Pencarian

Benci Tapi Rindu 7

Benci Tapi Rindu Cinta Dibawa Mati Karya Sd Liong Bagian 7


Melihat sikap tuanrumah begitu sungkan walaupun tahu kedatangannya kesitu adalah dengan maksud tak baik, Tan Ping termangu-mangu kesima. Untung It Yap tosu yang menengahi dan menyuruh Ah-si tak usah banyak peradatan.
Tapi Wan Thian Cik tetap mendamprat kedua bujangnya itu, "Tidak, totiang, kita harus berlaku adil terhadap orang bawahan kita. Kalau mereka berjasa harus diberi hadiah tetapi kalau bersalah harus dihukum. Ah-si, sekarang engkau harus memukul kawan-kawanmu itu setiap orang sepuluh kali. Engkau sendiri dan Ih Ih karena menjadi biangkeladi, besok aku yang akan merangketmu. Sekarang lekas, suruh mereka masuk, habis itu nanti engkau dan Ih Ih kemari lagi, aku hendak bicara."
Ah-si memberi hormat kepada majikannya dan tanpa mempedulikan Tan Ping lagi, dia segera menggiring Kawanan bujang keluarga Wan tinggalkan ruangan itu. Sedang Wan Thian Cik minta maaf kepada Tan Ping atas tindakan kurang ajar dari bujangnya tadi.
"Ah, harap Wan-heng jangan menarik panjang urusan itu. Memang aku suka bergurau pada bujang. Ada kalanya hal itu untuk memberi pelajaran pada mereka," Tan Ping buru2 membalas hormat.
Diam2 Wan Hian Kwan menertawakan si bopeng yang begitu tak tahu diri itu. Adalah Tan Hwat yang tak dapat menelan hinaan segera mengajak saudara-2nya pergi.
"Dibawah jenderal yang pandai, tak ada serdadu yang lemah. Seorang bujang Wan cungcu saja sudah sedemikian lihaynya. Toako, ayo kita tinggalkan tempat ini, tak usah mengganggu Wan cungcu." serunya.
Tapi Wan Thian Cik mencegahnya. Ia minta para tetamunya suka menginap beberapa hari lagi sampai nanti selesai pernikahan puterinya. Tan Ping yang congkak, demi melihat tuanrumah bersikap merendah kepadanya, dengan kontan ia menerima tawaran itu. Sebaliknya Tan Hwat yang sejak tadi melihat sikap suhunya (It Yap) berdiam diri saja, buru2 menanyakan apa yang dibicarakan suhunya sampai begitu lama dengan tuanrumah tadi.
It Yap hanya tersenyum dia menyahut, sudah didahului Wan Thian Cik, "Tadi suhumu sudah menerima baik pemintaanku untuk tinggal diami beberapa hari. Maka kuharap kalian juga suka menemani suhu kalian menginap di pondokku sini "
It Yap juga menambahkan pernyataan hendak tinggal di rumah Wan Thian Cik sampai nanti hari pernikahan puteri tuanrumah.
Karena suhunya menyatakan begitu maka terpaksa Tan Ping dan saudara2nya menerima permintaan tuan rumah.
-^dwkz^smhn^- Malam bidadari Saat itu Ah-si muncul kembali dan melaporkan telah menghukum sepuluh gebukan kepada setiap bujang.
"Hm, jika mengingat hari baik sudah dekat, tentu tubuhmu sudah kubikin cacat. Sekarang suruh mereka keluar dan kembalikan barang2 kepunyaan tamu tadi," seru Wan Thian Cik.
Ah-si girang karena dibebaskan dari hukuman. Ih Ih sejak tadi berdiri di belakang Hian Kwan dan membisikkan sesuatu. Hian Kwan tampak gelengkan kepala kemudian mengangguk.
"Ih Ih, batu mustika berukir delapan ekor kuda itu apa kalah dibuat pertaruhan?" tanya Hian Kwan.
"Tidak," sahut Ih Ih,
"Bagus, kalau begitu bawalah masuk kedalam kamarku. Benda itu kepunyaanku sendiri," kata Hian Kwan pula.
Ih Ih mengiakan. Sindiran Hian Kwan itu cukup membikin merah telinga Tan Ping. Kini semua orang sama memandang kepada limabelas peti intan permata tadi. Peti2 itu bermula hendak dipersembahkan Tan Ping kepada Wan Thian Cik selaku sumbangan hari pernikahan Wan Hian Kwan. Tetapi sebenarnya maksud Tan Ping adalah dengan harta karun itu ia hendak menyogok (menyuap) supaya Wan Thian Cik suka pindah dari telaga Thay-ou.
Tetapi ketika Wan Thian Cik menolak, Tan Ping lantas memakainya untuk bertaruh dengan Ah-si. Karena Tan Ping kalah seharusnya peti harta itu menjadi milik Ah-si dan para bujang keluarga Wan. Tetapi karena tadi Wan Thian Cik mendamprat bujang2nya maka sekarang timbullah persoalan, siapakah yang harus memiliki peti harta itu
Wan Thian Ck memperhatikan orang2 di sekelilingnya. Dilihatnya Tan Ping dan kawan2 sebentar memandang kepadanya dan sebentar kepada It Yap tojin. Tapi imam itu hanya menengadahkan kepala memandang ke atas, sedikitpun tak mengacuhkan peti2 harta itu. Ada kalanya imam itu mencuri melirik pada si jelita Hian Kwan. Meskipun hanya sekejab saja tapi lirikan itu memancarkan nafsu asmara.
Wan Thian Cik terkejut. Ketika memandang kearah Hian Kwan, tampak puterinya itu tundukkan kepala. Rupanya si jelita juga tahu akan gerak gerik si imam tetapi anehnya ia tak tampak marah.
Wan Thian Cik gelisah tetapi pada lain saat, dia menghibur dirinya sendiri. "Ah, mereka baru saja berkenalan, masa ada apa-apa."
"Tan-heng, apakah engkau suka untuk memberi pelajaran barang beberapa jurus lagi kepada Ah-si?" sesaat kemudian Wan Thian Cik berseru kepada Tan Ping.
"Ini.... ini...." pemimpin bajak itu tergagap-gagap.
"Wan cungcu. harap menjelaskan apa maksud ucapanmu tadi," seru Tan Hwat dengan keras, "Sudah kalah mengapa disuruh kalah lagi? Sejelek-jeleknya toako itu, dia adalah masih seorang pangcu (ketua perkumpulan), mana boleh dihina semaunya begitu?" teriak Tan Ciau.
Melihat reaksi itu Wan Thian Cik segera menanyakan pendapat It Yap tosu. Rupanya imam itu sudah dapat menangkap maksud tuanrumah, katanya, "Baik sih baik tetapi kita tak punya banyak perak untuk taruhan."
"Ah, cukup dengan kata2 totiang itu, rasanya sudah berharga lebih dari seratus empat-puluh laksa tail perak " kata Wan Thian Cik.
It Yap hanya tertawa dan mengucapkan kata-kata merendah.
Hian Kwan yang cerdas segera dapat menyelami pembicaraan kedua orang itu. Diam2 ia heran mengapa ayahnya sekarang begitu baik terhadap Tan Ping. Tapi ia ambil putusan biar bagaimana, harta dalam peti itu jangan sampai jatuh ke tangan Tan Ping lagi.
Kembali Wan Thian Cik mendesak supaya Tan Ping suka bertanding dengan Ah-si lagi. Kali ini Tan Ping sudah dapat mencium bau. Ia segera meluluskan. Asal It Yap tosu menunjang, ia tentu akan mendapat kembali kelimabelas peti intan permata itu.
Tetapi ternyata imam itu hanya kerutkan alis. Diam2 tosu itu mempunyai rencana sendiri, ia tak banyak pusingkan harta benda Tan Ping.
Pada lain saat itu terdengar derap kaki dan muncullah Ah-si bersama Ih Ih. Segera Hian Kwan berseru, "Hai, Ih Ih. apakah benda pusaka tadi sudah engkau masukkan?"
Ih Ih mengiakan. "Tadi pusaka itu engkau yang mencuri atau aku yang menyuruhmu mengeluarkan untuk taruhan?" tanya Hian Kwan pula.
"Nonalah yang menyuruh aku mengeluarkan," sahut Ih Ih.
Pernyataan Ih Ih membuat sekalian orang terperanjat heran. Baru saja Wan Thian Cik hendak pesan supaya Ah-si nanti mengalah kepada Tan Ping atau tiba2 ia sudah dikejutkan dengan keterangan Ih Ih itu.
"Nah, apakah saudara? mendengarnya? Ah-si, bagus, engkau telah memberi kemenangan banyak sekali kepadaku." kata Hian Kwan yang menepuk-nepuk kelimabelas peti harta itu seraya berseru dengan tertawa. "Dari limabelas peti ini, yang sepuluh adalah milikku, yang lima menjadi bagian Ah-si dan kawan2nya. Pertandingan tadi sudah selesai dan pertaruhan pun sudah diterimakan. Siapa lagi yang masih tak terima? Yang tak puas boleh menuntut diadakan pertandingan lagi asal dia mampu mengeluarkan taruhan sebanyak seratus empatpuluh laksa tali perak."
Ucapan itu seperti membanting imam It Yap dan menampar mulut Wan Thian Cik. Namun imam itu tetap menengadah memandang langit seperti tak mengacuhkan apa yang terjadi di sekeliling situ.
Wan Thian Cik kelabakan. Ia tak dapat mendamprat puterinya yang sudah akan keluar pintu (menikah) itu. Paling2 dia hanya menggerutu perlahan menegur Hian Kwan.
"Yah, Tan pangcu dengan tulus ihklas hendak menyerahkan limabelas peti berharga ini. Jika engkau mau menerimanya, biarlah aku yang menerimanya, bukankah hal itu serupa? Dengan begitu maksud kebaikan Tan pongcu tentu dapat tercapai dan kau pun tak malu menerimanya. Jangan ayah gusar kepadaku. Aku berbuat begini karena terpaksa. Benar tidak Tan Pangcu?" seru Hian Kwan.
Pertanyaan si jelita itu membuat Tan Ping tersipu-sipu mengiakan. Setelah itu Hian Kwan memandang kearah it Yap. "Dalam hal ini jika totiang suka, silakan totiang keluar ke gelanggang untuk memberi pelajaran pada yang mempunya barang itu"
Hian Kwan menutup kata-katanya dengan tertawa merdu. Sepasang matanya menatap si imam. Diam2 ia membatin, "Ah, ternyata orang ini masih muda dan cakap. Ilmu silatnyapun tinggi, sayang dia seorang pertapa...."
Hati It Yap serasa meloncat keluar dari lubuknya, tak berani dia beradu mata dengan si jelita. Ia membatin, "Yang dimaksud dengan 'yang empunya' itu tentulah bukan Ah-si, melainkan si jelita itu sendiri."
Segera It Yap berkata, "Pinto tak punya perhatian lagi soal kalah menang. Pun dalam hal berkelahi, jauhlah sudah rasa hati pinto. Tan Ping, urusan ini selesai sampai sekian saja. Kita harus menurut apa yang dikatakan Wan siocia tadi."
Habis itu It Yap memberi hormat kepada Hian Kwan, "Telah lama pinto mendengar kemasyhuran nona sebagai pendekar wanita. Kelak apabila ada kesempatan, ingin sekali pinto mendapat pelajaran."
Hian Kwan tersipu-sipu membalas hormat orang dan menyatakan terima kasih atas penghargaan itu. Adalah disana Tan Ping dan saudara-saudaranya seperti orang yang kebakaran jenggot. Mengira kalau yang empunya itu tentu Ah-si, seketika Tan Hwat menantang bujang itu untuk berkelahi. Tetapi Ah-si menyatakan tak berani Tan Hwat ngotot, "Takut apa? Bukankah majikanmu yang menyuruh?"
"Sekalipun aku tak takut tetapi aku tak punya barang taruhannya," akhirnya Ah-si menjawab.
"Bukankah nona majikanmu tadi mengatakan bahwa yang lima peti menjadi bagian kalian? Mengapa engkau mengatakan tak punya barang pertaruhan?" desak Tan Hwat.
Ah-si memandang sejenak kearah Hian Kwan lalu berlutut dihadapan Wan Thian Cik, "Hamba sekalian sudah bertahun-tahun ikut loya dan siocia. Demi membalas budi loya dan siocia yang begitu besar, kami hendak persembahkan kelima peti itu kepada siocia. Harap siocia sudi menerimanya."
Wan Thian Cik girang dalam hati dan diam diam memuji ketangkasan bujangnya itu. Jika benda berharga itu sudah dikuasai Hian Kwan, bebaslah sudah pertanggungan jawab Ah-si.
Tetapi sebelum Wan Thian Cik mengutarakan apa-2, Hian Kwan sudah berkata, "Ah-si, terima kasih atas kebaktianmu sekalian."
Sambil memberi hormat kepada Tan Hwat, Ah-si berkata, "Tan ji-pongcu, terima hasih atas kebaikanmu hendak memberi pelajaran. Tetapi karena aku tak punya barang taruhan apa2 lagi, terpaksa aku tak dapat melakukan perintah. Rasanya engkau tentu segan, sayang sekali."
Tan Ping, Tan Hwat dan kawan2 hanya dapat meringis seperti monyet kepedasan. Kalau peti-peti berharga itu dikangkangi Wan Thian Cik, mereka akan mengadu jiwa untuk merebutnya kembali. Tetapi sekarang yang menguasai adalah Hian Kwan. Mereka benar2 mati kutu.
It Yap tojin yang menyaksikan hal itu diam2 memuji kelihayan tuanrumah. Dia yakin Wan Thian Cik tentu sudah mengatur kesemuanya itu dengan cermat. Sebagai tuan rumah yang berkedudukan sebagai pemimpin persilatan tak mau dia mengangkangi harta karun itu karena kuatir ditertawai kaum persilatan. Cukup menyuruh kedua bujangnya untuk turun tangan, Tan Ping tentu sukar lolos.
Karena malu dan marahnya Tan Ping segera ajak saudara-saudaranya pamit tapi dicegah Wan Thian Cik. Akhirnya It Yap pun menasehati agar kedelapan perompak itu suka tunggal di rumah keluarga Wan. Karena melihat suhunya mengatakan begitu, merekapun terpaksa menurut.
Hari perkawinan makin dekat, tetamu2 yang datang makin banyak. Sehari dimuka dari hari pernikahan, tetamu2 yang datang dan berbagai aliran dan daerah, tak kurang dari 300 orang. Barang sumbangan yang dibawa mereka, sampai menumpuk setinggi bukit. Kedelapan saudara Tan yang bermula mengira lima belas peti intan permata yang dibawanya itu paling hebat sendiri, ternyata kecele. Diam2 mereka malu dalam hati.
Perjamuan besar diadakan dengan meriah sekali. Selama itu Tan Ping berdelapan duduk bersama dengan It Yap. Mereka tak berani sembarangan bergerak. Diam2 mereka merundingkan rencana untuk menggulingkan Wan Thian Cik.
It Yap memperingatkan agar Tan Ping dan kawan-kawannya jangan bergerak secara gegabah karena pergaulan Wan Thian Cik sedemikian luasnya. Tetapi imam itu percaya, sebagai seorang tokoh pimpinan persilatan, Wan Thian Cik tentu juga mempunyai banyak musuh atau orang yang tak suka kepadanya. Rencana It Yap ialah hendak mencari sekutu dengan orang2 dari golongan itu.
"Tetapi suhu, jago2 yang mengunjungi perjamuan ini kebanyakan tentulah kawan-kawannya. Jumlah mereka besar sekali" kata Tan Ping.
