Pencarian

Perserikatan Naga Api 18

Perserikatan Naga Api Karya Stevanus Sp Bagian 18


Pertempuran mati hidup itu bergeser perlahan-lahan dari dalam aula ku?il ke arah halaman kuil. Tapi ke tujuh orang yang tengah bergulat dengan nyawanya itu tidak peduli air hujan yang menyiram mereka, kilat yang me?nyambar-nyambar di langit, semuanya sudah lupa diri dan dikeruhkan oleh nafsu membunuh yang harus mendapat pe?nyalurannya. Nafsu melihat tumpahnya darah sesama manusia. Patung-patung para malaikat dan dewa yang dipuja dalam rumah abu itu, serta hiasan-hia?san kuil lainnya, kini telah porak-poranda karena tersentuh tangan-tangan dan kaki-kaki yang digerakkan oleh angkara murka itu. Suaranya menggidik?kan hati, sehingga para pengungsi yang menyaksikan pertempuran itupun merasa diri mereka bagaikan mahluk-ahluk lemah tak berdaya yang berada di lingkungan siluman-siluman yang berilmu tinggi. Apalagi ketika melihat sepasang mata Wi-siang yang telah berubah bersinar kehijau-hijauan seperti kucing, sementara rambutnya yang terurai acak-acakan itu menambah seramnya penampilannya.
Sementara itu, betapapun tang?guhnya Tong Wi-siang, tapi karena ha?rus menghadapi keroyokan enam orang pendekar tua dan muda itu, mau tidak mau ia terdesak juga. Yang muda berani luar biasa, yang tua mengandalkan pengalamannya dan kematangan ilmunya, benar-benar gabungan kemampuan yang tidak dapat dianggap remeh. Thian-goan Hweshio dan Kiau Bun-han jika maju sendiri-sendiri pasti akan kalah, namun mereka berdua maju serempak, ma?sih ditambah lagi dengan empat orang pemuda berbakat dari Go-bi-pay dan Hoa san-pay, maka Tong Wi-siang benar-benar dalam bahaya. Ilmu kebal warisan Bu-san-jit-kui itupun terasa mengendor juga, sebab ilmu ini memerlukan pemusatan kekuatan batin dalam ketenangan, sedangkan saat itu Wi-siang tidak sempat memusatkan kekuatan batinnya karena ujung-ujung pedang lawan lawannya yang terus melandanya bagaikan hujan gerimis. Lama-kelamaan terasa juga bahwa ujung-ujung pedang itu ternyata dapat menyakiti kulitnya.
Namun Tong Wi-siang bukan Tong Wi-siang kalau gampang menyerah be?gitu saja, anak berandalan dari An-yang-shia ini sudah terkenal karena kekerasan hati dan kebandelannya. Il?mu kebalnya kini dilepaskannya begitu saja, namun justru ilmu Jit-kui-tiau-goat-sin-kangnya ditingkatkannya sam?pai ke tahapan yang tertinggi. Mata?nya bersinar semakin hijau, suara mantera yang digumamkannya semakin je?las terdengar mendengung di pinggir kuping lawan-lawannya.
Akibat dari pengerahan ilmu itu, yang paling merasakan adalah para mu?rid-murid muda Go-bi-pay dan Hoa-san-pay yang baik tenaga dalamnya maupun keteguhan batinnya belum begitu ting?gi itu. Mereka segera merasa hati me?reka mulai terguncang oleh dengung mantera berbahasa aneh dan berirama aneh itu, pemusatan pikiran terhadap ilmu silat merekapun dengan sendiri?nya mulai terganggu. Selain suara mendengung lembut itu, sinar mata yang kehijau-hijauan itu ternyata pu?nya pengaruh tersendiri pula, yaitu dapat mengendalikan dan memerintah pi?kiran lawan-lawannya. Beberapa kali para pendekar muda itu seakan-akan ke?hilangan kendali atas diri dan senja?tanya sendiri, seakan mereka mendapat perintah lewat pikirannya untuk menu?sukkan pedang-pedang mereka ke arah... kawan-kawan atau guru mereka sendiri! Dengan demikian pemuda-pemuda ini mu?lai kebingungan mengatasi keadaan yang belum pernah diajarkan dalam il?mu silat ini, mereka bertempur tanpa pegangan lagi.
Thian-goan Hweshio dan Kiau Bun-han agaknya dapat memahami ulah murid-murid mereka itu, sebab mereka berdua-pun mengalami hal yang sama, tapi ti?dak terlalu parah karena keteguhan ba?tin mereka. Namun toh tokoh-tokoh itu sedikit banyak terpengaruh juga, paling tidak mereka harus memencarkan pemusatan pikiran mereka, sebagian un?tuk bertahan dari pengaruh gaib dan sebagian lagi untuk menggerakkan sen?jata mereka. Mereka juga harus berhati hati terhadap ujung-ujung pedang murid murid mereka sendiri yang kadang-ka?dang kehilangan arah itu. Untunglah bahwa Tong Wi-siang tidak dapat mem?pengaruhi enam orang sekaligus dengan ilmunya, namun hanya seorang demi seo?rang secara bergantian, dengan kadar kekuatan yang berbeda-beda pula. Namun toh cukup mengacaukan perlawanan para pendekar itu.
Melihat kekacauan yang melanda pihaknya itu, Thian-goan Hweshio tiba-tiba mengeluarkan bentakan keras dengan ilmu Sau-cu-hau-kang (Ilmu Singa Me?raung) yang berdasar dari ilmu kaum Hud-kau yang dilontarkan dengan peng?erahan kekuatan batin tinggi, sehing?ga dapat mempengaruhi kawan dan lawan. Suara gelegar raungannya bagaikan menggetarkan ruangan itu, meskipun memekakkan telinga kawan-kawannya te?tapi bagaikan segayung air dingin yang disiramkan di atas kepala mereka, menyadarkan mereka dari kebingungan mereka.
"Kerahkan kekuatan batin! Kepung terus! Ilmu kebalnya tidak mutlak da?pat melindungi kulitnya!" teriak Thian goan Hweshio.
Tong Wi-siang tertawa dingin dan menggeram, "Bagus, keledai gundul bangsat, sebelum aku membunuh lain-la?innya agaknya aku harus mengambil ba?tok kepalamu lebih dulu. Sekarang jika kau benar-benar lihai, cobalah ilmu-ilmuku yang lainnya!"
Berbareng dengan selesainya kali?matnya itu, Wi-siang telah menggigit lidahnya sendiri sehingga luka dan darah, lalu mengalirkan suatu kekuatan dahsyat ke seluruh tubuhnya, suatu kekuatan yang beberapa kali li?pat dari kekuatan wajarnya dalam kea?daan biasa.
Thian-goan Hweshio yang kaya dengan pengalaman itu segera menge?tahui apa yang diperbuat lawannya, apalagi ketika melihat ada tetesan da?rah mengalir dari sudut lawannya itu, maka dengan terkejutnya ia telah ber?seru memperingatkan rekan-rekannya, "Ilmu iblis Thian-mo-kay-teh-kang! Awas, iblis cilik ini mengeluarkan il?mu lainnya yang dapat melipat gandakan kekuatannya! Ambil jarak dan jangan menyerang secara gegabah!"
Ilmu sesat Thian-mo-kay-teh-kang yang sedang digunakan oleh Tong Wi-si?ang itu adalah ilmu bagaimana cara me?lipat gandakan kekuatannya tetapi de?ngan jalan melukai dirinya sendiri, yaitu menggigit lidahnya. Kekuatan yang didapatkannya akan menjadi dah?syat bukan main, namun tenaga yang dahsyat itupun tidak akan dapat bertahan terlalu lama, jika dipaksakan dapat merusak diri sendiri. Banyak tokoh golongan hitam tingkat atas yang mempelajari ilmu ini tapi takut menggunakannya, sebab setiap kali digunakan berarti dirinya sendiri harus terluka dan tenaga dalam yang dipupuknya bertahun-tahunpun bisa dirugikan.
Teriakan Thian-goan Hweshio yang memperingatkan untuk menjauhi lawan, dengan maksud agar lawan kehabisan tenaga lebih dulu, tetapi peringatan itu agak terlambat rupanya. Para murid-murid muda Hoa-san-pay serta Go-bi pay yang masih dibakar kemarahan itu sama sekali tidak memahami maksud Thian-goan Hweshio itu, mereka tetap saja merangsak Tong Wi-siang tanpa kenal takut. Akibatnya, seorang murid Hoa-san-pay kemudian terkapar dengan batok kepala remuk seperti tomat diinjak terkena sambaran pukulan Tong Wi-siang yang maha dahsyat itu.
"Kian-ji!" teriak Kiau Bun-han ketika melihat nasib buruk yang menim?pa muridnya itu.
Belum habis rasa kejut dan ngeri dari pendekar-pendekar itu, lagi-lagi Wi-siang berhasil mencengkeram pundak salah seorang murid Go-bi-pay, dan di?iringi tertawa seramnya dia meng?gunakan tangan satunya lagi untuk me?narik dan memutar lengan anak Go-bi-pay itu sekuat tenaganya. Tak ampun lagi tangan murid Go-bi-pay itu dapat "dicabut"-nya mentah-mentah dari pang?kal lengannya dan dilemparkannya, se?dang si pemilik lengan itupun langsung jatuh pingsan di tanah becek.
Betapapun keberanian menyala di hati murid-murid muda Hoa-san-pay dan Go-bi-pay itu, tetapi setelah melihat bagaimana brutal dan ganasnya Ketua Hwe-liong-pang itu, tergoncanglah pe?rasaan mereka. Sungguh tidak pernah terbayangkan oleh mereka bahwa di du?nia persilatan ada cara berkelahi se?macam itu. Tadinya mereka mengira bahwa pertempuran di rimba persilatan hanyalah adu kekuatan, kecepatan dan ketrampilan memainkan jurus-jurus and?alannya, namun kini di hadapan mata mereka telah terpampang sesuatu yang sangat menggetarkan. Tetapi di sam?ping perasaan takut mereka, semakin berkobar pula rasa marah mereka ke?tika melihat saudara-saudara sepergu?ruan mereka mengalami nasib seburuk itu.
Tong Wi-siang sendiri merasa ke?kuatannya mulai menurun setingkat se?telah membereskan dua orang lawan mu?danya itu. Itulah akibat wajar dari pemakaian ilmu Thian-mo-kay-teh-kang itu, cepat pula pertambahan tenaganya, namun cepat pula menurunnya. Pada saat itulah Kiau Bun-han telah meluncur ma?ju sambil menggerakkan pedangnya de?ngan gerakan Pek-coa-tou-sin (Ular Pu?tih Menyemburkan Racun) yang dilambari dengan seluruh kekuatan dalamnya. Pedangnya bagaikan petir menyambar ke arah perut Tong Wi-siang, agaknya tokoh Hoa-san-pay ini sudah nekad menga?du jiwa untuk membalaskan dendam mu?rid-muridnya.
Tong Wi-siang agak terkejut melihat serangan secepat itu, padahal ilmu kebalnya sudah "dilepas" dari ta?di, sebisa-bisanya dia menghindar ke kanan, namun tidak sepenuhnya lolos dari jurus maut tokoh Hoa-san-pay itu. Lambungnya tetap saja tersobek oleh ujung pedang Kiau Bun-han, meng?hasilkan luka panjang yang cukup da?lam. Namun Kiau Bun-han sendiri telah kehilangan keseimbangannya dan terje?rumus ke depan.
-o0^DwKz-Hendra^0o- Jilid 34 WI-SIANG menggeram bagaikan singa luka ketika melihat kesempatan bagus itu. Sekuat tenaga ia mengayunkan tangannya secara mendatar, dengan sisi tangannya dia menghantam punggung Kiau Bun-han yang tidak terlindung itu. Bagaikan diseruduk seekor kerbau gila, tubuh pendekar Hoa-san-pay yang belum menemukan keseimbangan itu te?lah terpelanting beberapa langkah ke depan sambil menyemburkan darah segar dari mulutnya, kemudian roboh terte?lungkup tak bergerak-gerak lagi.
Geram karena lambungnya terasa pedih, Tong Wi-siang bermaksud menam?bahkan lagi sebuah pukulan untuk meng?hantam Kiau Bun-han yang sudah tak bergerak itu. Tetapi Thian-goan Hwe-shio telah merintanginya dengan kema?ranan dan kebencian meluap di hati ma?sing-masing. Murid-murid Hoa-san-pay dan Go-bi-pay yang tersisa itu hanya bisa melihat kejadian-kejadian dahsyat di depan mata mereka itu dengan mulut terlongong.
Sementara itu, kekuatan dahsyat hasil pengerahan Thian-mo-kay-teh-kang itu telah semakin menurun, dan Wi-siang merasakan hal itu. Kini bah?kan kekuatannya tidak sehebat sewaktu dia belum menggunakan ilmu tadi, apa?lagi luka di lambungnyapun terasa pe?dih tersiram air hujan, serta terus menerus mengalirkan darah sehingga mengakibatkan tubuhnya semakin lemah. Di lain pihak, Thian-goan Hweshio yang memahami akibat penggunaan Thian-mo-kay-teh-kang itu, telah mencecar terus dengan pedangnya dan tidak memberi ke?sempatan bernapas. Rahib berdarah pa?nas itu telah bertekad untuk mengha?bisi nyawa Wi-siang saat itu juga, de?mi sakit hati rekannya dan murid-mu?ridnya.
Wi-siang sendiri mulai merasakan tenaganya menyusut sedikit demi se?dikit, isi dadanyapun mulai terasa nyeri. Biarpun dia sedang berpikiran keruh, tapi ia masih memiliki naluri para mahkluk hidup umumnya, yaitu ber?tahan hidup. Apalagi Wi-siang bukan binatang. Dia menyadari jika tenaga?nya menyusut terus maka dia akan ter?bunuh oleh Rahib Go-bi-pay itu, itu?lah sebabnya diapun mulai mencari ke?sempatan untuk melepaskan diri dari libatan lawannya.
Pada suatu saat Thian-goan Hwe?shio memainkan jurus Liong-coa-ci-cau (Naga dan Ular Lari Sejajar), pedang?nya beruntun menikam ke tubuh Wi-siang. Secara nekad Tong Wi-siang meng?erahkan sisa kekuatannya dan menyong?song jurus itu dengan gerakan Sin-liong-jip-hay (Naga Sakti Mencebur ke Laut) yang dilakukannya sambil melom?pat dan menerkam dari atas. Serangan ini boleh dikata serangan nekad yang memberi kemungkinan besar kedua belah pihak sama-sama terluka parah.
Betapapun marahnya Thian-goan Hweshio, sudah tentu dia belum siap untuk bertarung nekad-nekadan semacam itu, maka terpaksalah ia menarik kem?bali serangannya dan dengan gesitnya melakukan langkah Liong-heng-hui-po (Langkah Naga Terbang) ke samping ka?nan sambil melintangi pedangnya dengan gaya Heng-ke-kim-lian (Melintangkan Belandar Emas) untuk melindungi di?rinya.
Sekali ini Thian-goan Hweshio agak terkecoh oleh lawan mudanya. Ge?rakan Tong Wi-siang yang seakan-akan hendak mengadu jiwa itu ternyata ha?nya gertak sambal agar lawannya mundur, dan begitu lawan benar-benar mundur, maka Tong Wi-siangpun mengerahkan sisa sisa tenaganya untuk melompat pergi. Bagaikan sesosok bayangan hantu tak berbobot, ia melayang cepat melintasi dinding halaman rumah bobrok itu, dan sekejap kemudian bayangan tubuhnyapun telah lenyap ditelan gelapnya malam.
Thian-goan Hweshio menggeram marah karena ia telah menyadari tipu mu?slihat lawannya. Namun diapun tidak berniat untuk mengejar Tong Wi-siang, sebab pengejaran dalam hutan segelap itu tentu sangat berbahaya, apalagi rahib itu menyadari lawannya punya bermacam-macam ilmu sesat yang aneh-a?neh. Terpaksa dengan gemas ia melepas?kan lawannya begitu saja.
