Pencarian

Si Teratai Emas 5

Si Teratai Emas Karya Kho Ping Hoo Bagian 5


Dengan muka berubah merah karena malu, jantung berdebar penuh ketegangan, wanita muda itu termenung. Semua orang mengatakan bahwa la seorang wanita yang cantik jelita, akan tetapi selama menjadi isteri Han Tao Kok yang jauh lebih tua, ia tidak pernah menikmati kesenangan dan kepuasan lahir batin. Keadaan suaminya sebagai seorang pegawai hanya mampu memberi kehidupan sederhana saja kepadanya. Dan kini majikan suaminya, seorang kaya raya, bangsawan pula, juga tampan dan terkenal sebagai seorang laki-laki yang royal, telah mengajaknya! Akhirnya ia menarik napas panjang.
?Balklah, kalau memang benar dia menghargai aku, aku akan menerimanya di sini besok pagi.? Tentu saja Shi Men gembira bukan main ketika menerima berita dari Bibi Hong. Diiringkan dua orang kacungnya, seorang diharuskan menjaga kuda dan seorang lagi menemaninya, Shi Men pada keesokan harinya mengunjungi Wang Liok Hwa atau Nyonya Han itu. Dia disambut oleh Nyonya rumah yang nampak cantik berseri dan segar dengan pakaian barunya, dan rumah itupun nampak bersih mengkilap siap menerima tamu agung. Sebagai permulaan, percakapan mereka bersopan-sopan.
?Saya berhutang budi banyak sekali darI Taijin dan terima kasih yang sebesarnya atas semua yang telah Taijin lakukan demi kebahagiaan anak saya Mei Li.?
?Ah, selama ini karena sibuk, aku telah mengabaikan engkau dan suamimu, harap engkau tidak berkecil hati.?
?Harap Taijin jangan berkata begitu karena sesungguhnya siapa lagi kalau bukan Taijin yang telah menghidupkan kami sekeluarga selama ini?? Setelah Bibi Hong menyuguhkan air teh, percakapan menjadi semakin hangat dan akrab, dan tak lama kemudian keduanya sudah pindah duduk di dalam kamar. Pintu luar ditutup, dan Siauw Thai berjaga di luar pintu. Bibi Hong yang tahu diri juga sudah mengundurkan diri dan dua orang itu kini mengganti minuman teh mereka dengan minuman arak anggur yang manis.
Setelah minum anggur hangat, makin panas pula gelora dalam tubuh dan pikiran mereka dan tak lama kemudian, kata-kata tak diperlukan lagi karena keduanya sudah menyerahkan diri terseret gelombang nafsu birahi dan membiarkan diri hanyut dan terbuai kemesraan cinta curian. Kata orang, buah curian lebih manis dan lezat daripada buah milik. sendiri. Cinta curian lebih bergelora dan memabukkan daripada cinta terbuka. Hal ini sekarang dirasakan oleh Wang Liok Hwa, dan bagi Shi Men, hal ini hanya merupakan pengulangan dari perbuatan yang sudah seringkali dia lakukan. Dengan hati puas hari itu Shi Men meninggalkan rumah kekasih barunya setelah malam hampir tiba. Pada keesokan harinya, Bibi Hong menerima hadiah, dan juga diutus untuk mencarikan seorang gadis pelayan remaja untuk menjadi pelayan Nyonya Han. Untuk itu, Shi Men harus mengeluarkan uang empat ons lagi.
Dan semenjak pertemuan pertama itu, sedikitnya seminggu dua kali Shi Men pasti datang mengunjungi kekasih barunya dan tinggal sampai setengah atau sehari penuh di rumah Wang Liok Hwa. Sebulan lebih kemudian, Lai Pao dan Han Tao Kok kembali dari Kotaraja. Ti-Ciangkun merasa gembira dan puas sekali dengan Mei Li dan untuk menyatakan terima kasihnya, dia mengirimi Shi Men seekor kuda dari Tungush, dan lima ons kepada dua orang utusan itu yang dijamunya dengan meriah. Shi Men membaca surat Ti-Ciangkun dengan puas. Apalagi di dalam suratnya, Ti-Ciangkun yang berterima kasih itu menganggap Shi Men sebagai saudara dan sekutu yang baik, dan berjanji akan melakukan apa saja untuk memenuhi keperluan Shi Men apabila waktunya tiba. Ketika Han Tao Kok hendak menyerahkan uang yang lima puluh ons dari Ti-Ciangkun, Shi Men dengan sikap bijaksana dan royal berkata,
?Simpanlah saja untukmu, sebagai hadiah atas kebijaksananmu mendidik puterimu.? Ketika Han Tao Kok dengan hormat menolaknya karena dia sudah menerima hadiah dari Ti-Ciangkun, Shi Men memaksanya.
?Terima saja, kalau tidak aku akan marah. Akan tetapi, jangan royal dan habiskan uang itu.? Ketika tiba di rumah, Wang Liok Hwa menyambut suaminya dengan gembira dan dengan cerewet menanyakan bagaimana keadaan Mei Li setelah tiba di Kotaraja.
?Wah, keadaannya baik sekali. Ia mempunyai tiga buah kamarnya sendiri dan dua orang gadis pelayan. Ia tidak kekurangan pakaian dan perhiasan. Ti-Ciangkun merasa senang sekali menerimanya dan kelihatannya amat mencintanya. Lai Pao dan aku diterima sebagai tamu selama dua hari dan kami dijamu dengan suguhan yang serba mahal dan Iezat. Kemudian dia menitipkan surat, kuda hitam dan uang lima puluh ons perak untuk diberikan kepada majikan Shi Men, akan tetapi coba bayangkan, majikanku tidak mau menerima uang itu dan memberikannya kepadaku! Nah, inilah uangnya.? Liok Hwa menerima uang itu dengan girang dan menyimpannya.
?Kita harus memberi hadiah satu ons perak kepada Bibi Hong yang selama engkau pergi, telah bersikap baik sekali dan menemaniku.? Pada saat itu, gadis pelayan masuk menghidangkan minuman teh.
?Eh, siapa ini?? tanya Han Tao Kok. ?Pelayan kita yang baru. Ke sinilah dan beri hormat kepada majikanmu? katanya dan gadis pelayan itu memberi hormat kepada Han Tao Kok. Setelah pelayan itu mengundurkan diri ke dapur, Liok Hwa terpaksa harus rnenceritakan kepada suaminya tentang kunjungan Shi Men. Ia telah mengenal suaminya, yang lemah dan juga mata duitan, maka ia berani berterus terang. Diceritakannya betapa Shi Men merasa kasihan melihat ia kesepian, dan datang menemaninya, memberi uang dan membelikan pelayan, juga menjanjikan sebuah rumah baru untuknya. Han Tao Kok tertegun, lalu mengangguk-angguk.
?Ahhh, sekarang mengertilah aku mengapa aku harus menerima uang Lima puluh ons itu, kiranya untuk membeli rumah baru ltu!? katanya dengan sinar mata cerdik.
?Dan yakinlah bahwa jumlahnya tidak akan berhenti sampai lima puluh saja,? kata isterinya.
?Akan kita terima lebih banyak lagl. Nah, kalau kita mendapatkan rumah baru, pakaian dan perhiasan, apa salahnya kalau aku membiarkan dia bermain-main sedikit dengan tubuhku.? Suaminya mengangguk-angguk, membayangkan uang dalam jumlah banyak akan diterimanya dari majikannya itu. Dia sudah mengenal benar watak majikannya. Gila perempuan dan royal sekali kalau sudah tergila-gila kepada seorang perempuan, dan isterinya memiliki segala-galanya untuk membuat Shi Men tergila-gila.
?Jika dia datang lagi besok ketika aku sedang ke toko, layanilah dia dengan baik dan manis, dan berlakulah seperti aku tidak tahu apa-apa akan hubungan antara kalian. Kita harus memanfaatkan sebaik-baiknya kesempatan ini untuk mengumpulkan uang sebanyaknya tanpa bekerja susah payah.?
?Tentu saja engkau senang sekali, karena bekerja sedikitpun engkau ikut menikmati hasilnya yang berlimpah-Iimpah. Kalau saja engkau tahu penderitaan apa yang dirasakan isterimu untuk mendapatkan semua itu!? Suami-isteri itu saling pandang untuk beberapa lamanya, kemudian mereka tertawa bergelak dan saling rangkul.
Kim Lian merasa berduka sekali. Segala daya upaya ia lakukan, bujuk rayu disertai air mata, curnbu rayu yang paling mesra, segala sudah ia lakukan untuk merebut kembali hati Shi Men, namun semua itu sia-sia karena kembali. Shi Men pergi mengunjungi kekasih barunya Wang Liok Hwa, atau Nyonya Han di Jalan Singa, dan bayangan Kim Lian sudah terlupakan lagi. Bahkan pada ulang tahun kelahirannya, Shi Men tidak merasa perlu untuk tinggal di pondoknya. Sebaliknya, Shi Men menghabiskan waktunya sehari lamanya di dalam Kuil Raja Kamala, ditemani oleh dua orang sahabat baiknya Ying Po Kui dan Cia Si Ta dan Kakak laki-laki dari Goat Toanio,
juga Kakak dari Nyonya Peng, untuk merayakan pemberian nama Kuil kepada puteranya agar bebas dari pengaruh roh jahat. Bukan hanya Pendeta Bu yang hadir, akan tetapi atas permintaan Shi Men semua Pendeta enam belas orang banyaknya, hadir dalam upacara dan perayaan itu. Shi Men Bahkan mengambil keputusan untuk bermalam di dalam Kuil itu. Dengan lesu Kim Lian duduk bersama madu-madunya di rumah induk, tempat yang ditinggali oleh Goat Toanio sebagai isteri pertama. Mereka menanti munculnya Shi Men dengan sia-sia. Sementara itu, Goat Toanio berada di kamar tidurnya, ditemani seorang Pendeta wanita bernama Wang Nikouw. Melihat keadaan Nyonya rumah seperti orang yang berduka, Nikouw itu bertanya,
?Mengapa anda nampak selalu berduka dan tidak pernah kelihatan gembira?? Goat Toanio menghela napas panjang.
?Bagaimana saya dapat bergernbira dengan nasib seperti saya ini?? Ia lalu menceritakan bahwa dalam bulan ke delapan, ketika ia menaiki tangga loteng rumah kenalannya, ia terpeleset dan terjatuh sehingga rnengalami gugur kandungan.
?Ah, hal itu sungguh menyedihkan, Nyonya, siapa tahu anak itu akan terlahir sebagai seorang putera yang berjasa kelak. Akan tetapi yang melahirkan seorang putera bahkan Nyonya ke enam yang belum lama tinggal di dalam keluarga ini.?
?Kehendak TUHANpun terjadilah!? kata Goat Toanio dengan pasrah.
?Akan tetapi, Toanio, agaknya dalam hal ini saya dapat membantu. kepala Pendeta Kuil kami, Pi Nikouw, mempunyai ramuan obat yang pernah dicobakan kepada Nyonya Chen, isteri Sekretaris Kementerian. Nyonya Chen itu usianya sebaya dengan Toanio dan ia tidak mempunyai anak, walaupun beberapa kali ia mengalami gugur kandungan. Akan tetapi setelah ia minum ramuan obat dari Pi Nikouw, baru-baru ini ia melahirkan seorang anak laki-laki yang sehat. Hanya satu syaratnya pada resep obat itu.?
?Dan apa syarat itu??
?Obat itu harus dicampur dengan ari-ari dari anak pertama. Ari-ari Itu harus dicuci dengan arak, lalu dikeringkan dan dibakar menjadi abu. Nah, abu inilah yang harus dicampur dengan obat itu, dan diminum dalam perut kosong, tak dilihat siapapun juga. Sebulan kemudian akan datanglah kehamilan itu.? Mendengar ini, wajah muram itu berubah, berseri dengan harapan baru.
?Wang Nikouw, anda harus membantu saya dan mohon kepada Pi Nikouw untuk berkunjung kepadaku.?
?Baiklah, Toanio, dan saya akan menyediakan ramuan itu. Akan tetapi saya tidak tahu ke mana saya harus mencari ari-ari itu.?
?Akan saya beri uang untuk itu.?
?Baiklah. Saya akan memberitahu setelah minuman itu siap. Tidak akan makan waktu lebih dari setengah bulan.?
?Akan tetapi hal itu harus menjadi rahasia antara kita saja.?
?Percayalah kepada saya, Toanio.? Pada keesokan harinya, ketika Wang hendak meninggalkan rumah keluarga Shi Men, Goat Toanio memberi satu ons perak kepadanya.
?Kelak, kalau anda telah mempersiapkan segalanya, akan saya beri lebih banyak.? Bagi para Nyonya rumah, seyogianya kalau berhati-hati menghadapi segala macam dukun dan Nikouw.
Seperti Wang Nikouw itu karena orang-orang seperti itu yang mempergunakan pengaruh kedudukan mereka, lebih banyak yang palsu daripada yang benar-benar tulen. Segala macam mujijat dan keajaiban yang mereka janjikan, baik dalam hal mengobati orang maupun mencarikan barang hilang atau menjenguk segala macam nasib memperbaiki nasib, atau memasang guna-guna agar suami lebih mencinta dan sebagainya lagi, kebanyakan hanyalah bual belaka. Jenis penipuan halus macam ini sudah seringkali terjadi di bagian manapun di dunia ini, di jaman apapun. Seperti biasa, apabila tiba musim Pesta Lentera, berhari-hari terjadilah kesibukan di dalam rumah tangga Shi Men. Dan kebetulan sekali hari Pesta Lentera merupakan hari ulang tahun kelahiran Nyonya Peng pula, sehingga pesta yang diadakan di dalam keluarga Shi Men amat meriah.
Empat orang gadis penyanyi dipanggil, dan Shi Men bahkan menghormati para tamu dengan mengundang dua puluh orang pemain panggung dari Istana Pangeran Goan yang juga tinggal di Jalan Singa. Untuk keperluan pertunjukan ini, dia membangun sebuah panggung di sebelah barat yang menyambung dengan ruangan resepsi di bagian depan rumah. Cerita klasik ?Pavilyun Barat? dimainkan dan hari itu diramaikan pula dengan pembakaran mercon dan kembang api, di bawah pengawasan Pen Se dan juga tuan muda Chen, mantu Shi Men. Kembang api dibakar di luar pintu gerbang dan menarik perhatian banyak sekali penonton yang berdesakan. Shi Men sendiri tidak suka akan semua kesibukan itu. Dia lebih suka berjalan-jalan ke dalam Pasar Lentera bersama dua orang sahabatnya, Ying Po Kui dan Cia Si Ta, kemudian dia memisahkan diri dan mendekam di dalam kamar Wang Liok Hwa, kekasihnya.
