Pencarian

Totokan Jari Tunggal 8

Totokan Jari Tunggal It Yang Cie Karya Sin Liong Bagian 8


Teringat seperti itu, si gadis menggigit bibir nya. Dia merasa berduka sekali.
"Suheng. kalau sampai kau di celakai orang orang itu, kelak Sumoaymu akan berusaha sekuat tenaga dan mati-matian membalas sakit hatimu!" Bisik si gadis perlahan. Dia yakin Suhengnya pun bisa meloloskan diri, namun rasa kuatirnya bahwa Suhengnya itu dicelakai musuhnya, pun tidak kecil di mana membual dia gelisah sekali.
Luka yang diderita Thia Lam San tidak ringan. Karena di sekujur tubuhnya peruh dengan luka-luka yang membuat bajunya pun koyak-koyak. Keadaan Lam San pada saat itu sungguh tidak enak di pandang, dia seperti juga seorang pengemis wanita yang tengah rebah lemas tidak makan beberapa hari. Dan pakaian nya yang koyak-koyak kotor berlumuran darah itu, membuat keadaannya jadi tidak segagah beberapa waktu yang lalu....
Tengah si gadis termenung dengan hati yang gelisah dan agak bingung, diwaktu itu tiba-tiba pendengarannya yang tajam telah mendengar suara berkeresek, walaupun perlahan, tapi didengarnya jelas sekali, dari arah gerombolan pohon. Malah kemudian terdengar suara merintih yang perlahan, suara rintihan dari orang yang terluka tidak ringan.
Muka Si gadis berobah, dia memasang pendengarannya, dia berusaha memperbatikannya dari arah mana datangnya suara rintihan tersebut. Kemudian dengan sikap yang waspada, si gadis merangkak menghampiri ke arah dari mana datangnya suara rintihan tersebut.
Semakin dekat dengan asal suara rintihan tersebut, dia telah mendengar semakin jelas dan ia merasa kenal dengan suara rintihan tersebut. Hati si gadis tergerak. Dia memaksakan dirinya untuk merangkak lebih jauh, walaupun di rasakan tangannya sangat sakit. Hanya saja, karena dia memang ingin mengetahui siapa yanw merintih itu, maka dia telah memaksakan diri merangkak terus, walaupun disaat rasa sakit bukan main pada sekujur tubuhnya, terutama sekali pada luka-luka di sekujur tubuhnya.
Akhirnya si gadis berhasil mendekati gerombolan pohon itu, dan dia memang semakin mengenali suara rintihan tersebut. Dia segera memanggil perlahan :"Suheng....?!"
Suara rintilan terdiam sejenak. Hening keadaan di hutan tersebut.
"Suheng?!" Panggil si gadis lagi.
"Sumoay, kaukah itu?!" Terdengar dari sebelah dalam gerombolan pohon itu.
"Benar Suheng...!" Menyahuti si gadis.
Terdengar seruan girang dari dalam gerombolan pohon itu. Kemudian merangkak keluar sesosok tubuh.
Benar saja dugaan sigadis, karena memang orang yang merangkak keluar itu tidak lain dari kakak seperguruannya, yaitu Souw Cui Seng.
"Suheng.!!" Suara si gadis tergetar, dia seperti hendak mewek. timbul sikap manjanya.
Souw Cui Seng, sang Suheng, segera merangkak menghampiri. Keadaannya pun tidak lebih baik dari keadaan sumoaynya, karena diapun terluka tidak ringan. Sama seperti keadaan Lam San, sekujur tubuh Cui Seng pun terluka cukup parah. Hanya saja, justeru si gadis maupun si kakak seperguruan terluka, terluka di luar saja. Walaupun tampaknya memang sangat parah, tokh tidak membahayakan jiwa mereka.
"Sumoay....apakah kau tidak apa-apa?!" Tanya si suheng dengan sikap prihatin, dia tidak merintih, memaksakan diri untuk memperlihatkan kegagahannya di depan sumoaynya, yang dicintainya.
Kalau tadi si sumoay seperti hendak mewek, tapi mendengar pertanyaan suhengnya, justeru mukanya jadi cemberut.
"Tidak apa-apa kepalamu?!" bentak Lam San sengit. "Apakah matamu buta heh?!"
Kaget Cui Seng. "Sumoay...aku..aku...!" Dia jadi gugup.
Mata Lam San mendelik. "Hemmm, kukira memang matamu buta!" Kata si gadis lagi. "Kau memang manusia yang tidak memiliki perasaan!"
Melihat sumoay ini mendadak marah marah ngambek seperti itu, membuat Cui Seng tambah heran dan bingung.
"Sumoay....apa salahku?!"Tanyanya.
Mata si gadis tambah mendelik.
"Kau masih bertanya apa salahmu, he?" Bentak Lam San dengan suara dingin dan membuang muka kearah lain. "Hemmmm, kau ini benar-benar keterlaluan sekali....kau keterlaluan benar...!"
Setelah berkata begitu, Lam San menangis terisak-isak, sedih sekali.
Suhengnya tambah bingung, malah sekarang malihat Sumoaynya menangis seperti itu, dia jadi panik.
"Sumoay.... kau jangan menangis.....beritahukanlah, apakah aku bersalah? Kalau memang perlu menghukumku, aku akan menghukum sendiri diriku ini....!" Kata sang kakak seperguruan itu.
Hati si gadis terhibur juga, agak mencair kemarahannya. Dia merasa kasihan mendengar perkataan Suhengnya dan sikap Suhengnya yang sangat mengalah padanya. Malah, Suhengnya itu bilang dia yang akan menghukum dirinya sendiri. Karenanya juga, si gadis jadi tertawa.
Tentu saja Cui Seng tambah bingung dan heran, sedangkan didalam hatinya berpikir :"Sumoayku ini benar-benar aneh sekali adatnya! Baru saja menangis tanpa alasan, tidak hujan tidak angin marah-marah, lalu sekarang belum lagi air matanya kering, dia sudah tertawa lagi! Aneh! Aneh....!"
Tapi Cui Seng tentu saja tidak memperlihatkan perasaan mendongkolnya dan juga tidak mengutarakan perasaan herannya.
"Sumoay..!" Katanya lagi. "Apa salahku tadi kau marah marah?!" Cui Seng cuma bertanya begitu saja.
"Kau mau tahu?!"Tanya si gadis berhenti tertawa.
Cui Seng mengangguk. "Ya..aku ingin mengetahui agar di lain waktu aku tidak melakukan kesalahan yang sama...!"
"Hemmm...kau sendiri telah melihat aku terluka demikian parah, sekujur tubuhku terluka... tapi begitu bertemu kau menanyakan apakah aku tidak apa-apa? Bukankah itu merupakan ejekan dan sikap yang keterlaluan sekali?l"
Cui Seng jadi garuk-garuk kepalanya. "Maksudku baik... aku ingin menanyakan kesehatanmu, apakah kau kena dicelakai oleh lawan atau tidak!" Kata Cui Seng akhirnya, seperti hendak bela diri.
Muka si gadis seketika jadi monyong cemberut lagi.
"Hemmu, sudah kau lihat aku masih hidup! Apakah kau memang mengharapkan aku mampus ditangan musuh?!" Sambil bertanya begitu Lam San mendelikkan matanya, mukanya juga seperti hendak mewek, hidung dan matanya sudah menjadi merah.
Kaget Cui Seng. "Ya...Ya... memang aku salah bicara tadi. Sumoay! Kau jangan menangis lagi!" Kata Cui Seng tergesa-gesa dan kuatir sekali.
Si gadis memonyongkan mulutnya.
"Siapa yang mau menangis didepanmu?!" Kata si gadis kemudian dengan mata yang sudah merah dan menitik air mata, kemudian menangis terisak-isak.
"He, he, kok kau menangis juga?!" Tanya Cui Seng tambah bingung. "Bukankah kau bilang tidak mau menangis lagi?!"
"Aku menangis bukan karena kau! aku menangis ingat orang tuaku! Hemmm, kalau mereka ada di sampingku, tentu aku tidak akan di hina orang seperti sekarang ini...!"
"Jangan takut... nanti orang yang menghinamu akan kubalas dengan tiga pukulanku! Orang itu akan kuhajar....kau jangan menangis lagi, Sumoay... diamlah!"
"Hemmm, justeru orang yang menghina diri ku adalah kau sendiri!" Kata Lam San sambil menghapus air matanya,
"Apa?!"Teriak Cui Seng kaget.
"Engkaulah yang beberapa kali telah membuat hatiku mendongkol, membuat aku marah, karena berulangkali kau selalu menghina diriku!" Dan si gadis menangis terisak isak lagi. "Siapa yang akan membelaku lagi?!"
Kaget Cui Seng, dia sampai mengawasi benar-benar pada sigadis dengan sikap tidak mengarti. Namun, karena kebingungan, akhirnya dia menampar mukanya sendiri.
"Plakkk, plooook, plakkkk!" Berulangkali dia menempeleng mukanya sendiri. Sambil menampar mukanya sendiri dengan keras, dia juga menggumam :"Memang kau juga sih, Cui Seng, manusia tidak tahu diri, selalu bicara salah! Mulut sialan!! Mulut sialan!" Sambil bilang mulut sialan, dia berulangkali menampari mulutnya.
Suara Plakkk, ploook, plaaakkk, membuat hati si gadis jadi tidak tega. Dia melihat muka si pemuda telah bengap merah karena tamparan yang keras bukan main.
"Suheng, hentikan!!"eriak si gadis sambil tertawa.
Cui Seng berhenti menampari mukanya, dia memandang tertegun pada si gadis. Sikapnya benar benar ketolol-tololan.
"Sudah cukup puaskah kau, Sumoay?"
"Lain kali kau tidak boleh menghinaku lagi!" Kata si gadis kemudian.
"Oooooo.... tentu Sumoay! Tentu...memang aku tidak berani menghina kau!"
"Kalau memang kau menghina aku lagi, hemm, waktu itu aku tentu akan menangis sebulan atau setahun lamanya sampai mataku bulat"
Bukan main kagetnya si pemuda, dia ulap-ulapkan tangannya.
"Jangan! Jangan! Sumoay, aku bersumpah tidak akan menghina kau!" Kata Cui Seng dengan gugup.
"Suheng, mengapa kau juga terluka parah seperti itu?!" Tanya si gadis sambil mengawasi keadaan si pemuda. Dia jadi merasa kasihan melihat keadaan Suhengnya yang terluka tidak kalah beratnya dengan lukanya sendiri.
Cui Sang baru ingat lukanya, tadi saking bingung dia seperti juga tidak merasakan rasa sakit atas luka luka di tubuhnya. Namun sekarang si gadis sudah mengingatkannya, maka dia jadi meringis menahan sakit. Dia juga bilang :
"Aku dikeroyok oleh manusia-manusia rendah tidak tahu malu itu! Mereka benar-benar tidak tahu malu...walaupun sudah kubilang, mereka akan ditertawakan oleh semua orang gagah di dalam kalangan Kangouw dengan perbuatan hina mereka main keroyok seperti itu, tapi mereka seakan juga tidak perduli!"
Si gadis tersenyum, namun hanya sebentar, karena kemudian dia telah menghela napas dalam dalam.
"Sama.....aku juga dikeroyok oleh manusia-manusia tidak tahu malu!" Kata si gadis
Muka Cui Seag merah padam, dengan sorot mata memancarkan rasa kuatir dan kasihan pada si gadis, juga mengandung rasa sayang, dia bilang sengit : "Kalau memang nanti luka lukaku ini telah sembuh.... hemmm, biarlah akan kubalaskan sakit hatimu, Sumoay....!"
"Tunggu sampai lukamu itu sembuh, tentunya memerlukan beberapa hari dan orang orang itu sudah pergi jauh, entah kemana.... apakah kau masih bisa mencari jejak mereka?!"
Ditanya begitu si pemuda jadi bengong.
"Ini.... ini...!" Katanya dengan suara yang tidak lancar. Dia kemudian menghela napas dalam dalam. "Benar juga apa yang kau bilang, Sumoay.... tapi kalau harus membalaskan sakit hatimu sekarang juga, aku sedang terluka, tentu tidak leluasa bergerak.... sayang sekali.....habis apa yang harus kulakukan ya?" Dan si pemuda bertanya kepada dirinya sendiri dengan sikap ketolol-tololan.
Si gadis terpaksa tertawa geli melihat sikap dan kelakuan kakak perguruannya tersebut, yang memang agak ketolol-tololan. Hanya saja, satu sifat Suhengnya yang menyenangkan hati si gadis yaitu Cui Seng memang polos dan jujur.
"Sudahlah Suheng, kalau memang nanti kita sudah sembuh, maka kita cari mereka lagi...tidak mungkin kita tidak bisa mencari mereka buat membalas sakit hati kita?!"
"Tapi.... aku tidak mengenal mereka!" Menggumam Cui Seng. "Orang-orang yang mengeroyokku itu merupakan orang-orang asing yang tidak kukenal, mereka cuma bilang bahwa mereka adalah orang orangnya Sah Tok Kauw! Aku sendiri heran, mengapa mereka mengeroyok diriku......?!" Waktu berkata begitu, saking bingungnya tidak memperoleh jawaban atas pertanyaannya tersebut, dia jadi bengong.
Si gadis mengerutkan alisnya, karena apa yang dialami oleh Suhengnya memang sama dengan yang dialaminya sendiri, dan diapua memang dikeroyok oleh orang-orang yang tidak dikenalnya. Mereka itu cuma bilang bahwa mereka adalah orang-orangnya Sah Tok Kauw.
"Suheng!" Kata si gadis kemuiian, karena serupa pikiran berkelebat di otaknya.
"Ya?!" Menyahuti si pemuda seperti tersentak kaget, karena waktu dipanggil dia tengah bengong. "Ada apa, Sumoay?"
"Kalau demikian nanti kita cari saja Sah Tok Kauw..... bukankah ini mempermudah pekerjaan kita mencari musuh musuh kita itu?!"
Si pemuda mengangguk. "Benar.... kita mencari Sah Tok Kauw dan memaksa ketuanya buat menunjukkan pada kita anak buahnya yang mana telah mengeroyok kita!" Kata si pemuda kemudian.
Namun, Lan San benar-benar jadi heran, karena dia ingat, bahwa dia maupun suhengnya tidak kenal orang-orang yang mengeroyok mereka, namun mereka itu, orang-orang Sah Tok Kauw, tampaknya hendak menangkap mereka. Malah yang membuat mereka jadi tambah heran dan bertanya-tanya, justeru di antara orang Sah Tok Kauw yang mengeroyok mereka itu, terdapat seorang nenek dan kakek yang berkepandaian sangat tinggi, Yang mengeroyok Lam San adalah seorang nenek dengan beberapa orang bertubuh tinggi besar. Dan yang mengeroyok Cui Seng adalah seorang kakek dengan beberapa orang yang memiliki kepandaian tidak rendah. Setelah Cui Seng dengan Lam San saling menceritakan pengalaman masing-masing barulah mereka bisa menarik kesimpulan bahwa mereka sesungguhnya menghadapi sepasang nenek dan kakek yang tidak ringan kepandaiannya.
"Siapakah nenek dan kakek itu?!" Pikir si gadis dengan muka yang muram. Dia kemudian menoleh kepada suhengnya, dia bilang: "Suheng kau sendiri apakah bisa menduga-duga entah siapakah kakek dan nenek tua itu, yang kepandaiannya paling liehay dari orang-orang Sah Tok Kauw lainnya?!"
Si pemuda terdiam. "Aku.... aku tidak kenal mereka...!" Katanya kemudian.
"Aku juga tidak mengatakan bahwa engkau kenal dengan mereka, hanya saja siapa tahu kau pernah mendengar tentang mereka....!" Kata si gadis mendongkol.
