Pencarian

Mabuk Kepayang 2

Fear Street Mabuk Kepayang Perfect Date Bagian 2


Lalu cewek berparut itu membuatku kaget dan aku..." Ia berhenti
bicara dan menarik napas panjang. "Aku tergila-gila padamu, Rosha.
Tolong, jangan marah."
Rosha menatapnya, lama sekali.
Brady menunggu dengan jantung bertalu-talu. Ketika akhirnya
bibir Rosha membentuk senyuman, ia merasakan kakinya lemas
karena lega.
Rosha akan memaafkannya!
Segalanya akan sempurna lagi.
Rosha menyelipkan tangannya ke tangan Brady dan
mencondongkan badan lebih dekat lagi. Rambutnya yang halus
bagaikan sutra bersentuhan dengan pipi Brady. Baunya harum seperti
bunga. "Kau memang gila," bisik Rosha. "Menurutku pasti karena
benjolan di keningmu itu. Bagaimana keadaanmu, Brady? Sejak
kecelakaan itu, aku terus-menerus mengkhawatirkan dirimu."
Dengan Rosha berdiri begitu dekat, Brady hampir tidak ingat
pada benjolan di dahinya itu. "Baik-baik saja," jawabnya. "Sungguh,
Rosha. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan."
Cewek itu meremas tangannya. "Aku juga merasa sedih
mengingat mobil itu," kata Rosha. "Seandainya aku bisa meminta
ayahku mengganti biaya perbaikannya. Tapi aku sudah terlibat
masalah besar dengannya. Kalau ayahku sampai tahu kejadian ini, aku
takut ia akan menghukumku. Dan aku tidak bisa bertemu lagi
denganmu."
Ia benar-benar suka padaku, pikir Brady girang. Selama ini ia
mengkhawatirkan aku. Ia memikirkan aku.
Rasanya bagaikan melayang di awang-awang.
"Tidak perlu mencemaskan mobilnya. Sudah diganti oleh
asuransi kok," ujar Brady menjelaskan. "Hei, ngomong-ngomong,
untuk apa kita berdiri di luar dalam cuaca sedingin ini? Ayo kita pergi
minum kopi atau Coca-cola atau apa sajalah."
"Kedengarannya asyik," sahut Rosha. "Tapi aku cuma punya
waktu setengah jam. Aku harus pulang dan mulai mengerjakan karya
tulis sejarah."
Brady sangat kecewa. Karena sekarang sudah menemukan
Rosha, ia ingin menghabiskan waktu berjam-jam bersamanya. Terima
saja apa adanya, katanya dalam hati.
Di mobil Brady melihat tas kulit hitam milik Rosha yang
ditaruhnya di lantai mobil. "Oh, aku punya sesuatu untukmu." Ia
mengulurkan tangan, meraih tas itu, dan menyerahkannya kepada
Rosha. "Tasku!" pekik Rosha. "Selama ini aku bertanya-tanya di mana
hilangnya!"
"Ketinggalan di mobil ayahku sehabis kita nonton film," Brady
menjelaskan sambil menjalankan mobil. "Polisi mengembalikannya
padaku kemarin."
"Polisi?" Mata Rosha membelalak waswas.
"Tidak apa-apa," Brady meyakinkan Rosha.
"Kukatakan padanya bahwa pacarku meninggalkan tas itu pada
kencan kami sebelumnya. Mereka tidak menemukan petunjuk yang
menyatakan kau bersamaku malam itu."
Rosha mengembuskan napas lega. "Terima kasih, Brady."
"Tidak apa-apa," ulangnya. "Tapi kok aneh. Maksudku, tasmu
sama sekali kosong."
"Kau membuka tasku?" Rosha membuka ritsleting tasnya dan
mengintip ke dalam.
"Hanya untuk melihat apakah ada nomor teleponmu di
dalamnya," Brady buru-buru menjelaskan. Ia tidak ingin Rosha
meledak lagi. "Tapi ternyata tasmu kosong."
Ketika matanya melihat sebuah kafeteria, Brady langsung
berbelok ke lapangan parkir dan memarkir mobilnya di tempat yang
kosong. Ia mematikan mesin dan melirik Rosha.
Rosha masih terus memandang bagian dalam tasnya. "Sekarang
aku ingat," bisiknya. "Aku bersemangat sekali ingin segera bertemu
denganmu di Mall. Cuma itu yang kupikirkan."
"Kau bersemangat ingin segera bertemu denganku?" tanya
Brady. Perasaan melayang di awang-awang itu muncul lagi, kali ini
bahkan lebih kuat.
Rosha mengangguk, menatapnya dengan pandangan malumalu. "Satu jam lamanya aku bersiap-siap, lalu lari keluar rumah
dengan tas yang salah. Bodoh, ya?"
Brady menatap mata Rosha yang hijau dan indah itu. "Tidak,"
bisiknya. "Bagus malah. Maksudku, bagus karena kau ingin bertemu
denganku. Waktu itu aku juga tidak sabar ingin segera bertemu
denganmu."
Bibir Rosha membentuk seulas senyum seksi. Ia melemparkan
tas itu ke samping dan menjulurkan badannya di kursi mobil, duduk di
sebelah Brady. Direngkuhnya wajah Brady dengan kedua tangan,
didekatkannya ke wajahnya.
"Aku senang kita bisa bertemu lagi," bisiknya. Bibirnya
menyentuh bibir Brady. "Kurasa kita memang sudah ditakdirkan
untuk bersama, begitu bukan?"
"Jelas," sahut Brady.
Rosha mencium bibir Brady, lalu mundur sedikit dan mencium
pipi, dahi, dan kelopak mata Brady.
Ia memang hebat, pikir Brady sambil membalas ciumannya.
Sempurna. "Tahukah kau apa yang ingin kulakukan?" tanya Rosha
berbisik, desah napasnya menggelitik telinga Brady.
"Apa?" Brady membelai rambutnya. "Katakan apa saja."
"Berdansa malam Minggu nanti. Asyik, kan?"
"Malam Minggu?" Brady mengerutkan kening. Bukankah ia
ada acara malam Minggu nanti?
"Yeah. Kau mau kan?"
"Tentu saja. Sudah pasti kita pergi malam Minggu nanti," sahut
Brady sepakat.
Tapi bahkan saat mengucapkannya, Brady mendadak
mendengar suara Allie, memberitahu tentang pesta yang diadakan Mei
Kamata. Pesta skate Mei Kamata.
Malam Minggu.
Brady mengeluh.
"Kenapa?" tanya Rosha.
"Tidak apa-apa," Brady buru-buru meyakinkan. "Tidak ada apaapa."
Tapi ketika Rosha tersenyum dan menciumnya lagi, otak Brady
berputar. Bagaimana dengan Allie? tanyanya dalam hati.
*************
Mudah saja, pikir Brady ketika melewati pintu depan rumahnya.
Kau akan mengungkapkan hal yang sebenarnya pada Allie.
Ia melemparkan jaketnya ke meja di koridor dan melangkah ke
dapur untuk mencari makanan.
Sementara matanya mengamati isi lemari es, Brady
membayangkan kata-kata yang bakal ia ucapkan di hadapan Allie.
"Begini, Allie, kau baik dan hebat. Tapi masalahnya, aku bertemu
cewek lain dan kurasa sebaiknya kita putus saja."
Singkat dan halus, kan?
Brady menggelengkan kepala.
Memang singkat. Tapi tidak terlalu halus.
Disambarnya sepotong paha ayam goreng dingin dan setumpuk
serbet kertas, lalu dibawanya ke kamarnya di lantai atas. Duduk di
tempat tidur, digigitinya paha ayam itu sementara otaknya
memikirkan jalan lain yang lebih baik untuk memutuskan hubungan
dengan Allie.
Bagaimana lagi caranya? Ia tidak boleh menggembargemborkan kehebatan Rosha. Ia tidak mau menyakiti hati Allie dan
membuat cewek itu memusuhinya.
Tapi mungkin Allie tetap akan sakit hati dan memusuhinya,
tidak peduli apa pun yang ia katakan.
Brady melirik pesawat telepon dengan perasaan bersalah.
Mestikah ia menelepon Allie dan menyelesaikannya sekarang?
Ia menggeleng lagi. Kau belum siap, katanya dalam hati. Kau
malah akan menyakiti hatinya dan membuatnya membencimu selamalamanya.
Mula-mula ia akan menelepon Jon. Ia ingin minta maaf atas
kelakuannya seusai sekolah tadi. Lagi pula, ia ingin bercerita pada Jon
bahwa ia berhasil menemukan Rosha.
Rosha. Brady nyengir sendiri.
Ia bukan hanya berhasil menemukannya, tapi sekaligus
mengetahui cewek itu ternyata tergila-gila padanya.
Ciumannya tadi bisa dijadikan bukti.
Sambil terus senyum-senyum, Brady menghabiskan ayamnya
dan melemparkan tulangnya ke keranjang sampah.
Ia sedang melap tangannya dengan serbet kertas ketika telepon
berdering.
Mungkin Allie, pikirnya, merasa bersalah lagi. Jangan bilang
dulu. Tunggu sampai kau bisa mengarang pidato yang bagus.
Diraihnya gagang telepon. "Halo?"
"Halo, Brady." Terdengar suara cewek.
Serta-merta Brady berdiri, jantungnya berdebar-debar. Itu suara
yang sama. Cewek yang pernah meneleponnya sebelum ini.
"Siapa ini?" tuntutnya. "Mau apa kau?"
"Aku melihatmu tadi," sahut gadis itu. "Aku melihatmu tadi
bersama Rosha di luar gedung St. Ann's."
Ini pasti cewek bermuka parut itu! mendadak Brady sadar.
Pasti! Siapa lagi yang melihat kami di sana tadi?
"Mengapa kau membuntuti aku?" desak Brady. "Apa maumu?"
"Kan sudah kubilang," bisik cewek itu. "Jangan dekati Rosha.
Aku tidak main-main. Jauhi dia."
"Lupakan saja!" bentak Brady marah. "Jangan ganggu aku!"
Brady membanting telepon dan mengempaskan dirinya ke
tempat tidur.
Siapa dia? tanyanya dalam hati sambil mengingat wajah cewek
yang penuh bekas luka mengerikan itu.
Aku tidak mengenalnya.
Rosha juga tidak.
Apa yang ia inginkan dariku? Mengapa ia tidak berhenti
menggangguku?
Bab 14 "JADI, kau akan pergi berdansa dengan Rosha malam Minggu
nanti?" tanya Jon keesokan siangnya. Ia membuka pintu ruang angkat
besi di sekolah. "Bagaimana tanggapan Allie?"
"Ia tidak bilang apa-apa. Aku tidak akan memberi tahu soal
Rosha padanya," jawab Brady. "Aku hanya membatalkan kencan kami
ke pesta Mei."
"Apa alasannya?"
"Kubilang saja aku dihukum karena belum juga mendapat
pekerjaan untuk membayar biaya perbaikan mobil."
Jon memutar bola matanya dan melangkah ke sebuah bangku.
Brady mengikutinya.
Ruang angkat besi itu berukuran besar dan berbentuk segi
empat, dengan cermin lebar menutupi dinding-dindingnya, lantainya
dilapisi karpet abu-abu, dan dilengkapi peralatan pembentuk raga
yang canggih. Pada jam-jam seperti ini, ruangan itu hampir kosong.
Tapi bau keringat masih menggantung di udara.
Jon melakukan gerakan-gerakan pemanasan, lalu mulai melatih
otot-otot bisepsnya dengan sepasang barbel kecil. "Dan Allie percaya
begitu saja, heh?"
Brady mengangguk sambil menyiapkan bangku angkat besi di
sebelah Jon. "Ia benar-benar bersemangat pergi ke pesta itu," kata
Brady sambil telentang di atas bangku. "Jadi, sekarang bukan saat
yang tepat untuk memberitahukan tentang Rosha."
"Bukan saat yang tepat?" Lengan Jon yang panjang itu
menegang ketika ia mengangkat barbelnya. "Kau ini ngaco ya?
Menurutku kau bernafsu sekali ingin memutuskan hubungan
dengannya. Jadi kalau kau ingin melakukannya, lakukan sekarang!
Kau tahu apa jadinya nanti kalau ia sampai tahu sendiri?bisa gawat!"
"Aku tahu, aku memang harus bilang padanya. Aku sudah
hampir mengatakannya. Tapi pada saat terakhir aku tidak tega." Brady
mulai mengangkat barbelnya, merasakan otot-otot lengannya
menggembung. "Maksudku, mula-mula dia marah aku tak bisa pergi
ke pesta itu. Lalu ia kebingungan dan hampir menangis."
"Dan kau merasa kasihan padanya," ujar Jon.
"Yeah. Aku benar-benar suka pada Allie." Brady menggeram
ketika mengangkat barbelnya.
"Tapi tidak sebesar rasa sukamu pada Rosha, kan?"
Brady menyeringai, ia teringat pada perasaannya saat bibir
Rosha menyentuh bibirnya. "Bagaimana menurutmu?"
"Kan sudah kubilang tadi," timpal Jon, terengah-engah sedikit
ketika beralih ke barbel yang lebih berat. "Menurutku kau sudah gila.
Tapi hei, tahu apa aku? Hentikan saja pembicaraan soal ini sebelum
kita bertengkar lagi."
"Ide bagus." Lagi-lagi Brady tersenyum sendiri. Memangnya
kenapa kalau ia sudah gila? Boleh saja gila, asal demi Rosha. Sayang
Jon tidak mengerti. Tapi Brady merasa lebih lega setelah keduanya
menjernihkan persoalan di antara mereka melalui telepon kemarin
malam. Telepon. Senyum puas Brady memudar.
