Pencarian

Problema Keluarga Baru 2

Girl Talk 19 Problema Keluarga Baru Bagian 2


meramalkan. Aku kembali mencari Michel. Ternyata dia sudah ikut duduk
bergabung di meja Stacy. Mereka ngobrol dan eh, kok pakai cekikakcekikik segala sih?
Sebel! Aku khawatir perkiraan Sabs benar. Kelihatannya Michel sudah
terpengaruh oleh muslihat Stacy.
Runyam nih. Sekarang saudara tiriku ber-akrab-ria dengan
musuh besarku! Iya kalau akrabnya cuma di kantin. Kalau terus
merembet sampai urusan pesta, aku bisa tambah kacau!
BAGIAN TUJUH "Sabs, masak sih harus begitu-begitu banget? Bener nih?"
tanyaku melalui gagang telepon han Kamis malam. Aku geli sekaligus
penasaran. "Kalau kata majalah Belle begitulah caranya kalau kita ingin
memperoleh manfaat masker seperti di salon kecantikan," sahut Sabs
sok yakin. Menurut Sabs tempo hari, acara perawatan kulit yang tengah
kulakukan ini diperlukan untuk menghapus sisa-sisa kulit rusak akibat
musim dingin atau...apalah...pokoknya seperti begitulah, kurang lebih.
Kita harus siap menjadi pribadi yang baru, begitu kata Sabs tempo
hari. Okelah, barangkali si Sabs benar. Tapi aku belum yakin dengan
cara yang dianjurkannya ini.
Aku duduk di depan cermin kamar mandi, mengenakan baju
handuk warna merah muda. Rambutku terbungkus handuk sementara
masker lumpur menutupi seluruh wajahku. Jari-jari tanganku penuh
gumpalan tissue. Kulekukkan tubuhku untuk men-cat kuku-kuku
kakiku sambil berusaha menjepit telepon dengan telinga dan bahu.
"Aduuuh! Susah amat sih," gerutuku, mulai kesal. Handuk di
kepala sering merosot menutupi mataku, padahal aku hanya bisa
menyingkapkannya dengan ujung pergelangan tangan karena kukukuku tanganku masih basah oleh cat kuku. Jelas sulit.
"Jangan putus asa," Sabs memberiku semangat. "Kalau tidak,
selamanya kau harus tergantung pada salon kecantikan. Kata majalah
itu, kita harus terbiasa melakukan perawatan wajah, kulit dan
kecantikan sendiri agar waktu kita tidak banyak terbuang. Cuma butuh
waktu satu jam kok!"
Tahu nggak, Sabs sedang apa? Saat ini dia duduk di ruang
bawah rumahnya dan melakukan hal yang sama seperti yang tengah
kulakukan. Kudengar suara berisik di gagang telepon.
"Sabs?" tanyaku.
Tak ada jawaban. Pasti dia juga sedang menghadapi kesulitan
yang sama denganku. Aku menghela nafas, menunggu Sabs kembali bicara. Kulihat
sepatu olah raga Michel yang berlumuran lumpur tergeletak di sudut
kamar mandi. Mungkin aku bisa menyarankan Michel untuk lebih
rajin merawat dirinya agar lebih bersih dan teratur. Aku senang karena
kami mempunyai seorang pelayan khusus. Salah satu, tugasnya,
membersihkan kamar mandi, tiga hari sekali. Tapi tetap saja aku
sering kebagian pekerjaan merapikan barang-barang Michel yang
berserakan di kamar mandi.
Suara Sabs kembali terdengar. "Katie? Sori ya, lama.... Eh,
conditioner-nya baru boleh dibilas setengah jam lagi. Maskernya juga.
Pada saat itu cat kuku kita tentu sudah kering. Masker di wajahmu
sudah mulai mengeras belum?"
Setengah jam? Lama amat! Kusentuhkan telapak tangan
perlahan-lahan ke wajahku untuk memeriksa masker yang kukenakan.
"Kelihatannya sih sudah. Kulitku kayak ditembok," jawabku.
Kuperhatikan lagi sekeliling kamar mandi. Banyak barang di sini,
banyak sekali, kecuali...jam!
"Jam berapa sekarang?" tanyaku.
"Setengah lima-an,"jawab Sabs. "Jam lima mungkin acara
perawatan kecantikan kita selesai." Semoga, gumamku dalam hati.
Rasanya aku sudah menghabiskan waktu bertahun-tahun di kamar
mandi. Sebenarnya kalau acara perawatan kecantikan ini tidak terlalu
membuat risi dan ruwet begini, aku sangat menikmati kesendirianku
di kamar mandi. Sungguh. Soalnya ? bukan nyombong nih ?
belakangan ini aku selalu dikelilingi banyak orang.
Bayangkan saja. Di rumah sekarang ada lima anggota keluarga,
ditambah tiga pelayan dan tukang kebun. Belum lagi teman-teman
sekolah yang ? rasa-rasanya ? semakin banyak saja, entah yang
tulus ataupun yang pura-pura tulus karena aku sekarang sudah jadi
anggota keluarga Jean-Paul, sang pengusaha kaya. Tapi kalau Sabrina,
Randy, dan Allison sih lain. Mereka benar-benar sahabat sejati, setia
dan tulus. "Aku mau ke atas dulu ah, ke kamar mandi. Pingin tahu, kayak
apa sih tampangku sekarang. Setengah jam lagi aku ngebel deh," ujar
Sabs tergesa. "Oke deh. Daah...." Kuletakkan gagang telepon. Sulit
dipercaya, tapi nyatanya aku kini memiliki pesawat telepon di kamar
mandi! Asyik juga ya? Aku tak tahu apa yang harus kulakukan sementara menunggu
setengah jam berlalu, apalagi cat kuku-ku masih basah semua.
Tadinya aku ingin mengambil beberapa majalah baru dari kamar
Emily, tapi segera kuurungkan niatku. Ingat soal majalah aku jadi
jengkel. Gara-gara artikel di majalah itulah aku jadi kacau balau dan
?tersiksa? seperti sekarang.
"Bien! Aku ambil handuk dulu ya!" terdengar seruan Michel
dari kamar tidurnya. Aku tergopoh-gopoh bangkit dengan perasaan panik. Tak dapat
kubiarkan Michel melihatku dalam keadaan seperti ini!
"Ambil empat sekalian ya! Brian dan Flip juga butuh handuk!"
Astaga!!! Itu kan suara Scottie! Aku semakin panik dibuatnya. Segera terbentuk bayangan di
benakku: Michel masuk kamar mandi untuk mengambil handuk, dan
semua cowok teman-temannya itu melihatku dalam keadaan konyol
begini. Scottie ikut pula! Gawat!
Cepat-cepat aku berlari membuka pintu yang menghubungkan
kamar mandi dengan kamar tidurku, tapi...terlambat! Pintu
sekonyong-konyong terbuka dan Michel menyeruak masuk.
Ia berhenti, terpaku menatapku. "Mon dieu! KC? Lagi ngapain
kamu?" tanyanya. Brian dan Flip juga ikut melongok. Mereka menggigit bibir,
menahan senyum, tapi akhirnya tawanya meledak juga. Semula
Michel pun berusaha menahan diri tapi akhirnya dia tak kuat menahan
tawa. Aku berharap bisa berubah wujud menjadi semut yang bisa
menyelinap masuk ke lantai kamar mandi dan menghilang dari
hadapan mereka. Rasanya, dalam situasi begini ada gempa pun tak
apa. Asalkan cowok-cowok ini cepat pergi dari sini.
Tapi kenyataannya malah semakin buruk!
Scottie ikut masuk ke kamar mandi! Ia ternganga beberapa
detik. Begitu terkejutnya sampai-sampai beberapa saat tak mampu
mengucapkan sepatah kata pun.
"Kat...Katie?" tanyanya sambil menelan ludah. Tatapannya
masih bingung, seolah-olah tak mempercayai penglihatannya.
Idih sekali deh. Malu beraaat!!!
"Scottie," gumamku sambil menundukkan kepala. Aku tak
punya keberanian untuk membalas tatapannya. Saat itu pula baru
kusadari masih ada gumpalan-gumpalan tissue di antara jari-jari
kakiku. Tak tahulah seperti apa tampangku sekarang. Zombie? Mak
Lampir? Mumi? Atau campuran ketiganya?
"Eh, eng,...kami baru saja latihan di ruang olahragamu. Emh,
persiapan buat pertandingan hoki tahun ini," Scottie menjelaskan.
"Yuk ah, kita ambil handuk, terus latihan lagi," lanjut Scootie
lantas mengajak Brian dan Flip keluar. Aku tak tahu, Scottie jengah
melihat keadaanku, atau ingin ?menyelamatkan?-ku. Yang jelas aku
merasa sedikit lega ketika cowok-cowok itu beranjak keluar. Hanya
saja ? yang masih bikin jengkel ? senyum-senyum mereka itu
lho,...kok nggak habis-habis sih!
Michel masih terkekeh-kekeh saat menyambar setumpukan
handuk dari almari. "KC, lain kali kunci kamar mandinya dong, kalau
kau mau aneh-aneh kayak gini," ujarnya ketika beranjak kembali ke
kamarnya. "Kamu sendiri gimana, hah? Kenapa nggak ngetok dulu
sebelum masuk kamar mandi?!" balasku tak mau kalah. Kubanting
pintu kemudian bersandar di daun pintu sambil menghela nafas
panjang dan berat. Aku hampir pingsan melihat bayangan wajahku di cermin. Baru
kusadari betapa anehnya rupaku saat ini. Dengan handuk warna hijau
lumut dan wajah terbungkus masker, aku kelihatan mirip dengan
mahluk aneh dari rawa. Kayak film Swamp Thing! Semakin aku
pikirkan kejadian tadi, semakin meledak rasanya amarahku.
Aku harus melakukan sesuatu. Keputusan. harus kuambil
sekarang juga sebelum semua menjadi semakin buruk. Aku bahkan
tak lagi memikirkan untuk membasuh wajah. Gumpalan tissue masih
bertebaran di antara jari-jari kakiku ketika aku berjalan ke kamar Ibu
dan Jean-Paul dengan langkah geram.
Pintunya terbuka, maka aku langsung menerobos ke ruang
duduk. "Bu, aku perlu ngomong!" tukasku. Maksudnya sih supaya
kedengaran serius, tapi nyatanya suaraku malah melengking
nyaring?campuran suara histeris, murka, dan... kayak kambing
disembelih. Ibu menengadahkan kepala dari surat kabar yang sedang
dibacanya kemudian tersenyum. "Mau ngomong apa, Katie?"
tanyanya. "Ibu harus melakukan sesuatu terhadap Michel! Barusan dia
masuk kamar mandi begitu aja! Pas aku sedang begini! Sama teman-
teman cowoknya lagi!" Kutunjukkan wajahku yang masih terbalut
masker untuk menguatkan alasanku.
"Katie, Ibu yakin Michel tidak mengira kau ada di dalam kamar
mandi, sayang," sahut Ibu, lembut.
Aku jadi semakin frustasi mendengarnya. Bagaimana mungkin
Ibu bersikap setenang ini? Seolah-olah ini hanya masalah kecil dan
kesannya membela Michel. "Tapi Bu," aku masih berusaha, "Michel sama sekali nggak
berusaha ngecek apakah aku sedang di dalam kamar mandi atau tidak.
Ngetuk pintu dulu, kek. Enggak sama sekali! Kalau aku lagi mandi
gimana coba?" "Ibu akan menyuruh Michel agar mengetuk pintu dulu sebelum
masuk," kata Ibu lagi, masih dengan nada tenang.
