Pencarian

Pusaka Pedang Embun 3

Pusaka Pedang Embun Lanjutan Sin Tiauw Thian Lam Karya Sin Liong Bagian 3


senampan makanan dan minuman diletakkan
diatas meja. "Tayhiap, mari kita sarapan pagi," berkata si
orang tua. 159 Didalam ruangan perjamuan makan pagi,
mereka makan minum tanpa mengucapkan
sepatah katapun, ini disebabkan menyaksikan
sikap si bocah yang hanya diam dan tersenyumsenyum saja, sedang makanan yang disajikan
diatas meja, hanyalah buah-buahan yang dimakan
si pemuda, selain itu ia tidak makan barang
lainnya. Ataupun minum-minuman yang tersedia.
Setelah selesai makan pagi, salah seorang
setengah umur yang duduk paling depan diujung
meja berkata: "Siauw-ya, mungkin tayhiap perlu
istirahat." Orang tua itu ternyata bernama Siauw-ya yang
menjadi kepala desa kampung Lip-cun, mendengar
ucapan orang setengah umur tadi ia hanya
menganggukkan kepala. Baru berkata: "Tayhiap,
karena kami masih banyak pekerjaan sehari-hari
yang harus diselesaikan, maka sambil istirahat,
tayhiap silahkan untuk menikmati makananmakanan yang tersedia."
Setelah berkata orang tua itu meninggalkan meja
diikuti oleh beberapa orang laki-laki lainnya.
Si pemuda menyaksikan keramah tamahan
orang tua itu, ia hanya tersenyum senyum.
Seorang pelayan wanita datang menghampiri.
Katanya: "Kongcu, kalau perlu apa-apa perintahkan saja!" Si pemuda menoleh kearah pelayan perempuan
yang tadi bicara. Pelayan itu berusia kira-kira tujuh belasan
tahun mukanya bulat, badannya gempal berisi,
160 meskipun tidak bisa dikatakan cantik, tapi cukup
menarik hati. Menampak wajah gadis pelayan itu, hati si
pemuda berdebaran. Teringat pada gadis yang
pernah dilalapnya dikelenteng rusak. Suatu
perasaan yang tidak dapat dilupakannya, kecantikan serta potongan tubuh gadis itu selalu
mengganggu benaknya. Ingatannya tidak pernah
lepas dari wajah manis gadis itu.
Meskipun dihadapannya berdiri seorang gadis
pelayan yang menarik hati, tapi ingatan si pemuda
selalu terkenang kepada Lie Eng Eng yang pernah
menimbulkan rangsang birahinya.
Perasaan itu bergejolak dalam benaknya,
terbenam dalam hati sanubarinya. Tapi ia tidak
bisa mengutarakan arti dalam kata-kata.
Si pelayan wanita yang menyaksikan si pemuda
hanya bengong-bengong seperti orang linglung, ia
menegor lagi. "Kongcu, adakah yang salah ?"
Tapi si pemuda masih tetap dengan sikapnya
seperti orang linglung. Tiba-tiba.......... "Haaaa .... kongcu . . . kongcu ..."
Si pelayan wanita berteriak-teriak, ia cepat lari
keluar, "Siauw-ya,.... Siauw-ya..."
Mendengar teriakan gadis pelayan, orang orang
berlarian berkerumun dimuka rumah, ingin
mengetahui apa yang telah terjadi.
161 "Ada apa kau teriak-teriak?" tanya Siauw-ya.
Dengan tubuh gemetaran si pelayan berkata :
"Siauw-ya .... kongcu . . . kongcu......"
Menyaksikan sikap pelayan itu yang gemetaran,
orang tua Siauw-ya melangkah masuk kedalam
ruangan, diikuti oleh beberapa orang laki-laki.
Didalam ruangan itu, sudah tak tampak lagi
bayangan si pemuda. "Leng-jie, kemana tayhiap?" tanya Siauw-ya.
"Entahlah!" jawab gadis pelayan yang dipanggil
Leng-jie, "Ketika hamba katakan padanya, kalau
perlu apa-apa perintahkan saja pada hamba,
Kongcu itu diam, setelah memperhatikan hamba ia
terbengong-bengong."
"Hm.......kemudian?" tanya lagi Siauw-ya.
"Menyaksikan ia terlongong-longong," kata Leng
jie, "hamba bertanya lagi, apakah hamba telah
berbuat salah ? Tapi ia tetap terlongong-longong,
kemudian entah bagaimana, tiba-tiba ia lenyap,
hanya terasa samberan angin berkesiur melalui
jendela." "Haaa................" terdengar suara orang riuh
didalam ruangan itu. Siauw-ya berkata lagi: "Sudahlah kalian urus
pekerjaan masing-masing, Tayhiap aneh itu
memang memiliki kelakuan yang luar biasa kukoay
sulit dimengerti." 162 Maka orang-orang desa itupun dengan perasaan
terheran-heran mengerjakan pekerjaan mereka
masing-masing. Si pemuda dengan benak dipenuhi keinginan
bertemu kembali dengan si gadis yang ia temukan
dikelenteng rusak melesat keluar melalui jendela
meninggalkan kampung Lip-cun tanpa pamit.
Berlarian sehari penuh akhirnya ia kembali
kelenteng rusak didalam rimba.
Keadaan kelenteng ternyata sudah rubuh,
disana tidak terdapat bayangan seorangpun.
Si pemuda membongkar reruntuhan kelenteng
tapi tak menemukan apa yang ia cari.
Burung-burung pemakan bangkai yang sedang
asyik mematok-matokkan paruhnya dibangkai
anak buah si Raja Penyamun Bo-siang beterbangan keudara, dikejutkan suara gedabruk
kedubrak dikelenteng rusak.
Apa yang dicari tidak ditemukan didalam
timbunan kelenteng, si pemuda melesat pergi
meninggalkan tempat itu. Mengembara kembali
seorang diri dengan membawa kenangan yang
tidak bisa dilupakan untuk seumur hidupnya.
Kenangan wajah cantik si jelita Pedang Macan
Betina Lie Eng Eng. Waktu berjalan sangat cepat, sebulan sudah
berlalu, pada suatu malam bulan purnama, ia tiba
disatu puncak lereng pegunungan yang sunyi sepi.
Diatas puncak lereng pegunungan itu tampak
dari kejauhan samar-samar satu bangunan besar.
163 Si pemuda melesatkan kakinya kearah bangunan
itu, ternyata bangunan itu adalah satu bangunan
wihara kuno Tam-hoa-ko-sie.
Dengan gerakan ringan, ia lompat keatas
genteng wihara, disana membuka satu genteng, ia
mengintip kebawah, sepasang matanya memandang kedalam ruangan itu, dengan bantuan
sinar sang rembulan yang menembusi celah-celah
genteng yang pecah, tampak dalam ruangan itu
berdiri satu patung Sin Kham, patung tersebut
menghadap utara, patung itu kelihatan seperti
hidup, juga seperti mati, tampak hidup karena
raut-raut ukiran patung sedemikian bagusnya
hampir-hampir seperti bernyawa. Tampak mati,
karena beberapa bagian patung itu terdapat
gompal-gompal rusak, dimakan hujan dan angin.
Karena dalam ruangan itu tak tampak sesuatu
yang mencurigakan. Si pemuda melompat kearah satu wuwungan
lain yang merupakan ruangan kedua dari berhala
kuno itu. Ternyata ruangan itu merupakan satu
ruangan Thian-ong-thian. Didalam ruangan itu
juga terdapat sebuah patung, hanya wajah patung
itu kelihatan tidak sedap dipandang mata, didalam
Cim-chee tampak banyak sekali kotoran-kotoran,
rumput-rumput, tai burung dan tai kambing
bertumpuk-tumpuk. Keadaan ruangan itu sangat
kotor. Si pemuda melompat kembali kelain wuwungan,
ia membuka lagi satu genteng, dari sana si pemuda
dapat melihat satu lilin besar masih menyala,
keadaan ruangan itu berbeda dengan ruangan
164 yang pernah ia lihat tadi, keadaan didalam
ruangan itu agak bersih. Pintu ruangan tertutup
rapat, samar-samar dari cahaya lilin yang menyala
tampak beberapa bayangan orang sedang mundar
mandir entah apa yang sedang mereka kerjakan.
Diruangan sebelah utara berhala itu terdengar
ramai suara orang bicara, si pemuda segera
melesat kearah ruangan itu, ternyata itulah
ruangan Tay-tian, sedang disebelah muka terdapat
satu ruangan lagi yang merupakan ruangan Tayhiong-po-tian. Dikedua ruangan tersebut sangat
ramai dari pada ruangan-ruangan lainnya.
Keadaan ruangan itu serba baru dan bersih.
Dibagian luar pintu sebelah timur dan barat
terdapat beberapa puluh rumah-rumah gubuk.
Suasana dalam rumah-rumah gubuk itu sangat
berisik sekali. Dalam keadaan terang bulan didalam wihara
kuno diatas lereng pegunungan terdengar suara
hiruk-pikuk kesibukan-kesibukan orang orang
bekerja, sungguh suatu keanehan yang jarang
terjadi. Diatas lereng puncak gunung yang sepi
sunyi didalam berhala kuno Tam-hoa-ko-sie yang
telah puluhan tahun tidak pernah dikunjungi
orang, kini mendadak terdengar suara-suara
kesibukan! Jika ada orang yang mendengar suara didalam
wihara yang sudah tidak pernah dikunjungi orang,
pada tengah malam mendadak menjadi ramai,
bulu-bulu roma orang yang mendengar itu akan
menggelinding bangun saking takutnya. Mereka
akan lari pontang-panting karena takut dalam
165 wihara itu hidup sebangsa siluman atau setan
gentayangan. Tapi bagi si pemuda yang tidak kenal apa artinya
siang dan malam, baginya hal itu merupakan
suatu yang menggirangkan untuk dilihat, lebihlebih setelah mendengar ada suara orang bicara.
Matanya jelilatan mencari-cari seseorang yang
selama ini ia rindukan siang dan malam.
Dengan masih mendekam diatas genteng; si
pemuda dapat melihat satu jalanan yang
menghubungkan ruangan ketiga dan keempat
disana tampak bersimpang-siur orang-orang lalu
lalang. Orang-orang itu berpakaian aneh, mereka
rata-rata mengenakan pakaian serba hitam dengan
batok kepala masing-masing diikat oleh kain
berwarna hitam pula. Dipinggang mereka tampak
tergantung macam-macam jenis senjata, ada yang
membawa golok, pedang, gendewa, pecut dan lainlainnya lagi.
Si pemuda memperhatikan orang-orang itu
dengan perasaan heran, entah apa yang mereka
akan lakukan ditempat ini?
Melompat kearah wuwungan ruangan ke empat
yang merupakan ruangan terbesar dari berhala itu.
Dihalaman belakang ruangan itu terdapat beberapa tenda beraneka warna. Didalam tenda,
tampak kelap kelip api penerangan.
Diserambi ruangan Tay-hiong-po-tian tampak
tergantung 8 buah tengloleng persegi enam, begitu
pula diruangan Tay-tian terdapat penerangan lilinlilin besar yang menyala. Tampak suasana disitu
terang benderang. 166 Ditengah-tengah ruangan terdapat dua belas
meja perjamuan. Beberapa orang pelayan tampak sibuk di dapur.
Sedang sepuluh orang tukang masak repot
memasak makanan dan sayur-sayuran.
Diatas dapur yang menyala terdapat dua kuali
besar yang dalamnya kira-kira delapan kaki,
lebarnya sekitar sepuluh kaki lebih, didalam kuali
terdapat nasi yang mengepul.
Didalam ruangan dapur itu terdapat seorang


Pusaka Pedang Embun Lanjutan Sin Tiauw Thian Lam Karya Sin Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gemuk pendek berkepala gundul, berjalan mundar
mandir memperhatikan kesibukan kesibukan
orang-orang yang sedang masak; itulah si mandor
dapur. Salah seorang tukang masak nyeletuk: "Hei,
jangan mondar mandir saja, coba tolong angkat
kuali nasi ini!" Si gemuk pendek mendelikkan mata, katanya :
"Hemm, kalian selalu mengganggu ketenanganku,
masakan mengangkat kuali itu saja masih
membutuhkan tenagaku, aku si Lo Pao mendapat
tugas memandori kerjaan kalian, bukan disuruh
jadi tukang angkat kuali."
Mendadak satu pelayan laki-laki
memasuki ruangan dapur ia berkata :
berjalan "Pauw-lo soe ! Tay-ong minta dibuatkan lebih
banyak masakan Sam-kee-tiang-sie-bian dan
Houw-hoen-soe-heng-jok."
Tay-ong berarti raja besar, boleh juga diartikan
sebagai majikan atau raja gunung.
167 "Aku sudah tahu !" berkata Lo Pao menganggukkan kepala. "Kedua macam makanan
itu sudah siap. Tinggal menunggu perintah Tayong, kapan harus dihidangkan ?"
Pelayan tadi berkata lagi : "Tay-ong pesan
makanan-makanan itu supaya disajikan pada
waktu Hay-sie (antara jam 10-11 malam) karena
waktu itulah perjamuan akan dimulai, dan
sekarang sudah menunjukkan waktu Sut-sie
(antara jam 8-9 malam) maka kalian siap-siaplah,
begitu mendengar suara gong dipukul diruangan
Tay-tian, kalian harus segera membawakan
masakan-masakan itu."
"Ya, aku sudah mengerti semua!" kata lagi si
mandor Lo Pao. Beberapa saat kemudian waktu Hay sie tiba, dari
ruangan Tay-tian, terdengar suara. Gong........
goonggg.....gooonngg.........berturut turut sampai
tiga kali. Para pelayan mendengar suara gong dipukul tiga
kali, tampak mereka sibuk.
Lo Pao segera memerintahkan tukang masak
untuk menghangati sayur-sayuran.
Diatas meja perjamuan diruangan
sudah terhidang panggang babi hutan.
Tay-tian Si pemuda yang mengintip dari lubang celahcelah genteng yang dibukanya, dapat melihat jelas
keadaan dalam ruangan itu. Disitulah sudah hadir
banyak orang. 168 Tampang-tampang mereka bengis menyeramkan,
bermata belo-belo dan memiliki alis yang tebal.
Diatasnya kursi kebesaran duduk seorang tua
yang usianya kurang lebih 50 tahun, bentuk
mukanya persegi panjang, berkulit hitam berjenggot panjang, mengenakan pakaian Twahong-toan-hoa-kiong-leng, kepalanya mengenakan
topi Liok-leng-eng-hiong, sedang pakaian dalamnya
berwarna merah bersulam kembang-kembang
kecil, dihiasi kancing-kancing mengkilap.
Orang itu menjulurkan tangannya yang berwarna hitam berbulu, otot-ototnya tampak
menonjol jelas menunjukkan betapa orang itu
memiliki kekuatan yang sangat besar. Dengan
mengangkat cawan araknya ia memulai membuka
perjamuan, mempersilahkan tamu-tamunya makan minum. Selagi orang-orang makan minum, tampak
berdiri seorang protokol berusia kurang lebih -lebih
5 tahun, orang itu mengetok meja beberapa kali,
lalu katanya : "Hari ini adalah hari ulang tahun Tay-ong, maka
saudara-saudara seperjuangan, mari kita bersamasama memberikan secawan arak sebagai ucapan
selamat panjang umur."
