Pencarian

Pendekar Banci 6

Pendekar Banci Karya Sd Liong Bagian 6


Pelajaran tenaga dalam Thian-sian-kang yang diterima Su Ciau dari gurunya, Tay To siansu, memang hebat sekali. Sebetulnya Su Ciau tak mau sembarangan menggunakan tetapi karena si limbung telah menghancurkan batu nisan Hong ing, terpaksa ia hendak memberinya sedikit hajaran. Tetapi sekalipun begitu ia tak bermaksud hendak melukai orang. Dia hanya menggunakan tiga bagian tenaganya.
Tetapi si Limbung memang tak bersiap, ia terlalu memandang rendah pada Su Ciau, begitu terkena tinju pemuda itu, iapun segera terhuyung-huyung mau jatuh. Walaupun ia sudah kerahkan tenaga-keras tetapi dadanya masih terasa sakit juga.
"Jahanam, engkau berahi membunuh aku?" teriaknya dengan kalap, lalu memungut kedua kutungan batu nisan tadi terus menyerang Su Ciau.
Menyadari bahwa raksasa itu mempunyai tenaga yang luar biasa kuatnya, Su Ciau tak mau menangkis, melainkan menghindar ke samping terus menyelinap ke belakang si Limbung dan menyapu kakinya.
Adalah karena tadi memandang rendah lawan maka si Limbung sampai kena terjotos dadanya. Tetapi sekarang ia sudah bersiap dan kerahkan ilmu kebal Kim-kong-put-hoay. Su Ciau serasa menyapu sebatang tonggak besi yang keras sekali. Ia terkejut dan cepat-cepat berganti untuk mengait betis si limbung. Dan rupanya berhasil. Si limbung Sim Yong terpelanting jatuh. Tetapi baginya yang bertubuh kebal, hal itu bukan apa-apa. Ia cepat melenting bangun lagi dan menyerang.
Sebenarnya ketika melihat kedua orang itu berkelahi, Hong Ing hendak keluar. Tetapi ia kuatir Su Ciau tentu akan merayunya lagi dan tetap menganggap dirinya itu isteri Su Ciau. Karena pemikiran itu, ia bersangsi.
Melihat Si limbung Sim Yong makin lama makin perkasa, Su Ciau kewalahan juga. Jika diteruskan tentu tak mudah untuk menghalau orang limbung itu. Akhirnya ia memutuskan untuk menggunakan pedang Thian-liong-kiam.
Ia mundur beberapa langkah lalu mencabut pedang pusaka Thian-liong-kiam. Tepat pada saat itu Sim Yong menyerang pula dengan batu nisan. Su Ciaupun segera menusuk.
Tiba-tiba si limbung rnemandang ke belakang tubuh Su Ciau dan hentikan batu nisannya. Sebenarnya saat itu Su Ciau dapat menusuk dada si limbung, tetapi ia tak mau melakukan hal itu.
"Hai, mengapa berhenti, apakah....." belum selesai Su Ciau menegur, si limbung Sim Yong sudah berseru girang :"Hai, suhu, engkau datang !"
Su Ciau terkejut. Belum ia sempat berbuat apa-apa, tiba-tiba punggung pedangnya telah dilekati oleh suatu senjata yang aneh bentuknya. Sudah tentu ia makin terkejut dan cepat-cepat hendak menarik pedangnya tetapi terlambat. Suatu arus tenaga dalam penyedot yang luar biasa kerasnya telah memancar dari senjata aneh itu. Hampir saja pedang itu terlepas, buru-buru ia menggenggam kencang-kencang.
Ia menyadari pula bahwa yang datang itu tentu seorang ko-jiu (jago sakti). Pedang Thian-Liong kiam tak boleh sampai jatuh ke tangan orang lain. Maka sambil mengencangkan tangan kanan, tangan kiri dihantamkan ke belakang, plok ..... hantaman itu seperti mengenai benda lunak yang dingin sekali. Dan menyusul terdengar suara orang tertawa memanjang. Jelas musuh tentu berada di belakang, Su Ciau kerahkan seluruh tenaga-dalam lalu mengendapkan tangan kanannya ke bawah.
Suatu gelombang tenaga kuat tersiak dan berhasilah ia menarik pedangnya ke bawah setengah inci. Kesempatan itu digunakan sebaik-baiknya untuk loncat ke belakang dan melayang setombak jauhnya.
Ketika memandang ke muka ternyata penyerang itu seorang paderi gemuk, tangan kiri mencekal alat bok-hi, tangan kanan memegang alat pemukul bok-hi. Su Ciau menduga, pukulannya tadi tentu mengenai pada alat bok-hi itu dan yang melekat pada batang pedangnya tentulah alat pemukul bok-hi.
Bok-hi, adalah semacam alat sembahyangan bagi kaum paderi, terbuat daripada kayu dan berbentuk seperti ikan.
Paderi gemuk itu berdiri tegak seperti sebuah bukit, sikapnya perkasa sekali. Jelas tentu seorang ko-jiu. Apalagi Sim Yong tadi menyebutnya suhu, tentulah seorang tokoh yang aneh.
"Apakah yang datang ini bukan Gok Co thauto?" seru Su Ciau dengan nyaring.
Paderi itu mengangguk : "Benar, paderi Tay To itu tentu gurumu, tak salah dugaanku. Apakah engkau seorang paderi yang menyamar sebagai orang biasa dan mengganggu kaum wanita?"
Su Ciau terkesiap. Tiba-tiba tubuh paderi gemuk itu melesat ke tempatnya lalu menamparkan bok-hinya. Sudah tentu Su Ciau terkejut sekali dan buru-buru songsongkan pedangnya.
Gok Co thauto tertawa. Seketika Su Ciau rasakan ubun-ubun kepalanya dingin dan paderi gemuk itupun sudah melesat pula setombak jauhnya. Alangkah kejut Su Ciau ketika melihat tangan paderi gemuk itu mencekal kopiah. Ia meraba kepala, ah..... ternyata kopiahnyalah yang disambar paderi gemuk itu. Hampir ia tak percaya akan kecepatan gerak yang sedemikian luar biasa dari paderi gemuk itu.
Sambil mengamati kopiah itu sejenak si paderi gemuk lalu mendesuh "Ih, aneh, mengapa paderi Tay To mau menerima seorang murid orang biasa seperti engkau, nih, kembali saja kopiahmu."
Sekali menggetarkan tangan, kopiah itupun kembali ke arah Su Ciau.
Su Ciau tahu bahwa kopiah itu telah dilentikkan dengan tenaga-dalam. Ia tak tahu bagaimana pribadi paderi gemuk itu. Karena sukar diketahui sikapnya itu berkawan atau lawan, maka iapun tak mau unjuk kelemahan. Maju selangkah ia gunakan Cian kin-tui untuk memperkokoh kuda-kuda kakinya, lalu salurkan tenaga-dalam ke lengan untuk menyambar kopiah yang melayang deras ke arahnya.
Tetapi alangkah kejutnya Su Ciau. Perhitungannya ternyata meleset. Ia mengira tenaga letikan paderi gemuk itu tentu hebat, tetapi ternyata kopiah itu lemas-lemas saja. Ia menyadari kalau dirinya dipermainkan paderi gemuk itu. Paderi gemuk itu melemparkannya dengan tenaga biasa tetapi Su Ciau mengira lain.
Merah muka pemuda itu. Tersipu-sipu ia berseru : "Terima kasih atas petunjuk cianpwe."
Paderi gemuk deliki mata: "Apa ? Engkau tidak puas ?"
Plak, ia memukul bok-hi lalu menghampiri Su Ciau.
Su Ciau tak sempat lagi memakai kopiahnya. Ia melangkah maju, pedang Thian-liong-kiam dijulaikan ke bawah, siap menghadapi musuh.
Melihat itu, diam-diam Hong Ing cemas. Ia kuatir Su Ciau bukan tandingan paderi itu. Iapun merasa tak mungkin akan bersembunyi selama-lamanya dari Su Ciau. Kalau ia keluar, tentu dapat membantu Su Ciau untuk mengeroyok paderi gemuk itu. Mungkin dapat mengatasinya.
Setelah mengambil keputusan, cepat ia hendak loncat keluar tetapi tiba-tiba si limbung Sim Yong memekik : "Suhu .. !"'
Paderi gemuk berpaling : "Ada apa ?"
Sambil menggosok daun telinganya, Sim Yong berseru : "Suhu, apakah engkau pernah mempunyai seorang sumoay ?"
Paderi gemuk melongo lalu menjerit : "Tolol, aku punya sumoay atau tidak, masakan engkau tak tahu."
"Aku memang sungguh tak tahu," seru si limbung, "setengah tahun berselang, di Holam aku pernah bertemu dengan seorang budak perempuan, juga menggunakan pedang yang memancarkan sinar kuning, dia mengatakan kalau sumoay dari suhu".
Sudah tentu paderi gemuk makin tercengang mendengar ocehan muridnya yang limbung itu. Dalam pada itu Hong Ing tak kuat lagi menahan gelinya, ia tertawa gelak-gelak lalu melesat keluar dari tempat persembunyiannya dan berseru : "Sim hiantit, engkau sungguh baik hati, tak pernah melupakan bibimu ini ".
Begitu melihat Hong Ing muncul, si Limbung terus memekik : "Suhu, itulah orangnya"
Gok Co thauto melirik, dilihatnya seorang pemudi yang lengannya dililit seekor ular aneh sebesar jari bersisik besi. Serentak paderi itu tahu kalau seekor ular yang sangat beracun dan bertenaga kuat sekali. Sekalipun harimau yang buas kalau di lilit tentu tak dapat berkutik lagi. Itulah yang disebut Thiat-bi-coa atau ular besi.
Paderi gemuk terkejut sekali.
Sedangkan Su Ciau yang melihat Hong Ing muncul, kejutnya seperti melihat hantu. Ia terlongong-longong.
Hong Ing memberi anggukan kepala kepadanya lalu getarkan lengannya untuk melepaskan lilitan ular besi. Ekor ular itu dicekalnya lalu, dihentakkan sehingga ular itu menjulur lurus ke muka. Kemudian ia menghampiri si Limbung.
"Eh, mengapa engkau tak memanggil aku bibi?" serunya.
Si limbung Sim Yong mendelik, tak tahu bagaimana harus berbuat.
Melihat itu Hong Ing julurkan ular besi ke muka. Walaupun badannya kecil tetapi kepala ular itu besar. Binatang itu mengangakan mulut yang besar hendak menggigit si Limbung.
Sudah tentu si Limbung terkejut bukan kepalang. Ia balikkah tangan hendak menyambar leher ular itu tetapi Hong Ing sudah bersiap. Begitu si Limbung gerakkan tangan, Hong Ingpun segera menarik lalu menjulurkan lagi ular itu sehingga sambaran si Limbung luput.
Seperti telah dikatakan, ular itu mempunyai kulit dan sisik yang sekeras besi. Walaupun tubuh si Limbung keras tetapi karena terbentur tubuh ular, lengannya sudah berlumuran darah.
"Ayo, cepat panggil bibi !"' teriaknya.
Melihat suhunya diam saja tak mau membantu, si Limbung mengira kalau Hong Ing itu memang sumoay dari suhunya. Maka ia terus hendak menyebut "bibi" tetapi tiba-tiba terlintas dalam pikirannya. Dirinya seorang lelaki yang tinggi besar, masakan harus menyebut bibi kepada seorang budak perempuan yang baru berumur duapuluhan tahun. Ah, malu wajah si Limbung merah lalu memandang ke arah suhunya, menunggu perintah.
Melihat ular besi itu, diam-diam Gok Co thauto terkejut. Dia sebenarnya seorang Biau. Dulu secara kebetulan ia telah menolong jiwa seorang sakti. Orang sakti itu lalu menurunkan ilmu kepandaiannya kepadanya. Dan dengan kepandaian itu ia mengangkat diri sebagai raja dari suku Biau, jarang sekali ia berkelana di Tiong-goan.
Oleh karena hidup di daerah Biau sudah tentu ia kenal bagaimana lihaynya ular Thiat-bi-coa itu. Ular besi itu sama hebatnya dengan Thiat sian coa atau Ular tali-besi yang menyimpan racunnya di sisik kulit yang runcing.
Dulu Tek-siu Cin He, salah seorang tokoh tua dari partai Bu-tong-pay pernah berburu ular. Sampai beberapa tahun baru dia berhasil mendapatkan seekor, itupun yang kecil. Ular itu dibunuh lalu kulitnya dijadikan senjata Tok-bong-pian atau ruyung ular beracun, salah sebuah senjata pusaka dalam dunia persilatan. Orang yang terkena sabatan ruyung itu, dalam waktu beberapa kejab tubuhnya akan menjadi cairan air hitam.
Walaupun ular besi itu racunnya tak sehebat ular Thiat-sian-coa tetapi tenaganya luar biasa kuatnya. Apabila seorang budak perempuan seperti Hong Ing dapat rnenggerakkan dengan seenaknya, tentulah dia seorang yang sakti sekali.
Karena keraguan itulah yang menyebabkan ia lambat bergerak sehingga si Limbung menderita luka.
Gok Co thauto memang seorang tokoh yang sukar diduga gerak geriknya. Adalah karena memandang muka paderi Tay To maka ia tak mau melukai Su Ciau. Begitu anak muda itu sudah mengaku kalah, iapun takkan mendesaknya lebih lanjut. Tetapi ternyata budak perempuan itu tak memandang mata sama sekali kepadanya. Buktinya ia melukai si Limbung. Sudah tentu Gok Co thauto marah.
"Siapa engkau ? Siapa pula gurumu ?" tegurnya kepada Hong Ing.
Hong Ing memang sengaja hendak membikin panas hati paderi gemuk itu supaya marah. Dengan demikian ia dapat menempurnya bersama Su Ciau. Ingin ia hendak menguji sampai dimana ilmu kepandaiannya saat itu.
Maka menjawablah ia dengan nada dingin : "Siapa suhuku? apabila kukatakan engkau, tentu ketakutan. Aku orang she Ui bernama Hong-Ing. Kalau engkau hendak berkentut busuk, silahkan mengeluarkannya!"
Su Ciau masih terlongong-longong di samping. Ia tak tahu apakah peristiwa yang dihadapinya itu hanya dalam impian atau sesungguhnya. Begitu mendengar Hong Ing menyebut namanya, barulah ia seperti orang disadarkan.
"Hong Ing, Hong Ing, engkau ini manusia atau setan ? Ataukah sudah menjadi dewa? Bagaimanakah hal yang sebenarnya ini ?" serunya seraya menghampiri ke tempat Hong Ing. Begitu tegang dan girang sekali hatinya sehingga ia tak menghiraukan akan pederi gemuk dan si Limbung lagi.
Sudah tentu diam-diam Hong Ing mendamprat dalam hati. ?Taruh kata aku tidak jadi mati, mengapa engkau begitu girang setengah mati ?? Pikirnya.
