Pencarian

Pusaka Pedang Embun 2

Pusaka Pedang Embun Lanjutan Sin Tiauw Thian Lam Karya Sin Liong Bagian 2


Dengan kedua jari tangannya, Kim-ce Lonnie
melowekan pakaian kulit macan yang terobek
78 terpapas pedang, kemudian menaburi obat bubuk
pada luka si pemuda. Kim-ce Lonnie kembali kemeja duduk dihadapan
Pie-tet Sin-kay. Si pemuda masih duduk bengong terlongonglongong. Tambah lama, ia rasakan sakit pada
lukanya berkurang, darah yang mengucur terhenti.
Matanya terkatup ia tidur ngorok dibangku.
Leng-ko, si pemilik rumah makan dan dua orang
pelayan yang tadi pingsan kini sudah mulai
siuman, mereka memijit-mijit kepalanya dengan
sempoyongan bangun berdiri.
Mata mereka mendelik kearah si pemuda
gondrong dengan pakaian macan loreng, tubuhnya
penuh noda-noda darah sedang menggeros dikursi.
Leng-ko dengan tubuh masih terasa lemas
duduk kembali numprah dilantai rumah makan
memperhatikan si pemuda gondrong.
Seorang pelayan masih bingung, mengambil
sepoci arak, diletakkan diatas meja tanpa diminta,
mata Pie-tet Sin-kay terus mengawasi kearah
dimana duduknya si pemuda gondrong.
Kim-ce Lonnie berkata pada Pie-tet Sin-kay.
"Sin-kay, kalau dibiarkan bocah ini keliaran
tidak keruan, kukuatir akan menimbulkan
bencana hebat. Juga ia seperti tidak mengerti
bahasa yang kita gunakan. Apa bocah tuli?"
"Jadi, kau mau bikin apa ?" potong Pie tet
Sinkay ugal-ugalan, "Toch dia tidak berbuat apaapa yang membahayakan, kau perhatikan, apa
79 yang dibuatnya disini? Soal orang orang Bu tong
dan Siauw-lim, salah mereka sendiri, belum apa
sudah naik darah menuduh orang yang bukanbukan. Hm, anggap mereka, orang-orang gundul
itulah orang-orang suci yang tahu tata keadilan
dan kebenaran, mengerti hukum-hukum Tuhan,
menegakkan keadilan dan kebenaran. Nyatanya
baru menghadapi persoalan sekecil ini saja sudah
tidak pakai otak. Menyerang membabi buta, tanpa
selidik lebih dulu seteliti-telitinya !"
Kim-ce Lonnie menarik napas panjang lalu
berkata lagi : "Maksudku biar kuajak bocah ini ke
gunung Bu-san ...." "Kau sudah gila !" potong lagi Pie-tet Sin-kay.
"Kalau kau bawa ia kegunungmu, bagaimana
setelah gurunya tahu, ia berada digunung Bu-san
bersamamu, apakah tidak menimbulkan salah
paham? Kau menculik muridnya. Apa kau tidak
lihat gerakan-gerakan ilmu silat bocah itu sangat
aneh. Tentu gurunya juga sebangsa manusia aneh
yang sulit diajak urusan. Kukira, sebaiknya jangan
mencari soal tetek bengek yang tidak keruan."
"Aku kuatir kalau sampai ia tersesat ke jalan
hitam !" kata Kim-ce Lonnie.
Pie-tet Sin-kay menghirup araknya, ia memandang langit-langit rumah makan, menikmati
selusurnya cairan arak melewati tenggorokannya
berputar dalam perut menghangatkan tubuh. Baru
ia berkata perlahan : "Aku tahu, tapi kurasa tak
mungkin ia sampai terjerumus dalam jalan sesat,
kini jelas sudah bocah inilah yang membikin Sammo Eng-ciauw babak belur."
80 "Apa hubungannya dengan Sam-mo Eng ciauw
dengan arah perjalanan hidup bocah ini ?" Tanya
Kim-ce Lonnie dengan sinar mata tertuju kearah
wajah si pemuda dengan penuh tanda tanya.
"Soalnya toch sudah logis, bocah ini menghajar
Sam-mo Eng-ciauw, tentu iblis ini akan menuntut
balas. Segera tersiar luas tentang munculnya satu
tokoh muda anti iblis. Juga pasti Sam-mo Engciauw akan menghasut semua golongan hitam
untuk membasmi bocah itu. Mereka akan
mengejar-ngejar si bocah yang dianggapnya biang
bencana kehancuran golongan mereka. Hanya
inipun, jika dugaanku betul, si bocah ini yang
pernah menghajar Sam-mo Eng-ciauw."
Kim Ce Lonnie berkata : "Orang-orang Bu-tongpay dan Siauw-lim-pay juga akan menyiarkan
bahwa bocah itulah satu siluman yang harus
ditumpas, bukankah begitu ?"
"Nggg............" dengus Pie-tet Sin-kay.
"Urusan ini harus segera dibikin bersih, partaipartai rimba persilatan harus segera diberitahu
duduk perkara yang sebenarnya, sebelum mereka
terhasut oleh Sung-ceng San totiang dan Tie-kak
hweeshio. Kukira kita harus bagi tugas. Aku akan
ke gereja Siauw-lim-sie, menjelaskan tentang
kesalah pahaman ini. Kau ke Kun-lun-san,
menjelaskan tentang munculnya si bocah dalam
rimba persilatan serta minta bantuan mereka
mengawasi gerak gerik si bocah, jangan sampai
terperosok ke jalan yang sesat. Setelah itu, Go-biepay, Swat-san-pay, Ceng-san-pay dan lainnya lagi.
81 Masing-masing kita mengambil arah jalan yang
berdekatan !" "Bagaimana Bu-tong-pay?" tanya Kim-ce Lonnie,
"Siapa yang akan pergi kesana ?"
Pie-tet Sin-kay menjawab; "Soal Bu-tong-pay
jangan kita gubris dulu, tidak ada gunanya. Sungceng San totiang sangat sulit diberi mengerti, biar
ia insaf sendiri akan kekeliruannya. Yang perlu,
dijaga jangan sampai hasutan-hasutan Sung-ceng
San totiang masuk ketelinga ketua-ketua partai
lainnya. Kukira sudah cukup!"
Si pemuda yang masih menggeros tidur di kursi
tiba-tiba dikejutkan oleh lompatnya seekor monyet
hitam keatas bahunya. la tersentak bangun.
Bangkit dari duduknya, setelah memperhatikan
keadaan dalam rumah makan itu, ia melangkah
keluar diikuti si monyet hitam.
Langkahnya terus diayun meninggalkan kota
Siao-shia yang telah membawa kecewa bagi
harapannya. Ia mengembara dari satu puncak gunung
kepuncak gunung, dari satu lembah ke lembah
lain, dari hutan kehutan, mengikuti irama gelora
naluri jiwanya, untuk bergaul dalam pergaulan
hidup manusia sesamanya. Tapi baru saja ia melangkahkan kakinya pada
satu pergaulan hidup dikota Siao-shia, dengan
ramai senyuman diwajahnya penuh rasa gembira
tak terkira, apa yang ia cari selama ini ia telah
ditemukan. Itulah pergaulan hidup manusia.
Harapan jauh dari kenyataan !
82 Sambutan manusia itu begitu kejam mengeroyok
dirinya tanpa salah tanpa dosa, melukai tubuhnya,
menyakiti hatinya yang hampa.
Kini, dengan rasa pilu, hanya ditemani oleh
monyet hitam, kembali memasuki kehidupan
lamanya didalam hutan belantara. Jauh dari
kehidupan manusia. Jauh dari angkara murka.
Jauh dari segala tipu muslihat sifat-sifat licik
manusia tamak. o o o?d-w? o o o Hari berganti, musim berputar silih berganti,
setengah tahun telah dilewatkan.
Sore itu hujan rintik-rintik membasahi bumi,
tanah-tanah belukar becek tersiram air, daun
pohon bergoyang tertiup angin basah. Kilat
berkeredepan, petir mengguruh dilangit hitam.
Hujan tambah lama tambah lebat, dari jauh
terdengar derap langkah kaki kuda diiringi suara
mengkereteknya roda kereta.
Dalam cuaca gelap, langit menghitam, tampak
empat orang penunggang kuda dengan pakaian
sudah basah kuyup tersiram air hujan yang
ditumpahkan dari langit. Tiga diantaranya orang laki-laki pertengahan
umur. Berbadan tegap. Dipinggang masing-masing
tergantung sebilah golok. Mereka mencongklangkan kuda masing-masing, kepalanya
menoleh kekiri kanan, seakan mencari tempat
meneduh. 83 Seorang yang berkuda disamping kereta adalah
seorang gadis berpakaian sutera putih, umurnya
kira-kira diantara tujuh belasan tahun. Parasnya
cantik jelita, rambutnya mengurai basah dibalut.
Tampak jelas lekuk-lekuk tubuh bagian dadanya
membusung keluar, dilapisi kain sutera putih tipis
basah kuyup. Diatas kereta duduk seorang kusir kereta,
berusia kita-kita empat puluh tahunan. Wajah
tuanya masih tampak gagah kedinginan.
"Nona," tiba-tiba terdengar suara salah seorang
penunggang kuda dimukanya. "Kukira sulit
mencari tempat meneduh didaerah pegunungan
ini." "Hmm." terdengar si nona mendengus, "kita
harus cepat cari tempat meneduh, hari sudah
hampir malam, dalam keadaan hujan begini, tidak
mungkin bisa melanjutkan perjalanan." berkata si
nona. Derap langkah kaki kuda terdengar lambatlambat, satu satu diiring suara mengkereteknya
roda-roda kereta. Petir menyambar-nyambar
dilangit. "Nona, samar-samar kulihat didalam rimba
disebelah kanan depan ada bangunan." terdengar
lagi satu suara penunggang kuda.
"Berhenti ! Kalian tunggu disini, aku akan
selidiki tempat itu." kata si nona sambil membedal
kudanya memasuki rimba, menuju bangunan
didalam rimba. 84 Ternyata bangunan itu adalah satu kelenteng
tua yang sudah rusak, sudah tidak pernah
dikunjungi manusia lagi. Setelah menyelidik keadaan kelenteng itu, tidak
terdapat seorang yang tinggal di dalam kelenteng,
si nona kembali kearah rombongannya, memerintahkan semua rombongan menuju kearah
kelenteng rusak itu. "Su Hay, ajak kawan-kawanmu cepat kesana!"
Perintah si gadis sambil menunjuk kearah
kelenteng. Dalam cuaca hujan lebat, terdengar suara
Iangkah-Iangkah kaki kuda, kretek-kretekan roda
kereta, suara-suara dahan-dahan pohon bergeseran dengan badan kereta, bergemercik
butiran air-air berlompatan tersentak dahan-dahan
pohon yang beradu dengan badan kereta yang
oleng-oleng melewati jalan dirimba raya menuju
kelenteng rusak. Sampai dimuka kelenteng rusak, rombongan itu
istirahat dalam kelenteng, mereka berganti pakaian
masing-masing. Lantai kelenteng sangat kotor, semua yang ada
dalam kelenteng itu sudah basah, tersiram air yang
menetes dari genteng-genteng pecah, hingga sulit
mendapatkan bahan guna memasang api unggun
ditempat itu. Si nona berjalan masuk keruangan kedua dalam
kelenteng itu, merupakan ruangan Thian-ongthian, dalam ruangan agak gelap, disana disebelah
kanan ruangan samar-samar tampak masih berdiri
85 tegak sebuah patung yang sangat tinggi besar
hingga hampir-hampir sampai dipiannya kelenteng,
disamping bawah patung besar itu terdapat satu
patung macan yang mendekam.
Dalam keadaan cuaca remang-remang, masih
tampak lekuk-lekuk tubuh si nona. Disana ia buka
pakaian basahnya. Tapi baru saja menggerakkan tangan membuka
pakaian, tiba-tiba diluar kelenteng terdengar
jeritan-jeritan makian dan suara beradunya senjata
tajam. "Bangsat! Rampok dari mana berani main gila
disini !" terdengar suara salah seorang anggota
rombongan si nona. Mendengar keributan itu si nona batal membuka
pakaiannya, ia segera melesat ke luar.
Diluar kelenteng tampak puluhan orang sedang
bertempur mengurung empat orang anggota
rombongan si nona. "Hentikan pertempuran !" bentak si nona.
Mendengar suara bentakan yang nyaring merdu,
kedua pihak menghentikan pertempuran.


