Pencarian

Melanie 3

Melanie Karya V. Lestari Bagian 3


semakin terasa cocok. Dengan demikian dia tidak perlu
lagi masuk ke dalam rumah itu lalu mengalami segala
ketidaknyamanan suasana yang mungkin timbul. Dia
tidak perlu lagi susah-susah memilih. Dan belum tentu
pula dia bisa mendapat seseorang dengan tipe seperti
perempuan ini.
"Tidakkah sebaiknya saya berurusan langsung dengan
kamu saja? Saya pikir, kamu cocok. Dan kalau
langsung sudah tentu honornya bisa kamu nikmati
sendiri, bukan? Kamu tak perlu menyisihkan untuk
tantemu. Nah, gimana?"
Si gadis mengerutkan kening. "Apakah Tante tidak
bisa lebih jelas? Urusan bisnis apa itu?"
Dahlia menjadi kesal. "Sudah tentu seks! Apa lagi?"
Si gadis memandang Dahlia dari atas ke bawah.
Tatapannya cemas. "Saya... saya lebih suka yang
normal saja, Tante," katanya takut-takut.
Dahlia segera memahami. Dia disangka lesbian!
192 / 460 "Brengsek!" gerutunya pelan. "Sudah tentu bukan buat
saya. Tapi buat seseorang lain. Lelaki tentu saja.
Katakan dulu, kamu mau apa nggak. Kalau mau, kita
harus bicara dulu. Tapi mustahil bicara di sini."
Si gadis mulai memperlihatkan sikap tertarik. Dia tidak
ragu-ragu lagi. "Baik, Tante. Saya mau."
Dahlia tersenyum sinis. "Kalau begitu, kita bicara di
mobil saya saja."
Mereka berjalan bersisian. Tapi Dahlia tak mau dekatdekat. Apalagi bersentuhan. Dia merasa jijik. Dan
ketika gadis itu duduk di mobilnya, bulu kuduknya
meremang. Dia membayangkan kuman-kuman
merayapi jok mobilnya hingga dia ingin sekali
menjerit. Tapi dia menahan perasaannya.
Si gadis memperkenalkan dirinya sebagai Monika. Dan
bagi Dahlia, yang penting memang cuma nama. Lainlainnya tidak perlu.
Tak terlalu lama waktu yang mereka perlukan untuk
berbicara. Cukup sekitar seperempat jam saja. Dahlia
segera langsung ke tujuannya dan Monika pun segera
menyanggupi tanpa butuh waktu lama untuk berpikir.
Bahkan hampir tanpa berpikir. Tawaran Dahlia sangat
menarik untuknya dan tugas yang dibebankan padanya
tak terasa sulit. Membuktikan kejantanan dan
perubahan selera seks seorang keponakan! Yang itu
193 / 460 sudah pasti tidak susah. Tapi yang terasa menantang
adalah bagaimana melakukan pendekatan kepada
lelaki itu tanpa terkesan menawarkan diri. Dia harus
mengasah otak dan mengerahkan kreativitasnya. Yang
itu pun ternyata menarik untuk dipikirkan.
"Katakan dulu, apakah kau bersih, eh... maksudku
sehat? Saya tentu tidak suka kalau keponakanku
sampai ketularan penyakit," kata Dahlia dengan
tatapan menyelidik yang membuat Monika merasa tak
punya harga diri lagi.
"Tentu saja, Tante. Kami selalu melakukan
pemeriksaan rutin ke dokter langganan. Nanti saya
mintakan suratnya kalau perlu."
"Oh, nggak usah. Saya percaya kamu," kata Dahlia
buru-buru.
'Tapi, bagaimana caranya saya bisa meyakinkan Tante
bahwa saya telah berhasil? Saya bisa saja berbohong,
bukan? Apalagi Tante tidak bisa bertanya kepada
keponakan Tante itu karena dia tidak boleh tahu."
"Wah, pertanyaan yang bagus. Itu pertanda kamu
cukup jujur. Memang saya belum selesai kok. Begini.
Keponakanku itu memiliki suatu tanda di tubuhnya.
Tanda itu sudah ada sejak lahir. Nah, kamu beritahu
saya nanti tanda itu seperti apa dan adanya di mana."
194 / 460 Monika tersenyum geli tapi tatapan tajam yang
diterimanya membuat dia tersipu. Dia tidak menyukai
perempuan aneh ini tapi jumlah uang yang ditawarkan
membuat dia tidak rela bila perannya itu sampai
diambil alih rekannya yang lain. Kalau berhasil dia
dijanjikan honor sebanyak empat kali lipat
pendapatannya yang biasa tanpa pemotongan oleh
Tante Nani. Dan kalau tidak berhasil dia juga akan
mendapat uang lelah yang lumayan.
"Tentu saja kamu harus memberi laporan lengkap bila
tugasmu sudah terlaksana. Dari sana saya bisa pelajari
apakah kamu berbohong atau tidak."
Lalu Dahlia memberi nama Tony dan alamat
kantornya.
"Dan ini nomor teleponku karena saya tentu menunggu
kabar darimu secepatnya. Tapi ingat, kamu harus
menyebut namamu Ninik kalau mau menghubungi
saya lewat telepon. Jangan Monika. Ingat? Dan satu hal
lagi. Jangan cerita di telepon. Nanti kita atur tempat
untuk bertemu."
Paling akhir Dahlia memperlihatkan foto Tony. Ketika
Monika mengulurkan tangannya, Dahlia menariknya
cepat-cepat. "Kamu lihat saja," katanya tanpa memberi
kesempatan pada Monika untuk menyentuh foto itu.
Sudah tentu dia tidak akan memberikan foto Tony pada
195 / 460 sembarang orang, apalagi pada pelacur. Dan setelah
Monika menarik tangannya kembali, baru Dahlia
memperlihatkan lagi foto itu.
Semula Monika ingin protes, tapi kemudian tak jadi.
Dia merasakan kejijikan Dahlia kepadanya. Walaupun
merasa jengkel tapi dipusatkannya juga perhatiannya
kepada foto itu. Tampan sekali, pikirnya. Tapi mata si
tampan itu menatap dingin kepadanya.
Monika mengangguk. Lalu Dahlia menyimpan
kembali foto itu di dalam tasnya. "Sudah tentu kau
harus melihat orangnya sesegera mungkin sebelum
keburu melupakan wajahnya. Setiap hari dia
meninggalkan kantornya pukul empat kecuali ada
masalah tertentu. Mobilnya Baby Benz warna hitam."
"Nomornya, Tante?"
Dahlia memandang jengkel, tapi kemudian dia merasa
pertanyaan itu wajar saja. Dia memperhatikan saat
gadis itu mencatat. Tiba-tiba timbul perasaan
menyesali kenapa gadis semuda dan secantik ini
sampai perlu menjual diri. Tapi perasaan itu cuma
sesaat. Lenyap dengan cepat. Bukankah dia sendiri
sekarang jadi pembeli kaumnya sendiri?
Mereka berpisah.
"Kau bicara dengan siapa tadi?" tanya Tante Nani, sang
germo. 196 / 460 Monika sudah siap. Tadi dia sempat melihat gorden
terkuak dari kamar loteng. "Ibu itu mencari tempat kos
untuk keponakannya yang tinggal di Bandung, karena
dia mendengar di sini terima kos. Saya bilang di sini
sudah penuh."
"Kok nanya begitu saja sampai perlu membawamu ke
mobilnya?"
"Saya memberikan beberapa alamat kos yang saya
tahu. Dia mengajak saya ke mobilnya karena dia
menyimpan bloknotnya di sana. Lalu dia ngajak saya
ngobrol dulu. Bawel sekali dia. Dia tanya-tanya situasi
kos di daerah sini."
Tante Nani tak bertanya lagi. Tampaknya sudah cukup
puas. Tapi tidak akan demikian halnya bila orang yang
mengajak bicara tadi itu laki-laki, pikir Monika.
Sementara itu, setibanya di rumah Dahlia segera
membersihkan jok mobilnya dengan desinfektans.
Terutama di bagian yang tadi diduduki Monika.
"Mudah-mudahan saja kumannya tidak jalan ke manamana," gerutunya. Tak terpikir olehnya, seandainya
kuman itu memang ada maka dia mungkin bisa
berjalan-jalan di tubuh Tony!
*** 197 / 460 Larut malam itu Monika tak bisa segera tidur seperti
biasanya. Dia bukan memikirkan ulah hidung belang
yang barusan dilayaninya, tapi soal "order" aneh yang
siang tadi diterimanya. Sudah lama dia terbiasa atau
membiasakan diri dengan pekerjaannya hingga tak lagi
membuatnya tak bisa tidur. Bahkan kemungkinan
besar justru kalau dia tak kunjung mendapat langganan
dia akan tak bisa tidur. Langganan adalah duit dan duit
adalah hidup.
Dia yakin bahwa order itu sesuatu yang serius. Bukan
sekadar permainan dari seseorang yang mungkin sakit.
Padahal nama dari si pemberi order itu tidak
diketahuinya. Nyonya besar itu tidak menyebutkan
namanya dan tampaknya juga tidak suka ditanyai.
Karena itulah dia juga tak mau menanyakan. Percuma.
Sikap dan tatapan mata si nyonya besar sudah
menjelaskan status dan pandangannya terhadap orangorang seperti dia. Sikap jijik dan menghina tapi toh
juga membutuhkan. Kalau tidak butuh sekali sudah
tentu nyonya itu tak akan mau mencari sendiri. Dan
kalau bukan karena terpaksa sekali nyonya itu tak akan
mau berhubungan dengan orang-orang seperti dia,
sampah yang menjijikkan.
"Huh, keponakan katanya!" gerutu Monika. "Siapa
mau percaya? Masa untuk seorang keponakan dia mau
membuang uang sebegitu banyak. Betapapun kayanya,
198 / 460 jelas tak masuk akal. Dan soal tanda lahir itu! Kok
sampai begitu mendalam pengetahuannya tentang halhal pribadi seperti itu? Tak bisa lain. Pasti anaknya!"
Daya tarik bagi Monika adalah jumlah uang yang
ditawarkan. Dia percaya, nyonya itu tidak main-main.
Tidak ada kesan kemungkinan penipuan. Apa yang
mau ditipu dari dirinya? Dia tidak akan rugi apa-apa.
Sebaliknya, justru dialah yang memiliki kesempatan
dan peluang untuk menipu. Banyak titik lemah yang
bisa dimanfaatkan. Misalnya soal kerahasiaan itu. Jelas
nyonya itu tak ingin identitasnya dikenali apalagi
rencananya tak boleh pula diketahui oleh sang anak
(kalau memang anaknya). Karena itu sudah tentu si
anak tak bisa pula mengadu sementara si ibu tak
mungkin bisa membuntuti sampai ke tempat tidur.
Monika ingin menertawakan kebodohan perempuan
itu. Tapi nalurinya membisikkan, perempuan itu sama
sekali tidak bodoh. Bahkan kemungkinan malah
sebaliknya. Lantas kenapa dia melakukan tindakan
yang sepertinya bodoh itu? Yang pasti, dorongannya
besar sekali. Suatu keterpaksaan.
Si nyonya memintanya membuktikan kejantanan dan
kebenaran perihal selera seks keponakan (anaknya). Itu
saja. Dan sekilas dia menyinggung perihal perubahan
selera. Kalau begitu pasti karena suatu penyimpangan
seks. Homoseksual? Apa lagi kalau bukan? Tak ada ibu
199 / 460 yang menghendaki punya anak lelaki homo. Bahkan
mengakuinya pun malu. Apalagi kalau si anak adalah
anak satu-satunya.
Monika tersenyum, memuji jalan pikirannya. Dia pun
membayangkan tabungannya akan bertambah dengan
cepat. Ya, order semacam itu tak lagi akan
diperolehnya untuk kedua kali.
Entah kalau ada keanehan lain karena hidup ini tak
pernah bisa diduga. Dulu dia pun tak pernah mimpi
bahwa sekarang dia jadi seperti ini. Ah, itu tak perlu
disesali. Tak perlu sentimentil. Bukankah dia sudah
belajar untuk tidak menyesali ketelanjuran? Sekarang
dia harus menabung untuk masa depan. Dia ingin
berimigrasi ke Amerika, negeri yang tampaknya begitu
banyak menjanjikan kebebasan. Di sana sudah ada
seorang temannya yang akan membantunya kelak bila
rencananya sudah matang. Temannya itu pun bekas
rekan seprofesi yang telah melakoni cara yang sama
dengan apa yang dia lakukan sekarang. Pagi belajar
komputer, malam cari duit! Kelak keahlian yang
pertama itu bisa digunakan mencari nafkah di negeri
baru. Contoh keberhasilan si teman itu telah menguat
kan tekad dan semangat Monika. Di negeri baru itu tak
ada yang mengenal dirinya berikut masa lalunya. Tak
ada yang akan memandangnya seakan dia sampah bau
(walaupun membutuhkan).
200 / 460 Dengan semangat yang dilecut angan-angan itu,
Monika mulai memikirkan rencana esok harinya. Dia
tak ingin gagal. Tak boleh gagal. Dan dia pun tak ingin
menipu. *** Hari itu Monika berangkat ke tempat kursusnya lebih
awal dari biasa. Kepada Tante Nani dia memberi alasan
perlu membeli disket lebih dulu, karena Tante Nani
selalu bertanya bila melihat sesuatu yang berbeda
daripada biasa.
Dengan sepeda motornya dia mencari alamat kantor
yang diberikan nyonya pemberi order kemarin. Nyonya
X, begitu dia memberinya nama. Ternyata tak susah dia
menemukannya karena kantor itu memiliki bangunan
gedung sendiri dan letaknya juga di jalan besar. PT
Anugerah adalah sebuah percetakan yang tampaknya
besar melihat bangunannya. Dia melambatkan
kendaraannya dan dari balik helm dia memperhatikan
situasi dengan cermat. Di halaman parkir dekat pintu
masuk gedung dia melihat mobil yang disebut Nyonya
X sebagai milik keponakannya, Tony Utomo. Dan di
papan nama dia membaca nomor telepon perusahaan
itu. Lalu dia berhenti sebentar untuk mencatatnya.
Hanya itu yang dilakukannya. Kemudian dia menuju
tempat kursusnya. Sepanjang jalan dia memikirkan apa
yang akan dilakukannya sesudah itu.
201 / 460

Melanie Karya V. Lestari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sepulang kursus dia menuju telepon umum lalu
menghubungi nomor telepon PT Anugerah. Suara
perempuan menyambutnya.
"Selamat siang, Mbak! Saya dari perusahaan kertas,
ingin menanyakan apakah betul pemilik PT Anugerah
adalah Pak Budiman?"
"Oh, sama sekali bukan! Pemiliknya yang benar adalah
Pak Tony Utomo."
"Kalau begitu, saya keliru. Terima kasih, Mbak!"
Dia cepat-cepat memutuskan hubungan dengan puas.
Jadi dugaannya benar. Andaikata tadi dia menerima
jawaban yang berbeda dia akan melontarkan
pertanyaan berikut. Apakah jabatan Pak Tony?
Baginya informasi itu penting untuk menentukan
sikap. Jelas dia berurusan dengan orang yang benarbenar kaya. Nyonya X itu memang serius. Dan tentu
saja uangnya juga. Dengan demikian angan-angannya
bukanlah mimpi belaka. Semangatnya kian terlecut.
