Pencarian

Jiwa Ksatria 9

Jiwa Ksatria Karya Liang Ie Shen Bagian 9


Khu Put Tay yang selalu memasang mata dan telinga, ketika serangan yang diarahkan kepada Tiat Leng tak mengenai sasarannya, segera membalikkan badannya dan kebetulan berhadapan dengan Can Pek Sin.
Tiat Leng segera berkata:
"Ah, toako, bagaimana kau tidak dengar perkataanku?"
Sebelum habis ucapannya, matanya dapat melihat berkelebatnya sinar mas. Ternyata Khu Pit Tay juga sudah menghunus goloknya untuk menyambut serangan Can Pek Sin.
Selama pertandingan antara golok dengan pedang itu, dengan beruntun Khu Pit Tay sudah mengeluarkan gerak tipunya membabat, membacok, menyerang dan menikam. Meskipun pelajaran Can Pek Sin juga tercampur dari pelajaran golongan benar dan golongan sesat, akan tetapi masih kalah mahir dengan musuhnya, maka waktu bertanding sampai babak ketujuh, pedang Can Pek Sin hampir terlepas dari tangannya.
Dalam babak kedelapan, tiba-tiba Khu Pit Tay berseru, "Kena!" Goloknya membabat pinggang Can Pek Sin.
Khu Pit Tay mengira serangannya itu pasti berhasil. Tak disangka Can Pek Sin mempunyai simpanan pelajaran keturunan keluarganya, yang meniru gerak gerik binatang terbang, masih belum dikeluarkan. Dalam keadaan yang sangat berbahaya itu, badannya melesat tinggi ke atas, kemudian berputaran di tengah udara, bagaikan burung elang membentang sayap, hingga serangan Khu Pit Tay liwat di bawah kakinya.
Khu Pit Tay terperanjat, ia lalu menegur:
"Kau pernah apa dengan Can Goan Siu?"
Kiranya di masa muda Can Goan Siu pernah merantau ke daerah barat, di sana ia pernah menjatuhkan tigabelas orang-orang jago yang terkenal kuat. Khu Pit Tay kala itu juga merupakan salah satu seorang pecundangnya.
Sementara itu Tiat Leng yang menyaksikan keadaan yang demikian, segera bertindak, untuk membantu kawannya.
Can Pek Sin melayang turun, segera bergandengan tangan dengan Tiat Leng untuk melawan musuhnya.
Tiat Leng berkata, sambil tertawa:
"Kau anjing Hwee ini juga kenal dengan ayah Can toako. Apa kau ingin bersahabat?"
"Bagus, kiranya adalah anak Can Goan Siu, kalau kalian berdua jangan harap bisa hidup lagi!" jawab Khu Pit Tay gusar.
Selagi Tiat Leng hendak balas memaki, Khu Pit Tay sudah melancarkan serangan. Ilmu goloknya bagaikan angin cepatnya mengurung mereka berdua.
Kepandaian Can Pek Sin meskipun tidak di bawah kepandaian ayahnya di masa masih muda, tetapi kepandaian Khu Pit Tay sudah mendapat kemajuan banyak sejak ia dikalahkan ayahnya, maka meskipun Can Pek Sin bergandengan tangan dengan Tiat Leng, masih tetap berada di bawa angin.
Untung mereka berdua semua didikan guru-guru pandai, terutama ilmu pedang Tiat Leng, yang dapat warisan ilmu pedang Sin Cie Kow. Gerak ilmu pedang yang aneh luar biasa itu belum pernah disaksikan oleh Khu Pit Tay. Maka meskipun ia sudah berada di atas angin tetapi juga tidak berani berlaku gegabah.
Can Pek Sin beberapa kali hendak menerjang keluar, tetapi usahanya itu selalu tidak berhasil maka, ia berkata kepada Tiat Leng,
"Adik Leng, kau pengilah, sebaiknya ada salah satu yang harus bisa lolos dari cengkeramannya.
Tiat Leng sebetulnya agaknya menyesal perbuatannya yang sangat gegabah, tetapi setelah mendengar perkataaan Can Pek Sin tadi, semangatnya tiba-tiba terbangun kembali, ia berkata:
"Tidak bisa kabur kita terpaksa mengadu jiwa dengannya. Siapa yang menang dan siapa yang kalah masih belum diketahui, bagaimana aku harus kabur seorang diri?"
Ia sudah bertekad untuk mengadu jiwa dengan musuhnya, maka serangan selanjutnya ia menggunakan ilmu yang lebih aneh, hingga Khu Pit Tay terpaksa harus melayaninya lebih hati-hati.
Khu Pit Tay yang mendengar pembicaraan mereka lalu berkata:
"Apakah kalian masih ingin kabur? Satupun yangan harap bisa kabur!"
Goloknya lalu diputar sedemikian rupa, ia mendesak semakin hebat, sehingga ilmu pedang Tiat Leng perlahan-lahan mulai terdesak.
Sebentar saja pertempuran sudah berjalan limapuluh jurus, Khu Pit Tay yang masih belum berhasil melukai musuhnya juga merasa heran.
Dalam gusarnya ia mengerahkan seluruh kepandaiannya.
Tiat Leng yang mulai kehabisan tenaga napasnya sudah tersengkal-sengkal, ilmu pedangnya mulai kalut. Can Pek Sin meskipun masih dapat bertahan tetapi juga kewalahan.
Selagi dalam keadaan sangat berbahaya, tiba-tiba terdengar suara keliningan kuda.
Tiat Leng diam-diam mengeluh: Celaka, satu orang saja masih belum sanggup melayani. Kalau datang kawannya lagi bagaimana kita sanggup menghadapinya nanti.
Ia mengira orang yang datang itu adalah kawannya Khu Pit Tay. Tetapi sebelum lenyap pikirannya tiba-tiba terdengar suara: "Eh!" Dan orang itu, kudanya lalu dihentikan, kemudian orang itu berseru:
"Apakah ini saudara Can Pek Sin? Siapakah nona kecil ini?"
Can Pek Sin dalam keadaan sangat repot melirik ke arah orang itu, kemudian ia berkata dengan suara nyaring:
"Paman Cho, lekas bantu aku. Dia adalah Tiat Leng!"
Kiranya orang baru datang itu bukan lain dari pada Cho Peng Goan, yang sedang dicari oleh U-bun Hong-nie. Sudah tujuh tahun lamanya ia pergi. Cho Peng Goan yang usianya lebih tua, juga sudah pernah diam di rumah keluarga Can, maka samar-samar mengenalnya.
Tentang diri Tiat Leng, dulu ia pernah melihatnya, tetapi kala itu Tiat Leng masih kanak-kanak dan sekarang sudah menjadi gadis cilik yang cantik, hingga sudah tidak mengenalnya lagi. Ia hanya dapat mengenali ilmu pedang yang digunakan oleh Tiat Leng adalah ilmu pedang warisan Sin Cie Kow.
Ketika mendengar disebutnya nama puteri Tiat Mo Lek, bukan kepalang terkejutnya, ia tidak keburu melompat turun dari kudanya, segera melayang dari atas kuda, dengan satu gerakan gunung Tay-san menindih kepala, goloknya menyambar Khu Pit Tay.
Khu Pit Tay menangkis dengan goloknya, pergelangan tangannya dirasakan sakit sehingga ia mundur tiga langkah dan membentak dengan suara keras:
"Bagus, Cho Peng Goan, aku justru sedang mencari kau!"
Karena pada saat itu Khu Pit Tay berpakaian bangsa suku Han, maka Cho Peng Goan sewaktu bertempur dengannya, baru dapat mengenalinya. Ia berkata sambil tertawa dingin:
"Di negara Su-tho-kok kalian menyusahkan aku. Aku sudah menyingkir ke daerah Tiong-goan. Apakah kalian masih belum mau melepaskan? Baiklah, mari kita mengadu kepandaian.
09.51. Akhir Kesombongan Khu Pit Tay
Kesembilanbelas Dalam keadaan demikian Khu Pit Tay terpaksa berkeras kepala, ia berkata:
"Baik, aku tidak takut kalian berjumlah banyak!"
Cho Peng Goan tertawa terbahak-bahak, ia lalu berkata kepada Can Pek Sin dan ?Tiat Leng:
"Pek Sin, Tiat Leng, kalian berdua mundur, berdiri agak jauh, supaya jangan menakut-nakuti orang ini." Ia lalu berkata kepada Khu Pit Tay:
"Baiklah kau sekarang tidak usah merasa khawatir!"
Khu Pit Tay yang ditantang demikian rupa sudah naik darah, sambil menggeram hebat ia menerjang lawannya.
Cho Peng Goan masih berdiri tegak tanpa bergerak, setelah serangan tiba baru menyambut dengan goloknya.
Ilmu golok Khu Pit Tay luar biasa cepatnya. Sebentar saja sudah melancarkan tujuh kali serangannya, dalam tujuh kali serangan itu, mengandung duapuluh satu macam gerak tipu.
Tetapi heran, Cho Peng Goan hanya membuat satu lingkaran dengan goloknya, seolah-olah dinding besar yang kuat sudah berhasil menutup semua serangan itu. Tiba-tiba terdengar suara beradunya dua senjata dan golok Khu Pit Tay sudah gompal tiga tempat.
Khu Pit Tay terperanjat, kiranya Cho Peng Goan meskipun di negara Su-tho-kok sangat terkenal namanya sebagai seorang gagah, tetapi orang-orang kuat di daerah Barat, tiada satupun yang mengetahltui kepandaian dan kekuatannya. Khu Pit Tay ini mengandalkan kepandaiannya sendiri. Selama itu selalu tak memandang mata kepadanya, maka kali ini dengan tiga kawannya datang ke daerah Tiong-goan, justru adalah ia sendiri yang mengusulkan supaya mencarinya dengan jalan berpencaran.
Dalam usahanya mencari Cho Peng Goan kali ini, mereka berempat dipecah menjadi tiga rombongan. Ia dengan Thay Lok menjadi dua rombongan, dua yang lainnya menjadi satu rombongan. Dalam anggapan Khu Pit Tay, ia sendiri sudah cukup untuk menghadapi Cho Peng Goan.
Di luar dugaan malam itu telah berjumpa di tempat itu. Dan apa yang lebih-lebih di luar dugaannya ialah kekuatan tenaga Cho Peng Goan, ternyata jauh di atas perhitungannya. Hanya dalam satu tindak, ia sudah dapat mengukur bahwa kekuatan Cho Peng Goan masih di atas kekuatannya sendiri.
Akan tetapi, walaupun ia terkejut, namun masih belum habis herannya. Ia masih mempunyai kepandaian simpanan yang masih belum dikeluarkan.
Cho Peng Goan yang sudah berhasil dalam serangan pertama segera balas menyerang. Khu Pit Tay, tiba-tiba mengeluarkan gerak tipu ilmu silatnya yang aneh, yang agaknya tidak menurut peraturan. Tetapi Cho Peng Goan dapat mengenali bahwa ilmu silat itu adalah ilmu silat yang sudah dirobah dari ilmu silat golongan Tiong-goan yang terkenal dengan namanya delapan dewa mabuk, maka ia tidak berani memandang ringan. Ia segera mengerahkan kepandaiannya, maksudnya hendak memapas putung golok lawannya.
Ilmu golok Khu Pit Tay dalam babak pertama menggunakan kekerasan. Tetapi kemudian dirubah dengan gerak tipu yang lunak, sedapat mungkin ia berusaha untuk menghindarkan goloknya terbentur dengan golok lawannya.
Cho Peng Goan adalah ahli ilmu silat kenamaan. Begitu melihat sudah mengetahui bahwa ilmu golok lawannya mengandung gerak tipu totokan jalan darah.
Kalau dengan pedang menotok jalan darah, dalam rimba persilatan banyak orang yang pandai menggunakannya, tetapi menotok jalan darah dengan golok, ini sesungguhnya jarang ada.
Yang lebih hebat ialah golok Khu Pit Tay yang bentuknya serupa seperti bulan sabit. Ketika ujung golok menotok jalan darah kadang-kadang bagaikan tongkat bengkok, sama sekali berlainan dengan ilmu totokan yang menggunakan ujung pedang. Ilmu totokan yang aneh ini, sekalipun Cho Peng Goan yang sudah banyak pengetahuan juga baru pertama kali ini menyaksikannya.
Meskipun ia tidak takut, tetapi juga harus menghadapi dengan sangat hati-hati sekali.
Sebelum berhasil dapat mempelajari ilmu golok lawannya yang sangat aneh, ia mengambil sikap defensif. Goloknya diputar untuk menutup dirinya, sehingga golok lawannya tidak berhasil mendekati dirinya. Sekalipun mempunyai kepandaian menotok yang luar biasa, juga tidak dapat digunakan.......
Istal kuda itu yang tadi telah dirobohkan oleh Khu Pit Tay, untung karena atasnya tertutup oleh atap, maka kuda yang berada di dalam istal tidak ada yang terluka hanya mengeluarkan suara ramai karena tertindih oleh daun atap.
Tiat Leng yang memikirkan kudanya, tetapi ia juga tidak mau meninggalkan gelanggang pertempuran itu untuk menyaksikan jalannya pertempuran, maka ia minta supaya Can Pek Sin yang membawa keluar kuda mereka.
Khu Pit Tay ketika menyaksikan Can Pek Sin memasuki istal kuda dengan hati terkejut. Ia takut kalau Can Pek Sin melukai kudanya, sehingga ia nanti tidak bisa kabur.
Sementara itn Can Pek Sin sudah mengeluarkan kuda-kuda yang tertindih oleh atap istal. Sebagai seorang yang ?berjiwa kesatria? Can Pek Sin sedikitpun tak mempunyai maksud untuk melukai kuda musuhnya.
Khu Pit Tay tahu bahwa dirinya sudah tak ada harapan untuk merebut kemenangan, ketika melihat kuda tunggangannya dalam keadaan selamat, lalu timbul pikiran hendak kabur.
Tiba-tiba Cho Peng Goan berkata:
"Orang she Khu, bukankah kau ingin mengadu kepandaian denganku? Baiklah aku sekarang juga akan mencoba ilmu golokmu!"
Sambil mengucap demikian, gerakan golok di tangannya tiba-tiba berobah dari sikap bertahan menjadi sikap menyerang. Sebentar kemudian hanya nampak sinar golok yang berkelebatan, kecepatanya susah dibayangkan! Khu Pit Tay yang sebetulnya mahir ilmu golok cepat tetapi ia tidak mengira bahwa kecepatan ilmu golok Cho Peng Goan masih jauh lebih tinggi dari ilmu goloknya sendiri!
Kenyataan itu sangat mengejutkannya, karena ia sudah merasa sukar menangkis serangan lawannya, sudah tentu tidak mampu mengeluarkan kepandaiannya lagi.
Sekaligus Cho Peng Goan melakukan serangannya sampai tigapuluh enam kali. Ketika serangan terakhir habis dilancarkan, kepala Khu Pit Tay tiba-tiba dirasakan dingin. Dalam keadaan terkejut dan ketakutan ia buru-buru melompat mundur sampai tiga tombak jauhnya.