Pusaka Pedang Embun Lanjutan Sin Tiauw Thian Lam Karya Sin Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Terdengar suara seorang tertawa berkakakan :
"Ha, ha, ha, .... nona manis, hujan begini besar,
untuk apa kau harus diam di kelenteng bobrok,
lebih baik ikut aku tidur dirumahku, bukankah
lebih hangat, ha, ha, hua, hua,....... "
Orang yang bicara sambil tertawa ternyata
seorang laki-laki berhidung bengkung seperti
paruh burung betet, bermata belo, kumis dan
86 jenggot kasar, bertubuh tinggi besar kepala bagian
tengahnya botak seperti kepala profesor.
Si nona menyaksikan orang dihadapannya, ia
segera sadar ia sedang berhadapan dengan kepala
gerombolan berandal. Maka lalu membentaknya :
"Bajingan. Bacotmu akan membawa akibat
pisahnya kepala dari tempat asalnya!"
"Ih, mulutmu tajam!" kata orang berhidung
lengkung. "Kau harus tahu, sedang berhadapan
dengan si raja penyamun Bo-siang, anggota Gokong-nia, sebetulnya aku ingin merampas barangbarangmu segerobak. Tapi melihat wajahmu,
semangatku sudah terbang kesurga, kupikir lebih
baik mengambil kau jadi isteriku, barang-barang
itu akan kuhadiahkan padamu, haaaa......"
Belum lagi mulut Bo-siang si Raja Penyamun
terkatup, tiba-tiba berkeredap bayangan putih,
bagaikan kilat, disana sudah menggeletak empat
orang anggota penyamun Bo-siang.
Bukan kepalang terkejutnya si Raja Penyamun
Bo-siang, matanya melotot keluar, bentaknya:
"Sundel, kau berani membunuh anak buahku,
diajak kesorga minta keneraka."
Sinar putih berkeredap kembali memapas leher
si Raja Penyamun Bo-siang.
Gerakan si Raja Penyamun juga cepat, ia lompat
mundur kebelakang menghindari serangan pedang
si nona manis. Kembali berjatuhan tiga korban, dengan kepala
menggelinding terpisah dari badan terkena
sambaran pedang si nona jelita.
87 Si Raja penyamun Bo-Siang membentak :
"Perempuan liar, kau rasakan pelor beracun
gendewaku, hayo serbu !"
Hujan masih turun dengan deras, pertempuran
sengit berlangsung dengan gigihnya, masingmasing mempertahankan nyawanya.
Disatu pihak terjadi pertempuran empat lawan
belasan orang, mereka bertempur dengan sengit,
suara benturan senjata tajam ramai berdentang
dengan diiringi deraian air hujan membasahi bumi.
Pihak lain, tampak berkelebat-kelebat sinar
putih, dikurung puluhan sinar-sinar hitam peluru
gendewa meluncur cepat mengurung tubuh si
nona. Sinar pedang terbentur peluru-peluru gendewa
beracun si Raja Penyamun Bo Siang.
Terdengar suara trang, tring, trang, tring ramai
sekali. Tampak si Raja Penyamun Bo Siang terdesak
mundur oleh sinar putih pedang si nona. Bo Siang
mundur tidak sanggup melayani gerakan pedang si
nona. Menampak sipemimpin terdesak, para pengeroyok
semangat. Raja sudah Penyamun kehilangan Keadaan ini menguntungkan pihak rombongan
si nona yang sudah kewalahan menghadapi
keroyokan-keroyokan, satu diantaranya sudah
terluka. 88 Mendapat kenyataan keroyokan mereka mendadak menjadi kendor, semangat empat orang
itu terbangun kembali, meskipun seorang diantaranya sudah terluka.
Si nona menampak lawannya sudah keteter ia
berteriak : "Hm, sebelum kepalamu menggelinding,
agar kau tidak mati penasaran, kau ingat baik-baik
siapa yang membuat kepalamu menggelinding
ditanah, ha, ha, ha. Inilah Bo-tay-tiong-kiam Lie
Eng Eng ...." "Huah" Bukan kepalang terkejutnya kawanan
si Raja Penyamun mendengar nama Bo-tay-tiongkiam Lie Eng Eng, mereka pernah dengar nama
dan kehebatan Lie Eng Eng dengan pedang Ang-lopo-kiamnya.
Tapi belum lagi habis kejutnya si Raja Penyamun
Bo-siang, dengan dibarengi suara petir menggeletar
diangkasa kepala Bo-siang menggelinding ditanah,
tubuhnya terjengkang kelejetan kemudian tak
berkutik lagi. Menampak pemimpinnya rubuh, mereka lari
pontang-panting. Bo-tay-tiong-kiam si Pedang Macan Betina Lie
Eng Eng mengkepret-kepretkan pedangnya yang
penuh darah, berulang-ulang disiram butiranbutiran air hujan yang masih turun tak hentihentinya. Kemudian ia berkata kepada keempat
orang rombongannya: "Su Hay, Kay Sin segera
obati luka-lukamu kalian istirahatlah. Besok pagi
kita berangkat." Mereka memasuki ke kelenteng rusak itu.
89 Lie Eng, Eng, si pedang macan betina memasuki
ruangan Thian ong-thian dengan membawa
buntalan kulitnya saat itu cuaca sudah menjadi
gelap. Diruangan Thian ong-thian, ia membuka
pakaiannya yang basah bertukar dengan pakaian
kering. Lie Eng Eng tidak ragu-ragu, ia segera membuka
pakaian basahnya telanjang bulat. Di luar hujan
makin lebat halilintar bergelugur diangkasa.
Kita tinggalkan dahulu cerita si Pedang Macan
Betina Lie Eng Eng yang didalam kelenteng tua.
Untuk lebih jelas mengikuti jalan cerita, mari
ikuti lebih dahulu riwayat si Pedang Macan Betina
Lie Eng Eng. Sembilan tahun yang lalu dikota Sin-Ciu-hu
dipropinsi Ouw-lam, tinggal seorang piauwsu
bernama Lie Siang Hui. Lie Siang Hui mempunyai seorang putri bernama
Lie Eng Eng yang masih berusia delapan tahun.
Sejak kecil Lie Eng Eng sudah dilatih ilmu silat
oleh ayahnya sendiri. yang mana sebagai seorang
Piauwsu Lie Siang Hui memiliki ilmu silat yang
tidak rendah. Lie Eng Eng sebagai anak perempuan yang
waktu itu masih berumur delapan tahun, senang
bermain berlarian kesana kemari, memetik bungabunga, menangkap kupu-kupu.
Pada suatu hari tepat pada musim salju dimana
salju memutih menyirami bumi, membuat
90 pemandangan diatas bumi seakan ditaburi perak
memutih menutupi seluruh isi bumi.
Daun-daun pohon memutih seakan bungabunga perak menghias persada. Diantara batangbatang pohon memutih dibelakang rumah, disana
bermain-main Lie Eng Eng dengan mengenakan
baju tebal melindungi dingin tubuhnya, ia
memukul-memukul salju-salju yang bertebaran
diatas dahan-dahan pohon berlari-larian kesana
kemari. Lie Eng Eng yang bermain diantara tumpukan
tumpukan salju, suatu ketika ia tiba pada satu
pohon besar, dibawah pohon besar disana
menampak satu gundukan salju memutih.
Menampak tumpukan salju yang membujur,
timbul kegembiraan Lie Eng Eng, ia berlompatan
menghampiri tumpukan salju itu, kakinya
digerakkan menendang bagian tengah tumpukan
salju itu. Begitu kakinya hampir mengenai tumpukan
salju, tiba-tiba ia terkejut, "Eh........." kaki yang
sudah diayun ditahan. Ia berdiri terpaku ditempat
itu. Matanya terbelalak. Ternyata dibawah pohon tampak olehnya satu
kepala manusia terlentang menghadap langit,
mukanya sudah penuh dengan butiran butiran
salju yang bertaburan menimpa wajahnya.
Melihat itu Lie Eng Eng berpikir : "Siapa
gerangan orang ini? Bagaimana ia bisa mati
ditempat ini?" 91 Berpikir begitu, mengingat tentang orang mati,
Lie Eng Eng menjadi ketakutan, ia menjerit
tertahan : "Ayah..........."
Jeritan baru sampai disitu tiba-tiba mata orang
itu terbuka, kepalanya agak bergerak lapat-lapat
terdengar suara orang itu berkata lemah: "Siauw
moay-moay........." mata terkatup kembali.
Mendengar orang itu masih bisa bicara, rasa
takut Lie Eng Eng lenyap mendadak, ia berjongkok
menghampiri orang itu, tangannya segera digerakkan menyingkirkan salju-salju yang menutupi wajah dan tubuh orang itu.
Ternyata itulah wajah seorang tua.
Lie Eng Eng menggoyang-goyangkan tubuh
orang tua itu sambil katanya ; "Lopek! Kau........
bagaimana tidur di tempat penuh salju ini, apakah
kau tidak dingin ?" Mendengar Lie Eng Eng bertanya kepadanya,
orang tua itu membuka matanya kembali tampak
mata itu sayu tidak bersinar, orang tua
menggoyang-menggoyangkan kepala lemah, katanya: "Siauw moay-moay........."
Hanya suara itulah yang terdengar dari mulut
orang tua itu. Kembali Lie Eng Eng bertanya lagi : "Lopek
apakah kau sakit ?" Mendengar Lie Eng Eng bertanya lagi, orang tua
itu dengan menguatkan tenaganya berkata:
"Siauw-moay-moay," terdengar suara orang tua itu
lemah tidak bertenaga, ia menghela napas lalu
92 dengan suara lemah melanjutkan ucapannya,
"Sebetulnya begitu tadi malam aku tiba disini
sudah tidak tahan menahan rasa sakit tubuhku,
sudah lima hari dalam perjalanan aku tidak makan
tidak minum, hingga akhirnya jatuh sakit disini,
ah....... mungkin tulang-tulang tuaku akan
terkubur ditempat ini."
Lie Eng Eng mendengar penuturan orang tua itu
hatinya merasa pilu, cepat cepat ia bertanya lagi :
"Lopek, kalau hanya soal makan, aku bisa
membawakan kau mengambil makanan dari
rumahku." "Ah.......kau gadis berhati mulia !"
Kembali orang tua itu berkata sambil mengangguk-angguk kepala, "Terima kasih, Siauw
moay-moay, jika kau sudi, tolonglah ambilkan teh
hangat, untuk kuminum, aku sudah haus sekali."
"Baiklah lopek, tunggu sebentar, akan kuambilkan air teh hangat," kata Lie Eng Eng
menganggukkan kepala. Setelah itu ia berlari
pulang kerumah mengambil tiga potong bakpau
dari dapur dan satu teko air teh berikut satu
cawan. Lie Eng Eng berlari kembali ketempat di mana
orang tua itu menggeletak, dibawah pohon
dibelakang halaman rumahnya.
Melihat Lie Eng Eng sudah kembali dengan
membawa satu teko air dan beberapa bakpau,
orang tua itu membuka matanya.
Segera Lie Eng Eng berkata : "Lopek, kubawakan
tiga potong bakpau dan satu teko air teh, hanya air
93 teh ini sudah agak dingin, sebetulnya baru saja
masak belum lama, tapi karena cuaca dingin
begini, air teh ini menjadi cepat dingin, harap


Pusaka Pedang Embun Lanjutan Sin Tiauw Thian Lam Karya Sin Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lopek minum untuk menghilangkan rasa hausmu,
dan juga ini tiga potong bakpau harap dimakan!"
Orang tua itu segera berkata ; "Siauw-moaymoay, terima kasih atas kebaikan hatimu." setelah
berkata begitu ia mengambil air teh, menuangkan
kedalam cawan segera diteguknya. Kemudian baru
orang tua itu menghabiskan bakpau-bakpau yang
diberikan Lie Eng Eng. 0)0o?d^w?o0(0 SETELAH menghabiskan tiga bakpau tampak
wajah orang tua itu mulai kemerah-merahan.
Melihat perubahan wajah si kakek, Lie Eng Eng
bertanya : "Lopek apakah kau masih lapar, nanti
kuambilkan kembali beberapa potong bakpau."
"Siauw-moay . . . .!" Terdengar orang tua itu
berkata sambil mengangguk kepala. "Hanya bisa
merepotkanmu saja, kalau kau memang masih
sudi memberi pertolongan pada orang tua sakit
sengsara ini. Itulah yang kuharapkan, aku tidak
bisa memberi balasan apa-apa terhadap budi
baikmu." "Ah..... jangan berkata begitu." Kata Lie Eng Eng
cepat. "Tunggulah sebentar akan kuambil beberapa
potong bakpau lagi untuk menyehatkan tubuhmu."
Lie Eng Eng segera lari kembali kedalam
rumahnya, tidak lama ia telah membawa beberapa
potong bakpau segera diserahkan pada orang tua.
94 Katanya: "Lopek, ini beberapa potong bakpau, kau
makanlah." Menyaksikan Lie Eng Eng menyerahkan
beberapa potong bakpau, empek itu berkata:
"Siauw-moay, terima kasih atas kebaikanmu,
seusia masih semuda ini, tapi budi pekertimu
sungguh membuat aku malu, ah...dengan budi
baikmu ini..... disuatu hari kau pasti akan
mendapat pembalasan yang setimpal, semoga
kelak kau mendapatkan kebahagiaan dan kejayaan
dalam hidupmu." Rupanya orang tua itu memang kelaparan,
sesudah berkata begitu, ia segera samber beberapa
potong bakpau, dalam sekejap saja sudah habis
dimakan semua. "Lopek," bertanya Lie Eng Eng, "Bolehkah Lopek
memberitahukan nama dan asal usul Lopek,
bagaimana dalam cuaca sedingin ini bisa tiba
ditempat ini. Toch lebih baik tinggal dirumah, tidak
kedinginan serta mendapat penyakit seperti ini,
ah......bagaimana kalau lopek sampai mati disini
apakah keluargamu tidak akan susah mencarimu......?" Setelah menghabiskan beberapa bakpau lagi,
tampak wajah orang itu menjadi segar, dan
tenaganyapun bertambah, kini ia sudah bisa
duduk bersandar dibatang pohon.
0)0o?d^w?o0(0 95 Jilid ke 03 MENGHELA NAPAS sebentar, si orang tua baru
menjawab pertanyaan Lie Eng Eng, katanya :
"Siauw-moay, sekali lagi atas pertolonganmu
kuucapkan banyak terima kasih ! Ah... sebetulnya
aku sudah tidak mempunyai sanak famili,
keadaanku sedang melarikan diri dari kejarankejaran orang, hingga sampai disini, maksudku
mengunjungi kawan karibku tapi ternyata ia sudah
pindah entah kemana. Dalam perjalananku aku
sangat tergesa-gesa, hingga lupa makan lupa
minum guna menyelamatkan nyawaku dari
kejaran-kejaran orang, begitu aku sampai disini,
tiba-tiba terserang penyakit, hingga seluruh
tubuhku menjadi lemes dan tidak bisa digerakkan
barang sedikitpun, lebih-lebih dalam keadaan
sudah beberapa hari tidak makan, maka aku jadi
lebih tidak bertenaga, berjalan selangkah saja aku
tidak mampu. Siao-moay mengenai pertanyaanmu
siapa namaku, ah .... kukira maafkan, cukup kalau
kau mau panggil aku, panggil saja dengan sebutan
Lo-thian-kiong ......"
Berkata sampai disitu ayah Lie Eng Eng
mendadak muncul ditempat itu, katanya : "Hai,
Eng-jie, dalam hujan salju seperti ini mengapa kau
berkeliaran ditempat ini, eh........siapa orang tua
itu ? Mengapa ia berada disini ?"
Menyaksikan ayahnya datang, Lie Eng Eng
merengek-rengek kepada ayahnya sambil memegang lengan ayahnya ia berkata : "Ayah, lopek
ini sudah beberapa hari tidak makan, ia juga
sedang sakit, melihat keadaan demikian, aku
sudah mengambilkan beberapa potong bakpau dan
96 seteko air teh untuk diberikan kepadanya,
sungguh kasihan lopek ini, ia menderita penyakit
bengek." Mendengar penuturan anaknya, Lie Siang Hui
mengangguk-anggukkan kepalanya, kemudian ia
bertanya kepada orang tua itu, siapa nama dan
shenya serta datang dari mana.
Orang tua itu menjawab ; "Siecu, dengan terus
terang kukatakan sebetulnya aku sudah tidak
punya sanak saudara, rumahpun tak ada, karena
mengingat dahulu ada kawan karibku disini, maka
aku datang kemari untuk minta bantuannya
tinggal dirumahnya, sebetulnya aku adalah
seorang yang sedang buron dari perkumpulan Kolo-hwee. Sebelum aku masuk anggota Ko-lo-hwee,
aku suka mengembara kesana kemari menyumbangkan sedikit tenaga menolong pihak
lemah, pada suatu hari, kudengar ada perkumpulan Ko-lo-hwee, dimana perkumpulan itu
katanya terdiri dari kaum pendekar-pendekar
budiman, pembela keadilan dan kebenaran, karena
tertarik oleh motto semboyan itu aku segera masuk
menjadi anggota perkumpulan tersebut, tapi
setelah tujuh tahun aku menjadi anggota
perkumpulan itu, ah....... ternyata itu adalah
perkumpulan bangsa manusia berhati binatang,
ketika aku sadar, sudah terlambat ! Maju berat,
mundurpun sulit, tapi jiwaku tidak bisa lama-lama
bercampur gaul dengan bajingan berkedok
pendekar budiman, aku melarikan diri. Dikejarkejar oleh anggota perkumpulan itu sampai ditempat ini aku jatuh sakit."
97 Lie Siang Hui mendengar penuturan itu terkejut,
tanyanya, "Ah, jadi kau juga salah seorang anggota
perkumpulan Ko-lo-hwee?"
"Apa mau dikata," kata orang tua itu menghela
napas. "Nasi sudah jadi bubur tidak perlu
diceritakan panjang lebar, menyesalpun tak ada
gunanya." "Loko!" berkata lagi Lie Siang Hui, "Lebih baik
kau tinggal dulu disini, rumahku masih cukup
kamar, saat ini musim dingin jangan berkeliaran
tidak ada tujuan, lebih-lebih kesehatan loko
merosot begitu rupa, tinggallah bersamaku, nanti
setelah musim dingin berlalu, baru loko
melanjutkan perjalananmu."
Loko adalah panggilan yang lazim kepada orang
yang sederajat atau kedudukan lebih tinggi
darinya. Mendengar ucapan Lie Siang Hui orang tua itu
lalu berdiri dengan susah payah kemudian
membongkokkan tubuhnya memberi hormat dan
berkata: "Terima kasih atas kecintaan siecu, budi
baik siecu tidak akan kulupakan seumur hidup,
bila saja Tuhan memberi umur panjang, pasti
suatu hari akan kubalas budi besar lie-sicu ini !"
Lie Siang Hui berkata lagi: "Loko tidak usah
berkata begitu, toch sudah seharusnya kita sesama
manusia saling tolong menolong tidak perlu dipikir
panjang. Mari ikut kami pulang kerumah."
Lie Siang Hui, Lie Eng Eng berjalan pergi diikuti
si orang tua. 98 "Eng-jie." berkata Lie Siang Hui sesampainya
dirumah. "Bersihkan kamar untuk Lopek ini
istirahat." Hari berganti hari, waktu diliwatkan begitu
cepat, sebulan telah berlalu.
Seperti biasa sore itu Lie Siang Hui suami isteri,
Lie Eng Eng dan orang tua yang ditolong mereka,
duduk-duduk dimeja ruangan tengah sambil
minum teh. Tampak mereka merupakan satu
keluarga ideal. Meskipun si orang tua itu tidak ada
hubungan keluarga dengan mereka, tapi Lie Siang
Hui sudah menganggapnya sebagai keluarga
sendiri. Selama satu bulan itu, mereka merawatnya
dengan penuh perhatian, sampai penyakit
bengeknya sembuh. "Lie siecu." tiba-tiba orang tua itu memecah
kesunyian. "Sudah satu bulan aku tinggal disini
menerima budi baikmu, sebenarnya aku merasa
sangat malu. Terhadap keluarga Lie, aku masih
menyembunyikan asal usulku yang sebenarnya,
maka hari ini aku ingin menceritakan hal yang
sebenarnya, siapa dan orang macam apa aku
ini......" "Lo-ko !" memotong Lie Siang Hui. "Kita sudah
seperti saudara sendiri, apa yang kau anggap perlu
diceritakan tuturkanlah, mengenai selama ini Loko tidak menerangkan asal usulmu akupun
mengerti, dalam keadaan dikejar-kejar oleh orang
Ko lo-hwee, sudah tentu Loko harus berhatiberhati dalam keadaan tubuh lemah dan penyakitan."
99 Orang tua itu berkata lagi : "Aku she Ong nama
Pek Ciauw, orang-orang rimba persilatan menyebutku Sin-kiong-kiam Ong Pek Ciauw ...."
"Aaaa .......!" Lie Siang Hui terkejut, "Ternyata
Loko adalah Sin-kiong-kiam Ong Pek Ciauw yang
namanya menggetarkan lima provinsi barat dan
selatan!" Ternyata orang tua yang menyebut dirinya Lo
thiau-kiong, yang selama satu bulan tinggal dalam
rumah keluarga Lie, adalah Sin-kiong-kiam Ong
Pek Ciauw yang namanya ditakuti lawan disegani
kawan, karena sifat-sifat ksatria yang dimiliki oleh
Sin-kiong-kiam Ong Pek Ciauw, membela yang
lemah membasmi yang kuat tapi jahat.
Sin-kiong-kiam Ong Pek Ciauw berkata lagi ; L?ie
siecu, sebetulnya aku bukan takut mati, melarikan
diri dan orang-orang Ko-lo-hwee semula. Aku
memasuki perkumpulan itu tertarik oleh motto
semboyan golongan Ko-lo-hwee membela keadilan
dan kebenaran. Tapi setelah menjadi anggota selama beberapa tahun baru kuketahui bahwa motto
yang dipergunakan mereka adalah kedok belaka.
Belakangan aku juga dapat mengendus tentang
sebab-sebab menghilangnya saudara angkatku
Thio Ban Liong suami isteri!"
"Loko," Lie Siang Hui memotong lagi. "Apakah
menghilangnya si Pendekar Rajawali Mas Thio Ban
Liong dibawah tangan jahat mereka?"
"Saat ini masih kurang jelas, tapi pasti ada
hubungannya dengan perkumpulan Ko-lo-hwee.
Dengan tidak disengaja aku berhasil menemukan
100 satu barang bukti milik Thio Ban Liang, terdapat
dalam kamar penyimpanan senjata Ko-lo-hwee."
"Barang apakah itu, Loko?" tanya Lie Siang Hui.
"Maaf," kata Ong Pek Ciauw, "bukan tidak sopan
terhadap saudara Lie, tapi karena soal ini masih
dalam penyelidikanku. Juga akibat barang itulah
aku dikejar-kejar oleh orang-orang Ko lo-hwee,
maka aku belum bisa menyebutkannya, kuatir
kalau-kalau keluarga Lie bisa terseret dalam
persengketaan ini. Peristiwa lenyapnya Tio Ban
Liong secara misterius, sebelum dapat kubikin
terang, maka terpaksa aku harus menerima hinaan
orang-orang Ko lo-hwee dengan sabar. Karena
persoalan ini juga menyangkut dengan beberapa
golongan Iainnya." Lie Siang Hui mengangguk-anggukkan kepala
suasana dalam ruangan itu menjadi hening.
Sin-kiong-kiam Ong Pek Ciauw berkata lagi : "Lie
siecu, kalau tidak keberatan, aku yang bodoh ini
ingin menurunkan kebodohanku kepada putrimu
Lie Eng Eng! Hitung-hitung untuk sekedar
kenangan semasa aku tinggal disini."
"Ong Loko, jangan merendah diri, soal kau
hendak menurunkan ilmu silat, aku tidak