"Tidak! Tidak pernah aku mendengar tentang si kakek yang mengeroyok diriku atau si nenek yang mengeroyak dirimu.....hanya saja si kakek yang mengeroyok diriku memang liehay sekali! Kalau memang aku tidak tertolong oleh seseorang yang berpakaian serba putih yang berkepandaian hebat sekali dan tidak bisa dilihat mukanya dengan jelas itu, tentu aku sudah bisa ditawan atau dibinasakan oleh kakek tua itu!"
"Sama!" Berseru Lam San dengan sikap terkejut. "Aku pun justeru telah ditolong oleh seorang berpakaian serba putih, cuma saja aku tidak melihat siapakah dia...kareia ginkangnya sangat liehay sekali, tubuhnya bergerak seperti bayangan belaka...sulit sekali melihat mukanya. Dia yang menganjurkan aku lari! Hu! Waktu itu aku telah terluka berat, kalau memang aku meneruskan perlawanan pada si nenek dan teman-temannya, niscaya aku akan binasa di tangan mereka! Akhirnya aku menuruti anjuran orang yang menolongiku itu, melarikan diri. Dan akhirnya aku tiba di sini.....cuma saja, aku sampai sekarang tidak mengetahui, entah siapa orang berbaju putih itu, yang kepandaiannya memang sangat tinggi.... !"
Begitulah Lam San maupun Cui Seng, berdua Suheng Sumoay tersebut saling menduga-duga, entah siapa penolong mereka yang kepandaiannya memang sangat liehay itu.
Waktu itu tampak si gadis telah mengerang perlahan, karena luka di tubuhnya mendatangkan sakit yang tidak ringan.
Cui Seng mengerutkan alisnya. Dia merogoh sakunya mengeluarkan kantong obatnya. Dia memberikan semacam obat bubuk kepada si gadis, katanya ; "Nah, kau borehkan obat ini kepada luka lukamu...aku akan menyingkir dulu ke tempat lain!"
Muka si gadis berobah merah, karena dia tahu si pemuda tidak mau melihat sebagian dari tubuhnya waktu dia tengah mengobati luka-luka di tubuhnya itu. Dan pemuda itu memang setelah memberikan obat luka itu, merangkak untuk pergi menjauh.
Si gadis setelah menerima obat luka itu, memperhatikannya sejenak, kemudian dia borehkan pada luka-lukanya.
Nyaman sekali, terasa sejuk, hilang rasa perihnya, juga di waktu itu rasa sakitnya berkurang. Sekarang tidak perlu si gadis meringis atau merintih kesakitan.
Waktu itu Lam San telah membungkus kembali sisa obat tersebut, memanggil suhengnya.
Cui Seng sudah muncul mendatangi.
"Sudah selesai, Sumoay?!" Tanyanya. Lam San mengangguk.
"Ya.....cuma saja pakaianku koyak-koyak seperti itu, sedangkan buntalanku tertinggal di rumah penginapan!"
"Sama!" Lam San mengerutkan alisnya.
"Apanya yang sama?!"
"Bajuku koyak-koyak juga dan buntalanku pun tertinggal dirumah penginapan!"
"Hemm, dasar tolol!" Menggerutu Lam San saking mendongkolnya.
Cui Sang jadi muram wajahnya karena dia jadi sedih disebut sebagai si tolol!
Lam San rupanya menyadari juga bahwa kata katanya sudah melukai hati suhengnya. Bukankah Suhengnya itu sangat baik, sayang padanya, memanjakannya, mengapa dia melukai perasaan dan hatinya. Bukankah Suhengnya ini memang memiliki sifat yang agak ketolol-tololan dan dia harus memakluminya, tidak menyinggung-nyinggung kekurangan Suhengnya tersebut.
Segera Lam San tertawa. "Suheng, kau memang seorang yang teliti sekali!! Sampai obat luka masih kau bawa-bawa di dalam kantongmu! Coba, kalau kau sendiri, yang meletakkan obat-obat didalam buntalan, di waktu memerlukan seperti sekarang, tentu tidak berdaya untuk memakainya!!"
Senang hati si pemuda. Agak terhibur. Dia juga sudah tersenyum lagi.
"Semua ini atas petunjuk Suhu, karena obat itu memang manjur sekali!" Kata sang Suhengnya, "Kalau baju hilang kita bisa membelinya, tapi, obat tidak boleh terpisah dari kita... setiap saat kita memerlukan, karena setiap saat bisa saja kita mendadak terluka oleh musuh...!"
"Benar Suheng, aku kagum dengan ketelitianmu!" Kata si gadis sambil tersenyum dan mengangkat tangannya, dia memperlihatkan ibu jarinya.
Hidung si pemuda jadi mekar, hatinya senang tidak kepalang dipuji oleh gadis pujaannya tersebut.
"Nah, sekarang pergilah kati mengobati lukamu itu...tampaknya luka-lukamu pun tidak ringan!" Kata Lam San.
Bertambah senang hati Cui Seng, dia mengangguk berulangkali mengiyakan. Dia senang karena si gadis memperhatikan kesehatannya juga.
Melihat Cui Seng manggut-manggut seperti itu, hampir saja Lam San tertawa geli lagi, karena dia merasa lucu, di mana lagak suhengnya agak ketolol-tololan seperti itu, mengangguk-angguk seperti burung pelatuk yang manggut tidak hentinya.
Untung saja Lam San masih bisa menaran diri, dia tidak sampai tertawa lagi, dia membuang pandang ke arah lain, dia tidak menyingkir, karena si gadis merasakan tenaganya habis, dia tahu, kalau dia merangkak untuk menjauh diri dari suhengnya, tentu dia akan menderita kesakitan yang tidak enteng. Maka dia cuma membuang pandang kearah lain Waktu Cui Seng mengobati luka lukanya itu.
Setelah mengobati lukanya, Cui Sing bilang kepada Lam San :"Sumoay.. kau sudah boleh lihat kepadaku lagi!"
Lam San merasa lucu campur mendongkol!
Benar-benar suhengnya ini agak tolol. Tanpa diberitahukan, jika memang suhengnya telah selesai memakai obat tersebut, tentu dia memana akan melihat ke arah si pemuda. Tapi Lam San akhirnya memaklumi sikap kakak seperguruannya ini, dia menahan tertawanya dan tidak mengucapkan kata-kata apapun juja.
Cui Seng menyimpan obatnya tersebut, dia telah mengawasi adik seperguruannya.
"Sumoay, aku ingin bertanya kepadamu, karena kukira memang kau jauh lebih cerdas dariku... kukira kau tentu bisa memberikan saran dan keputusan apa yang harus kita lakukan!"
"Apa itu Suheng?!" Tanya Lam San. "Tentang apa? Katakan saja!!"
"Apakah kita harus kembali ke Thian San untuk melaporkan segalanya kepada Suhu?" Tanya Cui Seng sambil mengawasi si gadis. "Kita menghadapi musuh yang tidak ringan...kukira memang musuh-musuh kita itu memiliki maksud tertentu... mereka bukan hanya sekedar memusuhi kita... pasti di balik perbuatan mereka itu menyangkut dengan satu urusan yang lumayan pentingnya. Bagaimana pendapatmu Sumoay?!"
Mendengar perkataan Suhengnys, Lam San mengangkat tangannya memperlihatkan ibu jarinya.
"Tidak kusangka kau juga sangat cerdik sekali, Suheng!" Kata si gadis. "Kau sekarang bisa berpikir begitu luas dan jauh... bisa melihat latar belakang dari perbuatan orang-orang Sah Tok Kauw itu... kukira, memang apa yang mereka lakukan bukan sekedar mencari bentrokan dengan kita saja... pasti mereka memiliki maksud-maksud tertentu... aku memiliki dugaan yang sama dengan dugaanmu...!"
Senang hati Cui Seng, "Sumoay... kau terlalu memuji!" Katanya kemudun merendahkan sambil tersenjum-senyum malu bercampur senang.
"Aku bukan sekedar memujimu, Suheng, aku telah mengatakan dari hal yang sebenarnya, dalam urusan ini kau ternyata cukup cerdik! Bukankah jtka akupun melihat kau melakukan suatu pekerjaan tolol, aku akan mengatakan kau tolol?!"
Cui Seng terpaksa mengangguk.
"Benarkah aku sering melakukan perbuatan tolol?!" Dia berpikir di dalam hatinya.
"Nah Suheng.... kukira memang ada baiknya kita menyelidiki keadaan Sah Tok Kauw... jika sudah memperoleh bahan-bahan tentang Sah Tok Kauw, barulah kita pergi menemui Suhu, kalau memang kita berdua merasa tidak sanggup menghadapi mereka. Bagaimana pendapatmu, Suheng!!"
"Begitu juga boleh, Sumoay... kukira memang tidak ada salahnya kalau kita menyelidiki dulu keadaan mereka!" Menjawab Cui Seng dengan segera. "Tapi, yang jelas kita harus hati-hati, kurang waspada berarti kita akan celaka di tangan mereka!!"
"Ya...! Tapi yang perlu dipikirkan dulu, siapakah orang yang telah menolongi kita, orang yang mengenakan pakaian serba putih itu?!" Gumam Lam San kemudian.
Cui Seng juga jadi tertegun, bengong.
"Iya ya...siapakah dia?!" Dia juga menggumam.
"Kau benar-benar tidak pernah mendengar ada seorang pandekar berpakaian serba putih itu?!" Tanya Lam San.
Cui Seng menggeleng. "Sayang tidak pernah Sumoay... sungguh! Untuk melihat mukanya saja aku tidak keburu... sulit sekali. Ginkangnya memang sangat hebat sekali, sehingga tubuhnya seperti juga bayangan yang tidak bisa dilihat dengan jelas, hanya merupakan gumpalan belaka...!"
"Hemmm, siapakah dia?!"
"Ya. siapakah dia?!" menggumam Cui Seng juga, yang ikut-ikutan berpikir seperti Lam San.
Melihat lagak si pemuda, Lam San jadi tertawa bergelak bercampur mendongkol.
"Kau...kau jangan seperti orang to...!" Tapi baru saja ingin menyebut Suhengnya jangan seperti orang tolol, si gadis telah menghentikan kata-katanya, dia meneruskan dengan berkata: "Sudahlah Suheng... mengapa kita harus seperti si tolol menerka-nerka tidak keruan?!"
Suhengnya mengangguk. "Baiklah Sumoay... apakah kita perlu beristirahat saja beberapa hari di sini?!"
Lam San mengangkat bahunya. "Jika memang bukan disini, dimana lagi?!" Tanya dia kepada suhengnya sambil tersenyum. "Tunggu sampai luka kita mulai sembuh, kita pergi ke perkampungaa yang terdekat buat mencari pakaian dan makanan!"
Cui Seng mengangguk. "Ya...kalau memang lukamu sudah mulai sembuh, juga luka-luka sudah membaik, kita boleh pergi ke rumah penduduk dari perkampungan yang terdekat. Kita beli pakaian mereka... kukira mereka tidak keberatan buat menjual pakaian mereka!"
Lam San menggeleng. "Tidak! Jangan!"
"Jangan ?!"Tanya si pemuda heran.
"Ya...kalau kita memperlihatkan diri didepan mereka dengan keadaan seperti ini, tentu mereka akan curiga, akan jadi bahan pembicaraan mereka, jangan-jangan nanti sampai ketelinganya orang-orang Sah Tok Kauw. Lebih baik nanti kita mencurinya secara diam diam, tapi kita tingggalkan beberapa tail sebagai pembayarannya. Dengan demikian mereka tidak mengetahui siapa yang telah mengambil pakaian dan kain mereka, tapi mereka tidak akan marah menguruk, karena telah kita tinggalkan uang buat mereka..!"
Cui Seng tertawa gelak gelak.
"Oooo. Sumoay! Benar-benar hebat kau!'" Pujinya. "Memang kau sangat cerdas sekali!"
Si gadis memang sangat cerdik, tapi dipuji oleh kakak seperguruannya dia tidak jadi bangga, karena memang dia tahu Suhengnya itu tidak mungkin bisa dan mampu bertanding dalam soal kecerdasan dengannya.....
^dwkz^aaa^ MENGAPA Lam San berdua dengan Cui Seng bisa terluka parah seperti itu? Lalu mengapa mereka juga bentrok dengan orangorang Sah Tok Kauw?
Ternyata, Lam San dengan Cui Seng, yang tengah melaksanakan perintah gurunya buat berkelana dan mereka hendak menemui orang tua masing masing, justru tiba di kota Miang-siek-wan, sebuah kota yang tidak begitu besar. Lagak Cui Seng yang agak ceroboh, namun jujur, membuat dia menarik perhatian orang banyak, terlebih lagi memang dia melakukan perjalanan dengan seorang gadis yang sangat cantik seperti Lam San.
Begitu memasuki sebuah rumah makan, Cui Seng telah menggeprak meja. Dia memanggil pelayan dengan suara yang keras berteriak.
Lam San mengerutkan alisnya.
"Suheng, jangan berteriak-teriak begitu!!" Si gadis memperingatinya, karena si gadis merasa malu, mengetahui hampir semua orang yang hadir di dalam rumah makan itu memperhatikan mereka.
"He, apa Sumoay?!" Tanya si tolol sambil merentangkan bibirnya tertawa nyengir. "Aku., aku memang punya suara yang keras...!"
"Iya... tapi ini bukan di gunung, kau tidak perlu bicara bentak-bentak seperti itu, cuma menarik perhatian orang lain saja!"
Cui Seng terdiam. Dia mengangguk. "Baiklah Sumoay..baiklah Sumoay!" Dia bilang dengan suara yang perlahan sekali, seperti orang berbisik, karena melihat Sumoaynya telah melirik ke arah dia dengan mata mendelik.
Sedangkan Lam San jadi mendongkol bercampur lucu melihat lagak Suhengnya. Ditegur dia jadi bicara dengan suara yang begitu perlahan. Benar-benar membuat Lam San jadi tidak habis mengerti, mengapa Suhengnya ini bisa demikian tolol?!
Pelayan telah membawikan makanan yang dipesan Cui Seng dan Lam San, Sepasang muda mudi ini telah bersantap. Lain dengan Lam San yang bersantap dengan tenang dan perlahan-lahan, justeru Cui Seng telah melahap dengan bernafsu dan cepat sekali. Malah dia menghabiskan tiga mangkok nasi, meminta tambah lagi.
Suheng ini memang kuat makan, tapi keadaan dirumah makan itu berbeda dengan keadaan di gunung, maka semua orang memperhatikan Cui Seng, membuat Lam San jadi merasa malu
"Suheng...makannya jangan tergera-gesa begitu!!" Bisik si gadis sambil melirik padanya.
Cui Seng menunda sumpitnya, dia heran dta bingung, karena Sumoaynya bilang dia jangan makan tergesa-gesa.
"Aku tidak tergesa-gesa, Sumoay!!" Katanya, karena dia memang tidak merasa makan dengan cepat.
Mendongkol bercampur lucu hati si gadis.
"Ya, tapi makanlah perlahan-lahan!" Bisik si gadis lagi.
Walaupun belum begitu mengerti mengapa dia ditegur Sumoaynya, tokh Cui Seng mengangguk. Dia juga makan perlahan-lahan, walaupun hatinya jadi tidak puas, sebab begini di tegur, begitu di tegur.
Selesai makan, Cui Seng menggeprak meja, memanggil pelayan.
Tergopoh-gopoh pelayan telah menghampiri.
"Mau tambah apa lagi, Toaya?!" Tanya si pelayan dengan sikap takut-takut karena menyaksikan sikap dan lagak Cui Seng yang agak kasar seperti itu.
Cui Seng bilang ; "Apakah di dekat-dekat sini terdapat rumah penginapan?!" Tanyanya sambil menarik lengan si pelayan.
