Pencarian

Perserikatan Naga Api 17

Perserikatan Naga Api Karya Stevanus Sp Bagian 17


Sebelum Wi-siang menyahut, Siangko?an Hong telah menimbrung lebih dulu, "aku agak kurang setuju. Hal itu menjadikan kita seolah-olah pengemis yang ketakutan dan mengemis belas ka?sihan dari kawanan keledai gundul itu. Andaikata mereka menerima permintaan kita, tentu merekapun akan bersikap memandang rendah kepada kita!"
Namun pendapat Wi-siang berbeda dengan pendapat Siangkoan Hong, "Kuki?ra usul A-pin itu cukup cermat. Kita mengirim utusan untuk menemui Hong-tay Hweshio bukan berarti kita takut dan minta ampun, namun hanya usaha untuk menghindari pertumpahan darah yang tidak ada gunanya. Sebab jika per?tempuran antara Hwe-liong-pang kita dengan kaum pendekar itu benar mele?tus, maka yang rugi adalah kedua pihak juga, sedang Tan Goan-ciau juga yang mengeruk keuntungan."
-o0^DwKz-Hendra^0o- Jilid 32 SIANGKOAN HONG tidak menyahut la?gi, sementara Tong Wi-siang telah ber?kata lebih lanjut, "aku kira, yang pantas untuk dijadikan utusan untuk menemui Hong-tay Hweshio adalah Hong-goan Hweshio serta In Yong atau Kwa Heng. Mereka termasuk orang-orang bi?jaksana yang berpikiran panjang, kita boleh mengharap banyak dari perunding?an mereka. Apalagi Hong-goan Hweshio adalah bekas orang Siau-lim-pay pula, sehingga kita harapkan bahwa hubungan lama itu akan dapat mempengaruhi Hong-tay Hweshio agar tidak melanjutkan ge?rakannya."
"Tepat sekali," sahut Lim Hong-pin. "Waktu sangat berharga sekarang ini. Karena itu, A-siang, sebaiknya utusan-utusan itu segera kau tunjuk dan kau suruh berangkat secepatnya."
Demikianlah, Hong-goan Hweshio untuk menemui Hong-tay Hweshio. Sebe?narnya Hong-goan Hweshio agak sungkan juga untuk menemui Hong-tay Hweshio, sebab rahib tua Siau-lim-pay itu ada?lah bekas kakak seperguruannya, se?dangkan Hong-goan Hweshio pernah meng?hilang dari kalangan Siau-lim-pay tan?pa pamit. Namun mengingat bahwa perun?dingan itu mungkin akan menyelamatkan ratusan nyawa yang bakal tewas oleh siasat adu-domba Tan Goan-ciau itu, maka Hong-goan Hweshio membulatkan te?kad untuk berangkat juga.
Sementara ketiga utusan itu menjalankan tugasnya, maka seluruh anggauta Hwe-liong-pang, dari Ketuanya sampai anggauta paling bawah te?rus giat mempertinggi kemampuan ilmu?nya masing-masing. Mereka semuanya sa?dar bahwa di tengah suasana kisruh itu maka kemampuan ilmu silat akan ikut berperan, meskipun perkelahian adalah bukan jalan satu-satunya. Berita tentang sedang menyerbunya kaum pende?kar, begitu pula berita tentang pembe?rontakan Li Cu-seng yang semakin be?rani, telah mengobarkan semangat selu?ruh anggauta Hwe-liong-pang untuk ber?latih sebaik-baiknya.
Oh Yun-kim dan Lu Siong nampak sering berlatih bersama-sama. Yang sa?tu berjulukan Bu-ing-tui (Tendangan Tanpa Bayangan) karena sangat lihai ilmu tendangannya, sedang yang lain?nya berjuluk Jian-kin-sin-kun (Tinju Malaikat Seribu Kati) karena kedahsyatan ilmu pukulannya. Satu tendangan, satu pukulan. Maka keduanyapun membuat persetujuan untuk saling bertukar il?mu andalannya masing-masing, sehingga Oh Yun-kim akan melengkapi ilmunya dengan ilmu pukulan, sebaliknya Lu Siong juga akan berusaha bisa menend?ang sebaik Oh Yun-kim. Namun keduanya sadar bahwa dalam waktu singkat tentu sulit untuk mencapai kemahiran yang setaraf dengan pemilik ilmu aslinya, tapi yang penting adalah tekad dan kemauan mereka untuk meningkat.
Oh Yun-kim adalah seorang bangsa Korea. Di negeri Korea ada semacam il?mu silat yang sudah berusia ratusan tahun, yang dengan bahasa setempat disebut "Tae-kyun", sedangkan kaum persilatan di Tiong-kok menyebutnya "tong-jiu-tao (Seni Tangan Dari Timur). Meskipun disebut "Seni Tangan", tapi pada hakekatnya silat Korea itu ham?pir tidak menggunakan tangan, namun seluruh gerakannya selalu menggunakan kaki, baik untuk menangkis, menepis, melompat maupun menendang, sehingga "Tae-kyun" ini jadi agak mirip dengan Lian-hoa-tui (Tendangan Berantai) da?ri Bu-tong-pay. Oh Yun-kim sudah le?bih dari sepuluh tahun meninggalkan negerinya dan berkelana mengamalkan ilmunya di daratan Tiong-goan, selama pengembaraannya itu dia tidak sedikit telah menambah dan menyempurnakan il?mu tendangannya, bahkan kemudian oleh kaum persilatan di Tiong-goan dia dibe?ri julukan Bu-ing-tui, menandakan penghargaan orang terhadap kelihaian kakinya. Akhirnya Oh Yun-kim merasa senang hidup di daratan Tiong-goan yang luas itu dan telah menganggapnya sebagai tanah airnya yang baru.
Untuk menguasai ilmu tendangan Oh Yun-kim itu, lebih dulu Lu Siong ha?rus melemaskan seluruh tubuhnya, selu?ruh persendian badannya, sebab ilmu tendangan Korea ini kaya dengan per?gantian tendangan tanpa berubah pijakan, sehingga kelentukan pinggul dan kelemasan kaki mutlak diperlukan. Untuk itu, Oh Yun-kim telah menyusun "menu latihan" bagi "murid"nya itu, yang harus dijalani oleh Lu Siong se?tiap harinya. Antara lain Lu Siong diharuskan merentangkan kakinya se?hingga kedua kaki itu bersambung dan berbentuk garis lurus, melakukan ge?rakan-gerakan pelemasan pinggang yang terasa sangat menyengsarakan bagi Lu Siong yang bertubuh kaku itu. Kadang-kadang Lu Siong menggerutu juga, na?mun Oh Yun-kim hanya menanggapinya de?ngan tersenyum.
"Seperti monyet kepanasan", Lu Siong ketika sedang berlatih memutar-mutar pinggul dan pinggangnya.
Oh Yun-kim tertawa dan menyahut, "Kelentukan pinggul kita perlukan, su?paya sewaktu kita melakukan tendangan kita dapat melakukan dengan cepat dan tidak terbaca oleh lawan. Jika kita berpinggul kaku, maka lawan akan dapat membaca gerak tendangan kita. Baru kita mengangkat kaki sedikit, maka la?wan sudah tahu arah tendangannya se?hingga dapat menangkis atau mengelak?nya. Sebaliknya, jika pinggul kita cu?kup lemas, tendangan kitapun akan se?cepat kilat, lawan tidak akan sempat menangkis atau mengelak tendangan ki?ta. Itulah sebabnya aku dijuluki Ten?dangan Tanpa Bayangan."
"Aku menyesal berguru kepada orang setakabur kau," kata Lu Siong sambil tertawa pula. Meskipun sambil menggerutu, namun latihannya terus berjalan.
Namun pada saat lainnya, giliran Lu Siong yang jadi guru dan Oh Yun-kim yang jadi muridnya, ternyata latihan-latihan yang diberikan oleh Lu Siong juga sangat berat. Lu Siong berju?lukan "Tinju Malaikat Seribu Kati" dan julukannya itu bukan julukan ko?song belaka, namun benar-benar karena kehebatan tenaga pukulannya. Dasar il?mu silat yang dimiliki oleh Lu Siong sebenarnya adalah ilmu silat yang sangat umum terdapat di Kang-pak, yai?tu ilmu silat yang disingkat dengan sebutan Tam-cap-hoa-hong, terdiri da?ri empat dasar pelajaran, yaitu Tam-cui, Cap-kun, Hoa-kun dan Hong-kun. Begitu sederhananya ilmu silat ini, sehingga setiap bakul jamu di pinggir jalanpun sanggup memainkannya. Namun Lu Siong melatihnya dengan sungguh-sungguh. Pada suatu hari, ia telah me?nolong seorang rahib tua dari kuil Jing-liong-si di Gunung Ngo-tay-san, maka sebagai balas budi, rahib tua itu mengajarkan suatu ilmu pengerahan tenaga yang disebut Tit-siang-kin (Te?naga Melempar Gajah). Dengan landasan Tit-siang-kin inilah maka ilmu pukulan Lu Siong yang sangat sederhana itu te?lah mencapai taraf yang dapat membahayakan lawannya. Dalam pengalaman pengembaraannya di dunia persilatan, tidak jarang Lu Siong dengan "silat bakul jamu"nya itu berhasil mengalah?kan murid-murid pandai dari perguruan-perguruan ternama yang merasa memiliki ilmu tingkat tinggi. Dan akhirnya orangpun mengakui kelebihan Lu Siong, si orang kasar ini, julukannya seba?gai Jian-kin-sin-kun juga mulai terkenal.
"Aku berhasil membuktikan, bahwa ilmu yang sangat sederhanapun jika di?latih dengan sungguh-sungguh akan ti?dak kalah gunanya dengan ilmu-ilmu si?lat yang diberi nama seram-seram atau?pun indah-indah," kata Lu Siong kepa?da Oh Yun-kim dengan nada bangga. "Meskipun demikian, aku mengakui pula bahwa perkembangan ilmu silat kasaran macam kepunyaanku ini, suatu ketika akan terhenti perkembangannya sama sekali. Namun kita tetap dapat menambah-nambahnya lagi, sesuai dengan peng?alaman kita dalam menghadapi lawan yang beraneka ragam, sesuai dengan apa yang kita lihat dan kita pikir. Aku tidak pernah putus-asa tentang hal ini."
Kagum juga Oh Yun-kim melihat sa?habatnya bersemangat begitu tinggi. Semangat tinggi itulah modal yang pa?ling berharga bagi seorang ahli silat, bukan nama besar perguruannya atau na?ma besar gurunya. Hanya bermodalkan "silat bakul jamu"nya, Lu Siong berha?sil menjadi seorang yang sangat dise?gani di seluruh wilayah Siam-say dan An-hui. Pada hakekatnya, dia lebih da?pat dibanggakan daripada murid-murid perguruan terkenal yang hanya pandai jual lagak dan menggunakan nama pergu?ruannya untuk menggertak orang.
Latihan yang dijalani oleh Oh Yun kim untuk memahami dasar Tam-cap-hoa-hong itupun sangat berat, meskipun ujud latihannya sangat sederhana. Ia harus telungkup sejajar tanah, lalu dengan satu tangan secara berganti-gan?ti dia harus mengangkat badannya sen?diri naik turun sampai ratusan kali.
Lalu disusul melakukan gerak pukulan dasar tapi lambat dengan pengerahan tenaga sepenuhnya serta pernapasan yang teratur, sehingga muka Oh Yun-kim sampai merah padam dan otot-otot peli?pisnya menyembul di permukaan kulit. Inipun dilakukan sampai puluhan kali.
Ketika Oh Yun-kim mengakhiri la?tihannya, maka si orang Korea itu te?lah merasakan seluruh pundak, punggung dan pinggangnya pegal bukan main, se?dang kedua tangannya telah gemetar dan hampir-hampir tidak dapat digerakkan sama sekali. Sambil berjalan pu?lang menuju cong-toh, ia menggerutu, "Benar-benar gila, tanganku hampir tidak dapat bergerak."
Lu Siong tertawa, "Itu sebagai imbalan atas penyiksaanmu kepadaku ke?marin sore."
"O, jadi kau tidak bersungguh-sungguh mengajarkan Tam-cap-hoa-hong kepadaku, tapi hanya membalas dendam?" tanya Oh Yun-kim dengan pura-pura ber?sungut-sungut.
Demikianlah kedua sahabat itu bersenda-gurau sehabis latihan.
Bukan hanya Lu Siong dan Oh Yun-kim saja yang berusaha keras untuk me?ningkatkan kemampuannya, tapi juga se?mua Tong-cu dan Hu-tong-cu telah ber?latih keras dengan caranya sendiri sendiri.
Auyang Siau-pa yang pendiam itu kini telah mengalami kemajuan pesat dalam ilmu golok bulan sabitnya. Seti?ap siang hari sehingga sore, dia mela?tih sabetan-sabetan goloknya dengan berendam di dalam air setinggi leher. Melakukan bacokan di dalam air tentu saja terasa berat, namun Auyang Siau-pa telah berhasil melakukannya dengan mantap. Maka ketika ia melakukannya di darat, kepesatan sambaran goloknya berkali lipat dari ketika masih dalam air. Kini, jika ia menggerakkan golok?nya maka yang tampak hanyalah segumpal sinar sinar putih yang melebar ki?an kemari. Ilmu golok Auyang Siau-pa inipun sebenarnya ilmu golok yang se?derhana, seperti juga ilmu pukulan Lu Siong, namun dengan tingkat kecepatan seperti yang dimiliki Auyang Siau-pa saat itu, maka orang yang berani me?mandangnya rendah sama dengan bunuh diri. Ia sudah mencapai taraf "kemana perginya pikirannya, goloknya mengikutinya". Dalam percobaan terakhirnya, Auyang Siau-pa mampu meruntuhkan se?kaligus duabelas ekor lalat yang se?dang terbang hanya dengan beberapa kali sabetan yang kilat!
Di bagian lain dari puncak Tiau-im-hong yang luas sekali itu, tiap ha?ri terdengar bentakan-bentakan keras mengguntur dan suara gemuruhnya pohon-pohon yang sedang tumbang. Ternyata tempat itu adalah tempat yang dipilih oleh Siang-po-kay-san (Sepasang Kampak Pembuka Gunung) Ji Tiat untuk menggem?bleng dirinya. Ia merasa bahwa ja?batan barunya sebagai Ang-ki-tong-cu itu tentu memerlukan kemampuan yang lebih tinggi dari kemampuannya dulu, maka tanpa kenal lelah dia terus ber?latih dengan sepasang kampak bertang?kai pendeknya. Sesuai dengan juluk?annya, dapat ditebak bahwa Ji Tiat adalah seorang ahli silat penganut aliran "keras" (gwe-kang), meskipun bentuk tubuhnya tidak tinggi besar. Dengan latihannya, kini dia mampu me?numbangkan pohon sebesar paha orang hanya dengan sekali bacok. Sedangkan dengan sebuah gerakan berantai dia mampu melancarkan tujuh atau delapan bacokan tanpa berhenti, dengan tenaga yang sama kuatnya pada setiap bacokannya. Jika hal itu diterapkan kepada lawannya, maka sama artinya bahwa sang lawan dipaksa untuk menangkis tu?juh atau delapan kali serangan yang berkekuatan dahsyat itu! Karena be?gitu keras latihannya, maka dalam tem?po belasan hari saja Ji Tiat sudah mengganti senjatanya sampai dua kali! Karena segan kalau harus berkali-kali turun gunung untuk memesan kampak ba?ru kepada tukang besi, maka akhirnya Ji Tiat memesan sepuluh pasang kampak pendek sekaligus.
