Pencarian

Penghuni Lembah Jayagiri 1

Penghuni Lembah Jayagiri Karya Abdullah Harahap Bagian 1


COVER 1 Koleksi Awie Dermawan
Kolektor EBooks
2 ABDULLAH HARAHAP
PENGHUNI LEMBAH JAYAGIRI CITRA BARU
JAKARTA 3 Apabila ada nama, tempat kejadian ataupun cerita
yang bersamaan, itu hanyalah suatu kebetulan belaka.
Cerita ini adalah fiktif.
PENGHUNI LEMBAH JAYAGIRI
Karya Abdullah Harahap
Diterbitkan oleh. Citra Baru, Jakarta
Cover oleh Deddy S.
Cetakan pertama 1993
Setting oleh : Trias Typesetting
Hak penerbitan ada pada Citra Baru
Dilarang mengutip, memproduksi dalam bentuk
apapun tanpa ijin tertulis dari penerbit.
4 Penghuni Lembah Jayagiri
5 SATU NASIB sial agaknya belum
mengangkangi Antonius Suhandinata
puas-puas Menyusul pemutasian seorang pejabat teras di
perum telekomunikasi, tadi Antonius menerima surat
pemberitahuan resmi bahwa perusahaannya telah
dicoret dari daftar rekanan. Belum juga lenyap pening
di kepala, sore harinya datang lagi kabar buruk lain.
Rahadi, orang kepercayaannya yang ia tugasi
mengawasi pembangunan
sebuah gedung perkantoran milik pemerintah daerah setempat,
menginterlokal dari Bogor dengan suara panik : "Tim
pemeriksa dari inspektorat wilayah baru saja
meninggalkan proyek. Mereka muncul untuk inpeksi
mendadak. Tak ada pemberitahuan sebelumnya dari
pak Manan sehingga kami tidak siap..."
Antonius langsung dapat menebak hasil akhir
inspeksi mendadak itu, beberapa bagian konstruksi
bangunan ternyata tidak sesuai bestek, harus
dilakukan pembongkaran segera lalu pembangunan
ulang, dan
Dan, anak muda perlente yang diboyong
Antonius dari sebuah club malam ke sebuah kamar
6 hotel ternyata hanya hebat lagaknya saja. Di atas
tempat tidur anak muda itu tidak ada apa apanya.
Lebih banyak diam Bersikap pasip, Menunggu. Kurang
ajarnya lagi, baru juga Antonius masuk si anak muda
tahu-tahu muntah berat. Birahi Antonius pun langsung
terbunuh seketika.
Sambil menarik diri dari pantat si pemuda
Antonius mengomel kesal "Tadi katanya suka dan
ingin. Tetapi sekarang!"
Dengan wajah pucat, anak muda itu bergumam
gemetar dan memelas. "Maaf Om, Sudah ketiga kali
aku melakukan ini... namun masih saja aku tidak
mampu menahan perasaan mual."
"Brengsek! Rupanya kau mencari duit di tempat
yang salah!"
"Apa boleh buat Om,'' sahut si anak muda lirih
"Semenjak kecil uang jajanku sudah terbiasa
berlebihan. Tetapi setelah usaha papa bangkrut dan
mama kemudian minta cerai..."
Meski kesal alang kepalang, terpaksa juga
Antonius merogo isi dompet, la ambil lima lembar
uang kertas lima puluh ribuan yang kemudian ia
sodorkan ke tangan gembel intelek yang salah jalan itu
7 Si anak muda menatap ragu ragu. "Tetapi Om
belum..."
Antonius mendengus tak senang.
"Bagaimana itu ku bisa muntah, kalau mulutmu
sudah muntah duluan?"
Si anak muda buru-buru mengantongi bayarannya
sambii berujar polos. "Biar aku muntah-muntah, dua
orang lain sebelum Om tetap jalan terus!"
Menyeringai malu-malu sejenak, ia kemudian
menambahkan dengan suara tulus "Bila lain kali Om
menginginkan aku lagi"
"Tidak ada lain kali untukmu. Enyahlah!"
* * * Masih kesal oleh nasib sial yang datang
beruntun itu, Antonius memacu mobilnya di jalanan
kota Bandung yang bertambah malam bertambah sepi
dan lengang. Kepalanya terasa berdenyut-denyut,
sakit. Urusan bisnis yang mendadak kacau mungkin
kelak dapat teratasi setelah pikirannya lebih tenang.
8 Tetapi bagaimana pikiran bisa tenang, bila birahi terus
dipendam. Tak tersalurkan?
Berbulan-bulan sudah Antonius berusaha
mengekang kejantanannya yang terus saja meletupletup. Semenjak Boy memutuskan hubungan mereka.
Antonius belum tertarik untuk mencari pengganti, la
hanya menginginkan Boy seorang. Sampai kapan pun
ia akan tetap mencintai Boy, sebagaimana ia merasa
yakin bahwa Boy pun masih mencintainya. Dan
berharap suatu hari kelak Boy berubah pikiran, tidak
jadi meninggalkan dunia gay. Lantas menelepon.
Tanpa kau, hidupku tak punya arti. Aku merindukan
mu...!"
Bila saat itu tiba. Antonius berjanji pada diri
sendiri, ia akan mengakui terus terang apa yang telah
diperbuatnya malam ini. "Aku tidak bermaksud
mengkhianati cinta kita. Apa yang kuperbuat sematamata karena tergerak oleh pikiran kacau akibat
goncangan bisnis yang kuhadapi. Untungnya pemuda
itu keburu muntah pula..."
Antonius yakin betul, Boy akan memahami
lantas memaafkan. Kemudian Boy akan naik ke
tempat tidur. Dan seperti biasa, rebah dengan gerakan
gemulai. Sambil mengundang dengan suara manja.
9 "Cintailah aku kekasih. Hancur-luluhkan aku dengan
kejantananmu yang menakjubkan itu!"
Lamunan itu menghidupkan kembali birahi
Antonius yang di hotel tadi sempat mati. Kejantanan
nya terlonjak. Sedemikian hebat, sehingga sekujur
tubuhnya ikut mengejang. Tak tahan. Tanpa sadar,
dari mulutnya terlontar geraman gemetar.
"Aku harus mengunjungi Boy malam ini juga.
Akan kubujuk dia supaya mau bermain cinta, walau
hanya sekali ini saja. Bila perlu, ia akan kuperkosa.
Setelah menikmati tubuh hangatnya yang indah...
mati pun aku rela!"
Di tengah lonjakan birahinya, Antonius masih
cukup sadar untuk mengurangi kecepatan mobil,
ketika dari kejauhan ia lihat lampu setopan di
perempatan Sukajadi-Karangsari searah jalannya,
menyala merah. Main terobos sih boleh-boleh saja.
Tetapi tidak ada salahnya bertindak hati-hati.
Yakinkan dulu bahwa lalu-lintas dari samping kiri
kanan cukup aman untuk mencuri jalan.
Baru setelah mobilnya benar-benar berhenti,
Antonius menyadari kehadiran seseorang di sebelah
luar mobil. Orang itu berpakaian warna gelap dan
mukanya tertutup topeng aneh bahkan tampak
10 mengerikan. Seraya bergerak meninggalkan tempat
nya berdiri, laki laki misterius itu mendekati mobil
tanpa ragu-ragu. Salah satu tangannya diangkat,
memperlihatkan sejumlah topeng kain yang ia jinjing.
Herannya, sedikit pun Antonius tidak dihinggapi
perasaan kuatir, apalagi takut. Cukup sekilas pandang,
ia sudah menyadari bahwa ia tengah berhadapan
dengan seorang penjual topeng. Meski akal sehatnya
sempat mengingatkan bahwa orang itu memilih
tempat dan waktu yang tidak lazim menjajakan barang
dagangannya, entah mengapa tergerak juga hati
Antonius menurunkan kaca jendela mobil di
sebelahnya, setelah laki-laki itu mengetuk-ngetuk dari
sebelah luar.
"Silakan Om pilih mana suka!" terdengar suara
bernada ganjil. "Muka beruk, muka macan, muka
tikus. Lumayan untuk menakut-nakuti bini di rumah,
atau dipakai buat pesta!"
Ah, ya. Pesta. Mengapa tidak? Bukankah
pertemuan pertamanya dengan Boy berlangsung
dalam pesta topeng tahunan yang dilangsungkan oleh
kelompok tetap mereka? Mengunjungi Boy tersayang
pada dinihari sekarang ini dengan mengenakan
topeng, pasti akan merupakan sebuah nostalgia.
11 Barangkali saja hati nurani kekasihnya tercinta akan
tergugah, dan
Antonius menaksir topeng-topeng yang disodor
kan ke jendela mobil yang terbuka menganga.
Sungguh topeng-topeng aneh Karena kesemuanya
tampak seperti bersinar-sinar Sehingga dalam
kegelapan, bentuk dari masing-masing topeng tetap
terlihat dengan jelas. Barangkali memang itulah sebab
nya mengapa si penjual beroperasi malam hari. Agar
keistimewaan barang dagangannya tampak dengan
nyata. "Bagaimana Om?" suara ganjil itu menyadarkan
Antonius. Suara lirih dan terdengar sayup. Seolah-olah
datang dari jauh.
Mungkin ada gangguan pada tenggorokannya,
pikir Antonius seraya tengadah untuk mengawasi
topeng yang menutupi wajah si penjual. Dan apa yang
ia saksikan, benar-benar sebuah topeng yang sangat
menakjubkan. Selain berwarna hijau mencolok, kulit
muka topeng tampak kesat, bersisik-sisik kasar: Lebih
menakjubkan lagi, adalah sepasang mata. Didominasi
warna kuning, titik mata topeng berwarna merah
darah, sinar merah darah itu berdaya pukau luar biasa
12 pula. Selama sepersekian detik, denyutan jantung
Antonius sempat terhenti karenanya.
Antonius menahan nafas. Selain pemunculan
Antonius yang di luar dugaan, topeng hebat itu
pastilah akan sangat mengejutkan kekasihnya.
Berharap saja Boy lantas jatuh pingsan, sehingga
Antonius memperoleh kesempatan mengangkat
tubuh sang kekasih ke dalam kamar. Dan sebelum Boy
siuman, Antonius sudah keburu 'masuk'. Ah, ah!
Antonius pun cepat-cepat memutuskan. "Aku
pilih yang kau pakai saja. Yang itu benar-benar muka
setan!"
"Ini milik pribadi, Om tidak untuk diperjual
belikan..." suara mirip bisikan itu berlagak jual mahal.
Antonius memaksa. "Aku mau yang itu saja.
Berapa pun harganya akan kubayar!"
"Jika itu keputusan Om, baiklah...," si penjual
topeng menyerah. la kemudian meluruskan tegaknya,
sehingga ketika ia tanggalkan wajah palsu nya.
Antonius tidak dapat melihat. Topengnya, dibuka
tidak dengan cara yang umum: melepas pengait atau
tali karet pengikat Melainkan dibuka dengan cara
seperti merobek. Dimulai dari bawah dagu, sampai
seluruhnya melepas hingga ke tepi bawah rambut.
13 Dan, di bekas topeng itu tadinya melekat, tidak
tampak apapun juga!
Tidak ada wajah. Apakah itu wajah perempuan,
atau wajah laki-laki. Persisnya, dari rambut sampai ke
batang leher, yang tampak hanyalah ruang kosong dan
hitam, sehitam malam di sekitar.
* * * Antonius yang menunggu tak sabar, akhirnya
mendapatkan topeng yang ia inginkan, la tidak merasa
perlu menyalakan lampu dalam mobil, sebab sinar
pada wajah topeng sudah cukup untuk memperlihat
kan wujutnya yang mendebarkan jantung. Merabaraba sebentar. Antonius lantas nyeletuk heran. "Kok
tidak ada pengait telinga atau tali pengikat?"
Tetap berdiri tegak di luar mobil, si penjual
memperdengarkan suara ganjilnya yang meyakinkan.
"Namanya juga topeng langka, Om. la akan melekat
bahkan menyatu sendiri dengan wajah Om. Bila tidak
percaya, silahkan dicoba..."
14 Suatu dorongan gaib menghilangkan keraguraguan Antonius. Topeng misterius itu dengan hatihati ia tempelkan dan dipas-paskan ke wajahnya
sendiri. Tanpa mengetahui bahwa dari ruang kosong
di bagian kepala si penjual topeng di luar mobil, tibatiba meliuk keluar sinar hijau yang aneh. Dan sinar
hijau itu melesat sangat cepat. Untuk kemudian
meliuk-liuk liar di sepanjang sisi topeng yang tengah
dikenakan oleh Antonius.. Begitu kedua tangan


Penghuni Lembah Jayagiri Karya Abdullah Harahap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Antonius turun dari wajah, sinar hijau misterius
tersebut berhenti meliuk. Kemudian melenyap hilang
ke arah dalam kepala Antonius.
"Hem!" Antonius mendengus senang. "Benarbenar pas. Dan nyaman pula dipakai!"
Tak terdengar adanya komentar.
Antonius menoleh ke luar jendela mobil. Sambil
menggumamkan tanya. "Berapa harga yang harus
ku..."
Ucapannya terhenti sampai di situ.
Lantas dengan mulut ternganga dan mata
membelalak, Antonius menatap tidak percaya. Tidak
ada sosok tubuh di luar jendela mobilnya. Belum
yakin, ia memutarkan pandang ke kiri, ke muka, ke
belakang lalu kembali ke arah semula. Sama saja. Tak
15 ada siapa-siapa. Yang ada hanya semilir angin kota
Bandung yang dingin Serta suara sepi yang terasa
mencekam. Antonius tersedak.
Pada saat itulah perasaan takut dengan tibatiba menghinggapi dirinya. Tanpa berpikir panjang lagi
dengan tangan serta kaki bergemetar, rem tangan
mobil ia turunkan. Pedal kopling serta gas dioperasi
kan pada waktu bersamaan. Mobil itu pun seketika
terlonjak ke depan dengan sentakan mengejutkan.
Kemudian, tanpa memperdulikan apakah lampu
setopan di arahnya menyala merah atau hijau,
Antonius langsung tancap gas dan ngebut seperti
orang kesurupan.
Baru setelah berkendara di jalan Setiabudi yang
lalu lintasnya sedikit lebih hidup, perasaan takut
Antonius mereda perlahan-lahan. Kecepatan mobil ia
turunkan. Setelah mana ia putuskan berhenti sejenak
untuk menenangkan deburan jantungnya yang
menggila. Mobil ia parkir di antara sejumlah
kendaraan lainnya di lokasi penjual jagung bakar yang
berderet di satu sisi, serta warung-warung penjual
makanan berderet di sisi berseberangan. Banyak
manusia berkeliaran di sekitarnya. Ya para pedagang
setempat, ya juga para pengunjung yang singgah
untuk beristirahat seraya menikmati jagung bakar
16 atau jagung rebus dengan kombinasi minuman kopi
panas yang mengundang selera.
