Pencarian

Merdeka Atau Mati 1

Merdeka Atau Mati Karya Kho Ping Hoo Bagian 1


Merdeka atau Mati
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 01 Nama-nama semua tokoh dalam cerita ini hanyalah fictief atau khayalan pengarang semata. Persamaan nama dengan orang-orang, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal dunia, hanya merupakan suatu kebetulan yang tidak disengaja belaka. (Pengarang)
Pada tanggal 1 Maret 1942 bala tentara Dai Nippon (Jepang) mendarat di pulau Jawa. Pada tanggal 8 Maret tentara Hindia Belanda menyerah tanpa syarat! Ya betul, hanya satu minggu atau delapan hari saja. Alangkah mudahnya! Tentara Hindia Belanda yang dibantu tentara Australia, yang sebelum balatentara Dai Nippon datang berlagak sombong, mondar-mandir dengan mobil-mobil lapis baja nya, baru mendengar nama tentara jepang, baru melihat bayangan tentara Jepang, sudah lari kocar-kacir tanpa melakukan perlawanan sedikitpun. Lari tunggang langgang ke australia. Mobil mobil lapis baja bukan untuk berperang melakukan perlawanan, melainkan dipergunakan melarikan diri!
Tidak aneh! Demikianlah mentalitas (watak) serdadu Serdadu belian, serdadu serdadu sewaan dari kaum penjajah. Mana mereka berani mempertaruhkan nyawa untuk tanah jajahan" Hanya Patriot-Patriot bangsa sajalah yang akan rela mengorbankan darah daging dan nyawanya hanya untuk tanah air. Balatentara Dai Nippon memasuki Indonesia membawa semboyan-semboyan yang amat muluk-muluk menggembirakan hati bangsa Indonesia. Siapa orangnya yang tak akan gembira melihat Jepang datang mengusir penjajah Belanda dari tanah airnya" Siapa takkan berbesar hati kalau melihat balatentara Dai Nippon mematahkan belenggu penjajahan yang sudah mengikat kaki tangan rakyat kita Selama ratusan tahun"
"Asia untuk bangsa Asia"
"Kemakmuran bersama Asia Timur Raya!"
"Indonesia - Nippon sama-sama!"
Semboyan-semboyan ini disambut oleh rakyat Indonesia dengan penuh harapan, apalagi ketika di desas-desuskan bahwa "Indonesia akan merdeka"! Akan tetapi, baru beberapa bulan saja rakyat terpaksa menelan pel kekecewaan yang amat pahit. Bukti bukti kekejaman tentara Jepang dengan pasukan Kenpetainya (Polisi Militer) sedikit demi sedikit melunturkan kepercayaan rakyat, mengubah kegembiraan dan kepercayaan menjadi ketakutan dan kebencian. Biarpun tiada habisnya dan berusaha memasukkan pengertian ke dalam hati sanubari rakyat akan kebesaran Jepang, baik secara propaganda halus maupun secara kekerasan, melalui pelajaran huruf-huruf Jepang, melalui taisho (gerak badan) dan penghormatan ke arah negara Jepang untuk menghormati Kaisar Tenno Heika yang harus kita puja sebagai maha dewa keturunan Amaterasu omikami,
Namun rakyat tak dapat melenyapkan kebencian dan ketakutan dari lubuk hatinya. Agaknya para pemimpin Jepang maklum pula akan hal ini, maklum akan apa yang tersembunyi dalam hati rakyat bahwa rakyat tak mudah dibodohi, bahwa rakyat menaruh curiga kepada mereka. Maka disamping propaganda-propaganda murah yang tak termakan begitu saja oleh rakyat yang sudah ratusan tahun sudah dilolohi kebohongan-kebohongan kaum penjajah, Jepang mulai melakukan kekerasan yang luar biasa. Agaknya dengan jalan ini mereka hendak mempertebal rasa takut sehingga rakyat akan tunduk dan taat karena ketakutan. Di mana-mana dilakukan pemenggalan kepala. Yang dipenggal kepalanya adalah orang-orang hukuman di penjara. Akan tetapi caranya melakukan hukuman ini adalah biadab, jelas dimaksudkan untuk menanamkan rasa takut yang hebat di kalbu rakyat.
Di banyak kota beberapa orang hukuman digiring ke alun-alun. Rakyat dipaksa keluar rumah untuk menyaksikan pelaksanaan hukuman itu. Dengan terang-terangan para hukuman ini disuruh berlutut, disaksikan puluhan ribu pasang mata rakyat, pedang samurai diayun dan... untuk pertama kali rakyat dipaksa menyaksikan darah mengucur keluar dari leher yang terpancung. Leher penjahat besar, katanya. Bagi rakyat tetap saja, leher dan darah orang Indonesia, bangsanya! Pemancungan kepala yang dipertontonkan secara paksa kepada rakyat ini disusun oleh siksaan siksaan yang luar biasa. Darah tidak berhenti mengalir. Penjudi yang tertangkap di suruh makan kartu, penyabung ayam digunduli kepalanya lalu dilumuri nasi dan diberikan kepada ayam untuk dipatuki sampai berdarah-darah,
Pencopet di pasar dipaku kuku-kuku jari tangannya pada papan, pendeknya tidak ada siksaan yang biasa saja. Semuanya merupakan siksaan yang selama hidupnya belum pernah dilihat oleh rakyat, bahkan pernah dibayangkan dalam mimpi. Apakah semua ini dilakukan untuk membuat rakyat menjadi "bersih," tidak menyeleweng kedalam kebiasaan-kebiasaan buruk seperti berjudi, sabung ayam dan sebagainya" Demikian memang propagandanya! Namun, pada pokoknya tak bisa lain hanya untuk menanamkan rasa takut yang teramat sangat kepada Jepang sehingga semua orang takkan berani untuk membangkang terhadap perintahnya, tidak ada berani melawan Jepang! Untuk melakukan propagandanya, oleh Jepang dibangkitkan Gerakan Tiga "A," yaitu "Dai Nippon cahaya ASIA," "Dai Nippon pelindung Asia," dan "Dai Nippon pemimpin Asia".
Gerakan ini untuk dimasukkan untuk lebih meyakinkan rakyat indonesia akan kebesaran Dai Nippon. Namun rakyat tak dapat dikelabuhi lagi. Apalagi setelah diadakan gerakan "romusha," yaitu yang pada hakekatnya tiada lain hanyalah kaum kerja paksa, pemuda di desa-desa dipaksa untuk memasuki Romusha, dikirimkan ke negeri-negeri pendudukan lain terutama sekali ke Birma, di mana para pemuda kita ini disuruh kerja paksa seperti orang-orang buangan sehingga banyak di antaranya yang mati di tempat kerja, banyak malah yang sampai tidak dapat kembali tanah airnya pula. Setelah semua derita ini, rakyat menjadi makin benci. Lihat saja! Orang orang kurus kering berpakaian karung! Ya, karung bagor yang semestinya untuk membungkus beras itu kini menjadi pembungkus tubuh manusia yang kurus kering! Mungkin karena beras sudah tidak ada lagi.
Memang tidak ada beras, diangkut ke luar secara diam-diam oleh balatentara Jepang sipelindung cahaya pemimpin itu, pada waktu "kut-su-kai-ho" (tanda bahaya serangan udara) di sirenekan sehingga tak seorangpun mengetahui bahwa beras rakyat diangkut ke luar Jawa! Beras dihabiskan sampai rakyat makan seadanya, itupun amat kurang. Pakaian dihabiskan sampai-sampai muncul pakaian karung Bagor, pakaian karet yang kalau kena hujan bukan main dinginnya dan kalau kena panas matahari menjadi amat panasnya dan lengket pada kulit badan! Bukan sandang pangan saja dihabiskan, malah malah semua rumah yang mempunyai pagar besi dicabuti besi besi itu diperlukan oleh Dai Nippon, untuk bikin senjata, katanya. Lucunya lagi, mereka yang mempunyai uang emas harus disetorkan dan dibeli, juga yang memiliki batu-batu intan berlian.
Semua itu untuk "gerakan kebaktian" ,katanya. Dibeli dengan uang Jepang yang terus dikeluarkan sampai seperti sampah, harganya pun seperti sampah. Akan menghabiskan sebuku tebalnya kiranya kalau kita kenangkan kembali aksi "si jago wiring kuning dari lor-wetan" itu. Memang, pada masa Jepang datang rakyat teringat akan ramalan Jayabaya yang menyebutkan bahwa kelak akan datang "jago berbulu kekuningan dari timur laut" yang akan membebaskan kita dari belenggu penjajahan. Memang ada cocoknya dan rakyat mulai berpegang kepada ramalan Jayabaya ini. Bukankah dalam ramalan itu disebut-sebut bahwa jago bulu kuning itu hanya akan menguasai Jawa selama "seumur jagung"" Tak seorangpun dapat menafsirkan berapa lamanya "seumur jagung" itu, dan nyatanya kemudian, tiga setengah tahun lamanya.
Baiklah kita mulai dengan cerita ini yang dimulai pada masa Jepang sedang ganas-ganasnya menangkapi rakyat. Kesadaran rakyat membuka mata hati bahwa tak mungkin kemerdekaan dan kemakmuran Bangsa Indonesia dapat disandarkan kepada Dai Nippon yang nyata-nyata amat kejam dan ganas itu. Dimana-mana mulai timbul pemberontakan. Di Singaparna (Tasikmalaya), di Blitar dan di setiap kota terdapat gerakan-gerakan rahasia untuk menentang Jepang. Di balik setiap anggukan pemberian hormat disertai ucapan-ucapan "kombangwa" (selamat malam), selamat siang atau selamat pagi oleh setiap orang yang lalu lalang di depan setiap penjaga Jepang (ini diharuskan dengan ancaman gaplokan!), tersembunyi kebencian dan dendam yang mendalam.
