Pencarian

Cukup Satu Malam 2

Fear Street Cukup Satu Malam The Overnight Bagian 2


keliling kota, bersenang-senang.
"Gary, ayo masuk lagi," panggil Della dari balik pintu kasa.
Gary tengah memeriksa halaman depan."Tak ada orang di sini," katanya, tampak lega. Ia melangkah
kembali ke teras. "Tanahnya lembut, tapi aku tidak melihat jejak
kaki." Digaruknya kepalanya yang berambut pirang berombak.
"Mungkin hantu," gurau Della.
"Ada yang bercanda," kata Gary, kembali masuk rumah.
"Canda yang tidak lucu."
Della menutup pintu dan dengan hati-hati menguncinya.
Mereka kembali ke ruang duduk.
Ricky, Maia, dan Suki duduk tegang di dekat jendela. "Apa dia
ada di luar?" tanya Maia.
Gary mengangkat bahu. "Aku tak melihat siapa pun."
"Tapi siapa yang mengetuk pintu?" tanya Maia. Ia mengepalkan
kedua tangannya kuat-kuat di sisinya.
"Hantu Natal Lewat," ujar Della.
Tak seorang pun tertawa.
"Mungkin kita sebaiknya lapor polisi," kata Suki. Baru sekarang
tampangnya kelihatan cemas. Ia mengenakan sweter berwarna biru
kehijauan yang kebesaran sampai menyentuh lututnya. Dirangkulnya
kedua tangan ke badannya sendiri, hingga ia hampir tenggelam dalam
sweter yang sangat besar itu.
"Tidak!" desak Maia. "Kita masih belum punya alasan untuk
melapor. Mungkin itu tadi anak tetangga yang iseng."
"Dulu aku biasa berbuat begitu," Ricky mengaku, tersenyum.
"Kejutan besar," ejek Suki.
"Dulu kupikir lucu," kata Ricky. Ia berjalan ke sofa dan
merentang tubuh di atas bantalan lengan kursi yang lembut. "Sekarang
aku tak yakin.""Kita jadi sasaran di sini," keluh Della muram.
"Jangan panik," kata Gary padanya. "Orang itu cuma bercanda.
Jika dia ingin masuk kemari atau melakukan hal-hal mengerikan, dia
punya dua kesempatan ketika pintu itu terbuka. Dia cuma ingin
membuat kita gelisah."
"Kita sudah gelisah sekarang," kata Ricky. "Kita sedang
gelisah!"
"Siap-siap saja jika dia mengetuk pintu lagi," kata Gary.
"Apa maksudmu?" tanya Della hati-hati. Gary cowok yang
hebat dan semua orang menyukainya. Tapi satu alasan kenapa ia
disukai adalah karena ia tidak sempurna?kadang-kadang ia
bertingkah gila-gilaan dan ngawur, yang akan menjadi bahan
pembicaraan anak-anak sepanjang minggu berikutnya.
Della tahu banyak tentang Gary. Ia kan sudah lama pacaran
dengan cowok itu. Ia bisa membaca ekspresi wajahnya. Dan itu bukan
ekspresi yang ia sukai. Ekspresinya tegas, menantang siapa pun untuk
menghentikan apa yang akan dilakukannya.
"Ayolah, Gary. Apa rencanamu?" tanya Della, mengikutinya
menyeberang ruang duduk itu.
"Tidak banyak. Jangan pandang aku seperti itu, Della. Aku
tidak akan berbuat gila-gilaan. Aku cuma ingin melihat orang yang
suka bercanda itu."
"Ayo, kita pulang saja," kata Maia, mengikuti mereka ke
koridor. Ricky dan Suki dengan gelisah membuntuti Maia.
"Tapi pestanya baru saja mulai!" teriak Ricky, lalu tertawa
seolah-olah ia telah membuat guyonan hebat.
"Maia, kita kan harus menunggu Pete," kata Della."Selain itu, kita belum selesai membahasnya," tambah Suki.
"Kita belum memutuskan apa yang akan kita lakukan dengan
tengkorak-tengkorak dan pesan itu."
"Lakukan? Apa yang bisa kita lakukan?" rengek Maia. "Satu hal
yang bisa kita lakukan adalah tidak duduk dalam rumah ini dan
membiarkan orang brengsek itu meneror kita."
Sementara itu Gary menghilang ke atas dan ia kembali
membawa kamera Polaroid Della. "Bagaimana kalau foto bersama?"
tanyanya sambil tersenyum.
"Itulah satu-satunya cara untuk membuat kelompok ini
tersenyum," kata Ricky.
"Ini cara lain yang bisa membuatku tersenyum, Schorr?pergi
sana!" tukas Suki cemberut.
"Sudahlah, Suki," kata Gary mengingatkan. "Berhenti
mengganggu Ricky."
"Kehadirannya pun sudah menggangguku," gumam Suki.
"Ingatkan aku supaya lain kali tertawa mendengar kata-
katamu," kata Ricky seraya mendelik.
"Sudahlah, kalian berdua," Della memohon.
"Aku pergi. Sungguh. Aku harus pulang," kata Maia, mendesak
menuju pintu.
"Jangan!" seru Gary, menarik Maia ke belakang. "Bisa-bisa dia
pergi sebelum aku sempat memotretnya."
"Itu rencanamu?" teriak Della. "Ketika dia mengetuk, kau akan
membuka pintu, berteriak 'Tersenyum!' dan mengambil fotonya?"
"Yeah," kata Gary membela diri. "Itu rencanaku. Kau punya
yang lebih baik?""Yeah. Lupakan saja."
"Bagaimana jika dia tidak mau dipotret?" tanya Suki.
"Bagaimana jika itu membuat dia marah?" tanya Ricky.
"Biarkan aku pulang!" pinta Maia.
"Setelah aku memotretnya, Della, banting pintu dan kaukunci.
Dia akan terlalu kaget hingga tak sempat bereaksi," kata Gary. "Lalu
kita menelepon polisi." Dipandangnya Della. "Bagaimana
menurutmu?"
Della mengarahkan matanya ke langit-langit.
"Bodoh," katanya. "Tapi aku tahu kau akan tetap
melakukannya."
Gary tersenyum. "Betul."
"Tolong?biarkan aku pergi," ulang Maia.
"Maia, berhenti. Kita semua terlibat. Kita harus tetap bersatu.
Kita harus saling membantu," kata Della.
"Jadi, kita semua pulang saja!" ujar Ricky. Ia buru-buru
mengangkat kedua tangannya. "Bercanda. Cuma bercanda!"
Maia cemberut dan dengan marah kembali ke ruang duduk.
"Kau tidak bisa menahanku di sini," katanya.
"Kau tidak ditahan," kata Suki. "Tapi kau juga tidak bisa jadi
pembelot."
"Tapi kalian semua gila!" teriak Maia, suaranya tinggi dan
tegang. "Aku hanya ingin semuanya segera usai."
"Kita semua juga maunya begitu," kata Suki. "Tapi berlari
pulang ke pelukan ibunda tidak akan menyelesaikan masalah, Maia.""Ssst. Kita harus siap," perintah Gary. Tanpa menghiraukan
Suki, ia menyiapkan kamera. "Begitu dia mengetuk, Della, buka
pintunya. Kau harus cepat atau kita kehilangan dia."
"Tapi, bagaimana..."
Sebelum Della bisa menyelesaikan pertanyaannya, mereka
semua mendengar ketukan keras di pintu.
Della melompat keheranan. Waktu seolah membeku.
Napasnya seperti membeku.
Semua yang ada di koridor membeku.
Ketukan itu terdengar lagi.
Akhirnya Della bisa bernapas lagi. Akhirnya ia bisa berpikir
lagi, dan menggerakkan tangannya. Ia membuka kunci pintu dan,
dengan sekali putaran, menarik pintu hingga terbuka lebar-lebar.
Gary maju dan menyalakan kameranya. Lampu kilat
mengirimkan sinar putih ke sepanjang koridor dan membias ke luar,
ke teras.BAB 10
LAMPU kilat itu menangkap gerakan, wajah, rambut yang
samar-samar, dan pakaian berwarna gelap. Seorang cowok. Ia
menghilang secepat munculnya cahaya kilat itu.
Cowok itu melompat ke samping teras. Della mendengar ia
menabrak semak-semak, terus berlari.
Ia pasti ada di samping rumah sekarang, pikirnya.
Bahwa benar-benar ada orang asing di teras tadi, membuat
Della dan Gary terpaku. Mereka hampir seperti dipotret dan membeku
dalam film.
Ketika mereka membuka pintu kasa dan melongok ke luar, tak
ada tanda-tanda seorang pun di sana.
"Film itu. Gambarnya. Lihat. Gambarnya mulai kelihatan."
Tangan Gary gemetar ketika memegang gambar Polaroid itu
sementara warna-warna di dalamnya semakin gelap.
Maia, Suki, dan Ricky berdiri di belakang mereka. Mereka
semua melotot dalam diam ketika gambar itu semakin tajam dan
penuh.
"Foto pintu kasa yang bagus," kata Ricky sambil geleng-geleng
kepala.Pintu kasa tampak mengilap keperakan dalam foto. Di luar
pintu hanya tampak kegelapan, bahkan bayangan suram cowok itu
sedang berlari di teras pun tidak ada.
"Kita gagal memotretnya," kata Della.
"Mulai dari awal lagi dong," gumam Gary kecewa.
Seseorang tiba-tiba melangkah di teras.
Astaga! Pintu belum dikunci! pikir Della. Cowok itu mengitari
rumah dan kembali ke teras!
Della menyambar pintu dan siap membantingnya.
"Hei?apa-apaan ini!?" teriak bayangan di teras.
"Pete!" semua anak berteriak lega.
Pete tampak bingung. "Sori aku terlambat. Kalian baik sekali
menyambutku di depan pintu. Tampaknya acara kumpul-kumpulnya
heboh ya."
"Heboh apanya?" kata Della sambil menghela napas. "Kita
kedatangan tamu." Diulurkannya tangan, melewati Pete, dan
mengunci pintu. "Kau lihat seseorang di luar sana?"
"Tidak. Tak ada siapa-siapa." Pete memandang kamera. "Kalian
bikin acara potret-memotret?"
"Yeah. Kita akan membuat album keluarga," sindir Ricky.
"Aku tidak ikut-ikutan. Aku tidak mau Schorr menjadi
keluargaku!" sergah Suki.
Maia kembali ke ruang duduk dan membanting tubuhnya di
kursi, tampangnya lebih muram dari sebelumnya. "Boleh aku pulang
sekarang?" geramnya.
"Agaknya acara kalian memang tidak seru," kata Pete setuju
ketika teman-temannya ramai-ramai mengikuti Maia.Maia cemberut. "Aku pergi," katanya. Tapi ia tidak berusaha
bangkit dari kursi.
"Tunggu, Maia," kata Pete. "Aku bawa sesuatu. Kurasa kau
mau melihatnya."
Ia menarik lembaran koran yang terlipat dari saku celana khaki-
nya dan membukanya di meja kopi. Semua anak mendekat untuk
melihatnya.
Itu surat kabar Beacon. Judul utamanya berbunyi:
TETANGGA MENYAKSIKAN PERAMPOKAN,
PENEMBAKAN FATAL
Judul lebih kecil di bawahnya berbunyi:
POLISI MEMBURU DUA ORANG YANG TERLIBAT
PEMBUNUHAN
"Bacalah keras-keras," pinta Suki pada Pete.
"Soalnya dia tidak bisa baca," goda Ricky. Suki menyikut perut
Ricky keras-keras.
"Bacalah, Della," kata Pete, menyerahkan lembaran koran itu
padanya. "Aku masih silau dengan lampu kilat."
Berita itu menceritakan bahwa para tetangga melihat dua orang
menyusup ke rumah tukang kebun. Ada suara tembakan, kata saksi,
lalu kedua orang itu keluar rumah, tanpa membawa apa-apa.
Tukang kebun ditemukan tewas di rumahnya. Menurut polisi,
para penyusup itu mengira si tukang kebun?yang digosipkan sebagai
jutawan eksentrik?menyimpan uang di bungalo kecilnya. Ketika
tidak menemukan uang, lanjut polisi, mereka menyerang si tukang
kebun dan membunuhnya.Kedua penyusup itu masih bebas, lanjut artikel itu, dan
menemukan mereka merupakan prioritas utama polisi. Seorang
tetangga berhasil melihat wajah salah satu penyusup ketika mereka
lari. Polisi membuat sketsanya yang dimuat di sebelah artikel.
"Oh, tidak! Lihat wajahnya!" teriak Della. Diangkatnya
lembaran koran itu sehingga semua anak dapat melihatnya.
Itu cowok yang ada di Fear Island, yang ia kubur di jurang.
"Jadi dia seorang pembunuh," kata Suki. Diambilnya lembaran
koran itu, dipandangnya sketsa itu?seolah-olah ia sedang menghafal
wajah itu, lalu diserahkannya kembali pada Della. "Jadi kita tidak
perlu terlalu sedih."
"Waktu itu dia menyinggung soal orang tua," jelas Della, tiba-
tiba ingatannya kembali. "Bicaranya sangat cepat, gila-gilaan, dan dia
bilang tidak dapat berkomunikasi dengan orang tua itu, dia telah
memberinya pelajaran, atau semacam itu. Waktu itu kedengarannya
tidak masuk akal. Aku sangat ketakutan, aku tidak menyimak apa
yang dia bicarakan."
"Nah, sekarang kita tahu siapa dia," kata Pete sambil melipat
lembaran koran itu dan memasukkannya kembali ke sakunya, "dan
kita tahu siapa yang mengintip ketika kita mengubur pemuda itu
dengan dedaunan. Dan kita tahu siapa yang mengirimkan tengkorak
perak pada Della. Pasti teman si pemuda."
Temannya.
Jadi itu penjelasannya, pikir Della. Pemuda itu tidak sendirian
di hutan. Bersama temannya, ia bersembunyi di sana. Siapa yang mau
mencari mereka di pulau tak berpenghuni?Temannya sembunyi di hutan di bibir jurang. Dan ia melihat
semua yang terjadi pada pemuda itu.
"Menurutmu, apa yang dia mau?" tanya Maia pelan.
Mereka semua diam, memikirkan berita yang dibawa Pete.
Mereka sadar rahasia mereka tidak sepenuhnya rahasia lagi. Ada
orang lain yang terlibat, orang yang telah membunuh si tukang kebun.
Orang yang tahu di mana Gary dan Della tinggal. Orang yang tadi
berada tepat di depan pintu.
"Jelas dia tidak ingin mengucapkan terima kasih pada kita,"
kata Suki getir.
"Mungkin dia ingin balas dendam," ujar Ricky.