Kemudian dengan dibantu oleh mu?rid-murid Hoa-san-pay dan Go-bi-pay yang tidak luka serta kaum pengungsi yang masih agak ketakutan, ia lalu mengangkati yang luka atau tewas un?tuk dibawa masuk ke halaman dalam, di?lindungi dari derasnya air hujan. Se?orang murid Goi-bi-pay dan seorang mu?rid Hoa-san-pay tewas secara meng?erikan, sedang seorang murid Go-bi-pay lainnya kehilangan sebelah tangannya yang "dicabut" oleh Tong Wi-siang tadi, dan ia belum sadarkan diri juga. Kiau Bun-han yang menderita luka da?lam cukup parah, tetap dalam keadaan sadar namun begitu lemahnya.
Melihat korban-korban Hwe-liong-Pang-cu bergelimpangan di depan ma?tanya, Thian-goan Hweshio tak dapat lagi mengendalikan luapan perasaannya. Dengan sengitnya ia mengayunkan tinju?nya untuk menghantam sebuah patung ba?tu, yang langsung saja roboh dan pu?tus menjadi dua potong. Teriaknya dengan geram, "Sudah berkali-kali aku mengatakan bahwa kita tidak boleh ber?tindak lunak kepada gerombolan iblis Hwe-liong-pang itu, tapi banyak orang berlagak penuh welas-asih dan ingin mengadakan perdamaian dengan bangsat-bangsat itu. Beginilah akibatnya! Se?lamanya aku tidak mempercayai bangsat-bangsat itu. Tapi agaknya Hong-tay Hweshio tidak mau memperdengarkan pendapatku dan masih saja mau menga?dakan hubungan perdamaian dengan mere?ka! Perdamaian apa? Perdamaian tai anjing!"
Karena marahnya, Thian-goan Hwe?shio sampai lupa bahwa dia seorang pendeta, maka kata-kata kotorpun ber?hamburan keluar dari mulutnya, membuat kaum pengungsi itu jadi terheran-heran melihat bagaimana seorang rahib dapat bicara seperti itu.
Sementara murid-murid Hoa-san-pay dan Go-bi-pay lainnya juga sama meng?gertakkan gigi, "Akupun juga tidak percaya akan kabar bahwa mereka terpe?cah dua saling cakar-cakaran sendiri, namun aku tidak percaya bahwa yang sa?tu jahat dan yang lain baik. Aku yakin Hwe-liong-pang yang manapun juga ada?lah sama jahatnya, sama-sama harus dilenyapkan dari muka bumi ini!"
"Benar, kita harus segera menghu?bungi Hong-tay Hweshio sebagai Pemim?pin Umum dari gerakan menumpas Hwe-li?ong-pang ini. Rahib tua itu terlalu lemah hati menghadapi iblis-iblis itu, namun aku akan memperingatkannya bahwa ada jebakan maut di balik uluran perdamaian Hwe-liong-pang yang nampaknya menarik itu, mereka ingin menumpas ki?ta selangkah demi selangkah," kata Thian-goan Hweshio dengan hati panas. "Kalau mereka menyodorkan perdamaian itu hanya akal mereka untuk mengulur waktu, sebab mereka sedang dalam ke?adaan lemah, tapi jika mereka menjadi kuat kembali mereka akan menginjak-in?jak perdamaian itu membahayakan kita!"
Dalam pada itu, dalam keadaan lu?ka parah, Tong Wi-siang berlari-lari menerobos hujan lebat dan angin di?ngin, tanpa menghiraukan rasa pedih di lambungnya yang lukanya terkena air hujan itu. Justru guyuran air hu?jan yang dingin menusuk tulang itu te?lah mengembalikan kejernihan pikir?annya yang tadinya kacau itu. Bahkan dengan melihat kedudukan bintang di langit, meskipun tidak jelas karena ada mendung, Wi-siang telah dapat me?nentukan arah dan menetapkan langkah?nya menuju Tiau-im-hong, tempat markas Hwe-liong-pang.
Semakin lama ia berlari, lukanya terasa semakin mengganggu, apalagi lambungnya yang terus menerus mengalirkan darah itu, dan langkah Wi-siangpun mulai sempoyongan. Pandangan matanya mulai semakin kabur dan segala di sekitarnya nampak ku?ning kehijau-hijauan, perutnya mual, telinganya mendengung hebat. Namun dengan bandel Wi-siang tidak menghen?tikan langkahnya menuju Tiau-im-hong. Untunglah bahwa Thian-goan Hweshio dan rombongannya tidak mengetahui ke?adaan Wi-siang itu, sehingga mereka juga tidak mengejarnya. Andaikata me?reka mengejar, maka mereka dengan mudah akan menemukan Wi-siang, dan nasib Hwe-liong Pang-cu itu pasti akan men?jadi sangat buruk apabila jatuh ke tangan para pendekar yang sedang dimabuk dendam itu. Mungkin mayatnya akan dicincang dan dibiarkan di tengah hu?tan begitu saja untuk menjadi makanan serigala atau binatang liar lainnya.
Tengah Tong Wi-siang melangkah terhuyung-huyung di lorong hutan yang sepi dan gelap itu, tiba-tiba ter?dengarlah suara derap kaki kuda dari arah depan sana, dan di kegelapan muncul lima sosok bayangan orang berkuda yang sedang berjalan menyongsong ke arah Tong Wi-siang. Kelima orang pe?nunggang kuda itu semuanya bertudung bambu lebar untuk menahan air hujan, dan mengenakan mantel penutup tubuh mereka.
Tong Wi-siang terkejut karena mengira orang-orang berkuda itu ada?lah orang-orang Go-bi-pay dan Ho-san-pay yang baru saja bertempur dengan?nya, atau mungkin kawan-kawan mereka yang lain. Secepat-cepatnya ia melom?pat ke pinggir jalan untuk berusaha bersembunyi. Namun agaknya lukanya te?lah mengganggu gerakannya tidak sege?sit semula, dia terlambat, dan dia mendengar salah seorang dari kelima penunggang kuda itu telah berseru, "He, ada orang di depan kita!"
Otak Tong Wi-siang masih saja di?penuhi oleh adegan-adegan dari pertem?puran berdarah yang baru saja dialami?nya di rumah bobrok itu, nalurinya yang mirip naluri binatang buas itu masih saja peka terhadap ancaman baha?ya yang bagaimanapun kecilnya. Maka ketika ia sadar bahwa jejaknya telah diketahui oleh orang-orang berkuda yang belum diketahuinya siapa saja itu, Wi-siang menjadi kalap seperti seekor binatang buruan yang tersudut. Sambil menggeram marah dia melompat menerkam penunggang kuda yang paling depan dengan sebuah loncatan disertai pukulan yang kuat.
Terdengarlah orang yang diserang itu berseru kaget, secara naluriah dia mengangkat kedua tangannya, di?silangkan di depan mukanya untuk me?nangkis hantaman Wi-siang itu, sedang penunggang-penunggang kuda lainnya yang agaknya juga dikejutkan oleh pe?ristiwa mendadak itu, hampir serempak berteriak memperingatkan, bahkan ada suara seorang gadis pula, "Awas, A-hong!"
Pukulan Wi-siang yang kuat itu segera berbenturan dengan tangkisan dari penunggang kuda terdepan itu. Ji?ka Tong Wi-siang dalam keadaan sehat dan wajar, maka dengan pukulannya yang sekuat tenaga itu, tentu si pe?nunggang kuda akan terlempar dari punggung kudanya dan jatuh dengan tu?lang-tulang berpatahan. Tetapi kali ini keadaan tubuh Tong Wi-siang sudah sangat lemahnya karena luka-lukanya, dan karena baru saja menggunakan ilmu sesat Thian-mo-kay-teh-kang yang sa?ngat menguras tenaga itu. Maka bukan penunggang kuda itu yang terbanting dari kudanya, melainkan Wi-siang sen?diri yang terpental balik dan pingsan oleh tenaganya sendiri yang memantul. Sedang penunggang kuda itu hanya merasakan tangannya tergetar keras saja.
Orang-orang berkuda itu cepat-ce?pat berlompatan turun dari kudanya ma?sing-masing, lalu melangkah mendekati tubuh Wi-siang yang telentang pingsan itu dengan langkah-langkah waspada. Mereka baru mengendorkan kesiagaan me?reka setelah yakin bahwa orang yang didekati itu benar-benar pingsan.
"Entah siapa orang ini, tanpa alasan apa-apa tiba-tiba saja dia me?nyerangku," kata penunggang kuda yang diserang Wi-siang tadi.
"Mungkin kesalah-pahaman. Tapi siapapun dia, kita tidak akan membiar?kannya terbaring di tengah jalan dan mungkin akan terinjak-injak oleh orang orang yang lewat jalan ini, karena ma?lam memang cukup gelap," sahut penung?gang kuda lainnya, suara seorang pe?rempuan muda. "Ayo kita angkat dia!"
Pada saat orang-orang berkuda itu mendekati tubuh Wi-siang dan mem?bungkuk di dekat tubuh itu, tiba-tiba kilat menyambar di langit dengan caha?yanya yang cemerlang. Cahaya yang ha?nya sekejap itu ternyata telah cukup memberi kesempatan kepada orang-orang berkuda itu untuk melihat wajah orang yang terbaring di tengah jalan itu. Salah seorang dari orang-orang berkuda itu, yang agaknya adalah seorang gadis, mendadak saja terpekik kaget, "He ... dia... dia... adalah A-siang!"
Pengenalan atas diri Tong Wi-si?ang itu memang telah mengejutkan selu?ruh anggauta rombongan berkuda itu, sebab rombongan itu memang orang-orang yang kebebetulan mempunyai hubungan yang dekat dengan Ketua Hwe-liong-pang itu. Mereka terdiri dari Tong Hu-jin, ibu Tong Wi-siang, disertai dua orang anak-anaknya, yaitu Tong Wi-hong dan Tong Wi-lian, serta Cian Ping dan Ting Bun. Seperti telah diceritakan, mereka telah meninggalkan Gunung Siong san, tempat pertemuan kaum pendekar itu, lebih awal dari bubarnya kaum pendekar itu. Tujuan Tong Hu-jin dan rombongannya tidak lain adalah meng?anjurkan agar Tong Wi-siang, Ketua Hwe-liong-pang, untuk sementara waktu menyembunyikan semua kegiatannya, atau meniadakannya sama sekali, untuk menghindarkan salah paham dengan kaum pendekar yang sedang dalam perjalanan menyerbu ke Tiau-im-hong. Dari mulut salah seorang anggauta Kay-pang yang bertindak sebagai penghubung, Tong Hu-jin berhasil mendapat keterangan bahwa Tong Wi-siang dan sisa-sisa anak buah?nya yang masih setia kepadanya diper?kirakan sudah berada di markas Hwe-li?ong-pang di Tiau-im-hong, maka Tong Hu-jin dan putera-puterinya serta ke?dua calon menantunyapun bergegas menu?ju ke sana untuk mendahului perja?lanan kaum pendekar yang beringas itu. Karena tergesa-gesanya, tidak jarang mereka menempuh perjalanan malam tan?pa menghiraukan kelelahan mereka, dan bahkan sudah beberapa kali mereka harus mengganti kuda tunggangan, karena binatang-binatang itu agaknya tidak mampu mendukung kemauan tuannya.
Dan kini, sebelum mereka sampai ke Tiau-im-hong, mereka ternyata te?lah bertemu dengan orang yang mereka cari, meskipun dengan cara yang agak berbahaya. Selain berlega hati, mere?ka juga menjadi cemas ketika melihat Tong Wi-siang dalam keadaan luka-luka separah itu. Yang tidak dapat mengen?dalikan perasaannya terutama adalah Tong Hu-jin. Sebagai seorang ibu yang sudah tiga tahun tidak menjumpai putera sulungnya itu, betapapun bengalnya sang anak, kini perjumpaan itu benar-benar telah memeras air matanya. Tanpa mempedulikan tanah yang berlumur te?bal akan mengotori pakaiannya, perem?puan itu berjongkok di sisi tubuh Tong Wi-siang yang pingsan, dipeluk?nya kepala anaknya dan didekapnya ke dadanya, air matanyapun mengalir ber?campur dengan air hujan. Bibirnya tak henti-hentinya mendesiskan perasaan rindunya, "A-siang, akhirnya aku meli?hatmu kembali... A-siang, ini aku ibu?mu, nak...."
Tong Wi-hong dan lain-lainnya un?tuk sementara tercekam keharuan me?lihat pertemuan yang sangat mengha?rukan itu, mereka dapat membayangkan betapa perasaan seorang ibu setelah menemui kembali anaknya yang hampir saja dikiranya sudah mati itu. Beta?papun nakalnya anak itu, tapi ia te?tap saja darah dagingnya, buah rahim?nya yang dihadirkannya ke dunia dengan taruhan nyawanya, dan dibesarkannya dengan air susunya sendiri. Kini betapa pilunya hati janda pendekar itu se?telah menjumpai Tong Wi-siang dalam keadaan separah itu. Dalam kegeli?sahan pikirannya, tiba-tiba saja tim?bul sebuah dugaan yang mencemaskan ha?tinya, "Kenapa A-siang terluka sepa?rah ini, padahal menurut A-hong dan A-lian ia sebagai Ketua Hwe-liong-pang adalah seorang yang berilmu tinggi, bahkan lebih tinggi dari Te-liong Hiang-cu yang di Siong-san mampu bertem?pur seimbang dengan Hong-tay Hweshio? Tentu yang melukainya bukan hanya se?orang melainkan ahli silat yang menggabungkan kekuatannya sekaligus. Jangan jangan ada juga pendekar-pendekar yang tidak mentaati perintah Hong-tay Hweshio, dan telah mulai menyerang Tiau-im-hong tanpa menunggu perintah lagi?"
Dugaan semacam itu tidak saja berkecamuk di benak Tong Hu-jin, tapi juga di benak kedua orang putera-puterinya serta Cian Ping dan Ting Bun. Jika dugaan itu benar, maka benar-benar sesuatu yang mencemaskan. Mereka semua menyadari bahwa apabila benar-benar terjadi bentrokan tak terken?dali antara kaum pendekar berbagai aliran dengan Hwe-liong-pang, maka tidak akan ada satu pihakpun yang men?dapat keuntungan. Korban sia-sia ha?nya akan jatuh gara-gara kesalah-pahaman. Baik di pihak kaum pendekar maupun di pihak Hwe-liong-pang sama-sama terdapat ksyatria-ksyatria seja?ti penjunjung kebenaran dan keadilan, haruskah mereka saling bunuh satu sa?ma lain, sedangkan Te-liong Hiang-cu dan anak buahnya yang busuk-busuk itu yang akan memungut keuntungan? Tujuan mencegah pertikaian itulah salah satu alasan kenapa Tong Hu-jin dan rombong?annya berjalan mendahului kaum pen?dekar untuk menemui dan melunakkan ha?ti Tong Wi-siang, jadi bukan sekedar rasa rindu dari ibu kepada anaknya sa?ja.
Terdengar Tong Wi-hong menggumam, "Jika benar-benar kedua belah pihak tidak tercegah lagi untuk mengadu senjata, alangkah sayangnya. Dunia persilatan bakal kehilangan putera-putera terbaiknya hanya karena adu-domba dari seorang bermulut busuk..."
"Kita tidak perlu menebak-nebak sembarangan saja, yang perlu adalah mencoba memahami keadaan yang sedang berkembang dan kemudian dicari jalan keluarnya," usul Tong Wi-lian. "Seka?rang lebih dulu kita harus mencari tempat yang teduh dan berusaha mengo?bati A-siang. Barangkali setelah dia sadarkan diri nanti, dia akan dapat berbicara beberapa hal yang dapat kita jadikan bahan pertimbangan."
