Pencarian

Wajah Baru 1

Ford Supermodels Of The World 06 Wajah Baru High Style Karya Bb Calhoun Bagian 1


"Kau salah seorang dari ketujuh finalis itu, kan?"
Aku mendongak, menatap wanita berambut merah yang berdiri
di hadapanku. "Si, ya," sahutku, cepat-cepat beralih dari bahasa Italia ke
Inggris. "Aku Sue Kern dari USA Magazine," katanya. Ia mengarahkan
tape recorder-nya. "Tidak keberatan kalau aku mewawancaraimu?"
Kulayangkan pandanganku ke seluruh penjuru ruangan yang
penuh dengan peserta Kontes Supermodel Dunia. Acara pengumuman
juara-juara baru saja selesai, dan gadis-gadis dengan dandanan "wah"
itu masih memenuhi Hotel Ocean Plaza di Pulau Luzia, tempat
seluruh kontes berlangsung.
"Certo, tentu," sahutku. Kupandang sekilas fotografer yang
sedang memotret para juara: gadis pirang dari Jerman, gadis jangkung
dari Venezuela, dan gadis Amerika keturunan Afrika yang cantik,
bermata biru kehijauan. "Tapi apa tidak lebih baik kalau Anda
mewawancarai juara-juaranya?"
"Menulis tentang gadis yang tidak jadi ke New York untuk
menjadi model Ford, kupikir adalah topik yang tidak biasa buat
majalahku," ia menjelaskan.
"Ah, si," sahutku. Kontes ini sungguh menyenangkan. Aku bisa
berkenalan dengan banyak teman dari seluruh dunia. Dan aku
mendapat kesempatan memakai gaun-gaun rancangan beberapa
desainer favoritku. Menjadi finalis sangat berarti bagiku, tapi jauh di
lubuk hatiku masih terselip kekecewaan. Ketiga gadis yang berada di
seberang ruangan itu akan segera berangkat ke New York dan
bergabung dengan Ford Models. Diam-diam aku juga berharap bisa
pergi ke sana. Aku bercita-cita menjadi desainer, dan New York
adalah pusat mode dunia. Kupikir cara terbaik untuk menimba
pengalaman adalah dengan menjadi model Ford.
Sesuatu terlintas dalam pikiranku. "Kudengar Eileen Ford
adakalanya mengajak peserta kontes ke New York," kataku. "Gadis
yang tidak menang, tapi yang menurutnya punya potensi untuk
menjadi model." "Sudahkah Eileen membicarakan hal itu denganmu?" tanya Sue.
"Belum." "Oke, siapa namamu dan dari mam asalmu?" tanyanya lagi.
"Pia Giovanni. Dari Roma, Italia. Orangtuaku punya restoran di
sana, namanya Giovanni's." Aku tersenyum sendiri. Hubunganku
dengan keluargaku erat sekali. "Kami tinggal di restoran itu juga, di
lantai atas... aku, orangtuaku, kakekku, dan kakak-kakakku, Leo,
Gino, serta Marco." "Hm," gumam Sue sambil menulis. "Apa tanggapan
keluargamu ketika kau ikut kontes? Mereka pasti bangga ya."
"Yah," jawabku ragu-ragu, "mungkin." Aku teringat
perdebatanku dengan kakak-kakakku sewaktu aku akan ikut kontes,
ketika mereka tahu aku harus mengirimkan fotoku yang berpakaian
renang sebagai salah satu persyaratannya. Mereka berpesan agar aku
tak memberitahu kakekku, dan menyuruhku memakai pakaian renang
yang tertutup! Aku yakin, mereka pasti tidak senang kalau melihat
bikini kuning minim yang akhirnya kupakai di salah satu bagian
kontes ini. Tiba-tiba kulihat Eileen Ford, pemilik Ford Models, menyeruak
di antara kerumunan orang, menuju ke tempatku. Kami berpandangan,
dan ia pun melambai padaku. Jantungku berdetak lebih cepat,
pertanyaan Sue tak tertangkap olehku.
"Scusi, sori, aku tak mendengar pertanyaan Anda," kataku,
mataku terus tertuju pada Eileen.
"Gaunmu," ujar Sue, menunjuk long dress hitam dengan pita
lebar di balm kiriku. "Aku tadi bertanya siapa desainer yang
merancangnya. Aku belum pernah melihat gaun seperti ini."
"Oh, itu karena aku membuatnya sendiri," jawabku. Eileen
semakin mendekat. Sepertinya ia memang sedang menuju ke
tempatku. "Kaubuat sendiri?" tanya Sue. "Hebat. Gaun ini indah sekali.
Apakah kau sering membuat gaun sendiri?"
Sebelum aku sempat mertjawab, Eileen sudah menghampiriku,
lalu melingkarkan lengannya di bahuku. "Wah, Sue, nalurimu
memang tajam," katanya pada wartawan itu. "Seperti biasa kau sudah
menemukan berita sebelum peristiwanya terjadi. Bagaimana kau tahu
aku ingin bicara dengan Pia tentang kepergiannya ke New York?"
"Apa?" seruku gembira. "Maksud Anda untuk menjadi model?"
"Betul," sahut Eileen. "Aku terkesan melihat penampilanmu di
kontes, Pia. Kupikir kau bisa menjadi aset buat Ford."
"Ma che stupendo! Hebat sekali!" seruku, melompat-lompat.
Eileen tersenyum. "Apakah kau tertarik?"
"Tertarik?" aku nyaris berteriak. "Certo! Tentu!" Meskipun aku
harus bekerja keras untuk mendapatkan persetujuan keluargaku,
terutama dari kakak-kakakku yang kelewat sayang padaku, ini
kesempatan emas yang tak boleh kulewatkan. Aku berpaling pada Sue
Kern. "Maaf, aku merusak cerita Anda tentang gadis model yang tidak
jadi ke New York." "Tak apa-apa. Selamat, Pia. Aku yakin kau pasti bisa bekerja
dengan baik," katanya.
"Grazie, terima kasih," sahutku. Hatiku gembira sekali sampai
rasanya akan meledak. 1 "KAU mau pulang denganku, Pia?" tanya Katerina, teman
seapartemenku, ketika kami mengumpulkan buku-buku.
"Grazie, terima kasih, tapi hari ini tidak," sahutku. Kumasukkan
buku matematika ke ranselku yang terbuat dari kulit cokelat. "Aku
harus menemui Jill Murray."
Jill Murray booker-ku di Ford Models, dia yang mengatur
jadwal kerjaku. Orangnya baik sekali, hingga aku hampir-hampir
menganggapnya sebagai teman. Kami sesekali bertemu untuk
mendiskusikan karierku dan memeriksa portfolioku.
"Oh, oke, tak apa," jawab Katerina.
Katerina sangat cantik. Rambutnya cokelat berombak, lembut
bercahaya, dan matanya biru.
Aku kasihan padanya karena ia harus pulang sendirian, tapi aku
yakin ia bisa mengerti. Katerina juga seorang model. Sesungguhnya,
kelima teman seapartemenku?Katerina, Cassandra, Naira, Kerri, dan
Paige?adalah model Ford. Mereka tahu benar bahwa janji dengan Jill
itu penting sekali. Katerina dan aku keluar dari kelas matematika dan menuruni
tangga sekolah kami, Institute for Foreign Students. Katerina selalu
bilang ia ingin sekali bersekolah di High School for Performing
Students, seperti teman-teman seapartemen kami yang lain. Memang
HSPS itu tampaknya menyenangkan, dengan kelas drama, musik, dan
tarinya, tapi aku sendiri lebih menyukai institut ini.
Gedungnya terbuat dari batu bata merah kecokelatan yang indah
dan sudah tua umurnya. Di beberapa kelas bahkan ada tungku
pemanas! Muridnya sedikit, jadi baik murid atau guru saling akrab.
Inilah perbedaannya dengan sekolahku yang besar di Roma. Tapi yang
paling kusukai dari institut ini adalah murid-muridnya yang berasal
dari mancanegara. Bergaul dengan orang-orang dari pelbagai belahan
dunia sangat menyenangkan bagiku.
Di lobi lantai dasar, kami mengambil jaket dari lemari sekolah.
Katerina mengenakan jaket jeans-nya sambil merapikan ekor kudanya.
Aku langsung teringat betapa kusutnya rambutku setelah terusmenerus bergesekan dengan mantelku di musim dingin lalu. Aku ingat
betapa repotnya ibuku mengurusi rambutku ketika aku kecil dulu!
Sejak kecil, rambutku memang selalu panjang. Tapi ketika baru
tiba di New York, seorang fotografer menyarankan agar aku
menggunting rambutku. Jill dan orang-orang Ford Models sependapat
bahwa itu ide yang bagus, tapi bagiku saat pemotongan rambut itu
merupakan pengalaman yang paling mengerikan. Mahkota
kebanggaanku yang selama ini kusayang-sayang, dalam sekejap mata
dipangkas begitu saja. Belakangan baru bisa kuterima bahwa rambut
pendek memang lebih sesuai dengan raut wajahku, penampilanku juga
tampak lebih canggih. Kini aku tak lagi menyesali keputusanku.
Namun aku belum pernah menceritakan kejadian itu pada
keluargaku di Italia. Aku kuatir ibuku akan sangat kecewa kalau ia
tahu aku telah menggunting rambutku. Lagi pula kakak-kakakku
selalu bilang, rambut pendek itu cuma untuk kaum lelaki. Mereka
pasti tidak akan senang, tak peduli bagaimanapun modisnya
penampilanku. Di luar, di tangga depan gedung sekolah, Katerina dan aku
berjumpa dengan Eleni, gadis Yunani sahabat kami. Eleni bertubuh
mungil, rambutnya hitam berombak. Hari ini ia tampak imut-imut
dengan rok wol abu-abu dan blazer biru yang menutupi blus putih
serta celana selututnya yang ketat.
"Ciao, hai, Eleni," sapaku. "Kenapa kau masih di sini?"
Ayah Eleni seorang diplomat penting di Kedutaan Besar
Yunani, dan Eleni setiap hari dijemput sopir yang dengan setia
menunggunya di luar gedung sekolah. Aneh rasanya melihat Eleni
berdiri menunggu di sini.
"Oh, sopirku pasti terjepit kemacetan," keluhnya.
"Eleni, kurasa maksudmu terjebak kemacetan," Katerina
membetulkan ucapan Eleni.
Katerina giat belajar bahasa Inggris. Ia tahu betul istilah
Amerika yang benar. "Ella, kadang-kadang bahasa Inggris itu membingungkan!"
gerutu Eleni. Ia memandang ke jalan dengan wajah khawatir.
"Kuharap tak lama lagi sopirku akan datang."
"Aku akan menemanimu, Eleni," ujarku. "Aku menunggu Carl
untuk sama-sama pergi ke Ford."
"Oh, kau tidak bilang padaku Carl akan menjemputmu," ledek
Katerina. "Ya, ia ada janji dengan Jonathan, booker-nya," jelasku.
Kucoba mengatakannya dengan wajar, tapi kurasa bibirku
tersenyum, seperti biasanya kalau aku sedang memikirkan Carl.
Cowok itu model Ford juga, dan meskipun kami baru beberapa
minggu berpacaran, sepertinya aku sudah lama sekali mengenalnya.
Carl berasal dari Swedia, namun kami memiliki banyak
kesamaan. Bukan saja karena kami sama-sama perantau di negeri
orang dan sama-sama bekerja sebagai model, tapi juga karena latar
belakang keluarga. Kami biasa hidup di lingkungan keluarga besar,
dan selama di New York merasa sangat kehilangan mereka. Dalam hal
ini kami benar-benar senasib.
"Oh, kau beruntung sekali karena dijemput pacarmu sepulang
sekolah, Pia," keluh Eleni. "Aku sih tak mungkin begitu. Kadangkadang aku malah berpikir ayahku akan melarangku berkencan dan
menyuruh sopir mengantarku ke mana-mana sampai aku tua nanti!
Aku iri padamu dan Katerina. Kalian pasti senang hidup tanpa
orangtua yang selalu mengatur!"
"Al contrario! Sebaliknya!" sahutku. "Aku sangat merindukan
keluargaku!" Kemudian aku berpikir lagi. Memang sih ada untungnya
jauh dari keluarga. Terutama menyangkut karierku di bidang
modeling. Paling tidak, dengan tinggal berjauhan begini keluargaku
tak tahu bahwa rambutku digunting, dan kakekku tidak melihat ketika
aku memperagakan pakaian renang dan rok mini. "Yah, ada hal-hal
yang dapat kita lakukan dengan lebih leluasa tanpa keluarga di dekat
kita," akuku. "Lagi pula, Eleni," tegas Katerina, "tinggal di apartemen bukan
berarti kami boleh melakukan apa saja sesuai keinginan kami. Mrs.
