Pencarian

Perserikatan Naga Api 20

Perserikatan Naga Api Karya Stevanus Sp Bagian 20


Ling Thian-ki menggeleng lemah sambil tersenyum pahit, "Kau salah duga, sahabat, aku tidak ditekan siapapun masuk ke Hwe-liong-pang, melain?kan dengan sukarela karena aku ber?pendapat bahwa Hwe-liong-pang punya cita-cita luhur menyelamatkan rakyat dari kesengsaraan di bawah tindasan Kaisar Cong-ceng, maka harus didukung..."
"Sahabat Ling, apa-apaan bicaramu ini?" potong Thian-goan Hweshio dengan wajah mulai memerah.
"Sulit dijelaskan dalam singkat. Tapi bagaimana kalau kita bertindak bersama-sama untuk menghentikan pertumpahan darah ini lebih dulu? Ajaklah kawan-kawanmu mengundurkan diri, dan akupun berusaha mengend?alikan teman-temanku dan membujuk Thian-liong Hiang-cu, setelah itu kita bisa bicara panjang lebar sambil bermain catur seperti dulu lagi. Yang menjadi korban biarlah menjadi kor?ban, tapi korban jangan bertambah la?gi karena kesalah-pahaman yang tidak perlu ini, sahabat."
Hati Thian-goan Hweshio yang sudah mengeras dan terlanjur membenci Hwe-liong-pang itu agaknya tidak bisa lagi menerima penjelasan apapun, meskipun ia kecewa dan sedih jika harus berhadapan dengan sahabatnya sendiri, namun tekadnya sudah bulat bahwa Hwe-liong-pang harus tertumpas malam ini juga. Sahut rahib itu, "Aku menyayangkan bahwa agaknya kita harus berselisih jalan disini. Aku tidak bisa memenuhi permintaanmu itu, ada alasan yang sangat kuat dan bisa dipertanggung-jawabkan dalam penyerbuan ini."
"Dengarlah dulu, sahabat, pertempuran ini ada yang mendalangi...."
Tapi ucapan Ling Thian-ki itu terputus ketika Thian Goan Hweshio mengangkat pedangnya dan memotong dengan suara keras lagi, "Maaf, sahabatku, tidak ada jalan mundur lagi bagimu. Tetap bersama dengan Hwe-liong-pang dan kau akan dihancurkan oleh se?luruh pendekar kaum lurus, atau keluar dari Hwe-liong-pang sebelum terlambat."
Ling Thian-ki tertawa kecut, "Wah, kau menyudutkan aku. Tapi cobalah memahami bahwa Hwe-liong-pang kami bukan perkumpulan jahat seperti yang kalian sangka. Kami hanya bertujuan menggulingkan Kaisar Cong-ceng, bahkan kami siap mengajak teman-teman dari berbagai perguruan untuk bergabung dengan perjuangan kami, bergandengan tangan menumpas keangkara-murkaan di negeri ini."
"Kau sudah terbius oleh omongan muluk-muluk yang dijejalkan ke otakmu itu oleh iblis-iblis itu rupanya. Perjuangan apa? Hanya orang gila yang berani melawan Kaisar sedangkan ia memiliki ratusan ribu prajurit yang bersenjata lengkap. Akupun agaknya akan terbius oleh omongan manis ini jika tidak melihat sendiri kegilaan orang-orang Hwe-liong-pang yang pernah merajalela di mana-mana itu. Menumpas Sin hou-bun sampai korban jiwanya mencapai duaratus orang lebih, membunuh pe?mimpin Tiong-gi Piau-hang dan entah berapa lagi korban kalian. Yang pa?ling gila, kalian telah pula berani menyerbu ke Siong-san...."
"Itu bukan kami! Dengar, itu bu?kan kami!"
Thian-goan Hweshio tertawa meng?ejek, "Sudah, jangan membantah lagi. Ingkarilah semua perbuatan kalian sampai bibirmu sobek, tapi kenyataan yang terjadi adalah bukti-bukti yang tak dapat dibantah lagi. Ling Thian-ki, sayang sekali kita bersimpang jalan, terpaksa penyelesaian harus me?lalui ujung-ujung senjata kita. Aku sudah bertekad bahwa malam ini juga Hwe-liong-pang harus terhapus dari muka bumi, supaya lenyap pula sebuah penyakit masyarakat yang membahayakan."
"Itulah kelemahanmu, Thian-goan Hweshio. Ilmumu tinggi, keberanianmu cukup, dan sifatmupun baik, kau ter?lalu sulit diajak bicara. Kau hanya mengandalkan penyelesaian di ujung senjata, sehingga kelak kau akan menyesali kekeliruan sikapmu kali ini."
"Tidak! Aku tidak akan menyesal, aku malahan akan berbangga. Kelak akan kuceritakan kepada murid-muridku dan cucu-cucu muridku, bahwa aku adalah salah seorang yang ikut menumpas sebuah perkumpulan iblis di Tiau-im-hong, perkumpulan yang didirikan oleh pewaris-pewaris ilmu Bu-san-jit-kui, iblis-iblis sesat itu!"
Ling Thian-ki menarik napas dengan hati kecewa. Sahabatnya itu sudah tidak bisa diajak bicara lagi agaknya, sebenarnya dia segan bertempur dengan Thian-goan Hweshio, namun sudah tentu ia tidak bisa membiarkan pendekar Go-bi-pay itu mengamuk seenaknya dan membunuh-bunuhi orang-orang Hwe-liong-pang tanpa batas.
Sambil menarik badik yang terselip di pinggangnya, Ling Thian-ki menyahut. "Apa boleh buat. Aku berharap kelak pikiranmu akan terbuka."
Thian-goan Hweshio juga telah mengangkat pedangnya setinggi dada dan berkata, "Akupun sedih kehilangan seorang teman sebaik kau, tapi apa boleh buat, perjuangan menegakkan kea?dilan dan kebenaran kadang-kadang me?mang menuntut pengorbanan perasaan."
Kemudian kedua bekas sahabat itu tidak berkata-kata lagi, keduanya siap dengan senjatanya masing-masing. Ma?sing-masing juga tahu akan kepandaian satu sama lain, sehingga tidak berani bertindak lengah.
Tepat seperti dugaan Ling Thian-ki, maka Thian-goan Hweshio yang berangasan itulah ternyata yang menye?rang lebih dulu. Diiringi sebuah ben?takan hebat, pedang Thian-goan mulai bergerak dengan jurus Liong-leng-hong-bu (Naga Melingkar, Burung Hong Mena?ri). Gerak yang penuh tipuan ini mem?buat arah serangan yang sebenarnya ja?di kabur di mata lawan, sebab ujung pedang maupun tepi pedang seolah-olah menyerang bersama, seakan menusuk namun juga seperti membacok dan mengiris, sehingga batang pedang itu bagaikan hidup dan bergerak sendiri.
"Bagus, teman, ilmu pedangmu mendapat kemajuan pesat rupanya," seru Ling Thian-ki sambil melangkah mundur.
Thian-goan Hweshio tidak peduli lagi segala ucapan lawan. Begitu lawan mundur, menyusullah gerakan berikutnya Hui-in-ki-lo (Awan Melayang Naik Turun). Bentuk pedangnya telah lenyap karena cepatnya gerakan, sehingga yang nampak kemudian hanyalah segumpal cahaya keperak-perakan yang menggulung ke arah Ling Thian-ki dengan dahsyatnya.
Tapi Ling Thian-ki bukan lawan empuk yang setingkat dengan Kwa Tin-siong. Tiba-tiba saja tubuhnya yang kecil itu melompat tinggi ke atas, dan kemudian dengan cepatnya telah menubruk ke arah Thian-goan Hweshio. Begitu tangannya bergerak, maka sesuai dengan julukannya sebagai Jian-jiu (Lengan Seribu), tampaklah berlapis-lapis bayangan tangannya dengan badik di ujungnya, serempak mencurah ke tu?buh Thian-goan Hweshio.
"Kaupun maju pesat!" bentak Thian goan Hweshio yang kagum juga melihat serangan balasan lawan sehebat itu. Tangkas sekali rahib itu melangkah mundur dan kemudian membalas lagi.
Begitulah, dua orang bekas saha?bat, baik yang pernah bahu-membahu me?numpas kejahatan, kini terpaksa berhadapan sebagai dua lawan dan telah ter?libat dalam pertempuran luar biasa he?batnya. Thian-goan Hweshio begitu tangguh bagaikan batu karang, tidak banyak bergerak namun pertahanannya sangat rapat, tapi bila bergerak dia pun menyerang bagaikan gulungan ombak samudera yang mendebur-debur memecah pantai. Bergulung-gulung tak habis-habisnya. Sedangkan Ling Thian-ki memiliki ilmu meringankan tubuh (ginkang) yang lebih baik dari musuhnya. Bagaikan seekor tawon yang beterbangan mengitari tubuh lawan, ia menyusup dan menyergap dengan cepatnya ke se?la-sela pertahanan lawannya, dan kemu?dian dengan cepatnya "terbang" menja?uh pula. Sedang jika serangan lawan datang melabraknya, maka kelincahan Ling Thian-ki membuat tubuhnya seakan-akan hanyalah segumpal asap belaka yang tak dapat disentuh.
Bunuh membunuh itu berlangsung terus sampai langit sebelah timur te?lah merekah kemerah-merahan menanda?kan datangnya pagi. Hampir sepertiga bagian markas Hwe-liong-pang itu telah menjadi arang karena kebakaran yang ditimbulkan oleh orang-orang Hoa-san-pay itu, dan di antara puing-puing itu bergeletakanlah mayat-mayat dari kedua pihak yang menjadi korban pertempuran yang berlangsung semalam suntuk itu. Yang masih hidup masih saja bertarung dengan penuh dendam, kejar-mengejar di antara lorong-lorong, tumpas-menumpas tanpa kenal ampun, pokoknya hari itu di Tiau-im-hong terjadilah "peragaan" sifat-sifat buruk manusia.
Setelah pertempuran berjalan sampai hampir pagi, tampaklah bahwa keletihan sudah menghinggapi kedua belah pihak, namun siapapun tidak berani le?ngah, sebab lengah berarti akan mampus di ujung senjata lawan. Dalam ke?adaan seperti itu, nampaklah bahwa da?ya tubuh orang-orang Hwe-liong-pang le?bih baik dibandingkan murid-murid ber?bagai perguruan. Meskipun merekapun nampak lelah, tapi murid-murid berbagai perguruan lebih lelah lagi. Agaknya latihan latihan digiatkan di Hwe-liong-pang se?tiap pagi dan sore, menampakkan hasilnya dalam pertempuran ini. Selain itu jumlah orang-orang Hwe-liong-pang lebih banyak, sehingga maksud para pendekar untuk menumpas Hwe-liong-pang itu nampaknya tak akan tercapai, bahkan mereka sendiri yang terancam untuk tertumpas habis di markas Hwe-liong-pang, kandang serigala-serigala yang marah karena sarangnya diganggu itu.
Diantar lima perguruan yang menyerang Tiau-im-hong itu, perguruan Tiam-jong-paylah yang mengalami nasib paling buruk. Begitu menyerbu masuk ke sarang musuh, mereka langsung terkepung oleh dua kelompok Hwe-liong-pang, yaitu Pek-ki-tong (Kelompok Bendera Putih) di bawah pimpinan Oh Yun-kim serta Ci-ki-tong (Kelompok Bendera Ungu) pimpinan Lu Siong. Lalu, bagaikan serombongan bebek yang jinak saja, rombongan Tiam-jong-pay ini berhasil "digiring" memasuki sebuah lo?rong dalam markas itu, dan kemudian dijepit dari dua arah oleh Lu Siong dan Oh Yun-kim beserta kelompoknya masing-masing. Kedua sahabat yang masing-masing berjuluk Jian-kin-sin-kun dan Bu-ing-tui ini bukanlah orang-orang penyabar dalam menghadapi musuh, sudah lama mereka jengkel kepada orang-orang berbagai perguruan yang memandang rendah Hwe-liong-pang itu, dan mereka diam-diam juga tidak setuju akan upaya perdamaian Hong-goan Hweshio yang dianggapnya mengemis belas kasihan musuh dengan mengorbankan harga diri itu. Apalagi malam ini, setelah pihak musuh terang-terangan me?nyerbu dan malahan membakar markas, maka Lu Siong dan Oh Yun-kim berpen?dapat tidak perlu perdamaian lagi. Si?kap itulah yang melandasi tindakan me?reka saat itu, sehingga tanpa ampun mereka melabrak orang-orang Tiam-jong-pay.
Sebaliknya pihak Tiam-jong-pay juga sadar bahwa mereka sudah tidak mungkin lagi keluar hidup-hidup dari tempat itu, mereka juga tidak mengha?rapkan pertolongan dari siapapun sebab orang-orang Kun-lun-pay, Hoa-san-pay, Go-bi-pay dan Ki-lian-pay juga sedang sibuk di arenanya masing-masing. Kare?na itulah orang-orang Tiam-jong-pay yang terkurung di lorong itu bagaikan binatang-binatang buas yang tersudut, bertempur dengan nekadnya tanpa pe?duli lagi mati hidup diri sendiri. Di?pimpin oleh pemimpin mereka, Lam-i-hui hou Ki Im-kok, mereka memaksa pihak Hwe-liong-pang harus berhati-hati dengan ujung-ujung senjata yang me?nyambar-nyambar tak terkendali itu.
Tapi betapapun juga, jumlah yang sangat seimbang merupakan soal yang menentukan jalannya pertempuran pula. Pihak Tiam-jong-pay jauh lebih se?dikit dibandingkan Hwe-liong-pang yang terdiri dari dua kelompok itu, selain itu juga daya tahan orang-orang Hwe-liong-pang setingkat lebih baik dari lawannya, hasil latihan-latihan berat belakangan ini. Maka satu demi satu murid-murid Tiam-jong-pay mulai berguguran secara ksyatria, setelah melawan sampai titik darah terakhir, semuanya jatuh dengan luka di tubuh lebih dari satu. Tak satupun yang menge?luh atau merengek, masing-masing sadar bahwa nama perguruan mereka dipertaruhkan dalam pertempuran itu.
Melihat sikap jantan dari lawan-awannya itu, mau tidak mau pihak Hwe-liong-pang kagum juga dan menaruh hormat kepada lawan-lawan mereka. Oh Yun kim yang tengah bertarung dengan Ki Im-kok itu lalu berkata, "Kalian benar benar lelaki-lelaki sejati yang hebat, sayang sekali kalau kalian mati hanya karena kesalah-pahaman yang tak berarti. Tapi kalian harus dihukum karena telah menyerbu dan membakar markas kami. Aku menawarkan kesempatan untuk menyerah kepada kalian. Barangkali akhir dari peristiwa ini akan lebih baik daripada kalian mati tertumpas di lorong ini, sedang kami juga tidak perlu membunuh orang-orang yang sebenarnya bukan musuh kami."