Sore harinya, menjelang pukul empat dia pamit pada
Tante Nani untuk membeli sesuatu. Sengaja dia
mengenakan pakaiannya yang jelek dan tak merias
wajahnya supaya tak memancing kecurigaan Tante
Nani. Hal itu penting karena dia tak ingin dikuntit oleh
Dudung, sopir merangkap satpam di rumah itu. Bila
sampai ketahuan, memang sudah pasti Tante Nani
202 / 460 takkan menghalangi. Sebaliknya, dia akan bergembira.
Tapi dengan demikian jelas honor yang akan
diterimanya bisa berkurang sebagian. Padahal jerih
payahnya dia sendiri yang menanggung.
Dengan sepeda motornya dia melesat menuju alamat
PT Anugerah. Sekarang lebih cepat karena dia tak perlu
mencari lebih dulu. Dia harus tiba di sana sebelum jam
tutup kantor. Sepanjang jalan dia berharap supaya
Tony Utomo tidak pulang lebih awal. Bukankah
pemilik tidak perlu menaati jam kerja perusahaannya
sendiri? Ya, berikanlah kesempatan kepadanya untuk
sekadar melihat penampilan sang pemilik. Sesungguh
nya dia sudah melupakan gambaran wajah dari foto
yang diperlihatkan Nyonya X tempo hari. Sering kali
sebuah foto berbeda daripada aslinya. Apalagi dia
cuma melihat sebentar.
Beruntung bagi Monika karena mobil sang pemilik
masih terparkir di tempat semula. Pegangan baginya
hanyalah mobil itu. Orang yang sebentar masuk ke
dalamnya lalu mengendarainya pastilah Tony Utomo,
sang pemilik. Dan kalaupun dia memakai sopir, maka
sudah jelas si sopir memiliki cirinya sendiri.
Dia menaikkan motornya ke atas trotoar lalu mencari
tempat yang tak mencolok tapi strategis untuk melihat
ke arah di mana mobil itu berada. Dan sebelum
membuka helmnya dia memutar matanya ke
203 / 460 sekitarnya, kalau-kalau ada yang memperhatikan
keberadaannya di situ. Setelah merasa yakin dia
membuka helm dan merapikan rambutnya. Walaupun
tak ingin menarik perhatian dan rambutnya yang
sepanjang bahu cuma diikat karet gelang, nalurinya
tetap ingin tampak rapi. Apalagi profesi sehari-harinya
memang menuntut kerapian. Lebih dari sekadar rapi.
Karena itu, meskipun dia hanya mengenakan baju kaus
dan celana panjang yang lusuh tanpa rias wajah sama
sekali, dia tetap tampak sebagai makhluk manis.
Bahkan justru dengan penampilan seperti itu dia
kelihatan seperti remaja cuek.
Baru lima menit dia menunggu, salah seorang satpam
PT Anugerah mendekati.
"Nunggu siapa, Dik?" tanyanya.
"Nunggu orang," sahut Monika judes.
"Siapa?"
"Ya, orang! Nggak perlu tahu dong!" kata Monika
lebih ketus, karena dia merasa terganggu. Wajahnya
yang cemberut dipalingkan.
Wajah si satpam menjadi merah. Dia kesal, tapi merasa
dirinya memang salah. Apa yang dilakukannya tak ada
hubungan dengan masalah keamanan. Dia cuma
204 / 460 melihat makhluk manis lalu berharap mendapat angin
baik. Maka dengan malu dia melenggang pergi.
Monika merasa lega. Tapi dia cukup menyadari kalau
terlalu lama di situ dia bisa didekati orang lain lagi.
Sekarang yang diharapkannya adalah semoga Tony
Utomo tidak kerja lembur. Siapa tahu orang itu maniak
kerja. Tak lama kemudian orang-orang berhamburan ke luar.
Hiruk-pikuk terjadi. Suara orang, suara mesin. Mobil,
motor, pejalan kaki, mengarus ke luar. Memang tak
begitu banyak tapi menjadi ramai karena keluar
berbarengan. Tapi mobil hitam itu masih di sana
sampai kemudian suasana dengan cepat menjadi kian
sepi. Mata Monika menjadi lebih awas tapi juga
waswas. Jangan-jangan si pemilik mobil itu tak
kunjung keluar. Padahal dia ingin usahanya itu cepat
selesai. Lebih cepat lebih baik.
Harapan Monika terkabul. Dia melihat seseorang
mendekati mobil itu dan membuka pintunya. Mata
Monika membesar. Dadanya pun berdebar. Jadi, itukah
orangnya? Amboi tampannya!
Dia menahan napasnya. Terus memandang. Lupa
sejenak akan tujuan semula. Terus begitu sampai mobil
hitam itu meluncur keluar halaman parkir dan
kemudian melewatinya. Mata si pengendara sesaat
205 / 460 memandangnya lalu berpaling ke arah lain. Cepat
sekali tanpa menampakkan kesan apa-apa. Tak ada
tatapan kedua kali. Tak ada lirikan nakal.
Dia kecewa. Perlakuan seperti itu tidak biasanya dia
terima dari lelaki. Biasanya, lelaki suka
memandangnya lebih dari sekali. Tak cukup sekari.
Dan itu menyenangkan egonya sebagai perempuan.
Tapi lelaki yang satu itu memandangnya seakan dia
tidak ada.
Lalu dia sadar dengan terkejut. Perasaan seperti itu tak
boleh hinggap lagi untuk kedua kali. Sudah tentu
dengan penampilan seperti itu dia tidak kelihatan
menarik. Bukankah dia memang tak ingin menarik
perhatian? Tapi sebenarnya bukan cuma itu yang
menyadarkan. Dia mengingatkan dirinya untuk tidak
hanyut oleh lelaki, siapa pun dan seperti apa pun. Dia
boleh saja menghanyutkan tapi jangan sampai
dihanyutkan.
Dengan sigap dia segera memakai helmnya lalu
mengejar mobil hitam itu. Suatu tindakan spontan yang
tidak direncanakan. Jelas dia tak mungkin bisa
membuntuti terus karena jalur kendaraannya tak selalu
sama. Tapi pada saat itu tak terpikir. Yang
diinginkannya hanya supaya dia bisa memandangi
lebih lama. Hal itu bisa terlaksana bila lampu lalu-lintas
menyala merah. Motornya bisa melewati celah sempit
206 / 460 untuk kemudian mendampingi mobil hitam itu. Dari
balik helmnya dia leluasa memandang. Tatapannya
menembus kaca gelap yang tak lagi gelap karena
disinari matahari. Lebih tampan daripada fotonya,
pikirnya. Sepertinya wajah itu tanpa cacat dan cela.
Sempurna. Benarkah dia putra Nyonya X? Tampaknya
tak ada yang mirip. Mungkin mirip bapaknya.
Tak terhitung jumlah langganannya, tapi belum pernah
ada yang setampan itu. Bagaimana rasanya bercinta
dengan orang seperti itu? Dia merasa dijalari sensasi
yang menegangkan. Kemudian dia teringat akan
tatapan dingin dari wajah di foto yang diperlihatkan
Nyonya X. Apakah sesungguhnya memang sedingin
itu? Dia juga ingat akan tatapan cuek yang tadi
diterimanya sewaktu menunggu. Apakah tatapannya
akan seperti itu bila menghadapi sesama jenisnya?
Lampu berubah hijau. Dia lambat bereaksi. Klakson
ribut di belakangnya. Tony Utomo menoleh
kepadanya. Dan Monika terus membuntuti. Sampai
mereka berhenti lagi di lampu merah berikutnya.
Dengan nekat dia kembali menerobos ke samping
mobil hitam itu. Lalu melirik lagi. Tapi dengan cepat
tatapannya berubah arah. Dia kaget tersipu. Tony
Utomo tidak lagi cuma memandang lurus ke depan tapi
memalingkan muka ke arahnya. Dari sudut mata
Monika bisa melihat bagaimana tatapan lelaki itu
207 / 460 menelusuri dirinya. Jangan-jangan dia mencurigai,
pikirnya khawatir. Lalu menyesali tindakannya yang
impulsif. Mungkin sikapnya terlalu mencolok.
Tony menurunkan kaca jendela mobilnya. "Hai!"
katanya sambil mengangkat tangannya. Senyumnya
menggoda. Dan matanya ternyata tidak menatap dingin
seperti di foto. Mata itu tak ubah mata para hidung
belang yang dikenalnya.
Monika cepat melengos dan bersikap tak peduli. Dia
tentu tidak boleh memberi kesan mu-rahan dengan
menyambut godaan itu. Dan ternyata dia menyukai
peranan seperti itu. Bila di sebagian waktunya dia
merasa tak lagi punya harga diri, maka sekarang dia
bisa menikmati sesuatu yang berbeda. Bukankah
tujuan hidupnya juga untuk memperoleh sesuatu yang
berbeda itu?
Begitu lampu menyala hijau, Monika tak menunggu
lagi. Dia melesat mendahului dan sudah memutuskan
untuk pulang lalu selama perjalanan memikirkan
kebohongan apa yang pantas disodorkannya kepada
Tante Nani.
Tapi kemudian mobil hitam itu mendahuluinya sambil
membunyikan klakson. Melihat itu Monika
memperlambat laju motornya. Biarlah mobil itu lenyap
lebih dulu, pikirnya.
208 / 460 Tapi mobil itu tidak lenyap. Dia berhenti di tepi jalan.
Pengendaranya keluar, lalu melambai mengacungacungkan jarinya, memberi isyarat agar menepi kepada
Monika! Monika terkejut. Pada mulanya dia berpikir, isyarat itu
bukan ditujukan kepadanya. Tapi jelas-jelas Tony
menunjuk kepadanya. Dan lagaknya bagaikan petugas
yang tak bisa dan tak boleh ditolak kehendaknya.
Sebenarnya, Monika bisa saja tak mematuhi
permintaan Tony lalu kabur secepatnya. Tapi dengan
tiba-tiba saja ada ide cemerlang yang mampir di
benaknya. Bukankah ini kesempatan bagus sekali
untuk berkenalan? Di samping itu dia juga ingin sekali
tahu apa maksud Tony dengan menyetopnya. Dia tidak
takut karena pada saat itu jalanan tidak sepi dari orangorang yang berlalu-lalang.
Monika menepikan kendaraannya di depan mobil
hitam Tony. Lalu dengan pelan-pelan membuka
helmnya. Sambil berbuat begitu dia sekalian melepas
karet gelang yang mengikat rambutnya. Dengan
rambut tergerai dia akan tampak lebih menarik. Lalu
dia mengibaskan kepalanya dengan gaya anggun.
Sedikit angkuh.
Kemudian dia memandang Tony. "Ada apa, Pak?"
tanyanya dengan ekspresi heran tak kepalang.
209 / 460 Sesaat kemudian keheranan Monika yang dibuat-buat
itu berubah menjadi keheranan benar-benar. Dia
melihat mulut Tony terbuka sedikit dan matanya
membelalak. Tampan tapi lucu di matanya. Apakah itu
ekspresi kagum? Dia merasa dirinya cantik sekali.
"Melanie!" seru Tony.
Kebanggaan Monika yang tadi hilang dalam sekejap.
"Saya bukan Melanie, Pak," katanya pelan.
"Ooooh...! Oh, iya. Sori." Tony tersipu.
"Nggak apa-apa. Mungkin Bapak pikir saya orang
lain."
Monika beranjak ke motornya. Pura-pura tentu saja.
"Tunggu!"
"Ya, Pak?"
"Saya menyetopmu bukan karena saya keliru lihat.
Tadi kan kamu pakai helm. Tapi kamu kok lain
dibanding pertama saya lihat, ya? Waktu itu kamu
berada di depan kantorku."
Tony memperhatikan Monika dari atas ke bawah. Dia
tak habis pikir. Apa yang menyebabkan dia menyangka
gadis ini Melanie? Keduanya berbeda tapi mungkin
saja selintas ada sesuatu yang mirip dan dia kebetulan
menangkapnya. Dia merasa dungu. Atau sinting. Apa
210 / 460 pedulinya walaupun perempuan ini persis Melanie?
Monika tertegun. Jadi sebenarnya Tony melihatnya
juga tadi. Cuma tentu saja tadi dia kelihatan lain karena
rambutnya diikat. Ya, tunggu saja kalau aku sudah
berdandan, pikirnya kesal. Pasti mulutmu akan
ternganga lebih lebar lagi.
"Lantas kenapa Bapak menyetop saya?" tanyanya
penasaran, tapi hati-hati.
"Oh ya. Kenapa kau membuntuti saya?"
Kini giliran Monika mengangakan mulutnya sedikit.
Biasanya dia kelihatan seksi seperti itu. "Ah..., apa
iya?" katanya sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Takjub. "Buat apa saya membuntuti Bapak?"
Tony mempercayainya. "Ya sudah. Maaf saya salah
sangka. Jangan marah, ya?"
"Nggak apa-apa, Pak."
"Tunggu! Namamu siapa?"
"Monika."
"Masih SMA?"
Monika tertawa. Dia senang ditanyai begitu. Itu berarti


Melanie Karya V. Lestari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dia tampak belia. Muda dan segar.
211 / 460 "Saya sudah lama lewat SMA, Pak. Sekitar lima tahun
yang lalu."
"Oh, jadi sekarang mahasiswa?"
"Nggak juga, Pak. Saya cuma kursus komputer dan
bahasa Inggris." Monika menjawab dengan sikap
merendah tapi sesungguhnya ia bangga. Itu bukan
kebohongan.
"Tidak kerja?"
"Tidak. Eh, belum. Pak. Kursus dulu."
Kali ini Monika menundukkan kepalanya. Tiba-tiba
saja ada rasa malu menyergap.
"Di sini tinggal dengan orangtua?"
"Tidak, Pak. Orangtua saya jauh. Saya numpang sama
Tante."
"Kenapa tidak kerja saja? Kamu bisa kerja pagi,
kursusnya sore."
"Mana ada perusahaan yang mau terima saya, Pak?
Masih mentah kayak begini."
"Kau bisa kerja di perusahaan saya. Kalau mau
tentunya."
212 / 460 Monika tertegun. Tentu bukan pekerjaan yang
diharapkannya dari Tony. "Saya takut, Pak. Belum bisa
apa-apa."
"Walaupun kau sudah punya ijazah, tapi masuk kerja
tetap harus belajar dari permulaan. Ya, kau bisa belajar
dulu, kan?"
"Terima kasih, Pak. Saya akan memikirkannya," kata
Monika dengan sikap bersyukur, padahal dalam hati
berkata lain. Kerja sih kerja, tapi berapa gajinya?
Mungkin untuk hidup sehari-hari saja tak cukup,
apalagi dipakai menabung. Padahal dia memerlukan
banyak. Dan lebih cepat, lebih baik.
Tony menyerahkan kartu namanya. "Kau bisa langsung
datang ke kantor dan temui saya. Atau telepon dulu
untuk memastikan."
Monika memperhatikan kartu itu sebentar, lalu
memasukkannya ke dalam tasnya.
Tony memandangi gerak-gerik Monika sambil
bertanya-tanya dalam hati kenapa dia harus memberi
perhatian begitu besar kepada gadis kumal itu.
"Terima kasih, Pak," kata Monika sambil menuju
motornya. 213 / 460 "Tunggu! Di mana tempat tinggalmu?" tanya Tony
sambil bergegas mengeluarkan bloknot kecil dan
bolpen dari sakunya.
"Wah, saya tidak berani mengatakan, Pak. Tante saya
galak benar. Dia selalu mencurigai bila ada tamu lelaki.
Saya takut diusir."
"Baiklah. Kalau begitu, tempat kursusmu saja dan jam
serta hari apa kamu kursus."
