Pencarian

Jalan Buntu 1

Fear Street Jalan Buntu Dead End Bagian 1


PROLOG
"CUMA musibah biasa."
Begitulah selalu yang diucapkan Mom kalau aku tak sengaja
menumpahkan susu saat makan malam, atau tersandung ketika
berjalan.
Tapi Dad justru memarahiku. "Natalie, kenapa sih kau tidak
bisa lebih hati-hati?" begitulah Dad mengomel. "Kau ini kikuk
sekali!" Entah kenapa, Dad selalu marah besar kalau aku tak sengaja
menumpahkan susu.
Tapi Mom tetap tenang. "Cuma musibah biasa," katanya pelan.
Ketika berumur delapan tahun, aku terjatuh dari pohon dan
lenganku patah.
"Musibah biasa. Kau ini cenderung sering tertimpa musibah,
Natalie."
Dua tahun kemudian, aku terjatuh dari setang sepedaku, ketika
sedang pasang aksi di depan beberapa orang anak laki-laki. Aku
mendarat dengan kepala lebih dulu. Karena gegar otak, aku pun
diangkut ke Rumah Sakit Shadyside.
Tapi Mom tetap tenang dan suaranya menyejukkan. "Cuma
musibah biasa."Aku teringat kata-kata itu pada malam terjadinya kecelakaan
mengerikan di jalan buntu itu. Dan aku serasa mendengar suara ibuku.
Sampai sekarang pun, rasa shock yang timbul akibat tabrakan
tersebut masih saja suka membuat jantungku berdebar-debar. Dan
ketika kami melarikan diri dengan ban mobil mencicit di jalanan yang
licin oleh hujan, aku tahu bahwa apa yang kami lakukan itu salah.
Aku memejamkan mata dan mendengar suara Mom yang
lembut dan menenangkan. "Cuma musibah biasa."
Mobil kami meliuk-liuk tak terkendali di jalanan yang basah.
Tapi kami berhasil melarikan diri.
Kami mesti melarikan diri.
"Cuma musibah biasa."
Itu cuma kecelakaan, kataku pada diri sendiri.
Sekarang semuanya sudah berlalu.
Sama sekali tak kusangka bahwa kengerian yang sesungguhnya
baru saja dimulai.Bab 1
MUSIBAH PERTAMA
PADA hari Jumat malam, orangtua Talia Blanton tidak ada di
rumah, jadi Talia mengadakan pesta.
Ia hanya mengundang murid-murid senior Shadyside High.
Tapi beberapa anak dari sekolah lain yang tidak diundang ikut hadir di
pesta itu. Dan ada juga beberapa orang gadis yang tidak kukenali.
Ketika aku sedang berjalan menuruni tangga ke ruang bawah
tanah, Talia menyapaku dengan ekspresi terkejut. "Natalie! Kupikir
kau tidak datang!" ia berseru mengatasi suara musik yang bising dari
CD player.
"Memangnya kenapa?" aku balas berseru.
Talia meneguk isi kaleng Coca Cola-nya. "Sebab aku tahu kau
tidak suka pesta-pesta." Ia memandang melewati bahuku. "Mana
Keith?"
Aku membalikkan badan. Pacarku, Keith Parker, tadi berada di
belakangku. Aku melayangkan pandang ke ruangan yang penuh sesak
itu, dan melihat Keith berada di seberang meja Ping-Pong, sedang
berbincang-bincang dengan Corky Corcoran dan beberapa cheerleader
lainnya."Aku tidak kenal pada sebagian anak-anak itu!" Talia berkata
sambil mendesah. "Kuharap mereka tidak mengotori seluruh rumah.
Ada segerombolan cowok di garasi. Kurasa mereka membawa bir.
Bisa-bisa aku dimarahi orangtuaku kalau mereka sampai tahu."
Aku melambaikan tangan pada Janie Simpson. Ia sedang
bertengger di lengan sebuah sofa kulit berwarna merah, sambil
berbicara dengan seorang gadis yang tidak kukenal.
Ricky Schorr duduk di sisi lain sofa itu; di pangkuannya ada
sekantong besar keripik kentang. Ia sedang menggoda anjing cokelat
Talia dengan sepotong keripik yang diangkatnya tinggi-tinggi di atas
kepala anjing itu, sehingga si anjing melompat-lompat dan meminta-
minta.
"Mana Randee?" teriak Talia. "Apa dia datang bersamamu?"
Randee Morgenthau adalah sahabat karibku. "Tidak, aku datang
bersama Keith," kataku pada Talia.
"Apa mobilnya masih bisa jalan?" tanya Talia sambil
menggeleng-gelengkan kepala. "Minggu lalu dia memberikan
tumpangan padaku dari sekolah. Kami mesti mendorong mobil itu
mendaki bukit."
Aku tertawa dan hendak mengatakan sesuatu, tapi Talia sudah
bergegas ke tangga untuk menyambut beberapa tamu yang baru
datang.
Aku dan Talia baru tahun ini menjadi sahabat, ketika kami
mendapati bahwa kami berdua sama-sama penulis. Talia senang
mengarang cerita-cerita seram. Aku sendiri tidak suka cerita semacam
itu, tapi Talia justru sangat berbakat.Aku suka membuat catatan harian. Dan aku juga menulis
banyak puisi. Tahun ini Talia dan aku banyak menghabiskan waktu
bersama-sama, membayangkan bahwa setelah lulus dari Shadyside,
kami akan menjadi pengarang terkenal.
Aku melihat temanku Gillian Rose di seberang ruangan. Ia
sedang mendorong-dorong Carlo Bennett. Carlo masih saja mencoba
merangkul Gillian, dan Gillian terus saja menghindar. Mereka berdua
tertawa-tawa.
Todd Davis, yang selalu sok pamer dan suka berlagak tangguh,
mencengkeram Carlo dan memeganginya, supaya Gillian bisa
melarikan diri. Tapi menurutku Gillian tidak ingin melarikan diri. Ia
mencengkeram lengan Todd dengan dua tangan dan berusaha menarik
Todd agar lepas dari Carlo.
Aku berjalan menghampiri Keith. Ia sedang asyik makan kue
kering asin, memasukkannya satu demi satu ke mulutnya. "Boleh
minta satu?" tanyaku.
Ia memberikan seluruh kue di tangannya padaku. "Kurang asin
kuenya," katanya sambil mengunyah.
Keith suka sekali asin. Ia akan makan apa pun yang dibubuhi
garam.
Keith bertubuh jangkung dan sangat kurus. Tinggiku tidak
sampai sebahunya. Ia memiliki rambut cokelat bercampur pirang yang
dipotong pendek, dan mata cokelat besar yang penuh perasaan. Ia
pendiam dan jarang tersenyum. Sering kali aku sendiri bertanya-tanya,
apa sebenarnya yang ada di kepalanya.
Sampai sekarang pun aku masih belum bisa memahami Keith.
Tapi itu cuma masalah waktu. Kami toh baru dua bulan jalan bersama.Gillian-lah yang mempertemukan aku dan Keith. Kejadiannya
sesudah pertandingan football Tigers pada suatu hari Jumat malam,
sesudah masa sekolah dimulai.
Waktu itu kami berada di tempat parkir murid di belakang
stadion. Gillian melihat Keith pulang seorang diri. Ia menarik Keith
dan boleh dikatakan memaksanya masuk ke mobil untuk ikut makan
piza bersama kami.
Keith dan aku langsung saling tertarik malam itu. Apa ya yang
kusukai pada dirinya? Sifat pemalunya mungkin. Juga keseriusannya.
Dan matanya yang gelap dan dalam.
Sejak saat itu, kami jalan bersama. Dan Gillian tak pernah
membiarkan aku melupakan bahwa dialah yang dulu mempertemukan
kami. "Kapan kau akan mencarikan pacar buatku?" ia terus saja
bertanya begitu.
Tapi aku tidak mengkhawatirkan Gillian. Ia sangat cantik.
Dengan rambut pirangnya yang panjang, matanya yang hijau, dan
kulitnya yang putih halus?belum lagi bentuk tubuhnya yang anggun
dan ramping?selalu saja ia dikerumuni cowok-cowok yang
mengikutinya seperti gula mengerumuni semut.
Selain itu, ia memiliki Carlo. Gillian hanya menganggap Carlo
sebagai teman baik, tapi aku tahu Carlo ingin hubungan mereka lebih
dari itu.
Sekilas aku melihat Gillian sedang bercanda dengan Carlo dan
Todd. Seseorang mengeraskan suara musik hingga tembok beton
ruang bawah tanah berdentum-dentum dan lantai ikut bergetar.Suaranya sangat memekakkan telinga. Aku bertanya-tanya,
apakah tetangga-tetangga Talia akan mengajukan keluhan gara-gara
hal ini.
Kulihat Janie Simpson bangkit dari duduknya dan mulai
berdansa dengan Pete Goodwin. Beberapa pasangan lainnya juga ikut
berdansa. Seseorang menjatuhkan sekaleng Coca Cola hingga isinya
tumpah di lantai.
"Hei, kau mau ke mana?" tanyaku sambil menarik lengan kaus
Keith.
Keith mencondongkan tubuh dan berbicara tepat di telingaku,
agar suaranya bisa terdengar.
"Mau ke atas. Ada beberapa anak yang membawa bir."
Aku memasang tampang muak. "Aduh, kau tidak akan minum
bir malam ini, kan?"
Mata Keith yang berwarna gelap bersinar-sinar nakal. Ia
mengacungkan satu jarinya. "Cuma satu. Janji." Ia mulai menarikku
ke atas. "Ayo ikut aku. Kita minum bir."
"Tidak ah!" Aku menarik diri. "Kau kan tahu aku tidak suka bir.
Rasanya seperti minum sabun."
Keith mengangkat bahunya yang sempit. Rasanya aku ingin
menarik rambutnya. Ia paling benci kalau aku menarik rambutnya,
sebab ia tidak mau rambutnya berantakan.
Aku memperhatikan Keith menghilang ke atas tangga. Ia mesti
melewati pasangan yang sedang asyik-masyuk di anak tangga paling
bawah.
Aku menyeberangi ruangan dan mengambil sepotong piza dari
kotak yang terbuka di meja di depan dinding. Pizanya sudah dingin,tapi rasanya masih oke. Aku melambaikan tangan pada Gillian yang
sedang berdansa dengan Carlo, tapi Gillian tidak melihatku.