Dai Nippon mengamuk. Kenpetai-kenpetai (polisi militer) membabi buta. Setiap orang yang dicurigai ditangkap. Malah telunjuk telunjuk manusia iseng yang dikuasai sentimen dan dendam perseorangan dapat merupakan bahaya yang lebih dahsyat dari pada ujung senapan. Sehelai kartupos saja dikirim ke Kenpetai menyebutkan nama seseorang, akan ditangkaplah orang itu dan bagaimana nasibnya" Marilah kita menengok sebentar keadaan di dalam gedung Kenpetai yang bagi rakyat merupakan Neraka Dunia itu! Sehelai kartupos melayang ke meja Kenpetai dapat berakibat melayangnya nyawa dari badan seseorang!
Sudah tiga hari tiga malam Waluyo menjadi tahanan Kenpetai ! Pada Malam hari itu, tiga hari yang lalu, ia sedang mengeriki punggung istrinya. Penuh perasaan iba hatinya, terhadap istrinya yang tercinta dan setia ini. Kustiah, bekas guru sekolah taman kanak-kanak sekarang harus membanting tulang berdagang sayur-sayuran di pasar. Ini perlu sekali, kalau tidak, mereka bertiga, Waluyo, Kustiah dan Sakri akan terancam bahaya kelaparan. Sakhri masih terlalu kecil untuk dapat membantu mencari nafkah, baru empatbelas tahun usianya. Terpaksa berhenti sekolah.
Dia sendiri, Waluyo sudah lama tak bekerja. Enggan rasanya bekerja di bawah perintah algojo-algojo Jepang. Kebenciannya kepada Jepang yang tidak saja menyiksa dia sekeluarga, bahkan menyiksa seluruh bangsa Waluyo rela menggabungkan diri dengan para anggauta gerakan rahasia menentang Jepang. Sebagai tukang cukur ia biasa berkeliling dan dengan bebas dapat memasuki halaman - halaman asrama. Dapat menghubungi para Peta (Pembela Tanah Air), yaitu pasukan bentukan Jepang yang terdiri dari pemuda-pemuda kita dan lain-lain orang yang ada hubungannya dengan gerakan rahasia. Karena ia berkeliling bukan dengan maksud mencari uang , maka istrinya lah yang harus mencari nafkah untuk mereka bertiga.
Malam hari itu istrinya mengeluh karena pundaknya terasa pegal dan dadanya sesak. Agaknya masuk angina atau terlalu capai menggendong barang dagangannya ke pasar. Sambil menggerakkan uang tembaga di kulit punggung isterinya, Waluyo merasa betapa isterinya sekarang menjadi begitu kurus. Tubuh yang dulu indah montok kini menjadi kurus kehilangan daging. Padahal isterinya baru berusia tigapuluh lebih. Kasihan Kustiah...! Dan pada saat itulah di luar terdengar derapnya sepatu tentara dan ketika dibukanya pintu, ia sudah berhadapan dengan dua orang Kentapai!
"Mas Waluyo...!"
"Bapak..., bapak...!" Dua keluhan inilah suara-suara kesayangan terakhir yang terdengar olehnya, wajah istrinya pucat dengan luka basah, wajah putranya yang terbelalak matanya, itulah penglihatan yang terakhir, yang selalu terbayang di pelupuk matanya.
Sudah tiga hari tiga malam ia ditahan, Sudah... entah berapa kali dia lupa, ia diseret ke ruang pemeriksaan yang lebih tepat disebut tempat penyembelihan atau tempat siksaan.. Bermacam-macam siksaan ia alami, pukulan pukulan tangan, pukulan dengan sabuk kulit berujung besi, tendangan, merupakan hal biasa. Ia sampai merasa ngapal (menebal kulitnya) oleh pukulan dan tendangan itu. Pernah rambut pelipisnya ditarik ke atas sampai serasa copot jantungnya menahan sakit, pernah kedua tangannya diikat kebelakang hantu digantung sampai pangkal lengannya serasa patah-patah. Pernah Ia digantung dengan kepala dibawah kaki diatas sampai terngiang-ngiang segala bunyian di dalam telinganya dan matanya melihat merah, merah darah. Semua siksaan hanya diakhiri dengan pingsan, pingsan yang mendekati maut dan amat nikmat rasanya.
"Tidak...!" waluyo mengeluarkan kata-kata ini sambil memegang ruji-ruji besi kamar tahanannya dengan erat. Kedua tangan terasa lumpuh, pada saat ia mengeluarkan kata-kata itu, seakan-akan ada tenaga mukjizat memasuki tubuhnya. "Tidak seribu kali tidak! Biar mereka akan membeset kulitku, biar mereka akan mengiris-iris dagingku, membunuhku sekerat demi sekerat, mereka takkan mampu membuka mulutku!" Waluyo tidak merasa diri gagah. Tidak merasa diri patriotik. Apa artinya semua pengorbanannya Kalau dibanding dengan Mini dan Oom San yang kemarin malam disiksa sampai Mati" Keduanya ia kenal baik, tentu saja!
Siapa tidak mengenal Mini atau Harmini, gadis hitam manis yang bekerja di Stasiun Blitar itu" Harmini Seorang anggauta gerakan rahasia yang aktip, kan berkat kecerdikan gadis inilah maka dapat diseludupkan barang barang melalui kereta api, di bawah "hidung" para penjaga Nippon! Gadis ini ditangkap, di siksa, dihina, namun tetap membungkam. Dari selnya ia mendengar gadis ini menjerit-menjerit karena tak tahan nyeri, tidak tahan hinaan yang dilakukan diluar batas perikemanusiaan. Hinaan yang tak berani ia membayangkannya, namun yang sudah pasti dapat diterkanya. Hinaan yang paling hebat bagi seorang gadis, lebih hebat daripada maut. Dan apa ucapan terakhir gadis hebat sini" terdengar suara ketawanya, berkemandang sampai sekarang di dalam telinga Waluyo, lalu disusul kata-kata yang menggetar,
"Siksalah...,hinalah...,bunuhlah aku! Aku... Harmini... bukan apa-apa! Kau takkan mendengar sesuatu dariku. Aku tidak tahu apa-apa. Yang kutahu... hik hik hik, usiamu hanya seumur jagung...!" Kemudian tidak terdengar sesuatu dan ia melihat dengan mata kepalanya sendiri sebuah usungan dipanggul dua orang, usungan membawa mayat gadis itu.
Waluyo menitikkan dua butir air mata, air mata yang dibiarkan berlinang, tak diusapnya, air mata tanda terima kasih, tanda penghormatan terakhir yang takkan pernah terhapus dari dalam kalbunya. Kemudian Oom san. Siapa tidak mengenalnya" Seorang Babah yang lahir di Blitar dan mati di Blitar. Seorang babah yang sebelum Jepang masuk amat bernyala semangat kebangsaannya, tentu saja terhadap Tiongkok yang diinjak-injak oleh Jepang. Kebenciannya terhadap Jepang menyala-nyala. Kepatriotannya terhadap tanah leluhur berubah menjadi kepatriotan terhadap tanah tumpah darahnya, Indonesia. Uluran tangan para pejuang yang terdiri dari bekas bekas muridnya di HiS (Hollands Inlandsche School) yang mempercaya berkas gurunya ini, disambut dengan penuh semangat.
Simpatinya yang timbul melihat penderitaan rakyat dibawah penindasan Jepang, kebenciannya terhadap Jepang semenjak Jepang belum menduduki Indonesia karena kebiadaban Jepang di Tiongkok, kesemuanya ini mendorong Oom San untuk ikut berjuang, menjadi anggauta gerakan rahasia. Dialah pengumpul dana bantuan yang mengalir dari simpatisan. Namun akhirnya seorang diantara simpatisan itu sendiri menghianatinya ia ditangkap Kenpetai! Oom San sudah tua, usianya sudah enampuluh tahun lebih. Namun bagi Waluyo seolah-olah melihat seorang pemuda perkasa ketika ia mendengar ucapan terakhir pesan Oom San di depan para algojonya, melihat dari ruji-ruji selnya yang menghadap ruangan siksa itu betapa Oom San yang sudah hampir lumpuh oleh siksa itu membusungkan dadanya yang kurus.
"Tuan-tuan, aku sudah tua gigiku ompong semua. Tidak ada kenikmatan lagi di dunia, makan pun tidak enak lagi. Kenikmatan satu-satunya bagiku hanya melihat penindas penindas, penjajah penjajah, hancur lebur oleh semangat rakyat rakyat tertindas. Tuan-tuan sudah cukup mencekik leher rakyat di Tiongkok, sekarang di Indonesia, sudah banyak orang menderita dan mati. Ditambah Aku seorang Apa artinya""
"Plakk!" Seorang Jepang menampar pipinya, sampai bengkak pipi itu dan Oom San roboh. "Cina busuk! Peringatan terakhir. Hayo katakan di mana pemberontak pemberontak itu, kalau tidak, nyawamu akan melayang!" Dengan susah payah Oom San bangun berdiri, aneh sekali, mulutnya tersenyum dan darah yang menitik keluar mulutnya menambah terang senyumnya.
"Nyawaku hanya merupakan penambahan pupuk bagi kebangkitan rakyat..." Ia tak dapat melanjutkan kata-katanya karena sudah diseret ke tempat siksaan,
Didudukkan diatas "korsi listrik," yaitu sebuah korsi biasa yang dilengkapi dengan kawat-kawat yang ditalikan pada pergelangan kaki tangan, kemudian seorang Kenpetai memutar sebuah alat seperti dynamo. Tubuh kakek itu berkelojotan, matanya mendelik -delik, mulutnya mengeluarkan bunyi seperti kerbau disembelih dan Waluyo tak tahan lagi melihatnya. Waluyo, bekas murid Oom san pula, meramkan matanya dan menyumbat kedua telinga dengan tangannya. Hanya beberapa jam sesudah ia melihat mayat harmini diusung keluar, ia melihat usungan yang itu juga membawa mayat Oom San keluar. Untuk ke dua kalinya pada malam hari itu, yaitu malam tadi, Waluyo menitikkan air mata yang tak diusapnya. Banyak sudah tahanan tahanan disiksa sampai mati, pemuda pemuda tampan tegap, orang orang tua. Dan dia akan mendapatkan gilirannya.