Semua memandang Ricky, seolah ingin memastikan apakah ia
serius. Dan ia memang serius.
Perasaan muram melingkupi ruangan. Tak ada yang bicara
selama beberapa saat.
"Mana yang lebih buruk?dia ingin memeras kita atau
membalas dendam?" tanya Gary, memecah kesunyian.
"Bagaimana bisa dia memeras kita?" tanya Maia. Wajahnya
memerah, seperti mau menangis.
"Bukan kita. Tapi orangtua kita," kata Pete dengan wajah
tertunduk. "Mereka gagal merampok. Teman pemuda itu mungkin
mengira bisa mendapat uang dari kita."
"Kebanyakan orangtua kita cukup kaya," kata Gary.
"Ngomong pada dirimu sendiri. Orangtuaku miskin," Suki
membentak dengan nada pahit.
Gary tak peduli. "Teman pemuda itu bisa menceritakan semua
yang dilihatnya pada orangtua kita. Dia bisa mengancam hendakmelaporkan kita pada polisi jika orangtua kita tidak memberinya uang
banyak."
"Tidak! Tidak mungkin! Menakutkan sekali!" teriak Maia.
"Hei, tunggu," kata Della. Ia melompat dari kursi piano, tempat
ia memikirkan semua kejadian ini sambil berdiam diri. "Itu tidak
masuk akal sama sekali."
"Memang tidak ada yang masuk akal," gumam Suki.
"Orang ini tidak dapat melapor ke polisi. Dia telah membunuh
si tukang kebun, ya kan?" kata Della.


Fear Street Cukup Satu Malam The Overnight di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Della benar," sela Maia, sedikit lega.
"Dia tidak bisa pergi ke kantor polisi, lalu bercerita bahwa dia
melihat kita membunuh temannya."
"Polisi mungkin akan berterima kasih pada kita," kata Ricky,
nadanya lebih cerah. "Mereka mungkin akan memberi kita
penghargaan atau semacam itu."
"Tidak juga sih," kata Della. Ia menggelengkan kepala dengan
tidak sabar. "Tapi, pokoknya, tidak mungkin orang itu pergi ke polisi."
"Siapa bilang? Dia bisa mengancam hendak memberi petunjuk
pada polisi. Dia tinggal angkat telepon dan menceritakan apa yang
dilihatnya," kata Pete.
"Benar juga," teriak Maia, kembali ketakutan.
"Kalau begitu, tentukan pilihanmu," kata Della sedih.
"Pemerasan atau balas dendam?"
"Dua-duanya kita celaka," kata Suki muram. "Dia bisa memeras
kita seumur hidup."
"Lebih baik kita menelepon polisi," kata Gary tegas.
"Polisi takkan dapat melindungi kau dan Della," sanggah Maia."Oh, Maia?berhentilah memikirkan diri sendiri!" teriak Della,
akhirnya kehilangan kesabaran. "Kau cuma cemas, takut orangtuamu
tahu kau pergi berkemah tanpa pengawas. Kau tidak peduli apa pun
yang terjadi pada kami!"
Maia tercengang dan wajahnya berubah semerah tomat. Segera
Della menyesal. Perlu waktu berbulan-bulan untuk meminta maaf
pada Maia. Lagi pula apa gunanya berteriak-teriak seperti itu? Tidak
ada sama sekali. Ia tidak bisa mengubah Maia.
"Enak saja!" protes Maia. "Aku cuma... aku cuma... Oke. Aku
tidak akan ngomong apa-apa lagi." Ia melipat tangan dan menatap
Della dengan marah.
"Tapi Maia benar," kata Pete tiba-tiba, memandang Della. "Apa
yang akan dilakukan polisi untuk melindungimu?melindungi kita
semua?dari si brengsek ini? Tidak ada. Apa mereka akan menjaga
rumahmu sepanjang waktu? Atau menjagamu sewaktu kau pergi dan
pulang sekolah? Tidak mungkin."
"Dengan bantuan kita, polisi mungkin bisa menangkap orang
itu," ujar Della.
"Kapan?" sela Ricky. "Setelah kita semua mati sewaktu tidur?"
"Berhenti! Jangan bilang begitu!" jerit Maia.
"Aduh?kita semua jadi histeris," kata Suki. "Kita harus tenang.
Sejauh ini, semua yang telah dilakukannya adalah..."
Kalimatnya terhenti ketika terdengar ketukan di pintu depan.
Mereka semua terpaku. Maia menjerit kecil, semakin
menenggelamkan diri di kursi berlengan itu. Della melihat ke pintu
depan seolah-olah menunggu seseorang mendobrak masuk."Aku meninggalkan kamera itu di tangga," kata Gary setengah
berbisik.
"Aku tidak mau membuka pintu," bisik Della. "Menurutku kita
tidak perlu membukanya."
Tak ada yang setuju, tapi juga tak ada yang membantah. Mereka
menatap koridor sambil berdiam diri karena takut.
Ketukan lagi, kali ini lebih lama dan keras.
"Mau apa sih dia?" teriak Maia.
"Ayo, kita buka," ajak Gary, maju menuju pintu. "Pasti tak ada
siapa-siapa di sana."
"Jangan, Gary...," kata Della.
Tapi Gary sudah memutuskan. Ia melangkah ke pintu depan,
ragu-ragu sebentar, lalu mendekatkan wajah ke pintu dan berteriak,
"Siapa?"
Sunyi sesaat. Lalu laki-laki di luar pintu menjawab, "Kami
pulang!"BAB 11
GARY tampak bingung sejenak. Lalu ia memutar kunci dan
membuka pintu depan.
Ibu Della dan seorang laki-laki tinggi berkepala botak masuk.
"Oh, hai, Gary. Kejutan yang menyenangkan," seru Mrs.
O'Connor, tampak sedikit kaget. "Ini Mr. Garrison. Dia mengantarku
pulang."
"Ibumu lupa bawa kunci rumah," Mr. Garrison menjelaskan
pada Della.
Mrs. O'Connor melongok ke ruang duduk dan lebih kaget lagi
melihat Della punya lebih banyak tamu. "Della?pesta pada malam
sekolah?"
Semacam itulah, pikir Della. "Mom mau apa?" tanyanya tanpa
pikir panjang. "Maksudku, kenapa Mom pulang cepat?"
"Tak ada yang bersemangat main bridge malam ini. Jadi kami
putuskan pulang cepat," Mrs. O'Connor menjelaskan. "Ada apa ini?"
tanyanya, melemparkan buku saku ke meja dan melangkah ke tengah
ruangan.
"Mom, kenalkan, ini anggota Outdoors Club," kata Della,
kembali tenang. Diperkenalkannya teman-temannya pada ibunya."Aku suka rambutmu," kata Mrs. O'Connor pada Suki. "Kok
bisa berdiri seperti itu?"
"Saya pakai gel," kata Suki, mencoba meneliti apakah ibu Della
cuma menggodanya atau tidak.
"Sangat... apa sebutannya? Sangat... radikal," komentar Mrs.
O'Connor.
Ricky mulai tertawa, tapi cepat-cepat berhenti.
"Betul lho, aku sungguh menyukainya," kata Mrs. O'Connor
bersikeras. "Tentu saja, jika Della menata rambutnya seperti itu, aku
akan membunuhnya!"
"Mom, sudahlah...," Della menyela.
"Sebetulnya ada pertemuan apa ini?" tanya Mrs. O'Connor,
mengabaikan protes putrinya.
"Oh... kami sedang membicarakan acara berkemah itu," jawab
Della setelah berpikir cepat.
"Kudengar acaranya sukses besar," kata Mrs. O'Connor,
merapikan majalah-majalah di meja. Ia tidak pernah hanya berdiri dan
berbicara. Ia selalu harus melakukan sesuatu yang berguna pada saat
yang sama.
"Oh, ya. Asyik," kata Gary.
"Acaranya radikal," tambah Ricky. Tidak ada yang tertawa. Tak
dapat dipastikan apakah Mrs. O'Connor sadar bahwa Ricky
menertawakannya. Ekspresinya tidak memperlihatkan perasaan apa-
apa. "Sebenarnya kami hampir selesai," kata Della sambil
memandang teman-temannya agar mereka tahu sudah waktunya
pulang."Ya. Pertemuan ditunda," Gary mengumumkan. Ia tersenyum
pada Mrs. O'Connor. "Saya ketuanya. Jika saya tidak bilang begitu,
mereka tidak akan pulang."
Ibu Della tertawa keras. "Sangat menyenangkan bertemu
denganmu, Gary," katanya. "Kami merindukanmu."
Paras Gary berubah merah dan tampak sangat malu. Seandainya
Della tidak merasa malu juga, ia pasti senang melihat sikap cowok itu.
Akhirnya semua anak berpamitan pulang, kecuali Pete, yang
dengan kikuk masih berdiri di koridor. "Uh... Della... bisa kita bicara
sebentar?"
"Tentu," jawab Della, ingin tahu mengapa ia tampak gelisah.
Apakah ia takut pulang karena teman pemuda yang sudah mati itu
mungkin berkeliaran di luar? Tidak. Della berharap Pete tidak bicara
lebih banyak tentang hal-hal itu, tidak di dekat ibunya.
"Aku ingin tahu...," katanya, seraya mengajaknya ke teras
depan supaya bisa bicara secara pribadi. "Jika mungkin... kau mau
pergi denganku Jumat malam?"
"Oh." Itu sama sekali di luar dugaan. Della menghela napas
dalam-dalam. Udara terasa sejuk dan manis. Ia bisa mencium bunga-
bunga apel mekar dari pohon di seberang jalan masuk. "Ya. Oke."
Della tersenyum. "Kedengarannya asyik."
Pete membalas senyumnya. "Aku akan menjemputmu setelah
jam delapan, oke? Mungkin kita akan nonton film. Atau pergi ke The
Mill."
"Baik."
Penggilingan gandum kuno dan sudah roboh itu?yang
dibangun di ujung Old Mill Road bahkan sebelum Shadysideberdiri? akhir-akhir ini telah dihidupkan kembali dan dijadikan klub
dansa bagi para remaja. Namanya The Mill. Banyak teman sekolah
Della di Shadyside High pergi ke sana hampir setiap akhir pekan,
untuk berdansa sekaligus menemui cowok. Tapi Della sulit
membayangkan Pete berada di sana, mengenakan celana khaki berlipit
dan kaus polo Ralph Lauren.
Mungkin ia tidak sekaku itu, pikir Della sambil memperhatikan
Pete berjalan menuju station wagon-nya. Ia baik sekali padaku.
Mungkin dialah yang kuperlukan untuk melupakan Gary.
Della tiba-tiba gemetar, mengingat mungkin ada orang di luar
sana. Mungkin orang itu tengah bersembunyi di kegelapan,
memandangnya, mengawasinya, merencanakan sesuatu, dan
membencinya.
Masih gemetar, ia berbalik dan berlari masuk rumah,
membanting pintu dengan keras, begitu keras sehingga anjing-anjing
mulai menggonggong dan melolong di sepanjang blok.
**********
"Aku tidak percaya, aku senang sekali!" kata Della pada diri
sendiri. Hari itu Jumat malam dan, bersama Pete, ia telah berdansa di
The Mill satu jam lebih. Ia tertawa dan menepuk lembut bahu Pete
ketika cowok itu mencoba gerakan dansa dengan satu kaki.
Sebenarnya Pete tidak bisa berdansa dengan baik. Nyatanya ia
tidak bisa mengikuti irama sama sekali. Tapi paling tidak ia mencoba.
Bahkan ia bergurau soal gaya dansanya. Aku bahkan tidak tahu ia bisa
juga melucu, pikir Della, memarahi diri sendiri karena kesannya yang
salah terhadap Pete.Klub itu panas dan sesak. Para remaja memadati lantai dansa,
saling tabrak ketika mereka bergerak mengikuti musik yang
memekakkan telinga, pukulan drum yang berirama tetap berdentam
dari speaker besar-besar yang tersebar di setiap sudut ruangan luas itu.
Lampu berwarna magenta dan biru yang berputar-putar membuat
lantai seakan ikut berputar. Segerombolan anak menonton dari bar
yang membentang sepanjang dinding, atau dari balkon rendah di atas
lantai dansa.
Della,dan Pete berdansa tanpa henti. Suasananya terlalu bising
untuk berbicara. Tengah malam lewat sedikit Della menarik Pete
keluar, ke tempat parkir. "Cukup! Aku capek sekali!" teriaknya
gembira.
Pete tertawa. Meskipun malam itu hangat, udara terasa sejuk di
wajah mereka yang panas. Ketika Della memandang langit, ia masih
dapat melihat cahaya warna-warni berputar-putar. Irama yang
berdentam keluar dari klub dansa itu?pukulan drum dan bas gitar?
seirama dengan detak jantungnya.
"Mau makan sesuatu?" tanya Pete.
"Entahlah. Sudah malam sekali." Bukannya merasa capek,
Della malah merasa bersemangat, ingin tetap bergerak, benar-benar
gembira.
"Yuk, kita cari hamburger," ajak Pete, menarik tangannya.
Tangan Pete panas dan basah.
Della mendadak menarik tangannya lagi, sehingga Pete
terdorong, mendekat ke arahnya. Menuruti dorongan hati, Della
merangkulkan tangan ke belakang leher Pete, menahan kepalanya, dan
menciumnya lama-lama.Ketika Della melepasnya, Pete tertegun.
"Itu ciuman selamat malam," Della menjelaskan, tertawa karena
melihat tampang Pete yang kaget. "Aku cuma ingin menuntaskannya.
Sekarang kita cari hamburger."
Mereka masuk ke kursi depan station wagon Pete dan segera
membuka jendela-jendelanya, mencoba menyejukkan diri. Pete
memundurkan mobil, keluar dari garis pembatas, dan melaju
meninggalkan tempat parkir yang masih penuh.
Sebuah mobil lain, dengan lampu besar menyala, mengikuti dari
jarak dekat di belakang. Masuk ke Old Mill Road, Pete melirik spion.
"Kuharap dia mau mematikan lampu besarnya," ujar Pete cemberut.
Jalan itu kosong, tidak ada apa-apa kecuali kegelapan sejauh
Della memandang. Tak banyak alasan berkendara di pinggiran kota
selarut ini, kecuali kau hendak ke dan dari The Mill.
Della menyandarkan tubuhnya ke kursi, dan menyandarkan
lututnya di dashboard. Ia merasa senang, rileks, capek tapi bahagia.
Tapi ia tahu ada yang mengganggu Pete. "Ada apa?"
"Cowok itu tidak mau menyingkir," keluh Pete, memandang ke
spion.
"Pelan-pelan saja. Mungkin dia akan mendahului kita," saran
Della.
