Pencarian

Dewa Lautan Timur 1

Pendekar Slebor 65 Dewa Lautan Timur Bagian 1


Episode I: PEDANG BUNTUNG
Episode II: DEWA LAUTAN TIMUR
DEWA LAUTAN TIMUR Serial Pendekar Slebor
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia. Jakarta
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Serial Pendekar Slebor dalam episode:
Dewa Lautan Timur 112 hal.
https://www.facebook.com/
DuniaAbuKeisel 1 Di salah satu ruangan Pesanggrahan Bayu Api,
suasana makin menyepi. Tak seorang pun yang
membuka suara. Masing-masing orang dicekam
pikiran dan kebingungan.
Keheningan itu dipecahkan oleh suara orang yang
baru datang, "Orang tua... mengapa kau berpakaian seperti yang kukenakan" Dan
wajahmu... mengapa
begitu mirip sekali denganku?"
Orang yang duduk bersila di hadapan Pendekar
Slebor dan Gadis Kayangan, rangkapkan kedua
tangannya di depan dada. Laki berucap sopan pula,
"Sobat... justru aku yang tak mengerti... mengapa pakaian yang kita kenakan dan
wajah kita mirip
satu sama lain" Siapakah kau sebenarnya?"
Orang yang baru datang menyahut tak kalah
sopannya, "Namaku Purwacaraka dan orang-orang menjuluki ku Panembahan Agung!
Siapakah kau adanya?" "Begitu pula denganku. Nama dan julukanku
adalah yang barusan kau sebutkan tadi."
Selagi kedua orang yang satu sama lain berwajah
mirip dan masing-masing mengaku bernama
Purwacaraka dan berjuluk Panembahan Agung,
Andika yang sudah berdiri menggaruk-garuk
kepalanya tidak mengerti.
"Kutu monyet! Apa-apaan ini" Mengapa ada dua orang yang mengaku berjuluk
Panembahan Agung"
Yang manakah Panembahan Agung yang
sesungguhnya" Apakah yang sejak semula berbicara
denganku dan Gadis Kayangan, ataukah orang yang
baru datang" Kampret mati! Sudah tentu tak
mungkin kedua-duanya adalah Panembahan Agung!
Tetapi yang mana yang asli" Dan siapa yang palsu?"
Sementara itu Winarsih atau yang dijuluki Andika
Gadis Kayangan, hanya memperhatikan kedua orang
tua itu secara bergantian. Satu sama lain berwajah dan bersikap mirip. Bahkan
tatkala Panembahan
Agung yang sejak Semula berbicara dengan mereka
berdiri, tinggi mereka pun sama.
"Oh, Mengapa jadi begini?" desisnya galau. Dan hatinya mendadak tidak enak.
Terlebih lagi tatkala menyadari kalau potongan pedang masih dipegang
oleh Panembahan Agung yang sejak semula
berbicara dengannya. Dia yakin salah satu dari
kedua Panembahan Agung itu palsu. Tetapi
menentukan yang mana yang asli dan yang mana
yang palsu, bukanlah sesuatu yang mudah.
Sebelumnya, Winarsih memang terlebih dulu
datang ke Pesanggrahan Bayu Api ketimbang
Andika. Padahal seharusnya Andika yang datang
terlebih dahulu. Karena dia harus menakut-nakuti
tiga lelaki berpakaian hitam gombrang yang diupah oleh seseorang bersorban
kuning untuk menjarah
harta Panembahan Agung, terpaksa dia tak segera
ke Pesanggrahan Bayu Api.
Sebelumnya Andika memang sudah memper-
kirakan ke mana perginya Winarsih atau Gadis
Kayangan tatkala tak dijumpai di tempatnya semula.
Makanya, dia tak terlalu merasa heran ketika
bertemu dengan Gadis Kayangan di Pesanggrahan
Bayu Api ini. Tetapi Gadis Kayangan yang memang
belum dapat memutuskan apakah pemuda
berpakaian hijau pupus itu kawan atau lawan,
terpaksa mengusir Andika. Setelah itu dia segera
mendatangi Pesanggrahan Bayu Api.
Kedatangannya disambut oleh Panembahan
Agung dan di saat percakapan terjadi, mendadak
saja Panembahan Agung mengangkat tangan ke
atas. Saat itu pula satu sosok tubuh yang ternyata Pendekar Slebor, meluncur
jatuh. Pendekar Slebor yang selain penasaran ingin
mengetahui lebih lanjut tentang urusan dua
potongan pedang, menceritakan tentang tiga lelaki berpakaian hitam gombrang yang
diperintahkan oleh orang bersorban kuning untuk menjarah harta milik Panembahan
Agung. Dan selagi percakapan itu terjadi, semua
dikejutkan dengan satu sapaan halus. Lebih terkejut lagi tatkala yang menyapa
itu adalah sosok orang
yang sangat mirip dengan Panembahan Agung yang
duduk bersila di hadapan sepasang remaja itu
(Untuk lebih jelasnya, silakan baca: "Pedang Buntung").
Saat ini Panembahan Agung yang baru datang,
sedang berkata sopan setelah memandang
Panembahan Agung yang satunya lagi, "Kawan...
mengapa kau harus menyamar sebagai diriku"
Apakah kau lupa, kalau tindakanmu itu sangat
tidak menyenangkan."
Panembahan Agung yang di tangan kanannya
tergenggam potongan pedang yang dibalut kain
pulih berkata, tak kalah sopannya. "Maaf... justru aku hendak bertanya...
"Mengapa kau melakukan hal seperti ini?"
"Bagaimana mungkin aku menyamar sebagai
diriku sendiri kalau memang akulah Panembahan
Agung." "Begitu pula denganku. Kawan... tidak baik
melakukan tindakan seperti ini. Tetapi. kau boleh mengatakan, keuntungan apa
yang hendak kau raih
dengan menyamar sebagai diriku?"
"Maafkan aku.... Justru aku hendak menanyakan hal itu padamu...."
Di lain pihak, Pendekar Slebor sedang
menggaruk-garuk kepalanya. Anak muda urakan
dari Lembah Kutukan ini, diam-diam bersiaga
penuh. Karena dia yakin, salah seorang dari mereka adalah palsu dan tentunya
menghendaki sesuatu.
Namun, siapa yang asli dan siapa yang palsu"
Bahkan suara satu sama lain begitu mirip terdengar.
Jangankan Andika yang baru kali ini mengenal
wujud dan sosok Panembahan Agung, orang yang
telah mengenal sebelumnya pun tak akan mampu
membedakan satu sama lain.
"Monyet pitak! Urusan lebih melebar lagi! Ah, potongan pedang yang merupakan
pangkal dari semua itu berada di tangan Panembahan Agung
yang sejak tadi berbicara denganku. Bisa jadi dia yang palsu, dan sebenarnya
menyamar sebagai
Panembahan Agung karena tahu kalau Gadis
Kayangan akan menyerahkan potongan pedang itu
padanya. Tetapi bisa juga aku salah, karena
sesungguhnya memang dialah Panembahan Agung.
Kadal buntung! Harimau bangkai! Bagaimana
caranya aku membedakan mereka?"
Garuk-garuk kepala sendiri anak muda ini.
Winarsih sendiri masih memperhatikan kedua
orang tua yang satu sama lain tak ada bedanya,
dengan kening yang semakin dikernyitkan.
Sementara itu Panembahan Agung yang baru
datang berkata lagi, tetap sopan kendati dibaluri sedikit kemarahan, "Kawan...
aku tak mau memperuncing urusan. Lebih baik kau katakan
siapa dirimu sebenarnya...."
Panembahan Agung yang satunya lagi berkata,
"Maafkan aku.... Aku tak ingin bertindak tidak sopan. Tetapi nampaknya, apa yang
kau lakukan sudah tentu tak akan mungkin kumaafkan.
Menyamar menyerupai seseorang sudah tentu
bermaksud buruk. Lebih baik katakan yang
sebenarnya, biar urusan tak berlarut-larut."
"Kawan... sungguh semua ini sangat mengejutkan ku. Seperti biasa, aku selalu
berjalan-jalan di
padang rumput di belakang Pesanggrahan Bayu Api
ini. Dan selalu kembali bila matahari sudah
sepenggalah. Apakah kau tidak berpikir, kalau aku sangat terkejut karena ada
tamu yang datang. Lebih terkejut lagi tatkala ada orang yang menyerupaiku."
Panembahan Agung yang memegang potongan
pedang dibalut kain putih menggeleng-gelengkan
kepalanya. Bibirnya tersenyum saat berkata,
"Kebetulan... malam tadi keadaan tak begitu baik, hingga aku tak menjalankan
kebiasaanku seperti
biasa." "Kawan... kesabaran seseorang ada batasnya."
Kembali Panembahan Agung yang sebelumnya
berbicara panjang lebar dengan Andika dan
Winarsih mengangguk-anggukkan kepala.
Andika yang masih berusaha untuk menentukan
yang mana sesungguhnya Panembahan Agung
membatin lagi, "Aku baru ingat sekarang. Bukankah tiga lelaki berpakaian hitam
gombrang itu mengatakan, kalau Panembahan Agung memiliki
kebiasaan berjalan-jalan pada malam Kamis Legi di padang rumput di belakang
pesanggrahan ini. Dan rasanya... orang tua yang sekarang telah diserahkan
potongan pedang oleh Gadis Kayangan, sejak semula gadis ini datang, dia sudah
berada di sini. Tetapi tadi dia mengatakan sedang tidak enak badan.
Sebaiknya...."
Memutus kata batinnya sendiri, Andika berkata
sambil nyengir, "Busyet! Baru aku tahu kalau kalian ini manusia kembar! Tetapi
setahuku, kalau orang
kembar itu tentunya memiliki sedikit perbedaan
yang dapat diketahui oleh orang yang telah
mengenal lama. Sayangnya, aku dan Gadis
Kayangan baru mengenal kalian. Di samping itu,
aku yakin, orang yang telah mengenal kalian lebih lama juga akan merasa
kebingungan, karena bukan
hanya sosok dan wajah kalian yang serupa, suara
kalian pun tak jauh berbeda. Nah! Yang merasa
palsu tunjuk tangan deh!"
Usul konyol yang dilontarkan Pendekar Slebor
sudah tentu tak akan dilakukan oleh kedua orang
yang mengaku sebagai Panembahan Agung. Bahkan
bila diminta yang asli tunjuk tangan pun, rasanya terlalu riskan dilakukan oleh
orang tua sebijaksana keduanya.
Andika tertawa sendiri setelah menyadari
kekonyolannya. Lalu kalanya, "Kalau begini caranya, bagaimana kami bisa tahu
siapa Panembahan Agung
yang sesungguhnya" Mengaku anak kembar kalian
tidak! Mengaku yang palsu juga tidak! Atau... begini saja deh! Orang tua, aku
minta maaf sebelumnya.
