Pencarian

Jiwa Ksatria 8

Jiwa Ksatria Karya Liang Ie Shen Bagian 8


"Siapa yang berada di atas pohon? Lekas turun!"
Tiat Leng dapat dengar itu adalah suaranya orang lelaki, segera menyerang dengan jarumnya.
Sebentar kemudian nampak berkeredepnya sinar emas, entah dengan cara bagaimana orang itu menggunakan tangannya, segumpal jarum itu sudah melesat membalik ke arah Tiat Leng.
Untung kepandaian meringankan tubuh Tiat Leng dan Can Pek Sin hebat. Begitu melancarkan serangannya, badannya segera melesat ke atas dan melompat turun dari atas pohon, sehingga jarum itu menancap di atas pohon.
Orang berkerudung itu lalu berkata sambil tertawa terbahak-bahak:
"Aku kira Li Hong Chun mengundang orang yang berkepandaian tinggi bagaimana, tidak tahu nya hanya kau bocah yang masih bau air susu."
Belum lagi menutup mulutnya, Can Pek Sin sudah membalikkan badan di tengah udara, dengan menggunakan gerak tipu burung rajawali melayang dari udara, menukik turun menikam dengan pedangnya.
Orang itu nampaknya sangat terperanjat, ia berkata:
"Eh, dalam usia yang masih begini muda, ternyata sudah bisa menggunakan ilmu yang meniru gaya binatang terbang, sesungguhnya tidak kuduga. Can Goan Siu pernah apa dengan kau?"
Orang berkerudung itu meski mulutnya berbicara, tetapi tangannya mengeluarkan serangan yang diarahkan ke udara. Serangan Can Pek Sin oleh karenanya telah terhalang, sehingga ujung pedangnya sedikit miring dan luput mengenakan sasarannya.
Orang itu maju setindak, mendahului gerakan Can Pek Sin, hendak menyambar mata kaki sebelum Can Pek Sin menginjak tanah.
Perhitungannya ternyata sangat jitu, ia berdiri tepat di belakang punggung Can Pek Sin. Pada saat itu Can Pek Sin terpisah dengan tanah satu tombak lebih, di dalam posisi demikian sudah tentu sulit untuk jumpalitan lagi ke atas, untuk mengelakkan sambaran tangan musuhnya.
Untung ilmu meringankan tubuh Tiat Leng hebat sekali, meskipun bergerak belakangan, tetapi tiba lebih dulu. Selagi tangan orang itu hendak menyambar kaki Can Pek Sin, Tiat Leng sudah menggerakan gerak tipu burung gereja menerkam tonggeret, menikam belakang orang itu dengan ujung pedangnya.
Orang berkerudung itu ternyata hebat sekali kepandaian ilmu silatnya, begitu terdengar di belakang dirinya ada hembusan suara angin, sudah tahu kalau Tiat Leng hendak menikam jalan darah Thian-cu-hiat. Jalan darah itu adalah salah satu jalan darah kematian bagi manusia. Sekalipun orang berkerudung itu sudah melatih ilmu menutup jalan darah, juga tidak berani membiarkan dirinya ditikam.
Dalam keadaan demikian terpaksa ia menggeser sedikit kakinya dan mengebutkan lengan bajunya untuk menangkis pedang Tiat Leng, hingga lengan bajunya itu berlobang.
Ujung pedang Tiat Leng seperti menyentuh barang keras, hingga mental balik. Kalau ia tidak lekas tarik kembali serangannya, ujung pedang pasti akan melukai jidatnya.
Kedua pihak bergerak dengan cepat, baru saja orang berkerudung itu menangkis serangan Tiat Leng, kaki Can Pek Sin sudah menginjak tanah, ia lalu menggerakan pedangnya membabat pinggang orang itu.
Orang berkerudung itu sambil mengeluarkan bentakan: "Ilmu pedang bagus sekali!" mendadak sudah geser kakinya dan membalikkan badannya, jari tangan telunjuknya menyentil, tepat mengenakan ujung pedang Can Pek Sin, bersamaan dengan itu, lengan bajunya juga sudah berhasil menyingkirkan serangan Tiat Leng.
Pergelangan tangan Can Pek Sin dirasakan panas, ia terperanjat, dalam hatinya berpikir: Kepandaian orang ini nampaknya tidak di bawah Hoa lo-cianpwee.
Tetapi ia tidak takut, segera maju menyerang lagi.
Orang itu tidak berhasil mementalkan pedang Can Pek Sin, agaknya juga merasa heran. Ia berkata sambil tertawa:
"Kalian berdua bocah ini ternyata mempunyai kepandaian yang cukup berarti, aku sebetulnya tidak suka melayani orang-orang yang namanya belum terkenal. Tetapi malam ini berlaku kecualian, untuk memberi kesempatan bagi kalian mencoba-coba beberapa jurus.
Ucapan orang itu sangat sombong, tetapi kepandaiannya, memang juga tinggi sekali. Dengan sepasang tangan kosong, ia menghadapi dua pedang Can Pek Sin dan Tiat Leng. Hanya dalam waktu sepuluh jurus, sudah berhasil mendesak Can Pek Sin dan Tiat Leng sedemikian rupa, sehingga cuma bisa menangkis saja.
Tetapi ilmu pedang Can Pek Sin yang sangat ganas dan ilmu pedang Tiat Leng yang sangat aneh, semua merupakan ilmu pedang kelas wahid yang jarang tampak di dunia Kang-ouw, maka orang itu juga tidak berani pandang ringan.
Dengan ilmu Kim-kong-ciang orang itu mendesak Can Pek Sin, kemudian berkata kepada Tiat Leng sambil tertawa:
"Kau bocah perempuan ini murid siapa? Lekas kau terangkan, supaya jangan kesalahan tangan!"
"Kau perduli apa aku murid siapa? Kau hendak mencelakakan diri paman Li, maka aku hendak mengadu jiwa denganmu," jawabnya Tiat Leng.
"Meski kau tidak mau menerangkan, aku juga dapat menduga asal usulmu. Ilmu pedangmu ada beberapa jurus adalah ilmu pedang keluarga Toan yang dinamakan Hui-liong-kiam-hoat. Toan Kui Ciang cuma mempunyai seorang anak lelaki, tidak mempunyai anak perempuan. Yang lain hanya Tiat Mo Lek yang mengerti ilmu pedang Hui-liong-kiam-hoat itu. Maka kau pastilah anak perempuan Tiat Mo Lek."
Ia hanya mengenali ilmu pedang Hui-liong-kiam-hoat Tiat Leng, tetapi tidak dapat melihat ilmu pedang pelajaran Sin Cie Kow.
"Kalau benar mau apa? Kalau kau takut ayahku, kau harus lekas menyingkir dari sini!"
"Aku justru hendak memancing ayahmu datang kemari, untuk menguji kepandaiannya. Baiklah karena kau adalah anak Tiat Mo Lek, aku boleh ambil kau menjadi murid. Setelah kau angkat aku menjadi guru, kau nanti bisa tahu sendiri bahwa kepandaianku lebih tinggi dari pada kepandaian ayahmu!"
"Omong kosong! Jangan kata kepandaianmu yang pasti tidak akan memenangkan ayahku, taruh kata menang kau mau apa? Sekalipun orang-orang kuat dalam rimba persilatan sudah mati semua, aku juga tidak sudi angkat kau satu iblis golongan sesat sebagai guru."
Orang itu tertawa terbahak-bahak, kemudian ia berkata:
"Ayahmu adalah kepala berandal, dengan aku sebetulnya juga hampir sama. Ada orang mengatakan bahwa dia adalah satu pendekar, tetapi juga ada yang mengatakan ia satu iblis. Perbedaannya antara yang baik dan yang jahat memang sangat sulit.
"Harus ditilik siapakah orangnya yang mengatakan dia ?iblis?, orang jahat semacammu ini sudah tentu bisa mengatakan ayahku sebagai iblis."
"Dalam usia yang begini muda, kau ternyata pandai bicara! Kau begini keras kepala apakah kau tidak takut mati?"
"Kalau takut mati kita tidak akan menemui kau di sini. Lihat pedang!"
Can Pek Sin yang sudah mundur, maju lagi, dua anak muda itu semua sudah bertekad hendak menempur musuh jahat itu.
Orang berkerudung itu karena merasa malu hingga menjadi marah, ia berkata sambil tertawa dingin
"Baik kau tak suka menjadi muridku, aku justru menghendaki itu."
Kedua tangannya digunakan untuk melayani dua orang itu. Ia melayani Can Pek Sin dengan menggunakan ilmu kim-kong-ciang yang mengandung kekerasan dan menghadapi Tiat Leng menggunakan ilmu untuk menangkap musuh dalam keadaan hidup-hidup dengan gerak tipu yang sangat aneh.
Untung karena ia ingin menangkap hidup Tiat Leng, maka Tiat Leng dapat menghindarkan serangannya hingga sepuluh jurus dengan mengandalkan ilmu meringankan tubuhnya yang gesit dan lincah.
Tetapi kepandaian orang berkerudung itu sesungguhnya masih terlalu tinggi buat dua orang itu. Begitu sang waktu berjalan lebih lama, dua anak muda itu nampak semakin sulit dalam perlawanannya.
Selagi Tiat Leng dalam keadaan berbahaya, pintu depan rumah keluarga Li telah terbuka, dari dalam berjalan keluar dua orang perempuan pertengahan umur. Seorang di antaranya Tok-kow Ing, yang lain adalah perempuan yang baru datang itu tadi. Tok-kow Ing segera berkata:
"Kalian berdua mundur, biarlah aku yang menghadapi mereka!"
Sudah tentu Tiat Leng tidak mau mundur. Orang berkerudung itu juga tidak memberi kesempatan baginya untuk meloloskan diri. Namun demikian untuk sementara ia tidak menurunkan tangan kejam, ia hanya membendung diri dua anak muda itu dengan serangan tangannya yang hebat.
Orang berkerudung itu yakin benar dapat menundukan kedua lawannya, maka dengan sikap tenang-tenang ia berkata:
"Nyonya Li, apakah kau hendak mewakili suamimu untuk melawan aku? Sudah kukatakan lebih dahulu maka sekarang tidak perlu banyak bicara lagi. Jikalau kau suka menyerahkan harta kekayaan itu, aku nanti memberimu obat pemunah untuk menolong jiwa suamimu."
"Harta kekayaan tidak ada, kalau kau ingin jiwa di sini ada dua! Tetapi kau hanya boleh membunuh kita suami istri berdua saja, tidak boleh mengganggu dua anak ini," demikian Tok-kow Ing berkata.
"Ini ada dua buah perkara, tidak boleh dirangkaikan menjadi satu. Kau tidak usah khawatir, aku tidak akan membunuh bocah perempuan ini, bahkan aku hendak mengambilnya sebagai murid."
"Kalau kau tidak mau menyerahkan harta kekayaan itu, aku akan mengambil jiwamu lebih dulu."
08.45. Kelihayan Manusia Berkerudung
Can Pek Sin yang mendengarkan cerita itu bulu romanya kembali berdiri, dalam hatinya berpikir: Perbuatan iblis itu sungguh kejam.
Karena tidak dapat mengendalikan hawa amarahnya maka lalu berkata:
"Kurang ajar, ini benar benar terlalu menghina. Sekalipun kita harus korbankan jiwa, juga perlu melayani perbuatannya."
Li Hong Chun segera duduk dan berkata:
"Jangan, kalian harus pergi sebelum jam satu malam."
Tok-kow Ing berkata: "Ya, kita sudah bertekad hendak mengadu jiwa dengan iblis itu. Kalau kalian turut menjadi korban, belum tentu ada faedahnya, sebaliknya tidak ada orang yang akan menyampaikan kabar kematian kita."
Li Hong Chun lalu berkata pula:
"Kepandaian iblis itu sesungguhnya memang tinggi sekali. Menurut penilaianku, untuk dewasa ini, barangkali hanya ayah Tiat Leng saja yang bisa menandingi. Justru karena takut iblis itu melakukan pembunuhan terhadap orang yang tidak berdosa, maka aku bubarkan semua orang-orangku.
"Bagaimana aku sekarang mengijinkan kalian terbawa-bawa? Aku cuma minta supaya nona Tiat sampaikan kabar kematian kita ini kepada Tiat cecu, minta kepadanya supaya suka menyelidiki siapa adanya iblis itu, lalu memberitahukan kepada adik menantuku, aku sudah merasa sangat bersyukur. Aku juga tidak berani minta Tiat cecu menuntut balas."
Can Pek Sin masih ingin berbicara, tetapi Tiat Leng diam-diam memberi isyarat dengan matanya, gadis itu lalu berkata:
"Kalan begitu semoga paman dan bibi dilindungi Tuhan, sehingga ada orang yang datang menolong. Sekarang kita meminta diri."
Tok-kow Ing mengantar mereka sampai di luar pintu, setelah menyaksikan mereka sudah naik di atas kudanya baru menutup pintu lagi.
Tiba di batas desa, Can Pek Sin menghentikan kudanya dan berkata,
"Adik Leng, aku tidak dapat membiarkan orang mati konyol tanpa memberi pertolongan. Sebaiknya kau pulang mengabarkan kepada ayahmu, dan aku hendak pergi memberi pertolongan kepada mereka suami isteri."
"Kalau mau pergi sudah tentu kita harus pergi bersama. Iblis itu meskipun lihai, tetapi dengan bergandengan tangan kita belum tentu tidak sanggup menghadapinya, ditambah lagi dengan bibi Ing, mungkin dapat memukul mundur iblis itu.
Can Pek Sin berpikir sejenak lalu berkata:
"Biar bagaimana lebih baik ada salah seorang yang tinggal."
Tiat Leng pura-pura marah dan berkata:
"Apa hanya kau seorang yang boleh menjadi orang gagah? Can Toako kau jangan takut kita berdua bergandengan tangan, aku yakin lebih menang dari pada Li Hong Chun, belum tentu kita pasti binasa."
Karena Tiat Leng berkeras hendak mengawaninya, Can Pek Sin tidak berdaya, maka terpaksa balik bersama-sama. Kuda tunggangan mereka dilepas di tempat pegunungan, lalu balik ke rumah keluarga Li, secara diam-diam mereka naik ke atas pohon besar untuk sembunyikan diri.
?Y? Ketujuhbelas Malam itu, cuaca gelap. Can Pek Sin dan Tiat Leng yang sembunyi di atas pohon, entah berapa lama, masih belum melihat bayangan seorang pun juga. Selagi dalam keadaan cemas, Can Pek Sin yang bermata jeli, tiba-tiba dapat melihat di tempat yang sangat jauh ada setitik hitam. Ia lalu berkata dengan suara perlahan:
"Sudah datang! Lekas siap!"
Perasaan Tiat Leng menjadi tegang, dalam tangannya menggenggam segumpal jarum Bwee-hoa-ciam, ia tunggu kalau bayangan orang itu sudah dekat, segera akan diserang kedua matanya dengan jarum itu. Sekalipun tidak akan buta, tetapi juga cukup untuk membuat kuncup hatinya.
Titik hitam itu semakin besar, dalam waktu sekejap mata saja, sudah tampak dengan tegas bayangannya seseorang.
