Pencarian

Merdeka Atau Mati 2

Merdeka Atau Mati Karya Kho Ping Hoo Bagian 2


"Sakit sekalikah""
"Tidak Seberapa...!"
"Kasihan sekali..." ucapan itu ditahan dan kini gadis itu memandangnya dengan ragu-ragu.
"Ya..."" Sakri mendesak, penasaran karena takut disebut lagi muda belia yang malang.
"... Pahlawan pejuang yang malang"" gadis itu tersenyum, agaknya senang mendapatkan sebutan baru itu. Merah wajah Sakri, dia sendiri heran mengapa mukanya panas dan jantunganya berdebar-debar seperti orang kegirangan.
"Aku bukan pahlawan, hanya anggauta regu gerilya biasa saja. Pula tidak berapa sakitnya, tak perlu berkasihan." Ia merasa kata-katanya terlalu kasar dan untuk menebus kekasarannya ini dengan gagap-gugup ia menyambung, "... Tidak sakit lagi setelah tersentuh tanganmu yang halus..." Ucapan ini adalah suara hatinya yang keluar begitu saja. Setelah mendengar ucapannya sendiri ini, ingin Sakri menggampar mulutnya. Mukanya makin merah! Tangan gadis yang menyentuh dan memijati kaki sekitar balutan itu tiba-tiba menggigil, lalu ditariknya tangan itu. Muka yang halus segar itupun menjadi merah sekali.
"Kau... kenapa terluka dan bisa sampai di sini"" Gadis itu mengerling ke arah pistol yang selama itu tak pernah terlepas dari tangan kanan Sakri.
"Aku tertambak Belanda, dikejar dari pos dekat Krian dan..."
"Ahhh...!" Wajah yang tadi kemerahan itu menjadi pucat. Matanya terbelalak dan cepat-cepat ia bangun berdiri. "Lekas! Kau harus lekas-lekas bersembunyi!" Ia melihat ke atas. Memang udara telah menjadi makin terang. Sebentar lagi akan menjadi pagi.
"Ke mana" Ke mana aku dapat bersembunyi" Kaki ini... buset! Tak dapat dipakai berjalan, apa lagi berlari." Sakri mempelajari atau menemukan makian "buset" ini dari Kadir, teman pejuang asal Jakarta aseli. Dara itu berdiri bingung, memandang ke kanan kiri seperti hendak mencarikan tempat sembunyi untuk Sakri. Akan tetapi di kanan kiri hanya sawah, mana ada tempat sembunyi"
"Aduh... bagaimana..."" Dia mengepal-ngepal tangan, gelisah bukan main. "Kalau Belanda patroli ke sini dan kau terdapat di sini... ah... kau akan ditembaknya. Orang-orang sekampung, Pamanku juga... semua akan ditangkapi!" Entah mengapa, ucapan ini menusuk perasaan Sakri, membuatnya merasa berduka! Ia mencoba bangun, dipaksanya dan berhasil! Lalu dengan tenaga kaki kiri dibantu tekanan kedua tangan, ia berdiri di atas kaki kiri.
"Terima kasih banyak atas kebaikanmu. Aku pergi..." Dan ia mulai meloncat-loncat lagi, pergi ke lain jurusan, meninggalkan kampung di depan. Gadis itu mengejar dan menghadang di depannya.
"Ke mana kau"" Mata yang indah itu melebar. Bukan main.
"Aku akan pergi, jauh dari kampung. Agar kalau toh tertangkap, jauh dari sini, tidak membahayakan orang lain, terutama kau dan Pamanmu..." Sakri meloncat lagi. Akan tetapi gadis itu menangkap lengannya dan menahannya.
"Bodoh! Aku tidak ingin melihat kau tertangkap Belanda! Juga tidak ingin melihat penduduk ditangkapi. Hayo ikut aku!" Ia menarik lengan Sakri yang terpaksa mengikutinya sambil berloncatan. Akan tetapi, gadis itu teringat akan kendinya yang tertinggal di tempat tadi, berhenti sebentar, lari kembali mengambil kendi lalu menggandeng tangan Sakri lagi.
"Hayo cepat!"
"Ke mana..."" Sakri meloncat-loncat, berdebar hatinya merasai kehalusan telapak tangan gadis itu. Akan tetapi tiba-tiba ia mengeluh, kepalanya pening sekali, matanya berkunang.
"Lekas... cepat...!" Gadis itu mendesaknya. Mereka sudah memasuki kampung dan gadis itu mengajaknya ke sebuah rumah yang boleh dibilang paling besar dan baik di kampung itu, beratap genteng. Akan tetapi Sakri tak kuat lagi, kaki kirinya lemas dan ia terguling roboh, merintih-rintih. Beberapa orang penduduk yang sudah bangun terheran-heran melihat ke arah gadis itu dan Sakri. Seorang laki-laki setengah tua keluar dari pintu rumah. Gadis itu membungkuk dan menjamah kening Sakri.
"Panas sekali..., dia demam karena lukanya!" Hanya itu yang terdengar oleh Sakri karena segera matanya berkunang dan telinganya berdengung-dengung. Dengan mata terbelalak Sakri membentak-bentak.
"Setan keji...! Jepang jahanam... awas kau...!" Lalu ia terisak. Tiba-tiba ia melihat wajah beberapa orang laki-laki yang berada di sekeliling amben (dipan bambu), mengepal tinju dan mencoba bangun.
"Anjing-anjing penjajah! Keroyoklah aku, bunuhlah... ha-ha-ha... MERDEKA ATAU MATI!" Orang itu nampak takut dan khawatir. Tiba-tiba sebuah tangan yang halus menekan pundak Sakri, dan mendorongnya perlahan untuk rebah kembali, dan sehelai saputangan yang basah ditekan di atas jidatnya. Sakri memandang dan sepasang mata yang jernih, yang indah lembut berada di depannya. Ia mengeluh, tangannya yang kanan bergerak memegang tangan yang halus itu, dipegang erat-erat.
"Kau baik... bidadari... kau baik sekali..." Dan Sakri menjadi tenang, biarpun otaknya masih pusing, pandang matanya masih berkunang-kunang.
"Tenanglah, pahlawan perkasa, tidurlah..." Suara yang lembut ini enak sekali terdengarnya. Sakri meramkan matanya, Bibirnya yang menyeringai menahan sakit mencoba tersenyum.
"Aku... aku pejuang biasa... aku... sudah dua puluh umurku..." Pada saat itu, seorang laki-laki penduduk kampung itu memasuki rumah dengan muka pucat dan napas terengah-engah. Agaknya tadi ia berlari-lari.
"Celaka..., Mas Gito... serdadu-serdadu Belanda menuju ke sini...!" Semua orang yang berada di situ, kecuali Sakri, menjadi pucat mendengar berita ini. Mereka bingung. Akan tetapi dengan tenang gadis itu yang juga pucat mukanya berkata,
"Saudara-saudara semua harap pulang ke rumah masing-masing. Lekas!" Pergilah orang-orang itu keluar dari rumah untuk berada di rumah masing-masing dengan hati berdebar-debar menanti datangnya segala kemungkinan.
"Paman, satu-satunya tempat sembunyi adalah di sana." Gadis itu menundingkan telunjuknya ke atas.
"Bibi, tolong pinjamkan tangga di sebelah." Paman dan Bibinya kebingungan, akan tetapi otomatis Bibinya, isteri Mas Gito, berlari ke belakang untuk meminjam sebuah tangga bambu dari tetangganya.
"Akan tetapi, dia sedang demam dan mengigau!" kata Mas Gito.
"Biar aku menjaganya, aku dapat membikin dia tenang... mudah-mudahan dia tidak mengeluarkan suara dan selanjutnya kita serahkan kepada Tuhan." Sebuah tangga diseret masuk, Mas Gito lalu memasang tangga itu pada dinding di bawah langit-langit yang dapat didorong naik. Dengan bujukan-bujukan halus gadis itu mengajak Sakri turun dari amben.
"Belanda datang," bisiknya di dekat telinga Sakri.
"Kita harus bersembunyi di atas, di balik langit-langit, jangan berisik jangan mengeluarkan suara." Mendengar bisikan ini, cepat Sakri meraba pistolnya, akan tetapi tangan gadis itu menahannya.
"Tiada guna, mereka banyak. Kalau melawan akan kalah, dan kita mati semua..." Lalu bujuknya merayu.