Ketika ia meraba kepalanya ternyata tidak terdapat tanda darah, tetapi sebagian besar dari rambutnya sudah terpapas sehingga kepalanya menjadi botak.
Cho Peng Goan membentak dengan suara keras:
"Karena mengingat kedatanganmu ini atas perintah orang lain, maka kali ini kuampuni jiwamu. Lain kali apabila ketemu lagi, dengan aku akan tidak berlaku merendah lagi terhadapmu."
Khu Pit Tay tidak berani membuka suara ia buru-buru melompat naik ke atas kudanya dan segera melarikau diri.
Setelah Khu Pit Tay berlalu, Can Pek Sin dan Tiat Leng maju memberi hormat kepada Cho Peng Goan.
Cho Peng Goan lalu menanyakan mereka:
"Dengan cara bagaimana kalian sampai bentrok dengan orang itu?"
"Beberapa hari berselang kita baru saja berjumpa dengan bibi U-bun. Eh, eh, bukan, seharusnya aku sebut bibi Cho. Tentang diri orang itu, adalah bibi Cho yang memberitahukan kepada kita. Hanya kali ini kita bertempur dengannya bukan karena bibi Cho, melainkan karena di jalanan aku pernah memaki padanya," demikian Tiat Leng berkata.
Cho Peng Goan ketika mendengar mereka, pernah berjumpa dengan U-bun Hong-nie, diam-diam merasa terkejut dan girang. Ia tidak sempat menanyakan soal yang lain, lalu bertanya:
"Dimana kau berjumpa dengan bibi U-bun mu?"
"Di rumahnya paman Li Hong Chun aku berjumpa dengan bibi Cho, katanya ia juga sedang mencari kau! Aku tak tahu ia pergi kemana, tetapi aku tahu ia menuju ke selatan mengejar Thay Lok.
"Dia tidak kenal dengan Li Hong Chun, bagaimana bisa berada di rumah? Lagi pula, bagaimana kau tahu ia mengejar Thay Lok?"
"Thay Lok lah yang lebih dulu menerbitkan onar di rumah Li Hong Chun. Mungkin ia sudah dapat melihat jejak Thay Lok, maka sepanjang jalan dikuntitnya. Pagi itu, ketika ia liwat di rumah Li Hong Chun, kebetulan berjumpa dengan kita."
Tiat Leng lalu menceritakan dengan singkat apa yang telah terjadi.
Cho Peng Goan yang mendengar penuturan itu merasa agak girang, tetapi juga merasa sedih.
Kiranya hanya ini ia meninggalkan Negara Su-tho-kok, adalah terdorong oleh suatu sebab yang sangat terpaksa.
U-bun Hong-nie adalah kemenakan raja Negara Su-tho-kok yang terdahulu, ketika Negara itu dijatuhkan oleh Negara Hwee-khie. U-bun Hong-nie kemudian menggunakan kesempatan berbagai Negara tetangganya menentang Negara Hwee-kie. Ia lalu menggerakkan rakyatnya dan kemudian berhasil mengusir Negara yang menindas Negaranya itu. Oleh karena raja Su-tho-kok tidak mempunyai anak, dan rakyat Negaranya mencinta dan menyanjung U-bun Hong-nie, maka kemudian mengangkat padanya sebagai ratu Negara tersebut untuk menggantikan pamannya.
Walaupun tradisi dalam Negara itu, Negaranya diperintah oleh seorang ratu, tetapi perasaan rasa, dalam suku itu masih ada. Kemudian ketika U-bun Hong-nie menikah dengan Cho Peng Goan, dengan sendirinya Cho Peng Goan yang berkedudukan sebagai suami ratu Negara itu, dijadikan sasaran bagi orang-orang yang menetang U-bun Hong-nie untuk dijadikan siasat mengadu domba dengan rakyatnya.
Orang-orang yang menentang U-bun Hong-nie itu, termasuk saudara sepupu lelaki U-bun Hong-nie, dan kamberat-kamberatnya, disamping itu juga masih ada utusan Negara Hwee-khie yang diam-diam telah menggosok mereka.
Orang-orang itu telah menyebarkan desas desus dan fitnahan yang keji kepada rakyat. Katanya Cho Peng Goan adalah orang suku Han, yang bermaksud hendak menelan Negaranya.
Sekalipun usahanya itu tidak berani dilakukan secara terang-terangan, tetapi dikemudian hari apabila kedudukan raja digantikan oleh anaknya, bukankah itu berarti bahwa negara Su-tho-kok, akan menjadi negara satelit kerajaan suku Han.
Desas desus dan fitnahan keji itu, ternyata berhasil menggerakkan sebagian rakyatnya, tetapi karena U-bun Hong-nie masih cukup berwibawa, maka rakyatnya tidak ingin menggulingkannya, sehingga orang-orang dari pikak oposisi untuk sementara belum berani bergerak. Tetapi dalam negara itu, desas desus dan perasaan tidak suka terhadap Cho Peng Goan semakin banyak, bibit perang saudara juga sudah mulai bersemi.
Justru karena mengetahui keadaan demikian, maka barulah Cho Peng Goan terpaksa meninggalkan Negara tersebut. Maksud sebetulnya ingin mempertahankan kedudukan isterinya dan menghindarkan negara itu jatuh di tangan orang Hwee-khie lagi, serta menghindarkan ancaman perang saudara dalam negeri.
Tetapi hal yang tak terduga adalah: Setelah ia meninggalkan negara itu, isterinya ternyata juga meninggalkan kedudukannya dan mencarinya.
Terhadap tindakan isterinya itu Cho Peng Goan merasa sangat terharu, tetapi ia juga mengkhawatirkan diri isterinya. Sebab ditilik dari kepandaian Khu Pit Tay yang sudah sedemikian tinggi, apa lagi kepandaian Thay Lok yang terkenal sebagai seorang kuat nomor satu di negara Hwee-kie.
Tiat Leng lalu berkata: "Paman Lam Hee Lui semua berada di kota Yang-ciu. Apabila bibi Cho nanti tiba di sana, juga bisa memberi bantuan. Di sini bisa terpisah dengan markas di gunung Kim-kee-nia, hanya memerlukan perjalanan tiga hari saja. Paman Cho, kau......"
"Dari desa Kui-chiu-chung kediaman Li Hong Chun ke kota Yang-ciu juga masih ada perjalanan beberapa ribu pal. Biar bagaimana hatiku tidak merasa lega, khawatir kalau-kalau bibimu terjadi apa-apa di tengah jalan. Aku hendak pergi dulu ke kota Yang-ciu, sekalian untuk menengok Khek Gee. Sepulangnya dari kota Yang-ciu, aku nanti akan berkunjung lagi ke Kim-kee-nia untuk menengok ayahmu!"
Tiat Leng dan Can Pek Sin sudah tentu tidak berani menahan, tetapi selagi Cho Peng Goan hendak melompat ke atas kuda, tiba-tiba ia teringat sesuatu lalu, berkata:
"Can Pek Sin beberapa hari berselang aku telah berjumpa dengan seorang, yang aku perlu memberitahukan kepadamu."
Can Pek Sin terperanjat. Ia pikir kenalannya di dunia Kang-ouw tidak banyak, siapakah gerangan yang dijumpai oleh Cho Peng Goan itu?
Sementara itu Cho Peng Goan berkata pula sambil tertawa:
"Apakah kau tidak menduga siapa orangnya? Dia adalah sahabatmu yang paling baik di masa kanak-kanak. Bahkan aku masih ingat kalian masih berbahasakan enci dan adik."
Kini Can Pek Sin baru sadar, kiranya orang dimaksudkan itu adalah Thie Po Leng.
Dalam girang dan herannya ia lalu berkata:
"Apakah yang paman maksudkan adalah Thie......"
"Benar, ia adalah nona Thie. Tiga hari berselang, aku telah berjumpa dengannya di perjalanan kota Kheng-chiu. Ia memberitahukan kepadaku, katanya ayahnya sudah meninggal dunia. Kedatangannya ke kota Kheng-chiu, katanya hendak menemui seorang pamannya. Kala itu aku bertanya, mengapa ia tidak bersamamu? Ia berkata bahwa kau sudah pergi dari rumahnya, juga tidak tahu kau berada dimana. Aku lihat sikapnya agak hambar, agaknya tidak suka dengan disebutnya urusanmu. Apakah kalian sedang ribut?
Kiranya sewaktu Cho Peng Goan berdiam di rumah keluarga Thie, ia sudah tahu bahwa Thie Sui bermaksud hendak menikahkan cucu perempuannya dengan Can Pek Sin, maka dalam pikirannya ia sudah menganggap mereka berdua sudah sebagai kekasih.
Dengan muka merah Can Pek Sin berkata:
"Kita tidak pernah ribut mulut, tentang ini......"
Karena peristiwa kematian Thie Sui sangat panjang ceritanya, pula Cho Peng Goan nampaknya tergesa-gesa, maka Can Pek Sin anggap agak susah untuk memberi penjelasan. Selain dari pada itu, ia juga tidak tahu bagaimana harus memberi keterangan.
Cho Peng Goan yang tergesa-gesa hendak melanjutkan perjalanannya, sudah tidak bertanya lebih jauh, ia hanya tertawa saja, kemudian berkata pula:
"Kalau tidak ribut mulut ia sudah."
"Apakah ia sekarang masih berada di kota Kheng-chiu??
"Ia berkata tidak berhasil menemukan pamannya itu, nanti akan pergi ke kota Yang-ciu. Mungkin di sana aku nanti akan berjumpa lagi dengannya. Apakah kau ada pesan yang ingin kusampaikan kepadanya?"
"Terima kasih paman Cho. Kalau bertemu dengannya tolong saja bahwa aku menanyakan keadaaanya. Tidak ada pesan istimewa yang ingin kusampaikan kepadanya."
Sebetulnya banyak kata-kata yang hendak disampaikan, tetapi bagaimana ia dapat menerangkan pada Cho Peng Goan?
Setelah Cho Peng Goan berlalu, Can Pek Sin berdiri dengan hati mendelu.
Tiat Leng lalu menegurnya sambil tertawa dingin:
"Kau memikirkan dirinya, sebaliknya dia memikirkan diri orang lain! Ia berkata kepada paman Cho, hendak mencari seorang pamannya. Kau pikir sendiri, di kota Kheng-chiu dia mempunyai paman siapa?"
Dengan terpaksa Can Pek Sin menjawab:
"Aku tahu ia pergi mencari Lauw Bong. Hee Kauw Ing yang mempunyai daerah operasi di tempat tersebut adalah saudara angkat ayahnya Lauw Bong. Ia pasti mengira bahwa Lauw Bong dan ayahnya tinggal di tempat Hee Kauw Ing, maka ia mencarinya ke sana."
"Di kota Kheng-chiu ia tidak berhasil menemukan Lauw Bong, lalu pergi ke Yang-ciu, sudah tentu juga karena Lauw Bong. Ia mungkin mengharap dari diri Lam Hee Lui untuk mencari keterangan. Can toako, kau pikir, di dalam hatinya ia hanya memikirkan Lauw Bong, sama sekali sudah tidak mengingat dirimu. Perlu apa kamu memikirkan dirinya sampai demikian rupa?"
Tiat Leng sangat tidak setuju sikap Can Pek Sin, tetapi ia belum bisa berlaku pura-pura, maka dalam pembicaraan itu juga tidak menutupi perasaannya sendiri.
Can Pek Sin berkata sambil tertawa kecil:
"Adik Leng, kata-katamu membuat aku terlalu tidak enak. Aku......, aku bukanlah berpikiran demikian."
"Oh, kalau begitu kau sedang memikirkan apa?"
"Sewaktu Thie yaya hendak menutup mata, telah berpesan sungguh-sungguh padaku supaya mencarinya kembali." Ia berhenti sejenak, kemudian berkata pula sambil menghela napas:
"Ia masih belum tahu bahwa Yaya, sudah menutup mata. Mereka kakek dan cucu telah ribut mulut, dalam gusarnya ia sudah meninggalkan rumah. Di dalam dunia ini, ia merasa satu-satunya orang, yang dapat diandalkan untuk tumpangkan dirinya juga hanya Lauw Bong seorang. Jikalau ia tidak mencari Lauw Bong, maka mencari siapa lagi?"
Tiat Leng sebetulnya juga tidak membenci Thie Po Leng, hanya disebabkan perbuatan Thie Po Leng itu dianggapnya sangat tercela. Apalagi selama beberapa bulan ini sejak ia bergaul rapat dengan Can Pek Sin, dengan tanpa disadari perasaan kasihan terhadap pemuda itu perlahan-lahan berubah menjadi perasaan cinta, maka ia selalu sesalkan Can Pek Sin apabila mengingat perbuatan Thie Po Leng.
09.52. Air Mata Perpisahan Si Nona Cilik
Setelah mendengar keterangan Can Pek Sin tadi, perasaan mendongkol agak reda. Sebaliknya timbullah perasaan kasihan terhadap diri Thie Po Leng yang sudah menjadi sebatang kara, maka ia lalu berkata:
"Can toako, kau begitu perhatikan dirinya dan mengingatnya. Kalau begitu pergilah ke kota Yang-ciu untuk mencarinya. Aku bisa pergi ke gunung Kim-kee-nia seorang diri saja."
Apa yang diucapkan memanglah dengan sejujurnya, tetapi dalam telinga Can Pek Sin, dianggapnya nona ini kurang senang maka ia berkata:
"Usiamu lebih muda dari padanya, ia adalah kakakku, kau adalah adikku. Bagaimana karena dia, aku boleh meninggalkan kau? Sudah tentu aku harus mengantar kau ke gunung menjumpai ayahmu dulu!"
"Kebaikanmu baik kau tinggalkan untuk kakak Thie mu. Aku tidak perlu kau awasi."
Meskipun mulutnya berkata demikian, tetapi dalam hatinya merasa senang. Ia dapat kenyataan bahwa Can Pek Sin tidak mengabaikan dirinya oleh karena dapat kabarnya Thie Po Leng.
"Kau tidak suka aku turut, tetapi aku tetap akan menjaga keselamatanmu. Siapa suruh kita seperti saudara sendiri? Terhadap kakak Thie aku juga menganggap sama seperti kau. Aku cuma mengharap kebaikan untuk kedua pihak hingga hatiku merasa senang."
Apa yang diucapkan oleh Can Pek Sin itu juga dengan sejujurnya. Ia menganggap Tiat Leng sebagai adiknya, tidak mengingat atau timbul pikiran yang bukan-bukan. Tetapi perkataan itu dalam telinga Tiat Leng adalah lain, seketika itu parasnya merah dan berkata:
"Baiklah, kalau kau hendak mengantar aku ke gunung, mari kita jalan!"
Pada saat itu malampun mulai terang.
"Jangan kesusu, kita masih ada urusan yang belum diselesaikan."
"Urusan apa yang belum diselesaikan?" bertanya Tiat Leng terkejut.
"Apakah kau sudah lupa, uang kamar kita masih belum dibayar?"
Tiat Leng tertawa terbahak-bahak, kemudian berkata:
"Benar, kita telah merusak banyak barang-barang rumah penginapan, seharusnya juga diganti."