Pusaka Pedang Embun Lanjutan Sin Tiauw Thian Lam Karya Sin Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

keberatan, tapi apakah anak itu bisa cocok
menerima semua kepandaianmu, anak itu agak
nakal........masih suka main-main, aku pernah
melatih ia ilmu silat tapi merasa kewalahan
mengajarinya." Ong Pek Ciauw tertawa lalu katanya : "Selama
satu bulan ini, putrimu Eng-jie begitu telaten
101 merawat diriku, denganku" ah rupanya ia berjodoh Wie Houw Eng, ibu Lie Eng Eng yang sejak tadi
diam, tiba-tiba berkata : "Ong tayhiap, harap kau
banyak sabar menghadapi putriku yang binal itu."
Ong Pek Ciauw tertawa mengangguk-anggukkan
kepala, diikuti oleh suara tawa ramai Lie Siang
Hui, hingga ruangan itu ramai dengan suara tawatawa riang mereka.
Besok paginya, Lie Eng Eng mulai menerima
pelajaran ilmu silat dari Sin-kiong-kiam Ong Pek
Ciauw, kemudian diberikan latihan pelajaran ilmu
pedang. Perputaran hari ternyata begitu cepat, tiga tahun
telah dilewatkan. Lie Eng Eng sudah mewarisi ilmu silat dan ilmu
pedang dari Sin-kiong-kiam Ong Pek Ciauw.
Selama itu, keluarga Lie melayani Sin-kiongkiam Ong Pek Ciauw dengan baik, bahkan sudah
menganggap mereka sebagai guru dan murid.
Dua tahun kemudian, Lie Eng Eng sudah
mencapai umur 14 tahun, ia sudah mahir betul
semua kepandaian yang diajarkan oleh Ong Pek
Ciauw. Pagi itu musim semi, burung-burung masih
berkicau, daun-daun pohon masih berembun.
Didalam ruangan tengah rumah keluarga Lie
terdengar Ong Pek Ciauw berkata; "Lie Eng Eng,
sudah cukup waktunya aku harus 102 meninggalkanmu, semua ilmu kepandaianku
sudah kauwarisi dengan sempurna............"
"Suhu........" dengan suara terisak tanpa bisa
dibendung air mata Lie Eng Eng meleleh dikedua
pipinya. "Jangan kau bersedih," cepat Ong Pek Ciauw
berkata lagi. "Dimana ada pertemuan pasti ada
perpisahan, di situ ada kelahiran pasti ada
kematian, lebih-lebih kau yang sudah memiliki
ilmu kepandaian harus berhati kuat menghadapi
segala macam kesulitan dan cobaan-cobaan
hidup." Lie Eng Eng mengangguk, ia menyusut air
matanya yang turun deras di pipinya.
Ong Pek Ciauw sudah berkata lagi: "Ilmu pedang
sudah kau warisi dengan sempurna, hari ini, aku
akan menyerahkan padamu sebilah pedang pusaka
Ang-lo-po-kiam, sebelum pedang itu kuserahkan
padamu, lebih dulu kau harus bersumpah. Tidak
menggunakan pedang itu untuk kejahatan ! Harus
kau pergunakan pedang Ang-lo-po-kiam untuk
menegakkan keadilan dan kebenaran, menolong
yang lemah menghancurkan yang jahat, bersediakah kau menjalankan sumpah itu?"
Lie Eng Eng hanya menganggukkan kepala, ia
agak heran karena sang guru memiliki itu pedang
pusaka Ang-lo-po-kiam. Selama lima tahun ia
mengawani sang guru belum pernah melihat sang
guru membawa pedang atau menyebutnya bahwa
ia memiliki itu pedang Ang-lo-po-kiam, juga
ucapan ucapan sang guru sangat serius, tidak
103 seperti hari biasa, selalu gembira dan tertawa-tawa
dalam melatih Lie Eng Eng ilmu silat.
Selagi ia masih terheran-heran, Ong Pek Ciauw
segera berkata lagi ; "Cepat kau sediakan meja
sembahyang untuk upacara angkat sumpah !"
Lie Eng Eng segera menjalankan
suhunya menjalankan sumpah.
perintah Setelah upacara sumpah selesai, Ong Pek Ciauw
menarik sebilah pedang dari belakang gegernya,
segera diserahkan kepada Lie Eng Eng, sambil
berkata : "Gunanya pedang Ang-lo-po-kiam ini untuk menyumbangkan darma baktimu menolong si
lemah, menghancurkan si jahat, sesuai dengan
sumpahmu." Lie Eng Eng menyambuti pedang itu, sreeet .... ia
cabut pedang dari serangkanya, maka disana
tampak sinar putih kemilauan menimbulkan rasa
dingin disekitar ruangan itu.
"Aaaaa......." Lie Eng Eng berteriak girang,
"Sungguh indah pedang ini, lebih-lebih ukiran
kepala macan-macanan diatas gagang pedang,
belum pernah aku melihat pedang seindah ini."
Ong Pek Ciauw berkata lagi masih dengan sikap
seriusnya : "Eng-jie, pedang itu jarang ada
tandingannya didalam dunia, barang pusaka yang
sulit didapatkan tidak sembarang orang bisa
memiliki pedang itu! Hanya kuminta jangan sekalikali kau melanggar sumpahmu."
"Baik suhu," kata Lie Eng Eng sambil berlutut
dihadapan suhunya. 104 "Bangunlah !" kata Ong Pek Ciauw sambil
melangkah keluar meninggalkan Lie Eng Eng.
Keesokan harinya pagi-pagi setelah Ong Pek
Ciauw pamitan dengan keluarga Lie Siang Hui
suami isteri, berketoprakan suara kaki kuda
meninggalkan kota Sin-ciu-hu.
Lie Eng Eng sejak menerima pedang pusaka
pemberian suhunya, dalam pengembaraan didunia
Kang-ouw ia menyumbangkan darma baktinya,
banyak rakyat menerima budi pertolongannya,
hingga akhirnya ia mendapatkan gelaran Bo-taytiong-kiam, si Pedang Macan Betina Lie Eng Eng.
Tidak sedikit penjahat-penjahat dibuat kucar
kacir. Terakhir mengubrak abrik sarang perkumpulan berandal Hek-khie hwee di gunung
Ouw pok san. Setelah mengikuti riwayat hidup Lie Eng Eng,
mari kita kembali mengikuti perkembangan yang
terjadi didalam kelenteng rusak.
Hujan masih turun deras, kilat berkeredepan
memecah kegelapan, petir mengguruh dilangit
gelap. Bo-tay-tiong-kiam si Pedang Macan Betina Lie
Eng Eng berhasil membunuh gerombolan si Raja
Penyamun Bo Siang, ia memasuki ruang Thianong-thian mengganti pakaian.
Dalam keadaan telanjang bulat, tiba-tiba
berkeredap kilat menerangi jagat, tampak sekelebatan bentuk tubuh Lie Eng Eng yang padat
berisi berkulit putih mulus.
105 Kredepan kilat mengejutnya si Pedang Macan
betina, dengan gerak reflek ia menutupi buah
dadanya dengan kedua tangannya. Tapi teringat
bagian vitalnya juga dalam keadaan melompong,
cepat kedua tangannya itu diturunkan untuk
menutupinya pula. Gerakan itu begitu cepat, secepat sinar kilat
mengkeredap, secepat suara mengguruhnya halilintar diudara. Secepat itu pula, melayang sesosok tubuh,
dengan ringan menyambar tubuh si Pedang Macan
Betina Lie Eng Eng. Lie Eng Eng terkejut, kagetnya tidak kepalang,
mengelakkan datangnya samberan itu, tangan
didorong kedepan menghajar si penyerang gelap,
lalu lompat kearah di mana ia letakkan pedang
Ang-lo-po kiamnya. Si Penyerang gelap itu juga memiliki gerakan
yang lebih cepat, begitu si Pedang Macan Betina
bergerak ia menyambar kearah suara gerakan si
gadis. Si Pedang macan betina kembali menghujani si
penyerang gelap dengan pukulan-pukulan mautnya. Si penyerang gelap memapaki
serangan si Pedang Macan Betina.
datangnya Kedua kekuatan beradu. "Duk!" terdengar suara
benturan tangan. Dalam suasana gelap gulita, begitu si Pedang
Macan Betina sudah dapat mengetahui dari hasil
106 benturan tangan tadi bahwa si penyerang gelap
memiliki tenaga kekuatan beberapa tingkat lebih
tinggi darinya. Demi menjaga kehormatannya, meskipun Lie
Eng Eng tahu kekuatan lawan berlipat ganda dari
kekuatannya sendiri, ia tetap mengadakan
perlawanan gigih. Hujan tambah deras, ber-derap-derap menimpa
genting-genting kelenteng rusak.
Pertarungan didalam ruang Thian-ong-thian
masih berlangsung. Pertempuran perebutan mustika. Si Pedang Macan Betina mempertahankan
mustikanya dengan sekuat kemampuan yang ada,
sedang si penyerang gelap merangsang tubuhnya
ingin mencicipi mustika itu.
Tubuh si Pedang Macan Betina tertubruk si
penyerang gelap, tubuh itu jatuh bergulingan
diikuti oleh tubuh si penyerang gelap.
Terjadi pergumulan seru, si Pedang Macan
Betina bergulingan, sedang tubuh si penyerang
gelap turut bergulingan mendekap tubuh si gadis.
Hujan masih mengocor turun dari langit,
pergumulan terus berlangsung,.. satu bertahan,
satu menyerang. Dua insan bergulingan didalam hujan lebat,
udara sangat dingin merangsang tubuh.
Suhu udara yang demikian dingin, gesekan
kedua tubuh insan yang bergulingan satu bertahan
satu menyerang, akibat gesekan gesekan kulit
107 kedua insan itu, menimbulkan satu cita rasa pada
masing-masing tubuh yang bergeser.
Sukma si Macan Pedang Betina tidak luput dari
rasa yang timbul dari akibat pergesekan kulit-kulit
mereka dalam hujan dingin seperti itu. Rasa
hangat tiba-tiba menjalar keseluruh tubuhnya.
Napasnya sangat sengal. Rasa itu timbul dari akibat gesekan-gesekan kulit tubuh si penyerang dibagian buah dadanya yang
mengkal, menyelusuri seluruh urat-urat sendi
dalam tubuhnya. Rasa rangsang yang tiba-tiba muncul itu
bercampur aduk dengan rasa kemarahan, mempertahankan kehormatan, Lie Eng Eng dalam
mempertahankan mustika pusakanya.
Pertempuran berlangsung terus, bergulingan
kian kemari, sedang hujan turun semakin deras
seakan irama musik mengiringi pergulatan itu.
Lie Eng Eng merasakan rangsang aneh pada
tubuhnya bercampur dengan rasa marah meluapluap, tetap masih bertahan bergulingan, tangannya
meraba-raba kelantai mencari pedang pusakanya.
Pergumulan merebut berlangsung...... pedang pusaka masih Tubuh si Pedang Macan Betina akhirnya tambah
lama tambah melelah, sedang rangsang-rangsang


