Pencarian

Tanah Semenanjung 3

Tanah Semenanjung Karya Putu Praba Drana Bagian 3


hampir semua orang merasa kegerahan. Justru kini
Haryo Dento tersenyum. "Kekalahan menunjukkan betapa lemahnya suatu
negeri. Dan^itu mengartikan betapa lemahnya laskar
Blambangan. Sampai-sampai tak secuil pun bumi yang
dapat dipertahankan."
"Jagat Pramudita!" Arya Bendung tersinggung.
"Dalam keadaan begini Blambangan memang tak
membutuhkan lontar. Tak membutuhkan pandita!" Haryo
Dento makin meluap-luap. "Yang dibutuhkan adalah
bedil, kawula, emasKlan perak."
"Kekuatan tanpa akal dan para dewa tak mungkin.
Karena itu diperlukan dewa dan pandita. Kalau tidak,
maka Blambangan akan dikutuk oleh para dewa," bantah
Hyang Wena. "Pandita yang dibutuhkan bukanlah yang menitikkan
air liur pada emas dan wanita! Bukan pula pandita yang
membangun kehormatan pribadi. Tapi sepenuhnya
mengabdi pada Hyang Maha Dewa dan kemanusiaan."
"Jagat Pramudita! Yang Mulia menghina brahmana
dan pandita." Dang Hyang Wena menggertakkan gigi.
"Tidak semua jelek, memang." Haryo Dento
tersenyum. Sama sekali telah kehilangan takutnya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Yang Mulia!" Arya Bendung menengahi. "Ingat! Kami tak ingin perselisihan ini terjadi kembali. Pengalaman
cukup pahit akibat perselisihan. Yang Mulia tak pernah
menyadari kita ini sekadar menerima warisan. Dan
nirneyana yang terjadi tak pernah Yang Mulia cegah. Itu
sebabnya Blambangan makin lemah."
"Dibicarakan untuk dipelajari agar tak terulang
kembali. Dan pembangkangan terjadi bukan karena
hamba. Tak juga karena Umbul Songo. Pembangkangan
terjadi karena ketidaktahuan Yang Mulia sendiri. Mereka
tahu apa yang bakal terjadi. Yaitu penangkapan dan
pembunuhan atas mereka. Sedang Yang Mulia dan Yang
Tersuci berusaha menggenggam Blambangan. Yang
Mulia mengenyampingkan akal dan kenyataan. Karena
itu Yang Mulia telah berpendapat, berbuat, dan bekerja
dengan kehendak Yang Mulia sendiri."
"Dewa Bathara! Yang Mulia tak menyadari keadaan
Yang Mulia?" Suara Arya Bendung mengeras.
"Bukankah kami tak sedang memeriksa?"
"Sepenuhnya kami menyadari. Kami adalah domba di
tengah kerumunan serigala rakus!"
"Drubiksa!" Arya Bendung gemetar menahan marah.
"Tiada kesanggupan Yang Mulia berdua?"
Mangkuningrat menengahi. Ia telah menjadi pusing
mendengar semua itu. "Tak ada laskar pada kami," Umbul Songo yang
menjawab. "Atas namaku Yang Mulia boleh menggunakan semua
laskar." Mangkuningrat sudah kehilangan pertimbangan.
"Akan hamba timbang, Sri Prabu."
"Kenapa?" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Laskar Blambangan sekarang menyedihkan. Mereka
tak pandai berperang seperti dulu. Mereka sekarang
pandai menakut-nakuti, menjarah, dan memperkosa...."
"Yang Mulia!" Arya Bendung memotong. "Menepuk air di dulang terpercik muka sendiri."
"Selama ini kami tidak bersama mereka."
"Jagat Dewa!" Bagus Tuwi juga menyebut.
"Demi Hyang Maha Dewa, kami tak sudi
mempertanggungjawabkan perbuatan mereka!" Umbul
Songo makin berani juga. "Kami tak menanyakan itu. Kami membutuhkan
kesanggupan Yang Mulia!" Bagus Tuwi menekan.
"Hamba tak berjanji. Barang sehari dua kami akan
bersembah pada Sri Prabu."
Mangkuningrat kian pusing. Ia tahu Blambangan tak
boleh mengerahkan armada tanpa izin Mengwi. Padahal
perompak tak bisa dibasmi dengan tanpa mengerahkan
armada. Sedang menurut Wena mereka hanya bisa
dihentikan oleh suara Umbul Songo dan Haryo Dento.
Padahal kedua orang itu kini tak mau bersumpah. Tak
mau mengiakan. Ia merasa kewibawaan keluarganya
telah gempil. Tapi tak pernah ia sadari apa sebabnya.
Yang paling menyedihkan ialah karena ia juga tak tahu
sama sekali bahwa sebenarnya banyak perompak yang
justru menggunakan kapal perang Blambangan sendiri.
Juga Laksamana Penjalu tak mengerti akan hal ini.
Ternyata keadaan di laut tidak berbeda banyak dengan
di darat. Sedang persoalan Lumajang tak mungkin didiamkan
terus jika ia tak mau kehilangan wilayah itu. Di pihak lain
patih amangkubumi Blambangan belum juga tiba.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Apakah akan digantikan oleh Mas Alit, saudara tirinya
itu" Ah... tak mungkin ia berani melanggar wasiat
Ramanda anumerta. Tentu saja ia belum percaya sas-sus kematian Sirna di
Asem Bagus. Menurut penelitian yang dilakukan
Singamaya tidak terdapat tanda-tanda adanya mayat
Sirna di tengah tumpukan mayat di hutan itu. Tiba-tiba ia
mengambil keputusan, "Yang Mulia Haryo Dento dan Umbul Songo, aku
menunggu selambat-lambatnya dua hari lagi. Jika tak
ada jawaban maka kepala Yang Mulia berdua akan jatuh
ke bumi! Dan Paman, bubarkan pertemuan ini!"
"Hamba, Sri Prabu," jawab semua orang.
"Aku akan beristirahat." katanya seraya berdiri. Ia
serahkan tongkat kerajaan pada prajang-kara. Kemudian
melintas lewat kanan api kehidupan untuk masuk:
Para dayang tergopoh-gopoh mencuci kaki
Mangkuningrat ketika ia akan masuk ke sentong tengen
(kamar peraduan sebelah kanan). Sesaat ia
menyempatkan diri menoleh ke sentong kiwa (kamar
peraduan sebelah kiri). Tempat di mana ia dan Sirna
pernah tinggal masa kecil dulu. Setelahnya ia terus
masuk ke sentong tengen. Dengan bantuan biti-biti
perwara istana ia tanggalkan mahkota dan semua
perhiasan yang memberati tubuhnya. Tinggal sebuah
kalung, sepasang gelang, dan binggal.
Sendiri ia bersantap siang. Setelahnya berjalan-jalan
di tamansari. Para selir memperhatikannya dari
kejauhan. Tak ingin ia mendekati mereka. Sirna
menerawang di alun ingatannya. Anak itu memang anak
kesayangan bundanya. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ia melangkah terus. Makin pelan langkahnya. Seolah
ia takut bumi yang dipijaknya akan merekah. Bunga-
bunga tak sedap baginya. Bahkan kupu-kupu yang lalu-
lalang, atau juga belalang yang berlompatan di tanah,
atau kadang kadal yang lari cepat ke dalam gerumbul
perdu waktu ia lewat, semuanya juga tidak menjadi
perhatiannya. Perasaan jemu merasuki pikirannya. Angin
segar di taman tak memberikan hiburan apa-apa. Ia balik
ke sentong kuning. Untuk kemudian merebahkan diri.
Melepas lelah. Ia memang tidak menderita lelah tubuhnya. Tidak!
Tapi ia letih pada kepalanya. Dan barang siapa letih
ingatannya, akan letih pula seluruh tubuhnya.
Karenanya ia selalu resah. Sebentar kemudian ia
bangkit lagi. Menengok bilik Paramesywari. Kosong! Hari
telah sore. Masih duduk melamun. Kini para dayang
memperhatikannya dari kejauhan. Angin senja telah
memasuki juga sentong kuning itu. Tiba-tiba ia bangkit
lagi. Membuka tirai jendela sentong kuning yang terbuat
dari kain sutra kuning buatan Cina itu. Ia melihat para
dayang berkerumun di kejauhan. Ia memanggil seorang
di antara mereka. Ia perintahkan orang itu memanggil Ni
Ayu Sudiarti, bekas selir ayahnya anumerta.
Wanita yang dimaksud segera duduk bersimpuh
sambil menyembah. Dalam hati siap diusir. Bukankah
yang berkuasa sekarang bukan suaminya" Namun ia
melihat Mangkuningrat melambaikan tangan memberi
tanda para dayang agar menjauh.
"Ah... Baginda seperti bapaknya...," bisik seorang
pada temannya setelah menyembah dan pergi.
"Sssttt... hati-hati kau bicara. Ingin kau menderita?"
yang lain memperingatkan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Itu kan punya bapanya. Tak segan pula dijadikan
selir," masih saja ia bicara dengan suara yang lebih lirih.
"Biar saja! Itu kan anugerahnya," jawab temannya
dalam ketakutan. Ia ingat salah seorang temannya
menjadi santapan budak-budak, karena kesalahan
menolak Mangkuningrat. "Beruntung wanita cantik tak terusir seperti yang
sudah peot." Tak berani mereka menoleh. Sebab itu berarti
mengundang bahaya. Bukankah raja bisa berbuat
segala" Raja memiliki segala termasuk diri mereka.
Bahkan raja juga yang menentukan hukum di
Blambangan. Kemudian mereka menghilang di belokan.
Beberapa bentar Mangkuningrat memandang Sudiarti
yang masih bersimpuh di lantai beralas permadani.
Matanya menelusuri tiap lembah di tubuh Sudiarti. Kulit di
atas pusarnya masih mulus dan segar, menunjukkan
bahwa wanita ini belum pernah mengandung. Buah
dadanya belum melorot, menunjukkan betapa rajin
merawat tubuhnya. Mungkin juga masih rajin berlatih
menari. Bukankah semua keindahan yang dimilikinya itu
merupakan lambang kesuburan bagi diri dan pribadinya.
Alisnya tebal hitam menghias muka dan memperindah
mata yang mengerjap seperti bintang timur.
"Berdirilah... Mari... temani aku bersantap." Suara Raja mengejutkan Sudiarti. Memang lirih tapi di luar
dugaannya. Sudiarti mendongak lamban. Matanya yang
bening kini menjadi sayu menatap Baginda.
"Ampun, Baginda, hamba bukan paramesywari."
"Adinda menolak aku?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sudiarti tersentak dalam kejutnya. Adinda" ulangnya
dalam hati. Ia mengerti ucapan Mangkuningrat
mengandung ancaman. "Ampun, Baginda." Ia terpaksa berdiri. Mengiringkan
raja yang masih belia itu.
"Hyang Maha Dewa telah mewariskan dikau padaku,"
Mangkuningrat mulai merayu.
"Ampun... bukankah hamba selir Ramanda
anumerta?" Sudiarti makin gugup.
"Itu telah berlalu. Kekuasaan Blambangan di tanganku
kini." "Hamba, Sri Prabu."
"Tiadakah kau berbahagia hari ini mewakili
Paramesywari "'' Tiada jawaban keluar dari bibir tipis Sudiarti. Mereka
sampai di ruang makan sebelah sentong kuning. Lampu-
lampu sudah dinyalahkan sejak tadi. Mungkin oleh
dayang yang memanggil Ni Ayu tadi. Menandakan
kegelapan malam mulai turun.
"Tak seorang pun diperbolehkan masuk sentong
kuning ini, kecuali Raja dan Paramesywari. Karena itu
berbahagialah kau malam ini, Adinda."
Dengan tangan gemetaran Sudiarti melayani Baginda
bersantap malam. Dan ia tahu Baginda tak habis-
habisnya memandang. Ah... suatu babak baru bagi
Sudiarti. Ia ingin menolak, tapi tentu akan berhadapan
dengan bencana. Bagi Mangkuningrat sendiri segera dapat melupakan
semua persoalan yang cukup memusingkannya tadi
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
siang. Lupa Sirna, lupa Lumajang. Setelah itu ia berdiri
sambil memapah Sudiarti masuk sentong kuning.
"Mari... Adinda, naiklah...," kata Mangkuningrat di
depan peraduan. "Jangan, Sri Prabu____"
"Kau tolak aku?" kembali Mangkuningrat mengancam
walau sambil senyum. Sudiarti diam. Sadar. Ia mengiakan semua yang
dimaukan Raja. Dan ia harus membasuh kaki raja itu
dengan air bunga. Ia harus mempersembahkan seperti
pada Danureja anumerta. Tak peduli, apakah ia anak
suaminya sendiri. Demi hidup.
"Adinda... tak salah Ramanda membawamu kemari.
Kau rembulan... kau permata, Adinda."
"Ampunkan hamba, Sri Prabu," balasnya lirih.
"Panggil aku Kanda!" bisik Mangkuningrat, yang kini
mencium lehernya. Pipi. Kemudian menenggelamkan
mukanya di kedua gunung kembarnya. Gunung lambang
kesuburan, lambang keindahan dan lambang keagungan
tiap wanita Ciwa. "Kanda...," desis Sudiarti pasrah.
0oo0 Hari itu mentari malas menampakkan diri. Bumi
Blambangan nampak sayu. Mentari lebih suka tidur
berkemul mendung. Cuma sebentar-sebentar menguak
awan, mengintip jagat. Semua orang menantikannya.
Juga bunga, daun-daun, pepohonan, unggas. Kecuali
nyamuk, yang lebih suka pada kemuraman jagat. Atau
barangkali binatang yang biasa mencari mangsa di
malam hari. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Umbul Songo juga malas keluar dari kediamannya.
Dengan ditemani istrinya, Nyi Ken Sumba, ia menanti mentari pagi. Wanita itu merasa bahwa ia adalah wanita yang paling bahagia di Blambangan. Karena hidupnya tak pernah diperbandingkan dengan seorang selir pun.
Walau ia tahu di masa tua ini nasib tidak mau diajak berdamai.
Tak seorang pun anak yang dia peroleh dari perkawinannya dengan Umbol Songo. Entah karena suaminya yang tak berbenih atau ia sendiri yang tak subur. Namun Umbul Songo tak pernah mempersoalkan.
Cukup dengan mengambil Baswi sebagai anak angkat mereka. Dan anak angkatnya itu kini tiada. Entah ke mana perginya. Baswi tak pernah berkabar. Tapi Umbul Songo selalu menyuruh istrinya diam. Tenang
menghadapi ombak kehidupan yang demikian itu.
Keputusan persidangan pratanda (kabinet) sedikit-banyak mengganggu Umbul Songo. Ia harus


Tanah Semenanjung Karya Putu Praba Drana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memadamkan seluruh perampokan. Sedang Haryo Dento harus memanggil kembali anak buahnya. Sulit memang. Mereka tak mungkin mengerahkan laskar dalam jumlah besar. Apalagi laskar laut. Karena itu bisa dianggap menyiapkan pemberontakan oleh Mengwi. Ia pasti tak ingin memancing kehadiran laskar Bali.
Setelah merenung-renung dengan ditemani oleh istrinya di pendapa, ia ingin berjalan-jalan di sepanjang pelataran rumahnya. Namun tiba-tiba saja ia menjadi terkejut waktu berjalan-jalan. Orang banyak berkerumun di jalan depan rumahnya. Bergesa ia memeriksa. Dan orang banyak itu menyibak memberi jalan pada Umbul Songo untuk masuk ke tengah kerumunan. Wanita dan lelaki semua menghormat dan menyembah melihat dia datang.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Ada apa ini?" "Pemuda ini terlalu letih, Yang Mulia," seorang menjawab. Umbul Songo memperhatikan wajah pemuda itu.
"Penjual kayu manis?"
"Bukan!" jawab orang tadi. "Hanya memikulkan milik Bandara (sebutan untuk seorang saudagar.Kelak kata-kata ini berkembang menjadi bendahara) Suta."
"Akan dibawa ke Sumberwangi?"