Antonius sudah akan turun dan bergabung
dengan para pengunjung lain di jongko terdekat,
ketika teringat pada topeng yang barusan tadi ia
kenakan pada wajahnya. Apakah topeng mengerikan
itu benar-benar ada atau...
Harap-harap cemas, Antonius meraba-raba
wajah sendiri. Tak ada topeng. Yang teraba, adalah
wajah yang cukup ia kenal. Tetapi supaya lebih yakin,
lampu dalam mobil dinyalakan juga. Letak kaca spion
tengah ia atur sedemikian rupa, sehingga keseluruhan
wajahnya terlihat dengan jelas. Memang benar. Tidak
tampak adanya topeng. Yang tampak hanyalah wajah
pucat dan tampak kusut serta lelah karena goncangan
bathin. Sewaktu turun dari mobil, Antonius toh masih
diganggu oleh pikiran yang tidak menyenangkan.
Apakah ketika berhenti di lampu setopan tadi ia
sempat mengantuk lantas terlelap sekilas. Dan
sewaktu terlelap itulah ia bermimpi ketemu hantu.
Atau semua itu adalah halusinasi yang dialaminya
secara sadar karena melamunkan hal yang bukanbukan? Akan tetapi, semua kejadian itu terasa begitu
17 nyata. Ada sosok berpakaian warna gelap. Ada suara
ganjil mirip bisikan dari alam gaib. Tanya jawab yang
begitu hidup dan teringat jelasi kata demi kata. Juga
topeng-topeng misterius yang bersinar-sinar aneh
dalam kegelapan...
Antonius duduk di bangku kosong jongko.
Lantas memesan segelas kopi dengan wajah masih
pucat dan suara pun masih menggagap, gemetar.
* * * Mundur beberapa menit ke belakang, di
perempatan jalan Sukajadi-Karangsari. Andaikata
pada wantu mencari-cari dengan matanya ke sekitar
mobil, Antonius tidak hanya memperhatikan pada
ketinggian sejajar... tetapi juga memperhatikan ke
sebelah bawah. Maka di luar pintu mobil, akan tampak
olehnya pakaian berwarna gelap tertumpuk bersama
sejumlah topeng mengerikan di permukaan jalanan
aspal. Dari bawah tumpukan itu tampak merembes
keluar cairan kental berwarna hijau redup namun
bersinar-sinar.
18 Dan andaikata Antonius punya sedikit
keberanian dan waktu untuk menunggu dan melihat.
Akan tampak olehnya bagaimana genangan cairan
hijau kental itu perlahan-lahan melenyap sirna.
Disusul oleh pakaian dan topeng-topeng yang juga
perlahan-lahan mengabur hilang. Lalu ketika lampu
setopan kembali menyala merah dan sebuah mobil
mewah lainnya kemudian berhenti di tempat mana
sebelumnya Antonius berhenti, di permukaan jalan
tak tampak apapun lagi. Kecuali warna hitam aspal
yang sedikit kecoklat-coklatan karena resapan debu
yang terus berproses dari waktu ke waktu.
Sambil menunggu lampu setopan menyala
hijau, si pengemudi mobil mewah malah sempat
berciuman dengan perempuan yang duduk
menyandar rapat ke bahunya.
Tanpa ada gangguan sedikit pun.
Dan si penjual topeng setan. Yang sudah
menghilang entah ke mana.
* * * 19 DUA DI DAERAH perbukitan Jayagiri, Lembang,
Ronald ?Boy? Palgunadi menggeliat bangun dengan
nafas tersengal-sengal. Tangannya menggapai ke
tombol lampu kaca di samping tempat tidur yang
kemudian ia putar sampai ke batas maksimum.
Cahaya yang semula redup, dengan cepat telah
berubah menjadi terang benderang.
Ronald lantas mengawasi sekitarnya, dengan
pandangan liar. Tak ada siapa-siapa di dalam kamar
yang ia tempati, kecuali dirinya sendiri. Untuk
beberapa saat lamanya Ronald duduk diam-diam,
menenangkan diri. Apa sebenarnya yang barusan ia
alami? Halusinasi dari keinginan-keinginan yang sudah
lama dikubur dengan paksa? Ataukah hanya sekedar
mimpi belaka?
Tetapi kehadiran Antonius terasa begitu sangat
jelas dan nyata. Suaranya. Sentuhan-sentuhan.
Bahkan tubuhnya yang kenyal serta kokoh sebagai
mantan atlit binaraga, muncul begitu utuh dan
menantang pula. Terutama pada bagian-bagian
tertentu, yang dengan dahsyatnya membangkitkan
nafsu seksuil Ronald. Dan ketika Ronald nyaris
20 mencapai orgasme, semuanya tahu-tahu melenyap.
Hilang begitu saja. Digantikan oleh hawa sejuk
pegunungan yang dingin menusuk, Ronald pun
terbangun. Dengan lonjakan birahi yang tertahan tibatiba gagal terlampiaskan!
Gemetar Ronald meluncur turun dari tempat
tidur. Dengan langkah tersuruk-suruk ia pergi ke ruang
duduk. Sesuatu harus dilakukan, sebelum kepalanya
menjadi sakit berlarut-larut dalam tekanan hasrat
seksuil yang tidak terkendalikan.
Setelah mengangkat gagang telepon, bathin
Ronald sempat berperang. Nomor telepon siapa
sebaiknya yang ia putar? Antonius, atau... Setelah
melalui perjuangan yang berat dan keras sehingga
pelipis Ronald sampai berpeluh, dial telepon akhirnya
ia putar juga, angka demi angka. Dan begitu telepon di
seberang sana terdengar diangkat oleh seseorang
tanpa salam pendahuluan dan tanpa ragu-ragu Ronald
langsung berbicara. "Hasrat terkutuk itu datang lagi,
Maria!"
"Oh kau Ronald," terdengar suara mengantuk
seorang perempuan. Helaan nafas sebentar. Lalu
disusul suara tertahan. "Hasrat yang mana?"
"Yang lama!"
21 "Oh!"
"Aku takut, Maria."
"Takut apa?"
"Tergoda untuk mengulanginya kembali.
Panggilannya begitu kuat..." Dan itu memang
sebenarnya. Di balik kimono tidurnya, kejantanan
Ronald masih tetap tegak. Menunggu.
Sepi sebentar. Helaan nafas lagi. Berat dan
panjang. Lantas, "Ronald?"
"Aku masih di sini."
"Tunggulah barang satu jam. Aku akan ke sana
untuk... membicarakannya!"
"Memang itulah yang sangat kubutuhkan saat
ini, desah Ronald, polos. "Seorang teman berbicara!"
"Seorang teman... ah, sudahlah! Jangan pergi
kemana-mana, kumohon!"
"Tidak akan!" Ronald berjanji.
"Dan, Ronald..."
"Ya?"
22 "Sementara
permintaanku..."
menunggu, kabulkanlah
satu "Katakan saja."
"Jangan merusak apa yang telah aku bangun
dengan susah payah. Memikirkan saja pun, jangan!"
Ronald menyeringai. Kecut. "Setidak-tidaknya
aku telah meneleponmu. Bukan dia!"
"Itu sebuah permulaan yang baik. Sampai nanti,
Ronald!"
"Kutunggu..."
Usai percakapan di telepon, Ronald masih
termangu-mangu di tempatnya berdiri. Maria telah
berkata: jangan merusak apa yang telah kau bangun.
Bukan: yang telah kita bangun. Padahal Maria ikut
berperan dalam therapi yang dijalani Ronald. Malah
Maria sudah bergerak dan bertindak jebih jauh dari
rencana semula. Dengan hasil positip yang Ronald
sendiri tidak pernah mengimpikannya. Jelas Maria
tidak hanya sekedar meminta. Gadis itu bermaksud
memperingatkan, seberapa besar pun juga peranan
yang diambil Maria, hasil akhir tetap tergantung di
tangan Ronald sendiri: seberapa besar tekad dan
usahanya untuk berubah.
23 Atau sebagaimana yang pernah dikatakan
dokter Rinaldi, psikiater yang menangani kasus
Ronald. "Maria itu umpama sebongkah batu di tengah
sungai. Sewaktu-waktu dapat saja tenggelam bahkan
tersingkir tak punya arti. Karena ia hanya sekedar
berfungsi sebagai penahan arus. Bukan untuk
menghentikannya!"
Ronald menghela nafas panjang lalu pergi ke
bar di salah satu sudut ruang duduk, la jangkau sebotol
brendi dari rak. Satu dua sloki minuman keras
barangkali akan mampu menolongnya melepaskan
diri dari dorongan rindu yang begitu kuat untuk
bertemu lalu bercinta dengan Antonius. Tetapi
sewaktu akan menenggak isi sloki yang pertama,
mendadak terngiang apa yang pernah diucapkan
Maria. "Minuman keras memang tempat pelarian
yang termudah. Aku sendiri pun terkadang masih
membutuhkan. Boleh-boleh saja. Tidak ada yang
melarang. Karena persoalan yang kau hadapi bukanlah
apa yang kau minum. Melainkan, apa yang kau
pikirkan!"
Menimbang-nimbang
sejenak, Ronald kemudian menuang isi sloki ke wasthafel. Botol brendi
ia simpan kembali ke tempat semula. Lalu ia sambar
sebuah gelas kosong dari tempat persediaan air
24 mineral yang dilengkapi mesin pengatur suhu. Tombol
mesin ia tekan tanpa main pilih. Yang ngucur ke dalam
gelas adalah air sedingin es. Tetapi Ronald tidak
perduli meski cuaca sekitarnya terasa semakin dingin,
membeku. Malah isi gelas ia habiskan sekali tenggak.
Ternyata ia tidak sampai terbatuk atau menggigil.
Ronald mengisi gelasnya lagi, kemudian
berjalan mendekati tungku pendiangan. Dengan
pikiran masih tetap gundah, sisa bara menyala di
dalam tungku ia korek pakai pencungkil besi. Setelah
menyusun puntung-puntung kayu yang masih ada, ia
tiup bara dengan mempergunakan pipa yang tersedia.
Begitu api menyala, ia tambahkan ke tumpukan itu
sebongkah besar kayu bakar yang masih baru. Lalu
duduk di sofa. Menunggu.
Satu jam, kata Maria. Satu jam seorang wanita
dapat berarti dua atau tiga jam, bahkan lebih. Tetapi
tak apa. Ronald akan menunggu dengan sabar. Bukan
semata-mata demi kebaikan dirinya sendiri Tetapi


Penghuni Lembah Jayagiri Karya Abdullah Harahap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lebih-lebih untuk menebus dosanya pada keluarga
Benny, si jenius yang malang...
* * * 25 Bagaimana tidak!
Semenjak di sekolah dasar, Benny selalu
menempati ranking pertama. Lulus dari sekolah dasar,
Ronald dan Benny melanjutkan pelajaran di SMP yang
terpisah cukup jauh. Tetapi memasuki bangku SMA,
mereka kembali satu sekolah, meski berpisah kelas
dan... lagi-lagi Benny selalu menempati ranking
pertama. Sehingga tidaklah mengherankan bila kepala
sekolah pernah memuji Benny sebagai generasi
harapan di masa depan.
Sayangnya, tidak ada manusia yang sempurna.
Termasuk Benny.
la seorang penderita odipoes-complex. Yang
mencintai dan menghormati ibunya sedemikian rupa,
sehingga menjadikan ibunya itu sebagai idola. Entah
berapa kali sudah Benny jatuh cinta pada gadis-gadis
yang bahkan satu dua di antaranya mengejar Benny
setengah mati. Namun semua percintaan itu selalu
kandas di tengah jalan.
Kendalanya sering-sering malah kedengaran
sederhana saja. "Rohani memang cantik," kata Benny.
"Tetapi caranya tertawa sangat kontras dengan
mama!"
26 Atau: "Ida memang lembut. Tetapi lihatlah
lenggangnya ketika berjalan. Tidak seperti mama..."
Dan: "Benar bibir serta hidung Netty persis
hidung serta bibir mama. Tetapi alis matanya..."
Pernah Ronald mengingatkan bahwa adalah
langka manusia dilahirkan persis sama. "Kalau pun
ada, perbandingannya adalah satu lawan seribu..."
Tangkisan Benny pun sederhana pula. "Aku
akan bersabar menunggu sampai bertemu yang satu
itu !"
Pada akhirnya, Benny tidak lagi menunggu.
Bukan karena hilang kesabaran. Melainkan, karena
peristiwa kebetulan kemudian telah merubah
perjalanan hidupnya secara drastis.
Kejadiannya bermula pada suatu malam, ketika
Ronald menginap di rumah Benny sebagaimana
acapkali terjadi bila Ronald kemalaman setelah habis
belajar bersama. Atau persisnya, sehabis Benny
'menurunkan? sedikit kejeniusannya pada Ronald yang
memang berotak pas-pasan, terutama dalam
pelajaran matematika. Sekitar pukul tiga dini hari,
Ronald terbangun dari tidur karena dorongan yang
kuat untuk buang air kecil. Tanpa lebih dulu lihat kiri
27 kanan, ia langsung saja bergegas masuk ke kamar
mandi yang tersedia di kamar tidur yang sama.
Dalam keadaan setengah mengantuk, Ronald
tidak menyadari bahwa kamar mandi menyala terang
benderang pertanda ada orang di dalam. Karena pintu
sedikit terbuka, ia lantas mendorongnya begitu saja.
Seketika itu juga ia menegun dengan terkejut. Kiranya
Benny sudah lebih dulu ada di kamar mandi. Bukan
sedang buang air.
Benny sedang melakukan masturbasi!
Tentu saja Benny pun terkejut pula. Bahkan
tampak malu karena kepergok. Buru-buru ia tarik
celana dalamnya ke atas. Lantas dengan wajah
bersemu merah ia bergegas meninggalkan kamar
mandi tanpa berkata sepatah pun juga. Ronald ganti
masuk ke kamar mandi. Kantuknya lenyap sudah.
Sekujur tubuhnya pun terasa tegang dan gemetar, la
telah sempat melihatnya. Kejantanan Benny yang
begitu besar dan tegak terus membayang di pelupuk
mata, dan entah bagaimana membuat Ronald
terangsang dengan hebat.