Usul ini memang masuk akal, dan semuanyapun setuju. Tubuh Tong Wi-si?ang perlahan-lahan diangkat ke atas kuda tunggangan Tong Hu-jin, sebab pendekar wanita itu telah menyatakan bahwa dia sendirilah yang akan memba?wa puteranya itu, bahkan Tong Hu-jin menggunakan mantelnya sendiri untuk membungkus tubuh anaknya agar tidak kehujanan, sehingga dengan demikian Tong Hu-jin sendirilah yang menjadi basah-kuyup. Baik Wi-hong maupun Wi-lian tidak mencegah niat ibunya itu, sebab mereka tahu bahwa dengan demikian sang ibu akan mendapatkan ke?puasan batinnya tersendiri. Maka merekapun melanjutkan perjalanan mereka. Tong Hu-jin di atas kudanya mendekap tubuh Wi-siang seperti mendekap seo?rang bayi saja, seakan ia takut kehi?langan untuk kedua kalinya.
Daerah itu adalah daerah yang sedang digelisahkan oleh ancaman perang, banyak penduduk yang telah mengungsi meninggalkan rumah dan sawah ladang?nya. Maka Tong Hu-jin dan rombong?annya tidak terlalu sulit untuk menda?patkan rumah kosong yang masih cukup baik untuk melindungi diri dari siraman air hujan yang agaknya akan berlangsung sampai besok pagi. Rupanya penghuni rumah itu telah mengungsi dengan terburu-buru, sebab dalam rumah itu masih ada juga beberapa pera?latan rumah tangga yang tertinggal ka?rena sulit dibawa dan mudah didapat di tempat lain. Bahkan masih ada sisa-sisa bahan makanan juga, biarpun ha?nya berupa sekeranjang besar kentang yang sudah tumbuh daunnya karena lama tidak dimasak. Namun itu cukup baik. Rupanya rombongan Tong Hu-jin ini sudah sejak pagi tadi belum makan apa-a?pa, bukan karena kehabisan uang, tapi karena sepanjang jalan di daerah yang terancam perang itu tidak ada warung makanan sebijipun. Kini ditemuinya kentang sebanyak itu, tentu saja le?bih baik perut terisi kentang rebus, meskipun tanpa lauk apapun, daripada kosong sama sekali. Tugas merebus kentang segera dilaksanakan oleh Tong Wi-lian dan Cian Ping. Sedangkan Tong Wi-hong serta Ting Bun mencoba merapi?kan rumah itu, terutama menyiapkan pembaringan yang cukup layak untuk Tong Wi-siang.
Untunglah di salah satu ruangan depan ada sebuah pembaringan terbuat dari tanah liat yang masih cukup baik, kolongannya biasanya ditaruhi perapi?an untuk menghangatkan badan di musim dingin. Wi-siang yang masih belum sa?darkan diri itu dapat ditaruh di situ. Kemudian lebih dulu Tong Hu-jin meloloh Wi-siang dengan sebuah pil ber?bau buatan perguruan Soat-san-pay yang punya khasiat dapat meringankan luka dalam. Ketika Tong Hu-jin memaksa mem?buka rahang Wi-siang, nampaklah bahwa pada lidah putera tertuanya itu ada bekas gigitan yang masih agak berda?rah. Sebagai seorang yang punya penge?tahuan cukup luas dalam masalah-ma?salah dunia persilatan, Tong Hu-jin dapat segera menebak sebab-musabab terluka dalamnya anaknya ini.
Setelah memasukkan obat pulung harum itu ke mulut puteranya dan kemu?dian mendorongnya dengan setengah ca?wan air bersih yang diminumkannya per?lahan-lahan, Tong Hujin nampak lega. Namun kemudian berkata dengan sedih, "Agaknya A-siang benar-benar telah terjerat mempelajari ilmu sesat. Luka luarnya jelas karena senjata, namun luka dalamnya itu bukan karena pukul?an lawan, melainkan karena dia ter?lalu memaksakan dirinya ketika meng?gunakan ilmu sesat Thian-mo-kay-teh-kang, sehingga berbalik melukai diri sendiri. Apabila dia telah sembuh ke?lak, aku akan menasihatinya, agar dia membuang semua ilmu sesatnya itu dan mulai belajar ilmu sejati aliran Soat-san-pay kita. Biarpun harus mulai da?ri permulaan lagi juga tidak apa-apa, asalkan tubuhnya tidak dirusakkan oleh ilmu iblis itu."
Tong Wi-hong yang telah duduk me?nemani ibunya di ruangan itu, lalu me?nyahut, "Ibu jangan terlalu menyalah?kan A-siang nantinya. Ketika dia mulai menemukan dan mempelajari Kitab wa?risan Bun-san-jit-kui itu dia sedang dalam keadaan panik dan berpikiran ke?ruh, nyaris mendekati sikap putus-asa. Waktu itu dia menjadi buronan Pasukan Kerajaan karena di beberapa kota ia dan kawan-kawannya telah melakukan be?berapa pembunuhan terhadap pembesar-pembesar yang menindas rakyat, dan da?lam keadaan terjepit itulah dia tanpa pikir panjang mempelajari ilmu-ilmu sesat itu, yang kemudian menjadi mo?dal utama untuk mendirikan Hwe-liong-pang."
"Kenapa kau tahu keadaan kakakmu sejelas itu, seakan-akan kau menga?laminya sendiri, A-hong?"
"A-siang telah menceritakan se?muanya kepadaku, ketika kami bertiga bertemu di tengah danau Po-yang-ou de?kat rumah kita itu, di atas kapal?nya," sahut Tong Wi-hong."Ketika itu aku dan A-lian menuju An-yang-shia dengan tujuan membalas kepada Cia To-bun dan mencari ayah. Ternyata se?sampainya di An-yang-shia telah terja?di perubahan penting di sana. Kuburan ayah yang letaknya seperti ibu cerita?kan dulu itu, ternyata telah dipugar indah sekali dan berlapis pualam, bah?kan di sebelah kuburan itu dilengkapi pula dengan sebuah rumah pemujaan ar?wah yang berisi arca mendiang ayah. Yang lebih hebat lagi, di altar pemu?jaan itu bergeletakanlah batok-batok kepala Cia To-bun dan semua anggauta keluarganya, seakan-akan memang dile?takkan sebagai persembahan kepada ar?wah ayah. Jelas itu perbuatan A-siang. Dan malam harinya aku dan A-lian benar benar berhasil menemuinya di tengah danau. Saat itulah A-siang mencerita?kan semua yang telah dialaminya sela?ma berpisah itu, dan saat itu pula aku dan A-lian mulai mencoba untuk memahami cita-citanya, meskipun aku per?nah memperingatkannya pula bahwa cara-cara yang digunakannya kadang-kadang di luar batas kemanusiaan."
Ibunya mengerutkan alisnya ke?tika mendengar cerita putera keduanya itu. Perempuan itu sendiri sangat mem?benci Cia To-bun si pejabat An-yang-shia yang telah menjadi biang keladi kehancuran keluarganya itu, namun dia-pun tidak pernah menganjurkan anak-anaknya untuk membalas dendam dengan cara sekejam itu. Bahkan andaikata Tong Hu-jin sempat bertemu dengan Wi-siang sebelum terjadinya pembantaian di An-yang-shia itu, tentu akan dicegahnya puteranya membalas dendam sela?in kepada Cia To-bun pribadi, tanpa menyangkut anggauta keluarganya yang tidak bersalah sama sekali.
Kemudian ia berkata sambil mena?rik napas, "Memang begitu umumnya o?rang yang mempelajari ilmu sesat. Disa?dari atau tidak disadari, kepribadian merekapun akan terpengaruh oleh watak ilmu yang dipelajarinya itu. Wi-siang termasuk seorang yang berpribadi cu?kup kuat, namun ilmu-ilmu Bu-san-jit-kui itu toh mempengaruhinya juga, apa?lagi kebetulan agak sejalan dengan sifatnya sendiri yang pemarah dan ker?as kepala itu. Aku berharap masih da?pat menggunakan pengaruhku untuk mena?rik kembali A-siang dari jalan sesat yang ditempuhnya. Aku tidak keberatan cita-citanya melambung setinggi la?ngit, namun cara memperjuangkan cita-cita itulah yang tidak boleh melanggar dari garis yang sudah sama-sama dijun?jung tinggi oleh masyarakat sebagai sesuatu yang tak dapat disimpangi. Tanpa menghiraukan itu, dia akan mem?buat masyarakat ini bagaikan hutan raya, satu sama lain saling menerkam dan membunuh tak terkendali. Ini yang harus dicegah."
Tengah ibu dan anak ini bercakap-cakap dengan nada prihatin tentang di?ri Wi-siang itu, tiba-tiba orang yang dipercakapkan terdengar mengeluh per?lahan, agaknya mulai siuman.
Tong Hu-jin cepat-cepat mendeka?ti pembaringan sambil mengulurkan ke?palanya, sambil berdesis dengan penuh pengharapan, "A-siang, kau sudah sadar kembali?"
Namun Wi-siang yang telah sadar kembali itu ternyata memberi tang?gapan yang mengejutkan, di luar duga?an orang-orang yang menungguinya, se?bab dengan kasarnya dia telah menepis?kan tangan ibunya yang bermaksud mera?ba keningnya itu. Bahkan kemudian ter?dengar teriakannya yang parau, menan?dakan kegoncangan jiwanya yang belum reda sama sekali, "Siapa kau? Pergi! Kenapa kau seenaknya saja hendak meme?gang kepala Ketua hwe-liong-pang yang terhormat? Kau bosan hidup? Enyah kau kaum munafik, kaum sok alim yang suka mengaku-aku sebagai pendekar penegak keadilan! Kalian tidak berani apa-apa untuk merombak keadaan yang menindas rakyat kecil, tetapi akulah yang ber?buat, berani bertindak membela rakyat ... Ha-ha-ha-ha...."
Tong Hu-jin tidak menduga bahwa putera sulungnya itu akan bersikap de?mikian, tentu saja dia menjadi sangat terkejut, hampir saja dia jatuh terpe?lanting karena tangkisan Wi-siang itu. Sementara itu Wi-siang telah melompat bangun dengan mata yang merah dan li?ar, seperti mata seekor kerbau gila. Dengan muka beringas ditudingnya wa?jah ibunya sendiri sambil berteriak kalap, "Siapa kau, he, perempuan bu?suk! Apakah kaupun termasuk dalam rom?bongan kaum sok alim yang hendak me?nyerbu markasku di Tiau-im-hong? Kami tidak takut! Hayo, beramai-ramailah kalian menyerbu Tiau-im-hong dan kami akan menyambut kalian dengan senjata? senjata kami, dan kalian akan segera tahu bahwa Hwe-liong-pang bukan kawanan kantong nasi!"
Setelah berteriak-teriak menan?tang, lalu tertawa terbahak-bahak ti?dak keruan, kemudian memaki-maki lagi dengan sangat kasarnya, tiba-tiba Wi-siang menangis sekeras-kerasnya. Sam?bil menangis ia berteriak pula, "Bang?sat, kalian mengaku pendekar berbudi luhur, tetapi kalian melakukan perbua?tan rendah yang tidak sesuai dengan martabat kalian! Kalian menculik isteriku yang sedang mengandung anakku! He! Kembalikan isteriku dan anakku, atau ingin kucekik kau!"
Lalu dengan dua tangan yang ter?julur lurus ke depan, Wi-siang melang?kah ke depan, mendekati Tong Hu-jin dan siap mencekik ibunya sendiri yang agaknya sudah tidak dikenalinya kare?na keruwetan pikirannya itu! Sebalik?nya Tong Hu-jin dengan perasaan hancur melihat keadaan puteranya itu. Te?naga perempuan tua itu bagaikan meninggalkan raganya karena sedihnya, meskipun matanya yang kabur karena terlapis air mata itu masih juga dapat samar-samar melihat gerakan puteranya yang hendak mencekiknya, Tong Hu-jin nampaknya pasrah saja dan tidak ingin melawannya.
Tetapi tidak demikian halnya dengan Wi-hong, sudah tentu dia tidak dapat melihat keselamatan ibunya teran?cam hanya karena tidak sampai hati me?nindak puteranya sendiri. Cepat Wi-hong melompat ke arah kakaknya dan membe?rikan sebuah totokan ringan di tengkuk kakaknya itu, membuat Tong Wi-siang yang tengah mata gelap itu lang?sung terkulai lemah. Dalam keadaan wa?jar, meskipun ilmu Wi-hong tetap ting?gi, tentu saja ia belum bisa meroboh?kan Ketua Hwe-liong-pang itu hanya dengan sekali gerak saja.
Sementara itu, Ting Bun, Tong Wi-lian serta Cian Ping telah men?dengar suara ribut-ribut di ruangan depan itu, telah berlari-larian menuju ke ruangan depan. Wajah mereka menggambarkan seribu pertanyaan ketika melihat Wi-siang telah tergeletak di lantai, sedangkan Tong Hu-jin masih bersandar dinding dengan air ma?ta bercucuran. Di sebelah lain Tong Wi-hong masih berdiri dengan muka te?gang bercampur menyesal.
"Ibu, apa yang telah terjadi?" tanya Wi-lian.
Tong Hu-jin hanya mampu mengge?rakkan kepalanya untuk menggeleng le?mah sebagai jawabannya, namun sesaat kemudian diapun dapat menjawabnya mes?kipun dengan suara hampir tak ter?dengar karena lirihnya, "Kakakmu... kakakmu A-siang agaknya... agak terganggu kesehatan jiwanya... entah mengapa...."
Kemudian Tong Wi-hong yang lebih tenanglah yang melanjutkan kata-kata ibunya, "Tadi dia berteriak-teriak tentang seorang perempuan yang dikata?kannya isterinya, bahkan ada anaknya pula. Ibu, kau harus menenangkan di?ri, sebab apabila apa yang diigaukan oleh A-siang tentang anaknya dan isterinya tadi benar-benar ada, maka agaknya ibu justru harus diberi selamat. Itu berarti ibu telah mendapat seo?rang cucu. Namun... namun goncangan jiwa yang dialami A-siang itu agaknya disebabkan oleh sesuatu yang menimpa anak isterinya, seperti igauannya ta?di, agaknya semacam penculikan atau penyanderaan... entahlah."
Kata-kata Wi-hong itu ternyata cukup manjur untuk menenangkan Tong Hu jin, sebab perlahan-lahan Tong Hu-jin mulai bersinar kembali matanya. Di tengah-tengah kesedihan dan kecemasan yang bercampur-aduk, alangkah bahagia?nya apabila dugaan itu benar-benar se?suai kenyataan, sebab orang tua mana?kah yang tidak mengharapkan bahwa suatu ketika ia akan menimang seorang cu?cu? Namun ucapan terakhir tentang pen?culikan itu agak mengganggunya juga. Namun Tong Hu-jin belum menanyakannya lagi, kuatir kepedihannya akan menjadi jadi dan menghilangkan ketenangan da?lam berpikir.
Setelah merasa agak tenang, baru?lah kemudian pendekar wanita dari Soat san-pay itu berkata sambil menarik napas, "Selama kalian ada dalam perja?lanan menuju ke tempat ini, kalian tentu masih ingat, bahwa kita mende?ngar berita tentang dikirimnya seo?rang duta perdamaian dari pihak Hwe-liong-pang kepada Hong-tay Hweshio, dan kabarnya Hong-tay Hweshio telah menerima pula uluran perdamaian itu meskipun dengan beberapa syarat yang akan membuktikan itikad baik Hwe-liong pang. Jika demikian, pihak yang men?culik isteri dan anak Wi-siang itu mungkin bukanlah para pendekar berba?gai aliran yang dipimpin oleh Hong-tay Hweshio itu. Aku kuatir justru penculikan itu dijalankan oleh peng?ikut-pengikut Te-liong Hiang-cu yang rupanya tidak suka jika kaum pendekar dan Hwe-liong-pang berdamai."
