Pencarian

Rahasia Renda Tua 1

Nancy Drew Rahasia Renda Tua Bagian 1


1 Tangga yang Roboh "Nancy, sedang apa engkau?" tanya Hannah Gruen, berdiri di
pintu kamar tidur Nancy. Gadis yang menarik itu duduk di meja tulisnya, menulis dengan
cepat pada buku catatannya.
"O, Hannah," kata Nancy. Ia membalikkan tubuh di kursinya
dengan gembira. "Aku baru saja menyelesaikan cerita misteri untuk
sayembara majalah, seperti yang pernah kukatakan kepadamu itu."
"Bagus sekali," kata wanita itu keibuan. "Nah, barangkali
sekarang engkau bisa keluar, menikmati udara yang cerah. Sudah
berhari-hari engkau mengurung diri."
Ia pergi ke jendela dan membukanya sedikit, membiarkan angin
lembut hangat mengusik kertas-kertas di meja Nancy.
"Behari-hari?" kata Nancy pura-pura heran. "Eh, rasanya sama
sekali belum lama." Ia mengedipkan mata dengan mesra kepada
pengurus rumah tangga yang telah merawat dia sejak ia berumur tiga
tahun. "Belum lama, memang," kata Hannah, sambil menggelengkan
kepala. "Engkau begitu pucat, seperti warna cat di daun jendela itu."
"Cat yang baru atau yang lama?" Nancy menggoda. Bau yang
tajam dari cat baru, hanyut terbawa angin melalui jendela yang
terbuka. Mereka juga mendengar berderitnya tangga, ketika seseorang
dalam baju kerja sedang mengerjakan garis batas cat.
"Semua warna sama," kata nyonya Gruen bersendagurau.
"Putih seperti hantu."
Nancy tersenyum. "Apakah engkau tak tertarik akan pemecahan
cerita misteriku?" Hannah memeluk bahu gadis itu. "O, tentu saja. Apakah aku
boleh membacanya sekarang?"
"Mm-mmm. Dan tahukah engkau?"
"Apa?" "Aku akan mencari sinar matahari sebanyakbanyaknya hari ini."
Sebuah senyuman melintas di bibir Hannah, ketika melihat
halaman kertas yang ditulisi dengan pensil, setengah tersembunyi oleh
halaman-halaman yang lain.
"Kuakui, Nancy, aku benar-benar senang pada misteri ini."
"Engkau senang?"
"Ya. Sebab ini adalah salah satu misteri yang dapat
kaupecahkan di rumahmu sendiri yang aman!"
"Yaah, Hannah... " Nancy tetawa.
Meskipun ia telah delapanbelas tahun, dan dikenal sebagai
detektif amatir yang cakap, namun ia tahu bahwa Hannah tak pernah
lepas dari rasa khawatir tentang dia.
Tanpa berkata-kata lagi, gadis itu merapihkan kertas-kertasnya,
lalu menjepitnya. "Nah, inilah," katanya sambil menyodorkan naskah itu kepada
Hannah. "Sebentar, aku mengambil kacamataku dulu," kata Hannah.
Ia baru saja hendak minta diri ketika bel pintu depan berbunyi.
"Itu tentu Bess dan George," kata Nancy. "Aku telah menelepon
mereka ketika kau tadi sedang berbelanja."
Ia meletakkan kertas-kertasnya, lalu lari menuruni tangga
diikuti oleh Hannah. "Halo!" ia menyapa tamu-tamunya.
Bess Marvin dan George Fayne adalah teman-teman Nancy
yang paling akrab. "Apakah kalian hendak menyelamatkan si putri cantik dari
menara gading?" kata Hannah nakal.
"Begitulah kira-kira," Bess tersenyum, menampakkan lesung
pipit pada pipinya. "Kami akan membawa Nancy ke Pickles and
Plumps untuk makan siang!"
Pengurus rumahtangga keluarga Drew itu mengerutkan
hidungnya. "Kalian yakin tak akan sakit perut?" ia bertanya dengan polos.
"Ah, tidak!" George tertawa cekikikan. "Rumah makan itu
justru membikin kami sehat letaknya di kota bawah sana. Kami dapat
duduk di luar, dan mendapat banyak vitamin A dan D."
Mata Hannah bersinar. "Makanan sehat! Seperti yang
diperintahkan dokter," katanya menyetujui.
Nancy mencium pipi wanita itu, lalu lari ke atas. Ia memanggil
teman-temannya. "Ayo! Aku ingin memperlihatkan cerita yang akan kukirimkan
ke majalah Circle and Square!"
"Apakah tidak makan dulu saja?" jawab Bess. Ia menyusul
saudara sepupunya ke tingkat dua. "Aku lapar sekali."
"Engkau sih lapar terus!" George menggoda. Tidak seperti Bess
yang condong menjadi gemuk, George bertubuh ramping.
"Aku belum makan sedikit pun hari ini! Sungguh!" Bess
tertawa ketika Nancy memberinya naskah untuk dibaca.
"Aku juga ingin lihat," kata George. "Aku ingin tahu apa yang
terjadi dengan manusia misteri itu."
"Tunggu dulu," Bess memprotes.
Ia menjauhkan naskah itu dari saudara sepupunya, ke tempat
yang terkena sinar matahari dari jendela kamar tidur.
"Eh, jangan membuat aku menjadi tegang," George meminta.
"Untuk membalas kata-katamu tentang bentuk tubuhku, engkau
harus menunggu giliranmu," Bess menyatakan.
"Kalah lagi" George mengangkat bahu.
"Siapa yang kalah? Orang yang ada di naskah itu?" Hannah
menyela. Ia ikut duduk dengan gadis-gadis itu.
"Bukan, bukan," Nancy tertawa. "Ini suatu kisah percintaan.
Sebetulnya tak banyak artinya, kalau aku tak menceritakan dulu
bagaimana semuanya itu bermula. Pembukaan cerita itu muncul di
majalah. Isinya sebuah misteri nyata, yang harus dipecahkan oleh
setiap pengikut." Sementara Nancy berbicara, Hannah duduk di kursi model
Queen Anne di hadapan meja tulis Nancy, sementara Bess dan George
bersila di tempat tidur. "Dari sedikit yang telah kubawa," kata Bess, "aku tahu bahwa
cerita itu terjadi di Eropa."
"Betul," jawab Nancy.
"Bermula di Brugge, Belgia, pada abad sembilanbelas. Seorang
muda bernama Francois Lefevre menerima sepasang pergelangan
lengan baju dari renda. Ia mengenakannya dengan jas beledu merah."
Bess menjulur ke depan dengan pandangan bercahaya.
"Mm, sayang ia tak hidup lagi sekarang. Aku ingin sekali
bertemu dia!" "Percayalah," kata Nancy. "Engkau hanya akan menjadi salah
seorang dari sekian banyak pemujanya. Salah seorang di antara
mereka rupanya terlalu malu untuk menyatakan cintanya terhadap
dia." "Maksudmu, ia tak pernah tahu siapa yang mengirimkan renda
itu?" tanya George. Nancy mengangguk. "Francois menghilang mendadak dengan membawa harta yang
cukup besar. Baik keluarga maupun teman-temannya tak pernah
mendengar lagi tentang dia."
"Ah, sungguh menyedihkan!" Bess berkata.
"Di perapian kamar tidurnya," Nancy melanjutkan, "pelayanpelayannya menemukan sisa-sisa surat-surat yang terbakar. Di
antaranya sepucuk surat misterius, ditulis dengan kata yang mulukmuluk ...."
"Tentunya dari seorang wanita," George menangkap gelagat.
"Surat itu dalam bahasa Prancis," kata Nancy. "Kalau
diterjemahkan berbunyi: Palingkan wajahmu Ke arah renda Di lengan bajumu Suatu rahasia . . . . Seterusnya telah terbakar."
"Apakah para pelayan menemukan sesuatu lagi?" tanya
Hannah. Ebukulawas.blogspot.com
"Ya. Secabik kertas dengan tulisan menikah."
"Cerita yang hebat," kata Bess seperti mimpi.
"Apakah ada yang tahu siapa yang mengirimkan renda itu ke
Francois?" tanya George.
"Cerita itu tidak menyebutkannya," jawab Nancy. "Kukira tidak
seorang pun yang mengaku membuat renda itu."
"Ayo, teruskan cerita itu," kata Bess, "Sebelum kalian
mendengar beritaku ...."
Alis Nancy terangkat. "Berita apa?" "Itu nanti saja. Selesaikan dulu ceritamu."
"Yah, apa yang telah kuceritakan adalah yang dimuat di
majalah. Selain itu adalah gubahanku."
Nancy memberikan naskah itu kepada Hannah.
"Hannah yang pertama-tama. Aku telah menjanjikan kepada dia
sebelum kalian datang."
Wanita itu mulai membaca naskah dengan penuh perhatian.
Bess agak diam sebentar, lalu mulai tidak sabar.
"Nancy paspormu sudah siap?" tanyanya.
"Untuk apa? Ke mana kita pergi?"
"Ke Belgia!" tukas Bess.
"Belgia?" kata Nancy heran.
"Lho, Bess. Sudah kukatakan, Francois telah meninggal lebih
dari seabad yang lalu."
Sambil menyeringai, Bess menyapu segumpal rambut yang ada
di dahinya. "Kita ke sana bukan untuk memburu Francois," katanya.
"Ingatkah engkau apa yang kuceritakan kepadamu tentang
teman kuliah ibuku; nyonya Chambray?"
Nancy mengangguk. "Nah, kira-kira sebulan yang lalu ia pindah dari Prancis ke
Brugge, Belgia ...."
"He! Itu nama kota di dalam cerita Nancy!" Hannah menyela.
"Jangan main-main!" kata Bess.
"Tidak. Itu benar," Nancy membenarkan. "Tetapi ceritakanlah
tentang nyonya Chambray."
"Ia telah menyurati ibu baru-baru ini. Ini suratnya," kata Bess
sambil mengaduk-aduk tasnya. "Rupanya nyonya Chambray telah
menemukan sebuah salib antik di rumahnya. Terbuat dari intan dan
berlapis lazuli. Nyonya Chambray mengira itu milik seseorang yang
tinggal di rumah yang ditempati beberapa tahun yang lalu. Sayangnya,
ia tak mempunyai banyak waktu untuk mencari pemilik salib itu.
Tetapi ia hendak memasang iklan di suratkabar sana."
Tergelitik oleh cerita tersebut, Nancy melirik ke surat itu
sejenak, lalu meletakkannya ke meja.
"Bagaimana tentang orang yang menjual rumahnya kepada
nyonya Chambray?" tanya gadis detektif itu. "apakah tidak mungkin
salib itu miliknya?"
"Rupanya bukan," kata George. "Nyonya Chambray telah
menyelidikinya." Pada waktu itu Hannah berkata tanpa mengalihkan
pandangannya dari naskah.
"Ini cerita yang indah, sayang. Engkau tahun aku telah berharap
agar engkau berpuas diri mengerjakan cerita-cerita fiktif, tetapi yang
kulihat ...." Sebelum ia melanjutkan kata-katanya, terdengar suara
gemerincing dari kaca yang pecah, disusul suara gedebuk yang
memekakkan. "Ya ampuuun!" Hannah berteriak, sambil lari ke jendela.
"Apa itu?" gadis-gadis itu berteriak bersamaan sambil ikut lari
ke jendela. "Itu! Tukang cat!" seru Hannah. "Tangganya tentu tergelincir
dan dia jatuh!" Semua menjenguk ke rerumputan, di mana orang yang
berpakaian tukang warna putih itu sedang berdiri terhuyung-huyung.
Tangga itu tergeletak di rerumputan beberapa meter dari dia.
"Mudah-mudahan ia tidak cedera berat," kata Hannah. "Lebih
baik kita turun dan melihatnya."
Baru saja kata-kata itu selesai diucapkan, orang tersebut lari
terpincang-pincang melintasi rerumputan. Ia menuju ke sebuah truk
yang diparkir di depan rumah keluarga Drew. Nancy lari turun, dua
undakan sekaligus. Yang lain-lain dekat di belakangnya. Mereka lalu
lari sepanjang jalanan masuk yang melengkung menuju ke truk.
"Engkau tak apa-apa?" ia berteriak khawatir kepada orang itu.
Tetapi ia merayap ke tempat duduk sopir, menutup pintu, lalu
menderu pergi. Nancy kembali ke rumah, bertemu dengan temantemannya dan Hannah di tengah jalan. Pengurus rumahtangga itu
masih saja memegangi naskah cerita.
"Tangga itu tentu tergelincir lurus ke bawah," kata nyonya
Gruen, "lalu mengenai jendela kamar makan."
Nancy memandangi setumpuk pecahan kaca di bawah jendela.
"Aku akan menelepon perusahaan cat sekarang juga," katanya.
"Orang itu memang berlaku aneh. Bagaimana pendapatmu?"
tanya Bess. "Aku hanya berharap agar ia baik-baik saja," kata Hannah.
Nancy memutar nomor telepon perusahaan Kell and Kell, lalu
berbicara dengan pemiliknya, Oscar Kell. Orang itu akan datang
segera, melihat kerusakannya. Sementara mereka menunggu, Nancy
dan teman-temannya bersepakat untuk melihat tempat kejadian itu
sendiri. "Hati-hati!" George memberi isyarat, ketika Nancy dengan hatihati melangkah di antara pecahan-pecahan kaca.
"Bagaimana pendapatmu tentang ini?" tanya Nancy tanpa
menghiraukan kata-kata temannya.
Ia menunjuk ke kaleng cat yang berdiri di tanah, hanya
beberapa meter dari jendela.
"Ini cat putih," kata Bess. "Apa yang kaumaksudkan?"
"Kalau ia sedang mengerjakan ambang jendelaku, kaleng ini
tentu ikut jatuh, dan berceceran di rerumputan, bukan?" tanya Nancy.
"Betul!" George membenarkan. "Jadi ia naik ke sana tentu tanpa
membawa kaleng cat itu. Aku ingin tahu mengapa ia berbuat begitu?"
"Aku punya firasat, ia hendak mencuri dengar pembicaraan
kita." 2 Menghilang "Seberapa banyak perkiraanmu tukang cat itu telah mendengar
percakapan kita?" tanya Bess, setelah Nancy mengungkapkan
kesimpulannya. "Barangkali hanya sebagian-sebagian," jawab Nancy. "Tetapi
cukup untuk memberikan dia gagasan-gagasan."
"Nah, aku tak akan terlalu merisaukan hal itu," kata George.
"Ia tak akan menemukan pemecahan cerita sayembaramu."
"Memang. Tetapi aku yakin ia menghendakinya," jawab Nancy.
"Ia tentu mendengar kita berbicara mengenai misteri itu,
sementara ia mengecat di dekat jendela. Karena itu ia lalu cepat-cepat
turun, memindahkan tangga tersebut tepat di jendelaku, kemudian ia
naik lagi. Tentu saja, dengan berbuat demikian ia kehilangan sebagian
dari pembicaraan kita."