Pusaka Pedang Embun Lanjutan Sin Tiauw Thian Lam Karya Sin Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyerang sekujur tubuhnya makin memuncak.
Akhirnya. "Akh.......jangan......janganaduh.......
ukhhh !" terdengar suara rintih perlahan si Pedang
108 Macan Betina. la tidak berkutik lagi. Nasi sudah
jadi bubur. Si Pedang Macan Betina Lie Eng Eng merintihrintih, rasa rangsang tubuhnya memuncak.........
tubuhnya lemah lunglai. Tubuh si penyerang gelap selesai membuang tai
macannya didalam tubuh si Pedang Macan Betina,
sesudah itu, dia berkelebat lompat keluar ruangan
Thian-ong-thian, melalui jendela yang sudah
rusak. Hilang lenyap ditelan kegelapan, diiringi
irama musik air hujan ber-derap-derap jatuh
kebumi. Si Pedang Macan Betina, setelah sadar
kehilangan mustikanya, juga dalam masih keadaan
lemah melejit mengejar bayangan itu.......
Tapi bayangan sipencuri mustika sudah lenyap
ditelan kegelapan malam. Tangannya meraba-raba mencari pedangnya.
Dengan tangan kiri memegang sarung pedang,
tangan kanannya menarik pedang dari sarungnya.
"Sreet..........." ruangan Thian-ong-thian yang
gelap menjadi terang benderang disinari sinar
pedang. Dia berhasil mempertahankan pusaka pedang,
tapi kehilangan pusaka gadisnya.
Tampak jelas tubuh si Pedang Macan Betina,
rambutnya awut-awutan, mukanya pucat pasi
dipipinya meleleh air mata.
109 Segera ia ayunkan pedang Ang-lo-po-kiam
membabat lehernya sendiri. Maksudnya hendak
bunuh diri! Pedang Ang-lo-po-kiam berkeredapan sampai
ditengah udara, membabat kearah leher si Pedang
Macan Betina, tiba-tiba telinga si Pedang Macan
Betina mendengar suara beberapa langkah kaki
orang disekitar kelenteng itu.
Ayunan pedang Ang lo-po-kiam tertahan,
semangat Lie Eng Eng bangun kembali. Untuk
menuntut balas lebih dahulu terhadap si pencuri
mustikanya. Pedang Ang-lo po-kiam masuk
kembali kedalam sarung. Lie Eng Eng cepat memakai pakaian kering, lalu
berlari keluar ruangan kelenteng dimana tadi
terdengar suara derap langkah kaki orang.
Rombongan piauwsu yang tidur melingkar
didepan ruangan Thian-ong-thian terkejut, semua
orang terbangun. Belum lenyap rasa kejut mereka disana sudah
meluncur datang empat bayangan, dalam keadaan
gelap itu tidak tampak jelas wajah-wajah mereka.
Krelap, krelap............
Dua kali sinar kilat menerangi ruangan dalam
kelenteng, tapi masih tidak tampak jelas wajah
orang-orang pendatang, mereka menghadap kedalam kelenteng. Sedang wajah si Pedang Macan
Betina yang menghadap keluar sudah tampak jelas
sekelebatan disinari sinar kilap.
110 "Hi, hi, hi, hi,.........." terdengar suara tawa
menyeramkan dari salah seorang dari keempat
orang pendatang itu. Katanya kemudian; "Sekali ini
giliranku, hi, hi, hi, hi,.."
Ketiga orang lainnya berbareng mendengus.
"Hmmmm........."
Tiba-tiba ruangan depan kelenteng yang gelap
pekat itu berkeredapan terang benderang, pedang
Ang-po-kiam si Pedang Macan Betina berputaran
menyerang empat orang pendatang itu.
Keempat orang itu berpencaran, mengelakkan
datangnya samberan sinar pedang Ang lo-po-kiam.
"Tahan pedangmu !" terdengar bentakan dari
salah seorang dari keempat orang itu.
Lie Eng dengusan. Eng hanya mengeluarkan suara Orang itu sudah berkata lagi : "Kunasehatkan
lebih baik jangan banyak tingkah didepanku.
Hmm.......sayang sekali kalau tubuhmu yang
menggiurkan harus mati cuma-cuma, toch dari
pada keneraka lebih baik kesorga.........hi, hi, hi"
Krelap...... sinar pedang Ang-lo-po-kiam memapas batang leher orang yang bicara tadi.
"Sundel!" bentak orang itu setelah mengelakkan
serangan Pedang Ang-lo-po-kiam.
"Kalau mau cepat mampus, bilang saja. Aku tak
sungkan-sungkan menuruti kehendak hatimu."
Keluarnya pedang Ang-lo-po-kiam dengan menimbulkan sinar berkeredepan dua kali, telah
111 membuat ruangan yang tadi gelap menjadi terang
benderang. Tampak jelas orang yang bicara sambil ketawa
hi, hi, hi, wajah itu tampak putih tidak berkumis,
juga tidak berjenggot, hanya kerut-kerut kulit
mukanya yang menunjukkan ketuaannya.
Sedang wajah ketiga orang Iainnya itulah wajahwajah yang sudah rusak, tidak normal lagi.
Ternyata mereka adalah Sam-mo Eng-ciauw yang
pernah mengganas dikota Siao-shia.
Lie Eng Eng tidak banyak bicara lagi, ia segera
memainkan ilmu pedangnya.
Disana tampak berkilauan bayangan putih
bergulung-gulung menyambar-nyambar keempat
orang-orang itu. Keempat orang itu juga segera meng-gerakgerakkan kaki tangan, memapaki datangnya
serangan sinar pedang si Pedang Macan Betina.
Pertempuran berlangsung sampai 100 jurus,
hujan masih nyerocos turun menimpa genteng
kelenteng rusak. Disana sini air mengocor turun
dari lubang-lubang genteng yang pecah. Bercipratan kesana kemari tersamber angin pedang
dan pukulan kedua pihak. Para piauwsu bisa menyaksikan pertempuran
itu, kepala mereka menjadi pusing tidak bisa
berbuat apa-apa, tidak bisa membedakan, mana
Lie Eng Eng dan mana lawannya. Bercampur aduk.
Mereka hanya menonton dipojok-pojok ruangan
dengan mata terbuka lebar mulut menganga.
112 "Hih, hih, hih, hih..... mundur!" terdengar suara
orang tertawa itu memberi perintah.
Maka ketiga iblis Sam-mo mengundurkan diri,
mereka melejit keluar ruangan berdiri hujanhujanan diluar kelenteng.
Sedang didalam ruangan depan kelenteng itu,
pertempuran masih terus berlangsung. Lie Eng Eng
dengan gigih memainkan pedangnya bergulungan
sinar-sinar putih kemilauan ditempat itu,
"Hmmm . . . . hih, hih, hih .. .. dikasih urat
minta tulang, hi, hih, hi . . ." terdengar orang itu
berkata, "Hei nyawamu sebentar lagi melayang
keakherat, lekas berlutut dihadapan Kun-see-moong Teng Kie Lang, hih, hih, hih, hih......."
Sirapnya suara tertawa Kun-see-mo-ong Teng
Kie Lang dibarengi dengan berhembusnya uap-uap
putih, bau harum menyengat hidung.
Mendadak gerakan pedang Lie Eng Eng
melemah, kepala si Pedang Macan Betina menjadi
berat, dadanya sesak matanya berkunang kunang
gelap, ia ambruk jatuh ditanah.
Sedang keempat rombongan Lie Eng Eng juga
sudah ambruk lebih dulu wajah-wajah mereka
berubah membiru. Berbarengan dengan rubuhnya si Pedang Macan
Betina, tiba-tiba melayang satu bayangan loreng
berputaran menghajar ketiga Iblis Sam-mo Engciauw, mereka berpentalan.
Bedebuk, gedebuk, braaak.
113 "Suhu, suhu." tiba-tiba Siang-mo berteriak
kearah Kun-see-mo-ong Teng Kie Lang, "Itulah si
bocah siluman......"
Ternyata Kun-see mo-ong Teng Kie Lang adalah
guru dari tiga manusia buruk-buruk itu!
"Haaaa . . . ." terdengar suara kejut tertahan
Kun-see-mo-ong, "hih, hih, hih..... hih.....muridmuridku kau hanya dengan bocah gila itu saja
tidak mampu hih, hih, hih . ."
Ketiga Sam-mo Eng-ciauw sudah
ditanah, mereka cepat berdiri kembali.
ambruk "Suhu ! Bagaimana ....?"
"Tolol .... hih hih, hih, hih....." bentak Kun-seemo-ong. "Bikin mampus bocah ini dulu, cincang
dagingnya, jadikan isi bakpau, hih, hih, hih, hih . .
. ." Sambil tertawa, Kun-see-mo-ong melejit kearah
si pemuda. Menyaksikan kembali ketiga muridmuridnya terdesak mundur, ia berteriak :
"Mundur, mundur .... hih, hih, hih ....."
Ketiga iblis Sam-mo Eng-ciauw mundur.
Si pemuda menghadapi Kun-see-mo-ong.
Disana tersembur bau harum semerbak yang
keluar dari tangan Kun-see-mo-ong.
Si pemuda yang mencium bau harum itu yang
berupa uap-uap putih tiba-tiba muntah, crooh ....
Kemudian ia lompat melesat keatas genting,
lompat keatas dahan-dahan pohon, kabur dari
tempat itu. 114 Muntahan si pemuda tepat mengenai muka Kunsee-mo-ong Teng Kie Lang, tanpa bisa dielakkan
lagi, muka si iblis dipupuri muntahan si pemuda
baju loreng yang berbau zat buah-buahan.
Kun-see-mo-ong Teng Kie Lang marah bukan
kepalang, ia memberi aba-aba pada muridmuridnya : "Kejar, hih, hih, hih, hih.......jangan
biarkan ia lolos.....hih, hih,hih....." dalam keadaan
marah besar Kun-see-mo-ong Teng Kie Lang masih
bisa tertawa-tawa, mereka mengejar si pemuda
berbaju loreng. Wajah Lie Eng Eng sudah mulai membiru,
napasnya mulai menjadi lemah, sedang keempat
piauwsu rombongannya sudah matang biru,
kemudian mencair, dan akhirnya hanya tinggal
gumpalan rambut-rambut hitam yang tertinggal.
Daging dan tulang-tulang mereka mencair
bercampur air hujan. Keadaan Lie Eng Eng sudah demikian kritis,
napasnya tinggal satu-satu, seluruh tubuhnya
sudah berganti warna semu biru. Dalam keadaan
kritis demikian, tiba-tiba melayang sesosok
bayangan putih, melesat masuk kedalam ruangan
muka kelenteng. Tangannya digerakkan, menjejalkan sesuatu kemulut si Pedang Macan
Betina, kepala Lie Eng Eng diangkat, didongakkan
keatas, gegernya ditepuk-tepuk beberapa kali.
Gerakan itu begitu cepat !
Kemudian bayangan putih merebahkan kembali
tubuh Lie Eng Eng. 115 Air hujan rintik-rintik mulai mereda, kilat dan
guntur sudah tak terdengar lagi.
Angin berembus sejuk, memasuki ruang
kelenteng rusak didalam rimba itu. Sinar sang
surya menyorot diufuk timur.
Hari berganti pagi. Daun-daun pohon masih basah tersiram air
hujan semalam suntuk. Bergoyang goyang tertiup
angin pagi. Lantai ruangan kelenteng rusak digenangi air,
mengambang disana sini. Diluar kelenteng masih bergeletakan mayatmayat gerombolan si Raja Penyamun Bo Siang.
Dipojok lantai demak, masih tampak si Pedang
Macan Betina telentang, tidur bernapas teratur.
Dadanya membusung turun naik.
Dibawah tiang batu kelenteng yang sudah
tampak gompal, bersandar seorang pemuda
berpakaian putih, berwajah tampan, berumur
sekitar delapan belasan tahun.
Sinar mata si pemuda memancarkan cahaya
terang, mengawasi bentuk tubuh yang masih
terlentang tidur dihadapannya. Wajahnya senyum
riang, seakan baru mendapatkan sesuatu yang
menggirangkan hatinya. Sinar sang surya pagi menerobos masuk


Pusaka Pedang Embun Lanjutan Sin Tiauw Thian Lam Karya Sin Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