Di dalam bulan pertama dari tahun yang baru itu, terjadilah dua hal penting dalam kehidupan Shi Men. Pertama-tama terjadi ketika isteri-isterinya pergi berkunjung ke rumah gedung keluarga Kiao, tetangga sebelah yang kaya raya itu. Mereka mengajak pula Kwan Ko yang masih kecil yang dipondong oleh pengasuhnya, Yu I. Ketika para isterinya itu berada di rumah gembira gedung Kiao, mereka disambut dengan gembira. Keluarga Kiao juga hanya mempunyai seorang anak perempuan yang baru berusia tiga bulan. Kwan Ko lalu oleh Yu I dibaringkan tak jauh dari bayi perempuan Nyonya rumah itu. Ketika para wanita itu memasuki kamar sehabis bersantap bersama, mereka masuk kembali ke kamar, mereka melihat betapa dua orang anak kecil itu sudah saling mendekati dan bermain-main dengan tangan kaki mereka.
Para wanita itu tertawa melihat ini dan mereka semua merasa setuju dengan pendapat bahwa hal itu merupakan suatu isyarat dari Langit bahwa kedua anak itu saling berjodoh. Mereka setuju kalau dua orang anak itu ditunangkan. Goat Toanio segera mengutus seorang pelayan pulang mengambil sutera merah dan dengan sutera ini mereka menghias dinding ruangan depan gedung keluarga Kiao sebagai tanda bahwa di situ telah terjadi hal yang menggembirakan. Dan pada keesokan harinya keluarga Kiao mengirim hadiah-hadian pertunangan yang berharga kepada keluarga Shi Men. Shi Men terkejut dan merasa tidak setuju dengan keputusan yang diambil oleh para isterinya tentang ikatan perjodohan puteranya itu.
?Tidak dapat disangkal bahwa tetangga kita, keluarga Kiao adalah keluarga yang kaya raya dan terhormat,? demikian katanya kepada Goat Toanio. ?Akan tetapi Kiao hanyalah seorang rakyat biasa, tanpa pangkat dan kedudukan apapun, sehingga dia tidak cukup pantas menjadi-besan keluarga Shi Men yang telah menjadi pejabat dan bangsawan.?
Agaknya keberatan dan tidak persetujuan Shi Men ini tentu telah sampai pula ke telinga keluarga Kiao karena dua hari kemudian, keluarga Klao berkunjung ke rumah keluarga Shi Men dan Nenek Kiao dalam percakapan mereka menyinggung bahwa seorang di antara keponakannya menjadi selir dari Sribaginda tingkat ke dua. Tentu saja pernyataan ini rnerupakan isyarat bahwa sesungguhnya martabat keluarga Kiao lebih tinggi dibandingkan dengan keluarga Shi Men. Peristiwa ke dua yang menimpa keluarga Shi Men ada hubungannya dengan jabatan Shi Men sebagai pembantu hakim. Pada suatu hari Shi Men menerima undangan yang tergesa-gesa dari Hakim Cia yang menjadi rekannya. Cepat Shi Men datang ke rumah rekan itu dan mereka segera terllbat dalam pembicaraan serius di kamar hakim Cia, pembicaraan empat mata.
?Celaka, sobat Shi Men, celakalah kita sekali inil? kata tuan rumah dengan muka pucat.
?Ada apakah?? tanya Shi Men, juga terkejut dan gelisah melihat keadaan rekannya yang biasanya tenang itu.
?Pagi ini aku menerima kunjungan Komisaris Besar Distrik Li dan dia memberitahu kepadaku bahwa Pejabat Gubernur di Shantung mengirim laporan ke Kotaraja untuk mengadukan kita sebagai petugas-petugas yang tidak baik dan mengusulkan agar kita dipecat dengan tidak hormat. Dia membawa salinan surat laporan itu. inilah surat Itu.?
Dengan jari tangan gemetar Shi Men menerima surat laporan yang telah agak kumal itu dan membaca isinya. Makin lama wajahnya menjadi semakin pucat. Di situ, si pejabat Gubernur Ciong melaporkan ke Istana bahwa Hakim Cia dan Pembantu Hakim Shi Men merupakan dua, orang yang tidak layak menduduki jabatan mereka. Hakim Cia dikatakan sebagal orang yang suka menerima uang suap sehingga menjatuhkan keputusan yang tidak adil sama sekall di dalam pengadilan, mengalahkan yang benar dan memenangkan yang salah, dan tidak mampu mengurus kantor kehakiman, kejam terhadap terdakwa yang belum tentu bersalah jika terdakwa tidak mampu memberi uang sogoknya. Mengenai Shi Men sendiri dikatakan bahwa Shi Men adalah orang yang suka mempergunakan uangnya untuk mempermainkan para pejabat,
Orang yang bergaul dengan orang-orang tingkatan rendah dan golongan hitam, bahkan suka memperalat penjahat untuk memaksakan kehendaknya, seorang yang sama sekali tidak terpelajar sehingga bodoh dan buta huruf sama sekali tentang hukum, orang yang hanya mementingkan kesenangan diri pribadi terkenal royal di rumah-rumah pelacuran, mempunyai banyak selir dan membiarkan selirnya menjual kecantikan dijalan-jalan secara tidak sopan. Surat laporan itu ditutup dengan permohonan agar kedua pejabat daerah itu dipecat, bahkan kalau perlu dan kalau terdapat bukti-bukti penyelewengan agar mereka dituntut untuk menjadi contoh bagi para pejabat lainnya. Dengan muka pucat dan mata terbelalak penuh kegelisahan Shi Men memandang rekannya. Akan tetapi otaknya bekerja dan dia mengerutkan alisnya, termenung.
?Bagaimana sekarang?? Hakim Cia berkata dengan suara gemetar.
?Hanya ada satu jalan dan kita harus bertindak secepatnya? kata Shi Men.
?Kita harus mohon pertolongan Perdana Menteri agar diri kita dapat diselamatkan.?
Kedua orang inl cepat-cepat menyediakan uang dan benda-benda berharga yang mereka miliki, batangan-batangan emas dan perhiasan, ratusan ons uang perak dan dengan barang yang amat berharga ini, Lai Pao dan seorang utusan yang dipercaya dari Hakim Cia segera berangkat ke Kotaraja. Utusan Hakim Cia itu bernama Shia Sou. Kedua orang kepercayaan ini mempergunakan kereta dan melakukan perjalanan siang malam dengan cepatnya, dan begitu tiba di Kai Hong Hu, yaitu Kotaraja timur, mereka cepat menghadap Ti-Ciangkun yang jadi kepala pengawal Istana Perdana Menteri. Ketika Ti-Ciangkun membara surat dari Shi Men, dia menghibur kedua orang utusan itu. Dia masih berterima kasih kepada Shi Men tentang pengiriman gadis cantik Mei Li yang kini menjadi isterinya yang ke dua, dan dia tahu apa yang harus dllakukan untuk menyelamatkan Shi Men dan Hakim Cia, apalagi melihat betapa kedua orang itu membawa barang hadiah yang luar biasa banyaknya.
?Tidak usah khawatir,? demikian katanya. ?Laporan pejabat gubernur Ciong itu belum sampai ke sini. Kalau laporan itu datang, saya akan dapat membujuk Perdana Menteri untuk menunda dan membekukan laporan itu sampai beberapa lamanya. Pejabat gubernur Ciong itu sudah mundur dari kedudukannya, maka surat laporan itu tidak ada harganya dan tidak perlu dilanjutkan ke Istana. Karena Itu, pulanglah dan katakan kepada majikan kalian bahwa aku menjamin laporan itu tidak akan sampai ke Istana.?
Dua orang itu segera pulang dan menyampaikan berita yang amat menyenangkan itu kepada majikan masing-masing. Demikianlah kembali kekuasaan uang memperlihatkan kemenangannya dan keunggulannya. Celakalah bangsa dan negara kalau pemerintah dikendalikan oleh pejabat-pejabat yang selalu hanya memperhitungkan keuntungan bagi dirinya sendiri seperti pedagang-pedagang. Modal pejabat-pejabat macam ini adalah kedudukannya, lupa bahwa kedudukan mereka itu sesungguhnya adalah pemberian rakyat! Tanpa rakyat tidak akan ada pejabat-pejabat itu, dan setelah memperoleh kepercayaan rakyat untuk memegang kekuasaan, mereka bahkan menyalah-gunakan kekuasaan, bukan untuk melindungi rakyat melainkan uniuk menindas rakyat!
Tepat seperti yang dikatakan oleh Kepala Pengawal Ti dalam janjinya kepada kedua utusan itu, beberapa bulan kemudian. Pejabat Gubernur di Shantung yang bernama Ciong itu pensiun dan kedudukan gubernur untuk propinsi itu diganti oleh Sung Pan. Dia ini masih ipar dari putera Perdana Menteri. Ketika Gubernur Sung yang baru ini menuju ke Kotaraja di mana dia akan menjabat kedudukannya yang baru, dia bertemu dengan seorang pejabat tinggi lain yang juga sedang menuju ke tempat jabatannya sebagai Kepala Urusan Garam di Huai.
Kedua orang pejabat ini kebetulan lewat di kota Ceng-Ho-Sian dan Gubernur Sung yang sudah mendapat pesan dari Kepala Pengawal Ti, tidak lupa untuk mampir ke rumah Shi Men. Bagi Kepala Urusan Garam yang masih anak angkat Perdana Menteri Cai dan bernama Cai Shen, Shi Men bukanlah orang asing. Kunjungan dua orang tamu besar itu menarik perhatian penduduk kota, dan mengangkat nama Shi Men. Betapa hartawan itu kini telah menjadi orang penting, pikir mereka, sehingga dua bangsawan tinggi itu memerlukan singgah dan nenunda perjalanan mereka. Tentu saja Shi Men merasa girang dan terhormat, maka diapun menyambut secara berlebihan sehingga tidak sayang mengeluarkan biaya yang banyak sekali.
Bukan hanya kedua orang bangsawan itu yang dijamunya akan tetapi juga semua pengikut dan pengawal mereka. Dan ketika kedua orang tamu Itu melanjutkan perjalanan mereka, Shi Men membekali mereka dengan barang-barang hadiah yang amat banyak. Kunjungan dua orang ini saja telah menguras sebagian dari harta Shi Men, tidak kurang dari seribu ons banyaknya. Gubernur Sung berangkat lebih dahulu meninggalkan rumah Shi Men. Pembesar Cai Shen, atas bujukan Shi Men, mau bermalam untuk semalam di rumah itu dan tuan rumah mempersiapkan pondok yang paling mewah untuknya. Lebih dari itu, ketika Cai-Taijin memasuki pondok agak terhuyung karena setengah mabuk, di pintu depan pondok itu dia disambut oleh dua orang gadis yang amat cantik penuh senyum manis.
Tentu saja hal ini merupakan kejutan yang amat menggembirakan hati pembesar itu. Dalam keadaan setengah mabuk dan gembira, dia lalu menggunakan alat tulis untuk membuat sajak di atas dinding, dengan huruf-huruf indah memuji kebaikan tuan rumah dan kecantikan dua orang gadis. Mereka sengaja didatangkan dari rumah-rumah pelesir yang paling terkemuka di kota itu oleh Shi Men. Shi Men bukan seorang bodoh yang suka membuang-buang uang begitu saja. Semua penyambutan yang teramat royal ini sudah diperhitungkannya baik-baik. Cai-Taijin adalah kepala urusan garam menguasai pembagian dan perniagaan garam dari pemerintah. Dalam kesempatan yang baik ini, Shi Men memperkenalkan Lai Pao sebagai pembantunya yang dipercaya dan mengajukan permohonan agar atas namanya Lai Pao dapat diberi jatah garam sebagai agen tunggal untuk daerah Ceng-Ho-Sian dan sekitarnya.
Atas permohonan ini, Cai Shen menyanggupi sambil tersenyum. Shi Men juga tersenyum penuh kemenangan. Pembagian jatah untuk satu bulan saja sudah mendatangkan keuntungan yang hampir cukup untuk menutup semua biaya yang telah dikeluarkannya hari itu! Pada keesokan harinya, Shi Men mengantar tamu agungnya sampai ke pintu gerbang kota dan sebagai sambutan terakhir, dia mempersilakan tamunya menikmati hidangan perpisahan yang sudah dia persiapkan di Kuil Yung-Hok-Si. Setelah bersama-sama menikmati hidangan dan membagi salam perpisahan, rombongan Cai-Taijin berangkat dan karena lelahnya, Shi Men beristirahat di dalarn Kuil yang menjadi sunyi kembali itu.
Ketika dia hendak pulang, Shi Men mernberi sumbangan besar kepada kepala Kuil untuk biaya perbaikan dan sebelum keluar dari Kuil, lebih dulu dia berjalan-jalan dl bagian belakang Kuil yang luas itu. Di sebuah ruangan dia melihat banyak Hwesio sedang membaca ayat-ayat suci. Seorang di antara mereka yang berlutut menghadapi kitab suci itu menarik perhatiannya. Hwesio itu kurus kering, hanya tulang-tulang terbungkus kulit. Jubahnya sederhana sekali namun cukup bersih. Sepasang matanya seperti mata harimau, mengeluarkan sinar mencorong. Kepalanya yang gundul itu mengkilap, seolah-olah terbuat dari batu marmar dan di dagunya tumbuh sedikit jenggot yang tidak terpelihara. Hwesio ini, berbeda dari yang lain, nampak berwibawa dan tenggelam ke dalam samadhinya.
?Ah, Hwesio itu bukanlah manusia sembarangan,? pikir Shi Men dan timbul keinginan hatinya untuk bercakap-cakap dengan Hwesio itu. Dengan suara nyaring dia lalu bertanya sambil mendekati Hwesio itu.
?Lo-Suhu, siapakah namamu dan dari manakah Lo-Suhu datang?? Setelah diulang dua kali, barulah Hwesio itu sadar dan membuka matanya. Melihat Shi Men, diapun cepat bangklt berdiri dan menjawab dalam suara yang parau.
?Pinceng (aku) bernama Hwan Hwesio dan Pinceng datang dari daerah barat, di perbatasan india. Pinceng adalah seorang Hwesio perantau yang suka berjalan-jalan di antara awan-awan dan Pinceng menguasai, sedikit ilmu pengobatan untuk menolong orang yang sakit. Apakah yang Taijin kehendaki dari Pinceng??
?Ah, kiranya Lo-Suhu pandai dalam hal ilmu pengobatan. Apakah kiranya Lo-Suhu mempunyai obat kuat untuk laki-lakl??
?Pinceng punya?
?Bagus, kalau begitu saya mengundang Lo-Suhu untuk berkunjung ke rumah saya. Maukah pergi bersama saya??
