Pencarian

Sejengkal Tanah Sepercik Darah 15

Sejengkal Tanah Sepercik Darah Karya Kho Ping Hoo Bagian 15


"Lembu Sora, biarkan aku pergi. Pasukanku sudah kalah, apakah kau masih belum puas" Ingat, kita pernah menjadi sahabat ketika kau sebagai pengikut Raden Wijaya dan tinggal di Kediri"
"Ki Patih Kebo Mundarang. Kita adalah dua orang perajurit yang saling bermusuhan, kita berdiri di sini sebagai musuh dan lawan. Tidak perlu membicarakan masa lalu. Kau adalah wakil Kediri, sedangkan aku adalah prajurit Majapahit. Hayo kita selesaikan urusan kita sebagai laki-laki jantan yang berjiwa satria"
Ki Patih Kebo Mundarang tetap tidak bersemangat. "Lembu Sora, sekali lagi aku minta. Kasihanilah aku yang sudah tua. Aku tidak ingin berkelahi lagi, aku sudah mengaku kalah"
"Keparat pengecut. Apa kau ingin mati konyol begitu saja, dan ingin aku memanggil seorang perajuritku untuk membunuhmu?"
Bangkitiah kemarahan Ki Patih Kebo Mundarang. Biarpun dia merasa gentar, kalau dia tersudut dan tidak melihat jalan keluar, dia menjadi marah dan nekat. Dia kini membusungkan dadanya. "Keparat kau Lembu Sora. Aku sudah merendahkan diri dan minta belas kasihan, kau bahkan menghinaku. Hemm. Kau kira aku tidak akan sanggup menandingimu " Keparat kau"
Dan tiba-tiba saja Ki Patih Kebo Mundarang sudah mencabut kerisnya dan menyerang dengan tusukan ganas kearah dada Lembu Sora. Namun, Senopati Lembu Sora, bekas senopati Singosari yang kini menjadi senopati Majapahit itu sudah waspada sejak tadi. Dia mengenal kelicikan Ki Patih Kebo Mundarang, maka begitu lawan bergerak menyerang, dia sudah meloncat ke belakang sambil mencabut kerisnya.
"Nah, demikian baru bagus, Ki Patih Kebo Mundarang. Aku sengaja menghinamu agar bangkit kejantananmu. Kita adalah perajurit, maka mati di ujung keris merupakan mati yang terhormat, matinya seekor harimau jantan, bukan matinya seekor domba yang mengembik-embik minta belas kasihan"
"Babo babo, rasakan ampuhnya pusakaku" bentak Ki Kebo Mundarang lagi dan kini dia menyerang bertubi-tubi dengan gerakan cepat dan kuat.
Lembu Sora menggerakkan kerisnya menangkis dan terjadilah serang menyerang yang seru dan mati-matian.
Ki Patih Kebo Mundarang memang bukan orang yang lemah. Bahkan dibandingkan Lembu Sora, dia memiliki lebih banyak pengalaman dalam hal bertempur. Akan tetapi, dia kalah tenaga, dan terutama sekali dalam hal semangat. Apa lagi dia sedang putus asa melihat kehancuran pasukan yang dipimpinnya, bahkan melihat kehancuran Kediri sudah di depan mata. Inilah yang membuat tenaganya makin berkurang dan gerakannya kadang-kadang kacau. Mereka saling tusuk, saling elak atau tangkis. Setiap kali kedua batang keris itu bertemu dengan hebatnya tubuh Ki Patih Kebo Mundarang terhayung, tanda bahwa dia kalah tenaga. "Mampus kau" bentaknya ketika kerisnya meluncur ke arah leher Lembu Sora.
Senopati Majapahit ini menggerakkan kerisnya dari bawah ke atas, menangkis sambil mengerahkan tenaganya.
"Tranggg...." Pertemuan antara dua batang keris itu sekali ini teramat kuatnya dan keris patih itu terlepas dari tangan, jatuh ke atas tanah. Sebuah tendangan kaki Lembu Sora mengenai lututnya dan patih itupun terpelanting.
"Hemm, Ki Patih Kebo Mundarang. Kau belum terluka parah. Ambillah kerismu dan mari kita lanjutkan pertandingan ini" kata Lembu Sora yang tidak suka menyerang lawan yang sudah tak berdaya.
Ki Patih Kebo Mundarang memandang kerisnya yang jatuhnya tepat di depan kakinya, tinggal meraih saja. Akan tetapi, dia tahu bahwa kalau dilanjutkan pertandingan itu, akhirnya dia yang akan roboh dan tewas menjadi korban keris di tangan lawannya yang amat perkasa itu. Dia sudah merasa lelah dan lemah lahir batin, sedangkan Lembu Sora masih nampak demikian gagah dan penuh semangat. Teringatlah dia betapa ketika masih tinggal di Kediri, Lembu Sora pernah mengantarkan Raden Wijaya yang berkunjung ke rumahnya dan ketika Lembu Sora berjumpa dengan puterinya, Mayawati, sepasang mata senopati ini bercahaya, wajahnya berseri. Sebagai seorang tua yang berpengalaman, diapun tabu bahwa seperti para pria lain, Lembu Sora juga terpesona melihat kecantikan puterinya, Ingatan ini mendatangkan akal baginya.
"Lembu Sora, anak mas Lembu Sora. kau ampunkanlah aku, bebaskanlah aku dan jika tak akan melupakan budi kebaikan kau selamanya. Aku akan menyerahkan puteriku, Si Mayawati yang denok ayu, kepadamu. Nikahilah ia Lembu Sora, akan tetapi bebaskan aku. Bukankah kau suka kepada puteriku itu" Ingat, ia seorang perawan yang denok ayu, tiada bandingannya di seluruh Kediri......"
"Ki Patih Kebo Mundarang. Tutup mulutmu. Tidak malukah kau menawarkan puteri sendiri seperti barang dagangan, hanya untuk menyelamatkan nyawamu yang tiada berharga " Kau hendak menukar nyawa dengan kehormatan keluargamu " Betapa rendah dan hinanya"
Melihat sikap ini, tahulah Ki Patih Kebo Mundarang bahwa segala bujuk rayunya takkan termakan oleh Lembu Sora. Habislah harapannya dan timbul kembali kelicikannya dalam usahanya menyelamatkan diri. Tiba-tiba sekali dia menyambar keris di depan kakinya dan tanpa peringatan lebih dahulu. Diapapun meloncat dan menubruk, menyerang perut Lembu Sora dengan tusukan kerisnya. Gerakan ini Tiba-tiba datangnya dan cepat sekali, gerakan orang yang sudah nekat. Namun, Lembu Sora adalah seorang senopati yang sudah berpengalaman pula, dan sejak tadipun dia sudah bersikap waspada karena dia sudah mengenal orang macam apa adanya lawannya itu.
Maka, begitu lawan menubruk dengan serangan kerisnya, dia sudah cepat mengelak dengan menggeser kaki ke samping, kemudian dari samping, keris di tangannya menghunjam, tepat memasuki dada lawan dari arah kiri.
Ki Patih Kebo Mundarang terpekik, terbelalak, kerisnya terlepas, kemudian ketika Lembu Sora mencabut kerisnya, tubuhnya terkulai lemas dan tewaslah patih Kediri itu.
Kalau pertahanan di timur dan selatan mengalami kehancuran, di utarapun pasukan Kediri mengalami nasib yang tidak jauh beda. Induk pasukan Kediri dikerahkan untuk membendung serbuan lawan yang datang dari utara dan balatentara Kediri yang berjaga di utara ini paling besar dan paling kuat, merupakan induk pasukan. Bahkan Sang Prabu Jayakatwang sendiri maju memimpin pasukannya.
Akan tetapi, balatentara Kediri di bagian utara ini bertemu dengan pasukan yang dipimpin Raden Wijaya, yaitu orang-orang Majapahit yang bergabung dengan pasukan Madura, yang dipimpin oleh Arya Wiraraja atau Banyak Wide Bupati Sumenep, bahkan bergabung dengan pasukan induk dari balatentara Mongol yang amat kuat.
Perang campuh yang hebat terjadi di daerah utara ini, di sekitar pantai dan muara Sungai Brantas sampai ke Canggu. Diantara anak buah pasukan Mongol terdapat pula Lie Hok Yan. Pemuda ini memang baru saja menjadi perwira di dalam pasukan Mongol, berkat bantuan suhengnya, yaitu Kau Seng. Niatnya memasuki tentara hanya untuk meluaskan pengalaman, apa lagi ketika mendengar bahwa pasukan itu akan dikirim jauh ke negara lain di seberang lautan selatan. Dia belum berpangalaman dalam pertempuran besar dalam perang. Baru sekali ini dia mengalami pertempuran dan pemuda ini harus mengakui kehebatan para perajurit Mongol. Mereka itu adalah para perajurit yang berpengalaman, penuh keberanian dan di dalam perang, mereka itu sungguh buas dan ganas. Akan tetapi, segera Hok Yan merasa tak senang dan harus seringkali mengerutkan alisnya. menyaksikan kekejaman orang-orang Mongol itu Meraka itu tidak merasa puas kalau melihat musuh roboh sebelum membunuhnya dengan kejam.
Kemudian dia melihat kekejaman yang lebih mengerikan lagi, yaitu setiap kali pasukan Mongol mengalahkan musuh dan memasuki sebuah dusun, maka terjadilah kekejaman yang tiada taranya. Mereka itu membunuhi setiap orang dalam dusun itu, tua muda laki perempuan, setelah lebih dahulu memperkosa wanita-wanita mudanya. merampoki barang-barangnya. Semua ini mereka lakukan secara kejam seperti binatang buas. Tahulah dia mengapa Bangsa Mongol dapat mengalahkan seluruh daratan Cina, bahkan sampai berhasil memperluas kekuasaan jauh ke barat.
Kiranya semua hasil baik itu bukan hanya berdasarkan siasat perang yang ampuh, melainkan terutama sekali karena semangat mereka yang bernyala-nyala, kekejaman yang haus darah, dan ketrampilan mereka, membuat mereka itu masing-masing merupakan iblis berujud manusia yang amat mengerikan. Dia sendiri merasa muak dan tidak mampu berbuat apa-apa, karena biarpun dia seorang perwira, namun hanya perwira rendah saja. Kekuasaannya tidak besar. Apa lagi dia seorang Han, bukan orang Mongol sehingga kalau sampai dia menyinggung perasaan orang Monggol, seorang perajuri biasapun kalau dia seorang Mongol tentu akan berani melawannya.
Selagi Sang Prabu Jayakatwang dan pasukannya melakukan perlawanan mati-matian di bagian utara, di luar kota raja Kediri, di dalam istana terjadi hal yang hebat pula. Semua senopati Kediri diberangkatkan untuk menyambut musuh, maka kota raja kosong dan hanya dijaga oleh puluhan orang perajurit pengawal saja.
Kesempatan ini dipergunakan oleh Resi Mahapati, yaitu Jaka Pati murid Pranamaya yang berhasil menjadi pendeta di Kerajaan Kediri. Sebagai seorang pendeta aliran penyembah Syiwa, Resi Mahapati memperoleh kepercayaan dari Sang Prabu Jayakatwang, dan sedikit demi sedikit dia mulai memupuk kekuasaan di Kediri. Ketika melihat betapa Kediri terancam bahaya, dia sama sekali tidak ikut berperang. Hal ini mudah saja baginya karena sebagai seorang pendeta, tentu saja bukan kewajibannya untuk maju berperang seperti perajurit. Diam-diam dia memperhatikan perkembangan perang itu dan mengatur siasat.
Ketika dia mendengar bahwa pertahan di timur sudah jebol, juga di selatan pasukan Kediri mengalami kekalahan besar, Resi Mahapati cepat mengumpulkan para pendeta kerajaan. Ada tiga belas orang kepala pendeta berbagai aliran di Kediri, dan Resi Mahapati yang telah berhasil menarik kepercayaan Prabu Jayakatwang, merupakan seorang diantara para kepala yang berkuasa.
"Sudah jelas bahwa Kediri akan kalah. Musuh akan menyerbu ke sini, dan kalau kita tidak cepat mengambil tindakan, tentu kita semua akan dibasmi musuh, kita semua akan tewas" katanya setelah mereka semua berkumpul.
