Pencarian

Dari Mulut Macan Ke Mulut 2

Dari Mulut Macan Ke Mulut Buaya Karya Stefanus Sp Bagian 2


teman-temannya, lalu secara ringkas menceritakan apa yang terjadi di Seng-tin.
Wong Lu-siok geleng-geleng kepala dengan
sikap prihatin mendengar penuturan itu,
komentarnya. "Kalau didengar dari ceritamu
itu, penduduk Seng-tin pastilah orang-orang
yang tidak memiliki perlindungan suci, sehingga
Mulut Macan 2 54 mudah saja kotanya diambil alih oleh kawanan
orang jahat itu. Benar tidak?"
"Perlindungan suci?" Ek Yam-lam berempat
terlongong. "Atau lebih tepat, Pelindung Suci.
Maksudku, dewa atau dewi yang dipuja dengan
sungguh-sungguh di kota kalian, yang akan
memberkati dan melindungi kalian. Benar
tidak?" Ek Yam-lam berempat menarik napas dan
menunduk, dan sikap mereka sudah merupakan
jawaban "ya" bagi Wong Lu-siok. Namun Giam
Lok masih mencoba membela kotanya, "Biarpun
kami tidak memiliki kuil dewa atau dewi
tertentu, namun berpuluh-puluh tahun kami
hidup tenteram, sejak kakek-kakek kami. Baru
kali ini ada kejadian seperti ini...."
Wong Lu-siok menjawab dengan sabar.
"Hidup rukun damai saja tidak cukup untuk
menangkal kekuatan-kekuatan jahat yang
bertaburan di langit. Kekuatan-kekuatan jahat
yang sering memperalat manusia-manusia yang
Mulut Macan 2 55 lemah batinnya untuk menjadi alatnya dalam
menyengsarakan umat manusia."
Gaya Wong Lu-siok benar-benar meyakinkan, membuat keempat pemuda di
depannya amat kagum. Tanya Ek Yam-lam.
"Tadi Tuan berhasil mengusir sihir yang jahat
menyiksa kami, apakah Tuan ini juga... ahli ilmu
gaib?" Wong Lu-siok mengangguk. "Benar. Ilmu
gaib putih. Ilmu gaib untuk kebenaran. Kami
orang-orang dari Bukit Buaya Putih mengemban amanat dari langit untuk
membebaskan bumi dari pengaruh jahat para
siluman dan kaki tangannya."
"Tentunya Tuan punya pelindung suci?"
"Tentu. Yang, kami puja adalah Ibunda Ratu
Langit yang juga disebut Ibu Abadi Tak Berasalusul, atau disebut juga ibu dari sebagian besar
dari keyakinan-keyakinan agama di muka bumi
ini, pelindung semua tempat ziarah keagamaan,
pemberi berkat semua jubah keagamaan."
Ek Yam-lam berempat begitu terpesona
oleh kata-kata Wong Lu-siok, apalagi mereka
Mulut Macan 2 56 sudah membuktikan bahwa pengembara suci
dari Bukit Buaya Putih ini mampu mematahkan
ilmu hitam Beng Hek-hou tadi.
"Tuan Wong, maukah Tuan menolong kota
kami yang sedang dikuasai orang-orang jahat?"
tanya Ek Yam-lam. "Tentu saja. Itu tugas mulia kami. Dan kami
sudah dibekali ilmu gaib para dewa untuk
menaklukkan siluman-siluman."
"Dan maukah Tuan mengajarkan ilmu gaib
putih Tuan kepada kami, agar kami dapat
melindungi kota kami?" tanya Lui Kong-sim
bersemangat. Kembali Wong Lu-siok mengangguk,
"Memang menyebarkan ajaran dari Bukit Buaya
Putih ke seluruh bumi adalah tugas utama kami.
Ibunda Ratu Langit pernah memberitahu kami
lewat mimpi bahwa di jaman terakhir nanti,
Agama Ratu Langitlah yang akan menjadi agama
terbesar di bumi, menyatukan agama-agama
lainnya!" "Bukan ajarannya, Tuan Wong, tetapi
kemampuan gaibnya untuk menangkal ilmu
Mulut Macan 2 57 gaib jahat!" bantah Lui Kong-sim. Ek Yam-lam
cepat-cepat menyikut temannya itu, kuatir katakata Lui Kong-sim menyinggung Wong Lu-siok.
Alis Wong Lu-siok memang berkerut
sebentar, katanya, "Ajaran dan ilmu gaibnya
tidak bisa dipisahkan. Aku memang bersedia
mengajari kalian ilmu-ilmu dari Bukit Buaya
Putih seperti : menuliskan huruf-huruf suci
penangkal pengaruh jahat, meramal masa
depan, berkomunikasi dengan mahluk-mahluk
suri di langit dan bahkan memohon mereka
masuk ke tubuh kalian sehingga kalian
mendapat kekuatan luar biasa, tetapi kalian
juga harus bersedia menerima ajaran kami,
ajaran suci yang akan meningkatkan derajat
manusia." "Aku bersedia!" sahut Ek Yam-lam. Ia bicara
untuk dirinya sendiri, tidak mewakili temantemannya,
membiarkan teman-temannya mengambil keputusan sendiri-sendiri.
"Aku juga!" kata Lui Kong-sim dan Yao
Kang-beng hampir bersamaan, meski sudah
ditebak kalau kedua orang anak muda berdarah
Mulut Macan 2 58 panas itu tentu lebih tertarik kepada ilmu
gaibnya daripada ajaran-moralnya.
Tinggal Ciam l_ok yang belum bersuara, ia
masih ragu-ragu mendengar tentang "memohon
mahluk - mahluk suci di langit agar memasuki
tubuh" itu, apakah itu berarti kesurupan? Dan
ketika Wong Lu-siok serta ketiga teman Gian
Lok menatapnya menantikan keputusan-nya,
Ciam Lok pun cuma menyahut. "Aku... lihat-lihat
dulu." Lui Kong-slm geleng-geleng kepala. "Ah,
Kakak Lok ini, keadaan sudah mendesak begini
kok masih pikir-pikir lagi, apa lagi yang dipikirpikir?"
Giam Lok memilih tidak menjawab daripada
bertengkar, meskipun Wong Lu-siok nampak
heran juga. Tawaran sehebat itu agaknya belum
langsung bisa menarik minat Giam Lok.
Tiga serangkai pengembara, Liu Yok, Siau
Hiang-bwe alias A-kui dan Cu Tong liang, dalam
perjalanan malam itu menginap di sebuah desa
kecil di bagian utara Propinsi Se-cuan. Mereka
menginap di rumah penduduk. Semalam Siau
Mulut Macan 2 59 Hiang-bwe tidur di dalam, sedangkan Liu Yok
dan Cu Tong-liang harus rela tidur di bekas
kandang yang dibersihkan.
Tetapi pagi-pagi benar, sebelum keluarga
Tuan rumah-rumah bangun, Siau Hiang-bwe
sudah berada di bekas kandang itu untuk
menjumpai Liu Yok. Siau Hiang-bwe tahu
kebiasaan Liu Yok yang biasa bangun jauh lebih
pagi dari itu untuk menikmati hubungan akrab
dengan Penciptanya. Ketika Siauw Hiang-bwe memasuki bangunan setengah terbuka bekas kandang itu,
sambil membawa buku yang dipinjamnya dari
Liu Yok, maka ia melihat Liu Yok sudah bangun
dan duduk di atas sebuah tong anggur yang
kosong, sementara Cu Tong-liang masih tidur
pulas di atas hamparan jerami
Melihat Siau Hiang-bwe, Liu Yok menyambut. "Ada apa, A-kui?"
Gadis itu duduk di tong anggur lainnya di
depan Liu Yok, membuka buku yang dipinjami
Liu Yok itu pada halaman yang sudah
ditandainya dengan sebatang lidi. "Kakak Yok,
Mulut Macan 2 60 aku tidak memahami apa yang aku baca pagi
ini." "Yang mana?" Pagi masih gelap dan tidak memungkinkan
untuk membaca, tetapi Siau Hiang-bwe
membawa sepotong lilin yang lalu dinyalakannya, untuk membaca, "Yang ini,
Kakak Yok, coba dengarkan. Aku melawanmu,
hai buaya yang tidur di tengah sungai-sungai,
yang mengaku memiliki dan membuat sungaisungai itu' Nah, Kakak Yok, siapakah si Aku
yang melawan buaya itu, dan siapakah buaya
itu?" "Aku dalam buku itu ialah Sang Maha
Pencipta sendiri, pemberi ilham buku
kesayangan kita ini."
"Lalu, buaya itu?"
"Aku ingin bicara lebih dulu tentang ?sungaisungai' itu. Sungai-sungai itu adalah aliranaliran anugerah, aliran belas kasihan, aliran
wahyu dan ilham murni yang memancar dari
hati Sang Pencipta sendiri, untuk umat manusia,
jenis mahluk yang paling beruntung Mulut Macan 2 61 memperoleh kasih sayang-Nya dan perhatianNya. Sungai-sungai itu menghidupkan kita,
sebab...." Siau Hiang-bwe pamer hapalannya yang
sudah lumayan. "... sebab kita hidup bukan dari
makanan jasmaniah melainkan oleh sabdaNya."
Liu Yok mengangguk sambil tertawa.
"Bagus, kau hapal, tetapi apa paham juga?"
"Pahamnya menunggu dijelaskan Kakak
Yok." "Mudah saja, manusia kita yang sejati, yang
di dalam, hidup dengan berada pada aliranaliran sungai tadi, artinya akrab dengan Sang
Pencipta. Sedang wadah dari manusia sejati ini,
bisa berfungsi dan terpelihara dengan makan
minum kita sehari-hari."
"Ya aliran-aliran tadi seperti sungai-sungai
yang menghidupkan kita. Tetapi kenapa ada
buayanya yang berbaring di tengah-tengah
sungai-sungai kehidupan itu?"
"Mahluk berujud buaya itu punya dua
tujuan. Pertama, mengakui dirinya sebagai
Mulut Macan 2 62 penguasa dan pembuat sungai-sungai kehidupan itu, agar umat manusia berterima
kasih kepadanya dan bahkan menyembahnya.
Kedua, si buaya ingin mengeruhkan sungaisungai itu agar manusia makin kabur mengenali
isi hati Pencipta mereka. Aliran anugerah dikerahkan dengan usaha-usaha manusia menjadi
sempurna dengan kekuatannya sendiri, bukan
dengan anugerah-Nya. Aliran belas kasihan
dicampur-aduki dengan sikap menilai dan
menuntut untuk memenuhi ukuran-ukuran
kebajikan tertentu, baik menuntut diri sendiri
maupun orang lain. Aliran ilham dikeruhkan
dengan ilham-ilham dari mahluk itu sendiri
kepada manusia, mengilhamkan apa-apa yang
sebenarnya tidak berasal dari Sang cipta."
Liu Yok mengambil buku itu dari tangan
Siau Hiang-bwe, membukanya berapa halaman
di belakang, lalu membacanya. "Dengar ini, Akui, ini masih tentang si buaya itu. Kau meniru
singa muda di antara bangsa-bangsa, tetapi
engkaulah buaya yang datang ke sungai-ngai itu
untuk mengeruhkannya dengan kaki-kakimu."
Mulut Macan 2

Dari Mulut Macan Ke Mulut Buaya Karya Stefanus Sp di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

