Pencarian

Melanie 1

Melanie Karya V. Lestari Bagian 1


COVER 1 / 460 Koleksi Kolektor E-Books
2 / 460 MELANIE 3 / 460 Sanksi Pelanggaran Pasal 44: Undang-undang Nomor
7 Tahun 1987 Tentang Perubahan atas Undang-undang
Nomor 6 Tahun 1982 Tentang Hak Cipta
1. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak
mengumumkan atau memperbanyak suatu ciptaan atau
memberi izin untuk itu, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda
paling banyak Rp 100.000.000,- (seratus juta rupiah).
2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan,
memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada
umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak
Cipta sebagaimana dimaksud dalam avat (1), dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp 50.000.000,- (lima
puluh juta rupiah).
4 / 460 V. Lestari
MELANIE Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama
Jakarta, 1991
5 / 460 MELANIE oleh V. Lestari
GM 401 91.188
? Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama,
Jl. Palmerah Selatan 24-26, Jakarta 10270
Gambar sampul oleh Suhaeri
Diterbitkan pertama kali oleh
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama,
anggota IKAPI, Jakarta, Juli 1991
Bagian awal dari cerita ini pernah dimuat sebagai
cerita bersambung di tabloid NOVA.
Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan
(KDT) LESTARI, V.
Melanie / V. Lestari. - Jakarta : Gramedia Pustaka
Utama, 1991.
408 Mm.; 18 cm.
ISBN 979-511-188-4
1. Fiksi Indonesia. I. Judul. 8X0.3
Dicetak oleh Percetakan PT Gramedia, Jakarta
Isi di luar tanggung jawab Percetakan PT Gramedia
6 / 460 - Cerita ini fiktif.
- Tidak menyangkut atau menyinggung siapa-siapa.
Bila ada nama dan peristiwa yang sama maka itu cuma
kebetulan saja.
7 / 460 Teruntuk Ikka Vertika
8 / 460 DAFTAR ISI
I ........................................................................................................ 11
II ....................................................................................................... 19
III ..................................................................................................... 27
IV...................................................................................................... 41
V ....................................................................................................... 55
VI...................................................................................................... 73
VII .................................................................................................... 80
VIII .................................................................................................. 93
IX.................................................................................................... 103
X ..................................................................................................... 116
XI.................................................................................................... 132
XII .................................................................................................. 160
XIII ................................................................................................ 185
XIV ................................................................................................. 216
XV .................................................................................................. 237
XVI ................................................................................................. 260
XVII ............................................................................................... 290
XVIII.............................................................................................. 310
XIX ................................................................................................. 342
XX .................................................................................................. 374
XXI ................................................................................................. 413
XXII ............................................................................................... 437
9 / 460 10 / 460 I Melanie berteriak, "Mang Ateng! Maaaang...!"
Ateng tengah berada di bagian pembibitan. Dia sedang
memegang pot tanaman. Mendengar teriakan itu sertamerta pot di tangan dilepaskannya hingga pecah
berserakan di tanah. Tanpa mempedulikan benda itu
dia berlari pontang-panting ke arah teriakan yang
didengarnya.
Melanie melambaikan tangan kepadanya.
"Cepat, Mang! Cepaaat!" serunya.
Tapi melihat wajah Melanie yang berseri-seri dengan
tawa riang, Ateng malah memperlambat langkahnya.
Dia perlu mengatur napas dan debar jantungnya yang
deg-degan.
"Aduuuh, Neng Anie mah ngagetin. Saya kira ada
apa...," katanya agak lemas tapi lega. Dia sempat
berpikir tentang ular besar yang pernah ditemukan di
kebun pisang beberapa waktu yang lalu. Kalau
memang ada, sebagai laki-laki dan karyawan di situ,
tentu saja dia harus berbuat sesuatu. Padahal
sesungguhnya dia sangat takut kepada ular.
"Ke sini. Mang! Lihat!" Melanie menunjuk.
11 / 460 Ateng menatap sekuntum kembang sepatu yang tengah
mekar dengan indahnya. Warnanya ungu tua. Tapi
baginya itu biasa-biasa saja.
"Itulah hasil silangan saya tempo hari, Mang! Ayo,
bagus nggak?" tanya Melanie dengan mata tetap
mengarah kepada bunganya. Sepertinya sulit benar dia
mengalihkan tatapan dari sana. Tak habis-habis rasa
takjubnya.
Dengan cepat Ateng berseru, "Aduuuuh bagusnya!
Indah sekali, ya Neng? Cek cek cek...1' Dia
menggoyang-goyang kepalanya dan menatap dekatdekat.
"Jangan dekat-dekat, Mang! Nanti rusak," cegah
Melanie. Kemudian mereka menoleh ketika mendengar suara.
Seorang wanita setengah baya dengan wajah cemas
berlari-lari menghampiri.
"Ada apa, An? Ada apa?" tanyanya.
Ateng tersenyum. Nah, ada lagi yang kaget.
"Lihat, Ma! Kembang saya sudah mekar! Lihatlah
betapa indahnya!" seru Melanie sambil menunjuk.
Diah, ibu Melanie, menarik napas lega. Sangat lega.
Lalu dia ikut mengagumi. Dan rasa lega membuat
kekagumannya jadi berlebihan.
12 / 460 Ateng menarik diri, kembali ke tempat semula. Di sana
dia baru menyadari akibat perbuatannya. Tapi dia tidak
merasa jengkel. Apa pun yang rusak tidak ada artinya
dibanding keselamatan Melanie.
Itu bukan pendapatnya sendiri melainkan kesepakatan
seisi rumah. Ada tujuh orang semuanya, termasuk
Melanie sendiri. Ateng dan istrinya, Yayah, yang jadi
pembantu rumah tangga, dua rekan kerja Ateng sesama
tukang kebun yaitu Ajat dan Toha, Pak Budi, ayah
Nyonya Diah atau kakek Melanie, dan Nyonya Diah
sendiri, semuanya sudah tua. Yang termuda dan muda
adalah Melanie.
Kembang sepatu tadi memang indah. Tapi Melanie
lebih indah. Paling indah. Demikian pendapat Ateng.
*** Pada hari Minggu kebun milik Pak Budi ramai
dikunjungi orang, terutama dari Jakarta, yang ingin
membeli tanaman hias ataupun buah pisang langsung
dari pohonnya.
Kebun Pak Budi cukup luas dengan rumahnya terletak
agak di belakang hingga tak tampak ke luar karena
tertutup oleh pepohonan. Sebagian besar kebunnya
didominasi oleh pohon pisang dengan aneka jenis yang
terkenal enak seperti pisang raja, sereh, dan pisang
13 / 460 tanduk. Hasil kebun Pak Budi inilah yang mengisi
sebagian pasar-pasar di kota Bogor.
Pada hari yang khusus itu tak ada yang bekerja di
kebun, karena semuanya dikerahkan untuk melayani
pengunjung. Bahkan kadang-kadang masih terasa
kekurangan tenaga bila ramainya tak kepalang.
Khusus pada hari itu pun beberapa anak dan cucu
Ateng dan rekan-rekannya bisa mendapat penghasilan
tambahan dengan menjajakan tanaman hias terutama
suplir yang konon sangat digemari ibu-ibu dari Jakarta.
Mereka mencari tempat-tempat strategis di bagianbagian kota yang biasanya ramai dikunjungi warga
Jakarta itu. Ketika berangkat mereka sudah diberi
patokan harga tanaman yang mereka bawa dan
selanjutnya mereka bisa mengambil keuntungan
sendiri. Sisa tanaman yang tak terjual bisa dibawa
pulang di sore hari.
Tentu cara seperti itu membutuhkan kejujuran dari si
penjaja karena mungkin saja dia tak kembali lagi untuk
menyetor atau mengembalikan sisa tanaman. Karena
itulah hanya orang-orang yang dikenal saja, terutama
anggota keluarga para karyawan, yang diberi
kepercayaan. Ternyata memang tak ada yang menyalah
gunakan kepercayaan itu.
14 / 460 Kehidupan seperti itu berjalan hampir rutin dengan
jadwal dan irama kerja yang tak berubah. Hari-hari
biasa dilalui dengan mengurus kebun, menyemai,
menyilang, membiakkan, atau mencari bibit baru di
luar. Jadi sebagian besar waktu dihabiskan dalam
lingkungan sempit terpisah dari keramaian. Barulah
bila hari Minggu atau libur tiba mereka melakukan
komunikasi dengan dunia luar. Tapi kehidupan
demikian ternyata menyenangkan bagi mereka karena
semuanya menyukai, bahkan mencintai tanaman. Jadi
pekerjaan yang dilakukan bukan semata-mata supaya
bisa hidup saja. Maka keharusan dan kebutuhan
berpadu dengan harmonis. Itu sudah cukup bagi orang
yang berkepribadian tenang. Tak perlu lagi mencari
apa-apa yang kiranya di luar jangkauan.
Kepuasan seperti itu tercermin pada wajah dan sikap
mereka, seisi rumah. Antara pemilik usaha dan
karyawan terjalin keakraban kekeluargaan. Ketiga
tukang kebun sudah bekerja di situ selama hampir dua
puluh tahun, sejak mulai beranak sampai bercucu.
Sedang Pak Budi sebagai pemilik mewarisi kebunnya
dari orang-tuanya yang juga mewarisinya dari
orangtuanya lagi. Entah sudah berapa generasi turuntemurun. Dan entah sudah berapa juta buah pisang
yang telah dihasilkan selama kurun waktu yang
panjang itu, karena pohon-pohon di kebun mereka itu
15 / 460 pun tak henti-hentinya beranak sambil menikmati
lahan yang subur.
Selanjutnya, telah tampak tanda-tanda bahwa kebun itu
pun akan beralih ke generasi berikutnya tanpa
perubahan. Diah dan Melanie sudah memperlihatkan
kecintaan mereka kepada usaha ayah dan kakek
mereka. Padahal pada awalnya tidak demikian.
Pak Budi, seorang pria yang masih kuat dan sehat di
usianya yang sudah melampaui enam puluh tahun
berkat cara hidup dan kegiatannya sehari-hari, merasa
sangat berbahagia dengan perkembangan yang
diperlihatkan putri dan cucu satu-satunya itu. Itu berarti
tanah dan kebunnya akan berumur panjang. Jadi sangat
tipis kemungkinan bahwa pada suatu saat kelak mereka
akan menjualnya untuk dijadikan pertokoan, misalnya.
Bila itu sampai terjadi alangkah sayangnya tanah yang
subur itu jadi tersia-sia. Padahal sudah terbukti betapa
banyaknya tanah-tanah di kota itu yang mengalami
nasib malang. Betapa tidak. Lahan yang begitu subur
cuma disuruh menanggung beban gedung bertingkat.
Pertokoan muncul di mana-mana padahal pembelanja
makin sedikit. Tapi anehnya, terus saja dibangun.
Pak Budi sungguh berbahagia karena awalnya dia
merasa sangat pesimis akan nasib kebunnya. Waktu itu
putri satu-satunya itu mempunyai karier cemerlang di
Jakarta dalam bidang yang sama sekali tak ada
16 / 460 hubungannya dengan tanah dan tanaman, yaitu
perbankan. Sedang Melanie, cucu yang juga cuma satusatunya, adalah gadis kota yang modern dan sama
sekali tak punya minat akan tanah dan tanaman,
meskipun dia sangat suka makan pisang. Dalam
beberapa menit dia bisa menghabiskan sesisir pisang
sereh. Sayang kesukaannya cuma dalam soal makan
saja. Lainnya dia tak peduli. Bahkan tingkahnya kerap
menjengkelkan sang kakek. Misalnya kalau Melanie
sekali waktu berkenan jalan-jalan di kebun lalu
bertemu dengan seekor cacing, maka jeritannya akan
membahana ke segala pelosok seolah binatang itu
seekor ular besar. Tapi sekarang kebalikannya yang
terjadi. Dia bisa memegang cacing dengan jari-jarinya
tanpa rasa jijik.
Sesungguhnya, keberuntungan Pak Budi itu tidak
datang dengan sendirinya. Awalnya adalah musibah.
Sesuatu yang tak pernah terpikirkan atau terbayangkan.
Bahkan dalam mimpi yang terburuk sekalipun.
Memang telah terjadi perceraian antara Diah dengan
Darmaji, suaminya. Itu terjadi ketika Melanie berusia


Melanie Karya V. Lestari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sepuluh tahun. Tapi bukan itu musibah terburuk.
Peristiwa itu justru malah membuat Diah kian mantap
dengan kariernya dan terus melesat maju sampai
terakhir dia menjabat sebagai Kepala Bagian Kredit
sebuah bank swasta besar. Yang ini memang tidak
17 / 460 patut digolongkan sebagai musibah meskipun
membuat Pak Budi semakin pesimis dengan masa
depan kebunnya. Ada peristiwa lain yang telah
mengubah segala-galanya. Sesuatu yang pada akhirnya
menghasilkan situasi dan kondisi yang sekarang. Tapi
kalaupun waktu bisa berjalan mundur dan orang boleh
memilih, Pak Budi tidak akan memilih musibah itu.
Biarlah kebunnya musnah dan tanahnya jadi lapangan
rata, asal musibah itu tidak perlu terjadi.
18 / 460 II Di hari Minggu yang sangat ramai pengunjung,
biasanya mereka sekeluarga maupun para karyawan
tidak sempat makan siang bersama. Lalu mereka akan
bergiliran makan, yang satu menggantikan yang
lainnya. Dengan demikian pengunjung tak sampai
telantar. Bagaimanapun ada timbal balik dari
pelayanan yang mereka berikan. Di hari sibuk seperti
itu mereka mendapat pemasukan uang yang lumayan.
Ketika itu Melanie baru saja selesai makan lalu
menggantikan ibunya di bagian tanaman hias. Dia
didampingi Ateng, Sedang kakeknya bertugas di kebun
pisang bersama dua karyawan lainnya. Kebetulan di
sana lebih sibuk karena banyak pohon yang harus
dipanen sedang pembeli sudah menunggu.
Kebanyakan dari mereka adalah para pedagang buah
yang membeli borongan. Walaupun ada yang membeli
secara eceran tapi tetap harus per tandan karena lebih
murah untuk pembeli dan lebih praktis untuk mereka.
Saat Melanie baru saja selesai melayani seorang
pembeli dia mendengar Ateng terlibat dalam tawarmenawar yang panjang. Perempuan yang menawar
sangat cerewet. Dia menaikkan harga penawarannya
setiap kali lima puluh perak. Sangat menjengkelkan.
19 / 460 Tapi Ateng terus bertahan dengan sabarnya. Dia tidak
terbawa arus dengan ikut menurunkan harga setiap kali
lima puluh perak.
Melanie tersenyum mendengarnya meskipun jadi
kehilangan kesabaran. Untung saja pembeli itu
berhadapan dengan Ateng. Kalau dengan dia pasti
sudah dihadapi dengan judes. Pokoknya nggak bisa
ditawar lagi, Bu! Kalau jadi, ya syukur. Kalau nggak
jadi, ya nggak apa-apa!