"Tidak apa," Waluyo menghibur, menghibur diri apabila kadang-kadang Sinar kematian membuatnya gelisah, teristimewa kalau ia teringat akan kustinah dan Sakri. "... Kalau mereka membunuhku, di sana menanti harmini, Oom San, saudara-saudara yang lain..."
Pada keesok harinya, sebuah truck yang penuh tawanan membawanya ke Surabaya. Kembali dijebloskan ke dalam tahanan Kenpetai, malah keadaannya lebih menyeramkan daripada tahanan Kenpetai di Blitar. Sebuah kamar segi empat berukuran dua meter, berpintu besi, hanya ada dua buah lubang angin yang tak cukup banyak memasukkan hawa segar. Keadaan kamar tahanan yang lebih kotor daripada kandang babi, makan di situ, tidur di situ buang air besar kecil di situ. Tak tertahankan! Belum lagi menyusul siksaan siksaan yang maha hebat. Kalau yang di Blitar disebut siksaan keji, yang di Surabaya ini adalah embahnya (kakeknya) siksaan tak berperikemanusiaan.
Kuku-kuku jari dicabuti, kulit pelipis di beseti, ujung-ujung jari ditusuk jarum, dan seribu satu macam siksaan mengerikan lagi. Kadang-kadang Waluyo termenung. Mengapa manusia bisa keji ini dalam perang" Mereka itu, para penyiksa itu, merekapun manusia-manusia yang beranak bini, yang akan menangis kalau melihat anaknya menderita sakit payah, yang akan menangis kalau Ayah atau ibunya mati. Saking seringnya disiksa, waliyo tak kenal lagi apa itu nyeri dan apa itu takut. Makin hebat siksaannya, makin kuat pula Bibirnya digigit sampai berdarah menahan keluarnya kata-kata. Ia sudah siap menghadapi maut, sudah siap menghadapi siksa yang paling berat. Akan tetapi, apa yang dihadapi pada hari ketujuh di dalam tempat tawanan itu benar-benar di luar dugaannya sama sekali.
"Kustiah... Sakri...!" hatinya menjerit, namun mulutnya tidak mengeluarkan sesuatu. Mukanya menjadi pucat dan jantungnya berdetak. Tadi ia dimasukkan ke dalam ruangan siksa dan tahu-tahu sekarang ia melihat anak dan istrinya digiring. Apa artinya ini" Orang ketiga di liriknya. Sugeng! Seorang pendatang baru dalam gerakan. Makin berdebar hati Waluyo. Kalau ia melihat anak dan istrinya yang sama- sekali tidak tahu-menahu tentang pergerakan, ia tidak menguatirkan nasib mereka, hanya menguatirkan kalau kalau mereka itu akan terbawa bawa olehnya. Sekarang ia melihat Sugeng, kekuatirannya lebih besar lagi. Jangan-jangan Sugeng akan membacakan rahasia, akan menghianati saudara-saudara perjuangan.
"Ayah..." Sakri memanggil dengan suara tersendat ketika melihat Ayahnya dengan pakaian compang-camping dan tubuh rusak. Ia hendak lari menghampiri Ayahnya, akan tetapi sebuah tamparan Kenpetai membuat ia terguling. Ibunya lalu menolong anaknya yang menjadi ketakutan itu.
"Bakero! (makian) Banyak mulutkah" Bentak Kenpetai yang menampar tadi. Dengan tubuh gemetar ketakutan Sakri memeluk ibunya akan tetapi sepasang matanya yang lebar menatap wajah Ayahnya dengan perasaan yang sukar dilukiskan pada saat itu. Selain Waluyo yang duduk di bangku dan tiga orang pendatang baru, yaitu Kustinah Sakri dan Sugeng itu, di dalam ruangan pemeriksaan itu terdapat tiga orang Jepang berpakaian militer, seorang Jepang pendek gemuk berpakaian preman, dan dua orang jepang Kenpetai berdiri menjaga pintu dengan senjata siap di tangan.
Seorang polisi sebagai penterjemah berdiri di belakang Jepang berpakaian preman. Inilah Hasimo, tukang periksa yang berwajah ramah, selalu tersenyum dengan mata sipit hampir tak tampak biji matanya. Dengan gerakan tangan ramah ia mempersilahkan Kustinah maju dan duduk di bangku depan meja tulis. Sambil memeluk anaknya. Kustinah melangkah maju, wajahnya pucat namun badannya tidak gemetar seperti Sakri. Oleh seorang Jepang berpakaian militer yang berbaju burik (bopeng), Sugeng diseret dan didorong ke bangku yang diduduki Waluyo di pojok ruangan. Sugeng mengeluh kecil dan jatuh terduduk di dekat Waluyo akan tetapi seperti orang yang takut ketularan penyakit buduk, ia menggeser duduknya menjauhi Waluyo, di ujung bangku itu.
"Ona... Hemm, nyonya... Siapa namakah"" Hasimo yang pangkatnya setingkat dengan Kapten pada Kenpetai itu bertanya, mulutnya tersenyum lebar sehingga nampaklah giginya yang kecil-kecil meruncing seperti gigi tikus, matanya makin menyipit hampir tertutup.
"Nama saya Kustinah tuan," jawab yang ditanya, suaranya halus perlahan, Pak di tenang-tenangkan sambil tangan kiri mengelus-elus kepala Sakri yang duduk di sebelah kirinya dan dirangkulnya.
"Kenal dia itu" Siapa dia"" Telunjuk pendek gemuk menuding ke arah tempat duduk Waluyo. Kustina hanya mengerling sedikit, tak tahan ia memandang suaminya lama-lama.
"Dia itu suami saya Tuan"
"Hemmm, dan ini anak""
"Betul tuan, ini anak kami"
"Bagus... Bagus... nyonya cinta suami dan anak"" Kustiah mengangguk, Bibirnya tak mampu mengeluarkan jawaban karena pertanyaan ini mengandung ancaman maha besar. Jepang itu memberi tanda kepada polisi penterjemah di belakangnya. Polisi ini tubuhnya tinggi kurus, mukanya tak membayangkan perasaan apa-apa, seperti muka tengkorak saja. Iya maju menghadapi kustinah.
"Kustiah, kalau kau betul mencintai suami dan anaknya, kau harus memberi keterangan yang selengkapnya, harus berterus terang. Kalau kau mau mengaku Sejujurnya, suami dan anakmu akan pulang bersamamu sekarang juga." Kustiah mengangguk lagi.
"Waluyo bekerja apa"" tiba-tiba Jepang itu bertanya lagi. Agaknya iaa hanya sanggup mengeluarkan kalimat pendek-pendek, maka untuk penjelasan-penjelasan yang membutuhkan kalimat-kalimat panjang, ia harus minta bantuan si muka tengkorak itu.
"Dia tukang cukur..." jawab Kustiah. "Saya sendiri berjualan sayur mayur di pasar, anakku berhenti sekolah karena tak kuat bayar dan harus jaga rumah..." Keterangan istilah seperti air bah mengalir keluar dari mulutnya dalam usahanya "mengaku terus terang" seperti yang diminta tadi.
"Cukup jelas...bagus sekali. Emmmm... Waluyo ini anggauta gerakan rahasia, ya" Semua mata orang Jepang dan polisi yang berada di kamar itu kini ditujukan kepada Kustiah, dengan pandangan tajam penuh ancaman dan selidik. Kustiah menjadi pucat sekali mukanya. Dia sesungguhnya tidak tahu bahwa suaminya menjadi anggauta gerakan rahasia, akan tetapi dia tahu apakah itu artinya gerakan rahasia dan bagaimana pula nasib anggautanya yang tertangkap!
"Tidak, dia bukan... dia tukang cukur, tuan." Tiba-tiba Kustiah merasa bulu tengkuknya berdiri. Sebuah tangan bemegang belakang lehernya, tangan yang kasar.
"Jadi kau tahu tentang gerakan rahasia"" tanya polisi yang meraba belakang lehernya itu. Kustiah menggeleng kepalanya cepat-cepat.
"Tidak tahu, saya tidak tahu sama sekali."
"Kalau tidak tahu bagaimana kau bisa bilang bahwa suaminya bukan anggauta gerakan rahasia"" Polisi itu membentak marah. Mulai pening kepala Kustiah. Selama hidupnya dia belum pernah berurusan dengan polisi, belum pernah menghadapi pertanyaan-pertanyaan yang aneh-aneh dan yang berbelit-belit membingungkan, yang penuh perangkap perangkap.
"Saya tidak tahu... tidak tahu apa-apa... hanya jualan di pasar. Suami saya seorang tukang cukur yang tak berdosa..." Kustinah mulai menangis. Hasimo memberi tanda dengan anggukan kepala. Seorang algojo Jepang memegang tangan Waluyo dan menyeretnya ke dekat meja. Kustiah mengangkat muka dan memandang suaminya dengan mata terbelalak, juga Sakri menggigil sekujur badannya.