"Memang kita harus mengambil tindakan" kata seorang diantara mereka. Semua orang menengok dan dia adalah Resi Mahaprana, seorang pendeta keturunan India yang tubuhnya tinggi dan kulitnya hitam. Sebetulnya. dia adalah pendeta tertua. Juga paling ahli dalam soal keagamaan sehingga para pendeta yang lain menganggap dia sebagai guru dalam soal keagamaan. Selain itu, juga dia yang usianya sudah enam puluh lima tahun itu dikenal sebagai seorang yang digdaya. "Kita tidak boleh tinggal diam. Kita harus cepat keluar dari sini dan membantu pasukan yang di pimpin Sribaginda untuk menghalau musuh"
Resi Mahapati tersenyum memandang kepada pendeta tua itu, Dia tahu bahwa satu-satunya orang yang akan menentangnya dengan keras tentu pendeta ini karena diantara mereka memang sudah ada perasaan bersaing dan tidak suka, saling bermusuhan secara diam-diam.
"Hemm, Sang Bhagawan Mahaprana. Kita adalah pendeta, bagaimana kita harus bertempur seperti perajurit" Pula, apa artinya bantuan kita dengan anak buah kita yang hanya ratusan orang jumlahnya, dan rata-rata mereka hanya pandai berdoa saja akan tetapi tidak pernah latihan bertempur" Tidak, kurasa tidak benar sama sekali kalau kita keluar membantu pasukan Kediri untuk melawan musuh"
Para pendeta yang lain menyambut dengan bisik-bisik, dan jelas bahwa hanya ada tiga orang yang menyetujui keinginan Bhagawan Mahaprana, sedangkan yang lain menyetujui pendapat Resi Mahapati. Mereka yang berpihak kepada Bhagawan Mahaprana adalah terdorong oleh kesetiaan mereka terhadap Sribaginda. Akan tetapi sebagian besar dari mereka memang tidak pernah bertempur, maka membayangkan pertempuran saling bunuh itu saja sudah membuat mereka merasa ngeri.
Mendengar ucapan Resi Mahapati itu, Sang Bhagawan Mahaprana yang memang tidak suka kepada Resi Mahapati yang amat dicurigainya sebagai seorang yang tidak patut menjadi pemuka agama, tersenyum pahit. "Resi Mahapati, kalau membantu pasukan Kediri menghalau musuh kau katakan tidak benar, lalu bagaimana yang benar" Apa yang harus kita lakukan menurut pendapatmu?"
Resi Mahapati tersenyum. "Kita adalah orang-orang bijaksana yang suka akan suasana damai, bukan perang. Kita harus pula cerdik dan melihat suasana yang menguntungkan bagi agama kita. Jelas bahwa Kediri akan jatuh. Kalau kita mati-matian membela Kediri, itu berarti kita akan mati konyol. Oleh karena itu, sebaiknya kalau kita membuat persiapan menyambut Raden Wijaya yang kuyakin pasti ukan memperoleh kemenangan"
Wajah Bhagawan Mahaprana berubah kemerahan, namun dia masih menahan kemarahannya ketika bertanya, "Persiapan yang bagaimana kau maksudkan, Resi Mahapati?"
"Kita harus menguasai istana Kediri dan mengatur agar istana dibuka dan menyerah, tidak ada perlawanan apa bila Raden Wijaya memasukinya, dan kita sambut Raden Wijaya sebagai seorang raja baru yang menjadi junjungan kita dan....."
"Cukup." Sang Bhagawan Mahaprana membentak dengan suara lantang penuh kemarahan. Dia bangkit berdiri dan memandang kepada Resi Mahapati dengan mata melotot, tongkat di tangan kirinya gemetar, lalu telunjuk tangan kanan menuding ke arah muka Resi Mahapati.
"Mahapati, kau seorang pengkhianat jahanam. Kau ular kepala dua yang harus dibasmi dan dilenyapkan dari permukaan bumi?"
Resi Mahapati tertawa. "Haha, Bhagawan Mahaprana, kau hanyalah seorang pendeta tua yang lemah dan mau mati. Kau dapat berbuat apa terhadap diriku" Aku bertindak demi keselamatan semua anggauta, agar kita dapat beribadat dengan baik dan tenteram, bukan melibatkan diri dengan pertempuran dan pertumpahan darah"
"Pengkhianat. Pemberontak. Saudara-saudara para pendeta, siapa diantara kau yang setuju dengan aku untuk membasmi pengkhianat Mahapati ini?" Bhagawan Mahaprana menengok ke arah para pendeta yang hadir di situ. Para pendeta itu saling pandang dengan bingung, dan akbirnya hanya ada tiga orang pendeta tua yang bangkit dan menghampiri Sang Bhagawan Mahaprana, dan berdiri di belakangnya. Para pendeta lain tetap duduk dan menundukkan muka karena mereka lebih condong menyetujui Resi Mahapati yang lebih menguntungkan.
"Resi Mahapati, kami berempat harus menangkapmu karena jelas bahwa kau seorang pengkhianat dan pemberontak" kata Bhagawan Mahaprana sambil melangkah maju.
Akan tetapi Resi Mahapati tersenyum dan dia bahkan melangkah maju pula. "Bhagawan Mahaprana, aku memberi jalan kehidupan yang baik kau malah memilih jalan kematian yang gelap. Nah kalau aku tidak mau ditangkap, kalian berempat mau apa?" Dia menantang akan tetapi diam-diam dia sudah siap siaga. Resi Mahapati adalah murid tersayang dari Ki Buyut Pranamaya, tentu saja dia memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Hal itu tidak begitu diketahui oleh para pendeta lainnya, karena memang Resi Mahapati pandai menyembunyikan kedigdayaannya, hanya menonjolkan pengetahuan agamanya.
"Resi Mahapati, karena kau jelas berkhianat dan memberontak, kami atas nama Sribaginda, menangkapmu. Kalau kau tidak mau menyerah, terpaksa kami menggunakan kekerasan" kata Sang Bhagawan Mahaprana yang menoleh kepada tiga orang rekannya. "Mari kita tangkap dia"
Tiga orang pendeta itu melangkah maju dan mereka menjulurkan tangan untuk menangkap Resi Mahapati yang mereka anggap sebagai seorang pengkhianat dan pemberontak itu. Melihat ini, Resi Mahapati diam-diam mengerahkan tenaga saktinya lalu. dia bergerak dengan teriakan lantang melengking.
"Haayyyytttt.........."
Terdengar pekik tiga kali dan tiga orang pendeta tua itupun roboh terpelanting dan tewas seketika dengan mulut mengeluarkan darah dan mata terbelalak. Mereka telah menjadi korban pukulan ampuh, yaitu aji pukulan Margaparastra. Sekali saja terkena pukulan ini pada dada mereka, tiga orang pendeta itu roboh dan tewas. Dan pukulan bertubi itu datang amat cepatnya.
"Kau........ kau berani membunuh mereka........?" Sang Bhagawan Mahaprana terbelalak, membentak marah lalu tongkatnya bergerak menyerang Mahapati dengan dahsyat. Namun, Resi Mahapati memang sudah siap siaga. Dia mengelak dengan loncatan ke samping. Ketika tongkat itu menyambar lagi, dia menangkap ujung tongkat itu, kakinya melayang dan tepat mengenai lengan kanan lawan. Bhagawan Mahaprana terkejut, terpaksa melepaskan tongkatnya dan kini tongkat itu berbalik menyambar ke arah kepalanya Sang Bhagawan bukan seorang lemah, namun dibandingkan Resi Mahapati, dia masih kalah jauh. Dia pernah mempelajari aji kesaktian, akan tetapi tidak pernah melatih diri karena dia tidak membutuhkan kepandaian itu, maka, diapun termasuk lemah kalau dibandingkan Resi Mahapati yang selain menguasai aji-aji yang sakti juga tekun berlatih diri.
Menghadapi ancaman tongkatnya sendiri, Bhagawan Mahaprana mengerahkan tenaganya dan menangkis karena tidak mungkin mengelak dari sambaran tongkat yang amat cepat itu.
"Krakkk" Tongkat itu patah-patah ketika bertemu lengan Sang Bhagawan, akan tetapi pendeta tua itupun terhuyung ke belakang. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Resi Mahapati. Diapun menubruk ke depan, tangannya bergerak menyambar dengan pukulan Aji Margaparastra. Bhagawan Mahaprana mencoba untuk melindungi diri dengan menangkis, namun ketika lengannya bertemu dengan tangan Resi Mahapati, dia menyeringai dan tangan lawan itu tidak dapat ditahannya, terus menyambar dan menampar kepalanya.
"Prokk" Tubuh Sang Bhagawan Mahaprana terjengkang dan diapun roboh tewas seketika karena kepalanya retak-retak terkena hantaman tangan ampuh Resi Mahapati.
Para pendeta lainnya menjadi panik melihat pembunuhan atas diri empat orang rekan mereka itu. Akan tetapi dengan sikap tenang Resi Mahapati berkata, "Harap kau tidak menjadi bingung. Mereka memang sepantasnya dilenyapkan. Kau melihat sendiri bahwa merekalah yang menyerang lebih dulu tadi, dan kalau mereka tidak dilenyapkan, maka tentu kita semua kelak menjadi mati konyol di tangan Raden Wijaya dan para pengikutnya. Sekarang, sebaiknya kalau dengan diam-diam kita menyingkirkan mayat-mayat ini, kemudian kalian ikut dengan aku untuk menguasai istana sehingga kelak kita dapat menyambut penguasa baru dengan baik dan tentu kita akan membuat jasa besar dan menerima anugerah"
Karena istana memang sudah kosong, hanya para puteri, para dayang, selir dan sedikit pengawal saja yang tinggal, dengan mudah Resi Mahapati menguasainya, dibantu oleh para pendeta lain dan juga anak buah para penganut agama penyembah Syiwa.
*** Perang yang dilakukan di sebelah utara kota raja, yaitu perlawanan dari pasukan induk yang dipimpin sendiri oleh Sang Prabu Jayakatwang dan para senopatinya yang pilihan, merupakan usaha mati-matian dari raja itu untuk mempertahankan kekuasaannya. Namun, kekuatan lawan terlampau besar. Orang-orang Majapahit merupakan pejuang-pejuang yang hendak membangun kembali Singosari yang telah dikhianati Kediri, dalam hati mereka terkandung keinginan membalas kekalahan mereka, maka merekapun menganggap perang itu sebagai perjuangan menuntut hak mereka dan merekapun bertempur dengan penuh semangat.
Orang-orang Madura memang pemberani dan gagah perkasa dalam pertempuran, terbiasa dengan kehidupan yang keras baik di daratan yang tidak subur atau di laut yang setiap saat diancam gelombang dan badai. Adapun pasukan Mongol memang merupakan orang orang ahli bertempur. Sejak kecil mereka sudah bertempur, maka tentu saja mereka itu liar, buas dan ganas, menggiriskan hati musuh.
Betapapun Prabu Jayakatwang mencoba untuk membendung penyerbuan musuh, tetap saja dia kewalahan. Apa lagi setelah benteng di timur dan di selatan jebol, Banyak pula yang ditawan, menyerah dan sisanya melarikan diri cerai berai. Prabu Jayakatwang sendiri akhirnya ditawan oleh panglima pasukan Mongol, yaitu Ji Kau Mosu. Raja ini ditawan dan dipenjarakan di benteng pertahanan pasukan Mongol, yaitu di muara Sungai Brantas yang disebut Ujung Galuh. Dia dijaga ketat akan tetapi diperlakukan dengan baik karena oleh para pimpinan pasukan Mongol, Prabu Jayakatwang, hendak diserahkan kepada sekutu yang pertama kali menghubungi mereka, yaitu Arya Wiraraja Bupati Sumenep, yang menjanjikan banyak kepada mereka kalau Kediri sudah jatuh.
Antara Raden Wijaya dan Arya Wiraraja " sudah terdapat kesepakatan yang mereka direncanakan jauh hari sebelum perang dimulai dan sebelum mereka bergabung dengan pasukan Mongol. Maka, sesuai dengan rencana itu, begitu pertahanan Kediri jebol, Raden Wijaya yang mendahului semua pibak, rnembawa pasukan pilihan dan dibantu para pengikutnya yang setia cepat memasuki kota raja Kediri. Menurut rencana mereka berdua, istana Kerajaan Kediri harus lebih dulu mereka kuasai untuk mencegah kerusakan yang tentu akan terjadi kalau pasukan Mongol lebih dulu memasukinya.
