Pencarian

Bayangan Bidadari 5

Bayangan Bidadari Karya Kho Ping Hoo Bagian 5


ia mau memberitahukan maksud kedatangannya.
Pada saat itu, dari ruangan dalam sudah nampak Bu Kek Tianglo menghampiri tempat itu, berjalan
perlahan dibantu oleh tongkatnya. Hwesio ini sudah amat tua dan lemah sehingga In Hong teringat akan
Gurunya sendiri yang telah meninggal dunia. Seorang pemuda berjalan disebelah kirinya dan In Hong
segera mengenal pemuda ini sebagai Ong Teng San yang pernah menolongnya. Ia melihat betapa
sepasang mata pemuda itu ditujukan kepadanya dan hati In Hong terheran-heran. Mengapa sinar mata
itu kelihatan begitu sedih? Di belakang pemuda ini berjalan gadis cilik yang dahulu ia lihat di atas pagar
tembok. Makin terheranlah hati In Hong karena baru sekarang ia melihat wajah gadis ini dengan jelas.
Tidak aneh bahwa dulu ia melihat gadis ini seperti seorang yang sudah lama dikenalnya,
Karena ternyata bahwa wajah gadlis cilik ini hampir serupa dengan wajah yang ia lihat setiap hari apabila
ia bercermin! Juga gadis ini kelihatan berduka. Memang Teng San sudah bercerita kepada Lian Hong
bahwa gadis yang mengacau Siauw-Lim-Si itu bukan lain adalah Kwee In Hong, puteri dari Ibu mereka
yang hilang ketika dahulu suami Ibu mereka itu dibunuh oleh Ayah mereka! Kini nona yang menjadi
saudara tiri mereka itu datang memusuhi Siauw-Lim-Si dan otomatis mereka harus menghadapi nona itu
sebagai lawan, bagaimana mereka takkan bersedih? Untuk memperkenalkan diri bahwa mereka adalah
anak dari Ong Tiang Houw, lebih tidak mungkin lagi. In Hong tentu membenci Tiang Houw dan seorang
gadis yang memiliki watak demikian keras dan ganas, pasti akan berusaha membalas sakit hati terhadap
Tiang Houw.
Kalau In Hong mendengar bahwa Teng San dan Lian Hong adalah anak dari Tiang Houw, otomatis gadis
murid Hek Moli itu pasti akan memusuhi mereka pula. Hal ini semua Pendeta di Siauw-Lim-Si sudah
mengetahui karena mereka sudah mendengar penuturan Teng San. Akan tetapi, mereka tidak mau:: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 131
:: CerSil KhoPingHoo :
membuka rahasia karena mereka sudah diminta dengan sangat oleh Teng San agar jangan
mencenitakan rahasia ini kepada In Hong. Mereka semua dapat membayangkan betapa akan hebatnya
akibat apabila In Hong mengetahui bahwa Teng San dan Lian Hong adalah anak-anak dari musuh
besarnya, yakni Ong Tiang Houw yang telah membunuh Kwee Seng, Ayahnya. Sementara itu, dengan
suaranya yang halus dan lemah lembut, Bu Kek Tianglo sudah berkata kepada In Hong,
"Nona, bagaimana kabarnya dengan Bhutan Koi-Jin Gurumu? Mengapa dia tidak ikut datang beromong-
omong dengan pinceng?" Mendengar pertanyaan ini, In Hong mengerutkan keningnya dan wajahnya
berubah sedih.
"Guruku telah meninggal dunia kemarin pagi..." Mendengar ini, semua Hwesio merangkapkan kedua
tangan di depan dada. Teng San menundukkan muka dan Lian Hong memandang kepada In Hong
dengan muka berkasihan. Hening beberapa lama, keheningan yang menyesakkan dada In Hong dan
membuat gadis itu hampir tak dapat menahan mengucurnya air mata. Ia menjadi gemas kepada diri
sendiri dan untuk menyembunyikan perasaan dan kelemahan hatinya ini, ia berkata,
"Suhu sudah meninggal dengan tenang dan aku tidak perlu mendapat rasa kasihan orang lain!" Kata-
kata ini membuktikan betapa keras adanya hati gadis ini.
"Omitohud... Bhutan Koi-Jin, kau sudah mendahului pinceng. Kau sudah senang dan bebas, semoga kita
akan dapat bertemu pula di alam lain," terdengar Bu Kek Tianglo berdoa perlahan, kemudian ia
memandang kepada In Hong dan bertanya,
"Setelah suhumu meninggal, apakah kedatanganmu ini hanya untuk menyampaikan warta itu, nona?"
"Aku datang memenuhi pesanan suhu bahwa aku harus memenuhi janji suhu untuk mengadakan pibu
dengan murid Siauw-Lim-Pai untuk menentukan, mana yang lebih unggul antara ilmu kepandaian yang
diturunkan oleh suhu dengan ilmu kepandaian dari Siauw-Lim-Pai!" Sambil berkata demikian ia
mengerling ke arah Teng San yang masih menundukkan mukanya. Bu Kek Tianglo tersenyum dan
menggeleng-geleng kepalanya.
"Bhutan Koi-Jin, kau benar-benar telah mendapatkan murid yang cocok dengan watakmu," katanya
perlahan, kemudian kepada In Hong ia berbuat dengan suara sungguh-sungguh, "Nona kau baru
menerima latihan selama setengah tahun dari mendiang Bhutan Koi-Jin, apakah kau sudah merasa
cukup kuat untuk menghadapi Teng San?"
"Aku memang seorang lemah dan bodoh, akan tetapi kiranya aku takkan mengecewakan arwah dari
suhu," jawab In Hong.
"Suhu, nona Kwee ini sudah mewarisi sinkang dari Bhutan Locanpwe," kata Ceng Seng Hwesio kepada
Gurunya, "Tadi Teecu sudah menyaksikan betapa dia mengalahkan tiga orang Sute dengan tenaga
lweekangnya." Bu Kek Tianglo mengangguk-angguk puas.
"Hm, begitukah? Bagus sekali. Agaknya Bhutan Koi-Jin sudah dapat memperdalam kepandaiannya
selama puluhan tahun ini sehingga ia telah dapat menurunkan sinkang sekaligus tanpa menghiraukan
kesehatannya sendiri. Bagus! Hanya sinkang dari Koi-Jin saja yang kiranya patut menghadapi Teng San,
kau lawan nona Kwee ini dengan I-Kin-Keng!" Dapat dibayangkan betapa berat hati Teng San menerima
perintah ini, akan tetapi tentu saja ia tidak berani membantah kehendak suhunya, maka sambil:: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 132
:: CerSil KhoPingHoo :
menganggukkan kepalanya, ia lalu melangkah maju dan bersiap sedia mengha-dapi In Hong. Melihat
pemuda itu telah maju, In Hong juga segera melangkah maju tanpa mencabut pedangnya. Ia tidak suka
menghadapi seorang lawan yang bertangan kosong dengan pedang, karena iapun tahu bahwa orang
menghendaki mengadu tenaga lweekang.
"Kwee-siocia, silahkan," kata Teng San yang sudah memasang kuda-kuda. Ia menyalurkan sinkang dari I-
Kin-Keng ke dalam sepasang lengannya dan memasang kuda-kuda dari ilmu silat Lo-han-kun, yakni ilmu
silat dari Siauw-Lim-Pai yang terkenal tangguh dan lihai.
Biarpun ia berwatak ganas dan keras hati, namun In Hong bukanlah orang yang mudah melupakan budi.
Ia telah hutang budi kepada pemuda ini yang telah memperlihatkan kebaikan hati dan menolongnya
ketika ia dikepung oleh para hweesio Siauw-Lim-Si. Juga sebagai seorang wanita, perasaannya yang
halus membisikkan kepadanya bahwa pemuda ini tertarik kepadanya. Oleh karena itu, pada mulanya In
Hong merasa enggan untuk bertanding melawan Teng San. Ia akan lebih suka menghadapi Ceng Seng
Hwesio, atau kalau perlu, ia bahkan lebih suka kalau menghadapi Bu Kek Tianglo sendiri! Akan tetapi,
mengingat akan nama baik suhunya, segera timbul semangatnya dan ia mengambil keputusan untuk
mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaian untuk merebut kemenangan dalam pertandingan ini.
"Baik, kau jagalah seranganku!" jawab In Hong dan dengan cepat sekali ia mulai menyerang,
mempergunakan ilmu silat yang ia pelajari dari Hek Moli. In Hong memiliki gerakan yang cepat dan
ringan sekali, maka serangannya inipun datang dengan dahsyat dan cepatnya. Tangan kanannya
memukul ke arah dada Teng San dan tangan kiri menjaga di atas pusar. Teng San ingin menguji tenaga
gadis ini, maka ia tidak mengelak, melainkan menangkis sambil mengerahkan sebagian dari tenaga
lweekangnya. Dua buah lengan tangan kanan bertemu.
"Duk!" Keduanya tergeser mundur dan berubah kuda-kuda kaki mereka. Tadipun In Hong hanya
mengeluarkan sebagian saja dari tenaganya, maka melihat akibat pertemuan dua lengan itu, dapat
diduga bahwa tenaga mereka memang berimbang. Melihat ketangguhan lawan, dua orang muda ini lalu
menghilangkan rasa sungkan lagi dan mulailah mereka bertanding sambil mempergunakan seluruh
tenaga. Memang hebat sekali pertandingan itu. Gerakan In Hong lincah dan cepat, sebaliknya gerakan
Teng San tenang dan lambat.
Namun, tiap kali keduanya bertemu tangan, selalu terasa betapa masing-masing terdorong oleh tenaga
yang dahsyat. Setelah bertempur selama dua puluh jurus lebih, Teng San dapat mengukur tenaga
lawannya. Ia adalah ahli waris dari I-Kin-Keng, ilmu pusaka dari Siauw-Lim-Si, maka tentu saja tenaga
lweekangnya hebat. Ilmu I-Kin-Keng sudah amat terkenal dan dikagumi oleh seluruh tokoh kangouw,
sedangkan Teng San sudah mempelajari ilmu ini bertahun-tahun dan bakatnya memang baik sekali.
Sebaliknya, biarpun ilmu sinkang yang diturunkan oleh Bhutan Koi-Jin kepada In Hong juga luar biasa
sekali dan hampir setingkat dengan I-Kin-Keng, akan tetapi In Hong menerima ilmu ini baru setengah
tahun lamanya. Dalam hal tenaga dalam ini, In Hong masih kalah dan hal ini diketahui baik oleh Teng
San. Akan tetapi, pemuda ini tidak tega melukai hati In Hong, tidak tega mengalahkannya.
Ia merasa kasihan sekali melihat In Hong dan di dalam hatinya timbul perasaan aneh dari kasih sayang.
Perasaan kasihan dan kasih sayang ini membuat Teng San ingin menolong dan membantu In Hong, mana
bisa ia tega merobohkannya? Oleh karena itu, ia sengaja mengeluarkan tiga-perempat bagian saja dari
lweekangnya dan ini cukup untuk mengimbangi kekuatan In Hong. Namun, dipihak In Hong lain lagi.
Biarpun gadis ini tadinya merasa berhutang budi dan tidak enak untuk bertanding dengan pemuda yang
pernah menolongnya ini, akan tetapi setelah melihat bahwa tenaga dari pemuda ini memang hebat, ia:: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 133
:: CerSil KhoPingHoo : :: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 134
:: CerSil KhoPingHoo :
lalu mengerahkan seluruh tenaga dalam setiap serangannya. Bahkan ia melakukan serangan dengan
gerakan cepat sekali, mengeluarkan gerak tipu-tipu yang paling lihai dari ilmu silatnya. Dengan
gerakannya yang lebih cepat dan lincah karena ginkangnya memang tinggi. In Hong dapat mendesak
lawannya yang sebagian banyak hanya membela diri saja.
Pertandingan berjalan sampai tujuh puluh jurus dan keadaan mereka masih seimbang, sungguhpun
kelihatannya In Hong selalu mendesak dan menindih, namun gadis ini maklum bahwa ia tidak mendapat
banyak kesempatan menghadapi pemuda yang kokoh kuat penjagaannya ini. Tiba-tiba In Hong
melakukan serangan nekat. Gadis yang keras hati ini merasa penasaran dan mendongkol sekali karena
sebegitu lama semua serangannya tidak berhasil, bahkan kedua lengannya sudah terasa lelah dan sakit-
sakit. Kini ia mengeluarkan gerak tipu yang disebut Sam-houw-toat-beng (Tiga harimau mencabut
nyawa), sebuah pukulan yang luar biasa ganasnya dari Hek Moli. Dengan gerakan yang susul menyusul
dan bukan main cepatnya sehingga hampir boleh dibilang dalam satu saat, tangan kanan In Hong
memukul ke arah pusar, disusul dengan cengkeraman tangan kiri ke arah leher dan diikuti dengan
tendangan maut ke depan!
Terdengar Bu Kek Tianglo mengeluarkan napas berat, tanda bahwa Kakek ini merasa khawatir melihat
muridnya terancam hebat. Juga Teng San terkejut bukan main. Tak pernah disangkanya bahwa gadis itu
memiliki ilmu pukulan yang demikian ganasnya. Akan tetapi, sukarlah untuk menghindarkan diri
sekaligus dari tiga macam serangan ini dan ia harus menghadapinya dengan tenang. Ia mempergunakan
tangan kanan untuk menyampok cengkeraman ke arah leher, tangan kirinya menahan datangnya
tendangan maut yang amat berbahaya itu sedangkan tubuhnya agak direndahkan sehingga pukulan In
Hong ke arah pusarnya menjadi berubah sasaran dan tiba di atas dadanya. Hal ini memang ia sengaja
karena dalam menerima pukulan gadis itu didadanya, Teng San mengerahkan tenaga lweekangnya yang
luar biasa.
Terdengar kain robek dan seruan In Hong. Tubuh gadis ini terjengkang ke belakang dan terhuyung-
huyung. Hampir saja ia roboh kalau saja tidak lekas-lekas mengatur keseimbangan tubuhnya. Kepalan
kanannya terasa panas dan kesemutan, akan tetapi ia tidak terluka. Dilain pihak, Teng San yang terpukul
dadanya itu berdiri tegak tidak bergeming, hanya pundaknya terkena cengkeraman tangan kiri In Hong.
Ketika tangan kiri In Hong tadi disampok, gadis ini dengan cepatnya menyelewengkan tangan kirinya
sehingga tangan ini dapat melanjutkan serangan ke arah pundak lawan. Tangan inilah yang melukai Teng
San karena cengkeraman jari tangan yang terisi tenaga lweekang ini telah merobek kain penutup pundak
dan terus melukai kulit dan daging pundak!
"Kwee-Lihiap, aku mengaku kalah...," kata Teng San sambil tersenyum dan menjura. In Hong menjadi
merah sekali mukanya. Dari tadi juga ia telah dapat mengerti bahwa dalam hal tenaga lweekang, ia
masih kalah oleh pemuda ini. Gebrakan terakhir tadi membuktikan. Juga gebrakan terakhir ini membuka
rahasia hati Teng San yang sengaja membiarkan dirinya terpukul tanpa bermaksud merobohkan atau
melukai In Hong. Orang yang sudah dapat menahan pukulan pada dadanya tadi tanpa terluka, kalau
mau, memang dapat mengirim kembali hawa pukulan dan mengakibatkan luka melakukan hal itu, hanya
membuat In Hong mencelat dan terhuyung-huyung saja.
"Ong-tayhiap, kau sudah mengalah. Kau patut menjadi terbaik dari Siauw-Lim-Pai..." jawab In Hong yang
segera menjura kepada Bu Kek Tianglo, kemudian tanpa banyak cakap lagi gadis ini berkelebat dan
berlari keluar dari kuil Siauw-Lim-Si. Seperginya gadis ini. Bu Kek Tianglo terdengar menarik napas
panjang.:: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 135
:: CerSil KhoPingHoo :
"Hm, gadis seganas itu berkeliaran seorangdiri di dunia kangouw, benar-benar berbahaya! Entah
kebodohan apa lagi yang akan ia lakukan. Teng San, pinceng tahu mengapa kau tadi mengalah. Memang,
dalam kedudukanmu sebagai putera musuh besarnya, dan mengingat pula akan perbuatan Ayahmu
terhadap Ayah dan Ibunya, amat sukarlah bagimu untuk tidak menaruh hati iba dan mengalah. Akan
tetapi, gadis itu memiliki watak yang amat keras dan perbuatannya sewaktu-waktu bisa ganas seperti
mendiang Hek Moli. Lweekangnya pinceng lihat sudah amat tinggi sehingga di dunia kangouw, kiranya
hanya kau dengan I-Kin-Keng yang dapat mengendalikannya. Oleh karena itu, sekarang kau pinceng
paksa keluar dari sini untuk mengamat-amati gadis itu, syukur kalau kau bisa menguasainya dengan
jalan halus, kalau tidak kau harus menjaga agar jangan sampai ia menimbulkan gara-gara seperti yang
pernah dilakukan oleh Bhutan Koi-Jin dan Hek Moli."