Tong-cu baru lainnya, Ya-hui-miao Kwa Tin-siong yang unggul dalam hal gin-kang (Ilmu Meringankan Tubuh), juga telah mematangkan ilmu andalan?nya. Dia selalu berlatih lari mengi?tari kaki bukit Tiau-im-hong sampai tiga putaran setiap harinya, dan itu hanya membutuhkan waktu satu sulutan hio (dupa biting), meskipun punggung dan betis Kwa Tin-siong dibebani dengan kantong-kantong pasir. Sedang ilmu silat andalannya yang lain adalah silat gubahannya sendiri yang diberinya nama Ya-miao-sip-pat-sik (Delapanbelas Jurus Kucing Liar). Ilmu si?lat ini digubah setelah ia mengamat-amati gerak-gerik kucing hutan sekian lamanya, maka jurus-jurusnya meru?pakan gabungan dari kecepatan dan gerakan aneh tak terduga, dapat dimain?kan dengan tangan kosong maupun dengan sepasang belati pendeknya. Jika dimainkan dengan tangan kosong, maka gerakannya lebih mengandalkan kekuatan jari-jari tangannya untuk menampar dan mencakar seperti kucing, sedang tubuhnyapun bisa melejit dan melengkung se?enaknya seperti kucing asli. Sedangkan jika ilmu itu dimainkan dengan se?pasang pisau belatinya, maka merupakan jurus-jurus silat untuk bertempur ja?rak sedang yang ampuh, sementara ge?rakan kakinya yang lincah terus berus?aha "menempel" langkah lawannya, se?hingga lawan yang bersenjata lebih panjangpun tidak akan dapat memanfaat?kan kelebihan senjatanya.
Begitulah tokoh-tokoh Hwe-liong-pang itu terus berlatih meningkatkan ilmunya masing-masing. Namun mereka tidak hanya berlatih sendiri-sendiri, melainkan sering pula berlatih bersa?ma-sama dengan bertukar-tukar lawan. Selain untuk menguji kemajuan mereka, juga menjadi "tontonan" anak buah mereka dan dapat membangkitkan semangat para anak buah.
"Kemajuan pesat yang telah kalian capai membuat aku jadi semakin tua," demikian kata Ling Thian-ki pada sua?tu hari, ketika menyaksikan para Tong-cu itu berlatih bersama. Tokoh yang berjuluk Jian-jiu-sin-wan (Lutung Sakti Seribu Tangan) itu diam-diam meni?lai bahwa kemajuan para Tong-cu itu cukup pesat, taraf kepandaian mereka sudah hampir mendekati taraf Ling Thian-ki serta Hong-goan Hweshio.
Pada suatu malam, tiba-tiba dari arah kaki bukit Tiau-im-hong terdengar suara derap kaki kuda yang menuju ke arah cong-toh. Muncullah tiga orang penunggang kuda yang ternyata adalah Hong-goan Hweshio, Hong-lui-siang-to In Yong serta Thi-jiau-tho-wan Kwa Heng, tiga orang yang ditugaskan un?tuk berunding dengan kaum pendekar itu. Wajah mereka nampak berkilat-ki?lat oleh keringat dan debu, begitu pula pakaian mereka yang berlapis debu, namun air muka mereka justru nampak cerah.
Kedatangan kembali ketiga utusan Hwe-liong-pang itu segera menimbulkan harapan bagi Tong Wi-siang dan tokoh-tokoh lainnya. Baru saja Hong-goan Hweshio hendak membuka mulut, Wi-siang telah lebih dulu berkata, "Menilik wa?jah kalian bertiga yang cukup cerah, tentunya kalian membawa berita baik. Namun baiklah, kuberi kalian kesempatan untuk mandi dan makan dulu, se?mentara aku akan mengumpulkan semua Tong-cu dan Hu-tong-cu serta Ling Su-cia untuk bersama-sama mendengarkan laporan kalian."
"Memang cukup menggembirakan, Pang-cu," sahut Hong-goan Hweshio.
Sementara itu, dalam waktu sing?kat delapan orang Tong-cu, Hu-tong-cu dan tokoh-tokoh lainnya telah berkum?pul di sebuah ruangan samping.
Mulailah Hong-goan Hweshio menu?turkan hasil penugasannya, "Usahaku untuk menemui Hong-tay Suheng sebagai pimpinan kaum pendekar, ternyata ber?langsung tanpa menemui banyak kesulit?an. Aku bicara secara panjang lebar kepadanya sehingga hampir mengeringkan ludahku, dan akhirnya aku berha?sil meyakinkan bekas kakak seperguru?anku itu bahwa yang telah menyerbu Siong-san dan menimbulkan banyak korban jiwa itu bukanlah kita, melainkan Ji-liong-pang-cu yang beserta pengikut pengikutnya telah membelot dari perju?angan Hwe-liong-pang yang murni. Un?tung pula bahwa In Tong-cu punya hu?bungan baik dengan Ketua Jing-sia-pay, Hong-lui-kiam-khek (Pendekar Pedang Angin dan Petir) Kongsun Tiau, sehing?ga semakin melancarkan usaha perdamaianku. Akhirnya Hong-tay Suheng ma?lahan mengajak Hwe-liong-pang kita un?tuk bersatu-padu menumpas Te-liong Hiang-cu dan segenap kaki tangannya yang telah dianggap musuh bersama itu."
Ucapan yang terakhir ini segera disambut dengan tepuk tangan dan se?ruan-seruan bersemangat dari para Tong cu dan Hu-tong-cu yang ada di ruangan itu. Dengan ajakan Hong-tay Hweshio itu, berarti secara tidak langsung Hong-tay Hweshio telah mengakui keha?diran Hwe-liong-pang dan bahkan meng?anggapnya kawan seperjuangan. Ucapan yang dikeluarkan oleh seorang tokoh berpengaruh semacam Hong-tay Hweshio tentu saja sangat lain bobotnya jika diucapkan seorang lain yang tidak ter?nama.
Tong Wi-siang, Siangkoan Hong dan Lim Hong-pinpun segera saling bertukar pandangan dengan wajah berseri gembira.
Tengah para pimpinan Hwe-liong-pang itu bergembira, tiba-tiba ter?dengar suara genteng yang terinjak pa?tah, disusul dengan seruan salah seo?rang anak buah Hwe-liong-pang yang menjaga di atas genteng, "Siapa itu?! Berhenti, he, aduh....!"
Hek-ki-tong-cu Kwa Teng-siong yang kebetulan menoleh ke arah jende?la, segera dapat melihat sejosok ba?yangan berkelebat cepat bagaikan bu?rung terbang gesitnya. Teriaknya, "Pang-cu ada orang mencuri dengar pem?bicaraan kita!"
Seruan Kwa Teng-siong itu membuat suasana gembira itu jadi suatu kegem?paran. Bahkan Kwa Teng-siong tidak pi?kir panjang lagi langsung menyusul me?lompat keluar jendela. Di antara de?lapan orang Tong-cu Hwe-liong-pang, memang dialah yang memiliki ilmu meringankan tubuh paling lihai, gerakannyapun gesit mirip seekor kucing.
Tong Wi-siangpun telah menurun?kan perintahnya, "Tutup semua jalan keluar, kalian berpencar untuk meme?riksa semua tempat!"
Pertemuan yang baru diwarnai ke?gembiraan itu segera bubar. Untunglah bahwa para tokoh Hwe-liong-pang itu merupakan orang-orang yang terlatih baik dan berpengalaman, maka mereka tidak menjadi kebingungan, namun cepat berpencaran. Dalam waktu sekejap ma?ta, tidak ada tanah sejengkalpun di cong-toh itu yang lepas dari pengamatan mereka.
Sementara itu, begitu Kwa Teng-siong melompat keluar, matanya yang tajam itu masih sempat melihat sesosok tubuh berkelebat ke atas genteng. Ba?yangan itu memakai pakaian berwarna gelap, di belakang punggungnya memakai selembar mantel yang dibentuk seperti sayap kelelawar, sehingga ketika orang itu melompat maka berkembanglah mantelnya seperti seekor kelelawar raksasa di tengah kegelapan malam.
Tanpa pikir panjang lagi, Kwa Teng-siong segera memburu. Sementara rekan-rekannya dari dalam ruangan te?lah berserabutan keluar, si "kelelawar" itu sudah melesat menuju ke arah kaki bukit, dibayangi oleh Kwa Teng-siong yang memburu dengan tidak kalah cepatnya.
Dalam sekejap mata saja, kedua orang yang saling berkejaran itu te?lah melesat sampai belasan tombak jauhnya. Diam-diam Kwa Teng-siong ter?peranjat juga ketika melihat kelihaian gin-kang dari orang buruannya itu, sebab dengan gin-kang Kwa Teng-siong yang telah maju pesat itu ter?nyata ia tidak berhasil memperpendek jarak dengan buruannya.
Namun Kwa Teng-siong tidak tahu bahwa orang buruannya itupun merasa terkejut bukan main. Dia bukan lain adalah Sip-hiat-hok-mo (Kelelawar Iblis Penghisap Darah) Liong Pek-ji, peng?ikut Te-liong Hiang-cu Tan Goan-ciau yang berkedudukan sebagai Pimpinan Ke?lompok Bendera Kuning itu. Liong Pek ji adalah penganut sejenis ilmu sesat yang disebut Siu-bok-tiang-seng-kang (Ilmu Memperpanjang Umur Dalam Peti Mati) yang dapat menambah kekuatannya. Selain itu, julukannya sebagai "kele?lawar iblis" menandakan bahwa dia ma?hir dalam ilmu meringankan tubuh. Ta?pi kini dia bertemu dengan tanding?annya dalam hal gin-kang sebab beta?papun dia telah mengerahkan tenaganya, Kwa Teng-siong tetap saja membuntuti?nya beberapa langkah di belakangnya.
Akhirnya Liong Pek-ji menjadi ge?mas. Ketika tiba di tempat yang sepi, tiba-tiba Liong Pek-ji menghentikan langkahnya secara mendadak lalu meng?hantam ke belakang dengan secepat ki?lat. Dengan serangan mendadaknya ini dia berharap akan bisa merobohkan orang yang mengejarnya itu.
Tetapi sekali lagi Liong Pek-ji harus dikejutkan oleh ketangkasan pengejarnya itu. Kwa Teng-siong ter?nyata berhasil menghindari hantaman itu dengan gaya Ya-miao-hoan-sin (Kucing Liar Menggeliat). Ia berhasil menghentikan langkahnya secara menda?dak dan menggerakkan pinggangnya yang amat lemas itu untuk melenting ke sam?ping dengan tangkasnya. Gerakan ping?gang secepat dan selemas itu sesungguhnya di kalangan persilatan di Tiong goan tidak banyak orang yang sanggup melakukannya.
Setelah melihat gerakan lawannya itu, Liong Pek-ji segera menggeram sengit, "Bagus sekali, kiranya kau si kucing buduk she Kwa itu. Pantas kau berhasil mengikutiku sekian lamanya."
Sebaliknya Kwa Teng-siongpun langsung dapat mengenal siapa la?wannya itu, "Dan kiranya kau si kele?lawar cengeng yang bertahun-tahun ber?sembunyi dalam peti mati itu. Kita sesama binatang malam, kurang meriahlah rasanya jika pertemuan kita ini tidak diramaikan dengan saling gebrak puluh?an jurus untuk melemaskan otot."
Liong Pek-ji menyeringai seram, di bawah cahaya bintang yang teram temaram di langit, nampaklah sepasang taringnya yang berkilat-kilat di kedua sudut bibirnya. Matanya yang liar dan kemerah-merahan itupun mulai memancar?kan cahaya yang liar pula, sementara geramnya bagaikan suara hantu dari lubang kubur, "Bagus, kuladeni tantanganmu, ingin kulihat sampai dimana ke?majuan pengikut-pengikut Tong Wi-siang yang masih tidak mau menyerah ini. Ji?ka kau mampus ditanganku, kau jangan menyesal, kucing gila."
Dalam kejar mengejar yang merupa?kan adu gin-kang antara kedua orang tadi, tak terasa kedua orang itu su?dah jauh meninggalkan markas Hwe-liong pang di puncak Tiau-im-hong, kini mer?eka sudah berada di kaki puncak, sebu?ah tempat yang sepi dan cocok untuk bertempur tanpa ada yang mengganggu. Itulah sebabnya Liong Pek-ji dengan beraninya telah berhenti dan bahkan menantang Kwa Teng-siong. Apalagi ka?rena si kelelawar hantu itu diam-diam punya perhitungan lain yang cukup li?cik, yaitu dia menantikan kedatangan teman-temannya di tempat itu, dan nan?ti akan diajaknya untuk mengeroyok Kwa Teng-siong. Rupanya ia tidak da?tang menyelidiki markas Hwe-liong-pang itu seorang diri.
Kwa Teng-siong sendiri juga ada?lah seorang lelaki berdarah panas, bi?arpun penampilannya tidak seseram Li?ong Pek-ji, namun keganasannya dalam bertempur agaknya tidak diragukan la?gi. Baru saja Liong Pek-ji menutup mu?lutnya, Kwa Teng-siong telah langsung menyerang dengan sebuah cakaran kilat ke leher lawannya, dan sama cepatnya ia susulkan pula sebuah tendangan ke selangkangan lawan. Sementara menyerang itu ia mengeluarkan pekikan kema?rahan, suaranya persis seperti seekor kucing hutan yang sedang berlaga.
Tidak kalah cepatnya Liong Pek-ji menangkis serangan ke arah lehernya itu sambil melejit ke samping untuk menangkis tendangan lawan, kemudian dengan garangnya membalas dengan ter?kaman ke wajah lawannya. Demikianlah, dalam sekejap saja kedua "binatang ma?lam" itu telah terlibat dalam perta?rungan yang seru.
Setelah keduanya bertarung beber?apa puluh jurus, ternyatalah kedua pi?hak mempunyai gaya bertempur yang mi?rip satu sama lain. Keduanya sama-sama menumpukkan serangan mereka pada gaya yang cepat, ganas dan aneh, dan keduanyapun sama-sama tidak menghindari pertempuran jarak dekat, maka bayang?an tubuh kedua orang itu bagaikan lenyap dan bergulung menjadi satu, dise?lingi serangan maut dari kedua pihak yang mengincar nyawa musuh. Namun la?ma kelamaan Kwa Teng-siong mulai ter?ganggu oleh hawa busuk yang terpancar dari napas lawannya, bau busuk yang mirip dengan bau binatang pemakan da?ging. Agaknya bau itupun merupakan sa?lah satu "senjata" Liong Pek-ji, aki?bat dari kegemarannya menghisap darah manusia hidup itu. Namun demikian, bau busuk itu tidak menjamin kemenang?an Liong Pek-ji, sebab ilmu silat Kwa Teng-siong lebih unggul daripadanya, sehingga dalam kemarahannya justru Kwa Teng-siong telah mengerahkan selu?ruh kekuatannya dan mulai berhasil mendesak Liong Pek-ji selangkah demi selangkah.
"Heh-heh-heh, nama besar Kelela?war Iblis Penghisap Darah yang digem?bar-gemborkan itu ternyata hanya nama kosong belaka, tidak ada isinya apa-a?pa," ejek Kwa Teng-siong sambil terus mendesak. Serangan orang she Kwa itu tidak dikendorkan sedikitpun, sebab ia bermaksud untuk melumpuhkan dan menangkap hidup-hidup salah satu peng?ikut Te-liong Hiang-cu ini untuk di?peras keterangannya. Maka terkaman, tamparan serta tendangan Kwa Teng-si?ong terus deras membanjir, bagaikan gelombang samudera tak henti-hentinya memecah pantai, membuat Liong Pek-ji semakin keripuhan.
Di saat keadaan Liong Pek-ji su?dah ibarat telur di ujung tanduk itu, mendadak dari arah bukit terdengar suitan keras dan nampaklah dua sosok bayangan telah meluncur mendekati tempat pertempuran itu. Dalam keremangan malam, tidak dapat dilihat dengan je?las siapakah yang tengah meluncur da?tang itu, namun salah seorang dari pendatang itu telah memperdengarkan suaranya yang keras dan kasar, "Apakah yang sedang bertempur itu Ui-ki-tong-cu (Pemimpin Kelompok Panji Kuning)?"
