Pencarian

Kisah Sepasang Naga 2

Kisah Sepasang Naga Karya Kho Ping Hoo Bagian 2


telah terikat jodoh dengan anak perempuan itu!
Musim semi telah tiba dan orang-orang dikampung kecil itu
menyambut musim chun dengan pesta gembira. Penduduk kampung yang
hanya berjumlah dua puluh keluarga dan semuanya kurang dari seratus
jiwa itu saling mengantar makanan dan saling selamat. Mereka
mengenakan pakaian yang paling baik dan memasang petasan yang
didatangkan oleh seseorang dari kota.
Sin Wan juga tidak ketinggalan. Sejak pagi-pagi sekali ibunya
telah menyuruh dia bertukar pakaian dan mengenakan baju warna
kuning yang indh. Pemuda itu tidak melupakan kerbaunya dan ia
mencari kembang-kembang dan daun-daun yang lalu dibuat karangan
bunga dan dikalungkan di leher semua kerbaunya! Kemudian ia pergi
dengan anak-anak lain yang berkumpul memasang petasan.
Tiba-tiba dari luar pintu kampung itu terdengar suara kaki kuda
banyak sekali. Semua orang kampung terkejut dan heran karena belum
pernah kampung itu dikunjungi orang luar. Ketika orang-orang berkuda
itu telah melewati pintu kampung, terkejutlah Sin Wan karena yang
datang memasuki kampungnya adalah belasan orang besar berpakaian
tentara seragam dengan golok atau pedang terhunus di tangan! Para
wanita cepat memanggil anak mereka dan melarikan diri bersembunyi di
belakang rumah atau di dalam kamar, sedangkan orang-orang lelaki
memandang dengan membongkok hormat dan ketakutan. Ternyata
rombongan orang itu berjumlah lima belas orang. Seorang kate gemuk
yang agaknya menjadi pemimpin karena pakaiannya paling mewah, loncat
turun menghampiri seorang petani tua yang berdiri terdekat.
"He, orang tua! Di manakah rumah Bun Gwat Kong dan anaknya?"
Biarpun orang-orang kampung itu terdiri dari petani-petani lemah,
tapi mereka adalah orang-orang jujur dan penuh rasa setiakawan.
Melihat lagak rombongan ini ternyata tidak membawa maksud baik, maka
kakek itupun menggelengkan kepala dan berkata,"Aku tidak tahu!"
Baru saja jawaban itu terlepas dari mulutnya, kakek itu terlempar
ke belakang karena di dorong oleh seorang anggauta rombongan yang
berdiri di dekat pimpinannya.
"Hayo kalian mengaku, dimana adanya bangsat tua she Bun itu?
Kalau tidak mau mengaku kalian semua akan dihukum seratus cambukan!"
demikian pendorong kakek itu berkata dengan putar mata galak sekali.
Bun Sin Wan merasa gemas sekali, tapi ia masih hendak menunggu apa
ayng akan terjadi, juga ia heran sekali mengapa orang-orang ini
mencari kakeknya. Tapi sebelum rombongan tentara kaisar itu dapat mengganas lebih
jauh terdengar bentakan keras. "Aku orang she Bun ada disini, kamu
anjing-anjing kaisar lalim mau apakah?" dan Kang-lam Ciuhiap Bun
Gwat Kong dengan tolak pinggang berdiri angket menghadapi rombongan
itu. Sikapnya yang gagah membuat lima belas orang tinggi besar
bersenjata tajam itu mundur beberapa tindak dengan jeri. Tapi orang
kate gemuk yang menjadi pemimpin dapat tetapkan hatinya. Ia cabut
sepasang ruyung dari pinggangnya dan membentak kepada para anak
buahnya. "Pemberontak she Bun ada disini, hayo tangkap dia!" Berbareng
dengan bentakan itu ia maju ayun ruyungnya di atas kepala lalu maju
menyerang, diikuti oleh anak buahnya yang menerjang dengan masingmasing senjata di tangan.
"Ha, ha, ha! Kamu anjing-anjing kecil berani menggonggong di
depan tuanmu? Pergilah!" Kakek itu lalu bergerak cepat dan tahu-tahu
dua orang pengeroyoknya telah kena dipegang dan dilempar sampai
beberapa tombok jauhnya bagaikan seorang melempar rumput saja! Kanglam Ciuhiap lalu perlihatkan kepandaiannya. Dengan kedua tangan
kosong ia bergerak cepat dan setiap kali tangan dan kakinya bergerak,
tentu terdengar pekik kesakitan dan tubuh seorang pengeroyok
terlempar atau roboh. Sebentar saja ia dapat merobohkan delapan orang
pengeroyoknya dan kini yang mengeroyoknya hanya pemimpin yang
bersenjata sepasang ruyung itu dan dua orang lain bersenjata pedang.
Yang lain telah cemplak kuda dan lari pergi, tak pedulikan makian dan
teriakan pemimpin mereka!
Ternyata pemimpin kate gemuk itu lihai juga. Sepasang ruyungnya
bergerak-gerak cepat dan kuat hingga untuk beberapa saat tak mudah
bagi kakek itu untuk merobohkannya. Kemudian Kang-lam Ciuhiap
mendapat pikiran untuk menguji cucunya. Ia segera merobohkan dua
pengeroyok lain hingga kini tinggal si kate gemuk seorang.
"Sin Wan, kau ke sinilah!" kakek itu berteriak. Sin Wan yang sejak
tadi memang berada di dekat situ dan sengaja tidak mau bantu kakeknya
karena melihat bahwa kakeknya tak perlu dibantu, dan menonton dengan
kagum melihat kegagahan kakeknya, kini loncat maju.
"Ada apa, ngkong?" jawabnya.
"Coba kau layani anjing kate gemuk itu," perintah kakek itu yang
loncat mundur ke belakang. Si kate gemuk memang telah terdesak hebat
oleh Kang-lam Ciuhiap, kini melihat orang tua lihai itu mundur dan
diganti oleh seorang pemuda tanggung yang pegang sebatang suling
bambu panjang, ia merasa agak lega. Ia pikir, tidak apa kemudian
terbunuh oleh kakek gagah itu asal sudah bisa menjatuhkan anak muda
ini. Dengan demikian, maka ia tidak penasaran lagi dan tidak rugi.
Maka ia lalu putar-putar kedua ruyungnya dan menyerang tanpa
berkata apa-apa lagi. Sin Wan telah siap dan waspada. Biarpun ia telah
mendapat latihan sampai masak oleh kakeknya, tapi ia belum pernah
bertempur betul-betul melawan musuh. Baiknya ia memang mempunyai
nyali yang besar dan ketabahannya ini membuat ia dapat bersilat
dengan baik. Baru bertempur beberapa gebrakan saja tahulah ia bahwa
ilmu kepandaian lawannya ini tidak seberapa hebat. Maka ia tidak mau
kasih hati lagi dan balas menyerang dengan sulingnya. Terkejutlah si
kate itu, karena tidak disangkanya sama sekali bahwa suling bambu
kecil itu ternyata lihai dan berbahaya sekali karena selalu meluncur
ke arah jalan darahnya! Pula gerakan-gerakan suling itu terlalu cepat
dan tidak terduga olehnya higga ia menjadi sibuk sekali karena harus
putar-putar ruyung menangkis atau loncat ke sana kemari hindarkan
diri dari totokan. Tentu saja Sin Wan tidak mau sulingnya terusak oleh
tangkisan ruyung, maka ia tidak mau adukan senjatanya dan percepat
gerakannya. Ketika pada suatu saat lawannya berkelit ke kiri, Sin Wan tusukan
sulingnya dan getarkan ujung suling dengan tenaga lweekangnya hingga
ujung suling itu menjadi tiga dan sekaligus menyerang tiba bagian
tubh! Lawannya tidak dapat menangkis atau menyingkir dari serangan
lihai ini dan tak ampun lagi iganya tertotok dan ia roboh tak berdaya
Tapi pemimpin tentara itu memang seorang peperangan yang berani
mati dan keras hati. Ia merasa malu sekali terjatuh dalam tangan
seorang pemuda yang masih anak-anak, maka ia segera membentak,
"Kau telah robohkan aku, tidak lekas bunuh mau tunggu apa lagi?"
Sin Wan marah dan hendak jatuhkan pukulan maut dengan sulingnya,
tapi tiba-tiba kakeknya mencegah. "Tahan, Sin Wan"!" Kakek ini memang
suka melihat orang yang gagah dan berani mati. Selama ia merantau di
dunia kang-ouw, jika menemukan lawan yang sifatnya penakut dan jika
terluka merintih-rintih, ia segera bunuh lawan itu. Tapi jika
lawannya seorang pemberani, ia bahkan selalu memberi ampun! Kini
mendengar si kate berkata demikian, ia larang cucunya membunuh orang
itu. "Kau pergilah!" Kata Kang-lam Ciuhiap kepada si kate gemuk itu,
"Dan bawa pergi semua kawan-kawanmu itu." Tangan kirinya dilambaikan
ke arah orang-orang yang merintih-rintih di atas tanah.
Pemimpin rombongan tentara itu berkata,"Baik, bagimu sama saja,
bunuh aku atau tidak, akhirnya kau juga bakal tertangkap. Ketahuilah,
kami diperintahkan menangkapmu oleh Suma cianbu, dan sebentar lagi
dia dan juga Siauw-san Ngo sinto tentu datang kesini!" Sehabis berkata
demikian dengan mata mengandung penuh ancaman, si kate itu lalu bantu
anak buahnya yang terluka untuk naiki kuda mereka dan perlahanlahan tinggalkan kampung itu, disoraki oleh penduduk kampung.
Tapi Sin Wan yang memperhatikan kakeknya betapa Kang-lam
Ciuhiap tiba-tiba menjadi pucat dan tampak gelisah. Ia segera
menghampiri dan memegang lengan kakeknya, "Engkong, kau kenapakah?"
Kakeknya geleng-geleng kepala dan tanpa banyak cakap ia
mengajak cucunya pulang. Kemudian, di depan anak perempuannya dan
Sin Wan, Kang-lam Ciuhiap berkata dengan sungguh-sungguh.
"Sin Wan, kau ajak ibumu pergi, sekarang juga! Aku harus
menghadapi hal ini sendiri, jangan sampai kalian juga tertimpa
bencana!" "Ayah, mengapa kau kata begitu? Apakah yang terjadi?" Ibu Sin Wan
bertanya cemas. "Ketahuilah, dulu aku telah membasmi habis orang-orang yang
memfitnah suamimu. Tidak kurang dari enam jiwa melayang di tanganku.
Karena yang kubunuh adalah orang-orang berpangkat, maka sejak saat
itu pemerintah telah mencari-cariku. Agaknya kini mereka berhasil dan
dapat mengetahui tempat sembunyiku disini." Kakek itu menghela napas.
"Tapi, ngkong. Kalau baru orang-orang macam si kate saja yang
datang hendak mengganggumu, jangankan baru satu dua orang, biar ada
puluhan, kau dan aku masih sanggup mengusirnya!" kata Sin Wan dengan
gagah. Kang-lam Ciuhiap tersenyum girang melihat sikap Sin Wan, tapi ia
lalu menggeleng kepala perlaha. "Kau tidak tahu, Sin Wan. Tidakkah kau
dengar tadi bahwa ada seorang cianbu she Suma dan Siauw Ngo-sinto
akan segera datang kesini?"
Sin Wan merasa penasaran, "Takut apa, ngkong? Macam apakah orang
she Suma itu? Aku ingin sekali mengukur kepandaiannya."
"Kapten she Suma itu sendiri sudah merupakah lawan berat," kata
Kang-lam Ciu-hiap perlahan seakan-akan tak mendengar kejumawaan Sin
Wan, "tapi lima saudara dari Siauw-san yang dijuluki Ngo-sinto atau
Lima Golok Malaikat benar-benar berat dilawan."
"Siapakah mereka itu dan mengapa mereka ikut datang membikin
susah kau?" tanya ibu Sin Wan yang merasa khawatir.
"Suma cian-bu adalah seorang kapten yang sangat terkenal karena
kegagahannya. Selain pandai mengatur tentara, iapun tinggi sekali
ilmu pedangnya. Kedatangannya itu tentu dengan tugas menangkapku
karena kaisar pun tahu orang macam apakah aku, maka kapten yang
konsen itulah yang diutus. Tapi agaknya Sum cian-bu sendiri jerih
untuk datang seorang diri, maka ia ajak kelima setan itu. Memang
telah kudengar desas-desus bahwa Ngo-sinto itu telah mengkhianati
dunia kang-ouw dan rela menjadi anjing penjilat kaisar asing! Mereka
adalah lima orang pertapa atau tosu dari Gunung Siaw-san. Agaknya
mereka itupun runtuh iman mereka dan melihat sogokan berupa harta
benda dan emas, seperti yang banyak dialami orang-orang gagah yang
akhirnya menjadi kaki tangan kaisar lalim. Sin Wan jangan sia-siakan
waktu, kau bawalah ibumu pergi ke rumah Kwie Cu Ek di balik gunung.
Beri tahukan padanya tentang keadaan kita dan titipkan ibumu di sana
untuk sementara waktu. Disini berbahaya sekali."
"Tapi, ayah! Rasa takutku sudah lenyap dan segala kengerian telah
pergi semenjak ayah Sin Wan terfitnah oleh bangsat-bangsat itu.
Biarlah merekia datang. Biarkan mereka membunuhku. Aku tidak takut!"
Nyonya muda yang lemah dan berpenyakitan itu angkat dada dengan
beraninya hingga Sin Wan kagum sekali serta bangga akan ibunya.
"Kau benar, ibu. Akupun tidak takut, dan akulah yang akan
membelamu mati-matian ibu!"
Kang-lam Ciuhiap jengkel sekali melihat anak dan cucunya itu. Ia
membanting-banting kakinya, lalu bertindak keluar sambil mengomel,
"Kau ibu dan anak sama-sama kepala batu!"
Kakek itu yang merasa bingung dan mengkhawatirkan keselamatan
anak dan cucunya, lalu pergi kerumah seorang temannya dikampung itu
dan bersama temannya menenggak arak sampai habis beberapa guci.
Kemudian ia menyuruh seorang teman untuk keluar dan pergi
menyelidiki keadaan musuh yang hendak datang.
Ia sendiri putar otak mencari akal untuk menyingkirkan anak dan
cucunya. Terutama Sin Wan harus pergi dari kampung itu. Untuk dirinya
sendiri, Kang-lam Ciuhiap tidak khawatir. Ia sudah cukup kenyang
mengalami pertempuran, sudah cukup lama hidup di dunia yang penuh
derita ini, dan mati baginya hanya berarti pulang ke kampung halaman.
