Pencarian

Sabuk Kencana 1

Sabuk Kencana Ikat Pinggang Kemala Karya Khu Lung Bagian 1


?SABUK KENCANA Karya : Khu Lung Cersil ini mulanya berjudul : Ikat Pinggang Kemala diterjemahkan OKT
Kemudian dilanjutkan oleh Tjan ID dengan judul Sabuk Kencana
Diterbitkan Sastra Kumala 1973
Ebook oleh : Dewi KZ & aaa serta Hendra
http://kangzusi.com http://dewikz.com
djvu tambahan dari Aditya Indrajaya
Daftar Isi : Daftar Isi : Jilid : 01 Bab 1 Bab 2 Jilid : 02 Bab 3 Bab 4 Jilid : 03 Bab 5 Jilid : 04 Bab 6 Bab 7 Jilid : 05 Bab 8 Bab 9 Jilid : 06 Bab 10 Bab 11 Jilid : 07 Bab 12 Jilid : 08 Bab 13 Jilid : 09 Bab 14 Jilid : 10 Bab 15 Bab 16 Jilid : 11 Bab 17 Jilid : 12 Bab 18 Jilid : 13 Bab 19 Bab 20 Jilid : 14 Bab 21 Jilid : 15 Bab 22 Jilid : 16 Bab 23 Jilid : 17 Bab 24 Bab 25 Jilid : 18 Bab 26 Jilid : 19 Bab 27 Bab 28 Jilid : 20 Bab 29 Jilid : 21 Bab 30 Bab 31 Jilid : 22 Bab 32 Jilid : 23 Bab 33 Bab 34 Jilid : 24 Bab 35 Jilid : 25 Bab 36 Jilid : 01 Bab 1 GUNUNG Bong-san terletak di sebelah Timur Laut keresidenan Lok-yang dalam bilangan propinsi Hoo-lam, meskipun gunungnya tidak tinggi tetapi wilayah pegunungannya sangat lebar. Bagian Utara gunung Bong-san tersebut, orang kuno menyebutnya sebagai Pak Bong-san.
Di atas Pak Bong-san banyak tersebar kuburan serta batu2 nisan yang bertaburan di sepanjang lereng, tulang belulang serta tengkorak manusia berserakan di mana2 sehingga seluruh bukit nampak putih berkilauan, perduli tersengat sinar matahari, hembusan angin ataupun curahan hujan, tak seorangpun yang ambil perduli, hal ini membuat suasana kelihatan begitu menyedihkan dan begitu mengenaskan...
Setiap kali malam menjelang datang, kerlipan cahaya api bertaburan di seluruh bukit, desiran angin bersuit laksana jeritan iblis, hawa yang lembab dan dingin terutama ditengah malam yang basah oleh curahan hujan serta hembusan topan, seluruh bukit diliputi oleh hawa setan yang mengerikan, membuat bulu kuduk setiap orang terasa pada bangun berdiri...
Malam itu, awan tebal menyelimuti seluruh angkasa, cahaya rembulan tertelan dibalik kegelapan, hujan turun rintik2 membasahi seluruh permukaan, se-akan2 kegelapan yang menggila menyelimuti seluruh bukit Pak Bong-san, suasana kelihatan makin mengerikan semakin menyeramkan...
Pada saat itulah, ketika kentongan pertama baru saja lewat dari kaki gunung Pak Bong-san muncul dua sosok bayangan manusia, satu kate dan yang lain tinggi, menempuh deraan hujan gerimis serta kabut yang tebal, dengan gerakan tubuh yang ringan, gesit tapi cepat laksana kilat meluncur naik ke atas puncak..
Ditinjau dari ilmu meringankan tubuh yang diperlihatkan kedua orang itu, meski gerakan tubuh si pendek rada kurang mahir, tetapi dalam pandangan seorang ahli silat, segera akan diketahui bahwa kedua orang itu bukan lain adalah jago2 Bu-lim.
Sungguh cepat sekali gerakan mereka dalam sekejap mata kedua sosok bayangan hitam itu sudah mencapai di atas puncak dan berdiri di depan sebuah batu nisan yang tinggi lagi besar. Bayangan manusia berperawakan pendek itu berjongkok membaca sejenak tulisan di atas batu nisan kuburan itu, lalu menoleh dan ujarnya kepada si manusia berperawakan tinggi besar itu:
"Suhu ! Kuburan ini bukan lain adalah kuburan dari keluarga Chee, tetapi ..."
Ia merandek sejenak, lalu menambahkan:
"Orang itu kirim surat undangan kepada suhu diajak bikin perhitungan ditempat ini, sebenarnya antara suhu dengan orang itu pernah terikat permusuhan apa sih ? apakah dalam hati suhu sudah temukan asal mulanya peristiwa ini?"
Kiranya kedua sosok bayangan manusia itu bukan lain adalah guru dan muridnya.
Mendengar ucapan dari muridnya ini, sang guru lantas menghela napas panjang.
"Aaaai ... ! urusan ini memang rada aneh," sahutnya. "aku sudah pikirkan berulang kali, tetapi masih belum jelas juga siapakah sebenarnya musuhku itu ? tetapi kalau ditinjau dari gaya tulisan yang ternyata di atas surat tantangan tersebut, aku rasa pihak lawan pastilah seorang perempuan. Tapi sungguh mengherankan, sudah puluhan tahun lamanya aku berkelana dalam dunia persilatan, boleh dikata jarang sekali mengikat tali permusuhan dengan orang lain, apalagi dengan kaum wanita, bukankah hal ini.."
Sementara sang guru masih berucap, tiba2 dari tengah udara berkumandang suara alunan seruling yang merdu merayu. seketika itu juga ia berhenti berbicara, wajahnya menunjukkan tanda2 tercengang, telinga dan perhatian segera dicurahkan untuk mendengarkan suara tersebut.
Lapat2 irama seruling mengalun datang makin nyaring, irama lagunya sebentar meninggi sebentar kemudian merendah, begitu merayu, begitu mempesonakan suaranya membuat pikiran orang jadi kosong.. dibuai dalam lamunan.
Tiba2 irama seruling tadi berubah meninggi makin lama makin tinggi hingga akhirnya mencapai puncaknya, irama tersebut melengking ditengah udara menembusi awan menggema ke empat penjuru, suaranya keras laksana derapan kaki kuda sepasukan prajurit menambah panas suasana, membuat seluruh permukaan diliputi hawa napsu membunuh...!
Lama...lama sekali... mendadak irama itu berubah mendatar dan akhirnya merendah, begitu dalam suaranya seakan ada nyanyian kematian berkumandang dari akhirat membuat orang merasa melongo dan kosong ... dan terakhir irama seruling tadi berhenti sama sekali.
Dua sosok bayangan manusia guru dan murid itu sama2 berdiri menjublek, mereka dibikin tertegun, melongo oleh irama seruling aneh itu, se-akan2 pada saat ini mereka telah melupakan tujuan mereka yang sebenarnya.
Pada saat itulah tiba2 dari bawah lereng muncul empat buah lentera yang ber-goyang2 dan berkelap-kelip ditengah hembusan angin serta rintikan hujan, lima sosok bayangan tubuh yang kecil mungil laksana kilat berkelebat ke arah puncak bukit.
Dalam sekejap mata, kelima sosok bayangan tubuh yang kecil mungil itu sudah tiba di atas puncak dan serentak berhenti kurang lebih delapan depa di hadapan guru dan murid orang itu.
Di bawah sorotan sinar lentera yang menerangi empat penjuru, masing2 pihakpun segera dapat melihat raut muka masing2.
Tampaklah dua orang yang datang duluan, sang guru telah berusia lima enam puluh tahunan, memakai jubah warna abu2 dengan sebuah Huncwee sepanjang tiga depa terselip di atas pinggangnya, huncwee tersebut berwarna hitam pekat, tak usah diragukan lagi siapapun akan segera menduga benda itu terbuat dari besi bercampur baja murni.
Wajahnya persegi empat dengan warna merah padam, jenggot serta kumisnya pendek, dari sepasang matanya memancarkan sinar tajam laksana kilat, potongan mukanya penuh berwibawa.
Sedang sang murid baru berusia empat lima belas tahunan dengan memakai baju warna biru, sebilah pedang tersoren dipunggungnya. Dia adalah seorang bocah bermuka putih, beralis lancip dan bermata jeli. Walaupun tampan sekali wajahnya namun masih belum lenyap sifat kekanakannya.
Dari lima orang yang muncul belakangan, empat orang diantaranya berdandan sebagai pelayan usianya baru lima enam belas tahunan, dengan masing2 mencekal sebuah lentera dan ditengah mereka berdiri seorang gadis berbaju merah.
Potongan badan gadis itu sangat menggiurkan, usianya tidak lebih dari dua puluh tahun, tetapi wajahnya pucat pias bagaikan mayat, sedikitpun tidak nampak adanya warna darah, raut mukanya tidak lebih dari pada sesosok mayat hidup.
Ditengah tanah pekuburan yang liar dan tak terawat, tengkorak manusia berserakan di-mana2, serta ditengah malam buta yang dingin menyeramkan, seandainya tiada sorotan empat buah lentera, niscaya orang akan dibikin bergidik setelah menyaksikan raut wajah tersebut, meski dia adalah seorang jagoan kelas satu dari dunia persilatanpun.
Demikianlah, ketika guru dan murid dua orang dapat menyaksikan wajah sang gadis yang amat menyeramkan itu, mereka terkejut dan sama2 merasa ngeri.
"Siapakah dia ?" pikir mereka hampir berbareng. "Agaknya belum pernah kudengar namanya disebut dalam dunia persilatan."
Sementara mereka sedang melamun, tiba2 terdengar gadis berbaju merah itu menegur dengan nada dingin:
"Benarkah anda bernama Bong-san Yen Shu Si kakek Huncwee dari gunung Bong-san Yu Boo adanya ?"
Sembari berkata, sepasang matanya dengan memancarkan sinar tajam menatap si kakek itu dalam-dalam.
Si kakek itu bertindak kalem, ia balas menatap wajah gadis itu dengan sinar mata tajam, lalu mengangguk.
"Tidak salah !" sahutnya, "Lohu bukan lain adalah si kakek Huncwee dari gunung Bong-san, Yu Boo adanya, entah siapakah nona ? permusuhan apakah yang telah mengikat antara kita berdua ? harap nona suka kasih penjelasan !"
Dara berbaju merah itu tidak langsung menjawab, sebaliknya ia bertanya kembali:
"Anda datang memenuhi janji hanya seorang dirikah ? Atau sudah mengundang bala bantuan ?"
Pertanyaan ini membuat si kakek huncwee dari gunung Bong-san tertegun, tapi dengan cepat ia dapat memahami maksud ucapan tersebut, si kakek itu segera mendongak dan tertawa ter-bahak2.
"Haa..haa..sudah puluhan tahun lamanya aku orang she Yu berkelana dalam dunia persilatan, aku yakin tindak tandukku masih terbuka dan mencerminkan sifat seorang lelaki sejati. Nona, kau tak usah kuatir, kecuali muridku Gong Yu seorang, loohu sama sekali tidak mengundang bala bantuan, seandainya kedatangan nona barusan telah menemukan sesuatu, maka lohu tegaskan bahwa mereka sama sekali tiada sangkut pautnya dengan diriku!"
"Hm ! bagus kalau begitu," dengus sang dara berbaju merah dengan suara dingin.
Sepanjang hidupnya si kakek huncwee dari gunung Bong-san selalu berkelana di dalam dunia persilatan, puluhan tahun sudah ia angkat nama, pengalamannya boleh dikata luas sekali.
Dari nada ucapan si gadis berbaju merah barusan, ia tahu gadis tersebut telah menyangsikan kejujurannya.
Hal ini membuat ia tersinggung, air mukapun segera berubah hebat.
Haruslah diketahui, sejak terjunkan diri ke dalam dunia persilatan, si kakek huncwee dari gunung Bong san tidak pernah bicara bohong barang sekecappun, apa yang diutarakan selalu benar dan sejujurnya, tidak aneh kalau kesangsian yang tercermin dalam wajah gadis berbaju merah barusan amat menyinggung perasaannya sehingga air mukapun berubah hebat.
Murid kesayangan dari si kakek huncwee dari gunung Bong-san, yakni Gong Yu meski baru berusia empat lima belas tahunan, namun ia sudah mewarisi hampir seluruh ilmu silat yang dimiliki gurunya si kakek huncwee dari gunung Bong-san, tenaga dalamnya tidak lemah, apabila sepanjang tahun selalu berkelana didalam dunia kangouw mendampingi gurunya, pengalaman maupun pengetahuannya luas sekali.
Sejak kemunculan gadis berbaju merah itu, ia sudah merasa tidak senang hati karena sikapnya yang angkuh, perkataannya yang ketus dan dingin serta wajahnya yang hambar, pucat pias sama sekali tidak berperasaan.
Kini, mendengar gadis itu menyangsikan kejujuran gurunya, bahkan menunjukkan tanda2 menghina, ia semakin gusar dibuatnya, hawa amarah terasa bergolak dengan hebatnya dalam rongga dada.
Sekalipun ia tahu gadis berbaju merah itu pasti memiliki ilmu silat yang lihay, terbukti dari keberaniannya menantang si kakek huncwee dari gunung Bong-san untuk bikin penyelesaian di atas tanah pekuburan keluarga Chee, namun ia tidak jeri.
Ia sadar gadis berbaju merah itu bukan manusia sembarangan, namun hawa amarah yang berkobar dalam dadanya sukar terkendalikan kembali, tak tahan ia menghardik:
"Ciss ! guruku adalah seorang angkatan tua dalam dunia persilatan, nama besarnya dihormati banyak orang dan sepanjang hidup tak pernah bicara bohong. Hmm ! sungguh tak nyana kau budak jelekpun berani pandang enteng kaum tua bahkan menghinanya pula.."
"Setan cilik ! tutup bacotmu yang bau," tukas seorang budak dengan suara yang nyaring. "Hm ! agaknya kau sudah makan nyali beruang, jantung harimau, berani benar mencaci maki nona kami sebagai budak jelek ! hati2 kau, sekali lagi berani bicara tidak karuan, nona mudamu segera akan potong lidahmu yang bau itu !"
Bentakan berasal dari salah satu dayang si gadis berbaju merah itu, dia adalah dayang tertua diantara dayang2 lainnya dan merupakan pemimpin pula diantara keempat dayang tersebut, ia bernama Siauw Leng.
Kiranya gadis berbaju merah ini she Tong-hong bernama Beng Coe, dia adalah puteri dari Tonghong Koen seorang jago Bu-lim yang pernah menggetarkan dunia persilatan dengan permainan kedua belas batang senjata rahasia peluru emasnya, begitu lihay permainan silatnya sehingga boleh dikata merupakan salah satu ilmu sakti dalam dunia persilatan. Karena kelihaiannya inilah maka ia diberi gelar si Malaikat peluru emas oleh umat Bu-lim.