Hill punya aturan yang ketat."
Mrs. Hill itu pengawas yang tinggal bersama kami berenam. Ia
baik sekali dan mengurus kami seperti anaknya sendiri. Ia pandai
memasak, tapi sudah pasti tidak sepiawai ayahku yang menangani
sendiri urusan dapur di restoran kami di Roma.
"Katerina betul," tambahku. "Cassandra bilang, aturan di New
York ini malah lebih kaku dibanding aturan di rumahnya di Brasil.
Kami harus selalu melaporkan pada Mrs. Hill ke mana kami akan
pergi, dan ia selalu ingin tahu kami pergi dengan siapa."
Eleni mengikik. "Ayahku pasti menyukainya. Ia pasti suka
kalau ada orang seperti Mrs. Hill yang menjagaku sehari penuh!"
"Aku mengerti," ujarku. "Di rumah, kakak-kakakku selalu
memperlakukanku seperti itu. Tapi itu mungkin karena aku anak
bungsu dan satu-satunya perempuan."
"Besok sore Mrs. Hill akan bertemu Alex," kata Katerina.
"Kami akan pergi nonton, dan Alex akan menjemputku di apartemen."
Katerina tersenyum. "Kurasa ia agak gelisah. Tapi kubilang padanya
jika ia sukses menemui bibiku, ia pasti berhasil menemui siapa pun!"
Alex pacar baru Katerina. Mereka berkenalan di rumah Bibi
Sofia di Brooklyn, New York.
"Katakan padanya tidak usah resah," nasihatku. "Waktu Carl
pertama kali datang, kau tidak ada di rumah karena sedang menjalani
pemotretan. Percaya deh, pertemuan Mrs. Hill dengan Carl berjalan
mulus. Mereka mengobrol hampir sejam! Kalau tidak kutarik tangan
Carl, kami pasti akan menghabiskan sisa waktu kencan kami di kamar
tamu itu!"ebukulawas.blogspot.com
"Hm, kalian masih untung karena boleh berkencan," komentar
Eleni. "Oh, itu mobilku datang. Dah, Pia. Dah, Katerina. Sampai
jumpa hari Senin!" "Ciao!" seruku, ketika ia bergegas-gegas menuruni tangga
menuju ke tepi jalan. Lalu kulihat sosok yang amat kukenal, sedang
berjalan ke arahku. "Oh, itu Carl!" seruku gembira sambil melambailambai.
Carl melihatku dan balas melambai-lambai. Aku berpaling pada
Katerina. "Sampai nanti malam, Katerina. Tolong ingatkan Mrs. Hill
bahwa Carl dan aku akan makan malam bersama setelah pertemuan di
Ford. Beberapa hari yang lalu aku sudah minta izin padanya, tapi
siapa tahu ia tidak sadar."
"Tidak ingat, maksudmu," ralat Katerina. "Baiklah, akan
kusampaikan." Aku berlari menuruni tangga dan bergegas ke jalan untuk
menemui Carl. Seperti biasa, ia kelihatan hebat. Rambutnya yang
pirang berombak tergerai sebahu, dan mata birunya bersinar-sinar. Ia
memakai celana baggy dari korduroi cokelat dengan kaus wol cokelat
berleher tinggi, dan sepatu bot cokelat. Salah satu yang paling kusukai
dari Carl adalah caranya berpakaian. Ia tidak seperti cowok-cowok
Amerika yang sehari-harian hanya mengenakan jeans.
Ketika aku menghampirinya, ia memelukku kuat-kuat. Begitu
kuatnya hingga selama beberapa detik aku terangkat dari tanah.
"Halo, Snask," sapanya, menurunkanku lagi di trotoar.
Aku tertawa. Snask panggilan kesayangan Carl untukku. Itu
kata Swedia yang artinya permen. Carl bilang ia memanggilku begitu
karena aku manis seperti gula-gula. Tentu saja alasan itu membuatku
tersanjung, hanya saja Snask bunyinya begitu lucu sehingga aku selalu
tertawa setiap kali ia menyebutnya.
"Ciao, hai, Carl," sapaku. "Mau berangkat sekarang?"
Ia meletakkan tangannya di pinggul dan mengerutkan dahinya,
berpura-pura serius. "Tidak, sebelum kulihat fashion show-mu,"
jawabnya. "Mundurlah sedikit, biar kulihat."
Aku tersenyum. Carl sudah tahu kebanyakan pakaianku kubuat
sendiri. Karenanya ia amat teliti memperhatikan setiap pakaian yang
kukenakan. Aku mundur selangkah dan berputar sedikit hingga rok sutraku
yang panjang bergaris vertikal cokelat dan krem itu mengembang.
"Biar kutebak," seru Carl, menunjuk ke rok-ku. "Itu pasti


Ford Supermodels Of The World 06 Wajah Baru High Style Karya Bb Calhoun di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rancangan Rudolfo." "Bukan," sahutku. Aku mengikik ketika ia menyebutkan nama
desainer terkenal itu. Carl suka sekali bercanda. Aku yakin ia tahu aku
sendiri yang membuat rok itu.
"Pierre Fouchy?" tebaknya lagi, menyebut nama desainer lain.
"Bukan!" jawabku.
"Hm, kalau begitu siapa ya?"
Aku bertolak pinggang. "Pia Giovanni!" seruku.
"Naturligtvis! Tentu dia!" balasnya. "Pia Giovanni, desainer
muda yang sedang naik daun di New York!" Ia mengepalkan
tangannya dan mengarahkannya padaku, seolah-olah sedang
menyodorkan mikrofon. "Ceritakan pada kami, Ms. Giovanni, model
apa yang akan nge-trend di musim semi nanti? Apakah gaun dari
kantong kertas? Atau barangkali topi dari kap lampu?"
Aku tertawa. "Oh, Carl, kau ini kadang-kadang konyol sekali."
"Atau mungkin... gaya terbalik yang akan disukai?" lanjutnya.
"Celana panjang dipakai di kepala, sementara kemeja dikenakan di
kaki?" "Assolutamente, ya, seperti itulah modenya," sahutku, berpurapura serius. "Sepatu dikenakan di tangan dan sarung tangan akan laku
keras... sebagai pengganti kaus kaki!" Aku meledak tertawa.
Carl menelengkan kepalanya ke belakang, dan kami berdua
tertawa terbahak-bahak sampai sakit perut.
"Kau tahu, Pia," ujar Carl ketika kami sudah tenang kembali.
"Kalau dipikir, fashion itu memang cuma ide-ide gila yang dilontarkan
oleh sekelompok orang. Kelompok yang menyebut dirinya desainer
inilah yang lalu meyakinkan masyarakat bahwa hasil karya mereka
akan menjadi trend."
"Mungkin kau benar," akuku. "Tapi aku suka dunia mode.
Mode selalu berubah, tapi itulah yang menarik." Kuraih tangannya.
"Ayo berangkat, atau kita akan terlambat."
Bab 2 BEBERAPA saat kemudian, Carl dan aku tiba di gedung Ford
Models yang berbata merah. Kami langsung saja menuju lantai atas
sambil melambai pada si resepsionis. Seperti Institute, gedung Ford
ini tadinya tempat tinggal pribadi, dan sekarang pun kesan nyaman
sebuah rumah masih terasa di dalamnya. Lebih-lebih di kantor Eileen
Ford, yang bantalan kursinya semua berlapis kain bermotif bungabunga, suasananya benar-benar seperti di rumah sendiri.
Carl dan aku berhenti di lantai dua, tempat Jill Murray
berkantor. Carl menunduk dan mengecup pipiku sekilas.
"Hej, hej, dadah," katanya, menuju ke divisi model pria di lantai
tiga. "Kutunggu kau nanti di lobi, Snask."
"Oke, ciao!" seruku.
Kulihat Jill Murray di balik meja kantornya, sedang berbicara di
telepon. Jill berambut gelap dan selalu berpakaian modis. Hari ini ia
mengenakan gaun rajut hijau lumut yang indah sekali dengan aksesori
kalung mutiara. Ia memandangku, melambai cepat, menyuruhku masuk.
"Wah, hebat dong, Sue," katanya di telepon. "Jadi kau akan
menampilkan desainer seperti Sposabella dan Tucci?"
Telingaku langsung tegak ketika duduk di hadapan Jill.
Francesca Sposabella dan Antonio Tucci, keduanya desainer Italia
favoritku. Aku terus mengikuti perkembangan karier mereka, dan aku
senang karena reputasi mereka semakin menanjak di Amerika.
"Oke," kata Jill, menulis sesuatu di memo pad. "Akan kuatur
kembali jadwal model-model itu hingga mereka bisa bebas minggu
itu. Aku juga harus menghubungi divisi model pria, tapi aku akan
memberimu kabar secepatnya."
Ia meletakkan telepon. "Halo, Pia," sapanya, tersenyum ramah.
"Ciao, hai, Jill." Aku mengangguk ke telepon. "Sposabella dan
Tucci... sepertinya ada pekerjaan bagus ya," kataku.
"Hm, ya, tapi belum pasti," jawab Jill dengan mata bersinarsinar. "Aku masih harus mengatur segala sesuatunya. Nah,
ceritakanlah padaku, bagaimana keadaanmu? Apakah semuanya
beres?" "Oh, molto bene, semuanya baik, terima kasih," sahutku.
"Sekolahmu oke?"
"Si, ya," jawabku. "Oke. Semua guru di Institute sangat
memaklumi kesibukan modelingku."
"Bagus. Dan di apartemen? Tak ada masalah?"
"Oh, ya, aku suka sekali tinggal di sana," tuturku. "Semua
temanku baik. Katerina sebelumnya amat pendiam, tapi sekarang
sudah lebih ramah. Pasti itu karena ia sudah lebih bahagia. Apalagi
Cassandra, dia enjoy betul tinggal di New York. Setiap ada waktu, dia
selalu pergi belanja. Kerri masih suka menghabiskan waktunya di
pusat kebugaran. Dan Paige pun kurasa sudah betah, meskipun
keadaan di sini berbeda sekali dengan daerah pertanian di Nebraska.
Naira, seperti biasa sibuk dengan tugas sekolah dan kegiatan
sosialnya..." "Bagaimana dengan kau sendiri, Pia?" Jill menyela. "Apakah
kau sudah betah tinggal di New York?"
"Oh, molto bene, sudah," kataku meyakinkannya. "Yang
terpenting bagiku adalah suasana di sekitarku, orang-orang di dekatku.
Maksudku begini... kalau orang-orang di dekatku bergembira, aku ikut
gembira juga." "Hm, tapi kurasa Carl Johnson-lah yang paling berbahagia saat
ini," ujar Jill, mengangkat alis.
Cuma mendengar namanya disebut, aku langsung tersenyum.
"Dari mana Anda tahu tentang Carl?" tanyaku.
"Eileen yang menceritakannya," sahut Jill.
"Eileen?" tanyaku terkejut. Kupandang pintu kantor Eileen Ford
di belakang Jill. Eileen selalu bertemu dengan modelnya secara
teratur, tapi sudah beberapa waktu aku tak mendapat panggilan ke
kantornya. "Dari mana dia tahu? Sejak kenal Carl, aku belum pernah
bertemu Eileen." "Mungkin dia tahu dari Mrs. Hill," Jill menjelaskan. "Eileen
kan selalu mencari informasi mengenai kehidupan para modelnya.
Lagi pula hubunganmu dengan Carl sudah bukan rahasia lagi, sebab
Carl model Ford juga."
"Iya ya," sahutku, teringat Carl yang baru saja menciumku di
tangga. "Pokoknya, Carl itu cowok yang menarik," ujar Jill. "Kalian
pasti akan menjadi pasangan serasi."
"Grazie, terima kasih," jawabku dengan wajah memerah.
"Baiklah," kata Jill, tersenyum, "sekarang kita sudah tahu
kehidupan pribadimu oke-oke saja. Bagaimana kalau kita lihat
portfolio-mu dan kita kaji pekerjaanmu." Ia mengambil portfolio
dengan namaku di bagian depannya.
