Pencarian

Pendekar Banci 9

Pendekar Banci Karya Sd Liong Bagian 9


Toho tertawa gelak-gelak, serunya : "Poan-hong-Poh, engkau mau mengaku kalah atau tidak?"
"Monyet tua !" teriak Poan-hong-poh marah, "mengapa aku Kalah?"
"Huh, nenek pengemis yang tak tahu malu!" dengus Toho dengan geram, "tongkat yang telah mengangkat namamu dalam dunia persilatan itu sekarang dapat kupatahkan, mengapa engkau masih tak mengaku kalah ?"
Poan-hong-poh terbeliak. Walaupun putusnya tongkat itu karena ditarik kedua orang, tetapi dengan putusnya tongkat itu ia merasa malu juga. Bagi seorang tokoh yang tinggi hati seperti dia, sudah tentu ia malu dan tegak terlongong-longong.
Melihat sikap nenek itu, Toho tertawa berseri-seri sambil memandang ke sekeliling. Pada saat ia hendak bicara, tiba-tiba seorang rahib tua muncul keluar dari tempat tetamu. Toho terkejut tetapi melihat rahib itu sudah tua, diapun menghela napas longgar.
Setelah keluar maka rahib tua itupun berseru nyaring: "Para hohan sekalian. Bahwa karena tongkatnya putus maka Poan hong-poh dianggap kalah, itu memang betul. Tetapi tongkat itu bukan dipatahkan oleh tenaga seorang saja. Apabila Toho menganggap Poan hong poh kalah, itu tidak adil. Kurasa dapat diatur begini. Apabila Toho mampu mematahkan lagi kutungan tongkat yang berada di tangannya maka Poan-hong-poh harus mau menerima kekalahan. Bukan saja harus tinggalkan pulau Kyoto ini, pun harus pegang janji takkan muncul di dunia persilatan lagi. Bagaimana pendapat saudara-saudara sekalian ?"
Poan-hong-poh tak kenal siapa sebenarnya rahib tua itu. Mendengar kata rahib itu, diam-diam ia terkesiap. Kutungan tongkat itu masih lebih kurang satu meter panjangnya, sudah tentu Toho tak sukar untuk mematahkannya. Jelas rahib itu tentu komplotan dari Toho.
Pada saat Poan-hong-poh hendak buka suara, tiba-tiba tak jauh dari tempat ia berdiri, tampak seorang lelaki berwajah terotolan tengah memberi isyarat tangan kepadanya, suruh dia menerima usul rahib itu.
Poan-hong-poh pernah bertemu dengan lelaki setengah tua itu ketika di gunung Tay-pat-san ialah lelaki yang dalam satu gebrak saja sudah dapat menyambar tongkatnya. Diam-diam Poan-hong-poh tergerak hatinya. Ia percaya tokoh itu tentu takkan mencelakai dirinya, maka serentak iapun mengiakan : "Baik, aku menurut saja apa yang dikatakan taysu itu!"
Toho menunduk memandang kutungan tongkat yang dicekalnya. Diam-diam ia tersenyum dalam hati. Masakan aku tak mampu mematahkan tongkat ini. Ia menggeram karena menganggap Poan-hong-poh tak memandang mata kepadanya. Tetap diam-diam iapun gembira karena rupanya Thian telah menakdirkan dia dapat menguasai pulau itu dan memperoleh ketujuh pedang Ki-bun-kiam.
"Karena Poan-hong-poh sudah menyetujui" serunya, "akupun tak mempunyai lain pandangan kecuali hanya menurut saja."
Ia menjepit ujung tongkat ke bawah ketiak lalu tangan kanannya memegang ujung yang lain. Sekali menekuk, tongkat itupun segera melengkung setengah lingkar.
Sekalian penonton berteriak kaget . Jelas sudah bahwa Toho tentu dengan mudah akan dapat mematahkan tongkat itu.
Wajah Poan-hong-pohpun berubah. Ia mengeliarkan pandang untuk mencari tokoh Siang Bong diantara para penonton tetapi ternyata tak tampak lagi. Ia makin gelisah. Kemudian ia memandang ke arah rahib tua itu. Rupanya rahib tua itu tahu kalau Poan-hong-poh tentu marah kepadanya maka iapun tertawa lalu berseru nyaring : "'Tunggu Toho, engkau harus menetapkan waktunya untuk mematahkan tongkat itu. Tak boleh hanya main menekuk saja".
Toho tertawa gelak-gelak : "Bukan aku menyombongkan diri tetapi dalam waktu sejam saja aku tentu sudah dapat memutus tongkat ini "
"Bagus," seru rahib tua, "kalau dalam waktu sejam itu engkau belum mampu memutus, engkau harus mau mengaku kalah bukan ?"
Karena yakin bahwa dirinya tentu menang dan menganggap bahwa sejam itu terlalu lama, maka Tohopun segera menyetujui pernyataan rahib tua.
Dalam pada berkata-kata itu diapun sudah menekuk kembali tongkat itu seperti bentuk semula.
Demikianlah dengan menekuk-nekuk kian kemari orang menduga bahwa dalam waktu sejam lagi, toho tentu dapat mematahkan tongkat itu.
Yang paling tegang adalah Poan Hong Poh. Karena ia sudah menyetujui perjanjian itu, padahal jelas ia melihat bahwa batang tongkat yang tengah ditekuk-tekuk Toho itu sudah menggurat putih di tengahnya. Jika tongkat itu putus, ia harus menerima perjanjian itu atau kalau ia menolak tentu akan ditertawai oleh seluruh kaum persilatan yang hadir di situ.
Sekarang mari kita ikuti lagi Cin Hong Ing yang selelah menerima pedang Thian-Liong-kiam dari adiknya, lalu berjalan keluar diikuti Cong Tik. Cong Tik hanya mengikuti di belakang tak berani menyusul maju. Melihat nona itu tak mau berpaling sama sekali, diam-diam Cong Tik gelisah juga. Tetapi ia melihat bahwa tempat yang dituju nona itu makin sunyi orang, diam-diam ia girang lagi.
Ia masih mempunyai jarum maut Bu-im-sin-ngo. Apabila sampai saatnya, akan ia gunakan dengan sebaik-baiknya seperti tatkala di gunung Hong-san dulu. Cuma kali ini harus tak boleh gagal, harus mencabut sampai keakar-akarnya. Ya, nona itu harus mati agar jangan menimbulkan bencana di kemudian hari lagj.
Saat itu sambil membawa pedang Thian-liong Kiam, Cin Hong Ing percaya Cong Tik tentu akan mengikuti di belakangnya. Ia hendak mengajak pemuda itu disebuah tempat yang sunyi. Pada saat Cong Tik hendak meminta pedang itu, barulah ia hendak mengajak pemuda itu membicarakan isi hati masing-masing. Tetapi pikiran Cong Tik berlawanan. Ia tak mencintai nona itu melainkan hendak membunuhnya dan merampas pedang Thian liong kiam.
Tak berapa lama merekapun membiluk sebuah tikungan puncak gunung dan tiba dibagian belakang dari pulau itu.
Cin Hong Ing memilih sebuah batu besar, selekas duduk ia segera memberi kicupan mata kepada Cong Tik, tegurnya : "Perlu apa engkau terus mengikuti aku saja ?"
Cong Tik menunjuk pada pedang Thian Liong kiam yang berada di tangan si nona, menyahut: "Pedang itu harap nona suka mengembalikan kepadaku!"
Hong Ing tertawa : "Bicaramu benar-benar blak-blakan, hanya salah mengucap sebuah kata."
Mendengar nada nona itu tidak marah, makin besarlah harapan Cong Tik untuk mendapatkan pedang pusaka itu.
Dia memang cerdik. Hanya sedetik berpikir, ia sudah dapat berkata : "Pedang itu harap nona suka menghaturkan kepadaku".
la mengganti kata 'mengembalikan? dengan kata 'menghaturkan?.
Melihat pemuda itu dapat menangkap maksud hatinya. Cin Hong Ing tertawa, serunya : "Kata-kata itu sudah benar, tetapi .... pedang ini merupakan pusaka yang jarang terdapat di dunia. Tak mudah aku memperolehnya. Apakah hanya begitu saja akan kuberikan kepadamu ? Ah, didunia mungkin tak ada hal yang semudah itu!"
Walaupun mulut mengucapkan kata-kata yang keras tetapi sepasang mata Hong Ing tak henti-hentinya mencurah ke arah Cong Tik.
Cong Tik yang cerdik cepat dapat menangkap maksud nona itu. Ialah menghendaki supaya ia mengucapkan rangkaian kata yang indah untuk memuaskan hati sinona yang beradat tinggi itu.
"Apabila nona suka menyerahkan pedang itu biarlah dalam kehidupan sekarang ini Cong Tik akan menjadi hamba nona. Aku benar-benar rela," serunya.
Kata-kata itu bagi seorang yang mempunyai sedikit pambek saja, tentu tak mau mengucapkan. Tetapi Cong Tik tak malu mengatakan. Pokok ia harus mendapatkan pedang itu. Malu sedikit tak apa.
Justeru Cin Hong Ing memang menghendaki mendengar rangkaian kata seperti itu. Ia tertawa girang.
"Kalau rela menjadi hamba, mengapa tak mau memberi hormat dengan menundukkan kepala?" serunya.
Benar-benar Cong Tik segera berlutut. Ia menengadah tetapi tidak menganggukkan kepala.
Rupanya Cin Hong Ing tak tahan melihatnya begitu. Segera ia mengangkatnya bangun. Ia tersipu-sipu malu sehingga tak dapat bicara sampai beberapa saat.
Pada saat Cong Tik ulurkan tangan mengambil sendiri pedang Thian-liong-kiam itu, Cin Hong Ing tetap terlongong seperti kehilangan semangat. Sarna sekali ia tak menghiraukan.
Setelah memperoleh pedang dan setelah menengok keempat penjuru tiada orang, suara penonton di gelanggang pertempuranpun kedengaran jauh karena terpisah sebuah bukit, sedang gelombang laut sedang bergemuruh dan sebuah perahu tampak sedang berlabuh di pantai, Cong Tik menganggap bahwa Tuhan telah membantu mengabulkan rencananya.
Segera ia lepaskan tangannya dari cekalan tangan Cin Hong Ing, mundur beberapa langkah.
"Eh mengapa engkau?" seru Hong Ing. "Aku hendak melihat-lihat tepi laut," sahut Cong Tik.
Ketika Hong Ing mengangkat muka, ia melihat sebuah perahu layar sedang berlabuh. Ia tetap salah menafsirkan maksud Cong Tik, ujarnya : "Apakah engkau hendak melihat apakah perahu layar itu dapat digunakan atau tidak dan hendak mengajak aku mencari sebuah pulau kecil untuk hidup bahagia dan tenteram, menyingkir dari dunia yang penuh mala petaka ini ?"
Walaupun tahu bahwa Cin Hong Ing sudah jatuh hati benar-benar kepadanya namun sebagai seorang manusia yang licik, tetap Cong Tik tak mau mempercayai. Soal melatih ilmu pedang Ki bun-kiam-hwat, sudah tentu tak boleh ada orang yang tahu. Atas pertanyaan Hong Ing tadi ia hanya mengiakan sekenanya saja.
Sebenarnya sudah lebih dari setahun lamanya perahu itu berlabuh di belakang pulau tetapi tak ada orang yang menaruh perhatian. Papan geladak perahu penuh ditumbuhi pakis licin dan lembab. Karena kurang hati-hati, begitu melangkah jalan, Cin Hong Ing tergelincir ke muka. Dalam gugup ia masih teringat bahwa Cong Tik berada dibelakangnya maka ia terus balikkan tangan untuk meraih.
Sesungguhnya ia hanya ingin mencari bantuan supaya jangan jatuh tetepi begitu lengan bajunya dicekal Hong Ing, Cong Tik cepat meronta sekuat-kuatnya. Brettt.... yang satu mencengkeram dan yang lain meronta, akibatnya lengan baju Cong Tikpun robek. Dengan masih menggenggam robekan kain baju, Hong Ing menggeliat ke muka. Dengan susah payah akhirnya ia dapat mempertahankan keseimbangan tubuhnya.
