Pencarian

Istri Tidak Setia 2

Istri Tidak Setia Karya Abdullah Harahap Bagian 2


Miranda. Hanya karena masih menjaga hubungannya
dengan Sundoro, ia berusaha keras tidak marah di
hadapan Melanie. Di belakang gadis itu, berkeranjangkeranjang umpat caci ia lontarkan pada Sundoro, dan
mendesak mati-matian sejauh mana pemuda itu telah
berbuat dengan Melanie. "Sebagai abang, Miranda. Sebagai abang. Tak lebih."
"Dusta!" amuk Miranda. "Jangan kau tipu aku.
Mataku bisa melihat perubahan pada sikap Melanie
akhir-akhir ini. Hayo, katakan dengan jujur. Kau
mencintainya, bukan?"
Lesu, Sundoro menjawab: "Bukan aku, Miranda, tetapi anakmu!"
Miranda sangat terpukul, lebih-lebih setelah
bicara berdua dengan Melanie, anak gadisnya itu
mengiyakan apa yang telah dikatakan oleh Miranda.
Dalam keadaan terpukul itu, Miranda di datangi
perasaan takut. Takut yang berlipat ganda. Takut
kehilangan Sundoro, dan lebih takut lagi, Sundoro
telah berbuat sejauh apa yang ia perbuat bersama
110 pemuda itu terhadap Melanie. Sebuah hubungan
intim, yang hanya dilakukan oleh suami dengan isteri.
Dengan suara gemetar, ia bertanya hati-hati :
"Lanni, anakku. Apakah kau dan Sundoro telah ..."
"Mama!" tukas Melanie, tandas. "Aku
mencintai Sundoro, tetapi itu tidak berarti rasa
hormatku berkurang padamu. Aku tidak ingin
memberi kau malu, mama. Demi nama baikmu, aku
selalu berusaha menjaga diri. Bukankah itu yang
selama ini kulakukan. Kalau aku mau, dari dulu-dulu
toh aku sudah" Miranda memeluk anaknya seraya menangis
tersedu-sedu. "Aku percaya, nak. Aku percaya!"
Melanie tahu ibunya percaya, karena selama ini
ibunya pun selalu percaya. Sejak mula pertama
Melanie mengenal lelaki, ibunya telah tidak menaruh
curiga. Terutama, karena ia hampir-hampir tidak
mempunyai kesempatan untuk menaruh kecurigaan
itu. la terlalu dirundung kesedihan ditinggal mati oleh
suaminya, kemudian terlalu disibukkan oleh urusanurusan di luar rumah untul melupakan kesedihan,
kemudian lagi disibukkan oleh percintaan yang tidak
111 jujur dengan Oom Ferdlan, sehingga perhatiannya
tidak tercurah lagi padi Melanie. Memenuhi apa-apa
yang diminta anak nya, ia rasa sudah cukup. Membuat
anak itu senang karena tidak di kekang, bagi Miranda
sudah merupakan kebanggaan. Ya, Melanie sudah
dewasa. Sudah bisa menjaga diri.
" ... dan, anakku, kau sudah waktunya kawin,
bukan? Selama ini kau terlalu memikirkan mama,
kalau-kalau suamimu tidak mau mama jadi beban
kalian. Sekarang lupakan pikiran itu. Mama tak akan
membebani kau dengan suamimu, sehingga kau
dengan bebas bisa menikah kapan kau mau ... Tetapi,"
ia menatap tajam ke mata anaknya, dengan wajah
yang sukar dibaca. "Satu-satunya yang kunasihatkan
dan harus kau perhatikan adalah ini demi Tuhan,
jangan berpikir untuk menjadi istri si Sundoro!"
Melanie tersentak, malah sempat terpekik
halus. la mundur menjauhkan diri dari pelukan ibunya.
Lama kemudian, dengan bibir pucat dan kering, ia
bertanya: "Mengapa, mama? Mengapa?"
"Aku tak bisa mengatakannya, nak. Tidak bisa.
Jangan aku kau paksa."
112 Melanie tidak memaksa, la hanya mendesak
Sundoro, tetapi Sundoro selalu memperoleh jawaban
yang masuk akal namun tidak memuaskan hati
Melanie. Ketegangan di dalam rumah itu tidak bisa lagi
dihindari. Hubungan secara sembunyi-sembunyi itu
masih beruntung bisa dipertahankan oleh mereka,
dengan cara yang oleh Sundoro ditempuh sebijaksana
mungkin : kamar-kamar tidur di rumah itu dijaga tetap
suci semenjak keributan itu di-mulai. Di rumah tidak,
di luar rumah boleh. Miranda dengan meninggalkan
pekerjaannya di butik, dan Melanie dengan meninggal
kan jam-jam kuliah atau jam-jam latihan menembak di
Bumi Sangkuriang. *** 113 CELAKANYA, orang yang berdiri di tengah-tengah yang
jadi korban. Sundoro semakin terjepit, dan semakin
kehabisan alasan terhadap kedua perempuan itu.
Tampaknya ia malah terancam akan diusir oleh salah
seorang di antara kedua anak beranak itu. Kalau oleh
Melanie, tidaklah jadi persoalan. Tetapi kalau oleh
Miranda, bakal ludes semua yang ia miliki selama ini,
dan bakal putus harapan baik yang sudah terbayang di
masa depan. Dalam kepanikan yang sering menggoda
dirinya, Sundoro yang sudah hampir-hampir
kehilangan pegangan itu, membuat keputusan secara
gampang. "Kuhasut saja mereka!" pikirnya.
Kesempatan pertama tiba ketika suatu sianq
Melanie dan Sundoro di tengah perjalanan pulang dari
mencuri waktu ke Lembang, gadis itu bergumam
dengan suara pahit: 114 "Mama mengancam akan menghapus hakku
sebagai ahli waris, kalau aku meneruskan hubungan
dengan seorang laki-laki yang katanya bekas supir dan
orang tak berketentuan asal usulnya ... Aku sakit hati,
Sundoro. Bukan oleh niatnya yang membabi buta,
tetapi oleh cap yang ia berikan atas dirimu."
Sundoro mengakui kedudukannya. Juga
mengakui asal-usulnya, la seorang yatim piatu yang
diangkat anak oleh keluarga yang kehidupan ekonomi
nya tak berkecukupan, kemudian karena dorongan
darah muda hidup sebagai anggota gang yang suka
berkelahi dan bikin ribut. Sekali dua berurusan dengan
polisi, lepas lagi, berkelahi lagi, sehingga orangtua
angkatnya menyingkirkan dia. Setelah lama
menganggur, akhirnya Sundoro yang sudah agak jera
bekerja jadi calo kendaraan umum, kemudian tukang
pukul kumpulan taksi liar sampai kemudian
memperoleh kesempatan jadi supir beberapa buah
taksi. "Namun," keluhnya dengan suara putus asa,
dan benar-benar seperti minta dibelas kasihani. "Aku
sudah kapok oleh masa laluku, Lanni. Aku sudah ingin
jadi orang. Kau tahu, umurku sudah tidak mengijinkan
aku main koboi-koboian lagi"
115 "Aku tahu. Aku tahu ..." tangis Melanie seraya
memeluknya. "Aku juga sudah mengatakan itu pada
mama. Tetapi ia tetap tidak pernah mau tahu!"
"Kau harus patuh padanya, Lani."
"Dengan melepaskan dirimu? Tidak, sayangku.
Tidak. Tahukah kau? Aku telah hamil...!"
Sundoro terjengah. "Kau main-main, Lani."
"Aduh, Sundoro. Apakah kau tidak berbahagia
mendengar aku hamil? Dengan laki-laki lainnya aku
tak sudi, tetapi dengan kau ... Sundoro, Sundoro, aku
cinta padamu. Apapun akan kulakukan, demi kau!"
Sundoro balas memeluk gadis itu.
"Aku bahagia mendengarnya, sayang ... Tetapi ..."
"Tetapi apa, sayangku. Katakanlah ..."
"Ibumu ..." "Mengapa? Aku toh tidak takut dengan
ancamannya tidak mendapat hak waris."
"Lalu dengan apa anak itu harus kita beri
makan? Jadi calo lagi, Lanni? Kau mau suamimu
kelihatan lusuh, kotor berdebu, pakai sandal jepit cari
116 penumpang dan bertengkar soal komisi dengan supir?
Tega kau, Lannie?" "Tetapi, Sundoro. Bagaimana..."
"Pertahankan hak warismu. Kalau perlu, dengan
jalan kekerasan." "Aku aku tak mengerti."
"Ibumu sudah tua. Masa hidupnya tidak lama
lagi. Apa salahnya, kalau penderitaan hidupnya kita
akhiri lebih cepat."
"Sundoro, kau ...!"
Sundoro memotong dengan penuh amarah :
"Anak bodoh! Tidakkah terpikir olehmu, apa
maksud ibumu dengan berpura-pura membenci
engkau? la tahu kalau kau harus memilih maka kau
akan memilih diriku. Bila itu terjadi, hak warismu
batal, dan segala harta peninggalan ayahmu praktis
jatuh seluruhnya pada ibumu!"
Betapapun terkejut dan terpukulnya Melanie
mendengar ucapan-ucapan Sundoro, namun cintanya
terhadap laki-laki itu membuat pikirannya terumbang-ambing. Mula-mula ia mengutuk Sundoro,
tetapi ketika lelaki itu mengancam akan meninggalkan
117 mereka begitu saja, ia berkata akan memikirkan usul
Sundoro. Meskipun Sundoro meminta agar ia
memberikan keputusan secepat mungkin, tetapi toh
Melanie memerlukan waktu berminggu-minggu untuk
menetapkan hati. Revolver peninggalan ayahnya di
kamar Miranda, mungkin akan menolong. Dengan alat
peredam suara. Sebuah tembakan mematikan, yang
tidak akan menyiksa, dengan sebuah gambaran bunuh
diri ataukah usaha perampokan yang gagal?
Waktu itu terlalu lama, sehingga perubahan
pada perut Melanie tidak bisa dirahasiakan lagi.
Miranda yang memperhatikan hal itu diam-diam, tidak
membutuhkan tempo yang panjang untuk berpikir.
Dalam kemarahan dan kesakit-hatiannya, ia
mengambil keputusan dengan cepat, la tidak ingin
punya cucu yang dilahirkan oleh laki-laki yang tak bisa
menjaga diri, di tubuh Melanie membuat Miranda
nekad. Persetan dengan kebahagiaanku. Persetan
dengan impian-impian muluk ku selama ini, laki-laki
itu tidak saja akan kuusir. Laki-laki itu harus
kulenyapkan dari muka bumi ini. Laki-laki terkutuk,
laki-laki yang lebih patut disebut binatang dari pada
manusia! MALAM itu ada show dalam rangka malam dana
untuk yatim piatu bertempat di Grand Hotel Lembang.
118 Butik milik Miranda mendapat kesempatan
memperagakan koleksi-koleksi pribadi yang akan
dilelang dengan harga tinggi. Melanie tinggal sendirian
di rumah, dan dengan leluasa masuk ke kamar ibunya,
dan berhasil menemukan apa yang ia cari di laci salah
satu lemari yang lebarnya memenuhi dinding kamar.
Sepucuk revolver, lengkap dengan peredam. Tetapi
Melanie juga menemukan sesuatu yang lain. Sebuah
amplop yang di lak dan terasa agak berat waktu ia
angkat. Sudut kiri amplop tertera nama seorang
pengacara dan di bawah garis pemisah tertulis : SURAT
WASIAT, dan di tengah-tengah amplop mirip susunan
nama dan alamat seperti pada amplop biasa di mana
tertera nama dan alamat Miranda.
Ingin tahu, Melanie membuka lak amplop itu
dengan hati-hati dengan mempergunakan uap panas
yang mengebul dari thermos berisi air panas...
Pada waktu yang bersamaan, di Lembang,
dengan alasan mau ke kamar kecil Miranda bangkit
dari kursinya meninggalkan Sundoro bercakap-cakap
dengan beberapa orang relasi. Diam-diam ia dari
kamar mandi menerobos diantara penontonpenonton tanpa karcis yang berdesak-desakan di
korridor bagian samping gedung dan dari sana
menyelinap ke halaman parkir. Petugas parkir rupanya
119 tengah asyik mengintip band yang sedang gembranggembrong di atas panggung, sehingga Miranda
bersyukur bisa masuk ke mobilnya tanpa ketahuan, la
membuka kap depan, ke luar dari mobil, dengan
beberapa peralatan dengan apa ia kemudian sibuk
merusak susunan sistim rem dan saluran bensin.
Miranda sudah nekad. Kehilangan sekian belas
juta rupiah tidak soal lagi baginya, meski pada saat
bekerja membongkar sistim rem dan saluran bensin,
sempat terlintas di benaknya, mengapa ia tidak
berminat selama ini untuk mengasuransikan mobil
tersebut. Suasana pertunjukan di lobby hotel kota
kecil yang lengang itu teramat menguntungkan
pekerjaan Miranda. la tak lama kemudian telah
kembali duduk di tempatnya semula, dan berusaha
agar bau bensin bekas membersihkan minyak olie
yang mengotori tangannya tidak terbaui, dengan lebih
dulu mencucinya pakai sabun di kamar mandi. Semua
itu berlangsung, tanpa seorangpun yang mengetahui.
Tiba-tiba, ia seperti teringat sesuatu.
"Sundoro," bisiknya pada laki-laki yang jadi
tumpuan pikirannya itu. "Ya, Miranda?" 120 "Ada notulen-notulen yang lupa kubawa dan
tertinggal di rumah. Bisa kau ambil dalam satu jam?"
Sundoro berdiri seraya tersenyum.
"Kau selalu melarangku ngebut," katanya
dengan mata bersinar. "Kali ini tidak, bukan?"
Miranda membalas senyuman Sundoro tanpa


Istri Tidak Setia Karya Abdullah Harahap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berkata apa-apa. Jantungnya berdegup demikian
kencang sehingga ia khawatir senyum di bibirnya
kelihatan janggal. Tetapi suasana lobby yang remangremang kembali menolong. Sundoro bergegas pergi,
tanpa menaruh kecurigaan apa-apa. Dentam-dentam
bass-guitar dan drum di panggung, rasanya tidak
sehebat bunyi dentuman-dentuman yang meledakledak di dada Miranda. la hampir kuat menahannya
sehingga terpaksa menyandarkan diri ke kursi.
