Desperate Mrs 3
Desperate Mrs Karya Agustine Bagian 3
Aku mengusap keringat di dahiku dengan handband yang ku pakai lalu menenggak air dari botol yang ku bawa. Tiba-tiba saja ada seorang lelaki yang berjalan di hadapanku dengan seekor anjing yang mengikuti di belakangnya. Lelaki itu tampak melihat ke arahku, ia seperti ingin menyapaku tapi ia tampak ragu. Si lelaki dan anjingnya terus berjalan melewatiku dengan raut wajah yang tampak sedang berpikir.
Aku terus memperhatikan lelaki itu dan ku lihat, ia memutar balik dan berlari kembali ke arahku. Anjingnya masih dengan setia mengikuti. Lelaki itu berhenti di hadapanku dengan ragu. Lalu ia berkata,
"Kau Anna, kan? Anna pacar Seth?" tanya lelaki itu pertama kali. Aku tidak menjawab pertanyaannya. Aku tidak kenal orang ini dan aku lupa apakah aku pernah bertemu sebelum ini dengannya atau tidak.
"Anna, ini aku Jack, teman Seth. Kita pernah bertemu satu kali waktu itu, selepas Seth manggung. Kau ingat?"
Aku tidak ingat sama sekali. Seth banyak mengenalkanku pada teman-temannya. Tapi, mereka semua seperti hanya sepintas lalu. Tidak ada yang benar-benar ku kenal dengan baik kecuali keempat teman bandnya.
"Iya, mungkin. Tapi, aku tidak bisa mengingatnya. Maaf." jawabku singkat. Tiba-tiba saja lelaki bernama Jack itu duduk di sampingku. Ia tersenyum mendengar jawabanku.
"Tidak apa-apa. Oh ya, Seth apa kabar? Apa kalian masih bersama? Kau tahu, aku baru saja kembali dari kampung halamanku, jadi aku sudah lama sekali tidak mendengar kabar darinya."
Jack memberondongku dengan pertanyaan. Apa lelaki ini benar-benar tidak tahu apa yang sudah terjadi pada Seth? Tiba-tiba saja hatiku terasa sakit mengingat kondisi Seth sekarang. Dan semua yang sudah terjadi pada Seth sekarang adalah perbuatan Sebastian.
Apakah Jack benar-benar tidak tahu apa yang sudah terjadi pada Seth? Aku mencoba membaca pikiran Jack dari raut wajahnya. Tapi, ku rasa Jack adalah orang yang jujur. Ia sepertinya memang tidak tahu apa-apa tentang Seth.
"Aku dan Seth sudah lama putus. Dan, aku tidak tahu bagaimana keadaannya sekarang."
Aku terpaksa berbohong pada Jack. Aku tidak mau ia memberondongku dengan lebih banyak pertanyaan lagi. Biarlah nanti ia akan tahu sendiri bagaimana nasib kawannya itu sekarang.
"Oh, sayang sekali, Anna. Kalian sangat serasi. Kenapa kalian putus?" wajah Jack tampak menyesal. Sepertinya ia lelaki yang mudah bersimpati pada orang lain.
"Tidak apa-apa. Mungkin hanya sudah tidak ada kecocokan. Tapi, aku masih mencintainya sampai sekarang."
Untuk kalimat terakhirku tadi, aku tidak berbohong sama sekali.
"Ya, aku tahu, Anna. Kalian dulu sangat saling mencintai. Kau tahu, aku dan Seth sudah berteman baik sejak kecil. Dan, aku belum pernah lagi melihat Seth begitu mencintai seorang gadis seperti ia mencintaimu, semenjak pacarnya yang terakhir mati karena bunuh diri."
Aku benar-benar terkejut mendengar ucapan Jack mengenai Seth barusan. Jadi dulu Seth pernah mencintai seorang gadis yang lalu mati karena bunuh diri? Kenapa ia tidak pernah menceritakannya padaku? Rahasia apalagi yang Seth sembunyikan dariku selama kami menjalani hubungan dalam setahun kemarin?
Lalu apa alasan gadis itu sampai bunuh diri? Aku semakin tidak mengerti.
Entah kenapa tiba-tiba jantungku berdetak dengan sangat cepat dan sekujur tubuhku seperti gemetar. Tapi, aku berusaha untuk terus bersikap normal di depan Jack.
"Kau bilang kalau kau dan Seth sudah berteman baik sejak kecil?" tanyaku dengan suara yang hampir berbisik.
"Ya, Anna. Dulu waktu kecil aku sering sekali bermain di ladang milik orang tua angkat Seth. Kau tahu, kami berdua adalah anak-anak yang sangat nakal." Jack tertawa membayangkan masa lalunya.
APA?! Orang tua angkat?! Ladang?! Apa yang Jack katakan?!!!
"Apa kau bilang barusan? Orang tua angkat? Ladang? Apa maksudmu?"
Aku berusaha mengontrol emosiku. Aku ingin mendengar cerita Jack selanjutnya.
"Iya, Anna. Apa Seth tidak pernah bercerita mengenai keluarganya? Seth itu bukan anak kandung dari orang tua angkatnya dulu. Ayah dan ibu angkat Seth menemukannya saat bayi. Ada seseorang yang meletakkan bayi Seth yang malang di depan pintu rumah mereka. Lalu pasangan petani itu mengadopsi Seth."
Kepalaku terasa pusing seketika.
"Semua orang tahu cerita mengenai masa lalu Seth tapi kedua orang tua angkatnya tidak keberatan sama sekali kalau semua orang tahu Seth bukan anak kandung mereka. Seth tumbuh menjadi lelaki yang tampan dan disukai banyak orang. Kami sering sekali membolos sekolah bersama dan main di ladang milik orang tua angkatnya, Anna. Seth itu cowok yang asyik! Apalagi ia jago memainkan gitar."
Aku berusaha untuk tidak mempercayai semua ucapan Jack tapi entah kenapa hati kecilku merasa kalau lelaki di hadapanku ini adalah orang yang sangat jujur. Kepribadian polos Jack itu adalah ciri khas orang yang berasal dari pedesaan.
"Lalu, apa yang kau ketahui tentang pacar terakhir Seth sebelum ia berpacaran denganku? Kenapa gadis itu sampai bunuh diri?"
Aku berusaha untuk benar-benar menahan emosiku. Aku merasakan nafasku mulai tidak beraturan.
"Julia maksudmu? Apa Seth tidak pernah menceritakannya padamu? Julia adalah seorang gadis yang paling cantik di desa kami dulu, Anna. Semua laki-laki berlomba untuk mendekatinya. Tapi, gadis itu memilih Seth. Wajar saja, Seth begitu tampan dan jago memainkan gitar. Ku rasa, Julia menyukainya karena itu. Lalu mereka berpacaran. Mereka begitu saling mencintai, Anna."
"Julia bekerja paruh waktu di rumah seorang Tuan tanah di desa kami. Tuan tanah itu adalah seorang lelaki tua yang hidup seorang diri.?Lalu pada sebuah liburan musim panas, cucu dari lelaki itu berlibur di rumah kakeknya. Anak lelaki itu seumuran kami, tapi mungkin lebih tua satu atau dua tahun. Dan, aku tidak tahu bagaimana awalnya, yang ku dengar Julia jatuh cinta pada anak lelaki itu dan anak lelaki itu pun mencintai Julia lalu mereka berpacaran."
Kepalaku semakin pusing. "Seth tentu saja sangat terpukul dengan kejadian itu karena ia begitu mencintai Julia. Tapi, gadis itu bahkan malah nekat menyusul anak lelaki itu ke kota saat liburan berakhir. Lalu, aku tidak tahu bagaimana lagi selanjutnya. Yang ku dengar tak lama Julia ditemukan tewas bunuh diri di kamarnya."
Pandanganku sudah kabur karena air mata yang menggenang di pelupuk mataku. Saat aku mengedipkan mata, air hangat itu langsung meleleh jatuh di pipiku.
Jack baru sadar kalau aku menangis, karena dari tadi ia bercerita sambil terus sibuk dengan anjingnya. Ia tampak kaget saat melihatku,
"Anna, kau baik-baik saja?" tanya Jack khawatir. Aku mengusap air mataku.
"Ya, aku baik-baik saja. Jangan khawatir," aku berusaha memaksakan senyuman, "Jack, apa kau tahu siapa nama cucu dari tuan tanah itu?"
Aku merasa seperti ingin menutup telingaku saat ini. Aku tidak mau mendengar dan mengetahui cerita Jack lebih jauh tapi aku sangat penasaran.
"Tentu saja, Anna. Nama anak lelaki itu adalah Sebastian Agustine."
*** BAB 21 Aku melihat sosok itu ...
Sosok yang pernah ku cintai dulu. Dan mungkin, sampai sekarang pun jauh di lubuk hatiku aku masih begitu mencintainya. Ia berjalan dengan wajah tertunduk ke arahku dengan kedua tangan terborgol dan dikawal oleh seorang petugas. Tubuhnya terlihat jauh lebih kurus sekarang jika dibanding saat terakhir kami bertemu beberapa waktu lalu dan wajahnya yang tampan itu tampak layu.
Seth kaget saat pertama melihatku, ia terlihat senang saat melihatku sudah duduk di ruang berkunjung khusus. Sebuah ruangan kecil yang agak pengap. Ia duduk di seberang meja, berhadapan denganku. Sementara si petugas masih berjaga tak begitu jauh dari kami.
Aku memperhatikan sosok di hadapanku itu tanpa berkedip sama sekali. Sementara Seth memandangiku dengan wajah yang tampak bahagia, kedua matanya berbinar.
"Apa kabar, Seth?" ucapku pertama kali. Seth terlihat sangat senang karena aku sudah datang mengunjunginya.
"Buruk, Anna. Tapi, sekarang aku merasa lebih baik karena kau sudah mau datang menemuiku. Aku sangat merindukanmu, Anna. Apa kau juga merindukanku?" Seth meraih tanganku dan menggenggamnya erat. Aku masih diam, memperhatikannya.
Seth mungkin menyadari kalau ada yang sedikit berbeda dari sikapku.
"Kenapa kau diam saja, Anna? Apa kau sakit?" tanya Seth bingung. Aku menarik tanganku dari genggamannya lalu menarik nafas.
"Sebenarnya aku ke sini karena ingin meminta sesuatu padamu, Seth."
"Sesuatu tentang apa, Anna?" wajahnya tampak bingung.
"Ceritakan padaku tentang masa lalumu." jawabku dengan nada datar. Jantungku mulai bergemuruh lagi dan aku merasakan tubuhku sedikit gemetar, menahan semua perasaan yang ada di dalam hatiku.
"Apa yang kau katakan, Anna? Aku sudah menceritakannya semua padamu di apartemenku waktu itu. Apa kau lupa?" Seth masih berusaha meyakinkanku tapi aku bisa melihat ia mulai sedikit gugup dengan tatapanku yang tak pernah lepas darinya.
"Jangan membohongiku lagi, Seth. Aku sudah mengetahui semuanya."
Raut wajah Seth berubah seketika. Ia balik memandangku dengan tatapan tidak percaya.
"Apa maksudmu, Anna?" Ia masih saja berpura-pura tidak tahu.
"Ceritakan padaku tentang mantan pacarmu yang bernama Julia. Kenapa kau tidak bercerita padaku mengenai gadis itu?"
Seth memalingkan wajahnya dariku. Ia tampak benar-benar gugup. Aku melihat keringat mulai tampak di keningnya.
"Julia hanya mantan pacarku, Anna. Tidak ada yang spesial darinya."
"Lalu kenapa ia sampai bunuh diri?"
Pertanyaanku membuat Seth tampak benar-benar kaget. Ia kembali berpaling ke arahku dan menatapku dengan tajam.
"Dari mana kau tahu tentang hal itu, Anna?" Seth berbisik. Kami beradu tatap sekarang.
"Aku mengetahuinya dari seseorang yang Tuhan kirim untuk membuka semua kebohonganmu, Seth," ucapku, juga dengan nada berbisik. Aku benar-benar berusaha menguasai perasaanku sekarang, "sekarang ceritakan semuanya padaku mengenai gadis itu juga tentang kedua orang tua angkatmu! Kenapa kau tega mengarang cerita seperti itu padaku, Seth Logan?!"
Aku menahan nada bicaraku agar tidak berteriak dengan mengatupkan gigiku. Nafasku mulai tersengal dan aku melihat petugas yang berjaga itu mulai melirik ke arah kami.
"Tidak ada yang perlu kau ketahui, Anna. Semua hal tentang masa laluku terlalu pahit untuk dikenang kembali." Seth berusaha meraih tanganku lagi tapi aku menolaknya.
"Ku mohon, Seth." air mata jatuh ke pipiku dengan sendirinya. Seth jadi tampak serba salah melihatku menangis, akhirnya ia menyerah.
"Julia adalah mantan pacarku di desa dulu saat usiaku tujuh belas. Ia sangat cantik dan aku sangat mencintainya. Lalu tiba-tiba ia jatuh cinta pada seorang pemuda kaya sampai-sampai Julia rela menyusul pemuda itu ke kota, Anna. Mereka saling mencintai. Dan, kau tahu, itu benar-benar menghancurkan hatiku. Aku menyusul mereka ke kota dan ku dengar, ayah dari pemuda itu tidak menyetujui hubungan mereka. Karena, ayah si pemuda sudah berniat menjodohkan anak laki-lakinya dengan anak gadis dari rekan bisnisnya yang sudah menyelamatkan perusahannya dari kebangkrutan.
Pemuda itu sangat menghormati ayahnya dan ia terpaksa memutuskan hubungan dengan Julia. Gadis itu merasa benar-benar patah hati dan lalu ia memutuskan untuk bunuh diri."
"Dan, anak laki-laki itu adalah Sebastian Agustine?" tanyaku datar. Seth awalnya tampak kaget mendengar nama itu, tapi ia lalu mengangguk pasrah.
"Iya, Anna. Sebastian yang telah merebut cinta pertamaku dan membuatnya harus mengakhiri hidupnya dengan cara seperti itu. Sebastian dan Fabio Agustine adalah orang-orang yang bertanggung jawab atas kematian Julia, Anna."
Seth menarik rambutnya ke belakang. Ia tampak seperti ingin menangis, tapi tak ada air mata yang keluar dari matanya.
"Lalu kenapa kau harus mengarang cerita mengenai orang tuamu, Seth? Kenapa kau harus membohongiku?"
"Kau jangan naif begitu, Anna. Dari awal aku tahu kau sangat mencintaiku dan aku yakin kau pasti akan cemburu dan tidak akan mau membantuku jika aku mengatakan hal yang sebenarnya mengenai Julia dan niatku untuk membalas dendam pada Sebastian."
Aku benar-benar tidak bisa percaya dengan apa yang baru saja Seth katakan. Air mata lagi-lagi jatuh membasahi pipiku.
"Kau jahat, Seth. Benar-benar jahat! Dari awal kau tidak pernah mencintaiku. Kau hanya ingin memanfaatkanku!" aku menutup wajahku dengan kedua telapak tanganku. Aku benar-benar merasa ingin berteriak sekarang.
"Tidak, Anna. Aku bersumpah demi Tuhan.
Aku benar-benar mencintaimu sejak pertama kali kita bertemu. Aku begitu mencintaimu bahkan setelah aku tahu kalau kau adalah anak seorang James Worthington, walau aku tahu kalau aku tidak akan pernah bisa menikahimu. Tapi, semua itu berubah saat pertama kali aku melihatmu di bar bersama Sebastian malam itu. Aku tidak bisa melupakan wajah lelaki yang sudah merusak hubunganku dengan Julia dulu, Anna."
"Apa aku masih harus mempercayaimu lagi setelah semua kebohongan yang sudah kau lakukan?"
"Anna, aku mohon. Aku tahu aku sudah sangat berdosa padamu. Tapi, percayalah aku begitu mencintaimu, Anna. Kau tidak pernah tahu bagaimana perasaanku saat aku harus rela melepas gadis yang paling ku cintai ke pelukan seorang Sebastian Agustine untuk yang kedua kalinya."
"HENTIKAN, SETH! AKU MOHON!!!
Aku sudah tidak tahan mendengar semua ucapan Seth. Aku menutup telingaku dengan kedua tanganku lalu bangkit. Melihat gelagatku, petugas yang dari tadi sudah memperhatikan kami, langsung buru-buru menghampiri dan berusaha mengamankan Seth kembali.
"Percayalah padaku, Anna. Aku benar-benar menyesal!"
Seth sudah ikut berdiri. Si petugas di belakangnya berusaha membawanya kembali tapi Seth memberontak.
Aku mengusap air mataku lalu menarik nafas dalam-dalam. Berusaha tegar.
"Terima kasih atas semuanya, Seth. Terima kasih karena sudah membuktikan padaku bahwa seseorang yang paling kita cintai terkadang memang tidak pantas untuk diperjuangkan."
Petugas itu dengan sudah payah berusaha membawa Seth kembali ke sel-nya karena Seth masih saja memberontak. Ia seperti masih ingin mengatakan sesuatu padaku.
"Maafkan aku, Anna! Percayalah padaku, aku benar-benar mencintaimu!"
*** Andai ... Andai aku tidak memilih pilihan nomor tiga yang diberikan Sebastian waktu itu ...
Andai aku tidak memutuskan untuk keluar dari kediaman Agustine ...
Andai aku tidak tinggal di apartemen jelek ini ...
Andai aku tidak lari mengelilingi taman pagi tadi ...
Andai aku tidak bertemu dengan Jack ...
Andai ... Andai ... *** Malam ini aku merenung sendiri di kegelapan apartemenku. Memikirkan semua hal yang sudah terjadi padaku. Semua kenyataan pahit ini benar-benar membuat hatiku hancur hingga luluh lantah. Aku tidak pernah menyangka bahwa Seth, lelaki yang paling ku cintai tega melakukan semua ini padaku.
Demi Seth, aku rela mengorbankan perasaanku dan menikah dengan Sebastian, lelaki yang tidak pernah ku cintai sama sekali. Demi Seth, aku sudah dengan lancang mengkhianati suamiku sendiri, seseorang yang sudah mengikat janji suci denganku di hadapan Tuhan.
Karena Seth aku sudah berprasangka buruk pada mendiang ayah mertuaku. Dan, karena Seth pula, Papaku harus terkena serangan jantung karena terlalu mengkhawatirkanku. Dan, segala macam lagi bentuk penderitaan bathin yang ku rasakan dalam hatiku selama ini.
Semua itu ku lakukan hanya demi dirinya. Demi seorang Seth Logan. Tapi, apa yang ia lakukan padaku? Ia telah membohongiku selama ini. Selama setahun lebih kebersamaan kami.
Dan, satu hal lagi yang juga paling menyesakkan hatiku adalah fakta mengejutkan bahwa dulu, Seth dan Sebastian pernah mencintai seorang gadis yang sama ...
*** Tiba-tiba aku dikagetkan oleh suara ketukan di pintu apartemenku. Dengan cepat kuusap sisa-sisa air mata yang masih membekas di pipiku lalu menarik nafas dalam-dalam untuk menenangkan diriku sendiri. Suara ketukan pintu itu masih terdengar. Aku berpikir mungkin itu adalah si pemilik kamar yang datang untuk menagih uang sewa.
Aku merapikan rambutku lalu berjalan ke arah pintu, kepalaku terasa sedikit pusing akibat terlalu banyak menangis. Saat ku buka pintu, ternyata yang berdiri di hadapanku adalah Sebastian.
Aku menarik nafas tanpa mengatakan sepatah kata pun. Aku sedang tidak dalam kondisi ingin berdebat dengannya.
"Hai, Anna. Apa kabar?" Sebastian menyeringai ke arahku. Aku tahu ia sedang ingin menggodaku tapi aku benar-benar sedang malas menanggapinya.
Aku membalikkan tubuhku dan berjalan ke dalam. Membiarkan pintu itu tetap terbuka supaya Sebastian bisa mengikutiku dari belakang. Dan, benar saja, lelaki itu masuk tanpa ku persilahkan lebih dulu. Andai aku sedang dalam kondisi baik, aku pasti sudah berteriak padanya karena sudah seenaknya masuk ke apartemen seseorang tanpa izin.
"Hei, kenapa di sini gelap sekali?" Sebastian menjatuhkan tubuhnya ke sofa. Merentangkan kedua tangannya di atas sandaran sofa usang itu.
Aku duduk di sofa yang sama dengannya, tapi agak sedikit berjauhan darinya.
"Kau mau apa lagi kemari?" tanyaku sambil memijat kepalaku perlahan. Kepalaku terasa sedikit pusing.
"Aku ke sini ingin mengajakmu ke rumah. Aku sengaja mengadakan sebuah pesta cocktail di rumah dan mengundang seluruh staff-ku di kantor. Ku harap kau mau ikut, tapi kalau kau sedang tidak enak badan, tidak apa-apa."
Sebastian memiringkan tubuhnya, menghadap ke arahku. Saat aku melirik ke arahnya, ia tampak sedang serius memperhatikanku.
"Iya, Sebastian. Aku akan ikut." aku bangkit dari sofa, berniat pergi ke kamar, "sebentar aku ganti baju dulu."
Saat aku berjalan melewatinya, tiba-tiba Sebastian bangkit dan langsung menarik pergelangan tanganku. Satu tangannya lagi menarik pinggulku dan merapatkan pada tubuhnya. Aku berusaha berpaling darinya karena wajah kami sudah sangat berdekatan sekarang.
"Kau baik-baik saja, Anna?" Sebastian menatapku tajam. Aku masih berusaha melepaskan tangannya dari tubuhku.
"Lepaskan aku, Sebastian. Aku baik-baik saja."
Sebastian semakin mengeratkan tangannya di pinggulku dan itu terasa sedikit menyakitkan. Ia terus menatap tajam padaku lalu berbisik,
"Jangan bohong padaku, Anna. Ku tanya sekali lagi, apa kau baik-baik saja?"
*** BAB 22 Sebastian semakin mengeratkan tangannya di pinggulku dan itu terasa sedikit menyakitkan. Ia terus menatap tajam padaku lalu berbisik,
"Jangan bohong padaku, Anna. Ku tanya sekali lagi, apa kau baik-baik saja?"
Kami bertatapan beberapa saat. Tatapan dari kedua matanya membuatku takut tapi aku tidak mungkin mengatakan yang sebenarnya pada Sebastian. Dia tidak perlu tahu semua hal yang sudah terjadi padaku. Biarlah ku simpan semuanya ini untuk diriku sendiri saja.
Posisi tubuhku yang berhimpit dengan Sebastian ditambah suasana yang hening dan keadaan ruangan yang temaram itu membuat jantungku berdegup dengan keras. Lelaki di hadapanku ini adalah suamiku dan entah kenapa Tuhan menciptakannya dengan begitu sempurna. Kalau kami bertahan dengan posisi seperti ini lebih lama lagi, aku yakin sesuatu hal aneh akan terjadi lagi di antara kami berdua.
Tiba-tiba saja aku tersadar dari lamunanku dan kembali menggerakkan tubuhku. Mencoba melepaskan diri dari jeratan tangannya.
"Aku baik-baik saja, Sebastian! Lepaskan aku!" aku memberontak lebih kuat dan akhirnya Sebastian melepaskanku. Aku langsung berpura-pura merapikan pakaianku.
"Kau menyakitiku, Sebastian Agustine!" ucapku dengan nada kesal.
Sebastian tampaknya tidak kalah kesal denganku. Ia memandangiku dengan kedua mata yang memicing.
"Kenapa kau tidak pernah mau menurut padaku, Anna? Kenapa kau selalu membuatku harus memaksamu?"
"Aku memang baik-baik saja. Aku hanya sedikit pusing. Mungkin karena terlalu lelah bekerja." aku menjawab tanpa mau melihat ke arahnya. Aku masih pura-pura sibuk dengan pakaianku. Dan, lagi-lagi Sebastian bisa membaca gelagat anehku itu.
Ia mendekat dan kembali mencengkram lenganku. Membuatku menatap kedua matanya.
"Apa kau begitu lelahnya sampai harus menangis dan membuat matamu sembab seperti itu?"
Ucapan Sebastian membuatku terdiam seketika. Aku tidak tahu harus berkata apa lagi untuk mengelak. Tatapan Sebastian benar-benar membuatku seperti ingin menghilang dari hadapannya sekarang.
"Kenapa kau diam, Anna? Apa kau masih mau berbohong lagi?"
"Aku tidak apa-apa, Sebastian. Aku tidak bohong." aku berusaha mengalihkan pandanganku darinya dengan menundukkan wajahku. Tanpa ku duga sama sekali, tiba-tiba Sebastian meraih wajahku dan mencium bibirku dengan kasar. Aku terus mengatupkan bibirku rapat-rapat dan berusaha mendorongnya sekuat tenaga. Dan untungnya usahaku berhasil.
Sebastian melepas ciumannya dan berdiri menatapku dengan kesal. Nafas kami berdua sama-sama terengah.
"Apa yang kau lakukan, Sebastian? Kau sudah gila, hah?" aku mengusap bibirku dengan kasar menggunakan punggung tanganku.
"Aku melakukan hal yang kau sukai, Anna. Kau suka dipaksa, kan?"
Sebastian berjalan mendekatiku lagi. Aku semakin panik.
"Tetap di tempatmu, Tuan Agustine! Atau aku akan berteriak."
Aku merasa tubuhku mulai gemetar. Mataku mulai mencari-cari sesuatu yang mungkin bisa melindungiku.
Sebastian tertawa mendengar ucapanku. Mungkin baginya itu sesuatu yang lucu.
"Lalu apa yang akan kau katakan saat orang-orang datang? Apa kau akan mengatakan kalau suamimu ini ingin memperkosamu? Kau jangan mempermalukan dirimu sendiri, Anna. Tak akan ada satu orang pun yang percaya."
Sebastian tidak main-main dengan kata-katanya. Ia dengan cepat berjalan ke arahku dan kembali menarik tanganku hingga tubuhku jatuh dengan kasar ke sofa. Kepalaku terasa berputar sekarang.
Ia masih berdiri di hadapanku.
"Aku benci padamu, Sebastian! Aku tidak mau ikut ke rumahmu sekarang!" ucapku sambil memijat kepalaku yang mulai pusing lagi. Aku menatapnya dengan tatapan kesal.
"Baiklah, kalau kau tidak mau ikut tidak apa-apa."
Tiba-tiba Sebastian mengeluarkan ponsel dari sakunya dan tampak menelepon seseorang.
"Martha, bilang pada semua tamu yang sudah datang kalau pestanya dibatalkan. Aku dan Nyonyamu sedang ada urusan penting yang perlu diselesaikan sekarang juga."
Seketika Sebastian mematikan ponselnya dan melemparnya ke sofa di sampingku. Apa yang dikatakannya barusan? Pesta dibatalkan? Martha dan semua pelayan pasti sudah menyiapkan banyak makanan dan biaya untuk itu semua pasti tidaklah sedikit.
Aku menarik nafas, sejak merasakan hidup susah dan bekerja di pabrik, aku jadi tahu nilai uang yang sebenarnya. Tapi, tidak untuk lelaki di hadapanku ini. Mungkin Sebastian harus merasakan hidup tanpa uang sepeser pun sesekali nanti.
"Apa yang kau katakan tadi? Pestanya dibatalkan? Lalu bagaimana dengan para staff-mu yang sudah datang? Kau tidak menghargai usaha mereka sama sekali."
"Aku adalah bosnya dan aku bebas melakukan hal apapun. Kalau ada yang tidak suka, mereka bisa keluar dari OneComp. kapan pun mereka mau."
Jawaban Sebastian barusan benar-benar gila dan angkuh. Aku benci sekali pada lelaki di hadapanku ini sekarang.
"Terserah kau saja, Sebastian." ucapku malas sambil mengalihkan pandanganku ke arah lain. Aku sudah malas berdebat dengannya.
Aku bangkit dan berniat masuk ke kamar, setelah itu aku akan mengunci pintu dan beristirahat. Biarlah Sebastian akan tetap berada di ruang tamu ini selama yang ia mau. Aku tidak perduli.
Tapi, saat aku berjalan ke arah kamar, ia kembali menarikku hingga punggungku bersentuhan dengan dadanya sekarang.
"Kau mau kemana, Sayang? Aku sudah membatalkan pesta di rumahku karena ada urusan yang harus kita selesaikan. Dan, sekarang kau malah mau pergi meninggalkanku?" bisikan Sebastian di telingaku membuatku merasa geli dan merinding. Jantungku berdegup dengan cepat lagi.
"Urusan apalagi?" aku mencoba melepaskan diri, tapi jeratannya kali ini begitu kuat. Semakin aku berusaha, itu semakin menyakiti diriku sendiri.
"Urusan antara Tuan dan Nyonya Agustine."
Sebastian membalikkan tubuhku. Membuatku menatapnya. Saat kami bertatapan entah kenapa tiba-tiba aku teringat sosok Julia. Gadis itu yang sudah membuat Seth dan Sebastian jatuh cinta di waktu yang sama. Yang membuat Seth rela melakukan kegilaan dan menyimpan dendam bertahun-tahun lamanya. Yang membuat seseorang seperti Sebastian Agustine jatuh cinta. Gadis itu pasti sangat cantik dan spesial.
Sementara aku apa? Tak ada seorang pun yang mencintaiku. Aku hanyalah alat bagi Seth untuk membalas dendam pada keluarga Agustine. Dan, Sebastian juga menikahiku hanya karena terpaksa. Aku tidak cantik dan tubuhku biasa saja. Kalau bukan karena nama besar Papa yang terselip di belakang namaku, aku memang pasti bukanlah apa-apa.
Tiba-tiba hatiku merasa sakit. Apakah aku cemburu pada Julia karena tahu suamiku sendiri pernah begitu mencintainya dulu. Aku jadi merasa benar-benar tidak berharga sekarang.
"Tidak akan ada lagi Tuan dan Nyonya Agustine, Sebastian. Aku akan mengurus surat perceraian kita."
Ucapanku membuat Sebastian tampak syok. Ia membulatkan kedua matanya dan meraih wajahku, menatapku tajam.
"Tidak pernah ada orang yang berani menantangku seperti itu, Anna. Tidak seorang pun. Aku sudah begitu sabar menghadapi sifat kekanak-kanakanmu selama ini. Aku hanya ingin kau belajar untuk mencintaiku sama seperti aku yang mencoba belajar untuk mencintaimu.
Karena asal kau tahu, pernikahan ini adalah satu-satunya keinginan terakhir ayahku sebelum ia meninggal dunia. Tapi, jika kau memang tetap tidak bisa, atau tidak mau mempertahankan pernikahan kita dan tetap ingin berpisah dariku. Baiklah, kau tidak perlu repot mengeluarkan uang sepeser pun untuk mengurus surat perceraian kita karena aku yang akan mengurus semuanya. Aku akan mengabulkan permintaanmu, Savannah Worthington."
Sebastian melepas cengkramannya dari wajahku dengan kasar. Membuat tubuhku terhempas beberapa langkah ke belakang. Dengan cepat Sebastian meraih ponselnya dari sofa dan bergerak menuju pintu. Ia keluar lalu menutup pintu itu dengan kasar hingga menghasilkan suara yang begitu keras.
Sebastian telah pergi. Pergi membawa perasaan marah yang sangat besar padaku. Sementara aku masih terpaku di sini. Di ruang apartemen yang gelap ini. Mengutuki diriku sendiri karena telah berani menantangnya tadi. Entah kenapa tiba-tiba aku merasa menyesal telah membuat Sebastian begitu marah seperti itu tadi.
Bagaimana jika ia benar-benar akan menceraikanku? Bagaimana jika ia benar-benar akan pergi meninggalkanku? Kenapa tiba-tiba ada sedikit perasaan takut dalam diriku untuk berpisah dengannya? Apa yang terjadi padaku?
*** BAB 23 Beberapa hari setelah pertemuan kami di malam itu, Sebastian tidak pernah lagi menghubungiku. Aku berpikir kalau mungkin ia memang benar-benar marah padaku. Membuatku menjadi merasa lebih bersalah. Tapi, ku terima jika ia memang marah padaku. Aku pantas mendapatkannya.