"Kau pejuang gagah perkasa, kau cerdik, mari sembunyi dengan aku"" Dengan amat susah payah, dibantu Pamannya, gadis itu membantu Sakri menaiki tangga. Gito menarik dari atas, gadis itu mendorong dari bawah. Akhirnya dapat juga Sakri dibawa ke atas, lalu dibawa ke bagian yang kuat, yaitu di atas balok melintang, tertutup oleh langit-langit daripada anyaman bambu. Sakri berbaring telentang di atas balok, gadis itu di sisinya, mengusap-usap jidatnya dan berbisik,
"Diam... jangan bergerak... jangan mengeluarkan suara..." Sementara itu, Mas Gito sudah turun kembali setelah menutup langit-langit yang tadi dibuka. Cepat ia mengembalikan tangga ke belakang dan menyapu lantai untuk menghapus semua jejak. Memang benar berita tadi. Sepasukan serdadu KNIL, yang dipimpin oleh Sersan KNIL, terdiri dari tiga puluh orang, melakukan patroli dan "pembersihan" ke dusun-dusun di sekitar pos. kedatangan mereka mudah dikenal dari suara "dar-der-dor," bunyi senapan yang mereka bunyikan sepanjang jalan. Entah apa maksudnya dengan perbuatan ini. mungkin untuk membikin panik penduduk,
Mungkin juga untuk menakut-nakuti para pejuang gerilya yang berada dekat situ yang pada hakekatnya hanyalah membuktikan bahwa merelah sebenarnya yang merasa ngeri dan takut akan sergapan tiba-tiba dari para pejuang. Karena takut digerilya, mereka mendahului, mengancam dengan suara "dar-der-dor" supaya para pejuang itu lari saja, jangan menghadang mereka! Akhirnya mereka memasuki kampung di mana Sakri bersembunyi. Setiap rumah dimasuki, tak lupa menghardik-hardik dan mengancam-ancam setiap laki-laki tua dalam rumah (pemuda-pemudanya tak ada yang tinggal di rumah), tidak lupa pula untuk menggoda perempuan-perempuan muda yang manis dengan omongan kotor dan tangan jail. Rumah Mas Gito akhirnya dimasuki juga, Sersan pemimpin pasukan KNIL ini agaknya mengenal gito, buktinya begitu memasuki rumah ia segera berseru,
"Hei, Pak Gito! Apa kau melihat pemuda gerilya malam tadi lewat di sini"" Mas Gito bersama istri sedang duduk menghadapi pohung (singkong) rebus dan air teh. Mereka memperlihatkan sikap manis dan Mas Gito segera menyambut kedatangan Sersan itu yang diikut oleh tiga orang anak buahnya. Serdadu yang lain berpisah-pisah di dalam kampung itu, melakukan penggeladahan dengan berkelompok empat-lima orang sehingga jauh dari pemimpin mereka ini dengan leluasa boleh berbuat sesuka hati.
"Ah, Tuan Sersan. Selamat pagi...!" seru Pak Gito, lalu menoleh kepada isterinya. "Lekas keluarkan teh manis!" Sersan itu tertawa sambil menggoyang tangan.
"Tak usah, tak usah repot-repot! Aku mencari beberapa orang gerilya. Apa ada pemuda di kampung ini""
"Tidak ada, Tuan Sersan. Pemuda-pemuda kampung sini sudah lari semua meninggalkan kampung dan kami tak pernah melihat ada pemuda, apalagi gerilya," jawab Mas Gito.
"Tidak apalah kalau tidak melihat. Eh, di mana nona Murtini"" tiba-tiba Sersan KNIL itu bertanya. Mas Gito dan isterinya melengak. Melihat keheran ini si Sersan tertawa menyeringai.
"Kemarin dulu aku melihat dia dan kutanyakan pada penduduk di sini. Katanya bernama Murtini anak Pak Gito..., heh-heh-heh! Mana dia, aku ingin berkenalan."
"Dia... dia sedang pergi, tuan. Pergi ke Solo ke rumah Neneknya..." Sersan itu mengerutkan kening, nyata benar kekecewaannya yang membuatnya mendongkol. Sekaligus raut muka yang tadinya ramah berubah kecut.
"Menggabung pada gerilya, ya" Mau masuk Laswi""
"Tidak, Tuan Sersan. Dia itu... juga bukan anakku, hanya keponakanku. Karena Neneknya sudah tua, sakit-sakit saja tidak ada yang mengurus, dia pergi ke sana untuk merawatnya."
Sersan itu mengangguk-angguk, "Hemmm, kabarnya dia pernah bersekolah sebagai juru rawat""
"Betul, Tuan Sersan. Di Surabaya dulu..." kemudian disambungnya dengan ramah untuk mengambil hati.
"Kalau Tuan hendak berkenalan, boleh saya beri alamatnya. Di Solo di jalan... eh, jalan apa kampungkah itu" Kampung kalau tak salah, di Keputon, masuk gang... eh sayang, gang dan nomor rumahnya saya lupa lagi."
"Tak usah..., dia akan kembali lagi, kan" Biar kalau dia berkunjung ke sini saja jangan lupa beritahu padaku, ya""
"Baik, Tuan Sersan." Hati Mas Gito lega bukan main. Akan tetapi kembali jantungnya berdebar tidak karuan ketika Sersan itu tidak lekas keluar, malah matanya liar menyelidiki ke sana-sini, kemudian berdongak memandang ke atas!
Apa lagi Mas Gito dan isterinya yang melihat semua gerak-gerik Sersan KNIL dan anak buahnya ini, sedangkan gadis itu sendiri yang tidak melihat semua kejadian ini, hanya mendengar suaranya saja dari balik langit-langit rumah, merasa takut dan gelisah bukan main. Tubuhnya panas dingin dan menggigil. Alangkah takut dan kuatirnya ketika ia melihat Sakri agaknya memperhatikan suara-suara di bawah. Ia melihat Sakri menegang urat-uratnya dan pemuda itu hendak bangkit. Ditekannya pundak Sakri, diusap-usapnya jidat pemuda itu, ditatapnya matanya dengan penuh permohonan supaya pemuda itu tidak bergerak. Bibirnya yang agak pucat itu dimoncongkan sebagai isyarat supaya pemuda itu jangan mengeluarkan suara, sambil lirih sekali mendesis.
"Sstt..." Pada saat itu, untung sekali Sakri sudah sadar kembali dari keadaan mengigau. Tubuhnya masih panas, akan tetapi pikirannya terang. Pemuda pejuang ini dapat menduga bahwa di bawah sedang diadakan pemeriksaan oleh serdadu-serdadu KNIL.
Hatinya berdebar, bukan karena takut, melainkan karena gatal-gatal tangannya untuk dapat menyergap mereka itu. Alangkah akan senang dan enaknya untuk menyerang mereka dengan pistol, lebih-lebih lagi dengan granat! Posisinya bagus sekali. Sayang ia tidak mempunyai granat, dan pistolnya tinggal tiga butir pelurunya. Karena ketegangan hatinya, ia hendak bangun duduk, akan tetapi dengan ketakutan gadis yang mengira dia "kumat" demamnya itu lalu mencegahnya! Ketika Sakri berusaha untuk terus duduk, gadis itu bahkan lalu memeluknya dan tangan kiri gadis itu didekapkan di depan mulutnya! Di bawah, Mas Gito masih gelisah. Sersan KNIL itu memandang ke atas, seakan-akan sudah tahu bahwa di atas langit-langit bersembunyi seorang gerilyawan, dan gadis yang dicari-carinya!
"Rumahmu bagus, Pak Gito! Beratap genteng, ada langit-langitnya, bangunannya dari kayu jati tua pula. Hemm, bagus""
"Ah, hanya rumah kampungan, Tuan Sersan..." isteri Mas Gito menjawab untuk membantu suaminya yang dilihatnya sudah pucat ketakutan itu.
"Sayang bukan tembok," kata pula Sersan itu dengan suaranya yang parau, "Kalau terjadi kebakaran, kan sebentar saja habis!" Sersan itu mengeluarkan gerakan dari saku bajunya dan mencetuskan membuat api. Mas Gito dan isterinya makin berdebar. Lebih-lebih gadis itu yang kini sudah setengah terbaring di atas tubuh Sakri! Tempat itu amat sempit, yaitu hanya sebuah balok melintang dan usuk-usuk penahan langit-langit, maka tiada tempat berbaring lain kecuali di atas tubuh Sakri. Saking takutnya gadis itu tidak ingat lagi betapa kini ia sudah memeluk Sakri, malah rambutnya menutupi kepala dan muka pemuda itu dan tanpa disengaja, pipinyalah yang sekarang menutup mulut Sakri. Tubuhnya menggigil. Akan dibakarkah rumah ini" Sebetulnya Sersan itu hanya hendak menyalakan sebatang sigaret. Setelah dua kali ia menghembuskan keluar asap rokok yang bergulung-gulung, ia berkata,
"Kau tentu punya ayam, Pak Gito""
"Ayam"""
"Dan telur-telur..." Ibu Gito yang telah maklum akan maksud Sersan itu, cepat menjawab,
"Ada... ada... biar sebentar saya tangkap dan kumpulkan telurnya untuk bekal..." Sersan itu tertawa menyeringai.
"Di pos sukar sekali mendapat telor, apa lagi daging ayam gemuk! Tiga atau empat ekor sudah cukup, ibu. Sepuluh atau duapuluh butir telurnya!"
Akhirnya "pembersihan" itu selesai. Sersan membawa anak buahnya keluar dari kampung itu, membawa hasil "pembersihan" berupa ayam, telur, barang-barang kebutuhan makan yang lain, dan secara tersembunyi juga barang-barang berharga di dalam kantong-kantong militer para serdadu itu. Setelah yakin benar bahwa serdadu-serdadu itu telah pergi, tak tertahan lagi saking girangnya terlepas dari pada rasa takut dan gelisah yang tadi mencekiknya, gadis itu menjatuhkan mukanya di atas dada Sakri dan menangis! Sakri merasa seolah-olah dalam mimpi. Tadi ia tidak berani berkutik, ketika pipi gadis menutup sebagian mukanya, ketika rambut yang halus dan sedap itu mengusap-usap muka dan lehernya. Sekarang ia tak dapat menahan tangannya untuk tidak merangkul leher gadis itu, membelai-belai rambutnya dan berkata perlahan, menghibur,
"Jangan menangis..."
"Akan tetapi gadis itu malah makin terisak-isak, lalu mengangkat mukanya dan memandang wajah Sakri sambil tersenyum! Aneh tapi nyata. Matanya yang bening bagus mencucurkan air mata, dadanya terisak, tapi mulutnya tersenyum dan matanya berseri-seri!
"... Kau tidak bergerak... kau tidak bersuara... Padahal kau kesakitan dan marah kepada mereka... kau gagah..." Perasaan aneh menyelubungi hati Sakri. Ia menangkap tangan gadis itu, ditatapnya wajah jelita itu penuh perasaan dan Bibirnya membisikkan suara hatinya.