Baru ia hendak menjawab Su Ciau, tiba-tiba wajah paderi gemuk berubah gelap dan saat itu Su Ciau kebetulan tiba di sisinya.Cepat paderi gemuk itu gerakkan tangan kiri membenturkan bok-hi ke dada Su Ciau. Sedang Su Ciau yang masih melekatkan pandang matanya ke arah Hong Ing, sama sekali tak melihat hal itu....
Sudah tentu Hong Inglah yang kelabakan.
Cepat ia loncat ke muka Su Ciau, terus mendorong tubuh pemuda itu sehingga terhuyung-huyung ke belakang hampir jatuh ke belakang.
Namun saat itu Gok Co thau-to sudah ayunkan bok-hinya dan Hong Ing tak sempat menghindar lagi. Dalam gugup terpaksa ia menampar, plak... ternyata bok-hi itu terlalu kuat sekali. Maka cepat ia dorongkan tangannya ke muka.
Gok Co thauto terkejut, tangannya tergetar. Ia tak menyangka bahwa seorang anak perempuan dapat memiliki tenaga yang sedemikian hebatnya.
Memang saat itu tenaga Hong Ing lebih besar dari pada waktu dia minum sembilan butir pil Toan beng-wan.
Si limbung Sim Yong gembira. Setelah melihat suhunya bertempur dengan Hong Ing kemudian melihat Su Ciau terhuyung-huyung tepat ke tempatnya, ia segera berteriak : "Bagus, bagus!"
Setelah beringsut manyingkir ke samping agar jangan terbentur tubuh Su Ciau, si Limbung terus maju menjotos punggung Su Ciau.
Perhatian Su Ciau hanya tertumpah pada Hong Ing. Ketika merasa punggungnya tersambar angin pukulan ia hanya beringsut ke samping. Tetapi limbung sekalipun Sim Yong, ternyata dalam ilmu silat dia tidak limbung. Pukulan yang dilontarkan itu adalah hasil dari suatu pemerasan. Dulu dia menangkap beberapa murid partai Siau-lim-si dan memaksa mereka supaya memberinya pelajaran ilmu Sip-pat-ciau-gwa-lo-han-kun atau Delapan-belas-pukulan-Arhat. Walaupun jurusnya sederhana tetapi Sim Yong dapat memainkan dengan faham sekali.
Telah dikatakan bahwa pikiran Su Ciau itu hanya tertuju pada Hong Ing saja. Setelah menghindar ia tak mau balas menyerang ataupun bergerak menyingkir. Padahal Sim Yong segera menyusuli dengan jurus yang kedua. Kali ini tangan kanan dan kiri serempak digunakan dalam jurus, Thiat-ko-ki-beng atau Genderang-besi serempak-berbunyi.
Saat itu Su Ciau baru gelagapan dan terus menggunakan Thian-liong-kiam untuk menghalau tetapi terlambat. Sim Yong sudah melancarkan pula jurus yang ketiga. Pukulannya tepat mendarat pada bahu Su Ciau. Seketika Su Ciau rasakan seperti terhujam palu seberat seribu kati, mata berkunang-kunang, kepala pusing dan terpaksa mundur beberapa langkah.
Ilmu pukulan Lo-han-kun dari gereja Siau-lim-si terbagi dua. Gwa-lo-han-kun (Lo-han-kun luar) dan Lwe-Lo-han-kun(Lo-han-kun dalam). Sim Yong baru mempelajari Gwa-lo-han-kun saja. Pukulannya itu hanya membuat Su Ciau meringis kesakitan tetapi tak sampai melukainya.
Dalam pada itu tangan kiri Hong Ing masih mendorong bok-hi si paderi gemuk, tangan kanannya segera menyorongkan ular besi untuk menggigit paderi itu.
Tahu bahwa ular-besi itu tak mempan ditabas senjata tajam, cepat ia mengangkat pemukul bok-hi, siap hendak dihantamkan ular-besi itu. Demikian ular-besi itupun tahu bahaya yang mengancam. Untuk beberapa saat ia hanya bergeliatan maju mundur tak berani menggigit lawan.
Mencuri kesempatan lawan sedang terikat perhatiannya pada ular-besi, Hong Ing berpaling. Melihat Su Ciau terpukul tinju si Limbung, ia kasihan juga.
"Su Ciau, aku bukan setan, tetapi aku memang ditakdirkan belum mati. Curahkan perhatianmu untuk menghajar orang edan itu, kasih dia beberapa ketupat, dia tentu minta ampun"
Mendengar keterangan itu, girang Su Ciau bukan kepalang. Sambil melancarkan tiga buah tabasan, ia menyahut: "Hong Ing, sungguh Tuhan bermurah hati, engkau dan aku dapat bertemu kembali."
Si Limbung tiba-tiba tertawa keras : "Ha, ha, ha, . budak ini memang pandai bersandiwara. Tadi menangis gerung-gerung karena bininya mati, tetapi sekarang sudah main mata dengan seorang budak perempuan baru!" Ia terus melolos senjatanya Kiu ciat-tong-pian atau Ruyung-baja-sembilan-ruas, lalu diputar sederas angin.
Su Ciau berteriak marah: "Kurang ajar, jangan bicara yang tak urus. Dia adalah isteriku yang meninggal itu."
Kembali si Limbung tertawa, serunya :"Melihat hantu disiang hari!"
Karena tertawa itu gerak tangannya agak terlambat. Cret... lengan bajunya tertusuk berlubang oleh pedang Thian-liong-kiam. Sim Yong terkejut dan berkaok-kaok marah. Segera ia memutar ruyungnya sederas angin puyuh.
Sebenarnya Su Ciau tak sampai hati untuk melukainya. Tadi dia hanya menusuk lengan baju orang limbung itu saja lalu cepat-cepat menarik pedangnya lagi.Tetapi karena si Limbung menyerang lagi, terpaksa iapun melayaninya. Demikian keduanya segera bertempur dengan berimbang.
Di lain fihak, Hong Ing harus mengalami kesulitan. Setelah berulang kali si paderi gemuk luput menghantam kepala ular besi, ia mendapat kesan bahwa ular-besi itu seperti seekor ular yang sudah terlatih baik. Ia meragukan asal usul Hong Ing. Jangan-jangan murid orang sakti yang pernah dijumpai di daerah Biau beberapa tahun yang lalu. Dengan orang sakti itu ia pernah bertempur dan kalah lalu dimaki-maki dengan tajam. Teringat hal itu diam-diam Gok Co thauto gelisah. Kalau orang lain tentu akan bertanya kepada Hong Ing tentang asal usulnya. Kalau memang benar murid orang sakti itu, baru dia mundur. Tetapi dasar orang Biau, paderi gemuk itu seorang yang suka berterus terang. Dia tak memikirkan soal itu bahkan malah hendak membunuh Hong Ing. Biar dia murid orang sakti itu tetapi kalau sudah dibunuh mati tentu tiada bekasnya lagi.
Setelah memutuskan demikian, ia segera gerakkan bok-hi besinya. Alat pemukul bok-hi tidak mengarah kepala ular-besi tetapi berganti memukul kepala Hong Ing, ditujukan pada jalan darah Pek-hwe hiat yang merupakan jalan darah maut.
Saat itu Hong Ing sedang bicara dari jarak jauh dengan Su Ciau. Ia tak menduga kalau thauto itu akan melancarkah serangan maut. Dia baru gelagapan kaget ketika alat pemukul bok-hi itu meluncur dengan deras. Dalam keadaan seperti itu tiada lain jalan lagi baginya kecuali melontarkan ular besi ke arah lawan lalu menyambar boh-hi. Ia dapat menangkap bok-hi si paderi gemuk dengan demikian sekarang keduanya saling berpegangan tangan.
Gok Co thauto menggembor beberapa kali seraya menggelembungkan dadanya. Gerakan itu menimbulkan tenaga kuat untuk menampar ular Thiat-bi-coa jauh-jauh, tambahan tenaga-dalam yang memancar dari dada paderi gemuk itu masih dapat menyerang Hong Ing.
Dalam soal kepandaian memang paderi gemuk dari Biau itu jauh lebih unggul. Tetapi Hong Ing memiliki tenaga yang kuat sekali, di tambah pula dengan tenaga dalam dari Thian-jiu kang yang sukar diduga perubahannya. Maka sampai beberapa saat dapat juga ia mengimbangi permainan si paderi gemuk.
Dapat melayani seorang tokoh termashur semacam Gok Co thauto dan dalam adu tenaga-dalam juga berimbang, Hong Ing girang sekali. Dengan penuh semangat ia pancarkan tenaga-dalam untuk mendesak lawan.
Tetapi beberapa waktu kemudian tenaga-dalam Gok Co thauto makin dahsyat sehingga Hong Ing harus mati-matian bertahan dan harus mundur beberapa langkah. Diam-diam ia mulai mengeluh. Tiba-tiba ia melihat ular Thiat-bi-coa itu melingkar di tanah, cepat ia bersiul. Sudah setengah tahun ia berkawan dengan ular-besi itu maka ular itupun kenal sekali dengan suaranya. Begitu mendengar siul Hong Ing, ular itupun cepat meluncur datang. Sebelum Gok Co thauto tahu apa yang terjadi, tiba-tiba betisnya sudah digigit ular.
Sudah tentu Gok Co thauto tak tahu bahwa racun ular Thiat bi-coa itu sudah dihilangkan Siang Bong. Saat itu semangatnya seperti terbang. Tanpa menghiraukan Hong Ing lagi ia terus menarik tenaga-dalamnya. Saat itu Hong Ing menggunakan kesempatan untuk memancarkan tenaga-dalam lebih hebat untuk merobohkannya.
Tetapi untunglah si paderi gemuk dapat meloloskan diri dan dengan gunakan bahasa daerah Biau ia berseru: "Sim Yong, lekas melarikan diri!"
Sebenarnya si Limbung masih penasaran. Setelah berulang kali suhunya berkaok-kaok, barulah ia loncat keluar dari pertempuran. Tetapi Hong Ing sudah loncat untuk menendangnya. Si Limbung terlempar beberapa langkah, membentur sebatang pohon sehingga pohon itu rubuh. Tetapi karena suhunya sudah jauh, Sim Yongpun tak mau melayani Hong Ing. Cepat-cepat ia lari menyusul.
Setelah dapat mengalahkan kedua suhu dan murid, bertanyalah Hong Ing kepada Su Ciau: "Su Ciau, bagaimana engkau lihat kepandaianku setelah setengah tahun ini?"
"Hong Ing, bagaimanakah yang terjadi dengan dirimu, harap engkau suka memberitahu kepadaku" kata Su Ciau yang masih terheran-heran.
Kasihan dan diam-diam geli juga Hong Ing melihat tingkah laku Su Ciau yang begitu tergila-gila pada mempelainya yang bernama Hong Ing. Sampai detik itu Su Ciau masih menganggap bahwa ia adalah Cin Hong Ing. Maka iapun menceritakan juga kisah yang dialaminya selama ini.
Su Ciaupun menerangkan mengapa ia kembali ke tempat itu lagi.
Ketika tiba di gunung Tay-pat-san, ia selalu terkenang saja pada Hong Ing. Sedetikpun ia tak pernah melupakan. Sedemikian besar rasa kasihnya terhadap nona itu sehingga ia memutuskan untuk kembali ke tempat kuburannya. Siapa tahu kemungkinan Hong Ing akan hidup kembali. Memang aneh dan lucu kedengarannya. Tetapi bagi orang yang sedang dimabuk asmara, hal itu tak aneh.
"Su Ciau, engkau terlalu mabuk asmara", seru Hong Ing seraya menghela napas.
"Apabila tak mabuk cinta, bagaimana aku saat ini dapat berjumpa dengan engkau ? Bukankah gaib sekali kekuasaan cinta itu sehingga aku sampai mempunyai firasat bahwa engkau tentu masih hidup." sahut Su-Ciau.
Sebenarnya pada saat itu Hong Ing hendak menjelaskan bahwa ia bukan Cin Hong Ing dan iapun tak mencintai pemuda itu. Tetapi rnelihat pemuda itu benar-benar sudah gila cinta, tak sampai juga hatinya untuk membuatnya sedih. Ah, untuk sementara biarlah keadaan tetap berlangsung begitu. Terpaksa ia harus bermain sandiwara untuk menjadi Cin Hong Ing, mempelai Su Ciau.
Tiba-tiba Su Ciau mendekatkan mulut ke telinga Hong Ing dan membisiki: "Hong Ing, betapa gaib cinta itu. Bermula waktu mengangkat sumpah menjadi suami- isteri, engkau hanya dapat hidup setengah jam lamanya. Tetapi ternyata sekarang masih tetap segar bugar".
Terkejut Hong Ing mendengar kata-kata itu dan geli telinganya karena suara dari mulut Su Ciau. Cepat ia melesat ke muka dan merah mukanya.
"Su Ciau, jangan ngaco belo tak karuan. Bukankah tadi si raksasa limbung Sim Yong mengatakan bahwa di pulau Ki-Lo-To di Laut Timur akan diselenggarakan sebuah Eng-hiong-tay-hwe (pertemuan besar kaum ksatria) ? Bagaimanakah itu ?" seru Hong Hong.
Su Ciau gelengkan kepala : "Sudah hampir setengah tahun aku berkeliaran di gunung Tay-pat-san, tak pernah berjumpa dengan seorang persilatan, bagaimana aku tahu hal itu ?"
"Kalau kita menuju ke timur, bertanya pada setiap orang persilatan yang kita ketemu, tentu akan tahu. Mari kita berangkat ke sana. Kalau kita berdua tergabung, siapakah yang mampu menandingi kita?"
Habis berkata Hong Ing terus melilitkan ular Thiat-bi-coa ke bahu dan bersama Su Ciau lalu mengendarai kuda. Malam itu mereka tiba disebuah kota kecil dan berhenti untuk bermalam.
Melihat sepasang muda mudi, jongos rumah penginapan mengira mereka tentu sepasang suami isteri maka diapun hanya menyediakan sebuah kamar.
Hong Ing merah mukanya. Baru ia hendak mengatakan supaya menyewa sebuah kamar lagi, Su Ciau sudah berkata: "Hong Ing, pernikahan kita sudah diresmikan oleh orang tua, mengapa kita takut?"
"Su Ciau, bukankah aku tak dapat melarikan diri ? Nanti setelah kembali ke Holam dan mengulang perayaan pernikahan itu, barulah kita resmi menjadi suami isteri. Perlu apa engkau terburu-buru?" bantah Hong Ing.
Su Ciau menurut saja. Mereka masing-masing tidur dilain kamar. Keesokan harinya mereka melanjutkan perjalanan lagi.
Hampir setengah bulan lamanya mereka melakukan perjalanan, diam-diam Hong Ingpun makin tahu kalau Su Ciau itu memang seorang pemuda yang baik bati. Dan makin tak sampai hatinya untuk mengatakan siapakah sesungguhnya dirinya itu.