Selama sekitar setengah jam berikutnya, aku menghabiskan
waktu dengan mengobrol bersama anak-anak lainnya, berbicara keras-
keras, mengatasi suara musik. Pokoknya senang-senang saja.
Lalu aku mulai bertanya-tanya, kapan Keith akan kembali.
Tiba-tiba kulihat Randee menuruni tangga. Ia melangkahi pasangan di
anak tangga paling bawah dan menyeberangi lantai dansa yang penuh
sesak untuk menghampiriku.
Randee bertubuh jangkung dan berwajah bulat, dengan rambut
pirang keriting. Ia selalu mengeluh bahwa rambutnya susah diatur. Ia
tidak terlalu cantik. Hidungnya agak bengkok, dan ia masih
mengenakan kawat gigi, meski usianya sudah tujuh belas tahun.
Tapi ia orang paling baik sedunia. Juga gadis paling pandai di
kelas kami. Selain itu, ia sudah lama menjadi teman baikku.
"Hei, Gillian dan Carlo benar-benar asyik berduaan, ya?" kata
Randee sambil memperhatikan mereka berdansa.
"Rasanya Todd cemburu," aku melaporkan.
Randee tersenyum mengejek. "Kaupikir Todd punya perasaan?"
Aku angkat bahu. Todd adalah model cowok atlet. Hampir
semua orang menganggapnya seperti sapi jantan. Tapi kurasa Randee
diam-diam menyukai pemuda itu.
"Dari mana saja kau?" tanyaku.
Ia nyengir lebar. "Dari atas. Ngobrol dengan beberapa cowok
dari Madison."
"Apa Keith masih di atas sana?" tanyaku.
Ia mengangguk. "Keith menang lomba.""Ha? Lomba apa?" tanyaku.
"Lomba minum bir," sahut Randee.
Aku mengerang.
Dua anak yang tidak kukenal menabrak aku dan Randee ketika
mereka mundur sambil berdansa. "Sori!" si cewek berseru sambil
tetap berdansa.
Ruang bawah tanah sudah sangat penuh. Randee dan aku
terdesak hingga hampir ke ruang cuci.
"Aku tidak suka Keith banyak minum bir," kataku. "Dia jadi
kacau dan bodoh, dan dia jadi mengira dirinya lucu."
Kurasa Randee tidak mendengar kata-kataku. Musik berdentam
lebih keras, dan beberapa orang cowok berteriak-teriak gembira
tentang sesuatu sambil saling ber-high five.
Kutarik lengan Randee, lalu kami masuk ke ruang cuci. Di
dalam sana ternyata masih bising juga.
"Pestanya agak liar, ya?" kata Randee. Ketika ia nyengir lebar,
kawat giginya tampak jelas. "Rasanya aku ingin dansa atau melakukan
apalah. Kau sendiri bagaimana?"
Aku menggerak-gerakkan bola mataku. "Yeah. Itu kalau aku
bisa menyeret Keith kembali kemari. Aku belum melihat dia lagi sejak
kita di sini."
Kulihat Talia menerobos kerumunan orang, menghampiri kami.
Wajahnya merah dan rambutnya basah oleh keringat. "Hei, kalian,"
serunya. "Kenapa sembunyi di situ?"
Aku hendak menjawab, tapi sekonyong-konyong terdengar
ribut-ribut.Talia, Randee, dan aku beranjak untuk melihat suara ribut
apakah itu.
Seorang gadis berteriak nyaring dan ketakutan, mengatasi suara
musik.
Dan ketika aku melangkah keluar dari ruang cuci, tampak
sesosok tubuh jatuh terguling-guling di tangga ruang bawah tanah.Bab 2
TERNYATA KEITH
SUARA musik berhenti.
Teriakan-teriakan kaget terdengar.
"Ada apa?"
"Siapa yang berteriak?"
"Mana musiknya?"
"Apa ada yang jatuh?"
Kulihat segerombolan anak berkerumun di bawah tangga.
Ketika beranjak ke arah mereka, perasaan takut yang berat
menyelimuti diriku.
Dan sekonyong-konyong tahulah aku. Sosok yang jatuh itu
adalah Keith.
Tubuhku terasa dingin. Napasku tercekat di kerongkongan.
Aku menerobos sekelompok anak yang kebingungan. Sempat
kulihat Gillian dan Carlo di tengah kerumunan di dekat tangga. Carlo
merangkul bahu Gillian. Rambut Gillian yang merah kecokelatan
jatuh menutupi wajahnya, tampak basah oleh keringat. Ia menekan
pipinya dengan tangan.
Itu Keith. Aku tahu yang jatuh itu Keith, pikirku.Aku maju ke dalam lingkaran anak-anak itu dan terus
menerobos ke depan. Sambil terengah-engah, aku nyaris tersandung
tubuh yang jatuh itu.
Dan ternyata sosok itu memang Keith.
Ia terbaring telentang dengan kaki terentang, satu kaki terangkat
ke tangga.
Ia tersenyum lebar padaku dengan ekspresi bingung. "Kurasa
aku tidak melihat anak tangga pertama itu," katanya.
Beberapa orang anak tertawa.
Tapi aku tak bisa ikut tertawa, meski aku sangat lega. Aku
hanya memandangi Keith dengan jantung berdebar. Tadi aku benar-
benar mengira ia sudah mati.
Keith mengangkat satu tangannya ke arahku, minta dibantu
bangkit. Ketika meraih tangannya, aku dapat mencium bau bir yang
tumpah di kemeja Keith. Napasnya juga berbau bir.
Aku mendorong tangannya. "Kau benar-benar memuakkan,"
kataku.
Ia terkikik-kikik, seolah-olah ucapanku lucu sekali. Lalu ia
mencoba bangkit, tapi terpeleset. Ia mencoba lagi.
"Keith, seberapa banyak kau minum bir?" tuntutku.


Fear Street Jalan Buntu Dead End di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mata Keith merah. Ia menyipitkan mata padaku, seolah-olah tak
bisa memfokuskan pandangannya. "Tidak ada lagi yang tersisa,"
katanya sambil menggeleng-gelengkan kepala dengan sedih.
"Keith!" aku mengeluh dengan muak.
"Tidak ada yang tersisa," gumamnya. Sambil berpegangan pada
birai tangga, akhirnya ia berhasil mengangkat tubuhnya. Bola matanya
berputar-putar ketika ia berusaha melihat lebih jelas. Sekonyong-konyong wajahnya berubah pucat. "Badanku rasanya tidak enak," ia
bergumam.
Anak-anak yang berkerumun segera menepi ketika Keith lari ke
kamar mandi kecil di sudut ruangan. Begitu pintu kamar mandi
terbanting menutup, banyak anak yang tertawa. Seseorang
menyalakan musik kembali.
"Aku tidak kenal anak itu," seruku pada Gillian. "Aku benar-
benar tidak kenal dia."
Mendadak Todd muncul di samping Gillian dan Carlo. "Dasar
payah," ia mencemooh sambil nyengir lebar. Ia mengangkat satu
kepalan tangannya yang besar dan menunjuk ke pintu kamar mandi.
"Natalie, pacarmu itu sangat kekanak-kanakan."
"Wah... hebat sekali ucapanmu, Todd," seseorang berseru di
belakang kami.
Todd tidak mengacuhkannya. Ia mendekatkan wajahnya
padaku. "Baru minum bir setengah kaleng saja pacarmu itu sudah
muntah-muntah," katanya sambil tersenyum penuh kemenangan.
"Jangan sebut dia pacarku," kataku bersikeras. "Aku tidak kenal
dia. Aku belum pernah melihatnya."
Todd menyambar tanganku. "Mau dansa, Natalie?"
Todd bertubuh besar dan berbahu lebar. Setiap hari ia
berolahraga. Ia memiliki rambut pirang-putih yang panjang di bagian
atas dan dicukur pendek di samping-sampingnya. Matanya biru dan
ramah, wajahnya gemuk, seperti anak kecil. Sebenarnya ia bisa
dianggap cukup ganteng kalau saja dahinya tidak terlalu menonjol,
hingga membuat penampilannya agak mirip manusia gua.Beberapa anak menjuluki Todd "Manusia Gua", tapi hanya di
belakang punggungnya. Kalau Todd sampai mendengar, mereka pasti
habis dipukulinya. Ia sangat bangga dengan penampilannya. Pernah ia
memukuli seorang anak yang menginjak sepatunya.
"Aku sedang tidak berminat dansa," kataku. Memang begitulah
kenyataannya. Aku jadi agak muak melihat Keith bertingkah seperti
orang tolol di hadapan semua teman kami.
Kurasa aku malu. Bukan hanya karena Keith. Tapi juga karena
diriku sendiri.
Ketika Keith akhirnya keluar dari kamar mandi, ia tampak
pucat, tapi langkahnya sudah jauh lebih mantap. Ia mendekat, lalu
mulai bercanda dengan setiap orang. Matanya masih agak berkaca-
kaca, tapi sepertinya kondisinya pulih dengan cepat.
Kami masih kumpul-kumpul selama sekitar satu-dua jam. Talia
memesan selusin piza lagi. Lebih banyak lagi anak yang masuk ke
ruang bawah tanah, sebagian besar tidak kukenal, sebab mereka tidak
bersekolah di Shadyside.
Sejenak aku tidak tahu di mana Keith. Mudah-mudahan saja ia
tidak kembali ke garasi, minum bir lebih banyak lagi. Aku mengobrol
dengan Randee dan Gillian, dan seorang gadis yang pernah kukenal
ketika berkemah dulu.
Lalu sekonyong-konyong Keith muncul dan menarik-narik
lenganku. "Sudah siap? Siap pulang?"
Aku menarik lepas tanganku. "Tidak," jawabku ketus.
Mata Keith melebar terkejut. "Ha? Apa maksudmu?"
"Aku tidak mau pulang naik mobil denganmu," kataku. "Kau
sedang kacau.""Aku tidak apa-apa kok," katanya. "Sungguh." Ia mengikutiku
naik tangga.
Aku meraih parka merahku. "Jangan ikuti aku, Keith," kataku
dengan tegas. "Pokoknya aku tidak mau naik mobil denganmu."
Keith menyibakkan rambutnya yang cokelat dari dahinya yang
berkeringat. Matanya yang gelap tampak merah dan nyalang. "Hei,
Natalie, jangan begitu dong."
