Hexagon Love 2
Hexagon Love Karya Hasdian Ks Bagian 2
"Gue tau kalo abang ngaco." Ucap Dinda kemudian. Dan hal itu tanpa sadar membuat Zhafran bernafas lega.
"Udah ah. Dinda mau tidur. Udah malem, besok sekolah." Ucap Dinda lalu masuk ke dalam kamarnya, meninggalkan dua pria yang masih sibuk dengan pemikirannya.
*** Adinda tengah membawa buku-buku paket untuk di bawa ke perpustakaan saat bel istirahat tiba. Tidak banyak. Karena separuhnya lagi sudah di bawa oleh temannya.
Perlahan ia menaiki tangga, karena perpustakaan sekolahnya berada di lantai dua. Ia berjalan mendekati pintu masuk perpustakaan. Baru saja ia akan mendorong
pintunya, tapi seseorang telah menarik pintu itu secara tiba-tiba membuat Dinda terjatuh menubruk orang itu, dan sialnya semua buku berhamburan jatuh.
Menyadari posisinya yang seperti memeluk orang itu, ia segera menarik dirinya dan segera mengambil buku-buku yang berjatuhan.
"Aduh.. maaf-maaf. Gue nggak sengaja, lo nggak papa?" Tanya orang itu. Membuat Adinda mendongakkan kepalanya. Matanya membulat sempurna saat ia menatap
seseorang di hadapannya. "Kak Rama??" "Adinda??" Ucap Rama terkejut begitu pula Dinda.
"Lo nggak papa kan?? Sini gue bantuin." Ucap Rama lalu ikut berjongkok dan menata kembali buku yang tadi di bawa Adinda.
"Kak Rama kok keluar lewat pintu masuk sih? Ngagetin tau." Ucap Adinda setelah mereka selesai menata kembali buku-buku itu. Rama menggaruk tengkuknya yang
tidak gatal. "Pintu keluarnya rusak, nggak bisa di buka." Jawabnya dan Adinda pun mengangguk.
"Yaudah Dinda balikin buku dulu ya.. kak Rama nggak ke kantin?"
"Lagi males. Lo sendiri?"
"Sama, lagi males juga. Hehe"
"Eh, yaudah gih. Balikin dulu bukunya." Ucap Rama dan Adinda hanya tersenyum lalu segera menuju penjaga perpustakaan untuk mengembalikan buku. Setelah
selesai ia bergegas untuk kembali ke kelas, namun langkahnya terhenti saat ia melihat Rama masih berdiri di dekat pintu.
"Loh, kakak masih di sini?" Tanyanya. Lagi-lagi Rama menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
"Ah iya, btw gimana bukunya? Udah di baca?" Tanya Rama.
"Udah, tapi belum selesai."
"Kayaknya kita ngomong di luar aja deh. Di sini kan nggak boleh berisik." Ucap Rama lalu berjalan mendahului Dinda, sedangkan Dinda mengikutinya di belakang.
"Baru sampai mana bacanya?" Tanya Rama saat mereka sudah sampai di sebuah bangku dekat taman sekolah.
"Baru dikit sih, nggak sempet soalnya. Kalau bukunya Dinda pinjem agak lama, boleh kan kak?" Tanyanya.
"Boleh. Bawa aja dulu." Ucap Rama lalu tersenyum. Membuat Dinda menahan nafasnya. Huh.. haruskah disaat seperti ini Rama membuatnya terpesona? Tidak. Tidak
boleh. "Dinda?" Panggil Rama yang membuat Dinda kembali ke alam nyata.
"Eh iya, kak." *** "Katanya perasaan itu tidak bisa di paksa, karena perasaan itu hadir dengan sendirinya tanpa di minta."? Rendra menahan tawanya mulutnya berkedut-kedut
sedari tadi. "Terus-terus?" Tanyanya lagi.
"Katanya jangan munafik. Jangan membohongi perasaan sendiri. Karena berpura-pura baik-baik aja itu sakit." Dan kini tawa Rendra benar-benar pecah. Ia tak
bisa lagi menahan tawanya.
Sedangkan Aurel menatap Rendra kesal. Ia sudah bicara panjang lebar, sementara Rendra malah menertawakannya.
"Ih.. nyebelin.. lo kenapa ketawa? Nyebelin banget!!" Kesal Aurel.
Rendra berdeham-deham menghentikan tawanya.
"Maaf-maaf, abis lo mendadak bijak gini. Aneh banget tau nggak? Biasanya juga absurd nggak jelas. Eh tiba-tiba jadi kayak gini. Ya lucu aja." Ucapnya.
Aurel mengerucutkan bibirnya sebal, benar-benar sebal.
"Lo bilang gue absurd?? Masih absurd-an elo kali. Nyebelin banget!!.. gue pergi aja lah. Males gue ngomong sama lo." Ucapnya lalu pergi meninggalkan Rendra.
Rendra yang menatap kepergian Aurel pun segera bangkit dan mengusulnya.
"Jangan ngambek dong Rel." Ucap Rendra saat ia sudah mensejajari langkah Aurel.
"Bodo. Sekali nyebelin tetep aja nyebelin. Sana jauh-jauh." Usir Aurel.
"Yakin? Bukannya lo nggak bisa jauh dari gue?" Goda Rendra. Sementara Aurel mendengus kesal. Karena apa yang di katakan Rendra tidaklah salah. Dan saat
matanya menangkap Zhafran. Ia segera mendekati Zhafran yang tengah duduk sembari mendengarkan sesuatu dari ponselnya, karena terlihat headset yang tertancap
di telinganya. "Ran. Tolong usir dia Ran. Gue capek di gangguin mulu." Ucap Aurel pada Zhafran. Zhafran menoleh pada Rendra.
"Lah, bukannya bang Rendra pacar lo kak? Iya kan bang?" Ucap Zhafran asal.
"Idih. Nggak mau gue jadi pacar dia." Ucap Aurel. Tentu saja berbohong.
"Oh. Maunya jadi istri? Yaudah gih bang, di halalin." Ucap Zhafran semakin melantur.
"Kayaknya lo demam deh Ran, ke UKS dulu sana." Ucap Aurel lalu pergi meninggalkan Zhafran dan Rendra yang tengah tertawa.
"Puas-puasin aja tuh ketawanya." Sungut Aurel.
"Hati-hati kak. Biasanya yang bilang enggak mau itu aslinya mau banget." Teriak Zhafran pada Aurel.
*** 16. Bukan rasa yang salah
membawa kenangan. Benarkah begitu? Lalu kenangan apa yang terlintas saat hujan datang?. Hujan itu datang membawa rahmat bukan kenangan. Karena
kenangan hanya ada dalam pikiran seseorang yang mau mengenangnya.
"Gue suka petrichor. Tapi gue lebih suka pelangi." Rama menatap gadis yang kini tengah menghirup aroma tanah yang baru saja terguyur hujan. Ya, petrichor.
Begitu gadis itu menyebutnya.
Di tatapnya gadis itu. Matanya terpejam, tangannya merentang lalu ia menghirup udara dalam-dalam.
"Mengapa suka petrichor? Bau tanah sehabis terguyur hujan?" Tanyanya.
Gadis itu berbalik lalu menatapnya.
"Gue mau suka sama lo. Tapi gue rasa belum saatnya. Jadi gimana dong?" Rama tertawa mendengar ucapan gadis itu. Ia memegang dadanya yang berdetak kencang.
"Lo nggak ada niat buat duduk dulu?" Tanya Rama pada gadis itu. Gadis itu pun tersenyum lalu berjalan menuju bangku dan duduk disamping Rama.
"Aroma petrichor itu seperti aroma di pagi hari, segar." Ucap perempuan itu singkat. Rama hanya mengangguk. Lalu keduanya terdiam. Menikmati udara segar
karena baru terguyur hujan. Cukup seperti ini. Diam tanpa sepatah kata, asalkan bersama orang di sampingnya, Rama sudah bahagia. Sesederhana itu.
"Ram." Panggil perempuan itu, dan Rama hanya menoleh sebagai jawaban.
"Kita sahabatan sejak kapan?" Rama mengerutkan dahinya saat mendengar pertanyaan itu. Namun tak urung ia juga menjawabnya.
"Tiga tahun lalu."
"Udah lama ya?" Rama hanya mengangguk tanpa bersuara meski dalam hatinya di penuhi tanda tanya.
*** "Lo nggak mau lari?"
Zhafran mendengus saat mendengar pertanyaan yang di ucapkan Dinda.
"Lo ngga lihat gue masih pakai seragam?" Adinda tertawa mendengar respon Zhafran.
"Yaudah sih, lari aja. Mumpung hujannya belum berhenti. Bentar lagi juga pulang."
"Lo nyuruh gue hujan-hujanan tapi kalau nanti gue demam lo yang paling bawel."
Adinda tak menjawab, ia hanya terdiam fokusnya teralih pada dua sosok manusia yang tengah duduk bersama di depan kelas sembari menyaksikan hujan. Bukan-bukan
itu yang menjadi perhatian Adinda. Melainkan pada tatapan mata mereka yang begitu dalam. Membuat Adinda diam-diam kembali tersenyum getir menyaksikannya.
Zhafran yang tak mendapati jawaban dan Adinda pun menoleh, menatap Adinda yang kini hanya terdiam menatap lurus, membuat Zhafran turut menolehkan kepalanya
ke arah yang menjadi objek pengamatan Adinda.
"Kak Aurel dan Kak Rama." Gumam Zhafran, lalu ia menoleh pada Adinda yang masih terdiam.
"Din.." panggilnya.
"Dinda.." "Adinda.." panggil Zhafran untuk ketiga kalinya tapi Adinda masih saja terdiam.
Zhafran menggeser tubuhnya ke depan Adinda sehingga sekarang tubuhnya menghalangi pandangan Adinda. Dan tentu saja hal itu membuat Adinda terlonjak kaget.
"Lo apa-apaan sih Ran?" Dengus Adinda.
"Elo yang kenapa? Di panggil daritadi diem aja. Ternyata malah lihatin orang pacaran." Ucap Zhafran yang membuat mata Adinda membulat sempurna.
"Pa..caran? Maksud lo?" Zhafran hanya mengendikkan bahunya, tidak ingin menjawab pertanyaan Adinda.
"Maksud lo..maksud lo kak Aurel sama kak Rama pacaran?"
"Tau deh. Menurut lo?" Tanya Zhafran. Kini Adinda menggelengkan kepalanya.
"Setau gue, kak Rama suka sama kak Aurel. Dari cara dia lihatin kak Aurel udah jelas banget kalau tatapan itu berbeda." Ucap Adinda
"Tapi sayangnya kak Aurel sukanya sama bang Rendra. Dan bang Rendra.."
"Suka sama Clarista." Sambung Adinda. Dan Zhafran mengangguk.
"Dan gue sukanya sama elo" sambung Zhafran dalam hati.
*** Angin februari masih berhembus, tak jarang angin itu membawa awan hitam dan berujung pada hujan. Namun kali ini nampaknya langit baik-baik saja. Langit
biru masih mendominasi dan sepertinya tidak ada tanda-tanda kehadiran awan hitam.
"Jadi gimana?" Clarista tampak memulai percakapan setelah ia menghabiskan isi satu botol air mineral. Sementara yang di ajak bicara hanya menggelengkan
kepala. "Gue tau ini sulit." Ia beranjak untuk membuang botol bekasnya pada tong sampah lalu kembali mendudukkan badannya ke tempat semula.
"Gue rasa emang ini belum saatnya. Tugas gue masih belajar."
"Tapi tetap aja. Lo nggak bisa mengelak kan?" Sama kayak gue, lanjutnya dalam hati.
"Setidaknya gue bisa untuk memendam perasaan gue sampai waktunya tiba." Dan Clarista memilih untuk mengangguk. Karena sejujurnya, hal seperti itu pula
yang sedang ia lakukan. Karena pada dasarnya mencintai bukanlah sebuah kesalahan. Karena mencintai adalah hak dari setiap manusia. Tinggal bagaimana manusia itu meletakkan cintanya.
Apakah di tempat yang benar, atau di tempat yang salah. Semua tergantung pada masing-masing orang.
Sedangkan dengan memilih untuk mengubur perasaannya dalam-dalam. Itu juga sudah menjadi haknya. Karena sebenarnya cinta itu tidak bisa memaksa dan dipaksa.
"Terus gimana sama lo?" Clarista menoleh saat mendapatkan pertanyaan. Hatinya tiba-tiba berdesir kuat.
Masih sama. Buat lo. Batinnya.
"Gue belum kepikiran kesitu." Ucapmya bohong. Sementara lawan bicaranya tersenyum.
"Begitu lebih baik."
*** "Dua bulan lagi Rel.. dua bulan lagi." Oceh Rendra tiada henti sejak setengah jam lalu.
Aurel hanya memutar matanya sebal. Ia tau dua bulan lagi ia akan ujian dan setelah itu lulus lalu melanjutkan kuliah di universitas impiannya. Lalu apa
yang menjadi masalah dengan semua itu?
"Lo masih sering masuk di bimbel itu?" Aurel hanya mengangguk sebagai jawaban.
"Hah.." Rendra mengacak rambutnya frustasi.
"Gue perlu banyak belajar. Nyesel gue sering bolos bimbel, jarang fokus belajar. Dan akhir-akhir ini malah gue sering banget menghabiskan waktu gue untuk
futsal." "Makanya.. atur waktu dengan baik. Hobi sih hobi. Tapi jangan sampai hobi mengalahkan kewajiban. Rama aja yang sama-sama hobi futsal masih sempet buat
belajar." "Iya-iya. Gue emang nggak seperfect Rama." Ucap Rendra lesu.
Ia tidak akan menyalahkan Aurel yang membandingkan dirinya dengan Rama. Karena memang nyatanya Rama lebih baik dari dirinya.
Aurel menepuk bahu Rendra lalu memilih duduk di sampingnya.
"Gue nggak maksud buat ngebandingin lo sama Rama. Gue cuma mau lo sadar. Umur kita di SMA tinggal dua bulan. Dan kita masih butuh banyak persiapan. Lo
boleh futsal. Tapi tolong, atur jadwalnya baik-baik. Jangan sampai mengganggu waktu belajar lo."
Rendra mendongakkan menatap? Aurel yang juga tengah menatapnya.
"Gue boleh peluk lo nggak?"
Aurel membelalakkan matanya lalu ia segera beranjak dari duduknya. Jantungnya berdetak tak karuan mendengar ucapan spontan dari Rendra.
"Tenang aja kali Rel. Gue tau batasan gue, kok. Gue bersyukur aja punya sahabat kayak elo yang selalu ngingetin gue. Yaa.. walaupun sering masuk telinga
kanan keluar telinga kiri." Rendra terkekeh setelah mengucapkan itu semua. Sedangkan Aurel masih terdiam, mencoba mengatur detak jantungnya agar kembali
berdetak dengan normal. "Ya.. biarpun lo nyebelin. Tapi lo tetep sahabat gue."
"Yang tersayang nggak?" Tanya Rendra sembari mengerlingkan matanya, jahil.
Dan Aurel menghela nafasnya, ia tau bahwa Rendra hanya menggodanya. Tapi tetap saja. Itu berefek pada hatinya.
"Bodo." Ucapnya cuek lalu melenggang pergi meninggalkan Rendra.
*** 17. Jam sudah menunjukkan pukul 3 pagi. Rama segera bergegas untuk mengambil air wudhu dan bersiap untuk sholat tahajud. Namun saat ia telah menggelar sajadahnya.
Ia teringat sesuatu. Kemudian ia segera mengambil ponselnya dan menghubungi sebuah nomor di panggilan terakhirnya. Lama tak panggilannya tak ada jawaban.
Hingga panggilan ke lima barulah ia mendengar sebuah jawaban dari sebrang sana.
Rama tersenyum saat mendengar suara serak khas bangun tidur.
"Udah bangun?" Tanya nya.
"Lagi ngumpulin nyawa." Lagi-lagi Rama tersenyum mendengar suara itu.
"Buruan gih ambil wudhu. Katanya mau tahajud."
"Oh iya. Makasih ya udah di bangunin."
"Yaudah. Langsung wudhu jangan tidur lagi."
"Iya-iya. Ini langsung bangun kok."
"Yaudah Assalamu'alaikum."
*** "Waalaikumsalam." Aurel menutup telfonnya. Lalu ia segera bangun untuk mengikat rambutnya, jam menunjukkan pukul tiga lebih tiga puluh.
Dinginnya air menyentuh kulit Aurel. Namun lama-kelamaan rasa dingin itu berubah menjadi segar. Setelah selesai berwudhu ia segera mengenakan mukenanya
dan setelah itu saatnya ia berduaan dengan Sang Penciptanya.
Dalam hatinya begitu besyukur diberi banyak kenikmatan. Namun tetap saja ia manusia biasa yang terkadang lalai, manusia yang serakah yang terkadang tidak
pernah merasa puas. Dan kali ini ia benar-benar bersyukur untuk segala yang ia terima hingga saat ini terlebih lagi ia memiliki sahabat-sahabat yang sangat baik dan bisa membimbingnya
menuju kedalam kebaikan. *** "Sholat jumat dulu gih. Terusin nanti lagi." Adinda membereskan buku-buku yang ada di hadapannya sementara Zhafran segera beranjak untuk bersiap-siap pergi
ke masjid. "Lo nggak pulang dulu?" Tanya Zhafran sebelum ia meninggalkan Adinda.
"Dirumah nggak ada orang. Gue disini aja. Nanti gue sholat bareng tante Syania." Zhafran pun mengangguk lalu pergi meninggalkan Adinda. Sedangkan Adinda
memilih untuk memberesi buku-buku pelajarannya. Dan segera menuju dapur membantu Syania memasak untuk makan siang.
Terkadang rumah Zhafran memang menjadi rumah keduanya. Karena baik Syam maupun Syania sama-sama menganggap dirinya sebagai anak. Lantas ia memposisikan
dirinya sebagai kakak Zhafran. Ya.. ia lebih suka menjadi kakak Zhafran. Meskipun terkadang menyebalkan tetap saja ia sayang. Dan harusnya Zhafran juga
memposisikan dirinya sebagai adik. Seharusnya begitu. Tapi tetap saja. Hati siapa yang tau.
"Masak kesukaannya Zhafran ya tante?" Tanyanya pada Syania yang tengah menumis sayuran.
Wanita paruh baya itu pun tersenyum.
"Kamu makan siang di sini ya Din."
"Emang udah niat mau makan masakan tante kok." Jawabnya cengengesan. Sementara Syania hanya kembali tersenyum.
"Yaudah kamu duduk gih."
"Yah. Kok duduk sih. Dinda kan mau bantuin. Jadi apa yang bisa Dinda bantu?"
*** "Jadi intinya kita harus terus berbaik sangka kan Ram?" Rama mengangguk, mengiyakan pertanyaan Aurel.
"Dengerin tuh. Harus positif thinking. Yakin lo pasti bisa, jangan apa-apa langsung nyerah."
"Jangan lupa, usaha juga disertai doa." Tambah Rama.
Sementara Rendra yang menjadi pendengar hanya menganggukkan kepala.
"Berpikir positif itu penting. Lo tau sugesti kan? Terkadang tanpa kita sadari sugesti juga mempengaruhi keberhasilan kita. Ya walaupun belum pasti juga
sih. Setidaknya jika kita menyugesti bahwa kita bisa. Maka kita akan mempunyai semangat dan tekad kuat yang membantu kita untuk mencapai keberhasilan.
Beda lagi kalau dari awal kita berpikir bahwa kita 'tidak bisa' maka diri kita jadi malas dan tidak punya semangat untuk mencapai keberhasilan."
Sekal lagi baik Rendra maupun Aurel menganggukkan kepala mendengar penjelasan Rama.
"Oke. Sekarang kalian bantuin gue ya. Gue sebenernya paham sih. Tapi agak lupa." Ucap Rendra sembari menyodorkan tumpukan buku-bukunya.
"Gue biologi, Rama Fisika, oke?" Ucap Aurel membagi tugas dan langsung di setujui oleh kedua sahabatnya.
"Dan kayaknya kali ini, lo belajar dulu deh sama Rama. Biologinya besok. Soalnya gue ada janji mau pergi sama papa." Lanjut Aurel.
"Jangan lupa oleh-oleh." Teriak Rendra saat Aurel hendak melangkahkan kakinya.
"Belajar yang rajin dulu sama Rama. Nanti gue kasih oleh-oleh."
"Berasa gue jadi anak lo berdua deh." Gerutu Rendra yang membuat Aurel tergelak.
"Yaudah nak. Baik-baik sama papa ya, jangan nakal. Mama pergi dulu. Assalamu'alaikum." Ucap Aurel lalu pergi.
Sementara tanpa Aurel sadari, ia telah membuat satu hati membuat pengharapan dan hati itu juga mengaminkan bahwa suatu saat ia ingin memiliki sapaan itu
dengan Aurel. *** "Kok pulangnya sampai larut gini Ran? Dari mana aja?" Tanya Syania pada putra sematawayang nya.
Zhafran mencium tangan mamanya kemudian menghampiri papanya yang tengah duduk sembari menikmati secangkir kopi.
"Tadi ma, habis pengajian. Zhafran lihat ada kecelakaan. Nenek-nenek gitu. Kebetulan disitu ada temen Zhafran, yaudah Zhafran sama temen Zhafran bantuin
nenek-nenek itu terus Zhafran anterin ke rumah sakit, terus nganterin temen Zhafran juga." Jelas Zhafran.
"Temennya laki-laki atau perempuan Ran?" Tanya Syam sembari menatap anaknya.
"Perempuan pa, emangnya kenapa?"
"Nggak papa. Ati-ati aja kalau nanti jatuh cinta." Ucap Syam sembari melirik Syania yang tiba-tiba tersedak.
"Hati-hati ma." Ucap Zhafran dan papanya secara bersamaan.
"Apalagi kalau temen kamu itu cuek. Ati-ati aja pokoknya."
"Emang kenapa sih, pa?" Tanya Zhafran bingung.
"Udah-udah. Sana gih ganti baju. Jangan dengerin papa kamu." Ucap Syania. Dan saat Zhafran telah pergi, Syam pun tertawa puas karena melihat rona merah
di pipi istrinya saat mengingat pertemuan pertama mereka dulu.
*** "Lo udah sampai rumah?" Tanya Clarista pada seseorang di seberang sana.
"Alhamdulillah udah sampai rumah dengan selamat" Clarista tersenyum mendengar jawaban itu.
"Lo nggak tidur?"
"Kalo tidur, gue nggak mungkin telfon lo dong."
"Ya bukan gitu."
"Gitu gimana sih Ris?"
"Ya gitu." "Oh gue tau. Lo mau ngucapin 'selamat malam Zhafran. Selamat tidur, semoga mimpi indah. Jangan lupa berdoa yaa'. Gitu kan??" Dan kali ini Clarista benar-benar
tidak mampu lagi menahan tawanya.
"Malah ketawa. Beneran gitu kan?"
"Iya in aja deh. Biar lo seneng."
"Waah.. makasih Clarista. Lo udah buat gue seneng." Dan lagi-lagi Clarista tertawa.
"Sama-sama Zhafran."
Setelah itu terjadi hening beberapa saat. Baik Zhafran maupun Clarista sama-sama terdiam, sementara sambungan telfon mereka masih terhubung.
"Ris, lo masih disana kan?"
"Iya Ran." "Gue mau ngomong serius nih." Ucap Zhafran. Clarista terdiam, ada sesuatu yang bergetar dalam hatinya.
"Serius?" "Iya, tadi papa gue bilang. Gue suruh hati-hati kalau sama lo."
"Hati-hati? Maksudnya?"
"Papa gue bilang, harus hati-hati karena nanti bisa-bisa gue jatuh cinta sama lo. Dan gue rasa.. gue.." ucap Zhafran menggantung dan tanpa sadar membuat
Clarista menahan nafasnya.
"Lo kenapa?" Tanya Clarista tak mampu menahan rasa penasarannya.
"Gue.." Clarista masih terdiam menunggu kelanjutan ucapan Zhafran. Bahkan kali ini ia bisa merasakan detak jantungnya yang tiba-tiba berdetak kencang.
"Gue mau tidur Clarista. Udah malam. Lo juga buruan tidur yaa, jangan begadang. Awas jangan baper juga. Selamat malam. Selamat tidur, semoga mimpi indah
yaa. Jangan lupa berdoa. Assalamu'alaikum."
Belum sempat Clarista membalas salam Zhafran sambungan telfonnya sudah terputus secara sepihak. Membuat Clarista merasa tidak karuan. Antara kesal, kecewa,
lega, semua bercampur menjadi satu.
"Jangan baper." Ucap Clarista pada dirinya.
*** 18. hati yang terluka Clarista terkejut saat tiba-tiba ia merasakan sesuatu yang dingin dipipinya. Ia menoleh dan mendapati Zhafran tengah tersenyum sembari menempelkan satu
botol air mineral dingin ke pipi Clarista yang membuat gadis itu buru-buru mengambil botol itu. Clarista mendengus.
"Ngagetin tau." Kesalnya. Sementara Zhafran malah terkekeh lalu mendudukkan tubuhnya di samping Clarista. Matanya menatap lurus pada gadis yang kini tengah
mengomel pada Rendra. Sementara Rendra hanya bisa memutar matanya sebal.
"Kenapa sih?" Tanya Zhafran pada Clarista yang masih sibuk meminum minumannya. Kemudian Clarista segera menutup botol minumnya.
"Biasalah. Bang Rendra kan usil." Jawabnya santai.
"Lo kenapa nggak suka sama bang Rendra, Ris? Dia kan ganteng." Clarista menoleh saat mendengar Zhafran berbicara. Namun ia segera mengalihkan pandangannya
lagi saat matanya tanpa sengaja bertemu dengan mata Zhafran yang tengah menatapnya. Clarista terdiam. Enggan menjawab pertanyaan Zhafran. Sementara Zhafran
terus saja menanti jawaban dari Clarista.
"Karna dia usil ya? Atau nyebelin?" Tanya Zhafran lagi yang membuat Clarista menghela nafas panjangnya.
"Gue suka sama bang Rendra. Dia udah kayak kakak gue sendiri." Jawab Clarista.
"Tapi bukan itu yang.."
Hexagon Love Karya Hasdian Ks di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ran.." ucap Clarista memotong perkataan Zhafran.
"Lo pikir dalam menyukai seseorang bisa semudah itu? Asal dia ganteng atau cantik terus lo bisa suka? Enggak kan. Karena hati dan perasaan itu nggak bisa
dipaksa. Seperti halnya lo. Kenapa lo suka sama Dinda? Kenapa bukan kak Aurel aja yang lo suka?" Atau gue-- lanjut Clarista dalam hati.
"Ris, lo marah ya? Gue nggak bermaksud..."
"Gue nggak marah kok. Santai aja." Ucap Clarista lalu kembali meneguk air mineralnya.
"Terus, kalo kadang ada orang yang menikah bukan karena cinta itu gimana? Misalnya dijodohkan? Bukankah hati dan perasaan tidak bisa dipaksakan? Tapi buktinya
mereka yang menikah tanpa cinta pun menjadi saling mencintai." Tanya Zhafran lagi. Dan lagi-lagi Clarista menghela nafas panjangnya.
"Zhafran. Gue itu bukan pakarnya cinta. Kenapa sih setiap lo sama gue, lo selalu menanyakan hal yang berbau cinta sama gue?"
"Karena gue yakin lo bisa jawab. Kalo enggak, ngapain gue nanya, ya kan?"
"Oke gue nggak bisa jawab."
"Gue yakin lo bisa. Jadi kenapa?"
"Dasar nyebelin." Ucap Clarista lalu pergi meninggalkan Zhafran. Namun Zhafran tak tinggal diam. Ia berdiri lalu menyusul Clarista meminta jawaban hingga
akhirnya gadis itu pun menyerah dan memilih untuk mendudukkan badannya pada bangku yang ada di dekat taman sekolah.
"Lo tau istilah jawa wit ing tresna jalaran sangka kulina yang artinya cinta itu bermula karena terbiasa?" Tanya Clarista dan Zhafran menganggukkan kepalanya.
"Jadi dalam pernikahan itu cinta adalah sebuah keharusan. Mungkin awalnya tidak ada cinta. Tapi cinta itu bisa dibentuk melalui kebersamaan mereka. Melalui
keterbiasaan dengan adanya pasangan mereka. Jadi menurut gue. Cinta dalam sebuah pernikahan memang di haruskan ada. Tapi kalo masih kayak kita gini. Masih
labil. Bicara cinta sepertinya memang belum saatnya. Lagian kenapa sih lo tanya-tanya soal nikah? Lo mau nikah muda ya?" Tanya Clarista sembari menatap
Zhafran penuh selidik. Sementara Zhafran yang di tatap seperti itu malah mengerlingkan matanya yang membuat Clarista mendelik sebal.
"Kan abis lulus gue mau nikahin lo." Ucap Zhafran lalu berlari sebelum ia mendapatkan teriakan dari Clarista karena berhasil menggoda gadis itu.
Clarista mengerjabkan matanya berulang kali. Jantungnya tiba-tiba berdetak tak karuan karena ucapan Zhafran. Ah lagi-lagi sindrom degdegan kembali menghampirinya.
*** "Kenapa sih semuanya jadi anteng kalem gini kalo sama Rama? Kalo sama gue aja galaknya minta ampun. Apa salah hamba ya Allah." Keluh Rendra saat melihat
Aurel maupun Dinda tengah duduk kalem sembari menikmati makanannya. Jauh berbeda sebelum Rama datang, kedua gadis itu terus saja mengoceh mengomeli dirinya.
Inilah.. itulah.. semua yang ia lakukan seolah tidak ada yang benar.
"Elo sih nyebelin." Ucap Aurel dan langsung didukung dengan anggukan kepala dari Dinda.
"Kayaknya lo cocok deh Ram kalo punya istri banyak. Semuanya akan damai. Lah kalau gue? Bisa pada perang tuh istri gue nanti gara-gara rebutin gue." Ucap
Rendra asal. "Bang Rendra apaan sih. Sekolah aja belum lulus. Udah ngomongin istri. Istri satu aja belum punya. Malah ngomongin istri banyak." Omel Dinda yang membuat
Rama terkekeh. "Eh anak kecil? Kenapa sih sewot mulu? Lo mau daftar jadi istri gue? Ngomong dong. Jangan ngomel mulu bisanya." Dinda mendengus mendengar perkataan Rendra.
Memang benar-benar menyebalkan satu mahluk ini.
"Yakali gue mau jadi istri abang."
"Hati-hati loh Din. Masa depan nggak ada yang tau." Ucap Rama yang membuat Dinda menampilkan cengirannya.
Aurel yang duduk diantara Dinda dan Rama hanya terdiam menikmati makanannya. Ia terlalu malas mengomentari ocehan manusia yang ada di hadapannya. Terkadang
ia juga bingung. Mengapa ia bisa jatuh cinta kepada mahluk seperti Rendra yang sudah jelas selalu membuat rusuh dan sangat menyebalkan. Bukankah ini aneh?.
"Tumben tuan putri diem. Biasanya cerewet." Ucap Rendra yang sedari tadi melihat Aurel hanya terdiam.
"Tuan putrinya lagi males ngomong sama lo kali." Jawab Rama mewakili Aurel. Sedangkan Rendra mendengus.
"Yaudah yuk balik. Udah bel nih. Dan lo anak kecil. Sono balik ke kelas lo. Belajar yang bener." Adinda mendengus mendengar ucapan Rendra. Sekali menyebalkan
tetap saja menyebalkan. *** Rendra mengubah posisi tidurnya menjadi duduk. Ia mengacak rambutnya. Sesuatu telah mengusiknya.
"Salah nggak sih kalau gue minta tolong Aurel buat deketin gue sama Clarista?"
Rama yang tengah sibuk dengan novelnya pun mendongak menatap Rendra yang tengah duduk di atas sofa ruang keluarga rumahnya.
"Salah." Jawab Rama lalu kembali melanjutkan membacanya.
Rendra semakin gusar. Ia kadang bingung dengan perasaannya sendiri. Ia sangat suka dengan Clarista tapi disisi lain hatinya juga mengingatkan bahwa ini
belum waktunya. Tapi tetap saja, yang namanya masa remaja memang tak pernah lepas dari rasa suka terhadap lawan jenisnya bukan? Dan Rendra juga yakin bahwa
setiap remaja seusianya pasti pernah merasakannya.
"Terus gue harus gimana?" Tanya Rendra sembari menatap Rama yang masih asik membaca. Tak ada jawaban yang Rendra dapatkan selain Rama yang mengendikkan
bahunya. Dan hal itu tentu saja membuat Rendra semakin kesal.