Dan harapan Raden Wijaya ternyata terpenuhl dengan amat mudahnya. Tanpa disangka sebelumnya, ketika dia dan pasukannya hendak menguasai istana Kerajaan Kediri, muncuilah Sang Resi Mahapati dan para pengikutnya, menyambut dengan hormat dan mempersilakan pangeran itu menguasai istana dengan tenang dan damai, tanpa perlawanan apapun karena sebelumnya, istana itu memang sudah lebih dulu "diamankan" oleh Resi Mahapati dan kawan-kawannya.
Tentu saja Raden Wijaya menjadi girang sekali, menganggap bahwa Resi Mahapati telah berjasa besar dan ini yang menjadi sebab mengapa kelak setelah Raden Wijaya menjadi Raja di Majapahit, dia menerima Resi Mahapati menjadi seorang diantara para ponggawanya, mengangkatnya sebagai pendeta kepala atau pendeta istana bagi agama penyembah Syiwa di Majapahit.
Dan sesuai dengan rencana yang telah diatur oleh Raden Wijaya dan Arya Wiraraja, istana Kediri dapat diselamatkan dari perampokan yang tentu dilakukan pasukan Mongol yang buas dan ganas itu, dan para puterinya juga dapat diselamatkan dari penghinaan dan perkosaan. Namun, Raden Wijaya dan Arya Wiraraja terpaksa harus menutup mata dan membiarkan pasukan Mongol melampiaskan nafsu angkara murka mereka yang mabuk kemenangan itu atas diri para penduduk kota raja Kediri.
Mereka itu seperti biasa yang mereka lakukan kalau pasukan memperoleh kemenangan di manapun, berpesta pora dengan kekejaman yang mengerikan. Merampok, membunuh, memperkosa.
Melihat semua akibat ini, sakit rasa hati Pangeran Raden Wijaya dan cepat dia mengadakan pertemuan rahasia dengan Arya Wiraraja. Bupati Sumenep ini mendapatkan sang pangeran duduk termangu dengan wajah duka, dan tentu saja Arya Wiraraja terkejut dan terheran. Mereka baru caja mendapatkan kemenangan yang gemilang, akan tetapi kenapa Raden Wijaya tidak merasa gembira bahkan berduka "
Setelah mempersilakan Bupati Sumenep itu duduk, Raden Wijaya lalu mengeluh. "Aduh, Paman Arya Wiraraja, apa yang harus kita lakukan sekarang " Lihat saja sepak terjang para perajurit Tartar itu. Mereka seperti bukan manusia lagi, begitu buas, ganas dan kejamnya. Melihat mereka mengganas terhadap para penduduk Kediri, ahh....."
Arya Wiraraja meraba-raba kumisnya. "Pangeran, sudah jamak kalau mereka yang kalah, menderita dan menjadi budak dari mereka yang menang. Ketika orang-orang Kediri mengalahkan Singosari, bukankah terjadi pula jarah-rayah yang tidak jauh bedanya terhadap orang-orang di Singosari" Anggap saja bahwa hal itu adalah hukum karma"
Hiburan ini tidak meredakan kedukaan hatl Raden Wijaya. "Akan tetapi, paman. Melihat orang-orang Kediri yang juga sebangsa dengan kita, bahkan ada pertalian kekeluargaan antara Singosari dan Kediri. kini disiksa dan dihina oleh orang-orang Tartar, bagaimana hati ini tidak menjadi sakit?"
"Masih baik bahwa rencana kita berjalan dengan baik, Pangeran, Istana Kediri seisinya darat kita selamitkan dari tangan mereka"
"Akan tetapi, bagimana kalau mereka menuntut janji paman kepada mereka" Bukankah paman berjanji akan menyerahkan puteri-puteri Kediri untuk mereka bawa dan mereka persembahkan kepada raja mereka" Dan kalau dibiarkan mereka itu tinggal lebih lama di sini, tentu rakyat akan mergalami penderitaan hebat. Mereka itu puluhan ribu orang banyaknya, kesemuanya laki-laki yang buas dan ganas, penuh nafsu. Mereka membutuhkan wanita. Ah, paman, ngeri saya membayangkan apa akan jadinya kalau mereka itu menuntut janji, menuntut agar para puteri Kediri diserahkan kepada mereka, dan kalau sampai mereka mengganas dan menculiki para wanita dari rakyat kita"
Arya Wiraraja menarik napas panjang. Dia adalah seorang yang sudah banyak makan asam garam dunia, sudah banyak mengalami psristiwa dalam kehidupan ini. Dia tahu pula apa akibat perang. Nyawa rakyat menjadi murah. Wanita diperhina dan harta benda dirampok. Apa yang ditakutkan Pangeran itu memang dapat terjadi.
"Pangeran, dalam keadaan seperti ini, mengapa pangeran melupakan para pembantu yang setia" Hamba usulkan agar pangeran memanggil semua pembantu pangeran dan kita menjadakan rapat kilat mengatur siasat bagaimana baiknya menghadapi pasukan Tartar itu"
Berseri wajah Raden Wijaya mendengar ini. Dia seperti baru teringat. Tentu saja para pembantunya yang gagah perkasa itu akan dapat menemukan akal untuk mengatasi hal ini. Makin banyak kepala makin banyak pula akal yang dapat dihasilkan. Cepat Raden Wijaya memanggil semua pembantunya dan tak lama kemudian, di ruangan yang paling dalam dari istana Kediri, mereka telah mengadakan rapat. Raden Wijaya dan Arya Wiraraja yang memimpin, dihadap oleh para senopati yang setia.
Setelah Arya Wiraraja menceritakan kepada para senopati itu apa yang membuat Sang Pangeran gelisah dan berduka, mereka segera tenggelam ke dalam pemikiran yang mendalam.
Ken Sora dan beberapa orang senopati lain, sebagai orang-orang gagah perkasa yang menjunjung tinggi kehormatan dan kejujuran, tidak melihat jalan lain kecuali memenuhi janji Arya Wiraraja kepada para pimpinan pasukan Mongol itu.
"Paman Arya Wiraraja" kata Ken Sora dengan sikap tenang, "paman telah berjanji bahwa kalau sampai mendapat kemenangan, maka kita akan menyerahkan para puteri Kediri untuk dihadiahkan kepada raja orang-orang Mongol dan membiarkan mereka membawa puteri-puteri itu ke negara mereka. Bagaimana mungkin kita melanggar janji?"
"Akan tetapi, bukan hanya nasib para puteri itu yang menggelisahkan hatiku" kata Raden Wijaya. "Bagaimanapun juga, mereka tentu akan diperlakukan dengan hormat sebagai hadiah dari kami kepada raja mereka, dan di sanapun mereka tentu akan diperisteri oleh raja dan orang-orang berkedudukan tinggi sehingga nasib mereka terjamin. Yang merisaukan hati kami sesungguhnya adalah sepak terjang pasukan Mongol itu. Mereka begitu buas dan ganas, kalau dibiarkan terlalu lama di sini tentu akan terjadi kerusakan besar dan kesengsaraan yang berlarut-larut pada rakyat jelata. Mereka begitu mudah membunuh, merampok dan menculik wanita. Bagaimana sebaiknya kita harus bertindak terhadap semua itu?"
Para senopati itu terdiam. Merekapun sudah tahu akan hal itu dan mereka tidak mampu berbuat apapun. Bukankah pasukan Mongol itu telah berjasa besar" Dan bukankah yang diganggu mereka adalah orang-orang Kediri, yaitu pihak musuh yang kalah"
Tiba-tiba Ronggo Lawe bangkit berdiri. Senopati muda ini terkenal gagah perkasa, berani, dan amat keras hati. Diapun sudah merasa tidak senang dengan sepak terjang orang-orang Mongol itu, maka kini, mendengar akan isi hati junjungannya, diapun mendapat kesempatan untuk menyatakan ketidak senangan hatinya itu.
"Harap paduka jangan khawatir dan jangan bersikap lemah, Gusti Pangeran" Suaranya Lantang dan semua mendengarkan penuh perhatian "Memang kalau dibiarkan, bisa rusak Kediri oleh pasukan setan itu. Bahkan siapa tahu mereka belum puas dan akan mengalahkan paduka pula. Oleh karena itu, untuk mencegah terjadinya hal-hal yang merugikan, kita harus bertindak. Kita sergap dan kita hancurkan mereka"
"Hemm, mudah saja kau bicara" Arya Wiraraja mencela. "Mereka itu merupakan kekuatan yang tangguh, tidak mudah dikalahkan begitu saja. Apa lagi, kau semua sudah melihat sendiri betapa para perwira mereka pandai memainkan senjata pedang sehingga mereka akan merupakan lawan yang sukar dikalahkan"
--oo0dw0oo-- Jilid 23 Tamat "SAYA tidaki takut! Kanjeng Pangeran, kalau tidak ada senopati yang berani menentang mereka, biarlah hamba vang maju dan hamba akan basmi mereka itu!"
"Hemm, kakang Ronggo Lawe, bagaimana caranya andika akan membasmi orang - orang Mongol itu?" tanya Raden Wijaya sambil menahan senyum, kagum melihat keberanian senopati itu, akan tetapi juga tidak mau sem-barangan saja menuruti kemauannya, karena senopati ini hanya mengandalkan kekerasan dan keberanian saja sehingga kadang kurang perhitungan.
"Hamba akan memimpin pasukan dan menyerbu benteng mereka, membunuh mereka semua!" kata Ronggo Liwe.
"Dan engkau akan mati konyol !" kata Arya Wiraraja mencela. Puteranya stu terlalu berani akan tetapi kurang perhitungan.
"Apa artinya mati dalam perjuangan" Aku rela mati, aku tidak takut mati untuk membasmi musuhi" kata Ronggo Lawedenpan marah.
Riden Wijaya mengangkat tangan dan Ronggo Lawe menunduk, duduk kembali. "Kakang Ronggo Lawe, kita semua memang tidak takut mati, akan tetapi kalau andika nekat menyerbu lalu mati di tangan mereka, lalu apa artinya engkau mengorbankan nyawa begitu saja " Apa hasilnya dan apa pjla keuntungannya bagi kita?"
Ditanya demikian, Ronggo Lawe bengong dan barulah dia sadar akan kekeliruannya. Memang dia terlalu terburu napsu Kalau dia nekat dan gagal, bukan saja dia mati konyol, juga pasukannya mati konyol dan Raden Wijaya akan menderita kerugian hebat. Bahkan mungkin pasukan Mongo! akan menyerang dan menghancurkan orang orang Majapahit. Dan kalau semua itu terjadi, maka dialah yang bersalah!
"Kanjeng pangeran, kalau begitu, sebaiknya menggunakan siasat, menggunakan tipu muslihat agar para pimpinan mereka dapat kita hancurkan I" katanya pula.
"Hmm, nanti dulu, Ronggo Lawe!" kata Lembu Sora, yaitu paman Ronggo Lawe. Lembu Sora yang tinggi besar dan gagai perkasa itu adalah adik Arya Wiraraja. "Kita adalah orang-orang gagah yang menjunjung kebenaran dan keadilan, bagaimana dapat mempergunakan muslihat dan akal busuk?"
Ronggo Lawe memandang pamannya dan matanya bersinar-sinar. "Paman Lembu Sora. Di dalam perjuangan, tidak selamanya harus menggunakan kuatnya tulang otot dan tebalnya kulit belaka! Bukankah selama inipun kita telah menggunakan siasat" Kita menghambakan diri ke Dana, bukankah itu siasat " Kita menarik pasukan Mongol untuk bersekutu, bukankah itu juga muslihat" Untuk mencapai kemenangan, apa salahnya menggunakan siasat dan akal muslihat Nah, karena dengan menggunakan okol (kekuatan badan) agaknya kiia tidak akan mampu mengatasi orang-orang Mongol, maka jalan satu-satunya hanyalah akal!"
Semua orang mengangguk angguk menyetujui pendapat ini. Bahkan Lembu Sora tertawa "Ha-ha ha, andika memang pandai, Ronggo Lawe. Akan tetapi siasat yang bagaimanakah dapat kita pergunakan untuk mengusir orang-orang Mongol itu ?"
"Benar sekali pertanyaan itu, kakanp Ronggo Lawe. Muslihat apakah yang dapat kita pergunakan ?" tanya Raden Wijaya.
