Pencarian

Benci Tapi Rindu 8

Benci Tapi Rindu Cinta Dibawa Mati Karya Sd Liong Bagian 8


Leng Giok sin-ni seorang rahib tua yang berumur enampuluhan tahun. Bertubuh tinggi gagah dan membawa sebatang hudtin atau kebut pertapaan.
Waktu melihat Ih Ih sudah jauh beberapa ratus li, gelisahlah It Yap. Ia segera minta diri pada sin-ni itu tapi dicegah oleh rahib itu.
"Mengapa begitu gopoh? Kau toh seorang pertapaan, masakah mau menggoda seorang anak perempuan?"
"Leng Giok, kau mau menyingkir tidak?" It Yap marah.
"Jangan kuatir, aku mau saja menyingkir asal kau menuruti dua syaratku."
It Yap menghantam dengan kedua tangannya dan menjeritlah Leng Giok: "Ho, kau mau main kasar?" Iapun dorongkan kedua tangannya.
"Bum" dua-duanya terserut mundur lima langkah.
"It Yap, jika minta bebas, pertama, beritahukan nama anak perempuan itu padaku. Kedua, kau harus melayani aku sampai tigaratus jurus," Leng Giok tertawa.
Waktu memandang ke muka ternyata Ih Ih sudah tak kelihatan bayangannya lagi. Rasanya It Yap sudah tak mampu mengejarnya. Apa boleh buat, dengan menahan kemengkalan hatinya ia tertawa getir dan memberitahukan nama Ih Ih. Leng Siok lalu mengajaknya bertempur. "Kita main-main tigaratus jurus saja, jangan lebih jangan kurang. Setelah itu baru kulepaskan kau."
Menghadapi rahib yang aneh perangainya terpaksa It Yap menurut. Karena hatinya gelisah dan masih belum sembuh luka dalamnya maka It Yap tak dapat menandingi kebut Leng Giok. Baru sepuluh jurus sudah kalah angin. Tiba-tiba sin-ni itu seperti teringat sesuatu, ia kebaskan kebutnya mendesak It Yap lalu bertanya: "Apa katamu tadi? Budak perempuan itu bujang orang she Wan mana?"
Waktu It Yap mengatakan Wan Thian Cik, berobahlah seketika wajah Leng Giok. Dengan mengertak gigi bertanyalah Leng Giok: "Apakah kau sudah minum arak pernikahan puteri bangsat tua itu?"
"Sudah, apakah kau juga datang hendak minum araknya?" balas It Yap.
"Benar, tapi bukan arak kegirangan melainkan arak beracun!" sahut Leng Giok.
"Ah, sayang, sayang, kau datang terlambat," kata It Yap.
Leng Giok sin-ni suka berkelana tanpa tempat tinggal tertentu. Ilmu kepandaiannya tinggi, tidak di bawah Wan Thian Cik.
Pada suatu hari karena urusan kecil ia bertengkar dengan Wan Thian Cik dan akhirnya tantangan bertempur di atas gunung Thaysan. Dalam pertempuran yang berlangsung tiga hari tiga malam itu akhirnya Wan Thian Cik yang menang. Kemenangan itu telah membawa kehormatan besar bagi Wan Thian Cik. Ia diangkat menjadi pemimpin persilatan oleh jago-jago persilatan Tapi kemenangan itupun mendatangkan bahaya juga. Yang terang ialah dari Leng Giok sin-ni. Ia menjanjikan tiga puluh tahun lagi akan menuntut balas badan Wan Thian Cik. Demikianlah Leng Giok sin-ni melenyapkan diri bersembunyi di laut Selatan. Di sana ia berhasil meyakinkan sebuah ilmu kebut Thiat-hud-tin.
Satelah merasa kepandiannya lebih unggul dari Wan Thian Cik, barulah ia menghimpaskan janji. Waktu itu justeru Wan Thian Cik sedang menikahkan puterinya. Bergegas-gegas Leng Giok sin-ni datang tapi ditengah jalan ia berpapasan dengan It Yap.
"Kepandaianmu sekarang telah mencapai tingkat sempurna. Tiada orang yang mampu menandingi. Kuhaturkan selamat," seru It Yap.
"Cis, siapa yang sudi mendengar ocehanmu? Aku datang terlambat mengapa? Masakan Wan Thian Cik sudah.... meninggal?"
"Benar, dia sudah mati," sahut It Yap.
"Mengapa begitu? Dia tak boleh mati sebelum berjumpa padaku. Hmm, kau bohong atau omong sungguh?"
"Siapa melarang orang mati? Ha, ha, kau tentu penasaran sekali menerima tutukannya tempo dahulu," kata It Yap.
Leng Giok menegas dan It Yap tetap menyatakan bahwa Wan Thian Cik sudah mati. Sin-ni itu menghela napas: "Bilakah ia meninggal itu? Apakah setelah perkawinan anaknya itu dia dipukul mati oleh seseorang kociu? Di dunia ini siapakah yang dapat mengalahkan selain aku? Mm, aku tak percaya, aku tak percaya!"
"Silakan ke Wan-ke-cung kalau tak percaya," akhirnya It Yap merasa sebal.
Tanpa bilang apa-apa, sekali melesat sin-ni itu sudah ngacir pergi. Selagi It Yap mengambil napas, tiba-tiba terdengar derap kaki kuda berlari mendatangi. Penunggangnya bukan lain ialah Ku Pin.
Ku Pin tersentak kaget demi melihat It Yap. Namun ia menegurnya juga: "Totiang, kukira kau masih berada di So-ciu, kiranya sudah di sini."
"Mengapa kau pergi tanpa pamit? Apa karena ada urusan penting di telaga Ang-tik-cu?" tegur It Yap,
Ku Pin loncat turun dari kudanya: "Tentang urusan Wan-ke-cung telah kupaserahkan pada beberapa orangku. Memang kepergianku ke utara ini ada sesuatu urusan penting."
"Mau cari Wan Hian Kwan?" tanya It Yap.
Karena sudah ketahuan, Ku Pin pun mengaku terus terang. Dan It Yap bertanya lebih lanjut, apa rencana Ku Pin setelah bertemu dengan Hian Kwan nanti.
"Kurasa totiang tentu sudah maklum sendiri, mengapa masih bertanya lagi," balas Ku Pin.
"Kau mencari gadis jelita dan aku menghendaki tanah daerah, bukan?" ujar It Yap.
Ku Pin mengiakan dan memperingatkan lagi apa perjanjian mereka tempo hari sewaktu hendak menyerang Wan-ke-cung.
It Yap tertawa menghina: "Jika kubilang si jelita dan tanah daerah, dua-duanya ku maukan, lalu kau bagaimana?"
Ku Pin terkesiap. Ia tersadar bahwa It Yap menunggu di situ bukan bermaksud baik kepadanya. Namun Ku Pin masih memaksa tersenyum: "Harap totiang jangan bergurau. Aku tak biasa mendengar ancaman."
Sambil menepuk batang pedangnya, It Yap tertawa dingin: "Ku Pin, menurut pandanganmu apakah aku ini seorang yang suka bergurau?"
Tok, Ku Pin gentakkan tongkat ke tanah untuk loncat ke belakang, Berserulah ia lantang-lantang: "Perundingan di Lok-ma-ou tempo hari, adalah usul totiang. Aku turut dalam gerakan menggulingkan Wan Thian Cik jnga atas undangan totiang. Kau meminta tanah dan aku minta si cantik, inipun juga kehendak totiang. Hm, belum lagi mayat Wan Thian Cik dingin, kau sudah berpaling haluan, menjilat ludah. Apakah pribudi persilatan itu bagimu hanya suatu barang hampa saja?"
It Yap tertawa nyaring: "Pribudi? Berapa harga kata-kata itu sekatinya? Kau, seorang penjahat yang menipu harta merampas kecantikan. Mengapa masih dapat mengucapkan kata pribudi?"
Ku Pin tahu gelagat, diam-diam ia sudah merencanakan cara meloloskan diri. Perahan-lahan ia mengisut ke dekat kudanya dan berseru: "Sekalipun aku juga bukan manusia begitu, tapi toh masih lebih baik dari kau!"
"Jangan banyak omong! Kau dan aku adalah bangsa serigala. Aku tak pernah mengatakan diriku ini orang baik. Tetapi kau di hadapan Wan Hian Kwan pura-pura menjadi gentlemen. Apakah tidak menggelikan!" sahut It Yap. "Dan lebih baik kau berdiri di tempatmu saja, jangan coba melarikan diri. Sekali kau naik ke atas kuda, pedangku ini tentu akan mengirim jiwamu ke akhirat."
Dan memang It Yap siapkan pedang di tangan. Ku Pin tergetar hatinya. Ia tahu kalau berkelahi tentu kalah.
"Ku Pin, demi untuk kebaikanmu sendiri, lebih baik kau serahkan tanah dan si jelita padaku," kata lt Yap pula.
Ku Pin tahu bahwa ia berhadapan dengan pembunuh kejam. Diam-diam ia siapkan tujuh batang kim-pit, lalu berseru: "It Yap, apa kau benar hendak telan ludahmu? Kau seorang pertapaan, perlu apa dengan wanita cantik?"
It Yap tertawa nyaring. Matanya yang berkilat-kilat menatap Ku Pin: "Aku It Yap tak main pilih. Cantik ya mau, jelek ya mau.... ha, ha...."
Kini baru Ku Pin tahu bahwa imam yang tampaknya berwajah bersih itu, ternyata seorang pengrusak wanita. Tiba-tiba ia hgentakkan tongkat ke tanah dan loncat ke punggung kuda. Ia bergerak cepat, tapi It Yap lebih cepat lagi. Tubuhnya melesat, sinar pedang berkiblat dan rubuhlah kuda Ku Pin tertusuk pedang It Yap. Saat itu Ku Pin masih melayang di udara, belum lagi tiba di punggung kuda.
"Hantam saja!" Ia taburkan tujuh batang kim-pit ke arah tujuh bagian tubuh It Yap. Ilmu taburannya tiada yang dapat melawan. Bahkan tokoh seperti Wan Thian Cik juga tak dapat menandingi. Dan taburan itu dilakukan dengan cepat dan keras.
Walaupun It Yap sebelumnya sudah berjaga-jaga dan dengan cepat sekali ia sudah putar pedangnya. Namun ia hanya dapat menangkis enam batang. Yang sebatang tetap mengenai jalan darah di pahanya. Imam itu terhuyung-huyung mau rubuh. Melihat taburannya berhasil, Ku Pin girang sekali. Namun melihat lawan hanya terhuyung-huyung saja, iapun tak berani menyusuli menyerangnya, melainkan berputar tubuh terus lari.
Kepandaian It Yap telah mencapai tingkat yang sempurna. Sebatang kim-pit mana dapat merubuhkannya. Sekali ia kerahkan lwekang "klotak" kim-pit itu terpental keluar dan jatuh di tanah.
"Hai, mau lari ke mana kau?" serunya. Hanya satu dua kali loncatan saja, imam itu sudah menghadang di muka Ku Pin terus membacok.
Ku Pin menghindar ke samping. Tongkat kiri untuk menyangga tubuh, tongkat kanan untuk menangkis dan balas menyerang.
"Karena kau berani menabur kim-pit, bagus, jangan salahkan aku It Yap berlaku kejam!" ia lancarkan tiga buah serangan pedang yang istimewa.
Ku Pin mati-matian melayani dengan sepasang tongkatnya. Mereka bertempur seru di dalam hutan. Sebenarnya tenaga kepandaian It Yap kalah sedikit dengan Wan Thian Cik. Tempo hari untuk memenangkan Ku Pin, Wan Thian Cik harus memerlukan duaratus jurus.
"It Yap, apakah kau benar-benar hendak melenyapkan aku?" teriak Ku Pin.
"Kecuali kau meluluskan syaratku tadi, tak boleh mengganggu Wan Hian Kwan lagi," sahut It Yap.
"Baik, kalau begitu kau harus lebih dulu bunuh aku!" Ku Pin menjawab dengan tegas.
"Hari ini juga keinginanmu itu pasti terkabul!" Demikian lt Yap dan Ku Pin sahut-sahutan sambil bertempur seru. Seratus jurus telah berlalu. Walaupun It Yap yakin menang, namun karena ternyata permainan Ku Pin itu juga luar biasa, maka diam-diam ia kagum juga. Ia mengakui Ku Pin itu dapat digolongkan sebagai jago nomor lima di dunia persilatan.
Setelah beberapa jurus putaran, It Yap membabat dan Ku Pin menangkis dengan tongkat kiri. Melihat itu diam-diam It Yap girang. Sekali ia kerahkan lwekang, putuslah tongkat Ku Pin. Dengan tertawa gelak-gelak. ia maju memasuki dan lancarkan gerakan yang istimewa. Setelah terbabat sebuah tongkatnya, celakalah Ku Pin, karena kini ia kehilangan keseimbangan badan. Yang kiri pendek, yang kanan tinggi. Dengan sendirinya gerakannya tak leluasa.
Ku Pin mengeluh. Walaupun tahu kalah, tapi karena terlanjur tak dapat minta damai, terpaksa ia melawan mati-matian. Dua puluh jurus kemudian, untuk menghindari tusukan It Yap, Ku Pin terpaksa loncat ke belakang. Tapi ia lupa bahwa tongkatnya pendek satu, hingga tubuhnya condong ke kiri. Bagaimanapun Ku Pin tak dapat menghindari lagi.
"Mati aku sekarang!" Ku Pin mengeluh dalam hati. Ia miringkan tubuh dan dengan kerahkan seluruh lwekang ia menangkis.
"Bluk", "Ai...." kedengaran dua macam suara keluhan.
Yang satu berasal dari Ku Pin yang terkena pukulan It Yap. Tapi yang kedua berasal dari It Yap sendiri yang karena terkena senjata rahasia terpaksa dongakkan kepalanya ke belakang. Lambungnya sebelah kanan terluka mengucurkan darah. Kiranya pukulan it Yap tadi tanpa disengaja telah mengenai kantong piau (senjata rahasia). Dua butir benda hitam meluncur keras. Selihay-lihaynya It Yap tetap ia terkena dan terluka juga.
Setelah puyeng beberapa saat, Ku Pin tersadar. Tapi tenaga pukulan It Yap telah membuat tubuhnya mati rasa, kaki tangannya lemas lunglai. Ketika meraba kantong piau, ternyata kantong yang terbuat daripada kulit sapi itu sudah hancur. Sepuluh batang kim-pit dan sebuah kipas berceceran di tanah. Kini baru ia mengetahui bahwa alat-rahasia kepunyaan Tio Ho lah yang telah menyelamatkan jiwanya.
Setelah mengerahkan lwekang, dapatlah It Yap sembuh dengan segera. Cepat, ia mengejar Ku Pin lagi. Ku Pin jemput kipas besi itu dan mengarahkan ujung kerangkanya ke ulu hati It Yap: "Jangan bergerak, atau kubidikkan senjata rahasia ini!"
It Yap jeri juga dan tak berani maju, Dua kali dia sudah pernah merasakan kelihayan kipas Tio Ho itu.
"Mundur lima langkah, dengar tidak?" teriak Ku Pin. Karena tak bardaya menghadapi terpaksa It Yap menurut juga.
"Putar tubuhmu!" perintah Ku Pin pula. Dan It Yap menurut, tapi waspada.
"It Yap, dengarlah! Kita harus melaksanakan janji. Pergilah kau mengambil tanah daerahmu dan akupun akan mengambil jelitaku. Ini cukup adil. Kita tak merugikan satu sama lain. Jika tak setuju, hm, dua butir peluru ini akan mengambil jiwamu. Kau dengar tidak?"
It Yap diam saja dan Ku Pin berkata pula: "Aku hendak pergi, kau sayang jiwamu kaupun harus pergi, jangan mengikuti aku."
Terdengar suara tak-tak dari tongkat Ku Pin yang berlari pesat. Kuatir dikuntit It Yap ia mengambil jalan membiluk-biluk. Setengah hari kemudian, tibalah ia di sebuah kota kecil dan bermalam di sebuah rumah penginapan. Ia mengancing kamarnya rapat-rapat.