Tetapi ia terkejut ketika mendengar dering gemerincing senjata berhamburan jatuh ke lantai. Cepat ia berpaling. Ternyata yang berhamburan dilantai itu adalah enam batang pedang pusaka yang besar kecil bentuknya.
Saat itu baru Hong Ing menyadari bahwa keenam pedang dan kitab kecil itu adalah berasal dari baju Cong Tik yang karena ditariknya maka berhamburan jatuh. Ia sudah lama mendengar tentang pedang Ki bun-kiam. Ia duga tentulah keenam pedang itu.
"Ih, itukan Ki-bun-kiam bersama dengan kitab pelajarannya. Dari mana engkau memperolehnya ?" seru Cin Hong Ing, "mengapa tak mengatakan kepadaku?"
Sambil berkata ia terus membungkuk hendak memungut pedang itu.
Tahu bahwa rahasianya sudah diketahui orang, Cong Tik gugup sekali. Ia bingung hendak mengambil pedang yang mana dulu agar Hong Ing jangan mendahului ikut mengambil. la tak menghiraukan apa yang diucapkan nona itu. Begitu melihat Hong Ing hendak ikut memungut, cepat ia membentaknya : "Jangan menjamah !"
Hong Ing terkejut dan mengangkat muka memandang ke arah pemuda itu. Tampak wajah dan mata Cong Tik berkilat-kilat buas sekali sedang pedang Thian liong-kiam yang dicekalnya itupun mulai bergetar-getar. Tampaknya pemuda itu hendak menyerangnya.
"Mengapa tak boleh menjamah ?" seru Cin Hong Ing dengan marah. Tetap ia lanjutkan tangannya hendak menjemput pedang.
Melihat itu Cong Tikpun tak mau memberi ampun lagi. Serentak ia taburkan pedang Thian-liong-kiam menyerang nona itu.
Setitikpun Cin Hong Ing tak pernah mimpi bahwa pemuda itu akan berbuat seganas itu kepadanya. Cepat ia menyurut mundur tetapi tak urung lengannya telah tergurat panjang oleh ujung pedang Thian-liong-kiam. Darah bercucuran, memerah lengannya yang putih.
"Apa engkau gila ? Mengapa engkau melukai aku ?" teriaknya.
Walaupun begitu tetap nona itu belum menyadari sesungguhnya sikap Cong Tik terhadap dirinya.
Cong Tik tertawa sinis. "Sedikitpun aku tak gila" serunya, "rahasia tentang pedang Ki-bun-kiam yang sudah berada ditanganku itu telah engkau ketahui._Akupun takkan mengijinkan engkau hidup didunia lagi. Salahmu sendiri. Aku hendak melihat-lihat pantai mengapa engkau mau ikut? Apabila engkau mati jangan engkau mendendam kepadaku !"
Setiap patah kata dari Cong Tik itu terasa seperti ujung pedang yang menusuk uluhati Cin Hong Ing. Ia terlongong-longong dan menghela napas : "Engkau ... bilang apa ?"
Cong Tik sudah membulatkan keputusan. Apabila tak melenyapkan nona itu, jika dia sampai lolos, tentu akan mendatangkan bencana besar. Maka tanpa ragu-ragu lagi ia segera bergerak maju dan terus menusuk dada si nona.
Walaupun bersedih tetapi Cin Hong Ing tetap mengharap agar Cong Tik hanya bersendau gurau lagi. Pada saat ujung pedang melaju ke dadanya barulah ia gelagapan tersadar dari mimpinya. Buru-buru ia rebahkan tubuh ke samping, cret... serangkum hawa dingin segera menyambar lewat sisi tubuhnya.
Hebat sekali tenaga tusukan Cong Tik. Luput mengenai tubuh Hong Ing, ujung pedang mendapat sasaran pada tiang perahu sehingga tiang itu sampai tertusuk tembus.
Setelah lolos dari bencana maut, Hong Ing menyadari bahwa berhadapan dengan Cong Tik yang membekal pedang Thian-liong-kiam sukar baginya mendapat kemenangan bahkan kemungkinan jiwanya terancam. Paling baik ia harus berusaha meloloskan diri dan memberitahu kepada sekalian orang tentang rahasia Ki-bun-kiam di tangan Cong Tik.
Maka tanpa banyak pikir lagi, ia terus loncat ke dalam laut.
Karena pedangnya terbenam ke dalam tiang, Cong Tik berusaha untuk mencabutnya. Pada saat tubuh Hong Ing melayang di udara dalam tujuannya untuk meluncur ke dalam laut, Cong Tik menjadi mata gelap. Ia taburkan pedang Thian Liong kiam ke arah si nona. Cin Hong Ing menjerit keras, orang bersama pedang jatuh ke dalam laut. Air yang berwarna biru seketika berobah merah.
Cong Tik menghela napas longgar. Ia segera loncat menyusul ke dalam laut. Air laut disitu dangkal hanya sebatas pinggang dalamnya. Begitu tiba di air, Cong Tik segera melihat Cin Hong Ing meronta dan berusaha untuk berdiri. Kiranya pedang itu hanya melukai bahu si nona saja. Walaupun lukanya cukup parah tetapi tak sampai mengorbankan jiwanya. Dengan sekuat tenaga, nona itu menahan kesakitan dan mencabut pedang Thian-Liong kiam. Ia tahu bahwa Cong Tik tentu takkan melepaskan dirinya. Ia tak menyangka bahwa pemuda yang dikiranya benar-benar menyambut cintanya, ternyata seorang manusia yang berhati serigala.
Cin Hong Ing dapat berdiri tegak. Tetapi karena bahu kanannya terluka parah serta masih mengalirkan darah terus, maka ia hanya dapat memegang pedang itu dengan tangan kiri. Rasa marahlah yang membangkitkan semangat nona itu. Dengan sekuat tenaga ia segera maju menusuk.
Tetapi lukanya benar-benar parah sekali. Ditambah karena terendam air laut, sakitnya bukan kepalang. Tusukannyapun tak lempang dan tidak bertenaga. Sekali mengisar langkah ke samping, dapatlah Cong Tik menghindarinya. Secepat kilat Cong Tikpun dapat mencengkeram bahu kiri Cin Hong Ing.
Sekali menyentak, pedang Thian-liong-kiampun jatuh ke dalam air lagi. Kemudian ia mendorong tubuh Cin Hong Ing sehingga nona itu terpental beberapa langkah dan jatuh tenggelam, lalu dengan cepat Cong Tik memungut pedang.
"Apakah ... apakah engkau benar-benar akan membunuh aku ?" teriak Cin Hong Ing dengan menggigil.
Cong Tik tertawa iblis. Thian-liong-kiam tetap ditusukkan ke muka, cret ...
Cin Hong Ing menjerit dan terjerembab jatuh ke dalam air. Dia seorang nona yang beradat tinggi dan angkuh tetapi sebenarnya tak berhati jahat. Ia hanya salah menaksir orang. Cong Tik memang lebih tampan dan lebih pandai merangkai kata-kata daripada Su Ciau sehingga ia terpikat. Siapa tahu ternyata pemuda itu seorang harimau yang berselimut kulit domba dan akhirnya nona itu harus menjadi korban.
Setelah menyelesaikan Cin Hong Ing, Cong Tik lalu loncat kembali ke atas perahu. Dia memeriksa adakah layar itu masih dapat digunakan untuk berlayar. Dia hendak tinggalkan pulau Kyoto, mencari sebuah pulau yang kosong, melatih ilmu pedang Ki-bun-kiam-hwat.
Sekarang kita kembali ke tempat gelanggang dimana Toho sedang berusaha untuk mematahkan kutungan tongkat besi dari Poan-hong-poh.
Saat itu Toho sudah hampir berhasil mematahkan tongkat itu dan waktu yang digunakanpun kurang dari setengah jam saja.
Dengan berseri gembira, Lhama itu segera kerahkan tenaga menekuk tongkat yang dikepit dalam ketiaknya itu kebawah. Tetapi baru dia bergerak, tiba-tiba ia rasakan ketiaknya agak kesemutan. Tenaga yang telah dihimpun pada lengan itu entah kemana perginya. Sudah tentu Toho terkejut sekali. Ia memiliki tenaga-dalam yang tinggi dan seorang ahli tenaga-dalam. Dia merasa derita kesemutan itu dan hawa murni dalam tubuhnya telah menyesat ke aliran yang salah atau seperti menunjukkan gejala Co hwe-jip-mo (sungsang balik) hingga jalan darah itu tertutup semua. Demikian keadaan yang ia rasakan saat itu.
Dia menimang adakah tadi dia telah keliwat banyak menggunakan tenaga-dalam sehingga timbul akibat demikian ?
Kuatir akan hal itu maka diapun tak berani menyalurkan tenaga-dalam lagi dan hanya menggunakan hawa murni. Ia merasa tak ada perubahan apa-apa maka iapun segera mulai lagi untuk menekuk tongkat itu kearah perutnya. Tetapi begitu bergerak kembali dia rasakan ketiaknya kesemutan lagi. Tenaganya hilang.
Dia heran tetapi sampai saat itu tak pernah terlintas dalam pikirannya bahwa dia sedang dipermainkan oleh seorang tokoh sakti. Dia tetap menganggap bahwa tenaga-dalamnya tidak menyalur rata. Buru-buru ia berhenti lagi, menyalurkan hawa murni. Dua kali berhenti itu telah memakan waktu cukup lama.
Sekalian penonton bermula mengira bahwa Toho tentu segera dapat mematahkan tongkat itu dan mendapatkan pulau Kyoto. Tetapi alangkah heran mereka ketika dua kali Toho harus hentikan usahanya menekuk tongkat itu.
Dalam pada itu Poan-hong-poh lebih tajam matanya. Melihat keadaan Toho, cepat ia dapat menduga bahwa ada seorang sakti yang tengah membantu dirinya untuk mempermainkan Toho. Diam-diam legahlah hati nenek itu. Ia tertawa ke arah rahib tua itu.
Takut kalau Toho akan mengetahui kalau dirinya sedang dipermainkan orang, rahib tua itu pura-pura tak menghiraukan Poan-hong-poh.
Hian-li Lim Sam Kho sendiri juga diam-diam heran. Waktu ia keliarkan pandang mata meneliti ke arah penonton, segera ia melihat seorang lelaki tinggi besar tengah mengangguk dan tersenyum ke arahnya. Lim Sam Kho tercekat. Diam-diam ia merangkai dugaan bahwa dengan kehadiran lelaki tinggi besar Siang Bong di tempat itu, bukan mustahil kalau Toho akan menderita malu nanti.
Memang dugaan Lim Sam Kho itu tepat. Memang Siang Bong yang berdiri terpisah dua tombak di belakang Toho itulah yang mempermainkan Lhama itu dengan ilmu kepandaiannya yang tinggi, menjentikkan sebutir pasir yang halus ke arah ketiak Toho. Tanpa suara sedikitpun juga dan karena perhatian semua orang tertumpah pada Toho, sudah tentu tiada seorangpun yang tahu akan permainan Siang Bong itu. Bahkan Toho sendiri walaupun merasa tetapi hanya mengira kalau penyaluran tenaga-dalamnya tidak merata dan sama sekali tidak curiga kalau ada orang yang sedang mempermainkannya.
Dari peristiwa itu dapatlah ditarik kesimpulan betapa tingai kepandaian tokoh Siang Bong itu. Untuk menjetikkan pasir memang tak sukar tetatpi yang diarah itu seorang tokoh macam Toho dan pula yang berada di gelanggang itu adalah tokoh-tokoh silat yang berilmu tinggi, namun tiada seorangpun yang tahu akan hal itu. Rasanya dalam dunia persilatan masa itu hanya Siang Bong seorang yang mampu melakukan hal semacam itu.
Toho masih penasaran, setelah menghimpun lagi tenaga-murni ia mengerahkan tenaga untuk menekuk tongkat pula. Butir pasir yang ketiga pun segera diluncurkan Siang Bong. Tiga kali menjentik dan tiga kali pula arah yang dikenainya itu hampir sama ialah di bawah ketiak.
Dibawah ketiak itu terdapat sebuah jalan darah yang disebut Toa poh hiat, merupakan salah sebuah jalan darah yang penting. Apabila Siang Bong menggunakan tenaga yang lebih keras lagi sedikit saja, Toho tentu tak kuat.