Rangsangan itu terus menggebu, sampai ia
kembali ke tempat tidur dan melihat Benny bergulung
di bawah selimut, menghadap ke tembok. Ronald
28 kemudian naik dan rebah di bawah selimut yang sama
sambil berjuang keras menekan lonjakan birahinya
yang nyaris tak tertahankan itu.
Beberapa saat berlalu dalam sepi yang
mencekam. Sampai tiba-tiba terdengar suara Benny
dalam bisikan tertahan."... berjanjilah untuk tidak
memberitahukan siapa-siapa. Apalagi Mama!"
"Tidak akan!" Ronald berjanji, dengan suara
gemetar. Masih tetap memunggungi, Benny berbisik
lagi. "Aku malu sekali. Akhirnya kau mengetahui
bahwa aku..."
"Mengapa harus malu?" sahut Ronald,
menghibur. "Kadang-kadang, aku pun melakukannya
juga!"
"Oh ya?" Terdengar bunyi ranjang berderit
pertanda Benny bergerak merubah posisi. Tidak lagi
memunggungi Ronald. "... siapa yang selalu kau
bayangkan, ketika kau melakukannya?"
"Tidak tentu," jawab Ronald, pelan. "Yang pasti,
gambaran sosok tubuh seseorang..." Dan, Ronald
tentu saja tidak akan memberitahu bahwa gambaran
dimaksud adalah foto-foto tubuh sejumlah atlit
binaraga yang memenuhi hampir semua bidang
dinding kamar tidur kost Ronald. Karena foto-foto
29 berbagai ukuran dan posisi itu, kesemuanya dari atlit
binaraga pria.
Benny mengeluh getir. Kemudian... "kau
beruntung," katanya, lirih.
"Beruntung apanya?" tanya Ronald heran.
"Kau mampu membayangkan orang yang
berganti-ganti. Sementara aku..."
Ronald bergerak merubah posisi. Dari
menelentang, jadi menyisi. Agak terengah Ronald,
sewaktu menyadari wajahnya hampir beradu dengan
wajah Benny yang justru menghadap ke arahnya pula.
Begitu rapat, sehingga ujung hidung mereka nyaris
bersentuhan. Dan Ronald makin terangsang saja.
Dengan pikiran kacau, ia bertanya asal-asalan. "Siapa
orangnya?"
"Pasti kau sudah dapat menduganya!"
Ronald berpikir sejenak, kemudian bertanya
setengah terkejut. "Tante Evi? Ibumu sendiri?"
"Lantas siapa lagi?!" Ronald mengerang dengan
suara agak keras, agaknya marah pada diri sendiri.
"Sering-sering aku merasa begitu terkutuk, sehingga
sering pula aku gagal mencapai klimaks...!"
30 "Bagaimana dengan tadi?"
bergetar. bisik Ronald,
"Apalagi tadi!" Benny menjawab, serak. "Ketika
kau masuk aku baru setengah jalan..."
Setengah jalan, tetapi sudah begitu tegak!
Ronald hampir gila membayangkanny. Saking
tak tahan, ia bertanya tanpa dipikir-pikir lagi.
"Kau masih ingin?"
"Masih. Tetapi "
"Kalau begitu. Mari kubantu. Sampai kau...
keluar!"
Benny menatap heran, namun tertarik.
"Caranya?"
"Kau tetap sajalah menelentang. Terus saja
membayangkan tante, dan..."
Dan tanpa ragu-ragu sedikit pun Ronald mulai
meraba lalu menyentuh apa yang ia cari. Benny
sempat terkejut, dan menggelinjang geli. Namun
sentuhan-sentuhan tangan Ronald yang semakin
teratur membuatnya terdiam, pasrah. Bahkan
perlahan-lahan mulai menikmatinya. Demikian pula
31 halnya dengan Ronald. Lantas ketika Benny mulai
menggelinjang keras, pikiran yang lebih gila itu pun
datang merasuki kepala Ronald. Buru-buru ia melepas
celana dalamnya. Kemudian menungging sambil
berkata tak sabar. "Ke sini..." ia menunjuk tempat
yang ia maksud. "... cepatlah!"
Benny sempat bimbang.
Tetapi kemudian mematuhinya juga.
Dan tak berapa lama kemudian, Benny
merebahkan diri di tempat tidur sambil berbisik
terengah-engah. "... fantastis!"
Siapa nyana. Benny ketagihan. Bulan demi
bulan berikutnya, Ronald sampai dibuat kewalahan
Benar, ia kemudian juga menyukai permaian yang
bermula dan eksperimen gila-gilaan itu. Tetapi Benny
bukanlah tipenya Benny memang tampan. Namun
memiliki postur tubuh yang umum terlihat di manamana. Bukan tubuh seorang bina ragawan!
Beruntung, setamat SMA. Benny yang jenius itu
memperoleh beasiswa untuk meneruskan studi di
Amerika. Sementara Ronald yang selain otak
kemampuan ekonomi keluarganya pun pas-pasan
pula Ronald harus putus sekolah. Ayahnya yang
mantan kepala montir di bengkel sepeda motor milik
32 orang lain, bermaksud membuka bengkel sendiri dan
Ronald diminta untuk membantu Alasannya klise
namun kenyataan:
"Kini giliran adik-adikmu untuk maju."
Benny mulanya masih sering berkirim surat.
Salah satu suratnya itu antara lain berisi kalimat
berikut: "... di negara ini, mereka sudah sedemikian
maju dan terbuka. Orientasi seksuil yang seperti kita
alami, di sini tidak lagi dianggap menyimpang. Aku tak
perlu takut atau malu melakukannya. Begitu banyak
yang dapat kupilih. Bahkan salah seorang dari mereka
bersikeras mengajakku untuk menikah. Resmi lagi,
bayangkan! Di gereja, di depan pendeta, dihadiri
jemaat, dan... Sungguh tawaran yang sangat
menggoda. Kalau saja tak membayangkan apa jadinya
dengan mama,...!"
Setelah itu surat-surat Benny mengendor
kemudian putus sama sekali Ronald pun kemudian
melupakan sahabat yang banyak membantu ia hingga
Ronald mampu meraih ijazah SMA dengan nilai
memuaskan (walau ijazah itu akhirnya cuma
bermanfaat untuk hiasan dinding). Ronald pun
kemudian tidak lagi punya waktu memikirkan apakah
Benny akhirnya jadi menikah dengan pasangannya lalu
33 menetap di Amerika, atau sudah pulang kembali ke
tanah air Ronald terlalu sibuk untuk memikirkan
semua itu. Sibuk oleh pekerjaan di bengkel ayahnya.
Dan lebih sibuk lagi di luar rumah, gunta-ganti 'teman
bermain'. Benny akhirnya benar-benar terkubur dari
kenangan Ronald ketika ia memasuki usia 25 tahun.
Dan di sebuah pesta topeng tahunan yang diadakan
oleh kelompok eksklusip kaum gay, kaya raya, tatapi
juga pernah jadi atlit binaraga terkemuka. Walau
cuma mantan, Antonius langsung jatuh cinta Dan..."
Dan, mendadak Benny bangkit dari kubur.
* * * 34 TIGA HARI itu Ronald habis membezuk pamannya
yang dirawat di salah satu pavilyun sebuah rumah
sakit swasta di Jakarta, ketika suara lembut seseorang
tiba-tiba terdengar menegur.
"Hai, Ronald!"
Ronald membalikkan tubuh dan seketika
berhadapan dengan seorang laki-laki kurus dan
tampak sudah berumur. Dengan sekali pandang
Ronald langsung mengenali siapa penegurnya.
"Om Eddi, astaga...!" Ronald berujar surprise
dan gembira. Tangannya diulurkan ke depan untuk
bersalaman. "Setelah sekian tahun, siapa sangka. Apa
yang..."
Tak ada tangan yang terulur untuk menyambut.
Yang ada, justru percikan butir-butir air bening yang
membasahi sepasang mata si penegur. Disusul suara
getir, mendekati frustrasi. "Seperti mereka yang lain,
Ronald. Kau pun salah mengenali aku sebagai Papa..."
Bingung sejenak, Ronald kemudian memperhati
kan wajah di hadapannya dengan lebih seksama.
Lantas mencetus, terperanjat.
35 "Benny. Mustahil!"
Benny menyeringai. Murung.
"Apakah aku perlu mengeluarkan KTP, SIM,
atau Visa. Untuk meyakinkannya?"
Masih tak percaya, Ronald menggagap.
"Tetapi..."
"Ayo kita cari kantin untuk minum sambil ngobrol!"
Setelah menemukan kantin rumah sakit
dimaksud, Benny memilih meja paling sudut dan jauh
dari pengunjung lain. Setelah beberapa saat lamanya
mereka saling berdiam diri, Benny akhirnya membuka
mulut juga.
"Apa kabarmu selama ini, Ronald?"
"Baik."
"Jadi kau pun tinggal di Jakarta ya?"


Penghuni Lembah Jayagiri Karya Abdullah Harahap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Masih tetap di Bandung."
"Oh. Kerja apa?"
"Sekretaris. Di sebuah perusahaan kontraktor."
"Hem. Tentunya..."
36 Ronald benci dengan basa-basi yang
menjengkelkan itu. Lantas tidak bisa menahan diri
untuk menanyakan apa yang semenjak tadi
mengganggu pikirannya.
"Katakanlah Benny. Mengapa kau tampak..."
Toh, Ronald tak sanggup meneruskan. Benny-lah yang
meneruskan. Dengan suara datar.
"Tampak setua ayahku?"
Ronald manggut-manggut. Kaku.
Lebih dulu Benny melirik kiri kanan. Untuk
meyakinkan tidak ada orang lain yang melihat atau
mendengar. Lalu jari telunjuknya ia guratkan di
permukaan meja. Membentuk empat hurup-hurup
maut : AIDS.
"Di negara yang bebas tetapi terkutuk itu, aku
terlalu membabi buta. Lantas tidak mawas diri..." ia
menambahkan.
Ronald merinding seketika.
Mulutnya kemak-kemik ingin mengucapkan
sesuatu. Tetapi karena tidak tahu harus berkata apa,
mulutnya kemudian mengatup kaku. Benny
menyeringai. Acuh tak acuh.
37 "Mengerikan! Itulah yang mau kau katakan,
bukan? Tak apa-apa Ronald. Toh demikianlah
kenyataannya. Dan belakangan ini aku sendiri pun
tidak lagi perduli. Meski hidupku pada akhirnya hanya
menjalani dua hal saja. Bekerja, bekerja. Dan keluar
masuk rumah sakit seperti hari ini..."
Ronald menelan ludah. Membasahi kerongkongannya yang mendadak kering kerontang. Ketika ia
sadari bahwa ia memegang sebotol minuman dingin,
Ronald cepat-cepat menyedotnya. Dengan sedotan
keras dan terburu-buru. Sampai ia terbatuk-batuk
sendiri. Kemudian.
"Entah apa yang harus kukatakan, Benny..."
katanya, tersengal. "Aku sangat terkejut, dan..." ia
tarik nafas dalam-dalam. "Apakah om dan tante
mengetahuinya?"
"Tentu saja. Karena begitu menginjakkan kaki
kembali di tanah air, pergantian cuaca langsung
melemparkan aku ke rumah sakit. Semuanya lantas
terbuka!"
"Dan?"
"Papa hanya bisa menangis dan menangis.
Mama terkena serangan jantung, tetapi lama kelamaan menjadi terbiasa."
38 "Dan?" Ronald mengulangi. Dengan nada lebih
mendesak. Menatap sejenak ke mata sahabat lamanya,
Benny lantas mengerti. "Tidak usah kuatir, Ronald.
Papa dan mama percaya mutlak sewaktu kukatakan,
teman-teman Amerikakulah yang menyeret aku
masuk ke dunia gay."
Kembali Ronald merinding.
"Kau membuat aku merasa berdosa..."
"Hei. Ucapan apa pula itu?"
Ronald berbisik tersedak.
"Entah apa yang sudah kuperbuat malam itu
kepadamu!"
"Apa yang sudah kau perbuat?"
Benny tersenyum. "Justru kau telah mencegah
aku melakukan sebuah dosa yang tidak terampun
kan!"
"Dosa apa?"
Benny merendahkan volume suaranya. Dan
memberitahu tanpa ragu-ragu. "Ketahuilah, Ronald.
Sebelum semalam itu kau memergoki aku di kamar
39 mandi, diam-diam aku telah menyusun rencana.
Setelah pada akhirnya aku sadar bahwa hanya ada
satu perempuan yang kucintai dan sekaligus
kuinginkan, aku lantas memutuskan untuk nekad
menidurinya. Dengan berpura-pura mabuk minuman
keras, begitulah kurencanakan. Tinggal menunggu
waktu serta kesempatan yang cocok. Dan, kau tahu
siapa kiranya perempuan yang kumaksud!"
"Astaga, Benny..." Ronald membelalak.
"Maka itu, Ronald. Buanglah
perasaan bersalah di kepalamu. Oke?"
jauh-jauh "Entahlah, Benny. Aku..."
"Oh ya. Bagaimana dengan kau sendiri?"
dengan bijak Benny mengalihkan pembicaraan.
"Apakah kau masih melakukannya?"
"Masih."
"Bila demikian dengar nasihatku, kawan.
Mulailah berpikir untuk berhenti, Ronald!"
Ronald mau tertawa. Tetapi didahului ucapan
Benny yang tegas dan dingin menghunjam.
"Lihatlah diriku!"
40 Ronald tidak merasa perlu melihat, la langsung
berkata. "Aku rutin chek-up ke lab. Dan aku sepenuhnya
sehat. Begitu pula dia..."
Benny tidak bertanya siapa 'dia' yang dimaksud. Benny
justru menanyakan yang lain.
"Sampai kapan?!"
Ronald terdiam.
Benny mengeluarkan sehelai kartu namanya
yang ia sodorkan ke depan Ronald.
"Berkunjunglah kapan saja kau ada waktu
luang. Tetapi jangan dalam satu bulan ini. Karena
besok aku harus sudah ada di Brunai. Bulan depan
baru kembali."
"Brunai Darussalam? Apa kerjamu di sana?"
"Menatap interior sejumlah apartemen milik
salah seorang keluarga dekat Sultan," jawab Benny tak
acuh. "Waktu menyaksikan pameran yang kuadakan
bersama beberapa rekan seprofesi, dia sangat tertarik
dengan kombinasi timur-barat hasil kreasiku. Dan..."
*** 41 Lewat tiga bulan, barulah Ronald mengunjungi
alamat yang diberitakan oleh Benny. Itu pun tanpa
direncanakan. Dan tanpa maksud-maksud khusus.