"Aku cinta padamu..." Sakri kaget sendiri mendengar bisikannya itu. Mukanya menjadi merah. Gadis itupun menjadi merah mukanya, Bibirnya setengah terbuka memperlihatkan giginya yang seperti mutiara terjajar, napasnya terengah-engah, lalu ia menjauhkan diri sedapatnya. Akhirnya ia dapat menekan perasaan hatinya yang tidak karuan itu, lalu berkata sambil tersenyum malu,
"Alangkah ganjil kedengarannya, alangkah lucunya."
"Apanya yang lucu..."" Sakri menuntut penasaran dan malu.
"Berkenalanpun kita belum, mengenal nama masing-masing belum..."
"Aku sudah tahu namamu. Indah benar. Murtini..., bukan"" Gadis itu mengangguk, lalu menunduk.
"Dan... kau...""
"Sakri namaku, seorang pejuang biasa, sudah..."
Karena kampung itu terlalu dekat dengan pos Belanda, maka atas ikhiar Murtini dan Pamannya, Sakri diangkut ke pangkalan induk pasukan gerilya. Sungguhpun baru berkenalan selama dua hari satu malam berat sekali perpisahaan ini. Selagi Mas Gito dan isterinya bersama beberapa orang tetangganya mempersiapkan alat pengangkut, Murtini memperbarui pembalut kaki Sakri. Beberapa kali Sakri memegang tangan Murtini dan menggenggamnya erat-erat, dibiarkan saja oleh Murtini. Jari-jari tangan yang saling cengkeram itu menyatukan denyut darah mereka, menyatakan perasaan kasih sayang yang mesra hangat. Pandang mata mereka mewakili suara hati.
"Dik Mur..."
"Hmmmm..."""
"Kalau aku pergi... kita berpisah..."
"...ya...""
"Bilakah kita dapat bersua kembali...""
"Entahlah."
"Bisakah kita bersua kembali"" katanya ini mengandung kekuatiran besar.
"... tentu bisa, mas. Apabila Tuhan menghendaki..."
"Apabila Tuhan menghendaki dan... apabila kau suka untuk bertemu dengan aku. Dik Mur, sukakah kau bersua kembali denganku kelak"" Gadis itu mengangguk, lalu melanjutkan pekerjaannya membalut kaki yang terluka. Luka itu membengkak dan ia cemas sekali. Infeksi!
"Kau harus cepat-cepat dirawat oleh dokter yang mempunyai persediaan obat anti infeksi, kau harus disuntik..." Akan tetapi Sakri tidak memperhatikan ucapan ini.
"Dik Mur, kau belum menjawab pertanyaanku di bawah atap kemarin..."
"Apa..."" Murtini pura-pura lupa.
"Ini kesempatan terakhir. Dik Mur, belum pernah aku mempunyai perasaan seperti ini terhadap seorang gadis. Aku cinta padamu..." Murtini menundukkan mukanya dan dua titik air mata menuruni pipinya.
"Bagaimana mungkin dalam dua hari memastikan tentang cinta" Mas Sakri, aku kagum melihatmu, aku bangga berdekatan denganmu. Kau seorang pemuda perkasa, seorang patriot bangsa..., aku suka padamu, Mas Sakri. Demi Tuhan, aku suka sekali kepadamu... tentang cinta... aku belum berani menyatakan dengan pasti. Akan tetapi aku suka padamu melebihi semua orang lain. Melebihi Ayah...!"
Sakri kaget.
"Ayahmu di mana, dik Murtini""
"Ayah... di Semarang..."
"Ikut Belanda...""
"... tidak...! Tidak....! Ayah juga seorang pejuang..."
"Aahhh..." lega hati Sakri. "Kaumaksudkan beliau di dalam hutan-hutan bersama dengan para pejuang""
Murtini mengangguk pasti.
"Dan kau sendiri, mas" Di mana orang tuamu"" Sakri menarik napas panjang.
"Ayahku meninggal mati dalam siksaan Kenpetai, ibu juga meninggal dunia karena siksa dan duka..."
"Aduh kasihan...!" Otomatis tangan gadis itu membelai rambut di atas jidat Sakri. Pemuda ini menangkap tangan itu dan menciuminya penuh perasaan.
"Dik Murtini..., aku cinta padamu..., aku cinta padamu..." Murtini menarik kembali tangannya, mukanya merah dan dadanya terisak.
"Sudah siap sekarang, Mas. Aku tidak dapat memberi apa-apa sebagai kenang-kenangan, hanya ini..." Dicabutnya sehelai saputangan jambon (merah muda) dari balik bajunya dan diberikannya kepada Sakri, Sakri sudah bangun duduk, diterimanya saputangan sutera yang harum itu.
"Kau tidak takut, dik Mur" Kata orang, saputangan adalah lambang pemutus perhubungan""
"Aku bukan seorang tahyul, Mas. Punyaku hanya itu, habis memberi apa untuk tanda mata"" Sakri bingung, akhirnya ia teringat akan saputangan hijaunya yang amat kasar. Dengan hati was-was dan malu, ia keluarkan juga saputangan kasar itu. "Dan ini pemberianku padamu. Tidak punya benda lain..."
Mereka bertukar sapu tangan, bertukar pandang mesra, adakah ini pertanda bertukarnya dua hati" Entahlah. Empat orang memanggul Sakri yang berpakaian sebagai seorang petani yang menderita sakit. Kalau ada pertanyaan di jalan, dijawab bahwa mereka mengantar orang sakit pulang, ke kampung nya. Padahal Sakri dibawa ke dalam hutan, ke pangkalan induk pasukan. Di mana ia diterima dengan girang oleh kawan-kawannya yang menyangka ia sudah mati beberapa hari yang lalu. Segera ia mendapat perawatan dan tak sampai sebulan sembuhlah Sakri.
Ia sudah mulai aktif kembali dalam perjuangan. Hanya ada perubahan besar pada dirinya yang membuat para kawannya seringkali terheran-heran. Dahulu Sakri terkenal sebagai seorang gerilyawan yang amat berani, malah kadang-kadang mendapat teguran keras dari komandan karena terlalu berani sehingga boleh dibilang nekat, tak menghiraukan keselamatan diri. Akan tetapi sekarang, setelah sembuh dari lukanya, ia menjadi seorang yang selalu berhati-hati. Dia masih pemberani seperti dulu, akan tetapi tidak nekat, memakai perhitungan. Teman-temannya mengira buat ini adalah akibat penderitaan lukanya, akan tetapi para pemimpinnya melihat kematangan jiwa dari diri pemuda ini, kematangan jiwa seorang pejuang yang bersiasat.
Tenaga yang demikian ini amat diperlukan dan tak lama kemudian Sakri meningkat pangkatnya, bahkan dua tahun kemudian ia telah menjadi seorang Letnan. Perjuangan melawan Belanda dilakukan dalam dua cara, cara politis cara bergerilya. Namun berkali berkali- belanda secara licik melanggar segala persetujuan. Satu pihak mereka bermuka manis mengajak berunding, di lain pihak serdadu-serdadu nya melakukan penyerbuan penyerbuan, malah akhir-akhir ini pencurian mereka berbentuk apa yang mereka sebut "Aksi Polisionil ke Dua" menyerang dengan tiba-tiba mengerahkan semua angkatannya. Tentara kita yang kalah kuat perlengkapan dan persenjataannya tak dapat menghadapi pertempuran terbuka, maka serdadu-serdadu Belanda berhasil menyerbu sampai ke Jogja dan menangkap-menangkapi para pemimpin termasuk Presiden Sukarno dan Wakil Presiden/Perdana Menteri Hatta.
Para pemimpin ini diangkut ke Sumatera Utara dan ke Bangka. Biarpun demikian, tentara kita masih terus melakukan perlawanan hebat. Perang gerilya ditingkatkan dan dimana-mana Belanda mengalami hantaman dan serbuan dari para gerilya. Di mana-mana belanda tidak merasa aman, di dalam markas markas sendiri di mana dipekerjakan tenaga-tenaga Indonesia, mereka selalu merasa curiga. Memang, para pejuang bukan hanya merupakan sekelompok pemuda, melainkan api semangat perjuangan sudah membakar seluruh hati dan jiwa rakyat. Seorang pelayan wanita yang dulu disebut "babu" sekalipun pada waktu itu dapat melakukan pekerjaan besar, dapat membebaskan tawanan tawanan dari markas, menyeludupkan senjata, dan lain-lain. Bagi Belanda di waktu itu, tangan maut menjangkau dari segala sudut dan ini membuat mereka gelisah sekali.
Kota Solo menjadi pusat perang gerilya. Siasat yang dijalankan oleh tentara T N I yang pada waktu itu di bawah pimpinan Let. Kol. Slamet Riyadi dibantu oleh kesatuan T P (Tentara Pelajar) yang membentuk markas gerilya. Tiada hentinya Belanda mendapat serangan mendadak. Iringan-iringan kendaraan Belanda ke pos-pos pertahanan mereka di Baturetno, Jatisrono, Sidoharjo dan lain-lain selalu mendapat gangguan di jalan.
Pada waktu itu, Sakri juga sudah berada di daerah Surakarta, di daerah timur Solo daerah Kemiri, memimpin pasukannya bergerilya, kadang-kadang di waktu malam dan menggerilya pos-pos Belanda di Solo, sewaktu-waktu mencegat iringan-iringan truck musuh. Pada suatu hari, baru sepekan ia berada di tempat baru ini, Belanda membuat "pembersihan" membabi buta di dusun-dusun. Banyak rakyat ditembaki, rumah dibakar. Memang demikianlah selalu perbuatan pihak Belanda yang terkutuk. Mereka dibikin bingung oleh para gerilyawan, disergap di waktu malam, tak dapat membalas karena tidak tahu kemana harus mencari para gerilyawan. Maka segera mereka melakukan balas dendam kepada dusun-dusun, kepada rakyat yang tak berdosa!