keruangan kelenteng, menyinari wajah si jelita
Pedang Macan Betina Lie Eng Eng.
116 Bulu-bulu mata Lie Eng Eng ber-gerak-gerak
tertojos sinar matahari pagi. Kelopak matanya
terbuka lebar. Bola mata jeli berputar menantang datangnya
tojosan sinar sang surya pagi itu.
Dengan malas-malasan Lie Eng Eng angkat
tubuhnya, duduk dilantai demak kelenteng rusak.
Diraba gagang pedang Ang-lo-po-kiam disamping. Digenggamnya erat-erat.
Rambut Lie Eng Eng awut-awutan, pakaiannya
kotor basah terkena air hujan bercampur lumpur.
Sinar matanya masih menantang datangnya
sinar sang surya pagi itu, kelopak matanya
menetes dua titik air mata. Air mata kesedihan,
penasaran, keputus asaan kehilangan mustika
pusakanya. Mahkota keperawanan.
Mendadak tubuh Lie Eng Eng bergerak pedang
Ang-lo-po-kiam berkelebat memapas arah kirinya.
Bruluk.......terdengar suara tiang batu runtuh
tertabas pedang, genteng-genteng pecah berantakan, atap kelenteng ambruk seketika. Dua
sosok tubuh melejit keluar meninggalkan kelenteng
ambruk. Bau amis mayat merangsang hidung, mayatmayat anak buah si Raja Penyamun masih
bergelimpangan membujur malang melintang
diantara semak-semak belukar.
Dua sosok tubuh berhadap-hadapan saling
pandang, seorang pemuda tampan dan seorang
gadis jelita. Suasana tegang timbul kembali.
117 Krelap, sinar pedang Ang-lo-po-kiam bergerak,
tubuh si Pedang Macan Betina bergulungan,
terkurung sinar pedang, menyerang kearah si
pemuda. Tiing, trang, tring, tring...............
Terdengar suara berdenting-denting, disana
bergemerincingan pisau-pisau terbang, tertancap
di-batang-batang pohon. Terbentur pedang Ang-lopo-kiam. Dibarengi melesatnya bayangan putih,
keluar dari ancaman maut kurungan pedang Lie
Eng Eng. "Tahan.......!" terdengar suara bentakan pemuda
itu ! "Hm......" Lie Eng Eng mendengus, "senjata pisau
terbangmu boleh juga. Tapi pedangku tidak pernah
kenal apa artinya segala macam pisau rongsokan
itu." "Nona.........tahan........" terdengar lagi suara
kejut tertahan dibarengi dengan gerakan tubuh
mengelakkan serangan ganas si Pedang Macan
Betina Lie Eng Eng. Bo-tay-tiong kiam si Pedang Macan Betina Lie
Eng Eng yang sudah kehilangan mustika
pusakanya, mahkota keperawanan, tidak bisa
menahan gejolak emosi dadanya yang menggelora,
jengkel, gemas geregetan, sedih, putus asa
berputaran mengaduk-aduk isi otaknya. Pedang
Ang-lo-po-kiam tetap berayun berkeredepan, suara
mendengung menggema disekitar tempat itu. Hawa
dingin sinar pedang menusuk tulang.
118 Bayangan si pemuda berbaju putih melesat
kesana kemari mengelakkan datangnya serangan
pedang Ang-lo-po-kiam. Kreek, kreekek .... krekeek . . . gedubrak ....
Sebatang pohon rubuh ambruk menimpa
bangunan kelenteng, tertabas pedang Ang-lo-pokiam.
"Nona .... Tahan seranganmu! Dengar penuturanku! Setelah itu, kau boleh ambil batok
kepalaku, jika kau mau....." terdengar suara si
pemuda berbaju putih yang masih melesat kesana
kemari mengelakkan serangan dingin pedang Anglo po-kiam.
"Huh . . . .!" dengus Lie Eng Eng menghentikan
serangan pedangnya. "Apa yang mau kau katakan?
jangan main gila lagi !"
"Maaf, kalau aku berbuat salah. Tapi seingatku,
aku tidak pernah berbuat dosa apa-apa terhadap
diri nona !" Kata si pemuda.
"Binatang! Dalam keadaan aku tidak ingat diri,
kau tentu sudah berbuat yang tidak senonoh......!"
bentak Lie Eng Eng. "Nona .... aku tidak pandai berdebat, tapi dengar
dulu keteranganku, baru boleh kau bertindak."
"Heemm . . . . " Lie Eng Eng mendengus.
"Sebetulnya.....aku sampai ditempat ini sedang
melakukan tugas suhu, mengikuti jejak Kun see
mo ong Teng Kie Lang dengan tiga orang muridmuridnya. Sampai di kelenteng ini, kau sudah
119 menggeletak rubuh, wajahmu sudah berubah semu
biru." Mata Lie Eng Eng berkilat mendengar penuturan
si pemuda, ia ingat pada saat kepalanya dirasakan
pening, dadanya dirasakan mau meledak, tubuhnya hampir roboh, tiba tiba berkelebat satu
bayangan loreng menghajar Sam-mo Eng-ciauw.....
kemudian, ia roboh tak sadarkan diri.
"Jadi bayangan loreng itu kemana?" tanya Lie
Eng Eng tertegun. "Entahlah!" jawab tegas si pemuda. "Itulah si
pemuda gondrong misterius berpakaian kulit
macan loreng yang pernah menghajar Sam-mo
Eng-ciauw kucar kacir."
"Aaaaa........" teriak Lie Eng Eng tertahan.
Ternyata, orang yang sudah memberi benih bibit
adam dan hawa kedalam ini perut Lie Eng Eng
bukanlah pemuda ini! "Begitu aku tiba disini Kun-see-mo-ong dengan
tiga muridnya Sam-mo Eng-ciauw sudah lari
mengejar si pemuda misteri. Tampak disudut
ruangan empat sosok tubuh menggeletak biru
mencair........menampak wajahmu dan tubuhmu
sudah mulai bersemu biru, segera kujejalkan dua
butir pil obat, kuangkat duduk badanmu, kepala
kudongakkan lalu kupukul gegermu. Obat masuk
dalam perutmu. Kemudian kurebahkan kembali
tubuhmu dilantai. Ternyata belum terlambat,
warna biru diwajah dan tubuhmu perlahan lahan
normal kembali........ kemudian aku tersandar
tidur." 120 Setelah berkata sampai disitu, pemuda itu
mengawasi wajahnya si nona dengan seksama,
ingin melihat perobahan wajah itu.
Wajah Lie Eng Eng tidak menunjukkan
perobahan. Wajahnya tetap kecut, penuh sinar
guram, rasa kecewa dan penyesalan. Hati si nona
berkata: "Kau menolong jiwaku! Tapi aku tidak
membutuhkan pertolonganmu. Sebaiknya biarkan
aku mencari lenyap dari permukaan bumi, bebas
dari sengsara derita pukulan bathin."
"Nona,..........."
"Heemm," dengus Lie Eng Eng memotong katakata si pemuda. "Seharusnya memang aku harus
mengucapkan terima kasih atas pertolonganmu
menyelamatkan jiwaku, tapi........ ach....... seharusnya kau biarkan aku meninggalkan dunia
fana ini, mencair bersatu padu dengan air hujan
mengalir kelautan bebas..........!"
Mendengar kata-kata Lie Eng Eng yang
dianggapnya tidak ada juntrungannya, si pemuda
memandang terheran-heran, tentu saja dia tidak
mengerti, lalu katanya ; "Nona, menilik pedangmu, tentunya kau Bo-taytiong-kiam, si Pedang Macan betina Lie Eng Eng!
Namamu sangat populer di-kalangan kang-ouw !"
"Hmmm......" dengus Lie Eng Eng dengan wajah
sedih dan duka, "Kau, kau siapa ?" tanyanya acuh
tak acuh. "She ku Thio nama Thian Su murid Ceng It
Cinjin........ " 121 "Aaaa.....jadi kau murid Ceng-it Cinjin? Cianpwe
dari gunung Liong-hauw-san ?" berkata Lie Eng
Eng sambil berjalan duduk dibatang pohon besar
yang tumbang akibat papasan pedang Ang-lo-po
kiamnya, lalu katanya lagi : "Kudengar, belasan
tahun yang lalu, Ceng It cinjin cianpwe membasmi
sarang siluman Kun-see mo-ong Teng Kie Lang."
"Ya! Waktu itu, suhuku mendengar tentang
sepak terjangnya iblis Kunsee-mo-ong mengganas
dirimba persilatan. Segera beliau turun gunung
membakar sarang iblis itu."
"Membunuh beberapa orang muridnya. Tapi si
iblis Kun-see-mo-ong mendadak lenyap bersama
tiga orang muridnya, si Sam-mo Eng-ciauw yang
sudah terluka paras wajahnya akibat samberan
beberapa bilah pisau terbang suhu, mereka lenyap
dibalik berkobarnya api yang menjilat bangunan
gedung markas mereka. Suhu berhasil mensita
satu bungkusan pil beracun pelumer sukma. Pil
itulah satu pil terganas. Bilamana pil racun itu
termakan orang, maka dalam waktu tiga kali
kedipan mata, orang itu akan mencair tubuh dan
tulang-tulangnya. Waktu itu Kun-see-mo-ong baru
hanya mengandalkan pil beracunnya pelumer
sukma. Wanita-wanita yang diperkosanya dibunuh
dan dicincang. Dagingnya dijadikan isi bakpau.
Setelah lenyap belasan tahun, kini iblis itu muncul
kembali. Kepandaiannya sudah berlipat ganda, ia
berhasil meyakinkan ilmu uap beracun pelumer
sukma." 122 "Mengapa Ceng-it-cinjin cianpwe tidak turun
gunung sendiri membasmi iblis itu ?" tanya Lie Eng
Eng. Thio Thian Su berkata lagi : "Aku tidak mengerti
pendirian suhu, ia hanya perintahkan aku turun
gunung, mengikuti jejak iblis-iblis itu. Dilarang
bentrokan dengan mereka. Juga sedapat mungkin
menolong korban-korban keganasan iblis-iblis itu
selagi bisa." "Bocah gondrong misteri itu," potong Lie Eng
Eng, "kau bilang dialah yang pernah membuat
Sam-mo Eng-ciauw babak belur ? Apa kau melihat
pertempuran itu?" Thio Thian Su menjawab: "Mengikuti sampai
pada suatu semak belukar, ketika itu aku baru
saja menemukan jejak Sam-mo Eng-ciauw, belum
menemukan jejak Kun-se-mo-ong Teng Kie Liong,
tiba-tiba dengan gerakan ringan si pemuda
gondrong melepaskan ikatan-ikatan monyetmonyet yang tergantung didahan pohon....."
"Monyet ?" tanya Lie Eng Eng memotong. "Untuk
apa monyet itu?" "Itulah hobby mereka memakan otak monyet
mentah-mentah !" "Aaaaach." "Sebetulnya kalau dikatakan pertempuran juga
bukan pertempuran. Si pemuda gondrong hanya
melesat sana-sini, toch berhasil membuat Sam-mo
Eng Ciauw pontang panting!" kata lagi Thio Thian
Su. 123 "Hebat !" tanpa disadari Lie Eng Eng memuji.
Thio Thian Su berkata lagi ; "Sampai dikelenteng
ini, ternyata mereka sudah berkumpul dengan
Kim-see-mo ong, keadaan nona sudah jatuh rebah
dengan wajah mulai membiru, keempat iblis itu
mengejar si pemuda gondrong misteri! Nah selesai
sudah penuturanku, kalau nona masih mau
memapas kepalaku dengan pedang Ang-lo-po-kiam,
silahkan!" Wajah Lie Eng Eng bersemu merah. Memandang
kearah burung-burung pemakan bangkai yang
berterbangan berputaran diangkasa. Lalu katanya
perlahan: "Apa kau juga membawa Pel racun
pelumer sukma?" Thio Thian Su terkejut, ia memperhatikan wajah
si nona tidak mengerti, kemudian katanya: "Pel itu
diberikan beberapa butir padaku oleh suhu untuk
bekal dalam perjalanan."
"Hei, bisa kau berikan aku sebutir, aku ingin
lihat, bagaimana bentuk pel racun pelumer sukma
itu?" kata Lie Eng Eng.


Pusaka Pedang Embun Lanjutan Sin Tiauw Thian Lam Karya Sin Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tanpa mengucap sepatah kata, Thio Thian Su
mengambil sebotol kecil dari dalam saku bajunya,
dibuka tutupnya, lalu mengambil sebutir diserahkan kepada Lie Eng Eng.
Dari botol obat yang terbuka tutupnya berembus
bau wangi harum semerbak menyegarkan tubuh.
Lie Eng Eng menyambuti sebutir pel pelumer
sukma, ia letakkan diatas telapak tangannya,
diendus-endusnya dengan hidung yang mancung.
Pel itu berwarna merah jambu harum semerbak.
124 Mata Lie Eng Eng menatap tajam wajah Thio
Thian Su dengan tatapan curiga, lalu katanya ;
"Obat pelumer sukma ini apakah.?"
"Betul," potong Thio Thian Su, "itulah pel
beracun pelumer sukma yang sangat ganas. Lain
dari pada pel beracun lainnya. Pel itu berbau
harum, itulah seni racun Kun-sie-mo ong. Pel
berbentuk indah berbau harum. Dengan bau
harum itulah Kun-see mo-ong menipu mangsamangsanya. Jika pel itu dicampur kedalam air atau
arak, air dan arak itu akan berbau harum
menyegarkan, tapi setelah masuk kedalam perut,
selama dua kali tarikan napas, orang itu akan
jatuh, dengan tubuh dan tulang-tulang mencair!"
"Haaaai . . . ." kejut Lie Eng Eng heran. Ia
timang-timang pel wangi itu diatas telapakannya.
Kemudian cluuuut, pel itu masuk kedalam mulut
mungil si nona jelita. Thio Thian Su terkejut, "Nona........." tapi
kemudian ia duduk tenang kembali di atas batang
pohon tumbang. Dengan senyum ia berkata pada
Lie Eng Eng. "Apa nona tidak percaya itu pel beracun pelumer
sukma?" "Justru aku percaya !" kata Lie Eng Eng, "Aku
ingin lekas mati, daging dan tulang tulangku biar
melumer mencair ditelan bumi."
"Aaaah......." Thio Thian Su menghela
panjang. Pikirnya : "Bu-tay-tong-kian ingin
Ah dunia semakin lama semakin ganjil.
sejelita ini sungguh keterlaluan. Hatikupun
napas mati? Nona masih 125 menerima Achh......" hatinya mengapa ia ingin mati? Lie Eng Eng membentak : "Hei ! Mengapa pel ini
belum memperlihatkan reaksinya? Apa kau sedang
mempermainkan aku !"
Thio Thian Su cepat menjawab : "Aku tidak
main-main, itulah pel beracun pelumer sukma !"
"Mengapa tidak segera melumeri daging dan
tulang-tulangku !" berkata lagi Lie Eng Eng dengan
kasar, "Toch kau bilang hanya dalam dua kali
tarikan napas, tubuh orang yang memakan pel itu
akan melumer, kini entah sudah berapa puluh kali
tarikan napas. Tapi belum juga ada tanda
bekerjanya pel beracun ini !"
Thio Thian Su angguk-anggukkan kepala lemah
kemudian katanya : "Aku hanya melaksanakan
tugas suhu mengikuti jejak Kun-see-mo-ong untuk
menolong korban-korban yang masih bisa ditolong
dengan membekali beberapa butir pel itu .... ketika
tubuh nona rubuh, beruntung aku tiba pada saat
yang tepat, terlambat sedikit berarti ."
"Tubuhku geregetan. mencair," potong Lie Eng Eng "Ya, begitu nona jatuh aku segera menjejalkan
pel beracun pelumer sukma ini kedalam mulutmu.
Terjadi beberapa kali perobahan diwajah nona,
karena hari sudah gelap aku tidak memperhatikan
lebih lanjut. Kubiarkan nona terbaring, sedang aku
sendiri tertidur bersandar ditiang batu kelenteng."
"Hm .... mengapa begitu ?" tanya Lie Eng Eng
heran. 126 Thio Thian Su berkata lagi : "Itulah pesan
guruku, setiap orang yang baru jatuh ditangan
Kun-see-mo-ong terkena hawa harum beracunnya,
jiwa orang itu tak akan bisa tertolong lagi. Hanya
satu-satunya harapan, adalah dengan memberi
makan orang itu pel beracun pelumer sukma
buatannya sendiri." "Aaah ....." Lie Eng Eng terkejut, "bagaimana
bisa terjadi begitu?"
"Suhuku...." berkata lagi Thio Thian Su. "Ketika
baru saja mensita pel racun ini, sebenarnya ia
berniat untuk melenyapkan racun jahat ini dari
muka bumi, tapi hendak dibuang kemana ? Salahsalah akan membunuh orang yang tidak berdosa,
berpikir bolak balik, ia simpan pel beracun pelumer
sukma. Ketika setahun yang lalu, suhuku
mengendus munculnya kembali Kun see-mo-ong
yang sudah berhasil meyakini ilmu siluman uap
harum beracun pelumer sukma. Karena suhuku
masih belum selesai meyakinkan ilmu ciptaannya
yang terbaru, maka ia perintahkan aku turun
gunung. Dengan dibekali pel beracun pelumer
sukma juga harus segera menolong orang yang
menjadi korban uap beracun harum Kun-see-moong selagi bisa ditolong."
Mendengar keterangan Thio Thian Su, mulut Lie
Eng Eng ternganga, nampak wajah si nona jelita
tambah manis dalam pandangan mata Thio Thian
Su, hingga seketika ia menghentikan ceritanya
memandang mulut mungil yang menganga itu.
"Hei......" tiba-tiba Lie Eng Eng menegurnya :
"Setelah orang yang terkena uap beracun pelumer
127 sukma, kau berikan lagi pil beracun pelumer
sukma, apakah tidak akan mempercepat kematian
orang itu?" "Hmm........." Thio Thian Su menghela napas
katanya lagi : "Tuhan memang adil ! Tanpa disadari
oleh Kun-see-mo-ong, kalau ilmu siluman yang
dianggap sudah tidak ada tandingannya ternyata
pil beracunnya sendiri lawan yang terampuh."
Bicara sampai disitu Thio Thian Su menatap
wajah si nona, kemudian katanya lagi : "Racun
dilawan dengan racun !"
"Haa.........." Lie Eng Eng tambah tidak mengerti
lalu katanya: "Maksudmu?"
"Tubuh orang yang terkena serangan uap harum
pelumer sukma, dalam tubuhnya sudah mengendap racun-racun jahat berbisa. Dengan pel
pelumer sukma dimasukkan kedalam tubuh orang
itu, disana terjadi satu proses asimilasi, kedua
racun bersatu padu, akhirnya terbentuk satu
sintesa dari kedua racun yang langsung menjalar
ke seluruh pembuluh-pembuluh darah sikorban.
Sintesa kedua zat-zat racun itu merupakan anti
racun . . . ." "Jadi dalam tubuhku mengandung sintesa zatzat racun itu ?" tanya Lie Eng Eng heran.
"Betul !" kata Thio Thian Su, "Sejak itu, tubuh
nona doyan racun, racun apapun yang terganas
didunia ini, nona boleh makan sesuka hati
termasuk itu pel pelumer sukma."
"Hmmm," bungkam. Lie Eng Eng hanya hemm. Ia 128 "Hei, kukira cukup keteranganku, aku harus
menjalankan tugas, mengintil iblis-iblis itu, janganjangan si pemuda gondrong itu juga sudah jadi
korban." kata Thio Thian Su, sambil bangkit
melesat kearah dimana Kun-see-mo-ong mengejar
si pemuda gondrong. Lie Eng Eng yang masih duduk termenungmenung ketika mendengar kata-kata Thio Thian Su
menyebut nama Si pemuda gondrong, hatinya tibatiba berdebaran keras. Matanya berkilatan,
wajahnya beringas, kemudian kilatan sinar mata
itu lenyap, sayu, menetes dua titik air mata.
Lie Eng Eng sadar. Otaknya bekerja keras. Jelas
tubuh manusia yang menerjang dirinya sampai
bergulingan, akhirnya melalap kesuciannya, orang
itu berambut gondrong. Pasti ! Pasti dia !
Sejenak sinar matanya kemudian sayu melemah. jelalatan terang, Selagi otaknya masih dipenuhi perasaan
penasaran, panas dan putus asa, tiba-tiba terdengar suara ketoprakan kaki kuda dijalan becek,
terdengar seseorang berkata: "Pan Kui, mengapa
kita tidak berpapasan dengan rombongan piauw
Lie siaocia, apakah mereka dapat halangan dijalan
?" Lie siaocia berarti nona Lie - Lie Eng Eng yang
dimaksudkan! "Ah, kukira karena cuaca seperti ini, Lie siaocia
terlambat ! Can Kui bagaimana pendapatmu?"
berkata orang yang dipanggil Pan Kui.
129 "Kuharap begitu, lebih baik terlambat dari pada
cepat tiba . .. . . . ah." berkata lagi orang yang
dipanggil Can Kui. Mendengar suara percakapan itu, Lie Eng Eng
melesat, menghampiri mereka di luar rimba.
"Aaaaa ....." terdengar suara kejut Can Kui dan
Pan Kui, "Nona ..." kedua orang itu segera turun
dari kuda masing masing, serta merta memberi
hormat. Terdengar Can Kui berkata : "Nona ...."
"Kau bawa barang-barang ini," potong Lie Eng
Eng. "Setibanja di Pakkhia, kau serahkan pada
tuan Lie Min Cu!" "Nona, sebaiknya barang-barang ini kami bawa
kembali ke si pengirimnya. Pembesar anjing kota
Pakkhia mensita semua barang-barang antaran.
Dikatakan barang-barang itu adalah ransum
perlengkapan pemberontak !" kata Pan Kui
memberi penjelasan. "Mmmm .... kau bawa balik kembali ke Sin-ciuhu !" perintah Lie Eng Eng.
"Baik nona, tapi kemana rombongan piauwsu
yang mengiring nona ?"
"Mereka sudah mencair !" jawab Lie Eng Eng.
Pan Kui dan Can Kui mendengar keterangan itu
saling pandang tidak mengerti.
Lie Eng Eng mendelikkan mata !
130 "Baik! Baik!" dengan berbareng Can Kui dan Pan
Kui menyahut, menjalankan perintah tanpa
banyak tanya. Pan Kui dan Can Kui kembali kekota Sin ciu-hu
dengan membawa segerobak barang-barang antaran. Lie Eng Eng duduk dipilar rusak kelenteng yang
sudah roboh. Otaknya kembali berkecamuk. Ia
harus mendapatkan si gondrong untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya diatas
tajamnya pedang Ang lo-po-kiam. Itulah keputusan
tegas dari si nona jelita Pedang Macan Betina.
Tubuhnya melejit kedalam rimba lebat mengikuti
arah larinya Sam-mo Eng Ciauw, Kun-see mo ong
dan Thio Thian Su. Apakah betul yang melalap perawan si-jelita
Pedang Macan Betina Lie Eng Eng adalah si
pemuda gondrong? Betul ! Itulah perbuatan si pemuda gondrong
berpakaian kulit macan loreng.
0 o o?d<>w?o o O