Bahwa tiga kali Toho merasa di bawah ketiak kesemutan saja, diam-diam takutlah ia. Kalau memaksakan diri untuk mengerahkan tenaga-dalam dikuatirkan akan mengalami akibat Co hwe-jip mo yang akan membuatnya cacad dan lumpuh seumur hidup.
Tetapi tadi ia sudah membuka suara bahwa dalam waktu sejam saja tentu dapat mematahkan tongkat itu. Saat itu waktu yang dijanjikan itu sudah hampir habis. Bukan saja tak mampu mematahkan tongkat bahkan ia terancam akan mengalami Co-hwe-jip-mo.
Toho gelisah sekali. Memandang ke muka dilihatnya wajah Poan hong-pon berseri-seri. Seketika timbullah niat jahatnya. Asal sudah dapat menyelesaikan Poan hong- poh, hanya tinggal Lim Sam Kho seorang yang harus diperhitungkan tetapi wanita itu dapat diatasi oleh paderi Gok Co thauto dan kawan kawannya. Dengan begitu jelas ia akan dapat menguasai pulau Kyoto tanpa bersusah-susah menempuh bahaya mematahkan tongkat itu.
Setelah memutuskan rencana, tiba-tiba ia bersuit panjang dan berteriak :Gok Co thauto, lekas jalankan rencana kita itu !"
Melihat bahwa Toho yang sudah akan berbasil memutuskan tongkat tiba-tiba menderita kesulitan, Gok Co thauto dan kawan-kawannya ikut cemas. Selekas mendengar perintah Toho, merekapun cepat menghunus senjata. Sebenarnya mereka baru akan bergerak setelah Toho merebut kemenangan.
Peristiwa dari tindakan Gok Co thauto yang tak terduga-duga itu telah menyebabkan para jago-jago silat yang menyaksikan pertandingan itu kalut. Banyak yang menjadi korban serangan kawanan Gok Co thauto.
Pun setelah memberi perintah, Toho juga segera bergerak. Tak mau lagi ia menekuk tongkat tetapi menggunakan tongkat itu untuk menyerah Poan hong- poh.
Sudah tentu Poan-hong-poh terkejut. Tring, ia menangkis dengan tongkatnya juga. Benturan itu telah menyebabkan Toho dan Poan-hong-poh masing-masing menyurut mundur tiga langkah.
"Toho, engkau punya malu atau tidak ?" teriak Poan-hong-poh dengan gusar.
Tetapi Toho tak mau menjawab melainkan menyerang lagi. Tetapi tiba-tiba ia merasa dari kanan dan kiri berhembus dua gelombang tenaga besar yang melandanya. Dalam gugup ia berpaling memandang ke kanan dan ke kiri. Gelombang angin dari sebelah kiri ternyata tenaga pukulan Hian-thian-kong-gi yang dilepaskan Hiau-li Lim Sam Kho. Sedang yang dari kanan timbul dari gerakan menampar rahib tua itu. Tampaknya ringan tak bertenaga rahib tua itu mengayunkan tangannya, tetapi ternyata memancarkan angin pukulan yang hebat sekali.
Toho memang curiga terhadap rahib tua itu. Seorang rahib tetapi mengapa memakai kerudung kepala yang menutupi juga bagian mulutnya. Tetapi kini setelah diketahui bahwa serangan dari rahib tua itu ternyata menggunakan tenaga-sakti Thian-jiu kang, kejutnya bukan alang kepalang. Dua kali ia pernah merasakan penderitaan hebat dari pukulan Thian jiu-kang itu. Pertama kali pada tujuh tahun yang lalu sehingga dia dimasukkan dalam peti besi dan dilempar ke dalam telaga. Kedua kali, apabila dalam pertempuran digunung Ke-tiok san itu Siau Yau ciujin tidak berlaku murah hati, saat itu dia pasti sudah mampus. Sudah tentu sekarang dengan cepat ia dapat mengenali gerak dari pukulan Thian-jiu kang itu. Apakah rahib tua itu penyamaran dari Siau Yau cinjin ?
Tetapi ia tak sempat merenung lebih lama karena saat itu harus menghadapi dua buah pukulan sakti. Terpaksa ia kerahkan tenaga-dalam untuk menangkis seraya menyurut mundur dan menegur rahib tua itu: "Siapakah .... engkau ini ?"
Rahib tua itu tak menghiraukan melainkan berkata kepada Lim Sam Kho: "Sam Kho, harap berhenti dulu. Orang ini mempunyai perhitungan dengan aku yang belum selesai. Terpaksa aku akan membuka larangan membunuh untuk menyelesaikannya. Sukalah Sam Kho membereskan kawanan Gok Co thauto itu saja !"
Karena beralasan, Lim Sam Khopun menurut. Tetapi baru saja ia hendak berputar tubuh, sekonyong-konyong terdengar ledakan yang maha dahsyat seperti halilintar meletus tetapi datangnya bukan dari angkasa. Dengan ilmu kepandaian yang dimilikinya, Lim Sam Kho sampai tergetar karas sehingga telinganya kesemutan. Memandang ke muka tampak Siang Bong sedang berdiri di atas sebuah gunduk tanah. Sesaat tokoh itu membuka mulut, kembali terdengar ledakan dahsyat. Sayup-sayup dalam bunyi yang dahsyat itu seperti mengandung aum dan pekik binatang buas. Seramnya bukan kepalang.
Hampir sebagian besar dari orang yang tengah bertempur itu merasa kesemutan kaki dan tangannya sehingga mereka tak kuat lagi untuk mencekal senjatanya dan berdiri tegak seperti patung.
Hanya beberapa puluh jago yang ilmu kepandaiannya agak tinggi tak sampai mengalami hal serupa itu. Tetapi merekapun tak berani melanjutkan pertempurannya lagi dan loncat menyingkir.
Gok Co thauto mengangkat suka memandang ke muka. Dilihatnya Siang Bong dengan perkasa dan penuh kewibawaan tengah berdiri di atas segunduk tanah. Gok Co thauto segera mengenali tokoh itu ketika berjumpa di daerah Biau dulu. la pernah merasakan hajaran yang pahit dari tokoh itu sehingga hampir saja nyawanya hilang. Untung saat itu Siang Bong berlaku murah hati mau mengampuni jiwanya.
Sudah tentu kejut Gok Co thauto seperti disambar petir. Ia memekik lalu berputar tubuh dan lari. Tetapi baru mencapai setombak jauhnya, Siang Bong sudah melayang menghadangnya. Sekali ayunkan tangan, plak, plak, dia menghadiahi dua buah tamparan ke muka Gok Co. Seketika muka paderi itu berhias dua buah daging membegap biru.
Walaupun di daerah Biau, Gok Co thauto membanggakan diri sebagai raja, tetapi matilah kutunya apabila berhadapan dengan Siang Bong.
Tanpa malu-malu lagi ia terus meratap: "Ik-jin (tokoh luar biasa), ampunilah jiwaku. Selanjutnya aku tak berani ikut campur urusan di dunia lagi!"
"Dulu bagaimana kuperingatkan engkau?" bentak Siang Bong.
Gok Co thauto tundukkan kepala tak berani berkutik.
"Hm, kali ini sekali lagi kuampuni jiwamu. Tetapi ingat, apabila lain kali engkau sampai jatuh ke tanganku lagi, tentu akan kucabut jiwamu dan kuhancur leburkan badanmu untuk makanan ular beracun piaraanku!"
Gok Co thauto seorang suku Biau. Mereka percaya bahwa orang yang mati itu kelak akan lahir kembali. Mendengar kematian yang dikatakan Siang Bong, seketika gemetarlah tubuhnya.
"Aku bersumpah akan mentaati perintah !" serunya serta merta.
Siang Bong tertawa: "Ditepi laut terdapat kapal, lekas engkau angkut kawan-kawanmu tinggalkan tempat ini. Aku masih akan membuat perhitungan dengan Toho!"
Sudah tentu Gok Co tak berani membantah. Segera ia mengajak kawan-kawannya pergi. Sekalian tokoh-tokoh lain, demi mendengar bahwa tokoh Siang Bong yang diagungkan dalam dunia persilatan selama ini juga muncul ditempat itu, terkejut bukan kepalang.
Bagi kaum persilatan, menyaksikan pertempuran diantara tokoh-tokoh sakti, merupakan suatu pengalaman yang amat berharga. Sudah tentu mereka tak mau melewatkan kesempatan yang sebagus itu dan ingin mengetahui bagaimana tindakan Siang Bong terhadap Toho.
Siang Bong, Lim Sam Kho dan Poan-hong-poh tegak berjajar menyaksikan Toho berhadapan dengan rahib tua yang bukan lain adalah Siau Yau cinjin.
Sambil mengayunkan kedua tangannya untuk menyerang, tak henti-hentinya Toho bertanya : "Rahib tua, mengapa engkau tak mau menyebutkan namamu ? Siapakah engkau ini sebenarnya ?"
Siau Yau cinjin menggunakan ilmu pukulan Thian-jiu-ciang untuk mendesak. Sebenarnya Toho sudah terkurung dalam bayangan pukulan lawan. Saat itu baru rahib tua menghapus muka, membuang kedok kulit yang menutupi mukanya.
"Apakah engkau tak kenal aku?" serunya dengan tertawa dingin.
Melihat tiba-tiba rahib tua berobah menjadi Siau Yau cinjin, seketika menggigillah tubuh Toho.
Siau Yau cinjin segera lancarkan jurus Gi-jong-gu-tou (kawan menerjang bintang Gutou), menindih lawan. Toho agak lengah, ....... seketika tulang lengan kanannya patah. Dengan meraung keras ia pejamkan mata menunggu ajal.
Siau Yau cinjin melangkah maju dan mengangkat tangan hendak menghabisi jiwa Lhama itu. Tetapi tiba-tiba Siang Bong berseru: "Cinjin, tunggu dulu!"
Siau Yau cinjin heran dan berpaling ke arah Siang Bong: " Mengapa Siang tayhiap hendak memintakan ampun untuknya?"
Siang Bong melangkah maju, serunya: "Toho kejahatanmu sudah lewat ukuran, sudah selayaknya engkau menerima kematian. Tahukah engkau ?"
Dalam keadaan seperti itu masih Toho bersikap congkak. Sambil merentang mata ia berteriak: "Kalau aku mati ditangan cinjin keparat ini, aku tak dapat bilang apa-apa. Tetapi manusia macam apakah engkau ini berani juga menggertak aku?"
Habis berkata tiba-tiba Toho terus ayunkan tangan kiri menghantam dada Siang Bong.
Siang Bong tertawa gelak-gelak. Dia tidak bergerak mundur ataupun menangkis melainkan membiarkan saja dadanya dipukul.
Bluk, pukulan Toho seperti menghantam kulit kerbau yang keras sekali serta mengandung daya pental yang hebat. Toho terkejut dan hendak menyingkir tetapi sudah tak keburu lagi. Krak, terdengar bunyi menggemertak dari tulang tangan kiri Toho yang patah.
Saat itu Toho baru tahu rasa. Dia terlongong-longong seperti patung.
Siang Bong tertawa lalu menghardik : "Toho, jika engkau mau mengatakan tempat penyimpanan pedang Ki-bun-kiam itu, aku akan memintakan pengampunan untukmu kepada Siau Yau cinjin!"
Ketika mendengar kata-kata Siang Bong itu, Poan hong-poh dan Tang Pui Leng terkesiap. Siang Bong sudah sedemikian sakti, mengapa ia masih perlu hendak mencari pedang Ki-bun kiam lagi ?
Sementara itu Toho tundukkan kepala putus asa, ujarnya : " Kutahu bahwa pedang dan kitabnya berada di pulau ini, tetapi tak tahu dimana letak tempat penyimpanannya yang tepat."
Kali ini Poan-hong-poh makin terkejut. Walaupun beradat aneh dan suka membawa kehendaknya sendiri, tetapi diapun tahu gelagat juga. Jika Siang Bong secara bersembunyi tak memberi bantuan, jelas dia tentu akan jatuh ditangan Toho. Sejenak merenung, ia segera berkata :
"Siang tayhiap, jika pedang itu benar berada dipulauku ini, silahkan engkau mencarinya. Aku tak menghendaki benda itu".
