Pencarian

Perserikatan Naga Api 2

Perserikatan Naga Api Karya Stevanus Sp Bagian 2


Di dalam hatinya, Tong Tian memaki kelicikan lawannya itu. Jelaslah bahwa adu lwe-kang semacam itu tidak meng?untungkan diri Tong Tian, bukan kare?na tenaga dalam Tong Tian kalah, namun karena adu tenaga itu akan memberi ke?sempatan kepada orang-orangnya Cia To-bun untuk menyerang Tong Tian. Padahal dalam adu tenaga semacam itu, kedua belah pihak tidak boleh terpecah perhati?annya sedikitpun.
Kini Tong Tian tidak dapat meng?hindarinya, atau menarik tenaganya, se?bab jika dia berbuat demikian maka a?rus tenaga dalam lawan akan mengalir masuk dan menggempur bagian dalam tu?buhnya dan itu berarti kematian! Tidak ada jalan kecuali melayani adu tenaga itu sampai tuntas. Akhirnya dengan nekad Tong Tian mengerahkan seluruh tena?ganya untuk menekan lawannya.
Butiran-butiran keringat dingin se?besar biji kedelai segera mengalir di muka Te-yong Tojin. Imam itu merasa be?tapa tenaga Tong Tian menggempur perta?hanannya bagaikan gelombang samudera yang mendampar tak henti-hentinya, mem?buat dadanya jadi sesak seperti ditin?dih dengan batu besar. Namun imam itu bertahan sekuatnya, sementara ekor ma?tanya memberi isyarat kepada para anak buah Cia To-bun agar segera turun ta?ngan.
Salah seorang anak buah Cia To-bun yang ingin berjasa, segera menghantam?kan ruyungnya sekuat tenaga ke batok kepala Tong Tian.
"Hem, biarpun aku harus mampus, le?bih dulu aku membunuh manusia-manusia rendah ini sebanyak-banyaknya," geram Tong Tian di dalam hatinya.
Ia tidak peduli lagi pantangan orang yang sedang mengadu tenaga dalam, diangkatnya pedang di tangan kanannya untuk menangkis ruyung itu. Ruyung itu terpental balik dan menghantam mampus pemiliknya sendiri. Namun di saat itu?lah Te-yong Tojin membarenginya dengan mengerahkan tenaga dan mendorong sekuat tenaga.
Memangnya kekuatan kedua tokoh yang bertanding itu tidak selisih ba?nyak, maka dorongan Te-yong Tojin itu menimbulkan akibat hebat atas diri Tong Tian. Ia terhuyung mundur sampai lima langkah lebih sambil menyemburkan segumpal darah segar dari mulutnya. Te-yong Tojin juga terhuyung mundur dengan muka pucat, namun tidak sampai menyemburkan darah, jelas keadaan imam itu jauh lebih ringan dari lawannya.
Dengan susah-payah Tong Tian berta?han agar tidak jatuh.
Seorang prajurit cepat menusukkan tombak ke lambung pendekar itu, Tong Tian menangkis dengan pedangnya. Sayang tenaga Tong Tian telah terperas habis, tombak prajurit itu tidak dapat ditangkisnya secara sempurna, hanya berbelok sedikit tetapi tetap merobek lambung Tong Tian. Bagaikan harimau lu?ka, Tong Tian menggeram dan menancap?kan pedangnya ke tubuh prajurit itu dengan sisa tenaganya.
Baik tubuh prajurit itu maupun tu?buh Tong Tian roboh dalam saat yang bersamaan.
Tong Tian masih sempat menghirup napas beberapa kali, setelah itu perla?han-lahan kepalanya terkulai ke sam?ping dan rohnya terbang meninggalkan raganya.
Jasad seorang pendekar yang disega?ni di seluruh Kiang-se itu kini terge?letak tidak bernyawa, tidak ada beda?nya dengan jasad-jasad lainnya yang mengelilingi malang-melintang. Pendekar yang bernama besar dan kaum keroco yang bernama kecil, jika sudah menjadi mayat toh sama saja.
Orang-orang yang masih hidup ber?diri mengelilingi mayat Tong Tian, dengan mata kepala mereka sendiri, me?reka telah melihat matinya seorang pendekar yang terkenal.
Pertarungan yang baru saja berlang?sung di halaman depan rumah Cia To-bun itu benar-benar merupakan sebuah per?tempuran yang dahsyat dan menggetarkan hati.
Matahari mulai turun ke sebelah ba?rat, haripun mulai menjadi gelap perla?han-lahan.
Te-yong Tojin melangkah tertatih-ta?tih sambil memegangi dadanya yang ma?sih terasa sakit. Dipandangnya mayat lawannya yang kini telah terbujur kaku. Dalam hatinya berkecamuklah bermacam macam perasaan, antara puas, bangga dan juga gentar! Puas dan bangga karena ia dapat mengalahkan Kiang-se-tay-hiap yang termasyhur, biarpun dengan cara yang licik dan kurang terpuji. Te?tapi ia juga gentar, karena mulai hari itu ia sudah menanam permusuhan dengan Soat-san-pay, sebuah aliran persilatan yang memiliki banyak tokoh-tokoh beril?mu tinggi. Sejak saat itu, hidupnya pasti akan senantiasa terganggu oleh tokoh-tokoh Soat-san-pay yang akan mem?balaskan dendam buat Tong Tian.
Seorang anak buah Cia To-bun sege?ra melaporkan kepada majikannya bahwa perkelahian telah selesai, dan Tong Ti?an telah berhasil dibunuh. Dengan muka berseri-seri Cia To-bun lalu menuju ke halaman depan untuk melihat sendiri ma?yat dari orang yang dibencinya itu.
Melihat mayat Tong Tian, Cia To-bun tidak dapat menguasai diri lagi, mula-mula ia hanya tertawa terkekeh-ke?keh tapi kemudian terbahak-bahak dengan kerasnya, "Ha-ha-ha, inilah contohnya orang yang berani menentang kekuasaan?ku di An-yang-shia! Ia telah mampus, ya, duri dalam dagingku telah mampus kini! Hatiku puas sekali. Ha-ha-ha-ha..."
Namun Cia To-bun menjadi heran ke?tika melihat Te-yong To-jin nampak bermuram-durja dan kurang bersemangat. Ta?nyanya, "Totiang, dalam suasana penuh kemenangan ini kenapa justru Totiang tampak kurang bergembira? Apakah Totiang terluka oleh bangsat she Tong ini?"
Te-yong Tojin tertawa menyengir, katanya dengan suara berat, "Aku telah membunuh Tong Tian demi mengabdi kepada Tay-jin. Namun aku kini pasti akan dimusuhi oleh golongan Soat-san-pay, ketenteraman hidupku ini mungkin sudah tidak terjamin lagi."
Mendengar itu, kembali Cia To-bun tertawa bergelak-gelak sampai perut gendutnya berguncang-guncang, katanya dengan congkak, "Kiranya hanya soal se?kecil itu yang membuat hati Totiang ri?sau. Sampai di mana kekuasaan golongan Soat-san-pay itu sehingga mereka be?rani menganggu Totiang yang dibawah perlindunganku?"
Sebenarnya Te-yong Tojin kurang se?tuju akan ucapan Cia To-bun itu, namun ia berpura-pura mengucapkan terima ka?sih, "Terima kasih atas kebaikan hati Tay-jin. Selanjutnya biarlah aku ber?lindung di bawah keagungan pemerintah."
-o0^DwKz-Hendra^0o- Jilid 03 TAPI dalam hatinya Te-yong Tojin berkata lain, "Hemm, kau si gen?dut ini benar-benar tidak tahu ting?ginya langit dan tebalnya bumi, enak saja kau bicara. Baru Tong Tian seo?rang diri saja sudah mampu membikin tempatmu berantakan seperti ini. Apa lagi jika semua jago-jago Soat-san-pay menyerbu kemari, biarpun sepuluh orang macam aku dan ratusan tukang pukul ini juga sulit melindungi jiwamu."
Kemudian Cia To-bun memberi perintah kepada salah seorang prajurit, "Pergilah kau ke kota Lam-cang seka?rang juga, temuilah Cong-tok (Panglima Daerah) Thio Ban Kiat dan katakan kepa?da beliau bahwa aku ingin meminjam pa?sukan untuk menumpas sisa-sisa keluar?ga Tong. Kau berangkat sekarang juga dan bala bantuan itu kalau bisa harus sudah ada di An-yang-shia pada malam nanti, supaya dapat langsung dige?rakkan."
Kiranya Panglima Daerah Kiang-se itu adalah sahabat karib Cia To-bun. Puluhan ribu tentara kerajaan yang ada di seluruh Kiang-se ada di bawah pe?rintahnya, sedang kedudukan markasnya ada di kota Lam-cang yang jaraknya ha?nya sepuluh li dari An-yang-shia.
Ternyata Thio Ban Kiat ini tidak mau repot-repot lagi menyelidiki benar atau tidaknya laporan Cia To-bun ten?tang "memberontaknya keluarga Tong", ia terlalu malas untuk berbuat itu. Maka laporan Cia To-bun ditelannya mentah mentah begitu saja, dan langsung saja Thio Ban-kiat mengirimkan sepasukan prajuritnya dan beberapa perwira yang berilmu cukup tinggi untuk "menumpas pemberontak".
Begitulah gambaran kebobrokan kea?daan pemerintahan di masa berkuasanya Kaisar Cong-ceng. Para penguasa begitu mudah menggerakkan tentara dan main tumpas begitu saja begitu ada laporan, tanpa menyelidiki dulu benar atau ti?daknya laporan itu. Pokoknya mereka ingin cepat menyelesaikan urusan itu, tidak peduli bahwa cara penyelesaian?nya itu betul atau tidak.
-o0^DwKz-Hendra^0o- SENJA itu, rumah keluarga Tong yang menghadap danau Po-yang-ou itu nampak sepi dan mencekam. Senda-gurau para pelayan yang biasanya ramai terdengar dan menyemarakkan suasana ru?mah itu, kini tidak terdengar sedikit-pun. Desir angin yang menggoyangkan pucuk-pucuk cemara bagaikan membawa beri?ta menyedihkan.
Dari ruangan tengah, masih nampak cahaya lilin menyorot keluar menembus kertas jendela yang tipis. Tong Hu-jin masih duduk terpekur, begitu pula Tong Wi-lian. Sedang Tong Wi-hong juga bera?da di dalam ruangan itu dan sedang ber?jalan hilir-mudik dengan gelisahnya, berkali-kali ia mengepalkan tinjunya sambil menggigit-gigit bibirnya.
Tiba-tiba Tong Wi-hong berhenti me?langkah, katanya memecah kesunyian, ''I?bu, daripada kita menunggu dan disiksa kegelisahan di tempat ini, lebih baik biarkan aku menyusul ke rumah Cia To-bun. Barangkali ayah memerlukan bantu?an untuk sesuatu hal."
"Jangan gegabah menyimpulkan sesua?tu," sahut Tong Hu-jin. "Kepandaian ayahmu cukup tinggi dan pengalamannya-pun banyak, tidak ada alasan untuk menguatirkan anak kecil yang bermain-ma?in di pinggir sumur."
Meskipun muka Tong Hu-jin masih ke?lihatan tenang, tapi suaranya agak ber?getar, rupanya diapun sedang menyem?bunyikan kegelisahan dalam hatinya. Ia bukannya tidak tahu bahwa di rumah Cia To-bun ada dua orang jagoan terkenal, yang mau diperintah untuk berbuat apa saja demi uang. Apa lagi hubungan ba?tin antara Tong Hu-jin dan suaminya cukup erat, dan samar-samar ia mulai merasakan adanya firasat jelek.
Sahut Tong Wi-lian, "Jika saja ayah tidak menemui kesulitan, kenapa sampai semalam ini dia belum pulang ju?ga? Cia To-bun adalah seorang yang li?cin dan licik, apalagi dia sangat mem?benci ayah, bisa jadi ia telah menyiap?kan suatu perangkap buat ayah. Secara berhadapan memang ayah sulit dikalah?kan, tetapi bagaimana kalau secara li?cik dengan tipu muslihat keji? Ibu, ki?ta harus pergi ke rumah Cia To-bun un?tuk melihat keadaan, jangan sampai se?muanya menjadi terlambat."
Didesak terus-menerus oleh kedua orang anaknya, mau tidak mau goyah ju?ga pendirian Tong Hu-jin. Apalagi kare?na ia sendiripun sudah hampir tidak ta?han disiksa oleh perasaan gelisah dan firasat-firasatnya.
Tengah ibu dan anak-anaknya dilanda kegelisahan itu, tiba-tiba terdengar suara tertawa terbahak-bahak dari atas genteng, disusul suara bernada menge?jek, "Ha-ha-ha, tikus-tikus yang malang kalian tidak perlu menyusul ke An-yang-shia. Nih, bapakmu sudah kubawakan pulang !"
Menyusul sebuah bungkusan besar dilemparkan dari atas genteng dan ja?tuh di tengah-tengah latar depan. Tong Hu-jin dan kedua anaknya segera menghu?nus pedangnya masing-masing dan berla?ri-larian menghampiri bungkusan besar itu. Di bawah cahaya bintang yang re?mang-remang, bungkusan itu berbentuk mirip manusia, bahkan pada kain pembungkusnyapun nampak bercak-bercak kehitam-hitaman, seketika itu bergetarlah hati Tong Hu-jin dan anak-anaknya.
Dari atas genteng terdengar suara ejekan pula, "Kenapa kalian ragu-ragu? Bukalah bingkisan dari kami itu!"
Waktu Tong Hu-jin menengok ke atas genteng, maka nampaklah di atas gen?teng telah muncul dua orang manusia aneh. Kedua-duanya memakai seragam per?wira kerajaan. Yang satu bertubuh ge?muk pendek, bentuk tubuhnya serba bulat, dan ia memanggul sebuah ruyung besi yang kelihatannya cukup berat. Sedang yang satu lagi adalah kebalikannya, tubuhnya begitu kurus dan tinggi sehing?ga hanya mirip sebatang galah bambu sa?ja, tangannya memutar-mutar dan memper?mainkan sebatang badik pendek. Kedua orang itu dapat berdiri di atas gen?teng tanpa menimbulkan suara, hal mana menandakan bahwa kepandaian mereka cukup tangguh.
Sementara itu Tong Wi-lian telah membuka bungkusan itu. Mendadak gadis itu menjerit kaget dan menangis keras-keras, ternyata bungkusan itu adalah mayat ayahnya.
Terjawablah pertanyaan kenapa sang ayah belum pulang sampai hari selarut itu, dan kini ternyata ayahnya pulang hanya sebagai sesosok mayat. Kema?rahan dan kedukaan hebat segera berke?camuk di hati orang-orang yang diting?galkan itu, mereka juga menyesal karena tidak menyusul ke rumah Cia To-bun. Andaikata mereka menyusul sejak tadi, barangkali Tong Tian tidak mengalami nasib seburuk itu.
Sementara kedua manusia aneh yang berdiri di atas genteng itu tertawa-ta?wa melihat ibu dan anak-anaknya itu bertangisan. Si gemuk berkata di sela-sela tertawanya, "Heh-heh... itulah hu?kuman yang pantas buat seorang pembe?rontak. Tetapi yang membunuhnya bukan aku lho, eh, kenapa kau melotot kepada?ku?"
"Anjing-anjing kaisar, turunlah kau!" bentak Tong Wi-hong dengan penuh kemarahan sambil menudingkan pedangnya.
Si kurus menoleh kepada si gemuk sambil berkata, "Aduh, belum pernah ku?lihat tuan rumah segarang ini. Toako, mereka sudah mempersilahkan kita untuk turun."
"Turun ya turun," sahut si gemuk dengan tetap tertawa-tawa. "Barangkali mereka masih ingin menyuguh kita sebe?lum kita meringkus mereka. Adik Kang, ayo kita lompat ke bawah!"