Dalam benaknya, masih terngiang-ngiang suara cewek
berwajah parut itu.
Memperingatkan dirinya.
Jangan dekati Rosha!
Tubuh Brady menggigil walaupun keringat mengalir deras dari
wajahnya. Kedua lengannya gemetar. Napasnya mengentak-entak.
"Kau baik-baik saja?" tanya Jon sambil menghapus keringat di
dahinya dengan punggung tangan.
Brady meletakkan barbel itu di atas dadanya selama beberapa
saat. "Entahlah."
"Apa maksudmu?" tanya Jon. "Kepalamu sakit ya?"
"Tidak." Brady menghela napas dalam-dalam. "Soal cewek
yang satu ini."
"Hah? Ada cewek lagi?"
"Yeah, tapi bukan seperti yang kaukira," tukas Brady. "Aku
malah tidak tahu siapa gerangan cewek ini. Maksudku, aku pernah
melihatnya. Setidaknya kupikir begitu."
"Tunggu." Jon menggaruk-garuk rambut merahnya. "Aku tidak
mengerti. Mulai dari awal, oke?"
"Baiklah." Pelan-pelan Brady bercerita tentang gadis bermuka
parut itu. Gadis yang menatapnya di luar gedung bioskop.
Dan di lapangan football di belakang gedung sekolah St. Ann's.
Gadis berwajah penuh bekas luka mengerikan.
Yang terus menatapnya.
Dan dua kali meneleponnya, memperingatkan dia untuk tidak
mendekati Rosha.
"Mula-mula aku tidak mengaitkan keduanya," cerita Brady.
"Maksudku, cewek berwajah seram dengan telepon-telepon gelap itu.
Tapi waktu dia menelepon kemarin dan mengatakan dia melihatku
bersama Rosha, baru aku paham."
"Biar kupahami dulu," sergah Jon sambil mengerutkan kening.
"Menurutmu cewek bermuka parut ini, cewek yang sama dengan yang
memperingatkanmu lewat telepon."


Fear Street Mabuk Kepayang Perfect Date di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Brady mengangguk.
"Aneh," komentar Jon. "Kau yakin tidak mengenalnya?"
"Positif." Brady mencengkeram barbelnya kuat-kuat dan
mengangkatnya di atas dadanya. "Rosha juga tidak kenal. Tapi siapa
pun dia, dia benar-benar membuatku takut."
Brady menurunkan barbelnya. Lupakan saja persoalan ini,
katanya dalam hati. Jangan biarkan cewek aneh itu membuatmu
ketakutan.
Sambil melenguh diangkatnya barbelnya lagi. Lima angkatan
lagi, ia memutuskan dalam hati. Diturunkannya barbel, menarik napas
panjang, dan mulai mengangkatnya lagi. Sekali. Dua kali.
Ia merasa lelah. Tiga kali lagi, katanya dalam hati. Ayolah,
tinggal tiga kali lagi. Digigitnya bibir, dengan berjuang keras
diangkatnya kedua tangan tinggi-tinggi. Lebih tinggi lagi. Lebih
tinggi. Pandangannya menangkap gerakan di jendela. Keringat
mengalir ke matanya, ia mengerjap-ngerjap dan memalingkan
kepalanya yang tergolek di bangku.
Seorang gadis mengintai dari balik jendela.
Kilatan yang terpantul dari matanya seolah membakar kaca
jendela. Bibirnya yang berparut terbuka, seakan hendak memanggil
namanya. Tidak! pikir Brady. Ia mencoba berteriak, tapi napasnya malah
megap-megap.
Udara. Ia kehabisan udara. Tidak bisa bernapas.
Rasa takut melanda dirinya. Lengannya bergetar hebat.
Barbel itu bergoyang-goyang di tangannya.
Brady terkesiap sewaktu kekuatannya habis.
Barbel yang berat dan meremukkan itu menimpanya, seperti lift
yang meluncur jatuh dengan kecepatan penuh.
Bab 15 RASA sakit menghunjam dada Brady sewaktu barbel itu
menghantamnya dengan suara gedebuk keras.
Udara menghambur keluar dari paru-parunya. Dengan panik ia
mencoba menahan barbel itu, berusaha mengangkatnya lagi.
Ia tidak bisa bernapas.
Tidak bisa bergerak.
Barbel itu menghimpitnya. Menghalangi masuknya udara.
Tidak bisa bernapas. Aku akan mati, pikir Brady. Mati lemas
karena kehabisan udara.
Wajah Jon muncul. Menjulang di atas Brady. Mata abu-abunya
membelalak kaget.
Jon menggeram keras-keras, dan barbel yang menghimpit itu
serta-merta terangkat.
Brady membuka mulut dan menghirup udara dalam-dalam.
Ia berguling turun dari bangku dan terjerembap ke lantai.
Dadanya berdenyut-denyut sakit.
"Apa yang terjadi?" pekik Jon. "Kau tidak apa-apa? Apa yang
terjadi?"
"Cewek itu!" seru Brady tersengal-sengal, suaranya serak.
"Cewek bermuka parut itu. Di jendela!"
Jon cepat-cepat berpaling ke jendela. Ia menerjang maju dan
mengintip keluar. Lalu ia menoleh kembali dan menggelengkan
kepala. "Tidak ada orang di luar."
"Sekarang mungkin tidak!" jerit Brady seraya berusaha berdiri.
"Tapi tadi ada. Ia melongok ke dalam, memandangi aku!"
"Hei, sudahlah!" Jon membantu Brady duduk di bangku.
"Santai sajalah, oke? Ia tidak ada di sana sekarang. Kau yakin tidak
berhalusinasi?"
"Halusinasi?" Brady menyambar handuk dan mengusap
wajahnya. "Apa maksudmu?"
"Well, kau baru saja bercerita tentang dia." Jon mengangkat
bahu dan duduk di samping Brady. "Dia benar-benar membuatmu
takut. Kau terus memikirkannya, bukan? Dan kemudian kau merasa
seolah melihatnya."
"Aku memang melihatnya tadi," protes Brady. Ia menarik napas
lagi. Napasnya mulai teratur. "Tapi satu hal kau benar?ia memang
membuatku takut."
"Karena Sharon," tukas Jon. "Kau takut karena gadis bermuka
parut ini mengingatkanmu pada Sharon."
Brady menatapnya. "Itu dia," bisiknya. "Entah kenapa tidak
terpikir olehku sebelumnya. Ia memang membuatku teringat pada
Sharon. Pada wajahnya yang tersayat-sayat."
Brady menghela napas dalam-dalam dan memejamkan mata.
Kenangan demi kenangan berkelebat dalam ingatannya.
Ia ada di Bukit Miller lagi.
Memandangi hamparan salju yang putih berkilauan.
Bukit yang curam, sehalus cermin.
Merasakan udara dingin berkesiut melewati telinganya.
Mendengar Sharon Noles menjerit-jerit ketakutan.
Melihatnya menabrak pohon-pohon pinus dan semak-semak
berduri. Terus menjerit sampai terempas di kaki bukit.
Dan kemudian melihat wajahnya ketika ia membalik tubuhnya
yang lunglai dan sudah tidak bernyawa itu.
Darah mengalir membasahi salju. Wajahnya luka tersayat-sayat.
Brady hampir tidak bisa mengenalinya lagi.
Tubuh Brady menggigil.
Seandainya Sharon tidak meninggal, wajahnya akan penuh
bekas luka seperti wajah gadis itu. Itu sebabnya Brady sangat takut
melihatnya. Gadis itu mengingatkannya pada Sharon.
Itu sebabnya mengapa aku bereaksi seperti ini, pikir Brady.
Tapi itu tetap tidak menjelaskan kenapa gadis itu ada di sini.
Mengapa ia terus-menerus menatapku?
Meneleponku?
Memperingatkan aku tentang Rosha?
Mendadak Brady membuka mata. Dijejalkannya handuknya ke
dalam tas dan ia melompat turun dari bangku.
Jon mengawasinya, wajahnya memancarkan keprihatinan. "Mau
ke mana kau?"
"Menemui Rosha," sahut Brady. "Aku harus bicara padanya
soal gadis itu."
"Menurutku Rosha tidak punya teman bermuka parut," kata Jon.
"Memang. Tapi pasti ada semacam hubungan di antara mereka.
Mungkin kalau aku bicara pada Rosha, ada sesuatu yang akan
diingatnya. Pasti ada alasan mengapa cewek ini terus-terusan
memperingatkan aku tentang dia."
Jon mengerutkan kening. "Dengar, Brady. Berhati-hatilah,
oke?"
"Apa maksudmu? Aku kan cuma mau bicara dengannya."
"Aku tahu, tapi semua urusan ini aneh." Jon menghapus
keringat di dahinya. "Jangan ngamuk padaku, man?tapi harus
kauakui, kau tidak tahu banyak tentang dia."
Brady bergerak tidak sabar. "Aku tahu segala-galanya tentang
dia, Jon. Ia sempurna, oke? Cewek berparut itu yang kukhawatirkan."
Jon hendak mengatakan sesuatu, tapi lalu menggelengkan
kepalanya. "Oke. Pokoknya jangan gegabah. Dan semoga berhasil,"
Sambil menyandang tasnya Brady bergegas meninggalkan
ruang angkat besi dan berjalan menyusuri koridor. Ada telepon umum
di dekat ruang locker cowok. Ia meletakkan tas dan mengeluarkan
dompetnya.
Serbet kertas yang bertulisan nomor telepon Rosha terlipat rapi
di dalamnya. Gadis itu menuliskan nomor teleponnya kemarin di
kafeteria, dan Brady memastikan serbet kertas itu tersimpan di tempat
yang aman.
Ia menemukan beberapa keping uang, receh di bagian bawah
tasnya. Dimasukkannya sekeping uang logam ke dalam telepon dan
ditekannya nomor-nomor yang dituju.
Satu kali deringan.
Dua kali. Disusul suara lengkingan mesin.
Brady mengernyit dan hendak menutup telepon.
Lalu terdengar pesan rekaman. Telepon yang Anda tuju tidak
berfungsi. Letakkan telepon dan silakan mencoba lagi.
Aku pasti menekan nomor yang salah, pikir Brady. Ditutupnya
telepon, uang logamnya berdentang jatuh. Dipungutnya uang logam
itu dan dimasukkannya lagi ke dalam lubang. Diperiksanya nomor
telepon yang akan ia hubungi sebelum menekan angka-angkanya.
Satu kali deringan. Dua kali.
Suara melengking itu bergema lagi di telinganya.
Telepon yang Anda tuju tidak berfungsi. Letakkan...
Brady membanting telepon. Apa-apaan ini?
Ia meletakkan dan menghaluskan serbet kertas itu di atas bidang
metal di bawah telepon. Dibacanya nomor telepon itu dengan hatihati.
Bagaimana mungkin teleponnya tidak berfungsi? Rosha sendiri
yang menulisnya. Mana mungkin ia keliru menulis nomor teleponnya
sendiri. Aneh. Entah bagaimana, mungkin Telkom-nya yang ngawur.
Korsleting atau semacamnya. Pasti itu sebabnya.
Tapi ia harus bicara, pada Rosha. Ia harus mencari tahu apakah
Rosha mengenal gadis berparut itu. Ia harus menuntaskan masalah ini.
Diliriknya serbet kertas itu lagi.
Rosha menuliskan alamatnya di bawah nomor teleponnya.
Fear Street nomor 7142.
Brady melipat serbet kertas itu dan memasukkannya kembali ke
dalam dompet. Diraihnya tas dan didorongnya pintu ruang locker
hingga terbuka.
Mandi secepat kilat, ganti baju, lalu langsung pergi.
Pergi ke rumah Rosha.
Mestinya sejak dulu aku pergi ke sana, pikir Brady saat berdiri
di bawah siraman air hangat beruap. Tentu lebih asyik bertemu
langsung dengannya daripada berbicara melalui telepon.
Brady menyabuni tubuh dan membilasnya, lalu cepat-cepat
mengeringkan badan. Dipakainya celana jeans dan sweatshirt
Shadyside berwarna merah hati-kelabunya.
Ia menyisir rambutnya yang basah, menyambar jaketnya, dan
bergegas keluar menuju ke mobilnya.
Brady mengemudi melewati daerah bisnis di Division Street.
Lalu berbelok ke Mill Road dan membawa mobilnya ke arah selatan,
sampai tiba di Fear Street.
Fear Street sangat berbeda dengan North Hills, daerah tempat
tinggal Brady yang terdiri dari deretan rumah besar dengan halaman
luas dan rapi, bersih dari salju yang menumpuk, dan jalannya tidak
berlubang-lubang.
Rumah-rumah di Fear Street tidak mengikuti pola tertentu.
Beberapa di antaranya berukuran besar dengan atap sirap yang sudah
terkelupas dan pancuran atap yang melengkung. Yang lain tampak
bersih dan modern. Ada juga beberapa rumah tua yang dibangun di
halaman luas. Tapi ada juga yang ukurannya tidak lebih besar
daripada garasi berkapasitas dua mobil di rumah Brady.
Jantung Brady berdebar-debar. Fear Street memiliki reputasi
sebagai daerah yang aneh. Temperatur udara bisa mendadak anjlok
tanpa sebab yang jelas. Banyak anak menghilang di sini. Pada malam
hari sering terdengar lengkingan aneh di hutan.
Tapi sekarang kan masih siang, Brady mengingatkan dirinya
sendiri. Dan aku harus menemui Rosha.
Brady mempercepat laju mobilnya, melewati beberapa blok
pertama. Lalu ia memperlambat kendaraannya, memeriksa nomornomor rumah dengan cermat.
