Pencarian

Pendekar Banci 8

Pendekar Banci Karya Sd Liong Bagian 8


"Siapa yang mengatakan tak suka ? Cobalah engkau katakan" cepat Cin Hong Ing menukas.
Cong Tik girang, katanya : "Tempat ini bukan tempat bicara yang layak. Setelah perjamuan selesai, nanti kita mencari tempat yang sepi untuk menjelaskan kepada nona."
Hong Ing mengiakan. Karena kuatir dicurigai orang maka keduanyapun putuskan pembicaraan. Tak berapa lama terdengar genta bertalu tiga kali. Nenek Poan-hong-pohpun muncul. Dan sesaat kemudian maka perjamuanpun segera dimulai. Tak henti-hentinya pelayan menghidangkan makanan dan minuman yang lesat. Jika besok pagi itu bukan hari pertempuran, tentulah perjamuan itu akan menggembirakan sekali.
Setelah hidangan tiga kali keluar, tiba-tiba Toho berangkat dan berseru : "Ambilkan cawan yang besar, cawan sekecil ini mana dapat memuaskan para tetamu ?"
Ia membungkuk dan tahu-tahu terdengar bunyi berdenting-denting. Cawan arak dari delapan orang yang duduk di meja itu tahu-tahu sudah berhamburan melayang ke dalam tangan lhama itu.
Sekali remas, lhama itu tertawa gelak, kemudian membuka tangannya dan terkejutlah sekalian hadirin. Delapan buah cawan emas kini lebur menjadi sebuah keping emas. Dapat dibayangkan betapa tinggi tenaga-dalam lhama itu.
Sekalian tetamu tahu bahwa lhama itu memang hendak cari perkara. Tetapi kepandaian yang dipertunjukkan memang bukan olah-olah hebatnya. Sekalian orang sama memuji. Toho berseri-seri gembira memandang kearah Poan-hong-poh.
Walaupun marah, tetapi nenek Poan-hong-poh tetap dapat mengendalikan air mukanya. Ia berpaling memberi perintah : "Lekas tukar cawan besar, aku sendiri yang akan menghaturkan minuman kepada tetamu !"
Mendengar itu Hian-li Lim Sam Kho serentak berdiri, serunya : "Harap cujin (tuan rumah) jangan repot-repot. Kecuali Toho lhama, rasanya lain-lain tetamu sudah puas dengan cawan kecil. Biarlah aku saja yang memberinya sebuah cawan besar."
Habis berkata, seperti yang dilakukan Toho tadi, Lim Sam Khopun telah menyambar cawan bahkan sumpit dari semua tetamu yang berada di mejanya. Dengan kedua tangannya ia menggenggam benda itu dan digoyang - goyangkan beberapa kali. Tak berapa lama cawan-cawan itupun menjadi sekeping emas. Lim Sam Kho masih tertawa dan memijat-mijat dengan tangannya. Tak berapa lama jadilah keping emas itu sebuah cawan besar setinggi setengah lengan orang.
Menurut penilaian, kepandaian yang diunjukkan Lim Sam Kho itu lebih unggul setingkat dari Toho. Sebenarnya Toho juga mampu melakukan hal itu, tetapi dalam penilaian para tetamu, Toho telah kehilangan muka.
Ilmu tenaga-dalam Hian thian-kong-gi yang dilatih Lim Sam Kho merupakan tenaga-dalam yang istimewa, baik lunak dan keras kedua-duanya telah dicangkumnya. Pada waktu tenaga keras saling beradu maka timbullah tenaga lunak sehingga dengan mudah ia dapat membuat sebuah Cawan besar dari keping emas yang keras.
Suara pujian bergema memenuhi perjamuan, Poan-hong-poh memandang Lim Sam Kho dengan pandang berterima kasih. Sebenarnya nenek itu juga mampu melakukan hal itu tetapi dalam kedudukan sebagai tuan rumah, ia harus meladeni permintaan tetamu (Toho) yang meminta cawan besar.
Sambil tertawa, Lim Sam Kho mengangkat cawan kesar itu dan berseru "Toho Lhama, apakah cawan ini memenuhi seleramu ?"
"Cukup!" seru Toho dengan deliki mata.
Sekali gerakan tangan maka cawan besar itu pun segera melayang ke tempat Toho, Pada saat menyambut, ia rasakan suatu tenaga yang maha berat.
Toho Lhama memang belum kenal siapa Lim Sam Kho itu. Sekarang baru ia menyadari bahwa wanita itu memiliki kesaktian yang tak berada dibawahnya. Karena ingin tahu siapa wanita itu ia memandang Cong Tik.
Cong Tik segera berbisik: "Thay-susiok, wanita itu bernama Hian-li Lim Sam Kho, dia memiliki ilmu Hian thian-kong-gi yang hebat sekali. Apabila urusan sudah selesai, dia harus dilenyapkan!"
Toho mengangguk. Waktu ia mau duduk, tiba-tiba Poan-hong-poh berbangkit dan berseru: "Karena saudara menghendaki cawan besar, maka ijinkanlah aku yang menghidangkan arak!"
Ia mengangkat sebuah poci besar, tanpa bergerak, begitu kedua tangannya menyodorkan ke muka, maka dari mulut poci besar itu segera memancur arak yang sangat deras sekali. Beberapa batang lilin yang terlanggar segera padam dan aliran arak itu langsung mencurah ke arah cawan besar yang masih dipegang Toho.
Dengan tindakan itu, Poan-hong-poh hendak melampiaskan kemarahannya terhadap tindakan Toho tadi. Kedua kalinya, dihadapan sekian banyak tetamu mau tak mau Toho tentu harus menyumbati curahan arak itu dan tak mempunyai kesempatan untuk membalas. Dengan perhitungan itu maka Poan-hong-poh telah gunakan sepuluh bagian tenaga-dalam Keng-thau-kang yang telah dipelajarinya selama berpuluh tahun.
Walaupun curahan arak itu hanya sebesar jari tangan tetapi karena disalurkan dengan tenaga-dalam yang hebat maka dapatlah meluncur seperti anak panah cepatnya. Dan ketika mencurah ke dalam cawan Toho, dahsyatnya seperti kilat menyambar.......
Toho terpaksa kerahkan seluruh tenaga-dalam untuk mencekal cawannya dan menghadapi serangan arak dari Poan-hong-poh.
Bermula memang tak terjadi suatu apa. Tetapi setelah arak memenuhi setengah cawan, cawan terasa berat sekali dan makin penuh makin hebat beratnya. Arak yang berada dalam cawan itu bergolak-golak seperti gelombang laut. Karena tak kuat dengan sebelah tangan, terpaksa Toho harus mencekal dengan kedua tangannya. Dengan begitu barulah ia dapat memegangnya dengan tenang.
Tak lama kemudian cawanpun penuh arak. Poan-hong-poh tertawa dingin, menghentikan saluran arak dan berseru, "Ah, mengapa saudara begitu banyak peradatan?" serunya.
Dengan ucapan itu, dapatlah Poan-hong-poh menumpas kebanggaan Toho. Karena baru setelah menggunakan kedua tangannya. Toho dapat mencekal cawan arak dengan kokoh.
Toho Lhama segera meneguk habis cawan besar itu kemudian berseru : "Akupun hendak balas menghaturkan arak!"
Poan-hong-poh tak kuatir karena cawannya kecil. Walaupun Toho memiliki tenaga dalam yang dahsyat, pun tentu masih dapat ia bertahan.
Memang Toho tak sempat memikirkan hal itu. Serta menyambar poci arak ia terus hendak meluncurkan arak, tetapi Cong Tik cepat mencegahnya: "Harap tunggu dulu thay susiok."
"Ada apa ?" seru Lhama itu dengan gusar. Dengan tenang Cong Tik segera menyambar cawan besar tadi, serunya : "Sungguh suatu kehormatan besar Poan-hong-poh dapat hadir untuk melayani para tetamu sendiri. Selayaknya, baik tuan rumah maupun tetamu, sama-sama menggunakan cawan besar. Aku yang rendah memang tak berguna tetapi bersama ini ingin kuhaturkan cawan besar ini kepada Poan-hong-poh!"
Saat itu Toho baru menyadari maksud Cong Tik. Diam-diam ia gembira sekali. Saat itu Cong Tikpun berbangkit dan dengan sepasang tangan ia menghaturkan cawan besar itu kepada Poan-hong-poh dan menghampiri ke tempat nenek itu.
Poan-hong-poh geram sekali. Betapa ingin sekali remas ia dapat menghancurkan tubuh pemuda itu. Tetapi sebagai tuan rumah dan dihadapan sekian banyak tokoh-tokoh, sudah tentu ia tak mau dianggap sebagai seorang cianpwe yang menindas seorang anak muda.
Memang hal itu sudah diperhitungkan Cong Tik. Dengan hormat ia meletakkan cawan besar dihadapan Poan-hong-poh, ujarnya "Harap Poan Locianpwe suka menerima persembahanku ini."
Habis berkata dengan tenang ia segera mengundurkankan diri!
Poan-hong-poh deliki mata tetapi tak dapat berbuat apa-apa.
Setelah Cong Tik kembali ke tempat duduknya, Toho tertawa gelak-gelak. Plak, sekali menepuk poci maka arakpun segera meluncur ke arah cawan Poan hong-poh. Ketika meluncur di udara, curahan arak itu menimbulkan suara yang mendesir tajam. Toho menepuk poci berulang kali dan arakpun tak putus-putusnya meluncur seperti anak panah. Walaupun perbawanya kalah dengan pancaran arak dari Poan-hong-poh yang menderu seperti gelombang laut, tetapi dahsyatnya tak kalah dengan Poan-hong-poh.
Pada saat Toho menepuk yang ketujuh kalinya terpaksa Poan-hong-poh menggunakah kedua tangannya untuk memegang cawan.
"Ah, mengapa cujin juga banyak peradatan", Toho balas tertawa mengejek. Poan-hong-poh tak dapat menjawab. Seperti yang terjadi di tepi pantai maka keduanya seri atau sama-sama tak ada yang kalah.
Tetapi rupanya Toho masih belum puas. Memandang Ke arah Lim Sam Kho ia berkata kepada Cong Tik : "Cong Tik, haturkanlah cawan besar itu kehadapan Lim Sam Kho, aku juga hendak menghaturkan arak kepadanya"
Cong Tik tak berani membantah. Ia segera mengambil cawan dari hadapan Poan-hong-poh lalu dibawanya ke tempat Lim Sam Kho.
Rupanya Lim Sam Kho memang sudah menduga bahwa tindakannya tadi tentu akan menerima pembalasan dari Toho. Maka ia hanya tertawa hambar.
Ketika lewat di sisi Cin Hong Ing. Cong Tik melirik dan dilihatnya sepasang mata yang indah dari nona itu juga tengah memandang kepadanya. Keduanya beradu pandang dan tertawa.
Diam-diam Cong Tik girang. Apabila Tang Pui Leng sudah berhasil mendapat pedang Ki-bun-kiam, tentulah ia dapat mencari keterangan dari mulut nona itu.
Setelah menyambut cawan maka Lim Sam Khopun menimang bahwa kepandaiannya tentu seimbang dengan Toho maupun Poan-hong-poh. Daripada pertama memegang dengan sebelah tangan baru kemudian, setelah tak kuat, menggunakan dua tangan, mengapa sekaligus ia tak memegang saja dengan kedua tangannya. Bukankah dengan demikian ia tak usah menderita malu?
Begitulah ia terus hendak gunakan kedua tangan untuk memegang cawan. Tetapi sekonyong-konyong ia rasakan ujung lengan jubahnya digamit orang. Ketika berpaling ternyata seorang rahib tua yang sejak tadi duduk disebelahnya.
Lim Sam Kho belum kenal siapa rahib tua itu. Tetapi menilik sinar matanya yang berkilat-kilat tajam, ia mendapat kesan tentulah rahib itu bukan orang biasa. Sejak masuk ke perjamuan, rahib itupun tak pernah mengucap sepatah kata, mengapa sekarang tiba-tiba menggamit ujung bajunya?
Waktu Lim Sam Kho hendak bertanya, rahib tua itu sudah mendahului berkata dengan berbisik : "Peganglah cawan itu dengan dua buah jari tanganmu, aku nanti yang membantu untuk menghisap tenaga Lhama itu !"
Lim Sam Kho bersangsi tetapi saat itu Tohopun sudah mulai menepuk poci dan sealir arak segera meluncur seperti anak-panah. Lim Sam Kho merasa bahwa sorot mata rahib tua itu mengandung perbawa yang sukar dibantah. Terpaksa ia menurut. Segera ia menarik kembali tangan kirinya lalu mencekal cawan itu dengan jari telunjuk dan jari tengah tangan kanannya.
Sekalian tetamu yang menyaksikan pertandingan adu tenaga-dalam, sama mencurahkan perhatiannya. Mereka terkejut sekali ketika melihat Lim Sam Kho hanya menjepit cawan dengan dua buah jari tangannya.
Tohopun terbeliak kaget. Diam-diam ia menimang adakah tenaga-dalam dari Lim Sam Kho lebih hebat dari Poan-hong-poh dan dirinya ?
Tetapi saat itu saluran arak sudah mencurah ke dalam cawan. Pada saat Lim Sam Kho sudah kebat kebit hatinya karena merasa tentu tak kuat, tiba-tiba dengan santai rahib tua itu mengambil sebuah sendok, diangkat naik beberapa inci. Jika tidak memperhatikan sendiri tentulah Lim Sam Kho takkan tahu gerak gerik rahib tua itu.
Seketika Lim Sam Kho merasa bahwa arak yang menumpah ke dalam cawannya itu tidak mengandung tenaga-dalam yang kuat, maka dapatlah ia memegang terus cawan itu dengan kedua jarinya. Jelas hal itu disebabkan dari gerakan sendok rahib tua yang akibatnya dapat menghapus tenaga dalam yang terpancar pada saluran arak. Ilmu kepandaian semacam itu sungguh bukan olah-olah hebatnya.
Dalam kalangan kaum agama, tokoh yang memiliki kepandaian sesakti itu dapat dihitung jumlahnya. Salah seorang adalah Tay To hweshio dari biara Butto. Jika dalam kalangan rahib, seharusnya rahib It Jim yang telah berjerih payah melatih salah sebuah dari tiga jenis ilmu tenaga dalam yang sakti. Tetapi rahib It Jim sinni itu sudah dua puluh tahun yang lalu menutup mata.
Kemudian ia teringat akan seorang pertapa di gunung Ke-Tiok-san yalah Siau Yau cinjin. Tetapi kabarnya pertapa Siau Yau itu setahun yang lalu telah dicelakai sampai tewas oleh Toho.
Walaupun Lim Sam Kho luas pengalamannya tetapi ia tak mampu juga untuk menduga siapakah gerangan rahib tua itu.