Tak ada yang menjawab. Pemuda itu sendiri juga tak menjawab. Masih saja terduduk lemah. Seperti bunga yang terkulai layu. Maka Umbul Songo memanggil pengawalnya. Dan ia perintahkan mereka menggotong anak muda itu ke pendapa rumahnya. Kemudian ia memerintahkan orang-orang lain bubar. Sedang pada para pengawal ia memerintahkan agar mereka kembali ke gardu penjagaan di ujung pelataran rumahnya.
"Ada apa, Kanda?" tanya Nyi Ken Sumba yang segera mengikut suaminya naik ke pendapa, setelah ia keluar dari dalam, menengok dayang-dayang yang sedang bekerja.
"Lihat!" Umbul Songo menunjuk pemuda yang tergeletak di pendapa. Nyi Ken terkejut. Seorang pemuda yang pucat dan lesu.
"Hyang Dewa Ratu!" ia menyebut. "Apa yang harus hamba lakukan, Kanda" "
Suaminya memerintahkannya untuk mengambil air minum kemudian dicampur dengan ramuan obat.
Sementara itu ia menoleh ke jalanan, sebentar kemudian para penjaga di gardu penjagaan. Tak ada yang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
mencurigakan. Sekali lagi ia pandang pemuda itu tajam-
tajam. "Curiga! "Siapa kau, Anak muda?"
"Tumpak." "Tumpak?" "Ya...." Umbul Songo mengerutkan dahi. Mengingat-ingat.
Kemudian sekali lagi ekor matanya mengadakan
pengamatan. Tetap sunyi. Di pelataran banyak tumbuh
pohon kelapa, lalu lapisan terdekat dengan pendapa ada
deretan bunga mawar dan melati. Sampai istrinya tiba
kembali ia ternyata belum mampu mengingat, siapa
pemuda yang di hadapannya itu.
"Berikan minuman itu!" perintah Nyi Ken Sumba pada
seorang dayang. < "Minumlah, Anak muda!" perintah Umbul Songo pula.
"Terima kasih, Yang Mulia."
"Dari mana kau?"
"Tegal Delima."
Umbul Songo mengangguk-angguk. Ia rasa seperti
ada yang mencurigakan dalam jawaban Tumpak. Ia
segera ingat pada Baswi yang pernah menjadi anak
angkat lurah Tegal Delima. Ternyata Nyi Ken Sumba pun
punya naluri yang sama dengan suaminya. Karena itu ia
perhatikan tajam-tajam Tumpak. Kulitnya coklat kehitam-
hitaman, hidungnya pesek, bibirnya agak tebal. Pendek
kata semua tanda-tanda sudra ada pada tubuh Tumpak.
"Hamba telah sehat, Yang Mulia," kata Tumpak yang
selesai dioles ramu-ramuan obat oleh seorang dayang.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kau perlu istirahat dulu beberapa bentar," jawab
Llmbul Songo datar. "Kau sudah makan pagi?"
"Sudah. Terima kasih, Yang Mulia." ,
"Baiklah...." Umbul Songo kemudian menoleh pada
istrinya. Sedang Nyi Ken sama sekali tak mengerti apa
arti pandangan suaminya itu. Dan suaminya kemudian
melambaikan tangan, memerintahkannya pergi.
"Apa yang kauinginkan masuk Lateng ini, Tumpak?"
Umbul Songo mulai memeriksa. "Bukankah desamu
cukup subur?" "Am... ampun, Yang Mulia." Tumpak tak lagi berbaring.
Dalam duduknya ia mengawasi sekitarnya dengan ekor
mata. "Seperti prajurit" Ya, kau prajurit!" desis Umbul Songo menggugupkan Tumpak. "Berkatalah!"
"Hamba cuma menerima perintah____"
"Untuk membunuh aku" Perintah siapa?" Umbul
Songo terbelalak. Namun suaranya tetap pelan.
Bersamaan dengan penahanan suaranya, Umbul Songo
juga menahan hatinya yang tersibak.
"Ampun, Yang Mulia, tidak! Hamba menerima perintah
dari Tuan Baswi." "Apa katamu?" Umbul Songo makin terkejut.
"Benar, Yang Mulia. Ini perintah Tuan Baswi."
"Apa katanya." "Hamba disuruh menyampaikan berita bahwa Tuan
Baswi ada di Raung."
"Yang lain?" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Dilarang bicara lebih dari itu."
"Hem..." Umbul Songo menghembuskan napas
panjang. Matanya menembus makin dalam. Ingin
mengorek apa yang di kepala Tumpak. "Ada kau bawa
tanda-tanda?" lanjutnya. .
Tumpak tergagap. Sama sekali ia tak membawa
tanda-tanda. Namun ia segera ingat dua saga emas
yang diberikan Andita. Dan ia menyerahkan emas itu
pada Umbul Songo. "Dari Lumajang?" Umbul Songo berkata sambil
mengembalikan uang emas itu pada Tumpak. "Kau
memerlukan istirahat?"
"Tidak, Yang Mulia. Hamba harus segera berlalu."
"Baik. Berhati-hatilah! Telik Blambangan di mana-
mana." Tumpak pergi setelah menyembah. Tetap memikul
kayu manis. Kembali Umbul Songo terpekur dalam
kesendiriannya. Pikirannya beranjangsana ke mana-
mana. Apa Baswi bergabung dengan Lumajang" Kalau
tidak kenapa Tumpak membawa uang Lumajang"
Sepercik perasaan menyesal memuncrat dalam
dadanya, kenapa ia tidak menahan Tumpak. Ia merasa
kurang berlaku cermat, melepas Tumpak pergi.
Bukankah mungkin sekali Tumpak telik istana. Tapi...
kemudian ia sadar, menangkap mata-mata istana, berarti
bencana akan segera datang.
Sesaat kemudian ingat ancaman yang diturunkan oleh
Mangkuningrat. Kalau ia tak sanggup menyelesaikan
masalah Blambangan yang ruwet ini, maka kepalanya
akan dipenggal. Karenanya ia tidak anggap sepele
ancaman itu. Keluar dari mulut Raja. Oleh karena itu ia
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
berpikir juga akan mengusulkan membangun armada
dan laskar baru secara diam-diam. Tapi itu berarti akan
memberikan beban berat bagi kawula Blambangan.
Bukankah pembangunan itu memerlukan biaya"
Bukankah laskar makan gaji dari pajak atas kawula"
Tidak! Aku tidak akan membangun laskar baru. Ia
berbantah sendiri dalam hati.
Tiba-tiba saja, entah apa yang mendorong, ia berdiri
dan bertepuk memanggil kepala pengawal. Yang
dipanggil mendekat. "Siapkan kudaku!" perintahnya.
"Ke mana, Yang Mulia?"
"Istana. Siapkan tujuh anak buahmu untuk mengikut
daku!" "Sekarang?" "Ya, sekarang juga." Suara Umbul Songo dingin dan
datar. Umbul Songo masuk bilik untuk mengenakan pakaian
tempur. Segala tanda kebesaran juga ia pakai. Nyi Ken
menjadi terkejut. "Ada penghadapan agung, Kanda?"
"Tidak, Istriku. Hari ini adalah batas terakhir untuk
memberikan jawaban pada Sri Prabu."
"Kanda..." "Tabahkanlah hatimu, Dinda. Seperti kala kau
menunggu kematianku dulu. Ingat, hari tak selamanya
mendung. Juga tak selamanya bulan itu indah."
"Kanda..." "Sudahlah! Kita sudah cukup tua. Cukup cicipi asin,
manis, dan pahit bersama-sama. Satria tak mengeluh
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
waktu mengunyah yang pahit. Sama halnya dengan
waktu mengunyah yang manis."
Nyi Ken Sumba tak bisa berbuat apa-apa. Umbul
Songo sudah memunggunginya dan berjalan menuju
pendapa. Bersama para dayang ia mengikut dari
belakang. Dan ia sempat mencium kaki suaminya kala
orang itu akan melompat ke punggung kuda. Tangkas!
Seperti masih muda dulu! gumam Nyi Ken Sumba dalam
hati. Juga para pengawal menyiapkan diri di atas kuda
masing-masing. "Istriku!" kata Umbul Songo di atas kuda. "Jika kita berpisah dalam waktu yang agak lama, jangan resah!
Inilah kehidupan. Setiap perjumpaan selalu bertepikan
perpisahan. Pergilah saja ke pura! Bacakan Lokananta
untukku! Untuk kita semua! Kau dan aku!" Suara Umbul
Songo terdengar parau, menahan haru.
"Berperang lagikah, Kanda?" suara tersendat Nyi Ken.
"Perang adalah tugas satria! Mati di medan laga
adalah semulia-mulianya kematian."
Tatkala Nyi Ken turun ke pelataran, Umbul Songo
menyentuh perut kudanya dengan tumit. Nyi Ken kecewa
melihat tindakan suaminya.
"Kanda!" Nyi Ken setengah berteriak, "Perang
memusnahkan segala-gala. Bukan cuma jiwa dan harta
benda. Tapi juga segala yang baik dan suci. Terlebih
akhlak manusia!" "Dengan tanpa perang suatu kekuasaan tak bisa
dikokohkan. Hanya dengan perang peperangan dapat
dihentikan. Hanya dengan perang keten-traman suatu
negeri dapat dijaga. Nyi Ken, kau dan aku adalah satria.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dan lagi senja sudah datang, kita tak usah takut derita.
Selamat tinggal, Istriku!"
"Kanda..." Suaranya ditelan derap kaki kuda. Beberapa bentar
kemudian mereka lenyap dari pandang Nyi Ken Sumba,
ditelan gulung-gemulung debu. Orang-orang yang
berpapasan jalan pada menyimpang sambil menutup
lubang hidung dengan telapak tangan. Juga mereka
memejamkan mata. Namun tak seorang pun berani
mengumpat. Kendati Umbul Songo dan rombongan
berpacu sangat cepat. Di alun-alun mereka berhenti. Umbul Songo segera
melapor pada ratu anggabaya(Raja Kembar dan itu
hanya pernah ada di Tumapel. Artinya istilah ratu
anggabaya hanya dipakai di Tumapel. Jadi di sini artinya
sekretaris negara) yang saat itu dirangkap oleh Arya
Bendung. Dan setelah mendapat perkenan maka ia
menemui prajangkara. Orang itu menemaninya ke
gedong kuning, di mana Mangkuningrat sudah
menunggu. Sekilas hatinya berdesir kala menginjak
permadani merah buatan Mesir yang melambari lantai
gedong kuning. "Inilah hamba. Menunggu perintah menghancurkan
kaum perusuh," Umbul Songo menyembah.
"Yang Mulia bersungguh-sungguh?" Mangkuningrat
menegaskan. "Inilah hamba." Umbul Songo sedikit melirik Arya
Bendung yang duduk di sampingnya. Orang itu
memperhatikannya. Sekilas juga ia sempatkan
memperhatikan pilar-pilar besar penyangga atap gedong
kuning. Ada dua pedang emas ditata bersilang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
menempel dinding. Di atasnya tertempel pula lukisan
kepala anjing hitam lambang Sonangkara.
"Pilihlah laskar terbaik menurut Yang Mulia."
"Hamba akan berangkat sekarang juga! Walau dengan
tujuh orang pengawal saja."
"Dewa Bathara!" Arya Bendung tak kuasa
membendung hatinya. "Dengan tujuh orang?"
"Hamba tak sempat memilih. Laskar Blambangan
yang ada sekarang ini sebagian besar terbentuk waktu
kami sedang di penjara. Karenanya sulit mempercayai
mereka." "Yang Mulia tak mempercayai kami?" Arya Bendung
tersinggung. "Prajurit yang tak pernah mancal bertempur, biasanya
hanya pandai menakut-nakuti kawula. Demi Hyang Maha
Dewa, hamba akan padamkan seluruh kerusuhan ini."
"Kegagalan berarti kematian," ancam Arya.
"Mati dengan pengabdian pada Prabu, negeri, dan
kawula, adalah semulia-mulianya kematian. Karena itu
Sri Prabu, hamba mohon tanda, bahwa hamba saat ini
senapati atau panglima yang mengemban kuasa dan
titah Sri Prabu untuk menumpas kerusuhan. Sehingga
dengan demikian tak seorang pun boleh membantah
keputusan hamba dalam penumpasan ini."
Sesaat Mangkuningrat bingung. Apa arti kata-kata
Umbul Songo. Namun sebelum ia sempat bertimbang
dengan Arya Bendung tangannya sudah menarik cincin
tanda kerajaan dan memberikannya pada Umbul Songo.
"Atas namaku, berangkatlah!"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dengan sangat terkejut dan khawatir Arya Bendung
mengawasi kepergian Umbul Songo. Benci! Ingin ia
memasukkan kembali orang itu ke penjara. Tapi hari ini
terlambat. Karena itu segera ia memberi tahu Teposono, semua
yang telah terjadi. Dan mereka berusaha mencari titik
lemah Umbul Songo. Tak ayal Teposono pun segera
memerintahkan dua anak buahnya untuk membayangi
setiap gerak Umbul Songo. Dengan tanpa sadar Umbul
Songo bergerak, mengadakan perondaan atas Ibukota,
Lateng. Setelah berputar-putar, mendadak ia berhenti di
depan istana Kuwara Yana. Istana itu kian indah saja,
dan tambah hari kian mendapat pengawalan ketat.
Tamu-tamu yang masuk pada umumnya para saudagar
dalam dan luar negeri. "Selamat datang, Yang Mulia!" Kuwara Yana segera
mengadakan penyambutan. Ia telah diberi tahu oleh
Teposono tentang Umbul Songo. Karena itu ia harus
sangat berhati-hati. Umbul Songo mengangguk sambil .memperhatikan
pengawal Kuwara Yana yang ikut menyambutnya.
Demikian ketatnya. Sehingga semut pun sukar
mendekati orang itu. Ah... Kuwara Yana takut mati.


Tanah Semenanjung Karya Putu Praba Drana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Seorang panglima pun tak mendapat pengawalan
seketat itu. "Terima kasih, Yang Mulia Menteri. Sungguh seperti
memasuki istana dewa-dewa!"
Kuwara Yana berbangga mendapat basa-basi Umbul
Songo. "Yang Mulia sungguh mengejutkan kami."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kami sedang mengamankan negeri. Menyelusuri
jejak perampok." "Oh.... Sungguh tugas mulia. Mengamankan negeri!"
Kuwara Yana pura-pura terkejut. Geleng-geleng kepala
seolah kagum. "Tapi tak pernah ada perampok menyasar
dalam gedung ini." "Syukur. Hamba cuma ingin mendapat gambaran
tentang daerah mana yang paling sering mengalami
gangguan. Bukankah ini menyangkut lancar tidaknya
perniagaan?" "Yang Mulia memeriksa hamba?" Kuwara berdebar.
"Jangan salah duga! Kami sedang mencari sarang
mereka." "Oh... baiklah, Cluring, Grajagan... Wijenan, Plaosan,
Sembulungan... dan..."
"Artinya hampir seluruh Blambangan tak aman?"
"Ya." "Di mana kami bisa mendapatkan makanan dalam
keadaan mendesak?" "Maksud Yang Mulia?"
"Cadangan makanan buat penumpas yang akan kami
gerakkan." "Kenapa tanya hamba" Bukankah itu urusan Menteri
Muka?" "Gerakan ini untuk seluruh Blambangan. Juga demi
keselamatan cadangan Negara. Hamba tak mau laskar
hamba jadi perampok."
"Kalau begitu..." Kuwara Yana ragu, "bukankah kawula telah menyediakannya."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Baik. Dengan begitu Yang Mulia membenarkan
penjarahan milik kawula." Suara Umbul Songo dingin.
Lalu pergi dengan keinginan membawa Kuwara ke tiang
gantungan. Bukan sekarang, tapi nanti!
Sekembalinya mengadakan perondaan ke seluruh
Blambangan ia minta pada Menteri Muka untuk
menurunkan perintah pada kepala-kepala pasukan agar
mengasramakan laskarnya. Barang siapa keluar tanpa
izin Umbul Songo akan ditangkap. Yang melanggar akan
disamakan dengan perusuh.
Segera Lateng menjadi sunyi seperti kota mati.