Kwa Teng-siong mengira bahwa yang datang itu tentu rekan-rekannya yang mengejar dari markas besar, mes?kipun ada pula setitik keheranan kena?pa rekan-rekannya itu datang, dari ka?ki puncak dan bukannya dari atas? Na?mun Kwa Teng-siong menyahut juga, sam?bil tetap bertempur, "Aku bukan Ui-ki-tong-cu, tetapi Hek-ki-tong-cu (Pemim?pin Kelompok Panji Hitam)! Siapakah di situ?"
Sementara itu, di bawah desakan lawannya, Liong Pek-ji ternyata menja?wab juga, "He, kawan, aku Liong Pek-ji. Saudara Seng dan saudara Ho, tolong kalian bantu aku melepaskan diri dari libatan begundal Tong Wi-siang ini!"
Kini jelaslah bagi Kwa Teng-siong bahwa kedua bayangan yang sedang me?luncur datang itu ternyata adalah pengikut-pengikut Te-liong Hiang-cu, orang yang telah melepaskan diri dari Hwe-liong-pang dan mendirikan kepemim?pinan tandingan itu. Seperti telah diketahui, dalam Hwe-liong pangnya Te-liong Hiang-cu itu kedudukan Liong Pek ji adalah sebagai Pemimpin Kelompok Bendera Kuning. Sedangkan kedua orang yang baru datang dari kaki bukit itu bukan lain adalah rekan-rekan Liong Pek-ji, sesama pengikut Te-liong Hiang cu, yaitu masing-masing adalah Pemim?pin Bendera Biru Seng Cu-bok yang ber?julukan Hwe-tan (Si Peluru Api), ser?ta Ho Tin-siong, itu murid murtad dari Go-bi-pay.
Kwa Teng-siong segera mulai melihat kesulitan yang membayang di depan matanya. Jelaslah bahwa kepandaian?nya sendiri masih belum cukup jika ha?rus meladeni tiga orang lawan tangguh secara bersamaan. Bukannya ia takut mati, tapi ia enggan terjebak dalam kepungan musuh dan mati secara konyol. Karena itu ia cepat-cepat melompat mun?dur, melepaskan diri dari lingkaran per?tempuran, lalu dengan memasukkan jari-jari tangannya ke mulutnya, iapun mem?bunyikan sebuah siulan nyaring yang menggetarkan udara malam di lereng Tiau-im-hong itu.
Si Kelelawar Iblis yang masih me?rasa penasaran karena baru saja dide?sak oleh Kwa Teng-siong itu, rupanya masih merasa penasaran dan ingin mem?balas kekalahannya yang memalukan itu. Karena itu, ketika mendengar suitan Kwa Teng-siong itu, diapun berteriak kepada kedua orang kawannya, "Monyet busuk ini memanggil kawan-kawannya da?tang."
Ketika Te-liong Hiang-cu membentuk Hwe-liong-pang tandingan setelah berhasil membokong Tong Wi-siang, dia memang memperkuat dirinya dengan ja?lan menarik ahli-ahli silat sebanyak mungkin ke dalam barisannya, di anta?ranya tidak sedikit yang merupakan tokoh-tokoh golongan hitam yang sama se?kali tidak mempedulikan tata-krama da?lam pertandingan antara dua pesilat, main keroyokan kalau perlu mereka la?kukan demi mencapai kemenangan. Seruan Liong Pek-ji untuk bersama-sama menge?royok Kwa Teng-siong itu seketika me?reka sambut dengan gembira dan penuh gairah. Seng Cu-bok telah menghunus goloknya dan langsung menerjang la?wannya dengan jurus Long-ki-thian-ge (Ombak Mendampar Cakrawala) yang ber?turut-turut membacok ke leher, dada dan pinggang secara beruntun. Begitu Kwa Teng-siong berhasil mengelakkan?nya ke samping, Ho Tin-siong si murid murtad Go-bi-pay telah menyambutnya dengan tusukan pedangnya yang mema?tikan.
Dalam pada itu Liong Pek-jipun tanpa malu-malu lagi telah mengeluar?kan senjatanya berupa sepasang besi runcing sependek dua jengkal yang di?genggam di kedua tangannya, dan dengan senjatanya yang aneh itulah dia lang?sung menerjunkan dirinya ke gelang?gang pertempuran dan mengerubuti Kwa Teng-siong.
Dalam beberapa bulan ini Si Ku?cing Terbang Malam telah berlatih ker?as, ilmu silatnyapun mengalami kemaju?an yang cukup berarti, namun sekarang ia harus menghadapi tiga orang peng?ikut Te-liong Hiang-cu yang tangguh itu, mau tidak mau Kwa Teng-siong ter?desak juga. Meskipun kemudian diapun sempat menghunus sepasang pedang pen?deknya, namun sepasang senjatanya itu hanya dapat membantunya untuk memper?baiki pertahanannya dan tidak memberi?nya kesempatan untuk balas menyerang. Beberapa kali dia dipaksa untuk bergulingan di tanah atau berlompatan dengan gugupnya karena gencarnya se?rangan beruntun dari ketiga lawan yang mengeroyoknya.
Tapi rupanya suitan minta tolong yang dibunyikan oleh Kwa Teng-siong tadi tidaklah sia-sia. Orang-orang Hwe-liong-pang anak buah Tong Wi-siang memang banyak berkeliaran di sekitar markas, di lereng-lereng Tiau-im-hong, maka suitan Kwa Teng-siong itu dapat didengar jelas oleh orang-orang itu. Cu Keng-wan, wakil Kepala Bendera Hitam itulah yang lebih dulu melompat ke arah suara suitan itu, sambil ber?seru, "Itu adalah isyarat minta bantu?an dari Kwa Teng-siong. Barangkali dia telah bertemu dengan musuh dan me?merlukan pertolongan!"
Oh Yun-kim serta Auyang Siau-pa yang kebetulan juga sedang berada di tempat itu serempak menyambut ajakan Cu Keng-wan itu, "Hayo kita juga lihat ke sana!"
Kemudian ketiga orang itupun ber?lari-lari pesat menuju ke arah suara suitan Kwa Teng-siong tadi, kemudian ketika Ma Hiong serta Lu Siong juga tiba di tempat itu, merekapun menyu?sul rekan-rekannya yang terdahulu. Cu Keng-wan yang berjulukan Thiat-ciang (Telapak Tangan Besi) itu memang memiliki ilmu pukulan yang hebat dan keras, namun dalam hal ilmu meringankan tubuh, dia justru ketinggalan beberapa tingkat dari Oh Yun-kim maupun Auyang Siau-pa. Dalam waktu belasan detik saja dia sudah ketinggalan jauh dari kedua orang itu, yang melesat ke depan secepat anak panah lepas dari busurnya.
Kedatangan Oh Yun-kim serta Auyang Siau-pa itu tepat waktu Kwa Teng-siong sudah hampir kehabisan cara membela dirinya. Tong-cu baru dari Kelompok Bendera Hitam itu sudah dalam keadaan hanya mampu menangkis, menghindar dan bergulungan di tanah saja. Namun suatu saatpun ia terpojok ke jalan buntu, sebab ketika ia sedang bergulingan menghindar dari ayunan golok Seng Cu-bok yang bertubi-tubi itu,tahu-tahu punggung Kwa Teng-siong telah terganjal sebuah batu besar sehingga tidak dapat bergulingan lagi. Serempak ketiga orang lawannyapun menyeringai buas dan langsung mengayunkan senjata?nya masing-masing untuk merencah pengi?kut setia Tong Wi-siang itu.
Detik Kwa Teng-siong hampir sam?pai ke ujung hidupnya itulah Auyang Siau-pa telah meluncur datang, lang?sung saja menghunus golok bulan sabitnya dan menggerakkan tiga kali untuk menghalau tiga macam senjata yang se?dang mengancam rekannya itu. Ketiga lawannya hanya sempat melihat ada sam?baran cahaya berwarna keperak-perakan yang berkelebat di depan mata mereka, dan tahu-tahu mereka merasakan tangan mereka bergetar dan senjata merekapun telah tertangkis semuanya sehingga me?leset dari sasaran. Begitu cepatnya gerakan Auyang Siau-pa, membuat keti?ga orang pengikut Te-liong Hiang-cu itu melongo dan agak gentar.
Begitu Auyang Siau-pa mengenal siapakah lawan-lawannya, seketika amarahnyapun berkobar hebat, dengusnya dingin, "Bagus, pengkhianat-pengkhia?nat semacam kalian ini rupanya sudah bosan hidup dan datang ke Tiau-im-hong ini untuk mengantar nyawa!"
Si Kelelawar Hantu Liong Pek-ji adalah anggota baru Hwe-liong-pang, yang baru memasuki Hwe-liong-pang se?bagai pengikut Te-liong Hiang-cu, se?telah Tong Wi-siang dan pengikut-pengikut setianya tersingkir, de?ngan demikian Liong Pek-ji belum begi?tu mengenal siapa Auyang Siau-pa ini, meskipun ia mengenal nama besar mendi?ang kakak Auyang Siau-pa, yaitu Co-siang-hui-mo Auyang Siau-hui seba?gai sesama tokoh golongan hitam. Mes?kipun ia tadi cukup kaget melihat ke?cepatan sabetan golok Auyang Siau-pa, namun ia masih belum jera juga, diang?gapnya gerakan Auyang Siau-pa itu cuma kebetulan belaka. Sambil mengeluarkan pekikan aneh dari mulutnya yang ber?bau busuk itu, dia menubruk ke arah Auyang Siau-pa, sepasang senjata anehnyapun berkelebatan demikian cepatnya sehingga tangannya seolah-olah telah berubah menjadi beberapa pasang dan bayangan senjatanya memenuhi sekitar tubuhnya. Sebagai seorang tokoh go?longan hitam yang cukup ditakuti di Wilayah Ou-lam, bahkan cerita tentang dirinya itu tidak ada bedanya dengan cerita tentang sesosok hantu pengisap darah yang paling menggentarkan, Liong Pek-ji sangat sombong dan sulit mene?rima kekalahannya begitu saja. Keka?lahannya dari Kwa Teng-siong sebelum kedatangan kedua rekannya tadi, telah membuatnya merasa penasaran dan malu, maka kini ia bermaksud menebus keka?lahannya dengan jalan merobohkan Auyang Siau-pa untuk mengembalikan pamor mukanya.
Tetapi kali inipun Liong Pek-ji benar-benar telah salah alamat karena memilih Auyang Siau-pa, sebab orang yang hendak dijadikannya tumbal memu?lihkan pamornya itupun ternyata bukan orang kebanyakan, biarpun tampangnya begitu sederhana dan tidak menyeram?kan. Cepat sekali Jing-ki-tong-cu bawahan Tong Wi-siang itu telah bergerak mencabut goloknya untuk memba?rengi gerakan lawan, melancarkan sebuah sabetan yang sederhana pula, namun begitu cepatnya sehingga yang nam?pak hanyalah sebuah cahaya lebar ber?warna perak, menyambar langsung ke pu?sat bayangan senjata Liong Pek-ji dan langsung membubarkan gerakan senjata lawan. Liong Pek-ji terkejut dan ber?lompatan mundur, namun Auyang Siau-pa terus mengejarnya sambil membulang-balingkan goloknya secepat kilat, tan?pa gaya dan tanpa jurus, itulah perma?inan goloknya, melulu mengandalkan semangat, kekuatan dan kecepatan.
Setelah mendesak Liong Pek-ji be?berapa langkah, cepat Auyang Siau-pa melompat mundur, dan saat itu ujud Liong Pek-ji sudah tidak karuan lagi. Rambutnya telah terpapas sebagian, se?mentara itu pakaiannyapun robek-robek tidak keruan, termasuk "Sayap Kelela?war" kebanggaannya itu, sedangkan mu?kanya pucat karena kaget dan takutnya. Hantu yang paling ditakuti di Ou-lam itu kini keadaannya benar-benar meng?gelikan, tampangnya bukan lagi tam?pang seseorang yang pantas ditakuti oleh lawan-lawannya, melainkan tam?pang seorang yang pantas dikasihani, hilang lenyap semua keangkerannya, mes?kipun sepasang taring masih berteng?ger di sudut-sudut mulutnya. Bacokan bacokan Auyang Siau-pa yang sederhana tadi ternyata begitu menakutkan kece?patannya.
Sementara itu Auyang Siau-pa sen?diri telah berdiri di tempatnya kem?bali dengan sikap acuh tak acuh, sam?bil memeluk goloknya yang sudah masuk ke sarungnya kembali. Mukanya tetap dingin tanpa perasaan, seakan-akan hal luar biasa yang baru saja dila?kukannya itu bukanlah sesuatu yang pa?tut dipuji. Bahkan lawan-lawannyapun tidak melihat kapan ia menyarungkan goloknya, mereka hanya melihat cahaya golok lenyap dan tahu-tahu senjata itu sudah dalam sarungnya dan dipeluk di depan dada dengan tenangnya. Jelaslah bahwa Liong Pek-ji masih hidup bu?kan karena kepandaiannya yang tinggi, namun karena Auyang Siau-pa memang belum bermaksud membunuhnya.
Sementara itu Oh Yun-kim telah tertawa dan bertepuk tangan, sambil mengejek musuh-musuhnya, "Golok sauda?ra Auyang benar-benar luar biasa cepatnya, siapa lagi yang ingin mencobanya?''
Tentu saja nyali Seng Cu-bok dan kawan-kawannya sudah menyusut banyak ketika melihat nasib mengenaskan yang dialami oleh Liong Pek-ji itu, bukan saja pamor mukanya gagal dipulihkan, malahan semakin kehilangan muka. Peng?ikut-pengikut Te-liong Hiang-cu itu menyadari bahwa cukup Kwa Teng-siong dan Auyang Siau-pa saja sudah merupa?kan musuh-musuh tangguh yang sulit un?tuk dihadapi, apalagi merekapun kenal akan kelihaian Oh Yun-kim dengan ten?dangan kilatnya itu. Tetapi untuk mun?dur begitu saja, tentu saja anak buah Te-liong Hiang-cu itu merasa kehilangan muka, maka Seng Cu-bok lalu bicara dengan sikap segagah mungkin, "Bagus, kalian ternyata mengandalkan mentang-mentang di kandang sendiri dan ber?siap untuk mengeroyok kami. Tapi ingatlah, bahwa penghinaan kalian ma?lam ini kelak akan kalian tebus de?ngan harga mahal."
Lalu kepada rekan-rekannya Seng Cu-bok berkata, "Kita tidak punya la?gi urusan di sini. Hayo kita pergi!"
Namun terlalu enak bagi Seng Cu-bok dan kawan-kawannya kalau bisa pergi begitu saja, karena Oh Yun-kim telah berkata, "Sehabis kalian berani mencuri dengar dan menyelidiki tempat kami ini, lalu kalian kira bisa pergi begitu saja? Mana ada urusan segam?pang ini? Kalian harus kami tangkap dan kami bawa ke markas untuk kami ha?dapkan kepada Pang-cu, untuk memper?tanggung-jawabkan perbuatan kalian. Bukan saja kesalahan mengintip pertemuan kami, tapi juga dosa besar kalian karena menjadi pengikut Te-liong Hiang-cu si pengkhianat itu."
Memucatlah wajah ketiga orang pengikut Te-liong Hiang-cu itu ketika mendengar ucapan Oh Yun-kim itu. Mere?ka sadar akan akibatnya apabila mere?ka benar-benar dibawa menghadap Tong Wi-siang, satu-satunya nasib yang bakalan mereka terima adalah dipaksa me?nelan Pil Penghancur Badan yang menge?rikan itu. Namun untuk melarikan diri agaknya juga tidak mudah, sebab mere?ka sudah melihat kepandaian Kwa Teng-siong serta Auyang Siau-pa rata-rata di atas mereka semua.