Dalam hati Can Pek Sin berpikir: Kepandaian ilmu meringankan tubuh orang ini bagus sekali, nampaknya masih di atas adik Leng. Apabila tidak mujur aku nanti harus kalah dari tangan musuh kuat itu, mungkin sulit meloloskan diri.
Can Pek Sin berpikir demikian bukan karena takut, melainkan memikirkan keselamatan diri Tiat Leng. Ia harap apabila keadaan terpaksa, Tiat Leng bisa kabur dengan mengandalkan ilmu meringankan tubuhnya dengan seorang diri.
Belum lenyap pikirannya, bayangan hitam itu sudah mendekat, Tiat Leng tiba-tiba berkata dengan suara perlahan:
"Eh, salah, mengapa seorang wanita!"
Pohon besar itu meski daunnya jarang, tetapi karena cuaca gelap, maka dua anak muda yang bersembunyi di atas pohon itu tak mudah dilihat orang.
Kedatangan bayangan wanita itu agaknya sangat tergesa-gesa untuk menjumpai orang di dalam rumah, meski sudah berada di depan pintu, ia belum menghentikan kakinya. Segera melompati dinding tembok dan masuk ke dalam rumah.
Karena orang yang datang itu bukan si Iblis besar musuhnya Tok-kow Ing, maka jarum dalam genggaman tangan Tiat Leng tak jadi digunakan.
Can Pek Sin yang menyaksikan gerakan bayangan wanita itu melompati dinding tembok harus dibantu dengan sebelah tangannya yang menekan tembok, ia sudah tahu bahwa ilmu meringankan tubuh wanita itu cukup sempurna, tetapi tenaganya agak kurang. Maka dalam hatinya segera berpikir: Andaikata orang itu merupakan musuhnya keluarga Li, rasanya bibi Tok-kow Ing masih dapat melayaninya.
Tiat Leng sementara itu berkata sambil berbisik-bisik di telinga Can Pek Sin:
"Heran, kepandaian meringankan tubuh wanita itu sama benar dengan kepandaian yang suhu berikan kepadaku! Aku sedang curiga, apakah wanita itu adalah suciku yang belum pernah ku lihat itu?"
Suhu Tiat Leng sebetulnya mempunyai tiga orang murid. Murid kedua Su Tiauw Ing sudah meninggal dunia, Tiat Leng adalah muridnya yang terakhir, masih ada muridnya yang pertama Liong Seng Hiang, sudah menikah dengan Bok Khong, usianya jauh lebih tua dari pada usia Tiat Leng.
Tentang diri toa-suci ini, Tiat Leng belum pernah melihatnya. Karena ia takut kesalahan mata, maka tidak berani menegur sembarangan.
"Kukira sekarang, sudah liwat jam satu malam, entah jam berapa iblis itu akan datang?
"Sebaiknya kau masuk lihat dulu, apakah ia adalah sucimu atau bukan?" berkata Can Pek Sin.
"Itu tidak baik, apabila kalau paman Li tahu kita belum pergi, ia nanti akan mengusir kita lagi."
"Sucimu pasti lebih banyak pengetahuannya. Kalau kau sudah mengenalnya, kita boleh menghadapi musuh bersama-sama."
Tiat Leng memang sudah lama ingin berjumpa dengan sucinya yang belum pernah dilihatnya itu, tetapi ia takut diusir oleh Li Hong Chun, maka masih merasa sangsi.
Pada saat itu, tiba-tiba terdengar suara siulan panjang. Sebelum suara itu lenyap, seorang berkerudung sudah berada di bawah pohon, kecepatan bergerak orang itu jauh lebih hebat daripada perempuan itu tadi.
Tiat Leng khawatir kesalahan menyerang orang yang tidak berdosa, selagi hendak menegasi urang itu lelaki atau perempuan. orang yang sudah berada di bawah pohon tiba-tiba mendongakkan kepala sambil membentak:
"Siapa yang berada di atas pohon? Lekas turun!"
Tiat Leng dapat dengar itu adalah suaranya orang lelaki, segera menyerang dengan jarumnya.
Sebentar kemudian nampak berkeredepnya sinar emas, entah dengan cara bagaimana orang itu menggunakan tangannya, segumpal jarum itu sudah melesat membalik ke arah Tiat Leng.
Untung kepandaian meringankan tubuh Tiat Leng dan Can Pek Sin hebat. Begitu melancarkan serangannya, badannya segera melesat ke atas dan melompat turun dari atas pohon, sehingga jarum itu menancap di atas pohon.
Orang berkerudung itu lalu berkata sambil tertawa terbahak-bahak:
"Aku kira Li Hong Chun mengundang orang yang berkepandaian tinggi bagaimana, tidak tahu nya hanya kau bocah yang masih bau air susu."
Belum lagi menutup mulutnya, Can Pek Sin sudah membalikkan badan di tengah udara, dengan menggunakan gerak tipu burung rajawali melayang dari udara, menukik turun menikam dengan pedangnya.
Orang itu nampaknya sangat terperanjat, ia berkata:
"Eh, dalam usia yang masih begini muda, ternyata sudah bisa menggunakan ilmu yang meniru gaya binatang terbang, sesungguhnya tidak kuduga. Can Goan Siu pernah apa dengan kau?"
Orang berkerudung itu meski mulutnya berbicara, tetapi tangannya mengeluarkan serangan yang diarahkan ke udara. Serangan Can Pek Sin oleh karenanya telah terhalang, sehingga ujung pedangnya sedikit miring dan luput mengenakan sasarannya.
Orang itu maju setindak, mendahului gerakan Can Pek Sin, hendak menyambar mata kaki sebelum Can Pek Sin menginjak tanah.
Perhitungannya ternyata sangat jitu, ia berdiri tepat di belakang punggung Can Pek Sin. Pada saat itu Can Pek Sin terpisah dengan tanah satu tombak lebih, di dalam posisi demikian sudah tentu sulit untuk jumpalitan lagi ke atas, untuk mengelakkan sambaran tangan musuhnya.
Untung ilmu meringankan tubuh Tiat Leng hebat sekali, meskipun bergerak belakangan, tetapi tiba lebih dulu. Selagi tangan orang itu hendak menyambar kaki Can Pek Sin, Tiat Leng sudah menggerakan gerak tipu burung gereja menerkam tonggeret, menikam belakang orang itu dengan ujung pedangnya.
Orang berkerudung itu ternyata hebat sekali kepandaian ilmu silatnya, begitu terdengar di belakang dirinya ada hembusan suara angin, sudah tahu kalau Tiat Leng hendak menikam jalan darah Thian-cu-hiat. Jalan darah itu adalah salah satu jalan darah kematian bagi manusia. Sekalipun orang berkerudung itu sudah melatih ilmu menutup jalan darah, juga tidak berani membiarkan dirinya ditikam.
Dalam keadaan demikian terpaksa ia menggeser sedikit kakinya dan mengebutkan lengan bajunya untuk menangkis pedang Tiat Leng, hingga lengan bajunya itu berlobang.
Ujung pedang Tiat Leng seperti menyentuh barang keras, hingga mental balik. Kalau ia tidak lekas tarik kembali serangannya, ujung pedang pasti akan melukai jidatnya.
Kedua pihak bergerak dengan cepat, baru saja orang berkerudung itu menangkis serangan Tiat Leng, kaki Can Pek Sin sudah menginjak tanah, ia lalu menggerakan pedangnya membabat pinggang orang itu.
Orang berkerudung itu sambil mengeluarkan bentakan: "Ilmu pedang bagus sekali!" mendadak sudah geser kakinya dan membalikkan badannya, jari tangan telunjuknya menyentil, tepat mengenakan ujung pedang Can Pek Sin, bersamaan dengan itu, lengan bajunya juga sudah berhasil menyingkirkan serangan Tiat Leng.
Pergelangan tangan Can Pek Sin dirasakan panas, ia terperanjat, dalam hatinya berpikir: Kepandaian orang ini nampaknya tidak di bawah Hoa lo-cianpwee.
Tetapi ia tidak takut, segera maju menyerang lagi.
Orang itu tidak berhasil mementalkan pedang Can Pek Sin, agaknya juga merasa heran. Ia berkata sambil tertawa:
"Kalian berdua bocah ini ternyata mempunyai kepandaian yang cukup berarti, aku sebetulnya tidak suka melayani orang-orang yang namanya belum terkenal. Tetapi malam ini berlaku kecualian, untuk memberi kesempatan bagi kalian mencoba-coba beberapa jurus.
Ucapan orang itu sangat sombong, tetapi kepandaiannya, memang juga tinggi sekali. Dengan sepasang tangan kosong, ia menghadapi dua pedang Can Pek Sin dan Tiat Leng. Hanya dalam waktu sepuluh jurus, sudah berhasil mendesak Can Pek Sin dan Tiat Leng sedemikian rupa, sehingga cuma bisa menangkis saja.
Tetapi ilmu pedang Can Pek Sin yang sangat ganas dan ilmu pedang Tiat Leng yang sangat aneh, semua merupakan ilmu pedang kelas wahid yang jarang tampak di dunia Kang-ouw, maka orang itu juga tidak berani pandang ringan.
Dengan ilmu Kim-kong-ciang orang itu mendesak Can Pek Sin, kemudian berkata kepada Tiat Leng sambil tertawa:
"Kau bocah perempuan ini murid siapa? Lekas kau terangkan, supaya jangan kesalahan tangan!"
"Kau perduli apa aku murid siapa? Kau hendak mencelakakan diri paman Li, maka aku hendak mengadu jiwa denganmu," jawabnya Tiat Leng.
"Meski kau tidak mau menerangkan, aku juga dapat menduga asal usulmu. Ilmu pedangmu ada beberapa jurus adalah ilmu pedang keluarga Toan yang dinamakan Hui-liong-kiam-hoat. Toan Kui Ciang cuma mempunyai seorang anak lelaki, tidak mempunyai anak perempuan. Yang lain hanya Tiat Mo Lek yang mengerti ilmu pedang Hui-liong-kiam-hoat itu. Maka kau pastilah anak perempuan Tiat Mo Lek."
Ia hanya mengenali ilmu pedang Hui-liong-kiam-hoat Tiat Leng, tetapi tidak dapat melihat ilmu pedang pelajaran Sin Cie Kow.
"Kalau benar mau apa? Kalau kau takut ayahku, kau harus lekas menyingkir dari sini!"
"Aku justru hendak memancing ayahmu datang kemari, untuk menguji kepandaiannya. Baiklah karena kau adalah anak Tiat Mo Lek, aku boleh ambil kau menjadi murid. Setelah kau angkat aku menjadi guru, kau nanti bisa tahu sendiri bahwa kepandaianku lebih tinggi dari pada kepandaian ayahmu!"
"Omong kosong! Jangan kata kepandaianmu yang pasti tidak akan memenangkan ayahku, taruh kata menang kau mau apa? Sekalipun orang-orang kuat dalam rimba persilatan sudah mati semua, aku juga tidak sudi angkat kau satu iblis golongan sesat sebagai guru."
Orang itu tertawa terbahak-bahak, kemudian ia berkata:
"Ayahmu adalah kepala berandal, dengan aku sebetulnya juga hampir sama. Ada orang mengatakan bahwa dia adalah satu pendekar, tetapi juga ada yang mengatakan ia satu iblis. Perbedaannya antara yang baik dan yang jahat memang sangat sulit.
"Harus ditilik siapakah orangnya yang mengatakan dia ?iblis?, orang jahat semacammu ini sudah tentu bisa mengatakan ayahku sebagai iblis."
"Dalam usia yang begini muda, kau ternyata pandai bicara! Kau begini keras kepala apakah kau tidak takut mati?"
"Kalau takut mati kita tidak akan menemui kau di sini. Lihat pedang!"
Can Pek Sin yang sudah mundur, maju lagi, dua anak muda itu semua sudah bertekad hendak menempur musuh jahat itu.
Orang berkerudung itu karena merasa malu hingga menjadi marah, ia berkata sambil tertawa dingin
"Baik kau tak suka menjadi muridku, aku justru menghendaki itu."
Kedua tangannya digunakan untuk melayani dua orang itu. Ia melayani Can Pek Sin dengan menggunakan ilmu kim-kong-ciang yang mengandung kekerasan dan menghadapi Tiat Leng menggunakan ilmu untuk menangkap musuh dalam keadaan hidup-hidup dengan gerak tipu yang sangat aneh.
Untung karena ia ingin menangkap hidup Tiat Leng, maka Tiat Leng dapat menghindarkan serangannya hingga sepuluh jurus dengan mengandalkan ilmu meringankan tubuhnya yang gesit dan lincah.
Tetapi kepandaian orang berkerudung itu sesungguhnya masih terlalu tinggi buat dua orang itu. Begitu sang waktu berjalan lebih lama, dua anak muda itu nampak semakin sulit dalam perlawanannya.
Selagi Tiat Leng dalam keadaan berbahaya, pintu depan rumah keluarga Li telah terbuka, dari dalam berjalan keluar dua orang perempuan pertengahan umur. Seorang di antaranya Tok-kow Ing, yang lain adalah perempuan yang baru datang itu tadi. Tok-kow Ing segera berkata:
"Kalian berdua mundur, biarlah aku yang menghadapi mereka!"
Sudah tentu Tiat Leng tidak mau mundur. Orang berkerudung itu juga tidak memberi kesempatan baginya untuk meloloskan diri. Namun demikian untuk sementara ia tidak menurunkan tangan kejam, ia hanya membendung diri dua anak muda itu dengan serangan tangannya yang hebat.
Orang berkerudung itu yakin benar dapat menundukan kedua lawannya, maka dengan sikap tenang-tenang ia berkata:
"Nyonya Li, apakah kau hendak mewakili suamimu untuk melawan aku? Sudah kukatakan lebih dahulu maka sekarang tidak perlu banyak bicara lagi. Jikalau kau suka menyerahkan harta kekayaan itu, aku nanti memberimu obat pemunah untuk menolong jiwa suamimu."
"Harta kekayaan tidak ada, kalau kau ingin jiwa di sini ada dua! Tetapi kau hanya boleh membunuh kita suami istri berdua saja, tidak boleh mengganggu dua anak ini," demikian Tok-kow Ing berkata.
"Ini ada dua buah perkara, tidak boleh dirangkaikan menjadi satu. Kau tidak usah khawatir, aku tidak akan membunuh bocah perempuan ini, bahkan aku hendak mengambilnya sebagai murid."
"Kalau kau tidak mau menyerahkan harta kekayaan itu, aku akan mengambil jiwamu lebih dulu."
08.46. Berani Mengganggu Muridku?
Dengan secara nekad, Tok-kow Ing menikam dengan pedangnya. Orang berkerudung itu tertawa bergelak-gelak, dengan telapakan tangannya digunakan sebagai golok untuk menyerang lawannya.
Serangan Tok-kow Ing ternyata mengenakan tempat kosong, sebaliknya kepalanya dirasakan dingin, telapakan tangan orang itu sudah membabat di atas kepalanya, hingga rambutnya sebahagian besar terpapas kelimis, sehingga Tok-kow Ing sesaat itu seperti menjadi pendeta perempuan.