Pete memperlambat jalan mobilnya. Della menoleh, melihat ke
jendela belakang. Mobil di belakang tidak mendahului mereka. Malah
ikut-ikutan bergerak pelan.
"Mungkin kita mengenalnya," kata Della. "Aku tidak tahu.
Lampu besar itu bikin silau." Jendela belakang dipenuhi cahaya, tidak
mungkin pandangan kita menembusnya.Pete kian memperlambat mobilnya. Lalu ia minggir ke bahu
jalan. "Hei, ada apa?" teriaknya keluar jendela.
Mobil itu juga minggir, dan berhenti beberapa sentimeter di
belakangnya. Pete meraih pegangan pintu, hendak keluar. "Jangan,
tunggu," kata Della seraya meraih tangan Pete. Tiba-tiba ia merasa
takut.
Bagaimana jika si pengemudi tidak dikenalnya? Bagaimana
jika... si pengemudi itu orang yang tidak ingin mereka kenal?
Sepanjang malam ini ia berhasil melupakan pemuda yang mati dan
temannya itu. Tapi sekarang semuanya berkelebat sekali lagi dalam
pikirannya.
"Jangan keluar, Pete. Kunci pintunya."
Pete nyengir, tapi mengikuti nasihatnya.
Mereka mengawasi mobil di belakang mereka, Pete melalui
spion, Della dari jendela belakang, menunggu seseorang membuka
pintu dan keluar sehingga mereka bisa melihatnya.
Tapi pintu mobil itu tidak terbuka. Pengemudinya malah
menekan gas sehingga mesinnya meraung-raung.
"Aku takut," Della mengaku. "Ayo kita pergi, Pete."
Menuruti ajakan Della, Pete menjalankan mobil dan menginjak
pedal gas. Roda-roda berderit keras di tanah yang lembek dan mereka
tiba-tiba bergerak kembali ke jalan. Pete kehilangan kontrol beberapa
saat ketika mobil itu tergelincir ke trotoar. Lalu dengan cepat ia
mengendalikannya kembali ke jalur jalan dan, tetap menekankan
kakinya ke bawah, memacunya pergi.Della kembali tenggelam di kursinya, mencoba tidak panik.
Dilihatnya spedometer yang bersinar hijau. Jarumnya menunjukkan
angka 130.
"Oh, pergilah," tanpa sadar Della berkata keras. "Siapa pun kau,
pergilah."
Terdengar decitan di belakang, diikuti raungan mesin. Sinar
kuning menyilaukan kembali terpantul di kaca spion, memenuhi mobil
mereka dengan sinar dan bayang-bayang yang bergerak cepat.
"Ya ampun! Apa-apaan sih!" teriak Pete. Roda kemudi
memantul di tangannya. Ia harus mengerahkan seluruh keterampilan
dan konsentrasi untuk mengemudi di sepanjang jalan yang berkelok
itu dengan kecepatan begitu tinggi. "Dia tetap membuntuti kita! Gila!"
Diinjaknya pedal gas semakin keras. Della melihat jarum
spedometer naik ke angka 135.
"Apa-apaan ini?" teriaknya. "Gila! Aku benci melihat mobil
kebut-kebutan di film! Dan aku. tidak mau terlibat kebut-kebutan
sungguhan!"
"Periksa sabuk pengamanmu," perintah Pete. "Kadang-kadang
yang itu suka lepas."
"Trims atas pemberitahuannya!" jeritnya sinis. "Waktunya tepat
sekali!"


Fear Street Cukup Satu Malam The Overnight di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pete memandang spion, dan raut wajahnya semakin kuatir.
"Dia?dia semakin cepat!"
"Dia tepat di belakang kita. Dia akan menabrak kita!" jerit
Della, merendahkan tubuh dan memejamkan matanya.
"Ayahku akan membunuhku," kata Pete. "Dia menyayangi
wagon ini.""Bisa-bisanya kau mencemaskan mobil?" Della berteriak
melawan raungan mesin. "Bagaimana dengan hidupmu!"
"Kau tidak kenal ayahku," kata Pete, membelok ke jalur, kiri,
lalu membanting kemudi kembali ke kanan. "Dia penuh perhatian
pada barang-barang miliknya."
"Oh!" teriak Della, ketika merasakan benturan, disusul
guncangan-guncangan, ketika mobil di belakang menabrak bumper
belakang mobil mereka.
"Apa yang..." Mata Pete menatap lurus sementara ia berjuang
mengendalikan mobil. "Apa dia memang mau memaksa kita keluar
jalur... atau ini cuma main-main, atau apa?"
Della memejamkan mata kuat-kuat dan mencengkeram
pinggiran kursi. Jeritannya kembali terdengar ketika mereka lagi-lagi
terguncang keras. Mobil itu serasa terlempar ke atas, lalu anjlok
kembali dengan rodanya berputar-putar di jalanan.
"Belok!" teriak Della. "Belok ke jalan lain. Mungkin dia tidak
akan membuntuti."
"Aku tidak bisa belok," kata Pete, suaranya menandakan ia
ketakutan. "Jalannya terlalu cepat. Aku tak tahu apa aku bisa terus
mengontrol."
Mereka terguncang lagi, kali ini bahkan lebih keras. Lampu
menyilaukan itu seolah mengelilingi mobil, menembus ke setiap
sudut, melingkupi mereka dengan cahaya kuning tajam.
"Taurus hitam," kata Pete, matanya melihat ke spion. "Kau tahu
siapa yang punya mobil Taurus hitam?"
"Tidak," kata Della. "Apa yang harus kita lakukan?""Pegangan kuat-kuat," Pete menyarankan. "Mungkin kayaknya
bodoh, tapi akan kucoba. Jika tidak berhasil... risikonya cukup besar."
"Kau mau apa?" tanya Della.
Bukannya menjawab, Pete malah menjejakkan kakinya di pedal
rem dan memutar kemudi. Mobil itu berdecit dan tergelincir sekitar
sembilan meter, sebelum berputar arah. Mobil yang mengikuti mereka
itu berbelok tak keruan ke kanan, menyingkir, lalu meraung
mendahului.
Pete dengan kalut menggerakkan kemudi, mencoba supaya
mobilnya berhenti berputar. Mereka sekarang berbalik arah,
berhadapan dengan jalan dari mana mereka datang. Pete menginjak
pedal gas lagi dan mereka melaju.
"Hah! Aku meniru trik lama Kojak!" teriak Pete, lega karena
mereka masih hidup. "Kau tidak apa-apa?"
"Entahlah. Kukira begitu. Apa dia sudah pergi?"
Pete menoleh ke spion. "Ya. Kurasa sudah. Kita..."
Mereka mendengar decitan rem dan roda. "Dia balik lagi!"
Menyusul terdengar benturan, begitu keras sehingga tangan
Pete terlepas dari kemudi.
Della menjerit, tapi ia tidak dapat mendengar jeritannya sendiri.
Tabrakan itu diikuti bunyi berderak yang mengerikan, bunyi
kaca hancur, dan logam beradu dengan kayu.
Pete meluruskan arah mobil dan menghentikannya. Jantung
Della berdegup kencang. Mulanya ia mengira mereka yang menabrak.
Rasanya seperti mimpi. Baru beberapa saat kemudian ia sadar
mobil yang membuntuti merekalah yang selip dan menghantam
pohon."Kita harus kembali," kata Pete. "Siapa pun dia, keadaannya
pasti parah."
"Kurasa begitu," ujar Della sambil menggigil. Ia berpaling pada
Pete. "Kau baik-baik saja?"
"Yeah. Aku oke-oke saja. Kencan pertama yang seru, bukan?"
"Oh, tutup mulut."
Pete membelokkan mobil dan menjalankannya pelan-pelan
sampai mereka melihat Taurus itu. Lampu besarnya masih menyala,
tetapi mengarah ke langit. Mobil itu tergolek miring, bertumpu pada
batang pohon besar. Dengan rodanya yang masih berputar, mobil itu
kelihatan seperti mencoba memanjat pohon.
Ketika mereka semakin dekat, Pete dan Della melihat sisi kanan
mobil ringsek ke dalam. Anehnya, sisi pengemudi relatif tidak rusak.
Pecahan kaca berserakan di jalan.
"Ayo, kita lihat seberapa parah lukanya," kata Pete.
Della memegang tangan cowok itu kuat-kuat, namun ia tidak
bergerak.
"Kau tidak mau ikut?" tanyanya lembut. "Tidak apa-apa kok.
Tidak jadi masalah. Kau bisa tinggal dalam mobil."
"Tidak," sahut Della, tiba-tiba merasa mual. "Aku mau keluar.
Aku ingin melihat siapa yang mengemudi, siapa yang berbuat jahat
pada kita."
Pete melangkah keluar, mengitari mobil, dan membukakan
pintu untuk Della.
Della keluar dengan terhuyung-huyung, lalu mereka berjalan ke
sisi pengemudi mobil yang ringsek itu."Ayo, kita lihat siapa sebenarnya orang itu," kata Della.
Dipegangnya pegangan pintu mobil Taurus itu dan menariknya hingga
terbuka.
Mobil itu kosong.BAB 12
"JADI siapa yang ada dalam mobil itu?" tanya Maia. "Siapa
yang mengejar kalian?"
"Mana aku tahu," sahut Della sambil angkat bahu.
Hari itu Senin siang, dan mereka tengah bersandar di tembok
berubin kuning di luar pintu kantor Mr. Abner. Sekolah bubar sepuluh
menit yang lalu dan koridor sudah hampir kosong.
Della baru saja menceritakan kejadian menakutkan pada Jumat
malam lalu pada Maia, anggota Outdoors Club pertama yang
ditemuinya. Sebetulnya ia enggan membicarakannya, tapi ia harus
menceritakannya pada seseorang. Kini ia menyesal karena Maia
tampak pucat dan terguncang.
"Kau tak tahu siapa yang ada di mobil itu?" tanya Maia,
bingung.
"Tak ada orang di mobil itu," Della berbisik meskipun koridor
itu kosong.
"Maksudmu..."
"Pengemudinya pasti lari ke hutan sebelum kami sampai di
sana."
"Menakutkan sekali," komentar Maia. Ia menyandarkan kepala
ke tembok dan menutup mata. "Apakah menurutmu...""Teman pemuda yang mati itu? Mungkin," sahut Della. "Pasti
bukan anak sekolah atau semacam itu. Orang yang kita kenal tak akan
melakukan akrobat berbahaya seperti itu."
"Tapi kenapa dia ingin..." Maia berhenti bicara ketika Ricky
muncul di sebelah mereka.
"Ngomongin aku lagi, ya?" katanya seraya merangkul mereka
berdua dengan kedua tangannya yang gemuk. "Sori deh. Kalian
berdua tidak bisa memiliki diriku. Kalian mesti rebutan."
Ricky tertawa, berlalu menuju kelas. Maia mengerutkan
dahinya karena jijik. Mereka mendengar Ricky menyapa Suki, Gary,
dan Pete.
"Dia lumayan kok," kata Della.
"Lumayan seperti apa? Lumayan seperti penyakit pes?" teriak
Maia. Lalu wajahnya kembali prihatin. "Kalian tidak apa-apa? Kalian
tidak luka atau semacam itu?"
"Tidak," Della meyakinkan Maia. "Pete dan aku baik-baik saja.
Cuma agak takut. Lalu kami pulang, Pete menjalankan mobil sangat
pelan." Diayunkannya tasnya dari tangan yang satu ke tangan lainnya
sambil bertumpu pada satu kaki. "Aku belum bisa tidur nyenyak.
Setiap kali tertidur, aku melihat lampu besar dan aku mimpi dikejar-
kejar lagi."
"Mengerikan," kata Maia sambil geleng-geleng dengan sedih.
"Aku juga bermimpi buruk. Kita telah berbuat salah. Coba kita tidak
pergi dan tinggal di rumah... Uh-oh. Mr. Abner datang."
"Hai, anak-anak. Maaf saya terlambat," sapanya dari ujung
koridor. Mr. Abner berjalan cepat ke arah mereka, sepatu bot koboi
kulit cokelatnya berdetak keras di lantai. Dengan jeans ketat dankemeja flanel kotak-kotak merah-hitam, ia lebih mirip koboi bertubuh
kurus tinggi daripada seorang guru. Tinggal tambah bandana di leher,
jadi deh, pikir Della.
"Apa yang kalian bicarakan? Tampaknya serius?" tanyanya.
"Tidak banyak," jawab Maia cepat, pipinya merah.
"Apa kami kelihatan serius?" tanya Della menggoda. "Itu pasti
untuk pertama kalinya, ya kan?"
Mr. Abner mengikuti mereka masuk kelas. Mereka duduk di
deretan depan. Pete tersenyum pada Della. Suki menepuk-nepuk
tangan Gary.
Mr. Abner menarik tirai jendela ke bawah, menghalangi sinar
matahari cerah yang menerangi mejanya. "Hari yang indah,"
komentarnya. "Sayang, kita di dalam dan tidak bisa menikmatinya."
"Saya tidak mau melewatkannya," kata Ricky. "Jadi saya bolos
mata pelajaran pagi!" Ricky tertawa keras sehingga Mr. Abner tahu ia
cuma bercanda.
Mr. Abner memaksa tersenyum. Lalu ia duduk di bagian depan
mejanya, menyilangkan kaki, menunduk, menatap sepatu bot
koboinya. "Saya sudah kembali," katanya. "Kembali saya minta maaf
karena harus menunda acara berkemah itu. Saya tahu kalian telah
kerja keras menyiapkan acara itu. Saya juga tahu betapa kalian
menanti-nantikannya."
Della menggeser duduknya dengan gelisah. Ditarik-tariknya
seuntai rambut gelapnya yang panjang, kebiasaan yang dilakukannya
bila ia gelisah. Della sadar ia sering berbuat begitu akhir-akhir ini.
Yah, memang ada banyak alasan yang membuatnya gelisah.Kini ia kuatir kalau-kalau ada di antara mereka yang mengaku
bahwa mereka pergi tanpa Mr. Abner. Sudahlah, Mr. Abner, jangan
membicarakan soal itu lagi, pikirnya. Ini sangat berbahaya. Tentu saja
tidak ada yang berniat mengaku. Tapi bagaimana jika di antara
mereka kelepasan...
"... masalah keluarga ini. Saya yakin kalian tahu apa
maksudnya," kata Mr. Abner. Della sadar ia tidak mendengarkan kata-
katanya.
Mr. Abner menyilangkan kakinya. "Bagaimanapun, saya sudah
kembali," katanya sambil tersenyum, "dan saya punya berita sangat
bagus buat kalian."
Setiap anak mendengarkan dengan sungguh-sungguh sekarang.