"Sakit?" tanya Zus Ita, perancang mode-nya.
"Lelah, itu saja. Tak usah persoalkan."
Tiba-tiba wajahnya menjadi pucat waktu
seorang anggota panitia menyentuh bahunya dan
mengatakan ada telephone. Padahal baru beberapa
detik dan Sundoro pasti baru memasuki mobil. Apakah
... "Dari nona Melanie ...," menerangkan orang itu.
121 "Oh," dan dengan nafas lega Miranda bergerak
menuju tempat telephone. SUNDORO agak mengalami kesulitan ke luar
dari pelataran parkir yang penuh sesak. Baru
kemudian dengan bantuan Hansip dan petugas parkir
yang susah payah dicari baru bertemu, Mercedez yang
ia naiki bisa lepas bebas di jalan, setelah mana ia
tancap gas, mula-mula tidak terlalu cepat di jalanan
menurun dan berbelok-belok menuju ke kota
Bandung. Tangannya merasakan keganjilan setelah
meninggalkan Lembang, tetapi ia pikir mungkin
karena ia terlalu cepat. Oleh karena itu lari mobil agak
ia kurangi, dengan keputusan akan minta maaf pada
Miranda bila ia tidak bisa datang pada waktunya.
Sementara itu, sebuah mobil lain melaju dengan
kecepatan tinggi dari Bandung menuju Lembang,
Sebuah Capella mungil yang masih baru, dengan suara
rem yang berdecit-decit nyaring melalui jalan berbelok
dan suara angin menderu menempuh jalan menanjak
yang lurus. Di belakang setir, duduk Melanie dangan
mata lurus memandang ke depan, dan pikiran yang
menerawang. 122 "Aku harus cepat ...," ia bergumam sendirian.
"Waktuku cuma sedikit. Sebuah tembakan akan
meninggalkan petunjuk. Tetapi tidak sebuah mobil
yang hancur masuk jurang ..."
Sundoro mengutuk setengah mati karena di
beberapa tempat jalan sedang diperbaiki dan
semalam itu masih banyak kendaraan yang pulang
pergi antara Bandung-Lembang. Mengapa ia
mengiyakan saja diberi waktu satu jam, dan mengapa
pula rem ini agak mengulah? la ingin turun untuk
memeriksanya, tetapi itu tentu akan memakan tempo
sedikit. Persetan dengan janji, yang penting
keselamatan, pikirnya, lalu memutuskan untuk santai
saja, dan bersenandung kecil sepanjang jalan sekedar
meredakan kegelisahan ...
Menjelang daerah Cirateun, ia melewati jalan
yang di kiri kanannya terdapat rumah-rumah yang
lampu depannya pada menyala terang benderang.
Lalu tiba-tiba ia melihat sebuah mobil di parkir di balik
bayangan kegelapan pohon di pinggir jalan yang
sedikit membelok. Waktu melewati mobil itu sekilas
Sundoro melihat ada percikan api kecil. Seperti dari
bensin gas. Ah tidak. Seperti percikan mercon atau ...
Atau apa, Sundoro tidak mengetahuinya lagi, karena
sekonyong-konyong samping kepalanya seperti
123 diterpa sebuah benda berat dan sesuatu menembus
kepalanya melalui otak dan membuat darah
bercipratan ke kaca depan mobil.
Dalam detik-detik terakhir, Sundoro menginjak
rem sekeras-kerasnya. Tetapi pedal itu tidak bereaksi.
Sundoro hanya kaget sebentar, karena setelahnya ia
sudah tidak ingat apa-apa lagi. Mobil meluncur ke
samping, menghantam kandang kerbau di samping
rumah seorang penduduk, kemudian meluncur
merambas kebun ketela dan terbang ke jurang
berbatu-batu di bawahnya ...
Tepat pada saat Mercedez itu lenyap ke dalam
jurang, mobil yang parkir semenjak tadi di balik
bayangan pohon, melakukan putaran cepat kemudian
tancap gas menuruni jalan lurus ke kota Bandung. Di
belakang setir duduk Melanie dengan pipi yang basah
oleh air mata. la dapat mengenali dengan baik mobil
yang meluncur dari arah Lembang ketika ia menunggu
tak jauh dari rumah-rumah berlampu terang
benderang itu. Bahkan ia dapat melihat dengan jelas
wajah Sundoro yang tampaknya sedang bersiul-siul di
belakang setir Mercedez. Tangan Melanie gemetar waktu meletakkan
revolver pada jok di sampingnya. Lewat kaca spion, ia
124 melihat cahaya kuning membersit dari samping kiri
jalan nun semakin jauh di belakang, muncul dari arah
jurang yang tadinya gelap menganga. Cahaya itu
semakin cemerlang dan Melanie semakin merasa pasti
warna yang ganjil itu ditimbulkan oleh kobaran api
dari sebuah mobil yang terbakar hebat.
"Sundoroku yang malang," gumam Melanie
dengan suara pahit. "Maafkan aku. Setelah kau, calon
anakmu dalam kandunganku ini akan segera
menyusulmu. Apa boleh buat. Daripada aku harus
bersuamikan laki-laki penghasut busuk seperti kau ...!"
Betapa tidak. Amplop yang laknya ia buka di rumah, berisi
surat wasiat ibunya yang dibuat hanya beberapa jam
sebelum amplop itu dicuri lihat oleh Melanie. Di situ
tersirat dengan jelas pribadi Miranda yang sebenarnya
sebagai seorang ibu. "Apapun yang terjadi," demikian
Miranda, "Melanie adalah anakku. Segala harta
kekayaan yang kumiliki mutlak jatuh atas Melanie,
sebagai pertanda kasih sayangku padanya. Seburuk
apapun langkah yang ia tempuh, senista apapun dosa
yang telah ia perbuat, Melanie tetap menerima
haknya. Hal ini berlaku selama aku hidup maupun
apabila sesuatu yang fatal terjadi atas diriku.
125 Keputusan ini kubuat sebagai kata akhir atas nama
hukum, dengan jiwa yang sadar sesadar-sadarnya
dan" Dan air mata Melanie semakin bersimbah.
*** 126 TAK KUBIARKAN SEPI INI BERLALU ANTING-ANTING itu dibentuk menyerupai ular,
melingkar seperti cincin dengan sebutir permata kecil
yang berkilau-kilauan di masing-masing kepalanya.
Kubayangkan permata itu menempel di cuping telinga
Leliana, mempermanis wajahnya yang lembut
kekanak-kanakan, seakan bersaing dengan mata
bocahnya yang bundar berseri-seri. Akan tetapi
melihat harganya yang tercantum pada secarik kertas
persegi, mau tidak mau aku terpaksa membayangkan
pula berapa banyak uang yang harus kukeluarkan.
Harga emas telah melonjak jauh lebih tinggi dari
dugaanku semula sebelum berangkat dari rumah.
Betapa tidak sebanding dengan gaji suamiku yang
127 jangankan naik, penggunaannya dapat kupertahankan
pun sudah syukur. Selagi aku kebingungan, tiba-tiba ada suara
bergumam di sampingku: "Bagus, ya?"
Semula aku tidak memperhatikannya. Mungkin
seorang pembeli lain tengah bercakap-cakap dengan
temannya. Akan tetapi suara itu semakin k dekat di
telingaku, bahkan ia menyebut sebuah nama yang
seketika membuatku berpaling :
"Boleh aku membelikannya untukmu, Siska?"
Dari terheran-heran, aku kemudian menjadi
pucat. la ?seorang lelaki dengan cambang yang tidak
terurus dan rambut yang bergelombang panjang
menutupi pundak?, telah sedemikian rapat dengan
tubuhku sehingga ketika aku menoleh, wajah kami
hampir beradu. Matanya bersinar-sinar ketika
menatapku, dan dari bibirnya yang tipis dan tajam,
melambangkan kekerasan hati, tersungging seulas
senyum yang sesaat membuat jantungku berdebar.
"K-kaa-kauuu ..." aku mendengus, tergagap.
Senyumnya semakin lebar. 128 "Apakah aku tampak seperti orang asing,
Siska?" Aku mencoba tersenyum. Namun gagal. Tetapi
tampaknya ia tidak perduli. Setelah memperhatikan
wajahku sejurus, ia bergumam, seolah kepada dirinya
sendiri : "Kau semakin cantik saja, Siska"
Wajahku bersemu merah dengan cepat.
Dengan gugup aku memandang berkeliling. Untunglah
pembeli yang sedang berkerumun di sekitar etalase
toko emas itu sedang asyik dengan persoalannya
sendiri-sendiri. Namun mau tidak mau aku agak malu
juga melihat tatap penuh tanda tanya dari pelayan
toko yang sedari tadi dengan sabar menunggu di
depanku, dibatasi etalase kaca setinggi dada. Ketika
mata kami beradu, mata pelayan toko itu mengerdip
dan ia melepas seulas senyum menggoda.
"Berapa sih harga anting-anting ini?" aku
bertanya seraya menunjuk ke benda yang kumaksud,
meski sudah melihat harganya tercantum di kertas
persegi itu. Pelayan toko melebarkan senyumnya dan
menyidik ke balik etalase kaca, lantas dengan suara
ramah ia menyebutkan jumlah yang kutanya, disertai
129 dengan bujukan halus dari seorang sales yang
berpengalaman : "Model baru. Dan tidak terlalu mahal" ia
memandangku bergantian, kemudian ke wajah lakilaki di sampingku, kembali kepadaku lantas
menambahkan : "Apakah adik nona berwajah bujur
telur dan" Cepat aku menukas, dengan tekanan yang
cukup jelas: "Bukan adik. Tetapi untuk anakku. Ya, benar.
Leliana bujur telur wajahnya ..."
"Oooo," pelayan yang ramah tamah itu melirik
sekilas kepada laki-laki di sampingku, lantas memberi
suntikan yang menentukan :
"Anting-anting model ini sangat cocok untuk
raut wajah seperti anak nyonya," ia telah merubah
panggilan dari nona ke nyonya, serta sikapnya tampak
lebih hati-hati. Aku terpesona oleh sikapnya itu. Secara
naluriah aku agak menghindar sedikit dari sisi laki-laki
di sampingku. Tidak terlalu menyolok sehingga
menyinggung perasaannya, namun cukup untuk
memberi tanda bahwa aku pun bisa bersikap lebih
130 hati-hati dari pelayan itu. Dengan bimbang
kupandangi anting-anting yang bagus itu, tertarik
amat sangat terutama setelah pelayan itu berhasil
menunaikan tugasnya untuk membujuk sang pembeli.
Namun kembali teringat persediaan uang dalam tas
membuatku semakin ragu-ragu. Setidak-tidaknya aku
harus meminta pendapat suamiku, meski ia tidak akan
banyak cingcong kalau aku membelinya sekarang juga.
"Tidak kurang lagi?" tanyaku setengah hati.
Pelayan itu mendekati seorang perempuan
bermata sipit dengan dress yang terbuat dari bahan
jersey mahal, berbisik-bisik sebentar lantas kembali
menghadapiku. Disertai senyuman manis, ia
mengatakan harganya bisa diturunkan sampai batas
lima ratus rupiah, tetapi tidak lebih dari itu. Berarti,
aku harus kembali ke rumah, menunggu suamiku
pulang sambil memandangi wajah anak tersayang
yang ingin kumanja melebihi apa pun di dunia ini. Aku
minta maaf pada pelayan itu dan tidak berani untuk
berjanji akan datang kembali. Belum juga sempat aku
menarik nafas, laki-laki di sampingku sudah berkata
dengan tandas : "Bungkuslah. Aku yang bayar!"
131 Seketika, aku menjadi gemetar dan kembali
pucat. "Jangan!" dengusku dengan khawatir, lantas
menjauhi toko perhiasan itu, tanpa mengacuhkan
pandangan mata orang-orang lain yang rupanya mulai
tertarik. Aku semakin malu dan bergegas menuju
pelataran proyek pertokoan itu di mana Vespa-ku
terparkir. Dalam beberapa langkah panjang laki-laki
tadi telah berjalan di sampingku, dan suaranya nyatanyata memperlihatkan kekecewaan hati.
"Mengapa, Siska?" tanyanya, setengah
memprotes, setengah memohon. "Bulan depan anak
itu genap berusia lima tahun. Salahkah aku
memberikan hadiah untuknya?"
Aku tertegun, dan semakin pucat.
"Apa apa maksudmu?"
la kelihatan gusar. "Tak usahlah berpura-pura. Aku tahu siapa anak
yang kau maksud. Dan aku tak pernah lupa
menghitung bulan dan tahun berapa ia lahir. Dan kau


Istri Tidak Setia Karya Abdullah Harahap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sendiri tahu, bahwa kau belum pernah mengandung
sebelum itu ...!" Aku gemetar dan mulai takut.
132 "Mus ...," aku tergagap, tak tahu apa yang mau
ku utarakan. "Hem?" ia memandangku, penuh harap.
Dan aku segera memutuskan :
"Mengapa tidak kau tinggalkan saja aku sekarang?"
Kegusaran kembali meronai wajahnya. la
tampak lebih keras dan jantan dengan cambang
bauknya, sedikit lebih dewasa, namun sinar matanya
membuatku merasa takut. Pundaknya bergerak-gerak
sebentar, mulutnya kumat-kamit tanpa mengeluarkan
suara, la jelas tengah berjuang melawan perasaan
hatinya, dan sungguh mentakjubkan, ia berhasil.
Senyuman ramah kembali bermain di bibirnya. Lantas
dengan lembut ia membujuk : "Setidak-tidaknya, kau
tak akan menolak kutraktir minum ... Ada sebuah bar
yang menyenangkan di bagian dalam proyek"
"Terima kasih."
"Tetapi Siska" "Aku telah punya suami!"
