Pencarian

Raja Sihir Dari Kolepom 2

Jaka Sembung 15 Raja Sihir Dari Kolepom Bagian 2


Da-I dahulu kala menderita luka-luka sebetulnya be-
lum mati, melainkan hanya menderita luka-luka dan
karena jantungnya tidak ditembus peluru emas murni,
ia bisa sehat kembali. Dengan demikian, sedikit ba-
nyaknya, kedua lelaki berkulit putih itu tentu bisa
membantunya nanti melumpuhkan Wan-Da-I.
Menjelang tengah malam, kemah itu pun ram-
punglah sudah. Profesor tua itu dengan ramah tamah
mengajak Karta tidur bersama-sama di dalamnya. Na-
mun dengan halus ditolak oleh si Gila Dari Muara
Bondet dan mengatakan bahwa ia sudah terbiasa hi-
dup di alam terbuka.
Saat itulah Simon mengatakan sesuatu yang te-
rasa sangat menyakitkan perasaan Karta.
"Profesor, mengapa engkau selalu membujuk-
bujuknya" Biarkan saja dia tidur di luar," katanya.
Agaknya selain karena memiliki sifat congkak, pemuda
itu pun masih penasaran akan peristiwa barusan di
mana senjatanya dapat direbut Karta dengan gerakan
yang sangat cepat.
Karta tidak mau menunjukkan isi hatinya yang
jelas tersinggung, melainkan tersenyum dan suaranya
masih tetap terdengar dengan nada bersahabat.
"Jangan terlalu menghiraukan diriku. Seperti
saya bilang tadi, saya sudah biasa tidur di alam terbu-
ka. Harap Tuan-tuan berdua mau mengerti."
Kemudian Karta tidur di luar, sekitar sepuluh
meter dari kemah kedua orang kulit putih itu. Sejenak
ia masih kesal mengingat sikap Simon. Sebagai penda-
tang, pemuda itu seharusnya bersikap sopan, tidak
seperti itu. Inginlah rasanya Karta mengusir kedua ku-
lit putih itu. Bila perlu dengan cara kekerasan, kalau
pun misalnya mereka melawan, sekali atau dua kali
pukul saja tentu kedua orang asing itu akan tewas. Te-
tapi ia adalah seorang pendekar yang memiliki hati ta-
bah, selalu mau bersabar sebab bagaimanapun juga,
bersahabat adalah lebih baik daripada bermusuhan.
Agaknya profesor tua itu pun tidak setuju dengan
sikap Simon. Sewaktu berbaring di kemah, ia menase-
hati Simon agar bersikap lebih ramah dan sopan kepa-
da penduduk pribumi, karena bagaimana pun jika me-
reka bermusuhan dengan pribumi, misi mereka tentu
tidak akan bisa berjalan lancar.
Simon tetap saja membantah dan selalu berbica-
ra dengan menyebut-nyebutkan pendidikan kepoli-
siannya. Bagi dia, sikap Karta hanyalah tipuan saja,
pura-pura bersikap baik, padahal maksudnya adalah
untuk memperdayai. Cukup lama kedua laki-laki ber-
kulit putih itu berdebat mempertahankan pendapat
masing-masing, hingga akhirnya Profesor Van Leinen
tertidur kelelahan.
Ternyata perdebatan itu pun membuat Simon
semakin penasaran. Kemarahannya semakin memun-
cak dan karena terlalu menurutkan perasaan, ia ak-
hirnya bermaksud membunuh Karta. Setelah merasa
yakin bahwa profesor tua itu sudah tertidur pulas, ia
segera bangkit dan mengambil pistolnya, kemudian
melangkah ke luar kemah.
Matanya segera menatap liar ke arah Karta yang
sedang tertidur di atas semak-semak berselimutkan
kain sarungnya. Dengan berjingkat-jingkat supaya ti-
dak menimbulkan suara mencurigakan, ia mendekati
Karta. Setelah tinggal dua langkah lagi, Simon berhen-
ti. Ia menarik nafas sekedar menenangkan perasaan-
nya yang penuh gejolak amarah. "Mampus kau, manu-
sia penipu." Hatinya memaki geram. Perlahan-lahan, ia menarik pelatuk senjatanya
dan beberapa saat kemu-
dian terdengarlah suara ledakan sebanyak tiga kali.
"Dor! Dor! Dor!"
Simon tersenyum puas. Tetapi ketika ia menarik
kain sarung itu ia berteriak kaget bahkan sempat me-
loncat mundur, seakan-akan tak percaya pada pengli-
hatannya sendiri. Ternyata di dalam bungkusan kain
sarung itu hanyalah sebatang kayu serta daun-daun
kering. "Hah" Kosong" Bangsat!" bentak Simon tak sa-
dar. Sebelum ia bisa menguasai perasaan, tiba-tiba
sebuah bayangan berkelebat cepat sekali dan langsung
menghantam punggungnya.
"Buk!"
Tubuh Simon terpelanting hampir sepuluh meter.
Untung ia seorang pemuda yang memiliki tubuh kuat.
Kalau tidak, sedikitnya ia akan pingsan menerima pu-
kulan sekuat itu. Karta yang memukulnya dengan ge-
ram. Tadi pendekar gagah perkasa itu sudah sempat
berbaring di atas semak-semak berbantalkan sebatang
kayu yang cukup besar. Tapi karena firasatnya mem-
bisikkan bahwa Simon akan berbuat jahat padanya,
maka ia tetap waspada. Apalagi ketika ia melihat Si-
mon melangkah ke luar kemah secepat kilat ia melon-
cat ke balik semak-semak setelah terlebih dulu mem-
bungkus batang kayu tadi dengan kain sarungnya. Tak
terkatakan betapa marahnya pendekar itu melihat Si-
mon menembak batang kayu itu. Seandainya ia tidak
waspada tadi, tentu ia sudah mati diterjang peluru-
peluru senjata Simon.
Sungguh suatu sikap yang tidak bisa dimaafkan
begitu saja! Dengan pikiran seperti itu, Karta pun sege-ra meloncat dari tempat
persembunyiannya dan lang-
sung menghajar Simon. Masih untung ia tak menge-
rahkan segenap tenaga dalamnya, sehingga Simon ma-
sih dapat bernafas walaupun dengan tulang punggung
retak menimbulkan rasa yang sangat nyeri.
"Kurang ajar! Manusia seperti kau harus diberi
pelajaran!" kata Karta geram. Secepat kilat ia menarik krah baju Simon dan
sekali menggerakkan tangan, tubuh itu pun terangkat dan langsung dibantingkan
se- kuat tenaga. Simon menjerit tertahan, karena tiba-tiba
saja ia merasa. kerongkongannya tersumbat dan pan-
dangan matanya pun berkunang-kunang. Ia hendak
memaki, namun tiba-tiba ia merasa tubuhnya diangkat
kembali, kemudian dilemparkan dari atas tebing se-
hingga jatuh berguling-gulingan ke bawah.
Setelah meloncat ke bawah, ia mengangkat tubuh
Simon tinggi-tinggi kemudian dibantingkan lagi. Sete-
lah itu, ditariknya rambut pemuda itu dengan kasar
dan tinjunya pun melayang tepat menghantam mulut.
Terdengar suara gemeretak ketika empat buah gigi Si-
mon copot mengeluarkan darah segar.
"Aku paling tidak suka melihat lelaki pengecut
seperti kau. Kini apa yang dapat kau lakukan tanpa
pestolmu itu" Ayo, bangun! Kau harus diberi pelajaran
yang lebih hebat lagi agar kepalamu yang penuh akal
busuk itu lebih dingin. Ayo, berendamlah di situ sam-
pai pikiranmu bersih kembali!" Karta melemparkan tubuh Simon ke dalam air laut.
Dengan sisa-sisa tenaganya, Simon berusaha
bangkit agar tidak kehabisan nafas. Namun dengan
kasar, Karta menginjak tengkuknya sehingga kembali
tubuhnya terbenam. Tentu saja Simon gelagapan dan
berusaha meronta sekuat tenaga, tetapi ia tak berdaya
sama sekali. Kaki Karta tak ubahnya sebongkah batu
besar yang beratnya ribuan kilo.
Tanpa bisa dicegah, air laut pun makin banyak
masuk ke dalam perut Simon. Ia sudah hampir tak sa-
darkan diri ketika Karta mengangkat tubuhnya, se-
hingga pemuda itu dapat menarik nafas. Tetapi hanya
beberapa saat kemudian, tubuhnya sudah dibenam-
kan kembali. Demikianlah berulang-ulang, sebab mak-
sud Karta sebenarnya adalah membuat Simon sampai
pingsan. Akan tetapi dari arah perkemahan terdengar sua-
ra tembakan. Karta terkejut dan menghentikan tinda-
kannya terhadap Simon. "Agaknya telah terjadi sesua-tu di atas. Mari ikut aku.
Lain kali kau akan mendapat
perlakuan yang lebih manis lagi jika masih berani
main-main denganku!"