Siang Bong tertawa: "Terima kasih atas kebaikanmu. Sebenarnya aku sendiripun tak menghendaki pedang itu. Tetapi karena sudah terlanjur berjanji kepada seorang budak perempuan untuk memberikan kepadanya sebuah senjata pusaka. Kebetulan kudengar bahwa datuk besar dunia persilatan To Leng Sui yang dulu semasa hidupnya menggunakan tujuh batang pedang tetapi kemudian pedang itu lenyap entah kemana, kabarnya pedang itu telah diketemukan orang lagi. Oleh karena itu aku tertarik hendak mendapatkan pedang itu guna kuberikan kepadanya.... ih, kemanakah budak perempuan itu ? Mengapa sampai setengah harian tak kelihatan batang hidungnya?"
Tang Pui Leng tergerak dan menyelutuk "Siang tayhiap, siapakah yang engkau maksudkan budak perempuan itu?"
"Siapa lagi kalau bukan puterimu Ui Hong Ing itu" kata Siang Bong.
Tang Pui Leng hendak memberi tahu bahwa sebenarnya Ui Hong Ing itu bukan seorang anak perempuan tetapi anak laki. Tetapi ia terpengaruh oleh kecemasannya karena anak itu memang sudah beberapa lama tak kelihatan.
"Tadi kelihatannya dia bersama dengan seorang anak muda, mengapa sekarang tak tampak lagi ?"
Juga Hian-li Lim Sam Kho heran: 'Ih, muridku juga kemana perginya."
Toho memandang juga ke sekeliling tempat itu, pun tak melihat Cong Tik. Diam-diam dia memaki pemuda itu karena setelah melihat orang menderita kekalahan, anak itu diam-diam telah ngacir pergi.
Ya, kemanakah gerangan Ui Hong Ing bersama Su Ciau itu?
Sebenarnya ketika Toho sedang ngotot hendak mematahkan tongkat, Ui Hong Ing dan Su Ciaupun berada diantara para penonton dan mengikuti apa yang terjadi disitu.
Bahwa gurunya telah mengajukan syarat yang begitu mudah kepada Toho, Ui Hong Ing menduga tentulah ada sebabnya. Tetapi ketika melihat Toho sudah hampir dapat mematahkan tongkat itu dan tak terjadi suatu apa, Ui Hong Ing mulai gelisah. Pada saat ia hendak melepaskan ular Thiat-bi-coa untuk menakuti Toho, tiba-tiba matanya kedutan dan entah bagaimana ia merasa sedih sekali seperti kehilangan seseorang yang disayanginya dan rapat hubungannya dengan dirinya.
Memandang kemuka, dilihatnya mamahnya masih berdiri di samping Lim Sam Kho. Di sebelah lainpun tampak Su Ciau tak kurang suatu apa. Tetapi mengapa ia mengalami perasaan sedih yang sedemikian aneh? Lalu siapa lagi yang tak kelihatan?
Tacinya Cin Hong Ing! Ya, benar. Tacinya itu tak kelihatan di tempat itu. Adakah tacinya itu mengalami sesuatu yang menyedihkan ? Walaupun perasaan sedih yang mencengkam hati sudah reda tetapi pikirannya tetap terbayang akan tacinya saja. Betapapun ia hendak menghapus, tetap tak dapat. Beberapa saat kemudian, benar-benar ia tak kuat menahan keinginan hatinya untuk mencari tacinya.
"Su Ciau, aku mendapat firasat bahwa taciku telah mengalami sesuatu yang menyedihkan. Mari kita cari dia !" segera ia mengajak Su Ciau.
Su Ciau kerutkan dahi, ujarnya : "Mengapa engkau tahu kalau dia mendapat halangan ?"
Sudah tentu Ui Hong Ing tak dapat menjawab tetapi ia merasakan firasat itu. Maka dengan berkeras ia berseru : "Su Ciau, marilah engkau ikut aku mencari taci. Aku tak dapat mengatakan alasannya tetapi hanya merasa dalam hati bahwa dia telah tertimpa bencana!"
Memang pada anak kembar sering terdapat hal-hal semacam itu. Apabila yang satu sedih maka yang lainpun seperti ikut merasa sedih.
Melihat Ui Hong Ing begitu ngotot, akhirnya mau juga Su Ciau diajak. Mereka menuju ke balik gunung.
"Hong Ing, lihatlah, mana ditempat ini terdapat orang? Sudahlah, lebih baik kita kembali melihat Toho berhasil atau tidak mematahkan tongkat itu" seru Su Ciau.
Sebenarnya Ui Hong Ing menganggap kata-kata Su Ciau itu beralasan tetapi entah bagaimana sebelum melihat tacinya, ganjelan hatinya masih belum hilang.
"Kita lihat saja ke sana, kalau memang tak ada orang, kita kembali" katanya.
Berlari beberapa tombak ke muka, mereka melihat sebuah perahu layar tengah berlabuh di tepi pantai. Di atas perahu itu terdapat seseorang tetapi karena jauh maka tak tahu siapa. Orang itu tengah sibuk membenahi layar.
Ui Hong Ing girang. Sambil menunjuk ke arah perahu, dia berseru : "Lihatlah, bukankah itu orang ? Mari kita tanya kepadanya apakah dia melihat taci atau tidak?"
Tanpa menunggu jawaban Su Ciau, Ui Hong Ing terus lari menuju ke pantai. Ketika tiba, ia melihat bahwa orang itu ternyata Cong Tik. Ui Hong Ing terkesiap.
Sebenarnya perahu itu sudah lama tak digunakan dan ada beberapa bagian yang kemasukan air. Jelas tak dapat dilayarkan di lautan. Tetapi kecuali perahu itu, semua perahu berada di muka pulau. Jika hendak mengambil tentu diketahui orang maka Cong Tik terpaksa berusaha untuk memperbaiki perahu tua itu.
Pada saat ia sedang membenahi tali temali untuk menaikkan layar, tiba-tiba ia melihat dua orang loncat ke tepi pantai. Kejut Cong Tik bukan kepalang sehingga sampai beberapa saat ia terlongong-longong saja.
"Hai, apakah engkau melihat taciku ?" tegur Ui Hong Ing.
Cong Tik gelagapan, menyahut : "Taci ... mu .. ti .. dak .. "
Melihat Cong Tik begitu ketakutan dan gugup, timbullah kecurigaan Ui Hong Ing. Ia teringat ketika tacinya pergi dengan membawa pedang Thian liong kiam, Cong Tikpun mengikuti di belakangnya. Tak mungkin ia tak tahu.
"Ketika dia pergi, engkaupun mengikutinya. Mengapa bilang tak tahu ? Lekas bilang, jangan pura-pura !" Ui Hong Ing mendesak.
Cong Tik memperhatikan bahwa Su Ciau agak jauh dari Hong Ing. Diam-diam ia memutuskan, sekali bertindak takkan kepalang tanggung. Lebih baik kedua anak muda itupun dilenyapkan sekali.
"Silahkan engkau naik ke dalam perahu ini, aku hendak bicara penting" serunya, "tacimu memang diperahu ini."
Tanpa banyak curiga, Ui Hong Ing terus ayun tubuh melayang ke dalam perahu, "Tetapi mengapa engkau tadi berbohong ?"
Cong Tik tertawa : "Aku dan tacimu sudah bersepakat hati untuk mencari sebuah pulau kosong, hidup berdua dengan bahagia. Takut kalau engkau merintangi maka akupun terpaksa berbohong."
Memang pintar benar Cong Tik mencari alasan hingga Ui Hong Ingpun percaya. Saat itu Hong Ing hendak loncat lagi ke pantai dan nonton Toho mematahkan tongkat. Tetapi baru ia hendak bergerak tiba-tiba matanya tertumbuk akan pedang Thian-liong-kiam terselip di pinggang Cong Tik dan tangan Cong Tik mencekal tangkai pedang itu.
"Hai, kiranya taci telah memberikan pedang itu kepadamu ?" serunya.
Baru ia berkata begitu. Cong Tik cepat mencabut Thian-liong kiam terus menusuk dada Ui Hong Ing. Sudah tentu Hong Ing terkejut dan tak siap. Dalam gugupnya ia masih berusaha untuk mundur tetapi bahunya tak urung terpapas juga sehingga mengucurkan darah.
Saat itu barulah Hong Ing menyadari bahwa firasatnya tentang diri tacinya memang benar. la menarik ular thiat-bi coa lalu dengan menahan rasa sakit segera ayunkan ular itu seraya berseru: "Engkau apakan taciku ? lekas bilang !"
Cong Tik menabas. Karena kuatir ular thiat-bi-coa akan menderita luka, cepat Hong Ing menariknya kembali. Cong Tik melangkah maju dan menusuk lagi : "Tacimu sudah aman, engkaupun segera akan kususulkan untuk menjumpainya !"
Menggigil hati Ui Hong Ing mendengar keterangan itu. Ia tertegun. Akibatnya runyam. Cong Tik tak mau melepaskan kesempatan sebagus itu.. Segera ia taburkan pedang dan mengurung Hong Ing dalam sinar kuning.
Untung dalam menghadapi detik-detik yang berbahaya itu, Su Ciau segera muncul. Bermula ia mengira sinar pedang Thian-liong-kiam itu berasal dari taci beradik yang karena selisih faham lalu bertempur. Tetapi pada lain kejab, ketika memandang dengan seksama, ia baru mengetahui bahwa yang bertempur dengan Hong Ing itu adalah seorang lelaki.
Su Ciau gugup. la cepat melayang ke dalam perahu. Tetapi ia tak mempunyai senjata maka disambarnya rantai sauh yang menambatkan perahu itu. Sauh terus dihantamkan ke arah Cong Tik.
Sejak tekun belajar digunung Tay-swat-san tenaga kepandaian Su Ciau makin bertambah hebat. Dan serangan kali ini ditujukan untuk menolong orang. Ia menggunakan seluruh tenaganya.
Melihat itu Cong Tik hendak membabat dengan Thian-liong-kiam. Tetapi ia segera menyadari, memang ia dapat membabat putus rantai tetapi kemungkinan tubuhnyapun akan lebur karena terhantam sauh. Buru-buru ia menarik pulang pedangnya.
Sebenarnya kepandaian Ui Hong Ing lebih tinggi dari Cong Tik. Adalah karena terkejut mendengar keterangan Cong Tik maka ia sampai terlongong. Dan dengan tepat Cong Tik dapat menggunakan kesempatan itu untuk mengurungnya. Serangan Su Ciau memaksa Cong Tik harus alihkan perhatiannya. Ia memapas sauh, tring ... Kesempatan itu dimanfaatkan oleh Hong Ing yang segera ayunkan kedua kakinya, melancarkan jurus Ngo-kui-pan lian atau Lima-setan-memindah-teratai salah sebuah jurus dari Gong-jiu-toh-peh-jim atau ilmu dengan tangan kosong merebut senjata.
Tetapi celaka. Secara kebetulan sauh atau jangkar perahu yang terpapas pedang Cong Tik itu telah mencelat ke arah Hong Ing.
Jurus pertama dari ilmu Gong-jiu-toh-peh-jim adalah melambung ke udara. Tetapi karena ujung jangkar yang runcing hendak menghantam mukanya terpaksa ia batalkan rencana, menggeliat turun lagi. Sedang pada saat itu karena hendak menghindari serangan Su Ciau, terpaksa Cong Tik mundur selangkah. Melihat Hong Ing turun ke tanah dengan pontang panting, Cong Tik tak mau membuang kesempatan lagi. Cepat ia menyurutkan lengan kiri dan benturkan siku lengannya ke dada Hong Ing.
Hong Ing masih dapat menghindar ke samping tetapi Cong Tik memang cerdik sekali. Gerakan dengan siku lengan itu hanya merupakan ancaman kosong. Karena saat itu juga ia menyusuli dengan menarik tangkai pedang ke belakang mengarah ke jalan darah Ki-bun-hiat pada dada Hong Ing.
Belum sempat Hong Ing berdiri tegak, tangkai pedang sudah melayang. Ia tak dapat menghindar lagi dan jalan darah pada dadanya termakan ujung tangkai pedang, duk, ia jatuh terkapar di atas geladak.