"Elo mah selalu tanpa solusi kalo sama gue." Dengus Rendra. Dan kali ini Rama menurunkan bukunya. Ia menghela nafas panjangnya sebelum berkata-kata.
"Setiap tindakan yang lo buat. Lo harusnya berpikir bagaimana kedepannya. Dan lo juga harus tengok ke sekeliling lo. Karena kadang tanpa lo sadari, ada
hati yang terluka karna tindakan lo. Jadi menurut gue sih. Lo harus banyak berpikir lagi deh soal perasaan lo itu. Dan.. menurut gue sih untuk saat ini
yang jauh lebih penting adalah ujian yang bentar lagi datang." Rama berucap panjang lebar kemudian kembali lagi pada aktivitasnya. Sementara Rendra menghempaskan
tubuhnya kembali di sofa.
"Bisa nggak sih ujiannya di skip aja?"
"Menghadapi ujian sekolah aja udah ngeluh. Gimana menghadapi ujian hidup." Cibir Rama di sela-sela membacanya.
"Pinter lo Ram."
*** 19. Diam-diam sih harus yang berguna kalo menurut gue. Sering-seringin ikut kegiatan positif kembangin potensi yang kita miliki. Kalo remaja macem kita
aja udah bertindak negatif, gimana nanti adek-adek kita yang masih kecil? Mereka kan mencontoh dari orangtua dan kakak-kakaknya."
"Tapi kak. Nggak semua remaja sadar akan potensi yang mereka miliki, nggak semua remaja juga mau berpikir dan bertindak positif. Kebanyakan dari mereka
hanya mengutamakan kesenangan sesaat dengan hal-hal yang kadang nggak cuma merugikan diri mereka sendiri tapi juga merugikan orang lain."
"Misalnya?" Zhafran yang sedari tadi hanya diam mendengarkan argumen Rama dan Clarista kini bersuara.
"Ya contohnya sih banyak, misalnya Malas belajar, Tawuran, melanggar aturan sekolah dan yang paling meanstrem ya pacaran. Pokoknya contohnya banyak deh.
Susah kalau disebutin satu-satu."
"Tapi kan pacaran itu sebagai sarana pengekspresikan rasa terhadap seseorang yang kita sayang, kalau gue sih nggak terlalu bermasalah sama yang namanya
pacaran selagi pacarannya yang positif dan nggak macem-macem." Dan Rendra yang sedadi tadi sibuk dengan ponselnya pun ternyata diam-diam mengikuti diskusi
mereka dan kini ia menyuarakan apa yang ada di pikirannya.
"Oke siapa dulu nih yang mau berpendapat?" Tanya Rama menengahi. Sore ini mereka tengah berada di rumah Adinda, awalnya sih hanya ada Dinda dan Clarista.
Namun Rendra yang tengah bersama Rama memilih menyusul, tentu saja dengan modus Rendra yang ingin bertemu Clarista. Tapi sebelum mereka datang, Rendra
dan Rama menyempatkan untuk menjemput Aurel. Dan Zhafran yang datang paling akhir karena Dinda menelfonnya.
Sedangkan diskusi ini entah mulai dari mana, awalnya mereka hanya berbincang masalah biasa lalu berujung pada hal ini.
"Oke biar gue dulu." Ucap Dinda yang baru datang dengan beberapa minuman dan makanan ringan. Kemudian ia memilih duduk diantara Clarista dan Aurel.
"Gue sih sebagai manusia biasa nggak bisa memungkiri kalau gue pun punya rasa suka sama yang namanya lawan jenis. Terutama di usia kayak kita ini. Tapi
meski begitu, gue sih akan berusaha untuk nggak pacaran karena selain nggak boleh sama ayah dan umi, menurut gue pacaran itu nggak berfaedah."
"Gue setuju." Sahut Aurel
"Mungkin iya pacaran itu sebagai sarana mengekspresikan rasa suka kita terhadap lawan jenis seperti yang Rendra bilang, tapi tetep aja yang namanya pacaran
itu belum halal. Ibaratnya makanan nih, kalau yang nggak jelas kehalalannya aja nggak boleh dimakan. Nah pacaran juga yang udah pasti enggak halal, jadi
harusnya tidak dilakukan. Lagi pula kalau pacaran pasti ujungnya galau. Pacarnya gini dikit galau, salah dikit galau, nggak di chat galau. Ribet dah."
"Alah elo aja yang jomblo suka galau gitu, Rel." Aurel mendengus mendengar cibiran Rendra. Pria itu memang selalu saja berisik.
"Ya galaunya gue beda kali sama galaunya orang pacaran. Kalau jomblo itu kesadarannya lebih tinggi. Mereka dari awal udah sadar kalau dia tidak memiliki.
Lah kalo pacaran? Bukan haknya tapi sok-sok ngatur dan sok memiliki."
"Gini nih." Sela Rama.
"Jadi pada dasarnya kita itu boleh jatuh cinta. Tapi yang namanya jatuh, pasti merasakan sakit. Jadi tinggal gimana kitanya aja memenage hati dan perasaan
kita. Ini juga penting untuk kita sebagai remaja. Rasa cinta yang kita miliki itu apa sih? Masih ngambang kan? Belum ada kepastian yang jelas. Jadi ya
kita harus jaga hati dan jaga perasaan. Gimana supaya rasa cinta kita itu terkendali. Tidak diumbar sana sini. Daan.. sebenarnya cinta yang paling baik
itu kan cinta kepada Allah. Dan ini yang sering kita lupain. Kita seolah-olah mengagungkan cinta kita kepada sesama manusia. Kepada sama-sama makhluk ciptaan
Allah. Sementara cinta kepada Allah sendiri, cinta kepada Dzat Pemilik Cinta kita lupakan. Itu yang seharusnya kita garis bawahi."
"Gue sih setuju banget sama kak Rama." Clarista melirik Zhafran yang mulai bersuara.
"Jadi kesimpulannya. Kita harus menata hati kita, mengatur perasaan kita agar tidak menjadi hal yang salah, simpan rasa kita sampai pada waktu yang tepat,
kalau udah jatahnya jodoh juga bakalan bersatu. Nggak harus pacaran nggak harus diumbar-umbar."
"Jadi cinta dalam diam gitu ya Ran?" Tanya Aurel.
"Yap.. tepat banget."
"Yaudah sih. Diminun dulu minumannya, jangan lupa camilannya dimakan juga." Ucap Adinda yang langsung membuat semuanya tertawa namun tak urung mereka mengambil
minuman masing-masing. Satu hal yang Dinda Syukuri karena mengenal orang-orang di hadapannya yaitu banyaknya pelajaran dan kebaikan yang ia dapat saat bersama mereka.
Hari pun semakin larut, matahari sudah mulai tenggelam maka baik Rama, Clarista dan juga Aurel memilih untuk berpamitan pulang, sedangkan Zhafran dan Rendra
masih menetap di rumah Dinda.
"Kalian nggak pulang?" Tanya Dinda sembari membereskan buku-buku sisa belajar dirinya dengan Clatista.
"Ini mau pulang, gue tunggu di perempatan ya Ran. Jalan kaki aja lah. Deket juga masjidnya." Ucap Rendra sembari beranjak dari duduknya. Sedangkan Zhafran
hanya menganggukkan kepala.
"Oiya Din." Panggil Rendra yang membuat Dinda menoleh.
"Nggak papa sih gue cuma manggil. Haha. Assalamu'alaikum."
*** Aurel dan Clarista yang kebetulan ikut pulang dengan menumpang di mobil Rama pun harus pulang terlambat karena kemacetan yang menghambat jalan mereka.
Wajar saja, saat ini adalah jam pulang kerja jadi tidak aneh jika jalan menjadi macet.
Clarista yang duduk sendiri di jok belakang pun memilih memasang earphone nya? karena ia tidak ingin menguping ataupun mengganggu percakapan antara Aurel
dan Rama. "Jadi lo juga pernah gitu suka sama seseorang?" Tanya Aurel tak percaya. Bagaimana tidak, Rama yang selalu tertutup masalah perempuan pun pernah jatuh
cinta. "Gue normal kali Rel." Ah iya, Aurel lupa. Rama juga manusia seperti dirinya jadi tentu saja Rama pernah suka dengan seseorang. Tapi tetap saja ini sangat
mengejutkan bagi dirinya.
"Terus-terus." Kejarnya.
"Terus apanya?"
"Ya gimana perasaan lo? Terus cewek itu gimana? Suka juga nggak sama lo?"
"Lo lama-lama kayak wartawan ya." Ucap Rama sembari tertawa. Padahal hatinya sudah berlari-lari sejak tadi. Bagaimana tidak, ia diwawancarai langsung oleh
orang yang ia suka. "Ya perasaan gue itu apa sih? Masih ngambang juga kan? Jadi ya gue cuma bisa diem. Diem-diem mencintai. Diem-diem doain dia, diem-diem bicarain dia sama
Allah. Apalagi?." "Uuhh so sweet yaa cara lo mencintai. Ada nggak ya yang diem-diem doain gue gitu kayak elo."
Ada Rel, Guee!! "Terus ceweknya itu gimana? Boleh dong kasih tau gue. Gue penasaran tau Ram." Tanya Aurel lagi.
"Apaan sih Rel, dia tuh suka sama orang lain deh kayaknya. Udah ah.. malu gue." Pungkas Rama yang membuat Aurel sedikit kecewa.
"Bodoh tuh cewek. Nggak lihat apa? Temen gue cakep gini. Sholeh pula. Malah suka cowok lain." Gerutu Aurel yang membuat Rama tersenyum miris.
"Udah deh. Jangan suka ngatain orang." Karena yang lagi lo katain bodoh itu lo sendiri. Lanjut Rama dalam hati.
*** 20. Cerminan diri Dinda baru saja turun dari bus yang membawanya kembali sekolah setelah ia mengikuti olimpiade kimia tingkat kota. Dan kedatangannya langsung disambut oleh
Clarista, Aurel dan Rendra.
"Zhafran mana bang?" Tanyanya saat ia tak menemukan Zhafran berdiri disana.
"Lagi ada perlu tadi sama pak Reza. Gimana olimpiadenya?" Tanya Rendra bersemangat begitu pula Aurel dan Clarista yang tampak sangat antusias dengan jawaban
yang akan diberikan Dinda.
Tapi Dinda hanya terdiam. Ia merasa tidak enak jika harus menyanpaikan kabar buruk.
"Lo gagal?" Tebak Clarista. Dan ya.. Dinda tidak mengelak ia hanya mengangguk lesu sembari memeluk Clarista.
"Udah santai aja. Menang kalah itu biasa. Jangan terlalu di pikirin." Ucap Rendra menasehati.
"Nih ya, biar gini-gini juga gue pernah gagal. Dulu sebelum gue bisa ikut kejuaraan futsal tingkat nasional pun gue pernah gagal. Bahkan gue nyaris gugur
di tahap seleksi untuk masuk tim nasional. Tapi, yaa apapun yang terjadi gue syukuri. Dan setiap kegagalan yang gue alamin itu gue jadiin tombak untuk
gue bangkit. Karena gue percaya bahwa Allah akan memberikan yang terbaik untuk hambanya. Dan kegagalan itu adalah sebagai ujian untuk kita apakah kita
kuat menghadapi atau tidak. Jadi.. jangan sedih. Lo gagal sekarang, besok bisa lo coba lagi, bukan malah nyerah. Dari kegagalan itu harus buat lo bangkit.
Harus buat lo lebih maju. Dan satu lagi. Banyakin berdoa. Karena usaha tanpa berdoa akan sia-sia. Masa iya lo usaha doang tanpa meminta kepada Allah. Kan
Allah yang ngatur rezeki kita, Allah yang ngatur segalanya. Kalau lo cuma usaha tapi nggak mau minta sama Allah. Ya mana Allah mau ngasih. Dan juga sebaliknya.
Kalo lo cuma modal doa pun tanpa lo usaha, semua juga bakal sia-sia. Yakali lo cuma minta doang tanpa usaha. Ya gimana Allah mau kabulin doa lo. Udah..
semangat lah. Jangan terlalu dipusingin."
Adinda hanya mengangguk mendengarkan nasehat Rendra. Benar apa kata Rendra, kegagalan seharusnya membuat ia menjadi semangat untuk mengejar keberhasilan
bukan malah menjadikannya menyerah.
Sedangkan Aurel malah tampak takjub dengan Rendra, ia tidak pernah menyangka bahwa pria yang sableng itu bisa berucap sedemikian bijak.
"Ya meskipun bidang kita beda sih, gue di bidang non akademik sementara lo di bidang akademik. Tapi setidaknya pengalaman gue bisa lo jadiin pelajaran
bahwa setiap kegagalan adalah awal dari kesuksesan bukan kehancuran." Lanjut Rendra.
Dan kali ini Aurel benar-benar terpukau dengan Rendra. Bahkan ia sampai secara terang-terangan menatap penuh takjub ke arah Rendra.
"Iya Rel, gue tau kalau gue keren. Jadi lo biasa aja dong." Ucap Rendra yang membuat Aurel memutar bola matanya. Tapi ia tak berucap apa-apa karena ia
sudah cukup tau watak dari laki-laki di sampingnya ini.
*** Mentari tampak meredup, sebentar lagi hujan mungkin akan turun dengan rintiknya.
Dinda tampak berlari menyeberang jalan berharap hujan turun beberapa saat lagi agar ia tidak basah kuyup. Ia meletakkan tas yang berisi belanjaan kebutuhan
rumah titipan Uminya di dekat tempat ia duduk. Sementara laki-laki yang tadi mengantarnya tengah berdiri di sampingnya menanti hujan.
Kali ini Dinda dan Zhafran sengaja pergi dengan menggunakan bus trans daripada menggunakan mobil. Karena Dinda ingin merasakan seperti apa serunya jika
bepergian menggunakan bus.
"Lo bawa jaket kan? Buruan dipake, anginnya kenceng banget." Dinda hanya menganggukkan kepalanya saat Zhafran memintanya untuk mengenakan jaket. Lalu ia
segera mencari jaketnya yang ia masukkan di tas punggung yang ia bawa. Beruntung tadi sebelum berangkat Zhafran mengingatkannya untuk membawa jaket. Meski
awalnya ia enggan membawa, namun karena paksaan Zhafran akhirnya ia membawa jaket juga.
"Kok lo tau sih kalau mau hujan?." Tanya Dinda heran. Sementara Zhafran malah tersenyum.
"Lo lupa kalau gue penikmat hujan?." Dan Dinda pun baru menyadari hal itu. Ia lupa kalau Zhafran sangat peka terhadap hujan.
Dan tak perlu menunggu lama lagi, hujan turun dengan derasnya. Dinda sedikit berpindah ke tengah halte bus, perlahan halte menjadi penuh karena banyaknya
orang-orang yang berteduh. Dinda sedikit risih saat ada seorang laki-laki yang duduk sangat dekat dengan dirinya. Akhirnya ia pun memilih untuk bangkit
dan berdiri bersama Zhafran.
"Lo duduk aja, nanti basah loh."
Dinda menggelengkan kepalanya. "Gue nggak nyaman. Mas itu duduknya mepet-mepet mulu deh."
Zhafran pun menganggukkan kepalanya saat mendengar penjelasan Dinda.
"Yaudah lo berdiri di belakang gue aja. Jangan ikut-ikutan kayak gue. Nanti lo sakit lagi."
Dinda pun mendengus. "Apaan sih. Lebay deh.. dulu juga kan gue suka main hujan sama lo. Sama bang Rendra juga kan? Keliling kompleks. Haha."
"Dan elo yang sering banget sakit sehabis hujan-hujanan. Entah itu flu, batuk, ataupun demam."
"Dan elo yang selalu buatin coklat panas sama jahe ke gue. Eh btw.. buatin lagi dong Ran, udah lama kan lo nggak buatin gue coklat panas."
"Iya nanti gue buatin. Udah gih, itu busnya udah dateng. Yuk masuk."
*** "Jadi?" Dinda menanyakan kesimpulan dari pembicaraanya siang ini. Ia bersama Rama, Aurel dan Zhafran tengah duduk di kedai es krim setelah dari toko buku.
"Ya kalau gue sih balik lagi. Semua tergantung pandangan masing-masing orang. Kalau menurut gue sih, boleh-boleh aja mengagumi seseorang. Asalkan rasa
kagumnya itu tidak mengalahkan rasa cintanya terhadap Allah."
"Emang lo lagi mengagumi seseorang, Din?." Tanya Aurel yang membuat Dinda hanya mengangguk kaku.
"Curhat saja sama Allah, jangan pernah tinggalin doa disepertiga malam terakhir. Gue juga mengagumi seseorang. yang namanya rasa suka itu pasti ada. wajar
sih, tapi caranya juga harus benar. ya saling mendoakan aja disepertiga malam terakhir. Gue percaya kok sama Allah, orang baik pasti dapat orang baik juga
yg namanya jodoh itu cerminan dari diri kita sendiri."
Dinda terdiam. Benar apa kata Rama. Jodoh adalah cerminan diri sendiri. Tapi saat mendengar Rama juga mengagumi seseorang. Hatinya langsung bisa menerka
siapa 'seseorang' itu. Tentu saja Aurel, dan sayangnya bukan dirinya.
"Tapi kak, kalau orang yang kita kagumi ternyata mengagumi orang lain dan bukan diri kita gimana dong?." Tanya Dinda menyindir dirinya sendiri. Namun tanpa
Dinda sadari baik Rama, Aurel maupun Zhafran sama-sama tersentak dengan pertanyaan Dinda. Bukan karena partanyaan Dinda yang salah tapi karena mereka mengalami
seperti apa yang dikatakan Dinda.
Rama berdeham. "Gini... kalau menurut gue sih, gue kan yang mengagumi dia tanpa dia minta. Ini perasaan gue tanpa paksaan dari dia. Jadi kalau dia juga
merasakan hal yang sama kayak gue ya Alhamdulillah. Tapi kalau ternyata dia mengagumi orang lain dan bukan gue, ya itu hak dia. Kan perasaan dia. Kita
nggak bisa dong salahin dia? Jadi kita hanya perlu mendoakan aja. Kalau dia emang jodoh kita. Dia nggak akan lari kok. Dia nggak akan jauh dan yang pasti
dia akan kembali." "Meskipun rasanya sebel banget gitu ya kalau lihat si dia jalan sama orang yang dia sayang dan orang itu bukan kita?." Tanya Aurel seolah mengutarakan
apa isi hatinya. "Kalau gue sih, selagi dia bahagia gue juga bahagia. Meskipun gue juga ngerasain sakit di waktu yang bersamaan."
"Setuju." Sahut Rama menyetujui ucapan Zhafran.
"Kayaknya jadi pada curhat deh. Yaudah yuk pulang aja. Udah sore juga." Ucap Dinda mengakhiri perbincangan sore ini.
Dinda tersenyum. Setidaknya ia sedikit mendapat ilmu bagaimana cara menjaga hatinya. Yaitu mendekatkan diri kepada Allah dan jangan biarkan nafsu dan rasa
cinta kita kepada ciptaan Allah melebihi rasa cinta kita kepada Allah.
*** 21. Nikah?? Siang ini Aurel harus menunda kepergiannya bersama mama dan papanya karena ia harus mengikuti les tambahan yang diadakan secara mendadak. Maklum saja ujian
semakin dekat maka pemadatan untuk persiapan ujianpun terus dilakukan.
Kali ini Aurel tengah istirahat dengan menghabiskan waktunya untuk duduk di depan kelas bersama Rama sebelum bel masuk untuk jam tambahan berbunyi.
"Belum kepikiran gue mau lanjut kemana." Ucap Aurel sedikit lesu. Antara capek juga sedikit galau memikirkan masa depannya.
"Nanti juga kepikiran. Pelan-pelan, yang penting jangan gegabah dalam memutuskan."
"Kalau lo sendiri Ram?"
Rama menghela nafasnya, sebenarnya ia juga masih bingung.
"Nikah mungkin." Jawab Rama asal dan hal itu langsung saja membuat Aurel menganga lebar. Tak menyangka bahwa jawaban itu yang akan terlontar dari mulut
Rama. "Seriusan?? Lo mau nikah muda?"
Rama terkekeh melihat respon Aurel yang berlebihan. Haruskah Aurel histeris seperti itu saat mendengar bahwa ia ingin menikah muda?
"Gue bercanda kali Rel.."
"Syukurlah.. kaget banget gue. Gue harus segera mengikhlaskan sahabat terkeren gue untuk perempuan beruntung itu." Ucapnya sembari mengelus dadanya. Karena
ada rasa tak rela juga sih kalau harus mendengar Rama akan menikah secepat itu. Biar bagaimanapun Rama adalah salah satu sahabat terbaiknya. Tentu saja
ia akan merasa kehilangan nantinya jika Rama menikah setelah lulus SMA.
"Gini ya Rel. Kalau gue nikah muda, istri sama anak gue nanti mau gue kasih makan apa? Gue kan apa-apa masih minta orang tua. Lagipula gue juga belum punya
calonnya kan? Masih SMA pula."
"Ah tapi tetep aja kan? Buktinya sekarang juga banyak kok yang memilih menikah muda dengan alasan karena nggak mau menambah dosa. Dan menurut gue pun,
lo udah mampu. Karena lo juga kan udah punya usaha sendiri yah walaupun cuma toko baju khusus cowok. Tapi itu udah sangat bagus lah untuk kita yang masih
anak SMA gini. Tapi ya itu.. gue belum rela kehilangan elo."
Rama hanya tersenyum getir mendengar perkataan Aurel. Semanis apapun yang Aurel katakan padanya. Nyatanya hati Aurel pun tidak pernah berubah untuk dirinya
dan masih menetap pada satu nama. Rendra. Karena nyatanya Aurel hanya menganggapnya sebagai sahabat dan tidak lebih dari itu.
"Udah yuk masuk. Bentar lagi bel, gue mau siap-siap." Ucap Rama lalu berjalan memasuki kelasnya meninggalkan Aurel yang belum juga beranjak dari duduknya.
*** "Ada apa abang ajak Rista ke sini?" Clarista menolehkan kepala menatap sekelilingnya. Bagi Clarista ini merupakan sebuah tempat yang pemandangannya lumayan
bagus, sebab dari tempatnya duduk ia bisa melihat sawah dengan padi yang masih hijau yang membentang luas. Udaranya juga sangat sejuk. Dan hal itu membuat
Clarista sedikit takjub karena Rendra bisa menemukan tempat seperti ini di tengah kota.
"Ya nggak papa.. abang cuma pengen ngajak Rista kesini aja."
Clarista tersenyum. Ia menghargai Rendra meski sejujurnya ia tidak terlalu suka. Bukan karena ia tidak menyukai Rendra hanya saja Rendra hanya mengajak
dirinya dan pada waktu yang tidak tepat.
"Rista sih suka sama tempatnya bang, tapi kalau boleh saran. Abang kan mau ujian nih? Fokus dulu lah sama ujiannya." Sarannya yang membuat Rendra hanya
bisa garuk-garuk kepala. "Jadi mau dianterin pulang sekarang nih?." Tanya Rendra berat hati karena ia tau gadis yang berdiri di sampingnya ini merasa tidak nyaman dengannya.
"Iya bang, maafin Rista ya bang, Rista cuma nggak mau ganggu jam belajar abang." Ucap Clarista yang merasa tidak enak hati pada Rendra.
"Iya nggak papa kok. Harusnya abang berterimakasih sama Rista."
*** "Lebay lo." Komen Zhafran saat ia melihat Adinda tengah memandangi satu foto yang ada di ponselnya sambil terus menyanyikan lagu patah hati.
Sedangkan Adinda mendengus tak suka dengan komentar Zhafran. Lagipula yang lebay kan dirinya, yang baper dirinya, dan yang patah hati dirinya mengapa harus
Zhafran yang sewot. "Lo nggak ngerti banget sih perasaan gue." Kesal Adinda yang dijawab dengan decakan Zhafran.
Zhafran tak heran lagi dengan sikap Adinda karena ia sudah cukup mengenal Adinda. Bersahabat dengan Adinda sejak kecil bahkan sejak saat ia masih berada
dalam kandungan membuat ia sangat mengenal Adinda namun tidak dengan yang satu ini.
"Timbang lo baper nggak karuan gitu, mending lo doain deh bang Muzammil dan istrinya bisa menjadi keluarga yang sawama." Saran Zhafran.
Adinda mengerucutkan bibirnya, tentu saja ia mendoakan idolanya itu agar menjadi keluarga yang sakinah, mawaddah dan warahmah bersama istrinya. Tapi tetap
saja eurofia atas pernikahan Muzammil Hasballah yang merupakan salah satu hafidz Qur'an indonesia yang menjadi idola Adinda membuatnya turut baper terlebih
berita pernikahannya sangat mendadak, ditambah lagi hastag-hastag di instagram yang membuatnya semakin baper. Contohnya hastag haripatahhatinasional terus
baperduniaakhirat dan masih banyak lagi.
"Gini ya Din, percuma lo galauin bang Muzammil. Nggak ada gunanya tau, sekalipun bang Muzammil itu jomblo pun. Dia belum tentu suka sama lo kan? Jangankan
suka, kenal aja belum tentu." Ucap Zhafran yang seperti menampar Adinda.
Hexagon Love Karya Hasdian Ks di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ya kan kalau Allah berkehendak, nggak ada yang mustahil kali."
"Iya gue paham, tapi buktinya?? Bahkan sekarang bang Muzammil udah nikah, lalu lo bisa apa? Yaudah sih ikhlasin aja. Lagian siapa elo? Lo juga bukan siapa-siapanya
kan? Yaudah." "Tapi kira-kira gue bisa nggak ya? Dapet jodoh yang kayak bang Muzammil gitu?" Zhafran memutar bola matanya jengah. Ia masih tak habis pikir dengan apa
yang ada di pikiran Adinda saat ini.
"InshaAllah bisa, bukankah di Al-Qur'an sudah dijelaskan bahwa Allah SWT berfirman:
?????????????? ???????????????? ????????????????? ?????????????? ? ?????????????? ??????????????? ???????????????? ????????????? ? ?????????? ?????????????
?????? ???????????? ? ?????? ??????????? ????????? ????????
Yang artinya : Perempuan-perempuan yang keji untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji untuk perempuan-perempuan yang keji (pula), sedangkan perempuan-perempuan
yang baik untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik untuk perempuan-perempuan yang baik (pula). Mereka itu bersih dari apa yang dituduhkan orang.
Mereka memperoleh ampunan dan rezeki yang mulia (surga)."
(QS. An-Nur 24: Ayat 26) Dari ayat itu bisa kita pahami jika kita memang ingin mendapatkan jodoh yang baik, maka kita juga harus baik terlebih dahulu. Makanya nih, mumpung kita
masih muda, kita perbaiki diri dulu aja. Dekatkan diri kita kepada-Nya. Jodoh udah Allah atur kok. Jadi ngga usah khawatir."
Nah. Jodoh memang sudah di atur Allah, kita tinggal berikhtiar sembari menunggu Allah mempertemukan kita dengan jodoh kita. Tapi sembari menunggu, kita
juga harus sembari memperbaiki diri. Karena jodoh adalah cerminan diri. Nggak bisa dong kita yang jarang Sholat tapi pengen dapet jodoh yang Sholeh/Sholehah
yang rajin ibadah terlebih penghafal Al-Qur'an. Sebenarnya sih boleh-boleh aja tapi kok rasanya kayak nggak adil gitu loh. Ibaratnya kita pengen dapet
berlian eh tapi dianya dapet batu. Kan nggak seimbang. Untung dikita rugi di dia. Kalau kita pengen dapet yang Sholeh. Minimal kita juga harus Sholehah.
Rajin ibadah juga. Kalau kitanya aja males-malesan ibadah.gimana mau dapet yang rajin ibadah. Coba deh dipikirkan logikanya.
Adinda terdiam. Benar yang dikatakan Zhafran. Ia juga nggak mau sih kalau sampai nanti suaminya menyesal menikahinya. Na'uzubillah. Berarti sekarang ia
harus giat memperbaiki diri. Mumpung ia masih muda kan?? Masih banyak waktu luang juga. Jadi jangan sampai menyia-nyiakan kesempatan yang ada. Karena kesempatan
nggak akan datang dua kali. Jadi harus memanfaatkan waktu dan kesempatan sebaik-baiknya.
"Lo pernah kepikiran untuk nikah muda nggak sih Ran?" Tanya Adinda yang membuat Zhafran menjentikkan jarinya di kening Adinda.
"Sekolah dulu yang bener. Jangan mikirin nikah dulu." Ocehnya seperti orang tua yang membuat Adinda tergelak.
*** 22. Maaf "Lo kenapa bang?." Tanya Zhafran yang melihat Rendra begitu lesu. Tidak seperti biasanya pria petakilan itu kini tengah bermuramdurja.
"Tadi gue abis jalan sama Clarista." Jawabnya sembari membenarkan peci yang ia kenakan. Ia dan Zhafran tengah berjalan menuju masjid untuk menantikan azan
magrib dan setelah itu dilanjutkan dengan sholat berjamaah dan tadarusan hingga isya'.
"Ya bagus dong. Terus kenapa malah kusut gitu."
Rendra menghela nafas beratnya.
"Pas jalan sama gue, kelihatan banget kalo Clarista nggak nyaman. Ya dia sih nggak bilang apa-apa. Tapi tetep kelihatan gitu lah dari mimik wajahnya. Perasaan
kalo dia jalan sama lo, dia anteng-anteng aja. Happy-happy aja."
"Yaa iya lah. Secara gue gitu." Ucap Zhafran yang langsung mendapat jitakan dikepalanya. Rendra mencibir kelakuan Zhafran yang sangat narsis. Biar bagaimanapun
ia dan Zhafran tetap tampan dirinya meskipun itu mamanya yang mengatakan.
"Sirik aja sih." Dengus Zhafran sembari membenarkan pecinya yang miring akibat ulah Rendra.
"Nih ya bang, daripada lo mikirin perasaan lo yang tak berbalas itu. Mending lo mikirin kematian deh. Perasaan gue juga nggak berbalas tapi gue santai
aja.." "Eh serius?? Emang lo suka sama siapa sampai nggak berbalas gitu?." Zhafran merutuki ucapannya. Mengapa ia harus keceplosan di depan Rendra begitu sih?
Bisa bahaya kan kalau Rendra sampai tau jika ia menyukai Dinda.
"Ealah. Buruan deh bang jalannya. Udan mau adzan nih." Ucap Zhafran lalu berjalan mendahului Rendra. Untung saja pria itu tidak lagi membahas apa yang
mereka bahas sebelumnya dan memilih untuk melanjutkan langkah sehingga membuat Zhafran bisa bernafas lega.
*** Zhafran mendengus saat lagi-lagi ia menatap kemacetan yang ada di hadapannya. Dalam hati ia bertanya, mau berapa jam lagi ia sampai rumah? Padahal saat
ini ia sudah satu jam lebih berada di jalan. Tapi ini belum juga menempuh separuh perjalanan menuju rumahnya.
Memang sejak adanya pembangunan proyek jalan tol imbasnya adalah jalanan menjadi macet. Disaat seperti ini ingin rasanya Zhafran memiliki sayap atau apapun
yang membuat ia segera sampai di rumah.
Ditengah-tengah kejenuhannya Zhafran melirik Dinda yang telah tertidur pulas di sampingnya. Sudah setengah jam lalu Dinda tidur karena kelelahan menunggu
macet. "Ah elo Din, tidur mulu. Temenin gue ngobrol kek." Gumam Zhafran. Tapi tentu saja tak ada respon dari Dinda.
Dan hal itu membuat Zhafran menghela nafas panjangnya.
"Gue itu sayang banget sama elo Din..." gumam Zhafran lagi.
"Mungkin lebih dari sahabat. Ataupun sebagai adik." Lanjutnya.
"Tapi gue nggak mungkin kan jujur sama lo? Bisa-bisa lo malah menghindar dari gue." Lanjut Zhafran? lagi.
Setelah itu Zhafran kembali melirik Dinda. Memastikan bahwa Dinda tidur dan tidak mendengar ucapannya.
*** Malam semakin larut, hawa dingin semakin terasa menyentuh kulit. Dan Dinda masih termenung di balkon kamarnya sembari mengingat kejadian tadi sore.
Tanpa Zhafran ketahui, Dinda sebenarnya mendengar semua yang dikatakan Zhafran. Karena sejujurnya saat Zhafran mengatakan semuanya, ia sudah bangun, ia
sudah sadar hanya saja ia memilih untuk tetap menutup matanya.
'Gue itu sayang banget sama lo, mungkin lebih dari sahabat'
Kata-kata Zhafran terus saja berputar di kepala Dinda. Ia tak pernah menyangka bahwa Zhafran memiliki perasaan ssmacam itu padanya. Padahal ia hanya menganggap
Zhafran sebagai sahabat sekaligus adiknya, tidak lebih. Tapi Zhafran...