Awalnya, Ronald bergaul kelewat akrab dengan
seorang gay yang lain sehingga Antonius cemburu
berat lalu memukuli gay dimaksud sampai terluka
parah. Ronald tentu saja tidak senang atas perlakuan
brutal kekasihnya. "Sumpah mati. Tidak ada urusan
seks apalagi cinta di antara kami berdua. Tak lebih dari
teman biasa!"
Antonius tak mau percaya. Dan mereka pun
lantas bertengkar hebat. Ronald tidak tahan lantas
minggat ke Jakarta, la tinggal beberapa hari di tempat
salah seorang adiknya yang kuliah dj Universitas
Trisakti. Suatu hari, sang adik membawa Ronald pergi
berjalan-jalan untuk diperkenalkan pada teman
gadisnya yang tinggal di kawasan elit Pluit Mas.
Barulah waktu Ronald teringat bahwa Benny tinggal di
kawasan perumahan yang sama. la kemudian pamit
pada kedua orang muda yang sedang dimabuk cinta
itu, lalu pergi mengunjungi Benny.
Tiba di tempat yang dituju, ia lihat banyak orang
tengah berkumpul. Suasana yang tampak jelas
42 suasana berkabung. Ronald bertanya pada orang
pertama yang dijumpainya. "Siapa yang meninggal?"
"Pemilik rumah!"
Ronald baru akan bertanya apakah yang
dimaksud om Eddi atau tante Evi, manakala seseorang
muncul di pintu depan. Begitu mengenali, Ronald
langsung mendatangi. "Benny?"
Yang disapa, menatap terkejut.
"Nak Ronald! Mimpi apa yang mengantar
langkahmu kemari?"
Ronald terpana.
Salah mengerti, orang yang tegak di pintu turun
menyongsong sambil berkata. "Kok bengong, Nak?
Atau kau tidak ingat lagi pada Om Eddimu yang sudah
tua ini?"
Menyadari kekeliruannya, Ronald hanya mampu
menggagap. "Benny..."
"la meninggal tadi malam, Nak. Ayo, masuklah!"
Di ruang tengah yang megah dan luas, Benny
tampak terbaring diam dalam sebuah peti mati berukir
indah. Berpakaian lengkap serta indah pula. Namun
43 toh tidak membuat muda wajah si mati yang tampak
begitu tua dan menderita.
"Lihatlah diriku... Mulailah berpikir untuk
berhenti, Ronald!"
Bergidik, Ronald melangkah surut menjauhi peti mati.
"Kau tentunya bertanya-tanya, bukan?"
terdengar suara desahan lemah om Eddi di sebelah
nya. Ronald menggelengkan kepala yang terasa
berdenyut-denyut sakit.
"Kami sudah bertemu sebelumnya, Om."
"Oh ya?" Om Eddi mendesah lagi. Dengan
pandangan menduga-duga.
"Benny telah menceritakan semuanya!"
"Baguslah. Aku jadi tak perlu repot-repot."
"Mana tante?"
"Aduh. Hampir lupa. Mari kuantar menemui
nya, Nak."
Om Eddi membuka pintu sebuar kamar. Nyaris saja
Ronald tidak mengenali siapa perempuan yang
berbaring di atas tempat tidur. Bukan hanya lemah
dan pucat. Tubuh molek dan wajah cantik tante Evi
44 juga tampak sudah sirna. Apa yang dilihat oleh Ronald
adalah sesosok tubuh kering serta wajah yang rentah.
Sepasang kelopak mata keriput itu berkedapkedip membuka lalu memperhatikan siapa orang yang
berdiri di samping tempat tidurnya, kemudian bibir
tuanya komat-kamit bergetar : " apakah mataku
tidak salah?"
Terharu biru. Ronald menyahuti : "Aku Ronald,
Tante!"
Seolah, memperoleh tambahan tenaga baru tante Evi
terlonjak bangun lalu merangkul Ronald dengan
sekujur tubuh bergemetaran "Anakku Ronald, puji.
Tuhan!" ia berkata dalam tangis. "Mengapa kau
menghilang begitu lama? Mengapa kau biarkan Benny
pergi ke Amerika?"
"Bu!" suaminya menegur. Tajam.
Perlahan-lahan tante Evi melepaskan rangkulan
nya. Lalu berbaring kembali di tempat tidur. Lunglai.
Isak tangisnya kian menjadi. "Memang bukan
salahmu, Nak. Juga bukan salah Om-mu. Akulah yang
salah. Karena aku terlalu bangga puteraku satusatunya memperoleh beasiswa. Akulah yang
mendorongnya mengambil beasiswa itu. Aku
terhanyut oleh pujian mereka bahwa Benny-ku adalah
45 generasi harapan masa depan. Dan lihatlah apa yang
ia dapatkan!"
Om Eddi duduk di pinggir tempat tidur. la seka
air mata yang menggenangi pipi isterinya seraya
berujar lembut dan penuh kasih. "Sudahlah, Bu.
Berhentilah menyalahkan dirimu. Semua ini terjadi
atas kehendak Tuhan jua adanya."
"Terkutuklah bila aku menjadikan Tuhan
sebagai kambing hitam...!" Tante Evi tidak terbujuk.
"Ingat bukan Pak? Berapa kali sudah anak kita pernah
jatuh cinta pada teman-teman gadisnya? Itu
membuktikan... pada dasarnya ia adalah lelaki normal.
Tetapi karena aku bersikeras mengantarkan ia pada
teman-teman Amerikanya..."
"Bu," sang suami membujuk dengan sabar.
"Apa yang telah kau perbuat jelas didasari niat baik
dan cita-cita luhur seorang ibu. Yang terjadi
setelahnya, bukan lagi menjadi tanggung jawabmu
Kalau pun ada yang harus dipersalahkan, itu adalah
teman-teman Amerika anak kita. Merekalah yang
membujuk dan menyeret anak kita sampai menyalahi
kodrat. Jadi bukan kau. Tetapi merekalah yang
bertanggung jawab... atas kematian anak kita... !"
46 Suami isteri itu kemudian berpeluk-pelukan dan
bertangis-tangisan. Tanpa mengetahui bahwa Ronald
mengundurkan diri dari kamar dengan langkah
tertatih-tatih.
Kemudian melarikan diri dari rumah yang
diseliputi kabut duka cita serta kesengsaraan itu.
Dengan membawa serta hati nuraninya.
Yang terguncang hebat.
* * * Pada waktu Antonius akhirnya datang men
jemput ke Jakarta seraya menyatakan penyesalan atas
kelakuannya yang tidak patut dan membujuk. "Aku
merindukanmu. Marilah kita pulang"
Ronald manurut bagai kerbau dicocok hidung.
Namun ketika taman kumpul kebonya itu


Penghuni Lembah Jayagiri Karya Abdullah Harahap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mencumbu Ronald di tempat tidur, Ronald cuma
rebah diam. Dengan tubuh dingin bagai sebatang
pohon pisang tumbang. Masuk kantor pun ia tidak
bergairah. Diajak liburan ke mana saja, jawabannya
47 pendek saja ?malas?. Ronald lebih suka berkurung di
rumah. Tidak mau benemu atau berbicara dengan
siapa-siapa kecuali Antonius itu pun seperlunya dan
bila lebih dulu ditanya hadiah-hadiah yang dibelikan
Antonius... termasuk sebuah mobil rakitan terbaru,
pun cuma dipandang sebelah mata. Tanpa kemauan
untuk memakainya. Seteteh itu kembali menutup diri.
Makan tak bernafsu, tidur pun tak lelap. Lambat laun
bobotnya menurun drastis.
Antonius menjadi cemas setengah mati. Lantas
membujuk, "Bagaimana kalau kau kuantar ber
konsultasi pada psikiater?"
Adalah menakutkan untuk mengungkap rahasia
pribadi pada orang yang belum dikenal. Kunjungan
pertama jadinya tidak menghasilkan apa-apa. Begitu
pula halnya dengan kunjungan kedua. Baru setelah
kunjungan berikutnya dan Antonius tidak diperkenan
kan lagi ikut masuk ke kamar praktek, Ronald
perlahan-lahan membuka diri. Dengan suara sakit dan
getir mengeluh pada dokter Rinaldi.
"Aku telah membunuh seseorang. Dan aku ingin
berhenti!"
Tidak lama setelahnya, Ronald pun dipertemu
kan dengan Maria.
48 * * * Oh ya. Bukankah Maria akan datang berkunjung?
Ronald melihat ke jam dinding. Dua puluh menit
lewat pukul satu dinihari. Tadi ia bertelepon dengan
Maria sekitar pukul setengah satu. Ada baiknya ia
buka saja pintu gerbang sekarang. Siapa tahu Maria
datang tepat waktu.
Setelah merapihkan kayu bakar di tungku agar
apinya tidak keburu padam, Ronald kemudian pergi
keluar rumah. Baru saja pintu gerbang dibuka, tampak
cahaya lampu mobil muncul dari sebuah belokan.
Mungkin penghuni setempat.
Tetapi mungkin juga Maria, datang lebih cepat
dari waktu yang dijanjikan.
Tidak ada salahnya menunggu.
Benar saja. Mobil itu berhenti tepat di depan
Ronald. Perlahan-lahan pintunya terbuka dari sebelah
dalam. Lalu sesosok tubuh melangkah keluar.
Ronald terkesiap.
Dengan jantung berdebar.
49 EMPAT "HALLO sayangku!" Antonius menyeringai
lebar. "Kekasih mana yang sedang kau tunggutunggu?"
Kekasih mana!
Selamanya Ronald hanya mencintai satu orang.
Tidak pernah berpikir untuk mencintai yang lain. Dan
orang yang dicintainya itu sekarang malah berkata:
kekasih mana. Sungguh tuduhan yang terasa begitu
menyakitkan!
Ronald mundur selangkah. "Mengapa kau ke sini?'"
"Ucapan selamat datang yang benar-benar
manis .." Antonius masih tetap menyeringai. Dagunya
ia gerakkan ke arah rumah Sambil menambahkan
"Apakah juga aku tidak akan diundang masuk ke
dalam sana, Boy?"
Udara di luar sudah cukup membuat Ronald
menggigil. Mendengar nama itu disebut-sebut, ia
semakin menggigil. "Boy sudah lama mati, Anton.
Yang berdiri di depanmu adalah Ronald!"
"Aku tak percaya. "
50 Terserah. Tapi kuanjurkan, naik dan putar mobilmu
kembali Dan mulailah berpikir untuk mempercayai
nya!"
Seringai Antonius menghilang. Namun tidak
seluruhnya. Dengan suara lembut dan sabar ia
berkata, "Aku mengenal betul siapa dirimu, kekasih.
Boy boleh saja mati. Tetapi cintanya tidak akan!"
Tembakan Antonius langsung mengenai
sasaran. Ronald tersudut, lantas melemah. Bahkan
lututnya terasa goyah, sehingga tegaknya tidak lagi
segagah tadi. Antonius tersenyum. Sadar bahwa
Ronald sudah tergenggam di tangan, ia tidak mau
membuang tempo. Sekali lagi ia menembak "Ayolah,
sayangku. Sudah waktunya kita masuk ke dalam sana.
Untuk saling melepas, rindu."
Sentuhan sentuhan gaib itu! Sosok Antonius
yang kokoh serta perkasa! Tanpa dapat dicegah, birahi
Ronald terbangkit lagi perlahan-lahan. Namun ia
masih cukup sadar untuk apa dan mengapa ia
membuka pintu gerbang. Adalah tidak pantas bila saja
nanti... "... jangan di dalam sana!"
Antonius tersenyum lagi. Manis sekali. "Mengapa?"
51 "Maria akan datang sebentar lagi."
"Oh, dia..." desah Antonius. Ingin meremehkan,
tapi cepat ditahan. Siapa tahu. "Aku kira di luar sini
pun tersedia banyak tempat yang cukup romantis.
Naiklah ke mobil, manisku"
"Aku akan ganti pakaian dulu."
Antonius mengawasi kimono tidur berbulu tebal yang
melekat di tubuh Ronald. "Yang itu lebih praktis. Aku
malah sudah tidak tahan untuk membukanya!"
Ragu-ragus sesaat. Ronald kemudian membuka
pintu mobil lalu menyelinap masuk ke jok belakang
yang tempatnya lapang serta nyaman.
Seraya menyeringai Antonius pun duduk di belakang
kemudi. Mobil dijalankan pelan-pelan saja. Tidak perlu
tergesa-gesa. Toh Boy sudah jadi miliknya kembali.
Tinggal pilih saja. Mencari tempat yang sepi tetapi
aman untuk bercumbu. Atau mencari tempat
memutar lalu memboyong Boy pulang ke rumah...
untuk tidak dilepaskan lagi!
Pilihan yang kedua adalah yang terbaik.
Godaannya pun terasa lebih kuat. Tetapi Antonius
tidak mau sembrono, la sudah pernah bertindak
seperti itu. Tanpa diperhitungkan masak-masak,
52 Antonius mengantarkan Boy berkonsultasi pada
seorang psikiater. Akibatnya fatal dan sampai
sekarang pun Antonius masih menyesalinya.
Antonius harus lebih berhati-hati. Memang
sebaiknya Boy ia boyong pulang. Tetapi jangan sampai
Boy terkejut lantas hatinya terluka. la lebih dulu harus
menjajaki seberapa besar ketertarikan Boy pada
perempuan bernama Maria itu. Lebih-lebih, lagi ia pun
harus menjajaki apakah Boy masih tetap Boy-nya yang
lama. Atau Boy yang berbeda: masih tetap berdarah
homo, tetapi sudah dicampurinya jenis darah yang
lain. Dan sejauh mana jenis darah yang lain itu telah
berpengaruh pada diri Boy. Terutama pada orientasi
seksuilnya.
Tiba tiba terdengar suara lirih di belakangnya,
"Bagaimana kau tahu aku menetap di daerah ini?"
Sambil menjalankan mobil dengan hati hati agar
tidak keluar dari badan jalan yang begitu sempit dan
kurang terawat. Antonius menjawab santai.
"Aku punya uang bukan? Dan informasi mudah
dibeli di mana-mana!"
"Lalu sejak kapan kau tahu?"
53 "Minggu pertama setelah kau meninggalkan
tempat persembunyianmu yang terakhir..." Antonius
diam sejenak. Kemudian sambil tersenyum simpul, ia
menambahkan. "Hotel Anggrek, kamar 10"
Ronald mengingat-ingat. Lantas berdecak
kagum. "Berarti sudah lebih setengah tahun. Hebat!
Bagaimana kau mampu bersabar selama itu?"