Sambil menarik tubuh Simon yang hampir tidak
berdaya lagi, si Gila Dari Muara Bondet mendaki teb-
ing. Alangkah terkejutnya ia menyaksikan profesor tua
itu telah diseret segerombolan laskar ke luar kemah
dan puluhan tombak telah ditodongkan di leher dan
dadanya. Laskar itu ternyata dipimpin Pampani sendiri,
kebetulan saja mereka mendengar suar mencurigakan
ketika sedang dalam perjalanan ke luar untuk mencari
Karta. Sambil mengendap-endap, mereka mendekati
kemah itu dan langsung menyerbu. Dalam keadaan
gugup profesor tua itu sempat melepaskan tembakan
secara serampangan dan tidak melukai laskar! Namun
sekali gebrak saja, Pampani sudah memukul jatuh
senjata di tangan laki-laki asing itu.
"Jawab pertanyaanku! Apa maksudmu menyusup
ke daerah kekuasaan kami tanpa ijin hah" Apakah kau
utusan orang-orang kumpeni Belanda" Cepat jawab!
Apa hubunganmu dengan penjualan mutiara-mutiara
Maleang Pangaru, hah?"
"Kalau tidak mau jawab, cincang saja tubuhnya.
Biar tahu rasa dia!" kata si Kaki Tunggal tak sabar lagi.
"Aku... aku tak mengerti maksud kalian. kata
profesor tua itu dengan wajah pucat pasi
"Sungguh! Aku tidak tahu mutiara apa maksud
Tuan-tuan."
"Bagus! Seperti yang kuduga kau pasti akan ber-
bohong. Itu berarti riwayatmu akan berakhir sampai di
sini." "Hei, dia datang!" Tiba-tiba si Kaki Tunggal berteriak bagaikan kesurupan
setan, "Itu si Karta!"
Semua orang yang berkumpul di tempat itu men-
jadi terkejut dan serentak berpaling. Secara berbaren-
gan mereka berseru melihat Karta berjalan ke arah
perkemahan sambil menyeret seorang lelaki yang juga
berkulit putih.
Kaget bercampur girang si Kaki Tunggal meloncat
ke hadapan Karta. Kakinya terlebih dulu melayang ke
dada Simon hingga terpental ke belakang.
"Ah, Karta! Karta! Jadi... jadi kau masih hidup?"
ujarnya sambil merangkul bahu pendekar gagah per-
kasa itu erat-erat seakan-akan masih belum percaya
pada penglihatannya sendiri. Pampani memburu Karta
dengan perasaan riang gembira. Dalam beberapa hari
terakhir ini, ia pun sudah sangat cemas memikirkan
keselamatan adik iparnya itu, sehingga saking girang-
nya ia tidak tahu harus mengucapkan apa
"Harap saudara-saudara semuanya tenang!" kata Karta, "Saya tidak apa-apa dan
seperti kalian lihat sendiri, aku tidak kurang sesuatu apapun juga."
"Kau tidak tahu beberapa hari aku terpaksa sela-
lu berada di laut mencarimu. Begitu juga! Bungoru
dan yang lainnya!" kata si Kaki Tunggal.
"Maaf, aku telah merepotkan kalian. Tetapi se-
mua itu terjadi di luar kehendak kita semua. Nantilah
kita membicarakannya. Aku ingin membicarakan ma-
salah kedua orang kulit putih ini. Mereka tidak punya
hubungan apa-apa dengan penjualan mutiara-mutiara.
Mereka bahkan dapat membantu kita menyeret si Ma-
nusia Kera yang tampaknya masih berkeliaran di ke-
pulauan ini."
"Bagaimana kita bisa mempercayai omong-an
orang-orang kulit putih ini?" tanya Pampani sambil mengerutkan kening.
"Aku sudah membuktikannya sendiri, Pampani.
Dan akulah yang akan bertanggungjawab atas diri me-
reka." "Baiklah kalau begitu. Kami percaya sepenuhnya kepada saudara Karta. Dan
kami sangat gembira karena saudara Karta dalam keadaan selamat. Kepada ka-
lian berdua bangsa kulit putih, kami ucapkan selamat
datang di negeri kami. Selamat mengadakan penyelidi-
kan. Jika Tuan-tuan memerlukan bantuan tenaga atau
bahan-bahan makanan, kami akan segera membantu
dengan segala senang hati. Nah, sekarang kami akan
kembali ke istana. Selamat malam!"
"Lalu bagaimana dengan kau, Karta?" tanya si
Kaki Tunggal. "Untuk sementara aku harus kembali ke luar.
Besok atau lusa aku akan berkumpul lagi dengan ka-
lian." "Baiklah! Jaga dirimu baik-baik!" Demikianlah setelah laskar yang
dipimpin Pampani itu kembali, Karta
membantu kedua orang kulit putih itu mendirikan ke-
mah yang tadi sempat berantakan diacak-acak. Profe-
sor tua itu berulang kali mengucapkan terimakasih,
karena tanpa pertolongan Karta, agaknya mereka akan
mengalami kesulitan, bahkan tidak mustahil sudah
tewas dibunuh! Setelah itu, Karta pamitan meninggalkan kedua
orang asing itu. Dan seperti biasa dilakukannya, ia
bersemadi di tengah-tengah gempuran ombak laut di
pantai Laut Arafuru. Kedua tangannya didekapkan di
dada, sedangkan kedua matanya dipejamkan, mem-
bersihkan pikiran dari segala permasalahan-
permasalahan yang dihadapi.
4 Sementara itu, di suatu tempat tanah Pulau
Trangan, Wan-Da-I dan Womere sedang berada di
ruangan khusus tempat Wori terbaring dalam peti
mayat. Si manusia ikan hiu itu duduk di kursi yang
dihiasi ukiran dan permata sehingga mirip singgasana
raja. Sedangkan Womere berdiri di dekat peti.
"Bangunlah, Wori...!" kata Wan-Da-I dengan pelan, namun terasa suara halus itu
mengandung penga-
ruh yang sangat kuat yang se-akan-akan dapat me-
nembus jantung siapa saja yang mendengarnya. Tak
lama kemudian, pintu peti itu terbuka! Wori bangkit
dengan gerak kaku sehingga mirip mayat yang baru


Jaka Sembung 15 Raja Sihir Dari Kolepom di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bangkit dari Hang kubur. Langkah kakinya terlihat
agak kaku ketika melangkah menghadapi Wan-Da-I,
kemudian mengangguk memberi hormat.
"Daulat, Tuanku!" katanya lalu duduk bersimpuh di bawah kaki Wan-Da-I.
"Bagus, Wori! Ternyata kau masih tetap seorang
pengawal yang sangat setia! Hari ini kau harus memu-
lai tugas yang sangat penting dan tidak boleh gagal.
Semuanya sudah dipersiapkan. Kapal Belanda telah
menunggu di pulau Uglo!" Wan-Da-I memberikan kete-
rangan secara singkat, sedangkan Wori yang masih
duduk bersimpuh mendengarkan dengan penuh per-
hatian. Pulau Uglo yang dimaksudkan itu terletak an-
tara kepulauan Aru dan Kepulauan Tanimbar (tidak
terdapat dalam peta).
"Daulat, Tuanku!"
"Bagus! Mutiara-mutiara yang harus kau bawa
sekarang adalah barang kiriman pertama yang harus
ditukar dengan bahan-bahan peledak atau mesiu serta
senjata-senjata api dari orang-orang Belanda! Ingat,
Wori! Misi ini tidak boleh gagal, harus berhasil!"
Besok harinya ketika matahari baru muncul di
ufuk Timur, sebuah kapal layar bertolak dari sebuah
teluk yang tersembunyi di Kepulauan Aru, bertolak
menuju laut lepas. Angin bertiup dari arah Barat se-
hingga layar menjadi terkembang, menambah cepatnya
laju perahu. Wan-Da-I dan penasehat utamanya Womere un-
tuk pertama kalinya telah mengirimkan sejumlah mu-
tiara kepada pihak kumpeni Belanda. Kedua belah pi-
hak baru-baru ini telah sepakat untuk melakukan bar-
ter perdagangan, di mana pihak Wan-Da-I memberikan
mutiara-mutiara sedang kumpeni Belanda menukar-
kan dengan bahan-bahan peledak serta senjata api!
Sungguh jitu perhitungan tokoh sesat itu, sebab
agaknya ia telah menyadari kekuatan musuh bebuyu-
tannya Pampani yang dibantu sejumlah pendekar dari
Pulau Jawa. Dengan cara-cara seperti yang selama ini
ia lakukan, agaknya akan sulitlah baginya meruntuh-
kan kekuasaan musuh. Itulah sebabnya ia memu-
tuskan menjual mutiara-mutiara kepada orang-orang
Belanda. Dengan mesiu serta senjata api, ia akan lebih
mudah menghancurkan Pampani, sehingga niat ha-
tinya menjadi penguasa di Pulau Trangan akan berha-
sil baik. Wori, yang telah dikuasi pikirannya sehingga be-
rubah seperti robot dipercayakan mengawal kiriman
pertama itu. Wan-Da-I sadar bahwa misi mereka akan
menghadapi banyak rintangan terutama dari pihak la-
wan yang tidak mustahil sudah mengetahui semua
rencananya. Jadi kalau Wori yang memiliki kesaktian
tinggi itu mengawalnya, dapat diyakini semua hamba-
tan itu bisa diatasi.
