Pencarian

Bayangan Bidadari 6

Bayangan Bidadari Karya Kho Ping Hoo Bagian 6


menghadang. Mereka adalah orang-orang kasar yang berpakaian seragam, dan mereka adalah petugas-
petugas penjaga yang ditugaskan sebagai pasukan pengawal di rumah Jaksa Ouw. Melihat ada gadis
cantik memasuki pekarangan dan tidak mengenal gadis Itu, lima orang itu tertawa-tawa dan bersikap
kurang ajar. Gadis Itu bukan anggauta keluarga Jaksa Ouw, maka tentu saja mereka berani bersikap
kurang ajar.
"Wahai Nona manis, engkau datang hendak mencari aku, bukan?" kata seorang.
"Bukan, ia mencari aku, betulkan, manis?" Lima orang itu menggoda dengan ucapan-ucapan nakal
bahkan ada yang bicara cabul dan tangan mereka meraih untuk menyentuh tubuh yang menggairahkan
itu. In Hong mengerutkan alisnya, matanya berkilat dan tiba-tiba tubuhnya bergerak cepat berkelebatan.
Terdengar teriakan-teriakan dan tubuh lima orang itu berturut-turut roboh tak dapat bangkit kembali
karena mereka telah tewas tanpa terluka sama sekall. Tentu saja karena pukulan tangan In Hong
mengandung tenaga sinkang yang tidak melukai kulit, melainkan menghancurkan isi kepala dan isi dada,
di mana bagian itu terkena tamparannya! Teriakan lima orang itu terdengar dari dalam gedung dan
muncullah beberapa orang.
In Hong sudah tiba di dekat serambi rumah itu dan ia melihat ada belasan orang berpakaian seragam
pengawal keluar memegang golok. Tampak pula lima orang Hak-Ciu Ngo-Houw yang pernah ia
robohkan. Mereka terpincang-pincang, dan tampak pula seorang pemuda yang tampan gagah dan
berpakaian mewah. In Hong tadi membunuh lima orang penjaga karena mereka berani bersikap kurang
ajar, bukan saja mengeluarkan kata-kata cabul menggodanya, bahkan tangan mereka mulai hendak
merabanya. la tidak ingin membunuh banyak orang, apa lagi yang tidak mengganggunya. melihat
pemuda itu, diamati wajahnya dan pakaiannya. Bagaikan seekor burung garuda, ia melayang naik ke
atas serambi itu dan menyambar ke arah Ouw Boan Kit yang bersikap gagah. Melihat gadis itu melompat
ke arahnya, Ouw Boan Kit yang biasa memandang rendah orang, terkekeh genit.
"Aduh, engkau secantik bidadari!" Dan tangannya lalu bergerak meraih, hendak menangkap gadis yang
mendekatinya itu, sedangkan belasan orang pengawal itu cepat mengepung. Begitu kedua tangan Ouw
Boan Kit menyambar kearah tubuh In Hong, gadis itu menggerakkan kedua tangannya lebih cepat lagi.
"Krek-Krekk! Aughhh...!!" Ouw Boan Kit menjerit karena sambungan tulang sikunya patah dan kedua
lengannya menjadi lumpuh seketika! In Hong mencengkeram punggung bajunya dan menghardik.:: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 167
:: CerSil KhoPingHoo :
"Kamu yang bernama Ouw Boan Kit" Cengkeraman itu mnembus baju dan kulit serta daging punggung
itu ikut pula di cengkeram sehingga mendatangkan rasa nyeri yang lebih hebat daripada rasa nyeri
kedua lengannya.
"Aduh... aduhh... tolong...!"Ouw Boan Kit menjerit-jerit Akan tetapi para pengawal itu tentu sajatidak
berani bergerak karena In Hong sudah membentak nyaring.
"Diam semua, atau kubunuh dulu anjing ini!" Teriakkan ini sambil meletkakkan tangannya di atas ubun-
ubun kepala Ou Boan Kit membuat semua pengawal tidak berani berkutik. "Hayo jawab, kamu Ouw
Boan Kit, bukan?"
"Ya... ya... ampun..." Tanpa malu-malu lagi pemuda itu merintih karena kedua lengannya lumpuh dan
nyeri, punggungnya seperti dijepit baja dan ketika tangan yang halus berjari lentik itu menyentuh ubun-
ubun kepalanya, dia merasa kepalanya panas!
"Hayo bawa aku menemui Ayahmu, Jaksa Ouw yang brengsek itu!" kata In Hong lalu mendorong
punggung pemuda itu yang segera melangkah masuk dengan tubuh menggigil ketakutan. Belasan orang
pengawal itu pun mengikuti dari belakang dengan golok di tangan, namun mereka tidak berani lancang
menyerang In Hong karena keselamatan nyawa tuan muda mereka berada di tangan gadis itu.
Ouw Boan Kit memasuki sebuah ruangan dan di situ tampak Ouw Taijin duduk dengan muka pucat.
Belasan orang pengawal lain menjaga dan melindunginya dengan golok di tangan. Melihat puteranya
digiring masuk oleh seorang gadis dan para pengawal hanya mengikuti dari belakang, Jaksa Ouw marah
sekali. Tadi dia sudah mendengar laporan akan datangnya seorang gadis perkasa yang pernah
merobohkan Hak-Ciu Ngo-Houw dan gadis itu mengamuk, membunuh lima orang pengawal dan
menangkap puteranya. Kini melihat bahwa gadis itu kelihatan biasa saja, timbul keberaniannya dan dia
hendak menggunakan kewibawaannya yang selama ini tidak pernah gagal menggertak dan membikin
takut orang-orang.
"Hei, gadis muda! Berani engkau bersikap begini di depanku? Aku adalah Jaksa Ouw, pejabat yang paling
berkuasa di Hak-Ciu! Aku bisa mengerahkan ribuan perajurit untuk menangkap dan membunuhmu.
Hayo lepaskan puteraku!" katanya sambil bangkit berdiri dan menudingkan telunjuknya. Akan tetapi
gertakan itu sama sekali tidak membuat In Hong menjadi takut, sebaliknya membuat gadis itu menjadi
semakin marah.
"Krekk! Krekk!" Kedua tangannya mencengkeram dan bunyi itu adalah bunyi kedua tulang pundak Ouw
Boan Kit yang remuk oleh cengkeraman jari-jari tangan lentik itu! Pemuda itu menjerit dan ketika
dilepaskan dia roboh terkulai, merintih-rintih di atas lantai dan mencoba untuk merangkak mendekatl
Ayahnya. Jaksa Ouw terbelalak dan marah sekali.
"Bunuh perempuan ini!" teriaknya kepada belasan orang pengawal sambil menudingkan telunjuknya ke
arah In Hong. Belasan orang itu dengan golok di tangan lalu menyerbu dan mengeroyok In Hong. Akan
tetapi gadis itu menggerakkan tangan kanannya dan tampak sinar berkilat ketika pedang Gan-Liong-
Kiam dicabutnya dari belakang punggung. Pedang Gan-Liong-Kiam adalah sebatang pedang pusaka
ampuh pemberian Hek Moli, Gurunya yang pertama. Gadis ini jarang mencabut dan
mempergunakannya, karena biasanya kaki tangannya cukup untuk menandingi dan mengalahkan lawan.
Akan tetapi pada saat itu ia marah dan melihat belasan orang pengawal mengeroyoknya, In Hong tidak
segan-segan mencabut dan mempergunakan Gan-Liong-Kiam!:: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 168
:: CerSil KhoPingHoo :
Ketika ia menggerakkan pedang dengan cepat dan tubuhnya berkelebatan, maka yang tampak hanya
gulungan pedang yang menyambar ke sekelilingnya. Terdengar teriakan-teriakan mengaduh, pedang
pusaka itu membuat golok para pengeroyok patah atau terpental dan lima belas orang pengawal itu
satu demi satu roboh dengan luka yang mencucurkan darah! Jaksa Ouw terbelalak dan pucat wajahnya.
Dia berusaha lari ke dalam sambil memapah puteranya, akan tetapi sekali meloncat, In Hong sudah tiba
di dekatnya. Gadis itu menendang dan tubuh gendut itu pun terlempar, menabrak dinding dan roboh.
Ketika Jaksa Ouw merangkak bangun, pedang di tangan In Hong berkelebat. Pembesar itu menjerit,
darah muncrat di mukanya dan ternyata matanya yang kiri telah ditusuk ujung pedang sehingga dia
menjadi cacat, mata kirinya buta!
"Jaksa Ouw dan Ouw Boan Kit! Sekali ini aku hanya memberi pelajaran kepada kalian. Kalau lain kali aku
melihat kalian masih belum mengubah watak kalian yang jahat sewenang-wenang, aku akan membunuh
kalian!" Setelah berkata demikian, tubuh In Hong berkelebat dan lenyap dari situ. Ruangan itu penuh
darah dan rintihan lima betas orang pengawal dan pembesar berdua puteranya itu. In Hong merasa
puas setelah memberi hajaran kepada pembesar Ouw dan puteranya. Akan tetapi baru saja ia keluar
dan tiba di pekarangan, tiba-tiba terdengar bentakan.
"Hei, keparat, perlahan dulu!" Pada saat itu, angin yang dahsyat menyambar dari belakang. In Hong
mengenal serangan ampuh, maka ia cepat melompat ke kiri bagaikan gerakan seekor burung walet.
Ketika ia membalik, ia melihat seorang laki-laki berusia enam puluhan tahun, tubuhnya kurus bongkok,
mukanya halus tanpa jenggot atau kumis, matanya lebar dan mulutnya tersenyum menyeringai seperti
mengejek.
Sepasang mata itu terbelalak semakin lebar setelah kini melihat wajah In Hong. In Hong bersikap
waspada karena ia dapat menduga bahwa tentu kakek ini Guru Ouw Boan Kit seperti yang diceritakan
oleh mendiang Si Hoo kepadanya. Serangan tadi saja menunjukkan bahwa ia berhadapan dengan orang
yang lihai sekali karena serangan jarak jauh itu mengandung hawa pukulan yang amat dahsyat.
Sebaliknya, Pak Lo-Kui (Setan Tua Utara) atau lebih dikenal sebagai Datuk Utara itu memandang penuh
kagum dan mulut berdecak-decak. Datuk ini memang terkenal mata keranjang. Kini dia mencoba untuk
meluruskan tubuhnya yang bongkok, akan tetapi karena dia kurus kering dan punggungnya memang
bongkok, maka gayanya itu malah tampak lucu sekali.
"Aduh-aduh...! Kiranya yang mengamuk, membunuhi dan melukai banyak orang itu adalah seorang
gadis cantik jelita seperti bidadari!"
"Hemm, anjing bongkok tua bangka! Engkau tentu Guru Ouw Boan Kit, bukan?" Dimaki seperti itu,
Datuk Utara itu malah tertawa senang, seolah mendapat pujian, bukan makian! Dia memang seorang di
antara para datuk besar yang terdiri dari orang-orang yang selain amat tinggi tingkat ilmunya, juga
memiliki watak yang aneh-aneh.
"Ha-ha-ha! Matamu yang jeli seperti mata Burung Hong itu ternyata tajam juga, bidadariku! Aku
memang Pak Lo-Kui, Datuk Besar Utara dan pernah memberi sedikit pelajaran kepada Ouw Boan Kit
yang bodoh itu. Engkau telah mengacau di sini, mestinya aku harus menghukum berat, bahkan
membunuhmu. Akan tetapi melihat engkau seperti bidadari, biarlah aku maafkan engkau asal engkau
mau menjadi murid merangkap kekasihku. Ha-ha-ha!":: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 169
:: CerSil KhoPingHoo :
"Jahanam busuk!!" In Hong marah sekali dan tubuhnya sudah berkelebat ke depan, jari tengah dan
telunjuk tangan kirinya menyambar ke arah muka Pak Lo-Kui untuk mencokel keluar biji matanya,
sedangkan tangan kanannya mencengkeram ke arah perut. Bukan main dahsyat dan berbahayanya
serangan itu. Kalau mengenai sasaran, tak dapat dicegah lagi sepasang biji mata itu akan tercongkel
keluar dan kulit perut itu akan pecah dan isi perutnya terburai!
"Wahh...!!" Pak Lo-Kui terkejut bukan main. Sama sekali tak pernah disangkanya gadis jelita semuda itu
dapat melakukan serangan yang demikian dahsyatnya, penuh tenaga lweekang (tenaga dalam) tingkat
tinggi! Cepat dia melempar ke kiri dan menggerakkan kedua lengan, diputar ke kanan menangkis dua
tangan gadis itu. Dia sengaja mengerahan sinkang (tenaga sakti) untuk menggempur kedua lengan gadis
itu. Dua lengan yang berkulit putih halus dan hanya kecil itu tak mungkin dapat menahan gempuran
kedua lengannya yang dipenuhi sinkang.
"Wuuutt... desss!!" Benturan dua pasang lengan itu sungguh hebat menggetarkan keadaan sekitar
tempat itu. Pak Lo-Kui terkejut sekali untuk kedua kalinya karena benturan hebat itu membuat dia
terdorong dan terhuyung ke belakang! Dia terbelalak dan tidak percaya akai perasaannya sendiri.
Mungkinkah ada gadh, semuda ini mampu menandingi sinkangnya yang sudah dihimpun dan dilatih
selama puluhan tahun?
Kalau yang mengimbanginya itu seorang Datuk besar lain, hal Itu tidak aneh, setidaknya para tokoh
pimpinan aliran-aliran persilatan besar seperti Siauw-Lim-Pai, Bu-Tong-Pai, Kun-Lun-Pai, Go-Bi-Pai dan
lain-lain. Akan tetapi lawannya ini hanya seorang gadis muda cantik jelita, paling banyak baru dua puluh
tahun usianya! Pak Lo-Kui menjadi penasaran. Semua gairah berahinya yang tadi bangkit melihat
kecantikan wajah dan keindahan tubuh In Hong, kini terganti rasa penasaran dan kemarahan. Maka dia
pun kini balas menyerang dengan hebatnya, mengerahkan seluruh tenaga saktinya. Serangan Datuk
Utara ini mempunyai ciri khas andalan ilmu silat dari utara yang banyak menggunakan tendangan dan
bercampur dengan ilmu gulat yang menjadi keistimewaan Ilmu berkelahi bangsa-bangsa Mongol.
Dia menggunakan kedua kakinya menendang bergantian secara berantai dan bersambung. Tendangan
berantai lni memang hebat sekali karena kedua kaki itu dapat menendang dari depan, dari kanan atau
kiri, bahkan adakalanya merupakan tendangan terbang! In Hong mengenal serangan berbahaya. la
segera menggunakan ginkang (ilmu meringankan tubuh) dan tubuhnya berkelebatan seolah berubah
menjadi bayang-bayang sehingga kemana pun kedua kaki Pak Lo-Kui menyambar, selalu hanya
mengenai tempat kosong! Dan ambil mengelak, In Hong membalas pula dengan tamparan-
tamparannya. Pak Lo-Kui diam-diam mengeluh. Lawannya ini bukan hanya memiliki tenaga sakti yang
mampu mengimbanginya, bahkan memiliki ginkang yang bahkan lebih tinggi daripada tingkatnya!
Dia menjadi semakin penasaran dan dia mengeluarkan seluruh ilmu silatnya, dipilihnya yang paling
ampuh, untuk menandingi In Hong sehingga terjadi perkelahian yang amat seru di pekarangan gedung
Jaksa Ouw itu. Dari dalam rumah kini keluar para perajurit pengawal, akan tetapi mereka hanya
menonton dari jauh, sama sekali tidak berani mendekat karena mereka sudah merasa jerih menyaksikan
kelihaian dan keganasan gadis cantik itu. Juga di jalan umum depan pekarangan gedung itu, para pejalan
kaki kini menonton dan beberapa orang yang sudah mendengar akan munculnya Sian-Li Eng-Cu
(Bayangan Bidadari) yang kabarnya telah mengalahkan dan menghajar Hak-Ciu Ngo-Houw, lima orang
tukang pukul Jaksa Ouw yang galak dan terkenal tangguh itu. Maka mulailah mereka yang menonton
dari jalan itu berbisik-bisik.