Ini hanya merupakan suatu peringatan buat Tok-kow Ing, karena orang berkerudung itu maksudnya hanya hendak mendapatkan harta kekayaan, maka belum mau mengambil jiwanya.
Di antara tiga orang itu, adalah Can Pek Sin yang berkepandaian paling tinggi. Ketika melihat gelagat tidak baik, buru-buru melakukan serangan dari samping untuk menyingkirkan bahaya yang mengancam Tok-kow Ing. Tetapi karena perbuatan itu, telah kehilangan kesempatan untuk bekerja sama dengan Tiat Leng, bahkan memberikan kesempatan bagi orang berkerudung itu untuk menyerang satu persatu.
Orang berkerudung itu tiba-tiba menggeser kakinya, kembali berada dihadapan Tiat Leng, yang menggunakan ilmu menangkap lawan. menyambar tulang Pi-pe-kut di pundak Tiat Leng.
Perempuan yang keluar bersama Tok-kow Ing tiba-tiba berseru:
"Jangan ganggu Sumoyku!"
Suara itu datang dengan diikuti orangnya, yang menggerakkan pedang dan dengan kecepatan bagaikan kilat sekali gus menyerang bagian atas tengah dan bawah orang berkerudung itu.
Orang berkerudung itu meski tidak mengerti, tetapi juga tidak boleh tidak menggunakan waktu untuk menyingkirkan diri dari serangan hebat itu. Sebentar terdengar tiga kali suara "trang, trang, trang," perempuan berbaju hitam itu mundur tiga langkah, tetapi dengan demikian Tiat Leng sudah terlepas dari bahaya.
Perempuan berbaju hitam menarik napas lega lalu berkata:
"Apakah kau Tiat Leng sumoy? Aku adalah Liong Seng Hiang. Aku adalah sucimu!"
Kiranya Liong Seng Hiang telah dapat mengenali ilmu pedang yang dimainkan oleh Tiat Leng justru ilmu pedang perguruannya, maka dengan sangat nekad ia memberikan pertolongannya.
Usia Liong Seng Hiang jauh lebih tua dari pada usia Tiat Leng, ilmu pedang yang digunakan meskipun bersamaan tetapi daya kekuatannya jauh berbeda. Tok-kow Ing yang agak lemah, tetapi juga bukan orang sembarangan. Tadi ia telah dipapas rambutnya oleh orang berkerudung, sudah tentu karena kepandaian orang itu terlalu tinggi, tetapi sebab yang lain ialah karena hati dan pikiran Tok-kow Ing kurang tenang, maka tidak dapat menyambut serangan aneh dan secara tiba-tiba yang dilancarkan oleh orang itu.
Kini setelah bergandengan tangan dengan Liong Seng Hiang, Can Pek Sin dan Tiat Leng, keadaannya jauh berbeda. Walaupun kepandaian orang berkerudung itu masih jauh lebih tinggi daripada kepandaian setiap orang di antara mereka. tetapi mereka berempat bergandengan tangan ini berarti bahwa orang itu harus menghadapi musuhnya dari empat penjuru, hingga tidak mudah untuk melukai satu di antaranya.
Tok-kow Ing semula sangat mengkhawatirkan Tiat Leng, gadis cilik itu pikirannya tidak mengukur kekuatan sendiri, sehingga terluka di tangan musuhnya. Tetapi setelah bertempur secara bergandengan tangan cukup lama ia telah dapat kenyataan, meskipun usia dua anak itu masih terlalu muda tetapi kepandaiannya agaknya masih lebih tinggi dari pada kepandaiannya sendiri, hingga diam-diam merasa malu sendiri.
Hilang rasa khawatir, semangat Tok-kow Ing segera terbangun kembali. Empat orang itu, ternyata bisa bekerja sama baik sekali sehingga hampir dapat mengimbangi musuhnya.
Meskipun orang berkerudung itu hanya menggunakan sepasang tangan kosong untuk menghadapi empat bilah pedang tetapi masih nampak sedikit lebih unggul. Namun demikian karena ia harus menggunakan banyak kekuatan tenaga dalam maka tenaganya dihamburkan juga lebih banyak dari empat lawannya. Meski kekuatan tenaga dalamnya sudah sempurna, tetapi lama kelamaan, pasti akan terdesak.
Tok-kow Ing sebagai orang yang sudah banyak pengalaman, segera dapat lihat tanda-tanda itu maka harapannya semakin bertambah.
Selagi harapan Tok-kow Ing semakin bertambah, tidak diduga suaminya mendadak keluar dari dalam.
Li Hong Chun yang terluka oleh ilmu Hu-kut-ciang, apabila tidak ada obat pemunahnya, sepuluh hari kemudian, daging dan tulang-tulangnya perlahan-lahan mulai membusuk dan akhirnya binasa. Luka demikian itu meskipun hebat, tetapi jalannya sangat perlahan. Li Hong Chun yang baru tiga hari terkena serangan itu, hingga masih mempunyai cukup tenaga.
Seperti juga isterinya, Li Hong Chun yang masih belum tahu kepandaian Can Pek Sin dan Tiat Leng, khawatir akan terbawa-bawa binasa di tangan musuhnya, maka ia segera keluar untuk memberi bantuan. Sebagai seorang gagah, ia sebetulnya sudah bertekad bulat malam ini untuk mengadu jiwa dengan musuhnya.
Tok-kow Ing yang mengkhawatirkan kesehatan suaminya, ketika melihat suaminya keluar, karena perasaan terkejut dan khawatir, hingga membuat kalut gerakannya, ia buru-buru berseru:
"Engko Hong, kita sudah dapat menghadapi musuh ini, kau lekas balik!"
Li Hong Chun yang sudah keluar sudah tentu tidak mau masuk lagi, apalagi saat itu ia dapat lihat orang berkerudung itu sedang berada di atas angin. Tok-kow Ing berempat masih belum terlihat dapat mengimbangi kekuatan musuhnya. Ia baru saja keluar, belum dapat melihat kesanggupan mereka menghadapi musuh yang tangguh itu, hanya mengira si isteri itu semata-mata hendak menipu dirinya supaya ia masuk ke rumah.
"Isteriku, bukankah kita sudah berjanji akan sehidup semati! Biar bagaimana kita juga harus bersama-sama menghadapi musuh kita!"
Sehabis berkata itu segera mementang busurnya:, sebatang anak panah melesat keluar ke arah orang berkerudung.
Li Hong Chun mendapat nama julukan pemanah sakti, kepandaian ilmu silat lainnya tidak demikian tinggi, tetapi kepandaiannya memanah hebat sekali. Panahnya itu ditujukan ke arah tenggorokan musuhnya, arah itu nampaknya sangat jitu.
Orang berkerudung itu sebetulnya dapat menolak anak panah itu dengan kekuatan tenaga tangannya, tetapi di bawah serangan empat pedang jikalau ia gunakan salah satu tangannya untuk menyambut anak panah, sudah tentu ia akan terluka oleh ujung pedang. Keadaan serupa itu berarti suatu ancaman sangat besar bagi orang berkerudung itu.
Sementara itu anak panah itu sudah berada di hadapannya. Dalam keadaan demikian orang berkerudung itu segera timbul akalnya. Sekonyong-konyong ia mementang mulutnya untuk menyambut anak panah itu yang kemudian digigit oleh giginya.
Setelah itu disemburkannya kembali seraya berkata sambil tertawa dingin:
"Kepandaian yang tidak berarti, kau juga ingin juga pertunjukan. Kiranya kau sudah bosan hidup!"
Anak panah yang berbentuk pendek itu segera meluncur keluar bagaikan disambitkan oleh kekuatan tangan dan tepat berbenturan dengan anak panah kedua yang dilepaskan oleh Li Hong Chun, hingga kedua batang anak panah melayang balik.
Li Hong Chun sebetulnya masih hendak melepaskan anak panah yang ketiga, tetapi baru melepaskan dua anak panah, sudah kehabisan tenaga, sebelum anak panah yang ketiga itu melesat keluar sudah kesambar oleh dua batang anak panah yang melayang balik, sehingga jatuh roboh di tanah. Masih untung anak panah itu tadi, saling bentur di tengah jalan, sehingga kekuatannya jauh lebih kurang, dengan kekuatan semburan dari mulut orang itu tidak menimbulkan luka berat bagi Li Hong Chun.
Tok-kow Ing yang sudah khawatirkan suaminya ketika mendengar suara jatuhnya sang suami, ilmu pedangnya semakin kalut.
Orang berkerudung itu sesungguhnya hebat, begitu melihat ada kesempatan baik, segera digunakan sebaik-baiknya, sambil berseru: "Lepas tangan!" Ia sudah berhasil merebut pedang dari tangan Tok-kow Ing.
Orang berkerudung itu setelah berhasil membuka lubang, segera tertawa bergelak-gelak, pedang di tangannya dikibaskannya dan terputus menjadi dua. Dua potong pedang itu digunakan sebagai senjata rahasia, masing-masing disambitkan ke arah Can Pek Sin dan Liong Seng Hiang.
Can Pek Sin melintangkan pedangnya untuk menyambuti senjata itu, ternyata tidak sanggup walaupun sepotong pedang itu berhasil terpukul jatuh, tetapi ia sendiri sudah mundur sampai enam-tujuh langkah, baru bisa berdiri tegak.
Kekuatan tenaga dalam Liong Seng Hiang tidak sekuat Can Pek Sin, maka ia tidak berani menyambuti, terpaksa melompat menyingkir, dengan menggunakan ilmu yang meringankan tubuh. Sekalipun ia dapat bergerak cepat, tetapi tidak urung juga masih tersambar oleh ujung pedang hingga tangannya terluka.
Orang berkerudung itu setelah berhasil memukul mundur Tok-kow Ing dan Can Pek Sin, serta melukai Liong Seng Hiang, badannya sudah bergerak bagaikan burung elang menerkam kelinci, ia melesat ke depan Tiat Leng, lalu berkata sambil tertawa terbahak-bahak:
"Bocah perempuan kau hendak lari kemana? Lebih baik kau ikut aku sebagai murid!"
Belum lenyap suara tertawanya, tiba-tiba terdengar suara orang perempuan yang amat tajam:
"Kau manusia apa? Berani mengganggu muridku?"
Orangnya masih belum kelihatan, tetapi suaranya sudak menggema di telinganya. Itulah suara yang dikeluarkan dari mulut dengan menggunakan kekuatan tenaga dalam.
Orang berkerudung itu terkejut, dalam hatinya lalu berpikir: Pantas Li Hong Chun berani menentang aku, kiranya masih tersembunyi bala bantuan yang demikian tinggi. Orang perempuan yang berkepandaian tinggi di kalangan Kang-ouw, jumlahnya dapat dihitung dengan jari, apakah orang yang datang itu adalah Biauw Hui Sin-nie?
Orang berkerudung itu selalu menganggap dirinya sendiri terlalu kuat, maka ia tidak takut sekalipun yang datang itu adalah Biauw Hui Sin-nie sendiri, tetapi dengan munculnya seorang kuat lagi tangannya yang hendak menyambar Tiat Leng terpaksa ditarik kembali, supaya jangan sampai dianggap sebagai orang tua terlalu menghina kepada anak kecil.
Sesaat kemudian seorang perempuan berbaju kuning sudah tiba di hadapannya. Cara berpakaian perempuan ini sangat aneh, seperti pendeta perempuan tetapi ada sanggul di atas kepalanya, dibelakang punggungnya ada membawa sebatang kebut yang biasa dibawa-bawa oleh kaum Imam atau Pendeta. Di pinggangnya menggantung sebilah pedang panjang, usianya ditaksir kira-kira baru empatpuluhan.
Biauw Hui Sin-nie dalam rimba persilatan tingkatannya paling tua, usianya paling sedikit sudah tujuhpuluh tahun ke atas. Karena dandanannya berlainan, usianya juga tidak cocok, maka perempuan itu sudah tentu bukanlah Biauw Hui Sin-nie.
Tiat Leng segera lari kehadapan perempnan itu, dengan sikapnya yang sangat manja ia berkata:
"Suhu, orang ini telah melukai Liong suci, dan hendak memaksa aku menjadi muridnya. Suhu harus membela kita!"
Perempuan gagah yang berkepandaian tinggi sekali, di dalam kalangan Kang-ouw jumlahnya memang sedikit sekali, setelah berpikir cukup lama, orang berkerudung itu tiba-tiba teringat kepada seseorang, dalam terkejutnya ia segera menyapa:
"Apakah kau Sin Cie Kow yang mempunyai nama julukan pedang tanpa kenal kasihan itu?"
Orang yang berkerudung itu sebetulnya tidak tahu kalau Sin Cie Kow dan Tiat Leng mempunyai hubungan antara guru dengan murid, tetapi Khong-khong Jie adalah suami Sin Cie Kow, hal ini diketahui olehnya. Kalau ia tadi terkejut, ini bukan berarti takut kepada perempuan itu, tetapi takut kalau Khong-khong Jie ditambah dengan Sin Cie Kow. Karena ia tahu benar bahwa suami istri itu dalam rimba persilatan daerah Tiong-goan merupakan orang yang paling susah dilayani, hingga banyak orang segan berurusan dengan mereka.
Ia sungguh tidak menduga bahwa anak perempuan Tiat Mo Lek itu, ternyata adalah murid mereka. Ini dengan demikian berarti bahwa orang berkerudung itu sudah menanam bibit permusuhan dengan kedua suami isteri itu.
Sin Cie Kow sudah menghunus pedangnya, dan berkata dengan nada suara dingin:
"Oh, kiranya kau hendak merebut muridku? Ha, ha, ha, tidak halangan. Walaupun aku dinamakan pedang tanpa kenal kasihan, tetapi asal kau sanggup menangkan pedangku ini aku juga boleh berunding lebih jauh."
Orang berkerudung itu karena melihat Sin Cie Kow hanya seorang diri, hatinya tambah besar pikirnya, "Asal Khong-khong Jie tidak datang bersamanya, bertempur satu lawan satu, aku tidak usah takut kepadanya.
Orang berkerudung itu tahu benar, adat Sin Cie Kow yang tidak boleh diganggu, maka pertempuran itu sudah tidak dapat dielakkan lagi. Ia segera berkata:
"Aku tidak tahu nona kecil ini muridmu, karena kau menganggapnya sebagai pusaka, sebagai orang jujur tidak mau berebut barang orang, perlu apa aku harus berebut dengan kau, untuk mendapatkan dirinya?"
Tiat Leng lalu berkata sambil tertawa dingin:
"Apa? kau orang jujur sudah jelas kau takut kepada suhuku. Suhu, ia barusan sangat galak, maka suhu tidak boleh memberi ampun kepadanya karena ia berkata manis."
Orang berkeradung itu ketawa terbahak-bahak, kemudian berkata:
"Sin Cie Kow, meskipun aku tidak ingin berebut murid denganmu, tetapi malam ini kita sudah bertemu, kesempatan ini sesungguhnya jarang kujumpai, maka aku juga ingin belajar kenal dengan ilmu pedangmu."