"Kenapa sih lo harus sayang sama gue??" Gumam Dinda, berharap Zhafran akan mendengarnya. Tapi hal itu mustahil karena Dinda hanya menggumamkannya dalam
hati. "Kenapa harus gue Zhafran?? Bukannya lo sukanya Clarista?" Ucap Dinda, kali ini dinda benar-benar bergumam.
Hati Dinda benar-benar bergejolak. Ia bingung harus bagaimana. Jika ia menghindari atau menjauhi Zhafran. Sama saja ia memutus tali persaudaraan. Dan hal
itu secara tidak langsung akan menyakiti Zhafran. Tapi jika ia tetap bersama Zhafran. Ia akan merasa tidak enak pada Zhafran.
Dinda menghela nafasnya gusar. Kali ini ia benar-benar dilema.
*** "Salah ya kalau Rista memilih untuk menjauhi bang Rendra?" Tanya Clarista pada sosok perempuan dihadapannya. Sedangkan perempuan yang menjadi lawan bicara
Clarista hanya menundukkan kepalanya.
"Rista cuma nggak pengen nyakitin hati kakak. Rista tau, kakak suka sama bang Rendra."
"Lo salah!" Cerca perempuan di hadapan Clarista yang tidak lain adalah Aurel.
"Lo salah kalo lo jauhin Rendra karna cuma takut nyakitin gue. Itu hak lo, hak Rendra juga kalo dia suka sama lo. Dan gue, ini perasaan gue. Gue yang suka
Rendra tanpa Rendra minta jadi lo nggak perlu peduliin perasaan gue."
"Kak, kakak tau kan kalau perasaan nggak bisa dipaksa? Alasan Rista menjauh juga bukam cuma karena kakak. Tapi emang Rista nggak ada apa-apa sama bang
Rendra. Lagipula Rista juga lagi mau fokus belajar."
Dan mendengar perkataan Clarista, Aurel benar-benar merasa tertampar. Seharusnya saat ini ia fokus belajar untuk mengahapi ujian nasional. Tapi yang ia
lakukan? Justru ia sibuk dengan perasaannya yang sama sskali tidak bermanfaat. Perasaan yang seharusnya tidak ia miliki. Perasaan yang seharusnya ia hilangkan.
"Maafin gue." Ucap Aurel.
"Gue yang salah. Nggak seharusnya gue maksa lo." Lanjut Aurel lalu bergegas meninggalkan Clarista. Namun saat ia baru beberapa langkah Aurel berjalan meninggalkan
Clarista. Kini Aurel dihadapkan dengan sosok yang untuk saat ini ingin ia hindari. Sosok itu adalah Rendra.
Aurel memberanikan diri untuk menatap Rendra. Tapi tatapan Rendra... Rendra menatap dirinya dengan pandangan yang sangat sulit diartikan.
"Kenapa harus gue Rel?" Tanya Rendra. Sementara Aurel hanya bisa menundukkan kepalanya.
"Jawab Rel. Kenapa harus gue?!" Tanya Rendra lagi.
Namun Aurel masih tetap diam.
"Jawab Rel!!. Kenapa lo cuma diem?!" Tanya Rendra lagi. Kali ini suaranya naik satu oktaf.
"Kenapa elo? Gue juga nggak tau kenapa harus elo!!."
"Bodoh!!"? Ucap Rendra yang membuat Aurel mendongakkan kepalanya menatap Rendra.
"Kenapa lo harus siksa perasaan lo sendiri?! Lo tau kalo gue cuma anggep lo sahabat. Tapi..kenapa lo malah aggep gue lebih dari itu?"? Kini Rendra menghela
nafasnya frustasi. Ia sama sekali tak menyangka bahwa Aurel akan memiliki rasa yang sedemikian kepada dirinya.
"Ini perasaan gue.. dan lo nggak berhak nyalahin gue. Gue juga nggak nuntut lo untuk balas perasaan gue kok. Dan nggak usah lo perjelas pun gue tau kalo
lo cuma anggep gue sebagai sahabat." Ucap Aurel susah payah. Dadanya terasa sesak. Bahkan airmatanya menumpuk di pelupuk mata.
"Fine.. Gue tau itu perasaan lo, hak lo, suka-suka lo. Tapi dengan gini... Gue ngerasa jadi cowok paling brengsek, asal lo tau. Gue minta lo bantuin buat
comblangin gue sama Clarista yang nggak lain adalah sodara lo sendiri. Sementara lo menanggung sakit hati karena gue. Gue sayang sama lo Rel. Sayaang banget.
Tapi maaf, rasa sayang gue nggak sama kayak rasa sayang yang lo punya." Dan kali ini pertahanan Aurel benar-benar runtuh. Aurel tidak bisa menahan airmatanya
dihadapan Rendra. Sedangkan kini Rendra semakin gusar. Ia paling tidak suka melihat perempuan menangis. Tapi ia juga tidak bisa untuk sekedar menenangkan atau menghapus
airmata Aurel. "Pliss Rel. Jangan nangis.. gue udah terlalu banyak nyakitin lo." Ucap Rendra. Tapi kini Aurel tak mampu berkata-kata lagi. Ia hanya bisa menggelengkan
kepalanya sebagai pertanda bahwa ini bukan salah Rendra. Melainkan salah dirinya.
"Dan maaf, gue nggak bisa bales perasaan lo. Gue harap, setelah ini lo bisa lupain perasaan lo ke gue. Kita sahabatan aja ya Rel. Gue sayang lo."
**** 23. Bangun Cinta Siang ini mentari masih bersinar, hanya saja sinarnya tak secerah biasanya. Mentari tampak sedikit murung kali ini.
Rama masih duduk terdiam membiarkan seseorang menangis dengan membelakanginya. Sudah sejak setengah jam lalu ia duduk di taman belakang sekolah ini. Dan
kali ini ia sengaja membolos pelajaran demi seseorang di sampingnya.
"Perasaan emang sulit dikendalikan." Setelah sekian lama terdiam, akhirnya Rama memilih untuk membuka suara.
"Terlebih perasaan untuk mencintai dan dicintai. Namanya juga jatuh cinta. Pasti sakit, karena yang namanya jatuh akan selalu menimbulkan luka. Entah itu
berdarah ataupun tidak. Rasanya sama saja. Menyakitkan." Lanjutnya.
Tapi seseorang yang ada di sampingnya belum juga menghentikan tangisnya.
"Kecuali lo bangun cinta. Membangun berarti menyusun. Mungkin awalnya sulit, tapi pasti akan berakhir bahagia." Lagi-lagi Rama bersuara.
"Rel,." Panggilnya. Tapi yang di panggil hanya terdiam.
"Lo boleh nangis sepuas lo. Lo boleh sedih, boleh kecewa, tapi lo harus tau. Ada orang yang akan lebih sedih saat melihat lo kayak gini." Lanjut Rama lagi.
Dan kali ini mampu membuat Aurel menatap Rama.
"Coba lo bayangin. Kalo mama dan papa lo lihat lo dalam keadaan kayak gini. Mereka pasti sedih kan? Sekarang lebih baik lo sholat deh, tenangin diri lo.
Serahin semua keluh kesah lo sama Allah. Yang namanya jodoh nggak akan kemana kok. Dia nggak akan tersesat dan tertukar."
"Gue nggak permasalahin jodoh Ram." Sahut Aurel setelah ia menghapus air matanya menggunakan saputangan yang diberikan Rama.
"Gue sedih aja." Lanjutnya
"Apa yang lo sedihin? Karna Rendra minta lo hapus perasaan lo ke dia?" Tanya Rama. Tapi Aurel menggelengkan kepalanya.
"Gue takut Rendra benci sama gue." Jawabnya kemudian menundukkan kepalanya.
Sebenarnya bukan itu yang ia takutkan. Karna masalah benci atau tidak itu adalah hak Rendra. Tapi yang ia khawatirkan adalah persahabatannya. Akankah persahabatannya
akan berhenti disini? Akankah semuanya akan berakhir?.
"Atas alasan apa Rendra benci sama lo? Nggak usah mikirin hal-hal yang belum tentu terjadi." Ucap Rama lalu beranjak dari duduknya. Menatap Aurel sejenak
yang masih menunduk lalu membalikkan badannya.
"Lo mau sholat atau masih tetap disini?" Tanya Rama sebelum melangkahkan kakinya.
"Lebih baik lo berdoa sama Allah. Mohon ampun dan minta petunjuk." Ucap Rama kemudian pergi meninggalkan Aurel.
*** Dinda masih tak paham dengan alasan Rendra menyeret dirinya kedalam sebuah mall kemudian menonton film tanpa menikmatinya karena film yang dipilih Rendra
sama sekali bukan gendre yang Dinda sukai. Sementara orang yang telah menyeretnya hanya diam membisu.
"Lo kenapa dah bang? Sepet amat mukanya. Gue jadi ngeri deh." Ucap Dinda saat mereka telah keluar dari bioskop dan tengah berjalan mencari tempat makan.
"Bang, ngomong kek. Dari tadi gue berasa jalan sama orang bisu deh. Lo kenapa sih?" Kesal Dinda. Tapi Rendra masih saja diam.
"Ah. Gue pulang aja lah bang." Keluh Dinda membuat Rendra menghentikan langkahnya lalu berbalik menatap Dinda.
"Yaudah gue anter pulang." Dinda terkejut mendengar respon Rendra. Dinda merasa bahwa kali ini Rendra benar-benar sedang ada masalah.
"Lo boleh cerita kok bang, kalo lo lagi ada masalah. Tapi kalo lo nggak mau cerita juga ngga papa sih." Kata Dinda saat mereka sudah berada di dalam mobil.
Rendra tampak menarik nafasnya, seolah-olah sesuatu yang mengganjal dipikirannya bisa terhempas bersana dengan hambusan nafas yang ia keluarkan.
Sedangkan Dinda hanya bisa berdiam diri menanti Rendra untuk bersuara atau tidak sama sekali.
"Kalo misalnya Zhafran suka sama lo gimana?" Dinda tersentak dengan kalimat yang tiba-tiba meluncur dari bibir Rendra. Seperti ada sesuatu yang menikam
dirinya saat mendengar kalimat pertanyaan Rendra.
"Zhafran?" Ulang Dinda.
"Misalnya..." kata Renda memperjelas maksud ucapannya bahwa ia hanya memisalkan saja.
"Ya.. ya itu hak dia lah bang. Gue mana bisa mengontrol perasaan orang. Selagi nggak ngeganggu hubungan baik gue sama dia sih, gue nggak akan terlalu masalahin
hal itu."? Dinda merutuki kalimat yang lolos dari bibirnya. Sebenarnya Dinda tidak begitu yakin dengan apa yang dirinya ucapkan. Pasalnya ia juga bingung
harus bersikap bagaimana kepada Zhafran saat ini.
"Emang kenapa bang?"
Rendra terdiam. Antara bingung dan juga ragu. Apakah ia harus mengatakan apa yang terjadi antara dirinya dan Aurel kepada Dinda atau cukup diam membiarkan
Dinda menunggu jawaban darinya.
"Ish.. jangan-jangan lo suka ya bang sama gue? Lo takut saingan sama Zhafran?" Celetuk Dinda yang membuat dirinya mendapatkan satu jitakan yang mendarat
di keningnya. "Enak aja kalo ngomong. Yakali gue suka sama bungkus gorengan."
"Enak aja. Dari pada abang..." Dinda terdiam tampak berpikir.
"Udah nyerah aja. Bungkus gorengan ngga akan bisa saingan sama kembarannya ferrel bramasta.."
"Idiihh. Kalo mimpi jangan jauh-jauh nanti nyasar." Dan lagi-lagi Dinda mendapat jitakan di kepalanya. Setelah itu keduanya tertawa bersama.
Dan saat mereka tertawa, Rendra menyadari satu hal. Hatinya sedikit bahagia dan melupakan sedikit masalah yang ada pada dirinya.
"Huh.. capek gue." Keluh Dinda saat mereka telah berhenti tertawa.
"Jahat nggak sih kalau gue marah sama Aurel gara-gara dia suka sama gue?" Dinda menolehkan kepalanya saat Rendra kembali bersuara.
"Tau darimana?" Rendra tersenyum kecut.
"Gue denger sendiri waktu dia lagi ngobrol sama Clarista."
"Emang lo marah gimana sama kak Aurel?" Rendra menghembuskan nafas kasar saat mendengar pertanyaan Dinda.
"Ya gue marah lah. Asal lo tau, gue merasa kayak orang paling jahat. Lo tau sendiri kan, kalo gue sering minta tolong sama Aurel buat bantuin gue biar
deket sama Clarista. Dan bodohnya gue, gue nggak pernah tau kalo sebenernya Aurel suka sama gue."
"Sok-sokan lo bang"
"Kok sok-sokan sih?" Rendra mengerutkan keningnya tidak paham dengan maksud Dinda.
"Gini deh. Kak Aurel itu udah berkorban banyak buat lo. Dia relain hatinya sakit DEMI lihat lo seneng. Dan sekarang lo malah marahin dia."
"Gue marah..." Dinda mengangkat tangannya mengisyaratkan pada Rendra agar tidak menyela omongannya.
"Harusnya? waktu lo tau kalo kak Aurel suka sama lo. Lo ajak kak Aurel buat ngomong baik-baik. Minta maaf sama dia karna lo udah nyakitin dia. Bukan malah
marah. Gue tau, lo marah sebenernya marah sama diri lo sendiri karna udah jahat sama kak Aurel. Tapi lo tau kan bang, kalo perasaan ngga bisa dipaksa?
Mungkin kak Aurel udah coba buat nggak suka sama lo dan tapi nyatanya dia tetep suka sama lo. Jadi lo ngga bisa dong gitu aja nyalahin perasaan kak Aurel."
Rendra menghentikan mobilnya di depan taman kompleks tak jauh dari rumah Dinda. Kemudian ia menoleh menatap Dinda.
"Jadi gue harus minta maaf sama Aurel?." Dinda menganggukkan kepalanya membenarkan perkataan Rendra.
"Jangan lupa omongin baik-baik gimana kelanjutan hubungan kalian juga. Tapi gue harap lo enggak mutusin persahabatan lo sama kak Aurel."
"Ya enggak lah."
*** "Lo kenapa ta? Biasanya kalo ke toko buku girang banget. Kok sekarang diem aja?" Tanya Zhafran yang sedari tadi mengamati wajah murung Clarista. Sejak
satu jam lalu Clarista hanya berdiri di depan satu rak buku saja dan dia pun hanya membolak-balik satu cover buku tanpa minat. Sementara Zhafran yang sudah
mulai lelah berkeliling seluruh perjuru di toko buku ini harus terkejur dan terheran-heran saat melihat. Clarista tetap berada di tempatnya.
"Ta.." "Pulang aja yuk." Dan kini Zhafran harus terkejut untuk kedua kalinya.
"Pulang? Lo aja belum jalan kemana-mana. Cari buku dulu gih. Biar besok nggak kesini lagi." Clarista menggelengkan kepalanya.
"Lagi nggak mood. Maunya pulang aja." Clarista menampakkan senyumnya kepada Zhafran. Lebih tepatnya senyum yang dipaksakan.
Zhafran menghela nafasnya. Antara bingung dan sedikit kesal.
"Terus faedahnya lo ngajak gue ke toko buku satu jam lebih itu buat apa? Tau lo mau bengong doang mah gue ogah tadi." Keluh Zhafran. Dan hanya dibalas
senyum oleh Clarista. "Pulang yuk." Sekali lagi Zhafran menghela nafasnya.
"Besok lagi kalo mau bengong di toko buku jangan ngajakin gue." Ucapnya lalu berjalan mendahului Clarista.
*** 24. itu hati lo "Apa?" Zhafran hanya menggelengkan kepalanya. Sungguh kali ini ia benar-benar merasa bersalah tapi rasanya juga ingin tertawa. Terlebih saat melihat wajah
marah milik Aurel. Tadi setelah ia mengantar Clarista kerumahnya, Zhafran dengan sengaja mengajak Aurel menuju pasar durian.? Padahal sebenarnya Zhafran tau bahwa Aurel sangat
membenci durian karena kenangan buruk di masa kecilnya. Tapi entah apa yang ada dipikiran Zhafran, saat melihat Aurel yang terus saja murung membuatnya
berniat usil. "Lo marah kak?" Zhafran mencoba bertanya saat melihat Aurel hanya terdiam.
"Udah tau pake nanya lagi." Ketusnya.
"Kan cuma bercanda."
"Bercanda lo nggak lucu." Zhafran hanya tertawa saat mendengar jawaban Aurel.
"Gimana bang Rendra?" Aurel hanya mengendikkan bahu saat mendengar pertanyaan Zhafran.
Tadi saat ia bertemu dengan Rendra dan juga Clarista, Zhafran memilih pergi meninggalkan mereka bartiga, membiarkan mereka menyelesaikan masalah yang menimpa
mereka. Dan yang terjadi hanyalah Rendra yang meminta maaf kepada Aurel maupun Clarista, setelah itu Rendra meminta Aurel untuk menghapus perasaannya dan
kembali berteman seperti biasanya.
Memang terasa cukup menyakitkan saat orang yang kamu cintai memintamu untuk tidak mencintai lagi. Karena bagaimanapun perasaan tak bisa dipaksakan. Namun
demi persahabatan mereka tetap terjalin. Aurel akan berusaha untuk menghapus perasaannya kepada Rendra.
*** "Gue minta tolong lo hapus perasaan lo ke gue. Gue nggak pantes buat lo Rel, gue udah terlalu banyak nyakitin lo.. dan Clarista, gue juga minta maaf karna
selama ini gue selalu ganggu hidup lo. Maaf, gue janji, gue juga akan berusaha untuk nggak suka lagi sama lo."
Clarista menghembuskan nafasnya saat kembali teringat ucapan Rendra saat mereka bertemu tadi, ia bersyukur semuanya sudah selesai meskipun ia tadi masih
melihat betapa terlukanya Aurel.
"Maafin Rista kak.." gumamnya. Meskipun baik Rendra maupun Aurel sudah berulang kali menjelaskan bahwa dirinya tidak bersalah tapi tetap saja Clarista
adalah salah satu penyebab dari semua ini.
"Oh my Ristaa.. akhirnyaa.." Clarista menoleh melihat seseorang yang tiba-tiba masuk kamarnya tanpa permisi.
"Eh siapa yang izinin masuk?" Tanya Clarista sambil berkacak pinggang saat melihat Dinda dengan seenaknya duduk di sofa kamarnya.
"Om David." Jawab Dinda tanpa dosa. "Tadi om bilang, langsung masuk aja, Claristanya ada di kamar. So.. gue nurut dong."
Clarista hanya menggelengkan kepalanya lalu duduk di samping Dinda.
"Eh, lo nggak nawarin gue minum gitu?"
"Buat apa? Biasanya juga ambil sendiri. Ngapain lo kesini?" Dinda tertawa. Sudah lama ia tidak seperti ini dengan Clarista. Beginilah Clarista, saat dia
berada bersama dengan orang yang sudah akrab dan membuatnya nyaman, maka dia tidak lagi menjadi pendiam. Dia akan sangat cerewet bahkan terkadang menyebalkan.
Dan hal itu Dindalah yang beruntung bisa melihat sisi lain dari Clarista.
"Gue tadi denger ada yang galau gitu. Makanya gue kesini buat bikin dia nggak galau lagi."
"Dih.. siapa juga yang galau."
Dinda berdecak. "Sini gue peluk, gue tau lo butuh sandaran." Ucapnya lalu meraih tubuh Clarista dan memeluknya. Dan benar saja setelah itu Clarista menangis.
"Gue jahat nggak sih Din sama kak Aurel?" Ucap Clarista dalam pelukan Dinda.
"Dari awal gue nggak ada perasaan apapun sama bang Rendra." Lanjutnya.
"Iya gue tau kok. Elo nggak jahat kok, ini cuma salah paham. Dan dari awal pun kak Aurel nggak pernah nyalahin lo kan? Jadi buat apa lo merasa bersalah
kalo elo nggak punya salah? Ya meskipun gue tau gimana yang elo rasain. Karna gue juga mengalami hal yang sama seperti lo."
Clarista melepas pelukan Dinda. Menatap Dinda meminta penjelasan. Ada yang berbeda dari sorot mata Dinda.
"Din.. lo.." "Eh iya, tadi gue lihat om David lagi packing gitu mau kemana ya?" Tanya Dinda mencoba mengalihkan pembicaraan. Sesaat kemudian Clarista menepuk keningnya.
"Ah iya. Papa mau ke Aussie. Kakak sepupu gue mau tunangan."
"Lo nggak ikut?"
Clarista menggeleng. "Gue ikutnya pas hari pernikahan." Jawabnya lalu menarik Dinda ke lantai bawah untuk? mengantar papanya, setidaknya hingga depan rumah.
*** Dinda sedang memilih menu di sebuah restoran seafood. Tadi sore Zhafran menjemputnya dirumah Clarista lalu mengajaknya untuk makan malam bersama. Tentu
saja mereka sudah mendapatkan izin dari orang tua mereka, termasuk juga orang tua Rendra. Mengapa begitu? Karena tiga hari ini Dinda akan menginap di rumah
Rendra karena orang tuanya harus pergi ke medan karena urusan pekerjaan. Sedangkan Zhafran memang sudah menginap dirumah Rendra sejak dua hari lalu karena
alasan yang sama seperti Dinda.
Sebenarnya bisa saja baik Dinda maupun Zhafran mengurus dirinya sendiri dirumah masing-masing. Hanya saja orang tua merekalah yang terlalu khawatir sehingga
menitipkan mereka pada keluarga Rendra.
Sejak kecil memang mereka sudah terbiasa seperti itu, karena tidak memiliki saudara yang berumah dekat dengan mereka sehingga mereka dititipkan dirumah
teman orangtua mereka. "Banh Rendra pesenin apa ya?" Tanya Dinda. Karena sedari tadi ia bingung ingin memesankan Rendra apa. Sebab jika Rendra tau mereka dari restoran seafood
tetapi tidak membungkuskan makanan untuknya maka ia pasti Rendra akan menjadi sangat cerewet.
"Udah pesenin udang aja." Ucap Zhafran diikuti dengan tawanya yang menyebabkan dirinya mendapat pukulan dari Dinda.
"Mau tanggung jawab lo kalo tiba-tiba tubuh bang Rendra bentolan semua?"
Zhafran menggelengkan kepalanya. "Enggaklah."
"Yaudah sih Din, pesenin yang nggak mengandung udang aja beres." Dan Dinda pun menganggukkan kepalanya dan memilihkan makanan berbahan dasar cumi-cumi
untuk Rendra. Zhafran berdeham. Tiba-tiba rasa canggung melingkupi mereka. Padahal mereka tidak pernah seperti ini sebelumnya. Dimana mereka hanya terdiam dan sibuk
dengan pikiran masing-masing.
"Din.." Zhafran membuka suar, sedangkan Dinda hanya mengangkat kepalanya menatap Zhafran.
Hexagon Love Karya Hasdian Ks di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kalo misal gue suka sama lo gimana?"
Deg!!! Sesuatu menghantam dada Adinda. Seperti ada yang menikamnya saat ini. Tapi Dinda mencoba untuk bersikap biasa saja.
"Kan lo emang suka sama gue Ran, lo juga nggak pernah bilang kalo lo benci gue kan." Jawab Dinda santai. Padahal hatinya sama sekali tidak santai.
"Bukan suka seperti itu yang gue maksud. Tapi suka dalam artian lain. Kayak kak Aurel yang suka ke bang Rendra atau bang Rendra yang suka ke Clarista."
Satu hantaman keras lagi menghantam dada Dinda. Tapi Dinda masih mencoba untuk bersikap biasa saja.
"Ya suka-suka lo. Itu hak lo."
"Gue serius Dinda."
"Gue juga serius Zhafran." Zhafran tertegun mendengar jawaban Dinda. Melihat Zhafran yang hanya terdiam membuat Dinda menghela nafasnya.
Mungkin ini saat yang tepat untuk mengungkapkan perasaannya kepada Zhafran meskipun nantinya ia akan terlihat jahat, itu tidak masalah. Lagipula saat ini
Zhafran masih menggunakan kalimat 'kalau misalnya' itu pertanda bahwa Zhafran tidak benar-benar dengan? serius menyuarakan hatinya.
"Gini deh Ran, gue udah pernah bilang kan? Kalo gue nggak akan melarang lo buat suka ke gue. Itu hak lo, perasaan lo, hati lo.. tapi mungkin ini jahat
yaa. Tapi lo harus tau. Kalo seandainya perasaan lo itu benar dan bukan sebuah kalimat pemisalan. Gue mau minta maaf sama lo. Karna gue nggak akan bales
perasaan yang sama ke elo. Karna jujur Ran, lo itu sahabat terbaik gue, lo itu kakak sekaligus adek bagi gue. Dan sayang gue nggak bisa lebih dari itu."
Zhafran benar-benar merasa dipukul telak oleh Dinda. Perkataan Dinda begitu santai tapi mampu memukul keras hati Zhafran. Tapi Zhafran mencoba tegar. Jika
memang ini keputusan Dinda maka Zhafran akan menghormatinya.
"Kata-kata lo jahat bener deh Din."? Ucap Zhafran sembari tertawa untuk menutupi luka dihatinya yang tanpa sengaja ia gores dengan sengaja.
Tapi meskipun Zhafran tertawa, itu tidak menyembunyikan apapun dari hadapan Dinda. Karena nyatanya Dinda mampu membaca luka itu.
"Maaf." Gumam Dinda.
"Maaf? Maaf kenapa? Santai aja kali. Lagian mana mungkin gue suka sama lo. Kayak nggak ada cewek lain aja."
"Emang nggak ada kan?" Ucap Dinda yang lagi-lagi membuat Zhafran terdiam.
Tapi sesaat kemudian makanan pesanan mereka datang di waktu yang tepat. Sehingga Zhafran memilih untuk mengalihkan pembicaraan mereka.
"Makan Din, udah laper banget."
*** 25. Belajar "Harusnya lo bisa belajar," Rama meletakkan botol air mineral ke hadapan Aurel. Belum banyak yang datang ke sekolah karena saat ini masih terhitung sangat
pagi. Aurel meminum air yang telah diberikan Rama sebelum ia berucap, "iya gue tau."
"Cinta tapi tak berbalas atau cinta bertepuk sebelah tangan itu hal yang lumrah. Dan merasa patah saat mengetahui fakta yang ada juga bukan lagi hal baru."
Rama menggeser tubuhnya agar bisa berhadapan dengan Aurel. Ia menghela nafasnya, andai saja Aurel tau seperti apa perasaannya. Sudah pasti Aurel paham
bahwa ia pun merasakan hal yang sama seperti yang Aurel alami.
"Umur kita masih terlalu muda rel, waktu lo akan terbuang sia-sia jika lo hanya memikirkan patah hati yang lo rasakan." Rama menatap Aurel, namun saat
tak mendapat jawaban dari Aurel, Rama memilih untuk melanjutkan ucapannya.
"Disini nggak cuma lo yang merasa patah hati. Masih banyak di luar sana yang juga merasakan patah hati seperti lo. Dan sekarang lo tinggal pilih. Masih
mau larut dalam patah hati yang sama sekali nggak ada faedahnya atau lo belajar dari patah hati yang lo rasakan?. Mungkin dari sini Allah mau nunjukkin
bahwa saat ini masalah seperti itu bukanlah prioritas kita. Tapi prioritas kita saat ini adalah belajar, mengembangkan potensi diri dan mencari kebahagiaan?
lain. Karena sumber kebahagiaan itu ada banyak. Kalo lo sedih karna satu hal. Masih banyak hal yang akan membuat lo bahagia dan lupa dengan kesedihan lo."
"Contohnya?" Kini Aurel bertanya sembari menatap Rama.
"Simpelnya ya. Lo punya hobi baca novel, terus saat lo baca novel lo ngerasa bahagia nggak?."
"Bahagia." "Lagi, lo suka main di perusahaan papa lo dan belajar banyak hal disana. Dan saat lo melakukan hal itu lo merasa bahagia nggak?" Aurel mengangguk.
"Apa yang bikin lo bahagia dari kedua hal itu?"
"Ya gue merasa terhibur dan memiliki kepuasan tersendiri saat gue baca novel. Terus gue emang suka main ke kantor papa, selain gue dapat banyak ilmu. Gue
juga bisa menghabiskan banyak waktu sama papa yaa meskipun sekedar tanya-tanya masalah kantor."
Rama tersenyum. " itu poinnya. Sekarang kenapa lo masih sedih? Banyak kebahagiaan yang menanti lo. Mulailah kerjakan apapun yang membuat lo bahagia selagi
tidak berdampak buruk dan merugikan diri lo dan orang lain."
"Tapi Ram," Aurel mengeratkan pegangannya pada botol air mineral di tangannya. Sesuatu masih mengganjal perasaannya.
Rama menatap Aurel yang menunduk, mengambil jeda sebelum ia mengungkapkan sesuatu.
"Gue sekarang udah nggak sakit hati karna rasa gue nggak berbalas. Karna sedari awal juga gue udah sadar akan hal itu. Tapi yang gue takuti adalah... apakah
gue bisa bersikap baik-baik aja dihadapan Rendra? Apakah gue bisa bersikap seperti biasanya? Dan apakah Rendra juga bisa bersikap seperti biasanya ke gue
setelah dia tau gimana perasaan gue." Aurel menghelan nafasnya. Ia menanti jawaban dari Rama, sebenarnya hal ini lah yang beberapa hari ini mengganggu
pikirannya. Hal inilah yang membuat hatinya sedih.
Rama terdiam sejenak, inilah yang juga Rama takutkan apabila Aurel mengetahui perasaannya. Ia memejamkan matanya, mencoba mencari jawaban yang terbaik
dan yang mungkin juga akan ia lakukan saat ia berada di posisi Aurel maupun Rendra saat ini.
"Gini.. gue tau ini berat, terlebih lo sama Rendra juga dekat kan. Tapi sekarang lo coba untuk berpikir dewasa, mungkin bakalan sulit untuk bersikap seperti
sebelumnya. Tapi selagi lo bisa usaha kenapa enggak? Belum tentu juga kan Rendra akan mendiamkan lo. Ya kalau memang hal itu terjadi, cobalah lo yang membuka
diri. Lo ajak Rendra bicara. Bersikap seperti biasa. Anggap nggak ada apapun yang terjadi diantara kalian. Ya mungkin emang susah, tapi selagi lo bisa
usaha kenapa enggak? Syukur-syukur Rendra tetep bersikap seperti biasa."
Lagi-lagi Aurel menghela nafasnya. Susah. Satu hal yang melintas di benak Aurel. Bisakah dirinya bersikap biasa saja?. Aurel memejamkan matanya.
"Ya, gue bakalan usaha." Menatap Aurel yang berbicara demikian, Rama pun tersenyum.
*** Rendra tersenyum ke arah dua orang yang kini tengah asik berbicara. Ia menghela nafasnya sebelum ia bersiap untuk menyapa kedua orang itu. Setidaknya meski
tak lagi seperti dulu, ia akan berusaha bersikap seperti biasanya.
"Widihh... pagi-pagi udah ngegosip aja. Ngomongin apa nih?" Rendra meletakkan tasnya tepat di kursi samping Rama. Ia melirik Aurel yang hanya tersenyum
kepadanya. Ia tau, pasti Aurel masih memikirkan kejadian beberapa hari lalu. Dan jujur saja, Rendra tidak ingin melihat Aurel yang seperti ini. Ia lebih
suka Aurel yang cerewet seperti dulu.
Sedangkan Rama yang melihat kecanggungan diantara kedua sahabatnya itu turut menghela nafas.
"Lo kira kita doyan gosip." Pada akhirnya Rama lah yang menjawab karena sedari tadi Aurel hanya terdiam.
Sedangkan Rendra tidak terlalu menggubris jawaban Rama, toh sebenarnya ia tau bahwa Rama dan Aurel tidak sedang menggosip.
"Etdah. Lo masih marah sama gue ya rel? Dari tadi betah amat diem." Rendra kembali bersuara, mencoba seperti biasa seolah-olah tak terjadi apapun antara
dirinya dan Aurel. Karena ia yakin jika ia juga diam seperti Aurel maka yang ada hanya persahabatan antara dirinya dan Aurel semakin pudar.
Aurel menghela nafas, ia sudah membicarakan hal ini dengan Rama, meskipun terasa canggung ia harus tetap bersikap seperti biasa seolah-olah tidak ada sesuatu
yang terjadi seperti apa yang tengah dilakukan Rendra pagi ini.