Dia melihat ke sana. Lewat celah pepohonan yang
membatasi tempatnya berada dengan Ateng, dia
melihat seorang ibu setengah baya sedang mengagumi
tanaman suplir di depannya. Ah, suplir lagi. Dan yang
itu memang jenis mahal. Apalagi sudah rimbun dan
indah. Suatu kondisi yang memakan waktu panjang
dan menuntut persyaratan tertentu pula. Tapi sayang
para pengagum tak mau tahu tentang soal itu. Mereka
cuma ingin memiliki tanpa memahami. Yang kasihan
adalah tanamannya.
Ibu itu pasti dari Jakarta. Dan tampaknya kaya. Itu
terlihat dari dandanannya. Memang tak semua orang
kaya langsung membeli barang yang dikehendakinya
tanpa menawar. Bisa jadi mereka lebih pelit dan
cerewet dari orang yang ekonominya sedang-sedang.
20 / 460 Perhatian Melanie lebih tertuju kepada tanaman yang
diminati itu. Dia mengenalinya sebagai tanaman yang
baru saja didatangkan dari Cipanas dua hari yang lalu.
Langsung saja dia merasa ngenes membayangkan
tanaman itu akan diboyong ke Jakarta yang panas.
Sesungguhnya, tanaman itu belum lagi beradaptasi
dengan iklim kota Bogor, kasihan jika tiba-tiba harus
dipindah lagi ke tempat yang lebih panas. Andaikata
dia sudah lebih lama di situ dan mampu menyesuaikan
diri mungkin tak begitu berat baginya bila dipindahkan
ke Jakarta walaupun harus mengorbankan sebagian
keindahannya. Itu mengingat suhu Bogor dengan
Jakarta tak terlalu jauh bedanya meskipun memang
berbeda. Tapi dengan Cipanas? Betapa besar bedanya!
Dia menggeleng-gelengkan kepalanya dengan kesal
dan berharap tawar-menawar itu batal. Tapi perempuan
itu terus saja berceloteh dengan cerewetnya. Sungguh
menyebalkan.
Tiba-tiba saja Melanie tertegun. Ah, suara itu. Nadanya
yang tinggi terus menggelitiki benaknya lalu
menggugah ingatannya tentang masa lalu.
Dia mengawasi dengan tajam sekarang. Dengan leluasa
dia melakukannya karena tempatnya yang terlindung
sementara dia pun tak melayani siapa-siapa.
21 / 460 Perempuan di sana sebaya dengan ibunya. Itu kalau
melihat penampilannya. Tubuhnya agak
gemuk dan tak begitu tinggi. Mukanya masih
memperlihatkan sisa kecantikan di waktu muda.
Rambutnya hitam legam tapi hampir pasti tidak asli.
Melanie segera mengenali. Tak salah lagi. Perempuan
itu adalah sebagian dari masa lalunya. Dia adalah
Nyonya Dahlia, ibu Rifai!
Nama-nama itu muncul dalam ingatannya bagaikan
tusukan pisau menoreh luka lama. Lalu muncul pula
nama-nama lain. Banyak nama. Sesudah itu muncul
peristiwa-peristiwa. Semuanya seperti baru terjadi
kemarin. Tubuh Melanie gemetar seperti orang kedinginan. Dia
sangat marah dan benci kepada perempuan itu.
Bagaimana mungkin sekarang dia membiarkannya
mengambil sesuatu dari tempat ini, hasil perawatan dan
sentuhannya, walaupun itu dengan cara membeli?
Tanpa berpikir panjang dia berteriak, "Mang! Mang
Ateng! Maaaaang!"
Ateng terkejut. "Ada apa, Neng Anie?" tanyanya.
"Yang itu jangan dijual. Mang! Sudah dipesan orang!"
22 / 460 Ateng terheran-heran. Tapi perempuan di depannya
menggerutu, "Bilang kek dari tadi. Orang udah capekcapek nawar..."
Ateng cepat-cepat menghampiri Melanie. "Apa bener.
Neng? Kok saya nggak tahu," katanya pelan.
Melanie menjawab pelan juga, "Pokoknya saya nggak
mau dia sampai membeli apa pun dari sini, Mang!
Kasih alasan apa saja supaya dia nggak beli!"
"Tapi..."
"Ayolah, Mang. Saya benci dia!"
Kata-kata yang diucapkan dengan penuh perasaan itu
cukup membuat Ateng tak bertanya-tanya lagi. Dia
berbalik untuk kembali. Tapi perempuan itu sudah
menyusulnya.
Kini kedua wanita itu berhadapan muka.
Melanie tak mau menyembunyikan perasaannya.
Segalanya tampak di wajahnya. Dia menatap
perempuan itu seakan mau menelannya bulat-bulat.
Mulanya perempuan itu keheranan. Dia juga kaget dan
marah oleh perlakuan yang dirasanya tak masuk akal
itu. Tapi kemudian dia mengenali. Serta-merta
wajahnya berubah warna.
"Kamu... kamu... Melanie?" tanyanya gugup.
23 / 460 "Betul. Sekarang, silakan Tante cepat pergi dari sini!"
Nyonya Dahlia, perempuan itu, kian merah mukanya
karena berang.
"Aku kan nggak tahu? Kalau sudah tahu sih nggak
bakalan aku menginjak tempat ini!" teriaknya.
Ateng terkejut melihat situasi itu lalu dia cepat-cepat
berlari ke rumah untuk memanggil Diah.
Nyonya Dahlia memelototi Melanie yang membalas
sambil berkacak pinggang. Sikap Melanie menantang,
siap berkelahi. Dengan kemudaan dan kesegarannya
dia tampak perkasa dan mustahil tertandingi oleh
Nyonya Dahlia.
Postur Melanie yang lumayan tinggi dan berisi serta
wajahnya yang manis dengan pipi yang memerah
karena emosi membuat Nyonya Dahlia segera
menyadari kekurangannya. Tapi hal itu juga membuat
dia penasaran.
"Ketahuilah, anakku juga menderita!" serunya.
"Oh ya? Syukur kalau begitu. Itu namanya hukum
karma," kata Melanie, sengaja menampakkan
kepuasan yang berlebihan.
Nyonya Dahlia sangat marah tapi juga tak berdaya.
Andaikan dia melihat seorang Melanie yang berbeda
mungkin sikapnya akan lain. Tapi keperkasaan
24 / 460 Melanie membuatnya kaget dan terpesona. Lalu
muncul rasa iri! Itulah yang tak tertahankan. Cepatcepat dia berlari ke luar. Tapi kemudian dia berpapasan
dengan Diah. Langkahnya terhenti.
Kedua wanita sebaya itu saling memandang dengan
sikap siaga. Lalu Diah mundur memberi jalan. Nyonya
Dahlia pun melesat pergi. Tak ada pertukaran kata
antara keduanya.
"Mama..., dia adalah...," Melanie tak meneruskan
karena kerongkongannya serasa tersumbat.
"Ya. Mama mengenalinya. Mau apa dia ke sini?" tanya
Diah khawatir.
Tiba-tiba keperkasaan Melanie tadi lenyap. Dia
menangis lalu masuk dalam pelukan ibunya.
"Sudahlah, An. Sudah," bujuk Diah. "Kenapa dia harus
muncul lagi, Ma?"
"Mau apa dia ke sini?"
"Dia mau beli suplir. Tapi saya larang Mang Ateng
menjual kepadanya. Lalu dia melihat saya. Saya
mengusirnya."
"Oh, jadi dia nggak tahu bahwa ini tempat kita.
Sudahlah."
25 / 460 "Tapi saya benci melihatnya. Kenapa kita mesti
dipertemukan lagi, Ma? Sudah begitu lama. Sudah
tujuh tahun."
Diah merenung sebentar. Ah, sudah tujuh tahun?
"Ya. Jakarta-Bogor memang sempit. Di mana saja bisa
ketemu."
"Tapi melihat dia rasanya jadi sakit lagi, Ma. Perih
rasanya. Periiiiih sekali."
Diah mendekap putrinya dengan rasa haru yang juga
membuat sakit. Padahal rasa sakit karena telah
mengorbankan kariernya sudah sembuh sama sekali.
26 / 460 III Tujuh tahun yang lalu, Melanie masih gadis remaja
berusia tujuh belas jalan delapan belas. Dia baru saja
lulus SLA.
Dia adalah gadis ceria yang memandang dunia
sekitarnya dengan penuh semangat dan optimisme.
Selama masa hidupnya dia cenderung memandang
ringan segala macam persoalan. Semua orang baikbaik saja kepadanya dan segala masalah pun akan
terselesaikan dengan sendirinya. Boleh dikata dia
memang tak pernah menghadapi persoalan pribadi
yang berat, karena selalu ada ibunya yang siap
membantu bahkan siap pula mengambil alih kalau bisa.
Satu-satunya persoalan terberat yang pernah
dihadapinya adalah ketika orangtuanya bercerai.
Ayahnya ternyata punya kekasih di luar rumah dan
ibunya tak bisa menerima hal itu. Apalagi ayahnya
terang-terangan menyatakan tak ingin melepaskan
kekasihnya. Kalau bisa, dia mau kedua-duanya. IDan
kalau toh dia harus melepaskan salah satu maka dia
lebih suka mempertahankan sang kekasih.
Ketika itu umur Melanie baru sepuluh tahun, tapi dia
cukup memahami persoalan itu. Dia memihak ibunya
27 / 460 dan diputuskan ikut ibunya. Selanjutnya dia bisa
melupakan ayahnya. Dia menganggap ayahnya pun
sudah melupakannya.
Dengan penampilannya yang ceria dan luwes Melanie
cukup populer dalam lingkup pergaulannya sesama
remaja. Dia punya banyak teman, cewek maupun
cowok. Dan dia pun mempunyai pacar, teman
sekelasnya bernama Rifai.
Di mata Diah, hubungan pacaran itu sama sekali tidak
serius. Itulah yang disebut cinta monyet yang segera
akan lenyap bila usia bertambah. Biasanya, istilah
pacaran bagi remaja dan bagi orang dewasa sangat
berbeda. Mungkin karena mereka memang maunya
yang ringan-ringan saja.
Karena anggapan itu Diah juga tidak mengkhawatirkan
timbulnya ekses dari hubungan semacam itu. Rifai
anak baik-baik, punya orang-tua terpandang. Demikian
pula teman-teman Melanie yang lain. Dia mengenal
orangtua mereka. Apalagi kalau pergi ke mana-mana
Melanie tak pernah berdua-dua saja. Dia pergi
berombongan dengan gengnya, termasuk Rifai. Dan
menurut Diah, cara demikian itu terbilang aman karena
tak ada keleluasaan untuk berbuat macam-macam
dibanding bila hanya berduaan. Yang satu tentunya
akan memperingatkan yang lain. Dan kalau yang satu
masa bodoh masih ada lagi yang lainnya.
28 / 460 Tapi jalan pikiran itu ternyata salah sama sekali.
Suatu ketika Melanie pergi menghadiri pesta ulang
tahun bersama gengnya. Mereka berangkat dengan dua
mobil. Salah satu dikendarai Rifai dan penumpangnya
termasuk Melanie. Demikian pula saat pulangnya.


Melanie Karya V. Lestari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Paling akhir di dalam mobil tinggal Melanie bersama
Rifai dan dua temannya lagi, yaitu Bakri dan Dino. Saat
itulah Dino mengajak mereka mampir ke rumahnya
karena dia mau memperlihatkan film bagus. Melanie
terpaksa ikut karena kalah suara sedang dia pun segan
pulang sendiri. Sebagai pacar tentunya Rifai-lah yang
harus mengantarnya pulang, sama seperti waktu
menjemput tadi.
Rifai mengatakan, takkan lama di rumah Dino. Dia
cuma ingin melihat sebentar. Tapi di rumah Dino yang
sepi itu mereka menjadi sangat leluasa dan keenakan
sementara film yang mereka tonton itu adalah film
porno. Melanie ikut pula melihat karena tak tahu mesti
berbuat apa, tapi kemudian dia tak sanggup lagi karena
merasa jijik. Dia memaksa Rifai untuk mengantarnya
pulang. Ketika tak berhasil dia mengancam. Tapi Rifai
tak mempedulikan. Demikian pula kedua temannya.
Mereka terus saja menonton dan kemudian minumminum.
29 / 460 Pada saat Melanie memutuskan untuk pulang sendiri
saja dengan taksi, tiba-tiba Rifai menyerangnya dengan
bantuan kedua temannya. Mereka menyergap dan
mendekapnya.
Melanie yang tak punya persangkaan jelek sedikit pun
tentu saja tak berdaya. Tapi dia sempat melawan
dengan segala dayanya. Dia berontak, mencakar,
menggigit, dan menyepak hingga ketiga anak muda itu
melakukan kekerasan. Akibatnya tubuh Melanie
dipenuhi memar dan luka-luka sedang bibirnya sobek
kena tampar. Tapi justru dengan luka-luka itu dia
memiliki bukti kuat bahwa dirinya memang
diperlakukan dengan kekerasan.
Melanie tak berdaya dan lunglai saja ketika diperkosa
oleh ketiga anak muda itu secara bergiliran. Tapi segera
setelah tenaganya berangsur pulih dan mendapat
kesempatan dia berlari ke luar rumah dan berteriak
meminta tolong. Penampilannya yang memelas cukup
mengundang kemarahan warga sekitar. Ketiga pemuda
digebuki lebih dulu sebelum diserahkan kepada polisi.
Visum dokter menguatkan laporan Melanie. Sama
sekali tidak ada pertanda bahwa perbuatan itu
dilakukan atas dasar suka sama suka seperti yang
dikemukakan oleh Rifai. Suatu pembelaan diri yang
klasik dan klise. Sesungguhnya dia dan kedua
temannya memang tidak menyangka sama sekali
30 / 460 bahwa Melanie akan bereaksi seperti itu. Mereka
mengira Melanie gadis jinak-jinak merpati yang
walaupun sedikit susah tapi bisa dikendalikan.
Mungkin dengan bujuk rayu atau sedikit ancaman.
Logika Rifai, "Dia gampang dan bisa dicium kok!"
Tapi tak terpikir olehnya, bahwa dicium dan diperkosa
itu jauh berbeda.
Melanie mengalami shock berat. Bukan saja dia
mengalami pukulan berat pada fisiknya, tapi lebihlebih pada mentalnya. Kehormatannya terampas,
martabatnya terinjak. Itu sudah jelas. Tapi dia seperti
tercampak dalam kegelapan yang membingungkan dan
mengerikan. Bagaimana
mungkin dia bisa
diperlakukan seperti itu oleh pacarnya yang katanya
cinta setengah mati padanya? Bagaimana mungkin dia
bisa diperlakukan sekeji itu padahal dia selalu baik
kepada setiap orang? Bahkan menyangka buruk perihal
orang lain pun dia tak pernah.
Pukulan bagi Diah adalah penyesalan. Dia yang salah.
Dia terlalu mempercayai Rifai sebagai anak baik-baik
dan anak orang terpandang. Dia tidak pernah
memberikan peringatan kepada Melanie tentang
kemungkinan bahaya seperti itu. Dia hanya
mengingatkan Melanie agar waspada terhadap orang
tak dikenal, tapi sama sekali tidak demikian halnya
terhadap orang yang dikenal apalagi terhadap pacar!