Pusaka Pedang Embun Lanjutan Sin Tiauw Thian Lam Karya Sin Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Setelah keluar dari kota Siao-shia, si pemuda
gondrong mengembara dihutan belantara dengan
dikawani si monyet hitam.
Akhirnya ia tiba dikelenteng rusak.
Kelenteng itu sunyi, tidak pernah lagi dikunjungi
orang. Maka si pemuda gondrong menjadikan
tempat itu sebagai tempat meneduh dari hujan dan
angin. Memakan buah-buahan yang dibawa oleh
monyet hitam. 131 Selama hampir setengah tahun si
gondrong menetap dikelenteng rusak itu.
pemuda Hidup dalam alam bebas. Bebas dari segala
tekanan-tekanan, bebas dari segala pengeroyokan,
bebas dari segala macam keruwetan dunia. Bebas
dari segala keinginan yang tidak pernah
terpuaskan. Sore itu keadaan hujan lebat, sebagaimana biasa
ia meneduh dikelenteng rusak.
Ketika hujan sedang turun lebat, suara langkahlangkah kaki kuda, kretekan suara roda kereta
diluar mendatangi kelenteng, ia sedang tidur
dibawah kaki patung, dalam ruangan Thian-ongthian.
Itulah rombongan Lie Eng Eng!
Mendengar suara berisik, si pemuda gondrong
terkejut, ia mendusin. Tapi ia tidak mengambil
pusing. Ketika Lie Eng Eng memasuki ruangan Thianong-thian, ia sedang mendekam dibawah kaki
patung, diam tidak bergerak, hanya sepasang
matanya jelalatan, memperhatikan gerak gerik si
nona jelita! Melesatnya Lie Eng Eng keluar ruangan Thian
ong-thian, terjadinya pertempuran dengan si Raja
Penyamun Bo Siang, ia tidak ambil perhatian.
Tetap mendekam disana. Mata si pemuda gondrong yang sudah biasa
dengan keadaan gelap, dapat melihat dengan jelas
bentuk lekuk-lekuk tubuh serta paras cantik si
132 nona jelita berjalan masuk kembali kedalam
ruangan Thian-ong-thian, salah sendiri! Mengapa
Lie Eng Eng membuka pakaian telanjang bulat.
Mata yang kebiru biruan, menampak pandangan
matanya yang tertumbuk tubuh si jelita yang
masih padat dan montok, dari atas kepala sampai
betis kaki, hidung kecil bangir, mulut mungil
merangsang, betis mulus memutih, buah dada
yang membusung mengkal, menimbulkan satu
rangsangan! Rangsangan naluri untuk bisa
keindahan bentuk tubuh si jelita.
menikmati Rangsangan naluri yang meresap cepat diotak si
pemuda gondrong tersalur keseluruh sendi-sendi
urat-urat tubuhnya. Membuat ia tak dapat lagi
mengendalikan rasa emosi rangsangan naluri yang
timbul mendadak tanpa diketahui dari mana
datangnya rangsangan rangsangan itu. Dengan
gerak reflek ia melesat menyambar tubuh si jelita.
Sangka Lie Eng Fng, ada orang yang mau
merebut pedang pusakanya !
Timbul perlawanan ! Pergumulan terjadi ! Pakaian loreng si pemuda gondrong terpisah dari
tubuhnya. Pergumulan bumi..... terjadi, hujan deras menyiram "Ach.....binatang jangan berbuat begitu .... hai
.... hai . . . uuh . . .uh .... ayaaa .... aduh
...........uh......"
133 Akhirnya terdengar suara rintihan-rintihan si
Pedang Macan Betina diiringi suara riap-riapan air
hujan menimpa genting. Si Pemuda gondrong berhasil menikmati tubuh
si nona jelita, memenuhi rangsangan nalurinya.
Melampiaskan tai macannya di tubuh si jelita,
sesudah itu ia melejit keluar.
Secepat itu pula Lie Eng Eng meletik mengejar si
pencuri pusakanya. Tapi bayangan si pemuda
lenyap ditelan kegelapan.
Kemana lenyapnya si pemuda gondrong ?
Si pemuda gondrong lenyap mendekam diatas
genteng gelenteng. Mandi hujan-hujanan. Napasnya masih memburu ngos-ngosan.
Ketika Lie Eng Eng keluar menghadapi Kun-seemo ong dan ketiga murid-muridnya, segera si
pemuda gondrong melompat masuk kedalam
ruangan Thian-ong-thian meraup pakaian kulit
macannya. Lalu melejit lagi keatas genteng. Dari
celah-celah genteng pecah ia menyaksikan jalannya
pertempuran. Berakhir dengan turun tangannya si
pemuda menghajar Sam-mo Eng-ciauw, lalu
muntah-muntah muncrat kemuka Kun-see-mo
ong, akibat mencium bau harum uap pelumer
sukma, ia kabur dikejar-kejar Kun-see mo-ong cs.
Kejar mengejar berlangsung. Hujan turun deras,
kilat berkeredap-berkeredap guntur mengguruh.
Pohon-pohon bertumbangan dihajar Kun see
mo-ong. 134 Malam semakin larut, si pemuda gondrong terus
lari tanpa arah tujuan. Kun-see-mo-ong Teng Kie Lang dkk. mengejar
terus kearah suara desiran angin dan bergoyangnya dahan-dahan pohon yang dilewati
pemuda gondrong. Batang-batang pohon tumbang disana-sini.
Setiap langkah Kun-se-mo-ong pasti menimbulkan
satu atau dua batang pohon yang dihajar roboh,
ilmu pukulan telapak tangan beracunnya memang
sangat hebat dan kuat ! Si pemuda lari terus, terus menghindari kejarankejaran Kun-see-mo-ong, menghindari bau harum
yang bisa membikin perutnya enek mual. Hingga
membuat ia muntah-muntah.
o?dkz?o HUJAN MULAI REDA, reda kemudian lenyap
sama sekali seakan dihentikan dari langit, udara
mulai terang, burung-burung berkicauan kembali.
Hari berganti pagi. Rimba yang dilewati Kun-see-mo-ong terdapat
banyak batang pohon tumbang malang melintang
hangus seakan baru terbakar.
Keempat iblis celingukan kesana kemari.....braak
.... sebatang pohon lagi dihajar telapak tangan
Kun-see-mo-ong. Hangus terbakar. Bau harum
semerbak menjalar disekitar tempat itu. Burung
burung berjatuhan mencair.
"Heeeeh .... hih, hih, hih . . . ." terdengar tawa
Kun-see-mo-ong, lalu katanya : "Siang-mo, Long135
mo, Hok-mo, kalian naik keatas pohon, perhatikan
disekitar tempat ini, bocah itu tidak bisa lari jauh,
hih, hih, hih......"
Mendapat perintah gurunya ketiga Sam-mo Engciauw berlompatan memanjat pohon. Celingukan
diatas pohon kemudian berlompat turun.
Siang-mo berkata : "Suhu .... tak tampak
gerakan yang mencurigakan."
"Ya. Aneh ! Jelas bocah itu lari kemari." berkata
Long-mo. "Eeeh .... hih, hih, hih, hih .... anak sialan . . . .!"
berkata Kun-see-mo-ong masih sambil perdengarkan suara ketawanya.
"Ketika terkena serangan uap harum pelumer
sukma dikelenteng, mengapa bocah itu tidak
rubuh ?" tanya Hok-mo.
"Heng . . . ." Siang mo dan Long-mo berdengus
berbareng. "Hih, hih, hih, hih....." Kun-see-mo ong tertawa
hih, hih, hih. Dalam hatinya juga merasa heran.
Ilmu uap harum beracun pelumer sukma yang
diyakinkannya hampir memakan waktu tigabelas
tahun. Baru ilmu itu rampung, ternyata ilmu yang
dibanggakannya itu tidak berguna terhadap
seorang bocah. Malah mukanya sendiri tersiram
semburan muntahan si bocah.
Kun-see-mo-ong Teng Kie Lang terheran-heran,
ia tidak habis mengerti, bagaimana si bocah bisa
tidak mempan uap beracun harumnya. Tapi rasa
136 herannya, tidak ditunjukkan dimuka ketiga orang
muridnya. Kembali kita mengikuti pengalaman Lie Eng Eng.
Sesudah Lie Eng Eng menggebah rombongan
piauwsu yang kedua, mengantar kembali barang
antaran ke Sin-ciu-hu, tubuhnya melesat mengejar
kearah larinya si pemuda gondrong.
Jalan-jalan yang dilaluinya malang melintang
batang-batang pohon yang tumbang, sayup-sayup
dari jauh masih terdengar suara bergedebukan
batang-batang pohon rubuh. Lie Eng Eng terus
mengejar kearah datangnya suara gedabrukan.
Saat itu Kun-see-mo-ong cs, dengan sinar mata
jelilatan sedang memperhatikan sekeliling rimba
itu. Ia tidak menemukan mayat atau jejak-jejak si
bocah gondrong. Tiba-tiba melesat satu bayangan putih meluncur
datang, dibarengi dengan berkeredepannya sinar
putih menyambar leher Kun see-mo ong Teng Kie
Lang. "Hayaaaaa........hih, hih, hih, hih" kejut Kusee-mo ong Teng Kie Lang, tangannya digerakkan
menyambuti datangnya serangan mendadak itu.
Bruuuuk....... Terdengar suara serangan nyasar. pohon tumbang terkena "Iiiihh.....hih, hih, hih, hih," Kun see-mo-ong
tertawa. Dihadapannya berdiri seorang nona jelita.
Ia sudah tidak mengenali bahwa nona jelita itu
137 adalah Lie Eng Eng yang pernah roboh dikelenteng,
akibat serangan uap harum pelumer sukmanya.
Kun-see-mo-ong yakin benar, setiap korbannya
pasti segera mencair, tidak akan hidup dialam
dunia. Karena keyakinan serta kepanatikan
terhadap ilmunya sendiri yang sudah tidak ada
tandingannya, membuat otaknya agak butek.
Begitupun ketiga murid-muridnya, iblis-iblis
Siang mo, Long-mo, dan Hok mo, begitu matanya
tertojos wanita cantik, sudah melupakan apa yang
terjadi barusan, lelahnya selama berlarian
semalam suntuk dan rasa ngantuknya mendadak
hilang. Berganti dengan birahi yang mendenyut
denyut. "Suhu ...!" berkata Siang-mo mendahului.
"Serahkan perempuan ini, aku yang bereskan !"
"Hih, hili, hih, hih ..... Siang-mo, Hok-mo, Longmo, kalian tangkap gadis ini, ingat jangan sampai
terluka.....hih, hih, hih, ....nanti setelah aku, kalian
boleh bergiliran hih, hih, hih . . ." perintah Kunsee-mo-ong. Ia mengundurkan diri berdiri agak
jauh. Sam-mo Eng-ciauw sudah mengurung Lie Eng
Eng ditengah. Ketika Sam-mo Eng-ciauw mulai menggerakgerakkan tangan, menyerang si nona.
Serangan Sam-mo Eng-ciauw sangat kurang
ajar. Siang-mo menyerang bagian bawah perut si
nona, Hok-mo menyerang dada si nona yang
membusung, sedang Long-mo menubruk pinggul si
138 nona yang bahenol. Mereka ingin mempermainkan
Lie Eng Eng. Gerakan-gerakan serangan Sam-mo Eng-ciauw
belum lagi mengenai sasaran, niatan mereka
mempermainkan si jelita belum lagi terlampiaskan,
tiba-tiba pedang Ang-lo-po-kiam berkelebat, sinar
putih mengurung melindungi tubuh si nona jelita,
membentur serangan ketiga iblis-iblis itu.
Cress, cresss, cresss, .....gedebuk, beg..... duk, drukk, druluk Tiga kepala menggelinding ditanah, tiga badan
tanpa kepala kelojotan. Mengucurkan darah dari
leher masing-masing. Tiga Sam-mo Eng-ciauw yang
terkenal ganas malang melintang di dunia, pulang