Ia membuka lembar pertama album itu, tampaklah fotoku
dengan gaun malam mewah dari brokat biru tua dengan tali yang
diikatkan ke leher. Gaun malam itu rancangan Chloe Dahi yang
kuiklankan di majalah Style.
"Foto ini memang bagus," puji Jill, "tapi sebaiknya jangan terus
dipasang pada halaman pertama."
"Ma perche no? Kenapa?" tanyaku. "Gaun malam ini indah
sekali! Rancangan Chloe Dahi memang selalu elegan. Anda sudah
lihat koleksi musim gugurnya? Magnifico!"
"Ya, aku tahu," jawab Jill. "Tapi foto ini tidak sesuai dengan
aslinya. Perhatikan caramu mengangkat kepala! Wajahmu jadi
kelihatan lebih panjang dan lebih kurus dibanding aslinya."
Aku mengamati foto itu. "Memang tak apa sih wajah yang kurus itu," lanjut Jill, "tapi
wajahmu kan tidak sekurus itu. Kalau kita pasang foto ini di lembar
pertama portfolio-mu, foto-foto dengan raut wajahmu yang
sebenarnya malah berkesan lain."
"Ah, si, capisco, aku mengerti," kataku, mengangguk.
"Jadi, kita harus mencari foto yang lain," ujar Jill. Ia kembali
membuka-buka portfolio-ku lalu berhenti. "Menurutku ini cocok."
Ia menunjuk foto hasil jepretan fotografer Will Nichols ketika
aku baru tiba di New York. Di foto itu, aku tampak sedang
memandang ke kamera sambil tersenyum lebar. Aku memakai blus
polkadot berleher tinggi dan overall baggy dengan warna kusam. Jika
boleh memilih, aku pasti akan menolak pakaian seperti itu..
Aku ingat betul kejadian hari itu. Mario, penata rambut di
pemotretan itu, mengubahku jadi berpenampilan baru dengan rambut
yang pendek. Saat foto itu diambil, ekor kudaku yang panjang dan
kupelihara sejak kecil, tergeletak di lantai studio fotografer! Tak ada
yang tahu bahwa setelah pemotretan aku kembali untuk mengambil
dan membawanya pulang. Kusimpan ekor kudaku itu di dalam kotak
khusus dan kuletakkan di meja riasku untuk kenang-kenangan.
"Ya, foto ini memang indah," kataku. "Tapi pakaiannya amat
sederhana ya?" "Betul," sahut Jill. "Foto ini menonjolkan dirimu, Pia, bukan
pakaianmu. Kurasa justru itulah kelebihannya."
"Aku mengerti," ujarku. Kalau mengamati foto, kadang-kadang
yang kulihat pakaiannya saja, tidak kuperhatikan hal lain yang lebih
penting. "Bene, oke, pasanglah foto ini di lembar pertama portfolioku."
Selama beberapa saat, Jill dan aku meneliti portfolio-ku,
mendiskusikan foto mana yang bagus dan memindah-mindahkan
posisinya, sampai kami sama-sama puas. Kami pun membicarakan
rencana booking untukku. "Baiklah, Pia," kata Jill akhirnya, "akan kuhubungi kau
secepatnya. Selamat bersenang-senang."
"Terima kasih," sahutku. Aku tersenyum saat memikirkan Carl.
Sekarang, ia mungkin sedang menungguku di lobi lantai bawah.
"Rasanya aku memang akan bersenang-senang."
Jill menaikkan alisnya. "Ada rencana khusus, ya?"
"Carl dan aku akan makan malam bersama," ceritaku padanya.
"Sudah kutemukan restoran yang nyaman, Italia Mia, di dekat sini.
Masakannya lezat, hampir selezat masakan restoran keluargaku di
Roma!" "Oh, Pia, aku jadi ingat sesuatu!" seru Jill. "Jangan lupa
meneleponku pada hari Senin. Aku sedang mengaturkan pekerjaan
menarik untukmu buat dua minggu mendatang... pekerjaan di luar
kota. Teman-teman seapartemenmu mungkin akan kuajak juga."
"Si? Betulkah?" tanyaku, ingin tahu. "Pekerjaan apa itu?"
"Nantilah kita bicarakan kalau semuanya sudah beres," jawab
Jill. "Ingat, jangan lupa meneleponku pada hari Senin."
*********** Tak lama kemudian, Carl dan aku sudah berada di Italia Mia.
Kami duduk menghadapi meja mungil yang cantik dan bertaplak
merah-putih. Lilin merah kecil menyala di antara kami.
"Tempat ini sangat menyenangkan," puji Carl, melihat ke
sekitarnya. "Si, ya, kupilih tempat ini karena mengingatkanku pada restoran
keluargaku di Roma," jelasku padanya.
"Hm, kurasa kau harus menerjemahkan beberapa menu ini
untukku, Snask," pinta Carl, melihat pada menu di hadapannya.
"Certo, tentu," sahutku. Kugeser lilin lalu kucondongkan diriku
ke Carl. "Ini," kataku, menunjuk ke bagian menu pasta, "radiotari,
pasta yang berlekuk-lekuk. Dinamai begitu karena bentuknya mirip un
radiatore... kurasa bahasa Inggrisnya sama... radiator? Kau tahu, kan,
alat pendingin mesin mobil?"
"Oh, ja, radiator," ulang Carl. "Aku tahu. Di Swedia namanya
varmeelement." Ia tersenyum. "Tapi mi kami tidak dinamai begitu."
Tentu saja tidak, pikirku Varmeelement... siapa yang mau
makan mi seperti itu? Aku menunjuk ke menu berikutnya.
"Ini farfalle," kataku. "Artinya kupu-kupu, bentuknya juga
mirip kupu-kupu. Dan yang ini, capellini, artinya rambut mungil.
Bahasa Inggrisnya, rambut bidadari. Mi jenis ini lembut sekali,
langsung lumer begitu dimasukkan ke mulut."
"Wow, kedengarannya enak!" seru Carl.
"Molto delizioso, memang lezat," aku sependapat. "Kau harus
mencoba capellini buatan ayahku. Sausnya seperti krim. Mmmm!
Enak sekali!" Aku mendesah lalu mengambil roti dari keranjang di
meja. "Oh, Carl, kadang-kadang aku rindu pada kampung
halamanku." "Aku mengerti," jawab Carl sambil meremas tanganku.
"Kadang-kadang aku juga ingin pulang ke Swedia. Rasanya berat
sekali tinggal di tempat yang baru." Wajahnya berseri-seri. "Tapi
pikirkanlah, Snask. Kalau aku di Swedia dan kau di Roma, kita pasti
tidak akan duduk di sini sekarang."
"Betul juga ya," kataku, mencuil roti sambil tersenyum, "ini
jauh lebih penting."
Bab 3 SETELAH makan malam, Carl dan aku berdiri di koridor
berkarpet hijau di depan apartemen 10-B, tempat tinggalku bersama
kelima temanku dan Mrs. Hill.
"Allora, oke," kataku, memandangnya, "malam yang
menyenangkan. Thanks untuk makan malamnya."
"Thanks juga. Restoran pilihanmu hebat."
"Si, ya," ujarku sependapat. "Meskipun capellini-nya tidak
selezat buatan ayahku, makanan tadi enak. Dan aku puas karena bisa
merasakan lagi makanan Italia."
"Kapan-kapan kita ke sana lagi, yuk," ajak Carl.
"Certo, ayo," sahutku.
"Bagaimana kalau minggu depan? Katanya kau ingin melihat
pameran mode di museum. Nah, setelah lihat pameran, kita pergi
makan malam." "Bene, oke," jawabku. Baru-baru ini kubaca di majalah Fashion
iklan tentang pameran khusus "Sejarah Perkembangan Mode" yang
akan diadakan di salah satu museum di New York. Aku ingin sekali
melihatnya. Lalu aku teringat sesuatu. "Sebaiknya jangan ditentukan
dulu waktunya. Jill Murray bilang aku mungkin akan mendapat
booking ke luar kota. Aku harus memastikannya Senin depan."
"Oke, kalau begitu kita tunda dulu," ujar Carl. "Jonathan juga
bilang, mungkin aku akan mendapat pekerjaan di luar kota. Sebaiknya
kita lihat dulu jadwal kita."
"Allora, kalau kita berdua harus ke luar kota, kuharap kita pergi
pada saat yang bersamaan. Jadi kita punya lebih banyak waktu untuk
berduaan di New York."
"Aku juga berharap begitu," jawab Carl. Ia memandangku
sambil tersenyum. "Oke," katanya, merapatkan diri padaku, "selamat
malam, Snask." "Selamat malam, Carl," sahutku, menengadah sambil
memejamkan mata. Saat kami berpelukan, tiba-tiba pintu apartemen terbuka. Carl
dan aku langsung menjauh dengan terkejut.
"Oh, halo," sapa Mrs. Hill, tangannya memegang serbet.
"Kudengar ada suara orang berbicara di luar."
"Halo, Mrs. Hill," Carl memberi salam dengan malu-malu.
"Aku cuma ingin mengucapkan selamat malam pada Sn... maksudku,
Pia." "Kalau begitu katakanlah," kata Mrs. Hill, mengangguk.
"Uh, selamat malam," Carl berkata cepat padaku. "Akan
kuhubungi kau Senin depan."
"Bene, Carl, oke," sahutku kesal. "Selamat malam."
Ketika aku mengikuti Mrs. Hill masuk ke apartemen, kudengar
suara Kerri yang sedang menelepon di ruang tamu. Kerri sering


Ford Supermodels Of The World 06 Wajah Baru High Style Karya Bb Calhoun di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menelepon keluarga dan teman-temannya di Florida, kota asalnya.
Mendengarnya menelepon, aku jadi ingin menelepon juga. Tapi
segera kusadari perbedaan waktu antara New York dan Italia, sudah
terlalu larut untuk menelepon sekarang. Orangtua, kakak-kakak, dan
kakekku pasti sudah tidur.
Mrs. Hill menuju ke dapur, dan aku mengintip ke ruang tamu.
Ada satu keunikan Kerri ketika menelepon, ia melakukannya sambil
bersenam. Kayaknya Kerri selalu bersenam kapan pun ia sempat,
pakaiannya pun disesuaikan untuk keperluan itu. Malam ini ia
mengenakan T-shirt biru kehijauan dan celana ketat putih, rambut
pirangnya dijepit ke belakang dengan jepit besar berwarna biru
kehijauan. Menurutku, Kerri tampak lebih cantik kalau memakai gaun
rancangan desainer terkenal, tapi rupanya ia sendiri lebih menyukai
baju-baju santai. Kerri berdiri menghadap ke salah satu jendela ruang tamu,
tangannya yang satu memegang telepon, yang lain terletak di pinggul.
Ia menekuk lutut, tetapi pandangannya lurus ke East River. Kabel
telepon itu meregang, dan setiap kali ia berjongkok, telepon di meja
putih di samping sofa itu tertarik ke tepi.
"Ya ampun, kau pasti bercanda, Jessa!" seru Kerri di telepon.
"Benar-benar tak masuk akal! Masa sih mereka mau berbuat begitu?"
Ketika Kerri mendengarkan jawaban temannya, aku mencolek
bahunya dan menunjuk ke telepon yang nyaris terjatuh dari meja. Ia
bangkit dengan segera dan meraih telepon tepat pada waktunya. Lalu
ia berpaling padaku sambil berucap, "Thanks."
Aku mengangguk lalu melintasi ruang tamu, menuju kamarku
bersama Katerina yang nyaris terletak paling ujung di apartemen ini.
Di dalam kamar, kulihat Katerina dan Paige berdiri di tengah
ruangan, keduanya memakai baju senam dan stoking. Scooter, kucing
belang Paige, duduk di meja rias, menonton mereka.
Kaki kiri Katerina terangkat tinggi di udara, lebih tinggi dari
telinganya. Paige berusaha menirunya. Tidak terlalu buruk memang,
tapi keseimbangannya kurang terjaga, dan kakinya pun tidak
mencapai telinga. Jelas dalam bidang ini Paige tidak bisa
dibandingkan dengan Katerina, sebab Katerina mantan balerina,
sedang Paige belum pernah belajar menari.
Ketika aku masuk kamar, Paige cepat-cepat menurunkan
kakinya, ia tampak malu-malu.
"Oh, hai, Pia," sapanya, pipinya memerah, hampir semerah
rambut ikalnya yang dijalin ke belakang.
Paige memang agak pemalu. Ia dibesarkan di daerah pertanian
di Nebraska, dan ini pertama kali ia tinggal di kota besar. Tapi Paige
sekarang kelihatannya sudah lebih berani dan penuh percaya diri.