Ki Im-kok yang sekujur tubuhnya sudah nyeri karena terkena beberapa kali tendangan Oh Yun-kim itu, ternyata seorang yang keras kepala, dan dengan geram menjawab tawaran Oh Yun-kim itu, "Menyerah hanya perbuatan pengecut. Kami berhenti melawan jika nyawa kami sudah berpisah dari tubuh kami."
"Kau kehilangan pikiran jernihmu. Apakah kau juga akan mengorbankan anak buahmu dengan semboyan yang jantan itu?"
"Anak buahku tidak merasa dikorbankan. Semuanya dengan bangga dan pasrah telah siap menyelesaikan kewajiban ksyatria ini, kewajiban untuk menumpas kaum iblis seperti kalian ini, meskipun harus mengorbankan nyawa sendiri."
"Kau benar-benar seorang yang takabur tetapi tolol. Kebanggaanmu itu hanya kebanggaan semu, namun bagi kami tidak lebih dari kekonyolan yang ti?dak lucu, sebab yang kau namakan menunaikan kewajiban ksyatria itu tidak lebih tidak kurang hanya karena kalian ditipu oleh pihak yang mengadu-domba kita. Kematian kalian juga bukan kematian pahlawan, tapi kematian orang orang tolol berotak kerbau yang dengan mudah diperalat untuk kepentingan orang lain."
"Persetan!" Ki Im-kok yang sudah kalap itu menerjang dengan pedangnya. Tapi Oh Yun-kim dengan gesit mengelak ke samping, bersamaan dengan itu kaki tangannya terangkat secepat kilat, dan tumitnya menghunjam keras lambung Ki Im-kok, membuat Ki Im-kok menyeringai kesakitan dan melelehkan darah dari mulutnya.
Tapi dasar keras kepala, orang she Ki itu bangkit kembali dan menerjang lagi dengan ganasnya. Oh Yun-kim yang sudah kehabisan kesabaran itu akhirnya memutuskan untuk lebih dulu menaklukkan pemimpin Tiam-jong-pay ini sebelum memaksa anak buahnya untuk menyerah. Serangan-serangan Ki Im-kok yang sudah tidak menghiraukan lagi gerak-gerak dasar ilmu silat itu, dengan mudah dielakkan terus oleh Oh Yun-kim, sementara tendangan kilat dari si orang Korea ini juga berkali-kali berhasil menyusup ke pertahanan lawan dan meng?enai pelipis, rahang, dagu, dada, rusuk, lambung, perut, dan kadang-kadang juga menghantam sambungan lutut atau betis si harimau Tiam-jong-pay itu membuatnya berguling-guling di tanah. Namun setiap kali bangkit kembali dan menyerang lagi dengan kalapnya. Tapi tendangan-tendangan Oh Yun-kim itu bukannya tidak ada akibatnya sama sekali sebab tendangan yang sangat terlatih itu bagaikan palu baja yang berkali-kali mengenai secara telak, sehingga bagian dalam tubuh Ki Im-kok telah mengalami luka parah, meskipun tidak terlihat.
Dalam geramnya, Oh Yun-kim kemudian meluncurkan sebuah Coan-sim-tui (Tendangan Penembus Jantung) yang keras. Kali ini habislah perlawanan Ki Im-kok. Ia terkapar jatuh dan tidak bisa bangkit lagi, namun ia masih sempat berteriak kepada anak buahnya, "Jangan menyerah !" kemudian pedangnya digorokkan ke lehernya sendiri dan habislah riwayat jago Tiam-jong-pay itu.
Oh Yun-kim memandang tubuh lawannya itu dengan sedih, sambil bergumam sendiri, "aku tidak tahu apakah harus mengagumi keberanianmu atau memaki ketololanmu? Tapi yang terang aku yakin kau bertindak seperti ini."
Kematian Ki Im-kok itu tidak mengendorkan perlawanan murid-murid tiam-jong-pay, malahan membuat mereka semakin nekad, perbuatan mereka memang lebih mirip bunuh diri dengan me?minjam senjata lawan. Seruan-seruan yang diteriakkan oleh Lu Siong dan Oh Yun-kim agar mereka menyerah saja ternyata tidak dihiraukan sama sekali. Akibatnya memang parah. Sebelum fajar merekah di sebelah timur, tidak seorangpun murid Tiam-jong-pay yang masih hidup. Mayat-mayat mereka bergelimpangan di lorong itu dengan mata masih terbuka lebar dan tangan masih menggenggam erat-erat senjata mereka.
Oh Yun-kim dan Lu Siong yang te?lah menyelesaikan tugas di tempat itu, segera mengajak kelompoknya masing-masing untuk pergi ke bagian lain untuk membantu rekan-rekan mereka yang mungkin lebih membutuhkan pertolongan. Ketika diadakan perhitungan korban di pihak Hwe-liong-pang, ada belasan orang gugur dan belasan lagi luka-luka. Melihat sejumlah tubuh-tubuh tak bernyawa itu, Lu Siong menarik napas dalam-dalam dan berkata, "Sebenarnya korban di kedua pihak dapat dihindari."
Oh Yun-kim menyahut, "Ya, tapi perguruan atau perkumpulan manakah yang rela jika markasnya diobrak-abrik dan dibakar? Bahkan bukan hanya pergu?ruan atau perkumpulan, tapi setiap lelaki tidak rela jika rumahnya yang menjadi tempat bernaung anak isterinya itu diganggu orang. Masalahnya bukan cuma membela setumpuk batu bata direkat semen atau sesusun genteng, tapi membela harkat sebagai pribadi maupun nama baik perkumpulan kita. Apa kata orang jika mendengar Hwe-liong-pang diobrak-abrik markasnya tanpa berbuat apa-apa? Dapatkah perjuangan yang kita gembar-gemborkan dan kita mintakan dukungannya dari rakyat itu dipercaya oleh orang banyak, jika rumah kita sendiripun kita tak berani membela?"
Makin banyak bicara, Oh Yun-kim semakin bergejolak perasaannya, sehingga kalimat terakhir itu kedengarannya seperti membentak-bentak. Melihat itu, Lu Siong tertawa sambil menepuk pundak sahabatnya itu, "He, kenapa kau malahan membentak-bentak dan melotot kepadaku? Bukankah kotbahmu itu seharusnya kau tujukan kepada orang-orang yang menyerang kita itu dan bukan kepadaku?"
Gurauan Lu Siong itu rupanya agak memadamkan gejolak perasaan Oh Yun kim, dan suaranya menurun lebih lunak, "Ya, mereka sebagai pendekar-pendekar yang mengaku bijaksana itu seharusnya sudah tahu hal ini tanpa perlu diberi tahu oleh siapapun. Banyaknya korban di pihak mereka bukan salah kita, sebab kita diserang dan kita harus bertahan."
Biarpun Lu Siong itu bertubuh be?sar, berkulit hitam dan nampak gombloh, namun sebenarnya dia punya otak yang terang dan berhati lembut pula. Ucapan terakhir dari Oh Yun-Kim itu membuat Lu Siong berhasil menarik ke?simpulan kenapa sahabatnya itu berbicara keras dan seolah-olah kehilangan keseimbangan perasaan itu. Rupanya ha?ti kecil Oh Yun-kim tersentuh juga ketika melihat pembunuhan tak habis-habisnya itu, melihat bagaimana empatpuluh orang murid-murid Tiam-jong-pay yang tadinya segar bugar itu kini te?lah berubah menjadi empatpuluh sosok mayat beku tanpa nilai apapun, nilai keberanianpun tidak, lebih tepat disebut kekonyolan, sebab mereka hanya bertempur membabi-buta berdasar keputus-asaan. Jadi seakan-akan Oh Yun-kim sedang menyusun suatu alasan untuk membenarkan perbuatannya sendiri, mempertahankan diri dari tuduhan hati kecilnya sendiri.
Lu Siong memahaminya, sebab gejo?lak di dadanya sendiri juga sama de?ngan gejolak di dada sahabatnya itu. Katanya, "Kita membunuh karena terpaksa, sahabat, apa yang kau rasakan itu aku rasakan pula, karena kita bukan manusia berhati batu yang tak tersentuh sedikitpun melihat kemalangan sesama. Percayalah, mayat-mayat ini juga memedihkan hatiku."
Oh Yun-kim mengangguk lemah. "Aku tahu. Aku paham siapa kau."
Keduanyapun beriringan meninggalkan tempat itu. Meskipun kepala ma?sih tegak dan dada masih membusung tapi hati sudah luruh. Namun Oh Yun-kim dan Lu Siong tidak lupa meninggalkan sekelompok kecil anak buah mereka untuk mencoba menolong siapapun yang masih bisa ditolong, tidak peduli dari pihak Tiam-jong-pay sekalipun. Betapapun kemarahan pernah menguasai dada mereka karena serangan musuh yang disertai pembakaran itu, tapi luruh juga ha?tinya ketika melihat tubuh-tubuh bergelimpangan, meskipun tubuh musuh.
"Bukan kemauan kita semuanya ini terjadi," desis Lu Siong.
Oh Yun-kim mengangguk-angguk mengiakan sahabatnya itu, "Ya, kita sedang tidur di rumah kita sendiri, dan mereka datang menyerbu begitu saja. Laki-laki yang punya harga diri dimanapun saja, pasti mempertahankan tempat bernaungnya, seperti lebahpun mengamuk jika sarangnya dilempari batu. Tapi pembunuhan ini memang bukan tujuan kita, hanya sebagai akibat sampingan yang tak terelakkan."
"Ya. Aku dengar tadi kau sudah berteriak untuk menyerukan kepada mereka agar menyerah. Tapi mereka lebih suka memilih mati."
"Keberanian atau kekonyolankah ini?"
"Aku tidak tahu, barangkali gabungan antara keduanya."
-o0^DwKz-Hendra^0o- TIDAK lama kemudian, ayam hutan pun berkokok untuk ketiga kalinya di kejauhan. Pertempuran di markas Hwe-liong-pang belum selesai, meskipun keadaan sudah sangat berat sebelah karena pihak Hoa-san-pay dan kawan-kawannya kalah dalam jumlah mau?pun dalam hal kesegaran jasmani murid-muridnya dibandingkan anggauta-anggau?ta Hwe-liong-pang yang setiap pagi dan sore berlari-lari di lereng-le?reng terjal Tiau-im-hong itu.
Para pemimpin perguruan yang ma?sih hiduppun menyadari hal itu, me?reka akan konyol bila nekad bertahan di tempat itu. Tidak akan ada sebut?an "Pahlawan" bagi mereka, sebab mereka membakar dan merusak mirip perampok. Diam-diam Kiau Bun-han sebagai pemimpin dan otak semua gerakan itu merasa menyesal juga karena ketergesa-gesaannya, dia telah salah memperhitungkan lawan. Tadinya ia mengira di Hwe-liong-pang hanya ada satu orang berilmu tinggi, yaitu Tong Wi-siang, sedang lain-lainnya cuma jago-jago kelas menengah saja. Tapi kenyataannya jauh dari perhitungannya. Biarpun Siangkoan Hong dan Lim Hong-pin tidak selihai Tong Wi-siang, tapi cukup merepotkan lawan juga. Sedang para tong-cu Hwe-liong-pang itu ternyata kepandaiannya rata-rata sama dengan ketua-ketua perguruan penyerbu, apalagi ke?dua Su-cia itu.
Akhirnya Kiau Bun-han memutuskan untuk mundur saja dan mencari kesempa?tan lain. Meskipun secara pribadi Kiau Bun-han tidak terdesak, karena sehebat hebatnya Auyang Siau-pa masih belum melampaui tingkatan tokoh pertama Hoa-san-pay itu, namun Kiau Bun-han me?mikirkan juga nasib murid-muridnya yang satu demi satu berguguran di ujung senjata musuh. Demikianlah, dengan sebuah suitan nyaring, Kiau Bun-han memberi isyarat kepada rombongannya untuk mundur. Isyarat itu?pun bersambung dari satu tempat ke tempat lain, dan diharapkan orang-orang Go-bi-pay, Kun-lun-pay dan yang lain-lainnya dapat mendengarnya pula.
Sedang pihak Hoa-san-pay sendiri agaknya mempunyai semacam ilmu yang digunakan dalam keadaan terjepit atau untuk mundur secara darurat. Terdengarlah Kiau Bun-han berseru kepada murid-muridnya yang jumlahnya tinggal separoh itu, "Bentuk Liok-hap-kiam-tin (Ba?risan Pedang Enam Arah), berusaha tinggalkan tempat ini!"
Murid-murid Hoa-san-pay yang ta?dinya bertempur berpencaran itu ti?ba-tiba berloncatan meninggalkan la?wannya masing-masing, kemudian berga?bung dengan teman-temannya, tiap ke?lompok terdiri dari enam orang dan membentuk barisan segi enam. Dalam se?kejap saja di tempat itu telah terben?tuk empat buah kelompok dengan masing-masing enam anggauta. Barisan khas Hoa san-pay itu bukan hanya dapat diguna?kan di tempat yang rata dan luas, ta?pi juga di tempat sempit dan tidak ra?ta seperti tempat itu. Kiau Bun-han, Yo Ciong-wan, Lim Sin dan Auyang Seng juga telah melepaskan diri dari la?wannya masing-masing dan bergabung de?ngan masing-masing kelompok.
Pihak Hwe-liong-pang kebingungan melihat lawan yang jauh lebih se?dikit itu tiba-tiba membentuk barisan segi enam yang begitu rapat dan ge?rakannya membingungkan itu. Tak terke?cuali pemimpin-pemimpinnya seperti Hong goan Hweshio, Auyang Siau-pa, dan Yu Ling-hoa juga tak tahu apa yang harus mereka perbuat menghadapi barisan la?wan. Untunglah barisan itu memang cuma untuk bertahan, bukan untuk me?nyerang, sehingga orang-orang Hwe-liong-pang tidak menjadi korban karena kebingungannya itu.
Karena tidak tahu cara mengha?dapi barisan itu, maka Hong-goan Hwe?shio hanya berteriak-teriak, "Tenang! Tetap tenang! Ambil jarak! Jangan sam?pai lolos!"
Sebaliknya Kiau Bun-han menjadi lega melihat kepanikan di pihak Hwe-liong-pang itu, kesempatan itu tidak disia-siakannya, segera dia mulai berteriak lagi, "Kelompok pertama loncat ke dinding, lindungi kelompok berikut?nya dengan senjata rahasia!"
Kelompok pertama yang dipimpin Auyang Seng segera "beterbangan" ke atas dinding, dan begitu tiba di atas dinding merekapun segera menghambur?kan senjata-senjata rahasia yang ber?macam-macam bentuknya. Thi-lian-ci (Biji Teratai Besi), hui-to (Pisau Terbang), Bintang Besi Pipih dan sebagainya. Setelah orang Hwe-liong-pang keripuhan menangkis senjata-senjata itu, kelompok demi kelompok orang-orang Hoa-san-pay itu berhasil melonca?ti dinding dan meninggalkan tempat itu dengan selamat.