"Marah apaan sih? Lo tuh brisik. Baru juga dateng. Yang anteng kek."
Rendra tersenyum merasa bahagia karena Aurel tetap bersikap seperti biasanya walaupun raut wajahnya tak menampakkan yang demikian.
"Kalo gue anteng nanti semua orang pada kaget. Bener nggak Ram?"
Rama hanya tersenyum sesekali melirik Aurel yang ia yakin sedang berusaha bersikap normal seperti biasa.
"Ya malah senyum doang, mentang-mentang senyumnya manis apa ya.. eh kalian udah pada ngerjain tugas fisika kan?"
"Kenapa? Mau nyontek?" Tanya Aurel yang membuat Rendra mengelus dadanya.
"Astsgfirullah Rel, omongan lo emang suka bener deh. Tapi santai. Kali ini Rendra udah selesai kok. Udah dikerjain." Jawab Rendra sembari mengeluarkan
buku fisikanya dan menunjukkan pada Aurel dan Rama.
Rama berkomentar, "tumben udah ngerjain."
"Iya dong. Kan udah mau lulus, masa iya gue malas terus." Jawab Rendra tanpa sadar membuat Aurel dan Rama tertawa.
"Akhirnya sadar juga." Ucap Rama bangga.
*** 26. Mudah Berubah "Gimana pendapat lo?."
Zhafran bertanya pada perempuan yang kini tengah menyeruput hot-chocolate yang mulai dingin. Perempuan itu menghela nafas mencoba mencari jawaban dari
pertanyaan Zhafran. "Gini deh. Sekarang ini prioritas lo apa?" Zhafran menatap heran saat perempuan itu menjawab pertanyaan Zhafran dengan pertanyaan yang sama sekali tidak
berhubungan. "Belajar mungkin."
"Kenapa mungkin?"
"Ya kan, gue ini seorang siswa. Jadi ya prioritas gue belajar dan menjadi manusia yang lebih baik dari sebelumnya."
Zhafran terkejut saat perempuan dihadapannya menjentikkan jari.
"Nah. Jadi untuk urusan perasaan, cinta-cintaan. Menurut lo belum jadi prioritas kan?. Terus apa yang lo masalahin? Karena itu bukan prioritas untuk saat
ini ya lo coba untuk tidak usah terlalu fokus pada hal itu."
"Tapi ya Ta, aneh aja gitu rasanya. Kayak ada yang ngganjel di hati gue pas gue tau kalau gue 'tertolak sebelum bergerak'."
Clarista tertawa mendengar istilah lucu yang disebutkan Zhafran. Kemudian ia berdeham untuk menghentikan tawanya.
"Gini deh Ran, menurut gue ya perasaan itu dapat terjadi dalam empat kemungkinan yaitu. Perasaan ada untuk orang yang tepat tapi waktunya nggak tepat,
waktu yang tepat pada orang yang tidak tepat, pada waktu dan orang yang tepat, atau keduanya tidak tepat."
"Ah.. lo ngomong apa dah, Ta?. Tepat-tepat apa gue bingung."
"Gini deh anggap aja perasaan lo ini hadir untuk orang yang tepat tapi waktunya tidak tepat. Misalnya, Dinda itu orang yang tepat buat lo, dia cocok untuk
lo. Tapi sayangnya perasaan lo ke Dinda itu hadir di waktu yang tidak tepat. Contohnya sekarang. Jadi yaa.."
"Apa?" "Memantaskan diri dulu aja deh Ran. Masih belum jadi prioritas juga kan?" Zhafran menganggukkan kepalanya.
Yang dikatakan Clarista memang benar. Ia harus fokus pada prioritasnya sebagai siswa dan hamba Allah. Masalah jodoh, ia akan memasrahkannya kepada Allah
meskipun terkadang ia merasa sulit untuk mengendalikan perasaannya.
"Tapi taa..." "Apa?" "Emang lo nggak pernah gitu suka sama seseorang?" Clarista terdiam mendengarkan pertanyaan Zhafran. Ada sesuatu yang mengusik hatinya. Namun Clarista segera
mengenyahkan hal itu dan mulai berdeham sebelum menjawab pertanyaan Zhafran.
"Gini.. kalo kata mama gue sih. Rasa suka atau cinta itu selalu ada dalam diri manusia karena itu sudah menjadi fitrah yang di anugerahkan oleh Allah.
Termasuk juga pada saya. Saya pun pernah mempunyai rasa suka pada lawan jenis. Karna saya normal."
"Terus.." "Apa lagi?" "Siapa seseorang itu."
"Adadehhh. Kepo."
*** Rendra menghampiri lima orang yang tengah duduk di salah satu meja kantin. Meskipun masih terasa canggung tapi Rendra berusaha untuk biasa saja. Ia akan
bersikap seperti biasanya yaitu Rendra yang sok dekat sok akrab.
"Idiih... makan-makan nggak ngajakin abang ganteng."
"Siapa abang ganteng?" Tanya Aurel yang mulai terbiasa dan tidak merasa canggung lagi.
"Ini yang lagi mau duduk." Jawab Rendra sembari mendudukkan badannya diantara di samping Zhafran.
"Sok kegantengan kalo elo mah, bang." Dengus Dinda.
Sedangkan yang lain hanya tertawa.
"Oiya.. dua minggu lagi kalian ujian ya?." Tanya Zhafran yang langsung di angguki oleh Rama, Rendra dan Aurel.
"Semangat yaa.. semoga dapet yang memuaskan. Dan nanti kalo udah lulus, udah jadi mahasiswa jangan pada sombong. Mentang-mentang udah gede."
Rendra merangkul bahu Zhafran.
"Iyaa... gue bakalan inget elo kok." Ucap Rendra dengan wajah dramatis.
"Ih.. apaan deh bang, jijik gue." Ucap Zhafran yang lagi-lagi membuat meja mereka menjadi ramai.
"Oiya.. kalian rencana pada mau lanjut kemana?" Kini Clarista yang sedari tadi terdiam pun ikut bersuara.
Jawaban pertama didapatkan dari Aurel yang mengendikkan bahunya. "Entah, masih bingung gue."
Dan jawaban berikutnya didapat dari Rendra yang masih bingung ingin masuk ke universitas mana dan memilih program studi apa. Pasalnya antara program studi
yang disarankan orangtuanya dan program studi yang diinginkan dirinya berbeda.
"Kalo kak Rama?" Tanya Clarista.
Tidak hanya Clarista. Semua orang menunggu jawaban Rama. Termasuk Dinda. Meski tidak berani menatap Rama secara langsung, telinganya sedari tadi menunggu
untuk mendengar jawaban dari Rama.
"Belum tau juga sih. Lihat aja besok." Jawab Rama pada akhirnya.
Karena bagi Rama hati itu selalu terbolak-balik. Semua tidak ada yang pasti. Bisa jadi sekarang ia mengatakan. Ingin masuk universitas A dengan program
studi B. Tapi jika kenyataan berkata lain. Ia bisa apa. Jadi baginya jawaban yang paling aman adalah 'belum tau' meski di dalam hatinya sudah menetapkan
apa yang ia inginkan. *** "Lo tau kenapa selama ini gue nggak pernah memiliki perasaan lebih sama Aurel?" Tanya Rendra saat Ia tengah berada di kamar Rama dan hanya berdua.
Rama yang tengah sibuk membaca buku pun mengangkat kepalanya. Mencoba mendengarkan dan menyimak perkataan Rendra.
"Dulu gue sempet suka sama Aurel. Tapi setelah gue pikir-pikir. Kayaknya gue udah kalah telak. Dan mungkin gue hanya ditakdirkan sebagai sahabat aja. Dan
emang lebih baik gitu sih." Lanjut Rendra.
"Lo tau siapa yang bikin gue merasa kalah?" Rama mengangkat bahunya.
"Lo.." Mendengar jawaban Rendra membuat Rama mengerutkan keningnya tak mengerti.
"Kenapa gue?" "Karena gue tau, lo suka sama Aurel." Satu pukulan seakan menghantam dada Rama saat mendengar apa yang dikatakan Rendra.
"Gue nggak mau ada kesalahpahaman anatara lo dan gue cuma gara-gara perasaan yang nggak seharusnya ini. Lagipula juga selama ini gue pikir Aurel suka sama
lo." "Siapa bilang gue punya perasaan lebih sama Aurel?" Tanya Rama mencoba mengelak. Namun seketika malah ia mendapatkan sebuah tinjuan di lengannya.
"Mata lo terlalu jujur Ram. Lo pikir gue nggak bakalan tau kalo lo suka sama Aurel? Dari tatapan lo aja udah kelihatan jelas."
"Terus kalo lo bisa mengartikan tatapan gue ke Aurel sebagai tatapan suka. Kenapa lo nggak bisa mengartikan tatapan Aurel ke elo?" Tanya Rama kesal sendiri
saat mengingat Aurel yang menangis hanya karena Rendra.
"Ya karna gue pikir Aurel sukanya sama lo. Lagi pula apa sekarang hal ini penting? Dan gue ngerasa emang seharusnya gitu. Karena kalaupun gue dan Aurel
sama-sama suka pun. Gue akan tetep memilih untuk jadi sahabat. Karena terkadang cinta itu juga bisa menghancurkan. Dan gue nggak mau merusak persahabatan
gue hanya untuk cinta sesaat." Jawab Rendra.
"Lo tau? Dari peristiwa yang gue alami beberapa hari lalu. Pelan-pelan gue mulai sadar. Bahwa cinta yang sebenarnya adalah menjaga, seperti apa yang lo
lakuin selama ini. Dan dari hal itu juga gur tau. Bahwa memang kita ini remaja yang mungkin saat ini adalah masa puncak dimana kita sedang berbunga-bunganya
dengan perasaan cinta. Tapi tetap saja kan? Cinta harus dikontrol. Harus dijaga. Dan perasaan semacam itu akan punya masanya sendiri dan menurut gue emang
bukan sekarang. Tapi mungkin besok saat kita sudah benar-benar matang dan serius sehingga perasaan itu bisa terwujud dengan adanya pernikahan bukan hanya
sekedar gombal aja."
Kali ini Rama benar-benar terperangah mendengar perkataan Rendra. Bahkan ia sampai menggelengkan kepalanya tak percaya.
"Gue akui. Lo kata-kata lo keren banget. Nggak nyangka lo bisa belajar banyak dari kejadian kemarin."
Rendra mendengus mendengar perkataan Rama.
"Emang lo aja yang bisa berpikir bijak. Gue juga bisa kali."
Rama terkekeh lalu meninju lengan Rendra. Ia sangat senang dan bersyukur memiliki sahabat seperti Rendra.
*** 27. Perpisahan Pada dasarnya setiap hati berhak memilih. Entah memilih untuk menetap atau untuk pergi. Tak ada yang tau kapan perpisahan akan terjadi. Yang jelas dari
setiap pertemuan akan selalu berujung pada perpisahan, baik itu perpisahan sementara atau selamanya.2
Siapa bilang dalam persahabatan tidak akan pernah ada luka? Justru luka dalam persahabatan sejatinya adalah untuk menguji seberapa kuat tali persahabatan
itu terjalin. Apakah putus begitu saja karena merasa terluka atau justru semakin erat karena mampu mengobati luka secara bersama-sama.
Aurel tersenyum menatap dua sahabatnya yang kini berdiri tepat dihadapannya. Ujian Nasional telah berlalu. Dan kini acara pelepasan seluruh siswa kelas
12 pun tiba. Sebulir airmata lolos di pipi Aurel. Ia tak pernah menyangka bahwa masa SMA sesingkat itu. Sebentar lagi ia akan memasuki dunia yang sebenarnya.
Bukan lagi dunia anak-anak dan dunia remaja. Tetapi ia akan beranjak ke dunia yang lebih bisa mendewasakan dirinya.
"Lo jelek banget tau rel." Rendra menatap Aurel sembari menyodorkan sebuah saputangan pada Aurel.
Aurel menerimanya. Lalu ia mengelap airmatanya sembari tertawa.
"Iya gue tau. Kan lo udah sering bilang kalau gue jelek."
"Syukur deh kalo nyadar." Ucap Rendra yang diikuti tawanya.
"Rama ngomong dong." Rama hanya tersenyum menanggapi Aurel.
Sebenarnya ia sedang bingung mendeskripsikan perasaannya. Ada eurofia bahagia saat ia mendengar kabar kelulusannya. Namun tak bisa ia pungkiri, ia juga
merasa sedih saat ia mengingat bahwa ia harus mengakhiri masa SMAnya. Yang artinya adalah ia akan berpisah jarak dengan sahabat-sahabatnya.
"Kalian nanti jangan kangen sama gue ya.." ucap Rendra memecahkan keheningan yang beberapa saat tadi tercipta.
Ia mengamati dua sahabatnya. Rama hanya diam saja sementara Aurel sedari tadi sibuk mengelap airmatanya. Sebenarnya ia merasa aneh saja melihat Aurel yang
menangis. Padahal kan meski mereka lulus mereka masih bisa bertemu. Tapi terkadang jalan pikir seorang perempuan memang susah ditebak. Perasaan mereka
terlalu halus sehingga sangat mudah sekali untuk menangis.
"Etdah.. diajakin ngomong abang ganteng malah kagak ada yang jawab." Geram Rendra.
"Enggak lah. Ngapain juga kangen sama lo. Lo kan jahat. Ngapain juga gue kangen.
"Oh iya.. gue jahat banget ya sama lo? Gue lupa." Ucap Rendra menanggapi perkataan Aurel. Kemudian ia menoleh pada Rama.
"Lo sakit gigi ya Ram? Dari tadi diem-diem bae." Lagi-lagi Rendra bersuara kali ini ia menirukan logat bicara anak muda yang tengah trend sekarang.
"Astagfirullah. Udah ah.. kalian nggak mau foto nih?." Tanya Rama sembari mengangkat kameranya yang tentu saja langsung disambut dengan antusias oleh Aurel
dan Rendra. Tak lama kemudian Zhafran datang dengan dua perempuan yang ada di kanan dan kirinya. Siapa lagi kalau bukan Dinda dan Clarista. Mereka bertiga sengaja
datang untuk memberikan selamat kepada Aurel, Rama dan juga Rendra. Selepas itu mereka langsung berpose ria melakukan berbagai macam gaya berfoto.
*** Namanya perpisahan akan selalu terjadi. Entah itu datangnya cepat ataupun lambat. Seperti saat ini. Aurel tengah berdiri menatap sahabat-sahabatnya yang
mengantar dirinya ke bandara. Ia tak pernah menyangka bahwa dirinya akan memutuskan untuk melanjutkan kuliah di negeri orang. Sementara kedua temannya,
Rama dan Renda tetap berkuliah di Indonesia meski berbeda kota.
"Kirain bercandaan mau kuliah di luar negeri." Rendra menatap Aurel yang tengah berdiri di hadapannya.
Perempuan itu hanya tersenyum. Hatinya terasa sesak, entah mengapa melihat kedua orang tuanya dan sahabat-sahabatnya yang mengantar dirinya ke bandara
membuatnya ingin menangis.
Ceritanya berlanjut di bawah ini
i "Curang bener lo dah. Padahal kan gue yang pengen kuliah ke luar negeri. Lah kenapa malah jadinya lo coba?" Aurel terkekeh menatap Rendra.
"Lah.. salah siapa coba? Kan lo sendiri yang memutuskan untuk kulian di Indonesia."
"Salah gue lah. Ngapain coba nggak lulus tes IELTS (International English Language Testing System)." Rutuk Rendra yang mengingat kegagalannya saat tes
IELTS. "Sabar bang, masih ada kesempatan kok." Sahut Dinda.
Aurel berjalan mendekati Clarista dan Dinda kemudian memeluk mereka secara bergantian. Kemudian ia tersenyum seraya menangkupkan kedua tangannya pada Rendra.
Aurel tersenyum meski ia merasa sedikit kecewa karena Rama tidak turut mengantarnya. Padahal sejauh ini Rama lah yang telah mendukung dirinya dalam mewujudkan
keinginannya. Sedangkan Zhafran, dia juga tidak terlihat batang hidungnya. Katanya sih ada urusan. Tapi biarlah.
"Rama beneran nggak dateng ya?" Tanya Aurel memastikan. Sungguh ia benar-benar berharap bahwa Rama akan datang.
"Enggak deh kak, soalnya kak Rama lagi ada tes seleksi." Aurel mengangguk. Sebenarnya ia pun sudah tau akan hal itu, karena semalam Rama sudah menghubunginya
bahwa dia tidak bisa mengantar dirinya karena ada tes seleksi. Tapi siapa tau saja kan? Ada keajaiban atau semacamnya yang akan membawa Rama datang kemari.
Tapi sepertinya harapan tinggallah harapan karena Rama benar-benar tidak bisa datang.
Ia pun berpamitan untuk kesekian kalinya. Kemudian ia memutuskan untuk berjalan ke tempat check-in. Namun saat ia hampir saja sampai ke tempat check-in.
Ia mendengar seseorang memanggil dirinya. Saat ia berbalik, ia melihat Zhafran tengah berlari ke arahnya.
Aurel menatap Zhafran yang berdiri tepat dihadapannya dengan nafas yang terputus-putus akibat berlari.
"Zhafran. Lo ngapain?" Tanya Aurel.
"Ngapain?? Lo nggak mau pamitan sama gue kak?" Tanya Zhafran. Sementara Aurel terkekeh.
"Ah iya-iya.. sorry yaa."
Zhafran mengangkat bahunya tidak masalah. Ia mengeluarkan sesuatu dari saku celananya dan memberikannya kepada Aurel.
"Apa ini?" "Anggep aja kenang-kenangan dari gue. Baik-baik di negeri orang ya kak. Pastiin impian lo tercapai."
"Siapp.." "Yaudah kak, gue balik yaa. Lo udah mau check-in kan?" Aurel mengangguk.
Zhafran pun membalikkan badannya setelah ia mengucapkan salam. Namun baru beberapa langkah Zhafran berjalan. Aurel kembali memanggilnya.
"Kenapa kak?" Aurel tersenyum.
"Cuma mau bilang aja. Jangan suka baperin anak orang yaa. Kasihan tuh Rista. Kalo lo sukanya Dinda setidaknya lo jangan memberikan harapan sama Rista.
Tapi saran gue sih. Lebih baik lo fokus belajar dulu aja sih. Gue pamit dulu yaa. Assalamualaikum."
Zhafran terdiam mencoba mencerna perkataan Aurel. Rista?? Rista siapa? Apa mungkin yang di maksud Aurel adalah Clarista? Memangnya ada apa dengan Clarista?
Mungkin kah... mungkinkah??
Zhafran mengacak rambutnya sembari menatap Aurel yang berjalan menjauh.
"Ah.. nggak mungkin- nggak mungkin. Mana ada Clarista suka sama gue. Aneh-aneh aja nih kak Aurel.
*** Dinda menatap Rendra yang tengah mengenakan kacamata hitamnya saat mobil yang mereka tumpangi tengah berhenti di lampu merah. Mereka baru saja mengantarkan
Clarista ke rumahnya selepas mengantarkan Aurel di bandara.
"Lo serius mau ambil jurusan kuliah yang itu bang?" Tanya Dinda sembari membuka jendela mobil. Membuat angin berhembus menerpa wajahnya.
"Serius lah. Kalau nggak serius ya gue nggak bakalan daftar."
Dinda menganggukkan kepalanya. Sungguh diluar dugaan. Rendra benar-benar mengambil jurusan yang tidak pernah terpikirkan sedikitpun oleh dirinya.
"Din.." panggil Rendra. Dinda pun menoleh.
"Lo masih suka sama Rama?" Dinda tersentak mendengar pernyataan Rendra. Dari mana Rendra tau bahwa dirinya menyukai Rama.
"Sama lo dan Zhafran aja gue suka bang, apalagi sama kak Rama."
"Bukan suka yang kayak gitu maksud gue.. maksudnya tuh kayak rasa suka gue ke Clarista dulu."
Mendengar ucapan Rendra benar-benar membuat hati Dinda berdebar. Sepertinya ia tidak pernah memberi tahu Rendra tentang perasaannya. Tapi mengapa saat
ini Rendra bertanya seolah-olah Rendra tau mengenai perasaannya terhadap Rama.
Hexagon Love Karya Hasdian Ks di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Melihat Dinda yang terdiam membuat Rendra menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Udah deh nggak usah di pikirin aja. Maaf yaa. Bukan maksud gue mau sok tau soal perasaan lo." Dinda hanya menganggukkan kepalanya. Meski dalam benaknya
masih bertanya-tanya tentang bagaimana Rendra tau mengenai perasaannya terhadap Rama.
*** Clarista masih menekuni buku yang ia baca. Sesekali matanya menyipit saat ia merasa kebingungan dengan sebuah kalimat yang ada di buku itu. Perpustakaan
daerah tampak begitu lenggang. Tak banyak pengunjung yang hadir terlebih di jam kerja seperti ini.
Clarista mengalihkan pandangan pada jam tangannya. Siang ini dirinya ada janji dengan Zhafran dan Dinda. Mereka akan mengantarkan Rama dan Rendra ke bandara.
Kebetulan mereka berdua berangkat dari bandara yang sama dan jam yang sama. Hanya saja tujuan mereka yang berbeda.
Clarista segera keluar dari perpustakaan daerah dan segera berjalan menuju parkiran saat Zhafran menelfon dirinya. Zhafran mengatakan bahwa ia dan Dinda
sudah menunggu di parkiran.
"Kok gue sedih yaa." Gumam Zhafran saat mobil mereka mulai meluncur menuju bandara.
"Rasanya dari kemarin perpisahan mulu deh." Lanjutnya.
Ia sudah menduga bahwa perpisahan adalah akhir dari sebuah cerita. Namun ia juga tidak menyangkal bahwa perpisahan juga bisa menjadi awal dari sebuah cerita.
Hanya saja ia tidak tau. Perpisahan yang dirinya alami ini akankah benar-benar menjadi akhir atau menjadi awal.
Dinda, Zhafran dan juga Clarista segera turun dari mobil saat mereka telah sampai di bandara. Mereka berjalan mencari dua sosok pria yang ingin mereka
temui. Dan saat mata mereka menemukan dua sosok itu. Mereka segera menghampirinya.
Zhafran sudah bertos ria dengan kedua pria itu sementara Dinda dan Clarista hanya tersenyum menatapnya.
"Kirain nggak jadi datang." Ucap Rama sembari melepas kacamata hitamnya.
Ia tersenyum menatap Zhafran, Dinda dan Clarista mau repot-repot melepas kepergiannya. Hanya saja ia merasa kurang karena tidak ada Aurel.
"Kalian baik-baik yaa.. belajar yang rajin." Pesan Rama kepada ketiga orang dihadapannya yang sudah ia anggap sebagai adik sendiri. Sementara kali ini
Rendra lebih banyak diam daripada biasanya. Sekarang ia paham mengapa saat itu Aurel menangis. Pantas saja. Nyatanya perpisahan yang sementara pun terasa
mengharukan. 'Perpisahan memang bukan akhir segalanya. Namun perpisahan juga dapat menjadi akhir dari sebuah jalannya cerita. Jika memang kita di takdirkan untuk berjalan
di jalan masing-masing. Maka kita harus terima meski pada akhirnya kita tidak saling berjalan beriiringan. Karena aku percaya. Setiap orang mempunyai jalannya
sendiri. Begitu pula kita.. bisa jadi kisah kita juga berjalan sendiri-sendiri. Aku tidak akan pernah melupakan kenangan ini. Dimana kita saling berjalan
bersama membentuk sebuah kisah yang bahagia.' -Rama
*** 28. epilog "Abaaaangg.. buruan.." suara lengkingan perempuan yang ada di lantai bawah membuat Rendra menggelengkan kepalanya. Ia tak habis pikir dengan perempuan
itu. Sudah bertahun-tahun terlewati tapi kelakuan perempuan itu masih sama saja.
"Zhafran aja kalem gitu. Kok kamu sih yang bawel." Dinda mengerucutkan bibirnya saat mendengar ucapan Rendra yang tengah menuruni tangga.
"Ehh.. apa itu? Minta dicium?" Dinda memalingkan wajahnya. Sungguh meskipun kini mereka sama-sama dewasa. Mereka masih tidak bisa menghindari percekcokan
kecil diantara mereka. "Emang lo yang paling lama deh bang. Kayak mau ketemu mantan aja."
"Lah kan emang mau ketemu mantan." Kekeh Rendra dan mulai berjalan menuju mobilnya diikuti Dinda dan Zhafran.
Waktu sudah berjalan begitu lama. Bahkan Zhafran yang semula masih kelas satu SMA kini telah bermetamorfosa menjadi pria dewasa dengan segudang prestasi
di perusahaannya. Zhafran mewarisi perusahanaan ayahnya. Menjadi seorang arsitek sama seperti ayahnya.
Sedangkan Rendra? Kini ia telah mendapatkan hasil dari jerih payahnya dalam menempuh pendidikan di dunia peternakan. Kini ia sudah menjadi seorang pembisnis
sukses di bidang peternakan.
"Ikut bang Rendra atau gue, Din?" Tanya Zhafran yang langsung mendapat jitakan di kepalanya oleh Rendra.
"Ya ikut gue lah.. enak aja." Sungut Rendra lalu menarik Dinda menuju mobilnya sedangkan Dinda hanya tertawa.
"Masih cemburu sama Zhafran ya?" Goda Dinda yang disambut dengan gelengan kepala dari Rendra.
"Ngapain cemburu. Kan udah jelas kamu cintanya sama aku." Dinda hanya tertawa mendengar jawaban Rendra. Karena sampai kapanpun Rendra tetaplah Rendra dengan
tingkat kepedean yang luar biasa yang tidak pernah berkurang sedikitpun hingga saat ini.
*** "Sayang... udah siap belum? Ini aku udah selesai gantiin popoknya Umar." Teriak Rama sembari menggendong putra pertamanya. Sementara istrinya masih bersiap-siap
karena sejak tadi istrinya sibuk mengurus dirinya dan anaknya.
"Iyaa ini tinggal pakai jilbab kok Bii... Sebentar yaa." Perempuan itu segera mengenakan jilbabnya. Ia memilih jilbab instan agar tidak ribet.
"Udah.. yuk Umar sama umi." Perempuan itu mengambil alih putranya lalu mengikuti suaminya menuju mobil. Ia benar-benar tidak menyangka bahwa ia telah memiliki
seorang anak dengan Rama.
Siapa sangka jodoh sedekat ini. Bahkan ia juga tidak menyangka akan menikah muda saat itu.
"Nggak nyangka kalau akhirnya mereka nikah juga." Rama tersenyum mendapati istrinya yang telah duduk di kursi samping kemudi bersama dengan putranya.
"Aku dulu juga nggak nyangka loh bakalan nikah sama kamu."
"Apa lagi aku.. baru juga ketemu beberapa bulan setelah lama nggak ketemu. Eh tiba-tiba diajakin nikah." Rama terkekeh mendapati jawaban istrinya.
"Tapi akhirnya mau juga kan nikah sama aku?"
Perempuan itu tertawa. Tentu saja ia mau, siapa yang sanggup menolak pinangan seorang dokter tampan sekaligus soleh. Meski awalnya sempat ragu namun akhirnya
keyakinan itu datang dan semakin menguat.
*** Zhafran menengok lagi pintu kedatangan. Sepuluh menit lagi pesawat yang di tumpangi calon istrinya akan mendarat. Sungguh ia merasa sangat tidak sabar
menunggu. Pasalnya mereka sudah tidak bertemu selama tiga bulan. Yaa.. beginilah resiko hubungan jarak jauh. Harus kuat menahan Rindu.
"Selow Ran.. sepuluh menit lagi dan minggu depan udah halal kok." Kekeh Rendra sembari menepuk-nepuk bahu Zhafran.
"Apaan dah bang. Gue santai kok."
Dinda tersenyum girang saat melihat kedatangan sebuah keluarga dengan seorang anak kecil.
"Udah nggak sakit hati?" Sindir Rendra saat melihat Dinda tersenyum melihat sebuah keluarga yang tengah berjalan ke arahnya.
"Dih.. emang siapa coba yang sakit hati? Abang kali." Jawab Dinda.
"Aduuuhh. Umar makin imut deh. Kira-kira anak kita imut kayak Umar nggak ya bang?" Tanya Dinda pada Rendra sembari mengusap perutnya yang sedikit membuncit.
"Imutnya sih pasti, tapi nggak mirip Umar dong. Tapi mirip aku, kan papanya imut." Dinda mencubit pinggang Rendra saat lagi-lagi Rendra bertingkah dengan
kenarsisannya. "Mirip aku." Protes Dinda.
"Iya-iya.. mirip aku sama kamu. Kan anak kita." Jawab Rendra akhirnya sembari mengusap perut Dinda.
"Assalamualaikum." Rama berjalan menghampiri Zhafran dan Rendra kemudian menangkupkan tangannya pada Dinda.
"Waah.. asik nih kita ngumpul lagi." Ucap Rama yang membuat keempat orang dihadapannya tertawa.
"Sabar kak, istri gue belum dateng." Ucap Zhafran yang langsung mendapat cibiran dari Rendra.
"Masih calon kali. Belum juga ijab qabul." Zhafran hanya terkekeh. Mungkin ini efek karena hanya dirinya yang belum bersama pasangan.
"Makanya Ran.. kalo mikir jangan kelamaan." Tambah Rama.
"Yang gercep kayak lo gitu kak? Ya kan gue beda sama lo. Semua butuh proses." Semuanya tertawa. Bahkan Umar yang kini berada di gendongan Zhafran pun ikut
tertawa. Beberapa menit kemudian pemberitahuan kedatangan pesawat yang mereka tunggu pun tiba. Hati Zhafran rasanya sudah berdebar-debar. Hingga saat perempuan
berhijab maroon keluar dari pintu kedatangan dengan mendorong sebuah troli berisi beberapa koper tiba. Tanpa sadar Zhafran menahan nafasnya.
Saat perempuan itu sampai dihadapannya, perempuan itu tersenyum kemudian berlari ke arah Dinda dan Clarista.
"Aaaa.... kangen banget.." ucap perempuan itu sembari memeluk Clarista dan Dinda.
"Ehhh... Rel... jangan kenceng-kenceng. Ada anak gue itu." Rendra menginterupsi perempuan yang tengah memeluk Dinda dan Clarista. Ya.. perempuan itu adalah
Aurel. Aurel tersenyum dan segera meminta maaf karena ketidak tahuannya.
"Udah berapa bulan Din?" Tanya Aurel.
"Empat menuju lima kak." Aurel menganggukkan kepala lalu matanya beralih pada anak kecil yang digendong Zhafran. Ia berjalan mendekati Zhafran seraya tersenyum.
"Assalamualaikum." Salamnya pada Zhafran diiringi dengan senyuman.
Zhafran pun tersenyum. Ia sangat bahagia saat melihat kedatangan Aurel.
"Ini Umar kan?" Zhafran mengangguk.
"Mau gendong?" Dan kini giliran Aurel yang mengangguk.
Saat Aurel mengambil alih Umar dari gendongan Zhafran. Aurel langsung menyerbu Umar dengan ciuman. Terutama di pipinya yang gembul.
"Ya ampun.. ponakan gue makin gembul aja sih nak." Gemasnya.
"Jangan iri sama Umar ya Ran.. nunggu halal dulu." Goda Rendra yang langsung mendapat cubitan dari Dinda.
"Jangan digodain mulu ih bang, kasihan tuh mukanya udah merah." Semuanya tertawa mendengar ucapan Dinda kecuali Zhafran yang hanya bisa garuk-garuk kepala.
Kemudian mereka pun berjalan bersama menuju restoran yang ada di bandara. Rendra berjalan dengan merangkul bahu Dinda sedangkan Rama menggendong Umar dan
tak lupa menggenggam tangan istrinya- Clarista.
Sementara Zhafran dan Aurel berjalan bersisihan di barisan paling belakang.
Semua tak ada yang menyangka bahwa persahabatan mereka berujung dengan pernikahan. Siapa yang menyangka bahwa Rama dengan cepatnya menikahi Clarista kemudian
disusul dengan Rendra yang menikah dengan Dinda dan terakhir Zhafran dan Aurel akhirnya memutuskan untuk menikah setelah memalui berbagai macam kejadian.
Jodoh itu misteri, tak ada yang pernah menduga bahwa aku akan menikah denganmu. Pasalnya antara hatiku dan hatimu sama-sama memiliki seseorang yang lain.
Tapi siapa sangka, Allah dengan mudah membalik semuanya hingga aku dan kamu pun bisa bersatu.