Sejak kejadian itu pula, pikiranku selalu dipenuhi oleh seorang Sebastian Agustine. Aku benar-benar merasa menyesal telah membuatnya marah seperti itu kemarin. Aku sudah sering melihatnya marah, tapi mungkin kali ini kesabarannya memang benar-benar sudah habis. Aku memang sudah bertindak begitu bodoh karena mengatakan akan mengurus surat perceraian kami.
Entahlah. Aku sendiri tidak tahu hal lain apalagi yang bisa ku perbuat selain membuat kekacauan. Papaku sendiri saja bahkan sampai terkena serangan jantung akibat ulahku itu.
*** Hari ini aku berniat untuk meminta jatah lembur pada Liz, pengawasku yang galak itu. Aku pikir dengan menghabiskan waktu lebih lama di pabrik akan mengalihkan pikiranku dari rasa bersalahku pada Sebastian. Karena jika aku pulang seperti biasa, aku bisa mati bosan di kamar apartemenku karena memikirkan lelaki itu.
Tapi, meminta jatah lembur pada Liz bukanlah perkara mudah. Dari awal aku tahu kalau wanita itu tidak menyukaiku. Aku tidak mengerti apa alasannya. Ditambah lagi, beberapa hari di awal aku bekerja, aku sering sekali hampir, bahkan benar-benar terlambat dan itu membuat Liz semakin tidak menyukaiku. Tapi, demi menyambung hidup aku terus mencoba bersabar dan bertahan bekerja di sana. Aku membutuhkan uang untuk biaya sehari-hariku.
Aku menghampiri Liz yang sedang sibuk memperhatikan salah satu pekerja, saat mendengar aku memanggil namanya, Liz membalikkan tubuh dan menatapku dengan tatapannya yang sinis.
"Ada apa, Worthington?" tanya Liz. Ia menatapku seperti seekor elang yang lapar.
"Mmhh ... Bolehkah aku lembur hari ini? Aku butuh uang tambahan, Liz." tanyaku takut-takut. Liz tampak tersenyum miring, mengejekku.
"Kau lihat sendiri. Produksi kita sedang menurun belakangan ini. Lalu apa yang mau kau kerjakan untuk lemburanmu? Kau mau membersihkan toilet?"
Liz tertawa. Bahkan tawanya saja tidak bisa memberikan kesan lebih manis di wajahnya. Liz menolakku. Aku seharusnya sudah tahu dari awal kalau akan seperti ini akhirnya. Wanita itu memang tidak pernah menyukaiku dari awal. Yah, aku memang bodoh!
Pukul empat dan semua pegawai bersiap untuk pulang. Saat aku mengecek ponselku, ternyata ada beberapa panggilan tidak terjawab dari nomor yang tidak ku kenal. Tapi, orang itu tidak meninggalkan pesan sama sekali. Jadi, ku putuskan untuk meneleponnya. Siapa tahu itu panggilan penting.
"Halo, selamat sore, Nyonya Agustine." otakku berpikir dengan cepat setelah mendengar suara dari orang di seberang sana. Suara itu seperti tidak asing dan ya, aku tahu, itu adalah suara Dennis Sanders. Pengacara Sebastian yang waktu itu pernah datang ke apartemenku.
"Ya, Tuan Sanders, ada yang bisa ku bantu?" tanyaku perlahan.
"Begini, Nyonya. Ada sesuatu hal yang ingin saya bicarakan dengan anda. Jika anda ada waktu bagaimana kalau kita bertemu di sebuah kafe atau restoran untuk membicarakannya. Tempatnya terserah anda. Saya akan segera menemui anda di sana."
Jantungku berdebar dengan cepat. Aku yakin sekali sesuatu hal yang Dennis maksud ada hubungannya dengan masa depan pernikahanku dengan Sebastian. Lelaki itu tidak main-main dengan ucapannya.
"Baiklah, Tuan Sanders. Saya akan kirim nama dan alamat kafe itu lewat pesan singkat. Kita bertemu di sana 30 menit dari sekarang."
"Baiklah, Nyonya Agustine. Saya akan segera ke sana. Selamat sore."
Terdengar suara sambungan terputus. Aku menarik nafas. Entah kenapa tiba-tiba aku jadi merasa takut jika itu memang benar-benar berhubungan dengan perceraianku.
Aku dulu adalah seorang wanita yang selalu penuh dengan keberanian dan percaya diri tapi kenapa sekarang aku seperti kehilangan jati diriku yang sesungguhnya? Aku sendiri tidak tahu alasannya.
*** "Selamat sore, Nyonya Agustine. Apa kabar?" Dennis menyapaku dengan gayanya yang sopan dan ramah. Senyumannya sangat manis ditambah lesung di pipinya itu.
"Saya baik, Tuan Sanders. Terima kasih."
Aku duduk berhadapan dengan Dennis di sebuah meja kayu yang beralaskan taplak berwarna merah muda. Aku mengajaknya bertemu di sebuah restoran sederhana yang tidak begitu jauh dari apartemenku.
"Jadi begini, Nyonya. Saat ini Tuan Agustine sedang melakukan perjalanan bisnis ke Malaysia selama sebulan. Jadi, saya ke sini berperan sebagai kuasa hukum sekaligus perwakilan dari Tuan Sebastian Agustine, ingin memberikan surat permohonan cerai yang diajukan oleh klien saya. Beliau mengatakan bahwa ini sebenarnya adalah keinginan dari pihak Nyonya sendiri. Bukan begitu?"
Dennis menatapku dengan tatapannya yang sopan. Membuatku merasa sedikit lebih tenang. Aku merasa kalau siapa pun wanita yang akan mendapatkannya nanti, pastilah wanita yang sangat beruntung.
Aku mengangguk kecil. Pasrah pada keadaanku.
Melihat gelagatku, Dennis tersenyum maklum. Ia memberikan sebuah map yang berisi kertas-kertas kepadaku. Perlahan aku mengambil dan membukanya.
"Seperti yang bisa anda lihat sendiri, di dalam map itu adalah surat permohonan perceraian yang diajukan oleh pihak Tuan Agustine terhadap anda, Nyonya. Dan, di sana beliau belum menandatanginya. Tuan Agustine meminta anda untuk membaca keseluruhannya dengan baik, lalu jika anda menyetujuinya, anda boleh menandatangani surat itu sekarang. Klien saya akan menandatangani surat itu sepulangnya beliau dari perjalanan bisnisnya. Saya akan beritahukan lagi kapan sidang pertama perceraian anda akan diadakan."
Perkataan demi perkataan yang keluar dari mulut Dennis keluar dengan begitu lancar. Entah kenapa ada seseorang yang bisa berbicara selancar itu di atas permasalahan orang lain. Sementara aku, di hadapannya sedang menahan perasaanku. Aku benar-benar ingin menangis sekarang. Apakah benar Sebastian menginginkan ini semua?
"Nyonya Agustine? Anda mengerti apa yang saya jelaskan barusan?" Dennis memperhatikanku lebih seksama. Ia mengangkat kedua alisnya. Menunggu jawabanku.
Aku tidak bisa membayangkan jika aku benar-benar harus berpisah dari Sebastian. Pastilah akan lebih banyak lagi pihak yang tidak setuju dan kecewa padaku. Khususnya Papa.
Aku memandangi surat-surat permohonan yang ada di tanganku sekarang. Aku sudah membaca keseluruhannya dan memang benar, Sebastian belum menandatanganinya. Seperti ada secercah harapan untukku. Aku merasa kalau ia tidak benar-benar serius dengan apa yang dilakukannya ini. Mungkin Sebastian memang masih berniat untuk mempertahankan pernikahan kami.
Tapi, apa mungkin seperti itu? Lelaki itu tampak benar-benar marah kemarin dan ia sepertinya memang sudah habis kesabaran padaku. Apa Sebastian tidak menandatanginya karena mau menunggu keputusanku dulu atau dia hanya belum sempat saja menandatanganinya?
"Anda sebaiknya membaca keseluruhan surat itu dengan baik, Nyonya. Lalu setelah itu anda boleh menandatanganinya."
"Tadi kau bilang kalau Sebastian sedang berada di Malaysia sekarang? Selama sebulan ke depan?"
"Benar sekali, Nyonya Agustine."
Aku menutup map di tanganku lalu menarik nafas.
"Bagaimana kalau aku minta waktu sebulan untuk mempertimbangkannya lebih dulu. Nanti setelah Sebastian kembali, biar aku sendiri yang akan memberikan surat ini kepadanya. Apa bisa seperti itu?"
Aku berharap Dennis akan berkata YA. Lelaki itu tampak berpikir sejenak, lalu berkata,
"Baiklah, Nyonya. Saya akan meninggalkan berkas ini bersama anda. Jangan lupa untuk mempelajarinya lagi dengan baik. Nanti saya akan beritahukan hal ini pada klien saya."
Senyum lega mengembang di bibirku.
"Terima kasih, Tuan Sanders. Terima kasih."
*** Keesokan harinya, tanpa ku duga sebelumnya, ternyata Andrew menjemputku sepulang kerja. Ia menjemputku di depan pabrik dan mobil mewahnya itu tampak seperti salah alamat. Beberapa pegawai perempuan tampak memandangiku dengan tatapan aneh saat aku memasuki mobil Andrew. Mungkin mereka berpikir kalau aku mempunyai sebuah hubungan terlarang dengan salah seorang petinggi perusahaan. Entahlah, tapi ku rasa pasti akan lebih banyak pegawai perempuan yang membenciku setelah ini.
Ada sedikit perasaan malu terbesit dalam pikiranku saat Andrew menjemputku di antara kerumunan para pegawai yang baru saja keluar dari pabrik itu. Andrew dengan setelan jasnya benar-benar tampak seperti bos mereka. Tapi, aku tidak perduli. Andrew adalah kakakku dan ia tahu segala sesuatu yang telah terjadi. Jadi, ku harap ia bisa mengerti dengan situasiku sekarang ini.
Aku duduk di sebelah Andrew yang duduk di kursi pengemudi. Ia mengendarai mobilnya sendiri hari ini. Jujur, aku sangat senang melihat sosok Andrew saat ini. Entah kenapa aku merasa begitu merindukannya.
"Aku senang kau datang menemuiku, Andy."
Aku bersungguh-sungguh dengan ucapanku. Aku memandangi Andrew dengan mata berkaca-kaca, tapi langsung saja ku usap mataku agar Andrew tidak melihatnya. Ia pasti akan menertawaiku kalau ia tahu aku menangis hanya karena merindukannya.
Andrew tersenyum mendengar ucapanku. Ia masih konsen mengendarai mobil dan tatapannya masih terfokus pada jalanan.
"Ya, Anna. Aku juga merindukanmu. Aku sengaja menjemputmu karena Papa ingin bertemu denganmu. Papa begitu merindukanmu, Anna."
Andrew menoleh padaku lalu ia tersenyum kecil. Aku menarik nafas mendengar ucapannya. Tiba-tiba hatiku terasa sakit mengingat keadaan Papa. Karena itu semua adalah akibat ulahku.
"Bagaimana keadaan Papa? Apa Papa sudah lebih baik?"
"Papa sudah jauh lebih baik. Ia sekarang sudah bisa turun dari tempat tidur. Tapi, keadaannya masih sedikit lemah. Semoga saja dengan melihatmu keadaan Papa jadi semakin membaik. Semalam ia mengatakan kalau ia begitu merindukanmu, Anna."
Aku juga begitu merindukan Papa, Andrew. Hanya saja tidak ada seorang pun yang tahu. Bisikku dalam hati.
Aku terdiam mendengar ucapan Andrew. Aku benar-benar merasa tidak sabar untuk bertemu dengan Papa setelah ini.
*** Sekitar satu jam kemudian, kami tiba di kediaman Worthington. Entah kenapa tiba-tiba saja aku merasa seperti ingin menangis setelah menginjakkan kakiku lagi di rumah itu. Aku ingat saat terakhir aku datang kemari dan Papa sama sekali tidak mau menemuiku. Entah sudah berapa lama kejadian itu berlalu, tapi aku merasa itu sepertinya sudah lama sekali terjadi.
Saat pertama kali kami sampai, Andrew langsung mengajakku ke ruang keluarga. Di sana tampak sosok seorang pria paruh baya yang sedang duduk di sebuah kursi roda sedang terdiam sambil memandangi halaman belakang rumah kami.
Beberapa saat, aku dan Andrew berdiri beberapa meter di belakang Papa. Memperhatikan lelaki yang paling kami cintai itu tanpa mengeluarkan suara. Hatiku merasa sangat sedih melihatnya. Itu adalah Papaku. Papa yang sudah ku kecewakan sedemikian rupa hingga tubuhnya yang gagah dulu harus bergantung pada sebuah kursi roda seperti ini. Tanpa terasa air mata jatuh membasahi pipiku.
"Papa, aku sudah kembali bersama Anna."
Suara Andrew tampaknya membuat Papa kaget. Dengan susah payah Papa berusaha untuk memutar kursi rodanya, ingin menghadap ke arah kami. Aku dan Andrew segera berlari ke arah Papa, mencoba membantunya.
Saat sudah berada di hadapan Papa, aku langsung saja memeluk tubuhnya dengan erat. Rasa rinduku tidak bisa ku tahan lagi. Aku menangis sejadi-jadinya. Aku tidak perduli apakah setelah ini Andrew akan menertawaiku. Sumpah demi Tuhan aku tidak perduli.
Untuk beberapa saat aku terus menyembunyikan wajahku di pelukan Papa. Satu-satunya lelaki yang mencintaiku apa adanya. Rasanya nyaman sekali berada di dalam pelukan Papa. Setelah sekian banyak hal yang terjadi padaku, aku merasa seperti mendapatkan obat dari segala kesedihanku sekarang. Yaitu berada di dalam pelukan Papa.
"Baiklah, ku rasa aku harus meninggalkan kalian berdua sekarang."
Ucapan Andrew membuatku melepas pelukanku pada Papa. Ia berjalan meninggalkan kami berdua. Saat aku kembali melihat wajahnya, Papa juga tampak menangis. Menangis dalam diam.
"Anna, anak gadis kesayanganku."
Papa mengusap wajahku dan lagi-lagi air mata jatuh di pipinya yang tampak pucat.
"Jangan banyak bicara, Papa. Aku di sini sekarang. Papa harus cepat sembuh ya."
Aku mencium tangan Papa dengan lembut. Tangan yang telah bekerja keras demi memberikan kehidupan yang layak untukku dan Andrew sejak kami kecil. Tapi, sayangnya aku sama sekali belum bisa membalas jasa dari kedua tangan yang sekarang sudah mulai keriput itu.
"Aku akan cepat sembuh jika melihatmu dan Andrew bahagia, Sayang." Papa mengusap rambutku dengan lembut.
"Apa maksud Papa? Aku sudah bahagia sekarang, Papa. Aku benar-benar bahagia. Papa tenang saja. " aku memaksakan senyuman pada Papa.
"Bagaimana aku bisa tenang, Anna. Mengetahui kalau rumah tangga anak gadisku di ambang kehancuran dan sekarang ia hidup di sebuah apartemen kumuh dan bekerja sebagai buruh pabrik. Sumpah demi Tuhan, Anna. Aku akan merasa sangat malu pada mendiang ibumu karena sudah gagal membuatmu bahagia."
Ucapan Papa menohok jantungku. Papa bahkan belum tahu lagi drama yang telah Seth buat dalam hidupku untuk lebih mengacaukan semuanya.
"Kau tahu, Anna. Aku bisa mati kapan saja sekarang. Yang aku minta darimu dan Andrew hanyalah kebahagiaan kalian. Melihat kau dan Andrew hidup senang itu sudah membuatku mati dalam kebahagiaan."
"Aku mohon jangan katakan itu, Papa. Papa akan hidup seratus tahun lagi. Papa akan hidup dan melihat cucu-cucu Papa dariku dan Andrew nanti. Percayalah."
Desperate Mrs Karya Agustine di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tiba-tiba saja Papa tersenyum kecil mendengar ucapanku barusan. Memang apa yang baru saja ku ucapkan barusan?
"Aku memang menginginkan seorang cucu, Anna. Aku tidak perduli apakah kau atau Andrew yang akan memberikannya lebih dulu. Aku hanya ingin setiap akhir pekan, akan ada seorang bocah yang akan mengunjungiku dan bermain di pangkuanku. Sudah 20 tahun lebih aku tidak mendengar tangisan seorang bayi. Aku benar-benar merindukannya."
Aku menelan ludah. Aku hanya main-main dengan ucapanku tadi supaya Papa berhenti berbicara mengenai kematian. Tapi, kenapa Papa malah menganggapnya serius?
"Tapi, Papa ..." aku menahan ucapanku. Tadinya aku mau bilang kalau aku dan Sebastian sedang dalam proses perceraian, tapi kalau Papa sampai tahu, bisa-bisa keadaannya semakin parah setelah ini.
"Kenapa, Anna?" tanya Papa bingung.
"Tidak apa-apa, Papa. Lupakan saja."
Papa meraih tanganku dan mengusapnya dalam genggamannya.
"Anna, bagaimana keadaanmu dengan Sebastian? Apa kau berniat untuk kembali padanya?"
Aku memalingkan wajahku. Tidak sampai hati menatap kedua mata Papa yang menatapku dengan penuh harapan.
"Aku belum tahu, Papa. Tapi, kami suka bertemu sesekali."
Papa tersenyum padaku. "Baguslah, Anna. Setiap malam aku selalu berdoa agar Tuhan bersedia menyatukan kalian berdua kembali. Entah bagaimana caranya. Hanya Tuhan yang tahu."
"Ya, Papa. Doakan yang terbaik untuk kami. Aku hanya mengikuti kemana takdir akan membawaku."
Aku bersungguh-sungguh dengan ucapanku. Papa meraih wajahku dan menatapku dengan lembut.
"Dengarkan Papamu ini, Anna sayang. Kau adalah keturunan Worthington. Di dalam darahmu mengalir darahku. Keluarga kita dinaungi oleh bintang keberuntungan. Kau akan hidup bahagia, Anna. Percayalah padaku."
Aku tertegun menatap kedua mata Papa. Ia benar-benar tampak serius dengan ucapannya.
"Ya, Papa. Aku percaya. Aku percaya karena Papa yang mengatakannya."
*** BAB 24 Setelah pertemuanku dengan Papa hari itu, aku kembali menjalani hari-hariku seperti biasa. Bekerja dari pagi hingga sore lalu setelah itu mengurung diri di apartemen sempitku. Siklus itu berulang sama seperti itu setiap hari. Tidak ada sesuatu hal yang spesial terjadi padaku. Hidupku benar-benar membosankan.
Hingga sampailah sebulan kemudian. Waktu yang ditentukan pun datang. Hari ini aku akan pergi ke kediaman Sebastian, karena sebelumnya ia menghubungiku lewat telepon, membahas tentang keputusan akhirku mengenai berkas yang diberikan Dennis sebelumnya. Setelah berbicara sedikit lewat telepon, kami sepakat untuk membahasnya di kediaman Sebastian. Aku sengaja pergi sendiri karena aku tidak mau merepotkan salah satu supirnya untuk menjemputku.
Sepulang kerja, aku langsung pergi ke rumah Sebastian. Aku pergi dengan taksi dan saat pertama kali aku mengetuk pintu besar itu, ternyata Martha yang membukakan pintu untukku. Pertama kali aku melihatnya, entah kenapa aku merasa sangat bahagia.
"Selamat datang kembali di rumah ini, Nyonya Anna. Tuan Sebastian sudah menunggu anda di halaman samping."
Aku tidak mengucapkan sepatah kata pun. Kembali ke rumah itu dan setelah ini akan bertemu lagi dengan Sebastian sudah cukup membuatku gugup. Martha berjalan lebih dulu di depanku. Aku mengikuti langkahnya dengan jantung yang berdebar cepat. Sampai akhirnya kami sampai di halaman samping rumah besar itu.
Sebastian sudah menungguku di sebuah meja yang disiapkan khusus. Meja itu berbentuk persegi, tidak terlalu besar dan dihiasi oleh bunga dan lilin yang menyala di tengahnya. Meja itu terletak tepat di tepian kolam renang, tak begitu jauh dari bar kecil miliknya.
Saat melihatku datang bersama Martha, Sebastian langsung bangkit dari kursinya dan menarik kursi di seberangnya untukku. Aku bertanya dalam hati, kenapa ia bersikap begitu sopan padaku hari ini dan harus menyiapkan penyambutan seperti ini. Padahal ia tampak begitu marah saat terakhir kami bertemu.
Dengan ragu aku duduk di kursiku, berhadapan dengannya.
"Apa kabar, Anna?" ucap Sebastian pertama kali dengan senyuman kecil menghiasi bibirnya. Wajahnya nampak tenang.
"Aku baik, Sebastian. Kau sendiri apa kabar?" aku membalas senyumannya. Mencoba bersikap tenang seperti dirinya.
"Aku baik, Anna. Hanya sedikit lelah setelah perjalananku kemarin. Tapi, tidak apa-apa. Aku sengaja ingin bertemu denganmu hari ini karena aku sudah tidak sabar ingin mengetahui keputusan apa yang kau ambil untuk masa depan pernikahan kita. Boleh aku lihat berkas yang diberikan pengacaraku?"
Aku mengambil map itu dari dalam tasku. Perlahan ku berikan map itu pada Sebastian dan ia mengambilnya dari tanganku. Jantungku berdebar dengan cepat saat melihat Sebastian membukanya dan tampak membaca isinya. Aku tidak bisa membaca apa yang ada di pikirannya sekarang saat membaca surat itu. Tak lama, ia menarik nafas lalu menatapku,
"Kenapa kau belum menandatanganinya juga, Anna? Apa kau butuh waktu lebih lama lagi untuk mempertimbangkannya?"
Sebastian menutup map di tangannya tapi kedua matanya tak pernah lepas menatapku. Membuatku jadi malu dan bertambah gugup.
"Aku tidak tahu, Sebastian. Aku tidak tahu." aku memalingkan wajahku dari Sebastian. Aku sendiri tidak mengerti apa yang ku rasakan saat ini. Di satu sisi aku tidak menyukai lelaki ini, tapi di sisi lain aku tidak mau kalau harus benar-benar berpisah darinya. Entah disebut apakah perasaan ini.
"Aku menganggap bahwa kau sudah membuat keputusan, Anna. Dan, keputusanmu adalah kau tidak mau berpisah dariku." ucap Sebastian dengan tenang sambil menuangkan minuman di gelas kami masing-masing.
Aku kembali berpaling padanya. Sebenarnya aku mau protes mendengar ucapannya barusan, karena apa yang ia pikirkan tentang keputusanku itu tidak sepenuhnya benar. Tapi, entah kenapa aku lebih memilih diam. Aku sudah tidak punya alasan lagi untuk menjawab pertanyaannya kenapa aku belum juga menandatangani surat itu.
"Aku sangat menghargai keputusanmu, Anna. Walau aku tahu, ini adalah keputusan yang sangat berat untukmu," Sebastian meletakkan botol anggurnya ke atas meja lalu menatapku lagi, "tapi, kita bisa coba lagi semuanya dari awal. Bukan begitu?"
Sebastian meraih tanganku yang berada di atas meja lalu meremasnya perlahan. Saat pertama kali merasakan sentuhannya lagi, aku merasa kalau sekujur tubuhku terasa seperti dialiri oleh aliran listrik.
"Kau sudah tidak marah padaku, Sebastian?" tanyaku dengan ragu lalu ia tersenyum mendengarnya.
"Aku? Tentu saja aku masih marah padamu, Anna. Kau ingat kelancangan apa saja yang sudah kau lakukan padaku? Aku memang sudah memaafkanmu tapi aku tidak pernah melupakan apa saja yang sudah kau lakukan padaku. Aku ingin memberikanmu kesempatan kedua karena aku sangat menghormati ayahmu dan juga mendiang ayahku sendiri, Anna. Terlebih lagi, aku sangat menghormati pernikahan ini."
Ucapan Sebastian benar-benar membuatku malu. Malu setengah mati. Kata demi kata yang keluar dari bibirnya seperti sengaja dilontarkan untuk menyinggung perasaanku.
Kami terus saja bertatapan. Tatapan matanya dan ucapannya barusan benar-benar membuatku mati kutu.
Tak lama, seperti tersadar dari lamunannya, Sebastian tersenyum lalu mengambil gelasnya sendiri lalu menyesapnya.
"Aku berniat memulai semuanya lagi dari awal bersamamu, Anna. Tapi, aku minta setelah ini, jadilah istri yang baik untukku. Jangan pernah membantahku lagi. Kau mengerti?"
Perlahan aku mengangguk. Sebastian tersenyum melihatku lalu kembali menyesap minumannya.
"Kau tidak mau minum, Anna? Oh, ayolah, bukankah kita sudah berdamai sekarang?"
Ku pikir ucapan Sebastian ada benarnya juga. Untuk apa aku masih merasa kesal padanya. Kami berdua tahu kalau sejak awal akulah sumber dari berbagai masalah dalam rumah tangga kami. Dan, kalaupun ada pihak yang seharusnya lebih marah, Sebastianlah orangnya, bukan aku.? Lagipula, semakin aku berusaha melupakan lelaki ini, semakin sulit rasanya menghilangkannya dari pikiranku.
Aku mengambil gelasku dan mulai menyesapnya. Merasakan cairan panas itu menjalar ke lidah, tenggorokan lalu ke perutku. Rasanya nikmat sekali. Aku sudah lama tidak minum alkohol karena tidak punya cukup uang untuk membelinya. Ku pikir daripada membeli minuman lebih baik uangnya ku pakai untuk membeli makanan.
Aku menyesap lagi minumanku. Lagi dan lagi. Rasanya sangat nyaman. Alkohol telah membuatku melupakan semua rasa takut, gugup dan kekhawatiran yang ku rasakan tadi. Aku merasa lebih santai sekarang walaupun aku merasa kalau wajahku mulai terasa panas.
"Oh, iya. Kau tahu, aku punya oleh-oleh untukmu." Sebastian menyesap minumannya lagi tanpa melepas pandangannya dariku.
"Oh, benarkah?" aku tertawa. Entah kenapa aku merasa sangat bahagia sekarang. Aku merasa seperti sedang berjalan di udara.
"Iya, akan ku tunjukkan padamu nanti. Bagaimana?" Sebastian meraih tanganku lagi lalu meremasnya. Aku diam, tidak berusaha menolak. Ku pikir tidak ada yang salah, ia hanya menyentuh tanganku sedikit.
"Baiklah, terserah kau saja, Sebastian." aku tertawa lagi.
Anggur itu mencairkan segalanya. Suasana menjadi hangat dan percakapan kami mengalir dengan lancar. Sebastian menceritakan tentang perjalanannya ke Malaysia dan aku mendengarkan dengan penuh minat sambil menopang daguku. Memandanginya seperti orang idiot.
Sampai kemudian Sebastian bangkit dari kursinya dan meraih tanganku. Ia membantuku berdiri lalu berbisik,
"Aku ingin memelukmu, Anna."
Hanya satu kalimat itu dan aku mengerti. Aku menganggukkan kepala. Entah kenapa aku menyetujuinya. Mungkin karena minuman itu sudah mempengaruhi pikiranku. Yang pasti aku juga ingin merasakan pelukan Sebastian lagi saat ini.
Sebastian membawaku ke atas, ke kamarnya. Aku merasa diriku melayang-layang dibawah pengaruh alkohol. Ditambah dengan kemesraan yang Sebastian lakukan padaku. Saat perlahan ku buka mataku, samar-samar ku lihat ia sedang mengecupi ujung jemariku. Dan, saat ia menatapku, kedua matanya tampak berkilauan.
Sebastian mulai menciumiku dan aku tak kuasa menolaknya. Aku menyukai semua yang dilakukannya. Ia menciumiku, memelukku lalu berbisik dengan lembut di telingaku,
"Aku mencintaimu, Anna. Sangat mencintaimu."
*** "Hei, Worthington, Bekerja yang benar! Ku lihat hari ini kau banyak melamun! Apa kau sakit?!"
Suara teriakan Liz memecah lamunanku. Dengan gugup aku menggeleng ke arahnya dan memaksakan sebuah senyuman.
"Aku tidak apa-apa, Liz. Jangan khawatir."
"Baiklah, kerja yang benar karena kalau tidak, masih banyak orang di luar sana yang mau menggantikan posisimu. Mengerti?!"
Liz beranjak meninggalkanku. Aku kembali mengerjakan pekerjaanku dengan baik. Jangan sampai aku kena teguran yang kedua kali hari ini.
Sebenarnya dari tadi aku sedang memikirkan Sebastian. Semalam, entah apa yang terjadi pada kami. Yang aku tahu kemarin kami minum dan mengobrol banyak hal sampai Sebastian membawaku ke kamarnya. Setelah itu aku sudah terbangun di sampingnya tadi pagi, dengan kepala yang terasa sangat pusing dan kami berdua sama-sama tidak mengenakan sehelai benang pun.
Lalu, diam-diam aku menyelinap keluar dari kamarnya karena harus kembali bekerja. Meninggalkan Sebastian yang masih tertidur.
Aku tidak menyalahkan Sebastian. Ku rasa kami berdua menginginkannya. Lagipula aku menyukai apa yang Sebastian lakukan padaku. Aku tidak bisa berbohong kalau ternyata tubuhku ini merindukan sentuhan darinya.
Aku merasa kalau wajahku memanas karena malu setiap mengingat hal itu. Aku memang seorang yang munafik. Aku begitu membenci Sebastian tapi tubuhku ternyata sangat merindukan sentuhannya.
*** Sorenya, ternyata Sebastian sudah menungguku tak jauh dari tempat kerjaku. Aku merasa senang ia menungguku agak jauh karena jika ia menungguku tepat di depan pabrik seperti yang Andrew lakukan, pasti akan ada lebih banyak lagi mata yang menatap tidak senang padaku.
Kami pergi ke sebuah restoran Perancis untuk bersantai sambil menunggu jam makan malam. Saat pertama kali aku melihatnya lagi, entah kenapa jantungku berdegup dengan kencang. Aku merasa senang sekaligus malu. Semalam kami melakukannya lagi setelah sekian lama dan Sebastian pasti melihat tubuhku lagi. Aku merasa kalau wajahku mulai memanas, dan aku sangat gugup. Persis seperti remaja yang sedang jatuh cinta.
Kami duduk berhadapan. Di sebuah meja yang berada di teras lantai dua restoran itu.
"Beraninya kau menyelinap keluar dari kamarku tadi pagi, Anna." Sebastian mengecup tanganku. Dan, aku tersenyum melihat sikapnya itu. Aku tahu ia hanya sedang pura-pura marah.
"Maaf, aku harus kembali bekerja. Kau tahu, pengawasku itu sangat galak dan aku tidak boleh lagi datang terlambat."
Sebastian tertawa mendengar jawabanku. Tawanya sangat lepas. Sudah lama aku tidak melihat ia tertawa seperti itu.
"Akhirnya ada juga orang yang bisa membuatmu takut, ya?" Sebastian menatapku. Lampu yang temaram itu membuat wajahnya tampak lebih menawan.
"Tidak juga, aku hanya takut ia memecatku. Aku masih membutuhkan pekerjaan itu. Kalau saja tidak seperti itu situasinya, perduli setan dengan si gendut itu."
Sebastian tertawa lagi. Dan, entah kenapa aku seperti terhipnotis dibuatnya. Tatapan mataku tak bisa lepas darinya. Tak lama, Sebastian menghentikan tawanya karena sadar aku sedang memandanginya.
Ia kembali meraih tanganku lalu mengecupnya perlahan. Mata kami bertatapan.
"Kau tahu, Anna? Aku senang kita sudah bersama lagi sekarang. Apalagi kalau mengingat kejadian semalam. Aku suka saat kau mabuk seperti itu, kau menjadi penurut dan tidak marah-marah padaku seperti biasanya."
