Pencarian

Si Teratai Emas 2

Si Teratai Emas Karya Kho Ping Hoo Bagian 2


?Harap jangan marah kalau saya bicara sejujurnya, Shi-Kongcu. Akan tetapi baik isterimu yang pertama maupun isterimu yang sekarang tidak dapat dibandinglan dengan nona Kim Lian ini baik lahir maupun batinnya.?
?Memang benar, baik kecantikannya maupun kebijaksanaannya.?
?Akan tetapi Kongcu mempunyai seorang kekasih di Jalan Timur, bukan? Kenapa tidak mengiutus saya menjadi perantara melamarnya??
?Ah, si mungil Chang yang merdu sekali suara nyanyiannya. Akan tetapi setelah aku mendengar bahwa ia suka menyeleweng, saya tidak lagi tertarik kepadanya.?
?Dan nona Li Kiao, yang mungil itu, yang datang dari rumah hiburan? Bukankah Kongcu sudah lama mengenalnya??
?Sekarang ia menjadi isteriku yang kedua. Sayangnya, la sama sekali tidak mampu mengurus rumah tangga. Kalau ia pandai, tentu sudah kuangkat menjadi isteri pertama.
?Akan tetapi Kongcu selalu memuji nona Co Tiu!?
?Aih, jangan bicara tentang dirinya. la telah menjadi isteriku yang ke tiga, akan tetapi belum lama ini ia jatuh sakit dan meninggal dunia.?
?Ya TUHAN! Kasihan sekali kau, Shi-Kongcu. Bagaimana kalau saya mengenal seorang wanita yang cocok untuk Kongcu, apakah tidak ada keberatannya ka?au saya datang untuk membicarakan dan mengusulkannya??
?Karena kedua Orang-tuaku sudah tiada, maka akulah kepala keluarga. Siapa yang dapat melarangku??
?Maaf, saya hanya bergurau, Kongcu Akan tetapi bagaimana saya bisa mendapatkan seorang gadis yang tepat dan cocok untukmu dalam waktu dekat??
?Kenapa tidak, Bibi Wang? Carikanlah saja, ah, betapa malang nasibku dalam kehidupan rumah tanggaku...? Shi Men menarik napas panjang dengan muka berduka.
?Wah, araknya habis sama sekali!? tiba-tiba Nenek itu berseru.
?Aih, selagi orang ingin sekali minum, arakmya habis. Maafkan saya. Bagaimana kalau saya membeli lagi seguci?? Shi Men cepat mengeluarkan uang dan menyerahkannya kepada Bibi Wang.
?Ambillah semua uang ini dan belikan arak secukupnya agar jangan sampai kehabisan lagi, Bibi Wang.? Nenek itu menerima uang dan mengucapkan terima kasih, kemudian pergi setelah lebih dulu melirik ke arah Kim Lian. Tiga cawan arak yang telah diminum Kim Lian nampaknya telah memperlihatkan pengaruhnya. Wajahnya kemerahan penuh gairah. Tentu saja semua percakapan tadi dimengertinya benar kemana arahnya dan selama itu ia tadi mendengarkan dengan diam, tanpa bergerak, dan dengan mata menatap ke lantai, akan tetapi jantungnya berdegup keras dan jalan darahnya berdesir cepat di seluruh tubuhnya. Sambil menyeringai, Nenek Wang menoleh kepada Kim Lian.
?Saya akan pergi ke Jalan Timur untuk membeli arak terbaik. Harap nona suka menemani Kongcu sampai saya kembali.?
?Demi aku, jangan pergi, Bibi,? Kim Lian memprotes, akan tetapi ia tidak bangkit dari tempat duduknya. Nenek Wang hanya tersenyum penuh arti, keluar dari kamar itu dan menutupkan pintu dari luar bahkan mengunci pintu. dari luar mengikatkan tali pada pegangan daun pintu Kemudian la duduk di luar dan mulai memintal benang. Kini Shi Men dan Kim Lian berada di dalam ruangan tertutup itu, berdua saja, Kim Lian mendorong kursinya mundur dari meja, menundukkan mukanya dan diam-diam melirik Shi Men berulang kali. Sebaliknya, Shi Men menatap kepadanya dengan mata kemerahan, mengandung penuh gairah nafsu. Akhirnya, dengan suara agak gemetar bersama dengan degup jantungnya yang mengencang, Shi Men bertanya.
?Siapakah nama suami nona seperti yang diceritakan Bibi Wang? Saya lupa...?
?Bu,? jawab Kim Lian singkat, karena hatinya tidak senang membicarakan suaminya.
?Oya, she Bu,? Shi Men mengulang sambil lalu.
?Bukan nama keluarga yang biasa di daerah ini. She Bu. Apakah barangkali si penjaja makanan yang bernama Bu Toan, yang disebut Si cebol itu, masih ada hubungan keluarga denganmu?? Wajah Kim Lian menjadi merah sekali karena malu.
?Dia suami saya,? katanya lirih sembil menundukkan mukanya. She Men nampak terbelalak dan tertegun, kemudian dia berteriak,
?Aih, sungguh penasaran!?
?Hemm, siapakah yang membuat Kongcu penasaran?? tanya Kim Lien, menahan senyum.
?Penasaran untukmu, bukan untuku!? Dengan suara yang diatur seindah mungkin, Shi Men lalu memuji-muji kecantikan Kim Lian, menyatakan betapa seorang wanita secantik Kim Lian cukup pantas untuk menjadi seorang puteri dan hidup di Istana, betapa membuat hatinya penasaran melihat kenyataan betapa -wanita secantik itu menjadi isteri seorang laki laki yang demikian mengecewakan. Semua pujian itu membuat Kim Lian makin menunduk, dan hanya kadang-kadang saja ia mengerling dan tersenyum penuh simpul.
?Aih, hawanya terasa gerah setelah minum arak!? Tiba-tiba Shi Men berkata dan membuka jubahnya dari, sutera hijau dan melemparnya ke arah dipan tempat tidur janda Wang. Ketika dia melakukan ini, lengan bajunya seperti tak disengaja telah menggeser sebuah sumpit yang jatuh di atas meja dan, ah, betapa mujur dia karena sumpit itu jatuh menggelinding ke bawah kaki Kim Lian! Dan ketika Shi Men mengisi cawan Kim Lian lagi dan ingin menawarkan makanan, tentu saja dia kehilangan sumpitnya.
?Wah, ke mana hilangnya sumpitku yang sebuah?,? tanyanya, pura-pura mencari di antara mangkok-mangkok sayuran.
?Inikah barangkali sumpit itu?? Kim Lian berkata sambil tersenyum, menekan sumpit itu dengan kakinya yang kecil. Shi Men melihat ke bawah meja.
?Ah, itu dia!? Dan pura-pura terkejut, diapun membungkuk, akan tetapi bukan sumpit yang dipegangnya, melainkan kaki wanita itu, Kim Lian tak dapat menahan rasa kegelian dan tertawa.
?Ihhh! Apa yang kau lakukan ini? Aku akan menjerit!? Shi Men segera berlutut di depan Kim Lian tanpa melepaskan kedua tangannya,
?Nona yang baik budi, kasihanilah aku, laki-laki yang malang ini.? Dan... kedua tangannya membelai-belai. Kim Lian bangkit berdiri, tubuhnya menggigil.
?Ah, engkau laki-laki kurang ajar. Kupukul engkau, lepaskan, aku? Akan tetapi Shi Men yang tahu bahwa semua itu hanya pura-pura belaka, segera bangkit, memondong tubuh wanita yang membuatnya tergila-gila itu dan membawanya ke atas dipan Bibi Wang. Kim Lian yang memang sudah terbakar oleh gairah nafsu birahi sejak tadi, tidak membuat ribut lagi. Nafsu membuat orang buta terhadap segala apa yang dilakukannya, tidak perduli lagi akan sebuah akibat,
Tidak ingat akan keadaan sekeliling yang terasa hanyalah hasrat yang bernyala, gairah yang mendorong pemuasan berahi. Tidaklah mengherankan kalau seorang wanita muda seperti Pang Kim Lian lupa akan segala. Ketika ia masih remaja puteri, orang pertama yang menggaulinya hanyalah seorang hartawan tua renta Thio. Hartawan ini sudah amat tua dan lemah, tidak aneh kalau pria ini jauh daripada memuaskan hati seorang remaja puteri berusia lima belas tahun seperti Kim Lian pada waktu itu. Kemudian ia diperisteri oleh Bu Toan, seorang yang cebol dan buruk, yang tentu saja juga tidak memuaskan hati Kim Lian yang memang memiliki gairah yang besar. Maka, setelah kini ia bertemu dengan Shi Men, menerima pencurahan kasih sayang dengan belaian jari-jari tangan yang penuh pengalaman,
Mempunyai seorang kekasih seperti Shi Men yang selain masih muda juga tampan dan kuat dan berpengalaman, tentu saja ia merasa takluk dan puas. Buah cinta curian memang selalu terasa lebih menggairahkan, manis dan nikmat. Segala sesuatu yang dilarang memilki daya tarik yang amat kuat, karena di dalam melakukan sesuatu yang di larang itu sendiri sudah terdapat suatu ketegangan yang menggairahkan. Bunga dikebun orang selalu nampak lebih indah dari pada bunga di kebun sendiri. Mengapa kita selalu merasakan hal seperti itu? Rahasianya terletak kepada batin kita sendiri yang selalu menginginkan sesuatu yang tidak ada, sesuatu yang tidak kita miliki, sesuatu yang baru dan yang berada diluar jangkauan tangan kita. Keinginan seperti inilah yang membuat segala sesuatu yang kita miliki menjadi hambar.
Mata kita selalu tertuju jauh ke depan,mencari dan mengejar yang berada didepan. Sehingga kita lupa bahwa segala keindahan sesungguhnya terletak pada saat ini. Dua orang pencari cinta itu, dua orang pelanggar susila dan penjina itu lupa diri, seperti mabuk tenggelam dalam lautan cinta yang sesungguhnya hanya gelimang nafsu berahi semata. Mereka mereguk anggur nafsu berahi sepuasnya dan setelah segala hasrat terlaksana, barulah mereka teringat akan ketidak wajaran itu. Keduanya membereskan pakaian dan Kim Lian sama sekali tidak tahu betapa semua perbuatannya itu sejak tadi diintai oleh Nenek Wang dari luar daun pintu! Baru saja ia duduk kembali di atas kursi, daun pintu terbuka dan masuklah janda Wang sambil berpura-pura terkejut dan berkata penuh perasaan sesal dan penasaran.
?Hayaaa. Apa saja yang kalian lakukan ini? Nona Kim Lian, aku minta engkau ke sini untuk menjahit, bukan, untuk berjina! Paling baik sekarang aku harus menemui suamimu dan menceritakan segala perbuatanmu ini kepadanya agar kelak aku tidak akan dia salahkan!? Janda Wang membalikkan tubuh hendak, pergi, seolah-olah hendak melaksanakan ancamannya dan Kim Lian yang menjadi merah sekali mukanya itu segera memegang ujung bajunya.
?Bibi Wang, kasihanilah aku,? katanya lirih, suaranya penuh permohonan.
?Baik, akan tetapi dengan satu syarat bahwa mulai hari ini engkau harus mau menemui Shi-Kongcu setiap saat dia kehendaki. Kalau hal ini kau setujui, aku akan, diam saja. Kalau tidak, aku akan melaporkan kepada suamimu.? Kim Lian hanya menundukkan muka, tak mampu bicara saking malunya.
?Hayo, bagaimana?? Jawablah cepat Nenek itu mendesak.
...? aku berjanji.? kata Kim Lian, lirih sekali. Nenek Wang lalu berpaling kepada Shi Men.
?Nah, Kongcu yang baik, Kongcu telah memperoleh kepuasan dan terlaksanalah segala keinginan Kongcu, maka harap tidek melupakan semua janji Kongcu, kalau tidak ? Nadanya mengancam.
?Jangan khawatir, Bibi, akan kupenuhi semua janjiku!? kata Shi Men. Mereka minum beberapa cawan arak lagi, kemudian Kim Lian terpaksa harus menyelinap kembali ke rumahnya melalui pintu belakang karena sudah tiba waktunya sang suami akan pulang dari pekerjaannya. Setelah wanita cantik itu pergi, janda Wang bertanya kepada Shi Men.
?Bagaimana, Kongcu? Apakah siasatku itu tidak hebat?
?Bukan main! Aku berterima kasih sekali Bibi,?
?Dan bagaimana dengan nona itu? memuaskankah??
?Hebat! la bagaikan setangkai bunga mawar hutan yang harum, bagaikan seekor kuda betina yang masih liar, senang sekali menundukannya.?
?Kalau begitu jangan lupakan janji hadiah itu.?
?Akan kukirim setelah aku tiba di rumah.?
Pada keesokan harinya, baru saja Bu Toa berangkkat memikul dagangannya, Shi Men telah berada di rumah janda Wang mengantarkan hadiah dengan tambahan sepuluh tail perak kepada Nenek Itu. Dia datang mengantar sendiri hadiah itu karena semalam dia tidak tidur, wajah dan tubuh Kim Lian selalu terbayang di depan matanya. Begitu menerima hadiah ini Nenek Wang menjadi demikian gembiranya sehingga seketika itu juga ia menjemput Kim Lian untuk diajak menemui Shi Men. Shi Men menyambut kemunculan Kim Lian dengan wajah berseri. Tanpa malu-malu lagi dia menyambut dengan rangkulan mesra dan menarik tubuh yang molek itu ke atas pangkuannya, tanpa memperdulikan Nenek Wang yang tersenyum-senyum memperlihatkan, rongga mulut tanpa gigi.
?Apakah suamimu mengatakan sesuatu kemarin?? Janda Wang bertanya sambil lalu ketika ia menghidangkan air teh dan arak.
?Dia bertanya apakah aku sudah menyelesaikan pakaianmu. Aku mengatakan sudah, akan tetapi aku masih harus membuatkan sandal dan kaus kaki,? jawab Kim Lias malu-malu. Shi Men mengamati kekasih barunya itu dengan penuh perhatian dan gairah cinta berahi. Betapa cantiknya kekasihnya ini. Betapa kedua pipi yang halus itu menjadi kemerahan ketika ia minum arak dari cawan itu. Dan anak rambut yang melingkar-lingkar di pelipis dan dahi itu seperti lukisan seorang seniman yang amat pandai. Kekasihnya ini cantik jelita, begaikan seorang bidadari dari Buian! Dengan penuh, gairah dan kemesraan, Shi Men mendekap kekasihnya dan mereka minum arak dari satu cawan. Ketika Shi Men mencium kekasihnya, janda Wang diam-diam meninggalkan mereka berdua saja dan menutupkan daun pintu.
(Lanjut ke Jilid 03)
Si Teratai Emas (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 03 ?Berapakah sesungguhnya usiamu?? Kim Lian bertanya.