Sedangkan Oh Yun-kim yang memang sangat benci kepada Te-liong Hiang-cu dan pengikut-pengikutnya yang dianggapnya telah menghancurkan cita-cita Hwe-liong-pang demi nafsu kekuasaan untuk diri pribadi itu, tentu saja tidak akan membiarkan ketiga pengikut Te-liong Hiang-cu itu lepas begitu sa?ja dari tangannya. Ia telah mendesak lagi kepada ketiga lawannya, "Kalian tidak berhak menentang perintah Ketua sah Hwe-liong-pang yang menyuruh kami untuk menangkap kalian. Kalian jalan di depan. Cepat!"
Cacingpun kalau diinjak akan mengge?liat. Maka Seng Cu-bok dan kawan-ka?wannya yang merasa terpojok itupun akhirnya merasa lebih baik melawan ma?ti-matian, mereka terpojok sehingga menjadi beringas dan nekad. Seng Cu-bok menyahut mewakili rekan-rekannya, "Oh Yun-kim si Korea busuk, kalian terlalu mendesak kami! Kami akan meng?adu jiwa denganmu!"
Kemudian secara kalap ia mener?jang maju dengan jurus Pat-hong-to-lian-hoan (Bacokan Beruntun Delapan Arah), cahaya goloknyapun berkelebatan hebat mengurung segenap tubuh Oh Yun-kim.
Namun orang Korea itu memang su?dah menduga bahwa ketiga pengikut Te-liong Hiang-cu yang merasa terpojok itu tentu akan mengamuk, maka diam-di?am ia sudah bersiap sedia dari tadi. Rupanya orang Korea itu sengaja meman?cing kemarahan mereka, agar dia sendiripun punya kesempatan untuk menguji kepandaiannya setelah berlatih sekian bulan.
Begitu terjangan Seng Cu-bok ti?ba, lebih dulu Oh Yun-kim menghindar dengan gaya Leng-khong-po-hi (Melang?kah Kosong di Tengah Udara), tubuhnya menjadi seringan kapas dan selalu "terbang" mendahului tajam golok la?wannya, seakan-akan kesiuran angin go?lok lawan sudah cukup untuk meniup tu?buhnya. Dengan cepat ke delapan ba?cokan beruntun Seng Cu-bok itu sudah habis tanpa seujung rambutpun berha?sil mengenai sasarannya. Dan ketika Seng Cu-bok sedang mengganti napas, bermaksud melanjutkan serangannya dengan jurus lain, Oh Yun-kim telah membentak, "Sekarang giliranku!"
Terlihat kaki orang Korea jago tendangan itu telah berkelebat ba?gaikan kilat menendang kepala Seng Cu-bok. Seng Cu-bok menghindarinya dengan jalan menundukkan kepalanya, namun ti?ba-tiba ia merasa angin gunung yang dingin telah menghembus kepalanya. Ke?tika ia melompat mundur dan memandang ke depan, nampaklah Oh Yun-kim masih berdiri di atas satu kaki dan masih dalam gaya menendang setinggi kepala, namun di ujung kakinya yang terangkat itu berkibarlah secarik kain yang bu?kan lain daripada ikat kepala Seng Cu-bok sendiri yang rupanya telah "disambarnya" dengan kakinya. Oh Yun-kim tersenyum-senyum mengejek melihat ke?kagetan lawannya, sementara kain ikat kepala itupun bergoyang-goyang seakan melambai-lambai kepada pemiliknya yang masih terlongong.
"Mampus kau Korea bangsat!" teri?ak Seng Cu-bok mata gelap. Sambil menggulingkan badannya dia mengayun?kan goloknya untuk membabat kaki Oh Yun-kim yang menapak tanah. Tapi Oh Yun-kim lincah sekali berlompatan dengan satu kaki, sementara kaki lain tetap terangkat lurus dengan ikat kepala Seng Cu-bok tetap bergoyang gon?tai di ujungnya tanpa jatuh.
Begitu Seng Cu-bok meloncat ber?diri, tiba-tiba Oh Yun-kim mengge?rakkan kakinya dan ikat kepala itu se?cara tepat hingga kembali ke kepala Seng Cu-bok.
Mata Seng Cu-bok bagaikan menyala karena marah dan malunya akan penghi?naan hebat itu, namun kemudian mata yang berapi-api itu jadi redup dan le?su, karena kenyataan di depan hidung?nya telah membuktikan bahwa dia dan rekan-rekannya tidak akan mampu memba?las penghinaan itu, karena para peng?ikut Tong Wi-siang itu benar-benar ter?lalu tangguh buat mereka bertiga. Na?mun apakah mereka juga akan menurut begitu saja untuk diikat tangannya, digiring ke markas dan kemudian diha?ruskan menelan sebutir Pil Penghancur Badan? Dalam keadaan putus-asa dan pa?tah semangat itu, tiba-tiba Seng Cu-bok telah menggerakkan goloknya sece?pat kilat, bukan ke arah musuh, me?lainkan ke arah tenggorokannya sendiri !
Namun sebelum mata golok itu me?mutuskan lehernya, mendadak melesatlah sebutir batu yang langsung meng?hantam batang golok itu sehingga lepas dari tangan Seng Cu-bok. Disusul de?ngan berkumandangnya suara bentakan bengis, "Manusia tak berguna! Hanya menemui kesulitan kecil saja terus hendak membunuh diri?"
Lalu dalam gelapnya malam nampak sesosok bayangan merah kehitam-hitam?an yang berkelebat datang, dan tahu-tahu di tempat itu telah muncul seo?rang lelaki kurus berusia setengah umur, bermuka pucat, dan rambutnya yang terurai tidak digelung itu ber?warna kemerah-merahan. Ia memakai man?tel yang juga berwarna kemerah-merahan, sedang tangan kanannya menjinjing se?batang tongkat besi yang ujungnya berbentuk kepala ular malahan batang tongkatpun dihias dengan ukiran sisik-sisik ular pula. Pendatang baru itu bukan lain adalah datuk sesat dari wi?layah timur, Ang-mo-coa-ong (Raja Ular Berambut Merah) dari Gunung Thay-san, salah seorang pengikut dan pembantu kepercayaan Te-liong Hiang-cu yang amat tangguh. Bahkan setelah tewasnya Sebun Say di Siong-san, boleh dikata Ang-mo-coa-ong adalah satu-satunya pendukung andalan Te-liong Hiang-cu yang masih setia.
Tentu saja Oh Yun-kim, Auyang Siau-pa serta Kwa Teng-siong sebagai anggauta-anggauta lama Hwe-liong-pang juga mengenal sampai di mana kelihai?an tokoh yang pernah menjadi salah sa?tu dari empat utusan Hwe-liong-pang itu. Kemunculan Tang Kiau-po telah menimbulkan kecemasan Oh Yun-kim berti?ga, bukan kecemasan tentang keselama?tan diri sendiri, namun kecemasan bah?wa jangan-jangan seluruh Tiau-im-hong telah dipenuhi oleh Te-liong Hiang-cu dan pengikut-pengikutnya? Padahal Hwe-liong-pangnya Tong Wi-siang saat itu masih dalam usaha memperkuat diri dan belum siap untuk bertempur....
Sementara itu Ang-mo-coa-ong Tang Kiau-po telah memandang oh Yun-kim bertiga dengan sikap mencemoohkan dan memandang rendah, lalu desisnya yang mirip desis ular itu, "Hemm, nampak?nya kalian mengalami kemajuan yang agak berarti dalam ilmu silat kalian. Namun bagi aku, kalian tetap merupa?kan tikus-tikus yang tidak berarti. Jika kalian bermimpi bahwa dengan il?mu silat kalian hendak mendukung bang?kitnya kembali Tong Wi-siang untuk bersaing dengan Te-liong Hiang-cu ka?mi, hemm, kalian agaknya sedang ber?mimpi di siang hari bolong."
Auyang Siau-pa yang biasanya pen?diam itulah yang telah menyahut dengan tajamnya, "Kau tidak menakutkan kami, bahkan hanya membuat kami merasa muak saja, karena kalian secara tidak tahu malu telah bersekutu dengan anjing-an?jingnya Cong-ceng si Kaisar busuk itu!"
Menurut adatnya yang congkak itu, ingin rasanya Ang-mo-coa-ong memuntir kepala Auyang Siau-pa sehingga lepas dari lehernya, karena ucapannya yang dianggap sangat kurang ajar itu, pada?hal dulu Auyang Siau-pa dan mendiang kakak sepupunya selalu bersikap hormat kepada Ang-mo-coa-ong dan memanggil?nya "su-cia" atau "sin-seng". Tetapi Ang-mo-coa-ong kali ini harus menahan amarahnya, sebab ia tahu bahwa waktu dan tempat tidak mengijinkannya untuk mengumbar perasaan semau-maunya, kare?na tempat itu tidak terlalu jauh dari markas. Jika sampai Hwe-liong Pang-cu atau tokoh-tokoh lainnya juga datang ke tempat itu, maka Ang-mo-coa-ong sa?dar bahwa untuk kaburpun sudah tidak mungkin bisa lagi.
Terpaksa dengan menelan semua ke?dongkolannya, Ang-mo-coa-ong mengajak ketiga orang anak buahnya pergi dari situ. Mereka menggunakan ilmu meri?ngankan tubuh mereka, sehingga dalam beberapa kejap saja mereka telah meng?hilang di kaki bukit. Oh Yun-kim dan rekan-rekannyapun tidak mengejar, sebab mereka sadar bahwa kekuatan mer?eka bertiga tidak akan mampu menang?kap mereka, anak buah Te-liong Hiang-cu itu, karena adanya Ang-mo-coa-ong di tengah mereka. Dalam hati masing masing, Oh Yun-kim dan kawan-kawannya menyesali kesempatan untuk menangkap pengikut-pengikut si pengkhianat Te-liong Hiang-cu itu.
Auyang Siau-pa memandang kepergian Ang-mo-coa-ong itu dengan sinar ma?ta yang memancarkan dendam kesumat tak terkira dalamnya. Teringatlah dia akan suasana lembah Jian-hoa-kok, de?tik-detik menjelang kematian kakak mi?sannya itu, saat diadakan pembersihan besar-besaran dalam tubuh Hwe-liong-pang dari unsur-unsur yang mengotori?nya. Meskipun dalam kenyataannya sang kakak misan itu mati karena menggorok lehernya sendiri, namun dapat dikata?kan bahwa yang mendorong kakaknya ber?buat demikian itu adalah karena ulah Te-liong Hiang-cu dan komplotannya, termasuk Ang-mo-coa-ong. Komplotan yang membujuk kakak misannya untuk ikut berkhianat kepada Ketua yang syah, na?mun ketika komplotan itu hampir ter?bongkar, mereka mencuci tangan begitu saja dan membiarkan kakak misannya diadili tanpa perlindungan sedikitpun di hadapan Hwe-liong Pang-cu. Kakaknya yang merasa putus-asa karena merasa ditinggalkan begitu saja oleh komplot?annya itu kemudian membunuh diri. Na?mun Auyang Siau-pa tidak merasa dendam kepada Hwe-liong Pang-cu Tong Wi-siang, karena sudah sewajarnya jika seorang pemimpin menghukum anak buah?nya yang menyeleweng dari garis yang telah ditentukannya. Yang didendam oleh Auyang Siau-pa justru Te-liong Hi?ang-cu dan komplotannya yang telah membujuk kakak misannya namun kemudian melepaskannya sendiri secara pengecut. Sebaliknya Auyang Siau-pa malahan merasa berhutang-budi kepada Tong Wi-siang karena waktu itu tidak menjatuhkan hu?kuman mati kepadanya.
Dalam pada waktu itu, berturut-turut Cu Keng-wan, Ma Hiong dan juga Lu Siong telah tiba di tempat itu karena mendengar suitan Kwa Teng-siong tadi. Mereka lalu berebutan bertanya apa yang telah terjadi di situ, dan Kwa Teng-siong lalu menceritakan segala sesuatunya secara ringkas.
"Gila! Kalau begitu kawanan peng?khianat itu masih berani juga berke?liaran di tempat ini?!" seru Lu Siong dengan terkejut dan marah setelah mendengar penuturan Kwa Teng-siong itu.
"Ini kenyataan, harus secepatnya kita laporkan kepada Pang-cu agar bi?sa diambil persiapan seperlunya."
Ke enam orang itupun segera kem?bali ke markas dengan setengah lari, dan mereka menjumpai suasana markas masih terasa tegang, penjagaan ketat nampak hampir di semua bagian. Ke enam orang itu langsung menemui Tong Wi siang untuk melaporkan segala sesuatu?nya. Setelah mendengar laporan terse?but, Wi-siang serta Siangkoan Hong dan Lim Hong-pin lalu mengadakan peme?riksaan sendiri di sekitar puncak Tiau-im-hong sampai hampir fajar, na?mun batang hidung Ang-mo-coa-ong dan kawan-kawannya sudah tidak terlihat lagi, agaknya mereka telah buru-buru meninggalkan puncak itu sebelum kepergok musuh yang lebih keras lagi.
Sementara itu, Ang-mo-coa-ong, Seng Cu-bok dan lain-lainnya ternyata tidak terlalu jauh larinya. Di sebuah hutan kecil yang tidak jauh letaknya dari Tiau-im-hong, mereka berhenti berlari, sebab di tempat itu telah menunggu sekelompok orang yang merupakan komplotan mereka, bahkan Te-liong Hiang-cu juga nampak berada di tempat itu.
Lebih dulu mereka memberi salam, setelah itu barulah Ang-mo-coa-ong berkata, "Yang berhasil mendekati mar?kas dan bahkan mencuri dengar seba?gian pembicaraan mereka, adalah Liong Tong-cu, meskipun kemudian Liong Tong-cu harus lari karena jejaknya diketahui oleh mereka, namun agaknya bagian pembicaraan mereka yang terpenting sudah berhasil disadapnya. Nah, Liong Tong-cu, silahkan kau laporkan sendiri hasil penyadapanmu kepada Pang-cu."
Liong Pek-ji merasa agak bangga juga mendapat kesempatan itu, biarpun tampangnya sudah tidak karuan karena sebagian rambutnya terpapas oleh golok Auyang Siau-pa, sementara pakaiannya-pun robek-robek. Nada bangga terdengar jelas dalam suaranya, "Aku berhasil mendekati ke aula tempat mereka berembug. Ternyata Tong Wi-siang telah mengutus Rahib Hong-goan untuk menghu?bungi pihak Siau-lim-pay dan kawan-ka?wannya, tujuannya adalah menjernihkan persoalan agar antara Tong Wi-siang dengan kaum sok suci itu tidak terja?di kesalah-pahaman, apalagi pertum?pahan darah. Rahib Hong-goan telah kembali dari tugasnya itu, dan agak?nya tugasnya berhasil, artinya usul perdamaian itu diterima oleh pihak pendekar sok suci itu. Bahkan kutang?kap pula kata-kata bahwa Tong Wi-siang akan membantu Siau-lim-pay, Bu-tong-pay dan lain-lainnya untuk menghadapi kita."
"Kalau begitu, rencana kita un?tuk mengadu-domba antara Wi-siang de?ngan orang-orang sok suci itu agaknya mengalami hambatan berat," geram Te-liong Hiang-cu dari balik topeng teng?korak yang masih saja menempel di wa?jahnya. Lanjutnya, "Tapi kita harus tetap mengusahakan agar Wi-siang bentrok dengan Hong-tay Hweshio dan kawan kawannya, agar kedua pihak hancur ber?sama-sama dan kitalah yang akan meng?eruk keuntungan dari kehancuran mere?ka."