Ia menantang lebih dulu, ini juga berarti sebagai jawaban tidak langsung terhadap ejekan Tiat Leng tadi.
Sin Cie Kow bertanya kepada muridnya:
"Seng Hiang. bagaimana dengan kau?"
"Tidak apa-apa,hanya sedikit luka yang tidak berarti, harap suhu jangan khawatir," jawabnya Liong Seng Hiang.
"Baiklah. Leng-jie, kau obati luka sucimu, kemudian mundur sedikit," demikian ia berkata kepada muridnya kemudian berpaling dan berkata kepada orang berkerudung itu:
"Masih mujur nasibmu, muridku hanya mendapat luka ringan saja. Seumur hidupku, aku balas setiap perbuatan sesuai dengan apa yang dilakukan oleh musuhku. Dengan cara bagaimana kau melukai muridku, dengan cara itu pula ku akan melukai dirimu. Maka malam ini kau tidak khawatir akan melayang jiwamu."
Orang berkerudung itu baru tahu apa maksud Sin Cie Kow tadi menanyakan keadaan luka muridnya. Sesaat itu ia naik pitam, bentaknya dengan suara keras:
"Sin Cie Kow, kau terlalu tidak pandang mata orang. Baik, kita boleh bertempur sungguh-sungguh. Kalau kau mempunyai kepandaian, kau boleh membunuh mati aku tetapi kalau aku melukai dirimu, kau juga jangan sesalkan perbuatanku."
"Sudah habiskah kata-katamu? Lihat pedang!" berkata Sin Cie Kow, kemudian ujungnya ditujukan kepada orang itu.
Ilmu pedang yang sama, tetapi digunakan oleh Sin Cie Kow, jauh lebih hebat dari pada Liong Seng Hiang dan Tiat Leng.
Orang berkerudung itu berseru terkejut, dengan kaki belum menggeser dari tempatnya, badannya sudah melesat ke tempat sejauh satu tombak. Serangan pedang yang begitu cepat dari Sin Cie Kow, ternyata dapat dielakan olehnya, hanya hawa dingin dari pedang itu yang terasa benar di badannya orang berkerudung itu.
Ketika serangan pertama Sin Cie Kow mengenakan tempat yang kosong, serangan kedua dan ketiga segera menyusul dengan berurutan.
Orang berkerudung itu lalu berkata:
"Pedang tanpa kenal kasihan benar-benar bukan hanya nama kosong belaka! Namun demikian juga belum tentu mampu melukai diriku. Dan sekarang sambutlah serangan tanganku!"
Selama orang berkerudung itu bicara, Sin Cie Kow sudah melancarkan serangannya sampai tujuh kali, serangan yang terakhir telah membuat lobang lengan baju orang itu, tetapi tidak melukai dirinya.
Orang berkerudung itu melakukan serangannya dengan kedua tangan, tangan kanan menghajar batok kepala orang dengan satu gerakan gunung Thay-san menindih kepala, sedang tangan kirinya menusuk biji mata Sin Cie Kow dengan jari tangan.
Sin Cie Kow yang sebagian besar waktu hidupnya dalam kalangan Kang-ouw, juga entah berapa banyak orang kuat yang pernah dijumpai, tetapi juga belum pernah melihat serangan yang demikian ganas dan aneh seperti orang itu. Bukan hanya itu saja, serangan dari kedua tangan itu bahkan menggunakan dua rupa ilmu silat, yang satu keras dan yang lain lunak!
Ia hanya tahu serangan yang keluar dari tangan kanan adalah serangan dengan ilmu Kim-kong-ciang, tetapi serangan tangan kiri mengandung bau amis, itu ia masih belum tahu bahwa itu adalah serangan yang dinamakan Hu-kut-ciang.
Sin Cie Kow khawatir serangan itu mengandung racun, maka tidak berani menyentuh. Karena pada saat itu pedangnya sudah terlanjur dengan gerakannya menikam, hingga sudah tidak keburu ditarik kembali. Tetapi ia memang hebat, dalam keadaan demikian berbahaya, ia telah mengunjukan ketabahannya dan kelincahannya. Dengan menggunakan ilmu meringankan tubuh yang luar biasa, ia melesat tinggi dengan satu gerak tipu burung dali menyusup ke awan, badannya seolah-olah timbul sayap, setelah berputaran di tengah udara, lalu melayang sejauh tiga tombak!
"Kau hendak lari kemana?" demikian terdengar suara hardikan orang berkerudung.
"Lihat saja siapa yang kabur?" jawab Sin Cie Kow sambil tertawa dingin.
Secepat kilat tangannya sudah tambah satu senjata, yang berupa kebutan. Dengan kedua senjata di tangannya, ia menyerang dari atas. Kebutan digunakan untuk menyerang kepala, sedang pedang digunakan untuk mengorek biji mata. Karena ia sangat benci perbuatan orang itu yang menyerang matanya dengan jari tangan, maka ia sekarang, membalas dengan menggunakan pedangnya.
08.47. Akal Si Nona Cilik
Serangan dengan kedua rupa senjata itu juga merupakan salah satu serangan luar biasa dahsyatnya dalam rimba persilatan. Orang berkerudung itu hendak menggentak senjata lawannya dengan kekuatan tangannya, siapa tahu bahwa serangan Sin Cie Kow lebih cepat. Tatkala ujung pedang bergetar, tiba-tiba mental balik dan menikam jalan darah di bawah ketiak orang berkerudung itu.
Orang berkerudung itu terperanjat, ia segera kerutkan badannya, sehingga lolos dari lubang jarum.
Kedua pihak masing-masing berhasil mengelakkan serangan lawannya, dengan demikian satu sama lain tak ada yang dirugikan.
Sin Cie Kow yang menggunakan dua senjata di dua tangannya, juga menggunakan ilmu serangan keras dan lunak, dengan demikian hingga dapat mengimbangi kekuatan musuhnya. Namun demikian Sin Cie Kow diam-diam juga merasa malu, karena dengan sepasang senjata ia menghadapi lawannya dengan bertangan kosong.
Semakin lama Sin Cie Kow semakin heran. Ini bukan disebabkan karena kepandaian orang itu yang terlalu tinggi, melainkan karena ia tak dapat meraba dari golongan mana kepandaian orang berkerudung itu.
Harus diketahui bahwa Khong-khong Jie dalam rimba persilatan merupakan salah seorang yang berpengetahuan sangat luas dalam ilmu silat. Sin Cie Kow yang sudah pernah menemui banyak orang kuat, setelah mereka menjadi suami isteri, satu sama lain tak jarang menukar pikiran atau merundingkan bermacam ilmu silat berbagai cabang.
Sekalipun masih belum bisa dikatakan tahu semua ilmu silat berbagai cabang, tetapi ilmu silat yang digunakan oleh tokoh-tokoh kelas satu, sedetikpun mereka dapat meraba dengan jitu. Tetapi sekarang Sin Cie Kow yang sudah bertempur seratus jurus lebih dengan orang berkerudung itu, bukan saja masih belum mengetahui siapa orang yang sedang dihadapinya itu, bahkan golongan ilmu silatnya juga tak diketahuinya.
Ia hanya tahu gerak tipunya yang aneh, yang mempunyai gabungan dari kepandaian golongan benar dan golongan sesat. Ini merupakan suatu kejadian yang ia belum pernah alami.
Diam-diam ia juga merasa heran, orang itu berkepandaian demikian tinggi, mengapa tidak berani menunjukkan muka aslinya? Apakah yang ditakuti? Bajingan-bajingan yang berkedok dalam kalangan dunia Kang-ouw, kebanyakan terdiri dari orang-orang kelas dua atau tiga. Orang yang benar-benar mempunyai kepandaian tinggi, tidak perduli dari golongan mana, selalu suka berterus terang, tidak nanti memakai kerudung di mukanya.
Bulak balik ia berpikir, tetapi masih belum mengerti, maka terpaksa menghadapi lawannya dengan tekun. Dengan tanpa dirasa, pertempuran ita sudah berjalan tigaratus jurus lebih.
Selama itu, kedua pihak sudah mengeluarkan seluruh kepandaiannya, hingga merupakan suatu pertempuran ganas luar biasa yang belum pernah ada pada sebelumnya.
Kepandaian kedua pihak nampak berimbang.
Tetapi Sin Cie Kow mendapat dua keuntungan. Pertama, karena orang berkerudung itu tadi sudah bertempur dengan Liong Seng Hiang berempat cukup lama, kekuatan tenaganya sudah terhambur tidak sedikit. Kedua, orang itu menghadapi lawannya hanya dengan menggunakan sepasang tangan kosong. Dalam keadaan gelap seperti malam itu, sekalipun masih dapat melihat senjata orang, tetapi hanya dengan menggunakan daya pandangan matanya, tidak dapat membedakan jalannya serangan pedang Sin Cie Kow yang dilakukan begitu cepat, maka harus dibantu dengan daya pendengaran telinganya.
Dengan demikian, mau tidak mau orang itu harus berlaku sangat hati-hati, baik tenaga maupun pikiran yang digunakan, jauh lebih banyak daripada Sin Cie Kow. Dengan adanya dua faktor ini, maka waktunya semakin panjang, lebih menguntungkan bagi Sin Cie Kow.


Jiwa Ksatria Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Namun demikian, Sin Cie Kow yang sudah bertempur tigaratus jurus lebih dan belum berhasil menjatuhkan musuhnya, diam-diam juga merasa bingung.
Ia adalah seorang yang suka menang sendiri, sebelum bertempur ia sudah buka mulut besar, pasti hendak menuntut balas satu goresan pedang kepada musuhnya. Apabila tidak terbukti, bagaimana ia harus menghadapi muridnya?
Dalam cemasnya, ia mengeluarkan serangannya yang paling berbahaya, senjata kebutannya disodorkan maju, pedangnya membabat melintang. Orang berkerudung itu mengira ia menggunakan ilmu pedang Tat-mo-kiam-hoat, maka lebih dahulu melakukan serangannya, menyambar pergelangan tangannya. Tetapi ternyata bahwa serangan Sin Cie Kow itu bukanlah ilmu pedang seperti yang orang berkerudung itu duga, baru meluncur setengah jalan, gerak pedangnya sudah berobah dengan mendadak, membabat ke arah di mana musuh itu menyingkir.
Orang itu terperanjat, untung ia berkepandaian sangat tinggi, gesit gerakannya, dengan memutar ujung kakinya, jari tangan kirinya malah mengancam jalan darah pundak Sin Cie Kow.
Sin Cie Kow memutar pedangnya bagaikan angin cepatnya, dengan gerak serangan yang amat dahsyat balas menyerang musuhnya. Pertempuran dalam jurus itu merupakan suatu pertempuran jarak dekat, keadaannya sangat berbahaya.
Tok-kow Ing, Liong Seng Hiang, Tiat Leng dan lainnya yang menyaksikan jalannya pertempuran. Semua telah merasakan bahwa pertempuran dalam babak itu merupakan suatu pertempuran yang sangat mengkhawatirkan.
Sin Cie Kow sudah menang di atas angin, ia hanya khawatir tidak dapat menjatuhkan lawannya, sehingga kehilangan muka. Tetapi kehhawatiran mereka adalah apabila Sin Cie Kow kalah, mungkin Li Hong Chun suami istri tidak bisa hidup lagi.
Tiat Leng meskipun masih terlalu muda, tetapi cerdik dan banyak akalnya. Sambil menonton pikirannya terus bekerja, bagaimana dapat membantu suhunya. Sudah tentu ia juga tahu bahwa kepandaiannya sendiri selisih jauh dengan kepandaian musuhnya. Apabila menggunakan senjata, tidak dapat memberi bantuan apa-apa, sedangkan adat suhunya juga tidak mengidzinkan ia membantu. Maka ia hanya dapat menggunakan akal, tidak boleh menggunakan tenaga.
Selagi jalannya pertempuran meningkat keadaan paling gawat, Tiat Leng tiba-tiba dapat pikiran hendak menakut-nakuti musuhnya. Diam-diam ia memungut beberapa lembar daun dari tanah, lalu ditiupnya, hingga daun-daun itu berterbangan di tengah udara, dan menimbulkan suara keresekan.
Daya pendengaran orang berkerudung itu sangat tinggi, sedikit suara saja di dalam telinga orang itu sudah dianggapnya sebagai orang yang sedang berjalan malam.
Tiat Leng setelah meniup daun itu, lalu pura-pura mengeluarkan suara terkejut dan kegirangan, ia sengaja berseru:
"Sukong, apa kau sudah datang? Kita ada di sini, keluarlah!"
Disinilah kecerdikan Tiat Leng, ia tidak menggunakan batu untuk menyambit, sebaliknya menggunakan daun yang ditiup dengan mulut. Maksudnya ialah supaya orang berkerudung itu percaya kalau Khong-khong Jie benar-benar telah datang.
Harus diketahui bahwa ilmu meringankan tubuh Khong-khong Jie terhitung orang nomor satu dalam kalangan Kang-ouw, kalau ia datang seharusnya tidak mengeluarkan suara-suara yang dapat didengar oleh pendengaran orang biasa.
Suami isteri selamanya berdua-duaan muncul dalam kalangan Kang-ouw, hal ini sudah diketahui oleh orang berkerudung itu. Kedatangan Sin Cie Kow seorang diri pada malam itu, ia sudah merasa sangsi bahwa Khong-khong Jie mungkin juga segera akan datang, maka setelah bertempur pikirannya selalu tidak tenang dan telinganya selalu waspada.
Justeru karena kecurigaannya itu, maka ketika mendengar suara keresekan, dianggapnya Khong-khong Jie benar-benar sudah datang.
Pada saat itu kedua pihak sedang bertempur sengit dalam jarak dekat, orang berkerudung itu ketika mendengar suara seruan Tiat Leng, yang telah benar-benar membuktikan kecurigaannya, bukan kepalang terkejutnya.
Dalam pertempuran antara tokoh-tokoh terkuat, sedikitpun tidak boleh berlaku 1engah. Terkejutnya orang berkerudung itu, yang datangnya secara tiba-tiba telah digunakan oleh Sin Cie Kow sebaik-baiknya. Dengan kecepatan bagaikan kilat, pedangnya sudah meluncur, sekalipun orang berkerudung segera berkelit, tetapi kain yang menutupi mukanya sudah tersontek oleh ujung pedang, pipi sebelah kirinya tergores, sehingga meninggalkan bekas sepanjang tiga dim.
Orang berkerudung itu menggeram, dan lantas kabur.
Meski cuaca malam itu gelap, tetapi tatkala kerudung yang menutupi muka orang itu tersontek, Sin Cie Kow sudah dapat lihat wajah asli orang itu, sekalipun belum dapat melihat dengan jelas, tetapi sudah cukup untuk mengenalinya. Orang itu ternyata mempunyai potongan muka yang menonjol tinggi bagian pelipisnya, hidungnya bengkung bagaikan hidung burung garuda, dari potongan raut mukanya itu sudah dapat dipastikan bahwa orang itu bukanlah orang dari suku Han.
Sin Cie Kow kini baru tersadar, kiranya karena orang itu adalah orang suku Hwee, maka di waktu bertempur dengan orang suku Han, tidak suka mukanya dilihat oleh lawannya.