Kembali Tong Hu-jin menarik napas sebentar, lalu melanjutkan kalimatnya dengan nada murung penuh kegelisahan, "Inilah yang mencemaskan, sebab adu domba oleh pengikut Te-liong Hiang-cu itu agaknya begitu rapi dan lihai, buktinya kaum pendekar sampai bisa dituntun menuju Tiau-im-hong dengan sengaja meninggalkan jejak. Lagipula di antara kaum pendekarpun tidak se?dikit orang-orang berpengaruh yang pa?da dasarnya memang sudah membenci Hwe-liong-pang sampai ke bulu-bulunya, se?hingga salah langkah sedikit saja di pihak Hwe-liong-pang sudah cukup un?tuk membuat mereka kehilangan pengendalian diri dan memakai senjata sebagai satu-satunya pemecahan persoalan. Sebaliknya, Hwe-liong-pang sendiri di?pimpin oleh seorang berdarah panas se?perti A-siang, yang meskipun berilmu tinggi namun belum cukup matang untuk memimpin sebuah perkumpulan sebesar Hwe-liong-pang. Sifatnya masih saja berangasan dan menurutkan nafsu amarah?nya saja, seperti beberapa tahun yang lalu, ketika dia melakukan pembunuhan beberapa pejabat negeri di An-yang?-shia hanya karena bujukan seorang ka?wannya yang mabuk, sehingga dia menja?di buronan bersama kawan-kawannya. Da?lam igauannya tadi, agaknya diapun te?tap menganggap pihak pendekar yang menculik anak isterinya, anggapan ini jelas berbahaya, bisa mengobarkan pe?rang antara Hwe-liong-pang dan kaum pendekar yang jelas hendak kita cegah!"
"Ya, apalagi pucuk pimpinan Hwe-liong-pang justru dipegang oleh anak-anak berandalan semacam A-siang, Siangkoan Hong atau Lim Hong-pin yang menganggap perkelahian sebagai ma?salah ringan saja, dan dapat mereka lakukan kapan saja mereka mau dan di tempat mana saja."
Pendekar wanita Soat-san-pay itu kini benar-benar merasa dihadapkan persoalan yang berat. Bukan saja per?soalan menyembuhkan anaknya dan mence?gah perang antara Hwe-liong-pang dan kaum pendekar, namun juga persoalan mencari siapa yang menculik "anak dan isteri" yang disebut dalam igauan Wi-siang tadi, dan sekaligus membebas?kannya. Katanya, "Persoalannya memang berbelit. Sekarang lebih dulu kita ha?rus mengurus Wi-siang sampai sembuh dan mencoba mempengaruhi jalan pikir?annya. Aku berharap, aku sebagai ibu?nya masih punya pengaruh cukup kuat atas kepribadiannya, melebihi pengaruh ilmu iblis yang telah mencengkamnya. Dengan demikian banjir darah di Tiau-im-hong dapat dihindarkan."
Kemudian kepada Wi-hong, Tong Hu-jin berkata, "A-hong, untuk sementara kita akan berada di sini untuk merawat kakakmu, tapi kita tidak boleh buta tuli sama sekali terhadap keadaan wi?layah ini yang agaknya semakin panas dengan api peperangan. Karena itu kau harus sering-sering keluar untuk me?lihat-lihat keadaan, sehingga lang?kah-langkah yang akan kita ambilpun akan dapat kita sesuaikan."
"Baiklah, ibu."
"Hati-hatilah, kawasan ini ibarat genangan minyak. Setitik api saja su?dah cukup untuk membuat seluruh kawa?san jadi berkobar, dan kemudian hangus menjadi arang. Di sini bukan cuma ada pertentangan antara Hwe-liong-pang dan kaum pendekar berbagai aliran, ta?pi antara Kerajaan Beng dengan pihak pemberontak yang dipimpin Li Cu-seng."
Sementara itu Ting Bun telah me?nimbrung, "Bibi, apabila bibi tidak berkeberatan dan demikian pula A-hong, biarlah aku menemani A-hong setiap ka?li ia keluar untuk menyelidiki keada?an. Meskipun ilmu silatku tidak se?tinggi A-hong, mungkin tenagaku dapat juga membantunya mengatasi kesulitan-kesulitan."
"Baiklah. A-hong, kau akan dite?mani A-bun dalam setiap penyelidikan?mu."
-o0^DwKz-Hendra^0o- DI bagian utara wilayah Su-coan, ada sebuah kota yang bernama Lam-tiong. Kota ini letaknya agak ja?uh dari daerah yang sedang terancam peperangan, sehingga "hangat"nya api perang itu tidak begitu terasa di sini. Namun bukan berarti daerah ini bebas dari kegelisahan sama sekali, sebab kabar peperangan itu sudah ter?dengar pula sampai ke kota ini. Malahan Kota Lam-tiong termasuk penting pula dalam perhitungan peperangan, se?bab kota ini merupakan titik penting dalam jalur perbekalan Tentara Keraja?an Beng dari Pak-khia ke garis depan. Karena itu tidak mengherankan kalau Tentara Kerajaan melindungi titik penting ini sebaik-baiknya, jangan sam?pai terpotong putus oleh pihak pembe?rontak. Itulah sebabnya di Lam-tiong telah dipenuhi dengan tentara Keraja?an, bahkan tentara Kerajaan membuat pesanggrahan di luar kota juga, menun?jukkan kesungguhan pihak Kerajaan un?tuk melindungi titik penting ini dari incaran musuh.
Tapi Lam-tiong bukan saja titik penting dalam pertentangan antara Kaisar Cong-ceng dengan puluhan ribu prajuritnya, melawan Li Cu-seng de?ngan laskarnya yang menyemut banyak?nya, melainkan juga merupakan tempat penting dalam pertentangan yang lebih kecil namun tidak kalah membahayakan?nya. Pertentangan antara Kaum Pendekar dengan Hwe-liong-pang. Meskipun per?tentangan ini tidak melibatkan jutaan prajurit atau laskar, tapi tidak ka?lah berbahaya, sebab orang-orang yang terlibat dalam pertentangan ini ada?lah orang-orang berilmu tinggi. Seper?ti juga Kerajaan Beng dan Li Cu-seng tengah memperebutkan kepemimpinan atas negeri yang maha luas itu, untuk me?nentukan masa depan negeri, maka per?tentangan antara kaum Pendekar dengan Hwe-liong-pang itupun dapat dikatakan sedang memperebutkan kepemimpinan an?tara mereka, kepemimpinan atas rimba persilatan. Apakah masa depan rimba persialtan akan tetap tenang seperti masa-masa sebelumnya, di mana setiap perguruan atau aliran hidup berdam?pingan secara damai dan hormat menghormati? Ataukah dunia persilatan akan jatuh ke bawah pimpinan Hwe-liong-pang, yang cita-citanya sudah jelas ingin merobohkan Kerajaan Beng, hanya karena ambisi balas dendam dari Tong Wi-siang yang kehilangan keluarganya? Semuanya masih harus ditentukan lewat sebuah percaturan kekuatan yang pelik. Semuanya tergantung penyelesaiannya, siapakah yang menang nantinya.
Hong-tay Hweshio dari Siau-lim-pay setagai pemegang kendali tertinggi gerakan kaum pendekar itu, memang su?dah tiba di Lam-tiong, bahkan sudah berdiam di situ selama beberapa hari. Seperti telah diketahui, gerakan kaum pendekar menyerbu ke Tiau-im-hong itu tidak berangkat dalam satu barisan be?sar seperti sepasukan prajurit menuju medan perang, tapi berangkat dalam ke?lompok-kelompok kecil yang jalurnya?pun terpisah-pisah, meskipun semuanya menuju ke satu titik, yaitu Bukit Tiau-im-hong di wilayah Su-coan. Peme?cahan dalam kelompok-kelompok kecil itu dilakukan untuk menghindari kesalah-pahaman atau kecurigaan dengan pi?hak Tentara Kerajaan yang juga tengah dikerahkan ke arah yang sama itu. Mak?lumlah, jika darah sedang panas dan pikiran sedang tegang, kesalah-pahaman mudah saja terjadi, apalagi di pihak Tentara Kerajaan itu sudah ada dasar-dasar kecurigaan terhadap kaum persilatan. Jika mereka melihat kaum persilatan berbondong-bondong menuju ke Su-coan, pihak kerajaan tentu mengira para pendekar itu hendak ber?gabung dengan Li Cu-seng, sehingga ge?rakan kaum pendekar itu bisa terham?bat oleh urusan yang berlarut-larut. Namun berkat siasat Hong-tay Hweshio itu, kecurigaan itu bisa dihilangkan, biarpun di beberapa tempat masih juga terjadi kerewelan-kerewelan kecil de?ngan Tentara Kerajaan, namun umumnya berjalan lancar. Kaum pendekar, biar?pun maju secara berpencaran tetapi te?tap berada di bawah satu perintah. Da?lam hal penyampaian laporan maupun pe?rintah, jasa Kay-pang (Perkumpulan Pengemis) tidak kecil, sebab anggauta-anggauta Kay-panglah yang hilir mudik kemari, merupakan tali penghubung antara si pemimpin dan yang dipimpin. Dengan demikian, sejauh ini gerakan kaum pendekar tetap rapi, seperti yang diharap oleh Hong-tay Hweshio.
Tapi kelancaran gerakan kaum pendekar itu, pada suatu hari mulai terganggu... .
Hong-tay Hweshio dan beberapa to?koh persilatan, berdiam di rumah Ko Gi-ceng, yang untuk kaum persilatan di daerah Lam-tiong dan sekitarnya terkenal dengan gelarnya sebagai Pek-lui-kun (Si Toya Halilintar). Dengan demikian rumah Si Toya Halilintar itu?lah yang menjadi "markas pusat" ge?rakan kaum pendekar menuju ke barat itu, meskipun hanya markas sementara, sebab beberapa hari lagi akan berge?ser maju semakin dekat ke Tiau-im-hong.
Pada suatu hari, seorang penge?mis nampak berjalan mantap mendekati pintu gerbang rumah Ko Gi-ceng yang letaknya di tengah-tengah kota Lam-tiong itu. Ketika dia tiba di pintu gerbang, dilihatnya di halaman rumah Ko Gi-ceng ada belasan orang anak muda yang bertelanjang baju tengah berla?tih ilmu silat dengan aba-aba salah seorang yang paling tua. Itulah murid-murid Ko Gi-ceng, sebab orang she Ko itu selain bermata-pencaharian pedagang hasil bumi, juga mengajar silat kepada beberapa anak muda Lam-tiong.
Tanpa ragu-ragu si pengemis itu melangkah masuk ke dalam rumah itu se?telah mengangguk hormat kepada beber?apa murid yang sedang berlatih di situ. Murid-murid Ko Gi-cengpun agaknya sudah terbiasa melihat kaum pengemis keluar masuk rumah gurunya, sejak rumah gurunya itu dijadikan mar?kas sementara kaum pendekar, karena itu murid-murid itupun mendiamkan saja si pengemis masuk sampai ke bagian da?lam rumah.
Setelah sampai ke halaman tengah yang sepi, barulah si pengemis itu me?negur salah seorang pembantu rumah tangga Ko Gi-ceng, "Permisi, saudara, dapatkah saudara membantuku agar dapat menemui Hong-tay Hweshio dari Siau-lim pay? Katakan kepadanya bahwa pembawa berita dari selatan ingin menghadap membawa berita penting."
Para pembantu rumah tangga Ko Gi-cengpun agaknya cukup terdidik dalam tata-krama dunia persilatan, karena majikan mereka adalah tokoh dunia per?silatan yang banyak berhubungan dengan orang-orang segolongan, oleh karena itu si pembantu rumah tangga itupun tidak berani memandang rendah "tamu"nya itu, meskipun si tamu berpakaian compang-camping. Cepat-cepat ia memba?las hormat, mempersilahkan duduk, ke?mudian dia sendiri menghilang ke ru?angan belakang.
Tidak lama kemudian, dari ru?angan belakang itu muncullah serom?bongan yang bukan lain adalah Hong-tay Hweshio si rahib sakti dari Siau-lim-pay itu, diiringi beberapa tokoh persilatan lainnya. Antara lain nampaklah tuan rumah sendiri, yaitu Ko Gi-ceng yang bertubuh tegap dan berpakaian mirip saudagar kaya, se?mentara tangan kirinya memegang pipa tembakau terbuat dari besi yang se?lalu diisapnya dan dikepulkannya asapnya lewat mulutnya. Selain itu nam?pak pula Ketua Jing-sia-pay, Kongsun Tiau yang bergelar Hong-lui-kiam-khek (Pendekar Pedang Angin Badai), Ketua Cong-lam-pay Ciu Hong-tiong, Ketua Kong-tong-pay Tiat-sim Tojin (Imam Berhati Besi) serta tiga orang bekas pengikut Te-liong Hiang-cu yang telah tertawan dan menyerah kepada Hong-tay Hweshio, yaitu masing-masing adalah Song Hian yang berjuluk Tiat-pwe-siang (Gajah Berpunggung Besi), Tong Hing-bun yang berjuluk Say-ya-jat (Si Hantu Malam) dan He-hou Im yang berju?luk Sat-sin-kui (Si Hantu Ganas). Ke?tiga bekas pengikut Te-liong Hiang-cu itu memang sengaja dipaksa ikut oleh Hong-tay Hweshio, tujuannya selain se?bagai sumber keterangan tentang seluk-beluk Hwe-liong-pang, juga untuk mengawasi dan memberi peringatan ke?pada gembong-gembong kaum hitam itu agar di kemudian hari mengubah ke?lakuan sesatnya. Berkat keterangan ke?tiga orang itu pulalah maka Hong-tay Hweshio pada beberapa hari yang lalu telah menerima utusan perdamaian dari pihak Hwe-liong-pang yang dipimpin oleh Hong-goan Hweshio, bekas murid Siau-lim-pay juga yang menjadi tokoh Hwe-liong-pang, dan dalam perundingan kedua pihak telah ditetapkan bahwa ma?sing-masing pihak akan menahan diri supaya tidak termakan siasat adu-domba oleh Te-liong Hiang-cu. Kepercaya?an Hong-tay Hweshio itu antara lain juga ditimbulkan oleh keterangan Song Hian, Tong King-bun dan He-hou Im, yang dapt disimpulkan bahwa dalam Hwe-liong-pang memang telah terjadi perpe?cahan. Dengan demikian Hong-tay Hwe?shio lalu mencoba membuat batas antara Hwe-liong-pang yang asli, dengan pengikut-pengikut Te-liong Hiang-cu yang menyerbu ke Siong-san itu. Yang dimusuhi oleh kaum pendekar adalah pengikut Te-liong Hiang-cu.
Si pengemis bangkit dari duduknya dan memberi hormat kepada Hong-tay Hweshio dan lain-lainnya, sambil mela?porkan diri, "Chai Hing, anggauta Kay-pang cabang Jing-toh menghadap Beng-cu."
Hong-tay Hweshio yang dipanggil "Beng-cu" (Pemimpin Umum) itu lalu menganggukkan kepalanya dan berkata, "Silahkan duduk, saudara Chai. Tentu?nya saudara membawa suatu berita pen?ting untuk disampaikan kepadaku? Ka?lau benar, cepat katakan."
Sekali lagi pengemis yang bernama Chai Hing itu mengangguk hormat, kemudian duduk di kursinya kembali dan mulai melaporkan, "Beng-cu, di da?erah selatan, gerakan kita ini ternya?ta menemui perkembangan yang kurang menguntungkan. Kira-kira tiga hari yang lalu, Kay-pang cabang Jing-toh telah dihubungi oleh Kiau Lo-eng-hiong (Pendekar Tua She Kiau) serta Rahib Thian-goan dan beberapa murid?nya yang luka-luka. Begitu datang mer?eka terus marah-marah dan minta tolong kepada kami untuk menyampaikan pesan kepada Beng-cu. Kata mereka, perda?maian dengan pihak Hwe-liong-pang ti?dak ada gunanya, baik Hwe-liong-pang-nya Te-liong Hiang-cu maupun Hwe-liong pang satunya lagi, semuanya harus di?basmi sampai ke akar-akarnya. Kiau Lo-eng-hiong dan Thian-goan Hweshio juga mengancam, apabila Beng-cu tidak segera memerintahkan perintah penyer?buan serempak ke Tiau-im-hong, maka kedua Lo-eng-hiong itu akan menarik mundur semua murid-murid mereka yang ikut dalam gerakan ini, dan selanjut?nya Hoa-san-pay dan Go-bi-pay akan membuat perhitungan sendiri terhadap Hwe-liong-pang tanpa mempedulikan Beng-cu lagi."