Demikianlah, pada keesokan harinya, Teng San dan Lian Hong meninggalkan Siauw-Lim-Si dan kedua
orang kakak dan adik ini merasa gelisah kalau mereka memikirkan In Hong. Bagaimana kelak kalau In
Hong bertemu dengan Ibunya dan mendapat tahu bahwa Ibunya telah menikah dengan pembunuh
Ayahnya? Mengingat akan semua ini, Teng San menjadi amat berduka. Diam-diam ia kecewa terhadap
Ayahnya, karena setelah membunuh suaminya, Ayahnya lalu mengambil isterinya. Benar-benar hal yang
amat memalukan! Dan sekarang ditambah lagi oleh kenyataan betapa menarik adanya In Hong dan
betapa hatinya selalu tak dapat melupakan wajah yang cantik jelita dan gagah itu. Apa yang
dikhawatirkan oleh Bu Kek Tianglo memang beralasan.
In Hong adalah seorang yang semenjak kecilnya dididik oleh seorang yang ganas seperti Hek Moli, maka
otomatis gadis inipun menjadi dewasa dengan watak yang sama dengan Gurunya. Keras hati dan ganas.
Ia takkan mau berhenti sebelum dapat memuaskan hatinya membalas dendamnya kepada musuh-
musuh besar yang sudah menewaskan Gurunya. Di dalam hati In Hong, hidupnya hanya mempunyai
tujuan tertentu, yakni membalas dendam atas kematian Gurunya, kemudian mencari Ibunya dan
mencari musuh besar yang sudah menewaskan Ayahnya! Setelah meninggalkan Siauw-Lim-Si, gadis ini
langsung menuju ke Kun-Lun-san! Ia melakukan perjalanan cepat sekali dan tidak pernah berhenti kalau
tidak sudah lelah sekali. Ia tidur dimana saja sang malam menghalang perjalanannya. Tidur di udara
terbuka, di dalam Kelenteng tua bobrok, di atas pohon, atau dimana saja bagi gadis ini bukan apa-apa.
Kadang-kadang sehari semalam ia tidak menemui kampung dan terpaksa kalau bekal makanan habis, ia
berpuasa atau makan buah-buahan. Inipun tidak membuatnya merasa sengsara. Setiap orang kangouw
harus berani menghadapi keadaan seperti ini dengan tabah. Ketika tiba di kaki bukit Kun-Lun-san, di luar
sebuah hutan kecil ia melihat seorang laki-laki berjalan dengan kepala menunduk. Laki-laki ini berjalan di
sebelah depan dan In Hong hanya melihat punggung dan pundaknya yang bidang. Melihat potongan
tubuh orang itu, In Hong merasa sudah mengenalnya, apalagi melihat langkah kaki yang biarpun
perlahan namun masih kelihatan ketegapan dan kegagahannya, seperti langkah seekor harimau. In Hong
mempercepat larinya dan tak lama kemudian ia telah dapat menyusul orang itu. Laki-laki itu mendengar
kedatangan orang lalu menengok.
"Kau... Bu Jin Ai...?" seru In Hong, akan tetapi dilain saat gadis ini menundukkan mukanya yang menjadi
merah dan menekan perasaannya yang membuat dadanya bergelombang. Seperti juga dulu ketika
bertemu untuk pertama kalinya, ia mendapatkan perasaan aneh.
Apalagi sekarang pendekar yang bernama Bu Jin Ai (Tidak Ada yang Menyinta) ini memandangnya
dengan sinar mata demikian mesra seakan-akan orang terkena pesona, pandangan mata yang
mengandung berbagai macam perasaan, ada terkejut, heran, kagum, dan terbayang kasih sayang yang
besar. Inilah yang membuat In Hong berdebar dan menundukkan mukanya. Gadis ini sendiripun merasa:: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 136
:: CerSil KhoPingHoo :
aneh di dalam hatinya. Kalau laki-laki lain yang memandangnya seperti itu, tentu ia akan marah atau
setidaknya, akan ditinggalnya pergi tanpa perduli lagi. Akan tetapi, dipandang sedemikian rupa oleh laki-
laki ini, ia merasa bangga! Adapun pendekar gagah itu benar-benar seperti orang dalam mimpi. Ia
menatap wajah In Hong dan bibirnya bergerak perlahan, mula-mula tidak dapat didengar jelas kata-
katanya, kemudian In Hong dapat menangkap suara itu,
"Kau... isteriku... kekasihku... kau cantik seperti bidadari..."
"Gila..." kata In Hong dengan muka menjadi makin merah. Kemudian ia melihat betapa muka orang itu
agak pucat dan lengan kirinya agak kaku gerakannya. Ia terkejut sekali dan tak terasa pula ia melangkah
maju menghampiri laki-laki itu.
"Apakah... apakah lenganmu masih sakit? Hebatkah luka akibat pasir hitamku?" Bu Jin Ai tersenyum,
mukanya yang gagah itu memang kelihatan tampan sekali, dagunya nampak kuat, giginya putih dan
berjajar rapi, sepasang matanya bersinar dan berpengaruh. Muka seorang pendekar gagah, muka
seorang jantan!
"Pasirmu memang lihai, Put Hauw Li, dan aku terlalu bodoh sehingga tak dapat menyembuhkannya."
Memang dahulu, dalam pertemuan pertama, In Hong mengaku bernama Put Hauw Li (Anak perempuan
tidak berbakti). Tentu saja Bu Jin Ai tahu bahwa nama yang dipakai gadis ini adalah nama palsu, seperti
halnya In Hong yang tahu benar bahwa nama pendekar ini adalah nama palsu pula. In Hong nampak
menyesal sekali. Pasir hitamnya amat lihai dan berbahaya. Sudah setengah tahun lebih orang ini
menderita luka akibat senjata rahasianya itu, ah, tentu orang ini telah menderita kesakitan hebat. Ia
melangkah maju lagi dan mendekati Bu Jin Ai.
"Biarkan aku memeriksa lukamu dan mencoba untuk mengobatinya," katanya. Tanpa menanti jawaban,
ia lalu memegang pundak laki-laki itu dan sekali jari-jari tangannya yang kecil runcing bergerak,
terdengar suara kain memberebet dan pakaian Bu Jin Ai di bagian pundak dan pangkal lengan telah
robek terbuka!
"Kau masih ingat di bagian mana aku terluka?" Bu Jin Ai berkata heran. "Kalau begitu selama ini kau
seringkali ingat kepadaku?"
"Hush, diam dan jangan banyak cakap. Lukamu berbahaya sekali," kata In Hong yang sudah
mengeluarkan pedangnya. Dengan ujung pedang ia membuat beberapa guratan pada kulit lengan yang
menghitam dan gembung itu, kemudian ia mengurut beberapa otot dan menotok jalan darah. Tak lama
kemudian, dari guratan-guratan yang dibuat oleh pedangnya pada lengan Bu Jin Ai, keluarlah darah
hitam. Tiba-tiba In Hong merasa betapa lengannya yang sedang bekerja itu disentuh oleh jari-jari tangan
Bu Jin Ai, dibelai halus.
"Isteriku... kekasihku...," kembali bibir Bu Jin Ai bergerak-gerak dan keadaannya seperti orang gila,
sepasang matanya memandang kepada In Hong penuh kemesraan dan kasih sayang sehingga dengan
kaget sekali In Hong merenggut tangannya dan melompat mundur. Jantungnya berdebar keras dan aneh
sekali. Perasaan marah yang sudah meluap-luap di dadanya, tiba-tiba padam kembali oleh perasaan lain
ketika ia memandang kepada Bu Jin Ai. Entah mengapa, muka itu mendatangkan welas asih dan suka.
Akan tetapi, rasa jengah dan malu membuat In Hong tidak mau mendekat lagi. Ia mengambil sebungkus
obat penawar pasir hitam, memberikannya kepada Bu Jin Ai sambil berkata lirih,:: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 137
:: CerSil KhoPingHoo : :: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 138
:: CerSil KhoPingHoo :
"Kau sudah gila! Aku tidak mau dekat lagi. Kau keluarkan semua darah hitam dari lenganmu, kemudian
kau pakai obat ini di lukanya. Pasti sembuh dalam beberapa hari saja." Akan tetapi Bu Jin Ai tidak
menerima obat itu sehingga bungkusan obat jatuh ke atas tanah. Sebaliknya, dengan mata saju Bu Jin Ai
memandang In Hong dan berkata,
"Isteriku manis, tidak kasihankah kau kepadaku...?" Mendengar ini dan melihat pandangan mata Bu Jin
Ai, In Hong bergidik dan gadis ini melompat pergi. Suara yang aneh keluar dari kerongkongannya, suara
seperti setengah tangis setengah tertawa. Memang In Hong merasa terharu dan kasihan sekali melihat
Bu Jin Ai, akan tetapi sikap Bu Jin Ai kepadanya membuat ia merasa geli juga. Dia adalah se-orang gadis
yang belum pernah menghadapi sikap laki-laki seperti ini, demikian penuh rangsang, penuh kemesraan
dan penuh cinta kasih. Sambil berlari cepat mendaki bukit Kun-Lun, In Hong diam-diam memikirkan
keadaan dirinya.
Mengapa ia begitu tertarik kepada Bu Jin Ai? Laki-laki ini biarpun tak dapat disangkal lagi memilik wajah
yang tampan, tubuh yang gagah, sikap yang mengagumkan, namun usianya tidak muda lagi. Kurang
lebih empat puluh tahun, sudah patut menjadi Ayahnya! Akan tetapi, cinta memang aneh sekali. In Hong
agaknya tidak anggap hal ini penting. Ia membayangkan wajah dan sikap Yo Kang, putera Pamannya. Ia
sudah tahu pasti bahwa Yo Kang cinta kepadanya. Pemuda itu, biarpun kepandaiannya tidak amat tinggi,


Bayangan Bidadari Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

namun boleh disebut seorang yang bersemangat gagah, wajahnya tampan pula, hartawan dan masih
muda. Akan tetapi, anehnya, ia sama sekali tidak tertarik kepada Yo Kang. Masih ada lagi, yakni Ong
Teng San, pemuda luar biasa yang baru-baru ini mengadu kepandaian dengannya di Siauw-Lim-Si.
Kurang apakah pemuda ini?
Tentang kepandaian, tidak dibawah tingkat kepandaiannya sendiri. Tentang watak ia tahu bahwa
pemuda itu berwatak baik, terlihat dari sikapnya, dari usahanya untuk menolongnya dahulu dan bahkan
akhir ini di dalam pibu, pemuda itu sengaja tidak mendesaknya dan berlaku mengalah. Ini saja sudah
membuktikan bahwa Teng San suka kepadanya. Akan tetapi, benar-benar mengherankan, ia sama sekali
tidak tertarik kepada Ong Teng San. Mengapa kalau terhadap dua orang pemuda pilihan ini, juga banyak
sekali pemuda-pemuda lain yang pernah memandang kepadanya dengan rindu, ia sama sekali tidak
tergerak hatinya, sebaliknya terhadap Bu Jin Ai, pendekar yang sudah tak muda lagi, yang wataknya
biarpun gagah namun seperti orang gila, ia jatuh hati? Benar-benarkah ini yang dibilang cinta? In Hong
merasa malu kepada diri sendiri dan berusaha untuk menyangkal perasaan ini.
"Tak mungkin! Dia sudah tua, patut menjadi Ayahku!" Akan tetapi pikiran ini bahkan mendatangkan
kesedihan karena ia teringat akan Ayahnya yang terbunuh mati oleh orang yang tidak diketahuinya siapa
dan di dalam kesedihan ini kembali terbayang wajah Bu Jin Ai yang nampaknya demikian menyintanya!
Ingin ia kembali, mendekati Bu Jin Ai dan menumpahkan semua kedukaan yang di deritanya. Kembali ia
mencela keinginan ini dan bagaikan seorang berubah ingatan, In Hong berlari-lari cepat sambil kadang-
kadang tersenyum, kadang-kadang menangis! Setelah tiba di depan Kelenteng Kun-Lun-Pai yang besar,
ia segera memasuki pekarangan yang luas. Dilihatnya banyak Tosu berada di depan Kelenteng, maka ia
segera berseru nyaring,
"Kun-Lun Sam-Lojin, keluarlah untuk membayar hutang kalian!" Para Tosu yang berada disitu ketika
mengenal In Hong segera melarikan diri ke dalam untuk memberi laporan. Tak lama kemudian,
muncullah Kun-Lun Sam-Lojin, tiga orang tokoh Kun-Lun-Pai murid dari Pek Ciang San-Lojin. Dengan
sikap tenang akan tetapi mata mereka bersinar marah, tiga orang Tosu ini cepat menghampiri In Hong
yang masih berdiri di pekarangan dengan sikap menantang. Melihat tiga orang musuh besarnya ini,
kemarahan hati In Hong meluap. Cepat ia mencabut pedang Liong-Gan-Kiam dan membentak,:: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 139
:: CerSil KhoPingHoo :
"Kun-Lun Sam-Lojin, hari ini kalian harus menyusul arwah Guruku!"
"Iblis wanita kau benar-benar harus dibasmi. Apa kau masih belum kapok dan mencari mampus? Benar-
benar menjemukan!" Sun Sim San-Lojin marah sekali dan menyerang dengan hudtimnya.
Dua orang Suhengnya juga cepat maju menyerang sehingga dilain saat tiga orang tokoh Kun-Lun ini
telah mengeroyok In Hong. Terjadi pertempuran hebat sekali dan baru beberapa jurus saja, tiga orang
Kakek Kun-Lun-Pai itu mengeluarkan seruan tertahan. Tak disangkanya bahwa nona ini sekarang, selama
kurang dari satu tahun, telah memperoleh kemajuan yang hebat sekali. Yang benar-benar amat
mengherankan dan mengagumkan adalah tenaga lweekang dari gadis ini, benar-benar luar biasa
kuatnya sehingga tiap kali beradu senjata, tiga orang Kakek Kun-Lun-Pai ini merasa tergetar tangannya.
In Hong kali ini tidak mau memberi banyak kesempatan kepada tiga orang musuh besarnya yang ia
benci. Dengan cepat pedangnya bergerak menyambar-nyambar, tangan kirinya juga dikepal dan
mengirim pukulan yang disertai hawa lweekang yang ia pelajari dari Bhutan Koi-Jin.
Baru belasan jurus, ia telah berhasil memukul dada Sun Sim San-Lojin dengan tangan kirinya. Tosu
termuda dari Kun-Lun Sam-Lojin ini terlalu sembrono dan berani menerima pukulan tangan kosong
dengan dada terbuka. Memang sebetulnya ia tidak terlalu singkat pikiran. Dahulu, setengah tahun lebih
yang lalu, In Hong masih memiliki lweekang yang tingkatnya dibawah tingkatnya sendiri, maka tak
mungkin dalam waktu setengah tahun saja gadis itu akan memiliki lweekang yang luar biasa. Andaikata
sudah sangat maju, kiranya pukulan tangan kiri takkan dapat menembus ilmu kebalnya yang disebut
tiat-pouw-san (baju besi). Oleh karena mengandalkan ilmu weduk inilah maka Sun Sim San-Lojin berani
menerima pukulan In Hong dengan tenang, sebaliknya hud-tim (kebutan) di tangannya menotok ke arah
uluhati In Hong!