"Belum tentu semuanya itu kawan. Sekalipun kawannya semuanya, tak perlu kita kuatir. Sebagian besar kukenal dan tahu sampai dimana kepandaian mereka itu. Besok pernikahan akan berlangsung. Pada malam bidadari (widodareni) ini tentu masih ada dua tiga tetamu yang akan datang lagi. Jika terdapat seorang paderi yang bertubuh tinggi kurus, celakalah kita. Sebaiknya kita tak usah melanjutkan rencana kita ini. Makan dan minum saja lalu pulang, jangan sekali-kali memimpikan rencana mengangkangi telaga ini." It Yap memberi peringatan.
Melihat suhunya begitu ketakutan terhadap paderi kurus itu, Tan Ping menanyakan keterangan.
"Mudah-mudahan dia jangan datang sajalah. Tan Ping, walaupun kuberitahukan siapa paderi itu, engkaupun tak tahu. Ilmu silatnya lima kali lebih sakti dari Wan Thian Cik dan aku," sahut It Yap.
Mendengar itu Tan Pingpun menggigil.
"Tapi kalau nanti ada seorang rahib (nikoh) tua, ha, ha, itulah musuh besar dari Wan Thian Cik, Kita harus berusaha menariknya untuk menghadapi Wan Thian Cik. Tentu sudah lebih dari cukup." It Yap menambahkan keterangannya.
Waktu Tan Ping menanyakan diri rahib tua itu, It Yap hanya mengatakan nanti tentu akan tahu sendiri.
Sesaat kemudian It Yap tinggalkan tempat duduk dan suruh Tan Ping dan saudaranya menunggu disitu dia mempunyai rencana sendiri. Setelah melewati pintu bundar dari kebun belakang tiba2 serangkum angin keras menyambarnya. Cepat dia kibaskan lengan baju dan mendorong dengan tangan kiri.
"Hebat, hebat!" teriak penyerang gelap itu, "totiang masih kenal kepadaku?"
It Yap Cepat menarik tangannya.? Ketika mengetahui yang menyerang itu kedua saudara Ciam, ia tertawa, "Ah, kiranya Ciam-heng berdua, hampir saja pinto mati kaget!"
Ciam Sing Kiong segera menarik tangan It Yap untuk dikenalkan kepada seseorang. Didalam pagoda yang terdapat di kebun situ ternyata penuh dengan belasan orang gagah. Dengan memberi hormat kepada para tamu itu, It Yap memperkenalkan diri dengan kata2 yang merendah.
"Kabarnya totiang sedang berlatih sebuah ilmu baru dengan Wan cungcu, Jika sudah berhasil, kelak tentu akan menggetarkan dunia persilatan," kata salah seorang dari mereka.
Kembali It Yap merendah dengan mengatakan bahwa hal itu tdak benar. Tiba2 seorang lelaki pertengahan umur yang dandanannya seperti sasterawan, tertawa dingin. "Dalam pertandingan orang gagah di kota-raja dahulu, sayang ketika Wan cungcu datang totiang sudah pergi. Coba tidak, tentu kita bakal menyaksikan suatu pertandingan banteng lawan harimau," serunya.
Melihat orang berkata dengan blak-blakan, It Yap terkesiap dan menanyakan siapa nama orang itu.
"Justeru yang hendak kuperkenalkan kepada totiang itu, ialah saudara ini," buru2 Ciam Sing Kiong berseru.
"Aku orang she Tio, digelari orang sebagai si Kipas Setan. Seorang kerucuk macam aku masa totiang kenal." sahut orang itu.
Diam2 It Yap mendongkol tapi rasanya ia pernah dengar juga tentang tokoh yang bergelar Kipas Setan itu. Ya, memang ilmu silat orang itu tinggi sekali, malang melintang didaerah selatan tanpa ada yang menandingi. It Yap tak berani memandang rendah. Ia memberi hormat dengan mengangguk kepala, "Ah. kiranya Tio-heng si Kipas Setan, maaf. tadi pinto sudah berlaku kurang hormat."
Kipas Setan balas memberi hormat. Ketika memandang pada It Yap, ia pun tertawa pula, "Ah, kiranya totiang yang masih begini muda. Sungguh tak kuduga"
It Yap tak dapat menahan sabar lagi. Ia terus pamit keluar dari pagoda itu. Tetapi tlba2 sesosok tubuh melesat menghadang di mukanya. It Yap tahu siapa yang datang itu.
"Totiang, mumpung malam begini baik dan angin sejuk semilir, baiklah kita omong2 tentang ilmu golok dan pedang. Bagaimana kalau kita main-main barang beberapa jurus saja?" kata orang itu yang bukan lain adalah si Kipas Setan.
"Aku tak berhasrat, maaf, sampai bertemu lagi," kata It Yap.
Tio Ho si Kipas Setan menebarkan kipasnya. Kipas itu berlukiskan setan yang tengah menjulurkan lidahnya.
"Engkau berani datang ke pertandingan di kotaraja, masa tak berani menyambut satu dua jurus seranganku saja? Ha, ha, orang menyohorkan It Yap tojin dari Thay-heng-san itu seolah-olah dewa sakti tetapi aku tak percaya dan buktinya sekarang ini makin jelas," serunya dengan lantang.
Nyata si Kipas Setan hendak memaksa It Yap untuk bertempur. Tetapi It Yap tetap bersabar, serunya, "Orang she Tio, maukah engkau memberi jalan kepadaku?"
"Mau, sudah tentu mau, tetapi setelah nanti ada yang kalah dan menang," sahut si Kipas Setan.
"Kita tak saling kenal mengenal, mengapa engkau mendesak begitu rupa? Jangan keliwat memaksa orang," bentak It Yap.
"Saudara2 sekalian, dengarlah. Kuhaturkan kehormatan untuk meminta bertanding tapi dia mengatakan aku memaksa. Bertanding adalah soal biasa di kalangan persilatan, se-kali2 bukan hendak mengikat permusuhan. Tetapi totiang kita ini mengkeret. Apakah dia layak kita junjung sebagai jago nomor wahid dikolong dunia?" seru Tio Ho.
"Orang she Tio, mengapa engkau memaksa aku berkelahi? Jika aku bersalah kepadamu, bilanglah biar aku tahu," kata It Yap.
Imam itu sudah kelewat batas mengekang kesabarannya. Kalau biasanya, siang2 orang she Tio itu tentu sudah ditangani. Sekalian orangpun memandang kepadanya.
Kipas Setan tertawa gelak2, "Tak apa-apa, hanya saja kuminta gelar jago nomor satu di dunia itu, sejak saat ini diberikan saja kepadaku, ya? Ha, ha, begitu urusan pernikahan puteri Wan Thian Cik selesai, aku masih akan meminta pelajaran dari dia."
Mendengar kata2 temberang itu sekalian orang terkesiap. Nyata orang she Tio itu hendak merebut kedudukan pemimpin persilatan dari tangan Wan Thian Cik.
"Apa? Kalau begitu biarlah pinto meminta pelajaran, harap Tio-heng suka berlaku murah," seru It Yap dengan tenang.
It Yap lantas menyingkap jubahnya dan pasang kuda2, kemudian mempersilakan orang mulai menyerang.
"Apakah totiang tak menggunakan senjata?" tanya Tio Ho. Waktu It Yap diam saja, kembali orang she Tio itu mengulang, "Aku tak suka memberi ampun kepadamu, lekas lolos senjatamu!"
"Jangan banyak omong, lekas mulai menyerang," bentak It Yap karena merasa sebal.
Tio Hopun tak mau banyak bicara lagi. Ia membuka serangannya dengan menutuk jalandarah tiong-hu-hiat. Tetapi cukup dengan menggeliatkan tubuhnya saja dapatlah It Yap menghindari serangan itu. Dalam pada itu dilihatnya kipas lawan terbuat dan sepuluh rangka baja, setiap ujung rangka itu berlubang kecil seperti ada alat rahasianya. Diam2 It Yap membatin, menilik orang begitu congkak tentulah mempunyai ilmu istimewa yang diandalkan maka diapun bersikap hati2.
Lima enam jurus kemudian, sekalian orang mengetahui bagaimana kekuatan kedua jago itu. Kepandaian orang she Tio itu ternyata hanya biasa saja, jauh terpautnya dengan It Yap yang tenang, tangkas dan yakin. Orang-orang menduga, paling banyak dalam tigapuluh jurus saja, Tio Ho tentu sudah kalah.
It Yap pun memperhitungkan begitu juga. Tetapi dia tetap curiga kalau mustuh mempunyai tipu musiihat yang luar biasa. Pada satu saat, Tio Ho berseru keras, kipasnya sekonyong-konyong menampar kepala si imam. Tapi It Yap dapat mendahului menyengkelit tangan orang terus didorongnya. Bermula Tio Ho terhuyung-huyung ke muka kemudian mencelat ke belakang. Semua orang mengira si congkak itu tentu akan terjungkal. Tetapi di luar dugaan, tangan It Yap ketika menjamah dada orang, tiba-tiba ditarik kembali.
Ternyata It Yap masih mengingat kepada tuan rumah. Pada hari baik dimana Wan Thian Cik hendak melangsungkan pernikahan puterinya itu tak pantas kalau sampai melukai orang. Tadi imam itu hanya memberi peringatan agar Kipas Setan jangan jual lagak sesombong begitu lagi.
"Kiranya kita tak usah bertempur terus," seru It Yap,
"Mengapa?" sahut Tio Ho dengan bengis dan serentak memancarlah lima sinar emas dari kelima ujung rangka kipas besinya, masing-masing mengarah kepala, tenggorokan, dada, perut dan paha It Yap.
Jarak keduanya dekat sekali dan Tio Ho sudah mahir sekali menggunakan senjata rahasia itu. Sudah berpuluh tahun dia melatih senjata rahasianya. Pendek kata 'seratus kali menyerang tentu seratus kali kena?. Semua orang sudah menjerit kaget.
Tetapi ternyata It Yap sudah menduga tentang hal itu, Sekali menyambar dia dapat menangkap kelima batang passer kecil. Ketika dibau ternyata mengandung racun. Sekali ayunkan tangan kelima batang passer itu bersarang pada sebuah tiang, berjajar-jajar menjadi bentuk huruf It (satu). Masuknya kedalam tiang hampir setengah batang.
Riuh rendah orang berteriak memuji. Sebaliknya imam itu hanya diam saja dan melangkah pergi. Tiba2 terdengar suatu letusan dan Ciam Sing Kiong berseru, "Awas, dibelakangmu ada setan!"
Dua buah benda aneh menyambar dan seketika It Yap rasakan punggungnya panas sekali. Ia tak berani menyambut, melainkan tundukkan tubuh ke bawah. Kopiahnya termakan. Dalam kagetnya termakan. Dalam kagetnya imam itu melirik ke belakang. Dilihatnya Tio Ho memijat kipasnya lagi. Cepat It Yap gunakan gerak Ih-kiong-ya-wi, sebagai sekali dia sudah berada di depan Tio Ho dan sekali membuat suatu gerak tipuan dengan tangan kiri, tangan kanannya sudah dapat merampas kipas orang.
"Bum, bum" terdengar dua kali letusan yang menjurus ke lantai tetapi anehnya benda apa yang keluar, tak kelihatan ujudnya.
Senjatanya kena dirampas mentah2 oleh lawan, membuat Tio Ho terlongong-longong merah padam. Untung Wan Thian Cik yang mendengar ribut2 itu, buru2 datang menghampiri. Ia agak terperanjat demi melihat kopiah It Yap rompal berlobang.
"Wan cungcu, orang she Tio ini lihay sekali, pinto tak dapat menandinginya, harap Wan cungcu turun tangan sendiri," kata It Yap sembari melangkah pergi.
Wan Hian Kwan yang sedang mengemasi barang-barangnya didalam kamar, mendengar juga tentang ribut itu. Siapa yang berkelahi itu, ia tak tahu, tapi bayang warna kelabu dari jubah It Yap, ia dapat melihat tegas. Diam2 ia menertawakan orang yang berani mencari perkara dengan si imam. Tiba2 dari belakang terdengar derap kaki pelahan, cepat ia menegur, ''Siapa?"
Ia mundur kebelakang dan tanpa menoleh ia balikkan tangan menghantam ke belakang. Tapi segera ia merasa di dorong oleh suatu tenaga kuat sehingga tubuhnya bergoncang. Untung pada lain kejab tenaga itu lenyap.
"Bagus!" Hian Kwan berseru pelahan dan dengan siapkan kedua tangan ia berputar kebelakang. Ternyata yang berhadapan di mukanya itu ialah It Yap tojin.
"Maaf, karena hendak menyampaikan suatu kabar penting, pinto terpaksa lancang masuk kemari," kata si imam memberi hormat.
Merah wajah Hian Kwan, sahutnya, "Jika totiang ada urusan, silakan kita bicara diluar saja."
"Urusan ini mana boleh didengar orang. Wan siocia. Marilah kita ke tempat yang sepi." kata imam itu sembari celingukan di sekeliling kamar Hian Kwan.
Bermula Hian Kwan mengira kalau imam yang kehilangan limabelas peti benda berharga itu akan menantangnya berkelahi. Tapi demi melihat sikap imam itu tak memperlihatkan tanda2 buruk ia segera menyahut, "Jika totiang ada pesan, silakan memberitahu disini. Ini adalah kamarku, tanpa ijinku tak ada orang yang berani masuk." Sengaja ia berseru keras, masudnya sebagai mendamprat orang.
"Pesan sih tidak, hanya pinto dimintai tolong orang untuk menyampaikan kepada siocia," sahut It Yap.
Hian Kwan makin heran dan menanyakan.
"Kan siocia. tadi kaukatakan tanpa ijinmu tiada orang berani masuk kemari, rasanya omongan itu apa benar?" tanya It Yap.
Merah muka Hian Kwan mendengar ucapan tak keruan dari seorang imam muda yang berwajah cakap itu. Tapi karena ingin mengetahui siapa yang mengirim pesan itu, ia ganda tertawa.
"Dengan ucapan itu berarti totiang menegur diri sendiri." Apakah engkau telah mendapat ijinku? Jika tak mengingat engkau ini seorang pertapa, tentu sejak tadi sudah kulempar keluar menjadi buah tertawaan orang persilatan," serunya.
"Mengapa menertawakan aku?" tanya It Yap.
"Aku seorang mempelai, apa engkau tak tahu?"
"Kalau begitu silakan melemparkan aku sekarang juga, silakan."
Mendengar kata2 si imam yang lunak dan disertai dengan senyuman, luluhlah hati Hian Kwan. Ia mempersilakan imam itu duduk dan memberitahukan pesan orang itu.
It Yap mengancing pintu dan menutup jendela. Bermula Hian Kwan terkejut tetapi ia tak mencegahnya....
-^dwkz^smhn^- Jilid 10 KENALKAN Makin tinggi pohon itu, makin keras angin yang dideritanya. Makin tinggi kedudukan seseorang, makin besar bahaya yang melingkungi.
Ambisi tidak terbatas pada orang biasa, pun seorang imam yang mengerti akan ajaran2 agama seperti imam It Yap, juga masih berambisi besar untuk merebut kedudukan Pemimpin dunia persilatan dari tangan Wan Thian Cik.
Yang tua harus memberi kesempatan kepada yang muda. Kalau tidak tentu akan terjadi peristiwa kekerasan seperti yang dialami Wan Thian Cik.
Memang dunia persilatan itu tak pernah mengenal ketenangan dan kedamaian....
-^dwkz^smhn^- Dua harimau berkelahi Setelah duduk maka It Yap tojin mulai berkata. Tenang tetapi mengandung sindiran. "Nona mengatakan, tanpa mendapat ijin nona, tiada orang berani masuk ke kamar ini. Tetapi kutahu kalau ada seorang yang berani, dia ialah...."
Gemetar tubuh Hian Kwan mendengar kata2 itu. Hal itu dilihat oleh It Yap yang melanjutkan perkataannya pula.