"Sian-Li Eng-Cu... Sian-Li Eng-Cu...!" Setelah bertanding selama tiga puluh jurus dan bertahan mati-:: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 170
:: CerSil KhoPingHoo : :: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 171
:: CerSil KhoPingHoo :
matian terhadap desakan In Hong, Pak Lo-Kui yang merasa penasaran itu marah sekali dan mengambil
keputusan untuk membunuh Iawan. Tiba-tiba dia mengeluarkan gerengan seperti seekor binatang buas
dan kedua tangannya dengan telapak terbuka didorongkan ke arah In Hong. Kedua telapak tangan itu
kini berubah hitam sekali.
Itulah Hek-Tok-Ciang (Tangan Racun Hi-tam) yang merupakan ilmu andalan Datuk Utara itu. Melihat
serangan pukulan jarak jauh ini, In Hong cepat menekuk kedua lututnya dan ia pun menyambut dengan
dorongan kedua tangannya pula sambil mengerahkan tenaga saktinya. Kedua tangannya mengepulkan
uap putih! ltulah ilmu Pek-In-Ciang (Tangan Awan Putih) yang ia pelajari dari mendiang Bhutan Koi-Jin,
gurunya yang kedua!
"Syuuutt... blarrr...!!" Tubuh In Hong terdorong mundur tiga langkah, akan tetapi tubuh kakek itu
terlempar dan dia tentu akan terbanting jatuh kalau saja dia tidak membuat gerakan poksai (salto
jungkir balik) beberapa kali sehingga dia dapat turun berdiri. Waiahnya berubah kemerahan karena
merasa malu bahwa dalam adu tenaga sakti lewat pukulan jarak jauh tadi jelas bahwa dia kalah kuat!
"Anjing tua, sambutlah ini!" Tiba-tiba tangan In Hong bergerak dan ada sinar hitam menyambar dari
tangannya ke arah Datuk Utara.
"Singgg...!" Datuk Utara terkejut sekali dan dia membuang diri ke samping sehingga rebah di atas tanah
lalu bergulingan. Setelah dia melompat berdiri lagi, mukanya berubah agak pucat.
"Setan...!" dia berseru.
"Engkau... murid Hek Moli?"
"Benar, dan engkau calon setan penasaran!" In Hong membentak dan kini ia mencabut pedangnya
karena ia ingin membunuh Pak Lo-Kui. Melihat pedang itu, Datuk Utara berseru lagi.
"Gan-liong-kiam milik Hek Moli...!" Dan tanpa banyak cakap lagi kakek kurus bongkok itu melompat jauh
dan melarikan diri! In Hong tidak mengejar. Ia pun melompat dan lenyap dari pekarangan itu,
bayangannya berkelebat dekat para penonton di luar pekarangan.
"Sian-Li Eng-Cu..." seorang berseru.
"Sian-Li Eng-Cu... ia menang...!" kata yang lain. Akan tetapi ketika terdengar berita bahwa Si Bayangan
Bidadari yang tidak mereka tahu siapa namanya itu telah mengamuk dalam gedung Jaksa Ouw,
meremukkan kedua tulang pundak Ouw Kongcu dan membutakan sebelah mata Jaksa Ouw, gegerlah
kota Hak-Ciu dan Nama Sian-Li Eng-Cu menjadi buah bibir penduduk, bahkan berita tentang kehebatan
Si Bayangan Bidadari telah tersiar jauh, sampai ke Kotaraja! Dunia kang-ouw (sungai-telaga, atau dunia
persilatan) mulai mengenal Si Bayangan Bidadari yang baru muncul, sosok bayangan wanita muda cantik
jelita yang kabarnya demikian hebatnya sehingga mampu menandingi Pak Lo-Kui atau Datuk Utara!
Pada waktu itu, seluruh daratan Cina telah dikuasai dan dijajah oleh Mongol yang mendirikan Kerajaan
atau Dinasti Goan (1279-1368). Yang menjadi Kaisar adalah Kublai Khan (1260-1294), cucu Jenghis Khan
pendiri Kerajaan Mongol dan dibawah pimpinan Kaisar Kublai Khan yang meneruskan ambisi besar
Jenghis Kha. Dinasti Goan menjadi semakin jaya dan besar. Kisah ini terjadi, pada saat In Hong berusia
dua puluh tahun, sekitar tahun 1290. Biarpun dalam sejarah tercatat betapa para patriot Kerajaan Sung
yang telah jatuh oleh bangsa Mongol itu tiada hentinya berjuang untuk membela tanah air dan berusaha:: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 172
:: CerSil KhoPingHoo :
mengusir bangsa Mongol, Namun banyak pula orang-orang yang berjiwa licik dan tidak segan-segan
mengkhianati bangsa sendiri.
Mereka ini rela menjadi antek-antek penjajah, berkhianat dengan menunjukkan di mana adanya para
patriot, bahkan ada pula yang menggunakan kepandaian ikut membantu pasukan Mongol membasmi
para patriot. Semua ini tentu saja dengan imbalan berupa harta benda dan pangkat tinggi untuk
memperoleh kekuasaan. Sudah menjadi siasat para penjajah di seluruh dunia, Kerajaan Goan atau
bangsa Mongol juga menggunakan harta dan pangkat untuk memancing orang-orang pribumi untuk
menjadi antek mereka. Siasat ini amat menguntungkan mereka dalam berbagai hal. Pertama, mereka
dapat memanfaatkan para pengkhianat bangsa itu untuk menjadi mata-mata mengikuti gerak-gerik para
pejuang yang memusuhi penjajah dan hal ini tentu lebih mudah dilakukan para pribumi sendiri.
Pada waktu itu, mereka yang batinnya dikuasai nafsu sendiri, yang hanya ingin mencari kesenangan
duniawi, tidak segan menggunakan segala cara untuk memperoleh harta dan pangkat. Bahkan tidak
segan menjual tanah air dan bangsa, berkhianat terhadap bangsa sendiri, mengabdi kepada penjajah
Mongol. Sebagai imbalannya, mereka memperoleh kedudukan, kekuasaan dan harta benda. Tentu saja
kekuasaan mereka itu terbatas, bahkan hanya kekuasaan untuk menekan rakyat bangsa sendiri, akan
tetapi kepada atasan mereka, yaitu kepada pembesar Mongol, mereka harus merendahkan diri, dan
terutama harus pandai menjilat bermuka-muka.
Pada waktu itu, banyak orang berjiwa rendah menjadi orang-orang kaya mendadak. Mereka yang
tadinya dari keluarga miskin, setelah berjasa terhadap penjajah dan memperoleh kekuasaan, tidak
menyia-nyiakan kekuasaannya itu untuk mengumpulkan harta sebanyak mungkin. Maka
bermunculanlah bangsawan-bangsawan pribumi yang suka bertindak sewenang-wenang, menggunakan
hukum sebagai modal untuk membenarkan pengumpulkan harta mereka. Mereka yang menjadi pejabat
yang bertugas mengadili, selalu membenarkan mereka yang mampu menyogok dengan uang banyak
walaupun penyogok itu bersalah, dan sebaliknya menyalahkan yang benar namun yang tidak mampu
memberi uang suapan.
Bahkan para penjahat dapat berlindung di balik bayang-bayang pejabat yang menerima pembagian hasil
kejahatan mereka. Karena ulah para pengkhianat bangsa ini, maka kaum pendekar bukan hanya
membenci bangsa Mongol yang menjajah, melainkan lebih membenci lagi bangsa sendiri yang menjadi
antek penjajah itu. Karena untuk memberontak dan menggulingkan Kerajaan Goan merupakan hal yang
mustahil mengingat betapa kuatnya bala tentara Mongol, maka para pendekar kini lebih mengutamakan
melindungi rakyat dan menentang para penjahat, termasuk para bangsawan penindas rakyat. Biarpun
Kwee In Hong digembleng berturut-turut oleh dua orang Guru yang tergolong sebagai Datuk sesat yang
aneh dan kejam,
Namun kedua orang Gurunya itu bukanlah tergolong orang yang suka melakukan kejahatan. Maka sejak
dulu, Kwee In Hong puteri Ayah-Ibu yang berwatak baik bahkan budiman dan dermawan, juga berwatak
adil, suka melindungi mereka yang lemah dan membutuhkan bantuan. la memang mewarisi watak
kejam dari kedua orang Gurunya, namun kekejamannya itu ditujukan kepada orang-orang yang
dianggap jahat dan dimusuhinya. Dalam perantauannya, setiap kali melihat ketidak-adilan merajalela, In
Hong pasti turun tangan membasmi yang jahat dan membela mereka yang lemah tertindas. Nama
julukannya sebagai Sian-Li Eng-Cu semakin terkenal. Tidak ada orang yang tahu bahwa nama aselinya
adalah Kwee In Hong, karena kalau ia terpaksa harus menggunakan nama,:: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 173
:: CerSil KhoPingHoo :
Ia memakai nama Put Hauw Li (Gadis Tidak Berbakti). Penggunaan nama ini mengingat betapa ia tidak
membalas kematian Ayahnya yang terbunuh, bahkan ia jatuh cinta kepada Si Pembunuh Ayahnya. Yang
lebih menyakitkan hatinya lagi ialah bahwa sampai sekarang pun ia tidak membenci mendiang Ong
Tiang Houw atau Bu Jin Ai itu, bahkan hatinya merasa bahwa ia masih mencintanya! Penyesalan karena
dirinya sendiri inilah yang membuat ia mengutuk diri sendiri dan menggunakan nama Gadis Tidak
Berbakti itu. Pada suatu pagi, ia berjalan keluar dari kota Lan-Keng di mana ia bermalam di rumah Tan-
Wangwe (Hartawan Tan). Keluarga Tan menganggapnya sebagai seorang tamu agung yang dihormati,
bahkan ia disebut Lihiap (Pendekar Wanita).
Kemarin siang, ketika tiba di luar kota Lan-Keng, ia melihat sebuah kereta dihadang se puluh orang laki-
laki yang bersikap keras dan kasar, bahkan seorang di antara mereka melompat ke atas kereta dan
menarik turun kusir kereta. Kereta itu ditumpangi suami-isteri Tan. Hartawan Tan dan isterinya sedang
melakukan perjalanan keluar kota dan pada siang hari yang panas itu, kereta dihadang dan dihentikan se
puluh orang itu. Ketika Hartawan Tan yang berusia sekitar lima puluh tahun itu membuka tirai kereta,
dia dan isterinya diancam dua orang yang memimpin gerombolan itu dan diancam agar jangan


Bayangan Bidadari Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berteriak. Seorang di antara mereka lalu duduk di tempat kusir, sedangkan kusir itu sendiri mengerang
kesakitan setelah mereka pukuli. Jelas bahwa gerombolan itu hendak menculik Hartawan Tan dan
isterinya.
In Hong melompat dan menghajar gerombolan yang hendak menculik suami-isteri hartawan untuk
dimintai uang tebusan. Mereka melarikan diri setelah dihajar sampai bagian muka mereka bengkak-
bengkak dan ada tulang yang patah-patah. Hartawan Tan dan isterinya berterima kasih sekali dan
dengan sangat mereka memohon dan membujuk In Hong agar suka singgah di rumah mereka, dengan
alasan mereka takut kalau-kalau gerombolan itu datang mengganggu lagi. Sebetulnya In Hong enggan,
karena ia melihat betapa banyak hartawan pada waktu itu merupakan orang-orang yang biasa
berhubungan dengan para pembesar dan kerjanya hanya menumpuk uang tanpa memperhatikan nasib
rakyat yang hidup serba kekurangan. Akan tetapi sikap Tan-Wangwe dan isterinya yang ramah dan
lembut.
la mau singgah rumah mereka dan dengan girang ia mendengar bahwa Hartawan Tan sekeluarga
ternyata adalah keluarga yang budiman dan dermawan. Keluarga Tan itu memang sudah kaya-raya sejak
sebelum bangsa Mongol menjajah, jadi bukan orang kaya baru dan Nenek moyangnya memang
pedagang. Dari para pelayan yang tampak berwajah cerah. itu ia mendengar akan kebaikan budi dan
kedermawanan Hartawan Tan sekeluarga yang sudah terkenal di kota Lan-Keng. Setiap ada musibah
menimpa rakyat di daerah itu yang membuat rakyat hidup serba kekurangan, Hartawan Tan selalu rela
membagi sebagian kekayaannya untuk menolong mereka. Ketika In Hong menjadi tamu, ia dijamu pesta
keluarga dan diperkenalkan kepada Tan Siong, putera tunggal hartawan Tan Yu Seng itu.
Tan Siong berusia dua puluh satu tahun, wajahnya tampan, sikapnya lembut dan sopan. Dia telah lulus
ujian dan menjadi seorang terpelajar bergelar siucai. In Hong merasa gembira. Setelah mandi pada sore
hari itu di kamar mandi yang bersih dan airnya jernih berlimpah, berganti pakaian, kini ia menghadapi
meja makan dengan masakan bermacam-macam dan suami-isteri tuan rumah bersama puteranya itu
menjamunya dengan sikap yang ramah sekali. Ia merasa seolah menjadi anggauta keluarga. Setelah
makan minum sampai kenyang, In Hong diajak duduk di ruangan depan yang hawanya sejuk karena
ruangan itu memiliki banyak jendela yang terbuka dan menembus taman bunga. Tiga lampu gantung
dinyalakan. Mereka duduk mengelilingi sebuah meja Bundar yang besar dan Tan Yu Seng yang biasa
disebut Hartawan Tan bertanya dengan sikap ramah dan hormat.:: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 174
:: CerSil KhoPingHoo :
"Lihiap, kami berhutang nyawa dan budi kepadamu, akan tetapi sejak tadi engkau belum juga mengaku
siapa nama Lihiap yang terhormat dan di mana engkau tinggal. Kami ingin sekali mengetahuinya."
"Paman, memang sudah menjadi tugasku untuk menentang orang-orang jahat. Aku menghajar mereka
yang jahat siang tadi bukan untuk mencari balasan, maka aku tidak merasa perlu untuk
memperkenalkan nama." In Hong memang tidak biasa bersopan-sopan, maka ucapannya juga terdengar
datar dan acuh tak acuh.
"Ayah dan Ibu, Lihiap ini adalah seorang pendekar wanita yang budiman, kalau tidak mau
memperkenalkan nama kepada kita, sudah sewajarnya dan harap jangan didesak terus. Biarlah kita
mengenalnya sebagai Dewi Penolong atau penjelmaan Sang Dewi Kwan Im (Dewi Dewi Welas Asih)."
Ucapan Tan Siong sewajarnya dan sama sekali tidak mengandung suara mencela atau menyindir
sehingga In Hong merasa tidak enak sendiri. Ia menghela napas panjang lalu berkata.
"Baiklah, kalau kalian ingin mengetahui. Di dalam perantauanku ini aku menggunakan nama Put-Hauw
Li."
"Ah...!" Ayah, Ibu dan anak itu berseru dengan alis berkerut dan pandang mata tidak percaya. Tan Siong
segera berkata dengan tegas.
"Tidak mungkin seorang gadis seperti Lihiap menjadi seorang anak yang Put-Hauw (tidak berbakti)!
Kepada Ayah dan Ibu saja yang merupakan orang-orang lain yang tadinya sama sekali tidak dikenal,
Lihiap telah suka membela, apalagi terhadap orang-tua sendiri. Tidak, aku tidak percaya bahwa Lihiap
seorang anak yang tidak berbakti!"
"Ah, Lihiap tentu bergurau!" kata Hartawan Tan dan isterinya.
"Biarlah, mungkin karena belum mengenal kita dengan baik, Lihiap masih belum percaya kepada kita.
Nanti kalau sudah lebih mengenal kita, tentu akan memperkenalkan diri yang sebenarnya." kata Nyonya
Tan. In Hong merasa tidak enak hati melihat keluarga yang amat ramah dan sopan kepadanya, maka ia
lalu minta diri untuk beristirahat dalam kamar yang sudah dipersiapkan untuknya. Keluarga itu tidak
berani mencegah dan In Hong memasuki kamarnya. Ia merebahkan diri dan berulang kali menghela
napas panjang. Ia masih ingat, dulu ketika ia masih kecil,
Sebelum malapetaka menimpa keluarga orang tuanya, ia tinggai bersama Ayah dan Ibunya dalam rumah
gedung mewah seperti gedung keluarga Tan ini. Ayah-Ibunya dulu juga merupakan orang-orang kaya
yang dermawan, bahkan setiap hari Ayah dan Ibunya memberi ia sekantung uang receh untuk dibagikan
kepada para pengemis yang datang minta-minta ke rumah mereka. Mengingat akan masa lampau itu,
rasanya seperti mimpi saja. betapa jauh bedanya kehidupannya yang sekarang dibandingkan dahulu.