Ia meraih kedua tanganku dan mencondongkan tubuh untuk
menciumku. Tapi napasnya berbau tidak enak, jadi aku menarik diri.
"Natalie..." Keith terhuyung-huyung menghampiriku.
"Besok kau kutelepon," kataku ketus. Lalu aku membalikkan
tubuh dan bergegas keluar dari pintu depan.
"Hei, tunggu! Tunggu!" teriak Keith.
Tanpa mengacuhkannya, aku keluar ke malam yang basah dan
berkabut. Langit gelap oleh awan tebal. Tadi habis hujan. Rumput
masih basah, jalan mobil licin dan banyak genangan airnya.
Musik dari ruang bawah tanah terdengar keras hingga ke
pekarangan depan. Masih ada sekitar sepuluh atau dua belas orang
anak bergerombol di garasi yang pintunya dibuka dan lampunya
dinyalakan. Di tangan mereka ada kaleng-kaleng bir berwarna
keperakan.
Ketika sedang menuju jalan mobil, kulihat Randee sedang
membuka pintu Volvo-nya yang berwarna hijau gelap di jalanan.
Gillian dan Carlo menunggu di sampingnya.
Mobil-mobil para pengunjung pesta diparkir di jalanan
sepanjang blok. Melalui kaca depan yang berkabut, aku melihatpasangan yang sedang pacaran di kursi depan sebuah Bonneville putih
yang diparkir di belakang mobil Randee.
Aku terperanjat melihat Todd melangkah keluar dari pintu
penumpang Volvo. Ketika aku berjalan mendekat, ia tersenyum lebar
padaku. "Kau mau pulang? Mana Keith?"
"Masih di dalam," gerutuku.
Todd memasang tampang mengejek. "Apa kau
memutuskannya?"
Gillian mendorong Todd. "Kau kasar amat sih!"
"Kau senang kan?" goda Todd. Carlo, yang berdiri di dekat
Gillian, menggaruk-garuk rambut hitamnya dan tampak gelisah.
Todd masuk ke kursi penumpang di depan. Gillian dan Carlo
duduk di belakang.
Ketika menatap ke jalanan yang berkabut, kulihat mobil bobrok
Keith diparkir miring di sudut. Keith tidak terlalu pandai dalam
melakukan parkir paralel. Dengan cerobohnya ia membiarkan satu sisi
mobil bertengger di trotoar. Ban serep kecil yang digunakannya dan
mestinya sudah diganti berminggu-minggu yang lalu membuat
mobilnya tampak lebih miring lagi.
Aku menoleh kembali ke arah rumah dan melihat Keith keluar
ke jalan mobil. "Natalie! Natalie... tunggu!" ia berseru sambil
melambai-lambaikan tangan dengan liar.
"Randee, boleh aku ikut kau?" tanyaku.
Randee mengangguk. "Tentu. Masuklah." Ia menutup pintu,
lalu menyalakan mesin mobil.
"Natalie... tunggu! Aku tidak mabuk!" teriak Keith. "Tunggu."Aku naik ke kursi belakang, di samping Gillian dan Carlo, lalu
membanting pintu. "Jalan!" seruku pada Randee. "Cepat!"
Randee menjalankan mobil dan aku bersandar di tempat duduk.
Aku telah mengambil keputusan yang tepat, pikirku. Aku
bertindak pintar dengan menolak bermobil bersama Keith. Aku
senang bisa pulang bersama Randee.
Tapi ternyata aku salah besar.
Tentu saja pada saat itu aku tidak mengetahuinya. Sepuluh
menit kemudian, rasanya aku bersedia memberikan apa pun asalkan
tidak berada di dalam mobil Randee.Bab 3
TABRAKAN
AKU duduk rendah di mobil sambil membenamkan kedua
tangan dalam-dalam di saku parkaku. Di luar, kabut bergulung-gulung
di antara pepohonan yang gelap. Meski hujan sudah berhenti, kaca
depan mobil masih saja dipenuhi titik-titik hujan besar-besar.
Carlo menjulurkan lengannya di punggung kursi, di seputar
bahu Gillian. Di depan, Todd mengotak-atik tombol radio, pindah dari
satu pemancar ke pemancar lainnya. Karena tidak menemukan musik
yang disukainya, ia mematikan radio.
"Wow, Keith benar-benar teler," kata Todd sambil terkikik.
"Tadi, ketika jatuh dari tangga ruang bawah tanah, dia sama sekali
tidak merasakannya."
"Tidak lucu," kataku dengan tajam. "Kelakuannya memalukan.
Kadang-kadang Keith bertingkah seperti bayi."
"Ooh, ada yang marah nih," goda Todd.
"Diam, Todd!" bentakku. Aku benar-benar sedang tidak mood
untuk meladeni Todd. Menurutku kelakuan Keith tadi sama sekali
tidak lucu.Aku bukan sok alim atau apa pun. Aku hanya tidak senang
diabaikan oleh Keith sepanjang malam. Dan aku juga tidak mengerti,
buat apa minum bir sampai muntah-muntah.
Randee melewati rambu tanda berhenti, lalu menghentikan
mobil dengan sentakan mendadak. "Whoa. Aku tidak melihat rambu
itu," gumamnya.
Sekonyong-konyong aku teringat bahwa tadi Randee juga
sempat berada di garasi. "Randee, kau tidak apa-apa?" tanyaku.
Ia mengangguk. "Yeah. Tidak apa-apa. Tidak masalah."
Dua berkas cahaya dari lampu sorot depan mobil menerangi
kabut yang bergulung-gulung. Randee menekan pedal gas, dan mobil
melaju di jalanan yang licin.
"Hei, caramu mengemudi seperti aku," seru Todd sambil
tertawa.
Randee menyipitkan mata untuk berkonsentrasi, lalu berusaha
mengontrol kemudi. "Jalanannya licin," gumamnya.
Ia melaju melewati sebuah persimpangan, lalu membuat
belokan lebar ke River Road; mobil terantuk-antuk ke bahu jalan.
"Randee...," aku memperingatkan.
"Aduh, kepalaku terbentur atap!" protes Todd. "Awas, nanti
kutuntut kau, Randee. Sungguh."
"Diamlah, Todd," bentak Randee, matanya terfokus pada kaca
depan. "Gara-gara kabut ini, aku jadi susah melihat."
"Mau pakai kacamataku?" gurau Carlo.
"Karena kau baik hati menawarkan kacamata, kau yang pertama
akan kuantar pulang," balas Randee.Jalanan meliuk-liuk sepanjang sungai. Randee mencondongkan
tubuh ke roda kemudi, berkonsentrasi agar mobil tetap berada di jalan.
Kami terantuk masuk ke sebuah lubang dalam dan semua orang
menjerit.
"Terima kasih atas kepercayaan kalian padaku, sobat-sobat,"
gurau Randee.
Aku merosot lebih rendah di tempat dudukku sambil
mengencangkan ikat pinggang pengaman. Ketika memandang
spidometer, baru kulihat bahwa kami melaju dengan kecepatan lebih
dari enam puluh kilometer per jam. "Randee, kurangi kecepatan,"
kataku pelan.
Randee melirik spidometer. "Oh, aku tidak sadar," gumamnya.
Ia mengangkat kaki dari pedal gas dan kecepatan mobil berkurang
menjadi lima puluh.
Di kedua sisi kami, cabang-cabang gundul pepohonan hitam
yang besar menonjol keluar dari balik kabut. Butir-butir air hujan
yang besar-besar jatuh dari pepohonan ke kaca depan. Randee
menghidupkan kipas air.
"Tadi kaulihat tidak cewek dari Harding itu?" tanya Gillian.
"Maksudku, pakaian yang dia kenakan."
"Pakaiannya tidak banyak," gurau Todd.
"Maksudku, sekarang kan bukan musim panas di pantai," kata
Gillian. "Lagi pula, siapa sih dia itu? Teman Talia?"
"Bisa saja dia temanku," seru Todd.
"Temanku juga bisa," tambah Carlo sambil terkikik.
"Diam kalian," kataku datar."Antar aku dulu," kata Todd pada Randee. "Rumahku yang
paling dekat. Belok saja di Cedar, lalu..."
"Aku ingat di mana rumahmu," sela Randee.
Sebuah mobil dengan lampu-lampu menyala terang melaju ke
arah kami, memenuhi kaca depan dengan sinarnya yang putih. Randee
menyipitkan mata dan memelankan mobil. "Kurang ajar," geramnya.
"Aku tidak bisa melihat apa-apa."
"Sinar terang tidak ada gunanya dalam kabut," kataku.
"Cahayanya memantul lagi pada kita."
Randee menambah kecepatan ketika mobil satunya lewat
mendahului. Di sampingku, Gillian dan Carlo sedang tertawa-tawa
tentang sesuatu. "Aku tidak mengerti," kata Todd. "Hei, kalian... ayo
dong, beritahu aku."
Aku tidak tahu apa yang sedang mereka bicarakan, tapi aku
yakin urusannya tidak terlalu penting.
Aku memandang lurus ke depan, ke kabut yang semakin tebal.
Aku merasa seolah-olah aku ikut mengemudi. Ketika Randee
membelokkan mobil ke kanan, arah ke Cedar, kurasakan tubuhku ikut
miring bersama gerakan berbeloknya mobil. Ketika Randee menginjak
rem, aku ikut menurunkan kaki kananku juga.
Bahkan dari belakang pun aku bisa melihat bahwa Randee agak
kehilangan konsentrasi. Ketika ia mulai menguap, perutku serasa
dipuntir. Aku sangat gugup. Kenapa bukan aku saja yang mengemudi?
Carlo dan Gillian terkikik-kikik. Todd masih saja memohon-
mohon mereka agar diberi penjelasan.
Kami terantuk lubang lagi di jalan.Lalu sekonyong-konyong Todd berseru, "Randee, stop! Belok
kiri!"
Aku tidak memperhatikan jalan yang baru saja kami lewati.
Suasana sangat gelap, dan tentunya tidak ada papan penunjuk jalan.
Aku hanya bisa melihat tanda bertuliskan: JALAN BUNTU.
Randee menekan rem dengan kakinya.
Kami mulai meluncur.
Lampu-lampu berguncang menggila di tengah kabut.
Aku merasa tubuhku terlempar ke tubuh Carlo.
Mobil meluncur semakin kencang.
Randee memutar roda kemudi, berusaha meluruskan arah
mobil.