"Ah. Aku tahu, jauh sebelum ini. Tetapi Siska,
aku aku rindu kepadamu dan dan, Siska, apakah anak
itu sehat-sehat saja? la perempuan, bukan? Karena
133 kau bermaksud beli anting-anting untuknya, la tentu
cantik sekali. Seperti siapakah dia? Dan siapa
namanya?" Dengan gundah, aku berkata dalam hati, bahwa
Leliana mirip ayahnya. Bukan ayah angkat, melainkan
ayah kandungnya, laki-laki yang kini berdiri dengan
sikap seorang bawahan menghadap majikannya.
Alangkah terkutuknya kalau kuutarakan isi hatiku itu.
Untuk melenyapkan perasaan gundah, kujawab saja
pertanyaannya yang terakhir:
"Namanya Leliana. Kami memanggilnya Anna."
"Dua nama yang tak mungkin kulupakan ia
bergumam. "Siska. Dan kini, Anna!"
Sudut-sudut matanya berlinang.
"Mustapa," kukira aku hampir runtuh." Maukah
kau memaafkan aku?" "Untuk?" ia tersentak.
"Meninggalkan aku sekarang!"
Ia menggigit bibir keras-keras. Kelihatan betapa
ingin ia untuk memeluk, sekurang-kurangnya di
perkenankan menyalamiku. Tetapi dari tatap mataku
134 ia sadar ia tidak akan memperolehnya. Setelah
bingung sejenak, ia berbisik:
"Aku merindukanmu. Merindukan anakku.
Merindukan masa-masa lalu"
"Semua telah lewat, Mustapa. Dan semua itu,
adalah dosa. Terkutuklah, kalau aku harus mengulangi
nya kembali, setelah aku memperoleh ketenteraman
dari suamiku" "Kau kau berbahagia dengan dia, Siska?"
Mulutku mau terbuka untuk menjawab
pertanyaan itu, tetapi hati kecilku menahannya. Yang
ke luar kemudian adalah ucapan tajam yang tidak ingin
dibantah : "Lupakanlah aku, Mus. Anggaplah kita tidak
pernah bertemu bahkan berkenalan. Apalagi, dari
perkenalan itu telah lahir benih-benih kas ...," aku
menggigit bibir, ingin menangis, ingin mengutuki
keterlanjuran ucapanku. Oh, oh aku bergegas menuju
pelataran parkir, mencari Vespa itu dan kemudian
bergegas menaikinya. Setelah membayar ongkos
parkir, aku menderu ke jalan raya, tanpa menolehnoleh lagi. Diterpa angin gersang di siang bolong yang
terik itu, wajahku terasa perih, mataku semakin basah
dan jiwaku runtuh berkeping-keping. Hampir saja.
135 Hampir saja kukatakan bahwa dari hubunganku
dengan laki-laki itu, telah lahir benih-benih kasih
sayang! Betapa terkutuknya! Betapa tidak tahu dirinya aku ini. Maafkan aku,
mas Joko, ampunilah isterimu yang meragukan cinta
kasihmu ini! *** "HEI! AWAS!" Aku tersentak oleh seruan peringatan itu.
Dengan mengerjapkan mata untuk menghilangkan
gangguan yang menggoncangkan jiwaku selama
beberapa saat tadi, aku melihat mas Joko berdiri dari
tempat duduknya. Seraya melemparkan surat kabar
yang tengah ia baca ia berlari-lari menuruni terras dan
buru-buru memandangku Leliana yang tergeletak di
tanah. Untung tidak ada batu di sana, dan hanya ada
rumput tebal sehingga tidak melukai Leliana ketika ia
terpeleset waktu mencoba menarik sehelai kain dari
jemuran. "Ke mana saja matamu, mbok?" rungut mas
Joko seraya memangku anak itu. Wajahnya tampak
sangat gusar. 136 Perempuan setengah umur yang tengah
menjahit jemuran, menjawab dengan cemas :
"Sudahlah, mas!" aku berseru dari terras. "Toh
salah Leliana sendiri. Lagi pula ia tidak cidera, lihat
saja, bahkan menangis pun ia tidak ..."
Anak itu memandangiku lewat pundak ayah-ya,
kemudian merengek: "Mama itu baju Anna, boleh ya, ambil..."
"Husy. Kain jemuran kelewat tinggi untukmu,"
ayahnya bersungut. "Sudah sana, main boneka!"
Mas Joko kemudian membawa Leliana masuk
ke rumah, dan tak lama kemudian kudengar mereka
berdua tengah bermain-main di dalam. Leliana ribut
meneriakkan boneka-bonekanya, dan sama sekali mas
Joko mengumandangkan lagu Pinokio yang sedang
populer dengan irama yang sumbang. Leliana tertawatawa ketika mendengar ayahnya tidak keruan
menyanyikan bait demi bait lagu itu, bahkan
menambahkan kata-kata yang sebenarnya tidak ada,
sehingga anak yang lebih hafal lagu itu dari ayahnya
terdengar sesekali "mengajarkan" dengan suara
bocahnya yang lugu dan lucu.
Betapa intimnya anak beranak itu.
137 Seolah mereka terlahir dari satu darah, dari satu
keturunan. Telah lama aku menganggap semua itu
wajar, bahkan pelan-pelan aku merasa yakin bahwa
Leliana adalah anak mas Joko, dan mas Joko adalah
ayah kandung Leliana. Tetapi seseorang telah muncul
hari ini. Seseorang yang kembali mengingatkan aku
kepada kodrat alam, yang tidak bisa dibantah. Leliana
bukan anak mas Joko. Dan ayah dari anak itu, entah di
mana sekarang berada. "Aku merindukanmu," terngiang kembali
ucapannya tadi siang "Merindukan anakku ..."
Aku menangkupkan wajah di telapak tangan.
Menahan tangis. Apalagi katanya tadi?
"Dua nama yang tidak bisa kulupakan. Siska.
Dan kini, Anna ..." Suara Mustapa mengiang-ngiang di telinga,
menggema seperti alunan musik dari kejauhan,
merambat bersama semilirnya angin, menusuk dalam,
berusaha memporak-porandakan hati yang telah
sekian tahun tenggelam dalam kebahagiaan yang
semu. *** 138 KEBAHAGIAAN YANG SEMU. WAHAI
Wajah tampan dan tubuh yang gagah itu telah
menunggu di luar gerbang sekolahan, begitu pelajaran
terakhir selesai dan aku berjalan ke luar bersama
beberapa teman sekelas yang lain. la duduk dengan
santai di jok motor 175 cc-nya, tetapi tampak perkasa
dan penuh daya pesona, ketika ia berdiri ketika
melihatku muncul di kejauhan. Dua tiga orang temantemanku mulai berbisik-bisik, bahkan yang seorang
telah meledak : "Ah, kita-kita ini, apalah. Ayoh, kamu semua.
Menyingkir," lantas seraya tertawa cekikikan Maria
menyeret Lusi dan Donna menjawab, sementara
Marwan dan Hadisusanto tersenyum kecut lantas
membiarkan aku sendirian, berjalan ke tempat di
mana pemuda itu menanti. Dan aku tahu, ia telah di
sana, lebih dari satu jam, dan telah menghabiskan
paling tidak lima batang rokok...
139 "Hai, Siska ...," ia menyapa lembut.
"Hai ... Mus. Sudah lama?"
la tertawa. "Bosan aku mendengar ucapanmu yang itu ke
itu juga," sepeda motornya ia starter, menderu-deru
bunyinya, seram dan gagah seperti pemiliknya.
Kebanggaan dan kekaguman meledak-ledak dalam
jiwa remajaku, dan dengan gemetar oleh daya pesona
yang ajaib aku kemudian duduk di jok belakang,
dengan lengan kiri memeluk tas sekolah dan lengan
kanan melingkar di pinggang ramping tetapi keras dan
padat. "Ke mana kita hari ini, Siska?"
"Terserah kau, Yang!"
la mengelus telapak tanganku yang menekap
bagian depan perutnya. Lembut dan hangat kemudian
motor kaliber berat itu melonjak dengan gagah ke
jalan raya, menderu seperti angin dengan suara yang
riuh rendah. Mataku nanap memandang kian kemari,
dan dengan penuh kebanggaan membalas lambaian
seorang dua teman yang memandang kagum dari
kejauhan. "Ada sebuah filem bagus. Bintangnya"
140 "Tidak, Mus," aku menolak, seraya menyibak
kan rambut yang menutupi mataku oleh terpaan angin
deras. "Aku ingin membicarakan sesuatu denganmu,
hari ini." Sesaat tubuhnya terasa menegang. Tetapi
segera mengendur kembali, dan dengan tenang ia
berujar: "Baiklah. Bagaimana kalau kita pergi ke tempat
yang biasa?" "Terserah, Yang."
Diusapnya lagi punggung telapak tanganku,
bahkan sedikit ia remas, setengah gemas, setengah
manja. Menderu-deru kendaraan itu membelah udara
senja, melesat melalui kendaraan-kendaraan di
depan, menyelinap dari satu ke lain mobil, dengan
suara klakson yang menjerit-jerit minta diberi jalan.
Ketika akhirnya kami turun dekat pintu gerbang
sebuah pemandian air panas, pelataran parkir telah
sepi. Langit senja di ufuk Barat tampak kemerahmerahan, dan angin lembut menyelinap dengan
belaiannya yang menggetarkan kulit di balik blouse
sekolahku yang longgar. Mustapa tidak membeli tiket masuk.
141 Penjaga loket yang sudah mengenal kami
dengan baik, memberikan anggukan yang sudah
terbiasa kami terima ketika kami melewati loket karcis
dan langsung menuju sebuah cottage kecil berdinding
tembok namun beratapkan injuk tebal berwarna
hitam pekat, dengan bentuk yang artistik. Begitu kami
berada di dalam cottage, Mustapa menutupkan pintu.
Kemudian kami saling berhadapan, bertukar pandang
dengan gejolak hati yang penuh gelora. Dalam sekejap
kami telah saling berpelukan, dengan lidah saling
mencari di antara bibir yang berpagut, panas dan
penuh birahi. "Muss," aku kemudian sadar diri, dan
merenggang dari pelukannya.
la menatapku dengan mata redup.
"Ada apa, Siska?"
Aku melangkah ke sebuah kursi rotan dengan
lapis jok yang tebal, menghenyakkan pantat dengan
perasaan gelisah. "Maukah kau mengambilkan
sebelum kita berbicara?"
minuman, la memandangiku sebentar, kemudian ke luar
dari cottage. Tak lama kemudian ia kembali dengan
142 sebuah baki, di atas mana terdapat sebotol coca-cola,
sebotol bier dan sepiring sate kambing yang masih
kebulan asapnya seketika merangsang perutku. Kami
duduk berhadapan dan menghabiskan dua puluh
tusuk sate hanya dalam beberapa menit. Setelah
membersihkan mulut dengan Coca Cola untukku dan
bier untuk Mustopa, mataku terasa setengah
mengantuk. Lelah oleh perjalanan, kenyang karena
kebanyakan makan. "Hei, kau," ia menepuk-nepuk wajahku, lembut.
"Jangan tidur. Kita tak boleh kemalaman, bukan?"
Susah payah, kubuka mataku.
"Aku ngantuk sekali." desahku, setengah ingat
setengah tidak. "Barangkali lebih baik aku mandi
dulu." Aku kemudian bangkit dengan malas dan
berjalan ke sebuah pintu bagian dalam cottage. Uap


Istri Tidak Setia Karya Abdullah Harahap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hangat segera menerpa wajahku ketika pintu itu
terbuka. Aku melangkah masuk ke dalam, setelah
lebih dahulu melepas sepatu. Kulepas pakaian
sekolahku, sampai ke lapis yang paling dalam
kemudian terjun ke bak selebar dua kali tiga meter
dengan dalam setinggi dada. Tanpa memperdulikan
perubahan suhu yang mengejutkan kulit, kubenamkan
143 tubuh sampai ke dasar bak, bertahan di dalam selama
beberapa detik kemudian menyembulkan kepala di
permukaan air dengan nafas terengah-engah.
"Obat mujarab menghilangkan kantuk, bukan?"
Yang bertanya itu adalah Mustapa. la telah
tardiri di pinggir bak, dan mataku mengerjap dengan
getaran-getaran yang tidak tertahan. Ketika aku
berpaling ke gantungan pakaian, di kapstok itu aku
tidak saja melihat pakaianku, tetapi juga pakaian
Mustapa. "Sabarlah menunggu, Mus ..." aku memprotes,
tetapi tidak sepenuh hati.
la tertawa lunak. "Kau selalu bilang, tidak enak mandi sendirian,"
katanya, lantas dengan gaya seenaknya ia
mencemplungkan tubuhnya yang tinggi kekar ke
dalam air. la berenang berkeliling sebentar, dan ketika
ia berhenti, kami telah berdiri berhadap-hadapan di
tengah-tengah. Sesaat, matanya menatap ke mataku,
dan ketika turun melewati leherku, ia kelihatan sedikit
terguncang. "Siska menatapku. ...," bisiknya, ketika ia kembali 144 Kedua tangannya terjulur ke depan. Kubiarkan
jari-jemarinya yang gemetar menyapu wajah
kemudian pundakku, dan aku merasa terbang di
awang-awang ketika ia menarikkan tubuhku rapat ke
tubuhnya. "Mus, jangan" aku mencoba memprotes.
"Aku cinta padamu, Siska. Aku ingin
memilikimu, sampai kapan pun. Aku merindukanmu,
menyayangimu, dan tidak tahan terlalu jauh dari
engkau Siska, sayangku, Siska, manisku, Siska, cantikku
..." Air dalam bak berkecipak, melimpah sampai
keluar ketika tubuh kami serentak terbenam kedalam,
berpadu jadi satu, seolah tidak terpisah-lagi. Sesekali
kami berdua mengapung kembali ke permukaan air,
menghirup udara segar, lantas kembali menyelam
dengan tubuh yang semakin tidak terpisahkan. Suatu
saat, aku meronta dalam air, mengerang dengan suara
megap-megap, sehingga Mustapa terpaksa menyeret
ku naik dan membaringkan tubuhku di lantai yang
lembab dan licin, ia menatapku sejenak, tetapikemudian tidak lagi memberiku kesempatan untuk
bernafas. 145 Kupejamkan mata, dan kubiarkan segalanya
berlalu. Dan... *** 146 DAN Mas Joko tahu-tahu telah menyentuh bahuku.
