Pencarian

Iblis Penghela Kereta 2

Pendekar Slebor 31 Iblis Penghela Kereta Bagian 2


tinya jengkel sekali dipanggil sebutan gadis manis.
Panggilan itu membuatnya muak.
"Laki-laki liar! Jaga mulutmu!"
*** 6 Selendang milik Tiwi terus bergerak. Sementara
Jaka bisa merasakan kekuatan yang tersalur melalui
selendang itu. Karena begitu menghindar, selendang
itu menghantam sebuah batu sebesar kambing yang
langsung hancur berantakan.
Jaka berdesis kagum.
"Luar biasa! Tetapi keji! "
"Untuk orang semacam kau, lebih baik mampus
saja!" Serangan demi serangan pun terjadi. Jaka sendiri
berkali-kali terkejut, melihat kelihaian Tiwi memain-
kan selendangnya yang terkadang bisa lurus tegak ka-
ku. Dan terkadang pula bisa membengkok bagai ben-
da lentur. Jaka tidak lagi menggunakan kerisnya. Karena
sungguh, baginya Tiwi bukanlah lawan, melainkan
kawan. Entah mengapa, dia berpikiran seperti itu. Pa-
dahal, Tiwi siap mencabut nyawanya dengan serangan
cepat sekaligus ganas.
"Kamanda.... Kudengar Buwana sudah mampus?"
tanya Nyai Harum. Nadanya terdengar menjengkelkan
di telinga. "Apa yang Nyai dengar tidak salah," sahut K Ka-
manda, tetap sopan.
"Iblis Penghela Kereta-kah yang telah membu-
nuhnya?" "Benar, Nyai."
"Ceritakan semua itu."
Ki Kamanda pun menceritakan kejadian maut
yang menimpa Perguruan Cakar Maut.
"Sekarang pun, aku tengah bermaksud untuk
mencarinya, Nyai...," jelas Ki Kamanda, setelah menye-lesaikan ceritanya.
Nyai Harum mendesah pendek.
"Kamanda.... Kakak seperguruanku Ki Rusa
Tungga, telah diundang oleh Iblis Penghela Kereta.
Undangan itu berkedok peresmian perguruan yang ba-
ru didirikannya. Akan tetapi, sudah lima hari ini dia belum kembali juga. Sampai
aku mendengar kabar,
kalau lima belas tokoh rimba persilatan yang diun-
dang terbunuh. Benarkah itu?"
Ki Kamanda mengangguk membenarkan.
"Tidak salah, Nyai. Aku pun mendengar kabar itu.
Rupanya, Iblis Penghela Kereta telah mengerahkan
siasat kejinya untuk menghancurkan seluruh tokoh
rimba persilatan."
Mendadak saja Nyai Harum menggerakkan tan-
gannya disertai hempasan napas kesal.
Wusss! Blaaarrr! Serangkum angin keras menderu menghantam se-
batang pohon besar hingga langsung ambruk.
"Bangsat! Akan kuhancurkan manusia keparat
itu!" maki perempuan tua ini.
Ki Kamanda tersenyum dalam hati. Rupanya, ke-
munculan Nyai Harum untuk mencari Ki Rusa Tung-
ga. Meskipun tak pernah bertemu, Ki Kamanda per-
nah mendengar nama Ki Rusa Tungga yang berjuluk si
Kepulun Sakti. Rupanya, tokoh itu pun juga tewas da-
lam undangan berdarah yang disebarkan Iblis Penghe-
la Kereta. "Nyai Harum.... Seorang tokoh muda dalam rimba
persilatan ini pun sedang menuju ke Lembah Ular,
tempat Iblis Penghela Kereta bermukim," jelas Ki Kamanda.
"Siapakah dia, Kamanda?"
"Pemuda sakti pewaris ilmu Lembah Kutukan."
"Oh! Pendekar Sleborkah dia?"
"Kau benar, Nyai."
"He he he.... Telah lama aku ingin berkenalan
dengan pemuda itu. Kudengar, berkat kecerdikannya
dia telah menyatukan kembali Panca Giri yang ber-
sengketa. (Untuk mengetahui tentang sepak terjang
Pendekar Slebor dalam mengatasi sengketa yang ada
di tubuh Panca Giri, silakan baca: 'Sengketa di Gu-
nung Merbabu').
"Yah.... Aku pun mengagumi kepandaian dan pe-
mikirannya. Meskipun terkesan urakan, namun ji-
wanya bersih. Pikirannya menakjubkan," puji Ki Kamanda.
"Bagus! Kita akan bersatu untuk menghancurkan
Iblis Penghela Kereta," sambut Nyai Harum.
"Kalau begitu, perlukah kita membiarkan Jaka
dan Tiwi bertarung terus menerus?" sindir Ki Kamanda, halus sekali.
"He he he.... Biarkan saja mereka. Biarkan saja!"
seru Nyai Harum sambil memandang Jaka dan Tiwi
yang tengah bertarung sengit.
Tiwi yang memang begitu mendendam tadi, me-
nyerang tidak kepalang tanggung. Ayunan selendang-
nya yang bisa berubah-ubah kegunaannya, mencecar
Jaka dengan cepat dan dahsyat. Setiap tenaga yang
mengalir, berarti maut yang sedang menjemput.
Sementara, Jaka mengandalkan ilmu meringan-
kan tubuhnya. Sejak tadi pemuda itu belum bisa me-
nyerang, karena kesempatannya hampir tidak pernah
ada. Gerakan selendang yang cepat dan tangkas itu te-
lah menutupi setiap gerakannya.
Untuk mematahkan jurus milik Tiwi ini, memang
harus bertarung jarak rapat. Suatu pertarungan yang
memang memerlukan perhitungan dan bahaya besar.
Tetapi justru sebenarnya Tiwi sendiri juga merasa
jengkel dan penasaran. Karena tak satu pun seran-
gannya yang masuk. Padahal, gadis ini sudah merasa
kalau yang dikerahkan adalah rangkaian jurus terak-
hir dari 'Selendang Maut'. Tetapi hingga saat ini Jaka masih bisa
menghindarinya.
"Tiwi.... Lebih baik kita sudahi saja pertarungan ini!" ujar Jaka.
"Sombong! Jangan berpikir kalau aku tidak bisa
menjatuhkan mu! Aku tidak akan pernah berhenti
sampai melihatmu terkapar!" dengus Tiwi sambil
mempercepat gerakan selendang mautnya.
Dan dengan kata-kata seperti itu, berarti perta-
rungan tidak akan pernah berhenti, bila Jaka tidak
membiarkan tubuhnya dihantam. Namun hal itu jelas
sesuatu yang tidak mungkin. Karena Jaka sendiri bisa
membayangkan, bagaimana akhirnya bila terkena
sambaran ayunan selendang itu.
Tetapi sudah tentu Jaka tidak bisa menghindar
terus menerus. Karena bisa-bisa selendang maut yang
dilepaskan Tiwi mengenai tubuhnya.
"Tiwi...! Ini akan sia-sia saja," teriak Jaka.
"Sombong!" bentak Tiwi.
Gadis itu semakin mempergencar serangannya. Pena-
sarannya berubah menjadi kemarahan besar, karena
merasa dipermainkan. Selendangnya mengayun, me-
nyabet, memecut, mementung dengan gerakan cepat
dan bertubi-tubi.
Tiwi seperti menyapu semuanya. Tubuhnya terus
merangsek dengan selendang yang berubah menjadi
tongkat. Sasaran sapuannya hanya satu, batok kepala
pemuda itu. Kalau pun bergerak ke bawah, akan lang-
sung mendepak ke atas. Belum lagi bila tiba-tiba se-
lendang itu kembali melemas, bagai pecutan!
Dengan serangan seperti itu, Jaka jadi menden-
gus jengkel. Jelas dia tidak bisa menerapkan serangan berikut. Tetapi, pada
dasarnya hatinya memang tidak
tertarik bertempur dengan Tiwi.
"Jangan hanya bisa menghindar seperti bajing
loncat!" dengus Tiwi jengkel bercampur marah menggelegak.
Meskipun Tiwi terus mencecar, tetapi setiap se-
rangannya selalu mengenai tempat kosong. Ilmu me-
ringankan tubuh yang sempurna dipamerkan Jaka.
Sementara pemuda itu sendiri memang mengalami ke-
sulitan untuk menembus dan merangsek masuk. Ka-
rena, kibasan, ayunan, dan pentungan selendang itu
begitu membabi buta!
Lewat sudah dua puluh jurus. Tetapi, Tiwi belum
bisa menjatuhkan lawannya. Sementara, Jaka sema-
kin kewalahan. Dan memang sudah diperhitungkan
kalau suatu saat tenaga Tiwi akan terkuras. Tapi yang terjadi justru
kebalikannya. Tidak sekali pun Tiwi melonggarkan serangannya. Bahkan tidak pula
menam- pakkan kelelahannya.
Jaka mendengus. Jalan satu-satunya memang
harus merebut selendang. Dan itu berarti harus mera-
pat. Sementara kesempatannya saja tidak pernah bisa.