-Hexagon Love End. *** Rahasia Hiolo Kumala 1 Wiro Sableng 183 Bulan Biru Di Mataram Hijaunya Lembah Hijaunya 34
"Gue tau kalo abang ngaco." Ucap Dinda kemudian. Dan hal itu tanpa sadar membuat Zhafran bernafas lega.
"Udah ah. Dinda mau tidur. Udah malem, besok sekolah." Ucap Dinda lalu masuk ke dalam kamarnya, meninggalkan dua pria yang masih sibuk dengan pemikirannya.
*** Adinda tengah membawa buku-buku paket untuk di bawa ke perpustakaan saat bel istirahat tiba. Tidak banyak. Karena separuhnya lagi sudah di bawa oleh temannya.
Perlahan ia menaiki tangga, karena perpustakaan sekolahnya berada di lantai dua. Ia berjalan mendekati pintu masuk perpustakaan. Baru saja ia akan mendorong
pintunya, tapi seseorang telah menarik pintu itu secara tiba-tiba membuat Dinda terjatuh menubruk orang itu, dan sialnya semua buku berhamburan jatuh.
Menyadari posisinya yang seperti memeluk orang itu, ia segera menarik dirinya dan segera mengambil buku-buku yang berjatuhan.
"Aduh.. maaf-maaf. Gue nggak sengaja, lo nggak papa?" Tanya orang itu. Membuat Adinda mendongakkan kepalanya. Matanya membulat sempurna saat ia menatap
seseorang di hadapannya. "Kak Rama??" "Adinda??" Ucap Rama terkejut begitu pula Dinda.
"Lo nggak papa kan?? Sini gue bantuin." Ucap Rama lalu ikut berjongkok dan menata kembali buku yang tadi di bawa Adinda.
"Kak Rama kok keluar lewat pintu masuk sih? Ngagetin tau." Ucap Adinda setelah mereka selesai menata kembali buku-buku itu. Rama menggaruk tengkuknya yang
tidak gatal. "Pintu keluarnya rusak, nggak bisa di buka." Jawabnya dan Adinda pun mengangguk.
"Yaudah Dinda balikin buku dulu ya.. kak Rama nggak ke kantin?"
"Lagi males. Lo sendiri?"
"Sama, lagi males juga. Hehe"
"Eh, yaudah gih. Balikin dulu bukunya." Ucap Rama dan Adinda hanya tersenyum lalu segera menuju penjaga perpustakaan untuk mengembalikan buku. Setelah
selesai ia bergegas untuk kembali ke kelas, namun langkahnya terhenti saat ia melihat Rama masih berdiri di dekat pintu.
"Loh, kakak masih di sini?" Tanyanya. Lagi-lagi Rama menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
"Ah iya, btw gimana bukunya? Udah di baca?" Tanya Rama.
"Udah, tapi belum selesai."
"Kayaknya kita ngomong di luar aja deh. Di sini kan nggak boleh berisik." Ucap Rama lalu berjalan mendahului Dinda, sedangkan Dinda mengikutinya di belakang.
"Baru sampai mana bacanya?" Tanya Rama saat mereka sudah sampai di sebuah bangku dekat taman sekolah.
"Baru dikit sih, nggak sempet soalnya. Kalau bukunya Dinda pinjem agak lama, boleh kan kak?" Tanyanya.
"Boleh. Bawa aja dulu." Ucap Rama lalu tersenyum. Membuat Dinda menahan nafasnya. Huh.. haruskah disaat seperti ini Rama membuatnya terpesona? Tidak. Tidak
boleh. "Dinda?" Panggil Rama yang membuat Dinda kembali ke alam nyata.
"Eh iya, kak." *** "Katanya perasaan itu tidak bisa di paksa, karena perasaan itu hadir dengan sendirinya tanpa di minta."? Rendra menahan tawanya mulutnya berkedut-kedut
sedari tadi. "Terus-terus?" Tanyanya lagi.
"Katanya jangan munafik. Jangan membohongi perasaan sendiri. Karena berpura-pura baik-baik aja itu sakit." Dan kini tawa Rendra benar-benar pecah. Ia tak
bisa lagi menahan tawanya.
Sedangkan Aurel menatap Rendra kesal. Ia sudah bicara panjang lebar, sementara Rendra malah menertawakannya.
"Ih.. nyebelin.. lo kenapa ketawa? Nyebelin banget!!" Kesal Aurel.
Rendra berdeham-deham menghentikan tawanya.
"Maaf-maaf, abis lo mendadak bijak gini. Aneh banget tau nggak? Biasanya juga absurd nggak jelas. Eh tiba-tiba jadi kayak gini. Ya lucu aja." Ucapnya.
Aurel mengerucutkan bibirnya sebal, benar-benar sebal.
"Lo bilang gue absurd?? Masih absurd-an elo kali. Nyebelin banget!!.. gue pergi aja lah. Males gue ngomong sama lo." Ucapnya lalu pergi meninggalkan Rendra.
Rendra yang menatap kepergian Aurel pun segera bangkit dan mengusulnya.
"Jangan ngambek dong Rel." Ucap Rendra saat ia sudah mensejajari langkah Aurel.
"Bodo. Sekali nyebelin tetep aja nyebelin. Sana jauh-jauh." Usir Aurel.
"Yakin? Bukannya lo nggak bisa jauh dari gue?" Goda Rendra. Sementara Aurel mendengus kesal. Karena apa yang di katakan Rendra tidaklah salah. Dan saat
matanya menangkap Zhafran. Ia segera mendekati Zhafran yang tengah duduk sembari mendengarkan sesuatu dari ponselnya, karena terlihat headset yang tertancap
di telinganya. "Ran. Tolong usir dia Ran. Gue capek di gangguin mulu." Ucap Aurel pada Zhafran. Zhafran menoleh pada Rendra.
"Lah, bukannya bang Rendra pacar lo kak? Iya kan bang?" Ucap Zhafran asal.
"Idih. Nggak mau gue jadi pacar dia." Ucap Aurel. Tentu saja berbohong.
"Oh. Maunya jadi istri? Yaudah gih bang, di halalin." Ucap Zhafran semakin melantur.
"Kayaknya lo demam deh Ran, ke UKS dulu sana." Ucap Aurel lalu pergi meninggalkan Zhafran dan Rendra yang tengah tertawa.
"Puas-puasin aja tuh ketawanya." Sungut Aurel.
"Hati-hati kak. Biasanya yang bilang enggak mau itu aslinya mau banget." Teriak Zhafran pada Aurel.
*** 16. Bukan rasa yang salah
membawa kenangan. Benarkah begitu? Lalu kenangan apa yang terlintas saat hujan datang?. Hujan itu datang membawa rahmat bukan kenangan. Karena
kenangan hanya ada dalam pikiran seseorang yang mau mengenangnya.
"Gue suka petrichor. Tapi gue lebih suka pelangi." Rama menatap gadis yang kini tengah menghirup aroma tanah yang baru saja terguyur hujan. Ya, petrichor.
Begitu gadis itu menyebutnya.
Di tatapnya gadis itu. Matanya terpejam, tangannya merentang lalu ia menghirup udara dalam-dalam.
"Mengapa suka petrichor? Bau tanah sehabis terguyur hujan?" Tanyanya.
Gadis itu berbalik lalu menatapnya.
"Gue mau suka sama lo. Tapi gue rasa belum saatnya. Jadi gimana dong?" Rama tertawa mendengar ucapan gadis itu. Ia memegang dadanya yang berdetak kencang.
"Lo nggak ada niat buat duduk dulu?" Tanya Rama pada gadis itu. Gadis itu pun tersenyum lalu berjalan menuju bangku dan duduk disamping Rama.
"Aroma petrichor itu seperti aroma di pagi hari, segar." Ucap perempuan itu singkat. Rama hanya mengangguk. Lalu keduanya terdiam. Menikmati udara segar
karena baru terguyur hujan. Cukup seperti ini. Diam tanpa sepatah kata, asalkan bersama orang di sampingnya, Rama sudah bahagia. Sesederhana itu.
"Ram." Panggil perempuan itu, dan Rama hanya menoleh sebagai jawaban.
"Kita sahabatan sejak kapan?" Rama mengerutkan dahinya saat mendengar pertanyaan itu. Namun tak urung ia juga menjawabnya.
"Tiga tahun lalu."
"Udah lama ya?" Rama hanya mengangguk tanpa bersuara meski dalam hatinya di penuhi tanda tanya.
*** "Lo nggak mau lari?"
Zhafran mendengus saat mendengar pertanyaan yang di ucapkan Dinda.
"Lo ngga lihat gue masih pakai seragam?" Adinda tertawa mendengar respon Zhafran.
"Yaudah sih, lari aja. Mumpung hujannya belum berhenti. Bentar lagi juga pulang."
"Lo nyuruh gue hujan-hujanan tapi kalau nanti gue demam lo yang paling bawel."
Adinda tak menjawab, ia hanya terdiam fokusnya teralih pada dua sosok manusia yang tengah duduk bersama di depan kelas sembari menyaksikan hujan. Bukan-bukan
itu yang menjadi perhatian Adinda. Melainkan pada tatapan mata mereka yang begitu dalam. Membuat Adinda diam-diam kembali tersenyum getir menyaksikannya.
Zhafran yang tak mendapati jawaban dan Adinda pun menoleh, menatap Adinda yang kini hanya terdiam menatap lurus, membuat Zhafran turut menolehkan kepalanya
ke arah yang menjadi objek pengamatan Adinda.
"Kak Aurel dan Kak Rama." Gumam Zhafran, lalu ia menoleh pada Adinda yang masih terdiam.
"Din.." panggilnya.
"Dinda.." "Adinda.." panggil Zhafran untuk ketiga kalinya tapi Adinda masih saja terdiam.
Zhafran menggeser tubuhnya ke depan Adinda sehingga sekarang tubuhnya menghalangi pandangan Adinda. Dan tentu saja hal itu membuat Adinda terlonjak kaget.
"Lo apa-apaan sih Ran?" Dengus Adinda.
"Elo yang kenapa? Di panggil daritadi diem aja. Ternyata malah lihatin orang pacaran." Ucap Zhafran yang membuat mata Adinda membulat sempurna.
"Pa..caran? Maksud lo?" Zhafran hanya mengendikkan bahunya, tidak ingin menjawab pertanyaan Adinda.
"Maksud lo..maksud lo kak Aurel sama kak Rama pacaran?"
"Tau deh. Menurut lo?" Tanya Zhafran. Kini Adinda menggelengkan kepalanya.
"Setau gue, kak Rama suka sama kak Aurel. Dari cara dia lihatin kak Aurel udah jelas banget kalau tatapan itu berbeda." Ucap Adinda
"Tapi sayangnya kak Aurel sukanya sama bang Rendra. Dan bang Rendra.."
"Suka sama Clarista." Sambung Adinda. Dan Zhafran mengangguk.
"Dan gue sukanya sama elo" sambung Zhafran dalam hati.
*** Angin februari masih berhembus, tak jarang angin itu membawa awan hitam dan berujung pada hujan. Namun kali ini nampaknya langit baik-baik saja. Langit
biru masih mendominasi dan sepertinya tidak ada tanda-tanda kehadiran awan hitam.
"Jadi gimana?" Clarista tampak memulai percakapan setelah ia menghabiskan isi satu botol air mineral. Sementara yang di ajak bicara hanya menggelengkan
kepala. "Gue tau ini sulit." Ia beranjak untuk membuang botol bekasnya pada tong sampah lalu kembali mendudukkan badannya ke tempat semula.
"Gue rasa emang ini belum saatnya. Tugas gue masih belajar."
"Tapi tetap aja. Lo nggak bisa mengelak kan?" Sama kayak gue, lanjutnya dalam hati.
"Setidaknya gue bisa untuk memendam perasaan gue sampai waktunya tiba." Dan Clarista memilih untuk mengangguk. Karena sejujurnya, hal seperti itu pula
yang sedang ia lakukan. Karena pada dasarnya mencintai bukanlah sebuah kesalahan. Karena mencintai adalah hak dari setiap manusia. Tinggal bagaimana manusia itu meletakkan cintanya.
Apakah di tempat yang benar, atau di tempat yang salah. Semua tergantung pada masing-masing orang.
Sedangkan dengan memilih untuk mengubur perasaannya dalam-dalam. Itu juga sudah menjadi haknya. Karena sebenarnya cinta itu tidak bisa memaksa dan dipaksa.
"Terus gimana sama lo?" Clarista menoleh saat mendapatkan pertanyaan. Hatinya tiba-tiba berdesir kuat.
Masih sama. Buat lo. Batinnya.
"Gue belum kepikiran kesitu." Ucapmya bohong. Sementara lawan bicaranya tersenyum.
"Begitu lebih baik."
*** "Dua bulan lagi Rel.. dua bulan lagi." Oceh Rendra tiada henti sejak setengah jam lalu.
Aurel hanya memutar matanya sebal. Ia tau dua bulan lagi ia akan ujian dan setelah itu lulus lalu melanjutkan kuliah di universitas impiannya. Lalu apa
yang menjadi masalah dengan semua itu?
"Lo masih sering masuk di bimbel itu?" Aurel hanya mengangguk sebagai jawaban.
"Hah.." Rendra mengacak rambutnya frustasi.
"Gue perlu banyak belajar. Nyesel gue sering bolos bimbel, jarang fokus belajar. Dan akhir-akhir ini malah gue sering banget menghabiskan waktu gue untuk
futsal." "Makanya.. atur waktu dengan baik. Hobi sih hobi. Tapi jangan sampai hobi mengalahkan kewajiban. Rama aja yang sama-sama hobi futsal masih sempet buat
belajar." "Iya-iya. Gue emang nggak seperfect Rama." Ucap Rendra lesu.
Ia tidak akan menyalahkan Aurel yang membandingkan dirinya dengan Rama. Karena memang nyatanya Rama lebih baik dari dirinya.
Aurel menepuk bahu Rendra lalu memilih duduk di sampingnya.
"Gue nggak maksud buat ngebandingin lo sama Rama. Gue cuma mau lo sadar. Umur kita di SMA tinggal dua bulan. Dan kita masih butuh banyak persiapan. Lo
boleh futsal. Tapi tolong, atur jadwalnya baik-baik. Jangan sampai mengganggu waktu belajar lo."
Rendra mendongakkan menatap? Aurel yang juga tengah menatapnya.
"Gue boleh peluk lo nggak?"
Aurel membelalakkan matanya lalu ia segera beranjak dari duduknya. Jantungnya berdetak tak karuan mendengar ucapan spontan dari Rendra.
"Tenang aja kali Rel. Gue tau batasan gue, kok. Gue bersyukur aja punya sahabat kayak elo yang selalu ngingetin gue. Yaa.. walaupun sering masuk telinga
kanan keluar telinga kiri." Rendra terkekeh setelah mengucapkan itu semua. Sedangkan Aurel masih terdiam, mencoba mengatur detak jantungnya agar kembali
berdetak dengan normal. "Ya.. biarpun lo nyebelin. Tapi lo tetep sahabat gue."
"Yang tersayang nggak?" Tanya Rendra sembari mengerlingkan matanya, jahil.
Dan Aurel menghela nafasnya, ia tau bahwa Rendra hanya menggodanya. Tapi tetap saja. Itu berefek pada hatinya.
"Bodo." Ucapnya cuek lalu melenggang pergi meninggalkan Rendra.
*** 17. Jam sudah menunjukkan pukul 3 pagi. Rama segera bergegas untuk mengambil air wudhu dan bersiap untuk sholat tahajud. Namun saat ia telah menggelar sajadahnya.
Ia teringat sesuatu. Kemudian ia segera mengambil ponselnya dan menghubungi sebuah nomor di panggilan terakhirnya. Lama tak panggilannya tak ada jawaban.
Hingga panggilan ke lima barulah ia mendengar sebuah jawaban dari sebrang sana.
Rama tersenyum saat mendengar suara serak khas bangun tidur.
"Udah bangun?" Tanya nya.
"Lagi ngumpulin nyawa." Lagi-lagi Rama tersenyum mendengar suara itu.
"Buruan gih ambil wudhu. Katanya mau tahajud."
"Oh iya. Makasih ya udah di bangunin."
"Yaudah. Langsung wudhu jangan tidur lagi."
"Iya-iya. Ini langsung bangun kok."
"Yaudah Assalamu'alaikum."
*** "Waalaikumsalam." Aurel menutup telfonnya. Lalu ia segera bangun untuk mengikat rambutnya, jam menunjukkan pukul tiga lebih tiga puluh.
Dinginnya air menyentuh kulit Aurel. Namun lama-kelamaan rasa dingin itu berubah menjadi segar. Setelah selesai berwudhu ia segera mengenakan mukenanya
dan setelah itu saatnya ia berduaan dengan Sang Penciptanya.
Dalam hatinya begitu besyukur diberi banyak kenikmatan. Namun tetap saja ia manusia biasa yang terkadang lalai, manusia yang serakah yang terkadang tidak
pernah merasa puas. Dan kali ini ia benar-benar bersyukur untuk segala yang ia terima hingga saat ini terlebih lagi ia memiliki sahabat-sahabat yang sangat baik dan bisa membimbingnya
menuju kedalam kebaikan. *** "Sholat jumat dulu gih. Terusin nanti lagi." Adinda membereskan buku-buku yang ada di hadapannya sementara Zhafran segera beranjak untuk bersiap-siap pergi
ke masjid. "Lo nggak pulang dulu?" Tanya Zhafran sebelum ia meninggalkan Adinda.
"Dirumah nggak ada orang. Gue disini aja. Nanti gue sholat bareng tante Syania." Zhafran pun mengangguk lalu pergi meninggalkan Adinda. Sedangkan Adinda
memilih untuk memberesi buku-buku pelajarannya. Dan segera menuju dapur membantu Syania memasak untuk makan siang.
Terkadang rumah Zhafran memang menjadi rumah keduanya. Karena baik Syam maupun Syania sama-sama menganggap dirinya sebagai anak. Lantas ia memposisikan
dirinya sebagai kakak Zhafran. Ya.. ia lebih suka menjadi kakak Zhafran. Meskipun terkadang menyebalkan tetap saja ia sayang. Dan harusnya Zhafran juga
memposisikan dirinya sebagai adik. Seharusnya begitu. Tapi tetap saja. Hati siapa yang tau.
"Masak kesukaannya Zhafran ya tante?" Tanyanya pada Syania yang tengah menumis sayuran.
Wanita paruh baya itu pun tersenyum.
"Kamu makan siang di sini ya Din."
"Emang udah niat mau makan masakan tante kok." Jawabnya cengengesan. Sementara Syania hanya kembali tersenyum.
"Yaudah kamu duduk gih."
"Yah. Kok duduk sih. Dinda kan mau bantuin. Jadi apa yang bisa Dinda bantu?"
*** "Jadi intinya kita harus terus berbaik sangka kan Ram?" Rama mengangguk, mengiyakan pertanyaan Aurel.
"Dengerin tuh. Harus positif thinking. Yakin lo pasti bisa, jangan apa-apa langsung nyerah."
"Jangan lupa, usaha juga disertai doa." Tambah Rama.
Sementara Rendra yang menjadi pendengar hanya menganggukkan kepala.
"Berpikir positif itu penting. Lo tau sugesti kan? Terkadang tanpa kita sadari sugesti juga mempengaruhi keberhasilan kita. Ya walaupun belum pasti juga
sih. Setidaknya jika kita menyugesti bahwa kita bisa. Maka kita akan mempunyai semangat dan tekad kuat yang membantu kita untuk mencapai keberhasilan.
Beda lagi kalau dari awal kita berpikir bahwa kita 'tidak bisa' maka diri kita jadi malas dan tidak punya semangat untuk mencapai keberhasilan."
Sekal lagi baik Rendra maupun Aurel menganggukkan kepala mendengar penjelasan Rama.
"Oke. Sekarang kalian bantuin gue ya. Gue sebenernya paham sih. Tapi agak lupa." Ucap Rendra sembari menyodorkan tumpukan buku-bukunya.
"Gue biologi, Rama Fisika, oke?" Ucap Aurel membagi tugas dan langsung di setujui oleh kedua sahabatnya.
"Dan kayaknya kali ini, lo belajar dulu deh sama Rama. Biologinya besok. Soalnya gue ada janji mau pergi sama papa." Lanjut Aurel.
"Jangan lupa oleh-oleh." Teriak Rendra saat Aurel hendak melangkahkan kakinya.
"Belajar yang rajin dulu sama Rama. Nanti gue kasih oleh-oleh."
"Berasa gue jadi anak lo berdua deh." Gerutu Rendra yang membuat Aurel tergelak.
"Yaudah nak. Baik-baik sama papa ya, jangan nakal. Mama pergi dulu. Assalamu'alaikum." Ucap Aurel lalu pergi.
Sementara tanpa Aurel sadari, ia telah membuat satu hati membuat pengharapan dan hati itu juga mengaminkan bahwa suatu saat ia ingin memiliki sapaan itu
dengan Aurel. *** "Kok pulangnya sampai larut gini Ran? Dari mana aja?" Tanya Syania pada putra sematawayang nya.
Zhafran mencium tangan mamanya kemudian menghampiri papanya yang tengah duduk sembari menikmati secangkir kopi.
"Tadi ma, habis pengajian. Zhafran lihat ada kecelakaan. Nenek-nenek gitu. Kebetulan disitu ada temen Zhafran, yaudah Zhafran sama temen Zhafran bantuin
nenek-nenek itu terus Zhafran anterin ke rumah sakit, terus nganterin temen Zhafran juga." Jelas Zhafran.
"Temennya laki-laki atau perempuan Ran?" Tanya Syam sembari menatap anaknya.
"Perempuan pa, emangnya kenapa?"
"Nggak papa. Ati-ati aja kalau nanti jatuh cinta." Ucap Syam sembari melirik Syania yang tiba-tiba tersedak.
"Hati-hati ma." Ucap Zhafran dan papanya secara bersamaan.
"Apalagi kalau temen kamu itu cuek. Ati-ati aja pokoknya."
"Emang kenapa sih, pa?" Tanya Zhafran bingung.
"Udah-udah. Sana gih ganti baju. Jangan dengerin papa kamu." Ucap Syania. Dan saat Zhafran telah pergi, Syam pun tertawa puas karena melihat rona merah
di pipi istrinya saat mengingat pertemuan pertama mereka dulu.
*** "Lo udah sampai rumah?" Tanya Clarista pada seseorang di seberang sana.
"Alhamdulillah udah sampai rumah dengan selamat" Clarista tersenyum mendengar jawaban itu.
"Lo nggak tidur?"
"Kalo tidur, gue nggak mungkin telfon lo dong."
"Ya bukan gitu."
"Gitu gimana sih Ris?"
"Ya gitu." "Oh gue tau. Lo mau ngucapin 'selamat malam Zhafran. Selamat tidur, semoga mimpi indah. Jangan lupa berdoa yaa'. Gitu kan??" Dan kali ini Clarista benar-benar
tidak mampu lagi menahan tawanya.
"Malah ketawa. Beneran gitu kan?"
"Iya in aja deh. Biar lo seneng."
"Waah.. makasih Clarista. Lo udah buat gue seneng." Dan lagi-lagi Clarista tertawa.
"Sama-sama Zhafran."
Setelah itu terjadi hening beberapa saat. Baik Zhafran maupun Clarista sama-sama terdiam, sementara sambungan telfon mereka masih terhubung.
"Ris, lo masih disana kan?"
"Iya Ran." "Gue mau ngomong serius nih." Ucap Zhafran. Clarista terdiam, ada sesuatu yang bergetar dalam hatinya.
"Serius?" "Iya, tadi papa gue bilang. Gue suruh hati-hati kalau sama lo."
"Hati-hati? Maksudnya?"
"Papa gue bilang, harus hati-hati karena nanti bisa-bisa gue jatuh cinta sama lo. Dan gue rasa.. gue.." ucap Zhafran menggantung dan tanpa sadar membuat
Clarista menahan nafasnya.
"Lo kenapa?" Tanya Clarista tak mampu menahan rasa penasarannya.
"Gue.." Clarista masih terdiam menunggu kelanjutan ucapan Zhafran. Bahkan kali ini ia bisa merasakan detak jantungnya yang tiba-tiba berdetak kencang.
"Gue mau tidur Clarista. Udah malam. Lo juga buruan tidur yaa, jangan begadang. Awas jangan baper juga. Selamat malam. Selamat tidur, semoga mimpi indah
yaa. Jangan lupa berdoa. Assalamu'alaikum."
Belum sempat Clarista membalas salam Zhafran sambungan telfonnya sudah terputus secara sepihak. Membuat Clarista merasa tidak karuan. Antara kesal, kecewa,
lega, semua bercampur menjadi satu.
"Jangan baper." Ucap Clarista pada dirinya.
*** 18. hati yang terluka Clarista terkejut saat tiba-tiba ia merasakan sesuatu yang dingin dipipinya. Ia menoleh dan mendapati Zhafran tengah tersenyum sembari menempelkan satu
botol air mineral dingin ke pipi Clarista yang membuat gadis itu buru-buru mengambil botol itu. Clarista mendengus.
"Ngagetin tau." Kesalnya. Sementara Zhafran malah terkekeh lalu mendudukkan tubuhnya di samping Clarista. Matanya menatap lurus pada gadis yang kini tengah
mengomel pada Rendra. Sementara Rendra hanya bisa memutar matanya sebal.
"Kenapa sih?" Tanya Zhafran pada Clarista yang masih sibuk meminum minumannya. Kemudian Clarista segera menutup botol minumnya.
"Biasalah. Bang Rendra kan usil." Jawabnya santai.
"Lo kenapa nggak suka sama bang Rendra, Ris? Dia kan ganteng." Clarista menoleh saat mendengar Zhafran berbicara. Namun ia segera mengalihkan pandangannya
lagi saat matanya tanpa sengaja bertemu dengan mata Zhafran yang tengah menatapnya. Clarista terdiam. Enggan menjawab pertanyaan Zhafran. Sementara Zhafran
terus saja menanti jawaban dari Clarista.
"Karna dia usil ya? Atau nyebelin?" Tanya Zhafran lagi yang membuat Clarista menghela nafas panjangnya.
"Gue suka sama bang Rendra. Dia udah kayak kakak gue sendiri." Jawab Clarista.
"Tapi bukan itu yang.."
Hexagon Love Karya Hasdian Ks di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ran.." ucap Clarista memotong perkataan Zhafran.
"Lo pikir dalam menyukai seseorang bisa semudah itu? Asal dia ganteng atau cantik terus lo bisa suka? Enggak kan. Karena hati dan perasaan itu nggak bisa
dipaksa. Seperti halnya lo. Kenapa lo suka sama Dinda? Kenapa bukan kak Aurel aja yang lo suka?" Atau gue-- lanjut Clarista dalam hati.
"Ris, lo marah ya? Gue nggak bermaksud..."
"Gue nggak marah kok. Santai aja." Ucap Clarista lalu kembali meneguk air mineralnya.
"Terus, kalo kadang ada orang yang menikah bukan karena cinta itu gimana? Misalnya dijodohkan? Bukankah hati dan perasaan tidak bisa dipaksakan? Tapi buktinya
mereka yang menikah tanpa cinta pun menjadi saling mencintai." Tanya Zhafran lagi. Dan lagi-lagi Clarista menghela nafas panjangnya.
"Zhafran. Gue itu bukan pakarnya cinta. Kenapa sih setiap lo sama gue, lo selalu menanyakan hal yang berbau cinta sama gue?"
"Karena gue yakin lo bisa jawab. Kalo enggak, ngapain gue nanya, ya kan?"
"Oke gue nggak bisa jawab."
"Gue yakin lo bisa. Jadi kenapa?"
"Dasar nyebelin." Ucap Clarista lalu pergi meninggalkan Zhafran. Namun Zhafran tak tinggal diam. Ia berdiri lalu menyusul Clarista meminta jawaban hingga
akhirnya gadis itu pun menyerah dan memilih untuk mendudukkan badannya pada bangku yang ada di dekat taman sekolah.
"Lo tau istilah jawa wit ing tresna jalaran sangka kulina yang artinya cinta itu bermula karena terbiasa?" Tanya Clarista dan Zhafran menganggukkan kepalanya.
"Jadi dalam pernikahan itu cinta adalah sebuah keharusan. Mungkin awalnya tidak ada cinta. Tapi cinta itu bisa dibentuk melalui kebersamaan mereka. Melalui
keterbiasaan dengan adanya pasangan mereka. Jadi menurut gue. Cinta dalam sebuah pernikahan memang di haruskan ada. Tapi kalo masih kayak kita gini. Masih
labil. Bicara cinta sepertinya memang belum saatnya. Lagian kenapa sih lo tanya-tanya soal nikah? Lo mau nikah muda ya?" Tanya Clarista sembari menatap
Zhafran penuh selidik. Sementara Zhafran yang di tatap seperti itu malah mengerlingkan matanya yang membuat Clarista mendelik sebal.
"Kan abis lulus gue mau nikahin lo." Ucap Zhafran lalu berlari sebelum ia mendapatkan teriakan dari Clarista karena berhasil menggoda gadis itu.
Clarista mengerjabkan matanya berulang kali. Jantungnya tiba-tiba berdetak tak karuan karena ucapan Zhafran. Ah lagi-lagi sindrom degdegan kembali menghampirinya.
*** "Kenapa sih semuanya jadi anteng kalem gini kalo sama Rama? Kalo sama gue aja galaknya minta ampun. Apa salah hamba ya Allah." Keluh Rendra saat melihat
Aurel maupun Dinda tengah duduk kalem sembari menikmati makanannya. Jauh berbeda sebelum Rama datang, kedua gadis itu terus saja mengoceh mengomeli dirinya.
Inilah.. itulah.. semua yang ia lakukan seolah tidak ada yang benar.
"Elo sih nyebelin." Ucap Aurel dan langsung didukung dengan anggukan kepala dari Dinda.
"Kayaknya lo cocok deh Ram kalo punya istri banyak. Semuanya akan damai. Lah kalau gue? Bisa pada perang tuh istri gue nanti gara-gara rebutin gue." Ucap
Rendra asal. "Bang Rendra apaan sih. Sekolah aja belum lulus. Udah ngomongin istri. Istri satu aja belum punya. Malah ngomongin istri banyak." Omel Dinda yang membuat
Rama terkekeh. "Eh anak kecil? Kenapa sih sewot mulu? Lo mau daftar jadi istri gue? Ngomong dong. Jangan ngomel mulu bisanya." Dinda mendengus mendengar perkataan Rendra.
Memang benar-benar menyebalkan satu mahluk ini.
"Yakali gue mau jadi istri abang."
"Hati-hati loh Din. Masa depan nggak ada yang tau." Ucap Rama yang membuat Dinda menampilkan cengirannya.
Aurel yang duduk diantara Dinda dan Rama hanya terdiam menikmati makanannya. Ia terlalu malas mengomentari ocehan manusia yang ada di hadapannya. Terkadang
ia juga bingung. Mengapa ia bisa jatuh cinta kepada mahluk seperti Rendra yang sudah jelas selalu membuat rusuh dan sangat menyebalkan. Bukankah ini aneh?.
"Tumben tuan putri diem. Biasanya cerewet." Ucap Rendra yang sedari tadi melihat Aurel hanya terdiam.
"Tuan putrinya lagi males ngomong sama lo kali." Jawab Rama mewakili Aurel. Sedangkan Rendra mendengus.
"Yaudah yuk balik. Udah bel nih. Dan lo anak kecil. Sono balik ke kelas lo. Belajar yang bener." Adinda mendengus mendengar ucapan Rendra. Sekali menyebalkan
tetap saja menyebalkan. *** Rendra mengubah posisi tidurnya menjadi duduk. Ia mengacak rambutnya. Sesuatu telah mengusiknya.
"Salah nggak sih kalau gue minta tolong Aurel buat deketin gue sama Clarista?"
Rama yang tengah sibuk dengan novelnya pun mendongak menatap Rendra yang tengah duduk di atas sofa ruang keluarga rumahnya.
"Salah." Jawab Rama lalu kembali melanjutkan membacanya.
Rendra semakin gusar. Ia kadang bingung dengan perasaannya sendiri. Ia sangat suka dengan Clarista tapi disisi lain hatinya juga mengingatkan bahwa ini
belum waktunya. Tapi tetap saja, yang namanya masa remaja memang tak pernah lepas dari rasa suka terhadap lawan jenisnya bukan? Dan Rendra juga yakin bahwa
setiap remaja seusianya pasti pernah merasakannya.
"Terus gue harus gimana?" Tanya Rendra sembari menatap Rama yang masih asik membaca. Tak ada jawaban yang Rendra dapatkan selain Rama yang mengendikkan
bahunya. Dan hal itu tentu saja membuat Rendra semakin kesal.