"Sudah malam, Siska. Tidakkah kau kedinginan
di luar sini?" Aku menoleh dengan kaget, dan tengadah
menatap wajahnya. "Oh!" ucapku, tersadar.
"Kau ... sakit?"
"Ah, tidak" aku merundukkan
menyembunyikan perasaan hati.
muka, "Tetapi kau gemetar. Dan dan wajahmu
berkeringat." Aku menggigit bibir, bingung dan gelisah.
"Kau demam. Tak usah membantah" katanya,
seraya mengangkatku berdiri, dan membimbingku
masuk ke dalam rumah. "Sudah berapa kali kau
147 kuperingatkan, sayangku, agar tidak terlalu kerja
berat. Dan ah, tadi siang kau tentu telah berlelah-lelah
pergi ke pasar, padahal kandunganmu ..."
"Mas," aku merebahkan kepala di bahunya.
"Aku, aku takut."
la terkejut, dan memutar tubuh, menghadapi
ku. "Apa yang kau takutkan, sayangku?"
"Kukira aku terlalu sering muntah dan dan
meskipun kandunganku baru berumur tiga bulan,
rasa-rasanya aku telah menerima pemberontakan
yang kuat di dalam."
Sebenarnya aku berkata sekenanya saja,
sekedar menutupi kegugupanku karena ia kejutkan
dari lamunan ke masa laluku yang terkutuk itu. Namun
suamiku yang selalu polos dan jujur menghadapiku,
menanggapi ucapanku tanpa curiga apa-apa. Malah ia
tertawa, renyai dan bahagia, setelah mana ia
kemudian berkata dengan nada menggoda :
"Itu pertanda, kita bakal punya anak lelaki!"
Kutatap matanya. Tajam. Teringat olehku,
sesuatu, kini. 148 "Kau kau tak akan membeda-bedakan kasih
sayangmu, bukan?" "Ha? Membedakan apa?"
"Anakmu kelak ..."
"Dengan siapa? Kau?" ia tersenyum, mesra.
"Tidak, manisku. Tidak akan!"
"Maksudku, anak lelakimu, dengan ... Leliana!"
Sepasang matanya membesar.
"Ah, aku mengerti kini," ia membuang nafas
panjang, lega. "Itu yang membuat kau khawatir dan di
luar tadi, jadi seorang pelamun. Siska, sayangku. Kau
tidak meragukan aku, bukan?"
Ingin aku menjawab. Tetapi mulutku terkatup,
leherku kaku. "Anna anakku," ia mendengus, tandas, "la anak
perempuanku yang sangat manis, sangat lucu. Dan eh,
kau katakan tadi, anak lelaki ... Duh, Siska. Kalau itu
terjadi, lengkaplah sudah mainan kita. Sepasang
bocah, yang satu lelaki, yang satu perempuan. Setelah
itu, bakal dapat keturunan atau tidak, aku tidak akan
perduli lagi ..." ia mengecup pipiku, lembut, lalu :
149 "Makan malam masih hangat. Ayoh, jangan kita
biarkan sampai dingin."
Ia tertidur pulas di sampingku, setelah kami naik
ke tempat tidur menjelang tengah malam. Aku
betulkan letak sebelah tangannya yang terlipat di
bawah pinggangnya, dan lebih merapatkan tangannya
yang lain yang mendekap rapat ke perutku. Aku
berbaring telentang, menatap langit-langit kamar dan
tetap gagal untuk berusaha memejamkan mata, yang
dari saat ke saat terasa semakin perih. Mengapa?
Wahai, mengapa Mustapa muncul, justru di saat
kebahagiaan yang semu itu perlahan tetapi nyata
mulai membentuk jadi kebahagiaan yang murni?
Apa yang ia kehendaki, setelah sekian tahun
berlalu? la merindukanku, katanya. Dan ia juga
merindukan anakku, yang tetap ia pertahankan
sebagai anaknya! Anak yang dulu hampir saja tidak
mau ia pertanggung-jawabkan, hampir saja tidak mau
ia akui kehadirannya. Betapa mengerikan. Betapa
menjijikkan. Hampir pingsan aku senja itu, di dalam
cottage terkapar lesu di tempat tidur yang empuk
tetapi kehangatannya seolah telah berlalu.
150 "Aku ... aku belum siap, Siska," ujarnya, terbatabata.
Kemarahan mendera kepalaku dengan kejam.
Nafasku sesak, tetapi kesadaranku masih bersisa.
Kemarahan itu tidak akan membuat suasana menjadi
lebih baik. Bahkan mungkin, akan meninggalkan aku
terlunta-lunta. Dengan susah payah aku bisa juga
menguasai diri, namun lama kemudian baru aku bisa
mengeluarkan suara yang seolah terjepit di
kerongkongan: "Kau tidak bisa membantahnya, Mus. Aku
hamil. Dan kukira, aku tidak mungkin berlama-lama
menyimpan rahasia ini pada orang-tuaku!"
la tercenung. Lama. Lantas :
"Jadi, belum ada yang tahu."
Aku gemetar oleh nada suaranya yang ganjil.
"Ya. Lalu, bagaimana?"
"Masih ada jalan lain yang bisa kita tempuh."
"Maksudmu?" "Kandunganmu. Belum terlalu tua untuk di..."
Aku terlonjak dari baringku, pucat dan gemetar.
151 "Maksudmu maksudmu" aku mendengus,
liar dan tidak terkendali, sampai-sampai kalimat yang
meledak-ledak dalam dada tidak mampu ke luar sama
sekali, dan menghancurkan sendiri dadaku di dalam.
Air mataku merembes ke luar, tak bisa ditahan lagi.
"Siska, tenanglah," Mustapa memelukku. Tetapi
betapa lengan-lengannya berubah dingin, tidak
hangat dan sepanas ketika beberapa saat sebelumnya
lengan yang sama menggelutiku di dalam air.
"Kau tahu, aku tidak mungkin meminta kepada
orangtuamu. Aku memang bisa datang, dan
mengatakan akan melamarmu, tetapi ... Siska, kau
sendiri tahu. Mereka tidak akan menerimaku. Mereka
akan : menendangku jauh-jauh. Dan sekali kukatakan
bahwa aku telah membuntingimu, mereka tidak saja
akan membunuhku, tetapi juga kau!"
"Tidak. Tidak. Tidaaak," aku menjerit, histeri.
Mustapa merangkulku dengan keras, mencium
mulutku dengan ganas, sehingga jeritan-jeritanku
tenggelam dan histeriku lenyap perlahan-lahan. Ketika
ciuman yang menyesakkan nafas itu berakhir,
Mustapa berkata dengan suara terengah-engah :
"Mereka, Siska... Orang tuamu selalu menuntut
... Aku harus punya pekerjaan tetap, tidak mengandal
152 kan kekayaan orangtuaku belaka. Pekerjaan yang
hasilnya akan mencukupi rumah-tanggaku, menjauh
kan kau dari kesengsaraan yang mereka takutkan.
Mereka telah memanjakanmu melebihi apa pun di
dunia ini dan mereka tidak melepaskan engkau ke
tangan seorang lelaki yang tidak ada apa-apanya di
depan mata mereka." "Aku tak perduli!" tangisku. "Aku ingin kau
nikahi, secepat mungkin. Aku tak perduli, apakah
setelah itu aku bisa kau beri makan atau tidak."
"Justru itu yang kuragukan, Siska!"
Aku terjengah. "Maksudmu?" la menatapku. Muram wajahnya, suram matanya.
"Kau kau tidak tahu siapa aku sebenarnya, Siska.
Orangtuaku tidak saja terlahir di tengah-tengah
kemiskinan, tetapi juga juga mereka sudah lama tidak
mengaku anak padaku. Pendidikanku hanya sampai di
kelas satu es-em-a, dan semenjak itu, aku harus
berjuang sendirian menghadapi hidup yang suram dan
menakutkan." "Aku akan menemanimu. Aku akan
mendampingimu. Kalau anak kita lahir kelak, aku akan
153 memperkenalkan anak kita kepada orangtuamu,
supaya mereka bisa menerima kehadiranmu kembali."
"Tetapi, Siska, bagaimana dengan orang tuamu
sendiri?" Aku terpana. Papa selalu mengingatkan:
"Kau boleh lanjutkan hubunganmu dengan
gelandangan yang tidak karuan silsilah keluarganya
itu. Tetapi, kuharap, kau menyingkir dari rumah ini!"
Dengan lidah kelu, aku mendesah :
"Mustapa, sayangku. Aku lebih mementingkan
engkau. Jangan pikirkan orangtuaku ...!"
Tetapi ternyata tidak begitu gampang persoalannya.
Suatu ketika, aku terhempas di kamar mandi.
Masih untung aku sempat berpegangan ke tepi bak
mandi, sebelum meluncur jatuh ke lantai. Kepalaku
pusing, seolah ditusuk-tusuk beribu-ribu jarum.
Keringat membanjir ke luar dari seluruh pori-pori
kulitku. Mas Totok yang menemukanku terkapar di
lantai kamar mandi segera membopongku ke kamar
tidur dan membaringkan aku yang dalam keadaan
setengah pingsan di atas ranjang. Mama menangis
154 kalang kabut, dan papa di telephone ke kantor, la
muncul setengah jam kemudian, disertai dokter
pribadi keluarga kami. Dokter itu hanya memerlukan
waktu tak lebih dari lima menit untuk memeriksa
keadaanku dan kemudian menyampulkan diagnosa
nya:

Istri Tidak Setia Karya Abdullah Harahap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Anak bapak hamil. Kandungannya sudah
berumur empat bulan."
Mama menjerit lengking, lantas jatuh pingsan.
Mas Totok ternganga. Dan papa... Wajahnya berubah
kelabu. Ketika ia kemudian menatapku yang terbaring
kaku ketakutan di tempat tidur, matanya berubah liar
dan mulutnya berbusa ketika ia mengeluarkan
teriakan-teriakan marah. Kalau tidak ada dokter dan
mas Totok yang menghalang-halangi, tentu aku sudah
berhasil ia cekik sampai mati, saat itu juga.
Setelah ia diberi obat penenang oleh dokter,
malam itu papa menuntut: "Mustapa-kah orangnya?!"
Leherku bagaikan patah, ketika mengangguk
kan kepala. Ayah bangkit berdiri. Dan langsung membuka
laci. la memiliki ijin resmi untuk sepucuk pestol kaliber
tiga delapan yang segera tergenggam di tangannya.
155 Melihat itu, mama berlari menyerbu dan berusaha
merampas pestol itu. "Sadarlah, pak. Tahan emosimu!" jerit mama,
ngeri. "Diam! Biarkan aku!" ayah membentak. "Akan
kubunuh laki-laki itu ...!"
"Dan, membiarkan anakmu menjanda tanpa
menikah?!" dengus mama.
Papa terhenyak. Senjata yang mengerikan itu lepas dari
tangannya, jatuh menggelinding di lantai, dengan
suara berisik yang memekakkan telinga. Sepi
menyesak beberapa lama, sampai kemudian papa
menghela nafas panjang, lantas berkata kepada mas
Totok: "Carilah bangsat itu, Tok. Dengan cara apa pun,
bawalah ia ke mari!"
Totok yang merah padam wajahnya semenjak
tadi, menggerematkan gigi, lantas bergegas ke luar.
Mama berlari-lari menyusulnya, dan di pintu depan
samar-samar kudengar mama mengingatkan :
156 "Aku tak mengharapkan salah seorang di antara
kalian sampai ada yang terluka, anakku!"
Dan mas Rotok menjawab : "Demi kau, ma, aku berjanji."
*** MAS TOTOK pulang ketika matahari telah terbit.
Wajahnya lesu, rambut dan pakaiannya kusut,
sekusut tetapan matanya, ketika ia mendatangi papa
yang tidak bergerak seinci pun di tempat duduknya
semenjak malam harinya, dan berkata dengan suara
patah-patah: "la telah kucari di mana-mana. Jangankan
batang hidungnya. Kabar beritanya pun tak kudapat!"
Hari demi hari berlalu. Tidak saja kesepian dan ketegangan
menggantung selama penungguan itu. Tetapi juga
neraka. Mama dan papa sekali terlihat dalam
pertengkaran sengit. Mama menyalahkan papa yang
terlalu ekstrim mengawasi anak-anaknya. Sebaliknya
papa menuduh mama terlalu memanjakan kami,
sehingga lepas dari kontrol mereka sebagai orangtua.
Dan aku terpaku diam, tidak bisa berkata sepatah pun
157 jua, apabila setelah mendengar papa dan mama
bertengkar, mas Totok langsung mendatangiku. Dan
ucapannya selalu, adalah :
"Mereka tidak patut saling salah menyalahkan!"
Aku tak menyahut. Tak sunggup. Dan ia memang tidak memberi
kesempatan. Karena selalu ia sudah melanjutkan :
"Kau yang salah. Tak bisa menahan nafsu. Tak
bisa menjaga kehormatan dirimu sendiri!"
Sesekali aku membalas dengan marah :
"Dan kau? Apakah kau kira hanya kau yang
benar di rumah ini? Bagaimana dengan isterimu yang
sudah kau cerai?" Plak! Tamparan deras hinggap di pipiku. Sakit
alang kepalang. Ingin aku meludah. Tetapi buih-buih kemarahan
hanya bisa menggumpal dalam mulutku, yang kering
kerontang. "Kami tidak bercerai," dengusnya, marah,
"Kami hanya berpisah sementara, untuk lebih
mendewasakan diri, dan menunggu tempo dimana
158 kami bisa bersatu kembali, dengan menenggang rasa
satu sama lain, agar tidak kelewat angkuh!"
"Kesombongan orang-orang yang masih bersisa
feodal!" aku menuduh.
"Tetapi kami tetap menjaga kehormatan diri,
Siska. Camkan itu." "Lantas, pelacur-pelacur yang kau tiduri?"