"Orang itu pernah berada disini sampai setengah jam. Ia menikmati lukisan dinding kamar ini, menjamah-jamah benda di meja hias dan diam2 mencuri juga sebatang tusuk kundai kepunyaan nona dan..."
"Tutup mulutmu!" bentak Hian Kwan yang tak tahan lagi. Beberapa butir airmata mengalir di kedua celah pipi.
Terbayang dipelapuk. Dia, ya, dimana pria itu sekarang? Hian Kwan mengeluarkan dua kutungan tusuk kundai,
"Totiang, lihatlah ini. Apakah yang minta tolong kepadamu itu.... dia?" ujarnya.
"Benar, memang Ku Pin, Dia adalah sahabatku karib selama bertahun-tahun. Hubunganmu dengan dia, kuketahui jelas. Harap engkau simpan kutungan tusuk kundai itu baik2 sebagai tanda-mata yang berharga. Karena.... karena ayahmu telah membohongi engkau."
"Apa? Ayah menipu aku apa?" Hian Kwan tersentak kaget.
"Apa engkau kira kutungan tusuk kundai itu Ku Pin yang mengembalikan kepadamu?"
"Ayah mengatakan Ku Pin yang mengembalikan sendiri sebagai tanda putus ikatan, masa...."
"Ayahmu bohong, dia membuat Ku Pin...."
"Membuat Ku Pin bagaimana?" Hian Kwan makin kaget.
"Tak apa2. Dia hanya membuat Ku Pin putus kedua kakinya dan memaksa Ku Pin menyerahkan tutuk kundai itu...."
"Bohong, bohong! Ayah tak nanti berbuat begitu!"
"Percaya atau tidak, terserah kepadamu. Kau kira ayahmu itu orang baik, hm, dia hanya ingin merayap keatas. Ciu Bing, putera dari perdana menteri, maka ayahmu tak mau melepaskan kesempatan sebagus itu. Sedang Ku Pin? Dia kan hanya seorang persilatan. Jangan lagi ditabas kedua kakinya, sekalipun dibunuh pun tak ada orang menyayangkan!"
"Sudah, sudah, jangan bicara lagi!" teriak Hian Kwan.
"Pesan Ku Pin kepadamu itu, tak dapat ku katakan. Sekarang ini dia berada di suatu tempat di Sou-pak merawat lukanya. Dia hanya mengatakan kelak kalau sudah sembuh tentu akan menuntut balas kepada ayahmu, Pun dia menyatakan, cintanya kepadamu takkan luntur dan tetap abadi sepanjang hidupnya. Kalau dalam penghidupan sekarang tak dapat terangkat jodoh dengan engkau, kelak pada penitisan yang akan datang, dia rela menjadi kuda piaraanmu.... ah, aku seorang pertapa tak mengerti tentang ilmu cinta. Aku hanya menyampaikan saja apa yang dikatakan."
"Apa lagi pesannya itu?" tanya Hian Kwan
It Yap mengatakan tak ada lagi. Imam itu menghela napas menyayangkan nasib Ku Pin yang mencintai Hian Kwan dengan murni. Sayang Ku Pin sudah beristeri dan Hian Kwan pun mempunyai ayah yang keras kepala.
Hian Kwan tundukkan kepala. Tiba-2 dia bertanya dimana tempat tinggal Ku Pin. Waktu It Yap memberitahukan bahwa Ku Pin sekarang ini berada di sebuah dusun di tepi telaga Lok-ma-ou, seketika Itu juga Hian Kwan herbangkit dan menyambar sepasang pedangnya yang tergantung di tembok,
"Hai, hendak kemana engkau?" seru It Yap kaget.
"Mencarinya!" Cepat It Yap kibaskan lengan bajunya melihat sepasang pedang si nona dan sekali tarik, Kian Kwan dan pedangnya menjatuhi dada It Yap. Hidung si imam mencium bau harum, buru2 di mendorong tubuh si jelita.
"Totiong, mengapa engkau mencegah?" teriak Hian Kwan.
"Besok pagi adalah hari pernikahanmu. Tak layak engkau menjenguk Ku Pin. Jika engkau sekarang pergi, aku bakal menjadi orang yang berdosa besar," jawab It Yap.
Imam itu mengulung kain jendela dan membuka pintu kamar lalu tinggalkan ruang itu. Tetapi sebelum pergi dia berkata dengan berbisik, "Hanya begitulah pesannya dan akupun hendak pergi. Ikatan kasih kamu berdua putus sampai disini. Jangan sekali-kali engkau melanggar kehendak nasib. Namun janganlah engkau lupakan kasih Ku Pin. Karena engkau, dia rela menderita putus kakinya dan tersiksa batinnya. Kudoakan semoga engkau hidup bahagia dengan suamimu. Kelak apabila ada rejeki, engkau tentu dapat berjumpa lagi dengan Ku Pin."
Hian Kwan termangu-mangu laksana sebuah patung dalam kamarnya.
Pernikahan Hian Kwan dirayakan dengan megah dan meriah sekali. Gedung keluarga Wan dan kampung halamannya situ, seolah-olah menjadi lautan teng (lampion) warna warni. Seratus buah lebih meja perjamuan disiapkan secara nonstop sampai tiga hari tiga malam. Penduduk Sou-ciu sampai kelabakan kehabisan arak, karena boleh di kata seluruh persediaan arak di kota itu diborong semua oleh Wan Thian Cik.
Ciu Ting, ayah dari mempelai lelaki, karena kesibukan tugas negara terpaksa tak dapat datang. Rasanya belum pernah kaum persilatan menghadiri pesta pernikahan yang sedemikian meriah dan memuaskan.
Larut malam ketika Ciu Bing masuk ke kamar pengantin, dilihatnya Hian Kwan sudah salin pakaian.
"Hujin, seharusnya engkau menyuguhkan secawan arak kepadaku," kata Ciu Bing kepada isterinya.
Tetapi Hian Kwan hanya dingin2 saja dan deliki mata kepadanya.
"Ah, sudahlah, kita kaum persilatan tak usah memakai segala macam peradatan kuno," kata Ciu Bing pula.
Ia duduk di kursi menuang arak sendiri sambil menikmati wajah isterinya yang cantik.
Kembali Ciu Bing tertawa berseru. "Telah kubuatkan sebuah hiasan permata. Bunga tho permata itu tak usah engkau pakai lagi. Ia berbangkit mengambil hiasan dirambut Hian Kwan lalu mengambil sebuah hiasan lain dari dalam peti dan dipasangkan di rambut sang isteri untuk menutup bekas lukanya.
"Hujin, engkau sungguh cantik sekali. Besok kalau kita pulang ke kota raja, isteri2 para bangsawan bahkan para selir baginda, tak nanti ada yang menang dengan engkau," Ciu Bing tak jemu-jemunya memuji kecantikan sang isteri.
Tiba2 Hian Kwan mencabut hiasan permata tadi terus berbangkit untuk mengembalikan benda itu kedalam peti lagi. Sudah tentu Ciu Bing heran dan menegurnya. Tetapi dengan tertawa Hian Kwan suruh Ciu Bing tidur saja karena malam sudah sangat larut.
Dengan girang Ciu Bing segera naik keatas ranjang pengantin. Tapi tahu2 punggung bajunya mengencang dan tubuhnya terasa dilemparkan keatas meja pat-sian, "Engkau tidur disitulah," gertak Hian Kwan.
Ciu Bing geliatkan tubuhnya dan jatuh terduduk diatas meja, serunya, "Ah, hujin, mereka mengatakan hendak menggoda pengantin, tapi dicegah gak-hu (ayah mentua). Siapa kira ternyata kita sendiri yang ribut!"'
Dalam keadaan setengah mabuk karena kebanyakan minum arak, ia loncat menghampiri tetapi dengan dorongkan sepasang tangannya Hian Kwan dapat mengembalikan supaya dia duduk lagi.
"Siapa bergurau kepadamu? Tidurlah disitu, malam ini jangan tidur di ranjang sini!" seru Hian Kwan.
Ciu Bing melongo." Hujin, engkau adalah pengantinku. Dan aku adalah suamimu. Mengapa engkau biarkan aku tidur diatas meja ini?"
"Tahu, tahu, tahu! Tapi engkau tak boleh menyentuh aku, mengerti!" bentak Hian Kwan yang terus menutup kelambunya.
Terpaksa malam itu Ciu Bing tidur diatas meja.
Tiga hari kemudian, tetamu mulai bergantian pamit pulang. Dari pagi sampai siang Wan Thian Cik dan Ciu Bing sibuk mengantar tetamu yang tak kurang dari empat lima ratus orang. Yang masih ketinggalan hanya seorang yakni It Yap to-jin. Beberapa kali imam itu hendak pamit tapi selalu dicegah oleh tuan rumah yang mengatakan hendak tukar menukar pengetahuan ilmu pedang. Tan Ping berdelapan saudara, sudah pulang lebih dulu.
Pada hari ketujuh, Ciu Bing menghadap Wan Thian Cik untuk menyampaikan undangan ayahnya supaya mentuanya itu suka datang ke kotaraja. Tapi Wan Thian Cik hanya suruh Cu Bing dan Hian Kwan berangkat dulu karena dia masih ada sedikit urusan.
Apa boleh buat, Ciu Bing terpaksa ajak isterinya berangkat. Ih Ih sebenarnya hendak ikut nona majikannya tetapi Hian Kwan yang tahu kalau pelayannya itu mempunyai hubungan intim dengan Ah-si, suruh Ih Ih tinggal di rumah saja.
Tempo berjalan dengan cepat sekali. Tak terasa genap sudah tiga bulan It Yap tinggal di rumah Wan Thian Cik. Masa itu musim dingin, air di telagapun membeku. Sejak di tinggal puterinya. Wan Thian Cik merasa kesepian. Untung It Yap tojin menemaninya. Tiap hari mereka merundingkan ilmu pedang atau menguji kepandaian. Ilmu baru yang hendak mereka ciptakan sudah mulai ada bayang2 rencananya. Mereka sama-2 berpendapat bahwa ilmu silat itu tak kalah rumitnya dengan ilmu sastera.
Ternyata It Yap itu baru berumur 32 tahun, sedang Wan Thian Cik 55 tahun.
"Tahukah cungcu, mengapa aku buru2 pergi ketika engkau hendak datang ke pertemuan orang gagah di Pak-kia tempo hari?" tanya It Yap.
Wan Thian Cik mengatakan tak tahu.
It Yap tertawa, "Karena aku takut kepadamu. Daripada mendapat malu lebih baik aku ngacir pergi lebih dulu."
Pujian itu telah membuat Wan Thian Cik merasa bangga. Ia mengambil pedang yang tergantung di dinding, kemudian berkata, "Di kota Pak-kia tempo hari, kita belum bertempur. Orang persilatan mengatakan bahwa di daerah selatan Wan yang menjagoi, di utara Yap yang merajai. Mereka memandang kita berdua sebagai dua datuk. Sebenarnya bagiku, kehormatan itu terlampau berat. Lain halnya dengan totiang yang memang berilmu tinggi. Maka apabila totiang tak menolak, mumpung disini, tiada seorang yang hadir kita main2 barang beberapa jurus saja, bagaimana?"
Diam2 It Yap terkesiap. Kalau sebelum rencananya selesai, dia harus membunuh jago tua itu, tentu akibatnya akan gagallah rencananya itu. Sebaliknya sikap diam dari imam itu diartikan Wan Thian Cik, kalau imam itu takut. Kembali jago tua itu mendesak untuk bermain-main beberapa jurus.
Akhirnya It Yap tertawa, "Baiklah, akan ku lakukan perintah cungcu. Sudah tentu aku tak nanti mampu menandingi cungcu tetapi biarlah aku meminta sedikit pelajaran. Harap cungcu suka berlaku murah."
Bermula Wan Thian Cik mengajak di kebun belakang saja tapi It Yap mengusulkan lebih baik ke bukit Hou-khu-san saja. Akhirnya Wan Thian Cik setuju dan suruh Ah-si menyediakan dua buah tandu untuk mereka. Tiba di tempat, Wan Thian Cik suruh Ah-si pulang dengan dipesan nanti tiga jam lagi suruh datang menjemputnya.
Bukit Hou-gu san merupakan tempat yang terkenal indah di Sou ciu, Sehabis saling minum arak, kedua jago itu melolos pakaiannya dan mulai bersiap.
Wan Thian Cik menggunakan pedang pusakanya yang sudah hampir tujuh tahun tak pernah dipakai. Sedang It Yap juga gunakan pedang yang tipis dan tajam. Jelas bukan sembarang pedang.
"Nanti dalam pertempuran janganlah menggunakan ilmu yang kita ciptakan baru itu tetapi sebaiknya memakai ilmu kepandaian kita masing2" kata Wan Thian Cik.
"Hm, tua bangka ini makin lama makin congkak. Kau kira akan dapat menundukkan aku. Hmm tak mudah," diam2 It Yap mendamprat dalam hati. Ia hanya ganda tertawa dan mengangguk.
Kembali Wan Thian Cik menanyakan tentang sumber aliran ilmu It Yap. Imam itu tertawa, "Kepandaianku campur baur tak keruan, tapi tak ada yang sempurna. Mau main ilmu kepandaian aliran cabang apapun dapat tapi juga tak keruan."
Pada lain saat dia berkata pula. "Untuk menghormat terhadap seorang lo-cianpwe, kurasa lebih baik kugunakan ilmu pedang Thay-kek-kaim."
"Hmm, makanya dia menyebut Thia Sim Hong sebagai kakek guru." batin Wan Thian Cik.
Kiranya It Yap itu memang banyak macam kepandaiannya. Pengetahuannya luas, pengalaman banyak. Ketika di Thay-beng-san dia melihat Tan Hwat penasaran, dia segera memanggilnya keatas gunung dan mengajarnya ilmu pedang Thay-kek-kiam. Walaupun hanya satu bulan belajar tetapi mereka sudah terhitung guru dan murid .
Setelah saling mengalah akhirnya Wan Thian Cik terpaksa menyerang lebih dulu. Ia menusuk dada, tampaknya pelahan tetapi ternyata berat sekali.
Habis menangkis, It Yap dan Wan Thian Cik sama2 mundur.
"Ah, kepandaian tua ini sungguh hebat," diam-diam It Yap mengagumi lawan.
Sebaliknya Wan Thian Cikpun kesima dan memuji kepandaian imam itu. Menurut benturan tadi hanya pelahan saja tetapi keduanya sudah sama2 tergetar.
Pertempuran berikutnya dilakukan dengan hati2 sekali tetapi amat seru. Dalam beberapa kejab saja mereka sudah bertempur sampai lima enam puluh jurus dengan tetap berimbang kekuatannya. Makin lama keduanya makin mengagumi kepandaian lawan.
"Totiang, kalau berhadapan dengan musuh, paling banyak engkau harus menggunakan berapa jurus?" tanya Wan Thian Cik.
"Sukar dikata. Dan bagaimana engkau?" balas It Yap.
"Misalnya seperti kedua saudara Ciam yang telah mengeroyokmu itu, kutahu mereka pernah mencarimu ke gunung Thay-heng-san," kata Wan Thian Cik.
"Mungkin empat atau lima jurus, tapi entah aku tak ingat," sahut It Yap,
"Hai, kiranya kau lebih lihay dari aku!" teriak Wan Thian Cik. Untuk pujian itu It Yap mengucapkan kata-kata merendah. Demikianlah kedua jago itu. bertempur sambil bergurau dan saling tanya jawab. Dalam beberapa kejab kemudian pertandingan berlangsung sampai dua tiga ratus jurus.
"Totiang, tahan dulu," tiba-tiba Wan Thian Cik berseru terus loncat ke tempat ia menaruh arak. Ia minum dua cawan arak dan ajak si totiang minum dulu. Ia lemparkan cawan arak ke arah It Yap. Cawan itu melayang ke udara, setetes pun tak ada yang mencurah.