Berarti pula, dia harus nekat.
"Maaf...!".
Dengan kebulatan pasti, mendadak saja Jaka
menunduk ketika selendang yang kembali berubah
menjadi tongkat itu mementung kepalanya. Seketika
serangan kaki dipercepat. Setiap kali Tiwi beringsut, tempat yang barusan
diinjak ganti diinjaknya. Tak peduli Tiwi mundur ke samping. Bahkan kalau gadis
itu merangsek maju, Jaka langsung menutupnya. Lalu
dengan gerakan aneh, yang merupakan jurus ketujuh
dari 'Cakar Maut Mengurung Mangsa', Jaka meluncur
dengan cara berguling menuju ke kaki Tiwi.
Tiwi terhenyak. Cepat dia melompat. Namun saat
Itu pula Jaka melompat. Langsung ditotoknya tangan
Tiwi. Tuk! Lalu dengan satu gerakan aneh dan sukar, tan-
gan Jaka bergerak mulai dari pangkal lengan Tiwi,
hingga pergelangan. Seketika diloloskannya selendang
Tiwi. Meskipun begitu, tubuhnya harus rela ditendang
dengan kuat oleh Tiwi.
Buk! Breeet! Tiwi tidak menyangka kalau Jaka bisa merebut
selendangnya. Tetapi yang membuat Jaka terkejut,
gadis itu tiba-tiba berbalik sambil menangis dan berla-ri.
Pemuda itu tidak tahu harus berbuat apa. Sung-
guh tidak dimengerti, mengapa Tiwi berlari sambil me-
nangis. Tapi dia tidak bisa lama-lama berpikir ketika punggungnya terasa nyeri.
Nyai Harum yang sejak tadi memperhatikan pertarun-
gan terkejut. Tiba-tiba dia pun berlari menyusul Tiwi
"He he he... Kamanda, kita bertemu di Lembah
Ular!" kata Nyai Harum sambil terus berlari.
Ki Kamanda mendesah panjang, ketika Jaka
menghampiri. "Paman... mengapa jadi seperti ini?" tanya pemuda itu tak mengerti. Sungguh
tidak disangka kalau ga-
dis itu akan berlari dan menangis.
Ki Kamanda hanya tersenyum.
"Pecahkanlah sendiri, Jaka"
"Lalu apa yang akan kita perbuat, Paman?"
Ki Kamanda melompat ke kudanya dengan gera-
kan ringan sekali. Sementara Jaka sedang termangu
sambil menatap selendang jingga milik Tiwi.
"Jaka...," panggil Ki Kamanda.
"Oh! Ada apa, Paman?" tanya Jaka terkejut.
"Tahukah kau, kenapa Tiwi menangis?"
Jaka tergagap. Tiba-tiba dia mendengus.
"Hhh! Karena dia perempuan! Perempuan me-
mang seperti itu! Akan menjadi sombong dan menghi-
na terus menerus, bila merasa menang! Dan akan me-
nangis bila kalah!"
"Dia memang kalah."
"Ya, Paman melihatnya sendiri, bukan?"
Ki Kamanda tersenyum. Dia merasa yakin kalau
sebenarnya Jaka menyembunyikan isi hatinya. Dari
sikapnya yang sejak tadi seperti memikirkan Tiwi, su-
dah bisa dipastikan kalau dengusan dan umpatannya
untuk menyembunyikan isi hati yang sebenarnya. Ah,
anak muda! "Kau akan tahu apa jawabannya kelak," sahut Ki Kamanda.
Jaka menoleh. "Apa, Paman?"
"Naiklah ke kudamu. Kita harus segera menuju
Hutan Witis."
"Tetapi, Paman.."
"Suatu saat kau pasti akan tahu, apa jawabannya
mengapa Tiwi sampai menangis."
Meskipun penasaran ingin tahu, tetapi Jaka tidak
heran bila paman gurunya tidak memberitahu. Hal
semacam ini sudah seringkali terjadi. Ki Kamanda le-
bih menyukai bila Jaka sendiri yang mencari jawa-
bannya. Dalam hal ilmu silat, hal semacam itu me-
mang membuat Jaka semakin penasaran. Sampai ka-
panpun, dia harus mencoba memecahkan jurus yang
diajarkan Ki Kamanda maupun oleh Ki Buwana. Dan
karena kecerdikan dan kemauannya untuk memecah-
kan, hal itu bisa dilakukannya.
Tetapi soal Tiwi yang menangis itu bukanlah soal
ilmu silat! Jaka tak mau berlama-lama lagi. Segera dia melompat naik ke kudanya.
Seketika, pemuda itu menyusul Ki Kamanda
yang sudah menggebah kudanya dengan cepat.
Meskipun demikian, wajah Tiwi masih terbayang di
benaknya. Begitu pula saat Tiwi menangis, lalu berba-
lik pergi. Ah... Jaka tidak tahu, mengapa begitu memikirkan nya"
*** 7 Angin kembali berhembus seperti biasa. Mengge-
sek dedaunan, membiarkan burung-burung melayang-
layang. Mentari semakin turun, lelah dalam perjala-
nannya. Lelah karena harus memberikan penerang
pada keangkaramurkaan yang tengah terjadi.
Di tengah keremangan senja, satu sosok tubuh


Pendekar Slebor 31 Iblis Penghela Kereta di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terlihat terus berlari kencang. Dari cara berlarinya, jelas sekali kalau laki-
laki itu sudah keletihan. Tubuhnya berkali-kali sempoyongan. Bahkan berkali-kali
ti- dak bisa menguasai keseimbangannya, hingga terus
tersuruk I depan, atau terjerembab setelah tersangkut akar pohon dan tersandung
batu. Tetapi dia merasa
harus berlari dan terus berlari dengan memaksakan
sisa tenaga yang tidak seberapa lagi.
Sementara di belakang berkelebat pula satu sosok
tubuh sambil tertawa-tawa.
"Ha ha ha.... Kau tak akan bisa melarikan diri
Manusia Jelek!"
Sosok yang mengejar itu berpakaian ikat kepala ber-
warna putih. Di tangannya terdapat sebuah kipas ter-
buka, berwarna merah. Dia tak lain Bramantoro yang
berjuluk Kipas Dewa Hidung Belang.
Siapakah yang dikejar" Melihat pakaiannya yang
berwarna kuning keemasan dengan lambang burung
garuda di dada kiri, jelas kalau dia adalah murid Perguruan Garuda Mas.
Sudah lama para murid perguruan itu menanti
ketua mereka yang bernama Ki Darma Kubla atau
yang dijuluki Garuda Mas. Hingga seminggu ini, guru
mereka belum datang juga setelah menghadiri undan-
gan Iblis Penghela Kereta di Lembah Ular.
Ketika diputuskan untuk mendatangi Lembah
Ular, tiba- tiba saja di perguruan muncul seorang lela-ki berwajah tampan
meskipun sudah kelihatan berke-
riput. Lelaki itu tanpa banyak cakap langsung saja
menghabisi murid-murid Perguruan Garuda Mas den-
gan kibasan kipasnya yang berwarna merah. Sudah
tentu kedatangan lelaki yang mengaku berjuluk Kipas
Dewa Hidung Belang itu sangat mengejutkan. Apalagi,
diawali dengan pembantaian. Segera saja murid-murid
Perguruan Garuda Mas mengurung dan serentak me-
nyerang. Namun, Kipas Dewa Hidung Belang memang ter-
lalu tangguh. Apalagi saat ini Ketua Perguruan Garuda Mas sudah mati terkubur di
belakang perkampungan
Iblis Penghela Kereta. Hingga akhirnya, banyaklah
murid Perguruan Garuda Mas yang tewas.
Rupanya, Iblis Penghela Kereta benar-benar menjalan-
kan rencananya. Dia bermaksud menghancurkan be-
berapa perguruan silat yang ada di Tanah Jawa. Un-
tuk gerakan pertama, Kipas Dewa Hidung Belanglah
yang turun tangan.
Sementara itu salah seorang murid berhasil mela-
rikan diri meskipun sekujur tubuhnya luka-luka. Na-
mun Kipas Dewa Hidung Belang tidak menginginkan
ada seorangpun yang luput dari naluri membunuhnya.
Ia kemudian mengejar.
Murid yang di Perguruan Garuda Mas dikenal
dengan nama Juratmoko itu dengan sisa-sisa tena-
ganya terus berlari. Dia benar-benar tidak menyangka
kalau Ki Darma Kubla sudah tewas di Lembah Ular.
Dan lelaki berwajah tampan itulah yang mengatakan-
nya. Keji sekali manusia-manusia biadab itu!
Juratmoko tahu, nyawanya bagai telur di ujung
tanduk. Dan telinganya pun mendengar seruan lelaki
berbaju putih itu yang memburunya.
"Oh!"