Demikianlah Wori bersama sejumlah anak buah
Wan-Da-I berlayar mengharungi laut lepas menuju pu-
lau Uglo di pagi yang cerah itu. Di haluan perahu Wori
berdiri tegak, mengawasi keadaan di sekelilingnya ka-
lau-kalau ada hal-hal mencurigakan.
Tiba-tiba mata lelaki bertubuh raksasa itu men-
corong tajam. Hidungnya kembang kempis, seperti
seekor tikus sedang mencium makanan lezat. Ia men-
dengar dan dapat merasakan gerak mencurigakan di
dalam laut tak jauh dari perahu. Telinganya dira-
patkan ke dinding perahu dengan cara berjongkok. La-
lu beberapa saat kemudian, Pendekar Bumerang itu
meloncat berdiri dan memanggil anak buah Wan-Da-I.
"Ada gerakan-gerakan halus di dalam air, seperti
makhluk berkaki empat. Tidak ada ikan yang punya
ekor empat. Heh, pengawal! Coba pinjam tombakmu!"
Wori kemudian melangkah ke sebelah kanan pe-
rahu. Sambil berteriak:
"Mampus!"
Ia menancapkan tombak itu ke laut. Gerakannya
sangat cepat, sehingga ia sudah yakin bahwa sekali se-
rang saja, makhluk mencurigakan itu pasti akan kena.
Namun ia menjadi terkejut manakala merasakan mak-
hluk itu dengan sangat gesitnya melesat ke sebelah ki-
ri. "Kurang ajar! Dia mengelak!" teriak Wori, membuat para pengawal semakin tegang.
Dengan memper- hatikan gelembung-gelembung udara di atas permu-
kaan air laut, Wori dapat mengetahui ke arah mana
makhluk mencurigakan itu melesat. Tombaknya kem-
bali melesat bagaikan anak panah.
Ternyata makhluk tersebut adalah si Gila Dari
Muara Bondet sendiri! Ketika sedang bersemadi di
laut, ia melihat sebuah perahu berlayar di laut lepas.
Karena merasa sangat curiga, ia segera mengejar den-
gan cara menyelam. Tetapi tak terkatakan betapa ter-
kejutnya pendekar itu ketika menyadari bahwa Wori
sudah mengetahui keberadaannya. Untunglah ia san-
gat pandai berenang dalam air sehingga dapat menge-
lakkan tusukan-tusukan tombak Wori.
Agaknya Wori menjadi penasaran karena semua
serangan tombaknya dapat dielakkan musuh. Dengan
wajah merah padam, ia segera menyambitkan bume-
rangnya. Senjata yang mirip bulan sabit itu meluncur
cepat sekali dan menyambar dahsyat ke arah kepala
Karta. Karta terkejut bukan main! Pertama karena kepa-
lanya nyaris jadi sasaran senjata lawan dan kedua ka-
rena sama sekali tidak mengira bahwa senjata itu pun
dapat digunakan di dalam air. Setelah tidak mengenai
sasaran, bumerang itu kembali meluncur kepada pe-
miliknya. "Bangsat! Dia berkelit. Yeaaaa!" Wori berteriak dengan suara menggelegar
bagaikan guntur, sehingga
para pengawal meloncat kaget saking terkejutnya. Bu-
merang di tangannya kembali meluncur cepat sekali
menyambar ke arah kepala Karta. Secepat kilat, Pen-
dekar Dari Muara Bondet itu mengangkat tombak yang
tadi berhasil ditangkapnya untuk menangkis bume-
rang itu. "Traaak!"
Tombak itu putus menjadi dua, tetapi bumerang
tidak berhasil mengenai sasaran sehingga kembali me-
luncur kepada pemiliknya.
Habislah kesabaran Wori karena ia segera me-
nyadari bahwa lawan yang sedang berada di dalam air
bukan main lihainya. Ia pun segera mempergunakan
cara lain untuk memaksa lawan bertekuk lutut. Dis-
impannya bumerang senjata andalannya. Ia menarik
nafas dalam-dalam dan menahannya sehingga da-
danya tampak membusung. Sepasang matanya menco-
rong tajam. Lalu ia berteriak:
"Yeaaaaa!"
Tangan kanannya dengan jari-jari terbuka me-
lancarkan pukulan jarak jauh ke laut.
Serangkum tenaga pukulan dahsyat menyambar
dan akibatnya memang luar biasa. Air laut tiba-tiba
tersibak seperti terbelah sepanjang beberapa meter.
Semua pengawal yang menyaksikan keadaan itu men-
jadi tersentak kaget dengan mata terbelalak. Beberapa
di antaranya mengatakan kehebatan Wori itu adalah
ilmu sihir. "Brrrrr!"
Air laut kemudian menyatu kembali menimbul-
kan suara dahsyat. Ikan-ikan dan makhluk hidup
lainnya dalam air menjadi tersedot ke atas. Demikian
juga tubuh Karta, terasa ditarik tenaga yang sangat
hebat, sehingga membuatnya tidak berhasil memper-
tahankan diri. "Astaga! Ilmu iblis!" teriak pendekar itu dalam ha-ti. Bersamaan dengan itu,
tubuhnya mencelat ke per-
mukaan air laut. Sebelum bisa menguasai keseimban-
gan tubuh, sebuah serangan dahsyat telah mengan-
cam dadanya. Sejak tadi Karta sebetulnya sudah mengetahui
bahwa yang menyerangnya adalah Wori sendiri. Dan
itu membuatnya bertambah kecewa karena sahabat-
nya itu ternyata masih di pengaruhi ilmu sihir lawan.
Melihat kedua tangan Wori menyambar ke arah dada
dan lehernya, Karta menjadi terkejut sekali. Angin pu-
kulan itu saja sudah terasa mengandung kekuatan
dahsyat, apalagi kalau sampai menghantam tubuhnya,
mungkin akan menjadi remuk redam.
"Ciaaat!" Karta jungkir balik di udara dan pukulan Wori pun hanya menerpa angin.
Akan tetapi agak-
nya, Pendekar Bumerang itu sudah menduganya, ka-
rena begitu kedua tangannya tidak berhasil melukai
lawan, kaki kirinya sudah menyambar lagi dengan ke-
cepatan kilat. "Wori, ingatlah aku adalah temanmu!" teriak Karta dengan harapan sahabatnya itu
tersadar. Namun
Wori malah tampak semakin beringas dan buas.
"Sudah kuduga pasti kaulah Monyet Gila Dari
Muara Bondet yang berani main-main denganku.
Mampus kau!"
Luar biasa hebatnya serangan Wori ini, karena
selain sangat cepat, juga tidak memberikan Karta ke-
sempatan untuk mendaratkan kakinya. Repotlah pen-
dekar gagah perkasa itu. Ia tak punya kesempatan lagi
untuk menghindar, maka ia menjulurkan tangan ka-
nannya menangkis tendangan lawan.
"Plak!"
Telapak tangan Karta beradu keras dengan kaki
kiri Wori. Dan beradunya tangan dan kaki itu mendo-
rong tubuh Karta kembali ke atas, lalu ia bersalto be-
berapa kali ke belakang dan bergelantungan di atas
layar. Seketika perahu itu menjadi oleng ke kiri, sehing-ga pengawal menjadi
panik menarik tali-tali layar un-
tuk menjaga keseimbangan. Tetapi Pendekar Bume-
rang tampak tenang saja, dengan mata melotot ia
menginjak pinggir perahu sebelah kanan sehingga ke-
dudukan perahu itu pun menjadi stabil kembali.
Dua pengawal tidak menyia-nyiakan kesempatan
itu dan segera mengayunkan tombak-nya ke arah Kar-
ta yang masih bergelantungan di atas layar. Karena ti-
dak menduga akan diserang mendadak seperti itu,
Karta tidak sempat lagi mengelak. Kedua tombak itu
menembus kulit tubuh di bawah kedua ketiaknya.
"Aaaaah!"
Dengan kedua tombak masih lengket di tubuh-
nya, Karta tercebur ke laut. Tubuhnya segera tengge-
lam dipermainkan ombak yang tampak memerah oleh
darah dari luka di tubuh si Gila.
"Aku yakin dia pasti belum mampus. Tapi bau
anyir darah itu cukup untuk memancing ikan-ikan
hiu. Tubuhnya pasti habis tercabik-cabik tanpa seo-
rang pun dapat menolong. Hahaha! Ayo, pengawal! Ki-
ta teruskan perjalanan!" kata Wori sambil menyeringai buas. Perahu kecil itu pun
kembali berlayar dengan tenang menuju ke Pulau Uglo. Sesekali Wori memberi-
kan perintah dengan suara keras, sehingga terdengar
bergema sampai puluhan mil jauhnya.
Pada saat itu, Pampani dan Bungoru sedang
asyik bercakap-cakap dengan tiga pendekar asal Pulau
Jawa sahabat mereka. Kelima pendekar gagah perkasa
itu duduk berkeliling di ruang tengah istana memba-
has rencana mereka selanjutnya.
"Saudara-saudara! Bagaimana langkah kita se-
lanjutnya" Kita telah kehilangan seorang pendekar
tangguh seperti Wori. Dan kita belum dapat menaksir
kekuatan musuh." kata Pampani.