Mendengar ucapan sang protokol tadi semua
orang pada berdiri, mereka mengangkat cawan
arak masing-masing, dengan berkata : "Semoga
Tay-ong panjang umur untuk melanjutkan
kepemimpinan kami kaum seperjuangan! Selanjutnya kami menunggu perintah Tay-ong!"
169 Suara itu menggema keras didalam ruangan
seperti guntur ditengah malam.
Orang yang dipanggil Tay-ong dengan wajah
berseri-seri bangkit berdiri dan berkata : "Saudarasaudara, ada pepatah mengatakan berat sama
dipikul ringan sama dijinjing, ada kesenangan kita
cicipi bersama ada kesusahan kita pikul ramerame."
"Hidup Tay-ong kita !" terdengar suara orang
berteriak. Maka terdengarlah suara-suara cawan beradu
disusul dengan suara beradunya piring mangkok
tersentuh sendok-sendok. Dalam suasana makan minum itu tiba-tiba
mendadak berdiri seseorang lalu berkata : "Hamba
Tiauw Jie Kun bersama Pang Liong Ma, hari ini
datang kepesanggrahan besar memberi selamat
panjang umur pada Tay-ong yang mulia, juga ada
membawa bingkisan yang tidak berarti. Selain itu
hamba juga mempunyai lain urusan yang mohon
bantuan Tay-ong untuk turun tangan guna
membalas dendam sakit hati hamba."
Sang Tay-ong tampak mengurut-urut jenggotnya
lalu berkata : "Hm, kau katakan saja siapa yang
telah begitu berani membentur anak buah Gokong-nia."
Ternyata orang itu adalah kepala Go-kong-nia !
Tiauw Jie Kun berkata lagi : "Tay ong yang
mulia, pada beberapa bulan berselang, markas
Hek-khie-hwee di-gunung Ouw-pok-san dibakar
ludes oleh itu perempuan sundel yang menamakan
170 dirinya Bo tay-tiong-kiam Lie Eng Eng, ia juga
sudah membunuh mati Kie-heng, saudara angkat
hamba dibawah pedang pusakanya, beruntung
hamba bersama saudara Pang Liong Ma berhasil
lari meloloskan diri."
Mendengar penuturan Tiauw Jie Kun, Tay-ong
hanya menggumam : "Ayaaa .... ya ...."
Setelah itu ia menggerang keras, hingga ruangan
perjamuan itu tergetar, abu-abu diatas genteng
berguguran, beberapa genteng jatuh, sedang si
pemuda gondrong yang masih mendekam mengintip diatas genteng juga terkejut mendengar
suara gerangan itu. "Hmmm, markas perkumpulan Hek-khie hwee
dibikin musnah. Apabila aku tidak bisa mencincang perempuan sundel itu, aku bersumpah tidak akan jadi biang lagi." berkata
Tay-ong gemes. Para hadirin yang ternyata mereka adalah ketuaketua berandal dari berbagai pelosok gunung,
ketika mendengar penuturan Tiauw Jie Kun
tentang dihancurkannya markas berandal Hekkhie-hwee digunung ouw-pok-san oleh si Pedang
Macan Betina Lie Eng Eng, wajah-wajah mereka
berubah, hati mereka tergetar. Tak diduganya
Tiauw Jie Kun dan Pang Liong Ma yang memiliki
kepandaian tinggi, lebih-lebih ilmu goloknya yang
lihay, ternyata dengan mudah sudah dapat dibuat
kucar kacir oleh seorang wanita yang baru
menanjak namanya. 171 "Tay-ong !" terdengar salah satu kepala berandal
bangsa Biauw berkata, "Apakah asal usul Bo-taytiong-kiam sudah diketahui ?"
"Hm......." Tay-ong bergumam.
"Menurut hemat hamba," berkata lagi si kepala
berandal bangsa Biauw itu, "Sebelum kita
bertindak, sebaiknya menyelidiki lebih dulu siapaapa keluarga, kawan, anak famili perempuan sial
itu. Setelah itu baru kita membasmi mereka
semua, jangan dibiarkan seorangpun bisa hidup,
termasuk binatang-binatang peliharaannya harus
dibunuh semua sampai keakar-akarnya."
Tay-ong hanya mengangguk-angguk kepala.
"Tay-ong ..." tiba-tiba Pang Liong Ma berkata,
"Menurut penuturan beberapa anak buah si Raja
Penyamun Bo-siang, ternyata mereka juga sudah
dibasmi oleh si perempuan sial dangkalan itu."
"Haaayaaaa . ." terdengar ruangan pertemuan
menjadi riuh. "Tenang-tenang . . ." berteriak Tay-ong. "Kalian,
Tiauw Jie Kun dan Pang Liong Ma ! Secepatnya
segera menyelidiki lebih dulu identitas perempuan
sundel itu. Begitu kalian tahu jelas orang-orang
yang berdekatan dengan perempuan sundel itu,
segera memberi laporan."
"Tay ong." tiba-tiba terdengar suara orang
berkata, "Untuk memudahkan penyelidikan saudara Tiauw dan Pang, apakah tidak lebih baik
kita rebut dulu kelenteng Liong ong-bio diluar kota
Cee lam-hu?" 172 "Heng..." Tay-ong menggumam. "Bagus..., begitu
juga bagus guna menyebarkan jaringan-jaringan
kegiatan kita, tugas ini kuserahkan padamu, Sinpiauw Lok-kun."
Orang yang bicara tadi ternyata adalah si
Malaikat piauw, Sin-piauw Lok Kun, ia berkata
lagi: "Sesudah kelenteng Liong-ong-bio kita rebut,
lalu kita menggunakan pakaian seragam paderi,
dengan demikian lebih memudahkan usaha kita
tanpa dicurigai oleh siapapun."
Mendengar rencana si Malaikat piauw Sin piauw
Lok Kun, para hadirin bersorak sorai. Mereka tahu
benar, siapa si Malaikat piauw Sin-piauw Lok Kun,
yang sudah terkenal keganasan dan kegagahannya,
terutama ilmu melempar piauw beracun yang
sangat lihay, bila ia lepaskan piauw beracunnya,
belum ada seorangpun yang dapat mengelakkan
dari kematian. Si Malaikat piauw Sin-piauw Lok
Kun juga pandai ilmu pedang, selama 10 tahun
malang melintang menjagoi dunia Kang ouw dan
Liok-lim, belum pernah menemukan tandingan.
Menganggap dirinya sudah tidak ada tandingannya, si Malaikat piauw Sin-piauw Lok
Kun menjadi keras kepala, ia suka berbuat
sewenang-wenang, tidak kenal apa artinya peri
kemanusiaan, merampok, memperkosa, dianggapnya didunia ini sudah tidak ada undangundang yang berlaku. Tidak ada kekuasaan
pemerintah, yang ada hanya tangan maut si
Malaikat piauw Sin-piauw Lok Kun.
0)0o?d^w?o0(0 173 Pada lima tahun yang lalu, ketika Sin piauw Lok
Kun malang melintang di telaga Pho-yang-ouw,
matanya menampak satu pemandangan di tengah
telaga. Itulah satu perahu pesiar yang terhias
indah. Menyaksikan keadaan perahu pesiar yang luar
biasa mewahnya, si Malaikat piauw Sin-piauw Lok
Kun, timbul hawa kemaruknya untuk merampok
perahu itu. Dengan menggunakan

Pusaka Pedang Embun Lanjutan Sin Tiauw Thian Lam Karya Sin Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ilmu meringankan tubuhnya ia melompat menotolkan kakinya diatas
perahu yang sedang simpang siur di telaga dengan
tipu capung menotol air, akhirnya ia berhasil tiba
didalam perahu mewah berhias indah.
Didalam perahu yang mewah itu,
beberapa orang berpakaian parlente.
terdapat Kehadiran Sin-piauw Lok Kun disambut dengan
keramah-tamahan oleh salah seorang berpakaian
parlente, katanya ; "Aaa . . . kongcu ada keperluan
apakah hingga sampai keperahu kami ?"
"Hmmm," Sin-piauw Lok Kun dengan gaya
mautnya mendengus memandang enteng orang
berpakaian parlente tadi, "Kalian orang-orang
darimana banyak tingkah ditelaga Pho-yang-ouw,
sampai-sampai tak mengenali nama besar Malaikat
piauw!" "Oh, rupanya si Malaikat piauw Sin-piauw Lok
Kun yang datang," terdengar seseorang bicara dari
dalam kamar perahu, "Siong Song, suruh ia
masuk, aku ingin lihat bagaimana bentuknya
piauw-piauw karatan itu."
174 Mendengar suara ejekan dari dalam kamar, si
Malaikat piauw Sin-piauw Lok Kun naik darah, ia
sentilkan jari tangannya, dari sana meluncur sinar
hitam berkeredepan melesat masuk kejendela
kamar itu. Berbarengan dengan melesatnya sinar-sinar
hitam piauw si Malaikat piauw, dari dalam kamar
melesat keluar cahaya kuning memapaki bayangan
hitam yang dilesatkan si Malaikat piauw Sin-piauw
Lok Lun. Terjadi benturan ditengah udara.
Hasil benturan itu, sinar-sinar hitam yang
dilepaskan si Malaikat piauw lenyap seketika,
ditelan bayangan kuning yang menyambar kearah
datangnya sinar hitam tadi, sinar kuning setelah
memunahkan sinar hitam si malaikat piauw,
berputaran sejenak diudara, baru jatuh dimuka si
Malaikat piauw. Menyaksikan serangan piauw beracunnya yang
selama ini dibanggakannya tidak ada tandingan,
ternyata sudah bisa dipunahkan oleh bayangan
kuning tadi, si malaikat piauw Sin-piauw Lok Kun
kaget tidak terkira. Ia mundur setindak, matanya
ditujukan kebawah dek perahu.
"Haaaa........."
Semangat si Malaikat piauw Sin-piauw Lok Kun
terbang seketika. Ternyata yang sudah memunahkan serangan
piauw beracunnya adalah tiga biji kue mangkok.
175 Menyadari dirinya menghadapi tokoh luar biasa
timbul pikiran pengecutnya simalaikat piauw,
tubuhnya melesat kabur meninggalkan perahu
mewah itu. Tapi gerakan si malaikat piauw terlambat, belum
lagi berhasil lompat, tubuhnya sudah ambruk
ditanah tanpa ia sendiri mengetahui apa sebabnya.
Gedebuk ..... Tubuh si Malaikat piauw ambruk di dek perahu.
"Hm, malaikat piauw yang selama ini digembar
gemborkan kehebatannya, ternyata bernyali tikus,"
terdengar suara dari dalam kamar perahu. Diiringi
suara tertawa cekikikan wanita.
"Siong Song, bawa ia masuk !" perintah orang
didalam kamar perahu kepada orang yang
berpakaian parlente diluar kamar.
Siong Song menghampiri si Malaikat Piauw Sinpiauw Lok Kun yang masih duduk numprah. Ia
menotok beberapa jalan darah ditubuh Sin-piauw
Lok Kun, baru si Malaikat piauw bisa bergerak
bangkit berdiri. "Sin-piauw ! Harap ikut aku masuk kedalam !"
kata orang berpakaian parlente Siong Song masih
dengan suara lemah lembut.
Sin-piauw Lok-kun mati kutu, ia menuruti
ajakan Siong Song, berjalan masuk kedalam kamar
perahu. Didalam kamar perahu duduk seorang tua
berjenggot putih mengenakan pakaian berkembang
176 kecil melingkar dileher Matanya bersinar terang. dan lengan bajunya. Dikiri kanan orang tua itu duduk dua orang
wanita cantik berbaju merah.
"Sin-piauw, duduklah," kata orang tua berjenggot, "Sudah lama kudengar nama si
Malaikat piauw menggetarkan dunia Liok Lim....."
"Hei, kambing tua......kau tidak perlu banyak
komentar," berkata Sin-piauw Lok Kun sengit,
"Seorang laki-laki lebih suka dibunuh dari pada
dihina." "Hi, hih haaa......" tertawa orang tua berjenggot,
"Bukan maksudku menghina, setelah mendengar
bahwa kepandaianmu yang hebat serta kegagahanmu yang selama ini ngacak-ngacak
dunia Kang-ouw, aku tertarik, hm, aku membutuhkan beberapa orang gagah seperti kau."
Mulai saat itulah Sin-piauw Lok-kun menjadi
anggota kehormatan Go-kong-nia. Ternyata orang
tua didalam perahu itu adalah si Tay-ong, kepala
dari kepala-kepala berandal!
Para pemimpin berandal Raja Gunung yang
menyaksikan Sin piauw Lok Kun sudah buka
suara untuk membasmi semua keturunan si
Pedang Macan Betina, mereka sangat girang. Juga
memuji atas kecerdikan si Malaikat Piauw Sinpiauw Lok Kun.
Perjamuan diatas lereng pegunungan dalam
berhala kuno Tam-hoa-ko-sie dilangsungkan
sampai pagi hari, mereka makan minum dengan
177 riang gembira, suntuk. bermabok-mabokan semalam Pada waktu kentrongan dipukul empat kali
perjamuan ditutup. Kepala-kepala berandal Raja
Gunung pulang kegunung masing-masing.
Tay-ong dengan diiringi lima orang berpakaian
hitam berbadan tegap, berjalan menuruni lereng
pegunungan. Dibawah lereng pegunungan, disana terdapat
berderet bangunan rumah yang merupakan satu
perkampungan. Perkampungan itulah markas besar berandal
Go-kong-nia, keadaan perkampungan itu tampak
begitu aman dan tenteram, para pemburu yang
kemalaman sering menginap dalam perkampungan
itu tanpa mendapat gangguan dari para berandal
Go kong nia, bahkan mereka mendapat pelayanan
yang baik dari orang Go-kong-nia, hingga orang
tidak akan menyangka bahwa perkampungan itu
merupakan markas besar dari berandal-berandal
Go-kong-nia. Si pemuda gondrong menyaksikan orang-orang
berpakaian serba hitam sudah pada berjalan
keluar ruangan dengan langkah-langkah kaki
sempoyongan menuruni lereng pegunungan,
matanya jelilatan, pikirannya bekerja.
Selama ini ia selalu mengenakan pakaian kulit
macan, setelah beberapa kali bertemu dengan
orang-orang yang dijumpai, ternyata tidak satupun
dari mereka yang mengenakan pakaian seperti apa
yang kini ia pakai. Begitu melihat orang-orang
178 dalam ruangan pertemuan mengenakan pakaian
ringkas hitam, dengan kepala digubet oleh kain
hitam pula, timbul rasa keinginannya untuk turut
menggunakan pakaian itu. Tubuh si pemuda melesat turun, menyambar
salah seorang yang berjalan paling belakang.
Orang yang disambar oleh si pemuda masih
dalam keadaan mabok. Terasa tubuhnya tiba-tiba
melayang ditenteng, ia hanya tertawa-tawa.
Sampai disemak belukar, tubuh orang itu
dilempar ketanah, bukkk..... terdengar suara
mendebuk orang yang terbanting, kontan ia
pingsan. Pakaiannya serta gubetan hitam orang itu
dilucuti, kemudian dipakainya ketubuh sendiri
yang ternyata ukurannya pas, hanya agak longgar
sedikit. Setelah mana ia lalu melesat berjalan kembali
kearah wihara kuno, lompat keatas genteng,
diruang perjamuan masih terdengar suara orang
bicara. "Sin-piauw," terdengar suara orang itu. "Sebaiknya kita istirahat dulu, nanti pada tengah
hari baru kita melakukan perjalanan ke Cee-lamhu, kukira lusa tengah hari kita bisa tiba disana."