Tiba-tiba tubuh Juratmoko terguling karena ka-
kinya tersangkut akar pohon. Dengan susah payah
dan pengerahan sisa-sisa tenaganya, lelaki ini terus
melarikan diri. Tidak! Dia tidak boleh tertangkap. Apalagi terbunuh. Dia harus
bisa menyelamatkan diri agar entah dengan cara apa suatu saat akan membalas
dendam! Namun harapan Juratmoko gagal, karena menda-
dak saja satu sosok tubuh berpakaian putih telah me-
lenting melewati kepalanya, lalu hinggap di hadapan-
nya sambil menyeringai.
Wajah pucat Juratmoko makin kentara saja. Bu-
kan karena kelelahan saja, tapi begitu melihat siapa
yang berdiri di hadapannya.
"Manusia keparat! Kau harus mampus!" seru Ju-
ratmoko tiba-tiba, langsung menyerang cepat.
Namun apa dayanya yang sudah kelelahan itu"
Tadi pun di saat tenaganya masih kuat bahkan ber-
sama-sama para saudara seperguruannya, Juratmoko
tak mampu menghadapi sosok di hadapannya yang
tak lain Kipas Dewa Hidung Belang. Apalagi sekarang"
Dengan hanya memiringkan tubuhnya sedikit, Ki-
pas Dewa Hidung Belang membuat serangan Jurat-
moko luput. Bahkan tiba-tiba tangannya bergerak ce-
pat, mengibas ke arah leher.
Buk! "Ughhh...!"
Tubuh Juratmoko tersuruk ke depan. Rasa sakit
kembali menyergapnya. Lebih terasa dari yang perta-
ma. Namun dia berusaha bertahan. Dengan penuh
kemuakan tubuhnya berbalik ke arah Bramantoro
yang terbahak-bahak,
"Manusia hina! Sejengkal pun aku tak akan mun-
dur untuk mengikuti kemauanmu!" desis Juratmoko.
Dengan berani, murid Perguruan Garuda Mas
menerjang kembali ke arah Bramantoro. Dipaksanya
untuk bertahan meskipun yakin serangannya ini tak
ada banyak gunanya.
Memang benar. Dengan sekali mengibaskan ka-
kinya, Bramantoro telah membuat tubuh Juratmoko
terpelanting kembali ke belakang. Rahang lelaki itu
terhantam tendangan keras bukan main.
Belum lagi Juratmoko bangkit, sebuah injakan
kuat menekan lehernya.
"Heeeiiggkhh!"
Walau sakit luar biasa, namun lebih sakit lagi hati
Juratmoko mendengar Bramantoro terbahak-bahak.
"Ha ha ha.... Tak akan kubiarkan kalian hidup!
Hhh! Bukankah tadi sudah kutawarkan agar kalian
bergabung dengan gerombolan Iblis Penghela Kereta"!
Tetapi, kalian menolak! Inilah akibatnya!" ejek Kipas Dewa Hidung Belang.
"Biar pun kau rencah tubuhku. aku tetap tak sudi bergabung! Lebih baik mati berkalang tanah, daripada
menjadi budak iblis!"
Meskipun dalam keadaan tak berdaya. Juratmoko
masih bersuara. Agak parau karena lehernya terinjak.
"Ha ha ha.... Sudah mau mampus masih berla-
gak!" seru Bramantoro memecah kesunyian.
Sementara matahari semakin merambat pula Se-
bentar lagi, malam akan datang.
"Hhh! Mampuslah kau!" dengus Kipas Dewa Hi-
dung Belang. "Heeerghh...!"
Bramantoro menambah tekanan injakannya, siap
mencabut nyawa Juratmoko yang tetap tabah. Namun
belum lagi sempat melakukan tindakan selanjutnya,
mendadak saja satu sosok telah berkelebat menghan-
tamnya. Des! "Ughhh...!"
Dengan sigapnya Kipas Dewa Hidung Belang salto
hingga tidak jatuh tersuruk.
"Bangsat! Siapa yang berani menjual lagak di de-
panku hah"!" bentaknya keras sambil mengedarkan
pandangan. Bramantoro memang sama sekali tidak menyang-
ka akan ada serangan gelap seperti itu. Bahkan dia
terkejut ketika tidak melihat Juratmoko di tempatnya.
"He he he.... Zaman ini sudah edan rupanya.
Orang sudah kalah begitu tetap saja mau dibunuh"
Bramantoro menoleh ke belakang, ke arah da-
tangnya suara. Tampak di belakangnya berdiri seorang
pemuda berbaju hijau pupus dengan kain bercorak ca-
tur di lehernya. Dia tengah memeriksa keadaan Je-
ratmoko yang jatuh pingsan.
Kening Kipas Dewa Hidung Belang berkerut mera-
sa heran, yang menyerangnya ternyata masih begitu
muda! "Hhh! Rupanya ada yang ingin mati sekarang"
dengus Bramantoro. Pemuda berbaju hijau pupus
yang tak lain Pendekar Slebor hanya mengangkat ba-
hunya. "Kalau aku sih mau hidup seribu tahun lagi. Tak
tahu kalau kau...," sahut Andika. Pada saat yang sama sebelah tangan Pendekar
Slebor tengah mengalirkan
tenaga pada Juratmoko. Sekaligus, memulihkan jalan
darah pemuda murid Perguruan Garuda Mas ini.
Diam-diam Bramantoro memperhatikan pemuda
berbaju hijau pupus itu. Setelah merasa yakin siapa
yang dihadapi, sesaat kemudian dia tertawa terbahak-
bahak. Suaranya memecah kesunyian dataran tinggi
yang ditumbuhi pepohonan.
"Ha ha ha.... Tak kusangka, rupanya Pendekar
Slebor yang datang mengantarkan nyawa ke sini"!"
ejek Kipas Dewa Hidung Belang.
Andika berdiri dan melotot. "Kalau kau sudah ta-
hu, mengapa tidak segera berlutut saja?" tukas Andika enteng, seperti orang tak
berdosa. "Bangsat!"
Bramantoro menggerakkan tangannya. Seketika
kipas merahnya mengembang. Bahkan serangkum an-
gin keras berhawa panas juga meluruk ke arah Pende-
kar Slebor. Bukannya menghindar, Andika justru berdiam di-
ri sambil nyengir. Ketika angin panas itu terasa men-
dekat ke arahnya, tangannya mengibas.
Wuttt...! Blaaarrr! Tenaga 'inti petir' tingkat kedua puluh tiga dilepaskan
Andika. Menerpa tepat, pada arah angin panas yang
dilepaskan Bramantoro.
Bramantoro terkejut melihatnya. Sudah lama te-
linganya mendengar kehebatan Pendekar Slebor. Na-
mun ketika melihatnya sekarang ini, rasanya lebih
tinggi dari yang diperkirakannya. Meskipun demikian,
sebagai tokoh hitam yang telah makan asam garam,
sudah tentu tak membuatnya mundur sedikit pun.
Bahkan merasa ilmunya lebih tinggi daripada Pende-
kar Slebor. "Hebat! Hebat!"
"Kagum, ya" Kagum?" sambar Andika nyerocos.
"Kalau kagum bilang saja! Nah, lebih baik sekarang berlutut saja di depan lelaki
yang pingsan ini!"
Wajah Bramantoro memerah mendengarnya. Ti-
ba-tiba dia teringat akan kata-kata Iblis Penghela Kereta, kalau pemuda dari
Lembah Kutukan inilah yang
menjadi momok nomor satu baginya. Hmmm.... Bila
bisa menangkapnya hidup atau mati, sudah tentu
akan mendapatkan pujian sekaligus kedudukan tinggi.
Berpikiran seperti itu, Kipas Dewa Hidung Belang
membuka jurusnya. Sekaligus membuka kipasnya di
depan dada. "Hari ini kau akan mati, Pendekar Slebor! Seperti orang-orang di Perguruan
Garuda Mas yang baru saja
kuhancurkan!"
"Wah, wah! Memang nyawaku ngontrak"! Enak
saja ambil keputusan! Sudahlah.... Berlututlah di de-
pan lelaki ini!" ujar Pendekar Slebor, tak mempedulikan ancaman Bramantoro.
"Ayo, dong!"
Mendengar kata-kata Pendekar Slebor yang see-
naknya, Kipas Dewa Hidung Belang terbahak-bahak.
"Rupanya aku berhadapan dengan anak kecil kali
ni," ejek Bramantoro.
Rupanya Kipas Dewa Hidung Belang tak tahu ka-
lau hati Pendekar Slebor sangat sulit ditentukan. Sekali Waktu kesleborannya
yang menjadi ciri khasnya
muncul dan sekali waktu, dia bisa menjadi pemikir
yang cerdik. "Eh! Tidak mau berlutut juga?" seru Andika se-wot. "Siapa sebenarnya kau, sih"
Sudah tua bangka masih suka usil saja"!"
"Ha ha ha.... Ketahuilah! Aku salah seorang tangan kanan dari Iblis Penghela
Kereta!" seru Bramantoro sombong. "Julukanku Kipas Dewa Hidung Belang!"
Justru mendengar kata-kata itu Andika terdiam.
Iblis Penghela Kereta" Hmmm.... Rupanya manusia ib-
lis ini sudah mengambil kawan untuk melengkapi ke-
kuatannya. Pasti bukan hanya seorang saja.