Begitu kalimat itu selesai, kedua orang itu langsung melayang dari atas genteng bagaikan dua ekor elang menyam?bar mangsanya. Si gemuk itu ternyata dapat bergerak cepat dan tangkas, gerak-geriknya sama sekali tidak terganggu oleh tubuhnya yang hampir bulat itu !
Kedua orang aneh itu adalah perwira-perwira bawahan Cong-tok Thio Ban kiat dan keduanya adalah bersaudara. Yang gemuk pendek bersenjata ruyung itu bernama Phui In dan adiknya yang kurus seperti galah itu adalah Phui Kang. Tadinya kakak beradik ini merupa?kan tokoh-tokoh Hek-to (jalan hitam) di Hun-lam, namun kemudian keduanya "insyaf" dan mengabdi kepada Kerajaan Beng dan mendapat pangkat perwira.
Begitu kaki menginjak tanah, Phui In langsung menyerampangkan ruyung be?sinya ke pinggang Tong Hu-jin yang ber?diri paling depan, diimbangi oleh Phui Kang dengan tusukan badiknya ke arah tenggorokan dengan kecepatan seekor ular mematuk. Kakak beradik itu memang sudah terbiasa bertempur berpasangan secara rapi, yang satu unggul dalam hal kekuatan, lainnya punya gerakan yang secepat kilat.
Tapi isteri Tong Tian juga bukan perempuan lemah. Dia adalah adik seper?guruan Tong Tian sendiri dan tingkat ilmunya tidak berselisih banyak dengan Tong Tian sendiri. Bahkan dalam hal il?mu meringankan tubuh (gin-kang), ia se?tingkat lebih unggul dari suaminya.
Demikian kedua saudara Phui itu me?nyerang, Tong Hu-jinpun memutar pedang?nya dan melayani kedua musuhnya itu se?cara sengit. Meskipun hatinya tengah dibebani kesedihan akan kematian suami?nya, namun permainan ilmu pedangnya hampir tidak terpengaruh sama sekali, sehingga tidak mudah bagi kedua sauda?ra Phui untuk mengalahkannya. Dengan demikian berkobarlah sebuah pertempur?an sengit di halaman rumah keluarga Tong itu. Untuk sementara sulit diten?tukan siapa yang akan menang dan siapa yang akan kalah.
Ternyata jago-jago yang menyerbu ke tempat itu bukan cuma Phui In dan Phui Kang saja, sebab dari balik tem?bok melompatlah dua orang lagi yang langsung menyerbu ke arah Tong Wi-hong dan adiknya. Yang seorang bersenjata tan-to (Golok Tunggal) dan yang lain?nya membawa tombak pendek berkait. Ge?rak-gerik mereka cukup tangkas dan lin?cah, menandakan bahwa merekapun terma?suk jagoan-jagoan terpilih yang diba?wahi oleh Cong-tok Thio Ban-kiat.
Tong Hu-jin dan kedua anaknya ber?tempur dengan perasaan diliputi kema?rahan dan kedukaan, tidak mengherankan kalau gerak-gerik merekapun kadang-ka?dang kurang terkendali. Mereka bertem?pur dengan nafsu untuk membalaskan sa?kit hati suami dan ayah mereka, dan un?tuk itu mereka bersedia mengadu nyawa. Maka sulitlah bagi jago-jagonya Cong-tok itu untuk menangkap mereka hidup-hidup.
Karena merasa sulit mengatasi kea?daan, akhirnya perwira yang bersenjata tan-to itu memasukkan jari tangan kiri?nya ke mulut, lalu mengeluarkan bunyi suitan nyaring. Ternyata ia memberi isyarat kepada teman-temannya yang menunggu di luar agar langsung menyerbu ke dalam saja.
Suitan itu segera bersambut. Dari luar tembok berlompatanlah orang-orang bersenjata yang jumlahnya mencapai be?lasan orang. Meskipun hanya belasan, tapi jelas orang-orangnya Cong-tok ini lebih sulit dilayani daripada orang-or?angnya Cia To-bun yang berjumlah puluhan orang itu. Anak buah Thio Cong-tok ini rata-rata membekali diri dengan il?mu silat yang tangguh.
Hal itu dapat dimaklumi, sebab Thio Cong-tok bertanggung-jawab untuk keamanan daerah Kiang-se yang cukup luas itu, sehingga banyak di antara anak buahnya itu merupakan jago-jago pi?lihan. Sedangkan Cia To-bun cuma berkua?sa di kota sekecil An-yang-shia, maka mutu anak buahnyapun berbeda dengan mu?tu anak buah Thio Cong-tok, meskipun Te-yong Tojin merupakan perkecualian.
Tong Hu-jin bertempur dengan tekad yang menyala-nyala, tetapi diapun tidak kehilangan perhitungan sehatnya. Ia sadar bahwa dirinya dan kedua anaknya itu tidak akan mampu mengatasi belasan lawan tangguh itu, bahkan ia dan anak-anaknya mulai "digiring" ke dalam suatu kepungan yang makin lama makin me?nyempit. Nampaknya malam itu keluarga Tong akan benar-benar tertumpas habis.
"A-hong, A-lian!" teriak Tong Hujin tiba-tiba. "Keluarga Tong tidak boleh putus-turunan. Kalian harus cepat ke?luar dari sini dan menyelamatkan diri. Aku masih sanggup menahan keroyokan an?jing-anjing ini!"
"Tidak, ibu!" seru Wi-hong dan adiknya hampir bersamaan. "Mana bisa ka?mi membiarkan ibu sendirian menempuh bahaya?! Ibu, mari kita bersama-sama membalaskan sakit hati ayah!"
Tong Hu-jin memang tidak memikir?kan lagi keselamatan dirinya sendiri, bahkan ia sudah bertekad untuk gugur menemani suaminya, tapi ia tidak ingin anak-anaknyapun ikut menjadi korban sehingga tadi ia menyuruh anak-anaknya untuk lari.
Tapi ternyata kedua putera-puteri Tong Tian itupun bukan berjiwa pengecut, mereka sudah mendidih darahnya tidak memikirkan mati hidup lagi.
Perwira yang bersenjata tombak pendek berkait itu tertawa mengejek, "Ha-ha, tidak usah kalian berusaha un?tuk menyuruh menyelamatkan diri, percuma, tempat ini sudah terkepung rapat. Lagi pula bukankah lebih berbahagia ka?lau sekeluarga dapat berkumpul di sorga?"
Mulutnya mengejek, tombak pendeknyapun ikut bekerja menikam ke rusuk Tong Hu-jin, dibarengi oleh Phui In dengan menyerampangkan ruyungnya ke kaki Tong Hu-jin.
Darah Tong Hu-jin bagaikan meluap mendengar ucapan itu. Meskipun ia berha?sil menghindari serangan-serangan itu, tetapi kepungan para jago pemerintah itu terasa semakin berat dan semakin ketat.
Di sebelah lain, keadaan Tong Wi-hong dan adiknyapun semakin payah, bahkan kemudian terdengar jeritan Wi-lian, karena pedangnya terpental dari tangannya ketika berbenturan dengan golok tan-to lawannya. Lalu seorang perwira menyelonong maju ke hadapan Wi-lian dan langsung merangsak Wi-lian dengan ilmu Kim-na-jiu (ilmu menangkap), sambil mengejek, "Sayang gadis secantik kau ikut-ikutan menjadi buruan pemerintah. Baiknya kau ikut aku saja untuk menjadi bini mudaku."
Melihat adiknya terancam bahaya, Wi-hong berusaha lepas dari lawannya untuk membantu sang adik. Namun lawannya sangat mahir dalam Kau-kun (ilmu silat monyet) dan terus mendesak Wi-hong secara rapat tanpa memberi kesempatan bernapas. Akhirnya Wi-hong menjadi nekad. Ia tidak perduli lagi akan sebuah tendangan lawan yang tengah menuju ke perutnya, secara nekad ia menikam kepada orang yang hendak menangkap adiknya itu.
Terdengar suara mengeluh dua kali berturut-turut dalam waktu yang hampir bersamaan. Orang yang hendak menangkap Wi-lian itu melompat kesakitan sambil memegangi lengannya yang terluka oleh ujung pedang Tong Wi-hong. Tetapi Tong Wi-hong sendiri jatuh bergulingan karena perutnya termakan oleh tendangan lawan yang mahir Kau-kun itu.
Si jago Kau-kun tertawa puas, ia memburu untuk meringkus Tong Wi-hong sambil berkata, "Ilmu silat Soat-san-pay yang disohor-sohorkan sebagai ilmu tingkat tinggi itu ternyata hanya nama kosong belaka. Ha-ha-ha...haup, aduh !"
Entah apa yang terjadi, si jago Kau-kun ini tiba-tiba menjerit kesakitan sambil menekap mulutnya. Ternyata mulutnya kini telah tersumbat segumpal bakpao yang tinggal separoh. Bakpao itu hanyalah barang lunak yang terbuat dari gandum, tapi ternyata mampu merontokkan beberapa biji gigi dari si jago Kau-kun itu, jelaslah bahwa orang yang menyambitkan tentu memiliki tenaga dalam yang sangat tinggi.
Kejadian tak terduga itu telah mengejutkan kedua belah pihak yang se?dang bertempur. Serentak masing-masing berlompatan menjauhi lawan untuk meli?hat apa sebenarnya terjadi.
Udara malam yang sudah cukup dingin itu jadi bertambah dingin ketika terdengar suatu suara yang bernada amat dingin dari arah sebatang pohon, "Sungguh si mulut besar yang pantas dihajar, mahluk yang berani mengatakan bahwa ilmu silat perguruan kami hanya nama kosong belaka."
Semua orang menoleh ke arah asal suara itu. Nampaklah seorang lelaki yang berusia kira-kira enampuluh tahun, berwajah sedingin es dan berpakaian serba putih. Jenggotnya berwarna kelabu dan panjangnya sampai ke dada. Di pinggangnya tergantung sebatang pedang.
Yang membuat kagum semua orang adalah ketika melihat cara orang itu berdiri di atas pohon. Ternyata kaki orang itu cuma menginjak sebatang ranting yang besarnya tidak melebihi jari tangan, tapi ranting itu tidak patah, bahkan orang itu seolah-olah berayun ayun naik turun dengan santainya. Sua?tu pameran ilmu meringankan tubuh yang menggetarkan!
Melihat orang itu, Tong Hu-jin se?gera berseru, "Su-siok (paman guru)!"
Sedangkan Wi-hong dan adiknya me?nyapa hormat, "Su-siok-co !"
Para jagoan yang dikirim oleh Thio Cong-tok itu menjadi kaget dan gentar setelah mengetahui bahwa orang aneh yang lihai itu ternyata dari golongan lawan. Mereka sudah melihat sendiri ke?kuatan tenaga dalam orang itu, yang mampu merontokkan gigi rekan mereka ha?nya dengan lemparan sepotong bakpao, dan melihat pula ilmu meringankan tubuh yang begitu lihai, mau tak mau me?reka keder juga.
Phui Kang lalu memberi hormat ke arah tokoh Soat-san-pay itu, sambil ber?tanya, "Siapakah nama besar Lo-cianpwe? Antara Lo-sianseng dan kami ti?dak pernah bermusuhan, apa lagi kami juga sedang melaksanakan tugas negara, harap lo-sianseng tidak merintangi pe?kerjaan kami."
"Hemm, anjing-anjing Kaisar yang menjemukan," dengus kakek itu acuh tak acuh. Seringan daun kering ia me?lompat turun ke tanah dan mendekati ma?yat Tong Tian. Tiba-tiba mukanya menja?di beringas, bentaknya kepada jago-ja?gonya Thio Cong-tok, "He, siapa yang telah membunuh keponakan muridku ini?!"
Karena orang-orangnya Thio Cong-tok itu hanya saling berpandangan saja tanpa menjawab, maka Tong Wi-honglah yang menerangkan kejadian yang sebenar?nya.
Selama mendengarkan penuturan Tong Wi-hong itu, kakek itu menggeram ber?ulang kali, nampak jelas bahwa kema?rahan mulai berkobar di dalam hatinya.
Kakek yang lihai itu ternyata ada?lah paman guru (su-siok) dari Tong Ti?an, bernama Oh Yu-thian dan berjulukan Soat-san-kiam-sian (Dewa Pedang dari Soat-san) karena sangat terkenal kelihaian ilmu pedangnya. Ia memiliki ta?biat yang cukup aneh, yaitu ingin menangnya sendiri dan selalu menganggap bahwa perguruannyalah yang paling ung?gul. Ia paling benci jika orang mencela perguruannya, sikapnyapun selalu berpi?hak kepada orang-orang dari golongan?nya sendiri, tidak peduli benar atau salah. Dengan watak seperti itu, jaranglah orang-orang dunia persilatan yang mau berurusan dengannya.
Begitu mendengar cerita Tong Wi-hong tentang cara kematian ayahnya, se?ketika kambuhlah sifat-sifat lama Oh Yu-thian. Perlahan-lahan ia melolos pe?dang yang tergantung di pinggangnya, lalu katanya dingin, "Hemm, anjing-an?jingnya Cong-ceng terlalu tidak memand?ang sebelah mata kepada Soat-san-pay kami. Malam ini biarlah kutunjukkan ke?pada mereka bagaimanan lihainya Soat-san-kiam-hoat."
Baru saja mulut Phui In bergerak gerak hendak menyahut, Oh Yu-thian su?dah memotongnya, "Tidak perlu banyak mulut! Tidak ada alasan untuk menolak tantanganku ini! Lihat pedang!"
Begitu selesai kalimatnya, begitu pula pedangnya meluncur secepat kilat ke dada Phui In. Tidak percuma ia ber?juluk Soat-san-kiam-sian, sebab gerakan pedangnya ternyata benar-benar secepat kilat.
Phui In terkejut, tubuhnya yang ge?muk itu agak merintangi keleluasaan ge?rak-geriknya. Hampir saja dadanya ber?lubang, kalau dua orang kawannya tidak cepat menolongnya dengan jalan serem?pak menyerbu Oh Yu-thian dari dua ju?rusan.
Oh Yu-thian tertawa dingin, dengan langkah ringan ia menggeser ke samping dan pedangnyapun mulai berkelebat kesana kemari untuk "membagi-bagi" tu?sukan dengan cepatnya. Belasan orang jagonya Thio Ban-kiat itu dipaksa mun?dur oleh badai serangan yang cepat itu. Beberapa orang rupanya agak terlambat menghindar sehingga menderita luka.
Demikianlah, dalam satu jurus saja tokoh tua Soat-san-pay itu telah memperlihatkan keampuhan permainan pedangnya. Keberanian Phui In dan kawan-ka?wannya menjadi susut sebagian.
Dalam kesempatan itu Tong Hu-jin punya waktu untuk memeriksa tubuh suaminya. Dan menangislah ia sambil mene?lungkup di tubuh sang suami yang telah dingin itu. Baru kemarin malam ia dan suaminya bercakap-cakap dan bergurau di ruangan buku, dan kini suami yang dicintainya itu hanyalah sesosok tubuh beku.
Tong Wi-hong dan adiknyapun ingin menghibur hati ibunya, tapi hati mereka sendiri sangat sedih sehingga kedua?nya malah ikut menangis. Tiba-tiba Tong Hu-jin menyeka air matanya dan berkata kepada kedua anaknya, "A-hong ! A-lian, jika kalian masih ingin menu?rut kepadaku, cepatlah tinggalkan rumah ini dan selamatkan diri kalian. Jangan menjadi gelap pikiran sehingga keluarga Tong kita akan putus keturun?an. Aku dan su-siok-co kalian pasti sanggup menahan anjing-anjing ceng itu di sini. Cepatlah!"