"Elo mah selalu tanpa solusi kalo sama gue." Dengus Rendra. Dan kali ini Rama menurunkan bukunya. Ia menghela nafas panjangnya sebelum berkata-kata.
"Setiap tindakan yang lo buat. Lo harusnya berpikir bagaimana kedepannya. Dan lo juga harus tengok ke sekeliling lo. Karena kadang tanpa lo sadari, ada
hati yang terluka karna tindakan lo. Jadi menurut gue sih. Lo harus banyak berpikir lagi deh soal perasaan lo itu. Dan.. menurut gue sih untuk saat ini
yang jauh lebih penting adalah ujian yang bentar lagi datang." Rama berucap panjang lebar kemudian kembali lagi pada aktivitasnya. Sementara Rendra menghempaskan
tubuhnya kembali di sofa.
"Bisa nggak sih ujiannya di skip aja?"
"Menghadapi ujian sekolah aja udah ngeluh. Gimana menghadapi ujian hidup." Cibir Rama di sela-sela membacanya.
"Pinter lo Ram."
*** 19. Diam-diam sih harus yang berguna kalo menurut gue. Sering-seringin ikut kegiatan positif kembangin potensi yang kita miliki. Kalo remaja macem kita
aja udah bertindak negatif, gimana nanti adek-adek kita yang masih kecil? Mereka kan mencontoh dari orangtua dan kakak-kakaknya."
"Tapi kak. Nggak semua remaja sadar akan potensi yang mereka miliki, nggak semua remaja juga mau berpikir dan bertindak positif. Kebanyakan dari mereka
hanya mengutamakan kesenangan sesaat dengan hal-hal yang kadang nggak cuma merugikan diri mereka sendiri tapi juga merugikan orang lain."
"Misalnya?" Zhafran yang sedari tadi hanya diam mendengarkan argumen Rama dan Clarista kini bersuara.
"Ya contohnya sih banyak, misalnya Malas belajar, Tawuran, melanggar aturan sekolah dan yang paling meanstrem ya pacaran. Pokoknya contohnya banyak deh.
Susah kalau disebutin satu-satu."
"Tapi kan pacaran itu sebagai sarana pengekspresikan rasa terhadap seseorang yang kita sayang, kalau gue sih nggak terlalu bermasalah sama yang namanya
pacaran selagi pacarannya yang positif dan nggak macem-macem." Dan Rendra yang sedadi tadi sibuk dengan ponselnya pun ternyata diam-diam mengikuti diskusi
mereka dan kini ia menyuarakan apa yang ada di pikirannya.
"Oke siapa dulu nih yang mau berpendapat?" Tanya Rama menengahi. Sore ini mereka tengah berada di rumah Adinda, awalnya sih hanya ada Dinda dan Clarista.
Namun Rendra yang tengah bersama Rama memilih menyusul, tentu saja dengan modus Rendra yang ingin bertemu Clarista. Tapi sebelum mereka datang, Rendra
dan Rama menyempatkan untuk menjemput Aurel. Dan Zhafran yang datang paling akhir karena Dinda menelfonnya.
Sedangkan diskusi ini entah mulai dari mana, awalnya mereka hanya berbincang masalah biasa lalu berujung pada hal ini.
"Oke biar gue dulu." Ucap Dinda yang baru datang dengan beberapa minuman dan makanan ringan. Kemudian ia memilih duduk diantara Clarista dan Aurel.
"Gue sih sebagai manusia biasa nggak bisa memungkiri kalau gue pun punya rasa suka sama yang namanya lawan jenis. Terutama di usia kayak kita ini. Tapi
meski begitu, gue sih akan berusaha untuk nggak pacaran karena selain nggak boleh sama ayah dan umi, menurut gue pacaran itu nggak berfaedah."
"Gue setuju." Sahut Aurel
"Mungkin iya pacaran itu sebagai sarana mengekspresikan rasa suka kita terhadap lawan jenis seperti yang Rendra bilang, tapi tetep aja yang namanya pacaran
itu belum halal. Ibaratnya makanan nih, kalau yang nggak jelas kehalalannya aja nggak boleh dimakan. Nah pacaran juga yang udah pasti enggak halal, jadi
harusnya tidak dilakukan. Lagi pula kalau pacaran pasti ujungnya galau. Pacarnya gini dikit galau, salah dikit galau, nggak di chat galau. Ribet dah."
"Alah elo aja yang jomblo suka galau gitu, Rel." Aurel mendengus mendengar cibiran Rendra. Pria itu memang selalu saja berisik.
"Ya galaunya gue beda kali sama galaunya orang pacaran. Kalau jomblo itu kesadarannya lebih tinggi. Mereka dari awal udah sadar kalau dia tidak memiliki.
Lah kalo pacaran? Bukan haknya tapi sok-sok ngatur dan sok memiliki."
"Gini nih." Sela Rama.
"Jadi pada dasarnya kita itu boleh jatuh cinta. Tapi yang namanya jatuh, pasti merasakan sakit. Jadi tinggal gimana kitanya aja memenage hati dan perasaan
kita. Ini juga penting untuk kita sebagai remaja. Rasa cinta yang kita miliki itu apa sih? Masih ngambang kan? Belum ada kepastian yang jelas. Jadi ya
kita harus jaga hati dan jaga perasaan. Gimana supaya rasa cinta kita itu terkendali. Tidak diumbar sana sini. Daan.. sebenarnya cinta yang paling baik
itu kan cinta kepada Allah. Dan ini yang sering kita lupain. Kita seolah-olah mengagungkan cinta kita kepada sesama manusia. Kepada sama-sama makhluk ciptaan
Allah. Sementara cinta kepada Allah sendiri, cinta kepada Dzat Pemilik Cinta kita lupakan. Itu yang seharusnya kita garis bawahi."
"Gue sih setuju banget sama kak Rama." Clarista melirik Zhafran yang mulai bersuara.
"Jadi kesimpulannya. Kita harus menata hati kita, mengatur perasaan kita agar tidak menjadi hal yang salah, simpan rasa kita sampai pada waktu yang tepat,
kalau udah jatahnya jodoh juga bakalan bersatu. Nggak harus pacaran nggak harus diumbar-umbar."
"Jadi cinta dalam diam gitu ya Ran?" Tanya Aurel.
"Yap.. tepat banget."
"Yaudah sih. Diminun dulu minumannya, jangan lupa camilannya dimakan juga." Ucap Adinda yang langsung membuat semuanya tertawa namun tak urung mereka mengambil
minuman masing-masing. Satu hal yang Dinda Syukuri karena mengenal orang-orang di hadapannya yaitu banyaknya pelajaran dan kebaikan yang ia dapat saat bersama mereka.
Hari pun semakin larut, matahari sudah mulai tenggelam maka baik Rama, Clarista dan juga Aurel memilih untuk berpamitan pulang, sedangkan Zhafran dan Rendra
masih menetap di rumah Dinda.
"Kalian nggak pulang?" Tanya Dinda sembari membereskan buku-buku sisa belajar dirinya dengan Clatista.
"Ini mau pulang, gue tunggu di perempatan ya Ran. Jalan kaki aja lah. Deket juga masjidnya." Ucap Rendra sembari beranjak dari duduknya. Sedangkan Zhafran
hanya menganggukkan kepala.
"Oiya Din." Panggil Rendra yang membuat Dinda menoleh.
"Nggak papa sih gue cuma manggil. Haha. Assalamu'alaikum."
*** Aurel dan Clarista yang kebetulan ikut pulang dengan menumpang di mobil Rama pun harus pulang terlambat karena kemacetan yang menghambat jalan mereka.
Wajar saja, saat ini adalah jam pulang kerja jadi tidak aneh jika jalan menjadi macet.
Clarista yang duduk sendiri di jok belakang pun memilih memasang earphone nya? karena ia tidak ingin menguping ataupun mengganggu percakapan antara Aurel
dan Rama. "Jadi lo juga pernah gitu suka sama seseorang?" Tanya Aurel tak percaya. Bagaimana tidak, Rama yang selalu tertutup masalah perempuan pun pernah jatuh
cinta. "Gue normal kali Rel." Ah iya, Aurel lupa. Rama juga manusia seperti dirinya jadi tentu saja Rama pernah suka dengan seseorang. Tapi tetap saja ini sangat
mengejutkan bagi dirinya.
"Terus-terus." Kejarnya.
"Terus apanya?"
"Ya gimana perasaan lo? Terus cewek itu gimana? Suka juga nggak sama lo?"
"Lo lama-lama kayak wartawan ya." Ucap Rama sembari tertawa. Padahal hatinya sudah berlari-lari sejak tadi. Bagaimana tidak, ia diwawancarai langsung oleh
orang yang ia suka. "Ya perasaan gue itu apa sih? Masih ngambang juga kan? Jadi ya gue cuma bisa diem. Diem-diem mencintai. Diem-diem doain dia, diem-diem bicarain dia sama
Allah. Apalagi?." "Uuhh so sweet yaa cara lo mencintai. Ada nggak ya yang diem-diem doain gue gitu kayak elo."
Ada Rel, Guee!! "Terus ceweknya itu gimana? Boleh dong kasih tau gue. Gue penasaran tau Ram." Tanya Aurel lagi.
"Apaan sih Rel, dia tuh suka sama orang lain deh kayaknya. Udah ah.. malu gue." Pungkas Rama yang membuat Aurel sedikit kecewa.
"Bodoh tuh cewek. Nggak lihat apa? Temen gue cakep gini. Sholeh pula. Malah suka cowok lain." Gerutu Aurel yang membuat Rama tersenyum miris.
"Udah deh. Jangan suka ngatain orang." Karena yang lagi lo katain bodoh itu lo sendiri. Lanjut Rama dalam hati.
*** 20. Cerminan diri Dinda baru saja turun dari bus yang membawanya kembali sekolah setelah ia mengikuti olimpiade kimia tingkat kota. Dan kedatangannya langsung disambut oleh
Clarista, Aurel dan Rendra.
"Zhafran mana bang?" Tanyanya saat ia tak menemukan Zhafran berdiri disana.
"Lagi ada perlu tadi sama pak Reza. Gimana olimpiadenya?" Tanya Rendra bersemangat begitu pula Aurel dan Clarista yang tampak sangat antusias dengan jawaban
yang akan diberikan Dinda.
Tapi Dinda hanya terdiam. Ia merasa tidak enak jika harus menyanpaikan kabar buruk.
"Lo gagal?" Tebak Clarista. Dan ya.. Dinda tidak mengelak ia hanya mengangguk lesu sembari memeluk Clarista.
"Udah santai aja. Menang kalah itu biasa. Jangan terlalu di pikirin." Ucap Rendra menasehati.
"Nih ya, biar gini-gini juga gue pernah gagal. Dulu sebelum gue bisa ikut kejuaraan futsal tingkat nasional pun gue pernah gagal. Bahkan gue nyaris gugur
di tahap seleksi untuk masuk tim nasional. Tapi, yaa apapun yang terjadi gue syukuri. Dan setiap kegagalan yang gue alamin itu gue jadiin tombak untuk
gue bangkit. Karena gue percaya bahwa Allah akan memberikan yang terbaik untuk hambanya. Dan kegagalan itu adalah sebagai ujian untuk kita apakah kita
kuat menghadapi atau tidak. Jadi.. jangan sedih. Lo gagal sekarang, besok bisa lo coba lagi, bukan malah nyerah. Dari kegagalan itu harus buat lo bangkit.
Harus buat lo lebih maju. Dan satu lagi. Banyakin berdoa. Karena usaha tanpa berdoa akan sia-sia. Masa iya lo usaha doang tanpa meminta kepada Allah. Kan
Allah yang ngatur rezeki kita, Allah yang ngatur segalanya. Kalau lo cuma usaha tapi nggak mau minta sama Allah. Ya mana Allah mau ngasih. Dan juga sebaliknya.
Kalo lo cuma modal doa pun tanpa lo usaha, semua juga bakal sia-sia. Yakali lo cuma minta doang tanpa usaha. Ya gimana Allah mau kabulin doa lo. Udah..
semangat lah. Jangan terlalu dipusingin."
Adinda hanya mengangguk mendengarkan nasehat Rendra. Benar apa kata Rendra, kegagalan seharusnya membuat ia menjadi semangat untuk mengejar keberhasilan
bukan malah menjadikannya menyerah.
Sedangkan Aurel malah tampak takjub dengan Rendra, ia tidak pernah menyangka bahwa pria yang sableng itu bisa berucap sedemikian bijak.
"Ya meskipun bidang kita beda sih, gue di bidang non akademik sementara lo di bidang akademik. Tapi setidaknya pengalaman gue bisa lo jadiin pelajaran
bahwa setiap kegagalan adalah awal dari kesuksesan bukan kehancuran." Lanjut Rendra.
Dan kali ini Aurel benar-benar terpukau dengan Rendra. Bahkan ia sampai secara terang-terangan menatap penuh takjub ke arah Rendra.
"Iya Rel, gue tau kalau gue keren. Jadi lo biasa aja dong." Ucap Rendra yang membuat Aurel memutar bola matanya. Tapi ia tak berucap apa-apa karena ia
sudah cukup tau watak dari laki-laki di sampingnya ini.
*** Mentari tampak meredup, sebentar lagi hujan mungkin akan turun dengan rintiknya.
Dinda tampak berlari menyeberang jalan berharap hujan turun beberapa saat lagi agar ia tidak basah kuyup. Ia meletakkan tas yang berisi belanjaan kebutuhan
rumah titipan Uminya di dekat tempat ia duduk. Sementara laki-laki yang tadi mengantarnya tengah berdiri di sampingnya menanti hujan.
Kali ini Dinda dan Zhafran sengaja pergi dengan menggunakan bus trans daripada menggunakan mobil. Karena Dinda ingin merasakan seperti apa serunya jika
bepergian menggunakan bus.
"Lo bawa jaket kan? Buruan dipake, anginnya kenceng banget." Dinda hanya menganggukkan kepalanya saat Zhafran memintanya untuk mengenakan jaket. Lalu ia
segera mencari jaketnya yang ia masukkan di tas punggung yang ia bawa. Beruntung tadi sebelum berangkat Zhafran mengingatkannya untuk membawa jaket. Meski
awalnya ia enggan membawa, namun karena paksaan Zhafran akhirnya ia membawa jaket juga.
"Kok lo tau sih kalau mau hujan?." Tanya Dinda heran. Sementara Zhafran malah tersenyum.
"Lo lupa kalau gue penikmat hujan?." Dan Dinda pun baru menyadari hal itu. Ia lupa kalau Zhafran sangat peka terhadap hujan.
Dan tak perlu menunggu lama lagi, hujan turun dengan derasnya. Dinda sedikit berpindah ke tengah halte bus, perlahan halte menjadi penuh karena banyaknya
orang-orang yang berteduh. Dinda sedikit risih saat ada seorang laki-laki yang duduk sangat dekat dengan dirinya. Akhirnya ia pun memilih untuk bangkit
dan berdiri bersama Zhafran.
"Lo duduk aja, nanti basah loh."
Dinda menggelengkan kepalanya. "Gue nggak nyaman. Mas itu duduknya mepet-mepet mulu deh."
Zhafran pun menganggukkan kepalanya saat mendengar penjelasan Dinda.
"Yaudah lo berdiri di belakang gue aja. Jangan ikut-ikutan kayak gue. Nanti lo sakit lagi."
Dinda pun mendengus. "Apaan sih. Lebay deh.. dulu juga kan gue suka main hujan sama lo. Sama bang Rendra juga kan? Keliling kompleks. Haha."
"Dan elo yang sering banget sakit sehabis hujan-hujanan. Entah itu flu, batuk, ataupun demam."
"Dan elo yang selalu buatin coklat panas sama jahe ke gue. Eh btw.. buatin lagi dong Ran, udah lama kan lo nggak buatin gue coklat panas."
"Iya nanti gue buatin. Udah gih, itu busnya udah dateng. Yuk masuk."
*** "Jadi?" Dinda menanyakan kesimpulan dari pembicaraanya siang ini. Ia bersama Rama, Aurel dan Zhafran tengah duduk di kedai es krim setelah dari toko buku.
"Ya kalau gue sih balik lagi. Semua tergantung pandangan masing-masing orang. Kalau menurut gue sih, boleh-boleh aja mengagumi seseorang. Asalkan rasa
kagumnya itu tidak mengalahkan rasa cintanya terhadap Allah."
"Emang lo lagi mengagumi seseorang, Din?." Tanya Aurel yang membuat Dinda hanya mengangguk kaku.
"Curhat saja sama Allah, jangan pernah tinggalin doa disepertiga malam terakhir. Gue juga mengagumi seseorang. yang namanya rasa suka itu pasti ada. wajar
sih, tapi caranya juga harus benar. ya saling mendoakan aja disepertiga malam terakhir. Gue percaya kok sama Allah, orang baik pasti dapat orang baik juga
yg namanya jodoh itu cerminan dari diri kita sendiri."
Dinda terdiam. Benar apa kata Rama. Jodoh adalah cerminan diri sendiri. Tapi saat mendengar Rama juga mengagumi seseorang. Hatinya langsung bisa menerka
siapa 'seseorang' itu. Tentu saja Aurel, dan sayangnya bukan dirinya.
"Tapi kak, kalau orang yang kita kagumi ternyata mengagumi orang lain dan bukan diri kita gimana dong?." Tanya Dinda menyindir dirinya sendiri. Namun tanpa
Dinda sadari baik Rama, Aurel maupun Zhafran sama-sama tersentak dengan pertanyaan Dinda. Bukan karena partanyaan Dinda yang salah tapi karena mereka mengalami
seperti apa yang dikatakan Dinda.
Rama berdeham. "Gini... kalau menurut gue sih, gue kan yang mengagumi dia tanpa dia minta. Ini perasaan gue tanpa paksaan dari dia. Jadi kalau dia juga
merasakan hal yang sama kayak gue ya Alhamdulillah. Tapi kalau ternyata dia mengagumi orang lain dan bukan gue, ya itu hak dia. Kan perasaan dia. Kita
nggak bisa dong salahin dia? Jadi kita hanya perlu mendoakan aja. Kalau dia emang jodoh kita. Dia nggak akan lari kok. Dia nggak akan jauh dan yang pasti
dia akan kembali." "Meskipun rasanya sebel banget gitu ya kalau lihat si dia jalan sama orang yang dia sayang dan orang itu bukan kita?." Tanya Aurel seolah mengutarakan
apa isi hatinya. "Kalau gue sih, selagi dia bahagia gue juga bahagia. Meskipun gue juga ngerasain sakit di waktu yang bersamaan."
"Setuju." Sahut Rama menyetujui ucapan Zhafran.
"Kayaknya jadi pada curhat deh. Yaudah yuk pulang aja. Udah sore juga." Ucap Dinda mengakhiri perbincangan sore ini.
Dinda tersenyum. Setidaknya ia sedikit mendapat ilmu bagaimana cara menjaga hatinya. Yaitu mendekatkan diri kepada Allah dan jangan biarkan nafsu dan rasa
cinta kita kepada ciptaan Allah melebihi rasa cinta kita kepada Allah.
*** 21. Nikah?? Siang ini Aurel harus menunda kepergiannya bersama mama dan papanya karena ia harus mengikuti les tambahan yang diadakan secara mendadak. Maklum saja ujian
semakin dekat maka pemadatan untuk persiapan ujianpun terus dilakukan.
Kali ini Aurel tengah istirahat dengan menghabiskan waktunya untuk duduk di depan kelas bersama Rama sebelum bel masuk untuk jam tambahan berbunyi.
"Belum kepikiran gue mau lanjut kemana." Ucap Aurel sedikit lesu. Antara capek juga sedikit galau memikirkan masa depannya.
"Nanti juga kepikiran. Pelan-pelan, yang penting jangan gegabah dalam memutuskan."
"Kalau lo sendiri Ram?"
Rama menghela nafasnya, sebenarnya ia juga masih bingung.
"Nikah mungkin." Jawab Rama asal dan hal itu langsung saja membuat Aurel menganga lebar. Tak menyangka bahwa jawaban itu yang akan terlontar dari mulut
Rama. "Seriusan?? Lo mau nikah muda?"
Rama terkekeh melihat respon Aurel yang berlebihan. Haruskah Aurel histeris seperti itu saat mendengar bahwa ia ingin menikah muda?
"Gue bercanda kali Rel.."
"Syukurlah.. kaget banget gue. Gue harus segera mengikhlaskan sahabat terkeren gue untuk perempuan beruntung itu." Ucapnya sembari mengelus dadanya. Karena
ada rasa tak rela juga sih kalau harus mendengar Rama akan menikah secepat itu. Biar bagaimanapun Rama adalah salah satu sahabat terbaiknya. Tentu saja
ia akan merasa kehilangan nantinya jika Rama menikah setelah lulus SMA.
"Gini ya Rel. Kalau gue nikah muda, istri sama anak gue nanti mau gue kasih makan apa? Gue kan apa-apa masih minta orang tua. Lagipula gue juga belum punya
calonnya kan? Masih SMA pula."
"Ah tapi tetep aja kan? Buktinya sekarang juga banyak kok yang memilih menikah muda dengan alasan karena nggak mau menambah dosa. Dan menurut gue pun,
lo udah mampu. Karena lo juga kan udah punya usaha sendiri yah walaupun cuma toko baju khusus cowok. Tapi itu udah sangat bagus lah untuk kita yang masih
anak SMA gini. Tapi ya itu.. gue belum rela kehilangan elo."
Rama hanya tersenyum getir mendengar perkataan Aurel. Semanis apapun yang Aurel katakan padanya. Nyatanya hati Aurel pun tidak pernah berubah untuk dirinya
dan masih menetap pada satu nama. Rendra. Karena nyatanya Aurel hanya menganggapnya sebagai sahabat dan tidak lebih dari itu.
"Udah yuk masuk. Bentar lagi bel, gue mau siap-siap." Ucap Rama lalu berjalan memasuki kelasnya meninggalkan Aurel yang belum juga beranjak dari duduknya.
*** "Ada apa abang ajak Rista ke sini?" Clarista menolehkan kepala menatap sekelilingnya. Bagi Clarista ini merupakan sebuah tempat yang pemandangannya lumayan
bagus, sebab dari tempatnya duduk ia bisa melihat sawah dengan padi yang masih hijau yang membentang luas. Udaranya juga sangat sejuk. Dan hal itu membuat
Clarista sedikit takjub karena Rendra bisa menemukan tempat seperti ini di tengah kota.
"Ya nggak papa.. abang cuma pengen ngajak Rista kesini aja."
Clarista tersenyum. Ia menghargai Rendra meski sejujurnya ia tidak terlalu suka. Bukan karena ia tidak menyukai Rendra hanya saja Rendra hanya mengajak
dirinya dan pada waktu yang tidak tepat.
"Rista sih suka sama tempatnya bang, tapi kalau boleh saran. Abang kan mau ujian nih? Fokus dulu lah sama ujiannya." Sarannya yang membuat Rendra hanya
bisa garuk-garuk kepala. "Jadi mau dianterin pulang sekarang nih?." Tanya Rendra berat hati karena ia tau gadis yang berdiri di sampingnya ini merasa tidak nyaman dengannya.
"Iya bang, maafin Rista ya bang, Rista cuma nggak mau ganggu jam belajar abang." Ucap Clarista yang merasa tidak enak hati pada Rendra.
"Iya nggak papa kok. Harusnya abang berterimakasih sama Rista."
*** "Lebay lo." Komen Zhafran saat ia melihat Adinda tengah memandangi satu foto yang ada di ponselnya sambil terus menyanyikan lagu patah hati.
Sedangkan Adinda mendengus tak suka dengan komentar Zhafran. Lagipula yang lebay kan dirinya, yang baper dirinya, dan yang patah hati dirinya mengapa harus
Zhafran yang sewot. "Lo nggak ngerti banget sih perasaan gue." Kesal Adinda yang dijawab dengan decakan Zhafran.
Zhafran tak heran lagi dengan sikap Adinda karena ia sudah cukup mengenal Adinda. Bersahabat dengan Adinda sejak kecil bahkan sejak saat ia masih berada
dalam kandungan membuat ia sangat mengenal Adinda namun tidak dengan yang satu ini.
"Timbang lo baper nggak karuan gitu, mending lo doain deh bang Muzammil dan istrinya bisa menjadi keluarga yang sawama." Saran Zhafran.
Adinda mengerucutkan bibirnya, tentu saja ia mendoakan idolanya itu agar menjadi keluarga yang sakinah, mawaddah dan warahmah bersama istrinya. Tapi tetap
saja eurofia atas pernikahan Muzammil Hasballah yang merupakan salah satu hafidz Qur'an indonesia yang menjadi idola Adinda membuatnya turut baper terlebih
berita pernikahannya sangat mendadak, ditambah lagi hastag-hastag di instagram yang membuatnya semakin baper. Contohnya hastag haripatahhatinasional terus
baperduniaakhirat dan masih banyak lagi.
"Gini ya Din, percuma lo galauin bang Muzammil. Nggak ada gunanya tau, sekalipun bang Muzammil itu jomblo pun. Dia belum tentu suka sama lo kan? Jangankan
suka, kenal aja belum tentu." Ucap Zhafran yang seperti menampar Adinda.
Hexagon Love Karya Hasdian Ks di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ya kan kalau Allah berkehendak, nggak ada yang mustahil kali."
"Iya gue paham, tapi buktinya?? Bahkan sekarang bang Muzammil udah nikah, lalu lo bisa apa? Yaudah sih ikhlasin aja. Lagian siapa elo? Lo juga bukan siapa-siapanya
kan? Yaudah." "Tapi kira-kira gue bisa nggak ya? Dapet jodoh yang kayak bang Muzammil gitu?" Zhafran memutar bola matanya jengah. Ia masih tak habis pikir dengan apa
yang ada di pikiran Adinda saat ini.
"InshaAllah bisa, bukankah di Al-Qur'an sudah dijelaskan bahwa Allah SWT berfirman:
?????????????? ???????????????? ????????????????? ?????????????? ? ?????????????? ??????????????? ???????????????? ????????????? ? ?????????? ?????????????
?????? ???????????? ? ?????? ??????????? ????????? ????????
Yang artinya : Perempuan-perempuan yang keji untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji untuk perempuan-perempuan yang keji (pula), sedangkan perempuan-perempuan
yang baik untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik untuk perempuan-perempuan yang baik (pula). Mereka itu bersih dari apa yang dituduhkan orang.
Mereka memperoleh ampunan dan rezeki yang mulia (surga)."
(QS. An-Nur 24: Ayat 26) Dari ayat itu bisa kita pahami jika kita memang ingin mendapatkan jodoh yang baik, maka kita juga harus baik terlebih dahulu. Makanya nih, mumpung kita
masih muda, kita perbaiki diri dulu aja. Dekatkan diri kita kepada-Nya. Jodoh udah Allah atur kok. Jadi ngga usah khawatir."
Nah. Jodoh memang sudah di atur Allah, kita tinggal berikhtiar sembari menunggu Allah mempertemukan kita dengan jodoh kita. Tapi sembari menunggu, kita
juga harus sembari memperbaiki diri. Karena jodoh adalah cerminan diri. Nggak bisa dong kita yang jarang Sholat tapi pengen dapet jodoh yang Sholeh/Sholehah
yang rajin ibadah terlebih penghafal Al-Qur'an. Sebenarnya sih boleh-boleh aja tapi kok rasanya kayak nggak adil gitu loh. Ibaratnya kita pengen dapet
berlian eh tapi dianya dapet batu. Kan nggak seimbang. Untung dikita rugi di dia. Kalau kita pengen dapet yang Sholeh. Minimal kita juga harus Sholehah.
Rajin ibadah juga. Kalau kitanya aja males-malesan ibadah.gimana mau dapet yang rajin ibadah. Coba deh dipikirkan logikanya.
Adinda terdiam. Benar yang dikatakan Zhafran. Ia juga nggak mau sih kalau sampai nanti suaminya menyesal menikahinya. Na'uzubillah. Berarti sekarang ia
harus giat memperbaiki diri. Mumpung ia masih muda kan?? Masih banyak waktu luang juga. Jadi jangan sampai menyia-nyiakan kesempatan yang ada. Karena kesempatan
nggak akan datang dua kali. Jadi harus memanfaatkan waktu dan kesempatan sebaik-baiknya.
"Lo pernah kepikiran untuk nikah muda nggak sih Ran?" Tanya Adinda yang membuat Zhafran menjentikkan jarinya di kening Adinda.
"Sekolah dulu yang bener. Jangan mikirin nikah dulu." Ocehnya seperti orang tua yang membuat Adinda tergelak.
*** 22. Maaf "Lo kenapa bang?." Tanya Zhafran yang melihat Rendra begitu lesu. Tidak seperti biasanya pria petakilan itu kini tengah bermuramdurja.
"Tadi gue abis jalan sama Clarista." Jawabnya sembari membenarkan peci yang ia kenakan. Ia dan Zhafran tengah berjalan menuju masjid untuk menantikan azan
magrib dan setelah itu dilanjutkan dengan sholat berjamaah dan tadarusan hingga isya'.
"Ya bagus dong. Terus kenapa malah kusut gitu."
Rendra menghela nafas beratnya.
"Pas jalan sama gue, kelihatan banget kalo Clarista nggak nyaman. Ya dia sih nggak bilang apa-apa. Tapi tetep kelihatan gitu lah dari mimik wajahnya. Perasaan
kalo dia jalan sama lo, dia anteng-anteng aja. Happy-happy aja."
"Yaa iya lah. Secara gue gitu." Ucap Zhafran yang langsung mendapat jitakan dikepalanya. Rendra mencibir kelakuan Zhafran yang sangat narsis. Biar bagaimanapun
ia dan Zhafran tetap tampan dirinya meskipun itu mamanya yang mengatakan.
"Sirik aja sih." Dengus Zhafran sembari membenarkan pecinya yang miring akibat ulah Rendra.
"Nih ya bang, daripada lo mikirin perasaan lo yang tak berbalas itu. Mending lo mikirin kematian deh. Perasaan gue juga nggak berbalas tapi gue santai
aja.." "Eh serius?? Emang lo suka sama siapa sampai nggak berbalas gitu?." Zhafran merutuki ucapannya. Mengapa ia harus keceplosan di depan Rendra begitu sih?
Bisa bahaya kan kalau Rendra sampai tau jika ia menyukai Dinda.
"Ealah. Buruan deh bang jalannya. Udan mau adzan nih." Ucap Zhafran lalu berjalan mendahului Rendra. Untung saja pria itu tidak lagi membahas apa yang
mereka bahas sebelumnya dan memilih untuk melanjutkan langkah sehingga membuat Zhafran bisa bernafas lega.
*** Zhafran mendengus saat lagi-lagi ia menatap kemacetan yang ada di hadapannya. Dalam hati ia bertanya, mau berapa jam lagi ia sampai rumah? Padahal saat
ini ia sudah satu jam lebih berada di jalan. Tapi ini belum juga menempuh separuh perjalanan menuju rumahnya.
Memang sejak adanya pembangunan proyek jalan tol imbasnya adalah jalanan menjadi macet. Disaat seperti ini ingin rasanya Zhafran memiliki sayap atau apapun
yang membuat ia segera sampai di rumah.
Ditengah-tengah kejenuhannya Zhafran melirik Dinda yang telah tertidur pulas di sampingnya. Sudah setengah jam lalu Dinda tidur karena kelelahan menunggu
macet. "Ah elo Din, tidur mulu. Temenin gue ngobrol kek." Gumam Zhafran. Tapi tentu saja tak ada respon dari Dinda.
Dan hal itu membuat Zhafran menghela nafas panjangnya.
"Gue itu sayang banget sama elo Din..." gumam Zhafran lagi.
"Mungkin lebih dari sahabat. Ataupun sebagai adik." Lanjutnya.
"Tapi gue nggak mungkin kan jujur sama lo? Bisa-bisa lo malah menghindar dari gue." Lanjut Zhafran? lagi.
Setelah itu Zhafran kembali melirik Dinda. Memastikan bahwa Dinda tidur dan tidak mendengar ucapannya.
*** Malam semakin larut, hawa dingin semakin terasa menyentuh kulit. Dan Dinda masih termenung di balkon kamarnya sembari mengingat kejadian tadi sore.
Tanpa Zhafran ketahui, Dinda sebenarnya mendengar semua yang dikatakan Zhafran. Karena sejujurnya saat Zhafran mengatakan semuanya, ia sudah bangun, ia
sudah sadar hanya saja ia memilih untuk tetap menutup matanya.
'Gue itu sayang banget sama lo, mungkin lebih dari sahabat'
Kata-kata Zhafran terus saja berputar di kepala Dinda. Ia tak pernah menyangka bahwa Zhafran memiliki perasaan ssmacam itu padanya. Padahal ia hanya menganggap
Zhafran sebagai sahabat sekaligus adiknya, tidak lebih. Tapi Zhafran...