Dengan cerdik Andika membawa Bramantoro ke
hal yang diinginkannya. .
"Ooo... pembantu Iblis Penghela Kereta seperti ini rupanya" Pantasnya, kau
bekerja sebagai tukang pen-cuci piring di warung nasi!" leceh Pendekar Slebor.
"Eh" tadi kau bilang Hidung Belang" Wah, itu mungkin di hidungmu ada panu...!
Jorok, ih! Pasti kau tak pernah mandi...!"
"Jangan banyak cakap, Pemuda Slebor! Kau akan
merasakan kehebatanku nanti! Kau tak perlu merasa-
kan kehebatan Tek Jien atau Ni Muntiti! Apalagi, ke-
hebatan pemimpin kami, Sunsang!"
Kena sudah yang diinginkan Andika.. Walaupun
singkat, tetapi sudah cukup baginya. Rupanya, ada
dua tokoh golongan sesat lagi yang bergabung dengan
Iblis Penghela Kereta, selain Bramantoro.
"Kalau begitu, ya sudah. He he he..., aku lupa.
Ayo berlutut di hadapan lelaki ini" ujar Andika sambil bertolak pinggang.
Kali ini Bramantoro tidak mau lagi membuang
waktu. Dengan gebrakan cepat diiringi seruan keras,
tubuhnya menderu ke arah Andika. Kipas di tangan-
nya yang terbuka dikebutkan.
"Heaaa!"
"Wah, wah...! Sudah merasa hebat, ya" Boleh bo-
leh!" sahut Andika seraya melempar tubuhnya ke kiri.
Akan tetapi, Kipas Dewa Hidung Belang memang
benar-benar ingin bertindak cepat. Gebrakan perta-


Pendekar Slebor 31 Iblis Penghela Kereta di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

manya yang hanya mengenai angin, segera diubah.
Tubuhnya cepat berbalik seraya mengebutkan kipas-
nya yang menimbulkan suara angin menderu meme-
kakkan telinga.
Wuuuttt! Andika meliukkan tubuhnya, menghindari seran-
gan. Kulitnya terasa panas ketika kibasan kipas itu
lewat di sisi tubuhnya. Bisa dibayangkan, bagaimana
kalau kulitnya yang terkena kipas itu.
"Wah, boleh juga tuh kipas. Maksudku, boleh un-
tuk bakar sate... he he he...," cerocos Pendekar Slebor sambil memutar tubuhnya.
Dan dengan gerakan mendadak, tubuhnya menerjang dengan kekuatan tenaga
dalam terangkum di kedua tangannya.
Kipas Dewa Hidung Belang yang memang ingin
mengukur sampai di mana kekuatan Pendekar Slebor,
segera memapakinya. Bahkan jurus 'Kipas Dewa
Menghancurkan Gunung' segera digunakannya.
Wusss...! Lebih dahsyat dan mengerikan serbuan angin
yang menderu ke arah Andika. Dan ini membuat Pen-
dekar Slebor langsung mengurungkan niatnya untuk
meneruskan serangan. Karena bisa dirasakan angin
yang kuat itu bisa merobek-robek tubuhnya. Maka se-
cepat kilat, Andika melompat ke samping.
"Mau lari ke mana kau, Pendekar Slebor?" leceh Bramantoro sambil terus mencecar
membabi buta. Serangannya benar-benar dahsyat, menginginkan nyawa
Pendekar Slebor sekali gebrak.
Andika kali ini pontang-panting dibuatnya. Bukan
hanya tidak bisa membalas, bahkan untuk menghin-
dar pun terasa sulit. Memang serangan kipas yang di-
lakukan Bramantoro selalu memutari tubuhnya, seka-
ligus menutup ruang gerak serangannya.
Menyadari hal itu, begitu ada kesempatan tiba-
tiba saja Andika melenting ke belakang seraya bersalto dua kali. Setelah
mendarat di tanah dengan pencalan
satu kaki tubuhnya menderu menerjang. Bukan den-
gan gerakan meluruk. Melainkan gerakan berputar
yang sangat menyulitkan.
Melihat serangan aneh ini tiba-tiba saja Braman-
toro mengubah serangannya. Mendadak saja tubuh-
nya menekuk ke bawah, mencoba masuk dalam pusa-
ran tubuh Andika.
Gerakan semacam itu sebenarnya sangat sulit di-
lakukan. Namun Kipas Dewa Hidung Belang agaknya
sudah memperhitungkan dengan mantap. Saat men-
coba menembus pusaran tubuh Andika, tiba-tiba saja
kakinya bergerak aneh. Tubuhnya menekuk, lalu me-
lompat masuk ke pusaran tubuh Andika. Sementara
kakinya yang melintir mencoba menghantam kepala
Andika. Wuttt.... Dalam keadaan yang gawat itu, Andika dengan si-
gap menarik kepalanya. Hanya beberapa rambut ten-
dangan Bramantoro luput dari kepalanya. Maka dis-
itulah Andika membuat gerakan aneh, sekaligus me-
nakjubkan. Tiba-tiba saja tubuh Pendekar Slebor bagai melo-
rot turun jatuh ke bumi. Akan tetapi sesaat kemudian, kedua tangannya sudah
menangkap kedua kaki Bramantoro, lalu menariknya.
"Hih...!"
Buk! Tubuh Kipas Dewa Hidung Belang ambruk ke ta-
nah. Cukup terkejut juga dia dengan serangan Andika
yang aneh itu. Dan sebelum kaki Pendekar Slebor
menjejak jebol punggungnya, Bramantoro sudah me-
lenting ke belakang. Lalu kakinya menjejak tanah
dengan wajah memerah.
"He he he.... Bagaimana dengan seranganku" He-
bat bukan?" tukas Andika mengejek sambil mengangkat jempolnya. "Sudah kukatakan
sejak tadi, lebih baik berlutut di hadapan lelaki itu daripada nyawamu
melayang. Rupanya kemarahan Bramantoro sudah sampai
puncaknya. Kini baru disadari, siapa Pendekar Slebor
sebenarnya. Dan tiba-tiba diserbunya kembali pemuda
dari Lembah Kutukan itu. Tubuhnya meluncur penuh
dengan tekanan hebat. Begitu pula kipas merahnya
yang tiba-tiba bukan hanya mengeluarkan hawa pa-
nas, tapi juga gulungan angin kuat. Bahkan desirnya
mampu memecahkan telinga.
Andika sadar kalau lawan nampaknya akan
mempergunakan ajian yang paling tangguh. Karena
ketika mencoba memapaki, serangkum angin keras itu
menerpa bahunya. Dan rasanya sakit luar biasa!
Bukan hanya sampai di sana kehebatan serangan
Kipas Dewa Hidung Belang. Malah dedaunan yang me-
ranggas itu berguguran, langsung beterbangan entah
ke mana. Debu pun bergulung-gulung bersama suara
berkesiur yang keras sekali.
Sementara Pendekar Slebor pontang-panting
menghindari. "Ha ha ha.... Mau lari ke mana kau, Pendekar
Slebor" Nyawamu begitu berharga untuk Iblis Penghe-
la Kereta!"
"He he he.... Jelas, dong namanya juga Andika.
Ketimbang dirimu yang tak berharga sama sekali di
hadapan gembel sekalipun," balas Andika sambil berusaha melepaskan diri dari
kejaran Kipas Dewa Hi-
dung Belang. Berkali-kali tubuhnya terkena serangan
hawa panas yang disusul angin bergulung-gulung.
Andika berusaha keluar dari serangan Bramanto-
ro. Namun sangat sulit dilakukannya. Berulangkali dia mencoba menerobos,
bergulingan, bahkan berlompa-tan. Namun serangan Kipas Dewa Hidung Belang terus
menyerangnya. "Ha ha ha.... Tak seorang pun yang mampu melo-
loskan diri dari ajian 'Kipas Dewa Menari'!"
Sebenarnya Andika diam-diam mengakui keheba-
tan Bramantoro.
"Gila! Bisa konyol nih!" seru Pendekar Slebor.
Dan mendadak saja Andika sudah menyambar
kain pusakanya yang bercorak catur. Secepat kilat di-
kibaskannya kain itu dengan kekuatan penuh.
Ctaaarr! Kain pusaka Andika mengibas, menghalangi se-
rangan angin panas Bramantoro.
"He he he.... Ayo.. ayo, kita main-main lebih hebat lagi!" Sambil terkekeh-kekeh
Andika mencoba menerobos serangan Bramantoro. Kali ini Pendekar Slebor bi-
sa meloloskan diri dari kepungan serangan Kipas De-
wa Hidung Belang. Bahkan perlahan-lahan bisa me-
mukulnya mundur.
Wajah Bramantoro menjadi pias. Dia benar-benar
tidak memperhitungkan kalau Andika akan memper-
gunakan kain yang tersampir di pundaknya. Semula
diduga kain itu hanyalah sebagai hiasan saja. Akan tetapi yang mengherankannya,
kain itu tidak robek ter-
hantam ajian 'Kipas Dewa Menari'. Bahkan bisa me-
mukul mundur dan mengeluarkan tenaga kuat.