Pengurus hotel masih ketakutan. Ketika Can Pek Sin dan Tiat Leng balik memberikan uang kamar dan penggantian barang-barang yang rusak, sudah tentu sangat girang. Setelah membereskan soal itu, Can Pek Sin dan Tiat Leng melanjutkan perjalanannya.
Sepanjang jalan karena memikiri Thie Po Leng, Can Pek Sin kurang gembira.
Sementara itu hatinya terus berpikir: Kematian Lauw Cin dan perginya Lauw Bong, semua karena harta benda yang disimpan oleh keluarga Thie. Orang Kang-ouw yang menginginkan harta benda itu, jumlahnya pasti tidak sedikit, di antaranya mungkin sudah tahu bahwa harta benda itu sudah kuberikan kepada paman Tiat. Tetapi bukan semua orang tahu dan kakak Thie yang merupakan satu-satunya orang yang ada hubungannya dengan harta benda itu.
Bagi orang yang tidak mengetahui keadaannya yang sebenarnya mungkin akan mencarinya dan menyusahkannya. Ia adalah seorang perempuan sebatang kara, harus mengembara seorang diri di kalangan Kang-ouw. Apabila terjadi apa-apa bagaimana perasaanku terhadap Thie Yaya? Namun demikian aku juga tidak boleh meninggalkan adik Leng seorang diri. Biarlah setiba di gunung Kim-kee-nia nanti kupikir lagi.
Hati Can Pek Sin sangat gelisah, ia ingin lekas tiba di gunung Kim-kee-nia, supaya setiba di sana dapat pergi mencari Thie Po Leng. Maka dalam perjalanan itu dilakukan cepat sekali.
Tiat Leng juga tahu apa yang sedang dipikirkan oleh anak muda itu, maka ia tidak berani menggoda lagi.
Mereka berangkat masih pagi-pagi sekali, di waktu tengah hari, sudah berjalan kira-kira duaratus pal lebih, selagi hendak mencari tempat untuk beristirahat, tiba-tiba di depan ada dua penunggang kuda yang lari mendatangi.
Tiat Leng berseru: "Eh, eh!" kemudian berkata: "Can toako kau lihat, dua penunggang kuda yang datang itu bukankah paman Sin, dan paman Kay?"
Dua penunggang kuda itu juga berseru:
"Apakah kalian nona Tiat dan saudara Can? Ha, ha, ha, kita justru sedang mencarimu!"
Mereka berempat turun dari kuda masing-masing untuk saling berjumpa.
Kedua orang itu adalah Sin Thian Hong dan Kay Thian Hoa. Yang tersebut duluan merupakan cecu yang lama di gunung Kim-kee-nia, sedangkan yang tersebut belakangan adalah pembantu Beng-cu rimba hijau, yang terdahulu. Ia meninggalkan Beng-cu nya, lalu mengikuti Tiat Mo Lek hingga sekarang. Dengan Sin Thian Hong merupakan tangan kanan kirinya Tiat Mo Lek.
Kepandaian dua orang itu sangat berimbang, adatnya juga mirip, ke mana saja selalu berdua-duaan, jarang terpisah.
Tiat Leng sangat girang, ia berkata:
"Bagaimana kalian tahu kalau aku sudah pulang?"
"Orang-orang dari gunung Hok-gu-san, beberapa di antaranya sudah tiba di gunung. Tentang kepergian kalian ke desa Kui-chiu-chung, untuk mewakili ayahmu mengunjungi Li Hong Chun, kita juga sudah tahu. Ayahmu merasa khawatir maka menyuruh kita datang menyambut kalian," berkata Sin Thian Hong.
"Ayah selalu anggap aku sebagai anak kecil saja, selalu merasa khawatir, hingga menyusahkan paman-paman saja."
"Ini juga bukan cuma karena itu saja. Seratus orang saudara-saudara kita yang datang dari Hok-gu-san, semua membawa barang permata, juga memerlukan kita menyambut dan melindungi sepanjang jalan."
"Setelah kita memutar ke desa Kui-chiu-chung dengan mereka lalu terputus hubungan. Dalam perjalanan aku masih belum tahu entah ada terjadi apa-apa atau tidak atas diri mereka."
"Sudah ada sepuluh orang lebih yang tiba di atas gunung, mereka umumnya membawa berita bahwa di sepanjang jalan tidak menjumpai pasukan tentara Negeri. Mereka semuanya sebagai orang-orang pelarian, aku kira tidak terjadi apa-apa, sedang di pihak kita juga sudah ada orang pergi menyambut.
"Apakah sebetulnya terjadi di desa Kui-chiu-chung itu? Justru urusan itulah yang menjadi perhatian ayahmu, maka perlu kita datang menyambut," berkata Kay Thian Hoa.
"Urusan ini sangat ruwet, tetapi sekarang sudah beres. Di perjalanan nanti kuceritakan kepada kalian."
Kay Thian Hoa nampaknya sangat ingin tahu maka ia tetap menanya:
"Ayahmu menduga Li Hong Chun mungkin menemukan musuh tangguh, betul tidak?"
"Betul, bahkan musuh tangguh itu aku percaya kalian pasti tidak dapat menemukannya."
"Siapa?" "Orang suku Hwee dari Negara Hwee-kie."
Kay Thian Hoa terperanjat, ia berkata:
"Orang suku Hwee? Em, em, em, aku ingin benar mencari keterangan sesuatu hal kepada kalian. Dalam perjalanan kalian ini, apakah mendapat kabar tentang diri Cho Peng Goan? Kabarnya ia sudah berada di daerah Tiong-goan?"
"Jika kalian datang lebih dulu satu hari, masih dapat menjumpainya. Kenapa? Apakah ayah juga mendengar kabar tentang paman Cho?"
"Begini, Adik perempuanku pada dua bulan berselang mengirim orang mengabarkan kepadaku, katanya kedudukan Cho Peng Goan di Negara Su-tho-kok tidak baik, mungkin akan meninggalkan negeri itu dan balik ke Tiong-goan. Menurut keterangan adikku, mereka di antara suku itu sendiri mungkin juga akan timbul kesulitan. Aku ingin pergi menengok ia, tetapi karena di atas gunung selama dua bulan ini justru mengalami kesulitan, sudah tentu aku tidak dapat meninggalkan begitu saja."
Kiranya adik perempuan Kay Thian Hoa, Kay Thian Sian telah menikah dengan putra mahkota Negara suku Hwee. Negara itu berbatasan dengan Negara Su-tho-kok, maka keadaan Cho Peng Goan juga diketahui oleh Kay Thian Sian. Tetapi berita yang ditulis dalam surat, sudah tentu kurang jelas.
"Paman Cho dan bibi Cho aku sudah menjumpainya. Urusan ini sangat panjang ceritanya. Marilah kuceritakan sambil berjalan," berkata Tiat Leng.
"Di atas gunung untuk sementara ini boleh dikata tenteram. Cho Peng Goan suami isteri telah meninggalkan negaranya. Apabila terjadi apa-apa di negara itu, negara suku Hwee mungkin akan merembet. Sudah ada aku yang mengantar nona Tiat pulang ke gunung, jikalau kau ingin menengok adikmu sebaiknya kau lekas berangkat," berkata Kay Thian Hoa.
Can Pek Sin tiba-tiba berkata:
"Adik Leng, kau ikut paman Sin pulang, ke gunung, aku juga ingin minta diri pada kalian."
Sin Thian Hong berkata: "Mengapa kau juga mau pergi? Dari sini ke atas gunung cuma tinggal dalam perjalanan tiga hari saja, mengapa kau tidak tengok paman Tiat dulu? Dulu kau lewat di bawah gunung Hok-gu-san, juga tidak naik ke gunung, paman Tiat yang mengetahui sangat memikirkan dirimu. Kali ini mendengar kabar kau akan datang bersama A Leng, sangat girang sekali, maka ia berpesan kepada kita menyambut kau ke atas gunung. Bagaimana kau tidak pergi menengoknya?"
"Aku sebetulnya ingin menengok paman Tiat akan tetapi, karena aku ada urusan sangat penting harus pergi ke kota Yang-ciu, terpaksa minta Sin cecu supaya memintakan maaf kepada paman Tiat."
"Urusan penting apakah? Apakah hendak membantu Ciu cecu yang ingin merampas ransum negara itu? Aku disini meskipun belum mendapat kabar, tetapi menurut perhitunganku, mereka seharusnya sudah bertindak."
"Aku masih hendak menengok seorang sahabat. Harap sampaikan kepada paman Tiat, aku pasti akan kembali menengoknya."
Sin Thian Hong, adalah seorang laki-laki jujur, ia merasa bahwa alasan yang dikemukakan oleh Can Pek Sin tidak cukup kuat, maka ia ingin memberi nasehat kepadanya, tetapi Tiat Leng sudah berkata sambil tertawa:
"Paman Sin, kau jangan merintangi maksudnya. Sahabatnya juga adalah sahabatku. Memang benar ada urusan penting yang menantikannya. Aku sebetulnya juga ingin menyuruhnya lekas pergi, tetapi ia berkokoh hendak mengantar aku pulang ke gunung dulu, maka sekarang kita tidak bisa menahannya lagi."
Sin Thian Hong tertawa terbahak-bahak dan berkata:
"Aku sudah lupa kalian sudah merupakan jago-jago muda di kalangan Kang-ouw, sudah tentu kalian juga mempunyai sahabat baru. Baiklah, kalian tidak ingin memberi keterangan kepadaku, aku juga tidak bertanya lagi."
"Soal ini bukan merupakan rahasia, nanti setiba di atas gunung, aku akan memberitahukan padamu. Baiklah, Can toako kau boleh pergi!" berkata Tiat Leng sambil tertawa, ia memberi isyarat dengan lirikan mata kepada Can Pek Sin maksudnya ia akan menyampaikan kepada ayahnya, juga dapat mengerti keadaannya.
Namun demikian, biar bagaimana Tiat Leng merasa terharu juga, sehingga matanya berkaca-kaca.
Can Pek Sin juga merasa agak sedih, tetapi ia hanya mengira Tiat Leng yang sudah bergaul sekian lama dengannya, merasa sedih ditinggalkan begitu saja. Sedikitpun tidak menduga bahwa gadis cilik itu ternyata sudah mengerti soal asmara.
Can Pek Sin menggenggam tangan Tiat Leng, tangan itu dirasakan agak dingin dan gemetar.
Ia lalu berkata: "Baiklah adik Leng aku hendak pergi, harap kau menjaga sendiri baik-baik dirimu. Selambat-lambatnya satu tahun, secepat-cepatnya setengah tahun aku pasti akan datang menengokmu. Kalau kakak Ceng mu sudah datang, tolong kau juga sampaikan kabarku kepadanya."
"Ya, aku tahu. Kita semua mengharap sama-sama mengerti. Kau pergilah!"
Ucapan dalam hati sama-sama mengerti, tidak dimengerti oleh Sin Thian Hong, tetapi dipahami oleh Can Pek Sin.
Can Pek Sin mengerti asal usul ucapan itu, yang keluar dari mulutnya sendiri, tetapi ia tidak mengerti apa yang terkandung dalam maksudnya Tiat Leng. Mengapa ia harus mengucapkan perkataan demikian?
Sesaat itu, Can Pek Sin merasa agak bingung, sehingga kesannya terhadap gadis itu mulai berubah. Tiat Leng yang selama itu dikenal sebagai seorang anak perempuan yang sifatnya masih kekanak-kanakan dan nakal dalam waktu sekejap ini, agaknya sudah berubah menjadi seorang gadis remaja yang tidak dapat diduga dan dijajaki perasaannya.
Sin Thian Hong adalah seorang laki-laki kasar, sudah tentu tidak mengerti perasaan Tiat Leng, maka lalu berkata sambil tertawa:
"Benar-benar seperti anak kecil, Can toakomu tokh bukannya pergi yang tidak akan kembali, bagaimana kau harus menangis?"
Seraut wajah Tiat Leng menjadi merah, ia berkata sambil membereskan kuncirnya:
"Siapa mengatakan aku menangis? Baiklah, toako, kau pergilah!"
Can Pek Sin setelah meninggalkan pesan lagi kepada Tiat Leng, ia melompat ke atas kudanya dilarikan menuju ke selatan.
<> Selama berjalan dengan Tiat Leng ia tidak merasakan apa-apa, tetapi kini setelah berpisah dengannya, perjalanan itu dirasakan kesepian.
Sepanjang jalan pikiran Can Pek Sin terus bekerja. Ia teringat sikap aneh yang ditunjukkan oleh Tiat Leng waktu hendak berpisah, hingga pikirannya merasa tidak tenang. Dari ucapan Tiat Leng kembali teringat kepada diri Thie Po Leng.
Sejak peristiwa menyedihkan di keluarga Thie, Can Pek Sin selalu merasa bahwa tidak akurnya hubungan antara kakek dan cucu itu, dialah yang menjadi gara-garanya, maka terhadap Thie Po Leng yang merasa tidak enak dan mengharapkan pengertiannya.
Dengan perasaan tidak tenang itu ia melakukan perjalanannya ke selatan. Untung sepanjang jalan itu tidak terjadi apa-apa? Hari itu tibalah di tepi sungai Tiang-kang.
Karena kota Yang-ciu letaknya di sebelah selatan sungai itu, maka setelah menyeberangi sungai besar itu, dalam waktu satu hari sudah bisa tiba.
Tetapi perhitungan manusia kadang-kadang tidak tepat. Hanya tinggal sepuluh pal lebih, di tempat penyeberangan, tiba-tiba turun hujan besar dan timbul angin puyuh sehingga sekujur badan Can Pek Sin basah kuyup. Oleh karena badai sedang mengamuk, maka di tepi sungai itu tidak tampak, sebuah perahupun.
Can Pek Sin mencari tempat untuk meneduh. Tempat itu ternyata sudah penuh orang, di antaranya terdapat beberapa ekor kuda.
Can Pek Sin sudah mempunyai sedikit pengalaman di dunia Kang-ouw. Ketika mendengar pembicaraan orang-orang itu serta badan mereka yang membawa senjata, jelaslah sudah orang-orang itu juga adalah orang-orang jago dari kalangan Kang-ouw. Tetapi karena ia hanya seorang diri, maka ia sedapat mungkin menjauhkan diri dari mereka.
Akan tetapi, walaupun ia tidak ingin mencari onar, orang lain sebaliknya yang mencari gara-gara dengannya.
Seorang laki-laki bertubuh pendek kecil berkata kepadanya sambil tertawa cengar cengir:
"Saudara kecil, kudamu ini bagus sekali. Kau datang dari mana?"
Can Pek Sin menjawab sekenanya:
"Kemarin aku berangkat dari kota Teng-cu, sungguh tidak diduga hari ini ada badai besar."
"Kita tidak bisa menyeberang sungai, malam ini terpaksa menginap di sini. Hawa udara dingin sekali, mari kau juga turut hangatkan dirimu di tempat dekat perapian," berkata orang itu sambil menarik tangan Can Pek Sin.
Can Pek Sin manganggap orang itu sopan budi bahasanya. Siapa tahu ketika tangannya digenggam, ia merasakan ilmu jari tangan orang itu keras bagaikan jepitan besi. Ia kini baru mengerti bahwa orang itu sebetulnya sedang menguji kepandaiannya.