Sementara itu Tang Kiau-po meli?rik ke arah seorang lelaki berseragam perwira Kerajaan Beng yang ikut pula dalam pembicaraan antara Te-liong Hi?ang-cu dan orang-orangnya itu. Kemudi?an Tang Kiau-po mengajukan usul, "Pang cu, menurut pendapatku, sekarang kita tidak perlu lagi main sembunyi-sembu?nyian dengan Wi-siang, atau susah-payah mengadu-domba segala. Dulu, ketika kita masih lemah karena gagal menggem?pur kaum munafik di Siong-san, kita memang memerlukan siasat itu. Namun kini bukankah kedudukan kita cukup ku?at? Kini kita punya sekutu Panglima Tio yang membawahi laksaan prajurit? Betapapun tangguhnya Tong Wi-siang dan anak buahnya, bahkan andaikata me?reka bergabung dengan kaum munafik pimpinan Hong-tay gundul itu, kita tidak perlu takut, dengan bantuan Panglima Tio masakan kita akan kalah? Kita gempur saja Tiau-im-hong dan me?reka akan mampus."
Perwira yang duduk bersama Te-liong-Hiang-cu dan orang-orangnya itupun mengerutkan alisnya mendengar ucapan Tang Kiau-po itu. Yang disebut Panglima Tio oleh Ang-mo-coa-ong itu adalah atasannya yang saat itu berada di Jing-to, memimpin salah satu garis pertahanan terpenting dalam rangka menghadapi gelombang pemberontakan Li Cu-seng. Sedang perwira itu bukan la?in adalah anak buahnya yang pernah bentrok dengan orang-orang Hwe-liong pang, yaitu Cio Hong-hoat adanya. Dia diutus oleh Panglimanya untuk mengada?kan perundingan dengan Te-liong Hiang-cu dan pengikut-pengikutnya, kalau bi?sa membuat perjanjian yang saling menguntungkan kedua pihak. Agaknya Panglima Tio itupun menyadari bahwa biarpun prajuritnya banyak, namun membutuhkan orang-orang berilmu tinggi seperti Te-liong Hiang-cu dan pengikut pengikutnya untuk dirangkul ke pihak?nya sebelum dirangkul oleh Li Cu-seng si raja pemberontak. Kini ketika men?dengar usul Tang Kiau-po yang seenak?nya itu, yang menganggap nyawa praju?rit-prajurit Beng tidak berharga dan patut dikorbankan untuk kepentingan Te-liong Hiang-cu dan komplotannya, ia menjawab dengan hati-hati, "Kurasa usul saudara Tang itu agak sulit dilaksanakan. Harap saudara-saudara sekalian memahami kedudukan dan tugas Panglimaku di daerah ini, tugas utama?nya bukan untuk mengurusi segala ma?cam tetek-bengek dunia persilatan, na?mun untuk menghadapi si pemberontak Li Cu-seng. Panglimaku tentu bersedia membantu pangcu menghadapi Tong Wi-siang, namun jika pengorbanannya tidak terlalu besar dan imbalannya, mak?sudku imbalan bantuan tenaga, juga cu?kup memadai. Namun jika pasukan kami harus berkurang banyak lebih dulu, un?tuk menghadapi Tong Wi-siang dan kaum pendekar berbagai aliran, kalau tiba saatnya berhadapan dengan Li Cu-seng bagaimana kami bisa memenangkan per?ang ini? Lagipula menyakiti kaum pen?dekar sejagad itu berat akibatnya, se?bab perhatian pemerintah sedang terpu?sat sepenuhnya menghadapi petani-petani yang memberontak itu."
"Jadi, bagaimana pendapat Cio Thong-leng (tuan perwira Cio) yang da?pat kami anggap mewakili Panglima Tio di Jing-to? Apa yang dimaksud dengan pengorbanan tidak terlalu besar dan imbalan berupa bantuan tenaga yang memadai?"
Jawab Cio Hong-hoat, "Begini, saudara Ketua, apabila Tong Wi-siang dan kaum pendekar berbagai aliran sam?pai mempersatukan kekuatannya, maka kekuatan mereka akan dahsyat sekali. Meskipun Tio Ciang-kun dapat menumpas mereka dengan tentaranya yang berlaksa laksa serta bantuan dari Pang-cu dan anak buah Pang-cu, namun korban yang berjatuhan di pihak laskar kami pasti akan berjumlah sangat banyak. Jelas Panglimaku keberatan kalau hal ini terjadi. Kami akan membantu, tapi ji?ka pihak Tong Wi-siang dan pihak pendekar sudah saling baku hantam dulu, sehingga untuk menumpas mereka tentu pengorbanan prajurit kami tak berarti jumlahnya. Sedangkan tentang imbalan tenaga dari pihak kalian, Panglimaku meminta janji Pang-cu, apabila kelak berhasil menduduki Tiau-im-hong dan berhasil menjadi ketua yang syah...."
"Sekarangpun aku adalah Ketua yang syah, apakah Cio Thong-leng mera?gukan hal ini?" potong Te-liong Hiang-cu dengan suara berang.
Cio Hong-hoat terperangah, mau tidak mau ia agak merasa seram juga berhadapan dengan orang bertopeng tengkorak yang duduk di depannya itu. Namun mengingat martabatnya sebagai perwira kerajaan, dia berusaha untuk bersikap tenang atas bentakan itu, iambil tertawa dia membetulkan kalima?tnya, "Ya, aku salah bicara, maaf. Maksudku bila kelak Pang-cu sudah men?duduki Tiau-im-hong dan mengalahkan Wi-siang, Ketua yang tidak syah itu, panglima mohon agar Pang-cu suka meng?gunakan pengaruh Pang-cu untuk mem?bujuk dunia persilatan agar berdiri di pihak Pasukan Pemerintah dalam usaha menumpas Li Cu-seng. Selain itu Panglima minta bantuan tenaga lang?sung, artinya Pang-cu dan anak buah Pang-cu harus bersedia turun ke medan perang langsung berhadapan dengan Li Cu-seng."
Diam-diam Te-liong Hiang-cu men?dongkol mendengar persyaratan yang je?las lebih menguntungkan pihak Panglima Tio itu. Jika menuruti nafsu amarah?nya, ingin rasanya ia menghancurkan kepala si perwira she Cio itu, toh me?nurut penilaiannya kepandaian perwira itu tidak lebih tinggi dari Liong Pek-ji atau Seng Cu-bok. Namun jika ia terbuat demikian, ia akan kehilangan dukungan Panglima Tio dan bahkan menjadi musuhnya. Alangkah ngerinya kalau harus berhadapan dengan laksaan prajurit siap tempur, sedang kesempa?tannya menjadi Ketua Hwe-liong-pangpun akan tertutup sama sekali.
Pikirnya, "Si bangsat she Tio di Jing-to itu benar-benar keterlaluan, agaknya ia menyadari kedudukannya le?bih baik dari aku dalam urusan tawar menawar ini, sehingga persyaratan yang diajukannyapun kurang adil ba?giku. Masakan dia hanya berani ke?hilangan sebagian kecil prajuritnya saja, untuk menumpas Wi-siang dan kaum munafik jika mereka sudah kelelahan baku hantam, sedang aku harus membantu dengan segenap pengaruh dan anak buahku apabila perang dengan Li Cu-seng pecah? Bangsat!"
-o0^DwKz-Hendra^0o- Jilid 33 NAMUN nafsu Te-liong Hiang-cu un?tuk merebut kedudukan Ketua Hwe-liong pang telah bergejolak mengalahkan se?gala pertimbangan-pertimbangan lain. Akhirnya, dengan berat hati diapun meng?anggukkan kepalanya dan memberikan jan?jinya, "Baiklah aku terima persyaratan yang diajukan oleh Panglimamu itu."
Dan kepada anak buahnya Te-liong Hiang-cu berkata, "Jadi kita akan te?tap pada rencana semula, yaitu berusa?ha mengadu-domba dan membenturkan Tong Wi-siang dengan orang-orang munafik itu, sampai mereka bertempur satu sa?ma lain dan akhirnya kehabisan kekuatan. Setelah itu kita baru akan menum?pas mereka dengan bantuan Tio Ciangkun."
Dengan demikian perjanjian itu-pun ditutup, dan rencana mulai dija?lankan.
-o0^DwKz-Hendra^0o- PEGUNUNGAN Bu-san merupakan pegunungan yang panjang dan ter?letak dari Su-coan sampai ke dekat perbatasan dengan India dan Birma, se?dang ke utaranya hampir memasuki da?erah orang-orang suku Hui. Dan salah satu puncaknya, Tiau-im-hong, berdiri?lah sebuah bangunan megah yang luas dan bersusun-susun menurut tinggi rendahnya tanah, itulah markas Hwe-liong-pang yang dibangun oleh Tong Wi-siang dengan harta karun pening?galan Bu-san-jit-kui yang berlimpah itu. Di tengah-tengah bangunan yang berderet-deret itu, ada sebuah bangun?an mungil yang dikelilingi tembok ren?dah dan dilengkapi pula dengan kolam ikan serta kebun bunga yang permai. Suasana di tempat itu sangat tenteram dan memberi kesan sangat pribadi. Di permukaan kolam, bunga-bunga teratai yang berwarna merah dan putih, menga?pung dengan tenangnya, sementara ge?rombolan ikan yang beraneka jenis kelihatan hilir-mudik di bawan naungan daun-daun teratai yang lebar, dan ka?dang-kadang ikan itu muncul di permu?kaan air untuk menghirup udara pegu?nungan Bu-san yang segar. Di tempat yang agak terpisah dari kediaman para anggauta biasa itulah berdiamnya para tokoh-tokoh tertinggi, bahkan dapat disebut pendiri Hwe-liong-pang. Tong Wi-siang, Siangkoan Hong dan Lim Hong-pin. Dulu Te-liong Hiang-cu Tan Goan-ciau juga berdiam di tempat ini, sebe?lum dia memberontak dan memisahkan di?ri dari bekas sahabat-sahabatnya se?jak dari An-yang-shia itu. Sahabat-sa?habat sejak mereka masih menjadi anak-anak muda yang nakal dan sering meng?ganggu ketenteraman An-yang-shia itu. Namun kemudian ruangan yang biasa di?tempati Tan Goan-ciau itu dikosongkan, karena ia telah dianggap berkhianat kepada Hwe-liong-pang dan tidak mung?kin kembali ke situ.
Pagi itu udara cerah, matahari bersinar ceria, namun Tong Wi-siang yang tampan itu justru sedang terme?nung di tepi kolam dengan wajah tersa?put awan kemurungan, ia melangkah hilir-mudik dengan gelisah, kemudian du?duk termenung di bangku batu itu, la?lu melangkah hilir-mudik lagi. Pan?dangan matanya yang kosong dan kesepi?an itu kadang-kadang memancarkan rasa iri melihat ikan-ikan yang bergembira dalam air itu.
Tiba-tiba didengarnya langkah langkah kaki di belakangnya, lalu di?dengarnya suara seseorang yang sudah amat dikenalnya, suara yang hampir se?tiap hari didengarnya, "A-siang...."
Tong Wi-siang tersentak dari la?munannya dan mengangkat wajahnya, di?lihatnya Lim Hong-pin telah melangkah mendekatinya dan kemudian dengan san?tainya sambil mene?puk pundak sahabat dan Ketuanya itu, "Kau nampaknya sedang risau, A-siang?"
Mendengar tegur-sapa sahabatnya yang akrab itu, tegur seorang sahabat yang bersama-sama mengalami suka-duka sejak mereka sama-sama masih remaja di An-yang-shia, maka sikap Tong Wi-siang bukan lagi sikap seorang Hwe-liong Pang-cu yang garang dan perkasa, dingin tak kenal ampun, namun sikap Tong Wi-siang sebagai manusia biasa yang berdarah-daging dan berperasaan, tak ada bedanya dengan manusia-manusia lainnya. Tiba-tiba Tong Wi-siang nam?pak agak tersipu-sipu, dan tatapan ma?tanya menerawang jauh, memancarkan ke?rinduan entah kepada siapa.
Melihat sikap Tong Wi-siang itu, tiba-tiba Lim Hong-pin tertawa dan berkata, "Agaknya, aku dapat menebak apa yang sedang kau pikirkan itu, A-siang. Tentunya kau sedang merindukan gadis anak petani semangka di de?sa Bu-sian-tin itu bukan?"
Tong Wi-siang cuma tertawa, dan mengiakan pertanyaan itu secara terselubung, "Dasar matamu memang mata ma?ling, A-pin, agaknya apapun tidak bi?sa tersembunyi dari mata malingmu itu."
Lim Hong-pin tertawa terbahak. "Nah, ternyata tebakanku tepat. Kau memang sedang merindukan dia. Kau me?mang sudah cukup lama meninggalkannya, hampir setengah tahun menurut perkira?anku, yaitu ketika kita mulai berang?kat ke Kang-lam untuk melakukan pembersihan di Jian-hoa-kok itu. Cukup lama. Ada baiknya kau tengok dia lagi, jangan sampai ia putus harapan dan ke?mudian kawin dengan orang lain, atau menggantung diri."
Terhadap sahabatnya ini Tong Wi-siang bicara blak-blakan, "Pertemuan kami yang terakhir adalah beberapa ha?ri menjelang keberangkatanku ke Kang-lam itu, pertemuan paling indah, di tengah kebun semangka milik bapaknya, si tua botak yang bawel itu. Waktu itu A-giok menemui aku di tengah kebun dan tidak menghiraukan larangan bapak?nya, bahkan malam itu di kebun semang?ka itu A-giok telah... telah menyerah?kan dirinya sepenuhnya... ke... kepa?daku."
Lim Hong-pin terbelalak kaget mendengar ucapan terakhir sahabatnya itu, "He, jadi kau dan dia telah... telah berbuat hal itu?"
Wi-siang tidak menyahut terang-terangan melainkan hanya menyeringai dengan kikuknya, dan itu sudah merupa?kan jawaban yang maha jelas bagi Lim Hong-pin. Maka Lim Hong-pinpun mengge?leng-gelengkan kepala dan menahan tertawanya, sambil berkata, "Dasar bajingan An-yang-shia..."
Mau tidak mau Wi-siang tertawa juga, dan menyahut, "Jargan berlagak alim. Aku yakin kau tidak lebih baik dari padaku apabila mendapat kesempa?tan yang sama."
"Lalu sekarang apa yang kau pikir baik untuk dilakukan?"
Terhadap sahabatnya ini memang Wi siang hampir tidak pernah menyimpan rahasia apapun. Bahkan sikap Wi-siang kepada Lim Hong-pin jauh lebih ter?buka dari pada terhadap adik laki-lakinya sendiri, Tong Wi-hong yang se?ring dianggapnya sebagai kutu buku itu. Tanpa tedeng aling-aling lagi Wi-siang menyahut, "A-giok memang cuma seorang gadis desa terpencil, tapi dia luar biasa, dia telah mampu merebut seluruh perhatian dan pikiranku. Aku akan memboyongnya kemari."
"Kalau bapaknya yang botak itu tidak mengijinkan, bagaimana?"
"Si botak itu? Bukankah aku ini Ketua Hwe-liong-pang? Jika kutempelkan sebatang pedang ke lehernya maka diapun akan mengangguk-angguk menye?tujui puterinya kuambil sebagai isteri."
"Oh, calon mertua yang malang."
Terdengar suara menyahut, "Begi?nilah kalau seorang bandit dilanda cinta." Ternyata Siangkoan Hong juga telah tiba di tempat itu, dan agaknya diapun mendengar sebagian pembicaraan sahabat-sahabatnya itu dan kemudian berhasil menyimpulkannya sendiri. Ka?ta Siangkoan Hong lebih lanjut sambil tertawa, "Tapi aku yakin bahwa si tua yang kepalanya botak seperti semangka yang ditanamnya itu pasti akan menyetujui punya menantu Ketua Hwe-liong-pang yang tampan dan gagah perkasa. Tidak usah menempelkan pedang ke lehernya, nanti kau dianggap menantu ku?rang ajar."