Ada sebuah tempat sepi dan cukup romantis.
Terlindung pepohonan serta perkebunan jagung yang
subur. Antonius terus saja menjalankan mobil. Yang ia
cari adalah tempat memutar.
"Tidak ada istilah sabar," katanya datar. "Bila
informasinya mengatakan kau tergoda lantas lari
dengan seorang gay lain, Aku akan langsung
menjemputmu pada kesempatan pertama. Meski
untuk itu aku lebih dulu harus melangkahi mayat
seseorang!"
Ronald terdiam.
"Tetapi informasi akurat yang kuterima
ternyata berbeda dan jauh dari sangkaan!" lanjut
Antonius, getir. "Untuk beberapa waktu lamanya aku
terombang-ambing tak tahu harus berbuat apa.
Sampai akhirnya aku tiba pada pemikiran. Bahwa cinta
tidak hanya perlu kesabaran, tetapi juga
54 pengorbanan..." Antonius diam sebentar. Setelah
menghela nafas panjang dan berat, barulah ia
meneruskan. "Begitu kuketahui kau sedang menjalani
terapi dengan latihan sosial pada wanita... aku
langsung berkata pada diriku sendiri. Aku mencintai
nya. Maka berilah dia kesempatan, bila itu memang
dapat membahagiakannya!"
Ronald semakin terbungkam.
Dengan hati diam-diam terenyuh.
Pada saat bersamaan Antonius berpikir: waktu
ujian telah tiba! Maka ia pun bertanya hati-hati.
"Apa pendapatmu tentang dia?"
"Maria?"
"Ya."
Ronald berpikir sejenak. Kemudian menjawab
pendek, "la seorang gadis yang baik."
"Itu saja?"
"Apa gunanya kuteruskan?" tambah Ronald,
"Toh yang sesungguhnya ingin kau tanyakan, bukan
itu!"
Antonius tertawa. Sumbang. "Jadi?"
55 Tanpa ragu-ragu Ronald langsung memberitahu. "Kami memang pernah melakukannya..."
Jari jemari Antonius dibantalan kemudi terasa
mengejang. Kaku: Itulah yang paling ia takutkan
selama ini. Boy telah merasakan yang "lain". Betapa
ingin Antonius menjerit serta meraung untuk
melampiaskan kekecewaan. Tetapi bukankah semua
itu berasal dari kesalahan Antonius sendiri?
Dialah yang melemparkan Boy ke tangan psikiater.
Akhirnya Antonius cuma mampu mengeluarkan
geraman bergetar. " dan?"
"Dan apa?!" Ronald mendengus. Tak senang. la
memang selalu terbuka pada Antonius dan akan tetap
seperti itu. Hanya saja, ia tidak suka didesak.
Antonius menyadari hal itu. Tetapi Antonius
sedang frustrasi. Lantas kehilangan kendali diri.
"Apakah kalian menikmatinya?"
Ronald ingin marah. Tetapi ia menjawab juga.
"Dari pihak Maria, ya!"
"Kau?"
"... pada akhirnya juga ya. Tetapi yang kunikmati
adalah sebuah kenikmatan semu!"
56 "Aku tak mengerti..."
"Begitu kuketahui Maria sudah selesai, aku
langsung menarik diri. Tanpa memperoleh apa-apa!"
Ronald menjelaskan. "Tetapi Maria seorang yang
penuh pengertian dan tidak mudah dibodohi..."
Secara ringkas Ronald lalu menceritakan apa yang
kemudian terjadi pada malam bersejarah dalam
perjalanan hidupnya itu. Maria bertanya apa yang
telah menghambat Ronald. Ronald menjawab terus
terang bahwa ia sudah terbiasa memasuki tempat
yang berbeda dan betapa ia mendambakan agar Maria
tangkurap saja.
Maria sempat terkejut lalu kemudian tertawa.
la menyelinap sebentar ke kamar mandi untuk
membersihkan diri. Kembali lagi ke tempat tidur.
Maria kemudian berkata "Kita akan mengulanginya
kembali. Tetapi kau menelentang dan diam-diam saja
lah. Biarkan aku yang aktip bekerja!"
Tetapi Ronald tidak sampai hati membiarkan Maria
berjuang sendirian. Sementara Maria sibuk sendiri,
diam-diam Ronald berhalusinasi. Pengaruhnya
memang langsung terasa. Perlahan-lahan Ronald
mendekati akhir perjalanan yang melelahkan namun
sensasionil itu. Maria dapat menangkap gelagat.
57 Lantas pada saat yang tepat Maria langsung
mendorong Ronald memasuki dirinya.
Ronald tak perduli.
Yang penting ia mencapai tujuan.
Seraya mendesahkan... nama Antonius!
* * * Perasaan frustrasi Antonius mengendur.
Bahkan kemudian tertawa gembira. Lalu berkata
dengan ceria. "Pantas kau bilang kenikmatan semu
Meski dengan bantuan Maria, itu sama saja halnya
dengan bermasturbasi!"


Penghuni Lembah Jayagiri Karya Abdullah Harahap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ronald diam saja.
Kejadian malam itu belum seluruhnya lepas dari
pelupuk mata. Terbayang saat-saat Maria tiba-tiba
menegun kaku. "... jadi, jerih payahku sia-sia saja!" ia
mendengus. Lalu meluncur turun dari atas tubuh
Ronald. Dengan marahnya, la kemudian menyelinap
ke kamar lain. Membiarkan Ronald rebah termangu-
58 mangu. Dan nyaris sepanjang sisa malam itu tak dapat
tertidur. Didera oleh perasaan bersalah.
Tetapi ketika pagi harinya ia bangun Maria tetap
menunggunya di meja makan. Baru setelah usai
sarapan pagi. Maria membuka mulut. "Mengenai yang
tadi malam, Ronald."
Ronald mengangkat muka. Ragu-ragu "... ya?"
"Aku dapat memahami. Paling tidak, kau telah
melakukan itu di tempat yang semestinya!"
Ronald tidak akan pernah melupakan betapa
lembut dan sederhana cara Maria mengutarakannya.
Tidak ada nada mempersalahkan. Pun Maria tidak
menuntut apa-apa. Sehingga jauh di dalam
sanubarinya, mau tidak mau Ronald harus menyimpan
perasaan hormat yang dalam serta tulus terhadap
gadis itu.
Dan sekarang, apa yang ia berikan sebagai
imbalan pada Maria? Mengikuti Antonius seperti
orang idiot! Mengikuti dorongan nafsu birahi
terkutuk... yang telah mengantarkan Benny ke
pelukan sang maut!
Ronald benar-benar malu pada dirinya sendiri
"Boy?"
59 "... heh?" Ronald terjengah.
"Ceritamu tadi itu. Membuat aku tidak tahan lagi!"
Seraya berujar demikian, Antonius mengawas sekitar
jalanan yang mereka lalui. Begitu melihat ada tempat
yang ia perkirakan cukup sepi serta aman untuk
bercumbu, Antonius mengarahkan mobil ke pinggir.
Rem dipasang dan kunci kontak diputar dengan
sentakan tak sabar. Mesin pun mati. Menyusul lampulampu dipadamkan. Dalam tempo seketika, segala
sesuatu baik di dalam apalagi di luar berubah menjadi
hitam pekat. Dan dikegelapan malam yang gulita itu,
samar-samar tampak gerakan sosok kekar Antonius
yang sedang berusaha pindah ke jok belakang.
"Tidak...!" Ronald tiba-tiba berkata. Gugup.
"Aku tidak mau!"
"Hei!"
Ronald membuka pintu mobil di sebelahnya.
Lalu melompat keluar. Di tempat yang ia tinggalkan,
Antonius sempat dibuat terheran-heran. Lantas
menyusul keluar sambil menanggapi. "Pasti kau hanya
ingin bercanda, Boy..."
60 Ronald menggelengkan kepala. "Aku tidak mau
lagi melakukannya!" ia mengulangi dengan tegas.
"Sungguh!"
Dijilati sinar rembulan yang pucat, wajah
Antonius tampak mengejang. Kaku. Sadar bahwa
Antonius dapat berlaku brutal bila sudah marah,
Ronald berkata setengah memohon. "Aku sudah mulai
menemukan jati diriku, Anton. Maka berilah aku
kesempatan...!"
Antonius merintih sakit bercampur marah. Jadi
beginilah akhirnya. Boy sudah bukan miliknya lagi. Bila
memang demikianlah kenyataan yang harus ia terima,
baiklah. Antonius bersedia memberi keleluasaan pada
Boy untuk menemukan apa yang oleh kekasihnya itu,
jati diri. Tetapi harus ada timbal balik. Antonius pun
punya jati diri. Dan jati dirinya ia sudah sangat lama
menunggu dengan sabar untuk dilampiaskan, la tidak
sudi menunggu lebih lama lagi. Sekarang, atau tidak
sama sekali!
Dengan pikiran jahat merasuki kepala, Antonius
memperlunak sikap "Rasanya ini akan sangat berat
untukku, Boy," ia mendesah. Lembut. "Tetapi tak
apalah. Hanya saja, kapan kau ingin kembali kau pasti
tahu siapa yang harus kau temui!"
61 Ronald menarik nafas lega. "Aku akan
mengingatnya selalu," ia berjanji setulus hati "Entah
bagaimana aku harus berterimakasih..."
Antonius menyeringai gembira. "Cukuplah
dengan sebuah cium perpisahan Itu pun, bila kau tidak
berkeberatan!"
Sedikit pun tidak.
Dan, tanpa ragu-ragu Ronald
Antonius menunggu. Dengan bibir
senyuman tipis.
mendekat mengulas Misterius.
* * * Begitu mereka berhadap-hadapan, Ronald yang
memang bertubuh sedikit lebih kecil dan lebih
pendek, tentu saja harus mengangkat tumit dan
tengadah untuk dapat mencecahkan bibirnya ke bibir
Antonius. Pada detik-detik terakhir sebelum bibir
mereka berdua saling bersentuhan Ronald masih
sempat melihat sesuatu di balik mata Antonius.
62 Semacam sinar yang aneh, karena tampak begitu jelas
meski suasana sekitar gelap gulita.
Namun penglihatan sekilas itu diabaikan
Ronald. Mungkin hanya pantulan sinar rembulan,
pikirnya. Lalu bibir mereka pun bertamu. Semula
Ronald meniatkan hanya sebuah kecupan pendek.
Tetapi Ronald diam dan membiarkan saja sewaktu
Antonius mengulum lalu memaksa bibir nya setengah
membuka. Bahkan Ronald diam-diam menikmati.
Kelopak matanya terpejam, bergairah. Demikian pula
halnya Antonius. Sehingga manakala suatu saat dua
pasang bibir mereka saling melonggar untuk berubah
posisi, mereka tidak melihat munculnya selarik sinar
hijau tajam yang meliuk ke luar dari dalam mulut
Antonius, lalu berkelebat masuk ke dalam mulut
Ronald. Pada saat bersamaan, Antonius sudah
mengetahui bahwa birahi Ronald sudah berhasil ia
bangkitkan. Selanjutnya, mudah. Malah lebih mudah
dari apa yang ia perkirakan semula. Agaknya, Antonius
tidak perlu main perkosa. Karena sewaktu ia
merangkul tubuh Ronald untuk dibawa merapat ke
tubuhnya sendiri, ternyata sang kekasih menurut
dengan pasrah.
63 "Aku menginginkanmu, Boy," Antonius berbisik
terengah-engah di telinga Ronald. "Aku menginginkan
mu!" Ronald diam saja.
Tetapi Antonius tidak perduli. Saking tidak
tahan lagi, sebelah tangannya ia selundupkan ke balik
kimono tidur Ronald. Kemudian menyelusup ke
bawah pinggang. Menggapai Liar.
Dan pada saat Antonius mulai menikmatinya,
tiba-tiba ia dihinggapi perasaan lain yang sama sekali
bertentangan. Yakni perasaan sakit yang luar biasa
dahsyat manakala sesuatu menembus lambungnya.
Untuk kemudian merobek dan terus merobek.
Dengan brutal.
Dan kejam tiada terperi.
* * * 64 LIMA MARIA MAGDALENA meninggalkan rumah
mungilnya di sekitar pusat kota Bandung dengan
pikiran terumbang-ambing. Apa yang telah ia lakukan?
Menjanjikan lalu kini berkeluyuran dinihari untuk
mendatangi seorang laki-laki! Benar-benar memalu
kan. Seharusnya si lelaki-lah yang datang padanya.
Konon lagi, justru lelaki itu pula yang membutuhkan
kehadiran Maria. Tetapi, apakah memang Ronald
harus? Maria toh bukan 'apa-apa'-nya Ronald: Maria
hanya sekedar seorang teman. Sebagaimana tadi di
telepon Ronald berkata: seorang teman berbicara!
Itu artinya posisi Maria tidak lebih sama dengan
Amelia, mantan teman sekerja Ronald yang sudah
menganggap Ronald sebagai abang kandung sendiri.
Posisi Maria barangkali malah ada di bawah sang janda
beranak dua, Daisyi, yang terang-terangan pernah
mengakui: "Menikahi Ronald pun aku mau saja. Dia
punya daya tarik seksuil yang luar biasa. Namun bukan
itu semata-piata yang kutuju. Keberadaannya lebih
kubutuhkan sebagai pendamping... terutama bila aku
melakukan perjalanan bisnis ke luar daerah. Sebagai
seorang pengusaha garmen, aku..."
65 Tidak ada alasan khusus mengapa pilihan
Ronald akhirnya jatuh pada Maria.
"Amel membutuhkan tempat bersandar, yang
justru aku sendiri sangat memerlukannya..." Ronald
pernah menjelaskan. Dan mengenai perempuan
satunya lagi: "Tante Essi? Dalam dirinya aku melihat
seorang Antonius. Yang berbeda hanya cetakannya
saja!"
Bagaimana dengan Maria?
"... bisnis yang kau tawarkan, sungguh
menantang!" jawab Ronald sederhana. "Naik turun
truk, keluar masuk perkebunan, membaurkan diri
dengan para petani lalu para pedagang bermuka dua
di pasar induk. Aku yakin; itu akan menjadi sebuah
kehidupan yang keras. Kontras dengan kehidupan
yang kujalani selama ini, yang telah membuatku
semakin lupa bahwa aku terlahir sebagai laki-laki!"
Cuma itu. Dan jauh-jauh hari, dokter Rinaldi yang sudah
lama menjadi sahabat kental keluarga Maria, memang
telah memberitahu. "Itulah yang menjadi tujuan
utama Ronald. Kembali pada harkat dirinya sebagai
seorang laki-laki. Bukan hanya pisik. Melainkan lebihlebih secara mental biologis. Yang, selama lebih dari
66 10 tahun menyimpang ke arah yang salah.