"Kau lihat, kau tidak mau mengaku bahwa suamimu, anggauta gerakan rahasia, kami akan menyiksa suamimu sampai mati di depan matamu!" Polisi itu menerangkan. Kustiah hanya menggeleng-geleng kepala tak mampu menjawab. Ia ketakutan, akan tetapi juga terheran-heran melihat suaminya yang kurus dan rusak tubuhnya itu kini memandang kepadanya dengan mata berseri dan Bibir tersenyum! Pandang mata dan senyum seperti dulu, seperti ketika mereka baru bertemu dan berkasih kasihan! Hampir Kustiah menjerit, akan tetapi melihat senyum dan pandang mata ini yang jelas memperlihatkan bahwa suaminya menyetujui sikapnya, kembali ia menggeleng geleng kepala dan menjawab.
"Saya tidak tahu, tuan. Dia hanya tukang cukur biasa..." Hasimo kembali memberi isyarat. Dua orang algojo tukang siksa Jepang bergerak cepat dan kedua tangan Waluyo dudah dipuntir ke belakang dengan keras lalu diikat kuat-kuat. Waluyo pernah disiksa seperti ini, maka ia tahu apa yang selanjutnya akan ia alami.
Ia menahan sakit dan ketika mengerling ke arah istrinya, ia masih mempertahankan senyumnya. Kustiah dan Sakri yang tidak mengerti apa yang selanjutnya akan terjadi, hanya memandang dengan mata terbelalak. Di ujung sana, Sugeng mengeluarkan keringat dingin dan kedua kakinya menggigil seperti orang terkena demam malaria. Tali pengikat yang panjang itu dilempar melalui atas balok melintang dan mulailah dua orang Jepang tukang siksa itu menarik ujung tali tambang itu. Kedua lengan tangan Waluyo tersentak ke atas di belakang punggungnya sampai mengeluarkan bunyi berkeretak. Bukan kepalang nyarinya, sampai terasa di ubun-ubun kepala. Dulu setelah disiksa begini sampai dua hari Waluyo lumpuh kedua tangannya. Namun Waluyo yang tidak mau memperlihatkan penderitaan hebat di depan anak dan istrinya, masih tersenyum!
"Nyonya mau mengaku tidak"" Hasimo bertanya kepada kustiah. "Tidak kasihan kepada suamimu""
Kustiah menggeleng geleng kepala, Bibirnya gemetar.
"Jangan... jangan siksa dia, tuan. Dia tukang cukur biasa... dia tidak berdosa... ampun, tuan." Hasimo memberi isyarat.
Tali ditarik makin keras dan kini tubuh Waluyo mulai tergantung, kedua lengan terpuntir ke belakang dan tertarik ke atas seperti ayam ditelikung. Sakitnya bukan main sampai sukar digambarkan, kiut-miut menyusup tulang, sampai terngiang-ngiang pada telinga dan berdenyut-denyut pada ubun-ubun. Tak mungkin Lagi tersenyum. Waluyo menggigit Bibirnya supaya tidak mengeluarkan keluhan. Kustiah dan Sakri memandang semua ini dengan mata terbelalak. Karena Waluyo tidak mengeluarkan suara apa-apa, maka penderitaannya tidak begitu terasa oleh istri dan anaknya. Akan tetapi ketika melihat mata yang diharamkan kuat-kuat, dan tetesan-tetesan darah mulai keluar dari Bibir yang tergigit sendiri, Kustiah merasa seakan-akan jantungnya tertusuk pisau. Ia menutupi muka dengan kedua tangannya, terisak-isak. Seperti dari jauh sekali terdengar suara Hasimo di dekat telinganya, jelas.
"Nyonya sekarang mau mengaku bahwa dia anggauta gerakan rahasia""
"Tidak, tuan. Dia tukang cukur biasa..." Sambutan jawaban ini adalah robeknya baju kaos yang menutupi tubuh Waluyo, disusul bunyi cambuk menghantam kulit punggung berkali-kali yang diseling suara Hasiomo.
"Nyonya mau mengaku tidak"" Jawaban Kustiah tetap sama, kini diiring tangisnya sendiri dan suara tangis Sakri,
"Tidak tuan. Dia tukang cukur biasa..." Akhirnya Hasimo kewalahan. Waluyo sudah pingsan, diturunkan dari gantungan dan disiram air. Setelah siuman kembali diseret ke dalam selnya. Waluyo mengirim senyum Dan pandang mesra ke arah Kustiah dan Sakri! Ibu dan anak ini lalu disuruh duduk di bangku yang terletak di sudut ruangan, dan Sugeng yang sudah pucat sekali itu mendapat giliran disuruh menghadap, duduk di bangku depan meja tulis.
"Nama...""
"Sugeng..." Lirih jawaban ini, keluar dari kerongkongan yang kering hampir tersumbat rasa takut.
"Pekerjaan""
"Juru tulis di kantor pos... saya... saya tidak Berdosa, Tuan besar..."
"Brakkkk!" Meja tulis digebrak oleh Hasimo yang sekaligus melihat macam apa adanya orang yang diperiksanya maka ketika ia menggunakan gertakan,
"Kamu anggauta gerakan rahasia"" Hampir saja Sugeng tak kuat untuk duduk tegak. Tubuhnya sudah menggigil dan terdengar hanyalah keluhan perlahan dari Bibirnya yang pucat,
"... tidak, tuan... tidak. tuan... tidak, tuan..."
"Ibu, aku takut..." bisik Sakri kepada kustiah. Kustiah memeluk putranya,
"Tenang dan tabah... seperti Ayah tadi, Sakri!" bisiknya dengan suara lirih penuh kebanggaan. Mendengar nada suara ini, Sakri memandang wajah bundanya dan ia melihat air mata berlinang pada mata bundanya, dibarengi senyum senyum manis penuh kebanggaan. Sakri mengerti, dalam keadaan seperti itu anak yang belum dewasa ini mulai tumbuh dewasa. Ayahnya memang patut dibanggakan. Sedikitpun, Ayahnya tadi tidak memperlihatkan, malah setelah disiksa sampai pingsan, sedikitpun tidak pernah mengeluh. Alangkah jauh bedanya dengan Sugeng itu. Bentak-bentak saja sudah hampir terkencing-kencing. Ayahnya memang jantan. Hangat rasa hati Sukri, rasa takutnya buyar. Ayahnya seorang pemberani, yang tenang dan tabah. Mengapa dia tidak" Dia kan anak Ayahnya"
"Ibu, aku tidak takut..." bisiknya. Ibunya menahan isak, memeluk dan mencium kepalanya. Keduanya lalu tertarik oleh jeritan Sugeng maka kembali memandang ke arah meja tulis. Ternyata Sugeng sudah dipegang oleh dua orang algojo Jepang, seorang sebelah tangan. Sugeng menggigil, mengeluh menjerit. Padahal belum diapa-apakan!
"Kau mau mengaku"" Hasimo bertanya.
"... tidak... tidak, tuan..."
"Cabut kukunya!" Seorang algojo mengeluarkan sebuah alat semacam tang atau catut. Kuku ibu jari kiri dijepit dan dicabut keluar! Sugeng menjerit, melolong seakan-akan nyawanya yang dicabut oleh maut,
"Adduuuuh... mati aku...! Ampun, Tuan besar... ampun... Aduh...!" Algojo hendak mencabut kuku kedua, akan tetapi Hasimo memberi tanda menahannya,
"Mau mengaku sekarang" Kalau tidak, sepuluh kuku akan dicabut semua!"
"... baik, Tuan besar... saya mengaku... aduuuuuuh... Saya mengaku" Kustiah mencengkeram lengan anaknya kuat-kuat, juga suka memandang dengan mata terbelalak. Sakri pernah melihat sandiwara dan entah bagaimana, pada saat itu ia seakan-akan sedang menyaksikan sebuah sandiwara yang dimainkan dengan baik sekali oleh pelaku-pelakunya. Sambil menggenggam ibu jarinya yang berlumur darah, Sugeng yang dilepaskan itu menjatuhkan diri berlutut. Seperti orang menyembah- menyembah ia membuat pengakuannya,
"Saya hanya ikut ikut saja, Tuan besar... saya terbawa bawa saja..." Polisi kurus itu melangkah maju, suaranya mengancam,
"Bikin pengakuan yang betul! Jangan putar balik tidak karuan kalau kau tidak mau disiksa lagi. Ayo ceritakan semua!"
"... Saya hanya anggota biasa, baru masuk... aya masih tidak tahu apa-apa..."
"Kau Kenal Waluyo"" tanya Hasimo
"Kenal, Tuan besar."
"Dia anggota gerakan rahasia" Pemimpin""
"Betul, Tuan besar. Dia yang mengetahui semuanya. Kalau Tuan mau tahu segala mengenai gerakan rahasia, tanyalah Waluyo. Saya hanya anggauta biasa. Dia itu sambil berkeliling sebagai tukang cukur, dia yang menghubungi opsir-opsir Peta, dia yang menyampaikan segala kode-kode rahasia..."
"Pengkhianat!!" Semua orang menengok ke arah Kustiah dan Sakri, akan tetapi tidak begitu memperhatikan Makian yang keluar dari mulut Sakri tadi. Kustiah sudah cepat mendekap kepala anaknya sambil memandang kearah Sugeng dengan mata berapi, seperti mata anaknya, penuh kebencian, penuh kejijikan.
"Bagus... Bagus... Eh sugeng. Kalau kau masih membantu kami, mau menunjukkan orang-orang yang kaukenal dalam gerakan, kau tidak saja akan dibebaskan, malah kau akan mendapat hadiah!" Inilah kalimat-kalimat terpanjang yang pernah dikeluarkan oleh Hasimo sambil menepuk nepuk pundak Sugeng yang sudah tidak begitu pucat lagi sekarang. Dia lalu dibawa keluar dari ruangan itu. Akan tetapi sebelum keluar dari pintu, Sugeng melirik ke arah Kustiah dan kecut-kecut hatinya melihat dua pasang mata ibu dan anak itu menatapnya dengan pandang mata membakar dan menusuk. Ia Menundukkan kepalanya, menghibur hati sendiri. Aku hanya membela diri... aku harus hidup... Apa perlunya membela Waluyo" Ia akan mati juga...!