"Saya telah menjadwal ulang acara berkemah di Fear Island
untuk Sabtu yang akan datang," kata Mr. Abner. Dicondongkannya
tubuhnya dengan penuh harap, menunggu reaksi gembira murid-
muridnya menanggapi pengumuman itu. Senyumnya segera memudar
ketika tak seorang pun bicara.
"Oh. Bagus sekali!" teriak Della akhirnya, berharap suaranya
kedengaran sungguh-sungguh.
Teror yang mereka alami dua minggu terakhir ini telah
membuat mereka lupa bahwa Mr. Abner dengan senang hati akan
menjadwal ulang acara itu.
"Yeah. Luar biasa," kata Ricky, nadanya tidak meyakinkan.
"Akhir pekan ini? Aduh, saya tak tahu apakah bisa," kata Maia.
"Rasanya keluarga saya mau pergi ke utara. Mengunjungi... uh...
kerabat.""Yeah. Keluarga saya juga," kata Gary. "Maksud saya... tidak
ke utara. Tapi saya yakin kami punya rencana, Mr. Abner."
Penasihat mereka tampak kecewa. "Saya tahu kalian kecewa
sebelumnya. Jadi saya mengesampingkan acara saya sendiri." Ia
menatap jendela tapi tidak dapat melihat ke luar karena ia telah
menutup tirainya. "Saya akui saya sedikit terkejut dengan reaksi
kalian," katanya seraya menggaruk pipi kirinya. "Atau tepatnya, reaksi
kalian yang kurang gembira. Ini Outdoors Club, kan? Dan kalian telah
mengejar-ngejarku sepanjang musim dingin untuk mengorganisir
acara berkemah itu, kan?"
"Kami tetap senang dengan acara itu," kata Gary. "Sungguh."
"Barang-barang saya masih dipak dan siap di bawa," tambah
Della.
Ayo, semua, pikirnya. Semangat sedikit dong. Kalau tidak Mr.
Abner bisa curiga. Jangan sampai ia bertanya kenapa tidak ada yang
mau ke Fear Island. Jangan sampai.
"Saya masih ingin pergi," kata Suki, yang tadi diam dan
termenung sepanjang waktu. "Tapi saya juga harus memeriksa apa
rencana saya akhir pekan ini." Ia memandang Gary, seolah-olah
mengharapkan cowok itu membelanya atau mengatakan sesuatu untuk
menolongnya.
Gary membalas pandangannya dengan gelisah. Lalu ia
berpaling pada Mr. Abner dan berkata, "Mungkin kita harus
mengadakan pertemuan lagi minggu ini. Hari Rabu atau hari lain. Saat
itulah kita semua tahu apa kita punya acara atau tidak."
"Yah, saya pikir lebih baik begitu," kata Mr. Abner tanpa
menyembunyikan kekecewaannya. "Harus saya katakan, saya kurangterkesan dengan tanggapan dingin kalian. Apa kah terjadi,sesuatu
yang tidak saya tahu?"
Punggung Della jadi merinding. Ia memandang Maia, yang
menunduk sambil memegang sisi kursinya kuat-kuat.
"Ah, ini kan cuma demam musim semi," kata Gary sambil
nyengir meyakinkan ke arah Mr. Abner.
"Kami semua kecapekan setelah akhir pekan kemarin. Saya
tahu saya banyak berpesta. Terlalu banyak," kata Suki.
Setiap orang tertawa gelisah.
"Kami tetap menantikan acara itu," kata Pete.
Kami menantikannya seperti menantikan ulangan matematika,
pikir Della. Tidak mungkin di antara kami kembali ke Fear Island.
Kecuali jika kami jujur pada Mr. Abner. Ia bukan orang jahat. Tapi
tetap saja ia seorang guru. Kami tidak mungkin menjelaskan
semuanya padanya.
"Oke, kalau begitu," kata Mr. Abner, mengangkat bahu tanda
menyerah. Ia cepat-cepat berdiri. "Kita setuju. Kita akan ketemu lagi
setelah jam sekolah hari Rabu, dan kalian bisa memberitahu saya
apakah kalian dapat menyelipkan acara berkemah itu di antara
kesibukan kalian."
Ia berdiri, mengumpulkan kertas-kertas yang ada di mejanya,
lalu berjalan cepat keluar kelas.
Segera setelah mereka yakin Mr. Abner sudah pergi, Gary
melompat berdiri, maju ke depan kelas dan meminta yang lain tetap
duduk di tempat masing-masing. "Kita harus bicara," katanya.
Matanya gelisah memandang pintu. "Kita harus bilang apa padanya?""Yeah. Bagaimana kita bisa bebas dari acara berkemah yang
konyol ini?" tanya Suki marah. "Yang pasti aku tidak mau lagi
berkemah."
"Setuju!" teriak Ricky.
Gary memberi tanda padanya untuk merendahkan suaranya.
"Aku yakin kita semua punya perasaan yang sama," katanya. "Jadi
kita harus mencari tahu..."
Ada suara berisik di koridor, suara seseorang membuka loker.
"Lebih baik kita tidak bicara di sini," saran Della.
"Yuk, kita ke lapangan parkir," usul Gary.
"Aku cuma punya beberapa menit," kata Maia, melihat jamnya.
"Aku bilang pada Mom aku akan pulang jam empat."
Mereka bergegas ke pintu samping, lalu bergerombol di
lapangan parkir di belakang gedung sekolah. Hanya ada dua mobil di
sana. Lainnya sudah pulang. Di lapangan olah raga di sebelah
lapangan tenis, anggota tim bisbol Shadyside tengah melakukan
senam pemanasan.
"Kita harus mengelak," usul Pete sementara mereka bersandar
pada pagar besi tinggi yang memisahkan lapangan parkir dari


Fear Street Cukup Satu Malam The Overnight di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lapangan olah raga. "Sekolah akan libur empat atau lima minggu lagi.
Jika kita semua sibuk setiap akhir pekan, kita tidak bisa ikut
berkemah."
"Mungkin kita harus menjelaskan semua yang terjadi pada Mr.
Abner," usul Gary. "Kupikir ada baiknya bila kita bercerita pada
seorang dewasa. Menurutku dia tidak akan lapor ke polisi atau hal-hal
semacam itu.""Tidak!" Maia segera memprotes. "Ini rahasia kita. Kita harus
tetap menjaganya. Kita sudah bersumpah, ingat?"
Teman-teman lainnya segera membenarkan. Mereka tidak
membicarakan apa yang akan Mr. Abner lakukan jika ia tahu kejadian
sebenarnya.
"Kita bisa menghalanginya," kata Suki yakin. "Kita tinggal
meyakinkan bahwa cerita kita..."
"Hei, aku jadi ingat," sela Ricky. Ja menoleh pada Della dan
menyodok bahunya dengan jarinya. "Pistol ZAP-ku. Waktu aku
pulang tinggal 5 pistol. Kau belum mengembalikan pistolmu. Bisa
kaubawa ke rumahku malam ini?"
"Oh, astaga!" Della menahan napas sambil berpegangan pada
pagar. Sekujur tubuhnya tiba-tiba terasa dingin.
"Tidak bisa malam ini? Kalau begitu, bisa kaubawa ke sekolah
besok?" tanya Ricky. Ia tidak melihat ekspresi ketakutan di wajah
Della.
"Aku?aku meninggalkan pistol itu."
"Apa?"
"Aku membawa pistol itu ke jurang. Lalu orang itu... dia...
merampasnya dan..." Digelengkannya kepalanya keras-keras, seolah-
olah hendak menyingkirkan apa yang ada dalam ingatannya. Ia
menatap Ricky. "Aku meninggalkan pistol itu di dekat mayat. Di Fear
Island."
"Tidak! Tidak mungkin!" teriak Ricky. Ia memukulkan tinjunya
ke pagar, menimbulkan bunyi berdencing. Beberapa pemain bisbol
menoleh ke arah mereka.
"Ssst. Jangan keras-keras, Ricky," Gary mengingatkan."Tapi, pistolku! Maksudku, kau tidak boleh meninggalkannya
di sana!" ia berteriak pada Della, tanpa memedulikan Gary. "Jika
polisi menemukan mayat itu, mereka juga akan menemukan pistolku."
"Mereka takkan tahu itu milikmu, Schorr," kata Suki sambil
memandangnya dengan sebal.
"Setiap orang tahu aku suka sekali main perang-perangan
ZAP," kata Ricky marah. Kini ia berpaling dan berteriak ke arah Suki.
"Setiap orang tahu aku satu-satunya di sekolah yang membawa-bawa
pistol ZAP. Polisi tinggal menanyai anak-anak Shadyside, siapa yang
punya pistol ZAP dan mereka akan langsung datang ke Ricky Schorr!
Dan kau tahu..."
Gary menariknya, menjauhkannya dari Suki. "Tenang, man."
Ricky melepaskan diri dari pegangan Gary. "Tahu tidak, aku
tidak mau disalahkan atas kematian pemuda itu. Jika polisi datang
padaku, aku akan menceritakan pada mereka tentang kalian semua."
"Dasar, kau brengsek..." Mata Suki membelalak penuh
kebencian.
Gary segera melangkah, berdiri di antara keduanya.
"Tunggu! Stop! Berhenti semua!" teriak Della. Mereka menoleh
padanya. "Ricky betul. Semua ini tanggung jawabku."
"Tunggu, Della...," Pete mulai bicara, tapi Della maju dan
menutupkan sebelah tangannya ke mulut Pete, menyuruhnya diam.
"Pistol itu tanggung jawabku, aku yang meninggalkannya di
sana. Jadi aku tidak punya pilihan. Aku akan kembali... kembali ke
Fear Island... dan mengambil pistol itu, Ricky."
"Well, oke," kata Ricky, masih melotot pada Suki."Hei! Tunggu!" teriak Pete. "Kau tidak bisa kembali ke sana
sendirian, Della. Aku ikut."
"Terima kasih," kata Della pelan, tersenyum padanya.
"Mungkin kita semua harus ikut," kata Gary tiba-tiba.
"Apa?" teriak Maia. Wajahnya kelihatan amat bingung.
"Yeah. Mungkin kita harus ikut berkemah bersama Mr. Abner.
Dengan begitu Della bisa menyelinap dan mengambil kembali pistol
itu. Bagaimanapun kita semua terlibat."
"Lagi pula jika kita semua pergi, acaranya takkan terlalu
menyedihkan," tambah Pete.
"Yah... menurutku...," kata Suki sambil pikir-pikir. "Seandainya
ada kejadian buruk lagi, Abner ada di sana. Dia dapat menginjak
orang asing mana pun dengan sepatu bot koboinya yang jeleeek itu."
Semua tertawa. Kecuali Maia.
"Tapi?tapi apa yang akan kita lakukan jika teman pemuda itu
ada di sana?" tanya Maia. Ia menunduk sambil berpegangan pada
pagar.
"Justru itu yang kuharapkan," kata Gary, wajahnya mengeras
karena marah. "Aku muak dengan urusan bodoh ini. Aku ingin
memukul orang itu. Ingin sekali."
Della ragu-ragu. Ia tidak suka jika Gary mulai main keras
begitu. "Sesungguhnya kalian tidak harus ikut," katanya, suaranya
gemetar.
"Kita semua terlibat," kilah Gary. "Tentu saja kita semua ikut.
Betul, kan?"Semua, kecuali Maia, bergumam setuju. Akhirnya Maia
berkata, "Kurasa acara berkemah kita nanti tidak bisa lebih buruk dari
yang kemarin, bukan?"BAB 13
MEREKA berangkat menyeberang danau dengan tiga kano?
Mr. Abner dan perlengkapan dalam satu kano, sedang anak-anak
bertiga dalam setiap kano. Cuaca saat itu tidak begitu bagus. Awan-
awan tinggi melayang menutupi matahari, dan baik langit maupun air
danau tampak kelabu. Kabut tipis menghalangi pemandangan ke
depan.
Tak seorang pun bicara. Hanya suara dayung berkecipak
berirama di air dan bunyi berkaok sejenis bebek yang terbang di atas
mereka yang memecah keheningan.
Della mencondongkan tubuh, mengamati Pete yang duduk di
depan Maia di bagian depan kano. Disamakannya pukulan dayungnya
dengan cowok itu. Kali ini ombaknya lebih besar, diembus angin yang
hangat namun bertiup keras, dan lebih sulit membuat kano-kano itu
tetap bergerak maju.
"Ini film bisu, atau apa?" teriak Mr. Abner dari kanonya,
beberapa meter di depan mereka. "Bagaimana kalau kita bikin suara,
anak-anak? Ada lagu yang bisa kita nyanyikan?"
"Tidak!" Ricky, Gary, dan Suki menjawab bersamaan.
"Masih terlalu pagi untuk bernyanyi," tambah Suki."Apa ada yang bilang kalian suka tertawa?" tanya penasihat
mereka sambil mendayung lebih keras melawan arus.
"Tidak," jawab Gary. "Tidak ada."
"Ya, mereka betul!" Mr. Abner menimpali.
Semua anak tertawa setengah hati.
"Rasanya sukar dipercaya kita kembali ke pulau menyeramkan
itu," gumam Maia.
"Maia?ssst," Della mengingatkan. "Angin bisa membawa
suaramu. Kau kan tahu kenapa kita harus kembali. Kita coba saja
melakukan yang terbaik."
Maia cemberut, memejamkan mata, dan menyelipkan kedua
tangan di bawah sweternya supaya hangat.
Gerimis mulai turun. Langit abu-abu semakin gelap. Kabut
yang semakin tebal membuat segalanya tampak mengerikan dan
mengancam.
Sempurna, pikir Della. Suasana seperti ini tepat sekali untuk
kembali ke Fear Island, kembali ke tempat... pembunuhan.
Berhenti berpikir seperti itu, Della mem bentak diri sendiri. Itu
bukan pembunuhan. Itu kecelakaan. Dalam pikirannya terbayang
mayat yang terbaring di sana, di bawah daun-daun cokelat yang
berbunyi gemeresik. Dibayangkannya seseorang?teman pemuda
yang terbunuh itu?datang ke sana, menarik tengkorak-tengkorak
perak dari kalung di leher mayat itu. Dibayangkannya pistol plastik
ZAP tergeletak di samping mayat itu.
Beranikah ia kembali ke jurang dan mendapatkan kembali pistol
itu?Ya. Ia tidak punya pilihan. Ia tidak bisa meninggalkan pistol itu
di sana sampai ditemukan polisi.
Dalam benaknya kembali muncul bayangan mayat itu, di bawah
daun-daun, membusuk, membusuk, membusuk. Haruskah ia
melihatnya nanti?
Tidak. Ia cuma akan pengambil pistol itu, lalu lari.
Mungkin Pete akan menemaninya. Ya, mungkin ia mau.