Sementara itu yang tampak mondar-mandir cuma Umbul
Songo dengan ketujuh pengawalnya. Mereka
dipersenjatai tombak lempar, pedang, panah, bahkan
juga bedil. Umbul Songo mengatur gerakannya dengan
amat rapi. Tak ingin diketahui oleh siapa pun termasuk
Teposono. Dan perusuh segera menyingkir melihat
langkah Umbul Songo itu. Kabar perondaan yang mereka
dengar dari mulut ke mulut telah mengagetkan dan
menggentarkan hati mereka.
Ternyata nama Umbul Songo masih ditakuti di seluruh
bumi Blambangan. Kawula dan saudagar mengelu-
elukannya di mana-mana. Bahkan di Wijenan, orang
pada menabur bunga di jalan yang akan dilalui Umbul
Songo. Gerakannya didukung di mana-mana.
Suatu malam Umbul Songo mengajak rombongannya
untuk beristirahat di selatan kota Lateng. Mereka baru
saja meronda di Grajagan. Setelah semua turun dari
kudanya Umbul Songo mengumpulkan mereka di tempat
tersembunyi. Sebuah gardu penjagaan yang terlindung
gerum-bul perdu dan bambu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kalian lihat ada orang bergerak di belakang kita tadi?"
tanya Umbul Songo dalam bisik. Namun mereka tak
menjawab. Umbul Songo menatap mereka di bawah
sinar rembulan yang redup. Ia curiga. Dan penasaran
karena tiada jawaban. "Kenapa tak menjawab" Janti" Wulung?" Mata Umbul
Songo berkilat, kumisnya yang tebal pun seolah berdiri.
"A... a... ada kami lihat tadi...," jawab keduanya.
"Kenapa tidak lapor, tadi?" geram Umbul Songo.
"Ampun, Yang Mulia, kami takut."
"Kalian lihat mereka berlencana Sriti, maka takut?"
"Be... Betul... Yang Mulia."
Umbul Songo mendengus. Lalu memerintahkan
mereka istirahat sampai tengah malam. Umbul Songo
pun tidur di antara mereka. Sampai tengah malam tiba,
maka mereka harus berangkat dengan tanpa mengeluh.
Kuda mereka pun tidak mengeluh. Umbul Songo tidak
menyertai mereka. Beberapa saat kemudian dua penunggang kuda lain
menyusul mereka. Nampak sekali kedua penunggang
kuda itu berusaha menjaga jarak. Namun tidak lama
antaranya sebuah tombak lempar membuat seorang dari
mereka jatuh tersungkur. Orang itu mengaduh keras
waktu darah tersembur dari sobekan kulitnya. Temannya
terkejut. Langsung menghentikan kudanya setelah kuda
temannya berhenti lebih dahulu. Kuda itu menunggu
tuannya yang sedang menggelepar untuk kemudian mati
dengan tanpa ampun. "Gila!" Yang masih hidup berteriak. "Drubiksa! Tak lihat lencana Sriti?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tak ada jawaban kecuali ringkik kudanya sendiri.
"Perampok gila, keluar kau!" Matanya liar menatap
gerumbul gelap. Sekali lagi, hanya kegelisahan kudanya
yang menjawab. Hatinya menjadi berdesir. Bulu romanya
meremang dan mulai bangkit berdiri. Dan ia
memberanikan diri berteriak lagi.
"Drubiksa! Kalau kau tak keluar, besok akan digantung
oleh Yang Mulia Teposono."
Sebuah letusan bedil menjawabnya. Dan ia terjungkal
dari punggung kudanya, tanpa dapat mengumpat untuk
selama-lamanya. Sementara itu, para pengawal Umbul
Songo mendengar sayup suara letusan. Cuma sekali!
Mereka memperlambat langkah kuda mereka. Mereka
menunggu letusan kedua. Tapi tiada. Hati mereka
bertambah tegang kala derap kuda menyusul.
Mungkinkah justru Umbul Songo yang tertembak" Kalau
demikian halnya, maka tak ayal besok mereka akan naik
tiang gantungan bersama-sama. Derap kuda itu makin
mendekat. Hampir bersamaan mereka menoleh ke
belakang. Bukan untuk melihat siapa yang berkuda.
Mereka lebih banyak ingin melihat bagaimana nasib
mereka besok. Ternyata, secara samar mereka melihat
cuma seorang. Sedang dua ekor kuda di belakang orang,
itu membawa beban yang pastilah mayat dua orang.
Mereka bernapas lega. Apalagi setelah Umbul Songo akhirnya mendahului
mereka. Tanpa tanya. Dan saat itu kepercayaan diri para
pengawal timbul kembali. Kekaguman mereka terhadap
Umbul Songo menambah keberanian mereka. Dan
dengan gagah mereka berkuda di belakang
pemimpinnya. Seperti pahlawan yang menang perang.
Sayang saat begitu tidak ada istri mereka yang melihat.
Jangankan istri, kawula Lateng pun sedang terlelap. Jika
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
ada yang mendengar derap kuda itu, pastilah mereka
tidak akan berani mengintip.
Namun demikian kebanggaan itu segera berlalu.
Sebagai gantinya adalah tanda tanya besar kenapa
Umbul Songo justru memberhentikan mereka tepat di
depan kediaman Teposono yang juga sebagai asrama
laskar berlencana Sriti. Kepala pos penjagaan rumah itu
terkejut. "Di mana Yang Mulia Teposono?" Umbul Songo
bertanya sambil masih duduk di atas pelana.
"Masih beradu." Kepala pengawal itu maju.
"Bangunkan!" "Kami takut, Yang Mulia!"
"Atas nama Sri Prabu. Aku perintahkan! Bangunkan!"
"Ampun... Yang..."
"Bangunkan!!!!" Umbul Songo menindas tegas. "Lihat bangkai kedua temanmu ini!" Obor yang menerangi
pelataran itu meriup-riup ditiup angin. Sementara kepala
pengawal itu memandang Umbul Songo dengan
terheran-heran, mata Umbul Songo melirik ke segala
penjuru pelataran. Cukup luas. Sedang di belakang
gedung rumah Teposono ini terdapat satu gedung lagi
yang digunakan oleh Teposono untuk ruang kerjanya. Di
situ ia menerima laporan dari seluruh telik yang ia sebar
ke mana-mana. Sesaat kemudian Umbul Songo berkata
lagi dengan suara datar, "Haruskah peluru kami bicara?"
Kepala pengawal itu segera beranjak, dengan sangat
gugup. Ia tahu Umbul Songo tidak main-main.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Rumput-rumput juga tampak gemetar ditiup angin.
Kembali Umbul Songo menembuskan pandang ke
halaman belakang. Ia tahu di sana berbaris kereta-kereta
yang biasa ditarik kerbau. Kereta itu dibikin sedemikian
rupa kuat dan tertutup dan itu digunakan untuk
mengangkut para tahanan yang akan diperiksa. Belum
puas penelitiannya, saat itu Teposono keluar dengan
pedang di tangan kiri. Pakaiannya tidak teratur, demikian
pula rambutnya terurai kusut.
"Selamat malam, Yang Mulia!" Umbul Songo
membuka. "Ada sesuatu?" suara Teposono setelah menjawab
salam Umbul Songo. Dan Panglima itu tersenyum.
Teposono belum menyadari keadaan. Maka katanya
dengan masih di atas punggung kuda,
"Yang Mulia tahu siapa hamba?"
"Dulu panglima. Tapi sekarang hamba kepala sandi
Blambangan." Ia mengerutkan kening. Heran.
"Hamba tidak menanya masa lalu. Tapi hari ini!"
Lagi! Teposono tersinggung dilindas seperti itu. "Apa
maksud Yang Mulia?" "Yang Mulia menghendaki hamba gagal?" tuduh
Umbul Songo. "Tidak." "Dua orang berlencana Sriti membayangi kami."
Umbul Songo memerintahkan anak buahnya membawa
dua kuda pembawa mayat itu ke depan Teposono.
Terkejut. Membeliakkan mata sambil menggertakkan
gigi. "Berani membunuh anggota kami?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Yang Mulia tidak mendengar maklumat Menteri
Muka?" "Yang Mulia menyudutkan kami" Hamba bisa
membawa Yang Mulia kembali ke penjara. Juga ke
depan merta lutut!" Pengawal-pengawal Umbul Songo bergidik
mendengar itu. Namun Umbul Songo terbahak-bahak di
kesunyian malam. "Menyesal sekali, Yang Mulia. Itu bisa dilaksanakan
kemarin. Hari ini tidak! Esok juga tidak! Umbul Songo
sekarang adalah penguasa atas titah Baginda. Ia
berkuasa atas keamanan atau apa saja yang ada di
Blambangan. Semua perniagaan, semua gerakan laskar
darat maupun laut, semua menteri, dalam pengawasan
Umbol Songo. Kemarin ludah Yang Mulia bisa menjadi
api. Tapi sekarang" Jangan main-main! Api Yang Mulia
telah pudar sama sekali. Dan hamba datang sekarang
untuk membikin perhitungan. Lihat orang itu!" Umbol
Songo menunjuk kedua mayat. "Bukan kehendak kami
membinasakan mereka. Tapi tugas membuat kami harus
menyingkirkan siapa saja yang menghalangi perondaan
kami. Yang Mulialah yang harus
mempertanggungjawabkan kematian mereka."
"Dewa Bathara! Drubiksa mana yang telah merasuki
Yang Mulia" Pembunuh mencuci tangan?"
"Jawabannya ada di kepala Yang Mulia sendiri! Yang
Mulia pembunuh berdarah dingin! Sekarang kita telah
berhadapan. Sebagai kepala sandi Yang Mulia ada di
bawah hamba! Dengar" Tak seorang pun laskar boleh
keluar tanpa izin hamba!"
Teposono benar-benar terpojok. Tidak mampu
menjawab. Bibirnya komat-kamit menahan marah. Tapi
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
ia harus menerima kenyataan ini. Sampai kapan" Esok"
Lusa" Atau melawan saja" Tidak mungkin. Ia tahu persis
Umbol Songo sudah benar-benar siap. Sedang ia masih
baru bangun tidur. Demikian pun pengawalnya. Kata
Umbol Songo lebih menyakitkan lagi,
"Hamba sekarang yang bisa menyeret siapa pun ke
penjara. Mereka yang tak mendengar maklumat Menteri
Muka, dan yang melindungi perusuh, pasti akan punah.
Dengar" Hai dengar, Yang Mulia?" Teposono terpatri
tanpa suara. Diperhinakan di depan anak buahnya
sendiri. Dan Umbol Songo segera mengambil keputusan.
"Hai kalian, Para pengawal! Dengar! Mulai kini, kalian
bukan cuma pengawal rumah Yang Mulia. Tapi juga
Yang Mulia sendiri. Ia tak diperkenankan keluar halaman
rumahnya tanpa perkenanku! Dengar?"
Semua membisu memandang Teposono.
"Kepala regu!" Umbol Songo menindas dengan suara
keras. "Yang... Yang... Mulia menahan... ham... hamba?"
Teposono bergetar tanpa wibawa.
"Yang Mulia telah mencoba membokong!"
"Bukankah tak satu pun kejadian boleh lepas dari
pengamatan hamba." "Kini hamba tak terikat peraturan itu. Hamba penguasa
hukum di Blambangan saat ini."


Tanah Semenanjung Karya Putu Praba Drana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Umbul Songo menyentuh perut kudanya. Tak ingin
mendengar ketidakterimaan Teposono. Pengawalnya
mengikuti. "Hai, Orang-orang berlencana Sriti!" teriakan Umbol
Songo menggelegar lagi. "Jangan melangkah ke luar,
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
walau cuma sebelah kaki saja! Ingat! Kami adalah orang-
orang yang pernah bertempur di Surabaya. Awas, panah
dan bedil kami mampu bicara di segala tempat dan saat."
Kuda mereka kemudian bergerak lebih cepat
meninggalkan tempat itu. Sementara Teposono masih
termangu-mangu. Ia pandang mereka yang sebentar
kemudian lenyap ditelan kegelapan. Sulit ia mengerti,
kenapa dalam waktu sekejap Umbol Songo mampu
memulihkan kembali kewibawaannya. Ia tahu bila tak
terbendung maka selangkah lagi Blambangan akan
digenggam Umbul Songo. Kepalanya menjadi amat
pening. Marah dan malu menyatu. Ia toleh kepala regu
pengawalnya. Kemudian menunjuk kedua mayat anak
buahnya. Kembali ke kamar. Yang lain mengerti
tugasnya. Teposono menjatuhkan diri di pembaringan
dengan tanpa daya. 0oo0 Semua laskar gelisah dalam asrama masing-masing.
Tak peduli apakah perwira tinggi atau tamtama.
Ketegangan melanda seluruh Blambangan. Umbul
Songo meneliti setiap sudut Blambangan. Asrama-
asrama pun tak terkecuali. Kali ini ia sudah sampai di
depan asrama laskar pertama pasukan penempur.
Wituna, pemimpin laskar itu, segera menyongsongnya
dengan tergopoh-gopoh. "Selamat malam, Yang Mulia," katanya sambil
menyembah. "Wituna?" Umbul Songo tidak turun dari kudanya.
"Hamba, Yang Mulia."
"Lengkapkah anak buahmu?" Kudanya tetap bergerak
perlahan memasuki pelataran asrama. Pelataran yang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
sangat luas. Karena di situ juga mereka biasa berlatih. Di
dalam perbentengan asrama laskar pertama itu terdapat
tujuh barak. "Tak seorang pun melanggar perintah."
"Berapa orang-semuanya?"
"Tujuh ratus." Wituna mengikuti langkah kuda Umbul
Songo dengan kakinya. Sementara itu dengan lambaian
tangan Umbul Songo memerintahkan pengawalnya
mengadakan perondaan ke barak-barak.
"Kau berani bertempur, Wituna?"
"Hamba, Yang Mulia."
"Kenapa tak kau lindas kerusuhan yang terjadi?"
"Ampun, Yang Mulia. Belum ada perintah."
"Atau kau menerima suap dari orangmu yang terlibat?"
"Ampun, Yang Mulia..."
"Kau tahu aku panglima penumpas kerusuhan?"
"Hamba, Yang Mulia."
"Kau tahu berapa orangmu yang terlibat dalam
perampasan harta benda kawula?" Kini Umbul Songo
berhenti. Tepat di halaman barak para perwira. Namun
tetap saja perwira tinggi itu tidak turun dari kudanya.
Dengan pedang tergantung di pinggang kiri, serta kumis
lebat di bawah hidungnya Umbul Songo kelihatan gagah.
Pandangan matanya seperti burung hantu, membuat
Wituna gemetar. "Ampun, Yang Mulia..."
"Atau kau sendiri juga melakukan perampasan?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Ampun Yang Mulia, hamba juga sudra. Anak petani
tidak mungkin berbuat demikian pada sudra sendiri."
"Wituna!" Umbul Songo membentak. Mengejutkan
semua perwira yang masih tidur dalam barak. "Kau telah
menerima pendidikan laskar asing yang rakus. Belum
tentu sudra berbakti pada bapanya sendiri. Sudra yang
mensatriakan diri seperti kau ini bisa menjadi banaspati
(Setan penghisap darah melalui ubun-ubun) dari bapamu
sendiri!" "Hyang Maha Dewa tak akan pernah mengampuni
orang semacam itu, Yang Mulia."
"Kau ingin mengatakan aku salah" Awas jika aku
kelak mengetahui kau punya simpanan kerbau, lembu,
atau apa pun di kawula. Ingat! Mereka yang tertumpah
keringatnya itulah yang membayar semua yang kalian
makan dan kalian gunakan untuk berfoya-foya."
"Hamba berjanji, Yang Mulia!"
"Di hadapan Hyang Durga Bathara Istri?"
"Hamba, Yang Mulia," Wituna meyakinkan diri.
"Aku tidak menyalahkan kalian memiliki harta benda.
Yang aku persoalkan adalah perampasan ternak kawula
oleh beratus-ratus laskar, dan kemudian menyuruh
kawula tersebut memelihara ternak itu atas nama laskar
yang telah merampasnya."
Sementara itu yang meronda barak-barak telah
kembali. Wulung maju melapor.
"Semua ada, kecuali lima orang, Yang Mulia."