"Begitu juga baik," kata Sin-piauw. "Hanya
kukira bilamana saudara Tiauw Jie Kun dan
saudara Pang Liong Ma setuju kita ambil jalan arah
Sian-see, dari Sian-see ke Shoa-tang lalu ke
propinsi Ouw-pak perjalanan lebih cepat setengah
hari." 179 Setelah berunding, mereka berjalan keluar
menuruni bukit Go-kong-nia. Istirahat di pesanggrahan dibawah bukit diatas lamping
gunung. Menyaksikan mereka sudah meninggalkan ruang
berhala, si pemuda yang sudah mengenakan
pakaian hitam melompat turun memasuki ruangan
pertemuan. Didalam ruangan pertemuan, diatas meja-meja
masih berserakan piring mangkok, tulang-tulang,
sisa nasi, dan buah-buahan.
Menampak masih terdapat buah-buahan, perut
si pemuda keruyukan, tangannya dijulurkan
mengambil sebuah, lalu dimakan, tidak tahu buah
apa namanya. Setelah menangsal perutnya dengan beberapa
buah-buahan, si pemuda melesat menuruni lereng
pegunungan, meninggalkan berhaIa Tam-hoa-kosie yang dijadikan balai pertemuan para berandal
raja gunung Go-kong-nia, berlari sampai di bawah
lereng gunung diatas tebing terdapat sederetan
rumah-rumah, juga terdapat beberapa rumah
berloteng. Disebelah utara tampak bangunan rumah
berloteng tingkat tiga, juga mempunyai menara
yang bertingkat tujuh, disebelah selatan bangunan
rumah itu terdapat satu pintu besar.
Dipinggir tebing terdapat satu jalan kecil yang
menuju kejurusan barat. 180 Si pemuda berjalan mengikuti jalan kecil
kejurusan barat, ternyata jalan itu menuju
kebagian belakang bangunan loteng tadi.
Dibelakang bangunan rumah berloteng tadi juga
tampak sederetan bangunan-bangunan rumah
pendek-pendek yang mengelilingi belakang bangunan rumah berloteng itu.
Dengan menggunakan keringanan tubuhnya, si
pemuda meloncat naik keatas genteng rumah
berloteng, berjalan beberapa langkah matanya
memandang kebawah, lalu ia melompat turun,
berjalan dijalan lorong kecil, akhirnya memasuki
sebuah kamar bersih yang terhias indah.
Baru saja ia memasuki kamar itu, diluar kamar
terdengar suara Iangkah-Iangkah kaki orang


Pusaka Pedang Embun Lanjutan Sin Tiauw Thian Lam Karya Sin Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mendatangi. Si pemuda jelalatan mencari tempat
sembunyi, lalu ia lompat keatas wuwungan tia, ia
bersembunyi di sana. Tak lama masuk dua orang, seorang wanita
muda berparas cantik berusia kirakira -kira 0
tahun, mengenakan pakaian biru muda berenda,
sedang seorang lagi adalah seorang laki-laki tinggi
besar berwajah tampan berusia kira-kira tiga
puluhan tahun, dengan mengenakan jubah
panjang. Orang laki-laki yang mengenakan jubah panjang
terdengar berkata : "Baiklah ! Kau sebenarnya
menduduki kedudukan tinggi didalam Go-kongnia, sebagai isteri mudanya Ceecu. Seharusnya
aku menghormatimu, meskipun bagaimana toch
aku hanya orang berkedudukan rendah, maka
tidak berani berlaku kurang hormat, lebih-lebih
181 melakukan perbuatan yang tidak senonoh. Bila
sampai diketahui oleh Cee-cu apakah jiwaku masih
bisa dipertahankan, terus terang saja, meskipun
aku tumbuh dua kepala lagi, juga aku bukan
tandingan Cee-cu, pasti kepalaku akan menggelinding ditanah, apakah kau tidak bisa
mengurungkan niatmu itu?"
Cee-cu berarti kepala pesanggerahan!
Yang dimaksud dengan Cee-cu adalah Tay-ong
Go-kong-nia yang bernama Cie Tay Peng.
Si orang tinggi besar berjubah panjang, ternyata
sangat ketakutan menghadapi sikap isteri mudanya Tay-ong yang histeries, tapi perempuan
itu tetap menarik-narik laki-laki tadi diajaknya
naik keatas tempat tidur.
Orang laki-laki tadi masih tetap meratap-ratap
mohon diberi kebebasan, tapi si wanita isteri Tayong dengan sepasang alisnya yang lentik
dikerutkan, ia mengancam: "Hm, kalau kau berani
menolak kemauanku akan kuadukan pada Tay-ong
yang kau telah berani kurang ajar mengganggu
diriku......" Si lelaki tinggi besar berjubah panjang
mendengar ancaman itu, wajahnya berubah pucat
lalu ia berkata: "Baiklah, thay-thay yang baik hati,
aku akan menurut, aku menurut, tapi sekarang
masih pagi, tidak bisa berbuat begitu, apakah tidak
bisa kita menunggu sampai nanti malam?"
Tapi si bini muda Tay-ong yang cantik, darah
histeriesnya sudah naik ke otak, nafsu birahinya
sudah berkobar-kobar, mana bisa menunggu lagi
182 sampai malam tiba, maka cepat-cepat ia berkata :
"Tolol! Tay-ong pagi ini sedang tidur, ia semalam
suntuk berpesta pora, inilah kesempatan baik !
Lebih-lebih cuaca pagi ini begitu sejuk bukankah
menambah kenikmatan? Mau tunggu apa lagi? Kau
juga tidak usah kuatir, ditempat ini tidak ada
orang lain, meskipun ada orang, mereka semua
adalah orang-orangku, tidak berani masuk
kekamar ini, juga tidak akan membuka rahasia."
Mendengar ucapan itu, si orang tinggi besar
berjubah panjang berkata :
"Baiklah, tapi kau harus tutup pintu kamar
dulu, baru kita mulai......!"
Si pemuda gondrong yang mengintip dari atas
wuwungan tia, kini sudah bisa menyaksikan
perempuan itu dengan jari-jari tangan yang halus
mulus membukai jubah panjang laki-laki tinggi
besar, ternyata si laki-laki itu juga sudah
terbangun birahinya, tangannya segera membukai
pakaian si istri muda Tay-ong, lalu meraba-raba
bagian-bagian yang menarik, akhirnya mereka
telanjang bulat bergulingan diatas tempat tidur,
napas-napas mereka berdengusan seakan sedang
melakukan pertempuran mati-matian.
"Hmmm, ah, ya .... kau hebat. . . ." terdengar
rintih kenikmatan si bini muda Tay-ong. "Kau tidak
seperti Tay-ong, lemah tidak bersemangat....."
Dialas wuwungan tia, si pemuda yang
menyaksikan adegan semaksiat itu, matanya
jelilatan, tubuhnya juga dirasakan terpengaruh
atas pemandangan yang ia saksikan, akhirnya ia
tidak bisa lama-lama untuk menunggui 183 berakhirnya permainan seks gelap yang dilakukan
oleh bini muda si kepala berandal Raja-raja
Gunung yang histeries dengan orang bawahannya,
segera tubuh si pemuda lompat turun, langsung
menubruk pintu ia lari keluar.
Sepasang insan yang sedang enak-enakan menikmati sorga dunia dipagi hari, tiba-tiba
dikejutkan oleh suara gedabrukan pintu yang
terbuka, mereka pada bangun menghentikan
permainannya. Nampak wajah si perempuan histeries pucat
pasi, lebih-lebih si orang tinggi besar berjubah
panjang, dengan badan gemetaran ia meraup
jubahnya, tapi sekian saat tidak tampak ada
tanda-tanda orang masuk, mereka saling berpandangan dengan rupa heran. Si laki-laki
tinggi besar masih gemetaran, tiba-tiba si
perempuan bini muda Tay-ong yang histeris sudah
menarik tubuh laki-laki itu diajaknya bergumul
kembali, melanjutkan apa yang sudah terganggu,
tanpa perduli apa lagi yang akan terjadi.
Gerakan si pemuda yang lompat turun dari
wuwungan tia begitu cepat, hingga tak tampak
bayangan si pemuda, lebih-lebih mereka sedang
dalam keadaan begitu, sudah melupakan segala isi
dunia ini akan mengalami kejadian apa bahkan
tubuh si pemuda yang berada diatas wuwungan
tia, mereka juga tidak melihatnya.
Setelah mendobrak pintu, si pemuda terus lari
melesat keatas lereng pegunungan, otaknya
berkecamuk segala macam perasaan, ia menyaksikan dua orang itu bergumul begitu
184 mesranya, si wanita tidak melakukan perlawanan,
bahkan wanita itulah yang mengajak si laki-laki
berbuat seperti itu. Beda dengan keadaan dirinya
dikelenteng rusak, disana si jelita Pedang Macan
betina melakukan perlawanan kuat menolak
kehadiran dirinya ditubuh si nona manis.
Perbedaan pengalaman itulah yang membuat
otak si pemuda pusing tidak mengerti, dan
akhirnya ia meninggalkan kamar itu, kembali
kedalam berhala kuno Tam-hoa-ko-sio diatas
lereng pegunungan. Setelah menenangkan gejolak-gejolak hatinya si
pemuda tidur diatas bangku.
Ketika itu, kuping si pemuda yang tajam
mendengar suara ketoprakan kaki kuda dibawah
bukit, ia mendusin, berjalan keluar, ternyata
matahari sudah berada tepat diatas kepala.
Tampak tiga pesanggrahan. penunggang kuda keluar Tertarik oleh rasa ingin tahu, si pemuda melesat,
kembali turun dengan menggunakan ilmu Liok-teehuy-heng, seakan asap hitam mengepul turun dari
atas gunung. Menampak bayangan hitam meluncur turun dari
atas bukit Go-kong-nia, para penghuni perkampungan tidak menjadi heran. Dianggapnya
itulah salah seorang Raja Gunung yang baru turun
dari atas bukit menghadiri hari sejitnya Tay-ong.
"Haaa .... kongcu begitu terlambat, sudah
setengah harian hamba menunggu, kuda kongcu
sudah diberi makan !" kata seorang bertubuh
185 pendek kurus menuntun seekor kuda
diserahkan kepada si pemuda gondrong.
putih Tanpa bicara apa-apa si pemuda meletik naik
kepunggung kuda. Begitu tubuhnya tiba diatas punggung kuda,
kuda itu melompat lari dengan kencangnya,
hampir-hampir si pemuda terjengkang jatuh.
Kakinya menjepit perut kuda, tubuhnya oleng
kebelakang kekiri kekanan.
Orang pendek kurus yang mengantarkan kuda
geleng-geleng kepala bergumam:
"Haya, Raja-raja Gunung luar biasa kelakuannya, dengan masih mabok mencongklang
kuda, hai.......!" Belum lagi kata-katanya lenyap diudara, dari
atas puncak bukit meluncur turun lagi satu
bayangan. Orang yang baru datang ternyata tidak
mengenakan pakaian luar, setibanya ditempat
berdirinya orang pendek kurus tadi ia berkata; "Hei
mana kudaku? Cepat bawa kemari! Ambilkan
sepotong pakaian." Orang pendek kurus hanya bengong terlongonglongong.
"Hei!" bentak orang yang hanya mengenakan
pakaian dalam. "Apa kau tuli ?"
"Hah, ah....... ya, ya !" orang pendek kurus itu
ketakutan setengah mati, sambil berlarian ia pergi
menjalankan perintah. 186 Tidak lama orang itu sudah kembali dengan
membawa satu stel pakaian, katanya: "Kongcu,
pakaian beberapa potong masih bisa hamba
sediakan, tapi kuda, kuda ..... sudah tidak ada
lagi....." "Bangsat ! Kau jual ? Kemana kudaku!" bentak
orang itu geregetan, menyambar pakaian yang
dibawa oleh orang pendek kurus.
"Kongcu.....maaf. . . . tadi sudah ada orang yang
ambil kuda !" "Hm, .... matamu buta! Orang itu siapa?
Mengapa kau serahkan kuda kepada orang yang
bukan menjadi pemiliknya? Hehh, kalau aku tidak
pandang mata Tay-ong, tubuhmu kuhancur
leburkan." Plak plok...... Terdengar suara tamparan dua kali, dibarengi
dengan melesatnya bayangan hitam meninggalkan
pesanggerahan Go-kong-nia.
Orang itulah yang tadi pagi dilucuti pakaiannya
oleh si pemuda. Dan ia pingsan akibat bantingan si
pemuda. Dengan masih mengusap-usap pipinya yang
merah bengap, orang pendek kurus menggumam :
"Sialan......Raja Gunung Pejajaran!"
Mengikuti perjalanan si pemuda dengan
mengenakan pakaian ringkas warna hitam baru
pertama kali ini naik kuda, mencongklangkan
kudanya dengan tubuh bergejlak gejlak diatas
punggung binatang tunggangannya.
187 Sesudah selang beberapa saat, baru si pemuda
dapat menguasai larinya kuda itu, serta
mengimbangi tubuhnya diatas punggung congkangannya. Dengan mengikuti arah mengepulnya debu-debu diudara, ia mengikuti
larinya ketiga penunggang kuda tadi.
Satu hari telah berlalu, diluar kota Ce-lam-hu,


Pusaka Pedang Embun Lanjutan Sin Tiauw Thian Lam Karya Sin Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tampak abu-abu debu mengepul ke udara, tak
lama terdengar derap-derap langkah tiga ekor kuda
yang dicongklangkan dengan kecepatan luar biasa.
Ditempat 4 lie dari kota, terdapat satu kelenteng,
keadaan kelenteng sangat megah, suasana dalam
kelenteng sunyi senyap. Setibanya ketiga penunggang kuda di muka
pintu kelenteng, masing-masing menghentikan
tunggangannya. Mereka turun dari punggung
kuda. Tampak diatas pintu kelenteng bercat merah
tergantung papan merek bertulisan hurup-hurup
besar yang berwarna kuning mas : KELENTENG
LIONG ONG BIO. Si Malaikat piauw Sin-piauw Lok Kun, Tiauw Jie
Kun dan Pang Liong Ma, meninggalkan kuda
masing-masing, melesat melompati tembok kelenteng. Didalam pekarangan kelenteng disudut halaman
sebelah kanan terdapat pohon Gotong. Dua orang
padri kecil sedang menyapu daun-daun pohon
yang berguguran tadi malam. Mereka tidak
menyadari, kalau ketiga orang malaikat elmaut
188 sudah menyatroni kelenteng dengan melompati
tembok. "Omitohud," terdengar seorang hweesio menyebut nama budha dimuka pintu ruangan
kelenteng, "Sam-wie bertiga ada keperluan apa,
begini pagi datang melompati tembok kelenteng
kami." Kedua padri kecil yang sedang menyapu ketika
mendengar suara tadi, segera menoleh. Ternyata
dimuka pintu kelenteng sudah berdiri berbaris tiga
orang berpakaian ringkas berwarna hitam,
menghadapi seorang hweeshio.
"Gundul!" bentak Pang Liong Ma, "Siapa yang
menjadi ketua kelenteng ini, cepat suruh keluar. . .
." "Omitohud....." terdengar lagi suara menyebut
nama budha dari dalam kelenteng, tampak
berjalan keluar seorang hweeshio, berumur sekitar
50 tahun, "Pinceng Swat Louw Hweeshio, ketua
kelenteng ini." "Hm ...." dengus Sin-piauw Lok Kun, "cepat
kumpulkan semua anak buahmu keluar."