Sekarang ia hidup merantau, tak tentu tempat tinggalnya. la merasa tidak dapat tinggal bersama Ibunya.
Kalau ia dekat dengan Ibunya, tentu ia akan selalu teringat betapa Ibunya pernah menjadi isteri Bu Jin Ai
dan hal ini membuat hatinya terasa sakit, malu, dan penasaran.
Ah, betapa ia merindukan masa lalunya bersama Ayah dan Ibunya! Akan tetapi sekarang Ayahnya telah
meninggal dunia, dan Ibunya telah... menjadi lain, menjadi isteri... musuh pembunuh Ayahnya dan
sudah mempunyai seorang anak lain, yaitu Ong Lian Hong dan ia tidak mempunyai rumah lagi.
Kerinduan akan masa lalunya ini membuat ia merasa rindu pula kepada rumahnya dahulu, di kota Tiang-
An. Di rumah itu ia terlahir dan tumbuh besar sampai berusia lima tahun. Tiba-tiba ia ingin sekali melihat:: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 175
:: CerSil KhoPingHoo :
rumah Ayahnya di Tiang-An itu dan ingin sekali tahu siapa yang menempati rumah itu sekarang! Tiba-
tiba ia mendengar suara dari kamar sebelah. Biarpun hanya terdengar lirih, namun ia mengenal suara
Hartawan Tan dan isterinya. la lalu mendekati dinding penyekat antara dua kamar itu, menempelkan
daun telinganya dan kini ia dapat mendengar pembicaraan itu dengan cukup jelas.
"Aku setuju saja dengan niatmu itu, akan tetapi apakah Siong-ji (Anak Siong) setuju?" terdengar Nyonya
Tan berkata.
"Tadi sudah kutanyai dia dan biarpun dia menjawab bahwa hal ini terserah kepada kita berdua, namun
dari sikap dan bicaranya aku dapat memastikan bahwa Siong-ji setuju sekali. Jelas bahwa anak kita amat
kagum dan menaruh hati kepada Lihiap."
"Terserah kepadamu, akan tetapi sudah yakin benarkah engkau untuk mengambil ia sebagai mantu?
Ingat, anak kita hanya tinggal Tan Siong seorang, jangan sampai kita salah memilih jodohnya. Aku
merasa , agak ragu karena gadis itu tidak mau mengakui siapa namanya yang sesungguhnya."
"Ah, tidak aneh bagi seorang pendekar wanita untuk menyembunyikan nama aselinya. Akan tetapi kalau
ia sudah menjadi mantu kita, ia pasti akan menceritakan riwayatnya. Seorang gadis sebaik ia, pasti
memiliki latar belakang dan keluarga yang baik pula."
"Kalau kita tidak mengetahui siapa orang tuanya dan di mana tempat tinggalnya, lalu bagaimana kita
dapat mengajukan pinangan?" tanya Nyonya Tan.
"Hal itu dapat diurus kemudian. Lebih dulu engkau besok pagi-pagi sampaikan keinginan kita kepada
Lihiap. Kalau ia mau menerima niat perjodohan kita, tentu ia akan memberitahu siapa dan di mana
orang tuanya, lalu kita mengajukan pinangan."
"Baiklah, besok pagi-pagi akan kubicarakan dengannya..." In Hong tidak mendengarkan lagi dan ia duduk
termenung di atas pembaringan. Alisnya berkerut. Ia hendak dilamar dan dijodohkan dengan Tan Siong!
Pemuda itu harus diakui amat menarik, tampan dan lembut sopan-santun, seorang siucai pelajar pula,
juga anak tunggal Hartawan Tan yang kaya-raya.
Kalau menjadi isteri Tan Siong, maka kehidupannya terjamin. Disayang suami dan mertua, hidup
berkecukupan, dan terhormat karena keluarga itu terkenal sebagai keluarga dermawan. Mau apa lagi?
Akan tetapi tidak! Ia tidak bisa menjadi isteri Tan Siong atau isteri siapa pun. Setelah Bu Jin Ai meninggal
dunia, ia merasa tidak mungkin dapat mencinta laki-laki lain. Cintanya yang pertama ternyata telah salah
besar. Yang dicintanya itu pembunuh Ayah kandungnya! Ia menjadi jera untuk mencinta seorang laki-
laki lagi. Tidak, ia tidak mau terikat sebagai isteri Tan Siong, sungguhpun pemuda itu merupakan seorang
pemuda pilihan! Tiba-tiba ia tertarik lagi karena mendengar suara Nyonya Tan menangis. Karena ingin
tahu In Hong menempelkan lagi telinganya ke dinding. la mendengar nyonya itu terisak-isak.
"Sudahlah, jangan menangis. Anak itu sudah tersesat! Agaknya watak Ayahnya menurun kepadanya,
maka minggat. Tidak perlu kita pikirkan lagi. Dia pergi atas kehendaknya sendiri, malah minggat. Bukan
kita yang mengusirnya!" Nyonya Tan menahan isaknya, lalu menghela napas panjang dan berkata.
"Bagaimana tidak sedih? Sejak berusia tiga tahun Bouw-ji kurawat dan kubesarkan, kuanggap anak
sendiri. Bahkan setelah Siong-ji terlahir, aku tetap menyayangnya dan tidak membeda-bedakan antara:: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 176
:: CerSil KhoPingHoo :
mereka. Akan tetapi mengapa setelah berusia remaja, lima belas tahun, dia minggat dan membawa
banyak uang emas? Ah, bagaimana keadaannya sekarang dan di mana dia sekarang?"
"Sudahlah, isteriku. Sejak dia berusia belasan tahun sudah tampak kenakalannya. Tan Bouw tidak mau
belajar seperti Tan Siong, dia malas dan nakal, juga tidak mau mendengar nasehat orang tua. Bahkan
setelah remaja dia bergaul dengan segala pemuda brandal, belajar silat bukan untuk menjadi pendekar,
melainkan menjadi brandal, suka berkelahi. Teman-temannya adalah bangsa penjahat. Ketika dia mulai
memukuli Tan Siong, aku marah sekali, akan tetapi dia tidak takut malah mencuri banyak emas lalu
minggat. Dan anak macam itu masih juga engkau tangisi kepergiannya, setelah dia pergi selama
sembilan tahun?" Kembali Nyonya Tan menghela napas panjang.
"Bagaimana aku dapat melupakannya? Sejak kecil dia kutimang-timang, dan mengingat betapa Ayah-
Ibunya tewas terbunuh ketika dia berusia tiga tahun, aku merasa kasihan padanya."
"Hemm, Ayahnya seorang yang hidupnya sesat, hidup di kalangan dunia hitam, tidak aneh kalau sampai
terbunuh bersama isterinya. Kalau ingat akan hal Itu, aku menyesal mengapa dulu aku memenuhi
permintaanmu untuk memungut anak itu. Ternyata ia mewarisi watak Ayahnya dan kini setelah
menggunakan nama keluarganya, Tan, dia hanya mengotori nama keluargaku saja." In Hong tidak
mendengarkan lagi karena merasa bahwa yang dibicarakan bukan urusannya.
Akan tetapi ia segera tidur dan pada keesokan harinya, sebelum ada yang bangun dalam rumah gedung
itu ia sudah keluar tanpa ada yang mengetahui dan meninggalkan kota Lan-Keng! Biarpun ia baru
berusia lima tahun ketika meninggalkan dusun Tiang-On, namun In Hong benar masih ingat di mana
letak rumah orang tuanya ketika ia memasuki dusun itu. Hati gadis itu terasa perih ketika ia memasuki
pekarangan rumah. la merasa terharu sekali. Pohon besar di depan rumah, sebelah kiri, kini telah
menjadi tua sekali dan daunnya tinggal sedikit, cabang-cabangnya banyak yang kering. Akan tetapi batu
sebesar kerbau yang berada di bawah pohon itu masih sama seperti dulu. Di waktu kecil ia sering
dimarahi Ayahnya karena sebagai seorang anak perempuan kecil ia sering naik ke atas batu besar itu,
tidak takut jatuh! Seorang laki-laki setengah tua berpakaian pelayan menyambut kedatangannya.
"Nona hendak mencari siapakah?" tanyanya hormat, dan matanya memandang heran. In Hong
bertanya,
"Paman, rumah siapakah ini? Kalau aku tidak salah, belasan tahun yang lalu ini merupakan gedung milik
keluarga Kwee."
"Wah, itu sudah lama sekali yang lalu, Nona! Memang dulu keluarga Kwee yang memiliki rumah ini, dan
setelah terjadi geger serangan gerombolan penjahat, Hartawan Kwee terbunuh penjahat dan Nyonya
Kwee menghilang. Perabotan isi rumah ini dirampok habis, nyaris dibakar akan tetapi diselamatkan
penduduk. Rumah ini kosong sampai bertahun-tahun dan beberapa tahun yang lalu keluarga Nyonya
Kwee yang tinggal di See-Ciu datang mengurus rumah peninggalan keluarga Kwee ini."
"Maksudmu keluarga Yo dari See-Ciu?"
"Benar sekali! Apakah Nona mengenal mereka?"
"Aku mengenal mereka, Paman. Lalu siapa kini yang tinggal di sini?":: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 177
:: CerSil KhoPingHoo :
"Dua tahun yang lalu keluarga Yo telah menjual rumah ini kepada majikan saya, Nona. Majikan saya she
Lu dan pindahan dari Yung-Se. Apakah Nona ingin berternu dengan keluarga Lu?"
"Tidak, terima kasih, Paman. Saya hanya ingin bertanya, apakah Paman dulu mengenal Hartawan Kwee
Seng?"
"Tentu saya mengenalnya baik-baik. Hartawan Kwee seringkali menolong keluarga kami yang miskin."
"Hemm, kalau begitu tentu Paman dapat memberitahukan kepadaku di mana dulu jenazah Hartawan
Kwee dikubur."
"Tentu saya tahu, Nona. Setelah jenazahnya ditemukan orang-orang sehari setelah dia terbunuh agak
jauh dari dusun ini, karena banyak orang pernah ditolongnya, maka beramai-ramai jenazahnya lalu
dibawa ke dusun dan dikuburkan baik-baik. Bahkan sampai sekarang makamnya dirawat baik-baik oleh
penduduk daerah ini." In Hong merasa girang dan minta ditunjukkan tanah kuburan itu.
Setelah mengetahui tempatnya dan ciri makam itu, ia lalu bergegas menuju ke sana. Tanah kuburan
umum dusun Tiang-On ini cukup luas dan ternyata cerita orang tadi benar. Makam dengan bong-pai
(batu nisan) yang terukir nama KWEE SENG terawat baik sehingga tampak bersih. Sejenak In Hong
berdiri termenung di depan makam itu, makam yang sederhana namun bersih. la tadi memang sudah
membeli hio-swa (dupa maka kini ia membakar ujung dupa dan berlutut di depan makam,
bersembahyang sebagai penghormatan kepada Ayahnya yang sudah meninggal. Ketika ia teringat
betapa Ayahnya dulu amat sayang kepadanya, sering membawa ia pergi berjalan-jalan, baik naik kuda
maupun jalan kaki, bahkan membiarkan ia duduk di pundak Ayahnya, In Hong tidak mampu menahan
beberapa butir air mata menetes di atas kedua pipinya.
"Ayah... ampuni anakmu yang tidak berbakti ini. Anak tidak mampu membalaskan sakit hati dan
kematian Ayah..." ia menancapkan belasan batang dupa lidi yang ujungnya membara itu di depan
makam dan berlutut sambil mengusap air matanya. Teringat pula ia akan dosanya yang besar, yang
bahkan membalas pembunuh Ayahnya dengan cinta! Sayang Ong Tiang Houw alias Bu Jin Ai pembunuh
Ayahnya itu telah terbunuh oleh puteranya sendiri. Kalau tidak, ia tentu akan dapat menebus dosanya
dengan membunuh Bu Jin Ai, walaupun ia sangsi sendiri apakah ia akan tega dan mampu membunuh
laki-laki itu.
"Ayah...!" kembali ia mengeluh. Karena keharuan menguasai hatinya, In Hong menjadi lengah,
kehilangan kewaspadaan sehingga ia tidak tahu bahwa ada orang mendekati tempat itu dengan langkah
ringan dan kini orang itu berdiri di sebelah kanannya dalam jarak tiga tombak.
"Hong-moi (Adik Hong)...!" In Hong yang masih berlutut menoleh ke sebelah kanan dan melihat seorang
pemuda yang bertubuh tinggi besar, berwajah ganteng dan gagah, dengan sebatang golok bergagang
emas tergantung di punggungnya.
"Yo-Twako (Kakak Yo)...!" In Hong berseru girang. Pemuda itu adalah Yo Kang, putera Yo Hang Tek yang
tinggai di See-Ciu, pemuda yang merupakan orang pertama yang jatuh cinta kepadanya. "Bagaimana
engkau bisa berada di sini, Twako?"
"Nanti dulu, Hong-moi. Biar aku bersembahyang dulu di depan makam mendiang Paman Kwee Seng."
Setelah berkata demikian, pemuda itu membakar dua lidi yang sudah dibawanya lalu bersembahyang:: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 178
:: CerSil KhoPingHoo :
memberi hormat di depan makan itu. Setelah melakukan penghormatan sebagaimana lajimnya, dia lalu
duduk di atas batu yang banyak terdapat di situ, berhadapan dengan In Hong yang juga duduk di
depannya.
"Hong-moi, aku memang sengaja hendak menjenguk makam Paman Kwee Seng yang sudah lama tidak
kukunjungi."
"Akan tetapi bagaimana engkau tahu...?"
"Tentu saja aku tahu, Hong-moi. Dahulu, Ayahku yang mengatur pemakaman ini, setelah mendengar
akan malapetaka yang menimpa Ayahmu." In Hong mengangguk-angguk. Kalau ia tidak salah ingat,
dahulu ketika ia berkunjung ke rumah Kakeknya, Yo Tang, Ayah dari Ibunya yang pemarah, pikun dan
pelit itu, rasanya pernah Pamannya, Yo Hang Tek menceritakan tentang pemakaman jenazah Ayahnya.
Kalau tadi pelayan tua di bekas rumah Ayahnya itu mengaku bahwa penduduk yang mengurus jenazah
Ayahnya, mungkin mereka itu hanya membantu saja.
"Terima kasih bahwa engkau masih mau menjenguk makam Ayahku, Twako."
"Ah, mendiang Paman Kwee Seng adalah suami Bibiku Yo Cui Hwa, berarti dia masih keluarga dekat
dengan keluarga kami. Hong-moi, bagaimana hasilmu mencari Bibi Yo Cui Hwa? Kami sudah berusaha
untuk mencarinya dengan menyebar banyak orang, namun sampai sekarang belum juga dapat kami
temukan."
"Aku sudah bertemu dengan Ibuku, Yo-Twako. Ibu kini tinggal di dusun Hok-Te-Cung sebelah barat kota
Lm-Goan-Kan."
"Ah, aku girang sekali mendengar itu, Hong-moi! Ayah dan Kongkong (Kakek) tentu girang sekali,
terutama Kongkong yang kini sakit berat dan selalu menanyakan Bibi Yo Cui Hwa." Tiba-tiba In Hong
berseru!
"Awas, Twako!" Akan tetapi agaknya Yo Kang juga sudah melihat adanya sinar-sinar hitam yang
menyambar ke arah dia dan In Hong.
Dengan gesit dia mengelak ke kiri mendekati makam, tangannya mencabut beberapa batang dupa lidi
yang masih membara dan menyambut ke arah datangnya sinar hitam tadi. Pada saat yang bersamaan, In
Hong yang juga dapat mengelak dari serangan gelap itu sudah menggerakkan tangan kirinya dan sinar
hitam dari senjata rahasianya pasir hitam yang disebut Toat-Beng Hek-Kong (Sinar Hitam Pencabut
Nyawa) telah meluncur ke arah yang sama. Terdengar jeritan beberapa orang dan beberapa sosok
bayangan yang tadi berada di balik semak-semak kini berloncatan dan melarikan diri. In Hong dan Yo
Kang cepat meloncat ke balik semak-semak itu dan mereka melihat seorang yang menggeletak telentang
dan telah tewas, mukanya berubah menghitam dan itu merupakan tanda bahwa dia menjadi korban
serangan batik yang dilakukan In Hong dengan Toat-Beng Hek-Kong tadi. Yo Kang mengerutkan alisnya.