Dalam pada itu diam-diam Hong Ing memikirkan nona yang bernama Hong Ing yang menjadi mempelai Su Ciau itu.
"Mengapa nona itu seperti pinang dibelah dua dengan aku? Dan mengapa dia juga bernama Hong Ing? Bagaimanakah sesungguhnya nona itu? Bagaimana pula tingkah laku dan perangainya ? Mengapa dia melarikan diri pada malam pengantin, apakah juga seperti diriku, mempunyai suatu kesulitan yang sukar dikatakan kepada orang ?" demikian beberapa pertanyaan yang berhamburan kedalam benak Hong Ing.
Ia hanya tertawa hambar dan diam-diam memutuskan bahwa setiap orang itu mempunyai persoalan sendiri-sendiri.
Sudah tentu Su Ciau tak tahu apa yang terpikir dalam hati Hong Ing. Karena selama perjalanan tampak Hong Ing tak menunjukkan sesuatu yang aneh, maka diam-diam iapun girang. Demikian tak berapa lama kemudian mereka sudah melintasi wilayah Hun-lam.
Selekas keluar dari wilayah itu sepanjang jalan mereka segera mendengar kabar-kabar dari orang persilatan bahwa dua golongan partai persilatan dari timur dan barat, sedang berebut untuk memiliki pulau Ki-lo-to.
Ternyata cerita si limbung Sim Yong itu memang benar. Keduanya makin ingin untuk mengetahui dengan jelas tetapi karena kabar-kabar yang tersiar itu hanya disiarkan oleh orang-orang persilatan yang tak tahu keseluruhannya maka Hong Ing dan Su Ciaupun tak memperoleh keterangan yang diinginkan.
Ternyata rebutan pulau Ki-lo-to itu dilakukan oleh anak murid dari kuil Ko liong-si di tepi telaga Jelah wilayah Sujwan dengan Nenek-cenderawasih-Tutul Poan Hong-poh. Orang Ko-liong-si hendak pinjam pulau itu selama satu bulan dan nenek Poan Hong-poh menolak. Pulau itu menjadi tempat kediamannya selama berpuluh tahun. Dia sudah membangun sebuah rumah yang indah macam sebuah istana, memelihara berpuluh dayang sehingga pulau itu tak ubahnya seperti nirwana. Sudah tentu tak boleh akan dipinjam oleh lain orang secara begitu saja. Kabarnya utusan yang menuju ke pulau itu, belum mencapai pulau sudah disapu bersih oleh anak buah pulau Ki-lo-to.
Dengan demikian terjadi dendam permusuhan diantara kedua fihak. Nenek Cenderawasih-Tutul telah mengumbar suara, bahwa pulau Ki Lo-to tak dapat dipinjam tetapi boleh direbut. Asal orang dapat mengalahkannya iapun rela akan menyerahkan pulau itu dan selama-lamanya takkan muncul dalam dunia persilatan lagi.
Fihak Ko-liong-si menerima baik tantangan itu. Mereka mengirim surat bahwa pada malam Tiong-jiu tahun ini, akan datang ke pulau Ki-lo-to untuk menyelesaikan persoalan itu. Mereka rnengundang seluruh kaum persilatan untuk menjadi saksi. Tetapi yang diundang adalah tokoh-tokoh yang dianggap sesuai tingkat kepandaiannya.
Sudah lama hal itu tersiar di dunia persilatan. Banyak di antaranya kaum muda yang ingin menambah pengalaman dan menuju ke pulau itu, walaupun waktu masih kurang tiga bulan, sudah banyak orang-orang persilatan yang berbondong-bondong datang.
Demikian hasil dari penyelidikan Hong Ing dan Su Ciau disepanjang jalan. Tentang apa sebab orang Ko-liong-si hendak meminjam pulau Ki-lo-to itu, tiadalah seorangpun yang tahu.
Kalau Su Ciau tak begitu mengambil perhatian tidak demikian dengan Hong Ing yang ingin mengetahui jelas persoalan itu. Ia berpendapat, peristiwa itu bukan hanya timbul dari dua golongan saja, tentulah di dalamnya masih mengandung suatu rahasia. Kemungkinan pelana kuda bertabur mutiaira itu terlibat di dalamnya.
Mengenai fihak kuil Ko-liong-si, kecuali ketuanya Bu Wi lhama dan Toho lhama yang pernah dimasukkan dalam peti selama tujuh tahun oleh gurunya, Siau Yau cinjin, rasanya tiada lain tokoh yang dikenalnya lagi.
Ketiga tokoh dari Ko-liong-si itu memang ia sudah pernah melihat. Terutama murid mereka yaitu pemuda Cong Tik. Tiba pada pemikiran tentang diri Cong Tik, timbullah suatu pertanyaan dalam hati Hong Ing. Rasanya gerak gerik pemuda itu memang mencurigakan. Beberapa kali Cong Tik telah menipu dirinya, sepertinya dia sangat bernafsu sekali untuk mendapatkan pelana kuda bertabur mutiara itu. Tentulah saat ini pemuda itu sudah berhasil mendapatkan pelana itu. Karena dialah yang pertama kali tiba di gunung Cek-bi-san. Apabila pelana kuda itu mengandung suatu rahasia, tentulah Cong Tik juga yang lebih dulu mendapat.
Selama setengah tahun ini, Hong Ing memang seperti orang mati yang hidup kembali. Selama setengah tahun digembleng oleh si Raja binatang Siang Bong, ia seperti berada dalam kegelapan. Apa yang terjadi dalam dunia persilatan sama sekali ia tak tahu.
Tetapi, selama setengah tahun itu, lebih banyak lagi hal yang dialami Cong Tik. Untuk mengetahui lebih jelas. Marilah kita mundur dulu sejenak untuk mengikuti kisah perjalanan pemuda itu.
Pada malam itu gunung Tay-pat-san telah didera hujan lebat sekali. Kelima tokoh yang sedang bertempur yakni nenek Poan Hong-poh, Lo Thian dan Lo Te, Thiat-koan-im Li Wan dan ketua partai Naga Lu Kong Cu, sedang mengalami kesulitan besar melawan kegelapan malam yang pekat sekali sehingga mereka tak dapat melihat jari tangannya sendiri. Sebenarnya dengan alat pendengarannya yang tajam mereka masih dapat mengenal suara dan membedakan kedudukan lawan, tetapi karena hujan turun lebat sekali, telinga merekapun terganggu dan tak dapat menangkap suara apa-apa lagi. Dengan demikian mereka berlima memang sulit untuk melanjutkan pertempuran. Namun mereka tak mau berhenti dan tetap bertempur terus.
Tak jauh dari medan pertempuran itu, Cong Tik yang karena hendak menyingkir dari hujan, ia meneduh di bawah segunduk batu besar dan tanpa sengaja, berkat penerangan sinar kilat, ia dapat menemukan suatu surat yang panjang tertulis pada batu itu.
Huruf yang tertulis disitu sama bentuknya dengan huruf pada kertas yang telah hancur dimakan tikus itu. Dengan begitu jelas penulis itu adalah orang yang tahu tentang rahasia pelana kuda bertabur mutiara. Tetapi sayang kedua orang itu sudah menjadi mayat dan tinggal kerangka saja. Adalah salah seorang dari kedua kerangka tulang itu, kemungkinan besar tentu seorang lelaki, menulis surat untuk ditinggalkan kepada isterinya, wanita yang telah melarikan diri itu.
Dibawah pancaran kilat, dapatlah Cong Tik membaca jelas permulaan dari surat itu yang berbunyi:
Paku beracun dari jahanam Tan itu ternyata dilumuri racun, karena dia tak kenal budi, maka akupun ......
Cong Tik menduga lanjutan dari huruf yang belum tertulis itu tentu berbunyi 'put gi', atau tidak menjunjung kebajikan.
Kemudian setelah mendapat harta karun atau pusaka yang luar biasa berharganya, kedua orang itu lupa kawan dan saling gasak menggasak kawan sendiri. Akhirnya keduanya mati bersama dan menjadi setumpuk tulang-tulang putih.
Dengan hati tegang, Cong Tik meneliti lebih lanjut, ia harap supaya kilat menyambar-nyambar lagi agar ia dapat melanjutkan membaca tulisan pada batu itu.
Tetapi makin ia berharap makin hujan mulai reda dan berhenti. Kilatpun tak memancar pula. Sedang cuaca makin gelap pekat.
Cong Tik putus asa. Malam itu tak mungkin ia dapat membaca seluruh tulisan pada batu. Ia harus bersabar menunggu sampai besok pagi. Maka iapun segera duduk bersemedhi menyalurkan peredaran darah. Tetapi saat itu pikirannya gelisah tak karuan. Rahasia besar yang dibuat rebutan oleh kaum persilatan, ternyata jatuh ditangannya. Pedang kecil yang berada dalam bajunya, luar biasa tajamnya. Makin berkobar nafsu keinginannya untuk mengetahui rahasia itu. Karena terganggu pikiran-pikiran semacam itu, sudah tentu ia tak dapat mengkonsentrasikan pikirannya.
Tak berapa lama ia mendengar suara angin menderu seperti tubuh seseorang yang loncat dari jauh dan tiba di hadapannya.
Bukan main cemas Cong Tik. Jika yang datang itu salah seorang dan kelima orang yang sedang bertempur, kemungkinan rahasia tulisan pada batu besar itu tentu akan diketahui. Jika demikian, lebih baik ia turun tangan saja untuk menyerang secara gelap kepada orang itu.
Setelah menentukan rencana, ia segera ulurkan tangan. Ah, ternyata ia menyentuh ujung baju orang itu.....
"Ah, sial, si Lu Kong Cu" ia mengeluh dalam hati. Tetapi iapun tak mau melepaskan ketua partai Naga itu. Setelah mengambil dua batang paku biji angco, cepat ia lekatkan pada betis orang itu.
Orang itu memang berdiri tepat dihadapan Cong Tik. Setitikpun ia tak mengira bahwa di belakangnya bersembunyi seseorang. Paku biji angco itu menyusup masuk ke dalam daging betis. Orang itu menjerit kaget dan kesakitan lalu loncat sampai setombak jauhnya, mendekam dalam semak. Dalam pada itu terdengar deru sambaran tongkat, nenek Poan Hong-poh dan lengking teriakan dari Thiat-koan-im Li Wan. Menilik gelagatnya, karena mendengar suara Lu Kong Cu loncat tadi, nenek Poan Hong-poh segera ayunkan tongkatnya tetapi ditahan oleh Thiat-koan-im Li Wan.
Setelah terkena dua biji paku angco, selain sakit sekali, pun Lu Kong Cu segera merasa gatal, makin lama makin naik ke tubuh. Cepat ia menyadari kalau dirinya terkena racun. Tetapi ia tak menyangka kalau terkena senjata beracun paku angco.
Ia mengira kalau tergigit ular. Buru-buru ia mengambil obat pemunah racun dan diminumnya. Karena dia mengerang marah, nenek Cenderawasih-Tutul mendengar dan terus hendak menghampiri tetapi dihadang nenek Li Wan. Dalam pada itu kedua orang kate Lo Thian dan Lo Tepun ikut loncat menghampiri.
Rupanya Lu Kong Cu tahu kalau orang telah mendengar dengus kemarahannya. Maka ia tak berani bersuara lagi. la beringsut menyingkir ke samping dan menutup pernapasannya. Kemudian ia menutuk jalan darah Wi-tiong dan Ki-bun untuk mencegah racun naik ke atas.
Karena Lu Kong Cu sudah pindah tempat maka Lo Thian dan LoTe hanya menubruk angin.
Saat itu kedua saudara kate itu menyadari karena tempat disitu sebuah semak belukar. Mereka tak tahu mengapa tadi Lu Kong Cu mengerang kesakitan. Timbul kecurigaan dalam hati mereka, jangan-jangan Lu Kong Cu sengaja memasang jebakan. Cepat mereka mendekam di tanah lalu memutar golok pendak mereka karena mengira Lu Kong Cu tentu akan mengadakan serangan gelap.
Kebetulan tempat kedua saudara kate bersembunyi dan memutar golok itu dekat sekali dengan tempat persembunyian Cong Tik. Cong Tik merasa seperti angin deras berhembus di sebelah muka. Diam-diam pemuda itu bingung. Karena jengkel, ia mengambil lagi dua biji paku angco lalu dijentikkan kearah LoThian dan Lo Te.
Saat itu Lo Thian dan Lo Te tengah menumpahkan perhatian untuk menyapu penyerang gelap. Tring, tring, kedua biji paku angco yang dilontarkan Cong Tik itupun terpukul jatuh oleh pedang mereka. Pada saat paku dan golok saling bentur, maka muncratlah sepercik bunga api. Dalam kegelapan yang amat pekat itu, percikan bunga api itu cukup untuk menerangi keadaan sekeliling tempat.
Segera kedua saudara kate itu melihat Lu Kong Cu tengah mengobati kakinya dalam semak tak berapa jauh sedang merekapun melihat Cong Tik tengah mendekam di samping. Setelah memberi isyarat tangan, keduanya segera bergerak. Yang satu menyerang Lu Kong Cu, yang satu menyerbu Cong Tik.
Karena tahu jejaknya sudah ketahuan orang, Cong Tik terkejut. Tetapi ia menduga penyerangnya itu tentulah Lo Thian seorang saja dan hal itu tak perlu ia harus takut. Setelah sejenak mendengar suara dan membedakan arah, barulah ia taburkan empat batang -paku buah angco.
Tetapi si kate Lo Thian itupun cukup hati-hati, sambil loncat ia memutar goloknya sehingga paku-paku beracun itupun terpukul jatuh keempat penjuru. Cong Tikpun sudah menduga bahwa taburan keempat biji paku itu tak mungkin dapat merubuhkan Lo Thian. Maka setelah menabur, iapun terus melesat dan menyelinap ke belakang Lo Thian, tanpa menunggu orang kate itu tiba di mukanya, ia terus lancarkan empat buah pukulan susul menyusul.
Selekas tiba di tanah, Lo Thian tak tahu bahwa Cong Tik sudah berada di belakangnya. Keempat pukulan Cong Tik itu ada dua buah yang tepat mengenai sasarannya. Duk, duk .. punggung Lo Thian termakan pukulan. Serentak orang kate itupun berkaok-kaok marah: "Bangsat engkau...."
Tetapi pukulan Cong Tik itu memang disertai dengan tenaga-dalam yang cukup berat. Memang sesungguhnya kepandaian Cong Tik itu hebat juga. Sudah tentu Lo Thian tak kuat, ia terhuyung-huyung sampai tiga langkah.
Dalam pada itu Cong Tik dengan cerdik sudah loncat menyingkir sampai dua tombak dan mendekam dalam semak.
Maksud Cong Tik memang tak mau ikut campur dalam pertempuran kelima tokoh itu. Dia hanya akan menunggu kedatangan fajar hari untuk membaca tulisan pada batu itu sampai selesai.