Sebastian tersenyum nakal padaku. Membuatku merasa malu. Aku mengalihkan pandanganku darinya.
"Memang apa yang terjadi? Aku tidak ingat sama sekali."
Aku tidak sepenuhnya bohong. Aku memang tidak ingat beberapa kejadian yang terjadi semalam karena setelah Sebastian membawaku ke kamar aku jadi merasa mengantuk sekali.
"Kau lupa? Yang benar saja." Sebastian mencoba membuka beberapa kancing kemejanya dan memperlihatkan lehernya padaku.
"Lihat, kau yang membuat semua tanda ini, Anna. Bagaimana bisa kau lupa?"
Baiklah, wajahku benar-benar terasa panas sekarang. Aku malu setengah mati.
"Bagaimana bisa aku percaya kalau aku yang melakukannya. Aku tidak ingat apa-apa. Lagipula, bisa saja kan itu sudah ada sebelum kita bertemu kemarin."
Sebastian tertawa lagi. Menertawai jawabanku.
"Dengar, Nyonya Agustine. Aku adalah seorang lelaki dewasa yang terhormat. Lagipula aku sudah menikah. Aku tidak suka tidur dengan sembarang wanita, kau tahu?"
Aku terdiam mendengar ucapan Sebastian. Walau ia mengatakannya dengan gaya santainya tapi aku merasa ia sedang bersungguh-sungguh dengan ucapannya.
Sebastian beranjak dan menarik kursinya tepat di sampingku. Setelah itu ia kembali duduk, menggenggam tanganku, lalu menatapku sambil berbisik,
"Begini saja, karena kau tidak bisa mengingat apa yang kita lakukan semalam, bagaimana kalau kita mengulanginya lagi malam ini? Dan, aku akan membuatmu mengingat setiap detiknya. Terserah mau di tempatmu atau di tempatku. Bagaimana?"
Tatapan Sebastian membuatku terpaku. Aku benar-benar sudah dibuat gila oleh lelaki ini.
"Bagaimana, istriku yang cantik?" Sebastian menaikkan alisnya. Menunggu jawabanku.
"Baiklah, Sebastian, "jawabku tanpa melepas pandanganku darinya, "tapi sebelumnya, jika kau tidak keberatan, perutku lapar sekali sekarang."
*** BAB 25 Beberapa minggu kemudian ...
Sejak makan malam waktu itu, aku dan Sebastian jadi lebih sering menghabiskan waktu bersama. Kami makan malam di restoran-restoran kecil di sekitaran apartemenku, lari pagi mengelilingi taman dan bahkan menonton film sampai pagi. Kami tidak terpisahkan satu sama lain, seperti sepasang remaja yang baru merasakan indahnya jatuh cinta.
Terkadang ia menginap di kamarku atau sebaliknya, Sebastian yang mengajakku ke rumahnya. Aku bisa melihat pancaran kebahagiaan di wajah Martha saat mengetahui kami sudah kembali bersama, walau aku masih enggan kembali ke rumah besar itu.
*** Saat ini aku sedang duduk seorang diri di sebuah kafe. Sebastian memintaku untuk menunggu di sana karena ia nanti akan menyusul setelah pekerjaannya di kantor selesai. Sambil mengaduk-aduk minumanku, aku tersenyum sendiri memikirkan kalau setelah ini aku akan bertemu lagi dengannya. Aku merasa seperti ada kupu-kupu yang sedang beterbangan di perutku. Aku rasa aku sudah gila karenanya ...
Aku selalu tidak sabar untuk bertemu dengan Sebastian lagi. Ia selalu mempunyai kejutan untukku setiap kali kami bertemu. Dan, itu membuatku jadi merasa lebih spesial. Ku rasa Sebastian benar-benar ingin memperbaiki hubungan kami. Tanpa ku sadari aku sudah senyam-senyum sendiri, saat aku melihat sekitar untunglah tidak ada satu orang pun yang sedang melihat ke arahku.
Aku mengeluarkan ponsel dan berniat untuk menelepon Sebastian karena ia sudah terlambat sepuluh menit dari yang seharusnya. Saat aku sedang mencari kontaknya, tiba-tiba ada seseorang yang menutup kedua mataku dari belakang.
Aku tersenyum. Hatiku seperti membuncah senang. Aku tahu siapa yang melakukannya, aku hafal betul aroma parfum orang itu.
"Hmm ... Kau datang terlambat dan sekarang ingin bermain-main denganku ya, Tuan Agustine?"
Sebastian melepas tangannya dari mataku lalu ia langsung saja menciumku. Saat aku melihat ke arahnya, ia sedang tersenyum malu, mungkin karena keterlambatannya.
"Maafkan aku, Sayang. Aku terlambat karena ini." Sebastian memberikanku sebuket bunga mawar merah yang tadi ia sembunyikan di belakang tubuhnya. Ya Tuhan, mereka cantik sekali !
"Ya Tuhan, bunga-bunga ini cantik sekali." aku tidak bisa menutupi perasaanku, "tapi aku tidak percaya kalau kau terlambat karena bunga-bunga cantik ini."
Sebastian tertawa lagi, "Kau benar sekali, Sayang. Sebenarnya aku terlambat karena tadi klienku terjebak macet. Jadi, kami harus memulai pertemuannya lebih lambat. Dan, aku minta maaf."
Sebastian meraih tanganku lalu mengecupnya.
"Dan, kau mencoba menyogokku dengan bunga-bunga ini?"
"Bisa dibilang begitu."
Aku tersenyum mendengar jawabannya. Entah kenapa aku merasa sangat bahagia sekarang.
"Oh, iya habis ini kita mau kemana?" tanyaku dengan senyuman yang tak pernah lepas dari bibirku.
"Pilihannya hanya dua kan? Kalau tidak bermalam di apartemen jelekmu itu, kita akan bermalam di rumahku. Apa ada pilihan lain?" wajah Sebastian tampak malas.
"Apa kau lelah dengan semua ini?"
Entah kenapa aku jadi merasa tidak enak hati padanya.
"Sejujurnya iya. Kau tahu, aku tidak suka membawa istriku ke hotel atau apartemen. Kita adalah sepasang suami istri, Anna. Aku ingin kau kembali ke rumah dan berhenti bekerja. Aku mau setiap aku pulang ke rumah, akan ada seseorang yang menyambutku dengan senyuman hangat dan mengurus semua kebutuhanku dengan baik. Aku bosan selalu saja Martha yang menyambutku."
Aku menunduk terdiam mendengar ucapan Sebastian. Aku tahu ia sedang serius dengan ucapannya.
"Aku belum bisa, Sebastian. Kau tahu, aku masih memiliki kontrak di tempat kerjaku. Dan, kalau aku tinggal di rumahmu, itu terlalu jauh. Aku pasti akan lebih sering terlambat."
Sebastian seperti menahan tawa mendengar jawabanku. Ia menggenggam tanganku lebih erat lagi lalu berbisik,
"Kau tidak perlu khawatir tentang kontrakmu di sana, Anna. Kau tahu, pabrik tempatmu bekerja itu adalah anak perusahaan milik Olivia."
Ucapan Sebastian membuatku merasa seperti ada yang menyengat tubuhku. Aku merasa malu sekali. Dulu aku pernah mengerjai wanita itu dan ternyata sekarang aku malah menjadi pekerja di pabrik miliknya. Luar biasa sekali malunya!
"Kenapa, Anna? Apa kau malu?"
Aku menatap Sebastian dengan mata memicing, apa dia tahu kejahilan apa yang pernah ku lakukan pada Olivia di restoran waktu itu.
"Kau tidak usah malu, Anna. Aku tahu kau melakukan itu karena kau merasa cemburu pada Olivia, kan?" Sebastian tertawa, "tapi aku hanya tidak menyangka kalau kau akan berbuat seperti itu."
Tawa Sebastian membuatku malu. Dari mana ia tahu tentang itu semua.
"Sok tahu. Aku menumpahkan wine itu karena aku tersandung sesuatu. Aku tidak sengaja." jawabku dengan malas. Aku berusaha menutupi rasa maluku.
"Benarkah? Lalu untuk apa kau membawa segelas wine ke toilet kalau kau memang tidak punya niatan untuk berbuat sesuatu. Akuilah, Anna, kalau kau kesal pada Olivia karena ia memelukku waktu itu, kan?"
Lagi-lagi Sebastian tertawa dan itu membuatku kesal. Tapi, aku tidak bisa mengelak lagi.
"Baiklah, ku akui aku memang kesal padanya. Tapi, itu hanya karena ia centil bukan karena aku cemburu."
Sebastian memutar bola matanya. Seperti terpaksa mempercayai jawabanku.
"Baiklah, baiklah. Kita kembali ke topik awal. Aku ingin kau kembali ke rumah, Anna. Bagaimana?"
Ia menatapku serius. "Aku tidak bisa, Sebastian. Kontrakku akan habis dua bulan lagi. Aku datang ke sana dengan baik-baik dan aku juga ingin keluar dengan cara baik-baik. Ku harap kau mengerti. Aku hanya berusaha bertanggung jawab pada pekerjaanku."
Sebastian menarik nafas mendengarnya. Ia mengecup tanganku dan memandangku dengan lembut.
"Baiklah, tapi aku mau setelah ini kau pindah ke tempat yang lebih baik. Aku akan mencarikanmu apartemen yang lebih bagus di sekitaran tempat kerjamu. Aku tidak bisa melihat istriku tinggal di tempat seperti itu lebih lama lagi. Lagipula, aku juga membutuhkan tempat yang sedikit lebih nyaman untuk bermalam bersamamu. Dan, aku tidak mau kau menolak tawaranku kali ini."
Aku menarik nafas lega dan sebuah senyuman mengembang di bibirku. Memandangi sosok tampan di hadapanku itu.
"Baiklah, Sebastian. Aku terima tawaranmu."
*** Dalam hitungan jam aku dan Sebastian mendapatkan sebuah apartemen yang seribu kali lebih bagus dari apartemen lamaku. Ada sedikit perasaan sedih tersirat di hatiku saat meninggalkan tempat lamaku. Biar bagaimana pun, tempat itu sudah banyak memberikanku kenangan. Saat aku berada di titik kehidupanku yang paling bawah, hanya di tempat itulah aku kembali berpulang dan memikirkan semuanya kembali.
Apartemen baru ini jauh lebih bagus. Ruang tamunya besar dan dilengkapi dengan berbagai perlengkapan elektronik. Kamarnya bagus, kasurnya empuk dan kamar mandinya sangat luas.
Aku dan Sebastian sendiri yang merapikan apartemen itu dan membeli beberapa bahan makanan untuk mengisi kulkas. Berada di apartemen nyaman ini, dengan perut kenyang, isi kulkas yang penuh dan berduaan dengan Sebastian membuatku merasa seperti aku memiliki seluruh isi dunia. Aku tidak butuh hal lainnya lagi.
*** Selesai merapikan semua barang-barangku, aku membuatkan Sebastian minuman. Ia sudah menungguku di sofa empuk yang ada di ruang tamu sambil menonton tv.
"Kau lelah?" tanyaku lalu menyandarkan kepalaku di pelukannya.
"Tidak terlalu. Aku senang bisa membantumu, Sayang." Sebastian mengecup pucuk kepalaku. Aku tersenyum lalu mengeratkan dekapanku di tubuhnya.
"Kau mau ku buatkan sesuatu?" aku mengangkat kepalaku, menatapnya.
"Tidak usah, Anna. Aku hanya ingin mengatakan sesuatu padamu."
"Apa itu?" "Minggu depan aku akan ada urusan di luar kota selama dua minggu."
"Pergi lagi?" tanyaku kesal. Sebastian meraih wajahku dan menatapku.
"Dengar, Anna. Aku harus pergi. Dan, aku khawatir kalau kau tinggal di sini sendiri. Kalau kau bosan, mainlah ke rumahku sesekali. Martha akan menjagamu. Sebenarnya aku akan lebih senang kalau kau mau ikut denganku tapi aku tahu kau pasti akan lebih memberatkan pekerjaanmu."
"Jangan khawatir, Sebastian. Aku akan baik-baik saja. Nanti aku akan berkunjung ke rumahmu kalau aku bosan di sini."
"Jangan lupa selalu beri aku kabar. Kalau kau sampai lupa, aku akan menghukummu saat aku kembali nanti."
Sebastian menatapku dengan tatapan menggoda. Aku tahu ia hanya main-main dengan ucapannya.
"Lalu bagaimana kalau kau yang tidak memberi kabar?"
"Kau boleh menghukumku sepuasmu, Sayang."
Sebastian menatapku seolah-olah ia ingin melakukan sesuatu padaku, aku segera bangkit dan berlari menjauhinya tapi ia dengan cepat menangkapku dan melempar tubuhku ke atas pundaknya. Dengan santai ia berjalan masuk ke kamar.
"Sebastian turunkan aku!" aku berteriak sambil memukuli tubuh bagian belakangnya. Aku benar-benar takut ketinggian.
"Tidak, sampai kita menikmati tempat tidur barumu, Sayang ..."
*** Sudah seminggu Sebastian pergi dan itu artinya penantianku akan berakhir seminggu lagi. Ah, entah kenapa aku merasa sangat tidak sabar untuk bertemu lagi dengannya. Apalagi setelah mengetahui kabar baik yang akan ku berikan padanya nanti. Aku positif hamil.
Ini semua berawal kemarin, saat aku pertama kali membuka mataku entah kenapa aku merasa ada sesuatu yang aneh. Kedua mataku terasa berat sekali untuk dibuka. Kepalaku pusing dan aku merasa seperti tidak ingin melakukan apa-apa. Aku ingin meringkuk saja di tempat tidur sepanjang hari. Tapi, bunyi alarm yang protes dengan keras itu benar-benar menggangguku dan memaksaku untuk bangkit dan segera bergerak ke kamar mandi.
Dengan perasaan malas dan tubuh yang lemas aku bersiap bekerja. Aku merasa terus mengantuk, padahal semalam aku sudah tidur lebih awal. Dan, sepanjang bekerja hari itu, aku pun tidak kuat berdiri lama-lama. Rasanya pusing sekali hingga Liz memintaku untuk pulang lebih awal.
Dan, tadi pagi kejadian itu terulang lagi. Tubuhku rasanya malas sekali untuk beranjak dari tempat tidur. Aku merasa ada yang salah denganku, jadi aku memutuskan untuk pergi ke dokter.
"Apakah anda sering minum alkohol?" tanya si dokter perempuan.
"Terkadang." jawabku.
"Apakah anda adalah seorang perokok aktif?"
"Aku tidak merokok, dokter."
"Bagus. Mulai sekarang anda lebih baik mengurangi kebiasaan minum alkohol dan jauhi asap rokok juga kebiasaan hidup tidak sehat lainnya. Karena berdasarkan hasil tes, anda positif hamil. Selamat Nyonya."
Aku terpaku mendengar kalimat demi kalimat yang diucapkan oleh dokter itu. Aku tidak tahu apakah aku harus sedih atau senang mendengarnya. Di satu sisi aku senang karena sekarang, di dalam tubuhku sedang tumbuh sebuah nyawa, anak dari lelaki yang dulu sangat ku benci dan sekarang sangat ku cintai. Tapi, di sisi lain aku tidak tahu apakah Sebastian akan senang mendengar kabar ini.
"Apa kau serius?" aku tertawa tidak percaya. Di bawah, tanpa sadar tanganku menyentuh perutku yang masih kecil.
"Saya serius, Nyonya. Sekali lagi saya ucapkan selamat. Tuan Agustine pasti senang mendengarnya."
"Apa kau mengenal suamiku?"
"Saya adalah salah satu penggemar suami anda. Haha, tidak saya hanya bercanda. Keluarga Agustine adalah salah satu penyumbang dana tetap di rumah sakit ini, Nyonya. Dan beberapa rumah sakit lain. Dulu Tuan Fabio yang memulainya lalu setelah beliau meninggal, kebiasaan itu dilanjutkan oleh putranya, suami anda."
"Oh, aku tidak tahu."
"Tuan Fabio Agustine adalah orang yang baik dan berjiwa sosial tinggi, Nyonya." lanjut si dokter.
Iya, lalu karena Seth aku sudah berpikir jelek tentang mertuaku itu. Dasar Seth sialan!
*** Dan, di sinilah aku sekarang. Duduk di sebuah kafe, masih dengan perasaan senang luar biasa, memegang ponsel di tanganku dengan tubuh yang sedikit gemetar. Aku berniat memberi tahu Sebastian tentang kabar kehamilanku ini nanti saat ia kembali tapi entah kenapa tangan dan mulutku ini terasa gatal sekali. Merasa sangat tidak sabar untuk mengabarinya.
Saat aku sedang bingung antara memberi tahu Sebastian atau tidak, tiba-tiba ada dua orang wanita duduk tak begitu jauh dari mejaku. Salah satu wanita langsung saja terisak dan yang satu lagi tampak sedang menenangkannya. Tempat mereka yang tidak begitu jauh dariku membuatku bisa sedikit mendengar percakapan mereka.
"Kan sudah ku bilang, suamimu itu memang brengsek!" ucap si temannya yang berambut coklat.
"Aku tidak tahu kalau semua ini akan terjadi. Ia tiba-tiba saja bersikap begitu baik padaku setelah sekian lama kami berpisah lalu setelah aku melahirkan, ia mengambil anakku dan berniat menceraikanku. Kau tahu, ia butuh anak itu hanya untuk melanjutkan keturunannya demi masa depan perusahaannya." wanita itu terisak makin keras. Membuat temannya jadi salah tingkah.
Aku melirik ke arah mereka sedikit sambil menelan ludah. Entah kenapa kasus wanita itu agak mirip denganku. Apakah Sebastian tiba-tiba saja datang dan pura-pura berdamai denganku hanya karena ia ingin memiliki anak, lalu setelah anak ini lahir ia akan merebutnya dariku dan meninggalkanku lagi? Kalau ku pikir, sikap Sebastian yang tiba-tiba saja baik dan tidak jadi menceraikanku memang aneh kalau tidak ada maksud lain di belakangnya. Karena sebelum ia memutuskan untuk berdamai denganku, ia tampak marah sekali waktu itu.
Memikirkan itu membuat tubuhku gemetar dan kepalaku terasa pusing lagi. Selera makanku seketika hilang. Segera saja ku masukkan ponselku ke dalam tas. Lalu beranjak pergi ke luar kafe.
Sepulangnya dari sini, aku akan kembali mengepak pakaianku dan segera pergi dari apartemen itu. Aku akan pergi ke tempat dimana Sebastian tidak akan pernah menemukanku dan bayiku. Aku tidak akan pernah membiarkan ia merebut bayi ini dariku. Tidak akan pernah.
*** BAB 26 Tekadku sudah bulat! Aku akan pergi meninggalkan apartemen lamaku dan pindah ke suatu tempat dimana Sebastian tidak akan pernah menemukanku dan bayiku nanti. Aku tidak akan pernah membiarkan nasibku menjadi seperti wanita di kafe itu. Tidak akan ada seorang pun yang boleh memisahkanku dengan bayiku. Tidak Sebastian, tidak Andrew, tidak Papa, tidak siapapun!
Aku mendapat sebuah kamar sewa yang sangat kecil di daerah pinggiran kota. Tempat ini sangat terpencil dan tidak terjamah oleh hingar bingar kota sama sekali. Kamarnya sangat kecil, pengap dan gelap. Tapi, tidak apa-apa. Ku rasa aku sudah mulai terbiasa tinggal di tempat seperti ini. Kalau nanti anakku sudah lahir, baru aku akan mencari tempat yang lebih baik lagi.
Aku masih bekerja di tempat lamaku. Sebuah pabrik pengepakan daging yang kata Sebastian adalah milik Olivia. Sejak mengetahui hal itu, aku lebih sering memakai masker penutup wajah saat di pabrik. Biar bagaimana pun, aku merasa malu sekali kalau sampai harus bertemu dengan wanita itu. Walau kans bagi kami berdua untuk bertemu itu sangatlah tipis. Tapi, tidak ada salahnya kan berjaga-jaga.
Aku sudah berusaha menutup semua akses bagi Sebastian untuk menemukanku. Aku sudah pindah tempat tinggal dan bahkan mengganti nomor ponselku. Dan, sudah sekitar sepuluh hari sejak kejadian di kafe itu aku tidak menghubunginya lagi. Ku rasa ia sekarang pasti sudah kembali dari luar kota dan mungkin, yah mungkin saja ia sekarang sedang pusing mencari-cari dimana keberadaanku. Tapi, lagi-lagi aku merasa tidak perduli. Yang paling penting bagiku sekarang adalah keselamatan bayi dalam kandunganku ini. Harta milikku satu-satunya.
*** Setiap kembali dari pabrik aku langsung saja mengunci diriku di kamar. Mencoba berbincang-bincang dengan bayi kecilku. Walau aku tidak yakin kalau ia sudah bisa mendengarku saat ini. Aku tidak pernah lagi membukakan pintu untuk siapapun. Walau selama aku pindah, memang belum ada seorang pun yang datang berkunjung.
Sore ini aku kurang beruntung. Hujan turun dengan sangat deras dan aku tidak membawa payung. Jadilah tubuhku harus basah kuyup, berteduh di sebuah halte sambil menunggu bus yang akan mengantarku pulang.
Tapi, aku merasa ada yang berbeda dari hari ini. Aku tidak tahu apakah karena cuacanya hujan, daerah sekitar sini yang biasanya ramai dengan lalu lalang kendaraan tiba-tiba menjadi sangat sepi. Dan, halte bus yang biasanya ramai pun kini hanya menyisakan diriku sendiri.
Saat aku sedang duduk sambil memperhatikan kanan dan kiri, tiba-tiba ada seorang lelaki memakai jaket hitam, topi dan kacamata hitam duduk tepat di sebelahku. Aku merasa sedikit risih. Besi tempat duduk ini sangat panjang, kenapa lelaki asing ini harus duduk begitu dekat denganku?
Saat aku bergeser agak sedikit menjauh, lelaki itu ikut bergeser sehingga membuat kami tetap bersentuhan. Dan, ia melakukannya berulang kali, membuatku sedikit jengkel. Akhirnya aku memutuskan untuk berdiri, menjauh darinya. Tapi, lelaki itu ikut berdiri di sampingku. Dalam hati aku mulai berdoa pada Tuhan agar dijauhkan dari gangguan psikopat yang terkutuk.
Tapi, tanpa ku duga sebelumnya, tiba-tiba lelaki itu mengeluarkan suaranya,
"Jangan coba menjauhiku, Sayang."
Aku langsung saja menoleh ke arah lelaki di sampingku. Ya Tuhan, aku kenal betul pemilik suara itu. Aku tertegun melihatnya saat ia mulai melepas kacamata hitamnya dan menyeringai ke arahku.
"SETH?!" ucapku syok. Jantungku seperti berhenti berdetak.
"Betul sekali, Anna. KEJUTAN!"
Secepat kilat Seth membekap mulutku dengan tangannya dan dalam hitungan detik aku merasa tubuhku lemas sekali. Aku merasa tubuhku lunglai dan jatuh tapi tangan Seth menahanku. Sedikit demi sedikit pandanganku mulai gelap dan aku tidak bisa mengingat apa-apa lagi.
*** Pusing ... Hal itu yang pertama kali ku rasakan saat aku mencoba membuka mataku. Dan, aku tidak tahu dimana aku sekarang. Yang pasti aku sedang berada di sebuah ruangan kosong yang sangat besar. Saat kesadaranku sudah mulai terkumpul, aku baru menyadari bahwa tangan dan kakiku terikat, serta mulutku tertutup rapat oleh lakban.
Oh, Ya Tuhan aku ingat sesuatu. Ini semua adalah ulah lelaki itu. Lelaki kurang ajar itu. Aku tidak menyangka ia akan melakukan semua ini. Ia pasti sudah gila!
Aku terus meronta-ronta agar ikatan di tanganku terlepas. Tapi, semakin aku berusaha, tali kasar itu semakin kuat menjerat pergelangan tanganku. Dan, rasanya sakit sekali. Akhirnya aku memutuskan untuk berhenti mencoba daripada harus menyakiti tanganku lebih parah lagi.
Aku teringat kejadian di halte tadi, saat aku sedang menunggu bus tapi malah bertemu dengan Seth. Demi Tuhan! Lelaki itu seharusnya ada di penjara sekarang. Niatanku untuk kabur dari Sebastian malah harus membawaku ke dalam masalah besar ini. Aku bahkan sudah membuat bayi dalam kandunganku susah bahkan jauh sebelum ia dilahirkan. Ibu macam apa aku ini?
Tak berapa lama aku mendengar ada seseorang yang mencoba membuka pintu. Mataku membulat karena waspada. Seth! Itu pasti dia yang datang. Aku yakin sekali.
*** "Hmm ... Hmm ..." aku meronta-ronta sampai kursi yang ku duduki ikut meloncat-loncat, memberi tanda pada Seth agar ia mau membukakan lakban itu dari mulutku. Tapi, ia masih diam sambil melihatku dengan tatapan memuja. Jujur, aku merasa sangat takut padanya saat ini.
"Ada apa, Anna sayang? Kau mau aku membukakan penutup mulutmu?" ucap Seth dengan lembut lalu ia menyentuh wajahku dengan jemarinya. Membuatku bergidik.
Dengan cepat aku mengangguk. Merasa lega karena ia mungkin akan sedikit merasa kasihan padaku. Biar bagaimana pun, kami berdua pernah menjalin hubungan khusus selama kurang lebih setahun lamanya.
"Baiklah, aku akan menuruti kemauanmu."
Dengan kasar Seth menarik lakban itu dari mulutku sampai aku berteriak karena kesakitan. Sialan! Aku merasa kulit sekitar bibirku seperti robek sekarang. Perih sekali rasanya!
Tanpa terasa air mataku mengalir. Bukan karena aku sedih atau sakit hati tapi memang karena bibirku rasanya benar-benar perih. Melihatku menangis, raut wajah Seth berubah seketika. Ia jadi tampak bersimpati padaku. Membuatku jadi malah lebih takut padanya. Ku rasa ia benar-benar sudah "sakit".
"Maafkan aku, Anna sayang. Aku tidak bermaksud menyakitimu. Apalagi menyakiti bibirmu ini." Seth menyentuh bibirku dengan jemarinya. Aku memalingkan wajahku darinya, "biar bagaimana pun, aku tak akan pernah bisa melupakan ciuman dari bibirmu ini saat dulu kita masih bersama, Sayang."
Seth masih terus berusaha menyentuhku tapi aku juga terus berusaha menghindarinya. Tanpa terasa air mata mengalir lebih deras membasahi pipiku. Aku benar-benar takut padanya. Takut Seth akan menyakitiku apalagi menyakiti bayi dalam kandunganku. Aku tidak menyangka kalau Seth, lelaki yang sangat ku puja dulu bisa berubah menjadi gila seperti sekarang ini.
Melihat penolakanku, Seth menarik rahangku dengan kasar lalu menghadapkan wajahku ke wajahnya.
"Kenapa kau selalu menghindariku, Anna? Kau sudah tidak mencintaiku lagi?"
Mata kami bertatapan. Entah kenapa aku merasa ia bukanlah Seth yang ku kenal dulu.
"Kenapa kau lakukan ini padaku, Seth? Lepaskan aku, aku mohon." ucapku memelas, air mata jatuh lagi ke pipiku.
"Jangan menangis, Cintaku." Seth mengusap air mataku dengan lembut lalu berbisik, "aku melakukan ini karena aku ingin memberi pelajaran pada suamimu. Ia yang sudah menghancurkan hidupku. Pertama, ia merebut Julia dariku dan sekarang ia juga merebutmu dariku. Aku begitu mencintaimu, Anna."
Air mata mengalir dari kedua matanya. Aku sungguh tidak percaya Seth akan menangis. Apa ia sudah gila?
"Aku menikah dengan Sebastian itu atas kemauanmu, Seth. Kau ingat?" aku berusaha membuatnya tenang. Karena kalau tidak, aku takut ia akan melakukan hal yang lebih gila lagi, "andai kau tidak memintaku waktu itu, mungkin sekarang kita masih bersama. Ya kan?"
"Aku memang menyuruhmu, Anna. Dan, aku menyesal. Membayangkan kau berada di pelukannya, menciumnya, bercinta dengannya, benar-benar membuatku gila!"
Seth menjambak rambutnya sendiri sambil terisak. Ia mondar-mandir di hadapanku. Ku rasa ia memang benar-benar sedang tertekan.
Tiba-tiba saja Seth berhenti menangis dan dengan kasar mengusap air matanya sendiri. Ia lalu berteriak di hadapanku,
"HANYA ADA SATU ORANG YANG MENJADI MOMOK DALAM KEHIDUPANKU DAN ORANG ITU ADALAH SEBASTIAN AGUSTINE. AKU BENAR-BENAR MEMBENCI LELAKI ITU DAN SATU-SATUNYA CARA UNTUK MENGHANCURKANNYA SEKARANG ADALAH DENGAN CARA MENYAKITIMU, ANNA. KARENA AKU TAHU IA SANGAT MENCINTAIMU!"
Seth mengeluarkan sebuah belati dari belakang bajunya, dan menyentuhkan ujungnya yang runcing ke wajahku. Tubuhku mulai gemetar dan jantungku berdetak kencang. Aku merasa sekujur tubuhku mulai lemas dan kepalaku pusing sekali. Tapi, aku harus terus bertahan dan mencoba berbicara baik-baik dengannya agar Seth mau melepaskanku.
"Seth, aku mohon lepaskan aku. Aku berjanji tidak akan memberi tahu siapapun tentang hal ini. Tidak kepada Polisi, Sebastian atau Papaku. Tidak siapapun, Seth. Aku mohon."
Ya Tuhan, aku tidak tahu lagi harus berbuat apa selain menangis dan merengek seperti anak kecil. Belati itu tampak begitu tajam dan siap melukai wajahku kapan saja. Sekarang yang ada di dalam pikiranku bukan hanya keselamatan diriku sendiri tapi juga bayi dalam kandunganku.
"Bagaimana kalau aku tidak mau, Sayang? Aku tidak suka melihat kebersamaan kalian. Kau tahu, kau hanya milikku, Anna. Dan, aku mau kita mati bersama-sama, supaya Sebastian tahu kalau kita sudah saling mencintai jauh sebelum kau bertemu dengannya."
Seth menggerakkan ujung belati itu perlahan dari pipiku terus sampai ke bawah daguku. Lalu ia menekankan ujungnya sedikit di sana. Membuatku melonjak kaget dan tubuhku jadi menegang seketika.
"Seth, tidak Seth aku mohon. Kau "sakit" sayang dan kau membutuhkan bantuan. Aku akan membantumu nanti jika kau melepaskanku. Aku berjanji, aku tidak akan mengirimmu kembali ke penjara. Aku berjanji. Tapi, aku mohon lepaskan aku."
"Bagaimana bisa aku percaya padamu, Anna? Bagaimana bisa?"
Seth menarik rambutku ke belakang hingga aku mendongakkan wajahku ke wajahnya. Aku sudah tidak tahu lagi harus berkata apa. Aku mulai memejamkan kedua mataku, dalam hati berdoa pada Tuhan untuk menjaga Papa, Andrew dan Sebastian jika nanti aku dan bayiku memang harus meninggalkan dunia ini untuk selama-lamanya. Aku menyesal sudah banyak berbuat salah pada mereka bertiga dan bahkan belum sempat meminta maaf. Khususnya pada Papa dan Sebastian. Aku benar-benar menyesal, dari lubuk hatiku yang terdalam.
Saat Seth sedang memain-mainkan belati itu di wajahku, tiba-tiba terdengar suara seseorang yang mendobrak pintu itu dengan kasar. Suara keras dari benturan pintu yang mengenai dinding membuatku dan Seth terperanjat kaget dan langsung menoleh ke arah pintu yang sudah terbuka lebar itu. Kami berdua tertegun melihat sosok yang sudah berdiri di depan pintu itu.
Seorang juru selamat telah datang ...