"Ah, engkau telah membunuhnya, Hong-moi!" katanya dengan nada suara menyesal.
"Manusia jahat yang menyerang secara menggelap ini Judah sepatutnya dibunuh!" jawab In Hong tegas.
Mendengar jawaban yang ketus itu Yo Kang merasa bahwa ucapannya tadi seolah menegur, maka cepat
dia berkata.:: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 179
:: CerSil KhoPingHoo :
"Maksudku, kalau dia tidak dibunuh kita dapat mengetahui mengapa dia menyerang kita." In Hong
mengangguk.
"Ya, sayang yang lain-lain dapat kabur."
"Akan tetapi beberapa batang dupa lidi yang kau sambitkan tadi mengenai sasaran, hanya tidak
membunuh mereka." kata Yo Kang, lalu dia berjongkok untuk meneliti orang yang tewas oleh pasir
hitam yang dilontarkan In Hong tadi. Laki-laki itu berusia sekitar lima puluh tahun. Di punggungnya
tergantung sebatang pedang, pakaiannya serba hitam, akan tetapi anehnya, pakaiannya yang terbuat
dari kain hitam yang masih baru itu di sana-sini dihias dengan tambalan! Wajahnya bersih tanpa kumis
dan jenggot, dan sama sekali tidak tampak serem seperti wajah seorang penjahat. In Hong melihat Yo
Kang seperti orang terheran.
"Yo-Twako, apakah engkau mengenal orang ini?"
"Orangnya aku tidak kenal, akan tetapi ciri pakaiannya ini menunjukkan bahwa dia adalah seorang
anggauta Hek I Kaipang (Perkumpulan Pengemis Baju Hitam) yang berpusat di Lereng Beng-San! Aneh
sekali, mengapa Hek I Kaipang memusuhi kita?"
"Mungkin yang mereka musuhi adalah seorang di antara kita. Aku sendiri tidak pernah berurusan
dengan Hek I Kaipang. Mungkin engkau yang mereka musuhi, Twako."
"Hemm, aku pribadi pun belum pernah bermusuhan dengan perkumpulan pengemis yang merupakan
Kaipang (Perkumpulan Pengemis) paling terkenal dan besar saat ini. Di mana-mana terdapat cabangnya
dan perkumpulan itu, sepanjang pendengaranku, dipimpin oleh tokoh-tokoh berilmu tinggi yang berjiwa
pendekar dan penentang penjajah. Nama mereka bersih sebagai orang-orang gagah yang tidak pernah
melakukan kejahatan. Bahkan mereka menentang para penjahat sehingga para hartawan yang
dermawan banyak memberi sumbangan kepada Hek I Kaipang. Aku tidak pernah bermusuhan dengan
mereka!"
"Hemm, kalau begitu, mengapa ada anggauta mereka yang hendak membunuh kita?" tanya In Hong. Yo
Kang lalu berjongkok dan memeriksa saku baju mayat itu. Dalam sebuah saku bajunya, dia menemukan
sehelai kertas bertulis. Dia lalu membacanya bersama In Hong.
"Pemuda baju biru itu Yo Kang, murid Bu-Tong-Pai."


Bayangan Bidadari Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hemm, kalau begitu, Hek I Kaipang agaknya memusuhi Bu-Tong-Pai. Akan tetapi mengapa?"
"Engkau benar, Yo-Twako. Kalau mereka memusuhi pribadimu, tentu surat itu tidak perlu menyebut
engkau sebagai murid Bu-Tong-Pai. Tentu mereka memusuhi Bu-Tong-Pai sehingga tadi mereka juga
menyerang aku, tentu mengira aku murid Bu-Tong-Pai pula."
"Hemm, aneh sekali. Hek I Kaipang perkumpulan orang gagah, Bu-Tong-Pai juga perguruan para
pendekar. Mengapa Hek I Kaipang memusuhinya? Aku harus menyelidiki hal ini. Kalau tidak salah, di
kota Im-San-Keng juga terdapat cabang perkumpulan itu. Aku akan berkunjung ke sana dan menanyakan
hal ini.":: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 180
:: CerSil KhoPingHoo : :: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 181
:: CerSil KhoPingHoo :
"Tidak, Yo-Twako, jangan engkau yang pergi. Mereka tahu bahwa engkau murid Bu-Tong-Pai. Jangan-
jangan begitu engkau muncul, mereka akan langsung menyerangmu. Biar aku yang pergi. Aku bukan
murid Bu-Tong-Pai, tentu lebih mudah melakukan penyelidikan."
"Baiklah, Hong-moi, dan terima kasih atas bantuanmu terhadap But-Tong-Pai ini. Engkau memasuki kota
Im-San-Keng untuk melakukan penyelidikan dan aku akan menanti di luar kota." Lalu dia menoleh dan
memandang ke arah mayat itu.
"Akan tetapi lebih dulu akan kukubur jenazah ini baik-baik sebagai bukti bahwa Bu-Tong-Pai memang
tidak bermusuhan dengan Hek I Kaipang." Diam-diam In Hong merasa kagum akan sikap Yo Kang yang
baik budi itu. sendiri tentu tidak sudi untuk mengurus mayat orang yang memusuhinya dan baru saja
tadi menyerangnya secara pengecut dengan niat membunuhnya. Setelah mengubur mayat itu secara
sederhana, mereka lalu meninggalkan tanah kuburan menuju ke kota Im-San-Keng di sebelah timur.
Setelah tiba di luar kota Im-San-Keng, dalam sebuah hutan kecil bawah sebuah bukit, mereka berhenti
dan Yo Kang berkata.
"Nah, aku akan menanti di sini, Hong-moi. Engkau masuklah ke sana dan selidiki orang-orang Hek I
Kaipang. Kebetulan di sana terdapat pula seorang murid Bu-Tong-Pai yang membuka perguruan silat
sebagai cabang dari aliran Bu-Tong-Pai. Aku tidak mengenal murid itu karena aku hanya mendengar
tentang perguruan silat Bu-Tong-Pai itu dari para Suhu di Bu-Tong-Pai, Sebaiknya engkau melihat ke
sana pula. Siapa tahu orang-orang Hek I Kaipang juga memusuhi mereka. Dengan begitu kita tahu
apakah Hek Kaipang memusuhi Bu-Tong-Pai ataukah memusuhi aku pribadi."
"Baik, Yo-Twako." In Hong lalu meninggalkan hutan kecil itu dan memasuki kota Im-San-Keng yang
ternyata cukup besar dan ramai. Siang hari itu udaranya panas, namun orang-orang masih ramai dan
sibuk di sepanjang jalan umum dalam kota itu.
In Hong mencari-cari dengan pandang matanya, akan tetapi sampai jauh ia berkeliling kota, ia tidak
pernah bertemu dengan seorang pun anggauta Hek I Kaipang yang tentu akan mudah ia kenal dari
pakaian mereka. Akan tetapi di sudut kota sebelah selatan, tiba-tiba ia melihat seorang laki-laki berusia
sekitar lima puluh tahun, berpakaian hitam tambal-tambalan seperti pakaian orang yang tewas oleh
pasir hitamnya pagi tadi. Dia pasti seorang anggauta Hek I Kaipang! In Hong lalu diam-diam membayangi
orang itu. Pengemis yang pakaiannya serba hitam, kainnya baru akan tetapi banyak tambalannya itu
memasuki sebuah rumah yang pintu gerbangnya besar dan terbuka sehingga dari jalan orang dapat
melihat ke ruangan depan yang luas. Di atas pintu gerbang terdapat tulisan yang tidak berapa mencolok
dan besar, namun ditulis dengan gaya indah.
PERGURUAN SILAT RANTING BU-TONG-PAI
Hati In Hong menjadi tegang. Perguruan inilah yang dimaksudkan Yo Kang. Dan sekarang ada seorang
anggauta Hek I Kaipang memasuki gerbang itu! Cepat ia menyelinap dan mengintai. Tadi dari luar ia
sudah mendengar bentakan-ben-takan orang banyak berlatih silat. Setelah ia menyelinap masuk
mempergunakan ilmunya meringankan tubuh yang sudah mencapai tingkat tinggi sehingga tubuhnya
hanya tampak seperti bayangan berkelebat lalu ia mengintai dari balik dinding, ia melihat seorang laki-
laki berusia sekitar empat puluh lima tahun, bertubuh tinggi besar berjenggot panjang,
Wajahnya gagah dan pakaiannya seperti yang biasa dipakai seorang ahli silat, sedang memberi aba-aba
kepada lima belas orang pemuda yang belajar silat. Belasan orang murid yang berusia dari dua puluh:: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 182
:: CerSil KhoPingHoo :
sampai tiga puluh tahun itu bertelanjang dada dan mereka menggerakkan kaki tangan secara berbareng,
setiap gerakan disertai bentakan dari mulut mereka. In Hong dapat melihat bahwa murid-murid itu baru
mencapai tingkat mempergunakan gwakang (tenaga luar) dan tubuh mereka tampak berotot dan kekar.
Namun harus ia akui bahwa gerakan mereka mantap dan ilmu silat Bu-Tong-Pai merupakan ilmu bela
diri yang baik. Ketika melihat betapa orang berpakaian hitam yang ia duga tentu anggauta Hek I Kaipang
itu kini menonton sambil tersenyum mengejek, In Hong menjadi semakin tertarik.
"Hemm, begini sajakah ilmu silat Bu-Tong-Pai? Dengan ilmu silat kampungan seperti ini, bagaimana
berani bertindak sewenang-wenang membunuhi anggauta perkumpulan lain?" Tiba-tiba anggauta Hek I
Kaipang itu menggerakkan tangan kirinya dan tiga buah batu kecil yang tadi digenggamnya meluncur
cepat ke arah tiga orang murid yang sedang berlatih silat dan yang berada paling depan.
"Tak-tak-takk...!" Tiga buah batu kecil itu menyambar cepat dan agaknya mengenai lutut kanan tiga
orang murid itu. Mereka mengeluh dan jatuh terduduk, menggosok-gosok lutut kanan yang terasa nyeri
dan kehilangan tenaga karena tertotok jalan darahnya oleh batu-batu kecil tadi. Laki-laki gagah yang tadi
memimpin para murid berlatih terkejut sekali. Dengan gerakan yang cukup gesit dia melompat dan
sudah berhadapan dengan pengemis baju hitam. Mereka saling tatap dengan pandang mata tajam
menyelidik, seperti dua ekor ayam jantan sedang berlaga, siap saling terjang. In Hong menonton saja
karena ia ingin tahu mengapa pengemis itu memusuhi Bu-Tong-Pai. Kini ia yakin bahwa bukan Yo kang
pribadi yang dimusuhi Hek I Kaipang, melainkan Bu-Tong-Pai.
"Bukankah engkau ini anggauta Hek I Kaipang, sobat? Setahuku, Hek I Kaipang bersahabat dengan para
pendekar. Mengapa engkau sekarang datang dan menghina kami?" laki-laki itu bertanya dengan keren,
namun sikapnya masih lunak.
"Hemm, selamanya Hek I Kaipang bersahabat dengan para pendekar, akan tetapi memusuhi pembunuh
dan Bu-Tong-Pai ternyata telah menjadi segerombolan pembunuh yang kejam dan jahat!" kata
pengemis baju hitam itu dengan suara mengandung kemarahan.
"Sobat, apa maksudmu? Jangan meIempar fitnah yang bukan-bukan kepada kami. Aku, Tung Pan, murid
Bu-Tong-Pai tidak pernah melakukan perbuatan jahat!"
"Dan aku, Ang Cun, murid Hek I Kaipang tingkat empat, juga bukan orang yang suka melempar fitnah! Di
kota An-Hui, sebulan yang lalu, tiga puluh orang anggauta Hek I Kaipang telah dibunuh oleh
segerombolan murid Bu-Tong-Pai!"
"Tidak mungkin!" bentak Tung Pan marah.
"Hem, pembunuhan telah terjadi. Semua murid Hek I Kaipang telah bersumpah untuk membalas
dendam. Aku tidak mau membunuhi pemuda-pemuda yang menjadi muridmu ini karena mereka masih
belum dapat dinamakan murid Bu-Tong-Pai. Akan tetapi engkau, Tung Pan, engkau murid Bu-Tong-Pai,
maka harus kubunuh. Bersiaplah engkau untuk mati di tanganku!"
"Manusia sombong! Siapa takut padamu? Aku sebagai murid Bu-Tong-Pai selalu siap untuk
mempertahankan nama baik dan kehormatan Bu-Tong-Pai yang kau fitnah dan kau bikin kotor!" Dia
menoleh kepada para muridnya.:: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 183
:: CerSil KhoPingHoo :
"Kalian jangan mencampuri urusan ini. Mundur dan menjauhlah!" Para murid itu tidak berani
membantah dan mereka lalu mundur dan hanya menonton dari sudut ruangan yang luas itu. Ang Cun
lalu menarik sebatang tongkat hitam yang tadi diselipkan di ikat pinggangnya. Melihat ini, Tung Pan yang
sudah lama mengena! Hek I Kaipang, maklum bahwa lawannya bersungguh-sungguh dan telah
memegang senjata andalan kaum pengemis baju hitam itu. Maka dia pun cepat mengambil sebatang
golok dari rak senjata di sudut dan kini mereka berhadapan lagi, senjata andalan masing-masing di
tangan.
"Sambut seranganku!" bentak Ang Cun dan tongkat hitamnya menyambar. Gerakannya cukup dahsyat
dan Tung Pan yang tahu akan kelihaian lawan sudah mengelebatkan goloknya menangkis.
"Tranggg...!" Bunga api berpijar dan kedua orang itu merasa tangan mereka tergetar, menunjukkan
bahwa tenaga mereka seimbang.
Mereka lalu saling serang dengan seru dan mati-matian. Tung Pan mainkan goloknya dengan Bu-Tong
To-Hoat (Ilmu Golok Bu-Tong-Pai) yang indah. Namun In Hong yang menjadi penonton melihat bahwa
ilmu golok murid Bu-Tong-Pai itu belumlah selihai ilmu golok yang dikuasai Yo Kang, apalagi setelah
pemuda yang menjadi Kakak misannya itu mendapat petunjuk dari Wu Wi Thaisu wakil ketua Go-Bi-Pai.
In Hong memang hanya menonton karena apa yang didengarnya dari percakapan antara dua orang itu
membuat ia ragu. Siapakah di antara Hek I Kaipang dan Bu-Tong-Pai yang bersalah? Kalau benar-benar
tiga puluh orang Hek I Kaipang dibantai secara kejam oleh orang-orang Bu-Tong-Pai, jelas bahwa Bu-
Tong-Pai yang bersalah. Akan tetapi kalau hal itu benar, perlu pula diketahui sebabnya mengapa Bu-
Tong-Pai melakukan pembunuhan-pembunuhan itu.
la menjadi ragu dan hanya menonton. Setelah lewat lima puluh jurus, Tung Pan mulai terdesak seperti
yang sudah diduga oleh In Hong yang dapat menilai bahwa tingkat kepandaian murid Bu-Tong-Pai itu
masih kalah tinggi sedikit dibandingkan tingkat lawannya. Melihat ini In Hong mengerti bahwa kalau
dibiarkan saja, tentu murid Bu-Tong-Pai itu akan roboh dan mungkin tewas, mengingat betapa orang
Hek I Kaipang itu sejak tadi menyerang dengan dahsyat untuk membunuh. Benar saja dugaannya, tiba-
tiba Ang Cun berseru keras dan biarpun Tung Pan dapat menghindarkan diri dari totokan tongkat itu,
namun tendangan kaki Ang Cun mengenai lututnya dan Tung Pan roboh. Tongkat hitam di tangan Ang
Cun menusuk ke arah dada Tung Part yang sudah tak berdaya itu.
"Syyyttt.... plakk!" Ang Cun terkejut dan cepat melompat ke belakang ketika serangan tongkatnya itu
terpental dan tertangkis bayangan yang tiba-tiba muncul dan menyambar ke arah tongkatnya. Ketika
melihat bahwa yang berdiri di depannya adalah seorang gadis muda yang cantik, dia mengerutkan
alisnya.
"Hemm, apakah engkau juga murid Bu-Tong-Pai?" tanyanya, maklum bahwa orang yang mampu
menangkis tongkatnya dengan tangan seperti tadi, memiliki tingkat kepandaian yang tinggi.