?Boleh, boleh.? Hwesio itu mengambil sebatang tongkat dari bawah bangku dan membawa pula sepasang kantong obat yang dipikulnya dengan tongkat itu. Setelah tiba di luar pintu gerbang, Shi Men rnenyuruh Siauw Thai mencarikan seekor kuda untuk Hwesio itu.
?Tidak perlu repert-repot, Taijin,? Hwan Hwesio berkata. ?Pinceng tidak pernah menunggang kuda tetapi dengan jalan kaki pincang akan sampai di tempat tujuan lebih cepat daripada Taijin yang menunggang kuda.? Pada waktu itu, di depan pintu gerbang rumah Shi Men nampak seorang pemuda remaja yang sudah sejak tadi hilir mudik seperti ada yang dinantikannya... Dia adalah adik laki-laki dari Liok Hwa atau Nyonya Han, kekasih Shi Men. Encinya yang merasa rindu kepada Shi Men, mengutusnya untuk menyampaikan keinginan hatinya bertemu dengan kekasihnya itu melalui pelayan Siauw Thai. Karena, mendengar bahwa Siauw Thai pergi mengikuti majikannya keluar, dia menanti di depan pintu gerbang.
Akhirnya, muncullah Siauw Thai menunggang keledai, diikuti oleh seorang Hwesio yang berjalan kaki. Anehnya, kalau Siauw Thai yang menunggang keledai nampak berkeringat kelelahan, Hwesio itu kelihatan segar saja. Melihat orang yang dicarinya, pemuda itu cepat menyampaikan pesan Encinya kepada Siauw Thai, yang berjanji akan memberitahukan majikannya. Tak lama kemudian datanglah Shi Men berkuda dan melihat betapa Hwesio itu benar-benar telah berada di situ, dia merasa heran dan kagum sekali. Cepat dituntunnya Hwesio itu masuk ke dalam rumannya. Hwan Hwesio bengong dan kagum menyaksikan isi gedung yang demikian mewah dan indahnya. Dia dipersilakan duduk di ruangan tamu dan Shi Men masuk untuk berganti pakaian. Ketika dia kembali menemui tamunya, Shi Men bertanya,
?Apakah Lo-Suhu suka minum arak??
?Arak dan daging bukan merupakan pantangan bagi seorang Hwesio perantau seperti Pinceng. Semua adalah rezeki yang harus diterimanya.? Karena hari itu adalah hari ulang tahun kelahiran Sun Siu Oh, isteri ke empat dari Shi Men, tentu saja di dapur terdapat banyak sekali masakan dan Hwesio itu disuguhi makanan yang belum pernah atau jarang sekali dihadapinya. Diapun tanpa malu-malu menyikat masakan itu ditemani arak dan setelah perut yang kempis itu menggendut, barulah dia menghentikan makan minumnya.
?Wah, perut Pinceng kenyang sekali,? katanya puas. Seorang pelayan lalu membersihkan meja itu dan kembali mereka ditinggal berdua saja atas isyarat Shi Men.
?Nah, sekarang saya menagih janji Lo-Suhu tentang obat kuat itu,? katanya.
?Jangan khawatir, Taijin. Karena Taijin telah bersikap amat ramah dan baik kepada Pinceng, maka Taijin berhak menerima beberpa butir pil obat kuat yang luar biasa dari Pinceng, obat ini menurut resep dari nabi Lo-Cu yang mendapatkannya menurut petunjuk Ibu Suri dari Barat.? Dia mengeluarkan sebuah dompet obat dari kantong obatnya dan menuangkan keluar seratus sepuluh butir pel ?Sekali minum sebutir pel saja, Taijin, tidak boleh lebih dan telanlah dengan arak,? katanya.
?Dan apakah khasiatnya?? tanya Shi Men gembira.
?Khasiatnya? Tidak saja akan membuat Taijin nampak lebih muda, mempertebal tumbuhnya rambut, memperkuat gigi, menajamkan mata, akan tetapi juga akan memperkuat kejantanan sehingga Taijin mampu mengalahkan sepuluh orang wanita dalam waktu semalam. Kalau Taijin kehabisan tenaga, segelas air putih saja cukup untuk memulihkan tenaga Taijin.? Sebagai seorang yang gila perempuan menjadi hamba dari nafsu birahinya, tentu saja Shi Men girang bukan main mendengar keterangan akan khasiat obat dan keserakahannya membuat dia membayangkan bahwa seratus sepuluh pel itu akan cepat habis, maka alangkah baiknya kalau dia mampu memiliki resep obat kuat itu untuk dibuatnya sendiri Maka, dia menawarkan berapa saja harga resep obat itu untuk dibelinya. Mendengar ini Hwan Hwesio tertawa.
?Maaf, Taijin. Pinceng sudah bersumpah untuk meninggalkan keduniawian. Karena tidak membutuhkan barang dunia, apa artinya uang banyak bagi Pinceng? Pinceng memberi obat untuk membalas keramahan Taijin. Pinceng tidak mambutuhkan uang.? Setelah berkata demikian, Pendeta itupun pergi. Sementara itu, di sebelah ruang dalam, di antara para tamu yang datang memberi selamat kepada Nyonya keempat Sun Siu Oh, terdapat. dua orang Nikouw, yaitu Wang Nikouw yang kali ini memehuhi janjinya membawa seorang Nikouw tua dan sikapnya agung, yaitu Pi Nikouw yang diiringkan dua orang Nikouw muda yang cantik.
Para nikauw itu dijamu di meja terpisah oleh Goat Toanio dengan hidangan tanpa daging. Dalam kesempatan ini, Pi Nikouw memberi wejangan-wejangan tentang Agama Buddha dan pelajarannya, dan para wanita di situ mendengarkan dengan asyik, kecuali Kim Lian yang merasa bosan mendengar teori-teori tentang hidup saleh dan baik itu. Goat Toanio merupakan pendengar yang paling serius. Melihat betapa para isterinya sibuk menjamu Nikouw-Nikouw, setelah mengantar Hwan Hwesio sampai di depan pintu gerbang, Shi Men langsung saja pergi mengunjungi kekasihnya, Nyonya Han. Dia tadi telah diberitahu oleh Siauw Thai bahwa kekasihnya itu mengharapkan kunjungannya, karena pada hari itu kebetulan merupakan hari ulang tahun Liok Hwa pula. Kebetulan sekali, pikir Shi Men, teringat akan obat kuat di dalam sakunya.
?Siauw Thai, kalau orang rumah menanyakan, katakan bahwa aku akan mengadakan pemeriksaan ke toko-tokoku,? pesan Shi Men kepada kacungnya. dan diapun langsung saja mengunjungi Nyonya Han. Liok Hwa menyambutnya dengan girang bukan main, apalagi ketika kekasihnya itu mengeluarkan sepasang bros emas dengan huruf ?Panjang Umur? yang indah sekali. Juga Shi Men memberinya setengah ons perak.
?Suruh orang membeli arak yang baik.? Dan dia menambahkan, ?Arak jagung.?
?Apa? Arak jagung? Apakah engkau telah bosan dengan arak anggur yang baik maka engkau menghendaki arak jagung yang murahan?? tanya Liok Hwa heran, akan tetapi ia segera menyuruh adik laki-lakinya untuk membeli arak yang dikehendaki oleh Shi Men. Hwesio Hwan berpesan agar pel itu diminum dengan arak jagung! Setelah araknya datang, Shi Men mengeluarkan sebutir pel merah dan di-minumnya dengan arak itu. Melihat ini, Liok Hwa tersenyum dan mengangguk-angguk.
?Aih, kiranya arak jagung itu untuk minum obat itu? Obat apakah itu?? Kekasihnya tidak menjawab, namun jawabannya segera didapat oleh Liok Hwa ketika ia berada dalam pelukan kekasihnya. Mereka berdua barmain cinta sedemikian rupa seperti yang belum pernah mereka rasakan sebelumnya. Wang Liok Hwa dihantarkan ke puncak kenikmatan sampai ia hampir pingsan, dan tentu saja Shi Men girang bukan main melihat khasiat obat pemberian Hwan Hwesio itu.
?Dengar, manisku. Aku akan mengutus suamimu yang tua itu bersama Lai Po ke pusat pembuatan garam di Yang-Couw, kemudian dari sana terus ke pabrik sutera di Hu-Couw. Dengan demikian untuk beberapa lamanya kita berdua akan menikmati cinta kita tanpa ada gangguan.? Sementara itu, para isteri Shi Men bortanya-tanya ke mana perginya suami mereka, itu.
?Heran, ke mana perginya?? tanya Goat Toanio kesal.
?Ke mana lagi kalau bukan ke rumah pelesir?? kata Kim Lian cemberut. Siapakah di antara mereka yang dapat menduga betapa pada saat itu suami mereka berenang di lautan nafsu bersama Nyonya Han Tao Kok? Dua orang Nikouw itu bermalam di rumah Goat Toanio dan pada malam harinya, Wang Nikouw mengeluarkan sebotol obat yang telah dijanjikannya itu.
?Inilah obat yang Pinni (saya) janjikan itu,? katanya. Pi Nikouw rnenambahkan, ?Obat ini harus diminum tepat pada malam bulan purnama, dan pada malam itu, minum obat ini dan Toanio tidur bersama suami Toanio, tentu Toanio akan mengandung seorang bayi laki-laki. Akan tetapi Toanio tidak boleh membicarakan hal ini dengan siapapun juga.? Goat Toanio menerima botol kecil itu.
?Terima kasih banyak atas bantuan ji-wi (kalian berdua) yang amat berharga...?
?Wah, tidak mudah mendapatkan benda yang menjadi syarat utama itu. Untuk mendapatkan benda untuk campuran obat itu, kami harus mencari ke mana-mana. Untunglah bahwa akhirnya Pi Nikouw dapat memperolehnya dan kami sudah mencucinya bersih dengan arak, mengeringkannya dan mengabukannya, melembutkannya dan mencampurkan dengan obat ini.? Goat Toanio mengerti akan maksud yang tersembunyi di balik ucapan itu. Ia lalu menyerahkan satu ons perak kepada mereka.
?Kalau berhasil permohonanku dan obat ini ternyata manjur, kelak saya akan menyumbangkan kain untuk bahan pakaian,? ia menjanjikan. Malam terang bulan masih kurang dua hari lagi dan ketika pada keesokan harinya Shi Men pulang lalu memasuki pondok Goat Toanio, suami ini memperlihatkan sikap manis, bahkan dia merangkul pinggang isteri pertamanya dan memperlihatkan sikap mengajak tidur. Akan tetapi Goat Toanio dengan halus terpaksa menolaknya karena bulan purnamanya adalah besok malam. Ia berkata dengan suara halus kepada suaminya.
?Malam ini aku merasa kurang enak badan, harap kau tidur di kamar seorang di antara mereka. Kalau besok malam ? Goat Toanio melempar senyum malu-malu. Shi Men yang setengah mabuk itu tertawa.
?Baiklah, baiklah, agaknya engkau tidak suka melihat aku mabuk
?Harap maafkan, bukan maksudku rnenyinggungmu. Bukan karena engkau agak mabuk, melainkan ah, besok malam sajalah.? Malam itu Shi Men tidur di kamar Kim Lian. Pada keesokan harinya, Goat Toanio bersiap-siap. la bersembahyang kepada Kwan Im Pouwsat memohon berkahnya setelah sehari berpuasa dan membersihkan diri, mengenakan pakaian bersih dan baru. Dibakarnya dupa dan iapun membaca ayat-ayat suci seperti yang diajarkan oleh Pi Nikouw. Kemudian ia mengeluarkan guci kecil berisi obat pemberian Pi Nikouw dan Wang Nikouw, menaruhnya di atas meja sembahyang, berlutut dan berdoa dengan suara lirih,
?TUHAN Yang Maha Kuasa, demi berkah Kwan In Pouwsat yang welas asih, dengarlah permohonan hambamu ini, dengan kekuasaanmu, melalui kekuatan obat yang hamba terima dari Pi Nikouw dan Wang Nikouw, kurniailah hamba dengan seorang anak laki-laki!?
Dibantu oleh Siauw Giok, Goat Toanio Lalu menuangkan sedikit anggur ke dalam obat itu, rnemasukkannya ke dalam cawan dan setelah diaduk rata, ia berlutut menghadap ke barat Ialu minum obat itu. Obat itu rasanya agak masam, akan tetapi ia dapat menelannya semua. Setelah kembali berlutut menghadap meja sembahyang dan menghaturkan terima kasih. Selesailah sudah upacara itu dan memasuki kamarnya, tidak keluar lagi sampai malam. Ketika malam itu Shi Men memasuki kamarnya, dia mendapatkan isteri pertamanya itu sedang menunggunya dengan pakaian bersih rapi, cantik dan anggun, dan kamar itupun bersih dan berbau harum. Mereka lalu makan malam bersama.
?Mengakulah, bahwa semalam engkau tidak mau menerimaku karena aku mabuk?? tanya Shi Men, tersenyum.
?Tidak, aku sungguh merasa agak tidak enak badan kemarin? katanya karena kedua orang Nikouw itu memesan agar rahasia obat itu jangan diceritakan kepada orang lain.
?Bagaimana engkau dapat bercuriga? Pasangan suami-isteri yang begitu lamanya seperti kita tidak mempunyai rahasia terhadap satu sama lain.? Setelah makan dan minum beberapa mangkok arak, bangkitlah gairah Shi Men dan malam itu dia tidur bersama Goat Toanio, melepaskan semua kerinduannya melalui gairah cintanya karena sudah agak lama dia tidak tidur bersama isteri setia ini.
Undangan yang amat penting dari Kotaraja, yaitu undangan hari ulang tahun Perdana Menteri Cai, merupakan undangan yang amat penting bagi Shi Men maka diapun mempersiapkan segala sesuatunya untuk pergi ke Kotaraja menghadiri pesta itu. Semua isterinya membantunya bersiap-siap karena kepergiannya ini membawa barang-barang hadiah yang amat banyak. Shi Men memilih empat orang kacungnya untuk menyertainya, yaitu Kiu Tung, Ta An, Shu Tung, dan Tung, Di samping ini, ada pula pasukan pengawal dan pelayan-pelayan lain. Sebelum berangkat, Shi Men lebih dulu menjenguk isterinya yang ke enam, Nyonya Peng, yang selama beberapa hari ini tidak enak badan. Dia mengucapkan selamat tinggal dan menimang puteranya.
?Jangan lupa untuk minum obat yang diberikan oleh Tabib Yen agar engkau cepat sembuh dan sudah sehat kembali ketika aku pulang.?