"Bangsat! Aku akan mengadu jiwa denganmu!"
maki laki-laki hidung belang itu. Seketika tubuhnya
meluncur kembali.
"He he he.... Apakah sejak tadi kau mengadu
jangkrik" Wah, hebat sekali ya?"
Wajah Bramantoro semakin memerah mendengar
kata-kata Pendekar Slebor.
Kini serangan demi serangan berlangsung sengit.
Akan tetapi, Pendekar Slebor kali ini benar-benar berada di atas angin. Kain
pusaka warisan dari Ki Saptacakra sudah digunakan dialiri tenaga 'inti petir'
tingkat kelima belas. Hal ini membuat Bramantoro menjadi
kewalahan. Karena selain menghadapi kain pusaka
yang mengacaukan arah serangannya, juga menghin-
dari pukulan 'inti petir' yang dilontarkan Pendekar
Slebor. "Lho.. lho..." Apakah sekarang kau memperguna-
kan jurus monyet, hah"!" ejek Andika yang melihat Bramantoro kini berjingkat dan
melompat-lompat.
Lalu mendadak saja Pendekar Slebor mengi-
baskan kainnya ke bawah.
Sraaattt! Sebelah kaki Bramantoro langsung terlibat. Dan
seketika Pendekar Slebor menghentaknya kuat-kuat.
"Oh...!"
Bruk! Tubuh Kipas Dewa Hidung Belang pun ambruk.
Andika kali ini tidak mau bertindak tanggung lagi. Bi-sa menduga, lelaki
berwajah tampan ini telah membu-
nuh ratusan manusia. Apalagi baru saja menghancur-
kan Perguruan Garuda Mas.
Sambil berputar dua kali, tubuh Andika meluruk
ke depan. Dengkulnya tertekuk mengarah pada tubuh
Bramantoro yang telentang dengan kaki terikat kain
pusaka Pendekar Slebor. Lalu....
Buk! Prak! "Aaakhhh!"
Dengkul kanan Pendekar Slebor menghujam tepat
dada Bramantoro. Lalu tangan kanannya menghantam
patah leher manusia sesat itu. Seketika, nyawa busuk
Bramantoro melayang.
Andika mendesah panjang.
"Hhh! Itulah akibatnya bagi orang-orang busuk
seperti kau, Kipas Dewa Pantat Belang!" desis Pendekar Slebor, mengejek.
Andika segera menghampiri Juratmoko yang ma-
sih pingsan. Dipegangnya dada laki-laki itu. Jalan darahnya sudah mulai seperti
sedia kala. Hanya nafas-
nya belum terasa. Perlahan-lahan Andika mengalirkan
tenaga dalam dan hawa murninya kembali.
Setelah beberapa saat. Pendekar Slebor melepaskan
kedua tangannya dari dada Juratmoko.
"Kau sebentar lagi akan pulih," desisnya.
Andika bangkit, hendak melangkah. Tetapi sebe-
lum bertindak, tiba-tiba saja kepalanya menoleh pada
Bramantoro yang sudah menjadi mayat. Sebuah piki-
ran bagus mampir di otaknya.
"He he he..., aku akan membuat kejutan untuk
Iblis Penghela Kereta," gumam Andika, segera sambil mendekati mayat Bramantoro.
*** 8 Sebuah kereta kuda berwarna keemasan mende-
ru menuju perkampungan Iblis Penghela Kereta. Sua-
ranya keras menggetarkan jantung. Debu mengepul.
Dedaunan berguguran ketika kereta itu menderu.
Yang aneh kereta itu tidak ditarik seekor kuda
atau pun binatang penghela seperti biasanya. Sekali
lihat saja, bisa dipastikan kalau sosok di dalam kereta itu memiliki tenaga
dalam sangat tinggi. Karena,
mampu menggerakkan kereta secepat angin tanpa ku-
da. Beberapa orang yang sedang lalu lalang lengkap
dengan persenjataan menyingkir, kalau tidak ingin di-
langgar kereta tanpa kuda itu. Belum lagi kereta itu
berhenti, satu sosok tubuh telah melompat indah se-
kali. Setelah berputaran, dia hinggap di tanah dengan ringan. Sementara, kereta
kuda itu dengan serentak berhenti.
Sosok yang berdiri menghadang terbahak-bahak
dengan keras. Dia tak lain dari Iblis Penghela Kereta.
"Ha ha ha.... Sebentar lagi tibalah giliran Pendekar Slebor yang akan mampus!"
seru Sunsang. Memang, Iblis Penghela Kereta baru saja meng-
hancurkan Padepokan Atas Angin yang mendiami le-
reng Gunung Kelud.
Tek Jien si Tangan Seribu yang sedang melatih
para pemuda yang akan dijadikan barisan depan dari
gerombolan ini tertawa pula.
"Kawan... Aku pun tak sabar ingin merasakan
kehebatan Pendekar Slebor yang digembar-gemborkan
setinggi langit!" seru Tek Jien.
"Kau tak perlu khawatir, Tek Jien. Karena seben-
tar lagi kita akan memancing keluar Pendekar Slebor
dari persembunyiannya. Rupanya, dia kini telah men-
jadi pengecut karena tidak juga muncul. Padahal beri-
ta kematian dari lima belas tokoh telah ku siarkan melalui anak buahku. Ha ha
ha..Biar semua tahu, akan
keberanian Iblis Penghela Kereta! Hmmm.... Di mana
Ni Muntiti".
"Dia sedang melatih para pemuda pula di hala-
man belakang!"
"Bagus! Kita akan..., heiii!"
Blarrr...! Tiba-tiba saja Iblis Penghela Kereta bersalto. Dan
di bekas tempatnya berdiri tadi terlihat sebuah lubang menganga akibat pukulan
jarak jauh. "Bangsat! Siapa yang berani mati?" maki Sunsang ketika mendarat.
"Hi hi hi.... Rupanya seperti ini manusia yang
berjuluk Iblis Penghela Kereta!"
Terdengar suara yang disusul berkelebatnya dua
sosok tubuh. Hampir barengan kedua sosok itu mem-
buat putaran di udara, lalu mendarat manis di tanah
saling bersisian.
"Bagus! Bagus sekali! Rupanya Penguasa Tepian
Kali Brantas kini muncul di hadapanku! Nyai Harum!
Apakah kau akan menyusul Ki Rusa Tungga yang te-
lah terkubur di halaman belakang tempat tinggalku?"
kata Iblis Penghela Kereta begitu mengenali siapa yang datang. Suaranya keras
menggelegar karena dialiri tenaga dalam.
Kedua orang yang baru datang ternyata Nyai Ha-
rum dan Tiwi. Dan agaknya Iblis Penghela Kereta telah paham siapa Nyai Harum
itu. Sementara tanpa menjawab, Nyai Harum mengi-
baskan tangannya.
Sreeettt! Serangkum angin berhawa dingin menderu ke
arah Iblis Penghela Kereta dengan kekuatan penuh.
Namun mudah sekali tokoh sesat ini mengalahkannya


Pendekar Slebor 31 Iblis Penghela Kereta di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan mengegoskan tubuhnya.
"Ha ha ha...! Bagus, bagus sekali! Nyai Harum..
Kau akan kuampuni, bila menyerahkan anak gadis
yang bersamamu itu!"
Mendengar kata-kata itu wajah Tiwi memerah.
Maka mendadak saja tubuhnya meluncur ke depan
dengan kekuatan penuh.
Tutup mulutmu, Manusia Busuk!" bentak gadis
itu. Tepat saat Tiwi bergerak, Tek Jien bergerak pula.
Langsung dipapakinya serangan gadis itu yang menga-
rah pada Iblis Penghela Kereta.
"Kalau ingin bermain-main denganku, silakan,
Manis!" Plak! Plak! Pukulan Tiwi dihantam pukulan Tek Jien. Tiwi bi-
sa merasakan kekuatan tenaga lawan yang cukup
tinggi. Buktinya tangannya terasa ngilu dengan tubuh
terjajar ke belakang. Tetapi gadis yang berhati pana-
san itu sudah tentu tidak terima dipecundangi dengan
sekali gebrak. Kembali Tiwi mengempos tubuhnya dengan keku-
atan dan kecepatan penuh. Tek Jien pun bergerak pu-
la menggunakan jurus kebanggaannya, 'Tangan Seri-
bu'. Mendadak saja tangan lelaki dari Tiongkok ini
bergerak begitu cepat dengan kekuatan tak kepalang.
Tiwi sendiri bisa merasakan angin yang menderu ke-
padanya. Namun dengan manisnya serangan Tek Jien
diimbangi. Sementara itu Nyai Harum menggeram penuh
amarah pada Iblis Penghela Kereta yang masih terba-
hak-bahak dengan tatapan meremehkan.
"Bersiaplah manusia busuk! Kau harus mampus
sekarang juga!" geramnya sambil membuka jurus.
Iblis Penghela Kereta masih terbahak-bahak.