"Blekk!" Tubuh Sun Sim San-Lojin terlempar ke belakang dan Tosu ini melepaskan hud-timnya, roboh
dengan mata mendelik, maka pucat dan dari hidung serta mulutnya keluar darah! Ia telah menderita
luka hebat sekali di dalam dadanya dan sukarlah ditolong lagi keselamatan nyawanya. Tentu saja Cu Sim
San-Lojin dan Kim Sim San-Lojin menjadi marah sekali. Sambil berseru keras mereka menyerang, bahkan
beberapa orang Tosu mulai mendekati In Hong hendak mengeroyok. Melihat ini, In Hong mengamuk
makin hebat. Ia tidak ingin membunuh lain orang kecuali tiga Kakek yang pernah mengeroyok dan
menewaskan Gurunya itu. Pedangnya menyambar laksana kilat dan terdengar Cu Sim San-Lojin
menjerit.
Tadi pedang gadis itu menyambar menyerang leher. Kakek ini yang mengandalkan lweekangnya, cepat
menyampok dengan ujung lengan baju dengan maksud membikin pedang terpental sehingga ia dapat
membalas dengan serangan maut. Tidak tahunya, ujung lengan bajunya terbabat putus dan pedang itu
terus menyerang lehernya. Biarpun ia sudah berusaha mengelak, sia-sia belaka, lehernya terbabat
pedang dan Kakek ini menggeletak dengan leher hampir putus! Kini terdengar seruan-seruan disana-sini
dan sebentar kemudian In Hong sudah dikeroyok oleh banyak Tosu yang menjadi marah melihat gadis
ini telah menewaskan dua orang Tosu kepala. Akan tetapi menghadapi keroyokan ini, In Hong tidak
menjadi keder, bahkan mengamuk makin hebat. Untuk kesekian kalinya, seorang Tosu roboh dan
akhirnya setelah mendesak terus, In Hong berhasil merobohkan Kim Sim San-Lojin!
"Cukup! Hanya mereka bertiga inilah yang hendak kutewaskan, kalian tidak ada urusan denganku, harap
mundur!" bentak In Hong sambil memutar pedang sedemikian rupa sehingga beberapa batang toya dan
golok para pengeroyok terlempar. Melihat kehebatan ini, para Tosu ada yang merasa gentar dan:: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 140
:: CerSil KhoPingHoo :
terbukalah jalan bagi In Hong. Akan tetapi baru saja ia melompat dan hendak keluar dari pekarangan,
tiba-tiba ia merasa sambaran angin dari kiri, dibarengi bentakan keras,
"Siluman betina, kau berani membunuh murid-muridku!" In Hong cepat menangkis dengan pedangnya
ke kiri.
"Traang...!" Bunga api berpijar menyilaukan mata ketika pedangnya bertemu dengan sebatang tongkat
panjang yang dipegang oleh seorang Tosu tinggi besar yang bertangan putih.
"Pek Ciang San-Lojin, kau juga turut-turut?" In Hong membentak ketika mengenal Kakek ini sebagai
ketua dari Kun-Lun-Pai.
"Bocah keji, kau membunuh-bunuhi murid-muridku, apakah aku harus tinggal diam saja?"
"Kun-Lun Sam-Lojin tiga orang muridmu itu telah mengeroyok dan membunuh Guruku, sekarang aku
datang menewaskan mereka untuk membayar hutang, bukankah itu sudah adil dan perhitungan sudah
habis? Kau mau apa?" Pek Ciang San-Lojin tertawa menyindir.
"Iblis cilik seperti kau kalau tidak dibasmi, kelak hanya mengotorkan dunia. Kau lebih keji daripada Hek
Moli," kata Pek Ciang San-Lojin dan begitu kata-kata ini ditutup, tongkatnya telah menyerang dengan
cepat dan kuat sekali. In Hong dengan mudah mengelak, akan tetapi tiba-tiba sebatang pedang menye-
rangnya sebagai susulan penyerangan tongkat tadi. In Hong terkejut. Tak disangkanya bahwa ketua Kun-
Lun-Pai ini benar-benar hebat ilmu silatnya. Entah kapan, tahu-tahu pedang pusaka yang terselip di
punggung Kakek itu kini telah berada di tangan kiri sehingga Kakek ini memegang dua macam senjata,
tongkat panjang di tangan kanan dan pedang pusaka di tangan kiri! In Hong cepat menangkis serangan
pedang lawan dan ia mendapat kenyataan bahwa tenaga lweekangnya yang ia dapat dari Bhutan Koi-Jin,
Ternyata hanya cukup untuk mengimbangi tenaga Kakek Kun-Lun-Pai ini. Maka ia berlaku hati-hati sekali
dan mainkan pedangnya dengan penuh perhatian. Pertempuran kali ini seru sekali. Baiknya yang turun
tangan menyerang In Hong adalah ketua Kun-Lun sendiri sehingga semua Tosu yang berada disitu tidak
berani sembarangan turun tangan membantu. Hal ini akan dianggap meremehkan si ketua saja. Tanpa
diminta, tak seorangpun Tosu disitu berani bergerak membantu Pek Ciang San-Lojin. Akan tetapi, toh
ada yang membantunya, yakni seorang Kakek yang amat tua, bukan lain adalah Siang Te Lokai, susiok
dari ketua Kun-Lun-Pai yang bekerja sebagai tukang sapu Kelenteng! Tadinya, Kakek ini tidak membantu,
hanya datang menyeret sapunya dan melihat pertempuran itu, ia berseru kagum,
"Nona cilik, dalam waktu beberapa bulan saja kau sudah dapat memiliki lweekang seperti ini, benar-
benar bikin lohu kagum sekali! Biarpun I-Kin-Keng dari Siauw-lim belum tentu lebih tinggi sumbernya
daripada lweekangmu itu!" Adapun Pek Ciang San-Lojin yang sudah merasa penasaran dan juga
kewalahan menghadapi kelihaian In Hong, ketika melihat kedatangan Siang Te Lokai, lalu berkata keras,
"Siang Te Susiok! Harap kau segera turun tangan dan robohkan siluman wanita ini." Siang Te Lokai
mengerutkan keningnya dan bermain dengan sapunya.
"Aku... aku tidak tega..." katanya kemudian.
"Susiok, ingat bahwa dahulu gadis ini telah kau lepaskan dan lihat, apa yang menjadi akibat dari
perbuatan susiok itu. Ia kini datang dan selain membunuh tiga orang murid kami secara keji, ia masih:: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 141
:: CerSil KhoPingHoo :
menewaskan beberapa orang Tosu lagi. Apakah kejahatan seperti ini masih harus diampunkan lagi?"
Siang Te Lokai menggeleng-geleng kepalanya yang botak lalu dengan apa boleh buat ia menoleh ke arah
In Hong,
"Nona harap kau suka mengalah dan menyerah saja!" Akan tetapi mana In Hong sudi menyerah?
"Aku datang membalas sakit hati Guruku, untuk keperluan ini, aku sudah menyediakan nyawaku sebagai
taruhan. Sekarang musuh-musuh besar Guruku sudah tewas, dan aku tidak ingin mencari perkara lagi.
Kalau kalian orang-orang Kun-Lun-Pai mau melepas aku pergi, aku selamanya takkan menginjakkan kaki
disini lagi. Akan tetapi kalau kalian mau membunuh, cobalah, aku tidak takut." Pek Ciang San-Lojin
membentak marah dan kembali ia menyerang sambil menyuruh susioknya turun tangan. Siang Te Lokai
meloloskan sebatang biting sapunya dan sekali tangannya bergerak, biting itu meluncur cepat melebihi
anak panah dan tahu-tahu telah menyerang kaki In Hong! Gadis ini tengah sibuk melayani Pek Ciang
San-Lojin sedangkan biting itu datangnya demikian cepat tidak terduga, maka begitu merasa ada angin
menyambar ke arah kakinya,
In Hong terkejut dan cepat menggerakkan kaki. Namun tongkat di tangan Pek Ciang San-Lojin menyodok
dadanya sehingga terpaksa ia menangkis dengan pedangnya dan kakinya turun kembali. Tak dapat
dihindarkan lagi, biting itu menusuk pahanya. In Hong sudah memiliki singkang yang tinggi, warisan dari
Bhutan Koi-Jin. Akan tetapi biarpun yang menyerang pahanya itu hanya sebatang biting kecil, namun
pelemparnya adalah Siang Te Lokai, seorang tokoh besar yang tingkatnya sudah sejajar dengan ketua
Siauw-Lim-Si dan Bhutan Koi-Jin sendiri. Maka, biarpun tidak tepat menusuk paha, biting itu masih
melukai kulit ketika menyeleweng karena hawa sinkang dari tubuh In Hong. Kulit dan sedikit daging paha
terluka. Baiknya biting itu kecil saja sehingga pakaian yang menutup paha tidak robek, hanya berlubang
sedikit.
Namun rasa perih pada pahanya membuat In Hong terpecah perhatiannya, sehingga ilmu silatnya tidak
begitu kuat lagi menjaga dirinya. Padahal, pada saat itu, Siang Te Lokai sudah ikut menyerbu dan
menyerangnya dengan sapunya yang lihai! Didesak oleh dua orang pandai ini, mau tidak mau In Hong
sibuk juga. Yang membikin ia sibuk sekali adalah sapu di tangan Siang Te Lokai. Memang, cara
penyerangan Kakek tua ini berbeda sekali dengan cara penyerangan Pek Ciang San-Lojin. Kalau sepasang
senjata di tangan ketua Kun-Lun-Pai ini, yakni tongkat dan pedang, selalu mengarah bagian tubuh yang
berbahaya dan kedua senjata ini digerakkan dalam penyerangan yang sifatnya membunuh. Menghadapi
gadis yang gagah itu, Pek Ciang San-Lojin tidak mau berlaku sungkan lagi, apapula kalau ia ingat bahwa
murid-muridnya telah tewas dalam tangan In Hong.
Ia tidak ragu lagi untuk menjatuhkan tangan maut. Sebaliknya, penyerangan dari Siang Te Lokai sama
sekali tidak mengandung maksud membunuh, hanya ingin membikin gadis itu tidak berdaya saja. Oleh
karena ini sapunya hanya menyerang ke arah jalan darah yang melumpuhkan, atau menyapu kaki,
menyerang pergelangan tangan dan lain-lain. Justeru inilah yang membikin In Hong bingung dan
terdesak. Penyerangan Pek Ciang San-Lojin dapat ia layani dengan cara keras sama keras, sebaliknya
penyerangan Kakek tua itu benar-benar membikin ia gemas sekali. Kalau ia perhatikan, maka bahaya
yang datang dari Pek Ciang San-Lojin menjadi lebih besar, sebaliknya kalau ia tidak ambil perduli,
serangan-serangan dari Kakek tukang sapu ini sekali mengenai sasaran, ia akan jatuh dan tidak berdaya
lagi.
Karena terdesak terus, akhirnya pundak kiri In Hong terkena sambaran ujung tongkat Pek-Ciang San-
Lojin. Gadis ini menggigit bibirnya dan menahan rasa sakit. Sambungan tulang pundak kirinya terlepas:: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 142
:: CerSil KhoPingHoo :
dan tangan kirinya menjadi lumpuh tak dapat digunakan lagi! Pada saat itu, sapu yang lihai dari Siang Te
Lokai menyerampang kakinya. In Hong mengeluh dan tubuhnya terguling, cepat menggunakan gerak
tipu Teringgiling-turun-gunung. Tubuhnya masih tetap bergulingan dan pedangnya ia siapkan. Ia ingin
menggulingkan diri sampai jauh kemudian melarikan diri. Akan tetap, biarpun Siang Te Lokai hanya
tertawa dan tidak mau mengejarnya, tidak demikian dengan Pek Ciang San-Lojin. Ketua Kun-Lun-Pai ini
tahu akan maksud gadis itu, maka tentu saja ia tidak mau membiarkan In Hong melarikan diri.
"Siluman betina, hendak lari kemana kau?" serunya dan tubuhnya yang tinggi besar itu melayang,
mengejar In Hong yang masih bergulingan. Dengan sekuat tenaga, ketua Kun-Lun-Pai ini menggerakkan
tongkat memukul ke arah kepala In Hong. Gadis ini cepat menggerakkan tubuh mengelak dan batu kecil
yang berada di atas tanah terpukul hancur oleh kepala tongkat! In Hong sudah melompat berdiri akan
tetapi ia roboh lagi ketika kaki Pek Ciang San-Lojin menyambar lututnya. Pek Ciang San-Lojin
mengangkat lagi tongkatnya untuk mengirim pukulan terakhir ke arah kepala In Hong, akan tetapi tiba-
tiba berkelebat bayangan yang cepat sekali dan seorang laki-laki bertubuh gagah berseru keras sambil
mengangkat tangan mencegah,
"Tak semestinya ketua Kun-Lun membunuh aeorang gadis muda!" Pek Ciang San-Lojin memandang. Ia
melihat seorang laki-laki tinggi besar beralis tebal yang memandang kepadanya dengan mata bernyala.
Sampai beberapa lama ia tidak mengenal laki-laki ini, maka ia menjadi marah.
"Kau tahu apa tentang urusan kami? Hayo pergi!" Dengan mengucapkan kata-kata ini, Pek Ciang San-
Lojin mendorongkan tongkatnya ke arah orang itu. Akan tetapi, orang itu tidak mau pergi, bahkan
dengan tangannya ia menolak tongkat yang didorongkan ke arah dadanya. Pek Ciang San-Lojin kaget
sekali. Tenaga yang keluar dari tolakan tangan itu benar-benar hebat. Mengertilah ia bahwa yang datang
ini bukan orang sembarangan.
"Hm, kau membela siluman ini? Tentu kau konconya dan kau seorang jahat pula! Robohlah." Tongkat itu
menyerang dengan hebatnya. Mengerti bahwa tongkat lawan ini tak boleh dibuat main-main, orang itu
melompat ke belakang dengan cepat, tidak berani menangkis. Pek Ciang San-Lojin melihat orang itu
mengelak sambil melompat mundur, mengeluarkan suara ketawa mengejek dan secepat kilat
tongkatnya diayun lagi, akan tetapi bukan untuk menyerang orang itu, melainkan unuk menghantam
kepala In Hong yang sudah duduk!
"Celaka...! Jangan ganggu kekasihku...!" Orang itu menjerit dan menubruk ke depan, membiarkan
tubuhnya yang mewakili In Hong menerima pukulan tongkat itu.
"Bluk! Tubuh orang itu terlempar dan menubruk In Hong. Orang itu merintih perlahan akan tetapi ia
masih dapat memeluk tubuh In Hong dan memondongnya! In Hong tadi terkena tendang lututnya, maka
gadis ini tidak bisa berjalan. Sekarang, melihat laki-laki itu terpukul hebat oleh tongkat unbuk mewakili
dirinya kemudian laki-laki yang sudah terluka hebat ini masih memondongnya, In Hong berkata lirih,
"Bu Jin Ai... kau baik sekali...." Orang itu memang Bu Jin Ai. Kalau tadinya ia merintih dan bibirnya
gemetar menahan sakit, kini ia memandang kepada In Hong, matanya bersinar, wajahnya berseri dan
bibirnya gemetar.
"Aku akan membelamu, melindungimu, aku akan mempertaruhkan nyawa untuk menyelamatkanmu,
kekasihku... isteriku manis..." Melihat adegan aneh ini, Pek Ciang San-Lojin ragu-ragu, mengerutkan
kening dan juga merasa jemu sekali.:: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 143
:: CerSil KhoPingHoo :
"Kalian sepasang manusia iblis, bersiaplah untuk mampus!" serunya marah. Tongkatnya melayang pula,
siap untuk menghancurkan kepala Bu Jin Ai dan In Hong.
"Plak!" Tongkat itu bertemu dengan gagang sapu yang dilontarkan oleh Siang Te Lokai.
"Susiok, mengapa kau mencegah Teecu membunuh dua siluman ini...?" tanya ketua Kun-Lun-Pai dengan
marah. Siang Te Lokai menghampiri mereka dan memandang kepada Bu Jin Ai.
"Pek Ciang, ketahuilah, orang ini adalah murid dari mendiang Bu Sek Tianglo. Tak baik kalau kita
mengganggunya." Pek Ciang San-Lojin kaget mendengar ini.
"Ahh... apakah dia murid Tianglo yang dulu amat terkenal dan she-nya Ong...?"