Penyimpangan mana justru memberinya kebahagiaan
tersendiri, bahkan... cinta!"
"Sepertinya, aku diminta menegakkan seutas
benang basah!" Maria mengomentari.
"Tetapi sewaktu-waktu dapat menjadi kering,
bukan?" psikiater berkata membujuk. "Aku memang
belum tahu, kapan Ronald akan mencapai titik kering
dimaksud. Yang aku ketahui, gradasi kelabu dalam
kehidupan seksual Ronald sudah mendekati tingkat
yang parah, dimana sifat homonya lebih dominan.
Paling-paling kita hanya bisa mengubahnya menjadi
40% homo dengan 60% hetero..."
"Ada harapan untuk itu?"
"Menurut pengamatanku, ada. Hanya sebuah
celah tipis transparan memang. Jadi diperlukan
kesabaran dan kehati-hatian yang sungguh-sungguh.
Jadi kunasihatkan, begitu kau lihat lelaki itu terbuka,
jangan buru-buru masuk. Karena salah-salah, kau akan
terbentur sendiri. Lebih fatal lagi, celah itu bisa
menutup diri kembali. Lebih rapat dari sebelumnya!"
* * * 67 Ada bayang-bayang hitam mendadak melompat
dari sebelah kiri jalan untuk kemudian lari menghilang
di seberang kanan. Maria sempat tersentak lalu
seketika menginjak rem kuat-kuat. Mobilnya oleng
satu dua detik, sebelum kemudian berhenti dengan
sentakan keras didahului suara berisik ban saling gigit
dengan aspal.
Sejenak lamanya Maria hanya terduduk dengan
wajah pucat pasi serta jantung bagai coplok begitu
saja. Baru setelah itu, takut-takut ia melirik ke kaca
spion. Mengawasi jalanan di belakangnya. Lampu
merkuri di trotoir hanya memperlihatkan jalanan yang
lengang dan hampa. Tak tampak adanya sesuatu
tergeletak di sana. Lalu kemudian Maria kembali
melihat bayang-bayang hitam tadi. Tegak diam-diam
di trotoir sebelah kanan, dengan moncong mengarah
ke mobil Maria. Terdengar suara gonggongan keras,
disahuti oleh gonggongan lain dari kegelapan malam
di sekitar. Bayang-bayang hitam itu segera berlari
menghilang. Hanya suara gonggongannya saja yang
masih terdengar. Mengejar arah datangnya gonggongan susulan tadi.
"Anjing buduk!" Maria mengumpat. "Kukira
apa..."
68 Sambil tertawa lega, Maria menjalankan
mobilnya kembali. Namun tidak lagi sekencang tadi. la
I sedikit lebih santai. Malah mendekati ogah-ogahan.
Apakah ia tidak lebih baik pulang lagi, lantas
meneruskan tidurnya yang tadi sempat terganggu?
Tetapi nada suara Ronald di telepon terdengar agak
berbeda dari biasa. Suara itu sepertinya menyimpan
ketakutan tersembunyi. Entah apa yang ditakutkan
Ronald dan entah apakah Ronald sendiri menyadari
nya. Ronald hanya berbicara tentang hawa nafsu


Penghuni Lembah Jayagiri Karya Abdullah Harahap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terkutuk "yang lama" telah mengusik dirinya kembali
Tak lebih dari itu.
Namun entah mengapa, Maria dapat
merasakan adanya sesuatu dalam suara Ronald.
Sesuatu yang tidak biasa, sehingga Maria ikut
dijangkiti perasaan takut yang aneh dan misterius itu.
Tetapi, apakah 'itu' kiranya? Maria tidak tahu. Maria
hanya dapat merasakan!
Yang pasti, Ronald tidak perlu mengangkat
telepon di tengah malam buta, hanya untuk
membicarakan nafsu terkutuknya yang lama. Toh
selama bulan-bulan terakhir ini, setahap demi setahap
Ronald sudah mampu mengatasinya sendiri. Meski
tidak sesempurna yang mereka harapkan bersama.
Karena, "... maklum sudah mendarah daging!" Ronald
69 pernah mengaku. "Biarpun sudah kucabik-cabik
dengan susah payah, tetap saja masih ada bibit yang
tersisa di sana-sini."
Sungguh menggembirakan, ketika pada
akhirnya Ronald mengakui banyak hal. Tetapi betapa
banyak jalan berliku-liku yang harus ditapaki Maria
untuk mendapatkannya. Liku-liku yang sering-sering
melelahkan. Malah ada kalanya teramat sangat
membosankan.
Coba saja ingat minggu-minggu pertama yang
datang untuk kemudian berlalu begitu saja, nyaris
tanpa menghasilkan apa-apa. Hubungan Maria dan
Ronald hanya sebatas bisnis belaka. Peranannya pun
lebih banyak diambil alih oleh pak Jayusman. Orang
kepercayaan almarhum ayah Maria itulah yang lebih
banyak mengajari, memberi petunjuk-petunjuk,
membimbing dan menemani Ronald kian kemari.
Keberadaan Maria boleh dikata tak ubahnya
pos jaga yang disinggahi untuk bertanya ini itu. Lantas
karena ia terlanjur sudah ambil bagian dalam terapi
yang dilakukan dokter Rinaldi, Maria tentu saja harus
menjawab setiap pertanyaan atau pendapat yang
diinginkan Ronald. Misalnya, "Tempat tinggal? Pakai
sajalah rumahku yang di Jayagiri. Selama ini aku
70 tempati hanya diakhir pekan, itu pun tidak selalu.
Memang ada beberapa anggota keluarga yang suka
menginap di sana. Tapi temporer. Bayar sewa? Hai,
omongan macam apa itu? Lupakan sajalah. Bukan
menolak rejeki. Tetapi hitung-hitung ada yang
mengisi. Ketimbang sering di biarkan kosong, lantas
lama-kelamaan bobrok sendiri!"
Atau: "Oh, mau ikut tanam modal? Oke-oke
saja. Lagipula itu bagus untukmu. Kau akan berjuang
lebih keras. Karena yang kau pertaruhkan, sebahagian
adalah milikmu sendiri. Hanya, satu hal perlu kau
timbang masak-masak. Bisnis sayur mayur memang
tampak menggiurkan, apalagi mendekati dan di
musim paceklik. Namun resiko-nya pun sering tidak
tanggung-tanggung. Terutama pada musim panen
raya. Salah perhitungan sedikit saja, jangankan dapat
laba. Modal pun bisa ikut tumpur..."
Dan entah apalagi. Yang sedikit pun tidak ada
kaitannya dengan hal-hal yang menyangkut urusan
mental biologis. Konon pula yang menjurus ke urusan
seksuil. Kalau pun ada pembicaraan yang sifatnya
pribadi, tak lebih dari permukaannya saja
Sebagai contoh: "Aku ini anak satu-satunya.
Sebagaimana ayahku adalah anak satu-satunya pula
71 dari kakek..." Maria memberitahu. "Agaknya aku
terlahir dalam sebuah keluarga yang dalam urusan
jumlah generasi penerus bukan main kikirnya!"
Di lain waktu: "Honorarium yang kuterima dari
majalah tempatku bekerja? Oh, tak seberapa! Seringsering malah nombok..." Maria tertawa. "Tetapi tak
apa, bukan? Toh peninggalan yang kuwarisi dari
orangtuaku bila kumakan sendiri bukannya habis.
Malah sebaliknya, terus saja bertambah. Adapun
mengenai aku tidak berminat menekuni usaha
keluarga yang sudah turun temurun, mungkin karena
aku berbeda dengan para pendahuluku. Mengapa aku
jadi wartawati? Spesialis kriminil pula? Oh, mungkin
karena panggilan jiwa. Tetapi alasan yang lebih pas
adalah karena aku menyukai petualangan. Khususnya
mengenai perilaku manusia... dan bagaimana mereka
menggapai kehidupan yang acapkali tidak mengenal
kompromi...!"
Yang agak menjurus, paling-paling. "Pacar?
Tentu saja aku pernah punya. Gunta-ganti malah!
Sayangnya..."
Atau, "Menikah? Hem. Belum terpikirkan!"
* * * 72 Jalanan menanjak di depannya semakin
menanjak dan terus saja menanjak pertanda ia sudah
mendekati kota Lembang, setelah itu Ronald dan...
Maria mendadak tersenyum-senyum sendiri. Tiba-tiba
teringat bahwa Ronald sudah tahu banyak mengenai
dirinya. Sementara Maria tentang Ronald boleh
dibilang nol besar.
Belum pernah Maria bertemu orang setertutup
Ronald. Jangankan mau berbicara tentang temanteman sesama gay. Mengenai keluarganya sendiri pun
Ronald hanya membuka seperlunya saja. Sebagai
misal: "Aku lahir di keluarga berpenghasilan kecil
dengan tantangan besar," kata Ronald. Lalu dengan
cepat beralih ke urusan pekerjaan.
Atau: "Ayah orangnya keras tetapi berhati
baik!" Lantas pembicaraan beralih lagi ke soal lain.
Teman bermain?
"Banyak. Terutama sewaktu SD lalu SMP."
Setelah di SMA?
Ronald sempat terdiam. Lantas cepat-cepat
mengalih. "Bagaimana dengan laporan keuangan yang
kemarin itu?"
73 Tak puas, pada kesempatan lain, Maria mendesakkan
pertanyaan yang sama. Berpikir sejenak, baru. Ronald
menjawab: "Ada beberapa.. Tetapi tak akrab."
"Dari beberapa itu, tentunya ada yang cukup
intim, seorang gadis dan..."
"Beberapa hari ini aku kurang tidur!" Ronald
menukas. "Tak apa aku istirahat sebentar di kamar?"
Dan Ronald tidak keluar-keluar lagi dari kamar,
sampai Maria meninggalkan Jayagiri sore harinya.
Setelah hari itu, Ronald tahu-tahu menjaga jarak.
Benar sikapnya masih tetap sopan dan ramah bila
mereka bertemu. Tetapi selalu ada saja alasannya
yang masuk akal untuk meninggalkan atau menolak
ajakan Maria berjalan-jalan. Seperti: "Aduh,
bagaimana ya. Ada sekian ton kentang di Cisarua..."
Perubahan sikap Ronald itu langsung
dikemukakan Maria pada dokter Rinaldi sewaktu
kebetulan mereka bertemu pada sebuah acara
cocktail party. Seperti halnya Ronald, psikiater itu pun
sempat terdiam beberapa saat lamanya. Baru
kemudian, dengan pandangan enggan ia membuka
mulut. "Satu hal yang kusukai pada dirimu, Maria..."
Rinaldi berkata. "Adalah sifatmu yang terbuka dan
74 terkesan agressip. Tetapi menyangkut Ronald, aku kira
kau terlalu agressip."
"Terlalunya?"
"Kau telah menyerang titik paling peka dalam
diri Ronald. Justru sewaktu di SMA-lah penyimpangan
itu dimulai Ronald, Berawal dari sebuah eksperimen
iseng..."
"Eksperimen?"
Rinaldi seperti menyadari sesuatu yang tabu.
"Ah, sudahlah. Sebaiknya hal itu tersimpan dalam
arsipku saja..."
"Itu tidak adil!"
"Kode etik, Nak..."
"Persetan dengan kode etik Om itu!" potong
Maria sengit. "Bukan aku yang meminta ikut ambil
bagian dalam terapi menjengkelkan ini!"
"Tetapi kau bersedia!" Rinaldi tersenyum
dengan manisnya. "Dan aku pernah bilang. Kau bebas
mengundurkan diri kapan saja kau mau. Tidak seorang
pun yang akan menyalahkan."
75 Diingatkan begitu... ditambah senyuman manis
sang psikiater, membuat Maria melemah. Katanya.
"Aku paling tak suka bekerja tanggung-tanggung.
"Maka, berhentilah bersikap cengeng. Mantap
kan hati. Teruslah berjalan, dengan kepala tegak.
Sampai..."
"Tersandung sendiri!" .
Rinaldi tertawa membahak. "Tersandung?
Orang seperti kau?" Rinaldi tertawa lagi. "Kiamatlah
dunia..."
Siapa sangka, Maria akhirnya tersandung juga.
Namun dunia tidak sampai kiamat. Meski ada
sedikit borok yang terasa mengganggu, ketika
peristiwa itu berlangsung... dunia justru terasa betapa
indah. Sensasionil, malah.
76 ENAM KOTA kecil Lembang yang masih menggeliat
bangun pada dinihari itu dilewati Maria dengan begitu
saja. Lupa bahwa sebelumnya ia sudah meniatkan
singgah di warung pojok siang-malam, membeli pisang
goreng bumbu 'Mak Onah' yang digandrungi para
turis. Ingatan Maria sedang melambung ke malam
sensasionil di tengah hujan badai dan amukan petir.
Yang mengantar Ronald memasuki bulan ketiga terapi
penyembuhannya.
Tumpahan air dari langit yang disertai butiranbutiran es itu muncul pada saat Maria sedang bersiapsiap pulang ke rumah mungilnya di pusat kota. "Ini
bukan saat yang baik untuk berkeluyuran di luar sana,"
Ronald menganjurkan. "Menginap sajalah!"
Setelah berlangsung obrolan tak tentu arah
selama sekian menit, Ronald yang pada malam itu
masih menjaga jarak, meminta maaf pada Maria. "Aku
harus memeriksa pembukuan untuk bulan terakhir,"
katanya. Sementara Ronald sibuk di belakang meja
kerjanya, Maria terpaksa harus menonton televisi
sendirian. Menunggu kantuk datang atau hujan
77 berhenti dan ia bisa terus pulang Suasana kaku
ditambah fenomena alam yang menggetarkan di luar
rumah, mau tidak mau membuat Maria benar-benar
gelisah. Lalu, suatu saat ia merubah posisi duduknya,
secara tidak sengaja lengan Maria terbentur pada
bantalan lengan kursi. Gelangnya pun tersangkut.
Sewaktu berusaha membebaskan gelang dari
bantalan kursi, Mana melihat bahwa salah satu mata
berlian gelang itu sudah tak ada di tempatnya. Pasti
tanggal karena benturan tadi dan terlempar entah ke
mana. Maka begitu gelang berhasil ia bebaskan, Maria
pun sibuk mencari batu berharga itu. la berjongkok
untuk menyimak dan meraba-raba di permukaan
karpet berbulu lumayan tebal. Terkadang membungkuk, malah kemudian menungging cukup lama
supaya lebih mudah meraba-raba ke kolong meja
duduk. Tanpa menyadari bahwa pantatnya
menghadap ke arah Ronald.