Tetapi kedua anak itu menggeleng-gelengkan kepala, sahut Wi-lian dengan tegas, "Tidak. Akulah yang telah memu?kul anak Cia Tay-jin sehingga menim?bulkan malapetaka ini. Bagaimana seka?rang aku bisa meninggalkan tanggung-jawab dan menyelamatkan diri sendiri? Aku ingin mengadu jiwa dengan pembunuh-pembunuh ini."
"Jangan," cegah ibunya. "Kau akan mengantar jiwa dengan cuma-cuma, se?dangkan Cia To-bun yang ingin kau balas akan tetap enak-enak di rumahnya tanpa kurang suatu apapun."
Tengah ibu dan kedua anak-anaknya itu saling berbantahan, Oh Yu-thian yang tengah berkelahi itu berseru de?ngan jengkelnya, "Kalian benar-benar goblok, kenapa berbantahan tanpa guna seperti itu? Membalas dendam sepuluh tahun lagipun masih belum terlambat. Tapi jika kalian mampus semua di tem?pat ini, maka sakit hati ini benar-benar tidak akan terbalas sampai akhir jaman sekalipun."
Ternyata, betapapun lihainya Soat -san-kiam-sian Oh Yu-thian, namun meng?hadapi belasan orang jago-jago pilihan?nya Cong-tok mau tidak mau menjadi agak kewalahan juga. Sebaliknya belasan orang jagoan itupun sudah tidak sempat memperhatikan hal-hal lainnya lagi, me?reka harus menggabungkan tenaga dan pi?kiran untuk membendung si dewa pedang yang sangat digdaya itu.
Sementara itu Oh Yu-thian telah berteriak pula, "He, lekaslah lari! Aku mendengar derap langkah ratusan pra?jurit sedang menuju ke tempat ini. Jangan menunggu sampai rumah ini terke?pung rapat !"
Tong Wi-hong lalu memungut pedang?nya yang diletakkan di tanah, dan bu?kannya ia lari, namun malah menerjun?kan diri ke tengah gelanggang pertem?puran, diikuti pula oleh adik perempu?annya.
Sesungguhnya belasan orang jagoan Cong-tok itu hanya merupakan pelopor saja, di belakang mereka masih ada se?buah pasukan yang jauh lebih kuat yang benar-benar akan menumpas keluarga Tong Tian sampai tuntas. Jika pasukan itu telah tiba di situ, maka biarpun kepandaian Oh Yu-thian setinggi langit, ia tidak akan mampu melindungi sisa-sisa keluarga Tong itu. Itulah sebabnya ia berteriak-teriak dengan gugupnya un?tuk menganjurkan lari.
Sementara itu Phui In telah melom?pat mundur dari tengah gelanggang, ia mengeluarkan sebuah peluru api yang langsung dinyalakannya dan dilemparkan ke udara. Peluru itu meledak di langit yang kelam dan membentuk sebuah garis-api yang panjang. Itulah isyarat kepada seluruh pasukan agar mempercepat ger?akannya. Rupanya Phui In kuatir jika sisa-sisa keluarga Tong itu sempat melarikan diri, tentu akan menjadi bibit penyakit dikemudian hari.
Sedangkan Oh Yu-thian bertambah gu?gup melihat Tong Wi-hong dan adiknya masih juga berkeras kepala tidak mau melarikan diri. Teriaknya, "He, anak-a?nak goblok, jika kalian tidak mau per?gi juga, biarlah malam inipun aku ikut mampus di tempat ini!"
Kepungan para jagoan yang dikirim Thio Cong-tok itu ternyata cukup ketat, sedikit saja perhatian Oh Yu-thian ter?pecah, pahanya telah kena tendangan perwira yang mahir Kau-kun tadi. Un?tung tubuh Oh Yu-thian cukup kuat, se?hingga tendangan itu tidak terlalu dirasakannya, bahkan ia membalas perwira itu dengan menikam pinggangnya.
Mendadak di tengah kesunyian malam itu sayup-sayup mulai terdengar derap langkah ratusan orang dikejauhan, ma?kin lama makin mendekat, dan bahkan ke?dengaran pula suara gemerincingnya sen?jata. Mendengar itu, Phui In dan kawan-kawannya bersorak dalam hati dan mereka-pun tambah bersemangat dalam bertempur.
Sebaliknya Oh Yu-thian semakin na?ik darah, tiba-tiba ia berteriak meng?geledek sambil melancarkan jurus Pat-hong-hong-i (Hujan Angin Delapan Penjuru), pedangnya seakan-akan terpecah menjadi puluhan batang yang bergerak dalam tikaman-tikaman dan sabetan-sabetan secepat kilat. Lawan-lawannya terperanjat dan serentak berlompatan mun?dur, tetapi dua orang perwira bernasib malang telah menemui ajalnya karena kurang cepat bergerak.
Setelah membubarkan kepungan, sece?pat angin Oh-Yu-thian telah meluncur ke arah Tong Wi-hong dan dengan gam?pangnya mencengkeram kuduk anak muda itu. Bentaknya, "Anak gila, jika kau tidak mau menyelamatkan diri untuk mem?balaskan sakit hati ayahmu dikemudian hari, lebih baik kau tidak usah mema?kai nama marga Tong lagi!"
Dan tubuh Tong Wi-hong yang berat?nya puluhan kati itu dilemparkannya ke?luar halaman, seringan orang melempar?kan seekor anak anjing saja. Tong Wi lianpun mengalami nasib yang sama, yaitu dilemparkan keluar tembok halaman sete?lah didamprat lebih dulu.
Jago-jagonya Thio Cong-tok itu bertugas untuk menumpas keluarga Tong, ti?dak boleh tersisa seorangpun. Begitu melihat Tong Wi-hong dan adiknya telah dilempar keluar oleh Oh Yu-thian, mere?ka segera membagi diri. Sebagian tetap bertahan di tempat itu untuk menahan amukan Oh Yu-thian dan Tong Hu-jin, se?bagian lagi menguber ke arah larinya Wi-hong dan adiknya.
Tong Hu-jin melompat mengejar orang-orang yang hendak memburu anak-a?naknya itu. Namun karena kepandaiannya-pun terbatas, maka ia hanya berhasil menahan dua orang di antara mereka, dan masih ada empat orang yang dengan leluasa meneruskan pengejarannya.
Semua perkembangan itu tidak lepas dari pengamatan Oh Yu-thian. Dengan tangan kirinya, tokoh Soat-san-pai itu segera menyebarkan segenggam senja?ta rahasia berujud bintang-bintang be?si ke arah orang-orang yang hendak mengejar Wi-hong dan Wi-lian itu. Sen?jata-senjata rahasia tu meluncur de?ngan suara bercuitan, tiga orang segera terjungkal roboh sebelum sempat melompati tembok halaman. Yang satu lagi berhasil menginjak puncak tembok, na?mun jatuh kembali ke tanah karena pundaknyapun kena bintang besi dari Soat-san-pay itu.
Terdengar Oh Yu-thian tertawa ter?bahak-bahak dengan puasnya, tandangnya semakin garang setelah jumlah musuh-mu?suhnya berkurang! Dalam beberapa gebrakan saja Phui In dan kawan-kawannya telah diporak-porandakan oleh ilmu pe?dangnya yang hebat.
Sedangkan Tong Hu-jinpun mulai ung?gul di atas angin, sebab ia cuma meng?hadapi dua orang perwira yang kepandai?annya tidak begitu lihai. Bahkan dengan sengit isterinya Tong Tian itu mende?sak terus.
Saat itulah pasukan besar yang dikirim oleh Thio Cong-tok telah tiba. Di sekeliling rumah segera terdengar suara hiruk pikuk, cahaya obor dan suara te?riakan-teriakan terdengar, "Kepung ra?pat-rapat rumah ini ! Jangan sampai para pemberontak itu lolos seorangpun!"
Muka Oh Yu-thian berubah hebat. Be?tapa lihainya seorang ahli silat, ia tidak mungkin menghadapi ratusan perajurit sekaligus. Cepat Oh Yu-thian ber?seru kepada Tong Hu-jin, "Tit-li (kepo?nakan perempuan), cepat kaususul kedua anakmu. Sisa-sisa anjing Kaisar ini biarlah kuhadapi sendiri!"
Phui Kang mendengus dan berkata dingin, "Hem, kau boleh memaki kami apa saja, tapi setelah kau tertangkap nanti, lihat saja kau masih bisa meng?gonggong apa lagi!" Lalu dengan badik?nya ia secepat kilat menikam ke dada Oh Yu-thian.
Oh Yu-thian menggertakkan giginya, beruntun ia mainkan serangkaian jurus-jurus Soat-san-kiam-hoat yang membuat ke tujuh sisa lawannya itu dipaksa un?tuk bertahan melulu. Namun segera ter?lihat bahwa pintu gerbang rumah telah didobrak dari luar dan puluhan praju?rit membanjir masuk. Bahkan tidak sedi?kit prajurit-prajurit pemerintah yang masuk ke halaman dengan jalan memanjat tembok.
Dalam keadaan sekisruh itu, para pelayan keluarga Tong menunjukkan kese?tiaannya. Meskipun mereka hanya berjum?lah sedikit dan tidak mahir mengguna?kan senjata, tapi sekuat tenaga mereka mencoba membela rumah tuannya dari pengrusakan oleh prajurit-prajuritnya Cong-tok. Tapi apa artinya pelayan-pe?layan itu dibandingkan ratusan praju?rit yang paling tangguh di Kiang-se itu? Bukan saja para pelayan itu tidak sanggup mencegahnya, bahkan merekapun berguguran dengan mudahnya. Dan praju?rit-prajurit Cong-tok itu memperlaku?kan lawannya dengan bengis, membabat orang-orang lemah itu seperti orang membabat rumput saja.
Tong Hu-jin menjadi sangat terharu melihat kesetiaan pelayan-pelayannya itu. Makin besarlah tekadnya untuk bertahan sampai titik darah yang pengha?bisan di tempat itu.
Namun Oh Yu-thian justru punya pi?kiran lain yang tidak sesuai dengan te?kad Tong Hu-jin itu. Serunya, "Tit-li, bila kau sudah tidak menghiraukan kese?lamatanmu sendiri, itu urusanmu. Teta?pi apakah kau juga akan membiarkan anak-anakmu berkeliaran di dunia persilatan tanpa seorang pembimbingpun? Jika demikian kau benar-benar seorang yang hanya mementingkan diri sendiri!"
Kata-kata yang pedas itu ternyata cukup berkesan di hati perempuan perka?sa itu. Ia mulai dapat berpikir dengan kepala dingin. Di saat dia ragu-ragu itulah maka seorang perwira hampir ber?hasil mendaratkan goloknya untuk membe?lah batok kepala Tong Hu-jin.
Melihat itu, cepat Oh Yu-thian ber?gerak untuk menolong. Perwira yang hampir berhasil itupun tiba-tiba mengeluh pendek, pedang Oh Yu-thian secara te?lak telah menembus pinggangnya, dari pinggang kanan tembus ke pinggang kiri.
Sementara lawan-lawannya tertegun, secepat kilat Oh Yu-thian telah menya?rungkan pedangnya. Kemudian dengan tangan kiri ia menyambar mayat Tong Tian, dan dengan tangan lainnya ia mena?rik Tong Hu-jin, lalu dengan sekali mengayunkan badan ia telah melompat ke atas genteng. Bobot tubuh dua orang yang dibawanya itu ternyata hampir-ham?pir tidak mempengaruhi ilmu meringan?kan tubuhnya, dalam beberapa kali lom?patan saja dia telah pergi cukup jauh.
Melihat itu, Phui In dan kawan-ka?wannya mau tidak mau terlongong kagum, dan bergumam, "Tidak kosong nama Soat-san-kiam-sian !"
Meskipun para perwira itu merasa tidak ada gunanya mengejar pendekar tua itu, namun untuk menunjukkan "kegagahan" di hadapan prajurit-prajurit rendahan, para perwira itu pura-pura mengejar puluhan langkah dan setelah itu balik kembali. Betapapun lebih enak menguras barang-barang berharga di rumah Tong Tian daripada mempertaruh?kan nyawa mengejar jago tua yang perka?sa itu.
Tong Tian memang bukan orang kaya, tapi banyak harta simpanannya yang cu?kup berharga. Maka ber"pesta"lah Phu In dan perwira-perwira lainnya, ting?kah laku mereka benar-benar tidak mi?rip perajurit sebagai pelindung rakyat melainkan sama persis dengan kaum pe?rampok. Meskipun gagal memikul tugas?nya, tidak mengapa, asal kantong sudah penuh dan nanti di hadapan Cong-tok me?reka akan mengarang alasan yang kuat untuk kegagalan itu.
Dalam pada itu, Oh Yu-thian dengan memanggul dua sosok tubuh, yang satu hidup dan yang lain mayat, terus berla?ri-lari menjauhi rumah itu. Dengan gin-kang dan lwe-kangnya yang tangguh, ja?rak lima li ditempuhnya dalam waktu yang cukup singkat. Setelah itu barulah mereka berhenti berlari-lari.
Begitu berhenti, kembali Tong Hu-jin terguguk-guguk menangisi kematian suaminya. Oh Yu-thian membiarkan sa?ja perempuan itu melepaskan kepepatan hatinya yang tadinya tertahan-tahan. Bahkan jago tua itupun ikut merasa pena?saran bagi kematian Tong Tian.
Setelah Tong Hu-jin selesai dengan tangisnya dan mulai agak tenang, baru?lah Oh Yu-thian bertanya, "Tit-li, ke?tika mendiang Tong Su-tit meninggalkan soat-san, ia membawa sejilid kitab il?mu pedang karya terbaru dari Su-heng (kakang seperguruan). Kini Tong Su-tit telah tiada, kitab hasil jerih payah Su-heng itu jangan sampai terjatuh ke tangan anjing-anjing kaisar itu. Di ma?nakah kitab itu?"
Tong Hu-jin tidak segera menyahut, tapi ia menggeledah pakaian mayat sua?minya, dan akhirnya di bagian dalam pakaian itu sejilid kitab yang sampulnya telah bernoda darah dan berbau keringat pula. Ternyata Tong Tian begitu menya?yangi kitab pemberian gurunya, sehing?ga di manapun ia berada, ia selalu mem?bawa kitab itu di tubuhnya. Untung Cia To-bun tidak menggeledah badannya, ka?lau tidak tentu kitab itupun sudah ikut lenyap bersama nyawanya.
Oh Yu-thian menjadi lega setelah melihat kitab itu masih utuh tidak ku?rang satu apapun. la adalah seorang yang sangat mengunggulkan golongannya sendiri, dan tentu tidak tega bila ki?tab ilmu pedang dari perguruannya itu jatuh ke tangan golongan lain, bahkan andaikata jatuh ke tangan sesama golongan lurus sekalipun. Ia berpenda?pat bahwa sahabat adalah manusianya, tetapi ilmu silat tiap perguruan akan tetap bersaing dengan keunggulannya ma?sing-masing dan saling merahasiakan ke?unggulan masing-masing.
Kemudian kata Oh Yu-thian kepada Tong Hu-jin, "Kitab itu oleh suhengku telah dihadiahkan kepada suamimu, ka?rena itu engkaulah kini yang berhak me?nyimpan dan merawatnya. Harap hati-ha?ti, jangan sampai ada orang lain yang mengetahui bahwa kitab itu ada padamu, sebab jika demikian kau akan dilanda macam-macam kesulitan."
Dengan khidmat Tong Hu-jin menyim?pan kitab itu di tubuhnya sendiri. Ka?tanya, "Terima kasih atas bantuan Su-siok yang telah menyelamatkan sisa-sisa keluarga kami. Selanjutnya tit-li mo?hon bantuan su-siok agar membantuku mencari dan melindungi anak-anakku yang kini telah terpencar-pencar. Anak tertuaku, A-siang, sekarang entah bera?da di mana. Sedangkan A-hong dan Alian-pun aku tidak tahu lari ke jurusan ma?na. Semoga Thian selalu melindungi me?reka."