Sepertinya ia menikmati kehidupannya sebagai model Ford.
"Per favore, teruskanlah, jangan berhenti karena ada aku,"
kataku. Kubuka jaket kulit cokelatku lalu kulemparkan ke tempat
tidur. "Kami sudah selesai kok," jawab Katerina, menjatuhkan diri ke
tempat tidurnya. "Katerina baru saja mengajariku gerakan balet yang mudah,"
jelas Paige. Ia menggendong Scooter dan mengelus-elusnya.
"Aku tak mengira kau tertarik pada balet, Paige," ujarku,
melepas sepatu botku yang setinggi mata kaki.
"Hmm," gumam Paige, mengalungkan sweatshirt ke bahunya
sambil duduk di tepi tempat tidur Katerina, "latihan ini mungkin bisa
menjadikan bentuk tubuhku sedikit lebih baik."
"Ah, si," sahutku. "Aku mengerti."
Aku sendiri paling malas berlatih senam; untunglah tubuhku
sudah langsing. Tapi aku sadar latihan itu penting sekali untuk
kesehatan, selain juga untuk menjaga bentuk tubuh. Sayangnya, aku
sama sekali tidak tertarik untuk berlatih. Apalagi seperti Kerri,
menelepon sambil bersenam!
Kurasa Cassandra, teman seapartemenku yang lain, sependapat
denganku. Cassandra yang berasal dari Brasil juga ikut Kontes
Supermodel Dunia. Sebelum menjadi model Ford, ia sudah punya
karier yang hebat. Ia memandu acara talk show di salah satu stasiun
televisi Brasil. Di New York, Cassandra paling dekat dengan Kerri.
Mereka berdua menjadi anggota Jolie, pusat kebugaran tak jauh dari
apartemen kami. Tapi Cassandra tidak pernah berlatih senam di sana,
ia hanya memanfaatkan tempat itu untuk merawat kuku dan wajahnya.
Kemudian terdengar pintu diketuk, dan kepala Naira pun
menyembul. Naira juara ketiga Kontes Supermodel Dunia. Ia gadis
Amerika keturunan Afrika yang berambut hitam ikal dan bermata biru
kehijauan. Malam ini ia memakai T-shirt abu-abu, rompi ungu, dan
celana jeans baggy. "Hai," sapa Naira. "Oh, syukurlah, kau ada di sini, Paige. Aku
tadi ke kamarmu dan Cassandra bilang kau mungkin ada di sini." Ia
memandangi baju senam Paige. "Hai, apa yang kaulakukan di sini?
Kau habis menari, ya?"
"Cuma latihan," sahut Paige. "Katerina baru saja mengajariku
gerakan balet yang sederhana."
"Bagus," kata Naira. "Menari adalah cara terbaik untuk menjaga
bentuk tubuh. Juga bisa membuat kita sedikit rileks. Kupikir, tari jaz
adalah kelas yang paling menarik di sekolah. Aku menyesal hari ini
tidak bisa berlatih karena ada booking."
"Booking untuk apa?" tanya Katerina.
"Untuk iklan mantel Warren Young," jawab Naira.
Aku mengerutkan wajahku. "Sori," kataku pada Naira. "Aku
cuma berpikir rancangan Warren Young itu kurang bagus. Polanya
kurang enak." Naira mengangkat bahu. "Tak apalah, pokoknya honornya
lumayan." Ia berpaling pada Paige. "Apa yang dibahas dalam rapat
REACH pulang sekolah tadi? Kau hadir, kan?"
Paige mengangguk. "Kebanyakan rencana kegiatan mendatang.
Menurut Chris, sebaiknya kita melakukan kegiatan yang berhubungan
dengan lingkungan, seperti imbauan untuk mendaur ulang."
REACH itu klub yang diikuti Paige dan Naira di sekolah.
Mereka bergerak di bidang sosial, seperti mengurusi gelandangan dan
melestarikan lingkungan. Menurutku gagasan itu baik, menolong
orang adalah pekerjaan yang mulia. Sewaktu di Italia, aku pernah
mengajar seorang anak kecil membaca, Gianni namanya.
Ketika Naira dan Paige membicarakan rapat, aku pergi mandi.
Kuambil majalah Fashion edisi terbaru dan baju tidur katun putih
kesukaanku, lalu aku keluar kamar. Di ruang tamu, kudengar Mrs. Hill
sedang mengingatkan Kerri agar berhenti menelepon. Aku menuju ke
kamar mandi yang di depan. Aku suka bathtub-nya karena lebih luas,
sehingga aku bisa berendam sambil melemaskan otot.
Sayangnya, pintu kamar mandi itu tertutup. Aku mengetuknya.
"Sebentar!" seru Cassandra dari dalam.
Aku tak begitu percaya. Kalau mandi, Cassandra selalu lama.
Kerri berjalan menyusuri koridor sambil menggeleng-geleng.
"Kelewatan! Benar-benar kelewatan," gumamnya sendiri. Lalu ia
melihatku. "Hai, Pia," tegurnya.
"Halo, Kerri. Ada yang tidak beres?"
"Begitulah," sahutnya. "Aku tadi menelepon teman lamaku, dan
ia menceritakan kejadian di sekolahku yang menurutku benar-benar
keterlaluan." "Ah, si? Apa itu?"
"Pihak sekolah memaksa menggabungkan tim cheerleader
dengan pep squad," tuturnya. "Ini gila, kan, karena kedua kelompok
itu masing-masing mempunyai tujuan dan tugas yang berbeda." Ia
mengesah kesal. Sebenarnya, aku sama sekali tak mengerti persoalannya. Tapi
aku mencoba bersimpati. "Wah, gila benar," komentarku.
Saat itu pintu kamar mandi terbuka,
Cassandra keluar. Ia mengenakan jubah mandi satin putih;
rambut pendeknya yang berwarna gelap basah dan kuncup. Kuku jarijari kakinya merah mengilap, sepertinya baru dicat.
"Hai, Pia, hai, Kerri," panggilnya. "Kerri, kau harus mencoba
conditioner yang baru kubeli di Jolie. Luar biasa! Mereknya Great
Hair Goop!" "Tunda dulu, Cass. Ada berita penting yang harus kusampaikan
padamu. Aku mendengarnya dari Jessa, temanku di Miami," tukas
Kerri. Mereka menyusuri koridor sambil mengobrol, dan aku pun
cepat-cepat masuk ke kamar mandi. Ketika kumasukkan pengharum
beraroma mawar ke bathtub dan menunggu airnya penuh, aku kembali
teringat gadis-gadis dengan pelbagai karakter yang tinggal bersamaku.
Cassandra suka sekali bersolek, ia selalu mencoba setiap produk
kecantikan baru. Naira, sebaliknya, sangat serius dan praktis. Lalu
Paige, menurutku selalu tampak manis dan jujur. Kerri... ia ceria dan
santai. Katerina pendiam dan pemurung, tapi hatinya baik.
Itulah salah satu keuntungannya pindah ke New York, aku
membatin sambil masuk ke bathtub. Selain mendapat kesempatan
untuk berkiprah di dunia mode dan berkencan dengan Carl, hidupku
jadi semakin kaya karena perjumpaanku dengan bermacam-macam
orang. Aku dan kelima teman seapartemenku bahkan sudah seperti
keluarga dalam beberapa bulan ini, sehingga rasa rinduku kepada
keluargaku di Italia sedikit terobati.
********** Esok paginya, aku terbangun oleh ketukan di pintu. Katerina
yang berbaring di tempat tidur di seberangku, berbalik sambil
mengeluh. "Masuk," seruku lirih.
Pintu terbuka, Kerri menyembulkan kepalanya. Seperti biasa, ia
mengenakan baju senam lengkap dan memakai headphone.
"Hai, Pia," sapanya agak keras.
Katerina berbalik lagi lalu menutupi kepalanya dengan bantal.
Aku memandang Kerri sambil meletakkan telunjukku di bibir.
Ia mencopot headphone-nya. "Ups, sori," ujarnya pelan. "Pia,
ada telepon untukmu. Kalau tak salah dari ibumu."
"Ah, che fantastico, trims," sahutku, langsung bangun. Aku
bangkit dari tempat tidur dan memakai jubahku.
Dengan cepat aku mengikuti Kerri menyusuri koridor. Hari
masih pagi, dan apartemen itu masih sunyi.
"Sampai nanti," kata Kerri, menuju pintu. "Aku akan beraerobik
di Jollie." "Oke, ciao," sahutku. Aku masuk ke ruang tamu, duduk di sofa
putih yang menempel ke dinding, dan mengangkat telepon. "Pronto,
halo?" kataku. "Halo, Pia, kaukah itu?" jawab ibuku dalam bahasa Italia.
"Ya, Mamma," sahutku gembira. "Kebetulan sekali Mamma
meneleponku pagi ini! Semalam aku hampir saja menelepon ke
rumah." "Hm, moga-moga aku tidak membangunkanmu. Aku cuma
ingin mendengar kabarmu sebelum kau keluar apartemen," jelasnya.
"Ceritakan, bagaimana keadaanmu? Baik-baikkah?"
"Sangat baik," jawabku.
"Tak ada masalah dalam pekerjaan?"
"Sama sekali tidak, Mamma, semuanya beres. Aku menyukai
New York. Di sini segalanya ada! Semalam, aku bahkan sempat
makan capellini." "Bagus!" ujar ibuku. "Bagaimana rasa capellini di New York?"
"Lumayan," sahutku, "hampir selezat buatan Pappa. Oh, aku
kangen sekali pada masakan Pappa! Apa kabar Pappa? Dan Kakek
serta semua saudara kita? Gimana restorannya?"
"Baik, baik, semua baik. Sekarang ayahmu sedang memasak
pesanan makan siang. Jadi aku harus segera ke kasir sebelum ayah dan
kakakmu kewalahan menanganinya. Aku hanya ingin memastikan kau
di sana tak kurang suatu apa. Kami semua rindu padamu."
"Aku juga rindu pada Mamma," sahutku.
"Oh, sebentar," ujarnya. "Ini Leo. Ia naik untuk mengambilkan
ayahmu celemek baru, dan ia ingin mengobrol denganmu sebentar."
Kudengar Mamma berbicara dengan kakak sulungku. "Oke, Leo, ini
teleponnya. Tapi jangan terlalu lama mengobrol. Ayahmu
memerlukanmu dan biaya telepon sangat mahal."
"Pia! Hai! Apa kabar?" sapa Leo mengambil alih telepon.
"Aku baik-baik saja, Leo."
"Kau senang di New York?"
"Senang sekali. Semalam, aku pergi ke restoran Italia. Namanya
Italia Mia, dan sajian pasta mereka hampir selezat buatan Pappa."
"Tidak mungkin!" seru Leo, tertawa. "Selezat masakan Pappa?
Mana mungkin!" "Leo, kubilang tadi hampir selezat buatan Pappa," aku
mengingatkannya. "Apa pun komentarmu, pokoknya masakan itu
cukup lezat." "Sebentar," tukas Leo serius. "Kau tadi bilang pergi makan
malam di restoran? Aku tak suka malam-malam kau keluyuran
sendirian di New York."
"Oh, Leo," desahku. Kadang-kadang kakakku ini terlalu
berlebihan menjagaku. "Jangan bilang 'Oh, Leo' dengan nada seperti itu," cerca
kakakku. "Ini tugas kakak sulungmu untuk mengawasi adik
perempuannya. Dan aku tahu New York tempat yang berbahaya."
Sebenarnya aku ingin meledek Leo, dia kan belum pernah ke
New York, sementara aku sudah tiga bulan tinggal di sini, jadi aku
lebih tahu. Tapi aku sadar kalau kukatakan itu pasti urusannya akan
runyam. "Percayalah, aman kok," tegasku. "Restoran itu dekat dengan
Ford Models, dan aku tidak ke sana sendirian." Ketika mengucapkan
itu, aku langsung tersadar kalau telah salah ucap.
"Jadi kau pergi dengan siapa, Pia?" tanyanya menyelidik.
"Aku pergi dengan cowok," sahutku membela diri. Kenapa
kakakku ini selalu mencampuri urusanku?
"Siapa cowok itu?" desak Leo.
"Oh, Leo," keluhku. "Ia kenalan baruku, ia seorang model juga.
Kami telah beberapa kali pergi bersama."
"Pia, aku tak suka kau keluyuran dengan cowok asing yang
belum dikenal keluargamu," tukas Leo.