George mengangguk.

Nancy Drew Rahasia Renda Tua di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Barangkali ia lalu mencampuradukkan semuanya, lalu
memperkirakan ada hubungan yang penting antara sayembaramu
dengan cerita nyonya Chambray!"
Ketika Goerge sedang berbicara, sebuah stasionwagon berhenti
di jalanan masuk. Seorang setengah baya dengan penampilan pendek
gemuk keluar. "Aku hendak bertemu dengan Nancy Drew," katanya.
Nancy melangkah maju. "Pak Kell?"
"Ya saya, katanya. Ia mengernyitkan alis matanya ketika
melihat jendela yang pecah. "Maafkan saya tak dapat datang lebih
cepat. Saya harus menunggu Matey kembali dengan truknya."
"Apakah ia kembali?" tanya Nancy tak sabar.
"Ya, dan sebelum saya dapat mengetahui apa yang terjadi, ia
minta berhenti, katanya sudah bosan mengecat rumah. Ketika saya
tanya hendak bekerja apa, katanya ia ingin memburu harta. Sungguh
orang yang sombong!"
Nancy tak ingin menunjukkan kecurigaannya, bertanya secara
polos: "Siapa nama akhirnya?"
"Johnson," jawab pak Kell.
"Ia biasanya sebagai pelaut. Saya pikir dengan sering memanjat
tiang kapal merupakan latihan yang bagus untuk pekerjaan yang dia
lakukan bagi saya." "Apakah ia sudah lama dengan anda?" tanya Nancy.
"Satu tahun. Ia pernah dihukum sebentar," kata pak Kell dengan
ragu-ragu. "Tetapi tak apa-apa, ia tukang cat yang baik, hanya
sombong." Bess dan George dengan sekuat tenaga menyembunyikan rasa
khawatir, sementara Nancy berbicara dengan pak Kell. Kemudian
Hannah nampak di jendela kamar makan. Untuk beberapa saat ia dan
kontraktor itu membicarakan hal perbaikan.
Ketika ia pergi, Bess menangkap lengan Nancy.
"Aku tidak percaya!" katanya. "Tukang cat itu bekas orang
hukuman." "Matey Johnson barangkali hanyalah pencuri kelas teri," Nancy
mengambil kesimpulan. "Kalau dipikir, mungkin saja ia hendak menyelinap ke
kamarmu, lalu mencuri naskahmu!" seru George.
"Tetapi tidak akan begitu," Nancy berkata dengan tenang. "Dan
tentu saja, kalau ia memang hendak melakukannya, ia dapat menjiplak
jawabanku atas sayembara itu, lalu mengirimkannya. Kemudian kalau
kirimannya sampai di meja redaksi lebih dulu, para editor akan
menuduh aku sebagai plagiator."
"Jahat sekali!" kata George. "Tetapi ia yang plagiator orang
yang mencuri gagasanmu!"
"Aku tahu," kata Nancy. "Tetapi bagaimana aku dapat
membuktikannya?" "Kami saksi-saksimu," kata Bess dengan riang.
"Kalian lebih daripada saksi. "Nancy tersenyum. "Kalian adalah
teman-temanku yang paling balk."
"Haa, bagaimana makan siangnya?" George mulai berbicara.
"Jangan bilang bahwa engkau lapar!" sepupunya mengejek.
Mereka masuk rumah untuk mengambil tas masing-masing.
Nancy melihat naskah itu terletak di lorong dalam, di mana Hannah
meletakkannya setelah ia masuk ke rumah. Dengan segera Nancy
memungutnya dan dimasukkan ke kamar pakaian, sebelum menyusul
teman-temannya. Mereka naik mobil Nancy dan menuju ke Pickles and Plum
Restaurant. Di luar terdapat deretan meja-meja bulat berwarna kuning
dengan payung-payung berbunga dipasang di tengah-tengahnya.
Beberapa payung terbuka, beberapa lagi tidak.
"Mari kita cari sinar matahari sedikit," Nancy mengusulkan,
teringat akan janjinya kepada Hannah.
Mereka memilih meja dengan payung yang tidak dibuka. Dalam
semenit seorang pelayan yang semampai, berpakaian blue jeans dan
kemeja berbunga-bunga datang membawa menu.
Begitu selesai memesan slada buah-buahan dan yogurt, Bess
menyondongkan tubuhnya ke Nancy.
"Kami baru sedikit membaca ceritamu. Ceritakanlah bagaimana
akhirnya." Nancy berkata, ia yakin tentu ada suatu pesan penting di dalam
renda tersebut, yang membuat Francois segera menghilang.
"Pesan macam apa?" tanya Bess mendesak.
"Aku punya firasat, bahwa gadis yang membuat renda tersebut
jatuh cinta pada Francois, tetapi Francois sendiri tak mencintainya.
Mungkin ia khawatir keluarganya serta keluarga gadis itu akan
mengatur perkawinan mereka.
Padahal pada waktu itu mereka tidak berbicara banyak
mengenai hal tersebut."
"Jelek sekali!" kata George.
"Aku tahu, bahwa di beberapa negara perkawinan itu masih ada
yang diatur," kata Nancy.
"Yah, aku bersyukur tidak tinggal di negara yang begitu," kata
George. Bess melihat kesempatan untuk menggoda sepupunya.
"Aku yakin, Burt juga sama senangnya dengan hal itu,"
katanya. Sebagai jawaban, George mengernyitkan hidungnya. Burt
Eddleton adalah pacarnya yang paling disayang.
"Sudah tentu," kata Nancy, menengahi perselisihan antara
kedua temannya. "Aku tak yakin bahwa Francois meninggalkan
Belgia." "Apa?" Bess dan George bertanya. Mereka heran sekali.
"Tetapi cerita itu mengatakan bahwa ia menghilang," kata
George. "Memang, ... dari Brussel. Tetapi aku kira ia tinggal di negeri
leluhurnya. Hendaknya kau tahu, bahwa ia gemar melukis. Hal ini
belum kuungkapkan sebelumnya, tetapi ia selalu ingin dapat belajar
pada Dirk Gelder, seorang guru yang terkenal di abad sembilanbelas.
Kukira Francois mungkin pergi ke sana."
"Tetapi itu tidak jauh dari Brussel," George membantah.
"Aku tahu. Tetapi pada zaman itu orang-orang belum banyak
bepergian seperti sekarang. Kalau ia merubah wajahnya sedikit, dan
belajar mengucapkan dialek setempat, ia dengan mudah dapat
menyembunyikan diri."
"Bukankah orang di sana berbahasa Vlaams?" tanya Bess.
"Bahasa Vlaams digunakan di daerah Vlaanderen," Nancy
menjawab. "Tetapi orang di Brugge mempunyai dialek sendiri."
Sementara pembicaraan itu berlangsung, pelayan yang ramping
itu meletakkan tiga buah piring besar berisi slada di depan mereka.
"Engkau bilang bahwa Francois membawa harta ketika pergi,"
George berkata. "Pada zaman itu perampokan juga banyak seperti
sekarang. Apakah terpikir olehmu, mungkin ia diserang dan dibunuh?"
Nancy mengaku, bahwa pikiran demikian pernah datang
padanya. "Tetapi cerita di majalah itu tidak menunjukkan tanda-tanda
kelicikan. Kesanku, Francois telah merubah sama sekali cara hidup
dan penampilannya. Mungkin memelihara janggut untuk
menyembunyikan wajahnya yang tampan, atau mengenakan pakaian
biasa, misalnya." "Dalam ceritamu," tanya Bess, "nama apa yang digunakannya?"
"Karl Van Pelt."
"Aku tetap menganggap tak masuk akal," George ngotot,
"bahwa orang yang demikian menarik dapat tinggal di tempat yang
jauhnya lebih kurang enampuluh mil dari Brussel, tanpa dikenali
orang. Pakaiannya saja"
"Bukan begitu," Nancy memotong. "Jangan lupa, menurut
majalah, ia tak membawa pakaian lain kecuali jas merah dengan
lengan baju berenda. Jelas, ia tak ingin dilihat orang dengan membawa
barang yang akan menunjukkan, bahwa ia akan bepergian atau pindah.
Mungkin ia hanya menyembunyikan harta yang dapat dibawanya, di
lengan baju, saku-saku, sepatu dan melipat jas tersebut menjadi
bungkusan kecil yang rapih."
"Kalau begitu," kata George, "harta pribadi Francois tentu
berupa uang dan intan."
Nancy mengangguk. "Persis. Dalam ceritaku kukatakan, bahwa
ia menggunakan sebagian dari uangnya untuk memulai usaha yang
berhasil. Pada waktu meninggal, ia memberikan jas merah itu kepada
sebuah museum." "Coba pikir, "kata Bess, sambil menusukkan garpunya pada
sepotong mentimun. "Kita akan dapat berjalan di batu-batu jalanan
yang dilalui Francois, melihat saluran-saluran yang dia lihat, dan"
George memainkan biji matanya ke atas, berpura-pura tak
senang. "Jangan ikutkan aku," katanya. "Aku mengira Dave tidak dapat
menerimanya." Dave Evans adalah pacar Bess.
"Sudahlah, kalian berdua," Nancy memotong.
"Engkau tahu, bahwa aku bersungguh-sungguh mengenai
kepergian kita ke Belgia," kata Bess. "Nyonya Chambray mempunyai
banyak kamar, dan lebih dari satu misteri yang harus dipecahkan!"
"Sungguh?" tanya Nancy penuh minat.
"Ya. Ia menemukan bagian dari sepucuk surat kuno, yang
menyebutkan tentang suatu harta."
"Hanya itu yang dikatakan?"
Bess mengangguk. "Nyonya Chambray tak mau mengungkapkan terlalu banyak
dalam suratnya kepada ibu. Tetapi ia menginginkan kita, terutama
engkau, untuk mengunjungi dia. Ia tahu, bahwa ayahmu seorang
pengacara, dan engkau sering memecahkan misteri-misteri."
Jantung Nancy berdetak keras.
"Aku sungguh heran," katanya.
"Setelah mengikuti sayembara misteri, justru tempat yang
sangat ingin kukunjungi adalah Brugge!"
"Siapa tahu! Barangkali saja kita menemukan jas merah
Francois di salah satu museum!" George tertawa.
"Janganlah kita terlalu terpengaruh," kata Nancy.
"Bagaimanapun, bagian dari ceritaku hanyalah khayalan.
Berbicara tentang itu, aku harus segera mengirimkannya dengan pos."
George memanggil pelayan untuk minta rekeningnya. Pada saat
itu Nancy melihat seseorang sedang membungkuk di dekat bumper
mobilnya yang diparkir. "Apakah ia mengempeskan ban mobilku?" serunya.
Ia mendorong kursinya ke belakang, lalu berlari ke arah orang
itu. "Apa yang sedang kaulakukan itu?" ia berteriak.
Untuk sekilas orang itu nampak jelas. Wajahnya mirip dengan
Matey Johnson. 3 Naskah yang Hilang "Berhenti!" seru Nancy, sambil berlari ke jalan mengejar orang
tersebut. Namun orang itu berlari bagaikan seekor kucing, menyelinap
dari beberapa taksi dan pengendara sepeda, lalu menghilang di sebuah
gang. Terhalang oleh lalu lintas yang padat, Nancy tak berani
menyeberangi jalan. George dan Bess cepat-cepat membayar
makanan, kemudian memandangi ban roda kanan depan mobil Nancy.
Ban itu sedang mengempes perlahan-lahan!
"Sungguh sial!" kata Bess.
"Siapa orang yang lari tadi?" tanya George.
"Aku yakin bahwa itu adalah Matey Johnson. Aku tak sempat
melihat dia dengan jelas di rumah, tetapi aku mengenali rambutnya
yang kemerah-merahan."
Sementara Nancy mengeluarkan pompa ban dari tempat begasi,
lalu memasangnya pada ban, dengan diam-diam ia mendengarkan
pembicaraan kedua temannya mengenai peristiwa yang baru saja
terjadi. "Mengapa Matey Johnson mengempeskan ban Nancy?" tanya
Bess. "Kukira untuk menahan kita di sini sementara waktu," kata
George. "Ya, dan ia berhasil," Nancy menghela napas, memandangi
jarum pengukur tekanan ban merayap naik perlahan-lahan.
"Kukira ia hendak kembali ke rumahmu?" tanya Bess.
"Justru itulah yang kupikirkan," kata Nancy.
"Kalau saja aku dapat lebih cepat memompa ban itu!"
Akhirnya ban itu keras juga.
"Awasi segala sesuatunya," kata Nancy kepada kedua
sahabatnya itu. "Aku akan menelepon Hannah di rumah." Nancy kembali ke
rumah makan, hendak menggunakan telepon umum. Kurang dari lima
menit kemudian ia kembali dengan wajah murung.
"Ada apa?" tanya Bess.
"Tak ada siapa-siapa di rumah."
"Wah," kata George. Kemudian, dari sudut matanya ia melihat
sebuah mobil patroli polisi River Heights melaju ke arah mereka.
"Bukankah itu pak McGinnis?" katanya.
Nancy melambaikan tangan sekuat tenaga kepadanya sambil
memanggil: "Pak! Pak McGinnis!"
Polisi muda yang memegang kemudi membelokkan mobil ke
belakang mobil Nancy, dan perwira atasannya turun.
"Ada apa?" tanyanya sambil memandangi ban.
"Kena paku?" Dengan singkat Nancy menjelaskan. Dikatakan pula rasa
khawatirnya, bahwa Matey Johnson mungkin sedang ke rumahnya
untuk mencuri sesuatu yang penting.
"Kalau begitu," kata perwira itu sambil mengangguk kepada
polisi yang muda, "engkau tinggal di sini dengan kedua gadis ini. Aku
akan mengantar Nancy pulang."
Nancy memberikan kunci mobilnya kepada George dan
menyelipkan STNK-nya di dashboard.
************* Ketika Pak McGinnis menghentikan mobil di jalanan masuk,
Nancy terus lari ke pintu depan, melewati tangga yang kini
disandarkan lagi pada dinding rumah. Ia mencari-cari kunci, membuka
pintu, lalu lari naik ke atas.
"Hilang!" serunya. "Pak, surat yang kukatakan itu hilang!"
"Engkau yakin?" jawab polisi itu.
Dengan gugup Nancy menari-cari di antara kertas-kertas,
membuka semua laci, dan mengintip ke belakang dan bawah
perabotan rumah, tetapi tak ditemukan juga surat nyonya Chambray
itu. "Bagaimana naskahmu?" tanya polisi itu. "O, itu kusimpan di
lemari dinding lorong dalam," kata Nancy. "Nanti akan kuperiksa!"
Ia bergegas ke ruang bawah, dan membuka pintu lemari
dinding. "Syukur," ia berseru. "Masih ada di sini."