Matanya memerah saga. Dan ia tidak berkata sepatah pun lagi. la tinggal
kan aku sendirian di kamarku. Sendirian menelan
kemenangan, sekaligus kekalahanku!
Joko-lah orangnya kekalahanku itu. yang mempertegas Joko yang masih terhitung famili, dan diamdiam pernah menitip pesan pada mas Totok bahwa
suatu ketika kelak ia akan memperisteriku. la sangat
yakin pada cita-citanya itu. Tetapi ia harus menunggu
dua tiga tahun, untuk melaksanakannya. Menunggu
pendidikannya selesai dulu, sehingga ia memperoleh
kedudukan dan gaji yang lebih baik di kepolisian,
tempat ia mengabdikan diri semenjak menamatkan
sarjana mudanya di AKABRI.
159 Ketika ia tahu aku lebih tertarik pada laki-laki lain,
dengan sabarnya ia berkata :
"Tidak. Laki-laki itu tidak akan memilikimu!"
Tentu saja, seperti biasa, ucapan itu ia utarakan
lewat mulut mas Totok, yang membuatku tertawa
setengah mati. "Apa haknya untuk mengatakan itu?" rengutku
kepada mas Totok. "Memandang mataku pun, ia tidak
berani!" Tetapi, betapa luar biasa tajam dan menusuk
mata Joko ketika hari itu ia muncul di rumah. Aku, mas
Totok, papa dan mama mengelilinginya, dan semua
memusatkan perhatian kepada mulutnya, la telah
berkata bahwa ia akan mengatakan sesuatu mengenai
Totok. Dan, setelah kami berempat hampir kehabisan
nafas menunggu, baru mulutnya yang tiba-tiba
menarik perhatian semua orang itu, terbuka. Dan apa
yang ia katakan, adalah ledakan bom yang lebih
mengejutkan dari pengaruh ledakan bom sesungguh
nya: "Mustapa ditangkap!"
la menatap kami satu persatu, baru kemudian
memperjelas arti ucapan pembukaan itu :
160 "Telah lama ia melakukan operasi bersama
teman-temannya, dan belum pernah berurusan
dengan polisi. Tetapi dua hari yang lalu, ia tertangkap
basah ketika menggerayangi isi sebuah toko emas!"
Joko yang menuntunku sore harinya ke kantor polisi.
la memegang lenganku dengan kuat, menjaga
kalau-kalau aku sampai jatuh pingsan, selama aku dan
Mustapa saling bertemu muka dibatasi oleh jeriji besi.
Tetap tampan dan gagah, Mustapa memperlihatkan
senyumnya yang penuh daya pesona itu ketika
melihatku, da seolah demikian yakin akan dirinya,
ketika menerangkan bahwa apa yang ia lakukan
adalah apa yang selama ini ia kerjakan.
"Demi hidup, Siska," katanya tandas. "Dan
ketika kau mendesak untuk kawin, aku tidak melihat
jalan lain. Aku bermaksud menguras habis isi toko itu
sebagai hadiah perkawinan. Tetapi mereka menggagal
kannya. Kuharap kau mau memaafkan aku, Siska ..."
Memaafkannya? Tidak. Tidak mungkin, la telah mendustaiku
semenjak lama. Mengatakan ia ikut dengan paman
nya, seorang pengusaha yang kaya-raya. Pamannya itu
memberikan modal untuk berusaha sendiri, beberapa
kali jatuh bangun. Kemudian karena kenyang oleh
161 kegagalan, ia memisahkan diri dari pengaruh moril
serta materiel pamannya, lalu bersama beberapa
orang temannya melakukan obyek-obyek yang lebih
menguntungkan, meskipun dengan hasil yang tidak
tetap dan teratur. Baru sekarang aku tahu, apa obyek
yang ia maksud. "Yang paling tidak bisa kumaafkan, Mus," aku
terisak-isak, seraya memegangi jeriji besi dengan
buku-buku jari memutih. "Mengapa pemilik toko itu
mesti kau bunuh?" la angkat bahu. Katanya: "Tak ada jalan lain. la mengenalku, dan aku
tidak ingin tertangkap."
"Kau ...," aku setengah berteriak. "Tegakah kau
membiarkan anakmu suatu ketika kelak, tahu ayahnya
seorang pembunuh?!" Baru pada saat itulah, Mustapa runtuh, la
menjadi pucat, gemetar, kemudian menjauh dari jeriji
besi. Semenjak itu aku tidak pernah lagi melihatnya.
Tidak saja karena ia selalu menolak kehadiranku, dan
keluargaku selalu bersikeras agar aku melupakannya
162 saja. Tetapi terutama karena, Joko suatu hari
bertanya: "Kau tidak akan menjadi seorang pembunuh
seperti Mustapa, bukan?"
Aku mengangkat kepalaku dari bantal. Telah
seminggu lebih bantal itu melekat di bawah kepalaku
yang letih dan selalu berdenyut-denyut, yang oleh
dokter pribadi keluarga kami dikatakan sebagai akibat
shock mental. "Apa maksudmu, mas Joko?" tanyaku lirih.
"Anak dalam kandunganmu. Biarkan ia lahir ..."
Aku menangis. "Tidak. Tidak mungkin, la tak boleh lahir tanpa ayah"
"la akan lahir, disaksikan oleh ayahnya."
"A-ayahnya? Maksudmu ..."
"Benar, Siska. Aku akan menikahimu, hari ini
juga. Semua keluarga telah setuju. Dan persetanlah
kau, kalau suatu ketika kau mengatakan anak dalam
kandunganmu ini, bukan anakku!"
la menundukkan wajah, mencium bibirku.
163 Ciuman lembut, tidak bergelora dan panas
menggebu-gebu seperti kalau Mustapa menciumku.
Betapa jauh rasanya. Dan betapa jauh perbedaannya.
Ciuman yang penuh nafsu Mustapa, dengan noda
mengiringinya, serta ciuman lembut penuh kasih
sayang Joko, dengan kebahagiaan yang ia selundup
kan ke dalamnya. Kebahagiaan yang selama beberapa
tahun, seolah-olah tidak pernah kumiliki. Betapa ia
pasrah dan sabar menunggu.
Penungguan yang tidak sia-sia.
Pada ulang tahun perkawinan kami yang
keempat, aku berbisik di telinga mas Joko:
"Kemaren dulu aku ke dokter, mas"
"Ha? Kau sakit?"
"Justru sebaliknya. Aku pasti sakit, kalau tidak
ke dokter." "Apa yang telah kau lakukan?"
"Membuka ikatan yang menyakiti iniku" aku
menunjuk ke bawah perutku, tepat di selangkangan,
lantas mengerdip dengan nakal. Mas Joko terbelalak
sebentar, dan ketika ia mengerti apa yang kumaksud,
ia memeluk dan menciumiku dengan hangat.
164 "Kau kau bersedia juga akhirnya untuk menerima
benih-benihku dalam kandunganmu, Siska?"
Aku mengangguk. Dan dengan lebih nakal, kutambahkan : "Kau
boleh menanam benih itu, mulai malam ini, mas."
*** 165 AKU tengah menyempurnakan motif kembang di
popok bayi yang kusulam ketika telephone berdering.
Mbok Enah yang lagi ngepel lantai dan kebetulan
berada paling dekat dengan meja segera berdiri dan
menyambar telephone itu. Setelah menyahuti
sebentar, ia memandangku.
"Dari Tuan" katanya.
Kutinggalkan sulamanku, dan berjalan ke telephone.
Sementara mbok Enah meneruskan pekerjaannya, di
seberang sana kudengar suara suamiku yang riang:
"Kau baik-baik saja, sayang?"
"Ah, mas," sahutku, lembut. "Terimakasih, kau
menelephone. Tidak sibuk rupanya?"
"Sibuk sih, lumayan. Kau 'kan tahu apa yang
tengah kuhadapi. Eh, Siska, sudah hampir jam
166 sepuluh. Kalau kau tak sempat, biar aku yang


Istri Tidak Setia Karya Abdullah Harahap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menjemput Anna" "Teruskan saja pekerjaanmu, mas. Aku masih
ada waktu." "Tak akan terlambat lagi, bukan? Dua hari yang
lalu ia mengadu padaku. Katanya ia menangis di pintu
pagar, karena kelewat lama menunggu ..."
"Nggg, jangan layani dia, Mas. Nanti jadi manja."
"Uh. Namanya juga, turunan ibunya!" ia
tertawa, lantas. "Cup, ya?"
"Cup, mas Joko."
Telephone kuletakkan kembali di tempatnya.
Setelah menyimpan sulaman di kotak mesin jahit, aku
kemudian bergegas ke dapur mengambil tas. Sekalian
bermaksud belanja, setelah menjemput Leliana di
Taman Kanak-Kanak tempat ia sekolah, yang letaknya
tidak begitu jauh dari Pasar. Baru saja aku akan ke luar,
ketika telephone berdering lagi. Kali ini, aku yang lebih
dahulu mengangkatnya, karena mbok Enah sudah
keburu masuk ke ruang dalam.
"Hallo. Ada apalagi, Mas"
Kalimatku diputus oleh suara asing di seberang sana:
167 "Hai, manis. Aku bukan mas-mu," terdengar
tawa yang lunak dan sedikit serak, lalu : "Tetapi kalau
kau tetap ingin kubelikan mas yang di toko itu ..."
"Mustapa!" aku mendengus pucat.
"Ah, kau mengenal suaraku juga akhirnya."
Aku gemetar seketika. "Mau apa kau?"
"Ingin berbincang-bincang. Tak lebih."
"Aku ada urusan. Maaf."
Telephone baru mau kuletakkan dengan jengkel
ketika kudengar ia menukas dengan suara setengah
berteriak: "Hai, tunggu. Ini tentang Anna!"
Hampir saja telephone terlepas dari genggamanku. la
tertawa. Renyai, dan setengah mengejek.
"Apa kabarmu, manis?"
"Mus. Kau bicara soal Anna, bukan ..."
"Kau dan Anna adalah milikku. Satu sama lain
tak bisa dipisahkan, telah kukatakan padamu, bukan?"
"Demi Tuhan, Mustapa. Lupakanlah!"
la tertawa lagi. Kali ini, tak beremosi.
168 "Dengarkan, Siska. Aku beberapa menit yang
lalu bertemu Leliana di sekolah. Aku bermaksud
membelikan permen loli, tetapi ia lari ketika
melihatku. Maukah kau lain kali, mengatakan agar ia
jangan takut padaku, dan menjelaskan bahwa aku
adalah ayahnya?" "Mus!" "Eh, mengapa cemas? Permintaanku wajar,
toh?" "Darimana kau tahu nomor telephoneku? Dan
bagaimana kau tahu tempat Anna sekolah, serta ..."
"Siska, manisku. Jangan terlalu banyak
bertanya. Kau membuang waktu saja. Lekaslah jemput
Anna, sebelum terlambat..."
Seketika, gagang telephone terlepas dari
tanganku. Aku berlari ke luar rumah, menstarter
Vespa kemudian ngebut ke sekolah Leliana. Aku tiba
lima menit sebelum waktu pelajaran selesai, dan tidak
melihat bayangan laki-laki tinggi kekar bercambang
tidak terurus di sekitarnya. Meskipun selalu
dianjurkan agar orangtua murid mempercayakan
anak-anak mereka kepada guru, agar anak-anak tidak
kolokan, aku bergegas juga pergi ke ruang kelas di
mana Leliana belajar. Lewat kisi-kisi kawat tipis, aku
169 mengintai ke dalam, dengan jantung berdebar
kencang. Guru kelas tengah berbicara dengan seorang anak.
Dan anak itu, adalah Anna.
Kusandarkan tubuhku yang gemetar ke dinding
kelas, dan menarik nafas lega berulang-ulang.
*** Melihat mas Joko yang letih ketika pulang untuk
makan siang, keinginan untuk menceritakan kejadian
hari itu kusimpan saja dalam hati, meski pikiranku
sangat kacau balau karenanya, la dengan riang
melayani anaknya yang minta disuapin, sehingga aku
menegur Leliana : "Husy, Anna. Malu dong. Kau sudah besar!"
Leliana merengut. la tentu akan menghentakkan kaki ke lantai,
kalau tak keburu mas Joko membujuk :
"Anna mau yang mana? Telor dadar? Atau gepuk?"
Wajah Leliana menjadi cerah.
Seraya merangkul lengan ayahnya, ia berseru
manja: 170 "Epuk, papa, epuk ..." seraya menunjuk ke
daging gepuk di piring. Selagi ayahnya mengambilkan
gepuk, anak itu menghadiahkan tidak saja lirikan
mata, tetapi juga bibir yang dicibirkan. Untuk
menyempurnakan kedongkolannya, dari mulut
bocahnya masih sempat melepaskan kata-kata :
"Idii, mama, maluuuu ...!"
Mau tak mau, aku mencubit lengannya dengan
campuran dongkol dan gemas. Leliana menjerit-jerit,
dan minta tolong pada ayahnya. Mas Joko pura-pura
menamparku dengan menamparkan kedua telapak
tangannya di atas pundakku, lantas tertawa bergelak.
Tuhanku, aku mengeluh. Tegakah Mustapa merusak kebahagiaan anak
beranak ini? *** 171 UNTUNGLAH guru kelas Leliana bersedia mengawasi
anakku begitu ia kulepas di gerbang sekolahan, sampai
aku datang menjemputnya kembali, la tidak bertanya
mengapa aku tampak begitu khawatir, tetapi untuk
menghilangkan kecurigaannya aku kemudian
menjelaskan : "la makin nakal. Kemarin, ia kabur dari rumah,
untung cepat ketahuan."
Dusta besar itu bisa menimbulkan tafsiran yang
bukan-bukan dari gurunya terhadap Leliana, tetapi
aku tidak melihat jalan lain untuk ditempuh. Lagipula,
guru yang baik itu lebih tahu mengenai Anna ? di
sekolah. Apakah ia anak yang nakal dan suka kabur,
atau tidak. Anna itu anak yang baik dan penurut, suatu
hari guru kelas itu berkata. Heran, kalau ia sampai
kabur dari rumah. Mendengar itu, cepat aku mencari
172 alasan; wah, maklum, banyak teman-teman sebaya
nya yang kurang diawasi orangtua. Mereka yang
ngajak Anna pergi lebih jauh dari rumah...