?Tiga puluh lima tahun.?
?Berapa orang isterimu??
?Di samping isteri pertama, aku mempunyai empat orang selir. Akan tetapi tak seorangpun dari mereka menyenangkan hatiku.?
?Berapa orang anakmu??
?Hanya seorang anak perempuan yang tak lama lagi akan menikah?? Percakapan mereka itu tak lama kemudian dilanjutkan dengan bisik-bisik di atas dipan.
Mulai saat Kim Lian menyerahkan tubuhnya kepada Shi Men kemarin, setiap hari Kim Lian mengadakan pertemuan rahasia dengan Shi Men di dalam rumah janda Wang. Mereka itu seperti arak dan cawan, seperti ikan dan air, tak terpisahkan lagi, berenang di dalam lautan asmara curian di dalam kamar yang bergelimang dengan nafsu berahi itu. Sudah menjadi hal yang wajar bahwa perbuatan baik jarang diketahui orang lain dan agaknya tidak melangkah ambang pintu rumah, akan tetapi perbuatan yang buruk tersiar luas sampai ribuan mil jauhnya. Tak mungkin menutupi asap, tak mungkin menyimpan bangkai berbau busuk. Baru setengah bulan saja hubungan gelap antara Kim Lian dan Shi Men yang terjadi setiap hari di dalam rumah janda Wang, telah menjadi kabar hangat yang didesas-desuskan oleh para tetangga di tepi-tepi jalan.
Agaknya satu-satunya orang, yang masih belum mengetahuinya hanyalah Bu Toa sendiri. Pada suatu siang, seorang pemuda berusia lima belas tahun yang membawa sebuah keranjang berisi buah apel yang segar berdiri di depan rumah Bibi Wang. Anak muda ini adalah A Goan, seorang pedagang buah yang mempunyai banyak langganan. Seorang di antara para langganannya yang baik adalah Shi Men, dan kadang-kadang hartawan ini memberi hadiah uang kecil kepadanya kalau membeli buah. Sudah beberapa hari lamanya dia tidak bisa menjumpai Shi Men untuk menawarkan buah-buah segar dan seorang memberi tahu kepadanya bahwa kalau dia hendak mencari Shi Men agar suka datang saja ke kedai teh Nenek Wang, itulah sebabnya maka pada siang hari itu dia berdiri di depan rumah Nenek Wang. Dia melihat Nenek Wang duduk sendirian di depan pintu, memintal benang.
?Selamat siang, Bibi Wang? katanya dengan wajah berseri.
?Aku datang mencari seorang Kongcu untuk menawarkan buah agar memperoleh sedikit uang untuk Ayahku yang tua.
?Kongcu manakah yang kau maksudkan?? janda Wang bertanya sambil mengerutkan alisnya.
?Aih, Bibi Wang, jangan bergurau. Tentu saja yang kumaksudkan adalah Shi Men Kongcu.? Dan A Goan sudah menghampiri pintu dengan maksud untuk memasuki kedai itu dan menemui orang yang dicarinya. Akan tetapi Nenek Wang menangkap lengannya dan mencengkeram.
?Berhenti, kau setan cilik! Di sini tidak ada orang yang kau cari?
?Bibi Wang, jangan begitu murka, akupun membutuhkan sedikit penghasilan. Apa salahku? Lepaskan aku? Bibi Wang yang merasa khawatir kalau-kalau rahasia yang sedang terjadi didalam rumahnya itu diketahui orang, menjadi marah dan menggunakan tangannya memukuli A Goan.
?Hei, Nenek tua bangka yang jahat. Apa salahku maka engkau memukuli aku?? Anak itu berteriak-teriak. Akan tetapi Nenek Wang menjadi semakin marah dan memukul, menjambak dan mencakar sehingga akhirnya A Goan terpaksa melarikan diri, memunguti buah apel yang berserakan sambil menangis dan memaki-maki, mengancam bahwa dia akan membalas dendam. Dengan hati yang masih panas dan penuh dengan dendam terhadap Nenek Wang, pemuda remaja A Goan membawa keranjang buahnya pergi mencari si cebol Bu Toa. Akhirnya dia melihat Bu Toa memikul keranjang kuenya di sebuah jalan dan cepat A Goan menghampiri Bu Toa.
?Paman Bu Toa, aku membutuhkan sedikit makanan ternak dan orang bilang bahwa aku dapat membelinya darimu.? Bu Toa menghentikan langkahnya, menurunkan pikulannya dan menyeka keringat dari muka dan lehernya, sambil memandang dengan heran kepada anak pedagang buah itu.
?Ah, mana mungkin? Aku tidak memelihara ternak. Aku tidak memiliki ayam atau bebek.?
?Begitukah?? A Goan memicingkan mata dan mulutnya tersenyum mengejek.
?Barangkali engkau sendiri seekor bebek jantan yang gemuk dan malas, yang membiarkan dirinya siap untuk disembelih dan dimasukkan ke dalam panci masak tanpa meronta sedikitpun!? Bu Toa mengerutkan alisnya dan mukanya menjadi merah. Istilah menjadi bebek jantan yang gemuk dan malas, ini merupakan kata-kata sindiran terhadap seorang suami yang tidak tahu atau membiarkan isterinya menyeleweng dengan laki-laki lain.
?Penjahat cilik, apakah engkau hanya menggodaku? Isteriku tidak mempunyai hubungan dengan laki-laki lain, maka kenapa engkau menamakan aku bebek jantan kekenyangan??
?Paman Bu, terus terang saja kukatakan bahwa isterimu memang mempunyai hubungan gelap dengan seorang laki-laki lain!? Bu Toa menangkap lengan anak remaja itu,
?Katakan siapa namanya!?
?Ha-ha, Paman Bu, sungguh menggelikan sikapmu ini! Engkau menekan aku, padahal seharusnya engkau memukuli Nenek tua di sebelah rumahmu yang menjual air teh!?
?Benarkah ini?? Bu Toa berseru. Tentu saja benar! Mereka berdua menanti sampai engkau pergi meninggalkan rumah memikul daganganmu, dan mereka mengadakan pertemuan rahasia di rumah Nenek Wang! Aku tidak membohongimu, Paman.? Bu Toa merasa terpukul sekali.
?Aihh, sahabat kecilku A Goan, keteranganmu ini mengingatkan aku akan keadaan isteriku. Akhir-akhir ini memang ia setiap hari pergi mengunjungi Nenek Wang, akan tetapi katanya untuk menjahitkan pakaian kematian Nenek itu. Ada satu hal lagi. Akhir-akhir ini sikapnya terhadap Bu Ying anakku amatlah kejam. la suka memukulinya, memaki-makinya tanpa henti, bahkan kadang-kadang tidak memberinya makan. Ah, bagaimanakah pendapatmu sekarang? Apakah aku harus segera pulang dan datang langsung ke rumah Nenek itu dan menangkap basah dua orang jahanam tak bermalu itu??
?Hemm, biarpun sudah tua, Paman masih bodoh. Apakah kau pikir Nenek tua bangka itu akan membiarkan engkau menangkap basah mereka? la tentu akan segera memberi isyarat begitu melihatmu, dan isterimu tentu akan menyelinap pulang melalui pintu belakang. Dan engkau akan berhadapan dengan hartawan Shi Men sendiri yang tentu akan memutar balik kenyataan dan engkau akan dihajarnya. Selain itu dia, amat kaya dan dengan mudah akan menyogok para Jaksa untuk mengadukan engkau dan akhirnya engkau yang akan masuk penjara.?
?Ah, engkau benar sekali lalu bagaimana aku dapat membalas dendam atas, penghinaan ini?? Satu-satunya jalan hanya menangkap basah selagi kedua orang pejina itu masih berada bersama di dalam kamar Nenek gila itu! Besok, setelah keluar membawa pikulan keranjang, harap kau suka menyelinap dan bersembunyi tak jauh dari rumah Nenek Wang. Aku juga bersembunyi dan begitu melihat tuan Shi Men memasuki rumahnya, aku akan memberi isyarat kepadamu, Kemudian aku akan muncul untuk mengoda Nenek Wang. Ia tentu akan memukuli aku lagi, dan pada saat ia memukulku, aku akan memegang erat-erat pakaiannya dan engkau boleh cepat lari mendobrak dan membuka pintu, dan menangkap basah isterimu dan tuan Shi Men.
?Baik sekali! Ah, aku berhutang budi padamu, adik A Goan yang baik, Nah, terimalah sedikit uang kecil ini. Jadi, besok pagi kita bertemu di sudut jalan Batu Ungu.?
A Gon menerima hadiah itu dengan girang dan mengangguk-angguk. Dan merekapun berpisah. Bu Toa pada sore hari itu pulang. Betapapun panas rasa hatinya dia diam saja dan hanya menekan perasaan kemarahannya Itu. Kini dia melihat jelas perubahan yang besar, terjadi pada diri isterinya. Pakaiannya semakin rapi, dan sepasang matanya memancarkan cahaya yang lain dari biasanya, sepasang pipinya kemerahan, tampak demikian cantik bagaikan setangkai, bunga yang menerima banyak siraman air hujan setelah menderita di musim kering. Pada keesokan harinya, setelah keluar dari rumahnya memikul keranjang dagangannya, Bu Toa menyelinap dan melalui jalan memutar, kembali ke jalan di depan rumahnya. sambil bersembunyi. Di sudut jalan, dia bertemu dengan A Goan yang sudah menanti di situ.
?Nah, sekarang perhatikan, Paman. Kalau nanti keranjang buahku ini kujatuhkan dan buah-buah itu berhamburan di depan rumah Nenek Wang, berarti sudah tiba saatmya, bagimu untuk menyerbu ke pintu rumah Nenek itu Mengerti??
Bu Toa mengangguk, menggigit Bibir dan mengepal tinju, jantungnya berdebar penuh ketegangan. Dia, lalu mencari, tempat persenbunyiannya agar tidak kelihatan orang, akan tetapi dari tempat persembunyiannya itu dia dapat melihat ke arah rumah Nenek Wang. Tak lama kemudian, dengan menggunakan mantelnya dan topi untuk menyembunyikan bentuk tubuhnya dan mukanya Shi Men memasuki rumah Nenek Wang. Setelah membiarkan orang itu, masuk beberapa lamanya dan melihat Nenek Wang sudah duduk memintal benang, A Goan maklum bahwa waktunya telah tiba untuk bertindak. Dia lalu keluar dari tempat sembunyinya, melangkah lebar menuju ke depan rumah Nenek Wang sambil membawa keranjang buahnya. Setelah berhadapan dengan janda Wang, dia lalu berteriak memaki dengan sikap mengejek.
?Heh, babi tua, kenapa engkau berani memukuli aku kemarin?? Melihat pengganggunya berani datang lagi Nenek Wang yang galak itu segera memaki,
?Monyet cilik, aku tidak ada urusan dengan kamu! Kenapa kau berani datang lagi? Minta dipukuli sampai mampus barangkali!? Dan Nenek itu sudah menyerang A Goan dengan pukulan dan cakarannya. A Goan melemparkan keranjang apelnya sehingga buah itu berhamburan di atas tanah, berseru,
?Kalau begitu, marilah!? dan diapun menangkap ikat pinggang Nenek itu, memukul perutnya dengan kepala dan serangan ini membuat Nenek Wang terhuyung ke belakang dan tentu saja akan roboh, kalau tidak tertahan oleh dinding rumahnya. la tak mampu melepaskan diri dari pegangan A Goan dan selagi mereka bersitegang, muncullah Bu Toa dari tempat persembunyiannya. Melihat si cebol ini, Nenek Wang terkejut bukan main dan berteriak,
?Bu Toa datang...!? Mendengar terlakan ini, dua orang yang sedang mengadakan pertemuan gelap di dalam rumah itu terkejut sekali dan cepat mereka membereskan diri. Terlambat bagi Kim Lian untuk melarikan diri, maka iapun cepat menahan daun pintu kamar itu dengan tubuhnya, sedangkan Shi Men yang juga kaget setengah mati, saking gugupnya telah merangkak ke bawah tempat tidur.
?Bagus, ya... Perbuatan busuk terjadi di sini? Bu Toa berteriak-teriak sambil berusaha untuk mendobrak pintu kamar yang dipertahankan oleh Kim Lian dari dalam. Melihat betapa kekasihnya bersembunyi di bawah tempat tidur, Kim Lian merasa mendongkol bukan main dan ia berkata kepada kekasihnya yang berada di kolong itu,
?Hemm, biasanya engkau mengagulkan kegagahanmu dan membual tentang kekuatan tanganmu. Akan tetapi kalau saatnya tiba, engkau menggigil ketakutan melihat seekor macan kertas.? mendengar ini, Shi men dapat menguasai dirinya dan merangkak keluar dari kolong membereskan pakaiannya,
?Ah, aku tadi gugup. Sekarang akan kuperlihatkan padamu!? Dia menghampiri daun pintu yang masih dipertahankan Kim Lian, lalu menarik daun pintu itu terbuka dengan tiba-tiba sedangkan Kim Lian lari ke arah pintu belakang.
?Pergilah kau? bentaknya kepada Bu Toa. Dengan marah sekali karena melibat bayangan isterinya lari ke belakang, Bu Toa hendak menerjang ke dalam, akan tetapi sebuah tendangan yang keras sekali menyambut perutnya, membuat Bu Toa terjengkang dan terbanting keras.
Kesempatan ini dipergunakan oleh Shi Men untuk cepat melarikan diri melihat betapa urusan menjadi gawat dan gagal, A Goan juga melepaskan Nenek Wang dan melarikan diri pula karena merasa segan dan takut kepada Shi Men, para tetangga pura-pura tidak tahu dan tidak mau mencampuri urusan itu. Kini Nenek Wang menolong Bu Toa yang masih rebah diatas tanah. Melihat mulut Bu Toa mengeluarkan darah dan mukanya pucat sekali, Nenek itu cepat memanggil Kim Lian dan dengan susah payah, dua arang wanita ini lalu mengangkat Bu Toa masuk ke dalam rumah, naik loteng dan merebahkan tubuh kecil itu ke atas pembaringan di dalam kamarnya. Sejak saat itu, Bu Toa jatuh sakit. Dua orang pelanggar susila itu tidak menjadi jera. Bahkan pada keesokan harinya, Shi Men dan Kim Lian sudah mengadakan, pertemuan mereka lagi di rumah janda Wang.