Mendengar pertanyaan Raden Wijaya ini, Ronggo Lawe termenung, lalu memandang ke kanan kiri, kepada semua senopati yang hadir, kemudian dia menjawab. "Wah, mohon paduka, sudi mengampuni hamba. Hamba adalah orang yang biasa mempergunakan okol, bukan akal. Oleh karena itu, mengenai siasat, hamba serahkan saja kepada para pinisepuh ( orang-orang tua) dan saudara-saudara tua yang hadir di sini."
Ramailah mereka berbincang-bincang mencari akal yang baik untuk dapat mengusir orang orang Mongol. Akhirnya Arya Wiraraja jugalah, sang ahli siasat itu, yang mengemukakan siasatnya dan yang diterima oleh semua orang. Dengan penuh rahasia mereka lalu mengatur siasat dan membagi tugas untuk melaksanaan siasat itu.
Siasat direncanakan dan setelah matang, beberapa hari kemudian Raden Wijaya mengirim utusan ke benteng pasukan Mongol yang sedang bersenang senang karena memperoleh kemenangan. Utusan itu menyampaikan undangan Raden Wijaya bagi semua pimpinan pasukan, dari para panglimanya sampai semua perwiranya. Mereka diundang ke istana Kediri, untuk menerima jamuan makan merayakan kemenangan, dan untuk menerima puteri-puteri yang dijanjikan oleh Arya Wiraraja kepada para panglima pasukan Mongol.
"Hendaknya para undangan memasuki ruangan pesta tanpa membawa senjata." demikian pesan Raden Wijaya kepada utusannya. "Karena para puteri itu selalu merasa ketakutan kalau melibat senjata. Semua senjata agar dititipkan pada para penjaga di luar ruangan pesta. Dengan demikian, barulah pesta akan berlangsung dengan meriah dan para puteri tidak akan merasa ngeri dan ketakutan, bahkan akan merasa gembira karena mereka akan diserahkan kepada orang-orang yang lemah lembut dan tidak suka menggunakan senjata yang menggiriskan hati."
Selain undangan itu, juga akan disediakan jamuan makan minum untuk para perajurit Mongol di dalam benteng Ujung Galuh dan di sepanjang muara Kali Brantas. Daging dan tuak (arak) berlimpahan, dihibur pula oleh nyanyian dan tarian yang menggairahkan dan menggembirakan oleh ratusan orang ledek yang dikerahkan untuk perayaan kemenangan itu.
Tiga orang panglima pasukan Mongol, yaitu She Pei, Kau Seng, dan Ji Kau Mosu tidak mempunyai dugaan buruk, tidak pernah bercuriga dan menerima baik undangan itu. Dan sebelum tiba hari undangan itu, Lie Hok Yang menghadap suhengnya di kamarnya.
"Suheng, aku telah melaksanakan tugas sampai akhir, tepat seperti yang kujanjikan kepadamu. Oleh karena itu, sekarang aku mohon perkenan suheng untuk mencari tunanganku itu. Aku akan menikah dengan tunanganku itu, dan kalau ia mau kuajak pulang ke Cina, sukurlah."
"Bagaimana kalau ia tidak mau ikut denganmu ke utara?" tanya Panglima Kau Seng.
"Kalau demikian, terpaksa aku yang tinggal di sini, suheng. Aku terlalu mencintanya dan aku mau berkorban apa saja. Kalau ia tidak mau, aku akan tinggal selamanya di sini."
Kau Seng menghela napas dan menggeleng-geleng kepalanya. Akan tetapi, sebagai seorang yang sudah berpengalaman, dia tahu apa artinya orang muda yarg sedang jaluh cinta. Bagaimanapun juga, Hok Yan telah memperlihatkan diri sebagai seorang perajurit yang baik, sudah memenuhi tugasnya. Kini hanya tinggal pulang ke utara saja, maka tidak ada keberatan apapun untuk memberi ijin".
"Baiklah, sute (adik seperguruan) Akan tetapi jangan tergesa-gesa, sebaiknya tunggu kalau sudeh selesai kita menghadiri perjamuan yang diadakan oleh Pangeran Raden Wijaya."
"Tidak, suheng (kakak septrguruan) Aku tidak ingin berpesta. Aku khawatir akan keselamatan Sumilah. Entah bagaimana keadaannya ketika terjadi perang. Aku harus segera mencarinya, suheng. Maafkan kalau aku tidak dapat ikut hadir dalam pesta itu "
"Akan tetapi, engkaupun berjasa, dan engkau berhak memperoleh hadiah yang tentu akan dibagi-bagikan oleh Raden Wijaya."
Lie Hok Yan menggeleng kepala. "Aku tidak menginginkan hadiah apapun, suheng. Sumilah merupakan hadiah yang tak ternilai harganya bagiku."
Panglima Kau Seng hanya bisa menggeleng-geleng kepala saja dan dia membekali sutenya itu dengan sekantung kecil emas dan perak. Hok Yan meninggalkan kota raja Kediri dengan hati yang lapang dan kaki yang ringan. Pergi ke tempat tinggal Sumirah. Betapa akan bahagianya pertemuannya dengan kekasihnya itu! Dan dia tahu bahwa Sumirah telah mengungsi ke dusun Klintren, di sebelah selatan Singosari.
-ooo0dw0ooo- "Tolooonggg........ ah, tolooongg ........!"
Terdengar jerit wanita di malam hari itu. Penduduk dusun itu menjadi panik, yang berada di luar rumah cepat berlarian masuk ke dalam. Pintu-pintu rumah dan jendela-jendela rumah ditutup rapat, dian-dian dimatikan dan seluruh penghuni dusun itu bersembunyi di dalam rumah, ketakutan.
Perasaan ketakutan mencekam hampir semua dusun semenjak terjadi perang antara Majapahit dan Kediri. Penjahat-penjahat merajalela, para perampok bermunculan bahkan bertambah banyak. Belum lagi ulah para perajurit yang memperoleh kemenangan, terutama sekali para perajurit asing, orang-orang Mongol yang buas dan ganas mengerikan itu I
Apa saja yang merintangi mereka, dibabat. Kanak-kanak orang tua, siapa saja, dibunuh sambil tertawa-tawa. Wanita muda, apalagi yang bersih, diperkosa dengan ganas. Rumah-rumah dibakar, harta kekayaan dirampok.
Malam hari itu, ada belasan orang memasuki dusun dan merekapun melakukan perampokan dengan bebas tanpa ada yang berani menghalangi mereka. Jerit dan lolong terdengar dari wanita-wanita yang hendak diperkosa, tangis anak-anak yang ketakutan dan teriakan orang-orang yang disiksa karena mempertahankan harta kekayaan mereka yang dirampok. .
"Tolooonggg........ lepaskan aku, ahhhh,tolooonggg .......!" Akan tetapi, siapakah di
antara penghuni dusun yang berani menolong wanita yang menjerit-jerit dari sebuah rumah itu " Setiap orang sudah ketakutan, setiap keluarga mengkhawatirkan keselamatan sendiri.
Akan tetapi tiba-tiba nampak dua sosokan bayangan berkelebat memasuki dusun itu. Mereka adalah Nurseta dan Wulansari. "Aku menolong wanita itu, kakangmasl" kata Wulansari yang berkelebat cepat menuju ke rumah dari mana terdengar jeritan wanita itu. Nurseta juga berlari ke arah rumah terdekat dari mana terdengar teriakan orang yarig agaknya dipukuli,'di antara tangis kanak-kanak.
Sekali dorong, daun pintu rumab itu jebol dan Wulansari memasuki kamar yang diterangi lampu tempel itu. Wajahnya seketika berubah merah sekali ketika ia melibat seorang laki-laki tinggi besar sedang bersitegang menggumuli seorang gadis yang berusaha mempertahankan diri agar tidak ditelanjangi oleh laki. laki yang terkekeh - kekeh dan menggeram seperti seekor binatang buas itu.
"Keparat jahanam!" bentak Wulansari.
Laki-laki itu terkejut dan melepaskan gadis itu, membalik dan matanya terbelalak, lalu dia menyeringai. "Wah, ada yang lebih cantik!" katanya seperti kepada diri sendiri dan bagaikan seekor harimau dia menerkam ke arah Wulansari. Akan tetapi, gadis perkasa ini menyambutnya dengan tendangan kaki kiri ke arah dada.
"Ngukkk I" Laki-laki itu terjengkang, matanya terbelalak, mulutnya memuntahkan darah segar dan diapun terbanting keras lalu berkelojotan sekarat! Wulansari tidak memperdulikannya lagi, lalu berkelebat keluar.
Wulandari dan Nurseta mengamuk dan belasan orang penjahat yang ternyata adalah perampok - perampok yang mempergunakan kesempatan selagi perang berkobar lalu merajalela di dusun itu, roboh bergelimpangan. Delapan orang perampok roboh dan tewa?, sisanya melarikan diri di kegelapan malam. Setelah para penduduk dusun tahu dan mendengar bahwa ada dua orang muda perkasa yang membasmi belasan orang penjahat itu, timbal keberanian mereka. Obor dipasang dan merekapun berdatangan dan berkumpul.
Wulansari dan Nurseta menghadapi mereka. Semua orang kagum bukan main melihat bahwa seorang di antara dua orang muda itu adalah seorang gadis yang cantik jelita. Apa lagi mendengar dari gadis yang hampir diperkosa tadi bahwa gadis cantik itulah yang menyelamatkannya dan membunuh penjahat yang hampir memperkosanya.
"Andika sekalian begiai banyak jumlahnya. Yang pria saja tidak kurang dari tigapuluh orang belum yang tua - tua dan yang wanita. Kalau andika bersatu, kami kira tidak mungkin belasan orang jahit itu berani mengganggu andika sekalian " Nurseta berkata dengan suara mengandung teguran.
Kepala dusun yang juga hadir tersipu........
"Kami...... kami tidak berdaya, kerajaan sedang mengalami perang dan kami......."
"Andika kepala dusun di sini ?" Wulansari bertanya dan ketika yang ditanya mengangguk, Wulansari berkata, "Kenapa andika begini lemah dan penakut " Kalau negara sedang aman, boleh andika mengandalkan penjaga keamanan dari pemerintah. Akan tetapi dalam keadaan parang, andika sekalian haruslah pandai menjaga diri sendiri dari serbuan orang jahat ! Kalau kalian bersatu menghadapi penjahat untuk melindungi keluarga sendiri, tentu kekuatan kalian cukup besar dan tidak mudah para perampok itu datang mengganggu."
Setelah dua orang muda perkasa itu memberi banyak nasihat, barulah para penghuni dusun itu menyadari kelemahan mereka. Bang kit semangat mereka dan mulai malam hari itu juga, mereka bersatu padu dan bertekad untuk menjaga dan menyelamatkan dusun mereka sendiri.
Demikianlah pekerjaan yang dilakukan Nurseta dan Wulansari setiap harinya. Mereka menjelajahi dusun-dusun, membasmi penjahat dan menuntun para penduduk dusun untuk membentuk pasukan keamanan sendiri, untuk bersatu padu dan membela dusun sendiri dari gangguan penjahat.
Ada pula mereka mendapatkan beberapa buah dusun yang memang sudah memiliki pertahanan yang kuat terhadap gangguan gerombolan sehingga selama perang berlangsung, dusun-dusun ini selamat dari gangguan. Tentu saja hanya dusun yang tidak dilanda atau dilewati pasukan yang berperang sajalah yang selamat. Dusun-dusun yang dilewati pasukan, apa lagi pasukan Mongol, mengalami kerusakan hebat. Banyak sekali dusun , yang termasuk wilayah Kediri dan dilewati pasukan Mongol. diamuk oleh pasukan yang buas itu di mana terjadi pembunuhan, perampokan dan perkosaan.
Memang pasukan Mongol terkenal sekali sebagai pasukan yang selain berani mati dan kuat, juga amat buas, ganas dan kejam sekali. Agaknya keistimewaan inilah ciri khas pasukan Mongol dan mungkin justeru karena itu pasukan Mongol berhasil menyerbu ke mana-mana dan menaklukkan banyak negara. Sejak kebangkitan mereka yang pertama, di bawah pimpinan Jenghis Khan yang dahulu ketika mudanya bernama Temucin, pasukan Mongol menjadi besar dan jaya, dan karena sepak terjangnya itu maka ditakuti dan banyak negara di barat menyerah sebelum diserbu.