Sejak kecil Tonghong Beng Coe mendapat didikan ilmu silat dari ayahnya, sekalipun tenaga dalamnya tidak sesempurna yang dimiliki orang tuanya namun delapan sembilan bagian sudah ia warisi.
Ke empat dayang itupun belajar silat dari nonanya sejak kecil, berkat kecerdikan mereka serta bakatnya yang bagus, maka ilmu silat ke empat orang dayang inipun boleh dikata sudah mencapai kesempurnaan, lihay luar biasa.
Disamping pemimpinnya yang bernama Siauw Leng, ketiga orang dayang lainnya masing2 bernama Siauw Lin, Siauw Cie serta Siauw Giok.
Walaupun antara Tonghong Bengcu dengan ke empat orang dayang itu terikat hubungan antara majikan dan pembantu, dalam kenyataan hubungan mereka lebih erat dari pada saudara kandung sendiri.
Belum habis Gong Yu berbicara, tiba2 telah ditukas oleh Siauw Leng, hal ini semakin menggusarkan hatinya, dengan wajah sinis dan memandang rendah kembali ia membentak.
"Budak busuk! jangan tak tahu malu, selembar wajahmu yang kaku macam mayat hidup sungguh mengerikan bagi yang memandang, se-olah2 baru saja keluar dari liang kubur. Hemm, kalau bukan si budak berwajah jelek, lalu harus disebut apa? Hmm..."
"Anak Yu, kenapa kau tak tahu sopan? ayoh cepat tutup mulutmu!" tiba2 gurunya si kakek huncwee dari gunung Bong-san membentak.
Meskipun ucapan dari Gong Yu belum habis diutarakan, namun ia tak berani membangkang perintah gurunya, terpaksa ia bungkam dalam seribu bahasa, sekalipun begitu hatinya merasa sangat tidak puas sepasang biji matanya yang jeli dengan penuh rasa gemas melotot sekejap ke arah Siauw Leng.
Dalam pada itu, setelah menegur muridnya, kakek huncwee dari gunung Bong-san segera berpaling ke arah Tonghong Beng Coe dan menjura dalam2, ujarnya:
"Muridku lancang dengan sudah mengeluarkan kata2 yang tidak senonoh, harap nona suka memaafkan kesalahannya dan jangan marah !"
Tonghong Beng Coe melirik sekejap ke arah Gong Yu, kemudian mendengus dingin.
Sikap yang angkuh dan jumawa ini amat menusuk penglihatan namun si kakek huncwee dari gunung Bong-san pura2 berlagak pilon, ia lanjutkan kata2nya:
"Nona, Bolehkah aku tahu siapa nama besar anda ? permusuhan apakah yang pernah kita buat ? harap anda suka menjelaskan kepada diri lohu !"
"Nonamu bernama Tonghong Beng Coe !" jawab sang dara dengan sepasang mata memancarkan cahaya membunuh, ia tatap wajah sang kakek dengan sepasang mata mendendam. "Si peluru sakti Tonghong Koen adalah ayah nonamu. Hey bajingan tua ! sekarang kau sudah mengerti bukan ?"
Walaupun suara Tonghong Beng Coe kedengaran rada gemetar, dari sepasang matanya memancar cahaya membunuh, namun selembar wajahnya yang sangat pucat pias bagaikan mayat kaku dan sama sekali tidak menunjukkan perubahan.
"Oooow...! kiranya kau adalah nona Tonghong," Seru si kakek huncwee dari gunung Bong san dengan nada tercengang. "Lohu benar2 tidak paham, dendam sakit hati apakah yang sebenarnya pernah terikat antara aku dengan diri nona ? harap nona suka bicara terus terang !"
Menyaksikan sikap tercengang yang ditunjukkan Si kakek huncwee dari gunung Bong-san, Tonghong Beng Coe menyangka si kakek itu sedang pura2 berlagak pilon, ia jadi semakin gusar.
Setelah tertawa dingin, bentaknya:
"Bajingan tua! kau tak usah berlagak pilon lagi, tiga bulan berselang ayahku telah menemui ajalnya di depan tanah pekuburan keluarga Chee ini, nona tidak percaya kalau begitu cepat kau telah melupakan peristiwa berdarah ini !"
Pengalaman yang dimiliki si kakek huncwee amat luas, dari ucapan tersebut dengan cepat ia dapat dibikin paham tantangan Tong-hong Beng Coo terhadap dirinya untuk bikin perhitungan di depan tanah kubur keluarga Chee pada malam ini benar2 merupakan suatu kesalahan paham yang mengerikan sekali...
Walaupun ia rada tertegun, namun dengan tenang dan sabar ujarnya kembali:
"Meskipun lohupun pernah dengar tentang terjadinya peristiwa berdarah ini, namun aku tak tahu duduk perkara sebenarnya, lagi pula sama sekali tiada sangkut pautnya dengan diri loohu."
"Kurang ajar...si setan tua ini tak mau mengaku juga," pikir Tonghong Beng Coe, setelah menyaksikan si kakek tua itu tak mau mengaku. "Kenapa aku tidak ambil keluar barang bukti agar ia saksikan dengan mata kepala sendiri? akan kulihat apa yang hendak ia katakan nanti."
Berpikir sampai disitu hatinya lantas bergerak, ia merogoh ke dalam saku dan ambil keluar sebilah golok emas bersisik ikan atau Gie-Lim Kiem-To yang panjangnya kurang lebih delapan coen, lalu benda tadi ditunjukkan pada si orang tua itu seraya tertawa dingin.
"Bajingan tua ! coba kau lihat benda apakah ini ?"
"Aaah..!" Golok emas bersisik ikan Gie Lim Kiem To merupakan senjata penjaga keselamatannya yang telah menggemparkan dunia persilatan selama puluhan tahun ini, terhadap barang sendiri tentu saja si kakek huncwee dari gunung Bong-san mengenalinya, tidak aneh kalau ia lantas tahu bahwa benda tersebut adalah miliknya begitu sang dara mengambil keluar dari sakunya.
Maka dari itu, ia lantas berseru kaget setelah menyaksikan golok emas bersisik emas Gie Lim Kiem To tersebut, dengan wajah tercengang ia mundur dua langkah ke belakang, lalu tanyanya kepada sang gadis dengan suara rada gemetar:
"Gooo... golok ikan bersisik ikan ini memang merupakan senjata penjaga keamanan lohu selama aku berkelana dalam dunia persilatan, tetapi pada beberapa bulan berselang tiba2 hilang lenyap, entah nona dapatkan benda ini dari mana ?"
Tonghong Beng Coe tertegun menyaksikan sikap kaget dan melengak dari Bong-san Yen Shu tetapi dengan cepat ia merasa yakin dan pasti bahwa si kakek tua inilah pembunuh ayahnya almarhum.
"Hey bajingan tua !" katanya kemudian sambil tertawa dingin. "Ayahku mati di ujung golok emas ini dan kini barang bukti sudah ada di depan mata, apakah kau hendak menyangkal lebih jauh ?"
Sekarang Bong-san Yen Shu pun sadar, lenyapnya golok emas tersebut pada beberapa bulan berselang bukan hanya kebetulan saja, tetapi merupakan siasat dari seseorang untuk memfitnah dirinya.
Tentu saja orang yang memfitnah dirinya tentu adalah musuh besarnya, tetapi siapakah orang itu?
Dalam dunia persilatan, Tonghong Koen bukanlah manusia sembarangan, dia adalah seorang jago Bulim yang berkepandaian tinggi, kesempurnaan ilmu silatnya boleh dikata hampir sejajar dengan kepandaian yang ia miliki.
Dan sekarang terbukti Tonghong Koen telah menemui ajalnya di ujung golok emas bersisik ikan milik dirinya yang dicuri, hal ini membuktikan pula bahwa ilmu silat yang dimiliki sang pembunuh benar2 luar biasa bahkan jauh di atas kepandaian silatnya.
Kalau betul orang itu berkepandaian lihay dan menaruh dendam pula dengan dirinya, mengapa ia tak langsung mencari dirinya dan menuntut balas dengan tangan sendiri? mengapa ia harus gunakan siasat keji, untuk memfitnah dirinya..?
Sekalipun pengalaman serta pengetahuan si kakek huncwee dari gunung Bong-san sangat luas, tak urung ia dibikin tercengang juga oleh peristiwa ini, ia merasa heran bingung dan tidak habis mengerti.
Golok emas bersisik ikan Gie Lim Kiem To adalah benda milik pribadinya, sekarang terbukti Tonghong Koen binasa di ujung golok tersebut, kenyataan ini tak mungkin bisa dibantah lagi, dan tak mungkin baginya untuk menerangkan kenyataan tersebut, sekalipun ia bicara sampai lidah membusuk dan air liur mengering, apakah Tonghong Beng Coe sudi mempercayainya ?
Maka dari itu, berada dalam keadaan seperti ini kakek huncwee dari gunung Bong-san cuma bisa menatap wajah sang nona dengan sinar mata mendelong, mulutnya terkatup rapat2.
"Bajingan tua !" Teriak Tonghong Beng Coe sambil gertak gigi menahan rasa benci yang meluap dalam hati. "Seorang lelaki sejati berani berbuat berani bertanggung jawab, apa gunanya kau bersembunyi dan menyangkal terus macam cucu kura2. Kini golok emas bersisik ikan sebagai barang bukti, apa yang hendak kau katakan lagi ?"
Bicara sampai di situ tiba2 nada suaranya berubah dengan suara keras bagaikan guntur membelah bumi hardiknya:
"Hutang darah bayar dengan darah, bajingan tua ! serahkan nyawamu !"
Badannya segera maju ke depan, golok emas bersisik ikan yang berada dalam genggamannya dengan menciptakan serentetan cahaya ke-emas2an laksana kilat menusuk ke arah pinggang si kakek huncwee dari gunung Bong-san.
Serangannya dilancarkan cepat, gerakan tubuhnya lincah, benar2 terhitung gerak-gerik seorang jagoan lihay.
Bong san Yen Shu terkesiap menyaksikan datangnya serangan, buru2 ia enjot badannya mundur delapan depa ke belakang.
Menyaksikan serangannya mengenai pada sasaran yang kosong. Tonghong Beng Coe jejakkan kakinya ke atas tanah, ujung bajunya berkibar tersampok angin diiringi bentakan nyaring cahaya ke-emas2an menyambar ke depan menusuk kembali ke arah tubuh lawan.
Tonghong Beng Coe adalah ahli waris seorang jago kenamaan, sekalipun gerakan tubuhnya sangat lihay namun si kakek huncwee dari gunung Bong-san pun merupakan seorang jago kenamaan dalam Bu-lim, tenaga dalam yang dilatih selama puluhan tahun benar2 amat sempurna, Tong hong Beng Coe mana bisa menandingi dirinya?
Tetapi Bong-san Yen Shu sudah menyadari bahwasanya peristiwa ini terjadi karena kesalah pahaman belaka, meskipun tubrukan2 dari Tong hong Beng Coe amat ganas, jurus serangannya amat keji namun ia tidak melayani semua serangan nona tersebut. Ia takut seandainya sampai terjadi pertarungan dimana ia salah turun tangan hingga melukai nona tersebut, bukan saja pamornya akan merosot karena menganiaya seorang nona muda, disamping itu bagaimanakah pertanggungan jawab terhadap sahabat2 kangouw.
Maka dari itu, terhadap serangan2 yang ganas dari Tonghong Beng Coe sama sekali tidak dilayaninya, dengan andalkan kegesitan ia berkelit dan menghindar terus kesana kemari.
Satu pihak menyerang mati2an dengan keluarkan segenap jurus serangannya yang paling keji dan paling ganas untuk membalaskan dendam kematian orang tuanya.
Dilain pihak demi menjaga pamor serta nama baiknya selama puluhan tahun dalam dunia persilatan, perduli diancam dengan serangan sekeji dan seganas apapun selalu menghindar dengan andalkan ilmu meringankan tubuhnya yang amat sempurna.
Begitulah seraya menghindar Si kakek huncwee dari gunung Bong san berteriak tiada hentinya:
"Nona! tahan! nona! harap tahan..."
Dendam orang tua sedalam lautan, apalagi musuh besar berada di depan mata, pada saat ini sepasang mata Tonghong Beng Coe telah berubah merah membara, ia tidak sudi berhenti, sekalipun Bong-san Yen Shu telah berteriak sehingga lidahnya membusuk, air liur mengering ia tetap tidak ambil gubris, golok emas sepanjang delapan coen tersebut melancarkan serangan2 mematikan dan tiada hentinya mengancam bagian2 penting di atas tubuh si kakek tersebut.
Manusia dari tanah liatpun memiliki tiga bagian watak tanah liat, apalagi manusia benar2. Meskipun iman Bong-san Yen Shu amat tebal, namun lama kelamaan ia dibikin naik pitam juga oleh desakan2 Tonghong Beng Coe yang tak mau tahu akan teriak2annya, ia tidak sabar sehingga akhirnya dengan alis berkerut bentaknya:
"Hey bocah! kalau kau terus menerus menyerang aku dengan membabi buta, apakah kau hendak paksa lohu pun harus turun tangan balas melancarkan serangan?"
"Bajingan tua!" Seru Tonghong Beng Coe pula sambil menyerang kalap tiada hentinya. "Jikalau malam ini nonamu tak dapat membinasakan dirimu di ujung golok ini, arwah ayahku dialam baka tidak akan merasa tenteram ! tak usah banyak bicara lagi, ayoh cepat serahkan jiwamu !"
Saat ini si kakek huncwee dari gunung Bong-san benar2 tak dapat menahan diri, hawa gusar telah memuncak. Ia segera membentak.
"Budak ingusan! kau begitu keterlaluan tak tahu keadaan, jangan salahkan kalau lohu terpaksa harus memberikan perlawanan."
Ditengah bentakan keras, badannya bergerak ke depan, ujung baju tersampok angin, gerakan tubuhnya tiba2 berubah, sepasang telapak berputar dan menari memenuhi angkasa, dalam sekejap mata ilmu cengkeraman Sah cap Lak-Thay Kiem-na Cioe yang terdiri dari tiga puluh enam jurus telah dilancarkan ke depan laksana sambaran kilat.
Dalam beberapa detik kemudian, secara beruntun ia telah lepaskan tiga buah jurus serangan dahsyat, bukan saja luar biasa bahkan cepatnya sukar dilukiskan dengan kata2.
Haruslah diketahui, si kakek huncwee dari gunung Bong-san terhitung sebagai jagoan kelas wahid dalam dunia persilatan dewasa ini, kepandaian silat yang dimilikinya telah mencapai puncak kesempurnaan, Tonghong Beng Coe mana sanggup menerima datangnya ketiga serangan yang cepat dan luar biasa itu ?
Ditengah desakan gencar, seketika itu juga gadis she Tonghong itu terdesak mundur dua langkah ke belakang.
Kejadian ini semakin menggusarkan Tonghong Beng Coe, ia membentak keras, golok emas bersisik ikannya yang sepanjang delapan coen dengan menciptakan serentetan cahaya emas yang berkilauan memenuhi seluruh angkasa, ia maju mendesak dan langsung membabat dada si Bong-sun Yen Shu.