Karena Cui Seng menarik agak keras, si pelayan jadi terhuyung hampir terjerambab menubruk Cui Seng. Cui Seng sendiri sampai kaget, dia cepat-cepat mendorong dada si pelayan.
"Kau ini apa-apaan sih, seperti orang penyakitan saja! Ditarik perlahan saja sudah nyelonong seperti itu!" Maki Cui Seng mendongkol.
Pelayan itu jadi ketakutan, dia bilang :"Rumah penginapan tidak jauh lagi dari sini Toaya!"
"Hemmm, hitung berapa harga makanan yang telah kami makan!" Kata si pemuda.
Pelayan itu dengan hati berdebar-debar telah memberitahukan berapa yang harus dibayar tamunya ini.
Setelah membayar makanan yang mereka habiskan, Cui Seng mengajak Lam San ke rumah penginapan yang tidak jauh letaknya dari rumah makan itu. Lam San berdiam diri saja, menuruti apa maunya sang Suheng ini.
Ketika tiba di rumah penginapan, sikap Cui Seng pun tetap saja kasar. Dia minta dua kamar pada pelayan.
Berada dalam kamar, Lam San rebah dengan pikiran yang melayang layang. Dia merasa malu jika harus terus menerus melakukan perjalanan dengan Suhengnya yang kasar dan terkadang tidak kenal aturan. Tapi buat meninggalkan Suhengnya, di mana Lam San pernah berpikir hendak melakukan perjalanan seorang diri, dia merasa tidak sampai hati.
"Entah sampai kapan Suheng baru bisa lebih pintar sedikit, tidak terlalu bodoh seperti; sekarang?!!" Pikir si gadis kesal sekali. Dia juga berpikir terus, bahwa Suhengnya ini, yang memiliki kelemahan dengan lagaknya yang kasar dan ketolol-tololan,rapi sesungguhnya selain dari itu tidak ada kekurangannya lagi. Malah wajah Suhengnya termasuk wajah yang disebut tampan, tubuh yang gagah. Kepandaian yang lumayan tinggi. Dan Lam San memang menyukai juga. Juga merasa kasihan padanya. Namun, sikap si pemuda yang sering ketolol-tololan yang menghambat cinta si gadis tidak pernah mau membesar dan membara.
Teringat akan semua itu si gadis menghela napas. Dia jadi ingat juga bahwa Suhengnya itu serinkali memperlihatkan sikap bahwa dia memperhatikan dan mencintai diri si gadis. Kalau saja memang sikap dan lagak diri suhengnya tidak ketolol tololan seperti itu, niscaya dia akan menyambut cinta suhengnya itu dengan sepasang tangan terbuka.
Justeru sekarang ini mereka tengah berada di rumah penginapan tersebut, masing-masing memakai sebuah kamar. Entah apa yang tengah di lakukan oleh Suhengnya itu?!
Apakah suhengnya itupun tengah memikirkannya? Tengah mengingat-ingat juga sigadis? Dan teringat akan hal itu, si gadis jadi tersenyum sendirinya... dia menghela napas dalam-dalam.
Tengah si gadis terbaring dengan pikiran yang menerawang tersebut, justeru di waktu itu terdengar suara pintu kamarnya diketuk seseorang dari luar.
"Siapa?!"Tanya si gadis.
"Saya...pelayan!" Menyahuti orang di luar
"Mau apa?!" "Mau mempersiapkan Kouwnio air teh...!" menyahuti pelayan di luar kamar.
Si gadis melompat turun dari pembaiingan dengan segan, kemudian dia telah membukakan daun pintu itu.
Namun begitu daun pintu terbuka, seketika melompat masuk beberapa sosok tubuh dengan gerakan yang sangat lincah, yang segera menghantam si gadis dengan tangan dan senjata tajam.
Tentu saja Lam San jadi kaget. Untung saja dia memang liehay, dia bisa menghindarkan diri dari semua serangan itu, walaupun dia telah diserang dengan cara membokong seperti itu.
Beberapa kali tubuh si gadis melegak kesana kemari dengan lincah sekali, dia telah menghadapi lawan-lawannya yang tidak dikenalnya itu dengan baik.
Jumlah orang yang menyerangnya itu tujuh orang, semuanya sudah mencekal senjata tajam yang terhunus dan menyerang dengan telengas setali, karena senjata mereka selalu menyambar kebagian-bagian yang mematikan di tubuh si gadis.
Lam San gusar bukan main, sambil menghalau serangan serangan lawannya, berulangkali dia menbentak : "Siapa kalian?? Mengapa kalian menyarangku? Hentikan!"
Tapi ketujuh orang itu tidak mau menghentikan serangan mereka. Salah seorang yang berewok telah membentak dengan suara yang bengis : "Kau jangan rewel! Kalau memang kau mau menyerahkan diri secara baik-baik, kami baru akan menghentikan serangan kami...!"
"Menyerah pada kalian?!" Tanya si gadis dengan suara sinis, dia gusar bukan main. Lawannya ini semua menyerang dengan cara membokong, sekarang tanpa hujan tanpa angin, justeru dirinya diminta menyerah tanpa syarat dan akan ditawan oleh mereka. Bukankah ini suatu perbuatan yang keterlaluan sekali? Bukankah ini merupakan suatu penghinaan?
Maka tanpa buang waktu, seketika Lam San mengempos semangatnya. Walaupun dia tidak mencekal senjatanya, yaitu pedangnya, yang masih menggeletak di atas pembaringannya, si gadis sudah menghadapi lawan-lawannya itu dengan hebat. Dia mengempos lwekangnya, menggerakkan sepasang tangannya, mencekeram dan menonjok. Meninju dengan diiringi oleh lwekangnya yang kuat sekali.
Biarpun lawannya itu berjumlah tujuh orang, tokh mereka tampaknya tidak bisa berbuat banyak terhadap si gadis, yang selalu berhasil menghadapi mereka dengan mudah.
Tubuh Lam San melesat kesana kemari dengan lincah, sehingga pedang lawannya setiap kali menyambar, tentu menikam tempat kosong.
Waktu itu rupanya salah seorang dari ketujuh orang itu sudah tidak sabar, karena dengan diiringi suara bentakan yang sangat bengis sekali, telah menerjang maju, pedangnya di putar. Dia berseru :"Hemmm, kalau memang kau rubuh di tangan kami, maka kami akan mencincang tubuh kau, gadis hina!"
Bukan kepalang herannya Lam San. Karena semua orang itu, para pengeroyoknya memang tengah menyerangnya dengan gusar dan telengas sekali, tentunya di dalam urusan ini terjadi salah paham.
"Hentikan dulu!! Tunggu! Aku ingin bicara!" Teriak si gadis kemudian dengan suara yang nyaring.
"Hemmm, sebelum kau kami ringkus, kami tidak akan menghentikan penyerangan kami!" Mengejek salah seorarg dari ketujuh orang pengeroyok Lam San tersebut.
"Kalian telah salah paham..... kalian salah mengenali orang!!" Teriak Lam San dengan suara nyaring. "Aku tidak kenal dengan kalian... dan juga tidak pernah bentrok dengan kalian!"
Ketujuh orang itu tertegun sejenak. Salah seorang di antara mereka menahan pedangnya. Sepasang alisnya telah mengkerut dalam-dalam. Namun akhirnya dia bilang :"Tapi Im Yang Sianghiap perintahkan kita untuk membekuk dia dan kawannya, si pemuda yang di kamar sebelah itu....!!" Menggumam dia. Sedangkan kawan-kawannya mengangguk
"Benar...!" Katanya kemudian. "Lebih baik kita bekuk dulu dia, katau memang kita salah mengenali orang, bukankah mudah saja kita melepaskannya?!" Kata yang lain.
Maka, dengan isyaratnya itu, semua teman temannya telah menyerbu lagi menyerang kepada si gadis.
Semula waktu melihat ketujuh orang penyerangnya itu telah berhenti mengepungnya, si gadis jadi girang. Dia yakin, tentu ketujuh orang itu telah salah mengenali orang.
Namun siapa sangka, justeru sekarang ketujuh orang itu telah menyerangnya pula. Malah, mereka menerjang dengan pedang masing-masing telengas sekali.
Si gadis mengempos semangatnya, dia harus melayani ketujuh orang itu dengan hati-hati. Selain jumlah mereka timpang, juga memang si gadis kepung di tempat yang sempit seperti kamar itu, membuat dia tidak leluasa untuk bergerak. Sedangkan ketujuh orang itu sudah menyerang dengan semakin bengis dan telengas, mereka sudah mendesak semakin mempersempit ruang gerak si gadis.
Akhirnya, karena merasa dirinya terdesak, gadis membentak nyaring sekali, dia menghantam dengan kedua telapak tangannya. Angin pukulan itu kuat luar biasa.
Dua orang lawannya menyingkir.
Justeru mempergunakan kesempatan itu, si gadis menerobos keluar dari kepungan. Kakinya menjejak lantai, maka tubuhnya melambung ke tengah udara dan menuju kepembaringannja. Tangannya telah menyambar pedangnya sebelum kakinya hinggap di lantai.
Dengan adanya pedang di tangannya, si gadis kini seperti juga naga yang tumbuh sayap; Pedangnya itu berkelebat-kelebat dengan cepat sekali dan liehay bukan main. Malah, sinar pedang itu seperti juga mengepung ketujuh orang lawannya.
Ketujuh orang pengepungnya kaget. Semula mereka tidak memandang sebelah mata kepada Si gadis, yang dianggapnya tentu tidak memiliki kepandaian berarti. Namun siapa sangka, justeru di waktu itu mereka telah kena di desak oleh si gadis, dan ketujuh orang itu tidak sanggup menghadapi serangan serangan si gadis. Mereka main mundur dan tidak memiliki kesempatan buat membalas menyerang lagi kepada gadis itu.
Lam San tertawa dingin. Berulangkali dia membentak, dibarengi dengan pedangnya yang selalu menyambar dengan hebat sekali. Sedangkan lawan-lawannya semakin terdesak.
Waktu ketujuh orang itu berusaha mengadakan perlawanan, terdengar jeritan yang menyayatkan hati, karena seorang di antara mereka telah kena tertikam pundaknya, tembus sampai ke belakang punggungnya. Tubuh orang itu terhuyung dengan muka yang pucat. Keenam orang kawannya kaget, mereka meluruk akan mengepung ketat pada Lam San, agar si gadis itu tidak sempat buat mendesak teman mereka yang sudah terluka.
Sedangkan orang yang pundaknya terluka berdiri sejenak di tempatnya dengan muka pucat, dia tidak berani menerjang maju lagi.
Malah, diWaktu itu dia sudah mengeluarkan suara bentakan nyaring, bukannya menerjang maju, dia lari keluar kamar!
Lam San tahu, orang itu pasti akan memanggil teman-temannya yang lain, si gadis jadi mengeluh.
Keenam orang pengeroyoknya masih terus melancarkan serangannya, karena mereka benar benar sangat murka, melihat kawan mereka telah berhasil dilukai Lam San. Karenanya juga mereka tidak mau melepaskan gadis itu dari kepungan mereka. Pedang mereka seperti hujan, deras sekali menerjang kepada Lam San, dari berbagai penjuru.
Waktu itu tampak Lam San masih dapat menghadapi mereka dengan baik, karena ilmu pedang si gadis tidak mengecewakan, dia liehay sekali, ditambah lagi dengan ginkangnya yang hebat....
Justeru waktu Lam San tengah bertempur menghadapi keenam orang lawan-lawannya itu, mendadak terdengar bentakan :"Mundurlah kalian!!"
Keenam orang pengepung Lam San jadi girang bukan main, mereka berseru nyaring dan melompat mundur, kemudian mereka keluar dari kamar itu, berdiri di belakang si nenek tua yang membentak tadi.
Lam San memperhatikan nenek tua itu. Seorang nenek tua yang sangat mengerikan sekali. Muka renek itu telah rusak. Tubuhnya juga agak bungkuk. Tapi, Lam San menyadari bahwa nenek tua ini sangat liehay tentunya. Bukankah keenam orang itu sangat patuh sekali kepada perintah nenek tua tersebut. Maka dari itu, Lam San telah bersikap jauh lebih hati-hati, dia mencekal pedangnya erat-erat, dia juga bersiap-siap untuk menerima segala macam serangan dari si nenek.
"Siapakah kalian, mengapa memusuhi aku?!" Bentak Lam San kemudian setelah bisa menenangkan goncangan hatinya.
Si nenek tua yang mukanya menakutkan itu tidak segera menyahuti, dia tertawa hehehehe, kemudian setelah puas tertawa begitu barulah dia bilang :"Hemmm, kami dari Sah Tok Kauw; Kalau memang kau ingin menerima perlakuan yang baik, buanglah pedangmu dan menyerahlah untuk kami tawan!" Dingin sekali suara nenek itu.
Si gadis tentu saja gusar.
"Hemmm, Walaupun harus mati, tetap aku akan mengadakan perlawanan! Belum tentu kalian bisa menghadapiku"
Sambil berkata begitu, Lam San mengibaskan pedangnya ke tengah udara, maka pedang itu mengaung dengan suara yang sangat nyaring sekali.
Nenek tua itu tidak memandang sebelah mata terhadap gadis ini, dia malah tertawa hehehe lagi dengan sikap mengejek.
"Kepandaian bangpak seperti itu jangan diperlihatkan kepadaku!" Kata si nenek. Membarengi dengan kata-katanya itu dia telah menjejakkan kakinya, tubuhnya melesat dan tahu-tahu telah berada di samping si gadis. Dia bisa bergerak begitu cepat dan lincah sekali, menunjukkan ginkangnya memang tinggi luar biasa.
Lam San sendiri sampat terkejut dan hatinya tercekat.
"Dia tangguh sekali, aku harus hati-hati.....!" Namun Lam San tidak bisa berpikir terlalu lama, karena di waktu itu justeru tangan si nenek tua telah menyambar dekat sekali ke arah matanya.
Lam San mragelak. Pedangnya menyambuti tangan si nenek. Namun, belum lagi pedang itu bisa menangkis, tangan si nenek telah lenyap, karena si nenek aneh itu menarik pulang tangannya. Dia belum lagi Lam San menyadari apa yang terjadi, dia mendengar suara "breet!" yang nyaring sekali, rupanya pundaknya kena dicakar oleh jari-jari tangan si nenek yang memiliki kuku-kuku sangat panjang.
Lam San kaget tidak terhingga, dia merasa pedih pada pundaknya. Dia juga melihat pakaiannya koyak dan darah telah mengucur. Maka dengan sikap seperti kalap, Lam San telah menikam dengan pedangnya. Tikaman yang di lakukan Lam San bukan tikaman yang sembarangan, karena memang dia tengah kalap dan murka, dia telah menikam dengan jurus yang paling tangguh dari pintu perguruannya, yaitu Thian San Kiam Hoat.
Si nenek mengerutkan alisnya. "Hemm, Thian San Kiam Hoat!" Kata si senek dengan suara yang dingin, yang rupanya mengenali ilmu pedang si gadis.
Waktu itu, tangan si nenek berulangkali menyambar kesana kemari, setiap tikaman si gadis bisa dielakkan, tapi cakaran tangan si nenek justeru tidak bisa dielakkan oleh Lam San.
Tubuh Lam San kena dicakar berulangkali, sehingga tubuhnya luka-luka oleh cakaran itu. Tidak jarang daging, dan kulit tubuhnya sempal oleh si nenek.
Diserang terus menerus seperti itu membuat Lam San benar benar jadi terdesak dan mulai panik. dia tahu, kalau dia mengadakan perlawanan terus, niscaya akhirnya dia akan kehabisan tenaga, dia pun akan dirubuhkan si nenek, tanpa dia bisa berbuat apa-apa terhadap si nenek yang memang tampaknya memiliki kepandaian sangat tangguh sekali. Karena dari itu, dia memutar pedangnya, dia mengurung dirinya dengan sinar pedangnya itu, dia ingin mengadakan penjagaan diri yang ketat sekali. Namun memang nenek tua itu Liehay sekali, dia masih tetap bisa mendesak dan melihatkan Lam San dengan cakaran-cakarannya yang tidak pernah hentinya.