Di blok pemakaman umum tertulis nomor 5657, di atas kotak
surat yang terpancang miring di ujung jalan masuk. Bagus. Berarti
rumah Rosha hanya tinggal dua blok lagi.
Ia melewati kuburan itu dan memperlambat laju mobilnya
hingga merangkak pelan. Merinding aku! pikirnya sambil bergidik.
Kuburan itu tampak sangat dingin, dengan tumpukan salju pada nisannisannya yang terbuat dari batu.
Sharon Noles dimakamkan di sana. Brady melihat sendiri peti
jenazahnya diturunkan ke dalam liang lahat yang dingin, pada suatu
hari yang muram dan kelabu di musim dingin tahun lalu.
Peti jenazahnya ditutup pada saat perkabungan.
Karena wajahnya.
Wajahnya yang tersayat-sayat.
Brady tidak pernah memberitahu siapa pun bahwa sebenarnya
Sharon tidak ingin meluncur menuruni Bukit Miller. Ketika teringat
olehnya sekarang, Brady merasa sangat bersalah.
Tapi kematian Sharon bukan semata-mata kesalahannya.
Memang ia tidak ingin meluncur di bukit itu. Tapi itu kecelakaan.
Jangan pikirkan hal itu, perintah Brady dalam hati. Jangan
pikirkan Sharon.
Cari Rosha.
Di seberang kuburan berdiri rumah bernomor 7023. Rumah itu
terletak di sebelah kiri. Jadi 7142 pasti terletak di sebelah kanan.
Brady melambatkan laju mobilnya lagi. Melewati satu rumah. 7028.
Melewati tanah lapang yang luas.
Melewati beberapa rumah lagi, salah satunya bernomor 7030.
Brady terus maju, menghitung rumah-rumah yang dilewatinya
untuk berjaga:jaga seandainya rumah Rosha tidak bernomor. 7134.
7136. Dan setelah itu?tidak ada rumah lagi. Tidak ada apa-apa lagi.
Brady mengerem, lalu mundur ke rumah terakhir yang baru saja
dilewatinya.
Dijalankannya lagi mobilnya pelan-pelan, matanya melirik ke
kiri dan ke kanan.
Ia tidak percaya. Di kedua sisi jalan tidak ada apa-apa, kecuali
hutan. Tidak ada rumah bernomor 7142.
Tidak ada rumah sama sekali.
Tidak ada apa pun, kecuali hutan sejauh mata memandang.
Bab 16 ESOK siangnya Brady berkeliaran di dapur, membuka lemarilemari dan melongok ke dalam kulkas tanpa benar-benar melihat apa
yang ada di dalamnya.
Ia merasa bingung. Benar-benar tertekan.
Yang ada dalam pikirannya hanya Rosha.
Di mana dia?
Di mana ia bisa menemukan cewek itu? Bagaimana ia bisa
menemukannya?
Ia sudah mencoba menghubungi nomor telepon Rosha lusinan
kali kemarin?dan setiap kali mendengar pesan yang sama.
Ia menghubungi Telkom dan bicara dengan seorang pegawai
yang juga menyampaikan pesan yang sama.
Nomor yang diberikan Rosha padanya adalah nomor yang tidak
berfungsi.
Ia sudah bolak-balik mengitari Fear Street selama dua puluh
menit, berulang kali memeriksa nomor-nomor rumah di sana. Ia
menghentikan seorang anak kecil yang sedang bersepeda dan
menanyakan apakah ia tahu di mana keluarga Nelson tinggal.
Anak itu tidak pernah mendengar ada keluarga bernama Nelson
di sana. Dan rumah bernomor 7142 Fear Street itu tidak ada.
Brady membanting pintu lemari dan bersandar di meja dapur.


Fear Street Mabuk Kepayang Perfect Date di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tidak ada yang mengenal Rosha Nelson di St. Ann's. Nomor
teleponnya tidak berfungsi. Rumahnya tidak ada di Fear Street.
Tidak masuk akal.
Seolah-olah Rosha itu tidak ada!
Tapi ia berbicara dengannya. Duduk di sebelahnya ketika
menonton film. Menggenggam tangannya.
Menciumnya.
Tubuh Brady menggigil senang ketika teringat pada ciumanciuman Rosha. Rosha ada di suatu tempat di luar sana, dan ia harus
menemukannya!
Tapi ia sama sekali tidak tahu bagaimana caranya.
Mata Brady tertumbuk pada jam yang tergantung di dinding
dapur. Sekolah dibubarkan lebih cepat hari ini karena ada rapat guru.
Ia punya banyak waktu, tapi satu-satunya hal yang ingin ia lakukan
sekarang adalah menghabiskannya bersama Rosha.
Di mana dia? Mengapa cewek itu memberikan nomor telepon
yang tidak berfungsi padanya? Juga alamat yang salah?
Akhirnya Brady menggugah dirinya sendiri. Kalau ia
termenung dan terus-menerus memikirkan Rosha saja, ia bisa gila.
PR, pikirnya.
Brady menyambar sekaleng Mountain Dew dari kulkas dan
membawa buku-bukunya ke ruang tamu. Diletakkannya pekerjaan
rumahnya di atas meja kayu besar milik ayahnya, dan diraihnya buku
catatan biologi. Sewaktu ia membolak-balik halaman bukunya,
dilihatnya tulisan Allie. Gadis itu menuliskan catatan untuknya
beberapa minggu yang lalu, ketika ia tidak masuk karena sakit flu.
Allie. Brady menyandarkan tubuhnya di kursi dan memikirkan cewek
itu. Ia tahu Allie masih marah karena ia tak bisa pergi ke pesta itu.
Mungkin seusai mengerjakan PR ini, ia akan pergi menemuinya.
Bukan untuk mengungkapkan tentang Rosha?ia belum siap
melakukannya.
Tanpa Rosha, ia tidak punya kesibukan lain.
Setelah membuka tutup kaleng soda, Brady menghirup isinya
dan membolak-balik catatan yang harus dipelajarinya.
Wajah Rosha terbayang kembali dalam ingatannya. Ia berusaha
menyingkirkan bayangan itu, tapi catatan biologinya malah tampak
kabur. Yang terlihat olehnya hanyalah mata Rosha yang hijau dan
bibirnya yang merah merekah.
Senyum Rosha.
Ciumannya.
Ia tidak ingin belajar. Ia tidak ingin pergi menemui Allie. Yang
ia inginkan hanyalah Rosha.
Ia tidak sanggup menyingkirkan cewek itu dari pikirannya.
Bel pintu berdering.
Brady terlonjak dan bergegas ke ruang depan, berharap Roshalah yang datang. Tapi seandainya bukan Rosha pun, ia senang karena
akan merupakan selingan baginya yang saat ini tidak bisa
berkonsentrasi.
Bel berdering lagi. Dengan penuh semangat Brady membuka
pintu depan dan merasakan kelegaan luar biasa.
Rosha berdiri di teras, tampak cantik dalam balutan rok ungu,
sweter hitam lembut, dan jaket kulit hitam.
Jantung Brady berdebar lebih cepat begitu melihatnya. "Hei,
hebat sekali!" serunya. "Aku baru saja memikirkanmu."
"Aku juga memikirkanmu, Brady." Rosha tersenyum?senyum
seksi. "Memang sudah takdir, ya?"
"Jelas," Brady setuju.
"Semula aku tidak yakin kau ada di rumah. Tapi aku
memutuskan untuk ambil risiko dan mampir kemari." Rosha
menyentuh lengannya. "Aku senang datang kemari."
"Aku juga," timpal Brady. "Senang sekali."
"Bagaimana?" Rosha melongok ke balik bahu Brady. "Kau
tidak mau mengajakku masuk?"
"Oh?tentu saja!" Brady melangkah ke samping dan
membiarkan cewek itu masuk ke ruang depan. "Aku senang sekali kau
datang ke rumahku," ulangnya. "Aku ingin bertemu denganmu, tapi
waktu aku mencarimu kemarin dan..."
"Benar?" potong Rosha. "Kau manis sekali." Gadis itu
mencondongkan badan dan menciumnya.
Brady meletakkan kedua tangannya di bahu Rosha, membalas
ciuman cewek itu.
"Ayo kita duduk," usul Rosha.
Brady meraih tangannya dan membimbing cewek itu masuk.
Sewaktu mereka tiba di ruang tamu, Rosha tersandung permadani
putih yang menutupi sebagian lantai kayu yang licin mengilap.
"Hati-hati," Brady memperingatkan sambil mempererat
pegangan tangannya supaya Rosha tidak jatuh. "Semua orang yang
datang ke sini selalu tersandung permadani itu."
"Mungkin sebaiknya kausingkirkan saja permadaninya,"
komentar Rosha seraya berpegangan pada meja.
Brady tertawa. "Coba katakan pada ibuku. Ngomong-ngomong,
kemarin aku mencarimu. Tapi kau memberiku alamat yang salah."
Rosha mengangkat alis. "Aku yakin aku tahu di mana aku
tinggal, Brady."
"Yeah, tapi coba lihat ini." Brady mengeluarkan dompetnya dan
mengambil serbet kertas itu. "Lihat?" tanyanya sambil menyerahkan
serbet kertas itu kepada Rosha. "Fear Street nomor 7142, kan? Aku
pergi ke sana. Tapi di sana tidak ada rumah nomor 7142. Yang ada
hanya hutan. Bagaimana mungkin?"
"Itu bukan 7142," sahut Rosha sambil menunjuk serbet kertas
itu. "Tapi 1142. Masa kau tidak bisa baca?"
Brady menyambar serbet kertas itu dan mengamatinya.
"Kelihatannya seperti angka tujuh. Tapi mungkin tintanya meleber."
"Aku yakin begitu," Rosha sepakat. Diraihnya pembuka surat
perak berbentuk pedang dari atas meja dan dielusnya mata pisaunya
dengan ibu jari. "Nomor 1142 adalah rumah abu-abu besar yang
terletak di sudut jalan. Kurasa kau melewatinya. Sayang."
"Yeah. Tapi..." Brady terdiam.
Sambil menghela napas tidak sabar, Rosha mengetukkan mata
pisau pembuka surat itu ke telapak tangannya. "Tapi apa?"
Brady meliriknya. "Nomor teleponmu?"
"Memangnya kenapa?"
"Sebelum mencoba mencari rumahmu, aku meneleponmu lebih
dulu," cerita Brady. "Tapi jawabannya selalu rekaman pesan yang
menyatakan nomor itu tidak berfungsi. Aku juga menelepon Telkom,
dan mereka mengatakan hal yang sama padaku."
Rosha mengangkat bahu. "Well, jangan tanya aku. Maksudku,
tadi pagi teleponku tidak kenapa-kenapa kok."
"Masa?"
"Iya!" seru Rosha. "Apa-apaan sih ini?persidangan?"
Brady menggeleng. "Tentu saja bukan..."
"Brady, kau kenapa sih?" desak Rosha. "Kau salah membaca
nomor rumahku. Dan kau tahu Telkom?mereka selalu saja ngaco.
Mengapa kau memata-matai aku lagi? Mengapa kau selalu curiga?"
Brady mengerutkan kening, bingung. "Aku hanya..."
Terdengar bunyi pintu mobil dibanting di luar.
Brady berjalan ke jendela dan membuka tirai.
Mobil Allie diparkir di jalan masuk. Rambutnya yang pirang
kecokelatan tampak berkilau kemerahan di bawah sinar matahari siang
sewaktu ia bergegas menyusuri jalan masuk menuju pintu depan.
Brady menutup tirai dan cepat-cepat berbalik. "Allie datang!"
serunya dengan nada panik.
"Siapa?" tanya Rosha.
"Tidak apa-apa!" Brady memandang berkeliling, merasa
terjebak. "Dengar, Rosha, aku tidak dapat menjelaskannya padamu
sekarang. Tapi kau harus pergi."
"Pergi?"
"Yeah. Aku tahu kedengarannya sinting, tapi bisakah kau keluar
lewat pintu belakang?"
Brady terlonjak ketika bel pintu berdering. "Cepat!" ia
memohon. "Aku akan menjelaskan semuanya padamu nanti!"
"Baiklah." Rosha tersenyum bingung dan berjalan melintasi
ruang tamu menuju pintu belakang.
Bel pintu berdering lagi.
"Terima kasih, Rosha," kata Brady. "Dengar, akan kutelepon
kau nanti dan kita bisa... awas!" teriaknya ketika ujung sepatu bot
Rosha tersandung pinggir permadani.
Rosha terkesiap dan nyaris roboh. Kedua lengannya menggapaigapai udara sewaktu ia berusaha menyeimbangkan badan.
Brady menyambar lengannya, berusaha menahannya supaya
tidak jatuh.
Rosha mengayunkan tangannya yang lain untuk berpegangan
pada bahu Brady.
Tapi tangannya malah mendarat di pinggang Brady.
Brady merasakan sesuatu yang dingin di kulitnya.
Lalu ia merasa seperti terbakar.
Perih. Pinggangnya terbakar. Ia menjerit dan mencengkeram
pinggangnya.
Rasa sakit menghunjam tubuhnya. Disentakkannya tangannya.
Benda-benda di ruang itu mulai tampak berputar. Dengan
kepala pusing, Brady menunduk memandangi tubuhnya.
Ada sesuatu yang terbuat dari perak menyembul keluar dari
balik kemejanya.
Dengan jerit tertahan, Brady sadar benda apa itu.
Itu pisau pembuka surat.
Tapi ia hanya melihat sebagian mata pisaunya.
Sebagian lagi terkubur dalam kulitnya.