Kuharap kau mau menyerahkan potongan pedang
itu kepadaku...."
Panembahan Agung yang berdiri di sebelah kiri
yang memegang kain putih berisi potongan pedang
itu terdiam sejenak. Setelah memperhatikan benda
yang dipegangnya, dia segera menyerahkan pada
Andika. "Anak muda... apa yang hendak kau lakukan?"
Andika nyengir sebelum menjawab, "Jangan salah sangka nih ya" Juga jangan
tersinggung! Mungkin
ini jalan satu-satunya yang terbaik agar urusan
dapat diselesaikan secepatnya, kendati sebenarnya aku tidak sabar ingin menjitak
siapa orang yang
berani lakukan tindakan brengsek seperti ini! Nah!
Siapa yang dapat mengatakan isi potongan pedang
ini kepadaku?"
"Sudah tentu aku dapat mengalakannya," kata Panembahan Agung yang berdiri di
sebelah kiri. "Begitu pula denganku. Bukankah potongan
pedang itu telah lama berada di tanganku" Sudah
tentu aku sangat mengenalnya. Dan sedikit
banyaknya, aku juga mengetahui isi potongan
pedang yang berada di tangan adik seperguruanku
yang berjuluk Pemimpin Agung," kata Panembahan Agung yang berada di sebelah
kanan. Kemudian
lanjutnya pada Winarsih, "Anak gadis... aku tahu kalau potongan pedang itu
sebelumnya berada di
tanganmu. Sekarang... ceritakan padaku apa yang
telah terjadi pada gurumu?"
Winarsih yang masih terheran-heran dengan
pemandangan yang ada di hadapannya seperti
tergugu, seolah dia tak bisa membuka mulut lagi.
Andika yang segera berkata, "Pemimpin Agung telah tewas di tangan Sangga Rantek.
Dan potongan pedang yang sebuah lagi, yang merupakan Pedang
Buntung, berada di tangan manusia itu."
Panembahan Agung yang baru datang itu
menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Tak kusangka kalau dia akan bernasib sial
seperti itu. Ah... padahal aku belum menceritakan apa yang selama ini
kurahasiakan. Ah, dia tentunya tak pernah mendengar tentang Laksmi Harum."
Mendengar ucapan Panembahan Agung ini, anak
muda urakan yang berotak encer itu langsung
berpikir, "Laksmi Harum. Menurut Panembahan
Agung yang sejak tadi bercakap-cakap denganku,
tak seorang pun yang mengetahui cerita tentang
Laksmi Harum karena selama ini dipendamnya.
Tetapi, Panembahan Agung yang baru datang telah


Pendekar Slebor 65 Dewa Lautan Timur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengetahuinya. Menilik keadaan sudah tentu
keduanya memang Panembahan Agung, hanya tak
mungkin keduanya benar-benar Panembahan
Agung. Berarti... oh! Tak salah! Sudah pasti yang seorang lagi adalah Dewa
Lautan Timur. Tetapi yang mana" Celaka! Bila ternyata dugaanku benar,
urusan akan semakin repot! Tetapi sungguh hebat
Dewa Lautan Timur yang mempunyai dendam
setinggi langit pada Panembahan Agung ternyata
masih dapat menahan dendamnya. Aku yakin, itu
dilakukan karena dia sedang menikmati permainan
yang diciptakannya."
Cukup lama tak ada yang membuka mulut
sebelum Panembahan Agung yang baru datang
berkata, "Anak muda... mengapa kau tak
melanjutkan ucapanmu" Bila menuruti kata hatiku,
aku tak bisa menahan diri lebih lama untuk mencari tahu siapa lelaki tua di
hadapanku yang menyamar
sebagai diriku?"
Sebelum Andika menyahut, Panembahan Agung
yang berdiri di sebelah kiri berkata setelah menghela napas masygul, "Urusan ini
memang harus dituntaskan. Karena aku tak ingin ada orang yang
menyamar sebagai diriku yang justru akan
bertindak sembrono dengan membawa namaku
dalam perbuatannya. Anak muda... lakukanlah apa
yang hendak kau kerjakan."
Pemuda yang di lehernya melilit kain bercorak
catur ini pandangi dulu masing-masing orang
sebelum mendekati Gadis Kayangan. Lalu sambil
nyengir dia berkata, "Maaf nih, ah! Aku mau berbisik dulu!"
Gadis Kayangan yang masih keheranan nampak
menurut saja tatkala Andika membisiki sesuatu.
Lalu terlihat kepalanya berpaling dengan pandangan terbuka.
"Kau...."
"Itu hanya dugaanku. Nah, sekarang kau lakukan apa yang kuminta tadi."
Gadis jelita berkepang dua ini masih pandangi
Andika beberapa saat, sebelum akhirnya berkata
sopan pada dua orang Panembahan Agung yang
masih berdiri di hadapannya, "Kakek... maafkan sikapku ini. Terus terang, aku
bingung menentukan siapakah di antara kakek yang benar-benar kakak
seperguruan guruku. Aku harus menjalankan apa
yang diminta oleh Pendekar Slebor."
Habis kala-katanya, gadis ini segera berkelebat
keluar dari Pesanggrahan Bayu Api. Wajahnya
masih diliputi tanya yang ingin segera didapatkan jawabannya.
Setelah itu Andika berkata, "Nah! Sekarang
tinggal kita bertiga! Sekarang... kita sama-sama tahu kalau titik gambar yang
tergambar pada dua potong pedang bila disatukan akan menuju ke Pulau Hitam.
Kupikir kalian juga mengetahuinya. Yang ingin
kuketahui, dapatkah kalian menuju ke Pulau Hitam
tanpa bantuan titik-titik gambar yang tergambar
pada dua potongan pedang bila disatukan?"
Dua orang yang mengaku sebagai Panembahan
Agung sama-sama tak buka mulut. Sikap mereka
tak menunjukkan rasa terkejut, khawatir atau
marah diperlakukan seperti itu oleh Pendekar
Slebor. Tetap tenang dengan wajah dan sorot mata
yang menyiratkan kebijaksanaan tulus.
Dan serempak masing-masing orang
menganggukkan kepala.
Panembahan Agung yang berdiri di sebelah kiri
berkata, "Bagiku... tak jadi masalah. Karena semua untuk kedamaian di antara
kita." Yang di sebelah kanan menyusulkan kata, "Begitu pula denganku. Bila menuruti
keadaan, aku sudah
tak kuasa menahan diri. Tetapi, aku telah jenuh
dengan segala pertikaian yang terjadi di antara
sesama. Biarlah urusan ini kau yang menyele-
saikannya, Anak Muda."
"Kalau kalian tidak tersinggung dan memang
bersedia... tunggu sebentar!!"
Mendadak saja Andika menggerakkan tangan
kanannya ke atas. Tahu-tahu sebuah genting telah pecah dan menjadi delapan
bagian. Yang enam buah
dibiarkan jatuh ke lantai yang menimbulkan suara
cukup keras, sementara yang dua lagi ditangkap
dengan hanya pergunakan tangan kanannya saja.
Sebelum dia berkata, diselipkan potongan pedang
yang terbalut kain putih ke balik pakaiannya, "Dan tentunya, bila kalian
berhasil tiba di Pulau Hitam, sulit bagiku mengenali kalian! Maksudku, yang
mana yang lebih dulu berada di sini, dan yang mana yang datang belakangan! Jadi,
kalian kuhadiahkan
tanda mata!" Dan dasar urakan, dia menyambung konyol, "Ingat Iho, dijual tidak
laku! Tetapi kalau masih nekat mau menukarkan dengan sebungkus
nasi uduk, ya terserah!"
Kemudian dengan pergunakan jari telunjuknya,
diukir dua pecahan genting itu dengan huruf 'PS'.
Yang satu diberi penekanan hingga agak menghitam.
"Nah! Sekali lagi maaf nih! Bukannya merasa
ngetop makanya kuukir dua huruf awal dari
julukanku! Tetapi ya... ini hanya sebagai tanda
pengenal saja! Biar aku tidak semakin bingung bila berjumpa dengan kalian!"
Dan mendadak saja Andika melempar dua
pecahan genting itu sekaligus.
Wiiingg!! Wiiinggg!!
Tap! Tap! Tanpa bergeser dari tempatnya, masing-masing
orang yang mengaku sebagai Panembahan Agung
telah menyambar pecahan-pecahan genting yang
telah terukir huruf PS".
"Ayo, anak-anak! Perlihatkan pada Bapak!!"
Panembahan Agung yang berdiri di sebelah kiri
tersenyum geli melihat tingkah Pendekar Slebor.
Sambil menggeleng-gelengkan kepala dia
menunjukkan pecahan genting itu. Huruf 'PS' yang tertera tak begitu menghitam.
Sementara Panembahan Agung yang berdiri di sebelah kanan
mendapatkan pecahan genting bertuliskan huruf
'PS' yang agak menghitam.
"Sekarang... kalian sudah mendapatkan tanda
masing-masing! Nah! Segera cabut deh menuju ke
Pulau Hitam!! Ingat, waktunya hanya dua minggu!"
Makin lebar senyuman geli Panembahan Agung
yang berdiri di sebelah kiri. Sementara Panembahan Agung yang mendapatkan
pecahan genting
bertuliskan huruf 'PS' agak menghitam, sudah
melesat keluar. Gerakannya sangat cepat.
"Kek! Mengapa kau tak segera pergi?" usik Andika sambil perlihatkan cengirannya.
Panembahan Agung yang berdiri di hadapannya
tersenyum. "Aku akan pergi sekarang!"
Lalu dengan langkah ringan dia segera keluar dari tempat itu. Diam-diam orang
tua ini membatin, "Aku tahu siapa orang yang menyamar sebagai diriku.
Memang dia orangnya. Apa yang diceritakan pemuda
dari Lembah Kutukan itu memang benar. Tetapi,
aku ingin melihat kecerdikannya. Lagi pula... orang yang menyamar seperti diriku
tak lakukan tindakan apa-apa. Entah apa yang direncanakannya."
Sepeninggal dua orang yang mengaku sebagai
Panembahan Agung, anak muda dari Lembah
Kutukan ini menggaruk-garuk kepalanya yang tidak
gatal. "Busyet! Edan juga pikiranku! Bagaimana kalau keduanya berhasil mencapai Pulau
Hitam sementara
aku sendiri masih belum tahu di mana tempat itu"
Monyet pitak! Kenapa aku tidak mikir-mikir dulu
sih!!" Selagi Andika membatin gemas begitu, satu sosok
tubuh berpakaian biru muda yang tak lain Winarsih
alias Gadis Kayangan, berkelebat masuk dan
langsung bertanya, "Bagaimana, Andika?"
Andika yang sebenarnya bingung akan usulnya
sendiri mengacungkan jempolnya, "Beres!"
"Apa yang kau lakukan?"
"Kuminta agar mereka menuju ke Pulau Hitam."