Tokoh-tokoh persilatan yang ha?dir di ruangan itu seketika berubah air mukanya ketika mendengar laporan Chai Hing itu. Hong-tay Hweshio dengan sabar mencoba menenangkan goncangan perasaannya, sambil berdesah, "Ini ma?salah gawat yang tidak dapat dibiar?kan saja. Di Siong-san kita sudah ber?sepakat untuk menyatukan gerakan kita agar tidak tercerai-berai, tidak mu?dah diombang-ambingkan oleh kabar ang?in ataupun diadu-domba satu sama lain, dan para sahabat-sahabat dunia persilatanpun sudah mengangkat aku seba?gai Beng-cu. Sekarang jika kita masih juga ingin bertindak sendiri-sendiri, apa gunanya mengangkat aku sebagai pimpinan?"
Sementara itu Chai Hing telah berkata, "Maaf, Beng-cu, bahwa aku be?rani ikut bicara, namun jika diijinkan biarlah aku melengkapi laporanku agar Beng-cu dapat mempertimbangkan setiap keputusan sematang-matangnya..."
"Silahkan, saudara Chai."
"Menurut penuturan Kiau Lo-eng-hiong dan Thian-goan Hweshio, mereka dan murid-murid mereka telah bentrok dengan seorang pemuda gila yang sangat lihai, dan ternyata si gila itu ada?lah Ketua Hwe-liong-pang sendiri, yang telah membunuh dan melukai beberapa orang murid Hoa-san-pay dan Go-bi-pay sehingga Kiau Lo-eng-hiong serta Thian goan Hweshio sangat berang, sulit se?kali untuk ditenangkan."
"Darimana Kiau Ciang-bun dan Thi?an-goan Hweshio dapat memastikan bahwa si gila yang bertempur dengan mereka itu adalah Ketua Hwe-liong-pang ? Bu?kankah Ketua Hwe-liong-pang itu kabar?nya selalu memakai topeng tengkorak, sehingga tidak kelihatan wajahnya?"
"Beng-cu, Kiau Lo-eng-hiong ber?dua sangat yakin bahwa yang bertempur dengan mereka dan mengalahkan mereka di sebuah kuil rusak di dekat desa Bu-sian-tin itu adalah benar-benar Ketua Hwe-liong-pang. Bukan saja karena si gila itu telah mengaku sendiri akan kedudukannya, tapi juga karena keting?gian ilmu si gila itu luar biasa, dan ilmu-ilmu yang dipergunakannyapun ada?lah jenis-jenis ilmu sesat seperti Jit-kui-tiau-goat-sin-kang dan Thian-mo-kay-teh-hoat."
Hong-tay Hweshio menarik napas, "Kiau Ciang-bun dan Thian-goan Hwe?shio terlalu gegabah mengambil kesim?pulan. Beberapa kali harus kujelaskan kepada mereka bahwa ada pihak Te-liong Hiang-cu yang hendak mengadu domba kita dengan Hwe-liong-pang? Bu?kankah mudah sekali jika Te-liong Hi?ang-cu melepaskan topeng tengkoraknya kemudian dengan berlagak gila dia me?nyerang dan membunuh orang-orang Hoa-san-pay dan Go-bi-pay itu? Kenapa Kiau Ciang-bun serta Thian-goan Hwe?shio semudah itu termakan oleh siasat yang sangat sederhana ini?"
Chai Hing termangu mendengar per?kataan Hong-tay Hweshio itu, namun dia juga masih ingat betapa Kiau Bun-han serta Thian-goan Hweshio sampai berani sumpah disambar petir, yakin bahwa si gila itu adalah Ketua Hwe-liong-pang. Akhirnya pengemis anggauta Kay-pang itu membuang jauh semua pi?kiran yang meruwetkannya, dia hanya sekedar menjalankan tugas. Sambil menarik napas ia berkata, "Lalu ba?gaimana sekarang? Kedua lo-eng-hiong itu sudah tidak dapat disabarkan lagi, dan ingin secepatnya mendengarkan keputusan Beng-cu, kalau tidak, mereka akan...."
Hong-tay Hweshio berdiri dari kursinya sambil mengibaskan tangan ka?nannya, menyuruh Chai Hing jangan ber?bicara lagi. Sambil berjalan hilir-mudik sepasang alis putih dari rahib tua itu nampak berkerut, otaknya bekerja keras. "Kita sudah maju dan sudah ber?ada tepat di depan hidung Hwe-liong-pang, kita tidak boleh tercerai-berai justru setelah tiba di sini. Thi-sim Tojin, Kong-sun Ciang-bun (Ketua Kong-sun) serta Ciu Ciang-bun (Ketua Ciu) , akan terpaksa merepotkan kalian..."
Imam berhati besi Thiat-sim Tojin, Ketua Jing-sia-pay Kongsun Tiau serta Ketua Cong-lam-pay Ciu Hong-tiong se?rempak berdiri dari tempat duduknya dan memberi hormat kepada Hong-tay Hweshio, sambil berkata, "Demi lancar?nya gerakan bersama kita ini, kami bertiga siap menjalankan perintah Beng-cu!"
"Terima kasih atas kesediaan sau?dara bertiga. Kini kalian harus ikut saudara Chai ini pergi ke markas ca?bang Kay-pang di Jing-toh, untuk mem?bujuk dan menenteramkan Kiau Ciang-bun serta Thian-goan Hweshio agar me?reka tidak bertindak sendiri dan meng?acaukan semua rencana yang telah ter?susun rapi. Aku memang akan mengambil tindakan dalam waktu singkat, namun tentu harus disesuaikan dengan keada?an, jangan sampai dimanfaatkan oleh Te liong Hiang-cu."
"Baik, kami akan menjelaskannya kepada saudara Kiau dan saudara Thian goan," sahut Tiat-sim Tojin. "Ijinkan kami berangkat sekarang juga."
Karena persoalannya memang cukup mendesak, maka Hong-tay Hweshiopun mengijinkan ketiga orang utusannya itu untuk langsung berangkat. Tetapi baru saja ketiga orang itu hendak ber?anjak pergi dari ruangan itu, tiba-ti?ba di luar halaman sana terdengar de?rap kaki kuda yang riuh dan disertai pula ringkik kuda yang ramai. Menyu?sul itu seorang pelayan rumah Ko Gi-ceng telah bergegas-gegas masuk.
Ko Gi-ceng sebagai tuan rumah se?gera melangkah maju dan berkata, "Ten?tu ada yang akan kau laporkan. Cepat katakan."
Pelayan itu memberi hormat kepa?da tokoh-tokoh yang ada di tempat itu, lalu menjawab, "Memang benar, tuan. Saat ini di luar halaman sana telah kedatangan utusan-utusan dari Hwe-liong-pang yang ingin menghadap Beng-cu."
"Utusan Hwe-liong-pang? Siapa sa?ja mereka itu?"
Sahut si pelayan, "Pemimpin rom?bongan itu agaknya adalah rahib ber?jenggot kuning dan bermata biru yang juga telah datang ke rumah ini beber?apa hari yang lalu. Selain itu adalah seorang tua bertampang seperti kera, dan seorang berkulit hitam serta seor?ang lelaki berpakaian seperti orang Korea."
"Hanya empat orang?"
"Ya. Hanya empat orang dan hamba lihat semuanya tidak ada yang membawa senjata."
Ko Gi-ceng melemparkan pandangan?nya kepada Hong-tay Hweshio, minta pendapat rahib tua itu. Ketika Hong-tay Hweshio menganggukkan kepalanya, barulah Ko Gi-ceng berkata kepada pe?layannya, "Persilahkan mereka masuk. Sambut dengan baik."
Pelayan itu cepat menjalankan pe?rintah majikannya. Tidak lama kemudi?an si pelayan telah masuk kembali dengan mengantarkan empat orang tamu dari Hwe-liong-pang. Yang paling de?pan adalah seorang rahib bertubuh ke?kar, berjenggot keriting warna pirang, bermata biru, dia bukan lain adalah Hong-goan Hweshio, si rahib suku Hui yang merupakan bekas murid Siau-lim-si, seangkatan dengan Hong-tay Hweshio. Yang datang bersamanya adalah tokoh Hwe-liong-pang lainnya, Ling Thian-ki yang berjuluk Jian-jiu-sin-wan (Si Lu?tung Sakti Bertangan Seribu) yang tam?pangnya memang penuh bulu, sehingga tidak keliru kalau pelayan Ko Gi-ceng tadi melaporkan bahwa salah seorang tamunya "mirip monyet". Yang dua orang lainnya adalah si ahli pukulan dan ah?li tendangan dari Hwe-liong-pang, ma?sing-masing Lu Siong yang berjulukan Jian-kin-sin-kun (Tinju Malaikat Se?ribu Kati) serta Oh Yun-kim si orang Korea yang berjuluk Bu-ing-tui (Tendangan Tanpa Bayangan).
Keempat orang utusan Hwe-liong-pang itu memasuki ruangan itu dengan sikap yang agak berbeda dibanding beberapa hari yang lalu. Beberapa hari yang lalu mereka bersikap penuh damai dan muka berseri-seri ramah. Namun kali ini muka mereka nampak tegang dan bahkan sinar mata mereka menampakkan kemarahan yang ditahan-tahan. Tetapi, Hong-goan Hweshio sebagai pemimpin rombongan Hwe-liong-pang agaknya masih berusaha untuk bersikap sopan. Tiba di depan Hong-tay Hweshio, rahib suku Hui itu merangkapkan kedua telapak tangannya, membungkuk kepada Hong-tay Hweshio dan berkata dengan suara se?hormat mungkin, "Selamat bertemu kem?bali, Suheng, maafkan adikmu hari ini mengganggumu lagi."
Meskipun Hong-goan Hweshio hanya bekas murid Siau-lim-si, tetapi ia te?tap memanggil "suheng" (kakak sepergu?ruan) kepada Hong-tay Hweshio.
Hong-tay Hweshio dan tokoh-tokoh lainnyapun membalas hormat utusan Hwe-liong-pang itu dan mempersilahkan du?duk. Hati Hong-tay Hweshio sudan mera?sa tidak enak ketika melihat wajah o?rang-orang Hwe-liong-pang yang nampak kurang bersahabat itu, diam-diam si rahib tua itu menduga ada hal yang ku?rang beres telah terjadi.
Benar juga firasat Hong-tay Hwe?shio itu. Setelah utusan-utusan Hwe-liong-pang itu duduk di kursinya masing-masing, Hong-goan Hweshio memulai pem?bicaraan, "Maafkan, Suheng, barang?kali kehadiran kami yang mendadak dan tanpa pemberitahuan lebih dulu ini te?lah mengejutkan Suheng dan tuan-tuan sekalian, namun kedatangan kami ini bukannya tanpa keperluan sama sekali."
"Ada masalah apa lagi, Sute? Bu?kankah perjanjian perdamaian antara pihak kami dengan pihak Hwe-liong-pang kalian sudah ditanda-tangani beberapa hari yang lalu? Apakah ada syarat yang kurang ataukah maksud untuk merubah perjanjian itu?"
"Benar, Suheng. perjanjian telah sama-sama kita setujui. Jika ada juga orang yang ingin mengubah persetujuan damai itu, agaknya orang itu dari pi?hak Suheng sendiri."
Meskipun Hong-tay Hweshio dan tokoh-tokoh lainnya samar-samar sudah menduga garis persoalannya, namun se?telah mendengar ucapan tegas dari Hong-goan Hweshio itu, mau tidak mau beru?bahlah air muka sekalian tokoh itu. Tiat-sim Tojin yang berwatak keras, sesuai dengan julukannya itu, telah mendahului menyahut tanpa menunggu Hong-tay Hweshio lagi, "Jadi maksud saudara Hong-goan, kami adalah ksyatria-ksyatria palsu yang tidak bisa memegang janji, begitu?"
Hong-goan Hweshio menggeram mena?han kemarahannya, tetapi dia juga ber?usaha bersikap tenang ketika menjawab ucapan Tiat-sim Tojin itu, "Bukan be?gitu maksudku, Totiang (bapak imam), aku percaya bahwa Hong-tay Suheng dan Tiat-sim Tojin dan saudara-saudara pendekar di sini adalah orang-orang jantan yang teguh pada janji, tapi ternyata tidak semua orang yang mengakcu dirinya pendekar di pihak kalian itu berpegang teguh pada perjanjian perdamaian kita."
Tiat-sim Tojin yang berwatak ke?ras itu sudah berdiri dengan wajah te?gang, di pihak Hwe-liong-pangpun Lu Siong yang tidak kalah panas darahnya dari Tiat-sim Tojin, juga telah meng?gebrak meja di sebelahnya sehingga ke?empat kakinya patah. Namun sebelum ke?dua orang pemarah itu saling baku-hantam dan semakin mengkisruhkan suasana, Hong-tay Hweshio dan Hong-goan Hwe?shio cepat-cepat berusaha menenangkan orangnya masing-masing. Tiat-sim Tojin duduk kembali dengan wajah merah pa?dam, sedangkan Lu Siong telah menggo?sok-gosok kepalan tangannya yang se?keras besi itu.
Kemudian Hong-tay Hweshio berka?ta dengan sabar, "Harap saudara-sauda?ra sekalian, baik dari pihakku maupun pihak pihak Hwe-liong-pang, menahan diri. Kita semua menyadari bahwa ada pihak ketiga yang sangat licik yang berusaha mengadu domba kita, jika kita menurutkan luapan perasaan marah sa?ja tanpa mau berpikir bening memecah?kan persoalannya, maka kita benar-benar akan termakan oleh siasat adu-domba itu. Sute, kata-katamu tadi kurang jelas. Apa yang kau maksudkan dengan ada orang di pihak kami yang bermak?sud melanggar perjanjian?"
Timbul rasa hormat Hong-goan Hwe?shio kepada bekas kakak seperguruan?nya yang dapat tetap bersikap tenang itu, diam-diam rahib Hui itupun mera?sa sayang jika dia harus berhadapan dengan kakak seperguruannya itu seba?gai musuh. Karena itu Hong-goan Hwe-shiopun menyabarkan diri sejauh mungkin. Lebih dulu ia merangkap tangan dan memberi hormat kepada semua orang, katanya, "Maaf, kata-kataku tadi ter?lalu tajam dan hampir menimbulkan sa?lah paham Tiat-sim Totiang. Aku hanya ingin memberitahukan kepada Suheng, bahwa di kota Jing-toh telah terjadi suatu peristiwa yang barangkali tidak kita kehendaki bersama-sama."
"Peristiwa apa?" tanya Hong-tay Hweshio.
"Entah karena peristiwa atau ala?san apa, ternyata Kiau Bun-han dan Thian-goan Hweshio, masing-masing da?ri Hoa-san-pay dan Go-bi-pay, telah menyerang secara membabi-buta kepada beberapa kelompok anak buah kami yang kebetulan ditemui oleh mereka, sehing?ga beberapa orang anak buah kami te?was secara penasaran."
-o0^DwKz-Hendra^0o- Jilid 35 "KEDUA pendekar itu seperti orang gila saja, maafkan ucapan?ku ini, tapi itu memang betul. Mereka tidak bisa diajak bicara lagi, dengan ngotot menuduh Ketua Hwe-liong-pang kami telah membunuh beberapa murid me?reka dan bahkan katanya melukai Kiau Bun-han, bukankah ini tuduhan gila? Siapapun anggauta Hwe-liong-pang tahu bahwa Ketua kami tengah menutup diri beberapa hari di sanggar semedinya un?tuk menyembuhkan luka dan meningkat?kan ilmu, dan siapapun tahu bahwa jus?tru Ketua kami inilah yang menghendaki perdamaian, buat apa dia keluyur?an sampai ke Bu-sian-tin, seperti yang dituduhkan oleh Kiau Bun-han, untuk melukai orang-orang Hoa-san-pay dan Go-bi-pay?"