Sesaat Ibu berhenti, kemudian menatapku dengan tajam. "Tapi
Katie, kau juga harus membiasakan diri dengan kehadiran saudara
laki-laki. Kita semua harus saling menyesuaikan diri bukan?" lanjut
beliau. Penyesuaian diri? Siapa yang harus menyesuaikan diri? Emily mendapat mobil
baru dan kamar besar di lantai teratas termasuk ruang, duduk pribadi,
kamar mandi pribadi, dan telepon pribadi. Dan semenjak menikah, Ibu
pun kelihatan begitu bahagia serta menikmati kehidupannya,
sementara Michel begitu bersemangat memperoleh Ibu dan keluarga
baru. Kelihatannya akulah satu-satunya yang harus menyesuaikan
diri! Tambah parah lagi, Ibu kelihatannya sama sekali tak mau
mengerti perasaanku yang sedang kacau balau, bingung campur kesal
ini! Semua yang terjadi beberapa minggu terakhir ini benar-benar
membuatku frustrasi. Orang-orang yang tak kukenal mendatangiku
dan minta karcis gratis untuk pertandingan hoki. Pulang sekolah
kemarin siang, Stacy berkunjung ke rumahku dengan gaya sok akrab.
Seolah-olah dia merupakan sahabat terkaribku dan Michel. Tentu saja
Ibu dan Jean-Paul menyambutnya dengan baik ? tindakan yang jelasjelas membuat aku semakin jengkel pada Stacy. Akhirnya aku
terpaksa melewati sisa hari dengan mengurung diri di kamarku,
membaca, melamun sambil sebal, atau menelepon sahabat-sahabatku.
Benar-benar menjengkelkan apa yang kualami minggu-minggu
terakhir ini. Kini...aku disuruh menyesuaikan diri?
Rasanya tidak adil sama sekali!
Kurasakan pipiku basah. Aku tak kuat lagi menahan diri!
Pandanganku kabur oleh air mata yang turun deras di pipiku.
Kepalaku jadi berdenyut-denyut kencang.
"Kenapa sih Ibu selalu membela si Michel?" tanyaku setengah
berteriak, "dia kan bukan anak kandung Ibu!"
Sepersedetik setelah mengucapkan kata-kata itu, aku merasa
menyesal. Sungguh-sungguh menyesal. Tapi wajah Ibu terlanjur
pucat. Beliau menatapku dengan pandangan takjub sekaligus tak
percaya. Keadaan semakin buruk tatkala kusadari bahwa Jean-Paul
ternyata sedang berdiri di ambang pintu. Dia pasti mendengar apa
yang kukatakan barusan. Aku tak tahu harus berbuat apa. Aku hanya mampu memutar
tubuhku lantas berlari, kembali ke kamarku di atas. Kemudian
kubersihkan semua masker dari wajahku, juga kubilas rambutku yang
terbalur conditioner, sementara air mata semakin deras bercucuran di
pipiku. Belum pernah aku mengalami perasaan jengkel dan merasa
terpencil seperti ini. Setelah itu kuhempaskan tubuh ke tempat tidur,
menelungkup sambil menangis sepuas-puasnya. Akhirnya setelah
agak tenang, aku mengenakan rok jeans serta blus warna merah muda.
Tak lama kemudian, kudengar suara ketukan di pintu. Saat
kubuka, kulihat tukang kebun berdiri di ambang pintu.
"Selamat siang Nona," sapanya, "Tuan Besar menyuruh saya
memasang kunci di pintu kamar mandi."
Kukerjapkan mata dengan terkejut. Kenapa aku tak pernah
memikirkan soal kunci? Sederhana sekali penyelesaiannya. Aku toh
bisa meminta Ibu memasangkan kunci di kamar mandi tanpa perlu
memaki-maki seperti tadi.
Jean-Paul pun ternyata cukup baik, penuh perhatian dan praktis
karena segera bertindak dengan mengirimkan tukang kebun untuk
memasang kunci. Sekonyong-konyong aku merasa malu dan menyesal
sekali dengan apa yang terlanjur kukatakan tadi.
Kuantar tukang kebun ke kamar mandi kemudian turun ke
bawah untuk menemui Ibu dan Jean-Paul. Entah apa yang akan
kukatakan. Sambil menuruni tangga aku terus berpikir mencari katakata untuk minta maaf.
"Katie, ada sahabatmu nih, Stacy!" panggil Jean-Paul dengan
ringan saat aku melangkah masuk ke ruang duduk.
Astaganaga!!! Jean-Paul dan Ibu sedang berdiri menyambut kedatangan Stacy.
Ibu memegang beberapa tangkai bunga.
Melihat senyuman Stacy yang penuh kepalsuan itu aku merasa
jijik. Perasaan sebal serta amarah pun kembali menjalari otak dan
hatiku, tapi kutahan-tahan emosiku sekuat tenaga.
"Dia teman Michel! Bukan temanku!" tukasku judes sambil
menyilangkan tangan di dada. "Michel di ruang olah raga."
Wajah Jean-Paul memerah dan Ibu pun kelihatan tak kalah
kagetnya mendengar tanggapanku. Ibu dan Jean-Paul tentu saja tak
habis pikir dengan sikapku yang jelas-jelas jauh dari sopan itu. Tapi
lebih buruk lagi, mereka sama sekali tak tahu siapa sebenarnya Stacy.


Girl Talk 19 Problema Keluarga Baru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dari luar kelihatan manis padahal isi hatinya busuk sekali. Michel pun
kurasa belum mengenal Stacy.
Saat itu Ibu maupun Jean-Paul memang tak bereaksi apa-apa
menanggapi ketidakacuhanku terhadap Stacy dengan cara-cara yang
tak sopan. Yang jelas, Ibu sendiri yang mengantarkan Stacy ke ruang
olah raga di bagian belakang rumah.
Sebelum berlalu, Stacy menyempatkan diri menyapa Jean-Paul.
"Oh ya, terimakasih atas undangan pestanya. Benar-benar kehormatan
bagi saya, Pak Beauvais," ujarnya dengan suara centil sebelum
menghilang di lorong. "Apa?!" Kuputar tubuhku menatap Jean-Paul. Sekarang benarbenar meledak amarahku. "Bagaimana mungkin Stacy diundang?"
seruku. "Stacy anak yang manis. Bukankah akan menyenangkan sekali
jika kau mengundang teman-temanmu?" sahut Jean-Paul tanpa rasa
bersalah. "Anda tidak tahu apa-apa Tuan Jean-Paul! Stacy hanya mau
berkawan denganku hanya karena Anda membeli The Wingers! Garagara tim brengsek itu!" jeritku.
Saat itu Ibu kembali ke ruangan. "Katie! Jangan kurang ajar!
Siapa yang mengajarimu teriak-teriak seperti itu?" bentak Ibu marah.
"Jean-Paul telah membelikan rumah indah ini untuk kita semua. Juga
bersedia menyelenggarakan pesta khusus untuk teman-temanmu dan
teman-teman Michel, hanya karena tahu kalian menyukai tim hoki itu!
Coba kamu pikir, bagaimana usahanya untuk menjadi ayah yang baik
bagi kalian!" Kurasakan air mata kembali mengalir deras. "Aku nggak pernah
minta ayah baru!" pekikku. "Masa bodo dengan pesta itu! Aku nggak
akan datang! Nggak akan!"
"Katie!" bentak Ibu, lantang.
Suasana langsung hening. Beberapa saat kami bertiga terpaku
tanpa berkata-kata. Ibu melirik arlojinya dan berkata, "Kami harus
pergi. Ada undangan makan malam. Kita lanjutkan pembicaraan ini
nanti. Sekarang kembali ke kamarmu!"
Aku tak berani menatap mata Ibu. Kelihatannya beliau sangat
menekan perasaan. Kulirik Jean-Paul. Dia hanya diam membisu
melihat perdebatan kami, tapi sekilas kulihat siratan kekecewaan di
wajahnya. Aku agak menyesal jadinya.
Aku sadar bahwa tingkahku agak keterlaluan. Sebenarnya aku
bukan tipe pemarah, justru sebaliknya. Malah kupikir, seumur hidup
baru sekali inilah aku ?meledak? hebat seperti tadi. Tapi Ibu dan JeanPaul benar-benar tidak memahami apa yang sesungguhnya sedang
terjadi. Bahkan kurasa, tak seorang pun mengerti.
Aku masuk ke kamar dan menunggu sampai kudengar suara
pintu depan ditutup dan mobil di-starter. Derum mobil Jean-Paul
semakin menjauh. Kuputar nomor telepon Sabs. Sekarang aku harus menceritakan
semuanya pada Sabs. Termasuk ketidakhadiranku di pesta nanti. Hari
ini merupakan hari terburuk dalam hidupku!
BAGIAN DELAPAN Katie Menelepon Sabrina SAM : Halo, istana presiden di sini!
KATIE : Ada-ada aja kamu, Sam. Sabs ada nggak?
SAM : Katie?! Hai! Pertandingan Wingers Sabtu malam nanti
pasti seru banget nih! KATIE : Iya, iya. Sabs ada nggak sih?
SAM : Tentu. Hei Babs, eh...Sabs! Katie nih. Kau masih sibuk
dengan lumpur di wajahmu itu ya? Masak dari kemarin nggak
rampung-rampung? SABRINA : Cerewet ah! Sini telponnya! Haiii....
KATIE: Hai Sabs. SABRINA : Hallo Katie! Eh tadi sori ya, aku nggak sempat
nge-bel lagi. Waktu aku mau membersihkan masker lumpur dari
wajahku, Sam datang dan meledekku terus-terusan.
KATIE : Michel juga begitu. Mhh...gini Sabs. Kelihatannya aku
nggak bakalan datang di pesta itu.
SABRINA : Apa? Kenapa? Bukankah semuanya sudah kita
rencanakan? KATIE : Aku bertengkar dengan Ibuku dan masalahnya
nyerempet-nyerempet ke Jean-Paul dan Michel segala. Masalahnya
sekarang belum selesai. SABRINA : Ibumu nggak memberimu ijin ke pesta itu ya? Kau
bikin apa sih sampai Ibumu murka kayak gitu?
KATIE : Ibu sih nggak ngelarangku, tapi aku yakin Ibu marah
besar padaku. SABRINA : Apa yang terjadi sebenarnya?
(Katie menghela nafas). KATIE : Pertama, aku marah-marah karena Michel, Flip, Brian
dan Scottie masuk kamar mandi nggak ngetuk pintu dulu, pas aku lagi
pakai masker kecantikan itu. Yang ke dua, aku menuduh Ibu terlalu
membela dan memanjakan Michel. Lalu Jean-Paul mengundang Stacy
ke pesta kami. Tambah runyam lagi, aku katakan padanya, aku tak
pernah minta ayah baru dan nggak mau muncul di pesta yang dia
selenggarakan untukku dan Michel itu.
SABRINA : Walah-walah, Katie! Apa si Scottie melihatmu
waktu marah-marah tadi? Kok bisa Jean-Paul ngundang Stacy?
KATIE : Kau tahu sendiri kan, belakangan ini Stacy mendekati
Michel terus-terusan. Bahkan dia ke rumah sambil bawa-bawa
kembang segala buat Ibuku. Jijay banget ya? Kurasa ketika dia
bertamu ke rumahku, Jean-Paul mengira Stacy adalah sahabatku.
SABRINA : Aku yakin Ibumu dan Jean-Paul akan
memaafkanmu Katie. Maksudku, mereka pasti menyadari keadaanmu
yang agak sulit dengan kondisi keluarga yang serba baru.
KATIE : Iyalah. Tapi sekarang aku ragu untuk datang di pesta
itu. Apalagi ada si Stacy segala. Males beraat!
SABRINA : Kalau kamu nggak datang, aku juga ogah dong....
(Hening sesaat). SABRINA : Hei! kalau aku bisa menggagalkan kedatangan
Stacy, kau mau datang nggak?
KATIE : Kau bisa cari jalan keluar, Sabs? Aku agak ragu. Kau
kan tahu sendiri, Stacy tak akan melepaskan undangan ini begitu saja.
SABRINA : Pokoknya kalau aku bisa, kau harus hadir ya?
KATIE: Entahlah. Apa sih rencanamu?
SABRINA : Kejutan deh. Sekarang aku akan menyusun
rencananya dulu ya? Besok kita ketemu di loker seperti biasanya, oke?