"Percayalah, Leo, kau pasti menyukainya. Ia cowok yang
menyenangkan. Namanya...." Aku berhenti sejenak. Perasaan Leo
mungkin agak tenang kalau kukatakan cowok itu orang Italia.
Mungkin dia akan merasa akrab dengan Carl kalau mengira Carl rekan
senegara kami. "Namanya Carlo," tuturku. Yah, ini kan bukan
kebohongan besar. Carlo versi Italia dari Carl. Jadi aku cuma
menerjemahkannya. "Carlo, eh?" tanya Leo, tidak dengan nada setinggi tadi. "Jadi ia
orang Italia, ya? Dari mana asalnya, Roma?"
"Uhh, bukan," jawabku cepat. "Ia berasal... dari utara." Leo
pasti mengira yang kumaksud Italia bagian utara, tapi sekali lagi, ini
kan tidak terlalu melenceng dari kenyataan... Swedia memang terletak
di sebelah utara Italia. "Baiklah, jangan keluar terlalu larut dengan Carlo," pesan Leo.
"Dan katakan padanya ia harus menjaga adik perempuanku baikbaik."
"Oke, Leo, akan kusampaikan pesanmu itu padanya," janjiku.
"Tolong sampaikan salamku buat Pappa, Gino, dan Marco. Dan tentu
saja Kakek." "Oke, adik manis," sahut Leo. "Ciao."
Aku meletakkan telepon lalu mendesah lega. Sebenarnya aku
tidak suka membohongi kakakku, tapi aku ingin menenangkan
perasaannya, supaya aku sendiri merasa lebih tenang.


Ford Supermodels Of The World 06 Wajah Baru High Style Karya Bb Calhoun di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lagi pula, tak ada salahnya kan kalau keluargaku menganggap
cowokku di New York ini orang Italia? Kan itu sama saja seperti
ketika aku tidak menceritakan pada Kakek bahwa aku menjadi model
baju renang, atau ketika aku tidak memberitahu ibuku bahwa
rambutku sudah dipotong pendek. Jahatkah aku kalau cuma ingin
membuat keluargaku bahagia?
Bab 4 "Che cosa? Apa? " tanya di telepon. "Bisakah Anda
mengulanginya, Jill?"
Senin siang itu, aku berada di studio terbuka fotografer Cindy
Phillips. Aku baru saja menyelesaikan pemotretan celana panjang
hitam dan blus putih berkerut-kerut rancangan Rudolfo untuk edisi
khusus majalah Style. Setelah memakai kembali blus beige dan gaun
terusan hitamku yang tak berlengan, aku minta izin Cindy untuk
menggunakan teleponnya. Aku ingin menelepon Jill Murray sebelum
berangkat ke sekolah. "Tidak jelaskah suaraku, Pia?" Jill balas bertanya. "Aku tadi
bilang, kau dan teman-teman seapartemenmu serta enam model pria
Ford di-book untuk lima hari pemotretan di Roma. Berangkat pada
hari Kamis." "Ma che incredibile, ini luar biasa!" seruku, melompat-lompat
kegirangan. Aku akan pulang kampung!
"Sudah kuduga, berita ini akan membuatmu gembira." Jill lalu
menerangkan, "Pemotretan itu untuk edisi khusus majalah Appeal.
Kalian berenam?kau, Naira, Paige, Katerina, Cassandra, dan Kerri?
semuanya akan dipakai. Sue Takamishu, editor mode Appeal, berniat
menampilkan busana-busana rancangan para desainer terkenal Italia.
Rizzi, Francesca Sposabella, Antonio Tucci... kau pasti tahu, kan?"
"Wow, bukan main!" seruku gembira. "Aku akan menjadi
model beberapa desainer favoritku, dan aku bisa pula berjumpa
dengan keluargaku!" Lalu aku teringat sesuatu. Rambutku! Orangtua, kakak-kakak,
dan kakekku pasti mengira rambutku masih panjang. Kini rahasiaku
akan segera terbongkar! "Oh tidak...," ujarku lirih.
"Ada apa, Pia?" tanya Jill terkejut.
"Oh, niente, tak apa-apa," sahutku cepat.
Tapi aku sedang memutar otak. Apakah sebaiknya kutelepon
mereka dan menjelaskan keadaan rambutku sekarang? Atau sebaiknya
kubiarkan mereka melihat sendiri rambutku kalau aku pulang nanti?
"Oh, masih ada kabar lain yang akan membuat pekerjaan ini
semakin menarik bagimu, Pia," lanjut Jill.
"Apa itu?" tanyaku, masih memikirkan bagaimana caranya
memberitahu keluargaku tentang rambutku.
"Seperti kukatakan tadi, Appeal juga mem-book enam model
pria," papar Jill. "Dan salah satunya adalah Carl Johnson!"
"Ah che male! Oh, tidak!" jeritku.
Aku tidak boleh membiarkan Carl pergi ke Roma bersamaku. Ia
tidak boleh menemui keluargaku! Aku kan baru saja cerita pada Leo
kalau pacarku itu namanya Carlo! Mana mungkin aku berani berterus
terang pada kakakku bahwa aku telah membohonginya?
"Pia, kukira kau akan senang mendengarnya," ujar Jill. Ia
berhenti sebentar. "Tak ada masalah antara kau dan Carl, kan?"
"Si, si, semuanya beres," aku berusaha meyakinkannya.
"Cuma...." Aku langsung berhenti. Aku tidak ingin menceritakan
persoalanku pada Jill. "...Aku sangat gembira sampai tak tahu harus
bilang apa," kataku akhirnya.
"Bagus. Aku senang karena bisa membuatmu gembira. Kau
tahu, kan, demi semua ini, aku agak kerepotan menyusun kembali
jadwalmu. Tapi pekerjaan ini cocok untukmu, dan aku yakin, pulang
kampung itu sangat berarti buatmu."
"Terima kasih, Jill," ucapku dengan perasaan tak keruan.
Ketika kuletakkan telepon dan kutinggalkan studio, Cindy
Phillips berseru padaku, "Bye, Pia! Terima kasih untuk partisipasimu hari ini."
"Oh, si, ya, terima kasih. Maksudku, bye," sahutku linglung.
Pikiranku ruwet, masih memikirkan kabar dari Jill barusan.
Cindy menyusul dan memperhatikanku. "Kau tak apa-apa? Kau
tampak seperti habis melihat hantu."
"Tidak, aku tak apa-apa," jawabku. Kukenakan jaket wol abuabu bersetrip-setrip di luar gaun terusanku. Aku memang tidak melihat
hantu, tapi aku kini mulai merasa dihantui. Dihantui oleh kebohongan
kecil pada keluargaku yang kini seperti terus mengejar-ngejarku.
*********** Malam harinya, aku berbaring di tempat tidurku, memandangi
plafon. Katerina dan Paige memelototi televisi, tenggelam dalam film
yang sedang ditayangkan. Pasti filmnya favorit mereka, Hollywood
High, sebab kudengar desahan Paige. Sepertinya Paige jatuh cinta
pada salah satu aktornya. Sebetulnya ia sudah punya pacar, Jordan
namanya, tapi ia naksir berat pada bintang TV itu.
Hari ini ratusan kali sudah aku memikirkan cara untuk
meluruskan kebohonganku pada keluargaku. Dan ratusan kali pula
hari ini aku mengeluh. "Pia?" tanya Paige lembut ketika film usai dan mengalunlah
musik penutupnya. "Ada apa? Kenapa kau mengeluh terus?"
"Betul," sambung Katerina, berbalik memandangku. "Hari ini
tingkah lakumu aneh. Kau tidak ngomong sepatah pun selama di
sekolah. Ada apa? Apakah pemotretanmu tidak berlangsung mulus?"
"Tidak, semuanya baik kok," jawabku. "Aku sedang
memikirkan perjalanan ke Roma." Aku bangun lalu duduk bersila.
"Oh, aku mengerti, aku pun sudah tak sabar lagi ingin cepatcepat berangkat," tutur Paige. "Aku kan belum pernah ke luar negeri.
Seperti apa sih Roma itu?"
"Roma itu kota yang terindah di dunia," jelasku, sesaat lupa
pada persoalanku. "Letaknya di tepi sungai Tiber, dan di Roma ada
banyak sekali air mancur, taman, serta patung kuno yang indah. Di
setiap tempat yang kaukunjungi, terlihatlah monumen kuno atau
reruntuhannya. Restoran keluargaku, tempat aku dibesarkan, terletak
di dekat Colosseum."
"Colosseum... rasanya aku pernah mendengarnya. Apa sih itu?"
tanya Paige. "Semacam arena olahraga yang dibangun oleh bangsa Roma
kuno," aku menerangkan.
"Apakah tempat itu biasa dipakai untuk mengurbankan manusia
buat makanan singa?" tanya Paige lagi. "Kalau tak salah aku pernah
membacanya di buku sejarah."
Aku mengangguk. "Olahraga bangsa Roma kuno itu memang
aneh," tuturku. "Tapi itu zaman dulu. Sekarang Colosseum cuma
separonya yang masih tersisa. Kau bisa memandang langit melalui
jendelanya yang melengkung, dan tempat yang biasa digunakan untuk
memberi makan singa itu kini cuma dihuni kucing liar."
"Wow," seru Paige. "Lucu sekali."
"Colosseum itu indah sekali," lanjutku. "Terutama di malam
hari ketika lampu-lampu sudah menyala."
"Wah, kedengarannya menarik, ya," puji Katerina.
"Ya, romantis pula," Paige sependapat. "Huh, kau pasti gembira
karena akan kembali ke negerimu, ya?"
Aku terenyak. Tiba-tiba aku merasa capek berpura-pura. Aku
ingin mengeluarkan unek-unekku.
"Sebetulnya, aku tak ingin pulang," kataku terus terang.
"Apa?" seru Paige terkejut.
"Aku bisa mengerti perasaanmu, Pia," tukas Katerina. "Setelah
tiga bulan tinggal di sini, aku pun tak ingin pulang ke Rusia. Lagi
pula," katanya lirih, "aku akan rindu pada Alex meskipun cuma
berpisah beberapa hari dengannya."
"Aku juga," sela Paige. "Aku pasti juga rindu pada Jordan. Aku
belum bercerita tentang perjalananku itu padanya. Ia kurang suka
kalau aku bekerja di luar kota. Kau beruntung karena akan bepergian
dengan Carl, Pia." "Oh, aku malah berharap ia tidak ikut!" ratapku. Kulihat wajah
kedua temanku langsung berubah, mereka tampaknya shock berat.
"Sebab aku sudah berbohong pada keluargaku, dan aku jadi bingung
kalau mau berterus terang."
"Bohong?" tanya Paige. "Apa maksudmu?"
Aku memandang ke lantai, malu juga untuk menceritakan
kesalahanku pada mereka. "Sampai sekarang aku belum bilang apa-apa tentang rambutku
yang pendek ini pada keluargaku," akuku.
"Belum?" tanya Paige terkejut. "Tapi kau kan sudah
mengguntingnya beberapa bulan lalu."
"Itulah," lanjutku, "sebab aku yakin mereka pasti tidak senang.
Jadi pikirku lebih baik aku tidak menceritakannya."
"Tak usah resah," hibur Katerina. "Mereka akan segera tahu
kalau kau pulang nanti. Iya, kan?"
"Kau tak mengerti," keluhku. "Keluargaku sangat kolot. Mereka
takkan menyukai wajah baruku."
"Tapi kalau melihatmu jadi lebih menarik dan modis, mereka
pasti menyukainya," kata Paige, membesarkan hatiku.
Aku menggeleng. "Aku suka rambutku yang pendek ini, tapi
keluargaku berpendapat rambut pendek itu hanya cocok untuk kaum
lelaki. Para wanita di keluargaku, dari nenek buyutku sampai aku,
semuanya berambut panjang. Percayalah, mereka pasti tidak akan
suka rambutku yang pendek ini. Lebih-lebih kakekku, dia pasti sangat
kecewa. Dia pasti beranggapan rambutku sangat come un ragazzo,
tidak feminin." "Betulkah?" tanya Katerina.
Aku mengangguk. "Kakekku sangat kolot. Sejak kecil, kalau di
hadapan kakekku, aku belum pernah bercelana panjang."
"Wow!" seru Paige. "Masa sampai sebegitu kolotnya?!"
"Tapi itu kan tidak adil," protes Katerina. "Rambut rambutmu
sendiri. Seharusnya mereka tidak boleh melarangmu."