?jagalah dirimu baik-baik dalam perjalanan dan cepatlah pulang dengan selamat,? kata Nyonya Peng sambil mengusap air matanya. Berangkatlah Shi Men, diantar oleh lima orang isterinya yang lain sampai ke pintu gerbang dan menunggu di depan pintu gerbang sampai suami mereka dan rombongannya menghilang di sebuah tikungan jalan. Perjalanan itu cukup jauh, membutuhkan waktu sepuluh hari barulah Shi Men tiba di Pintu Gerbang Selaksa Keturunan, dan memasuki Kotaraja timur. Di sepanjang perjalanan, banyak dia melihat pembesar-pembesar lainnya dengan rombongan masing-masing menuju ke tempat yang sama untuk memberi hormat dan selamat kepada Perdana Menteri Cai yang berulang tahun.
Shi Men langsung menuju ke gedung Kepala Pengawal Ti yang sudah dikenalnya dengan baik. Ti-Ciangkun menyambut Shi Men dengan pesta yang mewah sekali. Kesempatan ini dipergunakan oleh Shi Men untuk minta bantuan Ti-Ciangkun agar dia dapat diterima menghadap secara terpisah dari para tamu lain oleh Perdana Menteri agar dia dapat bercakap-cakap langsung dengan pembesar tinggi itu. Juga dia mengharapkan bantuan dan dorongan Ti-Ciangkun agar Perdana Menteri itu mau menerima dia sebagai ?anak angkat?, julukan yang diberikan kepada pembesar-pembesar bawahan yang ?dilindungi? oleh Perdana Menteri. Melihat daftar hadiah yang amat banyak yang dibawa Shi Men, Ti-Ciangkun menjawab gembira.
?Harap jangan khawatir. Biarpun kami adalah bangsawan-bangsawan dengan kedudukan tinggi, bagaimanapun juga kami adalah manusia yang mempunyai kehormatan dan kasih. Melihat daftar hadiah yang anda bawa, saya merasa yakin bahwa Perdana Menteri akan menerima anda sebagai anak angkat, bukan saja itu, bahkan besar kemungkinan anda akan diberi kenaikan pangkat.?
Tentu saja Shi Men menjadi girang bukan main dan malam itu terpaksa dia harus tidur sendirian di sebuah kamar tamu yang indah. Tentu saja dia yang biasa tidur dengan seorang wanita setiap malam, merasa gelisah dan sukar pulas. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Ti-Ciangkun sudah menghadap Perdana Menteri sambil membawa daftar barang hadiah yang dlbawa oleh Shi Men dan tak lama kemudian, setelah Shi Men makan pagi dengan royal, Ti-Ciangkun menemuinya dan mengatakan bahwa Perdana Menteri berkenan menerimanya sebelum menerima para tamu lain yang hendak menghaturkan selamat.
Berangkatlah mereka berdua memasuki Istana Sang Perdana Menteri. Di sepanjang jalan memasuki Istana yang besar itu, tiada habisnya Shi Men mengagumi prabot-prabot ruman dalam Istana itu, yang membuat seisi rurnahnya sendiri nampak tidak ada artinya sama sekali, bahkan miskin! Ruangan-ruangan yang serba indah, yang selamanya belum pernah dilihatnya, membuat Shi Men merasa sesak bernapas saking kagumnya. Taman-taman indah dengan segala macam burung, sampai merak menghiasinya, bunga-bunga yang belum pernah dilihatnya, semua itu membuat Shi Men merasa dirinya kecii dan rendah. Akhirnya mereka tiba di Ruangan Pertemuan di mana Sang Perdana Menteri biasanya menerima tamu.
Rungan ini lebar dan lantainya dari marmer mengkilap, dindingnya penuh dengan lukisan-lukisan dan sajak-sajak berpasangan yang serba indah dan nyeni. Ti-Ciangkun memasuki ruangan ini dulu, di ikuti oleh Shi Men berusaha menutupi rasa rendah dirinya dengan langkah yang tegap dan gagah. Di tengah ruangan terdapat sebuah kursi besar tertutup kulit harimau, menghadap pintu masuk. Di atas kursi itu duduk Sang Perdana Menteri, memakai pakaian kebesaran berwarna merah dengan sulaman ular-ular hijau dan biru dengan dasar kuning emas. Di belakangnya nampak tirai halus yang tembus pandang sehingga kelihatanlah tirai itu kurang lebih tiga puluh orang wanita cantik seperti sekelompok bidadari di antara awan putih, mengipasi diri mereka dengan kipas atau sapu-tangan sutera, dengan penuh perhatian menonton apa yang sedang terjadi di dalam ruangan itu.
Ti-Ciangkun melangkah minggir dan membiarkan Shi Men berhadapan dengan Perdana Menteri Cai, Shi Men berlutut dan memberi hormat dengan, bersoja empat kali. Perdana Menteri Cai bangkit berdiri dan mengangguk sediklt, sebagai tanda pembalasan penghormatan ltu. Ti-Ciangkun lalu melangkah, mendekati kursi dan berbisik di dekat telinga atasannya..., Shi Men tahu bahwa bisikan itu berhubungan dengan keinginannya untuk rnenjadi ?anak angkat? pembesar tinggi itu. Ketika Ti-Ciangkun mundur kembali, Shi Men memberi hormat lagi dengan empat kali soja (merangkap kedua tangan di depan dada), dan sekali ini Sang Perdana Menteri tetap duduk saja. Hal ini menandakan bahwa pembesar itu menerimanya sebagai anak angkat, dan sebagai Ayah angkat tentu saja tidak perlu membalas penghormatan puteranya. Shi Men lalu berkata dengan penuh hormat.
?Ayahanda yang mulia, untuk merayakan hari bahagia ini puteranda datang membawa beberapa barang yang tidak berharga untuk dihaturkan di bawah kaki Ayahanda, sekedar tanda bahwa puteranda selalu menghormat Ayahanda dari jauh.? Sang Perdana Menteri memberi isyarat kepada para pengawalnya untuk mengambilkan sebuah kursi dan memberi isyarat kepada Shi Men untuk duduk.
Ketika kepada Shi Men dihidangkan air teh, Ti-Ciangkun lalu menghampiri pintu masuk dan membuka daun pintu. Maka berbondong-bondong masuklah para tamu yang hendak manghaturkan selamat berikut barang-barang hadiah yang mereka bawa dan semua barang yang serba indah ltu ditumpuk di atas lantai di depan kaki Perdana Menteri yang melihat dengan wajah berseri sambil membaca daftar barang sumbangan itu, memerintahkan pengawal untuk membawa barang-barang itu ke dalam, mengucapkan kata-kata terima kasih dan menyuruh orang-orangnya menyuguhkan arak kepada semua tamu. Shi Men yang sudah diterima sebagai ?anak angkat? itu merasa tidak pantas kalau tinggal terlalu lama di situ karena Sang Perdana Menteri masih harus menerima tamu, maka setelah mencicipi arak dia lalu berpamit.
?Malam ini kuharapkan engkau menjadi tamuku,? kata Perdana Menteri dengan ramah, bahkan dia mengantarkan Shi Men sampai beberapa langkah ke arah pintu depan. Setelah tiba di gedung Ti-Ciangkun, Shi Men menanggalkan pakaian kebesarannya, lalu merebahkan diri beristirahat.
Pada sore harinya, dengan mengenakan pakaian kebesaran lagi, Shi Men untuk ke dua kalinya mengunjungi Istana Perdana Menteri. Undangan untuk makan malam bersama sang Perdana Memteri ini merupakan kehormatan besar sekali bagi Shi Men. Semua ini berkat sikapnya dan terutama sekali keroyalannya dalam memberikan hadiah. Tidak ada di antara tamu yang menyerahkan hadiah sebanyak yang diberikan Shi Men dan hal ini amat berkenan dihati Sang Perdana Menteri. Selain itu, juga pujian-pujian yang diberikan oleh Kepala Pengawal Ti-Ciangkun kepada atasannya itu membuat pembesar tinggi itu merasa lebih suka kepada Shi Men. Memang Shi Men pandai sekali mengambil hati. Hatinya sendiri merasa gembira sekali dan menganggap bahwa usahanya telah berhasil baik.
Ketika malam itu dia diterima oleh Sang Perdana Menteri dengan penuh keramahan, diajak makan malam berdua dihibur oleh dua puluh empat orang gadis cantik yang menari, bernyanyi dan bermain musik, dia merasa seolah-olah dia telah menjadi keluarga Perdana Menteri! Pembesar itu bahkan menyuguhkan secawan arak kepada Shi Men dengan tangannya sendiri. Shi Men mula-mula tidak berani menerimanya, akan tetapi atas desakan Sang Perdana Menteri, dia meminum habis arak itu sambil berdiri. Kemudian dia memberi isyarat kepada Shu Tung, seorang kacungnya, yang mengeluarkan sebuah cawan terbuat dari emas berukir dalam bentuk bunga, cawan yang sengaja dibawanya dari rumah. Dengan cawan emas ini terisi penuh arak, sambil berlutut Shi Men menyuguhkannya kepada Sang Perdana Menteri sambil berkata,
?Ananda mohon Ayahanda minum arak ini, semoga Ayahanda diberi panjang usia sampai ribuan tahun!? Sang Perdana Menteri menerima suguhan itu dengan terharu menyaksikan kebaktian anak angkatnya yang baru itu, dan diapun menerimanya sambil berkata,
?Bangkitlah, puteraku? kemudian dia minum habis arak itu. Tehtu saja cawan emas yang amat indah itu dimaksudkan untuk hadiah pula kepada sang pembesar tinggi. Setelah makan minum sepuasnya, Shi Men yang tahu diri maklum bahwa sudah waktunya untuk mengundurkan diri.
Tidak lupa dia membagi-bagikan uang kepada semua gadis penghibur, kepada para pelayan secara royal sekali dan dengan penuh penghormatan sebagai seorang ?anak angkat? yang baik dan berbakti, dia berlutut dan berpamit dari Ayahnya dan kembali ke gedung Ti-Ciangkun untuk beristirahat. Delapan hari lamanya Shi Men berada di Kotaraja, dan kesempatan ini dipergunakannya untuk mengunjungi pembesar-pembesar dengan membawa sekedar hadiah sehingga namanya semakin dikenal di kalangan pembesar Kotaraja dan hubungannya menjadi semakin baik. Akhirnya diapun berpamit dari Ti-Ciangkun dan pulang ke kotanya secepatnya, karena dia sudah merasa rindu sekali dengan para isterinya. Kedatangan Shi Men ini disambut oleh para isterinya di depan pintu gerbang dan kesibukanpun terjadilah di rumah itu, karena puiangnya Shi Men disambut dengan pesta oleh keluarganya.
?Bagaimana keadaan puteraku? Apakah engkau sudah sembuh dan mlnum obat dari Tabib Yen secara teratur?? pertanyaan ini yang pertama keluar dari mulutnya, ditujukan kepada isterinya yang ke enam, Nyonya Peng. .
?Anak kita sehat saja, dan aku sendiri merasa agak mendingan setelah minum obat,? Nyonya Peng menjawab.
(Lanjut ke Jilid 09)
Si Teratai Emas (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 09 Kim Lian memelihara seekor kucing dalam pondoknya. Kucing Itu besar dan memiliki bulu yang indah, tebal halus berwarna putih seluruhnya, kecuali sedikit warna hitam di tengah kepalanya. Karena bulunya itu maka Kim Lian memberinya nama Salju.
Kucing inilah yang menjadi sahabat baik Kim Lian, bahkan di waktu Shi Men tidak datang mengunjunginya dan tidak tidur di kamarnya, ia membawa Salju ke tempat tidurnya. Kucing itu bersih dan agaknya setia dan penurut terhadap Kim Lian yang menyanyangnya. Sekali panggil saja, kucing yang sudah mengenal benar suara, majikannya, akan berlari datang, dan sekali menggerakkan tangannya, Kim Lian dapat menyuruhnya, pergi. Kim Lian bahkan melatihnya untuk mengambilkan kipas dan saputangan. Sebagai upahnya, ia memberinya daging segar setiap hari, baik dipanggang atau dimasak. Tldak mengherankan kalau Salju menjadi semakin gemuk, bulunya makin tebal dan indah. Baru-baru ini Kim Lian memberi permainan baru untuk Salju. Ia mengajarnya untuk mencari daging makanannya sendirl yang dlsembunyikannya dan dibungkus dengan kain merah.
Akhirnya kucing itu menjadi pandai sekali menemukan dan mengambll daging Itu betapapun dibungkus kain merah. Tanpa setahu orang lain, Kim Lian kini memberinya daging mentah Pada suatu hari, Nyonya Peng meninggalkan puteranya yang masih bayi itu, dalam pakaian serba merah yang indah, di atas sebuah dipan di beranda terbuka dari pondoknya, dijaga oleh Ciu Hwa. Nyonya Peng sendiri pergi ke rumah induk untuk membantu Goat Toanio, dan wanita pengasuh Yu sedang makan di kamar sebelah. Karena anak itu tertidur nyenyak, Ciu Hwa menjadi agak lengah dan ia bercakap-cakap dengan pengasuh Yu I sambil berdiri di pintu kamar yang dekat itu. Mereka berdua tidak melihat betapa pada saat Itu, dengan loncatan ringan, kucing putih Salju meloncat ke atas dipan dan melihat Bayi dalam bungkusan pakaian merah,
Mungkin dia mengira bahwa ltu adalah segumpal daging besar untuknya. Dia menerkam dan menggunakan kedua cakar depannya untuk mencengkeram dan mencakar berusaha mengambil daging itu dari bungkusannya, juga menggigiti Dua orang wanita ltu terkejut bukan main mendengar jerit tangis anak itu. Mereka lalu menghampiri dan terbelalak ngeri melihat betapa anak majikan mereka dicengkeram dan dicakari seekor kucing putih besar yang bukan lain adalah Si Salju Mereka cepat menubruk dan Yu I memondong anak itu, sedangkan Ciu Hwa mengejar kucing yang segera melarikan diri ketakutan. Anak itu berlumuran darah, tidak menangis lagi. Pakaiannya robek-robek, demikian juga kulit tubuhnya. Dia pingsan dan berkelojotan, matanya terbalik hanya nampak putihnya saja.
Mereka segera menjerit-jerit minta tolong. Gegerlah keadaan di rumah tangga Shi Men. Nyonya Peng berlarian dengan muka pucat mendengar bahwa puteranya tertimpa kecelakaan. Hatinya seperti ditusuk-tusuk, penuh kengerian, kedukaan dan kekhawatiran ketika ia melihat keadaan puteranya yang masih mendelik dan berkelojotan itu. Didekapnya puteranya sambil mendengarkan cerita Ciu Hwa dan Yu I yang menceritakan kejadian itu sambil menangis. Goat Toanio datang dan mendengar apa yang terjadi, ia segera menyuruh pelayan memanggil Kim Lian. Yu I dan Ciu Hwa menerangkan dengan pasti bahwa kucing putih milik Nyonya ke lima itulah yang menyerang Kwan Ko, anak bayi itu. Ketika Kim Lian ditanya, ia bersikap tenang dan berbalik tanya.