Dipandangnya Pete yang tengah mendayung di bagian depan
kano. Rambut gelapnya bergerak ditiup angin yang berembus
kencang. Della sadar dirinya mulai menyukai cowok itu. Ketika ia tiba
di danau satu jam sebelumnya, dan melihat Gary datang bersama Suki,
perasaannya biasa-biasa saja. Ia tidak merasa terusik. Ia menatap
Gary, dan ia tidak lagi merasakan kepedihan itu. Tidak ada lagi rasa
sesal "mengapa kita tidak bersama." Kini baginya Gary hanya salah
satu cowok di sekolah. Dan ia merasa senang.
Hujan berhenti dan awan gelap sedikit menipis ketika mereka
keluar dari kano dan menariknya ke pantai berbatu. Seluruh pulau itu
tampak seperti bayangan kelabu?pepohonan, bukit pasir, pantai.
Della merasa dirinya melangkah masuk ke film hitam-putih.
"Tarik kano-kano itu ke dekat pepohonan," perintah Mr. Abner
tanpa memperhatikan bahwa kano-kano itu sudah ada di sana.
Kami sebaiknya lebih hati-hati, pikir Della. Jangan sampai
kelihatan bahwa kami sudah pernah kemari.
"Apa seluruh pulau ini penuh dengan hutan lebat?" tanyanya.
"Saya belum pernah ke sini sejak kecil."
"Setahu saya begitu," sahut Mr. Abner seraya menyentak
kanonya yang berisi tenda dan perlengkapan lain. "Saya belum pernahke bagian lain pulau ini. Tahukah kalian ada apa saja di sana?"
Ditinggalkannya kano itu. "Hei, ide bagus. Mari kita pergi ke sisi lain
pulau ini. Pagi ini baik untuk jalan-jalan!"
"Oh, tidak," Suki mengerang.
Anak-anak yang lain juga tidak menunjukkan semangat.
"Bukankah kita harus mendirikan tenda, mencari kayu bakar dan
kebutuhan lain dulu?" tanya Ricky penuh harap.
"Tinggalkan saja semuanya di kano," kata Mr. Abner,
mengabaikan keengganan mereka. "Nanti saja kita kerjakan, setelah
kita kembali. Ayo, letakkan semuanya dan ambil ransel kalian.
Perjalanannya tidak jauh. Hanya dua atau tiga jam, paling lama."
Ia meraih ransel birunya dan mengayunkannya ke bahu sambil
tersenyum senang. Della dan teman-temannya tahu tidak ada gunanya
menggerutu. Mereka akan hiking ke bagian lain pulau itu.
"Hari baik untuk hiking," kata Pete, berjalan di sebelahnya.
Senyumnya mengejek. "Bagaimana keadaanmu?"
"Aku? Baik-baik saja, kurasa. Aku tentu saja berharap akhir
pekan ini sudah berlalu." Della mengambil ranselnya. Pete
membantunya memegang ransel itu sementara ia memasukkan tangan
ke talinya.
"Aku juga berharap begitu," keluh Pete. Gerimis turun lagi,
memang tidak bisa dibilang hujan karena hanya berupa kabut tipis
yang membuat semua terasa basah, bahkan udara yang mereka hirup.
"Aku akan menemanimu mengambil pistol ZAP Mungkin kita bisa
menyelinap sewaktu hiking."Della menengadah dan melihat Mr. Abner menatap mereka.
"Mungkin kita lebih baik membicarakannya setelah hiking," bisik
Della.
"Kita pergi saat semua orang berkumpul di dekat api unggun."
"Terima kasih," bisik Della. "Aku hanya berharap kita tidak
hiking sepanjang akhir pekan. Tak kusangka, semangat Mr. Abner
ternyata boleh juga."
Mereka mengikuti yang lain menuju hutan. Della mengenakan
tutup kepala sweternya. Tutup kepala itu menutupi seluruh kepala dan
rambutnya, tapi tidak bisa menghilangkan rasa dingin atau rasa takut
yang semakin kuat menguasai dirinya. Ia tidak ingin kembali berjalan-
jalan di hutan ini. Sepatu kets-nya gemeresik ketika menginjak daun-
daun kering berwarna cokelat.
Tanah mendaki tajam. Sepatunya tergelincir di lumpur. Pijakan
semakin licin karena hujan. Della memegang tangan Pete sementara
cowok itu membantunya mendaki.
Hati-hati mereka melangkahi pohon tumbang, semakin jauh
masuk ke hutan. Tiba-tiba Mr. Abner berbalik, tergesa-gesa
menghampiri mereka sambil memegang kamera video yang menyala.
"Jangan melihat kamera," perintahnya seraya mengarahkan kamera
pada Della dan Pete. Ia berjalan mundur untuk tetap merekam gambar
mereka.
Della dan Pete berhenti dan memandang kamera.
"Tidak?jangan berhenti," teriaknya. "Tetap jalan. Bersikap
wajar saja."
"Mr. Abner, Anda sedang apa?" tanya Della."Saya merekam acara ini secara lengkap," jawabnya, masih
merekam gambar. "Waktu kita pulang, saya akan membuat kopi-nya
buat kalian simpan."
Aduh, kasihan sekali dia, pikir Della. Ia tidak tahu apa yang
sedang terjadi. Ia tidak tahu sama sekali bahwa ini bukan pengalaman
yang ingin kami kenang. Kami justru ingin sesegera mungkin
melupakan acara berkemah ini.
"Yah, setidaknya kalian bisa tersenyum," desak Mr. Abner,
berjalan mundur, tetap mengarahkan kameranya pada mereka. Della
dan Pete tersenyum sedikit. Lalu, tiba-tiba, hak sepatu Mr. Abner
tersangkut akar yang menyembul ke permukaan tanah. Langsung ia
terjengkang ke belakang, tersuruk di lumpur.
Keenam anggota klub itu berusaha keras tidak tertawa. Tapi
pemandangan Mr. Abner jatuh ke belakang, dengan kedua kaki
panjangnya terangkat ke atas sementara kamera video-nya terlempar
lepas dari tangannya, terlalu lucu. Mereka semua tertawa terbahak-
bahak. Mr. Abner bangkit pelan-pelan, ia tampak malu. Diperiksanya
kamera videonya, untuk memastikan benda itu tidak rusak.
"Peraturan hiking nomor satu: Jangan menghadap ke arah yang
berlawanan ketika berjalan," katanya sambil menyingkirkan daun-
daun basah dan lumpur dari bagian belakang jeans-nya. Lalu ia
menambahkan, "Saya lakukan itu supaya kalian bangun. Itu tadi tawa
pertama yang saya dengar sepanjang pagi ini."
Della sadar kata-kata Mr. Abner benar. Mereka belum berhasil
bersikap wajar. Tapi mau apa lagi? Tak seorang pun di antara mereka,
bahkan Ricky, mau bercanda. Della bahkan merasa sulit berpikirjernih. Ia terus memikirkan bagaimana caranya menyelinap pergi, dan
apa yang harus dilakukannya.
Mereka terus berjalan, rasanya seperti sudah berhari-hari,
berhenti sekali hanya untuk makan roti lapis yang mereka bawa.
Akhirnya, dengan perasaan lelah dan gelisah, mereka sampai di
tujuan. Bagian lain pulau itu, tidak mengejutkan, tampak sama seperti
bagian pulau yang sudah mereka jelajahi. Pohon-pohon pinus tumbuh
sampai ke bukit-bukit pasir rendah di pantai berbatu. Seandainya ada
daratan di seberang danau, mereka tidak dapat melihatnya. Awan-
awan rendah menghalangi pandangan.
"Indah," kata Della pada Pete, menatap danau. "Begitu kelabu
dan misterius. Seperti mimpi."
Pete menggeser ransel di bahunya. Ia mengerang. "Ransel ini
enteng sewaktu kita berangkat. Kok sekarang jadi berat banget."
Mr. Abner selesai merekam pemandangan pantai dan
menurunkan kameranya. "Agaknya awan-awan itu tidak akan pergi,"
katanya. Ia meletakkan telapak tangannya di dahi untuk melindungi
matanya yang silau.
"Apa yang kita lakukan sekarang?" tanya Ricky kesal.
"Kita kembali, tentu saja," jawab Mr. Abner, masih menatap ke
seberang danau.
"Maksud Anda, kita harus berjalan kembali lewat hutan?" keluh
Maia.


Fear Street Cukup Satu Malam The Overnight di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau mau saya bawa mobil ke sini?" tanya Mr. Abner tertawa.
"Begini, kita kembali lewat pantai. Bukannya menembus hutan, tapi
kita berjalan melingkar."Gagasan itu tampaknya membuat setiap orang senang. Tapi
ketika mereka sampai di tempat penyimpanan kano dan perlengkapan,
hari sudah sore, sepatu kets mereka basah, mereka kedinginan, dan
kaki mereka sakit karena lelah berjalan di pasir.
Ricky menjatuhkan diri ke salah satu kano. Della dan Maia
berlutut di atas pasir dingin yang basah dan berkerikil.
"Ah, perjalanan yang menyenangkan!" teriak penasihat mereka,
tersenyum bahagia sementara ia dengan hati-hati mengemas kembali
kamera videonya. "Hei?jangan duduk, anak-anak. Waktu bersenang-
senang sudah lewat. Sekarang waktu kerja!"
Dengan merengut dan menggerutu, mereka membawa tenda dan
perlengkapan ke tempat terbuka di seberang barisan pohon. Della
sadar mereka berada tidak jauh dari lokasi kemah yang dulu, sekitar
sembilan meter lebih jauh masuk ke pepohonan.
Setelah tenda-tenda berdiri, Mr. Abner menyuruh mereka
mencari kayu bakar. "Cari kayu yang kering," perintahnya.
"Semuanya basah," bentak Suki. "Di mana kita bisa
menemukan kayu kering?"
"Rasanya aku punya di rumah," Ricky menawarkan. "Aku akan
pulang mengambilnya."
"Ricky...," tegur Mr. Abner tegas.
"Sungguh kok. Saya tidak keberatan," canda Ricky. "Saya akan
pergi mengambilnya dan segera kembali."
"Cari kayu di bawah daun-daun atau di bawah kayu lain," kata
Mr. Abner, mengabaikan ucapan Ricky. "Kayu itu lebih kering
daripada yang di tempat terbuka. Kayu lembap bisa dibakar. Hanya
butuh waktu sedikit lebih lama untuk membuatnya menyala."Mereka berenam berjalan berpencar. "Maia, tetaplah tinggal di
sini dan bantu saya membongkar persediaan makan malam," kata Mr.
Abner. Maia segera berbalik dan kembali ke tengah lokasi
perkemahan, wajahnya tampak lega. "Ambil kayu bakar banyak-
banyak," penasihat mereka berteriak. "Kayaknya malam ini akan
dingin dan suram."
"Soal dingin, mana aku tahu. Tapi soal suram, dia benar,"
gumam Suki pada Gary sambil melangkah bersama.
"Ayo, taruhan. Aku pasti bisa membuatmu ceria," Della
mendengar Gary bicara pada Suki.
"Hentikan, Gary. Lepaskan tanganmu!" didengarnya Suki
memprotes, tapi protesnya tidak meyakinkan.
Della melihat Pete melemparkan ranting-ranting basah ke tanah.
"Tidak ada yang kering," gumamnya. "Abner memang gila." Tiba-
tiba angin bertiup, menggoyangkan cabang-cabang pohon, dan
menerbangkan dedaunan ke segala arah.
"Ini hari paling panjang dalam hidupku," keluh Della.
"Perasaanmu akan lebih baik begitu kita..." suara Pete bergetar.
Ia memandang berkeliling. Tak tampak seorang pun. "Hei?ayo kita
pergi."
"Hah?"
"Ayo, kita ambil pistol Ricky. Sekarang. Selagi hari masih agak
terang."
Della ragu-ragu. Dirasakannya tenggorokannya tercekat dan
perutnya jadi terasa berat. "Kukira...""Abner sibuk dengan Maia di kemah. Dia takkan tahu. Kita
pergi, ambil pistol, lalu kembali ke sini. Paling-paling cuma butuh
beberapa menit."
"Oke," kata Della. Dikenakannya tutup kepala sweternya. "Ini
memang waktu yang tepat."
Mereka pergi menuju jurang.
"Hei, kalian mau ke mana?" Itu suara Abner.
Mereka berbalik, kaget melihatnya ada di hutan. "Kami mau,
uh..."
"Ayo, anak-anak," seru Mr. Abner marah sambil geleng-geleng
kepala. "Kalian tahu aturannya. Tidak boleh menipu."
"Tapi kami...," protes Della.
"Tentu saja," desak Abner, tertawa. "Kembali ke dekat kemah.
Kalian tidak perlu pergi jauh-jauh unttik mencari kayu."
"Oke," sahut Della dan Pete bersamaan. Mereka mengikuti Mr.
Abner ke lokasi kemah dan mulai mengumpulkan kayu bakar di
pinggiran hutan.
"Kita takkan bisa lolos," keluh Della.
"Ssst. Lihat." Pete menunjuk. Abner dan Maia pergi ke sisi lain
lahan terbuka itu. "Dia tidak bisa melihat kita. Ayo, kita coba lagi."
"Oke. Cepat," kata Della, matanya tidak lepas dari Mr. Abner.
"Kau ingat di mana tepatnya jurang itu?" tanya Pete. Tutup
kepala Della tersangkut di rambutnya. Pete membantu
membetulkannya. Tangannya terasa dingin ketika menyentuh dahi
Della.
"Aku... rasanya aku tahu."
"Kalau begitu, ayo berangkat," ajak Pete.Mereka bergegas menembus hutan.
Mereka berjalan tergesa-gesa, melewati tanah yang becek dan
licin. Pete mengulurkan tangan, meraih tangan Della. Tapi
dilepaskannya pegangannya ketika tiba-tiba terdengar jeritan.
Jeritan itu berasal dari tempat perkemahan, nyaring dan
menusuk telinga. Jerit penuh kengerian.
Della dengan segera mengenal suara itu. "Itu Maia!" teriaknya.BAB 14
JERITAN kedua membahana, seolah membelah pepohonan.
Jeritan minta tolong.
Della dan Pete sampai di lokasi kemah berbarengan, tepat
ketika Gary dan Suki muncul, tampak ketakutan dan bingung.
"Maia! Di mana kau?" panggil Della.
Ricky tergopoh-gopoh tiba di tempat terbuka itu, dan ia jatuh
terjerembap. Tangannya membawa setumpuk ranting. Dijatuhkannya
kayu-kayu itu di samping salah satu tenda. "Ribut-ribut apa sih itu?"
"Sebelah sini!" teriak Maia. Suaranya datang dari dekat tepi
hutan, di seberang tenda. "Tolong!!!"