Oh Yu-thian tidak berkata apapun. Dengan mata yang menyala ia menatap ru?mah Tong Tian di kejauhan, yang kini telah nampak kemerah-merahan karena dilanda nyala api. Kiranya setelah Phui In dan kawan-kawannya puas mengu?ras isi rumah, mereka lalu membakarnya.
Tong hu-jinpun memandang nyala api di kejauhan itu dengan macam-macam per?asaan berkobar di dalam dadanya. Sedih, geram dan dendam.
Kemudian Oh Yu-thian dan Tong Hu-jin bersama-sama menggali sebuah lu?bang untuk menguburkan mayat Kiang-se-tay-hiap secara sederhana saja. Tubuh pendekar nomor satu di seluruh Kiang-se itu kini telah berada di bawah sebuah gundukan tanah yang sangat sederhana, ?hanya ditandai dengan sebuah batu sebagai batu nisannya. Mereka memang sengaja menyamarkan kuburan pendekar itu, agar Cia To-bun tidak menemukan?nya dan membongkarnya kembali.
Setelah itu, Oh Yu-thian bertanya kepada Tong Hu-jin, "Sekarang tit-li hendak pergi ke mana?"
Untuk sesaat lamanya Tong Hu-jin jadi kebingungan harus menjawab bagai?mana. Kemana kini ia hendak menggan?tungkan hidupnya? Mencari dua orang saudara angkat Kiang-se-tay-hiap? Tapi Cong-koan Hwesio, si kakak angkat, adalah seorang rahib pengembara yang tidak tentu tempat tinggalnya. Apalagi Tong Hu-jin sebagai seorang perempuan merasa tidak pantas kalau melakukan perjalanan bersama-sama dengan seorang rahib. Menuju ke tempat tinggal Ting Ciau-kun, si adik angkat, di Pak-khia?
"Aku tidak sudi kesana," pikir Tong Hu-jin. "Meskipun Tong Ciau-kun adalah adik angkat suamiku, sikapnyapun manis dan ramah, tapi aku tahu bahwa dia adalah seorang munafik yang pandai berpura pura. Lalu sekarang harus ke manakah aku?"
Melihat isteri Tong Tian itu masih kebingungan menjawab, Oh Yu-thian lalu memberi usul, "Kukira, tempat yang paling aman bagimu saat ini adalah Soat-san, meskipun cukup jauh dari sini. Tetapi di tempat yang tenteram dan indah itu kau akan dapat mengistirahatkan tubuh dan pikiranmu yang kelelahan setelah mengalami bencana hebat ini. Di tempat itu pula kau dapat lebih memusatkan diri untuk memperdalam ilmu pedang guna membalas sakit hati, sekaligus melepaskan kerinduan kepada saudara-saudara seperguruanmu yang cukup lama berpisahan denganmu."
Dalam keadaan bingung tanpa pegangan itu, usul Oh Yu-thian langsung mendapat tempat di hatinya. Dan ia bertam?bah mantap ketika Oh Yu-thian berkata, "Mengenai ketiga orang anak-anakmu, jangan kau cemaskan mereka. Kebetulan akupun sedang menganggur dan tidak ingin cepat-cepat pulang ke Soat-san. Aku akan berkeliling dulu ke seluruh negeri untuk menjumpai sahabat-sahabat lama, sekalian mencari berita tentang anak-anakmu itu."
Tong hu-jin bagaikan tersumbat tenggorokannya oleh rasa haru dan terimakasihnya. Cepat ia berlutut dan menyatakan syukurnya kepada paman gurunya itu.
"Sudahlah, kesedihan dan kepahitan tidak ada gunanya disimpan terus dalam hati," kata Oh Yu-thian. "Lebih baik mulai sekarang kita akan memusatkan pikiran untuk langkah-langkah apa yang bakal kita jalankan. Nah, aku pergi du?lu."
Dengan beberapa kali lompatan saja, tubuh Oh Yu-thian telah berkelebat lenyap dari pandangan.
Langit di sebelah timur telah ber?angsur-angsur menjadi semakin cerah, ternyata masih secerah hari kemarin. Tetapi nasib keluarga pendekar di tepi danau Po-yang-ou itu sudah berubah hebat. Tong Tian terbunuh, anak-anak mereka berpencaran tak tentu arahnya, dan rumah tempat mereka berlindungpun kini hanya berujud puing-puing hangus yang masih berasap dan bercampur bau daging terbakar.
Sebelum meninggalkan tempat itu, sekali lagi Tong Hu-jin berlutut sem?bahyang di depan makam suaminya. Sete?lah itu mulailah ia melangkahkan kaki?nya untuk menempuh suatu perjalanan yang sangat jauh ke arah barat, ke Soat san, tempat di mana ia pernah menghabiskan sebagian besar masa mudanya un?tuk berguru ilmu silat di sana. Sete?lah berpuluh tahun meninggalkan tempat itu, ada juga rasa kerinduannya kepada tempat itu.
-o0^DwKz-Hendra^0o- TONG-WI-HONG dan adiknya terus ber?lari sampai menjelang fajar. Ketika mendekati kota Lam-cang, mereka menjumpai dua orang prajurit yang tengah meronda. Kebetulan jalanan masih sepi dari lalu lintas, maka kedua pra?jurit itu langsung dihajar dan diram?pas kudanya, sekalian untuk melampias?kan kemarahan kepada pihak kerajaan yang telah semena-mena melemparkan tu?duhan dan membasmi keluarga mereka. Masih untung prajurit-prajurit itu, sebab kedua saudara Tong itu masih belum sam?pai hati membunuh mereka, dan hanya membuat beberapa biji gigi mereka ron?tok.
Dengan kuda rampasan itu perja?lanan Wi-hong dan Wi-lian jadi lebih cepat. Mereka sengaja menghindari kota Lam-cang dan langsung menujukan kuda mereka ke arah utara. Pakaian mereka yang terkoyak-koyak dan bernoda ciprat?an darah, serta pedang yang terselip di pinggang tanpa sarung itu, membuat kakak beradik itu mirip sepasang peram?pok muda yang baru saja gagal merampok dan sedang diburu-buru orang sekampung.
Tong Wi-hong akhirnya menyadari bahwa keadaan mereka yang semacam itu tentu sangat menarik perhatian orang orang yang berpapasan dengan mere?ka, dan itu akan sangat memudahkan ba?gi orang-orang Cia To-bun untuk menca?ri jejak mereka. Karena itu mereka ha?rus berganti pakaian. Tapi mereka me?ninggalkan rumah tanpa membawa bekal uang sepeserpun, dari mana bisa mendapat?kan pakaian yang pantas?
Keduanya lalu berunding. Setelah berpikir bolak-balik, akhirnya mereka memutuskan untuk... mencuri, suatu pe?kerjaan yang selama ini terpikirkanpun belum pernah. Tapi keadaan telah memak?sa mereka untuk berbuat demikian. Tapi merekapun tidak ingin menyusahkan mereka yang miskin, maka sasaran pencurianpun ditetapkan kepada seorang hartawan de?sa yang pelit. Dari situlah mereka ber?hasil mencuri pakaian yang cukup pantas, meskipun dengan potongan pakaian orang desa, bahkan sempat pula mengambil se?kantong uang untuk bekal perjalanan me?reka. Tidak lupa mereka meninggalkan sepucuk surat ucapan "terima kasih" dan kata-kata penghibur hati untuk sang korban.
Keesokan harinya hartawan itu mene?mukan hartanya telah berkurang, dan ka?rena gemasnya maka surat ucapan terima kasih Wi-hong itu diremasnya dan dite?lannya mentah-mentah.
Sedangkan Tong Wi-hong dan adiknya kini telah berganti rupa. Meskipun pa?kaian yang mereka kenakan itu berpo?tongan sederhana tapi sudah cukup men?jadikan wi-hong seorang pemuda tampan dan gagah, serta Wi-lian nampak cukup manis dan ayu. Sayang sepasang wajah tampan dan ayu itu nampak diliputi ke?murungan.
Keduanya terus mengaburkan kudanya ke arah utara, dan hanya beristirahat bila perlu saja. Kota-kota dan tempat-tempat ramai mereka hindari sebisa-bisanya, sebab mereka kuatir bertemu de?ngan orang-orangnya Cia To-bun.
Kenapa kakak beradik itu menuju ke utara? Rupanya mereka telah berunding dan memutuskan akan mencari paman ang?kat mereka, Ting Ciau-kun, yang ting?gal di Pak-khia. Di situlah mereka akan menumpang untuk sementara sambil mohon sang paman mengajarkan Ngo-heng-ciang (Pukulan Lima Unsur) dan Eng-jiau-kang (Tenaga Kuku Elang) yang kabarnya cukup lihai itu, untuk membalas dendam sakit hati mereka.
Setelah menempuh perjalanan berhari hari tanpa kenal lelah, akhirnya sam?pai juga mereka ke Pak-khia, ibukota kerajaan di jaman dinasti Beng itu.
Tong Wi-hong dan adiknya dibesar?kan di sebuah kota kecil seperti An-yang-shia, dan andaikata mereka per?nah melihat kota besar, paling-paling hanya melihat kota Lam-cang yang jarak?nya tidak jauh dari An-yang-shia. Dan kini setelah melihat kota Pak-khia, ko?ta pusat pemerintahan itu, maka Lam-cang hanya seperti dusun kecil saja.
Kakak beradik itu benar-benar tak?jub melihat pemandangan yang terbent?ang dihadapannya. Jalan-jalan raya yang lebar dan berlapis batu halus itu terasa begitu panjang, dan jumlah persimpangan-persimpangannya bagaikan sa?rang laba-laba banyaknya. Di kiri kanannya terdapat rumah-rumah yang indah dan besar, rumah-rumah makan yang me?wah, kuil-kuil pemujaan yang berukir indah, pagoda-pagoda yang tingginya ba?gaikan menggapai langit dan sebagainya. Dan orang-orang yang berhilir mudik di jalan raya yang lebar itu bukan cuma orang-orang Han saja, tapi nampak pula orang-orang dari suku-suku luar perba?tasan (Kwan-gwa) seperti suku-suku Mongol, Manchu atau Korea, juga orang orang dari daerah barat seperti suku-suku Hui (Uighur), Kozak dan sebagainya. Terlihat pula orang Thian-tiok (India) dengan pakaian suteranya yang indah dan kumisnya yang melintang seperti tanduk kerbau, atau orang-orang Persia dengan matanya yang berwarna kecoklat-coklatan, dan berewoknya yang tebal.
Karena kuatir menubruk orang di jalan raya yang seramai itu, maka Tong Wi-hong dan adiknya merasa lebih aman untuk menitipkan kudanya dan berjalan kaki saja. Meskipun begitu toh suatu ketika Wi-hong hampir saja menabrak seorang saudagar India.
Agak lama kakak beradik itu berpu?taran di kota itu, sampai Wi-lian mengingatkan kakaknya akan tujuannya datang ke kota itu, "A-hong, di mana rumah paman Ting?"
"Kita akan mencarinya sekalian menikmati keindahan kota. Akupun belum tahu dimana rumah paman Ting," sahut sang kakak seenaknya. Pikirnya, berapa luasnya Pak-khia sehingga rumah paman Ting tidak dapat diketemukan?
Adiknya menjadi agak bingung, tanyanya, "Kenapa dulu kau mengajakku kesini, seolah-olah kau sudah tahu semua jalan di sini?"
Sahut sang kakak, "Kapan aku pernah berkata begitu? Tetapi kau tidak perlu kebingungan, A-lian, dulu A-siang pernah diajak oleh ayah pergi ke rumah paman Ting, dan A-siang pernah menceritakan kepadaku bahwa rumah paman Ting ada dibagian barat kota ini. Yang penting sekarang kita mengisi perut dulu."
Sepanjang jalan yang mereka lewati memang tidak sedikit terdapat rumah-rumah makan yang memancarkan bau-bauan sedap yang merangsang selera. Maka kakak beradik itu lalu masuk salah satu di antara rumah-rumah makan itu. Beberapa orang tetamu memandang kakak bera?dik yang berpakaian seperti orang desa itu, namun Wi-hong dan Wi-lian tidak perduli dan langsung mengambil tempat duduk.
Keduanya lalu memesan masakan dan minuman, dengan uang curian mereka dari si hartawan pelit, mereka dapat berfoya-foya untuk beberapa hari lagi. Begitu masakan pesanan mereka telah terhidang, terlihat nyata bedanya dengan masakan-masakan di Lam-cang maupun An yang-shia, meskipun namanya sama. Di sini cara penyajiannya lebih membangkitkan selera. Maklumlah, Pak-khia bukan hanya dikunjungi oleh orang-orang setempat tapi juga oleh orang-orang asing yang ingin mencicipi masakan bangsa Han.
Tengah orang-orang di dalam rumah-makan itu menyuapi mulutnya masing-masing, tiba-tiba serentak semua perhati?an tertuju ke arah pintu masuk. Ternya?ta di ambang pintu itu telah muncul dua orang manusia yang menarik perhatian. Yang seorang bertubuh kurus kering agak bungkuk dan mulutnya monyong. Meskipun tampangnya jelek, tapi cara berpakaiannya justru agak mewah dan nampaknya ia berusaha keras untuk menarik perhatian kaum wanita. Tapi agaknya hanyalah perempuan rabun saja yang bakal tertarik kepadanya.
Yang seorang lagi adalah seorang lelaki raksasa tinggi besar, otot-ototnya bertonjolan di seluruh permukaan kulitnya, mengenakan baju lengan pendek, dan caranya berjalanpun tegap membusungkan dada. Jika lelaki yang pertama sekecil mata tikus, maka si raksasa justru punya mata yang besarnya hampir sepuluh kali lipat dari mata temannya. Nampaknya si raksasa ini berdarah Mongol.
Begitu kedua orang asing yang bertubuh aneh ini melangkah masuk ke dalam rumah ma?kan itu, serempak suasana dalam rumah makan itu menjadi sunyi dan tegang. Agaknya kedua orang ini merupakan orang-orang yang dikenal di daerah itu, bah?kan ada beberapa orang tetamu yang men?coba menyembunyikan mukanya dengan si?kap gelisah.
Si mata tikus dan si raksasa itu menyapukan pandangan kepada semua or?ang yang berada di rumah makan itu, ke?mudian mereka melangkah ke salah satu sudut, mendekati sebuah meja. Di meja itu ada seorang lelaki setengah umur yang bertampang pedagang tingkat menengah, sedang menikmati semangkuk bak?so kuah. Begitu melihat si raksasa dan si mata tikus mendekatinya, orang itu terkejut sekali, sebutir bakso yang hampir ditelannya telah melompat keluar kembali dan mencebur pulang ke mangkuk?nya.
Si raksasa nampak tertawa senang melihat orang itu ketakutan. Seenaknya saja ia mencengkeram rambut pedagang setengah umur itu, lalu digabrukannya muka orang itu ke permukaan meja sehingga jidatnya benjol seketika. Anehnya, saudagar itu tidak menjerit ke?sakitan tapi justru berusaha untuk me?nunjukkan muka seramah mungkin, maka mu?kanya jadi kelihatan lucu.
Si mata tikus tertawa dingin, ia-pun ikut-ikutan mencengkeram rambut orang itu, sambil berkata dingin, "Hem, bagus sekali kelakuanmu ini. Sudah be?berapa kali aku mencarimu ke tokomu, dan isterimu bilang tidak punya uang karena dagangan sedang sepi. Tak terdu?ga kau malahan sedang enak-enak makan minum di sini."
Pedagang setengah umur itu menya?hut dengan suara agak gemetar, "Tunggu dulu, ha..... harap disampaikan kepa?da Ting Toaya (tuan besar ting) bahwa aku a... akan segera mem... mem?bayar hutangku. Tetapi tolong jangan rampas tokoku, anak isteriku bisa mati kelaparan nantinya...."