Meskipun, sedikit banyaknya dia merasa heran juga,
karena Nyai Harum yang berjuluk 'Perawan Baju Me-
rah' memasuki perkampungannya bersama gadis jelita
ya sedang bertarung melawan Tek Jien. Padahal, yang
memasuki Lembah Ular berarti mengantarkan nyawa.
Bukan hanya bisa mampus di ujung senjata anak
buahnya tetapi kemungkinan akan tewas disengat ular
berbisa yang banyak terdapat di sana.
Rupanya Nyai Harum bisa menebak arah pikiran
Iblis Penghela Kereta. Tiba-tiba saja tangannya bergerak ke sebuah pohon di
samping kanannya yang di-
tumbuhi semak belukar.
Wusss Duaaarrr! Suara keras terdengar menghantam rimbunnya
dedaunan pohon itu. Lalu mendadak lima belas tubuh
meluncur ke bawah dalam keadaan leher patah!
Memerahlah wajah Iblis Penghela Kereta. Menda-
dak saja, tangannya bergerak. Maka kereta yang dija-
dikan tunggangan tiba-tiba bergerak bagaikan kilat,
menderu ke arah Nyai Harum.
"Gila!" dengus Nyai Harum, langsung melompat ke samping.
Diam-diam perempuan tua ini takjub melihat
kehebatan tenaga dalam Iblis Penghela Kereta. Kereta
tanpa kuda itu bagaikan dikendalikan sebuah tenaga
dalam kuat. Menderu-deru ke arahnya!
Anak buah Iblis Penghela Kereta yang sudah
berkumpul di sana telah pula bersiaga. Meskipun, me-
reka yakin kalau kedua orang yang baru datang itu
tak akan bisa meninggalkan tempat ini dengan sela-
mat. Sementara kereta tanpa kuda itu mendadak berba-
lik, lalu terus menderu mengancam Nyai Harum yang
kini sudah meloloskan selendang warna-warninya. Di-
cobanya menahan tubrukan kereta yang mendadak
berubah bagaikan banteng jantan yang terluka!
Suara kereta menggetarkan telinga. Bahkan
mampu membuat jantung bagai rontok. Nyai Harum
berkali-kali mendengus menyadari kekuatan tenaga
dalam lawan. Sementara itu, Tiwi pun tak mampu berbuat ba-
nyak. Memang, Tek Jien bukanlah tandingannya.
Meskipun tenaga dalamnya tinggi, namun untuk men-
gimbangi kecepatan Tek Jien, dia sangat kewalahan.
Berkali-kali tubuh gadis itu terkena gebukan.
Bahkan yang membuatnya menjerit marah, Tek Jien
menyerang bagian-bagian tubuhnya yang terlarang.
Dan ini membuatnya harus menghindar susah payah.
"Bangsat!" makinya.
"Ha ha ha.... Sudah lama aku ingin melihat tu-
buh Gadis Jawa yang sudah tentu menggiurkan!"
"Ciiih! Busuk!" maki Tiwi sambil mencoba membalas serangan Tek Jien.
Namun serangan gadis itu sudah tak banyak gu-
nanya. Apalagi, kecepatan Tek Jien sangat sukar di-
imbangi. Des! Des! Kembali tubuh Tiwi terkena hantaman Tek Jien.
Diam-diam gadis ini mendengus. Kalau saja selen-
dangnya tidak dirampas Jaka, bisa dipastikan kecepa-
tan Tek Jien dapat diimbanginya. Paling tidak, menja-
ga jarak serangan Tek Jien agar tidak terlalu rapat.
Akan tetap selendang itu kini berada di tangan Jaka.
Sudah tentu membuatnya gusar, sekaligus kewalahan
menghadapi serangan.
"Manis.. Lebih baik menyerah saja untuk ku
nikmati sebelum mampus kubunuh!"
"Cih! Aku akan mengadu jiwa denganmu!"seru Tiwi keras. Dan mendadak, tubuhnya
meluruk ke arah
Tek Jien. Namun, bagi Tek Jien serangan semacam itu ti-
dak lah menyulitkan. Tokoh Cina ini merasa sudah
berada di atas angin. Maka dengan hanya berkelit se-
kali, tangannya sudah mampir kembali ke tubuh Tiwi.
Desss...! "Aaah...!"
Gadis itu sempoyongan disertai keluhan terta-
han. Sedangkan pada saat yang sama, Nyai Harum
benar-benar kewalahan menghadapi kereta tanpa ku-
da yang dikendalikan Iblis Penghela Kereta. Kibasan
selendangnya untuk menahan serangan kereta itu tak
banyak gunanya.
Tiba-tiba saja perempuan tua ini melenting ke
depan dua kali, melewati kereta yang meleset ke arah-
nya. Dan sambil melenting itu selendangnya diki-
baskan ke arah Iblis Penghela Kereta yang sedang ter-
bahak-bahak. "He! Bangsat!"
Ctaaarrr! Iblis Penghela Kereta melompat sigap, kalau ti-
dak ingin tubuhnya hancur dihantam selendang Nyai
Harum yang dialiri kekuatan tenaga dalam tinggi.
Dan begitu Sunsang melompat, kereta tanpa ku-
danya mendadak berhenti. Dan, ganti Nyai Harum
yang terbahak-bahak melihatnya.
"Rupanya kereta jelek mu itu sudah tidak punya
tenaga lagi!" ejek Nyai Harum sambil menyerang.
Selendang warna-warni perempuan tua itu terus
bergerak cepat. Kali ini bukan hanya bagaikan sebuah
cambukan, karena tiba-tiba bisa menjadi tongkat yang
keras, dan tongkat seperti karet. Keras namun lentur.
Iblis Penghela Kereta mendengus sambil melom-
pat menghindari serangan Nyai Harum. Namun seke-
jap kemudian, dengan nekat disongsongnya serbuan
selendang warna-warni Nyai Harum.
Des! Buk! Dua buah sabetan selendang yang dialiri tenaga
dalam mengenai tubuh Iblis Penghela Kereta. Namun
yang mengherankan, lelaki penguasa Lembah Ular itu
malah terbahak-bahak. Seolah, serangan Nyai Harum
tadi hanyalah sentilan anak kecil saja!
"Nyai Harum...! Itulah ajian 'Tameng Baja' yang
kumiliki! Ayo, serang aku! Serang!"
Dengan hati penasaran, Nyai Harum menyerang
lebih cepat. Tenaga dalamnya ditambah. Namun lagi-
lagi serangannya tak membawa arti apa-apa. Wajah-
nya mendadak saja berkeringat menyadari lawan me-
miliki ilmu kebal yang sangat tangguh!
Sementara Tiwi terlihat dalam keadaan terdesak
akibat serangan Tek Jien. Untuk menolong gadis itu,
sangat sulit sekali bagi Nyai Harum. Karena Iblis
Penghela Kereta kali ini sudah menyerang. tetap den-
gan melapisi diri dengan ajian 'Tameng Baja'.
Nyai Harum kali ini benar-benar terdesak. Seran-
gan demi serangan tidak lagi banyak berguna. Bahkan
berkali-kali tubuhnya terhantam serangan Iblis Peng-
hela Kereta yang membuatnya harus terhuyung dan
muntah darah. "Kali ini benar-benar kututup hidupmu!" desis iblis Penghela Kereta.
Seketika lelaki ini bergerak cepat. Kedua tangan-
nya mendadak mengeluarkan sinar berwarna merah.
Berarti dia tengah mengerahkan ajian pamungkasnya
yang nama 'Kereta Darah'.
Nyai Harum masih berusaha menahan serangan
dengan mengibaskan selendangnya.
Ctaaarrr! Duaaar! Breettt!
Terdengar ledakan kecil, disusul hancurnya se-
lendang Nyai Harum. Pada saat yang sama, perem-
puan tua itu sendiri melepaskan selendangnya dengan
wajah pias. Seketika dirasakannya hawa panas men-
galir ke tangannya. Dia berdiri sempoyongan dengan
mulut meringis menahan sakit.
Melihat keadaan itu, Iblis Penghela Kereta melu-
ruk, siap mencabut nyawa Perawan Baju Merah.
Namun belum lagi ajal menemui Nyai Harum, ti-
ba-tiba saja satu sosok tubuh berkelebat, langsung
memukul Nyai Harum dari samping. Maka, serangan
dari Iblis Penghela Kereta luput.
*** "Bramantoro!" bentak Iblis Penghela Kereta, keras. Amarah lelaki ini timbul pada
sosok yang baru
datang. Karena, kalau saja Bramantoro tidak lancang
memukul Nyai Harum, bisa dipastikan nyawa wanita
itu akan tewas seketika.
Bramantoro berdiri tegak.
"Kawan Sunsang! Sungguh enak bila manusia
busuk ini langsung dibunuh! Dia harus disiksa lebih
dulu untuk merasakan kepedihan yang sangat!"
Iblis Penghela Kereta menggeram marah.