Pusaka Pedang Embun Lanjutan Sin Tiauw Thian Lam Karya Sin Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

keakherat diantar oleh pedang Ang-Io-po-kiam Botay-tiong-kiam si pedang Macan Betina.
"Hih, hih, hih . . . ." Terdengar Kun-see-mo-ong
Teng Kie Lang ketawa. Tubuhnya tiba-tiba sudah
berada dihadapan Lie Eng Eng.
"Heem .... hih, hih, hih, hih . . ." terdengar Kunsee-mo-ong Teng Kie Lang masih tertawa-tawa
menyaksikan ketiga murid-muridnya menggeletak
dengan kepala berpisah dari tubuhnya.
"Iblis....." bentak Lie Eng Eng. "Keluarkan semua
ilmu silumanmu, aku ingin lihat apa yang bisa kau
buat . . ." "Hih, hih, hih, hih .... sabar nona manis!
Pedangmu hebat, tapi umurmu pendek, hih, hih,
hih....." 139 Tanpa banyak bicara Lie Eng Eng sudah
menggerakkan pedang Ang lo-po-kiam menyerang
kearah Kun-see-mo-ong. Hawa dingin merangsang
tubuh. "Hi, hi, hi." Tubuh Kun-see-mo-ong bergerak,
memapaki datangnya benturan-benturan sinar
pedang yang menimbulkan hawa dingin.
Terjadi pertempuran. Sinar putih berkeredapan, bercampur aduk
dengan uap-uap putih, mengurung tempat itu.
Bayangan kedua orang yang bertempur sudah tak
tampak. Hanya tampak bergulungan uap-uap
putih mengepul diiringi sinar kelebatan diantara
mengepulnya uap-uap putih itu. Bau harum
semerbak bertebaran disekitar rimba itu.
Suara angin menderu-deru berbau harum,
daun-daun pohon berguguran. Batang-batang pohon bergoyang-goyang, seakan terjadi gempa bumi.
Mayat-mayat Sam-mo Eng-ciauw mencair tanpa
bekas. Burung-burung yang sedang berterbangan
diudara berjatuhan bulu-bulunya terhambur
terbang kesana kemari tubuh burung-burung itu
turut mencair. Pertempuran maut berlangsung beberapa jurus,
akhirnya terdengar suara : Dukk......triiiingg....
Suara gaduh, beradunya Pertempuran terhenti! kedua kekuatan. Lie Eng Eng sempoyongan, mundur lima tindak.
Tubuhnya limbung, Kun-see-mo ong berdiri
ditempatnya, tubuhnya bergoyang-goyang kekirikanan. Sinar matanya jelilatan. Wajah yang putih
140 tanpa kumis dan jenggot, memucat lebih putih
seperti mayat. Apa yang terjadi? Kun-see-mo-ong yang menyaksikan Lie Eng Eng
tidak roboh terkena serangan uap racun harum
pelumer sukmanya, menjadi heran bukan kepalang. Dalam herannya, ia menjadi lengah,
hampir pedang Lie Eng Eng membabat batang
leher Kun-see-mo-ong. Tapi Kun see-mo-ong bukan
Kun-see-mo-ong, kalau tidak dapat menyingkirkan
datangnya serangan pedang. Dalam keadaan masih
terheran-heran bercampur kejut, ia kerahkan
kekuatan tenaga dalamnya keatas telapak tangan,
dengan menggunakan ilmu pukulan cengkeram
maut Kun-see-mo-ong menyambuti datangnya
serangan pedang Ang-lo-po-kiam.
Pedang Lie Eng Eng dicengkeram oleh
cengkeraman maut Kun-see-mo-ong. Mandek
disana. Lie Eng Eng terkejut bukan kepalang, pedang
Ang lo-po-kiam tercengkeram ditangan Kun-seemo-ong, tanpa bisa melukai tangan si iblis.
Tidak kalah kejutnya Kun-see-mo-ong, begitu
pedang tercengkeram, ia keremus badan pedang.
Tapi pedang itu tidak hancur. Selagi masih
kebingungan, tiba-tiba mengalir satu hawa dingin
menyerang telapakan tangan Kun-see-mo-ong,
menyelusuri urat-urat lengan menyerang jantung.
Hawa dingin itu terasa begitu tajam menusuk
jantung. 141 Terjadi pergumulan beku. Lie Eng Eng terus
menyalurkan tenaga dalamnya ketubuh pedang,
hingga hawa dingin menusuk tulang menyerang
Kun-see-mo-ong. Kuu-see-mo-ong mengetahui datangnya serangan arus dingin, segera mengatur peredaran
darahnya, ia mengerahkan kekuatan tenaga
dalamnya. Berhasil memukul mundur sebagian
serangan dingin pedang Ang-lo-po-kiam.
Tenaga serangan pedang Ang-lo-po-kiam yang
terpukul mundur mental balik menyerang tubuh
Lie Eng Eng, membuat si nona sempoyongan
mundur lima tindak, sedang Kun-see-mo-ong
masih terkejut, setelah berhasil memukul balik
sebagian kekuatan hawa dingin pedang Ang-lo-pokiam
segera melepaskan cengkeramannya. Tubuhnya tergetar hebat. "Hih, hih, hih, ....." Kun-see-mo-ong menenangkan gejolak hatinya, tertawa mengkikik,
sedang jantungnya masih terasa mendenyutdenyut seakan tertusuk jarum-jarum dingin.
Menyaksikan Lie Eng Eng masih belum rubuh,
Kun-see-mo-ong segera mengangkat tangannya
diatas kepala, sedang tangan kirinya diletakkan
didepan dada, dengan posisi gerak mencengkeram.
Menyerang Lie Eng Eng yang masih sempoyongan.
Lie Eng Eng yang masih termundur-mundur
sempoyongan, pedang Ang-lo-po-kiamnya hampir
terlepas dari tangannya. Menampak Kun-see-moong sudah menyerang kembali, ia lompat melejit.
Tapi baru kakinya terangkat tubuhnya sudah jatuh
ngusruk. Menunggu kematian.
142 "Hih, hih, hih, hih,....." Kun-see mo ong yang
menampak tubuh Lie Eng Eng yang montok sudah
rubuh duluan sebelum terkena serangannya, ia
segera membatalkan serangan itu. Menghampiri
Lie Eng Eng yang masih tengkurap ditanah.
"Hih, hih . . . . dadaku masih terasa sakit akibat
serangan dingin pedangmu, tapi tubuhmu bisa
segera memberi kekuatan tenaga baru pada diriku,
menyembuhkan luka-luka dalam.......... hih, hih,
hih, hih......" Kun-see-mo-ong tidak membunuh Lie Eng Eng,
ia akan menggunakan kesucian gadis itu
menyembuhkan luka-luka dalamnya. Dengan
menyedot sari kegadisannya. Itulah ilmu dracula
Kun-see-mo-ong. Dikiranya Lie Eng Eng masih
gadis. 0)0o?d^w?o0(0 Jilid ke 04 MASIH sambil tertawa hi hi hih, Kun-see-mo-ong
merangkul pinggang Lie Eng Eng.
Tiba-tiba ........Clup ..........
Kun-see-mo ong tergetar, seluruh tubuhnya
gemetaran dijidatnya menetes keringat bertetelan
jatuh ketanah. Matanya jelilatan kesana kemari,
baru memperhatikan suara jatuhnya satu benda.
Tanpa banyak bicara, tiba-tiba tubuh Kun-see-mo-
143 ong melesat bagaikan asap lari dari tempat itu.
Tidak terdengar suara khas tertawanya.
Suasana menjadi sunyi tubuh Lie Eng Eng
masih terbujur tengkurap.
Apa yang menyebabkan kaburnya Kun see moong, sampai-sampai ia tidak sempat mengeluarkan
suara tawa khasnya? Ternyata ditanah disamping kepala Lie Eng Eng
tertancap satu panji kecil segi tiga, gagang panji
berwarna kuning berkilauan terbuat dari mas
murni. Warna panji putih dengan garis-garis
menguning mas di setiap pinggiran segitiga.
Ditengah-tengah terdapat lukisan naga terbang.
Panji itulah yang membuat Kun-see-mo ong Teng
Kie Lang lari terbirit-birit.
Lama setelah Kun-see-mo ong ngiprit dari
tempat itu, melesat datang satu bayangan putih.
Mencabut panji yang tertancap ditanah.
Bayangan putih itu segera mengangkat tubuh
Lie Eng Eng yang masih tengkurap didudukkan
ditanah, kemudian menotok beberapa jalan darah
ditubuh si nona dengan menggunakan gagang
panji yang terbuat dari mas murni.
Tidak lama Lie Ing Eng sadar, matanya terbuka.
"Haaa . . . ." Lie Eng Eng terkejut, "Kau juga
datang?" "Aku datang lebih dulu dari nona, semua
kejadian sudah kusaksikan dengan jelas." kata
orang yang baru datang. 144 "Apakah saudara Thio Thian Su tahu kemana
Kun-see-mo-ong ? Mengapa ia tidak membunuh
diriku?" tanya Lie Eng Eng.
Thio Thian Su menunjukkan panji keciI segitiga
bergagang mas murni. Lalu katanya: "Benda inilah
yang membuat Kun-see-mo-ong melarikan diri."
Mata Lie Eng Eng terbelalak, lalu tanyanya
heran: "Apa artinya?"
"Inilah panji Naga, milik suhuku! Kun see-mo
ong kenal betul panji ini, begitu ia melihat panji ini
segera lari terbirit-birit !" kata Thio Thian Su.
"Aaah .....jadi iblis itu sangat takut pada gurumu
Ceng It cinjin cianpwe."
"Heem . . . tigabelas tahun yang lalu sebelum
sarang Kun-see-mo-ong digunung Mong san
diobrak abrik, suhu menancapkan panji ini dipintu
gerbang sarang Kun-see-mo-ong sebagai tanda
kehadiran suhu disana !"
"Waah . . . jadi setiap Ceng It Cinjin muncul,
didahului dengan munculnya panji itu?" kata Lie
Eng Eng yang mulai mengerti duduknya perkara.
"Betul ! Ketika keadaan nona sangat kritis,
kulemparkan panji ini. Ternyata Kun-see-mo-ong
yang sudah terluka dalam tubuhnya begitu melihat
panji ini segera kabur. Kalau ia belum terluka
....aku sendiri.....ach, tak ada gunanya panji ini
diperlihatkan dihadapannya. Sebelum lari, ia akan
menjajal kepandaian pemilik panji ini .... juga
menuntut balas atas tindakan suhu pada tigabelas
tahun yang lalu." 145 "Hai, apa kau tahu, dimana si gondrong itu?"
tanya Lie Eng Eng. Thio Thian Su menggoyang kepala, lalu katanya :
"Setibanya ditempat ini, bayangan si pemuda
lenyap entah kemana. Ternyata Kun-see-mo-ong
juga sudah kehilangan jejaknya. Eeei, apa nona
tidak terluka ?" "Hai .....ilmu kepandaian iblis itu sungguh lihay,
tapak tangannya tidak mempan tajamnya pedang
pusaka Ang-lo-po-kiam, ia juga berhasil memukul
balik serangan hawa dingin pedang, hingga mental
balik menyerang tubuhku, hampir-hampir mencelakakan diriku sendiri, tubuhku tergetar
dingin sekali." Thio Thian Su terbelalak, lalu katanya : "Dalam
keadaan terluka, lebih baik nona jangan banyak
bicara, sembuhkan dulu luka-luka nona, ini aku
membawa obat luka dalam," berkata begitu ia
memasukkan tangannya kedalam saku baju.
Cepat Lie Eng Eng menggoyang-goyangkan
tangannya, katanya : "Tidak usah, luka dalam ini
tidak bisa diobati oleh obat apapun......."
"Huaaah........" Thio Thian Su terkejut tidak
terkira. "Jadi......jadi........"
"Ah, kenapa kau yang kebingungan tidak
keruan," potong Lie Eng Eng, "Luka ini akibat dari
berbaliknya serangan dingin pedang Ang-lo-pokiam, dengan cara bersemedi menurut ilmu pedang
Ang-lo po-kiam luka itu baru bisa disembuhkan."
Thio Thian Su mendengar keterangan si nona
jelita hatinya lega. 146 Lie Eng Eng sudah berkata lagi : "Jika saudara
Thio bersedia membantu sedikit membuang tenaga,
dapatkah kiranya saudara Thio menjaga sekeliling
tempat ini, selagi aku bersemedi?"
"Tentu, tentu .... " jawab Thio Thian Su,
"jangankan hanya menjaga ...." ia tidak bisa
meneruskan katanya yang seharusnya diucapkan,
"menemani selamanya juga aku bersedia."
Melirik dengan kerlingan matanya yang manis
tapi sayu si jelita mengawasi wajah Thio Thian Su,