KATIE: Oke deh. Dah. SABRINA: Daah. Sabs menelepon Randy. RANDY : Haloha!? SABRINA : Hai Randy. Sabrina nih. Kita menghadapi masalah
besar. RANDY: Masalah bagiku berupakan permainan yang
mengasyikkan. SABRINA : Si centil Stacy akhirnya berhasil. Dia diundang ke
pesta itu oleh Jean-Paul. Sekarang Katie nggak mau datang.
RANDY : ?Badak?itu ternyata cerdik juga ya. Kok bisa sih?
SABRINA : Jean Paul mengundangnya karena Stacy berhasil
meyakinkan orang-orang bahwa dia adalah sahabat karib Katie dan
Michel. RANDY : Kelihatannya kita nggak bisa menyalahkan keluarga
Beauvais. Mereka belum tahu gimana culasnya Stacy.
SABRINA : Stacy bahkan membelikan bunga untuk Ibu Katie
segala! RANDY : Norak banget! Tapi taktiknya meyakinkan juga. Jadi
apa yang akan kita lakukan sekarang?
SABRINA : Aku ada rencana nih....
RANDY : Wah...kalau kau sudah menyusun rencana, penduduk
Acorn Falls harus waspada nih.
SABRINA : Jangan bercanda dong. Aku berani taruhan, kalau
rencanaku ini jalan, Stacy pasti nggak akan datang ke pesta itu. Nah,
aku perlu bantuanmu dan Allison. Tapi kau harus janji untuk
merahasiakan rencana ini pada Katie ya? Aku ingin memberinya
kejutan. RANDY : Boleh juga idemu. Lagipula memang sebaiknya
Katie tidak tahu-menahu. Kalau ibunya dan Jean-Paul tahu Katie
terlibat dalam rencana ini bisa-bisa dia tambah marah.
SABRINA : Yak...?tul! RANDY : Ya sudah, ya sudah...jadi gimana rencanamu?
SABRINA : Oke, oke...tapi setelah ini kau langsung telepon
Allison ya? Tugas kalian gampang kok, cuma ngegosip di sekolah
waktu pelajaran IPA besok. Di pelajaran itu kan kita semua sedang
bareng sekelas dengan si Stacy. Usahakan agar gosip itu terdengar
olehnya. Jadi, yang keras ngomongnya!
RANDY : Ngegosip? Itu sih gampang. Tentang apa?
SABRINA : Gini....psssttssst....
(Randy tertawa geli) RANDY : Oke. Tapi tunggu dulu Sabs. Kalau si Stacy ngecek
kebohongan kita, gimana? SABRINA : Mana sempat? Besok sudah Jum?at dan IPA mata
pelajaran terakhir. Sudah sore lagi. Pestanya kan Sabtu siang. Mana
sempat dia tanya-tanya. Orang ambisius kayak dia pasti lebih
memikirkan pakaian pesta daripada sibuk cari info. Lagipula
undangan lainnya kan teman-teman kita sendiri. Aku yakin Michel,
Sam dan teman-teman lainnya bisa diajak kompak.
RANDY : Ya kau benar. Mana sempat! Rencanamu pasti
berhasil. SABRINA : Besok datang ke sekolah agak pagi deh, supaya
kita punya cukup waktu untuk membahas rencana ini lagi. Oke ya,
udah dulu. Sekarang kau nelepon Allison deh, bisa?
RANDY : Jelas! Ciao! Randy menelepon Allison. ALLISON : Halo, Allison Cloud di sini
RANDY : Hai Al. Randy nih. Begini, barusan Sabs nelpon aku,
ngebahas Katie. Katie nggak mau dateng ke pesta karena ternyata
Stacy diundang juga oleh Tuan J.P. Nah si Katie jadi jengkel, terus dia
nge-bel si Sabs, dan Sabs ngontak aku.
ALLISON : Tak ada yang bisa disalahkan. Semua anak
berusaha mendekati Katie agar diundang ke pesta. Bahkan ?mukamuka baru? yang selama ini sama sekali tak dikenal Katie.
RANDY : He-eh. Kita semua terlalu bersemangat memikirkan
soal pesta sampai-sampai nggak sempat memperhatikan kesulitan
yang dialami Katie selama ini. Kau mengerti maksudku? Aku pun
agak terguncang sekiranya kelak Mamiku menikah lagi dan aku harus
pindah ke daerah lain! ALLISON : Jadi, kita bisa apa dong?
RANDY : Sabs sudah merancang rencana untuk menggagalkan
kedatangan si Muka Badak itu. Pokoknya Katie harus datang di pesta
yang dibuatkan Jean-Paul untuk dia dan Michel. Itu kan penting
artinya dalam hubungan keluarga mereka.
ALLISON : Mudah-mudahan saja. Tapi, gimana kalau Katie
tetap nggak mau datang? Kurasa sebaiknya kita solider. Kita
menemani Katie aja. Kita buat pesta kecil sendiri. Buat berempat aja.
Daripada dia datang ke pesta besar tapi hatinya tersiksa....
RANDY: Ide bagus! ALLISON : Nanti aku tanya Ibuku deh, boleh nggak kita bikin
pesta kecil di rumahku. RANDY : Coba deh. O ya, Sabs juga minta supaya besok pagi
kita membahas rencananya di sekolah. Apalagi sekarang ada
rencanamu. Jadi, besok kita datang lebih pagi deh, supaya cukup
punya waktu buat omong-omong.
ALLISON: Iya deh. Sampai ketemu besok!
RANDY : Ciao! Allison menelepon Katie. KATIE: Halo. ALLISON: Hai Katie. Iniaku, Allison.Aku sudah dengar apa
yang terjadi. Aku sengaja nge-bel kamu, untuk meyakinkanmu bahwa
kami bertiga tetap akan menjadi sahabat, sekalipun kau bukan anak
orang kaya atau tidak memiliki tiket pertandingan. Kami
menyayangimu. Jadi kalau kau memutuskan tidak akan datang ke
pesta itu, kami akan tetap menemanimu. Ngapain aja deh, entah
ngobrol aja di rumah, nonton teve, atau kita bikin pesta sendiri yuk?
KATIE : Kalian benar-benar rela melewatkan pesta itu?
ALLISON : Nggak soal kok. Lagipula, tanpa kehadiranmu
rasanya ya...janggal dong. Mana mungkin kami bisa menikmati pesta
itu sementara kami tahu kau sedang gundah.
KATIE : Astaga...! Ma-kasih Al. Kalian benar-benar sahabat
sejati. ALLISON : Kau juga sahabat terbaik kami. Sampai ketemu
besok di sekolah deh. KATIE : Oke, oke, ma-acih ya. Daah.
ALLISON : Daah Katie, baik-baik ya....
BAGIAN SEMBILAN "Tok...tok...tok!" bisik Emily perlahan sambil membuka pintu
kamarku. Aku baru saja menyudahi percakapan telepon dengan Allison
dan merasa lebih tenang. Lega rasanya mendengar kesediaan temantemanku untuk menemaniku seandainya aku tak hadir atau seumpama
Ibu tak mengijinkanku pergi ke pesta, besok.
Namun aku masih merasa menyesal telah menyakiti hati JeanPaul. Rasanya aku pun harus memberi penjelasan pada Ibu tentang
tingkah lakuku yang kurang sopan sehari ini. Ya, harus kulakukan!
Tapi tentu saja nanti, kalau mereka sudah pulang dari acara makan
malam. "Masuk deh Em," katanya.
Seperti biasanya, Emily kelihatan cantik sekali. Ia mengenakan
blus bermotif bola-bola warna putih-biru dan rok mini warna biru
pula. Emily membelinya dengan uang hadiah dari Nenek waktu beliau
menghadiri pesta pernikahan Ibu dan Jean-Paul. Aku sendiri
menyimpan uang pemberian Nenek di celenganku karena saat ini aku
belum membutuhkannya. "Ada apa sih?" tanya Emily.
"Nggak ?pa-?pa kok," sahutku.
Ah, kurasa Emily pun tak akan mengerti kesedihanku.
Kelihatannya dia begitu bahagia dan menikmati kehidupan baru
setelah Ibu menikah dengan Jean-Paul.
Emily ragu beberapa saat sebelum melanjutkan pertanyaannya,
"Rasanya aku tadi mendengar kamu teriak-teriak deh. Kenapa? Ribut
dengan Ibu?" Melihat aku tak mampu menjawab, Emily menghampiriku
lantas ikut duduk di tepi tempat tidur.
"Mau cerita?" tanyanya lembut.
Tiba-tiba saja aku tak dapat menahan perasaanku. "Aku nggak
tahan lagi! Aku nggak suka dengan kekayaan Jean-Paul! Aku benci
harus pindah rumah! Aku benci harus berbagi kamar mandi dengan
Michel! Dia nggak tahu diri! Masuk kamar mandi seenaknya, nggak
pakai ngetok dulu, dengan gerombolannya lagi! Di sekolah, mentangmentang Jean-Paul membeli The Wingers, orang-orang mendadak sok
akrab, padahal cuma mengharapkan karcis pertandingan gratis! Stacy
Hansen diundang ke pesta dan sekarang nempel Michel terus! Koki
kita serem, kayak monster yang siap mencaplokku."
Semua umpatan itu keluar begitu saja. Walaupun aku tidak
berteriak, namun aku tahu bahwa nadanya cukup keras. Aku sadar ada
beberapa kalimatku yang tidak masuk akal, tapi setidaknya begitulah
yang kurasakan belakangan ini. Semua berjalan seolah tak masuk
akal. Aku menunggu Emily memulai nasihatnya, tapi ternyata ia
hanya melingkarkan lengannya di bahuku dan berbisik perlahan,


Girl Talk 19 Problema Keluarga Baru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Katie, aku mengerti betul semua yang kau rasakan. Kau kira aku
senang punya mobil pribadi? Senang sih senang. Tapi itu berarti aku
harus bangun lebih pagi, mengantarkan kau dan Michel kemudian
pulang tergesa-gesa dari sekolahku supaya tidak terlambat menjemput
kalian berdua. Bukan berarti aku keberatan mengantar dan
menjemputmu dan Michel, tapi rasanya semua berjalan lebih santai
ketika aku masih diantar-jemput Reed."
Apa yang dikatakan Emily benar. Belakangan ini dia tentu repot
membagi waktu. Mengurus antar-jemput dua anak tentu bukan hal
yang mudah. "Dan soal pertandingan itu," lanjut Emily, "belakangan ini
teman-temanku pun ngomongin soal karcis itu terus. Mereka memang
menantikan pertandingan itu. Juga Reed. Tiap hari dia ngomong soal
hoki, hoki, dan hoki terus-menerus! Sori lho Katie. Aku tahu itu sport
favoritmu. Kau hobi berat, kau selalu menantikan pertandingannya,
apalagi sekarang...."
"Menantikan pertandingannya?" tukasku memotong kalimat
Emily. "Aku nggak bisa lagi menikmati debar-debar penantiannya
karena semua anak menggangguku dengan pertanyaan soal tiket
gratis. Bahkan anak-anak yang sebelumnya tak kukenal sama sekali!"
Emily mengangguk. "Teman-teman Reed juga melakukan hal
yang sama terhadapku. Tapi aku langsung menegaskan ?tidak? pada
mereka. Hanya itu yang bisa kau lakukan Katie. Katakan saja apa
adanya. Kita kan nggak mungkin membagikan karcis gratis pada
mereka semua. Lama-lama juga mereka akan meninggalkanmu dan
berhenti mengganggumu."
Emily mengucapkannya begitu ringan, seolah-olah semua itu
mudah saja dilakukan. Tapi dia sama sekali tidak kenal seperti apa
yang namanya Stacy Hansen itu!
"Lagipula pertandingan itu akan segera berlalu," lanjut Emily.
"Sekarang tentang Michel. Pernah nggak kau terus terang padanya
kalau kau pggak suka pada ulahnya yang bikin berantakan kamar
mandi?" Kulirik pintu kamar mandi yang tertutup rapat. Aku dapat
mendengar suara Michel mandi di dalamnya. "Tidak," sahutku. "Tapi
aku pernah mengadukannya pada Ibu. Menurut Ibu, anak laki-laki
memang begitu kebiasaannya. Hanya itu."