Sampai menepuk delapan sembilan kali, sehingga yang dijepit jari Lim Sam Kho itu penuh, tetap rahib tua itu menggerak-gerakkan sendok untuk menghapus tenaga dalam Toho. Oleh karena itu dapatlah Lim Sam Kho bertahan sampai selesai.
Setelah cawan penuh arak, wajah Tohopun menampilkan kesangsian. Gok Co thauto dan rombongan jago-jago aliran hitam, juga tak habis herannya. Mereka jelas tak melihat barang seorang lagi kecuali Lim Sam Kho seorang. Mereka mengetahui gerak gerik rahib tua yang memain-mainkan sendok. Mereka kira bahwa Lim Sam Kho memang memiliki tenaga-dalam yang bukan kepalang hebatnya.
Sambil mengangkat cawan arak, Lim Sam Kho berseru : "terima kasih, terima kasih" Sekali teguk, ia menghabiskan arak itu dan meletakkan cawan lagi.
Toho benar-benar kehilangan muka dan terpaksa duduk dengan wajah merah padam.
Tiba-tiba Cong Tik bertanya dengan bisik-bisik: "Thay-susiok, jelas Lim Sam Kho itu hendak membantu Poan-hong-poh, mengapa thay-susiok memberi keringanan kepadanya."
Toho terlongong-longong lalu menyabut: "Aku sudah gunakan tenaga penuh tetapi entah bagaimana wanita itu dapat memiliki tenaga yang begitu hebat "
Cong Tik menimang, walaupun Lim Sam Kho mempunyai nama di dunia persilatan tetapi masih kalah cemerlang dengan Poan-hong-poh. Tetapi mengapa wanita itu telah mengunjukkan ilmu kepandaian yang sehebat itu ? Ah, sampai lama belum juga Cong Tik dapat memecahkan hal itu. Ia makin gelisah. Dia bukan mencemaskan kekalahan Toho melainkan cemas kalau tak berbasil merebut pedang Ki-bun-kiam dan kitab ilmu pedang Ki- bun-kiam-hwat.
Selalah peristiwa saling menghaturkan arak itu selesai, tiada orang yang berani cari perkara baru lagi. Tak berapa lama rembulan pun muncul ke tengah angkasa sehingga, lapangan perjamuan itu makin terang benderang.
Saat itu setiap orang sudah mulai mabuk. Demikianpun Su Ciau. Karena hatinya kesal, ia minum sampai mabuk untuk menghilangkan kekecewaan hatinya. Saat itu ia sudah tujuh bagian mabuk, memandang kian kemari ia tak melibat bayangan Ui Hong Ing. Tanpa terasa ia menghela napas panjang.
Tujuh orang yang duduk semeja dengan dia, adalah jago-jago pengantar barang dari Kwitang. Ia tak mengerti bahasa mereka. Maka ia memutuskan untuk angkat kaki saja. Begitu ia berbangkit dan berputar tubuh, pedangnya telah membentur salah seorang yang duduk disebelahnya, seorang piausu atau tukang mengantar barang.
Rupanya karena melibat Su Ciau itu seorang pemuda yang lemah seperti seorang anak sekolah maka piausu itu lalu menyambar pedang Su Ciau dan memaki: "Sahabat apakah engkau hendak menantang berkelahi? Mengapa tidak mau membuka mata lebar-lebar?"
Kalau hanya memaki itu masih mending. Setelah memaki ia terus menyambar tangkai pedang dan sring... ia mencabutnya hingga pedang sampai terangkat setengah bagian.
Sebenarnya setelah dapat mencabut seluruh pedang, ia terus hendak mematahkannya agar sekalian tetamu terkejut dan memuji kepandaiannya. Tetapi demi melihat pedang itu sebuah pedang pusaka seketika timbullah nafsu ingin memilikinya. Maka ia terus hendak melanjutkan mencabut pedang itu keluar.
Tetapi Su Ciau pemuda yang dikira seorang anak sekolahan yang lembah, ternyata tak membiarkan orang bertindak sekehendaknya sendiri. Cepat tangan kanan Su Ciau menerkam telapak tangan orang itu dan berkata pelahan: "Sahabat, lepaskan tanganmu, jangan membuat onar dalam perjamuan ini!"
Orang itu terkejut sekali ketika merasakan tekanan tangan Su Ciau mengandung tenaga yang luar biasa kuatnya. Tangannya serasa ditindih oleh sekeping besi. Buru-buru piausu itu lepaskan tangannya. Su Ciaupun tak mau mempersulit dan biarkan piausu itu menarik pulang tangannya.
Rupanya piausu itu tak-tahu diri. Selekas loncat keluar dari tempat perjamuan ia terus mencabut senjatanya, sebatang sam-ciat-kun atau tongkat-tiga ruas.
Perjamuan takkan meriah tanpa suatu pertunjukan. Sukalah sahabat bermain-main barang beberapa jurus dengan aku dan mohon para ko-jiu yang hadir suka memberi petunjuk !" serunya nyaring.
Sekali mengebas maka sam-ciat-kun itupun menegak lurus seperti sebatang tombak pandak terus digerakkan menusuk dada Su Ciau.
Jago-jago silat yang hadir dalam perjamuan itu dan yang ahli dalam ilmu permainan tongkat sam ciat-kun cepat dapat mengetahui bahwa piausu itu telah memulai serangannya dengan jurus yang berat ialah jurus yang disebut Thian-te-ci-gou atau Tangga-langit-menunjuk-mulut. Salah sebuah jurus perenggut nyawa dari ilmu permainan samciat-kun. Sekalian jago-jago itu terkejut.
Tetapi begitu ujung tongkat sam-ciat-kun hampir tiba di dadanya, Su Ciau bahkan hendak menyambar dan orangnyapun serentak berbangkit. Sudah tentu piausu itu bukan tandingannya. Begitu sam-ciat-kun tercekal Su Ciau, piausu itu meronta sekuat tenaga untuk menarik tongkatnya tetapi sia-sia. Seketika wajahnya merah padam.
Saat itu pikiran Su Ciau setengahnya dipengaruhi arak. Jika ia melepaskan begitu saja, dikuatirkan piausu itu tetap akan cari perkara. Maka lebih baik ia memberinya sebuah hajaran agar tahu rasa. Begitu tangannya ditarik dan dijulurkan, segelombang arus tenaga besar telah melanda dan piausu itupun tergempur kuda-kuda kakinya. Ia terhuyung-huyung ke belakang sampai tujuh-delapan langkah, terus jatuh terduduk di tanah.
Sekalian tetamu tertawa gelak-gelak. Sebelumnya piausu sudah buka suara besar hendak mempertunjukkan kepandaian yang hebat supaya perjamuan lebih meriah. Tetapi baru sekali gebrak saja ternyata ia sudah rubuh.
Keenam orang yang duduk semeja dengan piausu itu, karena melihat kawannya menderita malu, serempak menggerung marah dan berdiri. Su Ciau menyurut mundur selangkah. Ia bersiap-siap karena tahu bahwa perkelahian sukar dihindari lagi.
Sekonyong-konyong terdengar suitan panjang, Cong Tikpun berdiri berseru nyaring: "Sahabat orang she Tan ini adalah putera dari Pat-pi-kim-kong di Holam. Murid dari paderi Tay To biara Butto. Dan yang dibawanya adalah pedang pusaka Thian liong-kiam serta menguasai ilmu pedang Thian-liong-kiam-hwat yang termashur. Selagi bulan memancar gilang gemilang, untuk memeriahkan perjamuan ini, aku bersedia dengan sepasang tangan akan menemani sahabat Tan untuk bermain-main barang beberapa jurus. Harap sahabat Tan tak memandang rendah diriku dan suka meluluskan permintaanku!"
Mendengar siapa diri Su Ciau, sekalian tetamu terbeliak dan saling bertukar pandang. Terutama ketika mendengar Su Ciau membawa pedang pusaka Thian-liong-kiam yang termashur, yang pernah digunakan paderi Tay To untuk membasmi Tian-lam-pat-mo atau Delapan-iblis dari Tian-lam.
Tetapi perhatian para tetamu cepat mencurah ke arah Cong Tik karena mendengar pemuda itu bersedia melayani Su Ciau dengan tangan kusong.
Sebenarnya Su Ciau enggan berkelahi tanpa sebab. Tetapi karena ditantang dihadapan sekian banyak jago-jago silat, terpaksa ia menerima.
"Jika saudara tak mau memakai senjata, mungkin saudara akan menyesal," serunya.
-o0^DW^Agus Ekanto^0o- Jilid 11 Cong Tik tertawa gelak-gelak.
"Walaupun pedang Thian-liong-kiam tajam sekali dan Tay To hweshio datang sendiri, belum tentu dapat melukai aku. Mengapa di depan sekian banyak orang sahabat Tan membuka suara besar ? Apakah tidak menurunkan martabat sahabat sebagai seorang persilatan?" serunya.
Melihat Cong Tik begitu congkak terhadap dirinya, tetapi sebaliknya malah menuduh dirinya yang sombong, Su Ciau tak sabar, serunya; "Pedang tak bermata, apabila salah melukai, bagaimana nanti?"
Sejak mendapat tahu rahasia pedang Ki-bun-kiam, Cong Tikpun tahu bahwa pedang terbesar dari ketujuh pedang Ki-bun-kiam adalah pedang Thian-liong-kiam.
Ketika di gunung Hongsan, ia pernah mendapatkan pedang Thian-liong-kiam itu walaupun kemudian hilang lagi. Dia masih memikiri pedang itu karena walaupun nanti berhasil mendapat keenam pedang, namun masih kurang satu.
Waktu piausu tadi menyerukan tentang pedang Thian-liong-kiam, Cong Tik terkejut dan girang. Baru ia memutar otak cari pikiran bagaimana akan merebut pedang itu, Su Ciaupun sudah merubuhkan piausu itu. Kesempatan itu tak disia-siakannya. Dia segera berbangkit dan mengeluarkan tantangan kepada Su Ciau. Sengaja ia mengatakan akan melawan dengan tangan kosong dengan tujuan tak lain untuk merebut pedang itu dari tangan Su Ciau.
"Dibawah kesaksian sekian banyak tokoh persilatan, jika sahabat Tan dapat melukai aku, matipun aku merasa ikhlas. Apabila aku dapat merebut pedang, pedang itupun harus berganti pemilik. Apakah sahabat Tan berani ?
Cong Tik tak mau bertanya setuju atau tidak, melainkan berani atau tidak. Dengan kata itu ia makin mendesak Su Ciau ke pojok.
Oleh karena Su Ciau itu berhati polos, dia tak sempat meneliti maksud kata-kata Cong Tik. Ia hanya menduga bahwa Cong Tik tentu memiliki ilmu Gong-jiu-pek-jim-hwat atau Tangan-kosong-merebut-senjata yang lihay. Diam-diam ia menimang. Betapapun halnya, ia tentu takkan sampai kehilangan pedang itu. Maka dengan gembira la menerima tantangan itu.
Cong Tik girang sekali. Serentak ia melangkah maju ke muka. Di muka tempat perjamuan itu telah didirikan sebuah panggung untuk keperluan adu kesaktian dari Poan-hong-poh dan Toho. Begitu tiba di muka, Cong Tikpun segera enjot tubuh ke atas panggung, berputar tubuh dan memberi hormat: "Sahabat Tan, silahkan naik kemari untuk memberi pelajaran!"
Su Ciau tak mau unjuk kelemahan. Diapun segera melayang ke atas panggung. Kini di atas panggung berhadapan dua orang pemuda yang sebaya umurnya dengan pertarungan yang hebat. Terluka atau kehilangan pedang pusaka Thian-liong-kiam.
Pertandingan itu menarik perhatian sekalian tetamu.
Cin Hong Ing kini dapat melihat jelas kedua pemuda itu. Cong Tik tampan dan gagah, Su Ciau ketolol-tololan. Dalam pandangan Cin Hong Ing, Su Ciau itu seperti orang-orangan salju. Ia mengharap Cong Tik dapat merebut pedang Thian-liong-kiam. Kemudian beberapa hari lagi ia akan mencari Sam Hoa niocu, ibu Su Ciau uutuk membuat perhitungan.
Selekas berada di panggung, Su Caupun segera mencabut Thian-liong-kiam. Seberkas sinar kuning bianglala segera memancar, ujung pedang tak ubahnya serupa lidah ular yang menjulur. Sungguh sebuah senjata pusaka yang hebat. Dan Cong Tikpun segera mengisar langkah maju, dua buah jari tangannya segara menjulur untuk menusuk mata Su Ciau.
Su Ciau mundur selangkah lalu memapaskan pedangnya. Seketika berhamburan kuntum bunga sinar pedang berwarna kuning. Cong Tik terpaksa harus mundur sampai tiga langkah.
Dalam sekali gebrak itu saja cukup sudah menunjukkan bahwa Cong Tik tak mungkin mampu merebut pedang dengan tangan kosong. Sebenarnya Cong Tik tahu akan hal itu. Tetapi karena kali ini ia datang dengan paman kakek gurunya Toho, sebelumnya ia sudah mempunyai persiapan. Agar dapat memenangkan pertandingan, maka Toho mau membawa Cong Tik menuju ke Secong (Tibet) ke tempat kediaman Kin-kiu-hong, seorang teman baik Toho. Karena melihat Cong Tik seorang pemuda yang gagah, Kin-kiu-hong mau juga meluluskan permintaan sahabatnya, untuk memberi pelajaran kepada Cong Tik sebuah ilmu yang disebut Bu im-sim-ngo atau Alu-sakti-tanpa-bayangan. Ilmu itu tak pernah diberikan kepada lain orang kecuali Cong Tik.
Itulah sebabnya maka Cong Tik berani menantang Su Ciau. Ia hendak mengandalkan kesaktian dari ilmu itu.
Setelah dapat mengundurkan Cong Tik, Su Ciaupun tegakkan pedang dan lanjutkan menusuk dada orang. Kembali Cong Tik mundur tiga langkah lagi. Saat itu dia sudah mundur sampai di tepi panggung. Jika mundur lagi tentu akan jatuh ke bawah.
Melihat Cong Tik itu hanya bermulut besar tetapi kepandaiannya hanya begitu saja, diam-diam Su Ciau memandang rendah kepadanya. Ia hendak menyelesaikan pertandingan itu dengan menendang Cong Tik supaya jatuh ke bawah panggung. Maju ke langkah tiong-kiong lalu ke langkah hong-bun, ia terus menusuk lagi.
Tiga kali tusukan itu sebenarnya masih termasuk dalam sebuah jurus ilmu pedang ajaran Tay To hweshio yang disebut Sam-yau-liong-bun (tiga-loncatan-pintu-naga) Gerakan tusukan yang ketiga itu, cepat sekali.
