Pencarian

Siapa Pembunuh Ratu Pesta 2

Fear Street Siapa Pembunuh Ratu Pesta Tahunan Who Kill The Homecoming Queen Bagian 2


berdiri di samping Leslie. Gadis itu menggandeng lengan Sandy dan
sedang membisikkan sesuatu kepadanya. Tetapi sepertinya Sandy
tidak peduli. Dia terus mengusap-usap lehernya, matanya terbelalak
nanar. Eva berjalan mendekati Jeremy. Pemuda itu duduk dengan bahu
terkulai, memandangi kakinya.
Kasihan Jeremy, pikir Eva. Dua hari yang lalu dia sangat
gembira, bercerita tentang betapa bahagianya dia karena akhirnya
punya keluarga. Tapi sekarang mungkin dia kehilangan Tania.
Eva memegang tangan Jeremy dan meremasnya.
"Baik, kami rasa cukup sampai di sini," polwan itu
mengumumkan. Sekali lagi dia menepuk-nepuk punggung Jeremy.
"Bagaimana kalau kami antarkan kau pulang?" usulnya. "Mungkin
saudaramu sudah ada di rumah sekarang, sedang tertawa-tawa."
Mungkinkah dia benar? sekali lagi Eva menebak-nebak. Jeremy
bangkit berdiri. Benarkah Tania tidak kenapa-kenapa?
************** Lima belas menit kemudian, mobil polisi menurunkan Eva di
rumahnya. Eva mengucapkan terima kasih kepada polisi itu, lalu
berlari dan cepat-cepat masuk ke rumah.
Rumahnya kosong. Eva melemparkan tasnya ke lantai dan melepas sepatu ketsnya
yang penuh lumpur. Kemudian dia menyeberangi lorong rumah dan
naik ke lantai atas, ke kamarnya.
Polisi mengantarkannya lebih dulu sebelum mengantarkan
Jeremy. Dia tak sabar ingin segera menelepon rumah keluarga
Darman untuk memastikan bahwa Tania benar-benar sudah ada di
rumah. Pasti hebat sekali kalau Tania benar sedang di rumah dan
tertawa-tawa, pikirnya sambil meraih telepon di samping tempat
tidurnya. Tentu saja aku akan memarahinya habis-habisan. Tapi, aku
akan lega dan senang. Dengan cepat Eva menekan beberapa nomor lalu menunggu.
Terdengar nada tut-tut-tut berulang-ulang cepat.
Nada sibuk. Eva memutuskan hubungan, lalu menekan nomor telepon Tania
lagi. Tetap nada sibuk. Apa-apaan ini? batin Eva. Apakah Tania mencoba meneleponku
untuk mengabarkan bahwa dia tidak kenapa-kenapa?
Berharap telepon akan berdering kalau diletakkan, Eva berganti
pakaian. Dia mengenakan celana jeans yang kering dan sweter katun
tebal. Telepon tidak berdering. Dia menyisir rambutnya yang hitam lebat, kemudian
mengepangnya menjadi seuntai kepang sepanjang punggung.
Tania belum juga menelepon.
Dengan frustrasi dan tidak sabar, dia meraih telepon itu dan
menekan nomor rumah Tania. Masih tetap sibuk.
Apa yang terjadi? Apa yang terjadi tadi? Apakah Tania hanya
bercanda atau dia benar-benar hilang?
Apakah dia benar-benar mati?
Sambil berjalan mondar-mandir di kamarnya, dia
membayangkan Tania terbaring tak bergerak di depan kamera.
"Kamera itu!" Eva berseru tertahan. Mungkin camcorder itu
tidak dimatikan. Keith meninggalkannya di tripod waktu kami lari
pontang-panting kebingungan. Apakah Keith tidak mematikan kamera
itu? Kalau tidak dimatikan, semua kejadian akan terekam di video.
Kami mungkin bisa tahu apa yang terjadi dengan mayat Tania!
Eva meraih telepon lagi dan menelepon rumah Keith. Telepon
langsung diangkat begitu berdering. "Jeremy?" terdengar suara Keith
tak sabar. "Bukan, ini Eva," kata Eva. "Aku juga belum dengar kabar dari
Jeremy. Atau Tania. Tapi dengar, aku punya gagasan. Ingat waktu kau
pergi menelepon polisi dan aku lari mengejar Jeremy? Apakah
camcorder sudah kaumatikan?"
"Hei, gagasanmu persis gagasanku!" teriak Keith. "Aku baru
saja akan mengecek rekaman itu. Datang saja ke sini. Akan kutunggu
dan kita bisa melihatnya bersama-sama."
Eva meletakkan telepon lalu lari menuruni tangga. Oh, semoga
ada petunjuk di video itu, pikirnya sambil mengemudikan mobilnya ke
rumah Keith. Moga-moga saja kamera itu merekam Tania yang
melompat berdiri dan membuat mimik lucu ke kamera.
Atau seseorang datang dan memindahkan mayat Tania.
Apa saja! Asalkan kami bisa tahu apa yang terjadi padanya.
Dia membelok ke halaman rumah Keith dan melihat pemuda itu
berdiri di ambang pintu yang terbuka, menunggunya. Eva membanting
pintu mobil lalu bergegas mendekati rumah Keith.
"Ayo kita lihat," kata Keith. Dia berbalik dan memimpin Eva
menyusuri selasar ke sebuah ruangan kecil berisi peralatan video dan
rak-rak besi penuh kaset video hasil rekaman.
Di tengah ruangan ada sofa empuk dihiasi bantal-bantal kecil.
Di seberang sofa itu ada sebuah pesawat televisi berlayar sangat lebar.
Eva duduk sementara Keith memasukkan kaset video ke dalam
VCR. Dia memencet tombol play, kemudian duduk di samping Eva di
sofa. "Nah, kita lihat sekarang," gumamnya.
Eva mencondongkan badannya ke depan, tegang, matanya
terpaku pada layar televisi.
Apa yang akan terlihat di sana? dia menebak-nebak.
Apa yang terjadi pada Tania?
BAB 16 TITIK-TITIK putih berlatar belakang hitam menari-nari di layar
kaca. Terdengar suara berkertak keras dari speaker.
"Ada yang tidak beres?" tanya Eva.
"Tidak. Sebentar lagi akan hilang," Keith meyakinkan
kawannya. "Kuharap begitu."
Mereka duduk, memandang layar yang penuh titik-titik putih
$ian menyimak bunyi kertak-kertak itu. "Ayo!" kata Keith tidak sabar.
"Ayo!" Layar tetap statis. "Tekan tombol fast forward," kata Eva padanya.
"Oke." Keith menekan tombol itu, tetapi layar tidak berubah.
Dia mengeluarkan kaset video itu lalu memeriksanya. "Bagus,"
gumamnya sambil memutar-mutar bola matanya. "Hebat sekali."
"Ada apa?" "Camcorder itu. Lagi-lagi ngadat dan aku tidak tahu." Keith
mengacak-acak rambutnya dengan frustrasi. "Kita tidak merekam apaapa!"
Eva mendesah kecewa. "Tadi aku yakin bisa mendapat petunjuk
dari situ." "Aku juga." Keith menjatuhkan diri di sofa di samping Eva.
"Bagaimana menurutmu, Eva? Di mana Tania?"
Eva menggeleng. "Aku tidak tahu. Kuharap polisi itu benar dan
ini hanya lelucon. Tapi firasatku tidak enak tentang semua ini. Lagi
pula, kalau benar ini hanya bercanda, mengapa dia belum menelepon
aku?" "Aku akan menelepon rumahnya," kata Keith. Dia merogoh ke
bawah bantal lalu mengeluarkan telepon tanpa kabel.
Eva bisa mendengar nada sibuk begitu Keith selesai menekan
angka terakhir. "Mungkin Tania sedang menelepon ke sini."
"Kuharap begitu." Dengan wajah memerah Keith mematikan
telepon itu lalu berdiri. "Maksudku, kuharap dia menelepon seseorang,
bukan hanya aku." Eva tersenyum. "Aku tahu, Keith. Aku tahu kau sangat
menyukai Tania." "Semua orang sudah tahu," katanya. "Itulah masalahku."
"Apa maksudmu?"
"Tania hilang, mungkin malah mati," kata Keith. "Aku...
tadinya aku sangat suka dia, dan merasa tidak enak karena apa yang
terjadi." Dia memasukkan tangannya ke dalam saku celananya. "Tapi
aku masih harus mengerjakan syuting videoku."
"Oh." Eva mengangguk. "The show must go on, ya kan? Kau
harus mencari pemain lain untuk menggantikan Tania."
"Apa boleh buat," kata Keith. "Perasaanku tidak enak, tapi aku
harus menyelesaikan video ini. Kalau tidak, aku takkan punya apa-
apa untuk kukirimkan ke akademi perfilman. Ini sangat penting
bagiku." "Begitu pula Tania," tukas Eva.
"Aku tahu!" seru Keith. "Itu sebabnya aku bingung sekali."
Sebelum Eva sempat menanggapi, pintu ruangan itu terbuka
dan Jeremy menerjang masuk.
"Jeremy?" Eva terlompat, jantungnya berdegup kencang. "Mana
Tania? Dia baik-baik saja?"
"Apakah dia di rumah seperti perkiraan polisi?" tanya Keith.
Jeremy menggeleng. "Dia tak ada di rumah. Kamarnya masih
rapi seperti ketika dia pergi tadi pagi. Tania sama sekali tidak pulang!"
Lutut Eva langsung lemas. Dia jatuh terduduk.
Tania memang sudah mati, pikirnya. Tania tidak pulang. Ini
bukan lelucon. Dia mati. "Aku sibuk menelepon sejak pulang tadi. Aku menelepon siapa
saja yang terlintas di pikiran, semua nomor di buku telepon Tania."
Jeremy berjalan mondar-mandir, mata cokelatnya tampak panik. "Tak
ada yang melihat dia. Tak ada yang tahu di mana dia!"
"Bagaimana dengan polisi?" tanya Keith. "Apa kata mereka
waktu melihat Tania tak ada di rumah?"
"Polisi?ha!" Jeremy meninju tangannya. "Mereka masih
mengira ini semua hanya lelucon!"
"Mereka tidak boleh begitu!" teriak Eva.
"Tapi begitulah kenyataannya," sahut Jeremy. "Kalau ini bukan
lelucon, menurut mereka Tania pasti kabur."
"Kabur dari rumah?" Eva menggeleng. "Tania takkan
melakukan itu." "Itu yang kukatakan pada mereka," Jeremy sependapat.
"Mereka hanya bilang, duduklah tenang-tenang, Jeremy. Dia akan
muncul. Bisa-bisanya mereka menyuruhku duduk menunggu tanpa
berbuat apa-apa sementara saudaraku hilang!"
Jeremy terus mondar-mandir. Tahu-tahu dia membentur rak
besi. Rak itu bergoyang. Setumpukan kaset video jatuh ke lantai.
"Hei, hati-hati," Keith memperingatkannya. Dia menyeberangi
ruangan untuk memunguti kaset-kaset itu. "Duduklah dan coba
tenangkan pikiranmu."
"Bicaramu seperti polisi," bentak Jeremy. Tapi dia membantu
Keith memunguti kaset-kaset itu dan mengembalikannya ke rak.
Eva tetap duduk di sofa, memandang ke lantai. Dia tak bisa
menghentikan gemetarnya meskipun ruangan kecil itu hangat dan
sumpek. Ada yang tidak beres. Aku bisa merasakannya.
Dia ingin sekali mengabaikan firasatnya, tetapi sudah sering
sekali dia mendapat firasat seperti itu. Dia membencinya, tetapi
mempercayainya. Seseorang berbohong tadi, pikirnya. Hanya itu yang aku tahu.
"Ayo, duduklah," kata Keith pada Jeremy setelah mereka
selesai membereskan kaset-kaset video itu. "Mondar-mandir begitu
takkan memperbaiki keadaan. Ayo kita bicara. Mungkin kita bisa
menemukan sesuatu yang masuk akal dalam kejadian yang tak masuk
akal ini." Jeremy menggeleng. "Aku tak ingin bicara. Aku sudah tahu apa
yang terjadi. Sandy seorang pembunuh."
Eva terbelalak memandangnya. Bagaimana mungkin Jeremy
bisa punya pikiran seperti itu?
"Kau bicara apa, sih?" tanya Keith, shock. "Dia bukan
pembunuh. Dia memang sangat menjengkelkan. Tapi dia bukan
pembunuh. Aku sudah kenal dia seumur hidup."