"Pulau Hitam" Oh! Bagaimana kalau keduanya
tiba di Pulau Hitam sementara kau sendiri tidak
tahu di mana pulau itu berada?" seru Gadis
Kayangan. "Itulah! Itulah yang kupikirkan!!"
"Huh! Dasar gemblung!!"
Dimaki seperti itu anak muda ini cuma nyengir
saja. Lalu katanya, "Kita harus mencari Sangga Rantek untuk mendapatkan potongan
pedang satunya lagi."
Winarsih cuma mendengus. "Berikan potongan
pedang itu padaku!"
Masih nyengir Andika memberikannya seraya
berseloroh konyol, "Wah! Cantik-cantik kok
cemberut"! Nanti tidak ada yang mau lagi!!"
"Biarin!!" seru Winarsih seraya berkelebat keluar dari tempat itu.
Andika mengangkat kedua bahunya. Bila saja dia
tahu kalau hati gadis itu berbunga-bunga karena
dibilang cantik, sudah pasti dia akan meledeknya terus menerus,
"Huh! Urusan jadi panjang!"
Lalu dia segera menyusul Winarsih.
*** 2 Setelah tiga kali penanakan nasi berlalu, dua
sosok tubuh tiba di Pesanggrahan Bayu Api. Masing-masing orang segera berhenti
berlari. Pandangan
keduanya tertuju pada Pesanggrahan Bayu Api.
"Sangga Rantek...," berkata perempuan yang mengenakan jubah dan kerudung merah,
"Sejak kita bertemu dengan manusia celaka bernama Kasma
Matur yang akhirnya mampus kubunuh, tak kita
jumpai bangunan lain kecuali bangunan yang ada di hadapan kita. Apakah kau
berpikir kalau bangunan
itulah yang disebut Pesanggrahan Bayu Api?"
Lelaki setengah baya berpakaian serba hitam
hanya mengangguk, tanpa palingkan kepalanya dari
bangunan besar sejarak sepuluh tombak dari tempat mereka berdiri.
Setelah terdiam beberapa saat, barulah dia buka
mulut, "Jelas kalau memang tempat itulah yang disebut Pesanggrahan Bayu Api.
Tempat tinggal Panembahan Agung, kakak seperguruan dari
Pemimpin Agung."
"Apakah kau berpikir kalau Pendekar Slebor
berada di Sana?" tanya si perempuan lagi.
"Kuharapkan demikian biar urusan cepat selesai."
Perempuan berjubah dan berkerudung merah
yang rambutnya berwarna keemasan katupkan
mulut. Tetapi diam-diam dia berkata dalam hati,
"Bagus bila memang demikian adanya. Setelah
kubunuh pemuda dari Lembah Kutukan itu dan
kudapatkan potongan pedang padanya, akan
kubunuh juga lelaki sialan ini. Dengan begitu secara
tak langsung aku telah mendapatkan jejak menuju
ke Pulau Hitam."
Si perempuan yang nampaknya memiliki niat
busuk pada teman seperjalanannya ini tak lain
adalah Iblis Rambut Emas, sementara lelaki yang di kedua pergelangan tangannya
melingkar gelang-gelang duri adalah Sangga Rantek.
Saat ini Iblis Rambut Emas berlagak tidak tahu
kalau sebuah potongan pedang yang bila disatukan
dengan yang dimiliki oleh Gadis Kayangan akan
tergambar titik-titik yang jelas menuju ke Pulau
Hitam, ada pada Sangga Rantek. Setelah bertarung
singkat dengan Pendekar Slebor yang saat itu
menyelamatkan Gadis Kayangan dari maut, Iblis
Rambut Emas memainkan peranannya dengan
mengatakan kalau Pendekar Slebor telah
membunuh kekasihnya, padahal selama ini, tak
seorang lelaki pun yang berniat menjadi kekasih
perempuan kejam itu.
Bahkan Iblis Rambut Emas berlagak tidak tahu,
kalau Pemimpin Agung tewas di tangan Sangga
Rantek. Sementara itu, Sangga Rantek yang merasa Iblis
Rambut Emas tidak mengetahui apa yang telah
dimiliki dan dilakukannya, merasa mendapatkan
kesempatan untuk membunuh Pendekar Slebor.
Karena sebelumnya, dia pun telah merasakan
kesaktian anak muda dari Lembah Kutukan itu.
Masing-masing orang pun berkeyakinan kalau
Pendekar Slebor dan Winarsih menuju ke
Pesanggrahan Bayu Api. Di tengah jalan, mereka
berjumpa dengan Kasma Matur, salah seorang yang
telah diberi upah oleh Dewa Lautan Timur untuk
menjarah harta milik Panembahan Agung (Baca
serial Pendekar Slebor dalam episode: "Pedang Buntung").
Sangga Rantek berkata, "Kita segera ke sana!
Kepung tempat itu! Dan ingat... bukan hanya
Pendekar Slebor yang akan kita hadapi! Tetapi juga Panembahan Agung!"
Iblis Rambut Emas melirik lelaki berhidung
bengkok dan bermata bergelambir itu, "Huh! Tak perlu aku bersusah payah mencari
kedua manusia itu! Tujuanku adalah dua bilah potongan pedang.
Biar kunyuk ini yang mencarinya."
Habis membatin begitu, perempuan kejam
berpakaian putih ini menganggukkan kepala.
"Kau ke sebelah kanan, aku ke sebelah kiri!"
Lalu tanpa menunggu sahutan orang, Iblis
Rambut Emas sudah berkelebat ke arah kiri
Pesanggrahan Bayu Api. Sangga Rantek mendengus
dulu sebelum bergerak ke arah kanan.
Apa yang dilakukan kemudian oleh Iblis Rambut
Emas memang sangat menyakitkan bila diketahui
Sangga Rantek, apalagi saat ini sebenarnya dia
tengah diperalat. Karena begitu sosok Sangga
Rantek tak nampak, dia justru bersembunyi di balik sebuah pohon.
"Hhh! Tak perlu bersusah payah. Kukhawatirkan kalau Pendekar Slebor telah


Pendekar Slebor 65 Dewa Lautan Timur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengetahui kedatangan kami. Lebih baik menunggu apa yang akan
dilakukan oleh Sangga Rantek."
Sementara itu lelaki berpakaian serba hitam
mulai menyelinap masuk ke dalam Pesanggrahan
Bayu Api. Dia tak meninjau bagian kiri karena
dipikirnya itu akan dilakukan oleh Iblis Rambut
Emas. Setelah menjelajahi segenap tempat dengan
kesiagaan penuh, Sangga Rantek akhirnya
memutuskan kalau tempat itu tak berpenghuni.
"Aneh! Apakah berita tentang Panembahan Agung yang berdiam di Pesanggrahan Bayu
Api hanya berita angin belaka" Tak ada tanda-tanda di mana dia berada! Juga tak ada tanda-
tanda kalau Pendekar Slebor ataupun Winarsih berada di sini!
Jahanam keparat! Berarti pengejaranku sia-sia
belaka! Huh! Dengan hanya pergunakan sebuah
potongan pedang, sangat sulit kulakukan untuk
menuju ke Pulau Hitam! Tetapi... aku yakin, titik-titik yang tergambar pada dua
potongan pedang,
berawal dari pedang yang kupegang! Karena pedang
ini adalah hulunya! Berarti... lebih baik
kupergunakan kesempatan ini untuk
mempelajarinya sejenak! Paling tidak, aku akan
menuju ke Pulau Hitam!"
Memutuskan demikian, di samping juga merasa
Iblis Rambut Emas masih sibuk menjelajahi tempat
di bagian kiri, Sangga Rantek segera keluar dari tempat itu.
Setelah meyakinkan diri kalau Iblis Rambut Emas
tidak mengintai perbuatannya, di balik ranggasan
semak belukar, dengan hati-hati Sangga Rantek
mengeluarkan kain hitam pembungkus Pedang
Buntung bagian hulu.
Hati-hati pula ditelusurinya titik-titik yang ada pada Pedang Buntung itu. Cukup
lama dilakukan sebelum akhirnya dia menganguk-anggukkan
kepala. "Dari titik-titik yang jelas ini, nampaknya aku
harus menuju ke arah barat. Tiba pada sebuah air
terjun, aku harus mengarah sedikit ke barat daya.
Ada dua buah bukit yang menjadi patokan.
Sayang... hanya sampai di sana saja yang
kuketahui. Tetapi paling tidak, aku sudah
mendapatkan arah menuju ke Pulau Hitam."
Kembali lelaki berhidung bengkok ini
membungkus kembali potongan pedang itu. Lalu
diselipkannya ke pinggangnya. Setelah itu dia keluar lagi dari balik ranggasan
semak menuju ke halaman depan Pesanggrahan Bayu Api.
Tak lama dia tiba, Iblis Rambut Emas pun
muncul. "Bagaimana?" tanyanya.
"Gagal!"
"Begitu pula denganku!" sahut Iblis Rambut Emas. "Jahanam keparat! Biar
bagaimanapun juga, aku harus mendapatkan Pendekar Slebor! Pemuda
celaka itu harus mampus di tanganku!!"
Sangga Rantek yang tetap menyangka kalau
tujuan yang dilakukan perempuan jelita bermata
kejam ini untuk membunuh Pendekar Slebor segera
berkata, "Sangat sulit menentukan di mana dia berada. Bahkan Panembahan Agung
pun tak kuketahui berada di mana. Tetapi, aku akan tetap
memburunya!!"
Seperti orang kebingungan Iblis Rambut Emas
ajukan tanya, "Lalu, apa yang akan kita lakukan?"
Sangga Rantek menatap lekat-lekat perempuan di
hadapannya sambil membatin. "Perempuan keparat ini semakin membuatku yakin kalau
dia memang tidak tahu tentang Pedang Buntung yang berada di
tanganku! Bagus! Dengan kata lain, aku akan tetap
dapat mempergunakan kepandaiannya! Tak ada
salahnya bila dia kuajak mengikuti arah dari titik-titik yang tergambar pada
Pedang Buntung ini! Toh dia tidak tahu ke mana arah yang akan kutuju!"
Berpikir demikian, Sangga Rantek berkata, "Kita tetap berkeinginan membunuh
Pendekar Slebor!
Kalau begitu... kita coba melacak jejaknya!" Habis kata-katanya, Sangga Rantek
segera berkelebat ke
arah barat. Di lain pihak, Iblis Rambut Emas terdiam dengan
kening berkerut. "Aneh, nampaknya dia begitu yakin dengan arah yang ditujunya.
Padahal, bila memang
Pendekar Slebor sebelumnya berada di tempat ini,
belum tentu arah barat yang dituju. Kemungkinan
lain... hmm... jangan-jangan... dia telah mempelajari titik-titik yang terdapat
pada Pedang Buntung yang dimilikinya. Bagus! Aku akan berlaku bodoh dengan tidak
mengetahui ke mana arah yang dituju! Luar
biasa! Kau memang sangat cerdik, Iblis Rambut
Emas!" Sambil tersenyum puas memuji kecerdikannya
sendiri, perempuan berkerudung merah ini segera
menyusul Sangga Rantek ke arah barat.