Si kakek huncwee dari gunung Bong-san mendengus dingin, sepasang telapak dilancarkan berbareng, dengan jurus "Tong Ciong-Kie-Kouw" atau memalu gembreng memukul tambur, ia babat sepasang pundak sang nona.
"Tahan!" tiba2 terdengar bentakan nyaring berkumandang datang.
Baru saja suara bentakan itu menggema datang, terasa segulung tenaga pukulan yang lunak tapi kuat menerobos datang dari antara kedua orang yang sedang bermusuhan itu sehingga memaksa mereka berdua tak sanggup berdiri tegak dan mundur beberapa langkah ke belakang dengan sempoyongan.
Tonghong Beng Coe serta si kakek huncwe dari gunung Bong san jadi amat terperanjat, mereka sama2 alihkan sinar matanya ke arah mana berasalnya tenaga serangan berhawa lunak itu.
Tampaklah seorang pemuda berusia dua puluh tahunan dengan memakai baju berwarna abu2 potongan sastrawan, telah berdiri ditempat itu dengan sikap tenang.
Kepalanya tertutup oleh sebuah kopiah model pelajar, wajahnya halus dan ganteng, sebuah seruling kumala tersoren pada pinggangnya dan sebuah kipas berada ditangan kanannya.
Waktu itu ia sedang tersenyum, dengan langkah yang angkuh, lambat2 berjalan ke depan dan akhirnya berhenti diantara kedua orang itu.
Ditengah malam berhawa dingin yang sangat menusuk tulang, perbuatan pemuda sastrawan itu berjalan sambil goyangkan kipasnya boleh di kata merupakan suatu perbuatan yang sedikit keterlaluan.
Menyaksikan tingkah laku serta gerak gerik sang pemuda sastrawan itu, si Kakek huncwee dari gunung Bong-san merasa tercengang, dengan wajah penuh rasa kaget dan keheranan ia memandang sastrawan itu dengan sinar mata tertegun.
Dalam hati Tonghong Beng Coe pun merasa amat kaget dan tercengang, namun di atas wajahnya yang pucat pias bagaikan mayat sama sekali tidak menunjukkan perubahan apapun.
Sejak kecil Tonghong Beng Coe kehilangan kasih sayang seorang ibu, berada dalam bimbingan ayahnya Tonghong Koen yarg selalu memanjakan dirinya ia tumbuh jadi dewasa, sehingga akhirnya terbentuklah watak yang angkuh dan tinggi hati dalam hati gadis ini.
Sekarang, menyaksikan sikap yang angkuh dan ketus dari pemuda sastrawan itu, timbul hawa amarah dalam hatinya, ia segera membentak nyaring:
"Hey ! Kutu Buku, apa maksudmu datang kemari ? ayoh cepat enyah dari sini, apakah kau sudah bosan hidup?"
Se-akan2 sama sekali tidak mendengar dampratan dari Tong-hong Beng Coe, si pemuda sastrawan itu gelengkan kepalanya sambil bergumam seorang diri:
"Aaaaai ... ! manusia binasa karena harta, burung mati karena makanan, jaman dulu hingga kini tidak pernah berubah, kau merampas, aku merebut, semuanya selalu begitu !"
Tiba2 ia berpaling ke arah Tonghong Beng Coe dan tertawa, tanyanya dengan suara lantang:
"Nona ! Kalian berdua saling adu jiwa ditempat ini, tolong tanya kalian sedang memperebutkan harta ? ataukah karena saling memperebutkan makanan ?"
Selesai bicara pemuda sastrawan itu tertawa manis.
Berdebar keras jantung sang nona menyaksikan senyuman orang, timbul suatu perasaan yang aneh sekali didalam hatinya, tetapi ucapan tersebutpun menimbulkan rasa benci dalam hatinya.
Sepasang biji mata Tonghong Beng Coe yang jeli segera melotot bulat, sinar tajam menyorot keluar menyilaukan mata, bentaknya:
"Darimana datangnya pelajar edan, berani benar bicara ngaco belo di hadapan nonamu, ayoh cepat enyah dari sini !"
Pemuda sastrawan itu mendongak tertawa ter-bahak2, suaranya nyaring dan bersih menawan hati membuat orang merasa hatinya bergetar dan berdebar keras.
Setelah sirap gelak tertawanya, air muka yang semula penuh senyuman tiba2 berobah jadi keren, ujarnya serius:
"Nona, kenapa kau tak bisa membedakan mana yang hitam mana yang putih, mana yang benar dan mana yang salah? bukannya pergi mencari musuh besar yang sebenarnya, malahan karena bukti golok emas lantas menuduh orang lain yang sama sekali tiada sangkut pautnya dengan peristiwa ini sebagai musuh besar pembunuh ayahmu? dengan tindakanmu yang serba ngawur ini, apakah kau tidak takut arwah ayahmu dialam baka merasa tidak tenteram?"
Ia merandek sejenak untuk tukar napas, setelah itu tambahnya lebih jauh:
"Terhadap tindak tandukmu yang serba tidak pakai aturan, meskipun cayhe tidak ingin banyak cari urusan dengan dirimu, tetapi mengikuti kebiasaan aneh dari cayhe, paling sedikit aku harus kasih sedikit pelajaran pahit getir sebagai peringatan bagimu. Tetapi... mengingat cita2mu untuk membalas dendam adalah perbuatan yang luhur, maka aku bisa maafkan perbuatanmu kali ini! Sedangkan mengenai pembunuh sebenarnya yang telah membinasakan ayahmu... Ehm bicara terus terang saja, cayhepun pernah menyaksikan peristiwa itu dengan mata kepala sendiri..."
Tiba2 pemuda sastrawan itu membungkam, sepasang matanya yang jeli dan tajam laksana kilat segera dialihkan ke atas wajah Tonghong Beng Coe dan menatapnya tajam2.
Terhadap sikap angkuh dari pemuda sastrawan itu, Tonghong Beng Coe merasa amat tidak puas, timbul hawa gusar dalam hati kecilnya. Tetapi setelah mendengar bahwasanya pemuda sastrawan itu menyaksikan dengan mata kepala sendiri siapakah pembunuh ayahnya, pikiranpun segera berubah, ia berusaha menahan hawa gusar dalam hatinya.
Sepasang sinar mata yang jeli dengan cepat dialihkan ke atas wajah si sastrawan yang ganteng menanti lanjutan dari ucapan tersebut, ia ingin tahu siapakah pembunuh sebenarnya yang telah membinasakan ayahnya !
Si kakek huncwee dari gunung Bong-san sendiripun merasa kegirangan setengah mati ketika mendengar bahwasanya si pemuda sastrawan itu tahu siapakah pembunuh sebenarnya dari Tonghong Koen, buru2 ia menjura kearah orang itu dalam2.
"Siauw-hiap, apabila kau tahu siapakah musuh sebenarnya dari nona Tonghong, harap kau suka berbicara langsung kepadanya, bukan saja lohu bisa bebas dari fitnahan keji itu, bahkan nona Tonghong pun bisa menuntut balas dendam berdarahnya agar arwah Tonghong Koen dialam baka bisa tenteram. Bantuanmu bukan saja akan membuat loohu serta nona Tonghong merasa sangat berterima kasih, sekalipun arwah Tonghong Koen ayah dari nona Tonghong yang berada dialam baka pun bisa merasa berlega hati atas budi kebaikan dari siauw-hiap yang tak terhingga ini!"
Pemuda sastrawan itu tertawa angkuh.
"Tidak sulit apabila anda berdua inginkan agar cayhe menyebutkan siapakah pembunuh sebenarnya dari Tonghong Koen," ujarnya. "Tetapi cayhepun ada suatu syarat sebagai imbalan dari jasa ini, bagaimana menurut pendapat anda berdua?"
Tonghong Beng Coe merasa amat tidak puas dengan ucapan dari si pemuda sastrawan itu, ia merasa tidak sepantasnya orang minta satu imbalan atas jasa2nya itu se-olah2 mereka sedang adakan jual beli saja. ia lantas cibirkan bibirnya yang kecil, sambil mendengus dingin serunya.
"Hmmm ! dipandang dari wajahmu yang mirip seorang kutu buku, sungguh tak nyana lihay sekali dalam jual beli, seandainya nonamu tak mau kasih imbalan untukmu, kau mau apa ?"
"Sederhana sekali !" jawab sastrawan itu tanpa pikir panjang, "Cayhe akan menyingkir ke sisi kalangan dan sambil berpeluk tangan menyaksikan kalian berdua lanjutkan pertarungan yang dikarenakan suatu urusan penasaran belaka."
Si kakek huncwee dari gunung Bong-san pun merasa tidak puas dengan syarat yang diajukan sastrawan tersebut, ia merasa syarat itu mirip dengan suatu pemerasan. tetapi apa yang dapat ia lakukan dalam keadaan seperti ini ?
Setelah termenung dan berpikir sejenak, akhirnya sambil tertawa ia berkata:
"Bagaimana kalau anda sebutkan dahulu apakah syarat yang kau inginkan ? asal kami merasa cocok dan cengli, lohu pasti akan laksanakan semampuku."
"Percuma kalau cuma kau seorang yang sanggupi syarat ini, bagaimana seandainya nona Tonghong tak mau terima ?" tanya Sang sastrawan sambil melirik ke arah Tonghong Beng Coe.
Meskipun dalam hati Tonghong Beng Coe rada sangsi juga akan perkataan dari si sastrawan tersebut, tetapi sebagai seorang gadis yang cerdik, setelah ia bayangkan kembali pelbagai perubahan yang muncul di atas wajah Bong-san Yen Shu sejak ia lontarkan tuduhan bahwa dia adalah pembunuh ayahnya, gadis inipun merasa persoalan rada sedikit mencurigakan, ia merasa kemungkinan besar pembunuhan berdarah itu bukan hasil karya dari si kakek huncwee dari gunung Bong-san.
Seandainya pembunuhan ini hasil karya dari Bong-san Yen Shu, dengan watak serta kedudukan si kakek huncwee itu dalam dunia persilatan tak mungkin ia akan menyangkal terus2an.
Karena berpikir demikian, Tonghong Beng Coe ingin sekali cepat2 mengetahui nama sebenarnya dari musuh besarnya itu, agar ia bisa cepat2 balaskan dendam berdarah ayahnya.
Tetapi iapun merasa tidak puas dengan tindakan sang sastrawan yang mengajukan syarat sebagai imbalan atas jasanya itu, ditambah pula sikap angkuh yang ditunjukkan sastrawan itu semakin tidak memuaskan hatinya.
Sebagai seorang gadis yang berwatak angkuh pula, ia tak mau turunkan gengsi sendiri dengan ajukan permohonan kepada lawannya.
Dalam pada itu si kakek huncwee dari gunung Bong-san telah melirik sekejap ke arah Tonghong Beng Coe, tiba2 ia putar badan dan menjura dalam2 kepadanya.
"Nona !" ia berkata: "Agar duduknya perkara bisa jadi jelas dan pembunuh sebenarnya dari ayahmu pun bisa dibikin terang, lohu berharap agar nona sudi menyanggupi syarat dari siauw-hiap ini, dengan begini urusanpun bisa diselesaikan ..."
"Baiklah !" Ambil kesempatan baik ini Tonghong Beng Coe mengangguk. "Memandang di atas wajah emas Loo-pek, kusanggupi permintaan dari pelajar edan ini !"
Pada saat ini, Tonghong Beng Coe telah sadar bahwa si kakek huncwee dari gunung Bong-san bukanlah pembunuh ayahnya, semua yang dialami selama ini hanya suatu kesalahan paham belaka, terhadap si kakek itu ia merasa menyesal dan malu, maka sebagai taraf pertama dari perwujudan rasa sesalnya ia sebut si Bong san Yen Shu sebagai "Loo-pek" atau Empek tua.
Mendengar sang dara sudah menyanggupi, Bong san Yen Shu pun berpaling kembali kearah pemuda sastrawan itu.
"Sekarang nona Tonghong pun sudah menyatakan kesanggupannya, harap anda suka sebutkan syarat yang kau harapkan !" katanya.
"Padahal kalau diutarakan keluar, syaratku itu tidak seberapa berat." kata sastrawan itu sambil melirik ke arah Bong san Yen Shu serta Tonghong Beng Coe dan tertawa. "Berhubung cayhe hendak menangkap sepasang kadal kumala beracun keji "Pek-to Giok Tiat" yang telah mencapai masa suburnya, maka aku butuh bantuan orang untuk melindungi keselamatanku, agar sewaktu cayhe menangkap binatang berbisa itu tidak sampai diganggu orang lain !"
Berbicara sampai di situ, mendadak lenyap roman angkuhnya, sinar mata yang tajam menggidikkanpun sirap sama sekali, ia pandang kedua orang itu dengan muka serius.
"Entah sudikah kalian berdua membantu usahaku ini ?" serunya.
Walaupun sinar mata sastrawan sirap sama sekali, namun kejadian ini cukup menggetarkan hati Tonghong Beng Coe serta si kakek huncwee dari gunung Bong-san.
"Betapa sempurnanya tenaga lwekang yang dimiliki sastrawan ini !" pikir mereka berdua hampir berbareng.
Sastrawan itu mengatakan hendak menangkap sepasang kadal kumala beracun keji "Pek tok-Giok-Tiat", bagi pendengaran Tonghong Beng Coe, gadis ini tidak merasakan sesuatu, namun berbeda dengan si kakek huncwee dari gunung Bongsan yang berpengetahuan luas, ia merasa amat terperanjat, segera pikirnya:
"Kadal kumala beracun keji Pek-Tok-Giok-Tiat merupakan salah satu diantara tiga jenis binatang paling beracun dikolong langit, mengapa sastrawan ini hendak tangkap binatang beracun itu dengan menempuh bahaya ? kenapa tidak kutanyakan dahulu maksud tujuan sebenarnya?"
Karena berpikir demikian, ia lantas berpaling ke arah sastrawan itu dan tanyanya:
"Kadal Kumala beracun keji merupakan binatang langka yang jarang ditemui dalam kolong langit dan beracun sekali, apa maksud anda menangkap binatang itu ? dapatkah kau kasih penjelasan ?"


Sabuk Kencana Ikat Pinggang Kemala Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pemuda sastrawan itu melirik sekejap ke arah si kakek huncwee dari gunung Bong san, sikapnya yang angkuh serta jumawapun segera pulih kembali menyelimuti wajahnya, ia menjawab dingin:
"Maaf, tak dapat kujelaskan latar belakang dari maksud tujuanku ini."
Si kakek huncwee dari gunung Bong san ketanggor batunya, terpaksa ia bungkam dalam seribu bahasa.
"Eeeei sebenarnya kalian berdua mau bantu atau tidak ? harap kasih keputusan yang tegas," tiba2 sastrawan itu bertanya kembali.
"Berhubung binatang itu terlalu keji dan beracun, sedang andapun tidak sudi menjelaskan apa maksud tujuan anda menangkap binatang tersebut, maka lohu merasa kurang leluasa untuk .. "
Bong-san Yen Shu segera membungkam, hanya sepasang matanya yang tajam segera dialihkan ke arah si sastrawan tersebut.