Bab 17 BRADY terkesiap. Ruangan itu berputar. Kegelapan
melingkupi pandangannya.
Rasa sakit itu semakin tajam ketika menyebar ke seluruh
tubuhnya. Ia mengerang pelan.
Rosha menjerit ketakutan. "Oh, tidak! Oh, Brady, apa yang
telah kulakukan?"
Brady berteriak lagi ketika Rosha merenggut pisau itu dengan
kedua tangan?dan menyentakkannya ke luar. Pandangan matanya
mulai kabur dan kedua kakinya goyah. Sesaat kemudian ia roboh ke
lantai. Jeritan Rosha seakan datang dari tempat yang sangat jauh.
"Maafkan aku!" jeritnya panik. "Oh, Brady, kau tidak apa-apa?"
Darah merah tua mengalir dari luka di pinggang Brady.
Membentuk lingkaran merah yang semakin besar di kemeja biru
mudanya. Dirasakannya cairan kental dan lengket itu mengalir
membasahi jari-jarinya. Menetes-netes membasahi permadani putih di
bawahnya. Ia mengerang lagi, mencengkeram pinggangnya kuat-kuat.
Rosha berjongkok di sampingnya, menyentuh lengan Brady
dengan lembut, matanya yang hijau membelalak takut. "Kau akan
baik-baik saja, aku yakin kau akan baik-baik saja!" teriaknya. "Akan
kubawa kau ke rumah sakit, Brady, jangan khawatir!"
Brady mengertakkan giginya sewaktu rasa sakit menyengat
tubuhnya. Butir-butir keringat bermunculan di wajahnya. Sekujur
tubuhnya gemetaran. Setiap tarikan napasnya terasa berat menyiksa.
"Yeah," bisiknya dengan dagu terkatup rapat. "Rumah... sakit."
Napasnya tersengal-sengal. Ia berusaha tidak berteriak lagi.
Pintu depan terbuka. "Brady?" terdengar Allie berseru dengan
nada cemas. "Brady!"
Langkah-langkah kaki berdentam-dentam menyusuri koridor,
menuju ke ruang tamu. "Brady, ada apa?" teriak Allie. "Aku
mendengarmu berteriak..."
Brady mendengar Allie terperangah. Permadani meredam
langkahnya sewaktu gadis itu bergegas menghampirinya.
"Oh, tidak!" pekik Allie. "Brady! Brady, apa yang terjadi? Apa
yang terjadi? Apa yang dia lakukan terhadapmu?"
"Dia... dia..." Brady memandang Allie melalui kegelapan yang
mengancam hendak menyelimutinya. Ia mencoba mengatakan
sesuatu, tapi tidak mendapat cukup kekuatan.
Rosha melompat berdiri, tangannya masih memegang pisau
pembuka surat itu.
"Apa yang terjadi? Siapa kau?" tanya Allie pada Rosha. Mata
abu-abunya membelalak ketakutan ketika dilihatnya darah menetesnetes dari ujung mata pisau ke atas permadani. "Kau menusuknya!
Kau menusuk Brady!"
"Aku tidak sengaja!" teriak Rosha. Dilemparkannya pisau itu
dan ia berlutut di samping Brady. "Aku tersandung permadani. Aku
lupa kalau aku masih memegang pisau itu. Aku tidak sengaja. Aku
tidak bermaksud melukainya!"
"Siapa kau?" desak Allie.
"Untuk apa tanya-tanya?" Rosha balas berteriak. "Tolonglah
aku. Tolong aku atau dia akan mati kehabisan darah! Kita harus segera
membawanya ke rumah sakit!"
Dengan lembut Rosha menyelipkan tangannya ke bawah lengan
Brady. Allie memegangi lengan yang lain.
Ketika kedua gadis itu membantunya berdiri, rasa sakit kembali
mengiris pinggangnya.
Titik-titik cahaya menari-nari di depan matanya.
Pandangannya mengabur.
Kegelapan melingkupinya.
************
Sesuatu yang dingin menyentuh dahi Brady. Sesuatu yang
mengelus-elus rambutnya dengan lembut.
Jari-jemari, pikir Brady. Jari-jemari yang dingin. Rasanya enak
sekali. Ia hendak membuka mata, tapi perasaan mual menyerangnya.
Dipejamkannya lagi matanya.
"Brady?" bisik sebuah suara.
Brady menjilat bibir. "Mom."
Ibunya mengelus-elus rambutnya lagi. "Mom dan Dad ada di
sini, Sayang. Kau berada di Shadyside Hospital."
"Kau akan pulih, Nak," terdengar suara ayahnya yang kasar itu
meyakinkan. "Sebentar lagi kau sudah bisa membersihkan salju di
halaman depan."
Brady mulai tertawa. Rasa sakit menghunjam pinggangnya.
Tawanya langsung berubah menjadi erangan. Keringat
membasahi dahinya. "Jangan bercanda dulu," katanya.
"Maaf," gumam ayahnya sambil menepuk-nepuk bahu
putranya. "Brady, Sayang, sebaiknya kau tidur lagi," kata ibunya. "Dokter
bilang kami hanya bisa menjengukmu selama beberapa menit. Kalau
dia kembali dan menemukan kami masih ada di sini, bisa-bisa kami
ditendangnya keluar."
"Kami akan turun ke kafeteria untuk minum kopi," kata ayah
Brady. "Kau tidur saja. Sebentar lagi kami kembali ke sini."
Brady merasakan ciuman ibunya di dahinya. Ia mendengar
mereka berdua berjingkat-jingkat keluar kamar. Ia mencoba membuka
mata lagi, tapi pandangannya tidak mau terfokus.
Rasa sakit memukul-mukul pinggangnya.
Tapi ia akan segera sembuh.
Ia berbaring diam-diam, menarik napas pendek-pendek?dan
teringat kembali pada kejadian itu.
Allie melangkah ke pintu depan.
Rosha tersandung permadani.


Fear Street Mabuk Kepayang Perfect Date di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lalu rasa sakit itu.
Darah. Rosha ketakutan. Allie berteriak-teriak. Mereka berdua
berusaha menolongnya.
Rasa sakit yang lebih menusuk lagi. Lalu gelap.
Sampai sekarang.
Brady mengertakkan. gigi. Pinggangnya tegang. Mungkin
karena jahitan. Lukanya itu masih terasa berdenyut-denyut dan panas
membara. Apakah dokter tidak memberinya obat untuk menghilangkan
rasa sakit ini? Pasti sudah. Mungkin itu sebabnya ia merasa pusing.
Tapi ia membutuhkan suntikan atau pil penghilang rasa sakit lagi.
Brady berusaha mengumpulkan segenap kekuatannya untuk
bergerak, untuk mencari tombol bel, ketika didengarnya pintu kamar
terbuka pelan.
Suara langkah-langkah kaki mendekat.
Perawat, pikirnya. Bagus. Waktunya minum obat. Dan minum
air. Mulutnya terasa penuh debu.
Ia membuka mata.
Rasa mual menghantamnya lagi, tapi tidak separah tadi.
Sesosok bayangan kabur menjulang di atasnya. Samar-samar
dan tidak jelas. Itu bayangan wajah, pikir Brady.
"Aku mau minum," bisiknya. "Dan pinggangku sakit sekali."
Sosok itu mengangguk. Brady mengerjap-ngerjapkan mata,
mencoba memfokuskan tatapannya pada wajah itu.
Mengapa perawat itu tidak bergerak?
"Jadi," gumam Brady dengan kepala pening. "Bisakah kau
menolongku?"
"Itu sebabnya aku datang ke sini, Brady," sahut suara itu.
"Bagus. Aku..." Brady terdiam.
Ia pernah mendengar suara itu sebelumnya. Dua kali.
Di telepon.
Suara itu memperingatkan dia agar jangan mendekati Rosha.
Gelombang kepanikan menyerbu dirinya, tapi ia tidak bisa
kabur. Tidak bisa bergerak.
Lambat laun pandangannya menjadi jelas.
Cewek berwajah parut itu menunduk memandanginya.
Bola matanya berkilat-kilat marah dari balik kelopaknya yang
menggembung. Bibirnya mengerut. Bekas-bekas luka menjalari
wajahnya bagaikan ulat.
Brady terkesiap. Mengapa ia datang ke sini? Siapa yang
mengizinkan ia masuk?
"Jangan khawatir, Brady," kata cewek itu. "Aku datang ke sini
bukan untuk menyakitimu."
Jantung Brady berdebar-debar. Urat nadi berdenyut-denyut di
lukanya. Napasnya menimbulkan desisan. "Ap?apa maumu?"
tanyanya dengan suara terbata-bata.
"Untuk melihat apakah kau sudah siap mendengarkan katakataku sekarang," jawab cewek itu. "Sebelum ini tidak. Padahal aku
sudah memperingatkanmu. Aku memperingatkanmu, tapi kau tidak
mau dengar. Dan lihat sekarang akibatnya."
Brady memutar kepalanya yang tergolek di atas bantal.
"Kecelakaan," gumamnya.
"Itu bukan kecelakaan!" sergah cewek itu berkeras.
"Siapa kau?" tanya Brady. "Mengapa kau melakukannya?"
"Aku tidak melakukan apa-apa. Masa kau tidak mengerti juga?"
bentak cewek itu. "Ini perbuatan Rosha! Ia yang melakukannya!
Rosha ingin membunuhmu, Brady! Dan dia hampir berhasil!"
"Membunuhku?" bisik Brady.
"Ya!" desis cewek itu. "Ia sudah mencobanya dua kali. Kau
ingin tahu yang sebenarnya tentang Rosha? Maukah kau
mendengarkan aku sekarang?"
Brady menjilat bibirnya. Memikirkan Rosha. Cewek yang
sempurna. Ia mengangguk. "Katakan padaku."
Gadis itu mencondongkan badannya ke tepi tempat tidur.
Ia mendekatkan wajahnya yang penuh bekas luka itu.
Wajahnya yang buruk itu hanya berjarak tiga puluh senti dari
wajah Brady.
"Rosha adalah..."
Bab 18 PINTU terbuka. Cewek itu melompat mundur.
Terdengar suara langkah-langkah kaki bergegas menghampiri
tempat tidurnya. Seorang dokter melongok melihat Brady, lalu
mengerutkan kening ketika melihat cewek itu. "Dia tidak boleh
dijenguk, Miss," perintah dokter itu tegas. "Pasien ini butuh istirahat.
Bagaimana Anda bisa masuk ke sini?"
Cewek itu diam saja.
"Well, Anda tidak boleh berada di sini," kata dokter itu
padanya. Diraihnya lengan cewek itu dan ditariknya menjauhi tempat
tidur. "Tunggu!" seru Brady.
"Kau merasa sakit?" tanya dokter itu sambil menggiring gadis
itu ke pintu. "Akan kukirim perawat kemari. Ayo keluar," tambahnya
pada gadis itu.
"Tunggu!" seru Brady lagi, dengan susah payah berusaha
duduk. "Tunggu! Jangan pergi!"
Terlambat. Pintu tertutup. Gadis itu sudah pergi.
Brady terenyak kembali ke bantalnya, megap-megap menahan
sakit. Dan takut.
Apa yang diketahui cewek berparut itu mengenai Rosha? Apa
yang akan dikatakannya tadi?
**********
Pada hari Sabtu pagi, dengan hati-hati sekali Brady masuk dan
duduk di kursi belakang mobil keluarganya.
"Hati-hati, Brady," ibunya memperingatkan dengan cemas,
berdiri di sampingnya. "Masuklah dan Mom yang akan mengikatkan
sabuk pengamanmu."
"Trims, Mom, tapi jangan khawatirkan aku, oke?" Pinggang
Brady masih terasa kaku, tapi ia sudah merasa lebih kuat. "Aku kan
bukan orang cacat." ebukulawas.blogspot.com
"Tentu saja bukan. Tapi kau masih lemah," timpal ibunya.
"Kau kehilangan banyak darah," tambah ayahnya.
"Yeah, tapi aku tidak terlalu lemah untuk memakai sabuk
pengaman sendiri." Brady menarik sabuk pengaman dan
memasangnya. "Lihat kan? Gampang sekali."
Ibunya tertawa. "Baik, baik. Kami takkan mencemaskanmu
lagi. Tapi, untuk sementara ini kau harus banyak istirahat."
Sementara ayahnya mengeluarkan mobil dari lapangan parkir
rumah sakit, Brady menyandarkan tubuh dan memandang keluar
jendela, berpikir.
Secara fisik ia bisa istirahat. Tidak masalah.
Tapi lain lagi dengan otaknya. Otaknya tidak mau berhenti
berpikir. Tidak pernah berhenti sejak ia melihat gadis itu di kamarnya
di rumah sakit. Berdiri di samping tempat tidurnya. Memandangnya
dan kembali memperingatkannya. Rosha ingin membunuhmu,
katanya. Tidak dapat dipercaya.
Rosha itu masalah besar, kata Jon sewaktu datang
menjenguknya di rumah sakit. Ia cuma mendatangkan masalah saja
sejak kau pertama kali berkenalan dengannya.
Memang benar, Brady terpaksa mengakui. Rosha menyiram
tangannya dengan kopi panas mendidih, menghancurkan mobil
ayahnya, menusuknya. Semua itu kecelakaan. Tapi menimbulkan
masalah besar, terutama peristiwa yang terakhir.
Tapi itu tidak berarti apa-apa.
Ia tetap tidak dapat berhenti memikirkan cewek itu.
Ia tidak sabar ingin bertemu lagi dengannya.
Rosha tidak menjenguknya di rumah sakit. Mungkin malu, pikir
Brady. Merasa bersalah sehingga tidak berani menemuinya.