Monika tidak keberatan menuliskan. Dia menilai sikap
Tony itu otoriter, seakan kepentingan dan kehendaknya
sendiri tak bisa ditolak. Perlu apa dia menanyakan halhal seperti itu? Tapi bagi Monika sudah tentu sikap
Tony itu merupakan keberuntungan. Sesuatu yang di
luar persangkaan dan rencana. Bayangkan. Dia cuma
perlu melakukan sedikit inisiatif pada awalnya, dan
selanjutnya segala sesuatu yang diharapkan pun terjadi.
Monika berlalu dengan gembira. Tumpukan uang
membayang di benaknya. Sementara di belakangnya
Tony masih berdiri memandangi kepergiannya. Diamdiam dia terpaksa harus mengakui, walaupun kumal
tapi sosok yang pergi menjauh itu tetaplah sedap
dipandang. Dan mungkin itulah jawabannya kenapa
dia memberinya perhatian. Sekali lagi hal itu
merupakan bukti akan kemantapan seleranya kini. Dia
berharap Monika akan mau menerima tawaran
214 / 460 kerjanya. Di perusahaannya tak ada makhluk yang
sedap dipandang. Sekretaris pribadinya berpotongan
bomber walaupun pintar dan gesit. Tapi keadaan itu
sesungguhnya memang berkat seleranya yang dulu.
Ketika itu dia merasa alergi terhadap perempuan
cantik. Kecantikan menimbulkan kemuakan dan
kebencian padanya. Kecantikan adalah racun.
Sekarang seleranya memang berubah. Tapi dia tidak
bermaksud mengubah perusahaannya menjadi taman
"bunga" yang harum semerbak. Cukuplah satu "bunga"
saja untuknya seorang.
Tapi kemudian dia bertanya-tanya sendiri. Akan cukup
puaskah dia dengan hanya memandangi?
Sesungguhnya, dia menyadari bahwa dalam dirinya
ada sesuatu yang belum terpuaskan.
215 / 460 XIV "Anie, menurut pendapatmu, pantaskah bila aku
mengikuti jejak keluargamu?" tanya Arman Suti
kepada Melanie.
"Maksudmu?" tanya Melanie tak mengerti.
"Aku... aku ingin jadi pengusaha kebun juga," kata
Arman malu-malu, khawatir dicemooh atau dianggap
latah saja.
Tapi Melanie bersikap serius. "Aku pikir, itu bagus.
Apakah itu baru keinginan saja, atau sudah punya
rencana yang matang?"
"Matang sih belum, tapi sudah menjurus ke sana. Aku
sudah memiliki sebidang tanah dekat belokan jalan tol.
Kayaknya tempatnya cukup strategis. Maklum sasaran
utama kan orang Jakarta. Tapi tanah itu belum
sepenuhnya milikku karena pembayarannya belum
lunas. Maksudku, aku diberi bantuan kredit oleh
kantor. Jadi selama waktu tertentu aku masih harus
terikat dengan kantor sampai utangku lunas. Tapi
jangka waktu itu bisa kugunakan untuk mendaya
gunakan tanah itu sambil belajar tentunya. Aku belum
berpengalaman."
"Jadi kau ke sini untuk mencari pengalaman?"
216 / 460 "Oh, tidak. Tapi... sebenarnya iya juga. Eh, maksudku,
bukan itu tujuanku yang utama." Arman tersipu.
Melanie tersenyum. Dia teringat akan Tony yang
berpura-pura mencintai tanaman supaya bisa
mendekatinya. Tentu saja dia tak ingin dibohongi lagi.
Arman mencoba menerka senyum Melanie. "Aku
sungguh-sungguh, An. Tapi terus terang saja, pada
mulanya aku tak terpikir ke sana. Ketika aku ke sini
pertama kali, tujuanku adalah untuk menemuimu. Lalu
aku melihat dan tertarik. Apalagi setelah menyaksikan
cara kerjamu."
"Dulu kau juga melihat situasi yang sama. Jadi bukan
pertama kali, ya kan?"
"Dulu aku belum punya tanah."
"Bila kau bekerja seperti kami, kau akan kotor. Tapi
kerja di bank kan rapi terus. Pakai dasi. Baju putih
bersih. Tangan bersih. Kaki bersih."
Arman tertawa. "Ibumu juga seperti itu."
Melanie menjadi murung.
"Maaf, An. Aku... aku tidak
nyinggung," kata Arman khawatir.
bermaksud me "Ah, aku tidak tersinggung. Aku cuma ingat."
"Bukan maksudku mengingatkan. Aku..."
217 / 460 "Ya, sudah. Toh Mama senang sekarang. Dia tidak mau
kembali ke bank seperti dulu. Padahal dia mendapat
tawaran lho. Mama dulu hebat," kata Melanie bangga.
"Itu suatu bukti bahwa pekerjaan seperti ini memang
menyenangkan."
"Kau jangan sembarang menyamakan. Belum tentu
kau akan benar-benar menyukainya kalau kau sudah
mengerjakannya. Mungkin yang kaulihat cuma
enaknya saja."
"Aku akan berusaha. Yang penting aku memulainya
dengan rasa suka. Pak Budi sudah berjanji untuk
membantuku. Aku juga akan belajar padanya. Dan
mungkin kau juga mau membantuku. Saran-saran
begitu. Ya, An?"
"Ah, aku bisa apa sih. Jadi, Kakek sudah tahu lebih
dulu?"
"Ya. Aku malu mengatakannya padamu. Aku takut
kalau-kalau..."
"Takut apa? Lho, takut apa sih? Awas kalau kau nggak
mau bilang."
"Aku takut kau akan berpikir bahwa aku cuma purapura menyukai pekerjaan ini untuk mengambil hatimu
saja."
218 / 460 Melanie tertegun. Dia merasa terkena. Tepat sekali
dugaan Arman itu dan dia menjadi malu karenanya.
"Jangan marah, An."
"Marah sih nggak, cuma dugaanmu itu kok benar, ya.
Aku memang menyangka begitu. Tapi sebenarnya kau
nggak begitu, kan?"
"Tentu saja nggak."
"Maaf kalau aku menyangka jelek. Soalnya aku sudah
berpengalaman. Bukan karena aku sok."
"Tentu aku mengerti. Aku sudah tahu pengalamanmu
dengan lelaki itu."
"Oh ya? Tahu dari siapa?"
"Pak Budi menceritakannya padaku."
Melanie menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Kau tidak suka, An? Kau jangan marah pada
kakekmu. Kami suka berbincang-bincang di kebun
pisang."
"Apa lagi yang diceritakannya padamu?" tanya
Melanie jengkel.
"Banyak. Tapi bukan tentang kamu kok."
"Tapi katamu tadi dia cerita tentang pengalamanku
dengan lelaki yang berpura-pura itu."
219 / 460 "Ya, cuma itu saja. Percayalah, An. Dia bercerita
kepadaku tentang soal itu karena ada hubungannya
dengan niatku berkebun itu. Ketika kuceritakan
kepadanya ternyata dia juga punya prasangka sama
denganmu. Tak heran. Karena itu aku bisa langsung
menebak tentang apa yang ada dalam pikiranmu. Jadi
bukan karena aku kelewat pintar."
Melanie tertawa.
"Ya, aku percaya kau," katanya senang.
Arman juga tertawa. Dia lebih senang lagi.
"Sesungguhnya aku juga ingin mengambil hatimu, tapi
bukan dengan pura-pura seperti itu."
Melanie memperhatikan wajah Arman yang berseriseri. Entah kenapa wajah yang menampakkan
optimisme itu menjengkelkannya. Apa gerangan yang
membuat lelaki ini demikian optimis bila dia sendiri
merasa tak memberi harapan? Menerimanya datang
dan berbincang-bincang bukanlah alasan. Atau karena
kakeknya telah memberi hati?
"Kau tak perlu mengambil hatiku," katanya dingin.
Arman terkejut. "Oh, tentu saja tidak. Itu kan cuma
kiasan saja."
"Ya tentu. Tapi maksudnya kan ke sana juga. Man,
ingatlah. Kita berteman saja. Aku mau jujur padamu.
220 / 460 Aku tak ingin menutup-nutupi. Aku tak ingin
menjatuhkanmu setelah kau berada di awang-awang.
Aku masih tetap Melanie yang dulu, Man. Seseorang
yang... yang..., ya, yang seperti itu."
"Aku tidak mengerti. Bagaimanapun kau tetap
manusia, bukan? Kau perempuan. Kau punya perasaan.
Selama hari-hari belakangan ini aku yakin kau tetap
punya perasaan dan kehangatan sebagai manusia dan
sebagai perempuan." Arman penasaran.
"Apa yang kauketahui tentang perempuan?" tanya
Melanie agak emosional. "Apakah hanya sebagai
manusia lawan jenismu saja? Atau sebagai manusia
dengan ciri dan citra klise yang telah kaubaca dan
kaudengar selama ini?"
Arman tak bisa menjawab.
"Nah, kau tidak tahu, bukan?"
"Ya. Aku memang tidak tahu. Tapi aku tahu betul
perihal diriku sendiri. Aku tetap mencintaimu, An.
Dulu aku memang bertekad untuk melupakanmu.
Bahkan aku bersumpah tidak akan menginjak tempat
ini lagi, termasuk melihatmu tentu saja. Tapi ternyata
tidak bisa. Begitu aku diingatkan tentang dirimu,
semua muncul lagi. Tak pernah padam. Mungkin cinta
itu aneh. Atau aku orang aneh. Aku tidak tahu, mana
yang betul. Tapi bagiku, seperti itulah adanya. Yah,
221 / 460 mudah-mudahan saja aku tidak kualat karena
melanggar sumpahku sendiri. Tapi kupikir, sesuatu
yang terucap dalam keadaan emosi bukanlah sumpah
namanya."
Melanie memandang Arman seolah lelaki itu kurang
waras. "Kalau aku boleh memberimu nasihat, Man,
jangan sekali-kali biarkan dirimu kehilangan harga
dirimu karena perempuan. Termasuk aku tentunya."
"Aku tidak merasa kehilangan harga diriku. Jangan
melihat soal itu dari satu sudut saja, An."
"Kecewa untuk kedua kalinya mengenai hal yang sama
bisa lebih menyakitkan, Man. Bisa jadi kau akan
bersumpah lagi untuk kedua kalinya juga. Kau akan
sakit hati padaku. Dan aku tak ingin menghancurkan


Melanie Karya V. Lestari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hatimu."
'Tidak, An. Aku sudah siap. Justru pengalaman
pertama itulah yang membuatku lebih kuat sekarang.
Kecewa memang, tapi percayalah, tidak sampai
hancur. Dan aku juga tak ingin mengaitkannya dengan
masalah harga diri."
Arman menatap Melanie tapi yang ditatap
memalingkan muka. Lalu Arman melanjutkan, "Kau
baik, An. Kau mengingatkan aku. Kau khawatir akan
menghancurkan hatiku. Dulu nggak begitu. Dulu kau
ketus dan judes sekali."
222 / 460 Melanie masih tetap memalingkan mukanya. Tapi
sesungguhnya dia juga menyimak kata-kata Arman.
Benarkah dia sekarang tidak seketus dan sejudes dulu?
Mungkin juga ada benarnya. Tapi kalau memang
benar, maka perubahan itu terjadi tanpa disadarinya.
Dia merasa tidak berusaha ke sana. Juga tak ada
kesengajaan atau keinginan. Logisnya, tak mungkin
seseorang bisa berubah, betapapun sedikitnya, tanpa
sebab sama sekali. Kalau begitu, apa sebabnya?
"Lucu juga kalau dipikir," Arman melanjutkan.
"Ketika mula-mula ke sini targetku hanyalah supaya
bisa melihatmu dan bertemu sebentar saja. Tapi setelah
kau menerimaku dengan baik, aku berharap lebih
banyak lagi."
"Harapan itu muncul karena kau melihatku tetap saja
sendirian, bukan? Kau kasihan padaku karena tak ada
orang lagi yang mau mendekat. Banyak orang
menggunjingkan diriku. Kau tentu berpikir aku
menjadi putus asa karenanya lalu menerima begitu saja
orang pertama yang datang. Ya, kaulah orang pertama
itu dan mungkin cuma satu-satunya dari sekian orang
yang pergi karena kecewa akan kenyataan diriku yang
sebenarnya."
Arman membelalakkan matanya. Dia berusaha keras
untuk menekan marahnya. Tiba-tiba dia melihat
Melanie kembali menjadi si keras kepala yang dulu.
223 / 460 Emosinya menuntut untuk diledakkan. Tapi tentu saja
bukan dalam bentuk tindakan destruktif melainkan
bantahan keras terhadap tuduhan itu lalu pergi tanpa
perlu menengok lagi. Kemudian bersumpah lagi? Dia
memandang Melanie beberapa saat lamanya. Lalu
segera menyadari bahwa tatapan gadis itu tampak
menyelidik, tegang, dan ingin tahu. Tak sukar dia
memahami. Melanie sedang menunggu, kapan dia akan
meledak! Pemahaman itu justru menyurutkan emosinya. Dia
tentu tidak ingin menyenangkan hati Melanie dengan
cara seperti itu. Lalu rasa geli menggelitik karena
mereka berdua bertatapan demikian rupa. Dia tertawa
keras. Wajah Melanie yang keheranan campur kecewa
membuat tawanya semakin keras dan panjang.
"Hei! Kenapa sih kamu?" teriak Melanie kesal.
Arman mendekap mulutnya sendiri. "Maaf, An. Aku
menertawakan diriku sendiri."
"Ah, masa. Memangnya kenapa?" tanya Melanie
curiga. "Kata-katamu tadi benar kok. Aku memang pernah
punya pikiran seperti itu. Tapi bukan itu yang
mendominasi pikiranku. Jadi bukan itu pula yang jadi
pendorong tindakanku. Semata-mata karena kau baik
dan ramah kepadaku maka harapanku timbul.
224 / 460 Andaikata sejak awal kau menyambutku dengan ketus
maka sejak saat itu pula aku sudah mundur. Mana
mungkin aku berani, An. Ah, aku kan harus tahu diri."
Melanie tertegun. Wajahnya memerah.
"Aku sungguh menghargai kata-katamu tadi itu, An.
Tapi tentunya aku boleh tahu alasan penolakanmu. Kau
tidak usah khawatir akan menyinggung perasaanku.
Barangkali aku jelek, miskin, bodoh, atau apa lagi."
Melanie menggelengkan kepala.
"Kamu sinis, Man. Sebenarnya kamu tahu betul apa
sebabnya. Kan nggak usah ditanya lagi."
"Kalau aku sudah tahu, aku takkan bertanya lagi."
"Sebabnya adalah karena aku tidak mau. Itu saja."
"Orang tidak mau itu kan ada sebabnya. Apakah karena
kau tidak menyukaiku? Barangkali kau muak? Sebal?"
Melanie cemberut. "Kamu ngotot amat sih, Man?"
"Tolonglah, An. Tolong beritahu," Arman mendesak.
Dia sudah bertekad, tidak akan pergi sebelum
memperoleh jawaban yang memuaskan.
"Begini, Man. Sebenarnya aku menyukaimu, tapi
sebagai teman. Bukan sebagai... ya, sebagai pacar. Dan
aku juga menghargai sikapmu. Jelas kau berbeda
daripada yang lain-lain. Ketika aku ditinggalkan
225 / 460 sendirian, kau datang menawarkan persahabatan. Aku
senang mengobrol denganmu dan ditemani olehmu.
Tapi jangan... jangan lebih dari itu. Kau mengerti,
Man?"