Mendengar suara ribut-ribut diluar kelenteng,
kembali enam orang hweeshio, mereka memandang
sejenak kearah Swat Louw Hosiang, setelah
menerima anggukkan kepala Swat Lauw Hosiang,
keenam hweeshio itu berjalan kehalaman kelenteng
berdiri dibelakang Sin-piauw Lok Kun Cs.
Sin-piauw Lok Kun mengetahui dirinya sudah
dikurung oleh para hweeshio, dua didepan dan
189 enam dibelakang, ia tertawa bergelak-gelak, lalu
katanya : "Rupanya kalian sudah tahu yang aku akan
membantu menyempurnakan nyawa-nyawa kalian
keakherat, ha, ha, ha, ......!"
Dengan menahan sabar, Swat Louw Hosiang
berkata dingin : "Sam-wie bertiga dari mana serta
ada keperluan apa, mengganggu ketenteraman
kelenteng Liong-ong-bio ?"
"Nngg.....heh, heh....." gumam Sin piauw Lok
Kun, jari tangannya menyentil, dari sana meluncur
satu sinar berwarna hitam menyerang Swat Louw
Hosiang. Bruk........ Terdengar suara benda jatuh ditanah, dikebut
lengan jubah Swat Louw Hosiang.
Sin-pauw Lok-Kun menampak serangan pertama
berhasil digagalkan, ia berteriak : "Serang! Jangan
satu diberi hidup." Terjadilah pertempuran acak-acakan, tiga lawan
delapan orang. Suasana kelenteng Liong ong-bio yang sunyi,
kini terdengar suara beradunya senjata senjata
tajam. Tak lama terdengar dua jeritan, dua sosok tubuh
padri kecil menggeletak dengan tubuh berlumuran
darah tertembus serangan piauw beracun Sinpiauw Lok Kun.
190 Pertempuran itu kini sudah berubah menjadi
dua kelompok. Satu kelompok Tiauw Jie Kun dan Pang Liong
Ma menghadapi enam orang hweeshio.
Sedang kelompok lainnya Sin-piauw Lok Kun
menghadapi keroyokan Swat Louw Hosiang dan
seorang hweeshio lainnya.
Tiauw Jie Kun dan Pang Liong Ma yang memiliki
kepandaian tinggi dengan golok ditangan masingmasing, menghadapi serangan-serangan enam
orang hweeshio, bertempur dengan sengitnya.
Sedang keenam hweeshio yang juga memiliki
kepandaian yang tidak rendah, memapaki datangnya serangan-serangan golok dengan senjata lengan jubah mereka.
Keenam hweeshio yang menghadapi serangan
golok Tiauw Jie Kun dan Pang Liong Ma ternyata
mereka bukan tandingan dua jago golok itu.
Pada jurus-jurus ke tiga puluh, terdengar suara
jeritan, seorang hweeshio rubuh menggeletak
ditanah dengan batok kepala belah dua.
Di pihak Swat Louw Hosiang, seorang hweeshio
sudah tewas terkena piauw beracun si Malaikat
piauw. Swat Louw Hosiang dengan menggunakan
lengan jubahnya menangkis datangnya seranganserangan piauw beracun Sin-piauw Lok Kun.
Pertempuran berlangsung beberapa saat lagi,
keadaan Swat Louw Hosiang terdesak mundur, ia
hanya bisa mengelakkan dengan main mundur
191 tanpa bisa membalas serangan si Malaikat piauw
yang ganas, tiba-tiba telinganya mendengar suara
jeritan-jeritan beruntun sampai lima kali. Tampak
tubuh-tubuh para hweeshio sudah pada menggeletak di tanah, dengan kepala mereka belah
dua, dada belah terbacok golok, tubuh menjadi dua
potong, mereka adalah korban-korban dari keganasan golok Tiauw Jie Kun dan Pang liong Ma.
Setelah Tiauw Jie Kun dan Pang Liong Ma
memberesi keenam hweeshio-hweeshio itu, tubuhnya melejit dikiri kanan Swat Louw Hosiang
menutup jalan mundur ketua kelenteng Liong ong
bio. Dari kepala botak Swat Louw Hosiang sudah
mengucurkan keringat, tubuhnya basah napasnya
mulai sengal-sengal. "Huaaa, ha, haaa......" tiba-tiba terdengar suara
tertawa si Malaikat piauw Sin piauw Lok Kun
tertawa berkakakan, lalu menghentikan serangannya. "Gundul, cepat kau berdoa sebelum
terlambat, agar rohmu diterima diakherat, ha, hua,
haa......!" Tiba-tiba terjadi Duk......brukkk........ lain perobahan : Terdengar dua kali suara gedabrukan keras,
tubuh Tiauw Jie Kun dan Pang Liong Ma terpental
membentur dinding tembok kelenteng, kepalanya
dirasakan berat, dunia seakan-akan berputar.
Sin-piauw Lok Kun alias si Malaikat piauw yang
masih tertawa, mendadak menyaksikan kedua
kawannya sudah terpental tanpa tahu sebab
192 musababnya. Tiba-tiba menyambar satu benda
hitam kearah batok kepalanya.
Sambaran angin yang keluar dari benda hitam
itu begitu keras berkesiur menyambar kepala Sinpiauw Lok Kun hingga mukanya dirasakan dingin
pedas, secepat kilat si Malaikat piauw Sin-piauw
Lok Kun dengan tipu jurus Moa masuk kelubang,
menghindari datangnya serangan benda hitam
tadi. Tubuh si Malaikat piauw Sin-piauw Lok Kun
rebah kebelakang menggelesot kesamping dengan
kecepatan kilat. Begitu Sin-piauw Lok Kun berhasil mengelakkan
serangan benda hitam, Swat louw Hosiang sudah
lenyap. Kejadian itu sangat mengejutkan, juga menggirangkan si Malaikat piauw Sin piauw Lok
Kun. Terkejut karena ia tahu sudah muncul tokoh
gaib menolong Swat Louw Hosiang, girang karena
tokoh gaib itu ternyata tidak mengambil nyawanya.
Inilah sifat licik dan pengecut si Malaikat piauw.
Mata si Malaikat piauw Sin piauw Lok Kun
menatap kearah benda yang menyerang batok
kepalanya tadi, ternyata itulah sehelai kain gubet
kepala berwarna hitam. Menyaksikan benda itu, tubuh si Malaikat piauw
mengucurkan keringat dingin saking takutnya, ia
dapat menduga bahwa si penyerang memiliki ilmu
kepandaian yang lebih hebat dari kepandaiannya
sendiri. Menghampiri Tiauw Jie Kun dan Pang Liong Ma
ternyata kedua orang itu sudah siuman kembali,
193 mereka menggeleng-gelengkan
masih pusing. kepalanya yang Terdengar suara si Malaikat piauw Sin-piauw
Lok Kun mendumel ; "Hmmm, terlambat sedikit
saja, kepala gundul itu lolos dari kematian."
Tiauw Jie Kun dengan suara serak berkata: "Sinpiauw, siapakah tokoh misteri itu........dan
bagaimana selanjutnya urusan kelenteng Liongong-bio ini?"
"Tetap laksanakan rencana semula, kau urus
urusan disini, aku kembali melaporkan pada Tayong tentang adanya semua kejadian yang baru kita
alami." jawab Sin-piauw Lok Kun.
Pang Liong Ma berkata : "Bagaimana kalau
mereka mengadakan penyerangan balasan ?"
"Kukira sementara tidak akan terjadi." berkata
Sin-piauw. "Toch kelenteng ini kita gunakan untuk
sementara, takut apa?"
Siapa yang telah menyelamatkan jiwa Swat Louw
Hosiang dari tangan elmaut Sin-piauw Lok Kun ?
Mari kita ikuti cerita berikutnya.
0)0o?d^w?o0(0 Jilid ke 05 SI PEMUDA gondrong yang mengikuti jejak Sinpiauw Lok Kun cs, menampak ketiga orang itu
sudah melesat masuk melompati tembok 194 kelenteng, ia segera melesat naik keatas pohon Gotong yang tumbuh disudut kanan pekarangan.
Semua kejadian didalam halaman kelenteng itu,
tewasnya dua padri kecil berturut-turut disusul
oleh kematian tujuh orang hweeshio disaksikan
dengan jelas. Menampak dipekarangan kelenteng menggeletak
beberapa mayat. Menampak kedua mayat padri
kecil tewas berlumuran darah. Dengan mendadak,
tapi pasti timbul suatu perasaan yang mendorongdorong dirinya untuk tidak tinggal diam.
Meskipun semua kejadian itu tidak ada
hubungannya dengan dirinya sendiri. Lebih-lebih
bentuk tubuh serta cara berpakaian hweeshio ini,
sama dengan orang-orang yang pernah melukai
dirinya dikota Siao-shia. Tapi bisikan hati
nuraninya si pemuda, perbuatan ketiga orang itu
bertentangan dengan apa yang dirasakan dalam


Pusaka Pedang Embun Lanjutan Sin Tiauw Thian Lam Karya Sin Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sanubarinya. Dengan dorongan bisikan hati nurani, si pemuda
melompat turun dengan kecepatan luar biasa,
menyelamatkan Swat Louw Hosiang dari tangan
Maut si Malaikat piauw Sin-piauw Lok Kun dkk.
0)0o?d^w?o0(0 MELOMPATI tembok kelenteng Liong-ong-bio,
dengan menenteng tubuh Swat Louw Hosiang, si
pemuda berlarian kearah utara, memasuki rimba,
meninggalkan kelenteng. Berlarian sejauh dua lie,
ia menghentikan langkahnya, melepaskan tubuh
Swat Louw Hosiang. 195 Swat Louw Hosiang merasakan dirinya tiba-tiba
dibawa terbang melompati tembok kelenteng, ia
mengetahui kalau dirinya sudah ditolong oleh
orang gaib. "Inkong........" Ucapan Swat Louw Hosiang
tertahan, matanya terbelalak memancarkan sinar
keheran-heranan, dihadapannya berdiri seorang
pemuda berambut gondrong berpakaian hitam. Ia
seperti tidak percaya akan penglihatan matanya
sendiri, apakah pemuda seperti orang hutan ini
yang telah menolong dirinya dari kematian. Ia
perhatikan keadaan sekitar rimba itu, ternyata
disana tak ada orang lain kecuali ia dengan si anak
gondrong. Dengan perasaan heran Swat Louw Hosiang
berkata : "Apakah kau yang telah menolong diriku?"
Si pemuda mendengar pertanyaan itu, hanya
menatap wajah ketua hweeshio itu dengan tatapan
mata berkilatan, kemudian meredup gelap, segelap
awan mendung di langit. Benak si pemuda dipenuhi perasaan-perasaan
yang membuat sinar matanya redup wajahnya
pucat pasi, tampak sedih dan pilu.
Selama ia bergelandangan didunia bebas,
mengikuti gejolak naluri jiwanya untuk bercampur
gaul dengan kehidupan manusia, selama itu pula
ia tidak mengerti ucapan-ucapan orang-orang yang
dijumpainya. Menghadapi pertanyaan Swat Louw Hosiang,
kembali ia menghadapi satu problem yang sulit
196 untuk dipecahkan, lebih sulit dari pada memecahkan segala lukisan-lukisan yang terdapat
didinding goa dalam lembah air terjun.
Pengalaman-pengalaman pahit, membuat hatinya sedih, duka dan pilu bercampur aduk,
akhirnya timbul rasa rendah dirinya menghadapi
orang didepannya. Dirasakan dirinya suatu
machluk yang tidak berarti, suatu machluk yang
tidak bisa bercampur gaul dengan kehidupan
manusia lainnya. Kakinya melesat meninggalkan Swat Louw
Hosiang. Swat Louw Hosiang yang menyaksikan
kelakuan aneh itu, kini ia yakin benar bahwa anak
gondrong itulah yang telah menolong jiwanya. Mata
Swat Louw Hosiang terbelalak menyaksikan
lenyapnya bayangan si pemuda mengepul bagaikan
asap hitam lenyap dibalik batang-batang pohon.
Si pemuda dengan kecepatan luar biasa,
menerobos hutan-hutan, melompati sungai, jurang, tebing-tebing gunung mengembara dengan
tiada tujuan. Diatas puncak gunung, daun-daun pohon masih
basah digenangi butiran-butiran embun,burungburung berkicauan beterbangan diudara, gerungan
suara binatang buas menambah keseraman, sinar
matahari pagi redup menerangi keadaan diatas
puncak gunung, pagi itu tidak seperti hari-hari
biasanya, si pemuda yang masih melingkar tidur
dibawah semak belukar, dikejutkan oleh kicau
burung serta auman binatang buas.
197 Matanya terbuka, ditatapnya sinar matahari
pagi, sinar sang surya tampak begitu redup
seredup sinar matanya. Dengan masih bermalas-malasan si pemuda
bangkit, berjalan menuju tepian dimana tadi ia
tidur, ternyata ia tidur diatas sebuah lamping
puncak gunung. Melongok kebawah, disana kabut-kabut tebal
memutih mengambang tak tampak apa yang
terdapat dibawah lapisan kabut itu. Diutara dan
selatan, barat dan timur tampak puncak-puncak
gunung menjulang tinggi. Tanpa banyak pikir si pemuda lompat menuruni
lamping gunung, melesat turun menerjang kabutkabut memutih, bayangannya hilang dibalik kabut.
Dengan gerak-gerak langkah kakinya yang
lincah ia menuruni lamping gunung, seakan kabut
hitam mengepul menerjang kabut-kabut putih.
Berlarian setengah hari, tibalah ia didalam satu
lembah. Lembah itu terkurung oleh lampinglamping puncak gunung, kepala si pemuda menengadah
kelangit, disana hanya tampak mengambang kabut putih memenuhi udara, sudah
tidak tampak lagi tempat dimana ia tidur semalam.
Dalam lembah udara begitu lembab, disana tak
tampak apapun hanya barisan pohon-pohon Siong
berjejer-jejer memenuhi lembah itu.
Si pemuda menerobos masuk kedalam rimba
pohon Siong, disana udara lembab gelap, mata si
pemuda tidak bisa melihat apa yang ada
didepannya. Semua pemandangan gelap pekat.
198 Dengan perasaan untung-untungan, hidup yah
sukur matipun boleh, si pemuda menerobos hutan
pohon Siong yang lembab gelap itu. Dengan pikiran
yang gelap pula, ia memasuki alam yang gelap
gulita. Langkahnya maju terus, menerobos barisan
pohon-pohon Siong, membentur batang-batang
pohon, jatuh bangun berulang kali. Entah sudah
berapa lama ia berlarian membabi buta menerobos
barisan pohon-pohon Siong yang gelap gulita, kini
mulai tampak didepannya samar-samar sinar
terang, akhirnya ia keluar dari kurungan pohonpohon Siong yang gelap gulita itu.
Haaaa.............. Hati si pemuda tergerak, ditengah-tengah hutan
pohon Siong didalam lembah ternyata terdapat
satu bangunan rumah batu.
Rumah batu itu terbagi dua bangunan,
bangunan depan yang lebih besar bentuknya dan
bangunan disebelah belakang yang agak kecil. Satu
jalan kecil berbatu-batu menghubungi kedua
bangunan rumah batu itu. Terdengar sayup-sayup suara orang bicara:
"Suhu, sudah lima tahun kita berdiam disini
mengompres setan tua itu, tapi ia masih kukuh
tidak mau memberi keterangan. Untuk apa lagi
buang-buang waktu percuma ditempat ini, lebih
baik kita bunuh saja habis perkara."