31 / 460 Pendeknya, dia tidak memberi apa-apa kepada Melanie
untuk menjaga diri.
Darmaji, mantan suaminya, menambah beban
mentalnya. Diah merasa bagaikan orang yang sudah
jatuh, tertimpa tangga pula. Darmaji memakinya
sebagai ibu yang tidak becus menjaga anak karena
terlalu mementingkan karier. Darmaji sepertinya
mensyukuri kegagalannya itu dan dengan demikian
seolah membalas kekesalannya dulu. Tapi caranya itu
ternyata tidak berhasil membuat Melanie menyukai
nya. Malah sebaliknya.
Bagi Melanie, semua lelaki di dunia berubah menjadi
orang-orang yang patut diwaspadai. Semua, kecuali
satu, yaitu kakeknya.
*** Tuntutan Melanie, dengan dukungan Diah sepenuhnya,
membuat keluarga ketiga anak muda menjadi resah.
Lalu mereka berusaha dengan segala cara untuk
membuat Melanie menarik tuntutan dan bersedia
menyelesaikan masalahnya dengan cara damai. Tapi
Melanie dan ibunya menolak mentah-mentah.
Pendeknya, yang bersalah harus dihukum.
"Pikir panjang dong, Bu. Bila perkara itu sampai
disidang, yang akan malu adalah anak Ibu. Dia akan
dikenal ke mana-mana sebagai perempuan yang sudah
32 / 460 cemar," demikian
mempengaruhi Diah.
Nyonya Dahlia mencoba "Yang mencemari adalah anak Ibu. Yang akan terkenal
sebagai bandit pemerkosa adalah anak Ibu," Diah
membalas. "Anak Ibu itu tidak akan laku lagi. Dia sudah rusak,"
cemooh Nyonya Dahlia.
"Yang rusak dan bejat adalah anak Ibu. Ah, Ibu ini
kejam. Tidakkah Ibu sebagai sesama perempuan bisa
ikut merasakan apa yang diderita anak saya? Tapi Ibu
cuma membela anak Ibu sendiri."
"Tentu saja. Setiap orang akan berbuat demikian. Itulah
naluri orangtua."
Kemudian ternyata yang paling gigih membela
anaknya adalah Nyonya Dahlia. Yang lainnya sudah
pasrah merelakan anaknya dihukum. Sementara ayah
Rifai berusaha membujuk dengan jumlah uang yang
besar. Tapi itu pun ditolak. Tak ada kompromi.
Kalau saja Melanie mundur, mungkin Diah pun akan
ikut pula goyah. Tapi Melanie sudah bertekad. Dan
kakeknya ikut pula mendukung. Itulah pertama kalinya
Diah menyadari betapa putrinya memiliki kekerasan
hati. Dan juga dendam.
33 / 460 Tapi yang mengkhawatirkan Diah bukan soal itu
melainkan perubahan sikap dan kepribadian Melanie
yang drastis. Dia jadi pemurung, pendiam, pelamun,
dan sekali waktu secara tiba-tiba bisa menangis sedih
sekali. Canda, celoteh, dan tawanya yang riang lenyap.
Bahkan adakalanya dia seperti orang pikun yang cepat
lupa. Tapi bila ditanya soal tuntutannya kepada Rifai
cs, maka dia menjadi sigap dan berkata dengan tegas
bahwa dia tidak akan mundur. Mereka harus dihukum.
Mereka harus masuk penjara, begitu tekadnya.
Diah sangat takut kalau-kalau Melanie terganggu
jiwanya. Dia pernah mendengar kasus seorang korban
perkosaan yang menjadi gila dan tak bisa
disembuhkan. Bagaimana kalau Melanie menjadi
seperti itu? Lalu dia membawa Melanie ke psikiater
yang menganjurkan agar dia memberinya perhatian
penuh dan menemaninya terus. Melanie perlu teman,
perlu simpati dan empati. Tapi jangan mengasihaninya
hingga dia menganggap dirinya tak utuh lagi. Ajaklah
dia berbicara dan terus bicara biarpun tak disahuti. Tapi
jangan mengatakan bahwa kasus itu tak seberapa berat
karena ada orang lain yang mengalami lebih berat lagi.
Dan masih banyak lagi saran serta anjuran sang dokter
hingga Diah merasa bahunya keberatan menanggung
beban. Sanggupkah dia? Tapi masalahnya bukan
sanggup atau tidak melainkan harus. Tak ada pilihan
lain. Tak ada orang lain.
34 / 460 Akhirnya Diah melepaskan karier yang disayanginya.
Pak Budi setuju bahkan mendukung keputusannya.
Hasil dari kebun pisangnya lebih dari cukup untuk
membiayai mereka berdua, katanya. Apalagi kebun
dan isinya itu milik mereka juga. Mereka yang akan
mewarisinya. Sama saja.
Tapi bagi Diah masalahnya memang bukan soal biaya
hidup melainkan diri Melanie semata-mata. Dia cukup
menyadari, bahwa apa dan bagaimanapun usahanya,
tetap Melanie sendirilah yang menentukan. Pada
akhirnya akan tergantung kepada Melanie seorang.
Kuatkah dia? Mampukah dia mengatasi?
Pertanyaan itu terus mengganggu dan merisaukan
pikirannya hingga Diah merasa dirinyalah yang bisa
menjadi gila!
Beban mental bertambah ketika kemudian hasil
pemeriksaan dokter menunjukkan bahwa Melanie
positif terkena GO atau biasa disebut penyakit kencing
nanah, yaitu penyakit yang populer di kalangan WTS
dan hidung belang. Tentu saja ketiga pemerkosa segera
diperiksa juga. Mereka jelas terkena karena saling
berkaitan. Tapi sumber penularan pertama adalah
Rifai. Dan itu memang cocok karena Rifai-lah
pemerkosa yang pertama.
35 / 460 Kenyataan itu semakin jelas menunjukkan bahwa Rifai
sebenarnya bukanlah anak baik-baik seperti dugaan
Diah. Tapi dia merasa heran karena tampaknya
orangtua Rifai tidak merasa terguncang oleh hal itu.
"Dia toh lelaki. Dan penyakit itu lumrah bagi lelaki.
Obat ampuh untuk itu banyak," tantang Nyonya
Dahlia. Diah heran, takjub, dan marah atas sanggahan itu. Kok
ada perempuan yang berpendirian seperti itu? Hanya
karena anggapan bahwa lelaki itu tidak rusak karena
petualangan seksnya maka dibiarkannya anaknya
sebebas kuda! Kenapa tak diajarnya untuk melulu
bertualang di kompleks lokalisasi WTS saja? Jangan
merusak gadis baik-baik!
*** Masa sidang juga. merupakan masa terberat bagi
keluarga Melanie. Dalam keadaan itu mereka
menyadari, bahwa mereka tidak punya privacy untuk
menderita dalam kesendirian. Kasusnya tidak lagi
bersifat pribadi. Banyak yang ingin tahu, lebih-lebih
mereka yang mencari sensasi dan keuntungan. Tapi
banyak pula intrik, ancaman, dan gangguan. Tentu dari
pihak lawan yang ingin membalas. Rasakan akibatnya
kalau tak mau berdamai.
36 / 460 Tapi sidangnya sendiri berjalan lancar tanpa
penundaan bertele-tele. Dan karena merupakan perkara
susila maka sebagian sidang itu tertutup untuk umum.
Ketika tiba giliran Nyonya Dahlia untuk didengar
keterangannya sebagai saksi, dia bercerita tentang
pribadi Melanie seperti apa yang dikenalnya selama
itu. Dia mengaku tahu bahwa Melanie adalah pacar
Rifai, tapi seperti halnya Diah, dia juga menyatakan
tidak menganggap serius hubungan itu. Karena itu
walaupun tidak setuju dan tidak menyukai Melanie dia
tidak menentang, karena yakin nanti toh akan berakhir
sendiri. Sementara alasannya tidak menyukai Melanie
adalah karena penilaiannya yang serba negatif tentang
gadis itu. Pendeknya dia menggambarkan sifat dan
perilaku Melanie demikian rupa hingga seperti perek!
Keterangan itu membuat Melanie menggigil karena
marah. Demikian pula Diah.
"Bohong, Ma!" desis Melanie.
"Sssst... Jangan keras-keras. Mama tahu, dia bohong."
Tentu saja Diah tahu bahwa Nyonya Dahlia memang
berbohong untuk menyelamatkan putranya. Melanie
bukan perek. Dan Nyonya Dahlia juga tahu itu. Bahkan
dalam perbincangannya pada suatu ketika dengan Diah
dia kerap memuji-muji Melanie sebagai gadis yang
baik dan sangat menyetujui hubungannya dengan
37 / 460 Rifai. Orang bisa menjadi baik kalau punya teman baik,
begitu alasannya. Tapi pada saat sidang itu segalanya
menjadi bertolak belakang. Tentu dengan harapan agar
perbuatan anaknya lebih dimaklumi.
"Semua lelaki gampang terangsang," katanya sok tahu.
"Jadi semestinya perempuannya yang tahu diri. Jangan
genit. Jangan memberi hati. Pendeknya, kasus ini
bukan kriminal melainkan kekhilafan semata. Anakanak itu masih muda. Darahnya panas..."
Ocehannya masih panjang lebar. Kalau saja tak
dihentikan hakim dia bisa berpidato sepanjang hari di
situ. Melanie sangat marah tapi dia cukup menyadari
ketakberdayaannya. Dia cuma bisa menyimpan
dendam. Sementara ketiga terdakwa sendiri mengakui semua
perbuatan mereka tanpa berbelit-belit. Tapi justru
pengakuan mereka itu membuat Melanie semakin sakit
hati. Bayangkan. Mereka sudah merencanakan hal itu
terhadap dirinya sejak sebelum berangkat ke pesta.
Segalanya sudah diatur. Mereka memang salah


Melanie Karya V. Lestari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

perkiraan tentang Melanie. Soalnya di antara para gadis
yang termasuk geng mereka ada beberapa gadis yang
mudah diajak bercinta. Dan pernah pula mereka ajak.
Lalu Rifai penasaran terhadap Melanie, apalagi setelah
38 / 460 kedua temannya itu memanas-manasi. Bagi Rifai,
pacar atau bukan tak lagi menjadi soal. Baginya istilah
pacar memang bukan sesuatu yang serius, dalam arti
tidak punya nilai yang patut dijunjung dengan respek.
Dengan kata lain, pacar cuma untuk hura-hura saja.
Dan kenapa dia mau menyertakan kedua temannya
dalam perbuatan itu adalah karena dia tak ingin
bertanggung jawab sendiri. Kesenangannya dibagi,
demikian pula tanggung jawabnya.
Melanie terbengong-bengong saja memahami hal itu.
Dia juga merasa aneh sekali. Jadi beginikah manusia?
Seperti inikah dunia?
Akhirnya vonis jatuh. Sidang dinyatakan terbuka lagi.
Para terdakwa dianggap terbukti bersalah melakukan
perkosaan. Mereka dijatuhi hukuman penjara selama
enam bulan sama rata.
Nyonya Dahlia meraung. Sedang ibu Bakri maupun ibu
Dino menunduk saja. Demikian pula ketiga bapak
terdakwa. Mereka menyembunyikan kepahitan dan
kesedihan. Walaupun cuma enam bulan tapi penjara
tetaplah penjara. Trauma dan aib bisa menyertai
penghuni atau bekas penghuni termasuk keluarganya
sampai lama sekali, dalam jangka waktu tak terbatas.
Sementara itu Melanie dan keluarganya tidak puas.
Bagi mereka, hukuman itu terlalu ringan. Sangat
39 / 460 ringan. Tapi hukum sudah ditegakkan. Keadilan sudah
diterapkan.
Nyatanya keadilan itu memang relatif.
40 / 460 IV Nyonya dahlia sangat berang. Kalau saja dia bisa dan
tahu sebelumnya, dia pun tak ingin dipertemukan
kembali dengan Melanie. Pertemuan itu bukan cuma
mengingatkannya akan masa lalu yang pahit, tapi juga
masa sekarang ini. Padahal dia ingin bersenangsenang. Dia ingin berjalan-jalan melupakan
kejengkelannya sejenak.
Sesudah berkunjung ke rumah familinya dia
bermaksud mencari tanaman yang indah-indah untuk
dipajang di teras rumahnya. Tiap hari dia akan
memandanginya sebagai pelipur lara. Dia sedang kesal.
Tapi sial betul. Sebegitu banyaknya pedagang tanaman
hias di kota Bogor, bahkan tak kurang yang di Jakarta
sendiri, kok dia malah kesasar di tempat si Melanie
sialan itu. Kenapa bisa begitu? Apa nasib?
Dari kaca spion sopir mencuri lihat wajah majikannya.
Dia ngeri melihat wajah cemberut yang membuat
nyalinya ciut. Nyata benar bedanya dibanding saat
berangkat. Ketika itu Nyonya Dahlia mengobrol
banyak dan cerita macam-macam. Bahkan
memberinya kue, yahg disuruhnya makan sambil
mengemudi. Sekarang tentu saja tidak lagi. Entah apa
yang dialaminya di tempat penjual tanaman tadi. Tak
41 / 460 satu pun tanaman dibelinya, padahal katanya akan
memborong tanaman yang bagus-bagus dan mahal.
Mungkin itu pula sebabnya kenapa dia pergi sendiri,
supaya ada tempat lega bagi tanaman yang akan
dibelinya. Tapi sang sopir cuma bisa menduga saja. Dia
tak berani bertanya.
Sementara itu Nyonya Dahlia asyik dengan pikirannya
sendiri. Bayangan Melanie seperti yang dilihatnya tadi
tak mau lenyap dari benaknya. Ternyata gadis itu masih
cantik seperti dulu. Malah lebih cantik lagi karena
tampak lebih dewasa dan matang. Dan betapa gagah
perkasanya dia ketika bertolak pinggang menantang
nya. Betapapun marah dan kesalnya mau tak mau dia
terpaksa mengagumi. Ya, ternyata musibah tujuh tahun
lalu itu tidak membuat Melanie loyo dan menua.
Apakah kehidupan bagi gadis itu sudah normal
sekarang? Apakah dia berhasil mengatasi dengan baik
tanpa cacat cedera mentalnya? Apakah dia sudah pulih
seratus persen? Tapi kalau memang sudah kenapa dia
dan ibunya tak kembali ke Jakarta? Dia tahu hal itu
karena pernah mengecek ke bank di mana Diah dulu
bekerja. Salah seorang di sana mengatakan bahwa Diah
sudah pergi dari Jakarta entah ke mana karena tak
pernah memberi alamatnya. Diah tak ingin diganggu,
katanya. 42 / 460 Bagi Nyonya Dahlia kabar itu menyenangkan.
Baginya, itu berarti Melanie dan ibunya melarikan diri
dari lingkungannya semula karena merasa malu. Jadi
mereka sesungguhnya tidaklah setegar sikap yang
mereka perlihatkan pada mulanya ketika gigih dengan
tuntutan itu.