Pak McGinnis mengikuti. "Jadi pencuri itu tidak dapat menemukannya," ia
menyimpulkan. Nancy mengangguk.

Nancy Drew Rahasia Renda Tua di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Matey Johnson mencarinya tentu di kamar saya. Tetapi
Hannah sudah membawanya ke bawah sini. Dan saya lalu
menyimpannya di sini sebelum aku pergi makan siang."
"Nancy," kata polisi itu. "Aku ingin memperingatkan engkau
tentang satu hal. Meskipun kaulihat Johnson mengempeskan ban
mobilmu, namun engkau tidak dapat membuktikan ia telah melakukan
pencurian di rumah ini."
Gadis detektif itu membenarkan.
"Tetapi saya punya gagasan. Tangga yang anda lihat di bawah
telah dipindahkan. Saya akan memeriksanya dengan mencari sidik
jari. Kalau semuanya itu sidik jari Matey ...."
Suaranya menghilang ketika ia bangkit untuk mengambil kotak
penyidik jari dalam laci. Ia lalu keluar bersama pak polisi.
"Engkau tahu, Nancy," kata pak McGinnis tersenyum, "eh, aku
belum pernah melihat engkau mengambil sidik jari!"
"Apakah ada lowongan bagi saya untuk bekerja di kepolisian?"
jawab Nancy nakal. Ia mengeluarkan kaleng serbuk dari kotak.
"Beritahu aku kalau engkau sudah siap!"
Detektif muda itu menaburkan serbuk pada beberapa tempat di
tangga, kemudian ia tempelkan pita tape. Ia angkat pita-pita tape yang
telah kena serbuk menempel itu dan dimasukkan ke dalam sampul
plastik. "Dapatkah anda memeriksakan ini untukku?" ia bertanya.
"Baik, nanti begitu aku ada di markas!" polisi itu berjanji.
Ketika ia memundurkan mobil patroli dari jalanan masuk, saat
itu Bess dan George menghentikan mobil Nancy di pinggir jalan.
"Apakah semuanya oke?" tanya Bess sambil berlari mendahului
saudara sepupunya melintas halaman rumput.
"Kukhawatirkan tidak!" kata Nancy muram. "Surat yang
dikirim oleh nyonya Chambray kepada ibumu telah hilang. Aku yakin
Matey Johnson yang mencurinya. Aku sedang menunggu pak
McGinnis memeriksa beberapa sidik jari."
Bess dan George diam terpukau sejenak. "Bagaimana dengan
naskahmu?" tanya George. "Juga dicuri?"
"Untung saja tidak," jawab Nancy. "Dan sebelum terjadi apaapa lagi, akan kuketik bagian akhirnya. Baru akan kukirimkan ke
majalah Circle and Square."
"Sungguh mempesonakan," kata Bess sambil memeluk
temannya. "Kuharap engkau mendapat hadiah pertama!"
"Terimakasih," jawab Nancy. "Majalah itu telah menyediakan
hadiah uang yang besar, dan nanti akan kusumbangkan sebagai
derma!" Setelah Nancy selesai mengetik, dan memberikan alamat pada
sampul, mereka lalu bermobil ke kantor pos River Heights. Nancy
mengusulkan untuk sekalian berbicara dengan pak Kell.
"Aku ingin mendapatkan alamat Matey Johnson."
"Kau toh tidak akan mengunjungi Matey, bukan?" tanya Bess
gugup. "Itu mungkin," kata Nancy.
Ia arahkan mobilnya ke suatu daerah industri di pinggiran kota.
Perusahaan Kell and Kell ternyata merupakan perusahaan yang
cukup besar dengan kantornya yang menarik. Ketika Nancy menyapa
seorang nona di meja dan minta bertemu pemiliknya, nona penerima
tamu itu tertawa. "Ah, anda nona Nancy Drew. Sungguh iri aku mendengar anda
keliling dunia untuk memecahkan berbagai misteri. Apa anda selalu
mulai dengan hal-hal yang kecil? Seperti misalnya tangga yang
tergelincir jatuh?" Nancy dan teman-temannya pun tertawa. "Tidak sesederhana
itu!" jawab Nancy. "Itu hanya sebagai awal," sambung Bess.
Nona penerima tamu lalu memberitahu pak Kell tentang tamutamunya. Pak Kell melangkah keluar dari dalam kantornya.
"Kuharap tidak ada kesulitan lagi!" katanya dengan lesu.
Detektif muda itu menggigit bibirnya, tidak ingin mengatakan
sesuatu di depan gadis penerima tamu.
"Dapatkah kami berbicara dengan anda secara pribadi?" ia
bertanya. "Oh tentu!" Secara singkat Nancy mengatakan apa yang terjadi siang itu.
"Dapatkah anda memberikan alamat Johnson?" ia meminta.
"Ia tinggal di apartemen temannya sementara ia bekerja di sini,"
kata pak Kell. "Sesungguhnya, temannya itu, Andre Bergre, juga
bekerja di sini beberapa tahun yang lalu; seorang yang suka
menyendiri dan tidak ramah dengan orang lain."
Ia menelepon penerima tamu, minta alamat. Tempatnya di
bagian River Heights di mana banyak orang-orang Eropa yang tinggal
di sana. "Kalian ada minat untuk ke sana?" Nancy menoleh kepada
kedua temannya. "Kukira begitu," kata Bess segan-segan. "Tetapi aku tak ingin
bertemu muka dengan Matey atau Andre."
Ketika mereka tiba di alamat tersebut, kedua nama itu tak
terdaftar di buku yang ada di lobby. Bess merasa lega.
"Nah, beres," katanya. "Mari kita pulang."
"Belum," jawab Nancy.
Ia memutuskan untuk mengetuk pintu penghuni pada tingkat
pertama. Seorang setengah baya menyambut.
"Apakah anda tahu kalau Andre Bergere tinggal di sini?"
"Tidak, ia tidak di sini. Sudah pindah beberapa waktu yang
lalu!" "Apa ia mengatakan ke mana perginya?" George bertanya.
"Kukira ia mengatakan ke Eropa."
"Sangat menarik," kata Bess. "Apakah anda dapat mengira
mungkin ke Belgia?" Orang tua itu mengangkat bahu. "Aku tak tahu," jawabnya.
"Maaf, aku tak dapat membantu lebih lanjut."
"Sekarang apa lagi?" tanya George.
Nancy mengatakan, akan membicarakan semuanya itu dengan
ayahnya besok sore, kalau ia pulang dari perjalanan tugasnya.
"Nah, jangan mulai memecahkan misteri itu sebelum kita
berjumpa lagi!" seru Bess. Bersama George, ia lalu memisahkan diri
untuk berbelanja. "Jangan khawatir," kata Nancy. "Tak ada kesempatan untuk
itu." Mereka saling mengucapkan selamat berpisah di pusat
pertokoan. Nancy pulang ke rumah, mendapatkan Hannah sedang
menyulam sebuah sweater sambil menunggu kue yang sedang
dipanggang di oven. "Baunya enak," kata Nancy.
"Kegemaranmukue angel food. "Pengurus rumahtangga itu
tersenyum. "Kukira engkau berhak mendapat hidangan khusus untuk
merayakan naskahmu yang telah selesai."
"Wah, Hannah! Engkau sungguh baik hati. Selalu saja membuat
aku merasa senang." Sore itu Nancy pergi tidur agak siang. Ia berpikir-pikir, apakah
kiriman paketnya dapat cepat diterima oleh kantor majalah seperti
yang dijanjikan. Bagaimana kalau ada orang yang membajaknya?
pikirnya dengan khawatir. Kemudian ia menghibur diri. Ah, itu tolol.
Untuk apa seseorang hendak
Ia terlena tidur. Tetapi esok paginya, ia tak dapat menahan diri
menelepon Circle and Square, untuk mengetahui apakah kirimannya
telah diterima. Di ujung sana, seorang nona agaknya sedang sibuk.
"Kiriman-kiriman belum dipilih," jawabnya datar.
"Telepon lagi saja nanti, nona." Telepon ditutup.
Agak menjengkelkan bagi Nancy, jawaban sore itu juga sama.
Naskah sore itu belum tiba. Ia lalu menghubungi kantor pos.
Pegawai yang bertugas, menawarkan diri untuk mengusutnya.
"Datanglah beberapa hari lagi," katanya.
"Tetapi hari terakhir adalah besok, pikir Nancy kalang kabut.
"Apa yang harus kulakukan?"
Nancy bergegas ke kantor ayahnya. Dengan bantuan sekretaris
ayahnya, nona Hanson, ia membuat fotokopi naskah tersebut dari
tindasannya. Kemudian dengan mengambil risiko, ia akan minta
tolong bibi Eloise yang tinggal di New York City mengantarkannya
sendiri ke kantor majalah, ia kembali ke kantor pos.
"Paket ini harus sampai di New York besok pagi," kata Nancy.
"Tolong kirimkan dengan jalan yang paling cepat."
"Saya tak dapat menjanjikan cara yang paling cepat," kata si
petugas. "Di New York sedang ada pemogokan perusahaan-perusahaan
angkutan. Truk-truk pos menghadapi kesulitan untuk menembusnya."
"Ya, ampun," jawab Nancy kecewa.
Bagaimana kalau naskah yang kedua itu tak dapat sampai di
Circle and Square besok? Ia akan kehilangan peluang untuk mengikuti
sayembara! 4 Penelepon yang Cerdik Melihat wajah muram Nancy, pegawai kantor pos itu
menyambung dengan riang: "Tentu saja kiriman expres biasanya dapat
sampai, apa pun alasannya."
Nancy menghela napas. "Saya harap saja begitu."
Sore itu, sebelum ayahnya tiba, Nancy menelepon adik
ayahnya. "Bibi Eloise, maukah bibi menolongku," detektif muda itu
meminta. "Dengan senang hati. Katakan saja apa itu," jawab nona Drew.
Dengan singkat Nancy menceritakannya tentang nasib naskah
tersebut. Naskah yang pertama telah menyasar tidak sampai, oleh
karena itu ia mengirimkan naskah yang kedua ke alamat bibi Eloise
agar dapat diantarkan sendiri. "Aku sungguh menyesal telah
merepotkan bibi, di tengah-tengah pemogokan," Nancy meminta
maaf. Tetapi kantor majalah itu tidak terlalu jauh dari rumah bibi.
Apakah bibi tak berkeberatan?"
"Nah, jangan terlalu tolol. Tentu saja tidak," bibinya yang
ramah itu menjawab. "Aku mengharap engkau dapat datang
mengunjungi aku. Sudah lama aku tak bertemu engkau, Nancy."
Kemenakan itu berjanji akan berusaha menginap pada suatu
Weekend di New York. "Dan aku akan membawa sepedaku!" sambungnya sambil
tertawa. Ketika pak Carson Drew tiba di rumah sore itu, Nancy segera
menceritakan peristiwa-peristiwa terakhir yang terjadi di rumah. Satu
demi satu diceritakannya segala masalah itu.
"Jangan khawatir mengenai naskahmu," kata ayahnya yang
bertubuh jangkung dan berpakaian rapih menghibur. "Bibimu Eloise
akan berusaha agar paket kirimanmu sampai di tangan yang
semestinya." "Itu aku yakin, ayah," kata Nancy. "Tetapi"
"Memenangkan sayembara itu bukan segala-galanya, Nancy,"
ayahnya memotong kata-katanya. Nancy tersenyum ketika ayahnya
meneruskan: "Aku sedang berpikir keras, Nancy. Mengingat semua
yang kauceritakan itu, engkau perlu melakukan penyelidikan di
tempat kejadian." "Ah, ayah. Begitukah pendapatmu?" Nancy meledak
kegirangan. "Tentu saja begitu!"
Gadis itu memeluk ayahnya, menciumnya dengan gembira.
"Bess telah mengundang George dan aku untuk menginap di
keluarga nyonya Chambray!" serunya, lalu lari ke telepon.
Esok harinya ketiga gadis itu beberapa kali memperbincangkan
persiapan dan perlengkapan perjalanan mereka. Kemudian mereka
menelepon nyonya Chambray.
Setelah sarapan, telepon berdering lagi. Ternyata dari bibi
Eloise. "Kabar baik, Nancy," katanya kepada Nancy. "Naskahmu telah
sampai dan langsung kubawa ke kantor majalah!"
"Wah, bukan main!" kata Nancy.
"Tetapi tidak seluruhnya," suara bibi jadi agak muram. "Aku
minta bertemu pak Miller, kepala editor. Sebelum penerima tamu
dapat menelepon kantornya, seseorang mendatangi aku. Katanya:
'Anda bawa naskah Nancy Drew? Biarlah saya saja yang
menerimanya.' Tentu saja aku tidak mau memberikannya. Ia nampak
tidak senang akan itu, dan aku sudah khawatir akan terjadi
pertengkaran mulut."
"Ya, ampuun," kata Nancy. "Siapa dia itu?"
"Aku tidak tahu. Tetapi untunglah pak Miller segera muncul.
Penerima tamu itu mengatakan kepadanya bahwa aku mengantarkan
naskah ceritamu yang kedua. Karena pengiriman yang pertama hilang
di jalan." Nancy memperhatikan setiap kata.
"Lalu apa yang dilakukan orang lain itu?" Nancy bertanya.
"Ya, pak Miller berpaling kepada dia dan berkata: 'Engkau tidak
ada hubungannya dengan sayembara ini, tuan Rocke.' Rocke berkata
memang tidak ada hubungan. Ia hanya ingin membantu menerima
paket itu untuk kemudian diberikan kepada orang yang berwenang.
Dengan sejujurnya, Nancy, peristiwa itu menimbulkan perasaan
kurang enak. Aku telah mendesak agar pak Miller sendiri yang
menerima naskah itu."
"Terimakasih banyak, bibi Eloise," kata Nancy berterimakasih.
"Engkau sungguh-sungguh penyelamat!"
Setelah gagang telepon diletakkan, Nancy menceritakan
pembicaraan itu dengan Hannah.
Kemudian ia menelepon ayahnya di kantor. Ia juga heran
seperti Nancy. "Aku tidak dapat membayangkan, begitu banyak orang yang
memperhatikan naskahmu," kata pak Drew. "Padahal hanya
sayembara majalah!" "Itulah yang kupikirkan juga, ayah," kata Nancy.
Untuk menghilangkan pengalaman bibinya dari ingatannya,
Nancy pergi ke kota untuk berbelanja menyiapkan perjalanannya.
Namun di tengah jalan ia ingat, bahwa ia belum mendapat kabar dari
McGinnis. Ia lalu mampir di kantor polisi.
"Sebetulnya aku hendak menelepon engkau kemarin," perwira
itu meminta maaf. "Tetapi aku terpaku pada beberapa tugas. Sidik jari
itu memang milik Matey Johnson. Jadi nampaknya dialah yang
mencuri suratmu. Namun engkau tetap sulit untuk membuktikannya.