Jian-kin-sin-kun Lu Siong yang sedari tadi menahan diri itu, mulai berbicara pula,"Yang lebih gila lagi, mereka menuduh Pang-cu kami merampas makanan dari para pengungsi. Benar-be?nar tuduhan yang sangat hina, memanas?kan hati kami saja!"
Lu Siong sebenarnya masih ingin berkata keras lebih banyak lagi, te?tapi Hong-goan Hweshio telah menoleh ke arahnya dan memberi isyarat agar diam. Kemudian Hong-goan Hweshiolah yang berbicara, "Suheng, karena menya?dari bahwa ada pihak ketiga yang akan mengambil keuntungan dari hubungan bu?ruk pihak-pihak kita, maka kami pihak Hwe-liong-pang telah menahan diri sedapat mungkin, dan bahkan Thian-liong Hiang-cu Siangkoan Hong sebagai peja?bat Ketua telah mengutus kami menemuimu agar dapat memecahkan persoalan ini sebaik-baiknya. Tapi Kiau Bun-han dan Thian-goan Hweshio semakin keterlaluan. Dalam waktu dua hari saja me?reka telah menewaskan tujuh orang anggauta kami. Betapapun sabarnya kami, betapapun inginnya kami akan perda?maian, namun apakah kami harus membiar?kan saja anak buah kami dihabiskan oleh Kiau Bun-han dan Thian-goan Hwe?shio? Suheng, kami mohon penjelasan!"
"Penjelasan saja tidak cukup!" tiba-tiba Lu Siong yang penasaran itu menimbrung lagi, lupa kepada pesan Hong-goan Hweshio agar jangan ikut bi?cara. "Apakkah dengan penjelasan saja kematian penasaran anggauta-anggauta kita itu bisa terbalas? Hong-tay Hwe?shio sebagai Pemimpin Umum kaum pende?kar, haruslah menangkap Kiau Bun-han serta Thian-goan Hweshio untuk dise?rahkan kepada kami dan dihukum. Tanpa tindakan itu, sulitlah kita bicara tentang perdamaian lagi!"
Para tokoh di pihak Hong-tay Hwe?shio nampak serba salah. Mereka sudah mendengar laporan si pengemis pembawa berita itu, tentang tingkah laku re?kan mereka dari Hoa-san-pay dan Go-bi-pay itu. Dan kini orang-orang Hwe-liong-pang sendiri datang menuntut keadilan.
Sementara Hong-tay Hweshio masih saja berkerut kening, menyesalkan tin?dakan rekan-rekannya sendiri yang ter?lalu gegabah, Hong-goan Hweshio telah mendesak lagi, "Suheng, keputusan ha?rus cepat diambil. Kalau tidak, kor?ban tak bersalah akan berjatuhan lagi di pihak kami, dan saat itu pihak kami mungkin akan tidak dapat menahan diri lagi. Kami tidak dapat tinggal diam sementara orang-orang kami dibu?nuh tanpa tahu jelas persoalannya."
Dalam keadaan terdesak semacam itu, Hong-tay Hweshio akhirnya mengam?bil keputusan, "Aku sendiri akan ke Jing-toh untuk menemui Ketua Kiau dan Thian-goan Hweshio secepat-cepatnya. Aku akan minta keterangan langsung da?ri mereka dan memutuskan tindakan berikutnya."
Kemudian kepada rekan-rekannya dari Cong-lam-pay, Jing-sia-pay dan Khong-tong-pay yang tadi telah dipe?rintahkannya untuk pergi ke Jing-toh, Hong-tay Hweshio berkata, "Ternyata aku sendiri yang harus berangkat ke sana. Bukannya aku meragukan kemampu?an saudara-saudara untuk mengatasi ma?salah ini, tetapi aku kira Kiau Bun-han dan Thian-goan Hweshio akan lebih mudah dijinakkan jika aku sendiri ke sana."
"Biarlah kami menuju ke sana ber?sama Tay-su," sahut Tiat-sim Tojin, Cia Hok-tiang dan Kongsun Tiau.
Hong-tay Hweshio menganggukkan kepalanya, lalu kepada rombongan Hong-goan Hweshio ia bertanya, "Kalian akan pulang ke Tiau-im-hong atau ikut kami ke Jing-toh?"
"Lebih baik kami pulang dulu un?tuk melaporkan hasil perjalanan kami ini kepada Pejabat Ketua. Setelah itu barulah kami menunggu bagaimana kepu?tusan Suheng tentang Kiau Bun-han dan Thian-goan Hweshio itu."
"Kami akan berangkat ke Jing-toh sekarang juga."
"Baiklah, Suheng, kalau begitu kamipun mohon pamit untuk kembali ke Tiau-im-hong. Mudah-mudahan keputusan Suheng dalam hal ini akan cukup adil dan memuaskan semua pihak."
Maka rombongan Hong-goan Hweshio itupun meninggalkan rumah Ko Gi-ceng, sementara Hong-tay Hweshio dan rom?bongannya juga bersiap-siap untuk ber?angkat ke Jing-toh.
-o0^DwKz-Hendra^0o- BEGITU keluar dari pintu gerbang kota Lam-tiong, maka Hong-goan Hweshio dan kawan-kawannya cepat-cepat memacu kuda-kuda tunggangan mereka ke Tiau-im-hong kembali. Mereka merasa gelisah oleh keadaan yang semakin tak menentu, dan ingin segera melaporkannya kepada Siangkoan Hong yang men?jabat sebagai Ketua, sementara Tong Wi siang "menutup diri di sanggar samadi". Meskipun pembicaraan dengan pihak pendekar yang diwakili oleh Hong-tay Hweshio itu tidak terlalu memuaskan orang-orang Hwe-liong-pang itu, namun merekapun berusaha untuk dapat me?maklumi sikap Hong-tay Hweshio itu. Tentu saja rahib tua Siau-lim-pay yang kini berkedudukan sebagai beng-cu dari kaum pendekar itu tidak dapat langsung menentukan tindakan ter?tentu kepada Kiau Bun-han dan Thian-goan Hweshio hanya berdasar la?poran utusan Hwe-liong-pang saja, na?mun tentu harus membuktikan sendiri. Lagipula Hoa-san-pay dan Go-bi-pay adalah perguruan yang bebas merdeka dan tidak diperintah oleh siapa-siapa, beradanya mereka dalam satu barisan yang dipimpin oleh Hong-tay Hweshio itu bukan berarti tunduk sepenuh?nya, namun terikat oleh setia ka?wan sesama pendekar, jadi lain hubung?annya dengan umpamanya Markas Pusat Hwe-liong-pang dengan markas-markas cabangnya. Oleh karena pengertian itu?lah maka Hong-goan Hweshiopun tidak terlalu kecewa dengan hasil pembicara?annya dengan bekas kakak seperguruan?nya itu, yang dicemaskannya adalah apabila orang-orang Hoa-san-pay dan Go-bi-pay tidak dapat mengendalikan diri?nya, bahkan mungkin mereka akan menen?tang pula perintah Hong-tay Hweshio sebagal Beng-cu, jika demikian harus?kah Hwe-liong-pang pasrah saja orang-orang Hoa-san-pay dan Go-bi-pay itu mengobrak-abrik Tiau-im-hong?
Benar-benar suatu kebetulan, bahwa apa yang dicemaskan oleh Hong-goan Hweshio ternyata telah terben?tang di depan mata. Ketika utusan-u?tusan Hwe-liong-pang itu sudah jauh meninggalkan kota Lam-tiong dan mulai menapak di daerah yang sepi, tiba-tiba dari arah depan nampak dua orang pe?nunggang kuda berpacu ke arah mereka, kedua penunggang kuda itu tertelung?kup di atas punggung kudanya, seakan-akan mereka tidak kuat lagi untuk duduk tegak. Mereda berpakaian hitam, berikat kepala hitam pula. Sekali pandang saja jelaslah bahwa mereka adalah anggauta-anggauta Hwe-liong-pang dari Kelompok Bendera Hitam.
"Mereka anggauta-anggauta kita, agaknya terluka !" seru Lu Siong terkejut. "Hayo kita tolong mereka!" Hampir saja Lu Siong memajukan kudanya untuk me?nyongsong kedua orang penunggang kuda dari depan itu, tapi Ling Thian-ki ce?pat menahannya dengan jalan memegang tali kendali kuda Lu Siong, sambil berkata memperingatkan, "Hati-hati Lu Tong-cu yang kau maksud Hwe-liong-pang itu Hwe-liong-pang yang mana?"
Barulah Lu Siong sadar, bahwa di daerah itu berkeliaran pula anak buah Te-liong Hiang-cu yang berseragam sama dengan orang-orang Hwe-liong-pang di Tiau-im-hong, bahkan anak buah Te-liong Hiang-cu itu menyebut diri mere?ka Hwe-liong-pang pula. Diam-diam Lu Siong mengutuk kecerobohannya sendiri, untunglah Ling Thian-ki mencegahnya, kalau tidak alangkah gampangnya menje?bak orang sepolos Lu Siong.
Kedua penunggang kuda yang dari depan itu menurunkan kecepatan kudanya ketika hampir berpapasan dengan utusan-utusan Hwe-liong-pang itu. Sesa?at keduanya terkejut melihat Hong-goan Hweshio dan rombongannya, air muka mereka nampak aneh. Namun salah seorang dari kedua penunggang kuda itu nampaknya cukup cepat berpikir, cepat-cepat ia mengangkat tangannya untuk memberi hormat kepada Hong-goan Hweshio dan berkata, "Salam kepada kedua Su-cia(utusan) serta dua... dua Tong-cu. Hamba berdua dari Hek-ki-tong, saat ini Tong-cu hamba serta Hu-tong-cu dan beberapa orang saudara te?lah bertempur di pinggir hutan sana melawan bangsat-bangsat munafik dari Hoa-san-pay dan Go-bi-pay serta beber?apa perguruan lainnya. Mohon bantuan Su-cia sekalian !"
Hong-goan Hweshio dan lain-lain?nya terkejut mendengar laporan itu, sehingga mereka kurang memperhatikan perubahan air muka kedua orang berseragam Hwe-liong-pang yang tidak wajar itu. Dengan tergesa-gesa Hong-goan Hweshio berempat segera memacu kudanya ke arah yang ditunjukkan oleh ke?dua orang berkuda berseragam Hwe-liong pang itu. Mereka harus memburu waktu dan melerai pertempuran itu, sebab ka?lau korban jiwa sudah jatuh di kedua pihak, akan sangat sulitlah untuk me?madamkan amarah yang sudah membakar hati.
Setelah Hong-goan Hweshio dan ka?wan-kawannya tidak terlihat lagi, sa?lah seorang penunggang kuda bersera?gam Hwe-liong-pang itu tersenyum ke?pada teman-temannya, sambil berkata, "Gila kau, bagaimana kau tahu bahwa mereka dua orang Su-cia dan dua orang Tong-cu? Kau bicara seperti sudah mengenal mereka saja."
Kedua penunggang kuda itu sama-sama peringas-peringis, lalu ka?ta si penunggang kuda yang bertanya-jawab dengan Hong-goan Hweshio tadi, "Mudah saja ciri-ciri dua orang Su-cia yang masih setia kepada si tolol Tong Wi-siang itu. Yang seorang berpakaian pendeta, bertubuh pendek kekar dan bertampang suku Hui, yang seorang la?gi bertampang mirip monyet. Nah, aku serampangan saja menerka demikian. Bahkan aku tidak yakin kalau kedua orang yang aku panggil Tong-cu (Kepala Kelompok) itu benar-benar Tong-cu, se?bab aku tidak mengenal mereka, aku ha?nya menyebut saja secara untung-un?tungan dan ternyata benar."
"Kau memang bernyali besar. Un?tunglah mereka benar-benar mengira kita adalah anak buah mereka. Tapi an?daikata, hanya andaikata, si rahib bermata kucing itu menanyamu, kenapa kita mencari bantuan ke arah kota Lam-tiong dan bukan ke arah Tiau-im-hong? Nah, apa jawabmu?"
"Ya, permainan yang baru saja kita lakukan, memang berbahaya, jika salah menjawab mereka akan curiga dan kitapun akan ditangkapnya. Agaknya me?reka berempat begitu terburu-buru se?hingga tidak sempat memikirkan kelaku?an kita yang janggal tadi. Mudah-mu?dahan saja mereka segera tiba di tempat pertempuran, dan langsung menumpas orang-orang Go-bi-pay dan beberapa perguruan itu, agar permusuhan antara mereka semakin sulit didamaikan."
"Permainan kelompok kita agaknya cukup berhasil, berhasil memancing orang-orang tolol dari Tiau-im-hong itu untuk mengejar kita dan kemudian membenturkan mereka dengan orang-orang Hoa-san-pay dan beberapa perguruan itu. Eh, omong-omong bagaimana nasib teman-teman kita yang menyamar seba?gai murid-murid Cong-lam-pay dan Tiam-jong-pay itu? Mudah-mudahan mereka se?lamat dan tidak ikut tertumpas oleh orang-orang Tiau-im-hong yang gila itu."
"Sekarang kita akan ke mana?"
"Ke Lam-tiong. Melaporkan tugas kita kepada Te-liong Hiang-cu."
"Ayo kita segera berangkat. Ja?ngan sampai Hweshio gundul dan ka?wan-kawannya tadi menyadari kejang?galan pada diri kita, dan kemudian mencekik kita."
Kedua orang anak buah Te-liong Hiang-cu itupun tergesa-gesa memacu kembali kudanya ke arah kota Lam-tiong.
Sementara itu, Hong-goan Hweshio dan kawan-kawannya agaknya memang ti?dak sempat memikirkan beberapa sikap janggal dari kedua orang berkuda ta?di, meskipun mereka sempat juga se?kilas melihatnya. Kini mereka telah digelisahkan oleh berita yang dika?takan orang-orang berkuda tadi, bahwa pihak Hwe-liong-pang telah bertarung dengan orang-orang dari berbagai per?guruan, itulah yang harus dicegah. Ka?lau tidak, percuma saja pembicaraan?nya dengan Hong-tay hweshio tadi.
Betul juga, tak lama kemudian, di pinggir sebuah hutan, terlihat pertem?puran sengit antara dua kelompok o?rang yang masing-masing berjumlah agak besar. Yang satu pihak adalah orang-orang berseragam hitam yang memakai ikat kepala hitam dan sebagian lagi berikat kepala hijau, sedang pihak la?wannya nampaknya ada tiga golongan yang bersatu-padu menghadapi orang-o?rang Hwe-liong-pang. Dari seragamnya saja dapat diketahui bahwa mereka ada?lah orang-orang Hoa-san-pay yang ber?pakaian kuning, orang-orang Go-bi-pay dengan seragam abu-abunya, dan orang-orang Cong-lam-pay yang berbaju coklat. Jumlah orang-orang dari berbagai per?guruan itu hampir limapuluh orang, se?dang pihak Hwe-liong-pang hanya tiga puluh orang, karena itulah Hwe-liong-pang nampak terdesak, tapi mereka ber?tempur dengan gigihnya.
"Gila!" geram Lu Siong. "Entah akibat adu domba atau apapun, aku ti?dak peduli, tapi kelakuan orang-orang yang menamakan diri pendekar-pendekar aliran lurus itu benar-benar membuat?ku muak! Mereka berkelahi tanpa harga diri, seperti sekumpulan buaya darat saja!"
"Benar, mari kita terjun ke arena!" ajak Oh Yun-kim.
"Jangan terbawa nafsu amarah!" cegah LingThian-ki. "Kita terjun ke gelanggang tidak untuk bertempur, namun untuk mencoba memisahkan dan menda?maikan mereka. Ayo!"