63 Siau Hiang-bwe membalik ke beberapa
halaman di depan, kembali ke bacaan semula,
dan membaca, "Aku hendak mengait rahangmu
dan ikan-ikan sungai yang melekati sisikmu,
akan kukeluarkan kau dari sungai-sungai-Ku
dan Ku-buang ke padang gersang."
"Ikan-ikan sungai menggambarkan jiwajiwa manusia yang mengagumi dan melekat
kuat kepada si buaya."
Bersambung jilid III Sumber Image : Koh Awie Dermawan
first share in Kolektor E-book
Pringsewu 7/08/2018 10 : 37 AM
Mulut Macan 2 64 Mulut Macan 3 1 JILID III * Karya : STEVANUS S.P. pelukis : WIDODO Percetakan & Penerbit
CV "G E M A" Mertokusuman 761 RT 02 RW VII
Telp 35801 - SOLO 57122 Mulut Macan 3 2 Mulut Macan 3 1 Dari Mulut Macan ke Mulut Buaya
Karya : STEFANUS S.P. Jilid III K ENAPA ada manusia yang mengagumi
mahluk jahat yang mengeruhkan aliranaliran kehidupan itu?"
"Karena buaya itu tampil elok dan
mempesona di hadapan manusia-manusia yang
dibutakan mata hatinya. Baca saja tulisan
berikutnya." dengan ujung jarinya Liu Yok
menunjuki Siau Hiang-bwe. "Engkau seperti
pohon getah wangi yang indah, bercabang
rimbun, berbatang lurus, berpuncak sampai ke
awan. Lihat, A-kui, gambaran seindah ini mudah
menarik jiwa manusia, bukan?"
"Ya, Kakak Yok, tetapi diperingatkan di buku
: jiwa-jiwa yang melekat kepada mahluk penipu
ini akan dibuang bersama si mahluk ke padang
Mulut Macan 3 2 gersang. Jiwanya dalam kegersangan, begitu,
Kakak Yok?" "Benar."
Siauw Hiang-bwe membaca terus, "... tak
ada yang mempedulikan bangkaimu, dan Kuberikan dagingmu untuk hewan-hewan padang
belantara dan unggas-unggas liar."
"A-kui, bayangkan bangkai atau daging mati.
Pengertian apa yang kaudapatkan?"
"Sesuatu yang tadinya hidup, tetapi tidak
lagi hidup." "Itulah keadaan jiwa-jiwa yang tertipu oleh
si Duaya." Siau Hiang-hwe merenung, menutup kitab
pinjaman itu dan menyodorkannya kepada Liu
Yok. "Terima kasih, Kakak Yok. Sebentar lagi
fajar terbit dan kita harus melanjutkan
perjalanan." Ketika itulah Cu Tong-liang terdengar
berkerot-kerot giginya dalam tidur, dan
berbicara dalam tidurnya. "Tuan rumah sudah
menyediakan sarapan belum?"
Mulut Macan 3 3 Liu Yok dan Siau Hiang-bwe sama-sama
tertawa. * ** Mata warga Seng-tin yang sedang berada di
pasar itu serempak terbelalak kaget, ketika
melihat Lui Kong-sim dan Yao Kang-beng
muncul di pasar itu, di siang hari bolong, sambil
memanggul tombak mereka. Bersama Ek Yamlam dan Giam Lok, mereka adalah empat
buronan yang menggusarkan Beng Hek-hou.
Banyak orang Seng-tin percaya, setelah
menghilang beberapa hari dari Seng-tin, para
buronan itu mungkin sudah mati di padang
belantara. Mati oleh kutuk sihir yang
dilontarkan Beng Hek-hou yang sudah
membuktikan kehebatannya.
Kini, orang-orang yang disangka mati itu,
dua di antaranya muncul segar-bugar di depan
mata mereka. Siang hari bolong. Padahal
Mulut Macan 3 4 anggota-anggota gerombolan selalu meronda
seluruh pelosok kota dengan ketat.
Liu Kong-sim tertawa dan berkata kepada
orang-orang yang memandangnya. "Kenapa
kalian memandang kami berdua seperti melihat
hantu? Kalian pikir kami sudah mati karena Si
Penyihir keparat itu menghendaki kami mati?
He-he-he, sekarang di depan mata kalian ada
bukti bahwa Si Keparat itu bukan yang
menentukan segala-galanya, bahkan kehancurannya sudah dekat!"
Orang-orang di pasar itu yang nyalinya kecil
segera menyingkir pergi, tidak mau terlibat
sedikit pun kalau sampai kedua pemuda itu
dipergoki anggota-anggota gerombolan. Yang
sedikit lebih berani, berusaha membujuk agar
Lui Kong-sim dan Yao Kang-beng cepat-cepat
enyah. Janda Joan, calon mertua Lui Kong-sim,
cepat-cepat meninggalkan kue-kue dagangannya untuk mendekati Lui Kong-sim
sambil berkata. "Syukurlah kau selamat dan
tidak gila, A-sim. Kata beberapa anggota
Mulut Macan 3 5 gerombolan, kau dan teman-temanmu kalau
tidak mati pastilah jadi gila kena santet
pemimpin mereka." "Ternyata tidak benar, kan?"
"Syukurlah kau tidak kurang suatu apa pun,
teman-temanmu bagaimana?"
Lui Kong-sirn yang berdarah panas itu sulit
menahan rahasia. "Kami berempat selamat
semuanya, bahkan sedang mempelajari ilmu
dewa-dewa untuk membebaskan kota ini. Itulah
sebabnya kukatakan tadi bahwa Si Bandit itu
sudah dekat saat kehancurannya!"
Beberapa orang di pasar itu sedikit percaya
akan omongan Lui Kong-sim, dan ada setitik
harapan timbul. Ya, kalau bandit-bandit yang
menguasai kota itu dibantu mahluk-mahluk
gaib yang jahat, rasanya untuk bisa mengusir
mereka memang perlu bantuan dewa-dewa.
Namun orang-orang di pasar itu tetap kua-tir
kalau sampai Lui Kong-sim berdua kepergok
para anggota gerombolan. Janda Joan kemudian berkata. "Baiklah,
kami lega mendengar kalian berempat selamat,
Mulut Macan 3 6 tetapi cepat-cepatlah pergi dari sini. Jangan
sampai ditemui oleh bandit-bandit itu."
"Kalau ditemui mereka, memangnya lalu
kenapa, Bibi Joan??" sahut Yao Kang-beng
angkuh. Sedangkan Lui Kong-sim berkata. "Kami
memang tidak mungkin lama-lama di kota ini,
tetapi sebelum kami pergi, kami ingin
melakukan sesuatu." "Apa?" "Menghajar, pengkhianat." sahut Lui Kongsim sambil melangkah ke ujung pasar, ke
sebuah warung yang menjual rempah-rempah
dan bumbu-bumbu. Warung itu kepunyaan
Pang Se-bun yang pernah memimpin orangorang kota hendak menangkap Ek Yam-lam
berempat. Pang Se-bun yang sedang berada di dalam
warungnya, terkejut ketika melihat Lui Kongsim dan Yao Kang-beng berdiri di luar
warungnya sambil menantang. "Pang Se-bun!
Keluar untuk mempertanggungjawabkan perbuatanmu!" Mulut Macan 3 7 Pang Se-bun yang juga bekas murid Ciu
Koan, meskipun sekarang usianya sudah hampir
tiga puluh lima tahun dan latihannya mulai
kendor, tanpa ragu-ragu mengambil tombaknya
yang disandarkan di dinding warungnya, dan
melangkah keluar. "Saudara Lui, Saudara Yao, perbuatan jahat
apa yang harus kupertanggungjawabkan?"
"Kau berlagak tidak bersalah ya? Kau dan
beberapa pengkhianat lainnya pernah hendak
menangkap kami untuk diserahkan kepada
gerombolan! Bukankah itu berarti kau sudah
menjadi kaki tangan mereka?"
"Aku harus menyelamatkan warga yang
tidak bersalah dari balas dendam Beng Hekhou. Kalian berani berbuat tetapi setelah itu lalu
bersembunyi, akibatnya warga kotalah yang
jadi korban kemarahan mereka!"
"Pengecut! Sifat pengecutmu itu membuat
kau tidak dapat memahami tindakan kami yang
bertujuan membangkitkan keberanian warga
kota! Kami ingin menunjukkan bahwa banditbandit itu pun dapat dibunuh! Tetapi kau
Mulut Macan 3 8 bukannya jadi berani, malah hendak menangkap kami!" "Karena aku tidak seberani kalian, yang
berani bertindak berani bertanggung jawab
juga!" sindir Pang Se-bun. "Kalau karena itu kau
ajak aku berkelahi, ayolah!"
Hampir saja murid-murid Ciu Koan itu
saling hantam di pinggir pasar itu. Namun tibatiba kelihatan orang-orang lari berhamburan
untuk bersembunyi, karena munculnya dua
orang anggota gerombolan Beng Hek-hou.
Dalam waktu singkat, pasar menjadi sepi.
Kedua anggota gerombolan itu mendekati Lui
Kong-sim dan Yao Kang-beng sambil berkata.
"Ini rupanya cecunguk-cecunguk yang berani
membunuh kawan kami! Kau pasti membunuh
kawan kami dengan sergapan licik, sebab tanpa
sergapan model pengecut kalian, kalian pasti
takkan mampu berhadapan dengan kawan
kami. Tetapi kali ini di bawah sinar matahari
yang terang-benderang, di depan mata orangorang Seng-tin, akan kami cincang kalian agar
kalian tahu siapa kami!"
Mulut Macan 3 9 Liu Kong-sim dan Yao Kang-beng yang
sudah sedikit "dibekali" oleh Wong Lu-siok itu
pun tidak gentar. Mereka beralih, tidak lagi
menghadapi Pang Se-bun, melainkan menghadapi kedua bandit itu.
"Kamilah yang akan membunuh kalian,
untuk membuka mata warga seluruh kota ini
bahwa ilmu siluman kalian tak berdaya
menghadapi ilmu ajaran para dewa! sahut Lui
Kong-sim garang. Kedua bandit itu tertawa. "He, anak kencur,
siapa mendongengi kalian tentang dewa-dewa
segala?" Lui Kong-sim tidak mau bertele-tele lagi,
ujung tombaknya tiba-tiba meluncur deras
hendak menikam wajah bandit itu. Si Bandit
yang bersenjata tiat-koai (tongkat besi),
melompat mundur selangkah dengan agak
kaget. Namun kemudian dia menjadi gusar,
ketika Lui Kong-sim menusuk pula, dia berkelit
sambil mencoba menghantamkan tongkat
besinya ke pelipis Lui Kong-sim.
Mulut Macan 3 10 Dengan demikian, pertarungan pun dimulai.
Dua murid Ciu Koan dan dua bandit, dua lawan
dua. Yoa Kang-beng berhadapan dengan bandit
yang bersenjata golok bertangkai panjang.
Gebrak demi gebrak berlangsung hebat,


Dari Mulut Macan Ke Mulut Buaya Karya Stefanus Sp di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kedua pihak sama-sama bernafsu untuk
menghabisi lawan secepat-cepatnya, namun
kedua pihak juga sama-sama terbentur
kenyataan bahwa lawan tak mudah ditundukkan begitu saja. Senjata-senjata mereka berbenturan dan
bersambaran sengit. Barang-barang di pasar itu
jadi porak-poranda. Makanan-makanan, sayursayuran, buah-buahan, keranjang-keranjang,
barang-barang gerabah. Ternyata ketangkasan kedua orang murid
mendiang Ciu Koan itu sekian lama dapat
menandingi ketangkasan anggota-anggota gerombolan yang berpengalaman luas itu.
Setelah sekian lama tak juga bisa
menundukkan "anak bawang" itu, kedua bandit
itu makin gusar dan malu, juga kuatir kalau
Mulut Macan 3 11 warga Seng-tin melihat itu maka keberanian
warga kota akan bangkit. Namun bersamaan dengan meluapnya
kemarahan bandit-bandit, suatu kekuatan asing
yang bersembunyi dalam lubuk jiwa banditbandit itu pun pelan-pelan dibangkitkan dari
tidurnya. Suatu kekuatan yang diisikan oleh
Beng Hek-hou kepada setiap anak buahnya
setiap kali ada orang bergabung dengan
gerombolannya. Kekuatan asing yang memiliki
kepribadian sendiri yang berbeda dengan
kepribadian orang yang "ditumpangi"nya.
Apabila kekuatan asing itu bangkit, kepribadian
asing pun mendesak kepribadian orangnya,
bukan hanya menguasai jiwa, bahkan kadangkadang mengakibatkan perubahan jasmaniah
dan tingkah laku. Begitulah, lawan Lui Kong-sim dalam
pertarungannya mulai sering menjerit seperti
kera, juga gerak-geriknya, lompatanlompatannya tambah berbahaya.
Kalau semula Lui Kong-sim dapat
mengimbanginya dengan permainan tombakMulut Macan 3
12 Senjata-senjata mereka berbenturan atau
bersambaran sengit. Barang-barang di pasar
itu jadi porak-poranda Mulut Macan 3 13 nya, kini Lui Kong-sim mulai terdesak karena
berkali-kali menghadapi gerakan lawan yang
tak terduga. Gerakan yang mirip monyet. Selain
itu, lengkingan lengkingan tajam lawannya
terasa makin menyakitkan telinga dan serasa
menusuk-nusuk di pikiran.
Lui Kong-sim didesak sampai keluar dari
kawasan pasar itu dan sekarang bertempur di
sebuah gang. Sekuat tenaga Lui Kong-sim
bertahan, mengerahkan segala kemampuannya.
Tetapi tetap saja dia kewalahan menghadapi
monyet jadi-jadian ini. Mulanya Lui Kong-sim menganggap
lawannva itu sekedar berlagak demikian,
namun ketika ia memperhatikan awannya
sambil terus bertempur, Lui Kong-sim mulai
dirambati perasaan gentar di hatinya. Sebab
menurut pandangannya, lawannva itu pelanpelan seperti berubah menjadi seekor kera
sebesar manusia. Lengannya bertambah
panjang dan berbulu, lengan yang memegang
tongkat besi tetap berbahaya, sedang yang tidak
memegang tongkat besi pun berbahaya dengan
Mulut Macan 3 14 cakaran-cakaran monyetnya yang memanjang.
Dan setiap kali memekik, terlihat taring monyet
dalam mulutnya. Tubrukan-tubrukannya ganas
dan berbahaya, bahkan ternyata kemudian
kulitnya juga kebal. Ketika suatu kali ujung
tombak Lui Kong-sim berhasil dengan telak
mengenai perutnya, ternyata tidak menghasilkan luka seujung rambut pun!
Lui Kong-sim yang suka gembar-gembor
memamerkan keberaniannya, sekarang nyalinya mulai berkerut. Kalau dalam
perkelahian, lawannya lebih tangkas darinya
karena dirasuki siluman monyet, juga tak
mempan oleh ujung tombaknya, lalu harapan
apa yang tersisa buat pihaknya sendiri?
Lui Kong-sim coba melirik ke rekannya, Yao
Kang-beng yang bertempur belasan langkah
darinya, dengan harapan siapa tahu Yao Kangbeng lebih baik keadaannya sehingga dapat
diharapkan bantuannya. Ternyata Yao Kangbeng malah lebih parah darinya.
Siluman yang "mengambil alih" tubuh lawan
Yao Kang-beng agaknya adalah siluman ularMulut Macan 3
15 Cara bertempur orang itu jadi meliuk-liuk mirip
ular, dengan golok bertangkai panjangnya ia
jadi amat menyulitkan Yao Kang-beng. Apalagi
lawan Yao Kang-beng ini juga kebal, dan ada
satu kelebihan yang tidak dimiliki lawan Lui
Kong-sim, yaitu dia sering menyemburkan uap
beracun dari mulutnya. Benar-benar telah
menjadi manusia ular. Maka Yao Kang-beng bertempur dengan
kepala pusing dan perut mual karena pengaruh
uap beracun itu. Ia hanya bertahan saja, tak
bersemangat lagi untuk balas menyerang, sebab
kena tubuh lawan pun akan percuma.
Baik Lui Kong-sim maupun Yao Kang-Deng
diam-diam menyesal juga bahwa mereka hanya
menuruti dorongan darah panas mereka, tanpa
mempedulikan nasihat Giam Lok.
"Ternyata bukan Beng Hek-hou saja yang
pintar sihir, tetapi dia juga menjadikan semua
anak buahnya jadi mahluk jadi-jadian." pikir Lui
Kong-sim. Dalam keadaan terjepit itu, Lui Kong-sim
tiba-tiba memperoleh sebuah ingatan, lalu
Mulut Macan 3 16 mulutnya berkemak-kemik, Mahluk-mahluk
suci yang diceritakan oleh Wong Lu-siok, kalau
kalian benar-aenar ada, masuklah ke tubuhku.
Pakailah tubuhku untuk menghancurkan
budak-budak siluman ini."
Ia berdoa sembarangan saja dan sekedar
untung-untungan, tak terduga tiba-tiba ada
semacam udara dingin mengaliri tubuhnya, lalu
dalam angan-angannya muncul gambaran
seorang lelaki gagah berdandan seperti
panglima perang jaman kuno membawa
tombak. Dalam waktu sekejap, bayangan itu
lenyap, rasanya seperti melebur ke dalam jiwa
dan raga Lui Kong-sim. Lalu sepasang lengan Lui Kong-sim
bergetar, tahu-tahu dia sudah memainkan
beberapa jurus tombak yang belum pernah
dipelajarinya. Pikiran sehat Lu Kong-sim
sempat merasa heran sendiri, Jurus itu sulit,
kalau dilatih untuk dimahirkan dengan cara
wajar, barangkali akan perlu berbulan-bulan.
Tetapi sekarang Lui Kong-sim tiba-tiba
Mulut Macan 3 17 menguasai nya dan menggunakannya dengan
mahir begitu saja. "Kalau begini caranya, begini mudah, dalam
waktu singkat aku bisa menjad pendekar ulung
tanpa susah-susah latihan...." pikir Lui Kong-sim
girang. Kegirangan Lui Kong-sim adalah "sambutan
selamat datang" yang sehangat-hangatnya buat
mahluk gaib berujud panglima perang jaman
kuno itu. Sambutan untuk mengambil-alih jiwa
dar raga Lui Kong-sim sepenuhnya. Kini
kesadaran Lui Kong-sim pun tiba-tiba terasa
tenggelam, seperti kantuk yang hebat
menyerangnya. Tetapi ketika kesadaran akan
diri sendiri lenyap, tubuh Lui Kong-sim justeru
bergerak dahsyat dengan tombaknya, melakukan gerak-gerak yang kehebatannya tak
masuk akal. Ia melakukannya dengan mata
terpejam! Dengan demikian, pertarungan itu adalah
pertarungan antara dua orang-orang yang
sama-sama terpejam matanya dalam keadaan
tidak sadar. Dua orang yang sama-sama sedang
Mulut Macan 3 18 menjadi "boneka" yang dimainkan dari alam tak
terlihat. Kemudian ternyata bahwa Lui Kong-sim
mendesak lawannya, makin lama makin hebat,
sampai ujung tombaknya berhasil menembus
ulu hati lawannya. Kali ini lawannya tidak kebal
lagi. Terdengar pekikan monyet melengking
tinggi mengiringi ambruknya lawan Lui Kongsim itu ke tanah. Setelah berkelejetan sebentar,
arwahnya pun bergabung ke dunia gelap
tempat asal mahluk asing yang selama ini
menempati jiwanya, meninggalkan raganya,
Pelan-pelan kesadaran asli milik Lui Kong-sim
muncul kembali. Ketika membuka mata dan
melihat tubuh lawat nya terkapar di depannya,
Lui Kong-sii heran sendiri karena ia sama sekali
tidak menyadari apa yang sudah dilakukannya
tadi. Tadi ketika tubuhnya "dipinjam sebentar
oleh mahluk asing, ia tidak tahi apa yang
dilakukan tubuhnya sendiri seakan tubuhnya
itu bukan miliknya lagi Sekarang setelah
kesadarannya kembali ia terheran-heran
melihat musuhnya yang sudah terkapar dan
Mulut Macan 3 19 ujung tombaknya sendiri yang basah oleh
darah. "Bukankah orang ini tadi kebal? Kenapa
sekarang dia terbunuh? Dan kenapa ujung
tombakku berdarah?" Ketika Lui Kong-sim menoleh ke arah Yao
Kang-beng, dia pun terheran-herai melihat
rekannya itu juga bertempur dengan amat
dahsyat. Lui Kong-sim kenal Yao Kang-beng
sejak masih sama sama kecil, lalu sama-sama
berlatih d bawah asuhan Ciu Koan, dan tahu
benar bahwa dalam kondisi normal Yao Kang
beng takkan mampu bertarung sehebat itu,
bahkan seandainya berlatih sungguh-sungguh
beberapa tahun lagi. Namun saat itu Yao Kangbeng sedang "tidak normal" sebab ia bertempur
dengan mata tertutup! Padahal ajaran silat
mengatakan agar mata selalu awas terhadap
musuh. Lui Kong-sim juga melihat Yao Kangbeng mampu melakukan jurus-jurus silat yang
belum pernah dilihatnya dengan gaya
bertempur yang asing bagi Lui Kong-sim.
Mulut Macan 3 20 Lawan Yao Kang-beng yang meliuk-liuk
seperti ular itu juga memejamkan mata, namun
kelihatan terdesak hebat oleh Yao Kang-beng.
Diam-diam Lui Kong-sim membatin.
"Apakah tadi aku juga bertarung seperti itu?
Melakukan hal-hal hebat dalam keadaan tak
sadar?" Kemudian Lui Kong-sim melihat Yao Kangbeng membunuh lawannya, lalu perlahan-lahan
sadar kembali dan terheran-heran melihat ke
sekitarnya. Kepada Lui Kong-sim yang sedang
melangkah mendekatinya, Yao Kang-beng
bertanya. "Apa yang terjadi di sini, Kakak Sim?"
Sedikit banyak Lui Kong-sim bisa
menyimpulkan, maka dijawabnya sebisabisanya. "Kita berkelahi dengan bandit-bandit
ini, tetapi kita hampir kalah karena banditbandit ini kebal dan dirasuki siluman. Lalu... aku
(Lui Kong-sim tidak lagi memakai kata "kita")
memohon kepada dewa-dewa yang pernah
diceritakan Wong Lu-siok, dan tiba-tiba saja aku
mendapat kekuatan untuk memenangkan
pertarungan." Mulut Macan 3 21 "Itu kau, Kakak Sim, aku bagaimana?"