Tapi bagaimana nasib Sin Wan dan ibunya? Yah, tentang anak
perempuannya ia telah tahu isi hatinya. Anak perempuannya yang
bernasib malang itupun hanya hidup untuk Sin Wan saja, dan boleh
dikata sebagian besar dari dirinya telah ikut mati dengan suaminya.
Tentu saja soal mati bagi anak perempuannya yang malang itu bukan
soal apa-apa. Tapi Sin Wan masih muda, pengharapannya masih banyak
dan luas. Anak itu tidak boleh menjadi korban begitu saja, dan jika
Suma cian-bu datang, ia tidak dapat tanggung tentang keselamatan Sin
Wan. Walaupun ia tahu bahwa anak itu telah memiliki kepandaian yang
lumayan juga, namun keenam lawan yang mendatangi itu terlampau
lihai. Kemudian Kang-lam Ciu-hiap dengan diam-diam mengadakan
perundingan dengan anaknya. Setelah dijelaskan tentang bahaya yang
dapat mengancam jiwa Sin Wan, nyonya muda itu menjadi gugup.
"Ketahuilah, anakku. Kalau kaki tangan Kaisar mengetahui bahwa
Sin Wan adalah putera tunggal suamimu, maka jangan harap jiwa
puteramu akan tertolong. Mereka itu tentu berebut membuat pahala dan
sedapat mungkin hendak menawan Sin Wan pula, hidup atau mati!"
Maka lalu diambil keputusan oleh kedua orang itu untuk menyuruh
Sin Wan pergi dari situ untuk sementara waktu.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali ibunya memanggilnya dan
ketika Sin Wan menghadap, ternyata di situ sudah tampak engkongnya
sedang minum arak. Sepagi itu sudah minum arak, sungguh kuat sekali
engkongnya itu, demikian Sin Wan berpikir menghampiri.
"Sin Wan, kau masih ingat kepada keluarga Kwie di balik gunung
itu?" tanya Kang-lam Ciuhiap kepadanya. Sin Wan pandang kakeknya
dengan tajam dan heran, dan ia mencoba membaca isi hati kakeknya itu.
"Tentu saja aku masih ingat, engkong."
"Mereka itu ramah tamah dan baik hati sekali, ya?" Sin Wan
mengangguk. "Katanya ada juga seorang anak gadisnya yang cantik, benarkah Sin
Wan?" tanya ibunya. Sin Wan makin heran dan dadanya berdebar, tapi
dengan menindas perasaannya ia menjawab.
"Setahuku Kwie-pekhu hanya mempunyai seorang anak perempuan
namanya Giok Ciu." Jilid III "Bagaimana pendapatmu tentang anak perempuan itu, Sin Wan?"
dengan cepat ibunya bertanya hingga anak muda itu cepat memandang
ibunya. "Apakah maksudmu, ibu? Ia pandai silat, berwatak baik, dan pandai
masak." Ibunya tersenyum dan Ciu-hiap tertawa bergelak. "Sin Wan, karena
mereka itu baik sekali dan masih tetangga dengan kita, yakni karena
kita masih tinggal di satu gunung, maka untuk menyambut hari raya ini
kita harus mengantar apa-apa kepada mereka. Aku sudah sediakan
sedikit kue-kue dan sutera simpananku di dalam bungkusan itu, kau
antarlah bungkusan ini kepada mereka sekarang juga."
Sin Wan memandang ke atas meja di depan kakeknya dimana memang
terdapat sebuah bungkusan besar. Kemudian ia memandang kakeknya dan
berkata dengan sangsi, "Tapi, ngkong. Perlu sekalikah itu? Apakah
tenagaku tidak diperlukan disini? Aku harus menjaga keselamatan ibu."
"Aku cukup kuat untuk menjaganya, Sin Wan."
"Dan kalau musuh-musuh itu datang aku dapat membantumu, ngkong."
"Aah, musuh-musuh macam itu saja? Tak perlu, Sin Wan."
"Tapi, ngkong, kalau Suma cian-bu dan Ngo-sinto ikut datang?"
"Ha, ha ! Mereka boleh datang, dengan batang suling dan kepalan
akan kuhancurkan kepala mereka seorang demi seorang!"
"Tapi, bukankah kemarin kau katakan bahwa mereka itu tangguh
sekali?" "Aku kemarin hanya membohong."
"Tapi.. tapi. Aku khawatir, ngkong."


Kisah Sepasang Naga Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kakeknya berdiri serentak dan membentaknya," Sin Wan! Tidak
percayakah kau kepada Kang-lam Ciuhiap? Tidak taatkah kau kepada
engkong dan gurumu?"
Melihat sikap kakeknya Sin Wan tak berani membantah lagi. Ia
mengambil bungkusan kain itu dari atas meja, lalu menghampiri ibunya
dan memegang tangan ibunya dengan rasa sayang, "Ibu, jaga baik-baik
dirimu, ya? Aku akan segera kembali, kalau mungkin sore nanti juga aku
sudah kembali." "Sin Wan, sampaikan salamku kepada Kwie Cu Ek, dan engkau jangan
sampai memalukan kami dengan berlaku kurang sopan. Jika mereka minta
kau bermalam disana, biarpun hanya untuk semalam, kau harus menerima
dan jangan kukuh menampik hingga mereka akan menyangka bahwa kau
sombong dan tidak ramah tamah."
Setelah sekali lagi memandang ibunya dengan mesra, pemuda itu
lalu berangkat meninggalkan rumahnya dengan lari secepat mungkin
agar ia segera sampai di tempat tujuan dan segera kembali. Dulu ketika
ia dan kakeknya pulang dari rumah keluarga Kwie, mereka gunakan
waktu hampir sehari penuh. Tapi sekarang ilmu larinya telah maju
berlipat ganda hingga ketika matahari telah naik sampai tepat di atas
kepalanya ia telah sampai di rumah Giok Ciu.
Hati Sin Wan berdebar keras ketika ia melihat seorang gadis
berbaju merah muda dan bercelanaa biru berdiri di depan rumah sambil
mengambil baju yang dijemur disitu. Ia segera mengenal gadis itu yang
bukan lain ialah Giok Ciu adanya! Biarpun gadis itu sedang berdiri
membelakanginya, tapi ia tidak lupa melihat potongan badan gadis itu.
Ketika ia telah menghampiri dekat, gadis itu berpaling dan
seketika itu juga kain yang sedang dipegangnya terlepas dari
tangannya dan didiamkannya saja karena kedua matanya yang indah itu
memandang bengong kepada pemuda tampan yang berdiri di depannya.
Juga Sin Wan merasa malu-malu dan sungkan sekali karena kini Giok
Ciu telah menjadi seorang gadis yang luar biasa cantik jelitanya.
Kedua pipinya kemerah-merahan, kulit leher dan lengannya demiian
halus dan putih, apa lagi sepasanga mata yang gemilang dan bibir yang
merah dan manis itu! Untuk beberapa saat keduanya hanya saling
pandang tanpa dapat mengucapkan sepatah katapun Kemudian Sin Wan
maju dan membungkuk untuk mengambil kain yang terjatuh itu, lalu
memberikannya kepada Giok Ciu.
"Terima kasih," kata gadis itu dengan bibir sedikit gemetar.
"Giok Ciu!" Sin Wan menegur perlahan, dan menatap wajah yang
selalu ditundukkan itu. Giok Ciu menangkat kepalanya dan memandang dengan senyum malumalu.
"Hm??" hanya demikian mulutnya menggumam.
"Kau. kau sudah lupakah kepadaku? Kenapa diam saja?" kata Sin
Wan lagi dengan agak heran. Mengapa gadis yang dulu genit dan lincah
itu sekarang menjadi begini kikuk?
Giok ciu tundukkan lagi mukanya dan mengerling pemuda itu
serta memandangnya dari sudut matanya. Gerakan mata ini manis dan
menarik sekali. "Masak begitu mudah melupakan orang?" jawabnya perlahan.
"Giok ciu!, aku tidak pernah lupakan kau. Mana bisa aku
melupakanmu, teman baikku yang telah mengalami hal-hal aneh dan
hebat bersamaku." Diingatkan akan peristiwa yang dialami bersama-sama Sin Wan
dulu, Giok Ciu tiba-tiba merasa gembira dan wajahnya berseri. Kemudian
ia teringat bahwa pada saat itu Sin Wan adalah seorang tamu, maka
dengan gugup ia berkata, "Kau.., masuklah , marilah." Dan ia mendahului pemuda itu ambil
tempat duduk. "Dimana Kwie-pekhu? Apakah ia baik-baik saja selama ini?"
"Baik, terima kasih. Ia sekarang sedang turun ke kampung di bawah
bukit untuk membeli kain."
"Aku disuruh oleh ibuku untuk mengantar sedikit barang tak
berharga ini dan sekalian menyambangi kau."
"Aku? Bukan menyambangi ayah?"
Wajah Sin Wan memerah. "Ya ayahmu juga!" Kemudian sambil menatap
wajah gadis jelita itu ia berkata sungguh-sungguh,
"Giok Ciu, aku heran benar melihat engkau."
Giok Ciu balas memandang. "Heran? Mengapa? Apakah aku berubah
dan . Jelek?" Sin Wan tersenyum. "Berubah sih tentu. Kau sekarang menjadi
tinggi dan. dan. makin manis!" Giok Ciu segera tundukkan muka, tapi
senyum yang menghias bibirnya itu menandakan bahwa hatinya senang
sekali. "Tapi yang membuat aku heran sekali adalah perubahan yang
sangat menyolok pada dirimu. Kau sekarang begitu. Begitu pendiam dan
agaknya malu-malu padaku, mengapakah?"
Giok Ciu memandang lagi tapi tidak berani menentang mata Sin Wan
terlalu lama. "Kau tidak mempunyai perasaan. malu kepadakukah?"
"Mengapa aku mesti malu-malu kepadamu? Bukankah kau ini
sahabatku yang baik, kawan sependeritaan ketika kita terjeblos dalam
jurang dan akhirnya keluar dari sumur itu?"
Untuk sejenak gadis itu memandang heran, kemudian tiba-tiba saja
sikapnya yang malu-malu itu lenyap dan ia berubah menjadi seperti
biasa, bahkan gembira sekali seakan-akan ada sesuatu yang tadinya
mengganjal di dalam hatinya telah disingkirkan.
"Sin Wan, kau tentu sudah maju sekali dalam ilmu silat, bukan?"
"Ah, belum tentu semaju engkau!"
"Hayo, kita mencoba kepandaian kita, boleh?" ajak Giok Ciu
gembira. Sin Wan geleng-gelang kepala. "Sebenarnya aku tergesa-gesa
sekali, Giok Ciu." Katanya perlahan dan tiba-tiba lenyap
kegembiraannya karena ia teringat akan ibu dan kakeknya yang
mungkin diancam bahaya dan bencana besar.
Melihat betapa pemuda itu kehilangan seri wajahnya dan
keningnya tampak berkerut seperti orang bingung dan susah, gadis itu
menjadi heran dan buru-buru bertanya,
"Sin Wan, apakah yang terjadi? Kau agaknya bingung, apakah yang
menyusahkanmu? Katakan padaku, aku pasti akan membantumu!"
Melihat sikap gadis yang sangat memperhatikan padanya itu, hati
Sin Wan terhibur dan ia merasa berterima kasih sekali. Ternyata gadis
ini sama sekali tidak berubah, bahkan lebih baik dan setia kawan.
Karena ini ia lalu ceritakan dengan sejelasnya apa yang telah terjadi,
yakni tentang pengeroyokan yang terjadi atas diri kakeknya dan betapa
kakeknya telah memberi hajaran kepada rombongan tentara itu, tapi
kini telah datang ancaman bahaya baru yang sangat mengkhawatirkan.
"Karena itulah maka aku tidak dapat lama-lama berada disini,
Giok Ciu, karena mungkin sekali tenaga bantuanku dibutuhkan sangat
oleh kakekku. Aku harus kembali sekarang juga!"
"Sebetulnya aku harus menyesal karena kau tak pernah
mengunjungi kami dan sekarang begitu datang kau hendak pergi lagi.
Tapi urusan di kampung itu memang gawat sekali. Tidak saja kau harus
lekas pulang, bahkan akupun akan menyertai kesana. Kita lebih baik
sama-sama menghajar orang-orang kurang ajar itu!"
Sin Wan pandang gadis itu dengan heran, hatinya girang sekali
tapi ia ragu-ragu. "Ah, Giok Ciu, apakah kau tidak akan dimarahi ayahmu? Betapapun
juga kau harus memberi tahu lebih dulu kepada Kwie-pekhu!"
"Untuk urusan sepenting ini, aku boleh pergi tanpa pamit. Apa
pula untuk membela ibumu dan ayahmu adalah kewajibanku yang
terutama! Biarlah aku meninggalkan surat saja untuknya agar kalau
telah pulang ia bisa segera menyusul kita."
"Kau maksudkan.. Kwie-pekhu juga akan ke sana membantu kami?"
tanyanya girang sekali. "Mengapa tidak? Ia pasti akan menyusul kita." Giok Ciu lalu cepat
ambil alat tulis dan menulis surat pemberitahuan untuk ayahnya di
atas meja dalam kamar ayahnya.
"Hayo kita pergi,tapi kau harus makan dulu. Bukankah kau tadi
belum makan? Jangan kita nanti kelaparan lagi dijalan seperti dulu."
Kata gadis itu menimbulkan kegembiraan lagi di dalam hati Sin Wan.
"Tak usah, Giok Ciu, kalau ada kuih, kau bawa kuih saja, kita
makan di jalan nanti."
Giok Ciu tidak membantah lalu mereka berangkat dengan lari
cepat. Sin Wan sengaja lari cepat sekali dan sekuat tenaganya, tapi
ternyata ilmu lari cepat gadis itu tidak berada dibawah tingkatnya
hingga ia menjadi kagum dan girang. Ketika tiba di jurang yang lebar,
dimana dulu mereka meloncatinya dengan bantuan pohon dan tambang,
mereka loncati begitu saja dengan tidak terlalu sukar. Giok Ciu dengan
gembira menunjuk ke sebuah batu karang yang tinggi dan runcing sambil
berkata, "Sin Wan, lihat I sana itu, masih ingatkah kau?"
Sin Wan memandang dan melihat sebuah benda panjang keputihputihan menggantung dari puncak karang. Ia ingat bahwa itu adalah
tali tambang yang dulu ia pakai untuk meloncati jurang itu. Ia
menghela napas dan berkata,
"Alangkah cepatnya waktu berjalan. Tiga empat tahun telah lalu
dan tali itu masih tergantung di situ hingga kalau kita pergi berdiri
di sini, seakan-akan peristiwa itu baru terjadi kemarin. Dan kitapun
tak terasa pula sudah bukan kanak-kanak lagi, sudah setengah dewasa!"