*** BAB 27 Saat Seth sedang memain-mainkan belati itu di wajahku, tiba-tiba terdengar suara seseorang yang mendobrak pintu itu dengan kasar. Suara keras dari benturan pintu yang mengenai dinding membuatku dan Seth terperanjat kaget dan langsung menoleh ke arah pintu yang sudah terbuka lebar itu. Kami berdua tertegun melihat sosok yang sudah berdiri di depan pintu itu.
Seorang juru selamat telah datang ...
Desperate Mrs Karya Agustine di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
*** "SEBASTIAN?!" Aku berteriak ke arahnya saat melihat suamiku itu sudah berdiri dengan sebuah pistol di tangannya. Aku merasa sangat lega tapi juga tidak percaya, aku benar-benar tidak tahu kalau Sebastian memiliki senjata api semacam itu. Dalam hitungan detik, aku merasakan Seth melingkarkan lengannya di leherku dengan sebelah tangan. Sementara tangan satunya lagi masih mengarahkan belati itu ke wajahku.
"Oh, akhirnya pahlawan kesianganmu datang juga, Sayang." Seth mengeratkan jeratannya di leherku dan itu membuatku kesakitan. Aku melihat Sebastian seperti tak sabar ingin menghampiri kami tapi, ia tahu kalau ia sampai salah mengambil tindakan, Seth bisa menyakitiku kapan saja.
"Jauhkan belati itu dari wajah istriku atau aku akan meledakkan isi kepalamu dengan timah panas ini."
"Jadi, kau sangat mencintai wanita ini, hah? Kau mencintainya?" Seth menekan ujung belati itu ke leherku. Rasanya seperti ada seekor lebah yang menyengat leherku. Tubuhku mulai gemetar dan menegang. Aku benar-benar takut setengah mati. Aku berdoa pada Tuhan, memohon jika memang aku harus mati, matilah dengan cepat, tapi tidak dengan cara seperti ini. Aku benar-benar tidak bisa membayangkan kalau harus mati secara perlahan-lahan.
"Kalau kau menyakitinya aku tidak akan segan untuk membunuhmu. Aku tidak main-main, Tuan Logan!"
Sebastian mengarahkan pistolnya tepat ke arah kepala Seth dan aku bisa merasakan kalau tubuh Seth mulai gemetar. Ku rasa otaknya sedang berpikir sekarang.
"Letakkan pistolmu atau aku akan melukai wajah cantik istrimu ini. SEKARANG!"
Seth membentak keras dan itu membuatku jadi lebih gemetar lagi. Dengan ragu Sebastian meletakkan pistolnya ke lantai tapi tatapan matanya tak pernah lepas dari kami berdua.
"Bagus, Tuan Agustine. Bagus." Seth tampak puas melihat apa yang dilakukan Sebastian, "sekarang biarkan aku bermain-main dengan istrimu ini. Kau harus melihat dengan mata kepalamu sendiri bagaimana rasanya kalau wanita yang kau cintai harus berada di pelukan lelaki lain."
Seth mencoba mencium pipiku dari belakang. Hembusan nafasnya membuatku refleks berpaling darinya. Aku benar-benar tidak mau Seth menciumku. Aku merasa takut sekali pada lelaki ini.
Sebastian mencoba melangkahkan kakinya ke arah kami. Ia tampak tidak tahan melihat apa yang Seth lakukan padaku. Melihat Sebastian mencoba mendekat, Seth kembali waspada.
"Tetap di tempatmu, Tuan Agustine! Atau aku akan berbuat lebih nekat lagi!"
"Sebenarnya apa yang kau inginkan?! Kau mau uang? Akan ku berikan tapi lepaskan dia!"
Sebastian tampak sangat marah. Wajahnya memerah dan rahangnya mengeras. Aku melihat tangannya mulai mengepal dengan kencang.
"Aku ingin kau merasakan apa yang ku rasakan saat kehilangan Julia. Kau masih ingat gadis itu, Tuan Agustine?"
Raut wajah Sebastian berubah saat mendengar nama gadis itu. Ia tampak berpikir.
"Julia?" "Iya, Julia. Gadis yang rela menyusulmu ke kota dan kau seenaknya memutuskan hubungan dengannya, sampai ia bunuh diri. Dan, sekarang kau lagi-lagi merusak hubunganku dengan Anna. Kenapa kau selalu merebut gadis yang aku cintai, Sebastian Agustine? KENAPA?!"
Sebastian tampak kaget dengan ucapan Seth. Tapi, ia masih terus mencoba bersikap tenang.
"Baiklah, Seth. Tenanglah, aku minta maaf atas semua itu. Aku benar-benar tidak tahu."
Aku mendengar Seth mulai terisak. Melihat peluang itu, Sebastian maju selangkah demi selangkah mendekati kami. Aku tidak tahu apakah Seth tidak memperhatikannya, karena ia tidak mencoba berbuat hal yang mengancamku lagi. Hingga pada akhirnya, saat Sebastian tinggal beberapa jengkal lagi dari kami, Seth mulai mengeratkan lengannya di leherku lagi. Dan, saat ia seperti ingin menghujam belatinya padaku, dengan cepat Sebastian menahannya dengan tangan kosong.
Aku berteriak dengan sangat kencang. Tubuhku benar-benar gemetar. Perlahan-lahan aku merasakan jeratan di leherku mulai melonggar dan terlepas. Ingin sekali rasanya aku menolong Sebastian tapi aku tidak tahu bagaimana caranya.
Saat aku mendongakkan kepalaku ke atas, aku melihat ternyata Sebastian sedang menahan belati itu dengan telapak tangannya hingga darah mulai mengalir ke lengannya dan mengotori kemejanya.
Aku mulai berteriak lagi. Melihat kedua lelaki itu dan darah Sebastian yang mulai menetes ke wajahku membuat kepalaku pusing. Aku benar-benar merasa ingin pingsan sekarang!
*** Sekuat tenaga Sebastian menahan belati itu dengan satu tangannya. Bahkan Seth harus melawannya menggunakan kedua tangannya. Saat Seth sedikit lengah, Sebastian langsung melayangkan sebuah tinjuan tepat ke wajah Seth dengan satu tangannya yang masih bebas.
Seketika Seth terjungkal ke belakang. Belati yang sudah penuh darah itu jatuh terpental entah kemana. Dan, dengan cepat Sebastian langsung menyusul Seth dan menghujaninya dengan pukulan-pukulan mautnya.
Seth sendiri bukannya tidak melawan, beberapa kali ia mencoba memukul balik wajah Sebastian dan berhasil. Aku masih merasa khawatir karena mungkin saja Seth masih menyimpan senjata lain di balik pakaiannya.
Aku terus meronta, mencoba untuk membuka ikatan di tanganku dan ternyata berhasil. Aku tidak tahu bagaimana bisa itu terjadi, mungkin dengan melihat kedatangan Sebastian telah memberikan kekuatan lebih padaku.
Tak lama, Sebastian menghampiriku dan membantuku membuka ikatan di kakiku. Seth sudah babak belur, bersandar pada tembok. Ku lihat, wajah Sebastian tidak lebih baik tapi ia masih berusaha menolongku. Setelah berhasil membuka ikatan pada kakiku, dengan cepat, aku memeluk tubuh Sebastian dengan erat dan menangis sejadi-jadinya. Aku benar-benar merasa takut tadi. Takut kalau akan terjadi hal yang buruk pada suamiku itu.
"Tenanglah, Anna. Semua akan baik-baik saja." Sebastian mencoba menenangkanku. Saat ku buka mataku, tiba-tiba aku melihat Seth sudah bangkit dan mencoba berjalan ke arah kami kembali. Belati itu sudah ada di tangannya lagi, siap untuk dihujamkan ke punggung Sebastian yang masih memelukku. Tapi, tiba-tiba saja terdengar suara ledakan pistol yang sangat kencang dan membuat Seth ambruk lagi ke tanah seketika.
Suara ledakan pistol yang sangat keras itu membuatku berteriak tapi suaraku seperti tercekat karena kaget. Sepertinya aku akan benar-benar pingsan sekarang. Orang lain telah menembak kaki Seth dan saat aku menoleh ke arah pintu, samar-samar ku lihat Andrew sudah berdiri di sana. Dan, setelah itu pandanganku menjadi gelap.
*** Beberapa hari kemudian ...
"Aku tidak pernah tahu kalau kakakku ini jago juga yah memainkan pistol? Kau bisa menembak Seth dengan tepat di kakinya."
Andrew tertawa mendengar pujian yang ku tujukan padanya.
"Kau tahu, Anna? Bukan aku yang menembak kaki mantan pacarmu itu tapi Polisi. Aku hanya memegang pistol itu untuk berjaga-jaga tapi sebelum aku mendapat posisi yang pas, Polisi di belakangku sudah lebih dulu menembak kakinya. Kakakmu ini tidak se-keren itu, Anna."
Andrew tertawa lagi dan kali ini jauh lebih keras. Ia menertawai ku yang sudah percaya kalau ia yang menembak kaki Seth waktu itu. Karena setelah mendengar suara ledakan pistol dan melihat Andrew, seketika aku jatuh pingsan. Mungkin karena tidak tahan dengan semua hal yang sudah terjadi. Jadi, aku tidak tahu kalau ternyata ada Polisi di belakang Andrew.
"Kau itu memalukan sekali, Andy!" ucapku dengan nada malas lalu meninju lengannya. Andrew masih tertawa geli di hadapanku yang sedang duduk bersandar di tempat tidur. Saat ia sudah merasa puas,? Andrew menghentikan tawanya lalu mengusap air mata di sudut matanya akibat tertawa terlalu geli tadi. Lalu Andrew meraih wajahku dan tampak memperhatikannya.
"Bagaimana keadaan adikku ini? Apa kau sudah merasa baikan?" Andrew memperhatikanku dengan seksama. Aku tidak menyangka kalau kakakku yang menyebalkan ini ternyata mengkhawatirkan keadaanku juga.
"Aku sudah baikan, hanya sekarang jadi sering pusing dan mual. Tapi, ku rasa itu bukan efek dari kejadian kemarin melainkan efek dari kehamilanku." jawabku sambil mencoba memijit kepalaku.
"Kenapa kau mencoba untuk menghindari Sebastian lagi setelah kau tahu kalau kau sedang mengandung bayinya, Anna. Apa yang ada di dalam pikiranmu?"
"Aku takut Sebastian akan merebut anak ini dariku lalu setelah itu ia akan menceraikanku, Andy." jawabku takut-takut. Mendengar itu Andrew tertawa tidak percaya dan mengusap wajahnya dengan telapak tangannya.
"Apa yang kau bicarakan, Anna? Kau tahu, sejak Sebastian kembali dari luar kota dan mengetahui kalau kau sudah pergi dari apartemenmu dan mengganti nomor kontakmu, seketika Sebastian memberitahuku dan juga menyebar orang suruhannya untuk mencarimu. Dan, untunglah kami mendapat petunjuk kalau kau masih bekerja di tempat lamamu. Dan, di sore yang naas itu, salah satu orang suruhannya melihat Seth membekapmu di halte lalu dengan cepat suamimu itu menyusul ke tempat lelaki itu menyekapmu. Sebastian sangat mengkhawatirkanmu, Anna. Dan, kau lihat apa yang sudah ia lakukan untukmu? Bagaimana bisa kau berpikir kalau ia akan berbuat jahat padamu dan bayi kalian?"
Aku terpaku dan merasa sangat malu sekali mendengar ucapan Andrew barusan. Aku sangat malu karena sudah berprasangka buruk pada Sebastian hanya karena terpengaruh oleh wanita di kafe waktu itu.
"Aku menyesal, Andy. Aku benar-benar menyesal dan merasa malu."
Aku menutup wajahku dengan telapak tanganku tapi Andrew meraihnya dan menatap kedua mataku.
"Jadi , setelah semua hal yang sudah terjadi, apa kau masih mau mencintai Seth-mu dan tetap merasa ragu pada suamimu sendiri, Anna?"
Tiba-tiba saja aku bergidik mendengar nama itu. Aku tidak pernah menyangka kalau aku pernah berpacaran sekian lama dengan seorang sakit jiwa seperti Seth. Aku tidak bisa membayangkan kalau kemarin aku tidak menikah dengan Sebastian dan tetap menjalin hubungan dengannya. Entah apa yang akan terjadi padaku. Oh Ya Tuhan, terima kasih banyak karena telah menolongku!
"Tidak, Andy. Aku sudah mengerti sekarang dan nanti aku akan meminta maaf pada Sebastian atas semuanya."
Andrew tersenyum mendengar jawabanku. Ia lalu menggenggam tanganku dengan lembut.
"Aku senang kalau kau berpikir begitu, Anna. Baiklah, kalau begitu aku harus pergi ke kantor sekarang. Oh ya Anna, kau tahu satu hal lagi? Kondisi Papa sekarang sudah jauh lebih baik. Papa bahkan sudah mulai bisa berjalan sendiri lagi tanpa bantuan kursi roda, dan mungkin dalam beberapa hari Papa akan siap kembali ke kantor. Dan, itu semua terjadi setelah Papa mendengar kabar kehamilanmu."
Aku benar-benar senang mendengar berita itu. Tak ada sesuatu hal pun di dunia ini yang paling membahagiakanku selain kabar tentang kesehatan Papa.
"Benarkah itu, Andy?" mataku mulai berkaca-kaca.
"Iya, Anna. Itu benar." Andrew tersenyum lembut padaku, "ya sudah sekarang kau istirahat ya?"
Sebelum Andrew melangkah pergi, aku kembali menarik tangannya. Andrew berhenti dan berbalik lagi menghadapku.
"Ada apa lagi, Anna?"
"Andy, apa Papa tahu tentang kejadian kemarin?" tanyaku ragu, "Aku takut itu akan mempengaruhi kesehatan Papa lagi."
Lagi-lagi Andrew tersenyum.
"Tidak, Anna. Kau tenang saja. Cukup kau, Sebastian dan aku yang tahu. Oh iya, juga beberapa Polisi dan orang-orang suruhan Sebastian." Andrew tertawa. Setelah itu ia mengecup keningku dan pergi meninggalkanku di kamar ini seorang diri.
*** BAB 28 Tak berapa lama setelah kepergian Andrew, Sebastian masuk ke kamar dengan membawa nampan berisi makanan. Ia meletakkan nampan itu ke meja dan duduk di tepian tempat tidur. Aku jadi merasa segan melihat sosok Sebastian setelah mendengar cerita dari Andrew tentang kekhawatirannya selama aku tidak ada kemarin.
"Bagaimana keadaanmu, Anna?" tanya Sebastian pertama kali. Ia meletakkan punggung tangannya di keningku.
"Aku sudah jauh lebih baik, Sebastian. Bagaimana keadaan tanganmu?"
Sebastian memperhatikan telapak tangan kanannya yang berbalut perban.
"Ini? Tidak apa-apa. Rasanya hanya sakit sedikit. Jangan khawatir." ia tersenyum tipis masih sambil berpura-pura mengusap perban di tangannya. Aku merasa ia sedang sengaja menghindar bertatapan mata denganku. Membuatku merasa lebih tidak enak hati padanya.
"Sebastian." Aku meraih tangannya dan menggenggamnya erat. Sebastian tampak kaget dan mengangkat wajahnya padaku.
"Maafkan aku. Aku benar-benar merasa menyesal atas semua kejadian ini. Maafkan aku." ucapku dengan nada bersungguh-sungguh.
Lagi-lagi Sebastian tersenyum kecil ke arahku. Ia menggenggam tanganku di dalam kedua tangannya.
"Tidak apa-apa, Anna. Aku sudah memaafkanmu. Tapi, mulai sekarang aku hanya sudah tidak mau bernegosiasi tentang hal apapun lagi denganmu. Aku sudah cukup sabar dengan sikapmu. Dan, mulai sekarang, aku yang akan mengambil semua keputusan dan kau tidak boleh membantahku lagi. Aku tidak perduli kau suka atau tidak dengan keputusanku, karena aku suamimu dan aku berhak mengatur semuanya selama hal itu tidak merugikan rumah tangga kita. Apalagi sekarang ada calon anakku di dalam kandunganmu."
Aku merasa sedikit takut mendengar ucapan Sebastian barusan. Ia tampak begitu kecewa padaku.
"Apa kau marah padaku, Sebastian?" tanyaku polos. Sebastian tersenyum kecut ke arahku. Ia tampak tidak percaya dengan pertanyaanku.
"Apa yang kau tanyakan, Anna? Tentu saja aku marah padamu. Aku tidak mengerti apa yang ada di dalam pikiranmu. Terakhir kita bertemu, semua baik-baik saja lalu tiba-tiba kau menghilang dan mengganti nomor ponselmu. Aku tidak mengerti kenapa kau mau kabur dariku dalam keadaan mengandung bayiku? Kau sungguh lancang, Anna."
"Sebenarnya, waktu itu aku sudah ingin memberitahukannya padamu, Sebastian. Tapi, tiba-tiba aku melihat seorang wanita yang bercerita pada temannya kalau suaminya merebut anak wanita itu lalu menceraikannya. Ku pikir kasus wanita itu agak mirip denganku jadi aku memutuskan ..."
"Dan, kau berpikir aku akan berbuat seperti suami wanita itu?" Sebastian memotong kalimatku. Ia mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangannya.
"Ya Tuhan, Anna. Apa yang kau pikirkan?"
"Aku berpikir kalau kau tidak pernah benar-benar mencintaiku, Sebastian. Aku merasa kalau kau masih mencintai Julia."
Sebastian menarik nafas lalu meraih wajahku, menatapku dengan lekat,
"Dengarkan aku, Anna. Kau tahu berapa usiaku sekarang? Usiaku sekarang sudah 31 tahun dan Julia itu hanya seorang gadis yang pernah mengisi hidupku selama dua bulan saat usiaku 19 tahun. Iya, aku memang sangat mencintainya dulu tapi itu dulu, Anna. Dan, hal itu sudah berlalu selama 12 tahun. Kau tahu, sudah berapa banyak gadis yang singgah dalam hidupku setelahnya. Aku bahkan sudah lupa wajah gadis itu, Anna. Jadi, kenapa kau berpikir kalau aku masih mencintainya?"
Aku terpaku melihat tatapan kedua mata Sebastian. Ia tampak sedang bersungguh-sungguh.
"Kau tahu, Anna? Kalaupun ada orang yang patut merasa cemburu, akulah orangnya. Melihatmu, istriku sendiri masih begitu mencintai mantan pacarnya dan bahkan rela berbuat nekat padaku hanya demi rasa cintanya pada lelaki itu. Coba kau bayangkan rasanya menjadi aku."
Aku merasa ingin menangis sekarang. Aku memang sudah banyak mengkhianati Sebastian dan rasanya malu sekali saat ini.
"Bukannya aku tidak tahu kalau kau masih berhubungan dengan lelaki itu bahkan setelah kita menikah, Anna. Tapi, aku berpura-pura menutup mata dan telingaku karena aku tahu kalau dari awal kau tidak menginginkan pernikahan ini. Aku berpikir kau butuh waktu untuk belajar mencintaiku. Itulah sebabnya aku terus berusaha berbuat baik padamu, memberikanmu hadiah-hadiah, dan selalu memaafkan kesalahanmu karena aku percaya kalau suatu saat kau akan bisa mencintaiku, Anna."
Air mata mulai jatuh di pipiku mendengar semua pengakuan Sebastian. Mengapa aku bisa berbuat begitu jahat pada lelaki sebaik dia selama ini?
"Kau boleh berpikir kalau aku ini kuno, tapi bagiku pernikahan adalah sesuatu hal yang tidak main-main. Pernikahan adalah sesuatu hal yang suci. Aku ingin menjadi seperti ayahmu dan mendiang ayahku, Anna. Yang selalu setia pada pasangan mereka bahkan jauh setelah maut memisahkan mereka. Aku ingin kita menjadi seperti itu karena tanpa ku sadari, aku mulai jatuh cinta padamu, Anna."
Sebastian mengusap air mataku dan mengecup tanganku dengan lembut.
"Kau itu memang gadis menyebalkan, kekanak-kanakan dan berotak licik, tapi aku tahu kalau kau melakukan itu semua hanya karena kau begitu mencintai mantan pacarmu itu, ya kan? Dan, aku mau kau begitu untukku, Anna. Aku mau membuatmu jatuh cinta padaku agar kau mau melakukan apapun untukku."
Aku meletakkan ujung jemariku di bibir Sebastian. Memintanya agar berhenti berbicara.
"Kau sudah terlalu banyak berbicara, Tuan Agustine." aku memaksakan senyuman padanya, "sekarang, giliranku."
Aku mencoba turun dari tempat tidur dan mencoba duduk di pangkuan Sebastian. Mendekatkan wajahku dengan wajahnya. Aku mencium bibirnya yang sudah terlalu banyak bicara itu. Berusaha mengutarakan perasaanku lewat ungkapan yang tidak bisa ku sampaikan dengan kata-kata. Sebastian mengerti kemauanku dan ia membalas ciumanku, membuatnya terasa lebih panas.
Saat nafas kami berdua sudah terengah, aku melepaskan ciumanku dan menatap kedua matanya.
"Maafkan aku, Sebastian karena telah membuat banyak kekacauan dalam hubungan kita selama ini. Maafkan aku, aku mencintaimu." ku raih lagi wajah tampan di hadapanku itu dan Sebastian tidak berusaha menolaknya.
Tiba-tiba, di tengah ciuman panas itu, terdengar ketukan seseorang di pintu dan tak lama Martha masuk. Ia tampak kaget melihat posisiku yang sedang duduk di pangkuan Sebastian. Wajahnya seketika tampak merah karena malu.
"Maafkan saya, Tuan dan Nyonya. Maaf." Martha hendak kembali ke luar tapi Sebastian menahannya.
"Tidak apa-apa, Martha. Kau membawa air minum ya? Letakkan saja, aku memang lupa membawanya sekalian tadi."
Aku beranjak dari pangkuan Sebastian dan kembali ke tempat tidur. Ku lihat, memang tidak ada air minum di nampan yang dibawa Sebastian tadi.
Martha sepertinya tidak mau berlama-lama di kamar itu bersama kami. Ia tampak malu sekali sejak awal dan segera izin pamit setelah memberikanku segelas air. Sepeninggal Martha, Sebastian bangkit dan mengecup keningku,
"Baiklah, aku harus ke kantor sekarang, Anna. Ini adalah hari pertamaku kembali ke kantor dan aku tidak mau terlambat. Kau jaga diri baik-baik ya, habiskan makananmu." Sebastian mengecup bibirku. Tapi, saat ia ingin berbalik meninggalkanku, aku menarik tangannya hingga ia menoleh lagi ke arahku,
"Apa lagi, Sayang?" tanya Sebastian. Ia tampak tidak sabar ingin pergi karena takut terlambat.
"Jadi, kita 'benar-benar' sudah baikan sekarang?" aku menekankan kalimatku. Sebastian mengangkat bahunya sambil mendengus,
"Itu semua tergantung padamu, Anna. Tapi, ku pastikan kalau setelah ini kau tidak akan bisa kemana-mana lagi karena aku sudah meminta dua orang pengawal untuk berjaga di depan pintu kamar ini."
"Oh yang benar saja, Sebastian."
Sebastian tertawa mendengar rengekanku.
"Baiklah, Nyonya Agustine. Aku harus pergi sekarang. Akan ku usahakan untuk pulang lebih awal hari ini." Sebastian membungkuk dan tanpa ku duga ia memagut bibirku lagi, membuat darahku mendesir. Setelah itu ia pergi begitu saja meninggalkanku yang masih terhipnotis oleh ciumannya barusan.
*** Sebulan kemudian, saat keadaanku dan Sebastian sudah cukup pulih, ia mengadakan sebuah pesta besar di rumahnya. Pesta itu diadakan untuk merayakan ulang tahunku yang ke-24 seminggu yang lalu dan juga Sebastian sekalian ingin mengumumkan kepada semua relasi dan karyawannya kalau aku sedang mengandung anak pertama kami.
Pesta itu sangat mewah dan dihadiri oleh banyak orang. Disana aku bertemu dengan Andrew dan Ashley dan mereka mengatakan padaku kalau sebentar lagi mereka berdua akan bertunangan. Aku benar-benar merasa bahagia untuk mereka berdua. Aku juga bertemu dengan Olivia dan Mark, tunangannya. Dan, dengan tulus hati aku meminta maaf sekali lagi padanya kalau dulu aku pernah menumpahkan minuman ke pakaiannya. Olivia menerima permintaan maafku dengan tulus. Baru ku sadari walau terkadang centil dan menyebalkan, ternyata Olivia adalah wanita yang baik. Dan, tanpa ku duga Sebastian ternyata juga mengundang Dennis, lelaki itu datang dengan istri dan juga anaknya. Dennis memberi selamat pada kami berdua atas kehamilanku dan juga rumah tangga kami yang akhirnya berhasil diselamatkan.
Tapi, dari semua orang yang ku temui di pesta itu, aku merasa paling bahagia saat melihat Papa. Papa datang dengan gagahnya dan memberi selamat padaku. Bisa ku lihat dengan mata kepalaku sendiri kalau ucapan Andrew memang benar. Papa sudah pulih seratus persen dan ia tampak bahagia mendengar kabar kehamilanku.
Saat ini aku memutuskan untuk duduk di sofa karena aku tidak kuat berdiri lama-lama sekarang. Aku duduk seorang diri sambil menikmati minumanku, lalu tiba-tiba saja mataku terpaut pada Sebastian, suamiku. Aku melihat ia sedang berbincang dengan dua orang rekannya. Sebastian tampak sangat tampan hari ini dan aku benar-benar merasa seperti ingin memeluknya dengan erat sekarang dan merasakan aroma tubuhnya lagi.
Sebastian sepertinya sadar kalau ada orang yang sedang memperhatikannya. Ia langsung saja melihat ke arahku dan pandangan kami bertemu. Sebastian tersenyum tipis ke arahku, sambil mengangkat sebelah alisnya. Tak lama, Sebastian tampak meminta izin pada kedua rekannya dan ia berjalan ke arahku. Entah kenapa jantungku berdebar dengan sangat cepat saat melihatnya perlahan mendekatiku.
Setelah tiba tepat di hadapanku, Sebastian membungkukkan tubuhnya dan berbisik di telingaku,
"Tunggu aku di kamar sepuluh menit dari sekarang. Aku akan menyusulmu nanti." bibirnya mengecup pipiku dan sebelah tangannya meraba ke pahaku. Bisikannya di telingaku dan sentuhannya membuat jantungku bergemuruh kencang. Sebastian segera menegakkan tubuhnya dan berbalik meninggalkanku lagi.
*** Pesta itu belum lagi usai tapi Sebastian sudah memintaku untuk naik ke kamar. Sepertinya ia sudah benar-benar tidak sabar untuk bercinta lagi denganku karena kami terakhir melakukannya sebelum ia pergi ke luar kota beberapa waktu lalu.
Aku duduk di depan meja rias sambil menyisir rambutku. Aku sudah mengganti gaun pestaku dengan gaun tidur yang tipis, berharap dalam hati kalau Sebastian akan segera datang karena aku pun sebenarnya sudah sangat merindukan sentuhannya.
Tak pernah ku duga sebelumnya kalau aku akan begitu mencintai lelaki yang awalnya sangat ku benci ini. Tapi, dibalik sikap menyebalkannya ternyata Sebastian memang sangat mencintaiku.
Dalam hitungan menit, tiba-tiba pintu kamar terbuka dan Sebastian masuk ke dalam. Aku memandanginya dari kaca cermin dengan jantung yang bergemuruh hebat. Suamiku itu benar-benar tampan dan mampu membuatku tergila-gila.
Sebastian berjalan mendekatiku lalu berbisik, pandangan kami bertemu di kaca cermin,
"Kau sudah siap untukku, Anna?" bisik Sebastian dan satu tangannya mulai menyelinap ke dalam gaun tidurku, meraba perutku.
Aku tidak menjawab pertanyaannya. Apa yang sedang dilakukan Sebastian sudah cukup membuatku terpaku, sementara mata kami masih saja bertatapan lewat cermin itu.
"Oh, iya. Sebelum kita naik ke tempat tidur, aku punya hadiah untukmu, Sayang."
Mendengar kata hadiah, otakku langsung tersadar.
"Oh ya, apa itu?"
"Kita akan berlibur ke Maladewa. Itu sebagai pelunasan hutangku saat kita baru menikah kemarin. Dan, sekarang karena sudah ada si jabang bayi, kita akan merayakan ulang tahunmu dan babymoon kita disana nanti!"
Aku bangkit dan membalikkan tubuhku. Segera saja aku memeluknya dengan erat. Aku merasa bahagia sekali saat ini.
"Terima kasih, Sebastian." ucapku dengan histeris dan kembali memeluknya.
Sebastian menarikku dari pelukannya dan meraih wajahku, perlahan ia mulai mencium bibirku. Saat bibir kami berpagutan aku merasakan tangan Sebastian mulai memasuki gaun tidurku dan meremas bokongku. Ciuman kami semakin panas dan ia menurunkan ciumannya ke leherku. Aku menikmati apa yang Sebastian lakukan sambil memegangi kepalanya.
Aku menaikkan satu kakiku dan Sebastian menahannya, lalu menyusul satu kaki lagi hingga aku melingkarkan kedua kakiku di pinggulnya. Sebastian menahanku lalu membawaku ke tempat tidur. Aku berbaring dengan tubuhnya berada di atasku.
"Hmm ... Apa bayi itu akan baik-baik saja kalau kita bercinta, Anna?" tanya Sebastian tiba-tiba. Ia tampak khawatir.
"Aku tidak tahu, bagaimana kalau kau tanya pada salah satu dokter kenalanmu." jawabku sambil mengusap wajahnya yang masih berada diatasku.
"Bagaimana kalau mereka melarangnya? Ya Tuhan, aku bisa gila menahannya lebih lama lagi, Anna."
Aku terkekeh melihat ekspresi Sebastian.
"Mungkin tidak apa-apa kalau aku melakukannya dengan perlahan ya?" Ia mencoba menghibur dirinya sendiri.
"Kau itu tukang bohong. Di malam pertama kita juga kau bilang begitu tapi kenyataannya ..."
Sebastian tertawa tepat di depan wajahku.
"Aku minta maaf, aku benar-benar tidak tahan melihat tubuhmu, Anna. Apalagi setelah tahu kalau aku adalah lelaki pertama yang menidurimu."
Aku mendorong pipinya hingga wajah Sebastian berpaling ke samping.
"Bagaimana kalau aku menolakmu hari ini? Apa kau akan memaksaku?"
"Hmm ... Mungkin, tapi aku yakin kalau kau tidak akan menolakku, Anna. Karena aku tahu kalau tubuhmu ini juga pasti sudah sangat merindukan sentuhanku."
Sebastian mulai menciumiku lagi dan lagi sampai aku merasa melayang dibuatnya. Ia mulai melucuti pakaiannya sendiri. Dan, di sela-sela pergumulan panas kami, aku tanpa sadar menggigit leher Sebastian, membuatnya sedikit kaget,
"Menggigit, Anna? Sudah ku bilang kalau kau yang melakukannya waktu mabuk malam itu." aku merasa wajahku panas sampai ke telinga mendengar ucapannya itu.
"Sshh ... Jangan bicara apa-apa lagi. Cium aku saja." segera saja ku tarik wajahnya dan menciumnya kembali untuk menutupi rasa maluku. Aku dapat merasakan Sebastian tersenyum dan di sela-sela ciuman kami ia berbisik,
"Aku mencintaimu, Savannah Agustine. Istriku yang cantik dan Ibu dari calon bayiku."
Dan, dengan nafas yang hampir habis merasakan apa yang Sebastian lakukan padaku aku membalasnya,
"Aku juga mencintaimu, Sebastian Agustine. Suamiku yang tampan, Ayah dari calon bayiku."