*** Lelaki tinggi kurus berpakaian kuning-kuning itu
hentikan langkahnya tatkala sepasang matanya
yang menjorok agak ke dalam menangkap dua
kelebatan tubuh tak jauh dari tempatnya berdiri.
Dia beruntung karena saat ini dirinya agak tertutup oleh ranggasan semak belukar
setinggi dada. Sejenak lelaki ini tak berkedip memperhatikan
sebelum mendesis kaget, "Gila! Apakah aku tak salah lihat" Bukankah kedua orang
itu Sangga Rantek dan Iblis Rambut Emas" Luar biasa! Sejak
kapan dua manusia celaka itu bersahabat"!"
Sejenak lelaki berpakaian kuning-kuning yang tak
lain Ki Pasu Suruan terdiam. Otaknya nampak
berkerut memikirkan pemandangan yang dilihatnya.
Setahunya, kendati satu golongan, Sangga Rantek
dan Iblis Rambut Emas bukanlah orang yang satu
sama lain mempunyai hubungan baik. Kalaupun
sekarang dilihatnya keduanya bersama-sama,
tentunya sesuatu yang luar biasa.
"Iblis Rambut Emas memiliki hati busuk dan otak licik! Tak mustahil sebenarnya
kalau dia sedang
memperalat atau memainkan satu sandiwara
sehingga Sangga Rantek mau berjalan bersamanya!
Sementara Sangga Rantek, walau terkadang masih
memiliki otak yang cemerlang, dia juga dapat
bertindak tolol! Terutama bila ada orang yang
memujinya! Dan tentunya ada sesuatu yang terjadi
di antara mereka hingga masing-masing orang dapat berjalan bersama! Hmmm...
hendak ke mana kedua
orang itu"!"
Kembali salah seorang dari Dua Manusia Goa Se
tan yang sedang menuju ke Pesanggrahan Bayu Api
ini terdiam. Kejap berikutnya dia mendesis lagi, "Aku menjadi ragu untuk menuju
ke Pesanggrahan Bayu
Api. Dua orang yang kubunuh itu memang
menunjukkan arah ini menuju ke Pesanggrahan
Bayu Api. Huhh! Apakah aku harus mengikuti
keduanya untuk mengetahui apa yang dia lakukan?"
Lagi-lagi orang ini terdiam sebelum berkata
dengan kedua tinju mengepal, "Huh!! Pendekar Slebor telah membunuh adik
seperguruanku! Dialah
orang yang memiliki dua potongan pedang yang
selama bertahun-tahun hendak dimiliki oleh Guru!
Bahkan Guru harus mengorbankan nyawanya di
tangan Pemimpin Agung!! Tidak! Tak perlu aku
mengikuti keduanya! Tujuanku tetap Pendekar
Slebor!! Akan kucabik-cabik tubuh pemuda itu
sebelum mampus kubunuh!"
(Untuk mengetahui urusannya dengan Pendekar
Slebor dan dua lelaki berpakaian hitam gombrang
yang lak lain Dirgo Kantas dan Suronto Kakak yang dibunuhnya, baca: "Pedang
Buntung").
Habis ucapannya, lelaki berpakaian kuning-
kuning ini segera berkelebat melanjutkan langkah.
Namun baru dua tombak dia bergerak, mendadak
dihentikan kelebatannya.
Serta-merta diarahkan pandangannya pada
bayangan hitam dan merah yang semakin menjauh.
"Ihhhh! Naluriku mengatakan kalau keduanya
baru saja meninggalkan Pesanggrahan Bayu Api!
Dan sepertinya tak mendapatkan hasil apa-apa!
Jangan-jangan... masing-masing orang mempunyai
niatan untuk mendapatkan potongan pedang" Oh!
Sebaiknya kuikuti saja ke mana kedua orang itu
pergi! Barangkali saja akan membawaku pada
tujuan yang kuinginkan."
Memutuskan demikian, Ki Pasu Suruan segera
hempos tubuh mengikuti perginya dua orang itu.
*** 3 Hari kembali lagi menjelmakan diri menjadi pagi.
lautan sinar surya begitu indah ditemani langit yang membiru cemerlang. Burung-
burung beterbangan
kian kemari disertai kicaunnnya yang merdu.
Sebuah ranggasan semak menyeruak, menyusul
munculnya sosok Pendekar Slebor dan Gadis
Kayangan. Dan masing-masing orang perhatikan
sekelilingnya yang sepi, yang dihiasi beberapa buah pohon besar serta ranggasan
semak belukar. Sejarak lima puluh tombak ke muka, terlihat hamparan
rumput yang indah.
Lalu terdengar suara Gadis Kayangan, "Andika!
Rasanya tak mungkin kita segera menuju ke Pulau
Hitam, karena kita tak memiliki titik-titik pertama yang terdapat pada Pedang
Buntung yang berada di
tangan Sangga Rantek!"
Sejenak Andika melirik gadis di samping kirinya
sebelum berkata, "Kau betul! Tetapi ya... aku sudah telanjur yakin sih dengan
meminta dua Panembahan
Agung itu untuk menuju ke Pulau Hitam. Jadi...
mau tak mau kita harus berusaha untuk mencapai
Pulau Hitam."
Terdengar dengusan Gadis Kayangan. Lalu
katanya, "Salahmu sendiri! Tetapi terpaksa kuakui kalau usulmu itu memang usul
yang terbaik!"
Kontan Andika palingkan kepala. Senyum
konyolnya mengembang.
"Wah! Bagus deh kalau kau setuju dengan
gagasan ku itu! Yah... maklumlah... otakku lagi
encer. Tapi... kadang-kadang saja, kok."
Gadis Kayangan tak hiraukan si pemuda yang
memuji dirinya sendiri. Dia teringat saat Andika
berbisik mengatakan kalau dia harus menunggu di
luar Pesanggrahan Bayu Api selagi anak muda itu
menyelesaikan urusan dengan dua Panembahan
Agung. Makanya dia berkata, "Andika... apakah kau tidak salah mengatakan, salah
seorang dari Kakek
Panembahan Agung adalah Dewa Lautan Timur?"
Anak muda urakan itu menganggukkan kepala.
"Tidak! Aku tidak asal ngomong. Ingatkah kau apa yang diceritakan Panembahan
Agung yang pertama
kali berbicara dengan kita tentang masa lalunya"
Dia mengatakan, tak seorang pun yang mengetahui
masa lalunya itu. Bahkan gurumu sendiri tidak.
Hanya kita yang tahu karena dia telah
menceritakannya. Akan tetapi... seseorang
mengetahui persoalan itu." "Dewa Lautan Timur maksudmu?" "Tidak salah!" sahut
Andika serius. Lalu nyengir. "Tak kusangka kalau kau pandai juga ya?" Winarsih keluarkan
dengusan keras.
"Brengsek!" makinya dalam hati. Lalu berkata,
"Karena Dewa Lautan Timur adalah orang yang
terlihat dalam urusan asmara masa lalu
Panembahan Agung, jadi kau menduga salah
seorang dari kedua orang itu adalah Dewa Lautan
Timur?" "Pintar lagi!"
Winarsih lak menghiraukan godaan Andika. Dia
ajukan tanya, "Tetapi... yang mana di antara mereka adalah Dewa Lautan Timur?"
"Itulah yang sulit! Soalnya, masing-masing orang tahu persis urusan masa lalu
yang terjadi! Dewa
Lautan Timur mencintai Laksmi Harum! Tetapi dia
gagal mendapatkannya karena dulu dikenal sebagai
pemuda berotak jahat! Panembahan Agung lebih
beruntung lagi kendati sebelumnya dia mencoba
menolak untuk memperistri Laksmi Harum! Nah!
Hanya kedua orang itu saja yang tahu urusan
masing-masing! Dugaanku, salah seorang dari
mereka adalah Dewa Lautan Timur! Jangan
tanyakan yang mana Panembahan Agung
sesungguhnya dan yang mana Dewa Lautan Timur?"
"Bukankah kita tahu, kalau Dewa Lautan Timur masih memiliki dendam pada
Panembahan Agung"
Bahkan dia yang telah menyuruh tiga lelaki
berpakaian hitam gombrang yang kau ceritakan,
untuk menjarah harta milik Panembahan Agung"
Kalau begitu... mengapa Panembahan Agung palsu
itu tidak menyerang Panembahan Agung yang asli?"
"Itu tak bisa kutebak mengapa. Hanya saja...
kemungkinannya seperti ini. Panembahan Agung
palsu atau yang kemungkinan besar adalah Dewa
Lautan Timur, memang sengaja mencoba untuk
mengacaukan pikiran di antara kita. Paling tidak, dia berharap kita akan
bersimpati padanya
sementara kita akan menyerang Panembahan Agung
yang palsu. Lainnya aku tidak tahu."
"Bila memang demikian adanya, mengapa Dewa
Lautan Timur datang paling akhir?"
"Hei!! Jadi kau menyangka Panembahan Agung
yang asli yang pertama kali bicara dengan kita?"


Pendekar Slebor 65 Dewa Lautan Timur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Gadis Kayangan meragu, lalu perlahan-lahan
gelengkan kepalanya.
"Aku tidak tahu. Kau sendiri?" "Wah! Kok tanya aku, sih" Aku sendiri bingung!
Bila memang kau
mengatakan Panembahan Agung yang asli adalah
orang yang pertama bicara dengan kita, aku punya
sedikit alasan untuk membantahnya. Karena,
sebelumnya aku mengetahui kebiasaan
Panembahan Agung dari tiga lelaki berpakaian hitam gombrang yang diberi upah
oleh Dewa Lautan Timur
untuk menjarah harta milik Panembahan Agung,
kalau Panembahan Agung suka berjalan-jalan di
padang rumput di belakang rumahnya setiap Kamis
malam. Terus terang, semula aku tak ingat akan hal itu, karena tak kupikirkan
akan muncul seorang
Panembahan Agung lainnya."
Andika menarik napas dulu sebelum
melanjutkan, "Kendati Panembahan Agung yang
bercakap-cakap pertama dengan kita mengatakan
alasan saat itu keadaannya kurang enak, aku tak
bisa mempercayainya begitu saja. Dan bila memang
Panembahan Agung yang datang belakangan adalah
yang palsu tentunya dia memang telah menyelidiki
kebiasaan Panembahan Agung yang asli. Tetapi, aku tak bisa memutuskan siapa yang
palsu dan siapa
yang asli."
"Lantas... bagaimana bila keduanya berhasil
mencapai Pulau Hitam sementara kita tak akan
pernah sampai ke sana?"