Can Pek Sin sangat mendongkol, tetapi ia tidak berkata apa-apa, sebaliknya diam-diam mengerahkan tenaga dalamnya sehingga sesaat itu tangannya menjadi keras bagaikan besi. Orang itu berseru kaget dan melepaskan tangannya, kemudian berkata sambil tertawa:
"Sungguh hebat kepandaian saudara kecil! Mari kita dekatkan ke tempat perapian."
Karena disaat itu di luar hujan dan angin sedang mengamuk, kecuali masuk ke dalam gubuk yang ada perapian itu sudah tidak ada jalan lain, maka ia menerima baik ajakan orang itu.
Beberapa orang itu ketika menyaksikan Can Pek Sin menunjukkan kepandaiannya, semua nampaknya merasa heran, karena usia Can Pek Sin yang baru meningkat dewasa. Meskipun kepandaiannya itu belum tentu memenangkan setiap orang yang ada di situ, tetapi sudah cukup mengherankan mereka sehingga semua mata ditujukan kepadanya. Suara yang semula begitu riuh kini mendadak diam.
Kini Can Pek Sin baru dapat melihat bahwa di dekat tempat perapian ada rebah terlentang seorang laki-laki yang lengan tangannya, dibalut dengan kain. Darah masih nampak keluar, begitupun baju di bagian dadanya juga terdapat tanda darah. Jelaslah bahwa orang itu sedang mendarita luka parah.
09.53. Gerombolan Si Berewok Bertopi Lebar
Orang-orang itu memberikan tempat untuk Can Pek Sin duduk, ia segera membuka baju luarnya yang basah digarang di tempat perapian.
Seorang laki-laki tinggi besar berkata:
"Saudara kecil kau tentunya sudah lapar, mari makan sedikit daging panggang, aku disini masih ada arak baik."
Orang itu mengambil sepotong paha kambing yang dimakan sendiri, kemudian mengambil buli-bulinya dan setelah minum dulu araknya, baru diberikan kepada Can Pek Sin. Ini merupakan suatu tanda dalam kalangan Kang-ouw untuk menunjukkan bahwa daging dan arak itu tidak ada racunnya.
Orang itu berkata pula sambil tertawa:
"Sudara kecil, jikalau kau berlaku merendah, ini berarti tidak pandang sahabat."
Can Pek Sin karena belum tahu keadaan orang-orang itu, maka ia harus berlaku hati-hati. Sekalipun ia tidak takut diracuni, tetapi juga takut mabuk, maka ia hanya menyambuti dagingnya dan menolak untuk minum arak.
Ia menghabiskan sepotong paha kambing dan minum dua cawan teh. Badannya dirasakan hangat. Tetapi ia selalu waspada terhadap orang-orang itu, maka tidak suka bicara dengannya.
Orang orang itu semula memperhatikan dirinya, perlahan juga tahu bahwa Can Pek Sin adalah seorang yang baru muncul di kalangan Kang-ouw, maka perhatian agak berkurang.
Laki-laki yang terluka itu itu selalu diganti obatnya, nampaknya agak baikkan. Kini ia mulai memperhatikan kuda Can Pek Sin, kemudian mengucapkan kata pujiannya:
"Kuda yang bagus sekali!"
Seorang laki-laki yang duduk di sebelahnya lalu berkata sambil tertawa:
"Bagaimana kalau dibanding dengan kuda yang kau jumpai hari ini?"
Laki-laki luka itu mengeluarkan makian yang kasar, kemudian berkata,
"Kau jangan mengejek aku!"
Ada beberapa orang di antaranya yang berkata: "He, kita masih belum tahu urusan ini kau ceritakanlah."
Pada saat itu dari luar tiba-tiba ada orang berkata: "Kalian sedang ribut apa?"


Jiwa Ksatria Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Beberapa laki-laki yang pinggangnya menggantung golok berjalan masuk, seorang nampaknya sebagai kepala, wajahnya kasar dan penuh brewok.
Orang-orang dalam gubuk itu pada berdiri seraya berkata:
"Toako, kau datang!"
Laki-laki brewokan itu membuka topinya yang lebar, segera ada orang yang menyambuti untuk di garang di atas perapian. Can Pek Sin yang menyaksikan sikap demikian hormat orang-orang itu terhadap laki-laki brewokan, ia menduga laki-laki brewokan itu, pastilah pemimpin mereka.
Laki-laki brewokan itu memperdengarkan suara di hidung, kemudian berkata:
"Teng Lo Si, kau bagaimana terluka? Siapa yang melukai dirimu? Apakah kau tidak menyebutkan namaku?"
Laki-laki terluka itu menjawab dengan suara gelagapan:
"Toako, siaotee sebetulnya sangat malu, karena telah menodai namamu."
"Siapa sebetulnya yang melukai dirimu? Katakanlah!"
Laki-laki terluka itu mukanya nampak merah, seorang yang duduk di sampingnya lalu berkata:
"Ia terluka di tangan seorang gadis yang nampaknya baru meningkat dewasa."
Laki-laki berewokan itu berkata sambil mengerutkan keningnya:
"Teng Lo Si, apakah penyakit lamamu kambuh lagi, karena melihat nona cantik, kau lalu menggodanya?"
Laki-laki terluka itu buru-buru membantahnya:
"Bukan, karena aku melihat kuda tunggangannya bagus sekali, aku ingin merampasnya untuk kuberikan kepada toako."
"Apakah hanya itu saja?"
"Waktu aku hendak merampasnya, juga mengeluarkan kata-kata yang bersifat main-main dengannya."
"Hem, kalau begitu kita dapat sesalkan orang turun tangan kejam terhadap dirimu. Bukankah aku sudah beberapa kali memperingatkanmu? Kalau kau ingin main perempuan boleh pergi ke tempat pelacuran, tetapi perempuan-perempuan di kalangan Kang-ouw tidak boleh kau ganggu. Coba kau pikir, seorang perempuan dengan seorang diri saja. Kalau tidak mempunyai kepandaian yang berarti, bagaimana berani berkelana di kalangan Kang-ouw
Orang yang disamping laki-laki terluka itu berkata:
"Tetapi perempuan itu sesungguhnya juga terlalu ganas. Lo Si hanya mengatakan beberapa kata yang sifatnya menggoda. Ia sudah membacok dua kali. Setelah Lo Si roboh di tanah, ia masih hendak menginjak punggung Lo Si."
"Kalian tidak sanggup melawan kepandaiannya, tidak boleh disesalkan orang lain berlaku ganas. Hanya, sebelum kau terhina, apakah kau pernah menyebutkan namaku atau tidak?"
Laki-laki terluka itu berkata:
"Justru setelah aku menyebutkan nama toako, perempuan itu menambah lagi satu serangan golok, kembali menginjak badanku dengan kaki kudanya."
Laki-laki berewokan itu wajahnya nampak berubah seketika, ia berkata:
"Dalam dunia Kang-ouw timbul percekcokan mulut atau berhantam dengan senjata, memang merupakan kejadian biasa. Karena kepandaiannya lebih tinggi dari pada kepandaianmu, kau dibunuh olehnya, aku tidak sesalkan perbuatannya. Yang tidak khususnya adalah, setelah kau menyebut namaku, tetapi kau masih tetap dihina, bahkan menginjak-injak badanmu. Ini berarti, bukanlah dirimu yang diinjak tetapi diriku. Ini benar-benar sangat keterlaluan!"
Laki-laki terluka itu menggunakan kesempatan itu hendak membakar hati pemimpinnya, ia berkata pula:
"Ya, apa yang membuat aku panas hati adalah soal ini. Perempuan itu sesungguhnya terlalu tidak pandang mata orang. Nama toako demikian tersohor di daerah selatan dan utara, tetapi nyatanya ia tidak pandang mata sama sekali!"
Laki-laki berewokan itu perdengarkan suara di hidung, kemudian berkata:
"Perempuan itu berjalan menuju ke mana? Sudah berjalan berapa lama?"
"Tadi di waktu tengah hari aku berjumpa dengannya di tepi sungai. Setelah ia melukai diriku lalu menyeberang ke sungai.
"Baiklah, besok pagi aku akan pergi menyeberang sungai, aku akan mencari tahu ia anak perempuan siapa, aku akan menangkapnya, supaya kau juga membacok dua kali di atas badannya!"
Laki-laki di sampingnya lalu berkata sambil tertawa:
"Lo Si, justru tidak tega membacok dirinya, toako. Bukankah lebih baik kau hadiahkan pada dia sebagai isterinya saja?"
Semua orang yang mendengarkan itu pada tertawa besar:
Can Pek Sin yang mendengarkan pembicaraan itu perasaannya tidak enak, dalam hatinya diam-diam berpikir: Toako ini menganggap dirinya sendiri sebagai jagoan. Ia membiarkan anak buahnya berlaku sewenang-wenang, tentunya bukan orang baik-baik. Tetapi siapakah orang itu? Oh, oh, apakah bukan Thie Po Leng?
Ia tahu benar bahwa perangainya Thie Po Leng sangat keras. Ia tidak suka dirinya dihina, ilmu golok warisan keluarganya, juga merupakan ilmu golok sangat ganas. Apalagi ia justru dalam perjalanan menuju ke kota Yang-ciu.
Can Pek Sin semakin berpikir semakin pasti anggapannya bahwa perempuan itu pasti adalah Thie Po Leng. Ia ingin segera menyeberangi sungai untuk mencarinya dan menyampaikan kabar itu supaya ia berlaku waspada.
Sementara itu mata laki-laki berewokan itu tiba-tiba ditujukan kepadanya, kemudian berkata:
"Siapakah bocah ini?"
Can Pek Sin dengan tenang menjawab:
"Aku adalah orang yang kebetulan lewat di sini, karena tidak bisa menyeberang, hingga meneduh di sini."
Laki-laki pendek kecil yang mengajak ia duduk tadi lalu berkata:
"Kepandaian saudara kecil ini hebat sekali karena aku lihat sekujur badannya basah kuyup, maka aku ajak dia duduk di sini."
"Gubuk ini dibangun untuk keperluan orang banyak, siapa saja boleh datang meneduh. Aku tidak perlu menanyakan soal lainya. Bocah, kau jangan banyak pikiran yang bukan-bukan," berkata laki-laki brewokan itu.
"Baik, terima kasih kalian mengijinkan aku berteduh disini," berkata Can Pek Sin hambar.
Sang toako itu dengan mata tidak berkesip mengawasi kuda Can Pek Sin. Seorang yang datang bersama toako itu agaknya mengerti maksud pemimpinnya itu, maka lalu berkata sambil tertawa,
"Bocah, kepandaianmu bagus atau tidak? Aku tidak tahu, tetapi kuda tungganganmu ini benar-benar bagus sekali."
Sehabis berkata orang itu lalu menghampiri kuda Can Pek Sin dan mengelus-elusnya. Apa mau dikata, kuda itu binal sekali. Ia tidak suka dielus-elus oleh orang lain, hingga menendang dengan kakinya.
Laki-laki itu menyingkir seraya berkata:
"Kuda ini masih binal, barangkali hanya toako kita yang mampu menjinakkannya."
Can Pek Sin lalu menghampiri dan berkata:
"Kau jangan mengganggunya lagi. Kuda ini hanya mengenal majikannya saja."
"Benar? Aku ingin coba untuk menukar majikannya. Kau bocah berjalan dengan menunggang seekor kuda yang begini bagus, barangkali bisa membawa bahaya bagi dirimu! Apakah kau tidak takut ada orang yang akan merampasnya? Dengan terus terang aku bersedia memberikan uang untuk membeli kudamu ini. Sebetulnya adalah untuk kebaikan bagi dirimu!"
"Terima kasih atas kebaikanmu. Meskipun aku tidak mempunyai kepandaian apa-apa, juga bukan satu jago, tetapi jika ada orang yang akan merampas kudaku ini, boleh saja coba-coba."
Wajah laki-laki itu berubah, kemudian berkata:
"Aku dengar kau mempunyai kepandaian yang lumayan, baiklah aku mencobanya. Mari, lihat kau sanggup menerima berapa jurus seranganku?"
Sang toako ini mengerutkan keningnya, agaknya hendak melarang, tetapi akhirnya tidak berkata apa-apa.
Kiranya laki-laki itu, adalah pembantunya nomor dua. Ia pandai ilmu silat yang dinamakan Ngo-heng-koan, tetapi dalam pertandingan dengan Can Pek Sin itu, setiap serangannya dapat dielakan dengan mudah oleh Can Pek Sin, maka ia membiarkan mereka bertanding.
Can Pek Sin yang semula terus mengalah, tetapi laki-laki itu sungguh tidak tahu diri, maka akhirnya ia naik darah dan mengeluarkan ilmu serangannya yang meniru gerak gerik binatang terbang, ditambah dengan pelajaran menangkap tangan lawan yang didapat dari Thie Sui untuk balas menyerang.
Laki-laki itu masih melakukan serangannya mengarah dua ketiak Can Pek Sin. Karena Can Pek Sin mengenali ilmu silat itu, maka dapat mengelakkannya dengan mudah, bahkan tangannya dengan cepat menampar muka laki-laki itu.
Laki-laki itu meski berhasil mengelakkan tamparannya, tetapi mukanya dirasakan panas oleh sambaran anginnya. Hingga ia menjadi gusar dan menyerang semakin hebat.
Can Pek Sin juga tidak berani memandang ringan, dengan gerak tipunya yang lunak ia menyingkirkan serangannya orang itu. Tangan kirinya diam-diam menotok jalan darahnya. Laki-laki itu ternyata dapat melihat gelagat tidak baik, cepat-cepat merubah gerakannya.
Tepat pada saat itu tiba-tiba terdengar suara yang masih mengandung suara anak-anak:
"Seorang tua menghina satu bocah sungguh tidak tahu malu!"
Kiranya selama pertandingan berlangsung, di situ datang lagi anak muda, yang agak mudaan nampaknya baru berusia enam atau tujuhbelas tahun. Perawakannya kurus sekali, wajahnya cukup bersih. Kalau ia tidak berdandan sebagai satu laki-laki gagah, dari mukanya mirip seorang wanita. Ucapan tadi keluar dari mulutnya.
Yang agak tua usianya kira-kira duapuluh tahun, badannya tegap dan gagah. Setelah melihat sejenak ia berkata:
"Samtee, kau jangan mencari urusan. Kepandaian orang itu jauh lebih tinggi dari padamu!"
"Benar. Orang tua itu nampaknya tidak sanggup melawan pemuda itu, hingga tidak perlu aku turut campur tangan."
Orang-orang yang berada dalam gubuk itu sebetulnya sedang mencurahkan perhatian mereka kepada Can Pek Sin yang sedang berkelahi dengan kawannya itu, maka terhadap kedatangan kedua pemuda itu mereka tidak mau perduli. Tetapi setelah mendengar pembicaraan mereka, lalu diperhatikannya.
Saat itu meski hujan angin sudah berhenti, tetapi tanah dalam gubuk itu masih becek dan licin karena tersiram air hujan.