-o0^DwKz-Hendra^0o- Jilid 38 HONG-GOAN HWESHIO menjadi penasa?ran, ibaratnya ikan yang sudah dalam bumbung telah berenang keluar kembali, tapi dia juga menyadari kelemahan pihaknya. Ternyata Hwe-liong-pang hanya melatih anggautanya untuk bertem?pur perorangan, bahkan secara perorangan rata-rata anggauta Hwe-liong-pang lebih kuat dari murid-murid Hoa-san-pay, namun dalam kerjasama kelompok seperti tadi, Hwe-liong-pang tidak bisa apa-apa. Diam-diam Hong-goan Hweshio berencana dalam hati, "Jika kami benar-benar berniat menumbangkan Cong-ceng, tentu harus berhadapan dengan panglima-panglimanya Kaisar dengan prajurit-prajuritnya yang terat?ur rapi. Benar bahwa anggauta-anggauta kami ini dengan latihan selama ini tidak kalah dari para prajurit orang per orang, tapi jika dalam pertempuran besar pasti anggauta-anggauta kami akan tergilas habis karena tidak biasa bergerak dalam gerakan-gerakan perang. Di kemudian hari hal ini ha?rus mendapat perhatian seperlunya."
Sementara itu, Auyang Siau-pa yang masih tidak terima karena markas?nya dibakar itu, telah mengajak kelom?pok Jing-ki-tong (Kelompok Bendera Hijau) yang berjumlah hampir duaratus orang itu untuk mengejar ke bawah gu?nung. Hong-goan Hweshio tidak tega membiarkan Auyang Siau-pa memimpin sendirian dalam pengejaran itu, sebab ia tahu bahwa sekuat-kuatnya Auyang Siau-pa namun masih belum melebihi Kiau Bun-han. Sedang di pihak musuh masih ada tokoh-tokoh kuat lain seper?ti Yo Ciong-wan yang culas itu, Lim Sin dan Auyang Seng yang meskipun ma?sih muda tapi sudah dapat disejajar?kan dengan paman-paman gurunya itu. Terpaksa dengan memanggul senjata Hong-pian-jannya rahib suku Hui itu-pun ikut berlari-lari di belakang kelompok Jing-ki-tong itu.
Isyarat pengunduran diri yang dilepaskan oleh Kiau Bun-han dan seca?ra berantai disebarkan ke semua arah itu, terdengar juga oleh pihak Kun-lun-pay yang masih berkutetan di dekat aula melawan kelompok Lam-ki-tong (Ke?lompok Bendera Biru) di bawah pim?pinan In Yong serta Ong Wi-yong itu, juga oleh Go-bi-pay dan Ki-lian-pay bagian-bagian lain.
Memangnya di semua bagian pihak penyerbu telah tertekan hebat, maka "mengalirlah" mereka meninggalkan mar?kas Hwe-liong-pang itu dengan gerakan mundur teratur. Sedang pihak Hwe-liong pang yang merasa belum puas dengan pe?ristiwa pembakaran itu, terus mengejar ke bawah gunung dipimpin oleh kepala-kepala kelompok masing-masing. Tidak peduli tokoh-tokoh yang paling sabar seperti Kwa Heng atau In Yong sekali?pun, kali inipun sama marahnya dan bertekad untuk menangkap Kiau Bun-han dan rekan-rekannya.
Tengah para pendekar berbagai perguruan itu terbirit-birit dikejar-kejar orang-orang Hwe-liong-pang yang marah, tiba-tiba bersorak-sorailah me?reka ketika melihat ke kaki bukit.
Saat itu sudah terang tanah, dan di kaki bukit itu nampaklah serombong?an orang yang jumlahnya tigaratus orang lebih sedang bergerak menuju ke atas gunung. Orang-orang itu berseragam campur-aduk, ada yang abu-abu, ada yang coklat, ada yang seperti pendeta Buddha, rahib agama To atau bahkan berpakaian compang-camping seperti pengemis. Kiranya mereka adalah orang-orang Siau-lim-pay, Bu-tong-pay, Khong-tong-pay, Jing-sia-pay dan sebagainya. Meskipun antara mereka dengan kelom?pok Kiau Bun-han ada perselisihan pen?dapat mengenai Hwe-liong-pang, namun ketika mereka tahu rekan-rekan mereka itu diam-diam telah memisahkan diri dan menyerbu sendiri ke Tiau-im-hong, mereka tidak sampai hati untuk membia?rkannya saja, biarpun perginya re?kan-rekan mereka itu tanpa pamit. Ma?ka merekapun segera menyiapkan diri dan menyusul ke Tiau-im-hong, biarpun kedatangan mereka agak terlambat, se?bab orang-orang Hoa-san-pay dan lain-lainnya sudah kalah dan tengah diuber-uber di lereng gunung. Malahan Tiam-jong-pay, salah satu perguruan penyer?bu itu, sudah tertumpas habis tidak sisa seorangpun juga.
Cepat-cepat sisa-sisa lima per?guruan yang menyerbu Tiau-im-hong itu menggabungkan diri dengan rekan-re?kan mereka yang baru datang itu. Di depan barisan pendekar yang baru datang itu, berdirilah Hong-tay Hwe-shio, tokoh tua Siau-lim-pay itu, wa?jahnya yang biasanya lembut dan ber?seri-seri, kini nampak merah padam ka?rena marahnya. Agaknya ia sangat ter?singgung oleh tindakan Kiau Bun-han dan kawan-kawannya yang meninggalkan barisan tanpa pamit itu. Ketika me?lihat rombongan Kiau Bun-han menda?tangi dari depan dengan pakaian yang robek-robek serta keadaan yang babak belur, Hong-tay Hweshio tertawa dingin dan bertanya, "Bagaimana hasil penyerbuan, Ketua Kiau?"
Kiau Bun-han menundukkan kepala?nya ketika menatap pandangan tajam da?ri rahib tua Siau-lim-pay itu, rupa?nya ia menyadari juga tindakannya yang terburu nafsu itu. Begitu pula ketika rombongan dari Go-bi-pay, Kun-lun-pay dan Ki-lian-pay juga berga?bung, tidak banyak percakapan yang terjadi.
Kemudian bertanyalah Hong-tay Hweshio, "Empat perguruan sudah kem?bali. Tapi kenapa saudara-saudara kita dari Tiam-jong-pay belum kelihatan ju?ga? Mungkinkah mereka tersesat ke le?reng yang lain?"
Dalam pada itu, pihak Hwe-liong-pang tidak berani mengejar terus ke?tika melihat pihak lawan telah mendapatkan bala bantuan sebanyak itu. Na?mun pihak Hwe-liong-pang juga tidak sudi mundur dan kalah gertak, apalagi karena mereka berjumlah lebih banyak dan berada di kandang sendiri pula. Dengan beberapa aba-aba dari Siang?koan Hong dan Lim-hong-pin, orang-orang Hwe-liong-pang segera membentuk baris?an berjajar di sebuah tempat datar te?pat di depan pintu gerbang markas me?reka. Jumlah mereka seluruhnya yang hampir seribu orang itu semuanya berseragam hitam, dalam keremangan pagi yang berkabut, mereka nampak seperti deretan hantu-hantu yang bangkit dari liang kuburnya.
Dari ujung keujung, mereka berba?ris dalam kelompoknya masing-masing, mulai dari Pek-ki-tong (Kelompok Ben?dera Putih) pimpinan Oh Yun-kim dengan wakilnya Tiat-ciang (Elang Bersayap Besi) Suma Koan, yang tangannya se?lalu memutar-mutar bandring besinya itu. Kelompok Bendera Kuning (Ui-ki-tong) dipimpin Tiat-jiau-tho-wan (Ke?ra Bungkuk Berkuku Besi) Kwa Heng dengan wakilnya Tiat-pi-hek-hou (Ma?can Hitam Berlengan Baja) Can Bun-hou yang bertangan kosong seperti ketua?nya. Jing-ki-tong (Kelompok Bendera Hijau) dipimpin Auyang Siau-pa, si orang Su-coan yang gerakan goloknya seperti kilat itu, didampingi wakilnya Yu Ling-hoa dengan sepasang perisai tajam di tangannya, Lam-ki-tong (Kelompok Bendera Biru) di depannya tegaklah In Yong si Pek-lui-siang-to (Sepasang Golok Petir) yang didampingi wakil dan sekaligus adik seperguruannya sendiri, Ong Wi-yong yang berjulukan Hui-long (Serigala Terbang), Jai-ki-tong (Kelompok Bendera Coklat) dipimpin Ma Hiong yang berjuluk Siau-lo-cia (Si Malaikat Lo-ci Kecil), karena senjata Ma Hiong adalah sepasang roda kecil dari besi, mirip dengan "kendaraan" malaikat Lo-ci dalam dongeng kuno itu. Ia tidak didampingi wakilnya, sebab wakilnya telah gugur dalam pertempuran tadi malam, dan itu pula sebabnya si malaikat Lo-cia kecil ini nampak merah padam mukanya dan menatap ke arah barisan kaum pendekar dengan kemarahan meluap. Kemudian ada Ci-ki-tong (Kelompok Bendera Ungu) dengan Tong cunya yang tinggi besar dan perkasa Lu Siong yang berjuluk Jian-kin-sin kun (Tinju Malaikat Seribu Kati), Tong-cu Hek-ki-tong (Kelompok Bendera Hitam) dipimpin Ya-hui-miao (Kucing Terbang Malam) Kwa Tin-siong, yang wa?kilnya si Telapak Besi Cu Keng-wan ju?ga telah gugur di tangan Thian-sek Hweshio dari Go-bi-pay. Yang paling ujung adalah Ang-ki-tong (Kelompok Bendera Merah) dipimpin Siang-po-kay-san (Si Sepasang Kampak Pembelah Gunung) Ji Tiat, didampingi oleh Sebun Peng, wakilnya yang bergelar Song-kiam (Pedang Perkabungan). Sedang di depan ba?risan Hwe-liong-pang yang garang dan siap tempur itu, berdirilah empat orang dedengkot mereka. Siangkoan Hong, Lim Hong-pin, Hong-goan Hweshio dan Ling Thian-ki.
Kini dua buah kelompok besar telah saling berhadapan di tempat terbuka, masing-masing dengan senjata-senjata terhunus yang siap "disarangkan" ke dada lawannya. Matahari yang kuning keemasan perlahan-lahan naik dan cahayanya yang semakin terang telah membuat kedua pihak yang berhadapan bisa saling memandang wa?jah masing-masing. Namun yang ada ha?nyalah wajah-wajah yang hampir sama coraknya, tegang, marah dan penuh naf?su membunuh.
Ketegangan yang mencekam itu dipecahkan oleh geraman Siangkoan Hong bagaikan singa terluka, ia maju dua langkah sambil menuding ke arah Hong-tay Hweshio, "Kaukah pemimpin orang-orang ini, yang sering disebut Hong-tay Hweshio itu?"
Rahib tua Siau-lim itu merang?kapkan kedua telapak tangannya dan menjawab dengan sabar, "Benar. Apakah kau Ketua Hwe-liong-pang?"
"Bukan. Tapi selama Ketua tidak dapat menjalankan tugasnya, akulah yang menjalankan pekerjaan sebagai Ke?tua. Hemm, Hweshio tua, tidak perlu kau berbasa-basi lagi. Kau mengatakan menerima uluran tangan perdamaian kami, tetapi kenapa kau mengirim orang untuk menyerang markas kami sela?gi kami tidur dan membakar rumah kami pula? Apakah begini biasanya perbuatan orang-orang yang menamakan diri kaum lurus seperti kalian ini? Bukankah ini perbuatan pengecut?"
Diam-diam Hong-tay Hweshio menye?salkan juga perbuatan Kiau Bun-han yang tidak dapat mengendalikan diri itu. Namun sudah tentu dia tidak dapat menegur Kiau Bun-han di hadapan orang banyak seperti itu, sebab tokoh Hoa-san-pay itu akan kehilangan muka, dan bisa menimbulkan perpecahan dalam ba?risannya sendiri.
Akhirnya dengan menarik napas da?lam-dalam Hong-tay Hweshio berkata, "Hiang-cu, dalam keadaan penuh kesalah-pahaman dan kecurigaan seperti ini, seorang memang mudah berbuat khi?laf. Hiang-cu menanyakan kenapa teman kami menyerang dan membakar markas kalian, tapi kamipun bertanya kepada kalian, kenapa kalian menyerbu dan membakar markas Kay-pang (Golongan Pengemis) di kota Lam-tiong beberapa hari yang lalu? Kenapa kalian membunuh belasan murid Cong-lam-pay dan Soat-san-pay di luar kota Jing-toh itu, padahal kalian sedang menawarkan perdamaian dengan kami?"
"Itu bukan perbuatan kami. Hwe?shio tua, kau tentu sudah tahu bahwa kami terpecah menjadi dua, dan tiap tiap bagian tidak bertanggung-jawab atas perbuatan bagian yang lainnya. Kami tidak bertanggung-jawab apa yang diperbuat oleh Te-liong Hiang-cu dan pengikut-pengikutnya!"
"Hiang-cu, tidak adakah alasan lain yang bisa kau karang selain yang itu-itu juga? Tadinya kami hampir mem?percayai kejadian itu, namun selama itu pihak kami ternyata lebih banyak dirugikan, banyak murid-murid kami terbunuh, dan kami tidak bisa minta pertanggungan-jawab siapapun sebab kalian selalu berdalih itu bukan per?buatan kalian. Apakah ini adil? Bukan?kah seharusnya perbuatan orang yang disebut Te-liong Hiang-cu itu juga menjadi tanggung-jawab kalian? Bukan?kah kalianlah yang wajib menangkap me?reka karena mereka adalah anggauta kalian?"
Siangkoan Hong memang bukan o?rang yang pandai bicara, maka setelah didebat begitu rupa oleh Hong-tay Hwe-shio, seketika diapun bungkam, hanya mukanya yang menjadi merah padam, dan mulutnya menggumamkan kata-kata "kepa?rat" sampai belasan kali.
Sementara itu Hong-tay Hweshio telah berkata lagi, "Sekarang kami ingin bertanya, bagaimanakah nasib orang-orang Tiam-jong-pay yang datang ke tempat kalian itu? Kenapa mereka belum nampak?"
Siangkoan Hong tertawa dingin, "Hweshio tua, kutanya kau, jika ada orang yang menyerbu dan membakar kuil Siau-lim-si kalian, apa yang kau perbuat terhadap mereka?"
Seketika itu juga berubahlah wajah para pendekar ketika mendengar ja?waban itu, mereka mulai mendapat fira?sat jangan-jangan rekan-rekan Tiam-jong pay mereka itu telah mendapat musibah? Kim-hian Tojin, tokoh sakti Bu-tong-pay yang berdiri berdampingan dengan Hong-tay Hweshio itu telah melangkah maju, katanya dengan suara bergetar, "Jadi... jadi... mereka telah...."
Siangkoan Hong mendongakkan ke?palanya dan tertawa lepas, "Jangan sa?lahkan kami. Kami diserang, dan kami harus membela diri. Pihak kamipun ke?hilangan beberapa anggauta terbaik kami, malahan beberapa Hu-tong-cu (Wa?kil Ketua Kelompok) juga telah gugur."