Arman tak segera menjawab. Tentu saja dia mengerti.
Tapi dia perlu tahu lebih banyak.
"Jadi kalau kau sekarang pergi dengan marah seperti
dulu, aku pasti akan merasa kehilangan." Melanie
melanjutkan dengan pandang menjelajahi kebunnya.
"Pada suatu saat aku memang menikmati kesendirian
ku. Di sini aku merasa aman. Tak ada perlakuan jelek,
tak ada kata-kata menyakitkan atau tatapan
mencemooh. Tapi setelah kau datang, ternyata punya
teman itu menyenangkan. Dan selalu sendirian itu pun
tak selamanya menyenangkan. Jadi aku lebih suka
seperti ini saja. Kau datang dan pergi sebagai teman.
Sekali waktu aku punya teman, lain waktu aku
sendirian. Tapi kalau aku menerima permintaanmu,
maka itu berarti kita harus hidup bersama, terus
bersama. Lantas banyak tuntutan dari masing-masing,
sampai kemudian timbul macam-macam masalah. Jadi
buat apa, Man?"
Pandang Arman melembut.
"Kau dipengaruhi trauma, An. Kau kehilangan
kepercayaan setelah pengalamanmu dan pengalaman
226 / 460 ibumu. Tapi jangan sampai hal itu membuat kau
kehilangan kepercayaan. Kau tidak boleh takut
menempuh risiko, An. Aku pikir, hidup ini tidak akan
menyenangkan kalau kita cuma cari amannya saja."
"Sebaiknya kau tidak usah menjanjikan apa-apa, Man.
Jangan sekali-kali bilang bahwa kau tidak sama dengan
lelaki gombal yang lain, seperti si Rifai alias Tony atau
seperti ayahku. Jangan!"
"Lho, aku memang tidak akan ngomong seperti itu."
"Aku ingin menjaga mulutmu, mencegah sebelum kau
sempat ngomong. Soalnya, kalau kau sampai ngomong
begitu aku akan membencimu."
"Aku tidak punya rencana ngomong begitu. Sayang,
aku tak bisa membuktikannya."
"Kalau memang tidak, ya sudah."
Arman mengingatkan dirinya, bahwa kejudesan
Melanie itu merupakan kesengajaan supaya dia
mundur teratur. Melanie sengaja menampilkan kesan
jelek perihal dirinya sendiri. Dia mengingatkan dirinya
supaya tidak menjadi kesal dan marah karenanya.
Melampiaskan emosi secara tuntas cuma akan
memberi rasa senang sesaat tapi tak akan membuat
segalanya menjadi lebih baik kemudian. Dia harus
mencari jalan lain. Suatu cara yang bisa membuatnya
227 / 460 berlalu dari tempat ini tanpa rasa dendam, tapi . tetap
memiliki harapan.
"Walaupun tidak sependirian, aku menghargai
keinginanmu itu. Tapi bagiku jelas susah. Tak mungkin
aku bisa sering-sering datang ke sini, berada dekat
denganmu, memandangimu, dan berbincang dengan
mu, tanpa boleh mencintaimu. Bahkan berharap pun
tak boleh. Cuma teman, katamu. Mana mungkin. Aku
bukan manusia seideal itu."
Melanie memandangi tanah di bawahnya sebentar, lalu
berkata pelan, "Aku mengerti. Aku juga menyesal. Kau
tentu tak bisa lagi datang ke sini, bukan?"
"Bukan begitu maksudku. Sesekali aku tentu perlu ke
sini, tapi bukan seperti sekarang ini. Aku masih
membutuhkan bantuanmu sekeluarga. Kalau boleh
tentunya."
"Boleh saja. Kau tentu bisa menemui Kakek, ibuku,
atau Mang Ateng, bukan?" kata Melanie sambil
mengais tanah dengan kakinya.
Arman tak bisa melihat wajah Melanie. "Aku
menyesal, An."
"Ya. Aku juga."
Arman berlalu dengan kepala tegak. Di belakangnya,
Melanie memandangi dengan berbagai perasaan
228 / 460 mengaduk menjadi satu. Dia merasa respek kepada
Arman. Kali ini lelaki itu memang tampil lain dari yang
lain karena dia memang datang sendiri tanpa saingan.
Tapi ternyata dia pun tak bisa dibanding-bandingkan
dengan lelaki-lelaki lain yang pernah singgah dalam
hidupnya di masa lalu. Bahkan juga dengan Arman
yang dulu dikenalnya. Arman yang dulu sepertinya tak
punya ciri, sama saja dengan yang lain. Padahal dulu
dia punya kesempatan untuk membanding-bandingkan
dan memilih. Tapi ketika itu dia memang tak punya
keinginan apa-apa terhadap mereka. Semuanya
menjadi tak berkesan. Mereka boleh datang dan pergi
tanpa meninggalkan bekas. Lantas kenapa sekarang
menjadi lain? Apakah dia memang sudah berubah
seperti kata Arman?
Lepas dari pandangan mata Melanie, ternyata Arman
tak terus keluar lewat pintu pagar. Dia berbelok menuju
kebun pisang untuk mencari Pak Budi. Lalu tak keluarkeluar lagi pertanda orang yang dicarinya sudah dia
temukan. *** Diah menemukan Melanie di tangga teras, menekur
memandangi tanah. Di tempat itulah tadi dia
melihatnya berbincang riang dengan Arman. Sekarang
Melanie sendirian dan tampak sedih. Dengan sedikit
cemas Diah mendekat lalu duduk di samping Melanie.
229 / 460 Tapi ada juga kekhawatiran kalau-kalau Melanie
sesungguhnya tak ingin ditemani.
"Ada masalah, Anie?" tanya Diah harap-harap cemas,
kalau-kalau pertanyaannya dianggap mengganggu.
Melanie tak menoleh. Dia masih saja menekur
memandangi tanah seolah-olah di sana ada sesuatu
yang lebih menarik perhatiannya. Tapi dia menjawab
tenang, "Entahlah, Ma. Saya tidak tahu apakah itu
suatu masalah atau bukan. Bagi saya tentunya."
"Arman?"
"Ya."
"Apakah dia akan menemuimu lagi di sini?"
"Kenapa Mama tanya begitu? Tentu saja tidak. Dia
sudah pulang."
"Soalnya sebelum ke sini, Mama melihatnya di kebun
pisang bersama kakekmu. Mereka sedang asyik
mengobrol."
Rupanya Arman bisa mengobati kekecewaannya, pikir
Melanie. Nyatanya dia bisa menemukan pengganti
dalam diri kakeknya. Lalu Melanie membayangkan,
besok-besok kalau Arman datang lagi pasti dia akan
langsung ke kebun pisang tanpa menemuinya lagi.
Tiba-tiba pikiran itu membuatnya jengkel.
230 / 460 "Kalian bertengkar?" tanya Diah.
"Sebenarnya sih nggak, Ma," sahut Melanie segan.
"Lantas apa?" tanya Diah nekat. Dia memutuskan
untuk mencari tahu.
Dengan kesal Melanie mengangkat mukanya lalu
menatap ibunya. Sudah terkumpul kata-kata di
mulutnya, bahwa dia tak apa-apa. Tak ada apa-apa.
Dan dia sudah bosan karena selalu dikhawatirkan dan
dijadikan pusat perhatian. Tapi kata-kata itu beku di
mulutnya. Dari jarak dekat dia melihat kerut-kerut
halus di wajah ibunya. Tampaknya kerut-kerut itu
semakin banyak saja. Dialah penyebabnya! Dalam
kerut-kerut itu dia melihat pengorbanan ibunya
untuknya. Bagaimana mungkin dia membalasnya
dengan kata-kata pedas?
Wajah Melanie memerah oleh upayanya menahan
tangis. Lalu dia menjatuhkan dirinya dalam pelukan
Diah. "Sudahlah. Kamu tak usah cerita kalau itu membuatmu
sedih," hibur Diah menyesal.
"Saya akan cerita, Ma. Tadi Arman menyatakan lagi
cintanya padaku. Tapi saya tolak. Saya bilang, cuma
ingin berteman saja. Lalu dia mengatakan itu tak
mungkin. Katanya, mustahil dia bisa berdekatan tanpa
231 / 460 boleh mencintai. Jadi kami sepakat bahwa dia tak perlu
lagi sering-sering menemui saya."
Diah menyimpan kekecewaannya. "Ya, sudah.
Bukankah dia tidak menanggapi penolakanmu dengan
kasar?"
"Tidak."
"Kalau begitu, kamu tak usah sedih, An."
"Saya sedih karena dia tak mengerti, Ma. Dan saya tak
bisa membuatnya mengerti. Saya tak bisa mengatakan
nya."


Melanie Karya V. Lestari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kalau begitu, katakanlah pada Mama."
Melanie mengeratkan pelukannya, tak ingin ibunya
melihat wajahnya. Lalu dia berkata pelan tapi jelas,
"Saya tahu, Mama dan Kakek sangat ingin saya dekat
dengan lelaki lalu menerimanya sebagai suami. Saya
mengerti bahwa Mama dan Kakek berpikir saya akan
bahagia karenanya. Di samping itu gunjingan di luar
pun akan hilang. Jadi waktu Arman datang dan kami
berhubungan dengan baik, harapan Mama dan Kakek
ditumpukkan padanya. Saya akui, dia memang baik.
Kalau saya menerimanya, semua orang akan senang.
Tapi saya pikir, itu tidak fair untuk Arman. Sekarang
sih pasti dia senang, tapi nanti? Dia akan melihat
kenyataan diri saya yang sebenarnya. Dia akan kecewa.
232 / 460 Dia tidak puas. Akibatnya, macam-macam masalah
bisa terjadi. Bukankah suatu masalah itu sering kali
disebabkan karena rasa tidak puas? Apalagi kalau
ketidakpuasan itu mengenai sesuatu yang penting. Jadi
saya harus menghindari terjadinya hal itu. Saya sudah
lama memikirkannya, Ma. Sejak saya menyadari
makna kunjungan Arman dan sikapnya padaku, saya
memutuskan untuk mengambil sikap kalau saatnya
tiba. Jelas memang tidak mungkin dia mau datang dan
berbaik-baik kalau tidak punya maksud. Jelas juga
bahwa tujuan saya dan dia dari hubungan kami itu tidak
sama. Saya cuma menginginkannya sebagai teman,
tapi dia ingin lebih dari itu. Dia sendiri pun berterus
terang bahwa tidak mungkin baginya untuk melihat dan
bergaul dengan saya melulu sebagai teman saja.
Karena itu lebih baik baginya untuk tidak bertemu
dengan saya seperti biasa lagi. Dengan demikian,
sesuatu yang sangat buruk di masa depan bisa
dicegah."
Melanie melepaskan
menekuri tanah.
pelukannya
"Mama mengerti kalau
mencintainya. Tapi..."
kamu lalu kembali memang tidak "Saya tidak akan bisa mencintai siapa-siapa, Ma." "
233 / 460 Diah tertegun sebentar oleh ketegasan kata-kata
Melanie, lalu berkata dengan tegas juga, "Tunggu
sebentar, An. Mama belum selesai. Ada yang tak
Mama pahami. Apa maksudmu dengan kenyataan
dirimu yang sebenarnya itu, hingga Arman bisa kecewa
karenanya?"
Melanie menoleh. Wajahnya menampakkan rasa heran
dan kesal karena tak dimengerti. Dengan enggan dia
menyahut juga, "Seks!" ucapnya ketus.
Diah membelalakkan matanya. Jawaban itu tak
disangkanya. Dia belum mengerti dan ingin bertanya
lagi tapi mengkhawatirkan reaksi Melanie.
Tapi beberapa saat kemudian Melanie tak keberatan
menjelaskan.
"Begini, Ma. Mungkin saya sudah telanjur membenci
lelaki hingga merasuk ke dalam darah dagingku. Jadi
saya tidak mungkin pula bisa memberi respons dalam
bercinta. Tidak ada getaran. Tidak ada rangsangan
seperti yang seharusnya."
"Bagaimana kau bisa berkata begitu kalau kau belum
membuktikannya? Ataukah kau sudah-sudah mencoba
nya dengan Arman?" tanya Diah penasaran dan tanpa
berpikir lagi.
Muka Melanie memerah. Dia jengkel. Tapi sadar harus
tuntas menjelaskan. "Ah, Mama. Saya memang sudah
234 / 460 mencoba, tapi bukan yang ada dalam pikiran Mama.
Arman selalu bersikap sopan. Tapi beberapa kali saya
biarkan dia memegang lengan saya atau merangkul
bahu. Tahu apa yang saya rasakan, Ma? Saya merasa
jijik dan muak!"
Diah terkejut. Dan Melanie memijit-mijit lambungnya
seakan merasakannya kembali.
"Tiba-tiba saja perasaan itu datang, Ma. Saya benarbenar ingin muntah. Susah payah saya menahan sambil
berusaha menghindari sentuhan Arman tanpa
membuatnya tersinggung. Lalu saya beralasan sakit
perut dan perlu ke belakang. Tapi setelah menjauh
perasaan itu hilang sendiri. Bayangkan apa yang akan
terjadi bila saya kawin dengan dia. Atau dengan siapa
saja. Bukankah bagi lelaki seks itu penting, Ma?
Bahkan banyak orang bilang, itulah yang terpenting
buat mereka!"
Diah tak segera bisa menanggapi. Dia terlalu kaget dan
sedih. Jadi itulah yang telah mengendap dalam diri
Melanie selama bertahun-tahun dan disimpannya
sendiri. Baru sekarang terungkap ketika seseorang
seperti Arman mampu memberi harapan begitu besar.
"Tapi kau suka kepada Arman. Kalau tidak, masa kau
bisa begitu asyik mengobrol dengan dia," kata Diah
seolah tak percaya. Tak ingin percaya.
235 / 460 "Ya. Saya memang suka dia, Ma. Tapi sebagai teman.
Bukan sebagai lelaki!"
236 / 460 XV Pada hari Minggu itu, Andre celingukan ke kanan dan
ke kiri begitu melewati pintu gerbang. Kebun yang luas
itu membuatnya bingung ke mana harus melangkah.
Tapi dia tak perlu bingung lama-lama. Seorang lelaki
tua berambut putih dan bertubuh tegap tiba-tiba saja
muncul di sisinya. Bajunya kaus oblong yang agak
kotor dan celana yang panjangnya selutut pun sama
kumalnya. Lelaki itu tersenyum ramah sambil
mengangguk kepadanya.
"Mau beli pisang atau mau lihat-lihat tanaman hias,
Pak?" tanya Pak Budi, lelaki tua itu.
Andre menatapnya sebentar. Tak sedikit pun dia
menyangka bahwa lelaki tua itu adalah pemilik kebun
yang dimasukinya. Baginya akan terasa mustahil bila
seorang pemilik berpenampilan seperti itu. Tapi justru
karena itu dia menganggap tak perlu berpura-pura. Itu
cuma membuang waktu saja.
"Sebenarnya sih nggak, Pak. Tapi saya punya
keperluan lain."
"Bisa saya bantu, Pak?" tanya Pak Budi tak kurang
hormatnya. Sikap hormat jelas termasuk dalam seni
237 / 460 menjual yang sudah dihayatinya selama lebih dari
separo usianya.
"Oh, tentu saja bisa," kata Andre sambil mengambil
dompetnya lalu mengeluarkan selembar uang kertas
seribu rupiah. Uang itu disodorkannya pada Pak Budi.
"Buat beli rokok, Pak," katanya manis.