Dengan jantung berdebar, Della berlari mengitari tenda, menuju
arah suara Maia. Teman-temannya segera mengikuti. Mereka
menemukan Maia tengah duduk bersimpuh di samping Mr. Abner,
yang terbaring telentang. Maia menopang kepala penasihat itu dengan
tangannya Ketika anak-anak lainnya semakin dekat, mereka melihat
mata Mr. Abner terpejam, mulutnya terbuka, darah mengalir dari
kepalanya.
"Maia... Mr. Abner... apa.."
"Dia pingsan," kata Maia. "Aku tak bisa menyadarkannya."
"Tapi siapa yang berbuat begini?""Kaulihat kejadian itu?"
"Apa dia jatuh? Apa dia... tertembak?"
Pete dan Gary berlutut di samping Maia. Gary meletakkan
tangan di dada Mr. Abner. "Detak jantungnya normal," katanya. "Apa
yang terjadi?"
"Dia... dipukul," jawab Maia, suaranya gemetar. "Dipukul
kepalanya. Aku lihat seseorang... seorang laki-laki... Dia lari ke
hutan." Ia memandang lurus ke arah hutan. "Ke sana."
"Seorang laki-laki?" teriak Della. "Apa kau melihat dengan
jelas?"
"Siapa dia?" tanya Gary.
"Aku tak tahu. Aku hanya melihat sekelebat," kata Maia.
"Seperti gambar samar yang gelap. Kurasa dia memakai jaket hitam."
Mr. Abner mengerang dan menggerakkan kepalanya, tapi
matanya tetap terpejam.
"Kita harus cari pertolongan," ujar Maia. Diletakkannya kepala
Mr. Abner pelan-pelan di tanah, lalu ia mundur. Lengan sweternya
bernoda darah merah tua. "Kurasa lukanya parah."
Della heran melihat betapa tenangnya Maia bertindak dalam
keadaan darurat seperti ini. Ia lebih kuat dari yang disangka orang,
pikir Della.
"Siapa yang melakukannya? Dan mengapa?" tanya Suki sambil
bertolak pinggang. Bukannya ketakutan, ia lebih tepat dibilang marah.
"Mungkin dia teman pemuda yang mati itu," kata Pete,
memandang Della. "Mungkin dia membuntuti kita kemari.""Dan sekarang hendak membunuh kita, satu demi satu," kata
Ricky. Ia menatap pepohonon, wajah bulatnya tiba-tiba tegang karena
takut.
"Diam, Schorr," bentak Suki. "Kau bisanya cuma bikin kacau
saja." Ebukulawas.blogspot.com
"Apa lagi yang lebih kacau dari ini?" tanya Maia lirih. Ia berlari
ke sisi lain tenda. Tak lama kemudian ia muncul lagi dengan
membawa kantong tidur yang masih tergulung, yang lalu
diselipkannya ke bawah kepala Mr. Abner. "Coba buka satu kantong
tidur lagi dan selimutkan ke tubuhnya," perintahnya.
Pete lari untuk mengambilnya.
"Kita tidak berdaya di sini," kata Della, menyatakan pikirannya.
"Kita tak dapat menolong Mr. Abner. Dan kita tak bisa berbuat apa-
apa untuk melindungi diri sendiri jika?jika pelaku pemukulan ini
datang lagi."
"Beberapa di antara kita harus kembali ke kota untuk cari
bantuan," kata Maia seraya membantu Pete menyelimuti Mr. Abner
dengan kantong tidur.
"Aku akan pergi!" teriak Ricky cepat.
"Tidak biasanya kau semangat begitu, Schorr," ejek Suki.
"Diam kau," bentak Ricky marah.
"Coba kalau berani melarangku," Suki membalas.
"Berhenti. Ayo, sudahlah," kata Gary kesal. "Kita punya
masalah darurat di sini."
"Dia banyak kehilangan darah," Maia memberitahu. Ia
menekankan saputangan ke kepala Mr. Abner, mencoba
menghentikan aliran darahnya. Upayanya sia-sia belaka."Oke. Kita pergi cari bantuan," Gary memutuskan. "Ayo,
Ricky, Suki. Kita pergi. Kalian bertiga tinggal di sini dan jaga Mr.
Abner."
Della memperhatikan ketiganya bergegas menuju kano. Tiba-
tiba Ricky berbalik. "Hei," ia berteriak, "pistol ZAP-ku. Bagaimana
dengan pistol ZAP-ku?"
"Akan kuambil sekarang juga," jawab Della. Ia menghela napas
dalam-dalam dan memandangi ketiga temannya sampai mereka
menghilang di balik pepohonan. "Aku tak punya pilihan," katanya
pada Pete. "Aku harus mendapatkan kembali pistol itu. Sebelum
mereka kembali bersama polisi."
"Oke. Aku akan menemanimu," kata Pete. Ia menunduk,
menatap Mr. Abner. "Kami akan kembali sesegera mungkin, Maia."
"Jangan!" teriak Maia, memegang tangan Pete. "Kau tak boleh
pergi!"
"Apa?"
"Kau tak bisa meninggalkanku sendirian."
"Tapi Maia...," kata Della.
"Tidak. Aku sungguh-sungguh. Itu tak adil. Bagaimana jika
orang itu kembali? Takkan ada yang menolongku. Kau tak bisa
meninggalkanku begitu saja. Tak bisa."
"Kau benar," kata Della pada Maia.
"Tapi aku tak mau..."
"Kita tak mau kembali dan menemukan Maia terluka juga,
bukan? Atau malah lebih buruk lagi. Kalau itu terjadi, kitalah yang
salah, Pete. Kau harus menemani Maia. Aku akan segera kembali.Aku akan langsung lari ke jurang, mengambil pistol itu, dan lari
kembali ke sini."
Pete melepaskan tangannya dari pegangan Maia. "Tidak. Aku
tidak akan membiarkan kau pergi sendiri."
"Tunggu," kata Della. Ia mengangkat peluit yang dikenakannya
di leher. "Lihat? Aku punya peluit. Bunyinya keras. Jika aku dalam
bahaya, aku akan meniupnya. Oke?"
"Peluit?" Pete tampak tidak yakin dengan rencana itu. Ia
menoleh pada Maia yang pucat dan gemetar di sampingnya, dan sadar
ia tidak punya pilihan lain kecuali membiarkan Della pergi sendirian.
"Aku akan segera kembali. Sungguh," desak Della. Ia berjinjit
dan mencium pipi Pete sekilas. Ciuman keberuntungan. Lalu ia
berbalik dan memaksa diri lari ke hutan.
"Tunggu?stop! Della!" Pete mengejarnya.
"Bawa ini." Ia mengulurkan senter logam yang besar. "Hari
semakin gelap."
Della mengambil benda itu, agak kaget karena beratnya.
Mereka masing-masing berbalik ke arah berlawanan. Della mendengar
Maia memanggil Pete, takut cowok itu berubah pikiran dan
meninggalkannya di sana.
Maia seperti anak kecil, pikir Della.
Lalu ia menentang diri sendiri. Maia benar. Ia punya alasan kuat
untuk merasa takut. Dan aku juga.
Dipegangnya senter itu kuat-kuat. Aku bisa menggunakannya
sebagai senjata, jika perlu, pikirnya.
Senjata?Apa-apaan ini? Apa aku sudah benar-benar gila? Apakah ini
benar-benar diriku, yang berjalan di hutan hendak mencari mayat,
untuk mengambil kembali pistol plastik brengsek itu? Sendirian di
hutan sementara seorang penjahat berkeliaran, seorang penjahat yang
memukul kepala Mr. Abner, dan sekarang mungkin mengikuti aku,
mengawasi aku, siap untuk...
Stop!
Berhenti berpikir, katanya pada diri sendiri. Jangan berpikir
apa-apa. Terus berjalan, terus berjalan sampai kau menemukan jurang
itu. Singkirkan semuanya dari benakmu. Pikiran-pikiran itu, tak ada
yang dapat membuatmu merasa lebih baik. Tak ada yang dapat
membuatmu merasa lebih aman.
Bagaimana dengan Pete? Aku akan coba memikirkannya.
Tapi dalam bayangannya tampak kepala Pete dipukul. Tampak
seorang laki-laki berjaket hitam berlari di antara pepohonan. Tampak
Pete berbaring di tanah?seperti Mr. Abner, darah menetes dari
kepalanya.
Darah, darah di tanah. Darah di mana-mana.
Tidak. Aku tidak dapat memikirkan Pete.
Aku akan memikirkan rumah, yang aman, hangat, tenang.
Tapi teman pemuda yang mati itu ada di teras depan,
meninggalkan amplop berisi tengkorak perak dan pesan yang
menakutkan. Tepat di teras rumahku. Berarti ia telah masuk ke
rumahku. Ia tahu di mana aku tinggal. Ia mengenalku. Ia...
Apakah ia sekarang sedang mengawasiku? Apakah ia sedang
mengawasiku berjalan di hutan? Apakah ia sedang menungguku
tersandung, menungguku jatuh, sehingga ia dapat menyerang?Apakah ia sedang menunggu, siap membalas dendam, karena
aku telah membunuh temannya, menguburnya dengan daun-daun, dan
melarikan diri?
Tidak!
Stop berpikir!
Della memandang berkeliling dan sadar ia tak tahu arah. Semua
tampak sama?pepohonan yang gemeresik, gundukan-gundukan
rumput cokelat, daun-daun mati yang mengambang dan bergerak-
gerak.
Apakah ia pernah ke sini sebelumnya? Apakah ia hanya
berjalan berputar-putar?
Tidak. Ini pasti arah yang benar. Ia ingat batu persegi besar di
dasar bukit rendah itu.
Ya. Ia sedang menuju jurang itu. Ia hampir sampai di sana.
Mungkin.
Yang harus dilakukannya hanyalah berkonsentrasi ke arah mana
ia pergi. Usir pikiran-pikiran lain dari kepalanya.
Tiba-tiba hari menjadi lebih gelap, seolah ada orang mematikan
beberapa lampu. Dinyalakannya senter, diarahkannya sinar ke tanah di
depannya.


Fear Street Cukup Satu Malam The Overnight di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ya. Itu lebih baik. Paling tidak kini ia bisa melihat tanah,
melihat cabang-cabang yang jatuh sehingga ia bisa melangkahinya,
menghindari lubang, dan menjauhi semak berduri.
Kurasa letak jurang itu tepat di atas sini, pikirnya.
Pandangannya melewati sinar senter, mencoba menembus pepohonan.
Ia sedang mendaki lereng curam sekarang. Ya. Ia ingat lereng ini. Ia
ingat betapa lereng ini tiba-tiba menjadi curam, sangat curam dan...Eh, sinar apa itu?
Mendadak ia melihat sinar putih melintas di sebelah kanan, di
antara pepohonan.
Apakah itu tadi sinar senterku? Pantulan sinar senterku?
Bukan. Ia melihatnya lagi?cahaya sempit, terpotong cabang
pohon.
Otaknya berputar cepat, dan dimatikannya senter. Jangan
sampai ada yang tahu bahwa aku di sini.
Punggungnya terasa dingin. Napasnya jadi berat.
Siapa itu tadi?
Sinar itu menghilang, lalu muncul kembali beberapa meter
darinya, beberapa meter lebih dekat. Sinar itu berkelap-kelip,
mengambang, seolah tidak terpengaruh gravitasi bumi, seolah
disebarkan oleh beberapa kunang-kunang raksasa yang melayang-
layang di sela-sela pepohonan.
Mungkin itu Pete.
Ya, tentu saja. Itu Pete. Ia berhasil menenangkan Maia dan
menyusul kemari.
Apakah aku sebaiknya memanggil?
Ya. Jangan. Ya. Tapi bagaimana jika itu bukan Pete?
Bagaimana jika itu orang jahat yang memukul Mr. Abner?
Tidak. Jangan memanggilnya.
Sinar itu bergerak mendekat.
"Pete?" Suara yang keluar dari mulutnya terdengar lirih
ketakutan. Kata itu keluar begitu saja. Ia tidak bermaksud
mengucapkannya. Tapi sudah telanjur, jadi ia mengulangi lagi.
"Pete?" Kali ini sedikit lebih keras.Sinar itu semakin dekat. Sekarang ia bisa mendengar suara
langkah kaki.
"Pete?"
Disusul suara batuk. Ia mendengar orang batuk.
Itu bukan Pete.
Kini orang itu mendekat ke arahnya, menghampirinya.
Della terpaku. Betapa bodohnya. Betapa bodohnya ia
memanggil, sehingga orang itu tahu di mana ia berada. Panggilannya
membawa orang itu datang tepat ke arahnya.
Tidak! Berhenti berpikir! Berhenti berpikir? dan cepatlah kau
lari.
Ia berbalik dan berlari. Ia tidak memikirkan apa pun sekarang.
Pikirannya kosong, jernih. Semua pikiran terusir oleh rasa takut.
Ia terus berlari, sementara gemeresik langkah kaki terdengar
semakin cepat di belakangnya. Ia berlari, berlari di atas dedaunan
cokelat yang licin, melintasi cabang dan ranting patah, menembus
semak berduri berupa rerumputan tinggi dan berserabut.
Dipegangnya senternya erat-erat, tapi tidak dinyalakannya. Ia
tidak punya waktu. Dan ia juga tidak memerlukannya. Ia terus berlari
sementara rasa takut menguasai dirinya, menuntunnya menembus
kegelapan.
Namun cahaya di belakangnya melayang semakin dekat,
semakin dekat.
Kini ia mendaki lereng yang curam, mendaki menjauhi cahaya
itu, menuju...Sebelum ia sadar, ia sudah mendekati puncak lereng. Bahkan
tahu-tahu ia sudah berada di puncak. Tapi ia terus berlari, tidak
melihat pohon tumbang menghadang di depannya.
Ia tersandung jatuh. Tak ada jeritan, tak ada suara, ia terlalu
takut hingga tak sanggup berteriak. Tapi ia tahu di mana ia berada. Ia
tahu ke mana ia jatuh.
Ia telah menemukan jurang itu. Dan ketika ia jatuh ke depan,
hampir terguling ke pinggir, dilihatnya tumpukan daun cokelat yang
mengerikan itu?dan ia pun jatuh tepat di atasnya.BAB 15
DELLA jatuh tepat di atas mayat itu.
Aku mau muntah, pikirnya. Gelombang rasa mual merayap dari
perutnya. Ditariknya napas dalam-dalam dan ditahannya, menunggu
rasa mual itu lenyap.
Pusing. Aku sangat pusing.
Dengan bantuan lengannya, ia mencoba mengangkat tubuh, tapi
tangannya malah tergelincir di dedaunan basah.