"Pertama-tama, kau harus menerima kenyataan bahwa
belakangan ini Ibu semakin sibuk dengan jabatan barunya," ujar
Emily. "Juga dengan keluarga baru, rumah baru, suami baru dan anak
barunya. Pokoknya banyak urusan baru. Ibu tak punya waktu lagi
untuk menjadi hakim penengah bagi masalah-masalahmu dan
Michel." Kenapa aku tak pernah memikirkan hal itu, ya?
"Ke dua, bagaimana mungkin kau berharap Michel mengetahui
pikiran dan perasaanmu kalau kau nggak pernah menyatakannya
secara langsung? Kau harus membicarakan masalah kamar mandi
secara terbuka pada Michel. Kalau dia nggak juga berubah, nah
mungkin kau perlu memindahkan barang-barang yang
digeletakkannya sembarangan di kamar mandi, ke kamarnya. Yah,
sebagai peringatan kecillah."
Aku mengangguk. Emily benar. Belakangan ini memang jarang
sekali aku bercakap-cakap dengan Michel. Aku hanya merasa selalu
ingin marah dan protes pada Ibu.
"Nah, sekarang gimana? Lebih enak?" tanya Emily.
Aku mengangkat bahu. Sebetulnya aku masih punya banyak
persoalan. Dengan Stacy, Jean-Paul dan bahkan Ibuku sendiri. Tapi
aku tahu, Emily sudah membuang waktunya untuk menghibur dan
menenangkanku. Emily memelukku perlahan. Kelihatannya ia memahami betul
apa yang kurasakan saat ini. "Gimana kalau kita ke dapur, cari
makanan?" usulnya. "Ibu dan Jean-Paul belum pulang, jadi kita bisa
makan di ruang duduk sambil nonton televisi atau video. Kau nggak
punya pe-er, kan?" Baru kusadari bahwa sejak makan siang tadi, aku belum
menyentuh makanan lain sama sekali. Dan sekarang kurasakan
perutku mulai dingin. "Pe-er-ku sudah kugarap di sekolah, waktu jam
kosong tadi. Yuk kita turun aja," sahutku sambil melompat turun dari
tempat tidur dan beranjak ke pintu.
"Kuharap koki kita masak yang biasa-biasa saja malam ini. Aku
sudah bosan dengan makanan-makanan Perancis. Kalau terlalu banyak
makan masakan Perancis, lama-lama omonganku bisa seperti JeanPaul dan Michel! Pakai sengau-sengau!" canda Emily sambil
mengikutiku dari belakang.
Aku tertawa mendengarnya. Kami berdua jarang sekali bisa
seakrab ini. Tapi malam ini aku benar-benar merasakan bahagianya
memiliki seorang kakak. Apalagi sebaik Emily.
"Halo Bu," sapa Emily pada koki kami waktu masuk dapur,
"kami pingin makan sekarang."
Aku heran juga melihat ketenangan Emiily menghadapi sang
juru masak. Seolah-olah kebengisan wajahnya sama sekali tak
membuat Emily gentar. Juru masak mengangguk lalu mengeluarkan dua buah telur
gulung dari oven untuk dipindahkan ke nampan. "Hati-hati, masih
panas," ia memperingatkan. Kemudian ia meninggalkan kami begitu
saja untuk mencuci piring kotor.
Dengan hati-hati kuangkat nampan, kubawa ke ruang duduk.
"Aku ambil garpu dan tissue dulu. Kau nyalakan video, pilih
film, oke?" Emily membagi pekerjaan.
Ruang duduk merupakan salah satu ruang favoritku di rumah
baru ini, selain kamar tidurku tentunya. Soalnya ruangan-ruangan ini
tidak dipenuhi barang antik! Ruangan-ruangan lain di mataku lebih
mirip museum daripada rumah tinggal. Ibu menempatkan sofa kulit
warna beige dan karpet warna krem. Serasi sekali dengan tungku
perapian dari marmer yang juga ada di ruangan ini.
Televisi dan perangkat video tersusun rapi dalam rak besar
berdaun pintu ganda. Seluruh rak penuh dengan film-film terbaru
milik Jean-Paul. Maklum, perusahan Jean-Paul bergerak di bidang
periklanan. Mereka sering memasang iklan di film-film sehingga
harus memiliki film tersebut sebagai dokumentasi. Di bagian belakang
ruang duduk ada meja bilyar yang mewah. Di atasnya bergantung
lampu kristal warna kehijauan. Persis seperti dalam film-film. Michel
dan teman-temannya sangat menyukainya.
Setelah memilih film, segera kunyalakan video-tape.
Kuletakkan nampan di meja lantas kukeluarkan dua buah meja kayu.
Meja kayu ini praktis sekali. Kemasannya simpel dan bisa diletakkan
di atas pangkuan kita, di mana saja kita berada.
"Apa menu makan malam kita?" tanya Emily seraya
mengenduskan hidungnya, memeriksa nampan berisi telur gulung isi
daging yang harum itu. "Hmm.. .kelihatannya enak nih. Di balik daging ternyata ada
keju dan makaroni! Tapi yang hijau-hijau itu apa ya?" Aku
mengerutkan kening "Brokoli," jawab Emily. "Kau tahu sendiri kan, koki kita selalu
menyelipkan sayuran dalam setiap masakannya."
"Yah. Nggak apa-apalah. Malah makanannya jadi kelihatan
cantik," komentarku sambil memperhatikan tayangan videotape.
Michel rupanya banyak pe-er. Dia mengunci diri di kamarnya.
Makan malamnya pun dia bawa ke kamar. Aku dan Emily menonton
dua film berturut-turut sampai tak terasa sudah agak larut. Sudah
waktunya tidur. Sebenarnya aku ingin bicara dengan Ibu dan JeanPaul malam ini, tapi mereka belum pulang. Yah...besok saja deh.
Malam ini aku sudah ngantuk. Mau tidur dulu.
*************** Hari berikutnya adalah hari Jum?at. Seperti biasanya aku
bangun pagi dan berangkat ke sekolah. Tapi, hari ini aku berusaha
lebih terbuka pada Michel. Biasanya aku langsung mengadu pada Ibu.
Tapi pagi ini kukatakan langsung pada Michel agar mengijinkan aku
menggosok gigi sebelum dia mandi. Biasanya, aku mandi pagi-pagi,
terus sarapan, setelah itu gosok gigi lagi menjelang berangkat sekolah.
Nah, waktu gosok gigi lagi itulah yang suka berbarengan dengan
waktu mandi Michel. Tapi kali ini ? dan mudah-mudahan besokbesok juga ? Michel tak keberatan. Semua pun berjalan lancar.
Ibu harus menghadiri rapat pagi-pagi sekali di kantornya, maka
beliau tak bisa menemani kami sarapan. Aku hanya sempat
berpapasan dengan Jean-Paul sebentar saja sebelum berangkat
sekolah. Sikapnya tenang sekali, seolah-olah tak terjadi apa-apa. Maka
aku pun berusaha bersikap tenang.
Sebetulnya sih aku ingin segera membahas dan menyelesaikan
masalahku secara tuntas. Kemarahan Ibu dan bayangan pandangan
Jean-Paul yang kecewa kemarin membuat perasaanku tertekan dan
tidak tenang. Aku merasa berdosa pada keduanya.
Kuambil tas makan siangku di meja dapur kemudian Emily
mengantarkan aku dan Michel ke sekolah. Tapi kali ini Emily tidak
memaksa kami untuk bergegas karena aku sudah siap tepat pada
waktunya sehingga Emily tak perlu khawatir terlambat hadir di
sekolahnya sendiri. Begitu tiba di sekolah, kutemui Al, Sabs, dan Randy yang sudah
menunggu di depan lokerku. Mereka semua kelihatan prihatin. Aku
hampir saja lupa bahwa kemarin aku baru saja mengutarakan
kejengkelan dan kesedihanku lewat telepon pada mereka.
"Halo semua," sapaku pada mereka. Kumasukkan tasku ke
dalam loker dan kugantungkan jaket jeansku di atasnya.
"Halo juga Katie. Kamu baik-baik aja?" tanya Sabs. Ia
mengenakan celana terusan bermotif bunga-bunga yang manis sekali.
Di bagian dalamnya Sabs mengenakan t-shirt lengan panjang
berwarna putih. Kuangkat bahuku. "Rasanya sih begitu. Aku belum sempat
bicara dengan Ibu. Jean-Paul sama sekali tidak menyinggungnyinggung lagi masalah kemarin."
"Apa kubilang? Semua pasti beres," kata Al sambil tersenyum.
"Iya. Cuma waktu yang bisa menyelesaikan masalah-masalah
semacam itu," timpal Randy.
Aku merasa bersyukur bahwa sahabat-sahabatku berusaha
menjaga perasaanku dan sama sekali tidak menanyakan soal pesta
besok malam. Padahal aku yakin, mereka bertiga tentu sangat ingin
hadir di pesta itu. "O ya, aku sudah memutuskan untuk tetap hadir di pesta
seandainya diijinkan Ibuku," ujarku pada mereka.
"O ya?" seru Sabs gembira campur kaget. Ia langsung
melompat memelukku. "Kalau kau benar-benar sudah mantap dan
yakin, berarti kau harus hadir!" sambungnya segera.
Aku mengangguk. "Kuharap si Besar Kepala Stacy Hansen tak
akan hadir di pesta itu," lanjutku. "Tapi kalau dia datang juga,
yaah...apa boleh buat, aku paling-paling cuma cuek aja."
Ketika aku mengucapkan keluhan itu, kulihat Sabs, Randy dan
Al saling bertukar pandang sambil menahan senyum.
"Ada apa sih?" tanyaku, penasaran atas sikap mereka.
"Menurut perasaanku, kalaupun datang, Stacy nggak akan lama
tinggal di pestamu," ujar Sabs sambil cekikikan.
"Pokoknya, urusan si Stacy serahkan pada kami deh. Beres!"
tambah Randy. Aku tambah penasaran dibuatnya. "Aaah pada gitu deh.... Ada
apa sih?" Kutatap Allison dan berharap ia mau menceritakan rahasia ini
padaku. Namun Al menggelengkan kepalanya dan hanya menjawab,
"Pokoknya ada aja! Kalau pingin tahu, tunggu besok deh."
"Sudahlah. Pokoknya kita nggak akan ngasih tahu apa-apa hari
ini. Nggak usah maksa deh. Mendingan kamu ngambil buku-bukumu
dan berhenti merengek-rengek seperti itu. Sebentar lagi jam pertama
dimulai nih," Sabs berusaha menghentikan percakapan kami.
Tetapi begitu selesai berbicara, tiba-tiba saja Sabs meremas
lenganku erat-erat. Membuat kami semua terperanjat.
"Aduh Katie!" seru Sabs panik. "Buat pesta besok aku pakai
apa nih?! Aku belum punya baju!" Astaga, aku kira ada apa! Aku, Al,
dan Randy memandang ulahnya dengan takjub. Masalahnya ternyata
tak serumit cengkramannya di lenganku yang nyata-nyata membekas
itu. Bel jam pelajaran pertama sudah berdering. Kami pun berpisah
menuju kelas masing-masing. Sulit rasanya untuk memusatkan
perhatian pada pelajaran hari ini. Aku terus saja memikirkan rencana
rahasia sahabat-sahabatku.
Kira-kira apa ya? BAGIAN SEPULUH Jam tiga lewat aku menghambur keluar gedung sekolah, ke
tempat Emily biasa menjemputku. Di gerbang sekolah aku berpapasan
dengan Stacy dan Eva. Mereka sedang bercakap-cakap dengan
Michel. "Serius nih, nggak mau pulang bareng kita-kita? Nggak
ngrepotin kok. Sebentar lagi Ibuku datang menjemput," bujuk Stacy
pada Michel. "Merci. ?Makasih deh. Sebentar lagi kakakku menjemput kami
kok," elak Michel sambil melirikku. "KC! Bonjour! Kita langsung
pulang kan?" tegurnya padaku.