"Kalau hanya kusambut dengan tangan, ia tentu tak melihat kepandaianku," kata It Yap dalam hati, Ia sambut cawan itu dengan ujung pedangnya.
Begitu tersentuh ujung pedang, cawan itu mencurah seperti air terjun. It Yap menyambutnya dengan mulut. Sambil mengusap-usap mulurnya, ia berseru terima kasih. Dengan kebutan lengan baju ia mengembalikan cawan itu kepada Wan Thian Cik.
Wan Thian Cik berteriak memuji kepandaian si imam. Kembali keduanya bertempur. Ilmu pedang Wan Thian Cik adalah golongan keras. Sebaliknya ilmu pedang It Yap termasuk ilmu permainan lembek. Keras lawan lunak.
Tiba-tiba Wan Thian Cik menyerang dengan jurus hong-cwan-tiang-co, membabat pinggang. Untuk itu It Yap menyambutnya dengan jurus yan-cu-jib-soh. Begitu menyerong pedang lawan ke samping, ia segera menyusuli dengan hantaman tangan kiri.
"Bagus, memang ini yang kutunggu." teriak Wan Thian Cik. lapun mendorongkan tangan kirinya.
"Buuum" benturan kedua tinju dari dua jago cabang atas itu telah menerbitkan suara keras.
Akibatnya, kedua-duanya sama terpental ke belakang. Wan Thian Cik punggungnya membentur pada sebatang pohon hingga pohon itu patah. Pun It Yap juga terbentur pada sebatang pohon. Tetapi begitu menyentuh batangnya, buru-buru ia menggelincir ke samping. Tenaga hantaman yang masih terbawa itu menimbulkan kepulan debu yang gelap. Lama baru hilang.
Kedua orang itu terpisah tiga empat tombak. Tubuh mereka kesemutan agak linu.
It Yap mengempas semangat dan menghela napas, kemudian tertawa: "Wan cungcu, apakah kita masih akan berkelahi lagi?"
Wan Thian Cik tertawa dingin: "Terserah, mau terus atau pulang."
Setelah memikir sejenak, It Yap menyatakan lebih baik pulang saja. Wan Thian Cikpun setuju. Dalam pada itu ia tetap memuji kepandaian si imam yang masih begitu muda. Memang walaupun keduanya tadi belum ada yang kalah atau menang, tapi kalau menilik umurnya saja, It Yap-lah yang lebih banyak nilainya. Apalagi dalam benturan tadi, punggung Wan Thian Cik membentur pohon, sebaliknya It Yap dapat menggelincir. Dinilai dari itu saja, terang kalau It Yap lebih unggul.
"Totiang laksana matahari yang baru terbit, hari depanmu tentu akan gilang gemilang," sambil menggandeng tangan si imam Wan Thian Cik memujinya.
Ketika tiba di kaki gunung, di situ Ah Si sudah datang dengan dua buah tandu. Kiranya kedua jago tadi sudah bertempur sampai tiga jam.
Setiba di rumah setelah menyilakan si imam beristirahat, Wan Thian Cik pun masuk ke dalam kamarnya. "Apakah kedudukanku sebagai pemimpin bulim akhirnya harus kuserahkan kepadanya?" diam-diam ia merenung.
Tiba-tiba ia menepuk ranjang: "Ah. selama enam tujuh tahun ini aku memang hidup bermewah-mewahan sampai lalai berlatih. Lain dengan dia yang tiap hari selalu berlatih. Jadi hal itu bukan berarti kepandaianku kalah dengan dia. Jika aku berlatih lagi.... hm, masakan tak dapat mengatasinya?"
Kalau Wan Thian Cik ambil putusan menutup pintu (tak menerima tetamu) karena hendak berlatih, adalah didalam kamarnya lt Yap pun mempunyai rencana: "Terang kepandaian Wan Thian Cik itu hebat sekali. Hanya karena usianya sudah tua dia, agak loyo tak lincah lagi. Untuk melakukan rencana itu harus kujalankan dalam sepuluhan hari ini. Jika terlambat.... hm. begitu ia tahu akan kelemahannya dan berlatih, sukarlah untuk menundukkannya."
Segera It Yap menulis dua pucuk surat dan disembunyikan dalam lengan bajunya. Kemudian ia panggil Ah Si dan menanyakan Wan Thian Cik, Ah Si menerangkan bahwa majikannya amat lelah dan tidur.
"Baik, tak usah mengganggunya. Akupun keisengan akan jalan-jalan di tepi telaga. Maukah kau menunjukkan jalan?" kata si imam.
Ah Si me minta maaf tak dapat mengantarkan kerena masih ada urusan. It Yap lalu pergi sendiri. Diam-diam Ah Si membatin bahwa imam yang tampaknya lemah itu ternyata berhati ganas. Entah imam itu hendak merancang rencana jahat apa terhadap majikannya. Tapi Ah Si tak berani mengutarakan kecurigaannya itu kepada majikannya,
Begitu tiba di tepi telaga, tiba-tiba It Yap merubah haluannya. Dengan gunakan ilmu ginkang, cepat sekali ia sudah menyusup ke dalam kota. Di depan sebuah gedung besar ia berhenti. Setelah memandang sebentar ia lalu enjot kakinya melayang masuk. Tiga kali ia bersuit pelahan dan muncullah seseorang.
"Suhu, kau sudah datang!" seru orang itu yang tak lain Tan Hwat adanya.
It Yap mengiakan. Waktu Tan Hwat menanyakan keterangan, It Yap menukasnya: "Jangan banyak bicara! Berikan surat ini kepada toakomu. Suruh ia bekerja menurut rencana dalam surat itu. Dan yang sepucuk ini, suruhlah orangmu ke telaga Lok-ma-ou, jangan salah!"
Habis memberi pesan It Yap segera melesat pergi. Tan Hwat pun segera melakukan perintah suhunya itu.
Tiba di rumah Wan Thian Cik, It Yap pun bersikap seperti biasa. Ada kalanya ia jalan-jalan atau omong-omong dengan Ah Si atau membaca syair. Wan Thian Cik tetap menyekap diri didalam kamar, jarang sekali ia keluar. Kalau keluar paling-paling hanya berunding tentang ilmu permainan baru yang hendak mereka ciptakan itu, tapi itupun hanya sebentar saja terus masuk lagi.
"Kehancuran sudah di depan mata, baru kau sibuk tak keruan. Apa manfaatnya kau berlatih selama duapuluh hari itu saja?" diam-diam It Yap menertawakan tuan rumah. Ia memperhitungkan, Wan Thian Cik tentu akan menantangnya berkelahi lagi. Dan itulah saatnya ia harus turun tangan.
Cepat sekali duapuluh hari telah lewat. Menurut perhitungan It Yap, orang yang diundangnya itu tentu sudah datang dan bersembunyi di sekitar tempat situ, menunggu komandonya.
Sorenya It Yap tahu tuan rumah sedang terlatih di kebon belakang. Imam yang sudah mempunyai rencana itu segera menghampiri masuk. Tampak Wan Thian Cik sedang duduk bersila di rumpun bunga, ia tengah berlatih pernapasan, ubun-ubunnya sampai mengeluarkan asan. Kala itu musim salju. Tempat yang diduduki Wan Thian Cik Juga penuh dengan salju. Tapi salju itu menjadi lumer karena terkena hawa napasnya yang panas.
Diam-diam It Yap terkejut. Ia membatin jangan-jangan Wan Thian Cik sudah pulih kembali tenaganya. Sebenarnya ia hendak bersembunyi mengintai tapi derap kakinya telah diketahui oleh Wan Thian Cik.
"Totiang kah itu? Silakan ke mari, aku hendak bicara," seru Wan Thian Cik tertawa.
It Yap menghias mulutnya dengan tertawa buatan: "Tak berjumpa tiga hari, ternyata cung-cu bersembunyi di sini."
Wan Thian Cik mengatakan bahwa ia hanya iseng saja, lalu ajak sang tetamu beristirahat di pagoda kebun. Tiba-tiba terdengar suara burung gagak berbunyi di atas pagoda itu.
"Burung gagak berbunyi, tentu alamat tak baik." Win Thian Cik kerutkan alis.
It Yap terkesiap dalam hati tapi ia pura-pura tertawa: "Biarlah kutangkap burung itu untuk cungcu!"
Ketika dua ekor burung gagak terbang melampau, tiba-tiba It Yap tamparkan lengan bajunya ke atas dan begitu burung itu meluncur turun segera ia sambar: "Makhluk yang jelek telah kutangkap, harap cungcu memberi hukuman."
Wan Thian Cik memuji kepandaian imam itu seraya menyambuti burung gagak: "Benda yang jelek, dibunuh tak berguna, dikasihkan orang juga tak ada yang mau. Ah, lebih baik dilepas saja!" Ia menepuk bulu gagak itu tapi burung itu tetap tak mau terbang. Tetapi bukannya tak mau melainkan tak mampu lolos diri lingkaran Lwekang telapak tangan Wan Thian Cik.
It Yap ganda tersenyum: "Burung gagak, burung gagak, suruh pergi mengapa membangkang, terpaksa kuusir dengan kekerasan." Ia melepas sepatu kainnya terus ditepukkan ke punggung tangan Wan Thian Cik. Tiba-tiba kedua burung itu dapat terbang lolos dari kurungan Lwekang Wan Thian Cik.
Sebenarnya Wan Thian Cik mendongkol tapi ia tak dapat berkata apa-apa. Ketika memandang tampak bawah sepatu si Imam itu tetap putih bersih, sedikitpun tak terlekat salju. Diam-diam Wan Thian Cik terperanjat. "Kiranya ia mahir dalam Lwekang injak-salju tanpa bekas," pikirnya.
Ilmu Lwekang itu jarang sekali terdapat di dunia persilatan. Mau tak mau Wan Thian Cik harus merasa kagum,
Tapi ia tak mau menyerah. Segera ia memegang sebuah kursi dan menyilakan tetamunya duduk: "Totiang tentu payah menangkap burung, silakan duduk!" Tiba-tiba ia lepaskan tangannya dan mengangkatnya ke atas. Kursi itu seperti tertarik oleh tenaga lekat, turut melayang ke atas dan turun di hadapan It Yap,
It Yap terkesiap dan memuji: "Sungguh hebat sekali Lwekang cungcu. Aku kagum benar."
Wan Thian Cik girang dengan pujian itu dan hendak menantangnya lagi. Di sini sempit tempatnya, lebih baik kita menguji Lwekang," ujarnya.


Benci Tapi Rindu Cinta Dibawa Mati Karya Sd Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dam-diam It Yap girang dalam hati. Setelah memakai sepatunya, ia lalu menjemput beberapa batu kecil: "Lwekangku tentu tak akan menang dengan cungcu. Tapi dalam hal lemparan, memang sejak kecil aku sudah belajar, harap cungcu suka memberi petunjuk."
Ia melemparkan sebuah batu udara. Lemparannya itu luar biasa sekali, sampai mencapai lima enam tombak. Kemudian ia susuli lagi dengan lemparan kedua, Waktu batu pertama meluncur turun, kena dibentur oleh batu yang kedua dan kembali mencelat ke atas lagi. Waktu batu kedua meluncur turun, pun kena dipukul oleh batu ketiga dan mencelat sampai sepuluhan tombak di udara. Demikianlah berturut-turut ia lemparkan sepuluhan batu yang pukul memukul itu. Semuanya mencelat di udara, satupun tak ada yang jatuh ke tanah.
"Bagus, bagus!" Wan Thian Cik tertawa gelak-gelak. Namun dalam hatinya ia menertawakan kepandaian si imam itu sebagai permainan anak kecil.
"Ilmu kepandaian ini. semuanya tergantung pada kecepatan tangan dan ketajaman mata. Sekaligus dapat melemparkan berpuluh batu, satupun tak dapat jatuh. Apa katamu, cungcu?" kata It Yap.
"Ya, ya," Wan Thian Cik mengangguk tertawa Tapi dalam hatinya mengejek: "Kentut, kentut! Permainan anak kecil, masakan suruh aku memberi petunjuk!"
Setelah itu It Yap mengajak tuan rumah mulai adu Lwekang. Demikanlah keduanya segera duduk berhadapan di tepi pagoda. Setelah saling memuji kepandaian masing-masing, kedua jago inipun segera ulurkan tangannya masing-masing. Begitu tangan Wan Thian Cik bersentuh dengan tangan It Yap, segera ia rasakan seperti didorong oleh gelombang tenaga yang dahsyat. Tapi Wan Thian Cik hanya tertawa saja. Cepat ia mengerutkan tangannya uniuk menerima aliran Lwekang si imam, terus dilontarkan pada jeruji pagar langkan. Maka betapapun It Yap hendak membanjiri dengan gelombang Lwekang, Lwekang itu akan menyalur ke langkan. Sedang tubuh Wan Thian Cik sendiri hanya bagaikan air lemas yang dibuat jalan saja.
It Yap terkesiap dan menyesal mengapa belum-belum ia sudah bertindak sembrono. Hendak menarik pulang Lwekangnya, dikuatirkan Wan Thian Cik akan balas menyerang. Tapi kalau diteruskan, ialah yang akan kehabisan Lwekang.
Wan Thian Cik diam-diam girang. "Tunggu saja setelah Lwekangmu habis, sekali kubalas kau tentu terjungkal," pikirnya.
Beberapa kejab kemudian tampak ubun-ubun kepala It Yap mengeluarkan asap. Wan Thian Cik terperanjat karena saat itu ia rasakan ada suatu tenaga baru melanda tubuhnya. Bergelombang-gelombang tenaga itu mendampar dalam tubuh Wan Thian Cik.
"Celaka kalau aku terus-terusan bersikap begini, bukan dia melainkan akulah yang akan terjungkal ke bawah langkan," pikir jago tua itu.
Segera ia mengempos perut untuk mengusir Lwekang lawan sambil memperkokoh benteng Lwekang nya sendiri. Memang banyak sekali ia mengeluarkan tenaga Lwekang, tapi kini ia rasakan dirinya kokoh. Diam-diam ia girang karena mengetahui dirinya takkan kalah.
Sebaliknya It Yap diam-diam memuji akan keluwesan tuan rumah yang walaupun sudah tua tapi dapat mengikuti setiap gerakan orang, dapat mengetahui kekuatan lawan dan memperhitungkan kekuatan diri sendiri. Diam-diam ia bekerja keras untuk memecahkan perlawanan tuan rumah.
Cepat ia robah siasatnya. Segera ia lancarkan apa yang disebut serangan umum (secara besar-besaran). Jeruji langkan sampai berkeretekan mau patah saking menahan serangan tenaga hebat itu.
Wan Thian Cik menjadi sibuk tak keruan, ia bertahan mati-matian. Bermula ia hanya gunakan sebagian kecil tenaga untuk bertahan, sedang sebagian besar untuk memberi pukulan terakhir. Tapi dengan serangan mendadak itu, ia tak sempat mengerahkan simpanan Lwekangnya, Tubuhnya terasa mendidih, darahnya bergelak hebat. Kini ia menyesal mengapa membiarkan tubuhnya jadi medan tempur.
Jago tua itu meramkan mata dan mengerahkan seluruh Lwekang untuk bertahan. Ubun-ubun kepalanya mengeluarkan asap, jidatnya berkeringat dingin dan tubuhnya mandi keringat.
-^dwkz^smhn^- Jatuhnya seorang Raksasa Mamang Wan Thian Cik sungguh-sungguh terdesak. Tapi untuk mengalahkan dalam waktu singkat tidaklah mudah bagi It Yap. Wan Thian Cik sudah puluhan tahun meyakinkan Lwekangnya dan Lwekang yang dipelajarinya itu tergolong Lwekang hian-bun (agama) ditambah dengan pengalamannya, paling tidak Lwekang Wan Thian Cik itu lebih unggul sedikit dari It Yap.