Pengkhianatann Sugeng merubah sifat pertanyaan-pertanyaan yang diajukan terhadap pemeriksaan atas diri Waluyo, sungguhpun sama sekali tidak merubah sifat siksaan-siksaan dan ancaman- ancamanya. Pertanyaannya sekarang berbunyi,
"Apa tugasmu dalam gerakan""
"Siapa Pemimpin gerakan""
"Berapa banyak jumlah anggautanya""
"Di mana pusatnya"
Pendeknya, orang-orang Jepang itu hendak mengorek semua rahasia tentang gerakan melawan Jepang itu dari mulut Waluyo. Namun dengan gigih Waluyo mempertahankan kesetiaannya. Dia hanya mengaku bahwa dia memang betul anggauta gerakan menentang Jepang, akan tetapi tidak dapat menceritakan atau menjawab semua pertanyaan itu. Seperti juga mendiang Harmini dan mendiang Oom san, di tengah-tengah penyiksaan Waluyo berkata,
"Tuan-tuan boleh bunuh saya! Boleh membunuh banyak saudara-saudara kami. Akan tetapi tak mungkin dapat membunuh dendam dan benci dalam dada bangsa Indonesia yang Tuan injak-injak!" Hasimo sampai kehabisan akal untuk memaksa Waluyo membuat pengakuan. Akhirnya pada hari Kamis malam itu, malam Jumat Kliwon, Hasimo mengambil langkah yang paling dahsyat.
Malam hari itu kira-kira jam delapan, waluyo diseret ke dalam ruangan pemeriksaan, juga Kustiah dan Sakri dikeluarkan dari sel lain. Baik Kustiah maupun Sakri nampak kurus pucat karena penderitaan batin yang luar biasa. Istri dan anak manakah yang tak akan menderita hebat kalau setiap hari disuruh menonton suami dan Ayah disiksa" Selama itu, sudah empat hari semenjak Kustiah dan Sakri ditahan, ibu dan anak ini tak pernah mengalami siksaan, hanya disuruh menjadi penonton dengan maksud mengorek rahasia dari mulut mereka. Setelah Hasimo mendapat keyakinan bahwa ibu dan anak ini memang tidak tahu apa-apa tentang pergerakan, dan setelah Sugeng membuat pengakuannya dan jelas pula bahwa Waluyo termasuk tokoh gerakan, Hasimo menggunakan cara lain.
"Waluyo, kedosaanmu sudah jelas. Kau anggauta pergerakan rahasia, malah seorang tokoh pemberontak. Sudah semestinya kau dihukum mati. Akan tetapi Tuan Hasimo masih menaruh hati kasihan kepadamu." Demikian polisi kurus itu mulai pidatonya. "Kalau kau suka membuat pengakuan dan suka memberi keterangan keterangan tentang gerakan rahasia itu, seperti juga Sugeng, kau akan dibebaskan dan diberi ganjaran." Dengan senyum mengejek Waluyo berkata,
"Aku tidak sama dengan Sugeng si penghianat!"
"Apa kau tidak sayang nyawamu""
"Nyawaku sudah kuserahkan sepenuhnya kepada Tuhan. Setiap saat Tuhan menghendaki , dengan rela ku berikan." Hasimo menyeringai,
"Dan tidak sayang sama istri dan anak"" Tersirat darah Waluyo mendengar ini. Mengerling ke arah tempat duduk Kustiah dan Sakri.
"Apa... Apa maksud tuan""
"Kalau kau tidak mau mengaku, istri dan anakmu juga akan mati." Untuk sesaat Furious seperti kehilangan akal. Ia memandang kepada istri dan anaknya. Akan tetapi pada saat itu, ibu dan anak ini begitu kagum dan bangga akan dia. Sinar mata Kustiah seakan-akan berkata,
"Aku bersedia mati bersamamu!" Dan sinar mata Sakri juga yang jelas membayangkan bahwa anak itu tidak takut!
"Mati atau hidup adalah urusan Tuhan, hanya Tuhan yang akan menentukan, manusia tak berkuasa. Keselamatan anak istri saya juga sudah saya serahkan ke dalam tangan Tuhan," jawab Waluyo berbesar hati melihat sikap istri dan anaknya.
"Bakero! keras kepala ya!" Melawan Dai Nipponkah"" Hasimo memberi perintah dalam bahasa Jepang dan dua orang algojo dengan kasar menyeret Kustiah dan Sakri. Dengan kejam dan sikap sombong sekali dua orang Jepang itu merenggut pakaian yang menutupi tubuh kustiah dan Sakri selembar demi selembar. Mulut Jepang yang menelanjangi Kustiah menyeringai kurang ajar. Waluyo tak tahan melihat ini. Ia meramkan mata. Hasimo tepuk pundak nya.
"Kau cinta istrimu" Lebih baik mengaku. Apa lebih sayang kepada pemberontak daripada istri dan anak sendiri"" Bujukan ini bagaikan minyak menyiram api didadar Waluyo. Ia mengangkat muka dan berteriak.
"Mau bunuh anak istriku, bunuhlah! Lebih baik aku anak istri binasa daripada menjadi penghianat bangsa!" Selanjutnya Waluyo tak dapat mengeluarkan kata-kata lagi. Ia dipaksa menonton istri dan anaknya yang bertelanjang bulat itu dijadikan makanan cambuk bertubi-tubi dengan kedua tangan digantung ke atas. Tadinya sepasang Mata Waluyo memandang nyeri, namun sedikit demi sedikit cahaya aneh berapi memancar dari matanya. Hebat sikap Kustiah. Tak sebuahpun keluhan keluar dari mulut istrinya. Istrinya yang gagah! Tak kalah oleh Harmini! Diantara suara cambuk dan gerengan suara Sakri yang menahan sakit tanpa minta ampun, terdengar teriakan Waluyo,
"Kustiah istriku. Aku cinta padamu...!" Akhirnya pencambukan dihentikan. Ketika lepas ikatan tangannya, Kustiah dan Bakri ambruk tidak ingat orang, seperti sudah menjadi mayat. Mereka diseret keluar setelah pakaian mereka dilemparkan ke arah tubuh mereka yang penuh darah. Sakri siuman lebih dulu, mendapatkan dirinya di pekarangan depan markas Kenpetai di tengah malam. Tubuhnya sakit-sakit dan perih semua. Ketika didengarnya ibunya telanjang, sekuat tenaga ia bangun dan membantu ibunya mengenakan pakaian sejadinya. Iya sendiri lalu berpakaian. Pada saat itu terdengar bunyi tembakan di dalam markas. Disusul pekik yang amat mereka kenal.
"Kustiah...! Sakri...!" Itulah suara terakhir Waluyo yang mereka dengar. Kustiah menutupi mukanya, menangis. Kini Sakri yang menghiburnya. Siksaan tadi merupakan tempaan yang menggembleng jiwa kanak-kanaknya menjadi jiwa dewasa, dewasa oleh derita. Dituntunnya ibunya bangun berdiri. Seorang Kenpetai menghampiri mereka dan menghardik.
"Bakero" Masih belum pergi" Mau mampus kah"" Ditendangnya Bakri sampai terhuyung-huyung. Sakri cepat membimbing tangan ibunya, diajak keluar dari neraka dunia itu. Terhuyung huyung mereka keluar melalui penjaga yang memandang dengan senyum mencibir
"Anjing-anjing pemberontak!" penjaga masih memberi bekal terakhir.
Kejahatan di dunia ini selamanya takkan memberi berkah Tuhan. Betapapun kuat dan pada permulaannya nampak menang, namun karena tidak mendapat berkah, tidak diridhoi tuhan, pasti akan hancur dan ambruk. Ambisi-ambisi penuh nafsu yang melahirkan praktek-praktek keji, jauh melampaui batas perikemanusiaan dan tidak mengenal Tuhan seperti yang terdapat dalam praktek kekejian fasisme a la Jerman dan Jepang, biarpun tadinya tampak kuat dan pada permulaannya mencapai kemenangan kemenangan gemilang, pada akhirnya hancur juga. Berturut-turut Jerman dan Jepang jatuh dan kalah. Tidak hanya kekuasaan-kekuasaan pada tanah jajahannya dipreteli, bahkan kekuasaan kekuasaan di negeri sendiripun dilumpuhkan.
Indonesia bebas pula dari penindasan Jepang. Dai Nippon yang kalah itu meninggalkan kesengsaraan dan kemelaratan umum yang hebat, akan tetapi juga merupakan gemblengan terakhir terhadap rakyat Indonesia yang sudah berabad-abad lamanya selalu berusaha membebaskan diri dari pada belenggu penjajahan. Ada beberapa segi yang menguntungkan terdapat dalam penjajahan Jepang yang "seumur jagung" (ternyata: tiga setengah tahun) lamanya itu, keuntungan dipandang dari sudut perkembangan selanjutnya, Yaitu dalam usaha rakyat memerdekakan nusa bangsa yaitu berupa latihan militer kepada pemuda-pemuda kita yang tersusun dalam barisan seperti Seinendan.
Keibodan dan Peta. Latihan keberanian berperang, ketahanan menderita, dan taktik gerilya mempergunakan bambu runcing. Juga keuntungan mental, yaitu pandangan rakyat Indonesia terhadap kekuasaan Belanda menurun banyak setelah menyaksikan dengan mata kepala sendiri betapa Belanda dibuat kocar-kacir oleh Jepang tanpa perlawanan. Bahwa sebetulnya Belanda kalau di lawan hanya merupakan kiju yang empuk! Kekosongan pada peralihan kekuasaan dengan jatuhnya Dai Nippon ini tidak disia-siakan oleh para pemimpin dan rakyat. Proklamasi kemerdekaan bergema di seluruh tanah air, diproklamirkan oleh Bung Karno dan Bung Hatta atas nama rakyat Indonesia, pada tanggal 17 Agustus 1945. Indonesia merdeka!