Walaupun kekuatan tenaga Can Pek Sin tidak seimbang dengan lawannya, tetapi ia mempunyai kepandaian meringankan tubuh yang sudah mahir sekali. Apalagi ia sudah pernah belajar ilmu pertempuran jarak dekat dan ilmu menangkis tangan lawan. Bertempur di tempat yang becek dan licin itu malah menguntungkan dirinya.
Dalam suatu kesempatan, lawannya menggunakan gerak tipu Harimau hitam menerkam hulu hati, kepalan tangannya yang besar menyerang dada Can Pek Sin, agaknya ingin sekaligus menjatuhkan dirinya.
Melihat datangnya serangan yang amat dahsyat Can Pek Sin merubah kepalan tangan kirinya menjadi serangan telapak tangan, ia memutar balik ke dalam, lengan tangan kanan menyikut, dengan satu gerakan yang manis ia mengelakkan serangan lawannya.
Karena lengan tangan lawannya tertindih oleh sikutnya, tidak dapat mengeluarkan tenaga. Selagi hendak ditarik kembali, serangan tangan Can Pek Sin yang kiri itu sudah sampai, mengarah jalan darah Thay-yang-hiat.
Karena jalan darah itu merupakan jalan darah sangat penting dalam anggota badan manusia, sudah tentu lawannya itu tidak memberikan kesempatan padanya untuk mencapai maksudnya.
Namun demikian, saat itu ia sudah berada dalam ancaman tangkapan tangan Can Pek Sin. Untuk menghindarkan kedua-duanya sudah tentu tidak mungkin, maka akhirnya ia miringkan kepalanya, jangan sampai terkena serangan Can Pek Sin.
Can Pek Sin yang sudah berada di atas angin, namun tidak mau melukai musuhnya, maka ia merubah kepalannya menjadi satu dorongan dengan telapakan tangan, mendorong pundaknya sambil membentak: "Pergilah!"
Meski dorongannya itu tidak menggunakan sepenuh tenaga, tetapi badan lawannya itu sudah kehilangan seimbangan, sehingga jatuh roboh terjengkang di tanah yang becek itu.
Pemuda berwajah putih bersih itu tertawa terbahak-bahak ketika menyaksikan keadaan orang itu katanya sambil tertawa:
"Orang besar menghina anak kecil, akhirnya kehilangan muka!"
Can Pek Sin tidak mau menurunkan tangan kejam. Hal itu dapat diketahui oleh ?toako? itu, tetapi karena orang-orang itu biasanya memang suka berlaku sewenang-wenang, lagi pula kejam dan buas perangainya, setelah dibanting secara demikian, lalu menjadi marah. Apalagi setelah diejek oleh pemuda itu, ia segera melompat bangun, sambil menggeram hebat. Kini ia menerjang pemuda bersih itu.
Karena ia tahu bukan tandingan Can Pek Sin maka ia tidak berani balas menyerangnya, sebaliknya hendak menimpahkan amarahnya kepada pemuda itu.
Sang toako hendak mencegah, tetapi sudah terlambat. Tiba-tiba terdengar suara beleduk yang amat nyaring, tetapi yang terpukul bukannya pemuda bermuka putih bersih itu, melainkan si penyerangnya, ialah lelaki tegap gemuk itu.
Kali ini lebih hebat, sehingga ia tidak dapat bangun dan perlu dibimbing oleh kawannya.
Pemuda yang usianya agak tuaan itu sejak tadi diam saja, saat itu ia baru membuka mulut mengeluarkan caciannya:
"Kau manusia tidak tahu diri ini benar-benar sangat kurang ajar! Akulah yang memukul kau. Kalau tidak senang, boleh kita berdua main-main lagi beberapa jurus."
Yang lebih muda usianya itu lalu berkata sambil tertawa:
"Koko, kau seharusnya memberikan kepadaku yang memberi hajaran kepadanya."
Kiranya pemuda yang lebih tua usia itu tadi sudah menggunakan gerakanya yang cepat luar biasa, sudah berhasil mematahkan pergelangan tangan orang itu dan kemudian dipukulnya sehingga jatuh. Tetapi gerakannya itu terlalu cepat sekali, sebagian besar orang-orang dari golongan orang-orang jahat itu masih belum melihat dengan tegas. Kalau bukan pemuda itu sendiri yang mengaku, orang-orang itu masih belum tahu kalau sang kakak atau sang adik yang memukulnya.
09.54. Gaya Binatang Terbang Buka Rahasia
Laki-laki itu dalam golongan kawanan berandal itu termasuk orang kuat yang menduduki kursi keempat. Tetapi kini nyatanya sudah dipukul jatuh oleh pemuda itu, hanya dalam sekejap mata saja, sedangkan kawanan berandal itu tidak tahu dengan cara bagaimana dipukulnya, maka seketika itu mereka pada tertegun.
Sang toako itu dalam hati mengerti, anak buahnya itu sebab dijatuhkan oleh Can Pek Sin sehingga matanya sudah gelap, dengan sendirinya memberikan kesempatan baik bagi pemuda itu. Namun demikian, pemuda itu dapat merobohkan anak buahnya yang mendapat tempat nomor empat dalam golongannya dengan sangat mudah, kepandaiannya juga tidak boleh dipandang ringan.
Karena ia sendiri sebagai pemimpin atau ketua dalam golongan itu, kalau melayani segala anak-anak sekali pun bisa merebut kemenangan, tetapi juga akan membuat tertawaan orang banyak.
Namun demikian, ia juga tidak akan membiarkan ?anak-anak? itu terlalu mangkak.
Sang toako itu lalu tertawa terbahak-bahak kemudian berkata:
"Kalau tidak berkelahi, niscaya tidak saling kenal. Lo Sam bangun, lekas minta maaf, kepada saudara-saudara kecil itu, mari kita bersahabat!"
Tetapi karena orang itu tangannya patah, sehingga tidak bisa bangun.
Sang toako itu setindak demi setindak berjalan menghampiri tanah yang becek itu, yang diinjak olehnya, ternyata tidak meninggalkan bekas kakinya. Keruan saja hal tersebut mengejutkan Can Pek Sin dan kedua pemuda itu.
Laki-laki yang terjatuh di tanah itu sekujur badannya penuh kotoran lumpur tanah. Toako itu agaknya takut tangannya kotor, ia hanya menggunakan dua jari tangannya untuk mengait badan laki-laki yang besar itu.
Dari perbuatannya itu menandakan bahwa toako itu mempunyai kekuatan tenaga dalam yang sudah sempurna.
Setelah laki-laki itu disembuhkan tangannya yang patah, di bawah perintah toakonya, dengan menindas perasaan malunya, terpaksa minta maaf kepada tiga pemuda itu.
Melihat musuhnya sudah minta maaf, kemarahan Can Pek Pin lalu reda.
Sang toako itu menyilahkan tiga pemuda itu duduk di dekat perapian lagi, sementara itu ia akan tidur lebih dulu. Sebagai dari satu golongan, sudah tentu ia mengerti peraturan dunia Kang-ouw, maka ia tidak menanyakan asal usul ketiga pemuda itu.
Waktu itu sudah jam tiga malam, orang-orang itu mengadakan penjagaan dengan bergiliran, yang lainnya lalu pergi tidur.
Dua pemuda itu duduk bersama dengan Can Pek Sin. Pemuda yang usianya agak muda itu menanya kepada Can Pek Sin:
"Toako ini, kepandaiannya bagus sekali, siapakah namamu yang mulia?"
"Kepandaian yang tidak berarti ini, sebetulnya sangat memalukan saja. Aku orang she Ong," jawabnya Can Pek Sin yang tidak mau memberitahukan nama aslinya, ia menggunakan she ibunya.
Pemuda itu terkejut: "Kau she Ong? Hem, gerak tipu ilmu silatmu yang meniru gaya binatang terbang ini......"
Karena sang kakak menyentuh, pemuda itu maka tiba-tiba bungkam, sebaliknya dengan pandangan mata heran mengawasi Can Pek Sin.
"Di waktu masih anak-anak aku belajar ilmu silat ini, aku juga tidak tahu apa namanya.
"Saudara berdua dari keluarga she apa?" berkata Can Pek Sin.
Sang toako yang tadi sudah tidur mendengkur, saat itu tiba-tiba membalikkan badannya, dan bangun tidur lagi.
Perbuatan itu menimbulkan kecurigaan Can Pek Sin, apakah ia pura-pura tidur dan mencuri dengar pembicaraan mereka?
Sebab gerak tipu serangan tangan yang meniru gerakan dan gaya burung terbang itu, adalah kepandaian keturunan keluarga Can. Apabila orang itu itu merupakan ahli yang banyak pengetahuan dari rimba persilatan, pasti mengetahui bahwa ia adalah keturunan dari keluarga Can.
Ia juga terkejut bahwa pemuda yang usianya masih muda ini ternyata dapat mengenali gerak tipu serangannya itu.
Namun demikian, terhadap dua pemuda itu ia tidak menduga jelek, sebab dua pemuda itu tadi pernah membantu dirinya hanya sekedar untuk membela keadilan. Apalagi mereka nampaknya juga tidak mirip dengan orang-orang yang licik, terutama yang usianya lebih muda, masih belum lenyap sifat kekanak-kanakannya.
Apa yang harus dijaga, ialah rombongan orang-orang yang macamnya seperti kawanan bajak laut itu. Setelah ia mengetahui bahwa toako yang menjadi pemimpin rombongan itu ternyata pura-pura tidur, tetapi nyatanya sedang mencuri dengar pembicaraan orang.
Tetapi kemudian ia berpikir: Aku dengan ia tidak ada permusuhan apa-apa, meskipun tadi aku berkelahi dengan anak buahnya, tetapi ia sudah menghabiskan perkelahian itu. Sekalipun ia mengetahui asal usulku, kiranya akan juga tidak menyulitkan diriku.
Walaupun hatinya merasa tidak tenang tetapi karena harus menjaga tata tertib, ia juga menanyakan she dua pemuda itu.
Pemuda yang berusianya agak lebih tua lalu menjawab:
"Kita orang keluarga she Hee. Kita berdua saudara, ingin mencari famili di kota Yang-ciu. Aku bernama Hee Cun dan adikku ini bernama Hee Ciu."
Hati Can Pek Sin heran, karena nama itu agaknya sangat istimewa.
Pemuda yang agak muda itu segera berkata sambil tertawa,
"Kau she Ong, dan kita she Hee. Kau hendak ke mana?"
Can Pek Sin terkejut. Ia merasa bahwa pertanyaannya itu agak aneh, tiba-tiba ia seperti tersadar, pikirannya: Aku menggunakan she ibuku. Apakah sudah diketahui oleh mereka? Pemuda ini agaknya mengisiki aku bahwa mereka juga memakai she ibunya. Tetapi mengapa mereka harus mengisiki aku?
Can Pek Sin tidak dapat menduga apa maksudnya, maka lalu berkata:
"Aku juga hendak pergi ke Yang-ciu."
"Kalau begitu, kita boleh jalan sama-sama," berkata si Hee Ciu.
"Ong toako ini baru saja habis berkelahi, tentunya sudah lelah. Biarlah ia tidur dulu," berkata sang kakak.
"Baiklah, Ong toako, kita juga tidur bergiliran."
Nampaknya dua saudara ini juga waspada terhadap mereka.
Satu malam itu dilewatkan tanpa ada kejadian apa-apa lagi. Besok harinya, pagi-pagi sekali mereka sudah bangun, pagi itu udara cerah.
Can Pek Sin bersama rombongan orang-orang itu ketika tiba di tepi sungai, di situ sudah terdapat banyak perahu besar dan kecil yang mencari muatan.
Tukang-tukang perahu berdiri di bagian atas setiap perahu. Ketika melihat kedatangan rombongan itu, semua memberi hormat kepada sang toako itu menurut peraturan terhadap Pangcunya atau pemimpinnya. Can Pek Sin baru tahu bahwa semua perahu itu ternyata adalah kepunyaan orang itu.
Dua pemuda itu jalan bersama dengan Can Pek Sin, tidak lama berkata kepada mereka:
"Mari kita mencari lain perahu."
Perkataan itu diucapkan sangat perlahan, tetapi ternyata dapat didengar oleh pemimpin kawanan tukang perahu itu, lalu berkata sambil tertawa terbahak-bahak:
"Sungai di daerah sekitar ini sudah menjadi daerah kekuasaan kita, kau hendak mencari lain perahu juga tidak bisa mendapatkannya. Kita satu sama lain sudah kenal, juga boleh dikatakan sudah menjadi sahabat, kau tidak perlu merendah, naiklah di atas perahuku."
Karena Can Pek Sin menganggap apabila pemimpin itu hendak mencelakakan dirinya, dengan jumlah orang mereka yang lebih banyak tentunya sudah bertindak. Lagi pula karena sudah tidak ada jalan lain, maka terpaksa menerima tawarannya.
Dua pemuda itu saling berpandangan sejenak, si kakak lalu berkata:
"Baik, terima kasih atas kebaikan Pangcu, kita juga tidak berlaku merendah lagi."
Sebetulnya Pangcu itu tadi berbicara dengan Can Pek Sin dan belum mengajak mereka. Dalam keadaan demikian, sudah tentu ia tidak dapat menolak dua pemuda itu. Sambil tertawa terbahak-bahak dan tidak menunjukkan sikap sesuatu, Pangcu itu berkata:
"Bagus, aku paling senang orang-orang bersifat polos, mari semua naik di atas perahuku!"
Namun dalam hatinya diam-diam berpikir: Ini adalah kalian sendiri yang mencari mampus, jangan kalian menyesalkan diriku.
Mereka numpang perahunya pangcu itu, yang jauh lebih besar dari pada perahu lainnya.
Kuda Can Pek Sin ditambatkan di bagian belakang dengan kuda pangcu, di bagian depan untuk tempat orang.
Perahu itu kecuali Can Pek Sin dan dua pemuda itu, masih ada pangcu bersama lima enam anak buahnya. Laki-laki yang tadi malam berkelahi dengan Can Pek Sin juga ada di situ.
Udara baik, tetapi di permukaan sungai ada angin, ombak juga cukup besar.
Ketika perahu itu berada di tengah sungai, pangcu itu tiba-tiba berkata kepada dua saudara itu:
"Apakah kalian pandai berenang?"
"Kalau pandai mau apa? dan kalau tidak bagaimana?" jawabnya pemuda yang usianya lebih tua dengan sikap keren.
"Tidak apa-apa, hanya iseng-iseng menanya saja. Karena pada umumnya berjalan di atas air lebih berbahaya dari pada di daratan. Kalau pandai berenang setidak-tidaknya ada lebih baik dari pada tidak bisa!" jawab Pangcu itu sambil tertawa.
Can Pek Sin merasa gelagat tidak baik, tetapi sebelum ia dapat memikirkan, Pangcu itu sudah bertanya kepadanya:
"Kita tokh sudah bersahabat, siapakah namamu? Rasanya sudah boleh memberitahukan terus terang."
"Aku she Ong, bukankah tadi malam aku juga beritahukan kepada kedua saudara ini?" jawab Can Pek Sin.