"Kau keliru," tukas Jeremy berkeras. "Aku tahu Sandy benarbenar membunuh Tania. Kau ingin tahu bagaimana itu terjadinya, ya
kan? Oke, akan kukatakan. Akan kukatakan sesuatu yang tidak
kukatakan pada polisi."
"Apa?" teriak Eva. "Apa yang tidak kaukatakan pada
polisi?" BAB 17 JEREMY berdiri di tengah ruangan, mata cokelatnya menyipit
penuh amarah. "Aku kebetulan mendengar Sandy dan Cherise
merencanakan untuk membunuh Tania," katanya. "Itu sebabnya aku
tahu bahwa Sandy membunuhnya, aku mendengar dia
merencanakannya." Eva berseru tertahan. Keith menggeleng-geleng. "Kau gila apa?" tanyanya, suaranya
meninggi. "Kau benar-benar gila, ya?"
Mungkin Keith benar, pikir Eva. Bukan bahwa Jeremy gila,
tetapi bahwa Jeremy terlalu kacau gara-gara kejadian yang menimpa
Tania hingga tak bisa berpikir jernih. Kalau tidak, mengapa dia bicara
seperti itu? "Kau boleh menganggap aku gila," kata Jeremy. "Aku tak
peduli. Aku mengerti apa yang kudengar. Kejadiannya sebelum
syuting hari ini. Aku sedang berdiri di depan locker-ku dan aku
mendengar kedua orang itu bicara. Mereka berdiri di balik ujung
deretan locker-ku, berbisik-bisik. Aku mendengar nama Tania
disebut-sebut, lalu aku mengendap-endap dan menguping."
Dia meninju dinding. "Dan aku mendengar semuanya!"
Keith masih tidak percaya. "Kenapa kau tidak bilang pada
polisi?" "Aku tidak tahu!" teriak Jeremy. "Aku sangat kacau tadi. Aku
tak bisa berpikir jernih? tentang apa saja!"
Tapi, apakah sekarang dia bisa berpikir jernih? Eva tidak yakin.
Keith berjalan ke sofa lalu mengambil telepon. "Kalau begitu,
kita harus menelepon polisi sekarang dan melaporkan apa yang
kaudengar itu." "Tidak!" Eva merebut telepon itu dari tangan Keith. "Kau bisa
menjerumuskan Sandy dan Cherise ke dalam masalah besar!"
"Bagus," kata Jeremy dengan sungguh-sungguh. "Mereka
pantas dihukum." "Tidak kalau itu tidak benar," bantah Eva. "Dengar, mereka
berbisik-bisik. Aku tidak mengatakan kau mengada-ada, tetapi
mungkin kau tidak mendengar dengan jelas."
"Tidak mungkin!" tukas Jeremy dengan pahit.
"Biar aku bicara dulu dengan Cherise," kata Eva. "Aku akan
menelepon dia sekarang, pergi ke sana, dan menemuinya di rumahnya.
Aku yakin, ini hanya salah paham. Kita tidak boleh menuduhnya
kalau ini tidak benar!"
Jeremy mengangguk dengan enggan.
Eva menekan nomor telepon Cherise. Tidak mungkin, katanya
dalam hati. Ini pasti kekeliruan yang mengerikan!
Jantungnya berdebar-debar ketika telepon di rumah Cherise
berdering-dering.

Fear Street Siapa Pembunuh Ratu Pesta Tahunan Who Kill The Homecoming Queen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

************** Menjelang siang esok harinya, Eva meneguk jus jeruk dan
melihat jam. Hampir jam setengah dua belas. Sekolah libur karena
guru-guru menghadiri konferensi. Dia bangun kesiangan tadi. Dia
harus cepat-cepat kalau ingin menemui Cherise di rumah.
Semalam telepon di rumah Cherise tidak diangkat. Eva
mencoba sekali lagi setelah pulang dari rumah Keith. Tapi akhirnya
dia menyerah dan memutuskan pergi ke rumah kawannya itu pagi ini.
Dia mengemudikan mobilnya menyusuri Park Drive, ke rumah
Cherise. Tangannya berkeringat dan jantungnya berdebar-debar tidak
keruan. Awan hujan sudah lenyap. Daun-daun musim gugur tampak
indah disinari matahari. Tapi Eva masih belum bisa mengenyahkan perasaan tidak enak
yang dirasakannya sejak sebelum Tania hilang. Perasaan itu
membuatnya tidak bisa menikmati keindahan hari yang cerah.
Sekarang dia harus pergi menemui Cherise dan mengatakan
bahwa Jeremy menganggap gadis itu pembunuh.
Bagaimana aku akan mengatakannya? pikirnya sambil
membelokkan mobilnya ke jalan di depan rumah Cherise. "Eh,
Cherise, Jeremy mendengar kau dan Sandy membuat rencana untuk
membunuh Tania. Benarkah itu?"
Eva mendesah. Mungkin hanya itu satu-satunya cara, pikirnya.
Sebaiknya aku berterus terang saja.
Eva mengurangi kecepatan dan melihat ke luar dari jendela di
samping kursi penumpang. Seingatnya, Cherise tinggal di rumah
kuning bertingkat dua. Beranda depannya lebar, dan dari atap beranda
itu digantungkan sebuah ayunan model kuno.
Itu dia rumahnya. Eva meminggirkan mobilnya dan
mengulurkan tangan hendak mematikan mesin. Ketika itu, dia
mengangkat wajahnya dan memandang ke rumah Cherise lagi.
Tangannya membeku, masih memegang kunci mobil.
Cherise duduk di ayunan di beranda, rambut merahnya berkilau
disinari matahari. Sandy duduk di sampingnya?rapat di sampingnya?lengannya
memeluk gadis itu. Eva terus memandang mereka dan melihat Cherise
mencondongkan badannya semakin dekat pada Sandy lalu mencium
pemuda itu. Kemudian mereka sama-sama berdiri.
Dengan hati-hati Eva memundurkan mobilnya. Yang kulihat
tadi tidak menjelaskan apa-apa, katanya dalam hati. Aku sudah tahu
Sandy ada main dengan Cherise. Bahwa mereka berpacaran tidak
berarti mereka tega membunuh Tania.
Eva menghentikan mobilnya lalu memandang ke luar lewat
kaca depan. Sandy dan Cherise sekarang berdiri berpelukan dekat undakan
rumah. Mereka berciuman lagi, lalu melepaskan pelukan.
Sandy berjalan menuruni undakan beranda. Dia berpaling dan
melambai kepada Cherise, kemudian cepat-cepat berjalan ke trotoar.
Eva menunggu sampai pemuda itu masuk ke mobilnya dan
pergi ke arah lain. Ketika dia memandang rumah itu lagi, beranda sudah kosong.
Cherise pasti sudah masuk rumah.
Ayo, Eva, katanya dalam hati. Pergilah dan bicaralah
dengannya. Simak apa yang dikatakannya. Eva mematikan mesin
mobil, keluar, lalu berjalan setengah blok ke rumah Cherise.
Ketika dia menaiki undakan beranda, embusan angin
menerpanya. Rantai ayunan berdecit-decit dan pintu kawat di
depannya berderak-derak ribut. Di tengah keributan itu, Eva merasa
mendengar suara lain. Suara seseorang. Dia berhenti, memasang telinga.
Ya. Suara Cherise. Eva mengangkat tangannya hendak mengetuk pintu kawat itu.
Tiba-tiba dia terpaku ketika mendengar suara Cherise lagi. Kali
ini lebih keras. Suara itu tinggi melengking dan penuh amarah.
"Aku akan membunuhmu!" teriak Cherise. "Aku akan
membunuhmu juga!" BAB 14 EVA membatalkan niatnya, jantungnya berdegup kencang.
"Aku juga akan membunuhmu!" jerit Cherise. "Jangan kira aku tidak
berani!" Panggil polisi! kata Eva dalam hati. Pergi ke tetangga dan minta
bantuan! Ketika dia berbalik hendak lari, embusan angin lagi-lagi
menggoyang ayunan itu. Kali ini ayunan itu membenturnya.
Dia terhuyung-huyung ke samping. Ketika dia mengulurkan
tangannya hendak berpegangan pada birai beranda, dia mendengar
pintu kawat berderak di belakangnya.
"Eva?" panggil Cherise. "Hai. Rasanya aku mendengar ada
orang di luar." Eva menyeimbangkan badan lalu berbalik.
Cherise berdiri di belakangnya, satu lengannya menjaga agar
pintu tetap terbuka. "Kau kelihatan bingung," katanya.
"Siapa yang teriak-teriak tadi?" tanya Eva. "Aku mendengar?"
Ketika Cherise hendak menjawab, sebuah suara lain
menenggelamkan suaranya. "Lakukan dan tertawalah!" jerit suara itu.
"Itu akan menjadi tawamu yang terakhir!"
Cherise menoleh ke belakang, ke dalam rumah. "Terri, kecilkan
suaranya!" teriaknya. Dia kembali memandang Eva. "Adikku,"
jelasnya. "Dia sedang menonton tivi. Dia selalu menyetelnya keraskeras."
Jeritan itu kini terdengar samar.
"Kukira tadi sungguhan." Eva tertawa. "Mungkin tadi aku
tegang sekali." Cherise membuka pintu lebih lebar. "Masuklah. Mau minum
Coke?" Eva mengangguk lalu mengikuti Cherise menyusuri selasar.
Mereka melewati ruang duduk tempat adik Cherise sedang asyik
menonton tivi, terus ke dapur yartg luas dan penuh cahaya matahari.
"Silakan duduk." Cherise mengeluarkan dua kaleng minuman
dari kulkas lalu meletakkannya di atas meja kayu bundar. "Kau masih
tampak bingung," katanya sambil mengambil gelas dari meja racik
dan mengisinya dengan es. "Gara-gara Tania, ya?"
Eva mengangguk. Dia membuka kaleng minuman dan
menuangkan isinya ke dalam gelas. Tangannya gemetar ketika
mengangkat gelasnya. Segera diletakkannya lagi gelas itu.
"Hei, kau ini aneh sekali," Cherise berkomentar. "Maksudku,
aku tidak menyalahkan kau. Tania adalah sabahatmu. Perasaanmu
pasti tidak enak. Semua orang juga merasa begitu."
Eva mengangguk lagi. Apakah Cherise benar-benar merasa
tidak enak? dia tidak yakin. "Mengerikan," gumam Eva. Dia berhasil
mengangkat gelasnya tanpa menumpahkan busanya.
"Ya," Cherise sependapat. "Menurutmu, apa yang terjadi? Aku
tidak bermaksud bersikap tidak peduli, tapi apakah menurutmu dia
benar-benar mati?" "Aku tidak tahu," jawab Eva. Dia menduga-duga apakah
Cherise justru tahu. "Kuharap aku tahu. Tidak tahu membuat
perasaanku sangat tidak enak."
"Itu yang dikatakan Sandy."
Eva memandang gadis itu. "Dia bilang begitu?"
"Ya." Cherise memilin-milin seberkas rambutnya dengan
jarinya. Wajahnya tampak cemas. "Dia benar-benar kacau gara-gara
kejadian itu." Eva meneguk minumannya lagi. Ayo cepat katakan padanya,
katanya pada diri sendiri. Katakan apa yang diceritakan Jeremy. Cepat
katakan. Dia mengambil napas panjang. "Hmm... dengar, Cherise.
Jeremy mendengar kau dan Sandy bicara kemarin."
"Oh?" Cherise meremuk sepotong es batu. "Tentang apa?"
"Hmm, itu sebabnya aku ke sini," jelas Eva. "Jeremy pikir dia
mendengar kau dan Sandy membuat rencana untuk... untuk
membunuh Tania." Mata biru Cherise terbelalak karena shock. "Itu gila!" serunya
sambil melompat berdiri. "Nekat benar kau bicara seperti itu!"
"Bukan aku yang bicara seperti itu," balas Eva. "Tapi...
Jeremy." "Hmm, dia keliru!" sembur Cherise. "Dia keliru seratus persen!
Kapan dia mendengar kami bicara? Di mana?"
"Di sekolah," jelas Eva. "Kemarin sore, tak lama sebelum
syuting. Dia sedang berdiri dekat locker-nya dan kalian berdua sedang
di balik deretan locker-nya."
Cherise mengingat-ingat sebentar. "Oh!" serunya. "Aku tahu
tentang apa kami bicara! Aku sedang membantu Sandy berlatih untuk
video si Keith. Aku membantunya menghafalkan skenario!"