Dari Mulut Macan Ke Mulut Buaya Karya Stefanus Sp di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Lho, pengalamanmu sendiri kok malah
tanya aku. Coba diingat-ingat sendiri."
"Kelihatannya, aku juga begitu, Kakak Sim.
Ketika aku merasa tak berdaya menghadapi
lawanku, tiba-tiba di kupingku seperti ada yang
berbisik mengusulkan agar aku minta bantuan
mahluk-mahluk suci seperti yang pernah
diceritakan Wong Lu-siok. Kuturuti usul itu.
Tiba-tiba kulihat di sampingku ada orang
bersenjata tombak, pakaiannya seperti dalam
lukisan-lukisan kuno. Rasanya aneh bahwa
orang itu seperti meresap menyatu denganku.
Habis itu, aku tak tahu apa yang kulakukan."
"Agaknya kita kemasukan... dewa...."
"Entahlah. Nanti kita tanyakan kepada
Wong Lu-siok." "Sekarang kita harus cepat-cepat menyingkir sebelum bandit-bandit lain berdatangan." Lalu mereka buru-buru melangkah pergi,
tetapi langkah mereka tertegun ketika
mendengar teriakan Pang Se-bun dari depan
Mulut Macan 3 22 warungnya. "He, Saudara Lui dan Saudara Yao,
kalau kalian tidak mau mempertanggungjawabkan perbuatan kalian,
warga kotalah yang akan menanggung akibat
kemarahan Beng Hek-hou atas kematian anak
buahnya!" Lui Kong-sim berteriak sambil melanjutkan
langkahnya. "Tutup mulutmu, pengkhianat!
Kutitipkan sementara batok kepalamu di atas
batang lehermu!" Pang Se-bun cuma menarik napas sambil
geleng-geleng kepala. Ditatapnya mayat dua
bandit yang terkapar di jalanan. Pasti tak
seorang penduduk pun berani melaporkan itu
kepada Beng Hek-hou, sebab pelapor itu pasti
akan dijadikan pelampiasan kemarahan Beng
Hek-hou. Apa boleh buat, Pang Se-bunlah yang
melangkah ke markas gerombolan, bertekad
menggantikan siapa pun yang hendak dijadikan
korban kemarahan Beng Hek-hou.
* ** Mulut Macan 3 23 Di luar dugaan Pang Se-bun, sebagai hasil
dari laporannya kepada Beng Hek-hou, ia tidak
dipukuli atau bahkan dibunuh. Tidak. Namun
Pang Se-bun justru mendapat tugas yang
dirasakannya lebih berat daripada kalau
dipukuli. Wajah Beng Hek-hou memang merah
padam mendengar laporan Pang Se-bun, namun
kali ini ia tidak mengamuk membabi-buta.
Beberapa hari terakhir ini, Beng Hek-hou
merasakan adanya lawan tangguh sedang
mendekati Seng-tin, lawan tangguh yang
mampu mengimbangi sihirnya, dan juga mampu
membuat senjata orang-orang Seng-tin dapat
menembus ilmu kebal anak buahnya. Buktinya
tubuh dua orang anak buahnya hari itu dapat
ditembus tombak Lui Kong-sim dan Yao Kangbeng.
Beng Hek-hou sekarang mencoba mengambil hati warga kota untuk memihak
kepadanya, membantu menghadapi kekuatan
penentang yang sedang mendatanginya.
Mulut Macan 3 24 Mendengar laporan Pang Se-bun, ia berkata.
"Aku memang marah, tapi kali ini aku sudah
tahu siapa pelakunya dan aku takkan
menimpakan hukuman kepada warga yang tak
bersalah. Aku ini pemimpin yang bijaksana dan
adil." Pang Se-bun sampai tercengang mendengar
kata-kata "pemimpin"nya ini. Kesurupan
malaikat dari mana orang ini sehingga berubah
sebaik ini, dan juga tanpa malu-malu memujimuji diri sendiri sebagai "pemimpin yang adil
dan bijaksana"? Namun Pang Se-bun lega lebih
dulu bahwa warga kota takkan ada yang
menjadi korban karena peristiwa itu. Pang Sebun rela dicurigai sebagai pengkhianat atau
kaki tangan gerombolar atau sebutan tidak enak
lainnya, asalkan warga kota selamat.
Namun rasa leganya itu tidak lama, sebab
Reng Hek -hou kemudian berkata. "Saudara
Pang, kau adalah warga kota yang patut
dicontoh, karena itu aku akan memberimu
kepercayaan. Pilihlah barang empat puluh atau
lima pulul orang Warga kota yang sehat, lelaki,
Mulut Macan 3 25 dapat berkelahi, bentuklah suatu kelompok
keamanan yang mengamankan kota ini, demi
keamanan warga kota sendiri."
"Mampuslah aku...." kata Pang Se-bun dalam
hatinya. "Kalau sampai aku memimpin sebuah
regu yang bekerja demi Beng Hek-hou, makin
negatiflah pandangan warga kota kepadaku.
Sekarang saja orang sudah berbisik-bisik di
belakang punggungku, menyebutku kaki tangan,
pengkhianat, mata-mata, begundal, cecunguk
dan entah apalagi." Tetapi sebuah pikiran lain tiba-tiba melintas
di benaknya. "Ini sebuah kesempatan untuk
membentuk sebuah kelompok bersenjata yang
terdiri dari warga Seng-tin sendiri. Kalau
kubentuk di luar tahu Beng Hek-hou, kalau
ketahuan bisa celaka. Tetapi sekarang justru
bangsat ini sendiri yang meminta, ada baiknya
kuturuti permintaannya, tetapi kelak kelompok
bersenjata ini harus diarahkan untuk
kepentingan warga Seng-tin sendiri. Bahkan
bisa jadi kelak 'senjata makan tuan' untuk
Mulut Macan 3 26 menggusur Beng Hek-hou dan gerombolannya
sendiri." Munculnya gagasan semacam itu di
benaknya membuat Pang Se-bun girang tetapi
harus menyembunyikan kegirangannya, jawabnya, "Baiklah Tuan Beng, akan kukumpulkan orang-orang itu."
"Kau yang memimpin dan bertanggung
jawab kepadaku." "Baik." "Dan tugas pertama kelompok itu ialah
mengawasi rumah-rumah dari keempat
pengacau itu. Ek Yam-lam, Giam Lok, Lui Kongsim dan Yao Kang-beng. Awasi anggota keluarga
mereka, siapa tahu pengacau-pengacau itu
mengunjungi sanak keluarganya secara diamdiam, nah, itulah saatnya untuk menangkap
mereka! Paham?" Pang Se-bun mengangguk, namun sambil
mengeluh dalam hati. Alangkah tidak enaknya
tugas itu. Pang Se-bun kenal akrab dengan
keluarga-keluarg. dari keempat "buronan" itu,
dan sekarang ia harus mengawasi mereka dan
Mulut Macan 3 27 mungkin suatu saat harus menangkap anggota
keluarga mereka di depan mata keluarganya
sendiri. Kutuknya dalam hati, "Bangsat she Beng ini
rupanya hendak menggunakannya siasat
memecah-belah di antara warga Seng-tin
sendiri, agar kekuasaannya atas kota ini dapat
diteruskan." "Kenapa ragu-ragu, Saudara Pang?"
Geragapan Pang Se-bun menjawab. "Aku
hanya kuatir... jumlah empat puluh atau lima
puluh orang yang Tuan inginkan dari kelompok
kami itu mungkin takkan tercapai. Orang-orang
akan ragu-ragu bergabung."
"Waktu hendak menggerebek Ek Yam-lam
dulu, kenapa kau bisa kumpulkan hampir tujuh
puluh orang?" "Itu karena situasinya memungkinkan
demikian, waktu itu penduduk kota dalam
keadaan cemas sehabis Tuan mendemonstrasikan kekuatan gaib Tuan, jadi
warga mudah digerakkan. Tetapi, kalau untuk
bergabung dalam kelompok yang tetap dan
Mulut Macan 3 28 teratur rasanya untuk mencapai jumlah dua
puluh orang saja akan sulit sekali."
Beng Hek-hou jengkel, tetapi demi
mengambil hati warga Seng-tin, ia harus
menahan diri. "Baiklah, seberapa pun yang bisa
kaukumpulkan, bentuk kelompok itu. Biar
sedikit, kalian akan dapat membantu kami,
sebab kalian akan kuajari sedikit ilmu gaib yang
membuat kalian lebih hebat."
Pang Se-bun kaget. Ia benar-benar tidak
ingin belajar ilmu gaib jahat dari Beng Hek-hou,
takut akan ketularan jadi sejahat mereka. Selain
itu juga kuatir kalau ilmu gaib itu akan menjadi
semacam "kendali tak terlihat" yang mengekang
kebebasan jiwanya. Kalau jiwanya terkekang
ilmu gaib, bukankah akan dikendalikan Beng
Hek-hou? Cepat-cepat Pang Se-bun menggeleng.
Beng Hek-hou mengerutkan alisnya,
"Kenapa tidak mau? Menganggap ilmu kami
ilmu jahat?" Pang Se-bun benar-benar tidak siap
menghadapi masalah itu, maka jawabannya pun
Mulut Macan 3 29 simpang-siur, "Aku rasa... pasukan keamanan
yang akan dibentuk ini... cukup kalau belajar...
sedikit cara-cara membela diri yang umum.
Tidak usah... pakai yang gaib-gaib segala...."
Kali ini Beng Hek-hou tidak mau mengalah
dan menunjukkan kekuasaannya. "Tidak. Yang
ini sudah kuputuskan. Pergilah dan kerjakan!"
Dengan lesu Pang Se-bun meninggalkan
rumah yang didiami oleh Beng Hek-hou dan
gerombolannya itu. Sisa hari itu Pang Se-bun sengaja berkeliling
kota, dari rumah ke rumah, sekedar ditunjukkan
kepada Beng Hek-hou yang mungkin menyuruh
orang untuk mengawasinya, agar Beng Hek-hou
mengira Pang Se-bun benar-benar sedang
mengumpulkan orang untuk kelompok keamanannya. Namun Pang Se-bun berkeliling
ke banyak rumah itu sebenarnya tidak
bersungguh-sungguh mengajak orang bergabung dalam kelompok keamanan itu.
Tadinya memang Pang Se-bun benar-benar
ingin membentuk kelompok itu untuk suatu kali
digunakan menggempur Beng Hek-hou sendiri,
Mulut Macan 3 30 Kali ini Beng Hek-hou tidak mau mengalah dan
menunjukkan kekuasannya. "Tidak. Yang ini
sudah kuputuskan. Pergilah dan kerjakan!"
Mulut Macan 3 31 namun setelah mendengar niat Beng Hek-hou
untuk mengajarkan ilmu gaib jahat kepada