"Kenapa dalam beberapa tahun itu kau atau kong-kong tak pernah
datang menengok kami? Tadinya kukira kalian sudah lupa!" Gadis itu
berkata sambil cemberutkan bibirnya, tapi dalam pandangan Sin Wan
malahan tampak lebih manis.
"Kakekku selalu sibuk mengajar silat padaku, sedangkan kalau aku
hendak pergi sendiri, ibu selalu melarangku setelah terjadi aku hilang
dua hari dulu itu!" Giok Ciu padang wajah Sin Wan dengan iri hati, "Ah, kau memang
beruntung, mempunyai seorang ibu menyayangimu." Dan mata gadis itu
menjadi merah. Tapi Sin Wan segera menghiburnya, "Tapi aku tidak mempunyai ayah
seperti kau. Keadaan kita sama. Giok Ciu, jangan kau bersedih. Biarlah
kau anggap ibuku seperti ibumu sendiri."
Tiba-tiba sikap Giok Ciu berubah dan ia lari menjauhi Sin Wan.
Pemuda itu terheran dan tunda larinya, hingga Giok Ciu yang tidak
kenal jalan terpaksa berhenti juga, agak jauh dari tempat Sin Wan
berhenti. "Giok Ciu, kau kenapakah? Marahkah kau?"
Giok Ciu memandangnya dengan tajam seakan-akan hendak membaca
isi hatinya. Kemudian gadis itu tampak tenang kembali dan bersikap
biasa. "Tidak apa-apa, hanya aku tadi terharu mendengar bahwa aku harus
menganggap ibumu seperti ibuku sendiri. Alangkah baiknya, dan kau
juga menganggap ayahku seperti ayahmu sendiri."
"Ya, begitulah lebih baik," kata Sin Wan sambil tunduk dan tidak
tahu betapa Giok Ciu memandang padanya dengan mata setengah terkatup
hingga sepasang mata yang bening itu mengincar dari balik bulu
matanya yang panjang dan lentik.
"Marilah kita percepat perjalanan ini agar segera sampai
dirumah,"kata Sin Wan.
"Apakah kau tidak lapar? Ini, makanlah kuih ini." Gadis itu
keluarkan sepotong kuih kering dari saku bajunya, dan mereka lalu
makan kuih itu. Hal ini membuat mereka teringat lagi akan peristiwa
dulu didalam jurang, dimana mereka juga makan kuih kering bekal Sin
Wan. Setelah makan dan minum air gunung yang jernih, dingin, dan
segar mereka lalu berangkat pula. Perjalanan kali ini berbeda dengan
ketika Sin Wan berangkat dari rumah, karena dengan berdua mereka
merasa gembira dan lebih menikmati pemandangan di kanan kiri. Tamasya
alam yang tadi ketika berangkat tidak diindahkan, bahkan tidak
terlihat oleh Sin Wan, kini nampak bagus dan menarik sekali hingga
beberapa kali ini ia dan Giok Ciu berhenti untuk menikmati
pemandangan indah itu beberapa lama.
Dari perjalanan ini maka terbuktilah kekuatan dan keuletan
tubuh Sin Wan. Pemuda itu boleh dibilang sehari penuh terus berlari
cepat dan hanya berhenti sebentar, tapi ia sama sekali tidak merasa
lelah! Karena sering berhenti, maka ketika mereka tiba di kampung Sin
Wan telah mulai senja. Matahari telah sembunyi di balik puncak Kamhong-san dan keadaan telah sunyi senyap karena burung-burung telah
kembali ke sarang mereka dan beristirahat setelah sehari penuh
beterbangan mencari makan. Beberapa ekor burung kuntul yang berbulu
putih terbang tergesa-gesa di bawah mega, gerakan sayap mereka
perlahan tapi kuat hingga tubuh mereka meluncur maju bagaikan anak
panah terlepas dari busurnya.
"Sin Wan kenapa kampungmu begini sunyi?" tanya Giok Ciu dengan
heran ketika mereka mulai masuk perkampungan itu.
Sin Wan tak menjawab, tapi ia sendiri juga heran sekali. Tiba-tiba
telinga mereka dapat mendengar suara tangis sedih yang tertahantahan, agaknya orang-orang menangis tapi karena takut maka tidak
berani menangis keras. Sin Wan terkejut dan ia memegang lengan Giok Ciu sambil berkata,
"Hayo cepat, Giok Ciu!" Gadis itu merasa betapa tangan Sin Wan
yang memegang lengannya sangat dingin! Maka hatinyapun berdebar
karena menyangka sesuatu yang tidak beres.
Dan apa yang tampak oleh mereka sungguh mengerikan! Ketika
mereka tiba di depan rumah Sin Wan, tampak tubuh-tubuh malang
melintang di atas tanah yang telah menjadi merah karena aliran darah
dari para korban itu. "Sin Wan, apakah yang terjadi?" Giok Ciu dengan wajah pucat
pegang lengan pemuda itu, tapi bagaikan orang kalap Sin Wan
mengkipatkan tangan Giok Ciu dan meloncat masuk ke dalam rumahnya
sambil berteriak-teriak,"Ibu.! Kakek!"
Giok Ciu cepat mengikut pemuda itu dan meloncat masuk ke dalam
pintu yang terpentang lebar. Dan ketika ia masuk kedalam, ia melihat
Sin Wan telah berlutut dan memeluki tubuh ibunya yang menggeletak
mandi darah! Juga kakeknya rebah dengan lengan kanan putus dan tidak
ingat orang! "Ibu .. Kong-kong ." Giok Ciu berbisik perlahan dan ia merasa
betapa seluruh tubuhnya menggigil.
Sin Wan seperti orang gila. Ia menangis tanpa mengeluarkan suara,
hanya kedua matanya melotot lebar dan dari pelupuk matanya mengalir
air mata berbutir-butir membasahi pipinya. Ia angkat kepala ibunya
dan dipangkunya kepala yang lemas itu, di dekapnya muka ibunya pada
dadanya dan diciuminya jidat yang halus putih dan pucat itu.
Kemudian, lama sekali, barulah Sin Wan dapat berbisik, suaranya
tenggelam dalam kerongkongannya, "Ibu. Ibu bangunlah, ibu bukalah
matamu, aku datang, ibu. aku Sin Wan anakmu"
Giok Ciu melihat keadaan pemuda itu dan mendengar ratap
tangisnya, hanya bisa mencucurkan air mata dari belakang ia pegang
lengan Sin Wan. Hatinya ingin menghibur, tapi tak sepatah kata-kata
dapat keluar dari mulutnya. Tiba-tiba ia melihat ibu Sin Wan
menggerak-gerakkan kulit matanya.
"Sin Wan, lihat ibumu siuman." Bisik Giok Ciu.
Sin Wan pandang wajah ibunya dan harapan timbul dalam hatinya.
"Ibu bangunlah, ibu." ratapnya dan ia mencoba untuk mengangkat
tubuh ibunya, tapi tiba-tiba nyonya itu merintih kesakitan sehingga
terpaksa Sin Wan menunda maksudnya dan ia baringkan kepala ibunya di
atas pangkuannya. Nyonya yang bernasib malang itu buka pelupuk matanya dan ia
tersenyum ketika melihat Sin Wan. "Sukur kau kau selamat, Sin
Wan" katanya perlahan.
"Ibu, bagaimana kau bisa berkata begitu? Kau. ah, siapakah yang
melakukan ini, ibu? Siapa? Katakanlah, hendak kubeset menjadi dua
tubuhnya!" "Siapa lagi, anakku. Kalau bukan orang-orangya kaisar.


Kisah Sepasang Naga Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lalim.." Ibu Sin Wan melirik ke arah gadis yang berada di belakang
Sin Wan dan ikut mengalirkan air mata itu. Wajahnya yang sudah
menyuram tiba-tiba berseri dan berbisik,
"Sin Wan .. inikah. Giok Ciu.?"
"Betul, ibu," jawab Giok Ciu sambil menekat. Ibu Sin Wan masih
kuasa mengangkat lengan kanannya untuk meraba-raba muka dan rambut
Giok Ciu, agaknya ia puas sekali. "Kau. cantik dan baik, bahagialah
kau dengan anakku" Giok Ciu tak kuasa menahan keharuan hatinya,
ia hanya mengangguk-angguk sambil menciumi tangan yang membelainya
itu. "Sin Wan .. jagalah baik-baik dia ini dia ini calon isterimu
tanda perjodohannya . Sepatu kecil. kusimpan di peti pakaianku .
Sin Wan. Giok Ciu .. Aduh!" Dan Nyonya yang telah kepayahan karena
kehabisan darah yang mengalir dari lukanya itu menjadi lemas dan
napasnya berhenti! "Ibu! Ibu!!" Sin Wan menjerit dan kedua matanya jelalatan
bagaikan mencari-cari sesuatu. Kemudian ia turunkan kepala yang
dipangkuannya perlahan, lalu ia loncat berdiri dan memburu ke depan.
"Siapa yang membunuh ibuku? Siapa?? Hayo keluar!!" Kemudian, karena
yang dilihatnya hanya mayat-mayat orang kampung bergelimpangan, ia
lari lagi ke dalam dan tubruk mayat ibunya.
"Ibu. ibu.! Mana kong-kong, mana.? Kong-kong dimana kau?" Sin
Wan benar-benar seperti orang gila hingga ia tidak melihat kongkongnya yang menggeletak tak jauh dari situ. Giok Ciu sambil menangis
lalu memegang tangan Sin Wan dan berkata,
"Sin Wan, tenanglah, kong-kong ada disini, lihatlah.!"
Sin Wan menengok ke bawah dan ketika melihat tubuh kakeknya
membujur di situ mandi darah, ketegangan di wajahnya lenyap seketika.
Ia menubruk kong-kongnya dan mengangkat kepala yang sudah putih itu.
"Kong-kong! Kau juga menjadi korban? Kong-kong katakanlah siapa
yang melakukan ini, siapa??" Ia menggoyang-goyang tubuh kong-kongnya
yang sudah lemas itu. Agaknya nyawa kakek itu belum meninggalkan raganya, karena
memang orang tua itu kuat sekali dan telah mempunyai latihan tenaga
dalam yang luar biasa. Maka dalam keadaan yang bagi orang lain sudah
tak mungkin dapat mempertahankan lebih lama itu karena selain
lengannya yang kanan terpotong sebatas pundak, juga ia mendapat lukaluka di dada dan perutnya, ia masih dapat membuka matanya.
Mata itu memandang kepada Sin Wan dengan tajam dan dengan
paksaan tenaganya yang terakhir ia berkata dengan suara parau
seakan-akan bukan suara manusia lagi,
"Sin Wan yang melakukan ini ialah Suma-cianbu dan Siauwsan Ngo-sinto.!" Kepala yang tadinya menegang itu lalu terkulai lemas
dalam pelukan Sin Wan, tanda bahwa hayatnya telah meninggalkan
tubuh! Sin Wan lepaskan kepala itu kebawah, lalu tiba-tiba ia betot
suling bambu yang terpegang di tangan kiri kakeknya, kemudian dengan
geraman hebat Sin Wan meloncat keluar bagaikan seekor naga mengamuk!
Pemuda itu tidak ingat apa-apa lagi, yang diingat hanya dendam kepada
musuh-musuhnya! Ia tiba diluar dan matanya memandang jelalatan ke
sana ke mari. Tiba-tiba ia meloncat ke samping ketika merasa betapa
pundaknya dijamah orang dengan perlahan dari belakang. Sambil
meloncat ia mengayun suling ke arah orang yang menjamahnya itu
hingga Giok Ciu cepat berkelit dengan kaget sekali.
"Sin Wan, ingatlah, ini aku, Giok Ciu!" kata gadis itu sambil
bertindak maju dan memegang lengan Sin Wan, "Sin Wan, begini lemahkah
hatimu? Beginikah sikap seorang jantan yang gagah perkasa? Kau boleh
marah dan sakit hati, tetapi kau tidak tahu dimana adanya musuhmusuhmu. Apakah kau telah melupakan jenazah ibu dan kakek? Apakah
mereka itu tidak harus diurus lebih dulu dan dibiarkan saja? Ah, Sin
Wan. Sin Wan." Tubuh Sin Wan yang tadinya menegang dan matanya yang liar dan
ganas itu melembut. Suling yang dicengkeram dalam tangannya terlepas
dan jatuh di tanah tanpa terasa. Kemudian ia lari dengan tubuh lemas
ke dalam rumah. Melihat mayat kong-kongnya ia lalu berlutut dan
sambil memandang wajah kakeknya itu dan ia meratap dan menyesali
kakeknya. "Kong-kong, kenapa kau suruh aku pergi? Kenapa? Kau sengaja
menyuruh aku menyingkir. Aku tahu. Aku tahu.! Kong-kong, apa kau
sangka aku penakut? Apa kau sangka aku takut mati? Ah, kong-kong.
Kalau saja aku tidak pergi . Kong-kong kau bikin aku selamanya
akan menyesali saat kepergianku itu. Kau bikin aku menjadi penasaran
selalu ." Kemudian, sambil menyusut air mata dengan ujung baju, pemuda
tanggung yang mengalami nasib buruk itu menubruk mayat ibunya.
"Ibu......... ibu anakmu tidak berbakti! Kau kau diserang musuh,
dilukai, dibunuh.. sedangkan aku anakmu. Pergi dan bergembira
di luar! Ibu ampunkan anakmu, ibu.. aku bersumpah, sebelum dapat
membunuh orang-orang terkutuk itu, aku tidak mau menyebut namaku
kepada orang lain" Kemudian Sin Wan menangis lagi sambil berlutut di
dekat mayat ibunya. Ia pukul-pukulkan kepalanya di atas lantai hingga
terluka dan kulit jidat itu mengeluarkan darah! Demikian besar rasa
penyesalannya telah pergi hingga ibunya dibunuh orang pada saat ia
tidak berada di situ, maka karena menyesal ia bentur-benturkan jidat
di lantai dan akhirnya sambil memekik keras ia roboh pingsan di atas
dada ibunya! Semenjak tadi, Giok Ciu tak berdaya dan hanya ikut menangis. Ia
adalah seorang yang keras hati, tapi menghadapi pemandangan demikian
mengerikan dan mengharukan, ia tak dapat menahan mengucurnya ia mata
dan rasa iba hati yang luar biasa sampai menyakitkan dadanya. Ia
merasa iba sekali sekali melihat Sin Wan, pemuda tunangannya yang
sebelum diberi tahu oleh ibunya tidak mengerti bahwa Giok Ciu adalah
tunangannya! Giok Ciu sendiri telah diberi tahu oleh ayahnya, bahkan suling
kecil pemberian Kang-lam Ciuhiap telah diserahkan kepadanya untuk
disimpan. Inilah sebabnya maka ketika bertemu dengan Sin Wan, ia meraa
malu sekali dan kikuk. Tapi, kemudian dapat diterkanya bahwa pemuda itu agaknya belum
tahu akan pertunangan mereka, maka lenyaplah rasa malunya terhadap
Sin Wan. Hal ini membuat kegembiraannya timbul dan ia bisa bergaul lebih
bebas dengan pemuda itu. Tapi, tidak disangkanya sama sekali, musuh
telah mendahului mereka dan telah mengamuk demikian kejamnya!