Setelah menderita pukulan dari Cong Tik, Lo Thian marah bukan kepalang. Dengan memutar golok pendeknya, ia hendak membunuh Cong Tik, tetapi karena tak dapat menemukannya ia tumpahkan kemarahan kepada siapa yang dijumpainya. Begitu mendengar suara pertempuran antara nenek Cenderawasih-Tutul dengan nenek Li Wan, yang ternyata tak jauh dari tempatnya, tanpa berpikir panjang lagi, ia terus menyerang.
Sedangkan Lo Te yang menyerbu Lu Kong Cu, saat itu Lu-Kong Cu baru saja mencabut dua biji paku angco yang menancap pada betisnya lalu melumurinya dengan obat pusaka dari partai Naga. Tetapi karena gerakan kakinya masih belum normal, terpaksa ia bergelundungan menyingkir dari situ.
Lo Te mengejar dan terus menyabat dengan goloknya, cret .. karena tak sempat menghindar, bahu Lu Kong Cu terbabat dan terluka sampai rnemanjang. Sudah tentu Lu Kong Cu menjerit-jerit kesakitan.
Thiat-koan-im Li Wan saat itu sedang dilibat oleh serangan tongkat nenek Cendrawasih-Tutul dan sukar untuk meloloskan diri. Kebetulan pula saat itu Lo Thian yang sedang ngamuk, menyerang si nenek Cenderawasih Tutul dan nenek itupun terpaksa menangkis dengan tongkatnya. Dengan begitu nenek Thiat-koan-im Li Wan mempunyai kesempatan untuk meloloskan diri, menurut arah jeritan Lu Kong Cu, ia loncat dan menghalau Lo Te.
Lo Thian seorang memang bukan tandingan nenek Cenderawasih-Tutul. Berulang kali ia berteriak-teriak, minta tolong kepada saudaranya. Mendengar itu Lo Te lalu bergelundungan menghampiri lalu membantu Lo Thian untuk bersama menyerang nenek Cenderawasih-Tutul.
Sedangkan saat itu nenek Thiat-koan-im Li Wan segera bertanya kepada Lu Kong Cu : "Apakah engkau menderita luka ?"
Lu Kong Cu mendengus : "Tak perlu ditanya, betisku termakan dua biji paku angco beracun dan bahuku tertusuk golok."
Setelah hujan berhenti, cuacapun mulai terang.
Angin berhembus menyiak awan hitam. Sinar rembulan memancar lagi dan empat penjurupun dapat terlihat jelas. Setelah menerima paku angco dari Lu Kong Cu dan memeriksanya, nenek Thiat-koan-im Li Wan melengking marah : "Hm, kiranya Pat-pi-kim-kong Tan Eng Hiong dari Holam juga datang kemari. Dulu aku pernah memberi obat pemunah racun, mengapa sekarang engkau malah melukai ketua partai kami dengan senjatamu yang istimewa itu ?"
Tajam dan nyaring sekali nenek Li Wan melantangkan kemarahannya sehingga sampai terdengar jauh. Cong Tik yang mendengar keteranganan itu diam-diam terkejut dan girang. Pat-pi-kim-kong atau Malaekat-berlengan-delapan itu adalah tokoh persilatan yang cemerlang dalam dunia persilatan wilayah Holam. Tak nyana kalau kedua kerangka tulang tengkorak itu ternyata salah satunya adalah dia sendiri.
Pat-pi-kim-kong itu bukan lain adalah ayah dari Tan Su Ciau. Pelana kuda bertabur mutiara memang berasal dari pusaka keluarga Tan dan Pat-pi-kim-kong telah meninggal di tempat situ. Kini kabut rahasia yang menutup pelana kuda bertabur mutiara itu selapis demi selapis mulai tersingkap.
Sekarang tinggal sepasang laki-wanita itu. Siapakah gerangan mereka? Dan kabut rahasia itu asal sudah membaca tulisan pada batu, tentu akan dapat diketahui.
Karena beberapa kali berseru tiada jawaban akhirnya nenek Thiat koan-im Li Wan marah. Sementara itu kedua saudara kate Lo Thian - Lo Te menertawakannya.
"Nenek, pengemis tua, apa perlumu berkaok-kaok tak keruan itu. Yang melepaskan paku beracun itu seorang budak muda. Pat-pi-kim-kong sudah beberapa tahun yang lalu mati, Sam Hoa niocupun sudah selesai berkabungnya. Mengapa engkau masih berkaok-kaok seperti orang mengingau ?"
Mendengar itu nenek Li Wan terkesiap. la memeriksa lagi paku beracun itu. Memang pada setiap biji paku tentu terdapat tulisan huruf Tan. Persis seperti milik Pat-pi-kim-kong dahulu. Setelah tak ragu lagi, ia segera berteriak marah: "Kalian sendiri yang mengingau. Coba lihat kemari apakah ini bukan benda milik Pat-pi kim-kong.
Nenek Li Wan terus melemparkan kedua biji paku itu masing-masing ke arah Lo Thian dan Lo Te.
Dalam tangan nenek Thiat-koan-im Li Wan, kedua biji paku beracun itu menjadi sebuah senjata yang bukan kepalang hebatnya. Mungkin dulu Pat-pi-kim-kong tak sehebat itu menggunakannya, apalagi Cong Tik.
Serentak Lo Thian dan Lo Te merasa dari arah belakang terdengar desing dua benda yang tajam, sedang pada saat itu mereka tengah menghadapi tongkat nenek Cenderawasih-Tutul. Setelah rembulan memancar lagi, nenek itu melancarkan serangan lebih dahsyat.
Dari depan diserang tongkat dari belakang diancam paku beracun. Diam-diam Lo Thian dan Lo Te mengeluh, kali ini mereka tentu akan menderita. Tetapi sekonyong-konyong nenek Cenderawasih Tutul merubah jurusnya. Putaran tongkatnya menghamburkan tenaga-dalam yang menyedot kedua saudara kate itu ke muka.
Kedua saudara kate itu merasa juga. Tetapi diam-diam mereka girang karena dengan begitu setidaknya mereka akan lolos dari bahaya dulu. Maka merekapun menurut saja ditarik maju oleh gerakan tongkat nenek itu. Dan ketika maju mereka terus merubuhkan diri lalu berpencaran menggelundung ke kanah dan ke kiri.
"Setan kate, karena nyawamu sudah kukembalikan lagi, apakah engkau masih berani disini?" nenek Cenderawasih-Tutul mendengus dingin.
Habis berkata nenek itu terus melangkah maju, sekali taburkan tongkatnya segera terdengar gemerincing dua buah paku terpukul jatuh, lalu dengan cepat tangan kirinya menyambar paku itu terus menyurut mundur sampai tujuh delapan langkah.
"Hai, memang benar milik Pat-pi-kim-kong!'' sehabis memeriksa paku itu nenek Cenderawasih Tutul serentak berseru kejut.
Kemudian ia mengangkat kepala dan berteriak "Hai, Pat-pi-kim-kong, apakah engkau benar-benar tak mau unjuk muka? Dimanakah sahabatmu si Ular-emas Hoa Ceng itu? Isterinya sangat menderita susah payah mencarinya!"
Sampai dua kali berteriak tetapi tiada penyahutan apa-apa. Adalah Cong Tik yang dapat menarik keuntungan. Cepat ia menyadari suatu hal yang dapat menyingkap kabut rahasia kedua suami isteri itu.
"Ah" desuhnya dalam hati, "kiranya kedua suami isteri itu adalah Ular-ernas Hoa Ceng dan isterinya Cenderawasih-perak Tang Pui Leng. kedua suami isteri juga tokoh yang ternama di Holam. Tetapi mengapa nenek Cenderawasih-Tutul kenal akan Tang-Pui Leng?"
Karena tertarik, Cong Tikpun mendengarkan lebih lanjut dengan penuh perhatian. Saat itu kelima tokoh sudah hentikan pertempuran.
Pada saat nenek Cenderawasih Tutul hendak berseru lagi, tiba-tiba kedua saudara kate Lo Thian dan Lo Te melenting bangun dan berseru: "Poan-hong-poh, engkau menduga salah. Paku beracun itu bukan Pat-pin-kim-kong yang melontarkan tetapi seorang budak lelaki!"
Poan-hong-poh meragu, serunya: "Apakah benar omongan kalian itu ?"
Lo Thian dan Lo Te serempak berseru: "Tadi engkau telah menolong jiwa kami. Kami berdua saudara adalah manusia yang saling menjunjung budi dan mendendam hinaan. Bagaimana kami mempunyai hati untuk membohongi engkau ? Budak laki itu kebanyakan tentu belum pergi jauh, asal kita menyelidiki sekeliling tempat ini, tentulah akan dapat menemukannya. Kalau kita tak bertindak begitu, kita tentu akan selalu termakan siasat dan saling berhantam sendiri.
Mendengar itu, Lu Kong Cu cepat mengetahui bahwa yang dimaksud budak lelaki oleh kedua orang kate itu tentulah Cong Tik. Cepat ia berseru : "Apa yang dikatakan kedua orang itu memang benar, kita cari dan bekuk dulu budak itu, baru nanti kita berunding lagi."
Tiba-tiba nenek Cenderawasih-Tutul tertawa mendengus : "Huh, jangan bergirang dulu. Andaikata dapat menemukan budak itu, pun kalian partai Naga takkan mendapat bagian."
Sudah tentu Lu Kong Cu tak puas. Ia balas tertawa dingin : "Hal itu kita lihat saja nanti."
Nenek Cenderawasih-Tutul hentakkan tongkatnya ke tanah dan hendak menyerang lagi. Tetapi Cepat nenek Thiat- koan-im Li Wan melesat ke muka Lu Kong Cu.
Kedua nenek itu memang berimbang kesaktiannya. Sudah berulang kali bertempur belum ada yang kalah dan menang. Melihat keduanya hendak bertempur lagi, kedua saudara kate segera berseru: "Poan hong poh, kalau kita berayal dan budak itu dapat meloloskan diri, jangan engkau persalahkan kami berdua dusta.
Kata-kata itu memang dapat mengingatkan pikiran nenek Cenderawasih-Tutul. Memang saat itu yang penting harus membekuk Cong Tik. Ia tertawa hambar.
"Benar, untuk menentukan siapa sesungguhnya yang beilmu paling sakti, dapat dilihat siapa yang akan memperoleh benda itu. Tetapi cobalah kalian jawab dulu pertanyaanku ini. Sesungguhnya benda apakah yang kalian hendak kejar-kejar itu ?"
Pertanyaan itu membuat sepasang saudara kate dan Lu Kong Cu melongo. Mereka memang tak tahu bahwa soal itu ada hubungan dengan rahasia pelana kuda bertabur mutiara. Juga nenek Thiat-koan-im Li Wan tak tahu soal itu.
Nenek Cenderawasih-Tutul tertawa dingin : "Sedangkan benda apa saja tak tahu, mengapa ikut campur tangan dalam urusan ini. Benar-benar menggelikan sekali!"
Tempat persembunyian Cong Tik tak berapa jauh dari kelima orang itu. Mendengar ajakan ke dua saudara kate untuk menyelidiki sekeliling tempat itu, ia terkejut sekali dan diam-diam mengeluh. Dari kelima orang itu, hanya Lu Kong Cu yang sanggup ia tempur, yang empat ia merasa kalah. Apabila saat itu ia hendak melarikan diri, tentulah gerak-geriknyna akan terdengar mereka. Lebih baik diam saja. Mungkin saja nanti akan terjadi perobahan yang tak terduga-duga. Tetapi sampai beberapa saat menunggu masih belum terdengar gerakan suatu apa. Kemudian tiba-tiba ia mendengar pertanyaan nenek-Cenderawasih-Tutul tentang apa yang sebenarnya hendak dicari oleh orang-orang itu. Menilik nadanya jelas nenek Cenderawasih-Tutul itu sudah tahu, Cong Tik makin mencurahkan perhatiannya untuk mendengarkan dengan seksama.
Terdengar Lu Kong-Cu membantah dengan penasaran: "Apakah engkau tahu ?"
Dengan bangga nenek Cenderawasih-Tutul berseru: "Cobalah kalian bayangkan sendiri. Aku hidup sebagai ratu di pulau Ki-lo-to. Jika tak mengetahui jelas benda apa itu, masakan aku mau berkeliaran kemari ?"
Lo Thian dan Lo Te saling bertukar pandang, diam-diam mereka mengakui apa yang dikatakan nenek itu memang benar.
"Poan-hong-poh" seru mereka gopoh, "engkau kau telah melepas budi menolong jiwa kami berdua. Tak peduli benda apa saja, kami tak ingin mendapatkan. Maukah engkau menceritakan benda itu kepada kami ?"
"Tidak bisa" seru nenek Cenderawasih-Tutul. Setelah benda itu berada di tanganku, kalian tentu akan tahu sendiri."
Kedua saudara kate itu tak mau memaksa.
Mereka segera menuding nenek Thiat-koan-im Li Wan dan memaki : "Hai, nenek bangsat, engkau berani menyerang secara gelap kepada kami berdua. Kami takkan menghapus dendam kepadamu. Tunggulah pembalasan kami kelak !"
Habis berkata kedua saudara kate itu terus hendak loncat pergi tetapi nenek Cenderawasih-Tutul mencegahnya : "Tunggu ! Tadi kalian mengatakan hendak membantu aku mencari budak itu. Tetapi mengapa kalian hendak pergi ?"
Kedua orang kate itu tertegun, serunya : "O, ya, benar, benar."
Dengan gerakan yang luar biasa cepatnya kedua orang kate itu terus melesat ke dalam gerumbul semak.
"Kitapun harus turun tangan," seru Lu Kong Cu.
Melihat tiada dapat bersembunyi diri lagi, Cong Tik gelisah. Kalau ia tetap bersembunyi disitu dan mereka akan datang ke situ, bukankah mereka mempunyai kesempatan untuk membaca tulisan pada batu besar ?
Menengadah ke langit, dilihatnya burung kakak tua putih sedang terbang di udara. Paman gurunya Toho lhama, tentu tak berapa jauh dari tempat itu. Burung kakak tua itu dapat terbang seribu li dalam sehari. Jika dapat mengundang paman gurunya datang, tentu tak perlu takut kepada kelima orang itu. Ia akan lompat dari tempat persembunyiannya. Dengan begitu ia dapat memberi pesan si burung kakak tua supaya mencari paman gurunya. Asal ia dapat menghadapi kelima orang itu dalam beberapa jam saja, tentulah ia dapat mengatasi semua bahaya.
Demikian ia segera loncat berdiri dari sebuah gerumbul semak lalu bersuit keras. Mendengar suitan majikannya, si Putih serentak terbang meluncur dan hinggap pada bahu Cong Tik.