Melihat belakang tiada jalan dan kanan kiri telah dipagari sinar pedang. Cong Tik masih tak mau menggunakan ilmu Alu tanpa-suara. Ia kuatir Su Ciau akan cepat menderita kekalahan sehingga menimbulkan kecurigaan orang. Dalam keadaan terdesak ia segera gunakan jurus Thiat-pian-kio atau Jembatan-besi-gantung. Tubuhnya melengkung ke belakang, kedua kaki masih tetap tegak ditempat semula.
Tusukannya luput dengan tangkas Su Ciau segera menyelinap ke belakang dan menyapu kaki Cong Tik. Tetapi dengan gaya yang indah sekali, Cong Tik dapat melenting ke udara lalu melayang turun ke lantai.
Diam-diam Su Ciau terkejut lalu berseru memuji: "Sungguh lincah sekali."
"Ah, sahabat Tan terlalu memuji" sabut Cong Tik.
Kaki Su Ciau yang hendak menyapu itu tiba-tiba berhenti, kesempatan itu digunakan Cong Tik untuk balas mengait kaki Su Ciau. Sudah tentu Su Ciau tak mudah terperangkap. Cepat ia melambung ke udara seraya memutar Thian-liong-kiam.
Berkat ilmu kelincahannya, dapatlah Cong Tik mengajak Su Ciau berputar-putar. Sepintas tampak kekuatan kedua anak muda itu berimbang. Tetapi Su Ciau lebih untung karena membawa sebatang pedang pusaka. Setelah mencapai tigapuluh jurus, Cong Tik mulai sibuk. Berulang kali hampir saja ia tertusuk pedang. Bahkan sebelah lengan bajunya telah terpapas kutung.
Sekalian tetamu yang berada di bawah panggung tak henti-hentinya meneriakkan pujian.
Merasa bahwa dirinya tentu menang, karena tak sampai hati melukai orang, maka dengan suara pelahan Su Ciau segera berkata: "Mengapa saudara tak mau turun ke bawah panggung saja? Aku tentu takkan melukaimu."
Melihat Su Ciau bicara, tiba-tiba timbul akal licik dalam benak Cong Tik, sabutnya: "Terima kasih, apakah sahabat Tan masih ingat aku ?"
"Apakah saudara bukan yang menjual kuda kurus tahun yang lalu ?" tanya Su Ciau setengah meragu.
"Benar" kata Cong Tik.
Mereka bicara pelahan sekali sehingga orang-orang tak dapat mendengar. Pada saat Su Ciau lengah karena bicara itu, sekonyong-konyong Cong Tik menampar pedangnya. Su Ciau cepat hendak menyerang lagi tetapi kembali Cong Tik berkata :
"Sebenarnya kuda itu berasal dari nona Hong Ing. Tahukah engkau mengapa calon isterimu itu mencuri kuda ?"
Karena memang tak begitu jelas, Su Ciaupun bertanya : "Mengapa ? Apakah engkau tahu?"
Tahu Su Ciau sudah mulai masuk perangkap diam-diam Cong Tik girang. Dalam sebuah gerakan menjamah dada, tahu-tahu ia sudah mencabut sebatang senjata rahasia Bu-im-sin-ngo, kemudian berkata : "Hong Ing itu adalah puteri dari pendekar Ular-emas Hoa Ceng dan Ular-emas Hoa Ceng telah binasa di tangan Pat-pi-kim-kong.
Su Ciau terkejut sekali, serunya : "Sudah bertahun-tahun ayah menghilang, mamah mengira ayah tentu meninggal. Bagaimana mungkin ayah telah membunuh paman Hoa ?"
Cong Tik tertawa dingin : "Kalau tak percaya, terserah saja. Akan kuperlihatkan kepadamu sebuah benda, apakah engkau dapat mengenalinya?"
Mendengar Hoa Ceng dibunuh ayahnya, Su-Ciaupun gelisah. Lama kelamaan, Hong Ing tentu akan mengetahui peristiwa itu dan bagaimanakah ia harus mempertanggung jawabkan ?
"Benda apa?", buru-buru ia ingin melihat apa yang hendak diperlihatkan Cong Tik. Ia menurunkan pedang agar Cong Tik dapat menyodorkan benda itu.
Begitu tangan Cong Tik menjulur, Su Ciau pun segera dapat melibat bahwa tangan Cong Tik menggenggam sebatang Coh-hay-ting atan paku biji-buah-angco.
Su Ciau terkejut dan menyurut mundur selangkah, serunya: "Dari mana engkau memperoleh Coh-hay-ting itu ?"
Cong Tik tertawa dingin: "Dari mayat Ular-Emas Hoa Ceng."
Saat itu Su Ciau makin bingung sehingga gerakan pedangnya tak menyerupai jurus-jurus ilmu pedang lagi. Beratus-ratus tamu yang melihat perubahan itu merasa heran. Ada beberapa tokoh yang bersahabat baik dengan Tay To hwesio mencemaskan diri Su Ciau. Tiada seorangpun yang tahu akan siasat mengacau pikiran yang dilancarkan Cong Tik.
Satelah merasa saatnya sudah tiba, tiba-tiba Cong Tik tertawa keras, serunya : "Serahkan pedang itu kemari." Cong Tik melangkah maju, tangan kanan diangkat dan sebuah hantaman dilepaskan tetapi setengah jalan, tiga buah jari yang menggenggam senjata rahasia Bu -im-sin-ngopun serempak ditebarkan ke arah Su Ciau. Melihat Cong Tik lancarkan serangan, Su Ciaupun segera menusuk. Cret.... ujung pedang Thian-liong kiam menyusup kebawah ketiak, melukai lambung Cong Tik.
Yang disebut Bu-im-sin-ngo itu adalah sebuah senjata rahasia berbentuk alu atau jarum yang lembut, dilibat dengan benang sutera yang halus. Walaupun pedang Thian-liong kiam dapat memapas benang-benang sutera itu tetapi masih ada seutas benang yang mengenai lengan Su Ciau. Seketika Su Ciau rasakah lengannya kesemutan. la terkejut dan cepat-cepat tangan kirinya hendak mengambil alih pedang.
Luka pada lambungnya itu cukup membuat Cong Tik meringis namun dengan tahan rasa sakit ia segera mengirim tendangan ke dada lawan serempak dengan tangan kanannya menutuk jalan darah Jin-tiong-hiat di bawah hidung lawan.
Serangan Cong Tik itu lebih cepat dari gerakan tangan kiri Su Ciau yang hendak mengambil alih pedang di tangan kanannya. Maka terpaksa ia kerahkan tenaga untuk mempertahankan pedangnya. Tetapi karena lengan kanannya terkena senjata rahasia, hendak menyongsongkan pedang pada kaki lawan, sudah tak mampu lagi. Jalan darahnya tertutup dan tenaganyapun lunglai.
Tendangan dan tusukan jari Cong Tik itu sebenarnya hanya suatu ancaman kosong. Tiba-tiba Cong Tik merubah gerak kakinya untuk menendang lengan kanan Su Ciau sehingga pedang Thian-liong kiam mencelat ke udara. Sekali loncat, Cong Tik dapat menyambar pedang pusaka itu lalu berjumpalitan turun. Sambil mencekal pedang ia tertawa gembira.
"Sahabat Tan, maaf, pedang itu milik suhumu, bagaimana kalau kuserahkan kembali kepadamu ?" serunya dengan kata-kata yang licin. la tahu Su Ciau itu seorang pemuda jujur, tak mungkin mau menerimanya.
Su Ciau teringat ketika ia mengantar Hong Ing pulang ke guha Siau-yau-tong. Ia telah menerima pesan dari gurunya, Tay To hwesbio : "Pedang masih, yang empunyapun masih. Pedang musna, yang empunyapun binasa."
Mendengar tawaran Cong Tik ia terus hendak menerima pedang itu. Tetapi pada lain saat ia teringat janjinya. Di hadapan sekian banyak tokoh-tokoh persilatan, bagaimana ia mempunyai muka untuk menelan kembali ludahnya ?
"Tidak bisa" akhirnya ia berseru, "Aku sendiri yang salah karena kepandaianku masih rendah. Perjanjian tadi tetap berlaku."
Mengangkat lengan kanannya, ia tak melihat tanda-tanda luka tetapi dari siku lengan sampai ke tangan ia rasakan lunglai tak bertenaga lagi. Ia tahu bahwa Cong Tik telah melukainya secara diam-diam, tetapi sukar untuk membuktikannya. Su Ciau hanya dapat menghela napas dan terus hendak loncat turun dari panggung.
"Terima kasih, karena sahabat Tan rela menyerahkan pedang ini, akupun menurut saja." seru Cong Tik dengan gembira.
Ketika kedua pemuda itu hendakloncat ke bawah panggung, tiba-tiba dari arah tempat tetamu, sesosok tubuh telah melambung ke atas panggung. Selagi masih melayang, orang itu berseru: "Hai, kailan berdua, tunggu dulu"
Ketika tegak dilantai panggung ternyata pendatang itu seorang nona muda. Su Ciau dan Cong Tik terkejut. Serempak keduanya memandang kebawah panggung. Tampak Cin Hong Ing masih duduk bersama Lim Sam Kho. Dengan begitu nona yang berada di panggung itu tentulah Ui Hong Ing.
"Nona hendak bicara apa ?" cepat Cong Tik menegur karena kuatir terjadi suatu perubahan.
"Tadi kalian telah melakukan pertunjukan adu kepandaian yang menggembirakan hati sekalian tetamu. Sekarang akupun hendak mengajakmu bertanding pukulan tangan kosong barang beberapa jurus saja. Beranikah engkau menerimanya ?"
Ui Hong sengaja mengulang kata-kata Cong Tik yang diucapkan dikala menantang Su Ciau tadi. Suatu tantangan yang tak mungkin ditolak.
Beda dengan Su Ciau yang jujur, Cong Tik memang licik dan pintar. Melihat wajah Ui Hong Ing mengulum senyum seolah seperti merasa pasti akan menang, diam-diam Cong Tik meragu. Pikirnya, seorang lelaki, harus pandai melihat gelagat. Setelah dengan kecerdikan ia mendapatkan pedang pusaka Thian-liong-kiam itu, ia harus menjaganya dengan hati-hari. Karena pedang itu mempunyai kegunaan yang besar sekali. Jika sampai direbut oleh Hong Ing, tentu runyam akibatnya. Lebih baik kali ini ia tebalkan muka, menolak tantangan daripada harus mengambil resiko kehilangan pedang itu lagi.
"Ah, aku tak berani menyambut tantangan nona, sukalah nona meluluskan aku turun panggung" katanya seraya menyurut mundur selangkah.
Naiknya Hong Ing ke atas panggung itu karena mendapat petunjuk dari seorang sakti. Ia tak menyangka sama sekali bahwa Cong Tik akan menolak tantangannya. Juga orang sakti yang menganjurkan Hong Ing itupun tak menduga.
Ui Hong Ing terbeliak dan tak tahu bagaimana harus bertindak.
Mengapa secara tiba-tiba Ui Hong Ing muncul di tempat perjamuan? Ternyata setelah melarikan diri dari guha, karena kuatir dikejar musuh-musuh yang lihay, ia terus loncat ke dalam telaga.
Memang permukaan telaga itu tampak tenang airnya tetapi dasarnya sangat deras sekali. Dengan susah payah barulah Hong Ing dapat menghindarkan diri supaya tidak sampai ditelan arus deras dalam dasar telaga itu. Tetapi ia tetap tak mau melambung ke permukaan telaga. Terpaksa dia tahan napas dan setelah merasa kakinya menginjak tempat yang keras, barulah ia membuka mata. Kini ia mendapatkah dirinya berada disebuah aliran yang tenang airnya. Ia heran jaga.
Setelah berjalan beberapa langkah di tempat itu, ia dapatkan bahwa dasar telaga itu terdiri dari tumpukan batu-batu sebesar telur itik.
Beberapa saat kemudian setelah memperhitungkan bahwa orang-orang di atas tentu sudah pergi, barulah ia akan meluncur ke atas. Tiba-tiba ia melihat di sebelah muka seperti ada benda yang bergerak sehingga airpun ikut beriak.
Di dalam air memang sukar untuk melihat sesuatu. Tetapi benda itu bergerak cepat, dalam beberapa kejab sudah dekat ditempatnya. Astaga, kini baru Hong Ing dapat melihat jelas bahwa yang datang itu juga seorang manusia yang bertubuh tinggi besar. Dia dapat berjalan seenaknya saja di dasar telaga.
Ah, diam-diam Hong Ing menghela napas. Dasar telaga yang dikiranya sebuah tempat yang tenang, ternyata juga ada seorang manusia. Entah orang itu kawan atau lawan, tetapi Hong Ing sudah cemas dulu karena dia tak mampu berenang. Dia hanya mengandalkan ilmu Cian-kin-tui atau Tindihan-seribu-kati untuk menyelam dan menggunakan ilmu pernapasan untuk menutup pernapasan. Dengan begitu barulah ia dapat berdiri tegak.
Tetapi pendatang itu berjalan di dasar telaga sambil menggendong tangan, tentulah memiliki ilmu berenang yang tinggi. Hai, tampaknya orang tersenyum kepadanya. Buru-buru Hong Ing hendak meluncur ke atas, tetapi baru setombak tingginya orang itu sudah mengejar.
Hong Ing terkejut. Ia terus gerakkan tangannya memukul ke bawah. Airpun berombak menimbulkan gelombung buih yang banyak. Tetapi celaka, ketika ia hendak mengangkat tangannya, ternyata terasa berat sekali. Dan ketika siku lengannya terasa mengencang, ia tahu kalau dirinya telah ditangkap orang itu. Terpaksa ia menurut saja untuk menyelam ke bawah lagi.
Saat itu Hong Ing sudah di kuasai orang. Kalau orang itu Gok Co thauto, ia masih dapat mengatasi. Ah, mudah-mudahan begitu.
Ia tenang kembali. Tetapi ketika memandang orang itu, karena lupa berada dalam air, ia menjerit kaget, "hiaup..." mulut segera meneguk air. Buru-buru ia tenangkan diri lagi. Ternyata orang itu bukan lain adalah si raja binatang atau Leng-kiam-ki hiap Siang Bong.
Melibat Siang Bong, segera Hong Ing menarik kesimpulan bahwa jejaknya tadi secara diam-diam telah diikuti orang itu. Memang ketika ia lari dikejar orang-orang dari dalam guha tadi, ia melihat sesosok bayangan yang menghilang dengan cepat sekali sehingga tak dapat diketahuinya siapa. Dengan demikian jelas bahwa Siang Bong itu memang sakti sekali.
Diam-diam Hong Ingpun gembira. Hampir saja ia hendak berteriak tetapi ketika mengangakan mulut, ia harus meneguk air lagi. Terpaksa ia gunakan tangan untuk membuat gerak isyarat. Siang Bong memandang dan dengan sebelah tangannya ia menahan lengan Hong Ing lalu meloncat. Hong Ing rasakan telinganya tersibak air. Pada lain kejab, tubuhnya terasa ringan dan tahu-tahu dirinya sudah tiba di mulut guha.
