Pencarian

Misteri Villa Berdarah 2

Misteri Villa Berdarah Karya Unknown Bagian 2


Aryo tahu isyarat itu. Ia pun segera turun dari mobil, lalu membukakan pintu gerbang villa untuk jalan masuk mobil Ricky.
"Ini villamu?" tanya Edi yang masih duduk dalam mobil.
"Yeah, kelak akan jadi milikku," sahut Ricky asal-asalan sambil membawa mobilnya memasuki halaman villa. "Sekarang masih milik papaku."
Villa itu nampak tidak terawat. Lantai depan dan jendela-jendelanya terlihat kusam, sementara halaman terlihat kotor.
Edi dan Ricky turun setelah menepikan mobil di depan villa, lalu Ricky mengeluarkan anak kunci dari saku celananya.
"Tidak ada orang yang diminta mengurusi villa ini, Rick?" tanya Edi melihat keadaan villa yang sepertinya tak pernah tersentuh manusia itu.
"Buat apa?" sahut Ricky sambil memasukkan anak kunci ke lubangnya. "Keluargaku belum tentu setahun sekali kemari."
Mereka memasuki ruangan depan villa yang cukup luas, dan karena cuaca sepertinya mendung dan gelap, Ricky pun segera meraih saklar lampu. Seketika ruangan
menjadi lebih terang. "Masih ada listrik di sini?" Edi bertanya lagi dengan heran.
"Yeah, meskipun kami jarang ke sini, tapi listrik tetap dibutuhkan, Ed. Keluargaku bahkan tetap membayar sambungan telepon yang ada di sini meski tidak
pernah digunakan." "Mmub-mubazir sssekali...?" sela Aryo.
Ricky tersenyum. "Bukan begitu. Keberadaan listrik dan telepon yang dipertahankan agar tetap ada di sini itu maksudnya biar kalau ada yang berminat membeli
villa ini, fasilitas di sini sudah lengkap."
"Memangnya ada rencana buat dijual?" tanya Edi jadi ingin tahu.
"Dulu, waktu papaku baru memiliki villa ini, rencananya villa ini mau dijual saja karena kami kan sudah punya villa sendiri di Bogor. Tapi tidak laku."
"Kke-kenapa?" tanya Aryo.
"Mungkin calon pembelinya pada takut," jawab Ricky santai.
"Takut kenapa, Rick?" Edi jadi penasaran.
Ricky membawa mereka meninjau ruang tengah yang keadaannya sama kotornya seperti ruangan depan. Perabot-perabot dalam villa itu tidak terlalu banyak, dan
semuanya ditutupi dengan plastik terpal sehingga terlindung dari debu yang cukup tebal yang menghampar di seluruh lantai ruangan.
"Rick, kenapa?" tanya Edi masih menuntut jawaban atas pertanyaannya tadi.
"Kenapa apanya?"
"Itu, katamu kan para calon pembeli villa ini pada takut." Edi mengingatkan. "Takut kenapa?"
"Aku mau menceritakan, tapi kalian jangan ikut-ikutan takut, ya," ujar Ricky.
Edi dan Aryo menatap Ricky bersamaan, menunggu jawaban.
"Villa ini kan dulunya milik rekanan papaku." Ricky memulai. "Tapi kemudian rekanan papaku itu jatuh bangkrut dan terlilit hutang cukup banyak, termasuk
pada papaku. Hutang pada papaku itu kemudian dibayar dengan villa ini, tapi sialnya, sebelum villa ini dipindah-tangankan, si rekanan papaku itu bunuh
diri di villa ini..."
"Oh, sialan," maki Edi. "Jadi villa ini bekas orang bunuh diri?!"
"Kalian sudah berjanji untuk tidak takut, kan?" tagih Ricky sambil senyum-senyum.
"Kka-kamu ttid-tidak ngerjain kkka-kami...?" tanya Aryo kemudian.
"Suer, Ar. Aku sebenarnya tidak mau menceritakan soal itu sama kalian. Tapi kalian kan tanya sendiri?" Setelah menghembuskan asap rokoknya, Ricky kembali
berkata, "Tapi kalian tidak usah menceritakan hal itu ke teman-teman yang lain. Nanti mereka pada takut dan rencana kita semula bisa batal..."
"Kamu benar-benar nekat, Rick!"
"Ed, kejadian bunuh diri itu sudah lama sekali," sahut Ricky mencoba menjelaskan. "Sudah tujuh tahun lebih! Kenapa masih takut?!"
"Kkka-kamu yakin ttid-tidak aa-aakan ada aa-apa-apa?" Aryo nampak bergidik.
Ricky menanggapinya sambil tertawa. "Tidak akan ada apa-apa, aku jamin. Keluargaku sudah tiga kali bermalam di sini dan tidak pernah terjadi apa-apa."
Mereka lalu melihat-lihat seluruh ruangan villa itu, dari depan sampai bagian belakang. Villa itu cukup luas, dan kalau saja terawat, mungkin akan terkesan
asri. Di ruangan depan ada satu set sofa berukuran sedang, sementara di ruang tengah ada satu set meja kursi dari kayu. Ada juga sebuah bufet di pinggir
dinding, dan di atasnya nampak sebuah pesawat telepon yang tertutup oleh plastik. Tidak ada televisi atau tape recorder. Hiasan dinding juga nyaris tidak
ada selain hanya sebuah lukisan abstrak yang sepertinya sudah berumur tua.
Ada tiga kamar yang tak terlalu luas di villa itu, semuanya lengkap dengan sebuah springbed berukuran sedang plus bantal dan guling. Di dapur hanya ada
beberapa gelas yang semuanya nampak kotor penuh debu, sementara di dalam lemari bawah terdapat beberapa perkakas seperti sapu, pemangkas rumput, kapak
dan beberapa peralatan kebun. Hanya ada satu kamar mandi, dan kamar mandinya pun terlihat kotor karena lama tak pernah digunakan.
"Airnya masih jalan?" tanya Edi yang melihat bak mandi terlihat kosong tanpa air.
"Masih," jawab Ricky sambil mencoba memutar kran di atas bak. Air dari dalam pipa terlihat mengucur cukup deras.
Setelah cukup berkeliling melihat-lihat ruangan, Ricky kemudian memandang Aryo. "Nah, Ar, kamu bisa kan membersihkan semuanya ini?"
"Bbb-bisa!" jawab Aryo. "Tttap-tapi...aa-aaku tttakut!"
Ricky tersenyum membesarkan nyali Aryo. "Tidak ada yang perlu ditakutkan, Ar. Percayalah padaku, tidak akan ada apa-apa."
"Kkkalian jjangan ppergi..."
"Lho, kan janjinya kami cuma mengantar kamu sampai di sini," sahut Ricky. "Kami akan kembali ke Jakarta, dan baru lusa kami akan kemari lagi bersama kawan-kawan
yang lain..." "Tttap-tapi..." Aryo masih nampak bingung. Haruskah ia sendirian di villa yang asing bekas orang bunuh diri ini?
"Percayalah, Ar, villa ini tidak angker seperti yang kamu bayangkan," kata Ricky sambil mencoba tersenyum. "Lagi pula, kami tidak terlalu lama kan, meninggalkan
kamu? Dua hari lagi kami sudah sampai di sini lagi, lengkap dengan kawan-kawan yang lain. Pokoknya villa ini harus sudah bersih begitu kami sampai, oke?"
"Kka-kalian bbenar mau dddat-datang?"
Ricky tertawa. "Lho, kita kan sudah janjian bersama kalau kita mau menikmati malam tahun baru di sini. Kami pasti datang, tidak usah khawatir!"
Edi kemudian menimpali. "Kalau kamu butuh berkomunikasi dengan kami, kamu bisa menggunakan telepon itu."
"Iya," timpal Ricky langsung. "Kamu tidak akan terputus hubungan dengan dunia luar. Pesawat telepon itu masih berfungsi. Kamu bisa gunakan telepon itu
kalau kamu butuh menghubungi aku atau yang lainnya, asal tidak kamu pakai untuk menelepon party line!"
Edi tertawa, sementara Aryo cuma senyum-senyum.
Untuk memastikan berfungsinya pesawat telepon itu, Aryo mencobanya untuk menghubungi nomor telepon di rumah kakeknya. Dia tidak bisa mencoba menghubungi
ponsel Edi atau Ricky, karena begitu mereka memasuki kawasan dataran tinggi itu, sinyal ponsel mereka sudah menghilang. Aryo menempelkan handel telepon
di telinganya dan terdengar suara nada sambung. Aryo pun merasa puas dan kembali meletakkan handel telepon di tempatnya semula.
"Bagaimana, masih berfungsi, kan?" tanya Ricky sambil tersenyum.
"Ii-iya!" jawab Aryo, namun masih tetap menunjukkan ekspresi khawatir.
Akhirnya setelah dibujuk-bujuk, Aryo pun nampak menguatkan diri untuk mau ditinggal di villa itu. Ricky dan Edi terlihat lega.
"Ttap-tapi..." kata Aryo lagi. "Kkkenapa Ee-edi ttid-tidak dditinggal sssekalian ssaja?"
"Edi harus menemani aku, Ar," jawab Ricky langsung. "Kami gantian menyetir mobil. Lagi pula, kalau Edi aku tinggal juga, aku takut kalau villaku ini dipakai
untuk kegiatan homo!"
"Sialan!" rutuk Edi sambil tertawa.
Beberapa saat kemudian, Aryo mulai mengambil sapu di dapur dan membersihkan ruangan tengah. Ricky mengambil karpet dari dalam mobil yang sengaja telah
ia persiapkan dari rumah dan digelarnya di atas lantai yang telah dibersihkan oleh Aryo. Mereka lalu duduk-duduk di atas karpet itu.
"Aduh," keluh Ricky tiba-tiba. "Minuman kita habis!"
Edi juga baru ingat kalau persediaan minum yang dibawa dari rumah hanya tinggal sedikit dalam botol di mobil.
"Di sini tidak ada minuman?" tanya Edi.
"Kami jarang ke sini, Ed," kata Ricky mengingatkan. "Jadi villa ini tidak menyediakan minuman. Bagaimana kalau kamu turun sebentar untuk beli minum di
warung yang ada di bawah tadi? Sekalian belikan makanan yang banyak buat bekal Aryo selama di sini."
Edi ingat kalau saat mereka naik tadi mereka melewati beberapa rumah makan dan juga wartel. Jaraknya tak terlalu jauh dari villa mereka. Maka Edi pun segera
mengangguk. Diraihnya kontak mobil Ricky, lalu ia bergegas meninggalkan mereka.
"Agak cepat, Ed," kata Ricky saat Edi sampai di pintu villa. "Jangan lama-lama!"
"Asal aku tidak tersesat!" jawab Edi asal-asalan. Tapi ia yakin kalau dia tak akan tersesat. Hanya ada satu jalan yang bisa dilewati mobil dari villa ini
ke warung tadi, dan begitu pula sebaliknya.
Ricky membaringkan tubuhnya di atas karpet setelah mendengar suara mesin mobilnya menjauh dari halaman villa. Sementara Aryo sudah sibuk dengan sapunya,
mengumpulkan debu yang bertumpuk di seluruh ruangan yang mulai dibersihkannya.
Sambil berbaring-baring di atas karpet, Ricky menerawang memandangi atap villa yang putih, dengan lampu hias di sana. Ia membayangkan malam tahun baru
yang akan dinikmatinya di sini, bersama kawan-kawannya, bersama kekasihnya... Sudah lama sekali ia merindukan acara semacam itu; menikmati malam tahun
baru dalam suasana yang hening, sepi, tanpa kebisingan jalan raya seperti yang biasa mereka nikmati, tanpa suara terompet, tanpa kembang api...
Lalu terlintas dalam benaknya untuk menciptakan suasana yang berbeda di villa ini. Angannya melayang dan dia terbayang pada beberapa film horor yang pernah
disaksikannya. Ya, mengapa tidak, batinnya sambil tersenyum sendiri. Tentunya itu akan menjadi sebuah acara malam tahun baru yang tak akan mereka lupakan,
batin Ricky lagi sambil perlahan-lahan mengangguk-anggukkan kepalanya sendiri. Semakin dipikirkan, rencana yang muncul secara spontan dalam benaknya itu
terlihat semakin mengutuh dalam bayangannya, dan Ricky menjadi semakin bergairah.
Maka ketika Aryo nampak beristirahat sejenak sambil menyulut rokok di dekatnya, Ricky mulai memaparkan rencananya itu pada Aryo. Ya, hanya Aryo yang boleh
tahu tentang rencana ini karena Aryolah yang akan tinggal di villa ini sebelum mereka semua datang. Aryo juga harus tahu rencana yang mengasyikkan ini
karena dia bisa membantu untuk melakukan hal-hal yang diperlukan sebelum kawan-kawannya datang.