Sebenarnya ia sendiri tak tahu cara menggunakan kipas rahasia itu. Diambilnya Kipas itu dan dipelajarinya. Tak sampai setengah jam, ia sudah mengerti kegunaannya. Dengan memiliki senjata itu, ia yakin dapat menguasai It Yap. Tapi kembali ia tertumbuk dengan kesukaran. Ia tak punya pelornya, ini berarti kipas itu tak berguna. Ia mengambil putusan, kelak akan mencari Tio Ho untuk meminta pelornya.
Keesokan harinya, bergegas-gegas Ku Pin berangkat. Begitu hendak mengambil kuda, tiba-tiba pintu kamarnya ditendang orang. Jongos marah dan memaki-maki orang itu.
"Plak" kedengaran jongos itu ditampar dan menangis gerung-gerung. Masih si jongos memaki-maki dengan penasaran tapi orang itu cepat melaporkannya keluar.
Ramai-ramai itu telah menyebabkan orang-orang bangun. Mereka mengerumuni orang itu dan menanyakan apa maksud kedatangannya.
"Aku hendak mencari Ku Pin. Kutahu ia menginap di sini. Lekas suruh dia keluar, kalau tidak, akan kubakar sarang tikus ini!" orang itu mengancam.
Ku Pin terpaksa menghampiri, Demi dilihatnya orang itu ternyata Tio Ho, girangnya bukan kepalang: "Tio Ho, bagus kau datang," seru Ku Pin sambil memburu datang.
Melihat Ku Pin, Tio Ho girang dan gusar. Dengan berteriak keras ia lari menyongsong: "Ku Pin, kembalikan kipasku!"
Tangan kirinya mencengkeram dada orang, tangan kanannya hendak merampas kipas. Tapi Ku Pin menghindar ke samping: "Tio Ho, di sini tak leluasa, mari ikut aku!"
Demikianlah keduanya tinggalkan rumah penginapan itu. Tiba di luar kota yang sepi, Ku Pin tertawa: "Tio Ho, aku hendak minta tolong padamu tentang...."
Belum habis Ku Pin berkata. Tio Ho sudah menyerangnya dengan pukulan dan tendangan: "Ku Pin, kembalikan kipasku, lekas!"
Karena tak berjaga-jaga, pundak kiri Ku Pin kena pukulan. Tapi karena kepandaian Tio Ho itu biasa saja, maka tak menjadikan sebab. Walaupun marah, tapi karena butuh dengan obat pasang dan pelor, terpaksa Ku Pin berlaku sabar: "Tio Ho, nanti dulu, aku hendak bicara!"
"Kentut! Kalau berani, layani aku sampai tigaratus jurus. Yang menghindar itu pengecut" Tio Ho masih memakinya.
"Kau mampu menangkan aku? Mengapa kau begitu tak tahu diri?" Ku Pin marah.
"Hep". Tio Ho sudah membarengi menubruk Ku Pin: "Tidak mampu menang? Hm, It Yap tojin saja kukalahkan apalagi kau!"
Tio Ho yang sudah berumur empat puluhan dan tampaknya seperti sastrawan lemah itu ternyata seorang pemberani yang membabi buta. Jangankan Ku Pin, sampaipun Wan Thian Cik dan It Yap ia berani menantangnya.
Karena tak menduga, Ku Pin kena dipukul beberapa kali.
"Enyah!" sekali Ku Pin gerakkan tangannya, terlemparlah tubuh Tio Ho sampai setombak lebih. Dan dalam pada mendorong tadi, Ku Pin pun memberinya juga sebuah tutukan.
"Maaf, apa kau kesakitan?" buru-buru Ku Pin menghampiri.
Tio Ho yang terkapar tak dapat berkutik itu, segera mendamprat: "Jangan pura-pura bermuka manis. Kalau berani bunuhlah aku!"
"Ah, mana aku berani. Tio-heng seorang yang berilmu tinggi, aku yang rendah kagum sekali...."'Ku Pin kibas-kibaskan kipas-besi dan berkata pula: "Dengan dapat menciptakan kipas besi yang luar biasa ini Tio-heng benar-benar seorang pandai luar biasa, yang mempunyai otak lebih tinggi dari orang kebanyakan. Terimalah hormat Ku Pin."
Mendengar dirinya dipuji setinggi langit, luluhlah kemarahan Tio Ho. Ia tertawa mengucapkan beberapa kata merendah.
"Hanya sayang aku merasa kecewa...."
"Mengapa? tanya Tio Ho.
"Pelor dan obat pasang tak ada, kipas ini tak berguna. Sayang!"
"Siapa bilang tidak ada?"
"Betul? Bagus, bagus! Dimana, mana?" Ku Pin kegirangan sekali.
"Di dalam kantongku."
Mendengar itu Ku Pin kontan loncat menghampiri dan menggeledah, tapi kantong Tio Ho kosong melompong. Ku Pin membentak dengan marah sekali. Tio Ho tertawa gelak-gelak dan mengejek: "Ku Pin, kutahu bahwa kau akan merampas kipasku itu. Ha, ha, tiada peler dan obat pasang, tak ada gunanya, Ha, ha, memang hanya akulah yang menyimpan benda itu tapi tidak kubawa."
Ku Pin marah dan mencengkeramnya. Tapi di tubuh orang lapun tak dapat menemukan apa-apa.
"Jangan mengili ketiakku, ih, geli," Tio Ho mengoceh.
"Bedebah, kau berani mempermainkan aku?" dalam murkanya Ku Pin membanting Tio Ho hingga jatuh terkencing-kencing.
Tapi dalam saat Ku Pin membanting itu, punggungnya terasa disambar angin.
"Siapa!" cepat ia balikkan tangan menghantam ke belakang. Tapi belum tangannya menyentuh apa-apa, tahu-tahu kipas yang diselipkan di pinggangnya itu sudah hilang. Dan terdengar suara orang tertawa gelak-gelak.
Ku Pin berputar tubuh dan menjeritlah ia saking kagetnya.... It Yap tojin!
"Bagus, sekarang kita bertempur sampai mati!" teriak Ku Pin.
Sekali menekan tongkat ke tanah, ia melayang ke atas kuda dan.... mengeprak lari.
Karena kegirangan mendapat senjata, ampuh It Yap tak menghiraukan Ku Pin lagi. Setelah, memeriksa sebentar ia membuka jalan darah Tio Ho dan menanyakan cara menggunakannya. Untung Tio Ho yang sudah tele-tele itu masih dapat bicara.
"Kau minta aku mengajarkan, boleh saja Tapi kau harus mengerjakan suatu urusanku," kata Tio Ho.
It Yap memberinya minum sebuah pil. Kemudian menyakan tentang urusan Tio Ho itu. Dengan suara parau Tio Ho memberitahukan.
"Bagus, bagus! Kita tetapkan janji!" It Yap tertawa.
It Yap kaget dan marah waktu dibidik oleh Ku Pin kemarin. Ia mengorek pelor yang bersarang di daging dan menyimpan pelor itu. Ia menguntit lari Ku Pin. Ketika di hotel sebenarnya ia hendak turun tangan, tapi masih kuatir dengan kipas besi Ku Pin. Dan ketika Ku Pin bertengkar dengan Tio Ho barulah ia tahu kalau pelor Ku Pin sudah habis. Cepat-cepat ia bertindak merebut kipas tadi.
Sekarang beralih cerita tentang Ku Pin yang mati-matian melarikan diri. Takut kalau kecandak It Yap, Ku Pin sengaja mengambil jalan berliku-liku ke timur, ke barat dan berputar-putar. Akhirnya tibalah ia di sebuah kota kecil. Ternyata ia sudah masuk dalam Wilayah Shoatang, Di situ ia membeli lagi seekor kuda tegar. Dengan naik ganti berganti dua ekor kuda, ia menempuh perjalanan nonstop selama tiga hari tiga malam. Setelah mengira bahwa It Yap tentu ketinggalan jauh di belakang, barulah hati Ku Pin lega.
Pada hari itu ia tiba di Si-cui, sebuah kota yang terletak di tengah propinsi Shoatang. Baru ia hendak memasuki kota, tiba-tiba dilihatnya ada seorang penunggang kuda berbaju hijau mencongklang pesat. Itulah Ih Ih.
"Hai, Ih Ih!" teriaknya dengan girang,
Ih Ih berpaling. Tetapi ketika melihat Ku Pin, ia malah pecut kudanya semakin keras.
"Hai, Ih Ih, mengapa kau terburu-buru? Tunggulah aku!" Ku Pinpun keprak kudanya mengejar.
Dalam hal ilmu naik kuda ternyata Ih Ih tak kalah dengan Ku Pin. Mereka tetap terpisah pada jarak dua tigapuluh tombak. Satu jam lebih Ku Pin tetap tak mampu menyandak Ih Ih.
"Ih Ih, mengapa kau takut padaku? Masakan aku hendak mencelakai engkau?" kembali Ku Pin berkaok-kaok. Namun Ih Ih tetap membisu.
"Waktu kau dihadang Ciau Toa To dan Tan Ping, siapakah yang membantumu? Mengapa kau takut padaku?"
Ih Ih tergetar hatinya, kudanya diperlambat. Ku Pin girang. Tapi baru mendekati beberapa meter, tiba-2 Ih Ih keprak kudanya keras lagi. Rupanya bujang itu merobah pikirannya.
Ku Pin mendongkol. Ia mengejar terus. "Coba saja kuda siapa yang nanti akan keletihan," pikirnya.
Dan benar juga. Dua jam kemudian, kuda Ih Ih sudah 'ngos' dan dapat disusul Ku Pin.
"Ih lh, tempo hari kau tak berterima kasih padaku, sebaliknya malah menghindari, apa sebabnya?"
Ih Ih mendengus "Siapa suruh kau menyerang Wan-ke cung?"
Ku Pin berobah wajahnya. Ia menepuk-nepuk kakinya dan berseru: "Lihat, sepasang kakiku telah dipatahkan oleh Wan Thian Cik. Andaikata kau jadi aku, bagaimana tindakanmu?"
Melihat kedua kaki Ku Pin benar teklok, menjeritlah Ih Ih: "Ah, kiranya loya telah mematahkan kedua kakimu, maka tak mengherankan kalau siocia...."
"Siociamu bagaimana?" desak Ku Pin.
"Siocia mengatakan padaku: "Ih Ih, jika ada seorang pendekar muda yang mempunyai hari depan gilang gemilang dipatahkan kedua kakinya sehingga menjadi seorang invalid, apa katamu, ia berduka tidak?" Karena tak tahu apa maksud pertanyaan siocia itu, akupun tak menyahut. Kemudian ia menyahut sendiri bahwa kalau ia yang menjadi pendekar muda itu, ia lebih baik bunuh diri saja. Habis itu, siociapun menangis. Puas menangis ia memaki kalang kabut mengapa di dunia ini terdapat seorang ayah yang berhati kejam. Aku terkesiap dan buru-buru keluar dari kamarnya. Tetapi masih kudengar jelas bahwa siocia ternyata menangisi sepasang kakimu yang patah dan memaki ayahnya sendiri yang berlaku kejam"
Mendengar penuturan Ih Ih itu, giranglah hati Ku Pin. Ia tahu bahwa Hian Kwan masih cinta padanya.
"Ih Ih, kau kasihan tidak kepadaku yang patah kedua kaki ini?" tanya Ku Pin.
Ih Ih diam2 membatin. Kalau tidak patah kedua kakinya, Ku Pin pasti seorang Arjuna yang menjatuhkan hati setiap wanita. Ah, Wan Thian Cik kejam juga. Ih Ih menghibur Ku Pin supaya jangan putus asa. Asal mendapat tabib pandai, tentu kakinya dapat disembuhkan.
Mendapat simpathi Ih Ih, Ku Pin girang sekali. Kelak bujang itu tentu dapat menceritakan pada siocianya. Ini berarti ia masih ada harapan berjumpa dengan si jelita itu lagi.
"Ih Ih, tahukah kau mengapa loyamu marah padaku?" ia masih menegas.
"Meskipun aku hanya seorang bujang, tapi urusan itu aku cukup mengetahui," sahut lh Ih.
"Ih Ih apakah siociamu nanti menyalahkan aku?"
"Menyalahkan dalam hal apa?" tanya Ih Ih.
"Karena aku bertempur dengan ayahnya."
Ih Ih tertawa: "Jangan kuatir. Kukira ia tentu tak menyalahkan kau."
Ku Pin menceritakan betapa penderitaannya selama kedua kakinya dibikin cacad itu. Ia hendak membikin pembalasan tapi kuatir nanti Hian Kwan cekcok dengan ayahnya.
"Terpaksa kuterima nasib dan tak berani melakukan pembalasan," katanya.
"Tapi bukankah kau sudah melakukan pembalasan?" tanya Ih Ih.
"Ya, setelah Wan siocia menikah dan ikut suaminya. Betapa pedih dan hancur hatiku mendengar siocia hendak menikah dengan si buntung Ciu Bing. Dalam keputus asaan dan kemarahan aku segera ngluruk ke Wan-ke-cung. Kutunggu sampai siociamu pergi ke kotaraja, baru kupimpin orang-orangku menyerbu. Tetapi tak terduga-duga...."
"Nanti dulu. Untuk melakukan pembalasan, mengapa kau perlu mengerahkan orang begitu banyak?" Ih Ih memutus.
"Apakah aku dapat menandingi loyamu? Bertempur seorang diri berarti mengantar jiwa. Kuajak beberapa orangku yang kuat ilmu silatnya untuk mengepung loyamu. Maksudku hanya untuk melukainya sedikit sebagai balas dendam. Tetapi tak terduga-duga kudapatkan Tan Ping dan It Yap sudah bertempur dengan Wan loya. Dclam keadaan begitu, mau tak mau aku terseret daiam pertempuran juga. Dalam pertempuran sudah tentu kita tak dapat menghindari dan luka melukai. Tetapi hancurnya Wan-ke-cung seluruhnya adalah menjadi tanggung jawab Tan Ping dan It Yap. Ih Ih, kau sudah jelas bukan?"
Ih Ih memang teringat dalam pertempuran di Wan ke-cung tempo hari, Tan Ping dan It Yap yang datang lebih dulu, baru kemudian Ku Pin. Dan dalam pertempuran itu anak buah Ku Pin tak seganas anak buah Tan Ping. Sedang Ku Pin sendiri hanya mencari Wan Thian Cik saja, lain-lain orang tak dipedulikan. Diam-diam Ih Ih menganggap Ku Pin tak berbohong.
"It Yap, si imam busuk itu adalah perencananya. Dia adalah musuh keluarga Wan." akhirnya Ih Ih memberi kesimpulan.
Ku Pin diam-diam girang dapat mempengaruhi Ih Ih.
Tiba-tiba Ih Ih menanyakan ke mana tujuan Ku Pin sekarang.
"Hendak mencari siociamu. Pertama untuk menjelaskan tentang penyerbuan di Wan-ke-cung itu dan kedua kalinya untuk menyampaikan berita yang mengharukan," jawab Ku Pin.
"Berita apa?" "Bahwa kini loyamu telah dibunuh oleh It Yap," kata Ku Pin.
Ih Ih terperanjat dan menegaskan kebenarannya, Ku Pin menghela napas: "It Yap memang bermaksud hendak membikin cacad loyamu, agar ia dapat mengangkat diri menjadi jago nomor satu di dunia dan menjadi pemimpin dunia persilatan. Dia kejam, kau tentu sudah tahu sendiri. Ketika kucegahnya, ah, karena kepandaianku cetek, bukan saja tak dapat menolong loyamu, pun aku sendiri malah kena dihajarnya, Aku cepat-cepat lari dan sekarang hendak menuju ke kota raja mencari siocia-mu. Akan kuajak ia bersama-sama menuntut balas."
Demikian keduanya segera larikan kuda menuju ke kota raja. Dalam perjalanan itu mereka membicarakan juga tentang nasib Wan Hian Kwan. Seorang ratu kembang yang nasibnya tak beruntung karena dipaksa menikah dengan seorang kongcu buntung.