Aku sedang menanti dia untuk melaporkan diri kepada petugas hukum
yang memberinya kebebasan."
"Mungkin ia tak akan melapor," kata Nancy.
Ia lalu menceritakan tentang kunjungan ke apartemennya, yang
ternyata sudah ditinggalkannya.
"Sesungguhnya aku harus segera melaporkannya, begitu hal itu
diketahui. Tetapi aku sedang sibuk memikirkan bagaimana harus
mengirimkan naskahku. Dan sekarang aku akan berangkat ke Eropa!"
"Nah, kalau begitu selamat menikmati perjalanan . . "
"Perjalanan yang akan penuh misteri," Nancy memotong.
Ia mengingatkan pak McGinnis tentang Nyonya Chambray,
salib antik dan pemiliknya yang hilang.
Setelah meninggalkan kantor polisi, ia berbelanja. Antara lain ia
membeli sebuah baju sweater biru yang manis, yang sesuai dengan


Nancy Drew Rahasia Renda Tua di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

warna matanya. Kemudian ia pulang. Ia lega mendengar dari Hannah,
bahwa Ned Nickerson telah menelepon. Ned adalah teman istimewa
Nancy. Keduanya tidak mau berkencan dengan orang lain. Untuk
sejenak, bayangan seorang pemuda jangkung, tampan dan bertubuh
atletis dari Emmerson College itu terpampang di benaknya.
"Nancy," kata nyonya Gruen yang membuyarkan khayalan
gadis itu. "Ned sungguh malang terkena penyakit tenggorokan. Ia hampir
tak dapat berbicara. Tetapi ia ingin tahu apa yang sedang kaulakukan
dan bagaimana keadaanmu. Ketika kukatakan bahwa engkau akan
berangkat ke Belgia bersama Bess dan George, ia nampaknya sedih.
Katanya, ia ingin sekali dapat ikut."
"Aku pun menginginkan begitu," kata Nancy. "Tetapi aku tahu,
ia mempunyai tugas musim panas, karena itu tak dapat pergi."
Karena ingin berbicara dengan dia sendiri, Nancy memutar
nomor telepon Ned. Namun ia heran, suara Ned jernih sekali!
Katanya, Ned sama sekali tidak menelepon!
Sekonyong-konyong rasa takut menimpa diri Nancy. Rencana
kepergiannya telah diketahui orang.
"Jadi Hannah telah mengatakan kepada orang lain tentang
rencana kepergianku, bersama Bess dan George."
"Wah gawat sekali!" kata Ned. "Sayang sekali aku tidak dapat
ikut untuk menjagamu. Tetapi aku memang tidak dapat pergi sekarang
ini. Namun aku dapat mengunjungi sebelum kau berangkat, ya?"
"Aku tidak tahu," kata Nancy. "Kami akan segera berangkat
mendapat tempat." Ia agak merasa lega, bahwa Hannah belum tahu
rencana kepergiannya secara terperinci.
"Jadi yang akan menirumu belum tahu pasti tentang
keberangkatan kami!"
Ned membenarkan. "Tetapi begitu kautahu flight nomor berapa, segera beritahu
aku! Janji?" "Janji!" Nancy menjadi merah wajahnya.
Dengan masih banyaknya hal-hal yang harus diselesaikan
sebelum berangkat, hari-hari berlalu dengan cepat. Pada waktu tidur ia
membenamkan diri dalam selimut, memikirkan segala sesuatu yang
masih harus dilakukan. Kemudian sambil menguap lebar-lebar, ia
segera tertidur. Beberapa jam kemudian ada suara klik-klik-klik
membangunkannya. Ia berusaha mendengar dengan seksama. Suara
itu berhenti. Apakah ia bermimpi? Ia pejamkan kembali matanya dan
berniat untuk tidak menghiraukan. Kemudian terdengar lagi klik, klik,
klik. "Suara apa itu? ia berpikir-pikir, lalu mengangkat kepalanya
dari bantal. Ia melirik ke arah jendela yang terbuka di seberang kamar.
Sebuah wajah terbayang di sinar bulan.
Seseorang sedang memotong kawat nyamuk dengan gunting.
5 Pengganggu Di Malam Buta Jantung Nancy berdegup keras ketika melihat gunting itu
memotong kawat kasa. Kalau ia menutup jendela dan menguncinya,
orang itu tak akan dapat masuk ke kamarnya.
Tetapi ia tentu akan melarikan diri, pikirnya. Ia akan kembali
lagi lain kali bila Nancy tak ada di rumah!
Dengan diam-diam ia turun dari ranjang, dan berjalan
berjingkat-jingkat ke kamar ayahnya.
"Ayah!" ia berbisik dengan serak." Ayah! Bangun! Ada
seseorang yang hendak masuk ke kamarku!"
Pak Drew bergerak gelisah, menggumam tak terdengar.
"Ayah!" Nancy mengulangi dengan gugup. Ayahnya membuka
mata. "Ada pencuri masuk di rumah!"
"Di mana dia?" tanya ayahnya.
Kini, sudah terbangun benar, ia mengikuti Nancy kembali ke
kamarnya. Di sana, seseorang berdiri memandangi ranjang Nancy yang
kosong! Dengan segera pak Drew menubruk orang itu, hingga
terguling di lantai. Pak Drew menangkap kedua tangannya, untuk
menjaga jangan sampai ia mencabut senjata.
"Lepaskan!" kata orang itu mengeluh.
Ia berusaha untuk melepaskan diri dari tindihan lawan. Tetapi
pak Drew duduk dengan kuatnya di dada tawanannya.
"Panggil polisi, Nancy!" kata ayah sambil memandangi
tawanannya dengan marah. Gadis detektif itu telah memutar nomor kantor polisi. Ia berkata
kepada sersan jaga apa yang terjadi.
"Harap lekas datang," kata Nancy mengakhiri pembicaraannya.
Ia lalu kembali ke ayahnya. "Mereka mengirimkan dua orang polisi
sekarang juga." Sekali lagi tawanan itu berjuang untuk melepaskan diri. Ia
menekuk lututnya dan menekankan kakinya pada karpet, mencari
pijakan yang kuat. "Oo, tidak bisa!" Nancy mencegahnya, ia menekan lutut orang
itu dengan kuat ke bawah, lalu didudukinya.
"Aduuuh!" orang itu berteriak. "Lepaskan! Engkau mematahkan
tulang-tulangku!" Hiruk-pikuk di kamar itu sampai di kamar sebelahnya, di mana
Hannah tidur. Ia bangun dan berlari ke tempat kejadian itu. Sambil
menyalakan lampu di langit-langit ia berseru: "Siapa dia?"
"Engkau Matey Johnson, bukan?" tanya Nancy, ketika ia
menoleh dan melihat rambut orang itu yang kemerahan.
Wajah orang itu pucat. Mulutnya bergetar terbuka, dan menutup
kembali. "Nah, kalau polisi datang " kata Nancy, bersamaan dengan itu
bel pintu depan berbunyi.
Hannah lari turun. Sesaat kemudian dua orang polisi masuk ke
kamar Nancy. Tawanan itu segera diborgol. Setelah kepadanya
diberitahukan hak-haknya atas hukum, kemudian salah seorang dari
polisi itu berkata, "Bukankah aku lihat engkau di sekitar stasiun?"
Tawanan itu menangkupkan bibirnya dengan erat.
"Ini adalah Matey Johnson," Nancy memberikan identitas orang
itu. "Ia mendapatkan kebebasan atas jaminan."
"Bagaimana engkau tahu ...." orang itu hendak bicara, tetapi
segera membungkam kembali.
"Mengapa engkau hendak mencuri dalam rumah ini?" tanya
Nancy. "Engkau telah mencuri surat nyonya Marvin. Apakah engkau
kembali lagi hendak mencuri naskahku?"
Matey tidak mau menjawab.
"Dan aku kira," demikian Nancy melanjutkan, "tangga itu
berguna pula, bukan?"
Ia mengambil lampu senter dari lacinya. Kemudian ia
menyoroti keluar dari jendela yang rusak. Betul juga tangga itu
bersandar di dinding rumah.
"Sayang, kita tidak sampai terpikirkan untuk menyimpannya
dalam garasi." kata gadis itu kepada ayahnya.
"Betul," kata pak Drew mengakui. "Kami mempermudah
Johnson untuk mencuri kedua kalinya. Hanya kali ini ia tak berhasil."
Johnson memandang marah ketika digiring polisi keluar dari
rumah. Hannah Gruen mengunci pintu lalu menguap.
"Luar biasa malam ini!" katanya.
Nancy mengangguk. "Tahukah engkau? Aku lapar dengan
mendadak. Apakah ada yang ingin makanan?"
Pak Drew tertawa; mengikuti Hannah dan anaknya ke dapur.
"Kukira aku kehilangan beberapa kalori untuk duduk di atas
orang itu! Bagaimana poding ketanmu Hannah?"
"Segera siap," katanya. "Kukira kita memang harus makan
sedikit untuk menenangkan saraf. "Ia meletakkan poding di piring
masing-masing, sementara Nancy menuangkan susu coklat yang
berkepul-kepul. "Sayang sekali engkau tak berhasil mengambil kembali surat itu
dari tangan Johnson," kata ahli hukum itu kepada anaknya.
Nancy mengangkat bahu, sambil menyendok susu ke mulutnya.
"Aku sungguh senang dapat menangkap dia," katanya.
"Yang masih meresahkan aku hanyalah, bahwa ia mungkin
telah menunjukkan surat itu kepada orang lain, seperti Andre Bergere
misalnya." ************* Esok paginya Nancy mengatakan kepada Bess dan George,
tentang semua kejadian semalam dan juga keberanian ayahnya.
"Menurut aku engkau sendiri juga berani," Bess memuji
temannya. "Kalau aku tentu sudah terpukau tak berdaya."
"Ah itu tidak benar," kata Nancy. "Engkau telah sering
menghadapi keadaan yang mengerikan bersama aku, dan selalu oke."
Bess tertawa cekikikan dengan kebingungan. "Tetapi aku
berharap, di Belgia tak ada apa-apa," katanya.
Hal ini menggugah Nancy untuk menceritakan telepon yang
diterima Hannah dari seseorang yang mengaku sebagai Ned.
"Ya ampun!" seru Bess ketakutan. "Jangan-jangan kita harus
membatalkan perjalanan kita!"
"Tidak perlu," jawab gadis detektif itu. "Tetapi kalau engkau
ingin mengundurkan diri . ..."
"Oo, aku ikut," Bess cepat-cepat memotong ucapan Nancy,
dengan segan-segan. "Walaupun aku tahu, bahwa aku akan selalu
senewen." Tanggapan George sangat berbeda. Begitu ia mendengar cerita
Nancy ia berkata: "Makin cepat kita tinggalkan Amerika, makin
baik!" "Kuharap saja engkau benar," kata Nancy. "Tetapi kita mungkin
akan menghadapi bahaya di Belgia."
"Maksudmu kita akan bertemu Bergre," kata George. Lalu
menyambung dengan singkat: "Sudah, mari kita berbicara yang lebih
menyenangkan. Burt mengatakan, ia, Dave dan Ned ingin datang
kemari besok, untuk mengucapkan selamat jalan. Karena kita tinggal
punya waktu sedikit lagi ...."
"Dengar," Nancy memotong. "Aku ingin semuanya makan
malam di sini, oke?"
"Siiip," jawab George.
Para gadis itu segera menghubungi teman-teman kuliah mereka.
Ketika para pemuda itu datang sore berikutnya, Dave mengusulkan
untuk nonton, lalu disambung dengan pesta dansa untuk mencari dana
anak-anak terlantar. Dave yang membawa Burt dan Ned di mobilnya ke rumah
Nancy, memaki diri sendiri karena tak berpikir jauh.
"Aku sungguh tolol," katanya. "Kita berenam, tetapi mobilku
hanya mampu membawa empat orang."
"Itu beres," kata Nancy. "Ned dan aku dapat menggunakan
mobilku." Ketiga pasangan itu berangkat dengan mobil dua, tetapi Dave
dan Ned mengambil jalan yang berbeda. Bess, George dan pengawalpengawalnya tiba lebih dulu. Mereka menunggu di lobby.
" Aku ingin tahu di mana mereka," kata Burt setelah beberapa
saat. Ia melirik tak sabar ke arlojinya. "Kita telah hampir limabelas
menit di sini. Apakah Nancy mengatakan hendak mampir dulu?"
"Tidak," jawab George.
Ia dan yang lain memandangi rombongan penonton yang
terakhir mencari tempat duduknya.
"Sudah waktunya untuk mulai," kata Dave, "Barangkali lebih
baik kita masuk saja."
"Bagaimana pendapatmu, George?" tanya Bess. "Engkau tahu,
bukan kebiasaan untuk Nancy datang terlambat. Kuharap saja tak ada
apa-apa yang menimpa mereka."
Suara tepuk tangan terdengar hanyut keluar melalui pintu-pintu
ke lobby yang hanya ada keempat muda-mudi itu.
"Ah, aku yakin mereka segera datang," kata George,
mendahului masuk ke ruangan yang telah digelapkan.
Di panggung muncul seorang wanita dengan rambut indah
bagaikan sutera, terurai ke bahu, dengan gaun putih berkelip-kelip
hiasannya. Wanita itu mulai menyanyi lembut, mengundang
keheningan di ruangan. Namun Bess tak dapat memusatkan diri pada
pertunjukan yang menampilkan beberapa lagu pop itu, termasuk
sebuah balada yang digemarinya. Bess menggigit bibirnya dengan
rasa khawatir, dan sewaktu-waktu menoleh ke pintu yang tertutup.
"Ada apa?" bisik Dave kepada pacarnya, sambil meletakkan
tangannya ke bahu untuk menenteramkannya.
"Aku merasa, ada sesuatu yang buruk menimpa Nancy dan
Ned!" jawab Bess dengan nada ketakutan.
6 Serangan Kaum Remaja Nancy dan Ned mula-mula mengikuti mobil Dave. Segera
mereka merasa dibayangi oleh mobil lain. Lampu besar mobil itu
memantul menyilaukan pada kaca spion mobil Nancy, hingga Ned
yang pegang setir terpaksa merubah sudut kaca spionnya.
"Pada jalan simpang berikut," kata Ned, "aku akan membelok
ke kanan dan memadamkan lampu depan. Kalau mobil itu jalan terus,
kita akan terlepas."
Nancy memandang melalui kaca belakang. Ia hendak
mengetahui siapa yang di mobil yang membayangi mereka. Tetapi ia
tidak dapat melihat jelas wajah seseorang. Ned menginjak gas.
Dengan suara mencuit-cuit mobilnya membelok ke kanan di tikungan.
Segera ia padamkan lampu-lampu depannya ketika mendahului
sebuah truk. Kemudian ia pinggirkan ke depan sebuah mobil yang
diparkir. "Kukira kita telah lepas dari mereka," kata pemuda itu, lalu
kembalikan mobilnya ke tengah jalan.