Banyak air mata haru bercucuran menyambut berita ini, yang selama ini hanya merupakan surya tertutup awan hitam di alam mimpi, Indonesia Merdeka! Bebas daripada belenggu penjajahan, bebas dari Belanda dan Jepang. Indonesia dengan ribuan pulaunya, dengan gunung gunung berapinya, dengan pantai-pantainya, seluruh tanah dan airnya adalah milik kita sendiri! Siapapun juga yang akan mencoba untuk merampasnya kembali, biar mereka itu dewa ataupun setan-setan, akan berhadapan dengan seluruh rakyat yang bertekad bulat mempertahankannya! Dan Betul saja, terjadilah percobaan perampasan kembali itu. Bukan oleh Dewata, bukan pula oleh setan neraka, melainkan oleh Belanda sendiri yang dibantu oleh Inggris. Dengan segala macam jalan, baik Jalan politik maupun kekerasan, belanda menuntut kembalinya tanah jajahannya. Rakyat serta merta menolak.
Dengan semangat meluap-luap, di tengah pekik "MERDEKA" yang menggelora dan menggema di seluruh tanah air, dibentuklah B K R (Barisan Keamanan Rakyat). Pemuda-pemuda yang pernah secara paksa dan kekerasan digembleng oleh Jepang sebagai Seinendan atau Keibodan, maupun bekas bekas anggauta Peta dan polisi, bermunculan di tengah-tengah rakyat, melatih para pemuda yang sudah siap mempertahankan kemerdekaan tanah airnya mempertaruhkan daging darah nyawa! Bentrokan pertama antara rakyat dan pihak penjajah itu terjadi di Surabaya pada 10 November 1945. Kota Surabaya dihujani mortir, rakyat diberondongi senjata-senjata yang lengkap dan modern. Namun, hal ini bukannya mendatangkan rasa takut, bukannya memadamkan semangat, bahkan membuat amarah rakyat berkobar-kobar dan semangat perlawanan menjadi-jadi.
Membuat semua rakyat merasa bersatu padu, bersatu tekad mempertahankan kedaulatan nusa bangsa. Perlawanan gigih dilakukan oleh pemuda pemuda yang perkasa, dengan senjata seadanya. Dimana-mana lahirlah kesatuan-kesatuan yang antara lain adalah B P R I Laskar Rakyat, dan masih banyak lagi regu-regu pejuang yang senjatanya amat bersahaja dan sebagian besar hanyalah senjata-senjata tajam dan bambu runcing. Kalaupun ada senapan, sebagian besar hanyalah senapang karaben Jepang! Jangan disangka hanya kaum pemuda saja yang terjun ke dalam perjuangan melawan penjajah ini. Bahkan orang-orang tua pun banyak, malah kaum wanitapun menggabungkan diri dan menjadi anggauta Laswi (Laskar Wanita Indonesia)! Ada pula orang-orang Tionghoa yang terbakar semangatnya oleh api perjuangan sehingga di beberapa tempat, di antaranya di Sragen.
Mereka membentuk regu yang bernama B P T H (Barisan Pemberontak Tionghoa) dan di samping saudara-saudaranya dari Laskar Rakyat, B P R I, K R I S, P N I, Hizbullah, Pesindo, Barisan Banteng, Laskar Buruh, Sabilillah dan lain-lain ikut pula berjuang di baris depan, tergabung dalam baris TKR. Kematian Jenderal Sekutu Mallaby yang terbunuh di Surabaya, mencetuskan bentrokan pertama antara Belanda/Inggris dengan para pejuang di Surabaya. Mulut-mulut meriam memuntahkan peluru, mortir mortir membabi buta dan karena kalah kuat persenjataannya, akhirnya barisan kita terdesak mundur dan terpaksa harus meninggalkan Surabaya. Namun pertempuran di Surabaya itu merupakan pengalaman dan pelajaran yang amat berharga, mempertebal tekad dan memperkuat persatuan.
Kekalahan di Surabaya bukan merupakan hal yang aneh, karena Belanda dan Inggris mempergunakan meriam meriam dan mortir mortir,, mengerahkan serdadu-serdadu bersenjata lengkap dan modern, pula terlatih baik, yang menyerbu dari darat, dibantu moncong moncong meriam dari laut dan metraliur-metraliur dari pesawat udara! Semenjak 10 November 1945 itulah terjadi perang gerilya. Dimana pihak penjajah menemui perlawanan gigih dari rakyat biarpun Belanda melakukan penyerangan membabibuta, membunuh seenaknya, membakar, merampok. Darah rakyat kembali mengalir membasahi bumi Indonesia. Justru darah dan penderitaan ini yang membuat rakyat seluruhnya bangkit dengan tangan terkepal ,mata berapi, dan mulut memetic: MERDEKA ATAU MATI!!
Malam hari yang gelap pekat di sebelah barat Wonokromo,, dekat Krian. Serbuan serbuan Belanda yang dinamakan "aksi polisionil" pada Juni 1947 disambut oleh perlawanan pejuang gerilya di mana-mana. Harus diakui bahwa berkat persenjataan mereka yang lengkap dengan mobil-mobil lapis baja, Belanda berhasil menyusup ke mana-mana. Namun di mana saja mereka tiba di situ selalu di kacau oleh serbuan-serbuan para pejuang gerilya. Pada siang hari tak seorangpun pemuda nampak. Akan tetapi kalau sudah datang malam hari, di malam hari yang gelap pekat arti pada malam ini, para pemuda bergerilya. Mereka dengan gagah berani nya menyerbu pos-pos Belanda. Mencegat iringan-iringan truk Belanda, menyergap dengan tiba-tiba dan bagi fihak musuh, mereka ini merupakan "momok" yang membuat Belanda tidak enak tidur! Di dekat Krian terdapat sebuah pos Belanda.
Serdadu-serdadu KNIL yang dipimpin beberapa orang Serdadu KL yang berada di pos itu amat lelah sehabis "pembersihan" di kampung-kampung tanpa hasil. Hanyalah orang-orang tua dan wanita dapat mereka temui, dan terpaksa memuaskan nafsu membunuh mereka dengan menembaki beberapa orang kakek-kakek. Beberapa sosok bayangan hitam berkelebat di gelap malam, mendekati pos Belanda. Menyelinap dan merangkak. Hanya ada dua belas orang, dua belas orang pemuda yang sigap-sigap, tak bersepatu. Akan tetapi dengan semangat membaca dan pancuran cahaya mata mereka yang berapi-api menjadi bukti akan ketabahan hati mereka. Setiap orang pemuda membawanya sedikitnya sebuah granat tangan. Lima orang membawa karaben Jepang, tiga orang membawa pistol dan yang empat orang masing-masing membawa tiga buah granat tangan dan sebatang pedang.
Inilah persenjataan duabelas orang ini, dua belas orang dari regu "jibaku" (berani mati) yang sudah amat terkenal dalam pasukan-pasukan gerilya yang pada waktu itu dipimpin oleh Bung Tomo! Pemimpinnya seorang pemuda remaja yang paling banyak berusia sembilanbelas tahun. Pemuda berhidung mancung, bermata tajam dan berambut tebal agak keriting. Rambutnya panjang sampai menyentuh telinga. Perawakannya sedang, akan tetapi tangan yang sedikitpun tidak gemetar dalam menghadapi pos Belanda dengan hanya berkawan sebelas orang dan dia sendiri hanya memegang sebuah pistol, membuktikan bahwa di dalam tubuhnya terdapat saraf-saraf baja. Tanpa mengeluarkan suara, hanya dengan gerakan jari tangan kiri, pemuda yang memimpin regu jibaku ini membagi-bagi regunya menjadi tiga.
Enam orang, termasuk dia sendiri dan mereka yang membawa pistol, menyelinap dari depan Pos. Tiga orang yang hanya membawa granat dan pedang menyelinap dari belakang sedangkan yang lain-lainnya, yang tiga orang lagi dengan karaben menghampiri pos dari arah kanan. Sebelum mereka berangkat, pemimpin mereka memang sudah mengatur siasat. Serangan harus dibuka dengan lemparan granat dari samping kanan dan dalam keadaan musuh panik, serangan dilanjutkan dengan karaben dari depan dan kanan. Kemudian perlahan-lahan mundur, membiarkan musuh mengejar, memancing musuh keluar dari Pos dan memberi kesempatan pada tiga orang kawan yang masuk dari belakang pos untuk menyikat semua perlengkapan pos itu, senapan, peluru-peluru dan apa saja yang penting untuk kita!
"Dung!!" Sinar terang ledakan granat itu menerangi kegelapan malam untuk beberapa detik. Segera disusul rentetan tembakan dari senapan mesin otomatis yang memuntahkan peluru sejadi-jadinya secara membuta tuli. Dari dalam pos, Serdadau-serdadu KNIL menyerbu ke mobil lapis baja, berlindung di sana sambil menembaki keluar. Serdadu KL hanya berteriak-teriak dan memaki-maki di dalam pos. Regu jibaku itu tidak membalas tembakan karena hal ini akan merugikan mereka sendiri karena tempat persembunyian mereka tentu akan diketahui musuh. Granat-granat tangan dipergunakan. Kuncinya dibuka dengan gigi, lalu dilontarkan dari pelbagai penjuru.
"Dung! Dung! Dung!" Mulai terdengar jeritan-jeritan di depan pos ketika dua buah granat dengan tepat mengenai mobil lapis baja. Agaknya pecahan granat ada yang menyambar masuk mengenai serdadu-serdadu KNIL.