Untung waktu terancam tutukan tangkai pedang itu Hong Ing bersiap hendak menggunakan jurus Thiat-pian-kio (jembatan-besi-gantung) untuk menekuk tubuhnya ke belakang. Dengan demikian, walaupun dadanya kena tertutuk tetapi tubuhnya tak sampai terluka dan masih dapat bicara.
Su Ciau terkejut. Maju selangkah, ia hendak menolong Hong Ing. Tetapi saat itu juga punggungnya terasa disambar angin dingin. Cong Tik menyerang dari belakang, terpaksa ia ayunkan jangkar untuk menyongsong.
Melihat besi jangkar itu berat sekali, terpaksa Cong Tik tak berani mengadu dengan pedangnya. Dengan mengandalkan kelincahannya, iapun berputar-putar mengelilingi lawan, menusuk dan membabat jangkar.
Dalam beberapa kejab saja kedua pemuda itu sudah bertempur sampai duapuluh jurus. Keempat ujung runcing dari jangkar yang dimainkan Su Ciau sudah terpapas kutung oleh pedang Thian liong kiam sehingga saat itu lebih mirip bentuknya seperti sebatang alu atau toya. Hal itu malah menguntungkan Su Ciau karena ia merasa berat juga untuk memainkan jangkar yang begitu berat. Kini ia dapat memainkan dengan lebih gencar dan keras. Berulang kali ia hendak mencuri kesempatan untuk membuka jalan darah Hong Ing tetapi selalu digagalkan Cong Tik.
Karena tak mampu merubuhkan Su Ciau, Cong Tik mulai gelisah. Jika sampai datang lagi seorang lain tentu tak menguntungkan. Pada hal dia harus lekas-lekas tinggalkan pulau itu dengan membawa ketujuh pedang Ki-bun-kiam dan kitab pelajarannya.
Diapun tak tahu bagaimana kesudahan dari pertandingan yang dilakukan Toho. Siapapun yang menang, baginya tetap tak ada manfaatnya bahkan malah mengganggu. Ia harus segera menyelesaikan pertempuran itu. Serangannya segera dilancarkan lebih gencar dan hebat. Tring, ia dapat membabat kutung senjata lawan lagi sehingga sudah tak menyerupai jangkar.
Su Ciau terpaksa mundur, Cong Tik tetap mengejarnya. Andaikata mau meloloskan diri, tidak sukar. Tetapi Su Ciau memikirkan diri Hong Ing. Jika ia pergi Hong Ing tentu dibunuh. Tiba-tiba ia nekat. Kutungan besi jangkar yang hanya tinggal setengah meter itu disabitkan kepada Cong Tik.
Cong Tik tertawa gelak-gelak. Cukup dengan mengangkat pedang, kutungan jangkar itupun berhamburan jatuh. Cong Tik mengejar lagi. Su Ciau lepaskan sebuah pukulan. Ia siap menghadapi dengan tangan kosong.
"Su Ciau, kuajarkan kepadamu sebuah jurus yang diberikan Siang tayhiap. Silangkan kedua kaki dan menendanglah dengan beruntun, lekas !" tiba-tiba Hong Ing berseru.
Mendengar jurus itu ajaran dari Siang Bong, walaupun menurut penilaian tentu akan terpapas oleh pedang Cong Tik, namun Su Ciau tetap percaya dan melakukannya.
Setelah kedua kaki itu berturut-turut menendang, Cong Tik mengangkat pedang dan menujukan ke tenggorokan Su Ciau. Saat itu pedang hanya terpisah beberapa senti dari kerongkongan Su Ciau. Melihat itu Hong Ing berseru lagi : "Tekuk tubuh ke belakang, berputar ke samping, gunakan jurus Thiat pian-kio miring, tutuk pelipisnya dengan tangan kirimu"
Su Ciau menurut lagi. Begitu menggeliat, ujung pedang Cong Tik memang dapat dihindarinya dan saat itu ia mempunyai kesempatan untuk menyerang. Dengan jari tengah tangan kiri segera ia menutuk jalan darah thay-yang-hiat di pelipis lawan.
Melihat jurus aneh ajaran Hong Ing mampu menghindari tusukan pedangnya, pula teringat bagaimana dengan gerakan aneh tadi Hong Ingpun berhasil merebut pedangnya, Cong Tik terkejut sekali. Ia tak mau melanjutkan serangannya melainkan menghindar ke samping dan kebetulan tak berada jauh dari tempat Hong Ing.
"Sayang, Sayang !" seru Hong Ing, sebenarnya apabila engkau susuli dengan menyentikkan jari tengah, pedang Thian-liong-kiam tentu dapat engkau rebut. Lekas kejar !"
Melihat hubungan kedua anak muda itu begitu erat, diam-diam timbul dugaan Cong Tik. Mungkinkah antara Su Ciau dan Hong Ing sudah terjalin ikatan kasih ? Bagus, ia gembira dalam hati. Menilik kepolosan hati Su Ciau, tak sukar untuk memperalat pemuda itu. Karena jika pertempuran itu dilanjutkan dan Hong Ing memberi ajaran jurus-jurus yang aneh, kemungkinan pedang Thian-liong kiam akan jatuh lagi ke tangan Su Ciau.
Setelah merancang rencana, iapun segera loncat ke tempat Hong Ing dan tujukan ujung Thian-liong-kiam ke tenggorokan Hong Ing.
Su Ciau terkejut sekali, serunya : "Hai, keparat, apa yang engkau kehendaki ?"
"Tidak apa-apa" Cong Tik tertawa dingin, "tetapi jika engkau berani maju selangkah lagi, pedang ini segera akan kubenamkan ke tenggorokan budak ini. Heh, heh, dia tentu segera akan menyuasul tacinya ke neraka. Su Ciau tertegun kejut. Karena menghentikan langkah dengan keras, maka lantai geladak yang sudah tua itupun pecah.
"Tunggu, kita bicara lagi" serunya gopoh.
Mendengar bahwa tacinya telah dibunuh, Hong Ing melengking : "Apakah engkau yang mencelakai taciku ?"
"Benar, engkaupun segera akan menemuinya di akhirat" sahut Cong Tik.
Ingin rasanya saat itu Hong Ing mencincang Cong Tik, tetapi sayang dia tak dapat berkutik. Apalagi saat itu tenggorokannya sedang terancam ujung pedang. Terpaksa ia harus menekan kemarahannya dan memaksa tertawa : "Engkaulah yang akan bertemu dengan taci, kenapa harus aku ?"
Jika Hong Ing marah dan berkata dengan kasar, tidak demikian dengan Su Ciau. Bukan karena pemuda itu lemah hati atau penakut tetapi ia memikirkan kepentingan Hong Ing. Jika ia bersikap kasar, Cong Tik tentu akan membunuhnya.
Cong Tik menyadari bahwa ilmu kepandaiannya masih kalah dengan Hong Ing. Paling-paling dia seimbang dengan Su Ciau. Ia dapat menguasai kedua anak muda itu karena kecerdasan otaknya mengatur tipu siasat.
"Orang she Tan" sahutnya kepada Su Ciau "Dulu aku tak mempunyai dendam permusuhan dengan engkau, sekarangpun tidak. Hanya sebuah syarat yang dapat menyuruh kubebaskan budak ini. Tetapi apakah engkau mau menerima ?"
"Lekas katakan " seru Su Ciau.
Baginya asal dapat membebaskan Hong Ing, ia tak peduli apakah syarat yang akan diajukan Cong Tik.
Cong Tik tertawa sinis. "Mudah sekali tetapi rasanya engkau tak sanggup menerimanya !"
"Bilang !" rupanya Su Ciau tak sabar lagi menunggu.
Kembali Cong Tik tertawa iblis.
-o0^DW^Agus Ekanto^0o- PENUTUP "Dengarkan" kata Cong Tik, "Asal engkau mau memotong urat nadi dan bunuh diri, aku takkan membunuh budak perempuan ini !"
Su Ciau terkesiap. Tetapi pada lain kejab ia menimang. Walaupun dia mati tetapi Hong Ing akan hidup. Pengorbanan yang layak.
"Apakah omonganmu itu dapat dipercaya ?" ia menegas.
Cong Tik tahu bahwa Su Ciau itu seorang pemuda yang jujur dan polos. Ia hendak menyiasati pemuda itu. Selekas Su Ciau mati bunuh diri, ia segera menghabisi Hong Ing juga. Siapa yang akan merintangi?
"Sudah tentu dengan sungguh hati." sahutnya.
Marah Hong Ing bukan kepalang. Kalau ia bicara, kerongkongannya tentu akan terbentur ujung pedang. Tetapi kalau ia diam saja, Su Ciau tentu termakan tipu.
"Su Ciau, jangan percaya omongannya." akhirnya Hong Ing nekat berteriak. Benar juga seketika itu ia rasakan tenggorokannya sakit. Kulitnya tertusuk ujung pedang dan berdarah.
Melihat leher Hong Ing berdarah, Su Ciau mengira kalau Cong Tik sudah membuktikan ancamannya. Buru-buru ia berseru : "Hong Ing, kecuali itu tiada lain daya untuk menolong engkau. Asal engkau hidup dan berbahagia, biarlah aku mati!"
Walaupun menderita tusukan namun Hong Ing tak takut. Ia berseru lagi: "Su Ciau, engkau keliru. Kalau engkau mati, dia tentu akan membunuh aku juga. Bangsat itu hendak lekas-lekas tinggalkan pulau ini. Kalau tidak masakan dia mencelakai taciku. Tentu ada sebabnya yang aneh. Biarlah dia menusuk, takut apa!"
Cong Tik terkejut. Ia tahu tak dapat menekan Hong Ing. Satu-satunya jalan hanyalah mendesak Su Ciau saja.
"Orang she Tan, dengan selembar jiwamu, engkau menolong jiwa budak perempuan ini. Engkau mau menerima atau tidak, lekas bilang. Kalau memang takut, ya sudah. Seorang lelaki mengapa bimbang memberi keputusan ?" serunya.
Su Ciau menghela napas : "Sahabat Cong, kuharap engkau menepati janjimu !"
Serentak ia menekuk lutut, hendak duduk dan memutuskan urat nadinya.
Sekonyong-konyong perahu itu bergoncang keras kian kemari. Karena semangatnya sudah lunglai, hampir saja Su Ciau terjatuh. Ketika ia berbangkit, dilihatnya Cong Tik juga ikut terhuyung sehingga ujung pedangnya terpisah dari leher Hong Ing. Menggunakan kesempatan itu Hong Ing berteriak: "Su Ciau, percayalah omonganku. Jangan sekali-kali engkau melakukan hal itu. Jangan percaya kepadanya. Kalau engkau nekat, akupun hendak menggigit lidahku supaya mati!"
Su Ciau tertegun mendengar ucapan itu. Sedangkan Cong Tik heran mengapa perahu bergoncang sedemikian keras. Setelah memperhatikan sejenak, girangnya bukan kepalang. Adalah karena sauh telah diambil Su Ciau maka perahu itupun terdampar gelombang dan mulai meluncur tinggalkan pantai.
Cong Tik girang karena setelah perahu berjalan ia akan dapat dengan pelaban-lahan menyelesaikan kedua anak muda itu. Tetapi ia terkejut dan cemas adakah perahu yang sudah tua itu masih dapat berlayar mengarungi lautan.
"Nona Hong Ing, engkau benar," serunya mencemoh, "tetapi kalau engkau mati, diapun tentu akan bunuh diri!"
Sambil berkata, mulai lagi ia melekatkan ujung pedang ke leher Hong Ing.
Saat itu angin berhembus keras. Karena tidak dikemudikan, perahupun bergoyang-goyang tak henti-hentinya. Agak sulit juga Cong Tik melekatkan ujung pedang ke leher Hong Ing. Baru berhasil menempelkan pedang, perahu bergoncang lagi sehingga dia tersiak ke samping.
Diam-diam Hong Ing mencari akal. Serunya: "Engkau benar. Tetapi karena kita berdua bakal berpisah, apakah engkau meluluskan dia supaya menghampiri ke dekatku untuk mengucapkan selamat tingal yang terakhir ?"
Mendengar itu Cong Tik girang sekali. Diam-diam ia sudah merencanakan. Apabila mereka hendak berbuat sesuatu, lebih dulu ia akan menusuk leher Hong Ing baru kemudian membunuh Su Ciau. Walaupun agak memakan waktu sedikit, tetapi tak apa. Toh mereka tak mungkin terlepas dari tangannya.