Setelah mata berliannya ketemu, Maria bangkit
dengan perasaan lega. Barulah saat itu ia teringat
pada kehadiran Ronald, dan Ronald pasti bertanyatanya apa yang barusan Maria perbuat. Maria pun
membalikkan tubuh untuk menjelaskan. Dan seketika
itu juga Maria menegun dengan terkejut. Karena
78 Ronald tengah memperhatikan dirinya. Dengan
pandangan nanar dan bibir setengah membuka Maria
sudah cukup berpengalaman dengan beberapa orang
lelaki sebelumnya, untuk dapat mengetahui apa yang
tersembunyi di balik sorot mata Ronald. Dan, itulah
yang, membuat Maria terkejut.
Bagaimana tidak. Pernah suatu hari Maria
keluar dari kamar mandi dengan tubuh terbelit
handuk sekenanya saja. Pada saat bersamaan, Ronald
muncul di pintu kamar yang lupa ditutupkan Maria.
Saking terkejut oleh pemunculan Ronald yang tibatiba, pegangan Maria pada ujung handuk terlepas.
Handuk melorot jatuh. Dan Maria pun berbugil
sepenuhnya di hadapan Ronald!
Akan tetapi Ronald tampak bersikap biasa-biasa
saja. Tidak risi, tidak terpengaruh. Suara Ronald pun
tenang saja... tanpa nada atau getaran tertentu, ketika
berkata: "Aku mau menanyakan sesuatu. Tetapi kau
berpakaianlah dulu. Aku akan menunggu di luar..."
Tetapi sekarang!
Dengan Maria justru sedang berpakaian
lengkap; celana jeans ketat, blouse tertutup sebatas
leher! 79 "Mengapa kau memandangku seperti itu?"
Maria bertanya keheranan.
Ronald tersentak. Lalu menjawab polos namun
gugup. "Baru sekarang aku menyadari. Bahwa
pinggulmu... sangat indah!"
Maria memang berpinggul besar. Kencang dan
padat. Kulit muka Maria lantas bersemu merah.


Penghuni Lembah Jayagiri Karya Abdullah Harahap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Perasaan hangat menjalari sekujur tubuhnya.
Ada dua alasan mengapa Maria bersedia ambil
bagian dalam terapi dokter Rinaldi. Pertama, karena
benar-benar ingin menolong. Alasan kedua, begitu ia
bertemu Ronald, Maria langsung tertarik. Dan
semakin sering bertemu, semakin Maria diusik oleh
sebuah harapan tersembunyi. "Andaikata ia bukan
seorang homo"
Di tengah perasaan hangat yang menggugah
kewanitaannya itu, Maria mendadak teringat.
Bukankah Ronald sudah sering bertemu dengannya.
Jadi Ronal pun sudah sering pula melihat pinggul
Maria. Tetapi mengapa baru sekarang Ronald
memuji? Karena menahan diri? Pasti bukan. Ronald
memang sangat tertutup mengenai dirinya. Namun
menyangkut Maria. Ronald tak segan-segan bertanya
atau mengomentari.
80 Kesimpulannya hanya satu saja
Tadi Maria menungging. Dan pantatnya
Susah payah Maria menguasai diri Kemudian,
adalah sepatutnya ia menegur dan mengingatkan
Ronald pada terapi yang masih dijalaninya. Di luar
kehendak pikiran sehatnya. Maria malah tergoda
untuk, bertanya. "Kecenderungan lama itu, ya?"
Ronald menganggukkan kepala.
Godaan tadi kian merasuki Maria. la mendesak,
"Dan?"
Ronald mengaku tersipu-sipu namun juga blakblakan. "Kau membuatku berdiri."
Kewanitaan Maria tergugah lagi. Dengan
sentakan keras. Tanpa bisa dicegah lagi mulutnya
melontarkan sebuah pertanyaan berbahaya.
"Kau menginginkannya?"
Ronald mengangguk lagi.
"Begitu pula aku." Maria berkata sejujurnya.
"Tetapi bukan seperti apa yang aku bayangkan!"
Ronald mengeluh.
"Jika demikian, lupakan sajalah!"
81 "Mengapa?"
"Karena kita... berbeda."
"Kita dapat mencobanya, Ronald!"
"Kita tidak akan berhasil..."
"Bagaimana kalau yang terjadi sebaliknya? Dan
bukankah itu yang menjadi tujuan akhir dari terapi
ini?"
Ronald terdiam.
"Jawablah, Ronald!"
"... aku takut."
"Takut apa?"
"Takut kau... kecewa."
"Belum tentu. Kalau pun ya, kekecewaan yang
sama sudah pernah kualami dari dua pria terakhir
sebelum ini. Dan aku sudah terbiasa!"
"Situasinya berbeda, Maria."
"Pasti. Di lain pihak, kau pun sudah harus mulai
belajar untuk memasuki... pintu yang benar!"
"Tetapi..."
82 "Dengan berbicara saja kita tidak akan
mencapai apa-apa, Ronald!"
Maria mengakhiri kata-katanya dengan
tindakan nyata, la berjalan menuju kamar tidur yang
hanya sewaktu-waktu dipergunakan oleh Maria.
Setelah membuka pintu, ia berdiri menunggu. Ronald
menyerah meski tanpak ragu-ragu, ia tinggalkan juga
kursi kerjanya.
Setelah mereka berdua naik ke tempat tidur,
lagi-lagi Maria yang harus mengambil inisiatip. La
menanggalkan pakaiannya lebih dulu, baru setelah itu
ia beralih ke pakaian Ronald. Dan, Maria tercengang.
Jantungnya memukul-mukul dengan kerasnya.
Bayangan Daisyi mengilas di pelupuk matanya. Jika
Ronald yang terbungkus pakaian sudah punya daya
tarik seksuil luar biasa... apa kiranya komentar janda
beranak dua itu bila sekarang ini ia menyaksikan
Ronald yang sepolos bayi baru dilahirkan?!
Maria sendiri bahkan sampai terpengaruh
sedemikian hebat. Sehingga melupakan bahwa Ronald
seorang homo, dan butuh bimbingan. Juga lupa pada
semua teori-teori yang pernah ia pelajari dan
dipratekkan. Tak ubahnya seekor kucing betina yang
sudah lama terkurung lalu ketika dilepas langsung
83 melihat seekor kucing jantan perkasa sudah
menunggu... Maria langsung main terkam serta
bertingkah laku sangat liar. Lantas ketika pada
akhirnya ia selesai, barulah Maria menyadari bahwa
Ronald masih tetap dalam keadaan serta posisi
semula. Tanpa memperoleh apa-apa!
Itu tidak biasa dialami Maria. Benar, ada kalanya
ia suka tergesa-gesa Namun bila ia sudah seliar tadi,
kekasih-kekasih Maria sebelumnya sudah lebih dulu
angkat tangan, pada menyerah. Sementara orang
yang satu ini... Sambil istirahat sejenak, Maria berpikir
keras. Kendala yang dialami Ronald bukanlah
menyangkut daya tahan. Tetapi jelas diakibatkan
adanya penolakan dari dalam.
Apa boleh buat.
Maria menghibur Ronald dengan bisikan
lembut. "Kita akan mencobanya sekali lagi. Tunggulah
sebentar..." la menyelinap ke kamar mandi,
membersihkan diri. Kembali ke tempat tidur, ia
kemudian memberi petunjuk-petunjuk pada Ronald.
Seraya tak lupa menambahkan... "jangan biarkan
dirimu menolak. Bagaimana pun caranya, usahakan
supaya dirimu menerima!"
84 Dan Maria tidak lagi bertingkah liar. Dengan penuh
kesabaran ia mencari lalu menyentuh titik-titik paling
peka seorang laki-laki di sekitar tubuh Ronald.
Khususnya di sekitar pinggul mengingat Ronald adalah
seorang homo. Lambat tetapi pasti, terasa adanya
reaksi pada tubuh Ronald, bahkan juga Maria sendiri.
Andaikata mengikutkan hawa nafsu, mauulah Maria
segera mendorong Ronald memasuki dirinya. Namun
ia menahan diri sekuat daya, meski kewanitaannya
mulai tidak tahan. Baru setelah ia yakini betul bahwa
Ronald sudah siap merangkak ke pendakian terakhir,
Ronald ia bimbing masuk.
Mereka tiba pada waktu bersamaan.
Sensasi itu menakjubkan Maria. Sayangnya,
sesuatu yang tidak dikehendaki, muncul mengganggu.
Pada saat Ronald tiba, Ronald merintihkan sebuah
nama: "Anton, oh... Antonius...!"
Sempat dibuat merinding Maria seketika itu
juga menarik diri dari tubuh Ronald, pakaiannya
disambar. Lalu tanpa berkata atau menoleh lagi ke
belakang, ia langsung minggat dari kamar.
Lantas meringkuk di dekat tungku pendiangan
sambil mengumpat-umpat berang. "Haram jadah
85 terkutuk! Aku yang jungkir balik, orang lain yang ia
bayangkan. Laki-laki pula lagi. Sialan!"
Setelah menenggak satu sloki whisky yang ia
ambil dari bar, perlahan-lahan Maria menjadi tenang
dan kemarahannya pun menyurut. Kembali, ke dekat
tungku, ia sudah dapat berpikir jernih. Memang bukan
salah Ronald, pikirnya. Toh sebelumnya Ronald tidak
menjanjikan apa-apa. Maria juga tiba-tiba teringat,
bahwa tadi telah menganjurkan sendiri. "Bagaimana
pun caranya, usahakanlah supaya..." Ronald sudah
mematuhi anjuran Maria. Tetapi dengan cara sesuai
keinginan serta lamunan Ronald sendiri!
Jadi kesalahan ada pada pihak Maria sendiri.
Namun untuk mengakuinya terus terang. Maria
merasa risi. Selain itu, ia juga harus ingat bahwa
Ronald sedang menjalani terapi penyembuhan. Maria
harus memikirkan kalimat yang sebijaksana mungkin
sebagai pernyataan menyesal. Sekaligus mendorong
Ronald untuk berpikir bahwa hasil akhir dari
eksperimen yang tadi mereka lakukan, bukanlah
merupakan sebuah kegagalan.
Kunci jawaban akhirnya ditemukan Maria. Lalu
ia menunggu tibanya waktu sarapan pagi. Waktu di
mana setiap orang menerima enerji baru, untuk
86 melangkah memasuki hari yang baru pula. Hasilnya
terbukti positif. Maria melihat seraut wajah terharu.
Dan di wajah itu, wajah Ronald-nya, tampak
adanya bias-bias tersembunyi. Bias-bias harapan.
Senyum yang sempat marak di bibir Maria,
segera meredup manakala dengan terkejut ia
menyadari bahwa ia tahu-tahu sudah sampai ke
tujuan. Maria pun tak perlu repot-repot turun untuk
memijit bel, karena pintu gerbang tampak menganga
terbuka. Sambil membelok lalu membiarkan mobilnya
merayap lambat menuju serambi depan rumah, Maria
bertanya-tanya dalam hati mengapa Ronald sampai
berlaku seceroboh itu. Bukankah Ronald sudah tahu
bahwa akhir-akhir ini perampokan bersenjata semakin
menggalak, terutama di pinggiran kota? Merasa tak
enak, Maria melirik pada tiga buah truk mereka yang
diparkir di pelataran sebelah kanan. Lalu ke gudang
besar yang digembok rapat dari sebelah luar. Terakhir
ia memperhatikan rumah di depannya. Kecuali ruang
duduk, bagian lain rumah tampak gelap gulita.
Herannya, meski lampu mobil menerpa ke
rumah, tak ada yang keluar untuk mengetahui siapa
87 yang datang. Bi Nining maupun suaminya mungkin
masih terlelap. Tetapi, Ronald?
Perasaan tak enak sewaktu mendengar suara
Ronald di telepon, kembali mengusik Setelah, mobil
berhenti, ia turun cepat-cepat Lalu naik ke serambi
dengan perasaan gelisah, karena Ronald tak juga
keluar untuk menyambut Pintu depan ia temukan
tertutup, namun tidak terkunci. Aneh, pikirnya.
Lantas menyelinap masuk ke dalam. Dengan
jantung berdebar.
Maria bukan seorang pengecut. Selain itu, iaj
juga sudah terbiasa menghadapi bahaya. Tetapimalam ini, dan justru di rumahnya sendiri, Maria tibatiba merasakan dirinya dihinggapi perasaan takut yang
ganjil. Yang, seolah-olah menyeretnya dengan paksa
ke sebuah mimpi buruk. Dan Maria saat ini merasa
bukan sedang memasuki rumah miliknya sendiri, la
merasa seperti sedang memasuki dunia lain.
Sebuah dunia terasing.
Yang menakutkan.
88 TUJUH TAKUT-TAKUT,
"Ronald?"
Maria memanggil lirih. Tak ada sahutan.
Rumah yang dimasuki Maria terasa begitu sepi.
Dan mati. Tetapi seakan-akan ada kekuatan gaib yang
menariknya dari sebeiah dalam rumah, Maria terus
juga melangkah masuk meski hati kecil menyuruhnya
melarikan diri secepat dan sejauh mungkin. Hati kecil
Maria itu bahkan seperti menceritakan kata-kata
peringatan. "Lupakan dan jangan pernah kembali lagi
ke rumah terkutuk ini!"
Maria melewati ruang depan yang gelap dan
tiba di ruang duduk yang terang benderang. Tak ada
siapa-siapa di dalam. Juga tidak tanda-tanda
kehidupan, kecuali di tungku pendiangan. Namun
udara sepertinya tercemar. Hidung Maria menangkap
bau sesuatu. Bau yang tidak biasa dan tidak
semestinya tercium di sebuah ruang duduk yang
nyaman, berperalatan megah, serta terawat dengan
baik. 89 Maria mengacuhkan bau asing itu dan
meneruskan langkah ke pintu kamar tidur Ronald yang
menganga terbuka. Kamar itu pun kosong, namun
ranjang tampak bekas ditiduri. Maria sudah akan
membalikkan tubuh ketika ia mendengar bunyi
cucuran air diseling suara nafas berat. Datangnya dari
kamar mandi yang pintunya setengah terbuka.
"Ronald?" kembali Maria memanggil. "Kaukah
itu?"