"Bukan, aku bukan murid Bu-Tong-Pai. Akan tetapi kebetulan aku tertarik melihat pertentangan antara
Hek I Kaipang dan Bu-Tong-Pai ini. Lokai (Pengemis Tua), engkau keliru besar kalau hendak membunuh
murid Bu-Tong-Pai."
"Nona, harap jangan mencampuri urusan kami dengan Bu-Tong-Pai. Orang-orang Bu-Tong-Pai telah
bertindak kejam, membantai tiga puluh orang anggauta kami. Apakah engkau hendak membela iblis-iblis
kejam seperti mereka itu?" Tung Pan yang sudah bangkit berdiri dan mundur berkata,:: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 184
:: CerSil KhoPingHoo :
"Kami tidak membunuh orang!"
"Dengar, Lokai! Paman Tung Pan ini sama sekali tidak tahu menahu tentang pembunuhan itu. Mengapa
ia harus bertanggung jawab dan menebus dengan kematiannya?"
"Huh Bu-Tong-Pai membunuhi tiga puIuh orang kami yang tidak bersalah apa-apa, maka semua murid
Bu-Tong-Pai harus kami bunuh sebagai balas dendam!"
"Aku tidak percaya bahwa murid Bu-Tong-Pai melakukan pembunuhan itu!" kata Tung Pan penasaran.
"Ang-Lokai, apa buktinya bahwa pembunuhan banyak anggauta Hek I Kaipang itu dilakukan murid Bu-
Tong-Pai? Hati-hati, tanpa bukti berarti engkau hanya melempar fitnah!" kata In Hong.
"Ketika para pimpinan datang, ada dua orang anggauta itu yang tidak tewas, hanya terluka parah.
Mereka yang mengatakan bahwa yang membunuh mereka adalah seorang bertopeng yang mengaku
sebagai tokoh Bu-Tong-Pai."
"Hemm, itu bukan bukti yang meyakinkan. Bisa saja orang lain yang melakukannya dan mengaku sebagai
tokoh Bu-Tong-Pai, maka dia memakai kedok."
"Ada bukti lain! Para anggauta Hek I Kaipang itu mati karena pukulan Tong-Sim-Ciang (Tangan
Pengguncang Jantung) yang hanya dikuasai orang Bu-Tong-Pai! Para korban itu hancur jantung mereka
oleh pukulan itu. Tidak ada lain aliran persilatan yang memiliki pukulan itu!" Pada saat itu, tiba-tiba dua
orang laki-laki berpakaian hitam berlari memasuki ruangan itu. Mereka cepat menghampiri Ang Cun dan
seorang di antara mereka berkata.
"Ang-Twako, Kian-Te mati dibunuh orang..." Tiba-tiba orang kedua berseru sambil menudingkan
telunjuknya ke arah In Hong.
"Gadis itu yang membunuhnya! Kami juga terluka oleh dupa lidi...!" Dua orang itu memandang kepada
In Hong dengan mata melotot. Mendengar ini, Ang Cun marah sekali dan tanpa banyak cakap lagi ia
sudah menyerang In Hong dengan tongkat hitamnya. Dua orang anggauta Hek I Kaipang yang baru
datang itu pun cepat menggunakan tongkat hitam untuk mengeroyok In Hong, akan tetapi agaknya
tingkat mereka berdua berada di bawah tingkat Ang Cun. Melihat gadis yang menolongnya itu
dikeroyok, Tung Pan sudah menggerakkan goloknya hendak membantu, namun In Hong berseru
mencegahnya.
"Paman Tung Pan, jangan mencampuri. Ini urusanku!" Tung Pan tidak jadi maju, malah mundur
mendekati murid-muridnya dan mereka menonton dengan mata terbelalak. Sepak terjang In Hong
memang membuat mereka kagum sekali. Tiba-tiba saja tubuh gadis itu lenyap berubah menjadi
bayangan yang berkelebatan menyambar-nyambar. Tiga orang Hek I Kaipang menjadi kebingungan dan
mencoba untuk menyerang bayangan itu, namun selalu gagal. Tiba-tiba tiga orang itu mengeluh dan
roboh, tak mampu menggerakkan kaki tangan mereka karena In Hong sudah berhasil menotok jalan
darah mereka, membuat mereka lumpuh. Tiga orang itu rebah telentang dan mata mereka melotot.:: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 185
:: CerSil KhoPingHoo :
"Bunuhlah, kami sudah kalah. Kami tidak takut mati!" bentak Ang Cun. Akan tetapi In Hong
menggerakkan tangannya tiga kali dan tiga orang anggauta Hek I Kaipang itu terbebas dari totokan dan
dapat bergerak kembali. Mereka lalu bangkit berdiri dan memandang In Hong dengan heran.
"Mengapa aku harus membunuhmu? Di antara kita tidak ada permusuhan apa pun."
"Akan tetapi seorang saudara kami!" Ang Cun berkata dengan marah.
"Hemm, hanya itu yang dilaporkan dua orang temanmu ini." In Hong memandang kepada dua orang
yang baru datang. Yang seorang terluka kecil pipi kirinya, bekas tertusuk dupa lidi dan orang kedua
terluka lehernya. Agaknya dupa-dupa lidi yang disambitkan Yo Kang telah mengenai sasaran pula.
"Hayo kalau kalian mengaku sebagai anggauta Hek I Kaipang yang gagah, ceritakan sebenarnya apa yang
terjadi."
"Hayo ceritakan!" Ang Cun membentak kepada dua orang itu. Orang yang pipinya terluka kecil bercerita.
"Setelah mendapat pesan dengan surat darimu, Twako, kami bertiga lalu mengikuti Yo Kang sampai di
tanah kuburan. Kami melihat dia di depan sebuah makam bersama gadis ini, maka kami lalu menyerang
mereka dengan Hek-Piauw (senjata Rahasia Piauw Hitam). Tiba-tiba mereka berdua yang dapat
mengelak lalu menyerang kami. Kian-Te terkena sinar hitam dari gadis ini dan tewas, sedangkan kami
hanya terluka dupa lidi saja sehingga dapat melarikan diri dan menyusulmu ke sini."
"Nah, engkau mendengar sendiri, Lokai. Aku yang tidak bersalah apa-apa, diserang secara menggelap
dan kalau serangan itu mengenai sasaran, tentu aku akan mati Maka aku membalas dengan serangan
senjata rahasia dan seorang di antara mereka roboh dan tewas. Apa engkau hendak menyalahkan aku?
Sekarang tentang tuduhanmu kepada Bu-Tong-Pai itu. Karena pembunuh itu menggunakan topeng,
walaupun dia membunuh dengan Tong-Sim-Ciang dari Bu-Tong-Pai, masih diragukan apakah dia benar
orang Bu-Tong-Pai. Dan ingat, seandainya dia itu orang Bu-Tong-Pai, apakah pantas kalau Hek I Kaipang
lalu hendak membunuhi semua orang Bu-Tong-Pai? Apakah kesalahan satu orang harus dipikul seluruh
anggauta partai? Andaikata seorang anggauta Hek I Kaipang melakukan kesalahan, apakah kalian
seluruh anggauta Hek I Kaipang mau menebus kesalahannya dan menyerahkan nyawa kalian untuk
dibunuh?" Mendengar ucapan In Hong itu, tiga orang Hek I Kaipang tidak mampu menjawab. Mereka
tertegun dan ragu-ragu, lalu Ang Cun berkata setelah menarik napas panjang.
"Kami menyadari kebenaran ucapanmu, Nona... hemm, siapakah sebetulnya engkau, Nona?"
"Sebut saja Put Hauw Li."
"Put Hauw Li (Wanita Tidak Berbakti)? Itu bukan nama!" kata Ang Cun.
"Kalau aku tidak salah duga, tentu Nona yang dikenal orang dengan julukan Sian-Li Eng-Cu (Bayangan
Bidadari)!" tiba-tiba Tung Pan berkata. "Maafkan kalau dugaanku keliru, Lihiap (sebutan Pendekar
Wanita)!" In Hong tersenyum dan berkata acuh tak acuh.
"Boleh saja disebut begitu. Nah, Ang Lokai, lanjutkan bicaramu.":: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 186
:: CerSil KhoPingHoo :
"Sian-Li Eng-Cu, seperti kukatakan tadi, kami menyadari kebenaran ucapanmu. Akan tetapi peristiwa
pembunuhan itu membuat kami semua marah dan sakit sekali. Lalu apakah kami harus berdiam diri saja
melihat tiga puluh orang saudara kami dibantai?"
"Bukan begitu Ang Lokai. Aku sendiri juga tidak senang mendengar ada orang membunuhi tiga puluh
orang anggauta Hek I Kaipang atau orang-orang manapun juga yang tidak bersalah. Aku pasti akan
menentang orang itu! Akan tetapi tindakan Hek I Kaipang yang hendak membunuhi semua murid Bu-
Tong-Pai jelas keliru. Seharusnya, para pemimpin Hek I Kaipang secara baik-baik mendatangi para
pemimpin Bu-Tong-Pai pusat Bu-Tong-San, melaporkan kejadian. Dengan demikian, aku yakin para guru
besar Bu-Tong-Pai pasti akan turun tangan melakukan penyelidikan dan mencari orang yang membunuh
para anggauta Hek I Kaipang itu dan menangkap orang itu, baik dia murid Bu-Tong-Pai atau hanya orang
yang menggunakan nama Bu-Tong-Pai."
"Wah, pendapat itu amat tepat! Sobat Ang Cun, apa yang dikatakan Sian-Li Eng-Cu ini baru namanya adil
dan benar. Yang bersalah memang harus dihukum, tidak peduli dia dari golongan apa, akan tetapi yang
tidak bersalah tidak semestinya dikejar-kejar dan dihukum!" kata Tung Pan dengan kagum terhadap
gadis itu.
"Seorang anggauta Hek I Kaipang yang tewas di tanah kuburan itu adalah akibat dari ulahnya sendiri.
Kalau dia dan dua orang temanmu ini tidak menyerang secara menggelap, sudah pasti dia tidak akan
mati terkena senjata gelap pula. Dan aku melihat bahwa murid Bu-Tong-Pai bernama Yo Kang itu sama
sekali tidak membenci atau memusuhi Hek I Kaipang. Buktinya, melihat mayat anggauta Hek I Kaipang
itu, dia lalu menguburnya. Kalau bermusuhan, mana dia sudi melakukan hal itu? Nah, Ang Lokai,
kuharap engkau dapat menyadari bahwa pada umumnya, para murid Bu-Tong-Pai adalah orang-orang
berjiwa pendekar. Maka perlu diselidiki, dicari dan ditangkap orang yang mengaku murid Bu-Tong-Pai
namun melakukan pembunuhan kejam terhadap tiga puluh orang Hek I Kaipang itu."
Mendengar ini, Ang Cun dan dua orang kawannya mengangguk-angguk. Mereka mengerti benar, bahkan
menyetujui pendapat Si Bayangan Bidadari itu.
"Herm, ucapanmu itu benar-benar telah menerangi pikiran kami yang tadinya gelap oleh dendam, Sian-
Li Eng-Cu. Aku sendiri yang akan menghadap ketua kami dan menyampaikan pesanmu agar mereka
semua sadar akan kekeliruan mereka. Tung-Kauwsu, maafkan sikap kami tadi!" Ang Cun memberi
hormat kepada Tung Pan dan In Hong, diikuti dua orang temannya, kemudian mereka bergerak keluar
dari rumah perguruan silat itu.
"Lihiap, banyak terima kasih atas budi pertolonganmu, bukan saja menyelamatkan aku dari ancaman
maut, akan tetapi terutama sekali karena Lihiap telah berhasil menyadarkan Ang Cun dan kawan-
kawannya."
"Tidak perlu berterima kasih, Tung-Kauwsu. Aku hanya mengharap mudah-mudahan Ang Cun dapat
menyadarkan ketuanya dan para pemimpin Hek I Kaipang." Tiba-tiba mereka mendengar suara teriakan
beberapa orang di luar rumah perguruan itu. Cepat In Hong melompat dan berlari keluar, diikuti oleh
Tung Pan dan para muridnya. Setibanya di luar, Tung Pan dan para muridnya melihat In Hong yang
gerakannya amat cepat tadi sudah berjongkok dekat mayat tiga orang yang bukan lain adalah Ang Cun
dan dua orang anggauta Hek I Kaipang tadi! Mereka melihat In Hong meraba-raba dada tiga orang yang
sudah tewas itu.:: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 187
:: CerSil KhoPingHoo :
"Lihiap, apakah yang terjadi?" Tung Pan lari menghampiri. In Hong menggelengkan kepala tanda bahwa
Ia tidak tabu. Tung Pan lalu bertanya kepada empat orang yang kebetulan lewat di depan rumahnya dan
kini berdiri di tepi jalan menonton.
"Saudara-saudara, apakah kalian melihat apa yang terjadi dan mengapa tiga orang itu tewas?" Empat
orang itu tampak bingung dan seorang di antara mereka berkata,
"Kami tidak tahu. Tadi kami hanya melihat betapa tiga orang ini tiba-tiba berteriak dan terguling jatuh,
tak bergerak lagi. Kami tidak tahu mengapa, dan tidak melihat ada orang lain di sekitar sini." Tiba-tiba
tampak tiga orang berpakaian hitam-hitam berlari-lari mendatangi. In Hong melihat bahwa mereka
adalah tiga orang anggauta Hek I Kaipang dan begitu tiba di situ, mereka segera berlutut dan menangisi


Bayangan Bidadari Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mayat tiga orang rekan mereka. Seorang di antara mereka, yang berusia sekitar dua puluh lima tahun
atau lebih, tubuhnya sedang dan mukanya kotor oleh debu, rambutnya awut-awutan, berteriak-teriak.
"Orang Bu-Tong-Pai jahat! Bu-Tong-Pai jahat!!" Dia menudingkan telunjuk kirinya ke arah Tung Pan.
Tung Pan segera melangkah maju dan berkata kepada anggauta Hek I Kaipang yang muda itu.
"Nanti dulu, sobat. Bukan aku yang membunuh mereka!"
"Bohong! Orang Bu-Tong-Pai semua jahat!" Anggauta Hek I Kaipang itu berseru dan dia sudah mencabut
tongkat hitamnya lalu menyerang Tung Pan. Akan tetapi ternyata tingkat kepandaian anggauta muda
perkumpulan pengemis itu masih rendah karena sekali ditangkis Tung-Kauwsu, dia terpelanting jatuh.
Dua orang kawannya, murid-murid Hek I Kaipang lalu mencegahnya dan mereka bertiga segera
memondong tiga buah jenazah itu pergi dari situ.
"Aih, apa yang terjadi di sini?" Tung Pan menepuk dahinya dan merasa khawatir sekali.
"Lihiap, sia-sia saja tadi Lihiap dapat menyadarkan Ang Cun dan dua orang temannya. Ternyata ada yang
membunuhnya secara gelap!" In Hong mengangguk.
"Ya, dan mereka terkena pukulan Tong-Sim-Ciang dari Bu-Tong-Pai pula! Hemm, mari kita bicara di
dalam Tung-Kauwsu." Mereka semua memasuki rumah perguruan itu. Mereka lalu duduk di ruangan
dalam, bicara dengan serius.
"Paman Tung, apakah engkau menguasai ilmu pukulan Tong-Sim-Ciang?" Tiba-tiba In Hong bertanya.
Tung Pan memandang dengan alis berkerut.
"Lihiap, apakah engkau menduga aku yang..."
"Bukan begitu, Paman. Aku hanya ingin tahu untuk melancarkan penyelidikanku."
"Tidak, Lihiap. Ilmu pukulan itu hanya dikuasai oleh murid Bu-Tong-Pai yang tingkatnya sudah tinggi, dua
tingkat lebih tinggi daripada tingkatku."
"Apakah Paman mengenal seorang guru silat di Hak-Ciu, juga murid Bu-Tong-Pai yang bernama Si Hoo?"
"Si Suheng (Kakak Seperguruan Si)? Tentu saja aku mengenalnya. Dia itu murid Bu-Tong-Pai yang lebih
tinggi setingkat dibandingkan aku.":: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 188
:: CerSil KhoPingHoo : :: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 189
:: CerSil KhoPingHoo :
"Hemm, Paman Si Hoo itu pun terbunuh dan pembunuhnya adalah Pak Lo-Kui."