Dari Mulut Macan Ke Mulut Buaya Karya Stefanus Sp di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kelompok itu, yang dikuatirkan akan terjadi
ikatan jiwa, maka Pang Se-bun jadi tidak
bersemangat lagi membentuk kelompok itu. Ia
berkunjung ke banyak orang hanya untuk
mengobrol, sekedar meredakan kegelisahannya.
Tetapi setelah matahari terbenam dan Pang
Se-bun ada di rumahnya kembali, kegelisahannya memuncak. Ibu mertuanya dan
isterinya sering bertanya apa yang digelisahkannya, tetapi Pang Se-bun tidak mau
mengatakannya kepada mereka.
Ketika hari sudah gelap, Pang Se-bun tidak
tahan lagi. Dan tiba-tiba ia merasa menemukan
orang-orang yang bisa diajak bicara. Tak lain
adalah Ek Yam-lam dan teman-temannya. Pang
Se-bun menduga bahwa meskipun mereka di
luar kota, pasti tidak jauh dari kota, bukankaih
Lui Kong-sim dan Yao Kang-beng dapat pergi
pulang ke dan dari kota dengan cepat?
"Mereka pasti tidak jauh dari kota." kata
Pang Se-bun dalam hati, sambil berganti
Mulut Macan 3 32 pakaian, dari jubah panjangnya ditukar ke
pakaian ringkasnya. "Kalau kutanyakan Tabib
Kian yang tinggal menyendiri di dekat hutan itu,
mungkin dia bisa menjawab di mana Ek Yamlam berempat."
"Mau ke mana?" tanya isterinya terheranheran, anak perempuannya, Pang Li-kun yang
biasa dipanggil A-kun, berdiri dekat ibunya dan
ikut menatap ayahnya dengan heran.
Pang Se-bun mengusap kepala anaknya
yang berusia sepuluh tahun itu, sambil berkata
kepada isterinya. "Ada keperluan mendesak.
Kalau ada yang mencari aku, bilang saja sedang
tidak enak badan dan tidak bisa menemui siapasiapa. Pesankan begitu juga kepada Ibumu, ya?"
Isteri Pang Se-bun mengangguk, tetapi
hatinya cemas. Apakah "urusan mendesak" Sang
Suami ini ada hubungannya dengan ribut-ribut
siang tadi? Isteri ini paham bahwa suaminya
dalam posisi yang sulit. Sang Suami berusaha
sekuat tenaga mencegah jatuhnya korban di
antara warga Seng-tin yang tak berdosa, tetapi
Mulut Macan 3 33 sebagian warga kota justru mencurigainya
menjadi kaki tangan gerombolan.
Pang Se-bun kemudian berdiri pada
lututnya agar bisa mendekatkan mukanya pada
muka puterinya, kedua telapak tangannya yang
agak dingin menempel di pipi A-kun, katanya.
"Selama Ayah pergi, A-kun jadi anak manis ya?
Kalau orang tanya di mana Ayah, bilang saja
sedang tidak enak badan dan tidak bisa ketemu
siapa-siapa, ya?" Anak yang lugu itu lalu mengangguk sambil
mencamkan suatu pelajaran baru di benaknya,
bahwa untuk menjadi seorang anak manis itu
tidak boleh bohong untuk diri sendiri, tetapi
boleh bohong demi orang tuanya.
Sementara Pang Se-bun kemudian menyelinap lewat pintu belakang sambil
menjinjing tombaknya. Tak ketinggalan ialah
bubuk bau-bauan yang membuat serigalaserigala menjauh, bubuk bikinan orang Seng-tin
turun-temurun. Pang Se-bun tahu bahwa tindakannya ini
mengandung resiko besar, selain kemungkinan
Mulut Macan 3 34 dipergoki anggota-anggota gerombolan yang
berpatroli, juga seandainya berhasil bertemu Ek
Yam-lam berempat akan sulit menjelaskan
persoalannya. Tetapi Pang Se-bun tetap harus
berangkat. Agaknya Pang Se-bun beruntung, dengan
aman ia bisa menghindari beberapa bandit yang
sedang berpatroli, dan dengan mudah tiba di
padang ilalang di luar kota yang gelap gulita.
Agaknya para bandit tidak terlalu giat
berpatroli, mereka beranggapan setelah
beberapa kali warga kota ditunjuki peragaan
ilmu gaib yang hebat, pastilah warga kota sudah
tidak berani coba-coba kabur dari kota. Di kota
sendiri berkeliaran contoh orang yang gagal
kabur dari kota, yaitu Ho Tong.
Di padang ilalang itu, ketika Pang Se bun
mendengar lolong serigala tidak jauh darinya,
buru-buru menaburi dirinya dengan bubuk baubauan itu. Lalu ia justru sengaja menempatkan
diri di kepaki angin agar baunya mencapai
hidung serigala-serigala itu, dan benar, tak lama
Mulut Macan 3 35 kemudian terdengar suara serigala-serigala itu
menjauh. Pang Se-bun kemudian menerabas helaihelai ilalang setinggi dada itu untuk menuju ke
kediaman Tabib Kian yang terpencil di luar
kota. Sebagai orang yang lahir dan tumbuh di
Seng-tin, pa-dang belukar yang bagi orang lain
bisa menyesatkan itu, bagi Pang Se-bun sudah
dikenalnya seperti mengenal telapak tangannya
sendiri. Begitulah, dalam kegelapan Pang Sebun menuju ke kediaman Tabib Kian.
Ketika tiba di pondok kayu kediaman Sang
Tabib yang dikelilingi kebun pangan dan kebun
tetumbuhan obat-obatan, malam sudah amat
larut. Pang Se-bun sebenarnya sungkan juga
mengganggu Tabib Kian, tetapi ia kesampingkan rasa sungkannya dan mengetuk
pintu pondok itu. "Sebagai tabib, tentu ia sudah biasa
dibangunkan malam-malam untuk dimintai
tolong." Pang Se-bun melegakan diri sendiri.
Tabib Kian bangun dan membukakan pintu.
Pang Se-bun tidak buang-buang waktu dengan
Mulut Macan 3 36 duduk-duduk mengobrol, melainkan sambil
tetap berdiri di ambang pintu ia langsung
tanyakan apakah tabib itu tahu di mana
beradanya Ek Yam-lam berempat.
Tabib yang ubanan namun kulit wajahnya
tetap halus dan segar itu kelihatan bimbang
sebentar menatap Pang Se-bun. Tabib itu tahu
kemelut yang terjadi di Seng-tin, dan ia kuatir
kalau Ek Yam-lam berempat dicelakai oleh
gerombolan. Namun melihat yang datang
adalah Pang Se-bun yang juga sudah dikenalnya
baik, dan datangnya sendirian saja, maka tabib
itu tidak menguatirkan keselamatan Ek Yamlam. Diberitahukannya tempat Ek yam-lam
berada. "Terima kasih, Paman Kian," kata Pang Sebun. "Aku pamit...."
Lalu Pang Se-bun pun menuju ke kaki
sebuah bukit yang ditunjukkan Tabib Kian.
Sebuah tempat yang ada gua-gua batunya,
sehingga mudah untuk berteduh
Kedatangan Pang Se-bun tentu saja
mengagetkan Ek Yam-lam berempat yang
Mulut Macan 3 37 sedang duduk mengelilingi api unggun sambil
mendengarkan wejangan-wejangan Wong Lusiok.
Begitu melihat Pang Se-bun, langsung saja
Lui Kong-sim melompat bersiaga dengan
tombaknya, sambil memperingatkan rekanrekannya, "Akhirnya pengkhianat itu sudah
menemukan tempat kita! Tempat ini pasti
sudah dikepung oleh begundal-begundalnya!"
Yao Kang-beng yang selalu seia-sekatasetindakan dengan Lui Kong-sim, juga bangkit
bersiaga dengan tombaknya, mengawasi
sekitarnya untuk melihat kalau-kalau ada
musuh di sekitarnya. Namun orang-orang itu heran melihat Pang
Se-bun pelan-pelan meletakkan tombaknya di
tanah, juga belati yang terselip di pinggangnya,
lalu mundur dua langkah menjauhi senjatasenjata itu, sambil berkata, "Saudara-saudaraku,
aku datang untuk bicara. Aku datang sendiri,
tidak mengajak siapa pun."
Ek Yam-lam dan Giam Lok yang sikapnya
tidak sekeras Lui Kong-sim dan Yao Kang-beng,
Mulut Macan 3 38 namun terhadap Pang Se-bun mereka tidak
ingin mudah percaya begitu saja. Ek Yam-lam
punya hubungan amat baik dengan Pang Se-bun
sebelum gerombolan menguasai kota, tetapi
hubungan baik itu dinodai kecurigaan sejak Ek
Yam-lam terpaksa harus meninggalkan kota
karena Pang Se-bun menggerakkan orang-orang
kota untuk menangkapnya dan menyerahkannya kepada gerombolan.
"Kau ingin menjelaskan apa, Kakak Bun?
Semuanya sudah jelas. Kau sudah menunjukkan
sikapmu ketika hendak menangkap kami
berempat, menunjukkan di mana kau berpihak."
Pang Se-bun menarik napas, "Itu sebuah
kesalahan besar. Aku mau minta maaf kalau
kalian mau memaafkan. Kalau tidak mau
memaafkan, aku rela kalian hukum dengan
hukuman seberat apa pun malam ini. Tetapi
seandainya aku sudah ditentukan dihukum mati
sekalipun, setidaknya aku diberi kesempatan
bicara sebelum mati."
Hati Ek Yam-lam tersentuh, teringan
hubungan lama yang begitu akrab, "Siapa mau
Mulut Macan 3 39 menghukum mati Kakak? Tetap kami ingin
mendengarkan apa yang ingir Kakak katakan
sehingga malam-malam menemui kami."
Lui Kong-sim berseru gusar, "Kakak Yam,
dia pasti hendak memperdaya kita Jangan
dengarkan!" Tetapi Giam Lok membela Pang Se bun,
"Semua tindakan ada alasannya, begitu pula
tindakan Kakak Bun dulu, Mari kita dengar apa
alasannya...." "Pengkhianat ini pastilah membohongi kita,
buat apa didengar?" "Saudara Lui, kita semua kenal Kakak Bun
bukan sehari dua hari tetapi belasar tahun, dan
tahu Kakak Bun bukan tukang bohong."
"Kedudukan dan kemuliaan yang ditawarkan oleh gerombolan bandit itu pastilah
membuatnya berubah."
Pang Se-bun geleng-geleng kepala sambil
tertawa masygul, "Saudara Lui coba tanya
setiap warga Seng-tin, kemuliaan dan
kedudukan apa yang selama ini sudah kuterima
dari bandit-bandit itu? Kalau aku berbicara
Mulut Macan 3 40 dengan bandit-bandit itu, tak lain hanya
mencegah terbunuhnya warga Seng-tin yang
tidak bersalah." Keadaan agaknya akan menjadi tegang
tanpa penyelesaian, kalau saja Wong Lu-siok
tidak menengahi dengan suaranya yang lunak
dan sabar, "Apa-apa bisa dibicarakan baik-baik.
Lui Kong-sim, kau kurang dapat mengendalikan
nafsu amarahmu, bagaimana bisa melangkah di
jalan suci yang kuajarkan?"
Lui Kong-sim dan Yao Kang-beng yang
beringas-beringas itu, tiba-tiba saja menjadi
"jinak" bukan main mendengar suara Wong Lusiok. Segera saja mereka berdua meletakkan
tombak mereka dan duduk dengan alimnya,
sampai Pang Se-bun terheran-heran melihatnya,
namun lega juga. "Tuan ini siapa?" tanya Pang Se-bun sambil
membungkuk amat hormat ke arah Wong Lusiok yang berpakaian serba putih dan
bertampang anggun. Wong Lu-siok menerangkan siapa diri nya,
disambung keterangan oleh Ek Yan lam, "Kakak


Dari Mulut Macan Ke Mulut Buaya Karya Stefanus Sp di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mulut Macan 3 41 Bun, kami berempat sedang belajar ajaran suci
dan ilmu para dewa, dari Tuan Wong ini. Untuk
mengalahkan Beng Hek-hou yang dibantu para
mahluk gaib jahat, kita harus belajar bersekutu
dengan mahluk-mahluk gaib yang suci, dan itu
bisa dipelajari dari Tuan Wong ini."
Pang Se-bun melongo, kemudian setelah
dipersilakan dia pun duduk di se putar api
unggun itu. Wibawa Wong Lu siok terasa sekali,
dan Pang Se-bun sudah melihat bukti "ilmu
dewa" itu siang tadi, dengan terbunuhnya dua
bandit olel Lui Kong-sim dan Yao Kang-beng,
pada hal bandit-bandit itu dikenal kebal dar
memiliki siluman dalam diri mereka.
"Nah, Kakak Bun, katakan keperluan mu
datang kemari." "Pertama-tama aku minta maaf kepada
kalian berempat. Tindakanku hendak menyerahkan kalian ke tangan para bandit itu
adalah tindakan pengecut, tercela menjijikkan.
Waktu itu aku bingung dan gentar karena si
keparat Beng Hek-hou baru saja memperagakan
sihirnya yang hebat. Awan hitam, petir dan
Mulut Macan 3 42 angin dingin yang keras tiba-tiba menutup kota,
binatang-binatang dalam rumah tiba-tiba
mengamuk menakutkan. Aku tidak melihat
jalan lain kecuali menyerahkan kalian, untuk
menyelamatkan warga."
Wong Lu-sioklah yang menjawab dengan
bijaksana, "Jadi kalian semua sebenarnya
bertujuan sama, membela warga Seng - tin,
tetapi kalian memakai cara yang berbedabeda...."
Makin simpatilah Pang Se-bun kepada tokoh
ini. "Terima kasih Tuan Wong memahami aku."
"Nah, Kakak Bun, aku telah memaafkanmu,
sekarang kenapa kau kemari?"
Dengan ringkas Pang Se-bun menceritakan
pembicaraannya dengan Beng Hek-hou, soal ia
disuruh membentuk kelompok bersenjata yang
terdiri dari warga sendiri dan seterusnya.
"Mula-mula aku gembira. Dengan demikian
aku akan membentuk sebuah kelompok
bersenjata tanpa perlu sembunyi-sembunyi dari
Beng Hek-hou sebab di suruh Beng Hek-hou
sendiri, suatu ke lompok bersenjata yang suatu
Mulut Macan 3 43 saat nanti akan berbalik menggilas Beng Hek-ho
sendiri. Namun aku jadi ragu, setelaii
mendengar bahwa Beng Hek-hou akan 'mengisi'
aku dan kelompokku dengan kekuatan gaibnya
yang jahat. Aku sangat kuatir, kalau sampai
terjadi demikian, bukankah aku dan kelompokku itu akan jadi sejahat mereka dan
tak ubahnya bagian dari mereka? Dengan
demikian malah memperkuat penindasan atas
warga Seng-tin. Itu aku tidak mau."
"Lalu buat apa Kakak Bun kemari?"
"Ingin kuajak kalian bertukar pikiran,
bagaimana keluar dari masalah ini. Aku sendiri
sudah merasa jalan buntu. Dalam beberapa hari
pastilah Beng Hek-hou akan menanyakan mana
kelompok bersenjata yang kubentuk itu."
Ek Yam-lam dan lain-lainnya pun ternyata
tak mampu menunjukkan jalan keluarnya,
tetapi Wong Lu-siok tiba-tiba berkata, "Itu soal
mudah. Kalau Saudara Pang ini lebih dulu kuisi
dengan kekuatan gaib yang suci, kekuatan gaib
putih, maka kekuatan gaib jahat Beng Hek-hou
takkan dapat mempengaruhimu."
Mulut Macan 3 44 "Jadi?" "Kalau Saudara Pang bersedia, kuajari
caranya berhubungan dengan mahluk-mahluk
gaib suci. Mereka akan melindungimu. Kalau
suatu saat Beng Hek-hou hendak mengisikan
kekuatan jahat kepadamu, pura-pura sajalah
menerima, tetapi tak berpengaruh kepadamu.
Karena ada kekuatan suci yang menjagamu."
Pang Se-bun tidak menduga bahwa jalan
keluarnya begitu gampang. Malam itupun ia
diajari Wong Lu-siok tentang hal-hal yang aneh,
kemudian menjelang fajar dia buru-buru
kembali ke Seng-tin. * ** Begitu fajar merekah dan kegiatan seharihari di Seng-tin dimulai, Pang Se-bun pun mulai
menghubungi orang-orang yang hendak
diajaknya bergabung dalam kelompok bersenjatanya. Pang Se-bun harus sangat hati-hati memilih
orang, harus orang yang benar benar dapat
dipercaya, sehingga kelompok itu kelak menjadi
Mulut Macan 3 45 kelompok yanp tangguh, mempunyai ikatan
perasaan dan ikatan jiwa, tidak saling
mengkhianati. Lalu orangnya didatangi satu
persatu. Yang pertama didatangi rumahnya ialah
adik laki-lakinya yang bernama Pang Se-hiong,
Si Tukang Besi. Pang Se-bun menemuinya di
bengkel besinya ketika adiknya itu sedang
bermandi keringat menggembleng besi.
Kepada adiknya itu, Pang Se-bun
mengutarakan rencananya membentuk kelompok bersenjata, meskipun atas anjuran
Beng Hek-hou namun kelak akan digunakan
melawan Beng Hek-hou. Akhirnya berhenti sejenak mengayunayunkan palunya, lalu memandang kakaknya
dengan heran. "Kak, tidak tahukah kau bahwa
melawan mereka tidak cukup hanya dengan
otot, melainkan harus dengan ilmu gaib yang
lebih hebat dan mereka?"
Pang Se-bun tertawa, "Soal ini dulu juga
bikin pusing aku, menjadi soal tak terpecahkan,
tetapi sekarang tidak lagi. Aku sudah bertemu
Mulut Macan 3 46 orang bernama Wong Lu-siok, orang yang
punya ilmu dewa, dan aku sudah diajari...."
Karena Pang Se-hiong masih belum percaya,
si kakak mencopot bajunya. Kebetulan di
bengkel besi itu sedang tak ada orang lain. Pang
Se-bun mengambil sebuah sabit di rak, pesanan
dari salah seorang langganan Pang Se-hiong.
Sabit itu disodorkannya kepada adiknya sambil
berkata, "Hantamkan ke tubuhku sekuat
tenagamu." Pang Se-hiong menggeleng, "Kak, masih
waraskah pikiranmu?"
"Apa aku nampak seperti orang sudah gila?"
"Aku tidak mau terjadi kecelakaan oleh
tanganku." Pang Se-bun tidak sabar lagi. Sabit itu
dihantamkan bertubi-tubi ke tubuhnya sendiri,
sampai patah, tanpa meninggalkan luka sedikit
pun. Pang Se-hiong menatapnya dengan tidak
percaya. Pang Se-bun tersenyum bangga, lalu ia
menghampiri tanur perapian, la nampak
berkonsentrasi sebentar dengan bibir bergerakMulut Macan 3
47 gerak, lalu dengan tangan telanjang dia
memungut sepotong besi yang merah membara,
besi itu ditempelkan ke kulitnya sendiri tanpa
meninggalkan bekas sedikit pun.
Pang Se-hiong sampai menahan napas, "Kak,
kau...." "Kenapa? Kau curiga bahwa aku memperoleh kekuatan gaib ini dari Beng Hekhou? Hemm, mana sudi aku mempelajari ilmu
jahatnya yang juga akan membuat watakku
sama jahatnya dengan dia?"
Lalu Pang Se-bun menceritakan pertemuannya dengan Wong Lu-siok sambil
kembali memakai bajunya. Pang Se-hiong berkobar semangatnya,
"Apakah aku juga bisa seperti itu, Kak?"
"Bukan saja kau, tetapi semua yang bersedia
bergabung dengan kita. Tetapi, jangan gegabah
memilih orang, sebab kita mengemban cita-cita
membebaskan Seng-tin yang tidak boleh sampai
bocor ke kuping Beng Hek-hou. Dengan ilmu
dewa ajaran Wong Lu-siok, kita akan bisa
menandingi gerombolan itu! bukan itu saja,
Mulut Macan 3 48 bahkan senjata kita juga bisa diisi dengan
kekuatan gaib sehingga dapat menembus tubuh
anggota gerombolan. Contohnya, tombak yang
digunakan Lui Kong-sim dan Yao Kang-beng."
"Kakak, aku mau bergabung. Kapan Kakak
mempertemukan aku dengan orang yang bisa
ilmu dewa itu?" "Sabarlah. Orangnya harus terkumpul dulu.
Sekarang aku akan ke rumah A-tiok adik
perempuan kita, suaminya Un Lip-tong aku
yakin mau diajak bergabung. Sementara itu, kau
kuminta menghubungi Ting Tiat. Hati-hati
bicaranya." "Sekarang juga akan kutemui Ting Tiat dan
langsung akan kulaporkan kepada Kakak." kata
Pang Se-hiong sambil, mulai menutupkan
papan-papan penutup bengkel besinya, meskipun hari belum sore.
Demikianlah orang-orang yang akan
bergabung dengan kelompok bersenjata itu
dihubungi satu demi satu dengan hati-hati.
Sengaja Pang Se-bun melaporkan kegiatan
itu kepada Beng Hek-hou, tetapi sudah tentu
Mulut Macan 3 49 tetap menyembunyikan rencananya untuk
mengubah kelompok bersenjata itu menjadi
penggempur Beng Hek-hou. "Kumpulkan mereka, tetapkan waktu dan
tempatnya..." kata Beng Hek-hou. "Akan
kudatangi mereka dan kuisikan kekuatan
gaibku." "Baik, Tuan Beng."
"Bagaimana dengan pengawasanmu terhadap keluarga dari keempat buronan itu?"
"Tidak ada tanda-tanda para buronan itu
menjenguk keluarga mereka, agaknya mereka
menyadari bahayanya."
"Aku akan memasang tembok gaib dan
menaruh penjaga-penjaga gaib di seputar kota
ini, supaya pengacau-pengacau itu tidak dapat
seenaknya saja keluar masuk kota."
Pang Se-bun agak terkesiap mendengar
rencana Beng Hek-hou itu. Kalau tembok gaib
dan penjaga gaib sudah ada di tempatnya dan
terlalu kuat untuk ditembus, bukankah berarti
hubungan Pang Se-bun dengan Ek Yam-lam
serta Wong Lu-siok terputus? Tapi Pang Se-bun
Mulut Macan 3 50 belum dapat menentukan langkah apa yang
harus diambilnya. Malam harinya, satu persatu orang-orang
yang terpilih ke dalam kelompok bersenjata itu
datang ke rumah Pang Se-bun. Mereka
datangnya tidak dengan sembunyi-sembunyi