Setelah loncat ke daratan dan mengibas-ngibaskan air yang membasahi pakaiannya, Hong Ing berseru : "Siang tayhiap, engkau juga berada disini ? Sungguh kebetulan sekali, apakah engkau tahu akan rencana dari Gok Co thauto ?"
Siang Bong kerutkan dahi dan mendengus, "Hmm, kalau aku berada di sini itu tak mengherankan. Tetapi kusuruh engkau menunggu aku di gunung mengapa engkau juga datang kemari? Melanggar perintahku, sungguh besar sekali nyalimu!"
Hong Ing tertegun. Diam-diam ia teringat kalau tak mematuhi perintah tokoh itu. Tetapi sebenarnya ia pergi karena tak sengaja telah bertemu dengan Su Ciau. Dalam keadaan seperti waktu itu terpaksa ia tinggalkan gunung dan menemani Su Ciau. Hong Ing tundukkan kepala, diam saja.
"Engkau dan aku memang tak terikat hubungan murid dan guru, tetapi engkau pernah belajar ilmu padaku. Dengan tingkahmu tak mau mematuhi pesan orang yang telah memberi pelajaran kepadamu itu, sungguh tak dapat dimaafkan"
Mendengar nada ucapan Siang Bong begitu keras, diam-diam Hong Ing mencuri pandang melihatnya. Tampak sepasang mata Siang Bong berkilat-kilat memancarkan api, mengerikan sekali. Hong Ing makin ketakutan. Tetapi ia teringat bahwa tadi sewaktu di dasar telaga, jelas ia melihat Siang Bong tersenyum kepadanya, ia heran mengapa saat itu tiba-tiba Siang Bong marah-marah kepadanya.
Hong Ing tahu bahwa orang sakti macam Siang Bong tentu melakukan apa yang telati diucapkan. Tapipun orang semacam itu tentu mempunyai pertimbangan yang bijaksana..Akhirnya ia memutuskan akan menceritakan semua yang telah terjadi, mengapa ia sampai tinggalkan gunung.
Siang Bong medengarkan dengan diam. Setelah selesai, baru ia menghela napas : "Pemuda Tan itu memang jujur".
Mendengar ucapan itu segera Hong Ing menimpali kata-kata :"Siang tayhiap, maukah engkau memaafkan aku ?"
Tiba-tiba Siang Bong miringkan kepala dan berseru perlahan : "Sahabat dari mana yang mencuri dengar pembicaraanku ini ?"
Terdengar suara tertawa dan dari arah kiri segera terdengar orang berseru : "Ah, Siang tayhiap sungguh awas dan tajam sekali pendengarannya. Sungguh tak kecewa diacungkan sebagai pendekar sakti. Hong Ing, jika Siang tayhiap dapat memaafkan tindakanmu lari dari gunung; lalu apakah engkau juga mempunyai alasan mengapa engkau melarikan diri dari guha Siau-yau-tong ?"
Hong Ing segera mengenali suara orang itu. Ya, tak salah lagi, itulah gurunya Siau Yau cinjin. Tetapi bukankah suhunya itu sudah jatuh ke dalam jurang ? Sesaat Hong Ing tak dapat memecahkan soal itu dan tertegun diam.
Dari balik gunduk batu besar yang berada di sebelah kiri, muncul seorang rahib tua. Hong- Ing terkejut. Menilik suaranya mirip dengan gurunya tetapi mengapa mendadak gurunya menjadi seorang rahib wanita ? Benar-benar Hong Ing heran sekali.
"Sudah lama kudengar nama yang besar dari Siau Yau cinjin dari gunung Ke-tiok-san. Sungguh beruntung sekali hari ini aku dapat bertemu. Tetapi mengapa tak mau unjuk diri yang sesungguhnya?" seru Siang Bong.
Tiba-tiba rahib tua itu mengusap mukanya dan seketika tampaklah wajah yang lain. Rupanya rahib itu mengenakan kedok kulit yang halus. Seketika itu juga Hong Ing memburu maju dan berseru: "Suhu, murid mengaku salah, engkau hendak menjatuhkan hukuman apa saja, murid rela menerima! "
Siau Yau cinjin tertawa : "Ho, rupanya karena keluyuran di dunia persilatan, pengalamanmu bertambah banyak. Di hadapan seorang ko-jiu, mengapa engkau masih membawa tingkah kekanak-kanakan ? Apakah engkau tak kuatir ditertawai Siang tayhiap ?"
Mendengar nada suara gurunya tak marah, Hong Ing menyeringaikan muka setan lalu berseru: "Siang tayhiap hanya memberi pelajaran kepadaku tak mungkin menertawakan aku. Suhu, engkau telah terhantam jatuh ke dalam jurang oleh Toho mengapa mendadak datang kemari dan menyamar sebagai seorang rahib ?"
Siau Yau cinjin menerangkan : "Waktu jatuh ke dalam jurang, jika tak ada sebatang pohon yang merintang, tentu sudah mati. Setengah tahun kemudian, baru aku dapat melenyapkan racun yang berada dalam tubuhku. Setelah itu baru aku naik ke atas lagi. Engkau sudah tak ada. Aku segera mencari jejakmu dan Toho kemana-mana. Baru kemarin aku tiba disini."
"Bagus" seru Hong ing, "Apakah suhu tak mencari Toho ?"
"Itulah sebabnya aku menyaru sebagai seorang rahib begini." kata Siau Yau cinjin, "kutahu dia memang di sini hendak mengadu kepandaian dengan Poan-hong-poh." Sudah tentu aku akan membuat perhitungan dengan Lhama itu tetapi tunggu setelah dia selesai bertanding lawan Poan-hong-poh."
Tiba-tiba Siau Yau cinjin berpaling ke arah Siang Bong, ujarnya: "Siang tayhiap jika engkau hendak menghukum muridku, silahkan. Anak ini memang manja dan liar sekali, harus mendapat pelajaran".
Hong Ing leletkan lidah : "Suhu, engkau tidak memintakan maaf, kebalikannya malah suruh Siang tayhiap menghukum aku. Apakah kita sudah tak ada rasa sayang antara guru dan murid ?"
Sian Yau ciujin dan Siang Bong benar-benar terkocok perutnya mendengar kata-kata itu. Keduanya tertawa gelak-gelak.
Hong Ing lalu menceritakan tentang persekutuan jahat dalam guha. Setelah mereka bertiga merundingkan siasat, barulah mereka tinggalkan tempat itu.
Saat itu hari sudah menjelang petang. Dari jauh terdengar genta bertalu-talu, suatu tanda bahwa perjamuan yang diadakan Poan-hong-poh sudah dimulai.
Sambil mengenakan kedok kulit, Siau Yau cinjin berkata : "Aku akap berjalan dulu, kalian menyusul belakangan."
Setelah Siau Yau cinjin pergi, barulah Hong Ing dan Siang Bong keluar. Saat itu karena mengetahui suhu dan Siang Bong berada dipulau situ, hati Hong Ing gembira sekali. Ia ingin melihat suatu peristiwa besar dalam pulau itu.
"Siang tayhiap" serunya, "Bagaimana kalau kita melihat-lihat keramaian disana? Perlu apa kita harus sembunyi disini?"
Siang Bong tertawa : "Tunggu dulu. Ketika hendak meninggalkan gunung, pernah aku menjanjikan hendak memberimu suatu senjata pusaka. Sekarang kutanya, engkau mau atau tidak?"
"Sudah tentu mau" seru Hong Ing.
"Senjata itu terdiri dari tujuh batang pedang besar kecil yang amat tajam sekali. Namanya disebut Ki-bun-kiam."
"Hai. kiranya Siang tayhiap sudah menemukan Ki-bun-kiam itu ?" teriak Hong Ing terkejut. Siang Bong gelengkan kepala.
"Belum mendapatkan" katanya, "jangan terburu nafsu dan dengarkanlah aku bicara"
"Lekas bilang, lekaslah bilang" Hong Ing setengah merengek-rengek.
Siang Bong seorang tokoh yang bijaksana. Walaunun tingkah laku Hong Ing itu kurang layak terhadap seorang cianpwe, tetapi iapun tak marah, serunya : "Mendengar Toho hendak meminjam pulau Kyoto ini kepada Poan-hong-poh, segera aku merangkai dugaan bahwa tentu ada udang di balik batu. Aku segera mencari Toho. Akhirnya pada malam itu aku diam-diam telah datang ke tempatnya. Kebetulan aku dapat mendengar dia sedang berunding dengan seorang pemuda, ternyata tujuannya untuk meminjam pulau Kyoto itu tak lain karena hendak mencari pedang Ki-bun-kiam.
"Ah, mungkin tidak" seru Hong Ing "Karena Poan-hong-poh sendiri pernah menuju ke Tiong-goan karena mendengar soal ki-bun-kiam. Jika pedang itu berada dipulau Kyoto tentu sudah diketemukan nenek tua itu"
"Dengan ilmu meringankan-tubuh yang tinggi aku bersembunyi di samping rumahnya. Kurasa mereka tentu tak tahu. Apa yang mereka berdua rundingkan, tentulah sungguh-sungguh. Pedang Ki-bun-kiam itu sebenarnya milik Kim-coa Hoa Ceng yang di luar tahunya Pat-pi-kim-kong telah mengangkut pedang itu ke pulau Kyoto. Kemudian Hoa Ceng dan Pat-pi-kim-kong bertempur hingga sama-sama mati di gunung Cek-bi-san".
Mendengar sampai disitu, Hong Ing ternganga, kemudian bertanya: "Jika begitu pedang Ki-bun-kiam itu milik ayahku? Ayah dan Pat-pi-kim-kong sama-sama mati ? Siang tayhiap, bagaimana engkau tahu peristiwa itu?"
"Anak muda itu yang menceritakan kepada Toho".
Hong Ing tahu bahwa Siang Bong tentu tak mau bohong. Dan ia menduga bahwa anak muda itu tentulah Cong Tik. Iapun tahu bahwa pelana bertabur mutiara itu pernah jatuh ditangannya dan direbut Cong Tik. Kedelapan mutiara yang mengandung rahasia itu akhirnya jatuh di tangan Cong Tik.
Merenungkan hal itu, ia makin merasa pasti bahwa apa yang diceritakan Siang Bong itu memang benar semua. Ia menghela napas.
Siang Bong berkata : "Oleh karena pedang Ki-bun-kiam itu berada di pulau ini, maka kita tentu dapat mencarinya. Perlu apa engkau bersedih. Kulihat engkau tangkas dan lincah, mempunyai bakat untuk mengolok orang. Aku akan memberi pelajaran kepadamu ilmu merebut senjata. Nanti apabila berkelahi, engkau boleh menggunakannya."
Mendengar itu girang Hong Ing bukan kepalang. Dengan sungguh-sungguh ia segera mempelajari ilmu itu. Demikian dalam waktu singkat, Hong Ing telah bertambah sebuah ilmu kepandaian.
Cerita Siang Bong tak bohong, dia memang mendengar pembicaraan Cong Tik dengan Toho, tetapi pemuda itu memang licik sekali. Ia hanya menceritakan setengah bagian saja dan mengatakan bahwa pedang Ki-bun-kiam yang tersimpan di pulau Kyoto itu hanya lima batang. Tentang pedang Thian-liong-kiam yang berada ditangan Tay To hweshio dan pedang kecil dari ketujuh pedang Ki-bun-kiam yang berada ditangannya itu, dia tak mau menceritakan kepada Toho.
Setengah jam kemudian setelah dapat mempelajari ilmu dengan tangan kosong merebut senjata musuh itu, Hong Ing lalu bersama Siang Bong menuju ke lapangan perjamuan. Saat itu Cong Tik sudah bertempur dengan Su Ciau. Semua tetamu tahu bahwa pertempuran itu memakai pertaruhan pedang yang ditangan Su Ciau.
"Jika pemuda she Tan itu kalah, segeralah engkau naik ke panggung dan merebut pedang itu dari tangan Cong Tik, gunakan ilmu merebut senjata yang baru saja kuajarkan tadi," kata Siang Bong.
Hong Ing menganggap tak mungkin Su Ciau kalah. Tetapi diluar dugaan tampak permainan Su Ciau makin lama makin kalut sehingga akhirnya pedang dapat direbut Cong Tik. Hong Ing gugup, tanpa menunggu perintah Siang Bong lagi ia terus loncat ke atas panggung dan menentang Cong Tik. Tetapi pemuda yang licin itu menolak.
Hong Ing tertegun. Memandang ke arah Su Ciau, dilihatnya pemuda itu mendekap tangan kanan dengan tangan kirinya, wajahnya menyeringai kesakitan. Hong Ing menduga pemuda itu tentu terkena senjata rahasia tetapi karena tak terdapat tanda-tanda luka, sukar untuk dibuktikan.
Diam-diam Hong Ing memutuskan, takkan melepaskan Cong Tik.
"Tidak bisa" serunya, "jika engkau mampu merebut pedang dari tangannya apakah aku tak mampu merampas pedang itu dari tanganmu? Jangan banyak bicara, lekas bersiap!"
Cong Tik menyurut mundur tiga langkah. Tanpa menghiraukan Hong Ing, ia terus mengangkat tangan memberi hormat ke bawah panggung, serunya "Para enghiong sekalian, adakah pantas kalau seorang sudah menyerah kalah lalu ada lain orang, hendak mendesak mengajak berkelahi? Mohon para enghiong suka memberi keputusan".
Memang dalam persatuan, Cong Tik lebih kuat. Walaupun ada beberapa orang yang mengetahui tujuan Cong Tik menentang berkelahi Su Ciau itu tak lain hanya hendak merebut pedang pusaka, tetapi sebagian orang hanya diam saja.
Ada pula sebagian orang yang hendak cari muka kepada Toho, segera berseru: "Yang hadir disini adalah para jago-jago silat semua. Kalau mau berkelahi mengapa tak mau menantang orang lain ?"
Sesaat Hong Ing hendak nekat menyerang Cong Tik, tiba-tiba Su Ciau rnengerang kesakitan. Hong Ing cepat berpaling. Tampak wajah Su Ciau makin menyeramkan, keringat bercucuran deras. Ia memang kasihan pada pemuda itu maka iapun segera menghampiri dan menegur: "Su Ciau, kenapa engkau?"
Sambil menunjuk pada langan kanan, Su Ciau menyahut perlahan: "Aku tak tahu entah terkena senjata rahasia apa? Hong Ing, sudahlah, biarkan dia mengambil pedang itu, apa gunanya ?"
Su Cia kuatir Hong Ing akan berkelahi dan akan menderita luka seperti dirinya. Saat itu lengannya yang mati rasa sudah sembuh, tetapi sekarang terasa sakit sekali dan juga gatal, seperti dijalari ratusan ekor semut yang berjalan mondar mandir.
Hong Ing berpaling, ah, ternyata Cong Tik sudah loncat turun. Karena menganggap percuma saja mengejarnya maka lebih baik ia menolong Su Ciau.