?Siapakah yang mengatakan bahwa Si Salju yang melakukannya?? Goat Toanio menunjuk kepada pengasuh dan pelayan itu.
?Merekalah yang menjadi saksi??
?Hemm, mereka adalah dua orang pembohong besar!? kata Kim Lian dengan sikap dingin.
?Pada waktu itu kucingku sedang tidur tenang di atas pembaringanku.? Goat Toanio kehabisan akal.
?Bagaimanakah kucing itu dapat masuk ke sini?? ia bertanya kepada dua orang saksi itu.
?Sebelum ini ia memang sering meloncat masuk ke sini,? kata Ciu Hwa.
?Kalau begitu, kenapa ia tidak pernah mengganggu anak itu sebelumnya? Nah, jelaslah bahwa itu hanya fitnah belaka.? kata Kim Lian, merasa menang, dan dengan sikap marah ia lalu kembali ke pondoknya. Tentu saja sikap ini hanya permainan sandiwara saja bagi Kim Lian. Telah lama ia merencanakan ini. Dengan hati penuh cemburu dan iri ia melihat suaminya kini semakin dekat dengan Isteri ke Enam dan anaknya. Ia tahu bahwa ia kalah dalam memperebutkan perhatian Shi Men hanya karena adanya anak bayi itu. Oleh karena itu, demiklan ia mengambil keputusan, bayi itu harus disingkirkan! Tabib Liu yang diundang segera memeriksa keadaan bayi itu. Alisnya berkerut ketika dia berkata,
?Anak ini menderita guncangan batin yang hebat. Kalau saja dia dapat mengatasi ini secepatnya.? Segera tabib itu membuatkan ramuan jamu yang dimasak dan setelah dingin, dicekokkan ke dalam mulut anak itu. Tabib Liu masih belum puas dengan pengobatannya dan dia berkata,
?Cara terbaik untuk menolongnya adalah pembakaran di beberapa bagian tubuhnya menggunakan bara kayu cacing.?
?Akan tetapi hal itu hanya dapat dilakukan dengan persetujuan Ayahnya, kalau tidak dia akan marah.? Goat Toanio rnenyatakan keberatannya. Akan tetapi Nyonya Peng yang amat mengkhawatirkan keadaan puteranya, berkata, ?Ini adalah urusan mati hidup. Kalau kita menanti sampai Ayahnya pulang. jangan-jangan akan terlambat. Biarlah, aku yang bertanggung jawab kalau dia marah.?
?Kalau begitu, terserah dia adalah anakmu,? kata Goat Toanio. Tabib Liu lalu membakar ujung kayu cacing, dan dengan bara api itu dia membakar lima tempat, diantara alis mata, di bawah tenggorokan, di belakang kedua tangan, dan di pusar. Setelah dilakukan pengobatan ini, bayi itu tertidur nyenyak.
Ketika malam itu Shi Men pulang, Goat Toanio memberi uang kepada tabib itu dan cepat menyuruhnya pergi. Ia menceritakan kepada suaminya bahwa anak itu menderita sakit sawan dan sekarang belum begitu sembuh. Akan tetapi agaknya Shi Men merasa tidak enak hatinya, apalagi melihat betapa kedua mata isterinya yang ke enam merah bekas tangis, dan kecurigaannya timbul karena pengasuh dan para pelayan nampak diam saja dan tidak ada yang berani bercerita kepadanya ketika ditanya. Dia lalu memasuki kamar Goat Toanio dan dengan serius memaksa isteri pertamanya membuat pengakuan. Karena maklum bahwa hal itu tidak dapat disembunyikan lagi, Goat Toanio lalu menceritakan bahwa anak itu dikejutkan oleh kucing putih Si Salju sehingga terkena sawan dan diobati oleh Tabib Liu dengan bara kayu cacing.
?Ibunya menghendaki agar anak itu segera diobati karena ia khawatir akan keselamatannya sehingga tidak menunggu engkau pulang. Tabib Liu membakarnya di lima tempat dan anak itu kini dapat tidur dengan nyenyak.? Shi Men terkejut dan marah bukan main. Sambil mengeluarkan suara kutukan dia meloncat dan lari ke pondok Kim Lian. Dia melihat kucing berbulu putih itu tiduran. Disambarnya kucing itu, dipegangnya kedua kaki belakangnya dan dibawa ke pekarangan, lalu diayunnya tubuh kucing dan dihantamkan ke dinding sehingga kepala kucing itu pecah, otak dan darah berhamburan, semua giginya rontok dan mati seketika. Dengan alis berkerut, duduk tak bergerak di atas dipan, Kim Lian melihat semua itu.
?Hemm, betapa kejamnya. Apa salahnya kucing yang malang itu maka dibunuh secara kejam dan penasaran?? Shi Men diam saja. Setelah membunuh kucing itu, dengan hati gelisah diapun memasuki pondok Nyonya Peng.
?Bagaimana engkau membiarkan tabib itu melakukan pengobatan seperti itu kepada anak kita?? Shi Men menegur isterinya yang ke enam. Kalau pengobatan itu berhasil baik, sudahlah. Akan tetapi kalau sebaliknya, aku akan membawa tabib itu ke pengadilan dan akan menghukumnya dengan siksaan.?
?Ah, sudahlah! Dia bermaksud baik, berusaha rnenyelamatkan anak kita.? Nyonya Peng membelanya. Akan tetapi harapannya untuk melihat puteranya Sembuh makin menipis. Malam itu, anaknya terserang demam panas dan pingsan, dan pada keesokan harinya, bayi itu tidak mau menyusu lagi.
Segala usaha dilakukan, bahkan seorang dukun peramal di undang untuk menolong. Segala macam pengobatan pedukunan dipergunakan, namun anak itu tidak dapat ditolong lagi Pada malam harinya, tepat ketika Shi Men datang, anak itu menghembuskan napas terakhir. Nyonya Peng tak dapat menahan ksedihannya. Seperti kemasukan setan Nyonya ini menangis, bergulung-guJung di lantai, mencakari pipinya sendiri sampai berdarah, menjambaki rambutnya seadiri dan memukul-mukulkan kepalanya di atas lantai sampai pingsan. Setelah siuman, ia memondong mayat anaknya dan menangis terus tiada hentinya. Setelah berkabung selama dua puluh tujuh hari, akhirnya peti kecil yang terbuat dari kayu tebal dan dirias bagus itu diangkatlah oleh empat orang menuju ke pintu gerbang.
Di depan peti berjalan orang-orang yang membawa bendera merah tanda kematian, kipas-kipas bulu, dupa mengepul dan segala macam alat perlengkapan penguburan. Dua belas orang Pendeta To dari Kuil Raja Kemala barjalan di kanan kiri peti, membunyikan musik kematian dan berdoa di sapanjang jalan. Setelah masa perkabungan selesai, kehidupan yang meriah dan gembira kembali nampak dalam rumah tangga keluarga Shi Men. Pesta meriah diadakan ketika Shi Men membuka sebuah toko cita yang baru. Lai Pao dan Han Tao Kok telah kembali dari perjalanan mereka ke Yang-Couw untuk urusan garam dan mereka kembali membawa ijin monopoli penjualan garam yang mendatangkan keuntungan besar. Kemudian kedua orang pegawai ini diutus lagi, yang seorang ke Nang-Kouw, seorang ke Nan-King, untuk membeli sutera seharga sepuluh ribu ons untuk mengisi tokonya yang baru.
Toko sutera besar ini dibuka oleh Shi Men dengan berkongsi. Kongsinya adalah keluarga Kiao, tetangga mereka yang kaya raya itu. Dan pesta pembukaan toko itu dirayakan dengan meriah, dihadiri oleh Shi Men dan Kiao, semua pegawai dan sahabat baik. Tentu saja Lai Pao dan Han Tao Kok yang diutus untuk mengurus pembelian sutera itu, selain memperoleh hadiah, juga diam-diam mereka dapat menyisihkan keuntungan untuk mereka sendiri di tempat pembelian. Maka, ketika Han Tao Kok pulang, dia memperlihatkan uang dua ratus ons kepada isterinya. Itulah uang keuntungan yang diperolehnya di tempat pembelian sutera, dan suami-isteri ini menjadi gembira sekali karena mereka diam-diam telah dapat mengumpulkan sejumlah modal uang yang tidak kecil untuk persiapan modal.
Nyonya Peng tak pernah dapat sembuh kembali dari guncangan batin yang amat hebat sejak anaknya meninggal dunia. Semua usaha pengobatan dari tabib yang diundang, sia-sia belaka. Wajahnya menjadi pucat sekali, tubuhnya semakin kurus sehingga kecantikannya memudar. Pada suatu malam, ia tidur dengan gelisah sekali, ia tersiksa oleh sebuah mimpi. la seperti mendengar ada orang mengetuk-ngetuk daun jendela kamarnya. Tergesa-gesa ia bangkit, mengenakan sandal dan pakaian, lalu memanggil pelayan dan pengasuh. Akan tetapi tidak ada jawaban karena mereka itu tidur pulas. Karena itu, ia sendiri lalu keluar dari pintu untuk melihat siapa orangnya yang mengetuk daun jendela itu. Dan di bawah sinar bulan ia melihat suaminya yang dulu, yaitu Hua Ce Shu yang telah mati, kini berdiri di depannya.
Hua Ce Shu memondong anaknya yang, telah mati di dalam rangkulannya, dan memberi isyarat kepadanya untuk ikut. ?Rumah baru untuk kita bertiga telah jadi. Mari ikut bersamaku!? Dia berbisik. Nyonya Peng menggigil. Ia tidak ingin meninggalkan Shi Men, namun ia ingin sekali berada bersama anaknya. la berusaha untuk merampas anak itu dari pondongan suaminya yang pertama. Akan tetapi dia mendorongnya dengan keras sehingga ia terhuyung ke belakang dan diapun lenyap bersama anak itu. Dengan kaget dan mengeluarkan keringat dingin, Nyonya Peng kembali ke tempat tidurnya. la telah bermimpi. Hidup memang seperti mimpi saja. Suka dan duka datang silih berganti. Tiada yang kekal di dunia ini. Yang pasti, kesenangan hanya selewatan saja seperti tiupan angin, lalu berganti dengan yang agaknya lebih berkuasa, lebih sering mengisi kehidupan manusia.
Ciu Hwa terbangun dengan kaget, seperti ada yang menggugahnya. Lampu perak di atas meja masih menyala. la bangkit dan menghampiri tempat tidur majikannya, membungkuk dan mengamati wajah majikannya yang disangkanya masih tidur pulas. Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati pelayan itu. Wajah Nyonya majikannya demikian pucat, dan tidak ada pernapasan keluar dari hidung dan mulutnya! Ia meraba, mendengarkan, dan akhirnya menjerit dan menangis sehingga mengejutkan seluruh anggauta keluarga yang segera lari berdatangan. Seorang wanita muda yang cantik jelita telah meninggal dunia dalam usia yang Muda sekali! Dan kembali Kim Lian memperoleh kemenangan untuk ke sekian kalinya! Akan tetapi benarkah bahwa kejahatan selalu memperoleh kemenangan atas kebaikan?
Benarkah orang-orang yang curang dan jahat dapat hidup makmur penuh kemenangan, sebaliknya orang-orang yang jujur dan baik hidup serba kekurangan? Benarkah bahwa yang jahat selalu menang dan sebaliknya yang baik selalu kalah? Memang demikian nampaknya, karena memang di dunia ini penuh dengan kepalsuan manusia. Kekuasaan setan kelihatan menang di dunia ini, sehingga kebenaran dan keadilan nampaknya terinjak-injak, teriakan penasaran menjulang tinggi ke langit. Namun, yang jahat tapi menang dan yang baik tapi kalah tidak boleh melupakan bahwa bagaimanapun juga, terdapat HUKUM KARMA di dunia ini. Hukum Karma adalah bukti Keadilan TUHAN. Siapa menanam, dia menuai. Cepat atau lambat, Hukum Karma akan menyusul dan menangkapnya, dan akan menjatuhkan imbalan yang setimpal dengan segala perbuatannya.
Di dalam kehidupan ini, yang ada hanyalah dua hal yang tersembunyi dalam setiap peristiwa dan perbuatan, yaitu menanam atau menuai. Asal saja kita ingat untuk menanam yang baik-baik saja dalam perbuatan kita! Asal saja kita ingat bahwa segala peristiwa yang menimpa kita hanyalah buah yang kita tuai dari Bibit yang kita tanam sendiri! TUHAN Maha Adil, dan jalan keadilan yang diambil TUHAN memang sukar dimengerti oleh otak kita yang terbatas kemampuannya, namun keadilan itu PASTI datang. Karena itu, dalam lembaran-lembaran berikutnya, kita akan melihat betapa hukum karma akan mengejar dan menangkap semua tokoh dalam cerita ini, menjatuhkan hukuman atau memberi ganjaran sesuai dengan amal perbuatan mereka masing-masing. HUKUM KARMA tak dapat dielakkan!
Ada tiga peristiwa dalam hidup yang amat penting bagi setiap orang manusia, di mana dia menjadi pusat perhatian orang-orang lain, yaitu di waktu dia lahir, kemudian di waktu dia menikah dan yang terakhir, di waktu dia meninggal yang pertama dan terakhir merupakan peristiwa yang bertolak belakang, dengan sambutan-sambutan yang saling bertolak belakang pula. Setiap orang manusia terlahir dengan menangis dan gaduh akan tetapi disambut oleh orang-orang lain dengan tertawa gembira, kemudian ketika mati dia tersenyum atau setidaknya wajahnya tenang, namun disambut oleh orang-orang lain dengan tangis sedih!
Dan waktu antara lahir dan mati demikian singkatnya! Berbahagialah orang yang dapat mengisi waktu sesingkat itu dengan suatu perbuatan yang bermanfaat, bagi orang lain maupun bagi diri sendiri. Rumah tangga keluarga Shi Men berkabung. Kematian Nyonya Peng, isteri ke enam dari Shi Men, mendatangkan kedukaan dan kehilangan besar, terutama bagi Shi Men setelah baru saja dia kehilangan anak laki-laki tunggalnya, yaitu putera Nyonya Peng. Pagi itu Shi Men sedang duduk menghadapi sarapan pagi bersama beberapa orang temannya yang berlayat, ditambah pula mantunya, Chen Ceng Ki, pengawal baru Han Tao Kok, dua orang Kakak dari Goat Toanio yang datang berlayat, ketika pelukis Han yang diundang Lai Pao datang ditemani Lai Pao.