Beberapa kejab kemudian tanpak kedua mata si imam berobah merah tak lama kemudian menjadi ungu. Ubun-ubun kepalanyapun panas, Melihat itu Wan Thian Cik bcrgirang hati. Ia tahu lawan tak dapat mengalahkannya. Tiba-tiba timbullah sebuah pikiran. Segera ia gunakan gaya ?san? (melenyapkan) arus Lwekang dan berbareng kerahkan Lwekang ke bagian kaki.
"Krek" jeruji langkan yang terbuat daripada kayu li yang keras, jebol dan kedua jago itupun jatuh berjumpalitan, namun jangan mereka masih tetap saling melekat.
Dalam jumpalitan itu Wan Thian Cik memang sudah siap, jadi tak kena apa-apa. Tidak demikian dengan It Yap. Ia tersentak kaget, darahnya seperti menyungsang balik dan Lwekang yang menyalur di lengannya hilang lenyap. Untung Wan Thian Cik gunakan gerak 'san', coba ia segera melancarkan serangan, kalau tak mati tentulah imam itu akan luka berat.
Keduanya masih merapatkan tangan tapi tak berani melancarkan serangan dan tak berani menarik pulang tangannya. Barang siapa yang berbuat begitu tentu akan menderita kerugian besar. Jadi mereka kini sedang berjuang untuk mengatur tenaganya.
Adalah Wan Thian Cik yang lebih dulu dapat pulih tenaganya, maka iapun segera lancarkan serangannya pula. Tapi It Yap tak gentar, ia menghadapinya dengan tenang. Pun karena tadi Wan Thian Cik sudah menderita kekalahan, maka ia tak berani gegabah menyerang. Demikianlah keduanya bertempur lagi dengan seru.
Beberapa waktu kemudian, sekonyong-konyong terdengar suara orang yang berisik di sebelah luar. Menyusul terdengar gemerincing senjata beradu.
"Hai, siapa yang datang itu? Mengapa begitu banyak?" tanya Wan Thian Cik dalam hati.
Sebaliknya wajah si imam berobah girang. Ia memandang tuan rumah dengan tersenyum.
Tiba-tiba Ah Si menerobos masuk dan berseru keras: "Cungcu, orang Tin-tik...." ia hentikan seruannya demi melihat sang majikan tengah bertempur Lwekang mati-matian dengan si Imam.
Pada lain saat beberapa orang menerobos masuk ke situ. "Totiang, apa sudah berhasil?" seru salah seorang dari mereka.
Mereka adalah Tan Ping, Tan Hwat dan Tan Cong.
Ah Si cepat pentang lengan mencegah mereka masuk: "Cungcu sedang adu Lwekang, jangan diganggu! Kalau ada urusan silakan bicara di luar!"
Tan Ping tertawa gelak-gelak: "Saudara-saudara, bikin remuk dulu bujang kurang ajar ini!"
Dengan murka Ah Si menerkam Tan Ping, tapi Tan Ping menyambutnya dengan tabasan. Tan Hwat dan Tan Cong serentak mengerubuti bujang setia itu.
Kalau pada waktu biasa, sekalipun tambah dua orang pengeroyok, Ah Si tak gentar. Tapi ka rena pada saat itu ia bingung seperti anak ayam kehilangan induknya, dan tak membekal senjata apa-apa, maka dalam tujuh delapan jurus saja ia sudah terdesak.
Wan Thian Cik tahu bahwa kedatangan kawanan bajak itu tentu tak bermaksud baik. Namun karena ia sedang adu Lwekang dengan It Yap, terpaksa ia tak berani lengah. Rupanya It Yap tahu kalau pemusatan pikiran lawan terganggu. Ia segera tambahkan tenaga Lwekang untuk mendesaknya.
Suara gemerincing adu senjata terdengar di sana-sini. Malah ada beberapa orang yang tak di kenal berteriak-teriak suruh lepaskan-api.
"Kawanan bangsat, berani benar kau mengadu biru kemari!" tiba-tiba terdengar Ih Ih berteriak. Sekali bebaskan lengan bajunya, ia rubuhkan dua orang yang hendak membakar rumah.
Ada seorang yang hendak membacok Ih Ih, tapi dengan sekali menyambarkan lengan baju dan sebuah tendangan, Ih Ih dapat meremukkan orang itu. Ih Ih yang selama itu belum pernah membunuh orang, menjadi terkesiap demi melihat korbannya itu sudah putus jiwanya. Ketika ia lari menyongsong kawanan musuh yang hendak menyerbu masuk, hatinya tetap tak tenteram. Ini mengurangkan daya geraknya.
"Tan pangcu, kita tak punya permusuhan, mengapa kau menyerang kami?" seru Ah Si.
Tan Ping lertawa gelak-gelak: "Ketahuilah! Sejak saat ini, Wan-ke-cung dari So-ciu itu akan lenyap dari dunia persilatan dan diganti dengan Tin-tik-pang dengan aku Tan Ping sebagai ketuanya!"
Baru ia berlagak begitu, hidungnya hampir disambar sebuah golok. Cepat ia condongkan mukanya, tapi tak urung lengannya kena tergurat panjang. Ternyata Ah Si berhasil menyelonong dan merampas golok dari seorang musuh terus dibabatkan ke muka Tan Ping. Dengan demikian sekarang posisinya berimbang.
Wan Thian Cik mendengar sesumbar Tan Ping tadi. Ia insyaf kalau dirinya sedang masuk dalam perangkap It Yap dan Tan Ping serta pengikutnya. Dalam geramnya, beberapa kali ia hendak loncat bangun. Tapi setiap kali ia hendak berbuat begitu, tentu didesak oleh It Yap. Iapun sadar bahwa permainan lempar batu It Yap kiranya suatu pertandaan gelap untuk Tan Ping dan kawan-kawannya. Ketika mencuri lihat sejenak, tam pak penyerbu-penyerbu itu makin banyak jumlahnya. Selain Tan Ping berdelapan, masih terdapat banyak orang-orang yang tak dikenal. Mungkin orang-orang itu adalah yang pernah sakit hati pada Wan Thian Cik. Ya, memang sebagai pemimpin persilatan, Wan Thian Cik banyak menjatuhkan jago-jago silat.
Sebenarnya Lwekang Wan Thian Cik itu berimbang dengan It Yap. Tapi karena Wan Thian Cik buyar pikirannya, ia kena didesak oleh It Yap. Dengan deliki mata ia kerahkan seluruh Lwekang nya untuk balas mendesak. Ia tahu bahwa pertempuran kali ini besar sekali akibatnya. Sekali ia jatuh, Wan-ke-cung tentu akan hancur lebur. Satu-satunya jalan keluar ialah harus menjatuhkan It Yap dulu. Untuk itu ia harus pusatkan seluruh pikirannya tak boleh terganggu dengan keadaan di sekelilingnya.
Tiba-tiba terdengar genderang ditabuh oleh salah seorang bujang keluarga Wan. Pertandaan itu menyuruh semua orang berkumpul, ada bahaya. Memang dan bujang sampai pada majikan, keluarga Wan-ke-cung itu pandai silat semua. Misalnya tukang kuda saja, saat tadi dapat melayani Tan Ciau, malah hampir saja dapat mengutungkan lengan orang she Tan itu. Pun ketika ada dua tiga musuh mengeroyoknya, ia tetap tak gentar. Kemudian muncul juga tukang masak yang bertubuh gemuk. Ia mengamuk dengan pisau sayurnya. Tahu-tahu Tan Su kena ditoyor hidungnya sehingga terhuyung-huyung dengan hidung keluar kecapnya.
"Tring", tiba-tiba si tukang masak berputar ke belakang sana menangkis seorang pemuda yang menyerangnya dari belakang. Seketika itu si tukang masak gemuk rasakan tangannya kesemutan. Kiranya pemuda itu ialah Hu-yong-kiam Cia Thian Ciu dari gunung Bin-san. Astaga mengapa orang ini membantu Tan Ping?
Dan lebih terkejut lagi si tukang masak itu ketika didapatinya jago-jago yang terpecundang dalam pertandingan tempo hari, sama datang menyerbu. Mereka antara lain ialah kedua saudara Liu Cu Bing dari Hiu-cu, Ciu Toa To, Hui-thian-jong-liong Teng Thong, si begal tunggal Go Tek Sian dan lain-lain.
"Ah, musuh-musuh loya datang semua. Pertempuran kali ini menyangkut mati hidup kita semua. Ai, loya kena ditempur imam busuk itu tak dapat terlepas. Siocia sudah pergi ke kota raja. Perlawanan terhadap musuh menjadi tanggung jawab kita," tukang masak gemuk itu berkata dalam hati.
"Ong congkoan, kita harus melawan mati-matian. Kita harus membela kampung halaman kita sampai darah yang penghabisan," serunya kepada Ah Si.
Ah si mengiakan. Demikian juga Ih Ih. Demikian segenap bujang keluarga Wan berjuang mati-mauan melawan penyerbunya.
Setelah mengundurkan Tan Hwat dan Tan Cong dalam kesempatan mendekati pagoda, Ah Si cepat memberi dorongan semangat pada majikannya yang kalah angin itu: "Loya, jangan gelisah, Kami telah bersumpah untuk menumpas musuh, tak nanti si Bopeng itu dapat merajalela. Akupun telah suruh orang untuk meminta bantuan tentara negeri."
Benar juga seruan Ah Si itu telah menenteramkan hati Wan Thian Cik. Dengan pusatkan seluruh perhatiannya dapatlah dalam sekejab mata ia merobah situasi pertandingan. Diam-diam It Yap kagum juga. Tapi ia sudah siapkan rencana yang sempurna. Asal ia dapat melibat jago tua itu, dalam waktu yang singkat setelah Ku Pin dan kawan-kawan datang, tentulah ia dapat menghancurkan pertahanan tuan rumah. Kiranya dua pucuk surat yang diberikan kepada Tan Hwat itu, yang satu untuk Tan Ping supaya mengumpulkan seluruh anak buahnya dan mengundang semua musuh-musuh Wan Thian Cik, yang satu ditujukan kepada Ku Pin supaya memimpin anak buahnya Ang-tik-pang menyerbu ke Wan-ke-cung. It Yap memperhitungkan bujang-bujang keluarga Wan itu tak nanti dapat menahan arus serbuan Tin-tik-pang dan Ang-tik-pang.
"Aduh, mak...." tiba-tiba kedengaran si tukang masak gemuk menjerit karena lengannya terbacok hampir putus. Saking marahnya si gemuk kalap. Dalam beberapa kejab ia dapat menghancurkan tiga musuh.
"Tenang Hui-jit!" Ah Si menyerukannya.
Tetapi alangkah kejutnya ketika melihat si tukang masak menderita luka yang begitu parah. Ia loncat hendak menolongnya tapi dicegat oleh dua orang. Kiranya mereka berdua adalah kakak beradik Liu Cu Hwa. Dahulu dalam panggung pertandingan dengan mudah Ah Si dapat mengalahkan kedua orang itu. Tapi kini lain halnya, karena kakak beradik itu maju berbareng.
Dalam suatu kesempatan Ah Si berhasil mengancam dada Cu Bing dengan tamparan lengan bajunya. Tapi berbareng itu Cu Hwa pun ulurkan tangannya hendak mencengkeram pundak Ah Si. Ah Si nekad. Ia biarkan pundaknya dicengkeram dara teruskan tamparannya. Cu Bing muntah darah dan ketika Ah Si menyusuli pula dengan sebuah tamparan, Cu Bing menjerit ngeri karena jantungnya remuk. Tapi berbareng pada saat itu, Ah Si rasakan pundaknya sakit sekali. Buru-buru ia loncat mundur pundak kirinya terdapat luka berdarah yang berbekas lima buah jari. Iapun terluka berat. Cu Hwa menyerang Ah Si dengan kalap. Ia hendak membalas sakit hati engkohnya. Ternyata ilmu pedang Cu Hwa dalam beberapa waktu ini maju pesat sekali. Ketika kalah dalam pertandingan cari menantu tempo hari, Cu Bing dan Cu Hwa mengadu pada ayahnya, Liu Bing Pok. Bing Pok marah dan mengajarkan ilmu pedang yang lebih lihay kepada kedua puteranya itu. Sayang, tadi karena tergesa, Cu Bing dapat dibinasakan oleh Ah Si.
Betapapun kemajuan yang dicapai Cu Hwa itu pesat sekali, namun tetap tak dapat mengalahkan Ah Si. Malah setelah ngotot (main sungguh-sungguh), Ah Si dapat mendesaknya. Tiba-tiba sebuah senjata yang aneh, rantai bukan rantai, ruyung bukan ruyung, menyambar Ah Si dan terdengar bentakan: "Ah Si, masih kenal padaku?"
Ah Si menghindar ke samping dan dapatkan penyerangnya itu adalah Co tek Sian si begal tunggal. Ah Si menangkis dengan goloknya, tapi golok itu seperti terjepit, justeru pada saat Itu Cu Hwa menyerang dengan pedangnya. Terpaksa Ah Si menyambar dengan tangan kiri, Ia kerahkan kedua tandannya menarik. Hasilnya Cu Hwa dapat diseretnya tapi Go Tek Sian tetap tak bergeming.
Memang kepandaian Go Tek Sian kalah dengan Ah Si. Tapi dalam ilmu bhesi atau kuda-kuda kaki, Go Tek Sian telah mempunyai latihan istimewa. Ah Si tak mampu menariknya. Tiba-tiba ada senjata menyambar dari belakang. Ah Si yang dapat membedakan sambaran angin, segera tahu kalau penyerangnya itu bukan jago lemah. Namun apa daya, karena saat itu ia tengah tarik menarik dengan lawan. Tangannya kiri menarik pedang Cu Hwa, tangan kanan sedang menarik goloknya yang dilibat oleh rantai istimewa dari Go Tek Sian.
"Ah Si. jangan kuatir, ini Ih Ih datang" dalam saat-saat yang berbahaya itu tiba-tiba Ih Ih berseru dan menangkis serangan gelap dari belakang tadi. Ah Si cepat menarik sekuat-kuatnya pada Cu Hwa terus dilemparkan ke arah Go Tek Sian. Habis itu Ah Si berpaling dan dapatkan ternyata Ih Ih sedang bertempur dengan Ciu Toa To. Memang di antara jago-jago yang menimbrung membantu pihak Tan Ping, adalah Ciu Toa To yang boleh dianggap paling lihay. Namun Ih Ih dapat melayaninya dengan berimbang.
"Bangsat, apa kau tak punya mata?" Go Tek Sian marah-marah karena keterjang Cu Hwa. Karena gelagapan, rantainya sampai kena dibetot oleh Ah Si. Cu Hwa merah padam tak dapat bercuit.
Melihat musuh makin lama makin banyak, Ah Si lempar rantai itu terus loncat ke atas sebuah gunung-gunungan batu. Di situ ia memberi komando pada kawan-kawannya. Pertempuran berjalan dengan seru laksana geger. Kebun bunga yang semula indah itu sudah porak poranda tak karuan. Darah memerahkan tanah yang tertutup salju. Mayat bergelimpangan di sana-sini.
Go Tek Sian memungut kembali senjata rantainya dan mengamuk. Ah Si memanggil si tukang kuda yang bernama Tio Lo Kiu, bersenjata cambuk kuda.
"Tar, tar" cepat ia menyerang Go Tek Sian. Go Tek Sian marah den hendak melibat dengan rantainya. Tapi tiba-tiba pecut Lo Kiu berobah lurus kencang dan menusuk dada Go Tek Sian. Sudah tentu Go Tek Sian tergopoh-gopoh loncat mundur. Tapi tiba-tiba punggungnya sakit didorong Liu Cu Hwa. "Bangsat, apa kau tak punya mata?" damprat Cu Hwa.