Tiba-tiba dari dalam sebuah hutan terdengar suara ketawa: "Ku Pin, kau adalah manusia yang paling tak tahu malu di kolong langit"
Sesosok tubuh melompat keluar, itulah It Yap tojin. Ku Pin terperanjat dan segera suruh Ih Ih naik kudanya dan lari lebih dulu. Ku Pin hendak menghadapi imam itu.
Kedatangan imam itu memang hendak membunuh Ih Ih. Ih Ih tahu akan hal itu, maka ia makin berterima kasih kepada Ku Pin.
It Yap tertawa sinis. Ia membabat dengan pedangnya. Ku Pin keprak kudanya sambil membacok. Ketika It Yap hendak menangkis, kuda Ku Pin sudah melesat setombak lebih jauhnya.
"Ku Pin, meneapa kau timpakan seluruh kedosaan kepadaku? Manusia licik, jangan harap kau dapat mencapai kota raja!" sekali enjot sang kaki, It Yap memburu dan menusuk lambung Ku Pin, Ku Pin hendak menghindar tapi pantat kudanya kena tertusuk. Kuda meringkik dan melonjak ke atas. Ku Pin hendak loncat ke kuda Ih Ih, tapi binatang itu sudah tak ada lagi. Terpaksa ia bersuit keras dan loncat turun. Tapi pedang It Yap sudah menyambut.
Kecepatan serangan It Yap itu tak memberi kesempatan Ku Pin menggunakan pedangnya. Terpaksa ia menangkis dengan tongkat kiri dan tongkat kanan ditutukkan ke dahi lawan. Dan berbareng itu orangnyapun loncat ke udara. It Yap menyusuli lagi membabat kaki. Ku Pin terkejut. Ia tekuk tubuhnya berjumpalitan di udara untuk beralih posisi. Kedua tongkatnya ditutukkan ke batok kepala si imam.
"Kepandaiannya hebat, sayang pribadinya hina," It Yap memuji dan menista. Memang gerakan berjumpalitan di udara tadi sukar sekali jika tak memiliki ginkang yang sempurna.
Melayang turun, Ku Pin siap menanti. It Yap pun menyerangnya lagi, Sekaligus ia lancarkan sepuluh jurus serangan, merupakan ilmu serangan yang terhebat dalam kepandaiannya. Ku Pin mati-matian melawan tapi akhirnya tak kuat juga.
"Apa kau masih berniat ke kota raja?" seru It Yap.
Ku Pin diam-diam girang. Nada It Yap itu memberi harapan. Diam-diam ia cari akal lalu berseru supaya si imam hentikan serangannya.
"Tanah dan wanita cantik boleh kau ambil, aku mengaku kalah," kata Ku Pin.
It Yap mendongak tertawa keras.
"Hai, mengapa kau tertawa?" tegur Ku Pin.
"Aku menertawakan kau. Kematian sudah di depan mata, kau masih coba hendak menipu aku. Ha, ha, lucu tidak?"
"Mengapa aku menipumu? Biarlah aku batalkan niatku ke Pakkhia. Kuakui kau sebagai pemimpin persilatan, kuberikan Hian Kwan kepadamu. Apa lagi yang kurang?"
"Ku Pin, dengarlah. Aku menghendaki tanah, wanita cantik dan batang kepalamu!"
Ku Pin tersentak kaget. Ia terus lari.
"Ku Pin, berhenti. Lihat ini!" It Yap membentaknya. Ketika Ku Pin berpaling ternyata It Yap tengah mengarahkan kipas besi milik Tio Ho kepadanya. Ku Pin menggigil dan terpaksa berhenti.
"It Yap, aku toh tak bermusuhan denganmu, akupun sudah rela menyerahkan Hian Kwan. Apa guna kau membunuh aku?"
"Tak ada gunanya, pun tetap kubunuh."
"Kalau begitu silakan membidikkan kipas itu," teriak Ku Pin.
It Yap goncang-goncang kipas tapi tiba-tiba dimasukkan ke dalam baju. Ku Pin diam-diam girang. Ia kira It Yap tentu berganti haluan.
Siapa tahu, It Yap ternyata keluarkan pedangnya. Memandang tajam ke arah Ku Pin berkatalah imam itu: "Isterimu berwajah buruk, kau cakap dan gagah. Sungguh tak pantas sekali!"
Ku Pin terkesiap. Mengapa It Yap membawa-bawa isterinya? Mengapa menilai wajah buruk muka cakap?
"Ku Pin, kau merasa aneh, dimana isterimu?" It Yap tertawa sinis. Dan Ku Pin makin heran tak dapat menyahut.
"Ku Pin, bilanglah! Dimana isterimu sekarang?"
Ku Pin mengatakan tak tahu. It Yap menuding Ku Pin dan tertawa gelak-gelak. Nadanya mengandung ejekan. Serunya: "Kau tak tahu? Ha, ha, ha, elok benar, elok benar...."
"It Yap, kalau mau bunuh, bunuhlah sekarang juga. Mengapa kau membawa-bawa isteriku? Apakah kau kenal padanya?" bentak Ku Pin.
"Tidak saja mengenalnya melainkan lebih dari itu. Ia adalah kekasihku juga!" It Yap terbahak-bahak
Ku Pin seperti disambar petir. Ia menjerit: "Apa? Kau...."
It Yap tertawa keras, "Ku Pin, sebelum mati, seharusnya kau mengetahui juga urusan ini, agar kau dapat mati meram. Ha, ha, kejadian itu pada enam tahun berselang. Ketika aku bertapa di gunung Thay-heng-san, datanglah seorang wanita gagah hendak menantang aku bertempur. Memang sejak rapat orang gagah di Pakkhia, banyak sekali aku didatangi jago-jago lihay. Hal itu berlangsung sampai belasan tahun. Aku pun segera bertempur dengan wanita itu. Ha, ha, ha, wanita gagah itu siapa, seharusnya kau tahu."
"Siapa? Masakan isteriku?" seru Ku Pin dengan gemetar.
"Benar! Isterimu ternyata cukup lihay, tetapi mana dapat menandingi aku. Lebih kurang seratus jurus, ujung pedangku dapat menutuk jalan darahnya tiong-hu-hiat. Ia rubuh tak berkutik. Yang sudah-sudah, tentu kubuka jalan darahnya dan kuantarkan turun gunung. Tiba-tiba aku mendapat pikiran. Ia adalah wanita pertama yang naik gunung mencari aku. Dan seketika timbullah pikiranku untuk mencemarkannya. Ha, ha. aku bersumpah, sejak itu apabila yang menantang aku itu seorang wanita, baik cantik maupun buruk, setelah kututuk jalan darahnya tentu akan kunodai. Biarlah lahir dan batin menderita...."
"Bangsat pengrusak wanita, aku akan adu jiwa padamu!" Ku Pin menjerit kalap dan menyerang dengan kedua tongkatnya.
Sekali putar pedangnya, It Yap memapas kutung tongkat orang hingga tinggal pandak. Kemudian menghantam dengan tangan kiri. Ku Pin terlempar sampai lima enam langkah dan terhuyung jatuh ke tanah. It Yap loncat dan tutukkan ujung pedangnya ke jalandarah jwan-ma-hiat lawan.
"It Yap, bunuhlah aku!" teriak Ku Pin.
"Hukum karma rupanya menjatuhkan putusan padamu. Kau merusak isteri orang, isterimu di rusak orang. Ha, ha, kau mau mati? Tidak mudah kawan. Kau tak dapat berkutik dan terpaksa harus mendengarkan ceritaku," It Yap tertawa.
Ia duduk di sebelah Ku Pin dan melanjutkan pengakuannya.
"Ku Pin, bukankah di rumahmu terdapat seorang anak lelaki berumur enam tahun? Namanya Ho Hong Lu. Dia adalah hasil dari hubungan isterimu dengan aku. Bocah itu pintar dan cakap. Bilanglah, dia mirip aku tidak?" enak dan ramah sekali It Yap bicara, seolah-olah bicara kepada seorang sahabatnya.
Ku Pin gemetar. Ia ingin sekali mati, tapi ia tak dapat berkutik karena jalandarahnya tertutuk.
"Bagaimana keterangan isterimu? Dia bilang padamu kalau di tengah jalan menemui bayi, bukan? Ha, kau tentu percaya saja. Dan memang kau tak akan mengetahui asal usul bocah itu."
"Kalau pulang tentu kubunuh anak itu," Ku Pin gusar sekali.
It Yap tertawa dingin "Sayang jiwamu akan melayang begitu selesai mendengar ceritaku ini. Cara bagaimana kau dapat pulang dan membunuhnya?"
Ku Pin gertak giginya: "It Yap, aku tak bersalah padamu, tetapi mengapa kau begitu menghina sekali padaku?"
"Karena kau selalu plin-plan. Aku paling benci dengan orang macam begitu. Dengan berbagai tipu muslihat kau menggoda hati Hian Kwan. Kalau aku gunakan cara yang nista untuk menghukummu, bukankah sudah selayaknya?"
"Kau juga manusia yang hina dina!" Ku Pin memaki.
"Memang, aku tak menyangkal bahwa aku ini manusia rendah. Tidak seperti kau yang pura-pura berlagak gentleman," kata It Yap "Setelah kulepas isterimu, setahun kemudian ia naik ke gunung lagi. Kukira ia hendak melakukan pembalasan, siapa tahu ia datang dengan mengempo seorang bayi dan minta aku memberinya nama. Ternyata itulah anakku. Ha, aku she Ho dan nama isterimu Hong, maka kuberinya nama Ho Hong Lu (perjodohan Ho dan Hong). Sejak itu sering ia naik gunung menemui aku. Hubunganku itu sudah berlangsung bertahun-tahun. Bocah itu dipelihara isterimu. Ha, ha, aku sungguh mempunyai hubungan dekat dengan keluargamu."
Telinga Ku Pin mengiang-ngiang dan kepalanya serasa berputar. Ia hampir pingsan karena marah dan malunya. Tampak It Yap meraba kipas besi lagi.
"It Yap, habiskanlah jiwaku dengan kipas itu" teriak Ku Pin.
"Tio Ho mengatakan bahwa pelor dan obat pasangnya di Pakkhia. Ia hendak mengajak aku ke sana. Hm, dikira aku ini orang bodoh, sekali hantam kuantar jiwanya ke akhirat. Sekarang kipas ini tiada gunanya. Tetapi kalau kau mau mati, juga bisa saja. Kurasa baik dengan pedang, bagaimana pendapatmu?"
Setelah menyimpan kipas, It Yap cabut pedangnya, ujarnya: "Selamanya aku tak membunuh orang yang tak dapat melawan. Bangunlah dan lawanlah aku!"
Diam-diam Ku Pin timbul harapan. It Yap pun segera menutuk buka jalan darahnya, tapi karena tongkatnya sudah kutung, Ku Pin tetap tak dapat bangun. It Yap membuatkan dua batang tongkat dari dahan kayu.
"It Yap, silakan," kata Ku Pin.
"Bagus, besuk tahun muka hari ini adalah setahunmu," It Yap tertawa dan menusuk tenggorokan Ku Pin.
"Tring", tiba-tiba terdengar suara berdering dan pedang It Yap pun tersisih ke samping.
Sesosok tubuh melesat keluar dari hutan: "It Yap kau masih kenal padaku?" teriak orang itu.
Ternyata ia seorang wanita berwajah buruk, rambutnya kusut masai. Tangan kirinya masih menggenggam dua butir batu kecil, tangan kanannya mencekal pedang. Itulah Ku hujin isteri Ku Pin.
Munculnya nyonya itu sangat mengejutkan It Yap dan Ku Pin. Wanita itu melirik dingin ke arah suaminya kemudian berkata kepada si imam: "It Yap, kau hendak membunuh suamiku, bukan?"
It Yap tundukkan kepala memandang tanah. Terhadap nyonya itu rupanya ia agak jeri.
"Hong-ji, bagus sekali perbuatanmu!" teriak Ku Pin dengan gusarnya demi teringat perbuatan isterinya itu. Dan habis mendamprat, ia terus sapukan tongkat kirinya.
Nyonya itu tak mau menghindar dan membentaknya: "Ku Pin, kau berani membunuhku?"
Ku Pin terkesiap dan buru-buru tarik pulang tongkatnya.
"It Yap, sudah sejak tadi kulihat perbuatanmu. Kau manusia rendah yang tak punya malu. Sekarang kita berjumpa, aku hendak membikin beres perhitungan kita yang lama," kata Ku hujin.
Ia menabas dengan pedangnya tapi It Yap menghindar mundur dan tertawa getir. "Hong-ji. apakah kau...."
"Manusia rendah, waktu dulu kau mencemarkan diriku, bukankah aku menempurmu mati-matian? Benar, memang aku sering ke atas gunung, tetapi apakah akan mengemis kecintaanmu? Imam kentut anjing, aku ke gunung karena hendak menempurmu. Hem. apa itu hubungan berlangsung bertahun-tahun.... Bahwa aku kalah dan kau cemarkan diriku lagi, seharusnya kau malu atas kebinatanganmu itu! Begitulah laku seorang pemimpin persilatan? Ha, ha, kentut, kentut...." Habis puas tertawa wanita itu segera menyerang It Yap dengan hebat.
Dibuka kedoknya habis-habisan, merah padam muka si imam. Berteriaklah ia: "Hong-ji, jika kau masih mengoceh tak keruan, jangan salahkan aku melupakan kasih lama"
Tetapi Ku Pin pun sudah menyerangnya juga. Bahwa si imam memanggil isterinya dengan sebutan "Hong-ji (nama kecil nyonya Ku Pin) dan menyebut-nyebut 'kasih lama', Ku Pin tak tahan lagi. It Yap diam-diam mengeluh. Betapapun lihaynya, ia tak akan mampu melayani dikeroyok dua. Sehabis melakukan serangan kosong, ia lalu loncat mundur dan mau melarikan diri.
"Imam busuk, sekalipun kau lari ke lubang semut, tetap akan kukejar!" terak Ku Hujin. Kemudian ia berseru kepada Ku Pin, "Ku Pin, bagaimana tindakanmu kalau isterimu dicemarkan orang"
"Meremukkan tulang dan membeset kulit orang itu!" sahut Ku Pin. Demikianlah kedua suami isteri itu mengepung It Yap.
Kalau satu lawan satu, terang Ku Pin maupun istrinya bukan tandingan It Yap. Tetapi begitu kedua suami isteri itu bergabung, mereka lebih unggul dari lawan. Apalagi biasanya suami-isteri Ku itu saling menukar dan saling meyakinkan ilmu silat.
Mereka benar-benar merupakan pemain ganda yang saling mengerti dan dahsyat sekali. Ilmu pedang nyonya Ku Pin betul-betul membuat It Yap kelabakan melayani.
Tiba-tiba Ku hujin loncat ke udara dan menabas ke bawah. Waktu It Yap menangkis, nyonya itu cepat tindihkan pedangnya. Ku Pin tahu maksud isterinya, cepat ia sapukan tongkatnya. Ia yakin sekali ini tentu berhasil karena lawan sudah tak dapat berkutik menghadapi tekanan dari atas.
Tetapi It Yap tak kecewa menjadi pemimpin persilatan. Ia kerahkan tenaga menyingkirkan pedang dan gunakan kaki menginjak tongkat. Pedang Ku hujin terdorong ke samping, tapi Ku Pin dapat cepat-cepat menarik pulang tongkatnya.
"Bum" tanah yang kena diinjak kaki It Yap itu amblong. Debu mengepul tebal. Diam-diam Ku Pin terkejut melihat kedahsyatan kaki si imam.
Ku hujin cepat gunakan Iwekang untuk melekat pedang It Yap. Ia tetap akan membuat pedang It Yap tak terlepas agar Ku Pin mempunyai kesempatan untuk menghantamnya. It Yap tahu rencana wanita itu. Cepat ia kerahkan Iwekang dan menyentak kuat hingga wanita itu terpental sampai satu tombak jauhnya. Berbareng itu It Yap pun loncat keluar sampai beberapa tombak.
"Ku Pin, hari ini jiwamu kuberi ampun dulu. Lekas pergi ke kotaraja menemui kekasihmu yang cantik itu. Hong-ji, sampai berjumpa lagi. Rawatlah Hong Lu baik-baik. Dia adalah puteraku satu-satunya. Ayah harimau tentu tak punya anak anjing. Kelak dia tentu lebih jempol dari aku." Sambil tertawa keras ia lalu lenyap.