"Bukan cuma rambutku yang merisaukanku," keluhku. "Aku
juga berbohong tentang Carl."
"Carl?" ulang Paige. "Maksudmu?"
"Aku bilang pada mereka, pacarku bernama Carlo," kataku
pelan. "Carlo?" tanya Katerina. "Tapi kenapa kausebut namanya
begitu?" "Sebab Carlo nama Italia, dan aku ingin mereka mengira Carl
orang Italia," jelasku.
"Carl? Orang Italia?" tanya Katerina keheranan.
"Oh, aku memang tolol," akuku. "Leo, kakakku, khawatir kalau
aku berkencan dengan orang yang belum dikenal keluargaku. Kupikir
ia akan lebih tenang kalau mengira pacarku itu orang Italia... biar ia
merasa aku tidak jauh dari rumah."
Aku mengeluh lagi. "Tadinya kupikir mereka tidak akan pernah
bertemu!" "Kalau begitu jangan beri mereka kesempatan bertemu," saran
Katerina. "Apa maksudmu?" tanyaku.
Ia mengerutkan dahi. "Mereka tidak harus tahu kan kalau
pacarmu ikut. Jadi jangan cerita pada mereka, dan jangan pula
mengajak Carl menemui mereka."
"Ya, itu ide bagus," jawabku, merenung. "Tapi bagaimana
caraku menjelaskan pada Carl agar ia tak menemui keluargaku,
sementara ia ada di Roma?"
"Katakan saja mereka sedang bepergian ke luar kota, atau
carilah alasan lain," usul Katerina.
"Bagaimana, ya," keluhku. "Aku tak ingin berbohong pada
Carl." Aku kembali merenung. "Tapi mungkin nggak apa-apa, ini kan
cuma bohong kecil-kecilan. Cuma untuk membuat semua orang
senang." "Lalu rambutmu bagaimana?" tanya Paige. "Mau kauapakan
rambutmu? Apakah kau akan berterus terang pada keluargamu?" Ia
tertawa kecil. "Atau kaubeli saja rambut palsu yang panjang dan
berwarna cokelat." Aku memandangnya. "Certo, itu dia, rambut palsu!" seruku gembira.
"Pia, aku cuma bercanda."
"Tapi kurasa kau betul, Paige," seruku. "Aku akan membeli
rambut palsu yang panjang untuk kupakai kalau menemui
keluargaku." Beban yang menindihku sepanjang hari rasanya tiba-tiba
terangkat. Masih ada jalan keluar agar keluargaku tak perlu merasa
kecewa padaku. Bab 5 Esok harinya sepulang sekolah aku langsung pergi ke Maxxus
Wigs and Hairpieces, salah satu toko wig yang terbaik dan termahal di
New York City. Nama dan alamat Maxxus kudapat dari Brian, penata
rambutku di pemotretan untuk Style. Setelah itu aku pulang ke
apartemen sambil membawa tas belanjaan kecil yang mengilap,
berwarna hitam dan kuning emas.
Pramuniaga di Maxxus mencocokkan wig itu dengan warna
rambutku, lalu mengajariku cara memakainya. Ia meyakinkan aku
bahwa rambut palsu itu benar-benar seperti aslinya, lebih-lebih kalau
kupakai jepit atau bando untuk menutupi batas antara rambutku dan
rambut palsu itu. Aku cuma bisa berharap rambut itu bisa mengelabui
keluargaku. Kubuka pintu apartemen lalu masuk ke dalam. Aku melihat
Kerri yang sedang menulis di meja makan.
"Oh, Pia, kau sudah tiba," katanya, memandangku saat aku
masuk. "Aku sedang menulis pesan untukmu." Ia menatap tas
belanjaanku. "Oh, apa yang kaubeli?"
"Bukan apa-apa kok," sahutku cepat, meletakkan tas belanjaan
itu di lantai. Aku malu berterus terang bahwa itu rambut palsu. Niatku
untuk mengelabui keluargaku cuma kuceritakan pada Paige dan
Katerina. "Gino, kakakmu, baru saja menelepon dari Roma," tutur Kerri.
"Tadinya ibumu yang menelepon, ketika kubilang kau tidak ada, ia
mengoper telepon pada kakakmu agar bisa meninggalkan pesan
untukmu." Aku mengangguk. "Gino memang yang paling pintar berbahasa
Inggris di keluargaku," jelasku.
"Kau lebih baik," kata Kerri terus terang.
"Thanks," sahutku.
Gino selalu diandalkan sebagai yang pintar berbahasa Inggris di
keluargaku. Tapi Kerri orang Amerika. Kalau ia bilang bahasa
Inggrisku sekarang sudah maju, itu pasti sungguh-sungguh. Senang
juga mendengar bahasa Inggrisku sudah maju sejak aku tinggal di
New York. "Hm, pasti ia orangnya menyenangkan ya," puji Kerri sambil
mengerdip. "Kami bicara beberapa menit. Kuceritakan padanya
tentang rencana kita ke Roma. Ia terkejut karena katanya kau belum
memberitahunya. Cepat-cepat kujelaskan kita memang baru
mendapatkan kabar itu, lalu kuyakinkan dia kau pasti berniat segera
meneleponnya." "Bene, oke, thanks," ucapku.
Aku tidak ingin menelepon keluargaku sebelum kutemukan
rambut palsu yang cocok untukku. Kini aku dapat menelepon mereka
tanpa rasa khawatir.

Ford Supermodels Of The World 06 Wajah Baru High Style Karya Bb Calhoun di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kakakmu senang sekali ketika tahu ia akan segera berjumpa
denganmu," lanjut Kerri. "Agaknya kabar itu benar-benar
membuatnya gembira. Bisa kudengar saat ia menerjemahkannya pada
keluargamu." Aku tersenyum. Sekarang aku tidak lagi mencemaskan
perjalananku, aku malah mengharapkannya. Menyesal sekali Carl
tidak bisa bertemu keluargaku, tapi keinginanku untuk berjumpa
dengan orangtua, kakak-kakak, dan kakekku mengalahkan segalanya.
"Yeah," kata Kerri. "Gino lalu cerita tentang makanan
favoritmu yang akan dibuat ayahmu kalau kau pulang nanti."
Aku tersenyum. Aku kenal betul seperti apa ayahku. Ayah akan
menutup restorannya dan mengundang semua bibi serta pamanku
untuk makan malam bersama.
"Oh," lanjut Kerri, "katanya mereka sudah tidak sabar ingin
berkenalan dengan Carl."
"Ma che cosa! Apa?" tanyaku.
"Carl," tegas Kerri.
"Carl?" ulangku.
"Betul," jawab Kerri. "Pacarmu masih Carl, kan?"
"Tapi dari mana Gino tahu Carl akan datang?" tanyaku kalut.
"Apa? Bagaimana ia tahu?" Kerri balas bertanya. "Aku yang
memberitahu dia." "Apa?" jeritku, hampir tidak percaya pada telingaku.
Kerri kelihatan agak cemas. "Kukatakan pada Gino, mereka
pasti gembira sekali mendapat kesempatan untuk berkenalan dengan
pacarmu," tuturnya. "Tak apa, kan, Pia? Maksudku, karena Carl ikut
rombongan kita ke Roma, kau pasti akan memperkenalkannya pada
keluargamu, kan? Benar nggak?"
"Ah, che male! Oh, tidak!" ratapku, menjatuhkan diri ke salah
satu kursi di meja makan itu lalu bertopang dagu.
"Waduh," seru Kerri lirih. "Apakah aku sudah merusakkan
rencanamu untuk memberi kejutan pada mereka?"
*********** Dua hari kemudian, aku dan teman-teman seapartemenku
menyusuri bandara bersama Sue Takamishu, editor mode Appeal, dan
Jane Freeman, stylist kami.
"Oke, kita akan naik pesawat ke Roma dari Gerbang Tiga
Puluh," kata Sue. Ia wanita keturunan Jepang yang berambut hitam
pendek dan berkacamata. "Biar Jane dan aku yang menangani urusan
check in-nya. Kalian bisa menunggu sambil duduk-duduk."
Sue dan Jane, wanita mungil yang berambut pirang sebahu dan
berponi, menuju gerbang. Kami menurunkan tas lalu duduk di kursi
plastik berwarna oranye. "Pia, aku benar-benar minta maaf," ucap Kerri, sewaktu duduk
di sebelahku. "Aku tak tahu keluargamu belum tahu tentang Carl."
"Sudah berkali-kali kukatakan, kalau itu bukan salahmu,"
jawabku, melicinkan celana palazzo-ku yang bersetrip-setrip. "Kau
tidak salah kok." "Kerri," tegur Cassandra yang duduk di sebelahnya, "dua hari
ini kau terus-menerus minta maaf. Pia kan sudah bilang itu bukan
salahmu." "Aku tahu," sahut Kerri. "Tapi aku merasa tidak enak."
"Hm, kau kan benar-benar tidak tahu," timpal Naira yang duduk
di sebelah kiriku. "Apa yang akan kaulakukan, Pia?" tanya Paige yang duduk di
seberang kami. "Apakah kau sudah mengambil keputusan?"
Aku menggeleng. Dua hari ini pikiranku tercurah semua pada
masalah itu, tapi aku belum juga bisa mengambil keputusan.
"Aku masih punya waktu dua hari untuk memikirkannya,"
ujarku. "Carl dan model cowok lainnya kan baru tiba di Roma pada
hari Sabtu." "Bolehkah aku memberi usul?" tanya Naira.
Aku mengangguk. Naira sangat bijaksana. Ia pasti punya jalan
keluar yang tepat untuk mengatasi persoalanku.
"Bagaimana kalau kauceritakan masalah yang sebenarnya pada
keluargamu?" Naira mengemukakan pendapatnya.
Aku mengeluh. Aku juga sempat berpikir seperti itu, tapi
kemudian terbayanglah kekecewaan keluargaku karena aku telah
membohongi mereka. "Kupikir, kau harus melakukan rencana yang semula," kata
Katerina yang duduk di samping Paige. "Katakan pada Carl
keluargamu bepergian ke luar kota, dan jangan bawa dia untuk
menemui keluargamu."
"Tapi bagaimana dengan keluarga Pia?" tanya Paige. "Mereka
kan berharap bisa bertemu Carl."
"Maksudmu, mereka ingin berjumpa dengan Carlo," ralatku
sedih. "Carlo, cowok Italia yang tinggal di New York sebagai model
Ford." "Huh, pasti sulit bagi Carl untuk berpura-pura menjadi orang
Italia, kan?" kata Kerri.
"Sama sekali tak mungkin," ujarku, menggeleng. "Ia sama
sekali tidak mirip cowok Italia. Selain itu, keluargaku pasti ingin ia
berbahasa Italia kalau bicara dengan mereka."
"Puxa, wow, aku jadi mendapat ide!" seru Cassandra tiba-tiba.
Ia menepuk celana ketatnya yang terbuat dari kulit hitam. "Bodoh,
kenapa tidak segera terpikirkan olehku! Aku tahu siapa yang paling
tepat untuk jadi Carlo!"
"Apa maksudmu?" tanyaku ingin tahu.
"Renzo," lanjutnya tanpa mengacuhkan pertanyaanku, senyum
lebar terpampang di wajahnya. "Aku yakin, ia pasti bisa
memerankannya." "Renzo?" ulangku. "Siapa dia?"
"Lorenzo Seccatura!"
"Model cakep berambut hitam yang kita lihat di Ford kemarin,
ya?" tegas Kerri. "Cowok yang bulan lalu ikut pemotretan edisi
khusus majalah Sauce, kan?"
"Betul. Ia cocok sekali," jawab Cassandra, mulai menghitung
dengan jarinya. "Pertama, ia orang Italia. Kedua, ia model Ford. Dan
ketiga, ia akan tiba di Roma bersama Carl dan model cowok lainnya
pada hari Sabtu!" "Aku mengerti!" seru Katerina. "Lorenzo akan pura-pura jadi
Carlo di depan keluarga Pia!"
"Entahlah," kataku. "Barangkali ini bukan ide yang baik, Cass."
"Jangan lakukan itu, Pia," tukas Naira pelan.
"Oh, jangan tolol!" seru Cassandra. "Rencana ini bagus. Renzo
pasti suka." "Kau yakin cowok itu mau melakukannya untukku?" tanyaku.
"Tentu!" sahut Cassandra. "Renzo itu senang main-main kok,
lagi pula ini kan penuh tantangan."