"Kita dapat kembali ke jalan raya, kalau di ujung jalan ini kita
kembali membelok," kata Nancy.
Tetapi dengan tiba-tiba di depan mereka terlihat sebuah penutup
jalan berupa pagar-pagar kayu. Terpasang papan bertuliskan:
JEMBATAN RUSAK. JALAN DITUTUP.
DI DEPAN ADA SUNGAI! BERBAHAYA!!!
"Maaf," kata Nancy kepada pacarnya. "Kukira kali ini
penglihatan normal dariku gagal!"
Ned tertawa lembut. Ia pasang persneling mundur. Tetapi pada
saat itu mobil yang membayangi berhenti di belakang mereka.
"Ya ampuun!" seru Nancy.
Empat orang remaja, semuanya mengenakan jaket bergambar
laba-laba yang menyeramkan, melompat keluar dan mengepung mobil
mereka. Mereka menyeringai penuh rasa dendam kepada pasangan itu.
Nancy dan Ned dengan cepat menutup jendela dan mengunci pintu.
Namun salah seorang pemuda tanggung bertindak terlalu cepat bagi
Nancy. Ia telah mengulurkan tangannya sebelum kaca pintu tertutup
rapat. Ia tarik tangan Nancy sambil membuka pintu. Ia memaksa
Nancy keluar. Ned tidak mampu mencegah. Dengan sekuat-kuatnya ia tekan
tombol klakson mencoba menarik perhatian orang-orang yang
sekiranya ada di sekitar mereka. Seorang pemuda tanggung lainnya
datang dan menarik Ned keluar. Dengan dibantu oleh temannya
pemuda itu mengangkat Ned keluar dari mobil.
Ned memberontak dengan sekuat tenaga. Segera ia


Nancy Drew Rahasia Renda Tua di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mendapatkan kembali keseimbangannya. Ia melompat dan menerjang
kedua penyerangnya. Tetapi seorang lagi mengayunkan tinjunya, dari
belakang. "Ned, awas!" seru Nancy.
Ia berdiri dekat pemuda tanggung yang telah menyeretnya
keluar dari mobil tadi. Rupanya mereka yakin Nancy takut untuk
bergerak. Ia tinggalkan Nancy dan terjun ke dalam perkelahian.
Ned mendengar peringatan Nancy. Ia menunduk dan mengelak.
Kaki lawannya ia tangkap dan membantingnya ke tanah. Nancy sadar
tidak mampu membantu Ned dalam perkelahian itu. Ia berbalik dan
lari ke jalan secepat-cepatnya.
"He, hadang dia!" seru salah seorang gerombolan remaja itu.
Pemuda tanggung yang tadi menyeret Nancy turun dari mobil lalu
mengejar. Kakinya yang panjang dengan cepat menyusulnya semakin
dekat. Nancy membelok di sudut. Pengejarnya berbuat sama, tetapi
tiba-tiba ia melolong kesakitan. Ia terjerumus ke dalam lubang dan
jatuh tengkurap di jalan aspal.
Nancy menoleh. Segera ia tahu bahwa pengejarnya tidak dapat
berdiri lagi. Dengan perasaan lega ia terus berlari. Ia berteriak-teriak
minta tolong. Sementara itu Ned kalah tenaga menghadapi tiga buaya
muda yang masih tinggal. Dengan terengah-engah kehabisan tenaga ia
berhenti melawan. "Kalian mau apa?" ia bertanya.
"Memereteli mobilmu, anak pandir!" jawab salah seorang. Ia
bergegas ke tempat bagasi mobilnya sendiri untuk mengambil
perkakas. "Ini!" katanya kepada teman-temannya. "Putuskan dulu
radionya. Aku akan mengambil dop-dop rodanya."
Pemuda yang ketiga, yang paling kecil, kira-kira berumur
limabelas tahun, menjagai Ned.
Sementara teman-temannya sibuk memereteli mobil Nancy,
pemuda kecil itu mengendorkan pegangannya atas Ned yang diam
tidak bergerak. Ned mengumpulkan tenaganya kembali. Dan tiba-tiba
ia meliuk melepaskan diri. Ia cepat menangkap pemuda itu,
mengangkatnya lalu diseret ke dekat penutup jalan.
"Lepaskan!" teriak pemuda itu, berusaha melepaskan diri dari
tangkapan Ned.. Ia jejakkan kakinya dan menjatuhkan diri bagaikan karung ke
tanah. Namun Ned mempererat memegang tangan pemuda itu. Ia
tendang pagar penutup jalan hingga roboh, kemudian menyeret
lawannya ke air yang hitam menggelegak.
"Katakan kepada kawan-kawanmu untuk menghentikan
perbuatan mereka. Kalau tidak, kulempar kau ke dalam sungai!"
ancam Ned terengah-engah.
Kawan-kawan pemuda itu mengejar Ned akan menolong
temannya. Mereka sudah siap menghajar Ned yang atletis itu, sekali
lagi. Namun terhenti oleh raungan sirene mobil polisi dari kejauhan.
"Polisi!" teriak salah seorang dari remaja tanggung itu. "Mari
kita lari!" Keduanya lari di jalan, sangat takut untuk menolong temannya.
"Siapa kalian ini?" tanya Ned kepada tawanannya.
"Teman-teman!" pemuda itu mendesis. Ia menggeliat-geliat dan
berusaha menendang kaki Ned.
Ned mempererat pegangannya pada lengan lawan.
Pemuda tanggung itu mengeluh kesakitan, tetapi tak menjawab
ketika Ned mengulangi pertanyaannya.
"Begitu polisi sampai di sini," kata Ned, "aku akan mengatakan,
engkaulah yang bertanggungjawab atas kejadian semua ini!"
"Tetapi itu tidak betul. Sammy Johnson yang menyuruh kami,"
teriak anak itu. "Siapa dia itu?"
Setelah beberapa saat ragu-ragu ia menjawab: "Ia adik Matey
Johnson!" Sebuah mobil patroli dengan lampu merah berkedip-kedip
berhenti di belakang kedua mobil. Dua orang polisi dan Nancy
muncul, dan Nancy segera lari ke samping Ned.
"Engkau tak apa-apa?" tanyanya, melihat bilur kecil di tulang
pipinya. Ned menyeringai. "Aku merasa seperti baru saja melakukan
touchdown pada permainan rugby . . . ."
"Aku sangat membencimu" tukas tawanan itu kepada Nancy.
Nancy memandangi dengan heran. "Aku tak kenal engkau! Apa
yang pernah kulakukan terhadapmu?"
Sebelum dapat menjawab, polisi memotong: "Mari, kita
berbicara di kantor polisi," kata salah seorang polisi.
Dengan segera Ned menceritakan apa yang dikatakan pemuda
itu kepadanya. "Kukira pemuda-pemuda itu ingin membalas dendam
terhadap Nancy, yang telah menangkap Matey Johnson," ia
menyimpulkan. "Tak masuk akal," kata gadis detektif itu. "Apakah Sammy itu
salah seorang anggota gerombolan?"
Pemuda yang kini telah diborgol itu memandang marah. "Heh,
engkau tak akan dapat menangkap dia!"
Dengan memandangi mobilnya yang mogok di antara mobil
gerombolan dan pagar penghalang, Nancy menjawab: "Kukira
memang demikian." Namun tak lama kemudian, sebuah mobil derek muncul untuk
menarik mobil para pemuda itu. Setelah dop-dop roda mobil Nancy
dipasang kembali, pasangan itu telah siap untuk berangkat.
"Sayang radio telah diputus," kata Ned.
Ia melihat ke lubang bekas tempat radio, kabel-kabelnya
bergantungan di bawah dashboard. "Tetapi setidak-tidaknya mereka
belum membawanya. Aku akan memasangnya kembali sementara
engkau pergi." "Sungguh baik engkau," kata gadis itu, lalu menyambung: "Aku
tak dapat membayangkan, bagaimana engkau dapat menghadapi anakanak itu. Engkau sungguh luar biasa."
Ned menceritakan kepada Nancy tentang penangkapan yang
terakhir, ia berkata: "Aku hanya menyeret bangsat cilik itu ke tiang
gawang gol maksudku ke sungai!"
Ned memutar mobilnya lalu menuju ke jalan besar lagi. Nancy
melihat ke arlojinya. "Kita sudah terlambat untuk nonton," katanya. "Apakah tidak
sebaiknya langsung ke tempat dansa, bertemu mereka di sana saja?
Kukira Bess, George, Dave dan Burt tentu sangat mengkhawatirkan
kita." Ned setuju. Seperti yang diramalkan Nancy, teman-teman
mereka nampak khawatir ketika mereka datang.
"Di mana kalian tadi?" tanya George, melihat keadaan mereka
yang tak rapih lagi. "Apakah kalian diserang hantu?"
"Ya, begitulah!" jawab Nancy, lalu mendesak Ned untuk
menceritakannya. Setelah selesai, George berkata: "Sebagai kapten regu rugby,
memang banyak manfaatnya. Tetapi aku tak pernah tahu, bahwa
mereka telah melatih engkau menghadapi serangan berganda."
Ned menyeringai. "Kami mungkin tak akan berhasil baik kalau
tidak karena kaki ringan Nancy! Wah, luar biasa larinya!"
"Tetapi aku lebih senang berdansa!" Nancy tertawa.
Musik semakin keras bunyinya. Ned memegang tangan Nancy
dan menuntunnya ke lantai dansa.
"Apakah tulang-tulangmu terlalu sakit untuk dansa?" Nancy
bertanya dengan penuh perhatian.
"Oh tidak!" Ned tertawa, sambil membawa gadis itu ke tengah
lantai. Kedua pasangan mengikuti. Tetapi Bess lebih merasa heran
melihat sikap Nancy yang biasa daripada George.
"Lihat mereka," katanya. Matanya tak lepas dari Nancy dan
pasangannya. "Mereka tertawa dan berdansa, seolah-olah tak terjadi
apa-apa!" "Barangkali," Dave tertawa kecil. "Kemampuan Ned yang luar
biasa, sungguh menimbulkan mukjizat bagi hubungan mereka!"
Ketika mereka berdua berdansa di dekat Nancy dan Ned, Bess
berkata kepada Nancy: "Sebaiknya engkau menelepon ayahmu dulu.
Katakan bahwa engkau baik-baik saja. Aku tadi menelepon beliau,
mungkin engkau pulang dulu untuk sesuatu."
Nancy menerima saran Bess, minta permisi beberapa menit.
Ayahnya dan Hannah merasa lega mendengar bahwa ia dan Ned telah
selamat menghadapi serangan.
"Anak-anak itu harus dihukum," kata pak Drew.
Ia berhenti sejenak, lalu meneruskan: "Selamat berdansa,
sayang. Tetapi tetaplah berkelompok pada waktu pulang nanti."
Nancy berjanji. ************* Sepanjang sore para muda mudi itu memperbincangkan naskah
Nancy, serta misteri yang menyangkut renda lengan baju.
"Aku juga ingin tahu, siapa pemilik salib intan itu," kata Burt
Eddloton. "Kalian tentu akan sibuk menghadapi begitu banyak
masalah di Belgia." Mereka akan terlalu sibuk, sampai tak ada waktu untuk
mengirimi kita kartupos bergambar," kata Dave.
Tiba saatnya ketiga gadis itu berangkat ke New York, pacarpacar mereka mengantar ke airport. Di perjalanan mereka mampir
sebentar di kantor-pos. Nancy heran, selembar tandaterima naskah
baru saja diterima. Namun tandatangannya tak dapat dibaca. Gadis
detektif itu menunjukkan kepada teman-temannya lalu memasukkan
ke dalam tas tangannya. "Selain mustika itu," kata Ned, "apakah engkau telah membawa
sikat gigi, pakaian dan potretku?"
"Sudah; hanya urutannya yang terbalik," jawab Nancy, lalu
mencium Ned sebagai ucapan selamat tinggal. "Aku akan membawa
oleh-oleh, suatu kejutan!"
"Jadikanlah itu untuk memecahkan rahasia renda kuno
tersebut." *********** Ketika ketiga gadis itu tiba di New Jork City, mereka naik taksi
langsung ke apartemen bibi Eloise Drew. Bibi menerima dengan peluk
cium. Setelah membereskan kamar penginapan, Nancy bercerita
kepada bibinya tentang segala hal yang telah terjadi.
Bibi terkejut. "Mengerikan! Sungguh mengerikan!" seru bibi.
Kemudian memandangi Nancy dengan mesra bibi berkata:
"Aku minta maaf, Nancy, tetapi kepala editor Circle and Square ingin
berjumpa dengan engkau sendiri selekas mungkin.
"Apakah ia mengatakan, ada sesuatu yang tak beres?" tanya
Nancy. "Ya," jawab bibi Eloise, sangsi akan apa yang harus dikatakan.
Ia menghela napas dalam-dalam. "Rupanya ada masalah serius yang
akan engkau hadapi!"
7 Kopor yang Dicuri "Masalah apa?" tanya George. "Nancy tak berbuat salah apa
pun." Bibi Eloise memeluk kemenakannya. "Sudah tentu tidak. Kakak
menelepon aku beberapa waktu yang lalu dengan pesan itu. Katanya,
pak Miller yang menerima naskahmu tak mengatakannya secara
terperinci. Tetapi ia menekankan, ia harus berjumpa dengan engkau
sendiri." "Ini sudah hampir jam lima tigapuluh," kata Nancy. "Kantor
majalah mungkin sudah tutup sekarang. Aku harus ke sana besok
pagi-pagi sekali." Hari berikutnya, ia membuat perjanjian untuk menemui pak
Miller. "Aku akan menyertai engkau," Bess mendesak. "Sesudah
kejadian yang menimpa kau dan Ned, engkau jangan pergi ke manamana seorang diri."
"Bess benar," George membenarkan. "Aku juga ikut."
Wajah Nancy melukiskan senyuman lebar. "Dengan dua orang
tukang pukul, kukira aku akan selalu selamat!"
"Dan kalau ada sesuatu yang gagal," Bess menggoda, kita akan
memanggil Ned untuk menyelamatkan!"
Bibi Eloise yang mengajar di sekolah telah berangkat, maka
mereka membereskan dulu apartemen itu sebelum berangkat ke kantor
majalah Circle and Square.
Setelah mereka ada di luar, mereka menuju ke barat melalui
sebuah taman pribadi ke arah Madison Avenue. Itulah salah satu jalan
di New York yang paling ramai. Jalan itu penuh dengan taksi, mobil
pribadi dan rombongan-rombongan pejalan kaki, yang dapat berjalan
lebih cepat daripada kendaraan-kendaraan di pagi itu.
"Aku memang mencintai New York," kata Bess merenung,
memandang ke jendela pajangan sebuah rumah butik Italia.