Ada ubi ada talas. Kini giliran Go Tek Sian yang tak dapat bercuit.
Lo Kiu si tukang kuda maju menyerangnya tapi ilmu pianhwatnya luar biasa. Go Tek Sian mati-matian melawan, tapi tetap kalah angin.
Sementara di partai lain, bujang pengurus rumah sudah tarung sampai dua tiga ratus jurus dengan Tan Ping, Sedang Ih Ib terpaksa gunakan ilmu kelincahannya untuk menghadapi Ciu Tan To yang berat. Melihat itu Ah Si buru-buru loncat turun untuk membantu Ih Ih, Tapi dia dipegat oleh seseorang. Ah Si tangkiskan goloknya.
"Tring" keduanya masing-masing terpental tiga tindak. Ah Si gelagapan dan baru mengetahui kalau lawannya itu si Kipas Setan Tio Ho,
"Kita tak bermusuhan, mengapa kau menghina kami?" tegur Ah Si.
"He, Tio Ho, kau tak tahu diri!" tiba-tiba terdengar seorang berseru seraya membacok. Kiranya itulah Hui-thian-jong-liong Teng Thong.
Memang Tio Ho itu bukan diundang oleh Tan Ping. Tempo hari setelah kipasnya dirampas oleh It Yap, Tio Ho diserahkan pada tuan rumah untuk memberi keputusan. Mengingat pada hari baik begitu tak layak mencari perkara, maka Wan Thing Cik pun mengembalikan kipas Tio Ho dan hanya memberi nasehat saja. Tapi bukannya berterima kasih, sebaliknya diam-diam Tio Ho malah mendendam pada tuan rumah. Ketika anak buah Tan Ping menyerbu ke rumah Wan Thian Cik, Tio Ho turut menyelinap masuk.
"Teng Thong, jahanam, jangan mengurusi aku!" Tio Ho mendamprat. Ia menyerang Teng Thong tampai kalang kabut. Memang Teng Thong bukan tandingannya. Lalu ia mencari Ah Si, tapi bujang itu entah ke mana perginya. Ketika menerobos dari pertempuran, dilihatnya Wan Thian Cik tengah mati-matian adu Lwekang dengan It Yap.
Pertandingan kedua tokoh itu sudah mencapai tingkat yang genting. Tubuh mereka sama mandi keringat, bahkan kepala merekapun mengepul asap putih. Melihat itu girang Tio Ho tak terkira. Baik Wan Thian Cik maupun It Yap ia anggap sebagai musuh besar. Segera ia arahkan kipasnya rahasia kepada dua orang itu. Tapi ia bingung mengambil keputusan, siapa yang akan dilenyapkan dulu.
Setelah menimbang bahwa Wan Thian Cik itu lebih penting ditilik dari kedudukannya sebagai pemimpin persilatan, maka Tio Ho hendak membidiknya dulu.
Waktu kipas diarahkan tadi. It Yap terperanjat dan diam-diam mengeluh. Tapi ketika kipas itu dialihkan ke arah Wen Thian Cik, ia merasa lega. Wan Thian Cik yang belum kenal kelihayan senjata kipas itu, pun gentar juga. Karena saat itu ia seperti terpantek oleh It Yap, tak dapat menghindar lagi.
Dalam detik-detik yang berbahaya itu tiba-tiba terdengar seruan orang: "Tinggalkan dia padaku"
"Bum" ia timpukkan sebuah benda ke lengan Tio Ho. Tio Ho gelagapan dan matanya terasa gelap.
"Bum" dua buah benda hitam meletus dari kipasnya. Yang satu menghantam pohon, yang satu lagi mengenai golok seorang anak buah Tan Ping yang tengah mengeroyok Ih Ih. Orang itu gelagapan, tahu-tahu ditusuk Ih Ih.
"Siapa kau, hai orang pincang!" bentak Tio Ho kepada orang yang datang itu.
Orang itu kedua kakinya pincang, kalau berjalan terpaksa memakai dua batang tongkat. Sekalipun begitu dalam tiga empat jurus saja, dapatlah ia menyapu jatuh Tio Ho sampai tak ingat diri. Melihat kipas Tio Ho yang aneh itu, dia segera mengambil dan menyimpannya. Orang itu bukan lain adalah Ku Pin.
"Oo, kiranya dia juga datang!" Wan Thian Cik mengeluh dalam hati.
Sebaliknya It Yap girang bukan buatan. Ia yakin begitu kaum Ang-tik-pang datang, pihak Wan-ke cung tentu dapat dihancurkan Dan yang lebih mematahkan nyali Wan Thian Cik adalah ketika dilihatnya orang-orang Wan-ke-cung itu sudah banyak yang dibunuh oleh musuh yang berpuluh-puiuh jumlahnya.
"Wan cungcu, apa kau baik-baik saja? Sudah agak lama kita tak berjumpa" Ku Pin mendongak dan tertawa nyaring.
Wan Thian Cik diam-diam terkesiap.
"Wan cungcu, untuk budimu meremukkan sepasang kakiku tempo hari, sekarang hendak kubalas dengan tiga batang kim-pit. Yang dua batang sebagai induk-hutang, sedang yang sebatang selaku bunganya. Kiranya tak keterlaluan bukan?" kembali Ku Pin tertawa jumawa.
Cepat ia keluarkan tiga batang kim-pit dan mengarahkan pada Wan Thian Cik.
Kedatangan Ku Pin itu telah mengejutkan Ah Si dan Ih Ih. Mereka lebih terkejut lagi ketika mendengar keterangan Ku Pin bahwa sepasang kakinya telah diremuk Wan Thian Cik. Buru-buru mereka datang menghampiri.
"Hai. Ku pangcu, mau apa kau?" Ah Si dan Ih Ih terkejut melihat Ku Pin hendak menyerang Wan Thian Cik. Mereka segera menyerangnya dari kanan kiri.
"Kalian berani menghalangi aku? Hm, aku hendak membunuh loya kalian dengan tanganku sendiri," Ku Pin gusar.
Ia tumpukkan tiga batang kim-Pit nya kepada Ah Si Karena masih ingat pada Wan Hian Kwan, maka Ih Ih diberi ampun, hanya didorong mundur saja.
Dua batang kim-pit dapat ditangkis dengan golok oleh Ah Si tapi yang sebatang kena pada pundak kanannya. Tapi bujang yang gagah itu terus maju. Kasihan, kali ini ia harus berhadapan dengan Ku Pin. Dalam tiga jurus saja Ku Pin berhasil membacok kutung lengan kanannya. Sekali ayunkan sang kaki, Ku Pin menendangnya sampai tiga tombak jauhnya. Waktu Ku Pin merogoh lagi tiga batang kim-pit, sekonyong-konyong terdengar suara bentakan menggeledek: "Ku Pin, masakan aku Wan Thian Cik takut padamu!"
Jago tua gunakan daya 'menyeret'. Bersama It Yap ia melambung ke udara untuk menerjang Ku Pin. Ku Pin terkejut dan terbirit-birit menghindar.
Kiranya ketika Ku Pin mengundurkan Ih Ih dan melukai Ah Si tadi diam-diam Wan Thian Cik kerahkan seluruh Lwekangnya untuk mendorong tubuh lawan, tapi It Yap yang licin dapat menduga lebih dulu dan buru-buru gunakan daya 'melekat'. Kegagalan itu telah menyebabkan Wan Thian Cik terluka dalam. Kini pada saat menyeret terbang It Yap, It Yap gunakan kesempatan itu memperkeras Lwekangnya, sehingga luka dalam Wan Thian Cik makin berat.
Wan Thian Cik gerakkan segasang kakinya untuk mendupak perut It Yap ketakutan dan buru-buru gerakkan kedua kakinya juga.
"Bum" kedua orang itu sama-sama jatuh dan terpencar. Di tengah udara It Yap berjumpalitan meluncur turun. Ia rasakan dadanya sesak, matanya berkunang-kunang gelap dan sampai sekian saat tak dapat berkutik. Tapi Wan Thian Cik lebih parah. Ia terjungkal sampai setombak lebih ke belakang dan muntah darah. Ia tahu terluka dalam parah sekali maka buru-buru ia mengatur pernapasannya dan bersuit: "Oh, Allah, Aku Wan Thian Cik seorang gagah yang menjagoi dunia, apakah akan mati pada hari ini?"
Melihat kegagahan jago tua itu, gentarlah hati Ku Pin,
"Kawanan tikus, mengapa berani mengganggu kampungku?" jago tua itu menerjang musuhnya. Cia Thian Kak coba menghadang dengan pedangnya tapi sebelum tahu apa-apa, ia sudah menggelepar jatuh putus nyawanya.
"Hayo, siapa yang berani mati, silakan maju!" jago tua itu mengamuk ke dalam kawanan musuh.
Pedang dan tangan kirinya menyerang. Dengan sebatang pedang dan sebuah tangan itu, dahulu ia pernah malang melintang di dunia persilatan tanpa tandingan.
Dalam beberapa kejab saja ia dapat membunuh tiga orang dan menghantam remuk empat orang. Ketujuh korban itu adalah jago-jago pilihan dari pihak Tin-tik-pang. Karena tahu bahwa ia tentu mati, maka Wan Thian Cik puaskan kemarahannya dengan serangan yang ganas. Pada lain kejab, ia sudah menghancurkan enam orang musuh lagi.
"Wan Thian Cik, kau sudah terluka parah, apakah masih mau unjuk kegarangan lagi?" Ku Pin menghampiri dengan kedua tongkatnya.
Sebagai penyahutan Wan Thian Cik menghantam sekuat-kuatnya. Ku Pin melambung ke udara. Berkat bantuan kedua tongkatnya barulah dengan susah payah ia dapat menahan serangan jago tua itu. Wan Thian Cik berseru keras dan menghantam dengan tangan kiri. Karena Ku Pin melayang di udara, ia tak dapat menghindar lagi. Dia terbanting sampai dua tombak jauhnya. Setelah berjumpalitan beberapa kali, barulah ia dapat turun ke tanah. Dadanya terasa sesak. Sambaran pukulan jago tua itu dapat melukai isi dada Ku Pin.
Naga tua yang lepas dari kurungan itu, benar-benar mengamuk. Entah sudah berapa puluh musuh yang dilukai dan dibinasakan. Sedang Ah Si yang terluka tadi setelah sadar, pun mengamuk. Teng Thong coba-coba hendak membokongnya dengan sebuah bacokan, tapi seperti orang kerasokan setan Ah Si sebat sekali sudah mendahului menyikapnya terus diajak bergelundungan di tanah. Kemudian ia berhasil mencekik tenggorokan Teng Thong sehingga kelenger. Ah Si loncat bangun dan menerjang musuh lagi. Tiba-tiba punggungnya terasa panas dan darahnya muncrat keras. Kiranya dia ditusuk dua batang golok dari belakang. Ah Si masih dapat berputar diri dan menghantam mau penyeranguya gelap itu, tapi setelah itu ia berseru keras: "Loya, Ong Ah Si hendak mendahului pergi dulu. Harap loya habiskan mereka sebanyak-banyaknya. Jagalah diri loya baik-baik!" Habis pamitan bujang yang gagah perkasa dan setia itu terjungkal rubuh dan putuslah jiwanya karena kehabisan darah.
Wan Thian Cik kucurkan beberapa butir air mata. Ia hendak menguburkan bujang itu dengan baik-baik. Ia menerjang belasan orang dan hendak menghampiri ke tempat mayat Ah Si. Tiba-tiba ada orang tertawa gelak-gelak: "Ho, Ong Ah Si, kiranya kau juga bakai jadi begini" Dia menusuk mayat Ah Si.
Wan Thian Cik karena kelewat gunakan tenaga dan muntah darah, matanya pun sudah berkunang-kunang. Tanpa melihat jelas lagi siapa orang itu, ia menghantamnya tubuh terus ditusuk. Orang itu ternyata Liu Cu Hwa, jiwanya putus. Kiranya karena mendendam sekali pada Ah Si. sekalipun sudah menjadi mayat, Cu Hwa tetap membalas dendam.
Waktu mengetahui siapa yang dibunuhnya itu, tergetarlah hati Wan Thian Cik: "Puteranya kubunuh, tentu ayahnya tak terima!"
Tiba-tiba ia mendengar sebuah benda menyambar dari belakang. Karena tak sempat menghindar, bahu sebelah kiranya kena tercengkeram oleh benda tersebut yang bukan lain rantai milik Go Tek Sian.
"Bangsat, kau berani melukai majikanku" tiba-tiba seorang manusia darah yang sebelah lengannya sudah kutung, membacok Go Tek Sian dengan pisau dspur.
Karena girang berhasil menampar Wan Thian Cik, Go Tek Sian lengah dan termakan pisau itu. Cepat ia gentakkan rantainya dan menghantam si manusia darah yang ternyata si tukang masak gemuk. Sabetan itu telah membuat si tukang masak terhuyung-huyung dan muntah darah.
"Kena!" ia timpukkan pisau dapurnya yang tepat menyusup ke dada Go Tek Sian. Go Tek Sian bersuit nyaring, dengan dada tertancap pisau dapur itu ia lari seperti orang kalap dan berteriak-teriak: "Apakah aku Go Tek Sian harus mati di sini?" Baru lari beberapa langkah, ia terkulai jatuh dan amblaslah jiwanya. Si tukang masak gemuk pun mati tapi rupanya ia minta dikawani Go Tek Sian.
"Kau seorang perwira!" kembali Wan Thian Cik kucurkan air mata untuk tukang masaknya yang gagah perkasa itu.
Biasanya Wan Thian Cik berhati keras dan dingin. Tapi kini setelah menyaksikan kematian beberapa bujangnya yang setia itu, rawanlah hatinya. Cepat ia mengangkat mayat Ah Si dan si tukang masak untuk diletakkan di atas puncak gunung-gunungan batu agar jangan diganggu musuh.
Pertempuran di kebun Wan Thian Cik itu sudah makan waktu sampai tiga jam. Kedua belah pihak sama-sama menderita korban banyak. Tiba-tiba terdengar ledakan kecil dan marongnya api menyala. Rumah Wan Thian Cik dibakar musuh. Dalam beberapa kejab saja kebakaran itu meranggas ke mana-mana.
Ih Ih menangis gerung-gerung melihat Ah Si meninggal. Setelah itu ia mengamuk kalang kabut. Beberapa musuh kena dibunuhnya.
"Kalau terhadap seorang budak perempuan saja tak mampu menghadapi, bagaimana kita akan merebut kedudukan pemimpin persilatan? Saudara-saudara, ayo maju berbareng!"
Lima orang imam dengan menghunus pedang, mengepung Ih Ih. Rupanya kawanan imam itu sudah tak menghiraukan peraturan persilatan lagi asal dapat menang saja.
"Hai, imam liar dari mana itu?" teriak Wan Thian Cik yang maju dan menghantam mereka.
Salah seorang imam yang berjubah warna kuning dorongkan kedua tangan menyambut hantaman Wan Thian Cik. Dan Wan Thian Cik dapatkan tenaga imam itu bukan olah-olah hebatnya. Diam-diam ia terkejut.
"Apa kau Wan Thian Cik?" seru imam jubah kuning itu.
Tapi sebagai penyahutan Wan Thian Cik kiblatkan pedangnya dan memberinya sebuah luka panjang.
"Hai, kau benar benar Wan Thian Cik, Hai, kawan-kawan!" teriak imam itu. Empat imam tadi segera tinggalkan Ih Ih dan maju menyerang Wan Thian Cik.
Siapakah kawanan imam itu? Mereka terang bukan orang Tan Ping dan Ku Pin. Kawanan imam itu hebat sekali kepandaiannya, heran Wan Thian Cik dibuatnya. Pertempuran berjalan seru. Sebenarnya kepandaian imam imam itu tak seberapa. Adalah Karena mereka mempunyai ilmu main keroyokan yang lihay, dalam beberapa saat Wan Thian Cik tak mampu mengalahkan mereka.