Aryo terlihat tersenyum dan mengangguk-anggukkan kepalanya ketika mendengar rencana yang dipaparkan oleh Ricky. Ya, mengapa tidak, pikirnya sambil senyum-senyum
membayangkan kejutan yang akan menimpa kawan-kawannya. Itu pasti akan menjadi kejutan yang menyenangkan, sekaligus menjadi peristiwa yang tak akan mereka
lupakan, batin Aryo pula. Maka Aryo pun menyetujui rencana itu dan berjanji untuk mempersiapkan beberapa hal yang dibutuhkan demi terwujudnya rencana itu.
"Tapi kamu jangan bocorkan ini pada siapapun juga, ya," kata Ricky serius. "Aku ingin tidak ada yang tahu rencana ini selain aku sama kamu, biar mereka
pada surprised!" "Oo-oke!" Aryo menganggukkan kepalanya dengan pasti.
Dan Ricky pun tersenyum. Beberapa saat kemudian, Edi kembali muncul sambil membawa beberapa plastik air jeruk hangat, beberapa minuman dalam kaleng dan botol, dan juga cukup banyak
bungkus roti dan wafer serta rokok. Mereka pun segera menikmatinya sembari bercakap-cakap sambil melepas lelah setelah perjalanan jauh dari Jakarta.
Dua jam kemudian, saat arlojinya menunjukkan pukul empat sore, cuaca nampak semakin gelap dan Ricky pun memutuskan untuk segera pulang kembali ke Jakarta.
Aryo sudah siap untuk ditinggalkan sendiri.
"Pekerjaanmu di sini banyak sekali, jadi kamu pasti tidak akan sempat berpikir macam-macam," kata Ricky saat akan meninggalkan Aryo. "Jadi, kamu tidak
perlu mengkhawatirkan apapun. Aku jamin, tidak akan ada apa-apa di sini."
Aryo menggangguk. Di atas karpet masih ada cukup banyak minuman dan makanan dan juga rokok untuk persediaan sampai kedatangan kawan-kawannya, dan Aryo
tak perlu mengkhawatirkan perutnya kelaparan.
Edi membuka pintu mobil, kini gilirannya yang menyetir karena tadi Ricky sudah menyetir saat perjalanan berangkat ke sini. Ricky duduk di samping Edi,
dan mobil itu pun perlahan-lahan mulai bergerak meninggalkan halaman villa itu. Aryo berlari-lari kecil di belakang mobil untuk menutup kembali pintu gerbang
villa. Saat berdiri di belakang pintu gerbang dan memandangi mobil Ricky yang semakin menjauh, Aryo mulai merasakan bahwa sesuatu yang begitu gelap dan mengerikan
tengah merayap di villa itu...
*** Di dalam mobil yang terus melaju menuruni jalanan yang cukup curam, Ricky menaikkan kedua kakinya yang pegal di atas dashboard, sementara sandaran jok
tempatnya duduk diturunkan. Dia terlihat sedikit mengantuk, namun asap rokok terus-menerus mengepul dari mulutnya.
"Berani sekali tuh si Aryo," kata Edi sambil mengganti gigi persneling saat memasuki jalanan yang mulai rata. "Sendirian dalam villa yang asing..."
Ricky hanya senyum-senyum. "Kan sudah kukatakan, kalau di sana tidak akan ada apa-apa."
"Tapi kalau tahu sejarahnya, jujur saja aku tidak berani, Rick!"
"Aku juga," sahut Ricky asal-asalan.
"Sialan!" rutuk Edi. "Kamu bilang kalau di sana tidak akan ada apa-apa?!"
"Ya memang tidak akan ada apa-apa, tapi aku tetap saja ngeri kalau disuruh sendirian di sana, menginap sendiri..."
"Lalu mengapa kamu suruh si Aryo sendirian di sana?"
"Ya biar saja," sahut Ricky lagi dengan asal-asalan. "Yang penting kan dia dapat duit. Itu lebih penting bagi Aryo."
"Tapi kalau dia dimakan genderuwo, bagaimana?"
"Sialan! Tidak ada genderuwo atau semacamnya, Ed! Villa itu sama sekali tidak angker!"
"Kuntilanak?" tanya Edi memastikan.
"Juga tidak ada!"
"Roh gentayangan?"
"Jangan ngaco!"
"Tapi soal bunuh diri itu..."
"Tapi itu kan sudah lama sekali, Ed!" Ricky menghembuskan asap rokoknya. "Ingat lho, kamu tidak boleh membocorkan hal itu sama yang lain, biar mereka tidak
batal menikmati malam tahun baru di sini."
"Don?t worry," janji Edi. "Pokoknya kamu yang tanggung jawab!"
"Iya, dan aku berani jamin kalau tidak akan ada sesuatu pun yang terjadi di sana, oke?"
Mobil terus melaju dan kini mereka telah cukup jauh meninggalkan kawasan dataran tinggi yang tadi telah berkabut itu. Edi terus melajukan mobil sambil
menikmati asap rokok, sementara Ricky masih duduk santai sambil menyandarkan kedua kakinya di atas dashboard.
"Rick, bagaimana kalau kita kerjain si Aryo?" cetus Edi tiba-tiba.
"Kerjain bagaimana?"
Edi memaparkan rencana spontannya, dan Ricky menanggapinya dengan tawa yang terbahak-bahak.
"Bisa mampus tuh anak," kata Ricky kemudian sambil tertawa yang disambut tawa Edi di belakang setir.
Senja semakin turun, sementara mobil terus melaju.
*** 30 Desember, tiga hari sebelum ditemukannya mayat-mayat itu...
Jefry merasa uring-uringan. Tadi malam Renata meneleponnya dengan sedikit emosi dan menyatakan bahwa dia tidak akan ikut bermalam tahun baru di villa milik
Ricky. Renata terus saja mengatakan bahwa perasaannya tidak enak, dan sebaiknya mereka tetap menikmati malam tahun baru di kota saja, menonton konser musik,
atau melihat film spesial malam tahun baru, membunyikan terompet di jalanan, dan lain-lain, dan sebagainya.
Jefry sudah mencoba menyabarkan diri dan meminta agar Renata menyadari bahwa dia hanya terlalu dikuasai oleh perasaannya sendiri, namun rupanya pacarnya
itu benar-benar sudah tak mau mendengar argumennya lagi. Jefry pun akhirnya terpancing emosinya, dan komunikasi malam itu berakhir dengan ucapan kasar
Jefry. "Semua cewek memang sama saja!" rutuk Jefry tadi malam saat dengan jengkel mematikan teleponnya. "Mereka selalu dikuasai oleh emosi!"
Dan sekarang, saat memasuki kampusnya tanpa Renata, Jefry berharap pacarnya itu sudah mampu mendinginkan emosinya yang semalam meledak-ledak, dan Jefry
pun berharap kalau Renata sekarang sudah mau menyadari bahwa dia terlalu dikuasai oleh perasaannya sendiri. Jefry tetap menginginkan bisa menikmati malam
tahun baru bersama pacarnya. Dan dia serta kawan-kawannya yang lain sudah bersepakat untuk menggunakan villa milik Ricky untuk menikmati malam tahun baru
itu. Apapun yang terjadi, Jefry tetap menginginkan bisa bersama kawan-kawannya, tetapi dia juga tak ingin berpisah dengan pacarnya.
Dengan muka sedikit suntuk, Jefry duduk sendirian di depan kelas Renata, menunggu pacarnya itu datang. Tadi pagi dia tak menjemputnya karena semalam Renata
dengan jengkel mengatakan kalau dia tidak usah dijemput.
Mungkin itu hanya bahasa cewek yang menyatakan kejengkelan pada cowoknya, namun Jefry bukan tipe cowok yang bisa digertak dengan cara seperti itu. Kalau
pacarnya mengatakan, "Besok tidak usah jemput aku!" maka Jefry pun benar-benar tidak akan menjemputnya! Dan sekarang hal seperti itulah yang terjadi, meski
ini bukan yang pertama kali. Renata sendiri pun pasti sudah hafal tabiat Jefry.
Renata akhirnya muncul juga. Pasti dia bawa mobil sendiri, pikir Jefry sambil mencoba tersenyum saat pacarnya itu semakin mendekat ke arahnya.
Renata membalas senyum itu dengan kaku. Dan saat langkah kakinya sampai di depan Jefry, tangan Jefry segera menarik lengan Renata agar mendekat kepadanya.
"Sori atas tadi malam," ucap Jefry. "Kamu sudah tidak marah lagi, kan?"
"Masih!" sahut Renata dengan ekspresi wajah galak, namun akhirnya tersenyum juga saat melihat Jefry tertawa karena ekspresi wajahnya yang mungkin lucu.
Renata lalu duduk di dekat Jefry. Kelasnya masih kosong, hanya ada beberapa mahasiswa yang telah masuk. Dosen yang akan mengajar juga belum datang.
"Kamu masih keberatan kalau kita bermalam tahun baru di villanya Ricky?" tanya Jefry dengan suara yang diusahakan selembut mungkin agar Renata tidak ngamuk
lagi seperti tadi malam. "Sejujurnya aku masih bingung, Jef." Renata menatap kekasihnya. "Aku ingin menikmati malam tahun baru sama kamu, tapi...tidak tahu, aku merasa agak...agak
khawatir kalau kita ke villa itu..."
"Ren," sela Jefry. "Kamu belum pernah melihat villa milik Ricky itu, kan?"
Renata menggeleng. "Aku juga belum pernah," sambung Jefry. "Tapi menurut cerita Ricky, villa miliknya itu ada di kawasan yang begitu tenang, sejuk dan hening. Di sana juga
tak pernah terjadi apa-apa yang perlu dikhawatirkan."
Renata masih diam. "Katakan padaku, apa yang masih kamu khawatirkan?" bujuk Jefry.
"Aku hanya merasa risau, Jef," sahut Renata pelan. "Aku merasa perasaanku tidak enak terus setiap kali teringat villa itu."
Jefry mencoba tersenyum. "Ren, coba pikirkan ini. Kamu belum pernah melihat villa itu. Tapi kamu merasa perasaanmu tidak enak setiap kali teringat villa
itu. Kira-kira, logiskah itu?"
"Aku tahu!" kata Renata dengan jengkel, tapi dengan suara lirih. "Aku tahu kalau itu tidak masuk akal, tapi..."
"Karena kamu masih merasa dibayang-bayangi?" tanya Jefry nampak serius meski dalam hatinya merasa kesal dengan pacarnya yang masih juga dikuasai oleh perasaannya
sendiri. Renata menggeleng. "Nah, jadi apa lagi yang masih kamu risaukan?" Jefry menatap mata Renata. "Kita tidak sendirian. Ada teman-teman yang lain. Ricky juga mengajak Nirina,
dan mungkin Heru akan mengajak Cheryl..."
"Cheryl...?" Renata seperti terkejut mendengar Cheryl akan ikut serta dalam acara itu.
Jefry tersenyum. "Ya, Heru saat ini sedang lengket dengan Cheryl dan kemarin dia mengatakan kalau dia akan mengajak Cheryl ikut serta ke villa milik Ricky."
"Cheryl yang tunangannya Rino itu?"
"Memangnya Cheryl sudah bertunangan?" tanya Jefry agak terkejut.
"Cheryl yang semester lima itu, kan?" Renata seperti ingin memastikan.
Jefry mengangguk. "Dia sudah bertunangan dengan Rino," ulang Renata. "Cheryl kan tinggal satu komplek denganku, dan aku tahu pasti kalau dia sudah bertunangan dengan Rino..."
"Tidak heran," kata Jefry akhirnya sambil tersenyum, "Heru selalu punya cara untuk menundukkan cewek incarannya. Gila juga, sekarang mangsanya sudah bertunangan!"
Obrolan menyangkut Cheryl itu sepertinya jadi membuat Renata terlupa pada topik pembicaraan mereka semula menyangkut acara malam tahun baru itu. Sekarang
Renata dan Jefry malah asyik membicarakan sepak terjang Heru, kawan mereka, yang sudah terkenal sebagai playboy kelas satu di kampus mereka. Jefry hanya
mengikuti arus obrolan itu sambil berharap Renata bisa mengubah pendiriannya semula setelah tahu kalau akan ada cewek-cewek lain selain dirinya yang akan
ikut bermalam tahun baru di villa milik Ricky itu.
Obrolan mereka terhenti ketika akhirnya dosen yang akan mengajar di kelas Renata datang, dan Renata pun segera bergegas masuk ke dalam kelasnya. Jefry
tersenyum dengan cukup puas. Sekarang Renata sepertinya sudah mulai berubah pikiran. Diliriknya jam tangannya. Mata kuliah di kelasnya baru akan masuk
setengah jam lagi. Dia ingin merokok, tapi dia baru menyadari kalau rokoknya tertinggal dalam mobil. Maka Jefry pun kemudian melangkah santai menuju tempat
parkir mobilnya. *** Jam kuliah Heru hari itu mulai masuk pada pukul sepuluh pagi, makanya Heru pun baru sampai di kampusnya sekitar pukul setengah sepuluh. Dia baru saja turun
dari mobilnya sendirian ketika seseorang yang lain nampak keluar dari dalam sebuah mobil BMW warna hitam yang diparkir tak jauh dari tempat mobilnya. Heru
tahu siapa pengendara mobil itu, dan sekarang dia bersiap-siap menyongsong kehadirannya yang sepertinya sengaja menunggunya di tempat parkir ini.