Nurseta dan Wulansari menjadi marah sekali mendengar akan keganasan pasukan Mongol, apa lagi melihat bekas kekejaman mereka pada beberapa dusun yang mereka lalui. Bahkan, sempat pula mereka berdua menghajar beberapa orang perajurit Mongol yang berkeliaran dan mengganas di dusun-dusun. Setiap kali bertemu dengan perajurit Mongol yang sedang mengganas di dusun-dusun, tentu dua orang muda perkasa ini tidak tinggal diam dan tidak mau memberi ampun lagi.
Ketika mereka memasuki daerah Singosari untuk melakukan perondaan di sana, Wulansari teringat akan Sumirah. Ia mengajak Nurseta untuk berkunjung ke dusun Klintren, selain untuk meronda di sana, juga untuk menengok keadaan Sumirah dan orang tuanya, yaitu Lurah Kalasan yang mengungsi di dusun Klintren. Murseta menyetujui dan pergilah mereka menuju dusun itu.
-oo0dw0oo- Lie Hok Yan mendengar akan keganasan pasukan Mongol, bahkan melihat sendiri akibat keganasan itu di beberapa buah dusun yang dilewati pasukan itu ketika dia melakukan perjalanan mencari Sumirah. Diam-diam dia merasa penasaran dan berduka, dan teringat dia akan keadaan di negerinya sendiri. Banyak sudah dia mendengar dari orang - orang tua di negerinya betapa ketika pasukan Mongol dahulu menyerbu ke selatan, rakyat di negerinya juga menderita hebat karena keganasan orang Mongol. Tadinya, cerita itu hanya seperti dongeng saja baginya. Akan tetapi kini dia menyaksikannya sendiri dan hatinya memberontak. Diam - diam dia menyesal mengapa dia ikut membantu pasukan itu karena terbujuk suhengya. Akan tetapi kalau dia teringat bahwa kini dia telah keluar dari pasukan, telah bebas dari ikatannya dengan pasukan Mongol, hatinya girang sekali. Apa lagi membayangkan Sumirah yang akan menyambutnya dengan penuh kebahagiaan dan kasih sayangi Dengan penuh semangat Hok Yan melanjutkan perjalanannya mencari kekasihnya.
Dia maklum bahwa kalau dia mengenakan pakaian sebagai perwira Mongol, keadaannya berbahaya sekali. Pula, dia merasa malu memakai pakaian perwira Mongol. Kini dia bukan perwira Mongol, melainkan seorang yang bebas. Untuk mempermudah perjalanannya, dia-pun mengenakan pakaian yang biasa dipakai seorang laki - laki pribumi yang umum. Tidak banyak perbedaan antara dia dan pemuda pribumi, kecuali matanya yang sipit. Akan tetapi pakaian itu membuat perbedaan pada matanya itu tidak terlalu menyolok. Biarpun lidahnya masih amat sukar untuk menyebut suara "r", selalu diucapkan "I", namun dia sudah menguasai Bahasa Jawa cukup baik sehingga dia dapat bertanya-tanya kepada orang di jalan di mana adanya dusun Klintren.
Akhirnya, setelah melakukan perjalanan yang tidak mengenal lelah hampir dapat dikata siang malam karena terdorong kerinduan hatinya untuk dapat cepat bertemu dengan kekasihnya, pada suatu siang dia tiba di dusun Klintren. Matahari telah mulai condong ke barat, tengahari sudah lama lewat dan sinar matahari tidak begitu menyengat lagi, walaupun panas masih memanggang bumi.
Dengan jantung berdebar tegang, hati dipenuhi harapan, Hok Yan memasuki dusun yang nampak sunyi itu. Dia melihat seorang laki-laki tua berjalan terbongkok - bongkok dari depan. Hatinya girang dan dengan berdebar tegang dia menghampiri kakek itu.
"Paman, selamat sore, paman." kata Hok Yan denpan sikap hormat.
Kakek itu berhenti melangkah, mengangkat muka memandang dan sinar matanya penuh keheranan dan selidik. Kalau saja pada saat itu Hok Yan mengenakan pakaian perwira Mongol, tentu kakek itu tanpa ragu-ragu lagi akan menggigil ketakutan atau lari terbirit-birit. Akan tetapi pakaian dan sikap Hok Yan membuat dia bingung dan heran, juga ragu-ragu.
"Selamat sore, siapakah andika dan ada apakah.......?" Ujarnya dengan mata tetap memandang penuh selidik dan dahi berkerut.
"Maafkan kalau saya mengganggu, paman. Saya hanya ingin bertanya di mana rumah Sumilah........"
Kakek itu semakin tertarik. Pemuda tinggi, tegap ini bicara dengan sikap sopan sekali, akan tetapi suaranya pelo
"Sumilah...... ?"
Hok Yan maklum akan ketidakjelasan lidahnya menyebutkan nama kekasihnya itu. Betapa seringnya dia melamunkan hal itu, teringat ketika Surairah mentertawakannya karena dia keliru menyebutkan nama gadis itu. Maka diapun berusaha keras, seperti yang sering dilatihnya seorang diri kalau teringat akan kepeloannya, dan menyebutkan nama gadis itu, memberi tekanan kepada suara " r " agar
orang tua itu menjadi jelas. "Sumi........ rah, paman." Bukan main sukarnya menggetarkan ujung lidah untuk mengeluarkan bunyi "r" itu walaupun untuk itu dia sudah seringkali berlatih !
"Ooo, Sumirah " Nanti dulu....... Sumirah...... ' Petani tua itu mengingat-ingat.
"Anu, paman, puterinya Ki Saldu....... eh ...... Sardu....... du."
Kini kakek itu terbelalak. "Ah, kiranya Sumirah piteri Ki Sardu itu yang kautanyakan" Kisanak, siapakah andika dan apa hubunganmu dengan keluarga itu?"
Dengan hati girang karena ternyata kakek ini mengenal keluarga Sumirah,. Hok Yan segera menjawab, "Mohon kebaikan hatimu, paman. Di manakah mereka tinggal" Saya adalah seorang...... sahabat baik keluarga itu. Saya..... saya ingin sekali melihat mereka dalam keadaan selamat setelah adanya geger ini........, katakanlah, paman yang baik. Di mana mereka?"
Melihat gairah orang muda itu menanyakan keadaan keluarga Ki Sardu, kakek itu merasa kasihan sekali. Dia menarik napas panjang beberapa kali, kemudian dengan pandang mata penuh iba dia berkata, "Mari kita bicara di biwah pohon itu. ki-sanak."
Wajah Hok Yan berubah pucat dan hatinya seperti ditusuk. Dia merasa sesuatu yang amat tidak enak. Tanpa dapat mengeluarkan kata-kata diapun mengikuti kakek itu duduk di atas batu di bawah pohon asam di tepi jalan.
"Ada .... ada apakah, paman.......?" Akhirnya dia dapat bertanya dengan jantung berdebar tegang.
Kakek itu menghela napas dan menggeleng-geleng kepalanya. "Ketahuilah, ki-sanak. Dusun Klintren ini dilanda malapetaka ketika terjadi perang."
"Apa yang terjadi, paman " Bagimana dengan Sumilah dan keluarganya?" Dia sudah tidak perduli lagi akan kepeloannya ketika menyebut nama kekasihnya. Suaranya bahkan gemetar penuh kekhawatiran.
"Pada suatu malam, segerombolan perajurit Daha datang mengganas di dusun ini. Beberapa orang tewas di tangan gerombolan itu, termasuk....... Ki Sardu dan isterinya "
"Ahhhh........!" Sepasang mata yang sipit itu terbuka lebar. "Dan bagaimana dengan Sumilah?" tanyanya hampir berteriak.
"Sumirah........ ia dilarikan gerombolan, diculik pergi dari dusun ini........"
Hok Yan meloncat berdiri, demikian cepatnya sehingga kakek itu terkejut.
"Paman........ paman yang baik........ katakan, lalu bagaimana nasib Sumilah " Ah,
katakanlah, paman......." Suara Hok Yan kini benar-benar menggigil karena dia sudah membayangkan hal yang amat buruk, malapetaka yang menimpa diri kekasihnya. Bahkan ayah ibu Sumirah telah tewas I
Melihat kakek itu tidak mampu menjawab, Hok Yan menabahkan hatinya bertanya, "Paman, apakah la........ sudah....... mati pula?"
Sikap Hok Yan itu mengusir semua .'keraguan di hati kakek petani itu. Kalau orang jabat, tidak mungkin bersikap seperti pemuda bermata sipit in', pikirnya. Jelas bahwa pemuda ini kelihatan terkejut dan bersedih sekali mendengar akan malapetaka yang menimpa keluarga Ki Sardu.
"Ia tidak mati, orang muda. Tapi........ tapi ia......."
Hok Yan memegang lengan kakek itu. Hampir saja dia lupa dan karena dia menatap: wajah kakek itu, baru dia tabu bahwa kakek itu menyeringai kesakitan, maka dia melepaskan cengkeramannya. "Paman yang baik........ tapi mengapa" Di mana ia .......?"
"Orang muda, engkau lihatlah sendiri. Ia berada di tanah kuburan, di sebelah barat dusun ini, di luar dusun. Tengoklah ke sana...."
Hok Yan sudah meloncat hendak pergi. "Nanti dulu, orang muda. Katakan dulu siapa andika!" Orang tua itu berseru.
"Nama saya Hok Yan paman I" kata Hok Yan tanpa menengok lagi dan dia sudah berlari menuju ke luar dusun sebelah barat.
Petani tua itu termangu-mangu. "Hok Yan......." Hok........ wah, kalau begitu dia
orang Cina Tar-tar?" Dan terbongkok-bongkok kakek ini bergegas pulang ke rumahnya.
Sementara Itu, dengan hati yang tidak karuan rasanya, Hok Yan keluar dari dusun itu dan berlari ke arah barat, Mudah saja mencari tanah kuburan itu. Tanah kuburan di dekat tegal rumput dan ada sungai kecil mengalir di situ. Mudah dikenal karena banyaknya pohon kamboja tumbuh dan ditanam orang di tempat itu.
Ketika dia tiba di luar tanah kuburan, dia melibat belasan ekor kerbau sedang makan rumput dan terdengar suara beberapa orang anak penggembala berteriak - teriak dan tertawa-tawa, datangnya suara dari dalam pekarangan kuburan itu.
"Kabiso! Kabiso! Ha-ha-ha, Kabiso!" Terdengar suara kanak - kanak itu berteriak dan tertawa-tawa. Tiba-tiba terdengar suara wanita, melengking tinggi.
"Hi bi-hi hik! Ha-ha-ha! Kabiso! Mampus kamu, Kabiso, digantung dan disayat-sayat! Ha-ha-ha, puas hatiku, kamu mampus tersiksa, Kabiso. Hi hi-hi-hik!" Menyeramkan sekali suara itu, bahkan Hok Yan sendiri yang berhati tabah merasa betapa bulu tengkuknya meremang mendengar teriakan diseling suara ketawa ini. Akan tetapi agaknya anak-anak penggembala kerbau itu sudah terbiasa dan mereka tidak merasa takut lagi. Kini anak-anak itu berteriak dan sekali ini Hok Yan menjadi pucat.
"Hoyan-Hoyan-Hoyan .......! Di mana engkau, Hoyan........"' Anak - anak jitu berteriak-teriak dan kembali terdengar suara wanita itu, kini tidak lagi melengking nyaring penuh kegembiraan, melainkan bercampur tangis.
"Hok Yan........ uhu-hu-huuuuhbh....... aih, Hok Yan........ di mana engkau, Hok Yan........
Uhu-huuuuuhh....... kembalilah, Hok Yan........ ayah dan ibu........ uhu-huuuuh, mereka sudah tewas....... Hok Yan........ Hok....... Yaaaaannn ........!" Dan suara wanita itupun menangis tersedu-sedu.
Menggigil kedua kaki Hok Yan. Kini dia tidak ragu lagi. "Sumilah......!" bisiknya dan,
diapun lari ke dalam pekarangan kuburan itu dan apa yang dilihatnya membuat dia seperti berubah menjadi arca hanya terbelalak memandang ke depan.
Seorang wanita, dengan rambut riap riapan, pakaian lusuh, kotor dan kusut, compang camping seperti jembel terlantar, beriutut di depan dua pundukan tanah kuburan, menangis dan tersedu-sedu. Empat orang anak berusia kurung lebih tujuh tahun memperolok-oloknya. Agaknya anak-anak itu sudah terbiasa dengan pemandangan ini, maka mereka dapat menirukan ulah dan suara wanita itu dan memancing untuk menggodanya.