Ku Pin cepat siapkan tujuh batang kim-pit, tapi si imam sudah jauh. Ku hujin yang dilempar tadi, sesak dadanya. Buru-buru ia duduk menyalurkan napas.
Sesaat kemudian suami isteri itu saling berpandangan. Sampai sekian saat barulah Ku Pin menegur. Ia menanyakan tentang Ho Hong Lu. Ku hujin terus terang mengakui seperti yang dikatakan It Yap tadi. Saking marahnya Ku Pin hantamkan kedua tongkatnya ke tanah. Tongkat patah dan jatuhlah ia. Ku hujin bergerak hendak menolongnya tapi ditolak Ku Pin: "Tak usah kau pura-pura, aku tak memerlukan kau lagi."
Ku hujin menangis: "Pin-ko, masakan kau tak tahu bahwa kesalahan itu bukan aku yang melakukan?"
"Meskipun dia yang melakukan, tapi kau juga bersalah. Kau menangis suruh aku memaafkan, itu tak mungkin!" sahut Ku Pin.
"Apa salahku? Bukankah aku sudah mati-matian menempurnya?"
"Mengapa kau tak lekas-lekas memberitahukan kepadaku?"
"Kasih tahu padamu? Apakah kau tak segera membunuh aku karena kau mengambil lain wanita? Aku sudah tahu jelas. Baik, bunuhlah aku, aku merupakan duri dalam matamu. Setelah membunuh aku, kau tentu leluasa mencari rase kecil itu."
"Kau sendiri serong masih berani memaki orang?" Ku Pin mendampratnya. Ia menampar muka isterinya. Ku hujin seketika tertegun dan Ku Pin pun ngelumpruk jatuh lagi. Beberapa saat kemudian nyonya itu tampak tersadar. Sambil mengusap pipinya yang begap, tangannya yang satu mencabut pedang. Wajahnya beringas.
"Mau apa kau?" seru Ku Pin.
Ku hujin menyeringai, sahutnya: "Membunuhmu!"
Pikiran nyonya itu terkenang. Sepuluh tahun ia menikah dengan Ku Pin tetapi tiap hari yang dihadapinya hanyalah sebuah tonggak manusia berwajah dingin. Namanya suami isteri, tapi sebenarnya ia belum pernah mendapat kasih suaminya. Memikirkan hal itu, Ku hujin keraskan hatinya dan menusuk. Ku Pin tertawa dan merapatkan mata menunggu kematian.
Tapi lama sekali ia meranakan mata, tetap tak kejadian suatu apa. Waktu membuka mata dilihatnya sang isteri berdiri tegak bergemetaran. Sedang ujung pedang tetap ditujukan ke arah tenggorokan Ku Pin,
"Bunuhlah, mengapa tak membunuh? Hm, setelah aku mati apa kau kira nodamu itu akan hilang?" Ku Pin tertawa menghina.
Ku hujin menghela napas dan minta suaminya jangan mengungkit hal itu lagi.
"Baik, kalau kau tak mau bunuh aku, bunuhlah dirimu sendiri. Apakah kau masih ada muka melihat aku lagi? Apakah kau masih ada muka berjumpa dengan sahabat-sahabat persilatan?"
Ku hujin rasakan bumi yang dipijaknya itu berputar. Tubuhnya terhuyung hendak jatuh. Timbul pertentangan yang hebat dalam hatinya.
Ya, ia harus mati. Hanya kematianlah yang dapat menghapus segala noda yang tak tercucikan itu. Tiba-tiba ia tertawa nyaring. Pedangnyapun diayunkan ke lehernya....
"Trang" tahu-tahu pedangnya jatuh terpukul oleh sebuah benda. Nyonya itu gelagapan dan tersadar. "Ku Pin, kau manusia kejam!" teriaknya. Dan tanpa memungut pedangnya lagi ia terus lari.
"Hai, hendak ke mana kau!" teriak Ku Pin.
"Hendak mencari orang"
"Siapa?"

Benci Tapi Rindu Cinta Dibawa Mati Karya Sd Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ku hujin tertawa nyaring: "Sudah tentu mencari It Yap. Meskipun dia jahat, tetapi lebih kuat dari kau. Ha, ha, It Yap jangan pergi, tunggulah aku, tunggulah Hong-jimu...."
Dalam kumandang tawanya, wanita itu sudah lenyap. Ku Pin marah, serentak ia berbangkit dan berteriak: "Wanita hina, kembalilah...."
"Bum" kembali ia ngelumpruk jatuh. Kemarahan telah menyebabkan ia lupa bahwa tanpa tongkat ia tak dapat berdiri. Tadi ia gunakan lwekang tinggi untuk menganjurkan isterinya bunuh diri saja. Tetapi gagal.
Tiba-tiba terdengar suara tertawa dan dari dalam hutan melesat ke luar seorang nikoh tua. Ia menuding Ku Pin: "Hai, orang pincang, apa engkau bukan Ku Pin? Ha, ha, ha, ha, kejam benar kau hendak memaksa isterimu bunuh diri!"
Ku Pin terkejut. Ia tahu yang memukul jatuh pedang isterinya tadi tentu nikoh tua. itu. Tapi karena nada orang itu tak mengandung maksud jahat, berani juga Ku Pin menanyakan diri nikoh itu.
"Aku adalah jago nomor satu di dunia. Leng Giok sin-ni!" sahut si nikoh.
Ku Pin terkejut dan menanyakan maksud kedatangannya.
"Ku Pin, siapakah yang membunuh Wan Thian Cik?" tegur Leng Giok.
Ternyata nikoh itu juga datang ke Wan-ke-cung untuk membuat pembalasan pada Wan Thian Cik. Tapi sudah terlambat, Wan-ke-cung sudah hancur. Dari seorang yang terluka, ia mendapat keterangan bahwa Wan Thian Cik telah dibunuh orang, mayatnya dibawa ke Tin-tik-pang. Dalam marahnya Leng Giok menghantam orang itu hingga binasa. Ia mencari It Yap tapi di situ berjumpa dangan Ku Pin.
"Siapa yang membunuh Wan Thian Cik aku tahu. Tapi kau harus membantu aku mencarikan dua batang tongkat yang keras," kata Ku Pin dengan girang.
Terpaksa nikoh itu melakukan permintaan orang.
"Terima kasih, sin-ni. Sekarang coba kau ingat-ingat. Di kolong jagad ini, selain kau dan It Yap siapa lagi yang dapat menandingi Wan Thian Cik?" kata Ku Pin.
"Ai, tolol betul aku. Mengapa hal yang semudah itu aku perlu tanya padamu. Sekarang mana It Yap?" kata Leng Giok.
"Kau tentu mendengar apa yang kucekcokkan dengan isteriku tadi. Nah, carilah perempuan itu dan kau tentu bakal berjumpa dengan It Yap," diam-diam Ku Pin hendak mengadu si nikoh dengan It Yap, sekalian pinjam tangannya untuk membunuh isterinya. Malah kuatir kalau salah jalan, Ku Pin menunjukkan juga arah larinya sang isteri.
"Benar, memang menuju ke sana," Leng Giok tertawa terus melesat pergi.
Ia sudah beberapa kali ke kota raja, maka paham keadaan kota itu. Ia menginap di sebuah hotel besar dan meminta kamar kelas satu.
Ku Pin berlaku royal memberi hadiah pada jongos. Ia minta disediakan teh wangi. Selagi ia minum teh, di sebuah meja tampak dua orang sedang bercakap-cakap. Yang satu tinggi kurus, berjanggut lancip mirip dengan guru sekolah. Yang satu gemuk pendek seperti seorang Hou-wan (tukang kepruk) dari seorang hartawan.
"Li Ih, sekarang ini jaman terbalik. Tikus menerkam kucing, matahari terbit di barat. Kita orang kota jadi budak, orang desa jadi tuan besar," kata salah seorang.
"Benar, katamu itu memang tak salah. Buktinya, di sinipun ada," jawab kawannya.
Ku Pin marah. Terang yang dibuat bahan pembicaraan mereka itu ialah dirinya. Si gemuk pendek melirik Ku Pin, tiba-tiba berseru kaget: "Tan Sin, sudahlah jangan mengomongkan lagi. Dia seorang yang sudah cacat!"
"Hai, Li Ih, jangan bilang begitu, apa kau berani memaki sinona!" si kurus kerutkan muka.
Akhirnya kedua orang itu hendak pergi. Tapi lebih dulu si kurus memanggil jongos untuk menghitung rekeningnya atas namanya, Tan Sin, pegawai kantor Tay-hak-su. Ketika lalu di samping Ku Pin, mereka tertawa mengejek. Ku Pin hendak mengajar mereka, tapi tiba-tiba ta teringat sesuatu. Ia cepat memesan jongos menjaga tempat duduknya lalu keluar membuntuti kedua orang tadi.
Setelah dapat menyusul, Ku Pin segera mengatasi mereka. Si gemuk ditutuk jalan darahnya hingga tak dapat berkutik dan si kurus diancamnya: "Bilang terus terang, kalau berani berbohong tentu kubunuh. Kau tentu pegawai gedung Ciu Bing tayhaksu!"
Si kurus mengiakan. "Apa kongcumu Ciu Bing sudah pulang?" tanya Ku Pin.
Kembali si kurus Tan Sin mengiakan: "Sudah pulang. Apakah tuan sahabatnya? Kongcu juga gemar bermain senjata"
"Kau hanya boleh menjawab, tak boleh bertanya, tahu?" bentak Ku Pin.
Si kurus mengiakan tapi si gemuk marah-marah: "Kau orang apa ini berani membentak-bentak orangnya tay-hak-su...."
Ku Pin cepat menutuk jalan darah pembisu, hingga si gemuk tak dapat bicara lagi. Setelah itu Ku Pin menanyakan si kurus apakah Ciu Bing datang dengan membawa orang. Kali ini si kurus penasaran. Ia tutup mulutnya rapat-rapat. Ku Pin jengkel dan meremas pundak si kurus hingga si kurus berkaok-kaok kesakitan, Akhirnya mau juga ia mengatakan: "Ya. ya, kongcu pulang dengan membawa istrinya yang cantik seperti bidadari. Selama hidup sampai empatpuluh tahun ini aku belum pernah melihat wanita sacantik itu...."
Ku Pin cepat membentaknya supaya diam, Kemudian ia menanyakan reaksi tay-hak-su.
"Ya, ya. Saking girangnya Tay-hak-su segera mengadakan pesta besar, Mengundang pembesar sipil dan militer kerajaan. Menyediakan lima ratus meja hidangan dan membuat keramaian sampai sepuluh hari. Kaisarpun berkenan hadir dan menganugerahkan gelar Thay-cu-sao-po pada kongcu dan siao hujin (isterinya) diangkat menjadi It-bin-hujin. Kaisarpun memberi banyak sekali hadiah berharga. Kabarnya siao hujin itu lihay sekali ilmusilatnya. Pernah diminta mengunjukkah kepandaian di hadapan kaisar. Para jago kelas satu di istana, satu persatu dijatuhkan. Ia memenangkan berpuluh orang dan hanya kalah satu kali...."
Ku Pin terkesiap kaget. Orang yang dapat mengalahkan Hian Kwan, tentu seorang jago yang lihay. Ia segera menanyakan.
Sahut si kurus, "Dia ialah jago nomor satu di kotaraja, namanya Tiau Ho Hong, pemimpin pasukan Kim-ih-wi."
"Di mana tempat tinggal suami isteri Ciu Bing?" tanya Ku Pin.
"Sudah tentu di gedungnya," sahut si kurus.
Ku Pin menanyakan dengan jelas tentang letak dan keadaan gedung Ciu Bing. Si kurus memberitahukan semuanya. Kemudian Ku Pin menanyakan pula, apakah ada hal-hal luar biasa sejak Ciu Bing menikah itu.
"Tiap hari ada saja orang datang menghaturkan selamat pada Ciu kongcu. Tapi sejauh yang kudengar belum pernah ada yang mengunjungi siao-hujin," kata si kurus.
Ku Pin bertanya siapa-siapa saja yang datang pada Ciu Bing itu.
"Mereka kebanyakan adalah pembesar-pembesar istana.... ai, coba kuingatnya dulu. Ya, ya, kemarin ada juga seorang yang seperti imam. Dia...."
"Dia bagaimana? Siapa gelarannya?" buru2 Ku Pin menegas. Tapi si kurus menyatakan tak tahu
Karena tak ada yang ditanyakan lagi. Ku Pin tertawa dingin: "Sebenarnya kalian harus kubunuh, tapi mengingat tadi telah memberitahu terus terang, maka kau si kurus ini kuberi ampun. Tapi jangan mimpi dapat menjabat sebagai pegawai lagi."
Ku Pin membuka mulut si kurus dan memotong lidahnya: "Menjadi pegawai kantor kerajaan memang selalu banyak ngoceh. Setelah lidahmu hilang tentu tak dapat bicara lagi."
Kemudian Ku Pin menghantam remuk tulang pundak si gemuk sehingga kepandaian silatnya hilang. Si kurus dan si gemuk berkaok-kaok kesakitan. Ku Pin suruh mereka lekas tinggalkan kotaraja. Karena takut, kedua orang itupun tinggalkan Pakkhia.
Kembali di hotel Ku Pin masih gelisah memikirkan siapa gerangan imam yang mengunjungi Ciu Bing itu. Ia putar otak bagaimana mendapat jalan untuk menjumpai Hian Kwan.
Malamnva ia segera berganti pakaian ringkas. Ia bermaksud hendak bergerak tapi tiba2 ia teringat bahwa kakinya pincang. Ciu Bing dan Hian Kwan tentu akan mempergokinya.
-^dwkz^smhn^- Menurutkan suara hati Selagi ia bersangsi, tiba-tiba pintu diketuk orang. Ternyata jongos datang membawa hidangan dan arak hangat. Ku Pin merogoh sekeping perak dan dilemparkan ke atas talam (beri) selaku persen.
"Hai, siauji, bagus benar talam itu. Lukisannya bunga seperti hidup dan cat emasnya indah sekali," kata Ku Pin.
Sambil menyimpan uang persen, jongos menerangkan bahwa talam itu adalah milik tay-hak-su. Harganya mahal sekali.
"Lho, apakah hotel ini ada hubungannya dengan gedung siang-hu (tay-hak-su)?" Ku Pin heran.
Jongos mengatakan bahwa pemilik hotel itu masih keponakan jauh dari tay-hak-su. Karenanya hotel ini merupakan hotel utama di kotaraja. Tetamu-tetamunya kebanyakan adalah orang-orang ternama. Para pegawai siang-hu, apabila makan, minum atau menginap di situ, rekeningnya dimasukkan atas nama siang-hu.
"Jangan melantur tak keruan. Apa kau tak tahu apa yang kutanyakan?"
Jongos tersipu-sipu mengiakan. Ia menerangkan majikannya juga datang dalam pernikahan Ciu kongcu. Ia memuji setinggi langit pada piring yang dipakai gedung siang-hu. "Melihat itu cong-koan lalu menghadiahkannya sebuah. Majikanku setengah mati. Dia pesan pada para jongos piring itu hanya boleh digunakan untuk tetamu-tetamu pembesar."
Ku Pin menanyakan lebih lanjut, tentulah pemilik hotel itu sering berhubungan dengan orang siang-hu.
"Ya, selain Ciu-tayjin dan Ciu kongcu, sering kali para bujang siang-hu juga datang ke sini," jawab si jongos.
Ku Pin girang dan memberi persen lagi. Ia merencanakan akan membuat supaya Hian Kwan datang menemuinya. Ia pesan si jongos, apabila ada orang siang-hu datang supaya memberitahukan padanya. Di dalam kamarnya Ku Pin telah merancangkan rencana yang akan dilakukan.
Hari kedua tak terjadi apa-apa. Hari ketiga di hotel yang juga merupakan rumahmakan, kedatangan seorang tetamu lelaki yang gagah perkasa. Mukanya bercambang bauk, badannya tinggi besar. Makannyapun kuat sekali. Sekaligus ia dapat menghabiskan lima porsi masakan, lima mangkuk nasi putih, empat botol arak, masih tambah lagi arak dan daging.