Ia menginjak rem keras-keras. Terus menginjak.
Tapi mobil tidak berhenti.
Mendadak dari depan muncul sebuah mobil. Sepertinya ia
keluar begitu saja dari balik kabut.
Kami menabrak bagian belakangnya dengan keras.
Aku tak pernah melupakan bunyi benturan keras itu.
Kulihat mobil itu berguncang. Terdengar bunyi bagian lampu
belakangnya yang pecah.
Ketika tubuhku terlempar ke depan, kulihat sebuah bayangan
bergerak di jendela belakang mobil satunya itu.
Aku berteriak ketika sabuk pengaman membuat tubuhku
tertarik kembali ke tempat duduk.
Leherku tersentak keras. Otot-ototku terpilin. Rasa sakit
berdenyut-denyut di punggungku.Aku memejamkan mata, mencoba mengendurkan otot-ototku.
Berusaha menghentikan rasa sakit itu.
Terdengar suara ban mendecit-decit.
"Hei, kau menabrak apa?" seru Gillian dengan nyaring.
"Mobil itu...," kata Carlo tergagap.
"Todd, kenapa kau tidak memberitahu aku tentang belokan
itu?" teriak Randee dengan marah.
"Katamu kau tahu jalannya," bentak Todd.
Aku membuka mata sementara Randee memundurkan mobil.
Dari kaca spion belakang, aku bisa melihat mata Randee yang
tampak liar dan ketakutan. Napasnya terengah-engah.
Aku mengempaskan tubuh kembali ke tempat duduk. Leherku
sakit, tapi rasa sakit itu mulai memudar.
Randee membelokkan mobil, lalu menginjak pedal gas.
Mobil melesat ke depan.
"Randee... apa yang kaulakukan?" teriakku.


Fear Street Jalan Buntu Dead End di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ban-ban mobil meliuk-liuk di jalanan yang licin ketika mobil
kami melesat maju.
"Hei... wah!" Carlo berteriak.
"Randee... stop!" seruku. "Kau mesti stop. Ada orang di mobil
itu."
"Kau menabrak seseorang. Kau menabrak seseorang!" jerit
Gillian.
Randee memicingkan mata dan memandang melalui kaca depan
yang penuh air hujan. Mulutnya ternganga. Wajahnya mengerut dalam
ekspresi ketakutan.
"Stop, Randee!" teriakku."Kau menabrak orang! Kau menabrak orang!" Gillian menjerit-
jerit lagi dengan panik.
Tapi Randee membelokkan mobil dan membuat putaran cepat
ke jalan rumah Todd. Kami melaju ke dalam kegelapan yang
diselimuti kabut.
"Stop! Kau mesti stop!" jeritku.
"Tidak bisa!" balas Randee sambil mencondongkan tubuh ke
roda kemudi dan menginjak pedal gas sampai habis. "Apa kau tidak
mengerti? Aku tidak bisa berhenti. Tidak bisa."Bab 4
KABAR BURUK
"AKU tidak bisa berhenti! Aku mestinya tidak boleh berada di
sini," seru Randee. Ebukulawas.blogspot.com
Randee menyentakkan roda kemudi dan memutarnya supaya
kami tetap berada di jalanan yang meliuk.
"Tidak boleh berada di sini? Apa maksudmu?" tuntut Gillian.
Randee mengeluarkan teriakan serak. "Aku sedang dihukum.
Orangtuaku menghukumku selama dua minggu. Aku tidak
diperbolehkan keluar rumah. Dan aku tidak boleh membawa mobil."
"Tapi kita menabrak mobil tadi keras sekali," protes Carlo.
"Mungkin orang di dalamnya terluka."
"Tadi sangat gelap di sana," kata Todd. "Kenapa kau
beranggapan ada orang di dalam mobil itu? Mungkin saja mobil itu
cuma sedang diparkir di situ."
"Tidak, aku melihat sesuatu bergerak di dalamnya," kataku.
"Aku melihat seseorang di dalam mobil itu. Setidaknya... begitulah
perkiraanku."
Tadi memang sangat gelap. Dan semuanya terjadi begitu cepat.
Mungkinkah aku tertipu oleh penglihatanku? pikirku. Apakah mobil
itu sebenarnya kosong?"Semuanya baik-baik saja?" tanya Randee. Ia menatapku dari
kaca spion. "Tadi kau berteriak."
"Otot leherku tersentak atau apalah," kataku. "Sekarang
sakitnya tidak terlalu hebat lagi. Tapi kita harus kembali ke sana,
Randee."
Randee menggelengkan kepala, bibirnya terkatup rapat.
"Tidak," gumamnya. "Tidak akan."
"Aku juga sebenarnya tidak boleh keluar rumah," Gillian
mengakui. "Orangtuaku mengira aku ada di rumah, belajar untuk
ulangan kimia." Ia menghela napas. "Kalau orangtuaku tahu aku
mencuri-curi keluar rumah dan terlibat kecelakaan, bisa-bisa mereka
memarahiku habis-habisan."
"Tapi bagaimana kalau orang di mobil tadi luka parah?" aku
bersikeras. "Bagaimana mungkin kita..."
"Ayahku akan menguliti aku hidup-hidup," sela Todd. "Setelah
mendapat pekerjaan baru, dia memperingatkanku agar tidak terlibat
dalam kesulitan apa pun. Pelan-pelan, Randee. Rumahku tidak jauh
lagi, di sebelah kanan."
"Hah? Pekerjaan baru? Pekerjaan baru apa?" tanya Gillian.
"Di kantor Walikota. Menangani press relation dan
semacamnya." Todd menggelengkan kepala. "Kalian pikir aku kekar?
Mestinya kalian melihat ayahku. Perawakannya seperti penjaga garis
tengah. Dia menakutkan. Dia bisa menghajarku habis-habisan.
Sungguh."
"Hei, kita semua punya alasan," kataku, "tapi coba dengar..."
"Benar, Natalie," Randee berkata dengan tajam sambil
memelankan mobil di lampu merah. "Kita semua punya alasan yangbagus untuk tidak mau kembali ke sana. Ayahmu sedang dirawat di
rumah sakit, bukan, Carlo?"
"Yeah," sahut Carlo pelan. Carlo sangat pemalu. Ia selalu
menyimpan rahasia. Belum pernah kudengar ia membicarakan
keluarganya. Aku menyadari bahwa aku tidak tahu apa pun tentang
orangtuanya.
"Nah, ayahmu tentunya tidak ingin mendengar lebih banyak
kabar buruk saat ini," sambung Randee. "Kalau kita kembali ke sana,
kita semua akan mendapat kesulitan besar. Kita semua."
Randee menepikan mobil dan berhenti di bawah sebuah lampu
jalan, sekitar dua rumah dari tempat tinggal Todd. "Aku ingin
menikmati tahun senior yang menyenangkan," katanya dengan suara
gemetar oleh emosi. "Terlibat kecelakaan akan merusak segalanya.
Orangtuaku sangat keras. Bisa-bisa mereka menghancurkan hidupku."
"Tapi kita memang terlibat kecelakaan," seruku.
Randee membuka pintu mobil dan melangkah ke luar.
"Mau ke mana dia?" tanya Gillian.
Aku angkat bahu. "Mana aku tahu?"
Kuperhatikan Randee melalui kaca depan. Dengan tangan
terbenam di saku mantelnya, ia berjalan ke bagian depan mobil. Ia
masuk ke jalur putih cahaya lampu depan, lalu membungkuk
mengamati kap mobil dan bempernya.
Tak lama kemudian, ia sudah duduk kembali di belakang
kemudi.
"Bempernya hanya tergores sedikit," katanya. "Itu sebabnya
ayahku membeli mobil ini. Sebab mobil ini sangat tangguh danaman." Ia menggigil. "Bisa-bisa dia membunuhku kalau dia tahu aku
membawa mobil ini malam ini."
Aku menggosok-gosok belakang leherku. Rasa sakitnya sudah
hilang, tapi otot-otot leherku masih terasa kaku. "Syukurlah kita
semua tidak apa-apa," kataku pelan.
"Yeah. Dan kalau kita tidak apa-apa, berarti siapa pun yang
berada di mobil tadi juga tidak apa-apa," kata Randee bersikeras.
"Mudah-mudahan," kataku. "Aku sungguh-sungguh berharap
demikian."
***********
Malam itu, saat mencoba tidur, aku terus saja teringat peristiwa
kecelakaan yang kami alami tadi.
Itulah yang aneh dengan semua kecelakaan mobil. Aku pernah
mengalaminya bersama ibuku. Dan hal yang sama terjadi setelah
kecelakaan itu..
Aku terus saja terbayang peristiwanya, dalam gerak lamban.
Aku bisa merasakan sentakannya yang keras. Merasakan mobil
berguncang. Merasakan tubuhku terdorong dan tertahan sabuk
pengaman.
Dan aku terus saja mendengar suara-suaranya... suara
gemeretak logam berat dan bunyi kaca yang pecah.
Entah aku membuka atau memejamkan mata, peristiwa
kecelakaan itu terus saja berulang di depan mataku. Kurasa begitulah
cara pikiran kita mengatasi peristiwa-peristiwa mengerikan, misalnya
kecelakaan mobil.
Peristiwa semacam itu merupakan kejutan bagi pikiran dan
tubuh kita.Kita terus mengulang-ulangnya di dalam benak kita, sampai
kita yakin bahwa kita tidak apa-apa, sampai perlahan-lahan kita mulai
merasa lebih baik.
Tapi aku tidak merasa lebih baik.
Terutama karena kami tadi melarikan diri begitu saja.
Tapi kami tidak punya pilihan, bukan?
Aku membolak-balikkan tubuh di tempat tidur dan
menggemukkan bantal, lalu berbaring kembali. Saat ini sudah sangat
larut. Hampir pukul dua pagi. "Aku mesti tidur," bisikku.
Aku meyakinkan diriku bahwa segalanya akan baik-baik saja.
Tak ada yang melihat kami tadi. Suasana di jalan buntu itu
sangat gelap. Tak ada orang di sekitar tempat itu.
Aku memejamkan mata dan mencoba membayangkan
kegelapan itu, serta kabut yang bergulung-gulung. Kabut yang halus
dan berputar-putar. Halus, kelabu, dan tanpa suara. Gumpalan-
gumpalan kabut lunak.