Rino nampak berjalan mendekati Heru, dan melihat ekspresi wajahnya, Heru tahu kalau Rino pasti ingin membahas soal Cheryl, tunangannya itu. Heru telah
mengantisipasi hal itu. Selama berkarir sebagai playboy selama ini, Heru telah kenyang dengan pengalaman seperti ini.
"Hai, Rin," sapa Heru dengan wajah yang diusahakan tetap tenang tanpa dosa. Sebelum ini, Heru telah saling kenal dengan Rino dan mereka biasa saling sapa
sewajarnya bila kebetulan berpapasan.
Rino langsung masuk ke pokok persoalan. "Her, kamu tahu kalau Cheryl itu tunanganku, kan?"
"Cheryl telah menceritakannya kepadaku," jawab Heru dengan santai. Dia malah masih sempat menyulut rokoknya.
"Nah, aku minta kamu tidak mengusik-usik tunanganku!" ujar Rino dengan suara yang berat.
"Sepertinya Cheryl tidak merasa terusik."
"Aku yang terusik, sialan!" bentak Rino dengan kasar.
Heru hanya tersenyum. "Itu salahmu sendiri mengapa kamu harus merasa terusik. Mengapa kamu tidak nyantai saja?!"
"Dengar, Her," kali ini suara Rino semakin berat, ia sepertinya menahan amarahnya sebisanya, "kamu bisa mendekati cewek manapun di kampus ini, tapi tolong
jangan ganggu hubungan kami!"
"Rin," sahut Heru sambil menghembuskan asap rokoknya, "aku mendekati Cheryl secara baik-baik, dan aku sama sekali tidak punya niat untuk mengganggu hubungan
kalian. Kenapa kamu punya pikiran seburuk itu?!"
"Karena kamu playboy sialan!" rutuk Rino dengan sangat marah.
"Dan kamu pikir kamu siapa?!" balas Heru sambil tersenyum mencemooh. Dia masih tak berbuat apa-apa selama Rino tetap tak menyentuhnya. Dan Rino pun sepertinya
masih berusaha untuk dapat menahan amarahnya sendiri.
"Aku tunangannya, brengsek!"
"Tapi Cheryl tak merasa kalau dia tunanganmu!"
"Apa maksudmu?!" Rino membelalak marah. Kali ini dia sepertinya semakin sulit menahan amarahnya.
"Kenapa tidak kamu pikir sendiri?!" jawab Heru seenaknya.
Kali ini jebol sudah pertahanan Rino. Heru yang sepertinya sama sekali tak menanggapinya dengan baik dan bahkan terkesan mencemoohkannya telah membuat
Rino tak mampu lagi menahan amarahnya. Maka Rino pun lalu melayangkan tinjunya ke muka Heru. Heru telah bersiap untuk itu dan dengan enteng ditangkisnya
tinju Rino, dan Heru balik menghajar muka Rino dengan keras.
Baku hantam itu mungkin akan sampai berdarah-darah kalau saja Jefry tidak muncul di tempat parkir yang lengang itu dan melerai mereka.
"Hei-hei-hei!" seru Jefry dengan keras. Lalu dia berlari ke arah mereka dan segera saja menarik Heru dari tubuh Rino yang terpojok di dekat mobilnya. Jefry
yang bertubuh besar itu dengan mudah memisahkan perkelahian mereka.
"Kenapa, Her?" tanya Jefry pada Heru karena di antara mereka yang berantem, Herulah yang lebih dekat dengannya.
"Tanya sendiri sama dia!" sentak Heru sambil membetulkan bajunya.
Rino juga nampak membetulkan bajunya dan kemudian mendekati Heru yang kini dibelakangi Jefry.
"Dengar, brengsek," kata Rino dengan bengis pada Heru, "kalau aku dengar kamu masih mencoba mendekati Cheryl, aku tidak akan ragu untuk membunuhmu!"
"Kita lihat saja!" balas Heru tanpa takut.
"Sudah, sudah!" seru Jefry memisahkan kembali. Ia yang kini tahu duduk perkaranya kemudian berkata pada Rino dengan halus, "Rin, sebaiknya kamu pergi dulu,
deh." Rino pun segera berlalu dan kembali ke mobilnya. Beberapa saat kemudian mobil BMW tunggangannya itu segera melaju dengan kencang meninggalkan debu-debu
areal parkir kampus itu. "Kenapa sih harus sampai berantem seperti itu?" tanya Jefry pada Heru setelah Rino telah jauh melaju meninggalkan mereka.
Heru cuma nyengir. "Kamu bertanya seperti kamu sendiri tidak pernah berantem!"
Jefry tertawa. "Pasti masalahnya karena Cheryl," katanya kemudian.
"Kamu sudah dengar sendiri."


Misteri Villa Berdarah Karya Unknown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Her," ucap Jefry sungguh-sungguh, "menurut Renata, Cheryl memang sudah bertunangan dengan Rino."?
"Aku tahu," jawab Heru acuh tak acuh.
"Kamu tahu?!" ulang Jefry sambil membelalak. "Dan kamu tidak merasa bersalah mendekati tunangan orang lain?"
"Mereka baru bertunangan, kan?"
"Sinting!" rutuk Jefry. "Dengar, Her, bukannya aku mau membela si Rambo itu, tapi aku sendiri bakal tidak terima kalau ada cowok lain yang mencoba mendekati
pacarku, meski kami baru sebatas pacaran!"
"Tapi Cheryl mengatakan padaku bahwa pertunangan itu dipaksakan, Jef." Heru mencoba mencari celah bagi pembenaran perilakunya. "Cheryl sendiri tidak suka
dengan si Rambo dan dia sama sekali tidak setuju atas pertunangan itu."
"Itu bukan urusanku, oke?" Jefry mengangkat bahunya. "Tapi kan masih banyak cewek lain yang bisa kamu dekati selain si Cheryl?"
"Dan mengapa Cheryl mau aku dekati?" balas Heru keras kepala.
"Kamu memang playboy brengsek!" rutuk Jefry akhirnya sambil tertawa. Ia lalu melangkah menuju mobilnya karena ia ingat kalau tujuannya kemari adalah untuk
mengambil rokoknya yang tertinggal dalam mobil.
Jefry baru saja menyulut rokoknya ketika mobil Blazer milik Ricky memasuki areal parkir kampus itu. Ricky terlihat turun dari mobil bersama Nirina seperti
biasa. Mereka saling sapa, dan saat melihat wajah Heru sedikit lebam, Ricky menatapnya sambil mengernyit.
"Kenapa mukamu?" tanya Ricky sambil memperhatikan wajah Heru.
Heru yang baru menyadari ada yang lain di wajahnya segera mengusapkan tangannya pada wajahnya, sementara Jefry menyahut sambil tertawa, "Barusan dia berantem
sama si Rambo!" "Rambo siapa?" tanya Ricky tidak paham.
"Itu, cowoknya Cheryl," jawab Jefry.
"Oo, Rino," sahut Nirina memberitahu Ricky.
Ricky nampak senyum-senyum memandangi wajah Heru. Dia juga tahu siapa Rino. Ia lalu berujar, "Makanya, kalau cari mangsa, lihat-lihat pawangnya. Jangan
asal terkam!" Heru jadi salah tingkah dipandangi seperti itu, apalagi Nirina juga ikut-ikutan memandangi wajahnya.
"Sudah, kalian tidak usah pandangi aku seperti itu," kata Heru kemudian dengan jengkel. "Aku jadi merasa kalau baru ketangkap karena maling jemuran!"
Jefry dan Ricky tertawa terbahak-bahak, sementara Nirina hanya tersenyum. Mereka lalu melangkah bersama memasuki areal kampus.
Jefry lalu bertanya pada Ricky, "Kamu sudah kirim si Gagap ke villamu, Rick?"
"Sudah, kemarin aku sama Edi mengantar dia ke sana," jawab Ricky.
"Jadi, kapan kita akan berangkat ke sana?"
"Besok, jam tujuh, kalian semua kumpul di rumahku, lalu kita berangkat langsung." Ricky menjelaskan. "Sebaiknya kamu juga bawa mobil, Jef, biar kita tidak
terlalu berdesak-desakan."
"Cukup dua mobil?" tanya Heru. "Aku tidak perlu bawa juga?"
"Halaman villaku tidak terlalu luas," jawab Ricky. "Lagi pula dua mobil juga sudah cukup."
Di depan ruangan kelas, nampak Edi yang telah duduk dengan asap rokoknya. Dia tengah menantikan kedatangan dosennya sambil menikmati sisa-sisa puntung
rokoknya. Saat melihat kedatangan Ricky dan kawan-kawannya yang lain, pandangan Edi segera tertuju pada wajah Heru yang sedikit lebam.
"Kenapa mukamu?" tanya Edi sambil memperhatikan wajah Heru.
"Sialan," rutuk Heru. "Apakah mukaku memang telah banyak berubah?!"
"Seharusnya tadi kamu ngaca dulu, Her," ujar Jefry sambil tersenyum. "Kamu juga bakal pangling kalau sudah lihat mukamu sendiri."
"Sialan!" rutuk Heru sekali lagi, lalu bergegas menuju ke kamar kecil. Mungkin wajahnya perlu dibasuh dengan air, pikirnya, dan di sana ada cermin kecil
yang dapat digunakannya untuk memeriksa wajahnya.
"Kenapa dia?" tanya Edi pada Jefry setelah Heru berlalu.
"Ribut sama Rino!" jawab Jefry langsung.
Edi langsung ngakak-ngakak. "Biar tahu rasa tuh anak! Kemarin sudah aku kasih tahu, jangan dekat-dekat dengan piaraan monster itu, sekarang dia tahu sendiri
akibatnya!" Di kamar kecil, Heru membasuh wajahnya dengan air, dan kemudian bercermin untuk memeriksa wajahnya. Sekali lagi dia mengutuk kawan-kawannya. Ternyata hanya
ada sedikit lebam di pipi atasnya yang tak terlalu kelihatan mencolok. Mungkin mata kawan-kawannya memang telah diganti dengan sinar X, pikir Heru dengan
jengkel. Sambil memperhatikan wajahnya yang kini dinodai sedikit lebam itu, Heru kembali teringat dengan ancaman Rino. Tapi dia sama sekali tak takut. Lagi pula,
ia tahu kalau hubungannya dengan Cheryl tak akan lama. Aku hanya butuh cewek itu untuk malam tahun baru ini, dan setelah itu, biarkan si Rambo mengambil
ceweknya kembali! Dan soal ancaman pembunuhan yang dilontarkan Rino, Heru pun sama sekali tak mau memasukkannya ke hati. Dia mencibirkan bibirnya ke cermin di hadapannya.
Memangnya dia hidup di hutan?! Tidak sembarangan bunuh orang!
*** Di dalam kamarnya, malam itu, Cheryl sedang asyik membaca novel ketika ponselnya berbunyi. Diraihnya ponselnya, dan dilihatnya nama Rino di screen ponselnya.
"Malam, Honey," sapa Cheryl dengan mesra seperti biasa.
"Cher, aku dengar kalau kamu punya rencana bertahun baru bersama Heru," labrak Rino langsung meski dengan suara yang pelan. "Benar tidak?"
"Kamu dengar dari siapa sih, Rin?" Cheryl masih mencoba mengelak.
"Jawab saja, benar apa tidak?"
Cheryl tahu bagaimana menghadapi setiap cowok, dan dia pun tahu bagaimana menangani amukan pacarnya. "Bagaimana kalau tidak?"
"Benar?" Rino ingin memastikan.
"Dan bagaimana kalau ya?"
"Cheryl...!" "Rino...!" "Cher, serius, please. Aku butuh kepastian kalau kamu tidak ada acara apapun dengan si Komodo itu."
"Aku tidak ada urusan apa-apa dengan komodo manapun, Rin!" jawab Cheryl sambil tersenyum. Aku hanya sedang berurusan dengan Heru!
Segarang apapun, Rino memang selalu tak mampu galak ketika menghadapi Cheryl. Dia begitu mencintai cewek itu dan dia seringkali lebih suka mengalah daripada
berisiko kehilangan Cheryl. Karenanya yang kemudian ia katakan hanyalah ucapan pelan, "Aku tidak suka kalau kamu ada hubungan dengan Heru."
"Aku tahu," jawab Cheryl tanpa dosa.
Rino masih mencoba mengejar lagi, "Dan bagaimana dengan acara malam tahun baru?"
"Aku ada acara dengan beberapa kawan."
"Tidak bersama Heru?"
"Kalau itu maumu."
"Cher, dengar, kalau kamu tetap bersama Heru, aku pasti tahu dan aku pasti tidak akan tinggal diam."
"Rin, dengar, kalau aku bersama Heru atau tidak, kenapa kamu tidak percaya sama aku?"