*** -the end- Pendekar Super Sakti 16 Pendekar Naga Geni 18 Bukit Kepala Singa Kisah Sepasang Naga 2
Aku mengusap keringat di dahiku dengan handband yang ku pakai lalu menenggak air dari botol yang ku bawa. Tiba-tiba saja ada seorang lelaki yang berjalan di hadapanku dengan seekor anjing yang mengikuti di belakangnya. Lelaki itu tampak melihat ke arahku, ia seperti ingin menyapaku tapi ia tampak ragu. Si lelaki dan anjingnya terus berjalan melewatiku dengan raut wajah yang tampak sedang berpikir.
Aku terus memperhatikan lelaki itu dan ku lihat, ia memutar balik dan berlari kembali ke arahku. Anjingnya masih dengan setia mengikuti. Lelaki itu berhenti di hadapanku dengan ragu. Lalu ia berkata,
"Kau Anna, kan? Anna pacar Seth?" tanya lelaki itu pertama kali. Aku tidak menjawab pertanyaannya. Aku tidak kenal orang ini dan aku lupa apakah aku pernah bertemu sebelum ini dengannya atau tidak.
"Anna, ini aku Jack, teman Seth. Kita pernah bertemu satu kali waktu itu, selepas Seth manggung. Kau ingat?"
Aku tidak ingat sama sekali. Seth banyak mengenalkanku pada teman-temannya. Tapi, mereka semua seperti hanya sepintas lalu. Tidak ada yang benar-benar ku kenal dengan baik kecuali keempat teman bandnya.
"Iya, mungkin. Tapi, aku tidak bisa mengingatnya. Maaf." jawabku singkat. Tiba-tiba saja lelaki bernama Jack itu duduk di sampingku. Ia tersenyum mendengar jawabanku.
"Tidak apa-apa. Oh ya, Seth apa kabar? Apa kalian masih bersama? Kau tahu, aku baru saja kembali dari kampung halamanku, jadi aku sudah lama sekali tidak mendengar kabar darinya."
Jack memberondongku dengan pertanyaan. Apa lelaki ini benar-benar tidak tahu apa yang sudah terjadi pada Seth? Tiba-tiba saja hatiku terasa sakit mengingat kondisi Seth sekarang. Dan semua yang sudah terjadi pada Seth sekarang adalah perbuatan Sebastian.
Apakah Jack benar-benar tidak tahu apa yang sudah terjadi pada Seth? Aku mencoba membaca pikiran Jack dari raut wajahnya. Tapi, ku rasa Jack adalah orang yang jujur. Ia sepertinya memang tidak tahu apa-apa tentang Seth.
"Aku dan Seth sudah lama putus. Dan, aku tidak tahu bagaimana keadaannya sekarang."
Aku terpaksa berbohong pada Jack. Aku tidak mau ia memberondongku dengan lebih banyak pertanyaan lagi. Biarlah nanti ia akan tahu sendiri bagaimana nasib kawannya itu sekarang.
"Oh, sayang sekali, Anna. Kalian sangat serasi. Kenapa kalian putus?" wajah Jack tampak menyesal. Sepertinya ia lelaki yang mudah bersimpati pada orang lain.
"Tidak apa-apa. Mungkin hanya sudah tidak ada kecocokan. Tapi, aku masih mencintainya sampai sekarang."
Untuk kalimat terakhirku tadi, aku tidak berbohong sama sekali.
"Ya, aku tahu, Anna. Kalian dulu sangat saling mencintai. Kau tahu, aku dan Seth sudah berteman baik sejak kecil. Dan, aku belum pernah lagi melihat Seth begitu mencintai seorang gadis seperti ia mencintaimu, semenjak pacarnya yang terakhir mati karena bunuh diri."
Aku benar-benar terkejut mendengar ucapan Jack mengenai Seth barusan. Jadi dulu Seth pernah mencintai seorang gadis yang lalu mati karena bunuh diri? Kenapa ia tidak pernah menceritakannya padaku? Rahasia apalagi yang Seth sembunyikan dariku selama kami menjalani hubungan dalam setahun kemarin?
Lalu apa alasan gadis itu sampai bunuh diri? Aku semakin tidak mengerti.
Entah kenapa tiba-tiba jantungku berdetak dengan sangat cepat dan sekujur tubuhku seperti gemetar. Tapi, aku berusaha untuk terus bersikap normal di depan Jack.
"Kau bilang kalau kau dan Seth sudah berteman baik sejak kecil?" tanyaku dengan suara yang hampir berbisik.
"Ya, Anna. Dulu waktu kecil aku sering sekali bermain di ladang milik orang tua angkat Seth. Kau tahu, kami berdua adalah anak-anak yang sangat nakal." Jack tertawa membayangkan masa lalunya.
APA?! Orang tua angkat?! Ladang?! Apa yang Jack katakan?!!!
"Apa kau bilang barusan? Orang tua angkat? Ladang? Apa maksudmu?"
Aku berusaha mengontrol emosiku. Aku ingin mendengar cerita Jack selanjutnya.
"Iya, Anna. Apa Seth tidak pernah bercerita mengenai keluarganya? Seth itu bukan anak kandung dari orang tua angkatnya dulu. Ayah dan ibu angkat Seth menemukannya saat bayi. Ada seseorang yang meletakkan bayi Seth yang malang di depan pintu rumah mereka. Lalu pasangan petani itu mengadopsi Seth."
Kepalaku terasa pusing seketika.
"Semua orang tahu cerita mengenai masa lalu Seth tapi kedua orang tua angkatnya tidak keberatan sama sekali kalau semua orang tahu Seth bukan anak kandung mereka. Seth tumbuh menjadi lelaki yang tampan dan disukai banyak orang. Kami sering sekali membolos sekolah bersama dan main di ladang milik orang tua angkatnya, Anna. Seth itu cowok yang asyik! Apalagi ia jago memainkan gitar."
Aku berusaha untuk tidak mempercayai semua ucapan Jack tapi entah kenapa hati kecilku merasa kalau lelaki di hadapanku ini adalah orang yang sangat jujur. Kepribadian polos Jack itu adalah ciri khas orang yang berasal dari pedesaan.
"Lalu, apa yang kau ketahui tentang pacar terakhir Seth sebelum ia berpacaran denganku? Kenapa gadis itu sampai bunuh diri?"
Aku berusaha untuk benar-benar menahan emosiku. Aku merasakan nafasku mulai tidak beraturan.
"Julia maksudmu? Apa Seth tidak pernah menceritakannya padamu? Julia adalah seorang gadis yang paling cantik di desa kami dulu, Anna. Semua laki-laki berlomba untuk mendekatinya. Tapi, gadis itu memilih Seth. Wajar saja, Seth begitu tampan dan jago memainkan gitar. Ku rasa, Julia menyukainya karena itu. Lalu mereka berpacaran. Mereka begitu saling mencintai, Anna."
"Julia bekerja paruh waktu di rumah seorang Tuan tanah di desa kami. Tuan tanah itu adalah seorang lelaki tua yang hidup seorang diri.?Lalu pada sebuah liburan musim panas, cucu dari lelaki itu berlibur di rumah kakeknya. Anak lelaki itu seumuran kami, tapi mungkin lebih tua satu atau dua tahun. Dan, aku tidak tahu bagaimana awalnya, yang ku dengar Julia jatuh cinta pada anak lelaki itu dan anak lelaki itu pun mencintai Julia lalu mereka berpacaran."
Kepalaku semakin pusing. "Seth tentu saja sangat terpukul dengan kejadian itu karena ia begitu mencintai Julia. Tapi, gadis itu bahkan malah nekat menyusul anak lelaki itu ke kota saat liburan berakhir. Lalu, aku tidak tahu bagaimana lagi selanjutnya. Yang ku dengar tak lama Julia ditemukan tewas bunuh diri di kamarnya."
Pandanganku sudah kabur karena air mata yang menggenang di pelupuk mataku. Saat aku mengedipkan mata, air hangat itu langsung meleleh jatuh di pipiku.
Jack baru sadar kalau aku menangis, karena dari tadi ia bercerita sambil terus sibuk dengan anjingnya. Ia tampak kaget saat melihatku,
"Anna, kau baik-baik saja?" tanya Jack khawatir. Aku mengusap air mataku.
"Ya, aku baik-baik saja. Jangan khawatir," aku berusaha memaksakan senyuman, "Jack, apa kau tahu siapa nama cucu dari tuan tanah itu?"
Aku merasa seperti ingin menutup telingaku saat ini. Aku tidak mau mendengar dan mengetahui cerita Jack lebih jauh tapi aku sangat penasaran.
"Tentu saja, Anna. Nama anak lelaki itu adalah Sebastian Agustine."
*** BAB 21 Aku melihat sosok itu ...
Sosok yang pernah ku cintai dulu. Dan mungkin, sampai sekarang pun jauh di lubuk hatiku aku masih begitu mencintainya. Ia berjalan dengan wajah tertunduk ke arahku dengan kedua tangan terborgol dan dikawal oleh seorang petugas. Tubuhnya terlihat jauh lebih kurus sekarang jika dibanding saat terakhir kami bertemu beberapa waktu lalu dan wajahnya yang tampan itu tampak layu.
Seth kaget saat pertama melihatku, ia terlihat senang saat melihatku sudah duduk di ruang berkunjung khusus. Sebuah ruangan kecil yang agak pengap. Ia duduk di seberang meja, berhadapan denganku. Sementara si petugas masih berjaga tak begitu jauh dari kami.
Aku memperhatikan sosok di hadapanku itu tanpa berkedip sama sekali. Sementara Seth memandangiku dengan wajah yang tampak bahagia, kedua matanya berbinar.
"Apa kabar, Seth?" ucapku pertama kali. Seth terlihat sangat senang karena aku sudah datang mengunjunginya.
"Buruk, Anna. Tapi, sekarang aku merasa lebih baik karena kau sudah mau datang menemuiku. Aku sangat merindukanmu, Anna. Apa kau juga merindukanku?" Seth meraih tanganku dan menggenggamnya erat. Aku masih diam, memperhatikannya.
Seth mungkin menyadari kalau ada yang sedikit berbeda dari sikapku.
"Kenapa kau diam saja, Anna? Apa kau sakit?" tanya Seth bingung. Aku menarik tanganku dari genggamannya lalu menarik nafas.
"Sebenarnya aku ke sini karena ingin meminta sesuatu padamu, Seth."
"Sesuatu tentang apa, Anna?" wajahnya tampak bingung.
"Ceritakan padaku tentang masa lalumu." jawabku dengan nada datar. Jantungku mulai bergemuruh lagi dan aku merasakan tubuhku sedikit gemetar, menahan semua perasaan yang ada di dalam hatiku.
"Apa yang kau katakan, Anna? Aku sudah menceritakannya semua padamu di apartemenku waktu itu. Apa kau lupa?" Seth masih berusaha meyakinkanku tapi aku bisa melihat ia mulai sedikit gugup dengan tatapanku yang tak pernah lepas darinya.
"Jangan membohongiku lagi, Seth. Aku sudah mengetahui semuanya."
Raut wajah Seth berubah seketika. Ia balik memandangku dengan tatapan tidak percaya.
"Apa maksudmu, Anna?" Ia masih saja berpura-pura tidak tahu.
"Ceritakan padaku tentang mantan pacarmu yang bernama Julia. Kenapa kau tidak bercerita padaku mengenai gadis itu?"
Seth memalingkan wajahnya dariku. Ia tampak benar-benar gugup. Aku melihat keringat mulai tampak di keningnya.
"Julia hanya mantan pacarku, Anna. Tidak ada yang spesial darinya."
"Lalu kenapa ia sampai bunuh diri?"
Pertanyaanku membuat Seth tampak benar-benar kaget. Ia kembali berpaling ke arahku dan menatapku dengan tajam.
"Dari mana kau tahu tentang hal itu, Anna?" Seth berbisik. Kami beradu tatap sekarang.
"Aku mengetahuinya dari seseorang yang Tuhan kirim untuk membuka semua kebohonganmu, Seth," ucapku, juga dengan nada berbisik. Aku benar-benar berusaha menguasai perasaanku sekarang, "sekarang ceritakan semuanya padaku mengenai gadis itu juga tentang kedua orang tua angkatmu! Kenapa kau tega mengarang cerita seperti itu padaku, Seth Logan?!"
Aku menahan nada bicaraku agar tidak berteriak dengan mengatupkan gigiku. Nafasku mulai tersengal dan aku melihat petugas yang berjaga itu mulai melirik ke arah kami.
"Tidak ada yang perlu kau ketahui, Anna. Semua hal tentang masa laluku terlalu pahit untuk dikenang kembali." Seth berusaha meraih tanganku lagi tapi aku menolaknya.
"Ku mohon, Seth." air mata jatuh ke pipiku dengan sendirinya. Seth jadi tampak serba salah melihatku menangis, akhirnya ia menyerah.
"Julia adalah mantan pacarku di desa dulu saat usiaku tujuh belas. Ia sangat cantik dan aku sangat mencintainya. Lalu tiba-tiba ia jatuh cinta pada seorang pemuda kaya sampai-sampai Julia rela menyusul pemuda itu ke kota, Anna. Mereka saling mencintai. Dan, kau tahu, itu benar-benar menghancurkan hatiku. Aku menyusul mereka ke kota dan ku dengar, ayah dari pemuda itu tidak menyetujui hubungan mereka. Karena, ayah si pemuda sudah berniat menjodohkan anak laki-lakinya dengan anak gadis dari rekan bisnisnya yang sudah menyelamatkan perusahannya dari kebangkrutan.
Pemuda itu sangat menghormati ayahnya dan ia terpaksa memutuskan hubungan dengan Julia. Gadis itu merasa benar-benar patah hati dan lalu ia memutuskan untuk bunuh diri."
"Dan, anak laki-laki itu adalah Sebastian Agustine?" tanyaku datar. Seth awalnya tampak kaget mendengar nama itu, tapi ia lalu mengangguk pasrah.
"Iya, Anna. Sebastian yang telah merebut cinta pertamaku dan membuatnya harus mengakhiri hidupnya dengan cara seperti itu. Sebastian dan Fabio Agustine adalah orang-orang yang bertanggung jawab atas kematian Julia, Anna."
Seth menarik rambutnya ke belakang. Ia tampak seperti ingin menangis, tapi tak ada air mata yang keluar dari matanya.
"Lalu kenapa kau harus mengarang cerita mengenai orang tuamu, Seth? Kenapa kau harus membohongiku?"
"Kau jangan naif begitu, Anna. Dari awal aku tahu kau sangat mencintaiku dan aku yakin kau pasti akan cemburu dan tidak akan mau membantuku jika aku mengatakan hal yang sebenarnya mengenai Julia dan niatku untuk membalas dendam pada Sebastian."
Aku benar-benar tidak bisa percaya dengan apa yang baru saja Seth katakan. Air mata lagi-lagi jatuh membasahi pipiku.
"Kau jahat, Seth. Benar-benar jahat! Dari awal kau tidak pernah mencintaiku. Kau hanya ingin memanfaatkanku!" aku menutup wajahku dengan kedua telapak tanganku. Aku benar-benar merasa ingin berteriak sekarang.
"Tidak, Anna. Aku bersumpah demi Tuhan.
Aku benar-benar mencintaimu sejak pertama kali kita bertemu. Aku begitu mencintaimu bahkan setelah aku tahu kalau kau adalah anak seorang James Worthington, walau aku tahu kalau aku tidak akan pernah bisa menikahimu. Tapi, semua itu berubah saat pertama kali aku melihatmu di bar bersama Sebastian malam itu. Aku tidak bisa melupakan wajah lelaki yang sudah merusak hubunganku dengan Julia dulu, Anna."
"Apa aku masih harus mempercayaimu lagi setelah semua kebohongan yang sudah kau lakukan?"
"Anna, aku mohon. Aku tahu aku sudah sangat berdosa padamu. Tapi, percayalah aku begitu mencintaimu, Anna. Kau tidak pernah tahu bagaimana perasaanku saat aku harus rela melepas gadis yang paling ku cintai ke pelukan seorang Sebastian Agustine untuk yang kedua kalinya."
"HENTIKAN, SETH! AKU MOHON!!!
Aku sudah tidak tahan mendengar semua ucapan Seth. Aku menutup telingaku dengan kedua tanganku lalu bangkit. Melihat gelagatku, petugas yang dari tadi sudah memperhatikan kami, langsung buru-buru menghampiri dan berusaha mengamankan Seth kembali.
"Percayalah padaku, Anna. Aku benar-benar menyesal!"
Seth sudah ikut berdiri. Si petugas di belakangnya berusaha membawanya kembali tapi Seth memberontak.
Aku mengusap air mataku lalu menarik nafas dalam-dalam. Berusaha tegar.
"Terima kasih atas semuanya, Seth. Terima kasih karena sudah membuktikan padaku bahwa seseorang yang paling kita cintai terkadang memang tidak pantas untuk diperjuangkan."
Petugas itu dengan sudah payah berusaha membawa Seth kembali ke sel-nya karena Seth masih saja memberontak. Ia seperti masih ingin mengatakan sesuatu padaku.
"Maafkan aku, Anna! Percayalah padaku, aku benar-benar mencintaimu!"
*** Andai ... Andai aku tidak memilih pilihan nomor tiga yang diberikan Sebastian waktu itu ...
Andai aku tidak memutuskan untuk keluar dari kediaman Agustine ...
Andai aku tidak tinggal di apartemen jelek ini ...
Andai aku tidak lari mengelilingi taman pagi tadi ...
Andai aku tidak bertemu dengan Jack ...
Andai ... Andai ... *** Malam ini aku merenung sendiri di kegelapan apartemenku. Memikirkan semua hal yang sudah terjadi padaku. Semua kenyataan pahit ini benar-benar membuat hatiku hancur hingga luluh lantah. Aku tidak pernah menyangka bahwa Seth, lelaki yang paling ku cintai tega melakukan semua ini padaku.
Demi Seth, aku rela mengorbankan perasaanku dan menikah dengan Sebastian, lelaki yang tidak pernah ku cintai sama sekali. Demi Seth, aku sudah dengan lancang mengkhianati suamiku sendiri, seseorang yang sudah mengikat janji suci denganku di hadapan Tuhan.
Karena Seth aku sudah berprasangka buruk pada mendiang ayah mertuaku. Dan, karena Seth pula, Papaku harus terkena serangan jantung karena terlalu mengkhawatirkanku. Dan, segala macam lagi bentuk penderitaan bathin yang ku rasakan dalam hatiku selama ini.
Semua itu ku lakukan hanya demi dirinya. Demi seorang Seth Logan. Tapi, apa yang ia lakukan padaku? Ia telah membohongiku selama ini. Selama setahun lebih kebersamaan kami.
Dan, satu hal lagi yang juga paling menyesakkan hatiku adalah fakta mengejutkan bahwa dulu, Seth dan Sebastian pernah mencintai seorang gadis yang sama ...
*** Tiba-tiba aku dikagetkan oleh suara ketukan di pintu apartemenku. Dengan cepat kuusap sisa-sisa air mata yang masih membekas di pipiku lalu menarik nafas dalam-dalam untuk menenangkan diriku sendiri. Suara ketukan pintu itu masih terdengar. Aku berpikir mungkin itu adalah si pemilik kamar yang datang untuk menagih uang sewa.
Aku merapikan rambutku lalu berjalan ke arah pintu, kepalaku terasa sedikit pusing akibat terlalu banyak menangis. Saat ku buka pintu, ternyata yang berdiri di hadapanku adalah Sebastian.
Aku menarik nafas tanpa mengatakan sepatah kata pun. Aku sedang tidak dalam kondisi ingin berdebat dengannya.
"Hai, Anna. Apa kabar?" Sebastian menyeringai ke arahku. Aku tahu ia sedang ingin menggodaku tapi aku benar-benar sedang malas menanggapinya.
Aku membalikkan tubuhku dan berjalan ke dalam. Membiarkan pintu itu tetap terbuka supaya Sebastian bisa mengikutiku dari belakang. Dan, benar saja, lelaki itu masuk tanpa ku persilahkan lebih dulu. Andai aku sedang dalam kondisi baik, aku pasti sudah berteriak padanya karena sudah seenaknya masuk ke apartemen seseorang tanpa izin.
"Hei, kenapa di sini gelap sekali?" Sebastian menjatuhkan tubuhnya ke sofa. Merentangkan kedua tangannya di atas sandaran sofa usang itu.
Aku duduk di sofa yang sama dengannya, tapi agak sedikit berjauhan darinya.
"Kau mau apa lagi kemari?" tanyaku sambil memijat kepalaku perlahan. Kepalaku terasa sedikit pusing.
"Aku ke sini ingin mengajakmu ke rumah. Aku sengaja mengadakan sebuah pesta cocktail di rumah dan mengundang seluruh staff-ku di kantor. Ku harap kau mau ikut, tapi kalau kau sedang tidak enak badan, tidak apa-apa."
Sebastian memiringkan tubuhnya, menghadap ke arahku. Saat aku melirik ke arahnya, ia tampak sedang serius memperhatikanku.
"Iya, Sebastian. Aku akan ikut." aku bangkit dari sofa, berniat pergi ke kamar, "sebentar aku ganti baju dulu."
Saat aku berjalan melewatinya, tiba-tiba Sebastian bangkit dan langsung menarik pergelangan tanganku. Satu tangannya lagi menarik pinggulku dan merapatkan pada tubuhnya. Aku berusaha berpaling darinya karena wajah kami sudah sangat berdekatan sekarang.
"Kau baik-baik saja, Anna?" Sebastian menatapku tajam. Aku masih berusaha melepaskan tangannya dari tubuhku.
"Lepaskan aku, Sebastian. Aku baik-baik saja."
Sebastian semakin mengeratkan tangannya di pinggulku dan itu terasa sedikit menyakitkan. Ia terus menatap tajam padaku lalu berbisik,
"Jangan bohong padaku, Anna. Ku tanya sekali lagi, apa kau baik-baik saja?"
*** BAB 22 Sebastian semakin mengeratkan tangannya di pinggulku dan itu terasa sedikit menyakitkan. Ia terus menatap tajam padaku lalu berbisik,
"Jangan bohong padaku, Anna. Ku tanya sekali lagi, apa kau baik-baik saja?"
Kami bertatapan beberapa saat. Tatapan dari kedua matanya membuatku takut tapi aku tidak mungkin mengatakan yang sebenarnya pada Sebastian. Dia tidak perlu tahu semua hal yang sudah terjadi padaku. Biarlah ku simpan semuanya ini untuk diriku sendiri saja.
Posisi tubuhku yang berhimpit dengan Sebastian ditambah suasana yang hening dan keadaan ruangan yang temaram itu membuat jantungku berdegup dengan keras. Lelaki di hadapanku ini adalah suamiku dan entah kenapa Tuhan menciptakannya dengan begitu sempurna. Kalau kami bertahan dengan posisi seperti ini lebih lama lagi, aku yakin sesuatu hal aneh akan terjadi lagi di antara kami berdua.
Tiba-tiba saja aku tersadar dari lamunanku dan kembali menggerakkan tubuhku. Mencoba melepaskan diri dari jeratan tangannya.
"Aku baik-baik saja, Sebastian! Lepaskan aku!" aku memberontak lebih kuat dan akhirnya Sebastian melepaskanku. Aku langsung berpura-pura merapikan pakaianku.
"Kau menyakitiku, Sebastian Agustine!" ucapku dengan nada kesal.
Sebastian tampaknya tidak kalah kesal denganku. Ia memandangiku dengan kedua mata yang memicing.
"Kenapa kau tidak pernah mau menurut padaku, Anna? Kenapa kau selalu membuatku harus memaksamu?"
"Aku memang baik-baik saja. Aku hanya sedikit pusing. Mungkin karena terlalu lelah bekerja." aku menjawab tanpa mau melihat ke arahnya. Aku masih pura-pura sibuk dengan pakaianku. Dan, lagi-lagi Sebastian bisa membaca gelagat anehku itu.
Ia mendekat dan kembali mencengkram lenganku. Membuatku menatap kedua matanya.
"Apa kau begitu lelahnya sampai harus menangis dan membuat matamu sembab seperti itu?"
Ucapan Sebastian membuatku terdiam seketika. Aku tidak tahu harus berkata apa lagi untuk mengelak. Tatapan Sebastian benar-benar membuatku seperti ingin menghilang dari hadapannya sekarang.
"Kenapa kau diam, Anna? Apa kau masih mau berbohong lagi?"
"Aku tidak apa-apa, Sebastian. Aku tidak bohong." aku berusaha mengalihkan pandanganku darinya dengan menundukkan wajahku. Tanpa ku duga sama sekali, tiba-tiba Sebastian meraih wajahku dan mencium bibirku dengan kasar. Aku terus mengatupkan bibirku rapat-rapat dan berusaha mendorongnya sekuat tenaga. Dan untungnya usahaku berhasil.
Sebastian melepas ciumannya dan berdiri menatapku dengan kesal. Nafas kami berdua sama-sama terengah.
"Apa yang kau lakukan, Sebastian? Kau sudah gila, hah?" aku mengusap bibirku dengan kasar menggunakan punggung tanganku.
"Aku melakukan hal yang kau sukai, Anna. Kau suka dipaksa, kan?"
Sebastian berjalan mendekatiku lagi. Aku semakin panik.
"Tetap di tempatmu, Tuan Agustine! Atau aku akan berteriak."
Aku merasa tubuhku mulai gemetar. Mataku mulai mencari-cari sesuatu yang mungkin bisa melindungiku.
Sebastian tertawa mendengar ucapanku. Mungkin baginya itu sesuatu yang lucu.
"Lalu apa yang akan kau katakan saat orang-orang datang? Apa kau akan mengatakan kalau suamimu ini ingin memperkosamu? Kau jangan mempermalukan dirimu sendiri, Anna. Tak akan ada satu orang pun yang percaya."
Sebastian tidak main-main dengan kata-katanya. Ia dengan cepat berjalan ke arahku dan kembali menarik tanganku hingga tubuhku jatuh dengan kasar ke sofa. Kepalaku terasa berputar sekarang.
Ia masih berdiri di hadapanku.
"Aku benci padamu, Sebastian! Aku tidak mau ikut ke rumahmu sekarang!" ucapku sambil memijat kepalaku yang mulai pusing lagi. Aku menatapnya dengan tatapan kesal.
"Baiklah, kalau kau tidak mau ikut tidak apa-apa."
Tiba-tiba Sebastian mengeluarkan ponsel dari sakunya dan tampak menelepon seseorang.
"Martha, bilang pada semua tamu yang sudah datang kalau pestanya dibatalkan. Aku dan Nyonyamu sedang ada urusan penting yang perlu diselesaikan sekarang juga."
Seketika Sebastian mematikan ponselnya dan melemparnya ke sofa di sampingku. Apa yang dikatakannya barusan? Pesta dibatalkan? Martha dan semua pelayan pasti sudah menyiapkan banyak makanan dan biaya untuk itu semua pasti tidaklah sedikit.
Aku menarik nafas, sejak merasakan hidup susah dan bekerja di pabrik, aku jadi tahu nilai uang yang sebenarnya. Tapi, tidak untuk lelaki di hadapanku ini. Mungkin Sebastian harus merasakan hidup tanpa uang sepeser pun sesekali nanti.
"Apa yang kau katakan tadi? Pestanya dibatalkan? Lalu bagaimana dengan para staff-mu yang sudah datang? Kau tidak menghargai usaha mereka sama sekali."
"Aku adalah bosnya dan aku bebas melakukan hal apapun. Kalau ada yang tidak suka, mereka bisa keluar dari OneComp. kapan pun mereka mau."
Jawaban Sebastian barusan benar-benar gila dan angkuh. Aku benci sekali pada lelaki di hadapanku ini sekarang.
"Terserah kau saja, Sebastian." ucapku malas sambil mengalihkan pandanganku ke arah lain. Aku sudah malas berdebat dengannya.
Aku bangkit dan berniat masuk ke kamar, setelah itu aku akan mengunci pintu dan beristirahat. Biarlah Sebastian akan tetap berada di ruang tamu ini selama yang ia mau. Aku tidak perduli.
Tapi, saat aku berjalan ke arah kamar, ia kembali menarikku hingga punggungku bersentuhan dengan dadanya sekarang.
"Kau mau kemana, Sayang? Aku sudah membatalkan pesta di rumahku karena ada urusan yang harus kita selesaikan. Dan, sekarang kau malah mau pergi meninggalkanku?" bisikan Sebastian di telingaku membuatku merasa geli dan merinding. Jantungku berdegup dengan cepat lagi.
"Urusan apalagi?" aku mencoba melepaskan diri, tapi jeratannya kali ini begitu kuat. Semakin aku berusaha, itu semakin menyakiti diriku sendiri.
"Urusan antara Tuan dan Nyonya Agustine."
Sebastian membalikkan tubuhku. Membuatku menatapnya. Saat kami bertatapan entah kenapa tiba-tiba aku teringat sosok Julia. Gadis itu yang sudah membuat Seth dan Sebastian jatuh cinta di waktu yang sama. Yang membuat Seth rela melakukan kegilaan dan menyimpan dendam bertahun-tahun lamanya. Yang membuat seseorang seperti Sebastian Agustine jatuh cinta. Gadis itu pasti sangat cantik dan spesial.
Sementara aku apa? Tak ada seorang pun yang mencintaiku. Aku hanyalah alat bagi Seth untuk membalas dendam pada keluarga Agustine. Dan, Sebastian juga menikahiku hanya karena terpaksa. Aku tidak cantik dan tubuhku biasa saja. Kalau bukan karena nama besar Papa yang terselip di belakang namaku, aku memang pasti bukanlah apa-apa.
Tiba-tiba hatiku merasa sakit. Apakah aku cemburu pada Julia karena tahu suamiku sendiri pernah begitu mencintainya dulu. Aku jadi merasa benar-benar tidak berharga sekarang.
"Tidak akan ada lagi Tuan dan Nyonya Agustine, Sebastian. Aku akan mengurus surat perceraian kita."
Ucapanku membuat Sebastian tampak syok. Ia membulatkan kedua matanya dan meraih wajahku, menatapku tajam.
"Tidak pernah ada orang yang berani menantangku seperti itu, Anna. Tidak seorang pun. Aku sudah begitu sabar menghadapi sifat kekanak-kanakanmu selama ini. Aku hanya ingin kau belajar untuk mencintaiku sama seperti aku yang mencoba belajar untuk mencintaimu.
Karena asal kau tahu, pernikahan ini adalah satu-satunya keinginan terakhir ayahku sebelum ia meninggal dunia. Tapi, jika kau memang tetap tidak bisa, atau tidak mau mempertahankan pernikahan kita dan tetap ingin berpisah dariku. Baiklah, kau tidak perlu repot mengeluarkan uang sepeser pun untuk mengurus surat perceraian kita karena aku yang akan mengurus semuanya. Aku akan mengabulkan permintaanmu, Savannah Worthington."
Sebastian melepas cengkramannya dari wajahku dengan kasar. Membuat tubuhku terhempas beberapa langkah ke belakang. Dengan cepat Sebastian meraih ponselnya dari sofa dan bergerak menuju pintu. Ia keluar lalu menutup pintu itu dengan kasar hingga menghasilkan suara yang begitu keras.
Sebastian telah pergi. Pergi membawa perasaan marah yang sangat besar padaku. Sementara aku masih terpaku di sini. Di ruang apartemen yang gelap ini. Mengutuki diriku sendiri karena telah berani menantangnya tadi. Entah kenapa tiba-tiba aku merasa menyesal telah membuat Sebastian begitu marah seperti itu tadi.
Bagaimana jika ia benar-benar akan menceraikanku? Bagaimana jika ia benar-benar akan pergi meninggalkanku? Kenapa tiba-tiba ada sedikit perasaan takut dalam diriku untuk berpisah dengannya? Apa yang terjadi padaku?
*** BAB 23 Beberapa hari setelah pertemuan kami di malam itu, Sebastian tidak pernah lagi menghubungiku. Aku berpikir kalau mungkin ia memang benar-benar marah padaku. Membuatku menjadi merasa lebih bersalah. Tapi, ku terima jika ia memang marah padaku. Aku pantas mendapatkannya.