Nyonya Dahlia merasa puas ketika itu. Tanpa pernah
bertemu dengan kedua ibu dan anak itu dia bebas
membayangkan macam-macam tentang keduanya.
Diah sudah mengorbankan kariernya yang tinggi dan
itu tentu suatu penderitaan. Sedang Melanie kabarnya
jadi langganan psikiater. Ah, akankah dia menjadi gila?
Nyonya Dahlia membayangkan seorang perempuan
yang rambutnya awut-awutan, bermuka kotor, dan
matanya liar. Dendamnya serasa terbalaskan dengan
angan-angan itu.
Tapi Melanie yang dilihatnya tadi bukan orang gila.
Wajahnya segar. Tubuhnya sehat berisi dan tatapannya
yang mengandung dendam itu tampak mantap dan
hidup. Kalau sudah gila dia pasti tak mampu
mengenalinya lagi. Sedang Diah yang dilihatnya pun
tidak memperlihatkan ciri-ciri orang yang menderita
selama bertahun-tahun. Diah sama sekali tidak kurus
kering dengan wajah menua. Jadi angan-angannya
selama ini salah semua.
43 / 460 Kebencian Nyonya Dahlia membara lagi. Lebih-lebih
setelah dia mengenang Rifai, sumber kejengkelannya
selama ini. Dia membandingkan Melanie dan Rifai.
Rasa iri yang tadi muncul ketika berhadapan dengan
Melanie kembali lagi. Sepertinya akibat buruk yang
harus ditanggung Rifai jauh lebih besar daripada derita
Melanie. Nyonya Dahlia sulit menerima hal itu. Ya,
kalau saja dulu Melanie mau menyelesaikan kasus itu
dengan cara damai.
Dia membayangkan Rifai. Putranya itu memang sudah
tumbuh menjadi pemuda yang gagah dan ganteng. Jauh
lebih gagah dan ganteng dibanding dulu ketika masih
remaja bengal. Sepintas lalu memang membanggakan,
apalagi bila dibawa jalan bersama. Tapi sesungguhnya
semua kelebihan itu hanyalah sesuatu yang tampak di
luar semata. Bagaimana dengan dalamnya? Isinya?
Minta ampun!
*** Utomo terkejut ketika istrinya pulang dengan marahmarah.
"Kenapa, Ma? Apa mobilnya tabrakan tadi?" tanyanya
cemas. Nyonya Dahlia membelalakkan matanya. "Yang Papa
ingat cuma mobil! Yang Papa sayangkan cuma mobil!"
katanya kesal.
44 / 460 "Habis apa..."
"Coba tebak, aku tadi ketemu siapa?" Utomo
menggelengkan kepala. Dia tidak mau main tebaktebakan.
"Si Melanie!" seru Dahlia.
Utomo mengerutkan keningnya. "Melanie siapa?"
tanyanya bingung.
"Lho, kok siapa? Memangnya Papa nggak ingat?"
Utomo menggelengkan kepala. Dia sungguh tak
berminat. Paling-paling itu nama seorang ibu atau
perempuan yang tak kalah judes dengan istrinya
sendiri. "Minta ampun, Pa! Kok nggak ingat sih!" seru Dahlia
penuh sesal. "Coba pikir peristiwa tujuh tahun yang
lalu."
Ingatan Utomo belum juga sampai ke sana. Dia perlu
menghitung dulu. Tahun sekarang dikurangi tujuh.
Tapi istrinya tak sabar menunggu.
"Ingat kasus si Rifai memperkosa Melanie?" katanya
keras-keras, tapi kemudian dia kaget sendiri. Aduh,
bagaimana kalau didengar pembantu?
Utomo tertegun. Tentu dia ingat. Hanya saja selama ini
dia berhasil melupakannya dan menyisihkannya sama
45 / 460 sekali dari pikirannya. Tujuh tahun memang lama dan
dia sudah cukup dipusingkan oleh pasang surut
perusahaannya. Belakangan ini memang cuma soal itu
yang jadi pusat perhatian dan kerja yang paling
disenanginya. Aib yang telah dicorengkan oleh Rifai
ingin ditebusnya dengan cara itu. Dia harus semakin
besar dan semakin kaya agar orang pun semakin segan
kepadanya. Dengan demikian dia bisa mengatasi aib
itu. Orang tak akan berani mengejek atau
merendahkannya. Dan mereka pun akan cepat
melupakan. Ternyata, yang jelas dialah yang cepat
melupakan.
"Ya. Habis mau apa lagi?" tanyanya pelan, penuh rasa
waswas. "Rupanya dia dan ibunya punya usaha tanaman hias.
Sialnya aku masuk ke sana. Mana aku tahu itu punya
dia. Kalau tahu kan nggak bakalan aku masuk," Dahlia
mengomel. "Ada apa sih? Aku nggak ngerti."
"Aku bermaksud membeli tanaman di situ. Waktu itu
yang melayani pembantunya. Eh, tiba-tiba dia muncul
lalu mengusirku dengan semena-mena! Sialan betul!
Dipikirnya aku mau membaik-baikinya dengan
membeli barangnya. Idih, amit-amit! Sungguh mati
aku nggak tahu. Coba kalau aku tahu..."
46 / 460 "Jadi cuma itu saja masalahnya?" tanya Utomo lega.
Dia sudah membayangkan akan kena aib lagi. Dulu
dari anak, sekarang dari istri. Trauma itu memang telah
membuatnya cemas secara berlebihan.
Tapi kata-katanya membuat istrinya semakin berang.
"Cuma itu, kata Papa? Aduh, itu kan penghinaan, Pa!
Masa aku diusir! Papa nggak tahu bagaimana si
Melanie itu melotot kepadaku sambil berkacak
pinggang. Ya, persis koboi mau duel. Sedang aku
terpaksa minggat seperti maling tertangkap basah yang
tidak bisa membela diri. Bayangkan, Pa! Malunya tak
kepalang. Padahal aku juga marah dan benci.
Benciiii...!"
Tiba-tiba Utomo tak tahan lagi. Dia tertawa geli. Ya,
dia bisa membayangkan bagaimana istrinya ketika itu.
Tapi dia malah geli. Ketika melihat wajah istrinya yang
merah padam baru dia berhenti tertawa.
"Sudahlah, Ma. Itu sudah lewat, kan? Masalahnya
sudah selesai. Jadi buat apa diungkit-ungkit lagi?
Pokoknya Mama nggak usah ke sana lagi. Penjual
tanaman kan banyak sekali. Di Jakarta juga banyak.
Buat apa cari yang jauh-jauh..."
Belum selesai Utomo bicara, Dahlia sudah memotong,
"Enak saja Papa ngomong. Memangnya siapa yang
mau ke sana lagi? Keterlaluan. Bukannya memberi
47 / 460 simpati dan membela, eh, malah menertawakan.
Senang ya, istri dibegitu-kan orang? Apalagi sama
Melanie itu."
"Sudahlah, Ma. Pusing..."
"Huh."
Tiba-tiba Utomo teringat sesuatu. Kecemasannya
muncul lagi.
"Ma, peristiwa itu terjadinya kan di dalam, ya?
Maksudku, di dalam kebun atau di pinggir jalan?"
Dahlia tak mengerti. "Tentu saja di dalam. Aku kan
sedang menawar tanaman."
"Jadi, banyak orang?"
"Nggak. Waktu itu kebetulan cuma aku sendiri. Orang
lain sih ada, cuma mereka agak jauh."
Utomo bernapas lega. Kalau memang begitu, tak ada
persoalan. Dia khawatir kalau-kalau ada yang melihat
lalu mengenali Dahlia. Tidakkah satu mulut saja sudah
cukup untuk menyebarluaskan cerita plus bumbu ke
mana-mana? Apalagi kalau mulut itu bawel.
Dahlia segera memahami. Dia menangis karena kesal.
"Jadi Papa lebih mementingkan rasa malu daripada
membela istri sendiri. Kalau aku ditelanjangi orang
48 / 460 pun' mungkin Papa nggak peduli," katanya sambil
terisak. "Bukan begitu, Ma. Habis mau kuapakan mereka itu?
Masa kita harus bikin perkara lagi. Sudahlah. Lupakan
saja," kata Utomo sebal. Sesungguhnya dia tahu bahwa
istrinya itu ingin dihibur dan diperlakukan manis.
Paling tidak dia diharapkan ikut marah dengan
melemparkan kecaman atau makian ke arah Melanie.
Kalau saja dia berbuat begitu kemungkinan besar
omelan istrinya tak sampai berkepanjangan. Tapi dia
tak ingin melakukannya. Dia tak suka ingatan tentang
masa lalu itu kembali lagi. Ya, khusus aib yang satu itu.
Dia kesal karena diingatkan.
Kedua orang itu begitu larut dalam emosi masingmasing hingga tak menyadari bahwa di balik dinding
ada seseorang yang tengah mendengarkan. Rifai alias
Tony. Rifai nama lama. Tony nama baru.


Melanie Karya V. Lestari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dia seorang pemuda bertubuh tinggi dan berwajah
tampan dengan hidung mancung dan kumis tipis. Suatu
wajah yang sudah berubah dibanding dulu karena
beberapa bagian tidak asli lagi karena sudah direparasi
di meja bedah ahli bedah plastik. Dulu dia memang
tampan, tapi sekarang lebih tampan lagi karena
hidungnya menjadi lebih mancung, tulang pipinya tak
terlalu tinggi, dan rahangnya tak lagi persegi. Apalagi
49 / 460 sekarang dihiasi dengan kumis yang rapi dan terawat
baik. Biasanya orang mereparasi wajah karena keharusan,
misalnya cacat oleh musibah. Tapi Rifai tidak
demikian. Wajahnya masih mulus sebelum dirombak.
Dia memang punya tujuan tertentu. Bukan untuk
menjadi lebih tampan, tapi semata-mata supaya
berubah dan tak dikenali orang lagi sebagai Rifai
pemerkosa yang pernah dipenjara!
Setahun setelah dia bebas dia dikirim orang-tuanya ke
Amerika, tepatnya kota Boston, untuk melanjutkan
pendidikannya di sana. Untuk bersekolah di Indonesia,
apalagi di Jakarta, dia sudah tak bersemangat lagi. Rasa
malu dan minder mengejarnya ke mana-mana. Dia
pikir semua orang mengenalinya.
Di sana dia mengganti namanya menjadi Tony, karena
namanya itu sulit disebut oleh orang sana. Jadi pada
mulanya penggantian nama itu memang diperlukan
karena situasi dan kondisi setempat. Tapi setelah tiba
saatnya dia harus kembali ke Indonesia dia enggan
berpisah dengan nama barunya karena dengan itu dia
akan lebih aman menyembunyikan diri dari kejaran
masa lalu.
Sebelum pulang ke Indonesia itulah dia mereparasi
wajahnya. Dengan demikian dia berharap akan
50 / 460 memperoleh kepercayaan diri yang lebih besar.
Dengan nama dan wajah baru dia akan memulai hidup
baru pula walaupun sesungguhnya dia tetap saja tak
bisa lepas dari akibat masa laiu.
Tapi dia tidak memberitahu apalagi konsultasi dulu
dengan kedua orangtuanya perihal reparasi wajahnya
itu. Biaya tak jadi soal baginya karena dia selalu
mendapat kiriman dana yang lebih dari cukup dan
kalaupun kurang dia bisa berbohong apa saja untuk
memperoleh tambahan.
Karena itu dia mengejutkan mereka ketika pulang.
Bahkan ibunya tidak percaya bahwa dia adalah Rifai.
Dikiranya dia seorang pemalsu yang mengaku-aku
untuk memperoleh keuntungan sementara Rifai asli
entah berada di mana. Ya, mungkin juga sudah
dibunuh, begitu khayalan mengerikan Dahlia.
Barulah dengan keterangan panjang lebar mengenai
masa kecil dan hal-hal pribadi lainnya yang hanya
diketahui mereka sekeluarga berikut bukti-bukti
tertulis berupa surat-surat dokter dan rumah sakit, Rifai
dapat meyakinkan orangtuanya. Tapi mereka juga
marah dan jengkel karena merasa dipermainkan dan
tidak dihargai. Alasan Rifai memang masuk akal, tapi
apa salahnya memberitahu dulu?
51 / 460 "Aku ingin membuat kejutan," begitu katanya dengan
senang, karena keraguan orangtuanya itu menandakan
bahwa perubahan wajahnya cukup sempurna. Bila
orang-orang yang begitu dekat dengannya saja susah
mengenalinya, apalagi orang lain.
Untung ijazah MBA-nya berhasil meredakan emosi
orangtuanya. Putra mereka yang dulu malas belajar dan
cuma punya keahlian dalam menyontek itu ternyata
bisa juga membawa pulang selembar ijazah. Apa pun
dan bagaimanapun cara mendapatkannya, sebuah gelar
tetaplah gelar.
Ketika itu dia baru saja pulang lewat pintu samping
yang langsung menuju kamarnya. Tapi orangtuanya
tidak mendengar karena terlalu asyik berdebat. Suarasuara mereka yang semula tak jelas menariknya untuk
keluar dari kamar sekadar ingin tahu. Sering kali bila
ada pertengkaran antara kedua orangtuanya dia selalu
berprasangka bahwa dirinyalah yang jadi bahan
pembicaraan.
Begitu nama Melanie disebut dia langsung tersentak.
Dia tak bisa melupakan nama itu. Dia benci semua
orang dengan nama itu, tak peduli siapa. Padahal di
Amerika cukup banyak wanita yang menyandang nama
itu dan mereka tentu saja tak tahu apa-apa tentang masa
lalunya. Dia sadar akan hal itu tapi tak bisa mengatasi.
Bahkan suatu ketika dia ingin sekali nonton sebuah
52 / 460 film bagus tapi terpaksa tak jadi hanya karena pemain
wanitanya bernama Melanie Griffith!
Nama itu punya hubungan dengan sakit dan deritanya
di penjara. Memang cuma enam bulan. Betapa
singkatnya bila dibanding dengan hukuman sepuluh,
dua puluh tahun, bahkan seumur hidup! Tapi biarpun
singkat baginya sungguh luar biasa. Pengalaman itu
pula yang telah mengubah dirinya hampir secara
keseluruhan, bukan cuma fisik dan mental tapi juga
selera seksnya!
Melanie adalah penyebabnya.
Sekarang dia memang bukan diingatkan kembali oleh
cerita ibunya, karena dia selalu ingat. Tapi cerita itu
mengobarkan kembali dendamnya. Kalau dulu
dendamnya berupa sesuatu yang semu karena objeknya
cuma sekadar nama yang kebetulan sama, maka
sekarang dendamnya menjadi nyata karena objeknya
nyata! Melanie telah dimunculkan kembali oleh cerita
ibunya. Keduanya telah dipertemukan walaupun samasama tak ingin. Jadi Melanie pun masih mendendam?
Rifai tak bisa memahami perempuan. Semua
perempuan termasuk ibunya. Dia menilai mereka
sebagai makhluk yang banyak tingkah, yang luar
dalamnya kerap berbeda. Di luar kelihatan centil, tapi
dalamnya ternyata kolot seperti nenek pingitan tempo
53 / 460 dulu. Sedang yang di luar kelihatan alim sebenarnya
mudah sekali diajak!