Menyaksikan tingkah laku orang, agaknya si pemuda sastrawan itu mengerti apa yang sedang dimaksudkan lawan, ia tertawa nyaring.
"Haaa.. haaa..haaa...tentang soal ini kau boleh legakan hati, walaupun cayhe tidak sudi menjelaskan keperluanku untuk menangkap binatang beracun itu, tetapi cayhe berani jamin, aku tak akan mengandalkan binatang beracun itu untuk mencelakai orang."
"Baik, kalau memang anda berkata demikian, maka lohu serta nona Tonghong dengan suka hati akan menolong usaha anda dan bantu menjagakan segala gangguan yang datangnya dari luar," akhirnya si kakek itu mengangguk.
"Kalau begitu, jual beli kita pun boleh di kata sudah beres, bagus, kita tetapkan dengan sepatah kata ini saja," seru sang sastrawan dengan wajah kegirangan.
Tiba2 se-olah2 ia teringat akan sesuatu air mukanya berubah hebat.
"Aduuhhh .." Teriaknya.
Kepada Tonghong Beng Coe serta Bong san Yen Shu segera ia berseru:
"Harap kalian berdua cepat2 ikuti diriku."
Ia enjotkan badannya dan tidak nampak gerakan apakah yang telah digunakan tahu2 bagaikan anak panah yang terlepas dari busurnya ia sudah melayang sejauh puluhan tombak dari tempat semula ..
Sekali lagi Tonghong Beng Coe serta si kakek huncwee dari gunung Bong-san dibikin kagum akan kehebatan serta kesempurnaan ilmu meringankan tubuh dari sisasterawan tersebut.
"Nona Tonghong, mari kita segera susul dirinya !" ajak si kakek huncwee dari gunung Bong san.
Tidak menanti jawaban dari gadis itu lagi, tangan kanannya segera menyambar tangan Gong Yu, enjotkan badan dan segera menyusul dimana pemuda itu berlalu.
Buru2 Tonghong Beng Coe beserta ke empat orang dayangnya enjotkan badan menyusul dari belakang Bong-san Yen Shu.
Dua lelaki lima perempuan semuanya tujuh orang sama2 mengembangkan ilmu ginkangnya berlarian ditengah jalan gunung yang sempit, dalam beberapa loncatan mereka sudah berada empat lima puluh tombak dari tempat semula.
Sementara mereka masih berlarian, tiba2 dari hadapan mereka berkumandang datang suara bentakan keras.
"Setan tua ! demi sepasang benda tersebut, siauya sudah menunggu lama sekali di tengah tanah pekuburan yang sunyi dan terpencil ini. Eei...datang2 kau lantas hendak memungut hasil ? kau kira urusan bisa selesai dengan begitu gampang dan enaknya ?"
Suara bentakannya nyaring dan lantang, setiap patah kata bagaikan martil menghantam di atas dada membuat hati tergetar keras, jelas menunjukkan ucapan tersebut muncul dari seorang tokoh sakti yang memiliki tenaga dalam amat sempurna!
Si kakek huncwee dari gunung Bong-san segera kenali suara itu sebagai suara dari Sastrawan tersebut, ia semakin terkesiap:
"Siapakah sebenarnya sastrawan itu? berasal dari manakah dia? usianya masih muda namun memiliki tenaga dalam yang amat sempurna, apa gunanya ia tangkap sepasang Kadal Kumala Beracun keji itu?"
Sementara ia masih termenung, tiba2 terdengar suara gelak tertawa yang serak dari seorang tua disusul munculnya serentetan kata2 yang tajam melontar keluar:
"Hey pelajar rudin! Kadal Kumala Beracun Keji adalah binatang tak bertuan, siapapun boleh menangkapnya bilamana sanggup, dengan andalkan apa kau ingin mengangkangi binatang itu seorang diri? Hmmm! kalau masih tidak tahu diri jangan salahkan kalau aku Gia Kang-Tok Shu bertindak kejam dan telengas kepadamu !"
"Aaaa ... kiranya orang itu adalah Gia-Kang Tok Shu salah satu dari pada empat manusia beracun dari Bu-lim," pikir si kakek huncwee dari gunung Bong-san dengan hati terperanjat. "Selamanya si kakek Kelabang Beracun ini malang melintang di daerah sebelah Barat dan selatan wilayah Biauw, sejak kapan gembong iblis ini telah berpindah tempat ke dataran Tionggoan?"
Pada waktu itu ke empat buah lampu lentera yang dibawa empat orang dayang pribadi Tonghong Beng Coe telah dipadamkan, sekalipun suasana di sekeliling tempat itu gelap gulita, namun dengan andalkan tenaga dalam yang sempurna dari masing2 orang, benda yang berada satu dua tombak di hadapan mereka masih bisa dikenali dengan nyata.
Setelah menghentikan gerak tubuhnya, si kakek huncwee dari gunung Bong-san segera berpaling kearah Tonghong Beng Coe dan bisiknya lirih:
"Nona ! harap kau suka menguntil dibelakang loohu, hati2 dengan gerak gerikmu, jangan sampai menimbulkan suara yang berisik, dari pada jejak kita diketahui gembong iblis tua itu !"
"Ehmmmm, aku tahu." Tonghong Beng Coe mengangguk.
Demikianlah, Gong Yu, Tonghong Beng Coe beserta ke empat orang dayangnya menahan napas dan merangkak maju ke depan dengan langkah sangat ber-hati2.
Kurang lebih dua tombak disisi kalangan dimana sastrawan tersebut sedang berdiri saling ber-hadap2an dengan Gia Kang Tok Shu kebetulan terdapat sebuah kuburan kuno yang tinggi dan besar, tempat itu bisa digunakan sebagai tempat persembunyian.
Tujuh orang sama2 menyembunyikan diri di belakang kuburan kuno tadi, seluruh perhatiannya segera dicurahkan ke arah depan.
Tampaklah beberapa tombak dihadapan sastrawan tersebut berdiri seorang kakek tua yang kurus kering tinggal kulit pembungkus tulang belaka, potongan badannya bagaikan sesosok mayat hidup, sepasang matanya memancarkan sinar tajam, dipunggungnya tersoren sebilah senjata kaitan kelabang dan roman mukanya mengerikan sekali.
Tiba2 terdengar sastrawan itu tertawa dingin sambil menjengek:
"Nama besar Gia Kang-Tok Shu hanya bisa menakut2i suku Biauw yang masih liar belaka, Hmm ! jangan harap bisa menakut2i siauyamu, aku lihat lebih baik kau ikuti saja nasehat dari siauya, dan segera kau harus pulanglah ke wilayah Biauw dan hiduplah tenang di sana, kalau tidak ...Hmm.. hmm... jangan sampai menggusarkan siauyamu, aku nanti bisa suruh kau bisa datang tak dapat pulang lagi dalam keadaan hidup2 !"
Ucapan ini sangat menggusarkan Gia-Kang Tok-Shu, ia mendongak dan tertawa aneh, suaranya tinggi melengking bagaikan jeritan kuntilanak ditengah malam buta, amat mengerikan !
"Anjing cilik! siapakah gurumu dan kau berasal dari perguruan mana ?" Bentaknya keras2. "Berani benar bersikap jumawa di hadapanku dan tidak pandang sebelah matapun kepada orang lain !"
"Hmm! siapakah guru siauyamu dan berasal dari perguruan manakah aku, dengan andalkan kedudukanmu sebagai iblis keji tak berpendidikan di luar perbatasan masih belum sesuai untuk bertanya, aku lihat, kalau kau masih tahu diri cepat2lah gelinding balik ke wilayah Biauw !"
Gia-Kang-Tok-Shu adalah salah satu diantara empat manusia beracun yang tersohor dalam dunia persilatan disamping Bu-lim-It-Mo, Siang Sat, Sam-Koay serta Su-Tok.
Kepandaian silatnya telah berhasil dilatih hingga mencapai puncak kesempurnaan, dalam dunia persilatan dewasa ini boleh dikata terhitung salah seorang tokoh maha sakti.
Bagi orang2 kangouw biasa cukup berjumpa dengan salah satu diantara sepuluh manusia sesat itupun telah merepotkan mereka, siapa sangka si sastrawan ini bernyali besar, bukan saja tidak kenal tingginya langit tebalnya bumi bahkan bicara sesumbar seenaknya sama sekali tidak pandang sebelah matapun terhadap gembong iblis ini, ia benar2 tak tahu diri.
Diam2 si kakek huncwee dari gunung Bong san pun merasa kuatir buat keselamatan si pemuda itu sehingga tampak terasa keringat dingin mengucur keluar membasahi seluruh tubuhnya.
Di sebelah sini si kakek huncwee dari gunung Bong-san menguatirkan keselamatan si sastrawan tersebut, sebaliknya si anak muda itu dengan wajah angker dan sambil goyang kipas tetap berdiri tenang ditengah kalangan, sikapnya angkuh dan jumawa, seakan-akan tidak pandang sebelah matapun terhadap Gia-Kang Tok-Shu yang berada dihadapannya.
Tiga empat puluh tahun Gia-Kang-Tok-Shu malang melintang dalam dunia persilatan tak pernah dihina dan dipandang remeh orang macam ini hari, mendengar ucapan tersebut saking gusarnya hampir2 saja dada terasa mau meledak, napsu membunuh segera berkobar memenuhi benaknya.
Tampaklah dari sepasang matanya memancarkan cahaya buas, ia membentak:
"Anjing cilik! berapa besar sih tenaga dalam yang kau miliki? berani benar bersikap kurang sopan terhadap lohu? malam ini apabila aku tak berhasil membinasakan kau si anjing cilik di bawah telapakku, lohu tidak sudi disebut jago diantara sepuluh manusia sesat lagi."
"Hmm, siapa yang bilang kau sesuai untuk disebut jagoan diantara sepuluh manusia sesat?" jengek si sastrawan sambil tertawa dingin.
"Tidak sesuai ? bagus terimalah sebuah serangan lohu ini !"
Ditengah bentakan keras, sepasang telapaknya sama2 didorong ke depan dengan hebatnya.
Ditengah bentakan yang maha dahsyat, gulungan angin puyuh memancar ke empat penjuru dan menyapu seluruh jagad, ditengah deruan keras tercium bau amis yang sangat memuakkan.
Sastrawan itupun seorang jago yang telah lima belas tahun lamanya dididik oleh seorang tokoh sakti dunia persilatan, bukan saja sudah mewarisi segenap kepandaian yang dimiliki orang itu, dengan bakatnya yang bagus serta rejekinya yang baik beberapa kali ia mendapat pengalaman aneh, sehingga tidak aneh kalau kepandaian silatnya benar2 luar biasa.
Walaupun usianya masih muda namun kepandaian silatnya telah mencapai pada puncaknya, hanya yang kurang kedua buah urat pentingnya belum sampai ditembus, seandainya kedua tempat penting ini sudah tertembus, niscaya tenaga dalamnya akan hebat bagaikan gulungan air di sungai Tiang-kang.
Sekalipun begitu, ditinjau dari kemampuan yang ia miliki saat ini boleh dikata ia terhitung salah seorang jago sakti dalam dunia persilatan, jarang sekali ada jago yang bisa menandingi kepandaiannya.
Bukan saja kepandaian silatnya lihay, sastrawan itupun berotak cerdas, dikala sepasang mata Gia Kang Tok Shu memancarkan cahaya buas diam2 ia sudah bikin persiapan, ia tahu karena hawa gusar yang memuncak telah menimbulkan ulat jahat dalam hati si kakek kelabang tersebut, asal turun tangan niscaya ia akan menyerang dengan ilmu Gia Kang Tok Kangnya yang luar biasa.
Maka dari itulah, baru saja Gia-kang Tok shu mendorong telapaknya dan sastrawan itu mencium bau amis, ia segera sadar bahwa dugaannya tidak meleset, sepasang alisnya kontan melenting dan mendengus dingin, badannya bergerak langsung menubruk ke dalam lingkaran angin puyuh yang berbau amis tadi.
Pada waktu itu sastrawan tersebut telah kerahkan ilmu khie-kang, Hiat-bun Kan Goan Khie kangnya mengelilingi seluruh badan dan jalan darah penting.
Dalam kolong langit tidak pernah dijumpai cara berkelahi macam ini, terhadap datangnya angin serangan yang maha dahsyat, bukan saja tidak berkelit malahan menubruk masuk dan menyongsong datangnya serangan, bukankah tindakan ini sama artinya cari kematian buat diri sendiri ?
Menyaksikan perbuatan si anak muda itu, si kakek huncwee dari gunung Bong-san serta Tonghong Beng Coe sekalian merasa terkesiap.
"Aduuuuh, habislah sudah !" teriak mereka dalam hati.
Sebaliknya Gia Kong Tok Shu merasa kegirangan setengah mati, pikirnya:
"Keparat cilik ! kau terlalu jumawa dan angkuh. Hmmm ! jangan dikata siapa saja yang terkena ilmu beracun Gia Kang Tok kangku tidak tertolong lagi, cukup andalkan tenaga pukulanku ini saja sudah dapat menghancurkan tubuhmu hingga berkeping-keping ....."
ooodw0kzooo Bab 2 TETAPI, si sastrawan itu bukanlah manusia bodoh, seandainya tidak punya keyakinan untuk menang, mana ia berani bertindak gegabah ?
Sewaktu tubuhnya menubruk masuk ke dalam lingkungan angin puyuh yang berbau amis itu, lengan kanannya tiba2 meluncur ke depan menotok jalan darah di dada Gia Kang Tok Shu.
Bukan saja gerakannya aneh dan sakti, bahkan cepatnya melebihi sambaran kilat.
Jangan dilihat Gia Kang-Tok Shu adalah salah seorang diantara sepuluh manusia sesat dunia persilatan dan merupakan jago kelas satu dalam kolong langit, tetapi berada di bawah serangan gencar serta aneh dari si sastrawan itu, jangan dikata untuk berkelit, ingatan kedua belum sampai berkelebat dalam benaknya, tahu2 totokan tersebut telah bersarang di atas dadanya.
Serangan totokan dari si sastrawan ini bukan ilmu jari sembarangan, ia telah pergunakan ilmu maha sakti dari dunia persilatan "Kan Goan Ci Kang" adanya.
Ilmu jari Kan Goan Ci Kang tersebut luar biasa sekali, meski sekeping bajapun akan tertotok hancur apabila terhajar oleh serangan tersebut, apalagi manusia ?
Meskipun tenaga lweekang yang dimiliki Gia Kang Tok Shu amat sempurna, bagaimanapun juga ia terdiri dari darah dan daging, darimana ia sanggup menerima datangnya serangan tersebut?
Terdengar ia menjerit ngeri, suaranya menyayatkan hati... tahu2 isi perutnya telah terhajar hancur, darah segar mengucur keluar dari tujuh lubang indranya, dan tidak sempat banyak berkutik badannya roboh binasa diatas tanah.