Itu adalah kata-kata yang terdengar enak di telinga tapi sulit dipahami maksudnya. Dan Rino sudah berkali-kali menghadapi bahasa seperti itu dari bibir
pacarnya. Dia tidak bisa lagi mendebat kalau tak mau terdengar bodoh karena dia sendiri bingung apa maksud kata-kata itu. Akhirnya Rino pun hanya bergumam
jengkel, "Oke, aku percaya sama kamu. Tapi..."
"Tentu saja tak pakai ?tapi?," sela Cheryl dengan manis, "aku tidak butuh kepercayaan yang bersyarat."
Dan Rino pun kalah. Cheryl meletakkan ponselnya kembali dengan bibir yang tersenyum.
Malam hari terasa begitu dingin di villa itu. Aryo telah membersihkan seluruh ruangan villa milik Ricky itu dan kini tengah menikmati kesendiriannya di
salah satu kamar yang ada di villa tersebut. Menghisap rokoknya dengan nikmat, Aryo menyandarkan badannya pada bantal di atas springbed empuk yang terasa
begitu nyaman dirasakannya. Seumur hidup, baru kali ini ia bisa menikmati empuknya springbed seperti itu, dan Aryo tersenyum sendiri membayangkan kalau
dialah pemilik villa itu.
Sesuai dengan perjanjian, besok siang kawan-kawannya akan datang dan mereka akan menikmati malam tahun baru di villa ini, dan Aryo telah mempersiapkan
villa ini untuk ditempati. Seluruh kamar telah bersih, lantai villa telah mengkilap, dan kamar mandi serta dapur telah dibersihkan.
Ricky pasti akan menyukai hasil kerjanya seperti biasa. Kemarin Ricky juga telah memberikan uang lagi kepadanya, lebih besar dari pemberian yang pertama,
dan Aryo merasa senang dengan uang itu. Ia bisa menggunakan uang itu untuk membeli baju baru di Tanah Abang atau membelikan sesuatu untuk kakek-neneknya...
Ricky memang pemurah, batin Aryo, beda dengan pacarnya yang judes itu. Aryo tahu kalau Nirina tidak menyukainya dan Aryo tak terlalu merisaukannya. Pokoknya,
selama Ricky tetap baik kepadanya, tetap membutuhkan tenaganya dan tetap memberikan uang kepadanya, peduli setan dengan Nirina!
Aryo menyesap minuman dalam kaleng yang dibelikan Edi kemarin dan kembali menghisap rokoknya. Sejak tadi siang dia tidak makan nasi, tapi wafer dan makanan
lain yang dibelikan Edi kemarin cukup untuk mengganjal perutnya. Besok kawan-kawannya pasti akan membawakannya nasi, juga banyak makanan dan minuman yang
bisa dinikmati sepuas-puasnya.
Aryo merasakan udara semakin dingin, dan dia pun menarik ritsleting jaketnya. Untung aku bawa jaket, pikirnya. Angin terasa berhembus cukup kencang, merontokkan
daun-daun pohon mangga yang tak terurus di depan villa. Saat rokoknya habis, Aryo merasa kebingungan. Apa lagi yang dapat dikerjakannya?
Sendirian tanpa kegiatan, tanpa kesibukan lagi yang dapat dilakukan, membuatnya jadi bingung. Ricky kemarin telah meninggalkan sebuah tabloid hiburan edisi
terbaru yang mereka beli di pom bensin, namun Aryo telah membacanya. Mau tidur, tapi kedua matanya terasa belum mengantuk. Tidak ada televisi yang dapat
ditonton, bahkan tak ada radio yang bisa dijadikan teman kesepian.
Telepon! pikirnya kemudian secara tiba-tiba. Mengapa tak digunakannya saja telepon di depan itu untuk menghubungi kawan-kawannya?
Tetapi kemudian Aryo memaki sendiri dalam hati. Selama ini Aryo tak terbiasa saling menelepon dengan kawan-kawannya karena dia belum pernah memiliki ponsel
dan dia sama sekali tidak hafal satu pun nomor telepon atau nomor ponsel kawan-kawannya. Mengapa dia tidak ingat untuk meminta Ricky dan Edi meninggalkan
nomor telepon mereka? Aryo mengutuk dirinya sendiri. Jadi telepon itu memang berfungsi, tapi Aryo tak bisa menggunakannya!
Mata Aryo melihat sekilas tabloid hiburan yang tergeletak di atas meja di samping springbed-nya. Apa kata Ricky kemarin itu? Jangan menelepon party line?
Aryo tahu layanan telepon mesum itu. Ada cukup banyak iklannya di majalah dan tabloid hiburan, dan Aryo sudah biasa melihatnya. Sesopan apapun gambar iklannya,
kawan-kawannya pernah bilang kalau layanan telepon party line itu pasti berisi cewek-cewek yang pintar diajak ngomong jorok.
Heru yang dulu pernah kecanduan party line bahkan pernah menceritakan sambil mabuk bahwa dia bisa melayang-layang kalau sudah menelepon cewek-cewek di
layanan party line itu. Mengapa tak dicoba saja sekarang? Di tabloid hiburan yang ada di dekatnya itu terdapat banyak iklan layanan semacam itu dan dia
bisa memilih salah satunya. Apa salahnya menghibur diri sendiri, pikir Aryo sambil tersenyum senang.
Maka diambilnya tabloid di atas meja, lalu dibukanya halaman yang terdapat iklan party line, kemudian dipelajarinya satu persatu. Ada iklan-iklan yang
nampak sopan dengan gambar yang cukup artistik, namun banyak juga yang iklannya sangat vulgar dengan gambar-gambar seronok yang amat menantang rasa penasaran.
"Kesepian dan butuh teman? Mengapa tidak gabung dengan pesta kami? Telepon segera di 0809..." "Sendirian? Butuh teman kencan? Aku siap menemani kamu! Call
aku ya di 0809..." "Aku merindukan kehangatanmu, Sayang... Please, hubungi aku segera di 0809..."
Aryo merasa salah satu iklan di situ cukup menggoda rasa penasarannya. Ah, peduli setan kalau nanti pulsa teleponnya membengkak. Biaya yang dibebankan
untuk memakai layanan party line itu menggunakan pulsa premium, tapi Aryo yakin kalau Ricky tak akan terlalu meributkannya kalau dia bisa menjelaskan bahwa
dia sangat kesepian dan tidak bisa menghubungi kawannya satu pun karena tidak hafal satu pun nomor telepon mereka.
Aryo turun dari springbed dan melangkah keluar dari kamar sambil tersenyum sendiri. Tetapi baru saja Aryo mendekati pesawat telepon di atas bufet, pesawat
telepon itu telah berbunyi.
"Krrriiiiiiiingg...!!!"
Aryo tersentak mundur karena terkejut. Mengapa telepon sialan itu seperti tahu kalau aku akan menggunakannya?
"Krrriiiiiiiingg...!!!" telepon itu masih berbunyi.
Aryo memandangi pesawat telepon di atas bufet dengan bingung sambil merasakan bulu kuduknya yang tiba-tiba merinding. Siapa yang menghubunginya malam ini?
Ricky? Edi? Mengapa tubuhku jadi merinding seperti ini...?
Angin tiba-tiba berhembus dengan kencang, menerbangkan tirai gorden di jendela depan. Aryo masih berdiri mematung di dekat pesawat telepon itu sementara
telepon masih saja tetap berdering.
Akhirnya, dengan sedikit takut-takut, Aryo mengangkat handel telepon itu dan mendekatkannya ke telinganya.
"Hhha-halo...?" sapanya dengan tergagap.
Tak ada suara di seberang sana. Aryo mencoba mendengarkan dengan lebih seksama. Apakah telepon ini ada kerusakan?
"Hhhha-hallo...? Ssssi-siapa...?!" sapa Aryo lagi.
Tiba-tiba terdengar suara di seberang sana. Sebuah suara yang berat, penuh ancaman, "Aku sudah mengatakan kepadamu agar kamu tutup mulut! Tapi kamu melanggarnya...!"
"Ssssi-siapa...?!" Aryo tergagap ketakutan.
Suara di seberang sana masih menggeram menakutkan, "Tunggulah janjiku! Aku tahu dimana pun kamu berada. Aku akan membunuhmu!"
Kemudian hubungan terputus. Angin menderu kencang. Aryo terduduk lemas di dekat pesawat telepon tanpa sempat meletakkan handel telepon pada tempatnya semula.
Siapakah itu? batinnya dengan galau. Apakah itu ayahku? Apakah aku sekarang tengah bermimpi dan dia kembali hadir dalam mimpiku? Tapi Aryo tahu kalau sekarang
dia belum tidur dan itu bukanlah mimpi.
Hujan tiba-tiba turun dengan deras dan suaranya menggemuruh di atas villa itu. Dengan ketakutan, Aryo segera meletakkan handel telepon pada tempatnya lalu
berlari menuju ke dalam kamarnya kembali. Dengan napas yang memburu dia naik ke atas springbed lalu meminum sisa minumannya dalam kaleng. Lalu dengan tangan
yang gemetaran disulutnya sebatang rokok di mulutnya. Keinginan untuk menelepon party line tiba-tiba lenyap dalam otaknya. Siapakah yang telah menelepon
itu...? Halilintar menggelegar dan Aryo merasakan tubuhnya gemetaran. Oh sialan, rutuknya, mengapa aku mau ditinggal sendirian dalam villa keparat ini?!
Aryo mencoba menenangkan perasaannya sendiri yang tak karuan, dan dicobanya untuk menghilangkan bayangan-bayangan menakutkan yang sempat hinggap dalam
benaknya. Tetapi dia masih saja teringat suara dingin penuh ancaman yang baru saja didengarnya melalui telepon itu. Benarkah itu ayahnya? Benarkah ayahnya
masih hidup dan dia tahu kalau Aryo telah melanggar janji kepadanya? Benarkah ayahnya tahu kalau Aryo telah membuka mulut dan menceritakan pada kawan-kawannya
soal pembunuhan ayahnya terhadap ibunya bertahun-tahun yang lalu itu...? Mengapa ayahnya bisa tahu kalau dia sekarang berada di sini...?
"Tunggulah janjiku! Aku tahu dimana pun kamu berada. Aku akan membunuhmu!"
Aryo kembali terngiang-ngiang ucapan terakhir penelepon itu. Benarkah itu ayahku...? Aryo merasakan tubuhnya semakin merinding. Ingatannya seperti dipaksa
untuk kembali pada tahun-tahun yang telah berlalu ketika ia masih hidup bersama ayah dan ibunya, ketika hari-hari yang mereka lewati seperti dalam neraka.
Dan Aryo kembali terbayang serta merasakan kisah-kisah mengerikan di masa lalu itu kini kembali mencabik-cabik jiwanya, merongrong perasaannya. Wajah ayahnya...
Aryo masih mengingat betul bagaimana ekspresi wajah ayahnya setiap kali menganiaya ibunya; wajah yang asing, wajah yang penuh ancaman dan menakutkan, wajah
yang begitu ingin dilupakannya namun tak pernah bisa...
Dan kini, Aryo seperti kembali mendengar jerit dan tangis ketakutan ibunya setiap kali peristiwa itu berulang dan berulang. Malam-malam yang dingin, yang
hening, malam-malam yang dipecahkan oleh isak tangis ibunya setiap kali ayahnya datang menjelang pagi sambil penuh amarah dan bau minuman keras yang menguar
di hidung kecil Aryo bertahun-tahun yang lalu...
Dengan tangan gemetaran Aryo mencoba mendekatkan rokoknya ke mulutnya untuk menghisap kembali asap rokoknya, namun kemudian telinganya mendengar suara
ketukan di pintu... "Tok...tok...tok..."
Suara ketukan itu terdengar samar-samar, dan Aryo merasa ragu-ragu. Apakah itu benar ketukan di pintu? Ataukah hanya suara angin yang menyambar genteng?
Atau suara air hujan di atas atap?
"Tok...tok...tok..."
Suara ketukan itu masih terdengar samar-samar. Aryo merasakan bulu kuduknya semakin merinding. Siapa yang bertamu malam-malam begini di villa yang terasing
dan di tengah hujan deras seperti ini? Tiba-tiba Aryo kembali teringat ucapan Ricky tentang kisah bunuh diri yang pernah dilakukan di villa itu, dan Aryo
merasakan bulu kuduknya semakin merinding. Oh, terkutuklah Ricky, makinya penuh kejengkelan. Mengapa aku mau ditinggalkannya di sini...?
Suara ketukan di pintu masih samar-samar terdengar. Suara deras hujan masih menggemuruh. Halilintar kembali menggelegar.
Aryo cepat-cepat mematikan rokoknya di asbak, lalu dengan panik dan ketakutan ditariknya selimut untuk menutupi seluruh tubuhnya. Semoga saja pintu depan
telah terkunci! Namun sampai tiga jam berada di dalam selimut, kedua mata Aryo tak pernah mau dipejamkan. Angannya bergerak melayang dengan nyalang.
Sesuatu yang teramat gelap dan mengerikan terus merayap di villa itu...