"Kedudukan kita saat ini memang cukup berba-
haya. Tetapi aku yakin bahwa kita pasti dapat me-
numpas musuh. Ilmu sihir yang mereka gunakan itu
pasti bisa dilawan dengan kemurnian bathin. Jika di
antara kita ada yang memiliki ilmu ini, maka kita tak
akan dapat dipengaruhi ilmu hitam seperti itu!" kata si Kaki Tunggal sambil
menatap satu per satu sahabatnya yang berkumpul di ruangan itu.
"Lalu, apa yang harus kita lakukan?" tanya
Umang. "Tugas kita sekarang adalah mencari orang yang
dapat berbuat seperti itu. Ah, sungguh sayang saudara
Jaka Sembung tidak ada di sini. Aku sendiri tidak
mampu! Aku tidak dapat menjernihkan bathin dari
pengaruh-pengaruh luar. Bagaimana pendapatmu,
Pampani?" Percakapan mereka tiba-tiba terhenti ketika pintu
terbuka dengan kasar dan muncullah Karta berjalan
sempoyongan dalam keadaan berlumuran darah.
"Pampani," kata Karta dengan suara lirih.
"Astaga! Karta terluka! Apa yang telah terjadi?"
teriak Umang yang lebih dulu melihat kedatangan Kar-
ta. "Kau disakiti orang kulit putih itu, ya?" tanya si Kaki Tunggal sambil
meloncat berdiri dan membantu
Karta duduk. "Harap saudara-saudara tenang. Aku tidak apa-
apa, hanya menderita sedikit Iuka, terserempet tombak
anak buah sahabat kita Wori."
"Hah" Dia lagi!"
"Ya, apa boleh buat! Aku telah gagal mencegah
keberangkatan Wori menjual mutiara-mutiara itu ke-
pada orang-orang Belanda. Pagi tadi mereka berangkat
berlayar."
"Wah, kalau begitu kita sudah terlambat! Apa ak-
al kita sekarang" Satu-satunya orang yang mengetahui
penyimpanan mutiara itu hanyalah Wori sendiri."
Pampani tampak mengerutkan kening, me-mutar
otak untuk memikirkan apa yang harus mereka laku-
kan. Beberapa saat kemudian, ia bangkit dan berkata


Jaka Sembung 15 Raja Sihir Dari Kolepom di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan suara memerintah:
"Bungoru, perintahkan laskar kita untuk men-
guntit dan menyelidiki di mana tempat per-temuan
Wori dengan kapal kumpeni Belanda. Pilihlah orang-
orang kita yang ahli dalam bidang ini!"
"Daulat, Tuanku!"
Mirah kemudian menggeser duduknya ke dekat
Karta. "Karta, sebaiknya lukamu ini segera dirawat! Biar kau bilang tadi hanya
luka ringan, tapi kita harus me-rawatnya biar lebih cepat sembuh!"
"Terimakasih, Mirah! Bagaimana keadaan istri
dan anakku selama kutinggalkan" Selama ini aku sela-
lu mempunyai perasaan tak enak"
"Tak suatu pun terjadi. Coba lihat, di ambang
pintu sana!"
Karta berpaling. Seketika ia tersenyum melihat
istrinya Nomina sedang berdiri di ambang pintu sambil
mengendong putra mereka. Adik perempuan Pampani
itu pun tersenyum dan dari sinar matanya dapat dili-
hat adanya rasa rindu yang cukup lama dipendam.
Tanpa memperdulikan rasa sakit di badannya. Karta
segera berlari ke hadapan Nomina. Dipeluknya dengan
segenap perasaan, lalu diciuminya putranya tercinta.
"Oh, Nomina istriku. Anakku...!" lirih suara Karta dan penuh perasaan. "Apa yang
telah terjadi selama ini" Aku selalu bermimpi buruk mengenai kalian."
Nomina cuma menggelengkan kepala dengan per-
lahan. Matanya tampak berkaca-kaca dan bibirnya
bergerak-gerak kaku. Agaknya banyak yang hendak
diucapkannya, tetapi karena ia seorang wanita bisu,
hanya sinar matanya yang bisa memancarkan isi ha-
tinya. Sekalipun mulutnya tidak bisa mengucapkan
sepatah kata pun, namun matanya mengatakan bahwa
ia sangat berbahagia setelah bertemu dengan sua-
minya. Lama kedua insan suami istri itu terlena dalam
keharuan dan kebahagiaan, sehingga semua yang ha-
dir di ruangan itu hanya diam saja, seolah-olah ikut
terlena dalam suasana itu. Perlahan-lahan, Mirah
bangkit dan melangkah ke ruang belakang. Wanita itu
bersandar lemas pada dinding dan menatap ke luar
dengan mata sayu. Pertemuan itu, alangkah mesranya,
kata hatinya sedih.
Terasa benar olehnya betapa Karta dan Nomina
saling mencintai serta saling pengertian. Dan sebetul-
nya, Mirah dan Umang pun begitu juga, tetapi ada sa-
tu perbedaan menyolok yang seolah-olah membuat ke-
hidupan rumah tangga mereka terasa gersang. Sampai
sekarang, Umang dan Mirah belum mempunyai anak,
padahal mereka sudah cukup lama melangsungkan
perkawinan. Sekalipun mereka adalah pendekar yang sudah
sering menghadapi tantangan sehingga mental mereka
pun sudah sangat kuat, namun keadaan itu tak urung
memukul perasaan mereka juga. Untunglah selama ini
Umang dan Mirah tidak mau saling menyalahkan dan
sedapat mungkin tidak mau membicarakannya. Na-
mun sekarang, melihat Karta dan Nomina berpelukan
demikian mesranya sembari menggendong putra mere-
ka, rasa sedih itu pun langsung menusuk- nusuk hati
tanpa bisa dicegah lagi.
Agaknya Umang cukup memahami perasaan is-
trinya. Maka ia pun melangkah menghampiri Mirah.
Ditepuknya bahu istrinya itu dan dibelainya rambut-
nya, "Mirah, apa yang sedang kau pikirkan?" bisiknya.
"Umang, betapa mesra pertemuan mereka! Ka-
dang-kadang aku iri karena mereka bisa se-mesra itu
adalah karena sudah mempunyai anak. Tapi kita...."
"Aku mengerti perasaanmu, Mirah!" sela Umang
sambil berusaha berbicara sewajar mungkin di atas
hatinya yang tak menentu. "Selama ini kita sudah berusaha, namun barangkali
belum waktunya. Sabar sa-
jalah istriku. Mungkin Tuhan belum berkenan membe-
rikan anak pada kita."
"Ah, maafkan aku, Umang! Aku tidak bermaksud
menyinggung perasaanmu. Sudahlah, sebaiknya kita
segera bergabung dengan mereka. Tak baik jika mere-
ka melihat kita seperti ini."
"Ah, aku tak bisa mengatakan apa-apa lagi pa-
damu. Aku sebenarnya masih bisa menahan pera-
saanku sendiri. Tetapi kalau memikirkan perasaanmu,
aku jadi sedih. Sepertinya aku tidak bisa memberimu
kebahagiaan."
5 Matahari sudah mulai siang dengan sinarnya
yang cerah menimpa bumi, seperti sedang mengusap-
usap tanah Kepulauan Aru. Profesor Van Leinen dan
Simon sudah sejak tadi membenahi perkemahan me-
reka, lalu melanjutkan perjalanan untuk melakukan
penelitian mereka.
Kedua lelaki berkulit putih itu sedang melintasi
rawa-rawa berlumpur dan tampaknya cukup berba-
haya jika melewatinya tanpa berhati-hati. Barangkali
profesor tua itu menyadarinya, sehingga berulang-
ulang memperingatkan sobat mudanya supaya hati-
hati. "Menurut pengalamanku, dalam rawa-rawa den-
gan air paya-paya seperti ini banyak lubang yang dapat
menjebak kita. Harap kau hati-hati Simon!" kata profesor tua itu tanpa melirik
kepada Simon yang kini se-
dang berjalan di belakangnya.
'"Tak usah khawatir, Profesor! Medan alam yang
bagaimana pun berbahayanya sudah ku-tempuh da-
lam latihan kemiliteranku. Aku justru mengkhawatir-
kan dirimu."
Sambil mendengus, Profesor Van Leinen mene-
ruskan langkahnya menembus hutan be-rawa-rawa
menuju bukit yang mereka cari. Tepat seperti yang
dikhawatirkannya, Simon mendadak menginjak lubang
dalam rawa. Tanpa ampun lagi, tubuhnya terjeblos
hingga sebatas leher.
"Aaaaaah!" Pemuda itu menjerit, sehingga mem-
buat profesor tua itu terkejut. Ia berpaling tapi tidak berani bertindak
gegabah, sebab dirinya pun tidak
mustahil mengalami nasib seperti Simon. Pemuda itu
berusaha ke luar dari lubang rawa-rawa itu dengan ca-
ra meronta-ronta. Celakanya, semakin ia bergerak, ta-
nah yang diinjaknya semakin amblas pula. Dan akhir-
nya pemuda yang sombong itu pun berteriak:
"Profesor, tolonglah aku!"
"Huh! Apa kubilang tadi?"
"Aku tak dapat bangun. Beban di punggungku
sangat berat."