Bayangan akan kabut itu meninabobokanku ke dalam tidur
nyenyak tanpa mimpi.
Ketika telepon di meja kecil samping tempat tidurku berdering
membangunkanku, matahari pagi sudah bersinar di luar jendela.
Aku menegakkan tubuh dengan bingung, lalu menggosok-
gosok mata. Tidurku semalam nyenyak sekali, sampai-sampai aku
tidak mengenali dering telepon itu.
Akhirnya kuangkat pesawat penerimanya ke telingaku. "Halo?"
Suaraku masih terdengar mengantuk. Aku berdeham dengan ribut.Todd membalas salamku di ujung sana, tapi kata-kata
berikutnya yang ia ucapkan langsung melenyapkan kantukku.
"Natalie," katanya, "aku punya kabar buruk."Bab 5
MASALAH BESAR
SAMBIL memegang telepon erat-erat, aku menurunkan kakiku
ke lantai. Mulutku terasa sangat kering. "Todd... ada apa?" tanyaku tak
sabar, sambil berdiri tegak.
"Wa... wanita... wanita itu meninggal," ia tergagap-gagap.
"Hah?" Aku tidak yakin pendengaranku benar. "Wanita mana,
Todd? Apa maksudmu?" tanyaku dengan suara nyaring.
"Wanita di dalam mobil itu. Semalam," ia menjawab dengan
suara dipelankan. "Aku... aku tidak bisa bicara sekarang, Natalie. Ada
ibuku. Aku tidak mau dia mendengar."
Aku berdeham lagi. Kepalaku serasa berputar. Matahari pagi
menumpahkan cahayanya melalui jendela kamar tidurku, tapi
sekonyong-konyong aku merasa sangat kedinginan di sekujur
tubuhku. Aku membalikkan tubuh ke dinding dengan gemetar.
"Ada seorang wanita? Di dalam mobil yang kita tabrak itu?"
tanyaku.
"Yeah. Dan dia meninggal," bisik Todd. "Ini benar-benar berita
buruk, Natalie. Sudah disiarkan di radio dan dalam acara Beacon pagi
ini. Mereka bilang, dia tewas karena ulah seorang pengemudi tabrak
lari.""Ohhh!?" Aku terkesiap ngeri dan hampir-hampir menjatuhkan
gagang telepon.
"Kau yakin yang dimaksud itu mobil yang kemarin?" akhirnya
aku berhasil mengeluarkan pertanyaan.
"Yeah, kurasa begitulah," gumam Todd. "Di jalan buntu. Tidak
jauh dari River Road." Ia menghela napas. "Ayahku menelepon dari
kantor, dan katanya..."
"Apa? Ayahmu?" aku menyela ucapannya. "Apa urusan
ayahmu dengan peristiwa itu, Todd?"
Sesaat hening di ujung sana. Akhirnya Todd kembali berbicara.
"Ayahku bekerja untuk Walikota Coletti. Sudah kukatakan padamu,
itulah pekerjaan barunya."
"Lalu?" tanyaku tak sabar.
"Wanita yang kita tabrak itu...," kata Todd. "Dia adik
perempuan Walikota Coletti."
Aku terenyak ke tempat tidurku. Aku memejamkan mata dan
kembali terbayang olehku kabut semalam. Sekarang kabut itu serasa
mencekikku, melilit tubuhku dan membuatku tak bisa bernapas.
Lalu aku membuka mata dan memaksakan diri membuang
bayangan itu jauh-jauh. Aku mendesah panjang. "Todd, maksudmu
ayahmu..."
"Walikota menelepon ayahku pagi-pagi sekali tadi. Untuk
menghadapi wartawan surat kabar dan televisi. Kata ayahku, Walikota
akan mengupayakan apa pun?apa pun?untuk menemukan
pengemudi mobil yang menewaskan saudara perempuannya."
Aku terpaku menatap dinding. Mawar-mawar kecil di kertas
dinding tampak memudar di balik kabut pekat.Kabut itu masih saja kembali dan semakin meninggi, pikirku.
Sekonyong-konyong aku ingin kabut itu menyelimutiku. Aku
ingin bersembunyi di dalamnya. Menghilang ke dalam dinding-
dinding kabut tebal dan tidak pernah keluar lagi.
Bagaimana mungkin kami melarikan diri begitu saja semalam?
tanyaku pada diri sendiri.
Bagaimana mungkin kami menabrak mobil wanita itu dan
meninggalkannya di sana hingga ia tewas?
Tindakan kami sangat keterlaluan, sangat mementingkan diri
sendiri.
Kami lebih memikirkan kecemasan dan ketakutan kami
daripada berpikir untuk menyelamatkan nyawa orang lain.
Aku berjuang untuk menelan ludah. Tenggorokanku terasa
kering dan pecah-pecah. Mawar-mawar kecil di kertas dinding
memudar menjadi warna merah muda samar ketika air mata
menggenang di mataku.
Mungkinkah kami bisa menyelamatkan wanita itu seandainya
kami tidak melarikan diri? tanyaku pada diri sendiri. Bisakah kami
membawanya ke rumah sakit pada waktunya?
Kalau kami tidak melarikan diri...
Kalau kami tidak melarikan diri...
Kuhapus air mataku, lalu aku menatap radio jamku. Kalau saja
aku bisa memundurkan waktu, pikirku. Kalau saja aku bisa kembali ke
saat-saat semalam.
Kalau aku dapat memutar waktu kembali ke saat semalam, kami
akan punya kesempatan baru. Kesempatan untuk tinggal dan
menolong wanita yang kami tabrak itu.Saudara perempuan Walikota.
Aku menunduk dan melihat gagang telepon di pangkuanku.
Apakah aku sudah menutup pembicaraan dengan Todd? Apakah aku
mengatakan sesuatu padanya sesudah ia melaporkan berita buruk itu?
Aku tidak ingat.
Kuangkat gagang pesawat itu ke telingaku dan hanya
mendengar nada sibuk. Dengan tangan gemetar kuletakkan kembali
telepon itu.
Para pembunuh tabrak lari.
Kamilah para pembunuh tabrak lari itu. Selama ini istilah itu
hanya kudengar dalam berita-berita. Tak kusangka aku akan mengenal
orang seperti itu.
Tak kusangka aku akan menjadi salah satu di antaranya.
Kenapa kami tidak tetap tinggal?
Pertanyaan itu terus berkecamuk di dalam benakku, tak mau
pergi.
Kalau kami tertangkap, kami akan menghadapi kesulitan lebih
besar daripada yang selama ini bisa kami bayangkan.
Sekonyong-konyong sebuah tawa sinis keluar dari bibirku.
Randee begitu khawatir karena ia sedang dihukum semalam. Sekarang
hal itu tidak terasa sangat penting. Hukuman untuk para pengemudi
tabrak-lari jauh lebih berat daripada sekadar tidak diizinkan keluar
rumah, pikirku dengan getir.
Lalu sekarang bagaimana? Aku bertanya-tanya sambil
mengatupkan kedua tanganku yang sedingin es erat-erat di pangkuan,
sambil memandangi mawar-mawar kecil berwarna merah muda itu.
Sekarang apa? Apa yang harus kulakukan mulai sekarang?Haruskah aku menunggu dalam ketakutan? Menunggu
ditangkap?
Haruskah aku menghabiskan sisa hidupku dengan perasaan
takut kalau-kalau polisi menemukan kami?
Haruskah kuhabiskan sisa hariku dengan terus bertanya kapan?
Kapan aku akan ditangkap? Kapan seluruh dunia akan mengetahui apa
yang telah kami lakukan? Kapan hidupku yang normal dan bahagia ini
akan berakhir?
Satu kali telepon bisa mengakhiri semua itu. Satu telepon dari
seorang polisi yang berkata, "Kami tahu kaulah pelakunya. Kami tahu
kau ada di dalam mobil yang melarikan diri setelah menewaskan


Fear Street Jalan Buntu Dead End di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

saudara perempuan Walikota."
Jadi, apa yang mesti kulakukan? tanyaku pada diri sendiri.
Apa yang mesti kulakukan mulai saat ini? Haruskah aku
senantiasa ketakutan setiap kali telepon berdering?
Haruskah aku senantiasa berpikir, "Inilah telepon yang akan
menghancurkan hidupku"?
Ketika aku sedang memikirkan pertanyaan yang mencemaskan
itu, telepon berdering.Bab 6
KAU YANG BERIKUTNYA
DERINGAN pertama itu membuatku terlompat kaget dan
menjerit. Jantungku rasanya hampir copot.
Aku menelan ludah dengan keras sambil memandangi telepon.
Benda itu berdering tiga kali lagi sebelum aku mengangkatnya.
"Halo?" Suaraku hanya berupa bisikan serak.
"Natalie? Kau belum tidur? Atau aku membuatmu terbangun?"
"Keith!" seruku. "Tidak, aku masih bangun. Aku hanya... eh..."
Jantungku berdebar keras sekali, hingga aku hampir-hampir tak bisa
bicara.
"Dengar, tentang kemarin malam itu...," ia memulai. "Aku
minta maaf, Natalie. Aku..."
"Aku tidak bisa bicara sekarang," selaku.
"Hei, aku tahu kau marah padaku," lanjut Keith. "Aku tidak
menyalahkanmu. Sungguh. Tapi aku ingin mengatakan padamu..."
"Tidak, Keith. Maaf," aku menyela lagi dengan tajam, "aku
benar-benar tidak bisa bicara sekarang."
"Tapi aku harus bicara denganmu," ia merengek. "Semalam aku
mabuk berat, Natalie. Gara-gara bir itu. Aku tidak benar-benar
sadar..."Sekali lagi aku memotong ucapannya. "Keith... sampai nanti,"
kataku dengan tegas. "Nanti saja kalau mau minta maaf. Aku akan
meneleponmu. Aku janji. Dah!"
Aku membanting telepon. Aku terlalu cemas dan ketakutan
untuk mendengarkan permintaan maaf Keith.
Keith selalu begitu. Sering kali ia melakukan sesuatu yang
bodoh, sesuatu yang benar-benar sinting. Lalu ia membuatku sangat
marah, sampai-sampai rasanya aku ingin kabur atau putus hubungan
dengan anak itu selamanya.
Lalu keesokan paginya ia akan meneleponku dengan suara
manis dan minta maaf seratus kali, sampai aku berjanji tidak akan
marah lagi.
Tapi pagi ini suasana hatiku tidak mendukung.