Dari Mulut Macan Ke Mulut Buaya Karya Stefanus Sp di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

namun terang-terangan karena kegiatan itu
diketahui, bahkan diperintahkan oleh Beng Hekhou.
Yang di luar dugaan, ialah ketika Duan Le,
pembantu terpercaya Beng Hek-hou ikut hadir.
Pang Se-bun sudah bingung menghadapi
hadirnya Duan Le. Pertama, dengan hadirnya
Duan Le sudah tentu Pang Se-bun tidak punya
kesempatan menyuntik teman-temannya dengan semangat perlawanan. Kedua, sebagian
besar orang yang bakal hadir di rumah Pang Sebun, termasuk Pang Se-bun sendiri, adalah
bekas murid guru silat Ciu Koan, dan semuanya
tahu bahwa tangan Duan Le inilah yang
menghabisi hidup guru silat Ciu Koan. Pang Sebun beberapa bekas murid Ciu Koan takkan
dapat menahan emosinya sehingga segala
Mulut Macan 3 51 rencana jadi berantakan. Ketiga, kunjungan
Duan Le ke rumah Pang Se-bun akan
mempertebal kesan yang sudah ada di sebagian
warga yang sudah curiga bahwa Pang Se-bun
adalah kaki tangan gerombolan.
"Agaknya kunjungan mendadak ini memang
diperintahkan si keparat Beng Hek-hou untuk
membuatku makin tersudut di mata warga kota
dan makin bergantung kepada Si Keparat."
gerutu Pang Se-bun dalam hati.
Tetapi sekarang Duan Le sudah berada di
ambang pintunya, mau tidak mau Pang Se-bun
harus berlagak ramah dan mempersilakannya
masuk. Dengan wajah seramah-ramahnya, katanya,
"Silakan masuk, Tuan Duan."
Sebaliknya wajah Duan Le tetap dingin, tak
peduli bagaimanapun ramahnya Pang Se-bun.
Tanyanya kasar, "Calon-calon anggota kelompokmu sudah berkumpul?"
"Sudah, tetapi...."
"Berapa orang?"
"Kira-kira dua puluh orang."
Mulut Macan 3 52 "Ketua Beng ingin setidak-tidaknya lima
puluh orang." "Tetapi kalau memang yang bisa terkumpul
hanya sekian, mau apa lagi?"
"Warga kota ini benar-benar tidak tahu diri,
diberi kesempatan bekerja sama dengan kami,
bahkan hendak diberi kekuatan gaib yang tak
mudah didapatkan di tempat lain, masih saja
mereka jual mahal." gerutu Duan Le.
Pang Se-bun kuatir kekasaran dan
kesombongan Duan Le ini akan mengobarkan
kemarahan teman-temannya yang sudah
berkumpul di ruangan dalam. Tetapi bagaimana
mencegahnya? Pang Se-bun benar-benar tanpa
daya, sementara Duan Le seolah-olah di
rumahnya sendiri saja langsung melangkah
lebar ke ruangan dalam. Dalam keadaan terjepit, Pang Se-bun tibatiba ingat ajaran Wong Lu-siok, lalu Pang Se-bun
pun membayangkan sosok Ibunda Ratu Langit
alias Ibu Abadi Tak Berasal-usul alias Ibu
Agama-agama Bangsa-bangsa yang kemarin
ditunjukkan gambar lukisannya oleh Wong LuMulut Macan 3
53 siok, sambil mulutnya berkomat-kamit dengan
suara hampir tak terdengar, "Ibunda Suci,
kirimlah mahluk-mahluk suci menolong
kesulitanku." Ia berjalan di belakang punggung Duan Le
yang tinggi besar dan tegap, sehingga Duan Le
tidak melihat komat-kamitnya.
Ruangan yang dipenuhi calon-calon anggota
kelompok bersenjata itu sedang penuh dengan
suara orang bicara satu dengan yang lain,
namun begitu Duan Le melangkah masuk ke
ruangan, semua mulut terkunci. Dengan
perasaan bergolak, semua mata menatap ke
arah Duan Le, lalu ke arah Pang Se-bun.
Kemunculan Duan Le memang tidak terduga
sebelumnya, kini tiba-tiba muncul, maka ada
yang merasa curiga bahwa Pang Se-bun
menjebak mereka. Seolah paham akan gejolak hati temantemannya itu, Pang Se-bun berkata, "Temanteman, aku sendiri tidak menduga Tuan Duan
mendadak mengunjungi kita."
Mulut Macan 3 54 Dengan kata-kata itu Pang Se-bun coba
membersihkan diri dari kecurigaan temantemannya. Lalu dia mempersilakan duduk Duan
Le. Duan Le duduk lalu menyilangkan kakinya
dengan sikap berkuasa. Senjatanya yang aneh,
yaitu Tok-kak-tong-jin (gada perunggu berbentuk orang-orangan berkaki satu)
disandarkan dekat tempat duduknya.
Katanya. "Nah, kalian mau bicara apa,
bicaralah. Aku cuma bertugas mendengarkan
saja!" Pang Se-bun dan teman-temannya saling
pandang dengan kebingungan. Mereka sudah
berencana membicarakan perlawanan terhadap
gerombolan, namun dengan ditunggui Duan Le
sudah tentu mereka harus mengubah semua
pokok pembicaraan yang mereka rencanakan.
"Ayo bicara! Tunggu apa lagi?"
Pang Se-bun cepat-cepat melangkah maju,
agak membelakangi Duan Le agar bisa
mengedip-ngedipkan mata kepada temantemannya sebagai isyarat, sambil berkata, "Nah,
Mulut Macan 3 55 teman-teman, kita sedang membicarakan
terbentuknya keamanan kota ini dari gangguan
para pengacau seperti Ek Yam-lam...."
Kata-kata Pang Se-bun tiba-tiba terhenti
karena kupingnya menangkap suatu suara yang
benar-benar tak diduganya. Suara dengkur
keras. Waktu Pang Se-bun menoleh, hampirhampir ia tak percaya bahwa Duan Le sudah
tertidur amat pulas di kursinya. Tidak lebih dari
dua menit sejak ia menduduki kursi itu, ia
langsung tidur pulas! "Mungkinkah Beng Hek-hou menyuruh
orang macam ini untuk ikut mendengarkan
kami?" Pang Se-bun terheran-heran, begitu juga
teman-temannya. "Atau dia cuma pura-pura
tidur agar kami bicara dengan bebas lalu dia
laporkan kepada si keparat Beng Hek-hou?"
Bahwa orang begitu, duduk langsung pulas
secepat itu memang aneh, tak heran
menimbulkan rasa syak di hati Pang Se-bun dan
orang-orangnya. Selagi orang-orang itu bingung, dari luar
pintu samping yang menghadap taman tiba-tiba
Mulut Macan 3 56 terdengar suara yang lunak dari seorang lelaki,
"Memang aku yang menidurkannya dengan
ilmu gaibku, agar kita leluasa bicara tentang
masa depan kota ini."
Lalu muncullah Wong Lu-siok yang
diantarkan oleh Giam Lok.
Pang Se-bun tercengang sebentar, kemudian
meledak dalam kegembiraannya. "Tuan Wong,
Saudara Giam, bagaimana kalian tiba-tiba
muncul di sini?" Sahut Wong Lu-siok, "Terdorong gerak hati
saja, perasaan bahwa ada yang harus dilakukan
di sini." "Sungguh tinggi ilmu Tuan, sehingga dapat
merasakan segala sesuatunya dari jauh..." Pang
Se-bun berdecak kagum. "Teman-teman, inilah
Tuan Wong Lu-siok, yang pernah kuceritakan
kepada kalian. Utusan para dewa yang akan
membebaskan kota kita dari cengkeraman
penghamba-penghamba para siluman itu! Dia
juga yang akan mengajarkan jalan suci kepada
seluruh Seng-tin setelah bebas nanti!"
Mulut Macan 3 57 Teman-teman Pang Se-bun itu dengan amat
gembira lalu mengerumuni Wong Lu-siok,
selain kagum, mereka juga terpikat oleh tindaktanduk Wong Lu-siok yang simpatik. Begitu
pula banyak yang menyalami Giam Lok.
Giam Lok pun menyapa kenalan-kenalannya
itu, "Senang melihat kalian berkumpul dalam
semangat yang sama, semangat yang juga
berkobar di dadaku."
Suasana jadi hangat dan menggembirakan,
bicara dengan bebas, tak mempedulikan Duan
Le yang makin keras dengkurnya, bahkan
sampai meneteskan air liur.
Pang Se-hiong adik Pang Se-bun lalu
berkata, "Tuan Wong, kata Kakakku, kau bisa
membuat kami tidak mempan terhadap sihir
jahat Beng Hek-hou'?"
"Karena aku dengan tekun menjalani kehidupan suci berpuluh tahun," sahut Wong
Lu-siok. "Kuanjurkan kepada kalian, agar
setelah gerombolan terusir dari kota ini, kalian
juga menjalani kehidupan suci agar para
pelindung suci melindungi kalian. Dirikan
Mulut Macan 3 58 tempat pemujaan untuk pelindung-peiindung
suci itu, pasti kalian akan sejahtera dan
dipimpin menuju kesempurnaan."
Melihat begitu simpatiknya Wong Lu-siok,
orang-orang di ruangan itu pun terpikat untuk
mengikuti jalan-suci yang ditawarkan Wong Lusiok tadi.
"Tuan Wong, bagaimana dengan Beng Hekhou? Ilmunya tinggi. Dia dapat mendatangkan
hujan angin dan halilintar dalam waktu sekejap,
dapat membuat binatang-binatang mengamuk
tanpa sebab, dapat membuat orang jadi gila."
Giam Loklah yang menjawab, "Ilmu Beng
Hek-hou tidak berarti buat Tuan Wong ini.
Malam pertama kami berempat meninggalkan
Seng-tin, kami diserang Beng Hek-hou melalui
sakit kepala yang membuat kami berempat
hampir gila, tetapi Tuan Wong inilah yang
menolong kami. Sihir hitam Beng Hek-hou tak
berarti dihadapkan sihir putih Tuan Wong ini."
Orang-orang Seng-tin mengenal Giam Lok
sebagai pemuda yang jujur, kini Giam Lok
Mulut Macan 3 59 sendiri bersaksi tentang kehebatan Wong Lusiok, maka orang-orang pun percaya.
"Apakah Tuan Wong sudi mengajari kami?"
tanya Pang Se-hiong amat bernafsu.
"Tugasku memang menyebarkan ajaransuci dari Bukit Buaya Putih ke seluruh muka
bumi, kepada sebanyak mungkin orang." jawab
Wong Lu-siok melegakan semua orang. "Tetapi
aku tidak hanya mengajarkan kesaktian dewadewa, tetapi juga jalan suci dewa-dewa, moral
yang tinggi dan sebagainya."
"Kami sanggup!"
"Tetapi agama apakah yang disebarkan
Tuan Wong? Di daratan Cina kami kenal banyak
agama dan banyak cabang-cabang atau sektesekte yang memisahkan diri, agamamu
termasuk yang mana?"
Dengan yakin Wong Lu-siok menyahut,
"Agama yang disampaikan langsung dari langit
oleh dewa-dewa yang berkendaraan kereta
nyala api biru kepada guru kami. Suatu kali
pernah kulihat sendiri, guruku sedang
bersemedi malam-malam di tempat terbuka di
Mulut Macan 3 60 puncak bukit, tiba-tiba dari langit ada cahaya
lingkaran biru turun begitu dekat ke puncak
bukit itu, guruku bermandi cahaya, lalu cahaya
biru itu melesat menghilang dengan kecepatan
yang susah dipercaya."
Orang-orang di ruangan itu berdecak
kagum. "Pastilah dewa-dewa sendiri yang telah
menjumpai guru Tuan Wong."
"Tentu, siapa lagi kalau bukan?" sahut Wong
Lu-siok. "Itulah sebabnya aku percaya ajaran
guruku bukan bikinan manusia, bukan ajaran
turun temurun. Dan suatu petunjuk gaib telah
diterima oleh Guruku, bahwa agama ini kelak
pada penutup jaman fana akan menjadi agama
tunggal di seluruh bumi. Agama-agama yang
lain, yang hanya memiliki kebenaran sepotongsepotong, akan digabung dan bernaung ke
bawah agama tunggal ini, yang akan