"Pakaian-pakaian itu sungguh hebat, orang-orangnya juga
hebat" Ia berhenti berkata sejenak, memandangi seorang gadis
berambut hitam mengkilat di dalam toko. Ia memakai gaun berwarna
kuning jeruk rajutan. "Wah aku sungguh ingin nampak seperti dia."
George menarik sepupunya dari depan kaca. "Bisa saja kalau
engkau berhenti makan!"
Bess pura-pura tak mendengar kata-kata itu.
"Nancy, bagaimana kalau kita juga menonton show dan
konser?" "Aku hampir tak punya waktu untuk bertemu pak Miller," kata
Nancy. Pikirannya melayang jauh dari Madison Avenue. "Tetapi
mungkin kita dapat mampir waktu pulang."
Segera mereka tiba di pintu masuk sebuah bangunan yang
tinggi, di mana mereka melihat daftar dinding di dekat tempat
elevator-elevator. Circle and Square tertera pada lantai duaSelas.
Dengan tenang mereka masuk elevator, sementara Nancy
melihat pada nomor-nomor lantai. Ketika lampu berhenti pada angka
duabelas, pintu elevator terbuka perlahan-lahan, dan ia menghela
napas dalam-dalam. George mendekati Nancy. "Jangan khawatir," katanya,
sementara mereka memasuki kantor majalah. "Semuanya akan beres."
Pak Miller ternyata seorang yang tampan, berambut coklat dan
bermata biru cerah. Nancy memperkirakan seumur dengan ayahnya.
"Aku juga punya anak perempuan berumur delapanbelas,"
katanya tanpa ditanya. "Ia mirip sedikit dengan engkau, nona Drew.
Tetapi aku khawatir, persamaan itu hanya sampai di situ. Ia tak pernah
menjiplak cerita seseorang."
Tuduhan tersebut membuat gadis detektif itu tertegun. "Ya, aku
pun tidak," ia menjawab dengan datar, berusaha menekan perasaannya
yang meningkat panas. "Itu benar," Bess mendukung.
"Mengapa kalian tak membiarkan pak Miller menjelaskannya?"
kata George menyarankan. Kepala Editor itu berkata, bahwa para pembacanya telah
menemukan dua buah cerita yang sama.
"Salah satu adalah milikmu," ia menyatakan. "Pemecahanmu
pun sama dengan pengikut lain."
"Kata demi kata?" tanya Nancy.
"Hmmm, tidak," jawabnya. "Tetapi sungguh mirip sekali
dengan sebuah jiplakan, atau telepati mental. Manakah yang asli?"
Gadis detektif itu menggertakkan giginya ketika ia menjawab.


Nancy Drew Rahasia Renda Tua di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ia menceritakan tentang Matey Johnson dengan percobaannya untuk
mencuri. "Tetapi sekarang dia telah dipenjara, katamu," jawab pak
Miller. "Apakah ia berhasil mencuri naskahmu?"
"Tidak," Nancy mengakui. Ia tiba-tiba sadar, bahwa Johnson
tak punya kesempatan untuk melihat naskah yang akan dimasukkan.
"Tetapi ia mendengar kami memperbincangkannya! Kemudian
aku mengirimkan naskah aslinya, yang oleh kantor anda dinyatakan
tak pernah menerimanya. Namun aku mempunyai resi tanda terima
menyebutkan kebalikannya. Kemudian bibiku menyerahkan tindasan
naskah itu beberapa hari yang lalu."
Nancy membuka tasnya dan mengeluarkan tanda terima dengan
tandatangan yang tak terbaca itu.
"Aneh! Aneh sekali!" kata pak Miller sambil mengerutkan
dahinya. "Ini tidak kukenal. Aku yakin bukan dari sini."
"Apa?" seru George. "Tetapi tandaterima itu diterima Nancy
melalui pos dari kantor River Heights.
"Tinggalkan saja di sini," kata pak Miller tiba-tiba. "Ini sangat
tidak wajar." Karena khawatir kehilangan bukti dari si penjiplak, Nancy
minta fotokopi dari kertas itu.
"Kau tidak mempercayai aku?" tanya editor itu.
Kini ia mulai menampakkan keramahannya untuk pertama kali.
"Apakah anda dapat memperkirakan tanda-tangan seseorang
yang tidak bekerja di kantor ini."
"Barangkali sainganku dalam sayembara ini," kata gadis
detektif itu mengambil kesimpulan. "Omong-omong siapakah kirakira orang itu?"
"Seseorang bernama Paul Frieden." Sambil memandangi surat
tandaterima itu, ia melanjutkan dengan sedikit bingung: "Aku minta
maaf atas sikapku sewaktu kalian masuk tadi. Aku khawatir, bahwa
sampai masalah ini telah dapat dipecahkan, maka kami tidak dapat
mengikut sertakan naskah anda maupun naskah Frieden!"
"Ah, sungguh jahat sekali!" Bess meledak membela Nancy. "Ia
yang menulisnya sendiri, kata demi kata. Ia tidak menjiplak apa pun
atau dari siapa pun!"
"Aku mengagumi kesetiakawananmu," kata Miller, "tetapi
peraturan kami ...." Ebukulawas.blogspot.com
"Nancy adalah detektif amatir," George memotong. "Dapat
dimengerti kalau ia mampu memecahkan akhir cerita Francois
Lefevre." "Aku yakin," kata pak Miller.
Ia mulai hendak bicara lagi, tetapi George tidak membiarkan dia
meneruskan kata-katanya. "Nancy berharap dapat memenangkan
hadiah pertama, lalu hadiah tersebut akan disumbangkan," katanya.
Pak Miller mengantarkan para tamu yang kecewa itu hingga ke
pintu. "Aku sungguh-sungguh menyesal atas semuanya ini. Dengar!
Inilah yang akan kuusahakan. Aku akan meminta stafku untuk
menahan naskah-naskah hingga saat yang paling terakhir waktu
penutupan. Ini akan saya perpanjang sedikit. Mungkin pada waktu itu
kami sudah merasa apa yang sebenarnya telah terjadi."
Nancy tersenyum lemah. "Terimakasih banyak!"
"Hanya itu yang dapat kulakukan," kata orang itu, lalu menjabat
tangan mereka. Mengharapkan sepenuhnya bahwa pak Drew dapat menangani
masalah Nancy, sementara ketiga gadis itu berangkat dari New York
untuk penerbangan malam ke Brussel, Belgia. Dari sana mereka
merencanakan perjalanan kereta api atau bermobil menuju Brugge.
Sebab kota kecil itu tidak memiliki lapangan terbang.
Ketika roda-roda pesawat menyentuh landasan, George
memandang keluar ke arah terminal yang cerah disinari matahari.
Waktu itu sudah tengah hari di Belgia. Atau sudah jam 6.00 pagi di
New York. Para penumpang berbaris melalui bagian Imigrasi dan Kantor
Paspor dengan cepat. Kemudian menuju ke arah tempat penerimaan
begasi. Satu demi satu, kopor-kopor berdatangan pada ban Conveyor.
Mula-mula George, kemudian Bess melihat kopor-kopor mereka dan
mengambilnya. Nancy juga melihat kepunyaannya, sebuah kopor
hijau yang kuat. Tetapi ia menunggu hingga kopor itu lebih dekat lagi
untuk diambilnya. Tiba-tiba ia terkejut, seorang yang berdiri paling
depan menyambar kopor itu lalu pergi dengan cepat.
"Kaulihat itu?" Nancy berseru. "Ada orang yang mencuri
koporku!" Ia lari menerobos deretan orang-orang. Seorang penjaga
menghentikannya pada pintu yang menuju ke pintu keluar, ia tidak
boleh keluar sebelum barang-barangnya diperiksa oleh Pabean.
"Tetapi ada orang yang mencuri koporku!" ia berseru marah.
"Ia keluar melalui sini."
"Ya, barangkali ia pegawai di sini, dan mempunyai tanda
pengenal yang sah. Barangkali kopornya mirip dengan milikmu."
Nancy kembali bersama George dan Bess, berharap ada kopor
hijau lagi yang memakai huruf-huruf depan namanya akan datang.
Tetapi tak ada sama sekali. Dengan sangat kecewa Nancy berbicara
lagi dengan penjaga. Ia bersikeras bahwa ada orang yang mencuri
kopornya. "Kalau memang demikian," jawab penjaga,
"Kusarankan engkau melapor ke kantor pengaduan barang
hilang. Mungkin sekali orang yang keliru mengambil itu akan
menyadari kekeliruannya, dan mengembalikannya di sana. Datanglah
besok pagi dan periksalah."
Menuruti saran orang tersebut, Nancy dan teman-temannya
menuju ke kantor pengaduan barang hilang dan melaporkan pencurian
tersebut. Setelah itu mereka memutuskan untuk menginap semalam di
Brussel. "Yah," kata Bess, "pandanglah dari segi cerahnya. Di sinilah
dulu Francois tinggal!"
Ia dan George mengikuti Nancy ke kereta api pulang balik yang
menuju ke pusat kota. Mereka memilih sebuah hotel yang menarik,
yang tertera dalam buku petunjuk Nancy. Hotel itu jaraknya
seperjalanan kaki dari setasiun.
"Belgia adalah negara yang menggunakan tiga bahasa," kata
Bess. "Penduduknya berbicara bahasa Prancis, Belanda atau Vlaams.
Tergantung di mana mereka tinggal. Tentu saja banyak yang dapat
berbicara ketiga-tiganya."
Meskipun kota itu indah, dan teman-temannya berusaha
menghiburnya, pikiran Nancy tetap terpusat pada kopornya yang
hilang. "Ada seseorang yang ingin menahan aku untuk pergi ke
Brugge!" pikirnya, ketika ia menyusup di bawah selimut malam itu.
Tetapi siapa? 8 Kesulitan Detektif Nancy tidur gelisah, sehingga pagi-pagi sekali ia sudah bangun.
Ia segera mandi dan berdandan sebelum teman-temannya bangun.
Kemudian ia berjalan-jalan sampai Bess dan George siap untuk
sarapan. Di kamar makan, mereka membicarakan keadaan mereka.
"Aku punya firasat, bahwa ada seseorang yang ingin
memperlambat kepergian kita ke Brugge," kata Nancy sambil
mengambil roti rol manis ke piringnya.
Bess menghirup tehnya. "Tak bisa," katanya.
"Apa maksudmu tak bisa?" tanya George.
"Kalau kopor Nancy tak datang juga hari ini," jawab
sepupunya, "Kita akan terus ke Brugge, dan mengatakan kepada
perusahaan penerbangan itu untuk mengirimkan kopor itu ke alamat
nyonya Chambray." Nancy sangat kecewa, karena kopornya belum juga
dikembalikan ke lapangan terbang. Ia memberikan alamat tempat
yang ditujunya di Brugge, dan minta kepada perusahaan penerbangan
itu untuk mengirimkan kopor tersebut begitu datang.
"Dengan sejujurnya," kata Nancy kepada teman-temannya, "aku
sangsi bahwa kopor itu akan datang. Aku yakin bahwa orang yang
mengambil koporku itu memang melakukannya dengan sengaja."
Melihat seorang polisi berdiri di luar pintu gerbang terminal,
Nancy berjalan ke sana. "Monsieur," katanya. "Dapatkah anda berbicara Inggris?"
"Un peu . . . sedikit."
Gadis detektif itu menjelaskan, bahwa kopornya mungkin dicuri
orang. "Apakah anda dapat memberikan ciri-ciri orang itu? Perlahanlahan sedikitlah!"
Nancy berkata, bahwa ia berdiri agak jauh untuk dapat
mengenalinya dengan lebih teliti.
"Tetapi dapat kukatakan, bahwa orang itu jangkung-kurus,
mengenakan pakaian biru tua atau suatu seragam. Ketika kulaporkan,
si penjaga pintu pabean mengatakan mungkin orang itu bekerja di
sini." Polisi itu berhenti sejenak sebelum melanjutkan. "Dapatkah
anda menunjukkan kepadaku, mana penjaga yang mengatakan begitu,
agar aku dapat berbicara dengannya?"
Gadis itu kembali masuk ke terminal, melihat-lihat ke tempat
daerah begasi. Orang yang bertugas di sana ternyata orang lain. Ketika
ia kembali lagi, ia menambahkan lagi sebuah petunjuk identifikasi,
yaitu huruf-huruf depan ND pada kopornya.
"Barangkali kesulitan anda ini hanya karena kebetulan saja,"
kata polisi itu. Orang yang mengambil kopor anda, mungkin
mempunyai kopor yang mirip dengan milik anda."
"Dan namanya dimulai dengan huruf-huruf yang sama dengan
namaku?" Gadis detektif itu menyelesaikan kesimpulan yang diambil
oleh polisi itu. "Kalau begitu memang sungguh-sungguh kebetulan!"
"Yah, aku akan memasukkan laporan ini bagi anda, dan
barangkali kopor anda akan ditemukan."
"Kalau demikian, dapatkah anda mengirimkannya ke Brugge?
Kami akan berangkat ke sana hari ini."
Ia memberikan alamat nyonya Chambray ke pada polisi itu, dan
mengucapkan terimakasih atas bantuannya. Kemudian mereka
mengambil kereta api pulang balik ke stasiun kereta api besar.
Perjalanan ke Brugge berlangsung tanpa kejadian-kejadian yang
berarti. Mereka melihat-lihat pemandangan alam yang hijau datar
tanpa banyak bercakap-cakap. Akhirnya, setelah berhenti di Ghent,
mereka tiba di kota abad pertengahan Brugge. Kota itu indah menarik
dengan jalan-jalan sempit serta bangunan-bangunan kuno empat-lima
tingkat, yang kebanyakan dipisahkan oleh saluran-saluran.
"Ini seperti melakukan perjalanan kembali ke alam abad
pertengahan," kata Bess.
Saudara sepupunya tergelitik oleh perahu-perahu di saluran.
Beberapa di antaranya perahu motor terbuka, dan beberapa lagi
menggunakan atap tenda. "Tak heran, bahwa Brugge disebut pula Venesia daerah Utara."
Mereka memilih naik perahu. Daripada memakai taksi di darat.
Schipper-nya, seorang yang wajahnya kemerah-merahan
menunjukkan bahwa ia terbiasa berjam-jam mengemudikan perahu, ia
mengatur kopor-kopor mereka lalu menghidupkan mesinnya.
Mesin itu keras suaranya, hingga Bess berbisik: "Barangkali ini
adalah mesin dari abad pertengahan!"
Nancy tersenyum setengah hati.
"Kuharap saja toko-toko pakaian di sini tidak demikian,"
katanya. Ia berpikir kalau saja ia mengenakan sweater yang baru di
pesawat. Ia bertanya dalam hati. Mungkinkah akan melihat baju itu
kembali. Setelah schipper membawa perahu itu dari saluran yang satu ke
yang lain dan kemudian melalui kolong sebuah jembatan batu kecil
dengan konstruksi bentuk gothic di bagian tengahnya. Di seberang
sana terdapat sebuah rumah batu yang rupanya telah dibangun
berabad-abad yang lalu. Jendela-jendelanya sempit, dipasang di
bawah lengkung-lengkung beratap segitiga di atasnya.