Shi Men menyambut pelukis kenamaan ini lalu mengantarnya ke ruangan di mana jenazah Nyonya Peng diletakkan. Pelukis itu menyingkap tirai ?Seribu Musim Gugur? yang menutupi muka jenazah, dan untuk beberapa lamanya dia mengamati wajah itu. Biarpun telah mati, wanita itu masih memiliki kecantikan yang mengagumkan. Kecuali amat pucat sehingga tidak wajar, wajah itu masih memperlihatkan kecantikan yang membuat Shi Men kembali menitikkan air matanya melihat wajah isteri tercinta itu. Pelukis Han segera mulai bekerja, melukis wajah wanita itu di atas kain sutera yang dipegangi oleh Lai Pao dan Kiu Tung. Orang-orang lain merubung dan menonton gerakan tangan yang dan mantap dari si pelukis.
?Wajah yang anda lihat ini adalah wajah orang yang telah menderita sakit. Sebelum itu wajah ini lebih gemuk dan lebih cantik,? kata Ying Po Kui.
?Saya tahu,? jawab si pelukis. ?Kalau saya tidak salah ingat, saya pernah melihatnya, yaitu pada tanggal satu bulan Iima ketika ia mengunjungi Kuil Lima Gunung Suci untuk bersembahyang.?
?Benar,? kata Shi Men. ?Ketika itu ia masih kuat dan sehat, Pergunakanlah seluruh kepandaianmu untuk melukisnya. Saya menghendaki dua lukisan darinya, sebuah setengah badan dan sebuah lagi seluruh badan. Saya akan memberimu sepuluh ons perak dan segulung kain sutera.?
?Baiklah, jangan khawatir, saya akan membuat sebagus mungkin,? jawab pelukis Han dan diapun mengerahkan seluruh kepandaiannya. Ketika dia menyelesaikan lukisan pertama, semua orang memujinya. Shi Men merasa senang sekali dengan hasil lukisan itu dan dia segera menyuruh Tai A untuk membawa lukisan itu ke dalam, memperlihatkannya kepada Goat Toanio dan isteri-isteri yang Iain.
?Majikan minta pendapat Nyonya-Nyonya mengenai lukisan ini,? kata kacung itu.
?Kalau ada kekurang miripan, harap memberi tahu agar dapat dirubah oleh pelukisnya.?
?Waah, terlalu berlebihan!? kata Kim Lian dengan suara tidak setuju. ?Boleh jadi ia kelihatan seperti ini di waktu masih gadis muda, akan tetapi tidak, sesudah menjadi isterinya. Terlalu muda dan terlalu cantik! Akan tetapi aku ingin sekali tahu apakah kitapun akan dibuat gambar kita kalau kita mati? Kitapun berhak!?
?Memang agak terlalu cantik,? kata isteri ke dua dan ke tiga,
?bibirnya terIalu penuh.?
?Dan alisnya seharusnya lebih melengkung,? kata Goat Toanio.
?Betapapun juga, gambar ini mirip sekali.?
?Pelukis itu pernah rnelihalnya di Kuil Lima Gunung Suci ketika sedang bersembahyang. Dia mengingat wajahnya seperti ketika dilihatnya dahulu,? kata A Tai menerangkan. Ketika gambar itu dibawa kembali, A Tai memberi tahu kepadanya.
?Menurut pendapat para Nyonya, Bibirnya agak lebih tipis sepasang alisnya lebih melengkung.?
?Ah, itu mudah saja,? kata si pelukis dan dengan beberapa goresan saja dia telah membereskan kekurangan itu. Tetangga Kian juga kongsi Shi Men yang datang menjenguk, juga berseru kagum melihat lukisan itu,
?Sungguh bagus sekali, seperti hidup saja!? Dengan girang Shi Men lalu menjamu pelukis itu dan memesan gambar setengah badan itu cepat di selesaikan. untuk digantung di atas meja sembahyang si mati. Adapun gambar yang sepenuh badan boleh dikerjakan di rumah, karena, gambar itu kelak akan dibawa di depan peti mati pada saat penguburannya. Perkabungan itu berlangsung empat minggu dan selama itu, Shi Men setiap malam tidur di atas dipan sederhana bertilamkan tikar, dekat dengan peti mati Nyonya Peng, hanya tertutup tirai,
Setiap malam dia tidur di situ, dan pada keesokan harinya baru dia memasuki kamar Goat Toanio untuk mencuci badan dan membereskan rambutnya, Dia tidur ditemani kacungnya, Shu Tung dan pagi harinya, setelah dia bangun, dipan di mana dia tidur itu dibereskan oleh Siauw Giok, pelayan manis itu, Karena setiap pagi bertemu maka terjadilah keakraban antara Shu Tung dan Siauw Giok. Mereka seringkali menggunakan kesempatan bertemu di pagi hari ini untuk mengobrol dan bersendau gurau. Hubungan antara pria dan wanita memang mengandurng bahaya, seperti kalau minyak bakar dan api didekatkan. Mudah terbakar! Terdapat daya tarik satu sama lain antara pria dan wanita, maka kalau keduanya didekatkan, mudah terbakar.
Terdapat daya tarik satu sama lain antara pria dan wanita, maka kalau keduanya di dekatkan munculah selalu bahaya kebakaran itu. Demikian pula dengan Shu Tung dan Siauw Giok. Pada suatu hari dalam minggu ke dua, Shi Men bangun pagi sekali. meninggalkan dipannya dan pada waktu itu semua isi rumah masih tidur, Shu Tung dan Siauw Giok mempergunakan kesempatan ini untuk pergi berdua ke pondok perpustakan di dalam taman dan di sana mereka berdua tenggelam ke dalam kemesraan cinta mereka. Pada saat itu, Kim Lian juga bangun pagi-pagi, dan segera mengunjungi Shi Men. Ketika ia tidak melihat suaminya, juga tidak melihat para pelayan, ia lalu mencari Shi Men ke dalam taman. Dan ketika ia tiba di dekat pondok perpustakaan, iapun mendengar suara-suara orang bermesraan. la membuka pintu dan menerjang masuk, dan mendapatkan kedua orang pelayan itu bersatu dalam pelukan.
?Hemm, bagus sekali, ya?? bentak Kim Lian. Kedua orang itu terkejut, cepat menjatuhkan diri berlutut di depan Kim Lian yang berdiri memandang mereka dengan senyum mengejek.
?Shu Tung, ambilkan sutera putih dan kain putih untukku,? perintahnya dengan suara ketus. Shu Tung cepat lari ke gudang untuk mengambilkan barang yang diminta. Kim Lian sedikitpun tidak memperdulikan Siauw Giok yang masih berlutut, bahkan iapun diam saja ketika gadis itu mengikutinya dari belakang dengan sikap takut-takut. Ketika mereka tiba di pondok, Siauw Giok menjatuhkan dirinya berlutut dan dengan suara pilu mohon kepada Kim Lian agar jangan dilaporkan kepada Shi Men apa yang telah terjadi di dalam pondok perpustakaan tadi.
?Mengakulah sejujurnya, perempuan tak tahu malu!? Kim Lian memakinya. ?Sudah beberapa kali engkau bermain gila dengan Shu Tung?? Dengan suara gemetar Siauw Giok mengaku bahwa baru pertama kali itulah ia mengadakan pertemuan rahasia dengan pelayan itu dan betapa hubungan antara mereka menjadi akrab semenjak Shi Men tidur di ruangan itu sehingga mereka berdua dapat saling bertemu di pagi hari.
?Kau ingin agar aku mengampunimu dan tidak melaporkanmu. Nah, aku akan memenuhi permintaanmu, akan tetapi hanya dengan tiga syarat.?
?Baiklah, Nyonya, katakan tiga syarat itu dan saya pasti akan melaksanakan perintah itu.?
?Pertama, di masa depan engkau harus menceritakan kepadaku segala yang terjadi di dalam kamar Nyonya majikanmu, Goat Toanio. Kalau engkau merahasiakan sesuatu aku akan melaporkanmu. Ke dua, segala perintahku haruslah kau taati. Dan ke tiga, ceritakan bagaimana majikanmu dapat hamil kembali setelah bertahun-tahun mandul.? Siauw Giok yang sudah tersudut oleh Kim Lian, tak dapat menolak untuk membuka semua rahasia tentang obat kesuburan dari Pi Nikouw yang berhasil membuat Goat Toanio mengandung. Diam-diam Kim Lian mencatat semua itu di dalam hatinya. lapun membiarkan gadis pelayan itu bebas. Akan tetapi Shu Tung sudah menjadi ketakutan. Membayangkan hukuman berat yang akan diterimanya, dan ancaman dalam pandangan mata yang dingin dari Nyonya majikan kelima. dia lalu pergi meninggalkan pekerjaannya sebagai pelayan keluarga Shi Men.
Tibalah hari ke dua belas bulan sepuluh, hari pemakaman yang dinanti-nanti itu. Untuk keperluan ini, dari para sahabatnya yang menduduki jabatan tinggi, Shi Men menerima bantuan berupa lima puluh orang perajurit untuk melakukan pengawalan dan penjagaan ketika peti jenazah diusung ke pemakaman. Sejak pagi sekali di depan rumah Shi Men telah terjadi kesibukan yang luar biasa, suara ringkik kuda dan kegaduhan kereta para pejabat yang berdatangan dari dalam dan luar kota untuk ikut melayat.
Lebih dari seratus joli besar kecil berbaris di situ, diduduki keluarga wanita dari rumah Shi Men dan para tamu. anggauta keluarga wanita dalam rumah tangga Shi Men ikut dalam pawai pemakaman itu, kecuali isteri ke empat Sun Siu Oh yang tinggal menjaga rumah ditemani oleh Wang Nikouw dan Pi Nikouw, sedangkan pelayan Ping An ditemani sepuluh orang perajurit, berjaga di pintu gerbang. Tepat jam delapan pagi, pemimpin pawai meniup peluitnya dan tiga puluh empat pemikul peti mati yang amat berat itupun bersiap siaga. Dan mulailah pawai pemakaman yang mewah itu. Di depan sekali berjalan mereka yang membawa bendera dan umbul-umbul kehormatan, dan banyak patung-patung kertas dan uang kertas perak yang nanti akan dibakar sebagai ?bekal? untuk si mati.
Di depan peti berjalan pasukan yang membunyikan musik pemakaman. Tepat di belakang peti mati yang dipikul oleh banyak orang itu adalah joli yang ditumpangi Goat Toanio dan para isteri Shi Men yang lain, disusul joli para wanita tamu yang merupakan barisan panjang. Chen Ceng Ki, mantu Shi Men yang semenjak perkabungan itu bertindak selaku wakil putera keluarga itu, berjalan di dekat peti dengan satu tangan memegang pikulan, seolah-olah dia sedang membantu pengusungan peti mati, seperti yang selayaknya dilakukan seorang putera yang berbakti. Pagi itu cerah sekali. Di sepanjang jalan yang dilalui pawai pemakaman penuh dengan penonton dan mereka semua mengagumi kemewahan yang berlebihan dalam pawai pemakaman ini, seperti pesta saja, dan sudah lama sekali mereka tidak pernah menyaksikan pemakaman yang demikian indahnya.
Ketika keluar dari Jalan Kedelapan, pawai itu berhenti atas isyarat pemimpin pawai. Bu Tosu, ketua Kuil Giok-Ong-Bio yang mengenakan pakaian resmi sebagai seorang Pendeta, di luar jubah Pendeta kemerahan itu dia memakai mantel dari bulu bangau lima warna, di atas kepalanya sebuah mahkota susun sembilan melambangkan guntur dan kilat, dan kakinya memakai sepatu baru, dan tangannya memegang meja kecil dari gading. Diapun dipikul di atas tandu oleh empat orang pemikul dan kini Bu Tosu, atas isyarat dari Shi Men, tiba-tiba membuka gulungan gambar lengkap dari si mati yang telah dilukis oleh pelukis Han. Chen, mewakili putera keluarga, segera berlutut di depan gambar itu, di atas jalan berdebu dan dengan suara yang lantang Bu Tosu mengucapkan kata-kata berkabung dan pemujaan terhadap si mati.
?Biarpun arwahnya telah memasuki Sorga dan tubuhnya kembali ke bumi, namun di dalam gambar ini, ia akan terus hidup dalam generasi ini dan generasi mendatang.? Demikianlah dia rnelanjutkan kata-kata pujian sambil mengibarkan gambar itu di atas kepala para pengikut. Kemudian dia turun dari tandu dan kembali lagi, diiringi bunyi musik, dan pada, saat itu, dari para pelayat membubung tangis dan ratap yang bergema sampai ke awan dan mengguncang bumi.
Dan pawai itupun bergerak maju lagi. Dari Pintu Gerbang Selatan, Shi Men dan para pelayat lainnya yang tadi berjalan kaki, kini menunggang kuda atau kereta. Hanya Chen saja, sebagai wakil putera keluarga, harus melanjutkan dengan jalan kaki, dengan tangan di pikulan, sampai akhir perjalanan itu. Ketika pawai tiba di pintu gerbang tanah kuburan, di situ telah menanti dua ratus pasukan yang menyambut dengan gambar dan canang sebagai penghormatan. Pada tengah hari itu, setelah diadakan persembahyangan kepada Ibu Bumi, peti mati ltu perlahan-lahan diturunkan ke dalam tanah dan pemakamanpun berlangsung. dengan penuh kehormatan, dengan upacara-upacara yang mengikutinya, pembakaran segala macam patung kertas sebagai bekal.
Keadaan di situpun menjadi bising, pengap dan panas. Setelah pemakaman selesai dan semua orang kembali ke rumah keluarga Shi Men, meja sembahyang yang tadinya ditaruh di ruangan itu kini dipindahkan ke dalam kamar si mati yang telah dibersihkan, dan ditempatkan di sudut yang terhormat. Tidak lupa diadakan upacara pengorbanan kepada para dewa penjaga rumah tangga, dan membersihkan rumah itu dari pengaruh-pengaruh setan jahat, menyapu lantai di luar pintu dan segala macam tradisi dan kepercayaan tahyul yang berlaku. Berakhirlah upacara yang berlangsung selama empat minggu itu, semenjak kematian sampai ke pemakaman dan tentu saja upacara itu menghabiskan uang yang tidak sedikit jumlahnya.
Pada malam harinya, setelah semua pelayat pulang dan rumah itu menjadi tenang kembali, Shi Men terdorong oleh keinginan besar untuk mengunjungi pondok isterinya yang telah mati. Dia ingin bermalam di kamar itu, di dekat meja sembahyang dekat jendela kamar. Di meja sembahyang itu terpasang gambar setengah badan dari si mati, dan dinding tergantung gambar yang seluruh badan. Kamar itu diatur presis seperti ketika penghuninya masih hidup, tempat tidurnya baru saja dibereskan, dengan tilam dan bantal yang serupa seperti biasanya. Di sandaran kursi tergantung pakaian yang biasa dipakai si mati, di atas meja rias terdapat segala macam alat rias yang biasa ia pergunakan, juga nampak sepasang sandal yang biasa menyembunyikan kakinya yang kecil mungil.