Aku hanya mengangguk. Stacy segera membuang muka dengan
raut sinis ketika bertemu pandang denganku, dan kurasa Michel
melihatnya. Jelas aku sudah terbiasa dengan sikap Stacy seperti itu. Aku
justru agak takjub mendengar kata-kata Michel. Dia mengucapkan
kakakku untuk Emily dan kami untuk dia dan aku dengan nada pasti
dan yakin ? satu hal yang masih canggung kuucapkan. Walau begitu,
aku senang akan sikapnya.
"Nah itu dia datang," seru Michel seraya menunjuk mobil
Emily yang baru saja memasuki halaman sekolah. "Yuk deh,
semuanya!" Ia melambai pada Eva dan Stacy.
"Au revoir Michel!" balas Stacy.
Aku hampir muntah melihat gaya Stacy. Gimana sih Michel
ini? Masa tidak bisa merasakan kepalsuan sikap Stacy?
Aku benar-benar ingin menceritakan kemunafikan Stacy pada
Michel. Ingin kukatakan padanya, Stacy hanya pura-pura bersikap
ramah dan bersahabat karena ingin diundang ke pesta, juga karena
Michel anak orang kaya. Tetapi sepanjang perjalanan pulang Michel terus berceloteh
tentang pesta, para undangan dan pertandingan final. Kelihatannya dia
begitu bersemangat, maka kuputuskan untuk menahan diri sampai
pertandingan berakhir. Lagipula setelah pesta pesta dan pertandingan
usai, mungkin Stacy akan menjauhkan diri dari Michel sehingga aku
tak perlu menjelaskan apa-apa lagi.
"Michel, berapa orang sih yang kau undang?" tanyaku.
"Nggak banyak. Cuma Sam, Nick, Jason, Billy, Arizonna dan
beberapa anggota tim hoki yang lain," jawab Michel sambil
menghitung dengan jari-jarinya.
Nggak banyak? Bagiku segitu sudah banyak tuh. Aku sendiri
hanya mengundang Sabs, Randy dan Allison. Aku yakin Emily pasti
hanya mengundang Reed dan sahabatnya, Ron. Lagipula aku tidak
punya bayangan sebesar apa pesta yang direncanakan Jean-Paul.
"Kau yakin Ayahmu nggak keberatan?" tanyaku. "Kukira kita
hanya boleh mengundang teman-teman dekat saja."
Michel menatapku dengan pandangan heran. "Lho, kita kan
sudah diijinkan mengundang teman-teman baik kita dan mereka
semua memang teman baikku, kok. Ca na fait frien. Nggak apa-apa
kok. Lagipula Ayah memang suka pesta besar-besaran," jawabnya.
Aku yakin Michel tentu lebih mengenal ayahnya daripada aku.
Karenanya aku pun diam dan kembali menatap jalanan di depan.


Girl Talk 19 Problema Keluarga Baru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau juga mengundang Laurel?" tanya Emily padaku.
Aku menggeleng. "Sebenarnya sih pingin juga mengundang dia, tapi kubatalkan.
Sebab, itu berarti aku harus mengundang Stacy dan teman-temannya,"
lirih kujelaskan pada Emily. Nama Stacy sengaja kusebutkan perlahan
dan samar, dengan harapan Michel tidak ikut mendengarnya. "Apalagi
sekarang, setelah aku bertengkar dengan Ibu dan Jean-Paul, aku
sendiri jadi nggak begitu antusias dengan pesta itu. Kalau mau jujur
sih, aku sudah malas datang, tapi kelihatannya sekarang sudah
terlambat untuk bilang iya atau tidak."
Sebetulnya Laurel cukup baik padaku. Bahkan sebelum berita
tentang pesta ini beredar. Aku merasa bersalah juga karena tidak
mengundangnya. Tapi kali ini aku benar-benar hanya ingin
mengundang sahabat-sahabat terdekatku saja.
Emily memasukkan mobil ke halaman, di muka garasi besar
rumah kami. Kulihat Mercedes hitam Jean-Paul yang mewah itu juga
sudah ada. "Jean-Paul pulang lebih cepat dari biasanya," gumamku sambil
melirik arloji, "baru jam setengah empat."
Michel mengangguk. "Iya. Tadi pagi Ibu bilang, hari ini Ayah
ngantor cuma setengah hari aja. Ayah harus memeriksa persiapan
pesta. Kita juga harus membeli balon dan kertas-kertas hiasan
ruangan. Koki kita pasti sedang membuat selada, kue-kue dan
brownies yang dipesan Ibu. Ayah juga memesan banyak sekali hot
dog dan hamburger. Asyik nggak tuh."
Kubalikkan tubuhku untuk menatap Michel dengan pandangan
nyaris tak percaya. Sejak kapan ia memanggil Ibuku dengan sebutan
Ibu? Sebelumnya ia biasa memanggil dengan nama ?Eileen? atau
?Ibumu? jika ia bertanya kepadaku atau Emily. Kualihkan tatapanku
ke Emily, tapi kelihatannya Emily sama sekali tak memperhatikan
perubahan itu. Malah sudah keluar dari mobil.
"KC, turun yuk?" ajak Michel yang sudah menunggu di luar
mobil. Aku mengangguk lantas ikut turun. Bu Smith dengan pakaian
hitam-putihnya membukakan pintu menyambut kami.
"Selamat siang, Tuan dan Nona muda," sapanya dengan sopan.
"Tuan sudah menunggu di ruang kerja."
Jean-Paul memiliki ruang kerja pribadi berdampingan dengan
perpustakaan. Ruang itu juga dilengkapi dengan kamar kecil,
komputer, sambungan telepon khusus, bahkan mesin faxcimile,
sehingga beliau bisa bekerja di rumah dan tidak perlu pulang terlalu
malam dari kantornya yang letaknya cukup jauh, di ibukota
Minneapolis. "Sebentar lagi saya ke sana." Emily bergegas naik ke kamarnya.
Aku yakin ia akan menelepon Reed dulu. Ia memang tak pernah lupa
menelepon cowoknya itu setiap ada kesempatan.
"Tres bien. Merci, Bu Smith," ucap Michel. Diletakkannya tas
serta buku-bukunya di lantai dan segera melesat ke ruang kerja
ayahnya. Bu Smith merapikan dan mengangkat buku serta tas Michel.
"Bolehkah saya membawakan tas Anda ke kamar, Nona Katie? Tuan
ingin segera bertemu Anda juga," katanya padaku.
Tadinya aku ingin mengatakan bahwa aku akan membawa
sendiri tas dan buku-bukuku, tapi Bu Smith sudah terlanjur
mengambilnya dari tanganku. Kelihatannya sih aku harus segera
menyusul Michel. "Terimakasih," ujarku.
Sambil berjalan pikiranku berputar. Ada apa gerangan? Kenapa
Jean-Paul ingin bertemu dengan aku, Michel dan Emily sekaligus?
Kelihatannya sih mobil Ibu tak ada di garasi. Rupanya beliau tak ada
di rumah. Jadi aku bisa merasa sedikit tenang. Mudah-mudahan bukan
soal kekurangajaranku kemarin.
Kumasuki ruang kerja melewati perpustakaan. Jean-Paul duduk
di atas kursi berlapis kulit warna merah anggur di belakang meja yang
terbuat dari kayu jati. Michel baru saja memeluk dan menciumi
ayahnya. "Papa! Merci Beaucoup!" serunya. Ketika melihat kehadiranku,
ia langsung berseru, "KC, lihat! Hebat kan?!" Diacungkannya jaket
yang kelihatan seperti seragam Tim Minnesota Wingers.
"Waah!!" Aku pun ikut berseru jadinya saat melihat jaket
berwarna biru-kuning itu. "Ini seragam resmi mereka, kan?"
Jean-Paul mengangguk. "Ya. Saya menyiapkannya juga
untukmu dan Emily," ujar beliau sambil mengeluarkan dua buah jaket
lagi dari laci mejanya. "Saya masih membiarkan bagian belakangnya
tidak terbordir, karena saya belum tahu nama apa yang ingin kalian
cantumkan di situ," . tambahnya.
Kulihat bagian belakang jaket Michel tersulam tulisan
BEAUVA1S dari bordiran benang emas.
Tiba-tiba aku sadar bahwa barangkali Jean-Paul berharap aku
dan Emily mau meletakkan namanya di belakang jaket itu, persis
seperti milik Michel. Aku tak pernah sekali-kali pun berpikir untuk mengubah nama
Katie Campbell menjadi Katie Beauvais. Sejak lahir aku sudah
terbiasa dengan nama pemberian ayah kandungku, Katie Campbell.
Aku harus membicarakan masalah ini dengan Ibu dan Emily.
Kuulurkan tangan menerima jaket pemberian Jean-Paul.
"Terima kasih. Biarkan saja bagian belakangnya kosong. Nggak apaapa kok," sahutku sambil memperhatikan bagian belakang jaket yang
masih kosong. Biasanya para pemain mencantumkan nama mereka di
bagian ini. "Baiklah. Kalau kau sudah memutuskan sesuatu, tolong
beritahu saya ya?" Jean-Paul tersenyum kepadaku.
"Ya, sekali lagi terima kasih," sahutku, bingung, tak tahu apa
lagi yang harus kuucapkan.
"Ayah, apakah bahan-bahan dekorasi pesta sudah siap?" tanya
Michel. Ah, untung Michel mengalihkan pembicaraan, aku merasa
lega karena merasa ?terselamatkan? dari kekakuan yang membuatku
salah-tingkah. "Oui. Ya. Balon-balon biru dan kuning serta spanduk-spanduk
yang kau usulkan sudah disiapkan," sahut Jean-Paul. "Apakah kalian
siap membantu saya dan Eileen untuk mendekor besok?"
"Jelas!" seru Michel. "Akan saya ajak teman-teman untuk
membantu." Jean-Paul mengalihkan pandangannya ke arahku. "Katie, kau
mau hadir di pesta itu?"
Aku teringat peristiwa kemarin. Ya, aku telah menyatakan tak
akan hadir sambil marah-marah, menangis, bahkan 'menohok' JeanPaul dengan kata-kata tajam.
"Ehm...ehm...." Aku menunduk karena tak bisa menjawab
pertanyaannya. "Nah, kalau kau mau, kau juga bisa mengajak kawan-kawan
dekatmu untuk membantu kami mendekor. Bagaimana?" timpal JeanPaul.
"Akan kutelepon Sabrina, Allison, dan Randy. Aku tanya
mereka dulu. Juga akan kuceritakan soal jaket ini." Kuputar tubuhku,
bersiap meninggalkan ruangan.
"Katie, tunggu!" sergah Jean-Paul.
Aku terkesiap, kembali menghadap beliau dengan hati penuh
tanda tanya. Wah, ada apa lagi nih?
"Tadi Ibumu menelpon. Katanya nanti malam ada rapat penting
sehingga tak bisa makan malam bersama," tutur Jean-Paul.
Oooh! Kukira ada ada apa. "Ya, ya...," aku tak tahu lagi harus
menjawab apa selain ?ya?.
Aku tengah melangkah ke atas ketika berpapasan dengan Emily
yang sedang menuruni anak tangga dari lantai ?pribadi?-nya.
"Ada apa Jean-Paul manggil kita?" tanya Emily padaku.
"Bagi-bagi hadiah." Kutunjukkan jaket baru itu.
"Waaaw! Hebat nih! Aku juga dapat?" tanyanya terkagumkagum.
Aku mengangguk. "Aaah.... Mungkin akan kuhadiahkan untuk Reed. Dia pasti
kagum," seru Emily bergegas menuruni anak tangga.
Kelihatannya Emily tak akan ruwet-ruwet memikirkan nama
apa yang harus dicantumkan di belakang jaket itu. Kosong pun tak
jadi soal. Toh akan diberikan pada Reed. Mendapat inspirasi semacam
itu, rasanya aku pun tak perlu pusing-pusing memikirkan nama itu
bukan? Berlari kecil, akhirnya aku tiba di kamarku. Kusambar
teleponku dan sambil duduk di atas kasur kuputar nomer Sabs. Harus
kuakui, telepon pribadi di kamar memang praktis sekali, meskipun
tidak dengan sambungan khusus seperti milik Emily.