Tiba-tiba dari dalam pos dipasang lampu senter yang terang, menyorot keluar dan diputar-putar, mencari-cari. Sementara itu rentetan senapan otomatis masih berbunyi, malah makin gencar. Tiba-tiba, diantara suara tembakan, terdengar keruyuk ayam jago. Itulah tanda yang dikeluarkan oleh pemimpin regu gerilya ini untuk mulai mundur. Sambil mengundurkan diri dan menyelinap diantara tempat-tempat gelap supaya jangan terlihat musuh yang mulai menggunakan alat penerangan, mereka berpencar. Mulailah sekarang menggunakan pistol dan karaben, bertubi-tubi menembaki ke arah pos, dan inilah siasat memancing mereka. Serdadu Serdadu KNIL yang mengira bahwa para gerilya terpukul mundur, lalu mengejar keluar. Malah serdadu KL (serdadu serdadu Belanda) yang tadi bersembunyi saja di dalam pos, sekarang berani keluar sambil mengeluarkan aba-aba,
"Kejar terus, basmi!" Sambil terus menembaki dengan karaben dan pistol, regu jibaku ini memancing musuh keluar. Pekerjaan ini amat berbahaya, karena sekarang tempat mereka sudah diketahui musuh dan berondongan senapan mesin musuh benar-benar berbahaya sekali. Namun berhasillah mereka memancing para serdadu meninggalkan posnya. Dan diam-diam bergeraklah tiga orang anggauta gerilya dari belakang Pos, memasuki pos itu. Terjadi pergumulan ketika dua orang anggota KNIL (serdadu sewaan yang dipergunakan Belanda) yang masih tinggal di pos melihat mereka. Tiga orang itu cepat mengerjakan pedang mereka, pedang Samurai peninggalan Jepang dan dalam sekejap mata saja dua orang serdadu KNIL itu tewas.
Pekerjaan dilakukan cepat-cepat, senjata dikumpulkan dan peluru-peluru juga. Ketika pasukan Belanda yang akhirnya sadar bahwa mereka telah meninggalkan pos terlalu jauh itu kembali ke pos, mereka mendapatkan dua orang mayat Serdadu KNIL dan hilangnya beberapa pucuk senapan dan banyak peluru! Opsir KL memaki-maki, menyumpah menyumpahi para gerilya dan memarahi para anak buahnya. Lima orang serdadu KNIL tewas dalam serbuan ini dan tujuh pucuk senapan berikut ratusan butir peluru lenyap! Tiga orang yang berhasil merampas senjata itu bertemu dengan lima orang kawan seregunya di tempat yang ditentukan, yaitu di sebuah hutan jati. Empat orang lain tidak nampak, diantaranya pemimpin mereka.
"Mana sakri"" tanya seorang di antara tiga orang perampas senjata tadi, yang berkumis panjang.
Kawannya yang rambutnya seperti rambut gadis tujuhbelas tahun, panjang berombak sampai ke leher, menjawab lesu,
"Tertembak, dengan tiga orang kawan lain. Tiga orang tewas tertembak dan mati seketika. Pak Sakri tertembak kakinya, menolak ketika hendak kami bawa. Keadaan amat terdesak, setan-setan KNIL itu hanya beberapa belas meter di belakang kami, dan moncong senapang mitralYur terkutuk itu menghalangi semua gerakan kami." Dengan wajah muram, biarpun hasil rampasan senjata-senjata api itu membesarkan hati, regu yang tinggal delapan orang dan kehilangan pimpinan ini kembali ke induk pasukan, membuat laporan dan menyerahkan hasil rampasan.
Memang Sakri yang telah kita kenal adalah pemimpin regu jibaku tadi. Sakri anak Waluyo yang tewas di tangan Kenpetai Jepang di Surabaya. Seperti telah dituturkan di bagian depan, Sakri yang ketika itu baru berusia empat-lima belas tahun, bersama ibunya, Kustiah, keluar dari maskar Kenpetai dalam keadaan tubuh sakit-sakit.
Pakaian mereka berlepotan darah yang masih keluar dari kulit tubuh mereka yang pecah-pecah akibat cambukan-cambukan algojo Jepang. Dalam keadaan sakit dan menderita hebat lahir batin, pederitaan batin akibat terbunuhnya Waluyo lebih hebat terasa, ibu dan anak ini pulang ke Blitar. Kustiah tak dapat sehat kembali setelah penderitaan hebat itu dan setengah tahun kemudian ia menyusul suaminya ke alam baka. Sakri menangis dan berkali-kali roboh pingsan di samping mayat ibunya. Sambat dan tangisnya menghancurkan hati para tetangga yang mendengar dan melihatnya. Dengan bergotong-royong para tetangga mengurus penguburan jenazah Kustiah, akan tetapi karena pada waktu pendudukan Jepang itu tak seorangpun yang lebih baik keadaan ekonominya daripada keluarga Waluyo,
Siapakah yang dapat menampung Sakri dan menambah beban untuk memberi makan seorang anak lagi" Sakri hidup seorang diri, sebatangkara. Memang ada beberapa orang keluarga di dusun, namun mereka sendiri payah keadaannya dan Sakri mempunyai watak yang kuat, tidak mau mengemis dan memberatkan orang lain. Biarpun usianya baru limabelas tahun, namun penderitaan penderitaan lahir batin membuat ia seperti telah dewasa. Dijualnya barang-barang yang ada, peninggalan orangtuanya untuk makan, disamping itu ia mencari pekerjaan seadanya, kalau perlu menjadi kuli angkat di stasiun-stasiun dan di pasar-pasar. Dalam lubuk hatinya lahir dendam dan benci terhadap penjajahan, yang selama pendudukan Jepang itu ditahan-tahannya karena tak berdaya.
Namun, tiga tahun kemudian setelah ia menjadi dewasa, ketika pecah perang perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan tanah air daripada penjajah Belanda yang ingin mengangkangi kembali Indonesia, serta merta Sakri menerjunkan diri ke dalam gelombang perjuangan. Meneruskan jejak Ayahnya, bahu-membahu dengan bekas kawan-kawan Ayahnya, bertekad bulat mempertahankan Ibu Pertiwi dengan peluh dan darah, dengan raga dan kalau perlu dengan nyawa, MERDEKA ATAU MATI, inilah semboyan yang sudah terukir didalam lubuk hatinya. Demikianlah riwayat singkat dari pemuda Sakri, baru berusia sembilanbelas tahun namun telah mendapat kehormatan memimpin regu jibaku yang pada malam hari yang pekat gelap pekat itu menyerbu pos Belanda di dekat riyan!
Riwayat yang juga menjadi riwayat puluhan ribu, ratusan ribu, bahkan jutaan pemuda-pemuda patriot rakyat yang bangkit di saat itu untuk melawan kaum penjajah. Seperti telah diberitakan oleh seorang kawannya yang berambut panjang kepada anggauta regu kemudian dilaporkan kepada komandannya di induk pasukan, Sakri memang kena tembak pada saat ia dan kawan-kawannya memancing Belanda meninggalkan posnya. Tertembak pada kaki kanannya. Peluru senapan musuh telah menembus betisnya dan ia jatuh tersungkur dengan pistol masih di tangan. Empat peran kawannya memburu dan anda menolongnya. Yang tiga sudah tertangkap dan gugur. Akan tetapi Sakri menolak ketika hendak ditolong dan digendong. Peluru-peluru senapang masih menghujani mereka pada saat itu.
"Kalian Pergilah, selamatkan diri dan terutama sekali bantu kawan-kawan yang merampas senjata," Katanya terengah-engah menahan rasa sakit pada betisnya yang menjalari seluruh tubuh, panas perih.
"Bawa pistol ini, tinggalkan aku."
"Tapi...," bantah kawannya yang berambut panjang.
"Tidak ada tapi! Ini perintah. Kalau kau menggendongku, larimu tidak cepat, dan kita semua mati ditembak Belanda. Kalau umurku masih panjang, tanda akan menyangka aku sudah mati. Bawa Pistolku."
"Tidak!" Kawannya membantah. "Simpan pistol itu... Masih ada pelurunya""
"Masih, sudah kuisi lagi tadi."
"Simpan dan PERgunakan untuk membela diri..." Kawan-kawannya terpaksa pergi meninggalkannya karena makin gencar tembakan-tembakan Belanda dan makin dekat para Serdadu itu yang mengejar mereka. Sakri tersenyum di antara rasa nyeri yang menusuk nusuk.
"Masih ada tiga butir lagi. Cukup untuk memaksa tiga orang musuh menjadi pengantar nyawaku..." Ia segera menelungkupkan diri, mata mengincar ke depan dan pistol tersembunyi tapi siap ditembakkan. Memang tepat ucapan Ayahnya dulu yang masih terngiang ngiang dalam telinga sakit. Nyawa
adalah dalam tangan Tuhan. Tuhanlah yang mengaturnya pakah nyawa akan tetap tinggal untuk sementara dalam tubuhnya ataukah akan direnggut nya sekarang juga. Hatinya menjadi besar. Diserahkan keselamatannya, mati hidupnya kedalam tangan Tuhan Yang Maha Kuasa. Dan memang agaknya Tuhan belum menghendaki nyawanya kembali ke alam baka. Belanda tiba-tiba menghentikan pengejaran tepat dalam jarak sepuluh meter saja dari tempat dimana ia terjerembab. Keadaan amat gelap menolongnya. Belanda kembali pasukannya kembali ke pos. Sakri tersenyum lagi.
"Aku masih hidup!" Dan kesadaran bahwa ia masih hidup ini membangkitkan akalnya. Aku harus segera pergi dari tempat ini.