Seketika itu gemparlah pihak pendekar itu. Meskipun tidak tegas dikatakan, namun siapapun dapat memastikan bahwa orang-orang Tiam-jong-pay itu telah tertumpas semua. Teriak kemarahan segera berkumandang di antara rombongan pendekar itu, senjata senjata sudah dicabut keluar dan diacung-acungkan ke udara. Tapi pihak Hwe-liong-pang juga berbuat serupa sebab merekapun marah kehilangan beberapa pemimpin mereka.
Sedangkan tokoh-tokoh yang lebih berkepala dingin seperti Hong-tay Hwe-shio, Kim-hian Tojin, Tiat-sim Tojin dan sebagainya, meskipun mereka juga menyesali kematian orang-orang Tiam-jong-pay, namun secara jujur harus mengakui bahwa pihak Hwe-liong-pang memang berhak mempertahankan markasnya. Dan dalam pertempuran yang manapun juga, kemungkinan untuk gugur sama besarnya dengan kemungkinan untuk tetap hidup. Rasanya terlalu tidak tahu aturan jika menimpakan kesalahan sepenuhnya ke pundak Hwe-liong-pang.
Pada saat ketegangan telah memuncak, dan banjir darah yang dahsyat sudah terancam akan tertumpah di lereng Tiau-im-hong yang cerah itu, tiba-tiba dari kaki bukit terdengar derap kaki kuda yang ramai. Salah seorang penunggang kuda itu berteriak-teriak dari kejauhan, "Tahan senjata! Tahan senjata!"
Dari kaki bukit itu muncullah lima orang berkuda yang dengan tergesa-gesa memacu kudanya ke atas bukit. Dua orang penunggang kuda yang paling depan adalah lelaki, sedang tiga penunggang kuda di belakangnya adalah perempuan semua, namun ketangkasan perempuan-perempuan itu dalam mengendalikan kudanya ternyata tidak kalah dengan kaum lelaki. Setelah orang-orang di lereng melihat wajah para penunggang kuda itu, beberapa orang yang mengenalnya segera berteriak, "Itulah Tong Wi-hong, pemimpin Tiong-gi Piau hang (Perusahaan Pengawalan Tiong-gi) di Tay-beng!"
Kemudian yang mengenali salah seorang gadis penunggang kuda itu berteriak pula, "Itulah Tong Wi-lian murid Hong-tay Hweshio, gadis yang mampu mengalahkan beberapa orang Tong cu Hwe-liong-pang dalam pertempuran di Siong-san!"
Setelah penunggang-penunggang kuda itu dekat, pakaian mereka telah menimbulkan keheranan orang-orang di le?reng Tiau-im-hong yang telah saling berhadapan itu. Ternyata, baik Tong Wi-hong maupun keempat kawannya, se?mua berpakaian putih dari kain belacu dan dirangkapi pula dengan baju pen?dek dari tikar pandan, dan kepala me?reka dilibat dengan secarik kain putih. Pakaian berkabung! Sedang mata mereka-pun nampak merah bengkak seperti ha?bis menangis.
Begitu tiba di tengah-tengah kedua pihak yang sudah siap tempur itu, Tong Wi-hong dan Tong Wi-lian melompat turun dari kudanya, lalu mendekati ke arah Kiau Bun-han dan Thian-goan Hwe?shio. Tiba-tiba saja kedua kakak beradik she Tong itu telah menjatuhkan di?ri dan berlutut sampai dahi mereka mengenai tanah, kata Tong Wi-hong dengan suara bergetar mengandung kesedihan, "Pendekar Kiau dan Rahib Thian-goan yang bijaksana, kami kakak beradik mewakilli kakak kami memohonkan maaf sebesar-besarnya dari pihak Hoa-san-pay dan Go-bi-pay..."
Kiau Bun-han dan Thian-goan Hwe-shio saling bertukar pandangan dengan penuh keheranan. Cepat-cepat mereka balas berlutut sambil berkata, "Tong Cong-piau-thau, jika ada urusan harap dibicarakan baik-baik, jangan bersikap sesungkan ini, membuat kami merasa tidak enak saja. Dan siapakah kakakmu yang kau sebut meminta maaf kepada Hoa-san-pay dan Go-bi-pay itu?"
Masih dengan suara serak Wi-hong menyahut, "Kakakku adalah Tong Wi-siang, Ketua Hwe-liong-pang!"
Bagaikan disengat kalajengking, tiba-tiba Kiau Bun-han dan Thian-goan Hweshio melompat bangun dari berlututnya. Wajah mereka menjadi merah padam dan tangan mereka telah menggenggam erat-erat hulu pedang mereka. Kiau Bun han telah membentak bengis, "Hah? Jadi si gila di kuil rusak itu adalah kakakmu? Di mana dia?! Kami harus membalas kematian murid-murid kami yang terbunuh oleh tangan iblisnya!"
Tong Wi-hong dan adiknya tetap tidak bangkit dari berlututnya, tidak peduli pedang Kiau Bun-han dan Thian-goan Hweshio setiap saat siap dica?but dari sarungnya dan menabas kepala mereka. Kata Tong Wi-hong dengan kepa?la tetap tunduk, "Tayhiap berdua tidak perlu membalasnya lagi. Meskipun kakakku membunuh beberapa muridmu, na?mun iapun terluka parah gara-gara per?kelahiannya dengan kalian di kuil ru?sak itu...."
Ucapan itu terpotong oleh bent?akan Thian-goan Hweshio, "Tidak perlu kau meringankan dosa-dosa kakakmu sen?diri! Sekarang lekas tunjukkan di ma?na dia agar kami dapat menyeretnya ke sini dan menghakimi kesalahannya!"
Kata-kata Kiau Bun-han dan Thian-goan Hweshio yang sangat memandang rendah Ketua Hwe-liong-pang itu seke?tika menimbulkan kemarahan orang-o?rang Hwe-liong-pang, serentak mereka-pun mencabut senjata dan berteriak-te?riak memaki. Namun Siangkoan Hong be?lum memerintahkan untuk menyerang, se?bab ia sendiripun ingin mendengar be?rita tentang di mana Ketua dan se?kaligus sahabat karibnya sejak kecil itu.
Sementara itu, Tong Wi-hong te?lah menurunkan sebuah guci yang tadi tergendong di punggungnya, guci yang terbungkus kain putih, lalu jawabnya atas pertanyaan Thian-goan Hweshio ta?di, "Dia ada di sini, tay-su. Ini ada?lah abunya...."
Kembali lereng Tiau-im-hong jadi bagaikan gempar. Baik pihak para pen?dekar maupun pihak Hwe-liong-pang ba?gaikan tidak percaya mendengarkan dengan telinga mereka sendiri, bahwa Tong Wi-siang, Ketua Hwe-liong-pang telah meninggal dunia!
Tong Wi-siang telah meninggal dunia! Ketua Hwe-liong-pang yang meng?gemparkan dan menggetarkan dunia itu, telah tiada!
Kiau Bun-han sudah menyiapkan ca?cian berikutnya kepada Tong Wi-siang, namun akhirnya ditelannya kembali apa yang hampir diucapkannya itu. Ba?gaimanapun dia adalah seorang pendekar terhormat dan tidak pantas baginya untuk mencaci orang yang sudah mening?gal. Namun dengan nada kurang percaya ia masih bertanya juga kepada Wi-hong, "Bagaimana aku bisa membuktikan bahwa abu ini benar-benar abu si gi... eh, Ketua Hwe-liong-pang itu? Bagaimana dia mati?"
Wi-hong harus menguatkan hati un?tuk mengulangi lagi kisah yang menye?dihkan hati itu lewat bibirnya, "Sehabis berkelahi dengan kalian di kuil tua itu, kakakku itu berhasil kami temukan tapi dalam keadaan luka-luka, selain karena terluka oleh kalian, ju?ga terluka karena pengerahan tenaga?nya sendiri yang berlebihan. Kami ber?usaha menyembuhkan, tetapi keadaan jiwanya yang tergoncang karena kehilang?an seorang yang sangat berarti dalam hidupnya, dan juga semangat hidupnya yang runtuh karena keputus-asaan akan kegagalan yang bertubi-tubi, tidak membantu usaha penyembuhan kami itu. Dua malam yang lalu, dalam keadaan sa?dar dan pikiran yang jernih, tapi tu?buh yang sangat lemah, dia telah me?ninggal dunia setelah menulis dua pu?cuk surat."
Melihat mimik Tong Wi-hong, agak?nya pemimpin Tiong-gi Piau-hang itu memang tidak menipu, apalagi ketika melihat Wi-lian dari tadi hanya menun?dukkan kepala terus dan menangis. Se?dang orang-orang Hwe-liong-pang yang mulai yakin akan pendengaran mereka, sebagian mulai menangis dan sebagian lagi mengertakkan gigi sambil menge?pal tinju.
Kiau Bun-han serta Thian-goan Hweshio mau tidak mau luruh juga keke?rasan hatinya melihat hal itu. Tanya Thian-goan Hweshio, "Dua pucuk surat untuk siapa saja?"
"Sepucuk untuk pihak Hoa-san-pay dan Go-bi-pay. Sepucuk lagi untuk Hwe-liong-pang."
"Mana suratnya?"
Tong Wi-hong segera mengeluar?kan dua pucuk surat dari dalam baju?nya, yang satu diangsurkannya kepada Thian-goan Hweshio, sedang yang satu lagi diberikannya kepada Siangkoan Hong yang telah berjalan mendekat. Ke?dua orang itu hampir bersamaan merobek sampul surat dan hampir bersamaan pula membacanya dengan berbisik-bisik.
Selesai membaca surat itu, Thian-goan Hweshio menarik napas panjang dan berkata, "Rupanya kekuasaan takdir sangat terasa. Ketua Hwe-liong-pang saja berani mengorbankan perasaannya untuk minta maaf kepada kita lebih dulu, kenapa kita harus ngotot tak mau memaafkannya?" Lalu disodorkannya surat itu kepada Kiau Bun-han agar tokoh Hoa-san-pay itu membaca pula.
Sedang Tong Wi-hong dan adiknya telah berlutut lagi di hadapan tokoh Go-bi-pay itu, dan kata Wi-hong, "Jika pihak Go-bi-pay dan Hoa-san-pay masih penasaran akan murid-muridnya yang terbunuh oleh kakakku, aku dan adikku bersedia untuk mengganti nyawa mewakili kakakku."
Bahkan kemudian Tong Hu-jin disertai Ting-bun dan Cian Ping telah berlutut pula. Kata janda pendekar Tong Hu-jin, "Jika tay-su sudi menghargai nyawa tuaku, akupun bersedia mengganti nyawa murid-murid kalian yang dibunuh puteraku. Tapi aku mohon hendaklah pesan terakhir anakku agar permusuhan diakhiri itu benar-benar terlaksana, supaya nyawa anakku tente?ram di alam baka."
Luluhlah kekerasan hati Thian-goan Hweshio itu. Tiba-tiba ia mengangkat pedangnya dan mematahkannya menjadi dua potong, serunya dengan suara bergetar, "Jika Ketua Hwe-liong-pang yang sering kucaci-maki sebagai gembong iblis itupun bisa bertindak seluhur ini, masakah aku harus kalah daripadanya? Mulai detik ini, permusuhanku dengan Ketua Hwe-liong-pang kuanggap lenyap seperti patahnya pedang ini. Semua murid Go-bi-pay juga kularang untuk memusuhi dan merendahkan nama?nya! Jika masih ada orang-orang Hwe-liong-pang yang penasaran dan ingin bertempur denganku, aku sanggup mela?yaninya, tapi tidak ada sangkut-paut lagi dengan permusuhanku dengan Hwe-liong Pang-cu!"
Demikianlah, meskipun hati Thian-goan Hweshio sebenarnya sudah luluh sehabis membaca surat dan juga melihat Tong Hu-jin beserta anak-anak dan calon-calon menantunya itu berlutut di hadapannya, namun sebagai orang berwatak keras maka bicaranyapun keras pula. Ia tidak sudi dianggap takut, permusuhan dengan Hwe-liong Pang-cu dihapuskan, tapi ia masih juga menantang orang Hwe-liong-pang yang masih ingin berkelahi dengannya.
Dalam pada itu, Siangkoan Hong-pun telah selesai membaca surat itu, tiba-tiba menengadah ke langit sambil tertawa bergelak-gelak, namun kemudian tawanya itu berubah jadi semacam jeritan yang memedihkan hati. Dikepalkannya tinjunya ke langit, seakan menuntut kepada Thian, teriaknya, "Tong Wi-siang masih muda dan bercita-cita luhur, adilkah jika ia mati semudah itu? A-siang! Kau membakar semangat juangku, tetapi setelah itu kau ting?galkan kami setengah jalan seperti ini....!"
Mata Siangkoan Hong tiba-tiba be?rubah jadi beringas, ditatapnya Tong Wi-hong yang memegang guci berisi abu Tong Wi-siang itu, lalu bentak Siang?koan Hong dengan bengisnya, "Berikan kepadaku!"
Wi-hong mengerti bahwa Siangkoan Hong, sahabat kakaknya yang sangat se?tia itu, tengah terguncang perasaannya, karena diulurkannya juga guci itu ke?pada Siangkoan Hong. Kemudian Siangkoan Hong mengangkat tinggi-tinggi guci itu, serentak orang-orang Hwe-liong-pang meletakkan senjatanya dan berlu?tut ke arah guci itu dengan khidmat. Teriak Siangkoan Hong, "He, orang-orang Hwe-liong-pang yang setia, yang telah menyatakan diri untuk bertempur bersama Ketuamu yang perkasa, apa yang kau perbuat jika Ketuamu gugur seperti ini?"
Terdengarlah teriakan-teriakan, "Menuntut balas!"
Sementara itu Lim Hong-pin telah membaca pula surat itu, dan ia menjadi cemas ketika melihat ucapan-ucapan Siangkoan Hong bukannya menjurus ke arah perdamaian seperti yang dipesankan oleh Tong Wi-siang, melainkan malah membakar hati anggauta-anggauta Hwe-liong-pang itu. Karena itu, Lim Hong-pin bertekad untuk membacakan sur?at itu di hadapan seluruh anggauta Hwe-liong-pang, tidak peduli untuk itu dia harus bertentangan dengan Siangkoan Hong sendiri. Tapi pertumpahan darah harus dicegah.
Pada saat orang-orang Hwe-liong-pang yang terbakar hatinya itu sudah bangkit dari berlututnya dan siap menerjang ke arah kaum pendekar, cepat cepat Lim hong-pin melompat maju sam?bil mengangkat tinggi-tinggi kertas surat itu, sambil berseru, "Orang-orang Hwe-liong-pang, maukah kalian mendengar pesan terakhir Ketua kalian?"
Orang-orang Hwe-liong-pang itu-pun menahan langkahnya. "Kami mau men?dengarnya!" teriak mereka.
"Sanggupkah kalian melaksanakan amanat terakhir itu?" tanya Lim Hong-pin lagi. Disahut oleh para anggauta, "Kami sanggup!"