Aku berada tepat di atas mayat itu, tepat di atas tubuh matinya
yang membusuk.
Dipaksanya dirinya berdiri. Kepalanya masih terasa pusing.
Ya, ampun, aku berbaring di atas orang mati, pikirnya.
Senter itu. Di mana senter itu?
Itu dia, Della. Pikirkan senter itu. Pikirkan bagaimana cara
menemukan pistol ZAP lalu keluar dari jurang ini. Jangan berpikir
tentang tumpukan daun itu. Jangan berpikir tentang tubuh yang
membusuk dan rusak. Jangan berpikir...
Tunggu. Tumpukan daun. Kok tumpukannya rata sekali.
Seingatnya waktu itu berupa gundukan.
Yah... mungkin banyak daun yang diterbangkan angin.Dengan hati-hati, ditendangnya daun-daun itu dengan sepatu
kets-nya.
Dedaunan itu berhamburan.
Ia menendang lagi, memeriksa lebih dalam tumpukan itu.
Tidak ada apa-apa kecuali dedaunan.
Terengah-engah, ia menginjak tumpukan daun itu. Sepatu kets-
nya tenggelam jauh sampai menyentuh... tanah!
Ditendangnya lagi daun-daun itu, lagi, lagi, hingga
berhamburan ke segala arah.
Tidak ada. Mayat itu hilang. Mayat pemuda itu tidak ada di
balik tumpukan itu.
Ada yang memindahkan mayat itu.
Della berdiri, matanya menatap daun-daun yang bertebaran.
Perasaannya jadi kacau. Ia lega karena ia tidak berbaring di atas mayat
membusuk. Tapi fakta bahwa mayat itu telah dipindahkan
membuatnya bingung.
Sambil geleng-geleng kepala?seolah dengan begitu pikirannya
jadi jernih?ia merunduk dan mencari pistol ZAP di antara daun-daun
itu. Ia mengais-ngais, seperti anjing yang sedang menggali tulang
hilang.
Namun ia tidak menemukan pistol itu. Ia bangkit berdiri dan
mulai meneliti seluruh tempat itu.
Tidak berhasil.
"Aku harus menemukannya," katanya keras-keras. "Harus."
Ia menyeret langkahnya ke setiap pelosok, tapi tetap tanpa hasil.
"Pistol itu harus ada di sini," katanya pada diri sendiri sambil
membungkuk, mati-matian mencari benda itu.Dan tiba-tiba tangannya membentur sesuatu yang keras.
Dengan kaget, diambilnya benda itu. Ternyata senternya.
Nah, benda ini harusnya bisa menolong, pikirnya.
Dinyalakannya senter itu. Tak ada cahaya yang memancar keluar.
Della menekan tombolnya lagi. Sia-sia.
Senter itu pasti rusak karena jatuh.
Dengan frustrasi, ia memukulkan senter itu ke kakinya.
"Aduh!"
Tenang. Jangan lepas kontrol.
Senter itu tetap tidak menyala.
Ia sudah hendak melempar benda itu ketika ia mendengar suara
batuk.
Tepat di belakangnya.
Ia berbalik.
Seseorang berdiri dalam kegelapan. Yang pertama dilihat Della
adalah sepatu bot hitam yang berlepotan lumpur. Lalu menyusul jeans
ketatnya.
Tatapan Della bergerak naik, dan tampak di hadapannya jaket
bomber kulit berwarna cokelat itu.
''TIDAK! TIDAK MUNGKIN!" Della menjerit setinggi langit,
sampai-sampai ia tidak mengenali suaranya sendiri. "KAU SUDAH
MATI! AKU TAHU KAU SUDAH MATI!"
Dengan geraman yang lebih mirip suara binatang, laki-laki itu
melompat dari sisi jurang, menyerbu Della dan mencengkeram
tenggorokannya dengan kedua tangannya.BAB 16
DELLA meronta, menjatuhkan diri ke belakang, dan menjauhi
laki-laki itu.
Dengan geraman seiring tarikan napasnya yang keras, laki-laki
itu melangkah mundur dan kembali menyerang Della.
Tanpa berpikir, bahkan tanpa sadar, Della mengangkat tangan.
Dan ketika laki-laki itu cukup dekat, Della memukulkan senternya
keras-keras ke kepala laki-laki itu.
Terdengar bunyi benturan keras. Logam beradu dengan tulang.
Senter itu tiba-tiba menyala, menyorotkan cahaya putih ke
tanah.
Della merasa bukan dirinya yang berbuat begitu. Tangan orang
lain yang memukul. Tangan orang lain yang memegang senter. Orang
lain yang meretakkan kepala laki-laki itu.
Tapi rasa takutnya betul-betul nyata. Ia dapat merasakannya
sekarang.
Ketakutan itu terasa pahit.
Ia jatuh berlutut di atas daun-daun kering.
Semua seolah berputar: pepohonan, tanah di bawahnya, laki-
laki yang terbaring diam di sebelahnya. Berputar-putar. Andai saja ia
bisa menyingkirkan rasa pahit dari lidahnya....Ia menunggu, dengan kepala tertunduk sambil menghela napas
dalam-dalam. Ia menunggu sampai semua yang berputar berhenti,
menunggu detak jantungnya mereda.
Setelah beberapa saat segalanya mulai membaik. Ia kembali
berdiri. Diangkatnya senter dan diarahkannya ke wajah laki-laki yang
pingsan itu.
"Ohhh!" Wajah itu tampak begitu pucat. Cahaya putih
menyinari mata yang tertutup, rambut pirang keriting, hidung yang
mancung, dan luka yang lurus panjang di pipinya.
Ini bukan pemuda yang sama.
Ia bukan cowok yang mati itu, bukan cowok yang didorongnya
ke jurang.
Della terus menyinari wajah itu sampai tangannya mulai
gemetar begitu hebat sehingga cahaya senternya tak bisa diam. Lalu ia
memalingkan muka, berpikir.
Ini pasti teman pemuda itu, pikir Della.
Tentu saja. Tentu saja ini temannya.
Lalu ia sadar yang ia inginkan hanyalah segera pergi dari
tempat ini.
Ia tidak lagi peduli dengan pistol ZAP Ricky, atau ke mana
mayat itu dipindahkan, atau teman pemuda itu, atau tentang apa pun.
Ia hanya ingin melarikan diri, kembali ke kemah, menjemput Pete dan
Maia, lalu meninggalkan Fear Island dan semua kejadian seram ini?
untuk selamanya.
Tanpa memandang lagi pemuda yang terbaring di tanah itu, ia
mengarahkan senter ke atas, ke bibir jurang yang curam berlumpur,
dan mulai mendaki. Karena licin, sulit sekali mendaki lereng jurangitu. Jadi ia menggunakan tangan, mendaki seperti binatang, berjuang
untuk tetap memegang senter sementara ia menarik tubuhnya naik.
Ketika ia berhasil sampai di puncak, lutut jeans-nya penuh
lumpur. Kakinya terasa dingin dan basah ketika ia berlari kembali ke
perkemahan. Tangannya lecet dan kaku karena lumpur basah.
Cabang-cabang pohon menampar mukanya. Duri besar
merobek baju hangatnya. Ia berteriak, bukan karena sakit melainkan
lebih karena kaget, tapi ia tidak memperlambat langkahnya.
"Aku harus kembali, harus kembali," katanya keras-keras, di
sela-sela napasnya yang terengah-engah.
Teman-temannya yang lain mungkin sudah kembali dari kota.
Mereka mungkin membawa polisi atau dokter atau seseorang.
Tidak jauh lagi. Tidak jauh lagi dan ia akan selamat.
"Ohhh!"
Ia terjungkal, tersandung cabang pohon yang jatuh ke tanah.
"Aku tidak apa-apa. Aku tidak apa-apa. Aku harus terus
berlari."
Segera ia bangkit. Tangan kirinya luka. Darah hangat mengalir
ke pergelangan tangannya.
Ia harus tetap berlari.
Pepohonan mulai jarang. Ia hampir sampai.
Lalu ia mendengar langkah kaki di belakang.
Teman pemuda itu?
Tidak. Ia tidak mungkin mengikutinya semudah itu, tidak
mungkin bisa mengejarnya secepat itu.
Itu pasti Pete, pikirnya.Segera setelah Gary, Suki, dan Ricky tiba dari kota, Pete pasti
pergi mencarinya.
Della memperlambat larinya, meraih peluit di lehernya, dan
meniupnya. Tak terdengar suara apa pun. Ia menggoyang-goyang
peluit itu. Tak ada bola kecil di dalamnya.
"Perlindungan yang baik," keluhnya, dan dengan muak
menjatuhkan peluit itu.
"Pete!" teriaknya. "Pete! Aku di sini! Aku baik-baik saja, Pete!
Aku di sini!"
Della berlari menghampiri langkah kaki yang didengarnya.
Sebuah kaki menjulur dari balik pohon, menghalangi
langkahnya. Della tersungkur jatuh. Ia menjerit kaget dan, dengan
ditopang tangan dan lututnya, mendarat di lumpur yang lembek.
Terdengar suara tawa.
Della segera menoleh.
Pemuda yang mati itu. Pemuda yang telah dibunuhnya.
"Kau sudah mati," kata Della. Ia masih terduduk di lumpur,
menengadah, menatap mata pemuda itu yang gelap dan memancarkan
kemarahan. "Kau sudah mati. Aku tahu kau sudah mati."
"Oke, kalau begitu. Aku ini hantu," kata pemuda itu pelan. Ia
mengangkat bahu dan keluar dari balik pohon. Ia memakai jaket
bomber kulit yang sama.
"Tapi... tidak mungkin! Denyut nadimu waktu itu sudah tidak
ada. Aku memeriksanya. Gary juga memeriksanya."
Laki-laki muda itu berdiri di dekatnya, wajah tampannya
menyeringai mengejek, tangannya berjaga-jaga kalau Della mencoba
melarikan diri. "Dari segi medis, tubuhku memang aneh," katanyalembut, tenang. "Aku tidak bohong. Denyut nadiku sangat samar.
Bahkan dokter pun susah menemukannya."
"Betulkah?" tanya Della lemah. Dengan cepat ia memandang ke
sekeliling, mencoba mencari rute terbaik untuk melarikan diri.
"Jadi selama ini kaulah pelakunya," kata Della. "Tapi kenapa?
Kenapa kau menakuti-nakuti kami? Kau mau balas dendam?"
"Balas dendam?" Cowok itu tertawa, tawanya pahit dan kering.
"Ucapanmu tolol banget."
"Kalau begitu, kenapa?" ulang Della.
Ia mengangkat bahu. "Kami tidak dapat apa-apa dari tukang
kebun tua itu. Tak satu sen pun. Kalau dia menyembunyikan uangnya,
kami pasti bisa menemukannya. Mengecewakan sekali. Jadi ketika
kau datang dan menguburkan aku, kami mendapat ide. Pertama, kami
ingin kau ketakutan. Maksudnya untuk membuat kau lemah, sehingga
kami lebih mudah memeras uang darimu dan orangtuamu yang baik
itu. Berapa banyak yang akan kaubayar untuk menyimpan rahasia
pembunuhan itu?pembunuhan terhadapku?"
Pemuda itu menendang batang pohon, tidak dapat menahan
amarah. "Orangtuamu punya banyak uang. Mereka mungkin mau
menyisihkan beberapa... agar kami tidak buka mulut bahwa anaknya


Fear Street Cukup Satu Malam The Overnight di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pembunuh."
"Tapi aku bukan pembunuh!" protes Della. "Kau tidak mati."
"Itu bisa diatur." Ia menyeringai.
"Kaukah yang mengendarai mobil Taurus hitam, di Old Mill
Road?""Itu temanku. Kami cuma main-main. Tapi kau membuatnya
sengsara. Temanku yang malang itu harus pulang jalan kaki lewat
hutan."
"Jadi tengkorak itu... pesan itu... semua untuk membuat kami
takut sehingga kami akan memberimu uang?"
Ia menyeringai. "Betul sekali. Yeah. Kami ingin bersenang-
senang dulu sedikit. Sebelum langsung ke sasaran."
Mereka saling tatap. Della telah melihat jalan setapak di antara
pepohonan. Seandainya ia bisa mendorong cowok itu jatuh sekali lagi,
ia bisa lari melalui jalan setapak itu.
Seolah-olah dapat membaca pikiran Della, cowok itu
menangkap kedua lengannya. "Kau bodoh," katanya, mendekatkan
wajahnya ke wajah Della. "Kenapa kau tidak periksa dulu, apakah aku
masih bernapas atau tidak?"
"Awww! Tanganku! Sakit nih!"
Bukannya melonggarkan, ia malah mempererat pegangannya.
"Kenapa?" tanyanya. "Kenapa kau tidak memeriksa apakah aku
masih bernapas atau tidak?"
"Aku?aku ketakutan," sahut Della, mencoba melepaskan diri,
mencoba membebaskan diri dari rasa sakit. "Aku terlalu takut. Aku
tidak bisa berpikir jernih. Semua berputar-putar. Aku tidak tahu apa
yang harus kulakukan."
"Itu tidak benar!" cowok itu berteriak ke wajah Della, matanya
liar, seolah ia jadi gila. Dilonggarkannya cengkeramannya. "Kau tidak
peduli." Ia tersenyum mengejek. "Kau tidak peduli apakah aku masih
bernapas atau tidak!"
"Bukan begitu!" protes Della."Diam!" Cowok itu melepaskan sebelah pegangannya, dan
menampar wajah Della.
"Tidak!"
"Diam! Diam! Diam!" Ia kalap.
Della berdiri terpaku, kepalanya tertunduk, pipinya berdenyut-
denyut sakit. Ia menunggu cowok itu tenang kembali. Cowok itu
masih memegang sebelah tangannya, wajahnya sangat dekat dengan
wajah Della, napasnya terasa panas.
Akhirnya ia melepaskan Della dan mundur selangkah.
"Aku tidak jahat lho. Beberapa cewek bilang aku cukup tampan.
Menurutmu gimana?"
Amarahnya sudah reda. Dan kini ia bermain-main, menggoda,
menguji Della.
Della tidak ingin mengatakan atau melakukan sesuatu yang bisa
memicu kemarahannya. Tapi jawaban apa yang tepat?
Seandainya ia bisa melarikan diri, ia yakin ia akan lolos. Lokasi
kemah itu sebenarnya tidak jauh lagi. Tapi kini serasa berada di
seberang dunia!
"Jadi gimana?" Cowok itu menunggu jawaban.
"Ya. Ya, kau memang tampan," jawab Della. Ia memalingkan
wajah, mencoba menghindari tatapan matanya yang membara. "Kau
sangat tampan."
"Katakan dengan sungguh-sungguh," perintahnya.
"Apa?"