Nah, kali ini kesalahan kutuduhkan ke alamat
tetangga. Pada siapa kesalahan berikut akan kutimpakan?
Dan sampai kapan aku bisa mengkambing hitamkan
orang lain? Terutama terhadap mas Joko, yang
meskipun sibuk mengurus promosi kenaikan pangkat
untuk menjadi kepala bagian, namun matanya cukup
awas untuk mengetahui apa yang terjadi?
"Kau tampak gelisah akhir-akhir ini, Siska,"
katanya, suatu malam. "Dan kau berusaha menyimpan
sendiri kesusahanmu. Apakah aku sudah tidak kau
percaya sebagai teman bicaramu?"
"Aduh, mas. Apa yang kau katakan ini?" aku
pura-pura tersinggung, untuk mengelakkan kekagetan
ku oleh ucapannya yang langsung itu.
"Apakah ada sesuatu yang salah padaku, Siska?"
"Mas Joko. Kau sangat baik padaku, pada
anakku dan ..." "Eh, apa pula ini. Kau menyebut 'anakku', bukan
'anak kita' seperti biasanya. Bukankah kau sudah
173 pernah berjanji untuk tidak mengucapkan segala
omong kosong itu?" Mendengar tuduhannya yang berbau kemarahan itu, aku segera menemukan jawab dalam
usaha melepaskan diri dari kecurigaan mas Joko.
"Bukan begitu, mas. Maafkanlah. Tetapi,
lumrah toh, kalau seorang ibu mengkhawatirkan
anaknya. Lebih-lebih, setelah kini aku mengandung
anak yang lahir dari darah dagingmu. Sudah banyak
yang mengatakan, bahwa apabila seorang suami
memperoleh anak yang lahir dari benihnya sendiri,
maka sang suami itu akan mulai berkurang kasih
sayangnya kepada anak yang dibawa sang isteri dari
suami atau laki-laki lain ...!"
la tiba-tiba mencengkeram pundakku dengan marah.
"Katakan siapa orang itu, Siska! Dan aku akan
mengajarinya bagaimana cara hidup bertetangga yang
baik!" "Aduh, mas!" aku menyeringai, kesakitan, la
cepat-cepat melepaskan cengkeramannya, namun
tetap mendengus-dengus, marah. "Sudah mas,
lupakan sajalah apa yang kukatakan."
174 "Huh ..." ia mengeluh. "Makanya kalau kelewat
sering nenangga, lantas mau bergunjing."
Aku diam saja. Dan merasa menyesal, telah membangkitkan
kemarahan mas Joko, bahkan membangkitkan
kecurigaannya kepada orang lain yang tidak bersalah.
Diam-diam aku merasa khawatir, ia akan memperlihat
kan sikap yang bisa merusak hubungan baik kami
selama ini dengan tetangga-tetangga atau kenalan
yang suka berkunjung ke rumah. Wahai, betapa
semakin banyak dosa-dosa yang telah kuperbuat,
justru setelah dosa-dosa masa lalu belum lagi hapus
dari ingatan, apalagi ampunan Tuhan!
Celakanya, Mustapa tidak mau mengurangi
tekanannya. Suatu hari ia menelephone :
"Hai, sombong amat. Kupanggil-panggil, tetapi
terus ngebut dengan Vespa-nya. Masih suka merajai
jalanan seperti dulu, ya?"
Betapa kurang ajarnya Mustapa.
la coba mengingatkan aku ke masa lalu. Suka
ngebut bersama teman-teman. Selama itu, kami tidak
sampai mencelakakan orang lain maupun diri sendiri.
175 Tetapi kecelakaan yang tidak terduga-dugalah yang
justru terjadi. Di arena kebut-kebutan itulah aku mulai
berkenalan dengan Mustapa, yang berlanjut ke
hubungan intim dan berakhir dengan "kecelakaan"
yang membuat malu sanak keluargaku, kalau tak
keburu muncul mas Joko sebagai dewa penolong
dalam "kecelakaan" itu.
Lain hari, si terkutuk itu menelephone lagi
"Mengapa kabur dari pasar kemaren, Siska?"
Bagaimana tidak. Tiba-tiba ia telah berada di
sampingku waktu aku sedang menawar harga seekor
ayam boiler. la menegurku dengan ramah, tapi
jangankan untuk membalas tegurannya, untuk
membeli ayam boiler itupun aku sampai lupa, karena
ingatanku hanya segera kabur pulang ke rumah.
Herannya, aku tidak meletakkan telephone
setelah tahu ia yang menghubungiku. Setidaktidaknya aku masih bisa mengharapkan satu hal dari
Mustapa, sesuatu yang kuharap akan baik untuk kami
berdua, tetapi menurut dia sangat kejam dan terlalu.
"Meninggalkan dan melupakan kau dan Anna?
Tak bisa, Siska. Tak bisa. Aku akan mati penasaran
kalau ..." 176 "Kalau begitu, mungkin mati adalah yang paling
baik untukmu, Mus," aku mendengus, marah dan
jengkel. "Hentikan menggangguku terus-terusan, atau
kalau tidak..." "Kalau tidak," ia yang kali ini memotong
pembicaraan. "Kau akan mengadukanku pada
suamimu, bukan? Sudah demikian takutkah kau meng
hadapiku sekarang, meski aku hanya ingin melepaskan
perasaan rindu dan kasih sayang yang telah sekian
lama terpendam?" Aku terpaku, diam. la meneruskan:
"Bahkan, tak sekalipun kau bertanya, kapan aku
ke luar dari penjara, dan apa pekerjaanku sekarang."
"Aku, aku,..." "Katakanlah, Siska," ia berbisik di telephone,
penuh harap. "Katakanlah, bahwa kau masih
mencintaiku!" Gagang telephone, jatuh dari tanganku, dan aku
berlari ke kamar tidur, menangis tersedu-sedu.
Setelah tangisku reda, kemudian kuputuskan untuk
tidak menerima telephone dari Mustapa, dan
mengingatkan mbok Enah agar mengatakan aku tidak
di rumah, kalau yang menelephone bukan mas Joko.
177 Suamiku dengan heran bertanya, mengapa setiap kali
ia menelephone yang menerima selalu pembantu
rumah. Pertanyaan itu kujawab, karena aku sibuk
menyulam dan menjahit pakaian bayi, atau sedang
sibuk di dapur.

Istri Tidak Setia Karya Abdullah Harahap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dan ketika aku suatu hari berpapasan dengan
Mustapa justru ketika aku baru saja ke luar rumah
untuk mengantar Leliana ke sekolah, kesabaranku
mencapai batas akhir. Ingin kulabrak tubuhnya yang menghalangi
jalan ke luar di pintu pagar. Tetapi pandangan
matanya yang lurus tertuju ke wajah Leliana,
membuatku tertegun sendiri, dan bingung untuk
sesaat. "la cantik sekali, bukan Siska?" gumam ustapa,
renyuh. Aku terbungkam. Benar-benar terbungkam.
"Maukah kau mencium pipiku nak?" tiba-tiba
saja ia telah mendekat dan berjongkok di samping
Vespa. Leliana agak merungkut, dan menatapku degan
mata penuh tanda tanya. Air mataku hampir
merembes ke luar, dan ketika berpaling mataku
178 beradu dengan pandangan mata mbok Enah yang
kebetulan sedang menjemur kain di pekarangan
samping. Dengan gugup, aku lantas berujar, tanpa
melihat ke arah Mustapa :
"Jangan mengharap dia yang melakukan, Mus.
Kaulah yang mengecup, kalau kau ingin!"
Tanpa menunggu sedetikpun, Mustapa
memeluk Leliana dan mengecup kedua belah pipinya
dengan penuh kasih sayang. Ajaib namun mengerikan,
anak itu tidak menjerit dan menangis ketakutan
sebagaimana kuharapkan. Melainkan, Leliana diam
saja ketika Mustapa memeluknya berlama-lama, dan
bahkan mendekatkan pipinya untuk dicium.
Kemudian, ia tertawa, seraya berkata dengan gaya
kebocahannya : "Ih, gatal ..."
Mustapa melirikku, lantas kembali menatap
Leliana. Entah perasaan apa yang berkecamuk di
dadanya. "Apanya yang gatal, Anna?"
"Rambut oom ...," ia menunjuk ke kumis dan
cambang Mustapa, sehingga laki-laki itu tertawa.
Dapat kurasakan betapa kebanggaan dan keharuan
179 bercampur aduk dalam suara ketawanya, sehingga
membuat hatiku tergoncang dan aku terpaksa
menggigit bibir keras-keras menahan tangis yang mau
meledak ke luar. "Sudah, Mus?" aku berusaha bersikap seramah
mungkin. Mustapa berdiri. "Aku berterimakasih, kesempatan," ujarnya, lirih.
kau memberi "Ya. Untuk yang pertama, dan demi Tuhan,
semoga yang terakhir kali. Berjanjilah ...!"
la menatapku, tajam. Lalu, merogo sesuatu dari kantong celananya.
Ketika tangannya ia keluarkan kembali, ia telah
menggenggam sebuah bungkusan plastik berwarna
bening, sehingga aku bisa melihat isinya. Sepasang
anting-anting emas berbentuk ular, dengan butir
permata berkilauan di masing-masing kepalanya.
Darahku berdesir, ketika melihat benda itu.
"Kau kau merampoknya?" desisku, kelu.
Wajah Mustapa merah dadu.
180 "Hentikan menghinaku, Siska. Aku sudah
berhenti me" "Simpan kembali perhiasan itu, Mustapa."
"Tetapi ia akan berulang tahun minggu depan.
Dan aku bermaksud ..."
Versnelling Vespa kumasukkan.
bergumam, keras dan tajam :
Lantas "Tinggalkanlah kami sekarang. Aku tak mau
dilihat orang!" Matanya menjadi liar, ketika ia menatapku.
Otot-otot tubuhnya mengencang, dan nafasnya
mendengus seperti kuda habis berpacu.
"Baik," bisiknya, serak dan parau." Ternyata kau
bukan Siska yang dulu lagi. Siska yang selama ini
kuharapkan. Aku akan pergi. Tetapi kesalahan jangan
ditimpakan kepada diriku semata, sehingga kau
semena-mena merendahkan martabat dan kelelakianku. Penghinaanmu hari ini sudah lebih dari
cukup. Lain kali, adalah giliranku!"
la membalikkan tubuh, kemudian berlalu. Aku
tidak berani menatapnya. Bahkan aku tidak berani
meneruskan niat untuk pergi mengantar Leliana ke
sekolah. Vespa kuputar kembali, memasuki
181 pekarangan rumah. Kemudian menuntun Leliana ke
dalam, dengan lutut goyah dan jari-jemari gemetar.
Samar-samar kudengar Leliana.
"Siapa orang itu, mama?"
Aku memandangi anakku, dengan mata yang
mengabur, ia diam, menunggu jawaban ke luar dari
mulutku, dan akhirnya aku bisa memenuhi
keinginannya, meski apa yang kuucapkan, adalah
dusta terbesar dan paling terkutuk, yang pernah
kuucapkan kepada Leliana:
"la teman papamu, Anna. Tetapi papa tak suka
pada orang itu, karena ia jahat. Karena itu, papa akan
marah, kalau Anna ceritakan pernah bertemu dengan
teman yang tidak disukai papa."
Matanya terbelalak. "Jahat, mama? Apa yang mau ia beri tadi untuk
Anna?" Aku bersimpuh, dan menatap tajam ke mata Leliana.
Ujarku: "Racun, nak. Racun!"
*** 182 HARI?HARI berikutnya ketegangan yang mengerikan
selalu menghantui diriku. Aku terkejut kalau
mendengar telephone berdering, kadang-kadang
malah sampai menjerit kaget kalau seseorang
menegur atau menyentuh pundakku dari belakang,
manakala aku tengah menunggui Leliana di
sekolahnya. Anak itu tidak kulepaskan barang
sedikitpun dari pengawasanku, dan aku sendiri
mengurangi kebiasaan ke luar rumah, dan hanya mau
kalau ditemani oleh mas Joko. Urusan ke pasar
kuserahkan kepada mbok Enah, dan kalau aku
sendirian di rumah, pintu dan jendela selalu kubiarkan
terkunci. Keganjilan itu bukan tak disidik oleh mas Joko.
"Kau seperti takut rumah kita di rampok orang!"
Mendengar kata "rampok" itu, aku setengah
terpekik. Mas Joko yang maksudnya bergurau, heran
183 melihat perubahan sikapku itu. Selama beberapa saat
ia tampak berpikir keras, dan ketika matanya mengecil
sadarlah aku, bahwa yang bau itu telah tercium juga
akhirnya. "Siska ...," ia memegang lenganku. Lembut.
Tetapi dengan tatap mata yang keras:
"Apakah ia ...," mas Joko tidak meneruskan
kata-katanya, melainkan tampak berpikir, dan ia
bernafas berat sebelum melanjutkan ucapannya : "Ah,
benar. Mengapa baru sekarang aku teringat. Mustapa
telah waktunya bebas dari penjara ..."
Mataku terpejam, takut. Kalau saja mas Joko bertanya.
Tetapi ia justru memelukku. Rapat, dan hangat,
lantas berbisik di telingaku, lembut dan mesra:
"Maafkan aku, Siska. Seharusnya aku tahu, apa
yang selama ini kau cemaskan ..."
Aku tidak tahu apa yang ia pikirkan.
Namun keesokan harinya ia menelephone dari
kantor: "Mustapa memang sudah bebas. Menurut
laporan yang kuterima, ia telah menyingkir ke lain
184 kota, dan berusaha hidup menjadi seorang petani.
Jadi, Siska, tak ada yang perlu kau cemaskan bukan?"