Kemudian Lim Hong-pin menyambung ucapan Siangkoan Hong tadi, "A-siang, lebih baik kau temui A-giok dan orang tuanya secepat-cepatnya dan kalau per?lu langsung saja kau bawa ke sini, tidak usah dengan upacara tetek-bengek yang menjemukan itu. Dalam suasana perang sekisruh ini, tidak sempat kita memenuhi segala adat-istiadat, apapun bisa terjadi tanpa diduga sebelumnya. Siapa berani menjamin bahwa gadismu itu aman berada di Bu-sian-tin, bukan?kah desa itu sering dilewati kelompok-kelompok pasukan pemerintah ataupun laskar pemberontak? Belum lagi ancaman bahaya jika si pengkhianat Tan Goan-ciau itu tahu hubunganmu dengan A-giok dan mencoba memerasmu lewat A-giok..."
Bicara tentang gadis bernama A-giok ini, maka segala kegarangan Wi-siang sehari-hari sudah sirna tak berbekas lagi, segala usul sahabat-sa?habatnya itu dirasakannya bagaikan sinar terang di tengah kegelapan kebun?tuan pikirannya. Maka iapun memutus?kan bahwa hari itu juga ia akan be?rangkat ke Bu-sian-tin yang terletak kira-kira sepuluh li dari kaki bukit Tiau-im-hong. Wi-siang berangkat ti?dak dengan berkuda dan dengan pakaian?nya sebagai Ketua Hwe-liong-pang, ta?pi hanya berjalan kaki dan berpakaian seperti orang dusun yang sederhana.
Tidak seorangpun anak buahnya yang mengetahui keberangkatannya yang diam-diam itu, kecuali dua orang sahabatnya, Siangkoan Hong dan Lim Hong-pin, yang mengantarkannya sampai ke kaki puncak melewati sebuah jalan rahasia di belakang lereng.
Sebelum berpisah, Siangkoan Hong sempat berpesan sambil tertawa, "Sebe?lum kau menakut-nakuti si botak itu, lebih baik kau coba dulu perananmu sebagai seorang calon menantu yang alim dan baik, jika ini berhasil akan lebih baik dari pada jika si botak itu menyerahkan anak gadisnya sambil menggi?gil ketakutan."
Sahut Wi-siang, "Selama bertahun-tahun kita bersahabat, baru kali ini kudengar kata-kata mutiara yang indah keluar dari mulut bangsatmu itu, dan mungkin juga yang terakhir kali. Kau memang bangsat."
"Kita memang bangsat semuanya," sahut Siangkoan Hong. Ketiga sahabat itupun kemudian tertawa berderai.
Kemudian Tong Wi-siangpun melang?kah tergesa-gesa menjauhi kaki bukit Tiau-im-hong di bawah tatapan mata ke?dua sahabatnya. Ketika Tong Wi-siang sudah tidak nampak lagi di balik ti?kungan jalan sana, Lim Hong-pin berka?ta sambil tersenyum, "A-siang cukup beruntung. Ia akan mendapat seorang isteri yang cantik dan sangat mencin?tainya, bahkan dalam waktu tidak lama lagi anaknyapun akan lahir."
Siangkoan Hong terkejut, "Anaknya?"
Lim Hong-pin tertawa semakin keras. "Kau benar-benar terkejut atau cuma pura-pura terkejut? Aku tahu, ji?ka kau atau aku mendapat kesempatan yang sama seperti A-siang, ada gadis cantik yang sudi menaksir kita, kita akan berbuat seperti dia pula. Kita bertiga sudah saling mengetahui perut masing-masing."
Demikianlah, sambil bergurau dan saling memaki dengan kata-kata kotor, kedua orang itupun berjalan kembali ke markas, tentu saja dengan melalui jalan rahasia seperti keluarnya tadi. Selama Wi-siang tidak berada di markas mereka berdualah yang memimpin Hwe-liong-pang menghadapi suasana yang sema?kin panas dan penuh kemelut itu.
Dalam pada itu, Tong Wi-siang melangkah meninggalkan Tiau-im-hong dengan langkah-langkah yang semakin lama semakin cepat, seirama dengan degup kerinduannya untuk segera menemui ga?dis kekasihnya yang ditinggalkannya berbulan-bulan namun tidak pernah di?lupakannya itu. Hati dan pikirannya benar-benar telah dikuasai oleh ba?yangan A-giok, anak petani semangka dari Bu-sian-tin itu.Jika dia punya sayap, ingin rasanya dia terbang saja ke Bu-sian-tin.
Dengan pakaiannya yang sederhana, dan tidak terlihat membawa senjata sepotongpun, perjalanan Wi-siang menja?di aman dan tidak terganggu, biarpun ia beberapa kali berpapasan dengan Kelompok-kelompok prajurit Beng yang meronda ataupun laskar Li Cu-seng. Wi-siang dengan seseorang pengungsi mis?kin yang pada jaman perang itu memang merupakan pemandangan yang dapat dili?hat di segala tempat.
Dilewatinya beberapa dusun kecil yang sudah hancur atau setengah han?cur, biasanya sebagian penduduknya sudah mengungsi. Yang masih menempati dusun-dusun itu hanyalah orang-orang yang tak berpengharapan dan pasrah na?sib begitu saja. Kadang-kadang dijumpainya mayat-mayat yang berserakan be?gitu saja di jalan-jalan yang sepi. Mayat prajurit Beng, mayat laskar pem?berontak, atau mayat penduduk yang ba?rangkali tidak tahu menahu tentang pertentangan itu, semuanya terlantar begitu saja, membusuk dikerumuni lalat dan semut, atau sudah terkoyak-koyak oleh gigi anjing-anjing liar. Meskipun Wi-siang sendiri bukanlah seorang yang terlalu baik hati, namun melihat akibat kebiadaban perang itu, mau tak mau bergidiklah bulu tengkuknya.
Tiba-tiba Tong Wi-siang teringat kepada dirinya sendiri, kepada cita-citanya untuk menumbangkan Kerajaan Beng lewat sebuah pemberontakan, dan andaikata ia berhasil mengorbankan perang bukankah hasilnya akan sama de?ngan yang dilihatnya saat ini? Mayat bergelimpangan serta tanah garapan yang terbengkalai, pengungsi kelapar?an di semua tempat dan juga desa-desa yang dibumi-hanguskan? Akhirnya dia menarik napas, "Itu adalah harga se?buah cita-cita, alangkah mahalnya. Se?moga Li Cu-seng benar-benar berjuang untuk rakyat kecil, bukan sekedar me?minjam nama rakyat untuk memperoleh dukungan, sebab pengorbanan semahal ini tidak boleh hanya untuk kepenting?an pribadi, ataua cita-cita pribadi, harga ini memang harus dibayar apa?bila ingin menggulingkan Cong-ceng da?ri singgasananya, dan kemudian menyu?sun sebuah masyarakat baru yang adil sejahtera."
Sekonyong-konyong Tong Wi-siang tersentak hebat. Jika dusun-dusun yang telah dilaluinya itu begitu han?cur berantakan, lalu bagaimana keadaan Bu-sian-tin yang tidak jauh dari situ? Apakah juga hancur dan penduduknya su?dah mengungsi atau tertumpas? Didera oleh kegelisahan yang mencekamnya, Tong Wi-siang mempercepat langkahnya, dan akhirnya dia mengerahkan ilmu me?ringankan tubuhnya untuk menyusuri ja?lan yang sepi itu.
Desa Bu-sian-tin adalah sebuah desa yang tergolong cukup besar untuk daerah itu, mirip sebuah kota kecil, dikelilingi dengan perladangan dan padang rumput yang menghijau luas. Penduduknya yang campuran antara orang Han yang beragama Buddha serta orang Hui yang Muslim itu hidup dengan rukun dan saling menghormati, rumah ibadah dari kedua agama itupun tidak saling berjauhan letaknya. Mereka mengerjakan sawah bersama-sama, menggembalakan ternak bersama-sama pula, serba ten?teram dan penuh kedamaian. Kehidupan setenang itulah yang ingin dilihat oleh Wi-siang, seorang anak muda berci?ta-cita setinggi langit yang hampir seluruh hidupnya bergelimang dengan kekerasan.
Namun karena dari pertentangan an?tara Kerajaan Beng dengan Laskar Li Cu-seng mulai terasa pula panasnya di desa itu, maka ketenangan itu mulai terganggu. Pasukan kedua pihak yang bertikai itu mulai sering memasuki du?sun dan memaksa penduduk untuk menyum?bang perbekalan "demi perjuangan" ma?sing-masing pihak. Penduduk sendiri merasa tidak pernah diperjuangkan na?sibnya, malahan diperas habis-habisan sampai untuk makan diri sendiri dan keluarganyapun sulit. Gangguan kemudi?an meningkat, bukan sekedar meminta perbekalan, tetapi terjadi pula perko?saan, atau pembunuhan atas penduduk yang tak berdaya, dengan tuduhan yang kadang mengada-ada. Itulah sebabnya ketika Tong Wi-siang melangkahi ger?bang desa Bu-sian-tin, maka yang di?jumpainya adalah Bu-sian-tin yang ko?song dan sepi seperti kuburan. Sawah-sawah kering tak terurus, sebab saluran-saluran airpun macet, rum?put-rumput liar tumbuh di jalan-jalan desa yang dulunya bersih. Sepi. Tidak ada tanda-tanda kehidupan di desa itu.
"Oh, Buddha Yang Pengasih," desis Wi-siang dengan jantung berdentang ke?ras.
Dengan langkah ragu-ragu dilangkahkannya kakinya menyusuri jalan desa yang sepi itu. Tidak terdengar lagi je?ritan gembira anak-anak yang ber?main-main, atau lenguh lembu yang me?lambangkan kehidupan, cuma desir angin yang menerbangkan debu dan dedaunan kering. Seekor anjing kurus menyebe?rangi jalan dengan lidah terjulur ke?luar, ia mengais-ngais di sudut jalan, pada sebuah onggokan sampah, namun kemudian dengan lunglai ditinggalkannya onggokan sampah itu karena tidak dite?muinya sesuatu yang dapat dimakan un?tuk memperpanjang hidupnya.
Kini Bu-sian-tin telah mati.
Dengan tergesa-gesa Tong Wi-siang melangkah ke sebuah rumah yang terle?tak agak dipinggir desa, rumah seorang petani semangka. Namun setelah ia sam?pai di sana, maka keadaan rumah itupun tidak ada bedanya dengan rumah-rumah lainnya di desa itu. Kosong, mati dan serba tak teratur, namun debunya belum terlalu tebal, menandakan bahwa penghuni rumah itu belum lama meninggalkan rumahnya. Tong Wi-siang memasuki seti?ap ruangan, memeriksa segenap sudut, kalau-kalau ia menjumpai gadis yang diimpikannya itu, namun bayangannyapun tidak nampak juga. Dilangkahinya pin?tu belakang dan sampailah ia ke sepe?tak kebun semangka yang agak luas, di tengah-tengah kebun semangka itulah pada malam yang indah itu Wi-siang me?nerima penyerahan diri sepenuhnya dari gadis itu, sebuah kenangan tak terlu?pakan. Tapi kini kebun tak terurus lagi. Selain dipenuhi rumput liar, pagarnyapun telah ambruk dan semangka?nya agaknya sudah habis dicuri orang.
Tong Wi-siang kehilangan ketenang?annya, hatinya pepat bukan main meng?hadapi kenyataan yang sebenarnya sudah pernah diperhitungkannya itu, tapi toh kenyataan itu terlalu hebat memukul jiwanya. Tiba-tiba ia menjerit seker?as-kerasnya, dan tanpa terbendung lagi air matanya pun mengalir deras. Ia me?nangis. Ia tidak menangis selama ber?tahun-tahun karena hal itu dianggapnya perbuatan cengeng, namun kini ia mena?ngis sehebat-hebatnya. Dikutukinya di?rinya seumur hidupnya ia selalu kehi?langan dan kehilangan terus? Kehilangan ayah, kehilangan ibu, kehilangan adik-adiknya dan kemudian kehilangan seorang sahabat karib yang telah mengkhianatinya, dan kini ia kehilangan lagi kekasihnya dan bahkan calon anak yang ada dalam kandungan kekasihnya itu.....
Sekali lagi Tong Wi-siang berteri?ak sekeras-kerasnya, seolah ia murka kepada langit, dendam kepada bumi, la?lu menangis lagi di tengah kebun se?mangka itu. Disurukkannya wajahnya ke tanah, tidak peduli tanah kotor yang menempel di wajah dan pakaiannya. Pukulan batin yang dialaminya kali ini terasa benar-benar berat, lebih berat dibandingkan ketika Te-liong Hiang-cu mengkhianatinya dan merampas sebagian besar dari anak buahnya. Waktu itu terjadi, ia masih bisa bersikap tabah dan berbagai keberatan dengan beberapa anak buahnya yang setia kepadanya, na?mun sekarang ia harus berbagi kebera?tan dengan siapa? Akhirnya ketua Hwe-liong-pang itu jatuh pingsan di tengah kebun itu.
Entah berapa lama ia berada dalam alam ketidak-sadaran itu, sampai su?ara guruh di langit dan hujan yang rintik-rintik mulai menyadarkannya dari siumannya. Waktu itu senja sudah jatuh menyelubungi sebagian besar jagad. Perlahan-lahan Tong Wi-siang bangkit, pandangan matanya yang merah dan liar itu menyapu keadaan sekeli?lingnya, lumpur dan rumput-rumput ser?ta daun-daun kering yang mengotori pa?kaian dan tubuhnya tak dihiraukannya, dan tiba-tiba ia tertawa terbahak-bahak menyaingi kerasnya halilintar.
"Ha-ha-ha....., aku datang, A-giok, sampai ke ujung langit, pasti akan kucari kau dan kurampas kau dari ta?ngan-tangan yang akan memisahkan ki?ta.........!"
Lalu ia bangkit dan langsung ber?lari secepat-cepatnya, tanpa arah ter?tentu. Ia tidak melangkahkan kakinya melewati jalan yang lazim dilewati ma?nusia biasa, namun menerjang ke mana saja sesuka hatinya. Menerjang ladang penduduk, pagar, melompati pematang, memukul roboh dinding-dinding peka?rangan, dan tidak jarang ia menghajar patah sebuah pohon besar yang sebenar?nya tidak merintangi jalannya. Hujan yang tercurah semakin deraspun tidak dihiraukannya.
Hari semakin larut, hujan tidak semakin reda, tetapi bahkan semakin deras. Sekian lama Tong Wi-siang ber?lari-lari, dan biarpun ia memiliki il?mu yang tinggi warisan Bu-san-jit-kui, namun diapun tetap manusia biasa yang aklhirnya dirayapi pula oleh rasa ke?lelahan. Bukan itu saja, ternyata pi?kirannya juga merasa lelah, dan perut?nya lapar. Kini ia telah berada di te?ngah sebuah hutan yang gelap gulita, dengan langkah agak terhuyung dia te?rus melangkah ke depan sambil ka?dang-kadang tertawa terkekeh sendirian dan menyebut-nyebut nama gadis Bu-sian-tin itu.
Tiba-tiba Tong Wi-siang menggerakkan cuping hidungnya, menangkap bau daging bakar yang begitu sedapnya me?ngalir dari sekitar tempat itu. Cepat ia bergegas menuju ke depan, biarpun ia agaknya mengalami goncangan jiwa yang parah, namun naluri untuk mengisi perutnya tidak hilang. Maka seperti seekor harimau mencium bau calon kor?bannya, diapun mulai menggunakan pen?ciumannya untuk menuntun langkahnya mencari sumber bau daging yang mem?bangkitkan selera itu.