Dalam waktu sekejap itu, Tiat Leng juga sudah dapat lihat wajahnya orang itu, lalu mengeluarkan seruhan: "Eh!"
Can Pek Sin lalu berkata:
"Orang berkerudung itu bukankah salah satu dari empat orang suku Hwee, yang kita jumpai siang hari tadi?"
"Memang benar, kau juga mengenalnya empat orang itu matanya dan lagak lagunya seperti bajingan, aku sudah menduga bukan orang-orang baik. Tadi siang kau bukan masih membela mereka."
"Aku tokh bukan seorang yang dapat meramal watak manusia, tadi siang mereka berjalan menuju ke selatan, bagaimana aku tahu kalau salah satu di antaranya bisa balik kemari, bahkan merupakan satu iblis yang hendak mencelakakan diri paman Li?"
"Tiga yang lainnya entah ke mana? Untung yang datang malam ini hanya seorang saja."
Sin Cie Kow menyimpan pedangnya lagi, kalau mengingat jalannya pertempuran yang amat dahsyat tadi ia masih merasa ngeri, pikirnya: Kalau bukan si setan cilik Tiat Leng ini yang banyak akalnya menakut-nakutinya, benar-benar belum bisa diketahui siapa yang lebih unggul! Tiga kawannya itu entah bagaimana kepandaiannya? Apabila semua mempunyai kepandaian seperti ia dan mereka akan datang lagi, aku pasti tidak sanggup menghadapinya.
Sementara itu Tok-kow Ing suami isteri sudah maju untuk memberi hormat. Tiat Leng juga menghaturkan selamat kepada suhunya.
Sin Cie Kow lalu berkata sambil mendelikan matanya:
"Perlu apa kau memberi selamat? Aku sebetulnya ingin menggores lengan tangannya, seperti apa yang ia perbuat terhadap sucimu, tetapi sekarang hanya dapat meninggalkan cacat di mukanya saja. Inilah merupakan kesalahan tanganku yang pertama sejak aku terjun di dunia Kang-ouw selama tigapuluh tahun."
"Tidak perduli ia terluka di mana, iblis itu toh sudah terjungkal di tangan suhu. Mengapa suhu masih marah-marah?"
"Hem, tahukah kau apa sebabnya aku marah? Aku justru marah kepadamu, kau baru saja main gila, apa kau kira aku tidak tahu? Karena mengingat perbuatan itu terdorong oleh perasaan cinta kepada gurumu, maka kali ini aku tidak memberi hukuman engkau, tetapi lain kali tidak boleh kau ulangi lagi!"
Perangai Sin Cie Kow sama dengan suaminya, tidak perduli menang atau kalah selalu akan mengandalkan kepandaiannya sendiri, maka itu meskipun dalam hati suka memuji kecerdikan Tiat Leng, namun di luarnya tidak boleh tidak harus memberi teguran. Tiat Leng tahu benar adat suhunya maka ia pura-pura seperti orang penasaran sambil menyahut "Ya."
Li Hong Chun mengajak semua tetamunya masuk ke dalam rumah. Mereka duduk mengobrol di ruangan tamu, tidak antara lama hari mulai terang.
Sin Cie Kow menatap wajah Li Hong Chun, kemudian berkata,
"Li Chungcu, apakah kau terluka?"
"Benar, tiga hari berselang dilukai oleh tangan beracun iblis itu. Katanya tangan beracun itu bernama Hu-kut-ciang, hanya obat pemunahnya yang dapat menolong."
"Apa? Hu-kut-ciang? Aku tidak percaya begitu hebat, yang tidak dapat disembuhkan dengan tanpa obat pemunahnya."
Tok-kow Ing lalu menyela dengan perasaan girang:
"Sin Lihiap, kalau begitu kau pasti mempunyai obat manjur lain yang dapat menyembuhkan lukanya. Tolonglah jiwa Hong Chun ini."
"Aku adalah seorang yang tidak mengerti obat-obatan atau menyembuhkan orang sakit, tetapi aku percaya pel Siao-hoan-tan buatan ketua gereja siao-lim-sie bisa menyembuhkan racun ini," berkata Sin Cie Kow.
Gereja Siao-lim-sie letaknya di atas gunung Siong-san yang letaknya masih ribuan pal dari situ, maka ketika mendengar jawaban itu, suami istri Li Hong Chun merasa kecewa, hatinya berpikir: Jikalau aku bisa pergi berobat ke gunung Siong-san, bukankah lebih baik berobat kepada To Pek Ing di gunung Hok-gu-san.
Sin Cie Kow berkata pula sambil tertawa:
"Apakah kau anggap perjalanan ke gunung Siong-san itu jauh sehingga tidak keburu menolong? Jangan khawatir meskipun aku tidak dapat mengundang ketua gereja Siao-lim-sie dengan segera, tetapi obatnya itu, di sini aku ada sedia."
Li Hong Chun suami istri girang sekali, lalu berkata:
"Pui-tho Siansu ternyata sudi memberikan obat pel Siao-hoan-tan kepada kalian, untuk dewasa ini, mungkin hanya kalian suami istri yang mendapat kehormatan itu."
Kiranya ketua gereja Siao-lim-sie itu, selalu tidak suka mengadakan hubungan dengan orang orang Kang-ouw.
"Mana dia mau memberikan begitu saja? Itu adalah didapatkan oleh Khong-khong Jie dengan jalan pertaruhan dengan Pui-tho Siansu. Ia hendak mencuri pil Siao-hoan-tan itu, Pui-tho Siansu memberikan padanya batas waktu tiga hari, tetapi pada malam hari kedua Khong-khong Jie sudah berhasil mendapatkan obat itu. Cuma, dengan demikian ketua itu lalu bersahabat dengan Khong-khong Jie."
Tok-kouw Ing masih merasa sangsi, ia berkata: "Entah pil itu dapat mengusir racun dari serangau Hu-kut-ciang atau tidak?"
"Pui-tho Siansu pernah membuka mulut besar bahwa pel Siao-hoan-tan nya itu dapat memunahkan segala racun, juga dapat menambah kekuatan badan. Jikalau tidak manjur, aku nanti akan pergi ke gereja Siao-lim-sie untuk menurunkan mereknya."
Li Hong Chun setelah makan obat itu, bersemedi di tempat tidurnya untuk membantu jalannya obat. Tok-kow Ing juga minta maaf kepada para tetamunya, lalu mengikuti sang suami untuk menjaga.
Tiat Leng baru mendapat kesempatan berbicara dengan suhunya dan sucinya, ia bertanya:
"Suhu, suci, bagaimana kalian bisa datang kemari? Apakah sudah tahu malam ini akan terjadi apa-apa."
Menurut apa yang Tiat Leng tahu, hubungan suhunya dengan Li Hong Chun tidak begitu erat maka ia merasa agak heran.
"Kedatangan sucimu kemari hendak mencari adiknya," berkata Sin Cie Kow. "Karena aku merasa tidak tega, maka kemudian menyusul ke mari. O ya, Can hiantit kabarnya di rumah Thie Sui kan berdiam hampir satu tahun lamanya, mungkin dalam urusan ini kau juga tahu sedikit. Seng Hiang, kau ceritakan dulu urusan adikmu kepada mereka."
Kiranya adik perempuan Liong Seng Hiang ialah Liong Seng Hong perempuan yang dahulu pernah dijumpai Can Pek Sin di rumah keluarga Lauw.
Suami Liong Seng Hiang, Bok Khong, dengan Lauw Bong adalah saudara misan, mereka tinggal sebagai tetangga, Liong Seng Hong dengan Lauw Bong merupakan dua sahabat sejak kanak-kanak, tetapi belum mengadakan perjanjian untuk sehidup semati. Kemudian Lauw Bong mengikuti ayahnya berkelana di dunia Kang-ouw dan menerjunkan diri di kalangan rimba hijau, hingga kedua pihak putus perhubungan.
Liong Seng Hiang menarik napas panjang, kemudian baru berkata:
"Adikku dengan Lauw Bong telah banyak tahun berpisah, namun masih tetap tidak melupakannya. Aku sebetulnya hendak menikahkannya dengan orang lain, tetapi ia selalu menolak hingga aku tidak berdaya. Entah bagaimana, pada musim semi tahun ini, ia telah dapat kabar bahwa keluarga Lauw berdiam di lembah Phoan-liong-kok, ia lalu diam-diam pergi mencari Lauw Bong.
"Tidak antara lama, Lam Hee Lui yang hendak pergi ke kota Yang-ciu mengurus sedikit urusan, mampir di rumahku. Aku pernah minta kepadanya untuk mampir ke lembah Phoan-liong-kok untuk mencari keterangan tentang adikku. Hingga sekarang tiga bulan lebih sudah berlalu, adikku belum pulang, Lam Hee Lui juga tidak mengirim orang untuk memberi kabar.
Berkata sampai di situ Liong Seng Hiang dengan perasaan tidak enak bertanya kepada Can Pek Sin,
"Aku pernah mendengar desas desus di luaran, katanya ketika Lauw Bong berdiam di lembah Phoan-liong-kok, hubungannya erat sekali dengan cucu perempuannya Thie Sui, dua anak muda itu kabarnya diam-diam sudah menikah. Apakah itu benar?
?Y? Kedelapanbelas Pertanyaan itu sesungguhnya tidak enak bagi Can Pek Sin, namun itu terpaksa harus menjawab katanya:
"Urusan mereka aku sendiri juga tidak jelas. Tetapi menurut apa yang aku lihat di rumah keluarga Thie, perkataan hubungan erat itu, sebetulnya kurang tepat."
08.48. Kiranya Benar-benar Dia!
Tiat Leng tertawa kecil, kemudian berkata:
"Can toako, perlu apa kau harus menutupi rahasia mereka? Gambar peta mengenai harta kekayaan kakek luarmu itu, bukan Thie Po Leng yang mencuri dan kemudian dengan diam-diam diberikan kepada Lauw Bong? He, he, asal hati kedua pihak saling mengerti, perlu apa harus erat hubungannya?"
Sin Cie Kow menyela sambil tertawa:
"Dalam usia yang masih terlalu muda, bagaimana kau mengerti dua hati saling mengerti?"
Liong Seng Hiang berkata sambil menghela napas:
"Aku selama ini tidak mendapat kabar tentang adikku, hatiku selalu tidak tenteram. Kemudian Hee Kauw Ing ada mengirim orang mengantar surat kepadaku, aku baru tahu kalau Lauw Cin dan anaknya berdiam di rumah Li Tayhiap ini merawat dirinya.
"Menurut keterangan Hee Kauw Ing tindakan itu ialah untuk menjaga jangan sampai ada orang yang menyulitkan Lauw Cin. Oleh karena kita dengan keluarga Lauw masih merupakan famili, maka ia memberitahukan kepada kita, supaya kita bisa pergi menengoknya dan memberi bantuan tenaga. Aku juga mengharap agar dari mulutnya Lauw Bong sendiri, mendapat keterangan tentang jejak adikku maka aku segera datang kemari."
Hee Kauw Ing adalah saudara angkat Lauw Cin. Can Pek Sin yang mendengar keterangan Liong Seng Hiang bahwa ia telah menerima surat dari Hee Kauw Ing, maka ia segera mengetahui bahwa Tok-kow U, juga sudah tiba di rumah Hee Kauw Ing.
Sin Cie Kow berkata: "Aku dengan sukongmu lima hari berselang dari kota Yan-ciu, telah berjumpa dengan anak buah Hee Kauw Ing. Aku sebenarnya tidak kenal Lauw Cin, tetapi aku tidak tega Seng Hiang, maka juga segera datang kemari. Sebetulnya aku hendak datang bersama dengan sukongmu tetapi ia kata hendak ke Gui-pok untuk mencari seseorang, maka kita lalu berpencaran. Ia menganggap bahwa siapa saja yang menyusahkan diri Lauw Cin, aku pasti sanggup menghadapi. Tak disangka orang Hwee itu demikian lihai!"
"Tatkala aku meninggalkan lembah Phoan-liong-kok, pernah berjumpa dengan adikmu, kemudian paman Lam Hee Lui kebetulan juga datang. Tetapi waktu itu Lauw Cin dan anaknya sudah pergi dari rumahnya. Adikmu ketika mendengar kabar Lauw Bong terluka segera pergi menyusul, nampaknya sudah bisa berhasil, jikalau tidak pasti ia datang kemari untuk menengoknya," berkata Can Pek Sin.
"Kemana lagi perginya Lam Hee Lui?" berkata Liong Seng Hiang.
"Kabarnya paman Lam pergi ke Kota Yang-ciu membantu salah satu sahabat merampas ransum Negara."
"Kalau begitu, aku terpaksa harus berusaha mencari adikku lagi. Hem, Tiat Sumoy dengan cara bagaimana pula kau bisa datang kemari? Sekarang adalah giliranmu yang harus memberi keterangan."
Tiat Leng bersikap seolah-olah sedang memikirkan sesuatu, tiba-tiba ia bertanya kepada suhunya:
"Sukong pergi ke Gui-pok mencari siapa?"
"Sukongmu nampaknya tergesa-gesa sehingga ia lupa memberitahukan kepadaku, aku juga tidak menanyakan kepadanya."
Tiat Leng agak merasa heran, pikirnya: Suhu jarang berpisah dengan sukong, mengapa sukong hendak mencari orang, suhu tidak menanya? Untuk menanya namanya seseorang, sesungguhnya tidak susah, sekalipun repot juga tidak sampai kelupaan.
Can Pek Sin lalu berkata:
"Khong-khong Cianpwee apakah pergi ke Gui-pok? Pada dua bulan berselang, kita pernah liwat di sana. Waktu kita berlalu, Tiat Ceng masih ada di sana. Tetapi, sekarang barang kali juga pergi lagi."
Sin Cie Kow berkata: "O ya, kabarnya kalian di Gui-pok telah berjumpa dengan pasukan tentara Tian Sin Cie, apakah itu betul? Mengapa pula Tiat Ceng harus berdiam di sana?"
Hati Tiat Leng tergerak ia lalu berkata:
"Di Gui-pok kita bukan cuma berjumpa dengan pasukan tentara negeri saja, tetapi juga ketemu dengan seorang tokoh kuat yang berkepandaian luar biasa."
"Siapakah orang itu, mengapa ia sudah berhasil membuat kagum anak perempuan Tiat Mo Lek?" Demikian Sin Cie Kow berkata sambil tersenyum, agaknya tidak membenarkan ucapan muridnya, tetapi kemudian tiba-tiba tergerak hatinya, pikirnya: Apakah orang itu?
"Orang itu malah mengatakan kenal dengan suhu," berkata Tiat Leng. Ia lalu menceritakan pertemuannya dengan Hoa Ciong Tay dan apa yang telah terjadi di kota Gui-pok.
Sin Cie Kow terkejut bercampur girang, dalam hatinya berpikir: Pantas Khong-khong Jie hendak ke Gui-pok, kiranya benar-benar ?dia?.