Di bawah sinar obor Wituna melihat dahi Umbul Songo
berkerut. Kemudian menoleh padanya. Buru-buru ia
menunduk untuk menghindari pandangan Umbul Songo.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kumpulkan semua perwiramu!" Suara dingin terlontar
setelah dengusan napas. Dan segera para perwira yang
memang mendengar kata-kata Umbul Songo dari balik
dinding sambil mengintip gemetar. Satu-satu mereka
keluar dari pintu seperti tikus tersiram air untuk kemudian
berbaris di belakang Wituna. Ketakutan.
"Ke mana mereka Wituna?"
"Ampun... tak ada ..."
"Ini pelanggaran! Penggal kepala mereka besok! Mau
kau?" geram Umbul Songo.
"Ham... hamba, Yang Mulia."
"Dengar, Semua perwira! Setiap mereka yang
melanggar dikenakan hukuman. Tak boleh ada anugerah
lain kecuali kepala mereka yang dungu itu dipisahkan
dari tubuh mereka! Dengar?"
Para perwira itu mengangkat sembah bersama-sama.
"Satu lagi, Wituna! Asrama terdekat dengan kediaman
Teposono, adalah asramamu. Dari menara
pengawasanmu itu," Umbul Songo menunjuk menara di
sudut kanan perbentengan asrama Wituna, "kalian harus
mengawasi rumah Teposono. Siapkan kuda-kuda terbaik
kalian di depan pintu perbentengan kalian. Sehingga bila
ada seorang saja keluar dari halaman rumah Teposono,
kejar dan binasakan! Ini perintah! Dengar kau, Wituna?"
"Tapi..." "Perintahku adalah titah Sri Prabu!" Umbul Songo
memotong. "Teposono telah dikenakan penahanan
rumah! Ingat, setiap pembangkangan adalah kematian."
"Kami sendiri tidak kuasa keluar asrama?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Untuk keperluan itu, boleh. Kalian tidak akan
dipersalahkan. Orang-orangku bisa tahu."
"Hamba, Yang Mulia."
Setelah Umbul Songo pergi, Wituna memanggil
tamtama jaga menara. Disampaikanlah perintah Umbul
Songo. Dengan pesan untuk menyampaikan pesan itu
p?ia pada penggantinya. Dan ia tak mengerti makna
perintah itu. Namun tamtama tetaplah tamtama. Mengerti
atapun tidak ia harus mengerjakan perintah.
Pagi harinya Wituna segera membicarakan tuduhan
Umbul Songo dengan para perwira bawahannya di ruang
pertemuan barak perwira. Ruangan itu terletak di tengah-
tengah barak. Di setiap dindingnya dihias dengan dua
pedang bersilang dengan perisai di tengahnya. Salah
satu dinding dipasang lambang Sonangkara kepala
anjing itu. Kain merah darah melatarbelakangi lambang
negara mereka. Dan tampak Wituna duduk persis di
bawah lambang itu. Sedang anak buahnya mengitari.
"Beliau telah tahu segalanya," Wituna memulai. "Dan seperti kalian ketahui kita dituduh melindungi kaum
perusuh. Bagaimana dengan lima tamtama kita ini?"
"Kita laporkan saja bahwa kita sudah menghukum
mereka," jawab seorang di antara mereka. "Toh Yang
Mulia Umbul Songo tak tahu jelas siapa orang kita yang
terlibat itu." "Tapi kita sudah bersumpah di hadapan Hyang Durga.
Lagi pula bagaimana jika nanti malam beliau datang lagi
dan menanyakan buktinya?" Yang lain lagi memberikan
pendapat. "Kalau begitu," Wutungan, wakil Wituna memberi
pendapat, "kita harus laksanakan dengan seksama
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
perintah itu. Bukankah pembangkangan dalam keadaan
damai begini menggambarkan betapa kotornya jiwa
mereka. Mereka telah liar seperti serigala. Mencuri dan
merampas harta benda penduduk. Memperkosa saudara
setanah air." "Kau tahu sendiri?" Wituna tersentak.
"Apakah ini rahasia" Kau tak pernah pulang ke
desamu," Wutungan menjelaskan, "maka kau tak pernah
dengar tangis ibu-bapamu karena tingkah anak buah
kita." "Tapi mereka adalah teman kita," seorang lagi
berusaha mencegah. "Teman yang selalu mementingkan diri sendiri, akan
menyeret kita ke dalam kecelakaan. Kau dengar
maklumat Menteri Muka" Mereka berani membangkang.
Bukankah membiarkan mereka sama dengan
memelihara borok dalam tubuh kita?"
"Seperti usul semula tadi, buat laporan____"
"Betapa dangkalnya kepalamu. Atau mungkin kau
menghendaki kepala kita berguguran berbareng"
Seorang panglima seperti Yang Mulia Umbul Songo itu
memiliki mata yang berlaksa-laksa. Sebanyak itu pula
tangannya," Wutungan menerangkan lagi.
"Segala kehendaknya harus terjadi?" perwira lain
heran. "Dalam asrama seperti ini tak satu pun yang bisa
bersembunyi dari penglihatannya," kini Wituna
menjelaskan. Yang lain terdiam. Akhirnya diambil
keputusan bersama"penggal kepala mereka!
Seorang pengawal diperintahkan memanggil orang-
orang tersebut. Dan satu-satu mereka dibawa masuk.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tamtama Wingi yang pertama kali dihadapkan pada para
pemeriksa. "Apa hasilmu semalam, Wingi?" Wituna bertanya
sambil mengamati anak buahnya itu.
"Hamba mengunjungi ayah hamba."
Wituna mendengus. Menirukan gaya Umbul Songo.
"Berapa banyak kerbaumu?"
"Cuma dua." Wingi mulai berdebar.
"Dua puluh berapa, hai Wingi?" tiba-tiba Wituna
membentak geram. "Empat..." Wingi bingung.
"Dua puluh empat?" Wituna heran. "Kalian dengar?"
tanya Wituna memalingkan wajahnya pada perwira-
perwira lain. Kemudian menoleh lagi pada Wingi.
"Seorang perwira pun tak punya sebanyak itu, Wingi.
Kau telah menyalahgunakan senjata dan pakaian yang
diberikan kepadamu."
"Tidak, Pimpinan."
"Siapa yang perintahkan kau keluar semalam?"
"Tidak ada...."
"Siapa?" Wutungan yang membentak.
"Bintara... Wangkit...." Tamtama itu tambah gugup.
Seperti ayam yang berada dalam kepungan serigala.
"Gila! Wangkit yang begitu kaya itu" Kau yang
mempersembahkan gadis Setail itu?" Wituna bertanya
lagi. "Benar, Pimpinan."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Juga temanmu yang empat itu, merampok semua tadi
malam?". "Ti... ti... tidak."
"Tidak" Kau bohong! Mendurhakai Hyang Yama. Di
mana kau merampok tadi malam?" Wituna lebih
memojokkannya. "Di Sungai Setail."
"Demi keagungan Hyang Yama, katakan siapa saja
yang pernah kau suap?" tanya seorang perwira yang
duduk di sebelah Wutungan. Membuat Wingi semakin
gemetar. Ia kini menyadari sedang menghadapi
pemeriksaan oleh suatu sidang. Sementara ia terdiam,
terdengar lagi yang lain berkata,
"Kau perlu dihadapkan pada Hyang Bathara Guru,
karena memunggungi Hyang Yama." "Ampun,
Pemimpin." "Pemimpinmu bukan Wituna tapi Wangkit," Wutungan
membentak lagi. "Siapa saja yang kau suap?" yang lain ikut
membentak. "Ampun..." "Siapa?" Wituna menggeram.
Wingi putus asa. Ia menyebut beberapa nama.
Sepuluh bintara, beberapa puluh lagi tamtama. Juga
beberapa orang berlencana Sriti.
"Mulai hari ini, kau tak diperkenankan masuk barakmu.
Pengawal!" seru Wituna. "Bawa dia masuk ke dalam bilik penahanan!"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Nasibmu di tangan Yang Mulia Umbul Songo,"
Wutungan menambahkan. Semua orang yang disebut
oleh Wingi juga dimasukkan ke bilik penahanan. Pakaian
mereka segera ditanggalkan seketika itu juga.


Tanah Semenanjung Karya Putu Praba Drana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Beberapa bentar kemudian Wangkit dibawa masuk ke
ruang sidang perwira. Semua pemeriksa menajamkan
mata. Wangkit ternyata mempunyai banyak emas untuk
membikin tanda-tanda kebesarannya sendiri. Tak heran
tanda-tanda kebesarannya berkilau. Walau masih belum
begitu berumur, Wangkit tergolong gemuk. Perutnya
menonjol keluar. Terlalu banyak makan rupanya.
Dadanya berbulu. Giginya agak menonjol keluar, sedang
hidungnya boleh dibilang pesek. Di atas bibirnya yang
tebal itu ditumbuhi kumis yang kurang teratur. Matanya
terlihat agak sipit karena pipinya yang gemuk. Orang itu
memberi peng^ hormatan pada Wituna. Dan dibalas
dengan anggukan. Wangkit kemudian duduk dengan angkuh setelah
diperintah. "Kau tahu keadaan negeri kita akhir-akhir ini?" Wituna menyabarkan diri.
"Ya. Kerusuhan di mana-mana."
"Tepat sekali. Kau tahu siapa perusuh-perusuh itu?"
"Mereka yang telah diberhentikan dari kelaskaran."
"Wutungan, periksa dia!" Wituna menyerahkan.
"Aku diperiksa?" Wangkit terkejut.
"Ya. Atas perintah Yang Mulia Umbul Songo,"
Wutungan menjawab. "Aku di barak waktu perondaan tadi malam." Wangkit
membela diri. Namun hatinya mulai berdebar.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Apa yang kau peroleh dari Wingi?" Wutungan tidak
menggubris pembelaan dirinya. Wangkit terhenyak dalam
duduknya. "Tidak ada." Ia berusaha menenangkan diri kembali.
"Nah... Saudara-saudara," Wutungan bicara pada
teman-temannya, "inilah gambaran manusia yang
mengingkari yama (hukum. Hyang Yama= dewa yang
mengatur hukum-hukum) dan gama (peraturan)"
"Tuan Wutungan! Apa maksud Tuan?" Wang-kit tidak
terima pada perlakuan yang diberikan Wutungan.
"Kau memperbutakan kami selama ini. Sudra yang
tidak pernah mendengar jeritan sudra sendiri. Bangga
dengan tujuh istrimu itu" Dan beberapa ratus kerbaumu"
Lumbung padimu" Pohon kelapamu" Yang semuanya
hasil rampasan milik kawula!"
"Warisan..." "Warisan nenek moyangmu?" Wutungan
mematahkan. "Demi Hyang Maha Dewa."
"Drubiksa! Berani kamu menyebut. Dewa untuk ikut
mempertanggungjawabkan perbuatanmu" Perlu
kudatangkan saksi" Lepaskan tanda pangkatnya!"
Wangkit menolak waktu seorang perwira akan
melepaskan sabuk kebesaran dan kerisnya. Namun
sebuah kepalan dari perwira lainnya mendarat di
mukanya. Lagi seorang menggocohkan bogemnya ke
dekat mata Wangkit. Sehingga ia tidak berdaya waktu
sabuk emas dan kerisnya dilucuti. Matanya menjadi
bengkak dan warna biru menandai bekas pukulan.
"Tapi..." Wangkit berusaha.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Tak ada tetapi! Ayahmu, kakekmu, moyangmu, sudra
seperti kami," Wutungan menekan terus.
"Seorang perwira tinggi pun tak punya kekayaan
seperti kau!" Wituna menyela pemeriksaan Wutungan.
"Kalian iri!" Wangkit memberanikan diri. "Aku
dianugerahi kekayaan oleh Hyang Kuwera (dewa
pemberi berkat kekayaan).."
"Bagus, semakin banyak dosamu! Semakin kau
melibatkan Dewa untuk menyucikan kejahatanmu! Tahu
kau, Wingi telah mengakui semuanya."
Wangkit lunglai tanpa wibawa. Bibirnya yang tebal
menganga pucat. Ia meronta waktu digiring ke bilik
penahanan. Tapi kembali beberapa pukulan
menjinakkannya. Setelannya sepuluh bintara lainnya
mendapat pemeriksaan bergilir, juga dua orang perwira
serta puluhan tamtama lainnya. Semua menghadapi
persidangan kilat. Wituna segera menghadap Umbul
Songo setelah pemeriksaan selesai. Dan Umbul Songo
tak ingin mengulur waktu untuk mematahkan mata rantai
kejahatan yang sedang berkecamuk di Blambangan itu.
Maka keputusannya ialah: "Laksanakan segera hukuman
mati!" Hal itu terjadi juga di asrama-asrama lain. Umbul
Songo juga menandatangi beberapa kampung untuk
memeriksa kebenaran berita bahwa banyak anggota
laskar Blambangan yang punya harta rampasan dititipkan
pada penduduk. Puas memperoleh keterangan, Umbul
Songo kembali ke Lateng. Kemudian memerintahkan
anak buahnya istirahat dan mempersiapkan bahan
makanan. Setelah itu ia masuk ke ruang kerja para
perwira tinggi laskar darat Blambangan. Sepi-sepi saja.
Banyak di antara mereka yang tinggal bersama anak
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
buahnya di asrama-asrama. Arya Bendung sedang
duduk bersama beberapa perwira tinggi. Tidak banyak
yang mereka bicarakan. Karena pembicaraan mereka
memang berkisar tentang sepak terjang Umbul Songo.
Lain tidak. Maka mereka menjadi terdiam kala Umbul
Songo meniti hamparan batu naik ke ruangan kerja yang
terletak sebelah kanan perbentengan istana
Blambangan. Ruangan itu hampir tidak berbeda dengan ruangan
perwira-perwira pemimpin laskar Blambangan di asrama-
asrama. Cuma di sini lebih luas dan lantainya dihampari
permadani. Juga dihiasi patung-patung Bathara Indra di
setiap sudutnya. Seperti kebanyakan bangunan kerajaan
yang terbuat dari kayu ulin, demikian pula halnya dengan
bangunan ini. Dindingnya terbuat dari kayu ulin tua yang
diukir-ukir dengan berbagai lukisan. Di atas tempat duduk
Arya Bendung terpampang gambar Sonangkara.
Umbul Songo langsung menuju para perwira tinggi di
sekitar Arya Bendung. Gagah sekali langkahnya. Sesuai
dengan tubuhnya yang gempal. Waktu berjalan
terdengar gesekan pedang di pinggangnya dengan
sabuk atau bara-bara. Bahkan kadang kedua binggalnya
pun beradu. "Yang Mulia kelihatan letih," Arya Bendung berbasa-
basi setelah Umbul Songo menyembah dan mengambil
tempat duduk. "Ada yang ingin hamba sampaikan." Umbul Songo tak
acuhkan basa-basi Arya. "Silakan." , "Yang Mulia Teposono telah melakukan pelanggaran.
Ia telah mengirim dua orang untuk membayangi kami,"
Umbul Songo memancing Arya Bendung.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Lalu?" "Kami telah bungkam mereka untuk selama-lamanya."
"Yang Mulia membunuh mereka?"
"Demi kewibawaan maklumat Yang Mulia sendiri, demi
Sri Prabu, demi Hyang Yama." "Jagat Dewa."
"Hamba juga telah mengenakan penahanan rumah
pada Yang Mulia Teposono dan seluruh orang
berlencana Sriti." '
"Dewa Bathara!"
"Sebagian besar dari mereka terlibat pemerasan dan
perampasan." "Kenapa justru laskar sendiri Yang Mulia periksa?"
"Setiap perbaikan harus diawali dari diri sendiri. Orang
yang bertangan kotor tak mungkin membersihkan
sesuatu." "Kami tak pernah sekotor mereka."
"Benar! Tapi bila anak-anak kita melakukan
pendurhakaan, bukankah itu berarti memuncratkan
lumpur ke dahi kita."
"Ah... barangkali Yang Mulia kali ini terlalu letih." Arya Bendung menghindarkan pembicaraan lebih lanjut.
Sedang para perwira tinggi lainnya cuma diam sambil
memperhatikan. " "Masih ada hari esok. Istirahatlah dulu, Yang Mulia."