Karena tak juga ada sahutan, Maria lantas
memberanikan diri mendekati kamar mandi. Harapharap cemas ia dorong sedikit pintu yang setengah
terbuka itu agar dapat melihat lebih jelas ke sebelah
dalam, tanpa ia harus masuk. Di balik tabir pemisah
samar-samar tampak bayang-bayang seseorang yang
sedang mandi di bawah pancuran dengan tubuh
sepenuhnya bugil. Biarpun tidak begitu jelas terlihat,
Maria dengan segera sudah dapat mengenali tubuh
Ronald. Lega namun juga sekaligus malu, Maria mundur
lalu bergegas meninggalkan kamar tidur itu sebelum ia
ketahuan mengintip. Perasaan seperti terseret ke
dunia gaib di tengah sebuah mimpi buruk itu masih
90 mengusik. Tetapi Maria sedikit lebih tenang. Paling


Penghuni Lembah Jayagiri Karya Abdullah Harahap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tidak, Ronald ada, dan masih hidup.
Sambil berjalan menuju ke kamar tidur pribadi
nya, Maria berusaha keras membuang perasaan yang
terus mengusik itu. Dan mengingatkan pada diri
sendiri bahwa ia telah dibuat ketakutan sendiri garagara pintu gerbang dibiarkan menganga terbuka tanpa
dijaga, ia membayangkan kemungkinan terjadi
perampokan berdarah... Eh, nanti dulu. Apa yang
barusan sempat ia lihat di lantai kamar mandi? Oh ya.
Air bekas mandi, tentu saja, mengalir ke saluran
pembuangan. Tetapi kok warnanya kemerah-merahan
ya? Seperti genangan air bercampur darah. Apakah
Ronald... Maria tertegun sesaat. Lalu kemudian
meneruskan langkah setelah ingat bahwa di balik tabir
pemisah, gaya Ronald mandi tampak biasa-biasa saja.
Bukan seperti orang kesakitan atau terluka. Lagi siapa
pula yang melukainya? Rumah yang dimasuki Maria
tampak biasa-biasa saja. Tidak ada tanda-tanda
kekerasan. "Ya, ampun!" Maria bersungut-sungut.
"Perampokan berdarah itu kan hanya ada dalam
angan-anganku?"
91 Masuk ke kamar tidurnya, Maria rebahan
sejenak di atas ranjang berkasur empuk dan nyaman.
Seraya menenangkan diri, sepasang mata Maria
mengawasi ke sekitar. Setiap benda yang dilihatnya,
masih tetap benda yang sama dan juga masih di
tempat yang sama pula. Kecuali sprei dan sarungsarung bantal, yang tentunya telah diganti oleh bi
Nining, begitu Maria meninggalkan rumah ini satu
minggu yang lalu. Jelas sudah, Maria ada di kamar
tidurnya sendiri, di rumahnya sendiri pula, dan
bersama orang-orang yang dikenalnya, la telah
berpikir lantas melamun yang bukan-bukan.
Kurang ajarnya, ia terpengaruh.
Lantas ketakutan sendiri!
Teringat bahwa sebentar lagi Ronald akan
menyelesaikan mandinya, Maria segera meluncur
turun dari tempat tidur. Dalam sekejap ia sudah
berpindah tempat. Duduk menghadapi meja rias.
Untuk mematut-matut diri, tentu saja. Rias wajah
Maria masih utuh sempurna. Hanya tatanan rambut
yang sedikit rusak karena rebahan barusan. Maria
segera menyisirnya supaya kembali rapih. Ujung lidah
dikeluarkan sedikit. Mengusap sepasang bibir. Diberi
92 tambahan lipstik satu polesan. Cukup untuk membuat
bibirnya tampak lebih memerah, basah.
Sejenak, ia duduk diam-diam.
Mengawasi wajahnya yang memantul pada
permukaan cermin. Wajah di cermin itu balas
menatap Lurus ke arah mata Maria. Dengan sorot
mata kaku. Lantas sepasang bibir di bawah mata yang
menyorot kaku itu, perlahan-lahan. Lalu telinga Maria
menangkap suara desahan tajam. "Nah, di sinilah kau
sekarang! Tetapi, untuk apa?"
Bathin Maria menjawab, lemah. "... aku tidak tahu."
"Jangan munafik!" wajah di cermin menghardik.
"Kau pasti tahu untuk apa!"
"Aku kira... Ronald membutuhkan pertolonganku."
"Dia tidak seperti orang yang butuh pertolongan!"
"Siapa bilang?"
"Lihat saja tadi. Kau sudah mencemaskannya
setengah mati. Eh, dia malah sedang enak-enak
mandi!"
"Tetapi..."
93 "Janganlah mendustai dirimu sendiri. Dia tidak
memintamu datang. Kau datang atas kemauan sendiri.
Jadi, yang jujur sajalah. Mengapa kau ke sini?!"
"Aku... mencintai Ronald."
"Oh, oh, oh! Dulu mengakunya hanya sekedar
tertarik!"
"Mulanya, memang..."
"Hem. Semenjak kapan perasaan hatimu
berkembang menjadi separah itu?"
"Tidak pasti. Mungkin semenjak... malam yang
sensasionil itu."
"Sensasi apa! Meski terkadang mereka lemah,
kau toh sudah sering mengalami sensasi yang sama
dari Parman, dari Effendi, dari..."
"Memang aku menyukai mereka. Tetapi cinta?
Tidak akan! Mereka itu suka mengobral janji,
kenyataan di belakang, terlalu banyak menuntut. Bila
tidak minta ini itu, pastilah berkata: kau harus
Beginilah, kau harus begitulah...! Ronald berbeda. Dia
tidak pernah menjanjikan apa-apa. Juga tidak
menuntut. Dia tahunya bekerja, bekerja dan bekerja.
Masih ada lagi..."
94 "Apa?"
"Dalam urusan tempat tidur, mereka yang kau
sebut-sebut tadi sama berpengalamannya dengan aku
sendiri. Ronald? Dia tak ubahnya seorang perjaka.
Dan... berani taruhan, akulah perempuan pertama
yang pernah ditidurinya."
"Ditidurinya? Apa tidak terbalik? Kaulah yang
meniduri dia. Dan agaknya kau lupa ia seorang
homo?"
"Dia akan berubah!"
"Akan kapankah itu?"
"Aku tidak tahu."
"Dan apakah kau pikir ia dapat berubah hanya
dengan eskperimenmu yang sekali itu saja? Mana
boleh dibilang gagal pula lagi. Seharusnya eksperimen
itu kau teruskan Coba lagi, coba lagi Sampai..."
"Cukuplah yang sekali itu saja Sampai mati pun.
aku tak sudi lagi mengulanginya!"
"Kok sadis begitu."
"Habis? Keberadaanku tak dianggap! Kalaupun
dianggap, Ronald membayangkan diriku seorang lakilaki. Dan di dalam bayangannya itu, yang dia masuki
95 adalah... Ih, sudahlah. Pendek kata, gambaran seperti
itu sampai sekarang pun masih tetap membuat aku
merinding. Jijik!"
"Katanya... cinta!"
"Justru karena cintalah aku masih bersedia
menunggu Sampai dia berubah. Dan perubahan itu
harus datang dari dalam dirinya sendiri!"
"Egomu terlalu tinggi!"
"Menurutku wajar-wajar saja!"
"Wajar bagaimana? Ingat kau hadapai adalah
seorang anak manusia yang kebetulan memiliki
kecenderungan seksual yang justru tidak wajar."
"Lantas, aku harus berbuat apa, eh?!"
"Nah, lihatlah. Ego-mu memang tinggi. Ketika
tiba persoalan menyangkut pribadimu, kau uringuringan. Karena tidak tahu harus berbuat apa, Ronald,
apalagi. Dia pun tidak tahu harus berbuat apa. Dunia
yang sekarang dia masuki adalah sebuah dunia yang
jauh berbeda bahkan bertolak belakang dengan apa
yang dia tinggalkan di belakangnya. Dia masih perlu
bimbingan. Tuntunan. Dan, di atas itu semua... jelas
yang paling dia butuhkan adalah seorang
pendamping!"
96 "Aku toh terus mendampinginya..."
"Betul. Tetapi hanya pada akhir pekan saja.
Sementara yang dibutuhkan Ronald adalah seseorang
yang bisa senantiasa mendampinginya. Bukan cuma
datang sesekali... itu pun, sambil mengusik-usik masa
lampau yang ingin dilupakannya. Yang lebih penting
lagi, orang itu mau mengerti serta memahami siapa
dirinya."
Wajah di cermin melenyap ketika Maria
merunduk pelan.
Menekuri lantai.
Dengan perasaan gundah.
Tidak mau dibawa larut oleh perasaan
gundahnya, Maria keluar dengan langkah gontai
meninggalkan kamar tidur, la pergi ke bar di ruang
duduk. Dari rak minuman Maria mengambil botol
Martini. Setelah dituangkan secukupnya ke sebuah
gelas kecil, Maria berjalan menuju tungku pendiangan.
Nyala api tampak sudah tidak semarak ketika ia
mula-mula tiba Maria meneguk sedikit Martininya.
Lalu sambil setengah bersimpuh di lantai, dikorekkoreknya bara api di bawah tumpukan kayu bakar
supaya nyalanya kembali marak. Sewaktu melakukan
97 itu, bau yang mencemari udara ruang duduk itu
tercium lagi. Lebih keras sekarang. Maria mengendusendus untuk mengenali bau yang tidak lazim itu.
Sepertinya bau kain terbakar, dan...
"... hai," terdengar sapaan lunak di belakangnya.
Maria berpaling terperanjat. "Oh, kau Ronald!"
gumamnya lega. Seraya mengawasi sosok Ronald yang
memakai piyama bergaris-garis tebal warna coklat tua
dengan warna dasar krem. "Kau membuat aku
kaget..."
Ronald tersenyum.
"Barusan aku mau melihat-lihat keluar sana. Eh,
tak tahunya kau sudah di dalam sini. Mau kubuatkan
minuman?"
Maria menunjuk ke gelas kecil berisi Martini yang tadi
ia letakkan di dekatnya. "Kau buatlah untukmu sendiri,
Ronald."
"Aku sudah minum tadi..." Ronald berkata
sambil duduk santai di sofa. Setelah mana ia kemudian
memperhatikan Maria, dari ujung rambut sampai ke
ujung kaki.
Diperhatikan seperti itu, jantung Maria
berdebar. Hangat. Tetapi kok dari ujung rambut
98 sampai ke ujung kaki... seperti Ronald baru pertama
kali ini melihat Maria?
"Sudah lama?"
"... heh?" Maria terjengah.
"Tibamu. Sudah berapa lama?"
"Oh. Paling banter juga sepuluh menit."
"Hem. Tentunya selagi aku mandi. Barusan tadi
otot-ototku terasa kaku. Lalu kupikir, dengan bersiram
air hangat aku akan menjadi segar kembali!"
"Bukan hanya segar," komentar Maria seraya
menyimak wajah Ronald. "Kau malah tampak jauh
lebih sehat dari sebelumnya. Oh ya. Aku harap
keadaanmu baik-baik saja..."
Ronald tersenyum lagi. "Memangnya aku kenapa."
Maria menimbang-nimbang sejenak. Baru setelahnya
menjawab. "Bukan apa-apa. Hanya saja, tadi di
telepon..."
"Oh, itu!" Ronald tertawa kecil. "Lupakanlah.
Aku pun sudah tidak mengingatnya lagi!"
Semudah itu?
99 Maria benar-benar tidak percaya. Lebih tidak
percaya lagi, adalah penampilan Ronald. Betul
semenjak malam sensaionil itu Ronald sudah lebih
terbuka pada Maria, meski hanya sampai batas-batas
tertentu saja. Namun, tertawa? Bibir Ronald bisa
mengguratkan senyuman tipis saja pun sudah luar
biasa. Wajah Ronald senantiasa kelabu. Diselimuti
masa lalu yang masih terus menghantui dirinya.
Lalu mengapa Ronald mendadak berubah?
Jangan-jangan Ronald cuma berpura-pura. Untuk
menghibur Maria yang sudah bersedia datang jauhjauh menemuinya, pada dinihari pula?
"Tahukah kau, Maria?"
Sekali lagi Maria terjengah. "Heh?"
Sekali lagi pula Ronald memperhatikan wajah
Maria. Kali ini pada wajah. Dengan tatap mata terangterangan. Lalu "... kau tampak cantik sekali malam
ini!"
Jantung Maria bukan lagi hanya berdebar.
Namun seakan mau copot saja. Benarkah apa yang ia
dengar? Ronald memujinya! Tak masuk akal! Sekalikalinya Ronald memuji, hanyalah pada malam itu.
"Pinggulmu..."
100 Pinggul, okelah. Karena di bagian yang itu, ada
sesuatu yang didambakan Ronald.
Tetapi wajah?
Mengulas lagi senyuman di bibir Ronald. "Kau
tampaknya seperti mau pingsan saja, Maria."
Sekujur tubuh Maria terasa bergetar. Terutama
oleh senyuman Ronald. "Oh..."
Ronald pelan-pelan meninggalkan sofa. Seperti
halnya Maria. Ronald pun bersimpuh di lantai.
Sepasang tangannya terulur ke depan. Menyentuh
wajah Maria. Lalu mengusap dan mengusap. Hangat.
Dan bergetar. Maria sampai terpejam. Dan selagi
Maria terpejam, sapuan hangat Ronald terasa
mendatangi. Lalu bibir Maria tahu-tahu sudah dicium
oleh bibir Ronald yang pun terasa hangat bergetar.
Ternyata yang dimasuki Maria bukanlah mimpi
buruk. Melainkan sebuah mimpi menakjubkan.
Sedemikian menakjubkannya, sehingga nyaris terasa
seperti mustahil. Karena sentuhan-sentuhan Ronald
jelas adalah sentuhan-sentuhan penuh birahi. Birahi
seorang laki-laki!
Laki-laki?
101 Ronald menarik tubuh Maria dengan lembut ke
atas karpet. Merebahkannya dengan lebih lembut lagi.
Maria seakan melambung tinggi. Namun alam bawah
sadarnya masih bertahan. Alam bawah sadar itu
mendorong Maria untuk bersikap waspada. Laki-laki!


Penghuni Lembah Jayagiri Karya Abdullah Harahap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Siapa sebenarnya yang dibayangkan Ronald sekarang
ini? Antoniuskah?
Ronald siap untuk menarik lepas blus Maria.
Dan saat itulah Maria bereaksi. Tangan Ronald
ditahan, lalu dicengkram. Maria membuka kelopak
matanya. Dengan pandangan nanar ia menatap luruslurus ke sepasang mata Ronald yang balas menatap.
Pendekar Negeri Tayli 15 Dendam Si Anak Haram Karya Kho Ping Hoo Gelang Perasa 2
^