Pak Budi tertegun. Tapi cuma sebentar. Dia juga tidak
tersinggung atau segera memberitahukan kepada
tamunya siapa dirinya. Dia malah merasa geli sekaligus
ingin tahu. Maka dia menerima uang itu sambil
membungkukkan tubuh. "Wah, terima kasih, Pak."
"Begini, Pak. Apa di sini ada yang namanya Melanie?"
tanya Andre.
"Oh, ada, Pak. Neng Anie tuh. Bapak temannya, ya?
Nanti saya anterin ke dalam?"
"Jangan, jangan. Nggak usah. Ada yang lainnya.
Barangkali Bapak tahu. Ya, mudah-mudahan saja
Bapak tahu. Kalau tahu nanti saya tam-bahin uang
rokoknya. Begini, Pak. Apa Neng Anie itu dulu pernah
punya pacar yang namanya Tony?"
Pak Budi pura-pura berpikir. Lalu dia menjawab raguragu, "Pak Tony, ya? Kalau sama Pak Tony yang itu
saya kenal. Orangnya cakep, kan? Dia memang sering
ke sini dulu. Tapi sekarang nggak lagi. Udah lama
nggak kelihatan."
238 / 460 "Jadi sering ke sini, ya? Pacaran?" tanya Andre
bernafsu. Pak Budi menggaruk-garuk kepalanya. Suatu pertanda
bingung. Tapi bukan pura-pura. Ada yang sulit
dipahaminya. Cara tamunya bertanya seperti suatu
kecemburuan. Tapi mana mungkin? Dia yakin, belum
pernah melihat tamu ini sebelumnya. Atau janganjangan dia mulai pikun?
"Bapak temannya Neng Anie?" Pak Budi menegaskan.
"Bukan."
Nah, bukan. Pak Budi bengong.
Tapi Andre tidak menyadari keheranan Pak Budi. Dia
penasaran karena pertanyaannya tadi belum dijawab.
Cepat-cepat dia mengeluarkan lagi seribu rupiah lalu
menyodorkannya pada Pak Budi yang menerimanya
dengan sikap sama seperti tadi. "Ayo, Pak. Apa Pak
Tony itu dulu pacaran sama Neng Anie?"
Pak Budi berpikir lagi. Dia sadar, cara tamunya itu
bertanya disebabkan karena dia tahu. Tapi jelas belum
tahu semua.
"Kalau yang namanya pacaran itu mesra-mesraan
kayaknya sih nggak, Pak. Saya mah kurang tahu sih,"
jawabnya kemudian.
239 / 460 "Tapi Pak Tony itu kan baik sekali sama Neng Anie,
ya?" "Iya. Saya dengar, Pak Tony itu juga suka sekali sama
tanaman. Dia dan Neng Anie ngobrolnya soal tanaman
melulu. Saya sering dengarin. Seru."
Andre melotot. Wajahnya yang putih memerah. Lalu
dia tertawa geli. "Jadi katanya dia suka tanaman?"
tegasnya tak percaya.
Pak Budi mengangguk. Dia sadar, tamunya ini pasti
kenal baik dengan Tony. "Saya juga sering diajarin,
Pak," dia sengaja menambahkan.
"Wah, belajar di mana dia, ya?" gerutu Andre. Lalu
wajahnya menjadi serius ketika bertanya, "Jadi
sekarang nggak suka datang lagi?"
"Kayaknya sih nggak, Pak. Saya sudah lama nggak
lihat Pak Tony. Biasanya setiap hari Minggu mesti
datang."
"Apa mereka ribut? Bertengkar?"
"Nggak juga. Eh, saya nggak tahu pasti, Pak. Kenapa
Bapak nggak tanya langsung sama Neng Anie?"
Andre memandang jengkel. "Nggak, ah. Ogah. Eh, apa
Neng Anie itu juga suka sama Pak Tony?"
240 / 460 "Wah, nggak tahu tuh, Pak. Neng Anie nggak pernah
ngomong sih. Makanya Bapak lebih baik nanya sama
orangnya sendiri."
"Idih, entar dia marah sama saya dong. Kan saya nggak
kenal dia. Sembarangan."
"Neng Anie orangnya baik kok, Pak. Cantik lagi.
Pokoknya gini deh, Pak," kata Pak Budi sambil
mengacungkan ibu jarinya. Tapi kemudian dia kaget
melihat tatapan gusar tamunya.
"Kalau memang dia cantik, kenapa Pak Tony nggak
suka datang lagi?"
"Wah, nggak tahu atuh. Itu mah urusan Pak Tony.
Bapak kan temannya. Mestinya tanya sendiri sama
dia."
"Idih, sok ngajarin," gerutu Andre jengkel. Tapi ketika
melihat sikap lelaki tua di depannya ini juga sudah
mulai kesal cepat dia berubah sikap. Diambilnya lagi
dompetnya tapi sebelum sempat membukanya, Pak
Budi sudah menggoyangkan tangannya.
"Jangan, Pak. Jangan kasih saya uang lagi," katanya.
Bahkan dua lembar ribuan yang tadi diterimanya pun
dikembalikannya. Ketika Andre menolak, dia
menjejalkannya ke dalam saku kemejanya.
241 / 460 "Saya nggak perlu duit, Pak. Penghasilan saya dari
hasil kebun ini sudah cukup kok," kata Pak Budi
tenang. Andre kaget. Mukanya merah padam. Dia malu dan
gugup. "Oh..., eh..., ma... maaf ya, Pak. Sa... saya nggak tahu.
Habis... habis Bapak nggak bilang sih. Yah, saya mau
permisi saja, Pak."
Pak Budi merasa kasihan. Dia tak ingin mempermalu
kan. "Nggak apa-apa, kok. Memang dengan penampilan
seperti ini banyak orang suka keliru sangka," katanya
sambil memandang pakaiannya sendiri.
Andre merasa lebih lega. "Kalau begitu, bukan saya
sendiri yang bego," hiburnya pada diri sendiri. Tapi
ketika dia teringat akan kata-katanya tadi kembali dia
jadi salah tingkah. Kalau sejak tadi dia tahu siapa lelaki
tua ini, tentu dia tak akan berkata seperti itu.
Pak Budi mengubah sikapnya menjadi lebih
berwibawa. Anak muda ini belum pantas dipanggil
Bapak olehnya. "Ayolah, kita bicara baik-baik saja.
Boleh saya tahu nama Anda? Saya biasa dipanggil Pak
Budi," katanya sambil menyodorkan tangannya.
"Andre," sahut Andre malu-malu.
242 / 460 "Nah, Andre. Anda sudah capek-capek datang ke sini.
Anda pasti punya tujuan. Bukankah tadi Anda banyak
pertanyaan? Daripada Anda pulang dengan penasaran
lebih baik masalahnya dibereskan saja. Saya pikir,
paling baik bila Anda berhadapan langsung dengan
Melanie. Dia paling tahu." Lalu Pak Budi berteriak
keras, "Jang! Ujaaaang! Tolong panggil Neng Anie ke


Melanie Karya V. Lestari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sini!"
Andre terpaksa menurut. Apa mau dikata, mungkin hal
itu memang lebih baik, pikirnya.
"Nah, itu dia," kata Pak Budi. "Saya akan memberi
kesempatan Anda bicara berdua saja, supaya bisa lebih
leluasa."
Ketika Melanie mendekat. Pak Budi memperkenalkan
mereka berdua lalu pergi. Tapi Andre punya perasaan
bahwa lelaki tua itu sebenarnya tidak pergi jauh-jauh.
Mungkin saja dia bersembunyi di balik pohon.
Mereka berpandangan. Andre menatap kritis.
Khayalannya mengenai Melanie sirna semua. Sama
sekali tidak tepat. Dia membayangkan seorang
perempuan yang memiliki kecantikan menggoda dan
meruntuhkan iman. Perempuan setan. Tapi yang di
depannya ini sama sekali tidak menarik baginya. Biasabiasa saja. Memang tidak jelek. Namun sekarang bukan
soal penampilan yang jadi sorotan utamanya.
243 / 460 Kepekaan nalurinya menangkap sesuatu yang lain.
Perempuan di depannya ini bukanlah makhluk
"berbahaya". Nyatanya, dia tidak merasa "terancam".
Malah sebaliknya dia jadi merasa aman dan tenteram.
Memang semata-mata cuma perasaan, tapi baginya itu
sudah cukup sebagai penilaian awal. Dan karena itu,
dalam sekejap lenyap sudah segala rasa bermusuhan
nya. Melanie memandang keheranan. Dia yakin belum
pernah melihat Andre sebelumnya. Nama seperti itu
pun baru pernah didengarnya. Tentu masalahnya bukan
karena dia selalu bersikap cuek terhadap para pria yang
menaksirnya. Apakah lelaki ini seorang pendatang baru
yang akan menambah jumlah mereka sebelumnya?
Tapi pertanyaan ini dengan cepat melintas pergi.
Sesuatu dalam diri dan sikap Andre menggugah dan
menggelitiknya begitu rupa hingga membangkitkan
kesan aneh yang tak dipahaminya pada mulanya.
Lelaki ini tampak berbeda daripada yang lain, yaitu
mereka yang pernah dikenalnya. Dan tampaknya lelaki
ini pun tak bermaksud menyembunyikan dirinya yang
sesungguhnya. Dia kelihatan. Dia membiarkan dirinya
ditebak. Dan karena itu dia jadi tampak misterius
hingga Melanie memandangnya dengan perasaan
tertarik. Perhatian dan pikirannya dipusatkan.
"Saya tahu perihal kamu dari Tony," kata Andre.
244 / 460 Melanie kaget. "Oh ya? Dia cerita semuanya?"
Andre berpikir sejenak. "Semuanya? Ah, rasanya sih
nggak. Pasti nggak semuanya. Maksudku, saya tahu
bahwa kamu ada di dunia ini dari dia."
Melanie tersenyum. "Lantas kamu ke sini disuruh dia
atau ada yang lain?"
"Ada yang lain. Ah, saya mau terus terang saja, ya.
Sudah kepalang basah sih. Tadinya saya ke sini cuma
mau ngintip kamu. Eh, bukannya ngintip lagi mandi.
Tapi cuma kepingin tahu kamu ini kayak apa sih, kok
bisa bikin Tony berubah begitu besar."
"Berubah apanya?" tanya Melanie heran.
"Oh ya, kamu tentu nggak tahu. Dia tak mungkin
memberitahu. Tapi saya tidak keberatan memberi tahu.
Habis sudah kepalang sih. Biar saja dia marah. Peduli
amat. Begini, Mei. Si Tony itu kan tadinya pemuda
gay. Tapi setelah berhubungan sama kamu dan dia
main sandiwara untuk menarik hatimu, tiba-tiba dia
jadi berubah selera. Sekarang dia jadi senang sama
cewek lagi. Hubungannya sama saya pun jadi putus.
Yah, saya jadi ikut kena getahnya tuh."
Melanie sangat kaget. Tiba-tiba tubuhnya terasa
dingin. Sulit baginya untuk membayangkan bagaimana
Rifai alias Tony bisa bersikap penuh cinta kepadanya
selama ini padahal punya selera bertolak belakang
245 / 460 sementara bertahun-tahun yang lalu... Lalu dengan
tersentak dia ingat akan keadaan dirinya sendiri.
Bukankah dia pun telah melampaui suatu proses yang
membuatnya jadi seperti sekarang ini?
Andre tidak memahami diamnya Melanie.
"Ya, kamu nggak nyangka tentunya, ya? Pasti dia
pintar pura-pura. Tapi yang saya anggap mustahil
adalah perubahannya itu. Kok bisa, ya? Kayaknya
gampang gitu. Orang lain kepingin berubah sampai
habis-habisan dikuras kantongnya oleh dokter jiwa tapi
nggak berubah juga. Yang berubah cuma isi
kantongnya. Ha ha ha! Karena itu saya jadi kepingin
tahu. Pasti ada sebab lain yang tak diungkapkannya.
Ya, dia sendiri sih nggak mau bilang. Tapi saya punya
perkiraan sendiri. Apakah sesungguhnya dia jatuh cinta
sama kamu, Mei? Atau barangkali kalian saling jatuh
cinta? Ya, bukankah benci itu bisa berubah jadi cinta?"
dia nyerocos.
Melanie ternganga. Pertanyaan itu sungguh menggeli
kan hingga berhasil melenyapkan perasaan sebelum
nya. Lalu dia tertawa. Mula-mula pelan kemudian
keras. Terbahak-bahak.
Andre tak mengerti kelucuannya. Dia cuma
memandang jengkel tapi ingin tahu. Maka dia
246 / 460 memutuskan untuk bersabar menunggu sampai badai
tawa Melanie menjadi reda.
Melanie mengusap matanya.
"Sori, ya. Bukannya saya menertawakan kamu. Tapi
geli oleh kemustahilan perkiraanmu itu. Cinta? Mana
mungkin. Saya dan dia sudah jadi musuh bebuyutan.
Oh, kami memang tidak akan berperang. Jangan takut.
Tapi kebencian itu sudah mengakar. Tak mungkin
hilang begitu gampang. Apalagi sampai menjadi cinta.
Jangan mengada-ada," katanya tegas-tegas.
Baru sekarang Andre percaya. Sejak awal sosok
Melanie sudah memberinya rasa percaya itu. Dia
menghirup udara dalam-dalam. Ah, segarnya.
"Baiklah, Mei. Saya puas dengan jawabanmu itu.
Terima kasih. Tapi sebenarnya berkat jasamu juga
maka dia bisa berubah. Kelihatannya dia senang sekali.
Matanya sudah mulai hijau melihat cewek."
"Ah, tak mungkin berkat jasaku. Semua itu kan dia
sendiri yang melakukan. Saya cuma sasaran tapi yang
kena dia sendiri."
"Ah, benar juga, ya," Andre membenarkan. "Tapi terus
terang, saya kadang-kadang suka iri juga padanya.
Kayaknya enak kalau dianggap normal itu. Kita jadi
nggak dihina orang. Nggak perlu sembunyi-sembunyi
atau pura-pura. Tapi, gimana ya. Susah juga sih. Kalau
247 / 460 lihat susahnya itu, rasanya jadi malas. Mendingan jalan
terus aja deh."
Melanie menatap simpati. Dia sadar tak bisa memberi
saran apa-apa. Pengetahuan dan pengalamannya
dengan orang-orang seperti Andre sama sekali tak ada.
"Hei, bagaimana menurut kamu kalau saya meniru
jejak Tony?" tanya Andre.
"Meniru bagaimana?"
"Saya pura-pura mencintaimu lalu saya menjadi ahli
tanaman atau..." Andre diam sebentar, memperhatikan
seseorang menggotong setandan pisang ambon sebesar
lengan. Lalu dia meneruskan, "Atau menjadi
penggemar pisang?"
Melanie dilanda badai tawa lagi.
"Lho kok ketawa sih?" tanya Andre tersinggung. Dia
merasa telah bicara serius.
Melanie menggoyang-goyangkan kepalanya.
"Habis kamu lucu sih. Mana mungkin? Belum apa-apa
kan saya sudah tahu bahwa kamu cuma pura-pura.
Bukankah orang yang mau berpura-pura itu tak boleh
memberitahu dulu sebelumnya?"
"Oh, iya. Bebal, bukan? Ah, sudahlah. Saya toh tidak
akan sanggup berpura-pura sepintar Tony."
248 / 460 "Ya. Setiap orang kan lain-lain," hibur Melanie.
"Dulu saya pikir tak akan berpisah dari Tony. Pikiran
itu membuat saya sedih sekarang. Padahal dia tentu tak
pernah memikirkan saya lagi. Saya jadi sering bingung.