"Hai, apakah kalian murid It Yap tojin?" tegur Wan Thian Cik.
Si imam jubah kuning tertawa mengekeh: "Siapa It Yap, Ji Yap itu? Toyamu tak kenal padanya!"
"Habis siapa kalian ini?" tanya Wan Thian Cik menegas.
"Kami adalah Lima imam tua dari biara Tong-thian-kwan di gunung Bo-san. Masakan kau tak pernah mendengarnya?" imam jubah kuning itu mengejek congkak.
"Bagus! Sebenarnya kita tak bermusuhan. Nyata kalian hendak memancing di air keruh!" damprat Wan Thian Cik.
Imam jubah kuning yang bukan lain bernama Giok Ceng tojin tertawa nyaring: "Memancing di air keruh? Apakah kau punya 'air keruh' yang berharga kami 'pancing'? Ha, ha, kami datang karena hendak merebut kedudukanmu sebagai pemimpin kaum persilatan!"
Mendengar itu, Wan Thian Cik marah dan bingung. Tiba-tiba ia keluarkan permainan istimewa. Dari lima batang pedang tawan, ada tiga batang yang terbabat putus. Kelima imam itu terperanjat. Tiba-tiba terdengar datangnya suara tertawa: "Apakah kalian murid-muridku? Rasanya aku It Yap tak punya rejeki sebesar itu"
It Yap mendorong kedua tangannya untuk membuka jalan dan suruh kelima imam itu lekas-lekas pergi. Giok Ceng tojin marah dan ajak sute-sutenya menyerbu, tapi It Yap dapat memukul rubuh mereka, "Hayo enyah tidak? Kalau masih membangkang, akan kulempar kalian nanti!"
Giok Ceng loncat bangun dengan kemalu-maluan. Setelah memandang sejenak, berserulah ia: "Apakah kau ini Thay-heng-san...."
"Thay-heng-sau tojin yang segera akan menjadi pemimpin persilatan. Jika tak terima, sembarang waktu boleh cari aku," tukas It Yap.
Ngacirnya kelima imam dari Bosan itu disusul dengan kemarahan Wan Thian Cik. Ia sampai tak dapat bicara mendengar ucapan It Yap. Tapi It Yap hanya ganda tertawa: "Wan cungcu, seharusnya kau tahu bahwa di dunia ini tiada raja yang dapat hidup ratusan tahun. Kau sudah tua, harus menyerahkan kedudukan pemimpin persilatan kepada lain orang. Aku It Yap lawannya di dunia persilatan menggantikan kedudukanmu, bukannya tak pantas. Asal kau mengangguk setuju, segera kuperintahkan mereka berhenti. Tanggung jiwa dan rumahmu akan terlindung."
"Walaupun dengan akal busuk kau mungkin dapat membunuh Wan Thian Cik tapi siapa yang akan mengakui pengangkatan dirimu itu?"
"Hal itu tak perlu kau resahkan, Yaag pertimbangkan ialah dirimu sendiri. Coba lihat, apakah kau masih dapat melawan aku?"
Wan Thian Cik melihat serambi muka rumahnya sudah dimakan api. Rumah bagian belakang juga sudah dijilat api yang bahkan sudah menjalar ke kebun belakang. Tiada seorangpun kiranya dapat menahan bahaya api itu. Taman yang dibangunnya selama berpuluh tahun, tak dapat ditolong lagi. Berpuluh-puluh cung-ting sudah terluka dan binasa. Pengurus rumah akhirnya dapat dibunuh mati Tan Ping. Si tukang kuda gemukpun gugur. Satu-satunya yang masih hidup dan berjuang mati-matian hanyalah Ih Ih. Desa Wan-ke-cung benar-benar hancur. Wan Thian Cik marah dan berduka sekali.
"Bagaimana, sudah melihat jelas?" kembali It Yap berseru.
Belum Wan Thian Cik menyahut, Ih Ih sudah menyeletuk: "Loya, jangan meluluskan mereka. Meskipun kita binasa masih lebih utama daripada menerima hinaan. Lain hari Ciu loya dan toasiocia tentu akan membalaskan sakit hati kita."
Wan Thian Cik merenung sejenak dan men dapat akal, ujarnya: "It Yap, apa yang kau katakan itu benar. Tiada di dunia ini raja yang dapat hidup ratusan tahun dan tiada kerajaan yang turun menurun sampai beberapa turunan. Aku tak keberatan menyerahkan kedudukan pemimpin persilatan kepadamu. Tapi kuminta kita harus menurutkan peraturan persilatan"
Dengan girang It Yap mengiakan. Cepat ia bersuit tiga kali untuk menyuruh anakbuah Ang-tik-pay dan Tin-tik-pay berhenti. Setelah itu ia berkata kepada tuan rumah: "Wan Thian Cik, kita memakai ukuran menutuk untuk menetapkan siapa yang kalah atau bertempur sampai ada yang mati?"
"Sudah tentu kupilih yang belakangan, asal kau dapat membunuh aku, dengan sendirinya kedudukan pemimpin itu akan kau ambil."
"Itu kau sendiri yang menghendiki, jangan salahkan aku berlaku kejam kepadami. Ini perlu kukatakan sejelas-jelasnya," kata It Yap dengan suara nyaring mungkin supaya didengar Tan Ping,
Kedua partai itu juga ada yang mati dan terluka. Bahkan Tan Ping dan Ku Pin sendiri menderita luka. Hanya penderitaan Wan-ke-cung lebih banyak. Kini semua orang mengerumuni, untuk melihat pertandingan maut dari kedua jago terbesar pada masa itu. Ku Pin mengetahui bahwa Wan Thian Cik menderita luka lebih parah dari It Yap.
Sebelum pertandingan dimulai Wan Thian Cik menegaskan mereka harus bertempur satu lawan satu, orang lain tak boleh membantu. It Yap memberi janjinya. Karena dalam rencana penyerbuan ke desa Wan-ke-cung itu It Yap yang menjadi pemimpinnya, maka semua orang tak ada yang berani membantah perintahnya.
Waktu mengerahkan Lwekang, Wan Thian Cik menyadari bahwa tenaganya hanya dapat bertahan sampai setengah jam. Lewat dari itu apabila tiada bantuan datang ia pasti binasa.
Sejak menguji kepandaian di bukit Hou-khu-san tempo hari, ini adalah yang kedua kalinya kedua jago itu bertempur lagi. Pertandingan dibuka oleh Wan Thian Cik dengan sebuah tusukan, tapi It Yap kebulkan lengan bajunya menghalau. Pedang Wan Thian Cik hanya terkisar tiga dim di sisinya Diam-diam It Yap tak berani memandang ringan lawannya.
Sambil mainkan pedangnya laksana salju bertebaran dari udara, tiba-tiba Wan Thian Cik berseru: "lh Ih, mengapa kau masih tertegun di situ? Lekas undang Hui Sim susiok datang ke mari untuk membicarakan urusan selanjutnya."
Ada tiga pihak yang memberikan reaksi berlainan. Pertama, adalah Ih Ih yang setelah berteriak 'mengiakan' lalu pergi. Kedua, ialah anak buah kedua partai Tin-tik dan Ang-tik. Mereka tak kenal siapa Hui Sim itu. Mereka mengira bahwa Thian Cik tentu memanggil Hui Sim untuk memberikan pesanan terakhir, Maka mereka hanya menertawakan saja kepergian bujang dara itu. Hanya orang Ketiga yakni It Yap yang paling terkejut mendengar ucapan jago tua itu. Ia tahu siapa Hui Sim itu. Kalau orang itu sampai datang, habislah semua anakbuahnya.
"Cepat hadang dia! Jangan kasih bujang itu pergi!" teriaknya.
Tapi karena orang-orang itu tengah menumpahkan seluruh perhatian pada pertempuran antara dua raksasa, mereka sampai tak mengerti apa yang diperintahkan It Yap,
Sudah tentu It Yap bingung dan marah-marah. Saat itu dipergunakan oleh Wan Thian Cik untuk melancarkan tiga buah serangan yang hebat Setelah dengan susah payah dapat menangkis, barulah It Yap berseru keras: "Hai. mengapa tidak, lekas menghadang budak itu? Apa kalian hendak biarkan susiok Wan Thian Cik datang kemari?"
Sekarang barulah orang-orang itu gelagapan. Beberapa orang yang ilmu silatnya kuat segera lari mengejar. Diantaranya terdapat Tan Ping, Ku Pin dan Ciau Toa To. Saat itu Ih Ih sudah loncat keluar dari pagar tembok. Dengan ginkang yang jempol, ia lari pesat. Wan Thian Cik sudah memperhitungkan, kecuali It Yap dan Ku Pin, ada seorang musuh yang mampu menandingi ginkang Ih Ih. It Yap sedang bertempur, sedang Ku Pin sudah invalid, maka asal Ih Ih dapat menemukan Hui Sim dan susiok itu mau datang menolong, musuh termasuk It Yap sekali, tentu dapat dihancurkan. Beberapa kali It Yap berusaha meloloskan diri tapi Wan Thian Cik yang sudah punya kartu baik, memagarinya dengan serangan pedang yang gencar. Tapi ketika kerahkan tenaga-dalam telah menyentuh luka-dalamnya. Seketika darahnya hendak muntah keluar. Buru-buru ia telah kembali agar jangan sampai dilihat oleh It Yap.
Dalam pada itu Hui-thian-liong Teng Thong tak puas. Ia diundang oleh Tan Ping, tapi sampai saat ini tak kerja apa-apa. Maka dengan berseru keras, ia hendak maju membantu It Yap. Sudah tentu It Yap kaget dan mencegahnya.
"Tring" tahu-tahu pedang Teng Thong kena dibentur dan melekat pada pedang Wan Thian Cik. Dan sekali jago tua itu menggentak, maka terlemparlah Teng Thong membentur tembok. Lengannya patah sebelah.
"Kalau diam saja, sebaliknya suruh aku maju, apa artinya itu?" Teng Thong marah-marah pada Tan Hwat yang datang menolongnya.
"Siapa suruh kau turun tangan? Siapa suruh kau tak dengar perintah suhuku? Kau cari perkara, kau tanggung sendiri. Mengapa salahkan orang?" balas Tan Hwat dengan tak kurang sengitnya.
"Kurang ajar! Aku datang menjual jiwa sampai lenganku putus, kalian malah menyalahkan!" sambil mendamprat Teng Thong lalu menghantam. Tapi karena berkelahi dengan satu tangan, tak sampai tiga jurus saja ia sudah kena dihantam rubuh oleh Tan Hwat.
"Bagus, jika besok aku tak membalas hinaan hari ini, aku bukan orang she Tong" dengan marah-marah orang she Tong itu mengeloyor pergi.
Sejak itu ia berlatih keras. Dua puluh tahun kemudian, kepandaiannya maju pesat dan menjadi ketua Pat-sian-kiam dari Siamsay. Kemudian masuk menjadi sam-bin-wi-su istana. Ketika mengadakan inspeksi ke daerah selatan telah membantu Ciu ciangkun menghancurkan kawanan bajak Tin-tik-pang di telaga Thay-ou. Tapi celakanya dalam pertempuran laut ia kena dikalahkan oleh Lam Tian, murid kesayangan Ku Pin.
Sekarang marilah kita tengok Ih Ih yang dikejar. Walaupun kakinya pincang dan berlari pakai tongkat, tapi Ku Pin dapat tinggalkan Tan Ping dan Ciau Toa To. Kemudian Ciau Toa To dapat mendahului Tan Ping. Jadi ketua Tin-tik-pay itu yang ketinggalan di belakang sendiri.
Ih Ih lari secepat angin dan beberapa saat kemudian menghilang. Terpaksa Ku Pin menunggu kedatangan kedua kawannya untuk berunding. Karena soal itu penting sekali akibatnya, maka Ku Pin bertiga teruskan pengejarannya. Benar juga tak berapa lama, Ih Ih tampak berlarian datang. Buru-buru Ku Pin ajak kedua orang itu bersembunyi di balik pohon.
"Budak hina. berhenti," Ciau Toa To cepat loncat menghadang ketika Ih Ih tiba. Ih Ih terkejut.
"Mana Hui Sim?" tanya Ciau Toa To.
"Beliau segera akan datang. Begitu beliau datang, kalian tentu hancur lebur!"
Ciau Toa To marah dan menyerang dengan goloknya. Tapi karena Ih Ih bergegas-gegas harus pulang, ia tak mau melayani dan terus lari. Ciau Toa To tak mampu mengejarnya. Tapi celakanya Ku Pin muncul, "Ih Ih, jangan takut. Jawablah pertanyaanku dan nanti kulepaskan kau pulang!"
Ih Ih menyelinap lolos, tapi di hadapannya terlintang sebatang golok lagi, "Budak hina, mau lari?" ternyata Tan Ping sudah siap mencegat.
D kepung oleh tiga jago lihay, terpaksa Ih Ih gunakan siasat, "Ho, kalian tiga orang lelaki hendak menghina seorang anak perempuan. Ayo, kita cari orang untuk meminta pertimbangannya!"
"Ngaco! Siapa sudi buang tempo untuk menuruti ocehanmu! Lekas cabut pedangmu. Aku Ciau Toa To tak membunuh orang yang tak bersenjata!"
"Ih Ih, aku hendak bertanya kepadamu. Siapakah Hui Sim itu?" buru-buru Ku Pin menyela.
"Baik, biar kuberitahukan supaya kalian terkencing-kencing, la adalah susiok dari loyaku, gelarannya ialah Hui Sim taysu."
"Oh, kiranya seorang paderi!" teriak Tan Ping. Ia teringat ketika pada malam pernikahan Hian Kwan. It Yap pernah mengatakan kalau ada seorang paderi hadir, mereka tentu celaka. Kiranya paderi itu adalah paman guru Wan Thian Cik.
"Hui Sim taysu mengasingkan diri di biara Han-san-si. Berpuluh tahun tak pernah keluar ke dunia persilatan. Sekali ia keluar, cukup dengan kedua buah jarinya saja, kalian cukup sudah remuk. Maka kunasehatkan lebih baik kalian lekas pulang saja, jangan cari mati," kata Ih Ih pula.
"Mana dia?" Ciau Toa To tertawa dingin.
"Sudah terbang ke Wan-ke-cung. Mana aku dapat menandingi ginkangnya?" sahut si dara. Tapi karena wajahnya gugup, sikapnya mencurigakan.
Tan Ping tertawa: "Kalau begitu kita harus lekas-lekas menasehati It Yap totiang supaya pulang saja."
Dengan ucapan itu ia hendak melihat bagaimana reaksi Ih Ih. Saat itu dari rumah kediaman Wan Thian Cik tampak api berkobar besar dan asap membubung tinggi. Cepat Ih Ih mendapat pikiran: "Hui Sim taysu pergi berkelana, aku tak punya harapan lagi. Biar kugertak mereka untuk meringankan beban loya."
"Hai, mengapa kalian tak lekas-lekas enyah? Rasanya saat ini It Yap tentu sudah binasa. Sekali marah, Hui Sim taysu tentu mengganas segala apa. Di dunia ini tiada manusia mampu merintanginya. Loyaku adalah sutitnyai" Ih Ih bersikap tenang.
Kembali Tan Ping tertawa: "Ih Ih, baik sekali hatimu terhadap kami bertiga. Sekarang boleh pilih, kau cinta padaku si bopeng atau si brewok itu atau si pincang ini? Ha, ha!"
Rupanya Tan Ping sudah mengetahui akan kebohongan Ih Ih. Ih Ih merah mukanya: "Kau bopeng yang bermulut cabul. Awas, nanti tentu kuberitahukan pada susiok co-ya."