"Hah, kau harus bersabar sehingga lima tahun,
untuk apa ? Untuk mendapatkan barang itu,"
terdengar lain suara. 199 "Suhu, kukira pendapat Lie suheng tidak salah,
selama lima tahun, semua daya upaya kita sudah
lakukan, tapi setan tua itu masih tidak mau buka
mulut, bukankah percuma saja. Kulihat keadaannya juga sudah lupa ingatan, apa guna
lagi........" "Ya sebaiknja kita bunuh saja," menyambung
seseorang. "Kukira juga barang itu tidak berada
ditubuh si tua." Pembicaraan orang-orang itu masuk ketelinga si
pemuda, mendengar didalam ruangan bangunan
besar itu ada suara orang, si pemuda tidak mau
mendekati rumah itu, tapi hatinya ingin tahu apa
yang sedang mereka kerjakan.
Dengan gerakan ringan ia melompat ke atas
genteng pada bagian rumah dibagian belakang, ia
membuka sebuah genteng memperhatikan keadaan
didalam. Didalam ruangan itu sangat kotor, di lantai
masih terdapat noda darah kering, ruangan itu
keadaannya tidak teratur. Disebelah barat
ruangan, disana berdiri seorang tua kurus kering
rambutnya awut-awutan, jenggotnya yang putih
bercampur merah mengurai sampai pusar. Mata
orang tua itu meram, napasnya lemah, saking
kurusnya tampak orang itu seperti tengkorak
terbungkus kulit. Kedua tangan dan kakinya
terikat sebuah rantai terpantek kuat didinding
rumah batu. Menampak pemandangan serupa itu, hati si
pemuda heran, tapi ia hanya memperhatikan, tidak
mau ambil pusing. Meninggalkan pemandangan
200 aneh itu, si pemuda dengan ringan berlarian diatas
genteng melompat kearah wuwungan bangunan
rumah yang lebih besar dimana terdengar suara
orang bicara. Tubuhnya mendekam, tangannya bergerak
menggeser sebuah genteng. Tapi baru saja genteng
itu terbuka, dari dalam meluncur sinar-sinar
gemelapan menyerang mukanya, diiringi suara
bentakan : "Binatang! Siapa berani main gila di
tempat ini." Berbarengan dengan sirapnya suara bentakan
itu, dari dalam ruangan melesat lima bayangan
merah berlompatan keatas genting. Si pemuda
yang sedang mendekam diatas genting begitu
melihat sambaran sinar-sinar gemerlapan segera
lompat turun. Sinar-sinar gemerlapan itu membentur cabang pohon Siong, disana menancap
tiga bilah pisau kecil. Lima bayangan merah menampak orang yang
diserang dengan pisau-pisau terbang tadi sudah
melompat turun, mereka segera berlompatan
menyusul kearah larinya orang tadi.
Begitu melihat jelas tubuh orang yang
dikejarnya, kelima orang itu terkejut berbareng :
"Hayaaaa........."
Si pemuda yang mengetahui dirinya dikejar, ia
sudah tidak perdulikan lagi soal mati dan hidup, ia
hadapi kelima orang itu dengan tenang.
Disana berdiri lima orang berbaju merah
berkembang-berkembang biru muda. Seorang
diantaranya berusia kira-kira limapuluh tahun,
201 sedang empat orang lainnya berusia sekitar
tigapuluh tahun. Tampang-tampang mereka sangat
asam, tidak sedap dipandang mata.
"Hei, bocah, kau kira ini tempat apa ? Berani
kau main-main ditempat angker ini." bentak orang
tua berbaju merah. "Suhu! Biar kuremukkan batok kepala bocah
ini!" berkata salah seorang yang berusia duapuluh
lima tahunan. "Ceng san, tangkap bocah itu, jangan bunuh!
Aku ingin tahu, bagaimana ia bisa masuk kedalam
lembah Im-bu-kok ini! Bagaimana ia bisa
memecahkan tin pohon Siong," berkata orang tua
itu. Tubuh orang yang disebut Ceng San melejit,
tangan kanannya dijulurkan, mencengkeram
tengkuk si pemuda, sedangkan tangan kirinya
menyambar kaki kanan lawan gondrong itu.
Gerakan Ceng San sangat cepat, menubruk si
pemuda, tapi gerakan tubuh si pemuda lebih cepat,
begitu angin serangan tiba kaki kanan diangkat
keatas, sedang tubuhnya direndahkan setengah
badan, hingga serangan Ceng San menubruk
tempat kosong, bahkan tubuh Ceng San terpental
dua tombak menggeletak rubuh ditanah, kebentur
serangan dengkul si pemuda yang hampir dibawah
pusat Ceng San, sedang kepala gondrong si
pemuda membentur dada Ceng San.
Kejadian itu hanya berlangsung satu kedipan


Pusaka Pedang Embun Lanjutan Sin Tiauw Thian Lam Karya Sin Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mata saja. 202 "Suhu! Biar aku turun tangan!" terdengar lagi
seorang bicara. "Mmm, bocah ini bukan tandingan kalian,
suhengmu sudah terluka, kau bersama sutemu
bawa ia masuk kedalam, beri pertolongan, bocah
ini biar kukirim keakherat."
Mereka memayang rumah batu. sang suheng memasuki "Bocah, kepandaianmu boleh juga heh!" berkata
lagi orang tua berbaju merah. "Hm, kukira didalam
rimba persilatan ini sudah jarang orang yang bisa
menandingimu, pantas lagakmu begitu besar,
sudah berani main gila disini."
Orang tua berbaju merah berkata begitu, karena
ia sudah menyaksikan sendiri murid tertuanya
dengan satu kali gebrakan sudah berhasil
dirobohkan si pemuda, sedang sang murid sudah
mewarisi 75% ilmu kepandaiannya, masih bisa
dirobohkan. Setelah berkata begitu orang tua berbaju merah
berjalan berputaran mengelilingi tubuh si pemuda.
Gerak langkah orang tua itu, lambat-lambat tapi
mata si pemuda dirasakan menjadi berkunangkunang. Begitu matanya si pemuda dirasakan
berkunang-kunang timbul rasa jengkel si pemuda
atas kelakuan orang tua itu.
Terdengar suara siulan melengking menggema
angkasa, daun-daun kering pohon Siong beterbangan gugur kebumi, burung yang sedang
bertengger didahan-dahan pohon beterbangan.
Siulan memekakkan telinga, mendebarkan 203 jantung. Lama suara siulan itu menggema baru
sirap kembali ditelan kesunyian lembah.
Si orang tua berbaju merah mendengar suara
siulan yang keluar dari mulut si pemuda
menghentikan gerakannya, tubuhnya oleng oleng
lalu berdiri tegak kembali, ia membentak :
"Anak jadah, kelakuanmu sungguh kurang ajar,
berani bersiul begitu didepan orang tua, hampirhampir
membuat kumat penyakit jantungku.....haaa ..... ,kalau tidak lekas dibikin
mampus, kau tidak akan tahu rasanya diakherat." Selesai ujarannya, orang tua berbaju merah itu
kembali berjalan memutari tubuh si pemuda,
menggosok-gosokkan telapak tangannya, kemudian
direntangkan, lalu digerak-gerakkannya menghajar
tubuh si pemuda. Si pemuda yang menyaksikan kelakuan aneh
orang tua berbaju merah, ia masih bengongbengong saja, tiba-tiba berkesiur angin kencang
menyerang dirinya, ia berusaha mengelakkan
kesamping, tapi ternyata angin yang keluar dari
dua telapakan tangan orang tua itu tidak sampai
disitu saja, kemana si pemuda bergerak selalu
terkurung oleh hembusan angin yang santer.
"Ha, ha, ha,. ..... hayo bersiul lagi, ingin kulihat
permainan apa lagi yang akan kau pamerkan!"
berkata si orang tua berbaju merah sambil masih
menari menggerakkan kedua telapak tangannya.
Tambah lama, angin keras menggulung si
pemuda tambah menderu-deru berputaran 204 mengurung tubuhnya menggulung-gulung naik
keudara, abu-abu mengepul keudara daun-daun
yang tadi berguguran digetarkan suara siulan si
pemuda kini kembali beterbangan menubruk
dahan-dahan pohon lalu berputaran diangkasa.
Dalam kurungan angin menderu-deru, terdengar
lagi suara siulan menggema angkasa menembusi
angin yang menderu-deru, suara siulan itu lebih
hebat dari yang pertama, batang-batang pohon
Siong bergoyang-goyang, daun-daun berguguran,
suara gema siulan bercampur aduk dengan suara
mengguruhnya angin yang berputaran, dunia
seakan bergoncang, rumah batu sejauh 10 tombak
dari tempat itu ter-gerak-gerak seakan digerakkan
oleh gempa bumi yang hebat.
Suara siulan si pemuda dikerahkan dengan
tenaga penuh, semua tenaganya dikuras untuk
menciptakan suara siulan gaib itu.
Tambah lama, suara siulan melemah, terdesak
oleh deru angin yang keluar dari telapak tangan
orang tua berbaju merah, tubuh si pemuda
dirasakan tergencet oleh satu kekuatan, tubuhnya
mulai oleng, keringat dinginnya mengucur
membasahi tubuhnya, genta siulan tambah lama
tambah sirap, melemah lagi, kemudian terpecahpecah
menimbulkan irama-irama yang berpencaran, tertiup angin terbang keudara.
Berbareng dengan lenyapnya gema suara siulan,
tertiup gulungan angin yang menderu-deru,
terbang terpecah-pecah di udara, tubuh si pemuda
turut melayang, seakan daun kering tertiup angin.
Akhirnya hanya tampak satu titik hitam
205 menembus kabut-kabut tebing-tebing gunung. putih diatas puncak "Hua, ha, ha" orang tua berbaju merah
tertawa. Kepalanya menengadah kelangit menyaksikan lenyapnya bayangan si pemuda
ditelan kabut putih. "Haaaa .... huaaaa .... ingin
kulihat, apakah bacotmu masih bisa mengeluarkan
siulan setan itu, sesampaimu dibumi ....."
Bayangan si pemuda yang lenyap ditelan kabutkabut putih dipuncak gunung, kini perlahan-lahan
tampak meluncur satu titik hitam turun melesat
dengan cepat, kemudian tampak jelas bentuk
tubuh si pemuda melayang-layang turun.
Breeet .... krak .... kreak . . . . .
Tubuh si pemuda jatuh membentur dahan
pohon, bajunya koyak tersangkut, ia bergelantungan, dari mulut dan hidungnya
menetes darah merah. Breeet.......tiba-tiba baju yang tersangkut itu
robek, tubuh si pemuda jatuh ambruk terbanting
tengkurap ditanah. Ia tidak bergerak.
0)0o?d^w?o0(0 Sang surya timbul tenggelam memutari bumi,
suasana dalam lembah Im-bu-kok sunyi sepi, tidak
terdengar suara apapun, tidak terdengar suara
burung berkicau. Diatas tempat tidur batu didalam ruangan
kamar batu dilembah Im-bu-kok menggeletak
sesosok tubuh. Disamping tempat tidur batu itu
tampak duduk diatas bangku batu persegi, seorang
206 tua berjenggot putih meletak, berbadan kurus
kering, tampak tulang-tulangnya terbungkus kulit,
mata orang tua itu memancarkan sinar tajam
berkilauan, memperhatikan sosok tubuh yang
masih menggeletak terbaring diatas tempat tidur
batu. "Hmmm, bocah......." terdengar suara orang tua
itu mengguman menarik napas. "Kau membuat
aku pusing kepala, mengapa tidak biarkan aku
mati ditempat ini, mengapa kau .... ah....."
Berbarengan dengan sirapnya suara keluh kesah
orang tua kurus kering itu, sosok tubuh yang tidur
terlentang, menggerak-gerakkan kelopak matanya,
mata itu terbelalak memancarkan sinar kebirubiruan.
Sinar mata itu seakan-akan mencari, mencari
sesuatu, itulah bayangan si jelita Lie Eng Eng,
bayangan yang tidak bisa dilupakannya, bayangan
itulah yang pertama kali membayang dibiji
matanya begitu ia tersadar, dari sinar matanya
bayangan Lie Eng Eng mengisi benak pikirannya
yang kosong. Perlahan-lahan kedua tangannya ditelakkan di
atas tempat tidur batu, tubuhnya terangkat naik ia
duduk diatas tempat tidur batu itu.
Orang tua kurus kering berjenggot putih
meletak, memperhatikan kelakuan pemuda itu, ia
menarik napas lalu katanya: "Bocah .... sungguh
hebat kekuatan pisikmu ...."
Sosok tubuh yang baru saja duduk diatas
tempat tidur batu bukan lain dari pada si pemuda
207 gondrong. Mendengar suara orang bicara disampingnya ia terkejut, tubuhnya meletik
menjauhi datangnya suara tadi, dengan masih
sempoyongan si pemuda berdiri terpaku memandang orang tua kurus kering itu. Mulutnya
ternganga. Apa yang dilihatnya? Dihadapannya duduk
diatas bangku batu, seorang tua kurus kering
berjenggot putih sampai pusar, itulah orang tua
yang beberapa hari yang lalu ia lihat terikat kaki
tangannya dengan rantai-rantai diruangan kotor.
Bagaimana mendadak orang tua kurus kering itu
bisa duduk bebas dihadapannya, tanpa rantairantai mengikat tubuhnya?
Si pemuda melangkahkan kakinya berjalan,
mencari pintu ruangan kamar batu itu, ternyata ia
tidak menemukan apa yang dicarinya. Hanya
tampak beberapa obor terpajang disetiap dindingdinding empat persegi ruangan itu.
"Bocah, duduklah !" kata orang tua tadi.
"Tubuhmu belum kuat, jangan banyak bergerak."
Si orang tua kurus kering bangkit, lalu berjalan
kesudut ruangan, di mana terdapat satu meja
batu, dari atas meja itu ia mengambil satu paso
yang berisi buah Ouw co, lalu menghampiri si
pemuda, katanya, "Bocah, di sini tidak terdapat
makanan lain, hanya buah-buah Ouw-co ini,
makanlah. Sudah tujuh hari tujuh malam kau
pingsan tak ingat diri, tentu perutmu kini terasa
lapar." Begitu mata si pemuda tertumbuk tumpukan
buah Ouw-co diatas paso, tentu saja membuat
208 perutnya terasa keruyukan. ia segera menyambuti
paso itu, duduk diatas pembaringan memakan
buah-buah Ouw-co dengan lahapnya.
"Bocah," berkata lagi si orang tua kurus kering
dengan suara perlahan, "Inilah ruangan dibawah
tanah...." Mendengar kata-kata orang tua tadi, si pemuda
hanya melirikkan sudut matanya, sedang mulutnya menggayem buah-buah Ouw-co.
"Aiiii...... apakah kau tidak ingin keluar dari
ruangan ini?" berkata lagi si orangtua.
Si pemuda hanya melirikkan sudut matanya lagi,
tidak mengeluarkan suara apapun.
Menyaksikan sikap dan kelakuan si pemuda,
orang tua kurus kering itu menggeleng-geleng
kepala, bangkit dari tempat duduknya, berjalan
kembali kemeja batu disudut ruangan sambil


Pusaka Pedang Embun Lanjutan Sin Tiauw Thian Lam Karya Sin Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bergumam: "Hayyaah.... benar-benar bocah ini
membuat aku pusing, setua ini aku masih harus
merawat anak orang, haiii... kasihan...... ia sudah
kehilangan ingatannya........."