Selagi Ku Pin melihatinya dengan heran, tiba-tiba masuklah tiga wanita. Dua orang muda dan seorang wanita tua. Mereka berdandan seperti bujang pembesar. Mereka duduk di dekat si lelaki gagah tadi dan minum arak. Si jongos melayani mereka dengan hormat. Ia melirik dan memberi isyarat kepada Ku Pin, maksudnya mengatakan bahwa ketiga wanita itu adalah bujang siang-hu.
Ku Ping girang. Ia segera berdiri dan pura-pura berjalan ke ruang belakang. Ketika lalu di sisi mereka ia selintikkan jari kelingkingnya. Sebuah benda melayang dan melekat pada rambut salah seorang bujang dara, tanpa si dara merasanya. Beberapa saat kemudian, ketiga bujang itupun pergi. Begitu juga dengan si lelaki brewok.
Ku Pin terkejut melihat ginkang si brewok yang hebat Diam-diam ia kuatir karena tadi si brewok melirik kepadanya. Ku Pin segera masuk ke dalam kamarnya. Ia percaya nanti malam apabila Hian Kwan melihat benda dirambut bujangnya tentu akan datang ke hotel menemuinya. Malamnya Ku Pin berdandan dan siap-siap merancang kata-kata apabila berhadapan dengan Hian Kwan.
Tiba-tiba di atas genting terdengar suara kaki yang halus. Ia duga tentu Hian Kwan. Cepat ia membuka jendela dan loncat ke udara DI udara ia berjumpalitan turun di atas genting. Suatu demonstrasi ginkang yang mengagumkan sekali
"Bagus, tak kecewa menjadi maling kecil." tiba-tiba terdengar teriakan dari sudut yang gelap. Ku Pin terkejut dan cepat siapkan tujuh batang kim-pit.
"Hai, mengapa membisu? Aku tukang tangkap pencuri, mau bersembunyi di mana? Lekas ke luar!" kembali suara orang itu terdengar.
Ku Pin berseru keras dan lancarkan tujuh batang kim-pit. Tapi untuk kekagetannya, enam batang kim-pit melayang balik ke arah Ku Pin, sedang yang sebatang entah kemana. Terpaksa Ku Pin menyambutinya. Tangannya terasa sakit. Diam-diam ia terbeliak kaget.
"Oh, kiranya Sin-pit-poau-koan, maaf, maaf," teriak orang itu.
Waktu Ku Pin menanyakan mama. orang itu tertawa: "Tak perlu tahu. Tahupun tak ada gunanya. Ha, ha. tak mengherankan kalau sekali menyelentik, rambut si bujang tambah hiasan sebatang tusuk konde!" orang itu tertawa karena, suaranya makin dekat.
"Masih ada sebatang kim-pit, harap kembalikan padaku," kata Ku Pin. Tapi tiada penyahutan. Ku Pin mengulangi lagi, juga sama. Ku Pin cepat menghampiri tapi orang itu sudah menghilang. Diam-diam Ku Pin kagum melihat kepandaiannya. Ia duga orang itu tentulah lelaki brewok yang berada di hotel tadi siang
Waktu Ku Pin hendak kembali ke dalam kamarnya lagi, tiba-tiba tampak sesosok tubuh langsing lari mendatangi. Ku Pin girang dan buru-buru loncat turun untuk menyambutnya.
Bayangan itu tiba-tiba berhenti dan berseru: "Ku Pinkah? Mari ikut aku!" Habis berseru, orang itu lalu berputar tubuh dan lari.
Ku Pin, cepat mengikutinya. Ia tahu orang itu ialah Hian Kwan. Tak barapa lama, bayangan itu berhenti di muka sebuah gedung besar, terus masuk. Dari sebuah bilik kecil, kelihatan penerangan lampu. Ku Pin tak berani masuk dan hanya batuk-batuk.
"Masuklah, takut apa?" kedengaran suara wanita dari dalam.
Ternyata dalam bilik itu indah segala hiasannya. Mewah dan berbau wangi. Di sebuah kursi duduk seseorang, ah.... itulah Wan Hian Kwan.
Dua pasang mata beradu. Sampai lama keduanya tak dapat bicara. Ku Pin mengambil tempat duduk di sebuah kursi. Hian Kwan tundukkan kepala, melipat-lipat ujung bajunya. Lama sekali mereka terpukau diam.
Hati Ku Pin tegang sekali. Ia merasa nasibnya bergantung pada pertemuan saat itu. Kalau Hian Kwan percaya. Ku Pin bakal bahagia. Tetapi kalau jelita itu tak mau percaya, celakalah Ku Pin. Ia memandang si jelita dan mulutnya hendak berkata tapi tak tahu ia bagaimana harus memulainya,
Akhirnya si jelita mendongak dan menatap Ku Pin," serunya dengan tenang: "Ku Pin, lama nian kita tak berjumpa."
"Ya, ya, memang lama kita tak berjumpa," sahut Ku Pin terbata-bata.
Dilihatnya saat itu si jelita sedang memakai pakaian berkabung warna biru. Ia duga Ih Ih tentu sudah menceritakan peristiwa di Wan-ke-cung, tapi entah apakah bujang itu mau membantunya atau tidak. Diam-diam Ku Pin gelisah.
"Ku Pin, tak usah takut. Ini adalah gedung pesanggrahan Kiu Bing. Kalau ia datang, tentu gedung ini ramai sekali. Kalau ia tak datang kemari, gedung ini sunyi sekali. Saat ini, hanya ada kita berdua," kata Hian Kwan.
"Oh, kiranya milik Ciu kongcu, maka tak mengherankan kalau begini mewahnya. Oh, sampai aku lupa menghaturkan selamat kepadamu, Hian Kwan! Kau sekarang sudah menjadi menantu seorang pembesar agung kerajaan, isteri dari Thay-cu-sao-po dan bergelar It-bin-hujin."
Hian Kwan tertawa: "Silakan kau menghambur kata pujian, namun aku tetap Wan Hian Kwan sahabatmu lama!"
Jantung Ku Pin berdebur keras. Tanpa make up, kecantikan Kwan tampak jelas. Tanpa dapat dikendalikan lagi, Ku Pin pun memuji si jelita. Setelah sanjung puji berlalu, sungkan bertukar ramah, maka Ku Pin pun meminta arak. Hian Kwan mengambil 4 macam hidangan dua arak wangi. Rupanya baru kira-kira setengah jam berselang Hian Kwan menyiapkannya. Diam-diam Ku Pun melihat sinar harapan.
"Terima kasih, Hian Kwan, mari kita makan."
"Tidak, aku tak ingin makan. Aku hanya hendak bertanya kepadamu. Mengapa kau datang ke Pakkhia?" tanya Hian Kwan.
Ku Pin menerangkan kedatangannya ke kota raja itu karena hendak melaporkan tentang peristiwa Wan ke-cung pada Hian Kwan.
"Apakah hanya itu atau karena mempunyai maksud lain lagi?" Hian Kwan menegas.
Ku Pin berdebar hatinya. Ia tahu berhadapan dengan Hian Kwan yang jauh lebih lihay dari Ih Ih. Sekali ia tak hati-hati bicara, tentu akan terbuka kedoknya.
"Ya, dengan meninggalnya ayahmu, dunia persilatan kehilangan seorang tokoh terbesar, apalagi...."
"Diam!" bentak Hian Kwan lalu mengeluarkan dua kutungan tusuk kundai kumala dan sebatang tusuk kundai, diletakkan di atas meja: "Kalau keperluanmu hanya begitu saja, mengapa kau mencari aku di gedung siang hu? Mengapa kau lekatkan tusuk kundai itu pada rambut bujangku?"
Ku Pin tenang-tenang saja dan tersenyum: "Sudah tentu ada alasannya. Kau ingin tahu?''
"Bilanglah!" "Masakan kau tak tahu? Kau dan aku mempunyai banyak sekali soal yang tak boleh didengar orang ketiga. Hanya kita berdua yang berhak mengetahui. Karena tahu, ayahmu telah mematahkan kedua kakiku. Dan Cui Bing pun lalu memperisterikan kau. Dan It Yap pun lalu membunuh Wan lo-cianpvve. Dan isteriku pun lalu menggurat sebuah luka pada wajahku serta hampir membunuh aku. Wahai, banyak nian kesulitan yang melintang di hadapan kita. Jika ada orang ketiga yang mengetahui tentu akan menambah lagi kesulitan itu. Benarkah kau inginkan aku menjumpaimu di gedung siang-hu? Kukira tidak".
Hian Kwan menanyakan bilakah Ku Pin berjumpa dengan isterinya. Dan Ku Pin lalu menuturkan peristiwa ia dengan isterinya.
"Tatkala ia hendak membacok mati aku, kurelakan saja. Aku lebih baik mati daripada menanggung rindu pada seseorang. Aku, Ku Pin, selain seorang invalid, pun seorang gila, Hian Kwan, mengapa kita tak dilahirkan bersama-sama pada seratus tahun yang lalu? Mengapa kita terlambat berjumpa? Mengapa kau dilahirkan sekolong langit dengan aku tapi tak dapat hidup berdampingan dengan aku?"
Dalam menumpahkan perasaan hatinya itu. Ku Pin memberi tekanan nada yang mengharukan dan bahkan airmatanya berlinang-linang. Ketika melirik ke muka, dilihatnya si jelita mengembang airmata juga.
Ku Pin menghela napas: "Ah, ketika aku datang menuntut balas pada ayahmu, ternyata It Yap sudah mendahului datang ke Wan-ke-cung. Dengan mata kepala sendiri aku menyaksikan dia membunuh ayahmu. Tapi aku tak berdaya kecuali menyaksikan dengan hati hancur atas gugurnya seorang ksatria yang gagah perkasa. Ah, itu merupakan tragedi yang tak akan kulupakan seumur hidup...."
"Jangan membicarakan itu lagi," tukas Hian Kwan sambil membesut airmatanya, "kutahu kau bukan musuh keluargaku. Ih Ih telah menceritakan padaku."
Girang hati Ku Pin tak terkira. Cepat ia bertanya: "Habis, aku ini apamu?"
Hian Kwan tundukkan kepada dan menyahut tak tahu. Ku Pin yang sudah berpengalaman tahu apa artinya itu. Demikian kedua insan itu terbenam pula dalam lautan kenangan. Kenangan lama yang penuh ditaburi sanjung puji Asmara. Walaupun sudah menjadi isteri Ciu Bing, namun Hian Kwan masih tetap terkenang pada Ku Pin. Bintang-bintang di langit menjadi saksi dari kebahagiaan kedua kekasih itu....
Keesokan harinya ketika bangun, didapatinya Hian Kwan sudah tak ada. Sebagai gantinya di sisinya terdapat sebuah surat yang berisikan nama dan alamat dari seorang tabib pandai di kota raja. Setelah membasuh muka, Ku Pin segera menuju ke alamat tersebut.
Ketika bertemu dengan tabib Tan Hien, ia mendapat pelayanan istimewa. Pasien tabib itu banyak sekali, tapi karena membawa surat dari siang-hu, maka Ku Pin diperiksa dulu.
"Apa kau berani menderita sakit?" tanya tabib itu. Ku Pin mengiakan asal kakinya dapat sembuh.
"Jangan kuatir, dalam dua puluh delapan hari, kau tentu mendapat kaki baru lagi," tabib itu memberi jaminan dengan yakin.
Agar tidak mondar mandir, Ku Pin disuruh mondok di tempat tabib itu. Sebagai ongkos pengobatan, Ku Pin tak sayang mengeluarkan dua puluh lima tail emas. Sudah tentu tabib itu girang sekali.
Singkatnya setelah mendapat pengobatan dan perawatan dari tabib pandai itu, benar juga sepasang kaki Ku Pin sembuh seperti sedia kala lagi. Pada hari itu si tabib menyerahkan sepucuk surat undangan dari gedung siang-hu. Sudah tentu Ku Pin terkejut. Mengapa Ciu Bing tahu kalau ia di situ? Dan ketika membuka sampul, ia makin terkejut membaca isinya. Buru-buru keluar. Di luar mudah disongsong oleh seorang bujang yang mempersilakannya naik tandu. Ternyata Ku Pin dibawanya ke gedung siang-hu.
"Ku-heng, selamat datang!" tiba-tiba ada seseorang berseru.
Ku Pin menyingkap kain tandu. Ternyata dia sudah berada di sebuah ruangan besar yang indah sekali. Yang menyambut dengan suara dingin tadi ialah Ciu Bing yang sekarang menjabat sebagai Thay-cu-sao-po.
"Selamat kuhaturkan juga kepada hengtay yang mendapat jabatan tinggi dan keluarga yang bahagia," sahut Ku Pin.
Ciu Bing memberi isyarat supaya sekalian bujangnya menyingkir. Setelah itu tiba-tiba ia kerutkan wajahnya: "Ku Pin, tahukah kau di mana isteriku?"
"Ciu hujin hilang? Jadi kau undang aku kemari untuk pertanyaan itu?" Ku Pin tersiak kaget.
"Ku Pin, jangan berlagak pilon. Di sini bukan di dunia persilatan. Jangan kau ugal-ugalan!" bentak Ciu Bing.
"Aneh, Ciu hujin hilang, mengapa kau meminta padaku."
Merah wajah Ciu Bing. Memang tiada alasan sama sekali mengapa ia hendak minta isterinya pada Ku Pin. Saat itu Ku Pin lalu minta diri.
"Mau pergi? Tidak semudah itu!" seru Ciu Bing.
"Ciu tayjin, bagaimana maksudmu? Apakah aku disuruh mengganti isterimu yang hilang itu? Masakan di dunia terdapat hai yang selucu itu."
Wajah Ciu Bing berobah robah, dari merah menjadi biru, biru menjadi pucat. Ia menatap Ku Pin sampai lama baru berkata dengan bengis: "Orang she Ku, kalau kau tahu kesalahan, kau harus segera mengorek kedua biji matamu sendiri dan mengutungi sebelah tanganmu, agar aku tak usah turun tangan!"
Ku Pin tertawa nyaring "Hilangnya isterimu itu apakah kesalahanku? Kau menjadi seorang pembesar agung, mengapa seenaknya saja bicara?"
"Kau mencuri isteriku, harus dihukum bagaimana?" seru Ciu Bing yang lalu menjotos.
Sambil menghindar ke samping Ku Pin berseru: "Ciu Bing, kau mengatakan apa?"
"Kau mencuri isteriku, apa masih menyangkal? Kuundang kau kemari bukan hendak memintamu merangkai sajak, melainkan hendak memberimu hajaran! Nyalimu besar sekali berani menepuk lalat di mulut harimau!"
Ku Pin pernah mengalahkan Ciu Bing, maka iapun tak gentar. Ia mengaku memang telah bertemu dengan Hian Kwan tetapi ia menyangkal melarikan jelita itu. Kalau tak percaya boleh tanyakan pada Han Kwan sendiri.
Ciu Bing memakinya habis-habisan sebagai manusia yang nista, hina dina. Kemudian ia memanggil Tian congkoan. Seorang tinggi besar yang bermuka brewok maju menghadap. Ternyata dia ialah orang yang pernah bertemu Ku Pin di hotel dan malam harinya hampir saja bertempur. Ternyata orang itu ialah Tiap Ho Hong, jago kelas satu dari kota raja yang menjadi congkoan (pemimpin) pasukan kim-i-wi istana. Dialah yang pernah mengalahkan Hian Kwan.
"Ku Pin, segala gerak gerikmu tak lepas dari mataku. Kalau kau tak berkeliaran di kota raja, masakan Ciu hujin terpikat dalam perangkapmu? Seorang lelaki berani berbuat, berani bertanggung jawab, mengapa aku hendak timpakan kesalahan kepada lain orang? Ku Pin, apakah aku perlu menceritakan peristiwa malam di gedung pesanggrahan itu dengan sejelas-jelasnya lagi?" Ho Hong mandamprat.
Ku Pin mengeluh dalam hati. Tiba-tiba ia berputar tubuh terus melesat keluar jendela. Ku Pin lihay sekali ginkangnya dan Ciu Bing tak menyangka sama sekali kalau orang mau melarikan diri.