Melihat Cong Tik muncul kelima tokoh itu malah terkejut. Setelah sejenak terkesima, Lo Thian dan Lo Te menggerung keras dan segera menyerang pemuda itu.
Menghadapi ancaman saat itu, tiada lain jalan bagi Cong Tik kecuali harus bersikap tenang. Tangan kanannya pelahan-lahan mengelus-elus kepala si Putih, sambil beringsut tubuh, ia menghindari terjangan kedua orang kate, lalu membentaknya : "Tunggu! Kalian berlima, kalau mau bertempur silahkan maju serempak saja. Kalian berlima jago yang termashur, hendak menghadapi seorang pemuda tak terkenal seperti diriku, haruslah satu lawan satu. Tetapi jika kalian hendak main keroyok, silahkan aku takkan melawan."
Kata-kata itu menghentikan gerakan kedua saudara kate. Sebelum mereka berbuat apa-apa, Poan-hong-poh sudah berseru : "Budak, engkau masih bersikap angkuh sekali. Dari mana engkau memperoleh paku angco milik Pat-pin-kim-kong itu ?"
Belum sempat Cong Tik bicara, Lu Kong Cu sudah membisiki Thiat-koan im Li Wan : "Budak itu mempunyai hubungan besar, lekas ringkus dia dan bawa kembali ke lembah Kupu-kupu, nanti aku yang memutuskan".
Tetapi kali ini si nenek Li Wan menggeleng kepala : "Ciangbujin, kalau engkau terluka lagi, aku tentu tak dapat menolongmu."
Lu Kong Cu marah : "Kusuruh engkau membekuknya, segeralah engkau membekuknya !"
Karena marah bicaranyapun agak keras sehingga semua orang dapat mendengarnya.
Cong Tik segera tertawa nyaring : "Locianpwe, engkau juga seorang pemimpin sebuah partai persilatan, sekalipun engkau dapat membekuk aku tetapi engkaupun takkan terhindar dari cemoohan orang. Kalau berita itu tersiar, kemanakah muka orang-orang Partai Naga akan disembunyikan ?"
Lu Kong Cu tak dapat berbuat apa-apa. Kemudian Cong Tik berkata kepada nenek Cenderawasih Tutul : "Poan locianpwe, lebih dulu aku hendak melakukan sesuatu baru aku dapat menjawab pertanyaanmu".
Dikepung oleh lima tokoh, Cong Tik tetap bicara dengan santai. Walaupun bicaranya tak mengunjuk rasa gentar tetapi dalam hati sebenarnya sudah berdebar-debar. Dengan demikian jelaslah bahwa walaupun dia seorang pemuda yang licik tetapi dia memang cerdik sekali.
Jelek sekalipun tabiat si nenek Cenderawasih-Tutul itu tetapi ia suka kepada orang yang berani. Serunya : "Silahkan kalau engkau mau melakukan sesuatu dulu".
Mendengar itu Cong Tik segera berkata kepada burung kakak tua : "Putih .. Putih . lekas cari paman guruku kemari."
Setelah mengulang tiga kali baru ia lepaskan burung itu terbang ke udara. Cepat sekali kakak tua itu terbang melayang jauh.
Kemudian Cong Tik baru berkata kepada nenek Cenderawasih-Tutul : "Sebenarnya aku tak kenal dengan Pat-pi-kim kong, paku angco itu kuminta dari Tan Su Ciau putera keluarga Tan di Holam ketika merayakan hari perkawinannya".
Lu Kong Cu tertawa mengejek : "Siapa yang menanyakan soal itu, yang ditanyakan kepadamu ialab dimana sekarang pelana kuda bertabur mutiara itu ?
Cong Tik sudah memperhitungkan soal itu. Untuk mengulur tempo cukuplah ia menggunakan mulut untuk bicara saja. Apabila nanti bertempur, diantara kelima orang itu hanya Lu Kong Cu seorang yang dapat ia kalahkan. Tetapi saat itu nenek Li Wan melindunginya maka harus menggunakan siasat untuk memisahkan nenek itu baru nanti dia turun tangan.
Ia tahu betis yang terkena racun paku angco itu walaupun sudah dilumuri obat dari Partai Naga tetapi gerak gerik Lu Kong Cu masih belum pulih seperti biasa. Waktu di lembah Kupu-kupu dulu, ia pernah bertempur dengan Lu Kong Cu, ia yakin tentu takkan kalah dengan ketua Partai Naga itu. Sekarang kalau ia menantangnya bertempur, ia akan melakukan siasat mengulur waktu. Andaikata dapat memenangkannya iapun tak mau buru-buru merubuhkannya. Yang penting ia harus mengulur waktu sepanjang mungkin sampai Toho lhama datang.
Setelah memperhitungkan hal itu, ia tertawa dingin dan berseru : "Aku memang seorang angkatan muda yang tak berguna, tetapi aku tetap tak puas menerima hinaan saudara. Ki-lian Song-ay (sepasang orang kate dari gunung Ki-lian). Poan-hong-poh dan lain-lain tergolong tokoh-tokoh yang ternama. Mereka tentu tak mau menghina seorang muda tak ternama seperti diriku. Hanya saudara seorang yang layak bertanding satu lawan satu dengan aku. Harap saudara jangan pelit untuk memberi beberapa jurus pelajaran dari partai Naga yang termashur itu".
Habis berkata ia terus berdiri tegak dengan dada membusung.
Lu Kong Cu menyangka bahwa dalam keadaan terjepit bahaya, Cong Tik masih berani mengumbar bacot menantangnya dihadapan beberapa tokoh yang berada disitu. Sudah tentu ia tak tahu siasat yang terselubung dibalik kata-kata Cong Tik itu. Sesaat Lu Kong Cu tercengang.
Nenek Cenderawasih-Tutul menyelutuk: "Kata-kata budak itu memang tak salah. Hai, orang she Lu, sebagai seorang ketua partai persilatan, masakan engkau takut terhadap seorang budak tak ternama semacam itu ?"
Karena marahnya, kepala Lu Kong Cu sampai mengeluarkan asap. Serentak ia mengeluarkan kipas Oh-tiap-san (kupu-kupu) lalu ditebarkan. Senjata kipas itu, setelah pulang ke markas, ia membuatnya lagi sebuah. Dari yang telah hancur dulu itu, sekarang lebih panjang setengah inci. Begitu ditebarkan kipas itu memancarkan sinar perak.
"Budak bangsat, kalau tidak kuhajarmu, engkau tentu belum tahu kelihayanku!" serunya.
Cong Tik hanya tertawa. Mundur setengah langkah, tangan kiri diangkat melindungi dada, tangan kanan dibalikkan ke muka. Jurus itu adalah ajaran dari Bu Wi lhama yang disebut Bu-wi-ciang hwat.
Ilmu silat dari kuil Ko-Liong-si walaupun merupakan suatu aliran ilmu silat tersendiri, tetapi para ketua kuil, masing-masing tentu mengunjungi kuil-kuil besar di daerah Tibet, belajar ilmu silat pada perguruan-perguruan di Tibet. Oleh karena itu, setiap ketua kuil masing-masing mempunyai kepandaian tersendiri, tergantung dari rejeki yang diperolehnya. Begitu pula tentang senjata yang digunakan, masing-masing memiliki senjata tersendiri menurut apa yang dipelajari. Waktu menerima murid, kepala-kepala kuil itu hanya mengajar ilmu bersemedhi sebagai latihan dasar dari tenaga-dalam saja. Kelak apabila murid itu akan menjadi calon pengganti, juga disuruh ke Tibet untuk mencari ilmu.
Bu-wi-ciang atau pukulan Bu-wi, diciptakan oleh Bu Wi lhama setelah pada umur lanjut, ia dapat menyelami inti rahasia dari bersemedhi, lalu ia meminta pelajaran pada Kulipushu, salah seorang tetua perguruan silat Bi-cong di Tibet, kemudian menciptakan sebuah ilmu pukulan yang diberi nama Bu-wi-ciang. Pukulan itu sukar diduga-duga isi atau kosong mengutamakan ilmu tenaga dalam untuk mengalahkan lawan. Makin tenaga-dalamnya tinggi, perbawa pukulan itu makin dahsyat, pukulanpun, makin hebat.
Cong Tik seorang suku Han, bukan pula seorang paderi-lhama, ia belajar silat di kuil Ko-liong-si. Bu Wi lhama memberi ilmu pukulan Bu-Wi-ciang itu kepadanya disertai dengan penjelasan-penjelasan tentang kebagusan ilmu itu. Dengan demikian Cong Tik memang memiliki pengertian yang dalam tentang ilmu pukulan itu. Boleh dikata, kedua suhu dan murid itu sama berlatih dan mencapai tingkat tinggi dalam pelajaran ilmu itu. Tetapi oleh karena dalam soal tenaga-dalam Cong Tik masih rendah, sudah tentu kalah jauh dengan suhunya.
Pukulan yang dilancarkan Cong Tik saat itu dengan pelahan, segera menimbulkan suatu hembusan angin yang lunak ke arah kipas Lu Kong Cu.
Melihat lawan hanya pelahan-lahan saja memukul. Lu Kong Cu mengira kalau lawan tentu gentar. Kipas-besinya segera diangkat dan diturunkan dalam jurus Hu-yan-thu-hoay atau burung-seriti-menyusui-anak, kipas didorongkan lurus ke muka dada.
Cong Tik segera mundur selangkah, pada saat ia hendak balas menyerang, tiba-tiba dari samping terdengar deru angin sebuah batu sebesar genggaman tangan melayang ke arah kipas Lu Kong Cu.
Lu Kong Cu cepat merobah gerakannya mengatupkan kipas untuk menyambut lontaran batu itu. Plak ... batu ditamparnya jatuh tetapi dia sendiripun terhuyung-huyung beberapa langkah baru dapat tegak kembali.
"Poan-hong-poh, sudah ditetapkan satu lawan satu, mengapa engkau turun tangan?" seru nenek Li Wan kepada nenek Cenderawasih Tutul.
Sahut nenek Cenderawasih-tutul: "Budak itu bertangan kosong, sedang orang she Lu itu menggunakan senjata istimewa, sungguh tak adil."
Dengan kata-kata itu nenek Cenderawasih-Tutul seolah hendak membela Cong Tik.
Diam-diam Cong Tik gembira. Dalam suasana begitu, sekalipun Toho lhama tidak muncul, ia mempunyai harapan untuk lolos juga. Maka ia sengaja hendak membuat Lu Kong Cu marah.
"Terima kasih atas kebaikan locianpwe, " serunya," aku sebenarnya memang ingin sekali menerima pelajaran dari kipas penutuk jalan darah. Dengan sepasang tanganku ini, aku percaya dapat melayaninya, harap locianpwe jangan kuatir."
Mendengar kata-kata itu, Lu Kong Cu yang memang berwatak keras, marah sekali, serunya: "Karena engkau meminta, tentu akan kuantarkan engkau ke akhirat!"
Sekali ulurkan tangan, kipas itupun segera menutuk pipi Cong Tik. Sambil bicara, Cong Tik tetap waspada. Waktu bicara tangannya yang melancarkan pukulan pelahan itu segera ditarik lalu secepat kilat dibalikkan menyambar kipas lawan.
Oleh karena selain betisnya termakan dua biji paku angco, pun bahunya juga tertusuk pedang, Lu Kong Cu menimang. Kalau ia hendak adu kekuatan dengan Cong Tik, sekali tak hati-hati, lukanya tentu akan merekah lagi. Jelas ia akan menderita. Maka cepat ia menarik pulang kipas, setelah tiga kali diguncang-guncangkan ia merobah sasaran menutuk tiga buah jalan darah pada siku lengan Cong Tik.
Ketiga jalan darah itu, apabila tertutuk, tangannya tentu akan lumpuh. Sudah tentu Cong Tik tahu akan hal itu. Maka iapun segera mundur tiga langkah lalu tanpa mengganti jurus ia menyerang lagi.


Pendekar Banci Karya Sd Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Melihat serangannya dapat mendesak Cong Tik mundur, Lu Kong Cu terus maju ke langkah Tiong-kiong lalu ke Ang-bun, mengatupkan kipas lalu menutuk dada Cong Tik.
Melihat lawan dapat cepat merubah jurus serangannya, diam-diam Cong Tik memuji. Walaupun lawan sudah menderita luka tetapi ternyata masih memiliki kemampuan yang begitu bebat. Ia mundur lagi selangkah dan ketika Lu Kong Cu mendesak maju barulah ia melontarkan sebuah pukulan.
Memang hampir tak terasa angin pukulan itu. Baru setelah tiba didekat tubuh Lu Kong Cu, ketua partai Naga itu segera menyadari. Diam-diam ia terkejut dan heran, la tak mengerti ilmu pukulan apakah yang sedemikian aneh dan ganas itu. Karena tak tahu sampai dimana tenaga dalam Cong Tik, Lu Kong Cupun tak berani menyambuti. Ia menyisih ke samping, menebarkan kipas dan menamparkan dengan sekuat tenaga. Tenaga-dalam dihamburkannya dalam tamparan itu untuk menghapus tenaga pukulan Cong Tik.
Ternyata pukulan Cong Tik itu tak ada sesuatu yang luar biasa. Seketika timbul lagi nyali Lu Kong Cu. Diam-diam ia menimang. Sekalipun sejak kecil Cong Tik sudah belajar pada seorang guru sakti, tetapi menilik umurnya sekarang ini, ia tak percaya kalau kalah dengan permida itu.
Setelah bulat pikirannya. Lu Kong Cu tak ragu-ragu lagi. Ia segera melancarkan serangan dengan ilmu simpanan dari Partai Naga. Berloncatan kian kemari, maju mundur, ke kanan ke kiri, serangannya mengalir bagaikan air bengawan di musim bah. Belum sebuah-jurus selesai, lain jurus sudah menyusul. Dan setiap jurus merupakan jurus serangan maut.
Yang lebih hebat lagi, kipas-baju itu mengatup dan menebar, menutuk, menebas, menampar dan menusuk, memiliki variasi serangan yang sukar diduga. Dalam pancaran rembulan pudar, tampak sesosok bayangan berlincahan seperti orang menari-nari, mengikuti segulung sinar perak.
Oleh karena hendak mengulur waktu maka, Cong Tik tetap menjalankan siasat bertahan dan tak mau balas menyerang. Dan memang sekali kipas Lu Kong Cu itu sudah menghambur serangan, deras dan ketatnya bukan kepalang. Dengan sepasang tangan, apabila ingin lekas-lekas balas menyerang, kemungkinan malah akan kalah.
Demikian keduanya terlibat dalam pertempuran yang seru dan berimbang. Cong Tik bertempur dengan tenang dan memakai perhitungan. Maju selangkah terus mundur dua langkah. Maju mundur selalu dalam garis lingkaran seluas satu meter. Ia melindungi tubuhnya dengan sepasang tangan yang bergerak pelahan, menghamburkan suatu tenaga-da lam yang sukar diduga tingkatannya. Walaupun sepintas pandang dia dikurung oleh kipas Lu Kong Cu tetapi sesungguhnya kedudukannya kokoh dan tidak akan menderita kekalahan.