Sambil mengoceh begitu, orangtua itu mendorong meja batu, bergeser beberapa dim, tibatiba terdengar suara geresekan, bangku batu
persegi yang tadi diduduki si orang tua bergerak
melesak kebawah, hingga tampak di situ terdapat
satu lubang persegi empat.
"Hei, bocah, inilah pintu keluar," tangannya
menunjuk kearah lobang itu. Kakinya bergerak
turun kedalam lubang. 209 Si pemuda menyaksikan orang tua tadi berjaIan
memasuki lubang segera bangkit, ia mengikuti
gerakan orang tua itu, lompat kedalam lubang.
Didalam lubang batu terdapat beberapa obor
yang menerangi lorong tangga, undakan-undakan
tangga batu menaiki keatas, berjalan menaiki
tangga batu seratus undakan, dikiri tembok lorong
terdapat satu patung ular menjulur keluar, orang
tua itu menekan kepala patung ular, maka
terdengar suara bergeresek, disana terbuka satu
pintu. Si pemuda mengikuti gerakan langkah-langkah
kaki si orang tua kurus kering, keluar dari pintu
batu itu, dan pintu itu bergeresekan kembali
menutup secara otomatis. Ternyata mereka sudah berada didalam ruangan
kotor dimana orang tua kurus kering itu pada
beberapa hari yang lalu pernah terikat kedua kaki
dan tangannya ditembok dinding batu, dilantai
masih tampak bekas-bekas noda darah kering.
Mata si pemuda jelilatan kesana kemari
menyaksikan keadaan ruangan itu, langkah
kakinya dipercepat keluar dari ruangan kotor, ia
memasuki bangunan yang lebih besar di muka
bangunan tadi. Dalam bangunan itu keadaan sunyi senyap tak
tampak lagi bayangan orang-orang berbaju merah,
hati si pemuda penasaran, ia memasuki beberapa
kamar didalam ruangan itu, ternyata kamar-kamar
itupun kosong belaka. Cepat kakinya melangkah
keluar, berjalan ke tempat mana ia pernah
diterbangkan oleh angin puyuhnya si orang tua
210 berbaju merah, disana juga tidak terdapat apapun,
hanya tampak bekas dimana tubuhnya terkurung
oleh angin puyuh, terdapat satu lekuk yang dalam.
Orang tua kurus kering menyaksikan kelakuan
si pemuda, sepintas lalu si pemuda seperti orang
sudah kehilangan ingatan. Tapi bagaimana
gerakan-gerakan si pemuda menunjukkan seakan
masih mengingat apa yang telah terjadi pada tujuh
hari yang lalu. Dengan perasaan heran ia
menghampiri lalu bertanya : "Bocah, apakah kau
masih ingat apa yang telah menimpa dirimu pada
tujuh hari yang lalu ?"
Mendengar pertanyaan itu si pemuda hanya
menoleh ia tidak menjawab. Kembali otak si orang
tua kurus kering dibuat pusing oleh kelakuan si
pemuda. "Aaaa, ..... apakah bocah ini gagu? ah .....kalau
ia gagu bagaimana bisa mengeluarkan suara siulan
yang bisa menggetarkan lembah Im-bu-kok ?"
Perputaran hari berlalu begitu cepat, enam
bulan sudah dilewatkan, si pemuda masih menetap
didalam rumah batu didalam lembah Im-bu-kok,
dikawani si orang tua kurus kering.
Selama enam bulan, orang tua kerempeng itu
ternyata sudah bisa menyelami kesulitan yang
dialami si pemuda, ternyata si pemuda tidak
kehilangan ingatan, juga tidak gagu, ia hanya tidak
pandai bicara. Dengan perasaan heran atas apa
yang dialami si pemuda, dengan sabar orang tua
kerempeng itu mulai mengajari si pemuda bicara,
sepatah demi sepatah ternyata otak si pemuda juga
cerdas, sekali mendengar apa yang diucapkan oleh
211 orang tua kurus kerempeng itu, ia sudah ingat
untuk selamanya. Selama enam bulan itu orang
tua kerempeng hanya mengajarkan si pemuda
belajar bicara. Ia melarang si pemuda untuk
melakukan apa yang tidak diperintahkannya. Si
pemuda juga ternyata adalah seorang murid yang
taat kepada perintah gurunya.
Kembali dua tahun sudah dilewatkan. Si
pemuda dibawah pendidikan orang tua kurus
kerempeng, kini ia sudah pandai bicara, membaca
dan menulis. Rambut gondrongnya sudah tidak
awut-awutan lagi wajahnya putih terang bercahaya. Hari itu mereka sedang duduk disatu meja
bundar didalam ruangan tengah rumah batu
dilembah Im-bu-kok. Si orang tua kurus kerempeng
menghadap utara, sedang si pemuda
disebelah kiri menghadap timur.
duduk duduk Diatas meja masih terdapat satu paso berisi
buah-buah Ouw-co. Suasana itu adalah suasana
dipagi hari. "Bocah !" si orang tua memecah kesunyian.
"Selama dua tahun ini kaudiam didalam rumah
batu, sudah membuat perobahan besar terhadap
dirimu. Selama ini aku hanya memberikan kau
pelajaran bicara membaca dan menulis, semua
pelajaran-pelajaran yang kuberikan untuk bekal
hidupmu dalam dunia pergaulan masyarakat, kini
apa yang kuberikan kau sudah pahami seluruhnya. Maka hari ini aku ingin mendengar
keteranganmu, tentang asal usul dirimu."
212 "Suhu," berkata si pemuda penuh haru,
gembira, sedih bercampur aduk dengan bayanganbayangan wajah si jelita Pedang Macan Betina Lie
Eng Eng yang tidak pernah hilang dari ingatannya.
Setelah dapat menahan emosi perasaan itu, si
pemuda melanjutkan kata-katanya : "Teecu
sungguh berterima kasih atas budi besar suhu,
yang telah membuat teecu menjadi manusia
sempurna dalam arti untuk mengikuti arus
perkembangan kehidupan masyarakat umum
diatas dunia ini..........."
"Bocah, bicaramu jangan terlalu tidak keruan,
kau tidak perlu sebut-sebut budi atau segala
peradaban dunia yang palsu..............cukup kau
terangkan bagaimana asal usul dirimu. Itulah yang
ingin kuketahui." berkata si orang tua.
Si pemuda menatap orang tua itu dengan
pandangan mata sayu, tampak pada kedua kelopak
matanya digenangi air mata, ia berusaha
membendung turunnya tetesan air mata itu, tapi
emosinya meluap begitu rupa hingga air mata itu
tak terbendung, turun deras dipipinya.
Setelah memesut air mata yang turun mengalir,
baru ia berkata lagi : "Suhu, sebetulnya asal usul
diri teecu, teecu juga tidak tahu. Siapa ayah ibu
teecu, sampai saat ini masih gelap, seingat teecu,
sejak berusia tiga tahun, teecu merasakan suatu
kehidupan didalam lembah air terjun diatas
puncak-puncak gunung. Disana hanya hidup
bersama si monyet merah......"
Selanjutnya ia menceritakan, bagaimana bersama-sama si monyet merah menirukan lukisan
213 lukisan yang terdapat dalam dinding goa batu
didalam lembah air terjun. Bagaimana ia
merendam dirinya dibawah siraman air terjun.
Akhirnya dengan mengenakan pakaian kulit macan
loreng, ia mengembara dirimba persilatan.
Diceritakan dengan jelas, bagaimana ia tanpa
hujan tanpa angin dikeroyok oleh para tosu Butong-pay dan hweeshio-hweeshio Siauw-lim-pay,
hingga terluka pundak kirinya, bagaimana si nenek
Kim ce Lonie memberikan pengobatan atas lukanya
itu. Semua pengalaman-pengalamannya diceritakan
dengan jelas, terkecuali pengalamannya didalam
kelenteng rusak, hujan-hujan melahap kegadisan
si jelita Pedang Macan Betina Lie Eng Eng tidak
disebut sebutnya. "Hmmm........" orang tua itu menganggukangguk
kepala sambil mengurut-mengurut jenggotnya yang putih. "Luar biasa..... luar
biasa...... Iukisan-Iukisan didinding goa batu itu
juga sungguh mengherankan, akibat dari latihanmu mengikut gerak lukisan-lukisan itu,
jalan-jalan darahmu sebagian sudah terbuka, tapi
hai........ mengapa hanya setengah jalan, mengapa
lukisan-lukisan itu tidak rampung seluruhnya.............."
"Suhu.........." memotong si pemuda, "Apakah
lukisan-lukisan didinding goa batu dalam lembah
air terjun belum selesai semua?"
Si orang tua hanya mengangguk-anggukkan kepala.
214 "Aaaa, kini teecu mengerti Iukisan-Iukisan yang
awut-awutan, ternyata adalah tulisan yang waktu
itu teecu tidak mengerti." berkata lagi si pemuda.
"Bocah, karena jalan darahmu sebagian sudah
terbuka, saluran urat halusmu yang menghubungkan dua aliran darah Im dan Yang
ada beberapa bagian terbuka, hingga sulit untuk
kau menerima pelajaran silat dari aliran lain, jika
dipaksakan, kau akan mengalami Masuk Api.
Haah, kelak, jika kau sempat, kau kembali
ketempat itu, sempurnakanlah ilmu yang terdapat
didalam lembah air terjun itu, aku yakin ilmu itu
merupakan ilmu yang terhebat selama dunia
persilatan Tionggoan berkembang. Juga kau harus
pertahankan kebiasaanmu memakan buah-buahan
sebagai santapan sehari-sehari, kukira itu juga ada
hubungannya dengan ilmu pelajaran didalam goa
dilembah itu...." kepala si orang tua menengadah
ke langit-langit rumah batu, mulutnya berkemak
kemik, lalu katanya lagi : "Pada tigapuluh tahun
yang lalu aku mendapatkan sejilid kitab tipis, kitab
itu adalah satu kitab ilmu totokan luar biasa,
hanya bagi mereka yang ingin mempelajari ilmu
totokan, diharuskan melakukan puasa untuk
seumur hidupnya. Jika tidak, ilmu itu tak akan
berguna, bahkan jika dipergunakan membahayakan orang itu sendiri."
Si pemuda mendengarkan penuturan orang tua
itu, mulutnya menganga, ia tidak mengerti, ada
ilmu silat yang harus dilakukan dengan puasa
seumur hidup, saking herannya ia nyeletuk :
"Puasa.....bagaimana orang disuruh puasa untuk
seumur hidupnya....."
215 "Bocah, kau jangan main potong ucapanku......puasa itu dimaksudkan bagi siapa
yang melatih ilmu totokan yang terdapat dalam
kitab itu dilarang memakan barang makanan


Pusaka Pedang Embun Lanjutan Sin Tiauw Thian Lam Karya Sin Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bernyawa seumur hidup. Tentu saja didunia ini
dimana ada orang sanggup berbuat begitu, sedang
para padri dan tosu juga tidak bisa tahan, mereka
hanya pura-pura saja alim, tapi bathinnya lebih
kotor dari pada kita orang-orang kasar...." bicara
sampai disitu si orang tua menghela napas lalu
katanya lagi: "Sungguh didunia ini semua kejadian
tidak bisa diduga semula, semua terjadi sangat
ganjil, kau yang mudanya mendekam terkurung
didalam lembah air terjun selama itu hanya
memakan buah-buahan, hingga tubuhmu peka
terhadap semua barang-barang makanan bernyawa.... hai luar biasa ....kau akan menjadi
manusia luar biasa."
Si pemuda memandang suhunya dengan
perasaan heran, ia tidak mengerti juntrungan
ucapan kata-kata gurunya.
Si orang tua memasukkan tangannya kedalam
saku bajunya mengeluarkan sejilid kitab.
"Nah, ambillah buku ini," tangan orang tua itu
menyodorkan sejilid kitab tipis berwarna kuning
keemas-emasan, dikulit muka terdapat lukisanlukisan bunga-bunga aneka macam, sungguh
indah dipandang mata, "Kau perhatikan lukisan
bunga ini, sepintas lalu tidak ada artinya, jika
diselami kau akan mengerti sendiri arti dari pada
lukisan bunga ini, didalam kitab ini terdapat ilmu
totokan luar biasa. Kau pelajarilah."
216 Menyambuti kitab itu, si pemuda lalu bertanya :
"Suhu, ketika teecu mulai masuk kedalam lembah
Im-bu-kok, didalam kamar batu kotor itu, suhu
terikat kaki dan tangan dengan rantai-rantai besar,
keadaan suhu seperti orang sudah mati, mengapa
bisa mendadak bebas, dan bisa menolong diri teecu
?" "Hm, anak, semuanya itu kau punya gara-gara
keluyuran ditempat ini, waktu itu aku sudah ingin
mati saja, haaaa" orang tua itu menghela napas,
lalu sambungnya : "Anak, didalam rimba
persilatan, seratus tahun yang lalu, namaku
pernah menggetarkan jagat, tak seorangpun bisa
menandingi ilmu kepandaianku, akulah manusia
super sakti tanpa tandingan, setelah malang
melintang puluhan tahun didunia kang-ouw
keluyuran kesana kemari mencari lawan yang
setimpal, akhirnya aku merasa malu sendiri
perbuatanku itu seperti lakunya orang gila, maka
aku mencari tempat sunyi ini untuk menghabiskan
hari tuaku....." "Suhu, bolehkah muridmu mengetahui nama
besar suhu ?" memotong si pemuda.
"Hmm........ Thian-lam-it-lo Kak Wan Kie-su,"
jawab si orang tua. "Setelah sepuluh tahun aku
mengeram dilembah Im-bu-kok ini entah bagaimana timbul di otakku pikiran gila lagi,
waktu itu aku bercita-cita menciptakan satu ilmu
baru untuk menandingi ilmuku sendiri........."
"Haaaaah.............." si pemuda terbelalak heran.
"Sejak timbulnya angan-angan gila itu, aku
keluar lembah mencari seorang murid yang
217 berbakat, akhirnya aku mendapatkan orang yang
kucari, orang itu juga sudah terkenal namanya
dengan sebutan Leng-leng Pak Su. Aku tidak
menyelidiki lebih dalam asal usul Leng-leng Pak
Su, toch yang kuperlukan orang yang berbakat
bisa menerima seluruh kepandaianku, yang kelak
aku akan mengalahkannya dengan ilmu baruku.
Ternyata pilihanku tidak salah, Leng-leng Pak Su
bisa menerima warisan ilmu silatku dalam waktu
singkat. Setelah itu ia kusuruh merantau dirimba
persilatan, sedang aku sendiri menciptakan ilmu
baru untuk mengalahkan Leng-leng Pak Su."
Orang tua itu menghentikan ceritanya, menjulurkan tangannya kearah si pemuda
katanya: "Mana pisau belatimu? Coba kulihat."
Si pemuda segera mengangsurkan pisau itu
diserahkan kepada si orang tua.