Eva merasa lega. Skenario yang dibuat Keith penuh dengan
kalimat-kalimat seperti yang didengar Jeremy. Penjelasan Cherise
sangat masuk akal. Terima kasih, Tuhan, batinnya. Sekarang aku tak perlu lagi
menebak-nebak apakah Cherise seorang pembunuh.
"Aku heran, bisa-bisanya Jeremy menuduh kami melakukan
perbuatan kejam begitu!" tandas Cherise. "Mengerikan!"
"Dia juga sedang kacau," Eva mengingatkan Cherise.
"Ya. Kupikir kau benar." Cherise berjalan ke meja hendak
mengambil gelasnya, tapi telepon berdering. Dia berbalik ke meja
racik lalu menekan satu tombol di telepon itu. "Halo?"
Suara berdesis yang tidak jelas memenuhi ruangan. Eva
memandang sekelilingnya. " Speakerphone," bisik Cherise padanya. "Halo?" ulangnya.
Bunyi berdesis itu berhenti.
Eva mendengar si penelepon mengambil napas panjang, pelanpelan.
Kemudian, suara bisik seram memenuhi dapur. "Aku telah
membunuh Tania," bisik suara itu parau. "Kau berikutnya."
BAB 19 EVA berseru tertahan ketika kata-kata itu menggema di dapur
yang luas itu. "Siapa ini?" tanya Cherise dengan nada mendesak. Wajahnya
seketika pucat pasi. "Kau bicara apa, sih?"
"Tania yang pertama," suara itu berbisik parau. "Kau
berikutnya." Bunyi klik keras membuat Eva terlompat.
Disusul bunyi telepon berdengung di dalam ruangan.
Cherise meletakkan telepon itu dan bersedekap. Badannya
gemetar. "Siapa dia?" tanyanya gugup.
Eva menggeleng. "Aku tidak tahu."
Cherise bergidik lagi. "Aku bahkan tidak tahu, dia laki-laki atau
perempuan! Dia bicara pada siapa? Aku? Kau? Kita berdua?"
Eva tidak menjawab. Dia memandangi gelas minumannya,
mencoba memikirkan apa yang sebenarnya terjadi.
"Eva? Apa yang kaupikirkan?" tanya Cherise.
"Ada yang tidak beres," kata Eva padanya.
"Jangan bercanda."
Eva menggeleng lagi. "Aku tidak bercanda. Maksudku, ini
semua aneh sekali. Ada sesuatu yang aneh, tidak seperti yang kita
lihat atau kita ketahui."
"Katakan, apa itu?" tuntut Cherise.
"Aku tidak punya petunjuk," Eva mengakui. "Hanya firasat."
"Oh. Lagi-lagi firasatmu itu, ya," kata Cherise sinis.
"Firasatku belum pernah salah," kata Eva. "Tapi itu bukan
penampakan atau yang semacam itu. Aku hanya bisa merasakan
bahwa ada yang tidak beres."
"Sayang, 'firasat'-mu tidak bisa memberitahu kita siapa
penelepon tadi." Cherise menggosok-gosok lengannya dan
memandang telepon itu dengan nanar. "Suara itu membuatku
merinding. Aku mencoba meyakinkan diriku bahwa tadi itu hanya
telepon guyonan." "Aku juga. Tapi sebaiknya kita laporkan ini ke polisi." Eva
mendesah ketika Cherise mengangkat telepon. Penelepon itu bilang
dia membunuh Tania, pikirnya. Mungkin Tania benar-benar sudah
mati. ************ "Wah! Itu pasti membuatmu ketakutan," kata Keith waktu
pulang sekolah hari berikutnya. "Coba ulangi, apa katanya?"
"Dia bilang 'Aku sudah membunuh Tania. Kau berikutnya',"
ulang Eva. "Tapi aku tidak bisa memastikan apakah dia laki-laki atau
perempuan?Cherise juga tidak bisa. Suara itu aneh sekali. Parau dan
membisik." Eva bergidik. Dia berdiri di lapangan parkir bersama Keith.
Daun-daun kering berguguran ditiup angin. Awan tebal bergulunggulung di langit, didorong angin kencang.
Musim dingin akan segera tiba, pikirnya dengan tubuh
menggigil kedinginan. Mayat Tania belum juga ditemukan.
Dia memandang ke seberang lapangan parkir. Jeremy bersandar
pada sisi sebuah mobil, wajahnya keruh. Eva baru saja bercerita
tentang telepon gelap itu kepada Jeremy dan Keith.
Jeremy diam saja. Dia langsung pergi ke seberang lapangan
parkir. Tiba-tiba, baru setengah jalan dia berhenti, sepertinya dia tidak
tahu akan melakukan apa atau pergi ke mana.
Semakin lama Tania tidak ditemukan, dia akan semakin cemas,
pikir Eva. Cerita tentang telepon gelap itu malah memperkeruh
keadaan. Kalau saja aku bisa menyimpulkan apa yang sebenarnya
terjadi! "Jadi, apa kata polisi?" tambah Keith, menyela lamunan Eva.
"Kan tadi sudah kubilang. Mereka tidak mempercayaiku." Eva
mendengus. "Mereka tetap menganggap semua ini hanya lelucon."
"Lelucon, huh," gumam Keith. "Aku tidak percaya, mereka
tidak menganggap ini persoalan serius."
Eva mengangguk. Itu tidak masuk akal, pikirnya.
Semua ini tidak masuk akal.
"Hmm, aku harus pergi," kata Keith sambil mengancingkan
jaket kulitnya yang berwarna hitam. "Wah... wah," gumamnya. "Ini
dia si pembuat masalah."
Eva menoleh dan melihat Leslie berjalan cepat ke arah mereka,
rambutnya yang cokelat panjang berkibar-kibar ditiup angin. "Keith!"
teriak Leslie. "Aku harus bicara denganmu!"
Keith mendesah. "Ada masalah apa?" bisik Eva padanya.
"Dia ingin jadi bintang, itu masalahnya," gumam Keith. "Dia
terus mengejar-ngejar aku."
Leslie mempercepat langkahnya. Kini dia semakin dekat. "Aku
sudah berkali-kali mencoba menghubungimu, Keith," katanya dengan
nada menuduh. "Yeah... aku sangat sibuk."
"Dan sangat kuatir," tambah Eva. "Tentang Tania, ingat?"
Leslie mendengus, tersinggung. "Tentu saja aku ingat." Dia
menyibakkan rambut yang menutupi matanya lalu berpaling pada
Keith lagi. "Itu salah satu alasan mengapa aku ingin bicara
denganmu." Mata Keith berkilat. "Kau tahu sesuatu tentang dia?"
"Tidak. Haruskah aku tahu?" sahut Leslie tidak sabar.
"Pokoknya, aku tahu kau butuh seseorang untuk memerankan Ratu
Pesta Tahunan di videomu. Jadi, kuputuskan untuk melupakan


Fear Street Siapa Pembunuh Ratu Pesta Tahunan Who Kill The Homecoming Queen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bagaimana kau telah menolakku untuk main di videomu dulu. Aku
bersedia memainkan peran itu."
"Hmm..." Keith salah tingkah dan memandang sekelilingnya.
"Apa masalahnya?" tanya Leslie. "Kau memang butuh aktris,
kan?" "Well... tidak. Maaf," jawab Keith. "Aku sudah membatalkan
ide Ratu Pesta Tahunan itu."
Eva memandang Keith dengan kaget. Kawannya itu belum
cerita tentang itu padanya. Dia tahu betapa berartinya video itu bagi
Keith, tetapi Eva merasa senang juga. Kalau tidak ada Tania, hasilnya
akan lain. "Tapi kau harus membuat sesuatu untuk dikirimkan ke akademi
perfilman," desak Leslie. "Kau tidak menyerah begitu saja, kan?"
"Tidak," sahut Keith. "Sekarang aku sedang menggarap video
yang lain. Dengan Sandy."
"Oh?" Mata Leslie berkilat penuh minat. "Tentang apa? Aku
bisa ikut main?" Keith menggeleng. "Maaf," ulangnya. "Ini sebuah proyek
rahasia." Leslie mengomelinya. "Kau menggarapnya bersama Sandy. Tak
ada peran untukku di video itu."
"Benar." Leslie mengibaskan rambutnya ke belakang lalu memelototi
Keith. Keith mengangkat bahu. "Maaf," katanya untuk ketiga kalinya.
"Oh, jangan ulang-ulang itu!" bentak Leslie. "Kau sama sekali
tidak berniat minta maaf."
Keith mengangkat bahu lagi. "Terserah."
Eva membuang muka, dia ingin mencoba menghibur Jeremy.
Tetapi Jeremy tidak kelihatan lagi. Eva malah melihat Sandy
berjalan ke arah mereka. Leslie juga melihat pemuda itu. Dia mengambil napas panjang
lalu pergi menjauh. Dengan jijik dia melirik Sandy ketika berpapasan
dengannya. "Dia ada masalah apa, sih?" tanya Sandy ketika sudah semakin
dekat. "Ah, lupakan saja. Aku tak ingin mendengarnya. Aku sudah
setengah jalan pulang waktu ingat semua bukuku ternyata ketinggalan.
Aku pasti melamun tadi."
Eva memandangnya lekat-lekat. "Tampangmu mengerikan,"
katanya. "Aku memang merasa ngeri." Sandy mengejap-ngejapkan
matanya yang dikelilingi lingkaran merah. "Aku tak bisa tidur. Aku
tak bisa berhenti memikirkan Tania."
"Semua juga begitu," gumam Eva. "Kami semua cemas dan
seperti hilang akal."
"Yeah." Keith meninju lengan Sandy, pelan. "Pulanglah, Sobat.
Cobalah tidur. Tampangmu seperti mayat hidup."
Sandy mengangguk lalu pergi ke arah gedung sekolah.
"Kau perlu tumpangan pulang?" tanya Keith pada Eva.
"Tidak, terima kasih. Sebaiknya aku menemui Jeremy, kalau dia
masih ada di sekitar sini." Eva mengangguk kepada Keith, kemudian
menyeberangi lapangan parkir.
Dia memandang sekelilingnya, mengira Jeremy berjalan di
antara deretan mobil. Tetapi dia tidak melihat pemuda itu. Jeremy
tidak tampak di trotoar atau di bukit rendah yang membatasi lapangan
bola. Dia pasti sudah pulang, Eva menyimpulkan. Dia beranjak
hendak meninggalkan lapangan parkir, kemudian sadar bahwa
ranselnya ketinggalan. Sandy bukan satu-satunya yang terlalu kacau
hingga tak ingat apa-apa, pikirnya.
Eva berlari menyeberangi lapangan parkir. Angin bertiup
kencang. Dia sampai ke gedung sekolah lalu masuk ke dalam. Ketika
melewati auditorium, dia mendengar suara-suara dari dalam. Apakah
mereka sedang berlatih untuk upacara pembukaan Pesta Tahunan,
tanpa Tania? Dia tak mungkin berhenti dan melongok ke dalam. Dengan
cepat dia melewati deretan pintu auditorium lalu menaiki tangga ke
lantai dua. Dia mendengar pintu locker dibanting menutup di
kejauhan. Kemudian dia mendengar langkah-langkah kaki bergema
keras di selasar yang kosong itu.
Eva membelok di sudut dan melihat Leslie berlari cepat ke
arahnya. Wajah Leslie ketakutan. Kemudian dia melihat noda gelap di sweter kuning gadis itu.
"Leslie!" teriak Eva. "Kau berdarah, ya?"
BAB 20 LESLIE berhenti dengan cepat dan mengibaskan rambut yang
menutupi wajahnya. Eva menarik napas dalam-dalam, kaget dan takut. Dia
memandang Leslie lekat-lekat. Menatap noda darah di bagian depan
sweternya. Kemudian dia mengalihkan pandangnya ke wajah Leslie?dan
menjerit tertahan. Segaris darah membasahi salah satu pipi Leslie dan menetesnetes pelan, ke lehernya. Butir-butir cairan merah terang berkilauan
pada bulu matanya dan tersebar di pipinya.
Tangannya tampak seperti baru saja dicelupkan ke dalam
seember darah. "Leslie, kau luka!" seru Eva.
"Aku tidak apa-apa." Leslie mengangkat tangannya yang
berdarah dan menyibakkan rambutnya lagi. "Ini sungguh memalukan."