Dari Mulut Macan Ke Mulut Buaya Karya Stefanus Sp di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyatukan seluruh kebenaran berbagai agama
menjadi satu." Orang-orang menggeleng-geleng takjub,
"Wah, hebat itu. Agama-agama yang ada
sekarang ini berebut benarnya sendiri-sendiri,
Mulut Macan 3 61 ada yang sampai mencanangkan perang dan
penumpasan terhadap pihak lain segala. Kalau
sampai ada agama yang mempersatukan seperti
kata .Tuan Wong, dunia pasti tenteram."
"Kami mau menganut agamamu, Tuan
Wong!" kata beberapa orang.
"Aku juga!" "Aku juga!" Wajah Wong Lu-siok pun berseri gembira.
"Kelak setelah gerombolan jahat itu terusir,
kuajarkan yang kudapati dari Pek-gok-san
(Bukit Buaya Putih) kepada kalian. Sekarang,
rencana jangka pendek kita ialah menumpas
penjahat-penjahat itu."
"Kami siap!" "Ya, dengan mengikuti ajaran Tuan Wong,
kami bukan hanya akan menjadi pembebaspembebas Seng-tin, tetapi juga perintis-perintis
agama tunggal yang akan memperdamaikan
dunia ini!" Wong Lu-siok tersenyum sambil mengangguk-angguk dan mengelus jenggotnya,
"Sekarang kalian duduklah bersila yang hening,
Mulut Macan 3 62 bayangkan kata-kataku, akan kutuntun kalian
memasuki alam dewa-dewi dan kekuatan dari
alam itu pun akan memasuki jiwa kalian,
sehingga kalian tidak gentar lagi kepada
penghamba-penghamba siluman-siluman itu."
"Tuan Wong, bolehkah anggota keluargaku
yang lain juga mengikuti acara ini?" tanya Pang
Se-bun. "Boleh saja," sahut Wong Lu-siok.
"Kupanggil mereka sebentar."
Tidak lama kemudian seluruh keluarga
Pang Se-bun pun sudah ikut berada di ruangan
itu, dan mulai bersemedi dengan petunjuk
Wong Lu-siok. Anak perempuan Pang Seng-bun yang
berusia sepuluh tahun, Pang Li-kun alias A-kun,
selama semedi itu tiba-tiba terguncang-guncang
tubuhnya. Ketika semua sudah selesai dengan
diberi aba-aba Wong Lu-siok, anak perempuan
itu masih saja memejamkan matanya, bahkan
nampaknva dalam keadaan tidak sadar.
Mulut Macan 3 63 Isteri Pang Se-bun mulai cemas dan
bertanya kepada Wong Lu-siok, "Tuan Wong,
kenapa dengan anakku?"
Wong Lu-siok memperhatikan sebentar, lalu
katanya, "Kuucapkan selamat kepada Saudara
Pang suami isteri, puteri kalian ini agaknya
terpilih oleh para dewa-dewi untuk maksudmaksud istimewa."
"Maksud apa kira-kira?"
"Mungkin... untuk menjadi penulis tulisan
gaib penangkal bencana, atau peramal,
pemeriksa letak bintang."
Bersambung jilid IV Sumber Image : Koh Awie Dermawan
first share in Kolektor E-book
Pringsewu 8/08/2018 10 : 46 AM
Mulut Macan 3 64 Mulut Macan 4 1 JILID IV * Karya : STEVANUS S.P. pelukis : WIDODO Percetakan & Penerbit
CV "G E M A" Mertokusuman 761 RT 02 RW VII
Telp 35801 - SOLO 57122 Mulut Macan 4 2 Mulut Macan 4 1 Dari Mulut Macan ke Mulut Buaya
Karya : STEFANUS S.P. Jilid IV "M AKSUD Tuan, puteriku akan menjadi
sam-koh?" tanya Nyonya Pang cemas.
"Sam-koh" arti harfiahnya ialah "bibi ke tiga"
namun sebenarnya adalah orang dalam
masyarakat, biasanya perempuan, yang
dianggap punya macam-macam kemampuan
gaib. Meramal, membuat tulisan penangkal
bencana, menghubungi arwah dan sebagainya.
Tak ada orang tua yang rela anaknya menjadi
"sam-koh" sebab perempuan yang begitu
biasanya tidak menikah, tidak bisa kaya, sering
sakit, sering kesurupan dan umurnya pendek.
Tidak ada lelaki yang berani menikahi seorang
perempuan berbakat "sam-koh." Itulah sebabnya Nyonya Pang jadi cemas Mulut Macan 4 2 mendengarnya, sebab A-kun adalah anaknya
satu-satunya. Wong Lu-siok menenteramkan hati Nyonya
Pang, "Jangan kuatir, Nyonya.
Sam-koh yang Nyonya kenal secara tradisionil itu menurut agama-agama tradisionil.
Ingat, puteri Nyonya bukan terpilih menurut
salah satu agama melainkan menurut agama di
atas segala agama yang bakal menjadi agama
tunggal akhir jaman. Dia akan mendapat
kehormatan besar menjadi penghubung antara
dewa-dewi dengan manusia. Ingat, dewa-dewi,
bukan sembarangan roh seperti yang merasuki
para sam-koh biasa."
Nyonya Pang jadi agak lega mendengarnya.
Tak lama kemudian si cilik A-kun membuka
matanya, lalu dengan wajah berseri-seri
membanjirlah ceritanya bahwa dia baru saja
bepergian ke sebuah tempat amat indah penuh
bunga dengan berbagai mahluk penghuninya
yang cantik-cantik dan bahkan katanya hewanhewan pun bisa diajak bicara.
Mulut Macan 4 3 Wong Lu-siok tersenyum, "Anak ini baru
saja kembali dari dunia lain."
Wong Lu-siok kemudian berkata, "Aku tidak
punya banyak waktu di tempat ini sampai dia
sadar kembali." Sambil menunjuk Duan Le yang
masih mendengkur keras. "Waktu bersemedi
tadi, kalian harus yakin bahwa kalian sudah
kemasukan kekuatan dari alam atas yang
mengungguli siluman-siluman, tetapi masih ada
satu hal yang harus kulakukan. Yaitu mengisi
senjata-senjata kalian dengan kekuatan dari
atas pula, sehingga senjata-senjata kalian pun
dapat menembus kulit anggota-anggota
gerombolan. Nah, ambil senjata kalian dan
taruh di meja ini!" Orang-orang itu memang datang ke rumah
Pang Se-bun dengan membawa senjata-senjata
mereka, sebab memang dipesan begitu oleh
Pang Se-bun. Rencananya akan diajak latihan
bersama di halaman samping, tak terduga
malah akan memperoleh sesuatu yang takkan
bisa diperoleh melalui latihan sekeras apa pun.
Mulut Macan 4 4 Senjata-senjata mereka akan diisi kekuatan gaib
oleh Wong Lu-siok. Demikianlah dengan girang mereka
menaruh senjata-senjata mereka di atas meja.
Sebagian besar adalah tombak, karena sebagian
besar yang berkumpul di situ adalah bekas
murid-murid Ciu Koan, tetapi ada juga beberapa
golok, pedang dan tongkat panjang maupun
pendek. Wong Lu-siok minta semangkuk air putih.
Setelah air putih didapat, ia pegangi
mangkuknya dengan tangan kiri, sedang tangan
kanannya memegangi selembar kertas-jimat
berwarna kuning. Ia berjalan mengelilingi meja
sambil menggerak-gerakkan kertas jimat itu,
mulutnya menggumamkan semacam lagu
bernada rendah. Suasana dalam ruangan itu
tiba-tiba terasa magis, beberapa orang merasa
merinding, entah kenapa. Orang-orang itu merasa tegang menatap apa
yang akan terjadi, hanya si gadis cilik A-kun saja
yang nampak berwajah ceria, bahkan dia
berjingkrak-jingkrak gembira sambil berteriakMulut Macan 4
5 teriak, "Itu! Itu! Aku melihat binatang-binatang
yang di taman indah tadi datang lagi ke rumah
kita! Ada burung bangau putih, ada macan
putih, ada kuda, semuanya bisa terbang! He, ada
orang yang bisa terbang juga!"
Tentu saja yang lain terheran-heran, karena
mereka tidak melihat apa-apa. Nyonya Pang
berusaha menenangkan puterinya itu, tetapi
tidak berhasil. Sementara itu kertas jimat di tangan Wong
Lu-siok tiba-tiba menyala padahal tidak
tersentuh api sedikit pun. Buru-buru Wong Lusiok memasukkan kertas terbakar itu ke
mangkuk air, kemudian air yang sudah
bercampur abu kertas itu dipercik-percikkan
kepada senjata-senjata di meja itu.
Bersamaan dengan itu, A-kun berkata
dengan kecewa, "Yaaah... binatang-binatang
cantik itu menghilang semua."
Wong Lu-siok menaruh mangkuknya, lalu
katanya, "Selesai. Kalian sudah jadi orang-orang
yang tidak lagi kalah dari bandit-bandit itu.
Mulut Macan 4 6 Tetapi Beng Hek-hou jangan kalian hadapi
sendiri, aku yang akan mengurusnya."
Pang Se-bun dan teman-temannya kegirangan. Sekian lama mereka tertindas tanpa
daya, tiba-tiba mendengar kata-kata seperti itu,
rasanya hati mereka meledak dalam kegembiraan... sekaligus dendam yang selama
ini harus ditahan dan terasa menyesakkan dada.
Adik Pang Se-bun, Pang Se-hiong yang
berotot gempal sebagai tukang besi, melangkah
mendekati meja dan memungut senjatanya,
yaitu sebuah... martil besi. Ditimang-timangnya
martil itu, sambil bertanya kepada Wong Lusiok, "Jadi... senjataku ini sekarang bisa
mendobrak ilmu kebal bandit-bandit itu?"
Wong Lu-siok mengangguk sambil tersenyum. "Kalau begitu." kata Pang Se-hiong, dan di
luar dugaan siapapun bahwa tiba-tiba dia
menghantamkan martilnya sekuat tenaga ke
kepala Duan Le yang masih tidur pulas itu. Tak
ada yang sempat mencegahnya dengan
tindakan, kakaknya hanya berteriak dari sebera
Mulut Macan 4 7 "Kalau begitu...." Kata Pang Se-hiong,
dan di luar dugaan siapa pun bahwa tiba-tiba dia
menghantamkan martilnya sekuat tenaga ke
kepala Duan Le yang masih tidur pulas itu.
Mulut Macan 4 8 ng meja tetapi teriakan itu tak sedikit pun


Dari Mulut Macan Ke Mulut Buaya Karya Stefanus Sp di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melambatkan gerakan Pang Se-hiong yang
sudah disertai tekad bulat itu.
Martil itu beradu keras dengan tengkorak
kepala Duan Le, langsung gembong nomor dua
dalam gerombolan itu rubuh terjungkal dari
kursinya dengan kepala retak, la berkelejetan
sebentar sambil mendengus-dengus sebelum
terdiam selamanya. Begitulah Duan Le tidak
sempat sadar dari tidurnya, langsung
"meneruskan" ke "tidur yang jauh lebih
nyenyak" selamanya. Sesaat ruangan itu dicengkam kesunyian,
isteri Pang Se-bun mendadak pingsan karena
seumur hidupnya ia belum pernah melihat
manusia dibunuh di depan matanya.
Di tengah-tengah engah napasnya, Pang Sehiong berkata, "Sudah sekian lama kutahan
diriku untuk membunuh orang ini, karena aku
tidak mau konyol. Orang ini pernah meludahi
mukaku di jalan ramai, ternyata sekarang dia
tidak kebal terhadap martilku yang sudah diisi
kekuatan oleh Tuan Wong."
Mulut Macan 4 9 "Kau merusak rencana!" bentak Pang Sebun denga. gusar. "Bagaimana kalau malam ini
Beng Hek-hou menanti-nantikan pembantunya
ini, lalu menyusul ke sini? Itu artinya benturan
harus dimulai sebelum kita siap!"
"Apanya yang belum siap? Kekuatan dari
dewa sudah merasuki tubuh kita, senjata kita
sudah dapat menembus kekebalan mereka.
Apanya yang belum siap? Kita sudah siap!
Malam ini pun kita sudah siap!"
Kata-kata itu membakar hati banyak orang
lainnya, mereka mengambil senjata-senjata
mereka di meja, lalu berteriak-teriak berebutan.
"Ya, kita siap sekarang!"
"Kita serang mereka secara mendadak,
tentu mereka akan kelabakan karena tidak
menduga!" "Betul! Betul!"
Maka semangat perlawanan pun tiba-tiba
bergelora di tempat itu. Hanya Pang Se-bun
yang masih punya sedikit pertimbangan, juga
Giam Lok, tetapi mereka takkan dapat
mencegah orang-orang yang sekian lama
Mulut Macan 4 10 terinjak-injak saja. Pang Se-bun hanya menatap
Wong Lu-siok, berharap pengaruh Wong Lusiok dapat mengendalikan orang-orang itu.
Ternyata Wong Lu-siok malah berkata,
"Rasa keadilan yang sudah lama diinjak-injak,
kini meluap keluar."
"Mati?" "Mungkin sekaranglah saatnya."
Orang-orang itu serempak bersorak, Pang
Se-bun pun tak bisa ingkar lagi. Rencananya
sudah tersusun setahap demi setahap, ternyata
sekarang dikalahkan oleh spontanitas yang
dihidupkan oleh tindakan adiknya kepada Duan
Le. Tetapi kalau Wong Lu-siok sendiri ikut
bersama, rasanya cukup mantap.
Setelah menggotong Nyonya Pang ke kamar
tidur, Pang Se-bun pun menjinjing tombaknya
ikut bersama orang-orang yang sedang
bersemangat itu. Mayat Duan Le dibawa untuk
diseret-seret di jalanan.
Wong Lu-siok membisiki Giam Lok, "Ketiga
temanmu yang menunggu di rumah Ek Yam-
Mulut Macan 4 11 lam, suruh bergabung sekalian untuk
memperkuat kelompok ini."
Giam Lok berlari-lari kecil ke rumah Ek
Yam-lam. Rupanya Ek Yam-lam serta Lui Kongsim dan Yao Kang-beng diam-diam ikut
menyelundup masuk kota, dan mereka berada
di rumah Ek Yam-lam, sekalian Ek Yam-lam
hendak menengok kambing-kambingnya yang
selama ini ditinggalkan. Begitulah, malam itu kota Seng-tin yang
biasanya dicengkam ketakutan terhadap
gerombolan Beng Hek-hou dan kekuatan gaib
jahatnya, malam itu tiba-tiba membara oleh
semangat perlawanan. Orang-orang bersenjata
yang dari rumah Pang Se-bun itu berbaris di
jalanan, bersorak-sorak, mengacung-acungkan
senjata dan menyeret mayat Duan Le.
Mereka juga meneriaki rumah-rumah
penduduk yang pintunya tertutup, "He,
penduduk Seng-tin! Bangunlah! Kalian sudah di
ambang kebebasan! Hayo, saksikan keruntuhan
gerombolan jahat itu!"
Mulut Macan 4 12 "Utusan para dewa sudah datang untuk
membebaskan kita!" Beberapa orang tertarik dan menjenguk
keluar rumah. Mereka berdebar-debar melihat
mayat Duan Le diseret-seret, apa akibatnya bagi
warga kota lain nanti? Tetapi ada beberapa
lelaki dewasa yang mengambil senjata lalu
bergabung dengan rombongan itu.
Di jalan mereka berpapasan dengan empat
anggota gerombolan yang sedang berpatroli.
Anggota-anggota gerombolan itu kaget
bercampur gusar melihat mayat Duan Le
diseret-seret. Salah seorang anggota gerombolan yang bertubuh tinggi besar dan
membawa long-ge-pang (toya gigi serigala)
bertanya dengan suara menggelegar, "He, sudah
gilakah kalian? Kalian ini lupa bahwa kami
dilindungi kekuatan-kekuatan gaib yang tak
terlawan oleh kalian?"
Lui Kong-sim yang sudah bergabung dengan
rombongan itu, yang menjawab dengan garang,
"Lihat mayat temanmu ini, ini sudah
Mulut Macan 4 13 membuktikan bahwa kalian bisa terbunuh! Dan
kalian memang akan kami tumpas!"
Kata-kata Lui Kong-sim disambut dengan
sorak-sorai warga Seng-tin, kemudian Pang Sehiong yang berangasan itu malah berteriak,
"Kawan-kawan, cincang habis orang-orang ini!"
Orang-orang pun menyerbu keempat
anggota gerombolan itu dengan berani. Kalau
biasanya mereka takut-takut, sekarang mereka
digerakkan suatu kekuatan yang tidak mereka
kenal dan menjadi berani.
Keempat anggota gerombolan itu kaget, Si
Tinggi Besar mengayunkan toya gigi serigalanya
sambil coba menggertak lagi, "He! Kalian bosan
hidup?" "Serbu." itulah sahutan para warga Seng-tin
yang bersenjata itu. Lui Kong-sim sendiri
langsung menyerbu ke arah Si Tinggi Besar
dengan Long-ge-pangnya. Si Tinggi Besar tiba-tiba menengadahkan
wajahnya ke langit lalu melolong panjang
seperti serigala. Tindak-tanduknya sebagai
manusia pun sudah ganas, sekarang ada
Mulut Macan 4 14 kekuatan lain dalam jiwanya yang membuat ia
tambah beringas. Tetapi Lui Kong-sim yang pernah
mengalami "kemasukan dewa" dan membunuh
anggota gerombolan, kali ini kembali langsung
membangkitkan kekuatan tersembunyi itu, dan
ia pun langsung bertarung dalam keadaan tidak
sadar. Ternyata di pihak orang-orang Seng-tin,
yang bertempur dalam keadaan kerasukan
bukan hanya Lui Kong-sim, melainkan juga Ek
Yam-lam, Yao Kang-beng, bahkan disusul
kemudian oleh kakak beradik Pang Se-bun dan
Pang Se-hiong serta lain-lainnya.
Selama ini Giam Lok meskipun sudah
berkumpul belasan hari dengan Wong Lu-siok,
namun masih bersikap "lihat-lihat dulu" dan
dengan sikap kritis ia melihat cara-cara yang
dipraktekkan oleh rekan-rekannya untuk
memasukkan kekuatan dewa-dewa ke tubuh
mereka. Karena itulah selagi banyak orang
Seng-tin sudah "diambil-alih oleh dewa-dewa"
maka Giam Lok justru tetap saja bertarung
Mulut Macan 4 15 dengan kekuatan alamiahnya yang wajar,
mengandalkan hasil latihannya selama bertahun-tahun. Keempat anggota gerombolan itu juga
kesurupan, ada yang melolong seperti serigala,
ada yang mendengus seperti babi, ada yang
tiba-tiba bergerak gemulai seperti penari
perempuan, meskipun orang itu lelaki.
Perkelahian di tengah jalan itu jadi seperti
perkelahian antara orang-orang kesurupan.
Satu pihak "kesurupan siluman" di pihak lain
"kesurupan dewa." Tetapi faktor alamiah ada
pengaruhnya juga, yaitu faktor jumlah. Keempat
anggota gerombolan harus menghadapi warga
Seng-tin yang tiga puluhan jumlahnya.
Dalam waktu tidak lama, keempat anggota
gerombolan itu sudah berujud daging cincang
yang teronggok di tengah jalan. Habis dicincang
warga Seng-tin. Giam Lok yang tetap sadar, melihat semua
yang terjadi di depan mata itu dengan
pertanyaan-pertanyaan di hati. Anggotaanggota gerombolan yang kerasukan dan
Mulut Macan 4 16 bertingkah-laku seperti binatang itu, apakah
tidak merasa malu bahwa sebagai manusia
mereka meniru tanpa sadar tingkah binatang?
Lalu orang-orang Seng-tin yang kerasukan dewa
itu apakah harus mencincang lawan sekeji itu?
Kenapa Wong Lu-siok yang katanya
membawa ajaran jalan-suci itu diam saja
melihat pencincangan itu?
Namun orang-orang Seng-tin itu seolah
mabuk, terus menyerbu ke rumah besar di
pinggiran kota yang dihuni oleh Beng Hek-hou
dan gerombolannya. Namun di ujung jalan, langkah orang-orang
itu terhenti karena mereka melihat Beng Hekhou dengan anak buahnya yang tersisa, kirakira tiga puluh orang, menghadang di tengah
jalan. "Jadi kau yang menghalang-halangiku
selama ini?" geram Beng Hek-hou gusar sambil
menudingkan kipas hitamnya yang dilempit.
"Kali ini aku hanya ingin hidup tenteram di
sebuah kota kecil yang tidak ada apa-apanya,
tetapi kau tetap saja mengusik aku!"
Mulut Macan 4 17 Wong Lu-siok melangkah tenang ke depan
orang-orang Seng-tin sambil membawa
pedangnya yang bersarung dan be-ronce putih
itu, "Ya, aku harus mengejarmu sampai ke mana
pun, sampai ajaran suci kami diterima di
seluruh bumi!" Beng Hek-hou meludah dan berkata sinis,
"Cuih, ajaran suci tai kucing! Kini kita tentukan
siapa yang unggul!" Wong Lu-siok tertawa, "Di Yan-san sudah
kita tentukan setahun yang lalu, dan aku yang
menang." Beng Hek-hou meraung, "Sekarang ilmuku
sudah meningkat, akulah yang akan mencabikcabik tubuhmu, dan orang-orang yang
mengikutimu!" Lalu Beng Hek-hou mencabut bendera
segitiga kecil, berwarna hitam, dari Pinggangnya Ketika bendera kecil itu dikibarkibarkan, tiba-tiba langit malam yang sudah
gelap itu bertambah gelap hingga tak ada yang
bisa terlihat, lalu angin dingin keras
menyambar-nyambar ke arah Wong Lu-siok
Mulut Macan 4 18 dan para warga Seng-tin. Anginnya dingin
serasa menyayat kulit, juga kencang sehingga
mengangkat debu dan pasir tinggi-tinggi.
Warga Seng-tin panik, apalagi karena deru