Demikianlah, seorang gembong iblis yang sudah terlalu banyak melakukan kejahatan selama hidupnya telah binasa dalam keadaan mengenaskan ditangan seorang pemuda tak dikenal.
Dalam pada itu si kakek huncwe dari gunung Bong-san sekalian tujuh orang yang bersembunyi dibalik kuburan kuno sama2 menjerit kaget, mereka dibikin tertegun oleh peristiwa tersebut.
"Ilmu silat apakah ini ? sungguh luar biasa dan dahsyat bukan kepalang ..." pikir mereka hampir berbareng.
Ditinjau dari gerak gerik yang serba lembut dari sastrawan ini, meskipun angkuh dan jumawa namun wajahnya yang tampan serta halus sama sekali tidak terpancar bahwa dia adalah seorang jago Bu-lim yang memiliki ilmu silat sangat lihay," pikir si kakek huncwee dari gunung Bong-san pula dalam hatinya. "Siapa nyana dia betul2 kosen, agaknya ilmu tenaga dalamnya telah mencapai apa yang disebut sebagai "Lak-Hoo-Koei-It" suatu tingkat yang tiada taranya dalam ilmu silat...."
Sementara si kakek huncwee itu masih termenung, tiba2 terdengar si sastrawan itu berteriak ke arah tempat persembunyian mereka:
"Kini sudah tak ada urusan lagi, cuwi sekalian boleh segera munculkan diri !"
Mendengar teriakan itu si kakek huncwee meloncat keluar duluan, ia segera menghampiri si sastrawan itu dan menjura dalam2.
"Ilmu silat yang siauw-hiap miliki benar2 luar biasa," katanya. "Hal ini membuat lohu merasa sangat kagum, entah dapatkah anda beritahu nama serta asal perguruanmu ?"
Seraya berkata sepasang matanya menatap wajah sastrawan itu tajam2.
"Cayhe Hoo Thian Heng," jawab sang sastrawan itu dengan sikap dingin. "Sedangkan mengenai asal perguruanku, di kemudian hari kalian bakal tahu sendiri, maaf apabila dewasa ini cayhe tak dapat menjelaskan!"
Berbicara sampai di sini, sinar matanya berputar menyapu sekejap ke arah Tonghong Beng Coe sekalian, tambahnya:
"Kadal kumala beracun keji adalah binatang beracun yang langka dan jarang sekali ditemui dalam kolong langit, sekarang adalah saatnya bagi binatang itu untuk keluar dari gua, cayhe harap cuwi sekalian suka meninggalkan tempat ini sejauh lima tombak demi menjaga keselamatan sendiri dan carilah tempat untuk menyembunyikan diri, pertinggi kewaspadaan serta jaga dan hadanglah setiap orang yang hendak melancarkan bokongan dengan ambil kesempatan ini, asal usaha cayhe sukses besar, niscaya akan kujelaskan siapakah pembunuh sebenarnya dari Tonghong Kun..."
Sementara mereka sedang ber-cakap2, tiba2 terdengar jeritan lengking yang sangat aneh berkumandang keluar dari kuburan kuno yang terletak beberapa tombak sebelah kiri mereka, suara itu tinggi melengking dan amat menyeramkan, membuat bulu kuduk semua orang hingga berdiri.
Sekilas cahaya tajam berkelebat dalam mata Hoo Thian Heng, wajahnya yang ganteng menampilkan sikap tegang, buru2 serunya:
"Inilah saatnya bagi binatang beracun itu untuk munculkan diri, harap kalian cepat2 mengundurkan diri !"
Ketika berhadapan muka dengan Gia Kang Tok Shu tadi, si anak muda ini sama sekali tidak menunjukkan sikap tegang, bahkan berdiri dengan sikap hambar melirik sekejappun tidak.
Sebaliknya sekarang, baru saja mendengar jeritannya Hoo Thian Heng telah menunjukkan wajah tegang, hal ini bisa menunjukkan bahkan kadal kumala beracun keji ini jauh lebih sulit dihadapi daripada menghadapi seorang jago Bu lim kelas satu.
Menyaksikan sikap tegang yang diperlihatkan Hoo Thian Heng, si kakek huncwee yang dari gunung Bong san tak berani untuk bertindak gegabah, buru2 ia enjotkan badan, dalam dua kali loncatan telah berada enam tombak dari tempat semula, setelah memeriksa situasi sekelilingnya ia segera menyembunyikan diri, meloloskan senjata tajam dan bersiap sedia dengan pusatkan segenap perhatiannya.
Menanti ke tujuh orang itu sudah mengundurkan diri semua, Hoo Thian Heng baru menyulut sebuah obor lalu diletakkan di atas tanah, dan ia sendiri mundur sejauh tujuh depa dari tempat semula, duduk bersila menghadap ke arah kuburan kuno dimana berasalnya suara aneh tadi, dari dalam sakunya ia ambil keluar sesuatu dan dijejalkan ke dalam mulutnya, sepasang mata berkilat, seluruh perhatiannya ditujukan ke arah kuburan kuno tersebut.
Hujan rintik telah berhenti, hanya angin dingin berhembus tiada hentinya, sekalipun tidak terlalu kencang namun cukup membuat orang merasa tersiksa.
Tanah pekuburan di atas gunung Pak Bong san dasarnya memang sudah seram dan mengerikan apa lagi berada dalam kegelapan yang mencengkeram serta suasana yang diliputi ketegangan, membuat orang merasa semakin bergidik semakin ngeri .....
Tiba2 dari bilik semak belukar di empat penjuru tempat itu berkumandang keluar suara gemerisik yang nyaring, be-ribu2 ekor ular beracun secara teratur sekali muncul dari delapan penjuru dan langsung bergerak ke arah kuburan kuno tersebut.
Kalau diberitakan aneh sama sekali, rombongan ular2 beracun itu bergerak dari sisi tubuh Hoo Thian Heng tak seekorpun yang menunjukkan reaksi, se-olah2 tidak merasakan bahwa di situ ada manusia, mereka teruskan gerakannya meluncur ke depan kuburan kuno itu.
Kurang lebih lima depa dari kuburan kuno tadi, ular2 beracun itu segera berhenti dan bergerombol jadi satu. mereka berhenti tak berkutik se-akan2 sedang menantikan sesuatu.
Ketika itulah jeritan aneh tadi berkumandang kembali, suaranya sangat menusuk pendengaran, diikuti dari balik kuburan kuno tadi menyembur keluar segumpal kabut putih dan sesaat kemudian dua ekor makhluk aneh berbadan putih, berkaki empat berbentuk seperti Toke dan panjangnya dua depa munculkan diri dari balik goa.
Makhluk aneh inilah yang disebut sebagai Kadal Kumala Beracun Keji Pek Tok Giok Tiat.
Setelah keluar dari goa, sepasang kadal kumala beracun keji itu menyemburkan kabut putih tiada hentinya, kabut tersebut amat beracun dan hebatnya luar biasa.
Barang siapa yang menghisap kabut putih tadi, kendati memiliki tenaga dalam amat sempurnapun seketika akan merasakan kepalanya pening tujuh keliling dan merasa mual sekali, lama kelamaan isi hatinya akan kaku dan akhirnya mati binasa.
Untung Bong-san Yen Shu bertujuh berada enam tombak dari tempat itu, sehingga mereka tidak sampai keracunan.
Sebaliknya kendati Hoo Thian Heng berada enam tombak dari tempat itu, tetapi berhubung ia sudah menghisap pil mustajab penawar racun dalam mulutnya maka meski kabut putih itu sangat beracun namun tidak mempengaruhi dirinya sama sekali.
Dalam pada saat itu sepasang kadal kumala tersebut menggerakkan ke empat buah matanya menyapu rombongan ular2 tersebut, beberapa saat kemudian tiba2 binatang ini meloncat ke dalam rombongan ular beracun itu, masing2 makhluk tadi menggigit seekor ular kecil sepanjang tiga depa yang memancarkan cahaya ke-emas2an kemudian mengunyah dengan lahapnya.
Ular2 lainnya setelah menyaksikan kejadian itu, se-olah2 mendapat pengampunan mereka bersama putar badan dan bergerak meninggalkan tempat itu, dalam sekejap mata seekorpun tak bersisa lagi.
Bong-san Yen Shu sekalian jadi kagum dan tertarik oleh peristiwa tersebut, inilah keajaiban dunia yang tak bisa dirubah ataupun dicari keduanya ....
Setelah rombongan ular2 itu berlalu, di depan kuburan kuno itupun tinggal kedua ekor kadal kumala tadi sedang menikmati dua ekor ular emas kecil dengan lahapnya, dari mulut mereka mengeluarkan suara nyaring yang aneh, se-akan2 mereka sedang merasa bangga.
Sejak kemunculan dua ekor kadal itu, wajah Ho Thian Hong menunjukkan perasaan semakin tegang, sepasang matanya mengawasi kedua ekor kadal kumala itu tak berkedip, seluruh kekuatannya sudah dihimpun untuk siap melancarkan tubrukan.
Beberapa saat kemudian kedua ekor kadal kumala itu sudah habis menelan ular emas tersebut dan memperdengarkan jeritan kemenangan yang nyaring, tiba2 empat mata mereka yang kecil tertarik oleh kobaran api kurang lebih tujuh depa di hadapan Hoo Thian Heng, kedua ekor kadal itu kelihatan ragu2, sejenak kemudian lambat laun bergerak menuju ke arah kobaran api ini.
Hoo Thian Heng jadi kegirangan setengah mati, ia siapkan segenap tenaganya untuk menyergap.
Ketika kedua ekor kadal kumala beracun keji itu tiba kurang lebih lima enam depa dari kobaran api itu, mendadak segulung angin puyuh berhembus lewat menggulung kobaran api tadi hingga padam.
Kedua ekor kadal kumala Pak Tok-Giok Tiat tersebut benar2 amat cerdik, ketika menyaksikan padamnya api itu mereka kelihatan terkejut dan merasa adanya tanda bahaya, buru2 badannya berputar dan melompat lari masuk ke arah goa.
Justeru karena takut sergapannya tidak berhasil maka Hoo Thian Heng hendak pancing kedua ekor kadal itu meninggalkan guanya lebih jauh dengan gunakan kobaran api tersebut, siapa nyana Thian tidak memberi bantuan dan timbul kejadian diluar dugaan, kobaran api yang sangat besar tiba2 terhembus padam oleh gulungan angin puyuh sehingga kedua ekor kadal kumala itu mengerti bahaya dan melarikan diri.
Kesempatan baik sukar dicari kembali dan dalam sekejap mata akan lenyap Hoo Thian Heng tak mau buang kesempatan itu dengan sia2, sepasang lengannya segera dipentang lebar2, jari tengah serta jari telunjuk sepasang tangannya bergerak cepat menotok ke arah tubuh kedua ekor kadal kumala itu.
"Binatang, kau hendak lari kemana ? kena!" bentaknya.
Ditengah bentakan keras, serentetan kabut putih meluncur keluar menghantam di tubuh kedua ekor kadal kumala tersebut. Plook ! Plook ! serangan tersebut dengan telak bersarang pada sasarannya.
Walaupun kena diserang, kedua ekor kadal kumala itu se-akan2 tidak merasa, mereka hanya berguling belaka di atas tanah untuk kemudian bangun dan lari lagi.
Menyaksikan keampuhan binatang itu, Hoo Thian Heng tertegun, ia tidak sangka ilmu jari Kan Goan Ci Kangnya yang lihay ternyata sama sekali tidak mempan.
Walaupun hatinya melengak, ia tak berani berayal, sambil mengempos hawa murni ilmu jari Kan Goan Ci Kangnya dilancarkan kembali.
Ditengah saat yang amat kritis itulah, tiba2 terdengar dua kali suara gemerincingan se-olah2 senjata saling beradu, sesosok bayangan putih dengan diiringi dua titik cahaya emas meluncur keluar dari balik kuburan kuno dimana ada sarang kadal kumala tersebut, hanya sekilas pandang bayangan tadi sudah lenyap kembali kecuali tertinggal sisa bau wangi yang menawan hati ditengah udara.
Hoo Thian Heng melengak, buru2 ia kerahkan segenap tenaganya menghantam ke arah sepasang kadal kumala itu, bersamaan pula badannya ikut menubruk ke depan.
Serangan yang dilancarkan kali ini dengan segenap tenaga berhasil juga merobohkan binatang tersebut, tetapi si anak muda itu segera berdiri mendelong, kiranya kadal kumala beracun keji itu tinggal seekor belaka, kadal kedua telah lenyap tak berbekas.
Hoo Thian Heng segera sadar, binatang itu pasti sudah diserobot orang, ia jadi sadar sampai alisnya berkerut, tapi apa yang dapat ia lakukan?
Sebab bukan saja ia tak tahu siapakah yang serobot kadal kumala itu, bahkan tadipun ia cuma melihat berkelebatnya sesosok bayangan putih mengiringi dua titik cahaya emas, bagaimanakah raut muka serta potongan badannya tak ia lihat sedikitpun.
Ditinjau dari hal ini sudah cukup membuktikan bahwa kepandaian silat yang dimiliki orang itu benar2 lihay, atau paling sedikit tidak lebih rendah dari kepandaiannya.
Walaupun begitu iapun merasa bersyukur sebab orang itu tidak serobot ke-dua2nya, ia masih tinggalkan seekor bagi dirinya.
Dari dalam saku Hoo Thian Heng segera ambil keluar sebilah pisau belati sepanjang tujuh coen, ditengah berkelebatnya cahaya emas mengikuti bagian yang lunak di atas lambung kadal kumala tadi ia membelek dan menyodet perut binatang itu dan mencukil keluar sebutir mutiara tadi ke dalam mulutnya.
Setelah mutiara ditelan ia masukkan kembali pisau belatinya ke dalam saku lalu duduk bersila di atas tanah, dan pejamkan matanya mengatur pernapasan, ia hendak gunakan hawa murninya untuk melebur mutiara tadi agar kekuatannya bisa berlipat ganda.
Saat itulah Bong-san Yen Shu bertujuh baru munculkan diri dari tempat persembunyian dan mengelilingi Hoo Thian Heng untuk ber-jaga2 atas serangan dari pihak luar.
Beberapa saat berlalu, Hoo Thian Heng telah berhasil melebur mutiara tadi dengan mengandalkan tenaga dalamnya lalu tenaga gabungan tadi bergerak mengelilingi delapan urat tiga puluh enam jalan darah hingga mencapai cap jie Tiong-loo, setelah mengitari tubuh dua kali dan merasa badannya makin segar, ia baru tarik kembali hawa murninya, tersenyum dan bangun berdiri.
"Siauw-hiap !" Bong-san Yen Shu sekalian segera menjura dengan wajah menyesal. "Pesan yang kau titipkan kepada lohu sekalian ternyata tak dapat kami jalankan dengan baik, harap sauw-hiap suka memaafkan !"
"Aaaai ... ilmu silat orang itu terlalu lihay, dalam persoalan ini aku tak bisa salahkan kalian beberapa orang, hanya saja .."
Ia melirik sekejap ke arah beberapa orang itu, lalu menggeleng dan menghela napas tiada hentinya.