Pangcu itu tiba-tiba tertawa tergelak-gelak, kemudian berkata:
"Saudara kecil, kau tidak cukup bersahabat di hadapan orang yang benar. Perlu apa harus membohong? Bukankah ayahmu adalah Can Goan Siu, betul tidak?"
Can Pek Sin memang sudah menduga bahwa pangcu itu pasti sudah mengenali dirinya, maka ia juga menjawab terus terang
"Betul, tetapi aku memakai she kakek luarku itu tokh bukan berarti satu pelanggaran bukan?"
"Kau suka menggunakan she apa saja, ini adalah urusanmu sendiri, tidak ada hubungannya denganku. Akan tetapi tahukah kau siapa aku ini?"
"Tidak tahu, bolehkah aku menumpang tanya nama besarmu?"
"Aku bernama Soa Thiat San, ini adalah adikku yang kedua Siu Gouw, dan ini adalah adikku yang ketiga, Pao Thay. Semua ini kalian tadi malam sudah pernah melihatnya."
Pao Thay adalah laki-laki yang semalam berkelahi dengan Can Pek Sin.
Ketika Soa Thiat San memperkenalkan namanya sendiri, dua saudara Hee itu saling melirik tetapi tidak berkata apa-apa.
Can Pek Sin segera mengangkat tangan memberi hormat seraya berkata:
"Sungguh beruntung aku bisa bertemu dengan Pangcu. Entah Pangcu ada keperluan apa dengan diriku?"
"Kita sebagai orang yang suka berterus terang tidak suka melakukan perbuatan yang gelap, aku justru ada satu persoalan yang ingin kubicarakan terus terang denganmu. He, he, sekarang kau sudah tahu namaku, tahukah asal usulku?"
Sikap Pangcu ini sangat sombong, seolah-olah nama besarnya itu harus diketahui oleh semua orang di dalam dunia.
Can Pek Sin sangat mendongkol, maka menjawabnya dengan suara hambar:
"Maaf pengetahuanku yang masih sangat dangkal, aku baru pertama kali ini mendengar nama besar Pangcu. Soal pangcu sebetulnya pernah melakukan perbuatan apa di dunia Kang-ouw, sedikitpun aku tidak tahu."
Soa Thiat San kembali tertawa terbahak-bahak, lalu berkata:
"Kalau begitu aku sebutkan satu nama seorang lagi, kau pasti tahu?"
"Siapa?? "Touw Goan yang mempunyai nama julukan tangan perisai besi!"
Karena orang she Soa itu menyebutkan nama musuh besarnya, maka wajah Can Pek Sin seketika itu lalu berubah, ia lalu berkata:
"Toaw Goan sekalipun sudah dibakar menjadi abu aku juga masih mengenali! Numpang tanya, apakah hubungannya Soa Pangcu dengan Touw Goan?"
"Touw Goan adalah saudara angkatku. Kujelaskan lagi aku adalah menjadi toako dari orang-orang ini, dan Touw Goan adalah toakoku. Ha, ha, ha, saudara kecil, mengapa sikapmu agak tidak beres!"
Can Pek Sin tiba-tiba berbangkit dan berkata: "Baiklah, mari kita bicara terus terang, orang she Touw itu adalah musuh besarku yang membunuh mati ayah bundaku! Soa Pangcu kau hendak berbuat apa terhadap diriku?"
"Inilah justru urusan yang hendak kubicarakan denganmu. Kau sesungguhnya menyulitkan kedudukanku. Kalau aku melepaskan kau, aku merasa tak enak terhadap toakoku, dan kalau aku tangkap kau serta kuantarkan kepadanya, ini berarti mencelakakan dirimu.
"Sekarang begini saja, kau sendiri melompat ke dalam sungai, kau pertaruhkan keuntunganmu. Siapa tahu kau akan bertemu orang yang bisa menolong dirimu. Aku akan ambil kudamu untuk kupersembahkan pada toakoku, dengan demikian berarti aku sudah menyelesaikan tugasku. Sementara kalian berdua, ia maksudkan dua saudara she Hee, maaf, karena kalian bersama-sama dengan dia, juga mendapat perlakuan yang sama."
Ia mengucapkan perkataan itu dengan tenang dan seenaknya saja, seolah-olah tindakannya yang memaksa orang terjun ke dalam sungai itu baginya merupakan persoalan biasa.
Can Pek Sin gusar, ia berkata,
"Baik, kalau kau mempunyai kepandaian silahkan kau bertindak!"
"Ah, aku sebetulnya tak ingin mendapat nama-nama busuk karena menghina satu bocah, akan tetapi kalau kau mendesak aku bertindak, aku juga tak bisa berbuat lain!"
Ia berlagak seperti terpaksa melakukan tindakannya, sehabis mengucapkan demikian, tangannya lalu mendorong Can Pek Sin.
Can Pek Sin mahir ilmu menangkap tangan orang, ketika menyaksikan Soa Thiat San mendorong dirinya, ia lalu membentak: "Bagus, bagus!" tangan kanannya memutar, dan tangan kirinya bergerak menyambar pergelangan tangan lawannya. Dengan cara itu pula semalam ia pernah mematahkan tangan Pao Thay.
Tetapi Soa Thiat San tidak boleh dibandingkan dengan Pao Thay, meskipun caranya ada sama tetapi tidak berguna sama sekali.
Ketika jari tangannya mencekal pergelangan tangan Soa Thiat San, pangcu itu menggerakkan lengan tangannya, dan tangan itu seketika berubah bagaikan besi kerasnya. Jangan kata Can Pek Sin tak sanggup mematahkan, bahkan lima jarinya dirasakan sakit. Kalau bukan karena sudah cukup sempurna kekuatan tenaga dalamnya, jari tangannya sendiri mungkin sudah patah lebih dulu.
Di lain pihak tangan kiri Soa Thiat San sudah menyerang dirinya, Can Pek Sin terpaksa menangkis hendak memunahkan serangan lawannya. Tak disangka tangan Soa Thiat San seolah-olah mengandung hawa pergisap, tangan Can Pek Sin dibuatnya tidak berdaya.
Sambil membentak: "Turun!" Soa Thiat San mendorong tubuh Can Pek Sin ke dalam sungai.
Can Pek Sin mundur dua langkah, ia juga memasang kuda-kuda dengan kekuatan tenaga sepenuhnya.
Saat itu perahu bergoncang keras, kiranya Can Pek Sin menggunakan ilmu memberatkan tubuh untuk mempertahankan diri, sehingga papan perahu yang diinjaknya melesak ke dalam, untung papan itu sangat tebal, sehingga tidak sampai pecah.
Tangan Can Pek Sin yang mencekam satu tangan Soa Thiat San tetap tidak berani melepaskannya sementara tangan yang lain digunakan untuk menyambut serangan pangcu itu, sehingga hampir seluruh kekuatannya dikerahkan untuk memperhatikan dirinya. Meskipun tidak sampai terdorong dan tercebur dalam sungai, tetapi keadaannya juga sangat berbahaya.
Sewaktu Soa Thiat San bertempur dengan Can Pek Sin, Siu Gouw dan Pao Thay terus mengawasi dua saudara itu. Pao Thay tiba-tiba tertawa cengar cengir, kemudian berkata kepada pemuda yang usianya lebih muda dengan suara perlahan:
"Kalau kau suka menurut aku, aku boleh memohonkan ampun bagimu. Jikalau tidak, aku terpaksa akan menceburkan kau ke dalam sungai untuk umpan makanan ikan."
Kiranya Pao Thay adalah seorang yang gemar pipi licin, ia sudah dapat melihat bahwa pemuda yang berparas putih bersih ini adalah seorang gadis.
Gadis itu setelah dibuka rahasianya oleh Pao Thay, ia merasa malu dan gusar. Dengan satu gerakan yang cepat luar biasa, tangannya sudah menampar muka Pao Thay.
Pao Thay segera menjadi kalap, sambil berseru: "Budak hina, kau tidak tahu diri!" Lalu membentang kedua tangannya, dengan mengandalkan tenaganya yang besar, ia hendak menubruk dan memondong tubuh gadis itu.
Kakak gadis itu segera bertindak mengeluarkan serangannya, tetapi Siu Gouw yang merupakan orang kedua dalam kawanan bajak laut itu, dengan satu gerakan tangan, sudah menyanggah kepalan tangan pemuda itu.
Gerakannya itu dapat digunakan untuk menahan serangan lawannya, tetapi juga dapat digunakan untuk menyerang dengan meminjam kekuatan tangan lawannya.
10.55. Pertempuran Di Atas Sungai
Tak disangka kepalan tangan pemuda itu mengandung kekuatan sangat hebat. Ketika tangan Siu Gouw kebentur dengan kepalannya, hanya mampu memusnahkan sedikit kekuatannya, sebaliknya ia sendiri yang terdorong mundur dua langkah. Serangan pemuda itu dilanjutkan untuk menyerang belakang pinggang Poa Thay, oleh karena kepandaian Poa Thay tidak setinggi Siu Gouw, maka serangan itu mengenakan dengan telak dan Poa Thay jatuh terjengkang.
Setelah menjatuhkan Poa Thay, pemuda itu tidak memperdulikan lagi, sebaliknya melanjutkan serangannya kepada Soa Thiat San, dengan alis berdiri ia berkata dengan suara keras:
"Orang she Soa, apakah kau juga tahu bahwa siapa aku ini?"
Soa Thiat San tadi malam sudah tahu kepandaiannya pemuda itu yang masih di atas kepandaian Can Pek Sin, maka ia segera lepaskan Can Pek Sin dan menangkis serangan pemuda itu.
Tatkala dua tangan beradu, pemuda itu mundur dua langkah, Soa Thiat San juga bergoyang-goyang, sehingga diam-diam memuji, kemudian ia bertanya:
"Bagus kepandaianmu, kau anak siapa?"
Pemuda itu melototkan matanya, ia berkata dengan suara lantang:
"Soa Thiat San, apakah kau masih ingat peristiwa di kota Hoay-yang limabelas tahun berselang? Kala itu siapakah yang kau serang dengan cara menggelap?"
"Oh! Apakah kau anaknya Lam Cee In, yang hendak menuntut balas ayahmu?"
"Betul, hari ini kita sudah berjumpa di sini, aku Lam Chun Lui justru hendak menuntut balas dendam ayahku!"
Kiranya ayah Lam Chun Lui, limabelas tahun berselang waktu membantu kerajaan Tong Tiat ia menjaga kota Hoay-yang. Dalam pertempuran itu ia berhadapan dengan Yo Bok Lao, dan waktu itu Soa Thiat San yang menjadi murid termuda Yo Bok Lao, telah membantu gurunya, tetapi karena kepandaiannya belum cukup tinggi maka ia menggunakan anak panah menyerang Lam Cee In dari belakang.
Meskipun kematian Lam Cee In tidak sanggup melawan musuhnya yang jumlahnya lebih besar, tetapi serangan anak panah yang menggelap ini juga merupakan satu sebab sehingga ia tidak dapat meloloskan diri.
Beberapa tahun kemudian, Yo Bok Lao dibunuh oleh Tiat Mo Lek, karena Soa Thiat San adalah murid terakhir Yo Bok Lao, yang ketika itu belum keluar pintu. Setelah gurunya meninggal, kitab pelajaran ilmu silat gurunya, lalu dibawa kabur.
Sepuluh tahun lebih ia menyembunyikan diri sehingga berhasil memperoleh ilmu kepandaian suhunya yang paling ampuh, yang dinamakan serangan tangan mencabut nyawa dalam tujuh langkah. Dengan kepandaian yang ampuh itulah ia menggunakan sebagai modal untuk berkelana di kalangan Kang-ouw.
Tetapi karena ia masih khawatir belum mampu menandingi Tiat Mo Lek, maka ia tidak berani menginjakkan kaki di daerah utara, sebaliknya membangun perkumpulan bajak laut di daerah sungai Tiang-kang.
Asal usul orang she Soa itu mirip dengan Touw Goan. Dua orang itu merupakan orang kuat dalam golongan hitam, maka akhirnya mengangkat saudara. Thiat San angkat Touw Goan sebagai toako, ia bercita-cita hendak mendirikan kekuatan, di daerah selatan untuk melawan kekuatan Tiat Mo Lek.
Perjalanan Lam Chun Lui kali ini, adalah ingin mencari kakaknya, Lam Hee Lui.
Sejak masih anak-anak Lam Chun Lui sudah mendengar cerita dari ibunya tentang diri ayahnya, maka nama Soa Thiat San itu teringat betul dalam otaknya. Ketika Soa Thiat San memperkenalkan namanya ia segera mengetahui bahwa ia adalah musuh yang dulu melukai ayahnya.
Lam Chun Lui meskipun mulutnya berbicara, akan tetapi serangannya berjalan terus. Soa Thiat San yang melayani dua lawan, nampaknya sangat repot.
Siu Gouw yang menyaksikan itu segera mencabut goloknya seraya berkata:
"Bocah, sungguh besar keberanianmu, kau berani menuntut balas kepada Pangcu, apakah kau bosan bidup?"
Ia segera menyerang Lam Chun Lui dengan goloknya.
Lam Chun Lui memperdengarkan suara dingin, segera balikkan badannya, juga menghunus golok pusakanya.
Ketika dua senjata itu saling beradu lalu menimbulkan lelatu api. Siu Gouw yang melatih ilmu keras, tenaganya sangat besar, tetapi dalam mengadu tenaga itu ternyata ia tidak berhasil menarik keuntungan. Ketika dua senjata beradu bahkan goloknya sendirilah yang gompal sehingga diam-diam merasa terkejut.
Sementara itu Lam Chun Lui sudah balas menyerang, dengan hebatnya. Meskipun Siu Gouw menggunakan gerak tipu-tipu anehnya namun juga tidak berhasil dan goloknya gompal lagi, sedangkan ujung golok Lam Chun Lui hendak menembusi dadanya.
Akan tetapi Soa Thiat San yang selalu memasang mata dan telinga, ketika mengetahui saudaranya dalam keadaan bahaya, segera melancarkan serangan, yang memaksa Lam Chun Lui harus menyingkir, sehingga dengan demikian jiwa Siu Gouw terbebas dari ancaman maut.
Can Pek Sin menggunakan kesempatan itu juga sudah menghunus pedangnya dan menikam dada musuhnya.
Soa Thiat San yang mahir ilmu serangan tangan kosong masih tetap tidak menggunakan senjata apa-apa.
Sekali gus Can Pek Sin menyerang tiga jurus dengan sembilan perobahannya ilmu pedangnya yang mendapat warisan ayah bundanya, tidaklah heran kalau setiap serangannya sangat hebat sekali.
Tetapi ilmu serangan tangan Soa Thiat San ternyata lebih hebat lagi. Dalam waktu yang amat singkat, ia juga sudah merobah serangannya sampai tujuh kali untuk memunahkan serangan Can Pek Sin.
Dengan demikian pertempuran itu telah berobah menjadi dua pemuda itu berhadapan dengan dua lawan. Meskipun kepandaian Siu Gouw masih belum dapat dibandingkan dengan kepandaian dua pemuda itu, tetapi selisihnya juga tidak jauh.