Tempat bunga segar, dan di meja kecil dekat tempat tidur terdapat tempat buah yang terisi buah, manisan dan kue, dan juga dua buah cawan yang sering ia pergunakan minum sedikit anggur sebelum tidur. Melihat semua benda yang tidak asing ini mengingatkan Shi Men akan isterinya yang telah meninggal dan air matanya jatuh bercucuran. Sambil menghela napas panjang diapun merebahkan diri di atas tempat tidur sambil memandang ke arah gambar isterinya tercinta itu. Akhirnya, kelelahan membuat dia tertidur nyenyak. Pada keesokan harinya, ketika makan pagi dihidangkan, dia meletakkan piring ke dua untuk isterinya yang tidak nampak, seperti yang biasa mereka lakukan kalau sarapan berdua, menaruhkan sedikit masakan di atas piring kosong itu dan berbisik,
?Mari kita makan, sayang,? seolah-olah isterinya itu benar-benar duduk disampingnya. Dengan perasaan iba, perawat Yu I dan pelayan Ciu Hwa melihat kelakuan aneh dari majikan mereka itu. Demikianlah keadaan Shi Men selama tiga hari tiga malam, tak pernah meninggalkan kamar. Pada hari ke tiga, dia menerima tamu-tamu di sore hari dan malam itu dia merebahkan diri dengan tubuh yang terasa lesu dan lelah, juga dia merasa haus sekali, ingin minum semangkuk air teh yang segar.
Akan tetapi malam itu telah larut dan Ciu Hwa telah tidur, dan tidak mendengar panggilannya. Karena yang mendengar permintaannya itu adalah pengasuh muda Yu I, maka ialah yang bangkit dan membawakan air teh seperti yang diminta majikannya. Ketika Yu I berlutut di samping tempat tidur, menyuguhkan air teh, tiba-tiba saja bangkit gairah nafsu berahi Shi Men dan tanpa banyak cakap lagi, setelah minum air teh itu, dia merangkul Yu I dan menciuminya. Pelayan ini sedikitpun tidak meronta, bahkan membalas rangkulan Shi Men dan melayani segala keinginan hati Shi Men dengan senang hati. Dan malam itu Shi Men berhasil memiliki Yu I yang kebetulan muncul pada saat berahi membakar dirinya, setelah selama masa perkabungan dia menahan diri dan menjauhi kesenangannya itu.
Pada keesokan harinya, Shi Men berjanji untuk tidak melupakan Yu I dan pengasuh muda ini diberinya empat penjepit rambut dari emas yang dahulu menjadi milik Nyonya majikannya. Rahasia ini segera diketahui oleh Ciu Hwa, melihat dari sikap Yu I yang sama sekali berubah, dan iapun menerima hal ini sebagai suatu kenyataan bahwa kini Yu I setidaknya memiliki kedudukan yang tidak berada di sebelah bawahnya. Asap tak dapat ditutup, dan tak lama kemudian, dari sikap Yu I sendiri, hampir semua penghuni rumah tangga dari keluarga itu dapat menduga apa yang telah terjadi antara majikan dan Yu I. Dan tentu saja Kim Lian segera dapat mengetahui akan hal itu. Dengan marah ia mendatangi Goat Toanio untuk melaporkan akan hubungan antara suami mereka dan Yu I.
?Hal ini tidak boleh dilanjutkan, Toaci, engkau harus turun tangan! Sungguh memalukan sekali cara dia bermain gila dengan pengasuh itu di belakang kita. Hal itu terjadi sama seperti dengan isteri pegawai dahulu itu, si Lian Cu. Apakah kita harus membiarkan peristiwa memalukan itu terulang kembali sekarang? Kalau babu momong itu kelak melahirkan anak darinya, bagaimana kita dapat berhadapan dengannya? Wah, ia tentu akan mentertawakan kita!? Akan tetapi Goat Toanio tidak memperdulikan semua bisikannya. la teringat akan pesan terakhir dari Nyonya yang ke enam sebelum meninggal dunia agar ia berhati-hati terhadap Kim Lian.
?Aku tidak mau campuri urusan Ini? katanya dengan sikap ?ingin, ?Engkau selalu minta agar aku menjadi pembicaranya, dan apabila keributan tiba, kalian semua menyelamatk?n diri dan bersembunyi, sedangkan aku sendiri yang harus menghadapinya. Sekarang aku telah berpengalaman, dan jika engkau tidak menyukai peristiwa itu, engkau sendirilah yang harus bicara kepada, suami kita? mendengar Ini, Kim Lian mundur tanpa berkata apapun.
Pada kesempatan lain, ketika Pi Nikouw datang berkunjung kepada keluarga itu, diam-diam ia mengundangnya ke dalam pondoknya, memberinya satu ons uang perak, dan minta kepada Nikouw itu agar memberi obat ajaib seperti yang penah ?iberikannya kepada Goat Toanio agar ia dapat mengandung. Semenjak kematian isterinya, yang ke enam satu-satunya Wanita di antara semua isterinya yang dicintanya secara mendalam, yang merupakan satu-satunya wanita yang dapat membuat dia betah tinggal di rumah, kini penyakit lama Shi Men kumat kembali dan mulailah dia hampir setiap malam keluyuran ke luar rumah, mengunjungi tempat-tempat pelesiran.
Cumbuan yang canggung dari seorang pengasuh seperti Yu I yang tidak berpengalaman, tentu saja tidak dapat memuaskan hatinya. Pada suatu hari, dia menerima undangan seorang sahabat dagangnya bernama Huang Se, untuk makan minum dalam rumah pelesiran Bibi Chong, dihadiri pula oleh dua orang sahabat baiknya, Ying Po Kui dan Cia Si Ta. Mereka dilayani oleh dua orang ?anak? dari Bibi Cong, yang bernama Siang Hwa dan Siauw Goat, Shi Men amat tertarik dan suka kepada Siauw Goat yang mungil. Empat orang gadis penyanyi ikut memeriahkan pesta itu, dan Siauw Gin, seorang gadis dari rumah pelesiran tetangga, datang pula memenuhi undangan. Setelah puas minum. Shi Men menggandeng Siauw Goat, diajaknya berjalan-jalan dan masuk ke dalam kamar yang terpencil.
?Manis, kalau engkau mau bersikap manis kepadaku dan tidak melayani pria lain, aku akan memberimu uang belanja setiap bulan.?
?Untuk dua puluh atau tiga puluh ons sebulan, saya mau melayanimu seorang,? jawab gadis itu.
?Baiklah, akan kuberikan engkau tiga puluh ons.? Shi men mendapatkan seorang kekasih baru yang cukup menarik hatinya sehingga dia berjanji akan sering datang berkunjung. Pada hari ke sepuluh bulan sebelas, datanglah surat perintah dari Ibukota Timur, yang memanggil semua pejabat tinggi untuk datang berkumpul ke kota Kai Hong Hu, menghadiri rapat di mana akan diadakan upacara kenaikan pangkat bagi mereka yang telah dianggap berjasa.
Shi Men termasuk seorang diantara mereka yang dianggap ?berjasa.? dan Mendapat kenaikan pangkat, yaitu menjadi Hakim Pertama distrik Ceng-Ho-Sian menggantikan kedudukan rekannya, Hsia. Adapun Hakim Hsia kini dinaikkan pangkatnya sebagai Komandan Pengawal Istana. Sedangkan seorang keponakan dari Thaikam Hou memperoleh jabatan yang tadinya dipegang Shi Men. Menerima surat perintah ini, Shi Men cepat berkemas dan pada tanggal dua belas bulan itu Shi Men berangkat bersama rekannya, Hakim Hsia, dengan pengawalan dua puluh orang, menuju ke Ibukota Timur. Selama kepergian Shi Men yang akan memakan waktu kurang lebih dua minggu itu, Goat Toanio melakukan penjagaan ketat untuk ketertiban rumah tangganya.
Penjaga pintu gerbang Pang An dipesan untuk membuka pintu hanya kalau ada keperluan mendesak dan hanya atas ijin darinya. Pintu masuk ke bagian tempat tinggal para wanita, dikunci dari sore sampai pagi hari berikutnya. Goat Toanio sendiri melakukan pengawasan ketat pada siang harinya, bahkan ia melarang seorang anggauta keluarga seperti Chen Ceng Ki, mantu suaminya, untuk masuk ke rumah tanpa alasan yang penting, dan kalau keperluan mengharuskannya masuk, dia selalu didampingi seorang pelayan. Karena itu, sekali ini Kim Lian, sama sekali tidak memperoleh kesempatan untuk berbuat semaunya, melainkan seperti para isteri lainnya, duduk dengan tenang di dalam pondoknya, melakukan pekerjaan rumah atau menghibur diri dengan para pelayan. Namun ia masih sempat memuaskan hatinya dengan sering mengomeli Yu I, kekasih suaminya yang baru.
Pada akhir bulan sebelas itu tibalah Shi Men kemball ke rumahnya dan hal pertama yang dilakukannya, setelah dia mencuci diri dan berganti pakaian bersih, adalah melakukan sembahyang di pekarangan dan dengan berpuasa dia berlutut dan menghaturkan terima kasih kepada Bumi dan Langit karena dia rnemperoleh anugerah kenaikan pangkat dan keselamatan dalam perjalanan itu. Dia tergesa-gesa pulang untuk dapat ikut merayakah hari ulang tahun isterinya yang ke tiga, yaitu Mong Lok. Pesta ulang tahun itu diadakan dengan meriah dan di antara para tamu yang berdatangan, terdapat Pi Nikouw dan Wang Nikouw yang bermalam di situ. Pi Nikouw memenuhl janjinya dan membawakan obat yang dipesan oleh Kim Lian. Dengan cerdik Pendeta wanita itu berhasil menyelinap keluar dari pondok Goat Toanio dan mengunjungi Kim Lian secara diam-diam.
?Inilah obat yang saya janjikan itu,? katanya sambil memberikan botol yang terisi obat itu kepada Kim Lian.
?Pada hari tujuh kali tujuh dari dua bulan, obat ini harus dicampur dengan sedikit anggur, dan diminum dengan perut kosong. Jika malam harinya engkau tidur dengan suamimu, tentu engkau akan mengandung seorang anak laki-laki. Nyonya majikan yang tinggal di bangunan induk telah mengandung setelah minom obat ini. Dan sebagai tambahan saya berikan bubuk merah ini kepadamu, asal dipergunakan menurut ajaran saya, sudah dapat dipastikan engkau akan mengandung seorang calon putera.? Dengan girang sekali Kim Lian menerima dua macam obat itu dan menyembunyikannya di dalam laci. la lalu membuka kalender dan melihat bahwa hari ke empat puluh sembilan dari dua bulan jatuh pada tanggal dua puluh sembilan bulan itu. la lalu mengambil sejumlah uang dan menyerahkannya kepada Pi Nikouw sambil berkata,
?Terimalah sedikit hadiah lni, kalau kelak aku benar dapat mengandung, saya akan menghadiahkan kain untuk membuat pakaian.?
?Harap Nyonya jangan memikirkan tentang hadiah. Saya tidaklah begitu haus akan hadiah seperti halnya Wang Nikouw. Bayangkan saja betapa ia telah mengomel panjang pendek karena mendapat bayaran sedikit ketika menyembahyangi Nyonya yang meninggal dunia baru-baru ini, Saya melakukan semua ini tanpa pamrih, untuk diri sendiri melainkan karena saya Suka melakukan kebaikan kepada orang lain.?
Ketika Kim Lian melihat betapa Shi Men memberi tanda-tanda hendak pergi tidur, iapun cepat meninggalkan ruangan keluarga itu dan menanti di ruangan luar, mengharapkan suminya akan segera muncul dan nenemaninya kembali ke pondoknya. Malam ini ia harus dapat menarik suaminya ke tempat tidurnya, karena malam ini adalah malam yang ditentukan sebagai syarat pengobatan agar ia memperoleh keturunan, yaitu malam ke empat puluh sembilan dari dua bulan. Namun sia-sia saja ia menanti. Shi Men tidak muncul. Akhirnya ia kehabisan kesabaran. la membuka pintu tembusan ruangan itu dan berkata dengan suara nyaring kepada suaminya,
?Saya tidak bisa menunggu lebih lama. Saya pergi dulu.?
?Pergilah dulu! Aku akan menghabiskan minumku kemudian menyusulmu!? teriak Shi Men dengan ramah dan Kim Lian lalu melangkah pergi.
?Aku tidak setuju kalau engkau pergi kepadanya malam ini!? tiba-tiba Goat Toanio berkata dengan alis berkerut. ?untuk sekali ini aku harus bicara dengan sungguh-sungguh padamu. Aku tahu betapa engkau amat sayang kepadanya. Akan tetapi, bagaimanapun juga sungguh merupakan suatu cara yang tidak patut kalau ia memaksa dan mengajakmu keluar dari kamarku. Ia bersikap di sini seolah-olah engkaulah yang menjadi isterinya, yang harus mentaati perintahnya, dan kami semua ini seolah-olah tidak ada saja. Semenjak kembalimu kami semua hampir tak pernah dapat melihatmu karena ia menguasai dirimu sepenuhnya, dan tidak semalampun engkau tinggal dengan seorang di antara kami. Hal itu tentu saja tidak mengapa bagi diriku sendiri, akan tetapi aku tahu ada seorang yang menderita karena ulahmu ini, walaupun ia tidak berkata sesuatu. Adik Mong Yu Lok yang berulang tahun hampir tidak dapat makan atau minum karena tekanan batinnya. Malam ini adalah ulang tahunnya, dan engkau seolah-olah tidak perdulikan padanya sama sekali. Sepatutnya engkau malam ini pergi kepadanya dan menanyakan kesehatannya.?
Shi Men dapat disadarkan dan pergilah ia ke pondok isterinya yang ke tiga itu. Mong Yu Lok telah menanggalkan pakalan luarnya dan melepaskan hiasan rambutnya. Ia rebah menelungkup di atas tempat tidurnya dan muntah-muntah ke dalam tempolong. Melihat ini, Shi Men terkejut sekali dan cepat duduk di tepi pembaringan.
?Sayangku, engkau kenapakah? Katakan, aku akan memanggil tabib besok pagi-pagi.? Mong Yu Lok tidak menjawab dan muntah lagi. Shi Men membantunya duduk dan merangkulnya.