Dia tak mengerti kenapa Melanie perlu meributkan dan
membesar-besarkan kasus perkosaan itu. Bukankah dia
tak sampai mati atau cedera karenanya? Justru lukaluka dan memar itu didapatnya karena dia melawan.
Kenapa tidak rileks saja dan ikut menikmati? Kalau
teman-teman Melanie saja terbukti bisa dan mau
menikmatinya, kenapa dia tidak? Bukankah mereka
sama-sama perempuan?
Jadi sebenarnya tuntutan Melanie terlalu mengada-ada.
Balasan yang ditimpakan kepadanya sama sekali tidak
seimbang. Hukuman yang harus ditanggungnya terlalu
berat. Dan akibatnya harus pula ditanggungnya sampai
sekarang padahal sudah berlalu sekian lama. Entah
kapan akan berakhir.
Semestinyalah yang mendendam itu dia, bukan
Melanie. Rasa penasarannya muncul. Dia merasa
ditantang. Barangkali dia perlu juga membela ibunya?
54 / 460 V Rifai bergegas mencari Udin, sopirnya. Dia perlu
menanyakan
alamat Melanie karena bila menanyakannya kepada ibunya pasti akan ditanggapi
dengan kecurigaan. Dan dia harus segera
menanyakannya sebelum Udin yang terkadang agak
pikun itu melupakannya sama sekali.
"Tadi kan Pak Udin mengantar Ibu ke penjual tanaman
di Bogor. Nah, di mana itu?"
Udin masih ingat. "Oh, yang banyak pisangnya, ya
Den? Wah, pisangnya bagus-bagus betul. Banyak
sekali yang beli tuh," kenang Udin sambil
menyayangkan kenapa Nyonya Dahlia tidak ikut
membeli. Kalau saja sedang tidak uring-uringan pasti
dibelinya lalu dia pasti pula kebagian. Sebenarnya dia
sendiri sangat ingin membeli untuk oleh-oleh
keluarganya di rumah. Mungkin harganya murah. Tapi
dia menyadari di situ belinya harus per tandan, bukan
per sisir. Mana mungkin dia beli setandan.
"Ya, ya. Pokoknya tempat yang dikunjungi Ibu.
Memangnya ada berapa tempat yang didatanginya?"
tanya Rifai tak sabar.
55 / 460 "Cuma satu-satunya itu, Den. Dari situ terus pulang.
Padahal katanya mau borong tanaman. Tapi kalau Den
Rifai mau ke sana, biar saya antar," dia menawarkan
dengan bersemangat.
"Ah, nggak. Saya mau pergi sendiri saja. Ayo, Pak
Udin kasih tahu aja di mana. Kalau nggak ingat nama
jalannya, biar arahnya saja. Nanti saya bisa cari
sendiri."
Udin merasa kecewa. Tapi tak bisa membantah.
Terpaksa dia menjelaskan.
'Terima kasih, Pak. Tapi ingat, jangan kasih tahu Ibu
bahwa saya bertanya seperti itu, ya?"
Tiba-tiba Udin melihat celah harapan. "Kalau gitu,
beliin pisang dong, Den. Oleh-olehnya."
Rifai menatap jengkel. Baik yang besar maupun yang
kecil manusia itu selalu saja memeras bila melihat
peluang. "Iya deh! Awas kalau berani bilang-bilang!"
katanya terpaksa.
"Pisang raja, ya Den? Yang besaaaar!"
*** Mula-mula Rifai menelepon Bakri, salah satu teman
senasibnya dulu. Meskipun tak lagi akrab seperti dulu,
kadang-kadang mereka pernah juga bertemu entah
insidentil atau sengaja untuk urusan bisnis. Demikian
56 / 460 pula halnya dengan Dino. Pada saat-saat seperti itu tak
sekali pun mereka menyinggung apalagi membicara
kan kepuasan karena kedua temannya itu tidak
mengenalinya pada perjumpaan pertama.
"Hei, Bak, aku sudah tahu di mana dia sekarang," kata
Rifai. "Dia siapa?"
"Melanie."
Ada suara tersedak. Lalu pertanyaan pelan, "Lantas
kenapa?"
"Yuk kita kerjain dia?" tanya Rifai setengah mainmain.
Di sana diam sebentar. Lalu suaranya menjadi lebih
pelan lagi, "Apa maksudmu, Rif? Kayak dulu lagi?
Nggak ah. Kapok. Lagi pula kita kan sekarang nggak
kayak dulu lagi. Wah, nggak berani, Rif. Ingat dong.
Aku punya kerjaan dan punya keluarga. Bisa
berantakan tuh. Kamu juga. Masa nggak kapok sih."
Mulut Rifai merengut kesal. Sebenarnya dia pun cuma
menjajaki saja. Ingin tahu bagaimana tanggapan
temannya itu.
"Kamu nggak dendam?" tanyanya penasaran.
57 / 460 "Ala, sudahlah, Rif. Buat apa diungkit-ungkit? Biarpun
dendam juga nggak ada gunanya. Cuma merusak diri
sendiri nanti. Lebih baik kita mikirin yang sekarang
saja. Ngapain mengulang kesalahan yang sama. Toh
aku pikir, kita memang salah dulu."
Tentu saja kamu tidak merasa dendam karena kamu
tidak mengalami seperti aku, pikir Rifai jengkel. Bakri
normal dan hidup seperti orang normal lainnya. Punya
istri, punya anak, dan mungkin punya kekasih. Tapi
dia? Dia merasa tidak normal!
"Hei, Rif!" seru Bakri.
"Heh?"
"Kamu kan nggak serius, ya?"
'Tentu saja nggak. Aku cuma iseng saja."
"Syukurlah. Aku pikir..."
Rifai meletakkan telepon. Lalu dia menghubungi Dino.
Ternyata Dino pun sependapat dengan Bakri. Dia
sudah hidup normal, tenang dan damai. Jadi tidak mau
macam-macam. Kapok.
"Bila sudah berkeluarga, maka kita jadi punya
tanggung jawab, Rif. Mana berani macam-macam
kayak dulu. Karena itu sebaiknya kamu cepat-cepat
kawin! Dengan penampilanmu itu kamu bisa dapat
cewek hebat. Siapa sih yang nggak mau sama kamu?"
58 / 460 Ya, cewek mana yang tak mau, pikir Rifai sinis.
Masalahnya, dialah yang tak mau!
"Hei, Rif, apa Melanie masih cantik kayak dulu? Apa
dia sudah kawin?"
"Nggak tahu."
"Lho, kok nggak tahu?"
"Aku belum melihatnya. Ibuku yang
dengannya."
bertemu "Oh begitu. Tapi aku sarankan, sebaiknya kamu nggak
usah melihatnya."
"Kenapa?"
"Nanti dendammu bisa tersulut. Jangan, Rif."
Sekarang saja dendamku sudah tersulut, pikir Rifai.
Tapi dia justru ingin melihat Melanie lalu merasakan
dendam membakar dirinya. Bukankah Melanie dan
ibunya tidak akan mengenali dirinya lagi? Dia bukan
Rifai. Dia Tony!
*** Di tengah suasana ramai hari Minggu Rifai merasa
leluasa memperhatikan sekitarnya. Di situ nyaman dan


Melanie Karya V. Lestari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

segar dengan tanaman yang hijau dan bunga-bunga
indah aneka warna, pikirnya.
59 / 460 Dia belum melihat Melanie, tapi setelah menemukan
dan mengenali Diah, dia yakin bahwa tempat yang
didatanginya itu tidak salah. Dengan senang dia
melihat bahwa Diah sama sekali tidak mengenalinya.
Keadaan itu semakin mempertebal rasa percaya
dirinya. Lalu dia berpura-pura
disukainya.
mencari tanaman yang "Saya mencari tanaman untuk di teras. Bu," kata Rifai
ketika teringat akan keinginan ibunya. Dia akan
menyenangkan hati ibunya dengan membelikannya
tanaman yang indah-indah. Dan tentu saja ibunya tak
perlu tahu dari mana ia membelinya. Baginya sendiri
tak jadi soal apakah dia membelinya di situ atau di
tempat lain. Dia toh membeli bukan meminta.
Diah menunjukkan sekelompok tanaman. "Nah, yang
itu suka teduh. Cocok untuk di teras. Mas dari Jakarta,
kan? Ini tahan hawa panas. Kuping Gajah jenis baru.
Sedang in tuh. Mas," Diah mengoceh.
Tapi Rifai mengarahkan tatapannya kepada tanaman
suplir. Ibunya suka suplir. Lagi pula dia ingin berlamalama.
Diah memandangi dengan ragu-ragu. Sebagai seorang
penjual yang telah berpengalaman dia sadar sebaiknya
tak menghalangi niat pembeli walaupun pilihannya itu
60 / 460 salah. Yang penting harga cocok lalu barang dibawa.
Untuk selanjutnya bukan urusannya lagi. Apakah
tanaman itu akan mati karena salah urus atau salah
tempat mestinya tak perlu dipusingkannya. Tapi
kadang-kadang dia merasa sayang.
"Suplir yang indah, bukan? Nah, yang itu tahan panas.
Gampang pula tumbuhnya," Diah menunjuk.
Tapi Rifai tak mengarahkan tatapannya ke sana. Yang
gampang tumbuh pasti harganya murah. Padahal
ibunya lebih suka yang mahal meskipun susah
pemeliharaannya.
"Saya ingin lihat-lihat dulu, Bu," kata Rifai beberapa
saat kemudian.
"Oh, silakan. Kalau begitu saya tinggalkan dulu."
Rifai mengangguk
dikehendakinya.
senang. Memang itu yang Lalu dia melihat Melanie. Begitu melihatnya dari
kejauhan dia langsung mengenali. Melanie tak berubah
tapi toh berubah, pikirnya. Dia tak berubah karena
masih mudah dikenali. Wajahnya masih manis dan
segar. Demikian pula fisiknya. Bedanya dia kelihatan
lebih tinggi dan lebih berisi. Sehat sekali. Tapi yang
berubah adalah sikapnya yang lebih dewasa. Dan itu
membuatnya tampak menarik. Padahal dandanannya
sederhana. Tanpa make-up apa-apa dan pakaiannya
61 / 460 celana jeans lusuh dengan T-shirt yang warnanya sudah
pudar. Untuk sesaat Rifai serasa melihat gadis desa
yang polos. Tak ada ciri-ciri modern, manja, dan centil
seperti yang dulu diingatnya.
Rifai merasa seolah tersengat. Matanya membara lalu
basah. Penampilan Melanie yang begitu memikat sama
sekali tidak mampu menggodanya. Dia laki-laki tapi
tidak tertarik. Tak ada yang tergelitik dalam dirinya.
Darahnya dingin walaupun matanya membara. Tapi
bukan semata-mata karena dendam itu. Sudah sejak
lama perempuan tak lagi jadi makhluk menarik
untuknya. Bahkan ketika Melanie semakin dekat yang
segera terbayang bukanlah saat dia memperkosanya
dulu. Sebaliknya, yang terbayang adalah saat dia
diperkosa oleh sesama tahanan di dalam selnya. Ya,
dialah yang diperkosa. Bukan Melanie.
Sakit sekali mengingatnya. Tapi mau tak mau teringat
sendiri. Muncul begitu saja bersamaan dengan
mendekatnya Melanie. Ketika itu dia adalah napi
paling muda dan paling tampan. Dan paling disukai
hingga jadi rebutan. Saat-saat yang menjijikkan dan
menyakitkan. Dia takut dan menurut. Lama-kelamaan
dia pun menyesuaikan dirinya. Dia jadi terbiasa bahkan
sampai saat menjadi orang bebas. Sampai sekarang.
Dia, seorang gay!
62 / 460 Dan penyebabnya adalah Melanie. Kalau saja Melanie
mau diajak kompromi dulu, pasti dia tak akan menjadi
seperti sekarang ini. Dia akan normal seperti orang
lain. Bukankah setiap orang ingin disebut normal lalu
menjalani kehidupan dengan tenteram tanpa harus
berpura-pura dan sembunyi-sembunyi?
Di sebelah sana Diah menyenggol Melanie. "Lihatlah
anak muda itu," katanya pelan. "Tatapannya kok gitu,
ya? Seperti orang melamun."
"Mungkin lagi memikirkan tanaman apa yang cocok
untuk rumahnya," sahut Melanie acuh tak acuh.
"Pergilah kamu layani dia. Gantiin Mama."
"Segan ah. Biar Mang Ateng saja deh."
"Mang Ateng kan lagi melayani orang lain. Dia sibuk
tuh. Mama mau ke belakang dulu."
Dengan terpaksa Melanie mendekati Rifai.
"Sudah ketemu pilihannya, Mas?" tanyanya ramah.
Suatu keramahan khas penjual yang diperolehnya dari
pengalaman. Orang harus ramah kalau mau barangnya
laku dan punya reputasi baik.
"Mas...," tegur Melanie lagi melihat orang yang
ditanyainya itu masih saja bengong.
63 / 460 Rifai menoleh kaget. Dia segera kembali dari
lamunannya dan mengingatkan dirinya agar tidak
berbuat setolol itu lagi. Dia melihat tatap heran dan
sedikit ngeri di wajah Melanie. Mungkin dia disangka
kurang beres.
Mereka bertatapan beberapa saat lamanya sebelum
Melanie melengos duluan. Rifai yakin, tak ada kesan
mengenali dalam tatapan Melanie. Tapi Melanie
merasa heran. Dia memang sudah cukup sering dan
terbiasa terhadap tatap lelaki yang berlama-lama
kepadanya. Tatapan yang mengagumi dan kemudian
menggoda. Tapi kali ini nalurinya mengatakan lain.
Ada sesuatu yang lain dari biasanya. Sepertinya tatapan
itu tajam menyelidik dan dingin. Tapi mungkin juga
cuma perasaan saja. Toh dia segera bersikap waspada.
Lalu mengambil jarak yang aman. Pendeknya jangan
terlalu dekat hingga dia tak punya kesempatan untuk
lari. Padahal selama tugasnya melayani pembeli belum
pernah dia bersikap seperti itu. Biasanya santai saja
karena biasanya orang-orang yang datang pun baikbaik saja.
Saat bereaksi demikian sesuatu menggugah bawah
sadarnya. Pada suatu ketika dia tidak sempat berjagajaga seperti itu hingga dia tak bisa membela dirinya.
Sebelumnya dia memang tidak pernah merasa
terancam. Peringatan muncul tanpa sadar. Orang tak
64 / 460 boleh mengulang kesalahan yang sama. Dia merasa
aneh tapi tak punya banyak waktu untuk merenungkan
hal itu. Rifai tersenyum sambil mengangguk kepada Melanie.
Tatapannya pun berubah ramah dan lembut hingga
Melanie meragukan kesannya tadi.
"Oh..., saya begitu mengagumi tanaman yang indahindah itu hingga rasanya seperti di Taman Firdaus,"
puji Rifai.