Mereka meneruskan perjinaan dalam hubungan antara mereka yang mesra dan penuh nafsu berahi yang bergelimang, bahwa mereka menyatakan harapan agar Bu Toa mati saja karena perkelahian itu. Bu Toa rebah di atas pembaringannya, sakit berat dan sampai lima hari dia tidak mampu bangun dari pembaringannya. Tendangan yang dilakukan Shi Men itu kuat sekali dan membuat Bu Toa menderita luka dalam yang cukup parah. Yang membuat dia semakin menderita adalah karena Kim Lian tidak memperdulikan suaminya yang sedang menderita sakit itu, bahkan Kim Lian melarang Bu Ying untuk merawat Ayahnya. Anak itu disuruh mengerjakan semua pekerjaan rumah tangga, melebihi seorang pelayan, bahkan dilarang untuk memasuki kamar Ayahnya. Pada suatu hari Bu Toa memanggil Kim Lian untuk duduk di tepi pembaringannya dan diapun berkata,
?Aku tahu bahwa engkau melakukan penyelewengan. Baiklah, engkau bersenang-senanglah. Aku tidak mampu berbuat apa-apa dan pula, semua itu sama saja kalau aku sudah mati. Akan tetapi ingatlah engkau kepada adikku, Bu Siong! Engkau tahu orang macam apa dia. Cepat atau lambat dia akan kembali dan nah, sekarang pilihlah. Engkau rawatlah aku sampai aku sembuh dan aku tidak akan bicara kepada Bu Siong tentang segalanya. Akan tetapi kalau engkau tetap bersikap acuh dan kejam kepadaku, dia akan tahu segalanya!? Kim Lian tidak menjawab, dan cepat ia menghubungi janda Wang untuk minta nasihat. Kebetulan Shi Men berada di situ dan mendengar laporan Kim Lian, Shi Men merasa seolah-olah disiram air dingin.
?Terkutuk!? Dia berseru sambil memandang Kim Lian.
?Aku tak pernah memikirkan pembunuh harimau Gunung King Yang itu. Akan tetapi aku sudah berhubungan denganmu terlalu lama, aku telah jatuh cinta padamu dan tak mungkin aku melepaskanmu. Bibi Wang, apakah tidak ada jalan keluar? Tolonglah kami.?
?Hemm, lihatiah Kongcu kita ini.? Janda Wang mengejek.
?Seorang laki-laki harus bertanggung jawab atas semua perbuatannya, tidak menggigil seperti ini. mendengar akan ancaman sebagai akibatnya. Saya, biarpun seorang Nenek tua saya tidak takut.?
?Baiklah, aku seorang penakut, Bibi Wang. Akan tetapi apakah Bibi mempunyai akal muslihat yang baik??
?Saya mempunyai akal, akan tetapi tergantung dari ji-wi (anda berdua) apakah akan menjadi pasangan untuk selamanya ataukah hanya sementara saja.? Shi Men memeluk Kim Lian dan berkata,
?Aku cinta padanya, Bibi... Kami ingin menjadi pasangan selamanya.?
?Kalau begitu, dengarlah baik-baik. Saya yakin bahwa di dalam toko obat milikmu terdapat racun warangan, bukan? Nah, sekarang si cebol sedang sakit dan ini merupakan kesempatan yang baik sekali. Biarkan nona Kim Lian, mencampurkan sedikit racun warangan ke dalam obatnya dan memberinya minum. Kalau dia mati, maka ji-wi tidak perlu takut lagi terhadap adiknya itu. Bukankah ada istilah kuno yang mengatakan Pernikahan pertama untuk menyenangkan hati Orang-tua, pernikahan ke dua untuk menyenangkan diri sendiri?? Kalau nona Kim Lian sudah menjadi janda, tiada halangannya untuk menjadi milikmu selamanya.
?Ah, bagus sekali, Bibi Wang! Engkau memang seorang yang amat cerdik sekali. Kami tentu akan segera melakukan siasatmu itu!? Shi Men berseru dengan girang bukan main. Demikianlah, seperti telah mereka rencanakan. Shi Men menyerahkan sebungkus racun warangan kepada Kim Lian. Nafsu adalah keinginan untuk senang, dan kalau orang sudah dikuasai nafsu, ia mampu melakukan apa saja. Kalau ada penghalang kesenangan itu, maka ia akan menyingkirkan penghalang itu dengan cara apapun juga.
Dari mana timbulnya nafsu berahi yang demikian menyala membakar badan dan batin Kim Lian? Seperti segala macam nafsu, berahi inipun dikobarkan oleh pikiran. Pikiran mengingat-ingat kesenangan yang pernah dinikmati atau didengar dari lain orang, dan timbullah keinginan untuk mengulang kesenangan itu seperti juga. rasa takut, duka, benci dan selanjutnya, semua lahir dari pikiran yang mengingat-ingat hal yang telah lalu dan yang akan datang, dihubungkan dengan si aku yang selalu mengejar kesenangan dan menjauhi ketidaksenangan. Sambil membawa obat yang dicampur racun warangan, Kim Lian memasuki kamar suaminya sambil mengusapi air matanya. Bu Toa yang kini menjadi kurus kering itu memandang kepada isterinya yang kini duduk di tepi pembaringan sambil menangis. Dia merasa heran,
?Kenapa engkau menangis?? Pandang matanya sudah agak kabur sehingga dia tidak mampu lagi membedakan antara tangis duka ataukah tangis pura-pura.
?Dalam keadaan tidak sadar aku telah menyeleweng dan membiarkan diriku terbujuk si Shi Men itu. Aku merasa menyesal sekall. Siapa mengira bahwa si kejam Itu menendang perutmu? Aku telah mengusahakan obat untukmu, akan tetapi aku selalu meragu untuk memberikan kepadamu karena karena barangkali engkau tidak percaya lagi kepadaku dan tidak mau minum obat yang kucarikan Itu? Melihat isterinya menangis penuh penyesalan, Bu Toa merasa kasihan juga.
?Aku percaya kepadamu, isteriku. Semua pengalaman yang lalu ini akan kuhapus dari ingatanku asal engkau mau merawatku sampai sembuh. Berikan obat itu kepadaku.?
?Inilah obat itu, mari kubantu engkau meminumnya, suamiku.? Dengan lembut Kim Lian membantu Bu Toa bangkit duduk dan memberinya minum obat itu.
?Setelah minum engkau harus tidur dan berselimut agar berkeringat, dan mungkin besok engkau sudah akan sembuh kembali.?
?Aih, keras dan tidak enak rasanya!? kata Bu Toa. Akan tetapi karena dia sudah terlanjur minum, dan Kim Lian mendorong dan menuangkan semua isi mangkok itu ke dalam mulutnya, terpaksa Bu Toa menelan semua obat itu dan Kim Lian lalu melompat mundur menjauhi pembaringannya. Begitu obat itu memasuki perut Bu Toa, laki-laki yang malang ini segera merasa nyeri yang luar biasa. Dia menggeliat-geliat memegangi perut dengan kedua tangannya.
?Aduh aduh Kim Lian, perutku terbakar rasanya!?
?Aduh, aku.. aku tidak tahan lagi? Melihat suaminya sekarat, Kim Lian yang ingin melihat agar suaminya itu cepat mati dan agar rencananya Itu tidak gagal, cepat menutup muka suaminya dengan selimut dan bantal.
?Aku tak dapat bernapas? Si cebol Bu Toa meronta-ronta dan terengah-engah.
?Biar engkau berkeringat,? kata Kim Lian menghibur. Kembali Bu Toa meronta sekuat tenaga dan Kim Lian merasa takut kalau-kalau usahanya akan gagal, maka iapun cepat naik ke atas pembaringan dan menduduki perut Bu Toa yang terlentang itu sambil menekan selimut dan bantal kuat-kuat di atas muka suaminya itu. Bu Toa meronta terus, makin lama makin lemah sampai akhirnya dia tidak mampu bergerak lagi. Setelah agak lama tidak terasa gerakan dari orang di bawah selimut, barulah Kim Lian mengangkat sedikit selimutnya untuk melihat wajah suaminya. Bu Toa sudah mati, menggigit Bibirnya sendiri sampai pecah-pecah dan dari tujuh lubang di tubuhnya keluarlah darah. Baru Kim Lian merasa ngeri dan ia meloncat dari atas pembaringan, dan memukuli dinding sebelah untuk memberi tanda kepada Nenek Wang. Tak lama kemudian muncullah Nenek itu.
?Sudah selesai?? tanya jands Wang.
?Sudah...? Kim Lian terengah-engah.
?Mari kubantu.? Dengan air panas dan kain Nenek Wang lalu membersihkan semua darah yang keluar dari lubang-lubang di tubuh Bu Toa, kemudian dibantu oleh Kim Lian Nenek itu mengganti pakaian yang baik pada tubuh mayat, memakaikan sepatu, topi, menyisir rambutnya,
Kemudian mereka mengangkutnya turun, merebahkannya di bangku dan menyelimuti seluruh tubuhnya dengan kain bersih. Setelah itu mereka berdua membersihkan kamar, melenyapkan segala yang dapat menimbulkan kecurigaan. Setelah itu, Nenek Wang pulang dan Kim Lian lalu berlutut didekat mayat suaminya dan menangis melolong-lolong seperti lajimnya orang yang kematian keluarganya. Pada jaman itu ada tiga macam cara bagi seorang yang ditinggal mati suaminya untuk meratapi si mati, yaitu petmrtama adalah meratap tangis dengan suara keras dan meratap-ratap mengeluarkan kalimat-kalimat yang memilukan, kedua adalah menangis dengan air mata bercucuran tanpa mengeluarkan ratapan dan ke tiga berkabung dengan muka penuh duka tanpa tangis maupun ratap, seolah-olah yang berkabung sudah kehabisan air mata. Dan agaknya Kim Lian memilih cara terakhir ini.
Palsu! Palsu! Palsu!
Kepalsuan melanda dunla ini!
Munafik! Muhafik! Munafik!
Lain di kata, lain di perbuatan!
Lain dihati!
Tentu saja Shi Men girang bukan main melihat, betapa siasat itu berhasil baik. Cepat dia mengeluarkan uang, melalui Nenek Wang dia menyuruh beli peti mati dan segala keperluan pemakaman. Tentu saja dalam, kesempatan ini, sedikitnya biaya itu menjadi dua kali lipat besarnya, dan yang setengahnya lebih dari uang pemberian Shi Men masuk ke dalam kocek uang Nenek Wang.
?Ada lagi suatu kesulitan, Shi-Kongcu,? kata Nenek Wang yang banyak akal itu.
?Besok, kalau mayat hendak dikubur, kita harus berhadapan dengan petugas pemerintah yang memeriksa kematian. Tuan Hu Kiu itu pintar sekali, harap Kongcu suka mengusahakan agar dia tidak menaruh curiga dan mengadakan pemeriksaan. Saya tidak berdaya menghadapinya.?
?Haha jangan khawatir, akan kubereskan Hu Kiu itu.? kata Shi Men. Setelah mayat Bu Toa dimasukkan peti mati dan di depannya dipasangi meja sembahyang, para tetangga mulai berdatangan dan bertanya penyakit apa yang menyebabkan kematian Bu Toa si cebol itu.
?Dia mempunyai penyakit perut yang sudah, lama. Akhir-akhir ini kumat dan payah. Biarpun sudah kuusahakan pengobatannya, percuma saja.? Dan janda Kim Lian menangis terisak-isak di depan para tetangga. Para tetangga menghiburnya dengan kata-kata yang sudah kuno itu, yaitu,
?Yang sudah mati tak dapat hidup kembali. Semua orang hidup akhirnya mesti mati. Jangan bersedih terlalu mendalam karena hal itu akan mengganggu kesehatanmu sendiri.? Kim Lian lalu menghaturkan terima kasih dengan sikap seperti orang yang merasa amat terharu, Kepalsuan-kepalsuan seperti ini agaknya takkan lenyap selama manusia masih memiliki kebudayaan berpalsu-palsu macam sekarang ini. Sementara itu, Nenek Wang mengatur segala-galanya dengan uang pemberian Shi Men. Dialah yang membeli peti, membeli dupa, membeli kain dan segala macam keperluan penguburan, menguruskan tempat kuburan, laporan kepada penguasa dan sebagainya lagi. Pagi itu, pembesar Hu Kiu berjalan seenaknya untuk mengunjungi rumah kematian dan tiba-tiba dia berjumpa dengan Shi Men yang tentu saja memang sudah sengaja menghadangnya.
?Selamat pagi, hendak ke manakah, sobat baik?? tanya Shi Men yang sudah mengenal baik pejabat itu.
?Ah, saya hendak pergi mengunjungi rumah Bu Toa yang meninggal dan akan dikubur hari ini juga, sore nanti,? jawab Hu Kiu.
?Tunggu sebentar, kawan ada sesuatu yang penting yang perlu kuberitahukan kepadamu. Marilah kita singgah sebentar di kedai arak itu? Tanpa banyak cakap lagi Shi Men menggandeng tangannya dan mengajaknya ke loteng kedai arak yang sunyi, karena sepagi itu belum ada tamu yang datang berkunjung. Shi Men memesan anggur hangat dan beberapa makanan ringan. Diam-diam Hu Kiu merasa heran apa yang menyebabkan hartawan ini demikian baik hati kepadanya pagi hari ini. Setelah mereka minum-minum, Shi Men mengeluarkan sekantung uang perak dan berkatalah dia dengan suara yang lembut.
?Sahabatku Hu, harap jangan menolak, terimalah pemberianku ini sebagai tanda persahabatan dan penghormatan. Saya akan berterima kasih sekali kepada anda.? Hu Kiu berpura-pura menolak dengan gerakan tangannya dan hatinya terguncang ketika dia melihat mengkilapnya perak.
?Aih, Kongcu, alasan apakah yang menyebabkan Kongcu demikian baik hati kepada saya? Saya tidak pernah membantu Kongcu dalam urusan apapun juga. Bagaimana saya dapat menerima hadiah tanpa melakukan sesuatu? Barangkali saja, kalau ada sesuatu yang dapat saya lakukan??
?Tidak mengapalah, sahabat Hu. Simpan saja perak ini.? Seperti bermain sulap saja, kantung itu telah menghilang ke dalam saku jubahnya yang lebar dan dalam.
?Sekarang katakanlah, Kongcu. Apa yang dapat saya ?akukan untukmu??
?Ah, urusan kecil, sobat baik. Sudah sepatutnya kalau anda menerima sedikit uang lelah untuk tugasmu di rumah keluarga Bu Toa. Oya, maukah anda menolong saya agar mayat Bu Toa tidak diganggu dengan segala pemeriksaan dan dibiarkan saja tertutup??
?Aha, hanya itu sajakah permintaan Kongcu? Saya kira urusan yang besar. Untuk hal yang sekecil itu kenapa memberi hadiah begini besarnya??
?Jika anda tidak menerima penghormatan saya ini, berarti anda menolak permintaan tolong dariku.? Tentu saja Hu Kiu mengenal siapa adanya Shi Men yang bersahabat baik dengan para pejabat tinggi. Dia mengerti bahwa tentu ada sesuatu di balik permintaan Shi Men itu, akan tetapi itu bukanlah urusannya, Rejeki yang datang tak boleh ditolak, pikirnya. Setelah tiba di rumah kematian Hu Kiu disambut oleh Nenek Wang dan dia bertanya,
?Karena penyakit apakah dia mati??