Keempat ekor kuda itu kemudian berderap mendekati gelanggang per?tempuran yang sedang sengit-sengitnya itu. Bahkan nampak ada beberapa sosok tubuh terbaring dan berlumuran darah dari kedua belah pihak. Ketika keempat kuda yang ditunggangi Hong-goan Hwe?shio dan kawan-kawannya itu sudah de?kat, salah seorang yang berseragam coklat, murid Cong-lam-pay, cepat ber?teriak, "Nah, datang lagi segerom?bolan kawan-kawan dari iblis-iblis ini, yang telah membunuh banyak te?man-teman kita di Siong-san dulu! Kita tumpas mereka sekalian!"
Hong-goan Hweshio cepat melompat turun dari kudanya, kemudian sambil mengangkat kedua tangannya ting?gi-tinggi, memperlihatkan bahwa dia tidak membawa senjata sepotongpun, dia berteriak-teriak melerai, "Tahan sen?jata saudara-saudara! Tahan! Dengarkan penjelasanku!"
Tapi salah seorang murid Cong-lam pay telah menyahut seruan itu dengan sengitnya, "Persetan denganmu, bangsat Hwe-liong-pang! Kalian membunuh sauda?ra-saudara kami, dan sekarang menawar?kan perdamaian begitu saja? Enak be?nar!"
Begitulah, setiap kali berbicara, selalu saja orang-orang Cong-lam-pay yang berseragam coklat itu mengingat?kan akan terbunuhnya teman-teman mere?ka, sehingga ucapan itu bagaikan mi?nyak yang disiramkan ke atas api, se?makin membakar kemarahan orang-orang Hoa-san-pay dan Go-bi-pay. Dengan de?mikian sia-sialah usaha Hong-goan Hwe?shio untuk melerai perkelahian itu.
Pada saat itulah, seorang anggauta Hwe-liong-pang yang sudah ber?tempur sejak tadi, dan agaknya sudah mulai lelah, kakinya tersandung akar pepohonan yang mencuat dari tanah. Dia jatuh tertelungkup, pada saat itulah seorang murid Cong-lam-pay dengan ke?bencian yang meluap dan sengaja diper?lihatkan kepada orang-orang lain, te?lah menghunjamkan pedangnya ke pung?gung anggauta Hwe-liong-pang itu. Bu?kan hanya satu kali, tapi bahkan ber?kali-kali sampai tubuh anggauta Hwe-liong-pang yang sudah tewas itupun ma?sih ditusukinya dengan penuh keben?cian, malahan seorang anggauta Cong-lam-pay lainnya ikut mencincang tubuh itu.
Rombongan orang-orang Hoa-san-pay dipimpin oleh seorang adik seperguruan Kiau Bun-han yang bernama Yo Ciong-wan, berjulukan Tui-seng-kian (Pedang Pem?buru Bintang). Yo Ciong-wan ini jadi mengerutkan alisnya ketika melihat ke?lakuan murid-murid Cong-lam-pay yang mencincang tubuh lawan yang sudah tak berdaya itu, sehingga iapun berteriak memperingatkan, "Saudara-saudara dari Cong-lam-pay, harap menahan diri se?dikit !"
Tapi perbuatan murid-murid Cong-lam-pay yang mirip orang biadab itu telah terlanjur membuat amarah Lu Siong dan orang-orang Hwe-liong-pang lainnya yang meledak tak terkendali lagi. "Bajingan!" Lu Siong berteriak menggelegak sambil melompat maju, ke?palan besinya yang terkenal itu segera diayunkan ke arah murid Cong-lam-pay yang masih saja ingin menusuki tubuh lawannya itu.
Terdengar jeritan ngeri, murid Cong-lam-pay itupun terlempar hampir sepuluh langkah dari tempatnya semula, terbanting dengan kepala berlumuran darah, sebab kepalan Lu Siong yang dahsyat itu telah menghancurkan tu?lang dahinya. Tentu saja dia mampus di tempat itu juga. Belum habis kejut?an yang menimpa orang-orang berbagai perguruan itu terdengar jeritan kematian yang kedua. Rupanya Oh Yun-kim yang sama marahnya dengan Lu Siong itupun juga telah mengambil korbannya pula, murid Cong-lam-pay lainnya yang juga ikut mencincang anggauta Hwe-li?ong-pang itu, telah terkapar di tanah dengan dada remuk karena terkena ten?dangan orang Korea itu.
Hong-goan Hweshio mengeluh dalam hati. Kedua pihak agaknya benar-benar sudah kerasukan nafsu membunuh, api kemarahan sudah tak dapat dikendalikan lagi, dan inilah agaknya yang dike?hendaki oleh Te-liong Hiang-cu. Tiba-tiba timbullah kecurigaan Hong-goan Hweshio kepada orang-orang berseragam coklat Cong-lam-pay itu. Benarkah mer?eka murid-murid Cong-lam-pay? Dari ta?di, setiap ucapan dan perbuatan orang-orang berbaju coklat itu cenderung mengobarkan kemarahan teman-temannya sendiri, seakan-akan kuatir kalau te?man-temannya mendengarkan seruan Hong-goan Hweshio untuk berhenti bertempur, dan bahkan kelakuan mereka yang men?cincang seorang anggauta Hwe-liong-pang itu adalah kurang pantas dilakukan oleh seorang murid Cong-lam-pay, yang betapapun adalah sebuah perguruan aliran lurus yang bukan hanya mengajarkan ilmu silat, tapi juga membentuk budi pekerti murid-muridnya.
Apalagi setelah melihat cara orang-orang berbaju coklat itu bertem?pur, kecurigaan Hong-goan Hweshio se?makin menebal. Orang-orang itu memang bersenjata pedang, seperti murid-murid Cong-lam-pay umumnya, namun caranya menggerakkan pedangnya itulah yang sangat kasar, tidak mirip dengan ilmu pedang Cong-lam-pay yang terkenal kelincahannya itu. Tapi harus diakui bahwa dalam kekasarannya, orang-orang berbaju coklat itu memang cukup berba?haya.
Sayang, pengamatan Hong-goan Hwe-shio itu tidak akan bisa digunakan un?tuk melerai pertempuran. Andaikata ke?dua pihak sadar bahwa mereka telah diadu-domba, namun kemarahan yang sudah menguasai pikiran mereka telah mengeruhkan pula pikiran mereka. Apa?lagi ketika kemudian terdengar seo?rang murid Go-bi-pay menjerit, perut?nya telah tertembus tombak seorang anggauta Hwe-liong-pang. Di sisi lain, seorang murid Cong-lam-pay terpenggal kepalanya oleh Auyang Siau-pa yang ru?panya memimpin rombongan orang-orang Hwe-liong-pang itu. Korban telah ber?jatuhan, permusuhan sudah semakin ta?jam.
"Terlambat," desis Hong-goan Hwe?shio. "Kita telah terperangkap oleh siasat licik Te-liong Hiang-cu."
Ling Thian-ki yang berdiri termangu-mangu di sampingnya itupun meng?geram penuh penyesalan, "Orang-orang yang mengaku dirinya pendekar-pendekar itu benar-benar orang-orang tolol yang tidak dapat berpikir panjang."
"Bukan begitu, saudara Ling, ta?pi kita semua dan orang-orang berba?gai perguruan itu sama tololnya," sa?hut Hong-goan Hweshio sambil menye?ringai kecut. "Ya, sama tololnya."
"Dan sekarang kita harus bagaimana?"
Sahut Hong-goan hweshio, "Aku pu?nya dugaan keras bahwa orang-orang yang berseragam coklat itu, adalah o?rang-orang Cong-lam-pay palsu. Kemung?kinan besar mereka adalah anak buah si keparat Te-liong Hiang-cu itu. Ki?ta harus menangkap mereka dan memaksa mereka berbicara, barangkali saja pengakuan mereka akan bisa meredakan kemarahan kedua belah pihak."
"Kalau begitu, ayo segera kita kerjakan."
Serempak Hong-goan Hweshio dan Ling Thian-ki melompat menerjang ke arah kerumunan orang-orang yang se?dang bertempur itu. Sasaran mereka adalah khusus orang-orang berbaju coklat itu. Namun apa daya, kedua belah pihak sudah terlanjur diselubungi oleh kabut kecurigaan yang tebal, se?hingga gerakan yang bagaimanapun ke?cilnya dari satu pihak, akan segera ditanggapi dengan sikap bermusuhan oleh pihak lawannya. Begitu pula tin?dakan Hong-goan Hweshio serta Ling Thi?an-ki itu mendapat tanggapan bermusuh?an dari pihak kaum pendekar.
Tokoh Hoa-san-pay, Tui-seng-kiam Yo Ciong-wan, yang sebetulnya sedang bertempur melawan Hek-ki-tong-cu (Pe?mimpin Kelompok Bendera Hitam) Kwa Teng-siong, sempat pula melihat ter?junnya Hong-goan Hweshio dan Ling Thian-ki ke tengah gelanggang. Melihat cara melompatnya kedua orang itu, Yo Ciong-wan segera tahu bahwa kedua la?wan baru itu berilmu cukup tinggi, apabila tidak segera mendapatkan lawan yang seimbang mereka berdua akan ma?lang-melintang dan membabat murid-mu?rid golongan lurus semudah orang mene?bas ilalang. Demikian pikiran Yo Ciong wan yang diselubungi dengan kecuriga?an.
Karena itu Yo Ciong-wan tidak akan membiarkan kedua tokoh Hwe-liong-pang itu malang-melintang sesukanya membabati murid-murid berbagai pergu?ruan itu. Betapapun tidak senangnya Yo Ciong-wan melihat keganasan orang-orang Cong-lam-pay tadi, toh Cong-lam-pay tetap sekutu Hoa-san-pay dalam mengha?dapi Hwe-liong-pang, dan tidak boleh dibiarkan sendirian menghadapi ke?sulitan. Karena itu, cepat-cepat ia melancarkan tiga jurus pedang secara beruntun In-liong-sam-hian (Naga mun?cul Tiga Kali) untuk mendesak Kwa Teng siong. Hek-ki-tong-cu yang senjatanya memang pendek, dan ilmunyapun kalah selapis dari tokoh Hoa-san-pay itu, seketika itu terdesak mundur. Pada sa?at itulah Yo Ciong-wan berteriak ke?pada seorang tokoh Hoa-san-pay lainnya yang bertempur di dekatnya, "Lim Su-te (adik seperguruan she Lim), la?yani dulu orang ini. Aku akan mencoba membendung si rahib jenggot kuning serta si muka monyet itu!"
Orang yang dipanggil Lim Su-te itu segera melompat menggantikan kedu?dukan Yo Ciong-wan untuk melawan Kwa Teng-siong, sambil berseru kepada ka?kak seperguruannya, "Serahkan kepada?ku, Su-heng, tapi hati-hatilah dengan si rahib jenggot kuning dan si muka monyet itu! Mereka nampaknya cukup tangguh!"
Waktu itu, Hong-goan Hweshio yang bertangan kosong, karena senjatanya memang sengaja tidak dibawa ketika me?nemui Hong-tay Hweshio, telah berhasil mendesak seorang murid Cong-lam-pay yang bersenjata pedang, meskipun mu?rid Cong-lam-pay itu nampaknya cukup ulet juga. Maksud Hong-goan Hweshio ingin menangkapnya hidup-hidup dan memaksanya berbicara, siapa yang menyu?ruh mereka menyamar sebagai murid-mu?rid Cong-lam-pay. Dan rahib suku Hui itu hampir saja berhasil meringkus mu?suhnya, ketika tiba-tiba sebuah ujung pedang menyelonong ke depan hidung?nya, disertai bentakan seseorang, "Bangsat Hwe-liong-pang, jangan meng?ganas !"
Hong-goan Hweshio dengan terke?jut melompat mundur sambil mengebas?kan lengan jubahnya. Tapi Yo Ciong-wan yang berjuluk Pedang Pemburu Bintang itu tidak berhenti pada tusukan perta?ma. Hong-goan Hweshio melompat mundur, diapun melompat maju dan tikaman ke?dua dengan gerakan Liu-sing-kan-goat (Bintang Beralih Mengejar Rembulan), ujung pedangnya seolah-olah menjadi kabur karena cepatnya, sekaligus meng?incar beberapa buah jalan darah di se?kitar dada dan rusuk.
"Bagus ! Hoa-san-kiam-hoat yang hebat!" teriak Hong-goan Hweshio memu?ji, tapi juga penasaran karena la?wannya agaknya ingin merobohkannya ce?pat-cepat. Tapi kali ini Hong-goan Hweshio sudah siap menghadapi se?rangan lawannya, lebih dulu ia menghin?dari tusukan itu dengan siasat Sip-hiong-kiau-hoan-kun (Menarik Dada, Berputar Balik di Tengah Udara). Kemudian begitu sepasang kakinya menjejak tanah, dia langsung merendahkan badan?nya dan telapak tangannyapun langsung menggempur dengan Liong-bun-sam-tiap-long (Tiga Gelombang Menggempur Pintu Naga). Menghindar dan membalas menye?rang dilakukan hampir bersamaan, ham?pir tanpa ada selisih waktu sedikit-pun, dan kejap berikutnya gelombang pukulan yang dahsyat balik melanda ke arah Yo Ciong-wan.
Tokoh Hoa-san-pay itu terkejut. Sesuai dengan julukannya, dia adalah seorang ahli memainkan pedang, seba?liknya dalam urusan tenaga dalam ia merasa lebih lemah dari "rahib jeng?got Kuning" itu. Karena itu ia tidak berani membentur langsung serangan itu, melainkan melompat ke samping dan kemudian menyerang pula dengan il?mu pedang Hoa-san-kiam-hoat-nya seca?ra bertubi-tubi, untuk mencoba memaks?akan suatu jarak pertarungan yang ha?nya menguntungkan bagi pedangnya tapi tidak menguntungkan bagi lawannya.
Tetapi Hong-goan Hweshiopun bukan anak kemarin sore dalam urusan ilmu si?lat. Tentu saja ia ingin bergerak dan bertempur dalam iramanya sendiri, bu?kan mengikuti irama yang diingini mu?suhnya. Tanpa menunggu musuhnya datang mendekat, dia telah memutar tubuh dan memainkan ilmu pukulan Tay-lek-kim-kong-ciang (Pukulan Malaikat Bertenaga Raksasa) dari Siau-lim-pay yang hebat. Dalam sekejap saja beberapa kaki di se?kitar dirinya telah berjangkit angin pukulan yang hebat, bergemuruhlah ke segala arah, karena kekuatan pukulan?nya.
Begitulah kedua tokoh itu telah bertarung. Hoa-san-kiam-hoat melawan Tay-lek-kiam-kong-ciang, pedang lawan telapak tangan. Namun agaknya Yo Ciong wan harus mengakui kenyataan bahwa la?pisan ilmunya masih ada beberapa ting?kat di bawah lapisan ilmu lawannya. Meskipun ujung pedangnya masih juga me?nyambar-nyambar lawannya dengan berba?haya, terutama mengincar jalan-jalan darah penting, namun Yo Ciong-wan mera?sa napasnya sesak karena tekanan hawa pukulan lawan di sekitar tubuhnya yang seakan-akan menghimpitnya dari segala arah, tidak memberinya keleluasaan ber?gerak. Agaknya pematangan ilmu pedang Yo Ciong-wan kurang diimbangi dengan pematangan dalamnya.