Pertanyaan itu, sepintas lalu kedengaran tidak
bermaksud apa-apa. Namun buat telingaku sebagai isterinya, jelas ia
mengharapkan jawaban dari mulutku. Jawaban
terhadap pertanyaan yang tersirat di balik pertanyaan
biasa itu. Lama aku kebingungan mencari kata-kata
yang tepat, sampai akhirnya aku memutuskan.
Ujarku : "Mas. Selagi kau ada di sampingku, aku tidak
takut menghadapi apapun juga!"
Kudengar ia menarik nafas lega. Malah, kubayangkan
ia tersenyum bangga. Dan sebenarnyalah, ketegangan
itu terlalu berlebihan menggoda pikiranku. Mustapa
tidak pernah lagi menelephone atau berusaha
menemuiku muka ke muka. Kukira ia hanya
mengeluarkan ancaman didorong oleh kemarahan
emosionil semata, dan setelah memikirkan segala
macam akibatnya, ia telah melupakan tidak saja
ancamanannya, tetapi juga melupakan bahwa aku dan
dia pernah bertemu. 185 Ketika ulang tahun Leliana tiba, ia kembali
muncul. Tidak dalam wujud dirinya, melainkan dalam
wujut sebuah paket berisi kado ulang tahun. Kami
merayakan pesta kecil yang sederhana. Hanya dihadiri
oleh beberapa teman sekelas Leliana, tetanggatetangga dan beberapa orang sanak famili. Acara
makan siang hanyalah berupa nasi kuning, ditambah
kueh ringan untuk teman-teman Leliana, pemotongan
kueh taart dan peniupan lilin ulang tahun sebanyak
lima batang. Tiap orang memberi kadonya.
Termasuk seorang tukang pos yang mengirim
kan sebuah paket untuk kami. Setelah tukang pos itu
kami suruh makan dan minum, ia kemudian pergi,
setelah mana disusul oleh tamu-tamu yang lain.
Tinggal aku dan suamiku, Leliana, dan salah seorang
tetangga paling dekat yang dengan anak-anaknya
membantu mbok Enah membereskan segala bekas
perhelatan yang sangat sederhana itu.
Kado terakhir yang kami buka, adalah paket
yang diserahkan tukang pos. Sementara Leliana
dengan suara ribut membuka kado-kado yang lain, aku
dan suamiku tidak melepaskan pandangan mata dari
kado yang berstempel pos luar kota itu. Ketika
186 akhirnya Leliana membukanya, aku memejamkan
mata, tidak berani melihat isinya. Kemudian, kudengar
Leliana bernyanyi-nyanyi riang, disertai helaan nafas
panjang mas Joko. Kubuka mataku.
Dan, tentu saja tidak ia sengaja, Leliana mengamanamangkan kantong plastik berisi anting-anting yang
sudah tidak asing bagiku itu, tepat di depan biji
mataku. Anak itu berseru riang:
"la memberikan juga. Oom yang baik itu ..."
Tiba-tiba, wajah Leliana berubah keruh, waktu
ia melihat wajahku memucat dan sepasang mataku
membesar. Pelan-pelan terdengar Leliana bersungut :
"... Oom yang jahat, ya mama?"
Lantas ia mengembalikan anting-anting itu ke
dalam bungkusan kado, setelah mana menyibukkan
diri dengan kado yang lain. Demikian banyak boneka,
sehingga Leliana segera terlupa kepada anting-anting
dan Oom-nya yang baik tetapi jahat itu.
Tidak demikian halnya dengan mas Joko.
Setelah Leliana tertidur pulas malam itu seraya
memeluk boneka-bonekanya, barulah mas Joko
mengeluarkan unek-unek yang dari tadi menggelisah
kan dirinya. 187 "Paket itu tanpa nama pengirim ..." gumamnya,
lirih. "Anna menyebut si pengirim itu Oomnya yang...
Ah, Oom yang baik hati, mengapa harus kau katakan
jahat, Siska?" Aku merungkut di bawah selimut.
Tidak melihat jalan lari.
"la ia memang pernah menemuiku, Mas," aku
mengeluarkan pengakuan yang seolah telah lama
meracuni diriku, sehingga aku terbanting-banting
dalam penderitaan yang tiada berperi.
"Heem...," ia menarik nafas. Berat. "Mustapakah orangnya?"
Di mataku, tiba-tiba mas Joko berubah sebagai
papa, yang pernah mengajukan pertanyaan yang
sama. Dan seperti ketika papa menanyakannya, kali ini
juga aku tidak kuasa untuk mengelak. Leherku patahpatah lagi rasanya, ketika aku menganggukkan kepala.
Hanya bedanya, dulu aku berdiam diri karena
takut, kini aku berani membela diri, juga karena
perasaan takut: "Demi Tuhan, mas. membiarkan ia menjamah ..."
Aku

Istri Tidak Setia Karya Abdullah Harahap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tidak pernah 188 Mas Joko menekankan jari telunjuknya ke bibirku.
Lantas berkata: "Cukup, Siska. Aku percaya padamu."
*** 189 KANDUNGANKU telah berusia empat bulan ketika mas
Joko menerima kenaikan pangkat sekaligus
penempatannya di kepala bagian bidang ekonomi.
Upacara pelantikan yang disusul dengan upacara
timbang terima yang langsung dihadiri oleh Kadapol
berlangsung dari pagi sampai lewat tengah hari,
karena di samping suamiku juga dilantik beberapa
temannya yang lain. Pidato-pidato panjang benarbenar terasa sangat melelahkan sehingga jauh-jauh
sebelum upacara itu selesai, belakang kepalaku sudah
berdenyut-denyut dengan perutku mengalami
gangguan rutine. Perhatianku tidak lagi tertarik pada upacara
penting itu. Aku berkeringat dingin menahan sakit di
perutku, sampai-sampai tidak sempat mengomentari
ucapan isteri salah seorang teman suamiku yang juga
190 ikut dilantik. Padahal begitu seriusnya ia berkata, dan
begitu menggembirakan nada suaranya:
"Mbakyu beruntung. Suami ditempatkan di posisi yang basah."
mbakyu Aku tidak tahu apa yang ia maksud dengan
posisi basah itu. Yang kutahu hanyalah bahwa sekujur
tubuhku sudah basah oleh peluh, bahkan sebagian
kebayaku yang ketat membelit tubuh, sudah lekat
dengan kulit, dan melembab di sana sini oleh keringat.
Untunglah aku bisa bertahan sampai upacara itu
selesai. Tetapi begitu suamiku kembali menemaniku,
ia segera mengetahui bahwa aku sakit, dan segera
membawaku pulang. Di tengah jalan ia menyarankan
agar kami langsung ke dokter, tetapi aku menolak
dengan berkata bahwa yang kualami adalah gangguan
biasa yang dialami oleh perempuan-perempuan
lainnya yang sedang hamil.
Mas Joko menungguiku sampai malam jatuh.
Sehingga aku terpaksa menyehat-nyehatkan
diri dan mendesak agar ia tidak terlalu menggelisah
kan diriku. "Pergilah, mas. Teman-temanmu tentu me
nunggumu!" 191 la mula-mula bersikeras untuk tinggal
menemaniku. Tetapi aku berkata bahwa aku bisa
menjaga diri. "Baiklah," ia kemudian mengalah. "Sebenarnya,
tidak pantas kalau aku pergi ke pesta itu sendirian."
"Aku ingin menemanimu, mas. Tetapi ah, aku
tak ingin menyusahkan engkau dalam kegembiraan
merayakan keberhasilanmu dan teman-temanmu
nanti" Tak lama setelah ia berangkat, aku telah merasa
lebih sehat. Kukatakan hal itu ketika ia menelephone
sekitar jam delapan malam lewat beberapa menit, la
mengucapkan syukur dan bertanya apakah tidak lebih
baik aku dijemput untuk ikut menikmati suasana riang
gembira di wisma kepolisian, tempat pertemuan itu
dilangsungkan. Karena takut masuk angin aku
menolak, la kemudian menyerah, dan katanya ia
sangat kesepian tanpa kehadiranku di sampingnya,
serta bermaksud untuk pulang secepat mungkin,
meski aku bersikeras melarang.
Maka, ketika bel di pintu depan berbunyi,
dugaanku tentu mas Joko kembali lebih cepat dari
semestinya, meninggalkan pesta yang riang gembira
itu, demi aku dan jabang bayinya dalam kandunganku.
192 Setelah menjenguk sebentar ke kamar tidur sebelah
lewat pintu tembus, dan melihat Leliana tertidur
pulas, pintu kamar tembus itu kututup rapat, dan aku
bergegas ke ruang depan. Bel itu berbunyi lagi.
Dengan nada yang biasa dilakukan oleh suamiku.
Sekali panjang, dua kali pendek berturut-turut.
Teeeeeeet, teeeeteet! Seraya membayangkan betapa merasa
kesepiannya ia di tengah-tengah perayaan yang ramai
itu, aku membuka pintu dengan perasaan terharu dan
sudah merencanakan untuk memeluk dan memberi
kan hadiah ciuman panjang, dengan kuluman lidah
yang ia gemari. Aku sendiri tergetar oleh rencanaku
yang mempesona itu, dan barulah aku tersadar ketika
melihat siapa yang berdiri di depan ambang pintu,
tanpa melindungi dirinya dari jilatan lampu terras yang
terang benderang. "Hai," sapanya, lembut, tersenyum di bawah
kumisnya yang tebal. Cambangnya sedikit bergerak,
ditiup angin malam yang berhembus lebih keras dari
malam-malam sebelumnya. Untuk sedetik, aku terpana, kaget.
Pada detik berikutnya, semangatku yang
terbang kembali hinggap, dan bergegas aku mau
193 menutupkan pintu kembali dengan hempasan yang
keras. Tetapi ia menahan dengan kakinya, sehingga
pintu tetap terbuka dan ia menerobos masuk ke dalam
meskipun aku telah berusaha menahan. Setelah ia
berada di dalam, ia langsung menutupkan pintu. Aku
melompat mundur, ketakutan.
"Mau apa kau?" tanyaku, gugup. Dandanannya
lebih rapih kini, memperlihatkan ketampanan dan
kegagahannya yang dulu pernah membuatku lupa diri.
Ditambah cambang bauknya yang digunting secara
khas, sehingga ia tampak jauh dewasa, serta dengan
pandangan ata yang menampakkan kepercayaan akan
dirinya sendiri. "Sudah kukatakan, aku akan menemuimu suatu
ketika, Siska," ia berbisik, seraya tersenyum. "Tetapi
Salahkah, kalau aku tetap merindukanmu?"
Seketika, tubuhku bergidik. Darahku tersirap
melihat ia melangkah maju.
"Jangan dekati aku, Mustapa. Kalau tidak, aku
akan menjerit..." la menyeringai. "Aku tahu kau tak akan menjerit," ujarnya,
menantang. 194 Mulutku terbuka lebar. Namun sebelum jeritan
ku lepas, ia telah melompat ke depan. Dan suatu
gerakan yang terlatih ia telah berhasil meringkusku
dalam sebuah pelukan yang kuat, sementara sebelah
tangannya menutup rapat mulutku. Terkunci sama
sekali, bahkan hidungku ikut tertutup sehingga aku
hampir tidak bisa bernafas. Dengan mata terbelalak
ketakutan aku menatap kebuasan merajalela di
wajahnya. Dengan sekuat dayaku ia kulawan dengan
mencakar dan menendang, tetapi kemudian ia juga
mengunci lenganku di punggungku, sementara mulut
ku yang terbebas dari telapak tangannya telah ganti ia
kunci dengan mulutnya. Panas berapi-api, dengan lidah menyelusup
kian kemari. "Mhhh-mhhhh" aku terengah-engah.
Tetapi ia telah melakukannya. Melakukan apa
yang dulu pernah kulawan ketika pertama kali ia
mengambil kehormatan yang kuperjuangkan matimatian, namun dengan keahliannya sebagai seorang
lelaki, kupasrahkan dengan penuh penyerahan. Di
mataku ?tanpa bisa kuelakkan? terbayang saat-saat
kami bergumul di tepi air terjun, terbayang saat-saat
ketika ujung-ujung kakiku yang telanjang tersentak195
sentak menyepak-rerumputan berembun... yang basah Ketika Mustapa melepaskan ciumannya, aku
telah ia rebahkan di sofa ruang tengah, dengan
kimono yang sudah tidak karuan lagi letaknya. Kancing
kemejanya sudah ia lepas beberapa buah hingga bulubulu dadanya yang tebal dan menantang garang,
menyentuh kulit dadaku lembut lunak, sehingga
tubuhku bergetar oleh perasaan ganjil yang sama,
ketika pertama kali bulu-bulu dada itu menyentuh
kulit tubuhku lima tahun berselang.
Mustapa menyeringai. Seringai mesra, bercampur nafsu birahi. Aku
terengah-engah, dan merasa adanya dua tekanan
benda di tubuhku, yang berasal dari balik pakaian yang
masih melekat di tubuhnya. Salah satu benda itu
terletak di balik celananya, tekanan kelelakian. Itu
mungkin bisa kutolak, tetapi aku mencemaskan
tekanan benda lain yang tersembunyi di balik
pinggang kemejanya. Benda yang lebih keras, dingin
dan berbau maut. Suamiku pernah menyimpan benda
yang sama tiap kali ia pulang berlatih. Sebilah pisau
komando, yang punya arti lebih mengerikan
196 ketimbang benda lain yang mengancam kehormatan
ku sebagai seorang perempuan.
"Ternyata, kerinduanku tidak sia-sia bukan,
Siska?" ia mendengus, dan menatap tajam ke mataku
yang sudah nanar oleh peperangan bathin. Perang
yang terjadi antara hati kecilku yang menolak
kehadirannya, dan naluri keperempuanku yang
pernah mencintai dirinya. Selagi perang itu terus
bergolak, Mustapa melanjutkan dengan nada
kebanggaan seorang laki-laki :
"Telah lama aku menunggu saat-saat ini,
sayangku. Menunggu saat-saat di mana aku bisa
membuktikan, bahwa aku lebih mampu menguasaimu
dibanding dengan laki-laki lain. Termasuk yang
namanya Sujoko itu!"
Tangannya dengan liar menggerayangi tubuhku.