31 Desember, dua hari sebelum ditemukannya mayat-mayat itu...
Jakarta diguyur hujan ketika pagi itu Ricky dan kawan-kawannya telah berkumpul di rumahnya. Seperti yang telah disepakati sebelumnya, hanya ada dua mobil
yang akan mereka bawa ke villa; mobil Blazer milik Ricky dan mobil Phanter milik Jefry. Edi dan Heru nampak mengangkut dus-dus berisi makanan dan minuman
ke mobil Jefry, sementara Renata, Cheryl dan Nirina telah berkumpul di salah satu jok mobil Ricky. Renata akhirnya ikut juga dalam acara ini meski dengan
sedikit perasaan segan. "Rick, di sana pasti dingin sekali, kan?" bisik Jefry saat mereka akan berangkat. "Kamu bawa bir?"
Ricky tertawa. "Tidak perlu khawatir," bisiknya. "Ada dalam bagasi mobilku."
Heru ikut naik ke mobil Ricky, sementara Jefry hanya berdua dengan Edi di mobilnya.
Pukul tujuh pagi tepat, kedua mobil itu pun berangkat meninggalkan rumah Ricky diiringi dengan hujan yang masih terus turun dari langit.
"Berapa lama perjalanan ke sana, Ed?" tanya Jefry saat mobil mereka mulai melaju.
"Kalau perjalanan lancar, jam satu siang kita sudah sampai di sana," jawab Edi.
"Kamu sudah melihat villa itu, kan? Bagaimana keadaannya?"
"Kamu pasti akan menyukainya kalau sudah melihatnya."
"Ada kamar-kamarnya juga, kan?"
Edi tertawa. "Sepertinya acara ini memang diperuntukkan untuk kamu, Ricky dan Heru. Di sana ada tiga kamar, lengkap dengan tempat tidur."
Jefry tertawa puas. Tak sia-sia dia memaksa Renata untuk ikut serta dalam acara ini, batinnya sambil tersenyum.
Sementara Edi membayangkan, apa yang sekiranya akan diperbuat Jefry kalau saja dia tahu bahwa villa itu bekas orang mati bunuh diri?
"Aku heran dengan Heru, Ed," kata Jefry kemudian, "Kok bisa-bisanya dia berhasil mengajak Cheryl ikut acara ini."
Edi tersenyum. "Kamu tahu sendiri bagaimana dia, Jef. Heru sepertinya punya segala macam akal bulus untuk menggaet cewek manapun yang dia inginkan, tak
peduli itu punya orang!"
"Kata Renata, Cheryl tuh sudah bertunangan sama Rino."
"Iya, aku juga tahu itu."
"Lalu bagaimana cara si Bulus itu mengajak Cheryl sampai cewek itu mau?"
"Sebaiknya kamu tanya sendiri sama orangnya!" jawab Edi sambil tertawa. "Tapi menurut Heru, Cheryl tidak suka dengan Rino, dan pertunangan itu terjadi
karena paksaan dari orangtua mereka."
"Apa iya?" Jefry seperti tak percaya. "Tapi menurut Renata, Cheryl sama Rino memang saling suka. Renata kan tinggal satu komplek dengan Cheryl. Dia tahu
banyak tentang cewek itu."
"Kalau begitu, bisa saja cewek itu juga sama bulusnya seperti Heru," sahut Edi sambil tertawa.
Jefry pun tertawa. "Tolong rokokku, Ed," katanya kemudian.
Edi mengambil rokok di atas dashboard di hadapannya dan memberikannya pada Jefry. Sambil terus mengemudikan mobilnya, Jefry menyulut rokoknya dengan korek
gas. "Kenapa kamu tidak ikutan cari cewek, Ed?" tanya Jefry sambil menghembuskan asap rokoknya. "Kan lebih asyik kalau kita semua punya pasangan."
"Tidak enak sama Aryo, kasihan dia kalau kita semua bawa cewek sementara dia sendirian."
"Oh iya, anak itu kan ikut juga, ya," kata Jefry seperti baru ingat tentang Aryo. "Jadi dia sudah menunggu di villa?"
"Iya, mungkin sekarang villa itu sudah bersih dan sudah siap pakai."
Jefry mengangguk-anggukkan kepalanya. "Untung kita punya dia," katanya kemudian.
Edi mengambil rokoknya di atas dashboard dan kemudian menyulutnya. "Kadang aku kasihan kalau melihat Aryo..." katanya kemudian seperti bergumam.
"Aku juga," sahut Jefry. "Tapi kadang anak itu ada tidak beresnya juga..."
"Maksudmu?" "Kamu pasti belum tahu ya, kalau si Gagap itu pernah menyatakan cinta sama Renata."
Edi menghembuskan asap rokoknya dengan terkejut. "Kamu serius?"
"Kamu pasti tidak percaya kalau kuceritakan kisahnya," kata Jefry. "Aku sendiri tidak akan percaya kalau saja tidak melihat sendiri buktinya."
Lalu Jefry menceritakan kisah yang didengarnya dari Renata. Soal pendekatan Aryo terhadap Renata yang terkesan lucu dan kekanak-kanakan, sampai pernyataan
cinta Aryo terhadap Renata.
"Dia bahkan sampai mengirim surat cinta segala," lanjut Jefry. "Surat itulah yang kemudian aku lihat, dan aku baru tahu kalau ternyata Aryo pernah menyatakan
cinta sama Renata." Edi tersenyum-senyum mendengar penuturan kisah itu. Sama sekali tak pernah disangkanya kalau Aryo pernah melakukan hal semacam itu.
"Yang membuat aku dongkol," Jefry masih melanjutkan, "dia tetap saja mencoba mendekati Renata meski dia tahu kalau aku sudah menjadi pacarnya."
"Terus?" "Ya aku temui," jawab Jefry langsung. "Aku kasih tahu kalau aku pacarnya Renata dan aku tidak suka kalau dia terus mengusik kehidupan pacarku."
"Dan tanggapan Aryo?"
"Dia cuma diam saja, tapi aku yakin dia paham maksudku. Setelah itu dia tidak pernah lagi mengusik Renata. Hanya saja..."
Ucapan Jefry terhenti seketika saat Edi tiba-tiba berteriak panik, "Awas, Jef...!"
Jefry pun melihatnya. Ia segera tahu apa yang ditakutkan Edi. Ia segera menekan pedal rem sekuat-kuatnya. Seekor kucing hitam melintas begitu dekat di
depan mobilnya. "Oh, sialan!" maki Jefry setelah kucing itu menjauh. "Mengapa di jalan raya seramai ini bisa ada kucing jalan-jalan?!"
Edi nampak duduk dengan lemas sementara dadanya naik-turun setelah kepanikan sekejap itu. Dia begitu percaya tentang mitos kucing, dan dia pun percaya
kalau kucing hitam yang melintas selalu membawa pertanda.
"Aku merasakan perasaanku jadi tidak enak, Jef," kata Edi kemudian sambil membuang puntung rokoknya dari jendela.
Jefry hanya melengos. Ucapan itu hanya mengingatkannya pada pacarnya yang dinilainya terlalu dikuasai oleh perasaan.
*** Mobil-mobil mereka kini mulai memasuki kawasan dataran tinggi itu, dan jalanan kini mulai menanjak. Hawa dingin mulai terasa, dan meskipun hari belum sore,
namun cuaca terlihat gelap di daerah itu. Di dalam mobil Ricky, nampak Cheryl, Renata dan Nirina tertidur saling berhimpitan dalam satu jok, sementara
Heru masih ngobrol-ngobrol dengan Ricky di jok depan sambil tak putus-putusnya merokok.
"Masih jauh, Rick?" tanya Heru.
"Tidak lama lagi kita akan sampai," jawab Ricky. Diliriknya kaca spion dan nampak mobil Jefry masih terus membuntuti cukup jauh di belakang.
Jalanan yang menanjak itu tidak terlalu luas, hanya cukup dilewati satu mobil. Sesekali ada mobil lain yang turun dari arah depan mereka, dan Ricky akan
dengan susah-payah meminggirkan mobilnya untuk memberi jalan mobil yang akan turun itu sambil menjaga-jaga agar mobil mereka tak saling menyerempet.
Kadang di sisi pinggir jalan ada persawahan, namun juga ada banyak jurang-jurang menganga yang hanya dilindungi dengan sedikit pagar besi yang mungkin
bertujuan untuk menahan kalau sewaktu-waktu ada mobil yang terperosok. Selebihnya adalah hutan yang penuh dengan rerimbunan pohon-pohon tinggi dan besar
yang menutup di kanan kiri jalan.
"Kalau melihat jaraknya yang jauh begini, tidak ada salahnya kalau kita lebih lama di sana, Rick," kata Heru sambil menikmati pemandangan di jalanan yang
mereka lewati. "Kalau yang lain setuju, aku sih setuju saja, Her," jawab Ricky. "Cuma, cewek-cewek di belakang kita itu yang mungkin akan keberatan."
Heru melirik ke jok di belakangnya dan didapatinya ketiga cewek itu masih terlelap dalam tidurnya. Heru masih ingat kalau Cheryl pun sudah wanti-wanti
agar mereka sudah sampai di Jakarta kembali selambat-lambatnya tanggal 2 Januari.
"Nirina minta kita hanya dua hari disana," kata Ricky kemudian.
"Cheryl juga begitu," sahut Heru.
Ricky tersenyum. "Apa sebenarnya azimat yang kamu pakai hingga bisa membawanya ikut serta, Her?"
Heru hanya tertawa kecil. "Sebaiknya kamu tanya sendiri sama Cheryl," katanya kemudian dengan lirih agar Cheryl tak sampai terbangun dari tidurnya.
"Di antara semua cewek yang pernah kamu gaet, menurutku, cewek inilah yang paling penuh tantangan."
Sekali lagi Heru tertawa kecil menanggapi ucapan itu, "Karena dia tunangan Rino?"
"Salah satunya itu," jawab Ricky. "Seisi kampus kita tidak ada yang berani mendekatinya karena mereka tahu siapa pemiliknya. Tapi kamu tetap cuek saja."
"Aku juga tidak bakal mendekatinya kalau saja aku tahu," sahut Heru asal-asalan.


Misteri Villa Berdarah Karya Unknown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ricky terkejut. "What?"
"Aku sama sekali tidak tahu sebelumnya kalau dia tunangan Rino."
Ricky tertawa terbahak-bahak mendengar jawaban yang jujur itu. "Tapi kok dianya mau ya didekati kamu?" tanyanya kemudian dengan heran.
"Itulah anehnya cewek, Rick," gumam Heru sambil tersenyum. "Mereka itu...unpredictable."
"Itu seperti istilah ekonomi," sahut Ricky sambil tergelak lagi.
Tawa Ricky seketika terhenti ketika Heru dengan panik mencekal lengannya dan berkata dengan kacau, "Hei-hei-hei, apa itu...???"
Ricky yang merasakan cekalan Heru pada lengannya segera saja menekan pedal rem dan langsung menyaksikan apa yang ditunjuk oleh Heru. Sesuatu yang berwarna
hitam nampak bergerak melintang di jalanan di hadapan mereka, sesuatu yang merayap perlahan-lahan dengan aura mengerikan.
"U-ular...?!" desis Ricky sambil bergidik menyaksikan sosok hitam itu bergerak merayap tak jauh di depan mobilnya yang kini telah berhenti.
Heru nampak memperhatikan ular itu tanpa berkedip. Ular itu sebesar bambu berukuran besar, berwarna hitam legam dengan belang-belang warna kuning dan jingga
yang mengerikan. Panjangnya mungkin mencapai dua meter.
"Baru kali ini aku melihat ular sebesar itu," bisik Heru sambil berharap ketiga cewek di belakangnya tak ada yang terbangun. Mereka pasti akan menjerit
tak karuan kalau sampai melihat apa yang kini ada di hadapannya.
Ricky seperti mematung di tempat duduknya melihat kengerian di depan matanya, sementara ular itu tidak juga pergi dari tempatnya semula. Ular itu kini
bahkan melingkar dan memamerkan kepalanya yang berbentuk pipih menyerupai ular kobra dengan lidah runcing bercabang dua yang dijulur-julurkannya, seolah
menantang sosok-sosok di hadapannya.
Tiba-tiba Ricky seperti tersadar dari keterkejutannya, dan dengan kasar disentakkannya persneling mobilnya. Heru yang tahu maksud Ricky segera mencekal
lengan Ricky dan berbisik tertahan, "Tunggu dulu Rick, jangan sampai kita melindas ular itu!"
"Tap-tapi...dia tidak mau pergi," kata Ricky dengan panik.
"Biar saja. Dia pasti pergi sebentar lagi."
Sementara mobil Jefry yang telah menyusul mereka kini telah berada tepat di belakang mobil Ricky. Jefry membunyikan klakson seperti menanyakan apa yang
terjadi, sementara Ricky segera membuka jendela mobilnya dan melambaikan tangannya, memberi tanda agar Jefry diam di tempat.
Tetapi Jefry tidak paham dengan isyarat itu. Dia juga tidak melihat sesuatu yang berada di depan mobil Ricky. Jefry bahkan kemudian nampak keluar dari
dalam mobilnya, mungkin karena penasaran dengan apa yang sesungguhnya tengah terjadi pada mobil Ricky. Edi bahkan ikut-ikutan turun dari mobil.