"Apapun pengorbanannya?"
"Ya !" teriak anggauta Hwe-liong-pang. "Biarpun kepala kami harus meng?gelinding di lereng ini dan darah kami tertumpah memerahkan seluruh Tiau im-hong ini!"
Lim Hong-pin mengangguk-angguk kepalanya, "Bagus! Pesan terakhir ke?tuamu itu tidak sampai harus dengan kepala terpenggal atau darah tertumpah, tapi justru menghindari pertumpahan darah yang tidak perlu. Dengarlah Hwe? liong Pang-cu menghendaki kalian meneruskan perjuangan menggulingkan si Kaisar tidak becus Cong-ceng itu...."
"Kami siap !" sambut para anggauta.
"...dan menghindari jatuhnya korban yang tidak perlu, pesan Ketua kepada kalian mengatakan bahwa orang-orang Hoa-san-pay, Siau-lim-pay dan lain-lainnya yang berdiri di hadapan kalian adalah bukan musuh kalian! Kuulangi, bukan musuh kalian! Ketua sadar bahwa selama ini para pengikut Te-liong Hiang-cu si pengkhianat itu te?lah mengadu-domba kita dengan mereka. Ketua tidak rela kita menjadi jangkrik jangkrik aduan yang tolol, sedangkan Te-liong Hiang-cu enak-enak memungut hasil pertentangan ini dan kemudian menggilas habis kita semua!"
Jika seruan untuk menggulingkan Kaisar Cong-ceng tadi disambut dengan teriakan-teriakan bersemangat, maka seruan untuk berdamai dengan kaum pen?dekar ini disambut dengan bungkam dan penuh keragu-raguan. Betapapun juga, orang-orang Hwe-liong-pang belum bisa melupakan bahwa baru beberapa saat yang lalu orang-orang Hoa-san-pay, Go-bi-pay, Kun-lun-pay dan sebagainya itu baru saja membakar markas mereka, dan membunuh rekan-rekan mereka. Da?rah yang melekat di pedang mereka be?lum kering. Bagaimana bisa mereka berdamai dengan pembunuhan-pembunuhan te?man-teman mereka itu?
Lim Hong-pin yang berusia lebih muda dari Siangkoan Hong, tetapi le?bih bijaksana itu, dapat menangkap ge?jolak hati anggauta-anggauta Hwe-liong-pang itu. Katanya, "Memang berat, ta?pi kekonyolan ini tidak boleh ber?larut-larut, sebab hal itu berarti ki?ta masuk dalam siasat licik Te-liong Hiang-cu yang lebih dulu ingin mengu?ras tenaga kita, sedangkan dia akan datang kemudian dengan kekuatan yang masih segar. Kalian dapat mengerti bu?kan? Lebih berharga mana jika kalia?n mati karena diadu domba, atau mati da?lam perjuangan meneruskan cita-cita Ketua kita?"
Kata-kata itu agaknya dapat juga meresap dalam hati para anggauta bah?kan juga dalam hati Siangkoan Hong yang sekeras batu padas itu. Terdengar Siangkoan Hong menggeram, "Baik. Kita turuti pesan Pang-cu. Tapi aku tidak sudi berdamai dengan bangsat-bangsat munafik itu. Aku menghentikan permu?suhan, tapi tidak berkawan dengan me?reka. Kami akan berjalan sendiri-sen?diri."
Kata-kata Siangkoan Hong itu disambut gembira oleh para anggauta. Memang itulah jalan tengah yang pa?ling tepat. Menghentikan permusuhan, tapi juga tidak menjadi kawan. Lim Hong-pin tahu bahwa rekan-rekannya itu masih belum bisa melupakan perbua?tan orang-orang Hoa-san-pay yang mem?bakar markas mereka itu. Apa boleh bu?at, itupun lebih baik daripada berbunuh-bunuhan tanpa akhir yang membawa banyak korban jiwa itu.
"Baiklah, tapi masih ada dua pe?san Pang-cu lagi," kata Lim Hong-pin.
Karena Siangkoan Hong sudah mem?baca surat Wi-siang tadi, maka ia tahu apakah dua pesan yang akan dika?takan lagi oleh Lim Hong-pin itu. Na?mun dia diam saja dan membiarkan Lim Hong-pin membacakan lagi, "Kedua pe?san tambahan itu adalah, pertama, un?tuk melanjutkan perjuangan mengguling?kan Kaisar Cong-ceng, Ketua mengijinkan kita untuk bergabung dengan Coan-ong Li Cu-seng, tapi ini hanya anjur?an ketua dan bukan suatu keharusan. Yang ke dua, kalian harus segera me?ninggalkan markas ini, sebab tidak lama lagi markas akan diserbu oleh Te-liong Hiang-cu dan pengikut-pengikut-nya...."
"Kami tidak gentar!" teriak para anggauta.
"Aku mengerti kalian tidak gen?tar, dan Ketua ketika menulis surat ini tentu juga paham bahwa kalian tidak gentar kepada pengkhianat-pengkhianat Hwe-liong-pang itu. Tapi kalian tidak boleh mati konyol. Bukan karena Te-liong Hiang-cu dan pengikut-pengikutnya itu sakti luar biasa tapi ka?rena bangsat itu secara tidak tahu ma?lu telah menjilat Kaisar Cong-ceng, dan berkomplot dengan Panglima Lam-tiong, dan saat ini dia sedang bergerak mengepung tempat ini untuk menumpas ki?ta!"
Berita itu memang mengejutkan. Bukan saja orang-orang Hwe-liong-pang tapi kaum pendekar dari berbagai per?guruan itu. Apalagi ketika Tong Wi-hong juga ikut berkata, "Ya, itu kulihat dengan mata kepalaku sendiri. Ketika kami berkuda menuju ke Tiau-im-hong ini, kami melihat sebuah pasukan Kera?jaan dalam jumlah besar, bercampur-aduk dengan pengikut-pengikut Te-liong Hiang-cu sedang menuju kemari. Mereka hendak menumpas Hwe-liong-pang, se?kaligus menumpas para pendekar untuk membalas dendam atas kekalahan Te-?liong Hiang-cu di Siong-san dulu!"
"Bangsat tidak tahu malu!" teri?ak Kiau Bun-han. "Dia tidak mampu mem?balas dendam dengan kekuatan sendiri, kenapa dia sudi menjilat pantat para pejabat busuk kaki tangan Cong-ceng itu?"
Yang menyahut adalah Hong-goan Hweshio dari pihak Hwe-liong-pang, "Itulah kelicikannya, dulu kami sudah berkali-kali meyakinkan kalian bahwa kita harus menahan diri dari siasat adu-domba ini. Andaikata kita dapat me?nahan diri, kejadian buruk hari ini tak akan terjadi...."
Kiau Bun-han melotot dan mem?bentak, "Hweshio sesat, jadi secara tidak langsung hendak kau katakan bahwa kami ini orang-orang tolol yang mudah disogok untuk diadu-domba?"
Hong-goan Hweshio tertawa dingin, "Dalam keadaan sama-sama mengalami ba?haya seperti ini, masih perlukah kita berebut siapa pintar siapa tolol? Aku berkata, kita sama tololnya, kita sa?ma-sama berotak kerbau. Tanpa ke?cuali!"
Muka Kiau Bun-han menjadi merah padam, tapi Thian-goan Hweshio justru tertepuk tangan sambil berkata, "Ha-ha ha, sungguh makian yang tepat. Aku, Thian-goan Hweshio, si kerbau tolol dari Go-bi-pay, mengulurkan tangan persahabatan kepada kerbau-kerbau tolol lainnya, siapa mau menerima uluran tanganku ini?"
Tapi tak seorangpun di pihak Hwe-liong-pang yang menyambut ucapan Thian goan Hweshio itu, sehingga Rahib Go-bi-pay itu menarik napas sedih, "Baiklah, rupanya orang-orang Hwe-liong-pang masih marah kepadaku karena aku telah ikut menyerbu dan memba?kar tempat kalian."
Dari pihak Hwe-liong-pang, Ling Thian-ki, bekas sahabat Thian-goan Hweshio itulah yang menyahut, "Kau memang tolol. Kedua pihak baru saja sa?ling bunuh penuh kebencian, bagaimana mungkin tawaran tololmu itu bisa diterima sekarang? Jika kau ingin bersaha?bat dengan kami, sikap bersahabatmu itu harus kau tunjukkan untuk tahun tahun mendatang dengan perbuatan, bukan dengan ucapan kosong!"
Thian-goan Hweshio mengangguk-angguk tak menjawab, sedang Kiau Bun-han-lah yang menyahut dingin, "Jangan besar kepala. Hoa-san-pay tidak akan pernah berkawan dengan kaum sesat tanpa juntrungan seperti kalian, biarpun untuk sementara ini kita tidak akan bertempur!"
Jawaban Ling Thian-ki tidak kalah tajamnya, "Kau juga jangan besar kepala, tawaran persahabatan kami tidak kami tujukan kepada orang-orang sombong dan selalu mengira diri sendiri benar sendiri seperti kau ini melainkan kepada orang-orang yang dapat melihat kebenaran perjuangan kami. Kau sendiri boleh jadi berilmu tinggi dan bernama besar, tapi kau tidak lebih sampah rongsokan buat kami, sebab tidak berani menggunakan kepandaian itu untuk berbuat sesuatu yang bermanfaat bagi rakyat! Kau kalah dengan seorang yang berilmu rendah tapi mengamalkan ilmunya itu."
Kembali muka Kiau Bun-han menjadi merah padam, sambil menghunus pedangnya dia hendak melangkah maju menerjang Ling Thian-ki, dan Ling Thian-ki sendiri agaknya sudah juga siap meladeni tokoh Hoa-san-pay yang keras kepala itu. Melihat itu, cepat-cepat Tong Wi-hong melompat ke tengah-ten?gah kedua tokoh itu, sambil berkata dengan nada memelas, "Sudahlah tuan-tuan berdua, belum cukupkah korban yang jatuh hanya karena kesalah-pahaman? Masih akan ditambah lagikah nyawa-nyawa yang melayang tanpa arti, sedang musuh bersama kita, Te-liong Hiang-cu, belum meneteskan setitik keringatpun?"
Pada saat sindir-menyindir antara Kiau Bun-han dan Ling Thian-ki itu sudah memuncak dan hampir meledak kembali menjadi pertentangan yang melibatkan anak buah masing-masing, tiba-tiba di kaki bukit terdengar dentuman meriam berkali-kali. Lalu tanah-tanah di lereng-lereng Tiau-im-hong itu ba?gaikan meledak berhamburan terkena gempuran peluru meriam. Kedua pihak yang tengah bersitegang leher di lereng Tiau-im-hong itu sama-sama terkejut dan menjadi panik. Beberapa orang, dari perguruan-perguruan maupun Hwe-liong-pang, telah terpental tewas kena peluru meriam ! Lain-lainnya berlari berpencaran.
Bersamaan itu, di bawah gunung terlihat ada sejumlah besar pasukan Kerajaan Beng tengah mengurung kaki bukit, menyumbat satu-satunya jalan yang menghubungkan bukit itu dengan dunia luar. Yang membuat kedua pihak mendidih darahnya adalah ketika melihat bahwa di depan tentara Kerajaan yang tengah menerjang ke atas bukit itu, ternyata terdapat orang-orang yang mereka benci. Yaitu Te-liong Hi-ang-cu yang masih juga memakai topeng tengkoraknya, diiringi oleh pengikut-pengikutnya yang berkepandaian tinggi seperti Ang-mo-coa-ong (Si Raja Ular Berambut Merah) Tang Kiau-po, Sip-hiat-mo-hok (Kelelawar Hantu Pengisap Darah) Liong Pek-ji, Hwe-tan (Si Pelu?ru Api) Seng Cu-bok serta Hek-liong (Si Naga Hitam) Thio Hong-bwe. Selain itu masih ada ratusan anak buah lainnya yang berpakaian hitam-hitam seperti orang Hwe-liong-pang, bahkan mereka juga menamakan diri Hwe-liong-pang pula.
Kecurigaan di pihak kaum pendekar ternyata belum lenyap seluruhnya ketika melihat munculnya pengikut-pengikut Te-liong Hiang-cu bersama-sama tentara pemerintah itu. Biarpun hanya sedikit, masih juga ada dugaan bahwa Hwe-liong-pang tidak benar-benar bermusuhan dengan Te-liong Hiang-cu, me?lainkan hanya pura-pura untuk menjebak seluruh kaum pendekar dan menumpasnya di lereng Tiau-im-hong itu. Ta?pi kecurigaan semacam itu akhirnya lenyap ketika mereka melihat Siangkoan Hong sendiri telah memimpin anak buahnya untuk menyongsong serbuan musuh yang jauh lebih banyak itu dengan be?raninya. Para pimpinan Hwe-liong-pang lainnyapun dengan penuh semangat menerjang paling depan, tidak peduli musuh jauh lebih banyak.
Dalam sekejap saja, di kaki bukit Tiau-im-hong itu berkobarlah pertempuran sengit antara Hwe-liong-pang melawan pengikut-pengikut Te-liong Hiang-cu yang dibantu oleh pasukan Kerajaan Beng dengan beberapa perwiranya yang tangguh pula. Kaum pendekar belum turun ke gelanggang, dan dalam kesempatan itu mereka melihat bahwa benar-benar rupanya ada perpecahan di Hwe-liong-pang. Mereka juga melihat bahwa diantara pengikut-pengikut Te-liong Hiang-cu itu terdapat orang-orang yang sudah mereka kenal dalam pertempuran di Siong-san dulu, berarti kelompok inilah yang sebenarnya menyerang Siong-san dulu, bukan kelompoknya Siangkoan Hong.
Hong-tay Hweshio bergumam sendiri, "Sekarang terbuktilah bahwa kita benar-benar telah diadu-domba oleh Te-liong Hiang-cu yang agaknya ingin meminjam tangan kita untuk melenyapkan saingannya itu. Kemudian dia sendiri datang dengan kekuatan pinjaman yang masih segar, untuk menumpas habis kita yang tentu dibencinya pula."
Kiau Bun-han menundukkan kepala, merasa malu atas perbuatannya selama ini dan akhirnya berkata geram, "Bagus kalau Te-liong Hiang-cu dan kaki-tangannya datang kemari. Kita jadikan peristiwa Tiau-im-hong ini sebagai pil pahit kedua baginya setelah di Siong-san dulu."
Keputusannya diambil, kaum pendekar itupun segera menghunus senjata dan menghambur ke kaki bukit. Tidak menghiraukan peluru-peluru meriam yang masih berdesingan menghantam lereng-lereng bukit, mereka menerjang langsung ke arah pengikut-pengikut Te-liong Hiang-cu dan tentara kerajaan Beng.
Sementara itu, dengan penuh kebencian Siangkoan Hong telah menerjang ke arah Te-liong Hiang-cu yang dianggapnya biang-keladi semua kekisruhan belakangan ini. Teriaknya, "Pengkhia?nat, bagus kau datang untuk mengantar batok kepalamu!"