"Kau bicara apa, sih?"
"Aku tadi marah sekali, Eva. Aku kehilangan kendali." Bibir
Leslie gemetar. "Aku meledak! Dan aku... aku membanting pintu
locker-ku ke dinding."
"Locker-mu...," kata-kata Eva tersangkut di tenggorokan.
Leslie mengambil napas panjang. "Bagian dalam pintu lockerku kupasangi kaca," dia menjelaskan. Suaranya bergetar dan
pandangannya beralih ke sekeliling selasar. Dia mengusapkan
tangannya ke celana jeans-nya sambil meringis menahan sakit.
"Waktu membuka locker, aku membanting pintunya keras-keras.
Kacanya langsung pecah. Dan aku tergores."
"Di mana?" tanya Eva.
"Pecahannya bertebaran!" kata Leslie. "Pecahan-pecahannya
berjatuhan mengenaiku." Setitik darah jatuh dari bulu mata Leslie lalu
bergulir ke mulutnya. Leslie mengusapnya.
Eva melingkarkan lengannya ke bahu kawannya. "Ayo. Kita ke
kamar mandi. Kubantu kau membersihkan diri."
"Aku harus segera pergi dari sini," kata Leslie.
"Kau tak mungkin keluar dengan darah di sekujur badanmu
begitu," Eva memaksa sambil menariknya ke arah kamar mandi di
seberang selasar. "Orang bisa kena serangan jantung melihatmu
begini. Tadi jantungku nyaris berhenti berdetak."
Di kamar mandi, Leslie menyandarkan badannya pada dinding
ubin. Matanya terpejam. Eva mengambil beberapa lembar tisu lebar
dan membasahinya dengan air dingin. Kemudian dengan lembut dia
mengusap wajah, tangan, dan leher Leslie, sedapat mungkin
membersihkan darah yang menempel di situ.
"Ini sudah cukup bersih." Leslie memaksa dirinya agar tidak
bersandar lagi ke dinding. "Terima kasih, Eva, tapi aku harus segera
pergi dari sini." "Mau pinjam jaketku untuk menutupi ini?" tanya Eva sambil
melemparkan tisu kotor itu ke keranjang sampah. "Ada di locker-ku."
Leslie menggeleng, wajahnya pucat. "Tidak. Aku ingin cepatcepat pulang." Dia memeriksa dirinya di cermin, kemudian membuka
pintu. "Terima kasih untuk bantuanmu, Eva," katanya sambil menoleh
lewat bahunya. Eva mencuci tangannya lalu keluar dari kamar mandi. Aku juga
ingin cepat-cepat pulang, batinnya sambil berjalan menyusuri selasar.
Pulang, sembunyi di balik selimut, dan tidur. Mungkin waktu aku
terbangun, perasaan aneh ini sudah hilang.
Tapi dia tahu, perasaan itu takkan hilang begitu saja.
Eva membelok di sudut lain lalu berjalan cepat ke locker-nya.
Ketika semakin dekat, dia melihat noda gelap di depannya.
Bukan, bukan setitik noda. Tepatnya genangan cairan berwarna
gelap. Eva memutari genangan itu, memutar nomor kombinasi lockernya, lalu membuka pintunya.
"Aaahh!" Dia menjerit kaget. Sesosok tubuh terjungkal keluar
dari dalam locker-nya. Eva memandang ngeri. Sandy Bishop! Dengan wajahnya yang
tampan dan rambutnya yang pirang kecokelatan.
Mata Sandy terpejam. Bibirnya tertarik ke belakang, deretan giginya tampak jelas,
seolah-olah dia sedang berteriak.
Tubuhnya meluncur pelan dari dalam locker. Bahunya,
dadanya, kakinya. Tubuhnya terpuntir, kemudian wajahnya
membentur genangan darah di lantai.
Darah, pikir Eva dengan jantung berdegup kencang. Darah
Sandy! Dia mengulurkan tangannya ke arah pemuda itu. Tangan itu
gemetar. Kemudian dia melihat pisau itu.
Pisau bertangkai tebal, tertusuk ke punggung Sandy sampai ke
pangkal pegangannya. Eva merasa pening. Langsung dia menarik tangannya dan
menegakkan badannya. Ketika itulah dia melihat kata-kata yang
tertulis di bagian dalam pintu locker-nya.
Kata-kata itu ditulis dengan darah.
Darah Sandy. Giliranmu berikutnya. Eva merasa darah berdenyut-denyut di telinganya. Dia ingin
lari, tapi tak kuasa menggerakkan kakinya.
Dia tak bisa mengalihkan matanya dari Sandy. Seseorang
membunuhnya, pikirnya. Menusuknya dari belakang.
Dan giliranku berikutnya.
Dengan panik dia mengangkat tangannya ke rambutnya lalu
menjerit sekeras-kerasnya.
BAB 21 "AKU masih tidak percaya!" isak Cherise. "Sandy?mati! Ini
seperti mimpi buruk!"
Cherise duduk di salah satu ujung sofa di ruang duduk di rumah
Eva. Leslie duduk di ujung satunya. Keith berjalan mondar-mandir,
sesekali berhenti dan memandang ke luar lewat jendela depan. Jeremy
duduk dengan tegang di pembatas perapian. Dia memegang erat
sekaleng minuman dan memelototi karpet.
Eva duduk di kursi empuk sambil mendengarkan kawankawannya membicarakan peristiwa terbunuhnya Sandy.
Aku letih sekali, pikirnya. Ini pasti akibat shock.
Sudah tiga jam lewat sejak dia menemukan tubuh Sandy. Polisi
datang. Setelah menanyai Eva, mereka mengumpulkan kawan-kawan
Sandy dan menanyai mereka. Setelah itu, mereka berkumpul di rumah
Eva. Tak ada yang ingin pulang sekarang, pikir Eva sambil
memandang sekeliling. Kami terlalu sedih dan bingung.
Dan sangat ketakutan. Apa yang terjadi? "Maksudku, apa yang terjadi?" Cherise menjerit menggemakan
pikiran Eva. "Ini sungguh tak bisa dipercaya!"
"Kau sudah mengatakannya jutaan kali," tukas Keith.
"Kalau begitu, maaf," bentak Cherise. "Menurutmu normalnormal saja menemukan mayat di dalam locker, ya?!"
Eva bergidik. Dia melipat kakinya dan menindihnya.
"Maaf, Eva," kata Cherise. Dia mengembuskan napas dan
memilin-milin seberkas rambutnya dengan jarinya. "Maaf, semuanya.
Mungkin aku ini terlalu bingung."
"Kami semua bingung," suara Jeremy terdengar ganjil.
Keith melihat ke luar jendela, kemudian mondar-mandir lagi.
Sambil begitu, dia mengangkat jari-jari sebelah tangannya. "Tania
hilang." Dia menekukkan satu jarinya. "Eva dan Cherise mendapat
ancaman lewat telepon. Sandy dibunuh. Eva menemukan pesan
ancaman." Keith menekukkan jarinya yang terakhir dan mengepalkan
tinjunya. "Apa artinya ini semua?"
Eva bergidik lagi, ingat kata-kata seram itu.
Giliranmu berikutnya. Dia tahu apa artinya itu.
Tapi, benarkah seseorang sungguh-sungguh berniat
membunuhnya? "Aku mencoba memperhitungkan apa yang akan terjadi," Keith
melanjutkan. "Seperti kalau kita melihat film. Mencoba menebak apa
yang akan terjadi selanjutnya."
Jeremy mengangkat wajahnya. "Ini bukan adegan di film,
Keith. Ini nyata." "Tak ada salahnya mencoba memperkirakan apa yang akan
terjadi," kata Cherise kepadanya. "Mungkin kalau kita bisa
memperkirakannya, mimpi buruk ini akan selesai." Matanya berkacakaca. Dia mengambil tisu dari kotak di ujung meja.
"Seseorang mencoba membunuh kita. Itu yang terjadi," kata
Keith. Benarkah? Eva tidak yakin. Tania hilang. Sandy mati. Aku
mendapat ancaman. Tapi... ada sesuatu yang tidak masuk akal.
Sesuatu yang ganjil. "Yang aku ingin tahu adalah kenapa seseorang melakukan ini,"
kata Keith. "Kenapa ada orang yang ingin kita mati?"
"Bukan kenapanya yang penting," kata Cherise, "tapi siapa!"
Semua memandang Leslie. Gadis itu duduk meringkuk di sofa, dengan gugup menggigitgigit kuku ibu jarinya.
Apakah Leslie benar-benar luka kena pecahan kaca tadi sore?
Eva bertanya dalam hati. Atau... apakah dia membunuh Sandy?
Merasa semua memandangnya, Leslie berhenti mengigit-gigit
kukunya dan membalas tatapan mereka. "Jangan memandangku
seperti itu," katanya pada mereka.
Eva menundukkan matanya, merasa agak malu. Leslie memang
gampang marah. Dia memang sangat kesal pada Tania dan Sandy.
Tapi itu tidak harus membuatnya jadi pembunuh, bukan?
"Polisi juga menanyaiku, ingat?" Leslie mengingatkan mereka
dengan suara gemetar. "Aku sendirian di sekolah tadi. Eva
menemukan aku penuh darah. Mereka menanyaiku apa yang terjadi,
berkali-kali, berkali-kali! Mengerikan. Sekarang kalian semua
melototiku seperti itu. Rupanya kalian juga mencurigai aku!"
"Dengar, kita semua bingung dan ketakutan," kata Keith.
"Aku juga!" Leslie berkeras. "Tapi aku bukan pembunuh. Tak
seorang pun di antara kita ini yang jadi pembunuh. Kita ini anak-anak
yang normal. Siapa yang melakukan ini?"
Telepon berdering nyaring. Semua terlompat kaget.
Eva turun dari kursinya. Pasti dari Mom, pikirnya sambil
menyeberangi ruangan untuk mengangkat telepon. Mungkin Mom
menelepon dan mengatakan sudah siap pulang. Untung Mom tidak
ada waktu kami sampai di sini tadi.
Mom pasti kaget dan bingung kalau mendengar apa yang
menimpa Sandy. "Halo?" kata Eva.
Hening. Kemudian sebuah suara bernada rendah dan parau terdengar


Fear Street Siapa Pembunuh Ratu Pesta Tahunan Who Kill The Homecoming Queen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dari seberang sana. Suara yang sama yang didengar Eva di rumah
Cherise. "Giliranmu berikutnya," bisik suara itu.
"Apa?" Eva menggenggam telepon itu erat sekali sampai bukubuku jarinya memutih. "Siapa ini? Apa yang kau..."
"Giliranmu berikutnya," suara itu menyela. "Pertama Tania.
Kemudian Sandy." Hening sesaat. Eva menunggu, jantungnya berdegup kencang.
"Setelah ini, kau," suara itu berbisik.
BAB 22 "AKU sebenarnya malas sekali melakukan ini," kata Eva esok
sorenya. "Ayolah, Eva," Keith memanggul camcorder di pundaknya dan
memandang kawannya itu dengan pandangan memohon. "Ini takkan
lama." Eva menyibakkan rambut dari wajahnya dan memandang ke
deretan bangku paling atas di stadion football. "Rambutku tidak
kukepang. Angin akan mengusutkan rambutku."
Keith memutar-mutar bola matanya. "Jangan kuatirkan
penampilanmu. Rekaman ini dirancang sebagai video spontan tentang
kawan-kawanku, ingat? Kau tak perlu bergaya seperti model, tahu."
"Sebenarnya aku harus ngapain, sih?"
"Hanya bicara di depan kamera," kata Keith. Dia berbalik lalu
menaiki undakan. "Atau kau dan Cherise mengobrol. Dia juga akan
datang, ingat?" "Tapi, kenapa kita harus berada di luar ruangan?" tanya Eva.
"Kenapa tidak di dalam ruangan yang hangat?"
Keith menggeleng. "Semua rekaman video lainnya dibuat di
sini?Jeremy, Tania, dan Sandy. Aku ingin semuanya disyuting di
tempat yang sama." Keith sampai ke deretan bangku paling atas.
"Kecuali itu, aku menyuruh Cherise menemui kita di sini,"
tambahnya. "Ayolah!"
Eva menyusul dengan enggan. Dia sungguh tidak ingin berdiri
dan bicara di depan kamera, tetapi dia sudah berjanji pada Keith.
"Apa yang harus kami bicarakan?" tanyanya.
"Apa saja," jawab Keith sambil menoleh ke belakang. "Apa saja
yang terlintas di pikiranmu."