"Malam itu engko Ceng di kantor kepala daerah terkena panah beracun, justeru Hoa Ciong Tay lo-cianpweelah yang menolong dirinya. Waktu kita pergi, sisa racun dalam badan engko Ceng masih belum bersih sama sekali, maka ia harus berdiam di sana untuk merawat diri, di sana ia dirawat oleh Hoa locianpwee dan putrinya.
"Suhu, aku lupa memberitahukan padamu, enci Hoa itu baik sekali memperlakukan engko Ceng."
"Oh ya? Apakah nona Hoa itu cantik?"
"Ia berparas cantik. Aku lihat ia menaruh hati terhadap engko Ceng."
Sin Cie Kow lalu berkata sambil tertawa,
"Kau setan cilik ini meski masih muda tetapi hatimu sudah seperti orang dewasa, selalu suka memperhatikan soal-soal demikian. Segala perlakuan orang yang baik sekali dan ada maksudnya selalu kau perhatikan. Jikalau benar-benar demikian alangkah baiknya."
"Hoa lo-cianpwee ini agak aneh, ia kata kenal dengan suhu, tetapi katanya pula ingin menjumpai sukong. Tetapi waktu kita berpisah dengannya, ia berpesan pula supaya aku dihadapan sukong jangan menyebut-nyebut namanya. Aku tak tahu apa sebabnya?"
"Bagaimana kau tahu apa sebabnya. Orang itu adatnya memang agak aneh, mungkin dia dengan sukongmu ada perselisihan paham yang belum dibereskan!"
Sebetulnya, Sin Cie Kow tahu apa sebabnya, ia hanya merasa tak enak menerangkan kepada orang yang tingkatannya lebih muda.
Kiranya di masa muda Hoa Ciong Tay juga merupakan seorang sahabatnya yang mengagumi dirinya, bahkan sudah meminangnya. Tetapi karena dalam hati Sin Cie Kow sudah diisi oleh Khong-khong Jie hingga menolak permintaannya, kemudian dua orang itu tidak bertemu lagi.
Di masa mudanya perangai Sin Cie Kow memang agak aneh. Kecuali Khong-khong Jie yang terhitung salah seorang sahabatnya yang terpandang dalam matanya. Hanya Hoa Ciong Tay, seorang yang masih suka bergaul, maka meskipun ia tidak menerima pinangan Hoa Ciong Tay. Tetapi kehilangan satu sahabat seperti Hoa Ciong Tay itu, ia juga marasa sayang. Beberapa tahun kemudian, Sin Cie Kow mendengar kabar bahwa Hoa Ciong Tay sudah menikah ia baru merasa lega hatinya, selalu urusan yang telah lalu itu, perlahan-lahan juga dilupakannya.
Khong-khong Jie semula tidak tahu perhubungan mereka tetapi ia dengan Hoa Ciong Tay satu sama lain hanya dengar namanya saja.
Hoa Ciong Tay mempunyai hubungan baik dengan Leng Ciu Siangjin dan golongan Leng-san-pay di daerah barat, sedangkan Khong-khong Jie dan Sin Cie Kow telah timbul perselisihan paham dengan Leng Ciu Siangjin. Entah bagaimana dalam kalangan rimba persilatan tiba-tiba tersiar kabar, katanya Leng Ciu Siangjin hendak undang Hoa Ciong Tay membantu pihaknya untuk menghadapi Khong-khong Jie.
Khong-khong Jie yang memang sudah lama ingin mencari Hoa Ciong Tay menguji kepandaiannya, ketika mendengar kabar itu, ia lalu pergi seorang diri. Di luar dugaan Hoa Ciong Tay sengaja tidak mau menjumpai, sehingga Khong-khong Jie menubruk tempat kosong. Kemudian beberapa kali Khong-khong Jie melanjutkan usahanya untuk mencarinya, juga tidak berhasil menemukan.
Tidak berapa lama, Khong-khong Jie menikah dengan Sin Cie Kow.
Khong-khong Jie adalah seorang pencuri nomor satu di dalam dunia Kang-ouw, sehingga mendapat julukan pencuri sakti. Sahabatnya terdiri dari orang-orang berbagai golongan. Setelah ia menikah, salah satu sahabatnya yang usil mulut berkata kepadanya bahwa Hoa Ciong Tay bukan tidak tahu Khong-khong Jie mencarinya hendak mengadu kepandaian, juga tidak karena takut baru pergi menyingkir tetapi karena kala itu tahu bahwa Khong-kong Jie hendak menikah dengan Sin Cie Kow. Karena tidak ingin menyusahkan hati Sin Cie Kow, maka tidak suka mengadu kepandaian dengan Khong-khong Jie.
Perkataan itu boleh diartikan bahwa Hoa Ciong Tay masih tetap mencintai Sin Cie Kow. Karena takut kalau dalam pertandingan itu kesalahan tangan sehingga melukai Khong-khong Jie, hal itu tentu akan menyusahkan hati Sin Cie Kow.
Khong-khong Jie yang mendengar obrolan itu, sudah tentu merasa tidak senang. Terhadap persoalan Hoa Ciong Tay yang dahulu pernah meminang Sin Cie Kow dianggapnya masih merupakan soal kedua. Apa yang membuat dirinya merasa tersinggung, ialah adat Khong-khong Jie yang tinggi hati. Ia menganggap Hoa Ciong Tay berkata demikian berarti pandang rendah kepandaiannya, maka tidak boleh tidak ia harus mencarinya untuk diminta tanggung jawabnya.
Khong-khong Jie juga lantaran itu pernah ribut mulut dengan istrinya. Setelah diberi penjelasan oleh Sin Cie Kow, baru baik kembali. Tetapi biar bagaimana sedikit banyak masih ada bekasnya, dan setelah kejadian hari itu, mereka suami istri sama sekali tidak menyebutkan nama Hoa Ciong Tay.
Kali ini Hoa Ciong Tay berkata hendak pergi ke kota Gui-pok untuk mencari seseorang, tetapi tidak menyebutkan namanya orang itu. Sin Cie Kow waktu itu sebetulnya juga sudah dapat menduga? Maka setelah mendengar ucapan Tiat Leng ternyata dua-duanya benar. Khong-khong Jie adalah mendengar kabar kedatangannya Hoa Ciong Tay di kota Gui-pok, barulah pergi ke sana untuk mencarinya.
Dalam hati Sin Cie Kow berpikir: Kedatangannya Hoa Ciong Tay kali ini ke daerah Tiong-goan, untuk ada keperluan apa? Kalau menurut keterangan Tiat Leng tadi, nyata ia masih belum melupakan aku. Semoga mereka berdua jangan sampai berjumpa. Jikalau tidak, apabila keduanya jadi bertempur, pasti ada satu yang terluka, biar bagaimana sangat menyulitkan diriku.
Kemudian berpikir pula: Kiranya anak perempuan Hoa Ciong Tay juga sudah dewasa, semoga ia dengan Tiat Ceng benar-benar bisa terangkap jodoh. Kalau mereka menjadi keluarga, maka perselisihan paham itu dengan sendirinya hendaknya bisa menjadi beres.
Tiat Leng berkata: "Sewaktu kita hendak pergi, pernah berjanji dengan Hoa lo-cianpwee dan putrinya, nanti setelah luka engko Ceng sembuh minta mereka supaya mengantar pulang ke gunung Hok-gu-san. Waktu itu kita masih belum tahu bahwa markas besar di gunung Hok-gu-san sudah dihancurkan oleh pasukan tentara. Sekarang sudah kira-kira dua bulan engko Ceng mungkin sudah sembuh, mereka juga seharusnya sudah berlalu dari kota Gui-pok." Bicara sampai di situ sejenak ia berdiam kemudian berkata pula sambil tertawa:
"Sukong ke kota Gui-pok entah mencari siapa? Sayang waktunya kurang tepat, kalau ia pergi siangan sedikit, sukong tentu bisa menjumpai mereka."
Hati Sin Cie Kow merasa lega pikirnya: Asal mereka tidak berjumpa itulah yang paling baik untuk selanjutnya aku boleh berusaha untuk membikin mengerti kepadanya.
Hari kedua waktu pagi-pagi sekali mereka telah berkumpul lagi. Di situlah Sin Cie Kow menanyai muridnya:
"Leng-jie, kalian hendak kemana?"
"Aku dan Can toako hendak pergi ke gunung Kim-kee-nia untuk mencari ayah. Markas kita di gunung Hok-gu-san setelah dihancurkan oleh tentara pemerintah, ayah bersama orang-orangnya balik ke gunung Kim-kee-nia lagi, suhu. Dan suhu sendiri hendak kemana? Baiklah bersama-sama kita pergi ke gunung Kim-kee-nia? Ayah dan ibu selama ini selalu menanyakan dirimu."
"Aku memang berpikir hendak menengok ayah ibumu, tetapi aku ingin pergi ke kota Gui-pok lebih dulu, sesudah itu baru bersama-sama pergi dengan sukongmu."
Sin Cie Kow meskipun menduga Hoa Ciong Tay, sudah berlalu dari kota Gui-pok, tetapi ia masih merasa khawatir terjadi apa-apa di luar dugaannya, maka ia ingin pergi dulu ke kota Gui-pok setelah bertemu dengan suaminya baru tenteram.
Tiat Leng berkata pula: "Suci bagaimana dengan kau? Kau mempunyai kedudukan sebagai nyonya rumah yang kaya raya barang kali kurang tepat berkunjung ke gunung kita?"
Muka Liong Seng Hiang nampak merah, katanya:
"Kita juga sering mengadakan hubungan dengan sahabat-sahabat dunia Kang-ouw, aku sebetulnya tidak menghiraukan soal itu. Hanya, aku masih belum dapat menemukan adikku, barangkali masih belum bisa menjadi tamumu. Aku ingin melakukan perjalanan ke kota Yang-ciu, semoga bisa bertemu dengan Lam Hee Lui, dari ia mungkin aku bisa dapat dengar kabar tentang adikku."
Liong Seng Hiang sedari dahulu ingin menikahkan adiknya dengan Lam Hee Lui, meskipun dari Lam Hee Lui ingin mencari kabar tentang diri adiknya, harapannya tipis sekali, tetapi ia masih ingin menjumpai sekali lagi pemuda itu.
Sin Cie Kow berkata: "Entah bagaimana hasil bekerjanya pel Siao-hoan-tan? Asal Li Hong Chun tidak apa, kita juga boleh pergi. Leng-jie, coba kau pergi melihatnya."
Selagi Tiat Leng hendak masuk, tiba-tiba terdengar suara tindakan kaki, Li Hong Chun suami isteri sudah keluar dari kamar.
Dengan muka berseri-seri Tok-kow Ing berkata: "Pel Siao-hoan-tan ini benar-benar sangat manjur, luka Hong Cun sudah sembuh."
Li Hong Chun maju dan menyatakan terima kasih kepada Sin Cie Kow.
Sin Cie Kow lalu berkata:
"Tidak perlu kau berlaku merendah. Siao-hoan-tan didapatkan oleh Khong-khong Jie, aku hanya meminjam tangannya saja. Baiklah, kalau kau sudah tidak apa-apa kita hendak pergi."
Tok-kow Ing berkata: "Mari kita makan lebih dulu, kita juga hendak pergi."
Cie Kouw berkata: "Tidak usah kita akan makan di perjalanan."
"Disini ada sedia makanan mie, untuk membuat makanan tidak memerlukan banyak waktu."
Tiat Leng lalu berkata sambil tertawa:
"Kalau begitu aku tidak malu-malu lagi dengan bibi Ing. Oh ya, daging dendeng tadi malam itu enak sekali, makan mie dengan daging dendeng sudah cukup, tidak perlu masak sayur lagi."
Tiat Leng dan Can Pek Sin semalaman hanya makan sedikit, maka perutnya sudah merasa lapar.
Di waktu makan, Tiat Leng menanyakan rencana suami isteri Li Hong Chun selanjutnya. Tok-kow Ing berkata:
"Kita ingin pergi ke kota Yan-ciu menumpang di rumah Hee Kauw Ing, kakakku juga ada di sana."
"Kalau begitu, kalian akhirnya juga menerjunkan diri ke dalam rimba hijau," berkata Tiat Leng sambil tertawa.
"Sekarang apa daya, kita tokh tidak bisa berdiam disini lagi," berkata Li Hong Chun sambil tertawa getir.
Mereka suami isteri takut kalau iblis itu datang mencari musuh lagi, hingga mereka terpaksa menyingkir jauh berlindung di rumah Hee Kauw Ing.
"Hee Kauw Ing adalah kakak angkatku, maka kita harus pergi ke sana. Kali ini kakakku membantu keluarga Lauw merampas harta kekayaan Thie Sui, soal ini harap kau menjelaskannya sebaik-baiknya kepada ayahmu. Tentang maksud hati Hee Kauw Ing juga minta kau sampaikan sekalian," berkata Tok-kow Ing.
Nyonya itu khawatir Tiat Mo Lek mungkin timbul salah paham terhadap kakaknya, maka ia ulangi lagi permintaannya yang semalam sudah diucapkannya.
"Bibi jangan khawatir, ayah bukan seorang yang berpikiran sempit, ia juga memuji Hee Kauw Ing sebagai seorang gagah dalam rimba hijau."
Selama mereka bicara, tiba-tiba terdengar suara derap kaki kuda, yang justru menuju ke perkampungan itu.
Sin Cie Kow segera berkata:
"Eh, kuda itu ada empat atau lima ekor banyaknya, dari gerak kaki dapat diduga semua merupakan kuda-kuda pilihan, apakah orang suku Hwee tadi malam itu yang balik lagi bersama kawannya?"
Sin Cie Kow sebetulnya adalah seorang yang sombong, tetapi setelah terjadinya pertempuran tadi malam yang ia dapat menang secara mujur, selanjutnya ia juga merasa kurang tenang. Orang suku Hwee yang dijumpai Tiat Leng di dalam perjalanan berjumlah empat orang. Maka Sin Cie Kow khawatir kalau tiga kawannya juga mempunyai kepandaian serupa, maka kedatangan mereka itu, bukan hanya ia seorang yang dapat menghadapinya.
Beberapa ekor kuda itu larinya cepat sekali, semula hanya terdengar suaranya samar-samar saja, tetapi kini nampaknya sudah dekat. Tahu-tahu sudah berada di depan pintu rumah.
Sin Cie Kow meskipun merasa kurang tenang tetapi juga tidak sudi mengunjukan kelemahannya, ia berkata:
"Baik, mereka tokh sudah datang, maka kita harus menyambut kedatangan mereka."
09.49. Sang Ratu Mencari Pangeran
Ia coba memperhitungkan kekuatan pihaknya sendiri, jumlah orang kedua pihak hampir sama banyaknya. Sudah tentu, apabila di pihak lawan merupakan orang-orang kuat semuanya, di pihaknya sendiri pasti akan mengalami kekalahan. Tetapi jika kekuatan mereka tidak semuanya seimbang dengan kepandaian orang berkerudung itu, siapa yang lebih unggul masih susah diduga.
Tiat Leng dan lain-lain mengikuti Sin Cie Kow ke luar, tiba di luar pintu, lalu berjumpa dengan orang itu. Sewaktu Tiat Leng mengangkat muka ia berseru kaget, karena sebagai pemimpin yang jalan di muka dari rombongan orang orang itu ternyata adalah seorang perempuan suku Hwee yang amat cantik parasnya.