Begini salah, begitu juga salah."
"Jangan bingung. Dunia bukan sedaun kelor."
"Ya, ya, kamu betul. Trims, Mei."
Ketika akan berlalu Andre menjabat tangan Melanie
kuat-kuat. "Biasanya saya nggak suka cewek. Tapi
saya pikir kamu lain. Kayaknya kita bisa berteman,
Mei!"
Melanie mengangguk. "Ya. Kayaknya begitu, Andre!"
Wajah Andre yang putih halus bersemu merah. Dia
tersenyum manis.
Melanie terpesona dengan kesedihan yang terasa
menikam jantungnya. Ya, kau lain, Andre. Dan aku
pun begitu! Lantas, apakah aku harus menyerah,
membiarkan diriku seperti itu?
*** Tapi Melanie menolak ketika ibunya mengajaknya
berkonsultasi ke psikiater yang dulu pernah
menanganinya.
249 / 460 "Kenapa tidak, An? Biasanya kamu tak pernah
menolak kalau Mama ajak," Diah menyesali.
"Bukankah dia sudah mengenalmu?"
"Saya tidak mau jadi bahan studinya. Yang pasti, kasus
saya akan memperkaya dia. Tapi saya sendiri belum
tentu mendapat apa-apa."
"Belum tentu itu tidak berarti pasti. Yang penting kita
sudah berusaha. Kita tidak berdiam diri saja menyerah
pada keadaan."
"Saya tidak menyerah, Ma. Tapi saya ingin mencari
jalan dengan cara saya sendiri."
"Cara bagaimana itu, An?"
"Belum tahu, Ma."
"Bukankah dokter bisa membantu menunjukkan?"
bujuk Diah.
Melanie menggelengkan kepala. "Tidak, Ma. Saya
akan berusaha sendiri. Bimbingan dokter cuma akan
membuat saya pasif dan tidak ber-inisiatif. Sepertinya
saya cuma menyerahkan nasib padanya semata.
Apalagi saya selalu punya perasaan bahwa dia cuma
mau mencoba kemampuannya saja. Kayak dokter
ngetes obat. Yang ini kurang manjur, coba yang lain.
Karena itu kita disuruh datang lagi dan datang lagi. Itu
250 / 460 karena dia nggak yakin akan kemampuannya. Padahal
kita disuruh bayar terus."
"Itu kan profesinya, An."
"Pendeknya saya nggak mau, Ma."
"Kamu lupa, dokter telah berjasa padamu dulu."
'Tidak. Yang berjasa bukan dokter, melainkan Mama
dan Kakek. Dan tentunya saya sendiri juga. Saya pun
berjuang, bukan?"
"Baiklah. Mama percaya padamu," Diah menyerah.
"Ah, Mama masih berat hati, bukan? Renungkanlah,
Ma. Yang sedikit menyimpang itu cuma satu segi dari
diri saya. Tidak seluruhnya. Juga bukan sebagian besar.
Banyak orang lain juga memiliki penyimpangan dalam
dirinya. Misalnya si Andre. Si Tony. Toh kalau
penyimpangan itu direlakan karena memang tak bisa
lurus lagi, maka orangnya tak sampai hancur. Saya
tidak akan hancur kalau tidak kawin. Justru orang lain
malah akan hancur kalau saya memaksa diri kawin
dengan dia. Dengan menolaknya maka saya
melindunginya juga, Ma. Iya, kan?"
"Itu memang benar, An. Tapi semestinya kau
memikirkan dirimu juga."
"Saya sudah memikirkannya."
251 / 460 "Kau tidak cukup punya Mama dan Kakek saja, An.
Kau perlu seorang pendamping hidup. Kau memerlu
kan keluargamu sendiri. Bayangkan betapa menyenang
kan kalau kau punya anak. Seperti Mama punya kamu.
Seperti Kakek punya Mama. Hidup akan terasa lebih
berarti bila kita berbuat sesuatu untuk orang yang kita
cintai. Bahkan pengorbananmu pun memberi
kebahagiaan karena kita sadar apa makna pengorbanan
itu."
Melanie termenung. Lalu dia berkata pelan, "Tapi,
bagaimana kalau saya tidak bisa, Ma? Bukankah kita
harus ikhlas dan rela? Bukankah tidak setiap orang bisa
selalu memperoleh apa yang diinginkannya?"
"Jadi sebenarnya kamu juga ingin, bukan?" sergap
Diah cepat.
Melanie kaget oleh sergapan mendadak itu. Dia sudah
membuka mulutnya untuk membantah tapi kemudian
tak jadi. Dia ganti merenungkan.
"Nah, iya, kan?" desak Diah. "Entahlah, Ma. Saya...
tidak tahu," jawab Melanie pelan. Matanya menatap
jauh dan sayu.
Diah tidak tega mengulangi desakannya. Dia pun
menjadi sedih. Tapi kemudian gilirannya merasa kaget
ketika Melanie mengatakan sesuatu yang menyimpang
dari persoalan semula.
252 / 460 "Ma, ada sesuatu yang lupa saya sampaikan. Tempo
hari Arman bilang, Papa kepingin sekali ketemu
Mama!"
Diah memerlukan waktu untuk memutar jalan
pikirannya. Terlalu bertolak belakang. "Ah, biar saja.
Kita kan sedang bicara yang lain."
"Yang lain itu tak perlu dibicarakan lagi, Ma. Sudah


Melanie Karya V. Lestari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

cukup. Sekarang giliran Mama. Biar adil," sahut
Melanie dengan senyum.
Diah memandang heran. Sepertinya Melanie sudah
melupakan kesedihannya dengan cepat. Tapi ketika ia
memperhatikan dengan cermat tatapan Melanie masih
tampak sayu. Mungkin saja pengalihan topik
pembicaraan itu merupakan kesengajaan agar beban,
kesedihannya tidak terasa terlalu berat. Kalau memang
demikian sudah tentu dia harus membantu betapapun
tak menyenangkan untuknya.
"Baiklah. Apa yang dikehendaki ayahmu?" "Saya tidak
tahu. Arman tidak bilang. Sebaiknya Mama tanya
Arman saja kalau nanti dia ke sini. Katanya sih dia
perlu ke sini untuk tanya-tanya soal kebunnya. Jadi
pasti bukan untuk menemui saya lagi."
"Apa saja yang diceritakan Arman tentang ayahmu?
Mereka sekantor, bukan? Tentu ada sesuatu yang
diceritakannya. Hei, bukannya
253 / 460 Mama ingin tahu. Tapi Mama memerlukan kesiapan
andaikata Mama sampai bicara juga dengan dia."
"Tahukah Mama bahwa Papa sekarang tinggal
sendirian? Istrinya sudah jadi istri orang lain
sekarang."
"Oh ya?" Diah acuh saja.
"Ma, mungkin Papa kena hukum karma, ya? Dulu dia
meninggalkan Mama, sekarang dia yang ditinggalkan."
"Ah, jangan bilang begitu, An."
"Sekarang Papa bisa merasakan bagaimana rasanya
seperti apa yang pernah Mama rasakan dulu."
Diah diam. Dia tak ingin mengingat lagi. Tapi rupanya
memang tidak bisa. Ada saatnya masa lalu itu akan
kembali dan kembali lagi dalam ingatan. Itu sudah jadi
bagian dari kehidupan seseorang.
"Ma, jangan-jangan Papa ingin baikan lagi sama
Mama. Mungkin itu tujuannya ingin ketemu.
Bagaimana kalau dia ingin kembali pada Mama?"
Pertanyaan itu mengagetkan Diah. Bukan karena
masalah yang dikemukakan itu tapi karena Melanie
yang mengemukakannya.
254 / 460 "Rasanya itu tidak mungkin, An. Kami sudah menjadi
orang asing satu terhadap yang lain. Padahal trauma
yang diakibatkan tetap membekas."
"Mama masih sakit hati padanya?"
Diah berpikir sebentar. "Entahlah. Mama tidak bisa
memastikan. Dulu dan sekarang lain sih. Dalam
penderitaan dengan gampang kita akan merasa sakit
hati bila disakiti, tapi akan lain bila kita merasa
bahagia."
"Apakah Mama bahagia sekarang?"
"Ya."
"Tapi, bukankah kebahagiaan itu relatif, Ma? Misalnya
saja, setelah Mama tahu perihal masalah yang saya
hadapi itu tentulah kebahagiaan Mama sebelumnya
jadi berkurang. Dan kalau saya berhasil kawin nanti.
Mama akan bahagia lagi. Bukankah begitu, Ma?"
"Entahlah, An. Tapi jelas, kebahagiaan itu seperti
grafik dalam kehidupan. Walaupun adanya masalah
membuat kita tidak bahagia, tapi tanpa masalah pun
bisa membuat hidup ini sepi."
"Bukankah kehidupan kita ini disebabkan oleh ulah
kita sendiri juga, Ma? Lihat saja. Kalau bukan karena
perbuatan si Rifai, pasti kehidupan yang kita jalani tak
seperti sekarang ini. Dan kalau saya ingat cerita si
255 / 460 Andre, bahwa si Rifai itu homo, maka kemungkinan
besar dia jadi begitu karena perbuatannya yang sama
itu juga. Bagaimana menurut Mama?"
"Ya. Mama kira begitu," sahut Diah sambil
membayangkan betapa terpukulnya Dahlia akan
kenyataan putra tunggalnya itu.
"Tapi kata Andre, si Rifai bukan homo lagi sekarang
karena usahanya menipu saya tempo hari. Kok orang
seperti itu bisa beruntung ya, Ma? Bukankah itu tidak
adil?"
"Tapi dia juga minta maaf dan mengakui semuanya,
bukan?"
"Ya. Itu karena saya menolaknya. Bagaimana kalau
saya menerimanya?"
"Sebenarnya dia tak perlu membuka kedoknya. Dia
bisa ngeloyor pergi tanpa memberi-tahu. Kita takkan
menyangka apa-apa."
"Apakah Mama membelanya?"
"Tentu saja tidak. Mama cuma menyampaikan
faktanya saja."
"Ah, kita kok menyimpang. Bukankah tadi kita sedang
membicarakan Papa? Apakah Mama mau memenuhi
permintaannya untuk bertemu?"
256 / 460 "Mama pikir, sebaiknya tidak. Apa lagi yang mau
dibicarakan? Semuanya sudah jadi masa lalu."
"Bagaimana kalau Mama dan Papa ketemu di jalan
tanpa sengaja?"
"Ah, tidak mungkin. Dari jauh Mama pasti akan
melihatnya lalu Mama menghindar."
"Kalau dia mengejar?"
"Mama lari."
Melanie tertawa. Dan Diah senang melihat tawa
Melanie. Tapi tiba-tiba timbul juga perasaan tak enak.
Orang yang mereka bicarakan dan tertawakan itu
adalah mantan suaminya, tapi dia tetaplah ayah
Melanie! Sepertinya ada yang salah di situ. Cuma perasaan, pikir
Diah. Dan dia tak ingin memikirkannya sekarang.
*** Esoknya, Diah menelepon Arman di tempat kerjanya
di Bank Mitra dari telepon umum. Dia tak ingin
percakapannya didengar Melanie atau Pak Budi. Apa
yang akan dikatakannya kepada Arman merupakan ide
yang sudah diyakininya dan dia tak mau ditentang.
Sedang bagi Melanie ketidaktahuan merupakan hal
yang paling baik.
257 / 460 "Arman? Saya perlu bicara denganmu."
"Oh, saya akan datang sepulang kerja."
"Jangan. Jangan di rumah. Bagaimana kalau di
tempatmu? Apakah ada tempat yang tenang untuk kita
bicara?"
"Bisa, Bu. Kebetulan saya sekarang sudah pindah dari
tempat kos. Saya sudah menempati kebun, saya."
"Kebun?" tanya Diah heran. Dia membayangkan
Arman tinggal di dalam kemah di tengah kebun.
"Ya. Begini, Bu. Sebenarnya di situ ada rumahnya tapi
butut. Sudah saya perbaiki sedikit hingga bisa dihuni.
Dengan demikian saya jadi menghemat uang kos. Di
samping itu saya bisa lebih gampang mengerjakan
kebun saya."
"Bagus kalau begitu. Beritahu alamatnya, Man. Dan
jam berapa?"
Mereka mengadakan perjanjian.
Di sebelah sana, Arman meletakkan gagang telepon
dan memutar tubuhnya. Dia berhadapan dengan
Darmaji. "Punya janji sama Diah ya, Man?"
Arman tak bisa berbohong.Wajah Darmaji berseri-seri.
258 / 460 "Kalau begitu, saya mau nebeng. Bantu saya ya, Man?"
Arman tak bisa menyatakan keberatan. Bukan cuma
karena segan, tapi dia juga merasa kasihan.
"Tapi kita harus mengaturnya seakan itu terjadi secara
kebetulan, Pak."
"Tentu saja, Man. Tentu saja."
259 / 460 XVI Monika sangat senang melihat Tony berada di halaman
gedung tempatnya kursus ketika dia keluar. Tony
sedang bersandar pada mobilnya sambil menatap ke
pintu. Tentu karena dia khawatir kalau-kalau orang
yang dicarinya lolos dari tatapan, pikir Monika puas.
Pikiran ini menebalkan kepercayaan dirinya yang
sempat goyah setelah satu minggu lewat tanpa ada
perkembangan baru.
"Selamat siang, Pak!" sapa Monika ceria.
Tony menatap terpesona. Gadis ini berdandan rapi.
Dan karenanya dia tampak cantik. Tony juga puas
karena melihat banyak mata lelaki di sekitar
memandangnya dengan iri. Dia pun senang karena
kembali diyakinkan bahwa dirinya memang normal.
Sekarang dia juga memiliki perasaan yang tentunya
umum dimiliki lelaki yang berhasil menggandeng
perempuan cantik. Perasaan bahwa dirinya memiliki
kelebihan karena bisa membangkitkan rasa iri orang
lain menimbulkan kenikmatan tersendiri. Dan itu
memberikan dorongan agar dia melangkah lebih jauh
lagi. Suatu pembuktian
diri. Semangatnya
membubung.
260 / 460 "Kau sangat cantik, Mon!" pujinya.
Wajah Monika bersemu merah. "Terima kasih, Pak,"
sahutnya canggung. Suatu sikap yang membuatnya
heran sendiri karena toh sudah terbiasa menghadapi
lelaki. Mungkinkah karena lelaki yang satu ini lain?
Tony membuka pintu mobilnya. "Silakan," katanya
sambil mengayunkan tangannya dengan sikap galau.
"Ke mana, Pak?"
"Oh, iya. Kita memang nggak janjian, bukan? Tapi
saya ingin mengajakmu melihat-lihat perusahaanku.
Barangkali kau berminat kerja di sana. Lalu kita makan
siang. Sesudah itu kuantar kau pulang. Bagaimana?"
Monika tertegun. Alangkah menyenangkan ajakan itu.
Tapi dengan sedih dia teringat akan hambatan yang
mengekang kebebasannya. Sisa waktunya untuk hari
itu sudah diatur oleh Tante Nani. Walaupun keterikatan
itu berarti penghasilan untuknya dan siap dimasukkan
ke dalam tabungannya, tapi kau itu rasanya menyedih
kan. Tony menyadari sikap Monika.
"Kenapa? Kamu nggak bisa?"
"Ya. Saya bawa motor, Pak."
261 / 460 "Ah, kalau itu sih gampang. Titip saja dulu motormu di
sini. Sebentar diambil. Beres, kan?"