"Su Ciau, ada seorang yang sakti hadir di sini, sekalipun engkau menderita luka yang lebih hebat, dia tentu dapat menyembuhkan, jangan kuatir!" serunya kepada Su Ciau.
Karena merasa bahwa diantara keluarganya dengan keluarga Hong Ing terdapat suatu dendam darah, maka Su Ciau merasa tak enak hati.
"Aku terkena senjata rahasia apa saja tak tahu, bagaimana aku harus minta tolong orang suruh mengobati ?" katanya.
"Kuatir apa ? Leng- kiam-ki-hiap dan suhuku berada di sini, masakan tak mampu mengobati lukamu ? Lekas ikut aku."
Ia terus menarik tangan Su Ciau diajak loncat turun panggung lalu menuju ke sebuah meja. Disitu yang duduk hanya Siang Bong seorang.
Pernah Su Ciau mendengar orang mengagungkan Siang Bong itu sebagai Peh-tok-siu-ong atau raja-binatang-seratus-racun. Tetapi belum pernah melihat orangnya. Kini setelah berhadapan dengan seorang lelaki yang bertubuh tinggi besar yang mengenakan pakaian seperti orang desa, Su Ciau merasa heran. Namun dengan hormat ia menegur : "Siang tayhiap...."
Siang Bong tertawa: "O, inikah yang engkau katakan Tan kongcu itu ? Kiranya seorang pemuda yang jujur."
Mendengar dirinya dipanggil Tan kongcu, Su Ciau tersipu-sipu mengucapkan kata merendah.
Siang Bong tertawa : "Ah, baru memuji engkau seorang pemuda jujur, sekarang sudah mulai berminyak mulut."
Ia terus menyambar lengan kanan Su Ciau dan memeriksanya.
Seketika berubahlah wajah tokoh itu. Serunya perlahan : "Su Ciau, yang bertempur dengan engkau tadi ternyata anak murid perguruan Bi-cong-pay dari Tibet."
"Mengapa Siang tayhiap mengatakan begitu?" Su Ciau terkejut juga, "Dia murid dari Bu Wi Lhama, cucu murid Toho !"
Berkata Siang Bong pula : "Luka yang diderita Su Ciau adalah akibat dari senjata rahasia Bu-im-sin-ngo dari perguruan Bi-cong di Tibet yang tak pernah diajarkan pada orang. Untung aku di sini, jika tidak, sebelah lenganmu itu dalam sejam lagi tentu akan lumpuh selama-lamanya. Dan kalau keliru mengobati, luka pada lenganmu itu akan menyusup ke dalam saluran darah dan masuk ke dalam. Engkau pasti akan menderita luka parah. Sekarang tutuplah hawa murnimu, desaklah tusukan lubang kecil itu supaya keluar, baru engkau selamat.''
Su Ciau buru-buru menurut perintah. Siang Bongpun segera ulurkan tangannya dilekatkan pada lengan Su Ciau. Seketika Su Ciau rasakan seperti terkena dua keping baja bakar, sakitnya bukan kepalang sehingga keringatnya bercucuran deras.
Dengan kedua tangannya Siang Bong memijat dan menekan-nekan lengan sampai ke siku Su Ciau lalu berhenti. Tak berapa lama keluarlah sebatang jarum yang amat halus sekali dari lengan anak muda itu. Melihat itu Hong Ing segera hendak mencabutnya tetapi dibentak Siang Bong: "Jangan sembarang bergerak !"
Beberapa kejab kemudian barulah jarum lembut itu keluar seluruhnya dari lengan Su Ciau. Siang Bong mencabutnya dan memberikan kepada Hong Ing. Sebatang jarum yang lembutnya seperti bulu bambu.
"Untung engkau hanya terkena sebatang" kata Siang Bong, "Jika sampai terkena seratus batang dan mengenai jalan darah yang berbahaya, akupun tak dapat menolongmu lagi. Tetapi walaupun hanya sebatang, lawanmu itu keji sekali, harus diberi pengajaran yang sesuai."
Ucapan jago sakti itu mengingatkan Hong Ing akan tingkah laku Cong Tik selama ini. Sudah berulang kali ia hampir celaka dan dikelabuhi mulut manis dari pemuda Cong Tik itu. Setelah mengetahui betapa ganas hati pemuda itu, Hong Ingpun gemas juga.
Setelah jarum Bu-im-sin-ngo dikeluarkan, lengan Su Ciaupun dapat digerakkan lagi.
Saat itu rombongan Toho amat gembira sekali. Gok Co thauto merasa bahwa saat itulah kesempatan yang baik untuk mencari muka kepada Toho.
Ia berdiri lalu menuangkan arak dan berkata: "Para hohan sekalian, jago dari kuil Ko-liong-si, sekali keluar saja sudah memperoleh pedang pusaka Thian-liong-kiam. Peristiwa ini patut kita rayakan dengan gembira. Mari kita minum untuk memberi selamat."
Paderi itu mengajak kawan-kawannya minum arak. Dia memuji keberhasilan Cong Tik merebut pedang Su Ciau tetapi tak menyinggung tentang kelicikan Cong Tik yang takut menerima tantangan Hong Ing.
Hong Ing bersikap tak acuh. Diantara sejumlah besar dari para hadirin yang ikut menyambut ajakan Gok Co thauto untuk meneguk arak, dilihatnya terdapat juga tacinya Cin Hong Ing. Diperhatikan juga bahwa Cin Hong Ing memandang Cong Tik dengan pandang mata yang berarti.
Melihat sekian banyak hadirin yang menerima ajakannya, Gok Co thauto makin gembira. Pada saat ia mengangkat cawan dan hendak meneguk, tiba-tiba Siang Bong membisiki Hong Ing dan Su Ciau: "Paderi itu menjemukan sekali !"
Hong Ing dan Su Ciau sempat memperhatikan bahwa dalam telapak tangan Siang Bong terdapat sebiji Lian-cu (biji teratai). Sekali menjentik dengan jari tengah, lian-cu itupun tanpa mengeluarkan sedikit suara, telah melayang ke arah Gok Co thauto. Cepatnya bukan kepalang.
Saat itu Gok Co thauto habis meminum araknya dan hendak meletakkan cawan. Tiba-tiba lian-cu itupun telah membentur pantat cawan, tring....
Tampaknya lian-cu itu hanya biasa saja. Tetapi Siang Bong telah mengisikan tenaga-dalam pada jarinya. Ketika membentur cawan, tenaga dalam itupun segera bekerja. Cawan seperti didorong tenaga kuat sehingga melambung ke atas. Gok Co terkejut dan cepat-cepat kerahkan tenaga untuk mencengkeram cawannya. Tetapi terlambat. Cawan itu dengan keras membentur mulutnya tepat pada gigi depan.
"Wahhh" ia menjerit dan mulutnya berlumuran darah. Ketika meraba, ternyata empat biji gigi depan atas dan bawah telah rompal. Sakitnya bukan kepalang.
Selama hidup dia disanjung rakyat Biau sebagai raja. Rakyat Biau mempersembahkan gelar Thian-sin (malaekat langit) kepadanya. Waktu ia berjalan, semua penduduk harus berlutut sebagai pemberian hormat. Sudah tentu ia tak mau menerima hinaan yang diderita seperti saat itu.
Brakkkk, ia menghantam meja sehingga meja besar berbentuk segi-delapan dan terbuat dari kayu mahoni yang keras, telah berlubang besar. Keping hancuran meja itu beterbangan keempat pen juru.
"Kawanan tikus dari mana yang berani menyerang secara licik ini ?" teriaknya seperti singa mengaum.
Sekalian hadirin juga heran. Mereka tak tahu siapakah yang berani menghina paderi itu. Tuduhan segera jatuh pada diri nenek Poan-hong-poh dan Lim Sam Kho. Tetapi tadi sekalian hadirinpun melihat juga meluncurnya sinar putih ke arah cawan Gok Co, jelas arahnya bukan dari tempat duduk Poan-hong-poh dan Lim Sam Kho.
Menurut arah dari sinar putih itu, dari beberapa meja tak tampak barang seorang tokoh yang menonjol. Sedang meja yang paling jauh letaknya diduduki oleh seorang lelaki setengah tua, berwajah terotolan dan bertubuh tinggi besar. Dia duduk bersama seorang anak perempuan dan seorang pemuda. Tiada seorangpun yang menganggap mereka bertiga itu mampu melakukan perbuatan menghina Gok Co tadi.


Pendekar Banci Karya Sd Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tetapi tokoh-tokoh semacam Toho Lhama, Lim Sam Kho, Poan-hong-poh dan Siau Yau cinjin, tentu tak mungkin dikelabuhi oleh permainan Siang Bong itu. Tetapi Lim Sam Kho, Poan-hong-poh dan Siau Yau cinjin duduk membelakangi Siang Bong. Sedang Toho Lhama pada saat terjadinya peristiwa itu sedang bersama-sama Gok Co thauto mengangkat cawan dan minum arak, sehingga tak melihat sinar putih yang membentur cawan Gok Co.
Karena tiada yang menyahut, Gok Co makin marah. Tetapi ia tak tahu siapakah yang telah menyerangnya secara menggelap itu. Terpaksa ia duduk lagi namun mulutnya masih menghambur makian tiada berkeputusan. Suasana perjamuan menjadi tegang. Orang-orang kuatir akan segera meletus pertempuran. Apabila Gok Co tak mempunyai rencana akan turun tangan setelah nanti Toho memenangkan pertandingan lawan Poan-hong-poh, tentulah saat itu dia sudah mengamuk.
Dalam pada itu Hian-li Lim Sam Kho diam-diam juga heran, siapakah yang melakukan perbuatan tadi. Karena di mejanya hanya terdapat rahib tua maka dengan berbisik ia bertanya: "Tahukah taysu, siapakah yang telah memberi pelajaran pada Gok Co thauto tadi?"
Rahib tua yang bukan lain adalah penyamaran dari Siau Yau cinjin, segera menyahut "Tetapi harap engkau jangan memberitahu kepada lain orang. Walaupun aku sendiri tak melihat tetapi peristiwa itu kebanyakan tentu dilakukan oleh Leng-kiam ki-hiap Siang Bong. Jika bukan dia, siapa lagikah dalam dunia persilatan yang memiliki kepandaian sesakti itu ?"
Lim Sam Kho terkejut: "Apakah dia juga datang kemari ? Dan apakah taysu suka memberi tahu nama taysu yang mulia?"
"Namaku yang bagian atas adalah Siau dan bagian bawah Yau, tempat tinggalku di gunung Ke-tiok-san."
Lim Sam Kbo makin terperanjat, "Tetapi mengapa taysu seorang rahib? Dan kudengar taysu telah dicelaki oleh Toho".
"Agar Toho jangan mengetahui kedatanganku, aku hendak mengejutkan dia. Ya, memang aku belum ditakdirkan mati di jurang," sahut Siau Yau cinjin.
Lim Sam Kho baru jelas. Diam-diam ia menyadari bahwa saat itu di pulau Kyoto telah berkumpul berbagai tokoh-tokoh persilatan yang sakti.
Karena melihat suhunya hanya mengurusi si rahib tua, rupanya Cin Hong Ing tak sabar lagi, serunya : "Suhu, apakah yang suhu rundingkan dengan rahib tua itu. Perjamuan sudah hampir selesai, mari kita pergi."
Cin Hong Ing itu teringat akan janji Cong Tik yang malam itu hendak mencarinya untuk memberitahu tentang rahasia keluarganya.
Karena melihat sudah ada beberapa tetamu yang tinggalkan perjamuan maka Lim Sam Khopun mengiakan. Dengan berbisik mohon diri pada Siau Yau cinjin, kemudian bersama Tang Pui Leng dan Cin Hong Ing, ia segera kembali ke tempat penginapannya. Tetamu-tetamu yang lainpun berturut-turut tinggalkan perjamuan.
Setiba di tempat penginapan, Cing Hong Ing minta sebuah kamar sendiri untuknya. Dan karena hendak mencari anaknya yang seorang (Ui Hong Ing) maka Tang Pui Lengpun keluar. Tetapi tak dapat menemukannya.
Sementara itu karena menduga Cong Tik nanti tengah malam tentu datang maka Cin Hong Ing tak tidur. Sebentar ia menyisir rambut, sebentar memantas-mantas pakaian. Setelah menunggu beberapa lama akhirnya pada tengah malam dari luar jendela terdengar suara orang berseru pelahan: "Nona Hong Ing!"
Hati Cin Hong Ing mendebur keras. Ia tak tahu mengapa harus merasa begitu. Buru-buru ia menuju ke muka jendela dan berseru : "Siapa ?"
"Aku" sahut orang di luar jendela.
Setelah jelas mengenalinya sebagai nada suara Cong Tik, Cin Hong Ing membuka jendela. Tampak Cong Tik berdiri di serambi. Hati Cin Hong Ing makin kebat kebit tetapi ia berusaha untuk menekan dan pura-pura bersikap dingin: "O, engkau yang datang? Silahkan masuk."
Mata Cong Tik yang tajam segera dapat memperhatikan bahwa selimut dan tempat tidur dalam ruang itu belum terjamah. Jelas nona itu tentu belum tidur dan menunggu kedatangannya.
Sebenarnya bagi seorang pemuda yang dirundung asmara, keadaan itu tentu menggirangkan sekali. Tetapi tujuan Cong Tik menemui Cin Hong Ing bukan bermaksud hendak mencumbuinya melainkan hendak mencari keterangan tentang pedang ki-bun-kiam. Maka iapun curiga atas penyambutan Cin Hong Ing.
"Tengah malam kita berdua berada dalam kamar, walaupun aku sangat mengindahkan dan berterima kasih kepada nona, tetapi apabila ketahuan orang, tentu kurang baik. Lebih baik kita cari tempat yang sesuai di lain tempat agar dapat kuceritakan dengan jelas soal itu kepada nona. Apakah nona setuju?" katanya.
Merah wajah Cin Hong Ing. Diam-diam ia menganggap kata-kata Cong Tik itu memang benar. Cepat ia loncat keluar jendela dan keduanya segera menuju ke tepi laut.
Saat itu ombak beralun tenang, rembulan purnama raya. Sungguh suatu saat yang amat romantis sekali. Setelah mencari tempat yang sesuai, mereka duduk di atas segunduk batu besar.
"Ketika di gunung Hongsan tempo hari, Cong Tik mulai membuka pembicaraan, "aku telah melakukan perintah orang. Siapa orang itu tentulah nona sudah kenal. Orang itu bukan lain adalah pemuda Tan Su Ciau yang tadi dapat kurebut pedangnya !"
Cin Hong Ing menanggapi dengan tertawa dingin, serunya : "Tadi waktu berada di perjamuan engkau mengatakan bukan kehendakmu sendiri, memang aku sudah menduga kalau Tan Su Ciau."