"Baiklah, kalau kau tidak ingin tokomu disita, kau harus melunasi semua hutang dalam tempo tiga hari. Hutang induknya limapuluh tahil emas, bunga?nya per bulan sepuluh tahil. Kau sudah menunggak empat bulan, berarti tiga ha?ri lagi kau harus membayar hutang berikut bunganya berjumlah sembilanpuluh tahil emas. Jelas?"
Pedagang setengah umur itu melotot bagaikan dicekik ketika mendengar jum?lah yang harus dibayarnya untuk meluna?si hutang itu. Katanya dengan suara se?tengah menangis, "Wah, ma... mana bisa begitu? Tokoku sedang sepi, dalam seha?ri hanya ada empat atau lima orang pembeli yang mampir, bagaimana aku bi?sa mendapat uang sembilanpuluh tahil emas dalam waktu sesingkat itu?"
Si mata tikus menjawab, "Terserah kau. Merampok atau mencopet atau meni?pu bukan urusan kami. Tapi dalam tiga hari, sembilanpuluh tahil emas harus tersedia, atau kami terpaksa mengambil tindakan keras."
Si pedagang nampak semakin bingung, "Wah, bagaimana ini?"
Tapi si raksasa telah menggaplok mukanya sehingga si pedagang terlempar dari kursinya dan jatuh ke lantai. Baru saja ia hendak merayap bangun, si raksasa telah menginjak dadanya sehing?ga ia terpaku di lantai tanpa bisa bergerak. Bentak si raksasa, "Menyerahkan toko tidak mau, membayar hutang juga tidak mau, lalu apa maumu? Minta kuba?kar tokomu atau kuambil gigimu bebera?pa buah? Memangnya duit yang kau pakai itu kepunyaan nenek moyangmu?"
Kelakuan si mata tikus dan si rak?sasa itu mengingatkan Tong wi-hong akan Cia To-bun di An-yang-shia. Pejabat she Cia itu, meskipun namanya pelindung rakyat, namun pada hakekatnya ada?lah penindas rakyat kecil. Selama dia berkuasa di An-yang-shia, entah berapa banyak kerugian yang ditimbulkannya atas diri rakyat kecil.
Kini di Pak-khia, di kota pusat pemerintahan di mana katanya hukum ditegakkan dengan sebaik-baiknya, Tong Wi-hong kembali menjumpai peristiwa si kuat menindas si lemah dengan semena-me?na. Bahkan Wi-hong menjadi heran kena?pa orang-orang lain di tempat itu sea?kan-akan acuh tak acuh saja, tak seorangpun berusaha melerai atau menolong si pedagang setengah tua itu. Akhirnya darah Tong Wi-hong semakin mendidih yang dan ia memutuskan untuk ikut campur dalam urusan itu.
Sementara itu si raksasa telah mengayunkan tangannya lagi untuk memu?kul remuk orang yang diinjaknya itu. Tong Wi Hong tidak dapat menahan diri lagi, dengan cepat disambarnya poci arak di depannya dan dilemparkan sekuat tenaga ke arah si raksasa.
Si raksasa terkejut ketika tiba-ti?ba melihat sebuh poci melayang deras ke arahnya, ia berusaha menghindar dengan membungkukkan badan, tapi poci itu tetap mengenai pundaknya dan terasalah pundaknya agak pegal. Diam-diam ia heran akan tenaga si pelempar poci.
Dengan pandangan mata menyala, sambil memijat-mijat pundaknya sendiri, raksasa itu menatap ke arah Tong Wi-hong. Lalu perlahan-lahan melangkah mendekati Wi-hong sambil menggeram, "Bangsat cilik, siapa kau dan kenapa kau ikut campur urusan kami?"
Tong Wi-hong bukan seorang pemuda yang gemar berkelahi, jauh berbeda dengan Tong Wi-siang kakaknya, namun bukan berarti dia penakut. Bila melihat kesewenang-wenangan berlangsung dimana pun juga, dia pasti akan ikut campur, dan jika sudah demikian dia tidak takut biarpun kepada Kaisar sendiri.
Kini Tong Wi-hong pun telah bangkit dari tempat duduknya dan menunggu datangnya si raksasa sambil bertolak pinggang, sahutnya, "Aku cuma seorang yang gemar menghajar anjing."
Sementara Tong Wi-hong berdiri dan siap berkelahi, adik perempuannya masih duduk dengan santainya sambil meneruskan makan minumnya. Si raksasa itu agaknya bukan mahluk menakutkan buat gadis itu.
Sikap tenang dari kedua kakak beradik itu mengherankan para tetamu rumah makan lainnya. Bagaimana sepasang muda mudi "desa" itu berani mencari perkara kepada anak buah Ting Toaya, orang yang paling ditakuti di Pak-khia bagian barat itu?
Si raksasa Mongol itu melotot saking marahnya, andaikata dia melebarkan matanya sedikit lagi maka pasti biji matanya akan melompat dari kelopaknya. Tiba-tiba ia meraung seperti binatang buas lalu melompati meja yang ada di depannya, dan tinjunya yang sebesar mangkok itu telah melayang ke wajah Tong Wi-hong.
Cepat Tong Wi-hong menggeser ke samping dengan tendangan Coan-sin-teng-kak (Menendang sambil Memutar Tubuh).
Raksasa itu belum sempat memasang kuda-kuda sehabis menubruk tadi, tahu tahu tendangan Wi-hong telah menghantam pinggulnya dengan keras. Tubuhnya yang besar itu segera sempoyongan hampir jatuh, meskipun belum sampai jatuh tetapi mukanya sudah merah padam kare?na malunya.
Ternyata manusia bertubuh raksasa ini tidak memiliki otak yang sebanding dengan besar badannya. Ia hanya berke?lahi mengandalkan kekuatannya, tentu saja bukan tandingan Tong Wi-hong, putera Kiang-se-tay-hiap itu.
Kembali raksasa itu menubruk ke arah Wi-hong, kedua tangannya terkembang dan siap untuk menekuk tubuh Wi-hong menjadi dua potong. Kali ini ia agaknya ingin menggunakan ilmu gulat sukunya yang pernah ia pelajarinya mes?kipun tidak matang. Jika tubuh Wi-hong sampai tertangkap oleh sepasang tangan yang kokoh kuat itu, maka jangan harap dapat lepas lagi, satu-satunya jalan hanyalah menunggu nasib.
Untung Tong Wi-hongpun menyadari hal itu. Dengan kelincahan tubuhnya ia dapat menghindar kian kemari, membuat musuhnya jadi makin kalap karena mera?sa diejek. Sambil memburu Wi-hong, si raksasa menendangi dan melempar-lemparkan meja kursi yang menghalang-halangi geraknya. Si pemilik rumah makan cuma mengeluh dalam hati, tapi tidak berani berbuat apa-apa.
Setelah kucing-kucingan sekian la?ma, napas si raksasa Mongol mulai mendengus-dengus berat, sebaliknya Wi-hong masih dengan segarnya berlincahan kian-kemari meskipun agak berkeringat juga. Tapi ujung bajunyapun belum ter?sentuh oleh tangan si raksasa.
Karena mendongkolnya, akhirnya si raksasa menyambar sebuah bangku pan?jang yang digunakan sebagai toya dan langsung dihantamkan ke arah kepala Wi-hong.
Beberapa penonton berseru kaget, kini tentu si "anak desa" yang tak ke?nal takut itu akan mampus dengan kepa?la hancur. Beberapa orang penonton te?lah memalingkan mukanya, karena merasa tidak sampai hati melihat otak berce?ceran.
Sebaliknya Wi-lian masih tenang-te?nang saja menyaksikan perkelahian anta?ra kakaknya dan si raksasa itu, dia sudah tahu sampai di mana kemampuan ka?kaknya dan dia tidak mencemaskannya.
Melihat si raksasa Mongol itu benar benar berniat untuk membunuhnya, melu?ap juga darah Tong Wi-hong dan timbul?lah sifat-sifat mudanya ingin membuat si raksasa itu jera. Dengan sepenuh te?naga dan semangatnya ia menyambut bang?ku yang meluncur ke arah kepalanya itu dengan tendangan kakinya.
Bangku panjang itu memang bukan terbuat dari kayu yang paling keras, tapi tebalnya beberapa jari dan masih agak baru pula. Namun begitu terkena tendangan Tong Wi-hong, maka bangku itu bagaikan meledak oleh kekuatan da?ri dalam, berubah menjadi serpihan-serpihan kayu kecil-kecil yang beterbangan ke seluruh ruangan. Si lelaki Mongol itu menjadi pucat wajahnya, ia cuma berdiri terlongong-longong sambil meme?gangi separuh bagian bangku yang masih utuh.
Wi-hong menahan kakinya sejenak di udara, lalu menurunkan pelan-pelan, sambil bertanya kepada si raksasa Mongol, "Bagaimana kira-kira kalau tendanganku ini tidak kukenakan ke bangku pan?jang itu melainkan ke batok kepalamu?"
-o0^DwKz-Hendra^0o- Jilid 04 SI MATA TIKUS, teman raksasa Mongol itu juga ikut lenyap kebe?raniannya. Tetapi untuk angkat kaki begitu saja dia merasa malu, sebab ia sudah biasa main gagah-gagahan di wilayah Pak-khia barat itu. Maka dengan berlagak sebagai tokoh dunia persila?tan, ia menjura kepada Wi-hong dan ber?kata, "Sungguh-sungguh kami punya ma?ta tetapi tidak melihat gunung Thay san melintang di depan mata. Mohon tu?an menyebutkan nama tuan."
"Aku Tong Wi-hong," sahut Wi-hong tanpa gentar.
"Dan aku adiknya, bernama Wi-lian," sang adikpun ikut menimbrung bicara. "Jika kalian tidak terima akan sikap kami ini, silahkan laporkan tuanmu dan bawa kawan-kawanmu lebih banyak lagi untuk menangkap kami."
Lelaki bermata tikus itu lalu men?dengus dingin, katanya, "Hem, baiklah. Ada budi harus dibalas, tindakan kali?an hari inipun pasti tidak akan luput dari pembalasan kami. Sampai ketemu lagi."
Lalu kedua orang itupun membalik?kan tubuh hendak mengeloyor pergi dari situ. Tetapi sebelum mereka mencapai ambang pintu, maka di ambang pintu itu telah terdengar sebuah suara dingin yang berat dan berwibawa, "Benar-benar tidak tahu malu. Sudah kalah masih menggertak pula."
Kini di ambang pintu itu telah te?gak seorang pemuda berusia kurang le?bih duapuluh tiga tahun, wajahnya man?tap dan menampakkan kesungguhan ha?tinya dalam segala hal, sinar matanya tajam dan tenang. Pakaiannya terbuat dari bahan yang mahal, tapi potongan?nya justru sangat sederhana dan ringkas. Dengan menggendong tangan di belakang punggungnya, perlahan-lahan ia melang?kah masuk ke dalam ruangan rumah makan yang berantakan itu.
Sungguh aneh, lelaki bermata tikus dan si raksasa Mongol yang tadinya garang sekali itu, kini mendadak berubah jadi seperti dua ekor tikus yang kepergok seekor kucing candramawa.
Si muka tikus membungkukkan badannya dan memberi hormat, sambil menyapa dengan sikap sehormat mungkin, "Oh, kiranya Siau-ya (tuan muda)."
Pemuda berwibawa itu mendengus, ta?nyanya, "Apa yang sedang kalian perbuat di tempat ini?"
Si tikus jadi gugup, "Ah... eh... ini... ini adalah perintah dari Lo-ya (tuan tua)," sahutnya dengan tergagap-gagap sambil berkali-kali melirik ke arah si raksasa.
"Kalian cepat pergi dari sini dan jangan mengganggu lagi pedagang itu," kata si pemuda berwibawa dengan nada memerintah.
Si muka tikus dan si raksasa tidak menduga akan mendapat perintah seperti itu, seketika mereka menjadi kelabakan.
Kata si tikus, "Te... tetapi, siau-ya, perintah Lo-ya harus dijalankan. Kalau tidak, hancurlah sumber nafkah kami berdua."
"Oh, bagus, kiranya kau masih memikirkan sumber nafkahmu, tapi apa kau kira orang lain juga tidak perlu sumber nafkah?" jawab si anak muda berwiba?wa itu. Katanya lagi, "Jangan banyak mulut lagi, cepat pergi dari sini, aku yang akan bertanggung-jawab kepada ayah tentang kejadian ini."
Seperti dua ekor anjing yang habis ditendang, kedua orang itu memberi hormat kepada si anak muda, lalu cepat-cepat melangkah pergi tanpa berani menoleh lagi.
Sementara itu Tong Wi-hong dan adiknya tengah memperhatikan anak muda itu dengan perasaan kagum. Siapakah dia? Masih semuda itu namun memiliki kewibawaan yang mengagumkan.
Anak muda itupun menoleh ke arah kakak beradik itu lalu menganggukkan kepala sambil tersenyum ramah. Sikapnya kini tidak dingin lagi. Ketika tatapan matanya menyambar wajah Wi-lian, tanpa sembunyi-sembunyi ia menunjukkan mimik kagumnya. Terpaksa Wi-lian jadi tersipu-sipu dan menundukkan mukanya yang menjadi merah.
Anak muda itu lalu berjalan mende?kat, dan menyapa, "Tendangan Kim-kong-tui-hong (Malaikat Menendang Puncak Gu?nung) dari perguruan Soat-san-pay yang hebat. Pantas kedua kantong nasi itu jadi terbirit-birit lari."
Diam-diam Wi-hong dan Wi-lian terkejut. Pikir mereka, "Benar-benar tajam mata pemuda ini. Tendangan yang menjadi pusaka perguruan kami ini ter?nyata dapat dikenalnya."
Tetapi di mulutnya Tong Wi-hong me?rendah sebagai basa-basi, "Ah, saudara terlalu memuji, aku kuatir justru saudara mentertawakan di dalam hati."
Anak muda itu tertawa bebas, "Ha-ha-ha, aku memuji saudara dengan sepenuh hati dan bukan cuma untuk basa-basi saja. Tapi memang ada beberapa hal yang ingin aku tanyakan kepada saudara."
"Silahkan." Kata pemuda itu, "Jurus Kim-kong-tui-hong adalah jurus khas dalam pergu?ruan Soat-san-pay. Dan tadi sempat pula kudengar pengakuan kedua saudara ini bahwa kalian she Tong. Lalu apa hubung?annya dengan keluarga Tong Tay-hiap, Tong Tian, di An-yang-shia?"
Mendengar pertanyaan itu, seketika timbullah kecurigaan Tong Wi-hong dan adiknya. Jangan-jangan pemuda ini ada?lah orangnya pihak Cia To-bun atau Thio Ban-kiat yang bertugas untuk meng?ejar dan menangkap sisa-sisa keluarga Tong? Karena keragu-raguannya ini, ma?ka Tong Wi-hong tidak segera menjawab pertanyaan pemuda itu, bahkan ia sa?ling bertukar pandangan dengan adik?nya.
Anak muda itu heran ketika melihat sikap kakak beradik itu, namun ia tidak mendesakkan pertanyaannya lagi. Bahkan ia kemudian menarik napas seperti orang menyesal, lalu berkata, "Ah, agaknya saudara berdua ingin menolak uluran persahabatanku. Baiklah, itu hak setiap orang. Maafkan atas tindakan orang-orangku tadi, sekarang aku mohon diri."
Pemuda itu lalu memberi hormat dan siap untuk melangkah pergi.
Sebaliknya Tong Wi-hong menjadi merasa tidak enak sendiri setelah meli?hat sikap pemuda itu. Maka katanya, "Maaf, berhubung keadaan kami yang su?lit, maka kami tidak dapat memberitahukan tentang diri kami kepada sembarangan orang, dan bukan maksud kami untuk menyakiti hati orang lain. Kalau saudara tidak berkeberatan, maukah saudara memperkenalkan diri lebih dahu?lu?"