Tapi Ho Hong ternyata lebih tangkas. Sekali bergerak ia sudah menghadang di muka Ku Pin: "Ku Pin, tidak begitu mudah!"
Ku Pin terpaksa menyurut mundur untuk menghindar tangan orang yang hendak mencengkeram dadanya.
Ho Hong cabut goloknya dan minta ijin pada Ciu Bing. Walaupun ia menjabat sebagai pemimpin pasukan kim-i-wi, namun dalam urutan jabatan, ia hanya pembesar tingkat tiga, jadi kalah pangkat dengan Ciu Bing.
-^dwkz^smhn^- Penasaran Cu Bing akan menghukum sendiri, karena itu menyangkut soal kehormatan. Maka iapun menyahut: "Tiau congkoan, bangsat itu biar kuhajarnya sendiri.... tentang hilangnya isteriku sudah dua hari...."
"Urusan ini aku Tiau-ho yang bertanggung jawab. Akan kujelajahi seluruh ujung dunia mencari jejaknya. Begitu ada beritanya, tentu akan segera kulaporkan Ciu tayjin" buru-buru Ho Hong menyambutnya.
Tapi ia tak mau pergi melainkan berdiri di ambang jendela, menjaga kalau Ku Pin lari.
Dalam keadaan begitu tiada lain pilihan bagi Ku Pin kecuali harus bertempur.
"Ciu Bing, aku tak bawa pedang, bolehkah meminjammu? Tapi kalau tak boleh, tak apalah biar kulayani dengan sepasang tangan kosong."
Ciu Bing suruh orangnya mengambilkan rak senjata. Kini baru Ku Pin tahu bahwa gedung itu telah dijaga rapat oleh berpuluh jago silat. Begitu Ciu Bing memberi komando, mereka tentu akan meremuk Ku Pin. Diam-diam Ku Pin sesali dirinya yang sudah begitu tolol mau datang ke situ.
Ciu Bing silakan Ku Pin memilih senjata yang dikehendaki. Dari delapanbelas macam senjata, yang tak ada hanya pedang. Ku Pin tahu bahwa Ciu Bing sengaja tak menyediakan pedang karena kuatir kalah. Akhirnya Ku Pin memilih sepasang khik. Setelah itu ia silakan tuan rumah menyerang.
Ciu Bing sebetulnya benci sekali kepada Ku Pin. Coba tak malu pada kedudukannya, ia tentu sudah perintahkan orangnya untuk membekuk Ku Pin.
Ciu Bing membuka serangan dengan sebuah loncatan. Itulah ilmu ling-gong-cing-hwat yang termasyhur.
Diam-diam Ku Pin terperanjat melibat kemajuan orang buntung itu. Ku Pin gerakkan sepasang khik untuk menangkis serangan ke arah kepala dan punggungnya. Kalau dulu Ku Pin dapat mengalahkan Ciu Bing dengan tangan kosong, kini dengan sepasang khik ia tambah garang lagi. Tapi dahulu kekalahan Ciu Bing itu tak begitu berat. Kini ia berada di rumah sendiri, Ho Hong dan berpuluh-puluh jago silat bawahannya berada di sebelahnya, sudah tentu nyalinya besar sekali. Pada jurus ke enampuluh Ku Pin telah lancarkan serangan istimewa. Dengan jurus siang-liong-jut-hay (sepasang naga keluar laut) ia menusuk tenggorokan dan punggung Ciu Bing. Ciu Bing terkejut. Kalau menangkis yang di muka, punggungnya tentu kena. Dalam detik-detik berbahaya ia cepat buang tubuhnya bergelundungan di tanah sampai setombak lebih. Ketika Ku Pin loncat menikam dadanya, Ciu Bing menangkis dengan tongkat. Tapi Ku Pin gunakan lwekang untuk melekat lalu menamparnya hingga terlepas dari cekalan Ciu Bing.
Ho Hong tak mengira bahwa Ciu Bing selekas itu dapat dikalahkan. Ia cepat hendak lepaskan tiga biji am-gi (senjata rahasia) untuk menolong Ciu Bing. Tapi ternyata Ku Pin mundur beberapa langkah, tak mau ia melukai lawan: "Ciu Bing, seratus tahun lagipun kau tetap tak dapat melawan aku. Kalau kau menghendaki nyawaku, lekas suruh Tiau-congkoan maju membantumu, tak usah main sembunyi hendak bokong orang!"
Ho Hong merah mukanya buru-buru ia menyimpan am-ginya, Ciu Bing hanya mendengus. Ia mengambil sepasang khik juga, serunya: "Untuk mengambil jiwamu, aku Ciu Bing tak perlu dibantu orang. Ayo, kita bertempur lagi, akupun hendak gunakan sepasang khik. Jika kau menang, urusan ini kuanggap habis sampai di sini. Tapi kalau kau kalah, kau harus potong kepalamu sendiri "
Ku Pin heran mengapa Ciu Bing begitu yakin. Ia duga jangan-jangan orang hendak menggunakan tipu. Karena di antara sakit hati selain ayah bunda dibunuh, isteri digondol orang itulah yang paling hebat.
"Ciu Bing, seorang gentlemen harus konsekuen dalam ucapannya...."
"Segeralah menyerang, mengapa ribut-ribut saja!" bentak Ciu Bing.
Diluar dugaan Ciu Bing lebih lincah dan leluasa menggunakan khik hingga serangannya lebih berbahaya. Demikianlah kedua seteru itu bertempur dengan seru dan keras. Diam-diam Ku Pin memperhatikan gerakan lawan. Limapuluh jurus kemudian, barulah ia mengetahui rahasianya. Ia terkejut karena teringat jelas gerakannya itu adalah serupa dengan ilmupedang Lok-ih-kiam-hwat dari Hian Kwan.
Biasanya serangan pedang Hian Kwan itu yang kiri tentu hanya gertakan, yang kanan barulah serangan sesungguhnya. Rupanya sejak tadi Ciu Bing juga begitu. Tapi tiba-tiba di luar dugaan khik di tangan kiri Ciu Bing itu menyerang dengan sungguh. Ku Pin terkejut dan mau mundur, tapi sudah tak keburu lagi. Ciu Bing tindihkan lagi khik di tangan kanannya. Dalam keadaan yang berbahaya itu, Ku Pin terpaksa loncat mundur.
Ho Hong yang sejak tadi mengikuti jalannya pertempuran mendapat kesan bahwa Ku Pin lebih unggul. Diam diam ia bersiap-siap untuk memberi bantuan pada Ciu Bing apabila perlu.
Ciu Bing keluarkan tigapuluh enam jurus gerakan ilmupedang Lok-ih-kiam dari Wan Hian Kwan dan Ku Pin melayaninya dengan gerak ilmu pedang Ang-tik-kiam-hwat. Sebenarnya ilmu pedang itu cukup dapat mengatasi lawan, tetapi Karena ia memakai khik sebagai ganti pedang, gerakannyapun tak leluasa hingga kalah angin. Akhirnya ia kewalahan. Jika tak disertai dengan tenaga lwekangnya yang kuat, tentu tadi-tadi ia sudah kalah.
"Bangsat, kau masih belum menyerah?" pada lain saat Cui Bing membentaknya.
"Sekali-kali tidak!"
"Kau mau atau tidak sama saja!" seru Ciu Bing seraya loncat dan tusukkan khik di tangan kiri ke tenggorokan Ku Pin. Tapi Ku Pin cepat gunakan gerak hi-yau-liong-yan (ikan meletik naga melesat) . Ia katupkan kedua khiknya untuk menangkis.
-^dwkz^smhn^- Jilid 12 KENALKAN Wanita itu, kata orang, mahluk yang lemah. Tetapi nyatanya, dalam banyak hal, malah berkuasa. Adalah karena soal wanita maka hancurlah keluarga Wan Thian Cik, keluarga Ku Pin dan keluarga Ciu Bing putera mentri kerajaan.
Suami nyeleweng, isteri serong, anak haram pun bermunculan dengan membawa derita. Broken home, rumah angga berantakan, demikian istilahnya sekarang.
Rumah tangga Ku Pin, merupakan salah satu contoh broken home dalam Keluarga orang persilatan....
-^dwkz^smhn^- Ku Pin telah memperhitungkan jika katupannya itu kena, senjata Ciu Bing tentu putus. Dan apabila nanti Ciu Bing mundur, ia hendak loncat menerjangnya. Ia yakin Ciu Bing tentu hancur kali ini,
Tapi di luar dugaan Ciu Bing acuh tak acuh tetap teruskan tusukannya. Girang Ku Pin bukan kau kepalang. Ia katupkan kedua khiknya untuk menjepit, setelah itu ia hendak gunakan lwekang untuk mematahkan senjata orang. Tapi kembali terjadi hal yang tak disangka-sangka. Begitu tersentuh senjata Ku Pin, Ciu Bing gelincikan khiknya ditengah-tengah sepasang khik lawan untuk diteruskan menusuk tenggorokan.
Kejut Ku Pin tak terkira. Bahkan Ho Hong si jago brewok itu juga tak kurang kagetnya. Ia berteriak memuji. Untung dalam detik2 berbahaya itu Ku Pin masih belum kehilangan akal. Ia terpaksa lepaskan jepitannya dan buang tubuhnya ke belakang.
Jurus yang digunakan Ciu Bing itu disebut 'ikan menerobos jala? salah satu gerakan ilmu pedang Lok-ih-kiam. Ia bertempur dengan hati2, bertahan rapat dan menyerang seru. Akhirnya karena tak memakai tongkat, gerakan Ciu Bing pun tak leluasa. Makin lama makin tak menguntungkan. Hal itu dilihat juga oleh Ho Hong. Diam2 ia siapkan sebutir batu kristal kecil.
Pada saat Ku Pin loncat mundur untuk menghindari serangan, ia berdiri dengan sebelah kaki kiri. Sedang kaki kanan diangkat. Ho Hong melihat saat yang dinantikan tiba. Dan cepat ia bertindak. Batu kristal kecil itu diselentikkan ke tengah gelanggang, jatuhnya tanpa suara dan tepat di bawah kaki Ku Pin. Ketika Ku Pin turunkan kaki kanan hendak diinjakkan ke lantai, ia segera menjerit kaget "aduh...." tubuhnya terjengkang ke belakang hampir jatuh. Cepat ia geliatkan tubuhnya hendak berdiri.
Tapi pada saat itu ia rasakan tubuhnya kesemutan. Ternyata Ciu Bing telah mendahului menutuk jalan darahnya dengan ujung khik.
"Bluk" tak ampun lagi jatuhlah Ku Pin tertelentang di lantai. Sepasang senjatanyapun lepas terhambur....
"Habislah jiwaku" sekarang" Ku Pin mengeluh.
Tetapi ternyata Ciu Bing tak mau turun tangan. Ia tertawa sampai beberapa saat, kemudian berseru: "Ku Pin, sekarang kau atau aku yang kalah? He, he, kita sebelumnya sudah berjanji, harap kau kutungi kepalamu, agar aku tak usah turun tangan,"
Dengan tertawa gelak-gelak ia lari menghampiri rak senjata, mengambil sebatang golok dan dilemparkan ke muka Ku Pin. Ku Pin cepat menyambar golok dan berseru nyaring: "Baik!"
Tapi pada waktu ia hendak ayunkan golok ke batang lehernya, Ciu Bing mencegah lagi: "Nanti dulu. Kau masih ada pesan apa, silakan bilang. Mengingat persahabatan kita, tentu akan kukerjakan."
Ku Pin tertawa gelak-gelak: "Tak ada pesan apa-apa, terima kasih. Ha, ha, siapa menusia yang tak mati? Aku Ku Pin, telah mendapatkan jelita yang kuidam-idamkan, walaupun hanya semalam mengenyam kebahagiaan, namun matipun sudah puas. Tetapi kau, hai Ciu Bing. Kau dilempar mentah-mentah oleh isterimu. Segala jerih payahmu, segala impianmu yang muluk-muluk, akhirnya hanya kosong melompong. Hidup dirundung rindu, rindu pada orang yang tak sudi padamu, apakah tak kecewa hidupmu?"
Ku Pin mengakhiri kata-katanya dengan terbahak-bahak. Saking marahnya Ciu Bing sampai menggigil. Cepat ia melesat maju, merampas golok yang dipegang Ku Pin tadi, terus ditabaskan ke batang lehernya.
"Tring" golok Ciu Bing menyisih ke samping dan berbareng itu melesatlah sesosok tubuh ke dalam ruangan.
"Ciu Bing, mengapa kau berani membunuh suamiku?" orang itu berseru dan melayang disebelah Ku Pin. Dengan tiga buah serangan ia paksa Ciu Bing mundur.
Ciu Bing dan Ho Hong terperanjat. Ternyata yang datang itu adalah seorang wanita berwajah buruk sekali.
"Kau siapa?" tegur Ciu Bing.
"Apa kau tuh? Aku adalah isteri resmi dari bangsat itu," wanita yang bukan lain Ku hujin tertawa sinis.
Melihat si wanita memaki bangsat pada Ku Pin, legalah hati Ciu Bing, Ia bertanya apakah nyonya itu mendengar pembicaraannya dengan Ku Pin tadi. Ku hujin mengiakan.
"Bagus, kau tentu mendengar juga tentang perbuatan suamimu itu! Bilanglah, suamimu bangsat itu harus mati atau tidak?"
"Harus dan sudah sepantasnya mati!"
"Bagus. tadi hendak kubunuhnya itu berdasarkan keadaan kaum persilatan, mengapa kau menghalangi?" tanya Ciu Bing pula.
Ku hujin tertawa dingin: "Membunuh dia adalah urusanku pribadi. Mau kubunuh, bunuh. Tidak ya tidak. Orang lain tak berhak campur tangan."
Tiau Ho Hong tak sabar lagi: "Ku hujin, bilanglah, kau hendak membunuhnya atau tidak?"
"Tidak, tidak! aku hendak menolongnya!" sahut nyonya itu dengan tegas.
"Baik, tapi kau harus mengalahkan aku dulu!" karena marahnya Ho Hong lalu akan gerakkan goloknya.
Tapi tiba-tiba Ciu Bing mencegahnya. "Ku hujin, kita kaum persilatan. Suamimu tak berbudi tak adil, walaupun kau menolongnya tapi kaum persilatan tetap akan menistanya. Kalau kau menganggap hal itu tak jadi soal, baiklah. Tapi tadi ia sudah berjanji sendiri, kalau kalah mau bunuh diri. Mengapa kau masih mau menolongnya?"
Ia percaya nyonya itu tentu akan malu dan undurkan diri. Di luar dugaan nyonya itu maju beberapa langkah dan menjemput sebutir batu kristal. Ia tertawa mengekeh: "Kau mengandalkan bantuan Tiau congkoan untuk mengalahkan suamiku. Apakah ini dianggap seorang gagah?"
Habis berkata ia remas hancur batu itu. Wajah Tiau Hu Hong merah padam. Dan Ciu Bing pun berseru: "Apa benar begitu?"
Untuk itu terpaksa Ho Hong mengangguk.
Ku hujin tertawa dingin: "Aku membantu kebenaran tidak membantu orang. Aku dan Tiau congkoan tak boleh membantu. Kalian harus bertanding lagi secara adil. Kalau dia kalah lagi, aku takkan menghalangi. Bagaimana katamu, Ciu tayjin?"
Ia tahu, kalau hanya dirintangi Ciu Bing ia tentu dapat menolong Ku Pin. Tapi Ho Hong tak mudah dilawan, maka ia rintangi dulu congkoan itu dengan janji. Kalau bertempur lagi, ia percaya suaminya tentu menang.
"Kalau Ciu tayjin menolak, yang tidak berbudi tidak adil ialah kau sendiri. Orang akan mengatakan, karena mendapat bantuan Tiau congkoan baru kau dapat menangkan Ku Pin. Apakah kau masih punya muka?" kuatir Ciu Bing tak mau Ku hujin sengaja membakarnya.
Ciu Bing marah dan menerima. Ia yakin, dengan ilmu pedang Lok-in-kiam tentu dapat mengalahkan lawan. Ku hujin menghampiri suaminya, membungkuk untuk menutuk buka jalan darahnya seraya membisiki supaya Ku Pin mengarah kaki lawannya.