Lebih kurang setengah jam kemudian, ilmu permainan kipas Lu Kong Cu sudah mendekati habis sedang pertempuran masih belum ada yang kalah dan menang.
Saat itu hari sudah mulai terang tanah. Langit timur sudah merekah cahaya cerah, Setelah tahu permainan kipas lawan habis jurusnya, Cong Tik segera melancarkan balasan. Wut, wut, kedua tangannya berhamburan melontarkan dua macam tenaga-dalam, tenaga-dalam lunak dan tenaga-dalam keras. Setelah memancar, kedua tenaga-dalam itu bergabung jadi satu, melanda ke dada Lu Kong Cu.
Melihat bahwa walaupun sudah bertempur sekian lama, Cong Tik masih kuat tenaga dalamnya, diam-diam Lu Kong Cu terkejut. Ia menyadari kalau dirinya telah termakan siasat lawan. Tetapi betapapun dia seorang ketua sebuah partai persilatan. Setelah menyadari bahwa lawan itu seorang pemuda yang tak boleh dipandang ringan. Maka iapun segera mengganti jurusnya menjadi pelahan. Setiap gerakan dapat diketahui jelas, seolah seperti terbenam dalam serangan Cong Tik. Ia memutuskan untuk memperpanjang waktu, menghabiskan tenaga lawan. Dengan cara itu maka pertempuranpun telah berlangsung sampai lebih dari empat ratus jurus. Mataharipun sudah terbit sepenggalah tingginya Dalam keadaan seperti itu diam-diam Cong Tik mulai gelisah juga. Mengapa burung kakaktua itu belum kembali. Adakah burung itu tak berhasil menemui Toho lhama.
Sekonyong-konyong dari atas udara muncul setitik benda putih makin lama makin jelas dan lalu berbunyi keras. Ah, ternyata si Putih. Burung itu dengan cepat meluncur ke bawah sembari berseru "Thay-susiok datang."
Girang Cong Tik bukan kepalang. Kini semangatnya bangkit lagi. Serentak ia tak mau memberi ampun lagi. Tiga buah pukulan susul menyusul dilancarkannya. Sedang tangan kiri mengambil beberapa biji paku angco.
Sudah tentu Lu Kong Cu tak mengerti mengapa lawan tiba-tiba tampak gembira. Ia menyingkir ke samping untuk menghindari pukulan, tetapi sebelum sempat ia balas menyerang, tangan kiri Cong Tik menabur tiga batang paku angco. Sudah tentu Lu Kong Cu terkejut dan buru-buru gerakkan kipas untuk menampar. Tetapi saat itu Cong Tikpun menyelinap ke belakangnya, tangan kanannya menaburkan tiga biji paku angco lagi kearah punggung lawan.
Lu Kong Cu balikkan tangannya ke belakang dan berhasil menyambar ketiga biji paku itu. Sedang tiga biji paku yang melayang dari depanpun dapat ditampar dengari kipas. Lu Kong Cu benar-benar sibuk bukan kepalang.
Cong Tik tertawa memanjang :"Ho, kiranya ketua Partai Naga yang termashur itu, hanya begitu saja kepandaiannya"
Habis berkata ia mengambil sejumput paku angco, dilontarkan ke udara lalu memukul dengan kedua tangannya. Paku dan angin pukulan serempak melanda Lu Kong Cu.
Pada saat itu juga, sebuah suitan nyaring melengking keras, dari arah jauh makin mendekat, sehingga suara suitan itu makin keras menyerupai letusan kilat.
Seorang lhama yang tangannya menjulur panjang, sehingga hampir mencapai tanah, rambut panjang dan kumal, sebelah tangan tiada jarinya, tangan yang satunya berkuku panjang sekali, berlari-lari mendatangi.
Yang paling girang adalah Cong Tik ketika melihat bahwa yang datang itu adalah Toho Lhama. Setelah menerima surat dari si Putih, Lhama itu menganggap Cong Tik tentu menderita bahaya. Walaupun ketika tiba dan tahu bahwa dalam pertempuran itu Cong Tik berada diatas angin, tetapi Toho tak peduli lagi. Sejenak berhenti ia terus gerakkan tangannya yang panjang menyerang Lu Kong Cu.
Sebenarnya Lu Kong Cu masih mampu untuk menghadapi serangan paku dari Cong Tik. Tetapi begitu Toho datang dan ikut campur, ia terkejut sekali. Karena waktu melayang, sebelum orangnya tiba, angin sambarannya sudah melanda keras. Beberapa batang paku angco yang sedang dilayangkan Cong Tik tadi, seperti didorong tenaga yang keras.
Melihat itu nenek Thiat-koan-im Li Wan tak mau tinggal diam lagi. Sambil hentakkan tali, nenek itu enjot tubuhnya ke udara, mengayunkan talinya ke kaki Toho.
Merasa kakinya tersambar angin keras. Toho segera bergeliaran di udara, serempak mencengkeram dengan kelima kuku jarinya yang panjang sehingga nenek Li Wan terdesak mundur.
Yang menderita tetap Lu Kong Cu. Selain bahunya termakan lima enam biji paku angcu, pun ada sebatang paku angco yang menyambar lewat pipinya terus memakan telinga. Separoh daun telinga Lu Kong Cu hilang. Belum sempat mengobati luka itu, Cong Tik sudah loncat datang dan memberi persen sebuah tinju ke dadanya. Lu Kong Cu terlempar sampai tujuh delapan langkah, jatuh terduduk di tanah. Wajahnya pucat lesi.
Setelah dapat merubuhkan Lu Kong Cu, Cong Tik memandang ke medan pertempuran. Dilihatnya Toho masih bertempur dengan nenek Li Wan dan nenek Cenderawasih-Tutul hanya berdiri melihat saja. Diam-diam Cong Tik berpikir. Apabila saat itu ia segera menuju ke batu untuk membaca tulisan disitu, tentulah akan menimbulkan kecurigaan nenek Cenderawasih Tutul. Dan lagi kemungkinan besar Toho tentu akan dapat menyelesaikan pertempurannya melawan nenek Li Wan.
Cong Tik yang banyak akal licik tak mau bertindak secara gegabah. Ia segera berteriak.
"Thay-susiok, kedua nenek itu waktu engkau tak berada disini, berani mengatakan bahwa engkau ini manusia bukan menusia, kera bukan kera tetapi campuran manusia dengan kera"
Ia memang hendak mengatur siasat agar Toho bertempur dengan kedua nenek itu, dengan begitu dapatlah ia dengan leluasa membaca tulisan pada batu itu.
Kebetulan perangai Toho lhama itu memang aneh. Apalagi ujutnya sepintas pandang memang menyerupai orang-utan. Dia paling benci kalau orang mengatakan dia seperti orang-utan. Maka mendengar laporan Cong Tik, ia percaya penuh. Dengan menggerung keras, sambil menyambar tali dari nenek Li Wan, ia menarik sekuat-kuatnya sehingga nenek Li Wan sampai tertarik maju tiga-empat langkah dan jatuh ke arah tempat nenek Cenderawasih-tutul.
Setelah itu, Toho enjot tubuhnya melayang ke udara menyerbu nenek Cenderawasih-Tutul. Sudah tentu nenek Cenderawasih-Tutul tak mau diam saja.
Ia gerakkan tongkatnya untuk menghalau. Akhirnya terjadilah pertempuran Toho melawan dua nenek sakti.
Cong Tik diam-diam geli. Kemudian ia memperhatikan masih ada orang lagi ialah kedua saudara kate Lo Thian dan Lo Te. Tetapi karena kedua saudara kate itu merasa berhutang budi pada nenek Cenderawasih-Tutul, merekapun mengikuti jalannya pertempuran itu dengan penuh perhatian. Mereka siap akan membantu nenek Cenderawasih-Tutul apabila nenek itu terancam bahaya.
Setelah merasa aman dari pengawasan, diam-diam Cong Tik loncat mundur setombak, bersembunyi dalam semak gerumbul lalu merangkak ke tempat batu besar.
Baru saja hampir mendekati batu besar, tiba-tiba Toho lhama berteriak: "Cong Tik, mengapa engkau tak membantu ?"
Cong Tik terkejut. Ia segera melongok dari gerumbul. Saat itu ternyata Lo Thian sudah naik ke atas bahu Lo Te, sambil memutar golok sudah terjun dalam pertempuran menggempur Toho. Betapapun lihaynya Toho, tetapi keempat orang itu tergolong tokoh kelas satu. Apalagi dia hanya mepunyai sebuah tangan karena tangannya yang satu sudah terpapas jarinya. Sukar untuk menyambut senjata lawan. Hanya dengan tangan kanan saja sudah tentu ia kelabakan.
Sementara itu keempat tokoh segera lancarkan serangan berbahaya untuk mendesak lhama aneh yang liar itu......
-o0^DW^Agus Ekanto^0o- Jilid 9 Tetapi pada saat itu Cong Tik bernafsu sekali untuk mengetahui rahasia pedang kecil yang berada dalam bajunya. Namun ia memang seorang yang licin, kalau tak mau datang memenuhi panggilan Toho, nanti apabila Toho sudah terhindar dari ancaman, tentu akan marah, maka buru-buru ia berseru : "Thay-susiok, tadi aku menderita luka dan saat ini harus memulangkan tenaga-murni, harap engkau pertahankan sebentar lagi."
Sambil berkata ia terus lari ke bawah batu untuk membaca tulisan yang belum selesai itu.
Karena Lu Kong Cu terluka, nenek Li Wan segera membawanya kabur. Kini hanya tinggal Lo Thian dan Lo Te, Toho tak memerlukan bantuan Cong Tik lagi. Ia harus tumpahkan perhatian pada Poan - hong - poh dan kedua orang kate.
Memang sejak semula Toho sudah memiliki ilmu kepandaian yang tinggi adalah karena ia bertempat tinggal di Su-jwan yang sepi, maka jarang orang tahu. Dan setelah ditutup dalam peti besi selama tujuh tahun oleh Siau Yau cinjin, kepandaiannya makin pesat. Bahkan karena tak menduga, Siau Yau cinjin sendiri telah terhantam jatuh ke bawah karang.
Setelah Thiat-koan-im Li Wan membawa pergi Lu Kong Cu, nenek Cenderawasih-Tutul dan sepasang orang kate mengerubutinya, namun tetap berimbang.
Kelima jari tangannya bergerak-gerak laksana ular memagut. Ketiga orang itupun takut kalau senjata mereka sampai kena direbut oleh Toho.
Dalam pertempuran itu walaupun belum dapat diketahui siapa yang lebih unggul tetapi yang nyata nyali nenek Cenderawasih-Tutul telah tergetar oleh kedahsyatan Toho. Walaupun tongkat nenek itu mencurah sederas hujan namun bagi mata seorang ahli tentu segera dapat mengetahui bahwa nenek itu sebenarnya hanya di fihak bertahan diri dan tak mau balas menyerang.
Berkat jurus serangan dari nenek Cenderawasih-Tutul itu dapat menyelamatkan jiwa kedua orang kate, maka keduanya diam-diam berterima kasih kepada nenek itu. Maka saat itu mereka menerjang dengan hebat untuk bantu melepaskan nenek itu dari kepungan Toho.
Melihat bahwa nenek Thiat-koan im Li Wan telah membawa pergi Lu Kong Cu, sedang nenek Cenderawasih-Tutul tertahan oleh Toho, Cong Tik girang sekali. Ia segera menghampiri batu besar untuk membaca rahasia besar yang menjadi rebutan kaum persilatan itu. Begitu menyusup ke bawah batu dan hendak menengadahkan kepala untuk membaca, punggungnya tiba-tiba terasa dingin seperti dilekati ujung senjata oleh seseorang. Menyusul terdengar suara bentakan pelahan: "Jangan bergerak!"
Mendengar bahwa nada itu dari suara orang perempuan dan rasanya ia sudah kenal tetapi sesaat ia lupa siapa, Cong Tik gelisah dan tak berani bergerak.
"Siapakah sahabat ini, aku tak pernah bersalah kepadamu!" sahutnya.
"Huh" orang itu tertawa dingin, "sungguh orang yang tak bersalah. Coba ingat, apa yang engkau lakukan ketika berada dipuncak gunung Hong san dahulu ?"
Saat itu baru Cong Tik sadar bahwa yang mengancam di belakangnya itu adalah Cin Hong Ing, gadis yang dirampas pedang dan pelana kuda bertabur mutiara itu.
Kejut Cong Tik bukan kepalang. Namun ia masih berusaha untuk menenangkan diri.
"Ah, itu waktu hanya salah faham.... saja," ia tertawa hambar, "nona, harap jangan mendendam kepadaku dan dengarkan aku hendak bicara........"
Sambil berkata Cong Tik mengangkat kepala memandang ke atas batu. Karena tak tahu tujuan Cong Tik maka Cin Hong Ingpun tak menaruh perhatian kepada gerak gerik Cong Tik.
Cong Tik memang seorang pemuda yang cerdik dan licin. Setelah pandang matanya tertumpuk pada tulisan, ia segera berdiam diri. Cin Hong Ing hanya tertawa dingin tetapi tak menghalangi. Mulut Cong Tik berkemak-kemik, tetapi matanya tetap melekat pada tulisan itu. Tak berapa lama ia sudah selesai membaca dan diam-diam ia terkejut girang.
Menilik bunyinya, jelas surat itu ditulis oleh Ular-emas Hoa Ceng untuk isterinya si Cenderawasih-perak Tang Pui Leng. Tulisan itu seluruhnya berbunyi demikian:
Paku angco dari bangsat she Tan itu, telah dilumuri racun. Karena dia tak berbudi, akupun terpaksa tak bersikap bajik. Rahasia kedelapan mutiara pada pelana kuda itu engkau dan akulah yang tahu. Bangsa she Tan itu belum tahu. Jika aku tak beruntung mati ditangan bangsat itu, aku tentu akan sama-sama mati bersamanya. Tujuh batang pedang pusaka dalam guha, kecuali yang sebatang yang besar dan yang sudah muncul diluar karena didapatkan oleh pederi Tay To, aku masih menyimpan yang paling kecil. Ketujuh pedang pusaka itu disebut Ki-bun-kiam, diperuntukkan seorang. Selain itu masih terdapat sebuah kitab ilmu pedang Ki-bun-kiam-hwat. Semuanya itu telah kusimpan di pulau Kyoto dilaut timur. Pulau itu didiami oleh nenek Cenderawasih-Tutul. Orang luar tentu tak berani datang ke pulau itu.