Te-liong Hiang-cu menyambut terjangan bekas temannya itu dengan hati-hati pula, sebab dia tahu bahwa ilmu Siangkoan Hong tidak berselisih dengannya sendiri. Keduanya sama-sama pewa?ris ilmu dari Kitab Bu-san-jit-kui, meskipun secara tidak langsung, sebab Tong Wi-sianglah yang mengajari dan menuntun mereka. Kini kedua bekas sa?habat dari An-yang-shia itu terlibat dalam pertempuran mati-matian.
Setiap jago dari masing-masing pihakpun segera menemukan tandingannya masing-masing. Tang Kiau-po yang tengah mengganas dengan tongkat besi berkepala ularnya, serta pukulan Ang se-jiu (Pukulan Pasir Merah) itu, terhadang oleh musuh lamanya yang bekas rekannya sesama Su-cia, yaitu Hong-go?an Hweshio. Biarpun Tang Kiau-po ter?masuk dalam urutan "Sepuluh Tokoh Sak?ti" sedangkan Hong-goan Hweshio tidak, itu tidak berarti ilmu Hong-goan Hwe?shio lebih rendah dari Si Raja Ular dari Thay-san itu. Tidak tercantumnya nama Hong-goan Hweshio dalam urutan sepuluh besar itu karena sejak bela?san tahun yang lalu dia telah pergi ke tempat jauh, ke daerah suku Hui di sebelah barat sana, sehingga namanyapun jarang dikenal orang, kecuali orang-orang yang pernah bersahabat dengannya. Kini, di kaki bukit Tiau-im hong itu terbuktilah bahwa Hong-goan Hweshio tidak kalah tangkas memainkan Hong-pian-jannya dibandingkan Tang Kiau-po memainkan tongkat besi berke?pala ularnya.
Sementara itu, rekan Hong-goan Hweshio, Ling Thian-ki juga telah ber?temu lawan tangguhnya, yaitu seorang berseragam perwira tinggi Kerajaan Beng yang berjenggot putih dan bersenjata sepasang bola baja bertangkai. Bola baja yang sebesar semangka itu nampaknya ringan saja di tangan perwi?ra berjenggot putih itu, diayun-ayunkannya bagaikan angin badai membuat barisan depan Hwe-liong-pang jadi berantakan. Ketika Ling Thian-ki melihat amukan perwira jenggot putih itu, ia segera melompat menghadang sambil ber?seru, "Hebat! Nama besar Tiat-lo-sat (Si Raksasa Besi) Lamkiong Hai dari Jing-toh benar-benar bukan nama kosong belaka. Tapi buat apa seorang pejabat tinggi seperti kau keluyuran sampai ke bukit terpencil ini?"
Ternyata Ling Thian-ki sudah ta?hu siapakah si perwira berjenggot pu?tih ini. Dia bernama Lamkiong Hai dan merupakan kepala pengawal dari Sun-bu (Gubernur) Su-coan ini. Sebagai wila?yah penting yang merupakan "gudang beras", Su-coan harus dijaga oleh pa?sukan yang terlatih baik, dan regu pengawal gubernurnyapun bukan praju?rit-prajurit sembarangan, apalagi Lam?kiong Hai adalah pemimpinnya, tentu saja kepandaiannya dapat diandalkan. Ia terkenal dengan tenaga raksasanya, serta permainan sepasang bola bajanya yang dapat menghancurkan kepala musuh itu.
Berhadapan dengan tokoh terkenal ini, Ling Thian-ki tidak berani meman?dang ringan, maka begitu pertempuran dimulai, dia sudah langsung memakai sepasang pisau pendeknya yang lincah itu. Dengan demikian pertarungan anta?ra kekuatan melawan kelincahanpun se?gera berkobar di tempat itu, sulit diketahui siapa yang lebih unggul. Se?pasang bola baja Lamkiong Hai berdesing-desing berputaran bagaikan sepa?sang lebah yang bermain-main di rum?pun bunga, namun desingan itu membawa hawa maut yang menggidikkan. Ditun?jang dengan kuda-kuda yang kokoh, pinggang yang kuat, serta sepasang lengan yang bertenaga raksasa, Lamkiong Hai benar-benar adalah lawan yang ber?bahaya.
Tapi Ling Thian-ki dengan sepa?sang pisaunya juga tidak kalah berba?haya, dia bagaikan segumpal asap saja yang tak dapat tersentuh oleh sepa?sang bola baja lawannya itu. Desing angin yang menyertai gerakan senjata lawan seakan-akan malah membuatnya se?makin lincah, tubuhnya bagaikan se?ringan bulu yang mengikuti hembusan angin ke manapun bertiup. Tapi ''Si Ke?ra Sakti Seribu Lengan" itu bukan cu?ma berlompatan menghindar, tapi juga menerkam dan menyerang dengan sepasang pisaunya itu. Mula-mula masih dapat dilihat bagaimana Ling Thian-ki melom?pat menghindar dan kemudian menyergap bagian pertahanan musuh yang kosong, namun lama kelamaan gerakannya semakin cepat sehingga sulit dibedakan lagi gerakan menghindar dan menyer?gapnya. Sepasang pisaunyapun berubah bagaikan hujan gerimis yang mencurah ke tubuh lawan dari segala arah, mem?buat Lamkiong Hai harus mengerahkan tenaga untuk mengetatkan pertahanannya.
Pertarungan satu lawan satu sema?cam itu tidak terjadi di satu tempat saja, namun di sepanjang garis pertem?puran. Pihak gabungan Hwe-liong-pang dan para pendekar berbagai perguruan memang kalah dalam jumlah, boleh dikata hampir-hampir satu dibanding sepu?luh atau limabelas, namun jumlah orang orang berilmu tinggi lebih banyak di pihak Hwe-liong-pang dan para pendekar. Antara lain Hong-tay Hweshio, Kim-hian Tojin, Bong-san Tojin, ke delapan orang Tong-cu Hwe-liong-pang, Lim Hong-pin dan sebagainya. Di pihak Te-liong Hiang-cu juga terdapat beberapa jago, namun selain jago-jago bawahan Te-liong Hiang-cu juga terdapat beberapa jago di pihak Tentara Kera?jaan yang dapat diandalkan. Ada juga beberapa perwira yang cukup tangguh, namun mereka bukan tandingan jago-ja?go Hwe-liong-pang atau jago-jago ber?bagai perguruan apabila harus dihadapkan satu lawan satu. Dengan demiki?an, untuk sementara jalannya per?tempuran agak seimbang. Pihak Te-liong Hiang-cu dan Tentara Kerajaan unggul menyolok dalam hal jumlah, sedangkan pihak gabungan Hwe-liong-pang dan pa?ra pendekar rata-rata unggul dalam ke?mampuan perseorangan. Orang-orang yang berilmu tinggi tetapi tidak mendapat lawan setimpal, mencoba meringankan beban kawan-kawannya dengan jalan "mengambil" lawan lebih dari satu. Hong-tay Hweshio misalnya, ia mengha?dapi sepuluh orang prajurit yang be?kerja sama mengepungnya di bawah pim?pinan seorang perwira bersenjata tom?bak panjang.
Tapi jumlah musuh yang berkali lipat itu akhirnya terasa juga penga?ruhnya. Perlahan-lahan kaum pendekar mulai terdesak ke atas bukit. Betapa saktinya mereka, namun menghadapi mu?suh yang terus membanjir tak habis-ha?bisnya itu, tenaga mereka mulai ter?peras juga. Apalagi prajurit-prajurit Kerajaan Beng juga bukan cuma keroco-keroco yang sekedar menyodorkan tu?buhnya ke ujung senjata musuh, namun cukup terlatih baik. Beberapa kali Tentara Kerajaan membuat gerakan yang aneh-aneh, barisannya berganti-ganti bentuk dengan tangkasnya, sebentar mendesak, di lain saat mundur sambil membuat gerakan melengkung untuk menjepit, kemudian menebar dan menyer?bu dan sebagainya. Orang-orang Hwe-li?ong-pang serta kaum pendekar yang ha?nya tangkas dalam pertarungan perorangan tapi sama sekali buta dalam sia?sat perang, sedikit demi sedikit menjadi kacau balau. Berulang-kali me?reka terjebak oleh gerakan barisan la?wan, sehingga merekapun semakin terde?pak ke atas bukit.
Tapi setelah gabungan antara Hwe-liong-pang dengan kaum pendekar itu mengalami tekanan berat, barulah tim?bul rasa senasib sepenanggungan di antara meraka. Tadinya mereka masih saling membenci karena kesalah-pahaman selama ini, namun setelah bertempur bersama dan mengalami kesulit?an bersama pula, kedua pihak menyada?ri bahwa tanpa kerjasama yang baik me?reka akan digilas hancur oleh Te-liong Hiang-cu dan Tentara Kerajaan. Gugur?nya salah satu anggauta Hwe-liong-pang atau salah satu murid perguruan-pergu?ruan, berarti bertambah lemahnya selu?ruh barisan, hal ini disadari oleh me?reka.
Kiau Bun-han agaknya terpisah da?ri kelompok teman-temannya, karena ia bagaikan terhisap oleh "pusaran" pa?sukan musuh yang melibatkan dan memi?sahkannya dari teman-temannya. Ba?gaikan harimau luka, ia mengamuk seor?ang diri di tengah gelombang pasukan lawan. Pedangnya membacok sana bacok sini, tikam sana tikam sini, namun tak banyak hasilnya, sebab prajurit prajurit Kerajaan Beng semuanya me?makai baju sisik besi, dan bersenjata?kan pedang serta perisai, atau senja?ta panjang jenis lain seperti tombak atau kaitan. Ketinggian ilmu Kiau Bun han nyaris percuma dalam kepungan pra?jurit-prajurit yang sudah terbiasa bekerja sama secara rapi dan ketat itu. Jika ia mendesak prajurit yang di de?pan, maka serempak prajurit-prajurit yang di samping dan di belakangnya me?nusukkan senjata-senjata mereka. Jika Kiau Bun-han berhasil melukai atau me?robohkan seorang prajurit, maka di tubuhnya sendiripun tentu lukanya ber?tambah. Ia bagaikan seekor harimau yang meronta-ronta terjebak oleh kub?angan lumpur terapung, makin meronta makin tenggelam, percumalah kekua?tannya selama ini.
Pada saat itu, sekelompok murid Hoa-san-pay dengan nekad berusaha me?nerjang dari luar kepungan, ingin me?nolong guru mereka. Tapi kepungan itu terlalu tebal, murid-murid Hoa-san-pay yang tidak seberapa jumlahnya itupun satu persatu berguguran tanpa arti se?belum bisa mencapai tempat gurunya.
Di saat keadaan Kiau Bun-han sudah seperti telur di ujung tanduk itu, tiba-tiba di sebelah sana terlihat sebatang golok bulan sabit berkelebatan kian-kemari diiringi sorak-sorai sekelompok orang. Ternyata tidak jauh da?ri situ, Auyang Siau-pa bersama seke?lompok anggauta Hwe-liong-pang juga tengah terkepung. Tapi keadaan Auyang Siau-pa lebih baik dari Kiau Bun-han sebab ia tidak seorang diri.
Tadinya Kiau Bun-han mendapat ha?rapan ketika melihat ada sekelompok orang yang mendatanginya, namun sete?lah tahu bahwa kelompok itu adalah orang Hwe-liong-pang, apalagi dipimpin oleh Auyang Siau-pa yang baru tadi ma?lam bertempur dengannya, maka Kiau Bun han membatalkan niatnya untuk berteriak minta tolong. Ia lebih suka mam?pus berkeping-keping dicincang senja?ta lawan dari pada harus minta tolong kepada orang Hwe-liong-pang.
Tak terduga, biarpun ia tidak berteriak, Auyang Siau-pa sudah me?lihat pula keadaan bekas lawannya itu. Bukannya meninggalkan Kiau Bun-han seorang diri di tengah kepungan lawan Au?yang Siau-pa ternyata justru membawa kelompoknya untuk mendekati tempat Kiau Bun-han itu. Dengan Auyang Siau-pa dan Yu Ling-hoa sebagai "ujung tom?bak", kelompok Hwe-liong-pang itu men?desak barisan dan berusaha membuka ja?lan ke arah Kiau Bun-han. Yu Ling-hoa berpikiran cerdik, ia tahu bahwa pi?haknya mengalami kesulitan untuk melu?kai prajurit-prajurit lawan karena ba?nyaknya, juga karena baju sisik besi dan perisai prajurit-prajurit itu, ta?pi Yu Ling-hoa melihat bahwa bagian kaki para prajurit itu tidak terlin?dung oleh baju sisik besi. Karena itu, Yu Ling-hoa menggulingkan dirinya, se?pasang perisai tajam Gun-guan-painya berputar kencang, dan tiga orang pra?jurit yang terdepan segera menjerit ngeri, terjungkal roboh karena betis?nya terbabat sepasang senjata Yu Ling-hoa itu.
Melihat hal itu, Auyang Siau-pa berteriak gembira, "Akal bagus, sauda?ra Yu!"
Dia bukan cuma memuji, tapi juga langsung meniru cara Yu Ling-hoa itu. Meskipun tidak begitu mahir, Auyang Siau-pa mampu juga memainkan Te-tong-to (ilmu golok yang dimainkan sambil bergulingan di tanah). Maka diapun se?gera berguling-guling seperti Yu Ling-hoa, membabati kaki prajurit-prajurit Kerajaan, membuat barisan depan Ten?tara Kerajaan itu menjadi kalang-kabut.
Seorang thong-leng (Perwira Rendah) di pihak Tentara Kerajaan segera memberi perintah, "Gunakan senjata panjang! Yang bersenjata tombak dan kaitan maju ke depan!"
Tapi Yu Ling-hoa dan Auyang Siau-pa tidak mau kehilangan kesempatan baik itu, mereka terus mendesak maju dengan jarak pendek, sehingga musuh yang bersenjata panjangnyapun sulit menyelamatkan kaki mereka dari baba?tan senjata sepasang jago Hwe-liong-pang itu. Anak buah Hwe-liong-pang lainnya mengikuti di belakang kedua pemimpin itu. Yang merasa bisa bergu?lingan sambil bergulingan, namun yang tidak bisa juga tetap bertempur dengan ganasnya. Sebaliknya di pihak Tentara Kerajaan, biarpun juga ada perwira-per?wira yang bisa bersilat bergulingan, tapi pakaian besi dan topi besi mere?ka sangat mengganggu gerakannya.
Tidak lama kemudian, Auyang Siau-pa dan Yu Ling-hoa berhasil menerobos sampai ke tempat Kiau Bun-han yang te?ngah terkepung. Tokoh nomor satu di Hoa-san-pay itu masih juga bertempur dengan garangnya, biarpun pakaiannya telah menjadi merah oleh darah, darah musuh dan darahnya sendiri. Ketika me?lihat Auyang Siau-pa dan Yu Ling-hoa mendekatinya, Kiau Bun-han berteriak, "Aku tidak sudi menerima belas kasih?anmu!"