Ku Pin loncat bangun dan tertawa: "Hujin, terima kasih. Harap pinjamkan pedangmu!"
Karena melihat Ku Pin pakai pedang, Ciu Bing pun gunakan sepasang pedang juga. Demikianlah keduanya bertempur lagi dengan seru.
Dalam babak permulaan sampai pada jurus yang ke limapuluh, Ku Pin selalu bertahan, Ciu Bing selalu mendahului dengan serangan-serangan yang cepat serta istimewa, sehingga Ku Pin terdesak kewalahan.
Bermula Ku hujin cemas melihat jalannya pertempuran. Tapi setelah memperhatikan, ia tahu suaminya itu sedang menunggu kesempatan untuk melakukan serangan balasan menurut apa yang ia (Ku hujin) ajarkan tadi. Ia sengaja membuka jalan, ketika Ciu Bing memasukinya untuk menusuk dada, tiba-tiba Ku Pin gunakan te-tong-kiam-hwat, jatuhkan diri ke tanah dan menyerang kaki lawan dengan bergelundungan.
Kejut Ciu Bing bukan kepalang. Ia loncat menghindar, tapi tetap diserang oleh Ku Pin. Yang dibabat selalu bagian kaki saja. Sudah tentu karena kaki Ciu Bing buntung sebelah, gerakannya tak leluasa. Ia berloncatan seperti seekor katak. Tak dapat ia melancarkan serangan lagi karena harus menjaga babatan pedang lawan.
Kalau dari tadi Ciu Bing gunakan ilmu tong kat leng-gong-ciang-hwat, tentu dapat menghadapi lawan. Karena ilmu permainan itu memang berloncatan ke udara untuk menyerang musuh. Tapi tadi ia gunakan ilmu pedang Lok-ih-kiam, begitu diserang bagian bawah, ia menjadi repot. Memang Ku Pin telah mengetahui kelemahan itu. Dan ia tak mau memberi kesempatan untuk menggunakan teng-gong-ciang-hwat lagi.
Melihat keadaan Giu Bing montang manting begitu rupa, Ho Hong gelisah sekali. Tapi kalau mau membantu ia takut ditertawai Ku hujin. Akhirnya ia hanya dapat ambil keputusan, kalau Ciu Bing hanya kalah tapi tak terluka, ia tetap akan tinggal diam. Tapi kalau Ciu tayjin itu sampai terancam jiwanya, terpaksa ia haras menolongnya juga.
Dengan serangan te-tong-kiam-hwat yang laksana air bah itu, mudah sekali Ku Pin memenangkan pertandingan itu. Tapi ternyata Ku Pin memang bermaksud hendak membunuh Ciu Bing. Setiap serangannya selalu ganas. Sedikit saja Ciu Bing lengah tentu akan amblas jiwanya. Melihat itu Ho Hong cepat siapkan golok dan beberapa batang hui-to.
Ku hujin tahu, kalau Ciu Bing sampai terluka, Tiau Ho Hong tentu akan turun tangan. Dan sekali kawanan hou-wan dari gedung siang-hu itu bergerak, ia dan suaminya tentu akan celaka. Ia cepat meneriaki suaminya supaya lekas menyelesaikan pertandingan itu dan pulang. Yang diartikan menyelesaikan, ialah cukup dengan memenangkan jurusnya (nilai) saja, karena ia memang tak menghendaki suaminya sampai membunuh Ciu Bing. Tapi Ku Pin yang sudah mendapat angin, tak mau mengindahkan. Serangannya makin lama makin dahsyat.
"Cret", lengan baju Ciu Bing terpapas. Ho Hong dan Ku hujin terperanjat
Ku Pin tertawa nyaring, terus susulkan lagi dengan serangan yang lebih hebat. Begitu Ciu Bing loncat ke atas, ia lalu menusuk perutnya. Karena Ciu Bing tengah pentang sepasang pedangnya, ia tak sempat lagi menjaga perutnya. Itu berarti ia pasti binasa.
Ho Hong menggembor keras dan hendak ayunkan tangan kanan. Tapi ternyata Ku hujin lebih cepat. Ia sudah lepaskan thou-hong-sin-ciam (jarum penembus angin ) ke arah kaki Ku Pin.
"Bluk" Ku Pin jatuh ngelumprak.
Dahulu setelah Ku hujin termakan jarum bu-ing-sin-kiam Wan Hian Kwan, ia lalu berlatih keras dan berhasil menciptakan ilmu taburan jarum yang diberinya nama thou-hong. Thou-hong dan bu-ing itu merupakan lawan kata.
Ho Hong dan Ciu Bing terkejut melihat Ku hujin menghantam suaminya sendiri. Setelah itu, Ku hujin menjinjing tubuh Ku Pin dan minta diri: "Ciu tayjin, dia memang jahat dan harus dibinasakan. Akan kubawanya pulang dan kuhukum."
"Hai, hendak dibawa ke mana?" Ho Hong menabas, tapi Ku hujin dapat mengelakkannya.
"Telah kulukai suamiku sendiri, mengapa kau masih menghalangi? Ciu tayjin, harap melarangnya," seru Ku hujin.
"Ya, baiklah! Ku hujin telah menolong jiwaku, budimu takkan kulupakan," kata Ciu Bing. Ia mencegah Ho Hong dan bahkan mengantarkan nyonya itu sampai di pintu.
"Ciu tayjin...." Ho Hong tak mengerti sikap tayjin itu.
Ciu Bing memberi penjelasan bahwa sudah sepantasnya ia membalas budi orang yang menolong jiwanya. Ho Hong menanyakan tentang Ku Pin.
"Untuk sementara biarlah dulu. Besok kita masih ada waktu untuk membunuhnya," sahut Ciu Bing.
Selanjutnya ia memuji-muji kecerdasan Ku hujin. Wanita itu benar jelek rupanya, tapi kecerdasan otaknya tak kalah dengan orang lelaki.
Karena di dalam istana tak ada urusan pemerintahan yang penting, maka Ciu Bing mengajak congkoan itu keluar berkelana.
"Kemana?" tanya Ho Hong.
"Karena mertuaku (Wan Thian Cik) meninggal secara begitu mengenaskan, di dunia persilatan tentu timbul pergolakan. Mari kita lihat-lihat keramaian itu. Aku hendak mencari isteriku dan membalaskan sakit hati mertuaku. Ai.... It Yap tojin, Tin-tik-pang, Ang-tik-pang dan aku berdua suami-isteri. Semuanya merupakan jalinan budi dan dendam yang berbelit-belit. Bebanku amat berat dan perlu meminta bantuanmu. Kita turut mengaduk-aduk dunia persilatan, maukah kau?"
Tiau Ho Hong adalah jago nomor satu dari kotaraja. Ilmu kepandaiannya memang hebat. Di dalam dunia persilatan iapun termasuk jago kelas satu. Kehidupan yang tenteram ayem di istana, membuatnya keisengan juga. Ia girang sekali menemani Ciu Bing hanya saja ia perlu meminta ijin dari kaisar dulu.
Ternyata karena kerajaan tak ada urusan penting, kaisarpun memberi ijin. Sebelum berangkat, Ciu Bing usulkan supaya di luaran Ho Hong tak usah berbahasa 'tayjin' lagi, cukup menyebut nama masing-masing saja. Pun karena menantunya hilang, Ciu tay-haksu merasa malu. Maka ia pun tak keberatan meluluskan maksud puteranya. Dan tay-haksu itu menjanjikan pada Ho Hong, apabila perjalanannya itu berhasil, ia tentu akan mengusulkan kepada kaisar supaya menaikkan pangkat Ho Hong sampai dua tingkat. Setelah segala sesuatu selesai, berangkatlah Ciu Bing dan Ho Hong.
Sekarang mari kita mengikuti Ku Pin suami-isteri. Ternyata Ku hujin membawa suaminya ke dalam kereta. Setelah tiba di luar pintu kota, ia hentikan keretanya dan masuk ke dalam. Ia keluarkan batu sembrani dan ditaruhkan di tempat yang tak dapat diraih tangan suaminya.
"Ku Pin, tanpa benda ini tak mungkin kau dapat mengeluarkan jarum dalam pahamu itu," katanya.
"Mengapa kau menolong aku?"
"Karena aku tak menginginkan kau mati di tangan orang lain."
"Jadi kau hendak membunuh aku dengan tanganmu seudiri?"
Teringat akan perbuatan sang suami yang mendesaknya supaya ia (Ku hujin) bunuh diri di hutan tempo hari, meluaplah kemarahan nyonya itu, "Memang, kelak tentu tiba saatnya dimana aku hendak menyuruhmu mati dengan pe-lahan2, kematian yang menyeramkan.... dan pada saat itu, aku akan hidup bahagia di samping It Yap!"
Ku Pin gusar sekali dan serentak hendak bangkit, tapi ia tak mampu menggerakkan kakinya yang seolah-olah lumpuh terkena jarum isterinya, "Apakah untuk maksud itu kau menolong aku tadi?"
"Kalau tidak begitu, apa lagi? Selama aku masih bernapas, jangan harap kau dapat berhubungan dengan Hian Kwan si wanita busuk itu."
"Kau sendiri yang pantas dinista wanita hina, karena kau selalu bercita-citakan mengikuti It Yap," Ku Pin mendampratnya.
"Kurangajar! Kau sendiri nyeleweng, masih berani memaki aku, kalau tak kuhajar, tentu belum tahu rasa kau!"
Wanita itu menghantam. Karena hanya kakinya yang tak dapat berkutik, Ku Pin masih dapat menangkis dengan tangannya.
"Plak" Ku hujin terpental sampai keluar ruangan kereta, tapi Ku Pin pun mengaduh kesakitan karena tangannya seperti mau putus. Ternyata dalam ilmu lwekang, Ku hujin lebih unggul dari suaminya.
Ku hujin mengambil cambuk Sambil mencambuk kudanya supaya lari, iapun mencambuk ke dalam ruangan kereta.
"Aduh, aduh...." Ku Pin mengerang kesakitan. Bajunya pecah belah dan punggungnya babak belur melumur darah.
Ke mana kereta itu dilarikan, Ku Pin tak tahu. Ia menyingkap tenda dan coba-coba melongok keluar. Ternyata kereta itu menuju ke selatan. Tiba-tiba "tar, tar" kembali punggungnya dihajar cambuk sang isteri. Ia mengaduh dan Ku hujin tertawa gelak-gelak. Ku Pin marah tapi tak dapat berbuat apa-apa.
Setelah menempuh perjalanan tiga hari tiga malam, tiba-tiba kereta melanggar sebuah benda hingga bergoncangan keras. Ku Pin hampir terlempar keluar. Ku hujin hentikan kereta.
"Kurang ajar, siapa yang menaruhkan batu besar itu di tengah jalan?" Ku hujin memaki-maki dan loncat turun untuk memperbaiki roda kereta yang lepas.
Karena goncangan tadi, keretapun miring. Dan ini mengirangkan Ku Pin karena batu sembrani tadi meluncur ke dekatnya. Cepat ia gunakan untuk menyedot jarum dalam pahanya.
Tepat pada saat Ku hujin selesai memasang roda, tiba-tiba muncullah segerombolan penyamun yang bersenjata lengkap. Pemimpin mereka segera berseru: "Hai, wanita, kau mengangkut apa?"
Ku hujin tetap memalu dengan pukul besi. Ia tak menghiraukan kawanan begal itu.
"Hai, wanita, kau ini gagu atau tuli?" kembali si kepala begal berseru.
"Dua-duanya tidak! Di dalam keretaku terdapat benda yang mahal sekali," sahut Ku hujin.
"Emas atau perak atau intan permata?" si kepala begal menegas girang.
"Hm, telur busuk macam apa ini...." dan "Plak" ketika kepala begal itu melongak ke dalam kereta, ia disambut dengan sebuah kepalan yang membuatnya menggeletak tak berkutik lagi.
"Hujin, si telur busuk tetap mempunyai hati. Hanya saja hati itu sudah dimiliki orang lain, bukan kepunyaanmu lagi," Ku Pin mengejek isterinya sambil menampakkan diri.
Munculnya Ku Pin secara tiba-tiba itu telah mengejutkan Ku hujin dan kawanan begal. Mereka tercengang mendengar percakapan suami-isteri itu. Dan berteriak-teriaklah mereka hendak menyerbu.
"Siapa berani turun tangan?" bentak Ku hujin seraya lari ke dalam kereta hendak mengambil pedang. Tapi Ku Pin menertawakan: "Hujin pedang sudah kuambil."
"Koreklah hatimu, biar ku periksanya," teriak Ku hujin seraya menghantam suaminya dengan pukul besi.
"Tring" Ku Pin menangkis dengan pedang: "Hujin, engkau hendak menyiksa aku? Ha, ha, mungkin tak mudah"
Kemudian pecahlah pertempuran yang lucu. Ku Pin bertempur dengan isterinya, tetapi mereka diserang oleh kawanan begal. Ku Pin usulkan kepada sang isteri untuk menghalau kawanan begal itu dulu, baru nanti mereka lanjutkan bertempur sendiri. Ku hujin tak menyahut dengan mulut melainkan menyambar tubuh seorang begal yang berani menyerangnya, terus dilempar. Ku Pin pun menghajar mereka sampai jatuh bangun.


Benci Tapi Rindu Cinta Dibawa Mati Karya Sd Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Karena kalian telah menolong jiwaku, aku-pun tak mau berlaku kejam. Ayo, enyah semua, kalau tidak tentu kuhajar lagi," teriak Ku Pin.
Kawanan begal itu menghaturkan terima kasih. Tiba-tiba mereka berteriak kaget: "Ha, momok itu datang lagi!" Segera mereka lari tunggang langgang seperti diburu setan.
Ketika Ku Pin dan isterinya saling berpandangan dengan heran, tiba-tiba seorang penunggang kuda berlari mendatangi.
"Suhu, subo, kalian baik-baik semua?" penunggang kuda itu loncat turun dan tersipu-sipu memberi hormat kepada Ku Pin dan isterinya,
Kiranya dia adalah Un Tang Bing, murid kepala dari Ku Pin. Umurnya baru enambelas tahun tapi ilmu silatnya sudah boleh dibanggakan. Ku Pin tertawa geli karena muridnya digelari 'momok' oleh Kawanan begal tadi. Ia segera suruh Tang Bing ajak Ku hujin naik ke atas kereta dan pulang.
Ternyata setelah melakukan perjalanan beberapa hari, tanpa diketahui kereta mereka sudah tiba di daerah telaga Ang-tik-ou di wilayah So-pak. Tang Bing segera memimpin subonya naik ke atas kereta.
Di hadapan murid sang suami. Ku hujin sungkan bertempur dengan suaminya. Terpaksa ia menurut diajak naik ke kereta oleh Tang Bing.
Tang Bing hendak mempersilakan suhunya naik ke kereta juga, tapi Ku Pin menolak dan naik kuda muridnya itu saja. Dalam perjalanan Tang Bing heran punggung suhunya belur-belur, tapi tak berani bertanya.
"Suhu sudah setahun aku tak melihat suhu. Menurut kata paman Kwee Ciang, suhu juga turut menyerbu ke Wan-ke-cung. Ramai sekali pertempuran di situ, sayang aku tak hadir." akhirnya karena tak tahan Tang Bing buka mulut,
"Jangan membicarakan Wan Thian Cik lagi, tahu!" bentak Ku Pin.
"Bicara saja tentang anak perempuannya!" Ku hujin tertawa mengejek,
Karena wajah suhunya cemberut, Tang Bing tak berani bicara lagi. Tapi lewat beberapa saat kemudian ia menyeletuk lagi: "Suhu, siau-sumoay gemuk dan putih. Kalau tahu kau tentu senang sekali, Tetapi ia amat nakal....."
"Siau-sumoay apa?" tegur Ku Pin.
Tang Bing terbeliak dan tercengang. "Masakan puterinya sendiri suhu sudah tak ingat?" Pikirnya.
Rupanya Ku Pin tersadar, ia tertawa: "Tang Beng, siau-sumoaymu itu kan baru.... tiga bulan umurnya, mengapa nakal?"