Ricky dan Heru yang melihat Jefry dan Edi keluar dari mobil menjadi panik sendiri.
"Oh, shit! Mengapa bocah-bocah itu tidak sabaran sekali?!" rutuk Ricky dengan jengkel. Ia lalu menjulurkan kepalanya keluar, bersamaan dengan Heru yang
juga menjulurkan kepalanya keluar dari jendela di sisinya.
"Masuk kembali ke mobilmu, Jef!" teriak Ricky dengan suara lirih.
"Ada apa?" tanya Jefry dengan bingung.
"Pokoknya masuk dulu!"
Heru di sebelah Ricky juga mengatakan hal yang sama pada Edi. Jefry maupun Edi pun segera berbalik dan masuk kembali ke dalam mobil mereka, tapi cewek-cewek
di belakang Ricky dan Heru terbangun karena suara-suara mereka.
"Kita sudah sampai?" tanya Nirina dengan suara yang mengantuk.
"Dimana kita sekarang?" Cheryl juga ikut bersuara sambil tengak-tengok kanan kirinya.
Ricky dan Heru yang duduk sambil menggigil di jok depan berharap ketiga cewek di belakang mereka tak melihat pemandangan menakutkan di depan mobil mereka.
"Kenapa berhenti di sini, Rick?" tanya Renata kemudian dengan suaranya yang juga terdengar masih mengantuk.
"Ng...tidak apa-apa," jawab Ricky dengan bingung. Tapi dia lebih bingung lagi ketika menyadari ular besar yang tadi melingkar di hadapan mereka kini telah
lenyap. "Dimana dia?" bisik Ricky pada Heru.
"Siapa?" tanya Heru sambil berbisik pula.
"Bocah itu..." "Bocah siapa?" "Mm...maksudku...ular itu..."
"Aku juga tidak tahu..." jawab Heru yang juga bingung karena tak lagi melihat ular tadi. "Mungkin sudah pergi, Rick," katanya kemudian.
"Atau jangan-jangan dia ada di bawah kita..." kata Ricky sambil bergidik sendiri.
"Sialan! Kenapa kamu malah berpikir begitu?"
Ketiga cewek yang ada di jok belakang mereka nampak memperhatikan dengan bingung.
"Hei-hei, kalian lagi bisik-bisik apa, sih?" tanya Nirina kemudian. "Kenapa mobilnya tidak jalan?"
"Mm...mesinnya ngadat," jawab Heru asal-asalan.
"Tapi kenapa bunyi mesinnya masih hidup?" tanya Renata dengan heran.
Heru jadi bingung menjawabnya. "Jalankan lagi, Rick," katanya kemudian pada Ricky yang sepertinya masih shock dengan pemandangan tadi.
"Gantian kamu yang nyetir, Her," jawab Ricky. "Tubuhku rasanya lemas semua."
"Ya sudah, kamu turun," kata Heru sambil bersiap pindah ke jok di sampingnya.
"Ya kamu dong yang turun," balas Ricky sambil bergidik membayangkan kalau ular besar tadi masih ada di bawah mobilnya.
"Oh, sialan!" rutuk Heru. "Kenapa kamu jadi pengecut begitu?"
"Dan kamu kenapa juga tak mau turun?"
"Hei, kalian kenapa, sih?!" tanya Nirina dari belakang sambil berkerut heran.
Akhirnya Heru dan Ricky saling pindah tempat duduk tanpa turun dari mobil. Renata, Nirina dan Cheryl yang melihat itu saling berpandangan dengan heran
sekaligus bingung. Ricky nampak lega setelah menduduki jok Heru, dan kini diturunkannya sandaran jok itu. Dia terlihat menghela napas dengan letih. Heru menyulut rokoknya
lagi, lalu mulai menjalankan mobil itu sambil berharap dia tak menggilas ular yang tadi. Bulu kuduknya tiba-tiba merinding. Mengapa ular tadi tidak jalan-jalan
ke mall saja?! *** Di dalam mobil Jefry, Edi nampak masih berkerut heran ketika kemudian mobil Ricky di hadapannya mulai melaju kembali.
"Ada apa sebenarnya tadi?" tanya Edi seperti ditujukan pada dirinya sendiri.
"Aku juga tidak tahu, sepertinya ada sesuatu," gumam Jefry yang kini berusaha memperpendek jarak mobilnya dengan mobil Ricky.
"Sepertinya tadi ada sesuatu yang menghalangi jalan mereka, Jef."
"Mungkin, tapi aku tidak melihat apapun di depan mobil mereka."
"Aku juga tidak lihat," sahut Edi dengan bingung. "Jangan-jangan..."
"Jangan teruskan, Ed!" potong Jefry, lalu berusaha mengalihkan topik pembicaraan. "Apakah jaraknya masih jauh dengan villa itu?"
Edi memahami maksud Jefry. "Sebentar lagi kita akan menjumpai beberapa warung makan dan wartel, dan sesudah itu tak lama lagi kita sampai."
Jefry mengangguk. Setelah terdiam beberapa saat lamanya, Jefry kemudian bergumam, "Sepi sekali di sini..."
"Ini memang bukan jalan umum, Jef," sahut Edi. "Hanya sedikit orang yang menggunakan jalan ini. Makanya, terkadang ada..."
"Oh, jangan teruskan!" potong Jefry lagi.
Edi jadi senyum-senyum sendiri. Jefry yang tukang berantem itu rupanya jadi ketakutan dengan hal-hal yang seram seperti itu. Apa yang sekiranya akan Jefry
lakukan kalau saja dia tahu villa yang akan didatanginya itu bekas orang mati bunuh diri, batin Edi sambil tersenyum sendiri.
Seperti yang dikatakan Edi tadi, kini laju mobil mereka menjumpai beberapa warung makan dan wartel di sisi kanan jalan yang mulai mendatar. Kini laju mobil
mereka semakin melambat karena jalanan yang tidak rata. Penuh kerikil dan bebatuan yang berserakan.
"Sebentar lagi kita sampai," kata Edi.
Tetapi Jefry seperti tak mendengar. Matanya masih memandangi kaca spion di sisi pintu mobilnya.
"Itu seperti mobilnya Rino," gumam Jefry kemudian sambil masih memperhatikan kaca spionnya.
"Bagaimana, Jef?" tanya Edi yang masih bingung dengan maksud Jefry.
"Tadi aku seperti melihat BMW-nya Rino," jawab Jefry.
"Dimana?" "Di depan salah satu warung makan tadi."
"Kamu yakin itu mobilnya Rino?"
"Yakin sekali sih tidak, cuma warna hitamnya itu yang membuat aku ingat kalau itu seperti mobil si Rino."
"Kamu lihat nomor platnya?" tanya Edi penasaran.
"Tidak sempat," gumam Jefry. "Tapi kira-kira siapa lagi yang mau bawa BMW ke tempat seperti ini kalau bukan si Rambo?"
"Gawat," celetuk Edi, "kalau benar itu si Rino, berarti dia telah tahu kalau Cheryl dan Heru juga ke sini. Bakalan ada perang lagi, nih..."
Jefry memaki kesal. "Mengapa sih playboy brengsek itu harus membawa gacoannya si Rambo...?!"
Makian Jefry bertambah keras ketika merasakan laju mobilnya terasa tidak stabil lagi.
"Oh, shit!" makinya semakin kesal ketika menyadari kalau salah satu ban belakang mobilnya telah kempes tanpa sedikit pun angin yang tersisa.
*** Aryo bolak-balik melihat jam tangannya yang kacanya semakin buram dan merasakan sepertinya waktu begitu lambat berjalan. Mengapa bocah-bocah itu tidak
sampai juga? Sejak pagi tadi, Aryo sudah gelisah menunggu kedatangan kawan-kawannya. Ricky menjanjikan bahwa paling lambat mereka akan sampai di villa
itu pada jam dua siang ini. Tapi sekarang sudah hampir jam tiga dan bocah-bocah itu belum kelihatan juga batang mobilnya.
Jangan-jangan mereka ngerjain aku, pikir Aryo dengan putus asa. Aryo merasa bingung setengah mati berada sendirian di villa itu. Bukan hanya bingung dengan
nasib hidupnya yang terasing di villa itu, tapi juga bingung kalau seandainya kawan-kawannya tidak jadi datang. Dia baru kali ini menginjak daerah itu
dan dia sama sekali tak tahu bagaimana caranya harus pulang kembali ke Jakarta. Dia tidak tahu harus pakai angkutan apa, lewat jalan mana dan berapa ongkosnya.
Kalau mereka memang benar-benar ngerjain aku, semoga saja mereka semua mampus disambar geledek!
Sekali lagi Aryo menengok jam di tangannya. Sudah pukul tiga lebih. Kemana bocah-bocah itu? Mengapa tidak datang juga? Sekarang Aryo merasakan perutnya
seperti bergolak tak karuan. Semenjak tadi dia belum memasukkan apapun ke dalam perutnya selain hanya minuman kaleng sisa kemarin. Semua makanan yang dibelikan
Edi kemarin sudah habis dan Aryo berharap kawan-kawannya cepat datang agar dia tidak mati kelaparan di villa itu. Tapi bocah-bocah itu sepertinya tersesat
ke alam gaib, rutuk Aryo dengan marah. Mengapa sampai sekarang mereka belum datang juga...???
Tepat pukul setengah empat sore, ketika Aryo sudah menyimpulkan bahwa kawan-kawannya memang benar-benar tersesat ke alam gaib, terdengar laju mobil yang
mendekati areal villa itu. Aryo yang masih duduk menunggu di teras villa kini menyaksikan mobil Ricky dan mobil Jefry nampak mendekati villa, dan Aryo
pun segera membukakan pintu gerbang. Dua mobil yang paling dirindukan Aryo seumur hidupnya itu pun segera memasuki halaman villa.
"Mmme-mengapa bbba-baru ddatang...hhaa...?!" labrak Aryo dengan kejengkelan yang sengaja ditunjukkannya. Kawan-kawannya mulai turun dari mobil mereka.
Ricky segera mengangkat kedua tangannya. "Sori, Ar, ada banyak hal yang membuat kami jadi terlambat seperti ini."
"Ban mobilku kempes," sambung Jefry mencoba membantu memberi penjelasan. "Terus ban mobil Ricky juga kempes. Aku bawa ban serep, tapi Ricky tidak bawa.
Akibatnya aku harus turun lagi ke bawah untuk menambalkan ban mobilnya Ricky."
"Biasanya aku naruh ban serep di bagasi," sambung Ricky, "tapi sekarang bagasi mobilku diisi bir dan aku terlupa bawa ban serep."
"Kkkok bbi-bisa-bisanya ban mmmobil kka-kalian kkkempes sssemua??!" tanya Aryo seperti belum puas mendengar penjelasan itu.
Jefry cuma nyengir. "Sebaiknya kamu tanyakan sendiri tuh sama mereka," katanya kemudian sambil menunjuk kedua mobil di belakangnya.
Aryo hanya memaki-maki tak jelas, tapi akhirnya ikutan nyengir juga.
Mereka lalu mengangkuti dus-dus makanan dan minuman dari dalam mobil Jefry, sementara Ricky mengangkat krat bir dari dalam bagasi mobilnya. Dalam benak
mereka membayangkan bisa menikmati keheningan dan kedamaian suasana di villa ini sampai dua hari mendatang, melupakan Jakarta yang bising, macet, dan penuh
polusi. Di langit, mendung nampak menggantung.
*** 31 Desember, dua hari sebelum ditemukannya mayat-mayat itu...
Keadaan villa itu memang telah jauh berbeda dengan saat pertama kali dilihat Ricky dan Edi kemarin saat mengantarkan Aryo datang ke sana. Aryo memang benar-benar
telah melakukan tugasnya dengan sangat baik. Sekarang villa itu begitu nyaman dihuni, dan Ricky serta kawan-kawannya pun merasa begitu tenteram di dalamnya.
Semua terpal yang menutupi perabotan dalam villa itu telah dilepas, dan kini mereka bisa duduk dengan nyaman di atas sofa ruang depan sambil menikmati
makanan dan minuman yang telah mereka bawa dari Jakarta.
Cheryl, Nirina dan Renata telah nampak begitu segar dan cantik karena mereka langsung mandi begitu sampai di villa. Mereka sekarang duduk bersama dalam
satu sofa panjang. Heru dan Ricky juga telah mandi, hanya Jefry dan Edi yang nampak masih kuyu. Jefry masih capek setelah menyetir setengah harian, sementara
Edi mengatakan, "Belum mandi saja sudah dingin seperti ini, apalagi kena air?!"
Di atas meja nampak gelas-gelas berisi teh hangat dan juga kopi. Mereka memang telah mempersiapkan segalanya. Ada beberapa termos air panas, kopi instan
dan juga teh celup. Mereka pun tak takut kehabisan makanan, karena kalau mereka sampai kehabisan bekal, mereka bisa turun sebentar untuk mendapatkan nasi
atau makanan lain di warung makan yang ada di bawah.