"Saya sudah berjanji kepada Tante di rumah untuk
membantunya, Pak. Wah, dia bisa marah. Maaf, Pak.
Terima kasih," kata Monika dengan sesal. Ya, kalau
saja dia bisa berbohong lagi. Tapi dia takut ketahuan.
Dia takut akan pembalasan Tante Nani suatu saat kelak.
Terbayang olehnya tatapan dingin Dudung, sopir
merangkap tukang pukul Tante Nani. Tempo hari
ketika pulang terlambat memang tak susah baginya
berbohong karena keterlambatannya tak seberapa
banyak. Tapi tatapan curiga Dudung terasa terus saja
mengikutinya ke mana-mana.
"Ya. Nggak apa-apa kalau begitu. Salah saya karena
tak janji dulu. Tapi bukan berarti kamu nggak mau,
kan?" tanya Tony dengan nada superior. Kurang masuk
akal rasanya kalau ada gadis menolak ajakannya.
Monika teringat akan Nyonya X dan tawarannya yang
menggiurkan. Tentu saja dia akan meneruskan niatnya
semula. Tapi untuk itu dia membutuhkan persiapan
menghadapi Tante Nani. Jangan sampai untuk acara
mendadak seperti sekarang ini maka semuanya
menjadi gagal. Dia harus memikirkannya lagi.
"Ya, Pak. Saya mau. kok."
262 / 460 "Kalau begitu, malam Minggu saja, yuk? Kalau kamu
takut sama tantemu yang galak itu saya tidak
menjemputmu di rumah. Tentukan saja tempatnya."
Monika berpikir sebentar.
"Bagaimana kalau saya menelepon Bapak nanti?"
tanyanya malu-malu. Sepertinya dia tak tahu diuntung.
Sudah senang diajak malah mengajukan syarat macammacam.
Tony agak kurang senang. Dan juga ragu-ragu. Apakah
dia sudah salah memilih cewek? Sebenarnya
sasarannya bukanlah cewek pingitan yang takut keluar
rumah. Tapi bagaimanapun, Monika terlalu menawan
untuk dibiarkan berlalu. Monika punya daya tarik kuat
baginya. Dia sudah merasakannya sejak pertemuan
pertama. Sesuatu yang bagus sebagai awal pembuktian
selanjutnya. Seharusnya dia merasa beruntung. Belum
tentu dia akan mengalami hal yang sama dengan
perempuan lain betapapun cantiknya. Dia juga
khawatir akan kesulitan menemukan hal itu dalam diri
perempuan lain. Mustahil dia harus mencari terus.
Sementara itu dia sudah mulai gelisah didorong
keinginan (atau keharusan?) membuktikan dirinya
yang baru.
"Baiklah. Saya tunggu teleponmu. Apa nomorku masih
kausimpan?"
263 / 460 "Masih, Pak."
"Pada jam-jam kerja saya pasti di kantor. Awas kalau
nggak nelepon, ya? Saya datangi lagi ke sini."
"Beres, Pak."
"Ingatlah, Monik. Saya merindukanmu," kata Tony


Melanie Karya V. Lestari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan gaya seorang perayu.
Monika tersenyum senang. Dia sengaja berdiri lebih
dekat ketika Tony akan masuk ke mobilnya. Dan dia
pun membiarkan ketika Tony menyambar lengannya
dan meremas tangannya sebelum menutup pintu
mobilnya. Sambil nnenjalankan mobilnya, Tony tersenyum
sendiri. Dia membayangkan tingkahnya barusan.
Ternyata dia bisa membawakan gaya itu dengan wajar.
Tapi bukan soal itu yang menyenangkan. Kontak fisik
dengan Monika tadi telah menghangatkan darahnya.
Rasanya dia tak sabar lagi menunggu.
Sementara itu, di belakangnya Monika menjalankan
motornya dengan pikiran lain lagi. Sampai saat itu di
matanya Tony adalah lelaki yang cukup jantan.
Sepertinya seleranya cukup jelas. Lantas belum
cukupkah itu di mata Nyonya X atau memang
prosesnya belum selesai?
264 / 460 Tapi semakin dekat ke rumah pondokannya pikirannya
dengan cepat beralih kembali. Di sana ada realitas yang
lain lagi. Setelah dia berhasil memikat Tony maka
rezeki yang ditawarkan Nyonya X itu menjadi kian riil.
Kian mudah dijangkau. Tinggal pelaksanaan dari
pihaknya. Dia akan memutar otaknya.
Kemudian ternyata dia menemukan kesulitan dalam
memecahkan persoalan itu. Memang tidak semudah
persangkaannya semula. Juga tidak semudah dan
semulus upayanya memikat Tony. Dalam mewujudkan
kencannya dengan Tony ada beberapa jalan yang bisa
ditempuhnya. Tapi kesemuanya mengandung risiko
yang tidak menyenangkan.
Untuk membohongi Tante Nani kiranya akan sulit
karena berapa waktu yang dibutuhkannya untuk
berkencan dengan Tony tak bisa ia perkirakan
sebelumnya. Sementara hari Sabtu atau malam Minggu
hampir bisa dipastikan tak ada waktu luang untuknya.
Saat seperti itu adalah saat "sibuk" bagi semua anak
asuh Tante Nani, tak terkecuali dirinya. Untuk meminta
"libur" jelas tak mungkin karena tak akan diberikan.
Libur itu hanya bagi mereka yang benar-benar sakit
atau pada hari-hari tertentu setiap bulan. Dan kalau toh
dia nekat berbohong dengan mencari alasan entah apa,
maka dia yakin cepat atau lambat akan ketahuan. Dia
ngeri akan akibatnya. Tante Nani bisa saja membalas
265 / 460 dengan cara yang halus dan terselubung seperti halnya
ia memperlakukan anak asuhnya yang tak lagi
disukainya. Antara mereka sudah ada perjanjian tak
tertulis untuk bersikap sejujur mungkin satu terhadap
yang lain. Memang tak ada ikatan semacam kontrak
misalnya karena yang berlaku cuma sistem bagi hasil.
Tapi bagi para anak asuh tetap terasa bahwa kelemahan
ada di pihak mereka. Mereka tinggal menjalankan
"tugas" karena segala sesuatunya sudah diatur lalu
menerima penghasilan bersih, walaupun sudah
berkurang banyak daripada yang diberikan pelanggan.
Jadi mereka tak perlu lagi repot. Di samping itu mereka
jadi lebih mampu melindungi identitas dan harga diri
dibanding kalau beroperasi sendirian.
Apakah sebaiknya dia berterus terang saja kepada
Tante Nani perihal rencananya itu? Tapi risikonya dia
harus merelakan sebagian besar honornya. Di samping
itu apakah Tante Nani mau mempercayainya, bahwa
honornya memang sekian? Tentu saja tak ada kuitansi
untuk itu. Sayang memang merelakan uang itu
mengingat yang punya inisiatif adalah dia sendiri. Tapi
sebenarnya bukanlah masalah uang yang jadi
keberatannya. Bukankah hubungannya dengan Tony
hanya terbatas satu kali kencan itu saja bila dia sampai
memilih alternatif ini? Kalau Tony sampai tahu
profesinya yang sebenarnya, pasti akan segera
membuangnya jauh-jauh. Tentu saja dia tak ingin
266 / 460 terlalu muluk berharap bahwa Tony tak akan pernah
tahu siapa dirinya. Pengalamannya sudah mengajarkan
betapa susahnya menjaga kerahasiaan seperti itu.
Walaupun demikian hendaknya hubungan mereka bisa
berlangsung selama mungkin. Yah, seperti orang
berpacaran begitu. Dia ingin bisa menikmati
kemesraan seperti itu. Sesuatu yang tak perlu dinilai
atau dibayar dengan uang. Romantis dan mengesankan
walaupun cuma sebentar. Bukankah segala sesuatu di
dunia ini memang cuma sebentar?
Dalam situasi seperti itu, sudut pandangnya terhadap
kehidupan jadi berpindah. Ketika dia menerima
tawaran Nyonya X, dia semata-mata menilainya
dengan uang yang dikaitkan dengan angan-angannya
pergi ke Amerika, negeri impiannya. Sekarang anganangan itu bukan lagi tujuan mutlak. Memang masih ada
tapi dia menilainya dengan realistis. Sebagai anganangan jelas itu masih jauh. Kelihatan pun belum. Jadi
lebih baik meraih yang sudah tampak dan hampir
terjangkau. Dia optimis, uang masih tetap bisa dicari
dan angan-angannya tetap terpelihara tapi kesempatan
seperti yang ada sekarang belum tentu bisa
diperolehnya lagi lain kali. Kapan lagi dia bisa bertemu
dengan lelaki setampan dan sekaya Tony? Apalagi
pertemuan itu berlangsung bukan dalam suasana "jualbeli". Lebih dari itu, Tony-lah yang berinisiatif
mengejarnya dan memberinya perhatian. Padahal di
267 / 460 mata Monika, lelaki seperti Tony pastilah bisa
menggaet seribu cewek yang lebih hebat daripada dia.
Pikiran ini membuatnya merasa istimewa. Dia punya
sesuatu yang lebih daripada orang lain.
Perasaan itu juga berhasil menyingkirkan
kekhawatirannya yang sebentar-sebentar muncul, yaitu
kalau-kalau Nyonya X mengingkari janjinya.
Bagaimana kalau perempuan itu menipu atau
membohonginya? Sekarang dia tak peduli lagi.
Suatu peristiwa membuat keputusannya menjadi lebih
mantap. Malam itu menjelang dini hari dia pulang dari
hotel selesai "bertugas" dijemput Dudung seperti
biasanya. Kebetulan mereka cuma berdua saja di dalam
mobil. Tiba-tiba Dudung menegurnya, "Belakangan ini
Non Monik kelihatannya lain, deh."
Dia kaget. "Lain kenapa, Pak Dudung?"
"Iya lain. Banyak melamun!"
"Ah, masa."
"Iya. Seperti orang sedih atau gimana."
"Ah, nggak kok. Biasa-biasa saja."
"Apa sih yang dipikirin, Non?"
"Nggak ada," sahut Monika jengkel.
268 / 460 Tapi Dudung tak menyadari kejengkelan itu. Dia terus
saja mengoceh, "Kerja kayak gitu memang menyedih
kan, bukan? Banyak duit sih, tapi hina!"
Monika terkejut. Belum pernah dia mendengar Dudung
bicara seperti itu. Untuk pertama kalinya dia
mengamat-amati lelaki di depannya dengan tatapan
berbeda. Cuaca gelap tapi dia bisa membayangkan
wajah Dudung dengan jelas. Lelaki itu berusia empat
puluhan, bertubuh tinggi besar, dan berwajah kasar.
Cocok sebagai tukang pukul. Jarang bicara. Karena itu
Monika dan rekan-rekannya menilainya melulu dari
apa yang tampak di luar saja. Luar dan dalam tentu tak
jauh berbeda.
Tapi Monika memilih diam tanpa komentar. Dia tak
ingin terlibat pembicaraan dengan Dudung, apalagi
menyangkut persoalan seperti itu. Apakah Dudung
bermaksud menasihatinya padahal dia sendiri makan
dari uang yang sama?
"Saya sudah lama memperhatikan Non Monik,"
Dudung meneruskan tanpa mempedulikan diamnya
orang yang diajak bicara. "Dan saya pikir, Non adalah
orang yang paling nggak genit dibanding yang lain.
Mereka itu apaan? Murahan semua! Terus terang, saya
sayang sama Non! Saya cinta!"
269 / 460 Monika merasa shock. Kejutan demi kejutan telah
dilewatinya, tapi yang ini terasa paling hebat.
"Maukah Non nikah sama saya? Jadi seorang istri tentu
jauh lebih terhormat daripada jadi-jadi pelacur. Tentu
saja kita nggak mungkin tinggal sama germo lagi. Saya
punya tanah sawah di desa. Kita ke sana saja. Di sana
nggak ada yang tahu."
Monika ternganga. Susah payah dia menahan gelitik
rasa geli. Jadi istri Dudung? Lebih baik tak kawin
dengan siapa pun! Lebih baik mati! Siapa pikir Dudung
dirinya itu! Seorang penyelamat?
Senyum Monika membeku ketika melihat tatapan
Dudung di kaca spion. Walaupun di dalam mobil gelap
tapi lampu jalan cukup terang. Sepertinya dia melihat
mata Dudung menatap gusar. Mungkinkah Dudung
melihatnya tersenyum penuh geli? Sesungguhnya dia
tak ingin menertawakan tapi rasa geli itu susah benar
diatasi. "Terima kasih, Pak Dudung. Saya nggak bisa."
"Nggak bisa atau nggak mau?"
Nada suara Dudung berubah drastis. Bulu roma
Monika serasa berdiri. Tapi dia juga jengkel. Apakah
Dudung mengancam?
270 / 460 "Maaf, Pak," sahutnya dingin tanpa menjawab
pertanyaan Dudung tadi.
Dudung tak bicara lagi sepanjang sisa perjalanan.
Esoknya, Dudung bersikap seakan tak ada apa-apa. Tak
pernah bicara apa-apa. Tapi Monika merasakan tatap
matanya yang lain. Dia sadar, sesuatu yang mengganjal
itu tak mungkin bisa lenyap begitu saja.
*** Hari itu juga Monika mencari tempat kos yang letaknya
di sekitar perusahaan Tony. Dia cukup bertanya-tanya
lalu mendapatkannya. Dia memang tidak cerewet.
Yang penting dia bisa segera pindah sebelum hari
Sabtu. Dan tentu saja juga supaya dia bisa berhenti
secepatnya dari "tugas" yang disodorkan Tante Nani.
Selama masih tinggal di rumah Tante Nani dia memang
tak bisa menolak.
Setelah beres, baru dia mengemukakan keinginannya.
"Tante, saya mau keluar hari ini juga."
Tante Nani tak begitu terkejut. Dia sudah biasa
menghadapi hal seperti itu dari anak-anak asuhnya.
Mereka datang dan pergi. Selalu ada pengganti. Dia tak
perlu risau. Cuma satu hal yang disayangkannya.
Monika memiliki banyak "penggemar".
"Apakah kamu bermaksud pindah induk semang?"
271 / 460 "Nggak, Tante."
"Atau mau jadi simpanan?" tebak Tante Nani sambil
tertawa. "Nggak juga, Tante."
"Lantas?"
Monika cuma tersenyum. Tentu saja dia tak akan
memberitahu. Tidak kepada Tante Nani dan tidak
kepada siapa pun.
Dia memilih saat pergi dari rumah itu ketika Dudung
sedang pergi menjalankan tugasnya. Dengan demikian
dia tak perlu berpamitan kepadanya. Tapi dia sadar,
Dudung akan beranggapan bahwa kepergiannya
disebabkan karena lamaran "gila" itu. Ya, biar saja.
Diah turun dari Angkot (Angkutan Kota) pas di depan
alamat yang diberikan Arman kepadanya. Yang
tampak cuma pohon kemuning sebagai pagar hidup
bersebelahan dengan pagar besi sepanjang batas
halaman. Tak. tampak bagian dalamnya karena pohon
kemuning itu setinggi kepalanya. Baru setelah dia
menemukan pintu dia bisa melihat ke dalam.
Rumah Arman kecil, hampir tak tampak di balik
pepohonan yang kelihatan liar dan tak terurus. Di mata
Diah, keadaan kebun yang seperti itu terasa
272 / 460 menggemaskan. Arman memang belum melakukan
apa-apa. Diah tak sempat berlama-lama memperhatikan dari
balik pagar karena Arman sudah muncul dan tergopohgopoh mendekat.