"Jangan bersikap meragu. Kita pasti akan sampai ke sana. Bukankah bila kita
memiliki keyakinan,
maka itu sudah menjadi modal utama dalam setiap
langkah?" "Huh! Bicaramu sok seperti seorang guru!"
Andika nyengir sambil garuk-garuk kepalanya
yang tidak gatal. Lalu katanya, "Bila yang kau khawatirkan terjadi... kupikir
antara Panembahan
Agung dan Dewa Lautan Timur akan terjadi
pertarungan yang sangat dahsyat di Pulau Hitam."
"Huh! Kau sendiri sih yang sok yakin!!"
"Habis... aku harus bagaimana lagi" Yang
kukemukakan itu adalah gagasanku yang terbaik,
Iho"!"
Winarsih cemberut. Namun dalam hati diam-diam
dikaguminya juga kecerdikan pemuda tampan
berambut gondrong acak-acakan ini. Memang, yang
terjadi itu begitu membingungkan. Tak terkecuali
Pendekar Slebor yang berotak seencer bubur pun
akan kebingungan (Yeee... kan ceritanya Pendekar
Slebor memang lagi kebingungan").
Sesaat tak ada yang buka suara. Angin pagi
berhembus sejuk. Kemudian terdengar suara anak
muda konyol dari Lembah Kutukan ini, "Gadis
Kayangan...."
"Namaku Winarsih!"
"Bodo, ah! Kau lebih pantas kusebut Gadis
Kayangan!" sahut Andika cuwek. Lalu melanjutkan,
"Bolehkah kulihat potongan pedang itu?"
"Kau sudah melihatnya saat Panembahan Agung
yang berbicara pertama dengan kita membukanya."
"Maksudku... aku ingin melihat titik-titik gambar yang tergambar pada potongan
pedang itu."
"Untuk apa?"
"Ya... barangkali saja akan membawa kita ke
Pulau Hitam."
"Percuma! Karena awal perjalanan menuju ke
Pulau Hitam, tergambar pada Pedang Buntung yang
sekarang berada pada Sangga Rantek!"
"Tetapi kan... bisa kulihat dulu" Boleh, nggak"
Boleh, nggak?" kata Andika dengan kata-kata yang terakhir diayunkan,
Tertawa sendiri Winarsih melihat sikap konyol
Pendekar Slebor. Lalu diserahkannya potongan
pedang yang dibungkus kain putih itu.
Setelah menarik napas, perlahan-lahan Andika
membukanya. Diperhatikan dengan seksama titik-
titik gambar yang tertera pada potongan pedang itu.
Titik-titik jelas yang membujur ke atas. Sementara Winarsih sendiri ikut
memperhatikan. Cukup lama kedua remaja itu mempelajari titik-
titik gambar yang tertera pada potongan pedang
yang dipegang Andika.
Lalu terdengar kata-kata Andika, "Memang sulit menduga secara rinci arah yang
kita tuju karena
kita tidak memiliki petunjuk pada potongan pedang satunya lagi. Tetapi
menurutlku... titik-titik gambar di potongan pedang ini berada di arah selatan.
Bila kita telusuri ke belakang, nampaknya kita harus
menemukan sebuah lembah yang cukup curam,
entah lembah apa namanya. Ada dua ukiran pohon
di sini. Dan kita harus masuk dari arah kiri. Berarti agak ke barat. Hmmm... tak
bisa lagi kita tebak arah sebelumnya. Tetapi... yang pasti, kita harus datang
dari arah barat lalu menuju ke arah selatan."
"Arah barat yang kita tempuh tentunya akan
memberikan berbagai petunjuk, Andika. Dan sulit
bagi kita menentukan arah bagian barat yang mana
yang harus kita tuju. Maksudku, jalan yang benar-
benar menuju ke Pulau Hitam."
"Kau betul."
"Berarti... kita tak bisa menelusuri arah barat untuk tiba di Pulau Hitam."
"Kau betul lagi."
"Dan yang paling pokok... kita akan tersesat
sebelum menuju ke Pulau Hitam."
"Betul lagi."
"Apakah... kau ini! Kok sejak tadi betul-betul terus"!" pelotot Gadis Kayangan
gemas, "Pikir dong yang benar?"
"Lho" Memang begitu adanya, kok. Apa yang kau kemukakan tidak salah." "Lantas
bagaimana?"
"Bukankah kita bisa mencoba, langsung
mengarah ke selatan?" aju Andika tersenyum.
Gadis Kayangan mengerutkan keningnya.
"Maksudmu?"
"Dari arah yang tergambar di potongan pedang ini, Pulau Hitam berada di bagian
selatan. Berarti...
kita coba langsung menuju ke selatan."
"Andika... bukankah arah selatan juga masih
banyak yang harus kita pertimbangkan?"
Sebelum Andika buka mulut, Gadis Kayangan
sudah berseru, "Jangan bilang betul lagi!"
Ngakak gede-gede anak muda urakan ini. Gadis
Kayangan yang semula sudah gemas man tak mau
tertawa juga. Diam-diam, dia merasakan
ketentraman bersama pemuda konyol urakan ini.
Dan entah mengapa pula, kecemasan serta
kebingungan yang melingkupinya selama ini, lamat-
lamat sirna. Sambil menikmati perasaan gembiranya, murid
mendiang Pemimpin Agung ini bertanya,
"Bagaimana dengan penjelasanmu?"
"Kita memang akan menuju ke selatan. Paling
tidak, kita akan mendapatkan tanda dua buah
pohon berdekatan sebelum menemukan lembah
yang curam. Setelah itu...."
"Kita terus menuju ke selatan sampai bertemu
tempat yang bernama Pulau Hitam." "Pintar!"
"Kalau begitu... kita berangkat sekarang?"
Andika membungkus kembali potongan pedang
itu dengan kain putih. Lalu menyerahkannya lagi
pada Gadis Kayangan.
"Kita isi perut dulu sebelum berangkat."
Habis kata-katanya, anak muda urakan ini segera
berkelebat meninggalkan Gadis Kayangan. Perasaan
tenang di hati gadis berkepang dua ini semakin
menjadi-jadi. Dia tersenyum tatkala melihat
bayangan hijau pemuda tampan itu menghilang dari
pandangan. Lalu berhati-hati dia berjalan mendekati sebuah
pohon rindang dan duduk bersandar di bawahnya.
Angin semilir membelai wajah jelitanya.
Dikenangnya lagi perjumpaannya dengan anak
muda berpakaian hijau pupus itu. Dan disesalinya
mengapa dia mencurigai anak muda itu sebelumnya.
Tetapi sekarang, perasaan tenteram kian
menyelimuti hatinya. Paling tidak, dia sudah
mengutarakan maafnya di depan Panembahan
Agung. Ternyata dalam kesendirian yang cukup
membingungkannya, masih ada orang lain yang
akan mengisi hatinya. Bahkan mulai mengusap-
ngusap relung hatinya yang terdalam, hingga
perasaannya seperti berada di awang-awang.
"Aneh! Apakah ini pertanda aku jatuh cinta?"
desisnya bingung dan senang.
Lalu dibayangkannya kembali wajah, sikap dan
perbuatan Pendekar Slebor. Apalagi begitu teringat kekonyolan yang dilakukan
anak muda itu di saat
berkata-kata. Makin dibayangkan, makin
terkembang senyuman di bibir gadis jelita berkepang dua itu.
Dan dia tak sadar tatkala seorang lelaki tua
mengenakan pakaian kuning gombrang dengan
sorban kuning menghiasi kepalanya yang lonjong,
telah berdiri sejarak lima langkah dari hadapannya.
Pandangan lelaki tua bermata kelabu ini
memandang tak berkedip pada gadis yang masih
bersandar di bawah pohon.
Tahu-tahu dia keluarkan dengusan.
Melengak gadis jelita ini mendengar dengusan
orang. Seketika dia angkat kepala dan kejap
berikutnya kontan dia berdiri. Menyusul dia
membentak, "Siapa kau"!"
*** 4 Orang bersorban kuning itu perlihatkan
seringaiannya. Entah kenapa Gadis Kayangan
merasa hatinya seperti diremas kuat. Rasa ngeri
sedikit membalurinya melihat wajah yang tak
ubahnya setan belaka.
Perlahan dan sambil tindih kengeriannya, gadis
jelita berkepang dua ini menyingkir agak kiri. Bila terjadi sesuatu yang tidak
diinginkannya, sungguh berbahaya karena di belakangnya berdiri tegak
sebatang pohon.
Kejap kemudian didengarnya suara lelaki tua itu,
dingin dan menusuk, "Gadis Kayangan! Sebuah
julukan yang patut kau sandang mengingat
kecantikan wajah mu! Julukan itu akan kubiarkan
melekat pada dirimu tanpa merusak segala
keindahan yang ada padamu! Tetapi... kau harus
menyerahkan potongan pedang kepadaku sebagai
gantinya!!"
Seketika lenyap rasa ngeri yang timbul begitu saja melihat wajah setan di
hadapannya. Gadis yang
memang agak panasan ini, langsung dapat menduga
kalau lelaki tua bersorban kuning di hadapannya
mempunyai maksud tidak baik.
Namun mendadak saja dia urungkan niat untuk
keluarkan suara. Mulutnya mengatup rapat.
Pandangannya agak menyipit, tak berkedip. Ada
sesuatu yang melintas di benaknya.
Sambil pandangi kakek tinggi kurus bersorban
kuning di hadapannya, diam-diam gadis ini
membatin, "Orang tua ini bersorban kuning. Apakah bukan dia orangnya yang
diceritakan Andika" Atau
yang dikenal dengan julukan Dewa Lautan Timur.
Oh! Kalau memang begini adanya, mungkinkah dia
yang menyamar sebagai Panembahan Agung" Aku
harus berhati-hati.".
Di depan, orang yang memang tak lain Dewa
Lautan Timur, orang yang mempunyai dendam
setinggi langit pada Panembahan Agung,
mendengus. "Anak gadis! Terlalu sayang untuk merusak wajah jelitamu itu! Tetapi tak pernah
kulontarkan perintah sebanyak dua kali! Berikan potongan pedang itu!!"
Winarsih masih terdiam dengan pikiran berjalan,
"Bila kuhadapi... sudah tentu aku tak akan menang.
Tetapi, aku juga tak mau menyerahkan potongan
pedang ini padanya. Oh! Mengapa Andika lama
sekali?" Tatkala dilihatnya Dewa Lautan Timur yang telah
meradang hendak buka mulut, buru-buru Winarsih
berkata, "Orang tua... kau salah menduga kalau mengatakan aku memiliki potongan
pedang itu!"
Bukannya gusar mendengar jawaban orang, Dewa
Lautan Timur terbahak-bahak keras hingga kedua
bahu kurusnya agak berguncang.