Seketika berserilah airmuka anak muda itu. Di dalam hatinya dia sebetul?nya memang sangat ingin berkenalan dan bersahabat dengan Wi-hong, terutama dengan adiknya itu maka tanpa pikir panjang diapun segera memperkenalkan dirinya, "Aku bernama Ting Bun, dan ayahku bernama Ting Ciau-kun. Antara ayahku dan Tong Tay-hiap ada hubungan saudara angkat, maka aku memanggil Tong Tay-hiap dengan sebutan pak-hu (uwak)."
Hampir melonjak karena gembiranya Wi-hong dan Wi-lian mendengar pengaku?an pemuda itu. Hampir bersamaan mereka berseru, "Jadi kau adalah putera paman Ting?"
Anak muda yang mengaku bernama Ting Bun itupun nampak gembira. Iapun sudah mulai dapat menebak siapakah ka?kak beradik yang berada di depannya itu, "Kudengar Tong Pek-hu punya tiga orang anak, dua lelaki dan satu perem?puan. Puteranya yang tertua, Wi-siang, aku sudah pernah bertemu dengannya. Ma?ka tentunya kalian ini adalah adik-a?dik Wi-siang yang sering dipanggil A-hong dan A-lian bukan?"
Tong Wi-hong tertawa. "Tepat se?kali dugaan Ting Toako."
"Selain itu, wajah kalianpun agak mirip dengan si bengal A-siang itu. Eh, kenapa si bengal itu tidak ikut ke?mari?"
Karena tidak ingin merusak suasana pertemuan itu, maka Wi-hong menghin?dari pembicaraan yang menyangkut musi?bah yang menimpa keluarganya. Pertanya?an Ting Bun tentang kakaknya itu dija?wabnya secara samar-samar saja.
Ting Bun agak heran juga melihat sikap yang agak menyembunyikan sesuatu itu, tapi ia cukup bijaksana untuk mengerti bahwa memang seharusnya be?gitu. Ia kemudian memanggil pengurus rumah makan itu dan menyuruhnya mem?buka sebuah meja perjamuan yang baru dengan beberapa macam masakan terpilih.
Ia juga berjanji kepada pengurus rumah makan itu untuk mengganti semua kerusa?kan yang diakibatkan oleh si tikus dan si raksasa Mongol tadi.
Dan si pedagang setengah tua yang sempat dihajar oleh si raksasa tadipun diberinya beaya untuk berobat.
Setelah meja perjamuan yang baru tersusun rapi, Ting Bun mempersilahkan Wi-hong dan adiknya untuk mengambil tempat duduk, katanya sambil tertawa, "Silahkan. Berikan aku kesempatan sebagai tuan rumah yang baik untuk menghormati tamu-tamunya."
Perjamuan itu berlangsung dalam suasana gembira. Sikap Ting Bun yang terbuka dan ramah itu perlahan-lahan telah menyapu bersih semua kecanggung?an, percakapan semakin lancar. Sikap Ting Bun yang demikian itu sangat me?nyenangkan Wi-hong dan adiknya.
Selesai dengan perjamuan itu, Ting Bun menepati janjinya kepada sipemilik rumah makan, kemudian mengajak Wi-hong dan adiknya menuju ke rumahnya. Tujuan Tong Wi-hong dan adiknya menuju Pak-khia itu memang bermaksud mencari sang paman untuk belajar ilmu silat Ngo-heng-kun dan Eng-jiau-kang, maka ajakan Ting Bun itu terasa sangat kebetulan bagi me?reka.
Rumah Ting Ciau-kun terletak di kota Pak-khia bagian barat. Setelah keti?ga orang muda itu berjalan tidak lama, sampailah mereka ke sebuah rumah gedung yang sangat indah, bahkan keindahan ru?mah Cia To-bun di An-yang-shia itupun tidak ada sebagian kecilnya dari keindahan rumah ini. Untuk sesaat Tong Wi-hong dan adiknya terlongong kagum meli?hat rumah ini.
"Kita sudah sampai," kata Ting Bun.
"Di An-yang-shia tidak ada rumah se?bagus ini," desis Wi-hong dengan lugu.
Ting Bun cuma tersenyum bangga men?dengar pujian itu. Lalu ia mengetuk pin?tu rumah yang tebal itu dengan gelang tembaga yang tergantung di daun pintu. Seorang pelayan membukakan pintu, dan Ting Bun bertiga segera masuk.
Tanpa diketahui oleh ketiga anak muda itu, ada sepasang mata yang diam-di?am terus memperhatikan tindak-tanduk mereka bertiga. Sepasang mata kepunyaan seorang yang berdandan seperti seorang rahib Buddha yang melarat, dan duduk seenaknya di emperan sebuah warung arak yang terletak berseberangan dengan rumah Ting Ciau-kun itu. Rahib itu nam?paknya sudah berhari-hari tidak mandi, terlihat dari sekujur dari badan dan pakaiannya yang begitu dekil, sedang tangan kirinya memeluk sebuah buli-bu?li arak yang setiap kali ditenggak isi?nya.
Melihat Tong Wi-hong dan adiknya mengikuti Ting Bun memasuki rumah indah itu, rahib dekil itu menggerutu perla?han-lahan, "Hem, dua ekor kambing gemuk sedang menyodorkan dirinya ke mulut serigala. Keparat busuk, ini jelas akan menambah kerepotanku."
Masih dengan menggerutu diseling dengan menenggak araknya, rahib itu bangkit dari tempat duduknya lalu mulai melangkah dengan agak sempoyongan.
Tidak seorangpun mempedulikan rahib miskin itu, sikapnya saja sudah menun?jukkan seperti orang yang kurang beres otaknya. Apalagi ketika kemudian paderi itu mulai bernyanyi-nyanyi kecil de?ngan suara tidak jelas.
-o0^DwKz-Hendra^0o- BAGIAN dalam rumah Ting Ciau-kun ternyata benar-benar luar biasa mewahnya, sehingga tidak mengesankan rumah seorang tokoh persilatan namun lebih mirip rumah seorang hartawan be?sar. Tong Wi-hong dan adiknya yang ber?asal dari sebuah kota kecil seperti An-yang-shia, tak habis-habisnya menga?gumi rumah itu dan segala benda-benda isinya.
Untuk lebih mengakrabkan suasana, Ting Bun memanggil kedua tamunya lang?sung dengan panggilan sehari-hari mere?ka, "A-hong dan A-lian, kalian duduk?lah lebih dulu. Aku akan memanggil ayah, mungkin beliau sedang berlatih di halaman belakang."
Lalu Ting Bun melangkah ke bagian dalam, setelah menyibakkan sebuah ti?rai indah.
Keluarga Tong di An-yang-shia sebe?narnya tergolong bukan keluarga miskin juga, tapi dibandingkan dengan keluarga Ting ini, jelas selisihnya sangat jauh. Tong Tian bukanlah seorang yang mementingkan kekayaan lahiriah. Falsa?fah hidupnya asal makan cukup, berpa?kaian cukup, tempat tinggal cukup dan hidupnya dapat berguna bagi sesama ma?nusia, maka itu kebahagiaannya.


Perserikatan Naga Api Karya Stevanus Sp di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ting Ciau-kun sedang berlatih silat di halaman belakang rumahnya, ketika tahu-tahu anaknya datang menemuinya dan melaporkan, "Ayah, putera-puteri Tong Pek-hu dari An-yang-shia, A-hong dan A-lian, datang mengunjungi kita. Mereka sedang menanti di ruangan depan untuk dapat menemui ayah."
Tidak seperti umumnya seorang pa?man bergembira menyambut kedatangan ke?ponakannya yang datang dari jauh, Ting Ciau-kun justru nampak kurang suka men?dengar laporan itu. Pikirnya, "Apakah Ting Ciau-kun sudah dicurigai sebagai orang yang mencegat Tong Tian di luar kota Kiang-leng itu? Dan kini Tong Tian mengirim anaknya untuk pura-pura berkunjung padahal untuk menyelidiki diriku? Hemm, aku harus waspada."
Namun Ting Ciau-kun mampu bersandiwara di hadapan anaknya sendiri, dan dengan sikap pura-pura gembira ia ber?kata, "Ah, tidak kuduga hari ini aku akan dikunjungi oleh keponakan-keponakanku itu. Anak Bun, temanilah mereka sebentar, ayah akan berganti pakai?an sebentar."
Setelah mengeringkan keringatnya dan berganti dengan pakaian bersih, Ting Ciau-kun segera menuju ke ruangan depan. Begitu memasuki ruangan depan maka langsung dipasangnya wajah sera?mah mungkin dan katanya, "Keponakanku yang baik, kalian membuat pamanmu ini hampir mampus karena rindunya kepada kalian!"
Melihat keluarnya sang paman, Wi-hong dan adiknya cepat menjalankan adat-istiadat dengan berlutut dan me?manggil, "Paman Ting."
Ting Ciau-kun cepat berkata, "He, kenapa kalian jadi begini banyak adat seakan-akan aku adalah orang lain saja. Ayo bangunlah. Aku dan ayah kalian bukan hanya sahabat-sahabat sejati, bah?kan telah bersumpah sebagai saudara angkat."
Ketika Ting Ciau-kun menggerakkan tangannya untuk mengangkat kedua anak Tong Tian itu supaya bangkit, maka Wi-hong dan adiknya merasa ada tenaga yang begitu besar mengangkat mereka un?tuk bangkit. Wi-hong segera menyatakan kekagumannya, "Hebat betul kekuatan paman, agaknya paman tidak pernah la?lai berlatih."
Sang paman tertawa dan pura-pura sungkan, namun nada suaranya mengan?dung rasa bangga juga, "Jangan omong kosong sembarangan, A-hong. Pamanmu ini makin tua makin loyo, kau jangan menyindirku ya?"
Demikianlah keempat orang itu lalu bercakap-cakap dengan gembiranya, apa yang dibicarakanpun tidak menentu. Se?muanya nampak gembira, tetapi sebenar?nya kegembiraan Ting Ciau-kun hanya pa?da lahirnya saja, sedang dalam hatinya dia justru sedang menyusun rencana-rencana keji.
Suatu ketika Ting Ciau-kun berkata, "Wah, pelupa benar aku ini, masakan se?telah bicara sekian lama aku belum ju?ga ingat untuk menanyakan sesuatu. A-hong, bagaimana keadaan ayah dan ibu?mu di An-yang-shia itu? Bagaimana pula dengan si bandel A-siang? Apakah semua?nya dalam keadaan baik?"
Kegembiraan yang sedang meliputi Wi-hong dan Wi-lian karena bertemu dengan pamannya, mendadak lenyap digan?ti dengan awan kemurungan yang menya?put wajah mereka. Diam-diam Ting Ciau-kun memperhatikan perubahan wajah mere?ka dan mulai menduga-duga di dalam ha?tinya.
"Apakah telah terjadi sesuatu, A-hong?" tanyanya.
Tong Wi-hong dan adiknya telah menganggap Ting Ciau-kun sebagai satu-satunya tempat berlindung yang masih ada di dunia itu, karenanya mereka tidak ingin merahasiakan soal apapun di hadapan sang paman. Dengan suara yang se?dih Tong Wi-hong lalu bercerita bagai?mana keluarganya terlibat permusuhan dengan Cia To-bun, dan akhirnya tertimpa malapetaka yang mencerai-beraikan keluarga pendekar itu. Ayahnya ter?bunuh, dan sebelumnya si kakak tertua telah lebih dulu menghilang tak tentu rimbanya, begitu pula keselamatan sang ibu masih belum dapat dipastikan bagai?mana halnya.
Diam-diam Ting Ciau-kun ikut terke?jut juga ketika mendengar berita hebat tentang saudara angkatnya itu. Hanya saja terkejutnya itu bukan karena ber?sedih bagi nasib saudara angkatnya itu, melainkan lebih bertitik-berat ke?pada kepentingan dirinya sendiri. Pi?kirnya dengan cemas, "Hah, kiranya ke?jadiannya begitu berat, sehingga meli?batkan pula seorang Panglima Daerah. Kini kedua bocah she Tong ini berada di rumahku, ini bisa membuatku terlibat dalam urusan dengan pihak pemerintah dan bisa mengganggu usaha dagangku."
Tetapi di hadapan Tong Wi-hong dan adiknya, Ting Ciau-kun pura-pura meng?gertak gigi dengan geram, dan ternyata ia cukup mampu pula untuk mendengar?kan nada sedih dan penasaran dalam na?da bicaranya, "Kurang ajar benar Cia To-bun itu. Kelakuannya sama sekali ti?dak pantas sebagai orang yang ditugas?kan untuk melindungi rakyat. Dia tidak memandang sebelah matapun kepada Ji-ko (kakak kedua), berarti juga tidak memandang mata kepadaku!"
Lalu nadanya menurun, dan dengan air mata bercucuran ia berkata kepada Wi-hong dan Wi-lian, "Jika kalian be?lum punya tujuan tetap, untuk sementa?ra kalian boleh tinggal di sini. Ang?gap saja aku sebagai pengganti kedua orang tuamu."
Sedangkan dalam hatinya Ting Ciau-kun sudah punya rencana khusus dengan berdiamnya kedua anak itu di rumahnya.
Tong Wi-hong dan adiknya sangat terkesan oleh "keluhuran budi" paman Ting ini. Merekapun menghaturkan terima kasih sambil berlutut, sekalian mengajukan permohonan untuk mempelaja?ri Ngo-heng-ciang dan Eng-jiau-kang, dua macam ilmu silat yang membuat pa?man Ting terkenal di dunia persilatan. Dan karena punya rencana tertentu, tanpa pikir panjang lagi Ting Ciau-kun menyanggupi permintaan kedua keponakan?nya itu.
Wi-hong dan Wi-lian sama sekali tidak menyadari bahwa sang paman yang kelihatan begitu baik hati itu sebenar?nya adalah seekor serigala berbulu dom?ba. Di dalam hati Wi-hong dan adiknya hanya ada perasaan terima kasih dan bersyukur kepada sang paman.
Sementara itu Ting Ciau-kun telah memerintahkan beberapa orang pelayan untuk menyiapkan dua buah kamar yang akan menjadi tempat tinggal Wi-hong dan Wi-lian selama belajar silat di situ. Letak kamar mereka agak di bagi?an belakang rumah Ting Ciau-kun yang luas itu, namun justru terasa tenteram karena jauh dari kesibukan dan letak?nya berdekatan dengan Lian-bu-thia (ruang latihan silat) yang lengkap dengan segala macam alat latihan. Di rumah ke?luarga Tong juga ada ruangan semacam itu.
Tak terasa, beberapa hari telah le?wat pula. Wi-hong dan adiknya merasa betah tinggal di situ, karena sikap tu?an rumah yang baik dan tidak canggung. Apa lagi Ting Bun, hampir setiap saat ia kelihatan bersama-sama dengan kedua kakak beradik itu, atau kadang-kadang hanya dengan salah satu di antara mere?ka.
Dalam waktu beberapa hari itu, su?dah belasan kali Ting Ciau-kun mencoba memancing dengan kata-kata yang halus, menanyakan di manakah kitab ilmu pe?dang Soat-san-pay yang dibawa Tong Tian dulu. Namun setiap kali dia jadi ke?cewa, sebab baik Wi-hong maupun Wi-li?an benar-benar tidak mengetahui di ma?na beradanya kitab yang ditanyakan oleh sang paman Ting itu.
Diam-diam kesabaran Ting Ciau-kun juga hampir habis, "Jangan-jangan kedua bocah ini cuma berlagak tidak tahu, karena sudah diberitahu kejadian di luar kota Kiang-leng itu? Tapi jika me?nilik mereka masih berani berkunjung ke?mari, dan bahkan berdiam di sini, agak?nya mereka benar-benar tidak tahu. Na?mun kitab itu juga tidak mungkin diba?wa ke liang kubur oleh Tong Tian. Jadi yang membawa kitab itu kalau bukan isteri Tong Tian tentunya ya A-siang."