Tapi ia akan segera menemui gadis itu. Memeluk dan
menciumnya. Mengatakan bahwa peristiwa itu bukan salahnya.
Dan segalanya akan beres kembali.
"Kelihatannya ada tamu untukmu," komentar ayah Brady
sewaktu membelokkan mobil ke jalan masuk rumah.
Brady maju sedikit dan melongok keluar melalui kaca depan.
Seorang gadis berdiri di teras depan. Rambutnya ditutupi topi
kuning. Ujung-ujung selendangnya yang berwarna ungu tergantung di
punggungnya.
Ungu. Mungkinkah gadis itu Rosha? tanya Brady dalam hati.
Jantungnya mulai berdegup kencang penuh harap.
Gadis itu menoleh begitu mendengar suara mobil.
Helai-helai rambut pirang kecokelatan mengintip keluar dari
bagian depan topinya. Dengan kecewa Brady terenyak lemas ke
kursinya. Bukan Rosha.
Melainkan Allie.
Allie juga datang ke rumah sakit. Waktu itu Brady sedang
pusing berat akibat obat penghilang rasa sakit, jadi Allie tidak
berlama-lama di sana. Ia datang menengoknya dengan membawa
bunga dan kartu yang lucu.
Tapi Rosha-lah yang kuinginkan, pikir Brady. Aku tak bisa
berhenti memikirkannya. Tidak bisa!
Allie melambai dan menunggu keluarga Karlin tiba di teras.
"Kuharap kau tidak keberatan kedatangan tamu secepat ini," kata Allie
pada Brady.
"Kau bercanda ya?" Brady tersenyum, menyembunyikan
kekecewaannya. "Seandainya kau tidak datang ke sini, Mom pasti
akan menyuruhku tidur. Dan ia akan memeriksa suhu badanku tiap
setengah jam sekali." Mereka semua masuk ke rumah. "Ayo, kita ke
ruang baca dan kau bisa menceritakan semua peristiwa yang tidak
kuikuti selama ini," katanya pada Allie.
Kedua orangtua Brady naik ke lantai atas. Allie berjalan
mengikuti Brady ke ruang baca yang terletak di sebelah koridor dapur.
"Hei, terima kasih untuk kartu dan bunganya," kata Brady.
Dibukanya jaket dan ia duduk di kursi berlapis kulit yang sandarannya
bisa dinaik-turunkan. "Bagus-bagus, lho."
"Terima kasih kembali." Allie berdiri di depan perapian dan
memandanginya, walaupun tak ada api di sana. "Bagaimana
keadaanmu, Brady?"
"Lumayan." Brady menaikkan kakinya ke bangku tak
bersandaran. "Hanya sedikit kaku dan agak capek. Tapi kata dokter
aku akan segera sehat kembali."
"Bagus." Allie masih terus memandangi perapian yang kosong
itu. "Kenapa kau tidak duduk?" tanya Brady. "Buka mantelmu. Mau
minum?"
"Terima kasih, aku tidak lama kok." Allie berpaling. Matanya
yang kelabu memicing saat ia memandang Brady. "Kau pasti senang
mendengarnya, kan?"
"Apa maksudmu?" tanya Brady.
"Maksudku, mungkin kau sudah tidak sabar menungguku pergi
supaya kau bisa menelepon pacar barumu itu," ujar Allie menjelaskan.
Brady merasa wajahnya panas. "Dengar, Allie..."
"Tidak." Allie mengangkat tangannya, memotong kata-kata
Brady. "Kau yang dengarkan aku, Brady," kata cewek itu. "Waktu aku
datang ke rumahmu beberapa hari lalu dan melihatmu tergeletak di
sana... berdarah... kusangka gadis itu menusukmu. Maksudku,
kusangka dia orang asing gila yang masuk ke rumahmu atau semacam
itu."
Brady tetap diam.
"Tapi kemudian dalam perjalanan ke rumah sakit, ia
memberitahukan hal yang sebenarnya padaku," lanjut Allie. Ia
menggeleng-gelengkan kepala. "Wah, ia benar-benar membuatku
mengerti!"
"Allie, aku..."
"Teganya kauberbuat begitu padaku, Brady?" Allie menuntut
jawaban. "Teganya kau berpura-pura seakan kita berpacaran, padahal
kau diam-diam berkencan dengan cewek lain"
Brady menggelengkan kepala. "Entahlah," ia mengakui.
"Kurasa aku cuma tidak tahu bagaimana cara memberitahumu."
"Jadi kau membohongiku." Allie menatapnya dengan raut
wajah sedih bercampur kecewa. "Semestinya kau jujur saja, Brady.
Semestinya kau tidak perlu sembunyi-sembunyi berpacaran dengan
cewek lain."
"Yeah," Brady setuju. "Maafkan aku, Allie. Kau benar. Aku
benar-benar menyesal."
"Begitu juga aku."
Brady berdiri. "Well. Sekarang setelah kau tahu, kurasa kau
tidak mau pacaran lagi denganku, ya?"
"Kurasa begitu." Allie menatapnya sedikit lebih lama sebelum
melangkah ke pintu. "Selamat tinggal, Brady."
Brady menunggu sampai mendengar pintu depan ditutup. Ia
menarik napas panjang dan masuk ke dapur. Disambarnya sekantong
pretzel dari lemari dan ia menaiki tangga menuju ke kamarnya.
Ia berpapasan dengan ibunya yang hendak turun. "Allie sudah
pulang?" tanyanya.
"Eh, sudah. Ia tidak bisa lama-lama," jawab Brady.
"Nah, kau juga harus beristirahat. Dad akan ke kantor untuk
menyelesaikan beberapa pekerjaan, dan Mom akan pergi ke toko."
Ibunya menepuk-nepuk bahunya. "Kau baik-baik saja, kan?"
"Berhentilah mencemaskan aku, Mom. Aku tidak apa-apa."
Aku memang tidak apa-apa, pikir Brady sambil menaiki tangga.
Tentu saja ia merasa tidak enak terhadap Allie.
Tapi sekaligus juga merasa lega.
Ia tidak perlu lagi berbohong dan sembunyi-sembunyi. Mulai
saat ini, ia dan Rosha bisa bertemu kapan saja. Di mana saja.
Di kamarnya Brady membuka kantong dan memakan
segenggam penuh pretzel. Rasanya enak sekali, apalagi setelah
beberapa hari ini ia hanya makan makanan rumah sakit yang rasanya
seperti kardus itu.
Ditendangnya sepatunya dan dengan hati-hati menelentangkan
tubuhnya di tempat tidur. Tangannya terulur hendak menelepon Rosha
saat telepon itu berdering. "Halo?"
"Brady." Suara Jon terdengar lega. "Bagus, kau baik-baik saja."
"Aku sehat-sehat saja! Jangan bertingkah seperti ibuku." Brady
menjejalkan segenggam pretzel lagi ke dalam mulutnya. "Ada apa?"
tanyanya dengan mulut penuh.
"Banyak yang terjadi. Kau bisa datang ke sini?" tanya Jon.
"Kita harus bicara!"
"Soal apa?" Brady mendengar ketegangan dalam suara
sahabatnya. "Ada apa, Jon? Kedengarannya kau tertekan."
"Memang. Aku menemukan sesuatu mengenai Rosha," jawab
Jon. "Kau pasti takkan percaya."
"Apa?" Brady cepat-cepat duduk, meringis ketika jahitan di
pinggangnya tertarik. "Apa yang kautemukan?"
"Cewek itu!" seru Jon. "Cewek bermuka parut itu. Dia..."
"Tunggu sebentar," potong Brady. "Bukankah kita tadi
membicarakan Rosha?"
"Memang. Pokoknya dengarkan saja. Cewek bermuka parut itu
ada di sini." Jon merendahkan suaranya. "Aneh sekali, man. Tapi
kurasa itu benar. Kata cewek itu..."


Fear Street Mabuk Kepayang Perfect Date di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Telinga Brady mendengar suara bip. "Tunggu sebentar, Jon.
Ada telepon lain yang masuk. Akan kulihat dulu siapa."
Dengan harapan akan mendengar suara Rosha yang serak-serak
basah, Brady menekan tombol yang menerima telepon dari saluran
lain. "Halo? Halo?"
Tidak ada jawaban.
Brady menekan tombol itu lagi. "Aku sudah kembali, Jon."
Sunyi. "Jon? Kau masih di sana?"
Tidak ada jawaban.
Brady menutup telepon lalu menekan nomor telepon Jon.
Telepon berdering lima kali. Sepuluh. Lima belas.
Ditutupnya telepon. Jon pasti ada di rumah, pikirnya. Sepuluh
detik yang lalu aku bicara dengannya. Teleponnya pasti rusak atau
semacam itu.
Diketuk-ketuknya pesawat telepon dengan gugup. Diangkatnya
dan ditekannya lagi nomor telepon Jon.
Masih tidak ada jawaban.
Apa yang diketahui Jon mengenai Rosha? Kedengarannya ia
sangat kalut.
Dan mengapa ia tidak menjawab teleponnya?
Brady memakai lagi sepatunya dan bergegas ke bawah.
Diambilnya kunci mobil dari gantungan di dapur, disambarnya jaket
dari ruang baca, dan ia cepat-cepat keluar.
Salju tipis mulai turun. Brady memakai jaketnya dan cepatcepat berjalan menghampiri mobilnya. Pinggangnya terasa agak sakit.
Ibunya akan mengamuk habis-habisan kalau tahu ia keluar?tapi nanti
saja ia mencemaskan hal itu.
Ia harus mencari tahu apa yang diketahui Jon.
Rumah Jon terletak di jalan buntu, enam blok jauhnya dari
rumah Brady. Salju mulai turun agak deras sewaktu Brady
menjalankan mobil. Butiran-butiran salju yang besar berjatuhan ke
kaca depan. Penghapus kacanya bekerja dengan baik, tapi pembersih
bekuan es di kaca mengerang satu kali lalu mati.
Rosha, pikir Brady. Aku harus menyelidiki Rosha.
Dan cewek bermuka parut itu.
Saat Brady sampai di jalan tempat rumah Jon berada, bagian
dalam jendela mobil sudah berkabut seluruhnya. Ia mengemudikan
mobilnya dengan satu tangan dan menggunakan tangan yang lain
untuk menghapus kabut pada kaca.
Kilatan lampu merah dan biru muncul dari balik hujan salju.
Aneh, pikir Brady.
Ia mencondongkan badan dan mengintip melalui kaca depan
yang berkabut.
"Hah?" Mobil polisi?
Benar. Dua mobil polisi berada di jalan masuk ke rumah Jon.
Mobil yang ketiga diparkir di pinggir jalan dengan separo
badannya di atas trotoar, dan separo lagi menonjol ke jalan raya.
Pintu depan rumah Jon terbuka lebar.
Brady menginjak rem. Mobilnya selip dan berhenti, nyaris
menabrak mobil polisi yang ketiga. Dibukanya pintu dan ia meloncat
turun. Jantungnya berdebar-debar sewaktu ia berlari melintasi
halaman yang ditutupi salju, menaiki tangga batu yang licin, dan
masuk ke rumah Jon.
Seorang petugas polisi berdiri di balik pintu depan.
"Ada apa?" pekik Brady. "Apa yang terjadi?"
"Kau anggota keluarga ini?" tanya polisi itu, tidak menjawab
pertanyaan Brady.
"Bukan, aku temannya. Apa yang terjadi? Mana Jon?" Brady
menangkap suara-suara dan gerakan di ruang tamu. "Jon?"
panggilnya, dan berjalan menyusuri koridor.
"Hei, kau tidak boleh masuk!" Petugas polisi itu mengulurkan
tangan hendak menghentikannya. Tapi Brady menepiskan tangannya
dan lari beberapa langkah ke pintu melengkung yang mengarah ke
ruang tamu.
Ruangan itu penuh polisi yang saling berbisik dengan suara
muram dan pelan. Brady merangsek maju, matanya menatap ke
seluruh isi ruangan, mencari Jon.
Itu dia. Jon tergeletak di antara sofa dan meja kopi. Kedua lengannya
terangkat di atas kepala. Mulutnya ternganga dalam jeritan yang
membeku. Rambut merahnya bergerak-gerak ditiup angin yang masuk
dari pintu depan yang terbuka.
Denyut jantung Brady berdentam-dentam di telinganya ketika ia
menunduk memandang mayat sahabatnya. "Ap?apa...?" tanyanya
dengan suara seolah tercekik.
"Lehernya patah," Brady mendengar seorang polisi berkata.
"Tulang kerongkongannya remuk," seorang polisi lain
menimpali sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Brady menatap Jon dengan perasaan terguncang dan takut.
Mata Jon membelalak ke langit-langit. Melewati polisi-polisi
itu. Melewati Brady.
Kerongkongannya! pikir Brady dengan kepanikan yang
memuncak. Sebuah tempat lilin marmer yang berat tergolek di leher Jon.
Menekan kulitnya yang lembut. Meremukkan
kerongkongannya.
Bab 19 SEBUAH tangan yang berat mendarat di bahu Brady.
Ia memalingkan wajah dari mayat Jon dan menengadah,
menatap seorang petugas polisi berusia setengah baya bermata hitam
tajam. "Kau kenal anak ini?" tanya polisi itu.
Brady mengangguk. "Dia..." Ia menelan ludah dengan susah
payah. "Dia sahabatku. Jon Davis. Aku tadi bicara dengannya.
Beberapa menit yang lalu."
"Oh?" Cengkeraman tangannya di bahu Brady semakin kuat.
"Dan di mana percakapan kalian itu berlangsung?"