Lam San mengeluh, dia berpikir keras dan berusaha meloloskan diri dari si nenek. Cuma saja, waktu itu si nenek masih terus menyerang tidak hentinya. Dan juga, memang tampak jelas, dalam waktu singkat Lam San akhirnya bisa dirubuhkan si nenek.
Sedangkan Lam San sendiri mulai merasakan tubuhnya sakit-sakit oleh luka cakaran si nenek, yang telah mengoyakkan tubuh maupun pakaiannya. Malah rambut Lam San telah terlepas dari gulungannya, teriap panjang, keadaan Lam San jadi tidak keruan, terlebih lagi dengan luka-luka di sekujur tubuhnya, membuat dia benar-benar dalam keadaan yang sangat mengenaskan sekali.
Tapi, nenek tua dengan muka yang mengerikan itu terus juga mencakar dan menyerang Lam San, membuat Lam San semakin bertambah lukanya.
Namun Lam San mati-matian memberikan perlawanan terus, dia memutar pedangnya semakin cepat, dia mempergunakan jurus-jurus simpanannya, karena dia tahu bahwa tangan nenek tua bermuka menyeramkan itu sangat telengas sekali, sekali saja dia terjatuh ke dalam tangan si nenek tua tersebut, niscaya dia akan di siksa ampai mati.
Karenanya juga, Lam San telah berusaha mempertahankan dirinya terus, walaupun tenaganya semakin berkurang dan dia semakin lemah.
Nenek tua bermuka buruk itu tampak girang bukan main.
"Hemmm, tadi kau disuruh menyerah secara baik baik, tapi kau tidak mau. Sekarang walau pun kau mau menyerah baik-baik, itu sudah terlambat!" Kata si nenek tua dengan suara menyeramkan.
Waktu itu tampak Lam San sudah terhuyung buyung, karena merasakan matanya berkunang kunang, kepalanya pening bukan main, rupanya dia sudah kekurangan darah. Sedangkan tangan, si nenek masih menyerang gencar kepadanya, membuat lukanya semakin parah, bajunya tambah koyak-koyak.
Lam San mengeluh. Dia tahu, dalam waktu tidak lama lagi dia pasti akan rubuh dengan sendirinya dan akan menjadi korban kebengisan si nenek tua bermuka menyeramkan itu.
Dalam keadan sangat terancam bagi keselamatan si gadis justeru mendadak sekali dari luar telah menerobos masuk sosok bayangan putih. Malah, enam orang laki laki bertubuh tinggi tegap teman si nenek jumpalitan kena dihajar oleh sosok tubuh berpakaian putih itu. Yang seorang lagi, memang sudah terluka pundaknya oleh tikaman pedang Lam San, tengah duduk di sudut luar pintu kamar, jadi tidak terhajar, dia tetap duduk dengan mata terbuka lebar-lebar takjub, karena menyaksikan enam orang temannya telah jumpalitan seperti itu,


Totokan Jari Tunggal It Yang Cie Karya Sin Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Si nenek tua bermuka menyeramkan menjerit murka, tangannya menyambar berulang-kali kepada sosok tubuh baju putih itu, yang berkelebat-kelebat seakan mempermainkan si nenek;
Tentu saja hal ini membuat Lam San sejenak bisa beristirahat, untuk memulihkan tenaga dan semangatnya. Dia melihatnya betapa sosok bayangan putih itu bergerak secepat angin, sehingga sulit melihat jelas keadaan dan mukanya.
Tengah Lam San bengong seperti itu,sosok tubuh baju putih itu sudah berseru "Mengapa kau bengong saja di situ? Ayo angkat kaki!!"
Lam San tersadar dari bengongnya, apa lagi dia melihat enam orang anak buah si nenek sudah menyerbu masuk kedalam kamar, untuk ikut mengeroyok, senjata mereka telah teracungkan untuk menyerbu dan menikam maupun menabas kearah sosok bayangan putih itu.
Lam San tidak buang-buang waktu segera menerobos keluar. Orang yang pundaknya terluka ketika melihat Lam San hendak melarikan diri keluar kamar, dia melompat berdiri hendak merintangi. Lam San yang tengah panik, karena ingin meloloskan diri secepatnya, membentak nyaring, telapak tangan kirinya menghantam ke depan.
Telak sekali telapak tangannya mengenai dada orang itu, yang jadi terpental. Dia menjerit keras dan juga terbanting hampir jatuh menggelinding di anak tangga.
Lam San tidak buang waktu lagi segera melarikan diri keluar rumah penginapan itu. Hari telah malam dan gelap sekali. Si gadis tidak tahu arah mana yang mesti di ambil, dia berlari terus sekuat tenaganya.... dia merasakan seluruh tubuhnya sakit-sakit dan juga tenaganya seperti mau habis. Namun dia mengeraskan hatinya, dia berlari terus....terus berlari, dengan sisa tenaga yang ada padanya, tanpa mengetahui lagi kemana dia harus pergi. Yang diketahuinya saat itu adalah berlari terus, lari, lari, lari, terus..... sejauh mungkin, agar musuh musuhnya tidak bisa mengejarnya. Dia masih belum bisa memastikan bahwa sosok bayangan putih itu, tuan penolongnya, akan sanggup menghadapi lawan-lawannya jika memang si nenek dengan enam orang anak buahnya mengeroyoknya, maka Lam San hendak menyingkirkan diri sejauh mungkin...
--dwkz^aaa-- APA yang dialami Lam San rupanya dialami juga oleh Cui Seng, karena dia pun telah didatangi oleh seorang kakek dan tujuh orang bertubuh tinggi besar di kamarnya. mereka tanpa banyak bicara sudah menyerang Cui Seng, yang membuat pemuda itu mati-matian berusaha menghadapi lawan-lawannya yang tidak dikenalnya.
Namun, kepandaian kakek tua itu hebat sekali, dalam waktu singkat Cui Seng sudah berada di bawah angin dan ia terdesak hebat, malah kemudian terluka berat di bagian luar tubuhnya. Karena itu, dia mati-matian mengadakan perlawanan. Malah pemuda ini sudah berpikir, kalau perlu dia akan mengadu jiwa dengan lawan lawannya tersebut.
Kakek itu yang menyebut-nyebut dirinya dari Sah Tok Kauw, terus juga membuat si pemuda terdesak hebat, dan luka di tubuhnya semakin bertambah dengan pakaiannya yang sudah semakin koyak koyak.
Terakhir, Cui Seng merasakan dia sudah tidak sanggup lagi menghadapi lawan-lawannya itu, dia mengeluh, karena dia tidak sempat untuk berteriak memanggil Lam San, agar datang membantunya, sebab kepandaian Sumoaynya itu memang lebih tinggi darinya. Si kakek tidak memberikan kesempatan padanya untuk memanggil adik seperguruannya itu, serangan si kakek dan tujuh orang bertubuh tinggi besar itu terlalu gencar sekali, membuat Cui Seng sibuk sekali mengelak kesana kemari....
Dalam keadaan terancam, mendadak muncul sesosok bayangan putih, yang menerobos masuk ke dalam kamar dan memberikan bantuan kepada Cui Seng. Kepandaian sosok tubuh putih itu hebat sekali, dia merintangi si kakek dan ketujuh orang anak buahnya, menganjurkan Cui Seng untuk segera angkat kaki melarikan-diri.
Cui Seng semula ragu-ragu, namun akhirnya disebabkan luka-lukanya yang memang cukup parah, si pemuda juga merasakan tenaganya habis, dia telah berlari keluar kamar. Tidak dapat dilihat jetas muka penolongnya, karena gerakan sosok tubuh baju putih itu memang sangat gesit sekali seperti terbang.
Dia pergi kekamar sebelah. Tiba-tiba dia disambut serangan si nenek bermuka buruk dan beberapa orang anak buahnya.
Cui Seng jadi kaget. "Ayo cepat pergi!" Teriak sosok tubuh baju putih itu, yang segera melesat kearah Cui Seng, melindungi lagi, dan membendung si nenek maupun si kakek agar mereka tidak bisa mengejar Cui Seng.
Sekali ini Cui Seng tidak buang waktu untuk melarikan diri. Semula dia ingin pergi ke kamar sebelah untuk memanggil Sumoaynya, tapi sekarang dia sudah tidak memiliki kesempatan lagi buat memanggil Sumoaynya. Terlebih lagi sosok tubuh baju putih itu sudah berteriak : "Sumoaymu sudah pergi lebih dahulu......susullah dia!"
Cui Seng tidak berdaya untuk melakukan lainnya, dia hanya bisa mempercayai begitu saja keterangan orang berbaju putih yang tidak bisa dilihat mukanya, dia berlati sekuat sisa tenaganya. Dan dia merasakan matanya berkunang kunang, dari lukanya darah mengucur cukup deras. Tapi Cui Seng mengerahkan seluruh sisa tenaganya dan menggigit bibirnya, dia belari sekuat tenaganya.
Di waktu itu tampak betapa hari sudah gelap pekat karena malam telah larut. Tubuh Cui Seog menggigil. Lukanya yang kena diterpah Oleh angin malam, terasa pedih sekali. Namun Cui Seng tidak bisa berbuat lain, dia hanya berlari sekuat sisa tenaganya, karena pada saat itu yang diketahuinya hanyalah berlari sejauh mungkin....
Pandangan mata Cui Seng semakin berkunang kunang, dia sudah tidak bisa mengenali lagi arah mana yang ditempuhnya, dia hanya berlari terus, asal berlari dengan tenaga yang masih ada, sampai akhirnya dia tidak tahan lagi, tidak kuat pula, dia terjungkel rubuh.....digerombolan pohon.....
Antara sadar tidak sadar, meriang dan menggigil karena hawa malam dan juga tubuhnya yang luka-luka tidak ringan itu, membuat Cui Seng tanpa dikehendaki telah merintih..... dia tidak tahu apa-apa lagi, sampai akhirnya dia bertemu dengan Lam San, Sumoaynya yang keadaannya sama seperti dia, dalam keadaan terluka parah....!
(dewikz^aaa) FAJAR telah menyingsing, matahari pagi pun sudah mulai mamancarkan sinarnya yang kemilau. Lam San berdua dengan Cui Seog jadi merangkak ke tengah hutan itu, agar tidak terlihat orang.
Karena luka di tubuh mereka telah diborehi obat luka, segera bisa pulih sebagian tenaga dalamnya dan mereka sudah bisa berjalan; Mereka duduk berhadapan saling tatap, karena mereka bingung sekali.
Baik Lam San maupun Cui Seng, justeru buntalan mereka berdua sama-sama tertinggal di rumah penginapan.
"Hemmm.... kalau pada saat seperti sekarang ada orang yang melihat keadaan kita, niscaya mereka akan anggap kita adalah orang-orang gila!" Kata Lam San sambil menyengir pahit.
Cui Seng mengangguk; "Benar Sumoay.... mengapa kita harus mengalami peristiwa seperti ini!! Kita tidak kenal dengan orang orang Sah Tok Kauw, tapi mereka memusuhi kita! Sungguh aneh sekali...! Apakah dibalik peristiwa ini terdapat sesuatu yang penting?!"
Lam San mengangguk. "Waktu nenek itu dengan anak buahnya mengepungku, sudah kuberitahukan pida mereka, bahwa mereka salah mengenali orang, namun mereka tetap menyerangku, malah semakin ganas. Mereka tampaknya seperti juga hendak membinasakan aku atau jika bisa menangkap hidup-hidup.....!"
Setelah berkata begitu, si gadis menghela napas. Hatinya tergetar, dia menggidik ingat kepada nenek tua yaug mukanya menyeramkan itu, yang hampir saja mencelakainya.
Cui Seng berpikir terus, tapi dasar otaknya memang agak bebal, dia tidak berhasil memecahkan persoalan ini.
"Tugas kita sudah tinggal dua lagi!" Kata Lam San pada akhirnya dengan suara perlahan. "Yaitu memberitahukan pada dua orang Ciangbunjin dan dua perkumpulan silat, bahwa mereka diundang oleh guru kita.... setelah itu selesai! Kalau memang tidak terjadi peristiwa macam ini, niscaya kita sudah bisa melakukan perjalanan untuk menemui mereka..! Hai! Kalau Sampai peristiwa ini diketahui orang, betapa malunya kita. Murid Thian San telah dirubuhkan dan dipermainkan oleh segolongan orang yang tidak kita kenal.....malah telah ditolongi oleh seseorang yang tidak kita kenal pula! Hemm, kalau tidak ada tuan penolong itu, niscaya kita akan mati!"
Cui Seng mengangguk. "Ya, kita telah memberitahukan pesan Suhu kepada Ciangbunjin Hoa San Pay, lalu Ciangbunjin Ko San Pay. Juga Ciangbunjin Thay San Pay maupun Ceng Shia Pay harus diberitahukan pesan Suhu. Sekarang sebelum tugas selesai, kita sudah mengalami peristiwa ini...!"
Setelah berkata begitu, Cui Seng menghela napas dalam dalam. Dia memang bingung, dan sama sekali dia tidak mengerti, mengapa si nenek maupun si kakek yang menyerang dia atau Sumoaynya itu memusuhinya.
Sedangkan Lam San tiba tiba memukul lututnya.
"Apakah bukan disebabkan mereka memusuhi pintu perguruan yang hendak kita hubungi?!" Tiba tiba si gadis menggumam perlahan.
"Apa?!" Tanya Cui Seng tidak mengerti. Si gadis menghela napas.
"Aku curiga, jangan-jangan orang-orang yang telah mengeroyok kita adalah musuh-musuh dari pintu perguruan silat yang hendak kita hubungi, mereka berusaha merintangi perjalanan kita, kalau bisa membinasakan kita! Mungkin juga Sah Tok Kauw dalam persoalan ini memiliki suatu tujuan atau maksud tertentu."
Cui Seng memandang bengong kepada Sumoaynya, karena dia belum mengerti apa yang dimaksudkan Sumoaynya tersebut.
"Sesungguhnya.....!" Kata Lam San lagi;
"Beberapa waktu yang lalu akupun sudah ber-curiga, karena ada saja orang yang berusaha merintangi perjalanan kita....!"
Cui Seng baru mengerti sebagian. "Jadi kau ingin maksudkan bahwa kita akan dirintangi terus oleh orang-orang Sah Tok Kauw?!" Tanyanya.
"Kukira begitu....kalau memang mereka mengetahui kita masih hidup, mereka tentunya akan berusaha mencari terus, agar kita bisa mereka tawan atau binasakan....."
"Hemmm, kalau dsmikian kita selanjutnya harus hati-hati!" Kata Cui Seng.
"Itu sudah jelas!" Kata Lam San. "Kalau kita tidak hati-hati, tentu kita akan menjadi korban mereka....!"
Setelah berkata begitu si gadis duduk termenung dengan sepasang alis mengkerut dalam-dalam.
Cui Seng yang memang agak bebal otaknya ketika melihat Sumoaynya duduk terpekur, bengong seperti itu, jadi ikut-ikutan bengong. Dia tidak tahu apa yang harus dipikirkannya, karena memang dia sendiri heran serta bingung menghadapi urusan seperti ini. Dia lebih mempercayai si gadis yang memecahkan persoalan tersebut, karena dia yakin si gadis sangat cerdik dan otaknya sangat cerdas, nanti juga si gadis akan mengetahui sebab-sebab mengapa mereka dimusuhi oleh orang-orang Sah Tok Kauw.
Lama juga si gadis duduk bengong, matahari semakin tinggi naik dan menyinari bumi.