Sejak kejadian itu pula, pikiranku selalu dipenuhi oleh seorang Sebastian Agustine. Aku benar-benar merasa menyesal telah membuatnya marah seperti itu kemarin. Aku sudah sering melihatnya marah, tapi mungkin kali ini kesabarannya memang benar-benar sudah habis. Aku memang sudah bertindak begitu bodoh karena mengatakan akan mengurus surat perceraian kami.
Entahlah. Aku sendiri tidak tahu hal lain apalagi yang bisa ku perbuat selain membuat kekacauan. Papaku sendiri saja bahkan sampai terkena serangan jantung akibat ulahku itu.
*** Hari ini aku berniat untuk meminta jatah lembur pada Liz, pengawasku yang galak itu. Aku pikir dengan menghabiskan waktu lebih lama di pabrik akan mengalihkan pikiranku dari rasa bersalahku pada Sebastian. Karena jika aku pulang seperti biasa, aku bisa mati bosan di kamar apartemenku karena memikirkan lelaki itu.
Tapi, meminta jatah lembur pada Liz bukanlah perkara mudah. Dari awal aku tahu kalau wanita itu tidak menyukaiku. Aku tidak mengerti apa alasannya. Ditambah lagi, beberapa hari di awal aku bekerja, aku sering sekali hampir, bahkan benar-benar terlambat dan itu membuat Liz semakin tidak menyukaiku. Tapi, demi menyambung hidup aku terus mencoba bersabar dan bertahan bekerja di sana. Aku membutuhkan uang untuk biaya sehari-hariku.
Aku menghampiri Liz yang sedang sibuk memperhatikan salah satu pekerja, saat mendengar aku memanggil namanya, Liz membalikkan tubuh dan menatapku dengan tatapannya yang sinis.
"Ada apa, Worthington?" tanya Liz. Ia menatapku seperti seekor elang yang lapar.
"Mmhh ... Bolehkah aku lembur hari ini? Aku butuh uang tambahan, Liz." tanyaku takut-takut. Liz tampak tersenyum miring, mengejekku.
"Kau lihat sendiri. Produksi kita sedang menurun belakangan ini. Lalu apa yang mau kau kerjakan untuk lemburanmu? Kau mau membersihkan toilet?"
Liz tertawa. Bahkan tawanya saja tidak bisa memberikan kesan lebih manis di wajahnya. Liz menolakku. Aku seharusnya sudah tahu dari awal kalau akan seperti ini akhirnya. Wanita itu memang tidak pernah menyukaiku dari awal. Yah, aku memang bodoh!
Pukul empat dan semua pegawai bersiap untuk pulang. Saat aku mengecek ponselku, ternyata ada beberapa panggilan tidak terjawab dari nomor yang tidak ku kenal. Tapi, orang itu tidak meninggalkan pesan sama sekali. Jadi, ku putuskan untuk meneleponnya. Siapa tahu itu panggilan penting.
"Halo, selamat sore, Nyonya Agustine." otakku berpikir dengan cepat setelah mendengar suara dari orang di seberang sana. Suara itu seperti tidak asing dan ya, aku tahu, itu adalah suara Dennis Sanders. Pengacara Sebastian yang waktu itu pernah datang ke apartemenku.
"Ya, Tuan Sanders, ada yang bisa ku bantu?" tanyaku perlahan.
"Begini, Nyonya. Ada sesuatu hal yang ingin saya bicarakan dengan anda. Jika anda ada waktu bagaimana kalau kita bertemu di sebuah kafe atau restoran untuk membicarakannya. Tempatnya terserah anda. Saya akan segera menemui anda di sana."
Jantungku berdebar dengan cepat. Aku yakin sekali sesuatu hal yang Dennis maksud ada hubungannya dengan masa depan pernikahanku dengan Sebastian. Lelaki itu tidak main-main dengan ucapannya.
"Baiklah, Tuan Sanders. Saya akan kirim nama dan alamat kafe itu lewat pesan singkat. Kita bertemu di sana 30 menit dari sekarang."
"Baiklah, Nyonya Agustine. Saya akan segera ke sana. Selamat sore."
Terdengar suara sambungan terputus. Aku menarik nafas. Entah kenapa tiba-tiba aku jadi merasa takut jika itu memang benar-benar berhubungan dengan perceraianku.
Aku dulu adalah seorang wanita yang selalu penuh dengan keberanian dan percaya diri tapi kenapa sekarang aku seperti kehilangan jati diriku yang sesungguhnya? Aku sendiri tidak tahu alasannya.
*** "Selamat sore, Nyonya Agustine. Apa kabar?" Dennis menyapaku dengan gayanya yang sopan dan ramah. Senyumannya sangat manis ditambah lesung di pipinya itu.
"Saya baik, Tuan Sanders. Terima kasih."
Aku duduk berhadapan dengan Dennis di sebuah meja kayu yang beralaskan taplak berwarna merah muda. Aku mengajaknya bertemu di sebuah restoran sederhana yang tidak begitu jauh dari apartemenku.
"Jadi begini, Nyonya. Saat ini Tuan Agustine sedang melakukan perjalanan bisnis ke Malaysia selama sebulan. Jadi, saya ke sini berperan sebagai kuasa hukum sekaligus perwakilan dari Tuan Sebastian Agustine, ingin memberikan surat permohonan cerai yang diajukan oleh klien saya. Beliau mengatakan bahwa ini sebenarnya adalah keinginan dari pihak Nyonya sendiri. Bukan begitu?"
Dennis menatapku dengan tatapannya yang sopan. Membuatku merasa sedikit lebih tenang. Aku merasa kalau siapa pun wanita yang akan mendapatkannya nanti, pastilah wanita yang sangat beruntung.
Aku mengangguk kecil. Pasrah pada keadaanku.
Melihat gelagatku, Dennis tersenyum maklum. Ia memberikan sebuah map yang berisi kertas-kertas kepadaku. Perlahan aku mengambil dan membukanya.
"Seperti yang bisa anda lihat sendiri, di dalam map itu adalah surat permohonan perceraian yang diajukan oleh pihak Tuan Agustine terhadap anda, Nyonya. Dan, di sana beliau belum menandatanginya. Tuan Agustine meminta anda untuk membaca keseluruhannya dengan baik, lalu jika anda menyetujuinya, anda boleh menandatangani surat itu sekarang. Klien saya akan menandatangani surat itu sepulangnya beliau dari perjalanan bisnisnya. Saya akan beritahukan lagi kapan sidang pertama perceraian anda akan diadakan."
Perkataan demi perkataan yang keluar dari mulut Dennis keluar dengan begitu lancar. Entah kenapa ada seseorang yang bisa berbicara selancar itu di atas permasalahan orang lain. Sementara aku, di hadapannya sedang menahan perasaanku. Aku benar-benar ingin menangis sekarang. Apakah benar Sebastian menginginkan ini semua?
"Nyonya Agustine? Anda mengerti apa yang saya jelaskan barusan?" Dennis memperhatikanku lebih seksama. Ia mengangkat kedua alisnya. Menunggu jawabanku.
Aku tidak bisa membayangkan jika aku benar-benar harus berpisah dari Sebastian. Pastilah akan lebih banyak lagi pihak yang tidak setuju dan kecewa padaku. Khususnya Papa.
Aku memandangi surat-surat permohonan yang ada di tanganku sekarang. Aku sudah membaca keseluruhannya dan memang benar, Sebastian belum menandatanganinya. Seperti ada secercah harapan untukku. Aku merasa kalau ia tidak benar-benar serius dengan apa yang dilakukannya ini. Mungkin Sebastian memang masih berniat untuk mempertahankan pernikahan kami.
Tapi, apa mungkin seperti itu? Lelaki itu tampak benar-benar marah kemarin dan ia sepertinya memang sudah habis kesabaran padaku. Apa Sebastian tidak menandatanginya karena mau menunggu keputusanku dulu atau dia hanya belum sempat saja menandatanganinya?
"Anda sebaiknya membaca keseluruhan surat itu dengan baik, Nyonya. Lalu setelah itu anda boleh menandatanganinya."
"Tadi kau bilang kalau Sebastian sedang berada di Malaysia sekarang? Selama sebulan ke depan?"
"Benar sekali, Nyonya Agustine."
Aku menutup map di tanganku lalu menarik nafas.
"Bagaimana kalau aku minta waktu sebulan untuk mempertimbangkannya lebih dulu. Nanti setelah Sebastian kembali, biar aku sendiri yang akan memberikan surat ini kepadanya. Apa bisa seperti itu?"
Aku berharap Dennis akan berkata YA. Lelaki itu tampak berpikir sejenak, lalu berkata,
"Baiklah, Nyonya. Saya akan meninggalkan berkas ini bersama anda. Jangan lupa untuk mempelajarinya lagi dengan baik. Nanti saya akan beritahukan hal ini pada klien saya."
Senyum lega mengembang di bibirku.
"Terima kasih, Tuan Sanders. Terima kasih."
*** Keesokan harinya, tanpa ku duga sebelumnya, ternyata Andrew menjemputku sepulang kerja. Ia menjemputku di depan pabrik dan mobil mewahnya itu tampak seperti salah alamat. Beberapa pegawai perempuan tampak memandangiku dengan tatapan aneh saat aku memasuki mobil Andrew. Mungkin mereka berpikir kalau aku mempunyai sebuah hubungan terlarang dengan salah seorang petinggi perusahaan. Entahlah, tapi ku rasa pasti akan lebih banyak pegawai perempuan yang membenciku setelah ini.
Ada sedikit perasaan malu terbesit dalam pikiranku saat Andrew menjemputku di antara kerumunan para pegawai yang baru saja keluar dari pabrik itu. Andrew dengan setelan jasnya benar-benar tampak seperti bos mereka. Tapi, aku tidak perduli. Andrew adalah kakakku dan ia tahu segala sesuatu yang telah terjadi. Jadi, ku harap ia bisa mengerti dengan situasiku sekarang ini.
Aku duduk di sebelah Andrew yang duduk di kursi pengemudi. Ia mengendarai mobilnya sendiri hari ini. Jujur, aku sangat senang melihat sosok Andrew saat ini. Entah kenapa aku merasa begitu merindukannya.
"Aku senang kau datang menemuiku, Andy."
Aku bersungguh-sungguh dengan ucapanku. Aku memandangi Andrew dengan mata berkaca-kaca, tapi langsung saja ku usap mataku agar Andrew tidak melihatnya. Ia pasti akan menertawaiku kalau ia tahu aku menangis hanya karena merindukannya.
Andrew tersenyum mendengar ucapanku. Ia masih konsen mengendarai mobil dan tatapannya masih terfokus pada jalanan.
"Ya, Anna. Aku juga merindukanmu. Aku sengaja menjemputmu karena Papa ingin bertemu denganmu. Papa begitu merindukanmu, Anna."
Andrew menoleh padaku lalu ia tersenyum kecil. Aku menarik nafas mendengar ucapannya. Tiba-tiba hatiku terasa sakit mengingat keadaan Papa. Karena itu semua adalah akibat ulahku.
"Bagaimana keadaan Papa? Apa Papa sudah lebih baik?"
"Papa sudah jauh lebih baik. Ia sekarang sudah bisa turun dari tempat tidur. Tapi, keadaannya masih sedikit lemah. Semoga saja dengan melihatmu keadaan Papa jadi semakin membaik. Semalam ia mengatakan kalau ia begitu merindukanmu, Anna."
Aku juga begitu merindukan Papa, Andrew. Hanya saja tidak ada seorang pun yang tahu. Bisikku dalam hati.
Aku terdiam mendengar ucapan Andrew. Aku benar-benar merasa tidak sabar untuk bertemu dengan Papa setelah ini.
*** Sekitar satu jam kemudian, kami tiba di kediaman Worthington. Entah kenapa tiba-tiba saja aku merasa seperti ingin menangis setelah menginjakkan kakiku lagi di rumah itu. Aku ingat saat terakhir aku datang kemari dan Papa sama sekali tidak mau menemuiku. Entah sudah berapa lama kejadian itu berlalu, tapi aku merasa itu sepertinya sudah lama sekali terjadi.
Saat pertama kali kami sampai, Andrew langsung mengajakku ke ruang keluarga. Di sana tampak sosok seorang pria paruh baya yang sedang duduk di sebuah kursi roda sedang terdiam sambil memandangi halaman belakang rumah kami.
Beberapa saat, aku dan Andrew berdiri beberapa meter di belakang Papa. Memperhatikan lelaki yang paling kami cintai itu tanpa mengeluarkan suara. Hatiku merasa sangat sedih melihatnya. Itu adalah Papaku. Papa yang sudah ku kecewakan sedemikian rupa hingga tubuhnya yang gagah dulu harus bergantung pada sebuah kursi roda seperti ini. Tanpa terasa air mata jatuh membasahi pipiku.
"Papa, aku sudah kembali bersama Anna."
Suara Andrew tampaknya membuat Papa kaget. Dengan susah payah Papa berusaha untuk memutar kursi rodanya, ingin menghadap ke arah kami. Aku dan Andrew segera berlari ke arah Papa, mencoba membantunya.
Saat sudah berada di hadapan Papa, aku langsung saja memeluk tubuhnya dengan erat. Rasa rinduku tidak bisa ku tahan lagi. Aku menangis sejadi-jadinya. Aku tidak perduli apakah setelah ini Andrew akan menertawaiku. Sumpah demi Tuhan aku tidak perduli.
Untuk beberapa saat aku terus menyembunyikan wajahku di pelukan Papa. Satu-satunya lelaki yang mencintaiku apa adanya. Rasanya nyaman sekali berada di dalam pelukan Papa. Setelah sekian banyak hal yang terjadi padaku, aku merasa seperti mendapatkan obat dari segala kesedihanku sekarang. Yaitu berada di dalam pelukan Papa.
"Baiklah, ku rasa aku harus meninggalkan kalian berdua sekarang."
Ucapan Andrew membuatku melepas pelukanku pada Papa. Ia berjalan meninggalkan kami berdua. Saat aku kembali melihat wajahnya, Papa juga tampak menangis. Menangis dalam diam.
"Anna, anak gadis kesayanganku."
Papa mengusap wajahku dan lagi-lagi air mata jatuh di pipinya yang tampak pucat.
"Jangan banyak bicara, Papa. Aku di sini sekarang. Papa harus cepat sembuh ya."
Aku mencium tangan Papa dengan lembut. Tangan yang telah bekerja keras demi memberikan kehidupan yang layak untukku dan Andrew sejak kami kecil. Tapi, sayangnya aku sama sekali belum bisa membalas jasa dari kedua tangan yang sekarang sudah mulai keriput itu.
"Aku akan cepat sembuh jika melihatmu dan Andrew bahagia, Sayang." Papa mengusap rambutku dengan lembut.
"Apa maksud Papa? Aku sudah bahagia sekarang, Papa. Aku benar-benar bahagia. Papa tenang saja. " aku memaksakan senyuman pada Papa.
"Bagaimana aku bisa tenang, Anna. Mengetahui kalau rumah tangga anak gadisku di ambang kehancuran dan sekarang ia hidup di sebuah apartemen kumuh dan bekerja sebagai buruh pabrik. Sumpah demi Tuhan, Anna. Aku akan merasa sangat malu pada mendiang ibumu karena sudah gagal membuatmu bahagia."
Ucapan Papa menohok jantungku. Papa bahkan belum tahu lagi drama yang telah Seth buat dalam hidupku untuk lebih mengacaukan semuanya.
"Kau tahu, Anna. Aku bisa mati kapan saja sekarang. Yang aku minta darimu dan Andrew hanyalah kebahagiaan kalian. Melihat kau dan Andrew hidup senang itu sudah membuatku mati dalam kebahagiaan."
"Aku mohon jangan katakan itu, Papa. Papa akan hidup seratus tahun lagi. Papa akan hidup dan melihat cucu-cucu Papa dariku dan Andrew nanti. Percayalah."
Desperate Mrs Karya Agustine di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tiba-tiba saja Papa tersenyum kecil mendengar ucapanku barusan. Memang apa yang baru saja ku ucapkan barusan?
"Aku memang menginginkan seorang cucu, Anna. Aku tidak perduli apakah kau atau Andrew yang akan memberikannya lebih dulu. Aku hanya ingin setiap akhir pekan, akan ada seorang bocah yang akan mengunjungiku dan bermain di pangkuanku. Sudah 20 tahun lebih aku tidak mendengar tangisan seorang bayi. Aku benar-benar merindukannya."
Aku menelan ludah. Aku hanya main-main dengan ucapanku tadi supaya Papa berhenti berbicara mengenai kematian. Tapi, kenapa Papa malah menganggapnya serius?
"Tapi, Papa ..." aku menahan ucapanku. Tadinya aku mau bilang kalau aku dan Sebastian sedang dalam proses perceraian, tapi kalau Papa sampai tahu, bisa-bisa keadaannya semakin parah setelah ini.
"Kenapa, Anna?" tanya Papa bingung.
"Tidak apa-apa, Papa. Lupakan saja."
Papa meraih tanganku dan mengusapnya dalam genggamannya.
"Anna, bagaimana keadaanmu dengan Sebastian? Apa kau berniat untuk kembali padanya?"
Aku memalingkan wajahku. Tidak sampai hati menatap kedua mata Papa yang menatapku dengan penuh harapan.
"Aku belum tahu, Papa. Tapi, kami suka bertemu sesekali."
Papa tersenyum padaku. "Baguslah, Anna. Setiap malam aku selalu berdoa agar Tuhan bersedia menyatukan kalian berdua kembali. Entah bagaimana caranya. Hanya Tuhan yang tahu."
"Ya, Papa. Doakan yang terbaik untuk kami. Aku hanya mengikuti kemana takdir akan membawaku."
Aku bersungguh-sungguh dengan ucapanku. Papa meraih wajahku dan menatapku dengan lembut.
"Dengarkan Papamu ini, Anna sayang. Kau adalah keturunan Worthington. Di dalam darahmu mengalir darahku. Keluarga kita dinaungi oleh bintang keberuntungan. Kau akan hidup bahagia, Anna. Percayalah padaku."
Aku tertegun menatap kedua mata Papa. Ia benar-benar tampak serius dengan ucapannya.
"Ya, Papa. Aku percaya. Aku percaya karena Papa yang mengatakannya."
*** BAB 24 Setelah pertemuanku dengan Papa hari itu, aku kembali menjalani hari-hariku seperti biasa. Bekerja dari pagi hingga sore lalu setelah itu mengurung diri di apartemen sempitku. Siklus itu berulang sama seperti itu setiap hari. Tidak ada sesuatu hal yang spesial terjadi padaku. Hidupku benar-benar membosankan.
Hingga sampailah sebulan kemudian. Waktu yang ditentukan pun datang. Hari ini aku akan pergi ke kediaman Sebastian, karena sebelumnya ia menghubungiku lewat telepon, membahas tentang keputusan akhirku mengenai berkas yang diberikan Dennis sebelumnya. Setelah berbicara sedikit lewat telepon, kami sepakat untuk membahasnya di kediaman Sebastian. Aku sengaja pergi sendiri karena aku tidak mau merepotkan salah satu supirnya untuk menjemputku.
Sepulang kerja, aku langsung pergi ke rumah Sebastian. Aku pergi dengan taksi dan saat pertama kali aku mengetuk pintu besar itu, ternyata Martha yang membukakan pintu untukku. Pertama kali aku melihatnya, entah kenapa aku merasa sangat bahagia.
"Selamat datang kembali di rumah ini, Nyonya Anna. Tuan Sebastian sudah menunggu anda di halaman samping."
Aku tidak mengucapkan sepatah kata pun. Kembali ke rumah itu dan setelah ini akan bertemu lagi dengan Sebastian sudah cukup membuatku gugup. Martha berjalan lebih dulu di depanku. Aku mengikuti langkahnya dengan jantung yang berdebar cepat. Sampai akhirnya kami sampai di halaman samping rumah besar itu.
Sebastian sudah menungguku di sebuah meja yang disiapkan khusus. Meja itu berbentuk persegi, tidak terlalu besar dan dihiasi oleh bunga dan lilin yang menyala di tengahnya. Meja itu terletak tepat di tepian kolam renang, tak begitu jauh dari bar kecil miliknya.
Saat melihatku datang bersama Martha, Sebastian langsung bangkit dari kursinya dan menarik kursi di seberangnya untukku. Aku bertanya dalam hati, kenapa ia bersikap begitu sopan padaku hari ini dan harus menyiapkan penyambutan seperti ini. Padahal ia tampak begitu marah saat terakhir kami bertemu.
Dengan ragu aku duduk di kursiku, berhadapan dengannya.
"Apa kabar, Anna?" ucap Sebastian pertama kali dengan senyuman kecil menghiasi bibirnya. Wajahnya nampak tenang.
"Aku baik, Sebastian. Kau sendiri apa kabar?" aku membalas senyumannya. Mencoba bersikap tenang seperti dirinya.
"Aku baik, Anna. Hanya sedikit lelah setelah perjalananku kemarin. Tapi, tidak apa-apa. Aku sengaja ingin bertemu denganmu hari ini karena aku sudah tidak sabar ingin mengetahui keputusan apa yang kau ambil untuk masa depan pernikahan kita. Boleh aku lihat berkas yang diberikan pengacaraku?"
Aku mengambil map itu dari dalam tasku. Perlahan ku berikan map itu pada Sebastian dan ia mengambilnya dari tanganku. Jantungku berdebar dengan cepat saat melihat Sebastian membukanya dan tampak membaca isinya. Aku tidak bisa membaca apa yang ada di pikirannya sekarang saat membaca surat itu. Tak lama, ia menarik nafas lalu menatapku,
"Kenapa kau belum menandatanganinya juga, Anna? Apa kau butuh waktu lebih lama lagi untuk mempertimbangkannya?"
Sebastian menutup map di tangannya tapi kedua matanya tak pernah lepas menatapku. Membuatku jadi malu dan bertambah gugup.
"Aku tidak tahu, Sebastian. Aku tidak tahu." aku memalingkan wajahku dari Sebastian. Aku sendiri tidak mengerti apa yang ku rasakan saat ini. Di satu sisi aku tidak menyukai lelaki ini, tapi di sisi lain aku tidak mau kalau harus benar-benar berpisah darinya. Entah disebut apakah perasaan ini.
"Aku menganggap bahwa kau sudah membuat keputusan, Anna. Dan, keputusanmu adalah kau tidak mau berpisah dariku." ucap Sebastian dengan tenang sambil menuangkan minuman di gelas kami masing-masing.
Aku kembali berpaling padanya. Sebenarnya aku mau protes mendengar ucapannya barusan, karena apa yang ia pikirkan tentang keputusanku itu tidak sepenuhnya benar. Tapi, entah kenapa aku lebih memilih diam. Aku sudah tidak punya alasan lagi untuk menjawab pertanyaannya kenapa aku belum juga menandatangani surat itu.
"Aku sangat menghargai keputusanmu, Anna. Walau aku tahu, ini adalah keputusan yang sangat berat untukmu," Sebastian meletakkan botol anggurnya ke atas meja lalu menatapku lagi, "tapi, kita bisa coba lagi semuanya dari awal. Bukan begitu?"
Sebastian meraih tanganku yang berada di atas meja lalu meremasnya perlahan. Saat pertama kali merasakan sentuhannya lagi, aku merasa kalau sekujur tubuhku terasa seperti dialiri oleh aliran listrik.
"Kau sudah tidak marah padaku, Sebastian?" tanyaku dengan ragu lalu ia tersenyum mendengarnya.
"Aku? Tentu saja aku masih marah padamu, Anna. Kau ingat kelancangan apa saja yang sudah kau lakukan padaku? Aku memang sudah memaafkanmu tapi aku tidak pernah melupakan apa saja yang sudah kau lakukan padaku. Aku ingin memberikanmu kesempatan kedua karena aku sangat menghormati ayahmu dan juga mendiang ayahku sendiri, Anna. Terlebih lagi, aku sangat menghormati pernikahan ini."
Ucapan Sebastian benar-benar membuatku malu. Malu setengah mati. Kata demi kata yang keluar dari bibirnya seperti sengaja dilontarkan untuk menyinggung perasaanku.
Kami terus saja bertatapan. Tatapan matanya dan ucapannya barusan benar-benar membuatku mati kutu.
Tak lama, seperti tersadar dari lamunannya, Sebastian tersenyum lalu mengambil gelasnya sendiri lalu menyesapnya.
"Aku berniat memulai semuanya lagi dari awal bersamamu, Anna. Tapi, aku minta setelah ini, jadilah istri yang baik untukku. Jangan pernah membantahku lagi. Kau mengerti?"
Perlahan aku mengangguk. Sebastian tersenyum melihatku lalu kembali menyesap minumannya.
"Kau tidak mau minum, Anna? Oh, ayolah, bukankah kita sudah berdamai sekarang?"
Ku pikir ucapan Sebastian ada benarnya juga. Untuk apa aku masih merasa kesal padanya. Kami berdua tahu kalau sejak awal akulah sumber dari berbagai masalah dalam rumah tangga kami. Dan, kalaupun ada pihak yang seharusnya lebih marah, Sebastianlah orangnya, bukan aku.? Lagipula, semakin aku berusaha melupakan lelaki ini, semakin sulit rasanya menghilangkannya dari pikiranku.
Aku mengambil gelasku dan mulai menyesapnya. Merasakan cairan panas itu menjalar ke lidah, tenggorokan lalu ke perutku. Rasanya nikmat sekali. Aku sudah lama tidak minum alkohol karena tidak punya cukup uang untuk membelinya. Ku pikir daripada membeli minuman lebih baik uangnya ku pakai untuk membeli makanan.
Aku menyesap lagi minumanku. Lagi dan lagi. Rasanya sangat nyaman. Alkohol telah membuatku melupakan semua rasa takut, gugup dan kekhawatiran yang ku rasakan tadi. Aku merasa lebih santai sekarang walaupun aku merasa kalau wajahku mulai terasa panas.
"Oh, iya. Kau tahu, aku punya oleh-oleh untukmu." Sebastian menyesap minumannya lagi tanpa melepas pandangannya dariku.
"Oh, benarkah?" aku tertawa. Entah kenapa aku merasa sangat bahagia sekarang. Aku merasa seperti sedang berjalan di udara.
"Iya, akan ku tunjukkan padamu nanti. Bagaimana?" Sebastian meraih tanganku lagi lalu meremasnya. Aku diam, tidak berusaha menolak. Ku pikir tidak ada yang salah, ia hanya menyentuh tanganku sedikit.
"Baiklah, terserah kau saja, Sebastian." aku tertawa lagi.
Anggur itu mencairkan segalanya. Suasana menjadi hangat dan percakapan kami mengalir dengan lancar. Sebastian menceritakan tentang perjalanannya ke Malaysia dan aku mendengarkan dengan penuh minat sambil menopang daguku. Memandanginya seperti orang idiot.
Sampai kemudian Sebastian bangkit dari kursinya dan meraih tanganku. Ia membantuku berdiri lalu berbisik,
"Aku ingin memelukmu, Anna."
Hanya satu kalimat itu dan aku mengerti. Aku menganggukkan kepala. Entah kenapa aku menyetujuinya. Mungkin karena minuman itu sudah mempengaruhi pikiranku. Yang pasti aku juga ingin merasakan pelukan Sebastian lagi saat ini.
Sebastian membawaku ke atas, ke kamarnya. Aku merasa diriku melayang-layang dibawah pengaruh alkohol. Ditambah dengan kemesraan yang Sebastian lakukan padaku. Saat perlahan ku buka mataku, samar-samar ku lihat ia sedang mengecupi ujung jemariku. Dan, saat ia menatapku, kedua matanya tampak berkilauan.
Sebastian mulai menciumiku dan aku tak kuasa menolaknya. Aku menyukai semua yang dilakukannya. Ia menciumiku, memelukku lalu berbisik dengan lembut di telingaku,
"Aku mencintaimu, Anna. Sangat mencintaimu."
*** "Hei, Worthington, Bekerja yang benar! Ku lihat hari ini kau banyak melamun! Apa kau sakit?!"
Suara teriakan Liz memecah lamunanku. Dengan gugup aku menggeleng ke arahnya dan memaksakan sebuah senyuman.
"Aku tidak apa-apa, Liz. Jangan khawatir."
"Baiklah, kerja yang benar karena kalau tidak, masih banyak orang di luar sana yang mau menggantikan posisimu. Mengerti?!"
Liz beranjak meninggalkanku. Aku kembali mengerjakan pekerjaanku dengan baik. Jangan sampai aku kena teguran yang kedua kali hari ini.
Sebenarnya dari tadi aku sedang memikirkan Sebastian. Semalam, entah apa yang terjadi pada kami. Yang aku tahu kemarin kami minum dan mengobrol banyak hal sampai Sebastian membawaku ke kamarnya. Setelah itu aku sudah terbangun di sampingnya tadi pagi, dengan kepala yang terasa sangat pusing dan kami berdua sama-sama tidak mengenakan sehelai benang pun.
Lalu, diam-diam aku menyelinap keluar dari kamarnya karena harus kembali bekerja. Meninggalkan Sebastian yang masih tertidur.
Aku tidak menyalahkan Sebastian. Ku rasa kami berdua menginginkannya. Lagipula aku menyukai apa yang Sebastian lakukan padaku. Aku tidak bisa berbohong kalau ternyata tubuhku ini merindukan sentuhan darinya.
Aku merasa kalau wajahku memanas karena malu setiap mengingat hal itu. Aku memang seorang yang munafik. Aku begitu membenci Sebastian tapi tubuhku ternyata sangat merindukan sentuhannya.
*** Sorenya, ternyata Sebastian sudah menungguku tak jauh dari tempat kerjaku. Aku merasa senang ia menungguku agak jauh karena jika ia menungguku tepat di depan pabrik seperti yang Andrew lakukan, pasti akan ada lebih banyak lagi mata yang menatap tidak senang padaku.
Kami pergi ke sebuah restoran Perancis untuk bersantai sambil menunggu jam makan malam. Saat pertama kali aku melihatnya lagi, entah kenapa jantungku berdegup dengan kencang. Aku merasa senang sekaligus malu. Semalam kami melakukannya lagi setelah sekian lama dan Sebastian pasti melihat tubuhku lagi. Aku merasa kalau wajahku mulai memanas, dan aku sangat gugup. Persis seperti remaja yang sedang jatuh cinta.
Kami duduk berhadapan. Di sebuah meja yang berada di teras lantai dua restoran itu.
"Beraninya kau menyelinap keluar dari kamarku tadi pagi, Anna." Sebastian mengecup tanganku. Dan, aku tersenyum melihat sikapnya itu. Aku tahu ia hanya sedang pura-pura marah.
"Maaf, aku harus kembali bekerja. Kau tahu, pengawasku itu sangat galak dan aku tidak boleh lagi datang terlambat."
Sebastian tertawa mendengar jawabanku. Tawanya sangat lepas. Sudah lama aku tidak melihat ia tertawa seperti itu.
"Akhirnya ada juga orang yang bisa membuatmu takut, ya?" Sebastian menatapku. Lampu yang temaram itu membuat wajahnya tampak lebih menawan.
"Tidak juga, aku hanya takut ia memecatku. Aku masih membutuhkan pekerjaan itu. Kalau saja tidak seperti itu situasinya, perduli setan dengan si gendut itu."
Sebastian tertawa lagi. Dan, entah kenapa aku seperti terhipnotis dibuatnya. Tatapan mataku tak bisa lepas darinya. Tak lama, Sebastian menghentikan tawanya karena sadar aku sedang memandanginya.
Ia kembali meraih tanganku lalu mengecupnya perlahan. Mata kami bertatapan.
"Kau tahu, Anna? Aku senang kita sudah bersama lagi sekarang. Apalagi kalau mengingat kejadian semalam. Aku suka saat kau mabuk seperti itu, kau menjadi penurut dan tidak marah-marah padaku seperti biasanya."