Setelah serdadu-serdadu yang keji itu pergi, dusun yang menjadi korbannya mengalami penderitaan hebat. Pada waktu Sakri bersama beberapa orang pembantunya meninjau dusun ini dan alangkah bahagia hatinya di tengah-tengah kedukaan dan kemarahan menyaksikan rakyatnya, bangsanya, di rusak rumah tangga dan badannya oleh fihak musuh ketika ia melihat seorang gadis dengan cekatan dan trampilnya memimpin para wanita dusun itu untuk menolong orang-orang yang menjadi korban. Dengan sigap gadis ini menolong para korban, pertolongan pertama yang biasa dilakukan oleh tangan ahli. Gadis yang berpakaian sederhana, lengan pendek yang bermata bintang.
"Murtini...!" Gadis itu tersentak kaget menengok dan...
"Mas Sakri...!" Keduanya berpandangan, Sakri mendapat kenyataan betapa Murtini masih tidak berubah, masih seperti dulu, hanya pandang mata yang dulu jernih penuh gairah hidup, kini membayangkan kesuraman. Di lain pihak Murtini melihat Sakri telah menjadi seorang yang betul-betul dewasa, lenyap sifat kekanak-kanakannya, pandang mata tajam menyelidiki, tubuh lebih tegas dan gerak-geriknya penuh Wibawa.
"Dik mur,... bagaimana kau bisa di sini"" Sakri menghampiri dan menahan keinginan hatinya hendak memeluk atau setidaknya memegang tangan gadis itu karena pada saat itu banyak orang melihat ke arah mereka.
"Mas, perjuangan membawaku ke tempat ini, seperti juga kau. Tadinya aku di Solo, Nenek. Belanda masuk, aku mengungsi ke sini. Banyak ceritanya, Mas, tapi..." Gadis itu menengok sekeliling, Sakri maklum. Memang bukan waktunya bercerita.
"Lanjutkan pekerjaanmu, dik. Tugas harus diselesaikan lebih dulu. Mari kubantu." Sakri lalu memberi perintah kepada pembantu-pembantunya untuk ikut mendorong para korban, malah seorang ia suruh mengambil obat-obat luka untuk pertolongan pertama dari perlengkapan. Setelah selesai pekerjaan mereka, barulah dua orang ini dapat bertemu berdua saja. Murtini bercerita bahwa dari daerah Krian dulu, hanya beberapa bulan setelah Sakri pergi, ia pindah ke Solo, karena takut akan desakan dan maksud jahat Sersan KNIL. Di Solo ini tinggallah Neneknya, seorang janda tua, ibu dari ibunya.
Gambar3 "Ibuku sudah tiada, mas. Ayah... Ayah telah menikah lagi, karena itu aku dulu ikut Paman. Aku tidak mau ikut ibu tiri. Pindahku ke Solo, selain hendak merawat Nenek, juga hendak mendekati Ayah, Mas. Kabarnya Ayah berada di Semarang... Ah, betapa rinduku kepadanya, sudah bertahun-tahun tak jumpa..."
"Aku akan berusaha mencarinya, dik Mur. Kalau benar dia dulu berjuang di frot Semarang, kiranya tidak sukar dicarinya. Semua pasukan sudah ditarik mundur di daerah Surakarta. Siapa namanya, dik Mur""
"Namanya Pak Budiharjo."
"Pangkatnya""
"Aku tidak tahu benar..., juga aku tidak tahu apakah... Apakah dia berada di antara pasukan gerilya..." Diam kedua fihak. Karena sekarang tidak ada orang yang melihat mereka, Sakri memberanikan hati. Mereka duduk di antara rumput di bawah sebatang pohon, berhadapan. Dengan hati berdebar dijulurkannya tangan, dipegangnya tangan gadis itu. Murtini kaget, tangannya gemetar sedikit, akan tetapi tidak ditariknya jari-jari tangan mereka saling cengkeram seperti dahulu.
"Dik Mur..."
"Ya..."" lirih suaranya hampir tak kedengaran. Sakri Diam. Tak tahu harus berkata apa. Memang tadi dia hanya ingin memegang tangan itu, tangan yang sudah seringkali ia mimpikan, tangan dari orang yang selalu ia rindukan. Dan kini tangan itu sudah terpegang olehnya, cukuplah. Seluruh rasa rindunya ia tumpahkan melalui getaran tangan. Tak boleh lebih. Tak boleh melampaui batas tata susila seperti yang dahulu sering diajarkan oleh ibunya kepadanya.
"Kau mau bilang apa, mas""
"Di mana Nenekmu sekarang"" Gadis itu menarik napas panjang.
"Sudah meninggal, sehari setelah Belanda memasuki Solo. Terlalu tua, terlalu lemah jantungnya, kaget, karena itulah aku pindah ke sini."
"Kasihan...!" Aneh, begitu mengeluarkan kata-kata ini terbayang di mata Sakri peristiwa Dahulu ketika gadis itu pun berkata demikian kepadanya. Kini datang gilirannya untuk berkasihan kepada Murtini. Akan tetapi dahulu Murtini tidak hanya berkata kasihan, melainkan merawat lukanya, lebih dari itu lagi telah menyelamatkan nyawanya dari tangan Belanda, dengan taruhan keselamatan diri sendiri, Sakri terharu. Dia sekarang dapat menolong apakah"
"Dik, Mur," suaranya menggelegar karena ia masih terharu kalau teringat bahwa gadis ini sudah mempertahankannya untuk menolongnya dahulu, bahwa ia sebetulnya tidak hanya berhutang budi, melainkan berhutang nyawa kepada Murtini.
"Karena kau sebatang kara, sebaiknya kau sekarang ikut dengan aku...eh, kumasudkan ikut dengan kami. Dengan aku disampingmu, tak usah kau takuti siapa pun juga. Aku akan membela dan melindungimu dengan jiwa ragaku." Murtini menunduk, matanya basah. Ditariknya tangannya dari genggaman Sakri.
"Terima kasih, mas. Kau baik sekali. Akan tetapi, kalian adalah pejuang-pejuang, gerilyawan-gerilyawan yang sedang berjuang.
"Aku... aku hanya menjadi beban, hanya akan merepotkan saja..." Sakri tertawa,
"Kau tidak tahu, Mur. Banyak wanita yang ikut dengan perjuangan! Dan kau... kau yang pandai merawat, pandai menolong orang terluka, tenagamu amat berharga untuk kami! Jika kau ikut dengan aku, pertama kau akan dapat menjadi tenaga vital bagi pasukan kami, ke dua berhasil menemukan Ayahmu tak usah aku mencari-carimu, ketiga... aku akan selalu berada disampingmu dan hal ini... hal ini merupakan kebahagiaan bagiku."
Murtini berpikir sejenak, tersenyum memandang wajah pemuda itu.
"Penting betulkan hal ketiga itu, Mas""
"Penting bagiku, dik. Tentu saja kemerdekaan terpenting di atas segala apa. Merdeka atau mati, ini berlaku bagiku, bagimu, bagi seluruh rakyat. Akan tetapi kelak, kalau kita sudah betul-betul merdeka, kalau Belanda sudah terusir dari tanah air..., kaulah yang terpenting bagiku!"
"Mas Sakri... tidak... tidak berubahkah hatimu selama ini...""
"Berubah" Demi Tuhan! Siang malam, setiap detik kurindukan kau, Mur! Sama sekali tidak berubah, kalau ada perubahan, itulah perubahan bahwa cinta kasihku lebih mendalam..."
"Kalau begitu, aku mau ikut dalam pasukanmu, mas. Karena aku pun tak mau ketinggalan, ingin menyumbangkan tenaga, malah rela menyumbangkan jiwa raga demi kemerdekaan Nusa Bangsa tercinta. Dan... Karena aku pun tak mau kau tinggalkan lagi..."
"Mur...!" Kembali tangan Sakri memegang tangan gadis itu. "Apakah ini, jawabmu yang kunanti-nanti dulu..." Murtini tersenyum mengangguk, lalu mereka berpandangan, penuh kasih mesra, cinta suci yang bersemi dan berakar dalam gejolaknya revolusi.
(Lanjut ke Jilid 03)
Merdeka atau Mati
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 03 Untuk menjaga serangan Belanda yang dibantu banyak mata-matanya, pasukan-pasukan pejuang gerilya selalu di pencar-pencar dan ditentukan tempat untuk berkumpul, yaitu tempat pemimpin pasukan yang setiap waktu harus dihubungi oleh kelompok-kelompok kecil yang terpencar itu untuk menyampaikan laporan-laporan, dan menerima petunjuk-petunjuk serta perintah-perintah. Siasat ini dilakukan dengan amat sempurna sehingga tak mungkinlah bagi Belanda untuk di mana adanya pusat atau induk pasukan. Seakan-akan para regu gerilyawan itu bertindak dan bekerja sendiri-sendiri, padahal semua itu dilakukan di bawah satu pimpinan tertentu.
Murtini tak pernah berpisah dari samping Sakri, selalu gadis ini mengikuti gerakan kelompok pemuda ini yang terus-menerus berpindah tempat. Hanya di waktu ada teman-teman yang terluka, gadis ini meninggalkan Sakri untuk memberi bantuan dan pertolongan, merawat mereka yang terluka dalam pertempuran. Pada suatu senja, Sakri berdua Murtini sedang bercakap-cakap dalam sebuah pondok kecil. Dengan sungguh-sungguh Murtini mengeluarkan keluhannya tentang kekurangan kapas dan pembalut. Sakri juga bersungguh-sungguh dalam percakapan ini, menjanjikan akan mengusahakan di Solo, mengirim seorang penyeludup untuk mendapatkan barang-barang yang amat penting itu. Tiba-tiba seorang penjaga melaporkan ada tiga orang gerilyawan dari grup X hendak menghadap membawa seorang tawanan.