"Di sanalah tentunya nyonya Chambray tinggal," kata George.
Tukang perahu itu menambatkan perahu pada sebatang tiang. Ia
bantu gadis-gadis itu turun, dan mengambilkan kopor-kopor mereka
yang besar-besar. Kemudian ia menyambar yang kecil-kecil termasuk
tas kosmetik Bess. Ia mengulurkan tangannya untuk menerima tetapi
tas itu terlepas dan jatuh ke dalam air.
"Ya ampuun!" seru Bess. "Aduh, semua lipstick, pewarna kuku
dan bedakku!" Schipper itu berceloteh dalam bahasa yang tak mereka
mengerti. Nancy hanya dapat menangkap kata droevig, yang ia
perkirakan berarti 'menyedihkan'.
"Hati-hatilah!" Bess meminta.
Sementara tukang perahu itu melompat kembali ke perahu. Ia
ambil sebuah galah dengan kait di ujungnya. Ia masukkan galah itu ke
dalam air, berusaha untuk mengait pegangan tas tersebut. Kemudian ia
mengangguk gembira. Ia berhasil menangkap tas kecil itu.
"Syukurlah!" Bess menghela napas lega.
"Engkau dengan make-upmu," saudara sepupunya mengejek.
"Untuk apa memakai rouge segala, kalau semua itu membuat tekanan
darahmu tetap tinggi?"
Tukang perahu yang membawa barang-barang mereka berjalan
mendahului ke pintu rumah. Pintu terbuka dan menampakkan seorang
nyonya jangkung ramping, dengan rambut warna keperakan yang
disimpul menjadi sanggul di atas tengkuknya.
"Nyonya Chambray?" tanya Nancy.
"Mais oui," jawabnya dalam bahasa Prancis. "Ya, selamat
datang!" Masing-masing mereka memperkenalkan diri. Nancy lalu
membayar si schipper. Setelah mereka duduk di ruang tamu, mereka sangat kagum.
Kamar itu berisi beberapa perabotan yang berukir rumit dan gordengorden brokat yang tebal. Lukisan-lukisan yang ada adalah buatan
seniman-seniman ulung. Beberapa di antaranya bahkan sangat
terkenal. Nancy sangat ingin melihat salib intan dan lapisan Lazuli.
Tetapi ia menunggu sampai nyonya Chambray menyebutkannya lebih
dulu. "Aku sungguh gembira kalian datang," kata nyonya itu. "Kalian
tahu, aku tinggal di sini baru saja. Namun hal itu telah menimbulkan
? apa yang menurut kalian ? misteri?"
"Ya, anda telah menulis hal itu kepada ibuku," kata Bess.
"Jadi kalian mengerti, bahwa aku sedang mencari pemilik salib
yang indah itu!" sambung nyonya Chambray.
Nancy merasa wajib memberitahu agar nyonya itu jangan
mengatakan itu kepada terlalu banyak orang.
"Jangan?" jawab Nyonya itu. Alis matanya terangkat. "Tetapi
bagaimana aku bisa menemukan pemiliknya? Aku harus mengatakan
itu kepada kalian, bahwa aku telah memasang suatu artikel tentang itu
di koran. Mari aku tunjukkan."
Nyonya itu minta diri sebentar, dan kembali membawa
guntingan koran untuk diberikannya kepada Nancy.
Nancy melihat namanya sendiri di guntingan koran itu.
"Jadi nyonya menyebutkan tentang kunjungan kami kemari!"
kata Nancy tidak mengerti.


Nancy Drew Rahasia Renda Tua di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bukan hal sembarangan seorang detektif muda datang ke
Brugge," kata nyonya itu sambil tertawa.
"Ya ampuun," seru Bess mengeluh. "Semua langkah-langkahmu
untuk diam-diam datang kemari itu lenyap bagaikan angin, Nancy!"
Nyonya Chambray dapat menangkap arti pandangan mata
Nancy yang melukiskan kekecewaan.
"Apakah ada masalah?" nyonya itu bertanya. "Apakah aku telah
berbuat kesalahan?" Georgelah yang paling dulu menanggapi.
"Tidak, tetapi ...."
"Tetapi apa?" kata nyonya Chambray khawatir.
"Nancy mungkin tidak dapat lagi mengungkap misteri anda!"
kata Bess terus terang. 9 Hantu Nancy agak optimis dibanding teman-temannya. Ia bahkan
tersenyum kepada nyonya Chambray.
"Katakan saja, bahwa anda memberikan kepadaku, yaa, kepada
kita semua, sebuah tantangan," katanya. "Semakin banyak orang yang
tahu tentang salib intan dan usaha anda mencari pemiliknya, semakin
besar risikonya karena mungkin ada orang yang mengaku-aku secara
palsu." Nyonya itu memaki dirinya sendiri. "Sungguh tolol aku!"
serunya. "Hal itu tidak terpikirkan olehku!"
Kini menjadi jelas bagi tamu-tamunya, bahwa nyonya
Chambray itu terlalu jujur dan terlalu percaya. Tidak pelak lagi bahwa
ia mudah dikelabui dengan cerita yang mengesankan dari seniman
jahat. "Di mana anda menemukan salib itu?" tanya Nancy.
Ia memandangi lorong dalam yang sempit, di mana sebuah
tangga memberi jalan ke lantai dua dan lantai tiga. Ia membayangkan
bagaimana nyonya Chambray mendapatkan sesuatu yang mengkilat di
sebuah sudut atau pun sebuah celah kuno di atas.
"Di tempat yang paling tidak wajar," kata nyonya itu. "Di ruang
bawah tanah!" "Ruang bawah tanah?" George mengulang heran. "Apakah
ditemukan dalam sebuah kotak yang tergeletak begitu saja di lantai?"
"Oh, tidak!" terbungkus secarik kain lenan yang tersangkut di
batu dinding ...." Nyonya Cambray diam sejenak, lalu masuk ke kamar lain.
Ketika ia kembali, ia memegangi sebuah kotak kecil warna merah
ungu. "Kalian harus melihat ini, begitu indah!" katanya.
Ia memberikan kotak itu kepada Nancy untuk dibuka.
Bess dan George berdesakan di dekat Nancy, si detektif muda
itu. Sementara itu Nancy membuka tutupnya. Di dalamnya tergeletak
salib yang indah mengagumkan.
"Indah sekali!" seru Bess.
Nancy mengambil salib itu dari dalam kotak untuk diamatinya
secara teliti. Intan-intan yang bulat panjang, dan batu-batu lapis Lazuli itu
dipaterikan ke emas murni. Namun tidak ada tanda-tanda khusus pada
benda itu. "Kain lenan pembungkusnya, pada waktu kutemukan," nyonya
Chambray menjelaskan, "terlipat di bawah tempat salib di dalam
kotak." George menerima salib itu dari Nancy, hingga Nancy dapat
mengambil kain lenan itu.
"Ada sulamannya," kata Nancy.
Ia memandangi sebaris kata-kata Prancis yang disulam pada
kain yang kotor itu. Di bawahnya tertulis nama Antoinette Tissot.
"Barangkali salib itu milik Raja Louis XVI," kata Bess
tersenyum. Nyonya Chambray memotong pembicaraan dengan
menanyakan kepada Nancy apakah ia dapat menerjemahkan tulisan
itu. "Saya kira dapat," jawab gadis detektif itu. "Bukankah ini
berarti 'Tuhan melindungi engkau ke mana pun engkau pergi!"
"Betul!" kata wanita itu kagum.
"Apakah anda telah menunjukkan benda ini kepada orang lain?"
Nancy bertanya. "Ya, benar. Selain beberapa teman-teman, aku telah minta
seorang ahli batu mulia antik untuk memeriksa salib ini. Ia menaksir
benda ini telah berumur lebih dari seratus tahun."
"Itu berarti," George menyimpulkan, "Antoinette sudah
meninggal!" "Barangkali," sambung Nancy. "Tetapi tidaklah harus begitu.
Bagaimana pun salib itu dapat saja jatuh ke tangannya bertahun-tahun
setelah dibuat." Ia menekan rasa kantuk. Sekonyong-konyong timbul
rasa lelahnya setelah mengalami petualangan di Brussel.
"Aku dapat melihat, engkau detektif cerdik, Nancy," kata
nyonya Chambray. "Tetapi aku tidak ingin engkau terlalu bersusah
payah memikirkan hal ini semua pada saat ini. Kalian perlu istirahat!"
Ia mengambil kotak kecil itu kembali, lalu mengembalikan kain
lenan dan salib itu ke dalamnya.
"Aku telah menyiapkan sebuah pesta kecil sore nanti. Aku ingin
memperkenalkan kalian kepada teman-temanku. Mereka sangat ingin
bertemu kalian!" kata Nyonya itu. "Jadi ...."
"Tetapi saya tidak ada pakaian yang pantas," Nancy
menggumam khawatir. Ia lalu menceritakan kepada nyonya Chambray tentang
kopornya yang hilang. "Apakah ada toko pakaian di dekat sini?" ia bertanya.
"Ada, banyak," jawab nyonya Chambray. "Tetapi engkau harus
istirahat. Aku akan mencarikan engkau sesuatu untuk dapat dipakai.
Jangan khawatir!" Nyonya Chambray lalu mengajak mereka ke atas, ke kamar
mereka masing-masing. Setiap kamar dihias sangat menarik.
Ranjangnya beralaskan kain sutera dengan gorden-gorden yang sesuai
pula. George meminjami Nancy baju tidur. Nancy mengenakannya,
lalu menjatuhkan diri di ranjang.
Pikiran gadis detektif itu berputar keras, tentang misteri baru
yang menggairahkan. Milik siapakah salib antik itu? Seseorangkah,
atau Antoinette mungkin telah memberikannya kepada orang lain?
Tetapi kapan? Mengapa? Ada beberapa petunjuk untuk ditelusuri,
tetapi tidak begitu banyak seperti rahasia renda kuno itu.
********** Ketika Nancy bangun, ia merasakan tenaganya pulih kembali.
"Kita harus memeriksa ruang bawah tanah itu," pikirnya. Ia
segera turun dari ranjang. "Mungkin akan mendapat petunjuk yang
penting di bawah sana."
Kecuali suara sebuah perahu motor yang mendekat, rumah itu
sangat sunyi. Nancy merapatkan wajahnya ke jendela. Ia melihat
nyonya Chambray di tepian, menunggu untuk naik ke perahu.
Barangkali ia hendak pergi berbelanja untuk pesta nanti malam,
pikirnya. Ia lalu ke kamar di sebelah.
"Bangun, Bess!" ia memanggil. "Kita harus melakukan tugas."
Bess sedang tidur dengan nyamannya, tak ingat akan Nancy
yang sedang mengguncang-guncangnya.
"A-apa itu?" akhirnya Bess menggumam.
"Ayo, pemalas! Bangun. Kita akan memburu petunjukpetunjuk!"
Selanjutnya Nancy mengetuk pintu kamar George, lalu kembali
ke kamarnya sendiri. Ia mengenakan celana panjang dan sweater. Tak
lama kemudian mereka berdiri di ambang tangga undakan, masingmasing memegang lampu senter.
"Di mana kita mulai?" tanya Bess.
"Di ruang bawah," kata Nancy. "Di sanalah nyonya Chambray
menemukan salib itu."
Mereka melihat pintu kayu tebal di sebelah dapur. Suara
berderit keras ketika Nancy membukanya, dan nampak menuju ke
bawah. Sebelum menuruninya, Nancy seperti mendengar sesuatu di
bawah tangga, tetapi tak dihiraukannya lagi ketika suara itu tak
terdengar lagi. Undakan demi undakan, ia memimpin teman-temannya
memasuki ruang yang gelap mengerikan.
"Aku takut," Bess gemetar.
"Nancy, mengapa kita tak menunggu nyonya Chambray saja,
sebelum melanjutkan?"
"Wsst!" George menyuruh sepupunya diam. "Jangan berpurapura penakut!"
"Siapa yang berpura-pura?" Bess tertawa gugup.
Ketika mereka berdiri di ruangan yang gelap lembab, mereka
menyorotkan senter ke dinding batu, mencari-cari tombol untuk
menyalakan lampu di langit-langit.
"Uhhh!" seru Bess tiba-tiba, sementara Nancy dan George
berjalan di depan. "Ada apa?" tanya Nancy.
"Aku mendengar suara-suara yang menakutkan. Engkau tidak?"
"Tidak," kata kedua detektif berbisik. "Jangan jauh-jauh," kata
George. Tetapi sepupunya tetap tertinggal di belakang.
Nancy menyapukan sinar senternya pada sebuah celah batu
yang dalam pada dinding, sementara George memeriksa lantai di
bawahnya. "Sorotkan lampumu kemari, Bess," George meminta.
Ia tak sadar, bahwa sepupunya tak lagi bersama mereka. Tetapi
ketika tak ada jawaban, George membalikkan tubuhnya. "Bess! Di
mana engkau?" Dengan segera Nancy mengarahkan sinar lampunya ke arah
tangga ruang bawah tanah itu, di mana mereka memulai penyelidikan
mereka. Bess tak nampak di manapun. Beberapa menit yang
menegangkan kemudian, mereka melihat bentuk seperti hantu
berwarna putih, berdiri di luar cahaya senter.
Nancy mengalihkan sinar lampunya ke bentuk yang nampak
misterius itu. Dilihatnya bentuk itu mengenakan sepatu kulit.
"Siapa engkau?" ia berseru.
Tak ada jawaban. "Tangkap dia, George!" Nancy mendesis.
Ia merasa, mereka berdua mempunyai kesempatan yang baik
untuk menguasai hantu yang hanya sendiri saja. Sepertinya hantu itu
seorang yang ceking jangkung.
"Betul," kata George. Keduanya menyerang, menubruk kain
yang menutupi hantu itu. Hantu itu mengulurkan kedua lengannya,
dan dengan dorongan yang kuat melemparkan kedua gadis itu ke
lantai. Senter mereka terlepas dan mati. Kini mereka berada di
kegelapan yang pekat. George menjerit, menyangka setiap saat hantu itu akan
menyerang mereka. Namun apa yang mereka dengar hanya suarasuara bergesernya kaki yang menghilang dengan cepat.
Dengan sedikit gemetar, kedua detektif muda itu meraba-raba
mencari senter mereka. George yang menemukannya lebih dulu lalu
menyorotkannya ke Nancy, yang melihat sebuah lubang kecil di dekat
tempat dia jatuh. "Kukira ... senterku jatuh ke sana," katanya.