Meskipun demikian Ting Ciau-kun ma?sih belum hilang harapannya, sikapnya masih tetap begitu ramah dan menya?yangi kepada kedua keponakannya itu. Bahkan sampai Ting Bun sendiri, anak?nya, tidak tahu kandungan hati ayahnya.
Pada suatu sore yang cerah sekali, Ting Bun timbul seleranya untuk berku?da keluar kota, melihat keindahan bu?kit Bwe-san di luar kota Pak-khia yang terkenal keindahannya itu. Ketika ia mengatakan niatnya itu kepada kakak beradik she Tong, seketika mendapat sambutan baik. Wi-hong sebagai "kutu buku" yang gemar membaca, memang per?nah membaca tentang tempat-tempat indah dan tempat-tempat bersejarah yang terletak di luar Pak-khia, kini tentu saja tidak akan dilewatkannya kesempat?an untuk menyaksikan tempat-tempat itu dengan mata kepalanya sendiri. Maka tidak lama kemudian, ketiga orang muda itu sudah berada di punggung kudanya masing-masing menuju ke luar kota.
Kepergian ketiga orang muda itu tidak lepas dari pengamatan Ting Ciau-kun. Kini ia melihat kesempatan bagus telah terbentang di depan mata, lebih dulu ia menyelinap masuk ke dalam kamar Tong Wi-hong tanpa diketahui seorang pelayanpun.
Setelah meyakinkan diri tidak ada orang yang mengetahui perbuatannya, mu?lailah Ting Ciau-kun dengan cermat menggeledah setiap barang bawaan Wi-hong. Pakaiannya, beberapa bukunya, bahkan sampai kasur dan bantalpun dibalikkannya untuk mencari sesuatu. Ma?tanya berputaran kesana kemari, tidak seincipun isi kamar itu yang lolos dari pemeriksaannya, namun kitab Soat-san-pay yang dicarinya itu tidak didapatnya.
Setelah gagal mencari barang impi?annya, ia merapikan kembali semua ba?rang-barang yang habis diobrak-abriknya. Sungguh hebat dan cermat cara ker?ja si paman Ting ini, sebab dalam wak?tu yang singkat keadaan kamar Tong Wi-hong itu telah pulih seperti semula. Siapapun tidak akan menduga kalau kamar itu habis digeledahi habis-habisan.
Selesai menggeledah kamar Wi-hong, maka kamar Wi-lianpun mendapat giliran untuk diaduk habis-habisan. Tetapi se?kali lagi hatinya digigit rasa kecewa yang mendalam. Tidak ada kitab ilmu pe?dang Soat-san-pay segala. Wajah Ting Ciau-kun yang gemuk itu nampak berke?rut-kerut dan giginya memeretak mena?han gejolak hatinya.
Ketika ia telah selesai merapikan kembali kamar Wi-lian dan hendak keluar dari kamar, tiba-tiba kupingnya yang sangat terlatih itu menangkap sebuah suara yang sangat lembut di luar kamar. Suara kain, pakaian yang bergeseran dengan tembok, jadi ternyata ada orang yang telah mengintip segala kelakuan?nya itu!
Bentaknya, "Siapa di luar?!"
Mulutnya membentak, tubuhnyapun ikut melompat keluar setelah tangannya lebih dulu mendorong jendela. Meskipun Ting Ciau-kun bertubuh gemuk karena hi?dup makmur, tetapi kelincahannya sama sekali tidak berkurang oleh kegemukannya itu. Bagaikan seekor burung ia te?lah melompat keluar jendela, dan kedua tangannya bersilang melindungi dada?nya.
Gerakan Ting Ciau-kun sangat cepat, namun tak terduga gerakannya masih ka?lah cepat dari gerakan orang yang di luar ruangan itu. Begitu Ting Ciau-kun sampai di luar, ia cuma sempat melihat sesosok bayangan hitam bergerak secepat kilat dalam keremangan senja. Tubuh orang itu begitu ringan sehingga hanya seperti segulung asap yang tak ber?bobot sama sekali, dan tahu-tahu telah hinggap di atas genteng dan berkelebat lenyap seperti hantu saja.
Berdesirlah jantung Ting Ciau-kun melihat kesaktian orang itu, tingkatan ilmu silat seperti itu adalah jauh di atas tingkatannya sendiri, padahal Ting Ciau-kun sendiri tergolong seo?rang jagoan tangguh yang cukup disega?ni di wilayah Ho-pak, terutama di Pak-khia. Orang yang diburu Ting Ciau-kun itu ternyata bergerak demikian cepat, sehingga ketajaman mata Ting Ciau-kun-pun tidak mampu membedakan apakah orang itu lelaki atau perempuan, tua atau muda, kurus atau gemuk.
Ting Ciau-kun melompat ke atas genteng dan menebarkan pandangannya, tapi yang dilihatnya cuma ribuan atap rumah, bayangan orang tadi sudah tidak terlihat sedikitpun juga. Tak terasa keringat dingin mulai mengaliri pung?gungnya.
"Kepandaian ilmu silat yang bagai?kan setan saja," katanya dalam hati. "Untuk membunuhku, ia akan dapat mela?kukannya dengan mudah dan cukup membu?tuhkan beberapa jurus saja. Tetapi ke?napa dia tidak membunuhku? Apa maksud?nya dia menyelundup ke dalam rumahku dan mengintip perbuatanku? Siapakah dia sebenarnya?"
Ternyata pertanyaan-pertanyaan yang bergelut dalam hatinya itu tidak satu-pun yang terjawab. Akhirnya dengan ha?ti gelisah ia melompat turun kembali dari genteng. Dikancingnya kembali jendela kamar Wi-lian seperti semula, lalu dengan langkah lesu ia berlalu da?ri halaman belakang menuju ke ruangan depan.
Diam-diam hatinya masih diliputi oleh rasa ngeri melihat kepandaian orang itu. Jika orang itu memusuhinya, maka ia benar-benar merupakan seorang musuh berat yang di luar kemampuannya untuk mengatasinya.
Ketika ia melewati pintu rembulan di samping rumahnya, ia berjumpa dengan Ting Bun dan kakak beradik she Tong yang baru saja selesai dengan acara gembira mereka. Ketiga orang muda itu nampak riang gembira, namun mereka menjadi heran ketika melihat Ting Ciau-kun yang berwajah gugup dan berkeringat, sedang langkahnyapun nampak gugup dan ragu-ragu. Tidak biasanya sang paman berpenampilan seperti ini.
"Selamat sore, paman," Wi-hong dan adiknya menyapa.
Ting Ciau-kun memaksa bibirnya un?tuk membentuk senyuman, lalu katanya denqan gaya sewajar mungkin, "Puaskah kalian melihat tempat-tempat indah di Bwe-san dan sekitarnya? Besok jika aku ada waktu luang, akan kuantar kalian ke tempat-tempat lain yang lebih jauh lagi."
"Terima kasih paman. Tentu akan me?nyenangkan sekali."
Sementara Ting Bun telah bertanya kepada ayahnya, "Ayah, kelihatannya kau dalam keadaan kurang sehat. Muka ayah nampak agak pucat dan berkeringat pula."
Ting Ciau-kun menggoyangkan tangannya sambil berkata, "Tidak jadi soal. Sore ini aku memang merasa kurang sehat, lalu kucoba untuk berlatih sebentar di lian-bu-thia, namun agaknya aku memang kurang sehat sehingga latihan kuhentikan."
Ketika ketiga orang muda itu masih memandangnya dengan ragu-ragu, Ting Ciau kun berkata lagi, "Tidak perlu mencemaskan aku. Aku hanya agak kelelahan rupa?nya."
Tong Wi-lian lalu berkata, "Pantas paman selalu awet muda dan ilmu silat-nyapun semakin lihai. Kiranya paman be?gitu giat berlatih sehingga semalam ini-pun masih melatih diri."
Muka Ting Ciau-kun menjadi agak me?rah, untung ia cepat-cepat menoleh ke arah lain sehingga perubahan air muka?nya itu tidak terlihat oleh ketiga orang muda itu.
Namun sebenarnyalah otak Wi-lian yang cukup cerdas itu mulai menangkap adanya gejala-gejala tidak wajar dalam tingkah laku pamannya itu. Masakan ada orang berlatih silat di sore hari seha?bis mandi? Dan kenapa sang paman tidak mengenakan pakaian silat yang ringkas tetapi memakai jubah panjang seperti itu? Namun begitu gadis itu tidak berkata apapun lagi.
Malam itu Ting Ciau-kun tidak dapat memejamkan matanya barang sekejap pun. Semalam suntuk pikirannya gelisah memikirkan peristiwa sore itu. Orang yang kelihaiannya seperti setan itu seorang kawan atau lawan? Jika orang itu bermaksud mencampuri urusannya, maka se?mua rencananya yang sudah dirancang atas diri Wi-hong dan Wi-lian itu harus ditinjau kembali, dan dirancang lebih cermat.
"Mulai besok pagi aku akan mulai mengajarkan ilmu silat kepada kedua anak itu," demikian Ting Ciau-kun akhirnya memutuskan di dalam hatinya. "Mudah-mudahan dengan pancingan-pancingan halus aku dapat mengetahui dimana disimpannya kitab ilmu pedang itu. Aku masih punya sedikit harapan dalam hal ini."
Sampai hari hampir fajar, barulah Ting Ciau-kun dapat memejamkan matanya sejenak. Tapi ia harus segera bangun lagi ketika merasa sinar matahari yang hangat menerobos masuk lewat jendela kamarnya.
Mulai hari berikutnya, Ting Ciau-kun "menurunkan ilmu" kepada kedua orang keponakannya itu. Ia sendiri berada di lian-bu-thia sambil memperagakan tangkisan-tangkisan dasar, langkah-langkah dasar dan beberapa bentuk kuda-kuda serta kegunaannya. Ting Bun berada pula di tempat itu untuk menemani berlatih.
Begitu hebat semangat wi-hong dan adiknya dalam berlatih, dengan harapan kelak akan dapat membalas kepada cia To-bun dengan tangan mereka sendiri. Karena mereka melakukan semua petunjuk dengan sungguh-sungguh, maka dalam waktu yang singkat mereka telah basah kuyup dengan keringat. Gerakan-gerakan sesederhana apapun yang diperagakan oleh paman Ting diulang-ulanginya sam?pai puluhan kali.
Menyaksikan semangat begitu hebat, Ting-Ciau-kun menjadi ngeri sendiri. Pikirnya dengan perasaan dengki, "Kedua bocah ini ternyata selain berbakat bagus juga punya semangat yang tinggi, apabila aku mengajarkan ilmuku secara sungguh-sungguh, jangan-jangan mereka malah menjadi lebih lihai dari pada aku? Ini tidak boleh terjadi."
Dasar Ting Ciau-kun memang berpikiran sempit dan hanya mementingkan diri sendiri, maka ia suka mengukur orang lain dengan ukurannya sendiri. Dipikirnya semua orang sama culasnya dengan dirinya sendiri.
Berdasarkan wataknya itu, maka dalam mengajarkan dasar-dasar Ngo-heng-ciang kepada kedua keponakannya, ia sengaja menyelipkan keterangan-keterangan yang keliru, yang justru akan dapat menghambat perkembangan ilmu itu dalam mencapai taraf tertinggi. Ting Ciau-kun tidak rela jika kedua keponakannya itu-pun akan mahir Ngo-heng-ciang sehingga dapat menyainginya kelak.
Tong Wi-hong dan adiknya masih ter?lalu hijau dalam pengalaman, mereka sa?ma sekali tidak menyadari keculasan pamannya. Bahkan Ting Bun sendiri ti?dak mengetahui kalau sang ayah punya watak seperti itu.
"A-hong dan Alian," begitulah Ting Ciau-kun berkata pada suatu hari, da?lam suatu latihan. "Kurasa terlalu lambat jika kalian harus mempelajari Ngo-heng-ciang mulai dari dasar-dasarnya. Maka aku pikir aku akan langsung menyesuaikan latihan Ngo-heng-kun kali?an dengan tingkat ilmu silat kalian yang sekarang. Untuk itu, aku perlu melihat ilmu silat apa saja yang sudah kalian pelajari dan sampai di mana ke?matangan kalian dalam memainkannya."
Tanpa menaruh kecurigaan sedikit-pun, Wi-hong dan adiknyapun menuruti kemauan pamannya untuk memainkan semua ilmu silat yang mereka punyai. Lebih dulu mereka mempertunjukkan silat ta?ngan kosong dari Soat-san-pay yang disebut Hui-soat-sin-ciang (pukulan Sakti Salju Terbang), sebuah ilmu pu?kulan yang lincah dan ringan. Berbeda dengan watak ilmu Ngo-heng-ciang yang keras, maka Ting Ciau-kun nampaknya ku?rang tertarik dengan ilmu tangan ko?song itu.
Tetapi ketika kedua keponakannya itu mulai memainkan ilmu pedang, melo?totlah mata Ting Ciau-kun untuk memper?hatikan bagian-bagian yang sekecil-ke?cilnya dari setiap gerakan. Namun kemu?dian ia kecewa untuk kedua kalinya, se?bab meskipun Soat-san-kiam-hoat yang dilihatnya itu dibawakan cukup bagus, tapi itu sudah pernah dilihatnya. Pada?hal yang sangat ingin diketahui oleh Ting Ciau-kun adalah ilmu pedang ciptaan terbaru dari Soat-san-pay yang kaba?rnya sangat ampuh itu. Pikirnya dengan jengkel, "Percuma saja aku melindungi kedua anak ini, ternyata mereka sama sekali tidak bisa memberi petunjuk apapun tentang ilmu pedang itu. Rupanya Tong Tian belum sempat mengajarkannya kepada anak-anaknya, tapi mustahil ia membawa kitab itu ke liang kubur?"
Rupanya Ting Ciau-kun ini seorang yang serakah ilmu silat di dunia ini. Dan dalam mencapai tujuannya itu dia tidak segan-segan menghalalkan semua cara.
Meskipun hatinya kecewa, namun mu?ka Ting Ciau-kun tetap ramah dan berse?ri-seri, katanya, "Bagus, Soat-san-ki?am-hoat telah dapat kalian mainkan de?ngan mantap dan tanpa kesalahan. Tapi bila bicara soal kematangan, kalian ma?sih kurang cukup dan harus berlatih le?bih baik lagi. Pernah kudengar bahwa Ketua Soat-san-pay, guru dari ayah ka?lian, baru saja menyelesaikan karyanya berupa sebuah rangkaian jurus-jurus il?mu pedang yang hebat dan ditulis dalam sebuah kitab. Bolehkah aku melihat ki?tab itu?"
Wi-hong dan Wi-lian merasa bangga juga karena pujian sang paman itu. Tet?api merekapun merasa heran, kenapa sudah berkali-kali paman Ting ini ngotot untuk melihat kitab itu? Bukankah Wi-hong maupun Wi-lian sudah ber?kali-kali menjawab bahwa kitab itu ti?dak ada pada mereka, kenapa paman Ting masih terus bertanya saja dan seakan-a?kan kurang mempercayai jawaban mereka?
Sahut Tong Wi-hong, "Ilmu pedang karya terbaru dari Su-co (kakek guru) itu kabarnya memang lihai dan juga amat rumit sekali, sulit dipahami dalam wak?tu singkat. Ayah sendiri belum memaha?minya dan baru hapal garis besarnya, apa lagi kami yang masih dangkal dalam ilmu pedang? Tentang kitab itu, selalu disimpan oleh ayah, dan kami belum per?nah diperkenankan untuk melihatnya, apa lagi menyimpannya."