Tania dan Sandy, pikir Eva. Itu yang ada di pikiran semua
orang. Tania dan Sandy... dan ancaman telepon yang mengerikan
kemarin itu. Giliranmu berikutnya. Eva menggigil lalu lari menaiki beberapa undakan, bergabung
dengan Keith di deretan bangku paling atas. Sementara Keith
memeriksa kamera, dia merogoh kantong celana jeans-nya, mencari
karet gelang. Tak ada. Hanya serat-serat kain yang lepas.
"Aku sebel sekali!" teriaknya sambil menyibakkan rambut yang
menutupi matanya. Keith memandangnya sekilas. "Lagi-lagi rambutmu."
"Sialan!" Eva berlutut lalu mengaduk-aduk tas bukunya. "Ini
bukan gara-gara rambutku. Aku bingung memikirkan semua kejadian
ini. Aku tak bisa berhenti memikirkannya!"
Dengan hati-hati Keith meletakkan kamera itu ke bangku. "Aku
mengerti maksudmu. Ancaman telepon itu benar-benar membuatmu
takut." "Aku takut setengah mati," Eva mengakui. Dia terus mengadukaduk tasnya sampai menemukan sebuah karet gelang di dasar tasnya.
"Suara itu?semalaman terngiang-ngiang terus di telingaku."
"Andai saja aku juga bisa mendengarnya," kata Keith.
"Kau takkan bisa mengenalinya," Eva menukas. "Suara itu
seram dan parau. Bukan suara orang yang kita kenal." Dia
mencengkam rambutnya lalu mengikatnya dengan karet gelang.
"Seseorang berniat membunuh kita semua. Tapi kenapa? Apa salah
kita?" Keith menggeleng. "Aku tidak tahu. Aku sama bingungnya
dengan orang-orang lain. Sedikit pun kita tak punya petunjuk tentang
masalah ini. Itulah yang paling mengerikan."
Eva mengambil napas panjang. "Itu sebabnya aku merasa tidak
enak mengerjakan proyek video ini?karena aku cemas dan bingung.
Bukan karena rambutku."
"Tapi kau tetap akan mengerjakannya, ya kan?" tanya Keith.
Eva mengangguk. "Bagus." Keith mengambil camcorder lalu mengintip lewat
lensanya. "Senyumlah?aku akan membuatmu menjadi bintang."
Aku tak ingin jadi bintang, batin Eva.
Aku hanya ingin selamat. Aku ingin semua orang selamat.
Tapi dipaksanya dirinya tersenyum. Keith hanya ingin
membuatku gembira, katanya dalam hati.
"Oke... siap?" seru Keith.
"Tunggu sebentar." Eva memandang berkeliling. "Kau bilang
tadi Cherise akan datang."
"Hmm... rupanya dia terlambat." Keith mengangkat bahu. "Aku
akan mengambil gambar dia lain kali. Sekarang?bicaralah."
Eva memutar-mutar bola matanya. "Oke. Hai, Keith." Dia
menjulurkan lidahnya dan melambai ke kamera. "Bagaimana?
Cukup?" "Kau mau bercanda terus, ya?" tanya Keith, agak kesal.
"Oke, bercandanya cukup. Aku janji." Eva mengambil napas
dalam-dalam. "Hai. Aku Eva Whelan."
"Tunggu," sela Keith. "Tolong mundur sedikit. Bersandarlah
pada birai pembatas deretan bangku. Gayamu tadi kaku sekali."
Eva mundur dua langkah lalu meletakkan tangannya pada birai
kayu itu. "Sempurna," kata Keith. "Bersandarlah. Cobalah bersikap
santai." Eva bersandar ke belakang, membebankan hampir seluruh berat
badannya pada birai itu. Tiba-tiba terdengar bunyi kertak keras membelah udara.
Eva menjerit tertahan. Dia merasa dirinya terjengkang ketika
birai itu patah karena tak bisa menahan berat badannya.
"Tolong! Keith!"
Terlambat. Dia mulai jatuh.
Dari sudut matanya, Eva melihat tanah jauh di bawah sana.
Sekarang benar-benar giliranku, katanya dalam hati.
Giliranku untuk mati! BAB 23 "KEITH!" Eva menjerit. "Keith!"
Eva memutar badannya ke samping lalu meraih undakan
deretan bangku dengan satu tangan. Dia bergantung pada satu
tangannya, kakinya terayun-ayun di udara.
Jari-jarinya nyaris lepas dari pegangan. Dia menjerit lagi.
Kemudian Keith meraih pergelangan tangannya, menjepitnya
erat-erat seperti tang. Eva mengayunkan tangannya yang satunya pada pemuda itu.
Keith menangkapnya. "Jangan biarkan aku jatuh!" jeritnya. "Tolong!"
Keith menariknya ke atas, matanya nyaris terpejam karena dia
mengerahkan segenap tenaganya.
Rasa nyeri menusuk-nusuk lengan Eva. Lengan itu seperti
sudah lepas dari sendinya.
"Ayunkan kakimu ke atas!" kata Keith parau sambil terus
menarik dengan sekuat tenaga. Wajahnya memerah. "Ayunkan
kakimu ke atas!" Dada Eva membentur pinggiran deretan bangku. Dia
mengayunkan kakinya dan mencoba mengaitkan jari-jari kakinya ke
pinggiran itu. Tapi sepatu ketsnya licin.
Dia menekuk lututnya dan merasa bagaimana lututnya tergores
pada semen yang kasar. Keith menariknya semakin keras, napasnya
terengah-engah. Akhirnya Eva berhasil naik ke lantai deretan bangku.
Dia tengkurap di lantai semen yang keras, merasa lega sekali.
Keith jatuh terduduk, napasnya memburu.
Akhirnya Eva memaksa dirinya duduk. "Terima kasih," katanya
dengan suara gemetar. "Terima kasih, Keith."
"Sama-sama." Kepala Keith terkulai, dia masih berusaha
meredakan napasnya yang memburu. "Apa sebenarnya yang terjadi?
Aku mendengar bunyi berkertak tadi."
"Birai itu patah."
Keith menggeleng. "Bagaimana itu bisa terjadi? Birai itu masih
baru. Mereka baru memasangnya musim semi kemarin, ingat?"
Eva berpaling memandang birai yang patah itu. Patahnya di
tengah, tapi tidak sampai putus sempurna.
Patahannya kelihatannya tidak asal-asalan. Patahan itu kelihatan
rapi. Mereka berdiri lalu mendekat memeriksa birai itu.
"Ini tidak patah." Keith mengusapkan jarinya pada salah satu
ujung kayu itu, kemudian menatap Eva. "Ini tidak patah dengan
sendirinya. Seseorang menggergaji birai ini."
Arus dingin mengalir di punggung Eva. Dia terbelalak
memandang birai itu. Seseorang berusaha membunuhku, batinnya.
Dan orang itu nyaris berhasil.
"Ayo," suara Keith terdengar aneh karena ketakutan. "Kita pergi
dari sini." Dia mengambil camcorder-nya lalu menuruni undakan.
Eva mengikutinya, masih gemetaran.
Giliranmu berikutnya, begitu kata suara itu.
Pertama Tania. Lalu Sandy. Setelah itu kau.
Benarkah aku berada dalam daftar berikutnya?
Apakah orang itu akan mencoba lagi?
Ketika mereka sampai di tanah, Keith berbalik memandangnya.
"Kau sungguh tidak apa-apa?"
"Tidak. Kau bagaimana?" tanya Eva. "Maksudku, tanganmu
pasti tambah panjang lima inci."
Keith tersenyum, tapi wajahnya serius. "Aku tidak apa-apa."
"Bagus. Aku tadi bohong," Eva mengaku. "Aku merasa tidak
enak. Aku sangat takut."
"Apa sebaiknya kejadian ini kita laporkan ke polisi?"
"Boleh juga." Eva mendesah. "Tapi, bagaimana kalau mereka
tetap menganggap ini semua hanya lelucon?"
"Tunggu sampai mereka lihat sendiri birai itu," kata Keith.
"Mereka akan percaya. Kalau mereka lihat birai itu digergaji, mereka
akan tahu bahwa masalah ini serius. Kecuali itu, setelah Sandy
dibunuh mereka seharusnya tahu bahwa ini semua bukan lelucon."
Eva mengangguk sambil menelan ludah dengan gugup. Ini
memang serius, pikirnya. Leherku nyaris patah.
Bisa saja aku mati tadi. Seharusnya aku mati. Eva bergidik. Dia memandang ke atas lagi, ke deretan bangku
paling atas. Seseorang berdiri di sana, tidak jauh dari birai yang patah itu.
"Tidak! Aku tidak percaya!" Eva menjerit. "Kau di sini?"
BAB 24 "TANIA?" teriak Eva. "Tania!"
Sosok itu berbalik, rambutnya yang lurus diburai-burai angin.
"Memang dia!" teriak Keith. "Hei, Tania!"
Tania mengangkat tangannya dan melambai pada mereka,
kemudian berlari menuruni undakan.
Eva tak sabar menunggu Tania menuruni semua undakan. Dia
berlari menaiki undakan dan menemui kawannya di deretan bangku
tengah. Keith menyusul rapat di belakangnya.
"Kau masih hidup!" teriaknya sambil memeluk Tania. "Aku
senang sekali melihatmu. Aku tak percaya! Kau masih hidup!"
Keith memeluk kedua gadis itu. "Ini benar-benar ajaib,"
katanya. "Semua orang sudah gila di sini. Apa yang terjadi
denganmu?" Tania memeluk kawannya beberapa saat lagi, kemudian
melepasnya. Air mata mengalir membasahi pipinya.
"Aku... aku baru saja mendengar kabar mengerikan tentang
Sandy. Jadi aku pulang."
"Tapi ke mana saja kau?" tanya Eva tak sabar. "Teganya kau
menghilang begitu saja tanpa pamit pada siapa pun. Apa yang
terjadi?" Tania mengusap matanya. Kemudian dia bersedekap dan
memandang kedua kawannya. "Ini semua hanya lelucon," dia
mengaku. "Apa?" Eva tak percaya apa yang didengarnya. "Kau serius?"
Tania mengangguk. "Wah," gumam Keith. "Lelucon, Tania. Kami sama sekali tidak
menganggap itu lucu."
Eva merasa amarahnya nyaris meledak. "Tega benar kau
membuat lelucon seperti ini!" teriaknya pada Tania. "Memuakkan!
Kami semua mengira kau sudah mati! Sadarkah kau, betapa sedihnya
kami semua?" "Itu tidak lucu!" ulang Keith.
"Memang, tapi apa yang kalian lakukan padaku juga tidak
lucu," balas Tania dengan sengit.
"Hah?" dengus Keith, mulutnya ternganga. "Apa yang kami
lakukan padamu?" "Kalian mempermainkan aku," kata Tania. "Kalian semua.
Kalian semua tahu Sandy ada main dengan Cherise."
Oh, tidak, batin Eva. Sekarang aku mengerti. Dia mengira kami
merahasiakan itu darinya.
"Kalian semua sudah tahu," ulang Tania.
"Tapi tak seorang pun memberitahu aku." Matanya memelototi
Eva. "Bahkan kau pun tidak, Eva. Kau sahabatku, huh! Aku sangat
marah dan sakit hati. Aku memutuskan untuk membalasmu."
"Tapi..." Eva tiba-tiba ingat sesuatu. "Tania? kau yang
membuat ancaman telepon itu?"
"Ya. Aku sakit hati sekali. Aku benar-benar ingin membalas
dendam." Tania memasukkan tangannya ke dalam kantong jaket
kuningnya dan mengerutkan bahu menahan dingin. "Maksudku, kalian
semua membuatku tampak seperti gadis tolol. Dengan sengaja dan di
depan semua orang!" Eva melirik Keith. Dia tampak salah tingkah, pikirnya. Sudah
berapa lama dia tahu tentang Sandy dan Cherise?
"Tania, kami tidak bermaksud membuatmu merasa seperti gadis
tolol," kata Keith. "Mungkin tidak, tapi itulah yang terjadi," Tania berkeras.
"Semua orang tahu, kecuali aku. Aku benar-benar merasa seperti
idiot!" "Itu bukan alasan untuk membuat lelucon kotor itu," bentak
Eva. "Lagi pula, aku sudah berniat memberitahu kau."
"Hmm, kau menunggu terlalu lama," tukas Tania dengan pahit.