"Hamba tak ingin kehilangan waktu. Hamba akan
segera ke luar kota. Setelah para pengawal itu cukup
istirahat." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Cuma dengan tujuh orang ke luar kota" Sarang-sarang mereka?"
"Tidak! Hamba akan mohon tambahan tujuh orang lagi dari laskar berkuda. Dan mohon dipersenjatai lengkap.
Ingat, Yang Mulia, tiap gerakan besar laskar Blambangan mengundang kecurigaan Mengwi."
Arya Bendung mengangguk-angguk. Hatinya mengakui kecerdikan Umbul Songo. Blambangan memang seperti telur di ujung tanduk. Karena itu ia perintahkan seorang caraka menyiapkan apa yang diminta Umbul Songo. Walau ia sebenarnya belum mengerti siasat yang akan diambil Umbul Songo.
Ketika mentari tepat di atas kepala, Umbul Songo meninggalkan gedung pertemuan para perwira tinggi itu.
Empat belas prajurit pilihan mengiringinya. Tak ayal, dari balik dinding-dinding batu, kawula mengintip gerakan Umbul Songo. Tidak sedikit dari mereka yang diam-diam berdoa untuk keselamatan Umbul Songo. Dan gerakan ini dibicarakan dari desa ke desa. Kota ke kota.
Hampir tidak masuk akal, seperti ada perjanjian saja kaum perusuh menyingkir semua. Mereka takut pada seorang panglima perkasa yang pernah mengalahkan mati itu. Jadi Umbul Songo hampir tidak mendapat perlawanan yang berarti. Kalau ada maka mereka itu sebenarnya adalah perampok-perampok picisan yang tidak tahu keadaan. Dan setiap ketidaktahuan itu harus mereka bayar mahal. Umbul Songo tidak segan memenggal kepala mereka di depan mata kawula.
Suatu hari iring-iringan Umbul Songo itu berhenti di depan rumah Haryo Dento. Semua orang turun, dan Haryo Dento melihat Umbul Songo memasuki pelataran
rumahnya yang luas itu. Sedang pengawalnya
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
ditinggalkan di jalanan. Sampai di gardu penjagaan
rumah itu Umbul Songo mendapat penghormatan dari
laskar laut yang sedang menjaga rumah Haryo Dento.
Cara mereka menghormat agak berbeda dengan laskar
darat. Pedang mereka yang lebih panjang dari milik
laskar darat itu mereka cium lebih dulu baru mereka
angkat di atas kepala lalu menjatuhkan ke samping
kanan dengan ujung pedang menghadap ke tanah.
Tubuh mereka sendiri lurus dan kaku seperti patung.
Umbul Songo pun membalas penghormatan itu dengan
sikap gagah. Selesai penghormatan itu baru Haryo Dento
turun dari pendapa untuk kemudian berlari menjemput
temannya. "Dirgahayu...!"
"Dirgahayu, Yang Mulia...," balas Umbul Songo.
Keduanya sama-sama gagah. Berjalan sebelah -
menyebelah. Seperti dua tokoh wayang purwa Antareja
dan Gatotkaca sedang berjalan bersama-sama.
Tanaman sekeliling rumah besar itu tidak berubah.
Pohon kelapa, berderet sepanjang pagar. Daunnya
melambai ditiup angin seolah memberi salam pada
Umbul Songo. Pendapa rumah perwira tinggi laskar laut itu juga tidak
ada perubahan. Kerang-kerang laut sebagai hiasan
masih saja tergantung di bambu petung berjajar tiga dan
tertempel pada dinding kayu di sebelah kanan balai-balai
besar yang disediakan untuk tempat duduk bagi para
tamu, terdapat ukiran patung Antaboga(ular raksasa
yang menjadi dewa penguasa bumi dan samudra karena
itu ular ini digambarkan bermahkota. Wujudnya tetap ular
yang besar) sebesar tubuh manusia, terbuat dari kayu
timanga hitam. Sedang di sebelah kiri ada sebuah
bendera segitiga merah dengan gambar ikan cucut
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
kuning di tengahnya. Disulam dengan benang emas.
Lambang kebesaran seorang laksamana Blambangan.
"Hebat, Yang Mulia begitu cepat mengubah keadaan,"
puji Haryo Dento sesaat setelah masing-masing duduk.
"Tapi masih rapuh!" Umbul Songo menjawab sambil
masih saja memandangi seputarnya. Haryo Dento
mengerti ke mana arah larinya pikiran Umbul Songo itu.
Maka dengan isyarat ia mengatakan bahwa rumah itu
aman. "Mereka tak berarti apa-apa tanpa laskar dan
Teposono." "Mereka masih punya Mangkuningrat."
"Ya... kita tak mungkin menyingkirkannya____"
"Hamba tak mampu menghadapi mereka sendiri.
Terutama di laut. Karenanya perlu segera Yang Mulia
pun turun ke laut." "Tapi hamba..."
"Tidak ada tetapi, Yang Mulia." Umbul Songo menatap
tajam pada temannya itu. "Justru dari laut ini hamba
melihat mereka akan mampu mencairkan maklumat
Menteri Muka. Itu bahaya! Dengan terkurungnya mereka
dalam asrama masing-masing, berarti kekuatan mereka
sedang terbelah-belah. Dan kita harus menggunakan
kesempatan ini." "Kalau begitu hamba harus menghadapi perompak-
perompak dengan armada yang compang-camping?"
"Ya. Hamba sudah menghadap Samodraksa. Dan
beliau tidak keberatan Yang Mulia memilih kapal dan
laskar yang akan Yang Mulia bawa. Hamba mencurigai
adanya kapal perang Blambangan yang merompak di
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
mana-mana. Karena itu Yang Mulia sendiri yang harus
memadamkannya. Samodraksa Laksamana Penjalu
setuju dengan gerakan kita ini."
"Terima kasih, Yang Mulia. Hamba akan kerjakan hari
ini juga. Yang Mulia telah mengambil prakasa yang lebih
pintar dari siapa pun. Hamba percaya Penjalu telah
menyediakan kapal yang terbaru dan terbaik untuk
hamba. Terima kasih."
"Hamba juga berterima kasih, yang Mulia. Demi Hyang
Maha Dewa, kita hanya berdua. Karena itu mari saling
membantu. Ingat, Yang Mulia. Kita hanya berdua di
tengah para drubiksa! Nah, selamat bekerja! Dirgahayu,
Yang Mulia!" "Dirgahayu!" balas Haiyo Dento mengiringi temannya.
Umbul Songo meneruskan perjalanan ke arah barat.
Orang yang berada di belakangnya mengibarkan umbul-
umbul Jingga dengan gambar kepala sona (anjing.
Bendera perang laskar darat Blambangan berwarna
merah dengan gambar kepala srigala di tengahnya).
Tanpa sorakan seperti laiknya bila laskar Blambangan
mancal bertempur. Kuda mereka berlari kencang. Debu
beterbangan mengejar mereka. Bahkan sudah
menggumuli orang yang di belakang. Sesudah mereka
menempuh beberapa jarak jauhnya, Umbul Songo
membelokkan kudanya ke kiri. Ke selatan. Masih saja


Tanah Semenanjung Karya Putu Praba Drana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mereka belum mengurangi kecepatan. Mereka sedikit
lega karena jalanan yang mereka lalui kini berumput. Di
kiri-kanan jalan itu masih merupakan hutan cukup lebat.
Bahkan kadang mereka melihat di depan mereka
kawanan kijang berlarian masuk belukar dengan
ketakutan mendengar derap kaki kuda. Atau kawanan
monyet di pohon-pohon menonton sambil berteriak-teriak
seperti layaknya manusia menonton balapan kuda.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Namun pengawal Umbul Songo tak sempat marah.
Mereka takut ketinggalan kawan-kawannya. Dan itu akan
berarti membangkitkan kemarahan Umbul Songo. Jadi
mereka harus menerima kenyataan. Menjadi tontonan
monyet. Beberapa lama lagi Umbul Songo mulai mengajak
mereka memasuki lereng bukit Srawet. Dan memang
berita yang didengar Umbul Songo tidak salah. Di sini
berdiri sebuah perkampungan baru di luar
sepengetahuan para bekel dan demang apalagi
Tumenggung. Dari jauh Umbul Songo sudah melihat
perkampungan baru itu dibangun dengan sederhana.
Puluhan rumah. Dibangun dengan ukuran yang lebih
kecil dibanding rumah-rumah di Ibukota. Lateng. Semua
dinding terbuat dari bambu yang dianyam. Dan semua
atap dari ilalang. Belum ada pohon kelapa satu pun.
Namun kala Umbul Songo memasuki perkampungan itu
telah sepi. Melihat kenyataan itu Umbul Songo menyiapkan diri.
Laskarnya siap dengan bedil di tangan. Perlahan-lahan
mereka memasuki perkampungan dengan tanpa turun
dari kuda. Ternyata tidak semua orang bersembunyi.
Seorang anak kecil tersisa, bahkan menonton dari balik
pagar di pinggir jalan. Dengan imbalan uang perak anak
kecil itu menunjukkan di mana rumah kepala kampung
berada. Ngore, nama kepala kampung itu. Ia tergopoh-gopoh
keluar dari persembunyiannya. Ia tak ingin melihat akibat
buruk menimpa penduduknya. Kemudian ia dihadapkan
pada Umbul Songo yang masih duduk di atas punggung
kudanya. "Ngore?" Umbul Songo menyapa dalam
keheranannya. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Hamba, Yang Mulia," Ngore menyembah.
"Kau mesanggrah di sini?" Umbul Songo masih
memperhatikan wajah bekas perwiranya itu. Kelihatan
lebih kurus dan kulitnya agak keriput. Otot-ototnya
kelihatannya menonjol. Walaupun usianya masih empat
puluhan. Ternyata alam tidak mau berdamai dengannya.
Alam selalu mengadakan pemilihan, siapa yang mampu
bertahan terhadap keganasan pemilihan itu maka ia akan
berhak tinggal. "Hamba tinggal. Bukan mesanggrah," Ngore
memberanikan diri. "Berapa anak buahmu?" Umbul Songo mulai
menyelidiki. Sementara Ngore terdiam. Ia mengerutkan dahi.
Namun mata bekas pemimpinnya itu makin menajam.
Sedang sepanjang jalan di kampungnya berjajar para
pengawal pilihan dengan bedil di tangan.
"Lima puluh." Ia terpaksa menjawab. Umbul Songo
kaget. Ia geleng kepala perlahan-lahan. Namun...
"Kau sedang berhadapan dengan Umbul Songo. Kau
lihat! Orangku siap dalam jajar perang."
"Hamba." Ngore masih teringat kecerdikan orang ini.
Ia tidak begitu gentar menghadapi empat belas pengawal
itu. Tapi ia khawatir akan barisan lapis kedua yang lebih
kuat dari ini. "Aku datang bukan untuk membinasakan kalian,"
suara Umbul Songo sabar. "Tapi untuk meluruskan jalan
kalian. Merampok bukan jalan untuk menjangkau tujuan.
Juga bukan cara bagus untuk membenahi kehidupan."
"Kami... di sini... bukan perampok," Ngore membela
diri. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Hyang Maha Dewa tak membenarkan kebohongan!"
"Ampun Yang Mulia, hamba tak pernah..."
"Tak ada sawah di sekitar perkampunganmu. Cuma hutan melulu. Sedang kau tahu, Ngore, tak ada beras turun begitu saja dari langit. Tiap butir padi, tiap suap nasi adalah tetesan keringat. Keringat kawula. Keringat sudra."
Ngore terdiam lagi. Umbul Songo mendesak terus.
"Kumpulkan anak buahmu! Aku akan bicara langsung dengan mereka. Aku akan istirahat di sini bersamamu."
"Mereka masih bekerja di ladang."
"Ini sudah senja. Dan kalian tak memiliki ladang. Bila kuaniaya anak ini atau kau, mereka akan keluar dari balik gerumbul. Dan bila aku bukan panglimamu, yang masih mencintai kalian, itu sudah kulakukan sejak tadi. Dan begitu mereka keluar, peluru kami yang bicara. Dengar kau, Ngore?"
Untuk kesekian kalinya Ngore tergagap. Tak mampu berjawab.
"Tak percaya?" Sekali lagi Umbul Songo memaksa.
Kemudian sambil mendongak lamban, Ngore menjawab dengan suara berat.
"Ampun, Yang Mulia, tak seorang pun yang berdiri di barisan musuh boleh diper..."
"Dewa Bathara! Kau telah memusuhi Blambangan"
Bukan memperbaiki" Kau telah sama dengan drubiksa Mengwi atau Mataram" Manusia yang telah menjadi drubiksa!" Umbul Songo marah. "Jika demikian halnya tak ada keberatanku menumpas kalian. Orang yang menjadi lintah bagi temannya sendiri!"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Bukan begitu Yang..."
"Tidak bisa tidak!" Suara Umbul Songo makin keras.
"Kau telah rampas padi kawula yang tak berdaya! Kau
curi ternak petani. Juga uang pedagang kecil! Kau tak
pernah menyadari betapa mahalnya mereka membayar
hidup mereka. Kerja kalian" Cuma menjadi beban
kawula! Momok! Bukan cuma itu. Kalian telah menjadi
serigala atas bapa kalian sendiri!"
"Ampun, Yang Mulia."
"Setiap kejahatan takkan berumur panjang. Karena itu
kerjakan perintahku! Ingat, jangan cuma berbangga
dengan pengalaman perang di Surabaya! Pengetahuan
semakin berkembang maju. Juga dalam kelaskaran.
Siapa yang menolak pengetahuan, ia buta akan
kenyataan." "Benar-benarkah Yang Mulia bukan hendak
menangkap kami?" "Jangan membuatku makin marah, Ngore! Aku hendak
menginap di rumahmu malam ini."
Ngore tertunduk. Mengawasi batu-batu bercampur
tanah di bawah kakinya. Juga kerikil-kerikil tajam tanah
perbukitan Srawet itu. Namun sesaat kemudian ia
memberi hormat dan terima kasihnya. Umbul Songo dan
para pengawalnya berlompatan turun dan masuk ke
pendapa kecil rumah Ngore, yang sebenarnya lebih tepat
dinamakan gubuk. Karena bangunannya tidak kokoh.
Sementara itu Ngore memukul kentongan.
Mereka yang bersembunyi terheran-heran. Tapi tidak
bisa tidak, mereka harus keluar. Mereka terbiasa patuh
sejak dalam kelaskaran dulu. Karena itu baik laki-laki
maupun wanita dan anak-anak satu-satu memasuki
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
pelataran depan pendapa rumah Ngore. Umbul Songo
memperhatikan mereka dari tempat yang agak tinggi di
titian pendapa itu. Kakinya renggang dan tangannya
bersilang di depan dada. Sikap itu membuat setiap orang
yang bertemu pandang dengannya tertunduk. Tetapi
Umbul Songo tidak menggubris itu. Ia sedang mengingat-
ingat tiap wajah yang rasanya banyak yang pernah
dikenalnya. Namun tidak sedikit yang ia sudah lupa sama
sekali. Bersamaan dengan itu kegelapan pun turunlah.
Umbul Songo masih saja diam. Menunggu suara
mereka yang seperti lebah pindah sarang itu berhenti.
Sesaat kemudian, "Dirgahayu!" serunya sambil mengangkat tangan
kanannya. "Dirgahayu!!!" jawab mereka serentak. Umbul Songo
tersenyum, wajahnya kembali cerah.
Sekali lagi ia ucapkan dirgahayu. Dan sekali lagi
mereka menjawab serentak.
"Adakah kalian memusuhi Blambangan?" Ia bertanya
pada semua. "Inilah aku! Bunuh aku sekarang juga! Aku
tidak melawan. Sungguh! Aku tak akan melawan."
"Tidak! Demi kejayaan Blambangan panjang umurlah
Panglima," jawab mereka bersaut-sautan.
"Aku bukan perampok!" Umbul Songo menekan
mereka. "Kami pun." "Dengar kalau begitu! Mulai hari ini, hentikan
perampokan atas kawula!"