?Perutku mual,? katanya sambil memegangi perutnya. ?Akan tetapi kenapa engkau bertanya? Apa gunanya? Pergilah dan bersenang-senanglah!?
?Sayangku, aku tidak tahu bahwa engkau sakit. Aku baru saja rnendengarnya.?
?Hemm, itu saja membuktikan bahwa bagimu aku ini seperti tidak ada saja! Pergilah, pergilah kepada kekasihmu sana!? Shi Men memeluk dan menciumnya, lalu dia memanggil Siang Bwee, pelayan isterinya ke tiga itu.
?Cepat, ambil air teh pahit!?
?Saya baru saja membuatnya.?
?Berikan padaku dan bawa pergi tempolong itu!? Shi Men menerima mangkok air teh yang pahit dan panas itu dan dengan hati-hati mendekatkannya pada Bibir isterinya yang ke tiga.
?Biarlah kuminum sendiri,? kata Mong Yu Lok sambil menerima mangkok air teh itu. ?Kenapa engkau bersusah payah untukku? Melihat engkau datang ke sini sama dengan melihat matahari terbit dari barat. Aku tahu bahwa tentu Goat Toanio yang membujukmu datang ke sini. Aku tidak mengharapkan kunjunganmu.?
?Sungguh aku tidak dapat datang lebih pagi karena aku sibuk sepanjang hari,? kata Shi Men dengan suara minta maaf.
?Aku tahu bahwa harimu sibuk setiap hari.?
?Engkau tentu lapar,? Shi Men mengalihkan percakapan. ?Akupun lapar, mari kita makan.?
?Tidak, terima kasih. Engkau sudah makan kenyang, dan akupun tidak ada nafsu makan.?
?Kalau begitu akupun tidak makan. Besok aku akan memanggil Tabib Yen, dan marilah kita tidur.?
?Tidak usah repot memanggil Tabib.?
?Oya, aku akan mengobatimu sendiri. Seorang kenalanku baru-baru ini memberiku sepuluh butir pel empedu Kwan Tung yang terbaik. Obat yang manjur sekali untuk penyakit perut. Siang Bwee, pergilah engkau kepada Goat Toanio dan mintakan dua butir pel itu, di dalam botol yang kutaruh dalam laci meja riasnya. Dan bawakan seguci arak panas sekalian.?
?Aku ingin sekali tahu Tabib macam apa engkau ini!? kata Mong Yu Lok yang mulai mencair hatinya.
?Kalau perlu arak, di sinipun ada.? Tak lama kemudian Siang Bwee datang membawa dua butir pel yang diminta. Shi Men membuka buntalan malam dari obat itu dan mencairkannya dalam secawan anggur panas. Setelah isterinya meminum obat itu, Shi Men minta kepada Siang Bwee untuk membawakan seguci arak untuk dirinya sendiri.
?Akupun akan minum obat,? katanya. Mong Yu Lok tahu obat apa yang ingin diminum suaminya.
?Huh, apakah tidak lebih baik kalau engkau pergi ketempat lain tempat untuk itu? Kurasa di sini bukan tempatnya untuk mempergunakan obat semacam itu!?
?Ah, baiklah, aku tidak akan meminumnya,? kata Shi Men dan diapun merangkul Mong Yu Lok yang kini sudah, merasa enak perutnya karena sesungguhnya bukan perutnya yang sakit, melainkan hatinya yang menderita kerinduan.
?Bagaimana rasanya perutmu sekarang?? tanya Shi Men sambil mencumbunya.
?Sudah enakan.?
?Syukurlah. Oya, tahukah engkau bahwa sehari penuh aku sibuk merencanakan susunan hidangan yang akan dikeluarkan dalam pesta penghormatan terhadap Sung-Taijin yang akan kuadakan besok lusa? Sehari penuh aku sibuk merundingkannya dengan Lai Seng. Pesta itu akan makan biaya sekitar lima puluh tail. Kemudian aku harus pergi ke Kuil di mana aku bersembahyang untuk membayar kaul. Lalu aku harus menghadiri undangan seorang teman untuk makan siang. Belum lagi tugas-tugas kantor yang memakan banyak waktuku sehingga aku kekurangan waktu untuk urusan rumah tangga.?
Dengan pandainya, dengan kata-kata lembut, dengan cumbu rayunya, akhirnya Shi Men dapat melenyapkan sama sekali perasaan mendongkol dari hati isterinya yang ke tiga dan tak lama kemudian Mong Yu Lok telah melayaninya dengan penuh perasaan, seolah-olah hendak menumpahkan semua kerinduan hatinya selama ini di malam itu. Dan Kim Lian malam itu harus rebah sendirian di atas pembaringannya dengan hati mengkal karena harapannya untuk menguji kemanjuran obat Pi Nikouw ternyata telah gagal.
Hati Shi Men mulai gelisah. Butiran-butiran pel obat kuat pemberian Pendeta itu makin menipis dan semenjak dia mempergunakan obat itu, nafsu berahinya menjadi semakin berkobar dan tidak pernah dapat dia merasa puas. Bahkan pada saat tidur dengan seorang kekasihnya, hatinya merindukan kekasih lain dan biarpun dia telah memiliki banyak sekali wanita cantik yang menjadi isterinya, selirnya, peliharaan dan langganannya di rumah-rumah pelesir, namun tetap saja dia selalu merindukan seorang gadis baru.
Dia telah menjadi hamba dari nafsu berahinya sendiri dan kadang-kadang dia ingin sekali tubuhnya dapat menjadi dua agar dia dapat lebih sering menuruti desakan nafsu berahinya yang tak kunjung puas itu. Di antara semua wanita yang setiap saat siap melayaninya itu, tidak ada yang dapat mengikatnya, walaupun hanya untuk sementara waktu, seperti yang pernah dirasakannya terhadap mendiang Nyonya Peng, isterinya yang ke enam itu. Pelayan pengasuh Yu I sudah lama digantikan kedudukannya oleh isteri dari pegawai barunya, Lai Kwe, dan wanita ini sepuluh tahun lebih rnuda dari pada Yu I.
Pelayanan yang pernah memabukkannya dan Wang Liok Hwa yang berpengalaman, kini tidak lagi begitu memabukkan semenjak Shi Men berhasil main gila dengan isteri pengurus dagangannya, ya itu Pen Se. Bahkan setiap kali mendengar cerita orang tentang seorang wanita cantik, dia sudah mengilar dan timbul seleranya. Ketika pegawainya yang baru kembali dari Yang-Chouw bercerita tentang kecantikan gadis berusia enam belas tahun di sana, ingin rasanya Shi Men dapat terbang seketika ke Yang-Chouw untuk mengunjungi gadis itu. Dan ketika Goat Toanio dalam kejujurannya, setelah pulang dari kunjungannya kepada Hakim Pembantu Hou, bercerita tentang kecantikan isteri rekannya itu,
Seorang wanita berusia delapan belas tahun yang menurut Goat Toanio cantik jelita seperti bidadari, masih keponakan dari Thaikam Lan, Shi Men berjanji dalam hatinya bahwa dia harus dapat memenangkan wanita ini! Kini Shi Men dengan penuh gairah menanti datangnya tanggal dua belas bulan itu. Pada hari itu, malam Pesta Lentera, di rumahnya akan diadakan pesta besar. Di bagian depan dia akan menjamu teman-teman baiknya, dan di bagian belakang rumahnya, para isterinya akan berpesta dengan mengundang beberapa orang isteri dari pejabat tinggi dan kenalan mereka. Dan dalam kesempatan itulah Shi Men ingin sekali dapat melihat wanita-wanita cantik yang akan menjadi tamu isteri-isterinya, terutama sekali isteri dari rekannya, Hou, seperti yang diceritakan oleh Goat Toanio kepadanya.
Hari yang dinanti-nantikan itupun tibalah. Pagi hari itu Shi Men tidak pergi ke kantornya. Pagi-pagi dia sudah bangun karena dia ingin mengawasi sendiri persiapan yang diadakan untuk pesta di rumahnya. Setelah hari naik tinggi mulailah tamu-tamu wanita berdatangan, hanya isteri rekannya Hakim Pembantu Hou belum juga muncul. Shi men merasa gelisah dan sudah tiga kali dia mengutus pelayannya untuk mengulangi undangannya ke rumah keluarga Hou. Akhirnya muncullah orang yang dinanti-nantikannya itu. Shi Men mengintai dari balik tirai kamar barat dan jantungnya berdebar keras, tubuhnya gemetar penuh gairah, ketika dia melihat tamu ini turun dari joli dan disambut oleh Goat Toanio. Usianya paling banyak delapan belas tahun.
Pakaiannya serba indah dan mewah, dan tubuhnya yang tinggi semampai dan padat itu nampak langsing sekali dengan adanya sabuk kemala dan emas yang mencekik pinggangnya. Wanita muda ini sungguh cantik jelita, bahkan penggambaran Goat Toanio itu masih jauh daripada kenyataannya. Betapa cantik jelita, dan anak rambutnya yang melingkar-lingkar di pelipisnya itu seperti menantang. Sepasang mata itu Begitu jernih dan jeli, dengan kerling yang tajam memikat, dan mulut ltu! Sepasang Bibir yang kecil tapi penuh dan menantang, merah membasah. Pinggang itu agaknya diciptakan untuk dipeluk, dan suaranya! Seperti hembusan suling perlahan di malam terang bulan musim semi. Sepasang kakinya begitu kecil mungil dan ringan, seolah-olah tubuhnya tidak melangkah melainkan melayang-layang seperti seorang bidadari.
Dia lebih indah dari bunga, lebih indah dari permata. Menyaksikan keindahan ini, mendengar suaranya yang lembut, Shi Men terpesona dan keharuan menyusup sampai ke tulang sumsum. Dia seperti mabuk dan sukmanya melayang-layang. Baru dia sadar ketika dia diundang oleh Goat Toanio untuk diperkenalkan kepada tamu ini. Ketika dia membungkuk dengan hormat di depan bidadari itu, jantungnya melompat-lompat seperti gila, dan matanya menjadi silau. Hanya tata susila dan kesopanan yang memaksanya untuk segera mundur setelah perkenalan itu dan bagaikan seorang yang kehilangan semangat dia duduk di antara teman-temannya, tanpa mengeluarkan sepatahpun kata. Sering kali dia menyelinap keluar, dari ruangan pesta kaum Pria itu untuk mengintai dari balik tirai, melahap kecantikan isteri rekannya itu.
?Engkau kenapakah, toako?? Ying Po Kui bertanya.
?Apakah engkau merasa tidak enak badan??
?Aku kurang tidur selama beberapa malam ini dan aku merasa agak lelah, jawabnya dan berpura-pura, menguap. Pembaca yang mulia, purnama tidak selamanya penuh, warna awan tidak bertahan selamanya. Apabila nasib baik sudah mencapai puncak tertinggi, sudah menjadi hukum alam bahwa nasib buruk akan mulai muncul, dan demikian sebaliknya.
Shi Men selama ini mengira bahwa nama dan kedudukannya merupakan jaminan terlaksananya semua gairah nafsunya. Dia sama sekali tidak menyadari bahwa iblis telah lama mengintai untuk menghadapkannya kepada pembayaran hutang-hutangnya pada saat dia mencapai puncak kesenangan dan kemewahan. Ketika para tamu wanita hendak meninggalkan rumah itu pada sore harinya, pelayannya yang terpercaya, A Thai, memberi isyarat dan cepat Shi Men meninggalkan meja pesta, mengintai lagi dari tempat sembunyinya di kamar barat. Bagaikan seorang kelaparan melahap. hidangan yang nikmat, shi Men seperti hendak menelan wanita cantik yang menjadi isteri rekannya itu ketika Nyonya muda itu meninggalkan ruangan dan menaiki jolinya untuk diangkut pergi.
Dengan lemas dan berulang kali menghela napas panjang Shi Men kembali ke tempat teman-temannya berpesta. Ketika dalam cuaca yang mulai gelap itu dia kembali ke tempat para tamunya yang sudah mulai mabuk, hampir saja dia bertabrakan dengan Hui Yen, isteri yang masih muda dari pelayan Lai Kwe dan peristiwa ini terjadi tepat diluar kamar wanita itu. la baru saja kembali dari ruangan tamu wanita di mana ia membantu melayani mereka. Melihat wanita ini, makin berkobarlah gairah yang sudah membakar hati Shi Men karena dia tergila-gila kepada isteri rekannya tadi. Tidak ada orang di situ dan suami wanita inipun sedang sibuk, entah dimana. Tanpa banyak cakap lagi Shi Men memondongnya ke dalam kamar itu,
?Kalau batin sudah dicengkeram nafsu...
Segala yang lain sudah tidak berlaku...
sasaran tujuan hanyalah satu...
memuaskan nafsu...!?
Pada keesokan harinya, Shi Men merasa lelah dan lesu, dan diapun tidak pergi ke kantornya, mengambil keputusan uhtuk santai hari itu. Dia mencoba memasuki perpustakaan dan membaca, namun otaknya juga terlalu lesu untuk dapat membaca, maka diapun hanya merebahkan diri dan menyuruh kacungnya yang bernama Wang Ceng untuk memijati kakinya. Selesai kacung itu memijatinya, masuklah Siauw Giok si pelayan membawa setengah botol air susu dari dada Yu I sendiri.
Hal ini saja menyatakan betapa Yu I amat memperhatikan kesehatannya. Dia menyuruh kacung Wang Ceng pergi dan minum air susu itu, kemudian memberi dua buah penjepit rambut emas kepada Siauw Giok. Hadiah ini bukan karena air susu Yu I, melainkan untuk diberikan kepada kekasihnya yang baru Hui Yen. Melihat ini, Siauw Giok melihat suatu keuntungan bagi dirinya sendiri karena ia mempunyai suatu berita yang amat menarik untuk disampaikan kepada Nyonya Ke Lima Kim Lian. Sementara itu, kacung Wang Ceng yang melihat majikannya tinggal seorang diri, segera mengeluarkan sebuah bungkusan kecil dan berkata,
?Cici saya mengirim ini kepada tuan dan mengharapkan kunjungan secepat mungkin,? katanya lirih. Wang Ceng adalah adik dari Wang Liok Hwa, kekasih Shi Men, Shi Men membuka bungkusan itu dan dengan hati terharu dia melihat segumpal. rambut wanita yang halus dan hitam berbau harum, yang diikat dengan benang dari lima warna, dan dua helai pita sutera. Ini merupakan pernyataan cinta dan rindu dari kekasihnya itu! Dia cepat menyembunyikan benda itu ke dalam lengan bajunya ketika tiba-tiba muncul Goat Toanio dari balik tirai.
Nagari Batas Ajal 3 Satria Gendeng 02 Geger Pesisir Jawa Istana Yang Suram 12
^