Pusaka Pedang Embun Lanjutan Sin Tiauw Thian Lam Karya Sin Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tiba-tiba bersemu merah dalam mengucapkan
kata-katanya yang terputus ditengah jalan. Lalu
Lie Eng Eng mencari tempat yang aman untuk ia
melakukan semedinya. Lie Eng Eng duduk bersila tepat menghadapi
kearah sinar matahari pagi. Pedang Ang-lo-pokiamnya dengan ujung pedang menuju keatas,
tepat menempel dijidatnya, hidung dan mulut
tertempel batang pedang, sedang gagang pedang
dipegang diatas pangkuan dengan tangan kanan,
tangan kirinya menempel diujung pedang didepan
jidatnya. Tak lama kemudian, tubuh si nona mengeluarkan butiran-butiran air seperti embun
membasahi tubuhnya bertetelan jatuh, lalu lenyap
ditelan panasnya sinar matahari pagi.
Thio Thian Su memperhatikan cara bersemedi
dengan menggunakan pedang seperti itu matanya
terbelalak, belum pernah ia melihat ada cara-cara
bersemedi seaneh yang dilakukan si nona jelita.
147 Berselang beberapa saat, embun-embun yang
keluar dari pori-pori tubuh Lie Eng Eng lenyap
berganti dengan hawa dingin yang keluar dari
pedang Ang-lo-po-kiam. Tiba-tiba Lie Eng Eng melejit lompat berdiri
dengan wajah merah berseri.
Thio Thian Su dengan perasaan masih terheranterheran bertanya : "Nona, cara bersemedi seperti
itu selama hidupku baru pertama kali ini kusaksikan, sungguh ganjil sekali."
Lie Eng Eng tersenyum manis, hampir saja
jantung Thio Thian Su copot dari tempatnya,
memandang senyum si jelita yang baru pertama
kali ini ia saksikan, membuat dengkulnya
mendadak lemas. "Itulah cara bersemedi menarik kembali
serangan hawa dingin dari akibat berbaliknya hawa
dingin pedang Ang-lo-po-kiam!" kata Lie Eng Eng
memberi penjelasan. "Setiap orang yang memegang
pedang Ang-lo-po-kiam harus tahu cara-cara itu.
Kalau tidak pasti senjata makan tuan."
"Jadi pedang Ang-lo-po-kiam tidak bisa dipergunakan sembarang orang yang tidak
mengerti cara-cara memunahkan akibat pukulan
balik hawa dingin itu?" bertanya lagi Thio Thian
Su. "Ya," kata Lie Eng Eng, "itulah suatu cara
pengamanan pedang Ang-lo-po-kiam dicuri orang."
"Ah, sungguh pedang ajaib!" bergumam Thio
Thian Su. "Kukira Kun-see-mo-ong sulit untuk
148 membuyarkan tubuhnya." hawa dingin yang menyerang "Ya.........meskipun
iblis Kun-see-mo-ong memiliki ilmu cakar ayam setannya yang tak
mempan senjata pedang pusaka ini, tapi hawa
dingin pedang Ang-lo-po-kiam sudah menyerang
ulu hatinya. Meskipun dengan kekuatan tenaga
dalamnya ia berhasil membalikkan serangan hawa
dingin, tapi sebagian masih bersarang dalam tubuh
iblis itu...." "Pantas," kata Thio Thian Su. "begitu ia melihat
panji naga, cepat-cepat lari terbirit-terbirit. Kalau
begitu, dugaanku tidak meleset, betul-betul si iblis
sudah terluka !" Lie Eng Eng hanya anggukkan kepala.
"Nona .." Thio Thian Su sudah berkata lagi,
"Kukira sampai disini dulu pertemuan kita, aku
harus mengintil kembali Kun-see-mo-ong," mulutnya berkata begitu hatinya terasa berat
meninggalkan si jelita. Tapi tugas suhunya harus
dilaksanakan. Thio Thian Su melesat mengintil kearah larinya
Kun-see-mo-ong dengan membawa kenangan
senyum manis si jelita Pedang Macan Betina.
0)0o?d^w?o0(0 Mari kita ikuti kembali perjalanan si pemuda
gondrong. Setelah si pemuda muntah-muntah kena uap
beracun harum pelumer sukma, perutnya dirasakan mual, hingga ia terus muntah-muntah
149 tanpa hentinya. Melarikan diri menjauhi pengaruh
uap harum itu. Apa sebabnya si pemuda gondrong tidak rubuh
terkena serangan uap beracun harum Kun-see-moong Teng Kie Lang ?
Karena selama hidupnya si pemuda gondrong
hanya memakan buah-buahan. Tidak pernah
memakan makanan berasap, semua buah buahan
dimakannya mentah-mentah, tidak dimasak tidak
terkena pengaruhnya asap api.
Karena didalam tubuhnya hanya terdiri dari zatzat buah-buahnya yang tidak mengandung bau
asap dari hasil proses pematangan dengan api,
maka darah daging si pemuda peka terhadap
segala macam asap. Hingga apapun yang
dimakannya dengan melalui pematangan, ia pasti
muntah-muntah. Tegasnya mengharamkan semua makanan,
kecuali makanan-makanan yang dihasilkan dari
tumbuh-tumbuhan. Untuk lebih jelas kejadian itu, akan dipaparkan
secara terperinci dibab-bab berikutnya dari cerita
ini. Ilmu apa yang dimiliki si pemuda gondrong
misteri itu, siapa gurunya kelak kita bisa
menyaksikan bersama-sama.
Sekarang kita ikuti larinya si pemuda.
Waktu dikelenteng rusak ketika tubuh si
pemuda gondrong lompat melesat, si monyet hitam
yang selama ini menemaninya sudah melesat lebih
dulu berlompatan diatas dahan-dahan pohon.
150 Kun-see mo-ong mendengar suara dahan-dahan
pohon bergeseran, segera ia mengejar ke arah
terdengarnya suara-suara berisik itu.
Dalam keadaan gelap, hujan deras, Kun-see-mo
ong terus mengejar. Batang-batang pohon yang
tampak daun-daunnya bergoyang-goyang dihajarnya sampai tumbang.
Akhirnya hari berganti pagi Kun-see-mo-ong cs
kehilangan jejak si pemuda.
Kemana larinya si pemuda gondrong?
Dalam keadaan hujan gelap si pemuda lari
membabi buta menghindari bau harum asap
beracun Kun-see-mo-ong. Ternyata arah lari si pemuda
dengan arah lari si monyet hitam.
berpencaran Gerakan si pemuda lebih ringan dari si monyet,
hingga dalam melarikan diri tidak mengeluarkan
sedikit suarapun, sedang larinya si monyet
berlompatan diatas dahan-dahan pohon menimbulkan suara kresek-kresek. Yang juga
diikuti oleh beberapa kawanan monyet lainnya.
Disitulah letak kebodohan Kun-see-mo-ong,
suara keresek keresek daun-daun pohon tidak
terpikir olehnya, kalau gerakan suara-suara itu
begitu banyak, hingga ia terus mengejar kearah
larinya suara beresekan-beresekan yang ditimbulkan oleh lompatan-lompatan monyet
hutan diatas dahan-dahan pohon.
151 Sedang si pemuda lari kearah lain, ia terus
masuk rimba menerobos sana sini, berlompatan
diatas dahan-dahan pohon.
Monyet yang dikejar! Manusia yang lari!
Ketika hujan mereda, hari sudah hampir pagi.
Karena rasa ngantuknya, si pemuda gondrong
lompat turun dari atas dahan pohon, berdiri
celingukan sebentar. Mengetahui sudah tidak
terdengar lagi suara ribut-ribut Kun see-mo-ong cs,
lalu ia duduk bersandar di batang pohon, matanya
meram. Baru saja pemuda memeramkan kedua pasang
matanya, tiba-tiba dikejutkan oleh suara riuh!
Tong-Tong .. tong-tong .. tong-tong .. tong-tong ..
tong-tong .... Matanya terbuka kembali. Hatinya berpiker,
"Heran, mengapa tidak habis-habisnya keributan
didalam dunia ini, mengapa tidak seperti didalam
lembah air terjun bersama si monyet merah disana
begitu tenteram, tidak pernah terjadi keributankeributan, hai . . . ."
Belum lagi pikirannya lenyap, dari jauh
bermunculan gumpalan-gumpalan api diudara
berputar-putar memencar kian kemari asapnya hitam mengepul keudara.
Mata si pemuda terbelalak melihat pemandangan itu. Ia perhatikan terus setan apa
lagi yang gentayangan dipagi buta. Terdengar suara
teriakan-teriakan; "Kejar! Awas hati-hati! Macan itu
ganas!" Tong-Tong .. tong-tong .. tong-tong
152 Si pemuda tidak mengerti arti suara teriakanteriakan, ia tetap duduk menumprah dibawah
pohon, pikirnya : "Kali ini biar apapun yang terjadi
aku tak akan lari, ingin kulihat, suara ribut-ribut
itu bisa berbuat apa lagi terhadap diriku."
"Hei, Tok Hu, kau lihat kemana larinya macan
itu ?" "Song Beng ! Baru tadi kulihat ia lari ketempat
ini, tapi mendadak lenyap, macan itu sungguh
besar panjang !" "Awas kau hati-hati jangan sampai kau
diterkamnya." teriak lagi orang yang dipanggil Song
Beng. Tong-Tong...... tong-tong....... tong-tong......
Suara ramai tong tong tidak hentinya obor
menyala tampak seperti bola api berkeliaran kian
kemari. Mata si pemuda meram melek menahan ngantuk
memperhatikan sinar-sinar api obor berlarian,
diiringi suara tong-tong dan teriakan yang ia tidak
mengerti maksudnya. Mata si pemuda masih merem melek, tiba-tiba
terdengar samberan angin dari samping kiri,
menyerang si pemuda yang masih duduk
memperhatikan api-api obor.
Merasa ada samberan angin, tubuh si pemuda
melesat mengelakkan datangnya serangan gelap
itu. Buk......... 153 Terdengar suara tubuh si penyerang ambruk
ditanah. Si pemuda gondrong berdiri menyaksikan
penyerang gelap itu. Tiba-tiba matanya terbuka
lebar, rasa kantuknya lenyap. Timbul rasa
kekanak-kanakannya. Tubuhnya melesat menubruk kearah tubuh si penyerang tadi.
Brukk............ Tubuh si pemuda berhasil menubruk punggung
si penyerang, ia duduk diatas punggung itu.
Sepasang kakinya menjepit keras pinggang lawan,
sedang kedua tangannya mencengkeram kedua
telinga si penyerang. Terdengar suara berlompatan ditempat itu.
menggerung-gerung, Suara gerungan-gerungan itu terdengar oleh
orang-orang yang sedang membawa obor, mereka
berlarian, ada yang membawa golok, kentongan,
tumbak, kelewang, semua orang-orang itu
serabutan menghampiri

Pusaka Pedang Embun Lanjutan Sin Tiauw Thian Lam Karya Sin Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

datangnya suara gerungan-gerungan tadi. "Hai, binatang sialan, kucari-kucari kesana
kemari taunya kau sedang enak-enakan kawin
disini..............."
"Hayo lekas serang, lempar tombak-tombak itu
awas jangan sampai meleset." terdengar suara
orang memerintah. Maka terjadilah hujan tombak kearah tubuh si
pemuda. Clut.............. 154 Tubuh si pemuda melejit keatas, lalu jumpalitan,
kemudian berdiri tegak ditengah-tengah kurungan
orang-orang itu. "Haaaaaa.........."
"Ayaaaaa............"
"Awas macan itu jangan sampai lari lagi."
Terdengar suara riuh terkejut. Rupanya orangorang itu sedang mengejar seekor macan. Sampai
ditempat itu menampak si pemuda yang
mengenakan pakaian kulit macan sedang menunggang macan yang mereka sedang kejarkejar, mereka menyangka itu adalah dua ekor
macan yang sedang kawin, maka mereka serentak
menghujani kearah macan kawin itu dengan
tumbak-tumbak mereka. Ternyata seekor macan
yang sedang menunggang macan lainnya bisa
melejit ke-udara jumpalitan kemudian berdiri tegap
di tanah. Keruan mereka terkejut tidak kepalang, ternyata
apa yang mereka lihat tadi bukanlah dua ekor
macan yang sedang kawin, tapi seorang pemuda
gondrong berpakaian kulit macan loreng sedang
duduk diatas punggung macan dengan memegang
menarik-narik kedua kuping macan itu. Bermainmain ?!?!
Setelah mereka sadar, macan yang tadi
ditunggangi si pemuda gondrong berindap-indap
berkeliling dalam kurungan mereka, sedang si
pemuda sudah berdiri dibawah pohon menyaksikan kelakuan orang-orang itu.
155 Menyaksikan orang-orang itu ternyata hanya
bermaksud untuk membunuh macan. Dengan
melemparkan beberapa batang tumbak lagi kearah
macan yang sedang berindap-indap, si pemuda
diam tak bergerak. Ia hanya memperhatikan
kelakuan orang-orang kampung itu.
Sang macan yang dapat perlakuan demikian
tiba-tiba menggerang keras, ia lompat menerjang
salah seorang yang sedang memegang obor,
terdengar jeritan tubuh orang itu terjengkang,
dadanya mandi darah. Kembali simacan dihujani tombak-tombak.
"Hayo bunuh macan itu . . . ."
"Jangan biarkan ia lari mengganas kampung
lagi." Setelah menubruk seorang yang memegang obor,
sang macan berlompatan kian kemari, tiba-tiba
matanya tertumbuk pada satu bayangan loreng
yang berdiri dimukanya. Itulah si pemuda
gondrong. Macan menggerang-gerang, terdengar suara
gerengan itu sangat bising sekali, begitu keras
hingga orang-orang yang melemparkan tombaktombak tadi serabutan mundur. Obor-obor tampak
bergerak mundur. Kini tampak diarena pertempuran seekor macan
dengan seorang anak manusia berpakaian loreng
berhadap-berhadapan. Dengan mengeluarkan suara gerungannya, sang
macan dengan kuku-kukunya menerkam dengan
156 ganasnya kearah si pemuda berbaju kulit macan
loreng. Tubuh si pemuda yang diterkam sang macan,
lompat keudara, berbarengan dengan itu tangan
kanannya digerakkan, bluk, amblas kedalam
kepala macan itu, darah berceceran disana. Si
pemuda lompat menghindari amukan sang macan.
Orang-orang kampung yang menyaksikan si
pemuda hanya dengan menggunakan kepalan
tangannya sudah bisa memukul remuk kepala
sang macan, tanpa disadari mereka sudah
berteriak-teriak saking heran dan girangnya :
"Haaaaa......" "Sin-kun-bu-tek....."
"Pukulan dewa....."
Dalam keadaan girang, mereka tidak menyadari
maut masih mengancam, sang macan yang terkena
pukulan tangan si pemuda tidak lantas mati.
Macan itu mengamuk menubruk membabi buta
kearah dimana terdengarnya suara-suara riuh tadi.
Timbul suara jeritan-jeritan mengerikan tubuhtubuh manusia bergeletakan mandi darah.
Kemudian keadaan sunyi senyap.
Udara mulai terang, matahari memancarkan
sinar masnya diufuk timur.
Disana menggeletak tubuh-tubuh manusia
mandi darah akibat terkaman kuku sang macan
yang tajam ganas. Ditengah-tengah menggeletaknya tubuh-tubuh
yang terluka, menggeletak seekor macan loreng,
157 besar tubuh macan sebesar kambing domba,
sedang panjangnya sama dengan panjang tubuhtubuh orang yang masih menggeletak luka parah.
Orang-orang kampung sudah berkerumun
ditempat itu. Suasana menjadi ramai hiruk pikuk
suara orang membuat komentar atas terjadinya
peristiwa pagi itu. Beberapa orang mengusung tandu mengangkat
kawan-kawan mereka yang terluka.
"Tayhiap....." tiba-tiba terdengar suara seorang
tua berkata. "Atas bantuan tayhiap, aku atas nama
penduduk desa Lip Cun mengucapkan banyak
terima kasih. Binatang ini sudah lama mengganas
desa kami, kambing lenyap, beberapa anak-anak
desa tewas diterkam macan gila ini. Ah, kalau
tayhiap sudi mampir kedesa kami, itulah satu
penghormatan besar bagi desa kami yang miskin
ini, juga terimalah maafku atas kesalahan tangan
tadi." Si pemuda gondrong menyaksikan dan mendengar apa yang diucapkan orang tua itu ia
tidak mengerti, tapi melihat gerak-gerik serta
mimik wajah orang tua, dalam hatinya timbul
suatu perasaan orang ini tidak sama dengan orangorang yang pernah ia jumpai. Tidak mengejarngejar, tidak mengeroyok. Maka menghadapi orang
tua ini si pemuda tersenyum ramai diwajahnya.
Menampak si pemuda tersenyum-senyum ramai,
orang tua itu jadi girang bukan kepalang,
sangkanya si pemuda sudah melulusi permintaannya, ia lalu berkata kepada salah seorang diantara orang yang berkerumun disitu.
158 "Hei, A Pong, angkat bangkai macan kedalam
kampung !" "Baik," jawab orang yang dipanggil A Pong,
menjalankan perintah. "Tayhiap," berkata lagi orang tua tadi, "Mari
silahkan ikut aku." Si pemuda yang tidak mengerti apa arti katakata orang tua itu, ia hanya mengikuti di belakang
orang tua, dengan diiringi berpuluh-puluh
penduduk desa memasuki perkampungan mereka.
Didalam desa, si orang tua mengajak si pemuda
masuk kedalam sebuah rumah.
Memasuki rumah, disana mereka disambut oleh
beberapa orang laki-laki dan perempuan, mengajak
si pemuda memasuki ruangan tengah.
Dalam ruang tengah yang merupakan ruang
pertemuan terdapat satu meja besar persegi
panjang. Orang tua mempersilahkan si pemuda duduk
dikursi disamping kanan meja, sedang ia sendiri
duduk disudut kanan meja, orang laki-laki yang
menyambutnya segera mengambil kursi masingmasing duduk mengelilingi meja.
Beberapa orang pelayan datang menenteng
Sayap Sayap Terkembang 19 Manusia Aneh Dialas Pegunungan Hong San Koay Khek Karya Gan K.l Rahasia Kampung Garuda 11
^