Orang tua kerempeng yang bernama Thian-lamit-lo Kak Wan Kie-su sedang menimang-nimang
pisau itu, ia melanjutkan ceritanya: "Sepuluh
tahun kemudian aku berhasil menciptakan ilmu
Cit-cu Sin-kang. Ketika aku sedang bersemedi
meyakinkan ilmu Cit-cu Sin-kang hasil ciptaanku
selama sepuluh tahun, muridku Leng-leng Pak Su
kembali kedalam lembah Im-bu-kok bersama tiga
orang murid-muridnya, Lie Ceng San, To Houw An,
Liauw Hong dan Su-mo Tok-liu........ Begitu ia tiba,
menyaksikan aku sedang bersemedhi, Teng-leng
Pak Su menyerang diriku dengan ilmu angin
puyuh. Dalam keadaan bersemedhi tidak sempat
lagi aku mengelakkan serangan itu, lebih-lebih
dalam melatih ilmu Cit-cu Sinkang pikiran tidak
218 boleh terganggu, terganggu sedikit saja bisa Masuk
Api. Mendapatkan serangan angin puyuhnya,
tubuhku mengalami jalan darah Masuk Api........"
"Hoaya......" teriak si pemuda.
"Tubuhku yang sudah masuk api tidak
bertenaga, jalan-jalan darahku bergeser berbalik.
Dengan tidak memandang hubungan guru dan
murid Leng-leng Pak Su merantai tubuhku, mereka
menyiksa selama lima tahun ditempat ini......."
"Suhu..... sungguh gila perbuatan murid
durhaka itu, apa sebenarnya maksud mereka
berbuat begitu ......" bertanya si pemuda.
Thian-lam-it-lo Kak Wan kie-su mengurut urut
jenggotnya yang putih meletak, menghela napas
baru berkata: "Murid durhaka itu didalam rimba
persilatan malang melintang sesuka hati, akhirnya
orang-orang rimba persilatan golongan tua
bermunculan dan mereka mengenali ilmu yang
dipergunakan si murid durhaka itu adalah ilmu
Thian-lam-it-lo. Juga Leng-leng Pak Su berhasil
mengendus bahwa Thian lam-it-Io memiliki satu
peta yang menunjukkan tersimpannya satu barang
pusaka. Itulah maksud Leng-leng Pak Su menyiksa
diriku agar aku mengeluarkan peta tersebut."
"Apa suhu sudah berikan peta itu ?" bertanya si
pemuda. "Aiiiii.....sebetulnya aku tidak memiliki peta
apapun !" "Haaa, jadi bagaimana bisa tersiar peta itu
berada pada suhu?" bertanya si pemuda dengan
nada heran. 219 Thian-lam-it-lo Kak Wan Kie-su menimangnimang belati si pemuda lalu sreet, dicabutnya
pisau belati itu dari sana memancarkan sinar putih
kemilauan. Lalu katanya : "Aku hanya mengetahui
bahwa peta itu tersimpan didalam tiga bilah pisau
belati" Si pemuda mengerutkan keningnya, ia tidak
mengerti, bagaimana ada peta tersimpan dalam
tiga pisau belati. Kemudian ia bertanya : "Apa
maksudnya peta tersimpan pada tiga pisau belati,
apakah suhu juga tahu dimana pisau-pisau belati
itu ?" "Aku tidak tahu, berita ini juga kudapatkan dari
seorang pengembara bangsa Arab digurun pasir
Gobi. Orang arab itu menceritakan bahwa tiga
bilah pisau pusaka yang merupakan peta dari satu
barang pusaka gaib sudah terjatuh kedalam
tangan pedagang-pedagang Birma yang memasuki
daerah Tionggoan, Dari ciri-ciri yang diberikan
orang Arab itu, pada setiap gagang pisau terdapat
ukiran-ukiran binatang, Naga, burung Hong dan
lukisan pedang." Kembali orang tua itu menimang-nimang pisau
belati ditangannya lalu sambungnya : "Salah satu
pisau berukir Naga ternyata terdapat pada
tubuhmu. Inilah pisau itu."
Kak Wan Kie-su memasukkan kembali pisau
belati itu kedalam serangkanya, lalu diserahkan
kepada si pemuda, katanya : "Simpanlah barang
ini, diatas badan pisau itu terdapat guratanguratan yang belum bisa dipecahkan, sebelum
kedua pisau lainnya didapatkan."
220 Si pemuda menyambuti pisaunya, ia cabut dari
serangkanya diperhatikan kilauan pisau itu,
ternyata benar diatas tubuh pisau terdapat tandatanda guratan.
"Suhu....... sebetulnya barang pusaka apakah
itu ?" tanya si pemuda.
"Itulah satu barang pusaka luar biasa, orang
Arab yang kujumpai digurun pasir Gobi
menyebutnya Pusaka Pedang Embun."
"Haaa .... sungguh aneh nama pedang pusaka
itu . . . ." "Ya .... pedang itu juga bukan berasal dari
daratan Tionggoan, itulah pusaka gaib bangsa Arab
dari jaman nabi-nabi. Entah bagaimana pusaka
gaib bangsa Arab itu bisa terpendam didaratan
Tionggoan." "Suhu....mungkin pusaka itu dibawa oleh para
pengembara bangsa Arab dalam mengembangluaskan ajaran agama mereka." kata si pemuda.
"Hai . . . . kau cerdik bocah !" kata Kak Wan Kiesu singkat.
Setelah Thian-lam-it-lo Kak Wan Kie-su mengunyah beberapa buah Ouw-co, ia berkata lagi:
"Anak, selama ini kau masih belum tahu asal
usulmu, bahkan namapun kau tidak punya, untuk
memudahkan pergaulanmu didunia, maka sebaiknya kau menggunakan nama Liong Houw,
kukira nama itu cocok dengan keadaanmu, Liong
kuambil dari ukiran gagang pisau belatimu, sedang
Houw dari pakaian kulit macan yang selama ini
kau pakai." 221 "Liong Houw..... Liong Houw.....Liong Houw."
si pemuda mengucapkan kata-kata itu berulang
kali, lalu menanya : "Liong Houw berarti naganya
harimau !" "Suhu, kemana perginya Leng leng Pak Su
bersama keempat orang muridnya dan bagaimana
suhu bisa bebas dari ikatan-ikatan rantai yang
mengekang diri suhu.......?" Liong Houw mengulangi pertanyaannya.
"Hao, bocah, ah, Liong Houw, rupanya Tuhan
masih belum mau menerima roh tuaku, dua kali
siulanmu itu telah membuat jalan-jalan darahku
yang bergeser masuk api kembali normal, bahkan
membantu menyempurnakan ilmu Cit-cu Sinkang,
ah suatu keanehan luar biasa. Empat orang
murid Leng-leng Pak Su ternyata tidak sanggup
mendengar gema siulanmu, dari mata hidung dan
telinganya mengalirkan darah, nyawanya melayang
keakherat. Aaaa, Liong Houw kau jangan
sembarang mengeluarkan siulan semacam itu
dirimba persilatan, sungguh mengerikan akibatnya." "Suhu, teecu sendiri tidak menyadari siulan itu
berakibat hebat, sedang pada siulan yang kedua
kalinya, sudah hampir memakan napas teecu
semuanya hingga teecu kehilangan tenaga sendiri."
Kak Wan Kie-su sudah berkata, "Sesudah
siulanmu yang kedua kali sirap, jalan darahku
normal kembali, rantai yang mengekang diriku juga
tidak ada artinya lagi sekali sentak saja rantairantai berarakan berhamburan dilantai. Segera
kuayun langkah keluar ingin menyaksikan apa
222 yang terjadi. Ternyata tubuhmu sudah ambruk
ditanah. Murid durhaka Leng-leng Pak Su tentu
kaget melihat kehadiranku, ia segera kabur
meninggalkan mayat-mayat keempat muridmuridnya." "Suhu tidak mengejar ?" tanya si pemuda


Pusaka Pedang Embun Lanjutan Sin Tiauw Thian Lam Karya Sin Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gondrong yang kini bernama Liong Houw.
"Yang perlu menolong dirimu !" berkata Kak
Wan Kie-su. Liong Houw hanya angguk-angguk kepala.
"Bocah !" berkata lagi Thian-lam-it-lo Kak Wan
Kie-su, "Hatiku sudah tawar terhadap segala
urusan dunia, juga urusan murid durhaka Lengleng Pak Su kuserahkan padamu. Harapanku apa
yang kau sudah miliki, pergunakanlah untuk
kebaikan umat manusia, bagaimana caranya
terserah padamu untuk mengatasi problemaproblema dunia Kang-ouw, sebelum kau terjunkan
diri dirimba persilatan, sebaiknya kau kembali
kedalam lembah air terjun, kau perhatikan lagi
baik-baik lukisan-lukisan itu, apa yang kau miliki
sekarang baru merupakan kulit yang tidak berarti,
malah salah-salah bisa menyesatkan dirimu.
Sebelum kau berhasil meyakini seluruh kepandaian yang terpendam dalam lembah air
terjun, jangan coba-coba bentrokan dengan murid
durhaka Lengleng Pak Su, kau masih bukan
tandingannya !" Liong Houw hanya mengangguk-angguk.
Setelah dua hari Liong Houw alias si pemuda
gondrong menerima petuah-petuah berharga
223 Thian-lam-it-lo Kak Wan kie-su, pada hari pagipagi, ia meninggalkan lembah Im-bu kok.
Liong Houw yang kini mengenakan pakaian
pelajar berwarna putih, berwajah tampan dengan
sinar matanya kebiru-biruan memiliki jidat lebar
dengan Iangkah-Iangkah kaki perlahan berjalan
menaiki tebing-tebing gunung menembus awanawan putih kembali terjun kedunia ramai.
Masih mendengung ditelinganya kata-kata
Thian-lam-it-lo Kak Wan Kie-su, ia harus kembali
kedalam lembah air terjun memperdalam ilmunya.
Pikiran lain berkelebat, menjejal isi rongga
kepalanya, bayangan si nona jelita Lie Eng Eng
mengamuk memerangi suara dengung-dengung
kata-kata Kak Wan Kie-su.
Liong Houw tidak bisa mengenali nama dan
wajah si nona jelita, tapi bentuk raut-raut cantik
serta potongan tubuh menggiurkan terpeta jelas
dibenaknya. Pertempuran dalam bathin Liong Houw menjadikan dirinya seakan orang linglung, kadang
kala tersenyum seorang diri, kadang kala
berkemak-kemik, kadang kala cemberut asam.
Mendahulukan ilmu kepandaian, ataukah
mendahulukan menemukan si nona jelita ? Dua
problem itulah yang memenuhi rongga kepalanya,
cinta, ya, cinta memang cinta itu gila, lebih gila
dari orang yang gila, karena cinta itulah sesaat
Liong Houw lupa menyelidiki asal usul dirinya,
lupa ia siapa ayah ibunya, lupa siapa dirinya.
224 Diantara berkecamuknya pikiran-pikiran itu,
akhirnya Liong Houw mengambil keputusan tegas
untuk dirinya sendiri, mengutamakan si nona
jelita. Dengan bekal pengetahuan yang ditanamkan
oleh Thian-lam-it-lo Kak Wan Kie-su selama dua
tahun Liong Houw berdiam di lembah Im-bu-kok,
ia sudah bisa membedakan perbuatan baik dan
buruk. Perbuatan susila dan asusila.
Apa yang pernah dilakukannya dikelenteng
rusak tiga tahun yang lalu atas diri si nona jelita
Lie Eng Eng adalah merupakan satu perbuatan
terkutuk. Melanggar norma-norma kehidupan
masyarakat. Mengingat itu, wajahnya menjadi
merah, darahnya menyelusur cepat menembusi
urat-urat tubuhnya. Keputusan bulat telah diambil, ia harus segera
mempertanggung jawabkan perbuatan itu dihadapan si nona jelita. Pertanggungan jawab
dengan mendapatkan uluran balasan cinta
kasihnya si nona yang selama ini sudah mengeram
didada Liong Houw, ataukah menerima pertanggungan jawab diatas tajamnya pedang Anglo-po-kiam si Pedang Macan Betina. Semua itu
akan dihadapinya dengan tenang serta ketulus
ikhlasan sebagai laki-laki jantan sejati.
0)0o?d^w?o0(0 LlONG HOUW menengadahkan kepalanya kelangit, awan-awan hitam bergelusuran tertiup
angin memenuhi angkasa, langit tambah lama
tambah gelap, kilat dan petir menyusul bersambut225
sambutan. Hujan rintik-rintik turun membasahi
persada. Langkah si pemuda dipercepat mencari tempat
meneduh. Matanya yang jeli dapat melihat
berkelebatnya bayangan hitam didalam rimba
sebelah utara disusul suara derap-derap langkah
kaki kuda berkecoprakan di tanah belukar becek.
Tak lama, berlari lima ekor kuda, ditunggangi lima
laki-laki tegap berseragam tentara negeri.
Kuda-kuda itu mengejar kearah larinya bayangan hitam, suaranya hilang ditelan riap-riap
air hujan menimpa daun-daun pohon.
Langkah kaki Liong Houw melesat mengikuti
kearah larinya penunggang-penunggang kuda itu.
Tak lama, tampak dihadapannya, satu pemandangan yang mengerikan.
Ditanah belukar menggeletak rebah sosok tubuh
berpakaian compang camping, kedua tangan dan
kakinya terikat seutas tali kulit. Ujung-ujung tali
kulit itu terikat pada pelana ke empat ekor kuda
yang ditunggangi oleh orang-orang berseragam
tentara negeri. Sosok tubuh itu sudah terikat, kaki
tangannya terlentang menghadap langit.
"Anjing pemberontak. Tubuhmu akan koyak
menjadi empat potong, kaki dan tanganmu akan
terpisah-pisah, haaaa......." berkata seorang penunggang kuda, sambil memecuti tubuh yang
tergeletak ditanah belukar itu.
"Phui ......lima anak anjing pemerintah, selama
hidupku tidak bisa membalas dendam ini, kelak
sudah mati setanku gentayangan mengejar-ngejar
226 roh hidupmu, sampai tidak bisa hidup tenang lagi
!" terdengar suara sosok tubuh yang menggeletak
ditanah belukar. Tar .... tar . ... tar ..... Terdengar suara pecut
menggeletar menghujani sosok tubuh itu.
Tubuh itu bergeliat-geliat menahan sakit dan
perih bekas pecutan tersiram air hujan tapi tak
terdengar suara keluhan yang keluar dari
mulutnya. "Hayo....tarik..." si penunggang kuda dengan
memecuti tubuh orang itu, memberi perintah.
Ternyata dialah Komandan Regu berkuda itu.
Kuda-kuda bergerak keempat penjuru. Tali-tali
kulit meregang kencang, tubuh orang itu perlahan
naik terangkat mengambang ditengah udara, kaki
tangannya tertarik oleh tali-tali kulit menegang
diatas pelana kuda. Sosok tubuh itu menghadap kelangit air hujan
rintik-rintik menimpa muka mata mulut orang itu.
Mulut orang itu menganga, air hujan memasuki
tenggorokannya. "Pemberontak . . . . ! Hua, ha, ha . . .
bruuuuuukkkkk." tiba-tiba sang Komandan regu
yang memegang pecut menghentikan tawanya,
mulutnya yang sedang tertawa terbahak-bahak itu
secara mendadak kemasukan gulungan air
memasuki kerongkongannya, ia terbatuk-batuk
muntah. "Huuaa........anak anjing!" terdengar orang yang
terikat kaki tangannya itu tertawa memaki, "Enak
tidak air reakku ........ha, ha, ha......"
227 Ternyata orang itu menghadapi maut masih bisa
melakukan serangan yang sangat ugal-ugalan, airair hujan yang memenuhi tenggorokannya,
disemburkan muncrat tepat masuk kemulut sang
Komandan Regu yang sedang tertawa-tawa, sampai
si pemegang pecut muntah-muntah.