Tidak lama ia berjalan, sumber bau itupun terasa kian dekat, sampai akhirnya nampaklah beberapa puluh lang?kah di depan sana ada sebuah bangunan bobrok yang terletak di pinggir hutan. Menilik bentuk bangunannya, agaknya bangunan bobrok itu adalah sebuah ru?mah abu milik sebuah keluarga kaya, karena cukup besar dan indah, namun jelas sudah sekian lamanya tidak tera?wat lagi. Dari dalam bangunan bobrok itulah terlihat cahaya api berke?lap-kelip di malam gelap, dan agaknya daging bakar yang sedap itupun ada di dalam sana.
Waktu itu Wi-siang sudah kehilang?an pikiran sehatnya, maka tanpa pikir panjang lagi ia segera berlari-lari menuju ke rumah bobrok itu sambil ber?teriak-teriak, "Bagus, daging panggang yang hebat! Hayo sediakan untukku, un?tuk ketua Hwe-liong-pang yang perkasa, yang bakal membongkar kebobrokan Cong-ceng si bangsat itu !"
Orang-orang yang sedang berteduh da?lam bangunan bobrok itu rupanya adalah beberapa keluarga pengungsi yang agak?nya kemalaman dan kehujanan dalam per?jalanan pengungsian mereka. Rupanya pengungsi-pengungsi itu berhasil me?nangkap beberapa ekor ayam dan kelinci hutan dan memanggangnya sekali untuk mengisi perut mereka. Kini mereka di?kejutkan oleh seorang pemuda yang mes?kipun cukup tampan namun agaknya bero?tak miring, itu terlihat dari bicara?nya yang mengacau serta pakaian dan rambutnya yang tak teratur serta kotor itu.
"Kasihan, anak muda ini agaknya gi?la, mungkin karena seluruh keluarganya tertumpas oleh perang keparat ini," kata seorang lelaki yang agak tua. Berdasar belas kasihannya itu dia men?cabik sebuah paha ayam panggang dan diulurkannya kepada Wi-siang, namun Wi-siang membentaknya dengan murka, "Apa? Aku hanya akan kau beri secuil ini? Aku adalah ketua Hwe-liong-pang yang agung! Kalian harus menunjukkan tanda bakti kalian dengan mempersem?bahkan semua milik kalian, bahkan an?daikata aku menginginkan batok kepala kalianpun kalian harus merasa mendapat kehormatan dan menyerahkannya dengan sukarela, tahu?"
Perang dan kelaparan telah mengu?bah watak manusia jadi mementingkan diri sendiri, demikian pula yang ter?jadi dengan rombongan pengungsi itu. Tadinya mereka merasa kasihan melihat keadaan Wi-siang, namun mereka tentu tidak rela jika harus menyerahkan ma?kanan mereka seluruhnya dan membiarkan mereka sendiri akan kelaparan sepan?jang malam, padahal entah kapan lagi mereka dapat mendapatkan makanan se?perti itu. Salah seorang pengung?si-pengungsi itu adalah seorang lela?ki bertubuh tegap kuat, segera bangkit dari duduknya dan membentak marah, "He, orang gila, kau tidak mengenal kebaikan kami dan malahan ingin meram?pas semua milik kami. Jika ingin da?ging bakar, sana tangkap sendiri ke?linci atau ayam di luar sana, dan ja?ngan ganggu kami lagi!"
Sambil membentak, orang itu seka?ligus juga telah menghadangkan tubuh?nya yang penuh otot itu ke hadapan Tong Wi-siang, dan langsung mengulur?kan tangannya untuk mencengkeram dan mendorong tubuh Wi-siang.
Namun lelaki kekar itu terkejut bukan main ketika mendapat kenyataan bahwa anak muda sinting yang bertubuh lebih kecil dari dirinya itu ternyata tidak bergeming sedikitpun oleh do?rongannya, rasanya bagaikan mendorong selembar tembok besi. Lelaki terkuat di desanya itu sekarang telah menge?rahkan seluruh kekuatannya sampai otot-ototnya bertonjolan keluar bagai?kan cacing bergeliatan, namun musuhnya tetap tidak bergeming seujung rambutpun.
Tong Wi-siang tertawa terkekeh-ke?keh, dengan acuh tak acuh ia mengibas?kan tangannya untuk menyingkirkan ta?ngan orang itu, namun akibat dari ge?rakannya yang acuh tak acuh itu sung?guh hebat bagi orang itu. Sambil men?jerit keras tubuh orang itu terlempar ke belakang dengan tangan keseleo, jatuhnyapun hampir menimpa perapian para pengungsi itu, untunglah seorang lela?ki lainnya berhasil menahan tubuhnya, meskipun iapun kemudian terguling-gu?ling bersama orang yang ditolongnya itu.
Kawanan pengungsi ini rupanya me?miliki setia kawan yang kuat, karena mereka berasal dari satu desa. Meski?pun mereka telah melihat bahwa teman mereka yang bertubuh kuatpun diroboh?kan begitu mudah, tapi lelaki-lelaki yang lain segera bangkit dan beramai-ramai mengeroyok Tong Wi-siang tanpa kenal takut. Mereka berpikir, masakah beberapa orang lelaki sehat dan kuat hanya kalah oleh seorang pemuda sin?ting?
Namun tetap saja orang-orang itu bukan tandingan Tong Wi-siang si pewaris Bu-san-jit-kui itu, hanya de?ngan kibasan-kibasan ringan atau sepakan-sepakan santai, tubuh lelaki-lela?ki pengeroyok itu jatuh bergelimpangan sambil menjerit kesakitan. Ada yang tangannya terkilir berat, jidatnya benjol membentur lantai dan bahkan ada yang langsung pingsan tanpa ingat sekitarnya lagi. Kaum wanita dan anak-anak dari kelompok pengungsi itu lalu menjerit-jerit ketakutan melihat "orang gila" mengamuk sehebat itu. Sa?lah seorang wanita tua yang agak ta?bah, segera berseru kepada kawan-ka?wannya, "Cepatlah salah seorang dari kalian pergi ke belakang dan minta pertolongan kepada tuan-tuan pendekar yang beristirahat di ruang belakang sana! Cepat!"
Tujuan Tong Wi-siang memang ti?dak ingin melukai orang tak berdaya, ia hanya menurutkan naluri manusiawi?nya untuk mengisi perutnya dengan da?ging bakar berbau sedap itu, maka be?gitu perintang-perintang telah dising?kirkan, ia langsung melompat ke dekat perapian dan meraup gumpalan-gumpalan daging ayam hutan milik pengungsi itu. Daging yang masih panas berasap itu lalu digerogoti dengan tangan dan mulutnya begitu saja, seakan-akan tidak terasa panas sedikitpun. Tentu sa?ja kawanan pengungsi itu semakin geme?tar ketakutan melihat ulah si gila itu, mengira Tong Wi-siang bukan manusia biasa melainkan siluman pe?nunggu hutan itu, dan merekapun dengan perasaan apa boleh buat membiarkan "siluman" itu merampasi makanan mere?ka semuanya.
Tangan Tong Wi-siang yang ling?lung itu menggerogoti daging panggang dengan lahapnya, tiba-tiba dari pintu tengah rumah bobrok itu terdengar bentakan dingin, "Hemm, seorang beril?mu tinggi mengandalkan ilmunya untuk berbuat semena-mena. Benar-benar ti?dak pantas!"
Lalu dari pintu itu muncullah be?berapa orang yang semuanya bertampang seperti tokoh-tokoh persilatan dan ma?sing-masing menyandang senjata pula. Yang melangkah paling depan, juga yang mengeluarkan bentakan tadi, ada?lah seorang rahib bertubuh tinggi be?sar dan bermuka berewokan, meskipun kepalanya gundul licin. Ia menggen?dong sebatang pedang panjang di pung?gungnya, langkahnya tegap dan matanya bersorot tajam, menandakan bahwa ra?hib ini memiliki kepandaian yang dapat diandalkan.
Meskipun saat itu jiwa Tong Wi-siang sedang mengalami goncangan hebat, namun dia tidak kehilangan pikiran warasnya meskipun sangat terpengaruh. Ketika melihat munculnya rombongan orang-orang bertampang pendekar dunia persilatan sisa-sisa pikiran warasnya mengingatkannya untuk waspada karena ia telah berhadapan dengan serombong?an pendekar berilmu tinggi, yang agaknya juga sedang berteduh di rumah bo?brok itu namun di bagian lain.
"Siapa kau?!" tanya Wi-siang ga?rang, sambil memandang ke arah rahib yang berjalan paling depan itu.
"Aku Thian-goan Hweshio, dari Go-bi-pay."
Wi-siang nampak tidak terkejut sedikitpun mendengar rahib itu menye?but namanya, dengan harapan si "gila" akan ketakutan mendengar nama besar?nya dan kemudian terbirit-birit tanpa melawan lagi. Namun ternyata si "gila" tidak lari dan juga tidak ketakutan, bahkan sorot mata si "gila" yang amat tajam itu malahan mengejutkan Thian-goan Hweshio dan kawan-kawannya.
Orang yang berdiri di samping Thian-goan Hweshio itupun cukup tegap, biarpun tidak tinggi besar seperti Thian-goan Hweshio. Dia memakai pakai?an ringkas warna abu-abu dan dirangkapi dengan jubah abu-abu pula, se?mentara dari pinggang kirinya mencuat tangkai sebatang pedang. Lelaki gagah ini bukan lain adalah tokoh dari Hoa-san-pay yang tidak kalah terkenalnya dengan Thian-goan Hweshio, yaitu Kiau Bun-han yang bergelar Pat-hong-kiam-khong (Sinar Pedang Delapan Mata Angin). Dia berwatak lebih cermat dari Thian-goan Hweshio dan tidak sekedar menuruti nafsu amarah saja, maka ia menjadi curiga sekaligus berhati-hati ketika melihat sikap Tong Wi-siang yang nampak acuh tak acuh itu.
Kiau Bun-han lalu melangkah ke depan dan memberi hormat, mencoba mem?perkenalkan diri dengan tata-cara du?nia persilatan, "Tuan tentunya adalah seorang pendekar besar yang tidak su?di menganiaya kaum lemah, karena itu kami harap sukalah tuan mengasihani kaum pengungsi yang malang ini dan mengembalikan makanan mereka. Jika tu?an merasa lapar dan tidak memandang rendah kepada kami, kaum Hoa-san-pay dan Go-bi-pay, kami undang tuan untuk berkenalan dan membagi bekal dengan kami."
"Siapa pula kau?" tanya Wi-siang dengan matanya yang liar.
Melihat pandangan mata seliar itu, diam-diam Kiau Bun-han agak ber?gidik juga, dan bertambah pula keya?kinannya bahwa anak muda yang kegila-gilaan ini adalah seorang yang beril?mu tinggi namun agaknya penganut alir?an ilmu sesat. Maka sikap Kiau Bun-han pun semakin berhati-hati, "Aku berna?ma Kiau-bun-han dari Hoa-san-pay. Be?berapa orang sahabat dunia persilatan yang suka berolok-olok telah menju?luki aku sebagai Pat-hong-kiam-kong segala, padahal aku malu dengan juluk?an itu."
Sikap Kiau Bun-han yang keliha?tannya merendah tapi sekaligus juga menyombongkan diri itu bermaksud meng?gertak Wi-siang. Namun lagi-lagi sa?lah alamat, sebab Wi-siang sambil te?tap menggerogoti daging bakarnya te?lah menjawab acuh tak acuh, "Hemm, tong kosong berbunyi nyaring, manusia kerdil memakai julukan yang dahsyat. Tapi ketahuilah, biarpun julukanmu kau tingkatkan lagi sepuluh kali le?bih seram dari yang sekarang, kau te?tap belum setimpal untuk mengajak bersahabat denganku. Lebih baik kali?an sekarang merangkak pergi dari ha?dapanku secepatnya dan jangan meng?ganggu selera makanku lagi."
Dengan kepandaian dan ketena?rannya, Kiau Bun-han senantiasa dihor?mati orang di mana-mana, namun kini seorang anak muda "gila" telah meren?dahkannya begitu rupa dan tidak membe?ri muka sedikitpun kepadanya, tentu saja Kiau Bun-han menjadi malu dan ma?rah. Sambil menggenggam tangkai pedangnya, dia telah berkata lagi de?ngan nada suara berubah dingin, "Kalau begitu tuan yang terhormat ini tentu?nya seorang maha sakti yang berkepan?daian tinggi bukan? Aku akan merasa amat beruntung bila dapat mengetahui nama besarmu dan juga mohon pengajaranmu."
Masih tetap bersikap acuh tak acuh, Wi-siang menyahut, "Aku bernama Hong Wi-siang, Ketua Hwe-liong-pang."
Pengakuan itu bagaikan halilintar yang meledak di pinggir telinga Kiau Bun-han dan rombongannya. Tentu saja mereka pernah mendengar berita tentang Ketua Hwe-liong-pang yang masih muda namun telah memiliki kepandaian sangat tinggi itu. Mereka juga sudah tahu bahwa orang bertopeng yang per?nah menyerbu Siong-san itu bukan ketua Hwe-liong-pang yang syah, melainkan hanya salah seorang adik seperguruan?nya yang telah berkhianat kepada Ketua yang asli. Kabarnya Ketua yang asli beberapa tingkat lebih lihai di?bandingkan wakilnya itu, Hong-tay Hwe-shiopun ragu-ragu dapat mengimbangi?nya. Maka Kiau Bun-han dan kawan-kawannya lalu membayangkan bahwa Ketua Hwe-liong-pang yang asli itu tentunya bertubuh tegap dan bertampang garang, namun kini pemuda yang mengaku Ketua Hwe-liong-pang itu cuma berpakaian ko?tor dan nampaknya kurang waras.
Tetapi tadi sudah menyaksikan be?tapa Wi-siang merobohkan orang-orang yang mengeroyoknya begitu mudah, kare?na itu mau tidak mau Kiau Bun-han dan kawan-kawannya jadi setengah percaya setengah tidak. Tapi karena Wi-siang sudah menghina demikian rupa kepada tokoh Hoa-san-pay itu, maka tidak pe?duli Ketua Hwe-liong-pang asli atau palsu, Kiau Bun-han merasa malu kalau harus melangkah mundur.
Pat-hong-kiam-khong Kiau Bun-han sudah terlanjur menantang dan pantang menjilat kembali ludahnya. Secepat ki?lat ia telah mencabut pedang dari sarungnya, lalu tanpa banyak bicara la?gi ia meluncur maju dan menyerang dengan jurus Pek-hong-koan-jit (Pe?langi Menutup Matahari). Gerakannya begitu cepat dan indah, bahkan karena cepatnya maka wujud pedang telah lenyap dan hanya kelihatan sebagai garis cahaya perak berkilauan yang mengancam lawannya.
Menghadapi serangan hebat dari tokoh Hoa-san-pay itu, Tong Wi-siang tidak mengubah sikapnya yang santai, sepasang kakinyapun berdiri seenaknya tanpa bentuk kuda-kuda apapun, sedang mulutnya masih saja lahap menggerogoti daging panggangnya. Namun begitu ujung pedang lawan sampai di dekatnya, dia menggeliat dan pedang Kiau Bun-hanpun hanya meluncur lewat di atas pundak?nya.
Kiau Bun-han terkesiap melihat ketangkasan lawan yang dapat menghin?dari tikamannya hanya dengan sikap se?santai itu. Namun sebagai pendekar berpengalaman dia sudah memperhitung?kan bahwa serangan pertama biasanya sulit mencapai sasaran, maka serangan berikutnya sudah dipersiapkan pula. Dengan gerakan pergelangan ta?ngannya yang terlatih kuat, dia cepat mengubah jurus pertamanya menjadi Tok-pek-hoa-san (Lengan Tunggal Menggempur Hoa-san) ke pundak Wi-siang. Jurus ini biasanya digunakan dengan senjata berbobot berat seperti golok, ruyung atau toya, dan juga memerlukan ayunan lengan dengan lengkung panjang untuk pengerahan tenaganya. Namun tokoh se?lihai Kiau Bun-han ini agaknya meru?pakan perkecualian dari semua dalil ilmu silat itu. Pedangnya termasuk senjata berbobot ringan, sedang ayunan senjatanyapun hanya mengandalkan kekuatan pergelangan tangan saja, na?mun karena tenaga dalamnya yang hebat itu telah terlasur ke batang pedang?nya maka bacokan itupun ternyata menjadi dahsyat sekali dan menim?bulkan deru angin keras.