Setelah dapat menenangkan hatinya yang mengalami guncangan hebat, Hok Yan lalu meloncat ke dekat anak-anak itu dan membentak, "Anak-anak nakal! Hayo kalian pergi, kalau tidak tentu akan kupukul kalian!"
Empat orang acak - anak itu terkejut setengah mati ketika tiba-tiba saja muncul seorang laki-laki yang tidak, mereka kenal, dan mendengar bentakan Itu, mereka lalu melarikan diri tunggang langgang dan cepat menggiring kerbau mereka meninggalkan tempat itu.
Hok Yan melangkah menghampiri wanita yang masih berlutut sambiI menangis itu. Dia masih meragu. Benarkah ini Sumirah" Gadis jelita kekasihnya itu" Tunangannya itu" Benarkah perempuan yang menjijikkan karena kotor dan gila ini calon isterinya"
"Sum........ Sumilah........I" dia memanggil lirih, suaranya gemetar.
Wanita itu tiba-tiba berhenti menangis, lalu mengangkat mukanya memandang laki - laki yang menghampirinya itu. Mereka saling pandang dan Hok Yan merasa jantungnya seperti disayat pedang beracun. Wajah itu masih ada bekas kecantikannya, akan tetapi sekarang nampak kotor berlepotan lumpur, mulut itu menyeringai setengah tertawa setengah menangis, sepasang mata itu agak kemerahan, sebagian muka tertutup rambut yang kotor dan gimbal. Seluruh tubuh itu kotor dan pakaiannya menjijikkan. Agaknya wanita ini tak pernah berganti pakaian, tak pernah mandi dan tulang tulangnya menonjol di balik kulit yang kotor.
"Sumilah.......!" Hok Yan tidak ragu lagi sekarang.
"Hok Yan......." Hok....... Hok Yan,......?"
Bibir itu koma kamit, lalu wanita itu menjerit,, "Hok Yan........!!"
"Sumilah! Aih, Sumilah...... kekasihku.....!"
Hok Yan menjatuhkan diri berlutut di depan wanita itu dan merangkulnya.
"Hok Yan ......" Apakah mungkin........kau .......... kau benar Hok Yan ........ " Kau.......
kau benar datang.......?" Mata yang kemerahan itu penuh air mata berderai dan sejenak pandang mata itu waras.
"Sumilah, ini benar aku. Hok Yan.......i Ah, Sumilah, mengapa engkau sampai begini......." Hok Yan mendekap dengan hati penuh haru dan iba.
"Hok Yan! Engkau benar Hok Yan........ ah, engkau benar Hok Yan!" Wanita itu kini memandang dengan wajah berseri, lalu iapun merangkul pemuda itu dan menangis, mengguguk di dada Hok Yan. Hok Yan merangkulnya dan mencium bau yang apak dan tidak enak. Keadaan kekasihnya itu seperti binatang saja, bahkan lebih kotor lagi !
Tiba - tiba Sumirah tertawa. "Ha-ha-hi-hi-hik, Kabiso! Kamu mampus tersiksa ! Ha ha........"
"Sumilah, ingatlah........!" Hok Yan menghiburnya.
"Hok Yan" Hik-hik, tahukah engkau, Hok Yan "Kabiso disiksa, tubuhnya digantung jungkir balik, disayat sayat penuh darah.....hi-hik !" Dan tiba-tiba gadis itupun menangis lagi. "Hok Yan, ayah dan ibu ....... merekamati....... mati....... hu - hu - huuhh......."
Pada saat itu terdengar suara ribut - ribut. .
"Itu dia I Tangkap Cina Tartar itu!"
"Lihat, dia menangkap Sumirah!"
"Cegah dia ! Bunuh dia I"
Hok Yan terkejut dan menengok. Ternyata ada puluhan orang penduduk dusun Klintren yang membawa senjata seadanya, linggis cangkul alu keris dan sebagainya, berbondong memasuki pekarangan kuburan itu dan 'mengepungnya!
Hok Yan maklum bahwa penjelasan tidak ada gunanya. Yang penting, Sumirah harus diselamatkan dan dibawa pergi dari tempat ini untuk diobati. Akan tetapi, dalam keadaan seperti gila itu, Sumirah dapat menjadi pengganggu, maka diapun cepat menggerakkan tangan menotok tengkuk gadis itu. Sumirah mengeluh dan terkulai lemas, pingsan. Hok Yan cepat memanggul tubuh gadis yang sudah pingsan itu. Melihat ini para penduduk dusun itu menjadi semakin marah, yakin bahwa Cina Tartar itu "tentu seorang perajurit Mongol yang ganas dan jahat, dan jelas hendak menculik Sumirah yang gila. Mereka berteriak - teriak dan menerjang Hok Yan dengari serangan senjata mereka yang bermacam-macam itu. Hok Yan dikepung dan dikeroyok. Pemuda ini hanya khawatir kalau sampai tubuh kekasihnya terkena senjata tajam, maka diapun terpaksa menangkis dan merobohkan para pengeroyoknya dengan tendangan atau dorongan tangan kanan, sedangkan tangan kirinya memanggul tubuh Sumirah. Dia tahu bahwa orang - orang dusun ini salah sangka. Mereka bukan orang jahat, bahkan bermaksud menolong Sumirah yang mereka kira akan diculik. Oleh karena itu, Hok Yang membatasi tenaganya dan hanya merobohkan mereka untuk mencari jalan keluar, bukan bermaksud melukai mereka, apa lagi membunuh.
Sementara itu, Nurseta dan Wulansari kebetulan tiba di dusun Klintren pada sore hari itu.. Ketika mereka melihat orang-orang dusun berlarian sambil membawa alat senjata, mereka terkejut dan bertanya - tanya apa yang sedang terjadi.
"Apakah ada perampok mengganggu dusun ?" tanya Nurseta. "Kalau demikian halnya, kami akan membantu kalian !"
"Bukan perampok ! Lebih berbahaya lagi Ada seorang Cina Tar-tar mengamuk dan hendak menculik seorang gadis 1" kata seorang di antara mereka sambil lari.
Mendengar ini, Nurseta dan Wulansari tidak banyak bertanya lagi dan merekapun lari cepat menuju ke kuburan di sebelah barat luar dusun itu. Dan ketika mereka tiba di sana, benar saja mereka melihat seorang laki-laki yang memanggul tubuh seorang gadis yang agaknya pingsan, dikepung dan dikeroyok oleh banyak orang dusun. Dan melihat gerakannya, jelas bahwa orang itu amat gesit dan kuat. Melihat ini, Wulansari menjadi marah.
"Hemm, hanya seorang pengacau. Biar aku yang menangkapnya !" Dan lapun meloncat ke medan perkelahian sambil berteriak, "Saudara sekalian mundurlah ! Aku yang akan menangkapnya !" Ia menyuruh para pengeroyok mundur, bukan hanya karena ia sungkan untuk mengeroyok orang, akan tetapi terutama sekali ia tidak ingin melihat penduduk ada yang terluka atau tewas, juga ia mengkhatirkan gadis yang dipanggul oleh pengacau itu, kalau-kalau terkena bacokan senjata tajam. Mendengar teriakan Wulansari, para pengeroyok yang memang sudah gentar melihat ketangguhan orang yang hendak menculik Sumirah itu, segera berloncatan mundur,
"Lepaskan gadis itu!" bentak Wulansari dan tubuhnya menerjang ke depan, tangan kiri mencengkeram ke arah kepala Hok Yan, tangan kanan hendak merampas tubuh Sumirah yang dipanggul pemuda itu.
Melihat serangan yang mendatangkan angin pukulan dahsyat itu, Hok Yan terkejut. Cepat dia mengelak ke belakang dan tangan kanannya digerakkan menangkis serangan ke arah kepalanya.
"Dukkk!" Keduanya terkejut dan melompat ke belakang ketika merasakan getaran hebat pada lengan mereka karena pertemuan tenaga sakti itu.
"Nona Wulan......! Nona Wulansari .......!"
Hok Yan berseru girang bukan main sehingga lidahnya tidak keseleo ketika menyebut Wulansari, bukan Wulansali
"Lle Hok Yan! Kau......." Tapi........ tapi kenapa engkau hendak menculik.......?"
"Nona Wulan, ini adalah Sumirah, tunanganku! Aku datang mengunjunginya, dan ia......
ia.......ah, sengsara sekali........"
Nurseta juga melompat dekat. Melihat betapa Wulansari mengenal pemuda bermata sipit itu, diapun terheran.
Kini Wulansari mendekat untuk melihat keadaan Sumirah. "Ini........ini........ Sumirah"
Ihh. apa yang telah terjadi dengannya?"
"Panjang ceritanya, nona Wulan. Mari kita pergi dari sini. Aku harus merawat Sumilah dulu......."
Wulansari lalu berpaling kepada para penduduk dusun yang memandang dengan heran,, lalu terdengar ia berkata lantang, "Saudara-saudara semua telah salah sangka! Pemuda ini bernama Lie Hok Yan, dan dia bukan penjahat. Dia adalah tunangan Sumirah, calon mantu paman Sardu. Di mana paman Sardu dan isterinya?"
Seorang petani tua melangkah maju. "Aku. pernah mendengar keterangan mendiang Ki Sardu tentang calon mantunya itu. Marilah, orang - orang muda perkasa, mari ke rumah kami dan kita rawat Sumirah di sana. Kasihan anak itu......"
Dengan berterima kasih sekali Hok Yan lalu memondong tubuh Sumirah dan diikuti oleh Wulansari dan Nurseta, mereka beramai-ramai kembali ke dalam dusun dan kakek itu mengajak mereka ke rumahnya. Rumah yang cukup besar karena kakek ini adalah ayah dari lurah Klintren.
Dengan penuh kasih sayang, Hok Yan memandikan Sumirah setelah membebaskan totokan pada tubuh tunangannya itu, Setelah ada Hok Yan, Sumirah kini menjadi jinak. Biasanya, ia tidak mau didekati siapapun, apa lagi dimandikan. Orang-orang dusun yang kasihan kepadanya tidak dapat berbuat apa-apa kecuali mendiamkan gadis itu yang siang malam berada di kuburan, dan setiap hari saja dua kali mereka mengirim makanan untuk gadis itu.
Wulansari menyerahkan beberapa potong pakaian untuk Sumirah. Tanpa ragu, tanpa jijik, bahkan dengan penuh kasih sayang, Hok Yan memandikan gadis itu seperti memandikan seorang anak kecil. Setelah Sumirah mengenakan pakaian bersih, dengan manja iapun duduk di atas pangkuan Hok Yan yang menyisiri rambutnya yang tadi dikeramasinya sampai bersih.
Bahkan kini Sumirah mau makan malam bersama Hok Yan, Wulansari dan Nurseta dan mulailah ia nampak pandai membawa diri. Setelah dibujuk oleh Hok Yan sehingga gadis itu mau minum obat yang dibuat oleh Nurseta, Sumirah mau tidur. Nurseta pernah mempelajari ilmu pengobatan dari mendiang Panembahan Sidik Danasura dan ternyata obatnya amat manjur. Sumirah dapat tidur pulas dan nampak tenang sekali. Setelah gadis itu tidur pulas, barulah Hok Yan keluar dari kamar dan bercakap-cakap dengan Wulansari dan Nurseta, mendengarkan cerita Bapak Kepala Dusun yang sudah datang berkunjung ke rumah ayahnya,
Dengan panjang lebar kepala dusun itu bercerita tentang malapetaka yang menimpa keluarga Sumirah ketika segerombolan perajurit Daha menyerbu dusun itu. Ayah ibu Sumirah, yaitu Ki Sardu dan isterinya, tewas oleh gerombolan itu dan Sumirah diculik seorang penjahat.
"Untung pada waktu itu andika datang membasmi gerombolan itu sehingga malapetaka tidak berlarut-larut." Lurah itu mengakhiri ceritanya sambil memandang Wulansari. "Akan tetapi, Ki Sardu dan isterinya sudah tewas, dan Sumirah dilarikan seorang penjahat yang berhasil lolos."
"Penjahat itu tentu Kabiso," kata Hok Yan "dahulu pernah dia dengan nekat menyerangku karena cemburu. Dia mencinta Sumirah dan ingin memperisteri Sumirah." Lalu Hok Yan memandang kepada Wulansari. "Kenapa engkau tidak mengejar dan menolong Sumirah, nona Wulan?"