"Huuueeeek, phuih......hayo cepat beset tubuh
anjing pemberontak ini !" sang Komandan Regu
berteriak memberi aba-aba.
Langkah-langkah kaki kuda berketoprakan, tali
kulit tambah menegang, wajah muka orang yang
tertarik kaki dan tangannya berkerinyut otot-otot
tubuhnya menonjol mengadakan perlawanan
mempertahankan nyawanya. Eeeeeeeuuuh........terdengar suara orang
ngeden menahan tarikan keempat kuda-kuda.
itu Tiba-tiba.......... Cres......clus.......plus........buk.......terdengar
suara tali-tali pengikat kaki tangan orang itu tibatiba putus, tubuh orang itu ambruk di tanah.
"Hooaaa......" Kelima penunggang kuda berpakaian tentara negeri itu masih terbengongbengong, tubuh orang yang tadi terikat kaki
tangannya meletik, menyambar pecut yang
menguntai ketanah. Si Komandan Regu ketika terasa pecutnya
terbetot, ia terkejut, tapi sudah terlambat, gagang
pecutnya sudah berpindah ketangan si pemberontak. Tar......tar.....tar......
228 Orang itu memecuti tubuh si Komandan Regu
yang tadi memecuti dirinya, mulutnya berteriak :
"Tayhiap..... mengapa masih sembunyikan diri,
hayo cepat keluar memberesi kawanan anjing
pemerintah ini." Begitu menutup kata-katanya, keempat penunggang kuda sudah menyerang dengan golok
masing-masing kearah orang tadi.
"Hayaaa......mati aku.....tayhiap......"
Tring, tring, treng, trang.........
Terdengar suara golok-golok mental diudara
bertubrukan satu sama lain, berpencar lalu turun
melesat kembali tepat jatuh menancap diatas
empat ekor kepala kuda yang ditunggangi oleh
para penyerang tadi. Terdengar suara ringkik kuda ngusruk ambruk
jatuh kedepan. Sedang tubuh keempat orang
penunggangnya meletik menghindari tubuhnya
tertindih kudanya sendiri.
"Kabur.....!" terdengar perintah si Komandan
Regu yang tadi memegang pecut sambil menarik
les kudanya meninggalkan rimba itu, diikuti oleh
melesat empat bayangan lainnya.
"Tayhiap, aku si pengemis cilik Ho Ho....."
Terdengar lagi suara orang yang tadi terikat kaki
dan tangannya dengan tali-tali kulit yang ditarik
oleh empat ekor kuda. Begitu jiwanya tertolong ia
lantas pentang mulut. Tapi baru sampai kata Ho
Ho diucapkan matanya terbelalak lebar, mulutnya
menganga ia duduk numprah di tanah belukar.
229 Diatas dahan pohon sudah tampak duduk
seorang pemuda berpakaian pelajar berumur
sebaya dengan si pengemis Ho Ho, kehadiran si
pemuda bagaimana ia tidak sampai

Pusaka Pedang Embun Lanjutan Sin Tiauw Thian Lam Karya Sin Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengetahuinya, toch tadi ia terlentang, menghadap
langit, persis dibawah pohon di mana si pemuda
itu duduk. Ia yakin si pemuda inilah yang telah
menolong dirinya. Ternyata usia orang itu semuda
usianya sendiri. Saking herannya ia duduk lemas
numprah di tanah. Si pemuda yang duduk diatas dahan pohon
bukan lain daripada Liong Houw, si pemuda yang
berpenyakit rindu. Begitu si pengemis cilik Ho Ho bangun berdiri,
Liong Houw sudah berada disampingnya.
Mulut Ho Ho menganga, Liong Houw sudah
memperkenalkan dirinya: "Aku Liong Houw.
Bagaimana sebutan nama saudara ?"
Ho Ho melengak mendengar pertanyaan Liong
Houw, toch tadi ia sudah perkenalkan namanya Ho
Ho, mengapa bocah ini bertanya lagi ?
Ho Ho berpikir begitu ia tidak tahu keadaan jiwa
si pemuda yang sedang diamuk rindu. Meskipun
tangannya tadi bergerak menolong Ho Ho, tapi
pikiran Liong Houw melayang-layang kewajah si
nona jelita. Hingga apa yang tadi diucapkan Ho Ho
ia tidak mendengarnya. "Ah.......... mungkin tadi saudara Liong Houw
tidak dengar aku sudah perkenalkan diri, aku si
pengemis cilik Ho Ho," kata Ho Ho mengulangi,
sambil senyum dibuat-buat.
230 "Oh, ya, ya,.........betul pikiranku sedang ruwet!"
jawab Liong Houw cepat. "Sudahlah!" kata Ho Ho. "Ilmu kepandaian
saudara hebat. Aku sangat kagum, kukira tadi
orang yang telah menolongku tentu sebangsa
nenek-nenek peot, atau kakek-kakek kerempeng,
tak taunya kau......."
"Ha, ha, hua, haaaaaaa........." keduanya tertawa
geli. Liong Houw dengan senyum-senyum berkata :
"Saudara Ho Ho, bagaimana saudara bisa sampai
dianiaya orang-orang itu?"
"Huh............ anak-anak anjing pemerintah itu,
sungguh tidak kuduga mereka juga memiliki
kepandaian begitu lumayan. Ketika aku mendengar
berita guruku sudah dikeram dikamar perdeo
pembesar anjing di Pak-kia, aku menyatroni
tempat itu untuk membebaskan suhuku, tapi
belum apa-apa sudah kekepung duluan, sampai
beberapa hari aku dikejar-kejar kedalam rimba ini.
Untung saudara Liong Houw datang. Eh, ilmu apa
yang tadi kau gunakan ?" tanya Ho Ho.
"Ah, itu ilmu biasa saja, ilmu itu bukan ilmu
apa-apa hanya ilmu totokan jarak jauh, juga tidak
sulit untuk mempelajarinya, dalam waktu dua hari
juga sudah bisa !" Mulut Ho Ho kembali dibuat menganga lebar
mendengar keterangan Liong Houw, betapa tidak,
sebagai anak gembel yang bergelandangan didunia
Kang-ouw, ia sudah pernah mendengar nama ilmu
totokan jarak jauh, ilmu itu adalah ilmu yang
231 sudah ratusan tahun lenyap dari muka bumi, ia
belum pernah mendengar ada tokoh silat yang
memiliki ilmu yang sudah lama lenyap itu.
Mengapa? Mengapa si Liong Houw ini menyebutnya
bukan ilmu apa-apa, bahkan dikatakannya dalam
tempo dua hari bisa mempelajari ilmu totokan itu,
apakah betul-betul ia sedang menghadapi seorang
pemuda gendeng? "Hei," tegur Liong Houw menyaksikan sikap Ho
Ho yang hanja terlongong-longong saja.
"Aha....." Ho Ho sadar lalu bertanya : "Ilmu
totokan itu, apakah namanya ?"
Liong Houw mendapat pertanyaan begitu
menjadi bingung, ia tidak tahu apa nama ilmu
totokan itu, didalam kitab pelajaran yang diberikan
oleh Kak Wan Kie-su, buku itu tidak bernama.
Dikulit buku hanya terdapat lukisan-lukisan
bunga. Sedang Kak Wan Kie-su sendiri tidak
memberitahukan ilmu itu ilmu apa, mengingat
lukisan-lukisan bunga dikulit buku, ia berkata :
"Ilmu totokan itu namanya bunga-bunga gugur
kebumi !" "Waduh! .......... Nama yang romantis, bungabunga gugur kebumi! Tentunya bunga yang sudah
terhisap madunya oleh sang kumbang jalang,"
ucapan Ho Ho yang asal keluar dari mulutnya
membuat selembar wajah Liong Houw menjadi
merah. Menyaksikan perobahan wajah Liong Houw
cepat Ho Ho berkata : "Maafkan, maafkan ......
bukan maksudku." 232 "Tidak apa-apa......." memotong Liong Houw.
"Siapakah guru saudara Ho Ho itu ?"
"Pie-tet Sin-kay, si pengemis gila politik !" jawab
Ho Ho agak kesal yang gurunya begitu keranjingan
politik, akibatnya sang guru harus mendekam
dikamar tahanan dikota Pak-kia.
"Apakah saudara Liong Houw juga kenal pada
guruku ?" Liong Houw menggeleng kepala.
Ho Ho heran, lalu tanyanya lagi ; "Apakah
saudara Liong Houw baru turun gunung ? Sampai
tak mengetahui seluk beluk dunia Kang-ouw ?"
Liong Houw hanya tersenyum-senyum pahit, ia
tidak bisa menjawab pertanyaan itu.
Si pengemis cilik Ho Ho berkata lagi : "Saudara
Liong Houw, kemana tujuanmu ?"
Liong Houw bingung, kemana tujuannya, ya, ia
sendiri tak tahu mau kemana. Selama ini
langkahnya digerakkan hanya mencari bayangan si
nona jelita. Selagi Liong Houw masih bingung Ho Ho sudah
berkata lagi : "Saudara Liong Houw, kalau kau
tidak ada tujuan apakah tidak keberatan berjalan
bersama anak gembel busuk seperti aku?"
"Saudara Ho Ho, jika kau sudi berjalan
bersamaku, aku juga tidak keberatan. Tapi hujan
masih turun deras, bagaimana, apakah kita
meneruskan perjalanan juga ?"
233 "Ya, tentu saja, berdiam disini juga kehujanan !
Bagaimana sih pikiran saudara Liong Houw ini,
kata-katamu selalu ngawur seperti orang lagi
mabok asmara." Lagi-lagi kata-kata si pengemis licik Ho Ho
membuat selembar wajah Liong Houw menjadi
merah. Diantara berkelebatnya sinar kilat berjalan
dua sosok bayangan, seorang berpakaian pelajar,
seorang lagi berpakaian compang-camping dekil.
Mereka berjalan mengobrol sambil tertawa-tawa
tanpa memperdulikan air hujan yang membuat
baju mereka lepek, basah kuyup.
Pada suatu hari, perjalanan mereka tiba di
kampung Ciu-kee-cun diluar kota Cee lam-hu
dipropinsi Shoatang. Mendadak, mereka mendengar suara tangisan
seorang wanita yang sangat menyedihkan. Liong
Houw dan Ho Ho dengan perasaan heran mereka
menghampiri dari mana datangnya suara tangisan
tadi. Ternyata suara tangisan itu datang dari sebuah
rumah kayu yang bangunannya sangat sederhana.
Mereka mengetuk pintu. Tapi tak terdengar suara
jawaban dari dalam, yang terdengar hanya suara
tangisan. Si pengemis cilik Ho Ho yang beradat
duksrulung mendorong daun pintu, ternyata pintu
tidak terkunci, ia berkata pada Liong Houw,
"Saudara Liong, kalau ingin tahu apa yang terjadi
didalam rimba persilatan, jangan pakai aturanaturan kesopanan segala, hayo masuk!" kakinya
melangkah kedalam. 234 Liong Houw mengikuti masuk. Didalam kamar,
duduk seorang nenek tua menelungkupkan
kepalanya diatas meja, ia menangis menggerunggerung. Mendengar ada suara orang masuk, ia
dongakkan kepalanya, kemudian ditelungkupkan
kembali menangis sesenggukan.
"Lopekbo !" tanya Ho Ho, "Kau tua bangka
mengapa nangis seperti anak kecil? Apakah kau
bisa memberi keterangan, mungkin kawanku yang
baik hati ini bisa menolong kesulitanmu !"
Orang tua itu ketika mendengar pertanyaan Ho
Ho mengangkat kepalanya, matanya basah
mendelik, lalu ditelungkupkan lagi menangis
sesenggukan. Ho Ho menoleh kearah Liong Houw. Tangan
Liong Houw memegang pundak Ho Ho menyuruh ia
menyingkir. Kemudian Liong Houw menghampiri si
nenek, bertanya ; "Nenek, mendengar suara isak
tangismu, hatiku turut sedih, apakah yang
membuat nenek sesedih ini, bisakah menceritakan
sebab-sebabnya, mungkin aku bisa menolong
meringankan penderitaan nenek!"
Si nenek ketika mendengar kata-kata yang
belakangan ternyata lebih sopan, hatinya tergerak,
ia angkat kepalanya, dadanya masih sesenggukkan, matanya memandang ke arah Ho
Ho. Cepat Ho Ho buang muka. Setelah itu si orang
tua menatap wajah Liong Houw, baru berkata: "Oh,
siucay! Aku punya penderitaan kau juga tak
mungkin bisa menolong!"
235 "Lopekbo! Harap jangan khawatir," berkata
Liong Houw, "Ceritakanlah apa yang menyebabkan
nenek bersedih seperti ini."
Si nenek yang dihujani pertanyaan Liong Houw,
ia menceritakan apa sebabnya ia bersedih: "Aku
she Sian, majikanku almarhum benama Ciu Liang
Seng, mempunyai satu anak perempuan, pada
suatu hari, enam tahun berselang, ketika anak
perempuan majikanku baru berumur enam tahun,
entah mengapa mereka suami istri tiba-tiba
kedapatan mati dibunuh orang dengan badan
berlumuran darah. Hanya tinggal hidup Liu Ing,
anak perempuan majikanku itu, selang beberapa
tahun harta benda habis kujual untuk menutupi
biaya hidup merawat Liu lng, sampai akhirnya aku
tinggal digubuk ini, dan Liu Ing sudah berusia
enambelas tahun." Nenek itu kembali menelungkupkan kepalanya
diatas meja menangis lagi menggerung-gerung.
"Nenek......." tegur Liong Houw.
"Haa, hih, huh,......."nenek itu mengangkat
kepalannya sesenggukkan lalu berkata: "Kemarin
sore, datang seorang hweeshio kerumahku,
hweeshio itu minta sedekah, tadi oleh karena
keadaanku juga sangat miskin, maka aku tidak
bisa memberikan derma padanya, hweeshio gundul
tempo melihat pada Liu Ing, ia memandang dengan
wajah menjemukan sekali, lalu ia segera berjalan
pergi. Siapa duga, pagi-pagi ini dengan mendadak
Liu lng lenyap entah kemana perginya, aku sudah
mencari ubek-ubekan tapi tidak ketemu, lalu aku
pulang kembali kerumah ini menangis."
236 "Apakah nenek mengenali wajah hweeshio yang
datang minta derma?" tanya Liong Houw.
"Hweeshio itu mengenakan pakaian pertapaan
warna hitam, mukanya bengis, dan matanya besar,
tampangnya menyeramkan."
"Oh ! Kalau begitu baiklah nek, tenangkan
pikiranmu, nanti aku akan pergi mencari anak
perempuanmu." berkata Liong Houw sambil
berjalan menghampiri Ho Ho yang masih berdiri
diambang pintu. "Saudara Ho Ho, apakah kita pergi bersama
mencari anak perempuan nenek ini?"
Ho Ho menoleh, katanya: "Huh, kau mau cari
kemana?" dengus Ho Ho ugal-ugalan, "sudah
beberapa kali dirimba persilatan kejadian-kejadian
seperti itu, gadis-gadis lenyap secara misteri,
belum pernah ada orang yang bisa membawa kembali gadis yang hilang."
"Tapi, hilangnya Liu Ing tidak misteri, jejak si
penculik sudah bisa diduga, pasti itu perbuatan
Petualangan Manusia Harimau 7 Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying Dalam Derai Hujan 5
^