Kini melihat betapa Sin Wan jatuh pingsan, Giok Ciu merasa makin
bingung dan ia merasa hatinya seperti diremas-remas! Ia lari keluar
dan masuk ke dalam rumah terdekat. Di dalam rumah itu terdapat dua
orang wanita tua dan muda saling peluk dengan tubuh gemetar, dan
ditengah-tengah mereka ada tiga anak-anak kecil. Ternyata mereka
masih ketakutan. Alangkah kaget mereka ketika ada orang masuk ke
rumah, mereka sangkat bahwa tentara-tentara yang kejam itu masih
berada di luar. Tapi Giok Ciu berkata dengan halus, "Encim dan cici, jangan takuttakut, musuh telah pergi semua. Marilah kau bantu aku untuk memberi
tahu semua tetangga. Suruh mereka keluar dan menolong kawan-kawan
kita." Maka berdirilah kedua wanita itu dan sebentar saja mereka berdua
pergi ke rumah-rumah para tetangga. Semua orang keluarlah
berbondong-bondong dan tangis dan pekik saling menyusul ketika mereka
melihat mayat-mayat bergelimpangan. Masing-masing keluar lalu
mengangkat korban-korban yang masih menggeletak di luar dan
menggotong tubuh-tubuh itu ke rumah masing-masing.
Giok Ciu dengan bantuan beberapa orang lalu mengurus kedua
jenasah ibu Sin Wan dan Kang-lam Ciu-hiap Bun Gwat Kong. Sedangkan
Sin Wan setelah siuman, hanya duduk bengong menghadapi kedua mayat
orang-orang tercinta itu. Selama hidupnya ia hanya kenal ibu dan
ayahnya, dan kini tiba-tiba saja kedua orang tua itu tinggalkan dia
dalam cara yang demikian menyedihkan!
Sementara itu Giok Ciu mendengarkan keterangan yang diberikan
oleh orang-orang kampung yang tidak menjadi korban keganasan
gerombolan kaki tangan kaisar. Ternyata pada kira-kira tengah hari
tadi, sebarisan tentara berkuda dan bersenjata lengkap menyerbu
kampung itu, dipimpin oleh Suma cian-bu dan lima orang gagah, yakni
Siauw-san Ngo-sinto atau Lima Golok Malaikat dari Gunung Siauw-san.
Mereka hendak menangkap Kang-lam Ciuhiap Bun Gwat Kong, tapi kakek
yang gagah perkasa itu melawan hebat. Pertempuran seru terjadi dan
orang-orang kampung yang jujur dan setia kawan ketika melihat betapa
empek itu dikeroyok, lalu maju membantu. Tapi mereka bukanlah
tandingan para tentara yang terlatih hingga sebentar saja belasan
orang roboh mandir darah. Kang-lam Ciu-hiap dengan senjata suling
mengamuk bagaikan seekor naga sakti. Seorang pemuda yang berhasil
menonton pertempuran itu sambil bersembunyi, menuturkan beriktu.
Rombongan penyerbu itu terdiri dari dua puluh anggauta tentara
dibawah pimpinan seorang tinggi besar yang brewokan dan mengaku
bahwa Suma-cian-bu, yakni kapten Suma. Kapten Suma itu bersenjatakan
sepasang pedang. Di antara mereka terdapat lima orang tosu atau
pendeta yang semua berbaju kuning dan rambutnya diikat ke atas.
Mereka ini langsung menuju ke rumah Kang-lam Ciu-hiap. Kakek yang
gagah itu dengan tenang dan sedikitpun tidak jeri menyambut
kedatangan mereka di luar rumahnya.
"Ha, ha! Kang-lam Ciu-hiap! Sungguh aku beruntung sekali karena
ternyata kau masih hidup hingga memberi kesempatan kepadaku untuk
membunuhmu!" kata Kaptem Suma itu sambil meloncat turun dari kudanya.
"Memang benar kata-katamu bahwa aku masih hdiup, Sum-cianbu.
Tapi tentang membunuh itu masih merupakan teka-teki siapa tahu,
barangkali akulah yang akan berhasil membunuhmu."
"Hm, orang she Bun! Kau seorang yang berdosa tetapi masih berani
membuka mulut besar!" menegur seorang diantara kelima tosu
itu."Tahukah kau akan dosa-dosamu?"
Kang-lam Ciu-hiap memandang ke arah tosu itu dengan pandang mata
menghina. "Bukankah aku berhadapan dengan Siauw-san Ngo-sinto yang
terkenal? Kenapa kalian orang-orang pertapa meninggalkan tempat
pertapaan dan bersatu dengan anjing-anjing penjilat kaisar ini?
Apakah kalian juga telah diberi makanan lezat?
Marahlah tosu tertua mendengar sindiran ini. "Bun Gwat Kong!
Ajalmu telah berada di depan mata, kau masih berani menghina orang!
Kau telah memberontak dan membunuh banyak pembesar-pembesar negeri,
mengikuti jejak anak mantumu yang juga menjadi pemberontak! Apakah
dosa ini tidak terlalu besar dan kejam sehingga terpaksa kami turun
gunung untuk menghajarmu?"
"Sudahlah, sudahlah kalau negeri sedang kacau, memang selalu
muncul tikus-tikus seperti kalian. Ternyata hanya namanya Siauw-san
Ngo-sinto besar, tapi orang-orangnya tak berjiwa bersih!"
Kelima tosu itu dengan marah lalu mencabut golok masing-masing.
Golok mereka kecil dan panjang tapi gemerlapan karena tajamnya.
Kemudian mereka maju mengepung Kang-lam Ciu-hiap yang hanya
bersenjatakan suling bambu di tangan! Maka terjadilah pertempuran
yang luar biasa serunya! Dengan suling bambunya Kang-lam Ciu-hiap
ternyata dapat bertahan dan melindungi dirinya dari seranganserangan maut yang berpancaran dari golok kelima lawannya.
Melihat betapa orang tua gagah itu dalam berpuluh jurus belum
juga dapat dirobohkan, Suma-cianbu sendiri maju dengan sepasang
pedang atau siang-kiamnya. Dan kini kakek itu mulai sibuk dan
terdesak hebat, karena kepandaian kapten ini tidak dibawah seorang
dari para tosu-tosu itu. Akan tetapi, Kang-lam Ciu-hiap benar-benar
meperlihatkan bahwa nama besarnya bukanlah kosong belaka. Ia
mengamuk bagaikan seekor naga terluka. Beberapa orang anggauta
tentara yang mencoba untuk mengeroyoknya dan berusaha mencari pahala
telah roboh dibawah totokan sulingnya. Tapi musuh terlalu banyak dan
Kalng-lam Ciu-hiap telah mendapat beberapa luka dibadannya. Kemudian
terdengar jerit ngeri dari dalam rumah dan kakek itu yang mengenal
jerit anak perempuannya, segera berseru nyaring dan ia meloncat ke
dalam rumah, di kejar oleh lawan-lawannya.
Alangkah kaget kakek itu ketika melihat betapa anaknya telah
roboh mandi darah dan di dekatnya berdiri soerang anak buah
rombongan itu sambil memegang goloknya yang berlumuran darah. Dalam
marahnya Kang-lam Ciu-hiap mengayun sulingnya dan pembunuh anaknya
itu robohlah sambil berteriak ngeri, tapi Kang-lam Ciu-hiap masih
belum puas. Ia kerjakan kedua kakinya dan sulingnya untuk memukul
dan mendendang sehingga orang itu andaikata mempunyai sepuluh nyawa
tentu kesepuluh nyawanya juga akan terbang pergi meninggalkan
raganya! Akan tetapi pada saat itu Suma-Cianbu dan kelima tosu yang lihai
telah masuk rumah pula dan dalam keadaan terdesak di tempat sempit
itu akhirnya robohlah Kang-lam Ciuhiap Bun Gwat kong, kakek yang
gagah perkasa itu! Sementara itu, orang-orang kampung yang melihat betapa Bun
didatangi penyerbu-penyerbu lalu bersiap dan berusaha membantu. Akan
tetapi mereka bukanlah lawan para anggauta tentara pemerintah asing
yang telah terlatih dan sebentar saja belasan orang dapat dirobohkan
dan yang lainnya lari bersembunyi. Maka sebentar saja penuhlah
pekarangan rumah keluarga Bun dengan tubuh-tubh luka dan mayat
bergelimpangan. Pemandangan yang mengerikan sekali!
Setelah menjatuhkan malapetaka di kampung itu, rombongan Sumacianbu segera meninggalkan kampung itu sambil membawa beberapa orang
yang telah terbinasa oleh Kang-lam Ciu-hiap dalam amukannya tadi.
Biarpun para para penyerbu telah pergi lama, orang-orang yang telah
terbinasa oleh Kang-lam Ciu-hiap dalam amukannya tadi. Biarpun para
penyerbu telah pergi lama,orang-orang kampung masih belum juga berani
keluar dari tempat persembunyian mereka sampai Sin Wan dan Giok Cu
datang! Mendengar betapa lihainya musuh-musuh yang datang, maka Giok
Ciu yang cerdik tahu mengapa empek gagah itu sengaja menyuruh Sin
Wan pergi, karena kalau pemuda itu berada disitu, tentu takkan
terluput dari kematian juga.
Ketika orang-orang masih sibuk mengurus semua jenasah dan
berkabung, malam hari itu datanglah Kwie Cu Ek ke kampung itu. Ia
merasa terkejut sekali ketika Giok Ciu dan Sin Wan berlutut sambil
menangis dengan sedih. Orang gagah itu menggertak gigi dan
membangunkan kedua anak itu.
"Suma Kan Hu, kau binantang kejam! Dan kalian Siauw-san Ngo-sinto
pertapa-pertapa busuk. Perbuatan kalian ini sungguh keterlaluan. Aku
Kwie Cu Ek bersumpah hendak mengadu jiwa dengan kalian!" Hui-houw
Kwie Cu Ek berseru keras dengan muka merah karena marahnya, dan
suaranya yang keras menyeramkan penuh hawa marah itu di selingi isak
tangis Sin Wan dan Giok Ciu hingga semua orang yang berada disitu tak
dapat menahan turunnya air mata mereka. Untuk memudahkan
pengurusannya, maka semua jenasah yang berjumlah tujuh belas orang
itu dikumpulkan di satu rumah dan disitulah semua orang berkumpul
dan bersembahyang. Pada keesokan harinya, dengan iringan ratap tangis mereka yang
ditinggalkan, semua jenasah dikebumikan.
"Tia-tia, marilah kita bertiga mencari pembunuh-pembunuh itu dan
menghajar mereka!" kata Giok Ciu kepada ayahnya.
"Benar kata-kata Giok Ciu, Kwie peh-peh. Aku harus mencari mereka
dan membikin perhitungan!" kata Sin Wan penuh semangat.
Tapi Kwie Cu Ek menggeleng-gelengkan kepala. "Kalian bicara mudah
saja. Lawan-lawan ini bukanlah orang lemah. Kita bertiga belum tentu
bisa menangkan mereka, apalagi mereka berada di tengah-tengah
pahlawan-pahlawan kaisar yang berkepandaian tinggi. Sekarang belum
waktunya membalas denam. Sin Wan, kau ikutlah dengan kami ke tempat
tinggalku dan disana kau harus berlatih silat lebih lanjut. Kalau
kepandaianmu sudah mencukupi barulah kau boleh turun gunung
membalas sakit hati, dan percayalah, aku dan Giok ciu tentu akan
menyertaimu. Akupun gatal-gatal tangan untuk menghajar mereka, tapi
segala hal lebih baik dilakukan dengan perhitungan masak-masak.
Tahukah kau bahwa dengan menyuruh kau pergi hingga terbebas dari
kematian adalah hal yang disengaja oleh kakek dan ibumu? Dan tahukah


Kisah Sepasang Naga Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kau mengapa mereka lakukan hal itu? Tak lain agar kelas kau dapat
membalas dendam ini! Dan kalau kau sekarang pergi membalas dendam
lalu tidak berhasil bahkan kau sendiri terbinasa, bukankah itu sama
dengan menyia-nyiakan pengharapan dan maksud ibu dan kakekmu?"
Sin Wan menundukkan kepala dan ia merasa betapa tepat dan benar
sekali omongan orang tua itu. Maka ia mengalah dan hanya berkata,
"Terserah kepadamu, Kwie peh-peh semenjak sekarang, tidak ada
orang lain yang pantas saya taati selain kau orang tua!" Dengan ujung
lengan bajunya Sin Wan menyusut air matanya.
"Nah, begitulah seharusnya, Sin Wan. Nah bersiaplah dan sekarang
juga kita pindah ketempatku."
Dengan hati terharu Sin Wan lalu minta diri dari semua orang
kampung sambil bertangis-tangisan, dan ia hanya membawa pakaian dan
barang seperlunya saja. Diam-diam ia mencari sepatu kecil yang
dipesankan ibunya itu dan ia memasukkan itu ke dalam buntalannya.
Giok Ciu calon isterinya? Hanya kedukaan peristiwa hebat itulah yang
membuat ia tidak perhatikan kenyataan ini dan membuatnya seakan-akan
lupa akan hal itu. Tapi ini ada baiknya karena sikapnya terhadap Giok
Ciu jadi tidak malu-malu lagi. Barang-barang lainnya ia berikan
kepada orang-orang kampung. Kemudian, ketika mereka hendak berangkat,
Sin Wan berkata keras kepada semua orang kampung yang mengantarnya,
"Saudara-saudaraku sekalian. Dengarlah aku janji dan sumpahku.
Aku Bun Sin Wan, bersumpah bahwa kelak aku harus pergi mencari
pembunuh-pembunuh yang menjatuhkan malapetaka kepada kita ini. Aku
berjanji hendak membalaskan sakit hati kalian, maka kalian hendaknya
suka menenteramkan hati dan jangan penasaran."
Maka berangkatlah mereka dengan jalan cepat ke atas gunung tempat
kediaman Kwie Cu Ek dan anaknya. Dan semenjak hari itu, Sin Wan dan
Giok Ciu mempergiat pelajaran silat mereka dibawah pimpinan Kwie Cu
Ek yang dalam kelihaian ilmu silat tidak kalah jika dibandingkan
dengan Kang-lam Ciu-hiap.