Rupanya Cui Seng sudah tidak sabar, dia mengawasi Sumoaynya, sampai akhirnya dia bertanya :"Sudah, Sumoay?!"
Lam San menoleh kepada Suhengnya.
"Sudah apanya?!"
"Apakah kau sudah memikirkannya?!"
"Memikirkan apa?!" Tanya si gadis mendongkol, karena sikap Cui Seng yang ketolol-tololan seperti itu.
"Maksudku......maksudku......!" Cui Seng jadi gugup sekali.
"Maksudmu apa?! "Tanya si gadis. "Kok kau tampaknya jadi begitu to....." Tapi si gadis tidak meneruskan perkataannya, sebetulnya dia mau menyebut bahwa Suhengnya mengapa mendadak jadi begitu tolol. Namun dia ingat, tidak baik dia menyakiti hati Suhengnya, maka dia tidak meneruskan perkataannya itu.
(dewikz^aaa) Jilid 14 WAKTU itu Cui Seng coba menenangkan hatinya, dia berusaha menindih kebingungannya, dia bilang : "Kalau memang kau sudah berhasil memecahkan persoalalan yang tengah kita hadapi ini......aku ingin sekali mendengar, siapakah dan apa maksud orang orang yang katanya berasal dari Sah Tok Kauw dan mengapa mereka memusuhi kita?!"
"Aku mana tahu? Bukankah kita sama sama berada di sini dan belum lagi menyelidikinya?!" Kata Lam San.
Cui Seng menghela napas. "Akh!" Dia menepuk keningnya keras sekali beberapa kali. "Benar-benar memang aku ini manusia yang paling goblok......!"
Lam San jadi tidak tega melihat sikap kakak seperguruannya itu. Maka dia tersenyum.
"Suheng.....sebetulnya kau tidak bodoh! Tapi, kau terkadang tidak mau memikirkan persoalan dengan baik. Karena itu kau suka bicara seenakmu saja! Tapi kalau memang kuperhatikan, kau sesungguh sangat cerdas, asal kau mau berlaku lebih teliti, juga mau lebih cermat dalam memikirkan sesuatu persoalan...!"
Senang hati Cui Seng, dia berhenti menepuk nepuk keningnya. Dengan muka berseri dia bertanya :"Benarkah Sumoay? Benarkah itu?!"
Lam San mengangguk. "Aku tidak perlu mendustaimu... jika memang kelak kau mau berlaku lebih cermat untuk mengurus suatu persoalan, niscaya kau bisa untuk mengatasi segala macam kesulitan...!"
Cui Seng tambah senang. "Kata-kata dan nasebatmu akan kusimpan didalam hatiku, agar kelak setiap menghadapi kesulitan, aku jadi tidak gugup dan bisa berlaku lebih cermat!!"
"Bagus! memang Suheng harus merobah sikapmu yang ceroboh itu!" Kata si gadis.
Setelah berkata begitu, dia menghela napas berulangkali, Lam San duduk bengong lagi.
Karena tadi sudah terbentur batunya, kini Cui Seng tidak banyak bertanya, walaupun dia melihat Lam San duduk termenung dengan sikap terpekur begitu.
Cui Seng duduk terpekur juga, hanya sekali sekali dia melirik kepada Lan San. Tidak sepatah katapun juga yang meluncur keluar dari bibir Cui Seng, karena dia takut salah bicara lagi.
Tiba-tiba Lam San memukul lututnya. "Akhhh!" Mengeluh si gadis.
Hati Cui Seng tergerak, dia terlompat dan bibirnya bergerak hendak menanyakan mengapa si gadis bersikap seperti itu. Namun, seketika dia menahan diri. dia telah berusaha membendung suara yang sebetulnya sudah sampai di tenggorokannya. Dia tidak mau kalau nanti dia salah lagi dalam bertanya. Maka dia jadi batal bertanya, dia diam saja mengawasi si gadis.
Si gadis she Thia jadi merasa kasihan ketika menyaksikan kelakuan Suhengnya. Dia mengetahui Suhengnya, sebetulnya hendak bertanya sesuatu padanya, tapi dia tidak jadi menanyakannya, membatalkannya karena takut diomeli si gadis lagi. Tanpa terasa Lam San jadi tersenyum.
"Suheng......benar-benar aku tidak mengerti!" Kata Lam San kepada Suhengnya.
Cui Seng batuk batuk beberapa kali, dengan hati hati dia bertanya: "Apa yang tidak di mengerti olehmu?!"
"Kau ingat tuan penolong kita itu?!"
Cui Seng mengangguk. "Yang mengenakan baju putih dan wajahnya sulit di lihat karena ginkangnya yang tinggi sekali, sehingga kita tidak bisa melihat mukanya. Bukankah begitu?!?"
Cui Seng mengangguk. "Benar Sumoay.....!" Dan Cui Seng tetap tidak berani banyak bertanya, karena dia takut salah bicara.
"Justeru yang membuat aku tidak mengerti, Siapakah sebenarnya orang itu? Memang dia menolong kita? Dari pintu perguruan manakah orang berbaju putih itu? Sudah tua atau masih muda usianya?!"
Cui Seng jadi bengong. "Benar Sumoay....aku juga berpikir sama seperti kau! Aku sejak tadi memikirkan siapakah orang berbaju putih itu, yang sudah menjadi tuan penolong kita.....!"
"Hemmm, inilah benar benar teka-teki yang membingungkan sekali, karena di lain pihak orang memusuhi kita, sedangkan di pihak lain membela kita! Kini kita tengah berhadapan dengan dua golongan, golongan yang pertama adalah Sah Tok Kauw, sedangkan golongan yang satunya lagi adalah penolong kita yang berpakaian serba putih itu....!"
"Tapi yang pasti orang yang mengenakan baju putih itu tidak bermaksud buruk pada kita, bukan?!" Kata Cui Seng. "Dia adalah tuan penolong kita, dia yang menyelamatkan kita...!"
"Belum tentu!" Menggeleng si gadis.
"Belum tentu? Apa maksudmu Sumoay?!"
"Aku bilang belum tentu orang yang mengenakan baju putih itu adalah kawan, dan dia belum tentu tidak memusuhi kita! Justeru bisa saja terjadi dia bentrok dengan orang Sah Tok Kauw dan tidak menginginkan kita jatuh ke tangan orang-orang Sah Tok Kauw, karena dia menghendaki kita jatuh di tangannya!"
"Apa?!" Cui Seng mengawasi Lam San dengan mata terpentang lebar lebar dengan perasaan heran
"Hemmm, ingatkah kau, begitu dia muncul, segera mengharuskan kita melarikan diri?!" Cui Seng mengangguk.
"Benar Sumoay...lalu?!"
"Lalu dia membiarkan kita pergi, Sedangkan dia sendiri menghadapi semua orang Sah Tok Kauw itu..! Hm, kepandaiannya memang tinggi sekali. Jika memang dia hendak menolong! kita, tentu ya tidak perlu dia menganjurkan kita menyingkir, bisa saja kita berdiam di tempat, malah kalau perlu kita juga turun tangan membantunya. Walaupun dia liehay, tapi dengan dibantu oleh kita tentunya baginya lebih mudah menghadapi orang-orang Sah Tok Kauw itu. Lalu, mengapa dia malah menyuruh kita untuk pergi angkat kaki?!"
Cui Seng merasakan kepalanya jadi puyeng. Dia memang tidak bisa berpikir terlalu banyak. Dia bingung kalau menghadapi persoalan yang rumit. Sekarang si gadis telah mengemukakan berbagai dugaan dan juga pikirannya, maka membuat Cui Seng tambah puyeng.
"Jadi kau tidak bisa melihat keganjilan ini?!" Tanya Lam San waktu melihat Suheng-nya hanya berdiam diri dengan muka yang kusut seperti orang yang kepusingan.
Cui Seng mengangguk, tidak berani dia bilang apa-apa. Dia takut salah bicara.
Lam San menghela napas dalam-dalam.
"Tahukah kau, jika kita tetap berdiam di rumah penginapan itu, maka kita akan memperoleh sesuatu. Itulah yang tidak diinginkan oleh orang berbaju putih itu."
"Apa? Kalau kita berdiam terus di rumah penginapan itu, kita akan memperoleh sesuatu?!"
"Benar?!" "Apakah itu Sumoay? Maukah kau memberitahukan kepadaku?!" Tanya Cui Seng jadi tambah heran dan bingung.
"Hemm, justeru kalau kita berdiam terus disitu, berarti kita akan mengetahui siapa orang berbaju putih itu, kita akan bisa melihat mukanya!" Menyahuti si gadis.
"Benar!" Teriak Cui Seng tiba-tiba sekali, malah tangannya menghantam kepalanya sendiri. "Benar benar tolol aku! Coba aku berdiam terus disitu, bukankah aku jadi bisa mengetahui siapa sebenarnya orang berbaju putih itu, sehingga tidak perlu menduga-duga seperti sekarang?!"
Lam San tersenyum senang. "Nah lihatlah, kau cerdik sekali Suheng... tidak salah bukan perkataanku?!"
Suheng itu jadi girang, mukanya berseri-seri, "Sumoay, terima kasih atas petunjukmu!! Memang aku tolol sekali, aku sampai tidak mengetahui hal itu...!" Kata Cui Seng. "Tapi Sumoay sekarang yang jadi tanda tanya, mengapa orang berbaju putih itu takut dilihat mukanya oleh kita?!"
Lam San mengangkat bahunya.
"Aku mana tahu? Justeru aku belum bisa memecahkan persoalan ini keseluruhannya, hanya menduga duga saja. Dan apa yang kuduga kali ini pun belum tentu benar. Mungkin saja dia bukan disebabkan takut terlihat mukanya. Tapi, kalau memang dugaanku itu benar, lalu mengapa dia harus takur mukanya dilihat oleh kita? Dari pintu perguruan manakah orang berbaju putih itu? Apakah memang dia kenal dengan kita dan kita melihat mukanya kitapun akan kenal dengannya, siapa dia adanya?!"
"Mungkin juga memang demikian...!" Kata Cui Seng.
"Tapi aku sendiri tidak yakin, aku lebih cenderung dugaanku ini salah!"
"Kenapa begitu Sumoay?!" Tanya Cui Seng kaget.
"Karena, dia menolongi kita, berarti dia adalah kawan dan memihak kita!" Menjelaskan Lam San. "Tapi sebagai kawan, mengapa dia tidak mau bertemu dengan kita, malah dia menganjurkan kita melarikan diri? Dia menolongi kita, tapi dia mau merahasiakan dirinya! Tapi jika yang menolongi kita itu bukan kawan, tentunya dia tidak akan mengadu jiwa mati-matian membela kita menghadapi si kakek dan si nenek bertangan liehay itu...! Inilah anehnya!! Sampai kini aku masih belum mengerti!"
Cui Seng tambah pusing kepalanya; Benar-benar dia tidak habis mengerti, mengapa persoalannya bisa jadi demikian panjang dan berbelit belit, sehingga otaknya terasa berbelit-belit pusing memikirkan persoalan tersebut.
Waktu itu Lam San sudah menghela napas.
"Suheng, sudahlah, untuk sementara waktu ini kita tidak perlu memusingkan persoalan si baju putih dan orang-orang Sah Tok Kauw, yang terpenting sekarang ini kita harus berusaha memperoleh pakaian yang agak baik, karena lihatlah..!" Setelah berkata begitu si gadis menunduk mengawasi pakaiannya sendiri, sehingga pipinya seketika menjadi merah, karena dia jadi lihat betapa pakaiannya sudah koyak-koyak benar, dan sebagian dari angggota tubuh dalamnya tampak jelas, dengan kulit yang putih.
Cui Seng melihat kelakuan Sumoaynya Seperti itu, jadi menunduk juga dengan hati yang berdebar, dia tidak berani mengawasi Sumoaynya, karena segera dia menyadari, bahwa keadaan Lam San pada saat itu benar-benar sangat menyedihkan sekali, sebagian dari anggota tubuh dalamnya pun tampak. Karena itu dia tidak berani memandangnya.
"Baiklah Sumoay! Kita tunggu sampai sang malam tiba, aku akan pergi mencari pakaian untuk kau dan aku....!" Kata Cui Seng pada akhirnya.
Lam San cuma mengiyakan sambil mengangguk. Mereka jadi berdiam diri tidak bercakap-cakap lagi, menanti tibanya sang malam.
Waktu beredar terus, sang malam pun segera tiba,
Keadaan di dalam hutan kecil itu sangat gelap, segala apapun tidak terlihat, karena gelapnya. Bahkan, cahaya rembulan sedikitpun tidak masuk ke dalam hutan kecil itu, hal ini disebabkan terhalang oleh lebat-nya daun daun pohon yang terdapat di situ.
Saat itu Cui Seng sudah bersiap akan berangkat, guna mencuri pakaian dari penduduk kampung terdekat dengan tempat itu.
~dewikz^aaa~ THIA LAM SAN tampak agak kuatir, dia berpesan agar Cui Seng berhati hati untuk mencari pakaian buat mereka.
"Hindarkan pertemuan dengan orang-orang Sah Tok KsOw...kalau bertemu dengan mereka menyingkirlah!" Pesan Lam San sambil mengawasi Subengnya dengan hati berkuatir. Hal ini disebabkan dia mengetahui Suhengnya memang agak ceroboh, dia kuatir jangan-jangan justeru nanti Suhengnya ini bertemu dengan orang-orang Sah Tok Kauw. Kalau sampai hal ini terjadi, niscaya akan membahayakan jiwanya.
Cui Seng mengangguk. "Jangan kuatir Sumoay...!" Katanya kemudian. "Aku akan baik-baik menjalankan tugas ini... karena walaupun bagaimana kita memang tengah membutuhkan sekali pakaian!!"
Senang Lam San mendengar jawaban Suhengnya itu.
"Bagus Suheng, aku menantikan kau disini... kuharap kau bisa kembali secepatnya!"
"Ya Sumoay!!" Begitulah,Cui Seng telah berangkat mencari pakaian buat mereka. Dia ingin mencari perkampungan yang terdekat, walau pun pakaian yang tidak baik dan terbuat dari bahan murah, asal belum robek-robek dan bersih, boleh juga buat dia dan sumoaynya pakai. Karena itu, dia yakin, dengan mudah dia pasti bisa mencuri dari salah satu rumah penduduk di kampung yang terdekat dengan hutan kecil itu, agar dia bisa cepat-cepat kembali kepada Sumoaynya.
Hawa malam dingin sekali, karena pakaiannya sudah koyak-koyak, maka Cui Seng menggigil kedinginan.
"Kasihan Sumoay!" Pikirnya, yang jadi teringat kepada adik sepeiguannya; "Dia tentu kedinginan sekali...!"
Karena teringat seperti itu, semangat Cut Seng jadi terbangun. Dia ingin cepat-cepat untuk memperoleh pakaian buat mereka. Dia sudah mengempos semangatnya, berusaha berlari secepat mungkin.
Setelah berlari puluhan lie, mendadak di kegelapan malam dilihatnya setitik sinar terang.
Hati Cui Seng bersorak. Itulah sinar dari api penerangan yang terpancar dari salah sebuah rumah di perkampungan yang tidak begitu besar. Cui Seng mengempos semangatnya berlari lebih cepat. Sinar terang itu semakin membesar dan jelas.
Memang, api penerangan yang terpancar itu adalah api penerangan dari salah sebuah kamar di sebuah rumah yang terpencil sekali, tampaknya pemilik rumah itu belum lagi tertidur, terbukti dengan api penerangan yang belum dipadamkan. Hanya yang membuat Cui Seng ragu ragu, justeru dilihatnya betapa rumah itu letaknya terpencil sendiri, tidak terlihat rumah penduduk lainnya. Entah siapa penghuni rumah itu.