Walaupun si kakek huncwee sekalian mendengar bahwa Hoo Thian Heng tidak akan menyalahkan mereka, tetapi dari perubahan wajahnya mereka dapat melihat betapa sedihnya hati pemuda itu.
Sejak munculnya Hoo Thian Heng, Tonghong Beng Coe selalu merasa tidak puas dengan sikap angkuh si anak muda itu, tetapi sekarang ia merasa sudah sepantasnya kalau si anak muda itu bersikap angkuh, sebab ilmu silat yang dimilikinya benar2 luar biasa dahsyatnya.
Disamping itu iapun merasa senang terhadap pemuda she Hoo ini, melihat si anak muda itu bersedih hati karena kehilangan salah seekor kadal kumala tersebut, ia menghela napas panjang dan jalan menghampiri si anak muda itu.
Sepasang matanya yang jeli memancarkan cahaya berkilat, ia tatap wajah pemuda itu dan ujarnya dengan suara lembut:
"Hoo siauw-hiap, walaupun kadal kumala Pek Tok Giok Tiat merupakan salah satu diantara tiga binatang paling beracun dikolong langit tetapi belum tentu benda tersebut merupakan barang yang benar2 berharga, buat apa kau selalu bersedih hati hanya karena persoalan itu."
Bukan saja suaranya empuk mempesonakan bahkan merdu bagaikan nyanyian burung nuri, nada suaranya jelas kedengaran membawa perhatian yang mendalam.
Walaupun Hoo Thian Heng adalah seorang pemuda berwatak angkuh, tetapi sikapnya itu hanya terpancar diluaran saja, apalagi dia adalah seorang pemuda yang masih gampang terpengaruh oleh asmara.
Ia merasa terharu dan simpatik terhadap gadis ini, sambil tersenyum jawabnya:
"Nona Tonghong, bukannya cayhe tak bisa berpikir luas, tetapi kau harus tahu, untuk mendapatkan sepasang kadal kumala itu aku sudah menanti selama tiga bulan ditengah tanah kuburan yang seram dan terpencil ini, siapa sangka bukan saja pada saat ini sudah kehilangan seekor bahkan bayangan manusiapun tidak nampak, jelas bukankah hal ini sama artinya aku telah jatuh kecundang ditangan orang lain? coba nona pikirkan, apakah cayhe harus rela hati dan berpeluk tangan belaka? bagaimana hatiku tidak sedih ...?"
"Oooouw...kiranya demi makhluk tersebut, kau sudah menanti selama tiga bulan ditempat ini?"
"Seandainya aku tidak berjaga selama tiga bulan ditempat ini, darimana cayhe bisa tahu kalau ayahmu dibunuh oleh seseorang?"
(OodwoO) Jilid : 02 TONGHONG BENG COE merasa semakin keheranan, ia bertanya kembali.
"Benda itu kecuali bisa digunakan untuk melawan racun, apalagi kasiat mutiara tersebut? kau telah membuang waktu selama tiga bulan lebih ditempat ini untuk tunggui binatang tersebut, apakah kau sedang melatih suatu ilmu beracun?"
Hoo Thian Heng tahu nona ini bisa bertanya demikian sebab ia tak tahu apakah kasiat dari pil mutiara dari kadal kumala berusia ribuan tahun itu, padahal orang yang tahu akan kasiat mutiara tersebut kecuali satu dua orang diantara lima manusia aneh dari dunia persilatan, boleh dikata jarang sekali yang tahu.
Maka ia lantas tertawa angkuh, gerak-gerik pun pulih kembali seperti sedia kala, sombong dan jumawa.
"Nona bukannya cayhe bicara sesumbar dalam dunia persilatan dewasa ini jarang sekali orang yang tahu akan khasiat mutiara kadal kumala tersebut kecuali bisa digunakan untuk mengusir racun, padahal kecuali itu masih ada kegunaan yang jauh lebih besar lagi."
Pada waktu itu Tonghong Beng Coe telah menaruh pandangan lain atas sikapnya yang angkuh maka dari itu ia tidak menunjukkan perasaan apapun sebaliknya malah nada suaranya kedengaran makin halus.
"Sebenarnya apa sih kasiatnya?" tanyanya kembali dengan suara manja, dari sepasang matanya memancarkan sinar memohon.
Hoo Thian Heng menyapu sekejap wajah Bong-san Yen Shu serta Tonghong Beng Coe sekalian, kemudian jawabnya lantang.
"Orang2 dikolong langit hanya tahu bahwa salah satu diantara tiga jenis binatang paling beracun dikolong langit ini bisa mengeluarkan cairan yang sangat beracun, apabila cairan tersebut dipoleskan diatas senjata atau digunakan untuk melatih ilmu beracun, maka barang siapa yang terluka niscaya akan tidak ketolongan lagi. Tetapi mereka tidak tahu bahwa bilamana makhluk tersebut telah hidup seribu tahun keatas, maka cairan beracun dalam tubuhnya akan menggumpal dan membentuk jadi sebutir pil beracun dalam lambungnya, inilah yang dikatakan sebagai Lweetan oleh kalangan persilatan ..."
Ia berhenti dan menyapu kembali wajah orang2 itu dengan sinar mata tajam.
Dalam pada itu Bong-san Yen Shu bertujuh sedang menatap wajah Hoo Thian Heng dengan mata terbelalak, seluruh perhatiannya telah dicurahkan untuk mendengarkan keterangan tersebut.
Terdengar Hoo Thian Heng berkata kembali.
"Pil beracun ini merupakan mustika yang tiada ternilai harganya, bagi orang yang berlatih silat cukup menelan sebutir saja sehingga dapat bergabung dengan tenaga murninya, bukan saja tidak mempan terhadap segala macam ilmu beracun, dan tidak mempan terhadap bahaya racun macam apapun bahkan tenaga dalamnya bisa bertambah bagaikan berlatih selama enam puluh tahun. Sebaliknya bila seseorang dapat menelan dua butir, maka kasiatnya benar2 akan semakin besar, kecuali tenaga dalamnya akan bertambah seperti hasil latihan seratus dua puluh tahun bahkan dari tua ia akan pulih jadi muda, sepanjang hidup tetap awet muda, jikalau dua tempat pentingnya bisa ditembusi, maka kepandaiannya tak terhingga lagi, ia berhasil mencapai suatu titik di mana tak terkalahkan oleh siapapun juga."
Berbicara sampai disitu, si anak muda itu merandek dan menghela napas panjang, tambahnya:
"Sayang sekali takdir menentukan lain, sekali pun cayhe sudah berjaga dengan susah payah selama tiga bulan, siapa sangka pada saatnya muncul seseorang yang berhasil merampas salah satu di antara kadal kumala itu, bahkan memiliki pula ilmu silat yang sangat tinggi, hal ini tak bisa salahkan kalian teledor dalam penjagaan, tetapi harus salahkan rejekiku yang jelek. Hanya tidak tahu siapakah orang itu, disamping itu dalam kolong langit kecuali dua diantara lima manusia aneh Bu-lim yang tahu kasiat tersebut, sepuluh manusia sesatpun tidak tahu, tetapi orang itu mengetahui akan kasiat ini, hal inilah yang membuat cayhe jadi kaget dan curiga."
Setelah habis mendengar penjelasan dari Hoo Thian Heng, Si kakek huncwee dari gurung Bong san serta Tonghong Beng Coe sekalian baru tahu bahwa kasiat dari Tok-tan kadal kumala ini jauh lebih hebat dari pada jinsom serta sebangsanya yang sering tersiar dalam Bu-lim, benda itu benar2 merupakan benda mustika yang tak ternilai harganya.
Diam2 mereka ikut merasa sayang buat rejeki Hoo Thian Heng, namun dalam keadaan seperti ini mereka tak dapat bicara lain kecuali tundukkan kepala dengan mulut membungkam.
Pada saat ini orang yang merasa paling sedih boleh dikata Tonghong Beng Coe adanya, sebab dalam hati kecilnya diam2 ia sudah mencintai sastrawan angkuh tapi tampan ini, ia sudah jatuh hati terhadap Hoo Thian Heng.
Dalam pada itu Hoo Thian Heng ikut merasa terharu setelah menyaksikan sikap beberapa orang itu, ia sadar merekapun ikut merasa sedih akan rejekinya yang kurang baik.
Ia lantas mendongak dan tertawa ter-bahak2.
"Sudahlah, kalian tak usah bersedih hati karena diriku, aku bahkan amat berterima kasih atas kesudian kalian suka membantu usahaku. Meski salah satu diantara kadal kumala itu lenyap diserobot orang, bukankah aku telah mendapatkan pula salah satu diantaranya, sekalipun kedua buah jalan darahku tak berhasil ditembusi, tetapi asalkan berlatih rajin bukannya tak ada kemungkinan "Jien Tok'" kedua jalan darah tersebut berhasil kutembusi, sekarangpun aku Hoo Thian Heng sudah merasa puas dengan hasil yang kudapatkan."
Bicara sampai disitu, mendadak tiada suara:
"Tujuan cayhe telah terpenuhi, aku rasa saat inilah masaku untuk berpamitan dengan kalian semua !"
Si kakek Huncwee dari Gunung Bong san mengerti apa yang dimaksudkan, buru2 ia menjura:
"Nah, kalau begitu silahkan siauw-hiap bicara secara langsung !"
Hoo Thian Heng tertawa angkuh.
"Orang yang membinasakan Tonghong Koen bukan lain adalah Pak Mo-Siang Sat atau sepasang malaikat gurun pasir!"
Begitu nama itu diutarakan, si kakek Huncwee dari Gunung Bong-san tersentak kaget, segera pikirnya:
"Eeei .... darimana bisa kedua orang gembong iblis itu ?"
Sementara itu Tonghong Beng Coe bagaikan tersambar guntur disiang hari bolong, ia tertegun dan berdiri melongo, ia tidak mengira kalau musuh besarnya bukan lain adalah Pak Mo Siang Sat.
Ia tahu sepasang malaikat dari gurun pasir itu adalah salah satu diantara sepuluh manusia sesat dunia persilatan, ilmu silatnya sangat lihay sekali.
Diam2 ia berbisik dalam hati:
"Ooooh ayah .. dendam sakit hati ini mungkin tak bisa puterimu tuntutkan balas sendiri demi kau orang tua ... "
Ia sadar dengan andalkan kepandaian silat yang dimilikinya saat ini ditambah dengan bantuan keempat orang dayangnya, masih belum tandingan dari sepasang malaikat tersebut, kalau toh nekad pergi niscaya jiwanya akan dikorbankan dengan sia2.
Tetapi sakit hati ayahnya lebih dalam dari lautan, ia merasa lebih baik mati konyol daripada dikutuk orang sebagai anak tak berbakti, sekalipun harus menempuh bahaya dan badan harus hancur luluh, ia harus mencari Pak-Mo Siang-Sat untuk diajak adu jiwa.
Setelah ambil keputusan didalam hati, ia lantas gertak gigi dan serunya dengan nada penuh kebencian:
"Aku Tonghong Beng Coe apabila tak bisa menyembelih kedua orang gembong iblis itu dengan tangan sendiri, aku bersumpah tidak jadi orang."
Suaranya keras, tegas dan tandas, dari sepasang matanya memancarkan cahaya berkilat dan roman mukanya menunjukan kebulatan tekadnya.
Hoo Thian Heng serta Bong san Yen-Shu yang menyaksikan kejadian itu diam2 mengangguk kagum.
Tiba2 Tonghong Beng Coe maju selangkah ke depan, kepada Bong-san Yen-Shu seraya menjura ujarnya:
"Yu Loocianpwee, karena rasa duka atas binasanya ayahku untuk beberapa saat keponakan telah salah menuduh Loocianpwee sebagai pembunuh ayahku, kelancanganku ini harap suka dimaafkan oleh kau orang tua!"
Kemudian kepada Hoo Thian Heng pun ia menjura dan ujarnya lebih jauh:
"Atas kesudian siauw-hiap untuk memberitahukan pembunuh sebenarnya yang telah membunuh orang tuaku, aku Tonghong Beng Coe akan mengingatnya didalam hati. Dalam pembalasan dendam ini seandainya aku beruntung bisa selamat, suatu hari budi kebaikan ini pasti akan kubalas. Tetapi kalau tidak beruntung dan aku binasa, biarlah budi ini akan kubalas dalam penjelmaanku untuk kedua kalinya dikolong langit..."
Habis bicara air mata nona itu terasa mengembang hampir2 saja mengucur keluar membasahi pipinya, namun ia berusaha untuk menahan diri agar air mata tidak membasahi wajahnya.
"Selamat tinggal!" tiba2 Tonghong Beng Coe gertak gigi dan berseru, tidak menanti jawaban lagi, ia putar badan dan berkelebat pergi dari situ.
"Nona Tonghong, tunggu sebentar!" Si Kakek Huncwee dari gunung Bong-san berseru.
Berada ditengah udara Tonghong Beng Coe menarik pinggangnya kebelakang, putar badan dan melayang beberapa tombak dari kalangan, memandang kearah si kakek tua itu ia bertanya:
"Yu Loo-cianpwee, ada urusan apa?"
"Nona! meskipun loolap tak ada hubungan sama sekali dengan ayahmu almarhum namun kita toh sama2 berasal dari dunia persilatan, kematian ayahmu ditangan Sepasang Malaikat dari Gurun pasir kendati tak ada sangkut pautnya dengan loolap tetapi beliau binasa diujung golok emasku, karena persoalan golok emas ini aku ingin mencari sepasang malaikat itu dan dimintai keterangan apa maksudnya mencuri golok emasku kemudian memfitnah loolap. Aku ingin menuntut suatu keadilan dari sepasang malaikat tersebut, oleh sebab itu sengaja aku ingin berangkat ber-sama2 nona, agar bilamana perlu loolap pun bisa memberi bantuan buat nona sekuat tenaga yang kumiliki."
Tonghong Beng Coe dibuat sangat terharu oleh perkataan si kakek huncwee dari gunung Bong san yang begitu bersemangat, setia kawan dan suka memberi bantuan kepadanya.
Namun, pada dasarnya nona ini angkuh dan keras kepala, meskipun ia tahu dengan andalkan kepandaian yang dimilikinya sekarang masih bukan tandingan dari lawannya, walaupun ia tahu harapan untuk berhasil membalas dendam amat tipis, namun ia tak sudi mendapat bantuan dari orang lain.
Oleh karena itu sehabis mendengar perkataan itu, sang nona termenung dan membungkam dalam seribu bahasa, ia merasa sangsi dan ragu2 untuk memberikan jawabannya.
Sementara nona itu berniat menampik, mendadak Hoo Thian Heng buka suara dan bicara dengan suara lantang:
"Nona, Sepasang malaikat dari Gurun Pasir merupakan gembong iblis diantara sepuluh manusia sesat, kepandaian silatnya luar biasa, tenaga lweekangnya yang mereka milikipun amat sempurna, aku kuatir meskipun nona berada ber-sama2 Yu Loo-hiap kalian berdua masih bukan tandingan dari kedua orang Malaikat itu ..."