"Baik" serunya meluluskan.
"Su Ciau, kemarilah "seru Hong Ing yang diam-diam girang karena Cong Tik rupanya tak mengetahui rencananya.
Su Ciau menurut. Dengan langkah ketolol-tololan ia menghampiri ke tempat Hong Ing lalu berlutut: "Hong Ing...." baru mengucap dua patah kata tenggorokannya sudah tersumbat dengan rasa haru.
"Harap singkirkan pedang ke samping sedikit, aku hendak mencurahkan sesuatu pada saat dia berpisah dengan aku" kata Hong Ing.
Cong Tik tertawa dingin: "Engkau pintar sekali. Begitu datang rapat engkau segera suruh dia membuka jalan darahmu agar engkau dapat bangun untuk menghadapi aku. Sudahlah, jangan mimpi!"
Diam-diam Hong Ing terkejut dan memaki Cong Tik sebagai seorang manusia yang licik tetapi cerdik. Tetapi hal itu menyangkut mati hidupnya, betapapun ia harus dapat mengelabuhi Cong Tik.
"Huh, tikus buduk, apabila engkau lekatkan ujung pedang ke leherku, bukankah sama saja? Bagaimana mungkin aku dapat bangun?" serunya. Cong Tik menganggap hal itu memang beralasan. Segera ia lekatkan ujung pedang ke dada Hong Ing sementara Su Ciaupun segera merapatkan telinganya untuk menerima kata-kata Hong Ing.
"Su Ciau, lekas buka jalan darahku tetapi jangan sampai diketahuinya" Hong Ing segera membisiki perlahan sekali.
Su Ciau buru-buru menekan bahu Hong Ing. Karena teraling oleh tubuhnya dan Cong Tik sangat percaya pada kecerdikannya sendiri, apalagi sudah siap dengan pedang mengacung, maka ia tak curiga dan menganggap tak mungkin kedua anak muda itu akan berbuat melanggar janji.
Jalan darah Hong Ing telah terbuka tetapi dia tetap tak mau bergerak melainkan berseru: "Ya, sudahlah, lekaslah engkau menyingkir!"


Pendekar Banci Karya Sd Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Su Ciaupun menurut. "Tuh lihat, apakah dia membuka jalan darahku? Hayo, lekas lekatkan ujung pedangmu ke tenggorokanku lagi" seru Hong Ing mencemooh Cong Tik.
Kuatir kalau Su Ciau berbanyak hati lagi Cong Tik segera menghampiri hendak melekatkan ujung pedang ke tenggorokan Hong Ing lagi. Tetapi saat itu sekonyong-konyong perahu berguncang keras sekali sehingga pedang menggelincir ke samping. Saat itulah yang ditunggu-tunggu Hong Ing. Plak, ia menampar bibir pedang. Karena tak menduga, pedangpun tersiak ke samping.
Cong Tik terkejut sekali. Menyadari kalau ia tertipu, cepat ia memapaskan pedang. Tetapi saat itu Hong Ing sudah loncat bangun setombak jauhnya dan tertawa nyaring.
"Ha, ha, engkau termakan tipuku. Aku memang suruh Su Ciau diam-diam membuka jalan darahku"
Betapa geram dan sesal Cong Tik sukar dikata. Lolosnya Hong Ing itu disebabkan karena goncangan perahu, suatu hal yang tak tercapai pada pikiran Cong Tik.
Melihat Hong Ing sudah terlepas dari bahaya, girang Su Ciau bukan kepalang. Segera ia loncat menghampiri.
"Orang she Cong" seru Hong Ing pula, "jika engkau mau serahkan pedang dengan baik-baik, mayatmu tentu kubiarkan utuh. Tetapi kalau membangkang, akupun mampu untuk merebut pedangmu itu."
Cong Tik menyadari bahwa saat itu posisinya lemah, tetapi suruh dia menyerahkan pedang dengan begitu saja, dia tak mau. Namun kalau melawan juga sia-sia. Akhirnya ia tertawa dingin: "Jangan bergirang dulu, jika kutenggelamkan perahu ini, kita akan mati semua "
Ia menutup kata-katanya dengan melepaskan hantaman ke arah tiang perahu. Tiang perahu itupun putus dan jatuh ke dalam laut.
"Bangsat, engkau masih berani jual tingkah tengik" seru Hong Ing marah. Sekali bergerak ia sudah melesat ke muka Cong Tik.
Cong Tik terpaksa menyambut dengan tusukan pedang. Dia bertempur dengan hati-hati sekali karena kuatir Hong Ing akan mengeluarkan jurus permainan yang aneh.
Tetapi kelima jurus Gong-jiu-toh-peh-jim itu adalah hasil ciptaan Siang Bong yang dilakukan dengan cermat dan susah payah. Sudah tentu kepandaian Cong Tik tak mungkin melayani.
Sebelum berdiri tegak, kedua kaki Hong Ingpun sudah melayang dengan tendangan Ngo-kui-pan-lian. Lima macam gerakan berturut-turut segera melancar dan dalam beberapa saat saja pedang Thian liong-kiam sudah pindah ke tangan Hong Ing.
Cong Tik terkejut dan menyurut mundur kemudian merogoh ke dalam bajunya.
Mengira kalau orang itu hendak mengambil senjata rahasia, Hong Ingpun bersiap-siap. Tetapi tak terduga-duga ternyata Cong Tik mengeluarkan sebatang pedang yang berkilau-kilauan. Agak pendek sedikit dari pedang Thian-liong kiam. Tampaknya juga sebatang pedang pusaka yang amat tajam.
Hong Ing tertegun, serunya : "Bagus, jahanam, akan kulihat berapa banyakkah pedang yang engkau miliki! Su Ciau, sambutilah !"
Ia segera lemparkan pedang Thian-liong-kiam ke arah Su Ciau dan pemuda itupun setelah menyambuti lalu menebarkan dan menyerang Cong Tik.
"Su Ciau, jangan bergerak sembarangan. Aku saja yang menghadapinya" seru Hong Ing.
Su Ciau tertegun, serunya : "Hati-hatilah !"
Hong Ing tertawa lalu melangkah maju. Melihat Hong Ing hanya bertangan kosong, Cong Tik tahu kalau lawan hendak merebut pedangnya lagi. Dia sudah menderita jurus Ngo-kui-pan-lian dari Hong Ing. Begitu melibat Hong Ing maju, ia segera acungkan ujung pedang ke bawah untuk menjaga apabila Hong Ing akan melepas tendangan lagi, akan segera ia babat.
Hong Ing tahu akan rencana lawan. Memang kalau ia gunakan jurus Ngo-kui-pan-lian, ia tentu menderita. Tetapi ia telah mempelajari kelima jurus dari ilmu Ngo-kui-pan-Lian. Tabasannya luput, Cong Tik segera balikkan siku lengannya untuk memapas ke atas. Tetapi kembali Hong Ing menekuk kaki dan loncat ke udara. Hanya terpaut sejari saja pedang dengan kaki Hong Ing. Cong Tik penasaran. Dengan sekuat tenaga ia sontekkan pedang ke atas. Tetapi diluar dugaan, Hong Ing menekuk kaki dan melambung lebih tinggi lagi. Dengan demikian pedang Cong Tik tetap membabat angin.
Tiga kali Cong Tik membabat ke atas, sehingga lengannya sampai menjulur lurus ke atas, tetap dia tak mampu melukai Hong Ing. Saat itu baru ia menyadari bahaya. Tetapi terlambat. Tiba-tiba kaki kiri Hong Ing menjulai dan tepat menendang lengannya sehingga pedang yang mirip Thian - liong kiam mencelat. Dan Hong Ing yang masih berada di udara dengan cepat dapat menyambar pedang itu lalu meluncur turun.
"Keparat, biar engkau mendapat pengalaman. Jurus yang tadi disebut Ngo-kui-pan-lian. Dan jurus yang kedua disebut Sam-Yau-liong-bun !"
Karena kejutnya Cong Tik sampai terlongong-longong. Kemudian cepat ia mengambil lagi sebatang pedang. Pun pedang itu lebih kecil dari pedang yang kedua.
Heran Hong Ing dibuatnya. Dari mana jahanam itu mendapat sekian banyak pedang pusaka. Ia berikan pedang rampasannya itu kepada Su Ciau lalu ia melangkah maju menggoyangkan sepasang tangannya.
Pedang yang dipegang Cong tik sekarang lebih kecil dan pandak sehingga tak begitu leluasa digunakan. Dengan geram ia maju menusuk. Hong Ing tak menghindar mundur tetapi merentangkan tangannya ke sampirrg. Plak, plak, selekas tangan melekat pada bahu Cong Tik, Hong Ing segera memijat keras. Tring .. pedang Cong Tikpun jatuh ke geladak. Hong Ing cepat menendang pedang itu ke tempat Su Ciau agar diambilnya.
Kali ini cepat sekali Hong Ing merebut pedang lawan. Cong Tik sama sekali tak sempat balas menyerang.
"Yang ini tadi disebut Ji-gi-kiau-kan. Apakah engkau masih menyimpan pedang lagi?" seru Hong Ing dengan gembira.
Baru ia berkata, Cong Tikpun sudah menikam lagi. Melihat pedang Cong Tik lebih kecil lagi diam-diam timbullah suatu dugaan dalam hati Horg Ing. Menilik pemuda jahanam itu begitu bernafsu sekali untuk tinggalkan pulau Kyoto, apakah tidak mungkin karena sudah memperoleh ketujuh pedang Ki-bun-kiam itu.
Diam-diam ia bersyukur karena Siang Bong telah mengajarkan lima jurus ilmu dengan tangan kosong merebut senjata lawan. Jika tidak, ia tentu sudah mati ditangan pemuda jahanam itu.
Setelah menghindar ke samping, ia segera mainkan jurus keempat yang disebut Su-tim-put-koan atau empat penjuru-debu-kabur. Gerakannya aneh dan cepat sehingga Cong Tik merasa seperti terkurung oleh bayangan pukulan. Diam-diam tergetarlah hati pemuda itu.
Cret, pada lain saat bahunya telah tertutuk jari kanan Hong Ing dan perutnyapun segera termakan tendangan kaki Hong Ing. Buru-buru Cong Tik menyurut mundur. Melihat itu Hong Ing menarik tangan kanan dan menjulurkan tangan kiri, kaki kiri tak jadi menendang diganti dengan kaki kanan yang tepat mengenai tangan Cong Tik dan pedangnyapun jatuh ke lantai geladak.
Saat itu bukan kepalang bingung Cong Tik. Tetapi karena sudah terlanjur tetap akan berusaha untuk mernpertahankan jiwanya. Ia masih mempunyai tiga batang pedang tetapi karena ukurannya semakin kecil, sukar digunakan.
"Nona Hong Ing, berhenti dulu!" serunya.
Hong Ing tertawa : "Masih ada sebuah jurus yang disebut It-si-ban-Li. Apakah engkau tak ingin mencobanya ?"
Cong Tik mengambil ketiga pedang yang masih sisa dibajunya dan dilemparkan ke geladak. Ia menghela napas : "Ki-bun-kiam semua berjumlah tujuh batang dan berada disini semua, silahkan engkau ambil. Kuharap jangan engkau mengganggu jiwaku.
"Hanya enam batang mengapa engkau bilang tujuh ?" seru Hong Ing.
Cong Tik menghela napas pula : "Kutukarkan pedang dengan jiwaku, masakan aku membohongi engkau ? Ki-bun kiam memang berjumlah tujuh batang. Thian-liong kiam itu pedang yang kesatu dan telah tersiar keluar, ditemukan paderi Tay To. Cobalah engkau hitung apa tidak genap tujuh jumlahnya ?"
Diam-diam Hong Ing menghitung dan memang benar berjumlah tujuh.
"Su Ciau, Thian-liong-kiam bermula menjadi milikmu. Keenam batang pedang itu tampaknya juga tajam sekali. Simpanlah !" seru Hong Ing.
Su Ciau girang karena Ki-bun kiam muncul di dunia lagi. Tetapi ia menolak : "Tidak, engkau yang merebut, seharusnya menjadi milikmu."