"Kau tangkap dia untukku! Dan siksa sampai
mampus!" "Baik!" sambut Bramantoro seraya membuka kipasnya. Wajahnya dingin. "Wanita
busuk! Begitu lancang kau memasuki Lembah Ular! Kau harus mam-
pus!" Mendadak saja Bramantoro menderu dengan kipas terbuka, menyerang ke arah
Nyai Harum yang su-
dah tegak kembali. Sejenak tadi, Nyai Harum merasa
heran. Karena pukulan yang dilepaskan Bramantoro
itu tidak terasa sakit. Hanya berupa sebuah dorongan
belaka, meskipun ada rasa nyeri di dadanya.
Namun kali ini dengan cepat perempuan tua ini
mengibaskan selendang warna-warninya.
Ctarrr! Kibasan selendang itu membuat Bramantoro
mengurungkan serangannya. Dan dengan gerakan
manis dia meluruk ke arah Nyai Harum. Namun den-
gan sigap perempuan tua itu melompat ke depan, ber-
salto dua kali sambil mengibaskan selendang kembali.
Namun dengan cepat pula, Bramantoro memotong
gerakan Nyai Harum dengan menerobos lentingannya.
Seketika kipasnya mengebut cepat.
Trakkk! "Aaakh...!"
Nyai Harum terpekik waktu kakinya tersambar
kipas Bramantoro. Berdarah! Namun karena kesiga-
pannya, berhasil membuatnya mendarat di bumi den-
gan empuk. Akan tetapi belum lagi bersiaga, serangan
Bramantoro sudah datang kembali. Menderu dengan
kibasan kipasnya yang cepat dan hebat!
Iblis Penghela Kereta tersenyum puas melihat
Bramantoro berhasil mendesak Nyai Harum. Matanya
melirik Tek Jien yang tengah mempermainkan Tiwi
dengan serangan-serangan cabul. Dan itu membuat
gadis jelita yang sudah kewalahan semakin geram sa-
ja. Tiwi berusaha menghindar, menahan, maupun
membalas serangan Tek Jien. Namun kali ini ruang
geraknya benar-benar sudah tertutup. Malah tiba-tiba
saja Tek Jien cepat memutar tubuhnya. Seketika tan-
gannya menyambar pakaian di dada Tiwi.
Breeet! "Auuuw...!"
Pakaian tepat di dada Tiwi sobek, memperlihatkan
buah dadanya yang mengkal menggairahkan. Tiwi
sendiri terpekik sambil merapatkan kedua tangannya
di dada. Tek Jien sendiri tertawa-tawa. Dia berniat untuk
membuat malu gadis jelita itu.
Ctaaarrr! Namun mendadak saja sebuah selendang warna-
warni meluruk menimbulkan bunyi yang memekakkan
telinga ke arah Tek Jien. Dengan demikian, serangan
tokoh dari Cina itu terhambat.
Tek Jien menatap tajam pada Nyai Harum yang
dengan sigap menyambar lengan Tiwi. Perempuan tua
itu merasa akan membuang nyawa percuma saja bila
meneruskan pertarungan ini.


Pendekar Slebor 31 Iblis Penghela Kereta di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tek Jien yang merasa dipecundangi niatnya itu
segera memburu dengan gerakan cepat. Bersamaan
dengan itu, Bramantoro pun menderu pula dengan ki-
pas di tangannya.
Nyai Harum yang merasa keadaannya terjebak
dari dua arah, sebisanya mengibaskan selendang war-
na-warninya. Bukk! Dan di luar dugaan, selendang itu mengenai tu-
buh Bramantoro yang terpelanting ke arah Tek Jien.
Brukkk...! Tek Jien cepat menurunkan serangannya, kalau
tidak ingin kawannya sendiri yang termakan pukulan
mautnya. Dan kesempatan itu dipergunakan Nyai Ha-
rum yang menarik Tiwi untuk melarikan diri.
"Bangsat!" maki Iblis Penghela Kereta. "Kejar dan tangkap kedua wanita itu!"
Saat itu juga, dua puluh anak buah Sunsang
dengan senjata terhunus memburu Nyai Harum dan
Tiwi. Sementara itu Tek Jien sedang marah-marah pa-
da Bramantoro, karena tak mampu menahan serangan
yang dilancarkan Nyai Harum tadi.
"Maaf.... Aku tidak menyangka kalau serangan-
nya secepat itu," ucap Bramantoro dengan kepala tegak. Matanya nyalang.
Tek Jien tahu, kawannya tersinggung. Tetapi dia
tidak mau tahu, karena keasyikannya untuk membuat
malu Tiwi menjadi gagal. Ia terus memaki melam-
piaskan kejengkelannya.
Mendapat makian itu, Bramantoro langsung menye-
rangnya. Harga dirinya tersinggung. Tek Jien sendiri
tidak tinggal diam. Segera dipapaknya serangan Bra-
mantoro. "Berhenti...!"
Iblis Penghela Kereta langsung memisahkan den-
gan teriakan menggelegar. Memang, dia tak ingin di
tubuh gerombolannya terjadi silang sengketa.
"Tak ada yang perlu disalahkan! Perketat penja-
gaan! Karena terbukti, Perawan Baju Merah dan mu-
ridnya itu berhasil menerobos masuk ke sini!" lanjut Iblis Penghela Kereta,
tetap dengan suara keras.
Tek Jien menatap tajam pada Bramantoro yang
membalasnya dengan sengit. Lalu sambil mendengus
dia segera berlalu dari situ. Sementara Iblis Penghela Kereta mendekati
Bramantoro, menepuk-nepuk bahunya sambil terbahak-bahak.
"Bagaimana dengan tugasmu menghancurkan
Perguruan Garuda Mas?"
"Berhasil baik, Kawan Sunsang. Hmmm, maafkan
aku. Gara-gara sikapku, kedua wanita itu berhasil me-
loloskan diri," ucap Bramantoro sambil menjura hormat. "Itu urusan kecil.
Perawan Baju Merah bukanlah momok yang besar bagi kita. Pendekar Sleborlah yang
harus dibuat mampus! Bila dia sudah terkapar rata
dengan bumi, maka tak seorangpun yang akan berani
menghalangi sepak terjang kita. Hanya saja, aku men-
dengar kalau Eyang Purnama pun muncul dari per-
sembunyiannya. Ini merupakan kendala dari persia-
pan kita untuk menguasai rimba persilatan. Akan te-
tapi, aku yakin, Ni Muntiti bisa menandingi Eyang
Purnama. Meskipun, tak seorang pun yang akan
mampu menandingi kehebatanku...."
Bramantoro mengangguk-angguk. Iblis Penghela
Kereta mengajak Kipas Dewa Hidung Belang untuk
masuk ke dalam.
Iblis Penghela Kereta yakin, Bramantoro merasa
tidak enak. Karena perbuatan lelaki hidung belang itu Nyai Harum dan gadis
jelita bernama Tiwi lolos. Maka
Sunsang segera memanggil seorang gadis cantik untuk
menemani Bramantoro ke kamarnya.
*** 9 "Paman.... Sudah enam hari kita menunggu di
Hutan Witis ini, tetapi Iblis Penghela Kereta belum
muncul juga," kata Jaka pada Ki Kamanda yang sedang terpekur.
Ki Kamanda menghela napas panjang. "Aku pun
memikirkan soal itu, Jaka. Dan aku tidak bisa mene-
bak, apakah yang tengah terjadi pada Andika"
"Paman..., apakah dia sudah tewas di Lembah
Ular?" tanya Jaka pelan.
"Entahlah. Tetapi kalau memang sudah tewas, tu-
gas kita akan semakin berat saja. Karena, dengan ban-
tuannya-lah kita kemungkinan besar bisa menghan-
curkan Iblis Penghela Kereta dan gerombolannya."
"Paman..., lebih baik kita segera menuju Lembah
Ular saja. Aku tidak peduli apakah Pendekar Slebor
sudah mati atau belum. Dendam nyawa Guru harus
dibalas Paman!"
"Kau betul, Jaka. Yah.... Rasanya memang saat
inilah yang terbaik untuk segera menuju Lembah
Ular!" sahut Ki Kamanda sambil berdiri, lalu melompat ringan ke kudanya.
Jaka pun berbuat yang sama.
"Sekali lagi, Paman! Apakah Paman menduga ka-
lau Pendekar Slebor sudah tewas?" tanya Jaka, masih penasaran.
Ki Kamanda mendesah pendek. "Aku tidak tahu.
Kehebatan pemuda pewaris ilmu Lembah Kutukan itu
tidak usah disangsikan, Akan tetapi, bisa saja sekali ini lengah. Karena, setiap
manusia mempunyai khilaf
dan lupa. Yah.. Tanpa bantuan Pendekar Slebor, se-
perti niat pertama kali, kita memang harus mengha-
dapi Iblis Penghela Kereta! Yeaaa!"
Ki Kamanda segera menggebrak kudanya, disusul
Jaka yang juga berkuda di sisinya.
*** Gadis manis yang berkulit kuning langsat itu ter-
heran-heran ketika Bramantoro menyuruhnya menge-
nakan pakaiannya kembali. Biasanya, lelaki berwajah
tampan meskipun dihiasi keriput, tanpa banyak mulut
lagi langsung menggumulinya. Bahkan terkadang den-
gan memaksa. Akan tetapi, sekarang justru menyu-
ruhnya menutup pakaian kembali.