Melanie tersenyum canggung. Seingat dia, belum
pernah ada orang yang menyamakan kebunnya dengan
Taman Firdaus. Tapi dia curiga, jangan-jangan orang
seperti ini tidak serius mau membeli. Maunya cuma
melihat-lihat dan mengobrol kosong saja. Mentangmentang yang melayaninya perempuan muda. Lagi
pula biasanya pembeli serius itu kaum wanita. Dan
kalaupun ada lelaki biasanya mereka yang sudah
tergolong tua. Mungkin kurang kerjaan.
"Mas suka yang mana?" dia bertanya dengan nada
mendesak. "Wah, kalau saya sih suka semuanya. Tapi saya mau
membeli bukan untuk diri saya sendiri. Kalau memang
begitu, bisa jadi saya membeli semuanya," Rifai
tertawa sendiri membayangkan bila hal itu benar
terjadi. Tentu dia punya cukup uang untuk itu. Maka
65 / 460 kebun ini tentunya akan kosong-melompong. Gundul.
Tapi dia segera berhenti tertawa ketika melihat wajah
jengkel Melanie. Pasti Melanie menyangka dia cuma
berbual saja. Cepat-cepat dia menyambung, "Saya mau
membeli untuk ibu saya. Dia sendiri nggak bisa ikut.
Sukanya sih suplir atau tanaman apa saja yang bagus
untuk di teras. Pokoknya yang benar-benar bagus dan
istimewa. Harga tak jadi soal. Yang penting tanaman
itu bukan jenis yang bisa dimiliki sembarang orang."
Melanie mendengarkan dengan bosan sambil berharap
ibunya cepat kembali untuk menggantikannya. Tapi
kemudian dia melihat ibunya mulai melayani orang
lain. Dia mengeluh dalam hati.
"Suplir harus di tempat teduh, Mas," katanya, tapi
kemudian terpikir, untuk apa capek-capek mengajari.
"Di teras?"
"Ya. Nah, yang sebelah sana jenis mahal. Dan sebelah
sini yang murahan karena tumbuhnya gampang.
Menurut saya sih..." Melanie tak meneruskan karena
segera timbul sesalnya kenapa harus bicara
berpanjang-panjang. Belum tentu orang ini membeli.
Dan kalaupun nanti membeli paling-paling cuma satu
pot yang berharga murah.
"Menurut Anda gimana?" tanya Rifai. Dia memang
lebih senang berlama-lama supaya mendapat
66 / 460 kesempatan untuk mempelajari Melanie. Dia pun
merasakannya sebagai permainan yang menyenang
kan. Cuma dia yang mengenali Melanie sedang gadis
itu tidak berprasangka sedikit pun. Itu saja terasa
sebagai kemenangan.
Terpaksa Melanie mengeluarkan pendapatnya,
"Menurut saya, yang murah dan gampang dipelihara
itu lebih bagus. Bukankah tanaman yang indah dilihat
itu adalah yang subur dan sehat? Sedang yang mahal
tapi susah dipelihara itu lama-lama bisa tampak jelek
dan merana kalau salah urus dan salah tempat.
Akhirnya bisa mati. Kan sayang tuh."
"Anda betul. Saya sependapat. Tapi maunya ibu saya
lain. Kalau yang mahal itu kan gengsi, Zus. Apalagi
ditaruhnya di teras. Bisa dibanggakan. Kalau jelek atau
mati gampang. Ganti saja dengan yang baru. Penjual
yang untung, kan?"
Melanie tersenyum kaku. "Jadi Anda mau yang
mana?"
Rifai menjatuhkan pilihannya. Lima pot yang besarbesar. Tawar-menawar berlangsung singkat. Rifai
tidak cerewet, hingga Melanie sempat menyesal
kenapa dia tidak menaikkan harganya. Kelima pot itu
dibeli dengan harga lebih dari seratus ribu rupiah.
67 / 460 Lalu Melanie memanggil Ujang, seorang cucu Ateng
yang datang membantu pada hari Minggu, untuk
mengangkut pot-pot itu ke mobil Rifai. Ujang
menggunakan gerobak kecil supaya praktis dan tak
usah bolak-balik. Dari situ sampai ke tepi jalan di mana
mobil diparkir cukup jauh jaraknya.
"Terima kasih," kata Melanie.
Tapi Rifai mengulurkan tangannya. "Kenalkan. Nama
saya Tony. Dan Anda?"
"Melanie."
Ah, dia tidak mengganti namanya, pikir Rifai.
"Ngomong-ngomong, Anda sudah lama tinggal di
sini?" tanyanya.
"Ya. Sudah," jawab Melanie segan. Tentu dia harus
tetap melayani dengan ramah. Apalagi orang ini
seorang pembeli yang royal. Dia juga khawatir kalaukalau jual-beli itu batal. Siapa tahu. Orang yang aneh
bisa berbuat apa saja. Sayang betul bila uang yang
sudah di tangan itu sampai lepas. Dia sudah sangat
ingin membanggakan hasil jualannya itu kepada
ibunya. "Jadi Anda lahir di sini?" tanya Rifai lagi.
"Oh, nggak. Saya dilahirkan di rumah sakit."
68 / 460 Rifai tertawa lepas. Ujang yang sabar menunggu
dengan gerobaknya ikut pula tertawa.
"Ya, tentu saja. Maksud saya, di kota Bogor ini atau di
mana," Rifai memperbaiki. Sesungguhnya dia belum
puas bicara.
"Di Jakarta," sahut Melanie.
"Oh, jadi dulu tinggal di Jakarta? Di sana saya punya
beberapa teman yang namanya juga Melanie," kata
Rifai sambil memperhatikan wajah Melanie.
Tapi Melanie tidak memperlihatkan perubahan apaapa. "Nama itu memang banyak yang punya. Bukan
nama langka," sahutnya masa bodoh.
"Tentu saja. Tapi yang seperti Anda pasti hanya ada
satu," Rifai mencoba rayuannya.
"Memang betul," kata Melanie, tetap dengan sikap
masa bodohnya. Dia belum merasa aman kalau orang
ini belum lenyap dari pandangan matanya.
"Nah, kalau begitu saya pamit dulu. Kalau tanaman itu
rusak atau mati saya akan ke sini lagi untuk membeli


Melanie Karya V. Lestari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang baru. Boleh, Zus?" tanya Rifai dengan
senyumnya yang menawan.
"Tentu saja boleh. Nanti saya sediakan yang paling
mahal di dunia," kata Melanie tertawa.
69 / 460 "Betul, ya?"
Melanie bernapas lega ketika Rifai berjalan pergi
sambil diikuti Ujang dengan gerobaknya. Tapi
kemudian Rifai berbalik lagi ke arahnya. Segera
Melanie jadi berdebar. Mungkinkah pembelian itu mau
dibatalkan?
"Saya mau beli pisang juga, Zus Melanie. Kabarnya di
sini pisangnya bagus. Sudah terkenal lho."
Kembali Melanie merasa lega. "Kebunnya di sebelah
sana, Mas. Ujang saja yang antar. Gerobaknya
ditinggalkan di situ dulu," katanya senang.
"Nggak sama Anda saja? Nanti di sana saya belinya
sama siapa?" tanya Rifai ketika melihat Melanie tak
ikut mengantarkan.
"Di sana ada yang jaga kok. Silakan."
Begitu Rifai melangkah ke arah kebun pisang, Melanie
segera berlari mencari ibunya. Jangan sampai lelaki itu
kembali lagi kepadanya.
Tapi di belakangnya Rifai menoleh ke arahnya. Dia
sempat melihat sosok Melanie berlari menjauh sampai
kemudian lenyap di balik pepohonan. Tiba-tiba dia
merasa Melanie tidak tertarik kepadanya. Padahal dia
sudah bersusah-payah menampakkan perhatian dan
sedikit rayuan. Adakah sesuatu yang salah pada
70 / 460 dirinya? Tak mungkin kalau dia dianggap kurang
tampan atau kurang gagah. Atau ke-homo-annya
tampak? Tapi dia yakin tidak. Dia toh bukan waria.
Tiba-tiba saja dia merasa penasaran. Sejak musibah itu
dia tak pernah lagi merayu perempuan padahal begitu
banyak perempuan mencoba menarik perhatiannya,
bahkan tak kurang yang berani menggodanya terangterangan. Memang mustahil. Semua perempuan sudah
menjadi kuntilanak di matanya.
Sekarang dia mencoba walaupun bertentangan dengan
perasaan dan seleranya. Seperti orang tak doyan ikan
tapi memaksa diri memakannya hingga akhirnya jadi
muak dan kepingin muntah. Tapi toh usahanya itu tidak
berhasil. Dia merasa marah dan terhina. Ataukah dia
berharap terlalu banyak?
"Jang, Non Melanie itu sudah kawin atau belum?"
tanyanya kepada Ujang walaupun dia tidak melihat
adanya cincin di jari manis Melanie. Toh ada tidaknya
cincin bukan kepastian.
Ujang menggelengkan kepala. "Belum, Pak."
"Tunangan? Pacar?"
Ujang menggeleng lagi. "Nggak tahu. Pak. Tapi...
kayaknya sih belum."
Begitu saja muncul pertanyaan di benak Rifai. Kenapa
Melanie masih sendiri saja padahal dia
71 / 460 cantik dan menarik? Pasti tak kurang lelaki yang
tertarik kepadanya. Apalagi bagi perempuan biasanya
soal kawin itu penting. Mungkinkah para lelaki itu
mundur semua begitu mengetahui masa lalu Melanie?
Rifai tersenyum membayangkan kemungkinan itu.
Kalau memang benar demikian mungkin masih ada
harapan untuknya. Dia bisa membalas dendam sambil
bermain-main!
72 / 460 VI Diah tersenyum melihat kegembiraan Melanie. Tapi
dia juga sekaligus merasa haru. Melanie cepat sekali
merasa gembira untuk hal-hal kecil. Dia pun cepat
puas. Terlalu cepat puas. Mungkin itu pula sebabnya
kenapa dia seperti tidak punya ambisi atau keinginan
untuk melakukan sesuatu yang besar untuk dirinya
sendiri. Hanya satu hal yang menarik minatnya, yaitu
tanaman. Kalaupun dia masih punya ambisi maka
cuma seputar itulah yang ditekuninya.
Dengan cara hidup seperti itu Melanie seperti
berkurung di kebun, terasing dari dunia luar. Pada
mulanya Diah mengkhawatirkan hal itu karena
menganggap cara itu terlalu ekstrem. Terlalu drastis
perubahannya. Melanie yang dulu begitu lincah, ceria,
dan senang bergaul itu berubah jadi suka menyendiri
dan menyenangi tanaman yang dulu tak pernah
menarik minatnya sedikit pun.
Lalu Diah mengajak Melanie untuk berkonsultasi lagi
dengan psikiater yang pernah menanganinya. Mulamula Melanie segan karena merasa tak ada problem.
Tapi setelah dibujuk dia mau juga.
73 / 460 Selanjurnya dokter itu menyatakan bahwa Melanie
cukup sehat jiwa dan raganya. "Dia sudah menemukan
cara untuk mengalihkan kesedihan dan frustrasinya.
Cintanya kepada tanaman tumbuh bukan karena
paksaan. Pada mulanya memang karena tak ada pilihan
lain, tapi kemudian dia menyukainya. Itu bagus sekali.
Dan sangat sehat. Tak banyak orang yang bisa
menemukan pengalihan seperti itu hingga tertekan
terus. Kalaupun masih ada trauma masa lalu itu wajar
saja asal tidak berlebihan. Dan kalau dia memang
mencintai bidangnya kenapa tak dianjurkan kuliah di
IPB saja? Dengan demikian dia bisa bergaul kembali
dengan kawan sebayanya," demikian anjurannya.
Diah semakin mempercayai kata-kata itu ketika
beberapa kali melihat kebahagiaan di wajah Melanie
saat dia asyik menekuni tanamannya. Kegembiraan
Diah bertambah ketika Melanie setuju untuk kuliah.
Timbul optimismenya bahwa segala sesuatunya akan
kembali normal.
Tapi Melanie hanya setahun mengikuti kuliah. Setelah
itu ditinggalkannya begitu saja dengan alasan bosan
dan cuma menghabiskan waktu dengan teori melulu.
"Saya mau otodidak saja, Ma. Enakan belajar sendiri.
Buku-buku kan banyak," kata Melanie. Dan dia-pun
melaksanakan keinginannya itu.
74 / 460 Tapi Diah mencurigai adanya alasan lain di balik
keinginan Melanie itu. Sesungguhnya Melanie ingin
menghindari pergaulan dengan kaum sebayanya,
terutama para prianya. Banyak yang menaksirnya dan
ingin melanjutkan hubungan, tapi dia menutup diri.
Bila ada yang mencarinya ke rumah dia bersembunyi.
Diah mencoba membicarakan soal itu, tapi Melanie
hanya mengatakan bahwa dia tak menyukai lingkungan
pergaulannya itu. Dia sebal. Itu saja. Diah tak berani
menasihati atau membujuk. Dia takut akibatnya akan
menyakitkan Melanie. Sesungguhnya dia memang
tidak tahu apa yang tengah dirasakan Melanie. Dia
hanya bisa meraba-raba tapi tak bisa tahu persis.
Daripada salah bicara lebih baik diam. Jangan meminta
terlalu banyak. Jangan menambah beban. Biarkanlah
Melanie bahagia dengan caranya sendiri.
Diah berharap waktu yang berlalu akan memulihkan
kondisi Melanie. Pada suatu saat Melanie akan kembali
seperti dulu. Tapi tahun demi tahun berlalu ternyata
Melanie tetap saja seperti itu. Dia meneruskan
keasyikannya berkutat dengan buku, tanaman, tanah,
dan cacing.
Sesungguhnya Diah mengakui bahwa kegiatan di
kebun itu memberi ketenangan dan ketenteraman jiwa.
Dia membuktikannya sendiri. Dan dia menyukainya
juga. Tapi dia tidak menjadikannya sebagai satu75 / 460
satunya kegiatan dalam hidupnya. Masih banyak yang
lain. Dan yang satu itu cuma selingan. Tapi Melanie
seperti tidak membutuhkan yang lain.
Ternyata walaupun Melanie bersembunyi seperti itu
ada saja pria yang melihatnya lalu tertarik dan ingin
serius. Mereka itu adalah orang-orang yang kebetulan
datang untuk membeli pisang atau tanaman. Dan setiap
kali Diah mengamati perkembangannya dengan
ketegangan tersendiri. Tapi dia membatasi diri dengan
melihat saja tanpa berani mendorong atau
menganjurkan ini itu. Takut salah.
Pernah ada saatnya Diah merasa gembira ketika
melihat Melanie memberi sambutan positif terhadap
perhatian seorang pria. Positif dalam arti mau menemui
dan berbincang-bincang berdua walaupun terbatas di
rumah saja. Diam-diam harapan Diah pun muncul dan
tumbuh. Tapi suatu kali dia mendengar pembicaraan kedua
insan itu di teras belakang rumah. Secara tak sengaja
dia mendengar walaupun dia tak ingin nguping. Dia
kaget. Ternyata Melanie sedang menceritakan masa
lalunya tanpa segan-segan. Lancar saja ceritanya. "Aku
harus berterus terang. Kamu harus tahu seperti inilah
diriku/' kata Melanie di akhir ceritanya.