"Kau dengar perintahku!" teriaknya. "Katakan dengan sungguh-
sungguh!""Aku sudah sungguh-sungguh," ujar Della pelan, melihat
kemarahan cowok itu muncul kembali.
"Nah, mungkin ini akan membuatmu lebih sungguh-sungguh."
Ia merogoh saku jaket, lalu mengeluarkan sesuatu dan mengangkatnya
ke dekat wajah Della.
Sepucuk pistol.
"Tidak!" jerit Della. Ia tidak bermaksud menjerit, tapi saat itu ia
sadar cowok itu hendak membunuhnya.
Rasa takut membuatnya beraksi. Della tiba-tiba menyentakkan
tubuh, siap berlari.
Tapi cowok itu cepat-cepat menangkapnya, mencengkeram
lengannya, dan memutar tubuh Della hingga menghadap padanya.
Mata gelap cowok itu liar karena marah. "Tidak!" jeritnya.
"Tidak! Tidak! Tidak! Kau seharusnya bersikap ramah! Apa kau tidak
tahu apa-apa?"
Diangkatnya pistol dan ditekannya larasnya ke pelipis Della.
"Tolong, jangan...," Della berhasil bicara, meski suaranya hanya
berupa bisikan.
"Aku sudah memberimu kesempatan!" jerit cowok itu.
Dan ia pun menarik pelatuknya.BAB 17
DELLA tidak sempat menjerit.
Pertama, ia sadar dirinya masih hidup. Lalu ia merasa cairan
mengalir di salah satu sisi wajahnya.
Cat. Cowok itu menembaknya dengan pistol ZAP.
Ia mengusap cairan itu. Ya. Cat kuning.
Cowok itu melepaskan Della. Ia tertawa, menunjuk sambil
geleng-geleng kepala. Tampang Della yang membeku ketakutan
membuatnya geli. Tawanya semakin keras, terbahak-bahak. Matanya
terpejam, jarinya terus menunjuk-nunjuk. Bagi Della itu tawa paling
kejam yang pernah didengarnya.
Ia memutar-mutar pistol ZAP dengan jemarinya dan
menembakkan cat ke udara. Tawanya semakin keras, melengking
nyaring. Matanya berair. Napasnya jadi megap-megap.
Ini dia, pikir Della. Inilah kesempatanku.
Secepat kilat ia berbalik dan lari. Ia sudah memilih arah. Tawa
cowok itu merupakan pengalih perhatian yang ia butuhkan. Della
sadar ia hanya punya waktu beberapa detik, tapi mungkin memang
sesingkat itulah waktu yang ia butuhkan.Ia bergerak cepat, seolah melayang di atas tanah. Sementara
berlari, kebebasan yang tiba- iba membuatnya merasa ringan. Ia punya
perasaan mengejutkan bahwa jika ia ingin terbang, ia pasti bisa.
Terbang jauh, Della. Terbang jauh.
Aku belum pernah lari secepat ini, pikirnya.
Ia terlonjak kaget ketika cowok itu menangkap pinggangnya
dan menjatuhkan tubuhnya ke tanah.
Della terpuruk, dan ia mengerang kesakitan ketika cowok itu
jatuh menimpanya. Sakitnya seperti salah satu tulang rusuknya retak.
Cowok itu bangkit perlahan, memandang Della. Seluruh
kegembiraan lenyap dari wajahnya. Seolah-olah tawanya tadi tidak
pernah ada. Kini wajahnya hanya memancarkan kemarahan.
Ia menarik Della dengan kasar dan keras-keras mendorongnya
ke belakang. "Kau seharusnya tidak berbuat begitu," katanya
terengah-engah. Ia menggeleng-geleng. "Jangan coba-coba."
Ia menunduk, mengamati pistol ZAP yang tergeletak di tanah.
Ia menjatuhkannya sebelum menangkap Della.
Della memegang pinggangnya yang sakit. Sakitnya mulai reda.
Mungkin tidak ada tulang yang patah.
"Aku juga punya senjata sungguhan," kata cowok itu lembut.
"Aku menggunakannya pada orang tua itu, si tukang kebun. Aku bisa
menggunakannya lagi sekarang."
"Jangan," Della memohon. Disekanya tanah basah yang
menempel di tangannya. Ia memang tidak melihat senjata sungguhan,
tapi lebih baik ia tidak coba-coba menantangnya.
"Aku bisa memakainya lagi," ulang cowok itu, matanya liar
karena marah. "Aku tidak punya masalah dengan senjata itu, jika ituyang diperlukan untuk berkomunikasi. Kau tahu, aku hanya ingin
berkomunikasi. Seharusnya tidak sesulit ini. Manusia dengan manusia.
Urusan semacam itu. Kau mengerti maksudku, bukan? Jadi kenapa
harus begitu sulit? Kenapa orang sulit memahami? Kenapa aku harus
menggunakan senjata? Kau tahu dari mana asalku, kan? Tampaknya
kau gadis yang cerdas. Kau mengerti maksudku, bukan?"
Ia berhenti berkata, seolah-olah menunggu jawaban.
Della membalas tatapannya. Ia tidak tahu harus berkata apa.
"Ya, aku tahu," akhirnya ia berkata.
Dasar sinting, pikir Della. Ia benar-benar aneh.
Della tiba-tiba ingin menjerit.
Aku terjebak bersama orang sinting. Apa saja bisa
dilakukannya. Apa saja!
"Apa yang akan kaulakukan?" pertanyaan itu terlontar begitu
saja.
Mata cowok itu berkedip, terkejut mendengar pertanyaan Della.
Ekspresi marahnya memudar, diganti dengan tatapan kosong.
"Apakah itu penting?" tanyanya pahit. "Aku sudah mati, ya kan?"
"Ti?tidak," kata Della tergagap.
Amarahnya meledak lagi. Dipegangnya lengan Della. "Aku
sudah mati, bukan? Kau menguburku dengan tumpukan daun, ingat?
Aku bahkan tidak ada di sini sekarang?"
"Tidak! Maksudku..."
"Aku mati. Aku orang yang sudah mati, sudah mati," ulang
cowok itu. Ditariknya Della lebih dekat.
"Jangan! Tolong!"Sinar terang membuat Della terperanjat. Begitu pula cowok
yang menahannya.
Mendadak muncul bayangan-bayangan yang bergerak,
gemeresik langkah-langkah kaki, disusul bias sinar putih terang.
Cahaya itu menyinari wajah pemuda itu. Ia meringis dan
melepaskan Della. "Hei?aku tak bisa melihat!" Diangkatnya tangan
untuk melindungi matanya.
Tangan lain menarik lengan Della. "Ayo, kita pergi!"
"Pete!" teriak Della, akhirnya semua terlihat jelas.
Pete menyorotkan lentera halogennya yang menyilaukan ke
mata cowok itu. "Ayo!" teriaknya.
Namun Della tidak segera mematuhi perintahnya. Otaknya
berputar cepat. Ia membungkuk dan mengambil pistol ZAP di tanah.
Cowok itu menurunkan tangan, untuk mengecek apa yang terjadi. Saat
itulah Della menembak dua kali, tiga kali, empat kali.
Cowok itu menjerit. Cat itu membakar matanya. Ia melindungi
matanya lagi, berteriak membabi buta karena kesakitan.
Waktunya untuk lari.
"Tidak?ke sini!" teriak Pete.
Della telah berjalan ke arah yang salah selama ini.
Della berbalik dan mengikuti Pete.
"Cepat, Della! Dia mengejar kita!"
Della berbalik dan melihat cowok itu mengejar mereka sambil
menggosok-gosok matanya. Apakah ia memang punya senjata? Jika
benar, Della yakin cowok itu akan menggunakannya.
Della berlari lagi. "Pete?jangan tunggu aku! Lari saja!"
perintahnya.Tapi Pete menunggu sampai ia menyusul. "Lama sekali aku
mencarimu. Aku tak akan kembali tanpa dirimu!" teriaknya.
Mereka berlari bersama, berdampingan, sesekali menengok ke
belakang. Cowok itu masih mengejar. Ia tidak lagi menggosok-gosok
matanya. Tapi larinya agak limbung, terlalu hati-hati, seolah-olah ia
tidak bisa melihat ke mana ia berlari.
"Hampir sampai," teriak Pete, napasnya terengah-engah.
"Aku... aku tak sanggup...," keluh Della. "Aku tak sanggup...
lari lagi. Aku..."
Pete meraih tangan Della. "Ayo. Kau pasti bisa."
Mereka menoleh ke belakang. Cowok berjaket bomber itu
semakin dekat. "Hei, kembali! Aku ingin bicara dengan kalian!" ia
berteriak sekuat tenaga.
Suaranya yang begitu keras, begitu dekat, begitu liar, membuat
mereka berlari lebih cepat.
"Berhenti! Aku cuma ingin bicara! Cuma itu?sungguh!
Berhenti! Aku hanya ingin berkomunikasi dengan kalian!"
Pinggang Della sakit dan ia merasa tidak bisa bernapas, namun
ia berusaha menyamai langkah Pete. Akhirnya mereka sampai di
perkemahan. Melihat tenda dan teman-temannya, juga api unggun
kecil itu, Della melompat, menjatuhkan tubuhnya. Ia seolah terbang,
melayang di atas tanah, lupa dengan sakitnya, karena ia berhasil
kembali ke perkemahan dengan selamat.
Terengah-engah, ia berlutut di depan api. Maia dan Suki lari
mendekat untuk menolongnya.Dan cowok berjaket bomber itu pun tiba di perkemahan.
"Itu dia!" Della mendengar Pete berteriak.
Lalu didengarnya suara orang berlari. Disusul berbagai gerakan,
suasana jadi kacau-balau.
Della terkejut melihat tiga orang polisi menyerbu ke
perkemahan. Semula ia mengira itu hanya mimpi, halusinasi karena ia
baru saja berlari jauh, kecapean, dan ketakutan.
Tapi para polisi itu bukan mimpi.
Cowok itu menatap tidak percaya. Ia terpaku, tidak berusaha
melarikan diri.
Mereka mengepung dan menangkapnya dengan mudah. Bahkan
ia tidak melawan. Ia terlalu kaget, terlalu lemah untuk melawan. Ia
terengah-engah. "Dari mana kalian?" tanyanya, kelihatan sangat
marah.
"Cincinnati," jawab polisi muda berwajah merah. "Kau dari
mana?"
"Planet Mars."
"Aku tak peduli dia dari mana," kata salah satu polisi,
mendorongnya keras-keras. "Tapi aku tahu ke mana dia pergi."
"Kalian polisi memang tahu segalanya," kata cowok itu di sela-
sela tarikan napasnya.
"Bacakan hak-haknya," kata polisi ketiga. Lalu ia buru-buru
mendekati Della. "Kau baik-baik saja, Nona?"
"Yeah. Kurasa begitu," sahut Della tidak yakin. "Dia
menangkapku di hutan. Dia ingin..."
"Tak apa-apa." Polisi itu menepuk bahunya dengan tangannya
yang panas dan berat. "Kau bisa menceritakannya nanti. Istirahatlahdulu, sampai napasmu normal kembali." Ia menghampiri lagi kedua
rekannya.
"Temannya...," ucap Della.
Polisi itu segera menoleh penuh minat. "Yeah?"
"Temannya ada di dalam hutan. Di jurang. Aku akan
menunjukkan tempatnya."
"Oke. Aku akan menghubungi kantor polisi dulu."
Dipanggilnya kedua rekannya. "Hei... temannya juga ada di sini. Di
hutan!" Lalu ia kembali menoleh pada Della. "Kau tahu, ada hadiah
kalau berhasil menangkap dua orang ini."
Della tersenyum pada Pete, yang menyiramkan setermos air ke
kepalanya, mencoba mendinginkan diri. Dari balik tetesan air di
wajahnya, Pete membalas senyumnya.
"Hadiah terbaik bagiku adalah," kata Della, "mimpi buruk ini
berlalu."BAB 18
"KAU mau ke mana malam ini?" tanya ibu Della sambil
meluruskan rambut putrinya dengan tangannya.
Della menjauhkan diri. Ibunya selalu mengatur rambutnya
kembali, padahal Della sudah menatanya sesuai keinginannya.
"Mungkin ke bioskop. Atau mungkin ke rumah Pete, menonton
beberapa film. Pete tidak bilang."
"Yah, boleh-boleh saja," kata ibunya, kali ini sambil
membetulkan bantalan sofa. "Aku tidak ingin kau keluar sampai larut
malam." Ibunya menatapnya dengan pandangan prihatin.
Mungkin ia masih memikirkan kejadian mengerikan yang
kualami, pikir Della. Mereka telah menceritakan ke orangtua masing-
masing?dan polisi?semua yang terjadi sejak mereka berkemah
tanpa pembimbing. Setelah itu sulit bagi mereka memikirkan hal-hal
lain.
Della menghabiskan sebagian besar minggu ini dengan
merenung, mengenang kembali semua peristiwa itu, bahkan


Fear Street Cukup Satu Malam The Overnight di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memimpikannya di malam hari. Sekarang, seminggu kemudian, tiba
waktunya untuk menyingkirkan semua itu dari benaknya dengan pergi
keluar, menikmati malam minggu yang menyenangkan.
Bel berdering dan Della bergegas membuka pintu."Hai, Pete.""Apa kabar, Della?"
"Baik sekali." Della meneriakkan selamat malam pada ibunya,
melangkah keluar, dan menutup pintu.
Beberapa menit kemudian mereka sudah meluncur dalam
station wagon Pete, menuju pusat kota. "Hei?tunggu sebentar!" Della
berteriak, sikapnya waspada. "Apa itu?"
Ia menunjuk tenda hijau yang terlipat di bagian belakang mobil.
"Oh, itu," jawab Pete sambil menyeringai. "Bukankah kau mau
berkemah?"
Della memukul bahu Pete keras-keras.
"Cuma bercanda! Cuma bercanda!" protes Pete gemetar,
mencoba menghindari pukulan-pukulan Della. "Aku membawanya
untuk ditambal, karena kakakku hendak memakainya berkemah
dengan kelompok pramukanya."
"Oke, oke," ujar Della, tertawa dan kembali duduk tenang.
"Mulai sekarang, aku hanya ingin berkemah di depan TV, di ruang
duduk!"
"Kayaknya aku juga lebih suka begitu," Pete menimpali,
memberi tanda pada Della agar duduk lebih dekat. "Tapi, apa kau bisa
memanggang marshmallow di depan TV?"
"Kita coba saja," sahut Della, bergerak mendekat. "Kita coba
saja."END
Badik Sumpah Darah 2 Jangan Percaya Pada Orang Mati Never Trust A Dead Man Karya Vivian Vande Velde Pedang Pembunuh Naga 5
^