"Suruh mereka masuk!" kata Sakri. Penjaga memberi hormat dan keluar. Tak lama kemudian, tiga orang gerilyawan menggiringkan seorang laki-laki berusia kurang lebih empatpuluh lima tahun memasuki Pondok itu. Laki-laki ini tampan dan sikapnya seperti seorang bangsawan, lagaknya angkuh. Begitu memasuki pondok dan melihat gadis disamping Sakri, laki-laki itu berseru,
"Murtini...! Akhirnya ku bertemu dengan kau di sini...!" Gadis itu tersentak kaget, bangun berdiri dan memandang dengan mata terbelalak.
"Ayah...!" Lalu ia lari menghampiri laki-laki itu. Mereka saling tubruk dan berpelukan. Murtini menangis terisak-isak dan Ayahnya pun menjadi basah matanya tanpa kuasa mengeluarkan kata-kata.
Untung bagi Sakri Bahwa saat itu keadaan sudah remang-remang karena lampu belum dipasang, dan tiga orang gerilyawan tadi sedang memandang kepada Murtini dan Ayahnya. Kalau tidak demikian halnya, tentu orang akan melihat sikapnya yang aneh. Begitu melihat laki-laki itu, mendadak Sakri menjadi pucat sekali mukanya, matanya terbelalak mulut ternganga dan ia berdiri terpaku di atas bangkunya! Sugeng! Tak salah lagi, dia itu adalah Sugeng, penghianat yang dulu menghianati Ayahnya di dalam tawanan Kenpetai jepang! Sugeng, musuh besar Ayahnya, pengecut dan pengkhianat! Dan Sugeng ini Ayah Murtini! Namun, Segera Sakri dapat menguasai hatinya. Tak percuma Ia mendapat gemblengan gemblengan perjuangan dan penderitaan selama ini. Ia lalu bangkit berdiri dan berkata,
"Dik, Murtini, inikah Ayahmu bapak... Budihardjo itu"" Orang tua itu melepaskan pelukannya, lalu berpaling kepada Sakri. Dua pasang mata bertemu pandang, Sakri tenang-tenang saja dan orang tua itu penuh selidik. Perubahan telah terjadi atas diri Sakri, maka tentu saja Sugeng budiharjo ini tidak mengenalnya lagi sebagai bocah yang dulu di rangket di dalam tawanan Kenpetai Jepang. Sugeng Budiharjo segera melangkah maju dan mengulurkan tangan, sikapnya ramah sekali.
"Betul sekali, Let. Nama saya Budiharjo dan saya Ayah Murtini. Kedatangan saya hendak mencari anak saya ini, apa daya saudara-saudara itu mencurigai saya." Ia tertawa sinis menoleh ke arah tiga orang gerilyawan.
"Syukur, Murtini berada di sini." Murtini sudah dapat menguasai hati dan mengatasi keharuannya.
"Ayah, dia adalah Letnan Sakri Ayah, bagaimana kau bisa datang ke sini"" Sakri berkata segera, pura-pura tidak melihat uluran tangan Budiharjo, sehingga tak usah menjabat tangan itu.
"Dik Mur, harap kau ajak Ayah mu ke pondok sebelah agar dapat leluasa kau bercakap-cakap dengan Ayahmu. Nanti aku akan kesana." Murtini maklum akan maksud baik Sakri yang hendak memberi keleluasaan kepadanya untuk bicara berdua dengan Ayahnya. Maka ia lalu mengajak Ayahnya pergi ke pondok sebelah yang selama ini menjadi tempat tinggalnya, sebuah pondok kecil dengan sebuah kamar. Setelah mereka pergi, Sakri memberi perintah kepada tiga orang anak buahnya itu,
"Dua orang bersembunyi menjaga jangan sampai dia lari, seorang tinggal di sini membuat laporan!" Dengan cepat dan tangkas, dua orang gerilyawan menyelinap keluar lalu berjaga di tempat terlindung, memasang mata ke arah pondok kecil di mana Murtini bercakap-cakap dengan Ayahnya. Seorang tinggal di situ.
"Bagaimana kau menangkap dia" Apa alasannya""
"Pak, dia amat mencurigakan. Seorang diri datang kemari, bertanya-tanya penduduk sana tentang diri mbak Mur." Semua anggauta pasukan menyebut Murtini mbak Mur. "Dia mengaku Ayahnya. Akan tetapi diantara penduduk ada yang pernah melihat dia duduk dalam sebuah truk Belanda. Kami curiga, dia itu mata-mata Belanda, pak."
Sakri mengerutkan keningnya. Hatinya berdebar. Seorang yang telah menghianati gerakan rahasia menentang Jepang, sangat boleh jadi sekarang berlaku serendah itu, menjadi mata-mata Belanda. Akan tetapi dia Ayah Murtini! Hatinya terasa perih di samping nyala api dendam dan amarah nya. Apa yang harus dibuatnya" Tentang Sugeng Budiharjo sebagai mata mata Belanda ini memang sudah pernah ia mendengarnya. Ketika ia melakukan penyelidikan untuk mencari di mana adanya Ayah Murtini, ia pernah mendengar nama Budihardjo disebut-sebut para gerilyawan daerah Semarang sebagai seorang pembantu Belanda.
"Ada seorang Budiharjo yang menjadi kaki tangan Belanda", demikian laporan yang ia dapat beberapa hari yang lalu itu. "Akan tetapi entah dia itu Budiharjo yang bapak maksudkan ataukah bukan." Dan sekarang Budihardjo itu berada di sini, ternyata adalah Sugeng, musuh besarnya, dan ternyata betul Ayah Murtini! Bisa saja yang menetapkan bahwa Sugeng itu mata-mata Belanda dan menembaknya mati, demi pembalasan dendamnya, tak perduli dia itu mata-mata betul atau bukan! Akan tetapi Murtini! Bagaimana dengan Murtini" Bagaimana Mungkin ia menghancurkan hati gadis yang dicintai sepenuh hatinya itu"
"Sudah! Kembalilah ke pasukan, serahkan hal ini kepadaku!" akhirnya Sakri berkata. Gerilyawan itu memberi hormat, lalu keluar mengajak dua kawannya pergi. Sakri dengan langkah lesu menghampiri Pondok Murtini. Sementara itu, tadi di dalam pondok ini pun terjadi percakapan yang amat menarik. Setelah menuturkan keadaan masing-masing, sugeng budiharjo lalu berkata lirih kepada anaknya,
"Murtini, hubunganmu dengan Letnan Sakri itu tentu baik, bukan"" Murtini mengerutkan kening, mukanya merah dan pandang matanya penuh selidik kepada Ayahnya.
"Apa maksud Ayah" Sebagai teman seperjuangan, hubunganku baik dengan semua anggauta gerilya."
Ayahnya mengangguk-angguk maklum.
"Kau harus menolongku, Murtini. Orang-orang yang membawaku ke sini, para gerilya yang berada di Kemiri, menangkapku dan menuduhku sebagai musuh. Kau harus menolongku supaya Letna Sakri membebaskan aku dan kau harus ikut pula bersamaku. Di sini kau berbahaya, sewaktu-waktu mereka tentu akan dihancurkan tentara Belanda." Sudah sejak pernikahan Ayahnya dengan ibu tirinya, Murtini mendengar berita bahwa Ayahnya ini bekerja pada Belanda! Dahulu ketika Sakri bertanya tentang Ayahnya, ia menjawab bahwa Ayahnya juga berjuang. Hal itu sebetulnya bohong belaka, atau sebetulnya hanyalah keinginan hatinya belaka. Alangkah besar keinginan hatinya melihat Ayahnyapun seorang pejuang, seorang patriot bangsa! Sekarang, mendengar ucapan Ayahnya, ia menjadi lebih yakin akan kenyataan yang menusuk perasaannya itu.
"Ayah, mengapa Ayah berkata begitu" Sudah menjadi tempatku di sini, di sisi para pejuang. Bukankah akupun seorang puteri Indonesia" Merdeka atau mati, Ayah! Akhirnya kita pasti menang!"
"Bodoh! Goblok kau...!" Sugeng Budiharjo segera merendahkan suaranya, hampir ia lupa dan berteriak-teriak.
"Mana bisa gerilya menang" Bambu runcing dan beberapa buah bedil Jepang...! Huh, mana bisa daging dipakai melawan pelor"" Ia tersenyum mencemooh. "Jangan bodoh, Murtini. Belanda yang akan menang. Dan Ayahmu akan mendapat kedudukan yang baik, sedikitnya komisari, atau kepala sebuah kantor besar!"
"Ayahhh...! Kau... kau..., membantu Belanda"" Tak sampai hati ia mengatakan "Kaki tangan".
"Hushh..., kau darah dagingku sendiri hendak mencelakai Ayahmu"" Murtini tak dapat menahan lagi hatinya. Ia segera menangis terisak-isak. Timbul pertentangan hebat di dalam hatinya. Ia merasa seakan-akan dunia kiamat baginya. Ayahnya, yang bertahun-tahun ia rindukan, yang bertahun-tahun ia cari, ternyata seorang kaki tangan Belanda. Seorang pengkhianat bangsa! Dan sekarang berada disini, didepannya. Seharusnya ditangkap, ditembak sebagai pengkhianat! Tapi dia Ayahnya, satu-satunya orang yang menjadi orang-tuanya.