?Menurut isterinya, karena penyakit perut,? jawab Nenek Wang. Hu kiu mendekati peti mayat. Para Pendeta sedang bersembahyang di sekitar meja dan peti mati. Hu Kiu lalu menyingkap kain putih yang menutupi muka mayat. Dia melihat betapa kuku-kuku tangan mayat itu membengkak dan berwarna hijau kebiruan, Bibirnya menghitam, mukanya kuning seperti malam dengan mata melotot. Jelaslah baginya bahwa ini bukan kematian karena penyakit, melainkan karena kejahatan. Juga dua orang pembantunya yang datang terlebih dahulu merasakan suatu keanehan
?Warna mukanya itu mencurigakan,? kata mereka kepada Hu Kiu yahg menjadi atasan mereka,
?Bibir itu berbekas gigitan gigi, dan ada darah di dalam mulutnya...?
?Omong kosong!? Hu Kiu membentak mereka.
?Itu adalah akibat hawa yang panas. Tutuplah petinya!? Nenek Wang menjadi girang sekali, maklum bahwa pengaruh Shi Men terasa di situ dan setelah peti ditutup Ia menyerahkan seuntai uang tembaga kepada pejabat itu. Hu Kiu lalu meninggalkan tempat itu dengan hati lapang. Setelah jenazah Bu Toa dikubur, Kim Lian sama sekali tidak memenuhi kewajiban sebagai seorang janda yang berkabung. la mendorong meja abu suaminya ke sudut ruangan menutupinya dengan kertas putih.
la tidak membuat masakan untuk meja sembahyang seperti yang selayaknya dilakukan bagi meja sembahyang orang yang baru meninggal, melainkan masak untuk dimakan sendiri. Bahkan Bu Ying yang kehilangan Ayahnya itu tidak diperbolehkannya untuk berkabung, apalagi menangis. Anak itu oleh Kim Lian disuruh bersembunyi saja di bagian belakang rumah membenamkan diri di dalam kamarnya yang kecil. Kesibukan satu-satunya bagi Kim Lian hanyalah berias muka. Dan selagi perkabungan masih berlangsung, baru beberapa hari saja setelah kematian Bu Toa, pada suatu pagi Kim Lian sudah mengadakan pertemuan rahasia dengan Shi Men, tentu saja seperti biasa di dalam rumah janda Wang. Karena tidak bertemu dengan Shi Men untuk beberapa hari lamanya, begitu bertemu Kim Lian bersungut-sungut dan berkata manja,
?Laki-laki memang tidak setia, apakah Kongcu telah melupakan aku dan membiarkan aku tersiksa dan menderita dalam kerinduan selama berhari-hari. Sungguh engkau kejam sekali, Kongcu. Apakah barangkali engkau telah menemukan seorang kekasih baru?? Shi. Men merangkul dan menciumnya sambil tertawa.
?Ah, jangan menyangka yang bukan-bukan sayang. Aku sibuk oleh urusan dagang, akan tetapi hari ini aku meninggalkan pekerjaan untuk menyerahkan oleh-oleh kepadamu. Ini kubeli dari Pasar Kuil.?
Shi Men menggapai A Thai yang menunggu di luar membawa buntalan besar, Anak itu datang dan membuka buntalan. Ternyata Isinya gulungan kain sutera dan berbegai macam perhiasan yang serba indah dan mahal. Kim Lian menerima pemberian itu dengan girang sekall dan ia memanggil Bu Ying untuk melayani mereka. Bu Ying yang setiap hari dibentak dan dipukul itu telah menjadi seperti sebuah boneka hidup, tak berani berkutik di depan Kim Lian sehingga Kim Lian tidak merasa segan untuk mengadakan pertemuan mesra dengan Shi Men di depan hidung anak tirinya sendiri. Segera dua orang yang tak bermalu itu duduk mepet berendeng, makan dari satu mangkok dan minum dari satu cawan. Setelah merasa kenyang, Kim Lian bahkan berani mengajak Shi Men berkunjung ke rumahnya melalui pintu belakang, diikuti oleh Bu Ying yang melayani mereka.
Sedangkan A Thai disuruh menanti di rumah Nenek Wang. Ketika memasuki kamar dan melihat ada yang-kim (siter) di tembok, Shi Men lalu minta kepada Kim Lian untuk memainkan sebuah lagu untuknya. Dengan lagak malu-malu kucing Kim Lian lalu memainkan siter sambil bernyanyi. Suara siter yang myaring mengiringi suara nyanyiannnya yang merdu, dan Kim Lian sudah menyanyikan sebuah lagu yang romantis tentang kegembiraan seorang wanita yang menjemput kedatangan kekasih yang sudah lama meninggalkannya. Bagaikan terpesona Shi Men melihat jari-jari tangn yang Putih mungil dan halus itu bermain-main dan menari-nari di atas senar-senar siter, dan melihat pula gerakan mulut kekasihnya, yang bernyanyi. Setelah lagu itu selesai dinyanyikan, Shi Men menjadi kagum sekali dan menghadiahkan sebuah cuman mesra pada mulut kekasihnya.
?Ah, kiranya engkau seorang seniwati yang hebat? serunya. ?Sesungguhnyalah bahwa belum pernah aku bertemu dengan seorang wanita sehebat engkau, di seluruh kota ini!?
?Aih, engkau merayu, Kalau saja selamanya hatimu akan tertuju kepadaku seperti pada saat ini, dan tidak akan melupakanku.?
?Tidak, tak mungkin aku melupakanmu, kekasihku yang tersayang? Tak lama kemudian merekapun menutupkan pintu kamar dan Bu Ying disuruh membersihkan meja dan mencuci mangkok piring. Shi Men yang sedang mabuk oleh kecantikan dan kepandaian Kim Lian, tanpa segan-segan lagi melepaskan sepatu sutera yang dipakai Kim Lian, menuangkan anggur di dalam sepatu itu dan meminumnya, Mereka berdua lalu bercumbu rayu menceburkan diri ke dalam gelombang-gelombang nafsu yang tak kunjung puas.
Mereka bermain cinta seperti dua ?kor ikan dalam danau yang bening, seperti dua ekor burung Hong di angkasa. Keduanya merupakah ahli-ahli dalam permainan yang mengasyikkan itu dan baru setelah matahari tenggelam ke barat, mereka saling berpisah. Seperti biasa, Shi Men memberi hadiah sekedarnya kepada Nenek Wang yang selama itu duduk didapur bersama Bu Ying. Nafsu berahi bagaikan api yang membakar, makin diberi umpan semakin ganas tak mengenal padam, tak mengenal puas. Makin dituruti makin menjadi-jadi. Akan tetapi, yang demikian sama sekali bukanlah cinta kasih yang sesungguhnya, melainkan nafsu berahi belaka. dan nafsu berahi, seperti semua nafsu lainnya, condong untuk memudar, menjadi bosan, bahkan mendatangkan segala macam konflik kalau dituruti dan dibiarkan mencengkeram diri.
Sebulan telah berlalu dan Kim Lian merasa kesepian karena selama itu tak pernah nampak bayangan Shi Men. la tidak tahu bahwa selama itu Shi Men telah asyik masyuk dengan wanita-wanita lain. Seorang, janda berusia tiga puluh tahun bernama Mong Yu Lok, yang jauh lebih berpengalaman dalam hal permainan cinta dibandingkan Kim Lian, telah diambil oleh Shi Men menjadi isteri ke tiga, menggantikan Co Tiu yang meninggal dunia. Selain ini, juga seorang pelacur wanita, gadis muda belia yang mulus bernama Sun Siu Oh, diangkatnya menjadi isteri ke empat setelah ternyata gadis pelayan Ini memiliki pula keistimewaan-keistimewaan yang menyenangkan hati Shi Men.
Tidaklah mengherankan kalau Kim Lian tidak kebagian karena selama sebulan Itu Shi Men asyik dengan dua orang kekasihnya yang baru telah ditariknya menjadi anggauta keluarga di dalam rumahnya. Di suatu pagi dalam permulaan musim panas, ketika udara sedang panas-panasnya, Kim Lian memerintahkan Bu Ying untuk mempersiapkan mandi air hangat. Kim Lian menanti sambil duduk di atas bangku, hanya mengenakan pakaian dalam yang serba ringkas dan tipis. Siapa tahu hari ini dia akan datang, pikirnya penuh harap dan penuh kerinduan. la setiap hari telah mempersiapkan diri untuk menerima kunjungkan Shi Men, bahkan juga telah menyediakan masakan yang dimasak oleh kedua tangannya sendiri.
?Laki-laki tak mengenal budi!? berkali-kali ia bersungut-sungut, Karena tidak ada sesuatu yang dikerjakan, Kim Lian melamun sampai ia merasa mengantuk, maka iapun melempar diri ke atas pembaringan dan jatuh pulas. Dua jam kemudian Kim Lian bangun dengan uring-uringan. Bu Ying datang memberitahukan kepada Ibu tirinya yang sudah bangun bahwa air hangat untuk mandi telah dipersiapkan.
?Coba bawa ke sini bakso goreng yang kubikin tadi,? katanya. Kalau Shi Men tidak datang, lebih baik ia makan sendiri saja masakan daging yang enak itu. Bu Ying cepat mengambilkan masakan yang diminta Ibu tirinya dan dengan jari tangannya yang kecil mungil Kim Lian menghitung kue daging yang bulat-bulat itu.
?Eh? Aku menggoreng tiga puluh biji, kenapa tinggal dua puluh sembilan? Mana yang sebiji lagi?? la membentak Bu Ying dengan alis berkerut. Kesepian dan kekecewaan karena Shi Men tak pernah muncul membuat gairahnya tak tersalurkan dan sebagai gantinya ia menjadi pemarah sekali.
?Saya tidak tahu, barangkali engkau salah hitung??
?Tidak mungkin! Aku telah menghitungnya dua tiga kali. Bakso ini kubikin untuk tuan muda Shi Men, bagaimana engkau begini kurang ajar untuk berani mencurinya sebiji? Engkau budak hina tak mengenal budi, engkau tak mengenal kenyang. Awas, kuhajar kau!? Denga? kemarahan meluap Kim Lian membuka baju Bu Ying sehingga nampaklah punggung anak itu yang kurus. Kim Lian lalu melecuti punggung telanjang itu dengan cambuknya sampai tiga puluh kali, yang membuat anak itu meraung-raung dan menggeliat-geliat.
?Hayo mau mengaku atau tidak? Kalau tidak mengaku akan kupukul lagi sampai seratus kali!?
?Ya..., ya...? di antara lolong jeritnya kesakitan Bu Ying berteriak. ?Hentikan cambukan itu... aku mengambil sebuah karena aku... lapar sekali.?
?Aku tahu engkau mencurinya dan engkau berani menuduh aku menghitung tidak. benar? Engkau pencuri hina-dina dan tak kenal budi! Pantas karena selama Ayahmu yang tolol itu masih hidup engkau tidak dididik baik-baik. Sekarang dia sudah mampus dan engkau berani main-main di dalam rumahku? Huh, sepatutnya kucabik-cabik kau, maling tak tahu malu? Ia melecut sekali lagi keras-keras sehingga pipi Bu Ying, yang terkena lecutan menjadi bergurat merah, lalu melemparkan cambuknya dan memerintahkan Bu Ying untuk berdiri di dekatnya dan mengipasi tubuhnya yang terasa gerah setelah melakucan pencambukan itu. Setelah Bu Ying mengipasinya beberapa lamanya, Kim Lian yang masih belum reda marahnya itu berkata.
?Menghadap ke sini, aku ingin memberi pelajaran agar engkau tidak lupa lagi dan berani main-main di rumahku. Biarpun ketakutan, Bu Ying manghadapkan mukanya dan dengan kedua tangannya, Kim Lian mencakar kedua pipi Bu Ying dengan kukunya yang panjang meruncing sehingga kedua pipi itu bertambah guratan berdarah. Barulah Kim Lian merasa puas dan ia mengusir Bu Ying keluar dari dalam kamarnya. la lalu mandi berias maka, membereskan rambutnya dan mengambil tempat di tempatnya yang biasa, yaitu di bawah tenda di luar pintu rumahnya. Pada saat ia keluar, ia melihat si kacung A Thai menunggang seekor kuda membawa sebuah tas.
?Heii, A Thai, mau ke mana engkau?? teriak Kim Lian. A Thai bukan seorang anak bodoh dan seringkali dia diajak majikannya berkunjung ke rumah ini dan sudah sering pula telapak tangannya menerima pemberian hadiah-hadiah kecil dari Kim Lian, maka diapun segera turun dari atas kudanya menghampiri wanita itu sampai ke depan pintu.
?Saya diutus pergi ke rumah Komandan Militer untuk menghaturkan beberapa hadiah.?
?Eh, A Thai, apa saja yang dikerjakan majikanmu. di rumahnya?? Kim Lian mengajak anak itu masuk ke dalam rumahnya.
?Mengapa dia menghilang dan aku tak pernah melihat bayangannya? Apakah dia telah mendapatkan seorang kekasih baru??
?Saya kira tidak. Pekerjaan yang repot membuat dia belum sempat datang mengunjungimu.?
?Ah, pekerjaan! Bukankah alasan untuk menelantarkan aku selama satu bulan penuh, tanpa kabar sedikitpun? Pekerjaan apa sih?? Pemuda remaja itu menyeringai.
?Katakan, pekerjaan macam apa??
?Yah, pekerjaan macam-macam. Kuberi tahu engkau juga tidak akan mengerti? A Thai menjawab dengan lagak menjual mahal.
?Ih, anak bengal! Aku akan membencimu sampai aku mati kalau engkau tidak mau mengatakan sebenarnya!?
?Baiklah, baiklah, Enci yang baik. Akan tetapi, berjanjilah agar engkau tidak akan memberitahukan majikanku.?
?Aku berjanji.?
?Nah, majikanku, baru saja mengawini Nyonya Mong Yu Lok...? Anak itu lalu menceritakan tentang peristiwa itu, betapa majikannya tergila-gila kepada Mong Yu Lok, bahkan mengambilnya sebagai isteri ke tiga pengganti isteri ke tiga yang meninggal. Mendengar penuturan itu, Kim Lian tak dapat menahan air matanya yang jatuh berderai di kedua pipinya.
?Sudahlah, jangan menangis,? anak, itu mencoba menghiburnya. ?Hari ulang tahun majikanku akan tiba tak lama lagi dan dia pasti akan datang ke sini. Sebaiknya kau tulis beberapa baris kata-kata, dan aku akan mengantarkan suratmu itu kepadanya.?