"Haeyo!" Sabs mengangkat telepon di dering yang ke empat
dengan napas terengah-engah. Kamar tidurnya terletak di lantai atas,
sedangkan telepon ada di lantai bawah. Tak heran kalau dia terengahengah begitu.
"Hai Sabs. Ini aku, Katie. Coba kutebak, kamu pasti habis larilari dari kamarmu ya?"
"Lho, kok tahu?" tanya Sabs. "O ya, Katie, kau pakai apa untuk
pesta The Wingers?" Kutarik napas dalam-dalam agar bisa bersuara tenang. Sabs bisa
berteriak histeris mendengar apa yang akan kukatakan ini. "Aku mau
pakai jaket seragam resmi The Wingers!" sahutku.
"Haaa...?" teriak Sabs, "dapat dari mana?"
"Jean-Paul!" jawabku, "Michel dan Emily juga dikasih, satu
satu." "AduuuhSeneng banget!" komentar Sabs, "tapi
tunggu...tunggu.... Pakaian itu bisa kau padukan dengan celana jeans
biru, kaus kaki kuning dan sepatu biru!"
"Ide bagus Sabs!" kataku. "Kurasa kalian juga bisa mengenakan
pakaian dengan warna-warna bercorak itu."
"Yap! Tepat! Kita akan tampil sebagai maskot The Wingers,"
seru Sabs penuh semangat. "Akan kubongkar isi lemariku. Akan
kucari dulu kombinasi pakaian kuning biru. Lalu akan kutelepon
Randy dan Al untuk menceritakan rencana kita. Oke?"
"Oke Sabs. O ya, kalau kalian mau, besok pada datang ke
rumahku deh buat bantu-bantu dekor. Jam delapanlah, gitu....," kataku
lagi sebelum menutup pembicaraan telpon.
"Oke, daah...."
Kami menyudahi percakapan lantas kuletakkan gagang telepon
ke tempatnya. Karena ini hari Jum?at, tak banyak pe-er yang harus
kugarap. Hanya beberapa soal matematika dan beberapa bab materi
IPS yang harus kubaca. Satu setengah jam kemudian semuanya sudah
selesai kukerjakan. Ketika malam tiba, Aku dan Michel main bilyar sebentar,
sambil menunggu makan malam siap.
Rasanya suasana makan malam agak aneh. Aku merasa
canggung dan 'sendirian?. Emily makan di luar dengan Reed. Ibu
belum pulang. Jadi di meja makan tinggal Michel, Jean-Paul, dan aku.
Untung si Michel tetap ceriwis selama makan.
Jujur saja, aku masih merasa jengah dan malu hati pada JeanPaul. Tingkah tak sopanku kemarin, yang kurasa pasti menyakitkan
hatinya, masih mengganjal dalam hatiku. Aku, Ibu, dan Jean-Paul
belum membicarakan masalah ini lagi, dan aku juga belum minta
maaf. Anehnya sikap Jean-Paul tetap ramah dan manis padaku. Aku
agak terhibur dan mulai memikirkan nama apa yang harus
kucantumkan di jaketku. Jam sembilan lewat Ibu pulang dari kantornya. Kelihatannya
beliau lelah sekali sehingga langsung masuk kamarnya. Menurut
dugaanku, Ibu sudah melupakan kekesalannya padaku dan tak ingin
lagi menyinggung-nyinggung kejadian kemarin.
************ Aku masuk kamar jam sepuluh kurang. Aku harus cukup
istirahat supaya bisa tampil segar sepanjang hari esok. Bayangkan,
energiku kan sudah harus kukeluarkan mulai pagi hari untuk
mendekor dan mungkin berbelanja yang kecil-kecil; setelah itu harus
menemani teman-teman yang membantuku; dan langsung pesta
sampai petang, mungkin. Seharian ini aku memang memikirkan pesta
itu, sampai menjelang tidur.
Baru saja rebah, aku sudah terlelap. Namun aku dihantui mimpi
buruk. Dalam mimpiku, pesta berubah menjadi arena pertandingan
yang dihadiri oleh ratusan anak-anak sekolahku. Mereka demikian
rapatnya mengelilingi arena pertandingan, sampai-sampai aku tak bisa
melihat suatu apa pun dari tempat dudukku.
Kemudian mereka meneriakkan namaku keras-keras. Bahkan
anak yang tak kukenal pun memanggil-manggil namaku: "KATIE!
KATIE! KATIE!" Tahu-tahu aku sudah berada di lapangan ski es, mengenakan
jaket seragam The Wingers, menjadi pemain sayap kiri untuk tim itu.
Scottie dan Michel juga ada di lapangan.
Aku hendak mengoper bola pada Michel, tapi ia tak
mengacuhkannya karena sedang ngobrol dengan Stacy Hansen!
Kualihkan operan pada Scottie. Tapi anehnya, dia malah tertawa
cekikikan, lantas meluncur di es sambil menunjuk-nunjuk ke arahku.
Aku kaget, karena tiba-tiba semua orang mentertawakan aku. Ketika
kusadari, ternyata aku masih mengenakan masker lumpur hijau lumut!
Aku cemas dan malu! Seketika itu juga aku terbangun. Jantungku berdetak amat cepat.
Mataku membelalak menatap langit-langit kamar yang terhalang
kelambu. Kucoba menenangkan diri. Kadang-kadang di tengah malam
seperti ini, mimpi yang paling tidak masuk akal sekalipun terasa
seperti kenyataan. Kulihat si Pepper, kucingku, masih pulas melingkar
di ujung selimut dekat kakiku. Perasaanku lantas menjadi lebih
tenang. ebukulawas.blogspot.com
Kulirik jam digital di samping tempat tidurku. Wah, masih jam
setengah empat pagi! Aku yakin tak akan bisa lagi tidur dengan
mudah. Mungkin segelas susu hangat dan sepotong kue akan
membantuku. Minimal menghangatkan badanlah.
Kuayun-ayunkan kaki ke bawah tempat tidur sampai
menyentuh karpet yang lembut. Dalam cahaya remang lampu tidur,
kutemukan mantel dan sandal. Kemudian aku bangkit dan melangkah
keluar kamar. Satu kebiasaan rumah lama yang masih dipertahankan
Ibu di rumah baru ini adalah lampu-lampu kecil di lorong-lorong
rumah. Jelas ini membantu kami berjalan di malam yang gelap seperti
ini. Dengan mudah kutemukan jalan menuju tangga ke bawah.
Ketika tiba di ujung anak tangga, kulihat lampu di dapur masih
menyala. Koki kami pasti lupa mematikan lampu waktu merapikan
dapur setelah makan malam tadi. Aku pun melangkah masuk. Namun
ketika daun pintu kubuka, aku langsung berhenti karena kaget!
"Ah, Katie? Maafkan saya kalau membuatmu kaget," sapa JeanPaul lembut.
Untuk kedua kalinya malam ini jantungku berdebar kencang.
Aku sungguh tak mengira Jean-Paul akan berada di dapur di pagi-pagi
buta seperti ini. "Aku mimpi jelek, nggak bisa tidur lagi," kataku setelah
beberapa saat diam terpaku. Kelihatannya Jean-Paul juga mengalami
hal yang sama. Dia mengenakan mantel tidur dari bahan sutera warna
merah. Di depannya terongok sepotong kue dan segelas susu.
"Sini...minum susu dulu," Jean-Paul mengangsurkan panci susu
hangat kepadaku. Perasaanku gundah. Haruskah aku kembali ke kamar
menghindarinya, atau kuungkapkan penyesalanku sekarang?
Akhirnya kuputuskan untuk menyatakan permintaan maafku
padanya malam ini juga. Aku tak mau terbebani perasaan bersalah
lebih lama lagi. Lagipula wajah kecewa Jean-Paul akibat sikapku
kasarku kemarin terus saja membayang. Dia pasti gundah juga.
"Terima kasih." Kubuka lemari dapur untuk mengambil gelas.
Jean-Paul menuangkan susu ke dalam gelasku. Setelah itu piring kue
di hadapannya disorongkan ke depanku. Diam-diam kuperhatikan
lingkaran hitam di bawah pelupuk matanya. Dia kelihatan lelah sekali.


Girl Talk 19 Problema Keluarga Baru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku tengah menyusun kata-kata untuk memulai pembicaraan
yang bisa mengarah ke permintaan maafku ketika Jean-Paul tiba-tiba
bertanya, "Katie, bisakah kita bicara malam ini?"
Aku mengangguk kecil sambil membalas tatapannya sekilas.
Tapi beberapa detik kemudian kutundukkan lagi kepalaku. Tak kuat
aku memandang tatapannya yang terlihat begitu lembut tapi juga lelah
itu. "Saya tahu, belakangan ini kamu kurang bahagia, tertekan, dan
agaknya semua itu karena saya," Jean-Paul memulai pembicaraan.
Aku tetap menunduk mendengarkan setiap kata-kata yang
diucapkannya barusan dengan nada lirih.
"Apa yang kita alami memang berjalan sangat cepat, bahkan di
luar perkiraaan saya. Saya tahu, agak sulit bagimu untuk
menyesuaikan diri dengan kehadiran ayah dan kakak laki-laki baru
dalam hidupmu. Karena itu saya berusaha melakukan apa saja untuk
membuatmu bisa menerima kami,...paling tidak agar kamu mulai
menyukai kamilah. Tapi nyatanya,...emm...saya rasa...."
Jean-Paul tidak melanjutkan kata-katanya, tapi aku dapat
menerka apa maksudnya. Belakangan ini sikapku padanya dan Michel
memang tidak ramah dan kurang bersahabat. Jean-Paul bisa
merasakan itu, entah si Michel.
"Apa lagi yang dapat saya lakukan?" tanya Jean-Paul
kemudian. "Apa lagi yang harus saya perbuat agar kamu bisa
menerima dan menyukai kami, Katie?"
Kutatap wajahnya. Aku bisa merasakan kejujuran dalam katakatanya yang diucapkan dengan nada gundah. Tidak, Jean-Paul tidak
sedang mengiba-iba belas kasihanku, apalagi berpura-pura. Aku tahu,
dia hanya tak habis pikir, mengapa aku tetap merenggangkan jarak
dengannya. "Aku menyukai kalian berdua kok," jawabku lugas.
"Masalahnya, justru Anda berbuat terlalu banyak untuk kami."
"Saya? Berbuat terlalu banyak?" Jean-Paul mengerutkan
keningnya rapat-rapat. "Ya, misalnya membeli rumah ini."
"Tapi rumah lama kalian terlalu kecil untuk dihuni berlima.
Aku pun tak bisa mengajak kalian ke apartemenku, karena jauh lebih
kecil lagi dari rumah kalian," kilah Jean-Paul.
"Aku mengerti. Tapi apakah itu berarti Anda harus membeli
rumah termegah di Acorn Falls seperti ini?"
Sungguh, percakapan kami ini di luar dugaanku. Semula aku
hanya ingin minta maaf. Itu saja.
Tak pernah terpikirkan olehku untuk ?mengkoreksi? tindakantindakan Jean-Paul yang kuanggap tidak benar. Emily pernah
menasehati aku agar berterus-terang mengungkapkan masalahmasalah yang mengganjal. Berterus-terang merupakan langkah yang
baik, karena membuat masing-masing pihak bisa memahami apa
masalahnya. Tapi kali ini aku ragu, apakah ini saat yang tepat untuk
itu. Jean-Paul duduk diam menatapku. Kemudian ia menarik napas
panjang sambil berkata, "Katie, ketika saya masih kecil ? jauh lebih
kecil daripada Emily, Michel, bahkan kamu ? keluarga saya sangat
miskin. Ayah saya harus berjuang keras untuk menyelesaikan
sekolahnya dengan harapan pendidikan yang memadai dapat
membantunya memperoleh pekerjaan yang lebih layak dibandingkan
kakek saya yang hanya nelayan miskin."
Aku ternganga mendengarnya. Sulit bagiku membayangkan
orang seperti Jean-Paul dulunya orang miskin.