Jika kedua anak muda itu saling mengalah untuk memberikan pedang itu, adalah Cong Tik yang marah setengah mati. Tetapi karena ia merasa tak mampu melawan mereka terpaksa ia menukarkan pedang dengan keselamatan jiwanya. Betapa susah payah ia mendapatkan Ki-bun-kiam itu. Sudah tentu dalam hati ia tak rela menyerahkannya. Tetapi ia melakukan hal itu karena mempunyai perhitungan lain. Walaupun mereka memiliki ki-bun-kiam, tapi tak ada gunanya apabila tak mempunvai kitabnya. Kitab itu tetap tak diserahkannya. Ia toh masih dapat membuat tujuh batang pedang lagi yang bentuknya menyerupai Ki-bun-kiam. Asal dapat mempelajari ilmu permainannya, bukankah sama juga kesaktiannya? Itulah sebabnya maka ia tak segan menyerahkan pedang itu.
Dan kebetulan Hong Ing serta Su Ciau itu pemuda-pemudi yang kurang pengalaman dan berhati polos serta tak temaha. Mereka tak sampai memikirkan bahwa masih ada pula yang lebih penting yakni kitab Ki-bun-kiam-hwat.
Segera Hong Ing mengambil ketiga pedang dan diberikan kepada Su Ciau semua: "Tak usah berdebat siapa yang berhak memilik tetapi untuk sementara baik engkau simpan dulu."
Su Ciau terpaksa menerima. "Cong Tik," seru Hong Ing tertawa dingin, engkau telah membunuh taciku, apabila dendam darah itu tak kuhimpaskan bagaimana aku dapat bertemu muka dengan orang ?"
Ia terus melangkah maju menghampiri Cong Tik. Cong Tik pucat dan mundur seraya berseru dengan terputus putus: "Nona ... Hong Ing ... telah kuserahkan ketujuh Ki-bun-kiam itu .... apakah engkau masih tetap hendak... mengambil jiwaku ?"
"Hutang jiwa harus bayar jiwa," kata Hong Ing, sebagai seorang adik sudah tentu aku harus membalaskan sakit hati taciku. Aku bukan seperti Su Ciau yang polos sehingga dapat engkau tipu. Engkau harus tahu!"
Diam-diam Coag Tik mengeluh. Kali ini ia merasa tentu mati. Daripada kalau ia mati mereka akan menemukan kitab Ki-bun-kiam-hwat, lebih baik ia terjun ke dalam laut saja agar kitab itu terbenam dalam dasar laut untuk selama lamanya.
Begitu tiba diburitan dan hendak loncat ke dalam laut, tiba-tiba terlintaslah sesuatu dalam pikirannya. Cepat ia berpaling dan berseru : "Nona Hong Ing, dosa membunuh taci, memang harus dibalas. Tetapi dendam kematian ayah, apakah sebagai seorang anak, engkau takkan menghimpaskannya ?"
Mendengar itu Su Ciau terbeliak. Demikianpun Hong Ing, serunya: "Siapa yang membunuh ayahku ?"
Cong Tik tertawa sinis : "Pat-Pi-Kim-Kong dari Kolam!"
Mendengar itu Su Ciau menjerit menyerukan nama Hong Ing. Tetapi Hong Ing berpaling . "Tenanglah!". Kemudian ia tertawa dingin : "Cong Tik, Pat-pi kim-kong tak berada diperahu ini !"
"Hutang ayah, anak yang membayar. Bukankah puteranya berada disini ?" jawab Cong Tik.
Hong Ing tertawa : "Benarkah itu ? Tetapi aku akan membalaskan sakit hati taciku lebih dulu baru nanti menyelesaikan dendam kematian ayahku. Bukankah sama saja?"
Hong Ing memang lain dengan Su Ciau. Cong Tik tak dapat berbuat apa-apa kecuali pucat wajahnya.
Sebenarnya sejak kecil Hong Ing sudah berpisah dengan orang tuanya, bagaimana wajah ayahnya ia tak pernah tahu. Dan lagi dia memang tak mau mengutamakan gengsi. Mendengar berita tentang kematian ayahnya, dia memang sedih tetapi tidak sampai menderita sekali. Maka mimpi kalau Cong Tik hendak mengadu ia dengan Su Ciau atas dasar dendam kematian ayahnya itu.
Tahu bahwa tak berhasil membakar kemarahan Hong Ing, Cong Tik segera beralih cari pikiran lain. Ia masih menyimpan sebatang jarum Bu-im-sin-ngo, tetapi apabila sampai gagal, ia tentu binasa. Lebih baik ia berganti siasat dengan memohon mereka supaya menaruh kasihan kepadanya.
"Tan siauhiap", serunya, "walaupun kedosaanku memang harus dihukum, tetapi kuharap engkau mau memberi kesempatan kepadaku untuk memperbaiki diri. Ijinkanlah kubawa sekeping papan untuk loncat ke dalam lautan. Kalau memang ditakdirkan harus mati, biarlah, aku menerima nasib. Apakah engkau mau meluluskan ?"
Tan Su Ciau memang berhati welas asih. Mendengar permintaan itu tanpa menunggu jawaban Hong Ing, cepat ia menyahut: "Baiklah"
Hong Ing banting-banting kaki. "Celaka, enak sekali Si jahanam itu !"
Cong Tik tak menghiraukan. Ia menghantam sebuah papan, didekapnya lalu loncat ke dalam laut. Sesaat tenggelam, dia muncul lagi, memandang kearah Su Ciau dan Hong Ing yang masih berada di atas geladak, memandangnya dengan tertawa.
Cong Tik marah sekali tetapi tak mendapat jalan untuk menumpahkan kemarahannya. Tiba-tiba ia teringat bahwa perahu itu sudah tua. Jika ia pukul tentu akan bobol.
Plak, plak, plak, tiga kali ia lepaskan pukulan dengan beruntun, tiga buah lubang perahu itupun bobol. Seketika air laut segera mengalir masuk. Setelah puas barulah Cong Tik berenang menyingkir.
Hong Ing dan Su Ciau tak mengira kalau di dalam laut, Cong Tik masih dapat melakukan rencana jahat. Mereka hanya merasa bahwa perahu berguncang keras walaupun saat itu tiada angin berhembus.
"Ih, apa ini ?" Hong Ing melengking heran. Tetapi saat itu perahupun sudah turun ke bawah sampai setengah meter dan tak berapa lama airpun segera menghampiri geladak, merendam kaki mereka.
Saat itu baru mereka menyadari bahwa perahu sedang tenggelam. Hong Ing berteriak : "Su Ciau, karena engkau kurang pikir, sekarang kita yang celakal"
Memandang ke permukaan laut, ternyata Cong Tik sulah berenang jauh. Tak mungkin membunuhnya.
"Lalu bagaimana kita sekarang ?" Su Ciau juga mulai gugup.
"Serahkan saja pada nasib" seru Hong Ing seraya menghantam tiang. Tiang jatuh ke laut dan mereka berdua segera loncat ke laut lalu memeluk tiang itu. Ketika berpaling, ternyata perahu sudah tenggelam. Mereka tak dapat berbuat apa-apa kecuali mengharap agar esok hari dapat terdampar ke sebuah pulau.
Sekarang kita tinggalkan lagi mereka dan beralih ke gelanggang pertempuran. Karena tak melihat anak-anak muda itu, Poan-hong-poh, Lim Sam Kho dan Tang Pui Leng segera berpencaran mencari. Karena tak menyangka anak-anak muda itu akan menuju ke belakang pulau, maka sia-sialah mereka mencarinya. Petang hari mereka menghentikan pencariannya.
Saat itu Toho sudah tak berdaya apa-apa lagi kecuali hanya menerima nasib. Kedua tulang lengannva sudah patah Sekalian orang menyetujui keputusan Siang Bong. Mengingat betapa jerih payah Toho sehingga dapat mencapai tingkat kepandaian sehebat itu dan mengingat bahwa setelah peristiwa itu dia tentu dapat memperbaiki kesalahannya, maka Siang Bong akan membawanya pulang ke kuil Ko-Liong-si, menyerahkan kepada Bu Wi Lhama agar Toho jangan diperbolehkan keluar lagi.
Karena jiwanya diampuni, Tohopun menerima. Malam itu Poan-hong-poh mengadakan perjamuan lagi. Toho juga diundang tetapi dia hanya tundukkan kepala karena malu.
Tang Pui Leng tetap gelisah memikirkan kedua anaknya. Rupanya Lim Sam Kho tahu hal itu dan membisikinya: "Tang Pui lihiap, sudahlah, jangan engkau gelisah. Cin Hong itu adalah muridku, bagaimanapun orang persilatan tentu akan sungkan kepadaku. Sedang Ui Hong Ing itu, bukan saja murid dari Siau Yau cinjin pun juga murid kehormatan dari jago nomor satu di dunia persilatan Siang Bong tayhiap. Siapa yang berani mengganggunya ?"
Keesokan harinya sekalian tetamupun segera pamit akan kembali ke tempat masing-masing. Poan-hong poh minta dengan sangat supaya Lim Sam Kho dan beberapa kojiu, suka tinggal lagi beberapa hari di pulau itu. Terpaksa mereka meluluskan. Tujuh hari kemudian barulah mereka tinggalkan pulau itu.
Siau Yau cinjin kembali ke gunung Ke-tiok-san. Siang Bong membawa Toho, menuju ke kuil Ko-liong-si.
Cepat sekali setahun telah berlalu. Siang Bong rupanya masih memikirkan tentang jejak Hong Ing yang menghilang secara aneh itu. Iapun ingin bertemu muka dengan Siau Yau cinjin. Akhirnya ia memutuskan pergi ke gunung Ke-tiok san.
Dengan menggunakan ilmu meringankan tubuh yang lihay, cepat sekali Siang Bong sudah tiba di gunung Ke-tiok-san. Ketika tiba di bawah segunduk batu besar, ia mendengar dari atas batu itu dua orang sedang bercakap-cakap : "Sampai saat ini muridku belum pulang. Entah mereka kenapa, mengapa siansu mengatakan begitu?" Suara itu jelas dari Siau Yau cinjin.
Yang seorang menghela napas keras: "Pinceng memang cemas sekali. Muridku itu adalah putera dari Pat-pi-kim-kong di Holam. Mamahnya adalah Sam Hoa niocu yang beradat keras. Dia telah membawa orang-orangnya dan berkeras supaya aku menyerahkan puteranya. Kalau tidak, dia akan menghancurkan kuilku. Itulah sebabnya aku datang kemari. Tetapi karena cinjin tak tahu, akupun segera minta diri."
Tiba-tiba Siang Bong berseru seraya apungkan tubuh ke atas batu : "Siau Yau cinjin, Tay To hweshio, apakah murid-murud kalian sampai sekarang belum ada beritanya?"
Melihat Siang Bong dating, Siau Yau cinjin girang sekali, sahutnya : "Benar, memang sudah setahun mereka belum ada beritanya."
"Aneh" kata Siang Bong, "Beberapa hari yang lalu, aku telah menerima surat dari Poan-hong-poh mengatakan kalau tak dapat menemukan jejak anak-anak itu. Dan anehnya, hampir setahun Poan hong-poh menyelidiki seluruh pulau tetapi tetap belum menemukan pedang ki bun-kiam itu. Yang diketemukan hanya sebuah peti batu, berukir tujuh lubang pedang yang satu lebih kecil dari yang lain. Rupanya seperti tempat menyimpan pedang. Adakah anak-anak itu sudah mendapat pedang Ki-bun kiam ?"
"Siancay !" seru paderi Tay To seraya rangkapkan kedua tangan ke dada, "Tahukah Siang tayhiap bahwa Thian-liong-kiam pinceng itu merupakan pedang pertama dari ketujuh pedang yang dahulu digunakan oleh To Leng Sui tayhiap ?"
"Soal itu aku tak tahu" jawab Siang Bong.
"Dahulu pada waktu mendapatkan pedang Thian-liong-kiam" kata paderi Tay To pula, "pun aku mendapat secarik kertas berisi enam huruf I, Ping, Ting tanpa menyebutkan bahwa pedang Thian-Liong-kiam itu merupakan pedang kesatu dari Ki-bun-kiam. Selama itu pinceng belum dapat menyelami arti daripada keenam huruf itu. Dua tahun yang lalu, pedang itu kuserahkan kepada muridku dengan pesan, pedang masih orangpun masih, pedang hilang orangnyapun binasa. Dengan tandas kuperingatkan kepadanya supaya menjaga pedang itu dengan hati-hati. Menilik peribadi anak itu, apabila benar sudah mendapatkan Ki-bun-kiam, pasti akan menemui aku lagi. Adakah mereka tertimpa bahaya ?"