"Ah, sayang sekali, sebuah kitab yang berisi hasil karya seorang pende?kar tua yang termasyhur telah lenyap begitu saja. Hemm, sayang sekali," be?gitu Ting Ciau-kun berkata dengan nada menyesal.
Karena Wi-hong dan adiknya memang tidak tahu menahu tentang hal itu, ma?ka dipancing bagaimanapun mereka akan tetap menjawab tidak tahu. Selain ja?waban itu, tidak ada jawaban lain yang bisa mereka berikan kepada sang paman.
"Kami tidak becus melindungi karya besar Su-cou itu. Ketika begundal-begundal Cia To-bun menyerbu ke rumah ka?mi, kami berdua bersama ibu serta Su-siok-co Oh Yu-thian telah berusaha bertahan mati-matian, tapi kawanan pe?nyerbu itu ternyata merupakan jago-jago tangguh dan berjumlah banyak. Kami dipaksa untuk mundur dengan berpencar?an, bahkan sampai kini kami saling ti?dak mengetahui akan nasib kami masing-masing."
Akhirnya habis juga harapan Ting Ciau-kun untuk mengorek keterangan da?ri kedua keponakannya itu tentang kitab yang diimpikannya itu. Sebuah pikiran keji timbul dalam benaknya, "Nampaknya memang aku tidak dapat mengharapkan ke?untungan apa-apa lagi dari kedua anak ini. Kalau sudah begini, apa untungnya aku membiarkan mereka lebih lama lagi tinggal di rumah ini? Mereka adalah bu?ronan negara, dan salah-salah akupun bisa ikut dituduh menyimpan buronan ne?gara. Sebaiknya kuserahkan saja kedua anak itu kepada yang berwajib, dan dengan begitu aku mendapat muka te?rang di hadapan pemerintah."
Sesungguhnya manusia yang hanya me?mikirkan diri sendiri semacam Ting Ciau-kun ini jauh lebih berbahaya dari lawan yang bagaimanapun tangguhnya. Seorang lawan, bagaimanapun kuatnya, akan dapat dihindari atau dilawan sekuat tenaga, sedang manusia seperti Ting Ciau-kun ini tanpa diketahui akan dapat menusuk punggung sahabatnya sekalipun, dari belakang.
Ting Ciau-kun menjadi sangat lesu pagi itu. Dengan alasan kurang enak ba?dan ia meninggalkan latihan dan menyu?ruh Wi-hong serta adiknya untuk berla?tih sendiri. Suasana latihan yang tadi?nya bergairah dan penuh semangat, kini berganti dengan suasana lesu.
Dan kini sang paman lebih suka duduk di belakang mejanya sambil meng?hitung hutang-hutang orang lain yang belum ditagihnya. Dia adalah seorang pelepas uang yang terkenal di Pak-khia bagian barat. Dengan bunga yang mence?kik leher, maka Ting Ciau-kun berhasil memeras harta orang lain, sehingga me?miliki kekayaan seperti sekarang ini. Tak ada yang berani menentangnya seca?ra terang-terangan, sebab ia memelihara banyak tukang pukul yang setiap saat menjalankan perintahnya. Selain itu, juga karena Ting Ciau-kun punya hubung?an baik dengan penguasa kota Pak-khia itu.
Kadang-kadang dengan terpaksa Ting Bun mencegah perbuatan anak buah ayah?nya, tidak jarang menghajarnya sendiri, jika perbuatan mereka dianggapnya sudah keterlaluan. Dan atas sikap anaknya ini, Ting Ciau-kun berpura-pura tidak tahu saja.
Hari itu semuanya berjalan seperti biasanya, tidak ada kejadian apapun. Namun pada malam harinya, terjadilah sesuatu...
Malam itu Ting Ciau-kun sedang duduk terpekur sendirian di ruangan tengah rumahnya yang besar itu. Ia se?dang memikirkan bagaimana jalan yang terbaik untuk menyingkirkan kedua kepo?nakannya itu secara halus dan bebas da?ri tanggung-jawab. Ia sudah tidak dapat mengharap apapun lagi dari kedua bocah she Tong itu, karenanya Ting Ciau-kun sungkan untuk terlibat dengan urusan keluarga Tong yang sudah dianggap mem?berontak itu.
Tetapi Ting Ciau-kun masih ragu-ra?gu untuk bertindak. Terbayanglah di pe?lupuk matanya akan sesosok bayangan hitam yang bergerak secepat hantu, yang telah memergokinya ketika ia sedang menggeledah kamar wi-lian itu. Orang itu harus dimasukkan dalam perhitungan! Tetapi Ting Ciau-kun masih belum bisa menduga siapakah orang itu? Punya hu?bungan apa dengan keluarga Tong?
Malam itu sang rembulan agaknya me?lalaikan tugasnya. Hanya bintang-bin?tang yang masih setia di tempatnya ma?sing-masing, berkelap-kelip tersebar di sebuah bentangan maha luas yang ber?warna biru gelap itu. Di kejauhan, ma?sih sayup-sayup terdengar suara kesi?bukan orang di pusat kota.
Ting Ciau-kun memikirkan si bayang?an "hantu" itu, tak terduga orang yang dipikirkannyapun ternyata muncul malam itu. Menjelang tengah malam, orang itu muncul di atas atap rumah Ting Ciau-kun dengan gerakan ringan, cepat dan tanpa suara sedikitpun. Pakaiannya berwarna hitam, dari ujung kepala sampai ujung kaki. Gerak-geriknya memang menyerupai hantu gentayangan.
Orang itu bergerak ke arah bagian belakang rumah Ting Ciau-kun, dan ke?tika tiba di dekat kamar yang ditempa?ti oleh Wi-hong dan adiknya, orang itu-pun melompat turun dengan gerakan se?ringan daun kering. Dengan dua buah ba?tu kerikil yang dipungutnya dari tanah, ia membidik jendela kamar kakak beradik she Tong itu, dan kedua batu itu-pun menembus ke dalam kamar dengan sua?ra berkelotak.
Tong Wi-hong dan adiknya adalah putera-puteri dari seorang pendekar ter?kenal yang telah mendapat didikan ilmu silat sejak kecil, panca indera mereka-pun cukup tajam. Suara berkelotaknya batu yang dilemparkan oleh si "hantu" itu telah cukup membuat mereka bangun. Serempak mereka meraih pedangnya masing-masing dan melompat keluar lewat jende?la, sambil membentak, "Siapa di luar?!"
Di luar jendela telah berdiri seso?sok tubuh tinggi besar yang terbalut kain hitam dari kepala sampai kaki, ha?nya sepasang matanya yang tidak tertutup, dan sepasang mata itu menampilkan sorot yang tajam dan berpengaruh. Ia berdiri dengan kokohnya bagaikan sebuah menara besi.
"Sebutkan namamu!!" bentak Wi-lian sambil menodongkan pedangnya ke dada orang itu.
Tapi bayangan hitam itu tidak me?nyahut, sebagai jawabnya ia malah meng?ulurkan kedua tangannya sekaligus un?tuk mencengkeram pundak Wi-hong dan Wi-lian. Gerakannya dilakukannya dengan cepat dan bahkan membawa desiran angin kuat.
Melihat kebandelan orang itu, Tong Wi-lian membentak sambil membabatkan pedangnya dari bawah ke atas, maksud?nya ingin memaksa agar orang itu mena?rik serangannya kembali. Serempak de?ngan itu, kakaknyapun melancarkan ju?rus Wan-kiong-sia-tiau (Mementang Bu?sur Memanah Rajawali) yang diarahkan ke leher lawan. Dalam hatinya Tong Wi-hong tidak berniat membunuh orang itu, gerakannya itu hanya untuk menakut-na?kuti orang itu.
Ilmu pedang kedua kakak-beradik itu cukup terlatih, dan jika mereka menggabungkan serangan maka akan ber?kali lipat hebatnya. Namun kejadian berikutnya telah membuat Wi-hong dan Wi-lian terkejut bukan main. Entah bagaima?na, tahu-tahu mereka merasakan pergelangan tangan mereka kaku, dan pedang merekapun jatuh ke tanah. Tenaga merekapun mendadak amblas semua. Rupanya dengan kecepatan luar biasa si manusia bertopeng itu telah menotok jalan darah pelumpuh di tubuh kakak beradik itu.
Baik Wi-hong dan adiknya menjadi bergidik menghadapi peristiwa itu. Ma?nusia atau silumankah mahluk yang mere?ka hadapi itu? Kalau manusia, kenapa gerakannya demikian cepatnya dan tidak terlihat bagaimana ia menotok kakak beradik itu?
Kini sepasang telapak tangan orang berkedok itu telah mencengkeram kuduk Wi-hong dan adiknya. Mereka masih be?rusaha meronta, tapi seluruh anggauta tubuh sudah tidak menurut perintah otak lagi, lumpuh tidak berdaya sama se?kali. Bahkan hanya ingin membuka mulut untuk berteriak minta tolongpun tidak mampu lagi.
Tetapi suara keributan yang hanya sebentar itu sempat juga didengar oleh Ting Ciau-kun yang belum tidur. Terbu?ru-buru ia menuju ke tempat suara keri?butan untuk melihat apa yang terjadi, diikuti pula oleh Ting Bun yang juga belum tidur. Bahkan Ting Bun masih sempat menyambar sebuah golok yang tergan?tung di dinding kamarnya.
Sebentar saja rumah itu menjadi ri?but, beberapa centeng yang belum tidurpun ikut terbangun ketika mendengar derap langkah majikan mereka. Begitu keluar, mereka langsung berteriak-teri?ak, "Maling! Maling!"
Ting Ciau-kun menjadi mendongkol melihat keributan yang ditimbulkan oleh orang-orangnya itu, ia menampar salah seorang centengnya yang berte?riak paling keras. Katanya, "Tutup mu?lutmu! Semua ikut aku!"
Tepat ketika Ting Ciau-kun dan orang-orangnya tiba di halaman belakang dekat kamar Wi-hong dan Wi-lian, masih sempat dilihatnya sesosok tubuh tinggi besar tengah melompat ke atas genteng. Orang itu nampak mengempit tubuh Wi-hong dan Wi-lian di ketiak kanan dan kirinya. Ting Ciau-kun terkesiap. Ini?kah orangnya yang beberapa hari yang lalu menyatroni rumahnya itu?
Sebenarnya Ting Ciau-kun sudah pu?nya rencana yang rapi untuk memberes?kan kedua anak Tong Tian itu. Pertama, ia sudah tidak dapat mengharap lagi tentang kitab pedang Soat-san-pay itu. Kedua, ia tidak ingin perhubungan dengan keluarga Tong yang dicap pemberontak itu diketahui oleh umum sehing?ga membahayakan kedudukannya yang sudah cukup empuk itu.
Kini melihat Wi-hong dan adiknya dibawa oleh seseorang yang berselubung rahasia, yang belum diketahui apakah berdiri sebagai kawan atau lawan, ten?tu saja Ting Ciau-kun tidak akan mem?biarkannya begitu saja.
Maka dengan sepenuh kekuatannya, Ting Ciau-kun menghantam punggung orang itu sebelum orang itu sempat me?lompat ke atas. Bentak Ting Ciau-kun, "Bangsat penculik! Lepaskan kedua kepo?nakanku!" Sebagai seorang jago pukulan tangan kosong yang cukup disegani, pu?kulan yang dilontarkan sepenuh tenaga itu cukup ampuh, bahkan terdengarlah deru angin keras menyertai gerak pukul?annya.
Tapi si bayangan hitam itu seolah-olah tidak menggubris pukulan dahsyat bahkan menolehpun tidak. Dibiar?kannya saja pukulan sehebat itu melun?cur ke punggungnya. Diam-diam Ting Ciau kun bersorak dalam hatinya, "Mampus kau. Batu karangpun hancur terkena pukulanku, apa lagi cuma tulang-belulangmu."
Tapi punggung orang itu ternyata jauh lebih keras dari sebongkah karang, ibaratnya sebuah tembok besi setebal beberapa depa. Pukulan Ting Ciau-kun itu mendarat telak di punggung orang itu, namun malahan Ting Ciau-kun sen?diri yang tersentak balik oleh tenaga pukulannya sendiri. Sedang orang berke?dok itu tetap berdiri dengan kokoh di tempatnya semula. Tidak mampus, tidak roboh, bahkan bergeser seujung rambutpun tidak!
Ibarat orang menyeberang sungai yang sudah terlanjur basah, Ting Ciau-kun pantang mundur. Tiba-tiba saja ia telah merebut golok yang ada di tangan Ting Bun. Waktu orang berkedok itu me?lompat ke atas benteng, Ting Ciau-kun juga menyusulnya ke atas sambil melan?carkan jurus Tai-san-ap-teng (Gunung Tai-san Roboh ke Kepala) untuk memba?cok kuduk orang itu. Jurus itu bukan saja membahayakan si penculik, tapi ju?ga bisa membahayakan kedua keponakan?nya sendiri yang dikempit di kedua ke?tiak orang itu. Tetapi agaknya mati hi?dup kedua orang keponakannya itu sudah tidak lagi menjadi pertimbangan Ting Ciau-kun yang angkara murka itu.
Seakan-akan punya mata di punggung?nya, orang itu berhasil menghindari ba?cokan Ting Ciau-kun. Ting Ciau-kun ce?pat merubah jurusnya menjadi gerakan Tiat-so-heng-kang (Rantai Besi Melintang di Sungai), tapi kali ini terang-terangan ditujukan kepada Tong Wi-hong! Namun dasar orang licik, mulut Ting Ciau-kun masih sempat berteriak, "Bang?sat penculik! Kau berani menggunakan tubuh keponakanku sebagai perisai?!"
Segala lagak dan lagu Ting Ciau-kun itu cuma disambut dengan tertawa dingin oleh orang itu. Ketika mata golok ting?gal sejengkal dari tubuh Wi-hong, orang berkedok itu cepat memutar tubuh?nya dan melancarkan sebuah tendangan kilat ke pergelangan tangan Ting Ciau-kun yang memegang golok.
Bukan cuma kekuatan dan kekebalan?nya yang mengejutkan, orang berkedok itu ternyata punya gerak cepat yang di luar dugaan pula. Ting Ciau-kun tidak bisa menghindari kenyataan itu. Perge?langan tangannya tertendang telak dan goloknya terlempar ke bawah genteng, hampir saja menimpa salah seorang anak buahnya. Sedangkan pergelangan tangan Ting Ciau-kun sendiri bagaikan retak rasanya.
Si orang berkedok menyusuli dengan sebuah sapuan kaki, membuat Ting Ciau-kun terlempar jatuh dari atas gen?teng. Meskipun tubuh Ting Ciau-kun cukup kuat berkat latihannya selama bertahun-tahun, tak urung tubuhnya menjadi babak-belur juga, untung kaki?nya tidak sampai patah.
Ketika Ting Ciau-kun dengan terta?tih-tatih mencoba bangun kembali, orang berkedok itu dengan membawa kedua orang tawanannya telah lenyap ditelan malam. Dengan lompatan-lompatan secepat angin, ia melompat-lompat dari pucuk genteng yang satu ke pucuk genteng yang lain, dalam waktu singkat ia sudah cukup jauh meninggalkan rumah Ting Ciau-kun.
Waktu orang itu tiba di bawah tem?bok kota Pak-khia, ia segera meluncur ke atas dengan gaya Ui-ho-cong-thian (Burung Jenjang Menembus Langit). Tapi karena tingginya tembok kota Pak-khia tidak mungkin dilampaui dengan sekali lompat saja, maka sampai di tengah- te?ngah tembok ia menendang tembok untuk menambah daya luncurnya, dan sedetik kemudian ia telah "hinggap" di atas tembok kota dengan tetap masih membawa kedua orang tawanannya!
Mencari Anjing Hilang 2 Wanita Iblis Karya S D Liong Irama Seruling Menggemparkan Rimba Persilatan 4
^