?Ah, itu baik sekali! Aku akan menghadiahkan sepasang sepatu baru dan indah untukmu, yang dibuat oleh kedua tanganku sendiri. Dan aku mengharapkan kedatangannya pada hari kelahirannya. Akan tetapi awaslah engkau, anak bengal, jika dia tidak datang!? Kim Lian memerintahkan Bu Ying untuk menghidangkan teh dan kue kering. Kemudian ia sendiri pergi ke kamarnya untuk menuliskan sepucuk surat dengan kertas berkembang dan sebentar saja ia telah membuat serangkaian sajak yang diberi judul : ?Pesan Sang Bunga?
Pesan dari setangkai kembang
kepada dia sang kumbang
lupakah sudah anda
akan pertemuan pertama
ketika anda dengan dalih cinta
menghisap manisnya madu bunga?
kenapa membiarkan kembang menanti rindu
akan datangnya sang kumbang
yang pandai merayu
tenggelam dalam air mata dan duka
membiarkannya layu merana?
Tulisannya halus dan indah. Surat itu dilipatnya hati-hati, dimasukkan sampul dan diberinya kepada A Thai untuk disampaikan kepada Shi Men. Dan keesokan harinya, sehari suntuk Kim Lian duduk menunggu jawaban suratnya. Namun tidak ada berita secuilpun, seolah-olah ia telah melemparkan sebuah batu ke dalam lautan yang tanpa dasar. Pada malam hari ulang tahun Shi Men, dengan hilang sabar Kim Lian mengutus Bu Ying untuk mengundang janda Wang. Setelah Nenek itu datang, Kim Lian menyuguhi makanan dan minuman, kemudian menghadiahkan hiasan rambut terbuat dari perak dan emas, yang diambilnya dari rambutnya sendiri dan menyerahkannya kepada Nenek Wang. la tahu benar bahwa Nenek ini tak mungkin dapat diharapkan bantuan tanpa adanya imbalan.
?Bibi Wang, tolonglah aku dan, bawalah Kongcu Shi Men ke sini.? Kim Lian memohon.
?Saya kira hari ini dia tidak mungkin datang, karena dia tentu berpesta pora di rumahnya sendiri dengan keluarganya. Akan tetapi besok pagi-pagi saya akan pergi ke sana.? Setelah kenyang makan dan mukanya menjadi kemerahan karena banyak minum arak Nenek itu pulang, dan malam itu Kim Lian tidak dapat tidur. Ia gelisah di atas pembaringannya yang lunak, di antara bantal dan selimut yang disulam melukiskan sepasang bebek yang tengah berkasih-kasihan.
la rebah dengan gelisah, penuh kerinduan. Cinta asmara selalu mendatangkan kebalikan-kebalikan. Mendatangkan kepuasan akan tetapi juga kekecewaan, kesenangan dan kesusahan, suka dan duka, cinta dan benci. Kalau sedang mendatangkan kepuasan, tidak ada apapun di dunia ini yang melebihi puas dan nikmatnya, sebaliknya kalau mendatangkan kekecewaan, dunia dan kehidupannya seolah-olah kiamat! Kalau sedang mendatangkan suka, membuat orang bernyanyi, menciptakan lagu-lagu terindah, namun kalau sedang mendatangkan duka, banyak sudah orang membunuh diri karena kegagalan cinta! Kim Lian merasa nelangsa sekali. Entah berapa puluh atau ratus kali la menarik napas panjang, mengeluh dan mengusap matanya yang menjadi basah.
Rambutnya menjadi kusut, pakaiannya lusuh, matanya sayu, wajahnya layu dan erangan lirih keluar dari dada melalui kerongkongan seperti orang merintih-rintih. Pada keesokan harinya, ketika ia terbangun dari tidur yang sama sekali tidak nyenyak, yang pertama kali dilakukan oleh Kim Lian adalah mengutus Bu Ying keluar untuk menyelidiki apakah benar-benar Nenek Wang pergi memenuhi janjinya untuk berkunjung ke rumah Shi Men. Dan Bu Ying kembali dengan keterangan yang melegakan sedikit hati Kim Lian bahwa Nenek itu memang pagi-pagi sekali telah berangkat pergi meninggalkan rumahnya. Memang janda Wang pergi berkunjung ke rumah Shi Men. Ketika melihat seorang pegawai Shi Men yang bernama Hok, la cepat menghampirinya dan bertanya apakah majikan orang itu berada di rumah.
?Ah, seharusnya engkau datang lebih pagi, Bibi Wang,? kata Hok kepadanya. Dia berada di rumah kemarin, dan banyak tamu berdatangan merayakan hari ulang tahunnya. Semalam dia pergi bersama-sama teman-temannya untuk pelesir dan belam pulang. Dia tentu berada di suatu rumah pelesir, kalau Bibi Wang ingin bertemu, harus mencarinya sendiri.? Bibl Wang segera pergi menuju ke kompleks rumah-rumah pelesir, tak jauh dari benteng. Dan benar saja, ia melihat Shi Men menunggang kuda, diikuti oleh beberapa orang pelayan laki-laki. Wajahnya memperlihatkan kelelahan karena terlalu banyak pelesir dan mabuk-mabuk semalam, sepasang matanya masih kemerahan.
?Hayaaa, Kongcu yang baik, seyogianya Kongcu tidak minum arak terlalu banyak, tidak baik untuk kesehatan Kongcu!? teriak Nenek Wang sambil menghentikan kuda tunggangan Shi Men.
?Ah, kiranya engkau, Bibi Wang.? Shi Men berkata menyeringai.
?Karena adik Kim Lian tentu mengutusmu keluar mencari aku, ya? Ha-ha-ha? Sambil berbisik Bibi Wang mengatakan betapa Kim Lian merindukannya setengah mati.
?Baiklah, aku sudah tahu. A Thai sudah memberitahu. Aku tahu ia marah kepadaku, dan memang aku sengaja membuatnya setengah mati kerinduan sehingga sikapnya ?akan semakin mesra,? ha-ha... Sekarangpun aku akan mengunjunginya.? Sambil bercakap-cakap, Shi Men dan Nenek Wang melanjutkan perjalanan menuju Jalan Batu Ungu. Setelah dekat tempat tujuan, Nenek Wang mendahului Shi Men dan bergegas memasuki rumah Kim Lian.
?Selamat, selamat, nona Kim Lian dan engkau harus berterima kasih kepadaku. Belum juga satu jam dan saya berhasil membawa dia kepadamu? Kim Lian menjadi demikian terkejut dan girang dan Jantungnya berdebar kencang ketika ia melihat Shi Men memasuki rumahnya, masih dalam keadaan setengah mabuk, dan mengebut-ngebutkan kipasnya.
?Suatu kehormatan yang luar biasa!? Kim Lian menyambutnya dengan bersungut-sungut.
?Kukira engkau audah lupa sama sekall kapada hambamu yang malang Ini, Kongcu, karena sekian lamanya aku tidak pernah melihat bayanganmu. Akan tetapi tentu saja, kalau melekat kepada Isteri baru seperti sepasang sumpit mana ada waktu tersisa untuk hambamu yang malang Ini??
?Ahh... kuharap engkau tidak mendengarkan celoteh orang pengangguran.?
?Isteri baru? Huh..! Aku harus membuat banyak persiapan untuk pernikahan puteriku, karena itulah maka sekian lamanya aku tidak sempat datang.?
?Jangan Kongcu mengira aku bodoh dan dapat membohongiku.? Kim Lian berkata sambil mengerutkan alisnya yang kecil panjang dan hitam melengkung.
?Bersumpahlah bahwa Kongcu benar-benar setia kepadaku dan tidak jatuh cinta kepada seorang isteri baru?
?Aku bersumpah, dan jika aku berbohong, biarlah aku dihinggapi penyakit borok sebesar piring, diserang penyakit kuning selama lima tahun, dan biarlah pinggulku digigit kutu busuk sebesar caping!?
?Hemm, engkau perayu dan pembohong. Di manakah bros yang kuberikan kepadamu?? tanya Kim Lian yang tidak melihat hiasan bros yang setelah ia berikan kepada kekasihnya ini biasanya dipakai oleh Shi Men.
?Ah, baru-baru ini aku kehilangan bros Itu. Ketika aku mabuk dan terjatuh dari kudaku. Topiku menggelinding ke lumpur, kuncirku terlepas dan tentu bros itu telah terlempar dan hilang.? Kim Lian menggerakkan jari tangannya di depan mukanya,
?Engkau tidak bisa membohongi seorang anak kecilpun dengan alasan itu? Sampai di sini Nenek Wang cepat maju melerai.
?Nona, cukuplah teguran-teguran Itu. Apakah engkau tidak melihat betapa Kongcu Shi Men menderita dan nampaknya tidak sehat? Seyogianya engkau menghiburnya, bukan mencacinya.? Shi Men menarik napas panjang.
?Apakah engkau juga Ingin menekan aku, adik Kim Lian yang manis?? Bu Ying muncul membawa mangkok-mangkok teh. Atas perintah Kim Lian, anak Itu memberi hormat kepada Shi Men dan Nenek Wang merasa bahwa waktunya tiba baginya untuk mengundurkan diri. Sebelum pergi, ia masih berseru.
?Masa perasaan rindu harus dipuaskan dengar saling tegur dan percekcokan?? Bu Ying mengatur meja dan Kim Lian lalu mengeluarkan hadiah-hadiah ulang tahun yang sudah dipersiapkannya untuk kekasihnya dan menaruh hadiah-hadiah itu di atas meja di depan Shi Men. Sepasang sandal sutera hitam, sepasang kantung harum untuk dipakai dengan tali, pelindung lutut sepasang terbuat dari sutera merah dengan pinus, bambu, dan daun acanthus, tiga obat pelindung dingin di musim salju, baju dalam yang hijau dari sutera halus sekali, ikat pinggang, tusuk rambut dengan hiasan ukiran bunga. Melihat hadiah-hadiah ini, Shi Men merasa terharu sekali. Dia mendekap kekasihnya dan menghadiahkan sebuah ciuman yang lama dan mesra. Sehari semalam Shi Men berada di rumah Kim Lian dan kedua orang ini dengan bebas menumpahkan seluruh kerinduan mereka dan berpesta pora dalam nafsu berahi mereka.
Susah dan senang merupakan dua saudera kembar yang tak terpisahkan, Kalau kita bersenang di waktu pagi, jangan heran kalau bertemu dengan susah di sore harinya. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali sebelum dua orang yang berkasih-kasihan itu bangun dari tidur, seorang penunggang kuda berhenti di depan rumah mendiang Bu Toa. Ternyata orang itu adalah utusan dari komandan Bu Siong. Kiranya Bu Siong telah selesai melaksanakan tugasnya, menyerahkan barang-barang berharga yang merupakan penyuapan yang dilakukan oleh Kepala Daerah kepada Komandan Istana yang bernama Cu. Setelah menyampaikan barang sumbangan yang berharga itu, Bu Siong menuju pulang dengan membawa surat penerimaan, dan balasan dari pembesar Istana itu. Musim panas telah lewat dan musim gugur sudah menjelang tiba ketika dia melakukan perjalanan pulang ke kota Ceng-Ho-Sian.
Perjalanan yang amat jauh dan terhalang hawa udara yang buruk membuat pekerjaan itu memakan waktu seluruhnya tiga bulan. Selama dalam perjalanan Itu, baik selagi tidur maupun terjaga, pendekar Ini merasakan sesuatu yang tidak enak di dalam hatinya, terutama sekali kalau dia mengingat akan Kakaknya Bu Toa. Karena itulah, dia mengirim utusan agar melakukan perjalanan terlebih dulu pulang dan segera menyampaikan suratnya kepada Kakaknya. Dan kini pesuruh itu telah tiba di depan rumah Kim Lian. Dia melihat betapa pintu rumah itu tertutup dan ketika dia hendak mengetuk pintu. dia melihat Nenek Wang yang merupakan tetangga terdekat berdiri di luar rumah, dan Nenek Wang bertanya apa yang dikehendaki penunggang kuda Itu.
?Saya membawa sepucuk surat dari Kapten Keamanan, Komandan Bu Siong, untuk diserahkan kepada Kakaknya.?
?Dia tidak ada di rumah, seluruh isi rumah berada di kuburan. Berikan saja surat itu kepada saya, dan saya dapat menyerahkannya kalau dia pulang, percayalah saja kepada saya.? Utusan itu menyerahkan surat, memberi hormat sambil berterima kasih, lalu pergi. Nenek Wang cepat membawa surat itu ke rumah sebelah melalui pintu belakang dan mengetuk daun pintu kamar di mana sepasang kekasih itu masih tidur berpelukan.
?Bangun! Bangunlah kalian berdua!? teriak Nenek Wang dan ketika dua orang itu terbangun dan membuka pintu, Nenek itu melanjutkan... ?Seorang utusan datang membawa surat dari Bu Siong. Dia sendiri akan segera datang di sini. Surat dari Bu Siong itu ditujukan untuk Bu Toa. Aku telah minta surat itu dan meryuruhnya pergi. Sekarang kita tidak boleh membuang-buang waktu lagi, harus cepat bertindak kalau ingin selamat.?
Andaikan Shi Men diceritakan tentang hal lain, mungkin dia takkan mau memperdulikannya karena dia masih mabuk oleh kemesraan yang dinikmatinya dari pelayanan Kim Lian. Akan tetapi begitu mendengar disebutnya nama Bu Siong, dia terkejut seperti disambar petir dan seketika dia tergugah benar-benar, tidak ada kantuk sedikitpun tinggal di kepalanya. Tergesa-gesa sepasang kekasih ini mengenakan pakaian mereka dan segera membaca surat dari Bu Siong itu bersama-sama. Bu Siong menulis bahwa dia akan tiba beberapa hari lagi dan tentu saja sepasang kekasih itu menjadi ketakutan. Dengan tubuh gemetar mereka lalu minta nasihat Nenek Wang yang banyak akalnya itu.
?Ah, masalah ini sederhaha sekali,? kata Nenek Wang menghibur mereka.
?Seperti pernah saya katakan, pernikahan pertama untuk menyenangkan Orang-tua, pernikahan ke dua untuk memyenangkan diri sendiri. Selain dari itu, hukum melarang seorang laki-laki tinggal serumah dengan ipar perempuannya. Perkabungan seratus hari dari Bu Toa sudah hampir lewat. Sekarang yang perlu dilakukan nona Kim Lian adalah untuk mengundang beberapa orang Hwesio untuk melaksanakan upacara doa seratus hari meninggalnya suaminya, kemudian, sebelum Bu Siong pulang Kongcu Shi Men harus memboyongnya ke rumahnya, di dalam joli sebagai pengantinnya. dan, Bu Siong akan berhadapan dengan kenyataan yang tak dapat dibantah lagi karena bukankah bekas Kakak iparnya telah menjadi isteri orang lain secara sah? Nah, bagaimana ji-wi (anda berdua) pikir? Baik tidak usulku itu??