"Bukan di sini," sahut Brady cepat. "Lewat telepon. Ia
meneleponku di rumah. Ia khawatir karena..." Tatapan mata Brady
beralih kembali ke tubuh Jon. Tubuhnya mulai bergetar.
"Ayo kita ke ruangan lain," usul polisi itu. "Aku harus
mengajukan beberapa pertanyaan padamu. Ayolah."
Dengan perasaan seperti tengah berjalan Brady memberikan
keterangan yang diminta. Matanya melirik ke kulkas. Magnet
berbentuk pisang berwarna kuning melekatkan foto kelas tiga Jon di
atas kulkas. Jon memandang ke depan, wajahnya berbintik-bintik dan
tersenyum.
Brady menghela napas dengan gemetar dan menundukkan
wajah. "Baiklah, Brady. Jadi Jon meneleponmu tadi. Ia khawatir."
Polisi bermata gelap itu menyeret kursinya lebih dekat ke meja. "Apa
yang ia khawatirkan?"
"Aku tidak tahu," jawab Brady. "Ada telepon lain yang masuk.
Pasti salah sambung, karena begitu diangkat tidak ada yang
menjawab. Pokoknya, waktu aku kembali menghubungi Jon,
teleponnya sudah putus."
Saat itulah ada orang menyerangnya, pikir Brady. Saat itulah
Jon meninggal. Ia bergidik.
"Kami tahu peristiwa ini pasti membuatmu terguncang, Brady,"
kata si polwan dengan suara pelan. "Seorang tetangga masuk melalui
pintu yang terbuka dan menemukan Jon. Kami sudah selesai
menanyainya. Sudah ada orang yang menghubungi orangtua Jon
sekarang. Sebentar lagi mereka datang. Jadi, tolong bantu kami. Kami
tahu ini sulit. Tapi kau harus menceritakan semua yang kauketahui
kepada kami."
"Tentu." Tangan Brady gemetar. Dilipatnya kedua tangannya di
atas meja. "Oke. Tadi Jon menelepon dan mengatakan ada orang di
sini."
Petugas polisi itu mencondongkan badan. "Siapa? Ia
memberitahu siapa orang itu?"
Brady mengangguk. "Seorang gadis. Gadis yang wajahnya
penuh bekas luka."
Sementara si polwan membuat catatan, Brady melukiskan gadis
bermuka cacat itu.
Lalu menceritakan semua yang diketahuinya.
Bagaimana gadis itu selama ini selalu mengawasinya.
Meneleponnya.
Memperingatkan dia untuk tidak mendekati Rosha.
Bagaimana ia muncul di kamarnya di rumah sakit. Dan
mengatakan Rosha berniat membunuhnya.
"Ketika Jon menelepon, ia berkata gadis bermuka parut itu ada
di sini," ulang Brady. "Ia mengatakan padaku, ada sesuatu yang ia
ketahui mengenai Rosha. Tapi ia tidak pernah sempat memberitahuku.
Dan aku tidak tahu siapa sebenarnya gadis berparut itu. Aku tidak tahu
apa-apa mengenai dia!"
"Kami pasti akan menemukannya," polisi itu meyakinkan
Brady. Ia memberi isyarat kepada partnernya, yang lantas
meninggalkan dapur.
"Menurut Anda gadis itu yang membunuh Jon?" tanya Brady.
Polisi itu menggeleng. "Kami belum tahu. Kami akan tahu lebih
banyak kalau sudah menemukannya dan mengajukan beberapa
pertanyaan padanya." Ia mendorong kursinya ke belakang dan berdiri.
"Kurasa sekarang sudah cukup, Brady. Akan kusuruh salah satu anak
buahku mengantarmu pulang."
"Tidak, tidak perlu." Brady berdiri. "Aku bawa mobil."
Di samping itu, ia ingin sendirian.
Polisi itu mengantarnya keluar dari dapur, terus ke ruang depan.
Sewaktu mereka berjalan melewati ruang tamu, Brady cepat-cepat
melirik ke dalam.
Tubuh Jon masih tergeletak di depan sofa.
Brady tersandung, tersadar, lalu cepat-cepat keluar lewat pintu
depan. Salju masih terus turun, kini semakin deras. Jejak-jejak kaki
Brady sebelumnya kini sudah hampir terisi salju.
Ia menyingkirkan salju yang menumpuk di kaca depan dengan
tangan, lalu naik ke mobil dan mengemudikannya ke rumah.
Salju menutupi jalanan. Mobilnya selip dan nyaris berpusing
sewaktu berbelok di sudut jalan. Diputarnya kemudi. Roda-rodanya
berputar. Pelan-pelan saja, perintah Brady dalam hati. Berkonsentrasilah
pada jalanan.
Tapi bayangan mayat Jon terus berkelebat dalam ingatannya.
Dan pertanyaan demi pertanyaan berputar-putar dalam
benaknya. Apakah gadis bermuka parut itu yang membunuh Jon?
Mengapa? Siapakah dia?
Apa yang diketahui Jon mengenai Rosha? Sesuatu yang
menurut si gadis cacat tidak boleh diketahui Brady? Ini tidak masuk
akal. Tidak ada yang masuk akal.
Mobilnya selip lagi. Lampu mobil berkelebat di depan matanya.
Terdengar suara klakson marah. Brady mencengkeram kemudi dengan
kedua tangan dan mengertakkan gigi sementara ia berkelit,
mengelakkan mobilnya dari lalulintas yang datang dari arah
berlawanan.
Pokoknya pulang ke rumah, pikirnya. Pulang dan menelepon
Rosha. Ia pasti kenal cewek itu! Ia harus menjawab pertanyaanpertanyaannya!
Setelah selip beberapa kali, akhirnya Brady sampai juga di
rumah. Tidak ada bekas roda mobil di halaman. Berarti orangtuanya
belum pulang.
Ia berjalan dengan susah payah, menembus timbunan salju di
halaman dan naik ke teras. Dientak-entakkannya kaki di atas keset dan
didorongnya pintu hingga terbuka.
Dalam keheningan di dalam rumah, telinganya mendengar suara
mesin penjawab telepon berbunyi 'klik' lalu mati.
Pasti Mom, pikir Brady, kakinya meninggalkan jejak salju di
ruang tamu. Ia pasti terjebak di toko. Dan menyuruhku datang
menjemputnya.
Ia berjalan ke meja dan menekan tombol mesin itu untuk
mendengarkan pesannya.
"Hai, Brady!" Suara Rosha terdengar riang. Penuh semangat.
"Aku hanya ingin memastikan bahwa kita jadi pergi berdansa malam
ini?tentu kalau lukamu sudah baikan! Lalu, bila kau sampai di rumah
tepat pada waktunya, bagaimana kalau kau datang ke taman? Aku
akan pergi ke sana sekarang untuk main skate. Datanglah kalau kau
bisa. Bye, Brady!"
Mesin penjawab telepon itu mati.
"Aku akan datang, Rosha," bisik Brady. "Aku pasti datang!"
Ia bergegas keluar, meninggalkan rumah. Salju bertiup
mengempas wajahnya begitu ia membuka pintu depan. Brady
merapatkan pintu di belakangnya dan berlari-lari menuruni tangga
menuju ke mobilnya.
Roda-roda mobilnya selip sewaktu ia meluncur keluar dari
halaman. Aku punya banyak pertanyaan, Rosha, pikir Brady ketika
mobilnya bergoyang dan merayap menyusuri jalan yang berlapis salju,
menuju ke Shadyside Park.
Seperti misalnya, mengapa gadis bermuka parut itu membunuh
Jon? Dan apa yang kauketahui tentang dia, Rosha? Kau pasti tahu
sesuatu. Sekali ini aku menuntut jawaban!
Bab 20 KEPINGAN-KEPINGAN salju yang tertiup angin menghujani
bagian samping mobil Brady dan menghambur ke wajahnya melalui
jendela mobil yang terbuka. Ia terpaksa membuka jendela supaya kaca
mobilnya tidak berkabut.
Brady tidak menggubris sengatan es di kulitnya, dan duduk
membungkuk di atas kemudi, memicingkan mata menembus hujan
salju yang putih samar di depannya.
Shadyside High tampak di depan. Tumpukan salju yang tertiup
angin meliuk-liuk bagaikan gelombang di dinding-dindingnya.
Ia memerlukan waktu lima belas menit untuk mencapai daerah
ini. Padahal biasanya hanya tiga menit.
Dengan hati-hati Brady membelokkan mobilnya ke Park Drive.
Bagian belakang mobilnya membentuk putaran lebar. Diputarnya
kemudi. Mobil merayap ke samping. Roda-rodanya selip, tapi
akhirnya bisa mencengkeram tanah.
Brady mengembuskan napas lega dan pelan-pelan menginjak
pedal gas.
Ia harus menemui Rosha. Ia harus memperoleh jawaban!
Tapi jalan-jalan licin dan berbahaya.
Brady menjalankan mobilnya perlahan-lahan. Ia mengatupkan
dagunya dan memaki cuaca yang buruk.
Ia sudah melewati sekolah. Taman yang dituju sudah tidak jauh
lagi. Mobilnya beringsut-ingsut maju menembus tumpukan salju.
Sebuah bukit menjulang di depan. Bukit itu sebenarnya tidak
terjal, tapi dalam cuaca seburuk ini, bukit apa saja bisa menjadi


Fear Street Mabuk Kepayang Perfect Date di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

masalah. Brady menekan pedal gas dalam-dalam, berharap mobilnya bisa
mengentak maju.
Roda-rodanya selip dan berderit-derit. Tidak ada tarikan sama
sekali. Mobilnya bergetar, lalu mulai merosot mundur.
Brady memutar kemudi dan membiarkan mobilnya meluncur ke
pinggir. Taman itu hanya satu blok jauhnya dari sini, pikir Brady. Cukup
dekat. Dibukanya pintu mobil dan ia melangkah turun ke tengahtengah salju yang berputar-putar.
Ia harus menemui Rosha dan mendapatkan jawaban!
Angin dingin menembus jaketnya ketika ia melangkah maju di
tengah embusan salju dan masuk ke taman. Tanpa sarung tangan,
tangannya terasa seperti bongkahan es batu. Jahitan di pinggangnya
tertarik dan menimbulkan rasa sakit.
Tapi Rosha bilang ia akan ada di sini. Brady harus bicara
dengannya!
Sesampainya di Bukit Miller, sengatan hawa dingin itu sudah
menyusup masuk ke dalam tubuhnya, menyengat hingga ke tulang.
Dengan tubuh menggigil hebat, Brady mendongak memandangi
bukit luncur paling terjal yang ada di taman itu.
Ia tak bisa melihat apa pun kecuali salju yang tertiup angin.
Ia menghirup udara yang sedingin es. "Rosha!" teriaknya.
"Rosha!"
Angin menyambar suara yang keluar dari mulutnya dan
menerbangkannya jauh-jauh.
Ia melengkungkan kedua tangannya di sekeliling mulut dan
berteriak sekali lagi. "Rosha! Rosha!"
Tidak ada jawaban. Hanya bunyi "tik-tik" keping-keping salju
yang membentur jaketnya.
Apakah Rosha berubah pikiran dan pulang begitu melihat badai
salju seburuk ini?
Kau sudah jauh-jauh datang, kata Brady pada dirinya sendiri.
Naiklah. Lihat ke puncak bukit, hanya untuk memastikan.
Ia berhenti sebentar dan mencoba melemaskan otot-ototnya.
Berusaha mengumpulkan kekuatan. Biasanya ia memanjat Bukit
Miller dari sisi sebelah sana, yang tidak begitu terjal. Tapi sekarang
sulit mencapai sisi itu.
Ayo, perintahnya dalam hati. Naiklah. Rosha mungkin ada di
atas sana.
Ingatan tentang Rosha memberinya sedikit kekuatan. Brady
menghirup udara yang dingin menyengat itu, dan mulai mendaki bukit
terjal itu.
Setiap kali melangkah, kakinya terjerumus dalam-dalam ke
salju. Setengah perjalanan mendaki, ia menyandarkan tubuh ke
sebatang pohon pinus, beristirahat. Ia mengatur napas, lalu mencoba
memanggil Rosha lagi.
Masih tidak ada jawaban.
Tapi ia mungkin ada di atas, Brady. Ia mungkin menunggumu
di sana. Jangan mundur!
Ia terus menerjang maju.
Dengan menggunakan semak dan batang-batang pohon sebagai
pegangan untuk menarik tubuhnya ke atas, Brady akhirnya sampai
juga ke puncak Bukit Miller.
Ia membungkuk, terengah-engah sesaat. Luka di pinggangnya
berdenyut-denyut. Perlahan-lahan ditegakkannya tubuhnya dan
memandang berkeliling.
Salju sudah mereda. Awan-awan mendung mulai menipis.
Badai sebentar lagi reda, pikirnya.
Tapi tidak ada tanda-tanda kehadiran Rosha.
Apakah Rosha sudah pulang? Apakah aku datang terlambat?
pikirnya. "Rosha!" teriaknya. "Rosha, kau ada di sini?"
Ia beringsut maju dengan susah-payah dan melongok ke sisi
bukit yang lebih pendek.
Tak tampak siapa pun di sana.
Brady membenamkan kedua tangannya yang dingin dalamdalam ke saku jaket dan memandang berkeliling sekali lagi.
Itu dia! Gadis itu berlari-lari di sepanjang punggung bukit,
menghampirinya. Rambutnya yang pirang bagai madu melayang di
belakangnya. Kedua kakinya mengentak-entak di salju. Bibirnya yang
merah merekah membentuk senyuman.
"Brady!" panggil Rosha.
Brady mengangkat tangan dan melambai.