*********
Kami berlima bertemu sore itu di Shadyside Park, di belakang
gedung sekolah kami. Hari Sabtu itu udara cerah dan dingin. Sepatu
sneaker kami melesak ke rumput yang masih basah bekas hujan
kemarin.
Di belakang sekolah, tiga anak yang kukenal sedang joging
mengitari lintasan. Persis di belakang lintasan itu sedang berlangsung
pertandingan sepak bola di lapangan latihan.
Kami menjauhi gedung sekolah, mengikuti jalan kecil yang
mengarah ke hutan dan ke Sungai Conononka di belakangnya. Kami
tahu tempat pertemuan ini tidak terlalu nyaman, tapi kami tak bisa
bicara di dekat-dekat orangtua kami. Kalau bertemu di restoran, kami
khawatir ada yang mendengarkan pembicaraan.Kami berhenti di sebuah meja piknik dari kayu di tepi hutan.
Bangku-bangkunya basah, tapi kami duduk juga di situ.
Seekor tupai kurus berwarna kelabu datang mendekati kami. Ia
berhenti beberapa meter dari meja dan mengangkat kaki depannya,
meminta makanan.
Todd tertawa. "Hei, tupai," katanya pada hewan itu. "Tidak
boleh minta-minta ya? Mestinya kau sudah mempersiapkan diri untuk
musim dingin."
Tupai itu tetap mempertahankan posisinya selama beberapa
saat. Kemudian, ketika melihat bahwa ia tidak akan diberi apa-apa, ia
pun lari kembali ke dalam hutan.
Aku menggigil. Aku mengenakan sweatshirt di atas kaus lengan
panjangku, tapi aku masih saja kedinginan. Mestinya aku mengenakan
mantel tadi.
"Siapa yang bawa kartu?" gurau Todd.
Tapi tidak ada yang tertawa. Sepertinya hanya Todd-lah yang
tidak terguncang dan cemas oleh kabar tentang apa yang telah kami
lakukan.
Gillian meringkuk di dekat Carlo di salah satu sisi meja piknik.
Rambut panjangnya yang merah kecokelatan tergerai agak menutupi
wajahnya. Ketika ia menyibakkannya, kulihat matanya merah dan
tajam, sementara wajahnya lebih pucat daripada biasanya.
Randee memegang bungkusan Life Savers yang belum dibuka
dan ia terus menggulung sambil memindah-mindahkan bungkusan itu
dari satu tangan ke tangan lainnya. Sepanjang sore itu ia hampir tidak
mengucapkan sepatah kata pun pada kami.Kulihat napas Randee pendek-pendek. Ia menghindari
tatapanku dan terus memfokuskan pandangannya pada bungkusan
Life Savers itu. Aku menduga ia sedang berusaha keras
mengendalikan diri agar tidak menangis histeris.
Carlo dengan gugup terus-menerus mendorong kacamatanya
yang berbingkai hitam ke atas hidungnya. Satu lengannya merangkul
bahu Gillian yang mengenakan jaket halus berwarna biru, dan ia terus-
menerus mencondongkan tubuh ke dekat Gillian sambil berbisik-bisik,
sepasang alisnya yang gelap turun-naik di atas kacamatanya,
sementara ekspresi wajahnya tampak tegang.
Todd berdiri di salah satu ujung meja, berusaha mengancingkan
salah satu lengan jaket denimnya yang sudah lusuh. Rambutnya yang
pirang-putih berkibar dalam embusan angin dingin.
"Aku kedinginan," kata Gillian. "Kenapa kita tidak mengadakan
pertemuan di tempat yang hangat sih?"
"Yeah, misalnya di Florida," gurau Todd.
Tapi lagi-lagi tidak ada yang tertawa.
"Aku benar-benar tak percaya semua ini terjadi," gerutu Randee
sambil menggeleng-gelengkan kepala. Ia memain-mainkan ikat kepala
ski-nya yang merah, yang ia kenakan di rambut pirangnya.
"Memang sudah terjadi," sahut Todd dengan muram.
"Apa ayahmu sudah mendapat kabar lagi?" tanyaku padanya.
"Apakah polisi..."
Todd menggelengkan kepala. "Aku tidak punya informasi
baru," ujarnya. "Ayahku belum mendengar apa-apa. Walikota
menawarkan hadiah..."
Randee terkesiap."Hadiah bagi siapa pun yang tahu sesuatu tentang peristiwa
tersebut," Todd menyelesaikan kalimatnya sambil menatap Randee.
"Kita mesti memberitahu mereka," kata Carlo sekonyong-
konyong.
Gillian berpaling ke arahnya dan menatapnya dengan terkejut.
"Kita mesti memberitahu mereka," Carlo bersikeras dengan
suara tegang bernada tinggi. "Kalau kita melaporkan hal ini pada
polisi dan menceritakan apa yang terjadi, mereka pasti mau mengerti.
Mereka akan lebih lunak pada kita."
"Hei... Carlo, apa katamu?" seru Randee. "Mudah saja bagimu
berkata begitu. Sebab bukan kau yang mengemudikan mobil itu."
Kulihat mata Todd menyipit, wajahnya tampak marah.
"Mereka pasti akan menangkap kita," kata Carlo dengan
nyaring. "Tinggal masalah waktu saja. Maka kitalah yang mesti bicara
pada mereka. Kita mesti melakukannya. Lagi pula semua itu cuma
kecelakaan."
Sementara Carlo berbicara, mataku tertuju pada Todd. Aku
merasa heran ketika mendadak wajah Todd menjadi merah padam. Ia
berkata marah pada Carlo sambil mengertakkan gigi, "Apa kau sudah
sinting? Apa kau benar-benar sudah sinting?"
Carlo tampak terperanjat dengan amarah Todd yang mendadak
itu. "Aku yakin polisi akan bersikap lebih lunak pada kita...," ia
memulai. Tapi Todd tidak memberi kesempatan pada Carlo untuk
menyelesaikan kalimatnya.
Todd mengulurkan tangan dan mencengkeram bagian depan
mantel Carlo. "Kalau kau mengkhianati kita, kau yang akan mati
berikutnya," bisik Todd. "Kau yang mati berikutnya, Carlo."Bab 7
SUMPAH RAHASIA
GILLIAN terkesiap.
Randee dan aku melompat dan mencengkeram Todd, lalu
menyentakkannya dari tubuh Carlo.
"Jangan mencengkeramku!" Carlo berseru marah. "Apa kalian
semua sudah sinting?"
Kedua anak itu saling melotot dengan dibatasi meja piknik.
Keduanya sama-sama merah padam dan terengah-engah.
"Todd, kenapa sih kau ini?" tuntut Gillian. "Kenapa tingkahmu
begitu sinting?"
"Kita tidak mungkin melapor ke polisi!" Todd berteriak marah,
masih sambil memelototi Carlo. "Pokoknya aku tidak mau dengar ada
yang menyebutkan soal pergi ke polisi!"
"Tapi, Todd...," aku memulai.
Todd melepaskan diri dari Randee dan aku, lalu memutar tubuh
untuk menghadapi kami. "Ayahku bisa kehilangan pekerjaan!"
serunya. "Kalau sampai ada yang tahu bahwa aku berada di dalam
mobil yang menabrak saudara perempuan Walikota, ayahku akan
dipecat. Bisa kalian bayangkan masalah yang bakal kuhadapi?"Lalu ia kembali menghadap ke Carlo dengan marah. "Kau tahu
sifat ayahku? Kau pernah melihat dia marah? Dia tidak akan pernah
memaafkan aku kalau tahu aku terlibat dalam urusan ini. Tidak akan
pernah!"
Carlo tidak menyahut. Ia merapikan bagian depan jaketnya,
matanya yang gelap disipitkan memandang Todd.
Gillian mencondongkan tubuh ke dekat Carlo sambil
membisikkan sesuatu di telinganya. Mungkin ia berusaha
menenangkan Carlo.
Lalu Gillian menatap Todd dengan marah. "Kita semua akan
terkena akibatnya," katanya ketus. "Kita semua bingung. Dan
ketakutan. Dan kacau. Tapi itu bukan alasan untuk histeris begitu,
Todd."
Ia memelototi Todd sampai anak itu menundukkan matanya.
"Sori," gumam Todd. "Kau benar. Aku lepas kendali tadi."
"Mestinya akulah yang lepas kendali," kata Randee sambil
membenamkan kedua tangannya di saku jaketnya, sambil mondar-
mandir dengan murung di depan meja piknik. "Akulah yang berada di
belakang kemudi. Akulah yang menabrak wanita itu. Yang me...
membunuhnya."
Lama kami semua terdiam.
"Seperti kukatakan tadi, kita semua akan menanggung
akibatnya," Gillian mengulangi.
"Kondisi ayahku di rumah sakit tidak begitu bagus," kata Carlo.
"Setiap kali aku mengunjunginya, kucoba membawakan berita baik.
Kucoba menghiburnya. Aku tidak ingin dia tahu apa yang telah kita
lakukan. Tapi aku tetap berpendapat...""Todd benar," sela Randee. "Kita tidak bisa melapor ke polisi.
Tidak bisa. Kita mesti berharap dan berdoa moga-moga tidak ada
yang melihat kita dan tidak ada yang bisa mengenali mobilku."
"Dan kita harus menyimpan rahasia itu," Todd menambahkan.
Ia bersandar di ujung meja, matanya memandangi kami bergantian.
Aku mengikat rambut hitamku yang panjang menjadi ekor kuda
dan terus mengelus-elusnya, sambil memikirkan apa yang dikatakan
teman-temanku. Aku tak bisa memutuskan, mesti sependapat dengan
Todd atau Carlo.
Aku merasa sangat tidak enak. Dengan susah payah aku
berusaha menahan air mataku agar tidak mengalir di depan mereka.
Aku tahu mestinya kami melapor ke polisi. Kami telah
mengakibatkan suatu kecelakaan terjadi, tapi kami kabur begitu saja.
Tanpa sengaja kami telah menewaskan seorang wanita. Mestinya
kami mengakui hal itu.
Tapi aku tak sanggup mengkhianati teman baikku. Randee-lah
yang waktu itu mengemudikan mobil. Randee-lah yang akan
menanggung akibat paling berat. Aku tak bisa melapor ke polisi,
kecuali kalau Randee sendiri menyetujuinya.
Dan kalaupun kami melaporkan peristiwa itu, apa gunanya?