"Mana hantu itu?" tanya George. Ia menyorotkan senternya ke
arah munculnya hantu itu. Apa yang dia lihat hanya dinding ruangan.
Hantu itu telah lenyap. Apakah ia bersembunyi di dekat-dekat
mereka saja? Siap untuk kembali menyerang? Dan di mana Bess?
Apakah ia telah menculiknya?
Dengan panik kedua gadis itu berteriak: "Bess! Bess!"
10 Terowongan Air Nancy dan George berulang-ulang memanggil nama Bess.
Namun tidak ada jawaban. "Apa yang terjadi dengan dia?" tanya George ketakutan.
Mereka mendengar suara tertahan. Dengan berdiam, Nancy
mengambil senter milik George. Ia melangkah ke arah tangga. Di
sana, di bawah tangga ada sebuah pintu terbuat dari kayu tebal yang
dicat seperti batu-batu dinding.
"George, tolong aku!" kata Nancy sambil menarik gerendel
besi. Jari-jarinya basah karena keringat licin untuk memegang.
George ganti memegang grendel itu kuat-kuat, lalu ditariknya. Pintu
itu terbuka lebar, menampakkan sebuah ruangan yang sempit. Di
dalamnya terlihat Bess, mulutnya disumpal, kaki dan tangan diikat
kuat. Ia duduk di lantai, bersandar di dinding batu yang dingin penuh
sarang laba-laba. "Ah Bess," seru Nancy melongo.
"Engkau tidak apa-apa?" tanya George. Dengan cepat ia
membungkuk, melepaskan sumpal dari mulut sepupunya.
"Siapa yang berbuat begini kepadamu?" tanya Nancy.
Sementara itu ia melepaskan ikatan di kaki dan pergelangan
tangannya. "Se-o-rang laki-laki!" Bess menggumam. "Ia berpakaian seperti
hantu. Iiih! Mengerikan!"
"Bess yang malang," kata George penuh perasaan iba.
Ia lalu mengurut-urut bilur-bilur merah bekas geseran tali ikatan
di pergelangan tangan. "I-ia keluar dari ruangan sempit ini," Bess melanjutkan. "Ia
sambar lampu senterku, lalu menyumpal mulutku."
"Apakah ia mengatakan sesuatu kepadamu?" tanya Nancy.
"Tidak. Sedikit pun tidak!"
"Kita harus lapor kepada polisi," kata George.
Sementara itu Bess merayap bangun. Meskipun kakinya sakit,
gadis itu memaksa naik tangga. "Aku tidak mau tinggal di bawah ini
lebih lama lagi." Ketika mereka muncul di dapur, mereka mendengar pintu
dibuka lalu ditutup lagi.
"Itu tentu Nyonya Chambray," kata Nancy. Lalu ia memanggil
namanya. "Ya, sayang. Aku pulang!" kata Nyonya itu.
Ia menghampiri tamu-tamunya. Senyuman nyonya Chambray
segera menghilang, berganti dengan kerutan pada dahi melihat wajah
Bess bercoreng-moreng dan pakaiannya kotor.
"Engkau terjatuh?"
Air mata membasahi mata gadis itu. Sambil berkata 'tidak' ia
ceritakan apa yang telah terjadi.
"Ma pauvre cherie!" seru nyonya itu, memeluk Bess sejenak.
Ia mengambil sehelai handuk kecil, dicelupkan nya dalam air
hangat. Kemudian ia seka wajah gadis itu.
"Nah, engkau akan segar kembali!"
"Terimakasih," kata Bess. "Saya sudah merasakan baik
kembali!" "Bagaimana orang jahat itu dapat masuk ke rumahku?" tanya
nyonya Chambray. "Barangkali baik kalau kita panggil polisi!"
"Ya! Tetapi orang jahat itu sudah pergi sekarang," kata Nancy,
lalu menyambung lagi: "Apakah ada semacam terowongan yang
menghubungkan ruang bawah dengan sebuah saluran?"
"Setahuku tidak. Aku belum lama tinggal di sini. Aku masih
meneliti rumah ini pula. Sepertinya penuh dengan pintu-pintu kecil
dengan sudut-sudut dan celah-celah. Jadi tidak mustahil kalau ada
jalan di bawah tanah."
Itulah yang ingin diketahui oleh detektif-detektif muda tersebut.
"Engkau berani, bukan? Turun lagi ke bawah?" tanya Nancy
kepada George. Ia tahu kalau Bess tidak berani lagi melakukannya.


Nancy Drew Rahasia Renda Tua di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Mengapa tidak?"
"Ah, jangan!" Bess meminta. "Hantu itu mungkin akan
menangkap kalian dan menahan di ruang sempit itu!"
"Kami akan berhati-hati," Nancy berjanji. "Dan kami akan
melaporkan setiap sepuluh menit. Oke?"
Nancy dan George bergegas turun ke bawah. Bess minta maaf.
"Tentu saja," kata nyonya Chambray. "Mandilah dengan air
panas dan istirahatlah. Engkau harus nampak cantik nanti malam!"
Ia mengedipkan mata kepada Bess, menyebabkan Bess
mengira, bahwa Nyonya, itu hendak memperkenalkan tamu-tamunya
kepada pemuda-pemuda Belgia yang menarik. "Ah, tentu!" kata Bess
sambil tertawa cekikikan. Ditinggalkannya Nyonya rumah itu sendiri
di dapur. Nyonya Chambray menyibukkan diri dengan persiapan terakhir
untuk makan malam. Kemudian, sambil melihat bungkusan yang
dibawanya untuk Nancy, ia tersenyum riang.
"Kukira ia tentu menyenanginya," pikir Nyonya itu. "Aku akan
meletakkannya di ranjangnya. Jadi begitu ia kembali ke kamarnya, ia
akan mendapatkan kejutan."
Ia melangkah ke lorong dalam, dan baru saja hendak naik ke
atas, ia melihat seseorang mengintip melalui jendela kamar duduk.
"Siapa di sana?" ia berseru.
Bayangan itu menunduk hilang dari pandangan, menyebabkan
Nyonya itu menjatuhkan bungkusannya lalu lari ke pintu. Ia
membukanya, dan menjulurkan kepalanya ke luar.
"Ada orang di sana?" ia mengulang.
Tetapi jawaban yang diterima hanyalah suara air di saluran,
yang memercik pada dinding rumah.
"Aneh!" pikirnya.
********** Sementara itu Nancy dan George sedang menyelidiki salah satu
sisi ruang bawah. Mereka menemukan sebuah pintu yang menuju ke
sebuah terowongan air yang pendek.
"Aku yakin, di sinilah hantu itu masuk," kata Nancy. "Aku
ingin tahu, seberapa dalamnya. Mungkin ia menyeberang waktu
keluar-masuk." "Apakah kaulihat sepatunya basah?" tanya George.
"Tak dapat kukatakanyang jelas memang gelap."
"Aku akan ke atas, mencari sebuah tongkat," kata George tanpa
disuruh. "Dengan cara itu kita dapat tahu, seberapa dalamnya." Ia
segera keluar. Namun, Nancy menjadi tak sabar lalu turun ke tangga yang
paling bawah. Barangkali aku dapat tahu dengan memasukkan
lenganku ke dalam air, pikirnya.
Ia berlutut, menurunkan lengannya ke dalam air. Jari-jarinya
tidak juga menyentuh dasar. "Kukira harus lebih dalam lagi," pikirnya.
Tangga batu itu bergerak sedikit ketika ia merebahkan diri
tengkurap. Kemudian ia tergelincir ke depan, dan hampir tenggelam di
dalam lumpur! "Ya, ampunnn!" Nancy menjadi panik, hendak
mempertahankan diri sampai George datang. "George!" ia berteriak
keras. "Tolong, George!"
George tidak mendengar teriakan Nancy dari atas, karena
nyonya Chambray sedang menceritakan orang yang nampak di
jendela. "Ah, mengapa ia tak datang juga?" pikir Nancy ketakutan.
Ia berusaha untuk meraih tangga yang kering di atasnya. Ia
berharap agar tangga itu pun jangan runtuh.
Untunglah, George tak terlalu lama berbicara dengan Nyonya
rumah, dan segera turun kembali. Ia lari ke terowongan, sambil
berteriak kepada Nancy: "He, tunggu, sampai kaudengar ten . . . . "
Ia terhenti melihat keadaan Nancy.
George menjatuhkan tongkatnya di tangga paling atas, dan
memegang lengan Nancy. Ia membantu Nancy naik ke atas, sementara
tangga batu itu runtuh masuk ke air.
"Entah bagaimana nasibku tanpa engkau, teman?" kata Nancy
berterimakasih. "Berenang!" sahut George.
Nancy tertawa, sementara George mengukur dalamnya air
dengan tongkatnya. Rupanya lebih dangkal dari yang diperkirakan.
Ketika tongkat yang panjang satu meter itu diangkat, kira-kira
empatpuluh senti berlumpur dan tertempel ganggang.
"Orang itu dapat menyeberang di sini dengan mudah,"
kesimpulan Nancy. "Dan sebuah perahu dapat menunggu di luar sana
di saluran. Tentu saja, pertanyaan yang paling penting ialah: Mengapa
ia justru datang kemari?"
Apakah ia merencanakan untuk mencuri di rumah nyonya
Chambray ketika Nancy sedang ke luar? Apakah ia memburu salib
intan, atau sesuatu yang lebih berharga lagi? Detektif-detektif muda
itu berusaha menguatkan isi teka-teki tersebut
"Tetapi, apa yang jauh lebih berharga daripada salib itu?" kata
George kepada temannya. "Sudah tentu, perabotan dan lukisan-lukisan juga berharga
tinggi ...." Nancy membunyikan jari-jarinya. "Bukankah nyonya
Chambray menyebut dalam suratnya kepada nyonya Marvin tentang
suatu dokumen dan harta?"
"Ya, engkau benar. Aku lupa sama sekali tentang hal itu."
"Aku juga hampir lupa."
Tetapi bagaimana hantu itu bisa mengerti isi surat tersebut?"
tanya George. "Ia tak mungkin tahu, kalau ia bukan si Andre Bergere," kata
Nancy geram. "Tidak usah dia," kata George setelah berpikir sejenak.
"Karena nyonya Chambray telah membicarakannya dengan
demikian terbuka pada teman-temannya, mereka mungkin kurang
berhati-hati hingga menyampaikan informasi itu kepada si calon
pencuri!" Nancy sangat ingin bertanya kepada Nyonya rumah, tentang
harta yang misterius. Ia lalu melangkah ke pintu terowongan.
Suara mesin perahu motor menghentikan dia di tengah jalan.
"Lihat!" katanya, menunjuk ke arah saluran.
Perahu itu sedang memasuki terowongan. Siapa yang
mengemudikannya? Apakah si hantu itu kembali?
11 Berita Luar Biasa Perahu yang datang itu semakin dekat. George memadamkan
lampu senternya. Ia tunggu orang yang seorang diri itu sampai tiba di
tangga. "Kalau ia sampai di sini," bisik Nancy, "kita dapat menangkap
dia!" Tetapi perahu itu berhenti agak jauh. Seseorang yang membawa
bungkusan besar melompat turun. Ia lalu masuk ke pintu lain di ujung
terowongan. "Kukira ia tinggal di rumah sebelah," kata Nancy sambil
tertawa. George juga tertawa lega. "Syukurlah ia bukan si hantu,"
katanya. Ia lalu mengambil kesempatan untuk menceritakan tentang
pengalaman nyonya Chambray tentang orang yang nampak di jendela.
"Aku ingin tahu, apakah dia dan si hantu itu adalah satu dan
sama." kata Nancy. Ia mendahului kembali ke dapur.
"Banyak yang harus kita bicarakan dengan nyonya Chambray."
Ia melihat ke arlojinya. "Tetapi sekarang sudah hampir waktu makan
malam." Di atas, kedua gadis itu mendapatkan Nyonya itu sedang
melihat ke dalam panci besar di tungku. Bau sedap memenuhi udara.
"Apa yang anda masak itu?" tanya Nancy. "Baunya sungguh
lezat." "Waterzooi," Nyonya itu tertawa. "Salah satu masakan
tradisional kami, ayam rebus dengan saus krem encer. Masakan
lainnya merupakan kejutan. Demikian juga bungkusan yang ada di
ranjangmu, Nancy. Nah, sekarang ke kamar, dan bersiaplah. Tamutamu segera akan datang."
Dengan gairah gadis itu bergegas ke atas dan membuka
bungkusan. Di dalamnya, terlipat rapih pakaian lenan ecru yang
tepinya berenda-renda! "Wah! Manis sekali!" seru gadis detektif itu gembira.
Ia memegangi pakaian itu di depannya dan melihat
bayangannya di kaca besar di sudut kamar. Di sekitar leher baju dan
lengan yang panjang ketat terdapat renda.
"Aku ingin tahu, apakah renda pada lengan baju Francois
Lefevre juga seperti ini," pikirnya. Mendengar nyonya Chambray naik
ke atas, ia segera keluar dari kamar. "Wah, terimakasih banyak,
Nyonya " Dengan malu-malu Nyonya itu memotongnya, dan menyuruh
Nancy segera berdandan. "Semua orang akan segera datang dalam
beberapa menit ini!" katanya sambil tersenyum.
Ia merasa lega, bahwa ketiga gadis itu telah siap untuk
menyambut tamu. Nyonya Chambray memperkenalkan kepada
mereka Profesor Philip Permeke beserta anak perempuannya Hilda,
seorang gadis manis berambut pirang, berumur duapuluh. Bersama dia
ada seorang muda yang bertubuh kekar dan bermata hijau.
"Tampan juga," pikir Bess. "Tetapi nampaknya dia sedih. Entah
mengapa." "Dan ini Joseph Stolk," kata nyonya Chambry, ketika Bess
menjabat tangan tamu itu. Ia dan Hilda bersekolah di SMA yang
sama. Kini Joseph mempelajari sejarah kesenian di Brussel."
"Sungguh menarik!" kata Bess. "Aku yakin, engkau tentu
banyak mengetahui tentang museum-museum di kota tua ini.
Barangkali engkau dapat mengajak kami pada suatu waktu." Ia
melemparkan senyuman yang cerah dan genit.
"Yy ? ya barangkali bisa," jawab Joseph malu-malu.
Hilda nampak kurang senang dengan kata-kata itu, dan George
menjentik lengan sepupunya, memberi isyarat agar jangan
melanjutkan pembicaraan itu.
"Engkau hampir saja mencetuskan suatu sengketa antar kedua
orang itu," ia berbisik kepada Bess.
Kemudian, ia berpaling kepada pak Profesor, lalu berkata:
"Doktor Permeke, saya mengerti bahwa anda adalah ahli
tentang sejarah kota Brugge. Maukah anda menceritakan sedikit
Iblis Penghela Kereta 2 Lintang Kemukus Dinihari Karya Ahmad Tohari Kepala Iblis Nyi Gandasuri 3
^