"Pak Lo-Kui, Datuk Besar Utara? Akan tetapi, mengapa?"
"Mungkin ini merupakan peristiwa lain, Paman." In Hong lalu menceritakan tentang Si Hoo yang dibunuh
oleh Pak Lo-Kui gara-gara ulah murid Datuk Utara itu.
"Ah, mengapa murid-murid Bu-Tong-Pai terlibat dalam urusan yang menimbulkan permusuhan ini?
Bagaimana sekarang, Lihiap? Satu-satunya murid Hek I Kaipang yang sudah sadar dan hendak
menyampaikan pandanganmu itu tentang pembunuhan tiga puluh orang anggauta Hek I Kaipang, kini
bersama dua orang temannya terbunuh. Apalagi terbunuhnya di depan rumah perguruanku, tentu Bu-
Tong-Pai akan semakin dicurigai dan dibenci oleh mereka."
"Paman Tung, aku hampir yakin bahwa pembunuh tiga orang murid Hek I Kaipang tadi adalah orang
yang membunuh tiga puluh orang anggauta Hek I Kaipang di An-hui yang diceritakan Ang Cun tadi. Tentu
dia mendengar bahwa Ang Cun telah sadar dan hendak melapor kepada ketuanya, maka Ang Cun dan
dua orang temannya dibunuh dan cara membunuhnya juga dengan Tong-Sim-Ciang pukulan lihai khas
Bu-Tong-Pai."
"Akan tetapi mengapa orang itu melakukan pembunuhan-pembunuhan dan menggunakan ilmu Bu-
Tong-Pai?"
"hi sudah jelas, Paman! Hanya ada dua kemungkinan, yaitu pertama, kemungkinan tipis bahwa orang itu
adalah seorang tokoh Bu-Tong-Pai yang membenci Hek I Kaipang, entah mengapa dan dia ingin agar Bu-
Tong-Pai bermusuhan dengan Hek I Kaipang."
"Akan tetapi mengapa dia memakai topeng dan membunuh secara gelap?"
"Tentu agar dia tidak dikenal, karena dia khawatir para pemimpin Bu-Tong-Pai tidak menyetujui
perbuatannya itu. Dan kemungkinan kedua, yang lebih kucurigai, pembunuh itu adalah orang yang
sengaja hendak melempar fitnah kepada Bu-Tong-Pai untuk mengadu domba, agar terjadi permusuhan
antara Bu-Tong-Pai dan Hek I Kaipang."
"Akan tetapi mengapa dia melakukan hal itu? Apa alasan atau tujuannya?"
"Entahlah, aku belum dapat menduganya. Akan tetapi, aku berjanji akan ikut menyelidiki hal ini.
Sekarang, lebih baik Paman membubarkan perguruan silat ini dan Paman sendiri bersama keluarga
Paman pindah ke lain tempat karena aku yakin bahwa kematian Ang Cun dan dua orang kawannya di
depan rumah Paman ini tentu akan berekor panjang. Mereka pasti akan mencari Paman untuk
membalas dendam. Apalagi sekarang sudah tidak ada Ang Cun yang menyadarkan mereka. Nah,
turutilah nasehatku, Paman. Sekarang aku hendak pergi."
Setelah berkata demikian, In Hong cepat meninggalkan kota Im-San-Keng dan kembali ke hutan kecil di
luar kota itu. Cuaca senja mulai remang-remang ketika In Hong memasuki hutan kecil itu. Tidak tampak
bayangan Yo Kang di tempat di mana ia meninggalkan pemuda itu. Sampai agak lama ia berdiri di situ,
memandang ke sekeliling yang sudah mulai gelap.:: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 190
:: CerSil KhoPingHoo :
"Yo-Twako...!" la berseru sambil mengerahkan tenaga dalam sehingga suaranya menembus pepohonan
dan mencapai tempat jauh. Tiba-tiba terdengar jawaban.
"Hong-moi...!" Dan pemuda itu muncul dari balik pepohonan.
"Maaf, Hong-moi, aku agak terlambat muncul. Cuaca sudah agak gelap dan tidak mengenal bayanganmu
sebelum engkau memanggilku."
"Ada apakah, Twako? Mengapa engkau begitu curiga?"
"Entahlah, tadi aku seperti mendengar gerakan-gerakan orang di sekitar sini. Aku menyelinap dan
mengintai, akan tetapi tidak menemukan orang. Aku menjadi curiga dan berhati-hati. Maka ketika
engkau muncul, hanya merupakan bayangan, tentu saja aku tidak segera keluar karena tidak
mengenalmu."
"Sudahlah, agaknya engkau terlalu khawatir, Twako. Ah, aku lelah sekali, ingin mengaso. Banyak hal
terjadi di Im-San-Keng tadi."
"Apa yang terjadi, Hong-moi?"
"Nanti kuceritakan, sekarang sebaiknya kita membuat api unggun untuk mengusir nyamuk. Ah, aku lelah
dan juga tidak enak rasanya, hemmm... alangkah akan segarnya kalau aku dapat mandi..."
"Jangan khawatir, Hong-moi. Aku tadi sudah menemukan sumber air di mana engkau dapat mandi. Aku
pun sudah mandi, dan selain itu aku menemukan sebuah pondok kosong di tengah hutan, agaknya dulu
dipergunakan para pemburu untuk beristirahat dan berlindung di waktu hujan."
"Bagus sekali! Di mana sumber air itu, Twako? Aku ingin sekali mandi!" kata In Hong girang. Yo Kang
menjadi penunjuk jalan dan tak jauh dari situ memang terdapat sebuah gubuk kayu.
"Di belakang pondok itu terdapat mata air itu, Hong-moi. Airnya banyak dan jernih. Lihat, aku tadi
menemukan sebuah cerek air dan aku sudah menjerang air untuk kita minum. Dan ini, aku juga
menangkap seekor kelinci gemuk, sudah kukuliti tinggal memanggang saja. Di dalam pondok tersedia
alat-alat dapur, bahkan ada garam dan bumbu. Mandilah, Hong-moi, nanti kita panggang daging ini dan
kita makan." Pemuda itu tampak gembira sekali, lalu membuat api unggun. In Hong mengambil pakaian
dari buntalan pakaiannya, kemudian membawa obor kayu kering menuju ke belakang pondok. Ia
menemukan sumber air itu, lalu membuat api unggun tak jauh dari sumber air agar tidak terlalu gelap.
Setelah itu ia menanggalkan semua pakaian nya dan mulai mandi di bawah pancuran air yang mungkin
dibuat oleh mereka yang dulu menggunakan pondok itu. Segar sekali rasanya ketika seluruh tubuh In
Hong tersiram air jernih itu. Ia menggosok-gosok seluruh tubuhnya dengan beberapa helai daun yang
tadi dipetiknya. la mengenal beberapa macam daun dan rumput yang balk sekali untuk menggosok dan
membersihkan kulit. Saking segar dan nyamannya, tanpa disadari In Hong bersenandung lirih. la
memang suka bernyanyi dan suaranya pun merdu. Dahulu, guru pertamanya, Hek Moli mengajarkan
banyak lagu rakyat daerah Bhutan dari mana gurunya kedua atau juga bekas suami Hek Moli, berasal.
Lagunya sederhana dan indah sekali. Akan tetapi panca indera gadis itu sudah terlatih dan amat tajam
atau peka. Sedikit saja suara yang tidak wajar cukup untuk dapat ditangkap pendengarannya. la tahu
bahwa ada orang mengintai dari sebelah kirinya, mungkin di balik semak-semak yang gelap itu. Dengan
tenang, tanpa menghentikan senandungnya, tangan kiri In Hong mengambil sebuah batu sebesar:: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 191
:: CerSil KhoPingHoo :
kepalan tangannya lalu cepat ia menyambitkan batu itu ke arah semak-semak yang mendatangkan suara
berkeresekan yang mencurigakan tadi.
"Keparat busuk pergilah!" bentak In Hong dan berbareng dengan bentakannya, batu itu sudah
menerjang dan menerobos semak-semak! Akan tetapi tidak terjadi apa-apa di sana. Tidak mungkin
pikirnya. Pendengarannya tidak akan salah. Pasti ada orang tadi bersembunyi di balik semak-semak. Juga
sambitannya tidak mungkin luput. Akan tetapi nyatanya tidak ada orang terkena sambitannya. Aneh!
"Hong-moi, ada apakah?" tiba-tiba Yo Kang muncul. In Hong yang berdiri telanjang sebatas pinggang
dalam air, menjerit dan menutupi dada dengan kedua tangan lalu membenamkan tubuh ke air sampai
sebatas leher! la menjerit kaget karena tadi Yo Kang melihatnya berdiri bertelanjang dada. Akan tetapi
Yo Kang cepat memutar tubuhnya, membelakangi gadis itu.
"Ah, maafkan aku, Hong-moi. Sungguh aku tidak tahu bahwa engkau... eh, aku tadi mendengar
bentakanmu maka aku khawatir terjadi sesuatu dan cepat lari ke sini. Maafkan aku..."
"Sudahlah, Twako. Coba tolong lihat ada apa di balik semak-semak sana itu." Yo Kang cepat melompat
dan memeriksa belakang semak-semak.
"Tidak ada apa-apa, Hong-moi."
"Ya sudahlah, Twako. Tunggu saja di pondok itu dan kau panggang saja daging kelinci itu. Aku hendak
mencuci pakaian lebih dulu. Sebentar aku ke sana. Tolong tambahkan kayu bakar pada api unggun itu
agar tidak padam." Yo Kang memenuhi permintaan In Hong tanpa menoleh satu kalipun kepada gadis
itu, lalu pergi.
In Hong mencuci pakaiannya yang kotor dan berganti pakaian bersih. Ia merasa heran sekali sehingga
setelah mencuci pakaian dan mengenakan pakaian bersih, ia masih penasaran lalu memeriksa sendiri
belakang semak-semak itu. Ia tidak melihat ada orang. Akan tetapi alisnya berkerut ketika sinar api
unggun membuat ia dapat melihat adanya sebuah batu sebesar kepalan tangan berada di situ, di atas
tanah. Batu yang licin dan masih basah, jelas batu berasal dari bawah pancuran air yang tadi ia
sambitkan! Padahal batu itu tidak mungkin berada di situ kalau tidak mengenai sesuatu atau... ditahan
sesuatu! In Hong kembali ke pondok dan hidungnya disambut bau sedap daging dibakar dibumbui
bawang putih dan garam. Tiba-tiba ia merasa lapar sekali. Akan tetapi ketika tiba di dekat, Yo Kang
melihat wajahnya yang termenung dan dia bertanya.
"Hong-moi, ada apakah?" In Hong menaruh pakaiannya yang tadi dicucinya di atas, tepi atap pondok
agar mengering. Lalu ia duduk dekat Yo Kang yang sedang memanggang daging.
"Yo-Twako, aku yakin bahwa kita tidak sendirian."
"Maksudmu?"
"Ada orang lain di sini, orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Aku tidak tahu siapa dia, kawan
ataukah lawan. Kita harus berhati-hati malam ini."
"Jangan khawatir, Hong-moi. Ada kita berdua di sini, siapa dapat mengganggu kita? Kita tidur dan
berjaga... maksudku engkau yang tidur dan aku yang berjaga.":: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 192
:: CerSil KhoPingHoo :
"Tidak, harus bergantian. Seorang tidur yang lain berjaga dan bergiliran." Mereka lalu makan daging
kelenci bakar yang dibumbui. Sedap sekali rasanya, lalu minum air yang sudah dimasak. Daging kelenci
gemuk itu cukup mengenyangkan perut mereka. Kemudian mereka duduk di atas batu panjang datar
yang berada di depan pondok, dekat api unggun.
"Sekarang ceritakan bagaimana hasil penyelidikanmu ke kota Im-San-Keng tadi, Hong-moi." In Hong lalu
menceritakan pengalamannya di rumah perguruan Tung Pan. Setelah ia selesai bercerita, Yo Kang
berkata,
"Ah, keadaan menjadi semakin runyam kalau begitu! Tentu Hek I Kaipang akan semakin mendendam
kepada Bu-Tong-Pai! Sudah kuduga, tentu ada seorang yang sengaja membunuhi orang-orang Hek I
Kaipang itu. Aku harus pergi ke Bu-Tong-San memberitahukan suhu tentang semua peristiwa ini!"
"Akan tetapi sebelum terjadi pertempuran antara kedua pihak, pertempuran yang lebih besar dan
menewaskan banyak korban, sebaiknya aku menemui dulu ketua Hek I Kaipang di Beng-San, memberi
penjelasan agar dia mau membicarakan urusan itu secara baik-baik dengan pimpinan Bu-Tong-Pai." kata
In Hong.
"Baiklah, Hong-moi. Kita membagi tugas. Aku menemui pimpinan Bu-Tong-Pai dan engkau menemui
pimpinan Hek I Kaipang. Akan tetapi sebelum pergi ke Bu-Tong-San, aku hendak menemui Bibi Yo Cui
Hwa lebih dulu di dusun Hek-Te-Cung. Aku hendak mengundangnya untuk pindah saja ke See-Ciu,
tinggal bersama kami, apa lagi sekarang Kongkong sedang sakit dan selalu menanyakan Bibi Yo Cui
Hwa." In Hong menahan diri untuk tidak menceritakan tentang Ibunya yang telah menikah lagi, bahkan
menikah dengan pembunuh suaminya, dan sekarang telah mempunyai seorang anak perempuan. Ba-
gaimana mungkin ia dapat menceritakan bahwa Ibunya telah menikah dengan musuh besar yang
membunuh Ayahnya? Biarlah Ibunya sendiri yang akan bercerita kalau bertemu dengan Yo Kang. Ia lalu
memindahkan percakapan tentang ibunya.
"Yo-Twako, apa saja yang terjadi denganmu semenjak kita saling berpisah? "
"Tidak banyak, Hong-moi. Setelah melihat engkau mampu mengalahkan Wu Wi Thaisu tokoh Go-Bi-Pai
itu, aku baru menyadari bahwa tingkat kepandaianku dibandingkan denganmu masih teramat rendah,
Hong-moi. Maka aku menjadi penasaran dan aku lalu pergi ke Bu-Tong-San untuk memperdalam ilmu
silat di bawah bimbingan langsung dari Guru Besar Tiong Li Sengjin, ketua Bu-Tong-Pai."
"Ah, pantas saja engkau kini menjadi semakin lihai. Menggunakan dupa lidi sebagai senjata rahasia,
membutuhkan lweekang (tenaga dalam) yang kuat!"
"Ah, Hong-moi, dibandingkan denganmu, kepandaianku tidak ada artinya. Engkau sungguh hebat sekali,
Hong-moi. Engkau amat lihai, gagah dan semakin cantik jelita. Sungguh membuat aku menjadi semakin
kagum dan semakin mencintaniu." Mendengar pengakuan cinta, In Hong memandang dengan mata
terbelalak keheranan. la tidak heran mendengar Yo Kang mencintanya karena hal ini sudah diketahui
sejak dulu. Yang ia herankan adalah pernyataan cinta yang demikian terbuka dan jujur!
"Tentu saja, Yo-Twako. Aku adalah Piauw-moi (Adik misan perempuan) bagimu, sudah semestinya
engkau sayang kepada adik misanmu.":: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 193
:: CerSil KhoPingHoo :
"Bukan begitu, bukan itu maksudku, Hong-moi. Aku cinta padamu seperti seorang laki-laki mencinta
seorang perempuan. Baru sekali ini selama hidupku aku jatuh cinta kepada seorang perempuan, dan aku
akan berbahagia sekali jika kita berdua sudah dapat hidup sebagai suami-isteri." In Hong memandang
heran dan kagum. Kakak misannya ini demikian jujur dan terbuka! Dan harus ia akui bahwa Yo Kang
adalah seorang pemuda yang gagah perkasa dan tampan, ilmu silatnya tinggi, pendeknya, seorang
pemuda pilihan! Akan tetapi is tidak merasakan kemesraan dalam hatinya terhadap Yo Kang seperti
yang ia rasakan terhadap Bu Jin Ai atau Ong Tiang Houw yang telah tiada. la tidak mencinta Yo Kang!
"Yo-Twako, aku minta agar engkau tidak bicara tentang hal itu lagi!" katanya tegas. "Aku tidak suka dan
sama sekali belum memikirkan tentang perjodohan!" Yo Kang bersikap tenang walaupun suaranya agak
gemetar ketika dia berkata.