Sejak kedua putera puterimu kembar telah dicelakai dan dijual oleh bangsat she Tan itu, hatimu sudah tak tertuju pada pedang pusaka itu lagi. Engkau menjelajah ke seluruh pelosok dunia untuk mencari ke dua putera puterimu kembar itu. Dengan demikian hanya aku seorang diri yang menghadapi bangsat she Tan. Kemungkinan aku tentu akan celaka. Kutahu engkau tentu akan datang kemari. Kuatir kalau surat dalam guha itu akan rusak, maka kutulis lagi pada batu ini. Apabila berhasil mendapatkan ketujuh pedang dan kitab ilmu pedang Ki-bun-kiam-hwat, tentu tak ada orang yang mampu menandingi.
Dibawah tulisan itu tiada tanda tangannya. Hanya diberi lukisan seekor ular kecil.
Dalam surat itu kebanyakan berisi tentang peristiwa hubungan mereka. Dan kini Ular-emas Hoa Ceng dan Pat-pi-kim-kong sudah sama-sama mati, kecuali Cenderawasih-perak Tang Pui Leng masih hidup didunia, maka rahasia itu tentu akan lenyap untuk selama-lamanya.
Sudah tentu Cong Tik sendiri tak mengerti jelas. Misalnya, tulisan yang mengatakan "setelah melahirkan sepasang putera puteri kembar kemudian telah dijual oleh bangsat she Tan" Cong Tik benar-benar bingung memikirkan.
Menurut kabar yang tersiar di dunia persilatan. Ular-emas Hoa Ceng dan isterinya Cenderawasih-perak Tang Pui Leng itu bersahabat baik sekali dengan si Pat-pi-kim-kong satu Malaekat-delapan -lengan. Sudah tentu orang tak mengerti rahasia apa yang dibalik hubungan ketiga orang itu.
Saat itu yang diketahui Cong Tik hanyalah tentang rahasia mengenai ketujuh batang pedang pusaka itu jatuh ditangan siapa. Selain itupun terdapat juga sebuah kitab ilmu pedang Ki-bun-kiam-hwat. Dan pedang kecil yang diperolehnya itu termasuk pedang yang paling kecil diantara ketujuh pedang pusaka itu.
Menurut dugaan, tentulah bukan sekali itu saja kedua sahabat Ular-emas Hoa Ceng dan si Pat-pi-kim-kong datang ke tempat itu. Tentulah pada waktu pertama datang, Hoa Ceng lebih dulu menemukan keenam pedang dan kitab ilmu pedang itu tetapi dia tak mau mengatakan hal itu kepada sahabatnya. Kemudian diam-diam ia telah mengambil lima batang pedang berikut kitab, disembunyikan di pulau Kyoto.
Kemungkinan pada saat itu Pat-pi-kim-kong mulai timbul kecurigaan. Ketika keduanya menuju ke gunung Cek-bi-san lagi, mereka bertengkar tentang pedang pusaka itu. Kemudian mereka bertempur. Yang satu terkena paku angco beracun dan Pat pi-kim-kongpun mati terkena pedang kecil. Keduanya menderita luka dan beberapa tahun kemudian mati.
Tetapi dibalik peristiwa itu juga terselip tentang kedua anak kembar dari Hoa Ceng yang hilang. Dengan begitu peristiwa itu makin ruwet.
Setelah membaca habis tulisan itu, Cong Tik tundukkan kepala. Tiba-tiba ia terkejut ketika teringat sesuatu: Bukankah ketika di tepi sungai Hok-jun-kiang ia bertemu dengan Cin Hong Ing, mengapa mendadak nona itu dapat tiba digunung Cek-bi- san ? Dan mengapa Cin Hong Ing itu mirip sekali dengan Ui Hong Ing. Bahkan namanyapun sama ? Apakah tak mungkin mereka berdua itu adalah anak kembar dari Ho Ceng yang menurut suratnya telah dijual oleh Pat-pi-kim kong itu?
Teringat akan hal itu ia segera tertawa hambar : "Nona Cin, setelah mendapat pelana bertabur delapan mutiara itu. sedikitpun tiada gunanya kepadaku, bahkan malah menimbulkan banyak kesulitan. Banyak tokoh-tokoh persilatan yang muncul untuk mengejar pelana itu sehingga nyawaku hampir melayang. Tetapi aku sebenarnya memang hendak mencarimu, karena pada pelana itu aku telah menemukan suatu rahasia tentang asal usul dirimu!"
Sebenarnya Cong Tik tak tahu tentang asal usul Cin Hong Ing itu. Tetapi otaknya yang cerdas segera dapat merangkai antara kesamaan wajah Cin Hong Ing dengan Ui Hong Ing itu pada surat yang ditinggalkan oleh Hoa Ceng. Maka ia memberanikan diri untuk mengatakan hal itu.
Jika Cong Tik hanya main spekulasi saja, adalah Cin Hong Ing menerimanya dengan serius. Ia teringat masa kecilnya telah ikut dengan seorang pengemis tua orang she Cin. Dalam mabuk pengemis tua itu sering mengoceh bahwa Cin Hong Ing itu masih mempunyai hubungan dengan Ular-emas Hoa Ceng dan Pat-pi-kim-kong. Kemudian ia dipungut murid oleh Hian-li Lim Sam Kho. Selama berkelana di dunia persilatan ia mengetahui bahwa Tan Su Ciau itu adalah putera dari Pat-pi-kim-kong. Ia bersikap baik kepada pemuda itu dengan tujuan untuk menyelidiki asal usul dirinya.
Ternyata Tan Su Ciau itu adalah seorang pemuda yang jujur. Setelah lama bergaul dengan Cin Hong Ing, akhirnya Su Ciau jatuh cinta. Saat Cin Hong Ing tahu kalau Tan Su Ciau tak punya saudara perempuan. Diam-diam ia menyangsikan ocehan dari pengemis tua she Cin. Demi untuk menyelidiki sampai jelas tentang asal usul dirinya, ia mengatur rencana dan mau menerima pinangan Tan Su Ciau untuk menjadi isterinya. Sebelum hari pernikahan ia mendapat keterangan bahwa keluarga Tan itu telah menyimpan sebuah benda warisan berupa sebuah pelana kuda yang bertabur delapan butir mutiara.
Sebenarnya Cin Hong Ing tak tahu apa yang terselip pada pelana mutiara itu. Tetapi karena hari pernikahan sudah makin dekat, karena sebenarnya ia tak mencintai Tan Su Ciau, maka ia memutuskan untuk mencuri dan melarikan pelana mutiara itu, berikut kuda kurus dan pedang pusaka Thian-liong-kiam.
Sudah tentu Sam Hoa niocu, ibu dari Tan Su Ciau marah dan akhirnya mamah dan calon menantu perempuan itu bertempur. Cin Hong Ing melarikan diri dengan membawa luka. Dengan demikian ia tetap gelap akan asal usul dirinya.
Maka ketika Cong Tik mengatakan kalau tahu tentang asal usul dirinya, tergeraklah hati nona itu.
"Rahasia apa ? Lekas bilang, nanti kuberi beri ampun jiwamu!"
Mendengar nada suara nona itu agak longgar, Cong Tik girang sekali. Ah, apa memang dia seorang yang selalu dilimpahi rejeki sehingga dalam persoalan asal usul kedua nona yang bernama Hong Ing itu, ia dapat menebak dengan jitu?
"Ah, harap jangan terburu nafsu, nona" katanya, "lepaskan diriku dulu baru aku dapat bicara dengan leluasa. Kalau tidak, bagaimana aku dapat bercerita ?
Tanpa menjawab, Hong Ing menarik ujung pedang dari punggung Cong Tik tapi tangan kirinya masih tetap mencekal bahu pemuda itu.
Cong Tik memang cerdik dan licin. Begitu tahu kalau ujung pedang sudah ditarik, dan tangan kiri si nona terasa hendak menjamah bahunya, diam-diam ia kerahkan tenaga-dalam ke arah bahu lalu beringsut. Tiba-tiba kelima jari tangan Cin Hong Ing seperti menjamah benda yang licin sehingga tergelincir dan ternyata Cong Tikpun sudah berhasil meloloskan diri, tertawa gelak-gelak.
Melihat dirinya dikelabuhi, marah Cin Hong Ing bukan kepalang. Dua kali sudab ia kena ditipu mentah-mentah oleh pemuda itu. Serentak ia hendak loncat menerjang tetapi saat itu Cong Tik sudah cepat menyambar batu besar lalu berteriak mengancam "Nona Cin, menyingkirlah .....!"
Cin Hong Ing terkesiap dan saat itu digunakan Cong Tik untuk menyelinap kesamping lalu ia mengangkat batu itu dan menghantamkan ke tempat batu di mana ia bersembunyi tadi. Bum .... batu yang terdapat tulisan dari Ular-emas Hoa Ceng tadi hancur lebur.
"Biarlah hanya aku sendiri yang tahu rahasia itu." pikirnya. Kemudian ia tertawa kepada Cin Hong Ing.
"Nona Cin, tadi jika tak kugunakan sedikit siasat, nona tentu tak mau melepaskan diriku, bukan?"
Cin Hong Ing tertawa dingin, "Budak, engkau kira engkau sudah terlepas dari genggamanku?"
Tiba-tiba nona itu melengking nyaring: "Suhu, yang mencelakai diriku ketika di puncak gunung Hong-san dulu itu, adalah budak ini"
Melihat bahwa dikala berseru, nona itu memandang ke belakang dirinya (Cong Tik), dia anggap nona itu tentu hendak main siasat agar dia mau berpaling ke belakang. Maka ia hanya tertawa mengekeh: "Heh, heh, nona Cin, jangan mimpi aku kena engkau akali...."
Tetapi belum selesai ia mengucap, tiba-tiba dari belakang terasa angin berhembus menyambar bahu kirinya. Saat itu baru ia tahu bahaya. Cepat ia condongkan bahu terus balikkan tangan terus menampar ke belakang, plak, hantaman itu dapat mengenai tubuh orang dengan tepat. Tetapi dirasakannya seperti tertumbuk dengan gumpalan kapas. Tenaga tamparan seperti terhisap hilang. Demikian juga tenaga-dalamnya terasa macet dan tahu-tahu bahu sebelah kiri telah dicengkeram orang, sakitnya bukan kepalang.
Berpaling ke belakang ia melihat seorang wanita pertengahan umur dalam pakaian pertapa, memandangnya dengan mata menyala. Dalam saat itu baru Cong Tik menyadari bahaya. Dengan gopoh ia berseru: "Nona Cin, dulu aku benar-benar tak bermaksud hendak mencelakai dirimu. Apalagi pelana itu sekarang sudah hilang. Rahasia asal usul dirimu, hanya aku yang tahu. Jika engkau hendak membunuh aku, seumur hidup engkau tentu tak tahu asal usulmu."
Muak Cin Hong Ing melihat sikap Cong Tik. Beberapa saat tadi begitu congkak dan jumawa, sekarang mengembik-embik seperti anak kambing. Ia tertawa dingin.
"Lekas ceritakan asal usulku, tentu kuampuni jiwamu!" serunya.
Cong Tik tiada berdaya merangkai siasat lagi. Bahunya seperti dijepit cakar baja sehingga keringat sampai bercucuran keluar. Semua ilmu kepandaiannya serasa lenyap. Akhirnya terpaksa ia berkata: "Nona Cin, engkau adalah puteri dari Ular-emas Hoa Ceng!"
Cin Hong Ing kerutkan alis, balas bertanya: "Siapakah Ular-emas Hoa Ceng itu? Suhu, apakah engkau kenal orang itu ?"
Hian-li Lim Sam Kho menjawab: "Dulu orang itu mempunyai nama juga di daerah Holam dan Hopak. Tetapi kabarnya dia sudah mati. Omongan budak ini tak boleh dipercaya, jangan kena diakali!"
Cong Tik berseru gopoh: "Apa yang kukatakan memang benar. Kalau tak percaya silahkan bertanya kepada paman kakek-guruku Toho lhama, Poan Hong-poh dan kedua orang kate itu !"
Lim Sam Kho terkesiap mendengar nama beberapa tokoh itu, serunya: "Bagus, dalam mengejar jejakmu, kami telah tersesat jalan hingga sampai disini dan sekarang dapat bertemu dengan sekian banyak tokoh-tokoh persilatan."
Ternyata Lim Sam Kho dan Cin Hong Ing itu tak sengaja datang ke gunung situ. Setelah bertemu dengan gurunya di tepi sungai Hok-jun-kiang, mereka tinggal beberapa waktu dikota itu untuk merawat luka Hong Ing. Hong Ing marah sekali dengan peristiwa di gunung Hong san, ia segera mengajak gurunya untuk mencari jejak Cong Tik.
Apabila tak mendengar gemerincing orang bertempur dengan senjata, ialah nenek Cenderawasih lawan Toho, tentulah kedua guru dan murid itu tak sampai terpikat datang ke tempat itu.
Lim Sam Kho termasuk seorang cianpwe di kalangan pendekar wanita. Sudah tentu ia tahu tentang kedua saudara kate dari gunung Tu-lian-san itu. Demikian dengan nama Toho dan nenek Cenderawasih-Tutul.
"Dari mana engkau mengetahui hal itu? Lekas bilang", bentaknya kepada Cong Tik.
Diam-diam Cong Tik kerahkan tenaga-dalam untuk melawan tenaga cengkeraman Lim Sam Kho, seraya menjawab: "Ular-emas Hoa Ceng dan Pat-pi-kim-kong telah bertempur disini dan sama-sama binasa. Sebelum mati, Hoa Ceng telah meninggalkan tulisan untuk isterinya Cenderawasib-perak Tang-Pui Leng. Dalam surat itu dia mengatakan kalau mempunyai sepasang anak kembar yang sudah lama hilang. Nona Cin ini adalah salah seorang dari kedua anak kembar itu."
Karena pernah melihat seorang nona lain yang mukanya seperti pinang di belah dua dengan dirinya, diam-diam Cin Hong menganggap keterangan Cong Tik itu memang mungkin terjadi.
"Menurut keterangan dari nenek Cenderawasih Tutul tadi, rasanya Cenderawasih-perak Tang Pui Leng itu masih hidup di dunia. Asal dapat mencarinya, semua rahasia tentu akan jelas".
Cin Hong Ing juga mewarisi sifat angkuh seperti gurunya. Apalagi dia seorang nona yang baru saja keluar ke dunia persilatan, ibarat anak kambing yang tak takut binatang buas.
Nyalipun memang besar. Tak tahu siapa nenek Cenderawasih-Tutul itu, begitu mendengar keterangan Cong Tik, kontan ia berseru: "Siapa diantara kalian yang bernama Poan-hong-poh".
Mendengar nada kata-kata Hong Ing, giranglah Cong Tik. Ia tahu bahwa nenek Cenderawasih-Tutul itu tentu marah. Kalau mereka jadi bertempur, ia tentu mendapat kesempatan untuk meloloskan diri.
Sambil menunjuk ke arah seorang nenek, dia memberi keterangan: "Itulah nenek tua yang menggunakan tongkat besi, dia bernama Poan-hong-poh."