"Luar biasa! Baru kali ini ada yang berani
berdusta di hadapanku! Anak gadis! Katakan sekali lagi! Kau seperti mengusap-
usap kedua telingaku
ini!!" Wajah Winarsih agak memucat sekarang. Tetapi
sudah telanjur basah, bila dia berdiam justru akan semakin
memancing kemarahan lelaki di
hadapannya ini. Berarti dia memang harus
melanjutkan kebohongannya. Paling tidak,
menunggu sampai Andika muncul.
"Mana mungkin aku berani berdusta di hadapan lelaki agung seperti kau ini! Bila
aku berbuat demikian, berarti aku menggali lubang kuburku
sendiri!" Tawa keras Dewa Lautan Timur mendadak
terputus. Sepasang mata kelabunya seperti
memancarkan cahaya yang lebih pekat saat


Pendekar Slebor 65 Dewa Lautan Timur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memandang tak berkedip pada Winarsih.
"Katakan!!"
"Gila! Mengapa tadi kukatakan seperti itu" Ah, urusan jadi membuatku serba
salah! Padahal saat
ini seluruh rencana telah matang untuk menuju ke
Pulau Hitam! Telah kusampaikan amanat Guru
untuk menjumpai Panembahan Agung! Namun
tanpa disangka, ada seorang lagi yang berlaku dan
berwajah mirip dengan Panembahan Agung sehingga
sulit dibedakan! Dan sekarang... aku harus
berhadapan dengan lelaki tua keparat yang menurut Andika adalah orang yang
menyamar sebagai
Panembahan Agung! Brengsek betul!!"
Habis membatin demikian, harga diri Winarsih
yang sudah tersinggung terangkat naik. Tanpa
hiraukan bahaya telah membentang di hadapannya,
gadis ini berseru keras, "Apa yang akan kau lakukan bila aku tidak mau
mengalakannya, hah"! Apa pula
yang akan kau lakukan bila memang ternyata
potongan pedang itu ada padaku"!"
"Berarti... kau akan menemui kematian!!"
Kejap itu pula tangan kanan lelaki bersorban
kuning sudah terangkat. Bersamaan tangan yang
diangkat itu, mendadak saja menggebrak gelombang
angin berkekuatan tinggi. Menyeret tanah saat
menggempur ke arah Gadis Kayangan.
Kendati Winarsih sudah bersiaga penuh, namun
dia dibuat terkejut pula. Karena gempuran
gelombang angin itu sangat cepat. Terburu-buru dia membuang tubuh ke samping
kanan. Blaaammm!! Pohon besar yang berdiri tegak di belakangnya,
terhajar gelombang angin itu. Daun-daunnya
seketika berguguran. Beberapa dahan dan ranting
patah berhamburan. Menyusul pohon itu bergetar
kuat, lalu tumbang menimbulkan suara
menggemuruh. Di tempatnya, Winarsih terkesiap dengan dada
naik turun. "Gila! Gelombang angin itu seperti
mempermainkan apa yang dihajarnya! Seperti
lakukan sebuah siksaan sebelum memukul roboh!
Aku harus berhati-hati!!"
Di seberang, Dewa Lautan Timur putar tubuh
menghadapi Winarsih kembali. Pandangannya
menusuk tajam. Kedua tangannya mengepal kuat.
"Kau akan menyesali kekurangajaranmu ini, Anak Gadis!!"
Menyusul kembali diangkat tangan kanannya ke
atas. Lagi-lagi bersamaan tangannya diangkat, satu hamparan angin mengerikan
melabrak. Disusul
dengan hamparan angin lainnya.
"Ohhh!!" terdengar pekikan tertahan Gadis Kayangan. Dia mencoba untuk
memapakinya. Namun begitu disadari kalau dia tak akan mampu
papaki gelombang angin yang kedua, diputuskan
untuk membuang tubuh kembali secara
bergulingan. Blaaarr! Blaaarrr!!!
Beruntung terdengar dua letupan keras
menghantam dua bagian tanah yang berbeda. Dan
langsung muncrat ke udara menghalangi
pandangan. Tatkala semuanya luruh kembali, nampaklah dua
buah lubang yang cukup besar serta keluarkan
asap. Sementara itu, Winarsih yang telah kembali
berdiri tanpa disadarinya tubuhnya bergetar. Wajah pucatnya dihiasi keringat
dingin yang mengalir
Kedua bola matanya mengerjap-ngerjap tak ubahnya
seekor kelinci yang masuk perangkap seekor
serigala. "Celaka! Mengapa aku tadi sempat mengkhayal yang bukan-bukan hingga tak
mengetahui kehadirannya" Bila saja aku...."
Terdengar bentakan Dewa Lautan Timur
memutus kata batin si gadis, "Kau akan menyesali semua tindakanmu ini, Anak
Gadis! Tetapi... masih kupertimbangkan untuk tidak mencabut nyawamu
bila menyerahkan potongan pedang itu! Hanya saja, tanpa kau serahkan pun aku
akan dapat merebutnya! Dan satu permainan yang menarik
telah ada di benakku!!" Lalu dia terbahak-bahak.
Di depan, Winarsih yang agak terengah-engah
terkejut. Dia sadar arti 'permainan' yang diucapkan Dewa Lautan Timur.
"Jahanam keparat! Tak akan pernah kubiarkan
lelaki tua itu menjamah tubuhku!!"
Habis memaki dalam hati, Winarsih membentak,
"Kau terlalu banyak bermimpi! Mengapa tidak segera kau buktikan untuk
mendapatkan potongan pedang
itu" Tetapi sudah kukatakan, kau akan membawa
kekecewaan yang dalam karena benda yang kau cari
tidak berada padaku!!"
Terbahak-bahak Dewa Lautan Timur. Lalu
merandek dingin, "Kau hendak mengatakan kalau potongan pedang itu berada di
tangan pemuda berjuluk Pendekar Slebor" Ha ha ha... sangat
menyenangkan sekali permainan yang kau berikan!
Anak gadis... sejak tadi aku sudah melihat kalian berdua di sini! Dan pemuda itu
telah menyerahkan
kembali potongan pedang ke tanganmu, bukan"
Atau... kau masih mau mungkir lagi?"
"Oh!" terkesiap Winarsih hingga tanpa sadar dia surut satu tindak ke belakang.
"Gila! Jadi sejak aku masih bersama Andika di sini, dia sudah mengintip"
Jahanam keparat!"
"Mengapa kau membisu seribu bahasa"!
Beruntung nasib Pendekar Slebor karena dia
memutuskan untuk mencari makanan! Padahal, aku
sudah siap untuk menghancurkan kalian berdua!
Anak gadis... tentunya kau tak menyangsikan
kepandaian anak muda dari Lembah Kutukan itu,
bukan" Dan aku yakin, kalau anak muda itu
sebenarnya telah tahu kedatanganku! Karena takut
menghadapiku, dia sengaja memberikan kembali
potongan pedang kepadamu! Bahkan berlagak
untuk mencari pengisi perut! Padahal... dia mencoba menghindarkan kematian yang
aku turunkan! Sayang sekali! Kau berwajah cantik tetapi mudah
dipermainkan orang seperti itu!"
"Tidak! Tak mungkin Andika melakukan hal itu!
Jelas kalau dia memang tidak tahu menahu
kehadiran manusia sesat ini!" yakin Winarsih dalam hati.
Dewa Lautan Timur yang sengaja mengacaukan
perasaan si gadis berkata lagi, "Dan herannya, kau masih menunggu serta berharap
kehadirannya"
Bodoh! Sungguh bodoh! Lebih baik kau tinggalkan
pemuda seperti itu! Kita bersama-sama menuju ke
Pulau Hitam dan memecahkan segala rahasia yang
ada di sana!!"
"Terkutuk! Tutup mulutmu!!" geram gadis berkepang dua ini dan langsung mendorong
kedua tangannya ke depan. Dia tak mau lagi mendengar
kata-kata berbisa Dewa Lautan Timur. Jurus
'Matahari Tebar Sinar' telah dilepaskannya. Serta-merta udara di sekitar sana
berubah menjadi panas.
Namun lelaki berkepala lonjong itu hanya
terbahak-bahak saja. Tanpa menggeser
kedudukannya, dia hanya mengangkat tangan
kanannya saja. Blaaammm!! Gelombang angin panas yang dilepaskan
Winarsih langsung pecah bermuncratan terhantam
gelombang angin yang keluar dari gerakan tangan
kanan Dewa Lautan Timur. Bahkan disusul dengan
gemuruh angin laksana topan menghantam pesisir.
"Heiiii!!"
Memucat wajah Winarsih. Selain mendapati
serangannya terhantam putus, dia juga terkejut
melihat gebrakan berikutnya yang dilakukan Dewa
Lautan Timur. Sebisanya dia membuang tubuh. Sementara
tanah di mana si gadis berdiri tadi, langsung
membentuk sebuah lubang sedalam satu tombak
dan keluarkan asap begitu terhantam gelombang
angin pukulan Dewa Lautan Timur, yang sejak tadi
lancarkan atau memapaki serangan Winarsih tetapi
tak bergeser dari tempatnya.
Sejarak sepuluh langkah di muka, Gadis
Kayangan berdiri sempoyongan seraya membatin
resah, "Tak mungkin aku menghadapinya... tak mungkin aku menjauhinya.... Oh!
Mengapa Andika belum muncul juga" Jangan-jangan... yang
dikatakan lelaki tua celaka itu benar adanya" Dia memang sengaja... tidak! Tidak
mungkin Andika melakukan tindakan keji seperti itu! Dia memang
tidak tahu kalau Dewa Lautan Timur akan muncul!
Tetapi... mengapa sampai saat ini dia belum hadir juga" Tak mungkin dia belum
mendapatkan makanan sebagai pengisi perut...."
Sementara itu Dewa Lautan Timur tersenyum
aneh. "Hmmm... bila aku berhasil mengacaukan
perasaan gadis ini, semuanya akan berhasil. Menilik sampai sekarang Pendekar
Slebor belum muncul
juga, sudah tentu nenek celaka itu berhasil
menghadangnya. Mudah-mudahan dia dapat
membunuhnya...," katanya dalam hati. Lalu
menyambung, "Untuk apa kau harapkan
kedatangan Pendekar Slebor" Lebih baik ikut
denganku! Kita bunuh Panembahan Agung
bersama-sama!"
Teringat akan Panembahan Agung, Gadis
Kayangan berseru, "Manusia terkutuk! Berani-
beraninya kau menyamar sebagai kakekku!!"
Mendengar ucapan si gadis, nampak Dewa
Lautan Timur melengak kaget. Seketika keningnya
nampak berkerut.
"Menyamar sebagai Panembahan Agung" Huh!
Pantang bagiku untuk melakukannya! Manusia
keparat itu akan mampus di tanganku! Dia
beruntung ketika tadi aku tiba di Pesanggrahan
Bayu Api, manusia itu tak ada di sana! Tetapi...
justru nasibku yang beruntung karena melihat kau
dan Pendekar Slebor berada di sini! Dan aku yakin...
bila saja aku mau lebih bersabar menunggu, akan
terjadi pemandangan asyik masyuk di hadapanku!!"