"Maafkan aku, Manis.... Hari ini aku tidak berse-lera," ucap Bramantoro sambil
tersenyum. Gadis manis itu hanya mengangguk saja, lalu
bangkit dari berbaringnya. Dipijitinya kedua kaki
Bramantoro yang terbujur di ranjang. Semalam pun,
Bramantoro tidak menyentuhnya. Dan justru menyu-
ruhnya berbaring saja. Sekarang pun menyuruhnya
menutup pakaian kembali.
Agaknya Bramantoro merasakan keanehan yang
dirasakan gadis itu.
"Tidak usah terkejut, Manis. Saat ini aku masih
memikirkan perbuatanku, karena Nyai Harum dan Ti-
wi berhasil meloloskan diri. Yah.... Aku merasa bersalah pada Ketua Iblis
Penghela Kereta"
"Ya, Tuan...," desah gadis itu, menganggukkan kepala.
"Hei" Aku belum bertanya, siapakah namamu,
dan dari mana asalmu?" tanya Bramantoro tiba-tiba.
Gadis itu menunduk.
"Namaku Rinai, Tuan. Aku berasal dari desa Du-
kuh Wates yang terletak di lereng Bukit Kembang" sahut gadis ini malu-malu.
"Hmmm.... Mengapa kau bisa berada di sini, Ri-
nai" "
Sejenak gadis itu mengangkat kepala dengan ken-
ing berkerut. Ditatapnya Bramantoro dengan sinar
mata tak mengerti. Apakah lelaki ini berlagak tidak ta-hu, kalau dirinya dan
beberapa gadis desa lain diculik gerombolan Iblis Penghela Kereta"
Bramantoro tertawa seperti menyadari kesala-
hannya bertanya.
"Ah! Bodohnya aku. Pasti kau diculik, bukan?" tukas Bramantoro.
Gadis itu mengangguk malu bercampur takut.
Hatinya berdebar. Apakah dia telah melakukan kesa-
lahan tanpa disadarinya" Oh! Bisa-bisa dia dibunuh
karena gadis ini tahu, Bramantoro sangat kejam.
"Rinai.... Apakah kau tidak berniat keluar dari
tempat ini?" tanya Bramantoro, halus sekali. Tidak seperti biasanya.
Kembali Rinai mengangkat kepala dengan tatap
tak mengerti. Sejenak dia terdiam karena tak mengerti maksud kata-kata
Bramantoro. Bramantoro tersenyum sambil bangkit duduk. Di-
tatapnya Rinai yang menundukkan kepala.
"Hei"! Aku tidak main-main, Rinai. Apakah kau
menginginkan hal itu?"
"Tetapi, Tuan...."
"Rinai.... Aku tidak sedang menjebakmu. Aku
mengatakan yang sesungguhnya. "Maukah kau?"
Meskipun masih tidak mengerti, dengan takut-
takut Rinai menganggukkan kepala.
"Benar?"
"Ya, Tuan.... Tetapi...."
"Rinai.... Percayalah.... Satu saat, aku akan mem-bawamu keluar dari sini.."
"Tetapi, Tuan...."
Bramantoro tersenyum. Lalu dibisikkannya se-
suatu pada Rinai yang terkejut mendengar usulnya.
"Tuan...."
"Kau ikuti segala kata-kataku. Pokoknya, hari ini juga kau akan keluar dari
perkampungan ini. Pergilah
ke mana saja. Dan, jangan kembali lagi ke sini...."
"Oh.... Terima kasih, Tuan.... Terima kasih...."
Tanpa canggung-canggung lagi, Rinai merangkul
dan mengecup pipi Bramantoro yang hanya tersenyum
saja. "Senja nanti, ikutilah permainan ku!"
*** Iblis Penghela Kereta sedang berbincang-bincang
dengan Ni Muntiti. Sementara Tek Jien tengah bera-
syik masyuk dengan seorang gadis di kamarnya.
"Ni Muntiti.... Mengapa Sampai saat ini Pendekar Slebor belum kedengaran pula
suaranya?" tanya Iblis
Penghela Kereta dengan wajah geram. "Anak buahku telah ku sebar untuk
menyelidiki tentang pemuda
berbaju hijau pupus dengan kain bercorak catur yang
selalu tersampir di bahunya. Akan tetapi, sampai saat ini belum satu pun yang
memberi keterangan memuaskan."
"Kawan Sunsang.... Itu pula yang ku pikirkan.
Akupun tak sabar ingin melihat kehebatan Pendekar
Slebor yang dipuji setinggi langit itu," sahut Ni Muntiti.
"Hmmm.. Apakah Bramantoro menceritakan ka-
lau bertemu Pendekar Slebor?"
"Tidak Tetapi kalau bertemu dengannya, sudah
pasti akan mengatakannya. Bangsat, pemuda sialan
itu! Berulangkali sudah kubuat keonaran dan pembu-
nuhan untuk memancing kemunculannya, tetapi
sampai saat ini pemuda itu belum muncul juga! Hhhh!
Kini aku yakin, kalau ternyata dia seorang pengecut!"
desis Iblis Penghela Kereta dengan kegeraman semakin
menjadi-jadi. Tangannya sudah gatal untuk membu-
nuh Pendekar Slebor. Matanya sudah tidak sabar in-
gin melihat mayat Pendekar Slebor yang terkapar kaku
dengan darah menggenang!
"Aku pun menduga seperti itu. Ternyata, dia tak
lebih dari seorang pengecut!" sambut Ni Muntiti.
Keduanya terdiam. Suasana jadi hening.
Dan belum lagi keduanya. meneruskan percaka-
pan, tiba-tiba saja....
"Keparat busuk! Kawan Sunsang! Rupanya gadis
ini seorang mata-mata yang dikirim Pendekar Slebor!"
Terdengar bentakan Bramantoro yang keras.
Bersamaan dengan itu, Kipas Dewa Hidung Belang
menarik seorang gadis dengan paksa.
Iblis Penghela Kereta segera berdiri dengan wajah
tegang. "Bangsat! Siapa dia?"
"Dia mengaku bernama Rinai!" sahut Bramanto-ro. Sementara, Rinai menangis
tersedu-sedu di lantai.
Sebelah tangannya digenggam erat oleh Braman-
toro. Pakaiannya robek-robek. Rambutnya acak-
acakan. Dan wajahnya membiru.
"Gadis busuk! Di mana Pendekar Slebor bera-
da"!" bentak Iblis Penghela Kereta.
"Percuma, Kawan Sunsang! Dia tak akan pernah
mau mengaku! Manusia busuk seperti ini seharusnya
disiksa dan dibunuh, untuk memancing munculnya
Pendekar Slebor!" sahut Bramantoro.
"Bagus!" terdengar seruan Tek Jien alias si Tangan Seribu yang tiba-tiba muncul.
"Bunuh saja di si-ni!" "Terlalu enak baginya! Dan Pendekar Slebor tidak akan
muncul kalau begitu!" sergah Bramantoro.
"Umumkan melalui anggota kita, kalau mata-
mata Pendekar Slebor sudah mampus!" seru Tek Jien keras. "Tidak bisa! Dia harus
dihadapkan pada puluhan ekor ular berbisa!"
"Baik! Aku akan menangkapnya!"
Iblis Penghela Kereta mengerti, mengapa Tek
Jien kelihatan bersikeras untuk membunuh gadis itu
di sini juga. Menurut dugaannya, Tek Jien masih
mendendam pada Bramantoro. Tetapi Iblis Penghela
Kereta tidak menginginkan kalau terjadi bentrokan se-
sama teman di sini.
"Biar aku yang memutuskan! Bramantoro! Siksa
dia dipinggiran Lembah Ular! Gantung! Biarkan Pen-
dekar Slebor melihatnya!" ujar Iblis Penghela Kereta.
Bramantoro melirik Tek Jien dengan senyum
kemenangan. "Baik, Kawan Sunsang!"
"Tidak! Dia harus dibunuh di sini!"
"Tek Jien! Mengapa kau yang membantah, hah"!
Apakah menurutmu keputusan Iblis Penghela
Kereta tidak bijaksana?" tukas Bramantoro.
Mendengar kata-kata Bramantoro wajah Tek Jien
memerah. Kedua tangannya mengepal dengan amarah
tinggi. "Kawan Sunsang," katanya kemudian. "Tak seorang pun yang berhak membantah
keputusanmu! Te-
tapi] izinkanlah aku untuk ikut dengan Bramantoro!"
"Bangsat!"
Bramantoro tiba-tiba menolakkan tubuh Rinai


Pendekar Slebor 31 Iblis Penghela Kereta di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hingga gadis itu bergulingan. Lalu dengan sigap diser-bu nya ke arah Tek Jien.
"Kau tidak mempercayai aku, hah"!" bentak Bramantoro.
"Aku khawatir, justru kau yang menjadi
pengkhianat di sini!" sahut Tek Jien, seraya menang-kis serangan Bramantoro.
Putera Harimau 2 Pendekar Cacad Karya Gu Long Bidadari Kuil Neraka 1
^