Sementara itu, dengan terhuyung-huyung dan mulut bicara mesra, menghibur In Hong dan berjanji
hendak mengobati luka-lukanya, Bu Jin Ai meninggalkan tempat itu. Orang ini sebetulnya sudah terluka
hebat. Pukulan tongkat dari Pek Ciang San-Lojin yang ditujukan ke arah kepala In Hong dan ia wakili tadi,
tepat mengenai punggungnya dan telah mematahkan dua buah tulang iganya. Namun, Bu Jin Ai ini
memang seorang yang luar biasa kuatnya. Ia tidak mem-perlihatkan rasa sakit dan tidak memperdulikan
dirinya sendiri bahkan ia masih dapat memondong tubuh In Hong dan membawanya pergi dari
Kelenteng Kun-Lun-Pai. Baiknya Siang Te Lokai mengenalnya dan memperingatkan Pek Ciang San-Lojin,
kalau tidak apabila pihak Kun-Lun-Pai mengejar dan menyerang terus, pasti Bu Jin Ai dan In Hong takkan
dapat melawan dan menyelamatkan diri lagi.
"Put Hauw Li, bidadariku jangan kau susah, aku akan merawatmu sampai sembuh..." Bu Jin Ai
menghibur In Hong yang merasa terharu sekali.
Orang gagah yang bernama Bu Jin Ai ini telah menyelamatkan nyawanya, bahkan telah mempertaruhkan
nyawa sendiri untuk melindunginya dari bahaya maut. Di dalam pondongan orang gagah ini ia merasa
demikian aman dan senang. Belum pernah In Hong mendapat perasaan aneh seperti ini, perasaan
bahagia bahwa ada orang yang menyintainya, orang yang membelanya mati-matian. Biarpun Bu Jin Ai
bersikap seperti orang yang tidak beres otaknya, namun In Hong dapat menduga bahwa orang ini
bersikap aneh seperti itu karena telah menderita kesedihan besar. Beberapa kali Bu Jin Ai menyebutnya
"Isterinya atau kekasihnya," mengapa demikian? Apakah barangkali Bu Jin Ai telah kehilangan isterinya?
"Bu Jin Ai, punggungmu terluka, mungkin tulang igamu patah," kata In Hong terharu sekali ketika dalam
pondongan, tidak terasa tangannya kena meraba punggung orang gagah itu.
"Tidak apa, hanya dua tulang iga patah, masih cukup murah untuk menebus nyawamu dari tongkat Si
tangan putih yang ganas itu," jawab Bu Jin Ai sambil tersenyum. "Bagiku, yang terpenting adalah
keselamatanmu. Aku sendiri, ah, aku orang apa? Hanya nyawa lebihan, hanya manusia yang dibenci
sana sini, tidak ada orang yang sayang kepadaku." Ketika mengeluarkan kata-kata ini, Bu Jin Ai
mengerutkan kening dan sinar matanya nampak berduka sekali.
"Bu Jin Ai, orang sedunia boleh membencimu, akan tetapi percayalah, aku Put Hauw Li tidak akan
membencimu selama hidupku."
"Betulkah? Dan kau... kau suka kepadaku?":: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 144
:: CerSil KhoPingHoo :
"Tentu saja. Kau satu-satunya orang di dunia ini yang baik menurut pandanganku, mengapa aku takkan
suka?"
"Bagus! Put Hauw Li, marilah kita berdua pergi jauh, pergi meninggalkan semua keributan ini, pergi
meninggalkan kebencian dan permusuhan, kita pergi keluar dunia ramai, hidup berbahagia sebagai
sepasang suami-isteri untuk selamanya!" In Hong terkejut sekali sehingga ia tersentak kaget. Belum
pernah ia berpikir tentang suami-isteri dan kata-kata ini benar-benar mengejutkan hatinya.
"Hush jangan omong tidak karuan!" tegurnya dan tak terasa tangannya menepuk punggung Bu Jin Ai.
"Aduuh...! Bu Jin Ai terhuyung-huyung akan tetapi tetap ia memondong tubuh In Hong dan menahan
rasa sakit sampai keringat membasahi jidatnya.
"Ah, maafkan aku, Bu Jin Ai. Aku tidak sengaja... Mari kita mencari tempat yang teduh agar kita bisa
saling mengobati. Aku membutuhkan perawatanmu, akan tetapi sebaliknya kaupun perlu dengan
perawatanku''.
"Ada sebuah tempat baik di kaki gunung ini, aku akan membawamu kesana. Kau... kau tidak marah
lagi?" Muka In Hong menjadi merah sekali, entah mengapa ia sendiri tidak tahu, akan tetapi ia merasa
jengah dan malu terhadap orang gagah ini, akan tetapi juga ada sesuatu yang amat mesra terasa di
dalam hatinya. Sudah gilakah aku? Demikian In Hong bertanya kepada diri sendiri karena ia dapat
menduga bahwa hatinya tertarik serta suka kepada orang ini. Ia merasa begitu aman dan betah dalam
pondongan Bu Jin Ai, merasa disayang sekali, merasa berbahagia dapat bersama-sama dengan orang ini!
"Tidak, Bu Jin Ai, aku tidak marah. Akan tetapi kau jangan bicara yang bukan-bukan lagi." Mendengar
ucapan ini, Bu Jin Ai tersenyum-senyum dan wajahnya yang gagah itu berseri gembira. Ia seperti
mendapat kekuatan baru dan setengah berlari ia turun dari gunung itu, menuju ke sebuah gua besar


Bayangan Bidadari Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang berada di kaki gunung.
Ia pernah tinggal digua ini, bahkan ia telah membersihkannya dan disitu ia telah menaruh meja kursi dan
pembaringan buatan sendiri, beberapa tahun yang lalu. Belum lama Bu Jin Ai dan In Hong meningalkan
puncak Kun-Lun-san, seorang pemuda yang cepat larinya datang di Kelenteng Kun-Lun-Pai. Pemuda ini
berwajah tampan, bertubuh tinggi agak kurus dan di punggungnya terselip sebatang pedang. Dia ini
bukan lain adalah Ong Teng San, murid termuda dan tersayang dari Siauw-Lim-Pai. Ia menjalankan
perintah suhunya untuk turun gunung dan mengamat-amati sepak terjang In Hong murid mendiang
Bhutan Koi-Jin yang telah memiliki kepandaian tinggi. Tadinya pemuda ini turun gunung bersama
adiknya, Ong Lian Hong. Akan tetapi ia menyuruh adiknya itu pulang ke rumah orang-tuanya.
"Lian Hong, kau tentu tahu sendiri bahwa In Hong adalah puteri dari Ibu yang dahulu hilang. Dia tentu
berusaha hendak mencari Ibu, juga berusaha hendak membalas dendam atas kematian Ayahnya yang
terbunuh oleh Ayah kita. Oleh karena itu, kita harus berpisah. Biar aku yang menjalankan perintah suhu
dan mengamat-amatinya agar ia jangan menimbulkan kekacauan seperti yang diperbuat oleh mendiang
Hek Moli dan suaminya. Adapun kau harus pulang ke rumah, mencari tahu tentang Ayah dan Ibu yang
sudah amat lama kita tinggalkan. Kemudian kau harus menjaga keselamatan Ibu di rumah. Kasihan Ibu
kita...":: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 145
:: CerSil KhoPingHoo :
"Baik, koko," kata Lian Hong. Diam-diam gadis ini merasa terharu sekali dan memuji hati pemuda yang
budiman ini. Biarpun Ibu Lian Hong bukan Ibu Teng San, namun pemuda ini amat kasih kepada Ibu
tirinya, bahkan dalam urusan dengan Ayahnya, Teng San membela Ibu tirinya. Demikianlah, Lian Hong
menuju ke kampung tempat tinggal orang-tuanya, sedangkan Teng San melanjutkan perjalanan ke Kun-
Lun-san.
Pemuda ini dapat menduga bahwa setelah kini memiliki kepandaian tinggi, In Hong pasti akan
mengunjungi Kun-Lun-Pai untuk membalas dendam atas kema-tian Hek Moli. Bukankah dahulu gadis itu
datang ke Siauw-Lim-Pai mencuri kitab dengan maksud untuk dipelajari dan kelak dipergunakan
melawan Kun-Lun-Pai? Maka tanpa ragu-ragu lagi ia lalu mengarahkan perjalanannya ke Kun-Lun-san.
Seperti juga In Hong, pemuda ini berlari cepat dan tidak pernah menunda perjalanannya. Akan tetapi
oleh karena In Hong telah berangkat sehari dimuka, tetap saja Teng San datang terlambat. Ia tiba
diKelenteng Kun-Lun-Pai setelah In Hong dipondong dan dibawa pergi oleh Bu Jin Ai. Kedatangannya
disambut oleh seorang Tosu penjaga. Di ruang tengah terdapat beberapa buah peti mati, hio mengebul
dan banyak Tosu bersembahyang dan berdoa. Hati Teng San berdebar tak enak.
"Totiang, siapakah yang meninggal dunia dan mengapa sekaligus begitu banyak yang meninggal? Ada
terjadi apakah?" Setelah Tosu itu mendengar bahwa pemuda ini adalah murid Siauw-Lim-Pai, ia tidak
menaruh hati curiga dan berkata,
"Ah, baru saja tempat kami diserbu oleh iblis-iblis jahat." Teng San makin gelisah.
"Totiang, terus terang saja akupun mendapat tugas dari suhu Bu Kek Tianglo untuk mengamat-amati
sepak terjang seorang nona..."
"Ah! Kau terlambat. Dia itulah yang datang menyebar maut. Bukankah yang kau maksudkan itu nona
murid Hek Moli?"
"Betul, Totiang. Apa yang ia lakukan? Dan dimana ia sekarang?" Teng San kini menjadi agak pucat. Ia
menyesal sekali bahwa kedatangannya terlambat. Anehnya dalam mengajukan pertanyaan ini, yang
terutama sekali teringat olehnya adalah keadaan In Hong! Ia mengkhawatirkan kalau-kalau gadis itu
mengalami kecelakaan.
"Siluman betina itu datang dan mengamuk, menewaskan Kun-Lun Sam-Lojin dan beberapa orang
saudara lain. Kemudian, setelah ketua kami keluar dibantu oleh Siang Te Lo-Cianpwe, barulah ia dapat
dikalahkan dan terluka. Tentu bocah siluman itu akan dibasmi oleh ketua kami kalau saja pada saat itu
tidak datang pertolongan seorang aneh."
"Ditolong orang? Siapa yang menolong dan bagaimana kesudahannya, Totiang?" tanya Teng San dan
hatinya makin berdebar. Tadinya ia merasa khawatir dan gelisah bukan main, akan tetapi sekarang agak
terhibur mendengar bahwa In Hong tertolong orang aneh.
"Agaknya antara siluman betina itu dan penolongnya memang sudah ada hubungan. Memang aneh
sekali. Laki-laki itu biarpun gagah dan tampan, patut menjadi Ayahnya, akan tetapi dasar wanita
siluman. Kami sampai menjadi malu melihat sikap mereka yang saling mengutarakan cinta kasih. Benar-
benar kurangajar!" Hati Teng San terpukul mendengar ucapan ini. Ingin ia menggaplok muka Tosu yang
menghina dan memburukkan nama In Hong, akan tetapi Teng San masih dapat bersabar, apalagi ia
masih menghendaki penjelasan.:: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 146
:: CerSil KhoPingHoo :
"Apa yang dilakukan oleh penolongnya itu dan kemana mereka sekarang, Totiang?"
"Laki-laki penolongnya itu merampas nona tadi dari ancaman tongkat ketua kami, lalu membawanya lari
turun gunung. Setelah mereka pergi baru kami ketahui dari Siang Te Lo-Cianpwe bahwa laki-laki itu
bukanlah orang sembarangan. Biarpun kelihatannya seperti orang yang berotak miring, akan tetapi tidak
tahunya dia adalah murid dari Bu Sek Tianglo dan shenya Ong..." Tiba-tiba Tosu itu membelalakkan
matanya dan hampir menjerit karena pundaknya dipegang dengan eratnya oleh jari tangan Teng San,
hampir remuk rasanya.
"Lekas katakan, ke jurusan mana mereka pergi!" kini suara Teng San terdengar penuh ancaman,
mukanya pucat sekali. Tosu itu hanya menudingkan telunjuknya ke arah bawah gunung. Teng San
melepaskan cenkeramannya dan secepat kilat tubuhnya berkelebat ke jurusan itu. Bagaikan terbang
cepatnya Teng San turun gunung untuk mengejar In Hong. Hatinya tidak karuan rasanya. Mungkinkah?
Mungkinkah In Hong bersama Ayahnya? Tak salah lagi bahwa orang yang dimaksudkan oleh Tosu tadi
adalah Ayahnya.
Siapa lagi murid Bu Sek Tianglo she Ong kalau bukan Ong Tiang Houw Ayahnya? Akan tetapi, mana
mungkin Ayahnya bersama-sama dengan In Hong dan lebih tak mungkin lagi antara mereka ada
perhubungan seperti yang dikatakan oleh Tosu tadi! Sama sekali tak masuk akal. Ayahnya adalah
musuh-besar In Hong, orang yang telah membunuh Ayah gadis itu, bahkan setelah membunuh Ayahnya,
lalu merampas dan mengawini Ibunya! Kalau In Hong bertemu dengan Ayahnya, tentu gadis itu akan
membunuhnya, akan mencincang hancur tubuh Ayahnya. Ia dapat mengerti betapa sakit hati gadis itu
kepada Ayahnya yang telah membunuh Ayah dan merampas Ibu gadis itu. Bagaimana sekarang ia
mendengar dari Tosu Kun-Lun-Pai bahwa Ayahnya menolong In Hong dan bahwa di antara mereka
terdapat perhubungan yang memalukan?
"Tak mungkin!" Teng San berseru keras untuk menyangkal semua tuduhan yang menyakitkan hatinya
itu. Ia memang tidak puas akan perbuatan Ayahnya yang telah membunuh Kwee Seng kemudian
mengambil isterinya, perbuatan ini dianggapnya rendah sekali.
Akan tetapi kini memikat hati In Hong, puteri dari Kwee Seng? Benar-benar ia anggap keterlaluan dan
betapapun juga hatinya tidak rela mengaku bahwa Ayahnya sampai hati melakukan perbuatan macam
itu. Setelah mencari dengan penuh perhatian, akhirnya Teng San melihat jejak kaki ditanah yang agak
lembek di kaki gunung Kun-Lun. Jejak kaki ini menunjukkan bahwa belum lama di tempat itu berjalan
seorang yang membawa barang berat. Ia lalu mengikuti jejak kaki itu dan sampailah ia dimulut sebuah
gua yang besar dan gelap, karena ditutup oleh cabang dan ranting pohon dari sebelah dalam. Agaknya
ada orang memasuki gua itu dan menutup mulut gua dengan cabang pohon untuk mencegah gangguan
binatang buas. Teng San ragu-ragu. Ia hendak membuka cabang-cabang pohon itu akan tetapi tiba-tiba
ia mendengar suara orang bicara,
"Bu Jin Ai, tulang igamu sudah tersambung baik, akan tetapi kau masih harus banyak mengaso." Inilah
suara In Hong! Teng San masih kenal suara gadis ini. Hatinya berdebar dan ia makin ragu-ragu. Terang
bahwa orang yang diajak bicara oleh In Hong itu bukan Ayahnya, karena dipanggil Bu Jin Ai, nama yang
aneh dan asing baginya. Tiba-tiba terdengar suara orang laki-laki tertawa perlahan. Jantung Teng San
seakan-akan berhenti berdetik karena tegang dan ragu. Ia menahan napas untuk mendengar dan
mengenal suara orang yang tertawa itu.:: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 147
:: CerSil KhoPingHoo :
"Kau bidadari berhati mulia, pundakmu sendiri terlepas sambungannya dan lututmu juga terluka, akan
tetapi kau selalu memperhatikan keadaanku. Eh, bidadariku, apakah sengaja Thian menyuruhmu turun
ke bumi untuk mengawani aku orang yang dibenci sesamanya?" Itulah suara Ong Tiang Houw, Ayahnya!
Hal inipun tidak diragukan lagi oleh Teng San. Tak terasa pula pemuda ini jatuh bersimpuh di atas tanah.
Kedua kakinya terasa lemas dan mukanya pucat seperti mayat. Akan tetapi ia masih mendengar suara
mereka bercakap-cakap,
"Bu Jin Ai, kau sudah menolong nyawaku, bukan aku yang baik, melainkan kau lah orang terbaik dan
termulia di dunia ini. Yang lain-lain itu palsu belaka. Aku sebatangkara, kau seorang-diri, nasib kita sama,
selalu bertemu musuh dan selalu sengsara. Aku senang sekali dapat bertemu denganmu, Bu Jin Ai."