Winarsih terdiam dengan napas turun naik. Dia
membatin, "Aneh! Mendengar ucapannya, jelas dia memang baru berada di sini.
Kalau begitu... apakah yang dipikirkan Andika salah" Kalau bukan
manusia ini yang menyamar sebagai Panembahan
Agung" Tetapi alasan yang diberikan Andika dapat
diterima dan masuk akal. Huh! Tidak! Dia hanya
mencoba untuk mengacaukan keadaan! Lebih baik
bertarung sampai darah penghabisan ketimbang
menyerah begitu saja!"
Memutuskan demikian dan himpun segenap
kekuatannya, mendadak saja Gadis Kayangan
melesat ke depan seraya keluarkan jurus 'Matahari Tebar Sinar'.
Namun seperti tadi, Dewa Lautan Timur hanya
mengangkat tangan kanannya saja. Begitu serangan
Gadis Kayangan putus di tengah jalan, tangan
kirinya langsung diangkat.
Memekik tertahan gadis berbaju biru muda ini.
Tak mungkin dia dapat memapaki serangan itu, juga untuk menghindarinya. Maka
tanpa ampun lagi,
dadanya telak terhantam gelombang angin yang
dilepaskan Dewa Lautan Timur.
"Aaaakhhhh!!"
Kontan gadis ini terseret dua tombak ke belakang.
Begitu ambruk di atas tanah, dia langsung jatuh
pingsan. Terbahak-bahak Dewa Lautan Timur melihatnya.
"Semuanya akan berhasil seperti yang
kurencanakan...."
Lalu dengan langkah perlahan, dihampirinya
sosok gadis jelita yang pingsan itu. Sejenak
dipandanginya sekujur tubuh Gadis Kayangan.
Saat itu pula sepasang matanya berbinar-binar
penuh kilatan birahi. Sambil menjilat bibirnya
sendiri, lelaki tua berkepala lonjong ini meraba
sekujur tubuh Winarsih. Lalu dimasukkan tangan
kanannya di bagian pinggang sebelah kiri si gadis.
Diambilnya potongan pedang yang dibungkus kain
putih. Dibukanya sejenak untuk melihat isinya
sebelum dimasukkan ke balik pinggangnya sendiri.
Kembali diperhatikan sekujur tubuh gadis jelita
ini. "Hmmm... Pendekar Slebor belum muncul juga.
Berarti nenek itu memang berhasil. Bagus... akan
kulewati waktu untuk menikmati kehangatan tubuh
gadis ini...."
Sambil menyeringai lebar, tangan kurus Dewa
Lautan Timur bersiap untuk membuka pakaian
Winarsih satu persatu. Namun baru saja tangan itu bergerak, mendadak saja
dirasakan satu hamparan
angin dingin menggebrak dari arah kanan.
"Heiii!!" mendongak Dewa Lautan Timur seraya melompat ke belakang.
Belum lagi disadarinya apa yang terjadi,
mendadak saja satu sosok tubuh berpakaian hitam
compang-camping telah berkelebat dan menyambar
sosok Winarsih.
Keterkejutan Dewa Lautan Timur cuma sesaat.
Karena di saat lain dia sudah mendorong tangan
kanannya disertai makian, "Berhenttiiii!!"


Pendekar Slebor 65 Dewa Lautan Timur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Wuuuttt! Namun bayangan hitam compang-camping itu,
hanya menggerakkan tangan kirinya ke belakang.
Wuss!! Blaaammm!!
Kalau tadi gelombang angin yang dilepaskannya
tak bisa dipatahkan Winarsih, kali ini serangannya dapat diputuskan oleh si
bayangan hitam. Bahkan
mendadak saja terlihat Dewa Lautan Timur
melompat ke samping kanan. Menyusul terdengar
suara letupan yang menghantam tanah di mana tadi
dia berpijak. Sementara itu, si bayangan hitam telah lenyap
dari pandangan.
"Jahanam terkutuk!" maki kakek bersorban kuning ini geram. Kedua tangannya
dikepal erat-erat dengan tubuh bergetar tanda kemarahan menjalari
seluruh aliran darahnya. "Siapa orang itu"
Wajahnya sulit sekali kulihat! Gerakannya laksana dedemit belaka! Keparat sial!"
Lalu dihentakkan kaki kanannya ke tanah untuk
lampiaskan kesalnya. Kontan tanah itu langsung
amblas hingga ke dengkul. Saat ditarik kembali,
tanah itu membuyar ke udara dan segera terbentuk
lubang yang cukup lebar.
"Setan alas! Ada manusia yang berani lancang bermain-main denganku! Huh! Untuk
saat ini, kulupakan siapa dia! Urusanku tetap dengan
Panembahan Agung! Dengan potongan pedang ini,
akan kucapai Pulau Hitam! Ingin kuketahui ada
rahasia apa di pulau itu!"
Mendadak kepalanya diarahkan ke kiri dari mana
dia datang tadi.
"Kupikir... tak perlu lagi kutunggu nenek celaka itu! Biarlah dia berurusan
dengan Pendekar Slebor!
Mampus pun aku tak peduli!"
Habis kata-katanya, dibukanya kain putih
pembungkus potongan pedang. Diperhatikan dengan
seksama, sampai kemudian terlihat kepalanya
mengangguk-angguk.
"Hmmm... ke arah barat! Tetapi sebaiknya,
kubunuh Sangga Rantek yang memiliki Pedang
Buntung, yang merupakan hulu dari potongan
pedang yang sekarang berada di tanganku ini!"
desisnya sambil membungkus dan memasukkan
kembali benda itu.
Kejap kemudian, dia sudah berkelebat ke arah
barat. *** 5 Sebenarnya apa yang alami Pendekar Slebor
sehingga dia belum kembali juga ke tempat Gadis
Kayangan" Setelah meninggalkan Gadis Kayangan
untuk mencari makanan pengisi perut, anak muda
urakan ini gagal menemukan pohon yang buahnya
dapat dimakan. Yang tumbuh di tempat itu, rata-
rata pohon trembesi.
"Busyet! Kenapa tidak ada pohon buahnya" Apa dulu tidak ada orang yang iseng
sehabis memakan
buah bijinya dibuang sembarangan dan akhirnya
tumbuh" Monyet Udik!!"
Selagi Andika memaki-maki sendiri sambil garuk-
garuk kepalanya yang tidak gatal, dilihatnya dua
ekor kelinci bergerak cepat dari satu gerumbulan
semak ke semak yang lainnya. Berbinar Andika
dengan senyuman mengembang, Segera saja anak
muda ini mengejar kelinci-kelinci itu,
Namun rupanya kelinci-kelinci itu paham kalau
mereka sedang diburu, Mereka langsung masuk ke
dalam lubang yang tak diketahui di mana
tempatnya, Tinggal Andika yang cuma nyengir
bercampur gemas,
"Busyet! Aku dipermainkan kelinci! Awas! Kalau kutangkap, akan kupanggang
kalian!! Tapi... he he he... seharusnya kalian mengerti dong, aku kan lagi lapar
nih! Bukannya bermaksud menghentikan
umur kalian, tapi kan aku lapar! Ayo dong...
keluar... keluar...."
(Ealah, Bor, Bor, kok kagak tau malu sih")
Lalu diedarkan pandangan ke sekelilingnya,
mencoba mencari buruan lain. Tetapi sejauh itu,
jangan kelinci-kelinci tadi yang tak juga keluar, burung-burung yang biasanya
banyak beterbangan
pun seolah tak diketahui di mana mereka saat ini.
"Monyet pitak! Kalau begini caranya, bakalan keroncongan nih!!" sungutnya agak
jengkel. Tatkala disadarinya kalau dia cukup lama telah
meninggalkan Gadis Kayangan, Andika memutuskan
untuk menemuinya kembali. Dia berharap agar
gadis itu belum membayangkan makanan enak yang
akan mengisi perutnya.
Baru saja dia berbalik, mendadak saja kepalanya
menegak. Di hadapannya telah berdiri seorang
perempuan tua berusia sekitar enam puluh tahun.
Wajah perempuan itu bulat telur dan dihiasi
rangkaian kulit keriput. Rambutnya panjang tak
beraturan, Mengenakan pakaian batik kusam, Di
tangannya terdapat cambuk berlidah tiga,
"Eh, busyet! Dari mana munculnya perempuan
tua ini" Iih! Tampangnya kok seram amat?" desis Andika dalam hati.
Di depan, si nenek buka mulut dengan
pandangan tak berkedip, suaranya nyaring dan tak
enak didengar, "Hhh! Jadi kau rupanya pemuda yang berjuluk Pendekar Slebor!
Kupikir, sekali
melihatmu saja orang akan ngeri! Tidak tahunya,
kau hanya sebangsa keroco belaka!"
Mendengar ucapan orang, pemuda yang di
lehernya melilit kain bercorak catur ini cuma
mengangkat sepasang alis hitam legamnya. Tukikan
sepasang alis laksana kepakan sayap elang itu,
semakin menukik tajam saat di gerakkannya.
Terdengar lagi suara si nenek, "Begitu bodoh kalau kakek celaka itu menyuruhku
menghadapi pemuda seperti kau ini! Padahal, anak yang baru
bisa buang ingus dapat mengalahkanmu hanya
dalam tiga jurus!!"
"Ah, masa?" sahut Andika sambil tersenyum dan diam-diam membatin, "Datangnya
perempuan ini tak kuketahui sama sekali. Bertanda kalau dia
memiliki ilmu peringan tubuh yang cukup tinggi.
Dari ucapannya, jelas kalau dia memiliki maksud
tidak baik. Hmmm... siapa dia sebenarnya?"
Si nenek maju dua tindak ke muka. Tangan
kanannya yang memegang cambuk berlidah tiga,
menuding ke muka, "Berlutut di hadapanku, maka yang kuminta hanya kedua
tanganmu!!"
"Nah, nah! Berlutut saja kau masih menginginkan kedua tanganku! Kalau aku masih
berdiri... kau menginginkan apa?"
Mengkelap wajah si nenek mendengar selorohan
Pendekar Slebor. Bibir peotnya berkomat-kamit
tanpa keluarkan suara. Kejap kemudian, baru dia
membentak, "Terlalu banyak omong! Kau tak akan dapat kembali pada temanmu yang
berjuluk Gadis Kayangan!"
Terkesiap Andika mendengar ucapan orang.
Tetapi hanya sebentar karena kemudian dia sudah
tersenyum-senyum. Kendati demikian, dia berkata
cemas dalam hati, "Mendengar ucapannya, jelas sekali kalau nenek ini mengetahui
aku bersama Gadis Kayangan. Bisa jadi kalau dia sebelumnya
memang membuntutiku. Tetapi, mengapa justru aku
yang dikejar" Mengapa dia tidak muncul di saat aku masih bersama dengan Gadis
Kayangan" Dan lagi...
jangan-jangan... ada sesuatu yang telah terjadi pada Gadis Kayangan?"