?Hebat Dan semua itu akan kami lakukan, Bibi Wang!? kata Shi Men dengan girang karena dia memperoleh jalan untuk menyelamatkan diri dari Bu Siong. Rencana siasat itu mereka rayakan sambil makan pagi bersama, dan lenyaplah semua kekhawatiran dari hati sepasang kekasih itu. Enam orang Hwesio (Pendeta Buddhis) diundang untuk melaksanakan upacara sembahyang bagi arwah Bu Toa yang telah meninggal dunia seratus hari yang lalu. Hwesio kepala sejak pagi sekali telah berada di rurnah Kim Lian dan dia sibuk bersama Nenek Wang membuat persiapan masakan yang akan dipergunakan untuk sembahyangan itu. Sementara itu, tanpa memperdulikan segalanya, selagi para Hwesio sibuk, Shi Men tidur di dalam kamar bersama Kim Lian.
Setelah semua persiapan selesai, segera dimulailah sembahyangan itu dengan segala macam upacaranya. Terdengar para Hwesio itu membaca doa, dibarengi suara kelenengan dan tambur, dan nyanyian pujian. Sementara itu, Kim Lian yang sedikitpun tidak menaruh hormat kepada arwah suaminya, sedang bermesraan dengan Shi Men di dalam kamarnya. Biar pagi telah berganti siang dan matahari sudah naik tinggi, dua orang kekasih itu merasa malas untuk berpisah dan meninggalkan tempat tidur. Bagaimanapun juga, upacara sembahyang itu mengharuskan isteri si mati untuk membakar dupa, menanda-tangani formula sembahyang. bersembahyang dan sebagainya lagi. Dengan terpaksa sekali Kim Lian bangun dari tempat tidurnya, meninggalkan kekasihnya, mencuci muka, berganti pakaian dan membereskan rambutnya.
lapun keluar dan dengan gerakan anggun sekali ia membungkuk dengan hormatnya di depan arca Sang Buddha. Ketika enam orang Pendeta Hwesio itu untuk pertama kalinya melihat Nyonya rumah, janda yang demikian muda dan cantik jelitanya, bergolaklah hati yang terbungkus pakaian Pendeta itu, dan dari kepala mereka yang dicukur gundul itu membumbung uap yang penuh dengan gairah berahi. Seketika mereka merasa betapa panasnya hawa udara dan suara nyanyian dan doa mereka mulai menjadi kacau balau.! Demikianlah keheningan yang didapatkan dengan cara penekanan. Memang, tak dapat disangkal bahwa dengan cara penekanan, memaksa diri, latihan dan sebagainya, batin dapat dibuat menjadi hening dan pikiran menjadi hening. Namun, hasil yang didapatkan karena penekanan ini hanya merupakan kelumpuhan sementara belaka.
Sekali datang rangsangan yang kuat, maka keheningan menjadi kebisingan dan kebeningan menjadi kekeruhan. Setelah Kim Lian melaksanakan semua tugas sebagai isteri si mati, iapun cepat kembali ke kamarnya di mana sudah menanti Shi Men yang sudah kehilangan kesabarannya karena kemesraan yang sedang berlangsung tadi terganggu oleh upacara sembahyang itu. Sebelam menutupkan kembali daun pintu kamar, Shi Men memesan kepada Nenek Wang agar para Pendeta itu tidak lagi mengganggu Kim Lian. Ketika tengah hari tiba, para Pendeta itu berhenti sebentar, Upacara itu di hentikan karena mereka harus kembali ke Kuil dulu untuk makan siang. Ketika makan siang selesai, seorang di antara mereka lebih dahulu kembali ke rumah Kim Lian. Dia masih selalu membayangkan janda yang tadi menjadi bahan percakapan kawan-kawannya ketika mereka makan siang.
Tanpa disengaja, ketika Hwesio yang masih muda itu hendak mencuci. tangan di belakang, dan lewat di depan kamar Kim Lian, dari jendela kamar itu dia mendengar suara-suara mencurigakan, bisikan dan desahan, jelas suara orang yang sedang bercintaan di dalam kamar itu! Tentu saja hal ini amat mengejutkan dan mengherankan sang Hwesio. Janda yang cantik dan muda itu baru saja ditinggal mati suaminya, bahkan hari ini diadakan upacara sembahyang ke seratus Harinya, akan tetapi tak dapat disangkal lagi, janda cantik itu kini sedang bermain gila dengan seorang pria di dalam kamarnya itu! Hwesio itu sengaja memperlambat pekerjaannya mencuci tangan, dengan jantung berdebar penuh gairah dia mendengarkan dengan penuh perhatian dan akhirnya dia mendengar suara si janda cantik, suaranya terputus-putus dan terengah-engah.
?Aih... sudahlah Koko (kanda)... mereka sudah akan kembali... kalau ada yang mendengar kita... ah sudahlah!? Lalu dia mendengar suara laki-laki,
?Jangan takut! Sekali lagi saja, sayang...? Ah, kalau saja Shi Men dan Kim Lian tahu bahwa kata-kata mereka itu ada orang mendengarkan.! Setelah hwwesio yang tadi kebetulan mendengar kata-kata yang penuh arti itu, membisikkan semua yang didengarnya kepada kawan-kawannya. Hal ini menambah, berkobarnya gairah birahi dari mereka berenam dan semakin tidak karuanlah jalannya upacara. Nyanyian, pujian menjadi sumbang, doa-doanya tersendat-sendat dan banyak yang, keliru, bahkan pemukul tambur, canang dan kelenengan kehilangan iramanya.
(Lanjut ke Jilid 04)
Si Teratai Emas (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 04 Menjelang senja, selesailah upacara sembahyang itu. Hadiah-hadiah rumah gedung, uang dan harta benda dunia lainnya dalam ujud kertas kini dibawa keluar dan dibakar. Menurut kepercayaan kuno, mereka yang masih hidup dapat mengirimkan benda-benda duniawi yang serba indah kepada si mati dalam bentuk duplikat dari kertas, membakar semua itu dan di ?sana? roh si mati akan menerimanya dalam bentuk yang nyata! Lebih menggelikan lagi, ada yang mengirim dari kertas untuk si mati, berupa semangka ke ?sana? karena semangka ini amat diperlukan oleh roh yang mati. Untuk apa? Apakah roh si mati gemar makan semangka seperti ketika hidupnya? Tidak, bukan untuk itu melainkan untuk maksud yang jauh lebih penting lagi, yaitu untuk... menyogok para dewa maut agar roh itu di ?sananya? dapat memperoleh tempat yang baik dan perlakuan yang pantas.
Agaknya mirip dengan orang-orang memberi imbalan jasa atau istilah kasarnya sogokan kepada para penjaga penjara agar keluarganya yang menjadi orang hukuman di situ mendapat perlakuan yang baik dari para sipir penjara yang dapat mereka sogok! Karena sudah lepas masa perkabungan, kini Kim Lian membereskan rambutnya, disisir rapi, mukanya dibedaki dan Bibirnya ditambah merah dengan gincu, mengenakan pakaian berkembang yang baru, dan mengintai dari balik jendela bersama Shi Men. la menyandarkan kepalanya di pundak kekasihnya itu, tidak tahu bahwa bayangan mereka nampak. dari balik tirai jendela oleh para Pendeta yang sedang menyelesaikan bagian-bagian terakhir dari upacara itu. Penglihatan ini membuat mereka membayangkan apa yang tadi terjadi di dalam kamar seperti yang dibisikkan oleh seorang kawan mereka dan tingkah mereka menjadi semakin kacau balau.
Mereka masih terus memukul tambur dan kelenengan, demikian penuh semangat dan ketika topi penutup kepala dari Hwesio kepala terjatuh ke atas tanah, tak. seorangpun di antara mereka memperdulikannya. Sungguh menggelikan sekali tingkah laku mereka itu. Hal ini dapat dimengerti. Selama bertahun-tahun para Hwesio itu mengekang segala macam nafsu mereka, hidup, terasing di dalam Kuil, tak pernah berdekatan dengan wanita. Agaknya secara lahiriah saja demikian, namun batin mereka tak pernah lowong dari bayangan wanita sehingga sekarang, setelah mereka melihat janda muda cantik itu bermain cinta dengan seorang kekasih pada saat sembahyang roh suaminya dilakukan, mereka semua itu tak mampu lagi membendung peluapan nafsu berahi mereka!
?Suhu sekalian,? Nenek Wang berkata kepada mereka dengan heran. ?Semua barang telah terbakar habis menjadi abu, upacara telah selesai, akan tetapi mengapa suhu sekalian masih saja membunyikan kelenengan dan memukul tambur itu??
?Biarlah, sekali lagi saja? jawab mereka. Mendengar ini, Shi Men mengerti bahwa ulahnya bersama Kim Lian di dalam kamar tadi diketahui orang. Dia lalu memberi sejumlah uang kepada para Hwesio dan minta agar mereka itu segera pulang ke Kuil mereka. Para Hwesio minta kepada Nenek Wang agar Nyonya rumah suka keluar untuk menerima ucapan terima kasih mereka. Namun, Kim Lian yang tadi juga mendengar sindiran mereka, tidak, berani keluar akhirnya para Hwesio itu dapat dibujuk oleh Nenek Wang untuk pergi. Pada keesokan harinya, Kim Lian mengunjungi Nenek Wang untuk berpamit, dan ia menitipkan Bu Ying kepada Nenek Wang agar dipelihara dan anak itu dapat pula membantu Nenek Wang. Di situ telah hadir Shi Men yang bermaksud memboyong kekasihnya ke rumahnya.
?Bagaimana kalau sampai Bu Siong tahu bahwa bekas iparnya telah menjadi isteriku?? kata Shi Men khawatir.
?Ah, serahkan saja kepada saya, Kongcu. Biarlah saya yang akan menghadapinya kalau dia datang ke sini,? jawab Nenek Wang yang membuat hati kedua kekasih itu menjadi tenang.
Tentu saja Shi Men tidak lupa untuk memberi hadiah uang secukupnya kepada Nenek yang sudah banyak berjasa dalam hubungannya dengan kim Lian itu. Pada keesokan harinya, tanggal delapan bulan delapan yang dipilih sebagai hari baik setelah diperhitungkannya dengan teliti, Shi Men menyambut pengantinnya dengan joli. Janda Wang, Siauw Thai si kacung, dan empat orang pembawa lentera seperti lajimnya pengantin wanita yang diboyong ke rumah pengantin pria, mengawal joli yang dipikul empat orang itu, di mana Kim Lian duduk sebagai pengantin dengan hati yang amat gembira. Akhirnya berhasillah apa yang diinginkan dan diidamkannya selama ini, menjadi seorang isteri Shi Men dan tinggal di rumah gedung kekasihnya itu.
Tentu saja, para tetangga yang tinggal di Jalan Batu Ungu dapat menduga apa yang sebenarnya telah terjadi dengan Kim Lian dan Bu Toa dan Shi Men, namun karena mereka semua merasa segan terhadap Shi Men, merekapun tidak mau mencampuri urusan yang sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan mereka itu. Banyak tetangga yang diam-diam mencibirkan Bibir mereka. Mereka maklum bahwa sebelum Bu Toa meninggal, Kim Lian telah berjina dengan Shi Men. Dan kini, biarpun nampaknya dijemput seperti seorang mempelai, namun tak seorangpun keluarga Kim Lian yang mengantar, kecuali Nenek Wang, seorang perantara atau calo manusia. Ini tiada bedanya dengan pelacuran! Shi Men sudah mempersiapkan segalanya untuk menyambut isteri barunya. Untuk Kim Lian, dia sudah menyediakan sebuah bangunan mungil yang berloteng di sudut yang sunyi dah indah dari tamannya yang luas.
Bangunan kecil mungil itu diperbaiki, dicat baru, diisi dengan perabot-perabot baru yang serba menyenangkan. Terutama sekali kamar tidurnya. Sebuah tempat tidur yang besar dan baru berdiri di kamar ini, dengan kelambu sutera merah yang disulam indah, tiang kelambunya diukir dengan cat emas, dan di depan tempat tidur it? terdapat meja ukiran yang indah pula dengan kursi-kursi yang dihias beludru. Inilah tempat yang disediakan untuk Kim Lian. Goat Toanio, isteri pertama Shi Men mempunyai dua orang dayang, yaitu pelayan wanita yang masih muda remaja. Dua orang perawan ini manis-manis dan namanya adalah Cun Bwe dan Siauw Giok. Mereka adalah pelayan-pelayan pribadi Goat Toanio. Oleh Shi Men, Cun Bwe dimintai untuk diangkat sebagai pelayan dari Kim Lian.
Cun Bwe harus melayani segala. keperluan Kim Lian dan menyebut Toanio (Nyonya besar). Shi Men juga membeli seorang budak perempuan untuk bekerja di dapur dan budak ini bernama Ling Siok kemudian seorang budak perempuan lain untuk Goat Toanio sebagai pengganti Cun Bwe yang bernama Siauw Si. Setelah kini Kim Lian menjadi anggauta keluarga, wanita ini menjadi isteri ke lima. Urutannya adalah, isteri pertama Goat Toanio, ke dua Li Kiao, ke tiga Mong Yu Lok, ke empat Sun Siu Oh, dan ke lima Pang Kim Lian. Pada hari pertama Kim Lian memasuki rumah tangga Shi Men, dengan pakaian baru dan rambut digelung secara rapi, Kim Lian menghadap Goat Toanio untuk memperkenalkan diri kepada semua anggauta keluarga yang sudah berkumpul di ruangan besar rumah gedung itu.
Goat Toanio yang duduk di kursi kehormatan, memandang madunya yang baru penuh selidik dan diam-diam mengagumi kecantikan Kim Lian yang penuh gairah itu. Kim Lian menjatuhkan diri berlutut di dekat kaki Goat Toanio, memberi soja empat kali, dan dihadiahi sendal sebagai ucapan selamat datang yang sudah merupakan kelajiman. Setelah memberi hormat kepada Goat Toanio, lalu ia memberi hormat kepada para madunya yang lain sesuai dengan nomor kedudukan mereka, yaitu Li Kiao, Mang Yu Lok, dan Sun Siu Oh. Setelah memberi hormat kepada empat orang madunya, Kim Lian lalu melangkah minggir, Goat Toanio menyuruh pelayan mengambilkan kursi untuk Kim Lian dan memberi tahu kepada para pelayan untuk menyebut Kim Lian sebagai Nyonya Ke Lima.