Wulansari tersenyum. "Sudah kulakukan itu. Akan tetapi terlambat. Penjahat itu sudah menghilang ke dalam hutan dan aku tidak berhasil menemukan jejaknya. Karena aku sedang mempunyai urusan yang penting sekali, yaitu mencari dia ini, tunanganku kakangmas Nurseta ini maka terpaksa aku melanjutkan perjalananku dan tidak berhasil menolong Sumirah."
Nurseta tersenyum saja melihat calon isterinya memperkenalkan dirinya. Diam-diam'
diapun kagum kepada Lie Hok Yan, juga terharu melibat betapa cinta kasih pemuda Cina ini amat tulus terhadap Sumirah. Gadis itu sudah dalam keadaan demikian menjijikkan gila, kotor dan mendekatinya saja orang lain tentu jijik. Akan tetapi Lie Hok Yan ini jelas amat mengasihinya sehingga merawatnya seperti seorang anak kecil. Ketulusan cinta kasih itu mengharukan hatinya dan membuat dia merasa suka kepada Hok Yan.
"Kemudian, bagaimana kelanjutan ceritanya setelah Sumirah lenyap dilarikan penjahat itu, Bapak Lurah?" Lie Hok Yan bertanya dengan hati ingin tahu sekali. Dari ocehan Sumirah tadi dia mendengar betapa Sumirah mentertawakan Kabiso yang dikatakannya digantung terbalik dan disayat - sayat tubuhnya, disiksa. Siapa yang melakukan penyiksaan itu"
"Ia lenyap sampai tiga hari lamanya. Kamii sudah putus asa. Akan tetapi tiba-tiba saja ia muncul. Ketika mendengar bahwa ayah ibunya tewas, gadis yang malang itu tiba-tiba telah menjadi berubah ingatannya. Kami mencoba, untuk menghiburnya atau mengobatinya, akan tetapi tidak mau didekati siapapun juga. Kamii berusaha bertanya apa yang dialaminya selama ia diculik penjahat dan bagaimana ia dapat kembali ke dusun, namun ia hanya tertawa dan menangis, memaki-maki dan mentertawaan orang yang bernama Kabiso, menangisi ematian ayah ibunya dan memanggil-manggil nama........ Hok Yan begitu."
Hok Yan merasa terharu sekali. Dalam keadaan berubah ingatan seperti itu, Sumirah masih selalu ingat kepadanya! Sungguh besar cinta kasih gadis itu kepadanya dan dia harus bertanggung jawab. Dia harus melindungi kekasihnya itu, apapun yang telah terjadi atas diri tunangannya itu.
"Sudahlah," katanya lirih. "Apa yang sudah lewat, biarkan lewat. Sumirah tetap Sumirah yang dulu bagiku, tetap gadis satu-satunya di dunia ini yang kucinta. Ia tetap tunanganku dan aku akan segera menikahinya kalau ia sudah pulih kembali ingatan dan kesehatannya. Dan mulai saat ini, ia akan selalu berada dalam perlindunganku dan takkan pernah kutinggalkan lagi."
Nurseta memandang tajam dan kagum. Namun, dia masih belum yakin kalau belum mendengar sendiri pendapat pemuda Cina yang berjiwa satria itu. "Saudara Lie Hok Yan, maafkan pertanyaanku, akan tetapi aku terus terang saja tertarik sekali dan ingin mendengar sendiri pendapat dan pengakuanmu. Bolehkah aku mengajukan pertanyaan dan tidak akan tersinggungkah hatimu?"
Lie Hok Yan menatap wajah Nurseta dan dia tersenyum. "Aku mengenal baik nona Wulansari sebagai seorang pendekar wanita yang berhati keras namun berbudi mulia dan bijaksana. Kalau andika ini calon suaminya,, aku yakin bahwa andika juga seorang yang gagah perkasa yang menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan! Tanyalah, sobat. Ajukan pertanyaanmu dan aku tidak akan merasa tersinggung."
"Begini, Hok Yan. Karena engkau kawan baik tunanganku, biar kusebut engkau Hok Yan saja dan engkaupun boleh menyebutku Nurseta."
"Baik, dan terima kasih, Nurseta."
"Kita semua tadi mendengar bahwa Sumirah telah diculik penjahat dan baru pulang selama tiga hari. Bagaimana keadaan apa yang dialaminya selama tiga hari itu tidak seorangpun tahu."
"Tidak apa, Nurseta. Kalau ia sudah waras kembali tentu ia akan dapat menceritakan semua yang telah dialaminya itu." kata Hok Yan tenang
"Bukan itu maksudku, Hok Yan." kata Nurseta dan dia memandang kekasihnya. Wulansari tersenyum, agaknya tahu akan isi hati kekasihnya dan iapun mengangguk, seolah-olah memberi tanda setuju kalau Nurseta melanjutkan pertanyaannya. "Aku ingin mengetahui perasaanmu dan tanggapanmu andaikata kemudian engkau mendengar bahwa selama dalam tawanan gerombolan penjahat itu, ia telah....... diperkosa orang jahat. Andaikata demikian, lalu bagaimana tanggapanmu, Hok Yan" Apakah engkau masih tetap ingin memperisteri Sumirah?"
Wajah yang berkulit putih kuning itu seketika berubah merah sekali. Sepasang mata sipit itu mencorong ketika menyambar ke arah muka Nurseta, akan tetapi hanya sebentar karena muka itu menjadi biasa kembali, matanya juga bersinar lembut kembali.
"Untung bahwa tadi engkau telah berterus terang, dan juga untung bahwa aku telah mengenal siapa engkau, Nurseta. Kalau orang lain yang mengeluarkan pertanyaan itu, tentu hatiku tersinggung sekali dan aku merasa dihina. Nurseta, ketahuilah bahwa apapun yang telah, menimpa diri Sumirah, aku tetap mencintanya dan aku akan tetap menikahinya. Aku mencinta Sumirah, bukan hanya mencinta bubuhnya, juga mencinta hatinya, batinnya segalanya. Andaikata ia telah diperkosa orang, ia hanya kehilangan keperawanannya, dan aku bukan mencinta keperawanan, melainkan mencinta Sumirah! Pula, diperkosa berbeda dengan penyelewengan, Nurseta. Sungguh tidak adil dan dungu kalau menyalahkan seorang gadis yang diperkosa orang tanpa ia berdaya mempertahankan dirinya. Maafkan kalau aku bicara terus terang, nona Wulan I" Akan tetapi Wulansari hanya tersenyum, dan Nurseta bangkit lalu mengulurkan tangan mengajak Hok Yan bersalaman.
"Bagus! Engkau sungguh seorang jantan sejati, Hok Yan, dan aku senang sekali menjadi sahabatmu!" Mereka berjabat tangan dengan perasaan gembira dan akrab.
"Ada satu hal lagi, Hok Yan. Akupun ingin bicara terus terang saja seperti yang dilakukan kakangmas Nurseta, kuharap saja engkau tidak akan merasa canggung atau tersinggung."
Hok Yan kini tertawa gembira. "Bagus sekali! Senang bukan main bergaul dengan kalian orang-orang yang jujur dan terbuka, yang dapat menghargai kegagahan. Akupun paling tidak suka dengan sikap orang yang plintat-plintut, yang tidak mau berterus terang, hanya berani membuka mulut demi keuntungan pihak sendiri. Bicaralah, nona Wulan, aku siap mendengarkan yang paling tidak sedap sekalipun."
"Begini, Hok Yan. Terus terang saja, dalam perang antara Majapahit dan Kediri ini, kami berdua tidak ikut terlibat. Kami hanya melakukan perondaan untuk menentang terjadinya pengacauan yang dilakukan para penjahat. Untuk itu kami mempunyai alasan tersendiri. Akan tetapi, kami melihat sepak terjang bangsamu, para perajurit itu sungguh amat buas ganas dan kejam!"
Hok Yan tersenyum. "Memang tidak salah penglihatanmu itu, nona. Memang mereka itu amat buas, ganas dan kejam. Akan tetapi keliru kalau engkau mengatakan bahwa mereka itu bangsaku. Bahkan bangsaku sendiri, penduduk aseli di daratan Cina kini dijajah oleh bangsa itu, ialah Bangsa Mongol. Kalau aku sampai ikut ke sini menjadi perwira pasukan Mongol adalah karena aku terbawa oleh kakak seperguruanku yang menjadi panglima,, dan karena aku ingin meluaskan pengalaman."


Sejengkal Tanah Sepercik Darah Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ah, begitukah" Pantas engkau amat berbeda dengan mereka, Hok Yan. Maksudku, berbeda sikap dan kelakuan. Engkau pantas menjadi seorang pendekar dan satria, sedangkan, para perajurit itu rata - rata buas dan kejam sekali. Nah, karena melihat gelagat yang tidak baik ini, andaikata nanti timbul perang antara pasukan Mongol dan Majapahit, sudah pasti aku dan kakangmas Nurseta akan membantu Majapahit ! Dan kami kira engkau sudah seharusnya, sebagai seorang perwira, membantu pasukan Mongol, Hok Yan."
Kalau Nurseta dan Wulansari menduga bahwa Hok Yan akan merasa canggung mendengar kata kata itu, mereka salah duga. Hok Yan tersenyum tenang saja.
"Tidak, aku tidak akan membantu pasukan Mongol." katanya.
"Akan tetapi, itu adalah sikap yang sama sekali tidak baik, Hok Yan!" seru Nurseta penasaran. "Engkau seorang perajurit, bahkan seorang perwira, bagaimana mungkin engkau tidak membantu pasukanmu yang sedang berperang?"
"Jangan salah mengerti, Nurseta. Sejak aku berkenalan dengan Sumirah, aku langsung menemui kakak seperguruanku dan menyatakan keluar dari ketentaraan dan ingin menikah dengan Sumirah. Akan tetapi kakak seperguruanku melarang dan mengatakan bahwa tugasku belum selesai. Terpaksa aku menangguhkan dan setelah perang selesai, kakak seperguruanku memberi ijin itu. Kini aku bukan lagi anggauta pasukan Mongol, Nurseta. Aku telah bebas, menjadi orang biasa sehingga tidak ada salahnya kalau aku tidak lagi mencampuri perang yang dilakukan pasukan Mongol terhadap siapapun juga."
Nurseta dan Wulansari saling pandang dan mereka merasa kagum dan juga gembira sekali. Semalam itu mereka bercakap-cakap dengan akrab, dan pada keesokan harinya, Wulansari dan Nurseta berpamit. Mereka melanjutkan perjalanan melakukan perondaan untuk-menentang kejahatan.
Hok. Yan maklum bahwa selama Sumirah masih tinggal di Klintren, ia akan selalu teringat akan malapetaka itu dan akan memperlambat jalannya kesembuhan. Maka diapun segera mengajak gadis itu meninggalkan Klintren. Dia mengajak gadis itu ke lereng Gunung Bromo, tinggal di sebuah dusun yang sunyi dan sederhana. Di situ dia merawat dan mengobati Sumirah dengan daun-daun obat seperti yang diberikan Nurseta, dan lambat laun, pulih kembalilah ingatan Sumirah.
Perlahan-lahan Sumirah mulai dapat menceritakan pengalamannya ketika ia diculik oleh Kabiso. Betapa nyaris ia diperkosa Kabiso, akan tetapi tertolong oleh Bandupati, kepala perampok yang menyeramkan itu. Betapa kemudian diapun dipaksa menjadi isteri muda Bandupati, akan tetapi kembali ia lolos dari ancaman perkosaan ketika muncul Suminten isteri Bandupati yang galak dan ditakuti suaminya itu. Dan iapun selamat, kembali ke dusun, hanya untuk dipukul guncangan hebat dalam hatinya ketika mendengar bahwa ayah ibunya telah tewas oleh gerombolan orang Daha !
Hok Yan merasa bahagia dan gembira bukan main mendengar itu. Bukan karena dia.
mendapatkan Sumirah dalam keadaan belum ternoda, sama sekali tidak. Melainkan dia gembira karena dengan demikian, Sumirah tidak akan merasa rendah diri, tidak akan merasa kotor ternoda. Dengan gembira mereka bergandeng tangan menyongsong sinar matahari pagi yang amat cerah dari kehidupan mereka. Kalau dua buah hati sudah saling mencinta, cinta yang tulus, bukan sekedar pengumbaran nafsu berahi, maka tidak ada lagi yang perlu ditakutkan I Tuhan akan selalu memberkahi dan melindungi orang-orang yang disinari cinta kasih.