"Setelah lulus, Ayah saya mendirikan perusahaan. Lima tahun
pertama Ayah saya berusaha sehemat mungkin, tak pernah
menggunakan uang perusahaan untuk kepentingan pribadi atau
keluarga," lanjut Jean-Paul. "Ibu saya harus bekerja sampingan,
menjadi pengasuh anak agar bisa menghidupi keluarga, membeli
makanan atau pakaian untuk anak-anaknya. Itu berlangsung terus
sampai perusahaan Ayah saya mulai mendapatkan laba."
Aku takjub mendengar cerita Jean-Paul.
"Kini perusahaan itu diwariskan kepada saya. Kebetulan saja
sekarang menjadi salah satu perusahaan periklanan terbesar di
Canada, bahkan tiga besar di Minneapolis ini. Mungkin orang
menduga saya membeli rumah termegah di Accorn Falls ini karena
reputasi bisnis. Tapi untuk kamu ketahui Katie, saya punya alasan
yang lebih penting...," Jean-Paul menggantung kalimatnya.
Aku mendongak, penasaran menunggu kelanjutan kisahnya.
"Saya tak ingin istri dan anak-anak saya menderita karena tak
bisa mewujudkan apa yang sebenarnya mereka dambakan. Saya ingin
kalian memperoleh yang terbaik. Memang saya salah, mestinya saya
membicarakannya terlebih dahulu dengan kalian. Saya salah tafsir,
semula saya yakin kau akan senang menerimanya," Jean-Paul
mengakhiri ceritanya. "Kau sama sekali tidak senang rumah ini,
Katie?" Kucoba menemukan kata-kata yang tepat untuk menjawab
tanpa menyinggung perasaannya.
"B...bukan tidak suka, tapi...terlalu jauh dari sekolah. Tak enak
rasanya harus merepotkan Emily setiap hari untuk mengantar-jemput.
Lagi-pula aku tak bisa lagi jalan kaki dengan teman-teman dekatku,"
jawabku sejujurnya. Setelah mendengar cerita masa kecil Jean-Paul,
tiba-tiba saja aku merasa menjadi orang yang tak tahu berterima kasih
atas usahanya untuk membahagiakan aku.
Jean-Paul mengangguk. "Saya paham. Kau benar, Emily
seharusnya memang tidak direpotkan terlalu banyak. Ah, mengapa
tidak saya pikirkan hal itu sejak awal, ya? Begini saja, besok saya
carikan supir khusus untuk mengantar kau dan Michel, ke mana saja
kau mau," kata Jean-Paul dengan wajah sungguh-sungguh.
"Jangan! Bukan itu mauku!" sergahku. "Eng,...aku sebenarnya
risi dianggap anak orang kaya di sekolah."
Jean-Paul tertawa kecil. "Lho, kenyataannya kau sekarang
sudah jadi anak orang kaya, kan?"
"Aku nggak mau dianggap sombong! Bayangkan, aku punya
kamar dengan telepon pribadi, pelayan, tukang kebun, apalagi kalau
ditambah supir pribadi. Apa tanggapan orang?" bisikku, seolah-olah
menjadi kaya adalah sesuatu hal yang memalukan.
"Katie, semakin banyak kau belajar tentang manusia dan
kehidupan, semakin banyak kau akan mengerti," tutur Jean-Paul.
"Menjadi kaya bukan berarti menjadi lebih baik dalam segala hal
dibandingkan orang lain, bukan? Kaya toh hanya sarana agar hidup
bertambah baik." Aku terdiam merenungkan kata-katanya. Kurasa Jean-Paul
benar. Kutimbang-timbang, dia dan Michel tak pernah menunjukkan
sikap angkuh sama sekali walaupun mereka sangat kaya-raya.
"Nah, sekarang tentang pesta. Mengapa kau tak mau datang?
Mengapa pula kau begitu marah waktu kemarin saya mengundang
Stacy Hansen? Dia kawan sekolahmu kan?"
"Semua anak minta karcis dariku...," perlahan-lahan aku mulai
bercerita. "Saya bisa memberimu karcis sebanyak yang kau butuhkan,"
sela Jean-Paul, "jangan ragu...."
"Bukan itu masalahnya," tukasku. Ah, Jean-Paul pasti tak
mengerti apa maksudku. Padahal Emily merasakan hal yang sama.
Agaknya terhadap orang seperti Jean-Paul dan Michel penjelasan
harus diutarakan secara lugas melalui kata-kata yang jelas, bukan
tersirat. "Banyak anak yang tak kukenal sebelumnya tiba-tiba saja rajin
menyapaku dan ikut-ikutan minta karcis," aku memulainya lagi dari
awal. "Tiba-tiba saja aku jadi pusat perhatian. Tiba-tiba banyak orang
menjadi sok akrab. Aku jadi risi. Yang lebih menjengkelkan, anak
yang semula memusuhiku mendadak berlagak menjadi sahabat
karibku setelah tahu Anda membeli The Wingers. Setelah dia
dapatkan apa yang dia maui, dia kembali sinis."
"Seperti Stacy Hansen misalnya," terka Jean-Paul dengan mata
penuh selidik. Kutengadahkan kepala. Aku tak menjawab, tapi aku yakin
tatapanku sudah cukup menjawab pertanyaannya.
"Maafkan saya Katie," ujar Jean-Paul. "Seharusnya saya
menyadari apa yang terjadi. Tapi sikap Stacy begitu manis. Bahkan
dia membawa bunga sebagai hadiah untuk kita sebagai tetangga
barunya. Kelihatannya dia juga akrab dengan Michel."
Aku langsung cemberut. "Selama ini dia selalu memusuhi dan
melecehkan aku dan teman-teman dekatku. Aku tidak dendam, tapi
aku tak suka dengan kepura-puraannya. Michel belum tahu sih, siapa
Stacy itu." Jean-Paul meneguk susunya. "Kau sudah pernah membicarakan
masalah ini dengan Michel?"
Aku menggeleng. "Barangkali Michel malah senang dengan
tipe kayak Stacy," jawabku.
"Mungkin sebaiknya kalian bicarakan," saran Jean-Paul.
Aku mengangguk. "Soal kamar mandi pun sama. Katakan saja pada Michel bahwa
dia harus mengetuk pintu dulu kalau ingin masuk kamar mandi atau
kamarmu," lanjut Jean-Paul. "Michel belum terbiasa punya saudara
perempuan. Maklumlah, bertahun-tahun kami sudah terbiasa hidup
berdua. Bahkan Michel terkadang hanya sendirian di apartemen kalau
saya sedang dinas luar."
Kuanggukkan kepala sekali lagi.
"Nah, masih ada masalah lain yang mengganjal hatimu?" tanya
Jean-Paul, lembut. Tanpa kusadari tiba-tiba pipiku basah oleh air mata. Jean-Paul
menunggu dengan sabar sampai aku bisa menguasai isak-lirihku.
"Ada...emf...saya minta maaf karena selama ini saya kurang
sopan dan seperti tidak tahu berterima kasih, bahkan mungkin
menyakitimu. Itulah yang ingin saya katakan setiap kali saya
melihatmu," kataku agak terbata-bata.
"Saya maafkan," sahut Jean-Paul dengan suara serak.
Kulirik dia. Matanya agak berkaca-kaca. Entah kenapa tiba-tiba
saja aku tersenyum, membuat dia juga ikut tersenyum sementara ada
sedikit titik bening di ujung matanya. Tanpa sadar kugamit lengannya
yang ada di hadapanku. "Sekarang saya tinggal minta maaf pada Ibu," kataku lagi.
"Lakukanlah. Ibumu tahu kau masih mendapat kesulitan
menghadapi pergantian situasi seperti ini. Ibumu sangat
menyayangimu. Beliau selalu ingin membuatmu bahagia," tutur JeanPaul.
Aku tersenyum lega. "Aku tahu," sahutku tersipu. "Tapi yang
Anda lakukan untuk membahagiakan kami juga sudah banyak....
Terima kasih..." Kutatap wajahnya. Berbeda sekali dengan saat kami memulai
pembicaraan tadi. Wajah Jean-Paul kali ini terlihat sangat cerah.
Tak ada lagi keletihan di matanya. Agaknya dia merasa lega,
seperti juga perasaanku saat ini. Akhirnya ganjalan di antara kami bisa
juga dibicarakan dalam suasana terbuka. Penyelesaiannya pun
menyenangkan. "Jean-Paul?" kataku setelah hening beberapa saat.
"Ya...?" sahutnya.
"Emm...boleh minta sesuatu?"
"Tentu, tentu,...apa yang kau inginkan?" Jean-Paul tampak
begitu serius memperhatikan permintaanku.
"Eng...itu,...kuenya kan tinggal dua. Buat aku semua ya?" Aku
jujur. Setelah kepengapan dalam hatiku mulai cair, keroncongan di
perutku sangat terasa! "Hahaha...," bahak Jean-Paul. "Ada-ada saja kamu ini. Sudah,
habiskan sana." Ia meremas tanganku sebelum mengucapkan selamat
malam untuk kembali ke kamarnya.
BAGIAN SEBELAS Hari Sabtu keesokan harinya, aku bangun agak terlambat.
Mungkin karena semalam kurang tidur karena berbincang-bincang
dengan Jean-Paul. Harus kuakui, hatiku menjadi jauh lebih lega dan
tenang setelah menyelesaikan masalah yang selama ini terasa
menghimpit perasaanku. Aku pun bangkit dari tempat tidur, menggeliat dan meluruskan
tubuh. Perlahan kulangkahkan kaki ke kamar mandi. Nyaman sekali
rasanya agak lama menikmati mandi air panas. Setelah selesai,
kukeringkan rambutku dengan hair dryer yang tersedia di dinding
kamar mandi. Setelah itu aku kembali ke kamar dan berpakaian.
Tepat setelah selesai mengenakan jeans, Jean-Paul memanggil
kami lewat intercom. Makan pagi sudah siap. Kini Jean-Paul hanya
punya waktu sekali seminggu untuk menyiapkan sarapan bagi kami
karena hanya pada akhir pekan itu koki kami libur.
Ketika kumasuki ruang makan, Jean-Paul tersenyum lebar
kepadaku dan aku pun membalas senyumnya. Suasana berubah
menjadi menyenangkan. Kudengar Ibu berbicara dengan nada gembira
di pesawat telepon, entah dengan siapa, namun sempat juga beliau
melayangkan senyum untukku. Kelihatannya semua sedang diliputi
kegembiraan. Kurasa Jean-Paul sudah menceritakan kejadian semalam
pada Ibu. Sarapan pagi pun terasa nikmat dan lezat. Mungkin karena aku
mulai menyukai Jean-Paul, maka aku juga mulai menghargai dan
menyukai masakannya. Ia menyediakan waffel a la Belgia, pancake
apel, setumpuk daging panggang, sosis dan sari jeruk segar.
Kami hampir selesai sarapan tatkala telepon berdering lagi. Ibu
mengangkatnya. Ternyata untuk Michel. Beberapa menit setelah
menerima telepon, Michel kembali ke meja makan sambil
menggeleng-gelengkan kepala.
"Mon dieu! Si Stacy itu aneh banget deh. Masa dia tanya,
pakaian apa yang harus dikenakannya untuk pesta nanti. Dia juga
tanya, aku mau pakai apa. Terus dia juga pingin tahu, hadiah pestanya
apaan. Apa dia nggak punya pikiran lain?" ujar Michel. Sesaat
kemudian wajahnya kelihatan memerah dan tersipu. "Sori ya Katie,
bukan maksudku melecehkan temanmu."
Kutatap Michel dengan heran. "Temanku? Kukira kaulah yang
menyukainya!" bantahku.
Sekarang ganti Michel yang bingung menatapku. "Lho lho lho,
aku ramah padanya karena kupikir dia teman baikmu!"
Kami bertatap pandang begitu mengerti duduk persoalannya.
Sekarang jelaslah bagi kami masing-masing. Tiba-tiba saja tawa
Michel meledak. Rupanya ia menyadari kebodohannya. Tanpa terasa,
tawaku pun menyusul, dan ... tawa kami makin lama makin keras.
Kami geli membayangkan kelakuan Stacy. Sebetulnya, kalau dipikirpikir, apa yang dilakukan Stacy konyol juga, ya?