Beberapa murid Hoa-san-pay se?gera bersorak memuji kehebatan tokoh andalan perguruan mereka itu. Mereka beranggapan bahwa sebentar lagi si "gila" yang mengaku sebagai Ketua Hwe-liong-pang itu pasti akan terbacok pu?tus pundaknya, sulit menghindar lagi.
Secara naluriah, Wi-siangpun me?nyadari hebatnya serangan tokoh Hoa-san-pay itu. Meskipun pikirannya se?dang kisruh, namun ilmu silat yang te?lah mendarah daging dalam dirinya itu mampu berjalan sendiri tanpa perintah otak lagi, dengan gerak naluriah ham?pir tak terlihat dia telah melangkah ke samping, pedang lawan lewat di si?si tubuhnya, bersamaan dengan itu Tong Wi-siangpun mengayunkan daging pang?gang di tangannya untuk menghantam mu?ka lawannya.
Cepat Kiau Bun-han menundukkan tubuhnya sambil memutar pedangnya un?tuk bertahan. Dengan demikian mulailah kedua orang itu bertempur dengan sengitnya. Kiau Bun-han yang marah itu telah memainkan pedangnya dengan tangkas dan penuh semangat, sebaliknya Tong Wi-siang hanya memegang sepotong ayam panggang namun memainkan jurus-ju?rus aneh warisan Bu-san-jit-kui, se?hingga Kiau Bun-hanpun tidak berani meremehkan "senjata" Ketua Hwe-liong-pang itu, sebab ayam panggang itu ternyata membawakan desir angin yang ke?ras, menandakan kekuatan tenaga dalam yang terkandung di dalamnya.
Demikianlah mereka bertempur se?makin lama semakin cepat dan semakin seru. Sinar pedang Kiau Bun-han berpu?tar dan berkeredepan semakin gencar, sehingga sinar pedangnya bagaikan mengurung delapan arah mata angin ba?gi lawannya. Tepatlah kiranya julukan yang dimilikinya sebagai Pat-hong-kiam-kong. Sementara Thian-goan Hweshio dan lain-lainnya yakin bahwa si gila yang mengaku sebagai Ketua Hwe-liong pang itu tentu akan dapat dikalahkan.
Meskipun hal itu yang diduga oleh Thian-goan Hweshio, namun tidak sama dengan apa yang dirasakan oleh Kiau Bun-han sendiri sebagai orang yang langsung tekanan lawannya. Diam-diam jago pedang Hoa-san-pay itu meng?eluh dalam hatinya, karena dia telah bertempur dengan segenap kemampuan dengan jurus-jurus tertingginya, na?mun masih belum ada tanda-tanda ia a?kan memenangkan pertarungan itu. Lawan masih belum tersentuh ujung pe?dangnya. Kiau Bun-han merasa bahwa yang sedang dihadapinya itu bukan se?sosok manusia yang berdarah dan berda?ging, melainkan rasanya seperti segum?pal asap yang tak dapat disentuh. Bah?kan sambil berkelit dan membalas, la?wannya yang muda itu masih juga me?nyempatkan diri untuk menggigiti ayam panggangnya!
Murid-murid Hoa-san-pay yang il?munya belum begitu tinggi itu, masih saja salah paham dan mengira Tong Wi-siang terdesak oleh jago mereka, sehingga murid-murid itu masih saja bersorak-sorak dan bertepuk tangan mendukung jagonya. Tetapi Thian-goan Hweshio yang berilmu tinggi dan lebih tajam penglihatannya, segera dapat me?lihat bahwa rekannya itu mulai dilibat kesulitan hebat, biarpun nampaknya se?perti mendesak maju. Diam-diam rahib itu mulai mengubah pandangannya terha?dap Wi-siang, dan mulai menguatirkan rekannya. Jauh di dasar hatinya dia juga mengagumi kelihaian Ketua Hwe-liong-pang itu.
Sementara itu, Wi-siang bukanlah seorang yang sabar, tentu saja ia ti?dak sudi hanya menghindar saja, maka mulai mengalirkan serangan balasannya. Begitu dia mulai membalas, pecahlah cahaya pedang Kiau Bun-han yang ta?dinya berkeredapan mengurung badan Wi-siang itu. Kini di tengah gelang?gang pertempuran itu muncul bayangan berpuluh-puluh ayam panggang yang ber?putaran dan menghujani Kiau Bun-han dari segala arah. Pemandangan yang aneh dan menggelikan, namun sangat me?nakutkan bagi Kiau Bun-han yang menga?laminya sendiri.
Thian-goan Hweshio tidak dapat menahan sabar lagi, "Hwe-liong-pang adalah perkumpulan kaum iblis yang mengganggu ketenteraman masyarakat ra?mai, untuk menyingkirkan mereka kita tidak usah peduli lagi akan ditertawa?kan orang lain. Saudara Kiau, aku akan ikut mempercepat penyelesaian perta?rungan ini!"
Ternyata Kiau Bun-han tidak meno?lak dengan sikap diamnya. Agaknya pendekar Hoa-san-pay itupun mengakui kenyataan bahwa dirinya sendirian sa?ja tidak akan mampu mengatasi Tong Wi-siang, salah-salah malahan bisa ce?laka sendiri. Maka dibiarkannya saja rekannya dari Go-bi-pay itu ikut ter?jun ke gelanggang.
Rahib tinggi besar itu telah menghunus pedangnya, kemudian dengan loncatan bagaikan seekor rajawali, ia telah melompat masuk ke gelanggang pertempuran dan langsung menyerang Tong Wi-siang dengan jurus ay-heng-tian-ci (Garuda Mementang Sayap) yang mengarah iga musuh. Yang di?mainkan oleh rahib pemarah dari Go-bi-pay itu ternyata adalah Tat-mo-kiam-ho (Ilmu Pedang Tat-mo) gaya Go-bi-pay, berbeda dengan gaya ilmu pedang Kiau Bun-han yang kaya akan gerak tipu dan kegesitan, maka ilmu rahib ini justru keras, cepat dan langsung tanpa ba?nyak tipu yang berbelit-belit, namun tidak kalah berbahayanya dengan ilmu pedang Hoa-san-pay.
Menghadapi keroyokan dua orang tokoh terkenal dunia persilatan itu, mau tidak mau Tong Wi-siang terdesak juga, apalagi karena "senjata"nya cuma sepotong ayam panggang. Dalam keadaan terdesak itu, untunglah bahwa dia be?lum kehilangan ingatannya sama sekali akan ilmu-ilmu ajaran Bu-san-jit-kui. Cepat-cepat ia melompat mundur untuk mengambil jarak, dilemparkannya ayam panggangnya yang tengah dipegangnya, diuraikannya ikatan rambutnya, lalu bibirpun mulai berkomat-kamit menggumam?kan mantera dalam bahasa yang aneh. Perlahan-lahan biji mata Tong Wi-siang pun mulai berubah warna kehijau-hijauan seperti mata kucing. Itulah il?mu warisan Bu-san-jit-kui yang diberi?nya nama "Jit-kui-tiau-goat-sin-kang" (Ilmu Sakti Tujuh Iblis Menyembah Rem?bulan).
Baik Kiau Bun-han maupun Thian-goan Hweshio sebagai pendekar-pendekar berpengalaman, terkesiap ketika me?lihat sikap Tong Wi-siang itu. Mereka sadar akan gawatnya keadaan, maka Thi?an-goan Hweshiopun berseru, "Bangsat cilik ini menerapkan ilmu iblisnya. Saudara Kiau, hayo kita gempur bersa?ma!"
Rahib berdarah panas itu bukan cuma berani mementang mulutnya, tapi juga berani bertindak untuk mempelopori serangannya. Dibarengi dengan ben?takannya yang menggeledek ia telah me?lompat dan melancarkan gerakan Soat-hoa-kay-teng (Bunga Salju Menutup Ke?pala), gemerlap pedangnya disertai de?siran tajam telah membabat ke batok kepala Tong Wi-siang. Kiau Bun-han ju?ga ikut menyerang, namun mengarah se?pasang kaki Wi-siang. Begitulah dua orang pendekar yang disegani di dunia persilatan terpaksa tidak malu-malu lagi mengorbankan nama besar mereka dengan jalan mengeroyok seorang anak muda yang pantas menjadi anak mereka. Namun anak muda itu adalah Ketua Hwe-liong-pang yang menggemparkan rimba persilatan.
Menyongsong serangan gabungan itu Tong Wi-siang tidak gentar, ma?lahan memperdengarkan suara tertawa?nya yang menyeramkan. Lengannya yang hanya terbungkus kulit itu telah diang?kat dan ditangkisnya begitu saja me?nyongsong mata pedang Thian-goan Hwe?shio yang terbuat dari baja pilihan itu. Akibatnya ternyata cukup mengejutkan, pedang Thian-goan Hweshio ter?pental balik bagaikan membacok lem?pengan baja tebal, sedang kulit le?ngan Tong Wi-siang tidak lecet seujung rambutpun, hanya kain bajunya yang terkoyak.
Kiau Bun-han ternyata juga menga?lami kejadian yang sama. Pedangnya dengan telak sekali berhasil mengenai kaki Wi-siang, namun bukan kaki Wi-si?ang yang putus melainkan pedangnya sendiri yang terpental balik dan ham?pir saja melukai dirinya sendiri. Dengan terkejut kedua tokoh Go-bi-pay dan Hoa-san-pay itu memandang lawan mereka yang masih muda itu dengan nge?ri, lalu merekapun saling bertukar pandangan satu sama lain sambil meng?angkat bahu. Mereka pernah mendengar tentang adanya ilmu kebal sejenis Tiat po-san (Baju Besi) atau Kim-ciong-to (Lonceng Emas), namun jenis-jenis il?mu itu masih belum bisa diandalkan un?tuk menghadapi tajamnya senjata yang digerakkan dengan dilambari tenaga lwekang. Tapi kini mereka melihat jenis ilmu kebal lain yang hampir-hampir tidak masuk akal, jenis ilmu kebal yang nampaknya lebih hebat dari Tiat-po-san maupun Kim-ciong-to, bahkan sa?mar-samar memancarkan suasana gaib yang seram pula.
"Kita benar-benar sedang berha?dapan dengan ilmu siluman," gumam Ki?au Bun-han marah bercampur ngeri.
Pada waktu itulah terdengar gemerincing lima batang pedang yang dica?but keluar dari sarungnya. Ternyata dua orang murid Hoa-san-pay serta tiga orang murid Go-bi-pay itu telah menya?dari kegawatan yang mengancam guru mereka masing-masing, maka disertai gelegak darah muda mereka, merekapun berniat ikut terjun ke gelanggang per?tempuran. Mereka berseru, "Suhu, ijinkan kami ikut ambil bagian untuk mem?basmi siluman yang membahayakan umat manusia ini!"
Kelima orang muda itupun kemudi?an tidak menunggu lagi persetujuan gu?ru-guru mereka, sebab mereka yakin gu?ru merekapun pasti tidak mencela tin?dakan mereka, bahkan mungkin akan me?mujinya. Dengan semangat meluap mere?ka berlima segera menyerbu ke arah Tong Wi-siang. Lima batang pedang ber?kilauan serempak ke berbagai bagian tubuh Tong Wi-siang.
Sayang, agaknya nasib buruklah yang telah siap menunggu kelima orang pendekar muda yang berani itu, sebab saat itu Tong Wi-siang sedang mata ge?lap, pikirannya keruh, dan sama se?kali tidak dapat mengendalikan diri lagi. Melihat serangan yang serempak itu, cepat Wi-siang memekik dahsyat dan se?kuat tenaga melancarkan jurus Jit-kui-keng-te (Tujuh Iblis Menggoncangkan Bumi). Terdengar suara berdentangan yang dahsyat ketika lima batang pe?dang itu mengenai tubuh Tong Wi-siang yang kebal, kemudian ayunan tangan Ke?tua Hwe-liong-pang itu membuat murid murid Hoa-san-pay dan Go-bi-pay itu terpental berpencaran seperti daun-daun kering dihembus badai. Dua orang di antara mereka kini hanya memegang tangkai pedang yang telah buntung. Se?dang seorang yang lainnya malahan te?lah roboh memuntahkan darah, setelah bergerak-gerak sebentar di tanah, dia?pun lalu terdiam kaku dan nyawanyapun melayang. Rupanya pemuda itu telah me?nyerang Tong Wi-siang terlalu berani, sehingga pukulan Wi-siang berhasil ma?suk telak ke dadanya dan meremukkan tulang-tulang dadanya seketika.
Melihat salah seorang muridnya telah menjadi korban Hwe-liong Pang-cu, berkobarlah amarah Thian-goan Hweshio yang memang berwatak berangasan itu. Tidak peduli lagi ilmu-ilmu sesat la?wannya yang lihai, ia telah menyerang kembali dengan jurus-jurus andalannya. Begitu pula Kiau Bun-han ikut menyerang bersama rekannya ini. Namun kali ini Kiau Bun-han bertindak agak cer?dik, ujung pedangnya tidak menyambar ke sembarangan bagian tubuh lawan, me?lainkan memilih sasaran-sasaran yang biasanya tidak dapat dilindungi ilmu kebal seperti mata, bagian bawah dagu dan sebagainya.
Begitulah, di bawah siraman hujan deras itu pertempuran telah berkobar kembali, lebih dahsyat dari semula, sebab kini murid-murid Hoa-san-pay dan Go-bi-pay juga telah ikut terjun ke gelanggang. Tong Wi-siang yang hanya bertangan kosong itu harus bertempur meladeni enam orang lawan yang semuanya bersenjata pedang. Pertempuran kali inipun lain sifatnya dengan per?tempuran yang mula-mula tadi. Kalau tadi masih bersifat pertandingan dan saling menjajaki, maka yang sekarang ini sudah diwarnai oleh dendam kesumat dan kemarahan yang meluap di hati orang-Orang Hoa-san-pay dan Go-bi-pay. Satu korban jiwa yang jatuh di pihak Go-bi-pai sudah cukup untuk mengorban?kan api kebencian kaum pendekar.
Tapi Tong Wi-siang adalah pemim?pin resmi dari sebuah perkumpulan yang pernah membuat dunia persilatan menggigil ketakutan, dengan demikian tingkatan ilmunyapun sangat tinggi, apalagi Tong Wi-siang juga meladeni la?wan-lawannya dengan tidak kurang ma?rahnya. Sebagai seorang bekas anak berandalan di An-yang-shia yang me?mang gemar berkelahi dan tidak kenal takut, ia sudah biasa mengumbar pe?rasaan marahnya itu tanpa peduli tem?pat, waktu dan siapa yang dihadapinya. Ia merasa sangat jemu dan muak melihat tingkah para pendekar yang diang?gapnya orang-orang munafik yang sok alim itu. Sifatnya yang pemarah itu masih ditambah lagi dengan pengaruh ilmu sesat warisan Bu-san-jit-kui yang sedikit banyak mempengaruhi kepribadiannya juga, membentuknya menjadi pribadi yang agak liar dan ganas. Maka ketika pertempuran meningkat semakin seru dan hati Tong Wi-siangpun semakin panas, ia tidak mengendalikan dirinya lagi dan bertarung sejadi-jadinya.
The Ring Of Solomon 2 Pendekar Pulau Neraka 06 Pendekar Kembar Pusaka Langit 3
^