-ooodwooo- Walaupun mereka percaya akan niat baik Raden Wijaya yang mengundang para pimpinan pasukan untuk berpesta di istana, namun tiga orang panglima perang itu hanya mengirimkan semua perwira saja sebagai utusan mereka untuk berpesta dan menjemput para puteri Kediri yang dijanjikan kepada mereka, untuk dipersembahkan kepada Kaisar Kubilai Khan. She Pai, Kau Seng, dan Ji Kauw Mosu menganggap diri mereka sebagai utusan-utusan kaisar, yang berarti mewakili kaisar sendiri. Oleh karena itu, sungguh tidak pada tempat-nya kalau mereka harus menghadiri pesta dengan menanggalkan senjata. Bagi mereka, senjata pedang yang selalu mereka bawa adalah tanda Kekuasaan mereka dan mereka memperolehnya dari kaisar. Kalau mereka menanggalkan pedang mereka sebelum memasuki istana, berarti mereka menanggalkan kekuasaan mereka ! Akan tetapi untuk menolak begitu saja merekapun merasa tidak enak. Maka, tiga orang panglima itu mengambil jalan tengah. Mereka mengirim para perwira yang jumlahnya antara tigaratus orang untuk mewakili mereka.
Di benteng Ujung Galuh sendiri, para perajurit berpesta pora karena Arya Wiraraja atas nama Raden Wijaya telah mengirim banyak sekali babi, ayam dan lembu, juga minuman keras. Mereka makan minum sepuas hati mereka. Dan selagi para perajurit dalam benteng itu berpesta pora, Sang Prabu Jayakatwang yang sejak ditawan dalam benteng itu menderita sakit dan setiap hari hanya menulis atau menggubah kakawih yang diberi judul Wukir Polaman, meninggal dalam keadaan sengsara. Srorang raja besar yang berambisi besar pula meninggal dunia sebagai tawanan, tanpa diantar ratap tangis sanak keluarga, bahkan diantar sorak sorai dan tawa gembira dari mereka yang sedang berpesta dan yang suaranya sampai ke tempat tahanan itu dengan bisingnya.
Kehidupan jasmani dengan segala macam susah1 senangnya ini tiada kekal adanya. Senang susah hanyalah akibat permainan nafsu, seperti sebarisan awan tipis, berarak d' angkasa, hanya selewat saja. Yang satu datang dan lewat, di-susul yang lain.
Adalah menjadi hak mutlak kita manusia untuk menikmati kehidupan ini. Memang sudah dikodratkan oleh Yang Maha Kasih bahwa kita dapardan berhak menikmati kesenangan dan untuk itu kita sudah diperlengkapi dengan sempurna. Tubuh kita sudah diberi pelengkap yang sempurna sejak lahir, ada panca-indra, peraba dan perasa, mata uniuk menikmati penglihatan indah, hidung untuk menikmati penciuman yang sedap, telinga untuk menikmati pendengaran yang merdu, mulut untuk menikmati makanan dan minuman yang Iezat dan selanjutnya. Dengan kenyataan bahwa semua itu kita lakukan dengan penuh kesadaran bahwa segala macam bentuk kesenangan hanyalah selewat saja, tidak kekal. Hanya merupakan pelengkap kehidupan, merupakan anugerah dan kasih sayang Tuhan kepada kita. Namun, kalau saoipai kesenangan itu melekat dan menguasai kita, maka tidak lucu lagi akibatnya. Segala mseim bentuk perbuatan yang jahat, merugikan orang iain maupun diri sendiri, bermunculan untuk mengejar dan mempertahankan kesenangan yang hanya selewat sifatnya itu. Dan karena kita terbelenggu, terikat dan kesenangan itu sudah mengakar di dalam batin, maka setiap kali terjadi perpisahan dengan kesenangan itu, timbullah duka. Pada hal, tak mungkin dapat dihindarkan lagi, perpisahan akan datang setiap saat! Kalau bukan kita yang ditinggalkan, maka tentu kita yang meninggalkan semua kesenangan duniawi itu. Harta kekayaan, nama besar, pangkat dan kedudukan mulia, dan semua kesenangan yang didatang kannya melalui panca indra, semua itu akan lenyap atau kita tinggalkan setelah maut datang menjemput.
Sekali lagi. Kita berhak menikmati kesenangan. Namun, itu hanya merupakan perlengkapan hidup, merupakan permainan kita, merupakan suatu hal yang selewat dan sementara saja. Jangan sampai kita yang dibelenggu dan menjadi permainan kesenangan, diperhamba nafsu dan melakukan perbuatan yang jahat hanya untuk mengejar kesenangan yang sesungguhnya hanya awan tipis yang lewat, atau gelembung sabun yang indah namun sebentar saja akan meletus dan lenyap.
Sementara itu, tigaratus orang perwira utusan para panglima pasukan Mongol, diterima dengan penuh kehormatan dan keramahan di istana Kediri. Dengan hormat mereka dipersilakan menanggalkan dan menitipkan
semua senjata mereka, sebagian besar pedang, di tempat penjagaan di luar istana, dan mereka memasuki istana tanpa membawa sepotong-pun senjata. Dari jauh mereka sudah disambut suara gamelan dan nyanyian merdu.
Ruangan pesta itupun dirias dengan indah. Jendela-jendela ruangan itu dibuka semua dan dari luar masuklah keharuman bunga semerbak, dan hidangan yang mengepulkan uap yang sedap menantang selera segera dihidangkan, bersama arak yang keras dan sedap. Pestapun dimulai dan para penari cantik itu sambil menari-nari bertugas pula untuk menjaga agar cawan arak di depan setiap orang tamu tidak pernah kosongi Dengan penuh kegembiraan karena pihak tuan rumah demikian ramahnya, para tamu yang terdiri dari perwira-perwira Mongol itu makan minum sepuasnya tanpa menaruh sedikitpun kecurigaan.
Menjelang tengah malam, semua tamu itu telah berada dalam keadaan setengah mabok, bahkan ada yang sudah mabok benar. Tanpa mereka sadari, seorang demi seorang para penari dan penyanyi meninggalkan ruangan itu dan mendadak, dari luar jendela-jendela vang terbuka, meluncurlah anak panah yang menyerang bagaikan air hujan. Beberapa orang perwira Mongol terkena anak panah dan terjungkal, Teriakan-teriakan terdengar dan suasana menjadi panik. Para perwira itu berloncatan dan pada saat itu, daii pintu yang terbuka lebar menyerbulah para senopati dan perajurit Majapahit dengan keris terhunus!
Terjadilah pembantaian! Para perwira Mongol itu adalah orang-orang yang tangguh dan sudah biasa bertempur. Akan tetapi, pada waktu itu, mereka sama sekali tidak mempunyai senjata, dalam keadaan mabok atau setengah mabok dan diserang secara mendadak pula. Tentu saja mereka kewalahan dan hanya beberapa orang di antara mereka yang berilmu tinggi saja dapat meloloskan diri, melarikan diri keluar dari istana dan menuju ke benteng mereka di Ujung Galuh.
Akan tetapi apa yang mereka dapatkan di benteng itu " Sebuah pertempuran hebat! Kiranya para perajurit dalam benteng itupun mengalami nasib yang sama. Menjelang tengah malam, ketika mereka semua sudah banyak minum arak dan mabok - mabokan, tiba-tiba saja datang pasukan Majapahit dan Madura yang menyerbu ! Terjadilah pertempuran hebat dan kacau, tentu saja kacau di pihak pasukan Mongol. Mereka melakukan perlawanan sedapatnya. Para perwira, yaitu sisa mereka yang dibantai di istana, menggabungkan diri dengan pasukan mereka. Mereka melakukan perlawanan sampai pagi. Akan tetapi, banyak berjatuhan korban di antara pasukan yang mabok itu.
Pasukan Mongol berada dalam keadaan yang payah. Mereka baru saja berhenti berperang melawan Daha di mana mereka kehilangan banyak perajurit yang gugur sehingga jumlah mereka berkurang. Belum lagi para perajurit yang tewas karena diserang penyakit setiba mereka di Pulau Jawa. Dan malam itu mereka yang masih kelelahan berada dalam keadaan mabok, lalu diserang dengan tiba-tiba. Tentu saja mereka menjadi panik dan kacau.
Perang yang terjadi selanjutnya antara pasukan Mongol dan gabungan pasukan Majapahit dan Madura itu tidak berlangsung lama. Rakyat yang membenci pasukan Mongol karena ulah mereka yang ganas dan kejam selama ini, bangkit dan membantu Majapahit. Setelah bertahan mati - matian selama beberapa hari, akhirnya pasukan Mongol terpaksa harus mengundurkan diri ke perahu - perahu mereka.
Dengan membawa beberapa orang tawanan dari Kediri sebagai bukti hasil kemenangan mereka melawan Kediri, dan sisa pasukan yang sudah banyak berkurang, akhirnya para panglima Mongol itu membawa pasukan mereka berlayar untuk pulang ke negeri asal mereka jauh di utara.
Setelah pasukan Mongol itu mengangkat jangkar dan berlayar meninggalkan pantai utara Pulau Jawa, padamlah api peperangan yang melanda Singosari dan Daha secara berturut-turut itu. Dan mulailah rakyat membangun kembali yang dirusakkan perang, sedikit demi sedikit karena membangun tidaklah semudah merusak! Sesuatu yang dibangun selama bertahun-tahun, dapat dirusakkan dalam waktu sehari saja ! Demikian pula dengan membangun isi kehidupan ini. Bersusah payah membangun dengan perbuatan-perbuatan yang wajar dan baik dapat menjadi rusak oleh suatu perbuatan jahat yang dilakukan satu kali saja . Nama baik yang dibangun melalui seribu perbuatan benar menjadi rusak hanya karena satu perbuatan yang salah.
Dan muncullah sebuah kerajaan baru yang kelak akan menjadi sebuah kerajaan yang besar dan jaya, yaitu Kerajaan Majapahit! Bukan merupakan kelanjutan atau pembangkitan kembali Kerajaan Singosari atau Daha, melainkan sebuah kerajaan baru dan raja pertamanya adalah Raden Wijaya yang bergelar Sri Maharaja Kertarajasa Jayawardana, raja pertama dari Kerajaan Majapahit. Dan raja yang bijaksana ini tidak melupakan para senopati dan ponggawa yang telah berjasa membantunya selama ini. Dia membagi-bagikan pangkat dan kedudukan tinggi sehingga semua orang menjadi gembira.
Bagaimana dengan Nurseta dan Wulansari " Mereka berdua ikut membantu ketika Majapahit menghalau pasukan Mongol. Setelah perang selesai, mereka melangsungkan pernikahan, dirayakan oleh Senopati Ki Medang Dangdi ayah Wulansari dengan meriah sekali. Akan tetap. Nurseta tetap tidak mau menerima pangkat dan dia bahkan mengajak isterinya untuk tinggal di lereng Gunung Anjasmoro, menjadi seorang petani yang hidup tenteram dan penuh damai.
Juga Lie Hok.Yan hidup berbahagia dengan isterinya, Sumirah. Mereka memilih hidup di pantai utara dekat lautan, di mana Hok Yan dapat mempergunakan keahliannya sebagai seorang nelayan. Apa lagi di sekitar pantai utara terdapat banyak sudah orang Cina yana tinggal sebagai nelayan dan pedagang.
Demikianlah, kisah "Sejengkal Tanah Sepercik Darah" ini selesai sampai di sini dengan harapan pengarang semoga ada manfaatnya bagi para pembaca. Pengarang selalu tetap yakin bahwa hanya dengan penyerahan penuh keikhlasan dan kcawakalan kepada Tuhan Yang Maha Kasih sajalah maka kita akan dapat terlepas dan pada cengkeraman dan permainan nafsu kita sendiri ! Hanya kekuasaan Tuhan yang mampu menjinakkan nafsu. Melalui penyerahan diri, kekuasaan .Tuhan akan selalu membimbing kita sehingga setiap gerak langkah kita terbimbing, dan kalau nafsu sudah tidak lagi memperhamba kita, maka kasih sayang akan memancarkan cahayanya dan apapun yang kita lakukan adalah benar dan baik. Semoga, amin.
TAMAT Lereng Lawu, medio September 1983.
---ooo0dw0ooo---
Sarang Perjudian 2 Tiga Mutiara Mustika Karya Gan Kl Neraka Hitam 8
^