"Tapi kami dirampok oleh tamtama."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kami telah ambil tindakan pada mereka semua! Dan
akan terus dibersihkan. Kalian harus membantu kami!
Dengar" Kita bernasib sama. Nah, sekarang kalian harus
membuka sawah dan ladang. Jangan biasakan diri
dengan segala bentuk perampasan. Sekarang kalian
disingkirkan. Pada ketikanya kalian dibutuhkan. Dengar?"
"Dengar! Dengar!"
"Akulah panglimamu yang juga disingkirkan. Sekarang
aku dibutuhkan, untuk menumpas kalian. Tapi esok
mungkin kepalaku dipenggal."
"Kalau begitu, Panglima bersama kami saja. Di sini."
"Itu mempercepat kematian kita sendiri."
"Kami akan bela pati untuk Panglima!" "Sungguh?"
"Akur..." Gemuruh. Membanggakan hati Umbul Songo.
Senyuman menghias bibirnya.
"Terima kasih. Itulah sebabnya aku tidak tumpas
kalian. Pembuat keonaran sebenarnya bukan kawula.
Sudra tak pernah merencanakan kebusukan, bila tak
diracuni lebih dahulu oleh para drubiksa. Nah, sekarang
bila kau dirampok, lawanlah! Berani?"
"Berani! Sanggup!" Laki-perempuan bersuara
berbareng. Dengan hati gembira dan dengan suasana damai
Umbul Songo membubarkan. Bersamaan dengan
keluarnya mereka dari pelataran Ngore itu Umbul Songo
memerintahkan laskarnya membagikan uang perak yang
mereka dapat dari Kuwara Yana. Suatu sikap yang tak
pernah dilakukan oleh laskar Blambangan sebelumnya.
Esok harinya Umbul Songo mengajak laskarnya untuk
memimpin penebangan hutan sebelah timur bukit Srawet
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
yang masih dataran rendah itu. Berat karena tak terbiasa.
Namun tak menggerutu. Bahkan malam hari kala sudah
lelah mereka masih dipanggil untuk pembagian tugas
esok harinya Lagi. Mereka diperintahkan kerja terus
untuk membantu anak buah Ngore.
"Jangan tinggalkan tempat ini sebelum aku datang.
Kita belajar menaklukkan mereka dengan tanpa perang.
Sementara aku pergi, Bader ku tunjuk sebagai pimpinan
rombongan." "Hamba, Yang Mulia," jawab orang yang disebut
namanya. "Sedang kau, Cili, pergilah ke Lateng. Menghadap
Menteri Kuwara Yana untuk minta uang dan perbekalan
makanan. Ini lontarku."
"Hamba, Yang Mulia," Qili juga menjawab.
"Kepada yang lain tidak perlu tahu ke mana aku pergi.
Tapi kerjakan semua perintahku. Siapa yang berani
bernirneyana akan kuburu dan kupenggal kepalanya."
"Hamba, Yang Mulia," jawab semua laskar Umbul
Songo. "Dan kau Abrit, ikut aku. Jangan tanya ke mana dan
jangan ceritakan apa yang kau lihat pada siapa pun.
Juga apa yang kamu alami selama mengikut aku ini.
Kepalamu sebagai jaminan."
"Hamba berjanji, Yang Mulia."
"Ngore, Aku pergi dulu. Tapi jangan merampok lagi."
"Hamba." "Abrit, siapkan kudaku. Kita berangkat sekarang!
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
V. PERKUBUAN Mendung kelabu pekat menggantung di atas perkubuan Raung dan di atas sejauh mata memandang.
Jangankan mentari, manusia tak satu pun yang berani keluar rumah atau pesanggrahan masing-masing. Takut pada petir yang tiada henti bercanda. Guruh dan guntur bersaut-sautan dengan geledek yang menggelegar seperti suara bumi terbelah. Hujan menerpa bumi seperti ditumpahkan dari langit.
Semua pekerja yang membuat dinding perbentengan sejak tadi diperintahkan istirahat. Semua ternak, bahkan burung pun tak berani keluar dari tempat masing-masing.
Anak-anak gemetar dalam dekapan ibunya. Angin kencang menambah dinginnya udara di seluruh kawasan Pegunungan Raung. Dan pemuka Raung, Wilis juga tidak beranjak dari pendapa. Ia berdiri dekat perapian istimewa yang sengaja disediakan di pendapa itu.
Matanya memperhatikan jalur-jalur air yang jatuh dari ujung-ujung atap ilalang. Sesekali ia memang memperhatikan kilat yang membelah awan, seperti kembang api terbang di angkasa. Namun ia lebih sering memperhatikan tanah yang member-cak-bercak karena tetesan air. Kadang bibirnya sedikit bergetar karena udara dingin menusuk kulitnya. Dan tanpa dia sadari kulit itu telah mempersempit porinya, sehingga menjadi seperti kulit jeruk.
Kala itu Umbul Songo bersama Abrit, pengawalnya, masih memacu kudanya. Rasa takut akan geledek atau petir sudah musnah dari hatinya. Ia mendaki dan terus mendaki. Tubuh keduanya menggigil bukan hanya karena hujan. Tapi juga angin yang dingin. Sebentar-sebentar mereka menghapus air yang mengalir dari atas destar turun mengganggu mata. Kumis Umbul Songo
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
yang tebal itu jatuh ke bawah menutup bibir sebelah atas
yang kini berwarna ungu karena dingin. Namun semua
itu tidak ia perhatikan. Ia hanya ingin segera sampai di
pertapaan Raung. Bersua Baswit dan semua laskar
pelarian. Ia merasa penting berbincang dengan mereka.
Untung kudanya begitu terlatih sehingga membantu
mempercepat perjalanannya. Kendati terus diguyur
hujan. Umbul Songo menghentikan kudan/a ketika sampai di
luar dinding perkubuan yang belum selesai
pembuatannya itu. Batu-batu yang sedianya akan
disusun menyambung lainnya, bertumpuk di kiri-kanan
dinding perkubuan itu. Dan mata Umbul Songo
memantau keadaan sekitarnya. Agak jauh dari tempat itu
ia melihat menara pengawas telah juga didirikan seperti
di benteng-benteng milik Blambangan. Atau bahkan
hampir seperti milik Surabaya di pantai Bangil.
Kehadirannya sudah diketahui.
Hatinya menjadi semakin ragu kala pandangannya
menembus jauh ke dalam perkubuan. Gapura yang juga
belum selesai pembangunannya, menganga lebar seperti
mulut raksasa. Ah, mungkinkah di sini tempat Baswi"
Kalau betul kenapa ia bikin benteng" Benteng ini akan
menjadi sangat kuat karena terlindung perbukitan.
Namun kenapa gardu penjagaan di balik gapura itu
kosong" Mungkinkah benteng sebesar ini tanpa
pengawal" Dan masih banyak pertanyaan memenuhi
kepala Umbul Songo. Namun petir menyambar seolah di punggungnya.
Dalam kejut Umbul Songo menyentuhkan kaki ke perut
kudanya. Bagai anak panah kuda itu melompat masuk


Tanah Semenanjung Karya Putu Praba Drana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gapura dan langsung menuju tengah perkubuan. Kuda
Abrit mengikut bagai bayangan. Naluri memerintahkan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
kedua orang itu menyiapkan senapannya masing-
masing. Senapan berlaras panjang bikinan Portugis.
"Berhenti!" Tiba-tiba ada suara berteriak menusuk
telinga Umbul Songo di sela suara air terhempas ke
bumi. Mendadak ia menarik tali lesnya. Sehingga
kudanya berhenti dengan kaki depan terangkat sejenak.
Ia kemudian menajamkan mata.
Pesanggrahan! Terkejut dia. Kemudian dengan
perlahan mereka mengembalikan senjata ke bawah
sanggurdi. Sadar bahwa tiada guna melawan. Keduanya
turun dan menuntun kuda mereka ke bawah pohon talok
di dekat pendapa. Sebentar kemudian Umbul Songo
sudah berdiri diambang pendapa.
"Permisi...." "Masuk!" Masih saja suara yang tadi
menghentikannya. Betapa tertegunnya, ketika Umbul Songo masuk
melihat seorang yang masih sangat muda, berdiri dengan
bedil teracung. "Masuklah!" sekali lagi Wilis memerintah.
Umbul Songo bangkit dari ketertegunannya. Ia tahu di
setiap rumah pasti sudah berdiri tiap orang dengan
senjata siap menantikannya. Sadar akan hal itu maka ia
berusaha meramahkan diri.
"Adakah di sini yang bernama Baswi?"
"Kau perwira tinggi Blambangan?" Pertanyaan yang
tanpa penghormatan. Kembali Umbul Songo terkesiap. Ia
tak biasa diperlakukan seperti itu. Apalagi dengan laras
bedil yang masih tertuju padanya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Betul" Kau perwira tinggi Blambangan?" Wilis
bertanya lagi sambil menajamkan ingatannya. Rasanya
ia pernah berjumpa dengan orang ini. Tubuh Umbul
Songo menggigil karena pakaiannya yang basah
membuatnya semakin kedinginan.
"Kau menjawab pertanyaanku dengan pertanyaan?"
Umbul Songo berusaha menyabarkan diri.
"Kau hendak bertamu atau menjarah, maka tak
mengenalkan diri lebih dulu."
"Oh...." Umbul Songo berdesis. Hatinya juga ikut
berdesir "Sekalipun perwira tinggi, tak boleh masuk daerah
asing tanpa izin." "Jagat Dewa!" Umbul Songo menyesal kenapa masuk
tanpa pasukan, sehingga kini orang muda itu dapat
memperlakukannya dengan tidak sopan. "Bukankah ini
juga wilayah Blambangan?"
"Sejak Blambangan kalah oleh Gusti Panji Sakti dari
Buleleng, Raung bukan lagi daerahnya. Karena Raung
tak pernah kalah dari Buleleng."
"Dewa Bathara!" Umbul Songo menyebut lagi. "Kau berlidah brahmana, Nak. Akulah Umbul Songo, kau
siapa?" Ia mengalah.
"Panglima pemadam kerusuhan yang tersohor itu"
Untuk apa mencari Baswi" Ditangkap?"
Umbul Songo mengeluh dalam hati. Raung sudah
tahu ia diangkat menjadi panglima pembasmi kerusuhan.
Bukan main! Begitu cepat berita itu menjalar ke
perbukitan yang sepi ini. Ah, Umbul Songo bertimbang
sambil memandang laras senapan Wilis.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Bukankah aku sudah mengenalkan diri?"
Wilis tersipu dan tersenyum.
"Bebas dari hukuman mati, kini menggantung banyak
orang. Hebat kau, Umbul Songo!"
"Hai..." Umbul Songo terkejut. "Kau tahu begitu banyak rahasia negara" Seperti Baginda sendiri...."
"Pengetahuan bukan cuma milik Mas Nuwong. Yang
lain pun boleh memilikinya. Juga rahasia negara."
"Jagat Dewa! Ya Bathara!" Umbul Songo melangkah
maju. Ingatannya terbuka. Ada kemiripan wajah dengan
Baginda. Anak inilah yang dicari ke seluruh penjuru
Blambangan. Mas Sirna! Maka ia segera menjatuhkan
dirinya. "Ampunkan hamba, Pangeran. Hamba tidak bisa
melihat sejak tadi. Sungguh Yang Maha Dewa telah baik
pada hamba." Kini Wilis tidak tahu harus berbuat apa.
"Berdirilah!" Wilis kemudian berbalik masuk bilik.
Sesaat kemudian keluar lagi bersama-sama Baswi dan
Andita. Umbul Songo tertegun sesaat. Namun segera
pudar karena Baswi lebih dahulu melompat dan mencium
kaki pamannya itu. "Ampunilah hamba, Paman."
"Baswi" Ah... kau menjadi demikian gagah dan
gempal?" "Bagaimana keadaan Bibi?" lanjut Baswi. Sementara
itu Wilis dan Andita memandangi mereka yang saling
melepas rindu. "Baik-baik. Berdirilah, Anakku!"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Mudah-mudahan Hyang Maha Dewa menganugerahi
Bibi kekuatan lahir dan batin."
"Juga padamu dan Pangeran Mas Sirna." Umbul
Songo melangkah mundur. "Sendiri, Paman?"
"Dengan seorang pengawal."
"Cuma seorang?" Andita kagum dan bersamaan
dengan itu ia memberi salam dan hormat.
Baswi segera menengok ke luar. Ia melambaikan
tangan memberi tanda pada Abrit yang kedinginan itu
untuk masuk. Hujan masih lebat. Abrit mengikat kuda
pada pohon talok lebih dulu.
"Biarkan saja lepas!" perintah Umbul Songo yang juga menjulurkan kepala. Mendengar itu Abrit melepas lagi
kudanya. Segera Wilis memerintahkan agar mereka diberi
pakaian baru dan makan. Setelah selesai semuanya baru
mereka berbincang dalam kamar dekat pendapa itu.
Sedang Abrit menunggu di pendapa sambil bersirih. Ia
sangat menyesal tidak bisa menangkap pembicaraan
mereka karena kerasnya suara hujan. Sebagai pelarian
ia sebentar-sebentar berdiri membetulkan letak kayu
perapian. Atau mungkin menambahinya dengan kayu
baru yang sudah tersedia agar api itu tidak padam.
"Apa kabar dari kerajaan, Yang Mulia?" Wilis memulai setelah mereka duduk di balai-balai. Dan sambil
mengamati keadaan ruangan yang agak gelap itu Umbul
Songo menerangkan sesuai yang ia ketahui.
"Ni Ayu Sudiarti" Selir Ayahanda anumerta itu juga
diambilnya?" Wilis heran.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Ya," jawab Umbul Songo sambil menyusutkan air dari
kumisnya. Ruangan itu cukup luas menurut pengamatan
Umbul Songo. Ada beberapa balai-balai yang tersedia,
tentunya bukan digunakan untuk tidur. Rupa-rupanya
ruangan itu sengaja disediakan sebagai tempat
pertemuan. Sementara itu seorang berjubah kuning
memasuki ruangan, dan memerintahkan seorang
muridnya menyalakan pelita. Semua berdiri menghormat.
Tak terkecuali Umbul Songo.
"Beliau adalah Resi Wuni Pati, mahaguru di pertapaan
Raung ini," Wilis memperkenalkan. Kemudian pada Resi
ia berkata, "Ini Yang Mulia Umbul Songo, perwira tinggi
Blambangan, yang pernah mengalahkan mati dan kini
menjadi perwira dengan kekuasaan tertinggi."
"Hyang Maha Dewa mengasihi Yang Mulia," Resi
membalas penghormatan Umbul Songo. Dan Umbul
Songo merasa canggung berhadapan dengan mereka.
Apalagi setelah melihat cara Wilis bicara. Nampak
mempunyai banyak kelebihan dari kakaknya.
Dan sebelum ia sempat menjawab, Wilis sudah
menceritakan apa yang ia dengar dari Umbul Songo tadi.
Setelah menarik napas panjang Resi mengambil tempat
duduk dekat mereka. Kemudian berkata, "Sekarang ini,
di Blambangan bercokol banyak drubiksa. Pria atau
wanita. Juga tak peduli dari kasta apa mereka itu.
Brahmana, satria, ataupun sudra bisa berubah menjadi
drubiksa jika ternyata mereka tidak bisa memagari nafsu
pribadinya. Nafsu pribadi yang kemudian
memperdewakan keinginan semata. Mereka sebenarnya
telah menginjak-injak catur satya satria (empat sumpah
satria) yang diajarkan Patih Gajah Mada anumerta. Yang
laki telah menjadi jalang dan kaum perempuan tidak
kurang-kurang yang telah menjadi binal. Sama-sama
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
mengingkari Suta Soma (buku tulisan Mpu Tantular)
Pangeran, ini pelajaran pahit yang harus kita
muntahkan!" "Tapi belum semua manusia Blambangan berubah,
Yang Suci," bantah Umbul Songo.
"Memang tidak banyak jumlah drubiksa di jagat ini.
Tapi yang sedikit itu bisa menjalar ke mana-mana.
Apalagi jika drubiksa itu memegang kekuasaan. Mereka
akan dengan mudahnya melahirkan drubiksa-drubiksa
baru." "Dewa Bathara! Yang Suci mengecilkan peranan yang
masih baik?" Umbul Songo tersinggung.