76 / 460 Diah tak bisa melihat bagaimana wajah lawan bicara
Melanie. Dia juga tak mendengar apa yang dikatakan
nya karena dia buru-buru pergi. Tiba-tiba saja dia
merasa takut mendengar lebih banyak lagi. Aneh juga
rasanya, kenapa justru dia yang ketakutan. Toh dia
mengagumi keberanian dan keterusterangan Melanie.
Tapi dia juga menyesali. Kenapa harus secepat itu?
Apakah karena si pemuda juga cepat menyatakan
cinta? Setelah itu si pemuda tidak pernah muncul lagi. Diah
tak berani menanyakan kepada Melanie, tapi gadis itu
sendiri yang memberitahu.
"Dia pergi karena saya berterus terang, Ma. Yang dia
inginkan memang gadis yang belum pernah disentuh
lelaki. Yang dia pentingkan cuma fisik saja, Ma. Yang
masih orisinil. Bukan barang bekas!" katanya sengit.
Diah tertegun mendengarnya.
Sesudah peristiwa itu masih ada lagi beberapa kasus
serupa. Setiap kali Melanie "mengusir" pria
pengagumnya dengan cerita masa lalunya. "Lihat tuh,
Ma! Begitulah lelaki," kesimpulannya setiap kali.
Diah pun merasa kecewa tapi dia tak ingin
membenarkan pendapat Melanie, karena Melanie bisa
menjadi kian pesimis. Padahal dia sungguh berharap
bahwa suatu ketika Melanie akan berumah tangga. Dia
77 / 460 ingin melihat Melanie bahagia membentuk keluarga.
Tapi Melanie harus punya kepercayaan terhadap lelaki.
Tak semua lelaki seperti apa yang dikatakan Melanie
itu. "Mama, bukankah Mama sendiri pernah mengalami
kegagalan? Padahal hubungan Mama dan Papa
dulunya sebelum kawin mulus saja. Tak pernah ada
yang memperkosa Mama.
Tak pernah ada yang memacari Mama sebelum dengan
Papa. Toh akhirnya Papa nyeleweng juga. Dia
berkhianat. Tidak setia. Nah, buat apa kawin kalau
akhirnya toh cuma begitu saja?"
Terhadap ucapan itu Diah tak bisa menyahut. Ada
benarnya walaupun tidak semuanya benar. Akhirnya
dia menyimpulkan bahwa apa yang dilakukan Melanie
terhadap para pria itu semata-mata bukanlah demi
kejujuran melainkan untuk membuktikan kebenaran
penilaiannya tentang lelaki. Diam-diam dia berharap
akan ada lelaki yang bisa membantah pendapat itu.
Seorang lelaki ksatria yang berjiwa besar,
berpandangan luas, tidak egois, tidak kolot, tidak suka
menguasai, tidak memandang perempuan melulu
sebagai objek seks, dan... ah, masih banyak lagi.
Ternyata lelaki yang dia angan-angankan itu adalah
sosok ideal yang pernah dia harapkan untuk dirinya!
78 / 460 Sekarang muncul seorang pria bernama Tony. Mata
awas Diah melihat adanya perhatian dari pria itu
kepada Melanie. Dia jadi ingin tahu bagaimana
perkembangannya. Apakah kasusnya akan sama
seperti dulu? Ataukah Melanie keburu bosan untuk
mencoba lagi?
"Saya pikir orang itu agak aneh, Ma."
"Aneh bagaimana?"
"Nggak tahu. Matanya tuh."
"Kelihatannya suka melamun, bukan?"
"Barangkali sinting, Ma?" kata Melanie tertawa.
"Ah, masa iya."
Diah tak ingin memberikan pendapatnya sendiri, takut
mempengaruhi. Biarlah Melanie sendiri yang menilai
dan memutuskan. Tapi diam-diam dia menganggap
Tony terlalu tampan. Pantasnya jadi bintang film. Dan
biasanya jadi kejaran cewek. Apalagi kalau kaya. Ya,
tampaknya memang kaya. Jelas lelaki seperti itu
kurang memberi rasa aman kepada perempuan yang
jadi istrinya. Apalagi kalau pada dasarnya dia memang
playboy. Tapi dari pengalaman Diah tak ingin berpikir macammacam dulu. Tunggu dan lihat saja.
79 / 460 VII Dahlia sudah mendengar desas-desus yang
mengatakan bahwa Rifai seorang homo atau gay. Ada
saja yang menyampaikan walaupun Rifai berusaha
menyembunyikannya baik-baik dari pengetahuan
orangtuanya. . Hal itulah yang membuat Dahlia kesal.
Rifai adalah anak satu-satunya. Bagaimana jadinya
kalau Rifai melanjutkan cara hidup seperti itu? Dia
membayangkan Rifai tidak kawin-kawin. Bila
demikian halnya, bukankah mereka tidak akan
memperoleh keturunan? Tidak ada penerus generasi.
Tidak ada yang akan mewarisi harta kekayaan mereka


Melanie Karya V. Lestari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nanti. Ketika ditanyai, Rifai tidak membantah ataupun
mengiyakan. Dia hanya mengatakan, "Tenang saja,
Ma. Soal begitu nggak usah diributkan. Jangan
hubungkan dengan soal kawin. Kalau memang harus
kawin, ya saya akan kawin."
"Kawin sama siapa?"
"Siapa saja," jawab Rifai tak peduli.
"Sama sesamamu?" tanya Dahlia jengkel.
Rifai tak menyahut. Dia ngeloyor pergi.
80 / 460 Kemudian secara tiba-tiba Rifai membawakannya lima
pot suplir yang indah-indah. Dia heran tak kepalang.
Lalu menaruh curiga. Mungkin ada udang di balik batu.
Tidak biasanya Rifai berlaku penuh atensi seperti itu.
Dulu, waktu pulang dari Amerika pun dia tak pernah
ingat untuk membawakan oleh-oleh kalau tak dipesan
berulang kali.
"Saya kebetulan ke Bogor lalu melihat tanaman itu.
Terus saya ingat Mama."
"Jadi belinya di Bogor?" tanya Dahlia dengan tatap
selidik. Tentu dia ingat sekali akan pengalamannya di
kebun milik Melanie. Salah satu dari kelima suplir itu
pun mirip dengan jenis yang pernah ditawarnya di sana.
"Di Bogor sebelah mana?" tanyanya lagi.
"Wah, lupa. Saya nggak ingat nama jalannya.
Memangnya kenapa, Ma?"
"Ah, nggak apa-apa. Kepingin tahu aja."
"Mama seperti kaget?"
"Tentu saja. Nggak biasanya kamu berbuat begitu.
Aneh."
"Mama nggak senang?"
"Tentu saja senang."
"Kalau senang jangan mencurigai dong."
81 / 460 "Nggak deh," jawab Dahlia buru-buru. Tapi
perasaannya tetap tidak puas. Sekarang Rifai memang
tidak meminta sesuatu sebagai imbalan dari
kebaikannya itu. Tapi mungkin saja nanti.
Lalu Dahlia teringat kepada sopirnya.
"Pak Udin," panggilnya. "Apakah Pak Udin pernah
cerita kepada Den Rifai perihal kunjungan saya ke
penjual tanaman di Bogor itu?"
Udin pura-pura berpikir. Lalu dia menggelengkan
kepala. "Nggak, Bu. Buat apa saya cerita? Memangnya
kenapa, Bu?"
"Ya sudah. Nggak apa-apa."
Pasti ada sesuatu, pikir Udin. Tapi itu tentu bukan
urusannya. Dia sudah merasa puas dengan pisang yang
diberikan Rifai. Mulanya dia mengharapkan cukup
satu sisir saja. Ternyata Rifai memberi setandan. Dia
akan berpesta pisang di rumah. Goreng pisang, kolak
pisang, dan... dimakan segar juga lebih dari enak.
*** Minggu berikutnya Tony alias Rifai datang lagi ke
kebun Melanie. Kali ini dia tidak membeli tanaman
melainkan pupuk. Dan dia bertanya banyak. Tentu saja
kepada Melanie.
82 / 460 Dengan cerdik dia menghindar kalau didekati orang
lain, misalnya Diah atau Ateng. Dia mengatakan bahwa
dia masih ingin melihat-lihat dulu. Saat ditinggalkan
sendiri dia mencari-cari kesempatan untuk mendekati
Melanie. Mau tak mau Melanie terpaksa melayaninya
juga. "Saya senang sekali di sini, Zus. Segar benar hawanya.
Indah tanamannya," Rifai mulai dengan pujiannya. Ya,
mula-mula pujilah rumah lingkungannya, baru
menyusul yang lain-lainnya. Dia sudah memikirkan
dan merencanakan sebelumnya.
Melanie tertawa. "Kalau mau lebih segar mah
sebaiknya ke Kebun Raya saja, Mas," katanya geli.
Rifai tersipu. Tapi kemudian dia tak kekurangan akal.
"Kebun Raya? Ya, alangkah senangnya kalau ada yang
menemani. Barangkali Zus bersedia?"
Ketika melihat wajah Melanie menjadi masam, Rifai
cepat menyambung, "Maaf lho, Zus. Saya cuma
bercanda kok. Orang belum dikenal tidak sepantasnya
mengajak, bukan?"
"Sebetulnya Mas ke sini mau cari hawa segar atau mau
beli tanaman?" tanya Melanie agak judes. Tapi
kemudian dia menyesal. Semestinya dia lebih mampu
mengendalikan diri.
83 / 460 Rifai merasa telah salah langkah. Dia juga mulai kesal.
Apakah dirinya tak punya daya tarik sama sekali bagi
Melanie? Pikiran itu menimbulkan penasaran. Otaknya
berputar dengan cepat. Ah, bagaimana pula cara ampuh
merayu perempuan?
Tapi Melanie merasa kasihan melihat sikap Rifai yang
kikuk dan bingung. "Bagaimana tanaman suplir yang
Mas beli minggu lalu? Masih bagus?"
Rifai merasa lega. "Oh ya, masih. Biasanya berapa
lama tahannya, Zus?"
"Tahan sih tahan, cuma dalam penyesuaian dengan
iklim Jakarta dia akan menjadi kurang bagus. Tapi
yang penting adalah pemeliharaannya. Dan tentu saja
juga media tumbuhnya. Walaupun untuk sementara dia
menjadi kurang bagus tapi akan menjadi bagus kembali
bila pemeliharaan dan media tumbuhnya tepat. Oh ya,
Anda harus punya persediaan media tumbuh untuk
menambah atau mengganti bila menjadi kurang subur,"
Melanie memberi kuliah.
Rifai mendengarkan dengan serius.
"Terima kasih, Zus Melanie. Anda baik sekali.
Barangkali sebaiknya saya membeli bukunya saja.
Kalau kurang jelas bisa saya tanyakan pada Anda.
Apakah Anda sarjana pertanian?"
"Bukan. Apakah tampang saya seperti sarjana?"
84 / 460 "Ya. Seperti dosen."
Melanie tertawa.
Selanjutnya pembicaraan menjadi lancar. Melanie tak
lagi judes. Rifai pun senang. Dia sadar, pendekatan
yang harus dilakukannya bukan dengan rayuan
melainkan lewat tanaman!
Rifai yakin telah memperoleh kemajuan dalam usaha
pendekatannya. Secara rutin dia datang berkunjung
setiap hari Minggu. Akhirnya pada frekuensi
kunjungannya yang kesekian kali dia sudah diajak
untuk duduk di teras, tidak lagi berdiri di kebun
sepanjang waktu percakapan. Sesudah itu langkahnya
lebih maju lagi karena diajak makan siang bersama!
Walaupun demikian dia masih kurang puas.
Percakapan masih terbatas soal tanaman hingga dia pun
terpaksa membaca banyak buku tentang hal itu, supaya
tak sampai kehabisan bahan untuk dipercakapkan. Dia
khawatir kalau sampai kehabisan bahan maka dia pun
tak wel-come lagi di situ. Setidaknya itu tanggapan
Melanie karena gadis itu tampaknya tak suka rayuan
atau pembicaraan yang menjurus ke romantisme.
Sementara sikap Diah dan Pak Budi serta penghuni
lainnya ramah saja kepadanya.
Tentu saja dia tidak bermaksud menjadi seorang ahli
tanaman karena memang ,tak suka. Tapi apa boleh buat
85 / 460 kalau hal itu berguna sebagai batu loncatan untuk
mencapai tujuan. Jadi sebuah buku dibacanya seperti
anak sekolah mengerjakan PR untuk keesokan harinya.
Itulah bekal yang perlu dibawanya ke hadapan
Melanie. Menjengkelkan dan menggemaskan, tapi juga
menyenangkan karena perasaan bahwa ia berhasil
mengecoh Melanie dan keluarganya. Apalagi kalau
angan-angannya melambung lebih tinggi. Sekarang dia
memang harus bersusah-payah memikat Melanie
hingga jatuh hati kepadanya. Kalau bisa sampai habishabisan. Untuk itu dia akan mengeluarkan segala
kemampuannya merayu. Dan kalau sudah berhasil dia
akan pergi begitu saja. Selamat tinggal, Melanie!
Selamat tinggal, Perempuan!
Kalau saat itu tiba dia akan tertawa terbahak sendiri.
Dendamnya akan terpuaskan. Ya, itulah caranya
membalaskan dendam. Konon menghancurkan hati itu
lebih kejam daripada menghancurkan raga. Dan yang
seperti itu pun aman karena tidak tergolong tindak
kriminal. Bahkan sekarang pun, saat tujuannya belum lagi
tercapai, dia sudah merasa senang. Dendamnya serasa
terbalaskan sedikit demi sedikit. Melihat Melanie tak
berprasangka sedikit pun dan keluarganya sangat
ramah kepadanya telah memberi kepuasan itu, hingga
86 / 460 tentangan dan rasa muak yang pernah muncul
sebelumnya tak ada lagi.
*** Pada mulanya Dahlia cuma merasa heran saja melihat
setiap Minggu sore Rifai selalu membawa pulang
sesuatu untuk kebun mereka. Kalau bukan tanaman
hias, tentu pupuk. Bermacam-macam pupuk sudah
mereka miliki. Semuanya . menumpuk saja. Pembantu
mereka yang merangkap tukang kebun kebingungan
bagaimana memakainya. Ada yang cukup ditaburkan
di tanah, ada yang harus dilarutkan dengan sekian air,
ada pupuk untuk akar, ada lagi pupuk untuk daun. Dan
awas, kalau kebanyakan tanamannya malah mati. Jadi
paling aman adalah menyimpannya saja. Dan kalau
ditanya bilang saja sudah dipakai. Toh Rifai cuma
membeli tapi tak pernah terjun sendiri ke lapangan.