Sejenak Cong Tik memandang ke sekeliling, lalu dengan sikap pura-pura seperti rahasia, ia berkata "Akan kuperlihatkan kepada nona sebuah benda..''
Ia merogoh saku dan mengeluarkan tiga batang Coh-hay-ting atau senjata rahasia yang berbentuk seperti paku buah Ang-coh.
Cin Hong Ing terkejut : "Hai, apakah itu bukan senjata rahasia yang digunakan oleh Pat-pi-kim-kong, ayah Su Ciau ?"
"Benar" sahut Cong Tik. "Tahukah nona di mana dan bagaimana ayah nona telah binasa?"
"Kalau mamahku tak tahu, bagaimana aku tahu ?" kata Cin Hong Ing.
"Apa?" teriak Cong Tik terkejut sekali, "mamah nona tak tahu berita kematian ayahmu ? Apakah mamah nona tak pernah menemukan surat yang ditinggalkan mendiang ayah nona ?"
Karena rasa kejut sampai diluar kesadarannya Cong Tik telah terlepas mengatakan tentang surat peninggalan dari Hoa Ceng.
"Surat apakah itu ? Sebenarnya bagaimanakah kematian ayahku itu ?" desak Cin Hong Ing.
Rupanya Cong Tik cepat menyadari kesalahan lidahnya maka ia segera menyusuli "Ketika di gunung Cek-bi-san aku pernah menemukan sesosok tulang kerangka, pada tulang iganya masih melekat tiga batang coh-hay-ting."
Mendengar itu karena tegang Cin Hong Ing terus mecekal lengan Cong Tik dan berseru: "Bagaimana ?"
Kesempatan itu segera digunakan sebaik-baiknya oleh Cong Tik. Ia merangkai suatu cerita :"Di sisi kerangka itu, diatas tanah terdapat guratan huruf-huruf tulisan tangan yang berbunyi ?Yang mencelakai aku adalah Pat-pi-kim-kong .. dari Hoa Ceng untuk isterinya yang tercinta? dan lain-lain tulisan.
Serentak Cin Hong Ing melonjak bangun dan dengan menggeram ia berseru : "Binatang itu telah menganiaya kami sampai harus menderita nasib yang mengerikan. Hutang ayah, anak yang harus membayar. Tan Su Ciau tentu takkan kulepaskan."
Diam-diam Cong Tik girang. Biarlah nona itu bertempur dengan Su Ciau. Maka ia menawarkan bantuannya juga : "Apabila nona memerlukan tenagaku, sekalipun harus menerjang lautan api aku tentu takkan menolak. Mungkin karena ayah nona mempunyai pusaka maka dia telah dicelakai orang. Pedang Ki-bun-kiam itu terdiri dari tujuh batang pedang besar kecil, merupakan benda pusaka yang jarang terdapat di dunia. Harap nona baik-baik menjaganya, jangan sampai terlihat orang. Hati orang sukar diduga, yang penting kita harus berhati-hati."
"Ki-bun-kiam ?" Cin Hong Ing terkejut, ''aku tak tahu di mana pedang itu bahkan melihatnyapun belum pernah !"
Cong Tik yang tajam matanya segera mengetahui bahwa nona itu memang tak bohong. Diam-diam ia kecewa dan putus asa. Menengadah memandang ke langit, ia berkata : "Ah, malam sudah larut, harap nona kembali beristirahat di penginapan. Besok pagi setelah thay-susiok menjadi penguasa pulau ini, aku tentu akan menjalankan kewajiban sebagai tuan rumah untuk menjamu nona."
Sekalipun dalam hati ingin berada lebih lama dengan Cong Tik, tetapi Cin Hong Ing berat untuk membuka mulut. Terpaksa ia berbangkit dan berjalan dengan langkah sarat.
Setelah nona itu jauh, Cong Tik masih merenung. Ternyata Cin Hong Ing dan Tang Pui Leng tak tahu tentang pedang Ki bun-kiam. Untuk mencari kelima pedang ki-bun-kiam dan sejilid kitab di pulau Kyoto yang sedemikian luasnya, tentu sukar sekali. Bahwa dua dari ketujuh pedang Ki-bun-kiam itu sudah dimilikinya, sebenarnya ia sudah harus merasa puas. Tetapi ia anggap hal itu merupakan suatu berkah kepada dirinya. Ketujuh batang pedang itu harus jatuh di tangannya semua.
Beberapa saat terlongong-longong memikirkan hal itu tiba-tiba ia teringat sesuatu. Selama ini Poan-hong-poh melarang setiap orang datang ke pulau Kyoto. Oleh karena itu tentulah Hoa Ceng secara diam-diam menyembunyikan di pulau, bukan di bagian pedalaman atau tengah-tengah pulau. Kemungkinan bahkan di pesisir pantai. Merangkai kesimpulan itu, serentak bangkitlah semangatnya dan iapun loncat bangun.
Saat itu rembulan sudah mulai condong ke barat. Pesisir pulau Kyoto tampak keputih-putihan seperti perak warnanya. Selekas bangun, Cong Tikpun menunduk memandang ke bawah. Ia terkejut dan hampir tak percaya akan pandang matanya. Saat itu ternyata di sisi bayangan tubuhnya, tampak pula sesosok bayangan orang lain. Cepat ia berpaling ke belakang dan segera ia melihat seorang lelaki setengah tua, bertubuh tinggi besar dan muka penuh terotolan tengah berdiri di belakang.
Ah, ia terkejut dan menyurut mundur selangkah ketika mengenali orang itu bukan lain adalah Siang Bong, yang pernah dijumpainya ketika di gunung Tay-pat-san.
"Siang .. tayhiap .." serunya tersendat.
Siang Bong mendengus, "Hm, waktu kita berjumpa tempo hari, pernah kunasehati supaya engkau menjadi seorang jujur, tetapi mengapa engkau tak bersama gurumu Bu Wi lhama, mensucikan diri di kuil Ko-Liong-si sebaliknya malah bersama Toho melakukan kejahatan di dunia persilatan ?" tegur Siang |Bong.
"Aku tidak melakukan kejahatan buru-buru Cong Tik membantah."
"Hm" dengus Siang Bong, "membanggakan diri dengan tangan kosong hendak merebut pedang orang, tetapi diam-diam menggunakan Bu-im-sin-ngo dari perguruan Bi cong pay untuk mencelakai orang. Apakah engkau mampu mengelabuhi mataku ? Ketahuilah, pedang Ki-bun-kiam itu akan kuberikan pada lain orang, maka percuma saja sekalipun engkau berbasil memperolehnya. Dimana tempat simpanan pedang itu, lekas engkau katakan saja. Senjata pusaka semacam itu tak pantas menjadi milik manusia rendah semacam dirimu."
Gemetarlah Cong Tik mendengar kata-kata Siang Bong itu, serunya tersekat-sekat: "Aku tak tahu di mana pedang itu disimpan!" sambil berkata iapun menyurut pula selangkah ke belakang. Ia pura-pura ketakutan sekali tetapi diam-diam ia siapkan pedang Thian-liong-kiam. Pikirnya, walaupun Siang Bong itu sakti sekali, tetapi tak mungkin mampu menghadapi ketajaman pedang pusaka itu.
Rupanya Cong Tik sudah tak dapat menahan diri lagi. Ia terus menarik pedang Thian-liong kiam dan sembari berseru meminta maaf, ia terus menyerang Siang Bong.
Tetapi alangkah kejutnya ketika tubuh Siang Bong yang tinggi besar itu tiba-tiba lenyap dari pandang matanya. Celaka ia mengeluh dalam hati. Cepat ia hendak melarikan diri saja tetapi sudah terlambat. Seketika ia rasakan tengkuk kepalanya mengencang dan tahu-tahu sudah dicekal tangan Siang Bong lalu diangkat. Ia rasakan kaki tangannya lunglai tak bertenaga, tring ... pedang Thian liong-kiampun jatuh ke tanah, menancap ke dalam pasir sampai separuh bagian.
"Siang tayhiap, ampunilah jiwaku !" serunya meratap.
Siang Bong tertawa dingin, "Huh, manusia tak berguna semacam engkau, tentu sukar mati ditanganku ....."
Bluk. ia lepaskan cengkeramannya dan tubuh Cong Tikpun jatuh ke tanah pasir. Walaupun tak sampai mati tetapi cukup menderita kesakitan.
Beberapa saat kemudian, Cong Tik tak mendengar suara apa-apa lagi. Ia memberanikan diri mengangkat muka memandang ke muka, ah, ternyata Siang Hong sudah tak berada disitu. Sedang pedang Thian-liong-kiam masih berkilat-kilat tertanam di tanah tak jauh dari tempatnya.
Bermula Cong Tik tak percaya kalau dirinya masih hidup atau mungkin dia sedang bermimpi. Setelah mengoyang-goyangkan kepala berulah ia percaya kalau dirinya masih hidup dan sadar.
Ternyata Siang Bong memang berhati tinggi. Dia tak mau membunuh manusia semacam Cong Tik, hanya mengotori tangannya saja. Maka setelah mengetahui bahwa Cong Tik memang tak tahu tempat penyimpanan pedang Ki-bun-kiam itu, iapun lalu melepaskannya dan terus pergi.
Dia hendak menantikan kesudahan pertempuran besok pagi. Kalau Toho yang menang, diapun akan meniru perbuatan Toho, akan meminjam pulau itu selama satu bulan. Atau kalau Toho berhasil menemukan pedang itu, ia akan merebutnya saja. Dan apabila Poan Hong-poh yang menang ia akan menerangkan dengan terus terang, tentulah nenek itu akan menurut.
Memang Siang Bong telah mengatur rencana dengan baik tetapi ternyata telah terjadi suatu peristiwa yang tak terduga-duga. Setelah dia pergi Cong Tikpun berbangkit dan menghela napas longgar. la tak malu karena kalah dengan seorang tokoh sakti semacam Siang Bong.
Ia menghampiri ke tempat Thian-liong-kiarn dan mencabutnya. Tiba-tiba ia terbeliak karena teringat sesuatu yang aneh. Menilik pedang Thian-liong-kiam yang begitu tajam, tentulah pesisir itu akan tembus. Tetapi mengapa pada waktu jatuh ke tanah, hanya separoh batang pedang itu yang terbenam ke tanah ? Apakah dalam tanah pesisir itu terdapat sesuatu benda yang keras ?
Cepat ia membungkuk dan mencabut pedang itu. Krek... terdengar bunyi macam pedang tercabut dari genggaman suatu benda yang keras. la menarik pedang itu dan mengungkitkannya kian kemari seperti membuat lubang.
Setelah berhasil membuat lubang, segera ia melihat sebuah kotak batu. Bukan main ketegangan hati Cong Tik. Ia kerahkan tenaga membuka tutup kotak batu itu. Tampak dalam kotak batu itu terdapat tujuh buah lekukan, yang paling besar dan yang paling kecil sudah kosong, sedang yang lima masih terisi lima batang pedang pusaka.
Girang Cong Tik bukan kepalang. Segera ia mengambil kelima pedang itu, disimpan dalam baju. Pada pedang yang keempat, ia mendapatkan pula sebuah kitab kecil bersampul sutera halus. Membuka halaman yang pertama, dilihatnya gambar seorang lelaki yang tengah bermain seperti tukang sulap, melemparkan keenam pedang ke udara sedang pedang yang panjang yang bentuknya mirip dengan pedang Thian-liong-kiam, masih dipegangnya. Pada kedua samping gambar itu tertulis beberapa huruf berbunyi:
Ilmu pedang Ki-bun-kiam-hwat.
Karya bersama : Jit-sing-cu, To-Leng Sui dan keempat Swat San Su Hiap di puncak gunungTay-swat-san.
Takut kalau terlihat orang, cepat Cong Tik menyimpannya, menimbuni kotak batu itu dengan pasir lagi sehingga tak kentara. Setelah itu ia kembali ke tempat penginapannya. Diam-diam ia menimang, karena ketujuh pedang itu sudah diperolehnya, apa bila ia mempelajari kitab ilmu permainannya tak lama, walaupun Siang Bong tentu dapat dikalahkannya.
Karena dimabuk kegirangan, begitu masuk ke dalam kamar ia tak menyalakan lampu melainkan lebih dulu ia membungkus pedang dan kitab itu dengan hati-hati lalu disimpan dalam baju. Ia hanya mengeluarkan pedang Thian-Liong-kiam untuk sewaktu-waktu digunakan.
Setelah itu baru ia naik ke ranjang tetapi bagaimana mungkin ia dapat tidur ? Ia ingin sekali untuk mempelajari halaman pertama dulu. Tetapi pada lain kejab ia teringat bahwa tempat di situ kurang layak, banyak orangnya. Kalau sampai dilihat orang. celaka. Maka ia berusaha untuk menindas keinginannya. Menjelang fajar ketika hampir saja ia hendak tidur tiba-tiba terdengar genta bertalu. Ah, tentulah pertandingan antara Toho dan Poan-hong poh sudah akan dimulai.
Sebenarnya saat itu ia sudah tawar tentang hasil pertempuran itu. Tetapi kuatir kalau tak hadir tentu akan menimbulkan kecurigaan orang, terpaksa ia bangun dan keluar. Kebetulan saat itu To ho sudah siap di pintu. Merekapun segera bersama-sama menuju lapangan.
Ternyata lapangan sudah penuh orang. Setiba Toho disitu, Poan-hong-poh segera berbangkit. Dengan wajah serius nenek itu berseru : "Pertandingan hari ini adalah untuk melaksanakan perjanjian yang kubuat dengan Toho lhama. Kami undang saudara-saudara hadir di sini hanyalah untuk menjadi saksi.
Apabila ada saudara-saudara yang hendak mempertunjukkan kepandaian di tempat ini, maaf, aku tak dapat mengijinkan".
Mendengar itu beberapa jago yang sedianya hendak naik ke panggung, merasa kecewa.
Ternyata semalam setelah bertemu dengan Cong Tik, Cin Hong Ing juga tak dapat tidur. Saat itu ia juga berada di lapangan untuk mencari Su Ciau. Kebetulan ia melihat pemuda itu bersama-sama dengan Ui Hong Ing. Pada saat ia hendak berseru menyuruh Su Ciau naik ke atas panggung, tiba-tiba Poan hong-poh mengeluarkan pengumumannya. Terpaksa ia bersabar.
Sehabis melantangkan pengumuman, Poan-hong poh rnenutukkan ujung tongkatnya ke tanah dan tubuhnya segera melayang sampat tiga tombak meluncur ke panggung. Ia tak mau langsung turun melainkan julurkan ujung tongkat ke lantai panggung untuk menyanggah tubuhnya. Setelah berputar-putar, barulah ia melayang turun.
"Yang menghendaki pulau Kyoto ini silahkan naik panggung untuk mengadu kepandaian".
Sekalian tokoh persilatan dari segenap penjuru menjadi saksi, jika dapat mengalahkan tongkatku ini, berhak menjadi pemilik pulau Kyoto !"