Sambil memberengut dan kadang-kadang terse-
nyum geli, Profesor Van Leinen menarik tangan Simon.
"Apa dalam latihan kemiliteranmu tidak diajar-
kan cara keluar dari lubang semacam ini?" sindirnya.
"Jangan mengejekku, Profesor. Kau beruntung ti-
dak terperosok. Kalau kau yang mengalami hal sema-
cam ini, tubuhmu akan segera amblas ke bawah kare-
na gembrot."
Mereka kemudian melanjutkan perjalanan dan
akhirnya sampai di lereng bukit. Profesor Van Leinen
mengamati puncak bukit itu dengan teropongnya. Ia
tampak manggut-manggut, sementara Simon hanya
memandanginya dengan perasaan dongkol karena pe-
ristiwa di dalam rawa-rawa barusan.
"Kita akan menuju puncak bukit itu. Ku rasa
menjelang sore kita sudah bisa sampai kemudian
mendirikan kemah."
"Ya, saya juga memperkirakan demikian. Tidak
terlalu jauh lagi. Tetapi... hei, ada apa di badanku" Pedih!" Tiba-tiba Simon
berteriak karena sekujur tubuhnya terasa pedih dan sepertinya ada benda licin
dan menjijikkan bergerak-gerak. Dengan wajah pucat, ia
meraba badannya sendiri di balik baju. Dan ia kembali
menjerit ketakutan.
"Hah" Darah! Darah!" Dengan tergopoh-gopoh ia melepas ransel di pundaknya, lalu
se-cepatnya membuka bajunya. Ternyata sekujur tubuhnya telah di-
tempeli lintah. Beberapa ekor di antaranya tampak su-
dah sangat membesar karena kekenyangan menghisap
darah Simon. "Oh, mijn god! Apa itu" Lintah! Lintah penghisap
darah," seru Profesor Van Leinen sambil memeriksa
sekujur tubuhnya, takut kalau-kalau lintah itu pun
sudah merayap di tubuhnya. Tetapi ternyata tidak.
Agaknya binatang-binatang penghisap darah itu me-
rayap ke tubuh Simon ketika terperosok tadi di dalam
rawa-rawa. Dengan terburu-buru profesor itu mengeluarkan
botol-botol obat dari tasnya.
"Tenang, Simon! Engkau adalah seorang militer
yang hebat. Jangan takut hanya berhadapan dengan
lintah seperti itu. Minyak in akan mengusir binatang-
binatang rakus itu. Gosokkanlah ke sekujur tubuh-
mu!" Sambil menggerutu dan terkadang memaki-maki,
Simon menggosokkan minyak itu. Benar saja, lintah-
lintah itu segera menggelinding jatuh karena bau obat
gosok yang sangat keras. Barulah Simon merasa lega,
tetapi tampak masih belum puas karena profesor tua
itu tidak ikut diserang lintah.
Tepat seperti perhitungan profesor tua itu menje-
lang sore hari mereka telah sampai di puncak bukit.
Dari atas, keduanya dapat memandang bebas ke ba-
wah, ke lembah-lembah yang membujur panjang dis-
elimuti kabut tipis. Pucuk-pucuk pepohonan melam-
bai-lambai seakan-akan sedang mengucapkan selamat
datang kepada dua orang kulit putih di negeri Kepu-
lauan Aru. Sungguh merupakan suatu pemandangan
yang sangat indah dan mendatangkan perasaan da-
mai. Beberapa ekor burung kecil sambil berkicau ter-
bang dari dahan yang satu ke dahan lainnya. Sebentar
naik ke puncak bukit, lalu kemudian turun lagi ke po-
hon-pohon di lembah.
"Lihatlah lembah itu, Simon. Sungguh sangat in-
dah." "Ya, indah sekali, Profesor. Tapi sebaiknya kita mendaki lebih ke puncak
lagi untuk men-dirikan kemah." Karena dinding bukit itu terjal, mereka ter-paksa
menggunakan tali untuk mendakinya. Namun dalam
hal ini, Profesor Van Leinen juga bisa melakukannya
dengan baik. Padahal ia sudah tua dan tubuhnya pun
gemuk. Lain halnya dengan Simon yang masih muda
dan sudah pernah mengikuti pendidikan kemiliteran,
sehingga tidaklah terlalu mengherankan jika ia dapat
mendaki bukit dengan lancar.
Di puncak bukit itu ada semacam kawah yang
cukup luas. Mungkin dulunya adalah bekas gunung
berapi yang meletus, demikianlah kedua orang kulit
putih itu menduga-duga. Mereka segera mendirikan
kemah di tempat itu.
"Beberapa hari lagi bulan purnama akan mun-
cul." kata Profesor Van Leinen sambil menancapkan
tiang kemah mereka.
"Berarti kita akan memulai perburuan ini."
"Tepat sekali, Simon!" Keduanya terus tekun
mendirikan kemah. Tanpa mereka sadari, dua orang
laki-laki sedang mengintai mereka. Entah dari mana
keduanya datang, tiba-tiba saja telah berada di tempat
itu. Siapa lagi kalau bukan Wan-Da-I dan tukang sihir
Womere yang tampaknya mempunyai maksud tertentu
menemui kedua orang kulit putih itu.
Akan tetapi naluri Simon yang sangat tajam sege-
ra berbisik bahwa di belakangnya sekarang ada orang
lain sedang memperhatikan mereka. Apakah Karta
sendiri" Hatinya bertanya-tanya! Tetapi rasanya bu-
kan! Atau siapapun yang sedang berada di belakang-
nya patut dicurigai, karena tidak mustahil bermaksud
jelek terhadap mereka. Maka secepat kilat, Simon me-
nyambar senapannya dan langsung berbalik menga-
rahkan laras senjatanya kepada orang itu.
"Jangan bergerak! Kutembak kalau berani!"
Profesor Van Leinen terkejut bukan main, dan di-
am-diam harus mengakui kewaspadaan Simon. Tetapi
ia juga khawatir, karena sobat mudanya itu sangat ce-
pat emosi dan memiliki sifat congkak pula, sehingga
tidak mustahil melukai orang yang belum tentu bersa-
lah. "Stop, Simon! Jangan tembak mereka. Tunggu
dulu!" Dengan tergopoh-gopoh, profesor tua itu melangkah menghampiri Wan-Da-I
dan Womere. Ia mengang-
guk hormat, walaupun sebetulnya perasaannya kurang
enak melihat penampilan dua lelaki di hadapannya
yang tampaknya memiliki niat kurang baik
"Maafkan sahabat muda aku ini, Tuan-tuan.
Memang ia selalu bersikap curiga terhadap setiap ge-
rak gerik di sekitarnya. Mungkin ia mengira ada bina-
tang buas tadi. Ternyata adalah Tuan-tuan sendiri.
Harap Tuan-tuan tidak salah paham. Maksud kami ke
sini hanyalah untuk melakukan penelitian. Untuk itu,
kami telah mendapat ijin dari Kepala Suku. Kami ingin
menyelidiki dan menangkap manusia kera demi ilmu
pengetahuan!"
Wajah Wan-Da-I tiba-tiba membeku seperti batu
karang. Matanya mencorong tajam dan merah sekali
bagaikan memancarkan api. Sulit diterka kenapa si-
kapnya tiba-tiba saja berubah seperti itu, namun Pro-
fesor Van Leinen dan Simon dapat menerka bahwa la-
ki-laki itu tidak senang mendengar penjelasan mereka.
"Kurang ajar!" bentak Womere geram. "Apa yang harus kuperbuat Tuanku" Biar
kubunuh saja mereka!"
"Jangan!" kata Wan-Da-I sambil menarik tangan Womere, lalu dengan sikap ramah
yang dibuat-buat, ia
berkata kepada dua lelaki berkulit putih di hadapan-
nya: "Tuang-tuan telah meminta ijin pada tempat yang salah. Kepala Suku
Kepulauan Aru adalah aku sendiri.


Jaka Sembung 15 Raja Sihir Dari Kolepom di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pampani yang kau maksudkan itu tadi adalah pembe-
rontak yang telah merebut kedudukanku dengan cara
yang sangat keji. Tapi aku akan memberikan ijin dan
siap membantu kalian berdua menangkap manusia ke-
ra. Sebaliknya kalian berdua pun harus membantu
kami dengan pikiran-pikiran kalian. Jadi kita menjalin
hubungan kerjasama yang baik. Aku kira tidak ada sa-
lahnya, bukan?"
"Oh, kalau begitu kami telah salah meminta ijin
kemarin. Terimakasih, Tuan-tuan atas ke-murahan
hati kalian kepada kami."
"Bawa mereka, Womere!"
Si Tukang Sihir itu segera bertindak. Mulutnya
komat kamit sebentar, lalu kemudian kedua matanya
melotot memancarkan pengaruh yang sangat kuat
yang seolah-olah menembus relung-relung hati Profe-
sor Van Leinen dan Simon.
"Tatap mataku! Tatap mataku! Hai orang-orang
kulit putih. Tataplah aku! Ikutlah aku...!"
Tiba-tiba saja profesor tua dan Simon merasa ji-
wanya seperti terbang meninggalkan raga. Mereka me-
rasa kehilangan diri sendiri dan ada suatu kekuatan
gaib yang telah menyelusup ke dalam pikiran mereka,
sehingga mereka berubah seakan-akan jadi robot.