Tanpa menoleh, hanya mempergunakan lirikan matanya yang tajam, dari tempat duduknya Kim Lian mengamati empat orang madunya itu. Pertama-tama, la memperhatikan Goat Toanio yang ia tafsir berusia kurang lebih dua puluh tujuh tahun. Wajahnya halus dan putih bersih, matanya bundar dan bening, gerakannya lembut dan lemas, sikapnya anggun dan tutur sapanya sopan. Yang ke dua adalah Li Kiao bekas penyanyi dari rumah pelesiran, tubuhnya agak mohtok dan wajahnya cantik, mungkin bekas pelacur kelas tinggi, namun dibandingkan dengan Kim Lian, masih kalah jauh dalam soal asmara. Isteri ke tiga, Mong Yu Lok berusia tiga puluh tahun, tubuhnya ramping dan penuh gairah, wajahnya berbentuk bulat seperti semangka, dan di sana sini terdapat tahi lalat kecil yang menambah kemanisan wajahnya, kedua kakinya sekecil kaki Kim Lian. Kemudian yang ke empat, Sun Siu Oh, si bekas pelayan.


Si Teratai Emas Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tubuhnya leblih ramping daripada isteri ke tiga, agak pendek, akan tetapi ia seorang ahli masak dan pandai pula menari. Diam-diam Kim Lian memperhatikan dan mencatat semua tanda-tanda tentang keadaan dan watak mereka. Semenjak tinggal di situ, Kim Lian membiasakan diri untuk bangun pagi-pagi sekali dan pergi menghadap Goat Toanio, mengoper semua pekerjaan menjahit dan lain-lain. Kim Lian sangat penuh perhatian dan selalu sibuk mengerjakan urusan rumah tangga tanpa diperintah lagi oleh Goat Toanio. Cekatan, cepat dan hasil pekerjaannya selalu mengagumkan. Juga ia selalu bersikap penuh hormat kepada isteri pertama itu sehingga dengan mudah ia dapat merebut rasa sayang dari madunya yang nomor satu. Hal ini tentu saja tidak begitu menyenangkan hati isteri-isteri yang lain dan diam-diam mereka bertiga sering membicarakan Kim Lian dengan hati penuh iri.
?Ia datang belakangan akan tetapi selalu diterima dengan manis budi oleh Goat Toanio. Sungguh bikin kita penasaran!? Semenjak Kim Lian menjadi isterinya yang ke lima, mendadak saja Shi Men kini betah tinggal di rumah. Tentu saja setiap malam tidur di kamar Kim Lian dan hal ini tentu saja menambah rasa cemburu dan iri di hati tiga isteri muda yang lain.
Bu Siong tiba di kota Ceng-Ho-Sian. Segera dia menghadap Kepala Daerah untuk melaporkan tugasnya yang telah dilaksanakan dengan baik dan menyerahkan surat balasan dari Komandan Istana Cu. Kepala Daerah merasa girang sekali dan memberi hadiah kepadanya. Setelah selesai menghadap Kepala Daerah, Bu Siong segera menuju ke markasnya, berganti pakaian dan bergegas pergi mengunjungi rumah Kakaknya. Rumah itu tertutup dan diam-diam Bu Siong merasa girang. Kakaknya itu agaknya, mentaati pesan dan nasihatnya.
?Toako...? Dia berteriak memanggil sambil mengetuk pintu. Tidak ada jawaban. ?So-so (Kakak Ipar)...? Ia memanggil dan mengetuk pintu. Tiada jawaban walaupun dia sudah memanggil berulang kali sambil mengetuk daun pintu semakin keras. Pada saat itu, Nenek Wang kebetulan melihatnya. Nenek ini menekan perasaan takutnya dan cepat menghampiri.
?Bibi, di manakah Kakakku dan di mana pula Kakak iparku?? tanya Bu Siong.
?Duduklah dulu, aku akan menceritakan segala sesuatunya dengan jelas,? kata Nenek itu.
?Tidak perlu duduk, kalau ada persoalan ceritakanlah saja, Bibi.?
?Kakakmu Bu Toa telah terserang penyakit berat dalam bulan empat, tidak lama setelah engkau berangkat dan dia meninggal karena penyakitnya itu.? Tentu saja Bu Siong merasa terkejut bukan main mendengar akan kematian Kakaknya itu. Dia menuntut keterangan dari Nenek Wang kapan meninggalnya Kakaknya itu, dan apa penyakitnya, diberi obat apa pula. Dengan cepat otak tua yang cerdik itu sudah merangkai karangan yang sesuai.
?Pada tanggal dua puluh bulan empat, dia terserang penyakit perut yang parah. Dia rebah sakit tak dapat turun dari pembaringan selama delapan atau sembilan hari. Dia telah minum bermacam obat, namun segala usaha untuk menyembuhkannya sia-sia belaka. Akhirnya dia meninggal, kasihan sekali Bu Toa.?
?Bagaimana dia sampai terkena penyakit perut ini? Sebelumnya, tidak pernah dia menderita sakit perut. Aku tidak mengerti.?
?Ciangkun (sebutan perwira), sekarang pertanyaanmu terlalu sukar bagiku untuk menjawab. Nasib yang ditentukan oleh TUHAN tak mungkin dapat dimengerti manusia.?
?Dan di mana adanya Kakak iparku??
?Nona Kim Lian? Ah, ia hanya seorang wanita lemah yang tiba-tiba kehilangan tempat ia bersandar, maka, setelah berkabung selama seratus hari, ia mentaati nasihat Ibunya. la menikah lagi dengan seorang laki-laki terhormat dari Kotaraja. la membawa semua miliknya, kecuali perawan cilik itu yang ia serahkan kepadaku untuk dipelihara. Aku hanya menanti kedatanganmu Ciangkun untuk menyerahkan anak itu kepadamu dan dengan demikian selesailah sudah tugasku.?
Bu Siong menarik napas panjang, hatinya penuh duka. Dia meninggalkan wanita tua itu tanpa sepatah katapun, dan kembali ke markasnya. Dia mengenakan pakaian terburuk, membeli pula kain putih untuk dibuat menjadi pakaian berkabung, kemudian menyuruh anak buahnya membeli alat-alat untuk sembahyang seperti buah-buahan, manis-manisan, dupa lidi, gambar-gambar dan uang-uangan kertas. Kemudia? dia membawa semua perabot sembahyang ini ke rumah Kakaknya. Di rumah itu dia mengatur sebuah meja sembahyang, dan melakukan upacara berkabung. Pada malam harinya, dia bersembahyang dengan penuh kekhusukan, kemudian mengucapkan kata-kata yang ditujukan kepada arwah Kakaknya,
?Toako, jiwamu tentu tak jauh dari sini. Di dalam hidupmu, engkau lemah dan selalu mengalah. Aku masih belum mengerti bagaimana engkau sampai meninggal dunia. Adakah suatu penasaran yang kau derita?? Bu Siong menghidangkan minuman, membakar gambar-gambar dan uang kertas, lalu dia berlutut dan menangis. Sampai tengah malam, Bu Siong masih berada di situ, gelisah tak dapat tidur walaupun tubuhnya terasa lelah. Dia lalu bangkit duduk.
?Toako begitu lemah dan mengalah ketika masih hidup, aku curiga bahwa kematiannya tidaklah wajar? Matahari mulai membakar langit di ufuk timur, Bu Siong mandi dan membersihkan mulut, kemudian keluar. Mulailah dia bertanya-tanya dan melakukan penyelidikan kepada para tetangga Kakaknya. Dia ingin menyelidiki sebab kematian Kakaknya dan dengan siapa Kakak iparnya menikah lagi. Para tetangga tahu akan persoalannya, namun mereka semua takut kepada Shi Men, maka mereka lebih suka menutup mulut sehingga gagalah usaha Bu Siong untuk memperoleh keterangan yang sebenarnya.
?Tanyalah saja kepada, Nenek Wang, atau tanya kepada pedagang buah A Goan, atau kepada pejabat pemeriksa kematian, Hu Kiu. Mereka itu akan dapat menceritakan segalanya kepadamu, Bu-Ciangkun.? kata mereka semua. Mendengar ini, makin besar perasaan curiga mengaduk hati Bu Siong. Tentu ada suatu rahasia karena kalau tidak, para tetangga itu tidak akan bersikap seperti itu. Pergilah dia mencari si kecil A Goan penjual buah dan tidak sukar mencari anak yang bengal ini.
?Selamat siang, adik A Goan.? Bu Siong memberi salam. Senang hati A Goan disapa begitu hormat dan ramahnya oleh si pembunuh harimau yang terkenal ini.
?Ciangkun, sayang engkau datang agak terlambat.? Anak ini segera dapat menduga mengapa pendekar itu mencarinya.
?Sayang bahwa saya tidak dapat berbuat seperti yang selayaknya. Saya harus merawat seorang Ayah yang sudah tua, maka saya tidak mungkin dapat menjadi saksi kalau anda menuntut ke pengadilan.?
?Adik yang baik, marilah ikut dengan aku.? Bu Siong mengajaknya masuk ke dalam sebuah restoran dan memesan makanan yang cukup. Setelah mengajak anak itu makan-makan, Bu Siong lalu berkata dengan suara ramah.
?Ternyata engkau yang masih amat muda ini berbakti kepada Orang-tua. Itu baik sekali, A Goan. Aku hanya dapat membantu sedikit, inilah...? Dia mengeluarkan lima tail perak kepada anak itu. ?Ini sedikit bantuan untuk Ayahmu yang tersayang. Kalau urusan ini sudah selesai aku akan memberimu sepuluh tail lagi agar engkau memperoleh modal untuk berdagang kecil-kecilan. Sekarang ceritakan,! Apakah Kakakku pernah berkelahi dengan orang lain? Siapakah orangnya yang mungkin menghendaki kematiannya? Dan dengan siapakah Kakak iparku menikah? Nah, ceritakan dan jangan sembunyikan dariku!? A Goan menyimpan pemberian itu.
?Ayah dapat hidup selama lima bulan dengan uang ini, maka biarlah saya siap untuk menjadi saksi.? Kemudian A Goan menceritakan sejelas-jelasnya apa yang telah terjadi di rumah Nenek Wang, menceritakan perkelahiannya dengan Nenek Wang, dan betapa Bu Toa yang hendak menangkap basah isterinya dan Shi Men yang melakukan pertemuan gelap di dalam rumah Nenek Wang, telah menerima tendangan yang keras pada perutnya oleh Shi Men, dan betapa beberapa hari kemudian Bu Toa meninggal dunia secara tiba-tiba.
?Dan dengan siapakah Kakak iparku menikah?? tanya Bu Siong walaupun dia sudah dapat menduga siapa laki-laki itu.
?Siapa lagi kalau bukan tuan muda Shi Men!?
?Hemm, si jahanam keparat! Sudah kuduga. Begini, adik A Goan. Besok pagi sekali engkau harus sudah siap di kantor pengadilan. Aku membutuhkan engkau sebagai saksi. Sekarang, di manakah tinggalnya si Hu Kiu pemeriksa mayat itu??
?Engkau terlambat, Ciangkun. Tiga hari yang lalu, ketika mendengar bahwa engkau akan tiba, dia pergi, tak seorang pun tahu ke mana.? Mereka berpisah dan pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali, Bu Siong menyuruh seorang ahli tulis untuk membuatkan sebuah surat pengaduan resmi. Dengan surat ini di tangan, Bu Siong pergi ke kantor pengadilan di mana A Goan telah menantinya. Bu Siong memasuki ruang pengadilan dan dia berlutut di ruangan itu sambil berseru dengan suara nyaring,
?Penasaran...!? Muncullah Jaksa yang segera minta dia menyerahkan surat pengaduannya, Bu Siong menyerahkan surat pengaduan dan dengan lantang dia menuduh Hu Kiu yang melarikan diri itu sebagai pejabat pemeriksa mayat telah menerima sogokan dan menyembunyikan fakta tentang rahasia kematiah Bu Toa.
Diapun menuduh Nenek Wang yang merencanakan pembunuhan terhadap Bu Toa dan akhirnya dia menuduh Shi Men yang melakukan perjinaan terhadap isteri Bu Toa, kemudian juga ikut membunuh Bu Toa dengan menendang perutnya. Untuk semua tuduhan itu, dia membawa saksi, yaitu A Goan yang menyaksikan semua yang dituduhkannya itu, Jaksa menjadi bingung dan khawatir karena dia dan bawahannya mempunyai hubungan yang amat akrab dengan Shi Men, Jaksa dan para pembantunya lalu mengundurkan diri ke dalam kamar mereka untuk mengadakan perundingan. Semua orang yang bekerja di kantor pengadilan itu telah banyak menerima ?budi? dari Shi Men, maka mereka semua sepakat untuk mencegah agar Shi Men tidak dituntut. Dengan keputusan ini, Jaksa keluar menemui Bu Siong.
?Bu Siong, sebagai seorang Kapten Keamanan yang diangkat, engkau seharusnya lebih mengerti tentang peraturan. Tidak boleh menuduh perjinaan apabila seorang di antara suami-isteri itu telah tiada. Juga tidak boleh menuduh pembunuhan tanpa adanya pemeriksaan yang resmi atas tubuh korban. Pengaduanmu semata-mata berdasarkan kesaksian orang muda ini, dan hal ini belumlah cukup Kalau aku membuka persidangan pengadilan dan menuntut seperti pengaduanmu itu, aku akan disangka berat sebelah dan tidak bertanggung jawab. Engkau agak tergesa-gesa dalam pengaduanmu, Bu Siong. Pertimbangkanlah lagi pengaduanmu itu baik-baik.?
Tentu saja Bu Siong merasa tidak puas dengan jawaban ini. Dia menuntut agar Shi Men, Kim Lian dan Nenek Wang segera ditangkap dan dihadapkan pengadilan. Jika tuduhannya kemudian, terbukti palsu, dia bersedia untuk menerima hukuman sebagaimana mestinya.
?Ah, hal ini tidak mungkin dapat kami putuskan begitu saja,? Jaksa menjawab untuk mengelak. ?Harus kami rundingkan dulu masak-masak sebelum melakukan penangkapan tanpa bukti. Kami akan mempertimbangkan hal itu. Sementara ini, berdirilah dan urusan disudahi sampai di sini saja.?