Di lain pihak Lam Chiu Lui kini sudah terkurung oleh kawanan bajak laut yang dipimpin oleh Poa Thay. Karena kepandaian beberapa bajak laut itu juga cukup tinggi maka meskipun Lam Chiu Lui sudah menggunakan pedangnya yang gesit dan gerakan badannya yang lincah, namun masih belum berhasil melepaskan diri dari kepungan.
Perahu itu meski cukup luas, tetapi biar bagaimana ruangannya sangat terbatas, tidak dapat dibandingkan dengan tanah lapang. Lam Chun Lui ia ingin membantu adiknya, selalu terhalang oleh musuhnya sendiri.
Karena jumlah orang pihak Soa Thiat San ada lebih banyak, maka kalau pertempuran itu berlangsung terus, sudah tentu di pihaknya tiga orang pemuda itu yang akan dirugikan. Akan tetapi apabila pertempuran tidak lekas selesai, perahu itu mungkin juga bisa terbalik.
Tiga orang pemuda itu semuanya tidak pandai berenang, bertempur dalam keadaan terombang-ambing di atas perahu. Perutnya seperti dikocok terutama Lam Chiu Lui, hampir saja muntah. Selagi mereka dalam keadaan bahaya, jauh di permukaan air sungai tiba-tiba tertampak sebuah perahu kecil, yang sedang datang ke arah mereka dengan lajunya. Di atas perahu itu ada berdiri seorang yang romannya sangat aneh.
Orang itu kepalanya besar, tetapi tubuhnya pendek tidak cukup lima kaki tingginya. Usianya kira-kira sudah empat atau limapuluh tahunan, tetapi mukanya seperti anak-anak.
Dalam dunia, orang yang serupa itu hanya seorang saja. Soa Thiat San yang selalu memasang mata dan telinga ketika melihat kedatangan perahu kecil dan orang yang berdiri dalam perahu yang bentuknya aneh itu, segera terperanjat. Diam-diam hatinya berpikir: Mengapa aku harus berjumpa dengan iblis ini? Semoga ia tidak menyulitkan aku!
Sebelum lenyap pikirannya, sudah terdengar suara orang aneh itu yang berkata sambil tertawa terbahak-bahak:
"Pertempuran di darat sudah banyak yang kulihat, tetapi pertempuran di atas air aku belum pernah mencoba. He, he, boleh juga rasanya ini! He, kalian ini siapa? Mengapa harus berkelahi di atas perahu?"
Lam Chun Lui sangat girang, ia buru-buru memanggil dengan suara nyaring:
"Khong-khong cianpwee, inilah aku, Lam Chun Lui! Can toakoku juga ada di sini. Ayah Can toako adalah Can Goan Siu Tayhiap. Kita dikepung oleh bajak laut. Kepala bajak laut adalah Soa Thiat San yang dahulu melukai ayahku secara menggelap!"
Kiranya orang aneh itu bukan lain dari pada Khong-khong Jie. Ia dengan keluarga Lam sudah mempunyai hubungan dua turunan. Di waktu anak-anak, Lam Chun Lui sudah kenal baik dengannya.
Khong-khong Jie adalah seorang yang paling suka mencari onar terutama suka sekali mempermainkan orang-orang jahat yang suka berlaku sewenang-wenang. Biasanya ia suka mencari urusan saja. Ia belum pernah berkelahi di atas air, maka ketika menampak di atas perahu besar ada orang bertempur, ia sudah ingin mencobanya, dan kini setelah mendengar keterangan Lam Chun Lui sudah tentu ia akan campur tangan.
Sambil tertawa terbahak-bahak Khong-khong Jie menyahut:
"Siao Lam, jangan khawatir, aku segera datang! Ha, ha, aku kira siapa, kiranya adalah muridnya si bangsat tua Yo Bok Lao. Dulu aku pernah bertempur sebentar dengan bangsat tua itu, aku belum merasa puas, ia sudah kabur. Sayang kemudian dibunuh oleh Tiat Mo Lek. Kalau tidak aku masih ingin mengajak dia bertempur lagi. He, he, kabarnya kau sudah berhasil mewarisi kepandaian suhumu, maka pertempuran yang belum habis itu, sekarang kau boleh mewakili suhumu yang selanjutnya."
Soa Thiat San meskipun belum pernah bertemu muka dengan Khong-khong Jie, tetapi tentang pertempuran Khong-khong Jie dengan suhunya ia juga sudah mengetahuinya pertempuran itu meskipun belum selesai. Sebetulnya adalah suhunya yang berada di pihak yang kalah. Pikir saja gurunya sendiri dulu sudah takut bertemu lagi dengan Khong-khong Jie, bagaimana sekarang ia berani menghadapi?
Saat itu perahu kecil Khong-khong Jie itu sudah terpisah tidak jauh dengan perahu besar Soa Thiat San. Khong-khong Jie yang ilmu meringankan tubuhnya sudah mencapai taraf tertinggi, jikalau perahunya terpisah dekat, ia pasti biasa melompat ke atas perahu besar. Apalagi sekalipun Soa Thiat San bisa menyingkir dari atas air, juga akhirnya dapat dikejar di atas daratan.
Sudah tentu saja Soa Thiat San ketakutan, tetapi dalam keadaan terdesak, orang kadang-kadang timbul akalnya. Karena ia mendengar bahwa Khong-khong Jie belum pernah bertempur di atas air, maka pastilah tidak pandai berenang.
Ia segera mengeluarkan perintah kepada orang-orangnya:


Jiwa Ksatria Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tukang perahu, dayung ke tengah, Lo Jie, Lo Sam, kalian semua ikut aku!"
Setelah memberikan perintahnya, ia segera terjun ke dalam sungai. Perbuatan itu segera ditiru oleh orang-orangnya.
Khong-khong Jie yang menyaksikan keadaan yang demikian, lalu berkata sambil menggeleng-gelengkan kepala:
"Sial, bangsat yang tidak ada gunanya itu, barangkali sudah takut mendengar namaku, hingga mereka lebih suka menjadi setan air tetapi tidak berani melayani aku!"
Ia mengira perbuatan Soa Thiat San itu karena takut kepada dirinya.
Tidak berapa lama, perahu kecil yang ditumpangi itu tiba-tiba tergoncang hebat, tukang perahu segera mengerti apa yang akan terjadi maka lalu berkata:
"Celaka, kawanan setan air itu hendak menenggelamkan perahu kita!"
Khong-khong Jie memasang telinga, benar saja di antara suara ombak air, samar-samar terdengar suara ketokan kayu.
Kiranya Soa Thiat San yang mengetahui tidak sanggup melawan Khong-khong Jie, maka mereka yang pandai berenang di dalam air itu, pada menyelam di dalam air dan hendak menenggelamkan perahu Khong-khong Jie. Khong-khong Jie sekalipun berkepandaian tinggi, tetapi karena tidak pandai berenang, tentu mudah diguling kan.
Khong-khong Jie sangat murka terhadap perbuatan rendah kawanan bajak laut itu. Pada saat itu, sebatang anak panah tiba-tiba meluncur dari dalam air, tetapi anak panah itu tidak menyerang Khong-khong Jie sebaliknya mengarah si tukang perahu, dianggapnya apabila tukang perahu sudah mati, Khong-khong Jie pasti lebih tidak berdaya lagi.
Untung tukang perahu itu cerdik, ketika tampak kepala orang muncul dipermukaan air, segera tengkurap, sehingga anak panah itu menancap di atas perahu.
Khong-khong Jie marah sekali, ia berdiri di kepala perahu, dari jauh melancarkan serangan ke arah permukaan air itu. Segera terdengar suara gemuruh, air muncar setinggi satu tombak lebih. Kepala orang yang menyerang dengan anak panah tadi baru saja hendak menyelam, sudah kena dihajar oleh serangan tangan itu, sehingga binasa seketika.
Khong-khong Jie berseru: "Siapa yang hendak menyerang, seranglah aku!"
Tetapi kawanan bajak laut itu semua sudah mengetahui betapa lihai Khong-khong Jie, maka tidak ada satupun yang berani keluar, mereka sembunyi di bawah perahu hendak membikin lobang dasarnya perahu. Kalau perlu bernapas, mereka harus berenang ke tempat yang agak jauh, baru berani keluar di permukaan air.
Khong-khong Jie menyuruh tukang perahu lekas mendayung perahunya mengejar perahu besar itu.
Soa Thiat San setelah meninggalkan perahunya, tukang-tukang perahu yang masih di atas perahunya semua patuh kepada perintahnya. Mereka mendayung perahu itu ke tengah sungai yang airnya deras, kemudian mereka terjun ke dalam air meninggalkan perahu itu terombang-ambing di atas air.
Can Pek Sin bertiga karena masih kurang pengalaman, ketika mengetahui maksud jahat itu ternyata sudah tidak berhasil mencegahnya. Karena mereka tidak pandai berenang, terpaksa menyaksikan perahu itu herputaran dengan tanpa berdaya. Untung perahu itu adalah perahu besar, kalau perahu kecil mungkin sudah lama tenggelam ke dalam air.
Rencana Soa Thiat San hendak menenggelamkan perahu Khong-khong Jie lebih dulu, kemudian balik lagi untuk membereskan jiwa tiga pemuda itu.
Rencananya itu nampaknya berjalan lancar, sehingga Soa Thiat San dan orangnya hanya menenggelamkan perahu Khong-khong Jie lebih dulu.
Perahu kecil itu di bawah perlindungan Khong-khong Jie, dengan susah payah baru dapat menyusul perahu besar itu, tetapi di bawah perahu, Soa Thiat San sedang bekerja membuat lobang, supaya lekas tenggelam.
Selagi perahu kecil itu terpisah cuma kira-kira sepuluh tombak saja dengan perahu besar, air sungai tiba-tiba mengalir masuk, karena dasar perahu itu sudah terdapat banyak lobang.
Air mengalir masuk semakin lama semakin banyak, perahu itu sedikit demi sedikit sudah mulai tenggelam.
Khong-khong Jie mulai menyesal mengapa ia tidak belajar berenang.
Dalam keadaan demikian, tiba-tiba ia timbul satu akal. Dengan satu pukulan tangan ia hancurkan papan perahu, kemudian mengambil beberapa potong di antaranya. Setelah itu, kakinya menotol dan badannya melesat tinggi ke tengah udara.
Soa Thiat San tidak menduga Khong-khong Jie akan berbuat demikian, sudah tentu dikejutkan oleh perbuatan itu. Tetapi ia masih mengira Khong-khong Jie tidak dapat mencapai ke atas perahu besar, diam-diam mendoa agar Khong-khong Jie tercebur ke dalam sungai.
Soa Thiat San muncul kepalanya di permukaan air, untuk menyaksikan perbuatan Khong-khong Jie itu. Ia segera dapat melihat bahwa orang aneh itu berjumpalitan di tengah udara, selagi badannya meluncur turun, sebelum tercebur ke dalam air, tangannya melemparkan sepotong papan. Papan itu merapung ke atas air, dan kaki Khong-khong Jie secepat kilat menginjak di atasnya. Setelah itu, kembali badannya melesat lagi ke atas.
Berulang-ulang ia menggunakan cara demikian, sehingga akhirnya melompat naik ke dalam perahu besar.
Semua orang yang menyaksikan itu pada heran.
Kepandaian semacam itu memang sudah pernah mendengarnya, tetapi dianggapnya bagaikan dongengan saja, tak disangka Khong-khong Jie dapat melakukan dengan baik sekali.
Lam Chun Lui bertiga ketika melihat kedatangan Khong-khong Jie, sudah tentu sangat girang. Tetapi Khong-khong Jie setelah terlepas dari bahaya, ketika memikirkan bahwa dirinya hampir saja menjadi setan air sungai Tiang-kang sangat mendongkol.
10.56. Jago Tua Khong-khong Jie
Keduapuluh Satu Semakin dipikir Khong-khong Jie semakin mendongkol, ia memaki-maki di atas perahu:
"Hai, Soa Thiat San kawanan tikus! Mari kau tenggelamkan perahu ini sekalian. Hem, kau tidak bisa membinasakanku, awas aku nanti akan beset kulitmu."
Soa Thiat San sudah tentu tahu betapa kuat dan kokoh perahunya sendiri itu yang tidak dapat dilobangi dari bawah. Apalagi perahu itu sedang berada di tengah air yang mengalir deras. Sekalipun mereka pandai berenang, juga tidak berani menyelam di dalam air yang arusnya deras itu.
Khong-khong Jie sudah terkenal dengan tangan besinya, Soa Thiat San tahu benar adat manusia aneh itu. Terhadap orang yang bermusuhan terhadapnya, sedikitpun tidak mau memberi ampun, maka setelah mendengar ancamannya itu, ia lalu mengajak kawan-kawannya kabur.
Khong-khong Jie yang menyaksikan Soa Thiat San dan kawan-kawannya sudah kabur, hatinya merasa penasaran, tetapi karena ia tidak pandai berenang, sehingga tidak berdaya sama sekali.
Perahu kecil yang semula ditumpangi oleh Khong-khong Jie, kini sudah tenggelam, tetapi tukang perahunya dengan memegangi sepotong papan berenang menghampiri perahu besar yang ditumpangi Khong-khong Jie. Begitu berada di atas perahu, segera mengeluarkan semacam terompet yang segera ditiupnya.
Khong-khong Jie yang merupakan seorang Kang-ouw ulung, ketika menyaksikan perbuatan tukang perahu itu. segera mengetahui bahwa itu adalah orang dari salah satu golongan bajak laut, maka segera menegur:
"Oh, apakah kau memanggil kawan-kawanmu? Kau dari golongan mana? Siapakah pemimpinmu?"
Tukang perahu itu berlutut dihadapannya seraya berkata:
"Hamba adalah anak buah Hay-ho-pang yang berkedudukan di kota Yang-ciu, Pangcu hamba bernama Chiu Tong. Hari ini Pangcu telah mendapat khabar tentang kedatangan tayhiap. Sudikah kiranya tayhiap membuang sedikit waktu untuk berkunjung ke Yang-ciu sebentar?"
Khong-khong Jie paling takut mendapat perlakuan begitu menghormat, maka segera membimbing bangun tukang perahu itu seraya berkata:
"Kau tadi sudah mengeluarkan tenaga untuk menyeberangkan aku di sungai ini. Aku masih belum mengucapkan terima kasih kepadamu. Tentang Chiu Pangcu, aku juga sudah lama pernah mendengar namanya, di kemudian hari aku pasti akan mengunjunginya."
Lam Chun Lui segera menyelak:
"Numpang tanya, ada seorang bernama Lam Hee Lui, apakah juga berada di tempat kalian?"
"Lam tayhiap justru karena di tempat kita sana. Pada dua bulan berselang, ketika kita merampas ransum kerajaan, banyak sekali mendapat bantuan Lam tayhiap. Apakah kau......" berkata tukang perahu itu.
"Aku adalah adik lelakinya."
"Ah, ini kebetulan sekali. Kalau kau hendak mencari saudaramu, akan kutunjukan jalan kepada kalian. Dan Can siaohiap ini apakah juga ingin ke Yang-ciu? Bolehkah Can siaohiap ikut sekalian?"