"Waktu Jeremy memberi tahu aku bahwa Sandy ada main dengan
Cherise, aku tak percaya. Begitu aku berhenti menangis, aku jadi


Fear Street Siapa Pembunuh Ratu Pesta Tahunan Who Kill The Homecoming Queen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

marah sekali. Ketika itulah aku memutuskan untuk membuat
perhitungan." "Di mana saja kau selama ini?" tanya Eva. "Maksudku, selama
ini kau sembunyi di rumahmu?"
Tania menggeleng. "Tadinya rencanaku begitu. Tapi Jeremy
punya ide lebih bagus. Dia yang merencanakan ini semua. Sandy
ikutan pada bagian pertama?adegan pencekikan itu. Tapi dia tidak
tahu bahwa aku akan menghilang. Aku menginap di rumah sepupuku
di Waynesbridge. Aku bilang pada orangtuaku bahwa mereka tak
perlu kuatir, dan mereka memberitahu polisi bahwa aku aman-aman
saja." "Jadi, itu sebabnya polisi menghentikan penyelidikan," kata
Keith. "Pantas mereka menganggap ini semua hanya lelucon. Dan
memang begitu, kan?"
"Ini lelucon yang mengerikan dan memuakkan, Tania!" kata
Eva marah. "Teganya kau berbuat begitu pada kami. Teganya kau
membuat kami bingung dan cemas setengah mati hanya karena
pacarmu mengkhianatimu?"
"Bukan salahku!" teriak Tania. "Aku sangat marah dan sakit
hati. Dan aku ingin menyakiti dan membuat orang lain bingung,
terutama Sandy. Aku ingin kalian merasa seperti orang tolol, seperti
yang aku rasakan!" Eva menunduk, mengambil napas dalam-dalam. Dia memang
merasa seperti orang tolol. Dia juga masih sakit hati dan marah. Tapi,
dendam Tania sudah terbalas.
Setidak-tidaknya Tania masih hidup, kata Eva dalam hati.
"Sampai kapan rencananya lelucon ini akan dimainkan?" tanya
Keith. "Hanya satu-dua hari lagi," kata Tania. "Tapi kemudian aku
mendengar kabar tentang Sandy." Matanya berkaca-kaca lagi.
"Sungguh mengerikan. Aku benar-benar mencintainya. Meskipun dia
pengecut dan pengkhianat," tambahnya.
Eva memeluk kawannya. Ketika itulah, firasat buruk
merasukinya lagi. "Katamu ini semua rencana Jeremy?" tanyanya.
Tania mengangguk sambil mengeluarkan tisu dari saku
jaketnya. "Semuanya?" Tania mengangguk lagi sambil mengusap matanya.
"Mana dia sekarang?" tanya Eva tak sabar. Kenapa dia tid?"
Kata-katanya terputus ketika firasatnya semakin kuat.
Ada yang tidak beres. Sangat tidak beres.
"Eva?" Tania bertanya. "Kau kenapa?"
"Sesuatu sedang terjadi," gumam Eva.
Seseorang dalam bahaya. Begitu kata-kata itu terlintas di pikirannya, dia langsung tahu
firasatnya benar. Kali ini bukan hanya perasaan tidak enak atau firasat,
batinnya. Aku bisa merasakan bahwa seseorang dalam bahaya.
Tapi siapa? Eva menggigil. Dia memandang sekelilingnya, kemudian ke
atas, ke deretan bangku-bangku. Ketika pandangannya berhenti pada
birai yang patah itu, dia terpaku.
Cherise, pikirnya. Cherise seharusnya ada di sini sejam yang lalu. Gadis itu sudah
berjanji pada Keith. Dan Cherise takkan melewatkan kesempatan untuk bergaya di
depan kamera. Mana dia? "Eva?" ulang Tania. "Katakan. Ada apa? Kenapa kau
memandang ke atas sana?"
Eva mengalihkan pandangnya dari birai itu. "Cherise dalam
bahaya," katanya. "Apa maksudmu?" tanya Keith. "Bahaya apa?"
"Aku tidak tahu!" tukas Eva keras. "Tapi aku bisa
merasakannya. Firasatku sangat kuat. Aku tak bisa menjelaskannya,
tapi aku tahu ini benar. Pokoknya aku tahu!" Dia berbalik lalu
menuruni undakan. Cepat cari telepon, katanya pada diri sendiri. Telepon Cherise.
Cepat! Eva melompati dua undakan terakhir lalu mendarat di lapangan
football. Dia lari menyeberangi lapangan ke arah gedung sekolah.
Keith dan Tania mengikutinya.
Di dalam gedung, di telepon umum dekat aula olahraga, dia
merogoh tasnya mencari uang receh lalu memasukkannya ke slot. Jarijarinya gemetar. Uang sekeping itu jatuh menggelinding di lantai.
Keith mengambilnya dan memasukkannya ke dalam slot.
Eva menekan beberapa nomor, napasnya memburu. Degup
jantungnya terdengar keras sekali di telinganya, hingga dia nyaris tak
bisa mendengar telepon berdering.
Berdering. Terus berdering. Setelah berdering lima belas kali, Eva membanting telepon ke
tempatnya. "Tidak diangkat."
"Kita pergi ke rumahnya saja," kata Keith. "Ayo. Kita naik
mobilku." Mereka berlari-lari ke lapangan parkir lalu masuk ke mobil
minivan hitam milik Keith. Semua tempat duduknya dilipat, kecuali
tempat duduk pengemudi. Eva dan Tania duduk di selembar karpet
sempit di belakang, di samping kotak-kotak kardus berisi kabel,
mikrofon, dan peralatan video lainnya.
Keith ngebut keluar dari lapangan parkir tanpa memedulikan
garis-garis kejut. Ban mobilnya berdecit-decit ketika dia membelok
tajam ke jalan. Seseorang membunyikan klakson keras-keras.
"Jangan ngebut seperti orang gila!" kata Tania. "Kita takkan
pernah sampai ke sana kalau kau kena tilang."
"Maaf." Keith mengurangi kecepatan sedikit, dan
mencengkeram kemudi dengan gugup. "Eva membuatku seram."
Eva duduk meringkuk dekat kotak-kotak kardus yang
bergoyang-goyang, jari-jarinya menekan telapak tangannya. Cepat!
dia ingin berteriak. Jangan pedulikan kemungkinan ditilang. Yang
penting kita sampai di sana secepatnya.
Beberapa menit kemudian Keith membelokkan mobilnya ke
jalan di depan rumah Cherise. Mobil berhenti mendadak di pinggir
jalan, dan Eva membuka pintunya.
Ketika melompat turun ke trotoar, dia mendengar seseorang
menjerit. Jeritan liar dan ketakutan.
Jeritan seorang gadis, dari dalam rumah Cherise.
BAB 25 "OH, tidak!" Tania menjerit tertahan sambil melompat turun di
samping Eva. "Eva, kau benar!"
Keith melompat cepat keluar dari mobilnya sambil memegangi
camcorder-nya yang berharga dengan satu tangan.
Terdengar jeritan lagi. Melengking membelah udara.
"Waduh," gumam Keith, wajahnya langsung pucat.
"Cepat!" teriak Eva. Dia langsung melesat menyeberangi
halaman rumput, daun-daun kering berkerisik terinjak olehnya.
Ketika mereka bertiga menaiki undakan beranda, terdengar
suara jeritan lagi. Kali ini lebih keras. Lebih penuh ketakutan.
Keith membuka pintu kawat yang berderik-derik, Eva
mendorong pintu depan sampai membuka.
"Tolong!" suara gadis itu melengking nyaring. "Tolong...
tolong!" Suara Cherise. Eva berlari menyusuri selasar lalu menerjang masuk ke ruang
duduk. Keith dan Tania menyusul rapat di belakangnya.
Eva melihat Jeremy berlari menyeberangi karpet, menuju ruang
makan. Ujung sepatu ketsnya tersangkut di karpet. Dia terhuyung ke
samping dan jatuh ke lantai.
Ketika dia berusaha bangkit, Eva mendengar dia berseru
ketakutan. Bunyi sesuatu membuat Eva berpaling. Dia menelan
teriakannya sendiri dan terbelalak.
Cherise meringkuk di lantai di dekat sofa, rambut merahnya
kusut masai, matanya liar dicekam kengerian.
Satu tangannya memegang pisau tukang daging berbilah
panjang. Mulut Eva terbuka, mengeluarkan jeritan ngeri.
"Dia... dia membunuh Sandy!" jerit Cherise. Dia bangkit,
berlutut, masih memegangi pisau itu.
Sesaat jantung Eva berhenti berdetak, kemudian berdegupdegup kencang, seakan hendak melompat keluar dari dadanya.
"Jeremy membunuh Sandy!" jerit Cherise. "Tadi dia mencoba
menusukku! Tapi aku bisa merebut pisaunya!"
Jeremy melompat berdiri, wajahnya panik sekali. "Minggir!"
teriaknya pada mereka. Dia melompati bangku rendah penyangga kaki
lalu berlari ke ruang makan lagi.
"Hentikan dia!" pekik Cherise. "Dialah pembunuhnya!
Hentikan dia! Dia ingin membunuh kita!"
Eva terpaku. Tak kuasa bergerak.
Keith berdiri membeku, jari-jarinya gugup mencengkeram
camcorder. "Jeremy!" Tania menangis sambil mengejarnya. "Jeremy...
kenapa? Kenapa kaulakukan ini?" ebukulawas.blogspot.com
BAB 26 "MINGGIR!" Jeremy memperingatkan.
Sambil menjerit Tania melompat ke arah Jeremy?dan
mencoba mencengkeram jaketnya. Tapi, dia menabrak punggung
Jeremy dan membuat pemuda itu kehilangan keseimbangan.
Jeremy terdorong ke depan, lalu jatuh tersungkur.
Suara berderak yang mengerikan menggema di dalam ruangan
itu ketika kepalanya membentur pinggiran sebuah meja rendah.
Dia mengerang sekali, kemudian diam tak bergerak.
"Jeremy?" Tania menjerit tertahan. Dia mengguncang-guncang
bahu pemuda itu dan mengamati wajahnya. "Dia pingsan."
"Untunglah!" teriak Cherise.
Eva menolong Cherise duduk di sofa. Keith berdiri di dekat
situ, wajahnya membeku. Tania tetap berjongkok di dekat Jeremy,
satu tangannya memegangi bahu pemuda itu.
"Cherise, apa yang terjadi?" tanya Eva.
Cherise mengambil napas panjang sambil gemetaran. Dia masih
memegangi pisau itu. Sambil bicara dia menatap pisau di tangannya
dengan ngeri. "Dia mencoba menusukku," katanya. "Dia bilang akan
membunuhku!" "Tapi kenapa?" tanya Tania dengan keras. "Kenapa Jeremy
ingin membunuhmu?" Cherise berpaling dan memandang Tania lekat-lekat. "Demi
kau, Tania. Dia ingin membalas dendam untukmu?dengan
membunuh Sandy dan aku."
Mata Tania berkaca-kaca. "Dia bilang, kau adalah keluarga pertama yang pernah
dimilikinya," lanjut Cherise. "Dia bilang dia tak tahan melihatmu sakit
hati." Tania mengejap-ngejapkan matanya. Air matanya menetes,
mengalir membasahi pipinya.
Eva memandangi Jeremy. Dia ingat, Jeremy pernah bilang punya masalah di sekolahnya
yang dulu. Tapi dia tidak bilang apa masalahnya. Dia tak ingin bicara
tentang itu. Katanya itu semua sudah lewat. Sudah tamat.
Masalah apa? Eva menduga-duga. Pembunuhan?
Apakah Jeremy pernah membunuh?
Tidak mungkin. Kalau pernah, dia pasti dipenjara.
Kecuali kalau dia bisa kabur dari penjara, entah dengan cara
bagaimana. Eva terlompat ketika Cherise menyentuh lengannya. "Dia
bilang dia juga akan membunuhmu, Eva."
"Aku?" tiba-tiba Eva merasa pening. "Kenapa dia ingin
membunuh aku? Aku kan sahabat Tania. Dia tahu itu!"
"Memang. Tapi dia tidak suka itu," kata Cherise. "Katanya,
Tania terlalu banyak menghabiskan waktu denganmu. Dia cemburu
padamu, Eva." "Tapi..." "Sudah kubilang apa katanya tentang keluarga," Cherise
mengingatkannya. "Jeremy ingin Tania, ibu tirinya, dan ayahnya
untuk dia sendiri. Dia tak ingin ada orang lain di antara mereka,
bahkan tidak juga kau, Eva. Dia benar-benar gila."