"Kenapa sih lo harus sayang sama gue??" Gumam Dinda, berharap Zhafran akan mendengarnya. Tapi hal itu mustahil karena Dinda hanya menggumamkannya dalam
hati. "Kenapa harus gue Zhafran?? Bukannya lo sukanya Clarista?" Ucap Dinda, kali ini dinda benar-benar bergumam.
Hati Dinda benar-benar bergejolak. Ia bingung harus bagaimana. Jika ia menghindari atau menjauhi Zhafran. Sama saja ia memutus tali persaudaraan. Dan hal
itu secara tidak langsung akan menyakiti Zhafran. Tapi jika ia tetap bersama Zhafran. Ia akan merasa tidak enak pada Zhafran.
Dinda menghela nafasnya gusar. Kali ini ia benar-benar dilema.
*** "Salah ya kalau Rista memilih untuk menjauhi bang Rendra?" Tanya Clarista pada sosok perempuan dihadapannya. Sedangkan perempuan yang menjadi lawan bicara
Clarista hanya menundukkan kepalanya.
"Rista cuma nggak pengen nyakitin hati kakak. Rista tau, kakak suka sama bang Rendra."
"Lo salah!" Cerca perempuan di hadapan Clarista yang tidak lain adalah Aurel.
"Lo salah kalo lo jauhin Rendra karna cuma takut nyakitin gue. Itu hak lo, hak Rendra juga kalo dia suka sama lo. Dan gue, ini perasaan gue. Gue yang suka
Rendra tanpa Rendra minta jadi lo nggak perlu peduliin perasaan gue."
"Kak, kakak tau kan kalau perasaan nggak bisa dipaksa? Alasan Rista menjauh juga bukam cuma karena kakak. Tapi emang Rista nggak ada apa-apa sama bang
Rendra. Lagipula Rista juga lagi mau fokus belajar."
Dan mendengar perkataan Clarista, Aurel benar-benar merasa tertampar. Seharusnya saat ini ia fokus belajar untuk mengahapi ujian nasional. Tapi yang ia
lakukan? Justru ia sibuk dengan perasaannya yang sama sskali tidak bermanfaat. Perasaan yang seharusnya tidak ia miliki. Perasaan yang seharusnya ia hilangkan.
"Maafin gue." Ucap Aurel.
"Gue yang salah. Nggak seharusnya gue maksa lo." Lanjut Aurel lalu bergegas meninggalkan Clarista. Namun saat ia baru beberapa langkah Aurel berjalan meninggalkan
Clarista. Kini Aurel dihadapkan dengan sosok yang untuk saat ini ingin ia hindari. Sosok itu adalah Rendra.
Aurel memberanikan diri untuk menatap Rendra. Tapi tatapan Rendra... Rendra menatap dirinya dengan pandangan yang sangat sulit diartikan.
"Kenapa harus gue Rel?" Tanya Rendra. Sementara Aurel hanya bisa menundukkan kepalanya.
"Jawab Rel. Kenapa harus gue?!" Tanya Rendra lagi.
Namun Aurel masih tetap diam.
"Jawab Rel!!. Kenapa lo cuma diem?!" Tanya Rendra lagi. Kali ini suaranya naik satu oktaf.
"Kenapa elo? Gue juga nggak tau kenapa harus elo!!."
"Bodoh!!"? Ucap Rendra yang membuat Aurel mendongakkan kepalanya menatap Rendra.
"Kenapa lo harus siksa perasaan lo sendiri?! Lo tau kalo gue cuma anggep lo sahabat. Tapi..kenapa lo malah aggep gue lebih dari itu?"? Kini Rendra menghela
nafasnya frustasi. Ia sama sekali tak menyangka bahwa Aurel akan memiliki rasa yang sedemikian kepada dirinya.
"Ini perasaan gue.. dan lo nggak berhak nyalahin gue. Gue juga nggak nuntut lo untuk balas perasaan gue kok. Dan nggak usah lo perjelas pun gue tau kalo
lo cuma anggep gue sebagai sahabat." Ucap Aurel susah payah. Dadanya terasa sesak. Bahkan airmatanya menumpuk di pelupuk mata.
"Fine.. Gue tau itu perasaan lo, hak lo, suka-suka lo. Tapi dengan gini... Gue ngerasa jadi cowok paling brengsek, asal lo tau. Gue minta lo bantuin buat
comblangin gue sama Clarista yang nggak lain adalah sodara lo sendiri. Sementara lo menanggung sakit hati karena gue. Gue sayang sama lo Rel. Sayaang banget.
Tapi maaf, rasa sayang gue nggak sama kayak rasa sayang yang lo punya." Dan kali ini pertahanan Aurel benar-benar runtuh. Aurel tidak bisa menahan airmatanya
dihadapan Rendra. Sedangkan kini Rendra semakin gusar. Ia paling tidak suka melihat perempuan menangis. Tapi ia juga tidak bisa untuk sekedar menenangkan atau menghapus
airmata Aurel. "Pliss Rel. Jangan nangis.. gue udah terlalu banyak nyakitin lo." Ucap Rendra. Tapi kini Aurel tak mampu berkata-kata lagi. Ia hanya bisa menggelengkan
kepalanya sebagai pertanda bahwa ini bukan salah Rendra. Melainkan salah dirinya.
"Dan maaf, gue nggak bisa bales perasaan lo. Gue harap, setelah ini lo bisa lupain perasaan lo ke gue. Kita sahabatan aja ya Rel. Gue sayang lo."
**** 23. Bangun Cinta Siang ini mentari masih bersinar, hanya saja sinarnya tak secerah biasanya. Mentari tampak sedikit murung kali ini.
Rama masih duduk terdiam membiarkan seseorang menangis dengan membelakanginya. Sudah sejak setengah jam lalu ia duduk di taman belakang sekolah ini. Dan
kali ini ia sengaja membolos pelajaran demi seseorang di sampingnya.
"Perasaan emang sulit dikendalikan." Setelah sekian lama terdiam, akhirnya Rama memilih untuk membuka suara.
"Terlebih perasaan untuk mencintai dan dicintai. Namanya juga jatuh cinta. Pasti sakit, karena yang namanya jatuh akan selalu menimbulkan luka. Entah itu
berdarah ataupun tidak. Rasanya sama saja. Menyakitkan." Lanjutnya.
Tapi seseorang yang ada di sampingnya belum juga menghentikan tangisnya.
"Kecuali lo bangun cinta. Membangun berarti menyusun. Mungkin awalnya sulit, tapi pasti akan berakhir bahagia." Lagi-lagi Rama bersuara.
"Rel,." Panggilnya. Tapi yang di panggil hanya terdiam.
"Lo boleh nangis sepuas lo. Lo boleh sedih, boleh kecewa, tapi lo harus tau. Ada orang yang akan lebih sedih saat melihat lo kayak gini." Lanjut Rama lagi.
Dan kali ini mampu membuat Aurel menatap Rama.
"Coba lo bayangin. Kalo mama dan papa lo lihat lo dalam keadaan kayak gini. Mereka pasti sedih kan? Sekarang lebih baik lo sholat deh, tenangin diri lo.
Serahin semua keluh kesah lo sama Allah. Yang namanya jodoh nggak akan kemana kok. Dia nggak akan tersesat dan tertukar."
"Gue nggak permasalahin jodoh Ram." Sahut Aurel setelah ia menghapus air matanya menggunakan saputangan yang diberikan Rama.
"Gue sedih aja." Lanjutnya
"Apa yang lo sedihin? Karna Rendra minta lo hapus perasaan lo ke dia?" Tanya Rama. Tapi Aurel menggelengkan kepalanya.
"Gue takut Rendra benci sama gue." Jawabnya kemudian menundukkan kepalanya.
Sebenarnya bukan itu yang ia takutkan. Karna masalah benci atau tidak itu adalah hak Rendra. Tapi yang ia khawatirkan adalah persahabatannya. Akankah persahabatannya
akan berhenti disini? Akankah semuanya akan berakhir?.
"Atas alasan apa Rendra benci sama lo? Nggak usah mikirin hal-hal yang belum tentu terjadi." Ucap Rama lalu beranjak dari duduknya. Menatap Aurel sejenak
yang masih menunduk lalu membalikkan badannya.
"Lo mau sholat atau masih tetap disini?" Tanya Rama sebelum melangkahkan kakinya.
"Lebih baik lo berdoa sama Allah. Mohon ampun dan minta petunjuk." Ucap Rama kemudian pergi meninggalkan Aurel.
*** Dinda masih tak paham dengan alasan Rendra menyeret dirinya kedalam sebuah mall kemudian menonton film tanpa menikmatinya karena film yang dipilih Rendra
sama sekali bukan gendre yang Dinda sukai. Sementara orang yang telah menyeretnya hanya diam membisu.
"Lo kenapa dah bang? Sepet amat mukanya. Gue jadi ngeri deh." Ucap Dinda saat mereka telah keluar dari bioskop dan tengah berjalan mencari tempat makan.
"Bang, ngomong kek. Dari tadi gue berasa jalan sama orang bisu deh. Lo kenapa sih?" Kesal Dinda. Tapi Rendra masih saja diam.
"Ah. Gue pulang aja lah bang." Keluh Dinda membuat Rendra menghentikan langkahnya lalu berbalik menatap Dinda.
"Yaudah gue anter pulang." Dinda terkejut mendengar respon Rendra. Dinda merasa bahwa kali ini Rendra benar-benar sedang ada masalah.
"Lo boleh cerita kok bang, kalo lo lagi ada masalah. Tapi kalo lo nggak mau cerita juga ngga papa sih." Kata Dinda saat mereka sudah berada di dalam mobil.
Rendra tampak menarik nafasnya, seolah-olah sesuatu yang mengganjal dipikirannya bisa terhempas bersana dengan hambusan nafas yang ia keluarkan.
Sedangkan Dinda hanya bisa berdiam diri menanti Rendra untuk bersuara atau tidak sama sekali.
"Kalo misalnya Zhafran suka sama lo gimana?" Dinda tersentak dengan kalimat yang tiba-tiba meluncur dari bibir Rendra. Seperti ada sesuatu yang menikam
dirinya saat mendengar kalimat pertanyaan Rendra.
"Zhafran?" Ulang Dinda.
"Misalnya..." kata Renda memperjelas maksud ucapannya bahwa ia hanya memisalkan saja.
"Ya.. ya itu hak dia lah bang. Gue mana bisa mengontrol perasaan orang. Selagi nggak ngeganggu hubungan baik gue sama dia sih, gue nggak akan terlalu masalahin
hal itu."? Dinda merutuki kalimat yang lolos dari bibirnya. Sebenarnya Dinda tidak begitu yakin dengan apa yang dirinya ucapkan. Pasalnya ia juga bingung
harus bersikap bagaimana kepada Zhafran saat ini.
"Emang kenapa bang?"
Rendra terdiam. Antara bingung dan juga ragu. Apakah ia harus mengatakan apa yang terjadi antara dirinya dan Aurel kepada Dinda atau cukup diam membiarkan
Dinda menunggu jawaban darinya.
"Ish.. jangan-jangan lo suka ya bang sama gue? Lo takut saingan sama Zhafran?" Celetuk Dinda yang membuat dirinya mendapatkan satu jitakan yang mendarat
di keningnya. "Enak aja kalo ngomong. Yakali gue suka sama bungkus gorengan."
"Enak aja. Dari pada abang..." Dinda terdiam tampak berpikir.
"Udah nyerah aja. Bungkus gorengan ngga akan bisa saingan sama kembarannya ferrel bramasta.."
"Idiihh. Kalo mimpi jangan jauh-jauh nanti nyasar." Dan lagi-lagi Dinda mendapat jitakan di kepalanya. Setelah itu keduanya tertawa bersama.
Dan saat mereka tertawa, Rendra menyadari satu hal. Hatinya sedikit bahagia dan melupakan sedikit masalah yang ada pada dirinya.
"Huh.. capek gue." Keluh Dinda saat mereka telah berhenti tertawa.
"Jahat nggak sih kalau gue marah sama Aurel gara-gara dia suka sama gue?" Dinda menolehkan kepalanya saat Rendra kembali bersuara.
"Tau darimana?" Rendra tersenyum kecut.
"Gue denger sendiri waktu dia lagi ngobrol sama Clarista."
"Emang lo marah gimana sama kak Aurel?" Rendra menghembuskan nafas kasar saat mendengar pertanyaan Dinda.
"Ya gue marah lah. Asal lo tau, gue merasa kayak orang paling jahat. Lo tau sendiri kan, kalo gue sering minta tolong sama Aurel buat bantuin gue biar
deket sama Clarista. Dan bodohnya gue, gue nggak pernah tau kalo sebenernya Aurel suka sama gue."
"Sok-sokan lo bang"
"Kok sok-sokan sih?" Rendra mengerutkan keningnya tidak paham dengan maksud Dinda.
"Gini deh. Kak Aurel itu udah berkorban banyak buat lo. Dia relain hatinya sakit DEMI lihat lo seneng. Dan sekarang lo malah marahin dia."
"Gue marah..." Dinda mengangkat tangannya mengisyaratkan pada Rendra agar tidak menyela omongannya.
"Harusnya? waktu lo tau kalo kak Aurel suka sama lo. Lo ajak kak Aurel buat ngomong baik-baik. Minta maaf sama dia karna lo udah nyakitin dia. Bukan malah
marah. Gue tau, lo marah sebenernya marah sama diri lo sendiri karna udah jahat sama kak Aurel. Tapi lo tau kan bang, kalo perasaan ngga bisa dipaksa?
Mungkin kak Aurel udah coba buat nggak suka sama lo dan tapi nyatanya dia tetep suka sama lo. Jadi lo ngga bisa dong gitu aja nyalahin perasaan kak Aurel."
Rendra menghentikan mobilnya di depan taman kompleks tak jauh dari rumah Dinda. Kemudian ia menoleh menatap Dinda.
"Jadi gue harus minta maaf sama Aurel?." Dinda menganggukkan kepalanya membenarkan perkataan Rendra.
"Jangan lupa omongin baik-baik gimana kelanjutan hubungan kalian juga. Tapi gue harap lo enggak mutusin persahabatan lo sama kak Aurel."
"Ya enggak lah."
*** "Lo kenapa ta? Biasanya kalo ke toko buku girang banget. Kok sekarang diem aja?" Tanya Zhafran yang sedari tadi mengamati wajah murung Clarista. Sejak
satu jam lalu Clarista hanya berdiri di depan satu rak buku saja dan dia pun hanya membolak-balik satu cover buku tanpa minat. Sementara Zhafran yang sudah
mulai lelah berkeliling seluruh perjuru di toko buku ini harus terkejur dan terheran-heran saat melihat. Clarista tetap berada di tempatnya.
"Ta.." "Pulang aja yuk." Dan kini Zhafran harus terkejut untuk kedua kalinya.
"Pulang? Lo aja belum jalan kemana-mana. Cari buku dulu gih. Biar besok nggak kesini lagi." Clarista menggelengkan kepalanya.
"Lagi nggak mood. Maunya pulang aja." Clarista menampakkan senyumnya kepada Zhafran. Lebih tepatnya senyum yang dipaksakan.
Zhafran menghela nafasnya. Antara bingung dan sedikit kesal.
"Terus faedahnya lo ngajak gue ke toko buku satu jam lebih itu buat apa? Tau lo mau bengong doang mah gue ogah tadi." Keluh Zhafran. Dan hanya dibalas
senyum oleh Clarista. "Pulang yuk." Sekali lagi Zhafran menghela nafasnya.
"Besok lagi kalo mau bengong di toko buku jangan ngajakin gue." Ucapnya lalu berjalan mendahului Clarista.
*** 24. itu hati lo "Apa?" Zhafran hanya menggelengkan kepalanya. Sungguh kali ini ia benar-benar merasa bersalah tapi rasanya juga ingin tertawa. Terlebih saat melihat wajah
marah milik Aurel. Tadi setelah ia mengantar Clarista kerumahnya, Zhafran dengan sengaja mengajak Aurel menuju pasar durian.? Padahal sebenarnya Zhafran tau bahwa Aurel sangat
membenci durian karena kenangan buruk di masa kecilnya. Tapi entah apa yang ada dipikiran Zhafran, saat melihat Aurel yang terus saja murung membuatnya
berniat usil. "Lo marah kak?" Zhafran mencoba bertanya saat melihat Aurel hanya terdiam.
"Udah tau pake nanya lagi." Ketusnya.
"Kan cuma bercanda."
"Bercanda lo nggak lucu." Zhafran hanya tertawa saat mendengar jawaban Aurel.
"Gimana bang Rendra?" Aurel hanya mengendikkan bahu saat mendengar pertanyaan Zhafran.
Tadi saat ia bertemu dengan Rendra dan juga Clarista, Zhafran memilih pergi meninggalkan mereka bartiga, membiarkan mereka menyelesaikan masalah yang menimpa
mereka. Dan yang terjadi hanyalah Rendra yang meminta maaf kepada Aurel maupun Clarista, setelah itu Rendra meminta Aurel untuk menghapus perasaannya dan
kembali berteman seperti biasanya.
Memang terasa cukup menyakitkan saat orang yang kamu cintai memintamu untuk tidak mencintai lagi. Karena bagaimanapun perasaan tak bisa dipaksakan. Namun
demi persahabatan mereka tetap terjalin. Aurel akan berusaha untuk menghapus perasaannya kepada Rendra.
*** "Gue minta tolong lo hapus perasaan lo ke gue. Gue nggak pantes buat lo Rel, gue udah terlalu banyak nyakitin lo.. dan Clarista, gue juga minta maaf karna
selama ini gue selalu ganggu hidup lo. Maaf, gue janji, gue juga akan berusaha untuk nggak suka lagi sama lo."
Clarista menghembuskan nafasnya saat kembali teringat ucapan Rendra saat mereka bertemu tadi, ia bersyukur semuanya sudah selesai meskipun ia tadi masih
melihat betapa terlukanya Aurel.
"Maafin Rista kak.." gumamnya. Meskipun baik Rendra maupun Aurel sudah berulang kali menjelaskan bahwa dirinya tidak bersalah tapi tetap saja Clarista
adalah salah satu penyebab dari semua ini.
"Oh my Ristaa.. akhirnyaa.." Clarista menoleh melihat seseorang yang tiba-tiba masuk kamarnya tanpa permisi.
"Eh siapa yang izinin masuk?" Tanya Clarista sambil berkacak pinggang saat melihat Dinda dengan seenaknya duduk di sofa kamarnya.
"Om David." Jawab Dinda tanpa dosa. "Tadi om bilang, langsung masuk aja, Claristanya ada di kamar. So.. gue nurut dong."
Clarista hanya menggelengkan kepalanya lalu duduk di samping Dinda.
"Eh, lo nggak nawarin gue minum gitu?"
"Buat apa? Biasanya juga ambil sendiri. Ngapain lo kesini?" Dinda tertawa. Sudah lama ia tidak seperti ini dengan Clarista. Beginilah Clarista, saat dia
berada bersama dengan orang yang sudah akrab dan membuatnya nyaman, maka dia tidak lagi menjadi pendiam. Dia akan sangat cerewet bahkan terkadang menyebalkan.
Dan hal itu Dindalah yang beruntung bisa melihat sisi lain dari Clarista.
"Gue tadi denger ada yang galau gitu. Makanya gue kesini buat bikin dia nggak galau lagi."
"Dih.. siapa juga yang galau."
Dinda berdecak. "Sini gue peluk, gue tau lo butuh sandaran." Ucapnya lalu meraih tubuh Clarista dan memeluknya. Dan benar saja setelah itu Clarista menangis.
"Gue jahat nggak sih Din sama kak Aurel?" Ucap Clarista dalam pelukan Dinda.
"Dari awal gue nggak ada perasaan apapun sama bang Rendra." Lanjutnya.
"Iya gue tau kok. Elo nggak jahat kok, ini cuma salah paham. Dan dari awal pun kak Aurel nggak pernah nyalahin lo kan? Jadi buat apa lo merasa bersalah
kalo elo nggak punya salah? Ya meskipun gue tau gimana yang elo rasain. Karna gue juga mengalami hal yang sama seperti lo."
Clarista melepas pelukan Dinda. Menatap Dinda meminta penjelasan. Ada yang berbeda dari sorot mata Dinda.
"Din.. lo.." "Eh iya, tadi gue lihat om David lagi packing gitu mau kemana ya?" Tanya Dinda mencoba mengalihkan pembicaraan. Sesaat kemudian Clarista menepuk keningnya.
"Ah iya. Papa mau ke Aussie. Kakak sepupu gue mau tunangan."
"Lo nggak ikut?"
Clarista menggeleng. "Gue ikutnya pas hari pernikahan." Jawabnya lalu menarik Dinda ke lantai bawah untuk? mengantar papanya, setidaknya hingga depan rumah.
*** Dinda sedang memilih menu di sebuah restoran seafood. Tadi sore Zhafran menjemputnya dirumah Clarista lalu mengajaknya untuk makan malam bersama. Tentu
saja mereka sudah mendapatkan izin dari orang tua mereka, termasuk juga orang tua Rendra. Mengapa begitu? Karena tiga hari ini Dinda akan menginap di rumah
Rendra karena orang tuanya harus pergi ke medan karena urusan pekerjaan. Sedangkan Zhafran memang sudah menginap dirumah Rendra sejak dua hari lalu karena
alasan yang sama seperti Dinda.
Sebenarnya bisa saja baik Dinda maupun Zhafran mengurus dirinya sendiri dirumah masing-masing. Hanya saja orang tua merekalah yang terlalu khawatir sehingga
menitipkan mereka pada keluarga Rendra.
Sejak kecil memang mereka sudah terbiasa seperti itu, karena tidak memiliki saudara yang berumah dekat dengan mereka sehingga mereka dititipkan dirumah
teman orangtua mereka. "Banh Rendra pesenin apa ya?" Tanya Dinda. Karena sedari tadi ia bingung ingin memesankan Rendra apa. Sebab jika Rendra tau mereka dari restoran seafood
tetapi tidak membungkuskan makanan untuknya maka ia pasti Rendra akan menjadi sangat cerewet.
"Udah pesenin udang aja." Ucap Zhafran diikuti dengan tawanya yang menyebabkan dirinya mendapat pukulan dari Dinda.
"Mau tanggung jawab lo kalo tiba-tiba tubuh bang Rendra bentolan semua?"
Zhafran menggelengkan kepalanya. "Enggaklah."
"Yaudah sih Din, pesenin yang nggak mengandung udang aja beres." Dan Dinda pun menganggukkan kepalanya dan memilihkan makanan berbahan dasar cumi-cumi
untuk Rendra. Zhafran berdeham. Tiba-tiba rasa canggung melingkupi mereka. Padahal mereka tidak pernah seperti ini sebelumnya. Dimana mereka hanya terdiam dan sibuk
dengan pikiran masing-masing.
"Din.." Zhafran membuka suar, sedangkan Dinda hanya mengangkat kepalanya menatap Zhafran.
Hexagon Love Karya Hasdian Ks di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kalo misal gue suka sama lo gimana?"
Deg!!! Sesuatu menghantam dada Adinda. Seperti ada yang menikamnya saat ini. Tapi Dinda mencoba untuk bersikap biasa saja.
"Kan lo emang suka sama gue Ran, lo juga nggak pernah bilang kalo lo benci gue kan." Jawab Dinda santai. Padahal hatinya sama sekali tidak santai.
"Bukan suka seperti itu yang gue maksud. Tapi suka dalam artian lain. Kayak kak Aurel yang suka ke bang Rendra atau bang Rendra yang suka ke Clarista."
Satu hantaman keras lagi menghantam dada Dinda. Tapi Dinda masih mencoba untuk bersikap biasa saja.
"Ya suka-suka lo. Itu hak lo."
"Gue serius Dinda."
"Gue juga serius Zhafran." Zhafran tertegun mendengar jawaban Dinda. Melihat Zhafran yang hanya terdiam membuat Dinda menghela nafasnya.
Mungkin ini saat yang tepat untuk mengungkapkan perasaannya kepada Zhafran meskipun nantinya ia akan terlihat jahat, itu tidak masalah. Lagipula saat ini
Zhafran masih menggunakan kalimat 'kalau misalnya' itu pertanda bahwa Zhafran tidak benar-benar dengan? serius menyuarakan hatinya.
"Gini deh Ran, gue udah pernah bilang kan? Kalo gue nggak akan melarang lo buat suka ke gue. Itu hak lo, perasaan lo, hati lo.. tapi mungkin ini jahat
yaa. Tapi lo harus tau. Kalo seandainya perasaan lo itu benar dan bukan sebuah kalimat pemisalan. Gue mau minta maaf sama lo. Karna gue nggak akan bales
perasaan yang sama ke elo. Karna jujur Ran, lo itu sahabat terbaik gue, lo itu kakak sekaligus adek bagi gue. Dan sayang gue nggak bisa lebih dari itu."
Zhafran benar-benar merasa dipukul telak oleh Dinda. Perkataan Dinda begitu santai tapi mampu memukul keras hati Zhafran. Tapi Zhafran mencoba tegar. Jika
memang ini keputusan Dinda maka Zhafran akan menghormatinya.
"Kata-kata lo jahat bener deh Din."? Ucap Zhafran sembari tertawa untuk menutupi luka dihatinya yang tanpa sengaja ia gores dengan sengaja.
Tapi meskipun Zhafran tertawa, itu tidak menyembunyikan apapun dari hadapan Dinda. Karena nyatanya Dinda mampu membaca luka itu.
"Maaf." Gumam Dinda.
"Maaf? Maaf kenapa? Santai aja kali. Lagian mana mungkin gue suka sama lo. Kayak nggak ada cewek lain aja."
"Emang nggak ada kan?" Ucap Dinda yang lagi-lagi membuat Zhafran terdiam.
Tapi sesaat kemudian makanan pesanan mereka datang di waktu yang tepat. Sehingga Zhafran memilih untuk mengalihkan pembicaraan mereka.
"Makan Din, udah laper banget."
*** 25. Belajar "Harusnya lo bisa belajar," Rama meletakkan botol air mineral ke hadapan Aurel. Belum banyak yang datang ke sekolah karena saat ini masih terhitung sangat
pagi. Aurel meminum air yang telah diberikan Rama sebelum ia berucap, "iya gue tau."
"Cinta tapi tak berbalas atau cinta bertepuk sebelah tangan itu hal yang lumrah. Dan merasa patah saat mengetahui fakta yang ada juga bukan lagi hal baru."
Rama menggeser tubuhnya agar bisa berhadapan dengan Aurel. Ia menghela nafasnya, andai saja Aurel tau seperti apa perasaannya. Sudah pasti Aurel paham
bahwa ia pun merasakan hal yang sama seperti yang Aurel alami.
"Umur kita masih terlalu muda rel, waktu lo akan terbuang sia-sia jika lo hanya memikirkan patah hati yang lo rasakan." Rama menatap Aurel, namun saat
tak mendapat jawaban dari Aurel, Rama memilih untuk melanjutkan ucapannya.
"Disini nggak cuma lo yang merasa patah hati. Masih banyak di luar sana yang juga merasakan patah hati seperti lo. Dan sekarang lo tinggal pilih. Masih
mau larut dalam patah hati yang sama sekali nggak ada faedahnya atau lo belajar dari patah hati yang lo rasakan?. Mungkin dari sini Allah mau nunjukkin
bahwa saat ini masalah seperti itu bukanlah prioritas kita. Tapi prioritas kita saat ini adalah belajar, mengembangkan potensi diri dan mencari kebahagiaan?
lain. Karena sumber kebahagiaan itu ada banyak. Kalo lo sedih karna satu hal. Masih banyak hal yang akan membuat lo bahagia dan lupa dengan kesedihan lo."
"Contohnya?" Kini Aurel bertanya sembari menatap Rama.
"Simpelnya ya. Lo punya hobi baca novel, terus saat lo baca novel lo ngerasa bahagia nggak?."
"Bahagia." "Lagi, lo suka main di perusahaan papa lo dan belajar banyak hal disana. Dan saat lo melakukan hal itu lo merasa bahagia nggak?" Aurel mengangguk.
"Apa yang bikin lo bahagia dari kedua hal itu?"
"Ya gue merasa terhibur dan memiliki kepuasan tersendiri saat gue baca novel. Terus gue emang suka main ke kantor papa, selain gue dapat banyak ilmu. Gue
juga bisa menghabiskan banyak waktu sama papa yaa meskipun sekedar tanya-tanya masalah kantor."
Rama tersenyum. " itu poinnya. Sekarang kenapa lo masih sedih? Banyak kebahagiaan yang menanti lo. Mulailah kerjakan apapun yang membuat lo bahagia selagi
tidak berdampak buruk dan merugikan diri lo dan orang lain."
"Tapi Ram," Aurel mengeratkan pegangannya pada botol air mineral di tangannya. Sesuatu masih mengganjal perasaannya.
Rama menatap Aurel yang menunduk, mengambil jeda sebelum ia mengungkapkan sesuatu.
"Gue sekarang udah nggak sakit hati karna rasa gue nggak berbalas. Karna sedari awal juga gue udah sadar akan hal itu. Tapi yang gue takuti adalah... apakah
gue bisa bersikap baik-baik aja dihadapan Rendra? Apakah gue bisa bersikap seperti biasanya? Dan apakah Rendra juga bisa bersikap seperti biasanya ke gue
setelah dia tau gimana perasaan gue." Aurel menghelan nafasnya. Ia menanti jawaban dari Rama, sebenarnya hal ini lah yang beberapa hari ini mengganggu
pikirannya. Hal inilah yang membuat hatinya sedih.
Rama terdiam sejenak, inilah yang juga Rama takutkan apabila Aurel mengetahui perasaannya. Ia memejamkan matanya, mencoba mencari jawaban yang terbaik
dan yang mungkin juga akan ia lakukan saat ia berada di posisi Aurel maupun Rendra saat ini.
"Gini.. gue tau ini berat, terlebih lo sama Rendra juga dekat kan. Tapi sekarang lo coba untuk berpikir dewasa, mungkin bakalan sulit untuk bersikap seperti
sebelumnya. Tapi selagi lo bisa usaha kenapa enggak? Belum tentu juga kan Rendra akan mendiamkan lo. Ya kalau memang hal itu terjadi, cobalah lo yang membuka
diri. Lo ajak Rendra bicara. Bersikap seperti biasa. Anggap nggak ada apapun yang terjadi diantara kalian. Ya mungkin emang susah, tapi selagi lo bisa
usaha kenapa enggak? Syukur-syukur Rendra tetep bersikap seperti biasa."
Lagi-lagi Aurel menghela nafasnya. Susah. Satu hal yang melintas di benak Aurel. Bisakah dirinya bersikap biasa saja?. Aurel memejamkan matanya.
"Ya, gue bakalan usaha." Menatap Aurel yang berbicara demikian, Rama pun tersenyum.
*** Rendra tersenyum ke arah dua orang yang kini tengah asik berbicara. Ia menghela nafasnya sebelum ia bersiap untuk menyapa kedua orang itu. Setidaknya meski
tak lagi seperti dulu, ia akan berusaha bersikap seperti biasanya.
"Widihh... pagi-pagi udah ngegosip aja. Ngomongin apa nih?" Rendra meletakkan tasnya tepat di kursi samping Rama. Ia melirik Aurel yang hanya tersenyum
kepadanya. Ia tau, pasti Aurel masih memikirkan kejadian beberapa hari lalu. Dan jujur saja, Rendra tidak ingin melihat Aurel yang seperti ini. Ia lebih
suka Aurel yang cerewet seperti dulu.
Sedangkan Rama yang melihat kecanggungan diantara kedua sahabatnya itu turut menghela nafas.
"Lo kira kita doyan gosip." Pada akhirnya Rama lah yang menjawab karena sedari tadi Aurel hanya terdiam.
Sedangkan Rendra tidak terlalu menggubris jawaban Rama, toh sebenarnya ia tau bahwa Rama dan Aurel tidak sedang menggosip.
"Etdah. Lo masih marah sama gue ya rel? Dari tadi betah amat diem." Rendra kembali bersuara, mencoba seperti biasa seolah-olah tak terjadi apapun antara
dirinya dan Aurel. Karena ia yakin jika ia juga diam seperti Aurel maka yang ada hanya persahabatan antara dirinya dan Aurel semakin pudar.
Aurel menghela nafas, ia sudah membicarakan hal ini dengan Rama, meskipun terasa canggung ia harus tetap bersikap seperti biasa seolah-olah tidak ada sesuatu
yang terjadi seperti apa yang tengah dilakukan Rendra pagi ini.