Hong Ing terus ayunkan tubuh menuju ke tempat si nenek. Melihat itu Lim Sam Kho berteriak mencegah: "Hong-ji, hati-hati, jangan bertindak gegabah."
Tetapi saat itu Cin Hong Ing sudah tiba di tempat pertempuran. Seketika ia rasakan tubuhnya dilanda oleh segelombang angin dahsyat. Segera ia menyadari bahwa keempat orang yang tengah bertempur itu tentu golongan ko-jiu. Tetapi karena ingin mendapat keterangan, ia segera berseru.
"Suhu, lekas kemari membantu aku untuk minta keterangan pada nenek Poan-hong-poh itu. Kalau kita berdua maju, tak mungkin dia berani bicara bohong!"
Nenek Cenderawasih Tutul sedang menumpahkan seluruh perhatian untuk menghadapi Toho. Ketika tiba-tiba mendengar orang menyebut namanya dengan nada yang sombong, ia mencuri kesempatan untuk memandang ke samping. Dilihatnya seorang gadis remaja yang dulu pernah dikejarnya ketika digunung Tay-pat-san. Seketika marahlah ia. Wut, wut, serentak ia menangkis pukulan yang dilancarkan Toho.
Dalam pada itu kedua saudara kate telah melancarkan serangan dengan golok. Toho sibuk melayani mereka dan kesempatan itu digunakan nenek Cenderawasih Tutul menutukkan ujung tongkatnya kepada Cin Hong Ing.
Cin Hong Ing terkejut. Ketika ia hendak menangkis dengan golok, ujung tongkat sudah tiba kedadanya. Belum tongkat mengenai, anginnya sudah menghamburkan tenaga kuat yang menelungkupi kedua lengan Hong Ing segera tak dapat digerakkan.
Cin Hong Ing benar-benar kaget. Golokpun terlepas jatuh ke tanah. Saat itu terdengar si nenek Cenderawasih-Tutul tertawa mengekeh. Cin Hong Ing sudah tak berdaya untuk melawan lagi.
Tiba-tiba terdengar Lim Sam Kho melengking "Poan-hong-poh, jangan melukai orang !"
Suatu gelombang angin bertenaga kuat telah menarik tubuh Cin Hong Ing kebelakang. Ketika nenek Cenderawasih tutul hendak mengejar maju, Lim Sam Khopun segera kebutkan lengan jubahnya tiga kali sehingga menghentikan gerakan nenek Cenderawasih-Tutul.
"Heh, heh, Hian-Li Lim Sam Kho, tenaga-dalam Hian-li-kong-gi yang engkau miliki, benar-benar hebat sekali!" seru nenek Cenderawasih-Tutul tertawa dingin.
Mendengar nada suara nenek itu mengandung dendam permusuhan, Lim Sam Kho balas tertawa dingin: "Ah, jangan memuji, masakan mampu menandingi ilmu tongkat Keng-long-ciang-hwat dari Poan-hong-poh!"
Walaupun saling merendah kata tetapi jelas nada mereka tak mau saling mengalah. Dan Poan hong-pohpun tahu hal itu. Ia hendak gerakkan tongkatnya lagi tetapi cepat Lim Sam Kho menindas dengan gerak lengan jubahnya. Seketika nenek Cenderawasih-Tutul rasakan tongkatnya seperti ditindih oleh tenaga sebuah gunung rubuh. Diam-diam ia terkejut juga dan menyurut mundur selangkah.
Sebenarnya tenaga Hian-li-kong-gi yang dipancarkan Lim Sam Kho diperuntukkan menindas tongkat si nenek. Tetapi ternyata nenek itu mampu juga untuk menarik tongkatnya ke belakang. Diam-diam Lim Sam Khopun terkejut melihat kesaktian orang. Kini keduanya saling tegak berhadapan.
Kepergian nenek Cenderawasih-Tutul, hanya menyebabkan kedua saudara kate harus menderita.
Mengerubuti bersama nenek Cenderawasih-Tutul, mereka bertiga hanya dapat bertempur secara berimbang lawan Toho. Maka begitu nenek itu pergi, sudah tentu kedua orang kate itupun kewalahan.
Sepasang tangan Toho yang panjang menari-nari dengan cepat dan tak berapa saat kemudian golok pendek dari Lo Thian telah ditutuknya jatuh dan kini kedua orang kate itu harus kelabakan mundur.
Toho makin meluap hawa pembunuhannya. Dengan menggembor keras ia melambung ke udara, berjumpalitan lalu dengan gaya seperti seekor burung elang ia meluncur ke bawah menyerang Lo Thian.
Lo Thian terkejut. Ia hendak taburkan goloknya tetapi Toho lebih cepat dapat menutuk punggung golok sehingga golok itu terlempar jatuh. Toho masih teruskan tangannya untuk menerkam. Melihat itu Lo Thian ayunkan tubuh loncat dari bahu Lo Te. Memang di kala bertempur, kedua saudara kate itu saling bertumpuk jadi satu.
Dengan tindakan itu Lo Thian memang selamat tetapi Lo Te yang berada dibawahnya, tak dapat terhindar dari ancaman Toho.
Melibat itu Lo Thian berteriak: "Lo-ji, jangan takut"
Tanpa menghiraukan suatu apa lagi, Lo Thian terus menyerbu Tobo.. Rupanya ia kalap, hendak mengadu jiwa untuk menolong adiknya.
Serbuan nekad dari Lo Thian itu mau tak mau mengganggu juga gerakan Toho. Dan kesempatan sekejab mata itu sudah cukup memberi peluang bagi Lo Te untuk menyingkir ke samping. Namun ia tak mau melarikan diri melainkan terus menikam perut Toho.
Serangan nekad dari kedua saudara kate itu memaksa Toho yang masih mengapung di udara terpaksa harus bergeliatan. Dengan demikian kedua saudara kate itu dapat menyurut mundur.
Setelah meluncur ditanah, secepat kilat Tohopun hendak menyerang lagi tetapi mendadak Cong Tik berseru: "Tahan, thay-susiok, aku hendak bicara."
"Bicara apa ?" tegur Toho dingin.
Cong tik mendekati dan berkata dengan bisik-bisik: "Thay-susiok, aku sudah tahu akan rahasia dari pelana mutiara itu. Tak lain merupakan petunjuk tentang tujuh batang pedang mustika "uh.." baru berkata sampai disitu Cong Tik menjerit kesakitan karena lengannya telah disambar dan dicengkeram Toho, "thay susiok", ia menjerit.
Cong Tik tak mengerti kesalahannya. Ketika memandang ke wajah kakek paman gurunya dilihatnya wajah Toho berseri girang. Ah, sial. Rupanya karena girang Toho telah mencengkeram lengan Cong Tik keras-keras.
"Engkau maksudkan pedang Ki-bun-kiam? Dimana?, lekas bilang!" bentak Toho dengan bengis.
Cong Tik menghela napas longgar. Diam-diam ia menimang, ketujuh pedang dan kitab pelajaran ilmu pedang itu tentu hebat sekali. Kalau tidak, mengapa seorang tokoh macam kakek paman gurunya (Toho) sampai begitu tergetar hatinya.
"Harap jangan bicara keras-keras, thay-susiok," bisik Cong Tik,"ketujuh pedang itu, kecuali yang paling panjang ialah Thian-liong-kiam yang jatuh ditangan paderi Tay To, yang enam batang telah disimpan Ular-emas Hoa Ceng dipulau Kyoto."
"Kyoto? Apakah bukan pulau tempat tinggal Poan hong-poh ?" Toho menegas.
"Benar" kata Cong Tik, "Tetapi dimana letak tempat penyimpanan itu, masih belum jelas. Pokok, asal sudah menduduki pulau Kyoto, tentu dapat mencarinya. Kemungkinan nenek Poan-hong-poh sendiri belum tahu tempat penyimpanan itu."
Toho seorang yang ganas tetapi tidak cerdas. Tanpa menyelidiki lebih lanjut dari mana Cong Tik mendapat keterangan itu, pikirannya serentak tertumpah pada ketujuh pedang Ki-bun-kiam. Serentak ia melirik kearah Poan-hong-poh terus hendak bertindak.
"Thay-susiok", buru-buru Cong Tik berseru, "Sekarang tak leluasa berbicara. Setelah kita tiba di Kyoto, kita baru kirim orang untuk berunding dengan dia, minta pinjam pulaunya selama satu bulan. Waktu satu bulan cukup untuk menyelidiki tempat penyimpanan pedang itu. Baru setelah dia menolak, kita gunakan kekerasan."
"Mengapa tidak sekarang saja?" tanya Toho. "Tadi kulihat thay-susiok berimbang dengan kepandaian nenek itu. Kalau sekarang bertempur lagi, kemungkinan takkan ada hasilnya apa-apa. Lebih baik tunggu setelah berada di pulau Kyoto, dia tentu hanya seorang diri. Nah, kita tentu lebih leluasa untuk meringkusnya."
Rupanya Toho mau mendengar kata-kata Cong Tik, katanya: "Baiklah, mari kita pulang dulu."
Sekali menarik lengan Cong Tik, mereka sudah melayang sampai tiga tombak jauhnya. Lo Thian dan Lo Tepun tak mau mengejar. Kedua orang kate itu sudah bertemu muka beberapa kali dengan Hian-li Lim Sam Kho. Melihat Lim Sam Kho akan menyambut serangan tongkat dari nenek Cenderawasih-Tutul, cepat-cepat kedua saudara kate itu berteriak: "Harap kalian berdua jangan bertempur dulu. Kitakan orang sendiri."
Baik nenek Poan-hong-poh maupun Lim Sam Kho tinggi hati. Tetapi mereka masih memiliki kesadaran. Sambil tertawa, keduanya segera loncat mundur empat lima langkah.
"Tu-lian-song-ay, engkau benar. Muridku sebenarnya hendak bertanya tetapi telah menyentuh kemarahan Poan-hong-poh. Orang mengatakan seorang yang berjiwa besar harus memiliki hati besar. Mengapa harus melayani seorang anak muda ? seru Lim Sam Kho.
Sebenarnya Poan-hong-poh hendak bergerak tetapi mendengar kata-kata Lim Sam Kho itu terpaksa ia tertawa juga: "Eh, mau tanya apa?"
Cin Hong Ing segera maju selangkah, serunya: "Orang mengatakan bahwa dalam dunia persilatan terdapat seorang wanita yang bernama Tang Pui Leng. Apakah dia masih hidup?"
Mendengar pertanyaan itu seketika wajah Poan-hong poh berubah, serunya: "Perlu apa engkau tanyakan dia?"
"Asal usulku tidak jelas, ada orang mengatakan aku ini anak perempuannya. Sudah tentu aku perlu bertanya sendiri kepadanya," kata Cin Hong Ing.
Poan-hong-poh terkesiap lalu berseru dingin, "Dua tahun yang lalu dia memang pernah mengunjungi pulau Kyoto tetapi sekarang dia sudah meninggal di pulau itu."
Cin Hong Ing tercengang. Tetapi karena dia belum dapat memastikan kalau Tang Pui Leng itu mamahnya, maka iapun tak bersedih.
Kedua saudara kate, Lo Tbian dan Lo Te terlongong. Karena baru semalam mereka mendengar nenek Poan hong-poh itu telah memekik keras memanggil nama Tang Pui Leng, mengapa sekarang tiba-tiba mengatakan wanita itu sudah mati?
Lo Thian dan Lo Te saling bertukar pandang. Mereka curiga tetapi karena merasa pernah ditolong oleh nenek Poan-hong-poh, kedua orang kate itupun tak mau mengurus hal itu lebih panjang lagi.
"Hong-ji, budak laki itu mengatakan kalau engkau masih mempunyai seorang saudara kembar tentulah nona yang pernah kita lihat sewaktu di sungai Hok-jun-kiang itu. Lebih baik kita cari dia, mungkin dia tahu siapakah ayah bunda kalian ini." kata Lim Sam Kho menghibur kekecewaan muridnya.
Cin Hong Ing merasa memang cara itulah yang paling baik. Mereka segera memberi selamat tinggal kepada Poan-hong-poh.
Begitu Lim Sam Kho dan Cin Hong Ing sudah pergi, barulah kedua saudara kate maju kehadapan Poan-hong-poh dan bertanya,
"Poan hong-poh, ketika engkau merintangi kami berdua di bawah gunung Tay-pat-san, kami tempo hari berjanji dalam hati hendak meratakan pulau kediamanmu.''
"Lalu sekarang bagaimana?", tanya Poan hong-poh atau si nenek Cenderawasih Tutul.
Karena tadi engkau telah melepas kebaikan menolong kami, maka dendam yang dulu sudah tentu kami hapus. Tetapi mengapa ketika nona tadi menanyakan tentang Tang Pui Leng, engkau mengatakan dia sudah mati? Apabila nona itu memang benar puteri dari Tang Pui Leng, bukankah suatu tindakan yang mulia apabila kedua ibu dan anak itu dapat berkumpul lagi ?"
Seketika wajah Poan-hong-poh berubah gelap, serunya: "Apakah kalian berdua hendak mencampuri urusan itu?"
Kedua orang kate itu menengadah dan tertawa keras : Poan-hong-poh, ketahuilah, dalam soal ilmu kepandaian kami berdua tak kalah kepadamu. Tatapi maksud kami hanya ingin membantu, barangkali ada sesuatu yang kurang leluasa padamu, percayalah kepada kami, kami tentu akan membantumu!"
Diam-diam Poan hong-poh merenung. Kabarnya kedua orang kate itu memang konsekuen. Apa yang dikatakan tentu dilaksanakan, menarik garis tajam antara budi dan dendam. Mereka juga berilmu tinggi dan kenal dengan sejumlah tokoh-tokoh persilatan yang termashur. Tentu dapat memberi bantuan yang berarti.
Setelah mengambil keputusan, dipandangnya kedua orang kate itu dan berseru :
"Telah kukatakan tadi bahwa aku tak mengharap kalian membalas budi kepadaku. Hanya karena ada sedikit hal yang perlu bantuan kalian, maka kutanya apakah kalian mau membantu?"
"Menerjang lautan apipun kita takkan mundur," Seru kedua orang kate itu.
"Baik" seru Poan-hong-poh, "apa tujuan kalian dan Malaekat-tolol Sim Yong menghadang Ui Hong Ing?"
"Untuk merebut pelana bertabur mutiara" sahut kedua orang kate itu dengan terus terang.
"Tahukah kalian apa gunanya pelana bertabur mutiara itu ?"
Kedua orang kate saling bertukar pandang, menjawab : "Soal itu kami tak tahu. Hanya karena dunia persilatan mengatakan pelana mutiara itu berharga sekali maka rampas dulu baru nanti kita selidiki rahasia kegunaannya."
Pendekar Muka Buruk 11 Dibawah Kaki Pak Dirman Karya Nasjah Djamin Tangan Geledek 2
^