Kalau kami mengaku, toh saudara perempuan sang walikota tak
bisa dihidupkan kembali.
Dan bukankah kami sudah mendapatkan pelajaran? Rasa takut
dan rasa bersalah ini sudah cukup merupakan hukuman bagi kami.
Hidup kami bisa hancur kalau kami melapor ke polisi. Dan
tindakan itu sama sekali tidak ada manfaatnya.
"Kalau kita tetap bersatu, kita akan baik-baik saja," desak Todd."Tapi aku akan selalu ketakutan setiap kali telepon berdering,"
sahut Gillian. "Setiap kali ada yang mengetuk pintu, aku akan mengira
yang datang itu polisi. Aku akan beranggapan mereka sudah
mengetahui kebenarannya dan mereka datang untuk menangkapku."
"Kita akan selalu dihantui rasa takut," tambah Carlo sambil
mendekatkan tubuh pada Gillian.
"Tidak perlu seperti itu," Todd bersikeras. "Ayahku kan bekerja
di kantor Walikota. Ingat? Dia ada di sana. Dia pasti akan melihat
laporan-laporan yang masuk. Dia akan menjadi orang pertama yang
mendapat berita."
"Jadi?" tanya Carlo.
"Jadi, aku bisa mencari tahu apakah polisi sudah berhasil
mendapatkan petunjuk," Todd melanjutkan. "Aku tinggal menanyakan
pada ayahku tentang kemajuan penyelidikan kasus tabrak lari itu. Dia
akan memberitahukannya padaku. Kita bisa tahu lebih dulu daripada
orang lain."
Aku menggigit-gigit bibir bawahku sambil berpikir keras.
"Sejauh ini, apa yang sudah dikatakan ayahmu?" tanyaku pada Todd.
"Kan sudah kubilang," sahut Todd tak sabar. "Mereka sama
sekali tidak punya petunjuk, Natalie. Tidak ada sedikit pun. Kita akan
aman. Kalau kita tetap bersatu."
"Kita tidak boleh memberitahukan hal ini pada siapa pun,"
Randee menambahkan dengan tegas. Tidak pada siapa pun. Ini harus
menjadi rahasia kita. Hanya kita berlima."
Randee berpaling padaku. "Pada Keith juga tidak," katanya.
"Keith sebenarnya baik, tapi dia tidak bisa menyimpan rahasia.""Yeah, Keith tidak boleh sampai tahu," Todd sependapat. Ia
menatapku dengan tajam, menantangku. "Kau keberatan tidak,
Natalie?"
Aku menggelengkan kepala. "Tidak. Aku tidak keberatan,"
gumamku.
Aku sebenarnya malah tidak terpikir untuk menceritakan ini
pada Keith. Aku sama sekali tidak ingat pada Keith.
Tapi aku ingat, aku harus meneleponnya. Aku mesti memberi
kesempatan padanya untuk minta maaf atas kelakuan konyolnya
semalam.
Kubayangkan Keith dan rambut cokelatnya yang halus, yang
suka kutarik-tarik, dan sepasang mata cokelatnya yang penuh
perasaan.
Bisakah aku menyimpan rahasia mengerikan ini darinya? Kalau
sedang bersamanya, bisakah aku berpura-pura bahwa segalanya baik-
baik saja? Bahwa aku masih tetap seorang siswi SMA yang bahagia
seperti biasanya?
Ya, jawabku pada diri sendiri.
Natalie, kau tidak punya pilihan. Kau mesti menyimpan rahasia
itu. Kita semua mesti menyembunyikannya. Supaya kita selamat.
Todd menjauhkan diri dari meja. Aku menangkap kilat senang
yang kejam di matanya yang pucat. "Mari kita bersumpah," katanya
serius.
"Ha? Apa?" tanya Carlo.
"Mari kita bersumpah," Todd mengulangi dengan tak sabar.


Fear Street Jalan Buntu Dead End di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau tahu kan, sumpah untuk menjaga kerahasiaan." Sambil mundurke arah rumput yang basah, ia memberi isyarat dengan kedua
tangannya. "Ayo. Kita membentuk lingkaran. Semuanya."
Aku ragu dan hanya memandangi yang lain. Randee maju
dengan antusias untuk bergabung dengan Todd. Gillian dan Carlo juga
ragu-ragu, ekspresi mereka tegang dan tidak pasti.
Embusan angin kencang membuat pepohonan berdesir dan
bergoyang. Terpaan udara dingin yang tajam membuatku memeluk
tubuhku sendiri, dan aku mulai melangkah ke arah Todd.
Sekonyong-konyong aku merasa seolah-olah ada suatu tenaga
aneh yang menarikku. Tenaga yang lebih kuat daripada diriku,
daripada kami semua, dan tenaga itu menarik kami hingga membentuk
lingkaran. Menarik kami bersama di tempat terbuka yang dingin di
hutan ini, untuk mengucapkan sumpah rahasia.
Tiupan angin semakin kencang ketika Randee, Todd, dan aku
menunggu Gillian dan Carlo bergabung dengan kami.
Kami berpegangan tangan. Randee meremas tangan kiriku
dengan keras. Tangan Carlo yang menggenggam tangan kananku
terasa dingin sekali, dingin dan basah.
Kami berdiri dengan canggung, membentuk lingkaran, saling
pandang dengan wajah serius. Tak ada yang berbicara. Satu-satunya
suara yang terdengar hanyalah desir angin di antara pepohonan.
Todd memecahkan keheningan itu dengan suara pelan bernada
serius. "Kami semua bersumpah akan menyimpan rahasia itu,"
katanya.
Sumpah yang sangat sederhana.
Janji yang amat sederhana.Saat berpegangan tangan dengan teman-temanku sambil
memandangi wajah mereka, aku sama sekali tidak membayangkan
kengerian yang akan muncul akibat sumpah itu.
Tak terbayang berapa banyak di antara kami akan mati
karenanya.Bab 8
APA YANG DIKETAHUI KEITH?
SESUDAH makan malam, aku naik ke kamarku. Kuambil
sweater-ku yang paling berat dan paling hangat dari laci pakaian dan
kukenakan untuk menutupi sweater tipisku.
Tapi tubuhku belum terasa hangat juga. Sejak kembali dari
Shadyside Park, aku terus kedinginan. Mungkin aku akan jatuh sakit.
Tapi setelah kuperiksa ternyata temperatur badanku normal.
Aku berbaring di tempat tidur dan memandangi tembok... lama.
Sabtu malam yang hebat, pikirku dengan getir. Mungkin sebaiknya
aku membuat PR. Agar situasi menyebalkan ini semakin sempurna.
Tadi Keith menelepon lagi, ketika aku sedang bersama teman-
temanku itu. Ia meninggalkan pesan di mesin penjawab, memintaku
meneleponnya begitu aku pulang, sebab katanya ia benar-benar perlu
bicara denganku.
Aku tahu, aku tahu, pikirku sambil menarik napas. Kau ingin
minta maaf, supaya semuanya bisa kembali seperti biasa.
Kutahan isakanku. Segalanya tidak akan pernah bisa kembali
seperti semula, pikirku. Tidak akan pernah.
Aku tidak membalas teleponnya.Sekarang jam setengah delapan. Di luar jendelaku langit hitam
pekat. Hitam legam, pikirku dengan murung.
Aku beranjak bangkit dan menghampiri meja kecilku.
Sebenarnya meja itu lebih sesuai untuk anak-anak, tapi hanya meja
seukuran itulah yang cocok untuk kamarku yang mungil.
Aku akan menulis puisi saja, pikirku. Dengan demikian, ada
bahan lain untuk dipikirkan, untuk mengalihkan pikiranku.
Selama ini aku sudah menulis puisi tentang setiap bulan dalam
setahun. Semacam puisi bebas tentang kesan setiap bulan. Aku baru
sampai pada bulan Mei.
Musim semi, pikirku. Dedaunan hijau. Udara lembut dan
hangat.
Aku mendesah panjang. Bulan Mei masih lama. Musim dingin
baru saja dimulai. Dan aku sudah menggigil kedinginan.
Aku duduk di depan meja dan melipat kakiku di bawah meja
rendah itu. Kemudian kukeluarkan buku notesku serta beberapa
batang pensil dari laci.
Baru saja aku menuliskan "Mei" di sebelah atas halaman
pertama yang masih kosong, Mom masuk ke kamarku, membawa
setumpuk pakaian bersih yang dilipat rapi.
Ia meletakkan pakaian-pakaian itu di tempat tidurku dan
menoleh ke arahku. "Malam ini kau di rumah?" tanyanya.
Aku mengangguk. "Yeah. Aku sedang punya gagasan untuk
puisi," kataku sambil memutar-mutar pensil di antara jemariku.
"Simpan semuanya, ya?" Mom memberi isyarat ke arah
tumpukan pakaian itu. "Maksud Mom sesudah kau selesai menulis
puisimu."Mom dan aku sangat mirip. Kami sama-sama memiliki rambut
hitam lurus dan kulit putih pucat serta mata biru. Dan kami juga sama-
sama bertubuh pendek, agak kurus.
Mom melintasi ruangan dan memegang bahuku dengan lembut
sambil memandang buku notesku. "Mei," katanya. "Pembukaan yang
sangat puitis."
"Ha ha. Lucu sekali," kataku sambil memutar-mutar mata.
"Bagaimana pesta semalam?" tanya Mom sambil mengelus-elus
rambutku.
Pertanyaan itu mengejutkanku. "Tidak enak," aku menjawab
sejujurnya.
"Tidak enak?" Mom menunggu aku melanjutkan.
"Beberapa pemuda dari sekolah lain membawa bir dan
meminumnya di garasi," kataku. "Suasananya jadi terlalu ramai dan
liar."
Mom masih terus mengelus-elus rambutku, seperti yang biasa
dilakukannya ketika aku masih kecil. Sekonyong-konyong aku merasa
sangat sedih. Rasanya aku ingin menjadi anak kecil lagi.
Aku ingin meringkuk di pangkuan ibuku dan menceritakan
padanya seluruh kisah mengerikan itu.
Untungnya Mom segera berhenti mengelus-elus rambutku dan
menjauh. Perasaan sedihku lenyap. "Kenapa Keith tidak datang malam
ini?" tanyanya sambil beranjak ke pintu.
"Entahlah," sahutku sambil angkat bahu. Lalu aku kembali
asyik dengan puisiku.