Besok pagi tentu Belanda akan mengadakan "pembersihan," akan memeriksa kembali tempat ini. Ia mencoba untuk berdiri. Kakinya menghentak-hentak nyerinya. Ia menggigit Bibir, tak berapa sakit, pikirnya. Masih lebih sakit ketika disiksa Jepang dulu! Ia memaksa diri berjalan, atau lebih tepat meloncat-loncat dengan kaki kiri, menyeret kaki kanannya yang sudah dilumpuhkan terasa nyeri. Seperti permainan Zondag-Maandag (permainan kanak-kanak melontarkan pecahan genteng ke dalam petak-petak lalu di loncat-loncati), pikirnya geli. Dia dulu jago bermain Zondag-Maandag ini, sampai lama tidak pernah mati (istilah kalau gagal lontaran atau loncatan). Dia jago meloncat-loncat dan sekarang dipraktekkan latihan berloncatan dengan satu kaki itu dalam perang!
Tapi tidak mudah berloncat-loncatan dengan sebelah kaki dalam keadaan terluka seperti dia pada saat itu. Dalam gelap dekat pula. Sakri menghitung-hitung. Kembali ke pangkalan induk pasukan" Tidak mungkin. Sedikitnya tigapuluh km jauhnya, tak mungkin dilakukan dengan berloncatan seperti itu. Di sebelah barat hutan ini terdapat kampung-kampung. Belum pernah ia mengunjungi kampung-kampung itu dan tidak ada kenalannya di situ. Akan tetapi dalam perang total melawan Belanda begini, setiap Kampung merupakan pelabuhan yang aman karena setiap orang dusun merupakan saudara seperjuangan. Aku harus dapat mencapai sebuah kampung sebelum terang tanah, pikirnya pasti. Harus mendahului Belanda sampai ke kampung dan dalam perlombaan ini taruhannya adalah nyawa! Lagi-lagi Sakri tersenyum seorang diri, tanpa berhenti berloncatan dengan kaki kiri.
Kalau dulu permainan Zondag-Maandag taruahannya adalah gendongan. Yang kalah menggendong yang menang. Pertaruhan main loncat-loncatan sekarang ini taruhannya nyawanya! Kalau menang ia selamat, ini harapannya, kalau kalah ia mati, ini sudah pasti! Dan ia harus menang. Harus! Dengan tekad ini di dada Sakri terus berloncatan tak pernah ditunda sedetikpun juga, sampai kaki kirinya serasa hendak patah-patah. Tapi ia terus juga berloncatan. Kepalanya mulai pening, darah berdenyutan di seluruh tubuh, mata berkunang. Menjelang subuh ia melihat cahaya lampu minyak berkelip-kelip, menerobos keluar melalui celah-celah dinding bambu di sebuah kampung. Ini membesarkan semangatnya, namun tubuhnya sudah terlalu lelah, kepalanya terlampau pening. Di luar Kampung ia roboh terguling, dekat tanggul sawah...
(Lanjut ke Jilid 02)
Merdeka atau Mati
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 02 "Aduh, kasihan..."
Ucapan ini bergema di telinganya, halus lembut seperti suara bidadari dari kayangan. Jauh... sayup sampai memasuki telinganya. Timbul keinginannya hendak terbang pergi, jauh meninggi ke arah suara itu, ke kahyangan di mana para bidadari menantinya. Pak Haji Latif, seorang pejuang gerilya pula, pernah bercerita di depan sekelompok pemuda gerilya, setengah berkelakar namun dengan nada suara bersungguh bahwa tewas di medan perjuangan adalah gugur sebagai kesuma bangsa, mati sahid yang pahalanya adalah Sorga, di mana bidadari-bidadari kahyangan bernyanyi-nyanyi, dimana hanya kebahagiaan yang ada, puja-puji kepada Tuhan Yang Maha Besar. Ia ingin terbang melayang ke tempat para bidadari itu, yang tadi berkata,
"Aduh kasihan..." Ia merasa tubuhnya terapung, seperti tengah terbaring dalam sebuah sampan yang dimainkan ombak laut, ketika ia satu kali pernah menyeberang dari Gresik ke Sampang dahulu. Lalu ada percikan air halus menyentuhnya..., bukan air, melainkan sesuatu yang halus lembut. Dan pada saat itu terdengar pula suara bidadari tadi.
"Aduh kasihan, pahlawan muda belia...!" Dia disebut pahlawan! Hebat nian! Bukan main merdunya suara itu.
Sekarang terdengar amat dekat di telinganya. Tak mungkin jauh. Kalau begitu ia sudah berada di kahyangan tentunya. Kenapa memejamkan mata" Sebaiknya dibuka, dibuka selebarnya untuk memandang wajah Bidadari. Sakri membuka matanya. Yang pertama dilihatnya adalah sepasang mata. Mata bidadari. Tak bisa salah lagi. Begitu jernih, begitu indah, begitu lembut bercahaya. Lalu Bibir halus lunak kemerahan. Bibir Bidadari! Mana bisa lain" Lalu hidung, mata yang tadi lagi, alis mata, kening, telinga, rambut yang hitam halus. Wajah seorang dara. Dara bidadari tentunya! Tapi mana sayapnya" Pengganti pakaian keputihan berikut sayap bidadari tidak ada, yang ada hanya pakaian kain kelengen (cap kebiruan sederhana) dan baju kebaya hijau muda yang tidak baru lagi. Pakaian sederhana dan tidak bagus. Tapi wajah itu!
"Kau... Kau Bidadari..."" Bibir Sakri menggumam dan ia mencoba untuk bangun. Dara itu, atau lebih tepat baginya, bidadari itu tersenyum. Tersenyum lega mengandung iba hati yang nampak nyata pada pandang matanya yang halus.
"Syukurlah... Kusangka kau sudah mati tadi." Ketika bicara, dari bawah Sakri melihat deretan gigi putih nampak sekelebat. Menyilaukan mata, ia mencoba bangun lagi, berhasil akan tetapi ia mengeluh kesakitan ketika menggerakkan kaki kanan, lupa akan lukanya. Sampai gemetar tubuhnya menahan rasa nyeri yang menusuk jantung.
"Aduuuuuuh..." keluhnya perlahan.
"Kasihan, muda belia yang malang..." Sakri merasa tak senang. Tahu ia sekarang, yakin bahwa yang berada di dekatnya ini bukan bidadari, melainkan seorang perempuan muda, mungkin orang dara, yang amat jelita seperti bidadari. Tapi ia tak senang berkali-kali disebut muda belia.
"Umurku sudah dua puluh... mungkin hanya kurang beberapa bulan..."
Gadis itu membelalakan mata yang indah seperti bintang. Seperti orang merasa aneh, entah aneh mendengar ucapannya entah aneh mendengar tentang usianya yang sudah hampir duapuluh. Tapi Sakri tak dapat memperhatikan hal itu lebih jauh, rasa nyeri kembali membuat ia mengeluh.
"Sakit sekali kah kakimu"" Gadis itu tanpa ragu-ragu lalu memegang kaki kanan sakri, memeriksanya. "Perlu dicuci lebih dulu, baru dibalut. Di rumah aku masih sedia obat luka." Tanpa menanti jawaban, gadis itu lalu mengambil sebuah Kendi air yang tadi dibawanya. Setiap pagi ia ambil air dari pancuran, membawa kendi. Kembali ia memegang kaki sakri, di baliknya sehingga luka pada betis menghadap ke atas. Lalu dicucinya luka itu setelah ujung pipa celana itu digulung ke atas.
Mudah saja melakukan hal ini karena ujung pipa celana itu sudah rontang ranting. Kemudian dengan amat cekatan ia mencuci luka. Sakri sampai lupa akan rasa nyeri hebat di saat air menyiram luka di kakinya karena ia memandang semua ini dengan mata terbelalak lebar. Kagum dan heran ia melihat betapa jari-jari tangan yang kecil mungil, kemerahan kulitnya dan terpelihara kukunya itu dengan cekatan dan tanpa ragu-ragu, apalagi jijik, membersihkan luka di betis yang besar. Betis itu terbuka, kelihatan dagingnya kemerahan dan selaput bergajih di bawah kulit yang terrobek. Lalu dengan lebih kagum lagi ia melihat betapa gadis itu mengeluarkan sehelai sapu tangan sutra putih dari balik kebayanya, lalu kakinya dibalut dengan sapu tangan itu, atau lebih tepat hanya dibutuhkan karena sapu tangan itu terlalu kecil untuk dipakai membalut.
"Kau, punya Sapu tangan yang lebih besar"" Pertanyaan ini menarik Sakri kembali ke dunia ini, dari lamunannya yang membuat ia tadi merasa dalam dunia yang aneh dan indah. Ia mengangguk dan dirogoh sapu tangan besar dari sakunya.
"Tapi... tapi kotor..." katanya malu, karena kalau dibandingkan dengan sapu tangan si darah yang putih bersih itu, memang sapu tangannya yang hijau itu kotor.
"Tidak apa, keadaan darurat. Hanya untuk pembalut di luar," jawab gadis itu, lalu dipergunakannya sapu tangan hijau ini untuk membalut kaki yang luka. Baru sekarang Sakri dapat merasa kenyerian yang hebat. Tak tertahankan lagi ia mengeryitkan kening sambil menggigit Bibir agar jangan sampai mengeluh. Ia tidak mau dikasihani orang. Selama ini Sakri paling pantang dikasihani orang. Pernah ia marah-marah ketika seorang teman seperjuangan menyatakan kasihan kepadanya setelah mendengar dia bercerita tentang nasib Ayahnya. Maka sekarang, biarpun sakit hebat, ia tidak mau mengeluh, mancing rasa iba hati gadis ini. Akan tetapi mata yang bening itu awas sekali. Dara itu memijat-mijat sekitar balutan sambil berkata lirih.
Setan Cebol Penyebar Maut 1 Tamu Aneh Bingkisan Unik Karya Qing Hong Misteri Batu Mustika 2
^