Selagi Sin Cie Kow masih memikir-mikir seolah-olah pernah kenal wanita itu, Can Pek Sin sudah mendahului menegur:
"Ini bukan bibi U-bun?"
Perempuan suku Hwee itu berseru: "Aha!" lalu melompat turun dari kudanya dan berkata:
"Oh, bukankah kau si Siao-sin dari keluarga Can? Sudah begini tinggi! Dan ini tentunya Sin lo-cianpwee? Sudah beberapa tahun lamanya kita tidak bertemu!"
Kiranya perempuan suku Hwee itu adalah U-bun Hong-nie dari negara Su-tho-kok. Dahulu karena ia salah paham terhadap Cho Peng Goan, yang dikiranya musuhnya yang membunuh mati ayahnya, pernah datang ke daerah Tiong-goan untuk mencari. Satu kali di gunung Hok-gu-san ia terkena racun dari bunga, untung telah ditolong oleh Can Pek Sin dan Thie Po Leng, hingga pernah menjadi tetamunya keluarga Thie Sui. Itulah sebabnya ia paling kenal Can Pek Sin.
Yang lainnya seperti Sin Cie Kow dan Tiat Leng juga sudah pernah bertemu muka satu kali, hanya suami isteri Li Hong Chun yang merupakan kenalan baru.
Sin Cie Kow merasa heran, dalam hatinya berpikir: Kabarnya U-bun Hong-nie ini sudah menjadi ratu negara Su-tho-kok, keadaannya dan kedudukannya sudah berlainan dengan dahulu. Mengapa ia tinggalkan kedudukannya dan datang lagi ke daerah Tiong-goan?
Sementara itu, Can Pek Sin telah berkata:
"Apakah kau masih ingat adik Tiat Leng? Ayah adik Leng, Tiat Mo Lek dengan Toan Khek Gee adalah saudara sepupu."
Kiranya Toan Khek Gee dengan Cho Peng Goan adalah kedua sahabat karib bagaikan saudara sekandung, juga merupakan seorang rimba persilatan yang dikenal baik oleh U-bun Hong-nie, maka Can Pek Sin menyebutkan namanya untuk mengingatkannya.
U-bun Hong-nie segera menyekal tangan Tiat Leng seraya berkata sambil tertawa:
"Semua sudah berubah besar dan cantik pula. Kalau kau tidak mengatakan, aku masih belum berani mengenali."
"Bibi U-bun, angin apa yang membawa kau kemari? Kabarnya kau sudah menjadi ratu, apakah itu benar?" berkata pula Can Pek Sin.
"Oh, kalian orang daerah Tiong-goan apakah juga mendengar kabar tentang diriku? Tetapi kedatanganku kali ini bukan berkedudukan sebagai ratu, jangan kalian coba propagandakan."
Ratu dari suku Hwee ini nampaknya sangat tergesa-gesa, setelah berdiam sejenak, lalu berkata pula:
"Aku bisa berjumpa dengan kalian, benar-benar sangat kebetulan. Saudara Can, aku justru hendak minta sedikit keterangan darimu. Apakah kau dengar kabar tentang paman Cho mu?"
"Apakah yang kau maksudkan paman Cho Peng Goan? Memangnya kenapa? Apakah dia tidak ada di negara Su-tho-kok? Aku tadi bahkan hendak menanyakan kau."
Tiat Leng yang sementara itu diam saja lalu bertanya:
"U-bun...... em, em, aku tidak tahu harus panggil kau bibi U-bun ataukah bibi Cho?" Gadis yang banyak akalnya ini tidak berani menanya secara langsung, sebaliknya sengaja memutar untuk mencari tahu U-bun Hong-nie sudah menikah dengan Cho Peng Goan.
Muka U-bun Hong-nie menjadi merah, ia berkata:
"Terserah bagimu bagaimana kau suka panggil. Aku, hari ini justru hendak mencari dia supaya pulang."
Keterangan itu berarti sudah memberitahukan kepada mereka, bahwa ia sudah menikah dengan Cho Peng Goan. Hal itu nampaknya mengherankan semua orang. Dalam hati Tiat Leng segera berpikir: Kalau begitu apakah ia bercekcok dengan suaminya?
Semua orang meski merasa heran, tetapi karena hubungannya dengan ia belum begitu dalam, tidak pantas menanyakan urusan pribadi rumah tangganya. Apalagi nampaknya ia sangat tergesa-gesa rasanya tidak ingin berdiam lebih lama di situ, sebab empat pengawalnya semua masih belum turun dari atas kuda masing-masing.
"Cerita tentang paman Cho kita sama sekali tidak tahu, hanya paman Toan yang kita pernah lihat pada waktu terakhir ini," berkata Tiat Leng.
"O ya, aku justru ingin bertanya kepadamu dimana Toan Khek Gee berada?" berkata U-bun Hong-nie.
"Ia dengan bibi Su pada dua bulan berselang sudah pergi ke kota Yang-ciu. Sekarang mungkin masih ada di sana. Kau boleh mencari ke sana dan minta keterangan kepada Ciu Thong, Pangcu dari Hay-ho-pang."
U-bun Hong-nie mengucapkan terima kasih kepada Tiat Leng, selagi hendak naik kuda, tiba-tiba seperti dapat melihat sesuatu, wajahnya menunjukkan sikap heran, ia urungkan maksudnya.
Tiat Leng dapat melihat bahwa nona itu sedang memperhatikan pohon Kui, pikirannya tergerak apakah nona itu dapat tahu bahwa daun pohon yang rontok itu akibat dari serangan ilmu Hu-kut-ciang? Negara Su-tho-kok adalah salah satu Negara kecil di Daerah barat. Ia adalah ratu dari Negara itu tentunya banyak mengetahui orang-orang kuat berbagai Negara kecil Daerah barat, mungkin juga mengetahui asal usul empat orang suku Hwee itu.
Empat pengawal U-bun Hong-nie saat itu juga pada kasak kusuk dengan bahasa mereka. Meskipun Tiat Leng tak mengerti apa yang dibicarakan oleh mereka, tetapi melihat gerak gerik dan sikap mereka yang menuding-nuding di pohon besar itu, ada juga yang menuding dua singa-singaan batu itu, terang mereka sedang membicarakan soal itu.
Belum lenyap kecurigaan Tiat Leng, benar saja segera terdengar suaranya U-bun Hong-nie yang bertanya:
"Ini perbuatan siapa?"
"Kemarin di tengah jalan aku berpapasan dengan empat orang suku Hwee, perbuatan ini dilakukan oleh satu di antara mereka yang hidungnya bengkung bagaikan burung Garuda."
"Ha, ha, ha! Kiranya adalah mereka, benar melalui jalan ini."
"Mereka itu siapa?"
"Orang yang kau katakan tadi merupakan salah seorang kuat dari negara Hwee-khie namanya Thay Lok. Dan tiga kawannya itu juga orang-orang yang sudah terkenal di daerah Barat. Satu diantaranya yang beribu perempuan suku Han namanya Khu Pit Thay, kepandaiannya hampir sama tingginya dengan Thay Lok. Aku justru sedang mengejar mereka. Apa sebabnya Thay Lok itu membuat onar di sini?"
Tiat Leng dengan sigap menuturkan apa yang telah terjadi itu, kemudian ia bertanya:
"Mengapa kau hendak mengejar mereka?"
"Sebab empat orang itu semua hendak berlaku jahat terhadap paman Cho mu. Sekarang mereka mundur di daerah Tiong-goan, tentunya sudah tahu jejak pamanmu maka datang untuk mencari. Karena mereka mengejar pamanmu, maka aku harus mengejar jejak mereka! Maaf, soal ini aku tidak sempat untuk menjelaskan. Nanti setelah aku dapat menemukan paman Cho mu, kita akan pergi lagi ke gunung Hok-gu-san untuk mengunjungi ayahmu!"
"Ayah sekarang ada di gunung Kim-kee-nia, paman Cho tahu tempat itu. Semoga kau lekas dapat menemukannya."
U-bun Hong-nie setelah mengucapkan selamat tinggal kepada mereka, lalu pergi lagi bersama empat pengawalnya.
Sin Cie Kow lalu berkata sambil tertawa:
"Ada U-bun Hong-nie yang menghadapi mereka, ini berarti suatu bantuan dari kita secara tidak langsung. Li Chung-cu, kau juga tidak perlu khawatir akan diganggu oleh iblis itu lagi!"
"Tetapi orang-orangnya U-bun Hong-nie belum tentu dapat mengalahkan mereka!? berkata Tiat Leng.
"Ilmu pedang U-bun Hong-nie merupakan ilmu pedang tersendiri. Khong-khong Jie, pernah menyaksikan kepandaiannya, kabarnya berimbang dengan kepandaian suaminya Cho Peng Goan. Dan empat pengawalnya itu, menurut penglihatanku semuanya merupakan bantuan tenaga kuat, melakukan perjalanan demikian jauh, tidak tampak tanda-tanda letih. Di sini dapat dibuktikan bahwa mereka mempunyai kekuatan tenaga dalam yang sempurna. Mereka sudah berani mengejar empat orang suku Hwee itu, kepandaian mereka sudah tentu tidak berbeda terlalu jauh."
"Kalau begitu aku tidak mengkhawatirkan mereka lagi!"
"Kau adalah muridku, tetapi adatmu lebih mirip dengan sukongmu, suka membela ketidak adilan, suka mengurusi urusan orang lain. Kau merasa khawatir akan diri orang lain, tetapi aku sebaliknya takut kalian akan terjadi apa-apa di tengah jalan, sebaiknya kau berlaku hati-hati sendiri."
"U-bun Hong-nie meski sudah menjadi seorang ratu dari suatu Negara kecil, tetapi ia adalah isteri paman Cho Peng Goan, bagi kita terhitung bukan orang luar lagi. Suhu jangan khawatir, perjalanan dari gunung Hok-gu-san ke gunung Kim-kee-nia, hanya tinggal separuhnya saja. Dalam perjalanan yang sudah-sudah kita tidak menjumpai kejadian apa-apa, dan perjalanan selanjutnya sudah mendekati ke gunung Kim-kee-nia, tentunya tidak akan terjadi apa-apa lagi. Lagi pula kepandaian suhu, aku juga sudah berhasil mempelajari beberapa bagian, juga tidak membiarkan orang lain begitu muda menghina aku."
"Ucapan ini berarti menyombongkan dirimu sendiri ataukah menyombongkan suhumu? Baiknya di sini semua adalah orang-orang sendiri, jikalau tidak pasti akan membuat tertawaan. Semoga tidak akan terjadi apa-apa, tetapi kau jangan terlalu sombong."
Suhu itu meskipun memberi nasihat muridnya namun dalam hati diam-diam merasa bangga, sebab adat muridnya itu sama dengan adatnya sendiri di masa mudanya. Kesombongan meskipun merupakan adat yang tidak baik, tetapi semangatnya yang tidak takut kepada musuh kuat patutlah dibanggakan.
Mereka masing-masing lalu berpencaran, Sin Cie Kow pergi ke kota Gui-pok menjumpai suaminya, Liong Seng Hiang pergi ke kota Yang-ciu mencari adiknya. Li Hong Chun suami isteri pergi ke kota Yu-ciu untuk menumpang di rumah Hee Kauw Ing, sedangkan Tiat Leng dan Can Pek Sin melanjutkan perjalanannya ke gunung Kim-kee-nia untuk menemui ayahnya. Dua anak muda ini seolah-olah menyelesaikan urusannya kepada Li Hong Chun, selanjutnya boleh langsung menuju ke tempat tujuannya tanpa memikirkan soal lainnya.
<> Kuda mereka merupakan kuda-kuda pilihan, dalam waktu tiga hari, sudah melakukan perjalanan seribu pal lebih, benar saja sepanjang jalan tidak terjadi apa-apa.
Sementara itu Tiat Leng lalu berkata:
"Dengan jalan seperti ini, paling lama hanya memerlukan tempo empat hari lagi, kita akan sampai ke gunung Kim-kee-nia. Malam ini sebaiknya kita mencari rumah penginapan untuk beristirahat satu malam. Dua malam yang sudah karena kita harus menginap di dalam hutan aku tidak bisa tidur nyenyak."
Can Pek Sin terhadapnya sangat menyinta bagaikan adik sendiri, sudah tentu ia setuju, maka sebelum matahari terbenam, mereka mencari salah satu rumah penginapan di suatu kota kecil.
Seperti biasa, mereka bersebutan kakak dan adik, di rumah penginapan mereka minta disediakan dua kamar.
Setelah makan malam dan mengobrol sebentar, hari sudah gelap, Can Pek Sin lalu berkata:
"Berhari-hari kau letih, tidak dapat tidur nyenyak, malam ini kau lekas beristirahat."
Selagi Tiat Leng hendak masuk ke kamarnya, di luar tiba-tiba terdengar suara orang ribut mulut.
Suara orang itu kedengarannya agak aneh, meskipun setiap perkataannya dapat didengar dengan jelas tetapi logatnya sangat kaku, logat daerah Utara kedengarannya bercampur aduk menjadi satu.
Tiba-tiba terdengar suara orang menggeprak meja kemudian disusul oleh suara makian:
"Aku mempunyai uang, kau berani menolak aku menginap di rumah penginapanmu!"
Terdengar suara jawaban dari pengurus rumah penginapan:
"Maaf tuan jangan gusar. Sebagai orang dagang siapa yang tidak ingin uang? Jikalau di sini masih ada kamar yang kosong, bagaimana aku harus menolak? Dengan sebetulnya kamar memang sudah terisi penuh."
Terdengar kembali jawaban orang itu:
"Aku tak perduli kamarmu sudah penuh atau belum, di kota ini hanya ada rumah penginapanmu ini. Aku sudah masuk kemari, itu berarti harus dapatkan kamar untukku. Jikalau tidak, hem, hem, kalau aku nanti marah, aku akan usir semua tetamumu!"
Can Pek Sin yang mendengar pembicaraan itu, timbullah rasa marah terhadap ketidak adilan itu, ia berkata:
"Tamu ini agaknya tak tahu aturan, aku justru ingin tunggu ia bagaimana caranya mengusir aku."
Tiat Leng tiba-tiba berkata:
"Can toako, kau dengar logat bicaranya orang itu, rupanya orang suku Hwee?"
Selagi Can Pek Sin hendak keluar, pengurus rumah penginapan, sudah datang menghampiri.
Can Pek Sin mengira tetamu itu akan mencari onar, tetapi nyatalah adalah si pengurus rumah penginapan yang ingin berunding dengannya.
Pada saat itu ruangan terang benderang, sehingga adanya tetamu itu juga dapat dilihat.
Tiat Leng yang menyaksikan orang itu, semula ia terkejut, dikiranya tamu itu bukan orang suku Han, tetapi ternyata berdandan seperti orang Kang-ouw dari suku Han. Dari wajahnya juga mirip dengan orang suku Han. Tetapi ia ingat seperti di mana pernah melihatnya.