"Marah apaan sih? Lo tuh brisik. Baru juga dateng. Yang anteng kek."
Rendra tersenyum merasa bahagia karena Aurel tetap bersikap seperti biasanya walaupun raut wajahnya tak menampakkan yang demikian.
"Kalo gue anteng nanti semua orang pada kaget. Bener nggak Ram?"
Rama hanya tersenyum sesekali melirik Aurel yang ia yakin sedang berusaha bersikap normal seperti biasa.
"Ya malah senyum doang, mentang-mentang senyumnya manis apa ya.. eh kalian udah pada ngerjain tugas fisika kan?"
"Kenapa? Mau nyontek?" Tanya Aurel yang membuat Rendra mengelus dadanya.
"Astsgfirullah Rel, omongan lo emang suka bener deh. Tapi santai. Kali ini Rendra udah selesai kok. Udah dikerjain." Jawab Rendra sembari mengeluarkan
buku fisikanya dan menunjukkan pada Aurel dan Rama.
Rama berkomentar, "tumben udah ngerjain."
"Iya dong. Kan udah mau lulus, masa iya gue malas terus." Jawab Rendra tanpa sadar membuat Aurel dan Rama tertawa.
"Akhirnya sadar juga." Ucap Rama bangga.
*** 26. Mudah Berubah "Gimana pendapat lo?."
Zhafran bertanya pada perempuan yang kini tengah menyeruput hot-chocolate yang mulai dingin. Perempuan itu menghela nafas mencoba mencari jawaban dari
pertanyaan Zhafran. "Gini deh. Sekarang ini prioritas lo apa?" Zhafran menatap heran saat perempuan itu menjawab pertanyaan Zhafran dengan pertanyaan yang sama sekali tidak
berhubungan. "Belajar mungkin."
"Kenapa mungkin?"
"Ya kan, gue ini seorang siswa. Jadi ya prioritas gue belajar dan menjadi manusia yang lebih baik dari sebelumnya."
Zhafran terkejut saat perempuan dihadapannya menjentikkan jari.
"Nah. Jadi untuk urusan perasaan, cinta-cintaan. Menurut lo belum jadi prioritas kan?. Terus apa yang lo masalahin? Karena itu bukan prioritas untuk saat
ini ya lo coba untuk tidak usah terlalu fokus pada hal itu."
"Tapi ya Ta, aneh aja gitu rasanya. Kayak ada yang ngganjel di hati gue pas gue tau kalau gue 'tertolak sebelum bergerak'."
Clarista tertawa mendengar istilah lucu yang disebutkan Zhafran. Kemudian ia berdeham untuk menghentikan tawanya.
"Gini deh Ran, menurut gue ya perasaan itu dapat terjadi dalam empat kemungkinan yaitu. Perasaan ada untuk orang yang tepat tapi waktunya nggak tepat,
waktu yang tepat pada orang yang tidak tepat, pada waktu dan orang yang tepat, atau keduanya tidak tepat."
"Ah.. lo ngomong apa dah, Ta?. Tepat-tepat apa gue bingung."
"Gini deh anggap aja perasaan lo ini hadir untuk orang yang tepat tapi waktunya tidak tepat. Misalnya, Dinda itu orang yang tepat buat lo, dia cocok untuk
lo. Tapi sayangnya perasaan lo ke Dinda itu hadir di waktu yang tidak tepat. Contohnya sekarang. Jadi yaa.."
"Apa?" "Memantaskan diri dulu aja deh Ran. Masih belum jadi prioritas juga kan?" Zhafran menganggukkan kepalanya.
Yang dikatakan Clarista memang benar. Ia harus fokus pada prioritasnya sebagai siswa dan hamba Allah. Masalah jodoh, ia akan memasrahkannya kepada Allah
meskipun terkadang ia merasa sulit untuk mengendalikan perasaannya.
"Tapi taa..." "Apa?" "Emang lo nggak pernah gitu suka sama seseorang?" Clarista terdiam mendengarkan pertanyaan Zhafran. Ada sesuatu yang mengusik hatinya. Namun Clarista segera
mengenyahkan hal itu dan mulai berdeham sebelum menjawab pertanyaan Zhafran.
"Gini.. kalo kata mama gue sih. Rasa suka atau cinta itu selalu ada dalam diri manusia karena itu sudah menjadi fitrah yang di anugerahkan oleh Allah.
Termasuk juga pada saya. Saya pun pernah mempunyai rasa suka pada lawan jenis. Karna saya normal."
"Terus.." "Apa lagi?" "Siapa seseorang itu."
"Adadehhh. Kepo."
*** Rendra menghampiri lima orang yang tengah duduk di salah satu meja kantin. Meskipun masih terasa canggung tapi Rendra berusaha untuk biasa saja. Ia akan
bersikap seperti biasanya yaitu Rendra yang sok dekat sok akrab.
"Idiih... makan-makan nggak ngajakin abang ganteng."
"Siapa abang ganteng?" Tanya Aurel yang mulai terbiasa dan tidak merasa canggung lagi.
"Ini yang lagi mau duduk." Jawab Rendra sembari mendudukkan badannya diantara di samping Zhafran.
"Sok kegantengan kalo elo mah, bang." Dengus Dinda.
Sedangkan yang lain hanya tertawa.
"Oiya.. dua minggu lagi kalian ujian ya?." Tanya Zhafran yang langsung di angguki oleh Rama, Rendra dan Aurel.
"Semangat yaa.. semoga dapet yang memuaskan. Dan nanti kalo udah lulus, udah jadi mahasiswa jangan pada sombong. Mentang-mentang udah gede."
Rendra merangkul bahu Zhafran.
"Iyaa... gue bakalan inget elo kok." Ucap Rendra dengan wajah dramatis.
"Ih.. apaan deh bang, jijik gue." Ucap Zhafran yang lagi-lagi membuat meja mereka menjadi ramai.
"Oiya.. kalian rencana pada mau lanjut kemana?" Kini Clarista yang sedari tadi terdiam pun ikut bersuara.
Jawaban pertama didapatkan dari Aurel yang mengendikkan bahunya. "Entah, masih bingung gue."
Dan jawaban berikutnya didapat dari Rendra yang masih bingung ingin masuk ke universitas mana dan memilih program studi apa. Pasalnya antara program studi
yang disarankan orangtuanya dan program studi yang diinginkan dirinya berbeda.
"Kalo kak Rama?" Tanya Clarista.
Tidak hanya Clarista. Semua orang menunggu jawaban Rama. Termasuk Dinda. Meski tidak berani menatap Rama secara langsung, telinganya sedari tadi menunggu
untuk mendengar jawaban dari Rama.
"Belum tau juga sih. Lihat aja besok." Jawab Rama pada akhirnya.
Karena bagi Rama hati itu selalu terbolak-balik. Semua tidak ada yang pasti. Bisa jadi sekarang ia mengatakan. Ingin masuk universitas A dengan program
studi B. Tapi jika kenyataan berkata lain. Ia bisa apa. Jadi baginya jawaban yang paling aman adalah 'belum tau' meski di dalam hatinya sudah menetapkan
apa yang ia inginkan. *** "Lo tau kenapa selama ini gue nggak pernah memiliki perasaan lebih sama Aurel?" Tanya Rendra saat Ia tengah berada di kamar Rama dan hanya berdua.
Rama yang tengah sibuk membaca buku pun mengangkat kepalanya. Mencoba mendengarkan dan menyimak perkataan Rendra.
"Dulu gue sempet suka sama Aurel. Tapi setelah gue pikir-pikir. Kayaknya gue udah kalah telak. Dan mungkin gue hanya ditakdirkan sebagai sahabat aja. Dan
emang lebih baik gitu sih." Lanjut Rendra.
"Lo tau siapa yang bikin gue merasa kalah?" Rama mengangkat bahunya.
"Lo.." Mendengar jawaban Rendra membuat Rama mengerutkan keningnya tak mengerti.
"Kenapa gue?" "Karena gue tau, lo suka sama Aurel." Satu pukulan seakan menghantam dada Rama saat mendengar apa yang dikatakan Rendra.
"Gue nggak mau ada kesalahpahaman anatara lo dan gue cuma gara-gara perasaan yang nggak seharusnya ini. Lagipula juga selama ini gue pikir Aurel suka sama
lo." "Siapa bilang gue punya perasaan lebih sama Aurel?" Tanya Rama mencoba mengelak. Namun seketika malah ia mendapatkan sebuah tinjuan di lengannya.
"Mata lo terlalu jujur Ram. Lo pikir gue nggak bakalan tau kalo lo suka sama Aurel? Dari tatapan lo aja udah kelihatan jelas."
"Terus kalo lo bisa mengartikan tatapan gue ke Aurel sebagai tatapan suka. Kenapa lo nggak bisa mengartikan tatapan Aurel ke elo?" Tanya Rama kesal sendiri
saat mengingat Aurel yang menangis hanya karena Rendra.
"Ya karna gue pikir Aurel sukanya sama lo. Lagi pula apa sekarang hal ini penting? Dan gue ngerasa emang seharusnya gitu. Karena kalaupun gue dan Aurel
sama-sama suka pun. Gue akan tetep memilih untuk jadi sahabat. Karena terkadang cinta itu juga bisa menghancurkan. Dan gue nggak mau merusak persahabatan
gue hanya untuk cinta sesaat." Jawab Rendra.
"Lo tau? Dari peristiwa yang gue alami beberapa hari lalu. Pelan-pelan gue mulai sadar. Bahwa cinta yang sebenarnya adalah menjaga, seperti apa yang lo
lakuin selama ini. Dan dari hal itu juga gur tau. Bahwa memang kita ini remaja yang mungkin saat ini adalah masa puncak dimana kita sedang berbunga-bunganya
dengan perasaan cinta. Tapi tetap saja kan? Cinta harus dikontrol. Harus dijaga. Dan perasaan semacam itu akan punya masanya sendiri dan menurut gue emang
bukan sekarang. Tapi mungkin besok saat kita sudah benar-benar matang dan serius sehingga perasaan itu bisa terwujud dengan adanya pernikahan bukan hanya
sekedar gombal aja."
Kali ini Rama benar-benar terperangah mendengar perkataan Rendra. Bahkan ia sampai menggelengkan kepalanya tak percaya.
"Gue akui. Lo kata-kata lo keren banget. Nggak nyangka lo bisa belajar banyak dari kejadian kemarin."
Rendra mendengus mendengar perkataan Rama.
"Emang lo aja yang bisa berpikir bijak. Gue juga bisa kali."
Rama terkekeh lalu meninju lengan Rendra. Ia sangat senang dan bersyukur memiliki sahabat seperti Rendra.
*** 27. Perpisahan Pada dasarnya setiap hati berhak memilih. Entah memilih untuk menetap atau untuk pergi. Tak ada yang tau kapan perpisahan akan terjadi. Yang jelas dari
setiap pertemuan akan selalu berujung pada perpisahan, baik itu perpisahan sementara atau selamanya.2
Siapa bilang dalam persahabatan tidak akan pernah ada luka? Justru luka dalam persahabatan sejatinya adalah untuk menguji seberapa kuat tali persahabatan
itu terjalin. Apakah putus begitu saja karena merasa terluka atau justru semakin erat karena mampu mengobati luka secara bersama-sama.
Aurel tersenyum menatap dua sahabatnya yang kini berdiri tepat dihadapannya. Ujian Nasional telah berlalu. Dan kini acara pelepasan seluruh siswa kelas
12 pun tiba. Sebulir airmata lolos di pipi Aurel. Ia tak pernah menyangka bahwa masa SMA sesingkat itu. Sebentar lagi ia akan memasuki dunia yang sebenarnya.
Bukan lagi dunia anak-anak dan dunia remaja. Tetapi ia akan beranjak ke dunia yang lebih bisa mendewasakan dirinya.
"Lo jelek banget tau rel." Rendra menatap Aurel sembari menyodorkan sebuah saputangan pada Aurel.
Aurel menerimanya. Lalu ia mengelap airmatanya sembari tertawa.
"Iya gue tau. Kan lo udah sering bilang kalau gue jelek."
"Syukur deh kalo nyadar." Ucap Rendra yang diikuti tawanya.
"Rama ngomong dong." Rama hanya tersenyum menanggapi Aurel.
Sebenarnya ia sedang bingung mendeskripsikan perasaannya. Ada eurofia bahagia saat ia mendengar kabar kelulusannya. Namun tak bisa ia pungkiri, ia juga
merasa sedih saat ia mengingat bahwa ia harus mengakhiri masa SMAnya. Yang artinya adalah ia akan berpisah jarak dengan sahabat-sahabatnya.
"Kalian nanti jangan kangen sama gue ya.." ucap Rendra memecahkan keheningan yang beberapa saat tadi tercipta.
Ia mengamati dua sahabatnya. Rama hanya diam saja sementara Aurel sedari tadi sibuk mengelap airmatanya. Sebenarnya ia merasa aneh saja melihat Aurel yang
menangis. Padahal kan meski mereka lulus mereka masih bisa bertemu. Tapi terkadang jalan pikir seorang perempuan memang susah ditebak. Perasaan mereka
terlalu halus sehingga sangat mudah sekali untuk menangis.
"Etdah.. diajakin ngomong abang ganteng malah kagak ada yang jawab." Geram Rendra.
"Enggak lah. Ngapain juga kangen sama lo. Lo kan jahat. Ngapain juga gue kangen.
"Oh iya.. gue jahat banget ya sama lo? Gue lupa." Ucap Rendra menanggapi perkataan Aurel. Kemudian ia menoleh pada Rama.
"Lo sakit gigi ya Ram? Dari tadi diem-diem bae." Lagi-lagi Rendra bersuara kali ini ia menirukan logat bicara anak muda yang tengah trend sekarang.
"Astagfirullah. Udah ah.. kalian nggak mau foto nih?." Tanya Rama sembari mengangkat kameranya yang tentu saja langsung disambut dengan antusias oleh Aurel
dan Rendra. Tak lama kemudian Zhafran datang dengan dua perempuan yang ada di kanan dan kirinya. Siapa lagi kalau bukan Dinda dan Clarista. Mereka bertiga sengaja
datang untuk memberikan selamat kepada Aurel, Rama dan juga Rendra. Selepas itu mereka langsung berpose ria melakukan berbagai macam gaya berfoto.
*** Namanya perpisahan akan selalu terjadi. Entah itu datangnya cepat ataupun lambat. Seperti saat ini. Aurel tengah berdiri menatap sahabat-sahabatnya yang
mengantar dirinya ke bandara. Ia tak pernah menyangka bahwa dirinya akan memutuskan untuk melanjutkan kuliah di negeri orang. Sementara kedua temannya,
Rama dan Renda tetap berkuliah di Indonesia meski berbeda kota.
"Kirain bercandaan mau kuliah di luar negeri." Rendra menatap Aurel yang tengah berdiri di hadapannya.
Perempuan itu hanya tersenyum. Hatinya terasa sesak, entah mengapa melihat kedua orang tuanya dan sahabat-sahabatnya yang mengantar dirinya ke bandara
membuatnya ingin menangis.
Ceritanya berlanjut di bawah ini
i "Curang bener lo dah. Padahal kan gue yang pengen kuliah ke luar negeri. Lah kenapa malah jadinya lo coba?" Aurel terkekeh menatap Rendra.
"Lah.. salah siapa coba? Kan lo sendiri yang memutuskan untuk kulian di Indonesia."
"Salah gue lah. Ngapain coba nggak lulus tes IELTS (International English Language Testing System)." Rutuk Rendra yang mengingat kegagalannya saat tes
IELTS. "Sabar bang, masih ada kesempatan kok." Sahut Dinda.
Aurel berjalan mendekati Clarista dan Dinda kemudian memeluk mereka secara bergantian. Kemudian ia tersenyum seraya menangkupkan kedua tangannya pada Rendra.
Aurel tersenyum meski ia merasa sedikit kecewa karena Rama tidak turut mengantarnya. Padahal sejauh ini Rama lah yang telah mendukung dirinya dalam mewujudkan
keinginannya. Sedangkan Zhafran, dia juga tidak terlihat batang hidungnya. Katanya sih ada urusan. Tapi biarlah.
"Rama beneran nggak dateng ya?" Tanya Aurel memastikan. Sungguh ia benar-benar berharap bahwa Rama akan datang.
"Enggak deh kak, soalnya kak Rama lagi ada tes seleksi." Aurel mengangguk. Sebenarnya ia pun sudah tau akan hal itu, karena semalam Rama sudah menghubunginya
bahwa dia tidak bisa mengantar dirinya karena ada tes seleksi. Tapi siapa tau saja kan? Ada keajaiban atau semacamnya yang akan membawa Rama datang kemari.
Tapi sepertinya harapan tinggallah harapan karena Rama benar-benar tidak bisa datang.
Ia pun berpamitan untuk kesekian kalinya. Kemudian ia memutuskan untuk berjalan ke tempat check-in. Namun saat ia hampir saja sampai ke tempat check-in.
Ia mendengar seseorang memanggil dirinya. Saat ia berbalik, ia melihat Zhafran tengah berlari ke arahnya.
Aurel menatap Zhafran yang berdiri tepat dihadapannya dengan nafas yang terputus-putus akibat berlari.
"Zhafran. Lo ngapain?" Tanya Aurel.
"Ngapain?? Lo nggak mau pamitan sama gue kak?" Tanya Zhafran. Sementara Aurel terkekeh.
"Ah iya-iya.. sorry yaa."
Zhafran mengangkat bahunya tidak masalah. Ia mengeluarkan sesuatu dari saku celananya dan memberikannya kepada Aurel.
"Apa ini?" "Anggep aja kenang-kenangan dari gue. Baik-baik di negeri orang ya kak. Pastiin impian lo tercapai."
"Siapp.." "Yaudah kak, gue balik yaa. Lo udah mau check-in kan?" Aurel mengangguk.
Zhafran pun membalikkan badannya setelah ia mengucapkan salam. Namun baru beberapa langkah Zhafran berjalan. Aurel kembali memanggilnya.
"Kenapa kak?" Aurel tersenyum.
"Cuma mau bilang aja. Jangan suka baperin anak orang yaa. Kasihan tuh Rista. Kalo lo sukanya Dinda setidaknya lo jangan memberikan harapan sama Rista.
Tapi saran gue sih. Lebih baik lo fokus belajar dulu aja sih. Gue pamit dulu yaa. Assalamualaikum."
Zhafran terdiam mencoba mencerna perkataan Aurel. Rista?? Rista siapa? Apa mungkin yang di maksud Aurel adalah Clarista? Memangnya ada apa dengan Clarista?
Mungkin kah... mungkinkah??
Zhafran mengacak rambutnya sembari menatap Aurel yang berjalan menjauh.
"Ah.. nggak mungkin- nggak mungkin. Mana ada Clarista suka sama gue. Aneh-aneh aja nih kak Aurel.
*** Dinda menatap Rendra yang tengah mengenakan kacamata hitamnya saat mobil yang mereka tumpangi tengah berhenti di lampu merah. Mereka baru saja mengantarkan
Clarista ke rumahnya selepas mengantarkan Aurel di bandara.
"Lo serius mau ambil jurusan kuliah yang itu bang?" Tanya Dinda sembari membuka jendela mobil. Membuat angin berhembus menerpa wajahnya.
"Serius lah. Kalau nggak serius ya gue nggak bakalan daftar."
Dinda menganggukkan kepalanya. Sungguh diluar dugaan. Rendra benar-benar mengambil jurusan yang tidak pernah terpikirkan sedikitpun oleh dirinya.
"Din.." panggil Rendra. Dinda pun menoleh.
"Lo masih suka sama Rama?" Dinda tersentak mendengar pernyataan Rendra. Dari mana Rendra tau bahwa dirinya menyukai Rama.
"Sama lo dan Zhafran aja gue suka bang, apalagi sama kak Rama."
"Bukan suka yang kayak gitu maksud gue.. maksudnya tuh kayak rasa suka gue ke Clarista dulu."
Mendengar ucapan Rendra benar-benar membuat hati Dinda berdebar. Sepertinya ia tidak pernah memberi tahu Rendra tentang perasaannya. Tapi mengapa saat
ini Rendra bertanya seolah-olah Rendra tau mengenai perasaannya terhadap Rama.
Hexagon Love Karya Hasdian Ks di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Melihat Dinda yang terdiam membuat Rendra menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Udah deh nggak usah di pikirin aja. Maaf yaa. Bukan maksud gue mau sok tau soal perasaan lo." Dinda hanya menganggukkan kepalanya. Meski dalam benaknya
masih bertanya-tanya tentang bagaimana Rendra tau mengenai perasaannya terhadap Rama.
*** Clarista masih menekuni buku yang ia baca. Sesekali matanya menyipit saat ia merasa kebingungan dengan sebuah kalimat yang ada di buku itu. Perpustakaan
daerah tampak begitu lenggang. Tak banyak pengunjung yang hadir terlebih di jam kerja seperti ini.
Clarista mengalihkan pandangan pada jam tangannya. Siang ini dirinya ada janji dengan Zhafran dan Dinda. Mereka akan mengantarkan Rama dan Rendra ke bandara.
Kebetulan mereka berdua berangkat dari bandara yang sama dan jam yang sama. Hanya saja tujuan mereka yang berbeda.
Clarista segera keluar dari perpustakaan daerah dan segera berjalan menuju parkiran saat Zhafran menelfon dirinya. Zhafran mengatakan bahwa ia dan Dinda
sudah menunggu di parkiran.
"Kok gue sedih yaa." Gumam Zhafran saat mobil mereka mulai meluncur menuju bandara.
"Rasanya dari kemarin perpisahan mulu deh." Lanjutnya.
Ia sudah menduga bahwa perpisahan adalah akhir dari sebuah cerita. Namun ia juga tidak menyangkal bahwa perpisahan juga bisa menjadi awal dari sebuah cerita.
Hanya saja ia tidak tau. Perpisahan yang dirinya alami ini akankah benar-benar menjadi akhir atau menjadi awal.
Dinda, Zhafran dan juga Clarista segera turun dari mobil saat mereka telah sampai di bandara. Mereka berjalan mencari dua sosok pria yang ingin mereka
temui. Dan saat mata mereka menemukan dua sosok itu. Mereka segera menghampirinya.
Zhafran sudah bertos ria dengan kedua pria itu sementara Dinda dan Clarista hanya tersenyum menatapnya.
"Kirain nggak jadi datang." Ucap Rama sembari melepas kacamata hitamnya.
Ia tersenyum menatap Zhafran, Dinda dan Clarista mau repot-repot melepas kepergiannya. Hanya saja ia merasa kurang karena tidak ada Aurel.
"Kalian baik-baik yaa.. belajar yang rajin." Pesan Rama kepada ketiga orang dihadapannya yang sudah ia anggap sebagai adik sendiri. Sementara kali ini
Rendra lebih banyak diam daripada biasanya. Sekarang ia paham mengapa saat itu Aurel menangis. Pantas saja. Nyatanya perpisahan yang sementara pun terasa
mengharukan. 'Perpisahan memang bukan akhir segalanya. Namun perpisahan juga dapat menjadi akhir dari sebuah jalannya cerita. Jika memang kita di takdirkan untuk berjalan
di jalan masing-masing. Maka kita harus terima meski pada akhirnya kita tidak saling berjalan beriiringan. Karena aku percaya. Setiap orang mempunyai jalannya
sendiri. Begitu pula kita.. bisa jadi kisah kita juga berjalan sendiri-sendiri. Aku tidak akan pernah melupakan kenangan ini. Dimana kita saling berjalan
bersama membentuk sebuah kisah yang bahagia.' -Rama
*** 28. epilog "Abaaaangg.. buruan.." suara lengkingan perempuan yang ada di lantai bawah membuat Rendra menggelengkan kepalanya. Ia tak habis pikir dengan perempuan
itu. Sudah bertahun-tahun terlewati tapi kelakuan perempuan itu masih sama saja.
"Zhafran aja kalem gitu. Kok kamu sih yang bawel." Dinda mengerucutkan bibirnya saat mendengar ucapan Rendra yang tengah menuruni tangga.
"Ehh.. apa itu? Minta dicium?" Dinda memalingkan wajahnya. Sungguh meskipun kini mereka sama-sama dewasa. Mereka masih tidak bisa menghindari percekcokan
kecil diantara mereka. "Emang lo yang paling lama deh bang. Kayak mau ketemu mantan aja."
"Lah kan emang mau ketemu mantan." Kekeh Rendra dan mulai berjalan menuju mobilnya diikuti Dinda dan Zhafran.
Waktu sudah berjalan begitu lama. Bahkan Zhafran yang semula masih kelas satu SMA kini telah bermetamorfosa menjadi pria dewasa dengan segudang prestasi
di perusahaannya. Zhafran mewarisi perusahanaan ayahnya. Menjadi seorang arsitek sama seperti ayahnya.
Sedangkan Rendra? Kini ia telah mendapatkan hasil dari jerih payahnya dalam menempuh pendidikan di dunia peternakan. Kini ia sudah menjadi seorang pembisnis
sukses di bidang peternakan.
"Ikut bang Rendra atau gue, Din?" Tanya Zhafran yang langsung mendapat jitakan di kepalanya oleh Rendra.
"Ya ikut gue lah.. enak aja." Sungut Rendra lalu menarik Dinda menuju mobilnya sedangkan Dinda hanya tertawa.
"Masih cemburu sama Zhafran ya?" Goda Dinda yang disambut dengan gelengan kepala dari Rendra.
"Ngapain cemburu. Kan udah jelas kamu cintanya sama aku." Dinda hanya tertawa mendengar jawaban Rendra. Karena sampai kapanpun Rendra tetaplah Rendra dengan
tingkat kepedean yang luar biasa yang tidak pernah berkurang sedikitpun hingga saat ini.
*** "Sayang... udah siap belum? Ini aku udah selesai gantiin popoknya Umar." Teriak Rama sembari menggendong putra pertamanya. Sementara istrinya masih bersiap-siap
karena sejak tadi istrinya sibuk mengurus dirinya dan anaknya.
"Iyaa ini tinggal pakai jilbab kok Bii... Sebentar yaa." Perempuan itu segera mengenakan jilbabnya. Ia memilih jilbab instan agar tidak ribet.
"Udah.. yuk Umar sama umi." Perempuan itu mengambil alih putranya lalu mengikuti suaminya menuju mobil. Ia benar-benar tidak menyangka bahwa ia telah memiliki
seorang anak dengan Rama.
Siapa sangka jodoh sedekat ini. Bahkan ia juga tidak menyangka akan menikah muda saat itu.
"Nggak nyangka kalau akhirnya mereka nikah juga." Rama tersenyum mendapati istrinya yang telah duduk di kursi samping kemudi bersama dengan putranya.
"Aku dulu juga nggak nyangka loh bakalan nikah sama kamu."
"Apa lagi aku.. baru juga ketemu beberapa bulan setelah lama nggak ketemu. Eh tiba-tiba diajakin nikah." Rama terkekeh mendapati jawaban istrinya.
"Tapi akhirnya mau juga kan nikah sama aku?"
Perempuan itu tertawa. Tentu saja ia mau, siapa yang sanggup menolak pinangan seorang dokter tampan sekaligus soleh. Meski awalnya sempat ragu namun akhirnya
keyakinan itu datang dan semakin menguat.
*** Zhafran menengok lagi pintu kedatangan. Sepuluh menit lagi pesawat yang di tumpangi calon istrinya akan mendarat. Sungguh ia merasa sangat tidak sabar
menunggu. Pasalnya mereka sudah tidak bertemu selama tiga bulan. Yaa.. beginilah resiko hubungan jarak jauh. Harus kuat menahan Rindu.
"Selow Ran.. sepuluh menit lagi dan minggu depan udah halal kok." Kekeh Rendra sembari menepuk-nepuk bahu Zhafran.
"Apaan dah bang. Gue santai kok."
Dinda tersenyum girang saat melihat kedatangan sebuah keluarga dengan seorang anak kecil.
"Udah nggak sakit hati?" Sindir Rendra saat melihat Dinda tersenyum melihat sebuah keluarga yang tengah berjalan ke arahnya.
"Dih.. emang siapa coba yang sakit hati? Abang kali." Jawab Dinda.
"Aduuuhh. Umar makin imut deh. Kira-kira anak kita imut kayak Umar nggak ya bang?" Tanya Dinda pada Rendra sembari mengusap perutnya yang sedikit membuncit.
"Imutnya sih pasti, tapi nggak mirip Umar dong. Tapi mirip aku, kan papanya imut." Dinda mencubit pinggang Rendra saat lagi-lagi Rendra bertingkah dengan
kenarsisannya. "Mirip aku." Protes Dinda.
"Iya-iya.. mirip aku sama kamu. Kan anak kita." Jawab Rendra akhirnya sembari mengusap perut Dinda.
"Assalamualaikum." Rama berjalan menghampiri Zhafran dan Rendra kemudian menangkupkan tangannya pada Dinda.
"Waah.. asik nih kita ngumpul lagi." Ucap Rama yang membuat keempat orang dihadapannya tertawa.
"Sabar kak, istri gue belum dateng." Ucap Zhafran yang langsung mendapat cibiran dari Rendra.
"Masih calon kali. Belum juga ijab qabul." Zhafran hanya terkekeh. Mungkin ini efek karena hanya dirinya yang belum bersama pasangan.
"Makanya Ran.. kalo mikir jangan kelamaan." Tambah Rama.
"Yang gercep kayak lo gitu kak? Ya kan gue beda sama lo. Semua butuh proses." Semuanya tertawa. Bahkan Umar yang kini berada di gendongan Zhafran pun ikut
tertawa. Beberapa menit kemudian pemberitahuan kedatangan pesawat yang mereka tunggu pun tiba. Hati Zhafran rasanya sudah berdebar-debar. Hingga saat perempuan
berhijab maroon keluar dari pintu kedatangan dengan mendorong sebuah troli berisi beberapa koper tiba. Tanpa sadar Zhafran menahan nafasnya.
Saat perempuan itu sampai dihadapannya, perempuan itu tersenyum kemudian berlari ke arah Dinda dan Clarista.
"Aaaa.... kangen banget.." ucap perempuan itu sembari memeluk Clarista dan Dinda.
"Ehhh... Rel... jangan kenceng-kenceng. Ada anak gue itu." Rendra menginterupsi perempuan yang tengah memeluk Dinda dan Clarista. Ya.. perempuan itu adalah
Aurel. Aurel tersenyum dan segera meminta maaf karena ketidak tahuannya.
"Udah berapa bulan Din?" Tanya Aurel.
"Empat menuju lima kak." Aurel menganggukkan kepala lalu matanya beralih pada anak kecil yang digendong Zhafran. Ia berjalan mendekati Zhafran seraya tersenyum.
"Assalamualaikum." Salamnya pada Zhafran diiringi dengan senyuman.
Zhafran pun tersenyum. Ia sangat bahagia saat melihat kedatangan Aurel.
"Ini Umar kan?" Zhafran mengangguk.
"Mau gendong?" Dan kini giliran Aurel yang mengangguk.
Saat Aurel mengambil alih Umar dari gendongan Zhafran. Aurel langsung menyerbu Umar dengan ciuman. Terutama di pipinya yang gembul.
"Ya ampun.. ponakan gue makin gembul aja sih nak." Gemasnya.
"Jangan iri sama Umar ya Ran.. nunggu halal dulu." Goda Rendra yang langsung mendapat cubitan dari Dinda.
"Jangan digodain mulu ih bang, kasihan tuh mukanya udah merah." Semuanya tertawa mendengar ucapan Dinda kecuali Zhafran yang hanya bisa garuk-garuk kepala.
Kemudian mereka pun berjalan bersama menuju restoran yang ada di bandara. Rendra berjalan dengan merangkul bahu Dinda sedangkan Rama menggendong Umar dan
tak lupa menggenggam tangan istrinya- Clarista.
Sementara Zhafran dan Aurel berjalan bersisihan di barisan paling belakang.
Semua tak ada yang menyangka bahwa persahabatan mereka berujung dengan pernikahan. Siapa yang menyangka bahwa Rama dengan cepatnya menikahi Clarista kemudian
disusul dengan Rendra yang menikah dengan Dinda dan terakhir Zhafran dan Aurel akhirnya memutuskan untuk menikah setelah memalui berbagai macam kejadian.
Jodoh itu misteri, tak ada yang pernah menduga bahwa aku akan menikah denganmu. Pasalnya antara hatiku dan hatimu sama-sama memiliki seseorang yang lain.
Tapi siapa sangka, Allah dengan mudah membalik semuanya hingga aku dan kamu pun bisa bersatu.
-Hexagon Love End. *** Rahasia Hiolo Kumala 1 Wiro Sableng 183 Bulan Biru Di Mataram Hijaunya Lembah Hijaunya 34