Dan tak terasa lagi dua tahun telah lewat. Hubungan antara Giok
Ciu dan Sin Wan akrab sekali, bagaikan seorang kakak dan adik. Mereka
tidak pernah menyinggung-nyinggung tentang pertunangan mereka
karena jika hal ini disinggung, maka hanya mendatangkan rasa kikuk
dan malu dalam hubungan mereka. Pada waktu itu, kepandaian Sin Wan
dan Giok Ciu sudah mendapat banyak kemajuan karena mendapat
gemblengan dari Kwie Cu Ek, yang memiliki kepandaian berbeda dengan
kepandaian kakek Sin Wan. Dengan belajar kepada Kwie Cu Ek, maka Sin
Wan telah mempelajari dua macam ilmu silat lihai hingga boleh dibilang
ia menang setingkat jika dibanding dengan Giok Ciu. Tapi dalam hal
ginkang atau ilmu meringankan tubuh, ia harus mengakui kalah
setingkat oleh gadis yang bertubuh ringan itu, tapi sebaliknya Sin
Wan lebih lihai dalam hal ilmu lweekang.
Kwie Cu Ek maklum bahwa kedua anak muda itu telah memiliki
ginkang dan lweekang yang luar biasa berkat buah-buah mujijat yang
dulu mereka ketemukan dan makan secara kebetulan, maka ahli silat
cabang Kun-lun ini menggembleng mereka denga penuh semangat dan tak
kenal lelah. Tujuan satu-satunya dari orang tua ini ialah menurunkan
seluruh kepandaian kepada Sin Wan dan Giok Ciu agar kedua anak muda
itu dapat bersama-sama pergi dengan dia mencari musuh-musuhnya dan
membalas dendam. Kini boleh dikata kepandaian Sin dan Giok Cu sudah hampir
menyusul Kwie Cu Ek, dan usia Sin Wan juga sudah enam belas tahun dan
termasuk dewasa. Pemuda itu bertubuh tinggi sedang, dadanya bidang dengan pinggang
kecil. Wajahnya yang tampan nyata sekali membayangkan keagungan
watak dan kehalusan budi, sedangkan lekuk di bawah bibirnya dan sinar
mata yang tajam itu menunjukkan sifat ksatria dan gagah berani.
Giok Ciu juga sudah menjadi dewasaa, usianya kurang lebih lima
belas tahun. Gadis ini makin besar makin cantik dan manis. Sepasang
matanya yang bersinar-sinar bagaikan sepasang bintang pagi merupakan
bagian yang menarik sekali, sedangkan hidung dan mulu yang kecil
dihiasi bibir yang berbentuk indah berwarna merah segar membuat orang
takkan dapat bosan menatap wajahnya. Rambutnya yang gombyok dan
hitam dikepang dua merupakan sepasang kuncir itu yang panjang dan
hitam dan dua kucir itu bagaikan dua ekor ular melibat-libat dan
bergantung di leher dan pundaknya.
Pada suatu sore, seperti biasa Sin Wan berlatih silat dengan Giok
Ciu di belakang rumah. Mereka sedang tekun melatih gerak tipu ilmu
pedang yang di sebut Pek-hong-koan-lit atau bianglala Putih Menutup
Matahari. Tipu ini memang sukar digerakkan dan keduanya baru saja
menerima pelajaran ini dari Kwie Cu Ek. Mereka silih berganti gunakan
pedang melatih gerakan ini hingga sempurna betul.
"Mari kita berlatih,kau ambilah pedangmu," ajak Sin Wan.
"Baik, kau tunggulah sebentar," jawab Giok Ciu yang lalu pergi ke
dalam rumah sambil berlari-lari kecil. Sin Wan memandang gadis itu
dengan gembira. Ia makin tertarik kepada gadis yang lincah dan
gembira ini dan diam-diam ia menaruh rasa asmara yang mesra.
Alangkah bahagianya kalau ia ingat bahwa gadis jelita ini akan
menjadi isterinya kelak! Sering kali pada malam hari, di dalam
biliknya ia keluarkan sepatu kecil tanda tali perjodohan dari Giok Ciu
itu dan mempermainkannya sambil membelainya penuh rasa kasih sayang.
Darah kedewasaannya membuat ia sering merindukan gadis calon
isterinya itu, tapi pada waktu mereka bertemu muka dan bercakap-cakap,
dengan kekerasan hati luar biasa Sin Wan dapat menekan perasaannya
dan sedikitpun tidak memperlihatkan sikap yang dapat menyinggung
perasaan gadis itu. Sebaliknya Giok Ciu selalu bergembira dan dengan
sikapnya yang jenaka membuat hubungan mereka tidak kaku. Gadis itu
seakan-akan tidak perdulikan atau sudah lupa akan peralian jodoh
yang mengikat mereka, tapi Sin Wan sedikitpun tidak menduga betapa
pada malam hari, terutama di kala sinar bulan menyerbu masuk
kamarnya melalui jendela, gadis itu sering melamun sambil memandang
bulan dan tangannya memegang sebatang suling yang telah menjadi licin
mengkilap karena sering digosok-gosok dan dibelai-belai!
Ketika Giok Ciu masuk ke dalam kebun itu kembali sambil membawa
sebatang pedang tajam, Sin Wan telah sadar dari lamunannya dan
keduanya lalu berlatih silat pedang. Kedua pedang mereka saling
sambar demikian cepatnya hingga sebentar saja tubuh mereka lenyap
tertutup sinar pedang. Sungguh permainan mereka selain luar biasa,
juga indah dipandang. Gerakan mereka gesit dan cepat, namun di dalam
latihan ini walaupun tampaknya pedang mereka saling sambar seakanakan mengancam jiwa, sesungguhnya mereka berlaku sangat hati-hati,
dan menjaga jangan sampai mereka berlaku salah tangan!
"Bagus!" terdengar seruan orang memuji.
Keduanya berhenti dan memberi hormat kepada Kwie Cu Ek yang
memandang dengan girang. Sebetulnya, pujian orang tua ini tadi bukan
ditujukan kepada permainan pedang mereka tapi pujian itu dikeluarkan
rasa rasa girangnya melihat betapa di dalam latihan pedang itu tanpa
disengaja keduanya memperlihatkan suara hati yang saling mencinta
dan menyayangi! Inilah yang membuat Kwie Cu Ek merasa girang dan
berseru "bagus" tadi.
"Sin Wan, telah tiba saatnya bagi kita untuk turun gunung dan
mencari musuhmu," kata Kwie Cu Ek dengan suara halus.
Sin Wan terkejut dan girang sekali. Ia buru-buru berlutut dan
berkata, "Kwie-peh-peh, terima kasih atas keterangan ini. Saat ini telah
lama teecu tunggu-tunggu!" Karena kebiasaan, maka Sin Wan tetap
menyebut "peh-peh" atau uwak kepada Kwie Cu Ek, sedangkan untuk diri
sendiri ia menyebut tee-cu atau murid karena ia merasa menjadi murid
orang she Kwie ini! Seharusnya ia menyebut gakhu atau "Mertua", tapi
ia merasa malu sekali untuk menyebut ayah mertua, dan bersikap purapura belum tahu akan perjodohan itu.
Kwie Cu Ek menghela napas. "Aku maklum akan ketidaksabaranmu,
Sin Wan, tapi segala hal harus dilakukan dengan pertimbangan masakmasak. Apa lagi dalam hal pembalasan sakit hati ini. Karena musuhmusuhmu bukanlah lawan ringan dan mudah dikalahkan. Bahkan sekarang
uga aku masih selalu meragukan apakah kita akan sanggup membalas
dendam keluargamu." "Ayah, aku tentu ikut, bukan? Serahkan saja musuh-musuh kak Sin
Wan, kepadaku, akan kubasmi seorang demi seorang." kata Giok Ciu
dengan mata berseri. Kali ini Kwie Cu Ek tak dapat menerima kegembiraan puterinya. Ia
menghela napas dan berkata," Kalian anak-anak muda memang sudah
sepantasnya berhati tabah dan bersemangat besar, tapi hendaknya
jangan kau pandang rendah musuh-musuh yang akan kita hadapi. Kalau
kiranya aku tidak merasa telah menjadi makin tua dan berkurang
tenaga hingga takut kalau-kalau takkan sempat membantumu lagi,
barangkali sekarang aku belum mengijinkan kau pergi menemui musuhmusuhmu.
"Kwiep-peh-peh, sebenarnya urusan balas dendam ini hanya
tanggung jawab teecu seorang. Harap saja peh-peh dan adik Giok Ciu
tidak ikut mencapaikan hati dan membahayakan keselamatan diri.
Biarlah teecu sendiri yang pergi melakukan pembalasan. Teecu akan
merasa sangat berdosa bila sampai terjadi apa-apa atas diri peh-peh
atau Giok Ciu." "Sin Wan! Omongan apakah yang kau ucapkan ini?" tiba-tiba Kwie Cu
Ek membentak marah sambil melototkan matanya yang bundar besar, tapi
ia dapat menekan perasaannya dan berkata lagi perlahan, "Aku mengerti
maksudmu yang baik, Sin Wan. Tapi ketahuilah, biarpun tidak untuk
membelamu, aku Kwie Cu Ek bukanlah orang yang dapat melihat
terjadinya perkara penasaran ini dengan berpeluk tangan saja. Aku
telah bersumpah di dalam hati untuk mengadu jiwa dengan binatangbinatang she Suma dan kelima bangsat dari Siauw-san. Mereka ini
memang lihai, tapi kurasa kita akan dapat menghadapi mereka."
Sin Wan lalu menghaturkan terima kasih dan menyatakan maaf
telah menyinggung kehormatan dan kegagahan orang itu yang
sebenarnya bukan menjadi maksudnya. "Cuma saja," demikian ia
melanjutkan. "Bukan maksud teecu untuk merendahkan adik Giok Ciu,
tapi kalau bisa lebih baik adik Giok Ciu jangan ikut melakukan
perjalanan dan tugas yang sangat berbahaya ini."
Giok Ciu yang tadinya duduk di atas pot kembang kosong tiba-tiba
meloncat berdiri dan sepasang ali matanya bergerak-gerak dan
mulutnya ditajamkan sambil menatap wajah Sin Wan.
"Apa?" serunya marah. "Enak saja kau mau meninggalkan orang! Apa
kau kira aku takut menghadapi bahaya? Apakah kau merasa takut ketika
dulu kita bersama memasuki gua ular itu? Kak Sin Wan, jangan kau
bicara seperti itu, aku akan marah kepadamu!"
Kwie Cu Ek tersenyum melihat lagak anaknya. "Sin Wan, Giok Ciu
harus turut, karena betapapun juga ia merupakan tenaga pembantu yang
boleh diandalkan. Kurasa, binatang she Suma dan kelima tosu siluman
dari Siauw-san itu takkan sanggup mengalahkan kita bertiga. Asal saja
disana tidak terdapat orang-orang kuat lain, pasti mereka itu akan
roboh di tangan kita dan sakit hatimu terbalas."
"Nah, apa kataku?" Giok Ciu berkata riang, lalu bertanya, "Kapan
kita berangkat ayah?"
Sin Wan dan Kwie Cu Ek kagum juga melihat ketabahan hati Giok
Cu karena sikap gadis kecil itu seakan-akan bukan hendak menjumpai
musuh-musuh kuat, tapi bagaikan hendak pergi pelesir dan bertamasya
saja! "Bersiaplah, anak-anak. Besok pagi-pagi kita berangkat."
Malam hari itu Sin Wan tidak dapat tidur. Ia meramkan mata dan
membayangkan kembali peristiwa pembunuhan besar-besaran di
kampungnya dulu. Terbayanglah ibu dan kakeknya yang mandi darah, dan
bayangan ini membuat ia menggeretakkan gigi dan ingin sekali segera
berhadapan dengan musuh-musuhnya untuk menuntut balas! Kemudian ia
teringat akan Giok Ciu dan ayahnya. Alangkah baik mereka itu hingga
semenjak pertemuan pertama telah melepas budi yang besar sekali. Ia
bersumpah di dalam hati bahwa ia tentu hendak membahagiakan hidup
Giok Ciu, gadis yang ia cinta dan yang telah melepas budi besar
kepadanya dan bahkan besok pagi hari bersikukuh hendak ikut ia
membalas dendam kepada musuh-musuhnya, dan gadis itu rela ikut
menempuh bahaya! Mengingat ini semua, tak terasa pula kedua mata pemuda itu basah
dengan air mata ang terdorong oleh rasa terharu, duka, dan girang.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali tampak Kwie Cu Ek, Sin
Wan dan Giok Ciu turun gunung dengan mempergunakan ilmu lari cepat.
Kwie Cu Ek memakai pakaian serba biru sedangkan SinWan yang masih
berkabung, berpakaian serba putih, bahkan pengikat rambutnya juga
putih. Hanya sepatunya saja berwarna hitam, giok Ciu mengenakan baju
berwarna merah muda dan celana biru,pengikat rambut dan ikat
pinggangnya dari sutera warna kuning emas yang berkibar-kibar di
belakangnya ketika ia lari cepat. Sepatunya warna hijau dan potongan
pakaiannya serba singset dan ringkas, hingga ia tampak cantik dan
gagah. Pada pinggang sebelah kiri ketiga orang itu tampak pedang
tergantung yang menambah kegarangan dan kegagahan mereka.
Kwie Cu Ek si Harimau Terbang mengajak kedua anak muda itu
menuju ke kota Wie-kwan, karena mendengar dari hasil penyelidikannya
bahwa Suma-cianbu kini telah dipindahkan ke sana dan memimpin
pasukan penjaga keamanan di kota.
Pada waktu itu, para durna yang berkali-kali mengalami serangan
tiba-tiba dan secara menggelap dari para pendekar gagah dan yang
menewaskan banyak juga pembesar-pembesar korup, telah berlaku hatihati. Tiap kota yang dicurigai lalu dijaga keras dan siapa saja yang
dicurigai lalu ditangkap hingga banyaklah sudah orang-orang tak
berdosa terhukum mati karena penangkapan yang dilakukan membabi buta
itu. Tapi sayang, tidak semua orang-orang gagah yang berkepandaian
tinggi melakukan perbuatan membasmi kejahatan ini. Sebagian besar
dari orang-orang ahli persilatan bahkan kena terbeli oleh para durna
hingga mereka iu suka menghambakan diri. Oleh karena inilah, maka
usaha para pendekar gagah selalu mengalami kegagalan, bahkan orangorang kang-ouw saling serang dan saling gempur serta tumbuhlah
banyak sekali aliran. Untuk ini pulalah maka Suma-cianbu yang terkenal gagah dan
pandai mengatur barisan keamanan, diutus mengamankan daerah Wiekwan yang pada akhir-akhir ini sering dikunjungi orang orang gagah.