Tetamu itu tubuhnya tinggi besar, di pinggangnya ada tergantung sebilah golok panjang, ia berdiri di tengah-tengah ruangan sambil mengawasi pengurus rumah penginapan dengan buas.
Justru karena orang itu beroman jahat dan membawa golok, maka tetamu-tetamu di kamar lainnya ketika mendengar ucapan itu, meskipun semua merasa mendongkol, tetapi tak berani keluar.
Pengurus rumah penginapan itu setelah berada di kamar Can Pek Sin, lalu berkata dengan sikapnya yang menghormat:
"Harap tuan suka menolong, kalian adalah kakak beradik, tidak halangan tinggal dalam satu kamar. Kamar yang satu biarlah aku berikan kepada tetamu itu."
Dengan muka merah Can Pek Sin berkata: "Tidak bisa!"
"Pengurus rumah penginapan itn kembali membungkukkan badannya untuk memberi hormat seraya berkata:
"Tuan berbuatlah sedikit kebaikan untuk menolong diriku!" berkata sampai di situ ia berdiam, kemudian berkata pula dengan suara sangat perlahan: "Kau lihat betapa galak sikapnya tetamu itu, agaknya ingin menelanku bulat-bulat!"
Can Pek Sin tidak dapat menerangkan bahwa ia dengan Tiat Leng bukanlah saudara kandung, maka ia merasa sulit sekali.
Tiat Leng sudah tak sabar, ia berkata dengan suara keras:
"Aku sudah pernah melihat orang jahat, kau boleh takut kepadanya tetapi aku tidak! Kalau ia hendak berbuat jahat, kamar ini tidak akan kuberikan kepadanya, aku ingin lihat apa ia hendak perbuat terhadap diriku? Tokh tak mungkin ia benar-benar hendak menelan diriku!"
Karena suara itu keras, hingga semua pembicaraannya dapat didengar oleh tetamu itu, karena Tiat Leng masih menunjukkan suaranya anak perempuan yang masih belum dewasa, maka keberaniannya Tiat Leng itu menarik hatinya.
Setelah tamu itu dapat melihat tegas siapa agaknya nona itu, untuk sesaat ia tercengang, kemudian ia maju dua langkah untuk menghadapi Tiat Leng sambil memperdengarkan suara ketawa dingin.


Jiwa Ksatria Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Mengapa kau tertawa? Kau mau apa?" demikian Tiat Leng menanya dengan sikap gusar.
Can Pek Sin takut Tiat Leng mendapatkan kesulitan, maka ia segera keluar dari kamarnya dan berdiri di sampingnya.
Tetamu itu melototkan matanya, ia mengamat-amati Can Pek Sin dan Tiat Leng dari atas, sampai ke bawah, tiba-tiba terdengar suara, "hem," kemudian berkata sambil tertawa dingin:
"Kiranya kau si setan alas ini. Hem, beberapa hari berselang bukankah yang mengeluarkan kata-kata kotor memaki orang? Perbuatanmu itu aku masih belum membuat perhitungan denganmu."
09.50. Pemilihan Rencana Teratas
Tiat Leng yang mendengar perkataan itu, baru ingat bahwa tetamu itu adalah salah satu dari empat orang Hwee yang dijumpai di jalan pada hari itu. Karena wajahnya orang itu mirip orang suku Han, pakaiannya juga orang suku Han maka Tiat Leng tadi belum dapat mengenali.
Tiba-tiba ia teringat keterangan U-bun Hong-nie mengenai diri orang itu, maka ia lalu berkata sambil tertawa dingin:
"Benar orang yang memaki kalian anjing busuk hari itu adalah aku, karena aku sudah lihat kalian bukan orang baik-baik, maka aku memakimu. Dan sekarang ternyata bahwa makianku itu tidak keliru.
Tetamu itu memang benar adalah Khu Pit Tay salah seorang kuat dari Negara Hwee-kie.
Dimaki demikian olah Tiat Leng, orang itu berjingkrak-jingkrak kemudian membentak dengan suara keras:
"Anak busuk, kau anak siapa? Aku segan membunuh kau, sebutkanlah nama ayah bundamu!"
"Ada peribahasa: Anjing mengandalkan pengaruh majikannya, itu memang tidak salah. Siapakah majikanmu? Sebutkanlah namanya!"
Jawaban itu semakin membikin gusar Khu Pit Tay. Ia sebetulnya ingin mencari tahu asal usul diri Tiat Leng, kemudian baru dihajar. Tetapi setelah dimaki demikian, hawa amarahnya lantas meluap, bentaknya dengan suara keras:
"Kuda busuk, hari itu aku tidak sempat meladeni kau, tetapi sekarang terjatuh di tanganku harus kau rasakan betapa ganasku, berada di tanganku, aku tidak takut kau tidak akan memberi tahukan nama ayah bundamu!"
Kiranya orang itu sudah dapat menduga bahwa Tiat Leng bukanlah anaknya orang sembarangan. Ia bukan saja hendak menyusahkan dirinya, tetapi juga hendak mencelakakan ayah bundanya untuk menyingkirkan bahaya di kemudian hari.
Tiat Leng tidak kenal takut, orang memaki kepadanya, ia juga balas memaki. Ia berkata sambil tertawa dingin:
"Khu Pit Tay, karena memandang ibumu adalah orang suku Han, aku juga tidak ingin membunuh kau. Tetapi jikalau kau tidak ingin merobah sifat anjingmu, maka aku tidak boleh tidak akan mematahkan kuku-kukumu!"
Khu Pit Tay yang sudah hendak menerjang, ketika mendengar perkataan itu merasa sangat heran pikirnya: Bagaimana budak ini mengetahui nama dan asal usulku?"
Tetapi Khu Pit Tay walaupun terkejut, gerakannya masih dilanjutkan, bahkan maksudnya hendak membinasakan Tiat Leng semakin bertambah.
Khu Pit Tay yang mengenakan pakaian orang suku Han, maksudnya ialah tidak ingin diketahui oleh orang bahwa dirinya adalah orang dari suku Hwee. Tetapi sekarang Tiat Leng bukan saja sudah mengetahui bahwa dirinya adalah orang suku Hwee, tetapi juga mengetahui asal usulnya maka ia tidak mau melepaskan begitu saja.
Tiat Leng yang sudah membuka rahasia Khu Pit Tay, nampaknya sangat bangga, tiba-tiba dirasakan hembusan angin hebat menyambar mukanya, tangan Khu Pit Tay sudah menyambar.
Tiat Leng sebetulnya juga sudah siap akan berkelahi dengannya, tetapi ia tidak menduga orang itu sudah begitu cepat bertindak, hingga tidak keburu menangkis. Dalam keadaan demikian ia terpaksa lompat menyingkir tiga langkah untuk menyingkirkan serangan tersebut, hanya tinggal sejengkal saja dari tangan Khu Pit Tay menyambar tulang pundaknya.
Walaupun Tiat Leng sudah menyingkir, tetapi juga terpental jatuh karena hembusan angin yang kuat itu.
Dalam saat yang amat kritis itu, Can Pek Sin, juga sudah bertindak, dengan gerak tipunya menangkap musuh dengan jari tangan, dia menyambar pengelangan tangan orang itu.
Gerak tipu itu Can Pek Sin dapat mempelajari dari Thie Sui, setiap gerakan sangat ganas. Meskipun kepandaiannya Khu Pit Tay lebih tinggi dari kepandaian Can Pek Sin tetapi dalam pertempuran jarak dekat banyak kepandaian yang tidak dapat digunakan.
Kedua pihak sudah bertempur tiga jurus. Dalam pertempuran jarak dekat itu, adalah ilmunya yang digunakan oleh Can Pek Sin yang lebih unggul, maka ialah yang berhasil menyambar pergelangan tangan musuhnya.
Selagi ia berusaha hendak mematahkan tangan musuhnya, tiba-tiba merasakan bahwa dari tangan musuhnya timbul tenaga perlawanan, hingga tangannya sendiri dirasakan sakit.
Kiranya Khu Pit Tay ada melatih ilmu dari golongan sesat yang khusus melindungi dirinya. Kalau menerima tekanan dari luar segera timbul reaksi daya perlawanannya lebih hebat. Karena kekuatan tenaga dalam Can Pek Sin belum dapat mengimbangi kekuatannya, sudah tentu ia yang dirugikan.
Khu Pit Tay menggerakkan dua tangannya dan membalikkan badannya hingga sekarang Can Pek Sin yang berbalik ditindih olehnya. Tetapi pada saat itu Tiat Leng sudah memperbaiki kedudukannya. Ia lalu menghunus pedangnya dan menikam jalan darah di belakang punggung Khu Pit Tay.
Jalan darah itu merupakan salah satu jalan darah kematian dalam anggota badan manusia, meskipun Khu Pit Tay mempunyai ilmu melindungi diri, tetapi juga tidak berani membiarkan dirinya tertusuk mentah-mentah. Ketika belakang punggungnya merasakan tiupan angin ia buru-buru menyingkir sehingga dengan demikian Can Pek Sin sudah berdiri lagi.
Serangan ilmu pedang Tiat Leng cepat sekali, tiba-tiba ia memutar ujung pedangnya, kembali mengancam lain bagian belakang badan Khu Pit Tay.
Khu Pit Tay belum sempat berdiri, terpaksa menangkis dengan lengan bajunya, sebentar terdengar suara "seret," dan kemudian disusul oleh suata ?trang?. Lengan baju Khu Pit Tay terpapas sepotong, tetapi pedang Tiat Leng juga terjatuh di tanah oleh kekuatan lengan baju itu.
Can Pek Sin juga sudah menghunus pedangnya, ia segera maju menikam. Khu Pit Tay menangkis dengan tangannya, kemudian tangan ini menyambar dua buah meja, kedua kakinya juga menendang dua buah meja, hingga empat meja itu melayang ke arah Can Pek Sin, hingga Can Pek Sin terhalang dan terpaksa lompat menyingkir.
Pengurus rumah penginapan itu ketakutan setengah mati, ia berteriak-teriak minta supaya mereka jangan berkelahi.
Tiat Leng memungut kembali pedang pusakanya, selagi hendak maju untuk memberi bantuan, Can Pek Sin tiba-tiba menarik tangannya dan berkata:
"Kita harus memilih rencana yang teratas!"
Dalam peribahasa kuno dikatakan bahwa dalam tigapuluh enam rencana, rencana lari yang digolongkan rencana teratas. Can Pek Sin menyebutkan rencana itu maksudnya menyuruh Tiat Leng lekas lari, tetapi karena harus memandang muka nona itu, maka ia tidak menggunakan perkataan lari.
Kekuatan orang itu sesungguhnya terlalu tangguh bagi mereka, Tiat Leng juga menganggap bukan tandingannya, maka juga tidak berani bertempur lama-lama! Ketika mendengar perkataan itu lalu menjawab:
"Benar kita harus menggunakan akal tipu teratas ini!"
Badannya segera lompat ke belakang, bersama-sama Can Pek Sin lari menuju keluar.
Khu Pit Tay meskipun mempunyai darah setengah dari orang suku Han, tetapi ia tidak mengerti peribahasa orang Han itu. Setelah melemparkan empat buah meja ia berkata sambil ketawa dingin:
"Aku ingin melihat kalian mempunyai rencana teratas apa?"
Sementara itu dalam hatinya berpikir: Kedua bocah ini tidak sanggup melawan aku, apakah masih mempunyai akal muslihat lain?
Belum lenyap pikiran itu, tiba-tiba dapat melihat kedua anak muda itu sudah lari keluar. Kini Khu Pit Tay baru tersadar bahwa apa yang dimaksudkan dengan istilah rencana teratas tadi, ternyata minta kawannya supaya lari.
Can Pek Sin dan Tiat Leng hendak menuju ke kandang kuda untuk mengambil kudanya. Kandang kuda rumah penginapan itu terbuat dari rumah atap, yang letaknya di belakang rumah. Baru saja mereka hendak memutar dinding tembok, tiba-tiba terdengar suara nyaring, dan dinding itu terbuka satu lobang, Khu Pit Tay sudah menerobos keluar dari lobang tembok itu seraya berkata:
"Hendak lari kemana?"
Kiranya Khu Pit Tay yang terhalang oleh meja-meja tadi, jikalau menyusul melalui pintu besar ia khawatir tidak dapat mengejar, maka ia segera menggunakan ilmunya yang bersifat keras untuk membobol tembok dan menghadang jalan keluar anak muda itu.
Tiat Leng yang melihat munculnya Khu Pit Tay lalu berkata:
"Baik, kita tak bisa lari terpaksa bertempur lagi! Apakah kau kira nonamu takut padamu?" Dengan tanpa menantikan bertindaknya Khu Pit Tay, ia sudah menyerang lebih dulu dengan pedangnya.
Khu Pit Tay sambil membentak: "Lepaskan pedangmu!" Mengait dengan tangan kirinya dan menepuk dengan tangan kanannya, ini adalah satu gerakan untuk merebut senjata dari tangan musuh dengan tangan kosong. Gerakan itu dilakukan sangat bagus sekali, ia mengira pedang Tiat Leng pasti akan terebut olehnya.
Namun Tiat Leng sudah mengetahui kepandaian orang itu, maka kali ini sudah berpikir tidak akan melawan dengan kekerasan. Tikaman tadi sebenarnya merupakan suatu gerak tipu dan maksud mengancam saja, maka tatkala tangan Khu Pit Tay menepuk, ujung pedang Tiat Leng sudah berbalik ke lain arah, yaitu memutar ke sampingnya.
Sementara itu mulutnya berseru:
"Can toako lekas ambil kuda kita!"
Mulutnya bicara gerak pedangnya sedikit pun tidak berubah. Pedang itu ditujukan ke bagian jalan darah di bawah ketiak musuhnya.
Khu Pit Tay berjingkrak-jingkrak, ia memutar kakinya, melakukan serangan dengan kedua tangannya, sebentar kemudian terdengar suara riuh, istal kuda telah roboh. Tetapi Tiat Leng sangat cerdik, untuk menghadapi musuh tangguh itu yang menggunakan ilmu meringankan tubuh yang sangat lincah bagaikan kupu-kupu berterbangan di taman bunga, sehingga siang-siang ia sudah waspada untuk menghindarkan setiap serangan musuhnya, maka serangan Khu Pit Tay tidak mengenai dirinya.
Meskipun kepandaian dan kekuatan Tiat Leng masih selisih sangat jauh sekali dengan kekuatan musuhnya, tetapi karena gerak badannya yang ringan gesit dan lincah serta ilmu pedangnya yang aneh, dalam waktu sepuluh jurus ia masih dapat mengimbangi musuhnya.
Sebetulnya asal Tiat Leng sanggup bertahan sampai sepuluh jurus, Can Pek Sin, masih mempunyai cukup waktu untuk mengambil kudanya, dan apabila mereka berhasil mengambil kudanya, sudah tentu Khu Pit Tay tak dapat mengejar mereka. Tetapi Can Pek Sin yang menyaksikan serangan musuh demikian ganas, bagaimana ia berani meninggalkan Tiat Leng.
Kisah Sepasang Bayangan Dewa 7 Pendekar Rajawali Sakti 193 Dewa Sesat Silence 1
^