Tiba-tiba Siang Bong teringat pada Cong Tik, serunya : "Siau Yau cinjin, apakah engkau masih ingat akan pemuda yang datang bersama Toho ke pulau Kyoto itu ? Dia juga lenyap, apakah ia yang menjadi biangkeladinya ?"
"Memang sukar dikata" kata Siau Yau cinjin "tetapi seharusnya Hong Ing dan Su Ciau tentu dapat menghadapi pemuda itu !"
"Kalau dalam hal ilmu kepandaian, jelas menang" kata Siang Bong, "Tetapi pemuda itu licik dan banyak muslihatnya. Dikuatirkan mereka berdua terkena tipu muslihatnya !"
Tetapi sampai beberapa saat belum juga Siau Yau cinjin dan Siang Bong menemukan kesimpulan yang tepat.
Akhirnya paderi Tay To mengusulkan supaya mereka bertiga berpencaran mencari anak itu. Setengah tahun kemudian, berhasil atau tidak, harus kembali lagi ke gunung Ke-tiok-san lagi untuk memberi laporan.
Usul itu disetujui. Setelah menginap satu malam, keesokan harinya ketiga tokoh itu segera berpisah untuk mencari kedua anak muda.
Waktu berjalan cepat sekali. Setengah tahun kemudian, ketiga tokoh itu muncul lagi di Ke-tiok san. Masing-masing segera menuturkan pengalamannya.
"Aku menuju ke daerah Kwan-gwa, mengarungi padang pasir tetapi tetap tak menemukan" kata paderi Tay To.
"Kwitang, Kwisay, Inlam dan Kuiciu, telah ku jelajahi tetapi anak itu tetap tak tampak bayangannya" kata Siau Yau cinjin.
Berkata Siang Bong satelah merenung :"Aku memang mendengar sebuah berita tetapi karena perjanjian bertemu di tempat ini sudah dekat, maka aku tak sempat menyelidiki lagi"
"O, apakah berita tentang mereka?" seru Siau Yau cinjin dan paderi Tay To.
"Berita itu mengenai sepasang muda mudi yang muncul dipesisir laut untuk memberantas kaum perompak dan melindungi rakyat nelayan yang tertindas. Kudengar berita itu ketika berada di Hangciu," kata Siang Bong.
Akhirnya diputuskan mereka bertiga akan bersama-sama menuju ke tepi laut mencari kedua muda-mudi itu.
Di manakah sebenarnya Hong Ing dan Su Ciau itu ?
Kiranya mereka telah terdampar di sebuah pulau kecil yang kosong. Di tengah pulau itu terdapat bukit karang dan hutan yang tebat. Mereka hidup dari buah-buahan dalam hutan itu.
Pada suatu hari mereka duduk bercakap-cakap dalam gua yang mereka ketemukan untuk tempat kediaman. Hong Ing mengatakan bahwa mustahil sekali seorang dapat memainkan tujuh batang pedang dengan sekaligus.
"Tetapi buktinya tokoh To Leng Sui dulu dapat memainkannya" kata Su Ciau.
"Benar" tiba-tiba Hong Ing berteriak, "Jika demikian pasti masih ada kitab pelajarannya dan kitab itu jelas masih berada pada Cong Tik. Huh, pemuda itu memang licik sekali."
Tiba-tiba Hong Ing hentikan kata-katanya dan berteriak : "Hai, siapakah yang di luar itu?" Serentak ia terus menerobos keluar. Dilihatnya sesosok bayangan lari menuju ke hutan. Hong tng mengejar. Tiba-tiba ia berhenti. Dilihatnya disebuah gunduk karang tampak dua sosok bayangan sedang bertempur.
"Cong Tik keparat" terdengar salah seorang bayangan yang bertubuh langsing memaki, "kali ini jangan harap engkau dapat lolos dari pembalasanku."
Bayangan yang dimaki itu memang Cong Tik. Dia juga belum mati dan terdampar di pulau kosong situ. Diapun membuat gua untuk menetap. Rencananya setelah dapat mempelajari isi dari kitab Ki-bun-kiam-hwat, baru ia akan berusaha menuju ke daratan lagi.
Tengah dia mencari bahan yang akan dipergunakan sebagai ganti ketujuh pedang itu, tiba-tiba ia mendengar suara orang dalam sebuah cekung gua. Segera ia menghampiri. Alangkah kejutnya ketika orang dari dalam guha itu menegur dan diketahuinya bahwa nada suara itu jelas Ui Hong Ing. Seperti melihat hantu, larilah ia sipat kuping. Tiba-tiba dipuncak bukit, ia terkejut ketika melihat sesosok tubuh menghadang jalan.
"Ho, jahanam, Thian maha adil, akhirnya engkau dikirim juga kemari untuk menerima kematian di tanganku" seru orang itu.
"Siapa engkau?" Cong Tik terkejut karena ia merasa faham akan nada suaranya.
"Engkau lupa ? Lihatlah siapa aku ini ?" kata orang itu seraya membuka gumpalan rambut yang menutup mukanya.
"Engkau Cin Hong Ing.!" Cong Tik menjerit seraya menyurut mundur, "Bukankah engkau . sudah."
"Ya, aku memang sudah mati tetapi Raja Akhirat mengembalikan aku ke dunia lagi untuk mencabut jiwamu. Raja Akhirat membutuhkan hati seorang manusia durjana untuk bahan bakar api neraka !" tukas orang itu atau Cin Hong Ing. Dengan keajaiban takdir, nona itupun terdampar di pulau situ dan walaupun terluka parah tetapi masih hidup. Berkat menemukan sebuah tanaman aneh yang tumbuh dipulau itu, lukanya cepat sembuh.
Diapun terkejut ketika dipulau itu bertambah seorang penghuni. Malam itu diam-diam ia hendak menyelidiki siapakah orang itu. Karena dalam guha kosong, terpaksa ia menunggu. Orang itu tentu pulang. Dan ternyata apa yang diduganya itu benar. Orang itu berlari-lari pulang dan dia bukan lain adalah Cong Tik.
Cong Tik merasa bahwa ajalnya tentu tiba. Lolos dari tangan Ui Hong Ing, sekarang jatuh ke tangan Cin Hong Ing. Namun ia memperhitungkan bahwa kepandaian Cin Hong Ing itu masih kalah tinggi dengan Ui Hong Ing. Betapapun ia tentu dapat memberi perlawanan yang hebat. Apalagi ia masih menyimpan sebatang jarum Bu-im-sin-ngo yang beracun.
Sebenarnya kepandaian keduanya berimbang hanya karena Cong Tik sudah terisi dengan bayang-bayang ketakutan karena berdosa maka permainannyapun kurang mantap. Untung karena baru sembuh dari lukanya, tenaga-dalam Cin Hong Ing masih belum pulih.
Limapuluh jurus dengan cepat telah berlalu. Tiba-tiba dengan sebuah gerak tipu yang tak diduga-duga, Cin Hong Ing berhasil menyusupkan jari ke pertahanan Cong Tik. Dua buah jari nona itu segera akan memberi tutukan maut ke dada lawan.
"Taci.....!" Ui Hong Ing yang sejak tadi memperhatikan kedua orang yang bertempur itu, akhirnya tak ragu lagi bahwa mereka adalah Cong Tik dan tacinya. Luapan kejut dan girang menyebabkan Ui Hong Ing berteriak seraya lari menghampiri.
Mendengar suara adiknya, Cin Hong Ing terkejut dan berpaling. Dua buah jari yang sudah menjamah dada Cong Tikpun berhenti. Kesempatan itu tak disia-siakan Cong Tik. Saat itu ia sudah tak berdaya mengelak maupun menangkis tutukan jari Cin Hong Ing. Maka sesaat melihat Ciu Hong Ing tertegun, cepat ia gerakkan kakinya menyapu kaki Cin Hong Ing sekuat kuatnya.
"Uh ..." Cin Hong Ing terkejut dan kehilangan keseimbangan tubuhnya. la mencelat ke bawah bukit yang merupakan sebuah jurang yang curam sekali.
Namun dalam detik-detik maut hendak merenggut jiwanya, ia masih dapat menjambret leher baju Cong Tik terus ditariknya. Karena habis menggerakkan kaki dan belum sempat berdiri tegak, Cong Tikpun hilang keseimbangan badannya. la tertarik dan terpelanting jatuh ke bawah jurang.
Terdengar dua buah jeritan ngeri dan pada lain kejab suasana sunyi senyap pula.
"Hong Ing..." Su Ciau menyusul datang dan berseru memanggil Ui Hong Ing yang tegak terlongong-longong memandang ke dasar jurang.
"Cong Tik telah menerima ajalnya sesuai dengan kejahatan yang dilakukannya. Tetapi Cin Hong Ing sebenarnya tak layak menerima kematian begitu mengenaskan" Su Ciau menghela napas.
Dengan bercucuran air mata, Hong Ing mengajak Su Ciau turun ke dalam jurang.
Hong Ing dan Su Ciau mendapatkan Cin Hong Ing dan Cong Tik sudah menjadi mayat. Jika mayat Cin Hong Ing masih lengkap, tidaklah demikian dengan mayat Cong Tik yang sudah hancur lebur mengerikan sekali. Untung kitab Ki bun-kiam- hwat masih dapat diketemukan utuh.
Disertai dengan cucuran air mata, Hong Ing dan Su Ciau segera mengubur mayat Cin Hong Ing. Setelah itu mereka menuju ke daratan. Mereka bergerak di sepanjang pantai untuk memberantas kaum perampok yang mengganggu rakyat.
Pada suatu hari, seorang penduduk melaporkan akan kedatangan tiga orang lelaki tua. Diantaranya seorang paderi gundul. Hong Ing dan Su Ciau buru-buru keluar menyambut. Ternyata ketiga pendatang itu tak lain adalah Siang Bong, Siau Yau cin jin dan paderi Tay To.
Hong Ing segera menuturkan semua pengalamannya selama ini dan mohon maaf karena tak lekas pulang.
"Jadi engkau sudah menemukan ketujuh pedang Ki bun-kiam serta kitab pelajarannya ?" seru Siang Bong,"jika demikian aku tak perlu bersusah payah mencarikan senjata untukmu. Pelajarilah ilmu pedang yang hebat itu dan kelak amalkanlah ilmu itu demi membela kepentingan rakyat yang lemah."
"Su Ciau" kata paderi Tay To, "kulihat kurang lengkap apabila kami tak menyempurnakan kebahagiaanmu. Kuijinkan engkau terangkap suami isteri dengan nona ini...."
"Ah, tidak mungkin!" tiba-tiba terdengar sebuah suara dari arah belakang. Ketika mereka berpaling, ternyata Tang Pui Leng dan Lim Sam Kho muncul.
"Mah" segera Hong Ing lari memeluknya.
Pertemuan ibu dan anak itu sangat mengharukan. Beberapa saat kemudian Tang Pui Leng berkata: "Siang tayhiap, Siau Yau cinjin dan Tay To Taysu," kata Tang Pui Leng kemudian, "aku minta menjadi saksi bahwa sejak hari ini anakku Hong Ing ini kuberikan kepada Su Ciau sebagai adik-angkatnya ... "
"Adik-angkat?" Tay To terheran-heran.
"Ya, karena Hong Ing ini sebenarnya anak lelaki dan tacinya itu baru anak perempuan. Sejak saat ini namanya kuganti Hoa Ing Hong."
Su Ciau terlongong, Siang Bong mengerut dahi, paderi Tay To mengucap omitohud, hanya Siau Yau cinjin yang geleng-geleng kepala : "Ah, celaka, kita orang-orang tua ini dikelabuhi mentah-mentah."
"Jika demikian kita namakan dia Pendekar Banci saja." seru Siang Bong.
Sekalian Cianpwe tertawa gelak-gelak.
TAMAT -o0^DW^Agus Ekanto^0o- Max Havelar 6 Wiro Sableng 030 Dosa Dosa Tak Berampun Misteri Patung Kematian 2
^