"Baiklah dan maafkan aku, Hong-moi. Sekarang engkau mengasolah dalam pondok, aku yang berjaga di
sini." Dia lalu menambahkan kayu pada api unggun. Sikapnya seolah tidak pernah ada apa-apa. In Hong
juga segera bangkit dan memasuki pondok kecil itu.
"Tengah malam nanti aku yang menggantikanmu berjaga."
"Ah, tidak usah, Hong-moi." In Hong lalu merebahkan diri di bangku dalam pondok. Bangku bambu yang
kasar. la tidak dapat tidur, pernyataan cinta dari Yo Kang tadi tetap terngiang di telinganya. Sementara
itu, Yo Kang duduk di dekat api unggun, diam seperti patung, matanya memandang nyala api yang amat
indah, namun dia tidak melihat keindahan itu. Bahkan mata yang terbuka itu tidak melihat apa-apa. Dia
termenung.
Memang sikapnya tenang seolah tidak terjadi apa-apa. Namun hatinya terasa pedih dan tidak nyaman.
In Hong memang tidak menolak cintanya, akan tetapi jelas tidak menerimanya, tidak menyambutnya.
Padahal bukan dia sendiri yang mengharapkan gadis itu menjadi isterinya. Ayah-Ibunya pernah
membicarakan urusan perjodohan antara dia dan In Hong. Ayahnya yang ingin sekali mengambil In Hong
sebagai mantunya. Walaupun Ibunya agak menentang karena Ibunya menginginkan mantu seorang
gadis bangsawan yang halus budi, bukan gadis kang-ouw yang lebih pandai memainkan pedang daripada
alat menyulam, memasak dan lain-lain, namun akhirnya Ibunya tidak dapat menentang keinginan
Ayahnya. Ayah-Ibunya sudah setuju dan dia sendiri sejak pertemuan pertama sudah jatuh cinta. Akan
tetapi sikap In Hong jelas menolak! Tiba-tiba dia melihat bayangan berkelebat.
"Siapa itu!" bentak Yo Kang dan dia sudah melompat ke arah bayangan itu. Akan tetapi bayangan itu
menyambutnya dengan pukulan jarak jauh, mendorongkan tangan kanannya ke arah Yo Kang. Dari
telapak tangan itu menyambar sinar putih yang dahsyat sekali. Yo Kang cepat menyambut dengan
dorongan tangan pula sambil mengerahkan sinkang (tenaga sakti).
"Wuuuuttt... blaarrr...!" Dua tenaga sakti yang amat kuat bertemu dan bertumbukan dengan dahsyat
dan akibatnya, Yo Kang terjengkang dan roboh telentang! Bayangan itu kini mendorongkan kedua
tangannya dan dari kedua telapak tangan itu tampak sinar putih menyambar ke arah dada Yo Kang yang
masih terengah-engah. Serangan maut itu agaknya sulit untuk dapat dihindarkan Yo Kang.
"Syuuuuttt... darrrr...!!" In Hong yang tadi melayang keluar dari pondok dan menangkis serangan itu
dengan dorongan kedua tangannya, terhuyung ke belakang saking kuatnya tenaga serangan bayangan
hitam yang tidak tampak jelas orangnya itu. Akan tetapi bayangan hitam itu pun terpental ke belakang.
Bayangan itu mengeluarkan seruan lirih seperti orang terkejut, lalu melompat dan menghilang ke dalam:: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 194
:: CerSil KhoPingHoo :
kegelapan. In Hong tidak mau mengejar karena kegelapan menghalanginya dan orang itu lihai sekali.
Amat berbahaya kalau mengejar bayangan yang lihai itu di tempat gelap, apa lagi yang tidak dikenalnya.
Gadis ini lalu cepat menghampiri Yo Kang yang telah duduk bersila, tak jauh dari api unggun yang kini
hampir padam. In Hong menambahkan kayu kering pada api unggun itu sehingga nyalanya membesar,
lalu ia mendekati Yo Kang. Pemuda itu membuka matanya dan memandang kepadanya.
"Yo-Twako, engkau tidak apa-apa?" Pemuda itu menghela napas panjang, menggelengkan kepala.
"Hong-moi, aku tidak apa-apa, selamat dan terhindar dari maut karena pertolonganmu. Aku berhutang
nyawa padamu, Hong-moi."
"Ah, sudahlah, jangan sebut lagi itu. Sekarang, bagaimana rasanya?"
"Bahaya sudah lewat, Hong-moi. Rasanya aku tidak terluka walaupun tadi aku merasa sesak kalau
bernapas. Pukulan orang tadi sungguh luar biasa dan berbahaya sekali. Tahukah engkau siapa dia, Hong-
moi?" In Hong menggelengkan kepalanya.
"Aku tidak dapat melihat mukanya. Karena gelap, aku hanya melihat sosok bayangan orang, tidak tahu
dia itu pria atau wanita, tua atau muda. Akan tetapi agaknya kalau tidak salah aku mengenal pukulan
jarak jauh yang dia lakukan terhadap dirimu tadi. Pukulan itu mengandung sinar putih seperti Pek-Kong-
Ciang (Tangan Sinar Putih) dari Kun-Iun-Pai."
"Kun-Lun-Pai? Akan tetapi mengapa ada orang Kun-Lun-Pai memusuhi kita? Padahal Kun-Lun-Pai
merupakan perguruan yang sealiran dengan kita, selalu menentang kejahatan!"
"Bukan kita yang dimusuhi, Yo-Twako, melainkan engkau, karena engkau tadi yang diserang, bukan aku.
Mungkin saja bukan Kun-Lun-Pai yang memusuhi engkau atau Bu-Tong-Pai, melainkan ada permusuhan
pribadi antara engkau dan seorang yang menguasai ilmu-ilmu Kun-Lun-Pai. Coba ingat-ingat, barangkali
engkau pernah bermusuhan dengan seorang murid Kun-Lun-Pai."
"Seingatku tidak pernah, Hong-moi. Kalau aku pernah bermusuhan, tentu akan kuingat, apalagi orang
yang menyerangku tadi bukan orang sembarangan. Ilmu silatnya tinggi sekali dan kalau dia memang
murid Kun-Lun-Pai, tentu dia seorang yang memiliki kedudukan tinggi di perguruan itu."
"Hemm, sungguh aneh sekali!" In Hong mengerutkan alisnya dan berpikir.
"Hek I Kaipang mengatakan bahwa mereka diserang orang yang menggunakan nama dan ilmu Tong-Sim-
Ciang dart Bu-Tong-Pai sehingga Hek I Kaipang memusuhi Bu-Tong-Pai untuk membalas dendam.
Sekarang ada orang menggunakan ilmu Pek-Kong-Ciang dari Kun-Lun-Pai untuk nnenyerang dan hampir
menewaskan seorang murid Bu-Tong-Pai! Perbuatan ini tentu saja dapat mengakibatkan permusuhan
antara Bu-Tong-Pai dan Kun-Lun-Pai! Engkau harus berhati-hati, Yo-Twako."
"Kukira semua anggauta Bu-Tong-Pai harus berhati-hati. Aku akan melaporkan peristiwa ini kepada para


Bayangan Bidadari Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pimpinan Bu-Tong-Pai agar semua murid berhati-hati dan para pimpinan dapat memberitahukan
penyerangan ini kepada para pimpinan Kun-Lun-Pai."
"Itu benar, Yo-Twako. Dengan begitu maka pihak Kun-Lun-Pai tentu akan berusaha untuk menemukan
orang yang berniat membunuhmu tadi." Setelah malam berganti pagi, kedua orang muda itu saling:: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 195
:: CerSil KhoPingHoo :
berpisah. In Hong hendak mengunjungi pusat Hek I Kaipang di Beng-San, sedangkan Yo Kang akan pergi
ke Bu-Tong-San untuk menemui para pimpinan Bu-Tong-Pai. Yo Kang merasa kecewa, kehilangan dan
kesepian ketika berpisah dari In Hong yang telah mencuri hatinya. Tadinya, berdekatan dengan In Hong,
dia merasa betapa hatinya tenang tenteram dan gembira, segala sesuatu tampak indah menyenangkan.
Kini, begitu dia berpisah dari gadis itu, hatinya merasa begitu sepi, segala sesuatu tampak tidak ada
artinya dan tidak ada lagi yang tampak indah. Dia merasa kehilangan, seolah dirinya tidak utuh lagi yang
membuat dia melakukan perjalanan sambil melamun.
Semangatnya seolah terbawa pergi oleh In Hong! Cinta yang melanda hati seorang manusia terhadap
lawan jenisnya, merupakan satu di antara gairah-gairah nafsu yang teramat kuat! Cinta dapat mengubah
sendi-sendi kehidupan seorang manusia. Dapat mendatangkan kebahagiaan yang melampaui semua
khayalan, namun dapat pula mendatangkan duka nestapa yang melampaui ketahanan seorang manusia.
Betapa gagah perkasa pun seorang pria, betapa tinggi pun kedudukannya, betapa pandai dan bijaksana
pun wataknya, namun sekali hatinya dilanda apa yang dinamakan cinta, dia akan berubah menjadi
seorang manusia yang lemah lunglai tak berdaya! Hidup seolah tidak ada artinya lagi tanpa dia yang
dicinta berada di dekatnya, menerima dan membalas cintanya! Kebahagiaan itu hanya dapat dirasakan
oleh mereka yang berhasil memadu cinta.
Sebaliknya kesengsaraan itu pun hanya dapat dirasakan oleh mereka yang gagal dalam bercinta. Akan
tetapi, betapa pun kuatnya cinta mempengaruhi keadaan hati, seperti semua emosi yang dapat melanda
hati manusia, rasa takut, duka, bingung, senang, dan lain-lain, sudah pasti akhirnya tunduk kepada
Waktu! Sang Waktu merupakan kekuatan yang mengalahkan segalanya, biarpun kerjanya lambat,
namun pasti segala sesuatu ditelannya, sesuai dengan Hukum Alam bahwa tiada yang langgeng (abadi)
di dunia fana ini. Betapa pun besar kedudukan ataupun kesenangan, pada akhirnya terhapus oleh Sang
Waktu yang menelan segalanya. Segala macam perasaan yang melanda hati manusia hanya sementara
belaka, baik dalam waktu panjang maupun pendek. Akhirnya akan menghilang dimakan waktu, atau
terganti oleh perasaan yang lain lagi.
Biarpun baru sebelas tahun bangsa Mongol menguasai Cina, namun bangsa yang amat kuat dan mahir
dalam perang itu telah dapat mengatur pemerintahan sampai ke daerah-daearah. Mereka tidak hanya
mengandalkan tenaga bangsa Mongol sendiri dalam menguasai wilayah yang amat luas itu, namun juga
mempergunakan tenaga orang-orang pribumi sendiri yang mau mengabdi kepada Kerajaan Goan-Tiauw
yang baru. Kotaraja Peking juga dibangun. Kerusakan-kerusakan pada Istana dan bangunan-bangunan
lain diperbaiki. Bahkan Istana diperindah. Bangsa Mongol bukan bangsa yang pandai dalam hal
bangunan, mereka hanya pandai berperang, namun mereka mendatangkan ahli-ahli bangunan dari
seluruh pelosok sehingga Istana Kaisar Kublai Khan dibangun megah dan lebih indah daripada
sebelumnya.
Kotaraja Peking sendiri menjadi ramai dikunjungi para pedagang. Kaisar Kublai Khan maklum bahwa
biarpun dia berambisi untuk memperluas wilayah jajahannya dengan memerangi berbagai bangsa di
barat dan selatan, namun dia tetap waspada terhadap ancaman gangguan dalam negeri. Dia maklum
bahwa masih banyak terdapat kelompok-kelompok orang gagah bangsa pribumi yang masih penasaran
dan tidak rela membiarkan tanah airnya di jajah bangsa Mongol. Mereka memang sudah dipukul dan
dicerai-beraikan, namun tetap saja masih merupakan ancaman yang harus ditanggulangi secara khusus.
Oleh karena itu, Kaisar Kublai Khan mengangkat beberapa orang panglima perang yang lihai dan cerdik
untuk menjadi komandan pasukan yang tugasnya selain menjaga keselamatan dan keamanan Kotaraja,:: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 196
:: CerSil KhoPingHoo :
Juga untuk menghancurkan setiap golongan yang sikapnya memusuhi pemerintah Mongol. Para
panglima itu disebar dan bermarkas di beberapa kota besar, tentu saja yang terbanyak di Kotaraja.
Mereka membentuk pasukan khusus sendiri-sendiri. Maka tak dapat dielakkan lagi terjadilah
penangkapan-penangkapan yang terkadang hanya berdasar kecurigaan, atau bahkan akibat fitnah. Satu
diantara panglima yang oleh Kaisar Kublai Khan ditugasi khusus untuk menjaga Kotaraja dan
memberantas para pemberontak, adalah Jenderal Ogucin, seorang jagoan bangsa Mongol aseli yang
sudah dianggap sebagai datuk karena selain pandai memimpin pasukan perang, juga pandai ilmu silat
aliran Utara dan ilmu gulat aseli Mongol.
Setelah menjadi seorang jenderal, dia menggunakan nama pribumi, yaitu Ouw Gu Cin atau Jenderal Ouw
Gu Cin yang biasa disebut Ouw Goanswe (Jenderal Ouw). Jenderal Ouw berkedudukan di Kotaraja dan
dia membentuk pasukan khusus yang diberi nama Hui-To-Tin (Barisan Pisau Terbang). Nama ini diambil
dari keistimewaan seratus orang perajurit itu yang semua pandai menggunakan pisau untuk membunuh
lawan dengan cara menyambitkan, seolah-olah pisau itu dapat terbang menyambar nyawa! Jenderal
Ogucin, atau kita sebut saja nama barunya, Jenderal Ouw Gu Cin yang berusia lima puluh tahun,
bertubuh tinggi besar dengan kumis kecil melintang khas Mongol, jenggot pendek, mata lebar dan
kulitnya kecoklatan, memiliki seorang isteri yang cantik, peranakan Mongol/Han, biarpun usianya sudah
empat puluh tahun namun masih tampak cantik dengan tubuh ramping, kulitnya kuning mulus.
Suami-isteri yang tinggal di sebuah gedung besar di ujung jalan raya Kotaraja sebelah barat itu
mempunyai seorang puteri yang cantik jelita berusia delapan belas tahun. Gadis bangsawan peranakan
Han/Mongol ini diberi nama pribumi Ouw Swi Lan. Gadis berusia delapan belas tahun ini sikapnya sudah
dewasa. Gerak gerik dan bicaranya lembut. namun terkadang sinar matanya mencorong penuh wibawa
dan membayangkan kekerasan hati. Wajah yang bulat telur itu manis sekali. Kulitnya tidak seputih kulit
Ibunya, akan tetapi tidak secoklat kulit Ayahnya. Kulit yang halus seolah membayangkan kelembutan,
namun sesungguhnya di dalam tubuh yang ramping itu tersembunyi kekuatan yang dahsyat karena Ouw
Swi Lan adalah seorang gadis yang tinggi ilmu silatnya, juga dari Ibunya ia mewarisi keahlian membaca
menulis, membuat sajak, bernyanyi dan menari.
Ia suka akan kesenian, akan tetapi lebih menyukai ilmu silat. Di belakang gedung tempat tinggal keluarga
Jenderal Ouw di Kotaraja terdapat sebuah taman yang luas dan di tengah taman itu terdapat sebuah
bangunan panggung bertingkat tiga berbentuk menara. Jenderal Ouw memang sengaja membangun
menara ini sebagai tempat pertemuan rahasia antara dia dan para pembantunya yang melakukan
pekerjaan rahasia, yaitu menyelidiki orang-orang dan golongan-golongan persilatan tertentu yang
dianggap cukup mencurigakan dan perlu diselidiki apakah mereka itu anti pemerintah Mongol.
Pertemuan-pertemuan seperti itu memang seringkali harus diadakan secara rahasia, jangan terlihat
umum karena sebagian para pembantunya adalah orang-orang pribumi sendiri yang memiliki
kepandaian tinggi.
