinya: murah, meriah, enak.
Tak heran kalau menjadi rumah makan favorit remaja, termasuk
murid-murid Bradley Junior High School.
Sayang, sekarang agak jauh dari rumah baruku. Tapi aku sudah
merindukan suasana hangat di Fitzie?s. Karena itu, hari ini aku minta
Emily agak telat menjemputku ? pukul setengah lima sore ? dan
Emily menyanggupinya. "Trims Sabs. Hampir saja aku lupa!" Aku tersenyum, berterima
kasih pada Sabrina. Cukup repot juga keadaanku sekarang. Aku harus
merencanakan sesuatu dari jauh hari agar dapat memastikan apakah
Emily bersedia mengantar-jemput atau tidak. Aku benar-benar
merindukan saat-saat aku bisa pulang jalan kaki dari sekolah, tanpa
tergantung pada siapa pun.
************ "Hei Katie, di kantin tadi aku lupa ngomong kalau hari ini
pakaianmu oke punya lho," puji Randy saat kami berempat berjalan
bersama-sama ke Fitzie?s sepulang sekolah.
Aku tertegun sejenak mendengarkan kata-katanya.
Kuperhatikan pakaianku. Ada apa ya? Ah, dibandingkan dengan apa
yang dikenakan Randy, pakaianku jauh lebih sederhana. Biasa-biasa
saja. "Astaga!" pekikku ketika melihat sepatu yang kukenakan. Aku
mengenakan sweat shirt dengan sepatu pink serta celana jeans putih.
Yang memalukan adalah warna kaus kakiku! Oranye menyala! Nggak
pas sama sekali. "Aku salah ambil kaus kaki!" seruku sambil membungkuk,
berusaha menarik jeansku agar menutupi kaus kakiku. Tadi pagi aku
memang agak terburu-buru karena Emily memaksaku bergegas
berangkat. Apalagi sekarang semua barang-barangku diatur oleh
pelayan. Rapi sih rapi, tapi agak sulit bagiku untuk menemukan apa
yang kuinginkan. "Nggak apa-apa kok. Bener deh. Kelihatannya malah lain dari
yang lain. Seperti gaya tahun enam puluhan. Kau hanya perlu
mengkombinasikannya dengan warna hijau yang jreng sebagai
pelengkap," komentar Randy lagi.
"Kurasa bando kuningmu itu juga pas dengan sweat shirt pink
dan kaos kaki oranyemu," timpal Sabs, ikut-ikutan.
"Kuning?" Kukerutkan kening sambil melepas bando dari
kepalaku. "Astaga,...rasanya aku tadi ngambil bando putih kok!"
Al tersenyum menghiburku. "Aduuh segitu paniknya. Kalem
aja deh, Kat, nggak ada yang aneh kok."
Aku yakin sahabat-sahabatku ini sebenarnya sedang bersusah
payah menahan tawa. Memang konyol juga sih. Aku pun
mengakuinya. Mulai besok aku harus menyiapkan pakaian yang akan
kukenakan esok pagi sebelum tidur.
Beberapa menit kemudian kami tiba di Fitzie?s. Ternyata sudah
cukup banyak anak-anak Bradley di dalamnya. Kami mencari kursi
kosong. "Hai Katie!" sapa seseorang saat kami melewati deretan mejameja. Aku menoleh. Ternyata sapaan itu datang dari cowok yang
pernah tergabung dalam praktek-praktek laboratorium IPA bersamaku
pada tahun lalu. Dia tersenyum memandangku. Aku tak kenal
namanya, bahkan pada wajahnya pun agak pangling. Maklum, muridmurid yang praktek IPA kan banyak. Entah kenapa tiba-tiba ia
menyapaku. Tapi kubalas juga tegurannya dengan senyum dan
anggukkan, walau dalam hati bertanya juga, "Siapa ya?"
"Hei Campbell! Ada berita hebat tentang The Wingers nih!"
seru anak cowok lain yang semeja dengan dia. Temannya rupanya.
Samar-samar aku ingat siapa cowok itu. Dulu kami pernah
mengikuti seleksi tim hoki sekolah tapi ia dinyatakan gugur. Setelah
itu aku tak pernah melihatnya lagi, bahkan belum sempat kenal
namanya. Kok dia bisa tahu dan ingat namaku ya? Mungkin karena
aku satu-satunya cewek yang .nekad ikut ujian seleksi tim hoki ya?
"Katie, ada tiket gratis nggak nih?" tanya cowok itu.