Dari Mulut Macan Ke Mulut Buaya Karya Stefanus Sp di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

angin itu juga dicampuri suara seribu satu
macam hewan. Ada ringkik kuda, aum harimau,
jeritan monyet dan macam-macam lagi di dalam
deru angin itu. Tetapi Wong Lu-siok berdiri tegar dengan
jubah putihnya berkibar-kibar. Ia mencabut
pedangnya, dan pedang itu ternyata bukan
pedang logam melainkan hanya pedangpedangan kayu yang biasa digunakan orangorang yang mempraktekkan ilmu gaib. Pedang
kayu itu ditegakkan di depan tubuhnya, sambil
menggumamkan mantera. Angin perlahan-lahan reda, dan bahkan
kemudian lenyap sama sekali, awan hitam juga
menyingkir pergi. Sambil tersenyum mengejek Beng Hek-hou,
Wong Lu-siok berkata, "Apa aku bilang?
Perimbangan kita masih seperti di Yan-san
setahun yang lalu. Kejahatan takkan pernah
Mulut Macan 4 19 mengungguli kebaikan, jalan setan takkan
pernah mengungguli jalan suci, silumansiluman tak pernah menang dari dewa-dewi
dan mah-luk-mahluk suci, bala tentara neraka
selalu kalah dari bala tentara langit."
Perkataan Wong Lu-siok disambut soraksorai warga Seng-tin yang mengikutinya.
Bahkan ada orang-orang baru yang keluar dari
rumah untuk berperang. Wajah Beng Hek-hou menampilkan kegusaran luar biasa, tetapi dia pantang
menyerah. Dengan sebuah aba-aba kepada anak
buahnya, tiba-tiba anak buahnya serempak
mengeluarkan kertas-kertas kuning yang sudah
digunting dalam bentuk bermacam hewan
seperti gajah, harimau, kuda, ular, bahkan
mahluk-mahluk yang hanya ada di dalam
khayalan seperti naga terbang, burung api,
manusia bertanduk dan bersayap dan
bersenjata petir. Sementara anak buahnya
mengeluarkan kertas-kertas guntingan itu, Beng
Hek-hou ganti bendera. Bendera hitamnya
diselipkan kembali ke pinggang, lalu diganti
Mulut Macan 4 20 bendera aneka warna yang diketahui oleh anak
buahnya sebagai Ban-siu-ki (Bendera Selaksa
Mahluk). Berbareng dilemparkannya kertas-kertas
guntingan itu ke udara, Beng Hek-hou
mengayun-ayunkan benderanya dengan sikap
yang amat bersungguh-sungguh sehingga
setengah kesurupan. Angin yang baru saja reda
pun berjangkit keras kembali dan debu pasir
terangkat menjadi tirai yang menutupi
pandangan, membuat kedua pihak tak bisa
saling terlihat. Warga Seng-tin yang bersorak-sorak itu pun
bungkam, mereka kembali jadi tegang. Sihir
macam apa yang bakal dipertontonkan oleh Si
Gembong Bandit? Tiba-tiba mereka merasa bumi di bawah
telapak kaki mereka bergetar, seperti ada
pasukan berkuda yang berderap. Dan ketika
mereka menatap ke depan, dengan kaget
mereka melihat dari balik tirai debu itu muncul
ratusan hewan yang entah darimana datangnya.
Ada gajah, macan, kerbau, kuda, serigala, ular
Mulut Macan 4 21 besar, bahkan di udara bermunculan naga
terbang, burung api serta manusia bersayap dan
bertanduk, semuanya menyerbu ke arah Wong
Lu-siok dan orang-orang Seng-tin.
Orang-orang Seng-tin, tak peduli yang
nyalinya paling besar seperti Lui Kong-sim,
Pang Se-hiong dan lain-lainnya, segera
membalik tubuh dan kabur lintang-pukang.
Meninggalkan Wong Lu-siok yang tetap berdiri
tak bergeming di tempatnya, kembali dengan
pedang kayu ditegakkan di depan tubuh sambil
mulutnya berkomat-kamit. Ketika mahluk-mahluk itu sudah tinggal
beberapa langkah di depan Wong Lu-siok, tibatiba si "Utusan para dewa" itu menudingkan
pedang kayunya ke depan sambil membentak,
"Kembali ke asalmu!"
Angin mereda, mahluk-mahluk itu lenyap,
dan yang nampak di udara ialah kertas-kertas
guntingan yang melayang-layang berhembus
angin dan pelan-pelan turun ke tanah.
"Nah, Beng Hek-hou, apalagi yang
kaupunya? Tadi kau bilang ilmumu sudah
Mulut Macan 4 22 meningkat, pasti kau bisa menunjukiku yang
hebat-hebat dan bukan sulap murahan yang
tadi." Dalam hatinya Beng Hek-hou sudah gentar,
apalagi anak buahnya yang selama ini
menganggap Beng Hek-hou tak terkalahkan.
Namun Si Kepala Gerombolan itu sendiri belum
mau menyerah. Kini ia tidak mengeluarkan
bendera kecil, melainkan berkomat-kamit saja.
Tidak ada awan hitam, tak ada angin
menderu, yang ada hanya suara berbagai
binatang yang mulai bersuara gelisah dari
rumah-rumah di seluruh kota. Kota yang
tadinya sunyi, tiba-tiba jadi riuh. Ada suara
ayam kucing, hewan-hewan rumah lainnya, juga
kambing. Orang-orang Seng-tin yang bersama Wong
Lu-siok jadi ingat kejadian yang lalu, waktu
binatang-binatang tiba-tiba mengamuk aneh
dan menyerang orang-orang di dalam rumah.
Mereka jadi kuatir akan keselamatan orangorang di rumah.
Mulut Macan 4 23 Apalagi tak lama kemudian dari dalam
rumah terdengar jerit ketakutan dari tangis
anak-anak serta perempuan-perempuan,-lalu
disusul suara gedubrakan dari perabot-perabot
rumah yang beran-takan bercampur dengan
teriakan marah dari orang-orang yang mencoba
mengatasi hewan-hewan yang mengamuk itu.
Orang-orang Seng-tin bersenjata yang
mengikuti Wong Lu-siok, biarpun sudah melihat
dua kali kehebatan Wong Lu-siok dalam
menaklukkan sihir Beng Hek-hou, kali ini cemas
akan keluarga masing-masing yang ditinggalkan
di rumah. Beberapa orang keluar dari barisan
dan menuju rumah masing-masing. Dasarnya
mereka memang bukan pasukan tentara yang
berdisiplin, maka ya semaunya saja. Ingin
bergabung ya bergabung begitu saja, ingin
keluar dari kelompok ya keluar begitu saja.
Lui Kong-sim meneriaki orang-orang yang
kabur itu, "He, jangan lari! Pengecut, jangan lari!
Lihat Tuan Wong pasti bisa mengatasinya
dengan ilmu dewanya! Dasar tak punya
keberanian!" Mulut Macan 4 24 Tetapi ketika dari salah satu rumah
terdengar suara jeritan seorang gadis, dan Lui
Kong-sim mengenali suara itu sebagai suara
adik perempuannya, Lui Kong-sim pun tidak
berani gembar-gembor lagi. Ia memang masih
bertahan di situ, malu kalau sehabis
mendamprat yang lari lalu ia sendiri lari, namun
sebenarnya ia sudah sangat ingin lari Jrumahnya yang tidak jauh dari situ.
"Itu suara adik perempuanku...." katanya
bimbang kepada Pang Se-bun dan Giam Lok
yang tetap di dekatnya. "Mungkin dia
membutuhkan pertolonganku."
Kebetulan Pang Se-bun dan Giam l.ok adalah
orang-orang yang selama ini kenyang dicemooh
dan disindir oleh saudara seperguruan mereka
yang satu ini. Giam Lok sering disindir kurang
tegas dan kurang berani, karena selalu
mengusulkan agar dalam segala tindakan
memikirkan akibatnya bagi warga kota. Pang
Se-bun bukan dicap sebagai pengkhianat oleh
Lui Kong-sim, karena dalam upayanya
Mulut Macan 4 25 melindungi keselamatan warga kota, Pang Sebun terpaksa berbaikan dengan Beng Hek-hou.
Kini melihat Lui Kong-sim gelisah akan
keluarganya, Giam Lok berkata agak sinis,
"Makanya kau perlu belajar memahami orang
lain, kalau orang itu melakukan sesuatu yang
kurang cocok dengan selera kita. Ada saatnya
kita juga harus berindak seperti orang-orang
yang kita kecam itu."
Pang Se-bun yang usianya lebih tua itu
menengahi dengan bijak. "Selamatkan Adikmu,
Saudara Lui, takkan ada yang menyebutmu
pengecut atau tak punya keberanian kalau
kautinggalkan tempat ini."
Dengan wajah agak merah, terbirit-birit Lui
Kong-sim menuju ke rumahnya, di mana suara
jeritan adik perempuannya terdengar.
Sementara itu, Wong Lu-siok mulai
membaca manteranya. Beng Hek-hou tidak ingin mantera Wong Lu
Siok menggagalkan sihirnya, ia berseru kepada
anak buahnya. "Serang bangsat she Wong itu!"
Mulut Macan 4 26 Waktu itu anak buah Beng Hek-hou
memang berjumlah masih tiga puluhan orang,
setelah beberapa orang terbunuh. Di pihak Lusiok tadi juga ada tiga puluhan orang, jadi
seimbang dalam jumlah. Tetapi setelah orangorang Seng-tin yang bersenjata itu sebagian
besar lari ke rumah masing-masing karena
mendengar teriakan dari rumah-rumah itu,
maka yang tinggal di dekat Wong Lu-siok
tinggal lima orang. Ek Yam-lam, Giam Lok, Yao
Kang-beng, Pang Se-bun dan adiknya, Pang Sehiong. Semuanya bersenjata tombak, hanya
Pang Se-hiong yang bersenjata martil karena ia
bukan murid mendiang Ciu Koan. Dan lima
orang ini sekarang harus melindungi Wong Lusiok dari serbuan tiga puluh orang anak buah
Reng Hek-hou. Secara normal kelima pemberani dari Sengtin itu tentu takkan dapat mengimbangi lawan
mereka yang jauh lebih banyak. Maka Yao Kangbeng langsung mengangkat tombaknya ke
langit, sambil menengadah, berseru memohon
kekuatan dari "alam dewa-dewi" untuk
Mulut Macan 4 27 tubuhnya dan untuk senjatanya. Tubuhnya
terlihat menggeletar sebentar, sementara
beberapa orang di sekitarnya serasa mencium
bau harum yang memabukkan.
Lalu melejitlah Yao Kang-beng ke depan
dengan mata terpejam, tak sadarkan diri dia
bertempur dalam kekuatan yang jauh di atas
kekuatan normalnya. Bahkan ketika senjata
beberapa anggota gerombolan mengenai
kulitnya, Yao Kang-beng tidak terluka sedikit
pun! Menyusul Ek Yam-lam, Pang Se-bun dan
Pang Se-hiong juga bertempur dengan cara yang
serupa. Hanya Giam Lok sendiri yang bertarung
dengan kemampuan alamiahnya, karena
bersiteguh tidak ingin jiwanya diambilalih
kekuatan-kekuatan dari luar, meski "dewa"
sekalipun. Itu sebabnya berbeda dengan Ek Yam-lam
dan sebagainya yang bertempur dahsyat yang
dilukiskan dalam dongeng-dongeng purba,
maka Giam Lok bertempur dengan normal saja.
Bahkan ketika lawam Giam Lok yang bersenjata
Mulut Macan 4 28 golok tebal itu mulai "tidak normal". Mulai
mencicit-cicit seperti tikus dan geraknya
berlarian ke sana ke mari juga secepat tikus,
Giam Lok mulai terdesak dan terjeblos dalam
kesulitan karena dia tetap bertahan dengan
kemampuan alamiahnya. Giam Lok pernah juga
diberitahu oleh Wong Lu-siok bagaimana
menyerukan "seruan suci" untuk memasukkan
mahluk-mahluk gaib "suci" ke tubuhnya dan
jiwanya supaya bertambah kekuatannya, tetapi
saat-saat kritis itu pun Giam Lok seolah-olah
terjahit mulutnya dan tetap tidak mau
menyuarakan "undangan" kepada mahlukmahluk gaib.
Sementara itu, di rumah-rumah penduduk
kedengarannya mulai agak tenang. Hewanhewan rumah yang mengamuk semakin
berkurang suaranya, bahkan akhirnya reda
sama sekali. Lalu orang-orang Seng-tin