Suara ini mengandung kemesraan yang mengharukan, karena begitu jujur dan setulusnya. Kembali laki-
laki itu tertawa.
"Memang kita sudah berjodoh agaknya... heran sekali aku, kau serupa benar dengan dia..."
"Bu Jin Ai, kau mulai mengaco lagi. Selalu kau sebut-sebut aku sama dengan orang lain. Aku tidak
perdulikan orang lain!"
"Ha, kau cemburu?"
"Cih! Siapa perduli? Sudahlah, kau harus tidur, keadaanmu lemah sekali," terdengar suara In Hong
membujuk. Teng San tak dapat menahan lagi gelora hatinya. Ia merasa jemu, malu, marah, menyesal,
kecewa dan penasaran sekali. Pendeknya semua perasaan tidak enak berkumpul di dalam hatinya,
membuat ia menjadi pucat.
Bagaikan seorang gila ia mencabut pedangnya dan sekali ia bergerak, cabang-cabang pohon itu
terlempar ke kanan kiri dan terbukalah mulut gua. Dengan sepasang mata liar seperti harimau luka ia
memandang ke dalam gua dan pemandangan yang terlihat olehnya merupakan minyak pembakar
disiramkan pada api yang sedang bernyala. In Hong nampak duduk bersandar dinding gua, tangannya
mengusap kepala seorang laki-laki yang rebah di lantai gua dan yang menaruh kepalanya di atas
pangkuan gadis itu. Laki-laki yang rebah telentang dengan mata meram itu bukan lain adalah Ayahnya!
Bermacam-macam pikiran terbayang dalam kepala Teng San, terutama sekali pikiran tentang keburukan
perbuatan Ayahnya. Ayahnya telah mengepalai perampok-perampok liar untuk merampok dan
membunuh-bunuhi orang hartawan dan bangsawan tanpa memilih bulu,
Sehingga dalam keganasan itu Ayahnya telah membunuh seorang hartawan she Kwee yang terkenal
budiman dan dermawan. Kemudian, setelah membunuh Kwee Seng, Ayahnya ini mengambil Nyonya
Kwee menjadi isterinya, tentu dengan bujukan karena kalau tidak demikian, bagaimana Nyonya Kwee
tidak tahu bahwa Tiang Houw itu pembunuh suaminya? Dua perbuatan yang jahat itu dikotori pula
dengan penyimpanan rahasia pembunuhan itu, sifat yang amat pengecut dan rendah dalam pandangan
Teng San. Kemudian, kini Ayahnya itu bahkan main gila dan memikat anak perempuan dari Kwee Seng,
atau anak tirinya sendiri! Tentu dengan maksud agar supaya nona ini jangan membunuhnya, jangan
membalaskan sakit hati Kwee Seng karena Ayahnya juga tahu bahwa In Hong telah memiliki kepandaian
tinggi?
Alangkah palsu dan jahatnya Ayahnya! Dengan pikiran ini memuncak di dalam hati dan kepalanya dan
membuat Teng San mata gelap, pemuda ini tidak perdulikan lagi pandang mata In Hong yang terbelalak
heran melihat pemuda itu telah berada disitu. In Hong tidak menyangka buruk, maka ia tidak berdaya:: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 148
:: CerSil KhoPingHoo : :: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 149
:: CerSil KhoPingHoo :
ketika sambil berteriak mengerikan seperti orang menjerit atau menangis, Teng San menubruk maju dan
dilain saat, ujung pedangnya telah amblas ke dalam uluhati Ong Tiang Houw! Ong Tiang Houw tersentak
dan tubuhnya terlempar ketika dengan jeritan marah In Hong melompat berdiri. Tiang Houw membuka
mata dan melihat Teng San yang memegang sebatang pedang berlumur darah, ia tersenyum dan
berkata perlahan,
"Teng San... anakku..." In Hong tidak memperhatikan lain hal. Melihat bahwa Teng San telah membunuh
Bu Jin Ai, ia berseru keras,
"Jahanam keji, rasakan pembalasanku!" Ia menerjang dengan pedangnya, tidak perduli akan lutut
kakinya yang masih sakit, juga rasa nyeri pada pundak tidak dihiraukannya lagi. Teng San setelah
menusuk uluhati Ayahnya dan mendengar kata-kata Ayahnya tadi, seketika menjadi lemas. Airmatanya
mengucur dan ia tidak kuat lagi melihat Ayahnya yang sedang menghadapi maut. Maka ia lalu melompat
keluar dari gua pada saat pedang In Hong menyerangnya.
"Jahanam keparat, jangan lari!" In Hong mengejar keluar gua. Di luar gua ia melihat Teng San berdiri
dengan muka pucat sekali. Pedang yang masih berlumur darah itu biarpun dipegangnya, akan tetapi
tergantung ke bawah dan pemuda itu menundukkan mukanya.
"Keparat, kau datang-datang membunuh orang tak berdosa! Tidak malukah kau murid Siauw-Lim-Si
melakukan perbuatan serendah ini?" Teng San mengangkat mukanya, memandang kepada In Hong
dengan sepasang mata basah. Ia merasa kasihan sekali kepada gadis ini, akan tetapi juga menyesal.
Mengapa orang gadis muda secantik dan sepandai ini, sampai mudah terpikat oleh Ayahnya? Kalau tidak
terjadi hal demikian, tentu ia takkan membunuh Ayah sendiri, dan mungkin sekali dapat dicari jalan
damai dan baik untuk membereskan urusan sakit hati yang ruwet ini. Kini keadaan sudah terlanjur, ia
sudah membunuh Ayah sendiri dengan tangannya. Ia tidak perduli lagi!
"Aku membunuh dia, kau mau apakah?"
"Keparat!" In Hong mengayun tangan kiri, menyebar toat-beng hek-kong (sinar hitam pencabut nyawa),
disusul oleh tusukan pedangnya ke arah lambung Teng San.
"Cepp...!!" Pedangnya menembus lambung pemuda itu dan pasir hitamnya juga mengenai sasaran
dengan tepat. Semua serangannya tadi ternyata tidak ditangkis maupun dielakkan sama sekali oleh Teng
San. In Hong berdiri dengan mata terbuka lebar saking heran dan ngerinya. Ia memandang pemuda itu
yang terhuyung lalu jatuh terduduk. Darah membanjir dari perutnya, akan tetapi pemuda itu masih
dapat memandangnya dengan mulut dipaksa tersenyum sehingga mendatangkan penglihatan yang
amat menyeramkan.
"Teng San, kau kenapakah? Mengapa kau sengaja menerima seranganku?" tanya In Hong sambil
berlutut di depan pemuda itu. Pemuda itu hanya tersenyum dan menggeleng-geleng kepalanya
perlahan.
"Teng San, mengapa kau membunuh Bu Jin Ai? Mengapa?" In Hong mulai menyesal melihat keadaan
pemuda ini dan ia bingung sekali. Teng San menggerakkan bibirnya yang gemetar. Kata lirih keluar dari
mulutnya,
"Dia... dia adalah Ayahku... dia harus mati... dia harus mati...":: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 150
:: CerSil KhoPingHoo :
"Mengapa? Apa dosanya? Teng San, mengapa kau membunuh Ayahmu sendiri?" Teng San hanya
menggeleng kepalanya, wajahnya mulai memucat dan nampaknya berduka sekali.
"Dan mengapa kau membiarkan aku membunuhmu? Kalau kau melawan, aku takkan dapat menang!"
Kembali Teng San mengerahkan tenaga dan berkata lirih,
"Aku... menebus dosa Ayah... juga menerima hukuman... karena telah membunuh Ayah sendiri... In
Hong... kalau kau mau tahu... kau pergilah ke dusun Hok-te-chung... sebelah barat kota... Im-goan-kan,
disana... disana kau carilah Ibumu..." Tiba-tiba tubuh Teng San lemas dan ia takkan mempertahankan
diri lagi, roboh terguling.
"Teng San, kau bilang Ibuku...??"
Akan tetapi pemuda itu tak dapat menjawab lagi karena nyawanya telah meninggalkan tubuhnya. In
Hong melompat ke dalam gua untuk menghampiri Bu Jin Ai atau Ong Tiang Houw, akan tetapi yang
dihampiri juga telah menjadi mayat! Ayah dan anak keduanya telah tewas dan darah mereka
membanjiri tanah di dalam dan di luar gua. Sungguh mengerikan dan menyedihkan. In Hong yang
kebingungan itu menangis. Kemudian ia dapat menekan perasaan hatinya dan digalinyalah lubang di
dalam gua, sebuah lubang yang cukup lebar untuk mengubur dua mayat. Sampai sore ia bekerja dan
akhirnya ia dapat mengubur mayat Ayah dan anak itu ke dalam lubang. Pada malam harinya, ia
menangis di atas timbunan tanah di dalam gua!
"Lian Hong, anakku, terima kasih kau mau pulang dan kembali kepada Ibumu. Baiknya kau lekas datang,
nak, kalau tidak, kiranya Ibumu takkan tahan lebih lama hidup menderita seperti ini..." Cui Hwa atau Ibu
Lian Hong mendekap kepala putrinya yang berlutut dan memeluk Ibunya. Lian Hong terharu sekali.
Ibunya telah kelihatan tua dan lemah, wajahnya pucat dan rambutnya kusut. Padahal ia ingat bahwa
Ibunya adalah seorang wanita yang amat cantik, seperti In Hong yang ia lihat belum lama ini.
"Ibu, dimana... Ayah?" Cui Hwa menarik napas panjang, lalu membetot anaknya supaya duduk di
sampingnya. Untuk beberapa lama ia memandang wajah Lian Hong dan kelihatan puas melihat
puterinya sehat-sehat saja.
"Ayahmu telah pergi beberapa hari setelah kau dan kakakmu pergi, sampai sekarang belum pernah
pulang. Ah, ya, dimana adanya Teng San? Mengapa ia tidak turut pulang?" Dua orang wanita ini lalu
menceritakan pengalaman masing-masing. Cui Hwa mendengarkan penuturan puterinya tentang kedua
anak ini yang belajar ilmu silat di Siauw-Lim-Pai, dan hatinya girang sekali karena mendengar bahwa
Teng San juga sudah memiliki ilmu silat yang tinggi.
"Ibu, aku membawa kabar yang tentu amat menyenangkan hati Ibu." Ibunya menoleh dan melihat
wajah Ibunya yang kurus pucat serta matanya yang sayu seakan-akan telah dekat mati dari pada hidup,
Lian Hong tidak tega untuk menyimpan rahasia itu lebih lama lagi. Ia memeluk Ibunya dan berkata,
"Ibu, aku telah bertemu dengan enci In Hong..." Di dalam pelukan Ibunya, Lian Hong merasa betapa
kedua tangan Ibunya gemetar dan jantung di dalam dada itu berdetak-detak keras.
"In Hong...? Dimana dia? In Hong... aah...!" Dan Nyonya ini lalu menangis tersedu-sedu sambil
mendekap kepala Lian Hong. Lian Hong sudah besar dan sudah cukup mengerti apa yang mengganggu:: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 151
:: CerSil KhoPingHoo :
hati Ibunya. Tentu Ibunya ingat akan keadaannya yang benar-benar membingungkan itu. Tentu Ibunya
bingung, bagaimana kalau In Hong tahu bahwa pembunuh Kwee Seng adalah Ayah Lian Hong?
"Harap tenangkan pikiran, Ibu. Mudah-mudahan saja semua urusan ini akan berakhir dengan baik.
Sekarang Teng San-ko sedang mengikuti perjalanan enci In Hong secara diam-diam, dan aku disuruhnya
pulang untuk menemui Ibu disini. Percayalah, tak lama lagi San-ko tentu pulang dan mudah-mudahan
saja ia datang membawa enci In Hong." Karena banyak mendapat hiburan dari Liang Hong, Cui Hwa
mulai timbul harapannya. Matahari kini bersinar pula setelah ia berada di dekat puterinya. Tadinya
keadaan Nyonya ini memang menyedihkan. Ia lebih banyak berbaring menderita sakit daripada sehat.
Barang-barang di rumah sudah mulai menipis, dijual untuk keperluan sehari-hari. Can Ma sudah
meninggal karena usia tua, maka Cui Hwa hanya hidup bersama seorang pelayan wanita lain. Hidup
kesepian dan hampir putus harapan. Kedatangan Lian Hong merupakan obat penawar yang mustajab
dan mulailah terlihat senyum di wajah Cui Hwa. Mulailah ia membereskan rambut dan pakaian.
Beberapa pekan kemudian, ketika Lian Hong dan Ibunya tengah duduk bercakap-cakap di ruangan
depan, mereka mendengar suara orang berjalan masuk di pekarangan. Mereka menengok dan
terlihatlah seorang gadis berpakaian kusut wajah dan rambutnya juga kusut tidak terpelihara, bahkan
ada bekas-bekas air mata dikedua pipinya, kelihatan sedih dan bingung. Di pinggangnya tergantung
sebatang pedang.
"Enci In Hong...!" Lian Hong melompat turun dari bangkunya dan menyambut kedatangan gadis itu. In
Hong tidak merasa heran melihat Lian Hong berada disitu, bahkan ia hanya memandang sejenak kepada
gadis muda ini, selanjutnya matanya memandang kepada Cui Hwa yang juga sudah berdiri dari
bangkunya dan kini memandang kepada In Hong dengan wajah pucat dan kedua mata mengucurkan
airmata yang turun bertitik dikedua pipinya.
"In Hong... benar-benar kau kah ini, anakku...?" kata Cui Hwa dengan suara merintih dan Nyonya ini
melompat ke depan, menubruk In Hong dan ia tentu akan roboh kalau In Hong tidak cepat-cepat
menyambut dan memeluknya.
"Ya Thian Yang Mahakuasa, terima kasih... kau benar-benar In Hong!" Cui Hwa dengan airmata
bercucuran menangis dan tertawa seperti orang gila, sambil memegang kepala anaknya dengan kedua
tangan, menciumi dan me-nimang-nimang kepala itu.
"Ibu, mengapa Ibu bisa berada disini?"
"Mengapa? Apa maksudmu, In Hong?" In Hong menoleh ke arah Lian Hong.
"Bagaimana Ibu bisa disini bersama dia?" Cui Hwa tersenyum di antara tangisnya.
"Aah, benar! Kau belum tahu kiranya. Dia ini adalah Lian Hong, adikmu!" In Hong merasa betapa
dadanya berdetak keras.


Bayangan Bidadari Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ibu, bukankah dia ini adik dari Ong Teng San?"
"Benar, Teng San itu adalah kakakmu sendiri..." Cui Hwa mulai mendapat firasat tidak enak. In Hong
merenggut diri dan melepaskan pelukan Ibunya. Ia melangkah mundur tiga tindak dan menatap wajah:: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 152
:: CerSil KhoPingHoo :
Ibunya dengan penuh ketegangan. Diam-diam Lian Hong sudah menyiapkan diri untuk turun tangan
kalau gadis aneh yang berwatak keras itu hendak mengganggu Ibunya.
"Ibu, apakah artinya semua ini? Anak telah bertemu dengan Yo-supek, diberitahu bahwa Ayah telah
tewas dalam tangan penjahat dan Ibu telah hilang, juga Can Ma telah lenyap secara aneh. Bagaimana
tahu-tahu Ibu sudah berada disini dan adik ini..., bagaimana pula Ibu dapat berkata bahwa Ong Teng San
adalah kakakku?" Cui Hwa benar-benar terdesak oleh pertanyaan In Hong yang bertubi-tubi ini sehingga
ia berdiri dengan kaki gemetar dan tak dapat menjawab. Lian Hong melihat keadaan Ibunya ini, bergerak
maju, menarik Ibunya dan menyediakan kursi sehingga Ibunya dapat duduk. Cui Hwa menggunakan
kedua tangan untuk menutupi mukanya, tidak kuasa lagi menentang pandang mata In Hong yang
demikian tajam menusuk kalbu. Lian Hong kini menghadapi In Hong dengan sikap gagah akan tetapi
sikapnya cukup menghormat.
"Enci In Hong, karena akupun anak Ibu, biarlah aku yang mewakili Ibu untuk menjawab pertanyaan-
pertanyaanmu. Jangan kau merasa heran melihat Ibu berada disini, karena sesungguhnya, Ibu telah
menikah dengan Ayah dari kakak Ong Teng San yang ketika itu telah menjadi duda. Dari pernikahan ini
terlahir aku, oleh karena ini maka Teng San-ko adalah kakak-tiriku, juga kakak-tirimu." Muka In Hong
menjadi pucat.