Womere kemudian merentangkan kedua tangan
mengarah kepada kedua orang kulit putih itu. Sua-
ranya terdengar semakin berpengaruh.
"Dengar kata-kataku! Tidur... tidur... tidur-lah
sepulas mungkin. Tidur! Tidur kataku!"
Sungguh luar biasa pengaruh ilmu sihir tokoh
sesat dari Pulau Kolepom ini. Kedua lelaki kulit putih
itu tiba-tiba saja diserang rasa kantuk yang sangat he-
bat. Hanya beberapa saat kemudian, kepala mereka
tertunduk, mata ter-pejam. Terdengar pula suara
dengkuran yang cukup keras. Masih dalam posisi ber-
diri, keduanya tertidur.
"Bagus!" seru Womere girang. "Sekarang melangkahlah maju. Turut semua perintahku
dan petunjuk- petunjukku. Berbaliklah!" Kedua orang kulit putih itu berbalik seperti sedang
bermimpi. "Bagus! Kalian sudah tunduk padaku! Sekarang
melangkahlah. Melangkah!"
Profesor Van Leinen boleh jadi mempunyai ilmu
pengetahuan terutama di bidang biologi dan ilmu alam
yang sangat tinggi. Seluruh sisa hidupnya ia mengha-
biskan waktunya untuk melanglang buana ke berbagai
penjuru di dunia ini untuk melakukan penelitian. Ilmu
pengetahuan baginya lebih dari segala-galanya di-
bandingkan semua yang ada di dunia ini. Dalam pe-
tualangannya melakukan berbagai penelitian ilmiah,
banyaklah pengalaman yang diperolehnya.
Dan Simon pun boleh bangga atas latihan kemili-
teran yang pernah diikutinya. Naluri detektifnya sangat tinggi dan kalau saja ia
tidak memiliki sifat congkak,
sudah dapat dipastikan ia akan menjadi seorang ang-
gota militer yang sangat hebat dan patut diteladani
oleh teman-temannya. Ia pun sudah sering menghada-
pi tantangan, bahkan tidak jarang bercanda dengan
maut. Akan tetapi sekarang, kedua lelaki perkasa ber-
kulit putih itu tidak bisa berbuat apa-apa. Pikiran me-
reka telah dikuasai Womere sehingga semua yang me-
reka lakukan semata-mala hanyalah atas kehendak
tukang sihir itu. Profesor Van Leinen dan Simon terus
melangkah sesuai petunjuk Womere. Tak lama kemu-
dian, mereka sampai di tepi pantai.
"Turunlah ke air sekarang! Ayo, turun! Kalian
akan kubawa ke istana kami yang sangat besar dan
megah di bawah tanah!"
Menyaksikan hal itu, Wan-Da-I tidak bisa me-
nyembunyikan rasa gembiranya. Demikian mudahnya
Womere menguasai kedua lelaki berkulit putih itu.
Sungguh suatu hal yang menakjubkan, sebab ternyata
ilmu sihir Womere tidak hanya mempan kepada pen-
duduk pribumi, tetapi juga terhadap orang berkulit pu-
tih. Ia bertepuk tangan ketika si Profesor tua dan Si-
mon sudah turun ke pinggir laut.
"Sekarang berenang! Ayo, berenang! Kalian harus
berenang!" kata Womere dan masih tetap mengarah-
kan kedua telapak tangannya ke arah kedua orang as-
ing itu. Seolah-olah dari telapak tangan itu memancar
tenaga dahsyat yang sangat jahat.
Van Leinen dan Simon segera berenang. Gerak-
kan mereka di dalam air sangat ringan dan tangkas,
seolah-olah keduanya adalah perenang-perenang han-
dal. Padahal selama ini Profesor Van Leinen tak pernah
bisa berenang, apalagi menyelam. Di sinilah kemudian
terlihat betapa pengaruh ilmu sihir Womere dapat di-
gunakan sebagai alat untuk membuat orang lain tidak
berdaya. Seperti dua ekor bebek, dua orang kulit putih itu
terus berenang, menyeberangi teluk yang cukup luas.
Wan-Da-I dan Womere hanya memandangnya saja dari
puncak bukit. Mereka sangat senang, sehingga tertawa
terpingkal-pingkal.
Dengan nafas terengah-engah karena menyan-
dang pakaian lengkap dan sepatu laras panjang, Profe-
sor Van Leinen dan Simon akhirnya sampai juga ke
tempat yang dimaksudkan Womere. Sebuah mulut te-
rowongan yang cukup gelap, dipenuhi air, menembus
bukit-bukit cadas yang kokoh.
"Mari masuk, Tuan-tuan! Kalian adalah tamu ke-
hormatan kami. Karena itu jangan ragu-ragu. Berja-
lanlah terus menyusuri terowongan itu sampai nanti
kuberikan perintah selanjutnya." terdengar lagi perintah Womere, entah dari mana
datangnya, tetapi jelas
sekali bergema ke segenap ruangan terowongan itu.
Profesor Van Leinen dan Simon tetap menurut
bagaikan kerbau dicucuk hidung, seolah-olah perintah
itu datang dari otak mereka sendiri.
"Bagus! Tuan-tuan jangan lurus ke depan. Belok-
lah ke kiri. Ya! Bagus! Terus... terus! Jangan ragu-ragu atau takut. Tidak ada
apa-apa di sini."
Tubuh kedua laki-laki kulit putih itu sebenarnya
sudah sangat letih dan sudah berkali-kali hendak ter-
jatuh. Tetapi terasa ada kekuatan gaib yang menopang
tubuh mereka dan terus memaksa untuk berjalan. Ke-
duanya sekarang mulai memasuki terowongan yang
airnya sampai sebatas dada. Di sebelah kiri dan kanan
terlihat tulang belulang serta tengkorak manusia bah-
kan ada di antaranya yang mengambang. Sejenak Pro-
fesor Van Leinen dan Simon merasa ngeri, tetapi suara
yang langsung menyusup ke jaringan otak mereka
memerintahkan agar tidak memperdulikannya.
Selama berjalan seperti itu, keduanya tidak per-
nah mengeluarkan suara percakapan, karena seper-
tinya mereka telah melupakan segala-galanya. Hanya
desah nafas mereka yang terdengar memburu dan ka-
dang-kadang disertai suara rintihan halus.
Tiba-tiba tubuh mereka terangkat ke atas, seperti
ada sebuah alat derek yang muncul dari dalam air.
Alat ajaib yang entah dikendalikan dari mana itu ber-
gerak membawa tubuh keduanya ke pintu jeruji kayu.
Pintu itu pun terbuka sendiri dan ketika kedua orang
kulit putih itu sudah berada di dalam, pintu itu tertu-
tup sendiri kembali. Di hadapan mereka sekarang te-
lah berdiri Womere, sedangkan Wan-Da-I duduk santai
di kursi singgasananya.
"Selamat datang, Tuan-tuan! Kami senang sekali
melihat kehadiran Tuan-tuan," ujar Womere sambil
mengamati wajah Profesor Van Leinen dan Simon ber-
gantian. Seulas senyuman tersungging di bibirnya
yang tebal dan hitam dan karena matanya memancar-
kan sikap buas, senyum itu tampak lebih mirip serin-
gaian. Kedua laki-laki berkulit putih itu hanya me-
mandang Womere dengan tatapan mata kosong dan
mulut setengah menganga. Si Tukang Sihir manggut-
manggut, lalu menghampiri Wan-Da-I.
"Apa yang harus kulakukan kepada kedua tawa-
nan ini, Tuanku!"
"Bawa mereka ke dalam kamar mutiara dan kau
bujuk mereka agar dua orang kulit putih itu mau me-
nyumbangkan pikirannya kepada kita."
"Baik, Tuanku!" Womere kembali melangkah
menghampiri profesor tua dan Simon.
"Tuan-tuan yang terhormat, sekarang Tuan-tuan
dipersilahkan masuk ke kamar itu."
Tanpa mengucapkan apa-apa, keduanya memba-
likkan badan. Pintu di belakang mereka ternyata su-
dah terbuka dan dari dalamnya tampak cahaya terang
benderang. Womere kembali memberikan perintah agar
keduanya segera melangkah masuk.
Sekarang Profesor Van Leinen dan Simon berada
di hadapan cungkup segi empat berisikan tumpukan
mutiara-mutiara. Di sebelah depannya terdapat se-
buah kanal buatan dan aquarium raksasa berisikan
puluhan ekor ikan hiu yang tampak hilir mudik me-
nunggu mangsa. "Cobalah Tuan-tuan naik ke atas cungkup itu!
Apa yang dapat kalian lihat di dalamnya" Kurasa biji
mata kalian akan melotot dibuatnya!"
Profesor Van Leinen dan Simon melangkah me-
naiki anak-anak tangga ke atas. Alangkah terkejutnya
kedua lelaki ini melihat timbunan mutiara, seperti
tumpukan batu kerikil yang hendak digunakan mem-
bangun gedung saja.
"Oh, mijn god! Mutiara-mutiara tertimbun seba-
nyak ini" Banyak sekali!" kata Profesor Van Leinen termangu-mangu.