Berhenti sejenak untuk menatap kedua orang itu, kemudian tambahnya:
"Diantara kalian berdua, satu pihak ingin menuntut balaskan dendam kematian ayahnya dan pihak lain ingin menuntut keadilan atas fitnahan yang ditimpakan kepada dirinya, benar urusan ini tiada sangkut paut dengan cayhe, namun berhubung barusan kalian berdua telah membantu cayhe, sebagai rasa terima kasihku, cayhe suka berangkat ber-sama2 kalian berdua dan menyumbangkan sedikit tenaga untuk bantu mensukseskan harapan kalian, tetapi sebelumnya itu aku pun ingin menerangkan, cayhe berbuat begini bukan karena urusan jual beli, aku membantu kalian karena muncul atas hati rela, entah bagaimana menurut pendapat kalian berdua?"
Dasar angkuh, selesai bicara pemuda itu mendongak dan tertawa lantang.
Tonghong Beng Coe dan si Kakek Huncwee dari gunung Bong san tergoncang setelah mendengar ucapan itu, inilah diluar pemikiran mereka berdua, maka dari itu dengan sinar mata keheranan mereka menatap Hoo Thian Heng tajam2.
"Sungguh aneh sekali," pikir Si kakek Huncwee dari gunung Bong-san dengan hati tertegun. "Dipandang dari wajahnya ganteng dan lurus, Hoo Thian Heng tidak mirip seorang manusia sesat yang licik dan keji, namun apa sebabnya ia memiliki watak yang kukoay, angkuh, jumawa dan berubah tiada menentu ? .... semoga saja ia berhati lurus, kalau tidak niscaya ia merupakan musuh tangguh yang paling menakutkan bagi kita orang2 aliran lurus dalam dunia persilatan !"
Tawaran yang diajukan secara sukarela oleh Hoo Thian Heng tentu saja sama halnya "Pucuk dicinta ulam tiba" bagi si kakek Huncwee dari gunung Bong-san, buru2 ia maju kedepan dan menjura.
"Hoo Siauwhiap sudi membantu usaha kami ... aaah ! sungguh bagus, bersyukurlah atas kemurahan Thian, kali ini sepasang Malaikat dari Gurun Pasir tak bakal lolos lagi dari tuntutan keadilan !"
Hoo Thian Heng membungkam, ia berpaling ke arah si kakek Huncwee dari gunung Bong-san dan tertawa angkuh.
Sebetulnya Tonghong Beng Coe ada niat untuk menampik tawaran si Kakek Huncwee dari Gunung Bong-san untuk berangkat ber-sama2, tetapi sekarang, setelah ia mendengar Hoo Thian Heng pun akan berangkat ber-sama2 mereka, entah apa sebabnya nona ini jadi berubah pendapat, mulutnya segera bungkam dalam seribu bahasa.
"Kalau begitu marilah kita berangkat sekarang juga !" kata si Kakek Huncwee dari gunung Bong san kemudian.
Sepasang biji mata Tonghong Beng Coe yang jeli mengerling sekejap kearah Hoo Thian Heng lalu ia mengangguk.
Pemuda itu tersenyum tawar, tiba2 ujarnya:
"Yu Loo hiap, nona Tonghong, silahkan kalian beberapa orang berangkat lebih dahulu, cayhe akan menyusul belakangan, lima hari kemudian pada tengah malam kentongan kedua kita berjumpa lagi disarangnya sepasang malaikat, yaitu didalam rimba di selat Kan Cie Kok gunung Im san, siapa yang datang duluan dia musti menunggu yang lain!"
Begitu ia selesai bicara lantas mendongak dan bersuit nyaring.
Suitan itu tajam dan tinggi menjulang ke angkasa memecahkan kesunyian yang mencekam malam itu, sebentar kemudian dari tempat kejauhan menggema pula suara sahutan berupa ringkikan panjang yang tak kalah kerasnya diikuti munculnya suara derapan yang santer.
Sungguh cepat sekali pertama kali mendengar ringkikan tersebut masih berada ditempat kejauhan, dalam sekejap mata muncul sesosok bayangan hitam bagaikan hembusan angin taupan meluncur datang.
Bayangan hitam itu laksana sambaran kilat membelah bumi, dalam waktu singkat telah tiba dihadapan Hoo Thian Heng dan mendadak berhenti berlari.
Ketika itulah si Kakek Huncwee dari gunung Bong-san sekalian baru dapat melihat bahwa bayangan hitam itu bukan lain adalah seekor keledai hitam mulus tanpa pelana, setibanya didepan anak muda itu sang keledai segera meringkik lirih.. kepalanya dengan manja dielus pada bahu Hoo Thian Heng, suatu pertanda binatang itu amat jinak dan menyayangi majikannya!
Hoo Thian Heng yang di-elus2 binatang kesayangannya segera tertawa, sambil membelai pula leher keledai itu ia berkata.
"Siauw Hiat, selama beberapa bulan ini kau tentu banyak menderita bukan...?"
Manusia mengajak binatang bicara, tidaklah suatu lelucon yang tak lucu?
Dalam pada itu Hoo Thian Heng telah enjotkan badannya meloncat naik keatas punggung keledai, kepada si kakek Huncwee dari gunung Bong san sekalian sambil menjura serunya.
"Sampai berjumpa kembali dilembah Kan Cie Kok!"
Ditengah derapan kaki yang amat ramai, tahu-tahu keledai tersebut telah membawa majikannya puluhan tombak dari tempat semula.
Jelas lari keledai ini tidak kalah dengan lari kuda Cian lie-kia yang sehari bisa menempuh seribu li.
Manusia angkuh, keledai jempolan .... dua macam makhluk yang berbeda wujud ini meninggalkan kesan yang mendalam dalam benak tujuh orang.
Dengan ter-mangu2 Tong-hong Beng Coe mengawasi kearah mana Hoo Thian Heng lenyapkan diri, malam sangat gelap, benda apapun tidak kelihatan, gadis itu merasakan sesuatu perasaan yang aneh, ia merasa se-olah2 dalam hati kecilnya telah kehilangan sesuatu.
Tapi, mengapa ia bisa mendapat perasaan seperti itu? Ia sendiripun tak tahu ...
"Nona Tong-hong! Mari kita segera berangkat!" tiba2 si Kakek Huncwee dari gunung Bong san berseru memecahkan kesunyian.
"Baik!" sahut si nona agak terperanjat, ia segera mengangguk.
Badannya bergerak ringan, dalam sekali enjotan ia meluncur kedepan ditengah lindungan ke empat orang dayangnya, ujung baju tersampok angin dalam sekejap mereka telah meluncur turun kebawah puncak.
"Anak Yu! ayoh berangkat!" buru2 si Kakek Huncwee dari gunung Bong-san menarik tangan muridnya Gong Yu.
Begitulah si kakek tua beserta muridnya pun segera berkelebat turun gunung menyusul lima orang gadis sebelumnya.
Dalam sekejap mata beberapa orang itu telah lenyap dibalik kegelapan malam yang merekah seluruh jagad.
Tidak lama si Kakek Huncwee dari gunung Bong san sekalian berlalu, mendadak dari belakang sebuah kuburan kuno lima tombak dari gelanggang muncul sesosok bayangan manusia.
Orang itu munculkan diri dengan gerakan gesit, sembari memandang kearah mana beberapa orang itu lenyapkan diri ia tertawa menyeringai suaranya seram dan mengerikan, untuk kemudian orang itu enjotkan badannya menyusul turun gunung.
ooodw0kzooo Bab 3 MALAM, sunyi senyap tak kedengaran sedikit suarapun, saking hening dan sepinya mendatangkan suasana yang seram, menakutkan bagi siapapun juga.
Angin Barat laut berhembus kencang menggidikkan tubuh setiap makhluk yang berlalu lalang terutama sekali didaerah Utara dan Mongolia luar, waktu itu musim dingin sedang mencekam hawa dingin meresap ketulang sumsum membuat hidung dan telinga terasa amat sakit.
Meskipun malam itu diterangi oleh cahaya rembulan yang putih keperak-perakan, namun hembusan angin Barat laut yang kencang menyapu daun kering, serta pasir dan debu merusak pemandangan indah malam itu.
Kentongan kedua baru saja tiba, beberapa li diluar lembah Kan Cie kok digunung Im san dalam sebuah hutan rimba mendadak muncul lelaki perempuan tujuh orang, dua lelaki dan lima orang gadis remaja.
Siapakah orang itu? Sungguh aneh sekali, mengapa orang2 itu munculkan diri diatas sebuah bukit yang gersang lagipula ditengah malam yang begitu menyeramkan!
Mungkinkah mereka adalah kaum pelancong yang sengaja datang kemari untuk menikmati keindahan alam?
Aaaah, tidak benar, untuk menikmati keindahan alam ditengah malam buta sudah pada umumnya hanya dilakukan oleh kaum sastrawan tidak mungkin diantaranya terdapat kaum gadis, apalagi gadis muda belia.
Atau mungkin mereka adalah serombongan pemburu? Tapi tidak mirip juga, karena ketujuh orang itu meskipun menggembol senjata tajam bukan yang digunakan untuk memburu.
Lalu siapakah orang itu? sungguh aneh sekali.
Ternyata laki perempuan tua muda tujuh orang ini bukan lain adalah Tonghong Beng Coe beserta dayangnya serta si kakek Huncwee dari gunung Bong san dengan murid kesayangannya Gong Yu.
Sekian lama Tonghong Beng Coe mengawasi sekeliling hutan itu dengan sinar matanya yang jeli, kemudian dengan nada kecewa ia berseru:


Sabuk Kencana Ikat Pinggang Kemala Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kenapa ia belum juga munculkan diri ?"
"Mungkin sebentar lagi ia akan tiba!" jawab si kakek Huncwee dari gunung Bong-san sambil tertawa.
Mendengar jawaban itu, Tonghong Beng Coe berpaling, sepasang matanya dengan memancarkan cahaya ke-ragu2an melototi wajah Bong-san Yen Shu tak berkedip.
"Aku merasa rada sangsi, benarkah ia suka membantu usaha kita ?" katanya.
"Nona menurut pendapat loolap tidak demikian adanya," kata si orang tua itu setelah termenung sejenak. "Meskipun tingkah polahnya rada kukoay dan sukar diraba, namun dia bukan seorang manusia yang tak pegang janji, bahkan wajahnya kelihatan jujur, aku lihat ia tentu merupakan jago segolongan dengan kita. Cuma memang kuakui tindakan serta perbuatannya rada kejam, telengas dan sadis !"
Tong-hong Beng Coe mengangguk sementara ia hendak buka suara, mendadak terdengar suara gelak tertawa yang amat nyaring berkumandang datang.
"Haaa... haaa... haaa... maaf kalau kedatangan cayhe rada terlambat selangkah sehingga merepotkan cuwi beberapa orang harus menunggu agak lama !"
Tong-hong Beng Coe bertujuh sama2 tersentak kaget, mereka berpaling.
Beberapa tombak dibelakang mereka, dibawah sorotan sinar putri malam berdirilah seorang pemuda tampan berbaju warna abu2, sambil goyang kipas ditangannya ia berdiri gagah disitu.
Melihat munculnya sang pemuda, si kakek Huncwee dari gunung Bong-san mendongak dan tertawa ter-bahak2.
"Haaa... haaa... haaa barusan kita membicarakan Co Coh, Co Coh telah tiba, Hoo siauwhiap! kau sungguh seorang jago yang pegang janji !"
Tak usah ditanya lagi, pemuda ganteng tersebut bukan lain adalah jago kita Hoo Thian Heng yang berhasil membinasakan si Kakek Kelabang Beracun salah seorang diantara empat manusia beracun serta menangkap sepasang cecak kumala ditanah pekuburan Bong san.
Lambat2 Hoo Thian Heng maju menghampiri Tong-hong Beng Coe beberapa orang, air mukanya adem dan sinar matanya berkilat.
"Nona Tonghong !" segera tegurnya hambar. "Walaupun belum lama cayhe munculkan diri kedalam dunia persilatan, namun aku mengerti apa yang dimaksud dengan pegang janji, perkenalan cayhe dengan diri nonapun belum lama, apa sebabnya nona begitu gampang mengambil pertimbangan atas diriku, dan apa alasannya pula sehingga nona tidak percaya atas diri cayhe?"
Merah padam selembar wajah Tonghong Beng Coe setelah kena disemprot, ia tahu apa yang diucapkan barusan tentu sudah didengar semua oleh Hoo Thian Heng.
Masih beruntung wajah sebenarnya terselubung oleh selapis topeng yang tebal, orang lain tak dapat melihat perubahan wajah itu, kalau tidak, gadis ini tentu dibikin amat jengah.
Memperbincangkan seorang dibelakang orang itu sendiri sudah merupakan suatu perbuatan yang tercela, apalagi menaruh kesangsian terhadap seseorang yang belum lama dikenal, hal ini merupakan suatu pantangan berat.
Kena ditegur didepan umum, dara itu jadi sangat malu, mulutnya membungkam dalam seribu bahasa.
Walaupun orang lain tak dapat melihat bagaimanakah perubahan wajahnya ketika itu, namun ditinjau dari kepalanya yang tertunduk dengan sikap tersipu2 kemudian melihat pula mulutnya membungkam, semua orang tahu hati kecil gadis itu tentu amat susah.
"Yu Thayhiap !" tiba2 Hoo Thian Heng buka suara lagi memecahkan kesunyian yang mencekam. "Aku tahu sepuluh manusia sesat dari Bu lim amat jahat, ganas dan keji, jikalau mereka disingkirkan itu berarti kita telah menyingkirkan bencana besar bagi kaum Rimba persilatan, mengapa kalian masih menuduh cayhe bertindak terlalu telengas ?"
Bicara sampai disitu sinar matanya berkilat tajam, namun cuma sebentar untuk kemudian punah kembali. Dengan wajah serius ia meneruskan:
"Buat aku, tindakan ini baru merupakan mula pertama, sejak hari ini asalkan diantara sepuluh manusia sesat berjumpa dengan aku Hoo Thian Heng, tak ada ampun lagi akan kusingkirkan semua dari muka bumi !"
Si Kakak Huncwee dari gunung Bong-san terkesiap, dengan andalkan kepandaian silat serta tenaga lweekang yang amat dahsyat, ia memang bisa melakukan seperti apa yarg diutarakannya, itu berarti saat naas bagi seluruh manusia sesat telah berada diambang pintu ! pikirnya.
Meskipun Si Kakek Huncwee dari gunung Bong san tahu berapa buas, ganas, keji dan telengasnya sepuluh manusia sesat, dan menyadari pula sudah pantas menjatuhi hukuman mati terhadap gembong iblis ganas tersebut, namun bagaimana pun juga dia sudah berusia lanjut, napsu angkara murka serta ambisinya sudah jauh berkurang, lagi pula dasar wataknya welas kasih, selama banyak tahun berkelana dalam dunia persilatan, kecuali terhadap manusia yang betul2 ganas dan banyak melakukan perbuatan terkutuk, jarang sekali ia melukai jiwa manusia.