"Keadaan telah menjadi compang-camping. 'Tak bisa
diperbaiki lagi. Kecuali dengan menyingkirkan seluruh
drubiksanya." "Itu bukan pekerjaan mudah," Baswi menyambung.
"Apalagi jika brahmana yang telah menjadi drubiksa
ditambah dengan kekuasaan di tangan, maka ia akan
mudah menjelma menjadi berlaksa-laksa."
"Hidup memang tak pernah surut dari kesulitan," Resi menambahkan. "Jadi kita tak boleh gentar."
"Tapi," kini Andita ikut bicara, "kesulitan bukan cuma untuk dibicarakan. Harus diatasi! Dan harus dengan
perbuatan." Semua orang menoleh padanya. Terutama Umbul
Songo. Kecurigaan timbul dalam hatinya. Apa
sebenarnya yang sedang dilakukan dan direncanakan
oleh orang-orang Raung ini. Maka ia memutuskan untuk
mengadakan penjajagan. Apalagi setelah Resi berkata,
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Setiap perbuatan harus menyertakan perhitungan.
Perbuatan tanpa hitungan sama dengan ikan yang
berenang di rawa sempit, yang tak tahu adanya bubu
menganga di hadapannya."
Maka Umbul Songo sibuk menebak apa tujuan
perkataan mereka. Sementara itu Wilis yang tidak bicara.
Ia hanya mengamati semua suara dan gerak dari tiap
yang ada. Baginya itu merupakan pelajaran tersendiri.
Sesaat ia perhatikan mereka semua terdiam. Suara
hujan di luar kamar itu sudah tidak sekeras tadi.
Menandakan hujan mulai mereda. Kesempatan itu
dipergunakan oleh Umbul Songo untuk kembali meneliti
keadaan ruangan. Ada empat balai-balai bambu yang
besar. Mungkin cukup untuk enam orang. Matanya mulai
merambat ke dinding kayu yang tanpa ukiran atau hiasan
lain. Ah, bahkan jauh lebih sederhana dibanding dinding
rumahnya. Namun sebelum ia meneliti lebih lanjut, Wilis
mengajukan pertanyaan dengan suara pelan,
"Apa kabar Pangeran Mas Alit?"
"Pangeran Alit sudah besar sekarang. Tentunya
Pangeran akan lupa bila bersua nanti. Sayang beliau
lemah dan rupa-rupanya malas belajar. Hampir tidak
pernah berlatih apa-apa."
"Apakah sering sakit?"
Umbul Songo bercerita panjang-lebar lagi tentang
keadaan istana, dengan suara pelan sehingga tetap
menyulitkan Abrit yang ingin mendengar pembicaraan
mereka. Wilis kian tak sabar.
"Blambangan telah menjadi sangat ringkih sekarang!"
katanya. "Blambangan sedang sakit!" Baswi berpendapat.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Yang ringkih bisa kita kuatkan. Yang sakit harus kita
obati. Bila tertidur, kewajiban kita untuk
membangunkannya!" Resi bicara lagi. Umbul Songo
mengerutkan dahinya. Sebentar kemudian matanya menuju pada Wilis.
Pemuda yang jiwanya sedang mekar terbuka oleh
kenyataan hidup. Melihat secara langsung penderitaan
kawula, yang ternyata lebih pahit dari apa yang pernah
dia dengar di istana dulu. Dan ini pula rupanya yang
membuat Wilis lebih tertata lahir dan batinnya,
melampaui Baginda di istana. Dan Umbul Songo tahu
bahwa itu masih akan berkembang terus. Ini dibuktikan
dari pertanyaannya. "Bukankah yang sakit itu ada dua
kemungkinan, Yang Suci. ia bisa mati, dan bisa
sembuh?" Resi tergagap walau ia menjawab juga. "Hemh...
benar, Pangeran. Tapi... kita memilih yang kedua untuk
Blambangan." Wilis tersenyum.
"Paman istirahat di sini, bukan?" Baswi mengalihkan
persoalan. "Ya. Kudaku terlalu letih."
Hujan sudah reda. Tinggal titik-titik lamban. Kemudian
Resi mempersilakan Umbul Songo istirahat. Dan setelah
mengucapkan terima kasih pada semuanya Umbul
Songo mengikut ke pesanggrahan Baswi.
"Wilis sudah tahu tentang aku. Tentunya kau juga.
Karena itu tidak ada jeleknya bila aku minta bantuan
pada kalian untuk menjinakkan mereka yang telah
menjadi liar itu," katanya kala melewati gang-gang
menuju bilik Baswi. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Bukankah sudah ada maklumat Menteri Muka yang
menjinakkan mereka?"
Bukan main terkejut hati Umbul Songo. Baswi


Tanah Semenanjung Karya Putu Praba Drana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengetahui setiap yang terjadi di Blambangan. Ah,
tentunya Raung memiliki barisan sandi yang rapi. Diam-
diam ia mengambil napas panjang.
"Bagaimanapun aku membutuhkan prajurit dan
senjata. Aku tahu, kau dan Sardola membawa senjata-
senjata berat'" "Ya. Sebab kami khawatir senjata-senjata itu jatuh ke
tangan drubiksa. Sama-sama senjata, Paman, di tangan
mereka dan kita, mempunyai arti lain."
Umbul Songo mengangguk-angguk membenarkan.
"Apalagi sekarang ini sebenarnya Paman memang
menghadapi masalah yang sulit. Terutama sekali Yang
Mulia Haryo Dento. Mereka tidak akan bicara banyak
tanpa kapal perang yang mampu membungkam meriam
perompak. Ingat di laut mereka sukar dijinakkan. Bahkan
mungkin lebih liar."
Umbul Songo semakin kagum. Namun belum sempat
menyatakan mereka telah sampai di hadapan Sedah
Lati. Baswi memperkenalkan istrinya.
"Inilah Paman Umbul Songo. Bersembahlah, Istriku!"
Sedah Lati menjatuhkan diri kemudian menyembah.
"Inilah hamba, Yang Mulia."
"Panggil aku Paman saja! Berdirilah! Oh, kau sudah
mengandung?" "Sudah, Paman." Sedah Lati menyembah lagi lalu
berdiri. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Aku akan segera punya cucu. Dirgahayulah kau, Sedah Lati, agar dapat memelihara anakmu baik-baik."
"Hamba, Paman," jawab Sedah bahagia.
"Wanita yang baik adalah wanita yang tahu arti seorang anak. Anak adalah penyambung kehidupan.
Penyambung cita, cinta, dan karsa."
"Hamba, Paman."
"Ibu yang baik adalah kehidupan bagi anak, dewa bagi anak. Juga pemberi pertimbangan bagi suami."
"Hamba, Paman."
0oo0 Kabut masih tebal sekali. Sinar mentari belum mampu menjamah bumi. Tertutup punggung gunung di sebelah timur. Wanita-wanita Raung baru saja selesai menyiapkan perapian di dapur.
Namun Andita, sudah menyiapkan laskar berkuda untuk dilatih. Wilis juga sudah, di atas punggung kudanya.
Sebagaimana biasa tiap pagi kuda itu berlari mengitari perkubuan bersama tuannya. Kaum muda mengagumi ketrampilan penunggangnya. Juga dalam hal kemampuan menggunakan senjata. Kaum mudi juga sering memperbincangkan kegagahannya.
Kini di belakang kuda Wilis menyusul pasukan berkuda. Tiba-tiba Wilis berdiri di punggung kudanya sambil merentangkan busur, dan meluncurkan anak panah. Sebuah sasaran yang sengaja dipasang tertembus anak panah itu. Itu sempat membuat gadis-gadis yang hendak mengambil air ke sungai berhenti untuk bersorak memujinya. Umbul Songo yang saat itu
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
berdiri di tempat tinggi bersama Baswi, terbelalak.
Kagum. Bagi Umbul Songo bukan cuma Wilis yang
mengagumkan. Tapi juga kuda-kuda pasukan itu. Dalam
keadaan licin karena hujan kemarin sore, mampu
melampaui beberapa rintangan dengan baik. Juga
melompati kali-kali kecil dengan mudah dan tanpa cela
sedikit pun. Kemudian ia melihat lima orang
diperintahkan mengeroyok Wilis dari atas punggung
kudanya. Mereka semua menggunakan pedang kayu.
Mula-mula Wilis tampak tersudut di tepian jurang. Namun
ternyata anak muda itu dengan lincah dan tangkas,
menghindarkan diri dari semua tusukan.
"Jagat Pramudita! Putra anugerah Hyang Durga
sendiri!" Umbul Songo menggelengkan kepala berulang-
ulang. Baswi segera memberi isyarat pada Andita sebagai
pemimpin latihan untuk mengubah gelar. Yaitu latihan
bagaimana cara melindungi pimpinan mereka di tengah
medan pertempuran. Andita dengan bala tentaranya
menyerang dengan jajar perang Sapit Urang. Namun
pengawal Wilis mampu menyelamatkan junjungannya,
dengan jajar perang Garuda Nglayang. Begitulah latihan
berjalan terus sampai mentari menampakkan diri secara
utuh. Keringat mereka sudah bercucuran bagai orang
mandi. Perang-perangan belum berhenti. Bahkan kini
secara manis sekali mereka telah bergeser dari tempat
yang terlindung bukit-bukit dan dibatasi jurang-jurang ke
tempat yang lapang. Mungkin memang tempat yang
sengaja diratakan untuk kepentingan latihan perang
terbuka. Dan Umbul Songo makin terpesona
mengikutinya. Walau ia makin tidak mengerti kenapa
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Baswi justru memamerkan kekuatan di hadapannya.
Padahal Baswi adalah pelarian.
Bukan cuma pameran kekuatan. Tapi juga pameran
ketangkasan. Ia lihat bagaimana Sardola memimpin
pasukan meriam dan cetbang. Setiap perpindahan baik
dalam keadaan menyerang maupun diserang mereka
selalu mendapat perlindungan dari laskar wanita yang
dipimpin oleh Yistyani. Wanita-wanita yang bersenjata
bedil dan panah. Umbul Songo menghitung berapa kira-
kira jumlah yang terlibat dalam latihan itu" Lebih dari
tujuh ribu! Gila! Berapa cadangan makanan yang harus
disediakan oleh Baswi untuk laskar sebanyak ini" Belum
barisan sandi yang tentunya tidak akan dipertontonkan.
Aku, yah, aku mungkin tak mampu menggaji laskar
sebanyak itu. Mungkinkah Resi Wuni Pati yang membiayai mereka"
Untuk apa" Berontak" Kalau begitu Resi Wuni Pati juga
brahmana rakus. Ah, orang yang penuh pengetahuan
dan pendapat memang pandai menyembunyikan
kerakusannya. Berarti sekarang Blambangan sedang
terjepit oleh dua kekuatan. Kemudian Umbul Songo
melayangkan pandangnya ke tempat jauh. Berbukit-bukit.
Ia menangkap ada puluhan patung-patung jerami.
Tentulah itu sasaran latihan menembak atau memanah.
Kalau benar demikian tentu harus diperlukan biaya
banyak untuk menambah persediaan peluru. Dari mana
uang sebanyak itu" Dan dari mana ia beli peluru itu"
Lewat pelabuhan atau bandar mana dia
memasukkannya" Mungkinkah ia punya hubungan
dengan semua perampok dan perompak di seluruh
Blambangan ini" Ada baiknya ia menjajagi Baswi saja.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kekuatanmu demikian hebat. Cukup untuk menggilas
sebuah kadipaten seperti Prabalingga," Umbul Songo
memulai. "Belum tentu, Paman."
"Kenapa" Kau mampu. Sebuah kadipaten bawahan
Blambangan tentu tidak memiliki laskar sebesar ini."
"Bukan laskar yang hamba takuti. Tapi kawula."
"Kawula tak berani melawan senjatamu!"
"Karena mereka belum bangkit. Tapi jika mereka telah
marah dan bangkit maka mereka tak ubahnya raksasa
seribu! Lihat mereka itu!" Baswi menunjuk yang sedang
berlatih. Merayap seperti kadal mendekati mangsa.
Umbul Songo mengikuti telunjuk Baswi. "Mereka adalah
kawula Raung. Bukan satria! Sebagian kecil saja yang
berasal dari laskar Blambangan. Mereka membangun
perkubuan ini. Dan mereka bertani untuk menyediakan
cadangan makanan mereka sendiri. Jika Paman juga
bisa membangunkan kawula Blambangan yang tidur itu
maka apa artinya para perusuh untuk Paman?"
"Hyang Bathara! Kau tidak memberi nafkah?"
"Di sini tidak ada prajurit yang makan dari upeti."
"Seperti tidak masuk akal. Aku belum pernah
mengetahui kehidupan yang demikian ini sebelumnya,
Baswi." "Di sini kami merasa satu penderitaan. Karena itu
semuanya telah meleburkan diri menjadi kawula.
Karenanya kami mengerti nurani kawula. Kami
bersenjata hanya untuk menjaga diri dari keganasan
laskar Blambangan yang tak tahu diri."
"Raung melepas diri dari Blambangan."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Bukan Raung melepas diri. Tapi Blambangan tak
mampu mengurusi daerahnya. Dan kami, memang tak
bersedia mengabdi pada kaum drubiksa."
"Tapi Raung tak pernah membayar upeti."
"Apalah yang bisa dipersembahkan oleh kawula
pegunungan" Bukannya mereka tidak mau. Tapi Kuwara
Yana telah terlalu sibuk dengan, kekayaan pribadinya,
selir-selirnya, maka tak mengurusi lagi kekayaan negara.
Paman, kawula Raung menyadari sepenuhnya istana tak
mungkin hidup terus tanpa upeti. Satria hidup dari
kawula!" "Juga aku, Baswi?"
"Siapa pun yang tak pernah tertumpah keringatnya di
atas bumi, dan tidak mengeluarkan pembelian atas harga
makanannya, sebenarnya ia adalah pencuri."
"Jagat Dewa!" Umbul Songo makin tercengang, "Dari mana pengetahuan semacam itu" Bukankah kawula
memang hidup untuk satria" Itu kehendak Dewata!"
"Itulah sebabnya jagat tidak pernah tenang. Karena
satria selalu mengatasi segala. Ia ingin semua
kehendaknya terjadi. Banyak satria yang bicara tidak
dengan akal, tapi dengan penjara dan pedang. Dengan
begitu kawula Blambangan hidup dalam ketakutan yang
terus-menerus. Satria yang membuatnya begitu."
"Kau telah berubah." Umbul Songo menghela napas.
Matanya masih menatap yang sedang berlatih.
"Sebaiknya kau jadi brahmana, Anakku!"
Diam sesaat. Baswi tidak menjawab.
"Tak setetes pun mengalir darah sudra dalam tubuh
Pangeran Wilis. Tapi kini kalian menyembahnya." Umbul
Songo bicara lagi. Baswi memandangnya perlahan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Ia adalah satria yang menyudrakan diri. Bukan cuma
itu, ia juga brahmana, ia juga prajurit."
"Itu cuma bisa dikerjakan oleh para dewa, Baswi."
"Ia belajar mengenal Rg Weda, Yajur Weda, Sama
Weda, dan Atharwa Weda, karena itu ia brahmana. Ia
belajar krida dan yuddha gama, maka ia prajurit. Tapi ia
juga mencangkul dan menanam, karena itu ia adalah
petani." "Dewa Bathara! Apakah ia mumpuni?"
"Pamanda melihat syakti (kuasa yang dapat
menghancurkan secara halus) dalam matanya?"
"Ya, aku lihat matanya cukup berwibawa."
"Sejak kecilnya ia mendapat sidhi (kekuatan) dari para
dewa. Ia juga mampu memperoleh pratyahara
(ketenangan/bebas dari segala pengaruh) dalam
semadinya. Itu yang membuat ingatannya tajam seperti
matanya. Adakah kami tak harus bersembah padanya?"
"Apa perlunya Wilis jika kalian mengandalkan sudra?"
"Kawula membutuhkan pimpinan. Seperti rombongan
gajah di hutan, monyet pun punya pimpinan, bahkan
ikan-ikan di laut punya kepala rombongan. Tapi satria
yang dibutuhkan bukanlah satria yang hanya mampu
merampas dan membunuh."