Aku berpikir sesaat. Di satu pihak, cara ini sepertinya tepat.
Renzo cowok Italia, dan ia akan ke Roma. Tak ada salahnya kalau
suatu malam ia kuajak menemui keluargaku dan mengenalkannya
sebagai Carlo, kan? Lalu aku berpikir lain. "Carl bagaimana?" tanyaku. "Ia pasti
tidak terima. Ia pasti marah karena aku mengajak cowok lain untuk
bertemu keluargaku dan mengatakan cowok itu pacarku."
Cassandra mengangkat alis. "Pia, Carl tidak akan sakit hati
kalau ia tidak tahu."
"Cass betul," timpal Kerri. "Kau tidak usah cerita apa-apa pada
Carl." Aku menggigit bibir. "Tapi aku tidak mau berbohong padanya."
"Itu kan bukan bohong betulan," bujuk Katerina. "Cuma... tidak
mau memberitahu." "Tapi Carl sudah berharap, kami akan selalu bersama-sama di
Roma nanti," ceritaku. "Pernah juga ia sampaikan keinginannya untuk
kuajak berkeliling kota. Mana mungkin aku meninggalkannya dan
mengajak Renzo menemui keluargaku?"
"Jangan cemaskan soal itu," tegur Cassandra. "Kami bersedia
menemani Carl." "Yeah," ujar Kerri. "Apalagi itu kan cuma semalam?"
"Pia, kuharap kau tak melakukannya," kata Naira. "Lebih baik
kaujelaskan keadaan yang sebenarnya pada keluargamu kemudian
kaupertemukan mereka dengan pacarmu yang sebenarnya."
"Aku yakin mereka pasti suka Carl, begitu mereka bertemu
dengannya," timpal Paige. "Carl sangat baik."
"Lupakan itu," tukas Cassandra. "Bagaimana kalau sebaliknya
yang terjadi? Bagaimana kalau mereka tak mau bicara sepatah pun
pada Carl? Yang mereka ingin temui kan cowok Italia."
Kemudian, kudengar pengumuman dari pengeras suara tentang
penerbangan ke Roma. Kami melihat Sue dan Jane bergegas-gegas ke
tempat kami. "Apa pendapatmu, Pia?" tanya Cassandra ketika kami samasama mengumpulkan tas. "Apakah harus kuceritakan semua rencana
itu pada Renzo setibanya dia di Roma?"
Aku berpikir sesaat. Aku sudah beberapa kali berbohong pada
keluargaku... apakah itu berbahaya? Apa pun akibatnya, itu kan
kulakukan demi kebahagiaan mereka. Kini aku tinggal melanjutkan
dustaku itu, memakai rambut palsu panjang dan mengajak Renzo
menemui keluargaku suatu malam. Rasanya itu jalan keluar terbaik.
"Si, ya," sahutku, menyandang tasku yang besar di bahuku.
"Ceritakan semuanya padanya dan beritahu aku reaksinya."
Bab 6 Esok harinya, pagi-pagi sekali kami telah dirias. Isabella, perias
wajah berkebangsaan Italia yang disewa oleh majalah Appeal,
membubuhkan eyeshadow di kelopak mataku. Aku duduk dengan
wajah menengadah dan mata tertutup di Hotel de la Roma, tempat
kami menginap selama berada di Roma.
"Apre," pintanya, menyuruhku membuka mata.
Kubuka mataku, dan ia pun mengoleskan maskara.
Di sebelahku duduk Naira, rambutnya yang hitam dan
berombak disanggul ke atas kepalanya oleh Matteo, penata rambut
yang juga berkebangsaan Italia. Model lain yang sudah ditata rambut
dan makeup-nya kini berada di kamar lain, sedang berganti pakaian
untuk pemotretan perdana di Roma yang akan dilakukan di Tangga
Spanyol, sebuah kawasan di dekat hotel.
"A destra, per favore," kata Matteo.
"Kau disuruh menoleh ke kanan," kataku pada Naira.
"Thanks," sahutnya.
Ketika Isabella membentuk garis bibirku, kupandang Naira.
Sepertinya sejak kejadian di bandara kemarin, ia jadi kurang ramah
padaku. Ia pasti tidak menyetujui rencanaku untuk membohongi
keluargaku. Tapi Naira kan tidak mengerti seperti apa tuntutan
keluargaku padaku. Aku tidak ingin mengecewakan mereka,
meskipun untuk itu aku terpaksa berbohong sedikit.
Sue Takamishu menyembulkan kepalanya di pintu kamar hotel.
Ia mengenakan pantalon hitam dan jaket pendek abu-abu yang
mengingatkanku pada salah satu rancangan Milo Manning yang
pernah kulihat di edisi terbaru majalah Fashion.
"Bagaimana keadaan di sini?" tanyanya, melihat arlojinya.
"Isabella, Matteo, apakah kalian hampir selesai?"
"Down?" sahut Matteo berbahasa Inggris dengan aksen Italia
yang kental. "Down, katamu?" Ia menunjuk sanggul di kepala Naira.
"Kau ingin sanggul ini diturunkan? Kalau tak salah kau tadi yang
minta sanggul ini diletakkan di atas, bukankah lebih elegan?"
"Sori?" tegas Sue, bingung.
"Bukan down, tapi done," jelasku. "Finito," aku
menerjemahkannya untuk Matteo. "Apakah Anda hampir selesai
menata rambutnya?" tanyaku berbahasa Italia.
"Ah, si," sahut Matteo, tersenyum mengerti. "Finito! Si, quasi."
"Ia bilang, 'Hampir'," kataku pada Sue.
"Thanks, Pia," sahutnya. "Untung ada kau yang bisa jadi
interpreter untuk kita semua." Ia tersenyum. "Oh, iya, aku akan
melakukan pemotretan di Finlandia minggu depan. Mungkin kau juga
mahir berbahasa Finlandia?"
"Mi dispiace, sori," jawabku, tersenyum padanya, "kalau bahasa
itu aku benar-benar nyerah deh."
Tak lama kemudian, Naira dan aku berkumpul di lobi hotel
bersama model-model lainnya. Kami semua memakai setelan celana
panjang sutra warna pastel rancangan Francesca Sposabella yang
indah dan melambai-lambai.
Paige memakai setelan biru pucat, indah sekali dipadukan
dengan rambutnya yang kemerahan. Cassandra mengenakan setelan
kuning pucat, membuat rambutnya yang gelap tampak semakin
menonjol. Naira memakai setelan hijau pucat, serasi sekali dengan
matanya yang hijau, dan Kerri kelihatan cantik dalam setelan pink
pucat. Katerina memakai setelan lembayung muda yang menjadikan
matanya tampak keunguan, dan aku sangat menyukai setelan peach
pucat yang kupakai. Setelan itu semuanya indah dan potongannya pas di tubuh kami.
Itulah sebabnya kenapa Francesca Sposabella bisa menjadi perancang
terkenal di dunia, bukan cuma di Italia. Aku memejamkan mata
sebentar dan membayangkan hasil rancanganku kelak dipakai untuk
pemotretan majalah seperti ini.
Lalu Sue muncul bersama laki-laki jangkung berambut gelap,
yang memakai celana hitam dan sweter hijau.
"Hai, ini Elio Biondi, fotografer kita," katanya.
Elio mengangguk. "Senang bertemu kalian," ujarnya berbahasa
Inggris. "Selamat datang di Roma."
Aku tersenyum. Memang enak berada di negara sendiri.
Kami berjalan keluar dan menuju Tangga Spanyol, tangga batu
lebar yang terkenal karena usianya yang sudah tua. Tangga Spanyol
ini mengarah ke teras luas yang menyambung ke Piazza di Spagna,
lapangan luas yang dikelilingi toko-toko.
Aku agak menggigil dalam setelanku yang tipis. Pekerjaan
sebagai model memang aneh karena kami harus dipotret untuk mode
beberapa bulan mendatang. Kami jadi sering memakai pakaian yang
tidak sesuai dengan cuaca, seperti mantel wol pada bulan Juli atau
bikini pada bulan Desember. Meskipun Roma lebih hangat dibanding
New York, setelan musim panas yang lembut rancangan Francesca
Sposabella ini tidak cukup melindungi tubuh kami dari udara pagi di
bulan Oktober yang dingin ini.
Elio dan Sue mengatur agar kami berdiri di tangga yang
berbeda-beda, sementara Jane sibuk merapikan pakaian kami dan
kalau perlu menyematkan peniti agar pakaian itu lebih melekat di
tubuh kami. Lalu Matteo dan Isabella dengan cekatan merapikan
rambut dan makeup kami; Elio bersiap di belakang kameranya.
Sewaktu Elio memotret, aku melihat piazza yang mulai ramai.
Beberapa pramuniaga sudah datang untuk membuka toko, dan para
pekerja segera memenuhi jalan. Kebanyakan pekerja itu berhenti
untuk minum kopi kental di warung kopi di seberang piazza. Warung
kopi memang sangat laku di Italia. Orang-orang berkumpul di sana
untuk saling bertemu dan mengobrol, atau hanya untuk membaca
koran. Sebetulnya di New York juga ada warung kopi khas Italia yang
disebut Cocoa Bean, letaknya tak jauh dari apartemen kami. Kalau
aku kangen dengan rumah, aku pergi ke sana untuk menikmati
cappuccino. Aku memandang ke segala penjuru. Ibu-ibu mengantar anaknya
ke sekolah dan orang-orang tua duduk di bangku sambil memberi
makan burung merpati. Alangkah senangnya aku karena nanti siang
dapat makan bersama keluargaku sendiri di restoran kami. Aku


Ford Supermodels Of The World 06 Wajah Baru High Style Karya Bb Calhoun di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

khawatir sedikit tentang rambut palsuku, tapi setidaknya aku merasa
agak tenang karena tidak harus mengenalkan "Carlo" pada keluargaku
sebelum hari Sabtu. Kuharap ide Cassandra dapat dilaksanakan, dan
Renzo dengan senang hati mau menolongku.
Suara Sue Takamishu menyadarkanku dari lamunan. "Oke,
Elio, apakah kau ingin kami berpindah tempat sekarang?" Ia
menunjuk balkon dari batu berukir di dekat tangga teratas. "Di atas
sana indah, kan? Mari kita coba!"
"Ya," sahut Elio. "Balkon itu akan jadi latar belakang yang
klasik buat pakaian mereka."
"Baiklah, gadis-gadis, ayo ke sana!" ajak Sue, mulai menaiki
tangga. "Naik terus ke atas."
"Hati-hati peniti kalian!" seru Jane.
"Anche i capeli!." teriak Matteo.
"Dan rambut kalian!" aku menerjemahkannya.
Elio menghabiskan beberapa rol film untuk pose kami di
balkon, dan kami kebanyakan mengatur gaya kami sendiri. Angin
bertiup sepoi-sepoi dan matahari mulai meninggi, membuat udara
terasa agak hangat. Beberapa jam kemudian, pemotretan selesai. Paige berpaling
padaku ketika kami sama-sama berjalan ke hotel.
"Siang nanti kau ikut pemotretan?" tanyanya.
Aku menggeleng. "Aku mau makan siang bersama keluargaku,"
jawabku. "Oh," katanya, mengangguk. "Aku akan ikut tur keliling kota
yang sudah diatur oleh Sue. Rencananya kami akan ke Forum."
"Ah, Forum... itu tempat yang menarik. Sebagian besar
reruntuhan kota Roma terdapat di situ. Pokoknya tempat itu indah
sekali." Paige berbisik. "Hei, Pia, saat makan siang dengan keluargamu
nanti, kau jadi memakai rambut palsu?"
"Si, ya," sahutku.
Paige kelihatan cemas. "Yakinkah kau mereka tidak akan
curiga? Maksudku, mereka pasti mengenalmu lebih dekat dari siapa
pun. Bagaimana kalau mereka tahu?"
"Aku sudah membeli bando lebar untuk menutupi batas antara
rambutku yang asli dan yang palsu agar tak kelihatan bedanya,"
jelasku. "Dan kalau rambutku kujalin ke belakang, kurasa tidak akan
kentara palsunya bila tidak diamati baik-baik. Aku yakin berhasil."
"Semoga begitu," ujar Paige. "Semoga nasibmu baik." Ia
tersenyum. "Jaga jangan sampai ada yang menarik kepang
rambutmu!" Aku tertawa. "Tak akan ada yang berani. Selamat bersenangsenang di Forum."