Jefry menuang energy drink dari botol ke dalam gelasnya, kemudian menghabiskannya dengan sekali teguk. Lalu disulutnya rokoknya sambil menyandarkan punggung
pada sofa. "Rick, kenapa tadi mobilmu sempat berhenti lama di tengah jalan itu?" tanya Jefry kemudian setelah menghembuskan asap rokoknya.
Ricky nampak kebingungan untuk menjawabnya. Haruskah dia menceritakan soal ular tadi di depan cewek-cewek ini? Tapi kemudian dia berpikir kalau sekarang
tentunya cewek-cewek itu tak akan terlalu panik karena itu sudah berlalu. Maka Ricky pun kemudian menjawab dengan jujur, "Ada ular yang tadi sempat berhenti
di depan mobilku." "Ular?" ulang Jefry dan Edi serempak, sementara ketiga cewek yang ada di atas sofa panjang nampak terkesiap.
"Ular besar," sambung Heru. "Dia, maksudku ular itu, berhenti dan melingkarkan tubuhnya tepat di depan mobil kami."
"Hiiih...!" Cheryl nampak bergidik ngeri.
"Kok aku tidak lihat, Her?" tanya Renata yang langsung ingat peristiwa berhentinya mobil mereka di tengah jalan tadi.
"Dia menghilang," jawab Heru pelan.
"Diaapa?!" tanya Jefry sambil tersedak asap rokoknya sendiri.
"Hm, begini," Ricky mencoba menurunkan efek dramatisasi cerita itu, "waktu kalian turun dari mobil itu, aku sama Heru kan meminta kalian untuk masuk kembali.
Nah, waktu itu mungkin ular tadi berjalan lagi, dan kami pun tidak lihat dia lagi di depan mobil..."
Edi nampak lunglai di tempat duduknya. Ia bergumam perlahan, "Mengapa ada tanda-tanda yang sama terus...?"
"Tanda apa, Ed?" tanya Heru yang tak paham dengan maksud Edi.
Edi mematikan puntung rokoknya di asbak, lalu berkata perlahan, "Waktu kita baru keluar dari daerah Jakarta, ada seekor kucing hitam yang melintas di depan
mobil kami. Kamu ingat, kan, Jef?" tanya Edi sambil menengok ke arah Jefry.
"Iya," Jefry mengangguk, "aku nyaris saja menabraknya."
"Nah," sambung Edi, "bukannya aku mau percaya sama takhayul, tapi konon menurut orang-orang tua, kucing hitam yang melintas di depan perjalanan kita itu
semacam pertanda agar kita menunda atau membatalkan perjalanan. Tapi kita kan tidak melakukan itu. Kita terus saja melanjutkan perjalanan. Lalu kalian
dihadang oleh ular?ular besar?apakah warnanya juga hitam?" kali ini Edi menujukan pandangannya pada Heru dan Ricky.
"Ya, hitam belang-belang," sahut Ricky yang masih ingat betul sosok ular yang tadi sempat membuatnya shock itu.
"Nah, kehadiran ular yang berhenti di depan mobil kalian itu pun sepertinya ingin menegaskan agar kita menghentikan perjalanan kita, atau membatalkan niat
kita semula. Tapi...kita lanjut terus..."
"Mengapa kamu tidak ngomong seperti itu semenjak tadi, Ed?" kecam Jefry sambil bergidik ngeri di tempat duduknya.
"Aku kan sudah bilang sama kamu, Jef, waktu ada kucing hitam itu melintas, tapi kamu tidak merespon aku," bantah Edi.
"Lho, seingatku waktu itu kan kamu cuma bilang kalau perasaanmu tidak enak," jawab Jefry.
"Dan kamu cuma diam saja, kan? Kamu tidak merespon ucapanku, dan kupikir kamu tidak akan percaya kalau aku ngomong hal yang seperti itu."
Mereka semua menjadi hening sesaat, lalu Aryo yang semenjak tadi diam tiba-tiba nyeletuk, "bbb-ban....kke-kempes!"
"Nah, itu dia," respon Edi langsung. "Dua kali pertanda menghadang kita, kucing hitam dan ular hitam itu. Tapi kita tidak peduli. Lalu ban mobil Jefry
kempes. Baru saja ban itu berhasil diganti, giliran ban mobil Ricky yang kempes, bahkan ketika kita sudah hampir sampai di villa ini. Menurutku...itu sudah
pertanda yang sangat jelas sekali..."
"Jadi maksudnya apa, Ed?" tanya Heru yang sepertinya masih belum bisa menangkap makna dari semua yang diocehkan Edi.
"Maksudnya, kita ini seharusnya tidak melanjutkan perjalanan kita ke sini. Itu artinya, sebaiknya kita membatalkan rencana perjalanan kita tadi sebelum
kita sampai di tempat ini."
Sekali lagi suasana hening menyelimuti mereka. Wajah-wajah mereka terlihat tegang tapi tak tahu harus berkata apa, sementara ketiga cewek yang meringkuk
di atas sofa panjang kelihatan menunjukkan ekspresi ketakutan.
Edi yang melihat tampang kawan-kawannya terlihat begitu tegang seperti itu jadi merasa bersalah sendiri. Mengapa dia sampai terbawa emosi untuk mengatakan
semuanya itu? Maka Edi pun lalu mencoba menetralisir keadaan dengan berkata, "Tapi...itu semua kan belum tentu. Hm, maksudku, kita kan boleh tidak percaya
dengan hal-hal yang semacam itu. Bisa saja itu sesuatu yang kebetulan..."
Tetapi upaya Edi untuk menurunkan tensi ketakutan itu kemudian malah dipatahkan oleh Jefry ketika tiba-tiba dia ngomong sesuatu yang di luar dugaan kawan-kawannya,
"Aku jadi teringat pada Abraham Lincoln..."
"Siapa, Jef?" Ricky menatap Jefry seperti ingin memastikan telinganya tidak salah dengar. Jefry menyebut nama siapa tadi?
"Abraham Lincoln, Rick," jawab Jefry dengan sebal sekaligus nyengir jengkel. "Kamu kira aku tidak kenal dia?"
"Dan ada apa dengan...hm, Abraham Lincoln?" tanya Heru sambil nyengir pula. Dia pun tidak menduga sama sekali kalau Jefry bisa kenal dengan Abraham Lincoln,
apalagi sampai menyebutkan namanya. Apakah ini Lincoln yang karnet angkot tetangga Jefry?
"Seminggu yang lalu kan ada tugas meresensi tokoh sejarah," kata Jefry mencoba menjelaskan mengapa dia bisa sampai kenal Abraham Lincoln. "Nah, aku mencari-cari
referensi di perpus untuk mencari tokoh yang sekiranya bisa aku resensi. Lalu setelah baca-baca sekilas, aku merasa cocok dengan si Lincoln itu. Makanya,
aku baca biografinya untuk bikin resensinya. Di biografinya itu pun dikatakan kalau hm...Abraham Lincoln ini sudah mendapat tanda-tanda sebelum dia kemudian
ditembak oleh seseorang."
"Apakah Lincoln juga melihat kucing hitam yang melintas?" tanya Ricky sambil tersenyum. Dia masih meragukan referensi yang keluar dari mulut Jefry itu.
"Bukan itu," sahut Jefry. "Sebelum Lincoln tewas tertembak, dia pernah diteror dengan tembakan yang sama, tapi meleset. Lincoln tidak peduli. Dia pikir
itu tidak akan terulang. Lalu beberapa waktu kemudian ada tembakan serupa yang menyerempet dekat tubuhnya. Lincoln tetap tidak sadar juga. Dia tidak waspada.
Dia tidak lebih hati-hati, tidak mencoba pakai baju anti peluru atau semacamnya, dan akibatnya...kalian tahu sendiri."
"Aaa-akibatnya aa-apa?" tanya Aryo sambil menatap serius pada Jefry. "Aaa-aku ttid-tidak ttahu!"
Kawan-kawannya nyengir. "Akibatnya dia tewas tertembak, bego!" jawab Jefry sambil tersenyum.
"Jadi korelasinya apa, Jef?" tanya Heru seperti tambah bingung dengan cerita Abraham Lincoln yang tiba-tiba muncul di villa itu. Mengapa harus membawa-bawa
Lincoln ke sini? "Kamu bilang apa, Her?" tanya Ricky sambil nyengir lagi. "Kore...apa?"
"Korelasi, sialan!" rutuk Heru. "Kenapa sih kalian sepertinya jadi ilfil kalau mendengar kawannya bisa sedikit cerdas?"
Ricky dan Edi tertawa ngakak-ngakak, sementara tiga cewek di atas sofa pun ikutan senyum-senyum mendengar protes Heru.
"Dan korelasi itu apa, Her?" tanya Jefry dengan tampang idiot. "Semacam penganan risoles?"
Ricky dan Edi semakin ngakak-ngakak sementara Heru jadi memaki-maki dengan tampang jutek.
"Tuh, kan," kata Ricky sambil berusaha meredakan tawanya. "Jefry saja tidak tahu apa itu korelasi, padahal dia sudah kenal sama Abraham Lincoln!"
"Sudah," rutuk Heru akhirnya dengan tampang yang makin jutek. "Tidak usah diteruskan! Kalian memang benar-benar tidak akademis!"
"Naah, apa lagi itu...?" sambut Ricky langsung yang masih ingin menggoda Heru.
"Jadi korelasi itu apa, Her?" tanya Jefry sekali lagi dengan tampang idiotnya.
"Hubungan, sialan!" jawab Heru dengan dongkol. "Korelasi itu hubungan!"
"Nah, kenapa juga tidak ngomong dari tadi?" balas Jefry. "Mau ngomong hubungan saja kok sampai ke risoles, eh, korelasi!"
Akhirnya ketegangan yang tadi sempat menyelimuti mereka pun kini mencair kembali dengan sendirinya setelah percakapan konyol yang tak disengaja itu. Mereka
kini bisa tertawa-tawa lagi, saling meledek dan bercanda. Makanan dan minuman di depan mereka pun bisa dinikmati kembali dengan enak tanpa pikiran yang
menjadi berat karena memikirkan kekhawatiran dan ketakutan. Edi sendiri tak mau mencoba lagi membahas masalah tadi yang hanya membuat kawan-kawannya jadi
gelisah. Malam semakin merayap. Hawa dingin semakin terasa di tubuh, dan langit terlihat semakin gelap. Namun Ricky dan kawan-kawannya masih asyik mengobrol di
dalam villa yang terang-benderang karena lampu-lampu yang menyala.
Dan sementara itu, sesuatu yang gelap dan mengerikan tengah menunggu detik-detik waktunya...
31 Desember, dua hari sebelum ditemukannya mayat-mayat itu...
Ricky memang sengaja membawa sebuah jam dinding besar untuk ia tinggalkan di villa itu. Dan sekarang jam dinding besar itu telah tergantung di salah satu
bagian dinding di ruang tengah. Kebetulan ada sebatang paku yang menancap di sana dan Ricky pun menggunakan paku itu untuk menggantungkan jam dindingnya.
Semua kawannya memandangi jam dinding berwarna putih itu, dan kini jarum jam menunjukkan pukul 23:35. Jarumnya terus bergerak.
"Setengah jam lagi," kata Jefry sambil memeluk bahu Renata yang duduk di sebelahnya.
Mereka kini berkumpul di ruang tengah yang terasa lebih hangat dibanding dengan ruang depan. Di ruangan itu ada satu set meja kursi dari kayu dengan bentuk
dan model yang kuno namun nyaman diduduki. Kursi-kursinya berukuran panjang dan bisa ditempati dua orang.
Jefry duduk bersama Renata, Heru bersama Cheryl, dan Ricky bersama Nirina. Sementara Edi duduk berdua bersama Aryo. Di atas meja yang cukup besar di hadapan
mereka nampak gelas-gelas dan teko berisi kopi dan juga teh yang telah banyak berkurang. Makanan kecil dan juga sisa-sisa bungkusnya terhampar di hampir
seluruh ruangan meja. "Baru kali ini aku menikmati malam tahun baru yang sepi seperti ini," kata Nirina sambil mendekatkan tubuhnya pada Ricky.
"Benar-benar beda dari biasanya, kan?" kata Ricky. "Tidak ada kebisingan, tidak ada keramaian, tidak ada suara apapun..."
"Menurutku malah lebih enak seperti ini," sahut Edi yang duduk di sebelah Aryo.
"Iya, suasananya begitu hening...sepi..." bisik Cheryl dalam rangkulan tangan Heru.
"Saat ini, di Jakarta pasti tengah ramai-ramainya," kata Jefry. "Ancol pasti sudah penuh sesak."
"Sayang, ya, di sini tidak ada televisi," kata Heru. "Kalau ada, kan kita bisa melihat suasana kota kita..."
"Tapi lebih baik tidak usah lihat saja, Her," sahut Nirina. "Nanti malah mengganggu konsentrasi kita. Lebih enak seperti ini. Heniiiing banget..."