Mendengar Poan-hong-poh tak mengijinkan lain orang bertempur dan hendak langsung menghadapi Toho, diam-diam Cong Tik gembira. Karena sekali bertempur, kedua tokoh itu tentu akan menggunakan waktu yang lama. Pada saat itu, diam-diam ia hendak meloloskan diri menuju ke pantai, naik perahu dan tinggalkan Kyoto.
Tetapi alangkah kejutnya ketika tiba-tiba Toho berseru dengan bisik-bisik kepadanya: "Lekas pinjamkan pedang Thian-liong-kiam kepadaku !".
Cong Tik terkesiap. Pedang Ki-bun-kiam itu harus berjumlah tujuh batang. Kurang satu saja tentu tak lengkap. Jika pedang Thian-liong kiam dipinjamkan kepada Toho, bagaimana mungkin ia dapat meloloskan diri. Tetapi jika menolak permintaan itu jika Toho sampai marah, celakalah dia.
Pada saat ia meragu, tampak wajah Toho mengerut gelap. Terpaksa ia serahkan pedang itu. Diam-diam ia memaki dirinya yang bernyali kecil. Mengapa semalam setelah mendapatkan pedang itu ia tak lantas melarikan diri saja. Sekarang keadaannya sudah runyam.
Setelah mendapatkan pedang dan sejenak mengibaskannya, Toho lalu menuju ke tepi panggung dan sekali ayunkan kaki, ia melambung sampai dua tombak dan meluncur turun. Ia berdiri setombak jauhnya dari Poan-hong-poh lalu tertawa gelak-gelak.
"Ha, ha, yang ingin menjadi pemilik Kyoto sudah datang !" serunya.
Melihat pedang di tangan Lhama itu memancarkan sinar kekuning-kuningan dan membaurkan hawa dingin, guguplah hati Poan-hong-poh. Ia tak menyangka bahwa Toho akan meminjam pedang Thian-liong-kiam dari Cong Tik. Ia tahu bagaima tajamnya pedang itu. Ia kuatir tongkat besinya akan terpapas kutung dan itu berarti ia akan menghadapi kekalahan.
Namun karena sudah berada di hadapannya, terpaksa Poan-hong-poh tertawa. Ia sudah mempunyai rencana.
"Toho Lhama, kita berdua sudah tergolong orang-orang yang setengah tua. Masakan harus seperti anak kecil, begitu naik panggung terus saja bertempur ? Maksudku, pertandingan ini akan kubagi tiga cara. Apabila engkau mampu menangkan dua cara saja, engkau menang. Entah apakah engkau berani menerima acara pertandingan yang hendak kukemukakan itu ?"
Toho Lhama deliki mata, serunya: "Mengapa tak berani ? Lekas katakan apa saja acaramu itu"
Diam-diam Poan-hong-poh girang karena lawan telah terperangkap. Mundur beberapa langkah ia taburkan tongkatnya. Tongkat itu menyusup masuk pada papan panggung sampai dua kaki. Kemudian Poan-hong-poh bertepuk tangan: "Acara pertama, adu pukulan tangan kosong !"
Toho Lhama terbeliak. Diam-diam ia memaki nenek itu. Tetapi karena ia sudah setuju, walaupun tahu masuk perangkap namun tetap harus melayani. Sekali taburkan pedang, Thian-liong-kiampun menyusup pada tiang panggung.
"Hm, kiranya engkau jeri terhadap pedang itu !" serunya dan terus lontarkan pukulan.
Saat itu mereka berdua berdiri di tepi panggung, terpisah tiga tombak. Waktu Toho loncat sambil menghantam, pakaian Poan-hong-poh bertebar keras seperti dilanda angin besar. Jelas sudah betapa dahsyat pukulan Toho itu. Tetapi yang mengerikan pukulan itu dilontarkan seperti permainan anak dan sedikitpun tak mengeluarkan suara apa-apa.
Poan-hong-poh menyadari bahwa dalam ilmu pukulan, dia tentu tak menang. Maka sengaja ia tak mau membalas, melainkan kerahkan tenaga-dalam untuk mempertahankan keseimbangan diri.
Tenaga pukulan Toho itu ternyata tidak melanda dari satu arah saja tetapi dari empat arah.
Diam-diam Poan-hong-poh memuji kehebatan tenaga-dalam lawan. Sekali kibaskan lengan baju, Poan-hong pohpun balas menghantam.
Pada saat Poan-hong-poh balas menghantam, tenaga pukulan Toho tadipun telah habis. Toho cukup waspada. Melihat nenek itu memukul, dia tak mau balas memukul melainkan hanya menahan dengan tangannya saja.
Untung keduanya terpisah jauh dan karena masing-masing memiliki tenaga dalam yang hebat, maka keduanyapun tak sampai menderita. Melihat Toho juga menggunakah siasat seperti dirinya, Poan-hong-poh cepat menarik pulang tenaga pukulannya dan mundur selangkah, berdiri di tepi panggung.
Ternyata Toho juga demikian. Tidak maju kebalikannya ia malah menyurut mundur selangkah.
Dari tempat mereka berdiri tadi, tampak sepasang bekas telapak kaki sedalam satu inci. Papan lantai panggung itu tebal terbuat dari bahan kayu pohon siong yang keras sehingga kedua tokoh itu dapat meninggalkan bekas telapak kaki yang dalam, Siau Yau cinjin, Leng-kiam-ki-hiap Siang Bong dan beberapa ko-jiu, diam-diam memuji kepandaian ke dua orang itu memang hebat. Tetamu-tetamu yang lain tak henti-hentinya menghela napas kagum.
Di antara tetamu-tetamu itu, yang paling gelisah perasaannya sudah tentu Cong Tik. Dengan susah payah ia berhasil menemukan ketujuh pedang Ki-bun kiam tetapi yang sebatang ialah Thian-liong-kiam, sekarang dipinjam Toho. Saat itu pedang Thian-liong-kiam tertancap pada tiang. Untuk mengambilnya, tentu sukar apalagi tentu akan menimbulkan kecurigaan Toho. Jika Toho sampai tahu bahwa dia telah memperoleh ketujuh pedang Ki-bun-kiam tetapi tak mau mengatakan, tentulah ia akan dibunuh.
Cong Tik yang biasanya kaya dengan tipu muslihat, saat itu benar-benar tak berdaya.
Di atas panggung, pertempuran masih berjalan seru. Toho dan Poan-hong-poh mondar mandir di tepi panggung dan tak hentinya saling melepas pukulan. Sepintas seperti orang yang sedang berlatih silat saja. Tetapi sebenarnya, setiap pukulan yang dilancarkan berisi dengan tenagadalam penuh. Penonton yang agak dekat dengan mereka terkena juga sambaran angin pukulan mereka. Yang kepandaiannya rendah, sampai tak dapat bernapas. Kedua tokoh itu bertempur dengan penuh tenaga, pukulan-pukulan yang dilancarkan merupakan pukulan-pukulan maut. Tetapi karena masing-masing tahu akan kelihayan lawan, mereka terpaksa harus menahan diri untuk menunggu kesempatan. Itulah sebabnya, tampaknya pertempuran itu berjalan santai.
Setengah jam kemudian, pukulan-pukulan makin keras dan dahsyat dan kini mereka tidak mundur lagi melainkan selangkah demi selangkah maju, menghampiri lawan.
Tampak Toho lebih tegang. Rupanya ia nafsu sekali untuk merebut kemenangan.
Setelah terpisah hanya setengah tombak, tiba-tiba tangan kirinya menghantam panggung, brak, papan panggung berlubang dan tenaga pukulanpun mental ke atas, menghantam Poan-hong-poh. Tujuh tahun lamanya dimasukkan dalam peti besi oleh Siau Yau cinjin, membuat perangai Lhama itu berobah. Pada waktu marah, dia mengamuk, memukul tak keruan. Tenaga pukulannya hanya menggemuruh dalam peti. Tetapi lama-kelamaan, dia menyadari bahwa setiap pukulan, tenaga dan anginnya tidak menjurus ke muka tetapi berhamburan keempat penjuru. Itulah sebabnya ketika ia beradu pukulan dengan Poan-hong-poh, nenek itu merasa kalau dirinya dilanda angin pukulan dari empat penjuru. Pukulan tak langsung yang dilontarkan Toho pada papan panggungpun juga serupa.
Bermula Poan-hong-poh tak mengerti. Tahu-tahu ia rasakan kakinya seperti dilanda tenaga kuat yang mendorongnya sehingga ia sampai bergetar-getar hampir rubuh. Ia terkejut sekali. Cepat ia maju selangkah sambil lepaskan hantaman.
Saat itu kebetulan Toho sedang ayunkan tangan kanannya. Bum, terdengar letupan keras ketika dua buah tenaga pukulan itu beradu. Toho tiba-tiba condongkan tubuh ke samping. Karena kuatir Lhama itu akan menggunakan siasat, Poan-Hong-pohpun juga miringkan tubuh ke samping.
Dua buah tenaga-pukulan yang beradu tadi karena orangnya sama-sama miring ke samping, pun angin pukulannya meluncur ke samping dan kebetulan menghantam pedang Thian-liong-kiam yang menancap pada tiang.
Walaupun Tiang itu besarnya sepemeluk tangan orang tetapi tetap tak mampu menahan gelombang tenaga pukulan dari kedua tokoh sakti itu. Krak ... terdengar bunyi berderak-derak ketika tiang itu patah dan rubuh ke bawah panggung. Karena sebuah tiang rubuh, panggungpun goncang dan akan ambruk. Kedua orang itu cepat loncat turun ke lapangan. Poan-hong-poh masih sempat menyambar tongkatnya. Tetapi ketika Toho hendak mencabut pedang Thian-liong-kiam, pedang itu sudah keburu jatuh di bawah tiang yang rubuh.
Toho membungkuk hendak mencari pedang itu tetapi Poan-hong-poh tak mau menyianyiakan kesempatan. Dengan berseru aneh ia melengking, "Karena adu pukulan tiada yang menang dan kalah maka sekarang akan kusuruh engkau rasakan bagaimana rasanya ilmu tongkat Keng-thau-ciang-hwat"
Ia menutup kata-kata dengan ayunkan tongkat. Seketika tubuh nenek itu seperti terbungkus oleh sinar tongkat dan terus menyerang, menghantam kepala Toho.
Merasa ubun-ubun kepalanya dilanda angin, Toho menengadahkan muka. Ternyata dirinya sudah dilingkari sinar tongkat yang ketat sekali. Jika hendak menerobos dengan tangan kosong, tentu ia menderita kekalahan.
Dalam gugup, Toho tak mau berpikir lebih panjang lagi. Ia terus memeluk kutungan tiang yang panjangnya lebih kurang setombak, dengan menggembor keras terus disongsongkan ke atas.
Jurus yang dilancarkan Poan-hong-poh disebut Long-yong ji-san atau Gelombang-ombak-sebesar-gunung. Tenaga yang digunakan bukan kepalang hebatnya. Ketika beradu dengan kutungan tiang, terdengarlah ledakan yang keras sekali. Tiang hancur terhantam tongkat besi tetapi saat itu Tohopun sudah sempat loncat menyingkir.
Pada saat Toho loncat ke samping, terdengarlah bunyi mendering dan sinar kuning melintas jatuh ke arah tempat tetamu. Ternyata sinar kuning itu adalah pedang Thian-liong-kiam yang menancap pada kutungan tiang dan dihantam hancur oleh tongkat Poan-hong-poh.
Walaupun berhasil menghancurkan tiang, tetapi Poan-hong-poh merasa bahwa ia telah kehilangan tak sedikit tenaga-dalam. Sedang Toho tentunya masih utuh tenaga-dalamnya. Poan-hong-poh marah. Ia menendang keping tiang lalu berputar-putar menghampiri Toho. Gayanya bagai seekor harimau betina mengamuk.
Toho membelalak memandang pedang Thian-liong kiam yang jatuh ke arah tetamu. Ia hendak melayang turun mengambil tetapi tongkat Poan-hong-poh cepat menghadang. Dengan tenaga-dahsyat tongkat menyambar sehingga ia tak sempat lagi untuk meloloskan diri. Kini ia memutuskan untuk melawan dengan tangan kosong. Segera kelima jari tangannya menebar keras lalu mencengkeram tongkat lawan.
Poan-hong-poh terkejut. Tetapi pada lain saat ia girang sekali. Ia menduga Toho tentu masih mengira kalau kepandaiannya seperti dulu ketika bertemu di gunung Cek-bi-san. Maka Toho berani hendak menyambar tongkatnya.
"Hm, dia tentu salah hitung" diam-diam Poan-hong-poh menimang, "asal dia berani memegang tongkatku, segera akan kupancarkan tenaga-dalam Keng-thay-kang, biar dia merasakan betapa hebatnya tenaga-dalam Gelombang-mendampar itu"
Maka ia tak mau hentikan serangannya bahkan dengan gunakan jurus Long-hwe-heng-poh atau Gelombang-terbang-mendampar-ombak, ia teruskan tongkatnya menusuk ke muka.
Dengan serangan itu tongkatpun tiba di sisi tangan Toho. Cepat Tohopun menyambarnya, maju selangkah tangan kirinya segera menghantam batang tongkat, plak.
Begitu tongkatnya dicengkeram, Poan-hong-poh segera salurkan hawa murni, mengembangkan tenaga-dalam Keng-thau-kang dan memancarkan ke arah tongkat sehingga tongkat bergetar, samar-samar mengumandangkan bunyi bergemuruh.
Tetapi tamparan tangan kiri Toho itu telah menekan tenaga-murni Poan-hong-poh. Setelah beberapa saat keduanya saling bertahan, Toho segera melangkah ke samping. Tongkat yang besarnya segenggam tangan dan terbuat dari besi keras saat itu tak ubah seperti tongkat dari tepung, ikut melengkung bersama Toho.
Poan-hong-poh terkejut. Dia tak mau unjuk kelemahan. Segera ia mengisar ke arah yang berlawanan sehingga tongkat yang terpelintir melengkung itu menjadi lurus lagi.
Demikian kedua tokoh itu tak henti-hentinya berkisar kekanan dan kekiri. Tongkat yang dipelintir kian kemari itu, sesaat melengkung, sesaat lurus lagi. Lama kelamaan dibagian tengah tongkat itu timbul guratan retak. Apabila masih dipelintir kesana kesini lagi, tentulah tongkat itu akan putus.
Selagi kedua tokoh itu masih berjuang untuk berebut tongkat adalah di bawah panggung telah terjadi peristiwa yang mengejutkan. Melihat sinar kuning meluncur ke bawah panggung, teganglah hati Cong Tik. Serentak ia enjot tubuhnya loncat menghampiri hendak mengambilnya. Begitu tiba ia terus ulurkan tangan. Tetapi pada saat tangannya hampir menyentuh pedang itu, sekonyong sebutir kerikil kecil melayang menghantam punggung pedang tring ... terdengar bunyi mendering dan pedang Thian-liong-kiampun mencelat ke atas sampai beberapa meter.
Ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Cong Tik belum mencapai tataran tinggi maka terpaksa ia menunggu sebentar apabila pedang itu meluncur barulah ia akan loncat menyambarnya.
Yang ditunggu sudah tiba, pedang Thian-liong kiam mulai meluncur ke bawah tetapi tiba-tiba terdengar lengking pekik yang nyaring : "Su Ciau, inilah yang disebut langit menelungkup bumi, tak mungkin ada yang lolos. Akhirnya pedang kembali lagi kepadamu !"
Ketika Cong Tik memandang kemuka, ternyata ia melihat Su Ciau berdiri dengan memegang pedang Thian-liong-kiam, sedang di sampingnya terdapat Ui Hong Ing yang berseri-seri gembira.
Cong Tik marah sekali. Bagaimana ia mau membiarkan pedang itu kembali kepada Su Ciau. Cepat ia loncat ke muka, serunya : "Sahabat Tan, harap engkau kembalikan pedang itu kepada pemiliknya !"
Su Ciau tertegun. Sebelum ia membuka mulut, Ui Hong Ing sudah mendahului "Huh, manusia bermuka tebal. Apa yang engkau maksudkan benda kembali kepada pemiliknya ? Apakah pedang itu milikmu ?"
Cong Tik telah bertekad untuk mendapatkan pedang itu lagi. Walaupun harus bermuka tebal, tetapi ia tetap berani menjawab : "Ya, memang pedang itu milikku. Aku telah merebut dari tangan sahabat Tan itu, apakah masih akan diperdebatkan lagi?"
Ui Hong Ing tertawa mencemoh : "Karena dapat merebut, lalu seharusnya menjadi milikmu, bukankah begitu ?"
"Benar" sahut Cong Tik.
Ui Hong Ing tertawa pula, serunya : "Baik Su Ciau, kembalikan pedang itu kepadanya!"
Su Ciau juga seorang yang berjiwa ksatria. Walaupun pedang itu sudah berada di tangannya tetapi ia merasa pedang itu melayang dari udara. Pedang itu sudah dapat direbut Cong Tik, malu ia untuk memiliki. Mendengar seruan Hong Ing, segera ia angsurkan pedang itu.
Setitikpun Cong Tik tak mimpi bahwa semudah itu Su Ciau mau mengembalikan pedang. Cepat ia ulurkan tangan terus menyambuti. Tetapi tiba-tiba Ui Hong Ing berseru "Jangan terburu-buru dulu bung !"
Cong Tik tertegun. "Yang hendak merebut pedang sudah datang" seru Ui Hong Ing pula seraya ayunkan kedua kaki menendang dalam gerak Lian-hoan-thui atau Tendangan-berantai. Tetapi tendangan itu tak diarahkan ke dada melainkan ke pantat Cong Tik.
Cong Tik terkesiap. Seketika ia teringat akan kata orang. Jika tak kejam bukan lelaki. Cepat ia balikkan siku lengan, menabas kaki Hong Ing, serunya : "Jika engkau mempunyai kepandaian, silahkan merebut pedang ini !"
Tiba-tiba ia teringat, kemarin jelas ia tak berani menyambut tantangan Hong Ing tetapi mengapa sekarang ia lupa dan mengeluarkan tantangan ? Diam-diam ia menyesal tetapi karena sudah terlanjur apalagi ia percaya tabasannya itu tentu mengenai kaki Hong Ing, maka iapun tak mau mundur lagi.
Tetapi pada saat pedang akan berhasil menabas, tiba-tiba Hong Ing condongkan tubuh ke belakang, tepat melayang di sisi pedang. Selekas kaki menyanggah di tanah, tubuhnya segera menggeliat ke samping lalu tebarkan jarinya menusuk ke jalan darah Thay-yang-hiat pada pelipis Cong Tik.
Gerakan Hong Ing itu sungguh luar biasa anehnya. Jalan darah thay-yang-hiat merupakan jalan darah maut. Cong Tik gopoh berpaling hendak menangkis tetapi Hong Ing tetap tak mau menarik pulang jari tangan kanannya, kebalikannya ia malah mengangkat tangan kiri dan dengan jari tengah menusuk pergelangan tangan Cong Tik.
Cret ,... tangan Cong Tik seperti kena aliran listrik sehingga diluar kehendaknya ia tebarkan cekalannya, lepaskan pedang Thian-liong-kiam.
Ternyata tutukan Hong Ing ke arah jalan darah thay-yang-hiat itu hanya ancaman kosong. Secepat menarik kembali tangannya, terus dilingkarkan untuk menyambar pedang. Sembari tertawa gembira, ia terus loncat mundur setombak dan berseru riang: "Bagaimana ?"
Cong Tik tertegun. Sesaat ia tak tahu bagaimana harus menjawab. Peristiwa itu berlangsung cepat sekali. Gerakan Hong Ing dalam menendang, menggeliatkan tubuh, menutuk jalan darah, menebarkan jari dan menyambar pedang, berlangsung dalam sekejab mata. Sesungguhnya kelima macam gerak itu termasuk dalam sebuah jurus yang disebut Ngo-kui-poan-un atau Lima-iblis memindah-jiwa. Termasuk salah sebuah dari lima jurus ilmu Gong-jiu-toh-pek-jim (dengan tangan kosong merebut senjata musuh) ajaran Leng-kiam ki-hiap Siang Bong. Keindahan gerak ketangkasan melangsungkan cara merebut senjata lawan benar-benar tiada yang menandingi hebatnya. Jangan lagi Cong Tik, sekalipun jago yang lebih tinggi kepandaiannya, pun sukar untuk menghindar dari serangan istimewa itu.
Sesaat kemudian Cong Tik menyadari bahwa ia telah terlanjur melepas tantangan. Siapa yang mampu merebut dari tangannya, pedang itu boleh dimiliki. Namun ia tetap tak rela kehilangan pedang itu. Pedang Thian - liong - kiam merupakan pedang kesatu dari ketujuh pedang Ki-bun-kiam.
Kurang satu tentu tak dapat mempelajari ilmu pedang tersebut. Wajah Cong Tik saat itu tampak tak sedap dipandang. Menyeringai seperti setan yang kesiangan....
Sehabis merebut pedang, Hong Ing terus loncat hendak mencari Siang Bong diantara kerumun tetamu-tetamu itu. Ia hendak menceritakan tentang hasilnya merebut pedang agar tokoh sakti itu memujinya. Tetapi ia tak dapat menemukan tokoh itu. Pada saat ia hendak mengembalikan pedang itu kepada Su Ciau, tiba-tiba ia melihat seseorang melintasi para tetamu dan menghampiri ketempatnya.
'Saat itu para tetamu terpecah menjadi dua gerombol. Gerombol pertama sedang asyik mengikuti pertempuran antara Toho lawan Poan-hong-poh. Sedang gerombol kedua melihat perebutan pedang yang dilakukan Hong Ing terhadap Cong Tik. Mereka heran mengapa tahu-tahu pedang itu sudah dapat direbut Hong Ing dari tangan Cong Tik. Ketika melihat ada orang yang menerobos hendak menghampiri Hong Ing, orang-orang itu berpaling dan kejut mereka bukan kepalang. Ternyata yang datang itu juga seorang nona yang wajahnya mirip sekali dengan Hong Ing yang merebut pedang itu.
Saat itu Hong Ingpun mengetahui bahwa yang datang itu adalah Cin Hong Ing, kakek perempuannya. Ia segera berseru memberi salam.
"Adik" seru Cin Hong Ing, "aku hendak melakukan jual beli dengan engkau!"
Sudah tentu Ui Hong Ing terkejut mendengar kata-kata tacinya itu. Mengapa pada saat dan tempat seperti itu tacinya hendak mengadakan jual beli? Ia tertawa, serunya: "Ah, harap taci jangan bergurau, kalau mau bicara apa-apa, katakanlah terus terang !"
Cin Hong Ing berbisik "Adik, bukankah engkau suka pada Su Ciau?"
Kata-kata itu diucapkan dengan pelahan sekali sehingga tiada orang yang mendengar.
Ui Hong Ing terkejut: "Taci, mengapa engkau berkata begitu? Dia segera akan menjadi engkoh iparku, bagaimana aku suka kepadanya ?"
Cin Hong Ing tertawa dingin, "Sudahlah, jangan engkau berpura-pura. Sejak aku melarikan diri dari rumah keluarga Tan, engkau menyamar sebagai diriku dan selalu bergaul dengan dia. Pada waktu tiba di kota Hok-jun-kiang, menginap di rumah penginapan, apa engkau kira aku tak tahu semua ?"
Merah wajah Ui Hong Ing. Cepat ia menjawab : "Cici, harap engkau jangan kuatir. Memang dulu aku hanya bertindak secara bergurau saja. Dan selanjutnya mulai saat ini aku takkan menemuinya lagi."
Cin Hong Ing tertawa: "Ah, mengapa harus begitu ? Biarlah aku mengalah dan menyerahkan dia kepadamu. Sebenarnya aku tak mencintainya, seorang pemuda yang kaku seperti tonggak !"
Hong Ing terkejut mendengar ucapan tacinya. Diam-diam timbul pikirannya untuk menyelidiki mengapa tacinya sampai bersikap begitu terhadap Su Ciau.
"Taci, apakah engkau berkata dengan sungguh-sungguh ?" serunya tiba-tiba dengan suara keras.
Bermula sekalian orang tak dapat mendengar apa yang dibicarakan oleh kedua nona itu. Mereka heran. Hanya Cong Tik yang dapat menduga bahwa Cin Hong Ing sedang berusaha untuk membela dirinya. Karena sembari bicara dengan Ui Hong Ing, Cin Hong Ing berulang kali melirik kepadanya dengan pandang mata penuh arti.
"Sudah tentu sungguh-sungguh," seru Cin Hong Ing "tetapi engkau harus memberikan pedang itu kepadaku ..."
-o0^DW^Agus Ekanto^0o- Jilid 12 Tertegun Ui Hong Ing ketika mendengar ucapan tacinya, Cin Hong Ing. Sejenak ia melirik ke arah Su Ciau. Jika ia tak menyerahkan pedang Thian-liong kiam, ia kuatir hubungannya dengan taci yang baru saja berkumpul itu akan terganggu. Soal Su Ciau, ia dapat memberi penjelasan.
Setelah menimang, akhirnya Ui Hong Ing ulurkan pedang itu. Cepat Cin Hong Ing menyambuti, tertawa seraya memandang Cong Tik, lalu berjalan keluar. Sudah tentu Cong Tik bergegas mengikuti.
Tanpa menghiraukan apa yang akan dilakukan tacinya dengan pedang pusaka itu, Ui Hong In segera berseru kepada Su Ciau: "Su Ciau, sekarang bereslah sudah!"
Karena tak mengerti apa yang dibicarakan oleh kedua kakak beradik itu, maka Su Ciaupun bertanya: "Apanya yang beres?"
Ui Hong Ing hanya ganda tertawa. Melihat saat itu orang-orang beralih memperhatikan pertempuran antara Poan-hong-poh lawan Toho, maka Ui Hong Ing lalu berbisik : "Su Ciau, aku hendak bertanya kepadamu. Apakah engkau sungguh-sungguh tak suka kepada taciku?"
Su Ciau menghela nanas. "Engkau tentu sudah mengetahui sendiri bahwa tacimu itu rupanya sudah terpikat oleh pemuda tadi. Mengapa engkau masih mendesak aku dengan pertanyaan itu ? Dan pula, diantara kita ternyata mempunyai dendam permusuhan yang hebat. Ayahku telah membunuh ayahmu. Apa daya kita sekarang ?"
"Tetapi tadi taciku mengatakan bahwa apabila aku mau menyerahkan pedang Thian-Liong-kiam itu kepadanya maka dia mau menghapus dendam itu." kata Ui Hong Ing.
Su Ciau terkesiap. "Ah, Hong Ing, engkan termakan tipunya. Jelas bahwa tacimu membenci aku setengah mati bahkan sudah memapas sebelah daun telingaku. Dia tetap hendak membunuh aku demi membalas kematian ...
Tiba-tiba Su Ciau hentikan kata-katanya karena menyadari bahwa ayah Cin Hong Ing itu juga ayah Ui Hong Ing. Su Ciau memang menyadari bahwa tak mungkin ia dapat mengelabuhi peristiwa itu terhadap Ui Hong Ing. Tetapi dengan berjalannya sang waktu dan bertambah erat hubungan mereka, tentulah rasa dendam itu akan lenyap, paling tidak tentu reda.
Ui Hong Ing cepat dapat mengetahui apa yang terkandung dalam hati Su Ciau, tanyanya: "Taciku hendak membalas sakit hati apa kepadamu ?"
Jika Su Ciau seorang pemuda licin, dengan mudah ia tentu dapat mencari lain siasat untuk menjawabnya. Tetapi dia memang berhati polos dan jujur. Belum pernah sepanjang hidupnya ia berbohong.
"Aku...aku .... aku....." ia hendak menjawab tetapi tersendat-sendat tak dapat melanjutkan kata-katanya.
"Huh, mengapa engkau tersekat-sekat seperti anak perempuan ?" tegur Hong Ing.
"Hong Ing, bukan karena aku tak mau mengatakan tetapi cobalah, engkau suruh aku menjawab bagaimana?"
Melihat dahi Su Ciau bercucuran keringat, Hong Ing tak sampai hati, serunya: "Su Ciau, apapun yang terjadi, katakanlah. Mau apa taciku terhadap dirimu ? Walaupun kita tak dapat menjadi suami isteri tetapi anggaplah kita sebagai sahabat baik. mengapa engkau tak mau mengatakan?"
Su Ciau merenung. Jika dia mengatakan terus terang, ia kuatir Ui Hong Ing akan marah dan memusuhinya.
Melihat Su Ciau mengerutkan dahi seolah sedang menghadapi persoalan berat, Hong Ing hendak menegurnya. Tetapi tiba-tiba saat itu terdengar bunyi ledakan keras. Ketika berpaling, ia melihat orang-orang yang mengerumuni pertempuran antara Poan-hong pon dan Toho itu sama menyurut mundur dan menyisih. Dengan begitu dapatlah Hong Ing dan Su Ciau melihat jelas.
Tampak tongkat besi dari Poan hong-poh sudah kutung jadi dua, separoh masih digenggam Poan-hong-poh, separoh berada ditangan Toho. Rupanya kedua tokoh itu saling adu tenaga untuk manarik tongkat. Karena tongkat putus, keduanyapun terhuyung kebelakang. Beberapa penonton yang tak keburu menyingkir telah terlanda rubuh oleh kedua tokoh itu.
Sepasang Ular Naga 32 Tengkorak Maut Karya Khu Lung Peri Peminum Darah 1
^