Berpikir demikian pemuda pewaris ilmu Pendekar
Lembah Kutukan ini berkata, "Wah! Kau kok bisa tahu semuanya. Nek" Apakah kau
seorang peramal"
Kalau memang iya, tolong dong ramalin aku, nih"
Umur berapa aku akan kawin"!"
Si nenek mendengus gusar. Tetapi sejurus
kemudian mulutnya pentangkan senyum aneh.
"Kakek celaka itu tentunya sudah menikmati tubuh si gadis sekarang! Benar-benar
busuk! Dia menyuruhku untuk membunuh pemuda ini
sementara dia asyik bersenang-senang! Huh! Bila
aku tidak mencintainya, tak akan mau aku
diperintah seperti ini! Seharusnya, dia langsung
mencari dan membunuh Panembahan Agung! Tetapi
justru banyak...."
Memutus kata batinnya sendiri, si nenek sudah
keluarkan bentakan, "Tak ada waktu lagi untuk saling buka diri! Bersiaplah untuk
mampus!!" "Eit, eit! Tunggu dulu, ah! Aku kan belum tahu namamu! Sebutkan dong!!"
Di seberang bibir keriput si nenek membentuk
seringaian. Wajahnya bertambah mengerikan. Dia
berpikir, pemuda berbaju hijau pupus bertanya
seperti itu, karena jeri menghadapinya. Karena
diingatnya betul, didaerah utara siapa pun yang
mendengar julukannya, langsung berpikir sepuluh
kali untuk menghadapinya. Lalu dengan suara
pongah dia berucap, "Kenang aku dengan julukan
Setan Cambuk Api!"
"Nah! Begitu, dong! Kan aku bisa mengukir nama mu di batu nisanmu!!"
Belum habis ucapan Andika terdengar, si nenek
yang mengaku berjuluk Setan Cambuk Api ini sudah
menerjang ganas diiringi teriakan keras.
"Kucabik-cabik tubuhmu!!"
Cltaaarr!! Cambuk berlidah tiganya langsung keluarkan
suara yang mengerikan begitu digerakkan. Menyusul keluar tiga lesatan angin
laksana anak panah.
Di tempatnya, sejenak Pendekar Slebor melengak
dan kejap itu pula dia melompat ke samping kanan.
Saat kembali berdiri tegak, dilihatnya tanah yang tadi dipijaknya telah bergaris
tiga buah sedalam
satu jengkal. Sementara itu, pada pohon trembesi
yang ada di belakangnya, segera terbentuk tiga buah bolongan sebesar ibu jari!
Melengak anak muda urakan ini sambil geleng-
geleng kepala. Lalu diarahkan pandangannya pada
Setan Cambuk Api yang tengah menyeringai.
"Jadi benaran nih kau mau membunuhku. Nek"
Bilang dong kalau mau membunuhku! Kan aku tadi
tidak perlu menghindar! Kau juga sih yang salah
tidak bilang-bilang!"
Putus senyuman di bibir Setan Cambuk Api.
Tubuh nya yang agak membungkuk mendadak
terlihat menegak.
"Pemuda keparat! Kusesali hidupku selama ini bila tak dapat membunuhmu!!"
Kembali digerakkannya cambuk berlidah tiga
dengan kerahkan setengah tenaga dalamnya.
Cltaaarrr!! Suara yang terdengar begitu mengerikan sekali,
disusul dengan lesatan tiga angin laksana anak
panah saat cambuk itu digerakkan.
"Ah, Nek! Jangan begitu yakin! Kau sepertinya bersumpah tuh! Dan kau akan
menyesali hidupmu
selama ini!" sahut Andika sambil membuang tubuh.
Dia memang belum mau lakukan serangan balasan.
Ini dilakukan untuk mengetahui lebih lanjut
siapakah Setan Cambuk Api. Di samping itu, dia
juga hendak mengukur kepandaian yang dimiliki si
nenek. Tetapi yang mengejutkan, kalau tadi dia dapat
menghindar dengan mudah, kali ini dia justru
seperti monyet kebakar ekornya. Karena lidah-lidah cambuk si nenek tidak
bergerak secara bersamaan
seperti yang pertama.
Kali ini, lidah cambuk di bagian tengah melesat
lebih dulu siap bantam kepala Andika. Dan begitu si anak muda bergerak ke kanan,
lidah cambuk bagian
kanan sudah mencecar ke arahnya.
Cltaaarr!! "Lho, lho" Kok begini nih"!" dengusnya dan dengan pencalan satu kaki dia
melompat ke belakang. Bersamaan dengan itu, Setan Cambuk Api
kembali menggerakkan cambuknya disertai ucapan,
"Tubuhmu akan tercabik-cabik, Pendekar Slebor!!"
Dasar konyol, anak muda itu masih sempat
berucap, "Ah, masa"! Yang benar" Kan jadi malu kalau ternyata tidak jadi
tercabik-cabik!"
Ucapannya itu semakin membuat Setan Cambuk
Api bertambah bernafsu. Beruntun perempuan tua
ini menggerakkan cambuknya. Hingga saat itu pula
banyak ranggasan semak yang terpapas dan
beterbangan, disusul muncratnya tanah ke udara.
Bahkan lima buah pohon sudah bolong tiga buah
terkena sambaran angin laksana lesatan anak
panah. Tidak hanya sampai di sana saja yang
dilakukannya. Karena mendadak saja si nenek
angkat tangan kanannya yang memegang cambuk.
Kejap kemudian diputar-putarnya ke udara, hingga
saat itu pula terdengar suara 'cltar' berulangkali.
Keras dan memekakkan telinga.
Andika sendiri harus berhati-hati dan
menghindar kesana kemari karena lesatan angin
laksana anak panah berulangkali terjadi.
Menyusul sesuatu yang membuat sepasang mata
anak muda urakan ini membuka lebih lebar. Karena
perlahan-lahan dilihatnya kobaran api pada tiga
lidah cambuk yang dipegang si nenek.
Melihat perubahan wajah Pendekar Slebor, Setan
Cambuk Api terkikik dengan senyuman aneh.


Pendekar Slebor 65 Dewa Lautan Timur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sekarang... ajal sudah ada di depan matamu, Pendekar Slebor"!"
Lagi-lagi Pendekar Slebor menyahut konyol, "Ah, masa"!" (Busyet! Senang banget
lo Bor, bilang begituan! Lagi mode kali ya").
Tak mau membuang waktu lagi, Setan Cambuk
Api sudah menggebrak ke depan seraya kibaskan
cambuk berlidah tiganya. Saat itu pula melesat tiga buah api sebesar kepalan
orang dewasa ke arah
Pendekar Slebor.
Siingg! Siiingg! Siiinnngg!!!
Kalau tadi Pendekar Slebor hanya menghindar,
kali ini dia langsung menerjang ke depan. Tenaga
'Inti Petir' tingkat ke sembilan telah dipergunakan.
Saat digerakkan kedua tangannya guna papaki tiga
bungkahan api, terdengar salakan petir yang cukup keras.
Pyaar!! Pyaarr! Pyaarr!!
Kontan tiga bungkahan api sebesar kepalan
tangan itu punah. Namun itu bukanlah akhir dari
gebrakan yang dilakukan Setan Cambuk Api. Karena
lidah-lidah cambuknya telah mengancam Pendekar
Slebor. Terkesiap anak muda ini sambil buang tubuh ke
belakang. Cltaarr!! Citaarr! Cltaarr!!
Tiga kali suara keras itu terdengar dan terlihat
tanah kembali membentuk garis lurus sedalam
pergelangan tangan.
Mendapati gebrakan yang dilakukannya gagal,
Setan Cambuk Api bertambah beringas. Kali ini dia langsung gerakkan cambuknya
lebih cepat. Kejap itu pula beruntun menderu bongkahan-bongkahan api
sebesar kepalan tangan.
Menghadapi hujan bola-bola api itu, mau tak mau
Andika kewalahan juga. Pukulan yang mengandung
tenaga 'Inti Petir' pun harus ditambah kecepatannya.
Bahkan tatkala dipergunakan ilmu peringan
tubuhnya, dia juga harus dibuat tunggang langgang.
"Kutu monyet!!" maki anak muda ini melihat si nenek terkikik-kikik dan
menggerakkan cambuknya
laksana anak kecil bermain yoyo.
"Ternyata kau tak memiliki kemampuan yang
berarti!!"
Eh, lagi-lagi dia nyahut, "Ah, masa?"
Keberingasan Setan Cambuk Api semakin
menjadi-jadi. Sementara di tempat itu, api-api yang gagal ditahan oleh Andika,
telah membakari
ranggasan semak belukar dan rerumputan. Hingga
udara di sekitar tempat itu kontan memanas dengan asap mcngepul yang dapat
halangi pandangan.
"Monyet burik! Kalau begini keadaannya, bisa mampus juga nih! Sia-ul betul!!"
Sambil menambah kecepatannya untuk hindari
hujan bola-bola api dan sambaran cambuk berlidah
tiga, Andika sudah menyambar kain bercorak catur
yang melilit manja di lehernya.
Begitu dikibaskan, kontan menderu gelombang
angin dahsyat diiringi suara dengungan laksana
ribuan lebah yang menyerang sebuah desa.
Kontan bola-bola api yang keluar dari ujung-
ujung lidah cambuk si nenek, putus di tengah jalan.
Bahkan terlontar ke belakang sebelum akhirnya
padam. Bersamaan dengan itu, Pendekar Slebor
mengibas-kan kembali kain bercorak catur. Kali ini bukan ke arah Setan Cambuk
Api. Melainkan ke
belakang. Seketika api-api yang telah membakari sekitar
tempat itu padam. Bahkan ranggasan semak dan
tanah tercabut dan beterbangan. Menyusul dua
buah pohon langsung tumbang terkena sambaran
gelombang angin dahsyat yang keluar dari kain
bercorak catur.
Di lain pihak si nenek sendiri harus terhuyung
tiga tindak tatkala tersambar gelombang angin
raksasa yang keluar dari kain bercorak catur.
"Nek! Sebenarnya aku tak ingin lakukan tindakan seperti ini! Tetapi kau terlalu
memaksa!!"
"Tutup mulutmu!!" bentak Setan Cambuk Api.
Dan tanpa pedulikan betapa mengerikannya
gelombang angin yang keluar dari kain bercorak
catur yang dipegang Pendekar Slebor, dia sudah
melesat ke depan seraya gerakkan cambuk berlidah
tiganya berulang kali.
Melihat tindakan si nenek yang bertambah
beringas, Andika cuma menggeleng-geleng.
Tongkat Delapan Naga 2 Pendekar Elang Salju Karya Gilang Kelelawar Hijau 12
^