Hatinya terasa hangat ketika ia bergegas menyongsong gadis
itu= Hangat dan lega. Sekarang mereka bisa bicara.
Mereka bertemu di tengah puncak bukit. Rosha mengayunkan
kedua tangannya ke sekeliling leher Brady. "Aku senang sekali kau
datang, Brady!" serunya sambil memeluk Brady erat-erat.
Brady balas memeluknya. "Aku senang kau ada di sini,"
bisiknya di sela-sela rambut Rosha yang selembut sutra. "Tadinya aku
khawatir jangan-jangan kau sudah pulang."
"Tentu saja tidak." Rosha mencium pipinya. Memiringkan
kepala dan tersenyum padanya.
"Sejak tadi aku menunggumu, seperti sudah kukatakan."
Brady menatap mata hijaunya yang bersinar-sinar cemerlang.
"Rosha..."
"Asyik ya di sini?" potong Rosha sambil mengedarkan pandang
ke seluruh penjuru bukit yang tertutup salju. "Tidakkah kau senang
bisa datang ke sini?"
Brady tidak menggubris pemandangan yang terbentang di
depannya itu. "Yeah. Tapi, Rosha, aku harus bicara padamu."
"Tentu, Brady?bicaralah!" Rosha tertawa dan mencium
pipinya lagi. "Ooh, wajahmu dingin sekali!"
"Yeah. Salju benar-benar membuatku kedinginan," Brady
mengakui. "Kasihan!" Rosha menyelipkan lengannya ke pinggang Brady.
"Maafkan aku karena mengajakmu keluar pada saat badai seperti ini.
Tapi lihat," tambahnya seraya menunjuk ke langit. "Badainya
sekarang sudah reda."
Brady menengadah, cahaya matahari menerobos menembus
awan. Sinarnya memantul pada rambut Rosha yang pirang dan
berkilauan, di lereng Bukit Miller yang tertutup salju.
"Indah, bukan?" ulang Rosha sambil memandang ke bawah
bukit yang curam. "Sempurna, bukan begitu menurutmu?"
Tapi Brady tidak tertarik pada pemandangan itu. Ia harus
memberitahu Rosha mengenai Jon dan gadis bermuka parut itu. Ia
harus memperoleh jawaban atas pertanyaan-pertayaannya.
"Rosha..."
Gadis itu menoleh padanya, memotong perkataannya lagi.
"Pemandangannya mirip sekali seperti siang hari saat kita meluncur
dulu itu ya?" tanyanya.
"Hah?" Brady mengerutkan kening. "Apa maksudmu?"
"Siang hari waktu kita meluncur dulu," ulang Rosha.
Brady memandang Rosha dengan tatapan bingung. "Kita tidak
pernah..."
"Jangan katakan bahwa kau sudah lupa, Brady," potong Rosha.
"Aku sendiri belum lupa. Apalagi, itu hari saat kau membunuhku."
Bab 21 BRADY memandang Rosha dengan mulut ternganga,
tercengang. "Apa maksudmu?"
Rosha mempererat cengkeramannya pada pergelangan tangan
Brady. Suaranya yang serak-serak basah dan seksi itu berubah kasar.
"Masa kau tidak mengerti? Aku bukan Rosha. Aku Sharon."
"Kau gila!" pekik Brady. "Sharon sudah mati!"
"Tidak lagi." Bibir Rosha yang indah tersenyum.
Senyum yang menakutkan.
Brady mencoba mundur, tapi lengan Rosha semakin erat
melingkari tangannya.
Memeganginya. Menjebaknya.
"Kau gila!" seru Brady. "Kau bukan Sharon!"
"Masa kau tidak paham, Brady?" desak Rosha dingin. "Kuberi
kau petunjuk."
"Rosha, apa..."
"Petunjuknya ada pada namaku," ucap Rosha. "Rosha Nelson?
Sharon Noles? Kau pernah dengar tentang anagram, Brady?"
"Apa?" Otak Brady berputar. "Anagram? Tapi, Rosha, mana
mungkin kau..."
"Kau tidak mengerti juga rupanya!" Rosha menyibakkan
rambutnya dan tertawa sinis. "Kau benar-benar tolol! Tidak dapat
dipercaya! Entah apa yang membuatku tertarik padamu dulu."
"Rosha..."
"Aku Sharon!" jerit Rosha. Mata hijaunya berkilat-kilat marah.
"Coba pikir, Brady. Anagram ialah membolak-balik susunan sebuah
kata dan membuatnya menjadi kata yang berbeda."
Bahkan meski ia sedang shock berat, otak Brady mengubah
susunan huruf-huruf pada nama Sharon Noles dan menyusunnya
menjadi Rosha Nelson.
Rosha Nelson. Sharon Noles.
"Bagus sekali, Brady," seru Rosha. "Kulihat kau sudah mengerti
sekarang. Mengapa kau tidak memahaminya sejak awal? Masa kau
tidak mengenali cewek yang kaubunuh?"
"Kau sinting!" teriak Brady. Ditepiskannya tangan Rosha. Ia
melepaskan diri dari cengkeraman gadis itu dan terjerembap mundur.
"Kau benar-benar sinting! Sharon sudah mati! Ia jatuh dan mati. Aku
tidak membunuhnya!"
Rosha mengulurkan tangan dan kembali mencengkeram lengan
Brady. "Lihat, Brady!" perintahnya sambil menunjuk ke lereng yang
curam. "Lihat Bukit Miller itu! Ingatkah kau pada siang hari itu,
setahun yang lalu?"
Brady menunduk, menatap bukit yang curam itu.
"Aku tidak mau meluncur di sana, ingat?" bisik Rosha.
"Menurutku itu sangat berbahaya. Aku takut. Tapi kau memaksaku."
"Tidak!"
"Tutup mulut dan dengarkan aku, Brady!" Rosha mendesis di
telinganya. "Sudah kukatakan aku tidak mau meluncur di sana, tapi
kau memaksaku. Kaurenggut aku dan kaudorong ke atas kereta
luncur. Padahal aku terus menolak, kau ingat? Tapi kau tidak
mendengarkan kata-kataku! Kau mendorong kereta luncurku ke tepi
bukit. Kau memaksaku. Lalu kau membunuhku!"
"Kau gila!" Brady berteriak. "Kau gila!"
"Tentu saja aku gila!" Rosha tertawa liar.
Brady berusaha menarik dirinya. Tapi Rosha membenamkan
jari-jemarinya dalam-dalam ke lengannya sampai ia merasa sakit.
Cewek itu tidak membiarkan ia menjauh sedikit saja.
"Tentu saja aku gila," ulang Rosha. "Itu sebabnya aku
kembali?bangkit dari kematian?untuk membunuhmu!"
"Tapi kau bukan Sharon!" protes Brady, memandangi wajah
Rosha yang cantik jelita. "Kau sama sekali tidak mirip Sharon!
Rambut Sharon cokelat muda. Matanya biru. Dia..."
"Oh, Brady, kau memang benar-benar tolol!" seru Rosha jijik.
"Rencanaku tidak akan berhasil kalau aku kembali, sebagai Sharon.
Aku harus meminjam tubuh orang lain, Brady. Aku meminjam wajah
paling cantik dan tubuh paling indah yang bisa kutemukan."
Brady menatap mata Rosha yang hijau bersinar-sinar.
Rambutnya yang pirang halus. Wajahnya yang sempurna.
Tidak, pikirnya. Tidak mungkin!
"Kau pikir aku tidak tahu bagaimana reaksi seorang bajingan
seperti kau pada wajah dan tubuh seperti ini?" tanya Rosha sambil
maju satu langkah mendekatinya. "Tentu saja aku tahu! Itu sebabnya
aku memilihnya?untuk menjebakmu!"
Sambil tertawa seperti orang gila, Rosha melangkah lebih dekat
lagi. "Dan rencanaku berhasil!" bisiknya penuh amarah. "Berhasil
dengan sempurna! Kau jatuh cinta padaku. Tepat seperti yang telah
kuperkirakan. Dan sekarang aku menangkapmu, Brady! Tepat di
tempat yang kuinginkan!"
Brady menyentakkan tangannya.
Jari-jari Rosha mencengkeramnya bagaikan jepit baja.
Ia tidak bisa melepaskan diri!
Rosha mengangkat tangannya yang bebas dan menyentuh wajah
Brady. Sesaat Brady mengira gadis itu akan menciumnya.
Mungkinkah ia hanya main-main? tanya Brady dalam hati
dengan penuh harap. Mungkinkah semua ini hanya lelucon gila dan
aneh? Tidak mungkin Rosha adalah Sharon yang bangkit dari
kematian. Tidak mungkin!
Perlahan-lahan, jari-jari Rosha merayap menuruni pipinya.
Ke bawah dagu.
Lalu ke leher.
Gadis itu melepaskan pegangannya. Mengangkat kedua
tangannya ke leher Brady.
Jari-jarinya melingkari leher Brady. Ditekannya ibu jarinya ke
batang tenggorokan.
Semakin keras.
Brady berusaha melepaskan diri. Mencoba mengangkat kedua
tangannya. Untuk mendorongnya. Melepaskan diri. Melepaskan diri
dan lari dari sini.
Tapi ia tidak bisa bergerak.
Tak bisa menggerakkan satu otot pun!
Cengkeraman Rosha begitu kuat.
Tidak seperti cengkeraman manusia.
Jari-jarinya semakin erat. Menekan lebih kuat ketika mencekik
lehernya. Mencekiknya.
Aku tak bisa bernapas! otak Brady menjerit. Tidak bisa
bernapas! Matanya membelalak.
Paru-parunya menjerit meminta udara.
Ia membunuhmu! jerit otaknya. Lawan! Selamatkan dirimu!
Salju yang putih cerah itu mulai redup.
Semakin gelap. Semakin gelap. Aku mati! Brady menyadari.
Ia telah membunuhku.
Bab 22 BRADY tidak berdaya melawan kekuatan Rosha. Tubuhnya
jatuh ke salju.
Rosha ikut terjatuh bersamanya, kedua tangannya masih
melingkari leher Brady.
Segala-galanya memudar menjadi hitam.
Kau mati! bisik otak Brady panik. Ia telah membunuhmu!
Kau mati! "Cukup, Sharon!" mendadak terdengar seruan. "Sudah usai
sekarang!"
Luar biasa, cengkeraman jari-jemari Sharon di leher Brady
segera mengendur.
"Semua sudah berakhir, Sharon!" seru suara itu lagi. "Segalanya
sudah berakhir untukmu!"
Tangan Sharon terlepas. Brady terjerembap ke salju.
Ketika ia bisa berdiri lagi, ia menengadah dan terkesiap.
Cewek bermuka parut itu berdiri beberapa meter jauhnya dari
mereka. Matanya berkilat-kilat marah.


Fear Street Mabuk Kepayang Perfect Date di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Marah pada Sharon.
"Kau sudah cukup bersenang-senang, Sharon," kata cewek
bermuka parut itu dengan nada dingin. "Sekarang kembalikan
tubuhku."
Ia melangkah mendekat.
"Tidak!" jerit Sharon sambil melompat berdiri.
"Kembalikan," tuntut gadis itu.
"Aku tidak akan mengembalikan tubuh ini!" Sharon berkeras.
"Sekarang tubuh ini milikku!"
"Itu milikku!" cewek itu balas berteriak. Ia maju selangkah lagi.
"Kau merebutnya dariku! Dan untuk itu kau membunuhku!"
"Dan aku akan mempertahankannya!" Sharon berbalik,
menghamburkan salju ke wajah Brady.
Brady berusaha berdiri meski kakinya terasa lemah. Sekujur
tubuhnya gemetaran. Salju yang menyilaukan itu menusuk-nusuk
matanya. Ia mengerjap-ngerjapkan mata dan berusaha memfokuskan
penglihatannya.
Jadi, cewek berparut itu sudah mati? Ia baru saja bilang Sharon
telah membunuhnya!
Bagaimana mungkin hal ini bisa terjadi?
"Kau membunuhku, Sharon," ulang gadis itu. Bekas-bekas luka
di wajahnya merah terbakar dalam udara dingin. Wajahnya yang rusak
itu berkerut mengerikan. "Semula aku cantik. Cantik jelita. Aku
memiliki segalanya dalam hidup ini. Tapi kau merebut semua itu
dariku!"
"Memang!" pekik Sharon.
"Kau sama sekali tidak mengenalku," sambung gadis itu. "Tapi
kau membunuhku. Kau membunuhku dan mencuri tubuhku yang
indah!"
Tenggorokan Brady terasa sakit. Pertanyaan demi pertanyaan
berkelebat dalam benaknya, tapi ia tidak sanggup berkata-kata.
Kedua lengannya terkulai lemah.
Kakinya nyaris tidak dapat menyangga tubuhnya agar bisa
berdiri tegak.
Dengan perasaan terguncang dan pusing, yang bisa ia lakukan
hanyalah memandangi cewek bermuka parut itu berjalan perlahan
menembus salju.
Berjalan mendekati Sharon.
"Untuk beberapa lama diriku memang dalam keadaan lemah,"
kata cewek itu pada Sharon. "Kau kira aku akan selamanya begitu,
bukan? Tapi tidak. Sekarang aku sudah kuat."
"Kuat?" sergah Sharon sinis. "Kau sudah mati. Kau bukan apaapa?bukan apa-apa kecuali tulang-belulang. Kerangka menjijikkan
yang lemah dan mengerikan!"
Cewek itu menggelengkan kepalanya. Bibirnya tertarik ke
belakang, membentuk senyum menakutkan. "Tidak lagi," ucapnya
berkeras. "Aku membutuhkan waktu berminggu-minggu, tapi
sekarang aku sudah cukup kuat untuk mengambil kembali tubuhku
yang indah!"