"Siapakah nama Ayahmu yang mengawini Ibuku?"
"Ayah bernama Ong Tiang Houw," jawab Lian Hong singkat. Gadis cilik ini maklum bahwa ia telah tiba di
bagian yang amat berbahaya. In Hong memandang Ibunya, hatinya tidak karuan rasanya. Jadi Bu Jin Ai,
laki-laki gagah perkasa yang membikin ia jatuh hati itu sebenarnya adalah suami Ibunya? Akan tetapi
mengapa Teng San membunuh Ayahnya sendiri? Mengapa pula Teng San membiarkan dirinya terbunuh
seakan-akan hendak menebus dosa Ayahnya? Apa yang terjadi?
"Ibu, harap kau suka berterus terang. Mengapa Ibu menikah, sedangkan musuh besar yang membunuh
Ayah belum kita balas? Juga Ibu tidak berusaha mencariku?" Lian Hong tidak berani menjawab
pertanyaan ini dan sekarang Cui Hwa sudah menguasai perasaan hatinya, maka Nyonya ini berkata
dengan suara tenang.
"Dengarlah, In Hong. Sesungguhnya, baru kurang lebih lima tahun yang lalu aku ketahui bahwa
pembunuh dari Ayahmu adalah Ong Tiang Houw sendiri. Teng San dan Lian Hong mendengar ini menjadi
marah dan melarikan diri, adapun Tiang Houw sendiri seperti gila dan pergi tak pernah pulang. Adapun
aku... aku hanya dapat menangis dan bersedih. Kalau aku tahu bahwa dia pembunuh Kwee Seng
Ayahmu, sudah tentu aku takkan sudi menjadi isterinya..." Setelah berkata demikian dan melihat betapa
wajah Lian Hong yang tersinggung hatinya menjadi pucat dan berduka, Cui Hwa menangis sambil
memeluk Lian Hong. Mendengar penuturan itu, makin lama wajah In Hong menjadi makin pucat. Ia
berdiri seperti patung, memandang kepada Ibunya dengan mata sayu dan bibir gemetar.
Kemudian terdengar ia merintih perlahan, membalikkan tubuh dan hendak pergi dari situ. Akan tetapi,
baru saja tiga langkah ia bertindak, tubuhnya terguling dan ia roboh pingsan! Dapat dibayangkan betapa
hancur dan pedihnya hati In Hong. Ia telah mencurahkan kasih sayang dan kasihan kepada Bu Jin Ai, dan
tidak disangkanya sama sekali bahwa Bu Jin Ai itu adalah suami Ibunya, bahkan pembunuh Ayahnya!
Orang satu-satunya di dunia ini yang dikasihinya, ternyata adalah orang satu-satunya yang menjadi
musuh besarnya, yang seharusnya ia bunuh dan ia cincang hancur tubuhnya! Baru sekarang terbuka
matanya, dan tahulah ia mengapa Teng San membunuh Ayahnya sendiri. Pemuda itu tentu merasa:: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 153
:: CerSil KhoPingHoo : :: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 154
:: CerSil KhoPingHoo :
terhina sekali melihat Ayahnya yang setelah membunuh Kwee Seng lalu mengawini Nyonya Kwee, kini
bahkan hendak memikat In Hong, puteri dari Kwee Seng.
In Hong tahu bahwa Tiang Houw atau Bu Jin Ai melakukan hal ini tanpa disadarinya. Orang itu telah
ditinggal pergi oleh anak-anaknya dan dibenci oleh isterinya, menjadi patah hati dan seperti gila.
Kemudian bertemu dengan dia yang mempunyai wajah seperti Cui Hwa dan Lian Hong, tidak
mengherankan apabila Bu Jin Ai jatuh hati kepadanya. Ketika siuman kembali, In Hong mendapatkan
dirinya telah berada diatas pembaringan dalam kamar, Ibunya duduk di tepi pembaringan sambil
menangis dan mengguncang-guncang pundaknya. Lian Hong juga duduk di atas kursi dekat
pembaringan. Keduanya tampak sedih sekali. In Hong bangkit duduk, menghela napas panjang beberapa
kali, membiarkan Ibunya merangkulnya. Kemudian ia berkata dengan nada suara berduka.
"Ibu, aku telah berdosa besar. Tidak pantas lagi aku mendekati Ibu. Biarlah aku pergi se-karang juga,
merantau seperti yang dila-kukan Guruku." Ibunya menangis,
"In Hong, Anakku, mengapa engkau berkata begitu? Akulah, Ibumu ini yang bersalah dan engkau harus
dapat memaafkan Ibumu. Mari kita hidup berkumpul lagi, In Hong. Tidak kasihankah engkau kepada
Ibumu?" Melihat Ibunya menangis sedih, Lian Hong lalu berkata.
"Ibu, aku tahu kemana Enci In Hong hendak pergi. Ia tentu ingin mencari Ayah untuk membalas sakit
hatinya karena Ayah telah membunuh Ayahnya. Bukankah begitu, Enci In Hong?" Suara gadis remaja ini
mengandung penuh kegetiran. In Hong menggeleng kepalanya.
"Engkau keliru, Lian Hong. Memang menurut patut seharusnya demikian, seharusnya aku membunuh
dia yang telah membunuh Ayah kandungku. Akan tetapi nasib menentukan lain. Agaknya memang
Ayahmu telah melakukan banyak dosa make dia harus menebusnya dengan tewas di tangan puteranya
sendiri."
"Apa...?" Cui Hwa dan Lin Hong terkejut sekali mendengar ucapan itu dan keduanya memandang kepada
In Hong terkejut sekali mendengar ucapan itu dan keduanya memandang kepada In Hong dengan mata
terbelalak.
"Sesungguhnya, Teng San telah membunuh Ayahnya dan untuk perbuatannya itu... untuk perbuatan itu
aku telah menyerang dan membunuh Ong Teng an..." Ibu dan anak itu terkejut bukan main. Sukar dapat
mempercayai apa yang diceritakan In Hong kepada mereka itu. Sungguh tidak masuk akal dan
mengherankan. Bagaimana mungkin anak membunuh Ayah kandungnya sendiri?
"Benarkah itu, In Hong?" tanya Ibunya.
"Aku tidak berbohong, Ibu. Jenazah keduanya telah kurawat dan kukubur baik-baik di dalam gua di kaki
Gunung Kun-Lun-San. Ibu, sekarang aku harus melanjutkan perantauanku."
"In Hong, jangan..."
"Ibu, aku harus pergi. Setidaknya, untuk sementara ini aku harus menjauhkan diri agar perasaan hatiku
yang terguncang ini dapat tenteram kembali. Kelak, kalau hatiku sudah tenteram, aku akan mengunjungi
Ibu. Adik Lian Hong, engkau seorang anak yang baik dan berbakti. Aku titip Ibu kepadamu dan jagalah ia:: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 155
:: CerSil KhoPingHoo :
baik-baik." Setelah berkata demikian, In Hong segera keluar dari rumah itu, membiarkan Ibunya
menangisi kepergiannya.
Lewat tengah malam, bulan tampak bercahaya terang. Langit bersih dari awan. Bulan cerah berseri
menyuramkan cahaya beberapa buah bintang yang berkelap-kelip di barat. Puncak bukit itu sunyi dan
indah bagaikan dalam dongeng. Sinar bulan mendatangkan pemandangan seperti dalam mimpi. Yang
terdengar hanya dendang suara binatang-binatang kecil seperti jangkerik, belalang dan serangga lain.
Perpaduan suara yang tiada putusnya. Namun, suara itu terkadang diseling suara isak tangis wanita.
Kalau kebetulan ada orang lewat di situ, dia tentu akan lari ketakutan, mengira suara itu adalah suara
tangis siluman.
Suara tangis itu terkadang berhenti, lalu muncul lagi. Demikian sampai fajar menjelang. Matahari yang
masih bersembunyi di balik gunung di ufuk timur, telah mengirim cahayanya kuning kemerahan,
mengecat langit dengan warna merah, kunin Indah sekali. Kokok ayam mulai terdengar bersahut-
sahutan. Kegaduhan mereka menggugah yang tidur berkelompok di pepohonan dan mulai ramailah
suasana oleh kicau mereka. Di antara semak belukar dan batang pepohonan, tikus hutan dan kelinci
mulai bergerak mencari makan. Burung-burung pun mulai meninggalkan pohon, siap berangkat kerja
mencari makan. Semua mahluk harus bekerja mencari makan kalau ingin bertahan hidup.
Dari semut terkecil sampai gajah terbesar, semua harus bekerja mencari makan, tanpa kecuali. Bahkan
pepohonan juga tiada hentinya mencari makan, melalui akar-akar dan daun-daunnya. Wanita yang
semalam menangis kini tidak menangis lagi. la duduk di atas sebuah batu besar yang menghadap ke
tebing. Dari tempat ia duduk, terbentang bumi dari sebagian permukaan bukit sampai ke tanah ladang
di kaki bukit, membentang luas seolah tanpa batas. la seorang gadis berusia sekitar sembilan belas
tahun. Sesungguhnya ia berwajah cantik jelita dan memiliki bentuk tubuh yang sintal dan ramping padat,
dengan lekuk-lengkung yang sempurna bagaikan setangkai bunga sedang mekarnya. Namun wajah yang
cantik manis itu...........
==================
Hal. 49 dan 50 hilang
==================
narnya mulai menghangatkan badan, tidak pula merasakan hembusan angin bukit yang semilir
menggerakkan rambut dan ujung bajunya. la kini memikirkan Ibu kandungnya. Salahkah Ibunya menikah
dengan pembunuh suaminya? Tidak, Ibunya tidak bersalah. Ibunya sama sekali tidak tahu bahwa Ong
Tiang Houw adalah pembunuh suaminya, Kwee Seng. Ibunya menganggap Ong Tiang Houw sebagai
penolongnya, sebagai seorang duda beranak satu yang perkasa dan rupawan. Ibunya sama kali tidak
bersalah, dan ia bahkan merasa amat iba kepada Ibu kandungnya, Yo Cui Hwa. Kalau begitu, Ong Tiang
Houw yang jahat?
Seperti yang disangka oleh Ong Teng San sehingga pemuda itu tega membunuh Ayah sendiri? Tidak!
setelah ia mengetahui persoalannya, ia yakin bahwa Ong Tiang Houw, laki-laki pertama yang dicintainya
itu juga ak bersalah. Isteri pertama Ong Tiang Houw, Ibu kandung Ong Teng San, membunuh diri karena
dipaksa akan diperisteri oleh seorang hartawan yang sewenang-wenang. Ayah-Ibunya meninggal dunia
karena berduka dan anaknya, Ong Teng San yang masih kecil, hilang! Semua ini membuat Ong Tiang
Houw mendendam kepada para penguasa yang korup dan tidak adil, juga kepada para hartawan yang
suka bertindak sewenang-wenang, bersekongkol dengan para pembesar mengandalkan harta kekayaan:: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 156
:: CerSil KhoPingHoo :
mereka. Dengan orang-orang yang senasib dia lalu membentuk sebuah perkumpulan Kai-Sin-Tin yang
menentang penindasan dan kesewenang-wenangan para penguasa dan hartawan jahat.
Gerakan Kai-Sin-Tin inilah yang kemudian mengakibatkan Ayah kandungnya, Kwee Seng, menjadi
korban. Ong Tiang Houw membunuh Kwee Seng bukan karena permusuhan pribadi, apalagi untuk
merampas isterinya. Kemudian ia malah menolong Yo Cui Hwa, isteri Kwee Seng, jatuh cinta padanya
dan sebagai seorang duda lalu menikah dengan Yo Cui Hwa yang telah menjadi seorang janda. Jadi, Ong
Tiang Houw membunuh Kwee Seng bukan karena permusuhan pribadi, kemudian menikahi Yo Cui Hwa
karena mencinta dan Ibu kandungnya itu juga bersedia, bukan dengan paksaan. Kemudian Ong Tiang
Houw jatuh cinta padanya. Hal ini pun tidak dapat disalahkan. Ketika Ong Tiang Houw menceritakan
bahwa dia yang dulu membunuh Kwee Seng, seluruh keluarganya membencinya.
Puteranya dari isteri pertamanya, Ong Teng San, dan puterinya dari Yo Cui Hwa, Ong Lian Hong, bahkan
minggat! Juga Yo Cui Hwa membencinya. Hal ini membuat Ong Tiang Houw menjadi seperti gila,
merantau dan merubah namanya menjadi Bu Jin Ai (tidak Ada Orang Menyukainya)! Kemudian bertemu
dengannya lalu jatuh cinta. Ini pun tidak aneh. Wajahnya mirip Ibunya, tentu saja hal ini menarik hati Bu
Jin Ai atau Ong Tiang Houw. Tidak! Ong Tiang Houw tidak bersalah! Ia sendiri satu-satunya orang yang
bersalah, berdosa besar! Perasaan penuh penyesalan ini yang membuat In Hong semalam menangis
seorang diri. Kalau dikenang, rasanya baru satu kali dalam hidupnya ia merasa bahagia, yaitu ketika
dekat dengan Bu Jin Ai. Ketika ia dan Bu Jin Ai berada dalam gua dan saling mengobati luka masing-
masing.
Getaran cinta kasih yang mendalam pada saat itu menyentuhnya dan ia merasa berbahagia sekali.
Rasanya baru satu kali itu ia merasakan benar getaran cinta seorang pria, cinta yang tulus dan
mendalam. Kemudian la teringat lagl kepada Ong Teng San. Seorang pemuda yang tinggi ilmunya, gagah
perkasa dan budiman. Dan ia telah membunuh pemuda itu! Kini In Hong merasa menyesal sekali. la me-
rasa hidupnya menderita tekanan batin yang membuat segala sesuatu tampak buruk, menyebalkan dan
menyedihkan. Kehangatan sinar mataharl terasa panas mengganggu, hembusan semilir angin terasa
tidak enak menyesakkan dada, kicau burung terdengar gaduh dan tidak enak bagi telinganya.
Kemarahan menyesak dada, marah kepada diri sendiri, marah kepada keadaan sekelilingnya, marah
kepada riwayat hidupnya.
"Jahanam...!" Tiba-tiba tangannya bergerak memukul batu yang didudukinya.
"Brakkk!" Bagian tepi batu yang di hantam telapak tangannya berantakan! la lalu melompat ke dekat
sebatang pohon, lalu menyerang pohon itu.
"Krakkk...!" Batang pohon sebesar pinggangnya itu patah dan lalu mengamuk dan merobohkan tujuh
batang pohon. Barulah kemarahannya mereda. Kemarahan tanpa dasar, tanpa sebab, kemarahan yang
timbul dari nyesalan, kekecewaan dan duka. Setelah merobohkan pohon-pohon itu dengan pukulan
Kang-Jiu Sin-Ciang (Silat Sakti Tangan Baja) yang dipelajari dari Kakek sakti buntung kaki tangannya, yaitu
mendiang Bhutan Koi-Jin In Hong baru merasa lega. Semua kesedihannya bagaikan larut oleh gelombang
kemarahan yang dimuntahkan keluar melalui pukulan-pukulannya yang merobohkan pohon tadi.
Wajahnya yang biasanya memang cerah itu kini seolah ditinggalkan awan dan ia pun segera berlari
menuruni bukit. Pada suatu siang ketika In Hong berjalan santai dan tiba di luar kota Hak-Ciu, tiba-tiba
melihat seorang laki-laki berusia enam puluh tahun dan berpakaian sebagai seorang ahli silat, tergesa-
gesa berjalan setengah berlari dari depan. Ketika laki-kaki itu lewat di dekatnya, pandang mata In Hong:: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 157
:: CerSil KhoPingHoo :
yang tajam dapat melihat bahwa orang itu telah menderita luka dalam yang cukup parah. Hal ini tampak
pada mukanya yang pucat kebiruan dan napasnya yang terengah-engah. In Hong tentu tidak akan
mempedulikan orang itu karena ia tidak mengenalnya dan tidak ada urusan dengannya, kalau saja ia
tidak melihat lima orang laki-laki berusia antara tiga puluh sampai empat puluh tahun berlari-lari
mengejar laki-laki tadi!