Tapi Cui Seng memang memerlukan pakaian, tanpa pikir panjang lagi dia menjejakkan kakinya, tubuhnya melesat mendekati rumah tersebut. Di waktu itu, keadaan di luar gelap, dan ini membuat Cui Seng bisa bergerak leluasa. Dia sudah menyelusup ke dalam kamar pekarangan rumah itu, menghampiri jendela yang memancarkan api penerangan tersebut.
Di dalam kamar itu tampak dua orang yang sedang bercakap-cakap. Cui Seng tidak tertarik untuk mendengarkan percakapan mereka. Dia segera menyelusup ke bagian lain dan rumah itu. Dia segera membuka genting rumah, akan melompat turun kedalam rumah itu.
"Hemm, sudah kukatakan, dia pasti datang kemari!" Menggumam salah seorang di dalam rumah itu,
Tentu saja Cui Seng kaget. Dia memang tengah menjejak kakinya ingin melompat turun kedalam rumah lewat lobang dari genting yang dibukanya, tapi waktu itu menyambar lima titik terang, ternyata lima batang jarum emas menyambar kuat sekali kepadanya.
Bukan kepalang heran dan kagetnya Cui Seng, namun dia tidak menjadi gugup. Dia sudah menyentil dengan jari telunjuknya. Terdengar suara "Tring, Tring, Tring!' Jarum-jarum emas itu telah kena di sentilnya, sehingga terpental jatuh.
Terdengar seruan heran dari orang-orang di dalam rumah itu. Sebelum Cui Seng sempai melongok kedalam, telah menerobos keluar sesosok tubuh. Belum melewati lobang dari genting yang dibuka, orang itu telah menghajar dengan telapak tangannya. Tentu saja hal ini membuat Cui Seng dipaksa untuk melompat kebelakang guna menghindarkan hajaran telapak tangan orang itu. Justeru kesempatan ini di pergunakan oleh orang itu buat menerobos keluar dari lobang itu.
Ternyata orang yang menerobos keluar itu adalah seorang kakek-kakek tua, Tubuhnya pendek sekali. Semeter pun tidak sampai. Tubuhnya begitu cebolnya, kalau memang dia tidak memelihara kumis dan jenggot yang panjang, niscaya orang akan menyangka dia seorang anak laki-laki kecil.
Menyusul kakek pendek itu, melesat pula keluar sesosok tubuh lainnya. Ternyata dia pun seorang kakek-kakek tua, dengan bentuk tubuh yang sama, yaitu pendek sekali. Mereka berdua merupakan kayek cebol yang kembar, hanya beda kumis jenggot mereka saja Sama panjangnya, hanya yang seorang berwarna putih, sedangkan yang seorangnya lagi memelihara kumis dan jenggotnya yang berwarna hitam.
Cui Seng mengerutkan sepasang alisnya. Entah siapa kakek-kakek ini, apakah anggota Sah Tok Kauw?
"Hemm!" Cui Seng mendengus sambil bersiap-siap untuk menerima terjangan kedua orang kakek pendek itu. Dia tidak sempat berpikir terlalu lama, karena dia yakin bisa menghadapi kedua kakek tua itu secepatnya.
Tapi, kedua kakek tua itu kaget dan heran.
"Ihhhhhh!" Berseru si jenggot putih sambil melirik kepada kawannya, yang memelihara jenggot warna hitam. Tampaknya dia sangat heran bukan main.
Kawannya juga heran. "Kok dia?!" Gumam yang jenggot hitam,
"Iya.... kok dia?!" jenggot putih pun heran.
"Aneh!" "Ya... mengapa dia yang muncul?!"
Cui Seng jadi heran melihat kelakuan kedua orang kakek tua itu. Tapi dia juga sudah tidak sabar,
"Hemm...siapa kalian?!" Tanya Cui Seng sambil mengawasi tajam kepada kedua kakek itu.
Kakek berjenggot putih itu medongkol.
"Hemm, bukan kau yang berhak menegur dan bertanya tentang kami! Justeru kami yang harus bertanya kepadamu!"
Cui Seng ragu-ragu, namun akhirnya dia mengangguk.
"Baik!! aku bersedia menjawab pertanyaan kalian!" Kata Cui Seng karena dia agak bingung. Bukankah kedatangannya di tempat ini disebabkan dia hendak mencuri pakaian? Karena itu dia berusaha bersikap mengalah terhadap kedua kakek tersebut.
"Siapa kau?!"Tegur kakek yang berjenggot hitam setelah berdiam sejenak dan saling pandang dengan kawannya.
"Souw Cui Seng...!"
"Dari mana asalmu? Mengapa keadaanmu seperti itu dengan pakaian compang-camping?!"
"Aku..aku..!" Cui Seng jadi bimbang. Dia memang tidak pandai berdusta, seorang yang jujur. Namun, untuk memberitahukan apa yang telah dialaminya dengan sebenarnya, yaitu dia telah berurusan dan dikeroyok oleh orang-orang Sah Tok Kauw, dia ragu-ragu. Karenanya juga dia jadi bimbang dan tidak bisa segera memberikan jawaban.
Si kakek jenggot hitam mengerutkan alisnya. Dia melirik kepada temannya, si jenggot putih.
"Hemm.. kau keberatan menceritakannya kepada kami?!" Tegur si jenggot putih.
"Bukan begitu... aku telah bertemu dengan pembegal yang merampas barang-barang kami, walaupun kami sudah memberikan perlawanan, tokh aku dengan kawanku dilukai...!"
"Pembegal? Aneh! Di tempat ini...ada pembegal?!" Tanya si jenggot hitam, yang menoleh kepada si kakek jenggot putih.
"Aneh!" Kata si kakek jenggot patih sambil menghela napas memperlihatkan sikap getas. "Apakah di sini terdapat begal? Benar-benar aneh! Aneh sekali!" Benar-benar si kakek ini bingung dan heran, karena setahu dia tidak ada pembegal di sekitar daerahnya.
"Kau bohong!" Berseru si jenggot hitam, dia membentak tiba-tiba sekali dengan suara meninggi.
Cui Seng terkejut. "Aku...... aku tidak bohong!!" Bantahnya.
Memang pada dasarnya dia tidak pandai bersandiwara, juga tidak bisa berdusta, karenanya dia jadi gugup dibentak seperti itu oleh si kakek berjenggot hitam,
Mata si kakek berjenggot putih dan hitam jadi memandang tajam sekali. Bengis.
"Bicara yang benar, jangan sekali-kali kau berbohong dan mempermainkan kami!!" Bentaknya.
Cui Seng ragu-ragu sejenak; namun akhirnya dia mengangguk.
"Aku telah memberitahukan yang sebenarnya!" Kata Cui Seng akhirnya.
"Benar?!" "Benar!" Mengangguk Cui Seng.
"Hemmm... aku tidak percaya!" Kata si jenggot putih.
Muka Cui Seng berubah "Mengapa kau tidak percaya?"
"Kau memiliki kepandaian jang lumayan.. tidak mungkin pembegal yang umumnya berkepandaian biasa saja bisa menghadapi.. Terlebih lagi melukai kau seperti itu!"
"Pembegalnya liehay-liehay!" Berbohong Cui Seng, agak gugup, karena dia tidak tahu harus dengan kata-kata apa menjawab perkataan si kakek pendek itu,
"Aku tetap tidak percaya!?"
"Sudahlah!" Kata kakek yang seorang lagi. "Hemm, sekarang kau jawab lagi pertanyaanku. Mengapa lagakmu seperti maling datang ke rumah kami, malah membongkar genting pula?!"
Muka Cui Seng beroboh merah.
"Ini... ini... " Dia jadi malu dan gugup. "Sebetulnya.... sebetulnya aku dan temanku meta butuhkan pakaian, untuk mengganti pakaian kami yang telah rusak ini..." Sambil berkata begitu Cui Seng menunduk mengawasi pakaiannya yang koyak koyak.
"Oho.. oho..!" Tertawa kedua kakek tua itu. "Jadi kau memang ingin jadi maling heh?!"
"Bukan! Bukan! Aku bukan mau mencuri aku cuma ingin minta baju saja...!" Kata Cui Seng gugup.
"Hemm!" Mendengus si kakek baju putih. "Tapi kau memang kami tidak memergokimu, tentu kau mencuri barang kami yang lainnya!"
"Sungguh... aku cuma ingin mengambil dua potong baju saja, itu pun...itupun akan kami ini ganti dengan pembayaran, penggantinya...!"
"Apa penggantinya?!"
"Uang... yang akan kutinggalkan!" Sambil berkata begitu Cui Seng merogoh sakunya, dia mengeluarkan beberapa tail perak.
"Heum, kalau begitu benar-benar kau sudah mendustai kami!" Kata kedua kakek toa itu hampir berbareng.
"Kenapa?!" Tanya Cui Seng heran dan tidak senang.
"Karena kau mempunyai uang!"
"Apa hubungannya uangku dengan pembegal yang terjadi?!" Tanya Cui Seng Kemudian.
"Hemm, justeru begal tidak akan mensisakan uang kepadamu! Pasti selutuh uangmu akan disikat sampai habis... tapi sekarang kau masih memiliki uang, berarti kau bukan dibegal. Kau hanya mendustai kami! Sekarang bicaralah yang sebenarnya!"
Cui Seng jadi gugup. Mukanya jadi merah.
Dia malu sekali kedoknya sudah terbuka. Memang dia tidak pandai berdusta, sekarang begitu berdusta segera terbuka belangnya dan dustanya diketahui kedua kakek tersebut, membuat dia jadi gugup dan malu, tidak tahu harus menyembunyikan dimana mukanya.
"Maafkan... memang aku telah mendustai kalian!" Kata Cui Setg akhirnya sambil merangkapkan kedua tangannya membeli hormat kepada kedua kakek tua itu.
"Hemm!" Mendengus kakek-kakek itu. "Kau ternyata seorang pemuda yang cukup mengagumkan juga! Kau mau mengakui dustamu, dan meminta maaf.. boleh juga! Boleh juga!"
"Hemm...!" Mendengus kakek yang satu-lagi. "Tentunya kau bukan orang sembarangan! Siapakah kau sebenarnya?!"
Cui Seng ragu ragu, tentu saja sekarang dia tidak bermaksud membohong seperti tadi.
"Memang sebenar benarnya aku adalah Souw Cui Seng, aku murid Thian San...!"
"Apa?!" Kedua kakek tua itu kaget, muka mereka berobah dan saling melirik. "Kau murid Thian San?!"
Cui Seng mengangguk, "Benar....!"
Kedua kakek itu saling mengangguk, kemudian yang jenggotnya putih itu bilang :"Tentu saja kami mau membantu kesulitanmu dengan memberikan beberapa potong pakaian kami yang tidak berharga... cuma saja, kami juga mempunyai syarat!"
"Apakah syarat jiewie Locianpwe?!" Tanya Cui Seng sambil mengawasi kedua orang kakek tua itu.
Si kakek jenggot putih telah bilang "Sebetulnya kami tengah menunggui seseorang... tapi baiklah, sebelum orang itu muncul, kami main-main dengan kau dulu....!"
"Ya...!" mengangguk kakek yang seorang lagi. "Kami ingin melihat sebagai murid Thian San berapa tinggi kepandaian yang kau miliki?!"
Cui Seng jadi ragu-ragu. "Jiewie locianpwe, apakah tidak bisa ditunda waktu untuk main-main itu, karena temanku sedang menantikan dan membutuhkan pakaian untuk mengganti pakaiannya yang sudah koyak-koyak itu."
Kedua kakek itu menggeleng.
"Tidak! Kalau memang kau bisa menerima pukulan kami sebanyak sepuluh jurus, tanpa rewel kami akan memberikan dua potong pakaian kami.. Tapi kalau kau tidak sanggup menghadapi 10 kali pukulan kami, kau boleh menggelinding pergi ketempat lain, kami tidak bersedia memberikan bantuan apapun juga."
Cui Seng ragu-ragu. Namun dia seorang yang berangasan dan pemberani. Dia juga penasaran sekali kedua kakek pendek itu bilang bahwa mereka hanya akan mengujinya 10 jurus saja. Apakah dalam 10 jurus saja dia akan dapat dirubuhkan oleh kedua kakek tua itu? Dan juga. berapa tinggi si kepandaian kedua kakek pendek itu, yang tinggi tubuhnya masing-masing tidak sampai satu meter? Dan karena itu juga, Cui Seng memutuskan, lebih baik dia menerima saja tawaran si kakek, yaitu melayani kedua kakek itu 10 jurus, setelah itu dia akan memperoleh baju. Bukankah hanya 10 jurus saja? Dengan demikian jelas dia bisa menghadapi dengan mudah. Sepuluh jurus tidak terlalu berat.
"Baiklah!" mengangguk Cui Seng. "Dimana kita bertanding?!"
"Di situ saja!" Menyahuti kakek jenggot putih sambil menunjuk kebawah tanah, pekarangan rumahnya.
Cui Seng mengiyakan, tanpa bicara apa-apa lagi segera melompat turun dari atas genting itu.
Waktu itu tampak kedua kakek pendek itu meluncur turun. Waktu kedua kaki mereka masing-masing menginjak tanah, sama sekali tidak mengeluarkan suara sedikitpun. Hal ini telah membuat Cui Seng jadi tertegun juga. Menyaksikan cara kedua kakek tua itu melompat turun, jelas mereka berdua memiliki ginkang yang tinggi sekali. Kerenanya Cui Seng mengambil sikap hati-hati. Hanya saja dia yakin, dalam 10 jurus dia masih menghadapi kedua kakek pendek itu dengan mudah.
"Sudah siap?!" Tanya kakek berjenggot putih.
Cui Seng mengangguk. "Kau boleh mempergunakan senjatamu!" Kata si kakek berjenggot hitam.
Cui Seng mengangguk lagi. Dia menghunus pedangnya.
Bara saja pedang itu dihunus, kakek pendek jenggot putih sudah berseru "Terimalah.....!"
Dia menerjang maju, tangan kanannya menghantam dengan kuat sekali. Angin pukulannya berkesiuran keras.
Cui Seng ragu-ragu, karena kedua kakek itu yang menganjurkan dia menghunus pedangnya, namun kedua kakek pendek itu sendiri tidak memakai senjata tajam. Tapi pukulan dari kakek berjenggot putih telah datang dekat sekali, dia mengibaskan pedangnya hendak menangkis.
Namun, mendadak Cui Seng merasakan dari belakangnya menyambar angin yang berkesiuran keras sekali.
Tidak kepalang kagetnya Cui Seng. karena pukulan ini datangnya tidak disangka-sangka. Ternyata kakek berjenggot hitam sudah membarengi menghantam dari belakang.
Cui Seng tengah memusatkan perhatiannya pada kakek berjenggot putih, karena itu dia tidak keburu untuk mengelakkan pukulan si kakek jenggot hitam.
Tidak ampun lagi punggungnya kena dihantam dengan dahsyat. Tubuh Cui Seng terpental kedepan. Justeru tangan si kakek jenggot putih telah tiba didadanya, di saat Cui Seng kehilangan keseimbangan tubuhnya, dadanya itu terpukul keras sekali.
Cui Seng hampir saja mengeluarkan jerit kesakitan, karena dia merasakan dadanya bagaikan dikemplang oleh palu besi. Dia berusaha merangkak bangua setelah menggeliding di tanah.
Waktu berjongkok hendak bangun, tangan si kakek jenggot puih sudah menyambar lagi, karena memang kakek ini memiliki tubuh yang lincah, sekali. Cui Seng tidak jadi berdiri, hanya mengibaskan pedangnya. Namun kembali dia kaget, karena dia terhajar dari belakang oleh kepalan tangan si kakek jenggot hitam.