"Ayahhh... aduh mengapa begini, Ayah..."" Murtini menjambaki rambutnya. Kebingungan dan kesedihan hampir membuat ia gila.
"Mengapa begini..." Ya Tuhan..., mengapa begini...""
"Murtini! Tak banyak waktu lagi. Usahakan agar aku dibebaskan, dan kau ikut denganku."
"Tidak...! Tidak...!"
"Jadi kau hendak membunuh Ayahmu sendiri" Hendak melihat Ayahmu disiksa, dicincang oleh gerilya" Kau tega berbuat begitu terkutuk dan durhaka""
"Tidak..., tidak..., akan kuusahakan... supaya Ayah bebas... tapi aku tidak bisa mengikuti jejak Ayah..."
"Ssttt..." Sugeng Budiharjo memberi tanda ketika mendengar derap sepatu Sakri mendekati pondok. Hanya sifat satria dari Sakri yang membuat pemuda ini sengaja mengeraskan langkah kakinya supaya terdengar oleh orang-orang di dalam pondok. Ketika ia masuk, di bawah sinar lampu minyak yang kecil dan suram-suram, ia melihat Murtini duduk di atas bangku dengan wajah layu. Akan tetapi selanjutnya tidak, ada sesuatu yang luar biasa. Juga Budiharjo duduk di bangku, wajahnya tenang. Sinar lampu yang kemerahan menyembunyikan kepucatan wajah Ayah dan anak itu. Muka yang muram, keruh, dan keras dari Sakri membuat Sugeng Budiharjo berdebar gelisah hatinya, juga Murtini yang amat mengenal kekasihnya ini. Budiharjo segera bangkit dari bangkunya, dengan senyum lebar menghampiri Sakri dan berkata,
"Terima kasih banyak, Let. Murtini sudah menceritakan semua tentang kebaikanmu. Karena aku dan isteriku amat rindu kepada Murtini, saya minta perkenanmu supaya malam ini juga Murtini ikut dengan saya ke Solo."
"Diam kau!!" Sakri membentak keras. "Aku tak sudi bicara denganmu!" Budiharjo tersentak kaget, tubuhnya mulai menggigil dan wajahnya pucat sekali.
"Kau duduk saja di sana!" bentak Sakri pula, kemudian pemuda ini dengan suara tenang berkata kepada Murtini,
"Dik Murtini, coba keluar sebentar, aku mau bicara denganmu." Murtini berdiri, melirik kepada Ayahnya yang melemparkan permohonan kepadanya. Murtini menunduk, lalu mengikuti Sakri keluar dari pondok. Sakri berdiri di luar pondok itu sehingga suaranya takkan terdengar oleh Budiharjo. Murtini juga berdiri di depannya. Keduanya berpandangan di dalam gelap yang mulai menyelimuti permukaan bumi. Murtini yang sudah merasa mempunyai kesalahan tentang diri Ayahnya, tak dapat membuka mulut, hanya tunduk menanti. Perasaannya sudah mulai kecewa dan tak senang melihat sikap Sakri terhadap Ayahnya tadi yang membentak-bentak. Penghinaan yang menusuk perasaannya.
Di dalam kediaman mereka berdua, terjadi pertentangan-pertentangan hebat di dalam hati masing-masing. Tiga macam perasaan berbaku hantam dalam hati Sakri, perasaan dendam di bantu perasaan seorang pejuang melawan perasaan cinta kasih. Akhirnya perasaan sebagai pejuang patriot yang menang, ke dua perasaan cinta kasih. Rasa dendam ia kesampingkan, kalah oleh cinta kasih. Ia mengambil keputusan. Kalau Ayah Murtini seorang mata-mata, harus tertembak mati. Kalau bukan, akan dibiarkan bebas demi cinta kasihnya kepada Murtini. Dendam yang dahulu ia kesampingkan. Adapun pertentangan di dalam hati Murtini adalah rasa cinta perjuangan dan rasa cinta bakti terhadap Ayah. Ia lebih halus perasaannya, maka cinta bakti terhadap Ayahnyalah yang menang. Ayahnya harus bebas, biar untuk itu dia mengorbankan segala!
"Dik Mur... kita sama-sama tahu bahwa Ayahmu ditangkap karena dituduh mata-mata Belanda. Aku tak dapat memutuskan karena... karena dia itu Ayahmu. Biarlah kau yang memutuskan, aku percaya kepadamu. Kalau kau bilang bahwa dia mata-mata, aku sendiri yang akan menembak mati padanya!" Naik sedu-sedan dari dada Murtini.
"Akan tetapi kalau kau menyatakan bukan, aku akan membebaskannya. Soal kau mau ikut dia atau tidak, bukanlah menjadi hakku untuk memutuskan." Perih rasa hati Murtini. Sudah jelas bahwa sikap Sakri berbeda dari biasanya. Keras dan kaku, seakan-akan pemuda ini sudah yakin bahwa Ayahnya seorang mata-mata, seorang pengkhianat.
"Mas Sakri, dia hanya dituduh, akan tetapi mana buktinya" Ayah bukan mata-mata Belanda dan akulah yang bertanggung jawab. Tak perlu aku banyak bicara, hanya kuminta supaya kau malam ini juga membebaskan Ayah dan membiarkan dia pergi ke Solo dengan aman. Aku sendiri... aku akan tetap tinggal di sini, membantu teman-teman, yakni kalau... kalau kau masih menganggap tenagaku berguna..." Dua titik air mata turun ke atas sepasang pipi yang pucat itu. Sakri menarik napas panjang, lega. Ia percaya sepenuhnya kepada gadis ini. Memang tidak ada buktinya bahwa Budiharjo seorang mata-mata. Biarpun ada terlihat ia duduk dalam truck Belanda, namun banyak orang duduk dalam truck Belanda, setiap orang dapat ikut dalam konpoi, asal saja ia kenal dengan seorang serdadu, atau mau memberi suapan. Ini ia tahu benar.
"Kau yang memutuskan. Malam ini juga dia kubebaskan!" Sakri memanggil dua orang anak buahnya, memberi perintah supaya mengantar Budiharjo ke Solo malam itu juga, menjaga jangan sampai diganggu lain pasukan di jalan. Malam itu, sebelum tidur, ia menemui Murtini, bertanya pendek.
"Katakan, siapa nama kecil Ayahmu"" Murtini memandang dengan perasaan aneh.
"Nama kecilnya Sugeng"" sebelum ia melanjutkan kata-katanya, Sakri membungkamnya dengan pandang mata seekor harimau, lalu pemuda itu dengan gerakan kasar membalikkan tubuh, berjalan terhuyung-huyung kembali ke pondoknya sendiri. Di luar tahu Murtini, kedua mata pemuda itu basah air mata.
Pagi-pagi sekali Murtini memasuki pondok Sakri. Didapatkannya pemuda itu masih berpakaian seperti kemarin malam, duduk menghadapi meja dengan wajah layu dan rambut kusut. Matanya merah. Murtini semalam suntuk tidak tidur, menangis saja. Matanya sendiri juga merah dan melihat Sakri, ia dapat menduga bahwa pemuda inipun tidak tidur. Ia makin merasa heran. Apakah yang menyebabkan pemuda ini demikian aneh sikapnya" Begitu kasar dan marah-marah" Sakri menangkat muka, memandang Murtini dengan muka pucat.
"Mau apa lagi kau..."" Ucapannya mengandung nada sakit hati, mengandung tangis tertahan. Murtini melangkah maju, terhuyung lalu menjatuhkan diri di atas tanah berlutut di depan Sakri sambil menangis tersedu-sedu.
"Mas... Mas Sakri... kau bunuh saja aku, Mas..." Sakri memandang heran.
"Apa lagi ini" Jangan seperti anak kecil! Aku sudah membebaskan Ayahmu, cukup!"
"Aku tahu, Mas... aku maklum betapa rusaknya hatimu... semua adalah salahku..."
"Apa maksudmu"" Sakri menjadi heran dan ia mengangkat bangun Murtini. Gadis itu berdiri didepannya sambil menutupi muka dengan kedua tangannya. Air mata membanjir keluar dari celah-celah jarinya.
"Aku tahu... bahwa kau melakukannya... untukku... Kau membebaskan dia sungguhpun kau tahu betul bahwa dia itu kaki tangan Belanda..." Sakri merasa bulu tengkuknya berdiri. Ia memandang Murtini dengan mata terbelalak.
"Apa kau bilang..."" Ayahmu itu... Ayahmu itu..." Isak tangis Murtini makin menghebat.
"Dia memang kaki tangan Belanda, dank au sudah membebaskannya karena aku..."
"Bedebah!!" Sakri menggerakkan tangan kanannya menampar pipi Murtini sekerasnya. Gadis itu terlempar dan roboh di tanah, berlutut. Pipinya menjadi bengkak.
"Baik, mas... pukullah aku... siksa aku..., bunuhlah aku..." Sakri seperti bukan orang waras lagi. Ia membelalak memandang tangannya yang menampar pipi Murtini lalu memandang ke arah pipi yang membengkak itu, kemudian tangannya dikepal dan... dipukulnya kepalanya sendiri.
"Bangsat! Pengkhianat kau...!" Lalu dicabutnya pistol dari ikat pinggangnya. Murtini yang mendenar suara pukulan tadi sudah mengangkat muka memandang. Ia melihat betapa tiga kali Sakri memukuli kepala sendiri. Kaget dan keheranan membuat ia lupa menangis, lupa kesakitan sendiri lalu ia bangun memburu. Ketika melihat Sakri mencabut pistol, Murtini berkata,
"Itu lebih baik, mas Sakri. Kau tembaklah aku... tembaklah aku, anak pengkhianat..." Akan tetapi alangkah kagetnya ketika ia melihat Sakri mengarahkan pistol itu pada kening sendiri.