Eva menggeleng-geleng, shock.
"Itu sebabnya dia menggergaji birai deretan bangku itu,"
tambah Cherise. "Untuk menyingkirkan kau. Untung kau tidak jatuh!"
Eva tak dapat mengalihkan matanya dari Jeremy. Dia ingin
membunuhku, pikirnya ngeri. Pemuda yang membuatku tergila-gila
ingin membunuhku! Ini tidak mungkin terjadi. Tidak mungkin!
Cherise mencengkeram lengan Eva lagi. "Kita harus memanggil
polisi!" "Tidak." Tania mengusap matanya. "Maksudku, dia saudaraku!
Selain itu..." "Kita harus memanggil polisi!" Cherise berkeras. "Kalian tidak
mendengarkan omonganku, ya? Dia membunuh Sandy dan mencoba
membunuh aku dan Eva!"
Tania duduk lagi. "Ini tidak masuk akal," gumamnya sambil
memandang Jeremy. "Bagaimana mungkin dia bisa jadi pembunuh?"
Ruangan itu terasa hangat, tetapi Eva malah menggigil seakan
kedinginan. Kata-kata Cherise berkelebatan dalam pikirannya. Jeremy
gila. Jeremy menggergaji birai itu.
Dia ingin menyingkirkan kau.
Dia pembunuh. Benarkah? pikir Eva putus asa. Benarkah itu semua?
"Semakin cepat kita menghubungi polisi, semakin cepat kita
aman," kata Cherise. "Keith, tolong...," tiba-tiba kata-katanya terputus
ketika erangan bernada rendah menggema di ruangan itu.
Jeremy. Jeremy mengerang lagi. Jari-jarinya menekuk. Satu kakinya
bergerak-gerak. Tetapi matanya tetap terpejam.
"Panggil polisi!" Cherise berbisik dengan nada mendesak.
"Cepat?sebelum dia sadar!"
Jeremy mengerang lagi, kali ini lebih keras. Tangannya
mengepal, pelupuk matanya bergetar. "Minggir," gumamnya. "Aku
harus..." Jari-jari Cherise menekan lengan Eva kuat-kuat. "Tolong..."
Tiba-tiba mata Jeremy membuka. Sambil berguling dia
menyangga badannya dengan satu tangan dan memelototi Cherise.
Cherise menyingkir ke pinggir sofa.
"Jangan!" tiba-tiba Jeremy berteriak.
Cherise beranjak hendak berdiri, tetapi kakinya tersangkut kaki
Eva. Dia jatuh kembali ke sofa sambil menjerit tertahan.
"Hentikan dia!" teriak Jeremy. "Jangan sampai dia kabur!"
Dia berusaha bangkit, dengan terhuyung-huyung. Kemudian dia
menuding Cherise. "Dia membunuh Sandy!"


Fear Street Siapa Pembunuh Ratu Pesta Tahunan Who Kill The Homecoming Queen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

BAB 27 "DIA gila!" teriak Cherise.
"Dia membunuh Sandy," ulang Jeremy sambil mengusap-usap
samping kepalanya. "Dialah pembunuhnya!"
Tania terbelalak memandang Jeremy, shock.
Keith mundur ke pintu, masih memegangi camcorder.
Pelan-pelan Eva berdiri. Matanya beralih memandang Jeremy
dari Cherise berganti-ganti.
Cherise tetap duduk di sofa, wajahnya memerah.
Memar merah terang muncul di kening Jeremy. Tetapi matanya
jernih dan menatap Cherise lekat-lekat.
"Dia gila!" ulang Cherise. Suaranya bergetar ketakutan. "Jangan
dengarkan dia! Dia tak bicara apa-apa padaku. Dia langsung masuk
rumahku tanpa permisi sambil mengacung-acungkan sebilah pisau.
Pisau ini! Aku mencoba bicara dengannya, menanyainya apa
maksudnya, tapi dia tidak bicara apa-apa. Dia langsung
menyerangku!" Jeremy hendak bicara, tetapi Cherise langsung menukas. "Dia
menerjang masuk ke sini seperti monster," katanya. "Lalu tiba-tiba dia
berteriak, 'Ini demi Tania!' dan mencoba menusukku."
"Bohong!" teriak Jeremy. "Pisau itu bukan punyaku?itu punya
dia!" "Ngawur!" jerit Cherise. "Tania, cepat telepon polisi!"
"Lakukan, Tania," kata Jeremy menyetujui. "Panggil polisi."
Tania memandang Jeremy, seperti memandang orang gila.
"Jangan kuatir," Jeremy menenangkannya. "Aku akan
melaporkan apa sebenarnya yang terjadi. Akan kuceritakan kepada
kalian semua. Kalian tidak ingin tahu kebenarannya?"
"Jangan dengarkan dia," Cherise memohon. "Oh, kita harus
mengusir dia dari sini. Aku takut!"
"Takut apa?" tukas Jeremy. "Kau kan pegang pisau."
"Aku takkan melepaskan pisau ini," jerit Cherise. "Tidak akan,
kalau kau masih di sini."
Jeremy berpaling kepada Eva dan yang lainnya. "Cherise
menelepon aku dan menyuruhku datang ke sini," katanya pada
mereka. "Beberapa detik setelah aku sampai di sini, dia melihat kalian
keluar dari mobil Keith. Dia langsung menjerit-jerit."
"Karena kau akan membunuhku," tukas Cherise marah.
Jeremy tidak memedulikannya. "Aku tidak tahu apa yang
terjadi," dia melanjutkan. "Kemudian dia menjerit lagi dan mengambil
pisau itu dari meja kopi. Aku kaget dan tak tahu harus berbuat apa."
Cherise menggeleng-geleng frustrasi. "Itu tidak benar. Tidak
benar! Tunggu apa lagi, Tania? Kau ingin kita semua mati?"
"Kalian tidak ingin tahu apa yang terjadi selanjutnya?" tanya
Jeremy. "Dia menjatuhkan diri ke lantai lalu menjerit-jerit lagi. Dia
berakting dengan pisau itu, pura-pura ketakutan. Tapi aku aman di
seberang ruangan! Kalian tidak mengerti? Dia mencoba membuatnya
sedemikian seakan-akan aku mencoba membunuhnya!"
Jeremy menyisir rambutnya dengan jari-jarinya dan meringis
ketika tangannya menyentuh memar di dahinya. "Ketika itulah aku
akhirnya sadar dan lari menghindar. Tadinya aku tidak melihat kalian,
tapi waktu kalian masuk, aku langsung menyuruh kalian menyingkir."
"Bohong! Bohong!" Cherise melangkah mundur, menabrak
meja kopi dan terduduk dengan keras. "Oh! Jangan percaya
omongannya. Dia bohong!"
Ketika Cherise hendak berdiri, Eva mundur menjauhinya.
"Tidak. Tunggu."
Cherise langsung berpaling kepada Eva. Mata birunya
terbelalak kaget. "Jeremy mengatakan yang sebenarnya," kata Eva.
"Cherise, aku tahu kau bohong."
BAB 28 CHERISE berdiri, kepalanya bergoyang-goyang cepat. "Tidak!
Kenapa kau bilang begitu, Eva? Dia memfitnahku. Bagaimana
mungkin kau..." Dia berhenti. "Tunggu. Apakah ini gara-gara firasat konyolmu
itu?" "Firasat Eva tidak konyol," kata Tania. "Itu yang membuat kami
cepat-cepat kemari tadi. Eva tahu ada sesuatu yang tidak beres. Dia
bisa merasakannya, dan dia benar."
Cherise memutar-mutar bola matanya. "Oh, dengarkan! Aku tak
percaya firasat sampah seperti itu. Orang lain pun takkan percaya."
"Tak jadi soal," kata Eva. "Aku tidak harus jadi paranormal
untuk tahu bahwa kau bohong, Cherise."
Mata Cherise menyipit. "Apa artinya itu?"
"Tania sudah cerita pada kami bahwa Jeremy punya ide
menyuruhnya pura-pura mati," Eva menjelaskan. "Itu rencananya
untuk membalaskan dendam Tania?dengan mengarang lelucon
mengerikan dan mempermainkan kita."
"Jadi?" tanya Cherise.
"Jadi Jeremy takkan membunuh Sandy," Eva melanjutkan. "Dia
tahu bahwa dendam Tania sudah terbalas."
"Hei, itu benar," komentar Keith. "Sandy kacau sekali karena
mencemaskan Tania." Cherise menggigit bibir. "Tapi?kalau itu bukan ide Jeremy,
kenapa Jeremy datang ke sini dan mencoba membunuhku?"
"Aku tidak mencoba membunuhmu," tukas Jeremy tidak sabar.
Eva mengangguk. "Benar?dia tidak mencoba membunuhmu."
"Bagaimana kau tahu?" tanya Cherise berkeras.
"Kau bilang Jeremy tidak bicara apa-apa padamu? Dia langsung
masuk dan menyerangmu, kan?" tanya Eva.
"Ya!" teriak Cherise. "Itu benar."
Eva menatapnya dengan tajam. "Tapi sebelumnya kau bilang
pada kami bahwa Jeremy bilang dia juga akan membunuhku. Lagi
pula, bagaimana kau bisa tahu tentang birai itu?" tanyanya. "Kau tadi
bilang ikut sedih karena kejadian birai patah itu. Tapi bagaimana kau
bisa tahu tentang itu?"
"Apa?" wajah Cherise terbengong sesaat, kemudian menjadi
merah padam. "Bi... birai itu?" dia tergagap.
"Birai apa?" tanya Jeremy kebingungan.
"Nah!" kata Eva pada Cherise. "Jeremy bahkan tidak tahu
tentang birai yang patah itu. Jadi, satu-satunya cara sampai kau bisa
tahu adalah karena kau sendiri yang menggergaji birai itu!"
"Waduh," gumam Keith.
Eva terus memandang Cherise dengan tajam. "Kau yang
menggergaji birai itu, ya kan?" tanyanya. "Kau yang melakukannya
dan mengarang-ngarang cerita lainnya!"
Cherise hendak mengatakan sesuatu, tetapi tidak jadi.
"Akui saja, Cherise," desak Eva.
"Ya, akui saja," Tania menegaskan. "Tarik tuduhanmu bahwa
Jeremy ingin membunuhmu!"
"Oke, oke!" teriak Cherise. "Aku memang menggergaji birai
itu." Dia duduk di meja kopi sambil memegangi pisau di
pangkuannya. "Kau puas sekarang, Eva?" tanyanya dengan pahit.
"Kenapa? Kenapa kaulakukan itu!" teriak Eva.
"Oh... jangan pura-pura tidak bersalah!" Cherise mengayunkan
kepalanya sambil melotot memandang mereka bergantian. "Aku benci
kalian semua! Kalian pikir kalian sangat pintar! Awas, jangan bilangbilang sama si tolol Cherise. Kalian memang sok. Kalian selalu
menertawakan aku di balik punggungku. Jangan kira aku tidak
mengerti!" "Mengerti apa?" tanya Jeremy.
"Proyek video Keith yang lainnya?proyek video spontan.
Kalian pura-pura tidak tahu, ya?" desis Cherise sinis.
"Hah?" Tania berkata keras-keras. "Proyek video apa?"
"Kalian semua tahu bahwa Sandy pura-pura pacaran
denganku?hanya untuk syuting video itu," Cherise melanjutkan.
"Kalian semua menghina aku, menertawakan aku?hanya gara-gara
syuting video yang tak bermutu itu."
"Video spontan apa?" tanya Jeremy tak sabar.
Eva berpaling kepada Keith, benar-benar bingung. "Keith? Apa
sih yang dia omongkan?"
Keith mengutak-atik camcorder-nya, tak berani bertatapan
dengan mereka. "Cherise benar," akhirnya dia mengaku. "Sandy dan
aku diam-diam membuat rekaman lain."
"Dan semua orang tahu tentang itu kecuali aku!" jerit Cherise.
"Salah," potong Keith. "Hanya Sandy dan aku yang tahu
tentang itu. Aku menyembunyikan camcorder-nya. Sandy pura-pura
pacaran dengan Cherise. Bukan sungguhan, tapi hanya untuk rekaman
video." Cherise menangis. Keith membuang muka, malu.