Mataku terpejam, tanpa aku tahu, mengapa
harus terpejam. "Aku sudah mengatakan padamu, Siska, bahwa
aku akan ...," ia tidak meneruskan ucapannya, la
kembali menekan tubuhku, menghimpitku dengan
keras, dan menciumi apa saja yang bisa dicapai oleh
mulutnya. Aku mengerang, merintih, menggapaigapai mencari pegangan, berusaha menolak dengan
197 segala daya. Aku hampir saja runtuh, kalau saja ia tidak
meraba perutku, tanpa sengaja. Rabaan tertegun, aku
bisa merasakannya, dan di antara kesadaranku yang
hampir hilang, aku dapat memaklumi mengapa rabaan
tangannya tertegun. Pada saat itulah, aku teringat
akan kandunganku. Teringat akan jabang bayi, yang
tercipta dari benih-benih kasih sayang suamiku.
"Ya Tuhan," aku mengeluh.
Tetapi ketertegunan Mustapa hanya sejenak.
Mendengar keluhanku, rabaan tangannya justru
menjadi liar, dan ciumannya semakin membabi buta.
Tetapi aku tidak lagi mau menyerah begitu ja.
Kandunganku memberi kekuatan gaib pada diriku
yang sudah lemah, dan menunjukkan jalan luar yang
penuh perhitungan pada akal sehatku yang hampir
lenyap. "Tunggu, Mustapa" bisikku di telinganya,
ketika ia akan merenggut putus sisa-sisa kancing
kimonoku. "Aku aku mendengar sesuatu ..."
la tertegun. "Apa?" tanyanya, dengan sikap waspada.
198 Kurasakan sebelah tangannya ditekapkan ke
pinggang, di tempat mana pisau komando-nya
tersimpan. "... rasanya dari belakang. Dekat dapur.
Mungkin mbok Enah terbangun" aku menahan
nafas. "Maukah kau melihatnya barang sebentar? Aku
tak akan ke mana-mana. Aku akan menunggumu di
sini," kuperlihatkan seulas senyuman birahi ?yang
ya Tuhan, semoga berhasil? "Cepatlah, sayangku.
Aku tak sabar menunggu lebih lama"
Ketika ia beranjak ragu-ragu ke ruang belakang,
aku lantas berdiri. Mas Joko tidak membawa senjata
karena ia dan teman-temannya ingin menjauhkan
segala sesuatu yang berbau tidak menyenangkan dari
pesta mereka. Senjata itu kini tersimpan dalam laci, di
kamar tidur. Kalau saja aku bisa mengambilnya ...
Tetapi langkah-langkah kaki Mustapa sudah terdengar
kembali dari arah dapur. Pikiranku bekerja dengan
cepat. Kubuka kotak mesin jahit yang terletak sangat
dekat dengan sofa, di mana aku selalu beristirahat
setelah lelah membuat pakaian bayi. Aku menemukan
gunting yang kucari, dan cepat menyimpannya di kaki
sebelah dalam sofa, di lantai yang terlindung oleh
kegelapan. 199 Lalu rebah kembali di sofa, dengan sebelah kaki
diangkat. "la hanya mimpi, tetapi sudah tidur lagi," rungut
Mustapa, dengan mata liar memandangiku setelah ia


Istri Tidak Setia Karya Abdullah Harahap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tegak di samping sofa. "Oh ya?" aku mendengus.
la menyeringai. Lalu duduk di pinggir sofa, mengelus wajah dan
leherku. Matanya berkedip sesaat. Dan aku merasa
takut dan tiba-tiba. Takut, aku tidak akan mampu
untuk melaksanakan rencana membela kehormatan
diriku dari kedurjanaannya. Barangkali, sebaiknya aku
mengulur waktu, sambil berharap mas Joko menepati
janjinya untuk pulang lebih cepat.
"Mus..." "Nggghm?" "Bagaimana kau tahu rumahku?"
"Untuk laki-laki yang jatuh cinta, alamat rumah
bukanlah persoalan yang sukar untuk dicari," Bibirnya
tersenyum, lalu membungkuk, dan mencium bibirku,
lebih lembut dari tadi. Rupanya, ia telah mulai
200 dirangsang oleh birahi, yang didorong perasaan kasih
sayang. "Lalu bunyi bel yang menipuku"
la menyeringai. "Oh, itu?" seringainya melebar. Matanya
bersinar bangga. "Aku menginginkan engkau. Aku
tahu suatu saat kau akan sadar bahwa aku mencintai
mu, dan aku akan membawamu pergi bersama
anakku, anak kita ...," matanya berubah tajam, ketika
melihat perubahan di wajahku. Kucoba tersenyum,
dan ia meneruskan: "Aku telah lama mengintai
kebiasaan suamimu. Kapan ia pergi, kapan ia pulang,
bagaimana caranya ia memijit bel ..."
"Oh. Luar biasa," aku mengeluh. Apalagi yang
telah ia rencanakan. Melarikan aku, dan Leliana ya
Tuhan! "Mus..." "Nghhmmm?" "Ciumlah aku lagi lebih mesra, lebih lembut ..."
Matanya bersinar-sinar, ia tidak saja memeluk,
tidak saja mencium, tetapi juga mulai melepaskan sisa
pakaian yang masih melekat di tubuhku.
201 Dan saat ia sibuk melakukan itulah, dengan gemetar
tanganku meraba-raba ke bawah sofa. Ketika
terpegang gunting itu, terasa dingin di telapak
tanganku yang berkeringat. Aku menjadi gugup
sesaat, dan ragu-ragu apakah aku akan melakukan
niatku semula, atau tidak. Namun, ketika ia kembali
menghimpitku, dan kehormatanku sudah berada
dalam genggamannya, kesadaranku muncul kembali.
Seraya menjerit tertahan, tanganku ke luar dari
bawah sofa. Kemudian kilauan gunting tampak diterpa
sinar lampu. Mataku silau karenanya, dan tanganku
yang gemetar tidak menemui sasaran yang tepat.
Gunting itu hanya menggores pipinya dan melukai
sedikit pundaknya. "Haram jadah!" ia tersentak berdiri, seraya
menyumpah serapah. Dengan pukulan yang keras, ia seolah
melumpuhkan pergelangan tanganku. Gunting itu
terjatuh membentur lantai, ribut dan berisik. Selagi
aku masih dilanda kesakitan, benda dingin dan tajam
telah menekan leherku, tepat di tenggorokan.
Ujungnya menekan kulit leherku, dan dengan panik
aku dicengkam ketakutan kalau pisau yang
mengerikan itu ia tekan lebih dalam. Dan matanya
202 nyata-nyata menunjukkan apa yang termaksud dalam
hatinya. "Perempuan hina. Pengkhianat cinta," makinya,
seraya menyeka darah yang melelehi pipi serta
pundaknya dengan sebelah tangan. "Kau akan
merasakan akibat dari perbuatanmu ini. Tetapi"
Ia menyeringai, buas. "Sebelumnya, aku akan
memberikan kenikmatan dunia padamu, kenikmatterakhir yang bisa kau cicipi, sebelum kau mati..."
Lumpuh oleh ketakutan dan keputusasaan, aku
hanya bisa terbelalak menerima kebejatan Mustapa.
Tidak lagi nafsuku untuk menjerit, apalagi untuk
melawan. Tetapi bayangan gunting di lantai, kembali
menggodaku. Tanganku yang letih dan sakit, berusaha
menggapainya, sampai tiba-tiba aku melihat sebuah
bayangan lain, dan... Dan tubuh besar dan berat Mustapa terangkat
dari atas tubuhku. Terdengar makian kemarahan, suara tinju
mengenai dagu dan kemudian tubuh Mustapa terbang
melewati sofa lalu terjun menghantam tembok.
Terdengar suara berderak yang samar-samar.
Mungkin tembok yang rekah, mungkin leher yang
patah. 203 Mustapa menggeliat sebentar.
la mencoba bangkit, tetapi hanya mampu untuk
duduk, dengan kepala yang lunglai ke dada.
Matanya menatap tajam ke jurusan mana mata
ku kemudian sama menatap. Mas Joko ketika itu telah
menyambar kimonoku dari lantai, menutupkannya ke
tubuhku. Tanpa mengenakan seadanya, aku bangkit
dari sofa, berlari memeluk dan menangis di dadanya.
Aku dapat merasakan betapa dada suamiku meledakledak di dalam, dan nafasnya menderu seperti badai.
Diantara isak tangisku, aku dengar suaranya yang
rendah dan tajam: "Aku bisa saja membunuhmu saat ini,
Mustapa," wahai, ia masih bicara seramah itu, setelah
apa yang ia saksikan! "Tetapi di kamar itu ...," mas Joko
menunjuk ke kamar Leliana. "Tidur nyenyak darah
dagingmu. Aku telah menganggapnya sebagai anakku
sendiri. Oleh karena itu, aku tidak ingin suatu ketika
kelak ...," mas Joko menarik nafas, letih dan susah. "...
aku harus berkata padanya, bahwa aku telah
membunuh ayah kandungnya!"
Mustapa mengerang, berusaha bangkit.
204 la mampu, tetapi tidak cukup kuat untuk berdiri
tanpa bertahan ke tembok. Lehernya kebiru-biruan,
dan dari sudut sudut mulutnya mengalir darah.
"Aku ...," ujarnya, terputus-putus.
"Pergilah," tukas suamiku. "Dengan damai,
kuharap demi anakmu, darah dagingmu yang selama
ini beranggapan, ayahnya adalah seorang laki-laki
terhormat yang sangat mengasihi dirinya!"
Mustapa menggigit bibirnya keras-keras.
Sempoyongan, ia berjalan ke pintu seraya
membetulkan letak pakaiannya yang sudah tidak
karuan. Di pintu, ia menoleh sebentar. Mulutnya
kumat-kamit mau mengucapkan sesuatu, tetapi
rupanya ia mengurungkan niatnya, la kemudian
berjalan ke luar, tanpa ingat menutupkan pintu di
belakangnya, kemudian lenyap ditelan kegelapan.
Angin malam yang dingin menerobos masuk ke dalam.
Aku menggigil. Dan mas Joko mengerang: "... semoga ia tidak kembali. Kalau tidak" mas
Joko memandangi kedua belah tangannya. "Tak
tahulah, apa yang harus kulakukan!"
205 "Mama?" Kami tersentak. Leliana berdiri di pintu kamarnya, menyekanyeka mata setengah mengantuk. Aku berlari
mendapatkan, memeluk dan menangisinya, sehingga
kantuk anak itu hilang, dan ia dengan takut berkata:
"Anna ngompol... lagi!"
Aku tersenyum. Kecut Kalau Leliana ngompol,
itu berarti ia telah bermimpi buruk. Entah apa yang ia
impikan, tetapi apa yang terjadi malam ini, mungkin
jauh lebih buruk dari impiannya. Mas Joko masih
tertegun di tempatnya berdiri, seraya menatap ke
pintu depan yang menganga, memandang jauh ke
dalam kepekatan malam ... Telapak tangannya tampak
bergetar. Dan aku sadar dengan tiba-tiba, telapak
tangannya itu tidak akan segan-segan untuk
melakukan sesuatu yang bisa mencelakakan dirinya,
demi aku dan anakku ... *** TELAPAK tangan suamiku itu kembali gemetar,
ketika lima tahun kemudian ia membaca sepucuk
surat yang baru tiba dari seberang.
206 "... anakku telah lahir, ia lucu sekali, yang aneh,
wajahnya mirip kau, mas Joko," demikian antara lain
Mustapa menulis dalam suratnya. "Mungkin karena
aku selalu mengingatmu, selama aku menikmati
kemesraan yang abadi dengan isteriku, puteri seorang
petani di desa ini ..."
Surat itu ia tutup dengan sebuah ajakan :
"Aku akan bahagia, kalau sesekali kalian mau
berkunjung!" Telapak tangan suamiku mengatup rapat. Tidak
lagi gemetar. Dan dari mulutnya, terdengar gumaman
lirih: "Kami akan datang, Mustapa. Kami akan datang...!"
TAMAT 207 ISTRI TIDAK SETIA ALICE bersimbah air mata ketika duduk di pelaminan
bersama suaminya, seorang dokter spesialis yang
lamarannya diterima Alice karena terpaksa. Di lain
tempat, Hendra kekasihnya menikah pula dengan
seorang gadis anak keluarga kaya; pernikahan yang
dilandasi sakit hati belaka.
Takdir menentukan, tiba-tiba mereka bertemu lagi
setelah sepuluh tahun waktu berlalu dalam
kegersangan, kesepian, ketidakbahagiaan. Apa yang
dahulu telah gagal mereka gapai, kini ingin mereka
raih kembali. Alice lupa diri. Lupa anak, Iupa suami.
Tetapi entah mengapa, justru cintanya kepada sang
suami mendadak baru timbul, setelah pengkhianatan
itu terjadi. Alice merasa sangat berdosa. Dan tiba-tiba pula ia
terpaksa harus memilih. Hendra yang pernah jadi
dambaan hidupnya, atau suami dan anaknya.
Sayangnya, ia telah membuka pintu yang salah.
Mundur tak bisa, maju ia tak berani.
Apakah seorang isteri yang tidak setia, masih berhak
memperoleh cinta kasih sejati?
208 PERNYATAAN File ini adalah sebuah hasil dari usaha untuk
melestarikan buku novel Indonesia yang sudah sulit
didapatkan di pasaran, dari kemusnahan. Karya
tersebut di scan untuk di-alih-media-kan menjadi file
digital. Ada proses editing dan layout ulang yang
membuat nomor halaman versi digital ini berbeda
dengan aslinya, hal ini dikarenakan hasil dari proses
scan kurang jelas terbaca.
Tidak ada usaha untuk meraih keuntungan finansial
dari karya yang dilestarikan ini.
Saya tidak bertanggung jawab atas tindakan
pihak lain yang menyalahgunakan file ini diluar dari
apa yang kami nyatakan pada paragraf diatas.
CREDIT Awie Dermawan Ozan D.A.S Kolektor E-Books 209 Budha Pedang Penyamun Terbang 2 Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja Godfather Terakhir 11
^