Auyang Siau-pa tertawa dingin dan menyahut, "Hemm, siapa hendak mengasihimu, tapi menantangmu, kalau kau memang berani cobalah berusaha untuk tetap hidup agar kelak kita dapat mengukur ilmu lagi! Tapi kalau kau takut, silahkan mati konyol di sini, mungkin lebih baik dari pada tubuhmu terbelah oleh golokku!"
Hati Kiau Bun-han bagaikan terba?kar oleh "tantangan" Auyang Siau-pa itu. Teriaknya, "Siapa sudi mati konyol disini oleh penjilat-penjilat pantat Cong-ceng dan Co Hua-sun ini? Aku akan keluar dari kepungan ini dan tetap hidup !"
Diam-diam Auyang Siau-pa gembira bercampur kagum melihat sikap Kiau Bun han itu. Gembira karena pancingannya untuk membakar semangat tokoh Hoa-san-pay itu ternyata mengena dan berarti mengobarkan kembali semangatnya untuk berjuang, juga kagum tokoh keras kepala dari Hoa-san-pay ini tidak menunjukkan ketakutannya sedikitpun biarpun terkurung seorang diri di tengah-tengah musuh itu, sikapnya tetap saja garang seperti sehari-harinya. Diam-diam Auyang Siau-pa membatin dalam hatinya, "Sebagai sahabat atau sebagai musuh, orang she Kiau ini cukup berharga."
Biarpun di lubuk hatinya sudah mengagumi kejantanan Kiau Bun-han, tapi dalam sikap luarnya Auyang Siau-pa masih berusaha membakar lebih hebat lagi hati ?musuh?nya itu dengan kata-kata yang menusuk, "Kalau kau ingin hidup, bertempurlah bersama kami, jangan cuma berteriak-teriak saja! Kau kira dengan berteriak-teriak saja maka musuhmu akan mundur sendiri?"
Kiau Bun-han justru tertawa terbahak-bahak, "Bangsat Hwe-liong-pang, pintar juga kau membakar hatiku. Ayo kita bertanding siapa yang lebih banyak mengganyang cecurut-cecurutnya Cong-ceng ini !"
Begitulah, dua orang lelaki jantan yang tadi malam masih berhadapan sengit dengan lawan mati hidup itu, kini bahu membahu mencoba membedah kepungan Tentara Kerajaan. Kadang-kadang mereka saling menyelamatkan apabila salah seorang terancam bahaya, dan tidak lupa....saling memaki ! Meskipun demikian, perlahan-lahan di lubuk hati kedua bekas musuh itu timbul juga saling mengagumi dan menghormati keberanian masing-masing, sedang perasaan bermusuhan semakin tipis.
Akhirnya kedua orang itu bersama kelompok Auyang Siau-pa lainnya, berhasil juga lolos dari kepungan dan bergabung dengan kelompok gabungan Hwe-liong-pang dan berbagai perguruan, yang terdesak mundur ke atas bukit itu. Tapi dalam gerakan meloloskan diri itupun regu kecil Auyang Siau-pa kehilangan beberapa orang anggautanya, bahkan Yu Ling-hoa menderita luka di paha yang cukup parah.
Beberapa tokoh berkelahi dengan seimbang, misalnya Te-liong Hiang-cu melawan Siangkoan Hong, atau Tang Kiau-po melawan Hong-goan Hweshio, namun baik Siangkoan Hong maupun Hong-goan Hweshio harus selalu bergerak mundur, mengikuti arus gerakan mundur rekan-rekan mereka, sebab kalau mereka tidak ikut mundur maka mereka akan "tenggelam" dalam pasukan musuh yang membanjir itu. Apabila sudah demikian, biarpun kepandaian mereka setinggi langit juga sulit melawan ribuan prajurit terlatih dengan senjata lengkap itu. Te-liong Hiang-cu dan Tang Kiau-po dengan liciknya mencoba untuk menahan lawan-lawannya itu agar tidak sempat bergerak mundur, tetapi kepandaian mereka yang tidak berselisih jauh dengan lawan-lawan mereka itu membuat mereka gagal menjalankan maksudnya.
Matahari sudah naik semakin tinggi. Para pendekar dan orang-orang Hwe-liong-pang itu terdesak semakin ke atas, jumlah mereka juga berkurang terus, kehilangan murid-murid atau anggauta-anggauta yang secara gagah perkasa bertahan sampai titik darah penghabisan. Para pendekar dan orang-orang Hwe-liong-pang itu mulai kelelahan menghadapi tekanan musuh yang terus menerus. Sebaliknya pihak tentara kerajaan yang mengandalkan jumlah banyak itu dengan cerdik menggunakan siasat berganti-ganti orang untuk menghemat tenaga. Setiap dua sulutan dupa-biting (hio), gelombang pasukan yang di depan digantikan oleh gelombang di belakangnya yang masih segar, sedang ge?lombang di depan itu diberi kesempa?tan menyegarkan diri, untuk nanti ke?mudian maju kembali bergantian kawan-kawan mereka yang sudah kelelahan. De?ngan cara demikian, maka prajurit-prajurit Tentara Kerajaan itu segar te?rus, biarpun bertempur tiga hari tiga malam juga akan kuat. Sebaliknya para pendekar dan orang-orang Hwe-liong-pang, biarpun merupakan jago-jago tangguh yang biasa melakukan latihan keras, namun menghadapi siasat musuh macam itu mau tak mau mulai kehabisan tenaga juga. Mereka tidak bisa bertempur bergantian seperti musuh, sebab jumlah pasukan mereka yang sedikit.
Di tengah-tengah kecamuknya medan laga itu, Tong Wi-hong sambil tetap memanggul guci yang berisi abu kakak?nya, bertempur gigih sekali, berdam?pingan dengan Tong Wi-lian adiknya, Cian Ping dan Ting Bun, juga Tong Hu-jin, ibunya, yang meskipun merupa?kan perempuan setengah tua namun masih merupakan harimau betina yang ga?rang. Selain itu, baik orang-orang Hwe liong-pang maupun orang-orang berbagai perguruan, terutama dari Soat-san-pay, tidak lepas tangan apabila keluarga Tong itu dalam kesulitan. Orang-orang Soat-san-pay membela mereka sebab Tong Hu-jin dan Tong Wi-hong adalah murid Soat-san-pay, sedang orang-orang Hwe-liong-pang membela keluarga dari mendiang Ketua mereka itu.
Nampaknya tidak lama lagi selu?ruh pendekar dan orang-orang Hwe-liong pang itu akan terdesak sampai ke mar?kas Hwe-liong-pang, bahkan akan dije?pit terus sampai ke belakang markas yang merupakan lereng-lereng terjal itu. Dalam keadaan sehari-hari, le?reng-lereng terjal itu tidak menguatirkan bagi para anggauta Hwe-liong-pang, sebab lereng-lereng itulah tempat latihan mereka setiap hari. Tapi saat ini bukan saat latihan. Apabila kaum pendekar dan orang-orang Hwe-liong-pang turun lewat lereng itu, maka Tentara Kerajaan tidak usah menggunakan pedang atau tombak mereka un?tuk menghabisi lawannya, cukup dengan menggulingkan batu-batu besar dari atas lereng, maka seluruh kaum pendekar dan orang-orang Hwe-liong-pang itu akan terkubur hidup-hidup di bawah le?reng.
Pada saat genting bagi kaum pen?dekar dan orang-orang Hwe-liong-pang itu, tiba-tiba di kaki bukit terdengar dentuman meriam berulang-kali dan ba?gian belakang dari Tentara Kerajaan-pun kelihatan menjadi panik. Seperti diketahui, yang membawa meriam-meriam itu sebenarnya adalah pihak Tentara Kerajaan sendiri, yaitu untuk memper?mudah pembasmian orang-orang Hwe-liong pang. Ketika Tentara Kerajaan mende?sak ke atas bukit, maka meriam-meriam itu ditinggal di kaki bukit sebab su?lit untuk dibawa naik, dan dijaga oleh seregu prajurit. Kenapa sekarang meriam-meriam itu malah menembaki Tentara Kerajaan sendiri?
Lamkiong Hai adalah pucuk pimpinan dari seluruh Tentara Kerajaan yang menyerbu ke Tiau-im-hong itu, bahkan ia bertanggung-jawab langsung kepada gubernur Su-coan tentang berhasil atau tidaknya serangan itu, maka biarpun dia sedang berkelahi melawan Ling Thian-ki namun harus membagi perhatiannya untuk keadaan seluruh pasukan, ketika seorang perwira berteriak kepadanya untuk melaporkan tentang tembakan-tembakan meriam itu, terpaksa Lamkiong Hai melompat mundur melepaskan lawannya. Bentaknya kepada perwira yang melapor itu, "Apakah prajurit-prajurit yang menjaga meriam itu sudah gila atau kesurupan hantu-hantu bukit ini? Kenapa mereka menembaki punggung teman-teman mereka sendiri?"
Dengan terengah-engah perwira itu berkata, "Meriam kita... meriam kita telah direbut oleh laskar pemberontak pengikut Li Cu-seng!"
"Gila! Apakah prajurit-prajurit penjaga kita tidur semua?"
"Tidak Ciang-kun, namun laskar Li Cu-seng yang datang di kaki bukit itu jumlahnya sangat besar, dan kitapun bisa tertumpas di tempat ini apabila tidak segera pergi sebab laskar Li Cu-seng itu pasti akan menutup satu-satu?nya jalan...."
"Tutup mulutmu! Jika kau masih juga berbicara tentang kekalahan kita, kuturunkan pangkatmu tiga tingkat, me?ngerti?"
Perwira itu bungkam, sementara mulut-mulut meriam di kaki bukit masih saja berdentuman menghambur-ham?burkan bola-bola besi sebesar kepala anak kecil ke arah bagian belakang Tentara Kerajaan yang semakin panik oleh kejadian "senjata makan tuan" itu. Lamkiong Hai cepat-cepat melompat ke atas sebuah gundukan tanah untuk melihat ke bawah bukit, dan tergetar?lah hatinya ketika melihat apa yang tengah berlangsung di kaki bukit itu. Di sana, sebuah pasukan yang berjum?lah besar telah menebar di sekeliling kaki bukit, ujung-ujung senjata yang berkilat-kilat ditimpa sinar matahari tampak begitu rapatnya bagaikan daun-daun ilalang. Di tengah-tengah pasukan itu nampak sebuah bendera kuning berkibar-kibar megah, dan bertuliskan hu?ruf "Li" dari Li Cu-seng.
"Edan! Bangsat! Agaknya si pembe?rontak she Li itu sendiri yang memim?pin pasukannya untuk mengepungku!" ge?rutu Lamkiong Hai dengan gemas. Sela?gi kaum pendekar dan orang-orang Hwe-liong-pang belum tahu kapan bisa dise?lesaikan, musuh baru yang sangat kuat telah menunggu di belakang punggung?nya. Sebagai Panglima berpengalaman, Lamkiong Hai menyadari bila nekad meneruskan menggempur orang-orang Hwe-liong-pang dan kawan-kawannya, maka pasukannya sendiripun pada gilirannya akan ditumpas oleh laskar Li Cu-seng. Apalagi meriam-meriam kebanggaan Tentara Kerajaan itu sudah dikuasai oleh Li Cu-seng. Akhirnya Lamkiong Hai memutuskan untuk mengundurkan seluruh pasukannya sebelum hancur sama sekali, lewat lereng selatan yang meskipun agak terjal tetapi juga menguntungkan karena bisa melindungi pasukannya da?ri moncong-moncong meriam di kaki bu?kit.
Begitulah, tidak lama kemudian terdengarlah teriakan aba-aba Lamkiong Hai kepada seluruh pasukannya, "Mun?dur lewat lereng selatan!"
Waktu itu, baik kaum pendekar maupun orang-orang Hwe-liong-pang te?lah semakin berkobar semangatnya ke?tika mendengar tentang kedatangan las?kar Li Cu-seng itu. Mereka juga mulai merasakan bahwa tekanan Tentara Kera?jaan yang tadinya berat hampir tak tertahan itu perlahan-lahan mengendor, bahkan kemudian Tentara Kerajaan itu sedikit demi sedikit berusaha menciptakan peluang untuk mundur lewat sela?tan.
Yang sangat penasaran adalah Te-liong Hiang-cu, ia merasa bahwa ia sudah di ambang pintu kemenangan untuk menumpas pengikut-pengikut Tong Wi-si?ang, tapi akhirnya impian kemenangannya itupun berantakan karena ia harus mundur bersama Tentara Kerajaan. Tan?pa Tentara Kerajaan, Te-liong Hiang-cu dan komplotannya pasti akan tergulung habis di lereng Tiau-im-hong itu. Meski pun demikian Te-liong Hiang-cu juga menyadari bahwa pengikut-pengikut Tong Wi-siang yang masih cukup kuat itu, kelak di kemudian hari pasti akan menjadi duri-duri dalam daging yang mengganggu ketenteraman hidupnya. Te?rutama Siangkoan Hong dan Lim Hong-pin, bekas sahabat-sahabatnya semasa di An?-yang-shia itu.
Gerakan mundur Tentara Kerajaan Beng itu ternyata cukup lancar, biar?pun mereka masih juga mengalami kejaran laskar Li Cu-seng serta orang-orang Hwe-liong-pang sampai duapuluh li le?bih.
Orang-orang Hwe-liong-pang dan kaum pendekar segera menghentikan pengejaran mereka ketika Tentara Kera?jaan tiba di sebuah kota kecil yang dikelilingi oleh benteng kota, tentu saja mereka tidak berani masuk ke da?lam kota, sebab itu berarti membunuh diri. Di dalam kota tentu penuh dengan Tentara Kerajaan.
Meskipun tidak menghilangkan ra?sa permusuhan sama sekali, tetapi per?juangan bersama yang baru saja dilaku?kan oleh orang-orang Hwe-liong-pang dan kaum pendekar itu sedikit banyak telah menimbulkan ikatan di antara me?reka. Pihak kaum pendekar menyadari kekeliruannya selama ini yang menuduh Hwe-liong-pang sebagai biang penyerbu?an ke Siong-san. Sebaliknya pihak Hwe-liong-pangpun dapat memaklumi sikap bermusuhan dari kaum pendekar selama ini, karena serangan Te-liong Hiang-cu ke Siong-san itu menimbulkan korban jiwa cukup banyak, biarpun Te-liong Hiang-cu sendiri dapat dipukul mun?dur. Kini, biarpun kedua pihak masih saja berkelompok sendiri-sendiri, na?mun mereka beristirahat di sebuah hu?tan kecil, satu sama lain tidak ter?lalu berjauhan.
Tengah mereka beristirahat, tiba-tiba terdengar derap kaki kuda gemuruh dari arah utara, terlihat debu mengepul tinggi dan bendera-bendera aneka warna berkibar-kibar megah. Jelaslah ada sebuah pasukan besar sedang bergerak mendatangi. Para pendekar dan orang-orang Hwe-liong-pang itu segera berloncatan bangkit dengan senjata terhunus.