Womere tertawa terkekeh-kekeh, sangat girang
hatinya melihat kedua orang kulit putih itu tersentak
kaget dan tampak seolah-olah tidak percaya pada pen-
glihatannya sendiri melihat mutiara sebanyak itu.
"Betul, Tuan-tuan! Sebagian dari mutiara-
mutiara itu akan kami hadiahkan kepada kalian. Teta-
pi dengan syarat kalian bersedia menyumbangkan ha-
sil-hasil pemikiran teknik dari orang-orang Barat! Kami membutuhkan orang-orang
seperti kalian untuk
menggempur pertahanan Pampani si pemberontak itu."
"Aku belum mengerti," kata Profesor Van Leinen dengan suara parau.
"Nanti Tuan-tuan akan tahu sendiri. Tapi ingat,
jangan coba-coba membangkang terhadap perintah-
perintah kami. Taruhannya adalah nyawa Tuan-tuan
sendiri. Sekali orang masuk ke dalam tempat rahasia
ini, ia tidak akan dapat ke luar dalam keadaan hidup."
"Oh...!"
"Coba lihat pada dinding kaca di belakang Tuan-
tuan!" Profesor tua itu dan Simon melirik ikan-ikan hiu yang hilir mudik dan
diam-diam keduanya merasa
ngeri juga karena mereka menyadari ikan seperti itu
sangat ganas dan buas.
"Nasib tuan dipertaruhkan pada gigi-gigi runcing
dari tajam binatang-binatang laut yang sangat ganas
itu. Ikan-ikan bekas itu sengaja kami buat dalam kea-
daan lapar, sehingga siap menunaikan tugas kapan sa-
ja kami perlukan. Tuan-tuan tentunya tahu betapa ga-
nasnya ikan-ikan seperti itu, tubuh tuan-tuan akan
tercabik-cabik habis dalam sekejap. Nah, bagaimana
pendapat kalian?"
Bergidik hati kedua laki-laki kulit putih itu men-
dengarnya. Rupanya penduduk pribumi yang berada di
hadapan mereka sekarang jauh lebih licik dan kejam.
Mereka menyadari bahwa ikan-ikan dalam aquarium
raksasa itu sangat ganas dan buas. Ancaman Womere
bukan hanya sekedar gertak sambal belaka. Tak berani
keduanya membayangkan apa jadinya tubuh mereka
kalau dijadikan santapan ikan-ikan buas itu.
Karena pengaruh sihir itu tidak mempengaruhi
pikiran mereka yang tentu saja atas kehendak Womere
sendiri, keduanya menjadi ketakutan. Simon menun-
dukkan kepala, namun matanya menatap liar ke seke-
lilingnya untuk melihat jalan ke luar melarikan diri.
Tetapi ia menjadi putus asa, karena ruangan itu tam-
pak penuh rahasia. Kalau pun bisa lari, belum tentu
dapat ke luar. Dan laki-laki bengis di hadapannya
tampaknya bukanlah orang sembarangan, yang tentu
saja tidak akan mau membiarkan mereka lolos. Simon
menjadi putus asa, lalu berbisik ke telinga Profesor
Van Leinen agar menerima tawaran Womere.
"Kita terima saja, Profesor daripada kita mati ko-
nyol sebelum ekspedisi kita selesai."
"Kita belum tahu apa yang mereka kehendaki.
Kalau disuruh membunuh orang, rasanya tidak mung-
kin kita menurutinya," bisik Profesor tua itu yang tampaknya sudah mulai bisa
menebak maksud musuh.
"Tapi bagaimana kalau tubuh kita dilemparkan
ke dalam aquarium maut itu?"
"Jangan berbisik-bisik, Tuan-tuan! Percuma saja,
karena aku bisa mendengarnya. Kalian harus men-
gambil keputusan sekarang. Tak perlu menunggu ter-
lalu lama. Ya atau tidak, kemudian tinggal terima resi-
konya." Pelan suara Womere, namun kedua tawanannya
dapat merasakan di balik suara yang pelan dan sikap
yang dingin itu terkandung sebuah ancaman maut.
Dan mengambil keputusan terlalu lama akan diartikan
pula sebagai penolakan. Maka Simon dan ahli biologi
dan Ilmu alam itu hanya saling pandang.
"Harap Tuan-tuan ketahui, musuh-musuh Kepa-
la Suku Wan-Da-I mempunyai dua jenis kekuatan,
yakni kekuatan bathin dan kekuatan otak. Untuk ke-
kuatan bathin sudah menjadi bagianku untuk mela-


Jaka Sembung 15 Raja Sihir Dari Kolepom di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lapnya. Tetapi untuk kekuatan otak, kuserahkan ke-
pada kalian berdua! Sekarang mari kutunjukkan ka-
mar kegiatanku. Dari dalam kamar inilah aku menja-
lankan kegiatan bathin!"
Womere melangkah ke kamar di sebelahnya me-
lalui pintu semacam lorong sempit. Keadaan di ruan-
gan itu hanya samar-samar saja, namun Profesor Van
Leinen dan Simon dapat memperhatikan apa saja yang
ada di dalamnya. Di sudut sebelah kanan ada sebuah
meja terbuat dari sebongkah batu berukuran sekitar
satu kali dua meter. Di atasnya terdapat beberapa bo-
tol ukuran kecil dan besar berisi cairan yang entah apa gunanya. Di dekatnya,
terdapat pula beberapa tengkorak kepala manusia, yang tampaknya sengaja disim-
pan dalam ruangan untuk maksud tertentu. Agak di
sebelahnya, ada pula sebuah sangkar berukuran kecil
berisikan seekor burung hantu berbulu hitam.
Di sudut ruangan yang satu lagi, terdapat pula
sebuah meja panjang dari kayu dan di atasnya berjejer
boneka-boneka gabus yang berukuran kecil. Di ujung
barisan boneka-boneka itu terdapat pula sebuah teng-
korak kepala manusia.
"Ini adalah kamar kegiatanku. Kepada Tuan-tuan
aku bermurah hati menunjukkan dan membawa Tuan-
tuan ke sini. Perhatikan baik-baik semua yang ada di
ruangan ini. Semoga dengan ini Tuan-tuan dapat
membawa kenang-kenangan jika sudah kembali ke ne-
geri tuan kelak."
"Oh, mijn god! Aku seperti berada di dalam gua
Tukang Sihir seperti dalam cerita dongeng Eropa. Ber-
gidik bulu kudukku!" kata Profesor Van Leinen. Ia segera menduga bahwa
tengkorak-tengkorak di ruangan
itu pastilah orang-orang hukuman yang disiksa sampai
mati lalu tengkoraknya diambil untuk keperluan si tu-
kang sihir. Kalau benar dugaannya, berarti alangkah
sadisnya laki-laki yang mengajak mereka ke kamar itu.
Sejenak Profesor Van Leinen melirik Womere, tetapi la-
ki-laki itu tampak tenang-tenang saja, seolah-olah
menganggap tengkorak-tengkorak itu hanyalah mainan
belaka. "Sayang sekali penerangan di sini agak remang-
remang dan itu memang saya sengaja. Sekarang lebih
dekatlah ke meja yang satu ini, Tuan-tuan."
Setelah kedua tamu atau lebih tepatnya tawa-
nannya itu berada di dekat meja tempat boneka-
boneka, Womere berkata:
"Lihat di atas meja itu. Itu adalah boneka-boneka
gabus yang kubuat mirip dengan musuh-musuh kami.
Melalui boneka-boneka itu aku bisa berbuat sesuka
hati sesuai dengan rencana yang telah kuatur untuk
melaksanakan penumpasan terhadap Pampani. Ba-
rangkali Tuan-tuan sudah pernah melihat orang yang
mirip dengan boneka itu. Cobalah perhatikan lebih
seksama!" Profesor Van Leinen dan Simon melangkah lebih
dekat lagi dan mengamati boneka itu satu per satu.
"Oh, itu Kepala Suku Pampani, tuan Karta dan
lelaki berkaki buntung. Tapi yang lainnya belum ku-
kenal...." kata profesor tua itu terkejut. Karena otaknya memang sangat cerdas
serta sudah sangat berpenga-laman pula, ia segera dapat menduga bahwa boneka
itu adalah keperluan ilmu-ilmu berbau mistik. Sema-
cam vodoo dari Afrika.
"Selain itu, aku juga telah membuat boneka ga-
bus yang mirip Tuan-tuan. Ini dia!" Womere meletakkan dua boneka gabus di atas
meja di hadapan kedua
tawanannya. Profesor Van Leinen dan Simon memper-
hatikan kedua boneka itu.
"Oh...!"
Kedua laki-laki kulit putih itu sama-sama terke-
jut menyaksikan boneka itu sangat mirip dengan me-
reka. Kapan Womere membuatnya dan bagaimana ia
bisa tahu wajah mereka"
"Untuk apa boneka-boneka itu?" tanya Simon
dengan dada berdebar-debar.
Womere tertawa terkekeh-kekeh, seolah-olah
menganggap pertanyaan Simon itu sangat lucu.
"Kalian akan tahu sendiri nanti. Dan sekarang
aku akan menunjukkan bagaimana caranya boneka-
boneka ini beraksi. Kalian tentu ingin menyaksikan-
nya, bukan?"