Kembali tubuh Cui Seng jumpalitan dengan menderita kesakitan. Matanya sampai berkunang kunang. Memang luka-luka di tubuhnya belum sembuh benar, kulit tubuhnya yang terluka baru menempel saja. Sekarang dia sudah terhajar pulang pergi itu, keruan saja membuat dia jadi menderita kesakitan tidak terkira sampai dia meringis;
Si kakek jenggot putih dengan kakek jenggot hitam ternyata memiliki kerja sama yang baik sekali. Mereka memang liehay sekali dan kerja sama mereka rapat bukan main. Yang seorang menyerang buat memancing perhatian lawan, yang seorangnya lagi justeru menyerang dengan sungguh-sungguh. Dengan cara mereka seperti itu, semacam ilmu silat kerja sama yang sangat erat sekali berpadu, membuat lawannya selain bingung hendak menghadapinya. Terlebih lagi gerak mau pun jurus-jurus mereka sangat aneh sukar diterka kearah mana sasaran yang mereka incar.
Cui Seng sendiri walaupun menderita kesakitan, dia pun penasaran bukan main, dua kali telah terserang seperti itu.
"Sudah dua jurus!" Teriak kakek jenggot putih "Ayo cepat bangun untuk menerima jurus ketiga.....!"
Cui Seng hendak bangun, namun dia mengalami nasib seperti tadi. Si jenggot putih mengancam dengan sepasang tangannya dan Waktu Cui Seng hendak menghadapi serangan lawan ini. justeru kakek berjenggot hitam telah menyambar menghantam kuat sekali. Dua kali Cui Seng telah dibikin jungkir balik lagi.
"Empat jurus sudah lewat, tinggal enam jurus!!" Berseru si kakek jenggot hitam. "Ayo bangun, mari.... mari kita teruskan... Tinggal enam jurus, kalau kau bisa menerima keenam jurus itu lagi, tentu kami akan memberikan dua potong baju yang kau kehendaki!1"
Pikiran Cui Seng bekerja keras. Dia benar-benar mendongkol sekali, karena memang dia menyadari, kedua orang lawannya ini hendak menguji kepandaiannya. Tapi, dia juga penasaran sejak pertama sampai empat jurus itu, tetap saja dia telah dibikin jungkir batik seperti itu. Karuan saja membuat Cui Seng berusaha memikirkan dengan ilmu silat apa dia bisa menghadapi kedua lawannya yang liehay ini?
Dia pun menyadari, memang si kakek jenggot hitam maupun putih memiliki kelincahan tubuh yang sulit dihadapi, mereka memiliki ilmu silat yang diatas kepandaian Cui Seng.
Hanya saja Cui Seng waktu itu teringat kepada Lam San. Gadis sang Sumoay, tentu tengah menantikan penuh harap untuk baju yang bisa diperolehnya. Tentunya Sumoaynya itu tengah kedinginan di dalam hutan itu.
Karena berpikir begitu, Cui Seng terbangun semangatnya.
"Aku harus bisa menghadapi sampai sepuluh jurus dari serangan kedua setan kecil ini...!" Pikir Cui Seng didalam hatinya. Walaupun sekujur tubuhnya sakit-sakit, tokh dia tidak perduli dia mengerang perlahan. Hanya sekarang, waktu merangkak hendak bangun, di saat berjongkok, dia sudah bersiap siap, karena dia tahu waktu dia berjongkok seperti itu, pasti kedua kakek pendek itu akan menyerang pula padanya....
Benar saja dugaan Cui Seng, karena waktu dia baru berjongkok, si kakek jenggot putih telah menyerang lagi. Begitu juga Kakek jenggot hitam. Cui Seng cepat-cepat mengempos semangatnya, tahu-tahu dia suduh berseru nyaring. Dia sama sekali tidak mempergunakan pedangnya, melainkan dia melesat keatas dengan menjejak kuat-kuat kedua kakinya, lalu tangan kirinya mencekal pedang, tangan kanannya bergerak dengan salah satu jurus It Yang Cie! Dia menyentil dengan jari telunjuknya! Dia mempergunakan ilmu totokan jari tunggal, yang diperoleh dari gurunya. Walaupun ilmu It Yang Cie itu belum dikuasai sepenuhnya, baru beberapa bagian saja yang dapat dikuasainya, tokh karena ilmu itu memang sangat tangguh, maka setiap kali Cui Seng mempergunakan ilmu itu justeru disaat dia dalam keadaan terdesak.
Di waktu itu terlihat Cui Seng memang berhasil. Waktu dia melompat dan mempergunakan It Yang Cie, justeru dia telah berhasil mengejutkan kedua kakek pendek itu.
Kedua kakek pendek tersebut telah melompat mundur dengan muka berobah hebat.
"Kau...kau memahami It Yang Cie?!" Tegur si jenggot putih dengan suara ragu-ragu, seakan juga dia tidak mempercayai apa yang dilihatnya.
Cui Seng mengangguk. "Tajam sekali mata Locianpwe......memang tadi aku mempergunakan ilmu It yang Cie!!"
"Hemm, kalau demikian kau memang bukan orang sembarangan!" Menegumam kakek jenggot putih, sambil berseru :"Inilah jurus ke enam!!" Dia sudah menerjang dengan tangannya berkelebat sangat cepat sekali, sehingga tidak bisa diikuti dengan pandangan mata biasa.


Totokan Jari Tunggal It Yang Cie Karya Sin Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kakek jenggot hitam tidak berdiam diri saja, karena diapun sudah melompat untuk membarengi mendesak Cui Seng, mengepung dari belakangnya.
Hanya saja, sekarang ini memang Cui Seng sudah dapat menguasai diri. Dia sudah bisa berdiri tegak dan menantikan serangan dengan It Yang Cie. Si pemuda menyadari, dengan pedangnya dia pasti tidak akan berdaya menghadapi kedua kakek pendek yang liehay itu.
Ketika serangan si kakek jenggot putih menyambar datang, Cui Seng bersikap hendak menangkis dengan pedang yang tercekal di tangan kiri. dia menduga tepat, si kakek jenggot hitam kembali menghajar dari belakang. Waktu itulah tanpa mensia-siakan kesempatan yang ada Cui Seng sudah memutar tubuhnya. Dia mempergunakan salah satu jurus It Yang Cienya dan menghantam ke belakangnya, pada si kakek jenggot hitam.
"Ihhhh, aduhhh!" Terdengar seruan kakek berjenggot hitam, karena, dia merasakan tangannya sakit bukan main, sampai dia terhuyung mundur kebelakang, dia pun mundur dengan wajah pucat pasi, malah diapun sudah terhuyung dengan kedua kaki menggigil, seakan juga akan rubuh terjungkel.
Kakek jenggot putih terkejut. Sebetulnya tangannya menyambar akan mencengkeram dada si pemuda, namun Ciu Seng yang sudah bisa memukul mundur si jenggot bitam, segera dia membarengi lagi dengan salah satu jurus menyerang si jenggot putih. Jari tangannya itu telah berhasil menotok pelelangan tangan si kakek jenggot putih.
Tentu saja kakek tua jenggot putih itu kaget, dia terhuyung mundur.
Apa yang dialami oleh kakek jenggot putih benar-benar berada diluar dugaannya. Ia tidak menyangka bahwa Cui Seng dalam waktu singkat bisa berobah menjadi liehay seperti itu. Dengan mudah pemuda ini bisa membuat dia terhuyung mundur, begitu juga kakek berjenggot hitam itu telah kena terpukul oleh jari tunggalnya Cui Seng.
"Hemmm, coba kau terima lagi ini!" Teriak si jenggot putih yang penasaran bukan main. Dia sudah menerjang lagi. Sekali ini tentu saja dia menerjang jauh lebih hati hati, karena dia menduga tadi dia dibuat terhuyung begitu oleh Cui Seng hanyalah disebabkan dia tidak terwaspada dan memandang enteng si pemuda.
Cui Seng mengerutkan alisnya. Kali ini cara menyerang si kakek jenggot putih itu bukan serangan main-main. Dia merasakan angin berkesiuran sangat kuat sekali.
Malah, menyusul dengan itu, dari belakang telah menerjang juga si kakek jenggot hitam. Hal ini membuat Cui Seng terpaksa harus berlaku hati-hati sekali.
Dengan mati-matian dia melayani mempergunakan It Yang Cienya. Dia sudah melewati dua jurus, namun keringat telah mengalir keluar dari kening dan tubuhnya. Memang kedua kakek tua itu liehay sekali, terlebih lagi bentuk tubuh mereka pendek-pendek, menyebabkan Cui Seng mengalami kesulitan, bentuk tubuh yang tidak wajar itu membawa keuntungan buat kedua kakek itu yang bisa menyerang bagian bawah dan Cui Seng jadi kehilangan sasaran setiap kedua kakek itu membungkukkan tubuhnya, mereka jadi lebih pandek saja.
Sedangkan si kakek jenggot putih dan jenggot hitam sudah nenambah tenaga dalamnya. Dia manyerang semakin gencar.
Cui Seng menghadapi terus. Telah lebih dari sepuluh jurus dia menghadapi kedua kakek itu. Namun, dia semakin terdesak, napasnya terasa sesak, semakin lama tenaga dalam yang dipergunakan Kedua kakek itu semakin ketat mengurungnya.
"Tunggu! Berhenti!" Teriak Cui Seng dengan suara yang keras. "Sudah lebih dari sepuluh jurus..!"
Kedut kakek pendek itu tersadar, karena memang mereka tadi berjanji hanya akan menyerang sepuluh jurus saja.
Cepat-cepat kedua kakek pendek itu melompat mundur, mereka mengawasi Cui Seng dengan sorot mata tajam sekali, tampak muka mereka juga merah padam, karena mereka masih penasaran.
Cui Seng senditi menyadari, kalau dia harus bertempur dengan kedua kakek pendek itu, niscaya dia akan bisa dirubuhkan oleh kedua kakek pendek itu, sebab memang kepandaiannya masih berada di bawah kepandaian kedua kakek itu. Untung saja kedua kakek tua itu mau menepati janjinya, walaupun lebih dari sepuluh jurus, tokh dia mau menyudahi penyerangan mereka setelah diingatkan bahwa mereka sudah bertempur lebih dari sepuluh jurus,
"Hemmm, kau memang berhasil menghadapi 10 jurus dari kami!" Kata si kakek pendek jenggot putih itu.
"Ya...kau boleh mengambil dua potong baju kami! Tunggu, aku akan pergi mengambilkannya!" Setelah berkata begitu, kakek jenggot hitam tersebut masuk kedalam rumahnya untuk mengambilkan dua potong bajunya.
Cui Seng girang. "Terima kasih Locianpwe...!" Katanya sambil memberi hormat kepada si kakek jenggot putih.
"Hemm, kau tidak perlu terterima kasih! kami memberi dua potong baju itu bukan karena kami menghadiahkan kepadamu... karena kau telah berhasil menerima 10 jurus penyerangan kami!!"
Cui Seng diam saja, dia jadi kagum atas jiwa besar kakek pendek ini. Dia pun merasa malu, karena dia tahu, kalau dia berusaha sampai sepuluh jurus lagi, mungkin dia tidak akan sanggup, hal ini disebabkan kakek pendek jenggot hitam dan putih itu memang dua orang kakek yang liehay sekali, yang bisa bekerja sama dengan sangat baik.
"Hemmmmmm.....1" Kata kakek jenggot putih itu dengan suara yang tidak sekaku tadi. "Wajahmu cukup tampan, usiamu masih muda, tapi kau sudah memiliki kepandaian yang tinggi, maka tentunya banyak gadis-gadis yang menginginkan kau menjadi kekasihnya...!"
Muka Cui Seng berebah merah, dia bilang sambil tertawa : "Locianpwe bisa saja... gadis mata yang mau padaku? Kepandaianku pun masih rendah sekali, masih membutuhkan petunjuk dari locianpwe dan juga orang orang pandai lainnya."
"Bagus! Kalau memang kau jujur dan juga mau belajar, manusia seperti kau sebetulnya memiliki masa depan yang sangat bagus, terlebih lagi umurmu memang masih muda... kalau kau tidak keberatan..."
Belum lagi kakek pendek jenggot putih menyelesaikan perkataannya, waktu itu kakek jenggot hitam sudah keluar sambil berseru :"Nih dua potong baju yang kami janjikan!"
Sambil berkata begitu kakek itu telah melemparkan dua potong baju kepada Cui Seng, yang menerimanya dengan mengucapkan terima kasihnya.
Baru saja si kakek jenggot putih hendak meneruskan kata-katanya, waktu itu terdengar suara gembreng dipukul perlahan-lahan. Namun, namanya saja sudah gembreng yang dipukul, walaupun dipukul perlahan, suara gembreng itu terdengar tajam sekali, terdengar dikeheningan malam. Semakin lama semakin mendekati.
"Nah... Dia datang!!" Berseru si kakek jenggot putih dengan wajah berobah dan memandang kepada kakek jenggot hitam. Begitu juga kakek jenggot hitam, mukanya sudah berobah, karena dia tahu, bahwa orang yang mereka tunggu-tunggu sudah datang.
Cui Seng tengah memikirkan Lam San, yang tentu dengan tidak sabar, tengah menantikannya. Karenanya, dia segera merangkapkan kedua tangannya, dia memberi hormat kepada kedua orang kakek itu sambil katanya : "Maaf Jiwie Locianpwe... aku pamitan dulu... terima kasih untuk kedua potong baju yang diberikan jiewie Locianpwe....!"
Cui Seng mau berlalu cepat-cepat, karena kedua kakek pendek itu tampaknya memang akan terlibat urusan yang tidak ringan dengan orang yang tengah mendatanginya, dan Cui Seng tidek mau tertahan di situ, sebab dia kuatir Lam San nanti menantikannya terlalu lama. Kakek jenggot putih terkejut.
"Hai tunggu dulu... masih ada yang ingin kubicarakan dengan kau! Jangan pergi dulu... nanti kalau memang kami sudah selesai mengurus persoalan kami dengan orang itu, aku masih mau membicarakan sesuatu dengan kau!"
Cui Seng jadi ragu-ragu. "Locianpwe...!"
"Kau tunggulah di situ!" Kata si kakek jenggot putih sambil menunjuk kepekarangan, rumah itu, di mana terdapat sebuah kursi panjang terbuat dari bambu.
Cui Seng tambah gelisah, dia bimbang bukan main. Dia memang sudah ingin cepat-cepat kembali ke hutan kecil itu, untuk menemui Lam San. Kalau dia beres menantikan di situ, pasti dia akan membuang waktu terlelu lama dan dia merasa kasihan jika Lam San menantikannya terlalu lama.
"Benar... kau duduklah disitu!" Kata kakek berjenggot hitam, yang ikut menunjuk ke-kursi panjang itu sambil tersenyum.
"Jiewie Locianpwe...!" Cui Seng benar-benar gelisah.
"Ayo... pergi kesana dulu! Kami ingin meladeni orang Sah Tok Kauw itu dulu!" Kata kakek jenggot putih, karena dia melihat Cui Sang masih berdiri di tempatnya dengan sikap ragu-ragu.
Mendengar bahwa orang yang tengah mendatangi dan akan dihadapi kedua kakek pendek itu, adalah orang Sah Tok Kauw, hati Cui Seng jadi tertarik dan tergerak; Maka akhirnya, walaupun dia masih gelisah karena ingin cepat-cepat kembali kehutan kecil itu, untuk menemui Lam San, tokh kedua kakinya sudah melangkah kedalam pekarangan rumah itu, duduk dibangku panjang yang ada disitu.
Sedangkan kedua kakek tua itu sudah berdiri berendeng. Mereka berdiam diri dengan sikap yang agak tegang.