"Dengan kata lain kalian tak membutuhkan Prabu
Mangkuningrat?" "Yang dibutuhkan Blambangan bukanlah raja yang
rakus wanita dan harta. Tapi seorang yang mempunyai
pendengaran tajam hingga dapat selalu mendengar
rintihan kawulanya. Juga tidak hanya pandai mendengar
diri sendiri. Mempunyai penglihatan sejauh cakrawala.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Bukan cuma segitu, tapi menembus cakrawala itu.
Sehingga tak satu pun peristiwa yang tidak diketahuinya.
Sehingga. ia akan mempu menghitung apa yang sedang
dan bakal terjadi." "Menyamai dewa-dewa?"
"Hyang Bathara Erlangga yang mengatakan bahwa
manusia bisa menjadi dewa bila ia punya karya dan
darma seperti dewa."
"Jangan racuni dirimu dengan ajaran kaum Wisnu,
Baswi!" "Tidak, Paman! Bathara Hayam Wuruk Sorga telah
membenarkan Bhineka Tunggal Ika-nya Mpu Tantular.
Kenapa kita tidak memetik saja apa yang baik" Apakah
itu dari kaum Wisnu, atau Hinayana, Tantrayana,
maupun Mahayana." "Baswi, kau telah menjadi brahmana." Umbul Songo
sampai pada kesimpulan. Ia tahu Baswi tidak bisa ia
lawan dengan kata-kata lagi. Dan ketika latihan selesai ia
mengikuti langkah Baswi. "Siapa nama pimpinan pasukan wanita tadi?"
tanyanya sambil berjalan melewati hutan-hutan cemara.
Udara sejuk sesekali menjamah mereka.
Bunga-bunga tumbuh dengan sendirinya,
menyemarakkan perkampungan di depan mereka.
"Yistyani." Baswi menoleh pamannya.
"Hemh..." Umbul Songo meletakkan satu tangan kiri di atas pantat, sedang tangan kanannya mengelus
kumisnya. Sambil menghembuskan napas ia menelan
ludahnya. Buah lehernya naik-turun. Namun mereka
berjalan terus mendekati pesanggrahan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kenapa?" Baswi mengerutkan dahi.
"Cantik." "Paman masih sempat mengagumi wanita cantik."
Baswi tertawa. Tanpa sadar Umbul Songo pun terbahak-
bahak. Giginya agak merah karena banyak bersirih.
Setelah itu diam beberapa bentar sampai terdengar
Umbul Songo berkata lagi,
"Cukup hanya bibimu saja, Baswi."
Baswi tersenyum. Ia percaya. Pamannya tidak pernah
memperbandingkan istrinya dengan seorang selir pun.
Dalam hati ia berjanji, cuma satu Sedah Lati saja selama
hidupnya. "Kau meniru benteng Surapati dan Sawunggaling?"
"Ya." Baswi tegas.
"Sekarang keduanya telah diratakan dengan tanah
oleh Belanda." "Kami sudah dengar." Suara Baswi ringan.
Umbul Songo makin mengerti bahwa Baswi
memasang telik di mana-mana. Karena itu ia makin
percaya bahwa ia pasti berhasil dengan tuntas
membasmi kerusuhan di Blambangan bila Baswi turun
tangan. Karena itu ia segera mendesak Baswi untuk


Tanah Semenanjung Karya Putu Praba Drana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memberi bantuan tenaga terlatih padanya. Namun
sebelum Baswi dapat menjawab mereka sudah sampai di
pendapa pesanggrahan. Resi sudah siap menunggu
mereka. Setelah duduk di tempat yang disediakan, mereka
bersama-sama makan sirih, pinang, dan kapur.
Percampuran ketiga bahan itu ternyata menimbulkan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
warna merah di bibir dan gigi. Apalagi bila digosok
dengan tembakau. Suasana lengang beberapa saat.
"Paman bisa tinggal lebih lama di sini?"
"Blambangan menantikan daku."
"Hamba tak bisa menjawab persoalan bantuan itu
sekarang." "Bukankah tinggal keputusanmu" Aku sudah lihat
kekuatanmu. Sekali lagi, Baswi, Blambangan
membutuhkan penanganan yang baik. Dan itu tak
mungkin bisa dikerjakan hanya oleh kami berdua saja.
Aku dan Yang Mulia Haryo Dento."
"Bukan hamba yang harus memutuskan."
"Oh, harus menunggu keputusan Pangeran kalau
begitu?" "Setidaknya kami harus bersidang lebih dulu. Dan ada
baiknya bila Paman ikut dalam sidang itu. Supaya bisa
langsung tahu keputusan kami."
Beberapa saat Resi Wuni Pati masih belum
melibatkan diri dalam pembicaraan mereka. Seolah asyik
dengan dunianya sendiri. Sekilas Umbul Songo
meliriknya. Kali ini mengenakan jubah hitam. Rambutnya
lepas ke bawah pundak dengan tanpa destar. Kalung
emas dengan medali sebesar telapak tangan
menggantung di lehernya. Medali bergambar Hyang
Durga. Sedikit perasaan iri tersembul di dasar hati
terdalam Umbul Songo. Wajah Resi itu tampak cerah.
Hampir tiada kerut di wajah itu, kendati usia sudah lanjut.
Rupanya Baswi tidak memberinya kesempatan lagi.
Dia permisi meninggalkan Umbul Songo dan Resi Wuni
Pati. Resi itu cukup mengangguk sebagai jawaban. Nah,
kini mereka telah berdua, kata Umbul Songo dalam hati.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Aku perlu mengadakan penelitian lanjutan. Kembali
Umbul Songo memperhatikan Resi. Tangan kiri orang itu
memegang tongkat bergiring-giring. Setiap gerakan
tangan, membuat ujung lengan jubahnya berkibar dan
mengeluarkan suara. Sementara itu tanpa sadar Umbul
Songo membetulkan letak kerisnya. Perasaannya mulai
tak sabar. Maka: "Resi pemimpin mereka?" tanyanya.
Resi tersenyum. "Hamba seorang resi, Yang Mulia. Seorang pendeta."
"Resi bukan begawan. Satu ketika ia bisa berubah
menjadi seorang satria di medan laga," Umbul Songo
memancing. "Untuk itu sudah ada Pangeran Wilis, Andita, dan
Baswi." "Mereka bukan brahmana."
"Jagat Pramudita! Yang Mulia memeriksa hamba?"
"Maaf, Yang Suci. Blambangan dalam kesulitan. Di
satu pihak kami menghadapi perusuh, di lain pihak
hamba melihat deretan meriam mulai, teracung ke dada
kami. Memang baru sedikit."
"Dewa Bathara! Ya, Jagat Pramudita! Yang Mulia
menuduh kami menyiapkan pemberontakan?"
"Demi keamanan Blambangan."
"Yang teracung ke Blambangan bukan meriam Raung.
Tapi milik Belanda, Mataram, mungkin juga Bali."
Umbul Songo diam. Ia pandang tajam-tajam Resi
Wuni Pati. Tapi resi itu tidak menanggapi.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kekacauan akan cepat mengundang mereka. Apalagi
pemberontakan," Umbul Songo menerangkan.
"Justru kami sangat mengerti hal itu. Pemberontakan
juga berarti merusakkan kehidupan kawula. Kami tak
pernah berniat merusakkan mereka."
"Kalau demikian halnya, Yang Suci harus membantu
atau setidaknya menyetujui permintaan hamba pada
Baswi tadi." "Baswi memberi tahu, bukan" Hamba tak berwenang.
Setidaknya Yang Mulia harus menunggu sidang."
Umbul Songo menarik napas panjang.
"Sebaiknya Yang Mulia istirahat dulu. Hamba tak
memiliki kekuasaan untuk menjawab permintaan Yang
Mulia. Sama seperti Baswi, hamba pun tidak berhak."
Tidak bisa lain. Umbul Songo harus mengiakan. Dan
Resi mengantar dia ke tempat Sedah Lati. Sedang
Sedah Lati melayani pembesar itu dengan baik. Sebaik
yang diperintahkan suaminya. Hingga pada sore hari
Umbul Songo bersama Baswi yang sudah pulang dari
sawah, berangkat ke persidangan istimewa pimpinan
Raung. Ternyata Wilis sudah duduk berjajar dengan Andita di
sebelah kanannya. Yang dapat dikenali oleh Umbul
Songo antara lain, Sardola, Tumpak yang duduk
sebelah-menyebelah. Yistyani juga nampak hadir. Di
samping Resi maka sebagian besar tak ia ketahui.
Kemudian Umbul Songo dipersilakan duduk di sebelah
kanan Andita. Sedang Baswi duduk di sebelah kiri Wilis.
Beberapa bentar kemudian Baswi menerangkan
maksud kedatangan Umbul Songo. Yaitu meminta laskar
Blambangan yang dulu pernah bertempur di Surabaya,
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
diharap bisa membantu tugas Umbul Songo menumpas
gerombolan perusuh. Dan setelah Baswi selesai bicara
satu-satu mereka diminta untuk memberikan pendapat.
Umbul Songo mendengar semua pendapat itu dengan
hati berdebar. Ada yang setuju. Ada yang tidak. Sampai
pada saat Andita berdiri dan berkata,
"Yang Mulia Panglima dan Pangeran serta Saudara-
saudara! Jika kita mendengar beberapa Saudara yang
lebih dulu berbicara maka hamba sangat senang." Andita
berhenti sebentar melihat Wilis. Ingin menjajagi hati
pemuda itu. Namun kemudian,
"Kita harus melihat Blambangan adalah bumi persada
tanah kelahiran tercinta. Memang saat ini Blambangan
menjadi ajang kebejatan akhlak manusia. Upacara
Maithuna (upacara disertai persetubuhan massal untuk
memohon hujan sebagai sarana kesuburan tanah) yang
sudah dihentikan oleh Mpu Tantular melalui karyanya
Suta Soma itu, tetap dilakukan di Blambangan secara
perorangan. Bukan untuk meminta kesuburan tanah, tapi
untuk memuaskan nafsu drubiksa dalam diri mereka
masing-masing. Namun kita tidak boleh sekadar
mengutuk! Kita tahu bahwa di Lateng juga tinggal
saudara-saudara kita. Sudra yang membutuhkan
perlindungan dan pertolongan kita.
"Suatu dosa yang tiada terukur, bila kita membiarkan
mereka dalam aniaya dan derita. Kelaparan, kedunguan,
dan kesesatan. Jadi kita perlu mengirim bantuan ke
Blambangan. Membantu Yang Mulia Umbul Songo
menyelamatkan Blambangan dari genggaman drubiksa."
Sampai di sini beberapa orang termasuk Sardola,
bersorak menyetujui. Bahkan ada yang bertepuk tangan.
"Jangan menjadikan diri kita manusia yang terpisah
dari negeri kita sendiri dengan cara bersikap masa bodoh
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
atas keruntuhan nilai-nilai kemanusiaan. Jangan
menjadikan diri orang asing di negeri sendiri." Andita
akhirnya menutup dengan permohonan maaf dan
penghormatan. Tepuk tangan panjang mengiringnya ke
tempat duduk. Baswi tersenyum. Kemudian menawarkan
kesempatan pada lainnya. Namun tiada yang berdiri. Dan
kesempatan diberikan pada pimpinan laskar wanita.
Yistyani berdiri di bawah sorot mata semua orang.
"Hamba cuma ingin menambah uraian panjang Tuan
Andita tadi. Karena memang tiada alasan apa pun yang
patut untuk membantahnya. Dalam salah satu bagian
Decawarmana (judul lama (mungkin asli) Negara
Kertagama) kita mengetahui bahwasanya pernah ada
pemberontakan Kuti di Majapahit. Saat itu Prabu Jaya
Negara diselamatkan oleh seorang yang kelak bergelar
Gajah Mada yang oleh Sri Maha Ratu Tribuana Tungga
Dewa diangkat menjadi Patih Amangkubumi di
Majapahit. Saat itu Majapahit juga dikuasai drubiksa."
Yistyani tersenyum. Semua orang merasa senyuman itu
tertuju pada mereka. Sehingga tanpa sadar mereka juga
ikut tersenyum. "Sri Prabu sendiri kemudian mesanggrah di Bedander.
Tapi menyadari bahwa beliau adalah orang yang
bertanggung jawab atas Majapahit, maka beliau
mengirimkan laskar untuk menumpas drubiksa. Kita juga
harus sadar bahwa Blambangan ini dibangun dengan
darah suci leluhur kita. Perasaan bertanggung jawab
adalah ciri satria yang baik." Sekali lagi Yistyani menarik napas panjang. Buah dadanya naik-turun seirama tarikan
napas itu. Matanya berkeliling mengitari seluruh ruangan.
Semua tercekam oleh suaranya yang merdu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Gadis itu kemudian menutup dengan ajakan ikut
bertanggung jawab sambil melempar senyuman. Lesung
pipit menghias pipinya yang mulus. Gigi hitam mengkilap
berderet di sela bibir. Umbul Songo makin kagum. Bukan cuma oleh
kecantikannya. Tapi juga kecerahan otaknya. Wanita itu
pasti membaca banyak lontar. Ah, tentunya ia bukan
sudra. Kini ia melihat Baswi menoleh pada Pangeran
Wilis. Dan pangeran itu berdiri.
"Aku tidak akan bicara panjang. Aku tahu kalian
setuju!" Diam sesaat sambil tersenyum pada Umbul
Songo. Sebentar kemudian orang muda itu melambaikan
tangan pada hadirin sambil,
"Setuju?" "Setuju!!!" "Yang Mulia telah dengar sendiri. Itulah keputusanku."
Wilis duduk kembali. Baswi kini mempersilakan Umbul Songo. Mentari di
luar pendapa sudah hampir tenggelam. Maka Umbul
Songo pun menyatakan terima kasih yang amat sangat.
"Kami membutuhkan seribu orang bala bantuan."
"Seribu?" Wilis tersentak. "Jumlah yang luar biasa banyaknya untuk suatu gerakan sandi."
"Para drubiksa mampu mengerahkan sepuluh ribu
orang. Bahkan lebih. Tapi mereka sedang terkurung oleh
maklumat Menteri Muka. Tentunya itu terbatas waktunya.
Kita tak bisa mengandalkannya. Tapi kita juga tak bisa
mengerahkan laskar secara besar-besaran. Sebab, bila
sedikit saja Cokorda Dewa Agung curiga, maka
selangkah saja ia akan sampai dengan pasukannya."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Mengapa kita takut pada raja Mengwi itu?"
"Sementara itu Blambangan kalah dalam segala hal
oleh Bali. Keuangan, persenjataan, dan jumlah laskar.
Maka kita harus mengalah."
Wilis diam. Memang Blambangan belum pulih dari
luka perang saudara. Namun lamunan segera terhenti.
Baswi sudah membubarkan pertemuan itu. Cuma
beberapa orang saja yang diminta tinggal untuk
membicarakan siasat selanjutnya. Tentu Baswi memesan
pada mereka yang bubar itu agar tidak menyampaikan
hasil persidangan pada bawahan mereka sebelum ada
izin dari Wilis. Dan biasanya yang rahasia begitu tetap
menjadi rahasia. Kini Umbul Songo memberikan beberapa petunjuk
yang harus dikerjakan. Yaitu mereka harus menuju
Srawet. Di sana mereka harus berpakaian seperti laskar
Blambangan supaya tidak mencurigakan. Dan Wilis
setuju sepenuhnya. Dan. dia minta pada Baswi maupun
Andita agar orang yang diberangkatkan adalah orang-
orang pilihan dalam arti segala hal. Jangan sampai
mereka akan bisa ketularan menjarah milik kawula.
"Setelah itu mereka akan kami tempatkan di tapal
batas Ibukota," Umbul Songo melanjutkan.
"Baik untuk itu kami akan segera mengirim bahan
makanan dan senjata, ke tempat yang telah Paman
tentukan itu. Bukankah begitu, Pangeran?"
Pendekar Sakti Suling Pualam 4 Pendekar Aneh Dari Kanglam Karya Sin Liong Suling Emas Dan Naga Siluman 8
^