Kwie Cu Ek dan kedua muridnya tak pernah berhenti, kecuali
untuk mekan dan bermalam. Mereka sengaja mencari jalan-jalan yang
sunyi agar dapat leluasa menggunakan ilmu lari cepat.
Demikianlah, pada hari keempatnya, mereka bertiga akhirnya sampai
juga di kota Wie-kwan. Dan kedatangan mereka kebetulan sekali tepat
pada waktu Suma-cianbu sedang menjamu beberapa orang gagah, termasuk
Siauw-san Ngo-sinto. Dengan demikian, maka lengkaplah orang-orang
yang dicari oleh Sin Wan. Ia selalu menganggap bahwa pembunuh kakek
dan ibunya adalah Sum-cianbu dan kelima tosu itu, maka alangkah
girangnya mendengar bahwa keenam musuhnya berkumpul di tempat itu.
Tapi kabar ini tidak menggirangkan hati Kwie Cu Ek, bahkan ia
mengerutkan kening ketika diketahui bahwa selain Lima Golok Sakti
dari Siauw-san itu, ada pula orang-orang gagah dari utara,
diantaranya Phang Bu yang terkenal dengan ilmu tombaknya yang
menggemparkan! Maka ia berpesan kepada Sin Wan dan Giok Ciu yang
nampaknya gembira seakan-akan hendak pergi bertemu dan kawan-kawan
lama yang telah lama dirindukan!
"SinWan, dan kau juga Giok Ciu. Kalian tahu bahwa aku bukan
seorang penakut, tapi kali ini kita benar-benar menghadapi urusan
besar dan kita benar-benar menghadapi urusan besar dan kita harus
berlaku hati-hati sekali. Ternyata di kota ini berkumpul orang-orang
kuat yang tak mudah dilawan. Kebetulan sekali, tadi telah kuselidiki
dan pada malam ini Suma-cianbu hendak menjamu para tamunya di
gedungnya. Karena malam ini gelap, maka baik sekali bagi kita untuk
menyelidiki keadaan mereka. Tapi ingat, jangalah turun tangan dulu
sebelum aku tahu jelas keadaan mereka. Aku ingin tahu, siapakah orangorang yang berada disana agar aku dapat mengukur tenaga kita."
Sin Wan dan Giok Ciu mengangguk-angguk tapi di dalam hati
mereka, terutama Sin Wan tidak setuju melihat sikap hati-hati yang
agaknya berlebihan ini. Mereka bertiga dan dengan tenaga mereka
bertiga, apalagi yang ditakuti? Demikian Sin Wan dan Giok Ciu berpikir
bagaikan dua ekor anak burung baru belajar terbang dan tidak takut
akan apa saja yang dihadapinya!
Malam hari itu, digedung Suma-cianbu ramai sekali. Di ruang


Kisah Sepasang Naga Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

belakang duduk Suma-cianbu yang memakai pakaian kapten hingga
tampak gagah sekali. Pakaian perangnya bersisik dan warnanya putih
bagaikan perak, disana-sini terhias ronce-ronce merah. Pedangnya
tergantung di pinggang dan ia tampak girang dan gembira. Topi
pangkatnya di lepas dan ditaruh diatas meja yang penuh arak dan
masakan. Meja yang bundar dan lebar itu dikelilingi kira-kira dua
belas orang yang kesemuanya tampak gagah dan garang. Di antara
mereka itu terdapat pula lima orang tosu, yakni Siauw-san Ngo-sinto.
Tapi yang paling menarik perhatian Kwie Cu Ek adalah hadirnya
seorang pendeta yang berjubah merah. Pendeta itu memelihara rambut
yang digelungnya keatas dan diikat dengan gelas emas, sedangkan
serenteng tasbeh gading tergantung di lehernya. Orangnya tinggi besar
dan matanya bulat menakutkan. Kwie Cu Ek terkejut dan heran sekali,
karena melihat pakaian dan potongan orang, ia dapat menduga bahwa
pendeta ini adalah seorang tokoh kenamaan di kalangan kang-ouw,
termasuk seorang cianpwe yang memiliki kepandaian dari tingkat
teratas! Mengapa pendeta ini juga hadir di tempat para anjing kaisar
berkumpul? Apakah pendeta inipun sudah terbujuk?
Kwie Cu Ek dan kedua muridnya dengan hati-hati sekali mengintai
dari atas wuwungan rumah dan mendekam di tempat gelap. Biarpun agak
jauh dari tempat duduk orang-orang yang diintainya, mereka dapat
melihat jelas. "Lihatlah baik-baik, Sin Wan dan Giok Ciu", bisiknya. "Itu yang
berpakaian baju perang adalah Kapten Suma, nama lengkapnya adalah
Suma Kan Hu! Ia adalah ahli main sepasang pedang yang disebut Hongtwi-siang-kiam. Kepandaiannya cukup lihai. Dan lihatlah lima orang
tosu yang berpakaian kuning itu. Merekalah yang disebut Siauw-san
Ngo-sinto. Lima Golok Sakti dari Siauw-san. Kalau maju satu-satu,
mereka tidak berbahaya, tapi bila kelimanya maju, mereka merupakan
Ngo-heng-tin atau Barisan Ngo-heng yang kuat karena permaianan golok
mereka yang disebut Ngo-heng-to-hwat." Kedua muridnya mendengar
penuh perhatian. "Yang lain-lain tak perlu dibicarakan, hanya pertapa jubah merah
itu harus diperhatikan. Ia"
Tapi pada saat itu Sin Wan sudah tak sanggup menahan
kesabarannya lagi. Melihat betapa musuh-musuhnya dan pembunuhpembunuh ibu dan kakeknya berada disitu, hatinya telah terbakar
hebat. Dengan melupakan segala, pemuda itu mencabut pedangnya dan
meloncat ke bawah sambil berseru,
"Pembunuh-pembunuh kejam dan rendah, terimalah pembalasanku!"
Terkejutlah semua orang ketika tiba-tiba dari atas wuwungan
melayang turun seorang pemuda dengan pedang di tangan. Suma cian
melihat bahwa yang turun hanya seorang pemuda yang masih hijau dan
seorang diri pula, segera memandang rendah dan membentak,
"Bangsat kecil berani mati! Siapa kau dan apa maksudmu mengacau
disini?" Kapten ini dengan wajah keren meloncat menyambut dengan
sepasang pedang melintang.
Sin Wan memandang musuh-musuhnya dengan mata bernyala. "Orang
she Suma! Jangan kau menjual lagak lagi, malam ini nyawamu akan
kukirim ke alam baka untuk menghadap almarhum Kang-lam Ciu-hiap!"
Sehabis berkata demikian, Sin Wan maju menubruk dengan pedangnya dan
mengirim serangan kilat. Mendengar kata-kata anak muda itu, Sumacianbu terkejut dan ia segera menangkis dengan kedua pedangnya
membuat gerakan memotong dari kanan kiri dengan maksud merampas
senjata lawan dalam sekali gebrakan. Tapi alangkah terkejutnya ketika
bahwa anak muda itu selain bertenaga besar, juga gerakan pedangnya
istimewa karena begitu pedangnya terjepit, ia telah membikin pedang
itu menyusup ke bawah dan tahu-tahu menusuk perut Suma-cianbu!
Kapten ini cepat meloncat mundur dan membentak untuk menghilangkan
rasa kagetnya, "Eh, binatang kecil! Kau pernah apakah dengan orang she Bun yang
telah mampus itu?" "Kapten pengecut! Lihat mukamu telah memucat. Kau mau tahu aku
siapa? Dengarlah, aku Bun Sin Wan malam ini datang membalaskan sakit
hati ibu dan kakekku yang telah kau bunuh secara kejam! Bersedialah
untuk mampus!" Sebagai penutup kata-katanya ini, kembali Sin Wan
meloncat maju dan menyerang dengan pedangnya.
"Saudara-saudara, lihatlah! Ini adalah putera pemberontak dan
cucu penjahat besar bernama Bun Gwat Kong yang telah kita bunuh.
Penjahat kecil ini agaknya tidak lebih baik daripada ayah dan
kakeknya. Mari kita tangkap dia."
Sin Wan menggerakkan pedangnya, tapi tiba-tiba dari samping
pedang itu tertangkis oleh golok yang digerakkan secara istimewa dan
lihai. Ternyata kelima tosu yang dulu ikut menjadi pembunuh Kang-lam
Ciu-hiap, ketika mendengar bahwa Sin Wan datang menuntut balas,
segera maju mengeroyok untuk cepat merobohkan musuh ini. Tapi Sin Wan
memutar-mutar pedangnya dengan gerakan hebat sekali sehingga
sebentar saja ia berhasil mendesak Suma cianbu. Meliha kegagahan
pemuda itu, kelima tosu serempak maju mengepung dengan menggunakan
barisan Ngo-heng mereka yang lihai.
Tapi pada ssat itu, dari udara terdengar bentakan merdu, "Koko Sin
Wan, jangan takut aku datang membantu!". Dan seorang gadis cantik dan
gagah memutar-mutar pedangnya sambil meloncat turun dan menerjang
para pengeroyok itu. Gerakannya demikian licah dan cepat hingga untuk
sesaat para pengeroyok itu kena terdesak mundur. Melihat bahwa Giok
Ciu sudah terjun ke dalam medan pertempuran. Sin Wan makin besar hati
dan ia mengamuk bagaikan seekor naga muda. Ilmu pedang sepasang anak
muda ini memang bukan sembarang ilmu, hingga gerakan-gerakannya
memang hebat. Apalagi Sin Wan dan Giok Ciu memiliki tenaga lweekang
dan ginkang yang mengagumkan, maka tidak heran bahwa mereka dapat
mendesak Suma Han dan kelima tosu yang mengeroyok mereka.
Melihat betapa enam orang itu tak dapat mengalahkan dara dan
aruna itu, semua tamu segera mencabut senjata masing-masing dan maju
mengepung, kecuali si pertapa jubah merah yang masih duduk minum arak
sambil mementang lebar sepasang matanya. Agaknya ia tertarik sekali
melihat permainan pedang Sin Wan dan Giok Ciu.
Kini dikeroyok belasan orang, Sin Wan dan Giok Ciu merasa sibuk
juga. Pengeroyoknya terdiri dari orang-orang yang memiliki
keistimewaan dan kepandaian tinggi, ditambah dengan tekanan-tekanan
yang dilancarkan oleh Suma Cianbu dan Siauw-san Ngo-sinto, kedua anak
muda itu terdesak mundur.
"Ha, ha, anak-anak kecil yang masih bau pupuk, kalian hendak lari
kemana?" Sum cianbu tertawa menyindir. Tapi pada saat itu dari atas
menyambar turun seorang tua dengan pedang di tangan sambil membentak
keras, "Anjing-anjing penjilat jangan jual lagak!" Pedangnya lalu
diputar cepat dan segerakan saja seorang pengeroyok kena dirobohkan!
Suma cianbu mundur dengan kaget karena ilmu silat orang tua ini lihai
sekali. Melihat kedatangan Kwie Cu Ek si Harimau Terbang, pertapa
berjubah merah yang semenjak tadi duduk saja, lalu berdiri dan sekali
gebrakan tubuh, maka ia telah melayang memapaki Kwie Cu Ek,
"Tidak tahunya Hui-houw Kwie Cu Ek yang mempeloporinya, pantas
saja, anak-anak itu demikian lihai," katanya dengan tersenyum
menyindir. Kwie Cu Ek menjura. "Bukankah siauwte berhadapan dengan Cin Cin
Hoatsu dari Tibet?" tegurnya hormat.
"Ha, ha, kau juga bermata awas dan dapat mengenal pinto. Aku
pernah kenal dengan gurumu dan dari gerakanmu tadi tahulah aku
bahwa kau tentu si Harimau Terbang. Bukankah kau memiliki kepandaian
ilmu silat Rajawali Sakti? Hayo keluarkanlah, pinto ingin melihatnya!"
"Locianpwe apakah sengaja menggabung kepada mereka yang tersesat
ini?" tanya Kwie Cu Ek.
"Bukan urusanmu untuk mengetahui hal ini. Kalau aku menggabung,
kau mau apa?" tantang Cin Cin Hoatsu, bekas pendeta Lama itu.
"Kalau begitu percuma saja kau mengenakan jubah pendeta!" kata
Kwie Cu Ek dengan berani.
"Ah,orang tak tahu diri! Kematian sudah didepan mata masih berani
membuka mulut besar."
Dengan memandang rendah sekali Cin Cin Hoatsu maju dan
mengebutkan ujung lengan bajunya ke arah Kwie Cu Ek yang terpaksa
berkelit mundur dengan cepat karena dari ujung baju itu menyambar
keluar angin pukulan yang berbahaya.
Jilid IV "Ha, ha, ha, tak berapa hebat kepandaianmu!" Cin Cin Hoatsu
menyindir dan terus maju menyerang. Kwie Cu Ek terpaksa melayani dan
mengerahkan seluruh kepandaiannya. Ia mengeluarkan pula Sin-tiauwkiam-sut yakni ilmu pedang Rajawali Sakti, sambil menyerang ia
bersuit nyaring bagaikan seekor burung rajawali. Tapi kini ia
berhadapan dengan seorang tokoh besar dari Tibet yang tidak saja
tinggi ilmu silatnya, juga memiliki macam-macam ilmu gaib dan ilmu
sihir. Pertapa ini menggunakan ujung lengan bajunya untuk menyerang
dan tiada hentinya mengeluarkan suara tertawa aneh dan menyeramkan.
Baru beberapa puluh jurus saja Kwie Cu Ek telah terdesak hebat oleh
pukulan-pukulan ujung lengan baju yang mantap dan luar biasa.
Sementara itu, Sin Wan dan Giok Ciu juga terkepung hebat dan
berada dalam keadaan berbahaya sekali karena lawan mereka yang
berjumlah banyak tidak mau memberi kelonggaran dan terus merangsek
hebat. Kwie Cu Ek menyesal telah berlaku semberono hingga membahayakan
jiwa Sin Wan dan Giok Ciu. Ia menjadi bingung karena pasti mereka
bertiga akan segera dirobohkan. Tiba-tiba ia berteriak keras,
"Sin Wan dan Giok Ciu, larilah! Biar aku menjaga mereka!"