Tang Bing mcngiakan: "Ya meskipun baru berumur tiga bulan, tapi tangan dan mulutnya terus bergerak-gerak saja sepanjang hari. Ranjang ayunannya dirusakkan tiap kali harus ganti baru. Paman Kwee Ciang mengatakan, begitu dilahirkan ia sudah bisa bersilat. Suhu dan subo berilmu tinggi siau-sumoay kelak tentu lihay juga. Ai, dia memang kuat benar-benar...."
Ku Pin terpaksa tertawa, begitupun isterinya. Mereka saling berpandangan sejenak dan redalah rasa kemarahan mereka. Ketika Ku Pin menanyakan siapa nama bayi itu, Tang Bing mempersilakan supaya bertanya kepada subonya.
"Hujin, siapa namanya?" Ku Pin bertanya tetapi sang isteri melengoskan mukanya. Ku Pin mengulang lagi dengan ramah: "Hong-ji, beritahukanlah"
Sudah setahun lamanya, Ku hujin tak pernah dipanggil nama kecilnya oleh sang suami. Hatinya terasa sedap namun lahirnya ia masih dingin, sahutnya: "Ia bernama Hui Kun. Entah baik tidak!"
Ku Pin memuji pemberian nama itu: "Ah, sudah setahun lamanya aku tak pulang," katanya.
Memang sejak ia berangkat ke daerah selatan itu, sudah setahun. Sedang Ku hujin sehabis bertempur dengan Wan Hian Kwan lalu pulang beristirahat. Pada waktu Wan-ke-cung diserbu, ia melahirkan seorang anak perempuan, ialah Hui Kun. Dua puluh hari kemudian Ku hujin tinggalkan rumah lagi. Ia hendak mencari suaminya. Ia bersumpah untuk membunuh Hian Kwan dulu, kemudian Ku Pin. Tetapi karena Hian Kwan sudah menikah dengan Ciu Bing, apa boleh buat ia mencari Ku Pin saja ke kota raja. Kebetulan ia datang pada saat suaminya dikepung dalam gedung Ciu Bing. Ia berhasil menolong suaminya dan membawanya pergi. Rencananya ia hendak menyiksa suami bangor itu tetapi tiada terduga berjumpa dengan Tang Bing. Bagaimanapun juga di hadapan sang murid ia tak mau bertengkar dengan suaminya.
Tak sampai setengah hari tibalah kereta mereka di Ang-tik-pang. Markas Ang-tik-pang terdiri dari tiga buah gedung besar. Letaknya di tepi telah Ang-tik-ou. Sebagai wakil pangcu ialah Kwee Ciang. Anakbuah Ang tik-pang berjumlah ratusan. Ku Pin masih punya dua murid, yaitu Un Tang Bing dan Lau Lam Tian. Tang Bing baru berumur enambelas tahun, badannya tinggi besar. Sedang Lam Tian baru empat tahun umurnya.
Pulangnya kedua suami-isteri itu membuat Kwee Ciang terkejut girang! Dia baru berumur tigapuluhan tahun tapi cermat sekali kerjanya. Segera ia siapkan perjamuan untuk merayakan kedatangan pangcu dan kemenangan Ang-tik-pang. Habis menemui anak buahnya, Ku Pin lalu masuk. Ternyata Kwee Ciang pun mengikutinya. Ia menarik pemimpin itu ke ujung yang gelap dan berbisik: "Pangcu, apakah Wan Thian Cik benar-benar sudah mati?"
Ku Pin terkesiap, sahutnya: "Sudah tentu, masakan dia dapat hidup lagi? Ha, mengapa kau tanyakan hal itu?"
"Aku sangsi jangan-jangan dia belum mati. Kalau sungguh sudah mati, barulah kita dapat tidur dengan nyenyak, atau...."
Ku Pin memberi penegasan kalau ia melihat sendiri Wan Thian Cik sudah meninggal. "Kwee Ciang, mungkin kerja berat pikiranmu gelisah. Sebaiknya kau beristirahat dua tiga hari dulu."
"Ah. pangcu tak tahu, Setelah pangcu pergi aku mewakili partai berunding dengan Tan Ping dan Ciau Toa To. Sikap Tan Ping tampaknya plintat-plintut. Ia undang kita berunding ke lain tempat. Habis berunding, pulangnya ketika kutanyakan tentang mayat Wan Thian Cik, ia mengatakan tak tahu. Waktu kutanyakan kepada salah seorang anak buahnya, orang itu menerangkan bahwa mayat Wan Thian Cik dibakar. Bermula aku percaya saja. Tetapi ketika kurenungkan di rumah, aku merasa curiga," kata Kwee Ciang.
Waktu Ku Pin menanyakan, wakil pangcu itu menerangkan bahwa pada waktu menghadiri perundingan, ia melihat Wan Thian Cik menggeletak di salju masih bernapas. Kala itu Tan Ping memberi isyarat pada Tan Hwat. "Kuduga selagi kami berunding, Tan Hwat diam-diam mengangkut pergi Wan Thian Cik," katanya.
"Tan Ping menghendaki kematian Wan Thian Cik, agar dia dapat merajai Thay-ou. Perlu apa dia membawa pulang jago tua itu? Apakah hendak ditolong? Ha, ha, kau mimpi rupanya!"
"Bermula aku juga menghibur diriku dengan pertanyaan-pertanyaan itu, tapi makin kurenungkan makin tebal kecurigaanku bahwa Tan Ping berbuat begitu itu tentu mempunyai maksud tertentu. Pangcu, siapakah yang paling ditakuti Tan Ping? Bukan Ciau Toa To, bukan kau melainkan Ciu Bing dan Wan Hian Kwan. Setiap orang yang turut dilam penyerbuan ke Wan-ke-cuug itu tentu kuatir dan berusaha untuk menghindar diri dari pembalasan Ciu Bing."
Diam-diam Ku Pin tergetar hatinya. Ia akui ketajaman analisa wakilnya itu. Dan kembali Kwee Ciang melanjutkan kata-katanya: "Sudah tentu Tan Ping mempunyai rencana bagus. Dengan membawa pulang orangtua yang setengah mati itu, asal dapat membuatnya jangan sampai mati, pada waktu Ciu Bing mencari balas, Tan Ping akan dapat menjadikan Wan Thian Cik sebagai barang tanggungan untuk menekan Ciu Bing jangan berani turun tangan. Selama Wan Thian Cik masih hidup dan selama itu Tin-tik-pang tentu berdiri langsung serta Tan Ping pun dapat menikmati daerahnya dengan senang. Benar tidak dugaanku itu, pangcu?"
Ku Pin mengangguk. "Jika Tan Ping mati-matian mempertentangkan pembagian daerah, mungkin dugaanku itu tadi beralasan. Tetapi nyatanya dia begitu murah hati. Selain perairan Thay-ou dan wilayah kekuasaan kaum Ku, semua wilayah daratan So-ciu diberikan kepada Ciau Toa To. Sedang Ciau Toa To sendiri telah menduga-duga dan karena itu iapun menunjukkan maksud baik. Sungai Tiangkang sebagai garis kekuasaan. Sebelah utara sungai diberikan kepada Ang-tik-pang kita. Daerah selatan sungai dikuasai oleh Tin-tik-pang dan Ciau Toa To. Kelapangan dadanya itu juga di luar dugaanku," kata Kwee Ciang pula.
"Ada apanya?" tanya Ku Pin.
"Dia sengaja membeli hati orang. Kelak apa bila Ciu Bing datang, dengan tanggungan Wan Thian Cik itu ia akan memutar balikkan urusan, pinjam tangan Cu Bing untuk membunuh Ciau Toa To dan kita. Hmm, tipu muslihatnya itu tak dapat mengelabuhi aku," kata Kwee Ciang.
Ku Pin memuji kecerdasan pembantunya itu. Ku Pin pesan agar Kwee Ciang jangan mengatakan hal itu pada lain orang. Ku Pin suruh pembantunya keluar dan setelah memikirkan rencana ia lalu masuk ke dalam. Isterinya sedang memangku bayi Hui Kun dan di sekeliling bangku tampak tiga orang anak: Tang Bing, Lam Tian dan Hong Lu. Lam Tian berkulit hitam dan pendiam, sedang Hong Lu beroman cakap dan mulutnya lincah bicara. Begitu melihat Ku Pin, Hong Lu berdiri dan menghaturkan selamat. Tapi Ku Pin melihatnya dingin-dingin saja.
Waktu Ku Pin melihat meja makan penuh dengan kuah dan hidangan bakso tinggal beberapa biji, masakan sarang burung habis, ia mendengus, "Kalian membuat meja makan ini menjadi medan perang, bukan?"
Ketiga anak itu saling berpandangan tak berani menyahut. Hong Lu melirik pada Ku hujin seperti hendak minta bantuan. Nyonya itu hanya tertawa saja.
"Kurang ajar, aku belum datang kalian berani makan dulu? Siapa yang memulai lebih dulu, Tang Bing ayo bilang!'' Ku Pin menggebrak meja.
"Suhu, lain kali murid tak berani," Tang Bing gemetar tubuhnya.
"Siapa suruh kau tak berani, aku kan hanya minta kau supaya memberitahukan," bentak Ku Pin.
Tang Bing makin menggigil. Sampai lama ia tak dapat berkata.
Ku hujin tertawa dingin, "Kau paling besar tapi nyalimu paling kecil. Sudah berani menghina orang mengapa tak berani mengadu pada suhumu? Bilanglah, suhumu tentu lebih sayang padamu!"
"Suhu, hal ini muridlah yang bersalah...."
"Apanya yang bersalah? Kau menghina Hong Lu, cari perkara sendiri, takut apa?" bentak Ku hujin.
Tang Bing mengkeret nyalinya. Dari kata2 sang isteri, Ku Pin dapat menduga siapa yang bersalah. Ia memandang jemu pada Hong Lu dan makin besarlah rasa kebenciannya terhadap anakkitu. Pikirnya: "Anak haram ini pintar, orang suka kepadanya. Kelak Kalau sudah besar ia tentu membahayakan. Baiklah sekarang kuberinya pelajaran."
Ia minta Lam Tian mengatakan siapa yang berbuat dan Lam Tian yang masih berumur empat tahun, segera berkata: "Suhu, kami hendak bermain-main, apa kau suka melihatnya?"
Ku Pin mengiakan: "Boleh, asal tak kelewat batas, akupun takkan menyalahkan."
Kiranya tadi karena Ku Pin terlalu lama, Lam Tian bertanya kepada Ku hujin apakah boleh makan dulu.
"Lam Tian jangan kurang ajar!" seru Hong Lu.
"Aku toh tanya pada subo, tidak padamu. Apa kau tak malu?" sahut Lam Tian.
"Subo tentu tak boleh, percuma kau tanya," masih Hong Lu tak mau kalah.
"Siapa yang minta kau turut campur, anak liar? Kau bukan anggota keluarga Ku, bukan murid suhu dan suboku. Sudah tak malu duduk di sini maaih berani memaki orang." Tang Bing menyeletuk.
Dimaki anak liar, marahlah Hong Lu: "Tang Bing, kau memaki aku?"
Memang Tang Bing tak senang kepada Hong Lu. Ia iri hati karena orang-orang menyukai Hong Lu. Ia menunggu kesempatan dan sekarang tibalah waktunya. Ia tertawa mengejek: "Apa kau bukan anak liar? Ha, ha, coba katakan siapa ayah dan ibumu! Apa kau tahu?"
Memang kecuali dua orang, seluruh anak buah Ang-tik-pang tak ada yang tahu asal usul Hong Lu. Tiada seorangpun yang mengira bahwa dia ternyata anak dari Ku Hujin dengan It Yap Tojin. Saking marahnya Hong Lu lemparkan hidangan sarang burung. Karena tak menduga, Tang Bing basah kuyup pakaiannya.
"Anak liar, keluarlah!" serunya sambil loncat keluar dan hendak mencabut senjata. Tetapi tiba tiba ia disambar suatu tenaga kuat hingga tak dapat berkutik. "Subo, dia...."
"Boleh Saja kalau mau berkelahi, tapi di meja sini jangan keluar," kata Ku hujin.
"Ah, toa-suko. mari kita makan, jangan berkelahi," kata Lam Tian. Tapi Tang Bing tak menghiraukan. Ia menjemput sebutir bakso dan dijentikkan ke arah Hong Lu.
Hong Lu ngangakan mulutnya menyambut: "Anak baik ini!" Sedang tangan kirinya mematahkan sebuah sendok dari tanah. Kutungan sendok tanah itu ditusukkan ke sebutir bakso lalu berseru: "Tang Bing, apa kau berani menyambut! bakso ini dengan gigimu"
"Mengapa tidak?" Tang Bing menghinanya.
Hong Li timpukkan bakso bertusuk sendok itu ke mulut Tang Bing. Tang Bing tak tahu kalau Hong Lu mau main gila, sebaliknya Lam Tian tahu. Buru-buru ia memperingatkan toa-sukonya sambil angkat sumpit untuk menyambut. Tapi karena tangannya pendek, ia tak keburu menolong. Tang Bing miringkan kepalanya.
"Plak" bakso tepat mengenai pipinya. Pecahan sendok tanah tadi menggurat luka mukanya.
Saking marahnya Tang Bing memukul. Ia yakin tentu menang dengan anak kecil yang baru berumur enam tahun itu. Tapi begitu Hong Lu dorongkan tangannya, tangan Tang Bing yang tergetar.
"Bagus, Hong Lu, tambahi tenagamu," Ku hujin tertawa gelak-gelak.
Tang Bing makin penasaran. Dan terjadilah perang kecil. Lam Tian membantu toa-sukonya. Hidangan dan mangkuk piring morat marit diatas meja. Melihat Hong Lu menang angin, Ku hujin tertawa gelak-gelak. Pertempuran itu baru berhenti ketika Ku Pin datang.
Habis mendengar keterangan Lam Tian, Ku Pin memandang Tang Bing dengan marah.
Ku hujin tertawa: "Tang Bing, Hong Lu, apa kalian masih mau berkelahi lagi? Jangan takut, berkelahilah baik-baik supaya dinilai suhumu, siapa yang lebih unggul."
Tang Bing dan Hong Lu tak berani bicara. Kata hujin pula: "Tang Bing, siapa yang lebih baik kepandaiannya?"
Tang Bing merah mukanya dan menjawab kalau Hong Lu lebih tinggi sedikit.
"Apa besok kau masih berani menghinanya lagi anak haram?" tanya Ku hujin.
Tang Bing diam saja. "Kau berani tak menyahut? Besar sekali nyalimu yaa?"
"Plak...." Ku hujin menampar muka Tang Bing hingga anak itu berkunang-kunang matanya. Ia menangis dan meneriaki suhunya.
Ku Pin tahu kalau isterinya memang selalu membela Hong Lu. Dengan menampar Tang Bing, Ku hujin hendak menumpahkan kemarahan terhadap Ku Pin. Ia tahu pula sekali diladeni nyonya itu tentu tak mau sudah. Dan yang menderita tentu Ku Pin sendiri. Terpaksa ia diam saja dan suruh ketiga anak itu masuk tidur.
Waktu ketiga anak itu berbangkit, Ku hujin melesat ke muka Tang Bing dan membentaknya: "Tang Bing, kau masih berani memakinya anak liar atau tidak?"
Karena suhu yang diharapkan bantuannya tak berani, terpaksa Tang Bing mengatakan tidak berani menghina Hong Lu lagi.
"Hong Lu, jika kelak kedua setan cilik ini berani menghinamu, pukul saja. Jika perlu boleh ditusuk. Kalau suhunya tak terima, beritahukan padaku," kata Ku hujin.
Ku Pin tak tahan lagi. Ia menggebrak meja: "Hujin, apa artinya itu? Mereka adalah murid mu, apakah kau sengaja hendak mengadu mereka berkelahi?"
"Siapa suruh kau menganjurkan memaki anak liar pada Hong Lu?" Ku hujin tak kurang sengitnya.
"Kapan aku menganjurkan? Ha, apa kau bukannya hendak cari perkara padaku?'' Ku Pin merah padam.
Dewi Ular 3 Our Story Karya Orizuka Belalang Kupu Kupu 22
^