"Iya nih,...bagi-bagi kita dong! Demi teman," sahut cowok yang
lain. Aku sangat terkejut sehingga tak bisa menjawab. Rupanya
cowok-cowok ini menjadi menjadi ramah karena ada maunya! Aku
menyesal, kenapa sih Jean-Paul membeli The Wingers segala?
"Katie! Sini!" Kudengar suara lain lagi memanggilku.
Rasanya aku kenal betul suara yang satu ini.
Stacy! Kuputar tubuhku. Kulihat Eva yang duduk di hadapan Stacy
menggeser duduknya, memberikan satu tempat untukku.
"Aduh, trims deh. Kami sudah punya meja sendiri kok. Tuh, di
sana," sahutku menghindar. Sebenarnya aku mulai merasa naik darah
dengan kejadian-kejadian memuakkan ini. Masak sih Stacy nggak
mikir bahwa kami pasti menduga ?ada udang? di balik sikapnya yang
mendadak manis ini? Memang sih aku tetap tersenyum, walau tipis.
Tapi hatiku kan tetap dongkol.
Sahabat-sahabatku pasti hafal perangaiku. Sabs menggandeng
lenganku dan menarikku ke meja. "Sudah deh, cuekin aja mereka,"
ujarnya. "Halo," lagi-lagi terdengar lagi sapaan. Aku mengerutkan
kening. Cemberutku tak tertahankan lagi. Oportunistis macam mana
lagi nih yang muncul? Sekonyong-konyong cemberutku berubah menjadi senyum saat
kulihat Sam, kakak kembar Sabs menghampiri kami. Akhirnya, ada
juga orang yang benar-benar menyapa dengan tulus, bukan lantaran
ingin tiket gratis! Sam ditemani Nick Robbins, Arizonna, Billy Dixon dan Jason
McKee. Cowok-cowok ini adalah teman-teman kami. Karenanya aku
pun tak keberatan mereka bergabung di meja kami meskipun terpaksa
berdesak-desakan. "Kalian kok nggak nonton pertandingan kemarin sih? " tanya
Sam. "Rugi! Soalnya seru banget! Seharusnya kalian ikut aku ke
rumah Nick. Aku nonton di sana."
"Nggak apa-apa kok. Michel nonton di rumah Scottie dan dia
sudah banyak cerita padaku soal pertandingan itu," jawabku sambil
melirik papan menu untuk memilih es krim yang akan kunikmati kali
ini. Nick membuka jaketnya dengan susah payah karena posisinya
agak terjepit mengingat kami duduk berdesakan. "Aku nggak sabar
lagi, pingin segera melihat pesta kemenangan Wingers itu," ujarnya
penuh semangat. "Iya nih. Mudah-mudahan saja kita diundang. Pesta itu akan
menjadi pesta pertamaku di Minnesota," gumam Arizonna.
Sabs menatap tajam ke arah anak-anak cowok itu, seolah-olah
mau menelan mereka. "Jangan ganggu Katie lagi dengan soal pesta
itu. Dia lagi keki. Soalnya semua anak nyapa dia supaya diundang
pesta dan minta tiket gratis."
"Nggak apa-apa kok Sabs," kilahku, tulus. "Tentu saja kalian
kuundang. Aku justru mengharapkan kalian datang. Aku, Emily dan
Michel memang cuma ngundang temen-temen deket kok. Yang jadi
masalah, kelihatannya semua anak pingin diundang. Mereka nggak
bisa mengerti keadaanku. Jean-Paul sudah cukup berbaik hati mau
membuatkan pesta itu. Tapi aku tak bisa seenaknya mengundang
seluruh teman sekolah dan memanfaatkan kebaikan hatinya, kan?"
Aku langsung cemberut ketika mendengar suara Stacy yang
memanggil Michel dengan nada kelewat centil. "Michel! Sini dong!"
Kubalikkan tubuh. Kulihat Michel tengah berdiri di ambang
pintu masuk. Dan tentu saja ia langsung mendekat ketika mendengar
panggilan Stacy. "?Si Badak? itu nggak pernah putus asa rupanya!" gerutu
Randy. "Mana mungkin Stacy melewatkan kesempatan ini. Apalagi
pemain-pemain Wingers keren-keren begitu. Dia akan berusaha matimatian agar bisa datang ke pesta itu. Berani taruhan deh," Sabs
Pendekar Baja 6 Dewa Naga Karya Anang Widyan Hamukti Palapa 5
^