Sebastian tersenyum nakal padaku. Membuatku merasa malu. Aku mengalihkan pandanganku darinya.
"Memang apa yang terjadi? Aku tidak ingat sama sekali."
Aku tidak sepenuhnya bohong. Aku memang tidak ingat beberapa kejadian yang terjadi semalam karena setelah Sebastian membawaku ke kamar aku jadi merasa mengantuk sekali.
"Kau lupa? Yang benar saja." Sebastian mencoba membuka beberapa kancing kemejanya dan memperlihatkan lehernya padaku.
"Lihat, kau yang membuat semua tanda ini, Anna. Bagaimana bisa kau lupa?"
Baiklah, wajahku benar-benar terasa panas sekarang. Aku malu setengah mati.
"Bagaimana bisa aku percaya kalau aku yang melakukannya. Aku tidak ingat apa-apa. Lagipula, bisa saja kan itu sudah ada sebelum kita bertemu kemarin."
Sebastian tertawa lagi. Menertawai jawabanku.
"Dengar, Nyonya Agustine. Aku adalah seorang lelaki dewasa yang terhormat. Lagipula aku sudah menikah. Aku tidak suka tidur dengan sembarang wanita, kau tahu?"
Aku terdiam mendengar ucapan Sebastian. Walau ia mengatakannya dengan gaya santainya tapi aku merasa ia sedang bersungguh-sungguh dengan ucapannya.
Sebastian beranjak dan menarik kursinya tepat di sampingku. Setelah itu ia kembali duduk, menggenggam tanganku, lalu menatapku sambil berbisik,
"Begini saja, karena kau tidak bisa mengingat apa yang kita lakukan semalam, bagaimana kalau kita mengulanginya lagi malam ini? Dan, aku akan membuatmu mengingat setiap detiknya. Terserah mau di tempatmu atau di tempatku. Bagaimana?"
Tatapan Sebastian membuatku terpaku. Aku benar-benar sudah dibuat gila oleh lelaki ini.
"Bagaimana, istriku yang cantik?" Sebastian menaikkan alisnya. Menunggu jawabanku.
"Baiklah, Sebastian, "jawabku tanpa melepas pandanganku darinya, "tapi sebelumnya, jika kau tidak keberatan, perutku lapar sekali sekarang."
*** BAB 25 Beberapa minggu kemudian ...
Sejak makan malam waktu itu, aku dan Sebastian jadi lebih sering menghabiskan waktu bersama. Kami makan malam di restoran-restoran kecil di sekitaran apartemenku, lari pagi mengelilingi taman dan bahkan menonton film sampai pagi. Kami tidak terpisahkan satu sama lain, seperti sepasang remaja yang baru merasakan indahnya jatuh cinta.
Terkadang ia menginap di kamarku atau sebaliknya, Sebastian yang mengajakku ke rumahnya. Aku bisa melihat pancaran kebahagiaan di wajah Martha saat mengetahui kami sudah kembali bersama, walau aku masih enggan kembali ke rumah besar itu.
*** Saat ini aku sedang duduk seorang diri di sebuah kafe. Sebastian memintaku untuk menunggu di sana karena ia nanti akan menyusul setelah pekerjaannya di kantor selesai. Sambil mengaduk-aduk minumanku, aku tersenyum sendiri memikirkan kalau setelah ini aku akan bertemu lagi dengannya. Aku merasa seperti ada kupu-kupu yang sedang beterbangan di perutku. Aku rasa aku sudah gila karenanya ...
Aku selalu tidak sabar untuk bertemu dengan Sebastian lagi. Ia selalu mempunyai kejutan untukku setiap kali kami bertemu. Dan, itu membuatku jadi merasa lebih spesial. Ku rasa Sebastian benar-benar ingin memperbaiki hubungan kami. Tanpa ku sadari aku sudah senyam-senyum sendiri, saat aku melihat sekitar untunglah tidak ada satu orang pun yang sedang melihat ke arahku.
Aku mengeluarkan ponsel dan berniat untuk menelepon Sebastian karena ia sudah terlambat sepuluh menit dari yang seharusnya. Saat aku sedang mencari kontaknya, tiba-tiba ada seseorang yang menutup kedua mataku dari belakang.
Aku tersenyum. Hatiku seperti membuncah senang. Aku tahu siapa yang melakukannya, aku hafal betul aroma parfum orang itu.
"Hmm ... Kau datang terlambat dan sekarang ingin bermain-main denganku ya, Tuan Agustine?"
Sebastian melepas tangannya dari mataku lalu ia langsung saja menciumku. Saat aku melihat ke arahnya, ia sedang tersenyum malu, mungkin karena keterlambatannya.
"Maafkan aku, Sayang. Aku terlambat karena ini." Sebastian memberikanku sebuket bunga mawar merah yang tadi ia sembunyikan di belakang tubuhnya. Ya Tuhan, mereka cantik sekali !
"Ya Tuhan, bunga-bunga ini cantik sekali." aku tidak bisa menutupi perasaanku, "tapi aku tidak percaya kalau kau terlambat karena bunga-bunga cantik ini."
Sebastian tertawa lagi, "Kau benar sekali, Sayang. Sebenarnya aku terlambat karena tadi klienku terjebak macet. Jadi, kami harus memulai pertemuannya lebih lambat. Dan, aku minta maaf."
Sebastian meraih tanganku lalu mengecupnya.
"Dan, kau mencoba menyogokku dengan bunga-bunga ini?"
"Bisa dibilang begitu."
Aku tersenyum mendengar jawabannya. Entah kenapa aku merasa sangat bahagia sekarang.
"Oh, iya habis ini kita mau kemana?" tanyaku dengan senyuman yang tak pernah lepas dari bibirku.
"Pilihannya hanya dua kan? Kalau tidak bermalam di apartemen jelekmu itu, kita akan bermalam di rumahku. Apa ada pilihan lain?" wajah Sebastian tampak malas.
"Apa kau lelah dengan semua ini?"
Entah kenapa aku jadi merasa tidak enak hati padanya.
"Sejujurnya iya. Kau tahu, aku tidak suka membawa istriku ke hotel atau apartemen. Kita adalah sepasang suami istri, Anna. Aku ingin kau kembali ke rumah dan berhenti bekerja. Aku mau setiap aku pulang ke rumah, akan ada seseorang yang menyambutku dengan senyuman hangat dan mengurus semua kebutuhanku dengan baik. Aku bosan selalu saja Martha yang menyambutku."
Aku menunduk terdiam mendengar ucapan Sebastian. Aku tahu ia sedang serius dengan ucapannya.
"Aku belum bisa, Sebastian. Kau tahu, aku masih memiliki kontrak di tempat kerjaku. Dan, kalau aku tinggal di rumahmu, itu terlalu jauh. Aku pasti akan lebih sering terlambat."
Sebastian seperti menahan tawa mendengar jawabanku. Ia menggenggam tanganku lebih erat lagi lalu berbisik,
"Kau tidak perlu khawatir tentang kontrakmu di sana, Anna. Kau tahu, pabrik tempatmu bekerja itu adalah anak perusahaan milik Olivia."
Ucapan Sebastian membuatku merasa seperti ada yang menyengat tubuhku. Aku merasa malu sekali. Dulu aku pernah mengerjai wanita itu dan ternyata sekarang aku malah menjadi pekerja di pabrik miliknya. Luar biasa sekali malunya!
"Kenapa, Anna? Apa kau malu?"
Aku menatap Sebastian dengan mata memicing, apa dia tahu kejahilan apa yang pernah ku lakukan pada Olivia di restoran waktu itu.
"Kau tidak usah malu, Anna. Aku tahu kau melakukan itu karena kau merasa cemburu pada Olivia, kan?" Sebastian tertawa, "tapi aku hanya tidak menyangka kalau kau akan berbuat seperti itu."
Tawa Sebastian membuatku malu. Dari mana ia tahu tentang itu semua.
"Sok tahu. Aku menumpahkan wine itu karena aku tersandung sesuatu. Aku tidak sengaja." jawabku dengan malas. Aku berusaha menutupi rasa maluku.
"Benarkah? Lalu untuk apa kau membawa segelas wine ke toilet kalau kau memang tidak punya niatan untuk berbuat sesuatu. Akuilah, Anna, kalau kau kesal pada Olivia karena ia memelukku waktu itu, kan?"
Lagi-lagi Sebastian tertawa dan itu membuatku kesal. Tapi, aku tidak bisa mengelak lagi.
"Baiklah, ku akui aku memang kesal padanya. Tapi, itu hanya karena ia centil bukan karena aku cemburu."
Sebastian memutar bola matanya. Seperti terpaksa mempercayai jawabanku.
"Baiklah, baiklah. Kita kembali ke topik awal. Aku ingin kau kembali ke rumah, Anna. Bagaimana?"
Ia menatapku serius. "Aku tidak bisa, Sebastian. Kontrakku akan habis dua bulan lagi. Aku datang ke sana dengan baik-baik dan aku juga ingin keluar dengan cara baik-baik. Ku harap kau mengerti. Aku hanya berusaha bertanggung jawab pada pekerjaanku."
Sebastian menarik nafas mendengarnya. Ia mengecup tanganku dan memandangku dengan lembut.
"Baiklah, tapi aku mau setelah ini kau pindah ke tempat yang lebih baik. Aku akan mencarikanmu apartemen yang lebih bagus di sekitaran tempat kerjamu. Aku tidak bisa melihat istriku tinggal di tempat seperti itu lebih lama lagi. Lagipula, aku juga membutuhkan tempat yang sedikit lebih nyaman untuk bermalam bersamamu. Dan, aku tidak mau kau menolak tawaranku kali ini."
Aku menarik nafas lega dan sebuah senyuman mengembang di bibirku. Memandangi sosok tampan di hadapanku itu.
"Baiklah, Sebastian. Aku terima tawaranmu."
*** Dalam hitungan jam aku dan Sebastian mendapatkan sebuah apartemen yang seribu kali lebih bagus dari apartemen lamaku. Ada sedikit perasaan sedih tersirat di hatiku saat meninggalkan tempat lamaku. Biar bagaimana pun, tempat itu sudah banyak memberikanku kenangan. Saat aku berada di titik kehidupanku yang paling bawah, hanya di tempat itulah aku kembali berpulang dan memikirkan semuanya kembali.
Apartemen baru ini jauh lebih bagus. Ruang tamunya besar dan dilengkapi dengan berbagai perlengkapan elektronik. Kamarnya bagus, kasurnya empuk dan kamar mandinya sangat luas.
Aku dan Sebastian sendiri yang merapikan apartemen itu dan membeli beberapa bahan makanan untuk mengisi kulkas. Berada di apartemen nyaman ini, dengan perut kenyang, isi kulkas yang penuh dan berduaan dengan Sebastian membuatku merasa seperti aku memiliki seluruh isi dunia. Aku tidak butuh hal lainnya lagi.
*** Selesai merapikan semua barang-barangku, aku membuatkan Sebastian minuman. Ia sudah menungguku di sofa empuk yang ada di ruang tamu sambil menonton tv.
"Kau lelah?" tanyaku lalu menyandarkan kepalaku di pelukannya.
"Tidak terlalu. Aku senang bisa membantumu, Sayang." Sebastian mengecup pucuk kepalaku. Aku tersenyum lalu mengeratkan dekapanku di tubuhnya.
"Kau mau ku buatkan sesuatu?" aku mengangkat kepalaku, menatapnya.
"Tidak usah, Anna. Aku hanya ingin mengatakan sesuatu padamu."
"Apa itu?" "Minggu depan aku akan ada urusan di luar kota selama dua minggu."
"Pergi lagi?" tanyaku kesal. Sebastian meraih wajahku dan menatapku.
"Dengar, Anna. Aku harus pergi. Dan, aku khawatir kalau kau tinggal di sini sendiri. Kalau kau bosan, mainlah ke rumahku sesekali. Martha akan menjagamu. Sebenarnya aku akan lebih senang kalau kau mau ikut denganku tapi aku tahu kau pasti akan lebih memberatkan pekerjaanmu."
"Jangan khawatir, Sebastian. Aku akan baik-baik saja. Nanti aku akan berkunjung ke rumahmu kalau aku bosan di sini."
"Jangan lupa selalu beri aku kabar. Kalau kau sampai lupa, aku akan menghukummu saat aku kembali nanti."
Sebastian menatapku dengan tatapan menggoda. Aku tahu ia hanya main-main dengan ucapannya.
"Lalu bagaimana kalau kau yang tidak memberi kabar?"
"Kau boleh menghukumku sepuasmu, Sayang."
Sebastian menatapku seolah-olah ia ingin melakukan sesuatu padaku, aku segera bangkit dan berlari menjauhinya tapi ia dengan cepat menangkapku dan melempar tubuhku ke atas pundaknya. Dengan santai ia berjalan masuk ke kamar.
"Sebastian turunkan aku!" aku berteriak sambil memukuli tubuh bagian belakangnya. Aku benar-benar takut ketinggian.
"Tidak, sampai kita menikmati tempat tidur barumu, Sayang ..."
*** Sudah seminggu Sebastian pergi dan itu artinya penantianku akan berakhir seminggu lagi. Ah, entah kenapa aku merasa sangat tidak sabar untuk bertemu lagi dengannya. Apalagi setelah mengetahui kabar baik yang akan ku berikan padanya nanti. Aku positif hamil.
Ini semua berawal kemarin, saat aku pertama kali membuka mataku entah kenapa aku merasa ada sesuatu yang aneh. Kedua mataku terasa berat sekali untuk dibuka. Kepalaku pusing dan aku merasa seperti tidak ingin melakukan apa-apa. Aku ingin meringkuk saja di tempat tidur sepanjang hari. Tapi, bunyi alarm yang protes dengan keras itu benar-benar menggangguku dan memaksaku untuk bangkit dan segera bergerak ke kamar mandi.
Dengan perasaan malas dan tubuh yang lemas aku bersiap bekerja. Aku merasa terus mengantuk, padahal semalam aku sudah tidur lebih awal. Dan, sepanjang bekerja hari itu, aku pun tidak kuat berdiri lama-lama. Rasanya pusing sekali hingga Liz memintaku untuk pulang lebih awal.
Dan, tadi pagi kejadian itu terulang lagi. Tubuhku rasanya malas sekali untuk beranjak dari tempat tidur. Aku merasa ada yang salah denganku, jadi aku memutuskan untuk pergi ke dokter.
"Apakah anda sering minum alkohol?" tanya si dokter perempuan.
"Terkadang." jawabku.
"Apakah anda adalah seorang perokok aktif?"
"Aku tidak merokok, dokter."
"Bagus. Mulai sekarang anda lebih baik mengurangi kebiasaan minum alkohol dan jauhi asap rokok juga kebiasaan hidup tidak sehat lainnya. Karena berdasarkan hasil tes, anda positif hamil. Selamat Nyonya."
Aku terpaku mendengar kalimat demi kalimat yang diucapkan oleh dokter itu. Aku tidak tahu apakah aku harus sedih atau senang mendengarnya. Di satu sisi aku senang karena sekarang, di dalam tubuhku sedang tumbuh sebuah nyawa, anak dari lelaki yang dulu sangat ku benci dan sekarang sangat ku cintai. Tapi, di sisi lain aku tidak tahu apakah Sebastian akan senang mendengar kabar ini.
"Apa kau serius?" aku tertawa tidak percaya. Di bawah, tanpa sadar tanganku menyentuh perutku yang masih kecil.
"Saya serius, Nyonya. Sekali lagi saya ucapkan selamat. Tuan Agustine pasti senang mendengarnya."
"Apa kau mengenal suamiku?"
"Saya adalah salah satu penggemar suami anda. Haha, tidak saya hanya bercanda. Keluarga Agustine adalah salah satu penyumbang dana tetap di rumah sakit ini, Nyonya. Dan beberapa rumah sakit lain. Dulu Tuan Fabio yang memulainya lalu setelah beliau meninggal, kebiasaan itu dilanjutkan oleh putranya, suami anda."
"Oh, aku tidak tahu."
"Tuan Fabio Agustine adalah orang yang baik dan berjiwa sosial tinggi, Nyonya." lanjut si dokter.
Iya, lalu karena Seth aku sudah berpikir jelek tentang mertuaku itu. Dasar Seth sialan!
*** Dan, di sinilah aku sekarang. Duduk di sebuah kafe, masih dengan perasaan senang luar biasa, memegang ponsel di tanganku dengan tubuh yang sedikit gemetar. Aku berniat memberi tahu Sebastian tentang kabar kehamilanku ini nanti saat ia kembali tapi entah kenapa tangan dan mulutku ini terasa gatal sekali. Merasa sangat tidak sabar untuk mengabarinya.
Saat aku sedang bingung antara memberi tahu Sebastian atau tidak, tiba-tiba ada dua orang wanita duduk tak begitu jauh dari mejaku. Salah satu wanita langsung saja terisak dan yang satu lagi tampak sedang menenangkannya. Tempat mereka yang tidak begitu jauh dariku membuatku bisa sedikit mendengar percakapan mereka.
"Kan sudah ku bilang, suamimu itu memang brengsek!" ucap si temannya yang berambut coklat.
"Aku tidak tahu kalau semua ini akan terjadi. Ia tiba-tiba saja bersikap begitu baik padaku setelah sekian lama kami berpisah lalu setelah aku melahirkan, ia mengambil anakku dan berniat menceraikanku. Kau tahu, ia butuh anak itu hanya untuk melanjutkan keturunannya demi masa depan perusahaannya." wanita itu terisak makin keras. Membuat temannya jadi salah tingkah.
Aku melirik ke arah mereka sedikit sambil menelan ludah. Entah kenapa kasus wanita itu agak mirip denganku. Apakah Sebastian tiba-tiba saja datang dan pura-pura berdamai denganku hanya karena ia ingin memiliki anak, lalu setelah anak ini lahir ia akan merebutnya dariku dan meninggalkanku lagi? Kalau ku pikir, sikap Sebastian yang tiba-tiba saja baik dan tidak jadi menceraikanku memang aneh kalau tidak ada maksud lain di belakangnya. Karena sebelum ia memutuskan untuk berdamai denganku, ia tampak marah sekali waktu itu.
Memikirkan itu membuat tubuhku gemetar dan kepalaku terasa pusing lagi. Selera makanku seketika hilang. Segera saja ku masukkan ponselku ke dalam tas. Lalu beranjak pergi ke luar kafe.
Sepulangnya dari sini, aku akan kembali mengepak pakaianku dan segera pergi dari apartemen itu. Aku akan pergi ke tempat dimana Sebastian tidak akan pernah menemukanku dan bayiku. Aku tidak akan pernah membiarkan ia merebut bayi ini dariku. Tidak akan pernah.
*** BAB 26 Tekadku sudah bulat! Aku akan pergi meninggalkan apartemen lamaku dan pindah ke suatu tempat dimana Sebastian tidak akan pernah menemukanku dan bayiku nanti. Aku tidak akan pernah membiarkan nasibku menjadi seperti wanita di kafe itu. Tidak akan ada seorang pun yang boleh memisahkanku dengan bayiku. Tidak Sebastian, tidak Andrew, tidak Papa, tidak siapapun!
Aku mendapat sebuah kamar sewa yang sangat kecil di daerah pinggiran kota. Tempat ini sangat terpencil dan tidak terjamah oleh hingar bingar kota sama sekali. Kamarnya sangat kecil, pengap dan gelap. Tapi, tidak apa-apa. Ku rasa aku sudah mulai terbiasa tinggal di tempat seperti ini. Kalau nanti anakku sudah lahir, baru aku akan mencari tempat yang lebih baik lagi.
Aku masih bekerja di tempat lamaku. Sebuah pabrik pengepakan daging yang kata Sebastian adalah milik Olivia. Sejak mengetahui hal itu, aku lebih sering memakai masker penutup wajah saat di pabrik. Biar bagaimana pun, aku merasa malu sekali kalau sampai harus bertemu dengan wanita itu. Walau kans bagi kami berdua untuk bertemu itu sangatlah tipis. Tapi, tidak ada salahnya kan berjaga-jaga.
Aku sudah berusaha menutup semua akses bagi Sebastian untuk menemukanku. Aku sudah pindah tempat tinggal dan bahkan mengganti nomor ponselku. Dan, sudah sekitar sepuluh hari sejak kejadian di kafe itu aku tidak menghubunginya lagi. Ku rasa ia sekarang pasti sudah kembali dari luar kota dan mungkin, yah mungkin saja ia sekarang sedang pusing mencari-cari dimana keberadaanku. Tapi, lagi-lagi aku merasa tidak perduli. Yang paling penting bagiku sekarang adalah keselamatan bayi dalam kandunganku ini. Harta milikku satu-satunya.
*** Setiap kembali dari pabrik aku langsung saja mengunci diriku di kamar. Mencoba berbincang-bincang dengan bayi kecilku. Walau aku tidak yakin kalau ia sudah bisa mendengarku saat ini. Aku tidak pernah lagi membukakan pintu untuk siapapun. Walau selama aku pindah, memang belum ada seorang pun yang datang berkunjung.
Sore ini aku kurang beruntung. Hujan turun dengan sangat deras dan aku tidak membawa payung. Jadilah tubuhku harus basah kuyup, berteduh di sebuah halte sambil menunggu bus yang akan mengantarku pulang.
Tapi, aku merasa ada yang berbeda dari hari ini. Aku tidak tahu apakah karena cuacanya hujan, daerah sekitar sini yang biasanya ramai dengan lalu lalang kendaraan tiba-tiba menjadi sangat sepi. Dan, halte bus yang biasanya ramai pun kini hanya menyisakan diriku sendiri.
Saat aku sedang duduk sambil memperhatikan kanan dan kiri, tiba-tiba ada seorang lelaki memakai jaket hitam, topi dan kacamata hitam duduk tepat di sebelahku. Aku merasa sedikit risih. Besi tempat duduk ini sangat panjang, kenapa lelaki asing ini harus duduk begitu dekat denganku?
Saat aku bergeser agak sedikit menjauh, lelaki itu ikut bergeser sehingga membuat kami tetap bersentuhan. Dan, ia melakukannya berulang kali, membuatku sedikit jengkel. Akhirnya aku memutuskan untuk berdiri, menjauh darinya. Tapi, lelaki itu ikut berdiri di sampingku. Dalam hati aku mulai berdoa pada Tuhan agar dijauhkan dari gangguan psikopat yang terkutuk.
Tapi, tanpa ku duga sebelumnya, tiba-tiba lelaki itu mengeluarkan suaranya,
"Jangan coba menjauhiku, Sayang."
Aku langsung saja menoleh ke arah lelaki di sampingku. Ya Tuhan, aku kenal betul pemilik suara itu. Aku tertegun melihatnya saat ia mulai melepas kacamata hitamnya dan menyeringai ke arahku.
"SETH?!" ucapku syok. Jantungku seperti berhenti berdetak.
"Betul sekali, Anna. KEJUTAN!"
Secepat kilat Seth membekap mulutku dengan tangannya dan dalam hitungan detik aku merasa tubuhku lemas sekali. Aku merasa tubuhku lunglai dan jatuh tapi tangan Seth menahanku. Sedikit demi sedikit pandanganku mulai gelap dan aku tidak bisa mengingat apa-apa lagi.
*** Pusing ... Hal itu yang pertama kali ku rasakan saat aku mencoba membuka mataku. Dan, aku tidak tahu dimana aku sekarang. Yang pasti aku sedang berada di sebuah ruangan kosong yang sangat besar. Saat kesadaranku sudah mulai terkumpul, aku baru menyadari bahwa tangan dan kakiku terikat, serta mulutku tertutup rapat oleh lakban.
Oh, Ya Tuhan aku ingat sesuatu. Ini semua adalah ulah lelaki itu. Lelaki kurang ajar itu. Aku tidak menyangka ia akan melakukan semua ini. Ia pasti sudah gila!
Aku terus meronta-ronta agar ikatan di tanganku terlepas. Tapi, semakin aku berusaha, tali kasar itu semakin kuat menjerat pergelangan tanganku. Dan, rasanya sakit sekali. Akhirnya aku memutuskan untuk berhenti mencoba daripada harus menyakiti tanganku lebih parah lagi.
Aku teringat kejadian di halte tadi, saat aku sedang menunggu bus tapi malah bertemu dengan Seth. Demi Tuhan! Lelaki itu seharusnya ada di penjara sekarang. Niatanku untuk kabur dari Sebastian malah harus membawaku ke dalam masalah besar ini. Aku bahkan sudah membuat bayi dalam kandunganku susah bahkan jauh sebelum ia dilahirkan. Ibu macam apa aku ini?
Tak berapa lama aku mendengar ada seseorang yang mencoba membuka pintu. Mataku membulat karena waspada. Seth! Itu pasti dia yang datang. Aku yakin sekali.
*** "Hmm ... Hmm ..." aku meronta-ronta sampai kursi yang ku duduki ikut meloncat-loncat, memberi tanda pada Seth agar ia mau membukakan lakban itu dari mulutku. Tapi, ia masih diam sambil melihatku dengan tatapan memuja. Jujur, aku merasa sangat takut padanya saat ini.
"Ada apa, Anna sayang? Kau mau aku membukakan penutup mulutmu?" ucap Seth dengan lembut lalu ia menyentuh wajahku dengan jemarinya. Membuatku bergidik.
Dengan cepat aku mengangguk. Merasa lega karena ia mungkin akan sedikit merasa kasihan padaku. Biar bagaimana pun, kami berdua pernah menjalin hubungan khusus selama kurang lebih setahun lamanya.
"Baiklah, aku akan menuruti kemauanmu."
Dengan kasar Seth menarik lakban itu dari mulutku sampai aku berteriak karena kesakitan. Sialan! Aku merasa kulit sekitar bibirku seperti robek sekarang. Perih sekali rasanya!
Tanpa terasa air mataku mengalir. Bukan karena aku sedih atau sakit hati tapi memang karena bibirku rasanya benar-benar perih. Melihatku menangis, raut wajah Seth berubah seketika. Ia jadi tampak bersimpati padaku. Membuatku jadi malah lebih takut padanya. Ku rasa ia benar-benar sudah "sakit".
"Maafkan aku, Anna sayang. Aku tidak bermaksud menyakitimu. Apalagi menyakiti bibirmu ini." Seth menyentuh bibirku dengan jemarinya. Aku memalingkan wajahku darinya, "biar bagaimana pun, aku tak akan pernah bisa melupakan ciuman dari bibirmu ini saat dulu kita masih bersama, Sayang."
Seth masih terus berusaha menyentuhku tapi aku juga terus berusaha menghindarinya. Tanpa terasa air mata mengalir lebih deras membasahi pipiku. Aku benar-benar takut padanya. Takut Seth akan menyakitiku apalagi menyakiti bayi dalam kandunganku. Aku tidak menyangka kalau Seth, lelaki yang sangat ku puja dulu bisa berubah menjadi gila seperti sekarang ini.
Melihat penolakanku, Seth menarik rahangku dengan kasar lalu menghadapkan wajahku ke wajahnya.
"Kenapa kau selalu menghindariku, Anna? Kau sudah tidak mencintaiku lagi?"
Mata kami bertatapan. Entah kenapa aku merasa ia bukanlah Seth yang ku kenal dulu.
"Kenapa kau lakukan ini padaku, Seth? Lepaskan aku, aku mohon." ucapku memelas, air mata jatuh lagi ke pipiku.
"Jangan menangis, Cintaku." Seth mengusap air mataku dengan lembut lalu berbisik, "aku melakukan ini karena aku ingin memberi pelajaran pada suamimu. Ia yang sudah menghancurkan hidupku. Pertama, ia merebut Julia dariku dan sekarang ia juga merebutmu dariku. Aku begitu mencintaimu, Anna."
Air mata mengalir dari kedua matanya. Aku sungguh tidak percaya Seth akan menangis. Apa ia sudah gila?
"Aku menikah dengan Sebastian itu atas kemauanmu, Seth. Kau ingat?" aku berusaha membuatnya tenang. Karena kalau tidak, aku takut ia akan melakukan hal yang lebih gila lagi, "andai kau tidak memintaku waktu itu, mungkin sekarang kita masih bersama. Ya kan?"
"Aku memang menyuruhmu, Anna. Dan, aku menyesal. Membayangkan kau berada di pelukannya, menciumnya, bercinta dengannya, benar-benar membuatku gila!"
Seth menjambak rambutnya sendiri sambil terisak. Ia mondar-mandir di hadapanku. Ku rasa ia memang benar-benar sedang tertekan.
Tiba-tiba saja Seth berhenti menangis dan dengan kasar mengusap air matanya sendiri. Ia lalu berteriak di hadapanku,
"HANYA ADA SATU ORANG YANG MENJADI MOMOK DALAM KEHIDUPANKU DAN ORANG ITU ADALAH SEBASTIAN AGUSTINE. AKU BENAR-BENAR MEMBENCI LELAKI ITU DAN SATU-SATUNYA CARA UNTUK MENGHANCURKANNYA SEKARANG ADALAH DENGAN CARA MENYAKITIMU, ANNA. KARENA AKU TAHU IA SANGAT MENCINTAIMU!"
Seth mengeluarkan sebuah belati dari belakang bajunya, dan menyentuhkan ujungnya yang runcing ke wajahku. Tubuhku mulai gemetar dan jantungku berdetak kencang. Aku merasa sekujur tubuhku mulai lemas dan kepalaku pusing sekali. Tapi, aku harus terus bertahan dan mencoba berbicara baik-baik dengannya agar Seth mau melepaskanku.
"Seth, aku mohon lepaskan aku. Aku berjanji tidak akan memberi tahu siapapun tentang hal ini. Tidak kepada Polisi, Sebastian atau Papaku. Tidak siapapun, Seth. Aku mohon."
Ya Tuhan, aku tidak tahu lagi harus berbuat apa selain menangis dan merengek seperti anak kecil. Belati itu tampak begitu tajam dan siap melukai wajahku kapan saja. Sekarang yang ada di dalam pikiranku bukan hanya keselamatan diriku sendiri tapi juga bayi dalam kandunganku.
"Bagaimana kalau aku tidak mau, Sayang? Aku tidak suka melihat kebersamaan kalian. Kau tahu, kau hanya milikku, Anna. Dan, aku mau kita mati bersama-sama, supaya Sebastian tahu kalau kita sudah saling mencintai jauh sebelum kau bertemu dengannya."
Seth menggerakkan ujung belati itu perlahan dari pipiku terus sampai ke bawah daguku. Lalu ia menekankan ujungnya sedikit di sana. Membuatku melonjak kaget dan tubuhku jadi menegang seketika.
"Seth, tidak Seth aku mohon. Kau "sakit" sayang dan kau membutuhkan bantuan. Aku akan membantumu nanti jika kau melepaskanku. Aku berjanji, aku tidak akan mengirimmu kembali ke penjara. Aku berjanji. Tapi, aku mohon lepaskan aku."
"Bagaimana bisa aku percaya padamu, Anna? Bagaimana bisa?"
Seth menarik rambutku ke belakang hingga aku mendongakkan wajahku ke wajahnya. Aku sudah tidak tahu lagi harus berkata apa. Aku mulai memejamkan kedua mataku, dalam hati berdoa pada Tuhan untuk menjaga Papa, Andrew dan Sebastian jika nanti aku dan bayiku memang harus meninggalkan dunia ini untuk selama-lamanya. Aku menyesal sudah banyak berbuat salah pada mereka bertiga dan bahkan belum sempat meminta maaf. Khususnya pada Papa dan Sebastian. Aku benar-benar menyesal, dari lubuk hatiku yang terdalam.
Saat Seth sedang memain-mainkan belati itu di wajahku, tiba-tiba terdengar suara seseorang yang mendobrak pintu itu dengan kasar. Suara keras dari benturan pintu yang mengenai dinding membuatku dan Seth terperanjat kaget dan langsung menoleh ke arah pintu yang sudah terbuka lebar itu. Kami berdua tertegun melihat sosok yang sudah berdiri di depan pintu itu.
Seorang juru selamat telah datang ...