Dari Mulut Macan Ke Mulut Buaya Karya Stefanus Sp di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berbondong-bondong keluar rumah. Yang
berani berkelahi keluar dengan membawa
senjata-senjata, yang tidak berniat berkelahi
keluar sekedar untuk menonton bagaimana
Mulut Macan 4 29 "utusan dewa" yang akan menyelamatkan kota
mereka itu. Merasa bahwa kebebasan sudah di ambang
pintu, entah siapa yang mulai, orang-orang
Seng-tin bersorak-sorak memuji-muji "ibunda
tak berasal usul", sejenis "dewi baru" yang jadi
populer mendadak. Puja-puji kepada "ratu langit" itu agaknya
mempengaruhi ketahanan anggota-anggota
gerombolan. Mahluk-mahluk gaib yang menguasai jiwa mereka agaknya digelisahkan
oleh sorak-sorai itu, dan cinggota-anggota
gerombolan itu bertambah lemah.
Sorak warga Seng-tin membahana ketika
mereka melihat Yao Kang-beng membantai tiga
anggota gerombolan se cara cepat berturutturut, disusul Pang Se-hiong dan lain-lainnya.
Hanya Giam Lok yang masih terdesak oleh
anggota gerombolan, padahal anggota gerombolan yang dihadapinya hanya satu
orang. Tetapi Giam Lok pun merasa makin ringan.
Pengaruh gaib yang memperkuat perlawanan
Mulut Macan 4 30 musuh itu kelihatannya semakin melemah.
Lawannya semakin jarang mencicit seperti tikus
tetapi semakin sering membentak seperti
manusia umumnya yang sedang main silat.
Agaknya lawan Giam Lok itu semakin normal
kembali. Dengan gigih dan tekun, Giam Lok
memperbaiki posisinya. Lawan yang tidak lagi
kesurupan itu tidak lagi terasa sebagai lawan
yang terlalu berat lagi bagi Giam Lok. Bahkan
beberapa jurus kemudian, ujung tombak Giamlok berhasil melukai paha anggota gerombolan
itu. Si Anggota Gerombolan mengaduh, nyalinya
susut, sadar bahwa pelindung gaibnya sudah
kabur meninggalkannya sehingga kulitnya tidak
kebal lagi. Dalam keadaan sadar, tanpa
kesurupan, ia juga melihat teman-temannya
yang banyak itu dibantai satu persatu oleh
orang-orang Seng-tin yang "kesurupan mahluk
suri' yang jumlahnya jauh lebih sedikit namun
benar-benar menguasai keadaan. Selain itu,
sorak-sorai warga Seng-tin yang bertindak
Mulut Macan 4 31 sebagai "suporter" bagi jago-jago nya, semakin
menekan mental para anggota gerombolan yang
biasanya sewenang-wenang itu. Perlawanan
seperti ini benar-benar belum pernah
terbayangkan oleh anggota gerombolan.
Beberapa anggota gerombolan yang
berkesempatan molos dari arena pun segera
kabur tanpa mempedulikan teman-temannya.
Beberapa orang warga kota yang cukup berani,
segera membentuk kelompok-kelompok kecil
bersenjata untuk mengejar anggota-anggota
gerombolan yang kabur itu. Anggota-anggota
gerombolan yang beruntung bisa langsung lari
ke luar kota, entah sempat mengambil kuda
lebih dulu entah hanya mengandalkan sepasang
kakinya saja, tetapi yang kurang beruntung
akan terjebak di lorong-lorong kota, diuberuber, dicegat di sana dan sini, dan kalau
tertangkap habislah riwayat mereka menjadi
sasaran kemarahan warga Seng-tin.
Yang bertahan di arena semakin sedikit dan
semakin lemah semangatnya. Makin banyak
orang-orang Seng-tin mencebur ke arena
Mulut Macan 4 32 dengan senjata-senjata mereka sambil meneriakkan "seruan suci". Keadaan benarbenar terbalik sekarang, orang-orang Seng-tin
jauh lebih bamak dari gerombolan, juga orangorang Seng-tin semuanya kebal dan sebaliknya
anggota-anggota gerombolan kehilangan kekebalannya! Seorang warga kota yang bertubuh kurus
dan usianya sudah tujuh puluh tahun, sehariharinya berjualan makanan, tercengang sendiri
ketika mendapati bahwa bacokan golok dari
seorang anggota gerombolan ternyata tidak
melukai kulitnya sedikit pun. Ia tercengang
sedetik dua detik, lalu mendadak berjingkrakjingkrak kegirangan. "He, aku kebal! Aku kebal!"
Lalu seperti orang gila ia mener-jangkan
tubuh kurus dan rentanya untuk dibacoki oleh
anggota gerombolan. Si anggota gerombolan
dengan sengit dan putus asa membacoki tubuh
itu, namun sedikit pun tidak ada hasilnya. Si
Kakek tetap saja tertawa-tawa dan berjingkrakjingkrak sambil berteriak-teriak mengumumkan
kekebalannya. Mulut Macan 4 33 Kakek itu tak bersenjata, sebab ia memang
tidak bermaksud ikut bertempur, hanya ingin
menonton. Tadi ia tiba-tiba saja diserang dan
tiba-tiba saja tahu kalau dirinya sudah kebal
senjata. Karena tak bersenjata, tiba-tiba saja dia
melejit dengan- ganas dan tahu-tahu tubuhnya
yang kurus kecil dan keriput itu sudah
nongkrong di kedua pundak Si Anggota
Gerombolan itu. Entah mendapat gagasan dari
mana, juga entah dari mana kekuatannya untuk
melaksanakan gagasannya, tiba-tiba saja kedua
tangannya memutar kepala Si Anggota
Gerombolan sehingga terputar setengah
lingkaran. Kepala yang tadinya menghadap ke
depan, kini menghadap ke belakang dan
terkulai seperti leher ayam yang dipelintir.
Tentu saja anggota gerombolan itu tak dapat
hidup lebih lama lagi, dan Si Tua penjual
makanan itu pun melompat-lompat di atas
mayat anggota gerombolan itu sambil memekikmekik tanpa ingat diri.
Giam Lok memandang segala yang terjadi di
depannya itu dengan termangu-mangu. Ia kenal
Mulut Macan 4 34 Tiba-tiba saja kedua tangannya memutar kepala
Si Anggota Gerombolan sehingga terputar
setengah lingkaran. Mulut Macan 4 35 orang tua itu, bahkan menyukai kue-kue buatan
Si Orang Tua. Namun melihat sosok tubuh yang
berlompatan di atas mayat korbannya itu,
rasanya Giam Lok melihat sebuah pribadi yang
lain. "Ini bukan Kakek Un yang kukenal sejak
kecil...." kata Giam Lok dalam hati. "Ini bukan
Kakek Un yang ramah, tidak tega kepada
mahluk-mahluk hidup yang sekecil semut
sekalipun." Suasana di medan laga itu adalah suasana
kemenangan warga Seng-tin. Sorak kemenangan warga kota bercampur aduk
dengan pekik kematian dan putus asa dari
anggota gerombolan yang tak beruntung dan
dicincang warga kota. Giam Lok justru melangkah gontai
meninggalkan "pesta kemenangan" itu, tombaknya dijinjing setengah diseret.
Ketika melewati sebuah lorong gelap, tibatiba sesosok tubuh melompat menyerangnya
dengan pisau belati, tetapi Giam Lok dengan
Mulut Macan 4 36 tangkas berhasil merapatkan diri ke tembok
dan luput dari sergapan itu.
Si Penyergap itu nampaknya sangat putus
asa bahwa sergapan pertamanya luput, tiba-tiba
dia hendak menusukkan pisau belati itu ke
dadanya sendiri! Giam Lok begitu saja menuruti dorongan
hatinya untuk' menyapukan tombaknya, bukan
untuk membunuh tetapi untuk memukul tangan
yang memegang belati itu sehingga belatinya
jatuh dan orang itu tidak jadi mati.
Namun dengan suara parau bernada putus
asa orang itu malah gusar, "Kenapa kau cegah
aku? Kau tidak ingin melihat aku mati dengan
tubuh utuh, melainkan ingin mencincang daging
dan tulangku seperti terhadap teman-temanku?
Kalian, warga kota yang mengaku masyarakat
beradap, ternyata lebih biadab dari kami!"
"Jadi kau... salah satu anggota gerombolan
itu?" "Ya. Kumohon kebaikan hatimu, biar aku
mati dengan tubuh utuh."
Mulut Macan 4 37 Giam Lok menarik napas. Setelat menengok
ke segala jurusan dan ia tidak melihat adanya
orang ke tiga, dia pui berkata. "Bahkan kau
boleh pergi dengan tubuh utuh. Tapi hatihatilah, jangan bertemu dengan warga kota
lainnya." Anggota gerombolan itu melongo. Nasib
seberuntung ini benar-benar di luar dugaannya.
Ia mencubit lengannya sendiri untuk
meyakinkan bahwa ia tidak mimpi, dan agaknya
ini memang bukan mimpi. "Cepat pergi!" usir Giam Lok sambi!
mengacungkan tombaknya. "Jangan berbuat
jahat lagi supaya suatu kali nanti kau jangan
kehilangan kesempatan sama sekali!"
Orang itu lari terbirit-birit. Mengucapkan
terima kasih sepatah pun tidak, tetapi Giam Lok
merasa senang telah melakukan itu.
Giam Lok kembali ke rumahnya, dan
disambut oleh seisi rumahnya dengan lega dan
penuh sukacita. Sama sukacitanya dengan
warga Seng-tin yang merasakan kebebasan dari
gerombolan. Mulut Macan 4 38 * ** Si kecil Pang Li-kun alias A-kun terbangun
dari tidurnya ketika merasa ada seseorang
berdiri di dekat tempat tidurnya. Mula-mula dia
kira ibunya, namun waktu ia buka matanya
maka dilihatnya seorang anak perempuan
sebaya dengan dia, berwajah bulat, berpipi
montok kemerah-merahan, rambutnya dikuncir
dua, baju dan celana panjangnya juga merah.
Anak perempuan ini tersenyum manis kepada
A-kun. A-kun heran, ia punya banyak teman-teman
sebaya, tetapi anak ini belum pernah dilihatnya,
bahkan juga di seluruh Seng-tin. Dan bagaimana
anak ini tiba-tiba bisa berada dalam kamarnya?"
"Siapa kau?" tanya A-kun sambil bangkit
duduk di atas ranjangnya dan menyepak
selimutnya. Anak perempuan manis berbaju merah itu
menjawab. "Mulai sekarang, aku temanmu dan
pelindungmu, aku akan menolongmu menghadapi banyak kesulitan."
Mulut Macan 4 39 "Ya, tetapi kau punya nama bukan?"
"Panggil saja A-hwe."
"Belum pernah kulihat kau di Seng-tin, di
mana rumahmu?" "Rumahku jauh sekali, tetapi aku disuruh
kemari untuk menolongmu, karena mulai
sekarang

Dari Mulut Macan Ke Mulut Buaya Karya Stefanus Sp di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kau akan butuh banyak pertolonganku." "Kau tidak lebih besar dari aku. A-hwe,
menolongku?" A-hwe tersenyum lalu berkata, "Aku bisa
macam-macam, buktikan saja nanti. Tetapi kau
harus menurut kata-kataku."
Ketika itulah Nyonya Pang tiba-tiba
membuka pintu kamar lalu duduk di tepi
pembaringan untuk mencium jidat puteri-nya
ini. "Bagaimana tidurmu semalam, anak manis?"
A-kun memeluk ibunya, "Aku mimpi indah
sekali, Ibu. Aku bermain-main di taman dewadewi dan berteman dengan mahluk-mahluk
kahyangan. Eh, mana Si A-hwe tadi?"
"A-hwe? Siapa A-hwe?" Nyonya Pang heran
dan ikut memandang berkeliling ruangan itu,
Mulut Macan 4 40 tetapi tidak melihat siapa-siapa kecuali anaknya
sendiri. "A-kun, kau cari siapa?" Nyonya Pang
mengulangi pertanyaannya kepada puterinya
yang masih celingukan ke sana kemari.
"Temanku. Namanya A-hwe, tadi dia berdiri
di situ, Ibu tidak melihatnya?"
"Ibu tidak melihat siapa-siapa, Nak. Kau
bermimpi barangkali."
"Tidak, Ibu. Ketika aku bangun, ia sudah di
pinggir ranjang. Barangkali ia bersembunyi
karena takut kepada Ibu...." lalu A-kun merosot
turun dari ranjang untuk menjenguk ke dalam
kolong. Tetapi di kolong pun tidak ada siapasiapa.
"Aneh, ke mana dia bersembunyi ya, Bu?"
Entah kenapa Nyonya Pang merasa bulu
kuduknya berdiri. Tetapi saat itu adalah pagi
hari yang terang benderang. Nyonya Pang cepat
melangkah ke jendela untuk membukanya, agar
cahaya mentari pagi membajir berlimpah ke
dalam ruangan itu. Sambil katanya. "A-kun,
katakan kepada semua temanmu agar tidak
Mulut Macan 4 41 usah takut kepada Ibu. Memangnya Ibu suka
menggigit teman-temanmu?"
"Mungkin karena A-hwe teman baru, belum
kenal Ibu." "Sekarang mandilah. Bibi Tiam-ma sudah
menyediakan air hangatnya. Lalu kita ke pasar."
"Di luar kok ramai sekali, Bu, ada suara
petasan segala. Memangnya sekarang ini tahun
baru?" "Seluruh kota sedang bersukacita karena
enyahnya gerombolan jahat yang sekian lama
bertindak sewenang-wenang terhadap kita.
Suasana sukacita ini sudah berlangsung
semalam." "Tidak tidur?" "Orang yang sedang bergembira lupa tidur."
"Ayah mana?" "Semalam Ayah dan Pamanmu ikut berjuang
membebaskan kota ini, sampai pagi ini belum
pulang. Itulah sebabnya kita akan mencarinya.
Mudah-mudahan selamat."
"Aku yakin Ayah dan Paman selamat."
"Itu harapan kita, A-kun."
Mulut Macan 4 42 "Pasti. Dalam mimpi sudah ada yang
memberitahu aku bahwa Ayah dan Paman dan
semua yang berjuang di pihak dewa-dewi pasti
selamat." Kata-kata puterinya ini menyadarkan
Nyonya Pang bahwa sekarang A-kun sudah "lain
dari kemarin". Bukankah semalam Wong Lusiok sudah memberi tahu bahwa A-kun sudah
"terpilih oleh para dewa" untuk memberi
petunjuk-petunjuk di bumi?
"Mimpi apa lagi kau semalam?"
"Aku melihat siluman-siluman lari terbiritbirit meninggalkan kota ini. Mahluk-mahluk
suci turun dari langit dan memenuhi kota ini,
tinggal di kota ini untuk melindungi dan
menolong kita." "Mandilah, supaya kita dapat segera
mencari Ayahmu." A-kun mandi dan tidak lama kemudian ia
sudah digandeng tangan ibunya, berada di
jalanan. Ternyata suasana kota Seng-tin memang
luar biasa meriahnya. Bahkan tahun baru atau
Mulut Macan 4 43 hari-hari raya tradisional pun kalah meriah.
Orang-orang yang bertemu di jalan saling
mengucapkan selamat, ada yang memasang
meja sembahyang sehingga seluruh loronglorong dipenuhi bau dupa yang wangi. Ada yang
menari-nari di jalanan, ada yang membawa alat
musik ke jalanan dan membunyikannya sesuai
luapan hatinya, sehingga suasana benar-benar
meriah. Mau tak mau Nyonya Pang dan A-kun
terpengaruh juga, biarpun Nyonya Pang masih
memikirkan nasib suaminya dan adik iparnya.
Tetapi kelegaannya bertambah, ketika ia
bertemu seorang warga kota yang memberinya
kabar biarpun kabur. "Suami Nyonya kabarnya
baik-baik saja. Dalam perjuangan mengusir
gerombolan bandit semalam, kabarnya tidak
ada warga kota seorang pun yang mati atau
terluka. Secara ajaib, semua warga kota jadi
kebal semua Tentu suami Nyonya juga."
"Tetapi di mana suamiku sekarang?"
"Mungkin masih bersama Yang Mulia Wong
Siluman Bukit Menjangan 1 Pendekar Jembel Karya Liang Ie Shen Pengelana Rimba Persilatan 13
^