Karena laki-laki tadi sudah menderita luka dalam, maka dia tidak dapat berlari cepat dan sebentar saja
dia sudah dapat disusul lima orang yang wajahnya tampak menyeramkan, tubuh mereka semua kokoh
kuat itu. Tanpa banyak cakap lima orang itu kini mengurung laki-laki itu lalu menyerang dan
mengeroyoknya dengan menggunakan golok di tangan! In Hong membalikkan tubuhnya dan menonton
perkelahian itu, Banyak orang yang sedang berjalan diatas jalan umum itu menonton, namun pun tak
seorang pun di antara mereka berani mendekat, bahkan agak menjauh dan menonton dari tempat
aman. In Hong melangkah maju menghampiri. la melihat betapa laki-laki yang bertangan kosong Itu
dapat bergerak dengan gesit sekali, mengelak ke sana-sini.
Namun dia menyeringai, agaknya luka dalam tubuhnya membuat dia kesakitan dan gerakannya
membuat dia semakin lemah dan lambat. Sebelum ada sebuah dari lima golok itu sempat
membabatnya, tiba-tiba ada bayangan berkelebat. Bayangan itu berkelebatan cepat sekali sehingga
hampir tak tampak dan tidak dapat terlihat dengan jelas mukanya, hanya bayangan itu jelas bayangan
seorang wanita cantik. Bayangan itu berkelebatan diantara lima orang pengeroyok itu. Terdengar lima
orang itu mengaduh kesakitan, golok mereka beterbangan dan seorang demi seorang roboh tak mampu
bangkit kembali. Mereka mengaduh-aduh, ada yang patah tulang lengannya, ada yang patah tulang
kakinya, ada pula yang patah tulang pundaknya. Akan tetapi ketika mereka memandang, juga ketika
semua penonton mencari, ternyata bayangan itu telah lenyap tanpa meninggalkan jejak!
Lelaki tua itu kini melanjutkan perjalanannya, melangkah dengan terhuyung-huyung pergi meninggalkan
tempat itu. Ributlah semua orang yang menyaksikan peristiwa itu. Setelah lima orang pengeroyok itu
berjalan ke arah pintu gerbang kota Hak-Ciu sambil mengaduh-aduh kesakitan, baru semua orang
membicarakan peristiwa itu. Mereka terheran-heran akan tetapi juga puas melihat ada orang berani
menghajar lima orang tukang pukul yang terkenal dengan julukan Hak-Ciu Ngo-Houw (Lima Harimau
Hak-Ciu) dan mereka di takuti bukan hanya karena galaknya, akan tetapi juga karena mereka adalah
jagoan-jagoan dari Jaksa Ouw yang berpengaruh dan berkuasa di kota Hak-Ciu! Karena mereka tadi
hanya melihat bayangan seorang wanita cantik, maka ada yang mengatakat bahwa mungkin wanita
yang menghajar para jagoan jahat tadi seorang bidadari.
Karena yang tampak hanya bayangannya, maka orang-orang mulai menyebut nama Si Bayangan
Bidadari! In Hong diam-diam membayangi laki-laki yang telah menderita luka dalam itu. Tadi ia bergerak
cepat karena memang tidak ingin dikenal orang. Ia pun sengaja hanya merobohkan lima orang itu, tidak
membunuh mereka karena ia belum tahu apa masalahnya sehingga orang tua itu dikeroyok oleh mereka
Melihat laki-laki itu, yang dari gerakannya ketika mengelak tadi dapat ia ketahui memiliki ilmu silat yang
cukup tinggi, ia tahu bahwa orang itu menderita luka parah dan gerakan-gerakannya tadi membuat
lukanya semakin parah. Maka diam-diam ia membayangi laki-laki itu yang menjauhi kota Hak-Ciu, lalu
memasuki sebuah hutan.
Setelah memasuki hutan, menyimpang dari jalan umum sehingga tidak ada orang melihatnya, laki-laki
itu terhuyung-huyung, berhenti di bawah sebatang pohon dan tiba-tiba dia muntah darah, lalu terkulai
dan roboh! In Hong segera menghampiri, berjongkok dan memeriksa keadaan orang itu. Benar seperti
dugaannya tadi. Orang itu menderita luka yang ternyata amat parah, bahkan melihat warna menghitam:: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 158
:: CerSil KhoPingHoo :
didadanya, In Hong menduga bahwa orang itu terkena pukulan Tok-Ciang (Tangan Beracun)! Cepat ia
lalu menotok beberapa jalan darah untuk mengurangi rasa nyeri, dan melihat betapa laki-laki itu
pingsan, mengurut tengkuknya dan membetot otot di antara Ibu jari dan telunjuk. Laki-laki itu mengeluh
dan membuka mata, bergerak hendak bangkit duduk akan tetapi pundaknya ditekan perlahan oleh In
Hong.
"Paman, engkau rebah sajalah, jangan banyak bergerak." Sejenak sepasang mata itu mengamati wajah
In Hong dengan heran dan penuh selidik, lalu dia berkata dengan suara terputus-putus dan napas
memburu,
"Nona... yang tadi... menyelamatkan saya...?" In Hong mengangguk,
"Paman siapakah? Dan mengapa lima orang itu mengeroyok dan berusaha membunuhmu?" Laki-laki itu
menyeringai, lebih penasaran daripada kesakitan. Ialu berkata lemah,
"Nama saya Si Hoo... dikenal sebagai... Si-Kauwsu (Guru silat Si)... di... Hak-Ciu..." Dengan terengah-
engah dan terputus-putus ia bercerita. Dia adalah seorang Guru silat kenamaan di kota Hak-Ciu yang
baru saja di tinggalkannya. Sudah sejak se puluh tahun dia hidup menduda setelah isterinya meninggaI
dunia.
Di Hak-Ciu dia membuka sebuah Bu-Koan (Perguruan Silat) yang menerima puluhan orang murid.
Tadinya di hidup berdua dengan puteranya, anak tunggal yang bernama Si Han Lin. Akan tetapi, lima
tahun yag lalu, ketika Si Han Lin berusia lima belas tahun, anaknya itu meninggalkan Hak-Ciu untuk
merantau, mencari Guru untuk memperdalam ilmu silat yang telah dipelajarinya dari Ayahnya. Pada
suatu hari, diperguruannya datang seorang pemuda berusia kurang lebih dua puluh satu tahu. Pemuda
itu bernama Ouw Boan Kit, putera Jaksa Ouw yang berkuasa di Hak-Ciu. Melihat kedatangan seorang
pemuda yang mukanya merah, sikapnya gagah namun jelas tampak sombong dan kasar itu, Guru Silat Si
menyambut dengan ramah. Ouw Boan Kit memperkenalkan diri sebagai putera Jaksa Ouw, maka tentu
saja Si Hoo bersikap hormat.
"Ah, kiranya Ouw-Kongcu (Tuan Muda Ouw) putera Ouw Taijin (Pembesar Ouw). Silakan duduk, Ouw-
Kongcu." Akan tetapi pemuda berpakaian mewah itu tidak menanggapi, tetap berdiri dengan
mengangkat dan membusungkan dada lalu bertanya, secara sambil lalu dan memandang rendah.
"Apakah engkau yang bernama Si Hoo, Guru silat yang membuka perguruan silat ini?"
"Benar sekali, Ouw-Kongcu. Apakah ada yang dapat saya bantu, Kongcu?" Tanya Si Hoo dengan sikap
tetap sabar dan ramah. Guru silat tua ini sudah banyak pengalaman menghadapi orang-orang muda
dengan bermacam-macam watak dan sikap. Dia tidak heran dan tidak marah melihat sikap angkuh
sombong dari pemuda ini yang tentu saja mengandalkan kekuasaan Ayahnya sebacai Jaksa sehingga dia
memandang rendah orang lain.
"Hemm, aku baru pulang dari merantau dan di dunia kang-ouw (dunia persilatan, daerah sungai telaga)
aku mempelajari banyak ilmu silat. Kini aku pulang bersama Guruku dan mendengar di sini ada
perguruan silat, ingin aku melihat sampai di mana kehebatan ilmu silat yang diajarkan di sini maka
engkau berani membuka dan mengajarkan silat kepada. orang-orang muda." Si Hoo tetap bersikap
mengira bahwa pemuda ini agaknya telah mempelajari beberapa jurus ilmu silat dan sekarang hendak


Bayangan Bidadari Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memamerkan kepandaiannya.:: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 159
:: CerSil KhoPingHoo :
"Ah, kiranya Kongcu ingin bermain-main dan menguji ilmu silat? Baik, silahkan ke Lian-Bu-Thia (ruangan
berlatih silat) di belakang, Kongcu. Di sana para murid sedang berlatih silat sehingga Kongcu dapat
menyaksikannya."
Dengan langkah digagah-gagahkan, dengan gaya seorang jagoan, Ouw Boan Kit berjalan bersama Guru
Silat Si Hoo memasuki ruangan luas di mana belasan orang pemuda sedang berlatih olah raga. Ada yang
mengangkat besi, ada yang berlatih silat dengan bermacam senjata. Melihat munculnya Guru mereka
bersama seorang pemuda berpakaian mewah, otomatis mereka menghentikan kegiatan mereka.
Belasan orang pemuda dari usia lima belas sampai dua puluh tahun itu merupakan sebagian dari murid
Si Hoo yang berjumlah sekitar lima puluh orang. Setelah Si Hoo masuk bersama Ouw Boan Kit, para
murid segera berkumpul dan memberi hormat dengan mengangkat kedua tangan di depan dada kepada
Guru mereka.
"Suhu..!" Ucap mereka serempak. Si Hoo menggerakkan tangan ke atas.
"Anak-anak, perkenalkan, ini adalah Kongcu (Tuan Muda) Ouw Boan Kit yang tertarik dengan perguruan
kita dan ingin menyaksikan kalian berlatih." Si Hoo lalu menunjuk empat orang murid yang sudah
tergolong pandai untuk memperagakan ilmu silat mereka di depan Ouw Boan Kit yang sudah
dipersilahkan duduk di atas sebuah bangku. Empat orang murid kelas atas ini lalu bermain silat, latihan
bertanding. Gerakan mereka gesit dan tangkas. Si Hoo memandang puas dan mengharapkan pujian dari
tamunya. Akan tetapi Ouw Boan Kit bangkit sambil terkekeh dan melambaikan tangannya.
"Sudah! Cukup, tak perlu dilanjutkar. Silat macam apa itu demikian lemahnya? Mari kita main-main
sebentar. Kalian berempat boleh maju bersama mengeroyok aku. Kalau aku dapat kalian kalahkan
barulah ilmu silat perguruan ini boleti masuk hitungan!"
Setelah berkata demkian, Ouw Boan Kit menanggalkan jubah luarnya dan menaruh di atas meja. Kini
tampak kedua lengannya yang kekar dan berotot. Dia melangkah ke tengah ruangan itu dengan sikap
menantang. Empat orang pemuda murid Si Hoe itu tentu saja panas hati mereka mendengar tantangan
yang memandang rendah itu. Akan tetapi di depan Guru mereka, mereka tidak berani bersikap
semmbarangan, maka kini mereka berempat hanya memandang kepada Si Hoo, menanti keputusan
Guru mereka. Si Hoo diam-diam merasa muak juga menyaksikan sikap pemuda yang sombong itu,
namun dia tidak mau menambah permusuhan dengan Jaksa Ouw. Maka sambil tersenyum ia
menghampiri Ouw-Kongcu.
"Kongcu, kalau hendak main-main dan menguji ilmu silat, biarlah seorang saja di antara empat murid ini
maju melayaninru, tidak perlu berempat."
"Hanya seorang demi mereka? Wah, Si-Kauwsu, aku merasa malu kalau harus bertanding melawan
seorang dari mereka. Kepandaian mereka masih mentah. Apalagi maju seorang, biar mereka berempat
maju masih juga bukan lawanku yang seimbang! Biarlah mereka berempat maju mengeroyokku!"
Pemuda itu menantang sambil tersenyum mengejek. Sesabar-sabarnya orang, mendengar kata-kata
yang amat merendahkan itu, panas juga rasa perut Si Hoo. Kalian majulah, akan tetapi hati-hati jangan
sampai melukai Ouw-Kongcu." katanya. Empat orang murid yang merasa penasaran itu maju dan
mengepung Ouw Boan Kit dari empat jurusan. Ouw-Kongcu memasang kuda-kuda yang kokoh dengan
merenggangkan kedua kaki dan menekuk kedua lutut, kedua tangan di kanan-kiri pinggang, lalu berseru.:: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 160
:: CerSil KhoPingHoo :
"Kalian berempat maju dan seranglah!" Empat orang murid itu serentak berseru,
"Lihat serangan!" Lalu mereka menyerang dari empat penjuru dengan cepat namun dengan tenaga
dibatasi karena mereka menaati pesan Guru mereka agar tidak melukai putera jaksa yang sombong ini.
Akan tetapi pemuda bangsawan itu ternyata gesit sekali.
Dua serangan dapat dia elakkan dan yang dua lagi dia tangkis sedemikian kuatnya sehingga dua orang
penyerangnya terhuyung ke belakang. Dia pun membalas dengan serangan bertubi yang cukup dahsyat
sehingga empat orang pengeroyok itu berloncatan ke belakang, kemudian mereka menyerang lagi
dengan hati-hati karena maklum bahwa pemuda sombong itu bukan hanya pandai berlagak, namun juga
pandai ilmu silat! Terjadi saling serang selama belasan jurus dan empat orang pengeroyok itu sama
sekali belum mampu mendesak pemuda bangsawan itu! Diam-diam Si Hoo merasa heran karena ilmu
silat yang dimainkan putera jaksa Itu amat ganas dan kuat, dan jelas menunjukkan ciri ilmu silat aliran
sesat. Tiba-tiba Ouw Boan Kit mengeluarkan suara gerengan seperti seekor binatang buas, disusul
tubuhnya yang berpusing seperti gasing. Lalu terdengar bentakannya melengking.
"Ciaatt... ciaatt... ciaatt... ciaattt!!" Tubuh empat orang murid Si-Kauwsu itu terpelanting roboh dan
mereka hanya mampu bangkit duduk sambil menyeringai kesakitan. Si Hoo cepat menghampiri mereka
dan setelah dia memeriksa, dengan kaget dia mendapat kenyataan bahwa mereka mengalami patah
tulang. Seorang patah tulang pundaknya, yang ke dua patah tulang lengannya, ke tiga patah tulang
iganya dan yang ke empat patah tulang kakinya! Tidak berbahaya bagi keselamatan nyawa mereka
memang, namun tetap saja membuat mereka menderita nyeri yang hebat. Si Hoo bangkit berdiri,
mengerutkan alisnya menghadapi Ouw Boan Kit, namun dia tetap sabar. Terluka dalam pi-bu (adu ilmu
silat) merapikan hal yang wajar dan tidak perlu diributkan.
"Tidak disangka ilmu silat Ouw Boan Kit memang tinggi dan hebat. Kami merasa kagum sekali. Maafkan
kalau kami tidak dapat melayani Kongcu lebih lanjut, karena kami harus merawat mereka yang terluka."
Ucapan ini mengandung pengusiran halus. Akan tetapi Boan Kit tertawa mengejek.
"He-he-he! Tingkat kepandaian Guru dapat dilihat dari mutu para muridnya. Kalau mutu murid-muridmu
hanya sebegini, bagaimana mungkin engkau berani membuka perguruan silat di Hak-Ciu ini, Si-Kauwsu?
Engkau hanya mengajarkan ilmu silat rendahan dan menerima pembayaran para murid. Berarti engkau
menipu mereka!"
"Ouw-Kongcu, saya mengajarkan ilmu silat untuk olah raga yang menyehatkan tubuh, bukan untuk
berkelahi dan menjadi tukang pukul."
"Cukup obrolan ini Si Hoo, sekarang, Iawanlah aku. Kalau engkau mampu mengalahkan aku, baru engkau
boleh menjadi Guru silat di kota ini. Akan tetapi kalau engkau tidak mampu mengalahkan aku,
perguruan ini harus ditutup;
"Ouw-Kongcu, saya tidak mencari permusuhan."