"Mas Sakriiiii!!" Murtini meloncat dan merenggut pistol itu dari tangan Sakri
"Dar...!!" Peluru menembus genteng dan pistol sudah terampas oleh Murtini yang melempar senjata itu keluar.
"Mas Sakri, apa kau sudah gila"" teriaknya sambil menangis dan lupa segala, gadis ini memeluk tubuh Sakri. Sakri kini menangis, menangis terisak-isak. Hal yang selama ini tak pernah ia lakukan, ia menangis sambil mendekap kepala Murtini pada dadanya.
"Aku memang sudah gila! Aku gila!! Membiarkan pengkhianat lepas", aku sudah gila karena mencinta kau." Murtini masih bingung. Untuk sesaat ia membiarkan dirinya dipeluk, membiarkan kepalanya di dekap di atas dada yang bidang itu, yang memberi rasa ketenangan dan perdamaian, yang sekilas mengusir semua pedih perih hatinya. Kemudian ia mengangkat muka, memandang wajah kekasihnya yang basah air mata itu.
"Mas Sakri..., kau kenapa, Mas" Sejak kemarin tadi... kau aneh sekali" akulah yang bersalah, akulah yang rela menanggung semua hukuman..." Tiba-tiba Sakri tertawa. Menyeramkan, seperti mayat tertawa. Rambutnya awut-awutan, mukanya pucat seperti mayat, matanya membayangkan kehancuran hati dan air mata mengalir turun, akan tetapi mulutnya tertawa keras dan suara ketawanya seperti bukan seperti suara manusia lagi!
"Ha-ha-ha-ha-ha! Akulah pengkhianat nomor satu di dunia! Dua kali aku mengkhianati, mengkhianati orang tua dan mengkhianati bangsa!" Murtini memeluk leher Sakri, menariknya dan menutup bibir pemuda itu dengan tangannya, dengan mulutnya, tapi Sakri merenggut-renggut melepaskan bibirnya dan berkata lagi,
"Kau mau tahu, he" Mau tahu" Ayahku disiksa sampai mati, ibuku disiksa sampai mati pula, apa sebab" Sebab perbuatan seorang pengkhianat yang bernama Sugeng!" Rangkulan tangan Murtini pada leher Sakri mengendur, lalu terlepas dan tubuh gadis itu roboh di atas lantai, pingsan! Sakri menunduk dan" keadaan Murtini seperti itu membangkitkan cinta kasihnya yang lebih kuat dari pada segala apa, membuat ia sadar kembali akan keadaannya, membuat ia tenang.
"Murtini... jiwa hatiku..." Ia berlutut dan memangku kepala gadis yang pingsan itu. Dalam keadaan demikianlah ketika teman-temannya berlari datang karena mendengar letusan tadi. mereka bertanya-tanya, dengan hormat mereka mengajukan pertanyaan kepada Sakri. Akan tetapi Sakri diam saja, hanya mengeluh dan memanggili nama Murtini yang masih pingsan di atas pangkuannya. Setelah agak reda hatinya, Sakri membaringkan tubuh Murtini yang sudah siuman tapi masih dalam keadaan mengigau dan demam itu ke atas pembaringan. Lalu ia memanggil para pembantunya.
"Malam ini semua pasukan harus meninggalkan posnya, berpencar dan berlindung, menjaga kalau musuh mengadakan pembersihan. Biarkan musuh masuk, lalu kepung dan serang dari empat penjuru. Kalau mereka terlalu kuat, mundur ke daerah M. Mengerti""
"Siap, Pak!" Dengan penuh keheranan semua anggauta pasukan menjalankan perintah ini. Ada apakah dengan pemimpin mereka" Pasukan disuruh berlindung, akan tetapi Sakri sendiri menjaga dan merawat Murtini di dalam pondok itu, tak terjaga! Lewat senja Murtini mendingan keadaannya. Sudah ingat kembali dan menangis.
"Mas Sakri, kauampunkan aku, mas... Alangkah besar dosa Ayah kepadamu. Dan kau melupakan dendam itu, malah kau membebaskannya, karena cintamu kepadaku..."
Sakri membelai rambut Murtini yang kusut.
"Kalau aku tahu dia mata-mata, dia takkan kulepaskan." Ia mengusap-usap pipi yang tadi dipukulnya.
"Salahku itu, mas. Aku membohongimu..."
"Aku tahu, dik. Kau hanya melakukannya karena cinta dan baktimu kepada Ayah, bukan karena hendak mengkhianati perjuangan. Buktinya kau tidak mau ikut pergi dengan Ayahmu..."
"Mas, Ayah mata-mata. Jangan-jangan dia nanti menunjukkan tempat kita ini pada Belanda..."
"Mungkin. Dan kiranya malam ini akan terjadi sesuatu."
"Pergilah, mas. Suruh semua teman pergi dari sini..."
"Sudah kusuruh mereka bersembunyi."
"Kau sendiri""" Sakri menggeleng kepalanya.
"Seorang laki-laki harus berani mempertanggungjawabkan kesalahannya. Akulah yang bersalah kalau sampai Ayahmu membawa serdadu Belanda menyerang ke sini, dan sudah selayaknya kalau aku terhukum karenanya, baik binasa di ujung senapan serdadu Belanda mapun sebagai seorang tahanan yang disiksa."
"Mas Sakri...!" Sakri memeluknya.
"Mungkin malam terakhir bagi kita, dik Mur. Aku sengaja menunggu kedatangan kembali Ayahmu dan kalau kali ini kami bertemu kembali..., jangan kausalahkan aku kalau terpaksa aku berusaha melenyapkannya dari muka bumi..." Murtini mendekap muka sendiri.
"Aku tahu bahwa Ayah berdosa besar... dan akupun tidak akan menyalahkan orang membunuhnya, akan tetapi... hendaknya bukan engkau orang itu Mas..." Tiba-tiba terdengar rentetan tembakan. Murtini menjadi pucat dan serentak bangkit.
"Mas Sakri..., dugaanmu betul... kau larilah...!" Namun Sakri hanya tersenyum dan menggeleng kepala.
"Lebih baik kaulah yang lari sembunyi, jangan-jangan peluru yang dibawah Ayahmu akan mengenaimu sendiri..."
"Tidak! Seribu kali tidak! Aku bersumpah berdiri disampingmu selama aku masih hidup!" Sesuai dengan perintah Letnan Sakri, para pejuang yang tidak berapa banyak jumlah senapannya, mulai mengadakan serangan bersembunyi. Pertempuran terjadi, ramai suara rentetan tembakan, terutama dari fihak serdadu Belanda. Rakyat lari cerai berai mencari perlindungan. Namun, kali ini fihak serdadu Belanda mengerahkan banyak serdadunya, memaksa para gerilyawan mengundurkan diri. Sakri melawan sampai kehabisan peluru. Hanya karena permintaan Sugeng Budiharjo yang takut kalau-kalau anaknya kena tembak, serdadu-serdadu Belanda tidak menghujani pondok itu dengan peluru. Sakri dan Murtini tertangkap tanpa mendapat luka. Malam itu juga mereka di bawa ke pos serdadu Belanda di dekat Solo. Malam itu juga diperiksa. Sugeng Budiharjo kecewa sekali. Dia yang membawa serdadu-serdadu itu melakukan penyerangan. Biarpun tidak ada anggauta gerilya lain yang ter
Gambar 4 tawan, namun penawanan seorang letnan gerilya amat berharga. Tapi alangkah kecewa dan menyesalnya ketika permintaannya supaya Murtini dibebaskan, ditolak oleh sersan KNIL yang memimpin penyerbuan tadi. Sersan KNIL itu tersenyum-senyum memandang kepada Murtini penuh gairah ketika menjawab,
"Biarpun dia itu anakmu, akan tetapi dia terkenal sebagai pembantu gerilya. Dia tawanan perang dan harus diperiksa!" Sugeng Budiharjo lemas tubuhnya. Apa lagi setelah tiba di luar, beberapa orang serdadu KNIL bercakap-cakap sambil tertawa tentang tawanan itu.
"Ha-ha-ha, untuk sekali sersan mala mini! Burung dara yang muda, cantik, dan lunak."
"Berpesta dia malam ini! Tentu akan dikawini..."
"Kawin" Di mana-mana dia punya isteri. Mana dia sempat kawin sekarang" Paling-paling menjadi bini mudanya..." Rasa hati Budiharjo seperti tertusuk-tusuk pisau. Maklum ia siapa yang dimaksudkan dalam pembicaraan itu. Hati seorang Ayah melihat anaknya dalam bahaya, membuat ia marah dan nekat. Ia melihat pula betapa letnan gerilya itu melindungi Murtini, tidak mau melarikan diri ketika disergap. Dan sikap kedua orang muda itu..., tak salah lagi, mereka saling mencinta. Masih terbayang di depan matanya ketika Sakri ditangkap, Murtini merangkulnya dan berkata keras-keras.
"Mas Sakri, biarlah kita bersua kembali di alam baka! Aku cinta padamu, Mas..., aku cinta padamu...!" Tiap kali teringat akan ini, makin sakit rasa hati Budiharjo. Terbuka matanya yang selama ini tertutup oleh bayangan kemuliaan, kedudukan dan harta benda, betapa gagahnya letnan gerilya itu. Teringat ia akan sikapnya yang aneh ketika membebaskannya dan tahulah ia kini bahwa ia pada malam itu dibebaskan hanya karena letnan itu mencinta anaknya. Dan sebagai balas budi, dia membawa serdadu-serdadu menangkapnya! Lebih-lebih lagi, ia sendiri yang akan menghancurkan kebahagiaan hati anaknya, menghancurkan kehidupannya.