Suasana memang begitu hening, bahkan detak jarum jam di dinding pun terdengar begitu nyaring di telinga mereka. Ricky dan Nirina melihat jam dinding itu
karena arah pandangan mereka tepat di hadapan jam di dinding itu. Dan kini jarum jam menunjukkan pukul 23:55.
"Lima menit lagi kita memasuki tahun baru," kata Ricky dengan suara yang khidmat seperti pendeta yang akan memulai khutbahnya. "Sesaat lagi kita akan memasuki
hari baru, tanggal baru, juga tahun yang baru..."
Kawan-kawannya menanggapi ucapan itu dengan sikap yang sama khidmatnya. Menanti detik-detik pergantian tahun adalah saat-saat yang menyenangkan, mendebarkan,
sekaligus membahagiakan. Dimana-mana, mereka tahu, detik-detik pergantian tahun selalu dirayakan dengan berbagai macam cara namun tetap memiliki satu bentuk
yang sama; meninggalkan tahun yang lama, dan menyambut datangnya tahun yang baru.
Dan sekarang mereka juga tengah menantikan detik-detik pergantian tahun itu, hanya saja dalam suasana yang amat berbeda dari biasanya. Mereka menantikan
detik-detik pergantian tahun itu dengan mendengarkan detak jarum jam di dinding yang terus bergerak menuju angka dua belas, di tengah suasana yang begitu
hening dan sepi. Tetapi kemudian terdengar suara bisikan Renata pada Jefry, "Jef, perasaanku tidak enak sekali..."
"Tuh, mulai lagi, deh," sahut Jefry sambil mencoba menenangkan pacarnya.
"Tapi...aku berdebar-debar terus, Jef."
"Mungkin kamu kebanyakan minum kopi," jawab Jefry asal-asalan.
"Aku kan tidak minum kopi? Sejak tadi aku minum teh terus!"
"Kamu mau tiduran? Mungkin kamu pusing setelah perjalanan tadi."
Renata tak menolak ketika Jefry membimbingnya untuk memasuki salah satu kamar yang telah dibersihkan semua oleh Aryo. Tetapi baru saja Jefry membuka pintu
kamar, terdengar suara ledakan yang amat keras di luar villa.
"Apa itu?" tanya Nirina spontan.
"Sepertinya suara kembang api," jawab Heru sambil bangkit dari duduknya. Cheryl segera ikut bangkit dari kursi dan lalu mengikuti Heru yang beranjak ke
ruang depan.

Misteri Villa Berdarah Karya Unknown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Di depan teras villa, Heru dan Cheryl menyaksikan kembang api yang memecah begitu indah di langit malam yang gelap. Heru menengok jam di tangannya. Jam
dua belas tepat. "Indah sekali," gumam Cheryl sambil memandangi percikan-percikan bunga api yang sepertinya tak habis-habisnya memecah di langit.
Ricky, Nirina, dan Aryo juga telah berdiri di dekat mereka, dan juga terpesona dengan pemandangan itu. Bahkan Renata bersama Jefry pun telah berdiri di
sana memandangi langit yang kini dihiasi dengan percikan kembang api yang begitu indah menyambut datangnya tahun baru.
"Siapa ya yang menerbangkan kembang api itu?" gumam Nirina dengan heran karena sepertinya kembang api itu diterbangkan tak jauh dari lokasi villa itu.
"Mmmungkin...aa-aanak-anak ppe-pecinta aa-aaalam!" sahut Aryo. Selama tinggal sendirian di villa itu, Aryo beberapa kali mendapati rombongan-rombongan
pecinta alam yang kelihatannya membangun perkemahan di lokasi dataran tinggi itu.
"Iya," sambung Ricky, "biasanya memang banyak pecinta alam yang berkemah di daerah sini untuk menyambut tahun baru."
Percikan-percikan kembang api di langit itu perlahan-lahan mulai menipis dan hilang, namun kemudian disusul dengan ledakan bunga api yang lain. Sekali
lagi langit dihiasi oleh percikan-percikan bunga api yang berwarna-warni indah menghiasi kegelapan di atas sana. Ricky dan kawan-kawannya tetap berdiri
di teras villa menikmati keindahan itu.
"Selamat tahun baru, Sayangku," bisik Ricky sambil memeluk bahu Nirina di sampingnya.
Nirina tersenyum sambil menatap wajah kekasihnya.
Di dekat pintu villa, Renata menatap Jefry di sebelahnya, lalu berbisik, "Jef, selamat tahun baru, ya..."
"Aku senang bisa menikmati malam tahun baru di sini bersamamu, Ren," sahut Jefry sambil menggenggam tangan kekasihnya.
Di ujung teras, Heru berkata pelan pada Cheryl, "Aku harap kamu bahagia menikmati tahun baru bersamaku..."
"Seperti yang kamu lihat, aku bahagia sekali," jawab Cheryl dengan manis.
Aryo yang berdiri sendirian di bagian samping teras tiba-tiba seperti teringat kalau Edi tidak ada di tengah-tengah mereka.
"Ee-edi kkke-kemana?" tanyanya dengan bingung.
"Mungkin sudah masuk ke dalam," sahut Ricky yang berada paling dekat dengan Aryo. Sementara Nirina langsung melengos dengan jengkel karena merasa suasana
kemesraannya dengan Ricky terganggu oleh Aryo.
"Tapi Edi sepertinya tidak keluar sejak tadi, Rick," kata Jefry di ambang pintu villa. Semenjak ia berdiri di sana, Jefry tidak melihat Edi keluar dari
dalam ruangan. "Biar saja, mungkin dia tertidur karena capek," ucap Heru.
Percikan-percikan bunga api di langit semakin menipis dan habis, dan beberapa saat mereka menunggu namun tak ada ledakan kembang api susulan. Langit malah
menurunkan gerimis. Maka perlahan-lahan mereka pun masuk kembali ke dalam ruangan villa. Heru yang masuk paling akhir tak lupa menutup pintu depan.
Mereka kembali duduk di ruang tengah, hanya saja sekarang mereka menduduki kursi yang berbeda tanpa rencana. Jefry dan Renata menempati kursi yang tadi
diduduki Heru dan Cheryl, karena kursi itulah yang paling dekat dengan mereka setelah masuk kembali dari ruang depan. Aryo duduk di kursi yang tadi diduduki
Renata dan Jefry. Ricky dan Nirina masih menempati posisi tempat duduk yang sama seperti semula, dan Heru bersama Cheryl yang datang paling akhir kemudian menempati kursi
yang tadi diduduki Aryo dan Edi, karena sekarang tinggal kursi itulah yang masih kosong.
"Si Edi kemana, sih?" tanya Ricky yang melihat Aryo duduk sendirian.
"Tuh," tunjuk Heru yang melihat Edi muncul dari ruang belakang. Mungkin Edi baru ke kamar mandi, pikirnya.
Aryo merasakan mulutnya asam karena sejak tadi belum merokok. Ia mengambil bungkus rokok di hadapannya, tapi kerongkongannya terasa kering. Merokok sambil
merasakan kerongkongan yang kering sama tidak nikmatnya, pikirnya. Maka dengan santai diambilnya gelas yang mungkin milik Renata, dan diminumnya sisa teh
yang masih cukup banyak di dalam gelas itu.
Aryo meletakkan rokoknya di bibirnya dan bersiap untuk menyulutkan korek gas, tetapi kemudian rokok yang terjepit di bibirnya itu terlepas dan Aryo tiba-tiba
memegangi lehernya sendiri dengan wajah penuh kesakitan.
"Kenapa, Ar?" tanya Jefry yang pertama kali melihat Aryo seperti kesakitan.
"Aaa-aaaarrrkkhhh...!" rintih Aryo dengan tampang kesakitan sambil sebelah tangannya terus memegangi lehernya sendiri. Kedua matanya nampak membelalak
mengerikan, seperti menahan sesuatu yang amat menyakitkan.
Kini semua mata tertuju pada Aryo yang semakin menggelepar-gelepar menahan sakit, sementara semua kawannya terdiam mematung penuh kebingungan karena tak
memahami apa yang tengah terjadi.
"Kenapa dia?!" tanya Heru yang pertama kali sadar dengan panik.
"Tidak tahu," sahut Ricky sambil masih memandangi Aryo. Kini kedua mata Aryo semakin melotot, dan kejang-kejang tubuhnya terlihat semakin lemah.
"A-apa yang terjadi?" bisik Cheryl dengan ketakutan.
Ricky kemudian terlihat meloncat dari kursinya dan mendekati tubuh Aryo yang kini telah lunglai di atas tempat duduknya. Kedua mata Aryo masih terbuka,
begitu pula mulutnya, namun tubuh itu sekarang tak bergerak sama sekali.
Dengan tubuh yang nampak bergidik, Ricky mencoba menyentuh lengan Aryo, namun Aryo tak bergerak. Disentuhnya urat nadi di pergelangan tangan Aryo beberapa
saat, kemudian Ricky berkata dengan panik, "Dia...dia mati...!"
Gerimis yang tadi turun kini berubah menjadi hujan, dan halilintar terdengar mulai menggelegar. Semua orang yang berada di ruang tengah villa itu seperti
membeku tak mampu bergerak, menatap Ricky yang masih memegangi tangan Aryo yang terkulai di kursinya.
"Dia mati, kalian dengar...?!" ulang Ricky dengan ekspresi yang semakin panik.
Tetapi halilintar di langit yang menjawabnya.
1 Januari, satu hari sebelum ditemukannya mayat-mayat itu...
Peristiwa itu sungguh mengejutkan dan tidak pernah disangka sama sekali oleh satu pun di antara mereka. Apa yang terjadi dengan Aryo? Dia tiba-tiba saja
kesakitan, terkulai, lalu mati. Apa yang terjadi dengannya?
Atas perintah Ricky, tubuh Aryo yang telah tak bernyawa itu lalu dibawa ke kamar di ruang belakang.
"Sebaiknya dia...agak jauh dari kita," kata Ricky saat memutuskan dimana sebaiknya mayat Aryo akan diletakkan. Pemilihan kamar di ruang belakang itu pun
dirasa paling tepat karena dibanding kamar-kamar yang lainnya, kamar yang ada di ruang belakang itulah yang paling jauh jaraknya dari tempat mereka yang
masih ada di ruang tengah villa itu.
Maka mayat Aryo pun dibaringkan di atas springbed yang ada di kamar belakang, lalu ditutupi dengan selimut yang ada di sana.
"Tutupi semua tubuhnya," kata Ricky sambil bergidik.
Dan kini mereka kembali berkumpul di ruang tengah dengan wajah-wajah yang tegang. Hujan di luar terdengar semakin deras, udara terasa semakin dingin, dan
kegelisahan di dalam villa itu pun semakin membesar. Kegelisahan yang bercampur dengan ketakutan...
"Apa sebenarnya yang terjadi dengannya?" tanya Jefry dengan bingung.
"Aku tidak tahu," sahut Ricky dengan sama bingungnya. "Dia tiba-tiba saja kesakitan, kita semua melihatnya, dan tiba-tiba dia...mati."
Renata yang ada di dekat Jefry tiba-tiba terisak, "Dia...dia minum sesuatu dari gelasku..."
Sekarang mereka mulai menyadari dan mulai meributkan pindahnya tempat duduk mereka yang semula tak terlalu disadari itu. Jefry yang pertama kali sadar
dengan apa yang terjadi karena itu menyangkut diri kekasihnya.
"Aryo menempati kursi tempat dudukku semula, dan aku sekarang menempati kursi yang semula diduduki Heru dan Cheryl. Aryo meminum sesuatu dari gelas milik
Renata, dan sekarang dia mati." Jefry terlihat menahan amarahnya sendiri. "Kalian tahu apa maksudnya? Minuman itu seharusnya diminum oleh Renata, dan mungkin
kalau kita tidak berpindah tempat duduk seperti ini, Renatalah yang sekarang mati!"
"Jef..." bisik Renata sambil terisak.
Jefry merengkuh bahu kekasihnya untuk menenangkannya dari shock atas kejadian itu. Dia kembali berpaling pada kawan-kawannya. "Minuman itu pasti mengandung
racun atau sesuatu yang mematikan, dan pasti seseorang telah melakukannya..."
Tidak ada yang bersuara. Nirina nampak ketakutan dalam pelukan Ricky, sementara Cheryl membeku di samping Heru. Edi juga hanya terduduk lemas di kursinya.
Sementara Jefry masih kebingungan dengan amarahnya sendiri.
"Siapa yang ingin membunuh Renata?! Siapa yang menaruh racun dalam gelasnya...?!" ucap Jefry lagi dengan penuh amarah yang tertahan. Matanya mengelilingi
kawan-kawannya. "Jef," ucap Heru tiba-tiba, memecahkan kesunyian di antara mereka, "kamu tidak seharusnya terlalu cepat mengambil kesimpulan seperti itu..."
"Lalu apa?!" bantah Jefry dengan marah. "Lalu apa yang sesungguhnya terjadi kalau bukan seperti itu kenyataannya?! Seseorang telah sengaja meracuni minuman
Siluman Hutan Waringin 1 Pendekar Naga Geni 2 Rahasia Barong Makara Dua Musuh Turunan 2
^