Dengan hati penuh rasa penasaran Bu Siong kembali ke markasnya sambil mengajak A Goan. Dia tidak ingin kehilangan saksi utamanya ini, maka sebaiknya kalau selalu bersamanya. Dapat dibayangkan betapa takut rasa hati Shi Men ketika dia mendengar akan usaha Bu Siong menyelidiki kematian Kakaknya dan mengadukan dia ke pengadilan. Dia tahu bahwa dia harus segera bertindak secepatnya. Segera dikeluarkan sejumlah besar uang dari gudang uangnya dan pada malam itu juga dia telah berhasil membeli seluruh petugas di kejaksaan dan pengadilan, dari pemimpinnya sampai pegawai terendah! Pada keesokan harinya, Bu Siong merasa terkejut karena dia dipanggil ke kantor pengadilan dan menerima kembali surat pengaduannya. Pejabat itu dengan halus bahkan memberi nasihat,
?Sebaiknya anda jangan terlalu percaya kepada desas-desus tanpa bukti. Sungguh tidak bijaksana untuk membuat seorang seperti Shi Men menjadi musuh. Anda sama sekali tidak boleh tergesa-gesa dan sembrono. Tanpa bukti yang nyata, hanya dengan kekuatan saksi seorang yang belum dewasa, sungguh kami tidak mampu berbuat apa-apa dan tidak berani melakukan penangkapan. Kalau pengaduan itu ternyata palsu, bukan hanya anda yang bertanggung jawab. Tuan, muda Shi Men dapat pula mengadukan kami ke Kotaraja dan kami semua akan celaka!? Dengan alis berkerut Bu Siong berkata,
?Kalau begltu, menurut pendapat paduka, penasaran yang diderita oleh mendiang Kakak saya tidak boleh dituntut? Saya tanggung bahwa pengaduan saya tidak palsu? Karena merasa tidak ada gunanya membujuk pejabat yang agaknya sudah dipengaruhi Shi Men, Bu Siong mengambil surat pengaduannya dan meninggalkan kantor pengadilan, juga dia menyuruh pulang A Goan yang tidak diperlukan lagi. Rasa penasaran membuat mukanya yang gagah menjadi kemerahan dan tentu saja dia sama sekali tidak akan mundur selangkahpun. Sambil mengepal tinju dan mengatupkan gigi dia berkata kepada diri sendiri,
?Pelacur busuk itu! Aku akan menjadi manusia macam apa kalau harus menelan semua penghinaan ini?? Dengan langkah lebar Bu Siong menuju ke toko obat milik Shi Men. Dia memasuki toko itu dan menghampiri Hok, pemimpin toko dan berkata dengan suara lantang.
?Apakah majikanmu berada di sini?? Sambil menahan rasa takut, Hok menjawab.
?Tidak ada di sini. Ada keperluan apakah, Ciangkun?? Bu Siong menangkap leher baju Hok, mencengkeramnya dan menarik tubuh laki-laki itu mendekat, lalu berkata dengan suara mengandung nada ancaman,
?Apa engkau ingin mampus?? Dengan tubuh gemetar dan muka pucat Hok menjawab.
?Ciangkun ampunkan saya... kenapa Ciangkun marah-marah kepada saya? Kesalahan apakah yang telah saya lakukan terhadap Ciangkun??
?Jawab dengan benar kalau engkau sayang nyawamu. Di mana adanya si anjing Shi Men? Dan sejak kapan dia memboyong bekas Kakak iparku ke rumahnya? Jawab atau...?
?Ciangkun, ampunkan saya dan jangan pukul saya. Saya hanyalah seorang pegawai Kongcu Shi Men yang tidak tahu apa-apa. Saya hanya mengurus toko, bagaimana saya bisa tahu tentang urusan rumah tangganya? Yang saya ketahui hanya bahwa dia baru saja pergi untuk minum arak bersama teman-temannya di kedai arak besar di Jalan Singa. Hanya itulah yang saya ketahui dan saya tidak membohongimu.? Bu Siong melepaskan cengkeramannya. Ketika Hok masih berdiri di situ, terlalu takut untuk menggerakkan kaki selangkah, Bu Siong telah pergi dengan langkah lebar menuju ke Jalan Singa.
Pada saat itu, Shi Men sedang duduk minum arak bersama Li, sekretaris dari kantor distrik kota. Li ini terkenal sebagai orang yang suka menghubungkan mereka yang membutuhkan bantuan dengan para pejabat, juga menjadi perantara dalam hal sogok menyogok sehingga orang-orang memberi julukan Calo Li kepadanya. Ketika Jaksa mengembalikan dan menolak surat pengaduan Bu Siong maka Li yang cepat mengabarkan kepada Shi Men. Saking girang mendengar berita ini, Shi Men memberi hadiah lima tail perak kepada Li dan mengundangnya untuk minum-minum bersama. selagi mereka bersenang-senang minuh arak. kebetulan Shi Men menjenguk jendela dan dia melihat Bu Siong yang berlari-lari memasuki Jalan Singa dan telah tiba di atas jembetan.
Melihat pendekar ini, Shi Men menjadi ketakutan setengah mati dan diapun cepat lari bersembunyi di bagian belakang loteng itu. Calo Li tidak melarikan diri, tidak sempat lagi dan pula, dia tidak merasa takut. Dia tidak mempunyai urusan dengan Bu Siong, kesapa mesti lari, pikirnya dan dia melanjutkan minum arak seenaknya. Bu Siong berlari naik ke loteng dan dia melihat seorang laki-laki duduk minum arak ditemani dua orang gadis penyanyl. Tidak nampak Shi Men di situ. Bu Siong mengenal si Calo Li, maka diapun mengerti apa yang telah terjadi. Tak perlu diragukan lagi, orang inl datang membawa kabar kepada Shi Men bahwa pengaduannya ditolak. Bukan main marahnya. Dia menghampiri Li dan membentak,
?Orang she Li, di mana kau sembunyikan Shi Men? Hayo katakan, atau engkau akan merasakan pukulan tanganku? Li tak mampu bicara saking takutnya. Dia hanya bangkit berdiri dan menggigil seperti orang terserang penyakit demam tanpa mangeluarkon sepatahpun kata. Kediamannya membuat Bu Siong menjadi semakin marah Dengan sebuah tendangan Bu Siong menjungkirbalikkan meja di depan Li. Piring, mangkok dan cawan terbanting ke atas lantai dengan suara hiruk pikuk. Dua orang gadis penyanyi yang berbedak tebal itu jatuh pingsan saking takutnya. Si Calo Li yang sadar akan keadaannya yang terancam bahaya, berusaha untuk melarikan diri. Akan tetapi sekali saja tangan kiri Bu Siong menangkap Li dan menyambar, dia sudah mencengkeram,
?Jahanam, mau lari ke mana kau? Kamu tidak mau bicara, ya? Baiklah, rasakan tanganku!? Tangan Bu Siong menampar.
?Plakk!!? Li merasa betapa mukanya seperti hancur dan diapun mengeluh kesakitan.
?Shi Men baru saja lari dari sini. Biarkan aku pergi, aku tidak ada sangkut pautnya dengan urusanmu.? Bu Slong sudah marah sekall. Dia membuka daun jendela dan tubuh Li telah tergantung dari loteng, diluar jendela.
?Engkau ingin pergi, bukan? Nah, pergilah!? Bu Siong melemparkan tubuh calo Li dan ketika tubuh itu meluncur ke bawah dan menimpa jalan, kepalanya retak dan diapun tewas. Namun Bu Siong tidak perduli dan dia sudah meloncat untuk mengejar dan mencari shi Men. Akan tetapi dari tempat persembunyiannya, tadi Shi Men mendengar segala yang terjadi. Dengan hati terbang melayang ketakutan, Shi Men cepat melanjutkan pelariannya, melompati tembok memasuki taman rumah sebelah dan terus berlari pergi seperti dikejar setan. Ketika Bu Siong tak dapat menemukan Shi Men dan melihat tubuh Li menggeletak di jalan, dia menendang tubuh yang sudah tak bernyawa itu.
?Ah, itu adalah sekretaris Li,? kata para penonton kepada Bu Siong.
?Apa yang telah dia lakukan kepadamu sampai engkau membunuhnya, Bu-Ciangkun??
?Yang ingin kubunuh adalah Shi Men. Dia ini menyembunyikan Shi Men, maka dia kubunuh!? jawab Bu Siong Karena terjadi pembunuhan, maka para petugas keamanan segera berdatangan ke tempat itu.
Akan tetapi, tak seorangpun dari mereka berani menangkap Bu Siong. Mereka hanya mengepung sehingga Bu Siong tak dapat pergi dari situ. Kemudian mereka membujuk Bu Siong untuk menyerah untuk dibawa kepada yang berwajib. Bu Siong melihat kesalahannya. Dia merasa menyesal sekali mengapa harus membunuh Li dalam kemarahannya, padahal yang dicari adalah Shi Men. Namun, segala telah terjadi dan dia kemudian menyerah, dibawa ke pengadilan bersama para saksi dan dua orang gadis penyanyi, ditahan sebagai seorang pembunuh. Peristiwa di Jalan singa ini menggemparkan seluruh kota dan seperti biasa terjadi dengan kabar angin, segera ditambah-tambahlah berita tentan peristiwa itu, bahkan ada Yang mengabarkan bahwa yang terbunuh adalah Shi Men.
Segala sesuatu yang terdapat di dalam dunia ini mengalami perubahan. Tiada sesuatu yang abadi di dunia ini. Musim pun telah berganti menguasai permukaan bumi. Ada terang ada gelap, ada panas ada hujan, seperti juga kehidupan manusia yang selalu jatuh bangun, ada kalanya orang hidup penuh dengan kesenangan, akan tetapi segera terganti oleh kesusahan yang melanda. Kita condong untuk mengejar-ngejar kesenangan dan menjauhi kesusahan. Mengapa kita tidak mau menyelami kesusahan, mempelajari dengan secermat-cermatnya apakah sebenarnya yang kita namakan duka itu?
Mengapa kita hanya membiarkan diri menikmati kesenangan belaka dan tidak mau tengok ke dalam apa yang dinamakan duka dengan sadar sepenuhnya, dengan kewaspadaan sehingga kita mengenal benar apa itu yang dinamakan duka? Kita biasanya melarikan diri dari duka, dengan cara menghibur diri, melupakannya melalui miuman, tontonan dan hiburan lain. Akan tetapi dengan demikian berarti kita belum mengenal benar apa itu duka dan tidak dapat menyembuhkan penyakit atau sebab dari timbulnya penyakit duka itu. Ketika dalam pelariannya yang penuh rasa takut itu Shi Men memasuki pekarangan rumah di sebelah restoran, seorang pelayan perempuan yang kebetulan berada di kebun itu berteriak kaget,
?Maling! Maling..!? Lo Fu, Tabib yang memiliki rumah itu datang berlari dan ketika dia melihat Shi Men, dia tersenyum.
?Ah, kiranya anda, Shi-Kongcu. Untunglah bahwa Bu Siong tidak menangkapmu dan sebaliknya dia malah membunuh temanmu. Sekarang mereka membawanya. ke kantor pengadilan. Pembunuhan itu tentu akan, membuat dia dihukum berat, mungkin hukuman mati. Anda tak perlu takut dan kini dapat pulang dengan aman, Shi Kongcu? Bakan main rasa girang dan lega di hati Shi Men mendengar berita yang amat baik, ini. Diapun berpamit, melangkah keluar dengan gaya seolah olah dia baru saja datang berkunjung sebagai tamu keluarga Tabib itu. Lupalah dia sudah betapa tadi dia lari tunggang-langgang seperti seekor tikus dikejar kucing.
Begitu tiba di rumah, segera Shi Men menceritakan seluruh peristiwa itu kepada Kim Lian. Mereka bersorak gembira bahwa Bu Siong telah ditangkap karena membunuh Li sehingga mereka berdua bebas dari ancaman bahaya. Menuruti nasihat Kim Lian, Shi Men lalu mengirim lagi hadiah kepada kantor pengadilan. Kepala Jaksa disogoknya dengan lima puluh tail perak murni dan satu stel tempat minum arak terbuat dari perak terukir indah. Juga semua pengawal di kantor itu kebagian hadiah dan tak seorangpun di antara mereka ada yang menolak. Hasil penyuapan itu segera nampak ketika pada keesokan harinya Bu Siong dibawa menghadap Kepala Jaksa. Sikap pembesar ini sama sekal berubah di banding dengan sikapnya ketika Bu Siong mengajukan surat pengaduan. Dia mengerutkan alisnya, memandang bengis dan suaranya kaku.
?Engkau kemarin mengajukan tuduhan palsu terhadap orang-orang terhormat dan baik-baik dan kami menerimamu dengan baik, bahkan menasihatimu. Akan tetapi sebaliknya engkau kini malah memperkosa hukum dengan membunuh orang yang tak berdosa di siang hari.?
?Saya harus membalas dendam kepada Shi Men dan malangnya, orang itu menghalangi saya. Dia menyembunyikan Shi Men yang saya kejar dan tidak mau menceritakan kepada saya di mana adanya Shi Men. Karena marah saya lupa diri dan membunuhnya. Saya siap mempertanggungjawabkan perbuatan saya. Akan tetapi saya harap kepada paduka agar juga menangkap Shi Men sehingga ketidak adilan yang dilakukan orang terhadap mendiang Kakak saya dapat dibalas dan dihukum!?
?Omong kosong! Engkau ingin mengajari aku dalam tugasku! Pembunuhan yang kau lakukan atas diri Sekretaris Li merupakan persoalan yang lain sama sekali dan tidak ada sangkut-pautnya dengan Shi Men. Engkau memutar balik kenyataan dan takkan mengaku sebelum dicambuk!?
Pembesar itu memberi isyarat dan empat orang algojo segera menubruk Bu Siong, memaksanya berlutut dan menghujankan cambukan dengan batang bambu pada punggungnya, Setelah menerima dua puluh kali pukulan, Bu Siong mencoba untuk mengingatkan pembesar itu bahwa dia sebagai komandan Pasukan Keamanan yang telah banyak berjasa untuk pemerintah. Namun sia-sia, jasa seseorang untuk pemerintah nampaknya tidak ada artinya dan tidak meninggalkan kesan di hati seorang pembesar tinggi, tidak seperti perak mengkilap yang dihadiahkan Shi Men kepadanya. Lima puluh pukulan lagi diterima Bu Siong. Kemudian pendekar yang bernasib sial ini dikalungi kayu penjepit leher dan dibawa kembali ke Penjara. Perwira penjara adalah sahabat Bu Siong dan mereka merasa kagum dan suka kepada orang gagah ini, menganggap dia seorang pendekar besar yang patut dihormati.
Betapapun ingin hati mereka menolong Bu Siong, mereka tak dapat membuka mulut karena Bibir mereka berlepotan madu suapan yang dilimpahkan oleh Shi Men sampai ke penjara. Akan tetapi, beberapa hari kemudian, setelah setiap hari mereka mendengar teriakan-teriakan penasaran dari Bu Siong, para petugas penjara itu lalu membuat surat pernyataan yang ditujukan kepada Jaksa tinggi Chen di kota Tung-Ping-Fu. Jaksa tinggi Chen merupakan Jaksa atasan dari para pegawai pengadilan di Ceng Sian. Maka dihadapkanlah Bu Siong sebagai pesakitan kepada Jaksa tinggi Chen di kota Tung-Ping-Fu itu, bersama pemilik rumah makan Wang Luan dan dua orang gadis penyanyi yang dianggap sebagai saksi. Jaksa tinggi Chen terkenal sebagai seorang petugas yang jujur dan adil.
Wanita Iblis 5 Pedang Siluman Darah 26 Munculnya Kera Siluman Anak Harimau 4
^