Suara gembreng itu terdengar semakin dekat. Dan tidak lama kemudian tampak sosok tubuh telah mendatangi, muncul dari tempat yang gelap sekali. Dialah seorang yang keadaannya luar biasa. Dia tidak memiliki rambut, kepalanya botak, seperti kepala Hweshio. Akan tetapi, dia mengenakan baju bukan seperti yang biasanya dipakai oleh pendeta, yaitu jubah. Justeru orang ini mengenakan pakaian yang campur aduk. Baju atasnya adalah baju untuk wanita yang terbuat dari sutera. Sedangkan baju di bagian bawahnya adalah gaun. Hanya saja, mukanya kasar sekali... sedangkan usia nya mungkin hampir lima puluh tahun.
Di tangannya terdapat dua gembreng berukuran kecil. Sambil melangkah dia telah membenturkan gembrengnya berulangkali. Itulah sebabnya terdengar suara gembreng yang tidak hentinya.
Setelah melangkah ke hadapan kedua kakek pendek itu, tampak orang yang berpakaian aneh ini yang kepalanya botak seperti pendeta, telah berkata dengan suara yang dingin :"Maafkan.. aku datang terlambat sedikit!"
"Hemm, kami sudah menunggu sejak tadi!" Kata kedua kakek pendek itu hampir berbareng. "Sekarang kami sudah siap!"
"Sabar... tidak akan terlambat!" Kata orang yang berkepala botak itu. Dia membenturkan gembreng kecil. "Aku ingin tanyakan, apakah barang itu sudah ada pada kalian ?!"
Kedua kakek pendek itu saling pandang. Kemudian si jenggot putih berkata : "Soal barang itu nanti bisa kita bicarakan, yang terpenting sekarang kita harus menentukan siapakah di antara kita yang berhak untuk jadi majikan!"
"Hemm, kukira memang aku akan menjadi majikan kalian!" Kata orang berkepala botak itu sambil membenturkan gembrengnya. "Nah, aku sudah siap! Silahkan kalian menunjukkan kebolehan kalian!"
Kedua kakek tua itu tidak berlaku sungkan sungkan lagi, karena mereka sudah melompat kedepan. Malah, seperti tadi waktu menghadapi Cui Seng, justeru sekali inipun kakek jenggot putih itu yang sudah menerjang menyerang orang berkepala botak tapi bukan hweshio itu.
Membarengi dengan serangan si kakek jenggot putih, justeru kakek jenggot hitam juga sudah menyambar dari belakangnya.
Orang yang berpakaian aneh itu tidak gentar, dia tenang sekali. Malah tidak ada usahanya untuk mengelakkan serangan kedua kakek tersebut, karena memang dia tetap berdiri di tempatnya, hanya kedua tangannya direntangkan, justeru dia pergunakan gembrengnya ita untuk menangkis. Gembreng di tangan kanan menyanggah serangan tangan si kakek jenggot putih, sedangkan gembreng di tangan kirinya juga menyanggah kepalan tangan kakek jenggot hitam.
Terdenger suara gembreng yang cukup keras, karena terhajar kepalan tangan kedua kakek itu,
Orang yang berpakaian aneh itu tertawa dingin.
"Hemm, tidak seberapa kepandaian kalian!" Gumamnya dengan suara yang tawar. "Jagalah serangan balasan dariku!!"
Membarengi dengan perkataannya tersebut, tampak tubuh orang berkepala botak itu sudah melesat ke sana kemari. Walaupun tubuhnya tinggi besar, tokh gerakannya lincah sekali. Dia sudah mengancam dengan kedua gembreng kecilnya itu. Malah, sering juga dia mengancam leber kedua kakek itu dengan tepian gembrengnya yang memang tajam, setajam mata pedang, sehingga kalau sampai mengenai sasaran, pasti leher kedua kakek itu akan terpotong putus.
Kedua kakek pendek itupun melesat ke sana kemari dengan sama lincahnya karena mereka juga telah mengeluarkan seluruh kepandaiannya. Mereka benempur dengan hebat sekali, karena tubuh mereka kesana kemari seperti bayangan saja. Pukulan mereka pun menimbulkan angin berkesiuran keras sekali. Berulangkali terdengar bentakan nyaring dari orang berkepala botak itu dengan bentakan yang bisa menggetarkan pohon dan bumi....
Cui Seng yang menyaksikan dari bangku panjang terbuat dari bambu di pekarangan rumah itu, jadi membuka matanya lebar-lebar. Dia tertarik bukan main menyaksikan pertempuran tersebut, karena memang dia kagum sekali kedua orang kakek itu dan si kepala botak tersebut, yang benar-benar memiliki kepandaian yang tinggi.
"Apakah orang berkepala botak itu pun dari Sah Tok Kauw?!" Berpikir Cui Seng, karena dia ingat kedua kakek pendek itu menyatakan bahwa mereka tengah menantikan kedatangan orang Sah Tok Kauw.
Untuk sejenak Cui Seng tidak ingat lagi untuk cepat-cepat kembali ke hutan kecil, guna memberikan baju yang sudah diperoleh kepada Lam San. Demikian tertariknya dia menyaksikan pertempuran yang begitu seru.....
~dewikz^aaa~ MARI kita menengok kepada Lam San, yang menantikan Cui Seng di dalam hutan kecil.. Dia gelisah sekali, karena Cui Seng masih belum juga kembali, walaupun Cui Seng sudah pergi begitu lama.
Malam semtkin larut, hawa udara dingin sekali, Hati Lam San jadi gelisah, dia kuatir kalau kalau memang Cui Seng mengalami sesuatu yang tidak diinginkan.
Setelah menantikan sekian lama lagi, akhirnya Lam San tidak sabar lagi. Dia pikir ingin mencari Cui Seng, karena dia benar-benar kuatir kalau-kalau suhengnya yang memang sering agak ketolol-tololan itu menemui kesulitan atau dipersulit juga oleh orang Sah Tok Kauw.
Perlahan-lahan Lam San keluar dari hutan kecil itu, namun dia ragu-ragu. Dia teringat kepada bajunya yang koyak-koyak. Maka dari itu, dia berdiri diam saja di mulut hutan kecil itu. Gelisah bukan main. Rembulan tampak bersinar tidak begitu terang.
Sedangkan angin berhembus dingin sekali, luka-luka di tubuh si gadis yang mulai menempel itu agak pedih juga, karena belum sembuh benar.
Tengah si gadis ragu ragu, mendadak sekali didengarnya suara orang yang bicara perlahan : "Apakah kita bisa menemukannya?!"
"Entahlah!" Jawab suara lainnya;
Lam San terkejut, cepat-cepat dia melompat ke dalam hutan dan bersembunyi di balik sebatang pohon.
Waktu itu terdengar lagi orang yang bicara pertama tadi :"Hemmm, tapi kita memang harus menemukannya!!"
"Tidak gampang!!"
"Walaupun tidak gampang, kita harus berusaha memperolehnya...!"
"Kepandaiannya tinggi sekali....!"
"Hemmm kita harus berusaha menghadapinya! Kau tahu bukan, Kauwcu sudah melukainya... luka di dalam yang tidak ringan?!"
"Ya... hanya saja kita belum lagi mengetahui, apakah dia memang dapat kita hadapi?!"
"Pasti dapat!!"
Lam San jadi gelisah dan heran, menduga-duga, entah siapa orang yang hendak mereka cari dan tangkap itu, karena tampaknya memang orang-orang itu bukan mencari Cui Seng maupun dirinya. Bukankah dia mengatakan bahwa orang itu sudah terluka didalam yang parah, di tangan Kauwcu mereka?
Tapi, mendadak saja Lam San mengeluarkan keringat dingin. Bukankah Cui Seng belum kembali? Mungkin saja dia tadi ketemu orang orang Sah Tok Kauw, bertempur, Malah kemudian dilayani Kauwcu Sah Tok Kauw, sehingga dia teriuka di dalam. Cuma saja, dia berhasil melarikan diri.
"Tapi tidak mungkin!" Pikir Lam San didalam hatinya. "Cui Seng suheng walaupun memiliki kepandaian tinggi, namun dia tidak terlalu liehay seperti yang dibicarakan orang-orang itu... karena didengar dari perkataan mereka, orang yang tengah mereka cari itu benar benar memiliki kepandaian, yang tinggi sekali."
Apakah orang yang memakai baju putih, yang telah menolongi Cui Seng dan Lam San?
Teringat itu, keringat dingin jadi mengucur deras dari kening Lam San.
Waktu itu sudah terdengar lagi orang yang bercakap-cakap ito semakin dekat.
"Hemmm, kukira tidak mungkin dia bersembunyi di sini!!"
"Tapi siapa tahu? Mari kita cari kedalam hutan!" Ajak temannya.
"Tunggu dulu!" "Kenapa?!" "Kita jangan ceroboh... orang itu liehay sekali! Memang Kauwcu bilang sudah berhasil melukainya, tapi aku belum yakin bahwa dia sudah lenyap kepandaiannya, siapa tahu dia masih bisa menghantam mampus kita? Karenanya kita tidak boleh ceroboh memasuki hutan itu... kita harus waspada."
"Akh kau ini..!" Terdengar tertawa orang itu, seakan juga dia mentertawakan temannya. "Mengapa kau demikian pengecut? Jika Kauwcu mengetahui sikapmu seperti ini, tentu Kauwcu akan menghukummu...!"
Tidak terdengar jawaban. Hanya suara langkah yang terdengar memasuki hutan itu.
Hati Lam San berdebar. Dia berada dekat sekali dengan kedua orang itu. Tapi, dia juga yakin, kalau memang dalam keadaan terpaksa, dia masih bisa menghadapi kedua orang itu! Bukankah didengar dari percakapan mereka, kedua orang ini belum begitu tinggi kepandaiannya, sebab mereka seakan-akan takut buat ceroboh memasuki hutan itu?
Lam San mengulurkan tangannya mengambil sebutir batu yang cukup besar, kemudian di lempakannya keluar hutan.
Batu itu jatuh menimbulkan suara yang cukup keras.
Kedua orang itu tidak bisa dilihat jelas oleh si gadis, karena sinar bulan tidak terang dan keadaan didalam hutan itu memang gelap sekali. Karena juga, wajah mereka tidak bisa di lihat oleh Lam San. Hanya saja terlihat tubuh mereka berdua tinggi besar.
Suara jatuhnya batu di luar hutan membuat mereka terkejut, kedua orang itu segera melompat keluar hutan dengan tangan masing masing mencabut pedang mereka, bersiap sedia untuk menerima serangan.
Namun, setelah berada di luar hutan, mereka tidak melihat seorang manusiapun juga.
"Dia...dia mungkin bersembunyi di luar hutan!" Kata salah seorang diantara kedua orang itu. "Mari kita kejar...mungkin dia melarikan diri belum jauh!"
Kawannya menpiyaksn, mereka terlari-lari menjauhi hutan itu, untuk mencari orang buruannya, yang dianggap mereka sudah melarikan diri.
Setelah melihat kedua orang itu pergi, Lam San menghela napas lega. Dia keluar dan tempat persembunyiannya.
Sedangkan malam semakin dingin. Cui Seng belum juga kembali.
"Mengapa Suheng belum juga kembali? Apakah benar-benar telah terjadi sesuatu pada dirinya?!" Pikir si gadis.
Dia mengawasi ke kiri kanannya, dengan penuh harap Suhengnya kembali. Namun orang yang dinantikannya itu belum juga tampak mata hidungnya.
Tengah Lam San berdiri gelisah seperti itu, tiba-tiba dia mendengar di belakangnya orang bilang :"Sendiri saja?!"
Kaget tidak terkira Lam San. Dia memiliki kepandaian yang cukup tinggi dan pendengaran yang tajam. Karena itu, suara yang sekecil apa pun dia bisa mendengarnya.
Tapi sekarang, yang telah ada dibelakangnya itu tidak diketahuinya kapan datangnya. Tahu-tahu sudah berada disitu. Tidak di dengarnya suara langkah kakinya. Tahu-tahu sudah menegurnya. Tentu saja hal ini mengejutkan si gadis. Pasti orang yang baru muncul itu adalah seorang yang berkepandaian tinggi sekali:
Sedangkan orang itu berdiri tenang-tenang di tempatnya waktu Lam San memutar tubuhnya mengawasi dia.
"Hemm, kau sendirian saja nona?!" Tanya orang itu lagi dengan sikap ceriwis.
Lam San melihat jelas muka orang itu yang putih cakap, berpakaian sebagai pelajar. Bajunya terbuat dari bahan yang mewah, dan dari tubuhnya terpancar bau harum semerbak. Dia memakai kopiah pelajar yang mewah juga. Di tangannya tercekal kipas, yang terbuat dari emas, karena berkilauan kuning terang, yang digerak-gerakkannya perlahan-lahan, dengan sikap yang ceriwis sekali.
Pipi si gadis seketika terasa panas memerah, karena dia malu berhadapan dengan pelajar itu dengan pakaian yang koyak-koyak seperti itu. Dia hendak melompat kebelakang pohon, tapi seketika dia teringat, sebagai seorang Kangouw, tentu saja dia tidak boleh bersikap cengeng seperti itu, dan juga dia tidak boleh bersikap seperti nona nona pingitan, maka dia berdiri tegak.
"Siapa kau?!" Bentaknya kemudian dengan suara dingin. "Apa maksudmu di sini?!"
"Hem, apa maksudmu? Aku jadi ingin bertanya. kau sendiri mengapa berada dihutan ini ?!"
Lam San ragu-ragu. "Tidak perlu kau tahu!" Bentak Lam San, yang semakin dia tidak menyukai sikap si pelajar. Walaupun pelajar itu tampan sekali, kulitnya pun putih, lagaknya yang ceriwis membuat Lam San tidak menyukainya.
"Hemmm, tidak perlu tahu?!" Tanya pemuda pelajar itu. "Baiklah! Baiklah!! Kalau memang kau tidak mau memberitahukan siapa dirimu, aku tidak mau memaksamu!"
"Ayo pergi!" Bentak Lam San, karena dia melihat mata si pemuda itu mengawasinya dengan mata yang liar sekali, membuat si gadis malu.
"Pergi? Pergi kemana?i"
"Pergi kemana saja!! Atau kau hendak minta kuhajar?!"
"Aduhai... jangan galak galak nona. nanti orang takut mendekati kau sehingga kau sulit dapat jodoh?"
Muka si gadis tambah merah panas. "Hem, kau benar-benar minta dihajar!" Kata si gadis yang menganggap pemuda itu memang kurang ajar dengan sikapnya seperti itu. Lam San juga tidak hanya berkata saja sebab dia telah menerjang ke depan.
Waktu itu terlihat pemuda ini tenang sekali, karena sama sekali dia tidak berusaha mengelakkan serangan Lam San. Kepalan tangan si gadis meluncur hampir sampai, tahu-tahu pemuda itu meringankan pundaknya sedikit, sehingga pukulan itu meleset.
Penasaran sekali Lam San, dia mengulangi beberapa kali.
"Sabar...jangan galak-galak...!" Kata pemuda pelajar itu dengan suara yang tenang.
Tapi sambil bicara dan tersenyum-senyum ceriwis seperti itu, dia selalu mengelak kesana kemari.
Semakin lama Lam San semakin penasaran, karena setiap pukulannya mengenai tempat kosong. Dia mengempos semangatnya dan berusaha untuk memperhebat serangannya.
Tapi pemuda pelajar itu memang liehay-liehay, setiapkali dia bisa menghindarkan. Malah, ketika dia mengulurkan tangan kanannya, di saat tangan kanan Lam San tengah menghantamnya, dia bisa mencekal pergelangan si gadis, mencekal begitu kuat, sehingga tangan si gadis tidak bisa terlepas walaupun Lam San sudah menarik sambit mengerahkan lwekangnya.
Sri Maharaja Ke Delapan 1 Candika Dewi Penyebar Maut V I I Elang Terbang Di Dataran Luas 13
^