Lalu Dahlia memergoki Rifai membaca buku perihal
tanaman. Apakah itu berarti Rifai punya hobi baru? Ya,
mungkin demikian, pikirnya menghibur diri. Dan itu
tentu jauh lebih sehat daripada main-main di luar. Tapi
dia tetap merasa ganjil. Kalaupun itu suatu hobi
tentunya Rifai akan berusaha mempraktekkan apa yang
dibacanya. Tapi ini kok tidak. Dia tak pernah
memegang atau mengolah tanah. Bahkan memperhati
kan perkembangan tanaman yang dibelinya pun tidak.
Ada yang tidak logis di situ, pikir Dahlia cemas.
87 / 460 Tapi dia tidak memperlihatkan keheranannya, hanya
diam-diam saja memperhatikan. Bila diperlukan dia
akan berangkat ke ahli jiwa untuk mengkonsultasikan
hal itu. Kemudian ada perkembangan baru. Pada suatu hari
Minggu dia pergi lagi ke Bogor bersama sopirnya.
Maksudnya untuk berkunjung ke rumah famili dan
pulangnya membeli asinan. Tak ingin lagi dia membeli
tanaman karena urusan itu sudah diambil alih oleh
Rifai. Rumah familinya itu harus dicapai dengan melewati
rumah dan kebun Melanie. Wajarlah kalau dia
menengok ke sana sekadar ingin melihat dan ingin
tahu. Betapa kagetnya ketika dia melihat mobil Rifai
ada di antara mobil-mobil yang tengah diparkir di
depannya. "Berhenti dulu, Pak Udin!" serunya.
Mobil menepi.
"Tuh lihat. Pak! Apa itu bukan mobil Den Rifai?"
Dahlia menunjuk.
"Ya. Betul, Bu."
"Lho, ngapain dia di situ?" tanya Dahlia dengan
perasaan tak enak yang tiba-tiba mencekam
jantungnya.
88 / 460 "Tentunya beli tanaman. Atau beli pisang, Bu," jawab
Udin tanpa prasangka apa-apa.
Dahlia termangu dengan kecemasan membubung.
Sebagian teka-teki yang dihadapinya belakangan ini
serasa terpecahkan. Jadi semua tanaman yang dibawa
pulang Rifai itu berasal dari kebun Melanie. Jadi setiap
Minggu dia berkunjung ke situ. Kenapa? Bukankah
Rifai seorang homo yang tidak tertarik kepada
perempuan? Sekarang, kenapa justru Melanie?
Tentunya Rifai masih bisa mengenali Melanie. Tapi,
kenapa Melanie tidak mengusirnya?
Baru kemudian Dahlia teringat. Tentu saja Melanie dan
keluarganya tidak mengenali Rifai lagi. Dan sudah
pasti Rifai tidak memberitahukan siapa dirinya
sebenarnya. Itu sebabnya kenapa mereka menerimanya
dengan baik.
Apa sebenarnya yang dikehendaki Rifai?
Segera terbayang di pelupuk mata Dahlia bagaimana
penampilan Melanie tempo hari. Dia gadis yang cantik,
gagah, dan bersemangat. Dia memiliki daya tarik unik
yang tak ada pada gadis kota modern. Apakah Rifai
tertarik padanya? Tidak dendamkah Rifai? Tidak
punya malu dan harga dirikah dia?
89 / 460 Dahlia segera teringat akan percakapannya dengan
Rifai beberapa waktu yang lalu. Saat itu Dahlia
menyinggung soal kawin.
"Kalau memang saya harus kawin, ya, saya akan
kawin," begitu jawaban Rifai. "Dengan siapa?"
"Dengan siapa saja."
Apakah sekarang Rifai memilih Melanie?
Kepanikan menguasai Dahlia hingga dia jadi sulit
berpikir. Seluruh tubuhnya terasa lemah.
"Buuu... Buuu...," panggil Udin takut-takut.
Dahlia terkejut. Dia segera menyadari situasi. "Pak
Udin, kita balik saja," perintahnya.


Melanie Karya V. Lestari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Balik?"
"Ya. Balik ke Jakarta."
Walaupun keheranan tapi Udin cukup sadar, dia tak
berhak bertanya. Pada persangkaannya, pastilah
majikannya itu tidak menyenangi kunjungan Rifai ke
kebun tadi. Jadi dia sudah merasa beruntung bahwa
dirinya tidak ditanyai apakah dia telah memberikan
alamat kebun itu kepada Rifai.
*** Di rumah, Dahlia segera menyergap suaminya dengan
keresahannya itu.
90 / 460 Tapi Utomo menjawab tenang, "Itu kan baru
persangkaan saja, Ma. Tunggulah dulu sampai
semuanya menjadi jelas. Suatu saat Rifai akan
mengatakannya juga."
"Bagaimana kalau dia tidak mengatakan?"
'Tidak mungkin."
"Di Amerika dia mengganti mukanya tanpa merasa
perlu memberitahu kita."
"Mengganti muka kan lain. Untuk kawin dia perlu izin
kita."
"Dia sudah dewasa lho, Pa."
"Aku heran. Mama selalu bikin ribut. Belum jelas, kan?
Mama cuma melihat mobilnya diparkir di depan rumah
Melanie. Nah, belum berarti dia di sana sedang
pacaran, kan? Siapa tahu dia memang senang tanaman
walaupun menurutmu tak masuk akal."
'Tapi penjual tanaman kan banyak, kenapa justru ke
sana?"
"Ah, itu kan semau dia?"
'Tapi..."
"Ma, mestinya kita senang kalau Rifai tertarik pada
perempuan. Siapa pun perempuan itu. Biar Melanie.
91 / 460 Biar nenek-nenek. Pokoknya perempuan. Itu tandanya
dia nggak homo lagi."
"Kan malu. Dan sakit hatinya mau dikemana-kan?"
"Ala, sudahlah. Jangan meributkan sesuatu yang belum
pasti. Nanti saja ributnya, kalau sudah pasti."
"Bagaimana kalau kita tanyakan saja kepada Rifai biar
pasti?" tanya Dahlia.
'Terserah Mama. Tapi Mama sendiri yang tanya.
Jangan aku."
Ternyata Dahlia tidak berani. Sesungguhnya dia
mencemaskan jawaban Rifai nanti. Bagaimana kalau
dugaannya benar?
92 / 460 VIII Rifai tak sabar lagi. Dia memang belum bisa
menyelami perasaan Melanie kepadanya. Tapi dia
merasa sudah ada keakraban antara mereka walaupun
pembicaraan masih terbatas soal tanaman dan hal-hal
umum saja. Mereka juga tak pernah keluar rumah.
Apalagi sentuhan, jelas tak ada.
Rifai sadar harus bertindak hati-hati. Siapa tahu
Melanie masih menyimpan trauma masa lalu. Tentang
soal itu dia belum tahu benar. Pernah dia mencoba
bertanya-tanya kepada karyawan di situ. Tentu saja
dengan berbaik-baik lebih dulu. Misalnya memberi
rokok atau apa saja. Lalu dia mendengar cerita bahwa
Melanie mempunyai banyak pengagum, tapi semuanya
pada suatu saat pergi begitu saja dan tak pernah
kembali lagi. Apa sebabnya si pencerita juga tidak
tahu. Dia hanya mengatakan, bahwa hal itu biasanya
terjadi setelah Melanie berbincang serius dengan lelaki
yang menaksirnya itu.
Dia mencoba menafsirkan cerita itu. Mungkinkah hal
itu disebabkan karena para lelaki itu mendengar cerita
tentang masa lalu Melanie? Dia tersenyum senang.
Kalau demikian halnya maka dia semakin pasti tentang
apa yang akan dilakukannya kelak bila gilirannya tiba.
93 / 460 Tapi dia tak sabar lagi. Penyebabnya bukan karena
kebosanan berpura-pura melainkan karena sangat ingin
tahu bagaimana reaksi Melanie. Berhasilkah usaha
pendekatannya selama ini? Padahal dia sudah
melakukannya dengan begitu susah. Karena susahnya
itu dia hampir yakin akan berhasil.
Khususnya untuk keperluan itu dia sengaja datang ke
rumah Melanie pada hari biasa, di sore yang sepi.
Untuk sesuatu yang serius suasana ramai hari Minggu
akan sangat mengganggu Melanie dan keluarganya
menyambutnya biasa-biasa saja. Tampaknya mereka
sudah memperkirakan terjadinya perkembangan
seperti ini, pikir Rifai sambil menyembunyikan rasa
gelinya. "Bagaimana kalau kita duduk-duduk di teras kebun?"
usul Rifai. "Silakan," kata Melanie.
Diah dan Pak Budi tidak ikut menemani. Mereka sudah
punya firasat, pikir Rifai. Yang seperti begini entah
sudah berapa kali. Tapi dia pasti lain sendiri.
Mereka berbincang-bincang sejenak tentang berbagai
hal. Lalu Diah datang membawakan minuman dan
makanan kecil, berbicara sebentar kemudian pergi lagi.
Sunyi sebentar setelah keduanya menghirup minuman
masing-masing. Lalu mereka berpandangan. Rifai
merasa aneh sebentar. Tatap Melanie seperti tak sabar
94 / 460 menunggu. Ataukah dia keliru menafsirkan? Tiba-tiba
dia merasa betapa pengalamannya tentang perempuan
sangat kurang. Sedang yang dulu-dulu dia sudah tak
ingat lagi.
"Kamu pasti ada urusan penting," Melanie memulai.
"Benar sekali. Tapi saya masih bingung bagaimana
mulainya."
"Tak usah bingung. Mulai saja," kata Melanie tenang.
Dia sudah berpengalaman, pikir Rifai. Dan dia pun
tampaknya sudah siap menghadapi risiko. Ketegangan
Rifai meningkat. Tiba-tiba dia merasa canggung.
Betapapun gombalnya dia merasa benar-benar susah
untuk mengatakannya.
"Katakanlah," desak Melanie.
"Begini, An. Sebenarnya saya... saya mencintaimu,
Anie," kata Rifai gugup. Dan dia mengutuk dirinya
karena kegugupan itu. Tanpa dikehendaki dia jadi
teringat masa lalu. Dulu dia pun pernah mengucapkan
cinta kepada Melanie. Dulu dan sekarang sama
gombalnya.
Melanie tak segera menjawab. Dia cuma menatap
Rifai. Kembali Rifai merasa aneh. Tatapan Melanie itu serasa
mau menyelidik. Tiba-tiba dia jadi cemas. Apakah
95 / 460 Melanie bisa mengenalinya? Mungkinkah ada sesuatu
ciri atau kebiasaan pada dirinya yang masih diingat
oleh Melanie?
"Mana mungkin, Ton. Kamu belum mengenal saya,"
kata Melanie kemudian.
"Sudah kok."
"Sudah? Tahu dari mana? Kamu pasti lebih mengenal
tanaman daripada saya," Melanie tertawa.
"Biarpun begitu, saya tetap mencintaimu."
"Jangan fanatik seperti itu. Kamu bisa menyesal."
"Tidak."
"Percayalah. Kamu harus dengar dulu ceritaku."
"Cerita apa?"
"Tentang masa laluku."
"Saya nggak mau dengar. Saya mencintaimu seperti
apa adanya sekarang. Persetan dengan masa lalu."
"Tidak bisa. Masa lalu selalu jadi bagian dari hidup
seseorang. Mana mungkin dipersetankan begitu saja.
Dengarlah dulu. Sesudah itu baru kamu pikirkan."
Rifai terdiam. Dalam hati dia membenarkan kata-kata
itu. 96 / 460 Lalu Melanie bercerita sambil memperhatikan wajah
Rifai. *** Di ruang bersebelahan, Diah mendengarkan
pembicaraan itu. Tapi tak lama karena dia segera
ditarik oleh ayahnya.
"Dia sedang mengulang cerita lama," bisik Diah.
"Biar sajalah. Itu haknya."
"Tampaknya dia senang benar menguji setiap lelaki."
"Aku hargai kejujurannya."
Diah mengeluh karena dilarang nguping padahal untuk
kali ini keingintahuannya terasa lebih besar daripada
sebelumnya. Tapi dia akan mencari kesempatan lain
bila ayahnya berlalu dari sampingnya.
*** "Saya tidak peduli," kata Rifai. "Setiap orang punya
masa lalu. Saya pun begitu. Maukah kamu
mendengar?"
"Tidak."
"Nah, kok tidak."
"Soalnya lelaki dianggap lain daripada perempuan.
Kita adalah masyarakat yang tidak adil dalam masalah
97 / 460 seperti itu. Perempuan dan lelaki dibeda-bedakan.
Perempuan harus suci. Lelaki tidak perlu. Jadi buat apa
ceritamu itu? Nggak ada gunanya."
Rifai memandang heran. Baru kali ini dia terlibat
pembicaraan seperti itu dengan Melanie. Dia merasa
tertarik. "Justru ceritamu itu membuat saya sangat bersimpati
atas nasibmu. Itu toh bukan kehendakmu. Percayalah.
Tidak semua lelaki sejelek anggapanmu. Saya ingin
membahagiakanmu."
"Kamu salah. Saya sudah berbahagia kok."
"Tapi saya ingin memberimu kebahagiaan yang lain."
"Saya mengerti maksudmu. Kamu memang seperti
kebanyakan orang yang menilai perempuan yang
sendirian itu tidak bahagia. Mereka pikir perempuan itu
perlu lelaki supaya bisa bahagia. Ah, itu salah sekali.
Bukan cuma lelaki yang bisa membahagiakan
perempuan. Memang yang kita perlukan itu adalah
kasih sayang. Semua orang membutuhkan itu. Tapi
bukan cuma lelaki yang bisa memberikannya.
Mungkin karena orang menganggap kasih sayang itu
identik dengan seks. Saya sendiri tidak sependapat. Ya,
setiap orang berhak punya pendirian sendiri tentang hal
itu. Kebutuhan orang berbeda-beda. Jangan
menyamaratakan semuanya."
98 / 460 "Kamu berpendirian seperti itu tentu sebagai akibat
masa lalumu. Kamu jadi lain daripada yang lain," kata
Rifai sambil berpikir tentang dirinya sendiri yang juga
"lain".
"Entahlah. Mungkin juga," Melanie mengakui.
"Kalau begitu, apa salahnya menerimaku. Kita saling
mengenal secara lebih mendalam," bujuk Rifai.
"Kamu akan menyesal."
"Tidak."
"Jangan. Kita tidak cocok."
Rifai mulai putus asa. Terbayang jerih payahnya akan
berakhir sia-sia. Dan dendamnya tak terpuaskan.
"Mestinya kamu senang ada orang yang mencintaimu
seperti apa adanya," katanya menyesali.
Melanie membelalakkan matanya hingga Rifai
menyesali kata-katanya tadi. "Tentu saja saya senang.
Ternyata ada juga lelaki yang lain. Tapi kamu memang
mewakili pikiran banyak orang. Mereka selalu
berpikir, bahwa perempuan itu seharusnya senang
kalau ada lelaki yang mau menerimanya seperti apa
adanya. Perempuan harus bersyukur kalau ada lelaki
yang menaksirnya. Pikiran semacam itulah yang
Si Racun Dari Barat 8 Pendekar Slebor 12 Pendekar Wanita Tanah Buangan Tanah Semenanjung 3
^