Jumlah orang-orang dari berbagai perguruan yang memusuhi Hwe-liong-pang itu memang lebih banyak dari orang-orang Hwe-liong-pang, karena itu di be?berapa bagian nampak pertempuran yang berat sebelah, di mana seorang ang?gauta Hwe-liong-pang harus melawan dua-atau tiga orang lawan sekaligus. Namun di antara orang-orang Hwe-liong-pang itu biarpun lebih sedikit nampak beberapa orang-orang berilmu tinggi yang sedikit banyak terasa pengaruh?nya bagi keseimbangan pertempuran. Yang paling menonjol tentu saja Hong-goan Hweshio serta Ling Thian-ki, ke?mudian masih ada pula Auyang Siau-pa dengan golok bulan sabitnya yang ber?putaran dengan garangnya, di samping wakil Auyang Siau-pa yang bernama Yu Ling-hua yang bersenjata sepasang Gun-goa-pay (Perisai Berpinggiran Tajam) yang sangat tangkas memainkan senjata?nya itu, lalu masih ada Kwa Teng-siong yang berjuluk Ya-hui-miao (Si Kucing Terbang Malam) yang begitu ge?sit, didampingi oleh wakilnya yang ti?dak gesit namun memiliki pukulan maut Tiat-se-ciang (Pukulan Pasir Besi), yaitu Cu Keng-wan. Sedang Lu Siong dengan kepalan mautnya serta Oh Yun? kim dengan tendangan geledeknya juga tidak dapat diabaikan.
Di pihak murid-murid berbagai perguruan, yang kelihatan paling li?hai hanya tiga orang, yaitu Yo Ciong-wan sendiri, adik seperguruannya yang bernama Lim Sin yang tengah sibuk bertempur dengan Kwa Teng-siong, serta seorang Hweshio Go-bi-pay yang bersen?jata toya perunggu yang berat, yang saat itu tengah dihadapi oleh Cu Keng-wan dan Yu Ling-hoa. Hweshio Go-bi-pay itu memang kelihatan tangguh, toyanya yang berat itu diputar-putar dengan cepatnya bagaikan orang memutar sepo?tong kayu kering saja, sehingga untuk membendung tandang si banteng Go-bi-pay ini pihak Hwe-liong-pang harus menggabungkan tenaga dari Hek-ki-hu-tong-cu (Wakil Kepala Kelompok Ben?dera Hitam) dan Jing-ki-hu-tong-cu (Wakil Kepala Kelompok Bendera Hijau) mereka, baru dapat mengimbanginya.
Di samping ketiga jago utama di pihak perguruan lurus itu, masih ada beberapa jago muda yang meskipun tidak setangguh angkatan-tuanya, tapi kelihatan cukup berbakat juga dan ha?rus diperhitungkan dalam perimbangan kekuatan secara menyeluruh. Tiga di antaranya jago-jago muda berbakat itu harus bergabung untuk dapat mengim?bangi SI Lutung Sakti Berlengan Seribu, Ling Thian-ki, yang bertampang monyet itu. Sedang rekan-rekan mereka yang lain-lainnya terpencar-pencar untuk menghadapi Auyang Siau-pa, Oh Yun-kim dan Lu Siong.
Dalam beberapa bulan terakhir itu, pada saat keadaan menegang antara berbagai pihak, para Pemimpin Ke?lompok di Hwe-liong-pang telah memper?giat ilmunya masing-masing, bahkan merekapun saling melengkapi dan saling tukar menukar ilmu andalan mereka, sehingga ilmu silat mereka maju dengan pesat. Hal itu tidak sia-sia dan nam?pak gunanya dalam pertempuran kali ini. Para Tong-cu itu nampak sangat lihai, bahkan hampir setingkat dengan Hong-goan Hweshio dan Ling Thian-ki yang merupakan tokoh-tokoh tua. Misal?nya saja Kwa Teng-siong, jika beber?apa bulan yang lalu ia disuruh bertem?pur melawan Lim Sin, tokoh angkatan tua Hoa-san-pay, bahkan adik sepergu?ruan Ketua Hoa-san-pay sendiri, tentu Kwa Teng-siong akan kalah meskipun da?lam waktu agak lama, namun kini ter?nyatalah bahwa hasil latihannya yang sangat berat dalam beberapa bulan ter?akhir ini telah membuahkan peningkat?an ilmu yang membanggakan. Tidak per?cuma Kwa Teng-siong setiap pagi mela?tih kelincahannya dengan cara berlari-lari di lereng-lereng terjal Tiau-im-hong, kemudian meningkatkan kelentur?an badannya dengan melipat-lipat tu?buhnya sendiri ke segala arah, atau berlompatan dan bergelantungan di da?han-dahan pohon, dan sore harinya ia berjam-jam melatih dan mematangkan ju?rus-jurus silatnya. Dan kini ia menik?mati hasilnya. Dengan semangat berko?bar ia mainkan sepasang senjatanya un?tuk mengimbangi permainan silat tokoh nomor tiga dari Hoa-san-pay, perguru?an terkenal di wilayah barat itu.
Sedangkan Lim Sin menjadi benar-benar penasaran, dia memang tidak se?tenar kedua kakak seperguruannya, Pat-hong-kiam-kong Kiau Bun-han ataupun Tui-seng-kiam Yo Ciong-wan, namun Lim Sin memiliki keyakinan juga bahwa dirinya sendiri bukanlah keroco dunia persilatan yang tak berarti, bahkan di Hoa-san-pay sendiri dia merupakan tokoh nomor tiga. Tak terduga hari ini dia harus bertempur seimbang mela?wan seorang tokoh tak terkenal sama sekali, yang tidak keruan asal-usulnya bahkan cara bertempurnyapun mirip kucing liar yang sebentar-sebentar diba?rengi suara mengeong pula....
"Edan, bangsat, entah dari mana datangnya siluman kucing ini, dia mam?pu mengimbangi ilmuku," gerutu Lim Sin dalam hatinya. "Agaknya selama ini aku menilai diriku sendiri terlalu tinggi. Jika pulang ke Hoa-san kelak, aku harus berlatih lebih keras lagi."
Yang tidak kalah kecewanya ada?lah Tui-seng-kiam Yo Ciong-wan, tokoh yang di Hoa-san-pay hanya berada se?tingkat di bawah Kiau Bun-han itu. Se?lama ini ia merasa kedudukannya cukup tinggi, meskipun tidak termasuk dalam "Sepuluh Tokoh Sakti" paling tidak ya hanya selapis di bawah ke sepuluh tokoh itu. Namun sekarang ia ter?bentur kenyataan bahwa seorang rahib suku asing yang sama sekali belum dikenal namanya itu bukan saja mampu melawannya, malahan mampu mendesaknya dan terus menerus menghimpitnya dengan angin pukulannya yang dahsyat dan me?nyesakkan pernapasan. Bahkan ilmu pe?dang yang dibangga-banggakan itu ba?gaikan ditekan, dikurung dalam sebuah ruangan tak terlihat, semakin lama ge?rakannya semakin alot.
Lebih mengherankan lagi ialah ke?tika Yo Ciong-wan melihat lawannya me?mainkan ilmu silat aliran Siau-lim yang matang dan mahir. Pikirnya, "Gila, agaknya di Hwe-liong-pang banyak ber?kumpul jago-jago tangguh dari perbagai perguruan yang telah murtad, dan terbius oleh pesona orang yang menama?kan diri Hwe-liong Pang-cu itu. Si jenggot kuning ini rupanya seorang murid murtad dari Siau-lim-pay. Sedangi si bangsat gila yang bersenjata sepa?sang Gun-goan-pai itu (maksudnya Yu Ling-hoa), agaknya adalah murid murtad Kong-tong-pay. Moga-moga tidak ada murid-murid Hoa-san-pay yang menjadi anggauta gerombolan iblis ini."
Sambil berpikir macam-macam, Yo Ciong-wanpun semakin terbenam dalam kesulitannya. Untunglah bahwa agaknya Hong-goan Hweshio tidak bermaksud membunuhnya, namun hanya melumpuhkannya hidup-hidup. Jika Hong-goan Hweshio bermaksud jahat, agaknya sudah dari ta?di Yo Ciong-wan akan terkapar sebagai mayat.
Pada saat Yo Ciong-wan semakin terdesak itu, tiba-tiba seorang pemu?da berbaju kuning, seragam resmi murid murid Hoa-san-pay, melompat ke dekat gelanggang sambil berseru kepada Yo Ciong-wan, "Su-siok (paman guru), maaf, melawan orang berilmu iblis ini agaknya kita tidak perlu lagi memakai aturan dunia persilatan. Bagaimana ka?lau aku membantu mempercepat penyele?saian?"
Anak muda itu memiliki ilmu silat yang tidak jelek pula, dia adalah seo?rang pendekar angkatan muda kebangga?an Hoa-san-pay, bernama Auyang Seng dan di dunia persilatan telah agak dikenal pula dengan julukan Gin-hoa-Kiam (Pedang Bunga Perak), meskipun belum setenar paman-paman gurunya.
Harga diri Yo Ciong-wan agak ter?sentuh juga mendengar tawaran bantuan dari murid Su-hengnya itu, namun ia mengerti bahwa Auyang Seng bermaksud baik dan sama sekali tidak sedang me?nyindirnya, hanya menguatirkan kesela?matannya. Yo Ciong-wan juga tahu bahwa kedudukannya yang terdesak itu su?dah terlihat oleh orang lain, tidak ada gunanya ditutup-tutupi lagi. Namun sambil bertempur dia masih juga pura-pura bertanya kepada keponakan murid?nya itu, "Bagaimana dengan lawan-la?wannya sendiri?"
"Sudah ada yang melayani mereka."
"Baik," sahut Yo Ciong-wan dengan hati berat. "Aku mengakui terus te?rang bahwa si keledai gundul ini agak?nya memang berilmu lebih tinggi dari aku, agaknya dia seorang pelarian da?ri Kuil Siau-lim dari tingkatan yang cukup tinggi. Dia berbahaya jika di?biarkan hidup terus, kita harus mem?basminya."
"Baik, Su-siok!"
Kemudian dengan menjulurkan pe?dangnya, Auyang Sengpun melompat masuk ke tengah gelanggang, langsung melancarkan jurus Jit-seng-cip-hwe (Tujuh Bintang Bersatu-padu). Meskipun muda usianya, namun cukup matang la?tihan silatnya, sehingga gerakannyapun nampak cepat dan mantap, pegangannya atas gagang pedangnya tak bergoyang sedikitpun, sementara pergelangan tangannya yang lentur dan terlatih ku?at itu sanggup menggerakkan ujung pe?dangnya dalam perubahan-perubahan yang rumit. Melihat hal ini, diam-diam tim?bul juga rasa kagum Hong-goan Hweshio kepada pendekar muda ini.
Demikianlah, kini pertempuran berlangsung satu lawan dua. Hong-goan Hweshio harus lebih banyak lagi menge?rahkan kepandaiannya, sebab Auyang Seng benar-benar seorang anak muda yang tangkas dan menguasai baik-baik ilmu pedangnya. Tetapi untuk mendesak rahib suku Hui itu, agaknya paman dan keponakan-muridnya itu masih bermimpi di siang hari bolong.
Sementara itu, matahari sudah ki?an condong ke sebelah barat, namun pertempuran di pinggir hutan itu be?lum juga selesai. Kedua belah pihak sudah kehilangan beberapa orang teman, yang luka-luka atau yang tewas, dan tidak jarang kedua pihak melakukan perbuatan seperti yang dilakukan oleh kaum sesat untuk melampiaskan kebenci?an dan kemarahannya, misalnya membacoki atau menusuk-nusuk berulang kali tubuh lawan yang sudah tidak berdaya, memenggal kepala dan sebagainya. Pi?hak Hwe-liong-pang yang merasa berang karena salah seorang kawan mereka ta?di diperlakukan demikian oleh orang-o?rang berbaju coklat itu lalu membalas memperlakukan hal yang sama kepada pi?hak Hoa-san-pay, Go-bi-pay dan Cong-lam-pay. Kemudian orang pihak ke tiga perguruan itupun membalas lebih hebat, lalu Hwe-liong-pang membalas lebih he?bat lagi, begitu seterusnya. Nafsu ha?us darah yang memuakkan telah menyelu?bungi gelanggang pertempuran. Orang-orang yang bertempur semakin lelah, ta?pi justru semakin bernafsu mengayun?kan senjata mereka, tak ubahnya bina?tang buas yang tak berperadaban sama sekali. Dengan begitu, agaknya segala kemungkinan untuk mendamaikan kedua belah pihak telah tertutup sama se?kali. Satu-satunya penyelesaian seka?rang adalah menumpahkan darah lawan!
Sambil bertempur, Hong-goan Hwe?shio dan Ling Thian-ki juga merasakan dendam kebencian yang menguasai gelanggang itu, dan diam-diam kedua tokoh Hwe-liong-pang itu merasa priha?tin. Mereka sadar bahwa mereka benar-benar telah terperangkap oleh pihak Te-liong Hiang-cu yang mengirimkan orang-orang Cong-lam-pay gadungan yang hanya memanaskan suasana saja itu. Ki?ni Hwe-liong-pang dan kaum pendekar berbagai perguruan benar-benar akan bertempur mati-matian, hancur bersama, dan kemudian Te-liong Hiang-cu serta pengikut-pengikutnyalah yang akan ber?jaya, menumpas habis kedua pihak yang sama-sama sudah remuk. Kedua orang itu lebih menyesal lagi ketika melihat keempat Tong-cu, Auyang Siau-pa, Oh Yun-kim, Kwa Teng-siong dan Lu Siong, agaknya juga tidak dapat mengenda?likan diri lagi dan membiarkan diri mereka bertempur dengan dikuasai kemarahan. Sikap keempat orang Tong-cu itu membuat anggauta-anggauta Hwe-li?ong-pang yang rendahan jadi bersikap serupa.
"Dasar anak-anak muda," keluh Hong-goan Hweshio dalam hati.
Kegelapan malam kemudian turun menyelubungi bumi, pertempuran belum berhenti, namun jumlah kedua belah pi?hak sudah menyusut sampai separo. Pa?da saat itulah mendadak dari arah se?latan terdengar suara derap kaki kuda yang riuh rendah, terlihat pula berpu?luh-puluh obor sedang bergerak ke arah gelanggang pertempuran. Dilihat dari jumlah obor dan suara derap kaki kuda, maka rombongan pendatang itu agaknya berjumlah duapuluh lima orang lebih. Jumlah yang cukup untuk menggo?yahkan keseimbangan pertempuran di pinggir hutan itu. Jika yang datang itu orang-orang dari berbagai perguru?an, maka pihak Hwe-liong-pang akan ha?bis tertumpas, sebaliknya jika yang datang itu adalah orang-orang Hwe-li?ong-pang, maka orang-orang Hoa-san-pay, Go-bi-pay dan Cong-lam-paylah yang akan bernasib buruk.
Karena itu, betapapun kemarahan menggelegak di jantung kedua belah pi?hak, mereka tertarik juga perhatian?nya kepada rombongan orang berkuda da?ri selatan itu. Bahkan Hong-goan Hwe?shio dan Ling Thian-ki mengharap keda?tangan orang-orang berkuda itu, entah bagaimana caranya akan meredakan per?musuhan kedua belah pihak, meskipun harapan itu tipis sekali.
Dan kemudian harapan kedua tokoh Hwe-liong-pang yang mendambakan perda?maian itu telah buyar, bagaikan asap terhembus angin. Sebab terdengar sa?lah seorang anak buah Hwe-liong-pang telah bersorak gembira, "Hee, yang da?tang itu adalah kawan-kawan kita dari Ui-ki-tong dan Ang-ki-tong, di bawah pimpinan Tong-cu Kwa Heng dan Ji Tiat."
Kedatangan bala bantuan bagi Hwe-liong-pang, itu segera mengobarkan se?mangat tempur orang-orang Hwe-liong-pang yang sebenarnya telah kelelahan itu. Sebaliknya buat orang-orang Hoa-san-pay dan rombongannya, berita itu ibarat berdentangnya lonceng kematian buat mereka. Orang-orang berseragam coklat yang mengaku sebagai orang-orang Cong-lam-pay itu, dan yang telah ber?hasil memancing benturan antara pihak pendekar dengan pihak Hwe-liong-pang, segera mulai saling bertukar isyarat di antara mereka sendiri. Kemudian, dengan liciknya mereka lebih dulu me?ninggalkan medan tempur, menyusup ke dalam hutan-hutan yang mulai disaputi malam kelam.
Kisah Para Pendekar Pulau Es 21 Roro Centil 10 Orang-orang Lembah Terkutuk Sang Alkemis 1
^