Celakalah kalau sampai Murtini menjadi korban sersan KNIL itu! Apa artinya kedudukan kalau ia menerima penghinaan ini" Malam itu, di antara gelak tawa para serdadu yang mendapat pembagian bir, terdengar jerit Murtini di dalam kamar tahanan. Disusul padamnya lampu dan letusan senjata berkali-kali, lalu terdengar suara orang menjerit kesakitan. Gegerlah keadaan di pos serdadu Belanda itu. Semua serdadu yang mengira ada serangan gerilya, segera membuat stelling. Keadaan gelap pekat. Namun tidak ada serangan sama sekali dari luar. Lewat setengah jam, setelah mendapatkan kembali keberaniannya dan beberapa orang serdadu menghidupkan penerangan, mereka melihat sersan KNIL dan dua orang KNIL lain yang tadi menjaga didepan kamar tahanan telah menggeletak. Sersan dan seorang serdadu tewas tertembus dadanya, yang seorang lagi merintih-rintih, terluka parah.
Di sudut kamar tahanan, menggeletak pula seorang berpakaian preman, tewas karena perutnya tertembus peluru. Dia itu adalah Sugeng Budiharjo! Ketika diperiksa, ternyata bahwa dua orang tawanan itu, Sakri dan Murtini telah lenyap tak meninggalkan bekas! Menurut penuturan serdadu yang terluka parah ketika sersan KNIL sedang "memeriksa" dalam kamar tahanan Murtini, tiba-tiba lampu padam dan terdengar tembakan dari dalam kamar tahanan. Mereka berdua membuka pintu dan meloncat masuk. Dari sudut kamar itu tampak api tembakan dan mereka terkena tembakan. Serdadu yang terluka itu masih sempat mengirim tembakan balasan yang mengenai orang itu, yang kemudian ternyata adalah Sugeng Budiharjo. Ternyata bahwa pengkhianat ini telah menebus dosanya dengan nyawa, setelah ia membebaskan Sakri dan Murtini yang hampir diganggu oleh sersan KNIL.
Beberapa tahun kemudian...
Tanggal sepuluh November, Hari Pahlawan! Sang Dwiwarna Merah Putih, bendera pusaka lambang kemerdekaan berkibar dengan megahnya di setiap pelosok, di setiap penjuru tanah air, dari Sabang sampai Merauke pada hari itu, hari Pahlawan sepuluh November. Seluruh Bangsa Indonesia memperingati hari suci itu, untuk mengenang para pahlawan bangsa yang telah mengurbankan jiwa raga untuk kemerdekaan tanah air dan bangsa! Hanya bangsa yang besar mengenal dan menghargai jasa para pahlawannya dan Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar!
Di setiap kota dan desa, di mana terdapat makam pahlawan, orang-orang berziarah ke makam, menaburkan bunga tanda penghargaan kepada para pahlawan, mengheningkan cipta untuk memanjatkan doa ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa semoga arwah para pahlawan mendapatkan pahala, mendapat berkah dan tempat yang aman damai sentausa di sisi Tuhan Seru Sekalian Alam. Bahkan di desa-desa yang tidak terdapat makam pahlawan yang dikenal namanya, makam para pejuang yang terpaksa dimakamkan di tempat oleh mereka yang tidak mengenalnya, orang datang berziarah, Karena betapapun tak terkenal namanya, rakyat tahu belaka bahwa mereka itulah pahlawan-pahlawan bangsa, patriot-patriot perkasa yang telah gugur sebagai kesuma bangsa, sebagai pahlawan!
Justeru di sebuah makam pahlawan-pahlawan yang tidak terkenal dan tak bernama inilah pada hari keramat itu datang berziarah seorang laki-laki bersama seorang wanita dan tiga orang anak-anaknya. Seorang anak laki-laki berusia delapan tahun, kedua laki-laki pula berusia empat tahun dan ketiga seorang anak perempuan berusia satu tahun dalam gendongan ibunya. Mereka ini adalah Sakri dan Murtini yang sudah menjadi isterinya, bersama tiga orang anak mereka. Taman pahlawan tak bernama ini dipilih Sakri dan isterinya, teristimewa untuk memperingati kepahlawanan Ayah Sakri, yaitu Waluyo yang mati dalam siksaan Jepang dan tidak diketahui di mana kuburnya itu.
"Ayahpun seorang pahlawan," demikian kata Sakri kepada isterinya, "Dan berziarah ke makam pahlawan tak bernama sama dengan berziarah ke makam Ayah yang tidak kuketahui di mana makamnya." Ucapan ini mengharukan hati Murtini yang belum pernah dapat melupakan bahwa Ayah suaminya itu tewas karena mungkin sebagian besar dikarenakan pengkhianatan Ayahnya sendiri. Sungguhpun sering kali suaminya menghiburnya dengan kata,
"Mati hidup adalah di tangan Tuhan, dik Mur. Sudah menjadi kehendak Tuhan Ayah meninggal dunia di saat itu. Perbuatan Ayahmu itu hanyalah merupakan sebab belaka, segalanya diatur oleh Yang Maha Kuasa." Namun, rasa dosa Ayahnya tak pernah terkikis habis dari hati Murtini. Sakri dan isterinya menaburkan bunga-bunga mengheningkan cipta sejenak, lalu terdengar Sakri berdoa perlahan,
"Semoga Tuhan memberi tempat yang layak kepada arwah para pahlawan tak bernama yang dimakamkan di tempat ini dan semoga arwah mereka menyampaikan kepada Ayah bahwa kami tak pernah melupakan jasa-jasa Ayah dalam perjuangan."
"Amin..." Murtini menutup doa suaminya. Ketika Sakri menengok, ia melihat isterinya menitikkan air mata. Ia terharu, maklum akan isi hati isterinya. Tentu seperti biasa, seperti pada saat-saat mereka berziarah ke makam pahlawan, isterinya teringat akan Ayahnya sendiri.
"Dik Mur," katanya memegang tangan isterinya, "Mendiang Ayah mertuaku, sungguhpun di waktu yang sudah-sudah tersesat oleh nafsu keduniaan, namun pada detik-detik terakhir dari hidupnya, ia telah bersikap sebagai pahlawan pula." Isterinya memandang dengan sinar mata berterima kasih, maklum bahwa suaminya mengucap demikian hanya untuk menghiburnya.
"Aku bicara bersungguh-sungguh, dik Mur. Mendiang Ayah kita itu pada saat-saat terakhir telah sadar sehingga membuat beliau memberontak dan menewaskan tiga orang serdadu musuh. Perbuatan terakhir ini termasuk perbuatan yang gagah berani dan marilah kita berdoa semoga Tuhan mengampuninya dan dapat memberi tempat yang baik untuk arwahnya." Murtini terhibur hatinya.
"Bu, kita berada di makam siapakah"" tanya anak sulung mereka yang memandang ke arah makam berjajar-jajar itu.
"Makam para pahlawan, No," jawab Ayahnya.
"Pahlawan itu apa sih, pak"" mengejar si sulung.
"Pahlawan adalah satria-satria perkasa..."
"Seperti Gatutkaca, Pak"" Si sulung memotong karena dalam pengertiannya yang disebut satria adalah Gatutkaca dan lain-lain tokoh baik pewayangan. Sakri tertawa.


Merdeka Atau Mati Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ya... seperti Gatutkaca gagahnya. Mereka itu rela mengorbankan apa saja, rela kehilangan harta benda, rela kehilangan nyawa seperti para pahlawan yang dimakamkan di sini, demi kemerdekaan nusa bangsa." Si sulung termenung kagum. Sambil memandang ke arah makam di depannya, ia berkata tiba-tiba,
"Pak, Yono ingin menjadi pahlawan!" Anak ke dua yang selalu tak mau ketinggalan kalau kakaknya menginginkan sesuatu, segera berkata,
"Toto juga ingin menjadi pahlawan seperti kak No"" Sakri dan Murtini saling pandang, terharu dan bangga, lalu tertawa girang.
"Tentu..., tentu..., Yono dan Toto kelak juga menjadi pahlawan-pahlawan bangsa. Titi juga tentu menjadi pahlawan wanita. Selama putera-putera Indonesia bercita-cita menjadi pahlawan, mengikuti jejak langkah para pahlawan, Indonesia Merdeka pasti akan menjadi jaya!" Melihat sikap suaminya dan mendengar kata-kata yang diucapkan penuh semangat, bangkitlah semangat perjuangan dalam dada Murtini dan seperti dulu di masa perjuangan melawan Belanda, ibu muda ini mengepal tinju, diangkatnya sambil memekik penuh semangat,
"Merdeka!!!"
"Merdeka! Sekali merdeka tetap merdeka!" sambung Sakri Melihat Ayah bundanya, Yono juga mengacungkan kepalan tangannya yang kecil,
"Merdeka!" Toto mencontoh kakaknya,
"Merdeka...!" Dan Titi dalam gendongan ibunya tertawa senang.
Solo, tengah bulan Desember 1965.
T A M A T Penerbit : CV. GEMA - Solo
Pelukis : YANES
Sumber Image : Awie Dermawan
Kontributor ; Yon Setiono
Konversi ke Teks : Eddy Zulkarnaen
Posting di Grup Cersil Kho Ping Hoo : Djan M
Edit ke Doc, Pdf & Txt : Cersil KPH
Jawaban Answer 3 Panorama Jiwa Dan Pesona Dua Rembulan Karya Sutanto Ari Wibowo Pembunuh Berdarah Dingin 2
^