Mendengar perintah ini, Sin Wan dan Giok Ciu menurut. Segera
pedang mereka diputar hebat dalam gerakan ilmu pedang Sin-tiauwkiam-sut hingga mereka dapat menahan desakan senjata-senjata
pengeroyok mereka, kemudian dengan cepat tubuh mereka melayang ke
atas genteng! Tapi pada saat itu mereka mendengar suara Kwie Cu Ek berseru
keras dengan marah bagaikan seekor harimau terluka dan ketika kedua
anak muda itu memandang ke bawah, tak terasa pula mereka menjerit
karena melihat betapa Kwie Cu Ek kena dihantam oleh ujung lengan baju
Cin Cin Hoatsu yang hebat gerakannya itu! Kwie Cu Ek terlempar
beberapa kaki jauhnya tapi si Harimau Terbang yang gagah itu biarpun
telah mendapat luka hebat di dalam dadanya, pedang di tangannya masih
terpegang erat-erat dan ketika tubuhnya jatuh menimpa tanah. Ia
menggerakkan tangannya dan pedang itu secepat kilat meluncur ke arah
tenggorokan Cin Cin Hoatsu! Inilah gerakan yang dinamai Rajawali
Sakti Mengejar Maut, gerak tipu terakhir dari Sin-tiauw-kiam-sut yang
hebat luar biasa itu. Kalau saja yang diserang bukan Cin Cin Hoatsu,
orang berilmu tinggi dari Tibet yang selain berkepandaian tinggi, juga
memiliki ketenangan luar biasa, tentu akan putuslah lehernya. Tapi Cin
Cin Hoatsu dalam keadaan berbahaya itu masih sempat menyabet dengan
ujung lengan bajunya. "Sret!" Putuslah ujung len
ngan baju itu, tapi pedang Kwie Cu Ek melayang kesamping dan terus
menancap sampai menembus dada pengeroyok yang tidak ada kesempatan
berkeliat lagi. Orang itu berteriak ngeri dan terdengarlah suara Kwie
Cu Ek tertawa menyeramkan, menertawakan korbannya dan juga
menertawakan Cin Cin Hoatsu yang terpotong ujung lengan bajunya.
Pertapa tua dari Tibet ini merasa gemas dan marah sekali. Ia
meloncat ke tempat Kwie Cu Ek dan dengan sekali tendang saja putuslah
nyawa Kwie Cu Ek tanpa dapat berteriak lagi.
Kwie Giok Ciu memekik ngeri dan ia meloncat terjun dengan maksud
hendak berkelahi dengan nekad dan mati-matian. Tapi Sin Wan cepat
menyambarnya dan menariknya kembali ke atas genteng.
"Koko, lepaskan! Lepaskan aku!!" Giok Ciu menjerit-jerit dengan
air mata bercucuran, tapi Sin Wan tetap tidak mau melepaskannya.
Pada saat itu dari belakang mendatangi tiga bayangan orang yang
cepat gerakannya dan terdengar suara orang berkata,
"Jiwi enghiong, lekas lari, biar kami yang menahan mereka."
Sin Wan melihat wajah seorang setengah tua dan dua orang lain
adalah orang-orang tua yang gagah. Ia tahu itu tentu orang-orang
gagah yang sering memusuhi para durna dankaki tangannya, maka ia
segera betot tangan Giok Ciu.
"Moi-moi, hayo kita pergi. Mudah lain kali kita datang membalas
sakit hati." "Tidak! Tidak! Biarkan aku mati bersama ayah!"
"Giok moi jangan bodoh! Mereka bukan lawan kita."
Tiba-tiba Giok Ciu merenggut tangannya hingga terlepas
daripegangan Sin Wan. "Kau kau.. takut?? Kau hendak membiarkan
dan meninggalkan ayah yang mengorban jiwanya untukmu??"
Sin Wan mengertakan gigi dan memandang dengan mata bersinar.
"Giok Ciu, kau anggap aku seorang macam apakah? Aku mengajak kau
pergi bukan karena takut, tapi karena memenuhi kehendak dan maksud
ayahmu. Tadi kita telah berlaku sembrono sekali. Musuh terlampau kuat,
untuk apa kita korbankan diri dengan sia-sia? Untuk apa kita mati
kalau belum dapat membalas dendam? Lebih baik kita mencari daya upaya
lain." "Tapi ayah" "Sudahlah! Kalau kau ingin mati bersama, hayo kita turun lagi!"
Akhirnya Sin Wan berlaku nekad juga dan hendak terjun. Tapi kini
datang lebih banyak orang gagah yang mencegah mereka.
"Lie enghiong, kawanmu ini berkata benar! Pihak mereka kuat
sekali, kita bukan lawan mereka. Soal jenasah ayahmu itu, biarlah kami
yang akan mengurusinya dan akan berusaha mengambilnya.
Karena sedih, marah, bingung dan tak berdaya, Giok Ciu menjerit
keras dan jatuh pingsan dalam pelukan Sin Wan. Pada saat itu dari
bawah melayang naik orang-orang dengan senjata di tangan dan
sebentar lagi terjadi pertempuran seru di antara mereka dengan para
ho-han yang menyerbu. Tapi karena Cin Cin Hoatsu berada disana, para
penyerbu itu terpaksa lari lagi setelah berhasil membawa serta jenasah
Kwie Cu Ek. Sin Wan yang memondong tubuh Giok Ciu, lari cepat keluar dari
kota itu menuju ke Kam-hong-san kembali. Setelah sadar, Giok Ciu
menangis tersedu-sedu sambil berlutut di atas tanah dan memanggilmanggil nama ayahnya. Sin Wan hanya dapat menghiburnya, tapi tak
terasa ia sendiri mengalirkan air mata. Di samping merasa bersedih ia
mengertakan giginya karena gemas dan marahnya. Alangkah besarnya
sakit hati ini. Kematian ibu dan kakeknya belum juga terbalas, kini
ditambah lagi dengan kematian Kwie Cu Ek yang menjadi pembela, guru
dan juga calon mertuanya! Dan musuhnya telah bertambah satu orang
lagi, yaitu Cin Cin Hoatsu yang konsen dan sakti. Bagaimana juga pada
suatu waktu, aku harus dapat membasmi mereka itu, demikian Sin Wan
mengambil keputusan. "Moi-moi, sudahlah jagan kau terlalu bersedih. Mari kita kembali
ke tempat tinggal kita untuk memperdalam ilmu silat dan untuk mencari
jalan bagaimana kita dapat membalas dendam ini."
Tapi Giok Ciu makin hebat tangisnya. "Aku. Aku kini
sebatang kara.." Karena terharu,Sin Wan tak terasa lagi memegang pundak Giok Ciu
dan menghibur."Moi-moi, bukankah masih ada aku? Aku juga sebatang
kara, hidupku seorang diri di dunia ini, tapi aku masih merasa bahagia
karena. Ada engkau, Giok Ciu. Bukankah kita masih bersama-sama.?"
Dalam usahanya menghibur Giok Ciu, Sin Wan berlutut di samping gadis
itu dan Giok Ciu memandang wajah Sin Wan melalui air matanya,
kemudian tak terasa lagi gadis itu perdengarkan sedu sedan dan
menubruk Sin Wan. Mereka dalam keharuan hati masing-masing lalu
saling peluk karena merasa betapa di dalam di dunia ini hanya ada
seorang yang dapat diandalkan dan dapat ditumpangi diri, yakni orang
yang dipeluknya. Tapi setelah gelora keharuan hatinya mereda, Giok Ciu teringat
bahwa ia sedang saling peluk dengan Sin Wan, maka buru-buru ia dorong
tubuh pemuda itu hingga hampir jatuh terjengkang! Dengan muka merah
karena jengah, Giok Ciu memandang wajah Sin Wan dan ketika melihat
pandang mata pemuda itu juga menatapnya. Ia buru-buru tundukkan muka
dengan rasa malu sekali. Kemudian ia mengangkat kaki dan meloncat
jauh sambil berkata,"Hayo kita melanjutkan perjalanan kita."


Kisah Sepasang Naga Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sin Wan maklum akan keadaan gadis itu, maka iapun tidak mau
mengganggunya lagi, hanya meloncat mengejar dan mereka cepat sekali
lari menuju Kam-hong-san.
Sin Wan mengajak Giok Ciu singgah di kampungnya untuk
bersemahyang di depan maka ibu dan kakeknya.
Disitu kedua anak muda itu kembali ulangi sumpah mereka untuk
bersaha membelas dendam. Kemudian Sin Wan mengajak Giok Coi menemui
orang-orang kampung yang menyambut Sin Wan yang telah menjadi
seorang pemuda tampan dan gagah dan mereka makin kagum melihat
kawannya yang cantik jelita dan bersikap gagah pula.
Karena merasa senang bertemu dengan kawan-kawan lama, Sin Wan
Giok Ciu bermalam itu. Sin Wan menceritakan tentang usahanya membalas
dendam yang gagal bahkan telah kehilangan pula ayah Giok Ciu. Orangorang kampung mendengar penuturannya ini dengan gemas, sementara
Giok Ciu menahan-nahan kesedihannya dengan menggigit bibir. Gadis ini
selalu membayangkan keadaannya dan memikirkannya tiada habisnya,
dimanakah makam ayahnya. Kalau menurutkan kata hatinya, ingin sekali
ia mencari dan kembali ke kota Wie-kwan, tapi ia tahu bahwa hal itu
tidak ada gunanya, karena selain sia-sia dan belum tentu dapat
menemukan apa yang dicarinya, juga sangat berbahaya bagi keselamatan
dirinya karena kota itu penuh dengan kaki tangan dan mata-mata Sumacianbu yang telah mengenalnya. Karena itulah maka ia bersabar dan
mengambil keputusan untuk mempergiat pelajaran silatnya hingga
beberapa lama lagi, setelah mendapat kemajuan pesat, bersama Sin Wan
pergi membalas dendam. Masih banyak ilmu silat yang mereka telah
pelajari tapi belum dilatih masak-masak, bahkan ilmu pedang Sintiauw-kiam-sut yang belum lama dipelajari juga belum dikuasai baikbaik dan perlu latihan yang lama dan rajin.
Setelah tinggal tiga hari di kampung itu, Sin Wan dan Giok Ciu
lalu meninggalkan kampung itu dan menuju ke tempat tinggal Giok Ciu,
karena mereka menganggap tempat itu lebih aman dan tersembunyi
sehingga mereka dapat melatih silat tanpa menderita gangguan.
Ketika mereka sedang berjalan perlahan mendaki bukit,tiba-tiba
terdengar seruan orang dari belakang. Mereka menahan tindakan kaki
mereka dan berpaling. Alangkah terkejut mereka ketika melihat bahwa
dengan cepat sekali, dari bawah bukit lari mengejar Cin Cin Hoatsu,
Suma-cianbu dan Siauw-san Ngo-sinto! Mereka itu mengejar sambil
berteriak-terik dan Cin Cin Hoatsu telah berada dekat karena pendeta
Tibet ini larinya cepat sekali.
"Celaka, moi-moi. Kita lari saja, percuma melawan. Hayo kita lari
cepat." Kedua anak muda itu lari secepat mungkin ke atas puncak, tetapi
karena kepandaian ilmu lari cepat mereka masih kalah jika dibanding
dengan Cin Cin Hoatsu, makin lama pengejar itu makin dekat jaraknya.
Karena gugup dan bingung, Sin Wan dan Giok Ciu tanpa sengaja
tiba di tempat yang selalu menjadi kenangan mereka, yaitu di dekat
Sumur Naga dimana mereka dulu terjatuh.
"Mari kita masuk saja!" Sin Wan mengajak dan tanpa ragu-ragu lagi
keduanya meloncat ke dalam sumur yang tertutup kabut tebal itu!
Mereka turun dengan selamat dan kaki mereka menyentuh pasir.
Ternyata, keadaan sumur itu tidak berubah, dan ketika mereka
berpaling, ternyata batu-batu cadas yang berbentuk kepala naga itu
masih tetap ada. Tetapi alangkah terkejut mereka ketika mereka tiba-tiba melihat bahwa
di sudut dekat batu naga itu terdapat seorang kakek yang tua sekali
duduk bersila di atas pasir sambil meramkan mata. Kakek tua itu
tubuhnya kurus kering bagaikan tengkorak hidup, rambutnya putih
panjang terurai ke belakang punggunya yang telanjang. Tubuh bagian
bawah tertutup celana pendek yang lebar dan kakek itu bersila dengan
cara yang aneh. Kaki dan tubuhnya bersila seperti biasa dengan telapak
kaki menghadap ke atas dan tertumpang di kedua paha, tetapi anehnya
ia tidak duduk seperti biasa. Tubuhnya tidak terletak di atas tanah,
karena tangan kirinya melalui renggang kakinya ditekannya ke atas
pasir sehingga mengganjal tubuhnya yang terkatung-katung tidak
menempel tanah sedikitpun. Tangan kakek itu diletakkan di atas
pangkuan. Dapat dibayangkan kekuatan tangan kirinya yang menahan
tubuh itu tanpa bergerak sedikitpun, seakan-akan tangan dan lengan
itu berubah menjadi benda mati yang didudukinya.
Karena maklum bahwa mereka sedang berhadapan dengan seorang
berilmu tinggi, Sin Wan dan Giok Ciu segera berlutut di hadapan kakek
itu sambil berkata," Mohon beribu maaf bahwa tanpa disengaja teecu
berdua telah berani mengganggu kepada locianpwe."
Tapi kakek itu sedikitpun tidak bergerak dan tidak menjawab.
Ketika SinWan dan Giok Ciu memandang, mereka kaget sekali karena
kakek itu tiada ubahnya seperti patung batu mati. Bahkan pada perut
dan dadanya yang telajang itu tiada tampak tanda-tanda pernapasan!
Sudah mati dan membatukah tubuh kakek ini?
Pada saat mereka masih ragu-ragu, tiba-tiba dari atas sumur itu
terdengar bentakan Cin Cin Hoatsu, "He, pemberontak-pemberontak muda,
masih hidupkah kalian? Kalau masih hidup, naiklah dengan damai dan
pinto takkan membunuhmu!"
Sin Wan dan Giok Ciu terkejut sekali karena tempat
persembunyiannya terdapat oleh pengejar-pengejar mereka tapi mereka
diam saja dan tetap berlutut di depan kakek itu.
Terdengar makian di atas sumur dan kini terdengar suara Sumacianbu.
"Binatang-binatang yang berada di dalam sumur. Lekas keluar,
kalau tidak kami akan menghujani batu dan anak panah!"
Sin Wan dan Giok Ciu kuatir sekali kalau-kalau ancaman ini
dijalankan. Tetapi tiba-tiba kakek yang disangkanya patung mati itu
bergerak dan membuka matanya. Sin Wan dan Giok Ciu makin heran
karena ketika terbuka, kedua mata itu hampir seluruhnya putih dan
hanya sedikit hitamnya di tengah-tengah. Kakek itu masih menahan
tubuhnya, lalau terdengar ia berkata perlahan,
"Kalian sudah lama datang? Sukur, memang aku telah menantimu."