"Maaf, Bu. Apakah Ibu sudah lama menunggu?"
"Belum kok. Baru saja."
Arman membukakan pintu pagar yang semula dikunci
dari dalam dan sesudah Diah masuk, dia tak
menguncinya lagi melainkan merapatkannya saja. Lalu
mereka jalan berdampingan.
"Maklum saja, Bu. Tempatnya masih kayak gini.
Rencana sih banyak, tapi belum jadi kenyataan. Saya
mau minta bantuan Ibu sebagai konsultan. Apakah Ibu
bersedia?"
"Tentu," sahut Diah antusias.
"Terima kasih, Bu."
"Tapi tidak hari ini, Man."
"Ya, ya. Tentu saja, Bu. Pasti ada urusan penting,
bukan?" kata Arman sambil membayangkan masalah
apa yang mau dikemukakan Diah. Dia juga berharap
pembicaraan itu bisa cepat selesai sebelum Darmaji
mendapat gilirannya dua jam kemudian. Mudah273 / 460
mudahan waktu sekian itu cukup. Tidak kurang tapi
juga tidak lebih. Bila kurang, kedatangan Darmaji akan
mengganggu. Tapi bila lebih berarti pembicaraan
selesai sebelum Darmaji datang. Dengan demikian


Melanie Karya V. Lestari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mungkin saja Diah tak bisa ditahan kehadirannya lebih
lama, lalu dia harus berupaya menahannya kalau tak
mau menghadapi kekecewaan Darmaji. Diam-diam dia
mengeluh dan menyesali rencana Darmaji itu. Dan
bagaimana kalau Diah mencurigai rencananya itu
sebagai kesengajaan? Bagi Arman, lebih baik dimarahi
Darmaji daripada tidak disukai Diah.
"Memang penting. Kalau tidak, saya tidak akan
mengganggumu."
"Ah, masa mengganggu, Bu. Saya senang mendapat
kunjungan Ibu."
Mereka masuk rumah yang keadaannya amat
sederhana. Tapi Diah mengagumi kesederhanaan itu.
"Kenapa mesti malu? Milikmu ini berharga sekali,
Man. Dan menantang. Membuat penasaran," katanya
menanggapi ocehan Arman tentang rumahnya.
Sesudah itu Diah tak membuang waktu untuk mulai
mengemukakan masalah yang ingin dibicarakannya.
Itu adalah masalah Melanie seperti yang diungkapkan
Melanie kepadanya.
274 / 460 "Nah, itulah sebabnya kenapa dia selalu menolak
lamaran lelaki. Sebenarnya dia ingin dan suka
berteman tapi menolak seks. Jadi penyebabnya
bukanlah akibat fisik dari perkosaan yang pernah
dialaminya dulu, melainkan psikis. Bahwa ada akibat
psikis dari pengalaman itu memang sudah bisa diduga,
tapi saya tak menyangka sampai... sampai seperti itu
jauhnya."
Arman tertunduk mendengarkan. Dengan sikap seperti
itu dia juga menyembunyikan wajahnya dari
pengamatan Diah. "Saya kira, dia sebenarnya tidak
menolak, tapi takut," katanya kemudian.
"Mungkin. Tapi bisa juga dia menolak karena takut.
Atau juga dua-duanya."
"Bila dua-duanya, berarti dia memang tidak ingin. Oh,
maksud saya, tak ada lagi dorongan emosional maupun
biologis begitu. Nyatanya, seperti yang dikatakannya
sendiri, dia senang berteman. Dan tampaknya dia juga
membutuhkan. Jadi menurut saya, sebenarnya
dorongan ke sana ada tapi rasa takutnya lebih besar."
"Apakah takut itu istilah yang cocok, Man? Reaksinya
adalah muak dan jijik. Oh, maaf lho, Man. Ketika itu
dia sedang tidak normal, bukan?" kata Diah ketika
teringat bahwa itu merupakan reaksi Melanie terhadap
sentuhan Arman. Bukan orang lain.
275 / 460 Arman mengangguk. "Saya mengerti, Bu. Bila orang
lain yang menyentuhnya, pasti reaksinya akan sama
juga, bukan? Tapi dia sangat baik. Dia berusaha keras
supaya saya tidak tersinggung karenanya. Nyatanya
saya tidak menyadari sama sekali. Saya
mengaguminya, Bu."
Diah menatap takjub. Melanie menolak Arman, tapi
Arman masih tetap mengaguminya. Mungkinkah itu?
"Ah, kau berkata begitu tentu untuk menyenangkan
hatiku saja," katanya setengah percaya.
Arman menentang mata Diah. "Saya nggak bohong.
Bu. Dan saya berterima kasih sekali bahwa Ibu mau
menceritakan masalah Melanie itu kepada saya."
'Tapi jangan lupa, kau tidak boleh mengatakan padanya
bahwa saya telah datang ke sini
untuk menceritakan hal itu kepadamu. Wah, dia bisa
marah."
"Tentu saja tidak, Bu. Saya akan berpura-pura tidak
tahu."
"Terima kasih, Man. Kau sangat membantu.
Sebenarnya, tujuan saya menceritakan hal itu ialah
supaya kau tidak sampai menyangka jelek tentang diri
Melanie. Dia bukanlah gadis seperti yang digunjingkan
orang di luar. Mungkin kau pernah dengar?"
276 / 460 Arman menggelengkan kepalanya. "Belum, Bu. Tapi
biar saja orang ngomong. Toh mereka tidak mengerti
persoalannya. Dan kita juga tak bisa menjelaskan
kepada semua orang.".
"Ya, kau benar. Tapi kau mengerti dan kau tahu tentang
Melanie. Jadi perlu dijelaskan. Apalagi kau orang yang
paling akrab dengannya. Betapa sedihnya kalau kau
sampai terpengaruh oleh gunjingan."
"Saya mengerti, Bu. Dia beruntung punya ibu seperti
Bu Diah."
"Saya juga beruntung memilikinya, Man. Ketika
ayahnya meninggalkan kami, saya hanya punya dia.
Karena dialah saya tetap memiliki semangat hidup
yang tinggi. Semakin tinggi malah. Bukankah
orangtuanya tinggal satu? Lalu di saat tenang dan
bahagia tiba-tiba datanglah musibah itu. Saya serasa
hancur. Saya merasa gagal jadi orangtua. Apalagi
ayahnya ikut pula menyalahkan saya. Tapi untunglah
saya masih sadar. Kalau saya ikut hancur, bagaimana
saya bisa memberinya kekuatan di saat-saat kritis itu?"
Arman menatap kagum. Tiba-tiba dia merasa betapa
nelangsanya hidup Darmaji. Tidakkah ada pelajaran
berharga yang bisa diambilnya dari situ? Jelas dia tak
ingin mengikuti jejak yang sama apalagi sampai
277 / 460 berakhir sama seperti Darmaji. Sungguh tak pantas jadi
contoh. Apalagi idola.
"Tapi Melanie sudah menampakkan perubahan
dibanding dulu," Diah melanjutkan. Dia merasa senang
bisa mengungkapkan isi hatinya kepada seseorang di
luar keluarganya. Enak dan melegakan. "Dia semakin
peka akan perasaan dan kepentingan orang lain. Suatu
saat dia bertanya, apakah saya tidak ingin bekerja lagi
di bank. Wah, pertanyaan itu sangat mengejutkan
karena sebelumnya dia tak pernah menyinggung. Saya
terharu benar-benar."
"Ya. Saya pikir, dia memang berbeda dibanding dulu,
ketika saya pertama mengenalnya. Dia lebih hangat
dan atentif. Itu juga salah satu sebab kenapa saya
memberanikan diri untuk melamarnya."
"Kau tentu kecewa sekali karena dia menolak," kata
Diah simpati.
"Pada mulanya iya. Tapi sekarang tidak lagi. Saya
senang jadi temannya. Secepatnya saya akan ke sana
untuk mengatakan hal itu kepadanya."
Diah sangat senang. "Tentunya kau berkata begitu
bukan karena ingin menyenangkan hatiku saja,"
katanya terus terang.
Arman tertawa. "Tentu tidak, Bu. Bagi saya, Melanie
sangat berharga. Demikian pula Ibu dan Pak Budi.
278 / 460 Saya tidak punya teman di kota ini. Cuma Ibu
sekeluarga. Ketika itu, di depan Melanie saya
mengatakan sangat mustahil bagi saya untuk tetap
memperlakukannya sebagai teman padahal saya
mencintainya. Dengan kata lain, mustahil saya bisa
sering-sering menemuinya seperti sebelum ini. Tapi
sungguh, ketika itu saya tengah emosi dan saya juga
tidak tahu. Ya, sudah dua kali saya berlalu dari,
hadapan Melanie dengan emosi. Tapi yang belakangan
itu saya jauh lebih mampu mengendalikan. Saya sudah
lebih pintar menghadapi emosi saya sendiri. Mungkin
karena belajar dari pengalaman. Melanie mengajarkan
nya pada saya walaupun tidak secara langsung. Dan
sesungguhnya saya juga menyesal telah berkata begitu
kepadanya. Mestinya saya bisa berpikir bahwa di balik
keputusannya itu tentulah ada sebabnya. Tapi ketika itu
saya menganggapnya egois. Mau enak sendiri."
"Kau tentu tidak salah telah berpikir begitu, Man," kata
Diah penuh maklum. "Tapi saya kurang percaya kalau
kau tak punya teman lain selain kami. Saya pikir kau
cukup supel dan tidak sombong."
"Sungguh, Bu. Di kantor orang yang paling sering
mengajak saya berbincang-bincang hanyalah Pak
Darmaji," pancing Arman.
Diah menoleh dan menatap tajam.
279 / 460 "Darmaji? Ayah Melanie?" tanyanya.
"Betul, Bu. Dia atasan saya di kantor. Saya kira Ibu
sudah tahu dari Pak Budi."
"Saya tidak tahu kau akrab dengan dia. Apa karena dia
tahu bahwa kau temannya Melanie?"
"Mungkin juga begitu, Bu. Dia banyak bertanya
tentang Melanie. Sesekali dia pernah datang kemari,"
Arman berbohong, karena baru hari itu Darmaji
berencana untuk berkunjung.
Tiba-tiba Diah menjadi gelisah. "Sudah cukup lama
saya di sini, Man. Saya pulang saja. Orang di rumah
akan bertanya-tanya ke mana saya gerangan."
Arman ikut gelisah. Dia menyesal telah menyebut
nama Darmaji. Tapi tadi dia merasa perlu supaya dapat
menghilangkan kecurigaan Diah, kalau-kalau Darmaji
muncul. Padahal sekarang justru nama itu membuat
Diah ingin pulang.
Ketika Diah berdiri, terdengar sapaan dari ambang
pintu yang terbuka lebar. Sapaan yang melegakan
perasaan Arman tapi mengejutkan Diah.
"Oh, ada tamu rupanya," Darmaji pura-pura kaget.
Lalu dia cepat mendekat dan mengulurkan tangannya
kepada Diah. "Apa kabar, Diah?" tanyanya dengan
nada suara biasa.
280 / 460 "Baik," sahut Diah kaku sambil menerima uluran
tangan Darmaji. Cuma bersentuhan sebentar lalu
dilepasnya cepat-cepat. Tampak nyata keengganannya.
"Sudah lama?" tanya Darmaji.
"Sudah. Aku baru saja berniat untuk pulang. Eh, mana
si Arman?" Diah memandang ke tempat di mana
barusan Arman berdiri, tapi orang yang dicarinya
sudah tak ada. Sepertinya menghilang begitu saja.
Mungkin pergi diam-diam tanpa disadarinya karena dia
terlalu kaget melihat Darmaji. Seolah firasat buruk
menjadi kenyataan.
"Mungkin dia masuk sebentar. Jangan pulang dulu,
Diah. Kebetulan sekali aku bisa bertemu denganmu di
sini. Pasti takkan ada kebetulan lagi lain kali. Aku ingin
sekali bicara denganmu, Diah. Perlu. Duduklah dulu,"
kata Darmaji sambil menarik kursi.
Diah terpaksa duduk dan membatalkan keinginannya
untuk berlari pergi, sesuai janjinya kepada Melanie
tempo hari. Bukankah dengan berlari pergi dia akan
tampak seolah ketakutan? Padahal dia tidak takut
kepada Darmaji. Dia cuma sebal. Benci dan muak.
Barangkali juga jijik.
"Ada apa?" tanya Diah sedikit ketus.
"Bagaimana dengan Melanie?"
281 / 460 "Oh, dia baik-baik saja. Dan sehat."
"Bapak?"
"Juga sama," sahut Diah kesal. Pendahuluan seperti itu
dianggapnya bertele-tele.
"Syukurlah. Kau memang hebat, Diah."
Diah mengangkat kepalanya dan memandang lurus.
Apakah Darmaji mau mengambil hati dengan memujimujinya? Tapi belum sempat dia berbicara sinis,
tatapan matanya memperoleh kesan yang mengubah
sebagian besar perasaannya semula. Tadi dia tak
sempat memperhatikan. Betapa susut tubuh Darmaji.
Pipinya kempot bagai tak berdaging. Matanya cekung.
Tulang rahangnya menonjol. Tak berlebihan kiranya
bila dikatakan bahwa wajah Darmaji mirip tengkorak
berbungkus kulit. Penampilan seperti itu tentu saja
berbeda sekali dibanding dulu ketika masih gagah dan
segar. Perasaan Diah menjadi ngilu.
"Ya, aku tahu kau masih benci padaku. Demikian pula
Melanie dan Bapak. Tidak mengherankan. Aku
memang pantas dibenci. Karena itu aku takut datang
berkunjung meskipun ingin sekali. Aku takut diusir
bagaikan anjing liar."
"Lantas, apa yang kauinginkan?"
"Aku cuma mau minta maaf."
282 / 460 "Itu saja?"
Wajah Darmaji menampakkan rasa sakit.
"Ya. Itu saja," katanya sambil memalingkan muka.
Perasaan Diah melembut. Apa salahnya memberi
maaf? Dan apa pula susahnya?
"Baik. Aku maafkan," katanya ringan.
"Terima kasih, Diah. Tapi aku juga perlu
menyampaikan hal yang sama kepada Melanie dan
Bapak."
"Aku bisa menyampaikannya."
"Tidak bisa, Diah. Aku perlu menyampaikannya secara
langsung. Aku perlu melihat dan mendengar mereka."
"Kalau begitu, kau bisa datang ke rumah. Kapan saja."
"Terima kasih. Tapi...," Darmaji ragu-ragu sebentar.
Lalu meneruskan dengan suara yang kurang mantap.
"Bila aku dimaafkan, bukankah hubungan kita bisa
baik lagi, Diah? Eh, jangan salah paham. Tentu saja
bukan hubungan seperti dulu. Tapi hubungan yang baik
seperti... seperti teman begitu. Seperti antara sesama
manusia yang saling mengenal. Bukankah selama ini
antara kita sepertinya ada perang dingin? Kita tak
pernah bertegur sapa dan berbuat seakan tak pernah
mengenal sebelumnya. Kita bermusuhan. Yah, aku
283 / 460 ingin berbaikan dengan kalian. Aku ingin bisa
mengobrol denganmu lagi. Bisa bertukar pikiran. Bisa
minta pendapat. Dan... dan Melanie akan mau


Melanie Karya V. Lestari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menerimaku kembali sebagai ayah. Bagaimanapun,
Seruling Samber Nyawa 13 The Truth About Forever Karya Orizuka Suramnya Bayang Bayang 5
^