"Kalau engkau tidak mencari permusuhan dan takut melawan aku, hayo tutup dan bubarkan perguruan
ini. Kota Hak-Ciu tidak boleh dikotori oleh Guru silat palsu yang menipu uang para pemuda!" Ini sudah
keterlaluan, pikir Si Hoo. Anak sombong kurang ajar ini patut diberi hajaran, asal dijaga agar jangan
sampai terluka.:: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 161
:: CerSil KhoPingHoo :
"Orang muda, sikap dan kata-katamu ini kalau tidak kau ubah, kelak akan mencelakai dirimu sendiri."
katanya, masih sabar dan mencoba untuk menyadarkan. Namun, mendengar ini, Ouw Boan Kit menjadi
semakin marah.
"Keparat, berani engkau mengancam aku?"
"Aku tidak mengancam, hanya memperingatkan..."
"Mampuslah!" Tiba-tiba Ouw Boan Kit sudah menyerang dengan gangs. Pukulannya yang mengandung
tenaga kuat itu menyambar ke arah kepala Si Hoo dan kalau pukulan itu mengenai sasaran, bukan
mustahil kalau kepala Guru silat itu akan pecah! Akan tetapi dengan mudah Si Hoo mengelak.
"Ouw Kongcu, aku tidak ingin berkelahi!" Akan tetapi pemuda itu malah menyerang lebih hebat lagi.
Setelah tiga kali mengelak dari pukulan Ouw Boan Kit, dan pemuda itu masih terus menyerang, Si Hoo
mengelak sambil menggerakkan kakinya yang menendang lutut lawan. Gerakan ini cepat sekali dan tiba
tiba tubuh Ouw Boan Kit terpelanting karena dia merasa kedua lututnya kehllangan tenaga! Ketika
terpelanting, mukanya terbanting pada lantai dan sungguh sial baginya, di situ terdapat kotoran anjing
sehingga hidung dan mulutnya berlepotan kotoran anjing. Dia bangkit menyumpah-nyumpah sambil
muntah-muntah! Terdengar tepuk tangan para murid yang geli dan senang melihat pemuda sombong
itu menerima hajaran. Ouw Boan Kit bangkit dengan muka merah, matanya melotot memandang. ke-
pada Si Hoo, lalu dia lari keluar dari rumah perguruan silat itu tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Si
Hoo menghela napas panjang.
"Mulai hari ini, kalian semua harus berhati-hati, jaga jangan sampai terjadi bentrokan dengan siapa
pun." Dia memesan lalu merawat empat orang murid yang menderita patah tulang. Pada keesokan
harinya, datang petugas Kantor Kejaksaan yang menyampaikan perintah Jaksa Ouw agar Si Hoo datang
ke kantor untuk dimintai keteranganl Si Hoo tidak berani membantah dan dia pun pergi menghadap
Jaksa Ouw di kantornya. Ketika dia memasuki ruangan kantor itu, yang berada di kantor adalah Jaksa
Ouw sendiri, dikawal oleh lima orang tukang pukulnya yang sudah dikenal semua penduduk kota Hak-
Ciu. Lima orang jagoan ini adalah Hak-Ciu Ngo-Houw (Lima Harimau Hak-Ciu). Selain lima orang itu,
terdapat pula Ouw Boan Kit dan di dekat pemuda itu duduk pula seorang Kakek berusia sekitar enam
puluh tahun, tubuhnya kurus agak bongkok, mukanya halus tanpa kumis atau jenggot, tampak lemah
berpenyakitan namun sepasang matanya mencorong penuh wibawa yang menakutkan! Begitu
memasuki ruangan itu diantar oleh dua orang perajurit penjaga yang tali menyambutnya di luar, seorang
dari Hak-Ciu Ngo-Houw membentak.
"Orang she Si, berlututlah menghadap Ouw Taijin!" Dalam hatinya, Si Hoo tidak dapat menerima
perintah ini, akan tetapi dia tahu bahwa Jaksa ini bagi penduduk Hak-Ciu merupakan Raja kecil. Bahkan
kepala daerah di Hak-Ciu juga tunduk kepada orang yang berwenang menuntut dan menyalahkan siapa
saja ini. Maka dia pun mengalah dan berlutut menghadap Jaksa Ouw yang duduk dengan alis berkerut
dan tangan kiri mengelus jenggotnya.
"Heh, kamu yang bernama Si Hoo, Guru silat?" Jaksa Ouw bertanya, suaranya membentak mengandung
kemarahan.
"Benar, Taijin.":: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 162
:: CerSil KhoPingHoo :
"Kamu sudah berani memukul puteraku Ouw Boan Kit kemarin, ya?"
"Tidak Taijin. Ouw Boan Kit datang mengajak pi-bu (adu kepandaian silat) dan tidak ada yang
memukulinya."
"Dia bohong, Ayah!" tiba-tiba Ouw Boan Kit berseru sambil bangkit berdiri dan menudingkan
telunjuknya ke arah Si Hoo.
"Mula-mula dia menyuruh empat orang muridnya mengeroyokku, setelah empat orang muridnya
kukalahkan, dia maju dan memukuliku!"
"Itu tidak benar, Taijin..."
"Diam kau, Si Hoo! Kalau tidak ditanya jangan bicara!" bentak Jaksa Ouw. Si Hoo terdiam dan menahan
kesabarannya. "Tidak ada gunanya berbantahan karena kedua pihak tentu bertahan dengan keterangan
masing-masing..."
"Maaf, Taijin. Terdapat banyak sekali saksi. Murid-murid saya semua menyaksikan peristiwa itu..."
"Diam! Mereka adalah murid-muridmu, tentu saja mereka semua siap berbohong untuk membenarkan
dan membelamu! Saksi-saksi seperti itu tidak dapat dipercaya dan tidak boleh dijadikan saksi. Sekarang
keputusanku begini. Karena puteraku Ouw Boan Kit menjadi korban, maka aku memberi kesempatan
kepadanya untuk mengajukan usul, tindakan apa yang harus diambil untuk menghukum kejahatanmu.
Nah, bagaimana pendapatmu, Boan Kit? Apakah engkau mempunyai usul?"
"Begini saja, Ayah. Setelah bertahun-tahun mempelajari ilmu silat dari Suhu yang sekarang hadir di sini,
aku menghargai kegagahan. Karena Itu, biarlah sekarang Guru Silat Si Hoo bertanding melawan Guruku.
Kalau dia mampu mengalahkan Guruku, biarlah aku mengalah dan aku akan berguru kepadanya, dan
perguruannya akan kita dukung agar menjadi besar. Sebaliknya, kalau dia kalah dia harus menutup
perguruannya!"
"Wah, itu usul yang baik dan adil sekali!" seru Jaksa Ouw bangga. "Nah. dengarlah, Si Hoo. Kami
memutuskan agar engkau bertanding ilmu silat melawan Guru puteraku. Kalau engkau menang, engkau
pantas menjadi Gurunya yang Baru. Sebaliknya kalau engkau kalah, engkau harus menutup
perguruanmu!"
"Akan tetapi, Taijin, sungguh mati saya tidak ingin bermusuhan dengan siapa pun juga." Si Hoo
membantah.
"Tidak boleh menolak keputusan kami! Tinggal pilih, engkau menerima pi-bu (mengadu ilmu silat) itu
atau masuk penjara!" Tidak ada pilihan lain bagi Si Hoo,
"Baiklah, saya menerima keputusan Taijin."
"Ruangan Ini cukup luas!" kata Jaksa Ouw. "Lo-Cianpwe (orang tua gagah), silahkan mewakili Boan Kit
melawan Guru Silat Si Hoo." kata Jaksa itu kepada Kakek kurus bongkok yang sejak tadi diam saja sambil
menyeringai aneh. Mendengar Ini, Kakek itu lalu bangkit dan mrnelangkah ke tengah ruangan.:: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 163
:: CerSil KhoPingHoo :
"Orang she Si, ke sinilah dan mari kita main-main sebentar. Ingin aku malihat bagaimana engkau dapat
merobohkan muridku." Suara Kakek itu tinggi dan lembut, namun matanya mencorong dan mulutnya
menyeringai seperti mengejek. Si Hoo tak dapat mengelak atau membantah lagi. Tentu saja lebih baik
pi-bu daripada dimasukkan tahanan atau penjara. Dia lalu bangkit dan menghampiri Kakek kurus itu.
Mereka berdua kini saling berhadapan.
"Orang she Si, dari manakah aliran perguruanmu?" Kakek itu kembali berkata dengan pertanyaan yang
diiringi sikap memandang ringan.
"Saya murid Bu-Tong-Pai." jawab Si Hoo bersahaja.
"He-heh, bagus. Nah, sambut seranganku ini!"
Kakek itu menyerang dengan tamparan tangan kiri. Gerakannya tam pak lemah dan lambat, namun Si
Hoo terkejut bukan main karena dia merasa betapa ada hawa pukulan yang amat kuat menyambar ke
arah kepalanya. Cepat dia mengelak dan membalas. Kakek itu pun dengan mudah mengelak dan mereka
berdua lalu bertanding saling serang. Si-Kauwsu (Guru Silat Si) terkejut bukan main. Baru beberapa
gebrakan saja tahulah dia bahwa lawannya ini memiliki kepandaian silat yang tinggi sekali dan agaknya
amat memandang rendah kepadanya sehingga dalam jurus-jurus pertama seperti mempermainkan dia
saja. Setiap kali lengannya bertemu dengan lengan kurus kecil itu, tubuhnya tergetar dan tangannya
terasa panas sekali! Akhirnya, telah lewat beberapa jurus, Kakek itu berseru.
"Pergilah!" Tangan kanannya dengan jari-jari terbuka mendorong ke arah dada Si Hoo. Serangan ini
demikian cepat hingga tidak dapat dihindarkan Si Hoo sehingga dadanya tersentuh. Hanya tersentuh
saja, akan tetapi dia merasa dadanya panas dan sesak, kepalanya pening dan dia pun terpelanting
roboh! Si Hoo berusaha untuk mengatur pernapasannya, Akan tetapi dia tahu bahwa dia telah terkena
pukulan yang amat ampuh dan ketika dia membuka bajunya melihat tanda menghitam di dadanya, dia
terbelalak,
"Hek-Tok-Ciang (Tangan Racun Hitam)...? Kalau begitu... engkau... adalah... Pak Lo-Kui...?" kata Si Hoo
terengah-engah.
"He-he-he-he! Bagus engkau mengenal aku! lni sekadar pelajaran bagimu yang telah berani memukul
muridku!" kata Kakek kurus bongkok yang ternyata Pak Lo-Kui (Setan Tua Utara) atau yang dikenal pula
sebagai Datuk Utara atau Rajanya para Datuk persilatan di wilayah utara! Si Hoo merasa penasaran
sekali. Dia bangkit dan memberi hormat kepada Jaksa Ouw, lalu berkata.
"Penasaran...! Saya tidak bersalah... saya akan melapor... kepada... Kepala Wilayah... di Nam-Ciu..."
setelah berkata demikian Si Hoo lalu keluar dari kantor kejaksaan. Dia segera pulang, mengumpulkan
murid-muridnya, menyatakan pembubaran perguruan silatnya dan menitipkan rumahnya kepada para
murid tertua.
Kemudian sambil membawa pakaian dan bekal, dia cepat meninggal kota Hak-Ciu, bermaksud untuk
pergi ke Nam-Ciu. Dia tahu bahwa dia menderita luka dalam yang amat parah sebagai akibat pukulan
Hek-Tok-Ciang, sehingga luka mengandung hawa beracun itu merusak isi dadanya, dan sebelum
terlambat dia ingin melaporkan perbuatan wenang-wenang Jaksa Ouw kepada pejabat tinggi di Nam-
Ciu, yaitu Jaksa Kepala Kwa yang merupakan pembesar tinggi angkatan Kaisar sendiri. Jaksa Kepala Kwa
ini datang dari kotaraja dan bertugas di Nam-Ciu yang membawahi banyak kota, di antaranya Hak-Ciu:: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 164
:: CerSil KhoPingHoo : :: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 165
:: CerSil KhoPingHoo :
termasuk wilayah Nam-Ciu. Akan tetapi agaknya Jaksa Ouw khawatir kalau dia benar-benar hendak
melapor kepada Pembesar Kwa di Nam-Ciu, maka pembesar itu lalu menyuruh Hak-Ciu Ngo-Houw untuk
mengejarnya dan membunuhnya.
"Demikianlah, Lihiap (Pendekar Wanita)... aku... aku tidak kuat lagi... tolong sampaikan kepada...
Anakku... Si Han Lin... dia mungkin.... di Bu-Tong-Pai..."
"Tenanglah, Paman. Aku akan membawamu ke ahli pengobatan agar dapat manolongmu."
"Tidak... percuma... berjanjilah, Lihiap... engkau... kelak mau menyampaikan... kepada... Si... Han... Lin..."
"Baik, aku berjanji Paman" Akan tetapi tubuh Si Hoo terkulai dan ketika In Hong memeriksanya, Guru
silat itu telah mati. In Hong bangkit berdiri, menghela napas panjang dan mengepal tangannya. Tadi ia
telah mendengar semua cerita Guru silat Si. Setelah bercerita panjang lebar, Guru silat yang terkena
pukulan Hek-Tok-Ciang itu kehabisan tenaga dan akhirnya menghembuskan napas terakhir setelah
meninggalkan pesan kepadanya.
Si Han Lin, ia tidak akan melupakan nama itu. Akan tetapi sekarang ada hal lebih penting yang harus ia
tangani. Pertama, melaporkan kematian guru silat itu kepada para muridnya agar jenazahnya dapat
diurus, dan ke dua, ia tidak dapat tinggal diam saja mendengar kisah mengharukan Guru silat itu, Jaksa
Ouw, anaknya dan antek-anteknya itu harus diberi haJaran keras. la sendiri pernah menerima
gemblengan Datuk-Datuk aneh yang berwatak aneh seperti gila, juga terkadang amat kejam, akan tetapi
dua orang mendiang gurunya itu, Hek Moli (Iblis Betina Hitam) dan suaminya Bhutan Koaijin (Manusia
Aneh dari Bhu-tan), setldaknya memiliki rasa keadilan dan membenci mereka yang berbuat jahat dan
sewenang-wenang. Tiga orang pemuda itu menghadapi In Hong dan memandang penuh heran dan
kagum.
"Benarkah ini rumah Guru Si Hoo?" tanya gadis itu.
"Dan apakah kalian ini murid-muridnya?" Tiga orang pemuda itu saling pandang, lalu seorang di antara
mereka bertanya,
"Nona siapakah dan ada kepentIngan apakah datang berkunjung?"
"Jawab dulu pertanyaanku tadi!"
"Benar, Nona. Ini rumah perguruan silat yang dipimpin Suhu Si Hoo, akan tetapi sekarang telah ditutup
dan perguruan dibubarkan. Kami adalah murid-muridnya."
"Bagus, kalau begitu kalian cepat urus jenazah gurumu..."
"Jenazah Suhu...? Apa... apa maksudmu?"
"Dia terluka parah dan tewas dalam perjalanan, di hutan sebelah selatan kota. Cepat pergi ke sana dan
urus jenazahnya."
"Tapi... siapakah yang membunuhnya?" tanya seorang.:: Bayangan Bidadari (Cerita Lepas) 166
:: CerSil KhoPingHoo :
"Siapakah nama Nona?" tanya yang lain. Akan tetapi mereka bertiga hanya melihat bayangan berkelebat
dan gadis cantik di depan mereka Itu telah lenyap! Mereka bengong, saling pandang kehilangan akal,
akan tetapi mereka lalu bergegas mengundang saudara-saudara seperguruan yang tinggal berpencaran.
Tak lama kemudian tujuh orang murid telah pergi menuju keluar kota ke arah selatan dan pada sore
harinya mereka kembali ke kota dengan wajah duka, menggotong jenazah Si Hoo dan membawanya
pulang untuk di urus perkabungan dan penguburannya karena Guru silat itu tidak mempunyai seorang
pun keluarga di kota Hak-Ciu.
Pada saat para bekas murid Si Hoo berkumpul di rumah duka, terjadi hal yang menarik dan
menggegerkan di rumah Jaksa Ouw yang besar, megah dan mewah. In Hong memasuki pekarangan
rumah besar itu. Pekarangan itu luas dan terdapat lima orang penjaga yang bertubuh tinggi besar dan
bersikap galak. Melihat ada seorang gadis memasuki pekarangan, lima orang petugas jaga itu cepat
Hantu Santet Laknat 1 Pedang Siluman Darah 5 Hidung Belang Penghisap Darah Pendekar Gelandangan 8
^