"Aku kira Sandy benar-benar mencintaiku," isak Cherise. "Aku
kira dia benar-benar mencintaiku. Tapi itu semua hanya akting. Hanya
akting untuk rekaman video konyol itu!"
Eva merasa tidak enak dan kasihan pada Cherise. "Kau
membunuh Sandy, ya kan?" tanyanya dengan lembut.
Cherise mengangguk, masih menangis. "Aku merasa sangat
terhina. Aku marah sekali! Ya, aku membunuh Sandy. Aku
membunuhnya!" Tania berseru tertahan. Jeremy melingkarkan lengannya
memeluk saudaranya. Eva menjerit. Suaranya bergetar. Sekarang kami tahu, pikirnya.
Sekarang cerita ini sudah tamat.
Cherise mengambil napas panjang dan mengusap air mata dari
wajahnya. "Kemudian, setelah membunuh Sandy, aku memutuskan
untuk membalas dendam pada kalian. Akan kubuat kalian menyesal
karena menertawakan aku. Karena menghancurkan hidupku. Aku
akan membalas dendam pada kalian, satu per satu. Giliranmu
berikutnya, Eva. Waktu Keith bilang kau akan ada di deretan bangku
paling atas hari ini, aku menggergaji birai itu."
Eva bergidik, ingat saat-saat mengerikan ketika tubuhnya hanya
bergantung pada ujung jari-jarinya.
"Berikutnya giliran Leslie. Atau mungkin Keith. Aku belum
memutuskan," Cherise melanjutkan. "Tapi aku perhitungkan aku bisa
mengkambinghitamkan Jeremy dengan mengatakan bahwa dia juga
ingin membunuhku." Dia tertawa pahit. "Aku tidak tahu Jeremy dan Tania yang
mengatur hilangnya Tania. Aku tidak tahu Tania telah memberitahu
kalian bahwa Jeremy terlibat dalam lelucon itu."
Hening beberapa lama. Tak seorang pun bicara.
Kemudian Eva berpaling pada kawan-kawannya. "Kita telepon
polisi sekarang," katanya lirih.
"Apa gunanya?" tanya Cherise. Dia berhenti menangis, matanya
menyorot dingin. "Kau tidak punya bukti bahwa aku membunuh
Sandy." "Kau bercanda, ya?" tanya Jeremy. "Kau sendiri bilang pada
kami." "Lalu? Kenapa orang harus mempercayai kau dan bukan aku?"
tantang Cherise. "Lebih-lebih kalau kau tidak punya cara untuk
membuktikannya. Aku akan mengingkari semuanya. Kita lihat saja,
kata-kataku atau kata-katamu yang akan dipercaya."
Keith berdeham. "Sayangnya kau keliru, Cherise."
Eva berpaling pada pemuda itu, kaget.
"Oh, ya?" tanya Cherise dengan dingin. "Tepatnya, aku keliru
apa, Keith?" Tanpa berkata-kata, Keith mengangkat camcorder-nya dan
mengetukkan jarinya pada alat itu.
Wajah Cherise langsung pucat pasi.
"Nah, sekarang kau mengerti, ya kan?" tanya Keith.
"Camcorder ini kunyalakan sejak tadi. Aku merekam semua
pengakuanmu." Tania mengembuskan napas lega. "Terima kasih, Tuhan!"
Cherise melompat berdiri, membuat setumpukan majalah jatuh
terserak di lantai. "Berikan camcorder itu padaku, Keith!"
"Maaf, Cherise. Tidak." Keith mundur ke arah pintu.
Cherise melompat maju, mendahului dan menghalangi Keith.
"Berikan camcorder itu padaku, Keith!" teriaknya.
Eva maju mendekati gadis itu.
Cherise mengayun-ayunkan pisaunya dengan gerakan
mengancam. Eva berhenti, ketakutan. Cherise berputar menghadap Keith lagi. "Berikan padaku,
Keith." Dia maju mendekati pemuda itu sambil mengacungkan
pisaunya. "Kau tidak akan keluar dari rumah ini dengan membawa
camcorder itu. Aku bersumpah akan membunuhmu!"
Cherise mengangkat pisaunya tinggi-tinggi.
"Cherise!" Tania menjerit.
Jeremy menendang majalah-majalah itu ke samping lalu berlari
menyeberangi ruangan. Eva mengulurkan tangannya, mencoba memegang lengan
Cherise. Terlambat. Sambil menjerit marah, Cherise mengayunkan pisaunya ke dada
Keith. BAB 29 "TIDAAAK!" teriak Jeremy.
Tania dan Eva menjerit. Keith mengangkat camcorder untuk melindungi dirinya.
Pisau itu membentur logam penutup kamera.
Lalu terlepas dari pegangan Cherise. Melayang, mendarat di
karpet. Sambil berteriak marah, Cherise berputar dan melompat hendak
mengambilnya. Eva menendang pisau itu dari tangan Cherise yang nyaris
memegangnya. Pisau itu meluncur di karpet, lewat kolong sebuah kursi, lalu
membentur dinding di seberang ruangan.
Dengan marah, Cherise berbalik kepada Keith lalu meninju
camcorder. Keith memindahkan kamera itu ke tangannya yang satunya,
mengangkatnya tinggi-tinggi agar Cherise tak bisa merebutnya.
"Berikan itu!" teriak Cherise. "Berikan itu padaku!" Gadis itu
menarik tangannya, siap meninju lagi.
Jeremy menangkap pergelangan tangannya, memutar gadis itu
hingga menghadapnya, lalu mencengkeram bahunya. "Hentikan!"
teriaknya keras di wajah Cherise. Diguncang-guncangnya gadis itu
dengan keras. "Sudah selesai, Cherise. Sudah berakhir!"
Cherise melawan sambil menjerit-jerit dan berusaha memukul
Jeremy. Keith meletakkan kameranya dan membantu Jeremy menyeret
Cherise ke sofa. Ketika mereka berhasil memaksanya duduk, gadis itu
langsung bersandar pada bantal-bantal, menangis karena kesal dan
marah. Tapi Cherise tidak mencoba bangkit.
Jeremy dan Keith mundur menjauhi sofa, napas mereka
memburu. Cherise mengangkat kedua kakinya dan membenamkan
wajahnya di balik bantal.


Fear Street Siapa Pembunuh Ratu Pesta Tahunan Who Kill The Homecoming Queen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pelan-pelan Eva mengembuskan napas lega. Cerita ini benarbenar sudah tamat, batinnya. Dia berpaling pada Jeremy.
Dengan napas masih memburu, pemuda itu merentangkan
lengannya. Eva segera mendekatinya dan memeluknya. Tania bergabung.
Kemudian Keith memeluk mereka bertiga.
Mereka berdiri begitu beberapa lama, shock bercampur lega.
Keith yang pertama melepas pelukan. "Sekarang bagaimana?"
tanyanya dengan suara gemetar.
Eva menoleh ke sofa. Cherise masih meringkuk di sana,
wajahnya ditutupi bantal. Dia terisak-isak lirih.
Eva mendesah. "Sekarang kita panggil polisi," jawabnya sedih.
*********** Ketika dua orang polisi datang beberapa menit kemudian,
Cherise berhenti menangis. Dia duduk dengan kaku di sofa,
memandang lurus ke depan, sementara yang lain melaporkan apa yang
terjadi. Kedua polisi itu adalah yang dulu datang ketika Tania
menghilang. Si polwan duduk di kursi di dekat sofa sambil mencatat
di notes kecil. Si polisi laki-laki berdiri di belakang sofa,
mendengarkan. Mereka sudah tahu sebagian cerita ini, pikir Eva. Tapi bukan
bagian yang paling seram. Bukan bagian tentang Sandy.
"Cherise ingin membalas dendam pada kami," kata Eva pada
mereka. Dia duduk di bangku penyangga kaki dekat kursi polwan itu.
"Dia mengira kami suka menertawakannya di balik punggungnya. Dia
menggergaji birai itu agar aku jatuh. Anda bisa memeriksanya. Tapi
sebelum itu...," kata-katanya terputus.
Polwan itu mengangkat wajahnya dari notesnya. "Sebelum itu?"
"Dia membunuh Sandy Bishop," kata Tania.
"Dia juga berniat membunuh Eva dan Keith. Dan
mengkambinghitamkan Jeremy."
Polwan itu memandang Cherise. "Benarkah itu semua yang
terjadi, Cherise?" Cherise mengangkat bahu. "Itu artinya ya atau tidak?" tanya polwan itu.
"Itu artinya ya," Keith menyahut. Dia duduk bersila di dekat
pintu sambil memegangi camcorder. "Cherise mengakui bahwa dia
membunuh Sandy, dan semua kecelakaan lainnya. Kami punya
rekaman pengakuannya."
Kedua polisi itu mengalihkan pandangnya pada Keith.
Keith mengangkat kamera itu. "Semua sudah direkam."
Si polwan memandang kamera sebentar, lalu menoleh lagi
kepada Cherise. "Benarkah itu?" dia bertanya.
Cherise hendak mengangkat bahu lagi, tapi tiba-tiba bahunya
terkulai. Dia mengembuskan napas panjang-panjang.
Akhirnya dia memandang polwan itu. "Ya. Sebaiknya aku
mengaku saja." Dia memandang camcorder itu, mulutnya tersenyum
pahit. "Semua sudah direkam."
Polwan itu selesai menulis lalu menutup notesnya. "Mana
orangtuamu?" tanyanya pada Cherise. "Kami harus menghubungi
mereka. Setelah itu kami akan membawamu ke kantor polisi."
"Mereka sedang ada konvensi bisnis di pusat kota." Sambil
mendesah lagi, Cherise bangkit berdiri. "Nomor teleponnya ada di
pintu kulkas." Waktu si polisi laki-laki mengikuti Cherise ke dapur, si polwan
dengan hati-hati memasukkan pisau itu ke dalam kantong plastik.
Kemudian dia menegakkan badan dan memandang mereka. "Kami
memerlukan pernyataan kalian semua," katanya. "Kami harap kalian
datang ke kantor polisi besok. Kami akan mencatat pernyataan kalian
dan menyuruh kalian menandatanganinya."
Si polisi laki-laki kembali dari dapur bersama Cherise. "Aku
sudah menelepon," polisi laki-laki itu memberitahu rekannya. "Orangtuanya akan menemui kita di sana."
"Bagus. Ayo berangkat." Sambil mengangguk pada Eva dan
kawan-kawannya, polwan itu keluar dari ruang duduk. Rekannya
menyusul, tangannya memegangi lengan Cherise.
Eva memandang gadis itu. Apa yang harus kulakukan?
tanyanya dalam hati. Melambai mengucapkan selamat jalan?
Mendoakan agar dia selamat? Apa yang kalian lakukan bila seseorang
yang kalian kenal baik ternyata seorang pembunuh?
Tetapi sebelum Eva sempat melakukan sesuatu, Cherise sudah
berjalan cepat ke luar lewat pintu.
"Tadi itu mengerikan sekali," gumam Tania gemetaran ketika
mereka mendengar pintu depan dibanting menutup.
Tiba-tiba Keith berdiri. "Polisi itu lupa membawa rekamannya!"
serunya. "Kasetnya masih ada di camcorder."
Keith memegang kameranya erat-erat, lalu berlari cepat keluar
dari ruang duduk dan menyusuri selasar.
Beberapa detik kemudian dia muncul lagi, masih memegangi
camcorder. "Mereka sudah pergi," katanya mengumumkan.
"Tak apa. Kita bisa menyerahkannya pada mereka," kata Eva.
"Tapi sebelumnya, ayo kita lihat dulu."
"Ide yang bagus," Keith setuju. Dia memandang sekelilingnya
dan melihat VCR di rak dinding di atas televisi. Dengan cepat dia
mengeluarkan kaset dari camcorder, memasukkannya ke VCR, lalu
menghidupkan televisi. "Moga-moga saja gambarnya fokus," gumamnya sambil
bergabung dengan kawan-kawannya. "Tadi suasananya mulai gelap.
Tapi aku tak berani melakukan apa pun, takut Cherise berhenti
bicara." "Ssst," potong Tania. "Mulai."
Titik-titik putih tampak di layar televisi.
Speaker berkertak mendengungkan bunyi statis.
Semua menunggu. Tapi titik-titik dan bunyi statis itu tak mau hilang.
Eva dan Keith saling berpandangan. "Heran aku!" teriaknya.
"Camcorder-nya ngadat lagi."END
Robinson Crusoe 1 De Winst Karya Afifah Afra Kehidupan Para Pendekar 1
^