Pada saat itu dari atas sumur orang melempar batu kebawah yang
hampir saja menimpa kepala Sin Wan, tapi pemuda itu menggunakan
tangan menyabet sehingga batu itu terlempar disampingnya.
"Ah orang-orang itu sungguh-sungguh tak tahu aturan," kata
kakek itu yang lalu menggerak-gerakkan tangan kanannya ke atas. Sin
Wan dan Giok Ciu kaget sekali dan cepa menggeser tubuh mereka minggir
karena dari tangan kakek itu keluarlah angin pukuan yang berputarputar naik ke atas sumur! Tiba-tiba diatas sumur terdengar jeritan
ngeri karena batu-batu dan anak-anak panah yang dilepas ke bawah,
secara ajaib sekali tiba-tiba terbang kembali dan menghantam mereka
yang tidak keburu berkelit! Beberapa orang anak buah Suma-cianbu
terkena batu dan anak panah mereka sendiri sehingga terluka dan
berteriak-teriak kesakitan.
Cin Cin Hoatsu heran melihat keganjilan ini. Ia lalu menggunakan
kedua lengan bajunya mengebut-ngebut ke dalam sumur sambil
mengerahkan tenaga lweekangnya yang hebat. Dulu ketika melatih
lweekang, ia menggunakan sumur untuk mencoba kekuatannya dan kalau
ia menggerak-gerakkan tangannya ke dalam sumur, maka air di dalam
sumur akan berombak dan bergolak makin keras sampai memercik keluar!
Kini menduga bahwa di dalam sumur ada apa-apa yang tidak beres, ia
menggunakan tenaga lweekangnya iu untuk memukul ke bawah. Tetapi
hampir saja ia berteriak karena kaget dan heran ketika merasa betapa
tenaganya itu sebelum membentur dasar sumur, telah terpental kembali.
Ia menarik kedua tangannya dan meloncat jauh agar tidak menjadi
korban pukulannya sendiri! Wajahnya menjadi pucat, karena ia
menyangka bahwa di dalam sumur itu tentu ada setannya karena mana
mungkin ada orang yang dapat mengembalikan tenagan pukulannya
secara demikian mudah dan luar biasa.
Melihat tiba-tiba pendeta Tibet itu menjauhi sumur dengan wajah
pucat, Suma-cianbu bertanya,"Ada apakah,lo-suhu?"
Cin Cin Hoatsu malu untuk mengaku, maka ia hanya berkata, "Mari
kita tinggalkan tempat ini. Kedua binatang kecil itu tentu telah
mampus, karena sumur ini mengandung hawa beracun!"
Maka semua pengejar itu lalu kembali turun gunung dengan hati
puas, karena mereka menyangka bahwa kini semua pengacau dan
pemberontak berbahaya telah dapat ditumpas habis, Sin Wan dan Giok Ciu
yang berada di dalam sumur dapat mendengar semua percakapan di atas
itu sehingga merasa kagum atas kesaktian kakek aneh ini.
Karena yakin bahwa yang berada di hadapan mereka tentu orang
suci yang berilmu tinggi, maka Sin Wan menarik tangan Giok Ciu untuk
maju dihadapan kakek itu dan berlutut sambil mengangguk-angguk
kepala. Tiba-tiba kakek itu tertawa, suaranya nyaring tinggi seperti
suara wanita tertawa tapi ketika ia bicara, suaranya berubah besar dan
parau,"Kalian yang dulu masuk ke sini dan makan buah-buah itu sampai
habis, bukan?" Sin Wan menjawab,"Betul lo-cian-pwe, mohon maaf jika teecu berdua
mengganggu." "Kalian dikejar-kejar orang, sedangkan kepandaianmu cukup baik,
mengapa tidak kalian lawan saja? Lari pergi tanpa melawan adalah
kelakuan pengecut." "Teecu berdua tidak sanggup melawan mereka, lo-cianpwe.
Kepandaian teecu masih terlampau rendah. Mohon petunjuk dari locianpwe yang mulia,"kata Sin Wan.
"Jika lo-cianpwe sudi, teecu mohon diterima menjadi murid." Kata
Giok-Ciu dengan langsung karena ia telah yakin benar bahwa kakek ini
memiliki kepandaian yang sangat tinggi.
Kakek itu tertawa lagi dan mengangguk-angguk, tiba-tiba ia
meloncat dan tahu-tahu ia sudah berada di dinding batu yang tingginya
tidak kurang dari tiga tombak dengan punggung menempel di batu!
"Bagus, bagus memang kalian yang berjodoh dengan aku. Memang
kalian yang berjodoh dengan sepasang naga itu."
Sin Wan terkejut mendengar ucapan ini. Sepasang naga yang mana?
Agaknya dari atas, kakek aneh itu dapat melihat keraguan dan
keheranannya, maka ia segera meloncat turun dan berdiri di depan
mereka. "Kalian berdirilah!"
Ketika Sin Wan dan Giok Ciu berdiri, mereka melihat betapa tubuh
kakek itu sebenarnya tinggi besar, hanya karena tubuhnya sama sekali
tidak berdaging, maka tampak kurus kering. Yang mengherankan ialah
warna segar kemerah-merahan pada kulit pipinya yang kurus itu dan
biarpun manik matanya yang hitam itu kecil sekali, namun kalau
bertemu pandang, Sin Wan dan Giok Ciu merasa betapa dar sepasang mata
itu memancar dua sinar tajam dan berpengaruh.
"Mari kita masuk," kata kakek itu.
Berbeda dengan Sin Wan dan Giok Ciu yang dulu membuka pintu
batu kepala naga itu dengan memutar-mutar kedua matanya, kini kakek
itu hanya menepuk sekali pada dinding itu. Tenaga tepukan itu biarpun
hanya perlahan saja namun telah membuat dinding itu tergetar sehingga
batu yang merupakan kedua mata naga itu bergerak-gerak dan pintu
yang merupakan mulut naga itu terbukalah!
Ketika kedua orang muda itu mengikuti dan masuk, ternyata dua
rangka ular yang besar itu tidak ada disitu pula, sebaliknya di
pinggir dinding terdapat batu-batu yang bentuknya bundar dan licin.
Kakek itu, segera menghampiri sebuah batu terbesar tapi yang paling
kasar dan permukaannya tajam-tajam lalu ia duduk di atasnya dengan
enak. Agaknya tubuh yang tak berdaging itu tidak merasa pula tusukantusukan batu yang kasar dan runcing.
"Nah, sekarang kalian boleh mengangkat guru padaku!"
Sin dan Giok Ciu saling pandang, kemudian keduanya maju berlutut
sambil menyebut, "Suhu.!"
"Hai, tidak semudah ini! Berdirilah!" Dan kedua anak muda itu
merasa betapa tubuh mereka disendal ke atas sehingga terlempar tinggi,
maka terpaka mereka menggunakan kepandaian mereka untuk turun
dengan hati-hati dan berdiri memandang kakek itu dengan terheran.
Mereka lebih heran dan terkejut sekali ketika ternyata bahwa gerakan
melempar kakek tadi telah memberi kesempatan kepadanya untuk
mengambil pedang mereka yang tergantung di punggung. Kini kakek itu
memegang kedua pedang itu di tangannya, melihatnya dengan mulut
mengejek dan berkata,"Pedang buruk, pedang buruk."
Sebelum mengerti harus berbuat apa, kakek itu berkata kepada
mereka. "Ulur tangan kananmu!" Sin Wan dan Giok Ciu mengulurkan tangan
kanan dengan patuh. Tiba-tiba kakek yang luar biasa itu lalu
menggunakan pedang di tangan kiri kanannya untuk menusuk tangan Sin
Wan dan Giok Ciu yang diulurkan. Kedua anak muda itu terperanjat
sekali, tetapi mereka dapat menetapkan hati dan menaruh kepercayaan
penuh kepada calon guru mereka, maka mereka melihat pedang itu dengan mata
tak berkedip! Ujung pedang itu walaupun di tusukkan dengan cepat dan
kencang, ternyata hanya menusuk kulit tangan kedua anak muda itu
sedikit saja, lalu cepat ditarik kembali. Di ujung kedua pedang tampak
tanda merah yang ternyata adalah darah kedua anak muda itu. Juga di
tangan mereka terdapat luka yang kecil sekali dan mengeluarkan
sedikit darah. Jadi kakek aneh itu ingin mengambil sedikit darah
mereka diujung pedang masing-masing.
"Nah, sekarang dengan disaksikan oleh darahmu di ujung pedang,
kalian harus bersumpah, yaitu jika kalian mempergunakann kepandaian
yang kuajarkan untuk kejahatan, kalian akan binasa di ujung pedang!"
Sehabis berkata demikian, kakek itu menyondorkan kedua pedang
kepada Sin Wan dan Giok Ciu yang menerimanya dengan hormat.
Kemudian, kedua anak muda itu sambil memegang pedang dengan kedua
tangan dan ujung pedang mengacung ke atas, berlutut dan bersumpah.
Sin Wan mengucapkan sumpah dengan suara nyaring, diikuti oleh Giok
Ciu. "Kami berdua, Bun Sin Wan dan Giok Ciu, hari ini telah diterima
menjadi murid dan kami bersumpah jika kelak kami berani menggunakan
kepandaian yang kami terima, untuk berbuat jahat kami akan binasa di
ujung pedang yang tajam!" Suara Sin Wan keras dan nyaring sehingga
gemanya terdengar di empat penjuru dalam gua yang lebar itu.
Kakek itu tertawa girang,"Nah kau boleh ke sini sekarang, muridmuridku."
Ketika Sin Wan dan Giok Ciu hendak berlutut, kakek itu berkata,
"Kalian duduklah saja, Sin Wan di sebelah kananku dan Giok Ciu di
sbelah kiri. Batu bundar hitam itulah tempat duduk kalian."
Sin Wan dan Giok Ciu duduk di atas batu yang diperuntukkan
mereka. "Nah, sekarang kenalilah gurumu. Aku disebut orang Bu Beng Lojin,
si Kakek Tak Bernama. Aku tidak mempunyai riwayat yang perlu
diketahui, katakan saja bahwa aku datang dari tiada dan akan kembali
kepada tiada pula jika sudah waktuku. Aku bukan ahli dari sesuatu
cabang ternama atau tertentu, tapi aku mempunyai semacam permaianan
pedang yang kusebut Sin-liong-kiam-sut, yakni ilmu Pedang naga Sakti.
Nah, ilmu pedang inilah yang hendak kuajarkan kepada kalian. Sin Wan,
coba kau angkat batu di ujung kiri yang berwarna putih itu, di
bawahnya ada sebuah peti dalam lubang. Ambillah itu kemari."
Sin Wan melakukan perintah gurunya. Di sudut ruang itu sebelah
kiri terdapat batu putih yang beratnya ratusan kati. Sin Wan
mengerahkan tenaganya dan menggulingkan batu itu. Benar saja, di
bawah batu terdapat terdapat lubang dan tampak sebuah peti kayu yang
panjang. Ia mengeluarkan peti itu dan membawanya kepada suhunya, lalu
dengan hormat ia meletakkan peti di depan suhunya.
"Kau, Giok Ciu, kau ambil peti yang di bawah batu hitam di ujung
kanan itu." Bu Beng Lojin menyuruh murid perempuannya.
Giok Ciu juga melakukan perintah itu seperti yang dikerjakan
oleh Sin Wan. Kini dua buah peti itu telah berada di depan Bu Beng
Lojin. Bu Beng Lojin membuka peti-peti itu dan mengeluarkan dua macam
pedang yang luar biasa. Ketika ia mencabut pedang yang diambil oleh
Sin Wan maka di dalam gua itu lalu terlihat sinar putih berkilauan
dan kedua anak muda itu merasakan hawa dingin yang menyeramkan
keluar dari pedang itu. Pedang berwarna putih berkilauan bagaikan
perak dan gagangnya berukiran kepada naga bersisik putih.
"Inilah pedang pusaka keramat yang disebut Pek Liong Pokiam,


Kisah Sepasang Naga Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pedang Pusaka Naga Putih. Dan pedang ini berjodoh dengan Sin Wan."
Anak muda itu menerima pemberian suhunya dengan khidmat dan girang
sekali. Ia cepat berlutut dari tempat duduknya dan menghaturkan
terima kasih, lalu memasukkan kembali pedang itu ke dalam sarungnya
yang berukiran naga putih indah sekali.
Bu Beng Lojin lalu mencabut pedang kedua dan tiba-tiba dalam
kamar itu tampak cahaya kehitam-hitaman yang sangat menyeramkan,
juga dari pedang ini memancar hawa yang panas dan aneh. Pedang ini
berwarna hitam mulus dan mengkilap sedangkan gagangnya berukiran
kepala naga bersisik hitam.
?Inilah pedang pusaka yang tidak kalah saktinya, yang disebut Ouw
Liong Pokiam. Pedang Pusaka Naga Hitam. Pedang ini berjodoh padamu,
Giok Ciu." Gadis itupun menerima hadiah gurunya dengan penuh hormat
dan menghaturkan terima kasih pula.
Sin Wan teringat akan dongeng kakeknya dulu tentang dua ekor
naga yang menjelma menjadi sepasang pedang. Inikah pedang-pedang itu?
Ia ingin sekali bertanya kepada suhunya, tetapi tidak berani, karena
bukankah kakeknya dulu bilang bahwa itu hanya dongeng belaka.
Bu Beng Lojin dapat melihat keraguan Sin Wan, maka katanya
dengan sabar," Sin Wan, kau ingin bertanya sesuatu. Katakanlah, tak
perlu ragu-ragu karena sudah menjadi hak seorang murid untuk
bertanya dan sudah menjadi kewajiban seorang guru untuk
menjawabnya." "Suhu , dulu teecu pernah mendengar dari mendiang engkong tentang
dongeng sepasang naga putih dan hitam. Apakah dongeng itu ada
hubungannya dengan kedua pedang ini?"
Bu Beng Lojin tersenyum. "Engkongmu adalah Kang-lam Ciu-hiap Bun
Gwat Kong, bukan? Ia orang gagah yang patut dikagumi. Dongeng tinggal
dongeng muridku, boleh dipercaya dan boleh juga tidak. Hal ini aku
tidak berhak memecahkan. Nah, sekarang mari kita bicarakan hal yang
penting. Kalian telah mendapat didikan silat dari orang-orang pandai
sehingga aku tak perlu bersusah payah lagi. Juga kalian telah makan
Sastrawan Cantik Dari Lembah Merak 4 Wiro Sableng 101 Gerhana Di Gajahmungkur Kisah Sepasang Bayangan Dewa 5
^