Pada suatu sore para perajurit yang berjaga di gardu penjagaan depan gedung Jenderal Ouw terkantuk-
kantuk. Hawa udara sedang panas-panasnya dan keadaan sepi membuat mereka mengantuk. Mereka
merasa aman dan tidak khawatir, karena siapakah yang akan berani bermain gila melanggar tempat
larangan itu, memasuki tempat tinggal sang jenderal? Kalau malam, mungkin ada penjahat yang
mencoba menyelinap masuk, maka para petugas jaga itu biasanya berjumlah lebih banyak,
Sampai belasan orang dan mereka melakukan perondaan sekeliling luar tembok tinggi yang mengelilingi
rumah gedung termasuk kebun dan tamannya yang luas itu. Akan tetapi sore itu tidak ada yang
meronda, bahkan enam orang perajurit yang berjaga di gardu duduk terkantuk-kantuk. Sesosok:: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 197
:: CerSil KhoPingHoo :
bayangan orang berkelebat melompati dinding tembok yang mengelilingi kebun dan taman di belakang
gedung. Dinding itu terbuat clan tembok batu yang tinggi sehingga melihat dia dapat melompat ke
atasnya seperti seekor burung, mudah diketahui bahwa orang itu tentu memiliki ginkang (ilmu
meringankan tubuh) yang hebat. Melihat orangnya, ternyata dia sama sekali tidak mengesankan, sama
sekali tidak pantas disangka seorang yang lihai, bahkan dia tampak seperti seorang tua yang lemah
berpenyakitan!
Usianya sekitar enam puluh tahun, tubuhnya kurus dan bongkok, mukanya tanpa jenggot kumis, halus
dan seolah kulitnya yang agak pucat itu tipis sekali. Namun matanya mencorong aneh dan terbuka lebar.
Dunia kang-ouw (persilatan) tentu mengenal baik kakek yang berpakaian putih-putih namun terbuat
dari Sutera halus itu. Dia adalah tokoh persilatan yang terkenal dengan julukan Pak Lo-Kui (Setan Tua
Utara) atau Iebih banyak disebut Datuk Utara itu. Dia hidup seorang diri, tanpa keluarga dan suka
merantau di daerah utara. Akhir-akhir ini, dia berada di kota Hak-Ciu, mondok di gedung Jaksa Ouw, dan
mengajarkan beberapa jurus ilmu silat kepada putera Jaksa Ouw yang bernama Ouw Boan Kit dan biasa
disebut Ouw Kongcu (Tuan Muda Ouw).
Di bagian depan kisah ini sudah diceritakan sedikit tentang Ouw Boan Kit dan Ayahnya yang dihajar oleh
Kwee In Hong, sehingga gadis perkasa itu sempat bertanding melawan Pak Lo-Kui yang melarikan diri
ketika mengetahui bahwa In Hong adalah murid Hek Moli yang dia takuti. Setelah melompat turun dari
atas dinding yang tinggi itu, Pak Lo-Kui lalu bergerak cepat, berkelebatan menyusup diantara pohon dan
semak dan tak larna kemudian dia sudah melompat naik ke atas memasuki ruangan menara di tingkat
teratas. Ruangan menara ditingkat tiga itu cukup luas dan di tengah-tengah ruangan terdapat sebuah
meja hundar besar dikelilingi lima buah kursi. Di atas meja itu terdapat empat buah guci besar dan
empat buah cawan kosong. Ketika memasuki ruangan itu dan melihat empat guci besar terisi arak dan
empat cawan kosong, Pak Lo-Kui tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha-ha! Jenderal Ouw sungguh merupakan Tuan rumah yang baik dan mengerti akan kesukaan
kami. Benar keterangan Jaksa Ouw di Hak-Ciu, kakak-nya itu memang seorang yang baik dan pandai
bersahabat dengan orang-orang terkenal di dunia kang-ouw, ha-ha-ha!" Dia tertawa-tawa lagi, lalu
duduk di atas sebuah kursi, menuangkan arak dalam sebuah cawan dan minum arak dengan wajah
berseri. Tiba-tiba Datuk Utara itu mendengar suara orang mengejek yang datangnya dari jauh namun
terdengar dekat sekali dengan telinganya.
"Huh, Setan Utara seperti anjing kelaparan bertemu tulang! Melahap arak seorang diri!" Sebelum gema
suara itu menghi-lang, tahu-tahu di ruangan itu telah muncul seorang laki-laki yang usianya sebaya
dengan Datuk Utara, sekitar enam puluh tahun. Tubuhnya kurus kering, hanya tulang terbungkus kulit,
seperti tengkorak hidup. Wajahnya mengerikan dan mulutnya bersungut-sungut, matanya yang cekung
itu melirik-lirik aneh akan tetapi sinarnya tajam sekali. Akan tetapi pakaiannya meriah, berkembang-
kembang merah kuning biru, dan di ikat pinggangnya terselip sebatang tongkat yang lebih tepat disebut
seekor ular yang telah kering dan kaku.
"Ha-ha-ha, Tung Giam-Lo (Raja Maut Timur) sudah datang! Bagus, bagus! Mari minum, kursi dan
cawanmu sudah tersedia!" kata Datuk Utara. Tung Giam-Lo atau juga disebut Datuk Timur itu
mendengus dan duduk di atas sebuah kursi, akan tetapi tidak menyentuh cawan dan guci arak. Mukanya
bersungut-sungut seperti orang mengejek marah. Dia terkenal pula sebagai Majikan Pulau Ular di Laut
Timur dan seperti juga Datuk Utara, dia terkenal sekali sebagai seorang datuk besar yang menguasai
wilayah timur.:: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 198
:: CerSil KhoPingHoo :
"Datuk Timur, engkau tidak minum arak?" tanya Datuk Utara sambil lalu. Agaknya rnereka saling
meremehkan atau tidak saling menghormat. Datuk Timur mendekatkan mukanya ke meja dan mencium
bau arak yang tertuang di cawan Datuk Utara, lalu berkata dengan nada suara mengejek.
"Uhh, minumanku sehari-hari jauh lebih baik daripada ini! Aku hanya minum kalau sudah dipersilakan
tuan rumah!" Setelah berkata demikian, Datuk Timur duduk dan membuang muka, tidak melihat lagi
kepada Datuk Utara yang melanjutkan minuninya.
"Hua-ha-ha-haa...!" Terdengar suara tawa terbahak disusul munculnya seorang laki-laki sebaya yang
bertubuh gemuk pendek dengan perut gendut dan mukanya halus kekanak-kanakan, pakaiannya serba
kuning dan penampilannya seperti sebuah patung Dewa Ji Lai Hud yang gendut dan mukanya tertawa-
tawa ramah.
"Kalau Datuk Utara bertemu Datuk Timur, selalu tidak cocok!"
"Huh...!" Datuk Timur mendengus, mukanya semakin bersungut. "Wah, Iblis Selatan juga sudah datang!"
kata Datuk Utara.
"Aku bukan Iblis, melainkan Dewa, kau Setan Utara!" Lam Sian (Dewa Selatan) atau juga disebut Datuk
Selatan itu berkata sambil tertawa. Biarpun julukannya Dewa diubah menjadi Iblis oleh Datuk Utara, dia
kelihatan tertawa-tawa tidak marah, akan tetapi tidak ada yang tahu bagaimana perasaan hatinya.
Datuk Selatan ini dalam keadaan apapun juga, marah atau senang, tetap tertawa-tawa!
"Hemm, duduklah, See Te-Tok (Racun Barat), dan mari minum arak bersamaku!" kata Datuk Utara,
sambil menoleh ke arah luar ruangan itu. Sesosok bayangan berkelebat dan di situ sudah berdiri seorang
laki-laki sebaya, berusia enam puluhan tahun, berpakaian merah, pesolek wajahnya tampan dan bentuk
tubuhnya gagah. Pakaiannya dari Sutera hitam, namun potongannya indah seperti pakaian para
bangsawan. Inilah Racun Bumi Barat atau dikenal sebagai Datuk Barat.
"Hemm, kalian sudah berkumpul semua? Akan tetapi di mana tuan rumah yang mengundang kita?"
tanya Datuk Barat dengan suaranya yang lantang lalu mengambil tempat duduk. Datuk Utara yang
melihat betapa Datuk Timur yang duduk di sebelah kanannya itu sejak tadi tidak bicara, tidak minum
dan hanya cemberut saja lalu mengambil cawan kosong di depan Tung Giam-Lo, mengisinya sampai
penuh lalu mengangkatnya dan mernberikannya kepada Datuk Timur itu.
"Tung Giam-Lo, terimalah penghormatanku dengan secawan arak ini!" Tung Giam-Lo menoleh dan
memandang. Dia melihat betapa arak dalam cawan itu bergerak seperti mendidih dan mengepulkan uap
panas! Ternyata melalui cawan yang dipegangnya, Pak Lo-Kui Si Datuk Utara telah menyalurkan sinkang
panas sehingga membuat cawan menjadi panas dan araknya rnendidih!
"Penghormatanmu kuterima!" kata Tung Giam-Lo dan tanpa raga dia menerima cawan panas terisi arak
mendidih itu dari tangan Pak Lo-Kui, lalu meminumnya dengan enak seolah-olah tidak merasakan panas
sama sekali! Kemudian setelah minum arak itu sampai habis, dia meletakkan cawan kosong yang masih
mengeluarkan uap panas itu ke atas meja di depannya. Tung Giam-Lo kini mengambil cawan yang
berada di depan Lam Sian (Dewa Selatan) yang duduk di sebelah kanannya, mengisi cawan itu dengan
arak sampai penuh dan ketika dia memegang secawan arak itu, dia sengaja membalikkan cawannya dan
arak itu tidak tumpah karena ternyata arak itu sudah membeku saking dinginnya!:: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 199
:: CerSil KhoPingHoo : :: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 200
:: CerSil KhoPingHoo :
"Lam Sian, terimalah sulanganku secawan arak ini!" katanya dengan muka tetap cemberut.
"Ha-ha-ha-heh-he-heh! Disulangi Tung Giam-Lo merupakan kehormatan besar!" Dia menerima cawan
terbalik yang araknya membeku dan melekat dalam cawan itu lalu membalikkan cawan dan sekali tekan,
arak beku itu meloncat dari dalam cawan dan masuk ke dalam mulutnya yang sudah terbuka. Dalam
mulutnya, agaknya arak beku itu mencair dan ditelannya dengan enak! Setelah menaruh cawan kosong
ke atas meja, giliran Lam Sian mengambil cawan kosong di depan See Tok (Racun Barat) dengan tangan
kiri sedangkan tangan kanannya menekan guci arak. Arak memancar keluar dari mulut guci dan dengan
tepat jatuh ke dalam cawan itu.
"See Tok, silakan minum!" Setelah berkata demikian, dia melempar secawan arak itu ke atas. Cawan itu
melayang berputar di atas lalu Racun Barat mengangkat tangan ke atas, ke arah cawan sambil berkata.
"Terima kasih, Lam Sian!" Seperti orang mendorong, tangannya bergerak dan tiba-tiba cawan yang
berada di atas kepalanya itu membalik dan isinya tertumpah ke bawah, lalu diterimanya dengan mulut,
diminum semua, setetes pun tidak ada yang tercecer! Cawan itu pun melayang turun dan ditangkapnya
lalu diletakkannya cawan kosong ke atas meja. Kini See Tok mengambil cawan Pak Lo-Kui, diisinya
dengan arak.
"Aku tidak berani main-main dengan Pak Lo-Kui. Terimalah sulanganku ini!" Cawan yang dipegangnya itu
tiba-tiba saja meluncur ke arah Pak Lo-Kui, seperti seekor burung. Kelihatannya ringan saja, namun
sesungguhnya lontaran itu mengandung tenaga sinkang (tenaga sakti) yang amat kuat yang tidak akan
dapat diterima orang biasa saja. Namun Pak Lo-Kui menerimanya dengan mudah lalu minum sampai
habis.
"Terima kasih, See Tok!" Demikianlah, empat orang datuk itu bersulang-sulangan sambil menguji
kekuatan masing-masing. Memang, di antara empat orang datuk ink tidak pernah ada kerukunan,
bahkan ada persaingan di antara mereka. Akan tetapi sekarang, karena mereka diundang oleh Jenderal
Ouw dan mereka datang sebagai tamu, maka mereka tidak berani bersaingan secara terbuka, bahkan
saling menyulangi sebagai penghormatan walaupun sambil menguji kekuatan masing-masing.
"Ah, merayakan pertemuan dengan hanya minum arak saja, tanpa hidangan lain, mana bisa dinikmati?"
Setan Utara mengomel. Tiba-tiba terdengar suara tawa bergelak. Suara itu menggetarkan ruangan
tingkat tiga di mana Empat Datuk itu berkumpul. Muncul seorang laki-laki dari pintu. Usianya sekitar
lima puluh tahun, pakaiannya gemerlapan, pakaian seorang panglima perang. Tubuhnya tinggi besar,
kokoh kuat, dadanya tebal dan bidang, bermata lebar, kumisnya kecil melintang dan ujungnya berjuntai
ke bawah seperti ciri khas orang Mongol, dan jenggotnya pendek kaku. Inilah Ogucin yang kini bernama
Ouw Gu Cin atau lebih dikenal sebagai Jenderal Ouw. Empat Datuk Besar itu bangkit berdiri dan
merangkap kedua tangan depan dada sebagai penghormatan. Jenderal Ouw mengangkat tangan kanan
ke atas seolah membalas penghormatan mereka dan berkata dengan suaranya yang Iantang.
"Ha-ha-hal bagus sekali. Empat Datuk Besar dari empat penjuru datang memenuhi undangan kami.
Terima kasih, terima kasih! Sekarang kita makan-makan dulu sebelum bicara!" Dia bertepuk tangan lalu
duduk di atas kursi. Beberapa orang pelayan wanita yang muda dan cantik beriringan masuk membawa
baki-baki terisi beberapa macam masakan dalam piring-piring besar! Masakan itu masih panas
mengepulkan uap dan ruangan itupun dipenuhi aroma yang sedap membangkitkan selera.:: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 201
:: CerSil KhoPingHoo :
"Ha-ha-ha, sedapnya...!" Lam Sin mendengus-dengus dengan hidungnya, menikmati sedapnya aroma
masakan.
"He-he-he-he, cantik-cantiknya...!" Pak Kui memandangi wajah enam orang pelayan wanita yang
mengatur piring-piring masakan dan mangkok-mangkok ke atas meja. Sinar matanya melahap wajah-
wajah muda cantik dan tubuh yang padat itu. Pak Kui memang seorang datuk yang mata keranjang.
Enam orang gadis pelayan itu setelah menata meja lalu meninggalkan ruangan, berkumpul di luar pintu,
menanti kalau-kalau ada perintah dari majikan mereka, Jenderal Ouw.
"Mari, Su-wi (Anda berempat), silakan makan! Akan tetapi sebelumnya, biar kusuguhkan secawan arak
selamat datang!" Pelayan pribadi Jenderal Ouw, gadis tercantik di antara para pelayan dan yang tadi
tidak ikut keluar melainkan berdiri agak jauh di belakang Jenderal Ouw, mendengar ucapan Sang
Jenderal segera melangkah maju mendekati meja lalu menuangkan arak dalam cawan lima orang itu
dengan gerakan yang luwes dan manis, wajahnya tersenyum manis sekali. Pak Kul menyeringai dan
hidungnya menyedot-nyedot bau harum yang semerbak dari pakaian pelayan itu.
"Su-wi, silakan minum mengiringi ucapan selamat datang kami dan untuk merayakan pertemuan
penting ini!" kata Jenderal Ouw dan mereka berlima menenggak habis arak dari cawan mereka.
Kemudian, mereka makan minum dengan lahapnya. Empat Datuk Besar itu makan tanpa sungkan-
sungkan lagi dan Sang Jenderal merasa gembira melihat empat orang tamunya makan dengan lahap.
Setelah makan minum sepuasnya sampai kenyang, pelayan pribadi Jenderal Ouw memanggil para
pelayan lain dan mereka lalu dengan cekatan menyingkirkan semua mangkok piring dari atas meja dan
membersihkan meja dan lantai. Setelah ruangan itu menjadi bersih mereka lalu meninggalkan ruangan
itu, hanya meninggalkan lima buah cawan dan guci-guci arak yang baru.
"Nah, sekarang kita dapat bicara dengan leluasa. Kami kira Anda berempat sudah mengetahui akan
maksud undangan kami." kata Jenderal Ouw.
"Ha-ha-ha, mengapa Ouw Goanswe (Jenderal Ouw) bertanya lagi? Bukankah kami diundang untuk
Patung Iblis Banci 2 Dewa Linglung 14 Dewi Mutiara Hijau Bergaya Sebelum Mati Dua 1
^