Jean-Paul menaikkan alis matanya dan menatap Ibu. Ibu hanya
membalas tatapan itu dengan senyum. Tak lama kemudian mereka
pun ikut tertawa. Apa yang kurasakan sekarang?
Bukan lagi sikap konyol Stacy. Tapi suasana dalam rumah yang
mendadak berubah seratus delapan puluh derajat. Sungguh! Semua
jadi lancar dan menyenangkan!
Setelah sarapan, aku kembali ke kamarku untuk bersiap-siap
menjelang pesta. Sinar matahari menerobos jendela kamarku,
menjadikan suasana di dalamnya lebih indah. Kubuka pintu lemari
besarku. Kuperhatikan rak-raknya yang sebagian besar masih kosong.
Kurasa pakaian-pakaianku tidak cukup banyak untuk memenuhi rakrak ini. Lagipula aku memang tak membutuhkan pakaian sebanyak itu
kok. Kukenakan seragam The Wingers di atas kaos berkerah tinggi
warna kuning yang serasi dengan bordiran dari benang kuning di
seragam tersebut. Kemudian kukenakan blue-jeans, kaos kaki warna
kuning dan sepatu olah raga berwarna biru.
Lantas aku beranjak ke depan cermin besar berbingkai kayu jati
dan mematut diri. Sabs benar. Pakaian yang diusulkannya memang


Girl Talk 19 Problema Keluarga Baru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kelihatan serasi sekali. Beberapa saat kemudian terdengar ketukan di pintu kamar
mandi. "Masuk," sahutku. Pasti si Michel deh. Siapa lagi kalau bukan
dia. Model ketukannya aneh sih. Seperti ropel drumband, hi...hi....
Michel membuka pintu dan berdiri memamerkan seragam
Wingers-nya bagaikan seorang foto model. Jaket The Wingers itu
dikenakannya bersama jeans belel dan sepatu olah-raga dengan aksen
garis-garis kuning terang. Michel kelihatan gagah sekali.
"Wow! Luar biasa! Kau cantik sekali KC Sudah siap
berangkat?" tanya Michel.
"Trims," aku berterima kasih atas pujiannya. Setelah mengikat
rambutku dengan pita warna biru tua, aku mengajaknya pergi. "Aku
sudah siap. Yuk kita berangkat sekarang!"
Perjalanan ke Minneapolis walau memakan waktu satu jam
rasanya lama sekali. Akhirnya sedan mercedes hitam Jean-Paul yang
kami tumpangi berhenti di pelataran parkir arena hoki. Emily
mengikuti dari belakang dengan mobilnya sendiri bersama Reed.
Jean-Paul memarkirkan mobilnya di kapling tersendiri yang
bertuliskan : KHUSUS J.P.BEAUVIS.
Untuk pertama kalinya kusadari bahwa beliau rupanya orang
penting yang berpengaruh dan sangat dihormati. Mungkin itulah
penghargaan yang patut didapatkan oleh seorang pengusaha pemilik
tim hoki terbaik di dunia!
Kami mengeluarkan makanan yang kami siapkan dari rumah
dan memindahkannya ke atas meja di sebuah ruangan khusus. Sabs,
Randy dan Al ternyata sudah datang. Mereka semua mengenakan
pakaian dalam warna-warna biru-kuning ? warna seragam The
Wingers. Kompak deh. "Wah! Coba lihat ini!" pekik Sabs sambil berlari ke arah
jendela kaca besar yang membatasi ruangan khusus yang kami tempati
dengan arena hoki. "Tempat duduk yang pas untuk meliput seluruh arena!" seru
Randy menyusul Sabs. Allison menoleh kepadaku dan bertanya, "Nah, apa yang bisa
kami bantu?" Kusodorkan kertas kuning penghias ruangan. "Banyak. Kita
cuma punya waktu sejam sebelum undangan lainnya datang."
Scottie dan Brian muncul tak lama kemudian. Dengan
pertolongan mereka, kami bisa menyelesaikan tugas menghias
ruangan kurang dari satu jam saja. Ibu dan Emily menata hidangan
yang baru dikirimkan dari sebuah restoran di Minneapolis sini. JeanPaul, Reed dan Ron mengatur minuman ringan dan es batu di atas
meja khusus di sudut ruangan.
Satu persatu yang lain berdatangan. Billy Dixon, Arizonna,
Sam, Jason dan Nick datang bersamaan. Kemudian beberapa anak lagi
dari tim hoki sekolah kami.
"Kok Stacy dan Eva belum datang ya?" tanya Sabs sambil
menatap resah ke arah Al dan Randy.
"Eva juga mau datang?" tanyaku.
Randy mengangguk. "Ya. Menurut Stacy, Jean-Paul
mengijinkannya membawa serta beberapa temannya ke pesta ini."
Kucoba menenangkan diri dan mengenyahkan keresahanku.
"Ya sudahlah kalau begitu," ujarku. "Barangkali malah bagus kalau
Eva juga datang, supaya kita nggak capek-capek meladeni Stacy
ngobrol." "Oh, kau tak perlu khawatir. Stacy nggak akan lama kok," ujar
Sabs sambil tersenyum penuh arti.
"Kalian belum juga mau menceritakan rencana rahasia itu
padaku?" tanyaku penasaran.
Sekonyong-konyong Al menunjuk ke arah pintu. "Kalau kau
masih penasaran, sekaranglah saat untuk mengetahui jawabannya,"
katanya. Kuputar tubuhku. Kulihat Stacy dan Eva berdiri di ambang
pintu. Alamak! Apa yang kulihat?
Stacy mengenakan kostum ala putri duyung warna hijau yang
membuatnya sulit melangkah lantaran terlalu ketat. Eva berdiri di
sampingnya dengan kostum udang raksasa!
Aku tak dapat membayangkan bagaimana jadinya melihat
mereka berpakaian seperti itu di tengah-tengah undangan yang
berpakaian ?biasa-biasa? saja. Mereka pasti terlihat ?aneh? dan kocak!
"Astaga!" pekikku tertahan pada sahabat-sahabatku, "apa yang
telah kalian lakukan?"
"Aha, kemarin waktu di sekolah kami cuma ngegosip bahwa
undangan yang memakai pakaian paling nyentrik tapi menarik akan
mendapat hadiah khusus dari Pak Beauvais," Sabrina menjelaskan
pelan-pelan. Ia meletakkan telapak tangannya di mulut untuk menahan
ledakan tawa. "Jadi, itu sebabnya dia menelepon Michel tadi pagi hanya untuk
tanya apa yang akan dikenakan Michel untuk ke pesta," gumamku.
Aku tak dapat lagi menahan tawaku, sampai terkikik-kikik.
Hampir bersamaan dengan itu muncullah Ben Mulberry,
bintang andalan The Wingers, di belakang Stacy. Ben juga merupakan
pemain paling keren yang banyak digandrungi pengagumnya. "Wah,
wah, wah,...hebat! Ada acara hiburannya rupanya. Ini badut atau
penari nih?!" katanya begitu melihat Stacy dan Eva.
Wajah Stacy kontan bersemu merah, melebihi warna merah
kostum ?udang raksasa? Eva. Ia memutar badan, dan langsung
meninggalkan ruangan. Hampir saja ia terjatuh karena berjalan terlalu
cepat dengan pakaian seketat itu. Eva segera memegangi lengan Stacy
dan mereka berdua setengah berlari meninggalkan ruangan tanpa
suara. Semua yang ada dalam ruangan tertawa geli melihat kejadian
tadi. "Sukses besar nih!" Randy tertawa sampai mengeluarkan air
mata. "Katherine Campbell! Kau yang merencanakan semua ini?"
Tiba-tiba suara Ibuku terdengar dari arah belakang kami dengan nada
tegas. Kubalikkan tubuh perlahan. Kulihat wajah Ibu agak tegang
menahan marah. Kegembiraanku pun langsung surut.
"Tidak Bu. Sungguh! Aku juga kaget kok!" bantahku.
"Eng, eh,...kam...kami yang salah Bu," sela Randy sambil
menatap Ibu agak takut-takut. Al dan Sabs berdiri di belakang Randy.
"Ehm, sebenarnya semua ini gagasan saya, Bu," sambung Sabs
terbata-bata. "Kami hanya berusaha agar Katie mau hadir di pesta ini.
Kalau ternyata membuat marah, eng...kami mohon maaf...."
"Ya, kami juga. Soalnya saya dan teman-teman yang lain juga
membantu menjalankan rencana konyol ini," timpal Sam dengan
wajah memerah. Bintik-bintik di wajahnya semakin jelas dalam
keadaan tersipu seperti ini. Ia melangkah ke samping adik kembarnya.
Jean-Paul beranjak ke samping Ibu, menarik dan menggenggam
tangan Ibu. "Sudahlah ma cherie. Biarkan anak-anak ini menikmati
kegembiraannya. Anak-anak ini begitu kompak menjalankan rencana
tadi, pasti mereka punya alasan yang kuat. Kalau yang diceritakan
Katie dan Michel benar, barangkali kejadian tadi bisa menjadi
pelajaran bagi Stacy untuk mengubah sikapnya yang tidak simpatik.
Aku bukan membela kebengalan mereka, tapi sekarang lebih baik kita
nikmati saja pesta ini. Bagaimana?"
Ketegangan di wajah Ibu berangsur-angsur sirna. Baiklah. Tapi
kalian harus berjanji tak boleh melakukan hal seperti itu lagi ya!"
beliau memberi peringatan pada kami semua. "Mempermainkan orang
itu tidak baik. Dan ingat, kejadian ini jangan disebarkan di sekolah.
Janji?" "Janji! Jangan khawatir Bu," bisikku segera dengan perasaan
lega. "Wah, Ayah tirimu ternyata bijaksana, ya?" puji Sabs setelah
Ibu melangkah pergi bersama Jean-Paul.
"Ya. Pesta yang diselenggarakannya pun meriah dan hebat
sekali," timpal Allison. "Harusnya kita ?makasih sama Jean-Paul nih.
Beliau yang menyelamatkan kita dari kemarahan Ibumu,Katie."
Teman-temanku benar. Jean-Paul sesungguhnya memang baik
hati, bijaksana, dan cerdas. Tiba-tiba saja aku merasa bangga memiliki
beliau sebagai Ayah tiriku. Maksudku, aku senang ia menjadi ayah
baruku, walaupun almarhum ayahanda kandung tetap saja ayah yang
paling kucinta. "Aku tinggal sebentar ya," pamitku pada teman-temanku.
Para anggota tim Wingers pun berdatangan memenuhi ruangan.
Agak sulit juga menerobos ruangan yang penuh sesak itu menuju
tempat duduk Jean-Paul. "Hai Katie, bagaimana dengan pesta ini? Kamu senang?"
sambut Jean-Paul. Aku tersenyum lebar padanya. "Tentu. Aku bahkan sangat
gembira. Terima kasih atas pesta ini dan kebaikan hatimu karena
memaafkan perbuatan kami terhadap Stacy tadi."
"De rien," jawab beliau dengan senyum yang tak putus-putus.
"Ah, itu cuma soal kecil. Tapi ingat, Ibumu pun benar. Kalian benarbenar tak boleh mengulangi perbuatan seperti itu lagi, ya?"
Aku mengangguk setuju. "Jean Paul, aku pingin omong-omong
sedikit. Boleh?" tanyaku.
"Oui?" Jean Paul mengerutkan kening, menunggu kelanjutan
pertanyaanku. Kupeluk dia dan kubisikkan perlahan, "Terima kasih karena
kini aku memiliki keluarga baru. Terima kasih atas kehadiran Anda
dan Michel di tengah-tengah kami. Hari ini aku bahagia sekali."
Jean-Paul hanya menjawab dengan anggukan. Entah bagaimana
perasaannya. Aku sendiri merasa terharu dan bahagia. Apakah
perasaannya sama denganku, aku tak tahu. Yang kulihat kini adalah
matanya yang berkaca-kaca. Lantas dipeluknya aku. Erat-erat.END
Bulan Jatuh Dilereng Gunung 16 Kitab Pusaka Karya Tjan Id Kota Angkasa Luar 1
^