*********** "Ah! Stefano! Jangan!" seruku siang itu dalam bahasa Italia.
Aku lari mengitari meja panjang yang penuh dengan sanak familiku,
"Jangan!" pintaku. "Jangan sentuh rambutku!"
"Oh, Pia, sepupumu itu kan cuma bercanda!" kata Bibi Maria.
"Ia tidak akan menyakitimu."
"Ya, aku tahu," sahutku. Aku berhenti di ujung meja,
menghindari Stefano, bocah berumur lima tahun yang terus menariknarik kepang rambutku. "Hanya saja...," kataku agak gugup,
"rambutku harus tetap rapi karena sesudah makan siang aku ada janji
dengan fotografer penting."
"Maria, suruh dia berhenti mengganggunya," pinta ibuku, yang
duduk di kepala meja. "Pia bilang ia harus langsung menemui
seseorang." "Ah, ya, baiklah," sahut Bibi Maria. "Stefano! Jangan ganggu
sepupumu!" "Aku akan menjaganya," kata Marco, kakakku, meninggalkan
meja. Ia lari dan menangkap Stefano, lalu mengayunkannya ke atas
dan ke bawah. Stefano tertawa gelak-gelak. "Ini hukuman untuk
pengganggu adikku!" kata Marco pura-pura galak, sementara Stefano
memekik kesenangan. ebukulawas.blogspot.com
Aku menghela napas lega lalu duduk kembali di antara Bibi
Gina dan Theresa, sepupuku. Gawat, hampir saja rahasiaku
terbongkar. Pasti runyam kalau rambut palsuku tiba-tiba terlepas garagara ditarik-tarik Stefano!
"Marco!" tegur Gino, kakakku yang lain, ketika Marco terus
menggelitiki Stefano. "Jangan bikin ribut kalau Kakek sedang
makan!" Aku memandang Kakek yang duduk di ujung meja. Seperti
biasa, ia memakai jaket dan celana warna gelap serta kemeja putih.
Rambutnya yang tebal dan kelabu disisir rapi ke samping. Ia sedang
membungkuk di atas mangkuk supnya, dan menyendok sup itu pelanpelan ke mulutnya.
"Sup ini lezat," katanya dengan suara rendah.
Marco melepaskan Stefano lalu kembali duduk di tempatnya.
"Maaf, Kek," katanya.
Kakek tidak menyahut. Ia terus menghirup supnya. Seingatku,
menu makanan Kakek selalu sama setiap hari. Secangkir kopi dan roti
kadet untuk sarapannya; sup untuk makan siang dan makan
malamnya. Bagiku, aneh rasanya kalau ada orang yang mampu
menolak pasta lezat buatan ayahku, tapi kakekku bilang makanan itu
terlalu berlemak dan menggemukkan untuknya.
Pintu dapur terbuka dan ayahku muncul sambil membawa
nampan yang penuh dengan makanan.
"Ini sajian istimewa untuk Pia, kubuatkan makanan
kesukaannya," katanya mengumumkan. Ia meletakkan nampan di
ujung meja. "Capellini dengan saus krim!"
Ketika mendengar kata capellini, aku langsung teringat Carl,
dan hatiku terasa pedih. Meskipun baru sehari meninggalkan New
York, aku amat merindukannya. Kuharap ia ada di sini bersamaku,
duduk di meja ini bersama orangtua, kakek, kakak, paman dan bibiku,
serta sepupuku. Apalagi pernah kuceritakan pada Carl tentang
capellini buatan ayahku, aneh rasanya kalau ia tidak mencicipinya
padahal ia sudah ada di Roma.
Tapi, aku mengingatkan diriku, inilah yang terbaik. Baik bagi
siapa pun kalau rencana ini kujalankan. Seperti rencanaku dengan
rambutku ini. Ide rambut palsu ini bagus. Meskipun ada saat-saat
genting akibat ulah Stefano tadi, secara keseluruhan semuanya
berlangsung baik. Moga-moga urusan yang berkaitan dengan Carl
juga akan berjalan baik. Ayahku meletakkan mangkuk berisi pasta yang masih
mengepul di hadapanku. "Makanlah, Pia," suruhnya. "Kubuatkan saus krim yang agak
encer, kesukaanmu." "Terima kasih, Pappa," kataku, tersenyum padanya. "Sekarang,
duduklah dan makanlah bersama kami. Berjam-jam Pappa terus
berada di dapur, memasak untuk kami."
"Ya, Antonio," pinta ibuku. "Bergabunglah dan duduklah
bersama anak perempuanmu. Ia cuma beberapa hari di sini, dan ia
sibuk sekali dengan pekerjaan modelingnya. Sebisa mungkin kita
harus menemaninya." "Hm, baiklah, aku akan bergabung," kata ayahku. "Tapi
sebelumnya, mari kita bersulang." Ia mengambil gelas dari meja.
"Untuk kembalinya Pia."
"Ya, untuk adik bungsuku Pia," tambah Gino.
"Untuk Pia!" seru ibuku. "Selamat datang lagi di rumah!"
"Semoga bahagia dan sukses di New York," tambah Paman
Bernardo. "Semoga bahagia dan sukses juga untuk pacarmu, model Italia
yang tinggal di New York itu," kata Bibi Cristina. "Siapa namanya?
Bibi lupa." "Carlo," sahut Gino.
"Untuk Carlo," kata Bibi Maria.
"Untuk Carlo, yang ingin kami kenal," ujar Leo.
"Untuk Carlo!" seru Stefano.
"Untuk Carlo!" seru anggota keluargaku yang lain,
berbarengan. Ketika kami mengangkat gelas, aku memandang ke ujung meja.
Kulihat Kakek diam saja, tapi gelasnya terangkat sedikit, dan ia
mengerling padaku. "Ya," kuputuskan untuk berkata lirih sambil mengangkat
gelasku pada semua orang, "untuk Carlo."
Bab 7 "CARL!" seruku. Sabtu pagi itu aku menyeberangi lobi hotel
yang berlantai marmer, menghampiri keenam model pria yang sedang
check in. "Carl! Ini aku!"
Carl menoleh padaku. Mata birunya berbinar-binar dan senyum
lebar terkembang di wajahnya. Seperti biasa, ia benar-benar tampak
menarik. Ia memakai celana wol abu-abu dan sweter tebal yang serasi
sekali dengan rambut pirangnya.
"Snask!" panggilnya.
Aku memeluknya, dan ia balas memelukku erat-erat,
mengangkatku, dan memutarku.
"Kau cantik sekali," pujinya, mundur sedikit untuk
memandangku. "Grazie" sahutku, membungkuk padanya. Aku mengenakan
salah satu pakaian favoritku: overall longgar dari sutra berwarna
cokelat tanah dan T-shirt putih berenda yang berlengan panjang.
"Biar kutebak," kata Carl, nyengir. "Celana yang kaupakai ini
pasti... rancangan Chloe Dahi?"
"Bukan, tolol!" jawabku, tertawa. Aku meraih tangannya dan
menggenggamnya erat-erat.
"Wow, Carl, kau sungguh tahu bagaimana memperoleh teman
dengan cepat," terdengar seseorang bicara di belakangku.
Aku melepaskan tangan Carl dan menoleh, kulihat seorang
cowok jangkung, tegap, berambut hitam berombak, dan bermata gelap
dengan bulu mata panjang.
"Ja, ja, leluconmu lucu sekali," jawab Carl. "Ini Pia, pacarku
yang kuceritakan tadi di pesawat. Pia, ini Renzo. Ia berasal dari Italia
juga." "Kau orang Italia?" tanyaku ragu-ragu. "Tapi bahasa Inggrismu
mirip orang Amerika."
"Ketika aku kecil, tempat tinggalku berpindah-pindah, antara
Amerika dan Italia," jelas Renzo. "Ma sono veramente italiano, tapi
aku orang Italia tulen." Ia nyengir. "Kau sekarang percaya, kan?"
Aku mengangguk. Bahasa Inggris Renzo memang seperti orang
Amerika, tapi bahasa Italianya pun persis orang Italia.
"Wow! Ia percaya! Lega aku! Awas, Carl!" ujar Renzo.
"Pacarmu ini bukan cewek sembarangan!" Ia berhenti sebentar. "Dan
ia cantik sekali," tambahnya dalam bahasa Italia.
"Hei, hei," tukas Carl. "Jangan ngobrol dalam bahasa Italia
dong. Pia, tolong terjemahkan."
Aku ragu-ragu. Entah kenapa, aku tak ingin Carl tahu Renzo
memujiku. Tiba-tiba kudengar suara Cassandra bergema di lobi.
"Renzo, hai! Apa kabar?"
Cassandra melintasi lobi, ia memakai celana ketat merah dan
sepatu bot hitam semata kaki yang bertumit tinggi.
"Hai, Cassandra," sapa Renzo. "Kau juga ikut di pemotretan ini,
ya." "Betul," sahut Cassandra. "Kita sama-sama lagi. Oh, rupanya
kau sudah kenal Pia."
"Ya," kata Renzo. "Senang sekali berkenalan dengannya,"
tambahnya berbahasa Italia.
"Hei...," Carl mulai lagi, tapi Cassandra menyelanya.
"Wah, halo, Carl!" sapanya, menggenggam tangan Carl eraterat. "Aku senang ketika tahu kau ikut juga di pemotretan ini. Kita jadi
punya kesempatan untuk saling mengenal lebih akrab, ya. Maksudku,
karena kau cowok Pia dan lain-lain," tambahnya.
"Ya, ehm, aku juga," kata Carl, agak bingung.
"Bagus," ucap Cassandra. "Kapan-kapan mungkin kita bisa
pergi makan sama-sama. Dengan Pia, tentu. Kalau ia ada waktu."
Cassandra berpaling pada Renzo. "Dan kau, kau harus pergi ke cafe
kecil tapi menyenangkan yang kutemukan di dekat sini. Ada meja
yang menghadap Tangga Spanyol di bawahnya. Pemandangannya luar
biasa." "Menarik juga," komentar Renzo.
"Ya," jawab Cassandra. "Hei, setelah beres urusan kalian,
gimana kalau kita ke sana? Aku tak ada pemotretan sampai sore nanti.
Kita cuma harus memberitahu Sue ke mana kita akan pergi. Lalu kita
bisa makan siang atau jalan-jalan."
"Oke, aku sih setuju saja," kata Renzo. Ia memandangku. "Kau
mau ikut, Pia? Carl juga tentu!"
"Rasanya nggak deh," jawabku dingin. Aku kurang suka cara
Renzo menatapku. "Oke, tak apa, lain kali mungkin," kata Renzo sambil
mengangkat bahu. Ditepuknya punggung Carl. "Ayo, sobat. Kita cari
kamar kita." Carl menoleh padaku. "Aku akan segera kembali," janjinya, lalu
mengikuti Renzo ke meja reception.
Cassandra berpaling padaku. "Oke, Pia, kau tahu cafe kecil di
puncak Tangga Spanyol yang kuceritakan tadi, kan?" bisiknya.
Aku mengangguk. Aku sudah beberapa kali ke sana.
"Temui aku di sana dua puluh menit lagi," perintah Cassandra.
"Tanpa Carl." "Tapi untuk apa?" tanyaku.
"Untuk apa, katamu?" tukasnya jengkel. "Kita harus mengatur
rencana dengan Renzo."
Aku menggeleng. "Non posso, aku tak bisa, Cassandra," kataku.
Kulayangkan pandang ke arah Carl yang berdiri di meja reception di
sebelah Renzo, dan diriku dilanda perasaan bersalah. "Aku berubah
pikiran," tuturku pelan. "Rencana kita sebaiknya dibatalkan saja.
Rasanya tak adil buat Carl. Selain itu, aku kok kurang senang pada
Renzo." "Oh, jangan tolol!" seru Cassandra. "Itu karena kau belum kenal
baik dengannya. Pia, kau kan pintar bergaul dengan siapa pun. Lagi
pula, ini cuma untuk semalam. Ajaklah Renzo menemui keluargamu
malam ini, sekitar dua jam mungkin, lalu kau sudah bebas. Jangan
khawatir tentang Carl. Aku akan menemaninya."
"Hm... gimana ya..." Aku teringat acara bersulang yang
kulakukan pada waktu makan siang kemarin, betapa seluruh
keluargaku menanti-nanti kesempatan untuk berkenalan dengan
Memanah Burung Rajawali 16 Llano Estacado Karya Dr. Karl May Sejengkal Tanah Sepercik Darah 15
^