Profesor Van Leinen dan Simon mengangguk tan-
pa sadar dan menunggu dengan perasaan tegang.
"Baiklah! Kalian memang tamu-tamu yang sangat
baik. Lihat baik-baik!" Mulut Womere komat kamit se-jenak dan kedua tangannya
di-rentangkan ke arah ke-
dua boneka di atas meja. Sepasang matanya melotot
memancarkan sinar yang sangat aneh, sehingga diam-
diam Profesor Van Leinen dan Simon yang menyaksi-
kannya bergidik ngeri.
"Hai, bergeraklah! Bergerak! Bergerak...!" kata Womere setengah mendesis lirih.
Dan ajaib! Boneka-boneka gabus-gabus itu ber-
gerak sendiri saling menghampiri. Akibat atau penga-
ruhnya pun luar biasa! Profesor Van Leinen dan Simon
saling bertatapan dengan mata melotot dan wajah me-
reka sama-sama merah padam, seolah-olah dua orang
yang saling bermusuhan dan siap mengadu nyawa.
Sesuai dengan gerak boneka itu, profesor tua dan
Simon pun ikut bergerak saling menghampiri. Kedua
boneka gabus itu semakin berdekatan dan bagian ke-
palanya saling membentur seperti wayang kelitik (acel).
"Buk!"
Pukulan tangan kanan Simon mendarat telak di
mulut Profesor Van Leinen. Demikian kerasnya tenaga
pukulan itu, sehingga mulut laki-laki tua itu berdarah
dan tubuhnya pun terdorong mundur. Itulah refleksi
dari beradunya bagian kepala kedua boneka gabus
yang digerakkan oleh Womere dengan ilmu sihirnya.
"God verdom je, Simon! Kurang ajar...!" bentak Profesor tua itu geram. Namun
mendadak Simon sudah menyerangnya kembali dengan melayangkan pu-
kulan tangan kiri ke arah mulutnya.
Sambil memaki-maki, laki-laki berambut ubanan
itu menangkis pukulan Simon dengan tangan kanan-
nya. Lalu secepat kilat tangan kirinya menyambar da-
da sobat mudanya itu.
"Buk!"
Simon tak sempat mengelak dan ia pun ter-
jengkang sambil merintih kesakitan. Ia pun memaki la-
lu meloncat berdiri dengan tangkas. Kedua tangannya
dikepalkan dan sepasang matanya menatap liar seperti
harimau muda yang hendak menerkam mangsa.
Ketika Profesor Van Leinen menerkamnya, Simon
dengan cepat berkelit ke samping sehingga tubuh laki-
laki tua itu meluncur di sampingnya. Saat itulah kaki
kiri Simon melayang menghantam perut sahabat tua-
nya. Kembali Profesor Van Leinen terpelanting, tetapi
tanpa memperdulikan rasa sakit di tubuhnya, ia bang-
kit lagi. "God verdom!"
Ia memaki dengan wajah yang tampak semakin
merah padam. Simon yang tadi sangat kesal karena
dadanya dipukul dengan sangat telaknya hingga sam-
pai sekarang pun masih terasa sakit tidak mau mem-
berikan lawan kesempatan untuk menyerang. Sebelum
diterkam, ia sudah lebih dulu menerkam. Agaknya
pemuda ini pun memiliki ketangkasan berkelahi dan
tenaga yang cukup besar. Kepalanya menghantam ke
arah perut Profesor Van Leinen dan ketika lawannya
itu mengelak, tangan kanannya melayang menghan-
tam mulut Profesor tua.
Demikianlah kedua laki-laki berkulit putih yang
sebetulnya bersahabat bahkan satu perjalanan itu sal-
ing baku hantam. Mereka berganti-gantian memukul
lawan dan bergantian pula jatuh terpelanting.
Tanpa mereka sadari, Womere tersenyum-
senyum puas melihat kedua tawanannya itu terlihat
perkelahian yang seru. Dengan tergopoh-gopoh ia ke
luar dari ruangan itu, lalu menghampiri Wan-Da-I
yang masih duduk bermalas-malasan di kursi singga-
sananya. "Ada apa, Womere?" tanya Wan-Da-I agak terke-
jut melihat tangan kanannya itu masuk tergopoh-
gopoh. Ia mengira ada sesuatu hal yang sangat penting
atau telah terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, se-
hingga ia segera berdiri dari kursinya.
"Lihat, Tuanku! Di dalam sedang terjadi sesuatu
yang cukup menarik. Tuan pasti tertarik, hitung-
hitung sebagai hiburan di kala waktu senggang seperti
ini." Wan-Da-I yang sudah mengerti betul watak Womere menjadi tersenyum lega.
Berarti tidak ada yang
perlu dikhawatirkan, bahkan si Tukang Sihir dari Pu-
lau Kolepom itu mengajaknya menonton sesuatu yang
tentu sangat menarik. Maka ia pun mengikuti Womere
masuk ke ruangan rahasia itu.
Profesor Van Leinen dan Simon masih bergumul
seru, saling menindih dan memukul. Agaknya sewaktu
ditinggalkan Womere tadi, profesor tua itu telah berha-
sil memukul mulut Simon, hingga tampak berlumuran
darah. Tetapi Profesor Van Leinen pun mengalami hal
sama, bahkan pelupuk matanya tampak sudah benjol-
benjol membiru.
"Coba perhatikan boneka gabus ini, Tuanku!" bisik Womere ke telinga Wan-Da-I
"Apakah tidak akan terlalu berbahaya terhadap
mereka?" tanya Wan-Da-I yang tampaknya khawatir
juga jika kedua tawanan mereka saling membunuh.
"Tentu tidak, Tuanku! Perkelahian mereka hanya
sampai ke tingkat yang biasa-biasa saja. Paling-paling
mereka hanya menderita luka-luka memar. Itu perlu
agar nanti mereka semakin menyadari kekuatan kita.
Sekarang kita sudah betul-betul bisa menguasai
mereka Tuanku! Setelah menguasai Wori, tenaga kita
semakin kuat. Sekarang dengan menguasai kedua
orang kulit putih itu, tenaga pikiran pihak kita pun
semakin hebat. Si keparat Pampani dan para pendekar
Pulau Jawa itu tentu tidak akan berdaya lagi. Kita
hancurkan dan kita basmi sampai ke akar-akarnya!"
"Bagus, Womere! Cara berpikirmu betul-betul he-
bat. Aku yakin dengan adanya kau di sini, maksud ha-
tiku jadi penguasa di pulau Trangan akan segera ter-
capai." "Tentu, Tuanku! Tidak akan ada lagi yang bisa
menghalang-halangi kita. Kita sudah memiliki kekua-
tan yang unggul dalam segala-galanya. Kedua kulit pu-
tih itu akan kita paksa dengan cara kita untuk men-
ciptakan bahan peledak dari mesiu yang kita terima
dari orang-orang Belanda sebagai tukaran mutiara.
Maka Pampani dan sekutu-sekutunya akan segera
hancur." "Ha-ha-ha! Dan dendamku kepada si keparat itu
pasti akan terlampiaskan!"
Womere kemudian melangkah menghampiri ke-
dua orang kulit putih yang sedang baku hantam itu. Ia
bertepuk tangan tiga kali dan menyuruh mereka ber-
henti berkelahi.
"Cukup! Cukup! Berhentilah!" teriaknya. dengan suara keras dan sangat
berpengaruh. Profesor Van Leinen dan Simon menghentikan se-
rangannya. Kedua laki-laki itu saling pandang seperti
orang yang baru tersadar dari mimpi buruk.
"Terimakasih! Terimakasih! Tuan-tuan ternyata
sudah bisa kami percayai. Bangunlah! Ayo, bangun!"
Profesor tua dan Simon merasa tubuhnya sangat
lemas dan nyeri terutama di bagian mulut yang masih
mengucurkan darah. Baru sekarang mereka menyadari
bahwa keduanya tadi saling menyerang hingga sampai
babak belur. Ada rasa marah di dalam hati nurani me-
reka karena merasa dipermainkan. Namun ada pula
pengaruh yang sangat kuat merasuki pikiran, sehingga
keduanya merasa tidak mampu melakukan apa-apa.
Diam-diam keduanya mengeluh dan menyadari
bahwa mereka telah jatuh ke dalam cengkeraman mu-
suh yang sangat jahat. Terasa benar oleh kedua laki-
laki berkulit putih itu bahwa ruangan rahasia itu me-
rupakan sarang iblis, yang diciptakan sebagai sema-
cam pangkalan untuk melakukan perbuatan-
perbuatan jahat di Kepulauan Aru.
TAMAT Setelah berhasil menguasai Pendekar Bumerang
Wori, tokoh sesat Wan-Da-I dan tukang sihir Womere
juga menguasai dua orang kulit putih yang hendak
melakukan penelitian di Kepulauan Aru.
Apakah yang akan terjadi di Kepulauan tersebut"
Apakah benar-benar akan hancur seperti yang diren-
canakan musuh Pampani"
Tunggu episode berikutnya yang berjudul:
"Kemelut Di Pulau Aru"
Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
Kucing Suruhan 3 Raja Naga 7 Bintang Karya Khu Lung Hikmah Pedang Hijau 4
^