Tidaklah aneh, sehabis mendengar perkataan dari Hoo Thian Heng, ia begitu terkejut, kaget dan terkesiap.
Demikianlah, dengan membawa perasaan welas kasih serta rasa peri kemanusiaan yang tebal ia menasehati pemuda she Hoo itu.
"Meskipun sepuluh manusia sesat adalah gembong2 iblis yang banyak melakukan kejahatan," ia berkata. "Dan memang sudah sepantasnya manusia semacam ini dibasmi dari muka bumi, namun tahukah siauw-hiap bisa menyadarkan seseorang yang sesat jauh lebih baik dari pada membinasakan orang itu sendiri ? tahukah kau berfaedahnya seorang manusia sesat bisa bertobat untuk kemudian banyak melakukan jasa bagi umat manusia guna menebus dosa-dosanya ? maka dari itu aku berharap Siauwhiap bisa mengobralkan cinta kasihmu terhadap manusia, berilah kesempatan bagi orang2 itu memperbaiki jalan hidupnya agar mereka berguna bagi umat manusia dan tanah air !"
"Yu Thay-hiap, welas kasihmu serta rasa peri kemanusiaanmu yang tebal membuat cayhe tergerak hati dan merasa sangat kagum," sahut Hoo Thian Heng sambil tersenyum, "Untuk selanjutnya cayhe tentu akan mengikuti petunjukmu dan sebisa mungkin mengobralkan rasa cinta kasihku terhadap umat manusia, namun hal ini pun tergantung bagaimanakah nasib serta keberuntungan orang2 itu !"
Secara lapat2 Si Kakek Huncwee dari gunung Bong-san merasa, walaupun nada ucapan Hoo Thian Heng angkuh, dingin dan sesumbar, namun ia memiliki kegagahan yang luar biasa, ia memiliki kewibawaan dan keagungan yang tak boleh dipandang enteng oleh siapapun.
Dalam hati diam2 pikirnya:
"Memandang kegagahan serta kepandaian silat yang dimiliki orang ini, tidak selang beberapa bulan kemudian ia pasti berhasil menggetarkan seluruh dunia persilatan dan angkat diri sebagai seorang gembong iblis atau mungkin sebaliknya jadi tokoh silat yang dikagumi semua orang."
Berpikir akan hal itu ia mendongak lantas tertawa ter-bahak2, serunya:
"Semoga saja gembong2 iblis itu bisa bertobat dan berubah pikiran untuk melakukan perbuatan baik .."
"Hmm ! semoga saja apa yang Yu Thayhiap harapkan bisa tercapai seperti yang diinginkan !"
Bicara sampai disitu mendadak Hoo Thian Heng melirik sekejap kearah Tonghong Beng Coe, menjumpai dara itu masih tundukkan kepala dengan mulut membungkam, ia tahu gadis itu amat sedih hati, tak kuasa timbul rasa menyesal dalam hati kecilnya, pemuda itu merasa apa yang disemprotkan tadi memang rada terlalu keras, memang tidak pantas mengucapkan kata2 sekasar itu terhadap seorang nona muda belia.
Karena berpikiran demikian, ia lantas maju dan menjura kearah Tonghong Beng Coe.
"Nona, harap kau suka memberi maaf atas kelancanganku mengutarakan kata2 yang tidak senonoh, aku harap nona jangan pikirkan dalam hati!" ia berkata.
Meskipun Tonghong Beng Coe tidak menyangka manusia angkuh dan tinggi hati semacam Hoo Thian Heng secara tiba2 bisa minta maaf kepadanya, suatu kejadian yang tak mungkin terjadi.
Sang gadis jadi terkejut bercampur kegirangan, hatinya terasa amat manis penuh kehangatan.
Sepasang biji mata Tonghong Beng Coe yang bening jeli kontan bercahaya terang, kepada Hoo Thian Heng buru2 ia menjura.
"Aaaah... jangan ... jangan minta maaf kepadaku," serunya manja. "Siauwhiap kau tak usah sungkan, dalam kenyataan memang akulah yang salah, tidak pantas aku menggunakan hati seorang siauw-jien untuk menuduh yang bukan-bukan atas seorang Kun-cu, dalam kejadian ini tak bisa salahkan kalau Siauw-hiap jadi mengambek!"
Menjumpai sepasang muda mudi itu saling mengalah dan banyak adat, si kakek Hun-cwee dari gunung Bong-san tak kuat menahan diri lagi, ia mendongak dan tertawa ter-bahak2.
"Haaaa...haaaa...haaaa... Hoo Siauwhiap, nona Tonghong, persoalan yang telah lewat biarkanlah berlalu, kalian berduapun tak usah berlaku banyak adat lagi, aku lihat sekarang adalah tugas kita untuk memasuki lembah dan tuntut keadilan atas diri sepasang malaikat."
"Baik!" Tonghong Beng Coe segera menurut setelah mendengar ajakan itu. Sepasang pundak bergerak, sang badanpun meluncur kearah mulut lembah diikuti keempat orang dayangnya dari belakang.
"Nona, harap tunggu sebentar!" mendadak Hoo Thian Heng berseru.
Tonghong Beng Coe segera berhenti dan berpaling, kepada Hoo Thian Heng tegurnya:
"Hoo Siauw-hiap, kau masih ada urusan apa lagi ?"
"Nona, aku mohon bertanya, didalam lembah gunung yang begini luas apakah kau sudah tahu pasti dimana letak tempat tinggal sepasang malaikat itu?" Hoo Thian Heng bertanya sambil tersenyum.
Tonghong Beng Coe melengak dan sepasang biji matanya yang jeli memancarkan cahaya bimbang. Lama sekali, ia memandangi wajah Hoo Thian Heng dengan pandangan mendelong untuk kemudian menggeleng.
"Aku tidak tahu, apakah siauwhiap tahu ?"
"Sama halnya dengan diri nona sendiri, cayhe pun menginjak lembah Kan Cie kok ini untuk pertama kalinya !" jawab pemuda itu seraya menggeleng.
Sepasang alis Tonghong Beng Coe yang bersembunyi dibalik topeng berkerut kencang, ia lantas berpaling kearah si kakek Huncwee dari Gunung Bong san.
"Yu Loocianpwee, apakah kau tahu dimanakah sepasang malaikat itu berdiam ?"
Namun sebagai jawaban, si kakek Huncwee dari Gunung Bong-san inipun menggeleng.
"Loolap pun belum pernah datang kemari!"
Si nona berdiam diri. "Waaah .. kalau begitu terpaksa kita harus melakukan pengusutan yang teliti disekitar tempat ini !" serunya kemudian.
"Ehmm, aku rasa memang terpaksa kita harus berbuat demikian !" Hoo Thian Heng mengangguk membenarkan.
"Kalau begitu, ayoh kita segera berangkat !" sambung si kakek Huncwee dari Gunung Bong san.
Tidak menanti jawaban orang lagi, ia tarik tangan murid kesayangannya Gong Yu, mengeluarkan ilmu meringankan tubuhnya dan berkelebat ke arah lembah Kan Cie Kok.
Tonghong Bengcu melirik sekejap kearah Hoo Thian Heng, kemudian dia menggerakkan sepasang pundak, diiringi ke empat orang dayangnya ia segera berkelebat mengikuti Bong-san Yen Shu berdua.
Melihat semua orang sudah berangkat, Hoo Thian Heng segera mengempos napas dan menguntil dibelakang Tonghong Beng Coe sekalian.
Langkahnya kelihatan begitu tenang, air mukanya biasa dan sama sekali tidak kelihatan gugup atau tergesa.
Ujung baju tersampok angin, sang badan bergerak bagaikan awan yang melayang diangkasa, meski kelihatan sangat lambat dalam kenyataan cepatnya luar biasa.
Sewaktu si Kakek Huncwee dari gunung Bong san serta Tonghong Bong Coe sekalian berpaling dan menjumpai langkah Hoo Thian Hong yang tenang namun mantap, mereka segera mengenali ilmu meringankan tubuh si anak muda itu bukan lain adalah "Leng-hi poh" atau jalan me-layang2, suatu ilmu meringankan tubuh tingkat atas.
Dalam dunia persilatan dewasa ini, belum tentu ada beberapa orang yang berhasil menguasai ilmu meringankan tubuh Jalan Me-layang2 tersebut.
Bahkan, kemungkinan besar "Oe Lwee Ngo Khi" atau Lima manusia aneh dari kolong langit pun belum tentu berhasil menguasai ilmu meringankan tubuh "Leng hi poo" itu.
Setibanya dimulut lembah, orang2 itu temukan kedua belah sisi jalan merupakan dinding bukit yang terjal dan tinggi menjulang ke angkasa, batu cadas yang tajam dan berbentuk aneh tersebar di-mana2, antara bukit yang terjal terlintang sebuah lorong lembah yang sempit lagi kecil, luasnya hanya muat dua orang jalan berbareng.
Baru saja si kakek Huncwee dari Gunung Bong-san beberapa orang tiba dimulut lembah, mendadak terasa pandangan mata jadi kabur, sesosok bayangan manusia berkelebat lewat, kiranya Hoo Thian Heng yang selama ini menguntil terus dibelakang dengan sikap tenang telah melampaui beberapa orang itu.
Jalan ditengah lembah sempit lagi kecil, dua orang jalan berbarengpun sudah susah dan tak ada ruang kosong, entah dengan cara bagaimana ternyata pemuda itu berhasil melampaui beberapa orang tadi dengan aman dan tenteram.
Kepandaian apa yang telah ia gunakan, tak seorang pun yang tahu, sungguh suatu kejadian yang aneh dan misterius, membuat orang bergidik dan ngeri...
Setibanya didepan Si kakek Huncwee dari gunung Bong-san, Hoo Thian Heng segera berseru lirih.
"Silahkan mengikuti diriku!"
Sembari berkata, sang badan melayang kedepan laksana sambaran kilat cepatnya susah dilukiskan dengan kata2.
Melihat hal itu Si kakek Huncwee dari gunung Bong san segera berpaling kearah Tonghong Beng Coe dan berseru:
"Nona, ayoh cepatan dikit!"
Diam2 ia mengempos napas, kakinya makin dipercepat, sambil menarik tangan murid kesayangannya Gong Yu, dengan cepat ia menguntil dibelakang Hoo Thian Heng masuk kedalam lembah.
Tonghong Beng Coe tidak mau berayal, diam-diam iapun mengempos tenaga kemudian lari mendampingi si kakek Huncwee dari gunung Bongsan dengan ilmu meringankan tubuh perguruannya "Tui-hong Hwie" atau sutera Terbang Mengejar angin.
Dengan adanya kejadian ini, kasihan keempat orang dayang tersebut, dalam sekejap mata mereka sudah ketinggalan beberapa tombak jauhnya.
"Hebat juga nona ini !" pikir Si kakek Huncwee dari gunung Bong san sewaktu melihat Tonghong Beng Coe berhasil lari mendampingi dirinya dengan wajah tak berubah, kakek tua itu merasa sangat kagum, "inilah yang dinamakan ombak belakang sungai Tiang kang mendorong ombak didepannya, orang2 generasi Muda menggantikan generasi Tua, aku rasa dunia persilatan memang sudah sepantasnya jadi milik tunggal kaum muda mudi !"
Dalam kenyataan jago tua ini tidak tahu, kepandaian silat yang dimiliki Tong-hong Beng Coe bukan saja sudah mendapat warisan dari semua ilmu silat yang dimiliki ayahnya Tonghong Koen, bahkan iapun merupakan anak murid kesayangan dari Soat-san Sin-nie atau Nie-kouw sakti dari gunung Es, salah satu diantara lima manusia aneh dari Kolong langit.
Menanti si kakek Huncwe dari gunung Bong-san angkat kepala memandang pula Hoo Thian Heng yang ada didepan, ia temukan pakaian warna hijau yang dikenakan pemuda itu masih berkibar terus tiada hentinya, sang badan bergerak laksana awan diangkasa, meskipun ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya telah digunakan hingga mencapai puncaknya, namun sia2 belaka usahanya untuk menyusul si anak muda tadi, ia tetap ketinggalan satu tombak lebih lima enam dibelakang.
Meskipun mulut selat itu amat sempit, namun makin kedalam selat tadi makin luas, dalam seperminum teh kemudian medan dihadapannya sudah amat luas dan sama sekali terbuka.
Hoo Thian Heng yang lari didepan mendadak berhenti, sepasang matanya dengan tajam memperhatikan kearah sebuah rimba yang rimbun dan banyak pepohonan kurang lebih beberapa puluh tombak dihadapannya.
Menjumpai pemuda itu berhenti, si kakek Huncwee dari gunung Bong san segera mengerti, si anak muda itu tentu sudah menjumpai sesuatu segera ia mengempos napas dan meloncat kesamping Hoo Thian Heng.
"Siauw hiap ! adakah yang telah kau jumpai?"
Hoo Thian Heng mengangguk.
"Dibalik pepohonan yang lebat dan rimbun berdiri sebuah rumah gubuk, kemungkinan besar disanalah sepasang malaikat itu berdiam !"
Sembari berkata ia menuding kearah hutan lebat beberapa puluh tombak dihadapannya.
Si kakek Huncwee dari gunung Bongsan segera pusatkan perhatiannya dan menengok kearah mana dituding oleh Hoo Thian Heng tersebut.
Ketika itu dari tengah udara mendadak melayang lewat segumpal awan hitam yang segera menutupi sorotan cahaya putih keperak perakan dari putri malam, seketika itu juga suasana di sekeliling tempat itu jadi sangat gelap, saking gelapnya hampir2 apapun tak kelihatan.
Dengan segenap kemampuannya si kakek Huncwee dari gunung Bong san memandang kemuka namun sia2 belaka usahanya ini, sebab kecuali benda disekitar sepuluh tombak yang terlihat juga pepohonan yang lebat-lebat lagi gelap, jangan dikata rumah gubuk dimaksudkan, hanya tiang pun sama sekali tidak kelihatan.
Haruslah diketahui, bilamana tenaga dalam seorang belum berhasil mencapai puncak kesempurnaan, tidak mungkin ketajaman matanya bisa menembusi kegelapan dan melihat jelas benda sejauh sepuluh tombak dalam keadaan semacam itu.
Meskipun si kakek Hun-cwee dari gunung Bong san sendiri memiliki tenaga murni hasil latihan selama puluhan tahun dan ia boleh disebut jago kangouw nomor wahid, namun bagaimanapun juga ia masih belum bisa menandingi bakat Hoo Thian Heng, ia kalah jauh kalau dibandingkan si anak muda ini.
Lagipula Hoo Thian Heng telah menelan pil mutiara dari Pek tok Giok Tiat atau sepasang Cecak kumala, meski baru lewat beberapa hari ia sudah mengalami banyak perubahan, tenaga dalamnya bertambah lipat ganda, matanya tambah tajam, tubuhnya tambah ringan dan gesit, benda sejauh dua puluh tombak dapat ia lihat dengan jelas dan nyata.
Dewa Lautan Timur 1 Metropolis Karya Windry Ramadhina Pedang Tanpa Perasaan 5
^