Tapi mereka merasa lega setelah melihat bahwa di ujung pasukan yang mendatangi itu ada bendera kuning bertuliskan huruf "Li", jelaslah sudah bahwa pasukan itu adalah pasukan pem?berontak Li Cu-seng yang baru saja menolong mereka dari kepungan Tentara Kerajaan Beng itu.
Pasukan itu dipimpin sendiri oleh Li Cu-seng, si pemimpin pembe?rontak yang menyebut dirinya sendiri sebagai "Kaisar" itu. Ia adalah seorang lelaki berperawakan sedang tapi tegap, kulitnya yang kecoklat-coklatan menunjukkan bahwa dia berasal dari kalangan bawah, di sekitar mulutnya ada jenggot-jenggot pendek yang tercukur rata dan rapi, pandangan matanya ta?jam. Ia mengenakan pakaian ringkas de?ngan mantel biru, topi bambu dan ta?ngan kanannya mengempit sebatang tom?bak panjang. Biarpun secara keseluruhan dia nampak sederhana, tapi dari dirinya terpencarlah kewibawaan yang tidak kalah dengan kewibawaan seorang Kaisar tulen.
Begitu tiba di hadapan kaum pen?dekar dan orang-orang Hwe-liong-pang, Li Cu-seng menghentikan kudanya diikuti seluruh pasukannya sebelum orang lain memberi salam, Li Cu-seng lebih dulu memberi salam dengan melintangkan tom?baknya setinggi dada, katanya tanpa turun dari kudanya,
"Aku berbahagia sekali bertemu dengan orang-orang ga?gah di jaman ini, terimalah hormatku."
Kaum pendekar dan orang-orang Hwe liong-pang itu serentak mengangkat ta?ngan untuk membalas penghormatan itu. Hong-tay Hweshio yang mewakili kaum pendekar segera berkata, "kami juga berbahagia bisa bertemu muka dengan seorang tokoh pembela rakyat kecil, yang namanya termasyhur sampai ke ujung bumi. Seluruh anggauta Siau-lim-pay, Bu-tong-pay, Go-bi-pay dan lain-lainnya menyampaikan salam kepada... kepada Tuan."
Sebenarnya, Li Cu-seng biasa di?panggil "Ban-swe-ya" (Paduka Kaisar) oleh pengikut-pengikutnya, namun Hong-tay Hweshio tidak menyebutnya demiki?an, sebab jika ia menyebut demikian sama dengan mengakui Li Cu-seng seba?gai raja, dan ini berarti pemberon?takan terang-terangan kepada Kaisar Cong-ceng yang masih bercokol di singgasananya di Pak-khia. Meskipun Siau-lim-pay tidak jarang bentrok dengan kaum pembesar negeri karena membela rakyat kecil, tapi dalam sejarahnya Siau-lim-pay belum pernah secara terang-terangan memihak dalam perebutan kekuasaan di Kerajaan. Itu pulalah yang mendasari sikap Hong-tay Hweshio waktu itu.
Beberapa orang "Panglima" ba?wahan Li Cu-seng nampak mengerutkan alisnya dengan kurang senang, ketika mendengar sebutan Hong-tay Hweshio terhadap "Kaisar" mereka itu. Namun Li Cu-seng sendiri justru bersikap wa?jar saja, katanya,
"Itu sudah kewajib?an kita semua untuk menegakkan pemerintahan yang bersih di daratan ini. Saat ini bangsa Manchu tengah mengin?car negeri kita ini dari luar Tembok Besar sana, jadi kita membutuhkan pemerintahan yang kuat untuk menghadapi ancaman dari luar ini. Pemerintahan Cong-ceng sekarang ini tidak bisa di?andalkan, karena kendali pemerintahan lebih dikuasai oleh dorna Co Hua-sun yang sangat dipercaya oleh Cong-ceng itu. Karena itu, pemerintahan bobrok itu harus disingkirkan secepatnya agar kita bisa segera mengerahkan kekuatan untuk menghadapi ancaman bangsa Manchu dari luar Tembok Besar. Urtuk itu, aku membutuhkan bantuan saudara-saudara...."
Para pendekar dan orang-orang Hwe liong-pang itu saling bertukar pan?dangan ketika mendengar permintaan Li Cu-seng yang terang-terangan mengajak bergabung itu. Bermacam-macam penda?pat segera timbul di antara orang-orang itu, ada yang ragu-ragu menerima ajakan itu sebab itu berarti memberon?tak terang-terangan, tapi ada yang su?dah memutuskan dalam hati untuk mene?rima ajakan itu.
Sebagian besar orang-orang Hwe-liong-pang, yang sudah mendengar pe?san terakhir Ketua mereka lewat surat wasiatnya itu, tanpa ragu-ragu segera menyatakan sanggup bergabung dengan Li Cu-seng, mereka menganggap bahwa per?juangan Hwe-liong-pang untuk menggu?lingkan Cong-ceng itu sejalan dengan perjuangan Li Cu-seng. Tapi ada pula orang Hwe-liong-pang yang masih ragu-ragu, di antaranya adalah Siangkoan Hong. Sambil memberi hormat kepada Li Cu-seng, Siangkoan Hong mengemukakan alasannya, "Tuan Li, maafkan aku, ta?pi aku masih punya sebuah kewajiban demi seorang sahabat yang telah tiada, yaitu mencari dan menghukum seorang pengkhianat yang telah membuat Hwe-li?ong-pang berantakan seperti ini."
Li Cu-seng mengangguk-anggukkan kepalanya, "Aku tidak dapat memaksamu, tuan Siangkoan. Pasukanku adalah pa?sukan sukarela, meskipun siapapun yang telah bergabung denganku akan dike?nakan tata-tertib seperti prajurit pa?da umumnya. Aku juga sudah mendengar dari beberapa anak buahku, apa yang terjadi dalam tubuh Hwe-liong-pang sendiri, dan bagaimana kesalah-pahaman dengan kaum pendekar itu hampir-hampir menghancurkan kedua pihak. Aku paham itu. Tapi, tuan Siangkoan, apa?kah dendam pribadimu demi sahabat itu kau anggap lebih penting dari perju?angan rakyat yang dalam keadaan mende?sak ini?"
Sahut Siangkoan Hong, "Dia buka cuma sahabat, tapi juga Ketuaku. Den?damku juga bukan dendam pribadi tapi dendam Hwe-liong-pang. Yang akan kubalas juga bukan soal kematian Ketua yang disebabkan oleh Kiau Bun-han dan Thian-goan Hweshio, tapi kehancuran Hwe-liong-pang yang telah ditusuk punggungnya oleh Te-liong Hiang-cu."
"Bukankah tuan Siangkoan tahu bahwa Te-liong Hiang-cu itu sekarang bersembunyi di tengah-tengah tentara?nya Cong-ceng? Jika tuan Siangkoan bergabung dengan kami, tentu lebih mudah untuk menghadapinya."
Siangkoan Hong mengangguk dalam-dalam, "Maaf, tuan Li, ini urusan Hwe-liong-pang kami."
Akhirnya Li Cu-seng sadar memang tidak mungkin membujuk Siangkoan Hong yang keras hati itu. Tapi bergabung?nya sebagian besar orang Hwe-liong-pang itupun sudah cukup menggembira?kannya. Apalagi ketika kemudian Siangkoan Hong sendiri berpesan kepa?da anggauta-anggauta Hwe-liong-pang yang telah bergabung itu, "Saudara-saudaraku, kalian dengan sadar telah memilih untuk meneruskan perjuangan Ketua kita dengan bergabung dengan tu?an Li ini. Berhasilnya perjuangan tu?an Li sama saja dengan berhasilnya perjuangan Hwe-liong-pang kita, yaitu tumbangnya raja keparat itu, karena itu berjuanglah sepenuh hati di bawah pimpinan tuan Li agar perjuangan kalian mencapai hasil yang gemilang!"
Kepada Li Cu-seng, Siangkoan Hong memberi hormat sekali lagi sambil ber?kata, "Tuan Li, kami titip anak-anak Hwe-liong-pang kepadamu dan juga titip semangat perjuangan kami. Kami mohon diri!"
Li Cu-seng membalas hormat itu, dan dengan pandangan matanya ia mena?tap Siangkoan Hong dan sebagian kecil orang Hwe-liong-pang yang masih belum mau bergabung dengannya itu pergi me?ninggalkan hutan kecil itu.
Sementara itu, betapapun segan?nya, Siangkoan Hong sempat juga meng?anggukkan kepalanya kepada Hong-tay Hweshio dan tokoh-tokoh pendekar la?innya, yang betapapun juga pernah se?hidup-semati dengan Hwe-liong-pang ketika menghadapi Tentara Kerajaan dan Te-liong Hiang-cu itu.
Selain orang-orang Hwe-liong-pang, ternyata sebagian dari orang-orang berbagai perguruan juga bergabung dengan Li Cu-seng. Yang mempelopori penggabungan ini adalah Kiau Bun-han, "Saudara-saudara, kalian lihat sendiri betapa busuknya pemerintahan di Pak-khia, prajurit-prajuritnya bukann?ya digerakkan untuk menumpas penjahat dan memberi ketenteraman kepada rakyat, malahan digerakkan untuk menggempur kita, orang-orang yang selamanya belum pernah melanggar hukum ini. Ini tidak bisa dibiarkan terus, Cong-ceng harus disingkirkan dari tahtanya!"
Beberapa perguruan yang berlandaskan agama, seperti Siau-lim-pay atau Bu-tong-pay, tidak langsung menyatakan berpihak namun hanya berjanji akan mendukung pemerintahan manapun yang berhasil mensejahterakan rakyat. Meskipun Li Cu-seng kurang puas dengan janji yang tidak tegas itu, namun dia tidak bisa memaksa kaum agama itu un?tuk ikut dalam barisannya.
Sedangkan Tong Hu-jin dan putera-puterinya serta calon-calon menantu?nya itupun tidak dapat bergabung de?ngan Li Cu-seng, sebab mereka masih dibebani sebuah tugas lain. Yaitu men?cari "isteri" Tong Wi-siang yang te?ngah hamil itu, sesuai dengan pesan terakhir Tong Wi-siang. Selain itu Tong Wi-hong juga masih ditunggu oleh sebuah tugas berat, yaitu memimpin dan mengembangkan perusahaan peng?awalan Tiong-gi Piau-hang, warisan da?ri ayah Cian Ping, yaitu Cian Sin-wi. Dengan demikian merekapun segera mo?hon diri dari hadapan Li Cu-seng.
Salah seorang pendamping Li Cu-seng itu memandang kepergian orang-orang itu sambil menggerutu, "Huh, orang-orang yang mementingkan urusannya sendiri dan tidak mau tahu dengan kepentingan rakyat."
Li Cu-seng tersenyum saja men?dengar gerutuan anak buahnya itu, sam?bil menepuk pundak orang itu, ia ber?kata,
"Saudara Lau, jika kau merampas kebebasan orang lain yang tidak sependapat denganku, merampasnya dengan kekuatan senjata, lalu apa bedanya antara aku dengan Cong-ceng?"
"Ban-swe-ya terlalu baik hati ke?pada orang-orang yang mementingkan di?ri sendiri itu."
Li Cu-seng menjawab, "Aku tidak ingin dalam barisanku ada orang yang berjuang secara terpaksa dan merasa tertekan, sebab orang semacam itu besar kemungkinan akan menusukku dari belakang. Tapi setiap orang dalam barisanku harus menyadari betul-betul, untuk apa mereka bertempur."
"Ban-swe-ya sangat bijaksana."
Sementara itu, Tong Wi-hong dan ibunya serta adiknya terus menerus menelusuri jejak gadis yang bernama Siau-giok, "isteri" Tong Wi-siang itu. Namun dalam keadaan penuh kemelut perang seperti waktu itu, pekerjaan itu bagaikan mencari jarum di dasar laut?an. Arus pengungsi dari segala penju?ru benar-benar menyulitkan pelacakan mereka, akhirnya dengan putus asa me?reka kembali ke An-yang-shia sambil membawa guci berisi abu Tong Wi-siang itu. Di kota kecil itu pulalah dise?lenggarakan perkawinan secara sederha?na dengan dua pasang mempelai sekali?gus, Tong Wi-hong dengan Cian Ping serta Ting Bun dengan Tong Wi-lian. Betapapun pedihnya hati Tong Hu-jin dalam hari-hari terakhir itu, namun melihat kebahagiaan anak-anaknya akhirnya dia terhibur juga.
Beberapa saat setelah perkawinan itu, Tong Wi-hong bersama isterinya harus meninggalkan An-yang-shia me?nuju ke Tay-beng, karena di situ sudah ada Tiong-gi Piau-hang tinggalan ayah mertuanya yang memerlukan pim?pinannya dengan sungguh-sungguh. Se?dangkan Ting Bun dan isterinya tetap tinggal di An-yang-shia untuk mene?mani Tong Hu-jin sampai hari tuanya. Sekali-kali mereka keluar rumah untuk berkelana beberapa bulan, mencari jejak Siau-giok dan ba?yinya tanpa kenal putus-asa, namun gadis Bu-sian-tin itu bagaikan lenyap ditelan bumi saja.
Yang kemudian tidak kedengaran kabar beritanya pula, adalah Siang?koan Hong yang katanya hendak mencari Te-liong Hiang-cu itu. Te-liong Hiang-cu sendiripun sudah tidak kedengaran beritanya lagi. Dengan demikian baik yang memburu maupun yang diburu sama-sama lenyap tak ketahuan lagi ke mana-perginya.
Sementara itu, nama Li Cu-seng semakin lama semakin terangkat ting?gi, menjadi pujaan rakyat. Api pemberontakan yang dikobarkannya semakin meluas, pengikutnya semakin banyak, daerah pengaruhnya semakin luas. Akhirnya Li Cu-seng memutuskan bahwa dengan pasukan yang amat kuat dia akan menyerbu Pak-khia, untuk langsung mengambil alih kendali pemerintahan dari tangan Kaisar Cong-ceng. Satu demi satu Panglima Kerajaan Beng di?taklukkannya, kota demi kota dikua?sainya. Akhirnya pada tanggal 19 bulan ke 3 dari tahun ke 17 pemerintahan Kaisar Cong-ceng, laskar Li Cu-seng membobolkan Kotaraja Pak-khia dan me?rebut kemenangan. Kaisar Cong-ceng me?larikan diri ke bukit Bwe-san, dan di tempat pelariannya itu Kaisar tera?khir dinasti Beng itu mengakhiri hidupnya dengan menggantung diri di se?buah pohon. Li Cu-seng naik tahta dan menjadi Kaisar.
Namun demikian, Li Cu-seng masih menghadapi sebuah ancaman baru, yaitu bangsa Manchu di luar perbatasan semakin memperkuat pasukannya dan siap merebut negeri itu. Li Cu-seng berte?kad untuk mengatasinya.
-TAMAT - Kota Gudeg 1 Syura 1406 -o0^DwKz-Hendra^0o- Ki Ageng Tunggul Keparat 2 Telapak Emas Beracun Jan Jin Que Yu Karya Gu Long Raja Sihir Dari Kolepom 2
^