"Silakan, silakan! Tapi cobalah jawab dulu. Bagaimana tampang muka paderi yang menjadi su siokco-mu itu?" Tan Ping menertawakan.
Ih Ih berdebar hatinya. Ia memang tak pernah melihat paderi itu. Tapi ia seorang dara cerdas. Cepat ia mendapat pikiran: "Biasanya orang mengatakan, jika seorang sasterawan itu gemuk dan seorang paderi itu kurus, itu terang orang berdosa. Kaum paderi kebanyakan gemuk."
Seketika ia tertawa, serunya: "Su-siokco-ku itu seorang tinggi besar dan berbadan gemuk...."
"Kau bohong!" teriak Tan Ping seraya membabat pinggang si dara dengan golok.
Ih Ih terperanjat. Ia loncat ke udara dan berteriak: "Kau berani menyerang!"
Ciau Toa To ikut menyerang juga. Terpaksa Ih Ih lolos pedangnya dan melayani mereka. Melihat itu baru-buiu Ku Pin mencegah: "Menang terhadap seorang anak perempuan, apalagi dengan mengeroyoknya, akan ditertawai orang. Lebih baik lepaskan saja dia!"
Ciau Toa To dan Tan Ping marah-marah tak setuju. Malah Tan Ping sudah mendorong Ku Pin yang karena tak menyangka-nyangka sampai jatuh ke tanah. Ku Pin cepat bangun, wajahnya merah padam: "Lepaskan! Kalian menurut tidak?"
Tapi Ciau Toa To tetap tak menghiraukan dan tetap menyerang Ih Ih. Tan Ping juga turut menyerang. Ku Pin gusar "trang" ia menyapu dengan tongkatnya. Tan Ping terpental beberapa meter. Dan melalui lubang penjagaan itu, Ih Ih cepat melejit lari. Ciau Toa To mengejar, tapi tak mampu mencandak si dara.
"Baik, karena kau membantu musuh, sekarang bagaimana perhitungannya?" Ciau Toa To kembali dan mendamprat Ku Pin.
"Kubilang tak boleh mengganggunya. Jika kau tak terima, boleh maju!" Ku Pin berseru nyaring hingga In Ih yang sudah jauhpun mendengarnya. Diam-diam dara itu berterima kasih. Tapi ia tak tahu bahwa Ku Pin memang sengaja berbuat begitu agar kelak dapat memberitahukan kepada Wan Hian Kwan.
Dalam perjalanan pulang, tiba-tiba Ih Ih mendapat pikiran, Wan-ke-cung sudah tak ada harapan untuk ditolong lagi. Daripada pulang, lebih baik ia menyusul nona majikannya ke kota raja saja. Hian Kwan tentu akan melakukan pembalasan. Demikianlah dara itu segera putar haluan menuju ke kota raja.
Sementara Ciau Toa To tadipun sudah bertempur dengan Ku Pin. Sejak kedua kakinya dipatahkan Wan Thian Cik, Ku Pin pergi ke telaga Ang-tik-ou untuk merawat diri. Tapi bukan luka pada kaki yang diobati melainkan luka dalamnya, Setelah luka dalam sembuh, ia mulai menciptakan ilmu permainan tongkat dan khusus membuat sepasang tongkat istimewa. Waktu tempo hari bertempur dengan Ciu Bing, diam-diam ia sudah mencatat dalam hati akan ilmu tongkat lin-han-tiang-hwat milik Ciu Bing yang hebat. Berdasarkan lin-han-tiang-hwat itu, ia ciptakan lagi sebuah ilmu tongkat yang lebih lihay. Mengapa ia tak mau mengobati kakinya, memang ada tujuannya. Ialah dengan luka-luka itu kelak kalau menemui Hian Kwan lagi. akan mengadu tentang perbuatan ayahnya (Wan Thian Cik) yang begitu kejam. Ia percaya si jelita tentu akan menaruh kasihan kepadanya kemudian kena dirayunya lagi. Sebenarnya kedua kakinya itu hanya patah tulangnya dan masih dapat diobati.
Kembali pada jalannya pertempuran, Ciau Toa To hanya dapat bertahan sampai belasan jurus saja. Ia kena diketok tongkat Ku Pin sampai kepalanya pusing tujuh keliling. Untung Tan Ping buru-buru melerai dan mengakurkan mereka.
Ku Pin mau menerima bahkan meminta maaf, tapi rupanya Ciau Toa To masih penasaran. Ujarnya: "Ku pangcu, untuk urusan umum aku dapat menerima nasehat Tan pangcu. Tapi dalam urusan pribadi, aku tak dapat melupakan pukulan tongkatmu tadi. Sepuluh tahun lagi, aku tentu akan membalas budimu itu."
Demikianlah mereka bertiga segera pulang kembali ke gedung Wan Thian Cik. Ternyata si jago tua masih bertempur gigih dengan It Yap. Mereka sudah bertempur sampai seribuan jurus. Wan Thian Cik tak mau menyerah mentah-mentah. Ia gunakan sisa tenaga untuk lancarkan serangan-serangan maut, Sedang It Yap yang masih gelisah memikirkan tentang kedatangan Sim totiang, kena dilukai sampai tiga kali oleh Wan Thian Cik. Untung tidak pada bagian yang berbahaya.
Sebenarnya Tan Hwat dan kawan-kawannya sudah ingin sekali membantu It Yap, yang keteter itu. Tapi demi mengingat nasib Teng Thong tadi, mereka pun tak berani bertindak,
Sekonyong-konyong sesosok bayangan berkelebat. Dalam kejutnya It Yap berpaling. Dilihatnya Ku Pin dan kawan-kawan datang tapi tak membawa Ih Ih. Pun Hui Sim tak muncul, Longgarlah parasaannya.
"Wan Thian Cit, kau sudah tak punya harapan. Lebih baik menyerah saja!" teriak Ku Pin.
Ciau Toa To tertawa gelak-gelak: "Siapa sih Hui Sim itu? Hanya setan barangkali yang kenal dengan paderi itu dan hanya setan pula yang akan tahu ke mana perginya"
Tan Ping ikut buka mulut: "Wan Thian Cik, Ih Ih sudah kami bunuh. Tinggal kau seorang, apa kau masih keras kepala?"
Mendengar itu gelaplah pikiran Pikiran Wan Thian Cik. Harapan satu-satunya amblas. Tiba-tiba lengan kirinya kena ditusuk It Yap. "Wan Thian Cik, apa kau masih tak mau menyerah?" seru It Yap,
Dalam kuputus-asaan jago tua itu menjadi kalap. Ia bersuit keras dan lontarkan sebuah pukulan yang dahsyat. It Yap terkejut dan tak berani menyambutinya. Karena hantamannya luput, tubuh Wan Thian Cik ikut terhuyung dan menjorok ke muka.
"Bum", pagar tembok bobol terkena pukulannya. Tubuh Wan Thian Cik menyusup ke luar dari lubang tembok itu dan menghantam sebatang pohon besar. Setelah pohon itu tumbang berikut akarnya barulah jago tua itu dengan lemas duduk di tanah. Ia meramkan mata, napasnya tersengal-sengal, It Yap dan kawan-kawannya memburu keluar. Mereka siapkan senjata, menunggu reaksi si jago tua.
"Kalian berani mencelakai aku.... kau sungguh...." jago tua itu mulai parau suaranya.
Wajahnya mulai biru gelap dan pada lain saat mulutnya menguak muntahkan segumpal darah segar. Ia tahu bahwa luka dalamnya makin parah. Dalam tubuhnya serasa terbakar, sakitnya bukan alang kepalang.
Dengan napas terengah-engah tiba-tiba jago tua itu melambai It Yap: "Kau.... kemarilah...."
Luka it Yap pun tak ringan. Dengan sempoyongan ia menghampiri datang. Tan Hwat buru-buru mencegahnya tapi It Yap hanya tersenyum saja.
"Kau menghendaki aku mati, aku pun harus mati, Lihatlah, api menjulang tinggi sampai ke langit, asap mengepul ke empat penjuru.... tetapi apakah dengan begini tempat kediamanku akan habis?" kata Wan Thian Cik dengan sorot mata marah kepada It Yap.
"Wan-ke-cung-mu sudah ludas, pergilah dengan tenteram," sahut It Yap.
"Tidak, tidak! Wan-ke-cung takkan.... takkan ludas. Dendam sakit hatiku kepadamu.... pun serupa...." kata jago tua itu. Ia berpaling kepada Ku Pin: "Lihat, keadaanku begini rupa, apa kau sudah puas?"
Ku Pin gemetar. Melihat seorang jago ternama mengalami nasib yang sedemikian mengenaskan, diam-diam ia merasa kasihan juga.
"Dan kau Tan Ping.... kau hendak menguasai Thay-ou, apakah kau memenuhi syarat? Kelak nasibmu tentu akan lebih mengerikan dari aku..." kembali napas jago tua itu memburu keras dan sekali batuk ia muntahkan segumpal darah lagi. Ia mengusap darah di ujung mulutnya dan tersenyum.: "Aku Wan Thian Cik, sudah tigapuluh enam tahun lamanya menguasai dunia persilatan. Akhirnya hari ini aku harus pulang ke dunia baka Jika mengingat perbuatanku yang dulu, aku tak penasaran. Kalian harus hati-hati juga"
Wan Thian Cik tak dapat melanjutkan kata-katanya lebih lanjut. Pikirannya sudah limbung.
Tak berselang lama ia tersadar dan loncat bangun. Serunya: "Hian-ji, Hian-ji, lekas pulang, lekas pulanglah!" Habis berteriak dengan kalap, kembali ia muntah darah dan rubuh di tanah tak ingat diri lagi.
It Yap dan semua orang, sama berpandangan satu dengan lain. Sampai lama mereka tak dapat bicara. Ruangan besar dari gedung Wan Thian Cik rubuh dimakan api. Untung karena gedung itu letaknya jauh dari perkampungan, maka api tak sampai meminta korban lebih banyak.
"Hola. pekerjaan kita berhasil!" Tan Ping berteriak girang.
Ciau Toa To pun tertawa gelak-gelak: "Tan Ping, kau dan aku harus membagi daerah. Mari kita rundingkan."
Tan Ping terkesiap: "Daerah apa?"
"Kau selalu mengatakan hendak menguasai telaga Thay-ou. Nah, silakan ambil telaga itu. Tapi daerah So-ciu aku Ciau Toa To yang mengurusi."
Tan Ping mendengus: "Apa kepandaianmu?"
Ciau Toa To berjingkrak dan berteriak: "Di dalam melikuidasi kekuasaan Wan Thian Cik, semua orang sama mengeluarkan tenaga. Kalau kau mengaku punya jasa, apakah aku tidak punya? Masakan cara membagi hasil saja kau tak tahu?"
"Benar, akupun meminta, ha, coba kupikirkan dulu," kata Tio Ho.
"Ho, kau belum mampus?" Tan Ping mengejek.
"Ya, toako, bagaimana kita harus mengurusi dia?" seru Tan Cong. Tapi Tan Hwat menyatakan lebih baik berunding dengan baik-baik. Yang dimaksud dengan dia oleh Tan Cong ialah Wan Thian Cik. Kala itu Wan Thian Cik masih menggeletak di tanah. Kedua matanya meram, napasnya lemah. Kebanyakan tentu mati.
Kata Tan Ping: "Berbicara tantang jasa, It Yap totiang adalah yang paling besar andilnya. Kita harus mendengarkan putusannya."
Tapi ketika sekalian orang mencarinya ternyata imam itu sudah menghilang.
"Hai, mengapa Ku Pin juga tak kelihatan?" teriak Ciau Toa To. Mengira kalau kedua orang itu tentu segera datang, merekapun meneruskan lagi perundingannya.
Ke manakah perginya kedua tokoh itu? Ketika orang-orang lagi bertengkar mulut, Ku Pin diam-diam pergi keluar kota. Di situ ia membeli seekor kuda. Dia seorang cerdik. Walaupun hidup. Ini berarti suatu bahaya. Maka di dalam perjalanan itu Ku Pin telah merancangkan kata-kata untuk menghadapi jelita itu. Ia memang tak menginginkan kekuasaan apa-apa, kecuali diri jelita yang selalu menjadi kenangannya itu.
Belum berapa lama ia pergi. It Yap pun tinggalkan gedung Wan Thian Cik. Nafsu angkara imam itu paling besar sendiri. Selain merebut kedudukan Wan Thian Cik, iapun menginginkan juga diri Wan Hian Kwan. Ketika mengetahui Ku Pin diam-diam ngacir, ia segera menyusul. Ia duga Ku Pin tentu menuju ke Pak-kia. Ternyata ia lebih dulu tiba di luar kota Bu-sik.
Di sebuah hutan pohon siong, ia masih menderita luka dalam, tapi masih dapat mendahului perjalanan Ku Pin. Diperkirakan dalam setengah jam lagi Ku Pin baru datang. Ia gunakan waktu itu untuk duduk mengatur Lwekang.
-^dwkz^smhn^- Jilid 11 KENALKAN Cinta pertama dibawa mati. Benarkah itu? Walaupun sudah menjadi isteri putera mentri Hian Kwan tetap terkenang akan Ku Pin. Dan akhirnya menyerahkan diri dalam rayuan lelaki itu.
Tampan dan berkepandaian tinggi bukan suatu jaminan akan sifat baik dari seorang lelaki. Hian Kwan telah menjadi korban dari seorang pria yang tampan, bermulut manis, perayu dan seorang hidung belang.
Dan Ku Pin pun harus menerima karma karena isterinya telah dicomot orang....
-^dwkz^smhn^- Benar juga setengah jam Kemudian, terdengar derap kuda mendatangi. Tapi untuk keheranannya yang datang itu bukan Ku Pin melainkan Ih Ih. Tan Ping mengatakan budak itu sudah dibunuhnya, mengapa masih hidup? Dan kepergian Ih Ih itu tentu ke kota raja menemui Hian Kwan. It Yap ambil putusan untuk melenyapkan budak itu.
"Hai, Ih Ih, tunggu dulu, hendak ke mana kau? Aku hendak bicara padamu!"
Melihat It Yap, Ih Ih, seperti bertemu dengan momok. Ia keprak kudanya makin pesat.
"Kau tak mau mendengar kata-kataku? Hmm lihatlah hui-to ku!" teriak It Yap seraya memburu.
Kalau tidak terluka dalam, It Yap tentu mampu menyusul. Tapi saat itu dia benar-benar tak berdaya. Cepat ia memungut sebiji batu terus ditimpukkan ke punggung Ih Ih.
Ketika batu hampir mengenai punggung Ih Ih, sekonyong-konyong sebatang sin-ciam melayang dan membentur batu itu. Dua-duanya sama jatuh. It Yap kaget, Sesosok tubuh melesat keluar dari pinggir jalan dan tertawa gelak-gelak orang itu menuding It Yap: "Seorang kociu ternama mengapa menghina seorang anak perempuan. Huh, It Yap, apa kau tak malu?"
Melihat cara timpukan sin-ciam tadi, tahulah It Yap bahwa ia berhadapan dengan seorang berilmu tinggi. Dan ketika memandang orang itu, tergopoh-gopoh ia tertawa ramah, "Kukira siapa, kiranya Leng Giok sin-ni. Terimalah hormat pinto!"
"It Yap totiang, sepuluh tahun tak berjumpa ternyata kau bertambah lihay. Timpukanmu batu hebat sekali tenaganya. Kecuali aku, Wan Thian Cik dan Hui Sim hweshio, rasanya tiada orang lain lagi yang mampu memukul jatuh," kata rahib itu lalu tertawa melengking. Nadanya amat tajam membuat bulu tengkuk berdiri.
Kompilasi Tiga Kehilangan 1 Animorphs - 38 Kedatangan The Arrival Wajah Kuning 1
^