Tukang perahu itu tadi dari pembicaraan Lam Chun Lui sudah mengetahui tentang diri Can Pek Sin, karena ia juga bermusuhan dengan Touw Goan maka pasti akan memberi bantuan pada pihaknya.
Can Pek Sin berkata: "Aku justru hendak menjumpai pangcumu dan Lam toako."
"Perahu ini adalah perahu kepunyaan Soa Thiat San, dengan cara bagaimana kalian bertiga dapat menumpang perahu ini?"
"Setelah kita berada di atas perahu, baru tahu bahwa dia adalah Soa Thiat San."
"Kalian bertiga, benar-benar sangat berani."
"Keberanianmu sendiri juga tidak kecil. Hari ini aku mencari perahu hendak menyeberangi sungai ini, mereka semua tidak berani. Ketika aku menanyakan sebabnya, satupun tiada yang berani menjawab. Sekarang aku baru tahu, kiranya hari ini Soa Thiat San hendak menyeberangi sungai, maka lebih dulu sudah mengeluarkan perintah untuk menutup semua perjalanan di atas air. Hanya kau yang berani menyeberangkan, apakah kau tidak takut berbuat salah terhadap Soa Thiat San, sehingga merepotkan golonganmu sendiri?" demikian Khong-khong Jie berkata.
"Soa Thiat San memang sedang bermusuhan dengan kita dari Hay-ho-pang. Semua kekuatan kita lebih besar dari padanya, tetapi sekarang ia telah bergabung dengan Touw Goan, sehingga kita agak sulit menghadapinya. Dengan terus terang, karena roman tayhiap yang sangat berbeda dengan orang lain, meskipun hamba tidak berani menanya nama tayhiap, tetapi juga sudah tahu siapa tayhiap itu."
Khong-khong Jie tertawa terbahak-bahak, kemudian berkata:
"Kiranya begitu, aku justru ingin mengejar Soa Thiat San itu, maka aku pasti hendak membantu kalian."
Can Pek Sin, diam-diam merasa terkejut dan girang. Kedatangannya ke Yang-ciu sebetulnya hendak mencari keterangan enci Leng nya, tidak diduga musuh besarnya juga berada di sana, mungkin akan dijumpai sekalian.
Selama bicara, dihadapannya tampak beberapa perahu layar, yang ternyata adalah kepunyaan Hay-ho-pang. Tukang perahu itu tadi merupakan salah seorang yang ditugaskan menjadi mata-mata di sekitar perairan itu, segera memerintahkan beberapa anak buah perahu layar itu supaya naik ke atas perahu besar, agar sama-sama membawa perahu itu menyeberang ke tepi sungai.
Khong-khong Jie dengan ayah bunda Can Pek Sin mempunyai hubungan baik tetapi belum pernah datang ke rumahnya, maka ini adalah untuk pertama kali ia berjumpa dengannya. Setelah tukang perahu itu berlalu bersama, kawan-kawannya mendayung perahu besar itu, ia lalu memberi hormat kepada Khong-khong Jie sebagaimana selayaknya seorang tingkatan muda terhadap orang tingkatan tua.
Khong-khong Jie berkata: "Kejadian yang menimpa keluargamu sudah kuketahui. Can-hiantit, aku mendengar kabar beberapa bulan berselang kau bersama-sama Tiat Ceng dan Tiat Leng pernah lewat ke kota Gui-pok dan terjadi perkelahian dengan tentara di kota tersebut itu, apakah itu betul?"
"Betul. Kalau begitu Khong-khong cianpwee juga sudah mengetahui perkara ini."
"Hem, aku ingin minta keterangan seseorang darimu. Di kota Gui-pok apakah kalian pernah bertemu dengan seorang yang bernama Hoa Ciong Tay?"
"Kita justru bertemu dengan Hoa locianpwee itu, yang memberikan bantuannya tidak sedikit sehingga tidak mendapat kesulitan dari tentara negeri itu. O ya, Hoa lo-cianpwee malah pernah menyebut nama Khong-khong cianpwee di hadapan kita, katanya ingin bertemu denganmu."
"O ya? Tahukah kau dimana sekarang ia berada?"
"Aku bersama Tiat Leng sewaktu meninggalkan kota Gui-pok, karena Tiat Ceng mendapat sedikit luka, Hoa lo-cianpwee bersama putrinya untuk sementara berdiam di sana merawat Tiat Ceng. Ini semua telah terjadi pada tiga bulan berselang apakah sekarang masih berdiam di sana atau tidak, aku sendiri juga tidak tahu."
Dua saudara Lam itu ketika mendengar Can Pek Sin membicarakan Tiat Ceng, nampaknya sangat menaruh perhatian, Lam Chun Lui segera bertanya:
"Mengapa Tiat Ceng terluka? Siapakah yang kau maksudkan dengan Hoa lo-cianpwee itu? Aku seperti belum pernah mendengar keluarga Tiat mempunyai sahabat demikian. Bagaimana ia mau merawat Tiat Ceng?"
Lam Chiu Lui juga bertanya:
"Oh, Hoa lo-cianpwee itu masih mempunyai seorang putri, berapakah usianya? Cantik atau tidak?"
Kiranya antara keluarga Lam dan Tiat, dua keluarga itu mempunyai hubungan sangat baik. Ibu Lam Chun Lui pernah bermaksud hendak menjodohkan putrinya dengan Tiat Ceng.
Oleh karena usia dua anak itu masih terlalu muda, sedangkan Tiat Ceng waktu itu juga masih belajar ilmu silat kepada Khong-khong Jie maka belum pernah dibicarakan secara resmi.
Namun demikian keluarga kedua pihak sudah ada maksud itu, Khong-khong Jie sebagai guru Tiat Ceng, sudah tentu juga mengetahui persoalan itu.
Sebaliknya Can Pek Sin yang sama sekali tidak mengetahui soal itu, ketika ditanya demikian, dalam hatinya lalu berpikir: Anak perempuan selalu suka mencari keterangan, kecantikan perempuan lain, adik Leng mempunyai kesukaan demikian juga, sama juga dengan nona Lam ini.
Maka seketika itu ia lalu tertawa dan menjawab:
"Nona Hoa itu, usianya sebaya denganmu, ia juga cantik seperti kau."
Pipi Lam Chiu Lui kemerah-merahan, katanya agak marah,
"Can toako, mengapa kau bawa-bawa diriku? Aku bagaimana dapat dibandingkan dengan orang lain??
Can Pek Sin yang baru berkenalan dengan nona itu, sudah tentu merasa tidak enak ditegur secara demikian.
Khong-khong Jie lalu berkata sambil tertawa:
"Lam tit-lie, kau tidak usah marah. Tentang muridku itu, aku bisa mengurusnya. Dengan cara bagaimana Tiat Ceng bisa berjumpa dan bergaul dengan Hoa Ciong Tay dan anaknya? Can hiantit, coba kau ceritakan!"
Lam Chiu Lui, semakin malu, dengan pura-pura mengambek ia berkata,
"Kapan aku marah. Paman Khong-khong, kau hendak mengurus muridmu atau tidak ada hubungan apa dengan aku?"
Khong-khong Jie berkata sambil tertawa:
"Baik, sekarang kau boleh memaki aku, di kemudian hari, kau barangkali, akan minta pertolonganku."
Can Pek Sin bingung mendengar pembicaraan mereka, tetapi karena Khong-khong Jie meminta kepadanya untuk menceritakan apa yang telah terjadi di kota Gui-pok, maka ia menuturkan semua apa yang telah terjadi. Akhirnya ia berkata:
"Hoa lo-cianpwee itu dengan kita meski bukan sanak saudara, tetapi beliau sangat baik dan seorang yang budiman. Paman Toan pernah datang ke tempat kediaman mereka menengok Tiat Ceng, kabarnya mereka sangat baik memperlakukan Tiat Ceng. Khong-khong cianpwee, kau tentunya juga merupakan sahabat lama dengan Hoa lo-cianpwee? Mungkin karena memandang kau, maka perlakuan cianpwee itu, dengan cara perlakuan istimewa."
Khong-khong Jie menjawab dengan suara wajar:
"Hem, betul, dengan Hoa Ciong Tay aku juga merupakan sahabat lama."
Kiranya Khong-khong Jie adalah seorang yang suka menang sendiri. Sudah lama ia ingin mengadu kepandaian dengan Hoa Ciong Tay. Sejak ia tahu bahwa di masa mudanya Hoa Ciong Tay pernah jatuh cinta kepada istrinya, terhadapnya sedikit banyak timbul perasaan cemburu, maka ia ingin mencari kesempatan hendak mengadu kekuatan.
Setelah dia mendapat kabar, bahwa Hoa Ciong Tay pernah muncul di kota Gui-pok, ia pergi mencarinya, tetapi tidak berhasil menemukan. Ia menduga bahwa Hoa Ciong Tay kali ini berkunjung lagi ke daerah Tiong-goan, pasti ingin menjumpai beberapa jago daerah Tiong-goan.
Sebagai orang terkuat golongan daerah Tiong-goan sudah tentu terhitung Tiat Mo Lek. Tetapi markas Tiat Mo Lek di gunung Hok-gu-san, sudah dihancurkan oleh pasukan tentara negeri. Ke mana perginya Tiat Mo Lek, masih merupakan satu rahasia. Khong-khong Jie sendiripun juga belum tahu, ia menduga sekalipun Hoa Ciong Tay hendak mencari Tiat Mo Lek, juga masih memerlukan suatu masa, sampai pada waktu Tiat Mo Lek membangun kekuatan lagi.
Tempat lain yang mungkin menjadi sasaran sebagai tempat berkumpulnya orang-orang kuat daerah Tiong-goan, mungkin kota Yang-ciu, karena Chiu Pangcu pada dua bulan berselang sewaktu hendak merampas rangsum kerajaan pernah meminta bantuan banyak kawan-kawan.
Dan setelah berhasil merampasnya, terjadi pula perebutan pengaruh antara Chiu Pangcu ini dengan golongan Soa Thiat San. Karena Soa Thiat San minta bantuan Touw Goan, dan Touw Goan ini pasti juga mengundang banyak kawan-kawannya, maka sahabat Chiu Tong yang diminta bantuannya, sebagian besar tentunya belum pulang.
Dengan demikian rimba persilatan daerah Kang-lam, kini sedang menghadapi suatu pergolakan hebat, dan Khong-khong Jie sebagai orang yang suka segala keramaian itu, maka memerlukan datang ke Yang-ciu, dengan pengharapan bisa berjumpa dengan Hoa Ciong Tay. Sekalipun tidak dapat menjumpainya, juga dapat mengikuti keramaiannya.
Tetapi sekarang dari keterangan Can Pek Sin, ia mendapat kabar tanpa sesuatu kekhawatiran dalam hatinya, karena apabila betul muridnya jatuh cinta kepada anak perempuan Hoa Ciong Tay, hal ini akan menyulitkan kedudukannya. Sebab ia dengan Lam Cee In merupakan persahabatan yang paling akrab, dan juga tahu bahwa nyonya Lam itu ingin menjodohkan anak perempuannya kepada Tiat Ceng. Bagaimana ia dapat tinggal berpeluk tangan tidak membantunya?
Dilain pihak, keterangan Can Pek Sin itu juga bahwa Hoa Ciong Tay juga merupakan seorang budiman, tidak perduli apa maksudnya menolong Tiat Ceng, sedikit banyak merupakan budi baginya, sehingga tidaklah pantas kiranya kalau ia berbuat keterlaluan kepada orang yang pernah menolong muridnya sendiri.
Can Pek Sin dengan dua saudara Lam sama sekali tidak mengetahui pertikaian antara dua orang itu. Meski mulutnya mengatakan sahabat lama dengan Hoa Ciong Tay, tetapi romannya menunjukkan perasaan tidak senang. Semua ini mengherankan bagi anak muda itu.
Ketika perahu besar itu tiba ke tepi sungai, semua orang lalu naik ke darat, Khong-khong Jie lalu berkata:
"Baik, sekarang aku hendak mengejar Soa Thiat San. Jie Lui, kau tidak perlu kesal hati, semua kau serahkan saja sama paman Khong-khong Jie ini."
Rombongan Soa Thiat San yang sudah berjalan setengah jam berselang, sepanjang jalan masih meninggalkan bekas kaki kuda. Khong-khong Jie mengerahkan ilmu meringankan tubuh mengejar mengikuti jejak kaki kuda itu. Sebentar sudah menghilang dari depan mata mereka.
Orang Hay-ho-pang yang bertindak sebagai tukang perahu tadi berkata:
"Khong-khong tayhiap benar-benar seorang luar biasa pada dewasa ini, semoga ia berhasil dapat menangkap Soa Thiat San. Ini berarti mengutungkan sebelah tangan Touw Goan!"
Sementara itu Lam Chun Lui berkata kepada adiknya sambil tertawa:
"Adik, paman Khong-khong agaknya sangat perhatikan dirimu."
Dengan wajah merah Lam Chiu Lui berkata,
"Paman Khong-khong meskipun berkepandaian luar biasa, tetapi bicaranya seperti orang gila. Aku sendiri juga bingung."
Dengan jawaban itu, Can Pek Sin segera mengerti sebagian, tetapi karena dirinya sendiri sedang banyak urusan, maka juga tidak ada pikiran mengurusi urusan orang lain.
<> Orang Hay-ho-pang yang bertindak sebagai tukang perahu itu mencarikan tiga ekor kuda bagi Can Pek Sin bertiga, sebelum malam telah tiba di kota Yang-ciu.
Can Pek Sin yang masih memikirkan nasib enci Leng nya, di tengah jalan bertanya kepada tukang perahu itu:
"Kabarnya kemarin telah terjadi suatu kejadian aneh. Seorang perempuan muda belia telah melukai salah seorang anak buah Soa Thiat San yang terkenal kuat. Apakah kau tahu kejadian ini?"
"Tahu! Orang-orang dari golongan kita banyak yang menyaksikan sendiri!"
"Bagaimana macamnya perempuan itu?"
"Siapa namanya perempuan itu, kita tidak tahu. Kita hanya dapat menduga perempuan itu berusia kira-kira duapuluh tahun, mengenakan pakaian berwarna merah, menunggang kuda berbulu merah juga. Can Kongcu, kau menanyakan tentang perempuan itu, apakah kau kenal kepadanya?"
"Kemarin ketika aku berteduh di dalam gubuk itu, aku mendengar orang-orang Soa Thiat San yang menceritakan kejadian ini, katanya mereka hendak merampas kuda perempuan itu sehingga terjadi perkelahian tersebut. Karena di kalangan Kang-ouw tidak banyak jumlahnya perempuan muda yang berkepandaian tinggi, maka aku minta keterangan darimu."
Lam Chiu Lui lalu berkata:
"Pendapatmu itu tidak benar, bukankah usia Tiat Leng lebih muda. Kalau ia berada di sini, belum tentu dikalahkan oleh perempuan itu. He, he, apa susahnya untuk melukai seorang anak buah Soa Thiat San saja?"
Terkurung Di Perut Gunung 1 Pendekar Mabuk 058 Gadis Buronan Muslihat Dengan Cermin 1
^