*** BAB 27 Saat Seth sedang memain-mainkan belati itu di wajahku, tiba-tiba terdengar suara seseorang yang mendobrak pintu itu dengan kasar. Suara keras dari benturan pintu yang mengenai dinding membuatku dan Seth terperanjat kaget dan langsung menoleh ke arah pintu yang sudah terbuka lebar itu. Kami berdua tertegun melihat sosok yang sudah berdiri di depan pintu itu.
Seorang juru selamat telah datang ...
Desperate Mrs Karya Agustine di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
*** "SEBASTIAN?!" Aku berteriak ke arahnya saat melihat suamiku itu sudah berdiri dengan sebuah pistol di tangannya. Aku merasa sangat lega tapi juga tidak percaya, aku benar-benar tidak tahu kalau Sebastian memiliki senjata api semacam itu. Dalam hitungan detik, aku merasakan Seth melingkarkan lengannya di leherku dengan sebelah tangan. Sementara tangan satunya lagi masih mengarahkan belati itu ke wajahku.
"Oh, akhirnya pahlawan kesianganmu datang juga, Sayang." Seth mengeratkan jeratannya di leherku dan itu membuatku kesakitan. Aku melihat Sebastian seperti tak sabar ingin menghampiri kami tapi, ia tahu kalau ia sampai salah mengambil tindakan, Seth bisa menyakitiku kapan saja.
"Jauhkan belati itu dari wajah istriku atau aku akan meledakkan isi kepalamu dengan timah panas ini."
"Jadi, kau sangat mencintai wanita ini, hah? Kau mencintainya?" Seth menekan ujung belati itu ke leherku. Rasanya seperti ada seekor lebah yang menyengat leherku. Tubuhku mulai gemetar dan menegang. Aku benar-benar takut setengah mati. Aku berdoa pada Tuhan, memohon jika memang aku harus mati, matilah dengan cepat, tapi tidak dengan cara seperti ini. Aku benar-benar tidak bisa membayangkan kalau harus mati secara perlahan-lahan.
"Kalau kau menyakitinya aku tidak akan segan untuk membunuhmu. Aku tidak main-main, Tuan Logan!"
Sebastian mengarahkan pistolnya tepat ke arah kepala Seth dan aku bisa merasakan kalau tubuh Seth mulai gemetar. Ku rasa otaknya sedang berpikir sekarang.
"Letakkan pistolmu atau aku akan melukai wajah cantik istrimu ini. SEKARANG!"
Seth membentak keras dan itu membuatku jadi lebih gemetar lagi. Dengan ragu Sebastian meletakkan pistolnya ke lantai tapi tatapan matanya tak pernah lepas dari kami berdua.
"Bagus, Tuan Agustine. Bagus." Seth tampak puas melihat apa yang dilakukan Sebastian, "sekarang biarkan aku bermain-main dengan istrimu ini. Kau harus melihat dengan mata kepalamu sendiri bagaimana rasanya kalau wanita yang kau cintai harus berada di pelukan lelaki lain."
Seth mencoba mencium pipiku dari belakang. Hembusan nafasnya membuatku refleks berpaling darinya. Aku benar-benar tidak mau Seth menciumku. Aku merasa takut sekali pada lelaki ini.
Sebastian mencoba melangkahkan kakinya ke arah kami. Ia tampak tidak tahan melihat apa yang Seth lakukan padaku. Melihat Sebastian mencoba mendekat, Seth kembali waspada.
"Tetap di tempatmu, Tuan Agustine! Atau aku akan berbuat lebih nekat lagi!"
"Sebenarnya apa yang kau inginkan?! Kau mau uang? Akan ku berikan tapi lepaskan dia!"
Sebastian tampak sangat marah. Wajahnya memerah dan rahangnya mengeras. Aku melihat tangannya mulai mengepal dengan kencang.
"Aku ingin kau merasakan apa yang ku rasakan saat kehilangan Julia. Kau masih ingat gadis itu, Tuan Agustine?"
Raut wajah Sebastian berubah saat mendengar nama gadis itu. Ia tampak berpikir.
"Julia?" "Iya, Julia. Gadis yang rela menyusulmu ke kota dan kau seenaknya memutuskan hubungan dengannya, sampai ia bunuh diri. Dan, sekarang kau lagi-lagi merusak hubunganku dengan Anna. Kenapa kau selalu merebut gadis yang aku cintai, Sebastian Agustine? KENAPA?!"
Sebastian tampak kaget dengan ucapan Seth. Tapi, ia masih terus mencoba bersikap tenang.
"Baiklah, Seth. Tenanglah, aku minta maaf atas semua itu. Aku benar-benar tidak tahu."
Aku mendengar Seth mulai terisak. Melihat peluang itu, Sebastian maju selangkah demi selangkah mendekati kami. Aku tidak tahu apakah Seth tidak memperhatikannya, karena ia tidak mencoba berbuat hal yang mengancamku lagi. Hingga pada akhirnya, saat Sebastian tinggal beberapa jengkal lagi dari kami, Seth mulai mengeratkan lengannya di leherku lagi. Dan, saat ia seperti ingin menghujam belatinya padaku, dengan cepat Sebastian menahannya dengan tangan kosong.
Aku berteriak dengan sangat kencang. Tubuhku benar-benar gemetar. Perlahan-lahan aku merasakan jeratan di leherku mulai melonggar dan terlepas. Ingin sekali rasanya aku menolong Sebastian tapi aku tidak tahu bagaimana caranya.
Saat aku mendongakkan kepalaku ke atas, aku melihat ternyata Sebastian sedang menahan belati itu dengan telapak tangannya hingga darah mulai mengalir ke lengannya dan mengotori kemejanya.
Aku mulai berteriak lagi. Melihat kedua lelaki itu dan darah Sebastian yang mulai menetes ke wajahku membuat kepalaku pusing. Aku benar-benar merasa ingin pingsan sekarang!
*** Sekuat tenaga Sebastian menahan belati itu dengan satu tangannya. Bahkan Seth harus melawannya menggunakan kedua tangannya. Saat Seth sedikit lengah, Sebastian langsung melayangkan sebuah tinjuan tepat ke wajah Seth dengan satu tangannya yang masih bebas.
Seketika Seth terjungkal ke belakang. Belati yang sudah penuh darah itu jatuh terpental entah kemana. Dan, dengan cepat Sebastian langsung menyusul Seth dan menghujaninya dengan pukulan-pukulan mautnya.
Seth sendiri bukannya tidak melawan, beberapa kali ia mencoba memukul balik wajah Sebastian dan berhasil. Aku masih merasa khawatir karena mungkin saja Seth masih menyimpan senjata lain di balik pakaiannya.
Aku terus meronta, mencoba untuk membuka ikatan di tanganku dan ternyata berhasil. Aku tidak tahu bagaimana bisa itu terjadi, mungkin dengan melihat kedatangan Sebastian telah memberikan kekuatan lebih padaku.
Tak lama, Sebastian menghampiriku dan membantuku membuka ikatan di kakiku. Seth sudah babak belur, bersandar pada tembok. Ku lihat, wajah Sebastian tidak lebih baik tapi ia masih berusaha menolongku. Setelah berhasil membuka ikatan pada kakiku, dengan cepat, aku memeluk tubuh Sebastian dengan erat dan menangis sejadi-jadinya. Aku benar-benar merasa takut tadi. Takut kalau akan terjadi hal yang buruk pada suamiku itu.
"Tenanglah, Anna. Semua akan baik-baik saja." Sebastian mencoba menenangkanku. Saat ku buka mataku, tiba-tiba aku melihat Seth sudah bangkit dan mencoba berjalan ke arah kami kembali. Belati itu sudah ada di tangannya lagi, siap untuk dihujamkan ke punggung Sebastian yang masih memelukku. Tapi, tiba-tiba saja terdengar suara ledakan pistol yang sangat kencang dan membuat Seth ambruk lagi ke tanah seketika.
Suara ledakan pistol yang sangat keras itu membuatku berteriak tapi suaraku seperti tercekat karena kaget. Sepertinya aku akan benar-benar pingsan sekarang. Orang lain telah menembak kaki Seth dan saat aku menoleh ke arah pintu, samar-samar ku lihat Andrew sudah berdiri di sana. Dan, setelah itu pandanganku menjadi gelap.
*** Beberapa hari kemudian ...
"Aku tidak pernah tahu kalau kakakku ini jago juga yah memainkan pistol? Kau bisa menembak Seth dengan tepat di kakinya."
Andrew tertawa mendengar pujian yang ku tujukan padanya.
"Kau tahu, Anna? Bukan aku yang menembak kaki mantan pacarmu itu tapi Polisi. Aku hanya memegang pistol itu untuk berjaga-jaga tapi sebelum aku mendapat posisi yang pas, Polisi di belakangku sudah lebih dulu menembak kakinya. Kakakmu ini tidak se-keren itu, Anna."
Andrew tertawa lagi dan kali ini jauh lebih keras. Ia menertawai ku yang sudah percaya kalau ia yang menembak kaki Seth waktu itu. Karena setelah mendengar suara ledakan pistol dan melihat Andrew, seketika aku jatuh pingsan. Mungkin karena tidak tahan dengan semua hal yang sudah terjadi. Jadi, aku tidak tahu kalau ternyata ada Polisi di belakang Andrew.
"Kau itu memalukan sekali, Andy!" ucapku dengan nada malas lalu meninju lengannya. Andrew masih tertawa geli di hadapanku yang sedang duduk bersandar di tempat tidur. Saat ia sudah merasa puas,? Andrew menghentikan tawanya lalu mengusap air mata di sudut matanya akibat tertawa terlalu geli tadi. Lalu Andrew meraih wajahku dan tampak memperhatikannya.
"Bagaimana keadaan adikku ini? Apa kau sudah merasa baikan?" Andrew memperhatikanku dengan seksama. Aku tidak menyangka kalau kakakku yang menyebalkan ini ternyata mengkhawatirkan keadaanku juga.
"Aku sudah baikan, hanya sekarang jadi sering pusing dan mual. Tapi, ku rasa itu bukan efek dari kejadian kemarin melainkan efek dari kehamilanku." jawabku sambil mencoba memijit kepalaku.
"Kenapa kau mencoba untuk menghindari Sebastian lagi setelah kau tahu kalau kau sedang mengandung bayinya, Anna. Apa yang ada di dalam pikiranmu?"
"Aku takut Sebastian akan merebut anak ini dariku lalu setelah itu ia akan menceraikanku, Andy." jawabku takut-takut. Mendengar itu Andrew tertawa tidak percaya dan mengusap wajahnya dengan telapak tangannya.
"Apa yang kau bicarakan, Anna? Kau tahu, sejak Sebastian kembali dari luar kota dan mengetahui kalau kau sudah pergi dari apartemenmu dan mengganti nomor kontakmu, seketika Sebastian memberitahuku dan juga menyebar orang suruhannya untuk mencarimu. Dan, untunglah kami mendapat petunjuk kalau kau masih bekerja di tempat lamamu. Dan, di sore yang naas itu, salah satu orang suruhannya melihat Seth membekapmu di halte lalu dengan cepat suamimu itu menyusul ke tempat lelaki itu menyekapmu. Sebastian sangat mengkhawatirkanmu, Anna. Dan, kau lihat apa yang sudah ia lakukan untukmu? Bagaimana bisa kau berpikir kalau ia akan berbuat jahat padamu dan bayi kalian?"
Aku terpaku dan merasa sangat malu sekali mendengar ucapan Andrew barusan. Aku sangat malu karena sudah berprasangka buruk pada Sebastian hanya karena terpengaruh oleh wanita di kafe waktu itu.
"Aku menyesal, Andy. Aku benar-benar menyesal dan merasa malu."
Aku menutup wajahku dengan telapak tanganku tapi Andrew meraihnya dan menatap kedua mataku.
"Jadi , setelah semua hal yang sudah terjadi, apa kau masih mau mencintai Seth-mu dan tetap merasa ragu pada suamimu sendiri, Anna?"
Tiba-tiba saja aku bergidik mendengar nama itu. Aku tidak pernah menyangka kalau aku pernah berpacaran sekian lama dengan seorang sakit jiwa seperti Seth. Aku tidak bisa membayangkan kalau kemarin aku tidak menikah dengan Sebastian dan tetap menjalin hubungan dengannya. Entah apa yang akan terjadi padaku. Oh Ya Tuhan, terima kasih banyak karena telah menolongku!
"Tidak, Andy. Aku sudah mengerti sekarang dan nanti aku akan meminta maaf pada Sebastian atas semuanya."
Andrew tersenyum mendengar jawabanku. Ia lalu menggenggam tanganku dengan lembut.
"Aku senang kalau kau berpikir begitu, Anna. Baiklah, kalau begitu aku harus pergi ke kantor sekarang. Oh ya Anna, kau tahu satu hal lagi? Kondisi Papa sekarang sudah jauh lebih baik. Papa bahkan sudah mulai bisa berjalan sendiri lagi tanpa bantuan kursi roda, dan mungkin dalam beberapa hari Papa akan siap kembali ke kantor. Dan, itu semua terjadi setelah Papa mendengar kabar kehamilanmu."
Aku benar-benar senang mendengar berita itu. Tak ada sesuatu hal pun di dunia ini yang paling membahagiakanku selain kabar tentang kesehatan Papa.
"Benarkah itu, Andy?" mataku mulai berkaca-kaca.
"Iya, Anna. Itu benar." Andrew tersenyum lembut padaku, "ya sudah sekarang kau istirahat ya?"
Sebelum Andrew melangkah pergi, aku kembali menarik tangannya. Andrew berhenti dan berbalik lagi menghadapku.
"Ada apa lagi, Anna?"
"Andy, apa Papa tahu tentang kejadian kemarin?" tanyaku ragu, "Aku takut itu akan mempengaruhi kesehatan Papa lagi."
Lagi-lagi Andrew tersenyum.
"Tidak, Anna. Kau tenang saja. Cukup kau, Sebastian dan aku yang tahu. Oh iya, juga beberapa Polisi dan orang-orang suruhan Sebastian." Andrew tertawa. Setelah itu ia mengecup keningku dan pergi meninggalkanku di kamar ini seorang diri.
*** BAB 28 Tak berapa lama setelah kepergian Andrew, Sebastian masuk ke kamar dengan membawa nampan berisi makanan. Ia meletakkan nampan itu ke meja dan duduk di tepian tempat tidur. Aku jadi merasa segan melihat sosok Sebastian setelah mendengar cerita dari Andrew tentang kekhawatirannya selama aku tidak ada kemarin.
"Bagaimana keadaanmu, Anna?" tanya Sebastian pertama kali. Ia meletakkan punggung tangannya di keningku.
"Aku sudah jauh lebih baik, Sebastian. Bagaimana keadaan tanganmu?"
Sebastian memperhatikan telapak tangan kanannya yang berbalut perban.
"Ini? Tidak apa-apa. Rasanya hanya sakit sedikit. Jangan khawatir." ia tersenyum tipis masih sambil berpura-pura mengusap perban di tangannya. Aku merasa ia sedang sengaja menghindar bertatapan mata denganku. Membuatku merasa lebih tidak enak hati padanya.
"Sebastian." Aku meraih tangannya dan menggenggamnya erat. Sebastian tampak kaget dan mengangkat wajahnya padaku.
"Maafkan aku. Aku benar-benar merasa menyesal atas semua kejadian ini. Maafkan aku." ucapku dengan nada bersungguh-sungguh.
Lagi-lagi Sebastian tersenyum kecil ke arahku. Ia menggenggam tanganku di dalam kedua tangannya.
"Tidak apa-apa, Anna. Aku sudah memaafkanmu. Tapi, mulai sekarang aku hanya sudah tidak mau bernegosiasi tentang hal apapun lagi denganmu. Aku sudah cukup sabar dengan sikapmu. Dan, mulai sekarang, aku yang akan mengambil semua keputusan dan kau tidak boleh membantahku lagi. Aku tidak perduli kau suka atau tidak dengan keputusanku, karena aku suamimu dan aku berhak mengatur semuanya selama hal itu tidak merugikan rumah tangga kita. Apalagi sekarang ada calon anakku di dalam kandunganmu."
Aku merasa sedikit takut mendengar ucapan Sebastian barusan. Ia tampak begitu kecewa padaku.
"Apa kau marah padaku, Sebastian?" tanyaku polos. Sebastian tersenyum kecut ke arahku. Ia tampak tidak percaya dengan pertanyaanku.
"Apa yang kau tanyakan, Anna? Tentu saja aku marah padamu. Aku tidak mengerti apa yang ada di dalam pikiranmu. Terakhir kita bertemu, semua baik-baik saja lalu tiba-tiba kau menghilang dan mengganti nomor ponselmu. Aku tidak mengerti kenapa kau mau kabur dariku dalam keadaan mengandung bayiku? Kau sungguh lancang, Anna."
"Sebenarnya, waktu itu aku sudah ingin memberitahukannya padamu, Sebastian. Tapi, tiba-tiba aku melihat seorang wanita yang bercerita pada temannya kalau suaminya merebut anak wanita itu lalu menceraikannya. Ku pikir kasus wanita itu agak mirip denganku jadi aku memutuskan ..."
"Dan, kau berpikir aku akan berbuat seperti suami wanita itu?" Sebastian memotong kalimatku. Ia mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangannya.
"Ya Tuhan, Anna. Apa yang kau pikirkan?"
"Aku berpikir kalau kau tidak pernah benar-benar mencintaiku, Sebastian. Aku merasa kalau kau masih mencintai Julia."
Sebastian menarik nafas lalu meraih wajahku, menatapku dengan lekat,
"Dengarkan aku, Anna. Kau tahu berapa usiaku sekarang? Usiaku sekarang sudah 31 tahun dan Julia itu hanya seorang gadis yang pernah mengisi hidupku selama dua bulan saat usiaku 19 tahun. Iya, aku memang sangat mencintainya dulu tapi itu dulu, Anna. Dan, hal itu sudah berlalu selama 12 tahun. Kau tahu, sudah berapa banyak gadis yang singgah dalam hidupku setelahnya. Aku bahkan sudah lupa wajah gadis itu, Anna. Jadi, kenapa kau berpikir kalau aku masih mencintainya?"
Aku terpaku melihat tatapan kedua mata Sebastian. Ia tampak sedang bersungguh-sungguh.
"Kau tahu, Anna? Kalaupun ada orang yang patut merasa cemburu, akulah orangnya. Melihatmu, istriku sendiri masih begitu mencintai mantan pacarnya dan bahkan rela berbuat nekat padaku hanya demi rasa cintanya pada lelaki itu. Coba kau bayangkan rasanya menjadi aku."
Aku merasa ingin menangis sekarang. Aku memang sudah banyak mengkhianati Sebastian dan rasanya malu sekali saat ini.
"Bukannya aku tidak tahu kalau kau masih berhubungan dengan lelaki itu bahkan setelah kita menikah, Anna. Tapi, aku berpura-pura menutup mata dan telingaku karena aku tahu kalau dari awal kau tidak menginginkan pernikahan ini. Aku berpikir kau butuh waktu untuk belajar mencintaiku. Itulah sebabnya aku terus berusaha berbuat baik padamu, memberikanmu hadiah-hadiah, dan selalu memaafkan kesalahanmu karena aku percaya kalau suatu saat kau akan bisa mencintaiku, Anna."
Air mata mulai jatuh di pipiku mendengar semua pengakuan Sebastian. Mengapa aku bisa berbuat begitu jahat pada lelaki sebaik dia selama ini?
"Kau boleh berpikir kalau aku ini kuno, tapi bagiku pernikahan adalah sesuatu hal yang tidak main-main. Pernikahan adalah sesuatu hal yang suci. Aku ingin menjadi seperti ayahmu dan mendiang ayahku, Anna. Yang selalu setia pada pasangan mereka bahkan jauh setelah maut memisahkan mereka. Aku ingin kita menjadi seperti itu karena tanpa ku sadari, aku mulai jatuh cinta padamu, Anna."
Sebastian mengusap air mataku dan mengecup tanganku dengan lembut.
"Kau itu memang gadis menyebalkan, kekanak-kanakan dan berotak licik, tapi aku tahu kalau kau melakukan itu semua hanya karena kau begitu mencintai mantan pacarmu itu, ya kan? Dan, aku mau kau begitu untukku, Anna. Aku mau membuatmu jatuh cinta padaku agar kau mau melakukan apapun untukku."
Aku meletakkan ujung jemariku di bibir Sebastian. Memintanya agar berhenti berbicara.
"Kau sudah terlalu banyak berbicara, Tuan Agustine." aku memaksakan senyuman padanya, "sekarang, giliranku."
Aku mencoba turun dari tempat tidur dan mencoba duduk di pangkuan Sebastian. Mendekatkan wajahku dengan wajahnya. Aku mencium bibirnya yang sudah terlalu banyak bicara itu. Berusaha mengutarakan perasaanku lewat ungkapan yang tidak bisa ku sampaikan dengan kata-kata. Sebastian mengerti kemauanku dan ia membalas ciumanku, membuatnya terasa lebih panas.
Saat nafas kami berdua sudah terengah, aku melepaskan ciumanku dan menatap kedua matanya.
"Maafkan aku, Sebastian karena telah membuat banyak kekacauan dalam hubungan kita selama ini. Maafkan aku, aku mencintaimu." ku raih lagi wajah tampan di hadapanku itu dan Sebastian tidak berusaha menolaknya.
Tiba-tiba, di tengah ciuman panas itu, terdengar ketukan seseorang di pintu dan tak lama Martha masuk. Ia tampak kaget melihat posisiku yang sedang duduk di pangkuan Sebastian. Wajahnya seketika tampak merah karena malu.
"Maafkan saya, Tuan dan Nyonya. Maaf." Martha hendak kembali ke luar tapi Sebastian menahannya.
"Tidak apa-apa, Martha. Kau membawa air minum ya? Letakkan saja, aku memang lupa membawanya sekalian tadi."
Aku beranjak dari pangkuan Sebastian dan kembali ke tempat tidur. Ku lihat, memang tidak ada air minum di nampan yang dibawa Sebastian tadi.
Martha sepertinya tidak mau berlama-lama di kamar itu bersama kami. Ia tampak malu sekali sejak awal dan segera izin pamit setelah memberikanku segelas air. Sepeninggal Martha, Sebastian bangkit dan mengecup keningku,
"Baiklah, aku harus ke kantor sekarang, Anna. Ini adalah hari pertamaku kembali ke kantor dan aku tidak mau terlambat. Kau jaga diri baik-baik ya, habiskan makananmu." Sebastian mengecup bibirku. Tapi, saat ia ingin berbalik meninggalkanku, aku menarik tangannya hingga ia menoleh lagi ke arahku,
"Apa lagi, Sayang?" tanya Sebastian. Ia tampak tidak sabar ingin pergi karena takut terlambat.
"Jadi, kita 'benar-benar' sudah baikan sekarang?" aku menekankan kalimatku. Sebastian mengangkat bahunya sambil mendengus,
"Itu semua tergantung padamu, Anna. Tapi, ku pastikan kalau setelah ini kau tidak akan bisa kemana-mana lagi karena aku sudah meminta dua orang pengawal untuk berjaga di depan pintu kamar ini."
"Oh yang benar saja, Sebastian."
Sebastian tertawa mendengar rengekanku.
"Baiklah, Nyonya Agustine. Aku harus pergi sekarang. Akan ku usahakan untuk pulang lebih awal hari ini." Sebastian membungkuk dan tanpa ku duga ia memagut bibirku lagi, membuat darahku mendesir. Setelah itu ia pergi begitu saja meninggalkanku yang masih terhipnotis oleh ciumannya barusan.
*** Sebulan kemudian, saat keadaanku dan Sebastian sudah cukup pulih, ia mengadakan sebuah pesta besar di rumahnya. Pesta itu diadakan untuk merayakan ulang tahunku yang ke-24 seminggu yang lalu dan juga Sebastian sekalian ingin mengumumkan kepada semua relasi dan karyawannya kalau aku sedang mengandung anak pertama kami.
Pesta itu sangat mewah dan dihadiri oleh banyak orang. Disana aku bertemu dengan Andrew dan Ashley dan mereka mengatakan padaku kalau sebentar lagi mereka berdua akan bertunangan. Aku benar-benar merasa bahagia untuk mereka berdua. Aku juga bertemu dengan Olivia dan Mark, tunangannya. Dan, dengan tulus hati aku meminta maaf sekali lagi padanya kalau dulu aku pernah menumpahkan minuman ke pakaiannya. Olivia menerima permintaan maafku dengan tulus. Baru ku sadari walau terkadang centil dan menyebalkan, ternyata Olivia adalah wanita yang baik. Dan, tanpa ku duga Sebastian ternyata juga mengundang Dennis, lelaki itu datang dengan istri dan juga anaknya. Dennis memberi selamat pada kami berdua atas kehamilanku dan juga rumah tangga kami yang akhirnya berhasil diselamatkan.
Tapi, dari semua orang yang ku temui di pesta itu, aku merasa paling bahagia saat melihat Papa. Papa datang dengan gagahnya dan memberi selamat padaku. Bisa ku lihat dengan mata kepalaku sendiri kalau ucapan Andrew memang benar. Papa sudah pulih seratus persen dan ia tampak bahagia mendengar kabar kehamilanku.
Saat ini aku memutuskan untuk duduk di sofa karena aku tidak kuat berdiri lama-lama sekarang. Aku duduk seorang diri sambil menikmati minumanku, lalu tiba-tiba saja mataku terpaut pada Sebastian, suamiku. Aku melihat ia sedang berbincang dengan dua orang rekannya. Sebastian tampak sangat tampan hari ini dan aku benar-benar merasa seperti ingin memeluknya dengan erat sekarang dan merasakan aroma tubuhnya lagi.
Sebastian sepertinya sadar kalau ada orang yang sedang memperhatikannya. Ia langsung saja melihat ke arahku dan pandangan kami bertemu. Sebastian tersenyum tipis ke arahku, sambil mengangkat sebelah alisnya. Tak lama, Sebastian tampak meminta izin pada kedua rekannya dan ia berjalan ke arahku. Entah kenapa jantungku berdebar dengan sangat cepat saat melihatnya perlahan mendekatiku.
Setelah tiba tepat di hadapanku, Sebastian membungkukkan tubuhnya dan berbisik di telingaku,
"Tunggu aku di kamar sepuluh menit dari sekarang. Aku akan menyusulmu nanti." bibirnya mengecup pipiku dan sebelah tangannya meraba ke pahaku. Bisikannya di telingaku dan sentuhannya membuat jantungku bergemuruh kencang. Sebastian segera menegakkan tubuhnya dan berbalik meninggalkanku lagi.
*** Pesta itu belum lagi usai tapi Sebastian sudah memintaku untuk naik ke kamar. Sepertinya ia sudah benar-benar tidak sabar untuk bercinta lagi denganku karena kami terakhir melakukannya sebelum ia pergi ke luar kota beberapa waktu lalu.
Aku duduk di depan meja rias sambil menyisir rambutku. Aku sudah mengganti gaun pestaku dengan gaun tidur yang tipis, berharap dalam hati kalau Sebastian akan segera datang karena aku pun sebenarnya sudah sangat merindukan sentuhannya.
Tak pernah ku duga sebelumnya kalau aku akan begitu mencintai lelaki yang awalnya sangat ku benci ini. Tapi, dibalik sikap menyebalkannya ternyata Sebastian memang sangat mencintaiku.
Dalam hitungan menit, tiba-tiba pintu kamar terbuka dan Sebastian masuk ke dalam. Aku memandanginya dari kaca cermin dengan jantung yang bergemuruh hebat. Suamiku itu benar-benar tampan dan mampu membuatku tergila-gila.
Sebastian berjalan mendekatiku lalu berbisik, pandangan kami bertemu di kaca cermin,
"Kau sudah siap untukku, Anna?" bisik Sebastian dan satu tangannya mulai menyelinap ke dalam gaun tidurku, meraba perutku.
Aku tidak menjawab pertanyaannya. Apa yang sedang dilakukan Sebastian sudah cukup membuatku terpaku, sementara mata kami masih saja bertatapan lewat cermin itu.
"Oh, iya. Sebelum kita naik ke tempat tidur, aku punya hadiah untukmu, Sayang."
Mendengar kata hadiah, otakku langsung tersadar.
"Oh ya, apa itu?"
"Kita akan berlibur ke Maladewa. Itu sebagai pelunasan hutangku saat kita baru menikah kemarin. Dan, sekarang karena sudah ada si jabang bayi, kita akan merayakan ulang tahunmu dan babymoon kita disana nanti!"
Aku bangkit dan membalikkan tubuhku. Segera saja aku memeluknya dengan erat. Aku merasa bahagia sekali saat ini.
"Terima kasih, Sebastian." ucapku dengan histeris dan kembali memeluknya.
Sebastian menarikku dari pelukannya dan meraih wajahku, perlahan ia mulai mencium bibirku. Saat bibir kami berpagutan aku merasakan tangan Sebastian mulai memasuki gaun tidurku dan meremas bokongku. Ciuman kami semakin panas dan ia menurunkan ciumannya ke leherku. Aku menikmati apa yang Sebastian lakukan sambil memegangi kepalanya.
Aku menaikkan satu kakiku dan Sebastian menahannya, lalu menyusul satu kaki lagi hingga aku melingkarkan kedua kakiku di pinggulnya. Sebastian menahanku lalu membawaku ke tempat tidur. Aku berbaring dengan tubuhnya berada di atasku.
"Hmm ... Apa bayi itu akan baik-baik saja kalau kita bercinta, Anna?" tanya Sebastian tiba-tiba. Ia tampak khawatir.
"Aku tidak tahu, bagaimana kalau kau tanya pada salah satu dokter kenalanmu." jawabku sambil mengusap wajahnya yang masih berada diatasku.
"Bagaimana kalau mereka melarangnya? Ya Tuhan, aku bisa gila menahannya lebih lama lagi, Anna."
Aku terkekeh melihat ekspresi Sebastian.
"Mungkin tidak apa-apa kalau aku melakukannya dengan perlahan ya?" Ia mencoba menghibur dirinya sendiri.
"Kau itu tukang bohong. Di malam pertama kita juga kau bilang begitu tapi kenyataannya ..."
Sebastian tertawa tepat di depan wajahku.
"Aku minta maaf, aku benar-benar tidak tahan melihat tubuhmu, Anna. Apalagi setelah tahu kalau aku adalah lelaki pertama yang menidurimu."
Aku mendorong pipinya hingga wajah Sebastian berpaling ke samping.
"Bagaimana kalau aku menolakmu hari ini? Apa kau akan memaksaku?"
"Hmm ... Mungkin, tapi aku yakin kalau kau tidak akan menolakku, Anna. Karena aku tahu kalau tubuhmu ini juga pasti sudah sangat merindukan sentuhanku."
Sebastian mulai menciumiku lagi dan lagi sampai aku merasa melayang dibuatnya. Ia mulai melucuti pakaiannya sendiri. Dan, di sela-sela pergumulan panas kami, aku tanpa sadar menggigit leher Sebastian, membuatnya sedikit kaget,
"Menggigit, Anna? Sudah ku bilang kalau kau yang melakukannya waktu mabuk malam itu." aku merasa wajahku panas sampai ke telinga mendengar ucapannya itu.
"Sshh ... Jangan bicara apa-apa lagi. Cium aku saja." segera saja ku tarik wajahnya dan menciumnya kembali untuk menutupi rasa maluku. Aku dapat merasakan Sebastian tersenyum dan di sela-sela ciuman kami ia berbisik,
"Aku mencintaimu, Savannah Agustine. Istriku yang cantik dan Ibu dari calon bayiku."
Dan, dengan nafas yang hampir habis merasakan apa yang Sebastian lakukan padaku aku membalasnya,
"Aku juga mencintaimu, Sebastian Agustine. Suamiku yang tampan, Ayah dari calon bayiku."
*** -the end- Pendekar Super Sakti 16 Pendekar Naga Geni 18 Bukit Kepala Singa Kisah Sepasang Naga 2