Brady menggelengkan kepala. Berusaha menghentikan suarasuara itu. Semua ini tidak masuk akal. Gadis itu berbicara tentang
dirinya yang sudah mati. Mati!
Bagaimana mungkin ia mati?
Bagaimana mungkin Sharon hidup?
"Kau dengar aku, Sharon?" teriak gadis itu. "Aku menginginkan
tubuhku kembali!"
"Tidak! Tidak akan pernah!" jerit Sharon. "Aku tidak akan
pernah mau kembali ke tubuh jelek berparut itu! Tidak akan!"
Sambil melengking marah, gadis berparut itu menerjang.
Ditabraknya Sharon sampai jatuh tunggang-langgang.
Brady memandang tidak berdaya ketika dilihatnya jari-jemari
gadis itu menjambak rambut pirang Sharon yang berkilau dan
membenamkan wajah Sharon ke salju. "Aku akan mengambilnya
kembali!" teriaknya. "Aku akan mengambil tubuhku yang indah ini!"
"Tidak akan pernah!" Sharon melontarkan gadis itu dan
menendangkan kakinya kuat-kuat ke wajah si gadis yang penuh bekas
luka. "Tidak akan pernah!" pekiknya.
Gadis itu melompat mundur, lalu menerjang maju lagi. Brady
tersentak melihat kuku-kuku jarinya mencakar kulit Sharon.
Ia tersentak lagi ketika Sharon memukul keras-keras mata si
gadis berparut.
Gadis itu terpekik, menurunkan kepalan tangannya, kemudian
menghantamkannya ke perut Sharon.
Sharon terjerembap ke belakang, napasnya memburu. Gadis itu
terbang ke arahnya dan menerpanya hingga jatuh ke tanah.
Brady memeluk tubuhnya sendiri yang masih gemetaran.
Masih lemah.
Terlalu lemah untuk dapat melakukan apa pun, kecuali
menyaksikan penuh ngeri saat kedua gadis itu bergelut di salju.
Mungkinkah Sharon menang?
Dan apa yang akan terjadi pada dirinya kalau ia menang?
Bab 23 "AKAN kuambil!" raung gadis itu. "Akan kuambil lagi tubuhku
yang indah itu!" Dijambaknya rambut Sharon yang berkilauan,
merenggut berkas demi berkas rambut hingga ke akar-akarnya.
"Tidak!" jerit Sharon. Ia berguling telentang, melipat kedua
kakinya, lalu menendang dada gadis itu dengan dua kaki sekaligus.
Gadis itu terenyak ke belakang. Sharon menerjangnya.
Brady mencoba berteriak. Tapi tak ada kata-kata yang keluar
dari mulutnya kecuali suara berkaok-kaok. Ia menelan ludah, rasanya
sakit, dan mencoba sekali lagi. "Hentikan!" teriaknya. "Kalian berdua
sudah gila!"
Suaranya terdengar lebih kuat kali ini, tapi tidak mempengaruhi
apa-apa. Kedua gadis itu terus saling menyerang.
Lengan dan kaki keduanya jadi tampak kabur sewaktu mereka
jatuh terguling-guling, saling tinju dan saling tendang.
Sambil memekik marah cewek bermuka parut itu berguling
menindih tubuh Sharon dan menyambar lengannya.
Brady mendengar bunyi mengerikan.
Lengan Sharon!
Cewek itu merenggut lengan Sharon sampai terlepas dari
bahunya! Darah menghambur dari bahu dan lengan itu, berceceran di
salju. "Tidak!" jerit Brady. "Tidaaak!"
Cewek itu menyeringai menakutkan, menampakkan gigigiginya, lalu menyambar lengan Sharon yang lain. Tapi Sharon
beringsut menjauh, lalu menerjang kaki gadis itu.
Gadis itu berteriak kesakitan ketika kakinya terenggut lepas.
Sharon melemparkan kaki itu ke salju.
"Tidaaak!" Brady menjerit lagi. Ia memejamkan mata dan
menggeleng-gelengkan kepalanya tak terkendali.
Ia membuka mata dan tepat pada saat itu melihat sebuah kaki
lagi melayang di udara.
Disusul sebuah lengan lagi.
Sharon menyeret tubuhnya di salju, meninggalkan ceceran
darah. Napasnya tersengal-sengal, suaranya serak terputus-putus. Ia
melingkarkan lengannya yang masih tersisa ke leher gadis bermuka
parut itu.
Keduanya mulai saling tarik lagi.
"Tidaaaak!" Brady hanya bisa mengerang sekarang. "Tidaaak!"
Mereka saling menarik kepala dengan lebih keras. Lebih keras.
Brady melotot penuh ngeri ketika dilihatnya leher mereka
berputar. Mengejang.
Lepas. Kepala keduanya lepas. Kepala mereka berdua. Kedua-duanya.
Mulut mereka membeku dalam jeritan bisu.
Lengan, kaki, badan dan kepala berputar-putar di atas salju.
Lalu mulai bergulingan menuruni bukit yang curam.
Brady membelalak dengan perasaan ngeri, melihat bagianbagian tubuh itu berguling dan terpental-pental di atas hamparan salju.
Berguling melewati pepohonan, terpental ke semak-semak, turun,
turun?terus menuruni Bukit Miller.
Lalu hilang ditelan salju.
Hilang seluruhnya.
Brady mendengar desah napasnya sendiri.
Matanya tidak melihat apa-apa kecuali salju yang putih bersih,
berkilauan ditimpa sinar matahari.
Epilog BRADY berjalan dengan susah payah, menyusuri trotoar
menuju ke rumah Allie. Ia meninggalkan mobilnya di taman kemarin,
ia tahu ia harus mengeluarkannya dari timbunan salju.
Tapi pertama-tama, ia ingin menemui Allie.
Ia menengadah dan memandang matahari pagi. Sinarnya lemah
dan sama sekali tidak membuatnya hangat. Tapi ia tahu Allie akan
membuatnya hangat kembali. Pikiran itu membuatnya tersenyum.
Di sepanjang blok rumah Allie, tampak para penghuni sibuk
membersihkan salju dari trotoar di depan rumah mereka masingmasing dan mengeluarkan mobil-mobil mereka dari timbunan salju.
Seorang teman ibu Brady melambaikan tangan dari atap mobilnya,
lalu memanggil namanya.
Brady tidak berhenti. Ia harus menemui Allie. Ia harus
membereskan semua masalah dengan cewek itu.
Saat berjalan lebih jauh lagi di blok itu, seorang anak
melemparkan segumpal bola salju ke arahnya. Brady melihat bola
salju itu meluncur ke arahnya, tapi ia tidak mencoba mengelak atau
menghindar. Bola salju itu hancur mengenai tepi mantelnya. Tapi ia
tidak peduli.
Tidak ada yang berarti kecuali Allie.
Jalan masuk menuju ke rumah Allie masih tertutup salju. Belum
ada yang membersihkannya. Brady memasuki hamparan salju itu dan
berjalan dengan susah payah menuju ke rumah.
Salju dj teras dan tangga sudah dibersihkan. Brady menekan bel
pintu. Menunggu. Menunggu.
Tidak ada yang membukakan pintu.
Ia harus ada di rumah, pikirnya. Aku harus bicara padanya. Ia
harus ada di rumah!
Dengan badan menggigil, Brady berbalik dan menyeret kakinya
kembali ke teras.
Sewaktu ia berjalan menuruni tangga, didengarnya suara sekop
besi di belakang rumah.
Bunyi sekop salju. Ada yang tengah menyekop salju di teras
belakang rumah.
Semoga itu Allie, pikir Brady putus asa sewaktu berjalan
mengitari sudut rumah. Aku harus bertemu dengannya. Semoga itu
Allie. Allie berdiri di bagian bawah teras, menyekop sisa-sisa salju
dari tangga. Cewek itu mengenakan celana jeans yang dimasukkan ke
dalam sepatu bot biru cerah. Sarung tangannya kuning, ia tidak
memakai jaket. Hanya sweter tebal. Rambutnya yang pirang
kecokelatan bersinar bagaikan api di bawah sinar matahari pagi.
"Kau tidak kedinginan?" tanya Brady.
Allie terlonjak. "Brady! Kau membuatku takut setengah mati!"
seru cewek itu.
"Maaf." Brady tersenyum dengan bibir dingin membeku. "Aku
hanya ingin tahu mengapa kau tidak memakai jaket. Dingin sekali di
sini. Kau tidak kedinginan?"
Allie menggeleng sambil mulai menyekop salju yang
menumpuk di jalan belakang. "Sudah setengah jam aku membersihkan
salju. Rasanya seperti di sauna." Ia melemparkan sesekop salju ke
samping dan melirik cowok itu. "Kau kelihatan kacau, Brady. Kacaubalau."
"Memang. Aku tidak tidur nyenyak semalam," kata Brady.
"Mungkin sebaiknya kau pulang dan tidur lagi. Lagi pula, untuk
apa kau datang kemari?"
Ia masih marah, pikir Brady. Ia tidak dapat menyalahkan Allie,
tapi ia harus mencoba menjernihkan permasalahan. "Aku, ehm..." ia
memulai dengan malu-malu. "Aku datang untuk minta maaf."
Allie menatapnya tanpa mengatakan apa pun, mata abu-abunya
menunjukkan keraguan.
"Aku telah bersikap tolol," sambung Brady. "Aku datang untuk
minta maaf. Aku benar-benar menyesal."
Allie menatapnya lebih lama lagi. "Well, terima kasih atas
permintaan maafnya, Brady." Ia berpaling dan mulai menyekop salju
lagi. "Aku sungguh-sungguh, Allie!" seru Brady. "Aku merasa tidak
enak mengenai semua yang telah terjadi. Tingkah lakuku sangat
menjengkelkan. Aku tidak menyalahkanmu kalau kau membenciku.
Tapi aku ingin kita bisa bersama lagi. Maukah kau menerimaku
kembali?"
"Oh, Brady." Allie mendesah. "Aku tidak tahu. Aku tidak
yakin."
"Tolonglah," Brady memohon. "Aku janji tak akan bersikap
begitu lagi. Ingat, saat-saat indah dulu sewaktu kita mulai berkencan?"
"Tentu saja aku ingat," sahut Allie dengan suara lirih. "Indah
sekali. Kusangka hubungan kita akan terus seperti itu."
"Aku tahu. Tapi kita bisa seperti itu lagi, Allie," janji Brady.
"Kau hanya perlu menerimaku dan segalanya akan kembali seperti
dulu lagi. Semuanya akan sempurna kembali."
Allie mendesah lagi dan bersandar pada sekopnya. "Aku
hanya..."
"Tolonglah," potong Brady. "Tolong katakan ya, Allie." Ia
menggigil. Dengan tegang menunggu jawaban Allie.
Setelah berdiam diri cukup lama, Allie tersenyum. "Yah,
baiklah, Brady," jawabnya. "Baiklah. Mari kita mulai dari awal lagi."
"Hebat. Hebat sekali," bisik Brady, mengembuskan napas lega.
Ia maju selangkah dan merengkuh pipi Allie dengan kedua tangannya.
Allie tersentak dan menarik kepalanya. "Sori!" serunya seraya
tertawa kecil. "Tapi tanganmu membeku!"
"Memang," Brady sependapat. "Seluruh tubuhku dingin. Itulah
yang ingin kuutarakan kepadamu," kata Brady. "Begini, ada satu
masalah kecil."
Allie menengadah, tatapan penuh tanya terpantul dari mata abuabunya. "Kau ingat Rosha, kan?" tanya Brady.
Allie menepiskan tangan Brady. "Ada apa, Brady? Maksudku,
kusangka hubunganmu dengan Rosha sudah tamat."
"Well, memang sudah. Tapi..." Brady ragu-ragu. "Ada satu
masalah kecil."
"Masalah? Masalah apa?" tuntut Allie.
"Aku sudah mati," kata Brady.
"Hah?" Allie terbelalak.
"Sungguh," Brady menjelaskan. "Itulah sebabnya mengapa aku
kelihatan kacau-balau. Aku meninggal kemarin. Rosha membunuhku
di Bukit Miller."
"Brady, jangan bercanda!" Allie memohon. "Mengerikan.
Mengerikan sekali. Tidak lucu!"
"Aku tidak bercanda, Allie," Brady berkeras. "Ia mencekikku.
Rosha mencekikku. Aku sudah mati."
"Hentikan!" Allie mundur selangkah.
Brady menjulurkan tangan dan meraih tangan Allie. "Itulah
sebabnya mengapa tubuhku sangat dingin, Allie. Amat sangat dingin.
Karena aku sudah mati."
"Brady, please!" tangis Allie.
Brady menarik tangan gadis itu, menariknya mendekat. Ia
membungkuk dan mencium bibirnya. "Oh, kau begitu hangat
sementara aku begitu dingin."


Fear Street Mabuk Kepayang Perfect Date di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Allie menarik diri dengan kasar. Ia terjerembap dan
memandang Brady penuh ketakutan. "Ihh! Bibirmu!" pekiknya.
"Bibirmu dingin sekali!"
"Bagaimanapun juga, terimalah aku kembali!" Brady memohon
dengan putus asa. Terhuyung-huyung ia mendekati Allie. "Oke, Allie?
Terimalah aku kembali walaupun aku sudah mati. Oke? Oke?"
Dengan mata terbelalak lebar karena ketakutan, Allie membuka
mulut dan menjerit. Menjerit sekeras-kerasnya. END
Pelangi Di Langit Singosari 13 Wiro Sableng 141 Kematian Kedua Taiko 24
^