Mom berhenti di ambang pintu. "Dia meninggalkan pesan
untukmu di mesin penjawab. Apa kau sudah meneleponnya?""Belum," sahutku singkat.
"Apa kau dan Keith..." Suara Mom terhenti.
Mom sudah tahu sifatku. Ia tidak akan menanyakan urusan-
urusan pribadiku, sebab ia tahu aku selalu marah karenanya.
"Nanti saja dia kutelepon," kataku, berusaha terdengar biasa-
biasa saja.
Aku merasa Mom masih terus menatapku, tapi aku tidak
menoleh. Setelah beberapa saat, kudengar langkah kakinya menuruni
tangga.
Aku mencoba memusatkan pikiran pada puisiku. Tapi suasana
hatiku sama sekali tidak seperti di bulan Mei. Jauh dari itu.
Aku tak bisa melenyapkan peristiwa kecelakaan itu dari
benakku. Kejadiannya sudah berlalu hampir dua puluh empat jam, tapi
aku masih saja mendengar suara benturan keras bemper mobil kami
ketika menabrak mobil satunya itu, dan aku masih saja melihat mobil
itu bergoyang kencang. Dalam sorotan lampu besar yang terang aku
melihat bayangan wanita itu melintas di kaca belakang. Aku
merasakan mobil kami berguncang. Leherku patah. Rasa sakit itu
menyerang kembali.
Dan kengerian itu. Kengerian hebat itu.
Suara decit ban-ban ketika mobil kami melesat oleng di aspal
yang basah, kemudian menderu pergi.
"Oh, hentikan, Natalie!" pekikku keras-keras. "Hentikan!"
Kumasukkan kembali buku notesku ke laci meja. Malam ini aku
tak mungkin bisa membuat puisi musim semi yang indah. Tak
mungkin.Aku bangkit dari belakang meja rendah itu, berbalik ke pintu
kamar tidur... dan terpaku.
Keith berdiri di ambang pintu dengan kedua tangan di
kusennya. Matanya yang gelap menatapku dengan tajam.
"Sudah... sudah berapa lama kau berdiri di situ?" tanyaku
terbata-bata.
Keith masuk ke dalam kamar. "Aku baru saja tiba, Natalie.
Ibumu yang membukakan pintu."
"Oh... kau mau apa?" tanyaku dengan nada dingin sambil
melipat tangan di depan dada.
"Kita mesti bicara," katanya. "Aku ingin..."
"Tidak... jangan, Keith," aku memohon. "Jangan malam ini.
Oke? Aku sedang tidak enak badan, dan..."
"Tidak!" sahutnya ketus. "Kita mesti bicara sekarang"
Kemudian matanya menyipit menjadi tatapan tajam menuduh, dan ia
menambahkan dengan suara pelan, "Natalie... aku tahu rahasiamu."Bab 9
KABAR BURUK
AKU merasa seperti tertusuk potongan es tajam. Aku
terperangah. "Apa katamu?"
Keith masih menatapku dengan sorot mata menuduh. "Aku tahu
rahasiamu," ulangnya.
"Tapi bagaimana...?"
"Kau ingin mencampakkanku... benar kan?" ia menuduhku.
"Itulah yang diam-diam kauinginkan. Kau ingin mencampakkanku,
lalu pacaran dengan Todd."
Tawaku nyaris meledak. Aku merasa sangat lega karena ia tidak
mengetahui rahasia kami yang mengerikan itu.
"Keith...," kataku. "Kau salah. Kau seratus persen salah." Aku
melompat dan mengalungkan lengan di tubuhnya.
Kami berdiri di tengah ruangan sambil berpelukan;
kutempelkan pipiku di pipinya. Sangat menyenangkan rasanya. Aku
tak ingin melepaskannya.
Tapi ketika akhirnya aku melepaskan pelukan, kulihat Keith
tampak bingung. "Ada masalah?" tanyanya sambil mengamatiku
dengan matanya yang berwarna gelap.Aku terengah-engah. Jantungku berdebar-debar seperti sayap
kupu-kupu.
Sekonyong-konyong aku merasa begitu rapuh seperti kupu-
kupu.
Rapuh dan tak berdaya. Bayangan seekor kupu-kupu yang
terluka, dengan sayap robek, melintas di benakku.
Kusingkirkan bayangan itu jauh-jauh. "Tidak. Aku... baik-baik
saja," aku berhasil juga bicara. Lalu aku menarik napas panjang. "Dan
aku sama sekali tidak berminat pada si Todd," kataku pada Keith.
"Kenapa kau punya pikiran begitu?"
"Kau pulang bersamanya semalam," sahut Keith sambil
berpaling ke jendela.
Aku tertawa. "Tidak!" seruku sambil mendorong Keith dengan
bercanda. "Aku pulang bersama Randee. Soalnya kau terlalu mabuk
untuk mengemudi." Ebukulawas.blogspot.com
"Aku melihatmu bicara dengan Todd di pesta," Keith
bersikeras. "Lalu aku melihat kau pulang dengannya."
"Bohong," kataku. "Bukan aku yang pulang dengan dia. Dia
yang pulang bersama kami."
Keith ingin mendebat lagi, tapi aku menekap mulutnya dengan
tangan. "Dengar, Keith, aku tidak tertarik pada Todd, oke? Kalau kau
ingin tahu yang sebenarnya... aku justru agak takut padanya."
"Ha?" Keith tampak terkejut. "Takut?"
"Tubuhnya besar sekali," kataku. "Dan kupikir dia punya bakat
menjadi orang jahat."
"Aku sudah lama mengenal Todd," sahut Keith. "Menurutku dia
tidak terlalu menakutkan." Ia menyapukan tangannya dengan tegangdi rambut cokelatnya yang berombak. "Dengar, Natalie, kita mesti
bicara."
"Kupikir saat ini kita sedang bicara," sahutku ketus.
Ia mengerutkan kening. "Maksudku..." Ia terdiam. Matanya
menatapku lekat-lekat. Kelihatannya ia sedang berpikir keras.
Aku sangat ingin menceritakan padanya tentang peristiwa
semalam. Aku ingin menceritakan semuanya padanya. Sangat sulit
menyimpannya sendiri. Peristiwa itu memenuhi benakku. Aku
terobsesi.
Masa aku akan tetap merahasiakannya dari Keith?
Lalu aku teringat sumpah kami yang sungguh-sungguh di
taman. Saling berpegangan tangan. Berjanji tidak akan membuka
rahasia itu pada siapa pun. Kami akan menyimpannya rapat-rapat?
selamanya.
Aku sadar bahwa kalau Keith masih tetap di sini, aku tidak akan
bisa menahan diri. Aku pasti akan menceritakan apa yang terjadi.
Aku tahu aku takkan bisa menghentikan diri. Segalanya masih
sangat segar dalam ingatanku. Masih sangat menyakitkan,
membingungkan.
"Aku... aku tidak bisa bicara sekarang," kataku terbata-bata.
"Aku mesti mengerjakan PR. Sungguh." Aku memberi isyarat ke arah
meja.
Keith memandangiku dengan menyelidik. Apakah ia curiga ada
yang tidak beres, benar-benar tidak beres?
"Bye. Sudah dulu ya," kataku, mencoba bersikap biasa dan
riang. Kudorong ia ke arah pintu."Whoa." Ia mencengkeram tanganku dan memeganginya
sejenak, masih sambil mengamati wajahku. "Apa kau akan pergi ke
pondok hari Sabtu depan?"
"Apa?" Pertanyaan itu mengejutkanku. Aku sama sekali tidak
mengerti apa yang dimaksudnya.
"Kau tahu kan? Pondok itu. Pondok milik paman Carlo," Keith
melanjutkan. "Apa Carlo belum mengundangmu?"
Aku menggeleng. "Oh, aku tahu pondok itu. Tadi aku cuma
lupa."
Paman Carlo, George, mempunyai sebuah pondok berburu yang
sangat besar dan sudah tua di luar Vermeer Forest. Pondok itu sudah
agak bobrok dan tidak begitu bagus. Setiap musim dingin, Paman
George mengizinkan Carlo mengundang beberapa orang teman untuk
menginap dan berakhir minggu di sana.
Aku ingat tahun lalu daerah itu sangat indah ketika turun salju.
Kami semua senang sekali menjelajahi hutan. Pada malam hari kami
memanggang hot dog dan hamburger dan menikmati minuman cider
panas yang manis.
Lumayan.
"Kau sendiri akan pergi ke sana Sabtu depan?" tanyaku pada
Keith.
Ia menggelengkan kepala dengan muram. "Tidak bisa. Aku
mesti mengunjungi beberapa orang sepupu bersama orangtuaku."
"Kalau begitu, mungkin aku juga tidak akan pergi," kataku
setelah berpikir-pikir.
"Jangan, kau pergi saja," desak Keith. "Kau harus pergi."Aku menyipitkan mata memandanginya. "Ha? Memangnya
kenapa?"
"Soalnya, cowok idamanmu si Toddy Woddy bakal ada di
sana!" serunya, meniru gaya bicara anak kecil yang menyebalkan.
Lalu ia tertawa terbahak-bahak. Kudorong dia sekali lagi, lalu
kuberi ciuman panjang dan lembut, sebelum akhirnya kusuruh pulang.
************
Malam itu aku menelepon Todd. "Ada kabar baru?" tanyaku.
"Tentang... kau tahu kan?"
Todd menjadi marah mendengar pertanyaanku. "Apa kau akan
meneleponku setiap jam untuk menanyakan kabar baru?" jawabnya
ketus.
"Lho! Tunggu dulu, Todd..." Aku mulai memprotes.
Todd mengerang. "Sudahlah, Natalie. Jangan meneleponku,
oke? Saudara-saudaraku ada di sekitar sini. Orangtuaku ada di ruang


Fear Street Jalan Buntu Dead End di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sebelah."
"Aku cuma ingin tahu, apa kau sudah mendengar kabar apa
pun," kataku.
"Kalau aku mendengar apa-apa, kau pasti akan kuberitahu," ia
menjawab dengan dingin, lalu menutup telepon.
Kubanting pesawat penerima di tanganku dengan marah.
"Bedebah!" teriakku keras-keras. Aku menggeleng-gelengkan kepala.
Bagaimana mungkin Keith bisa mengira aku naksir Todd? Todd
benar-benar menyebalkan.
Beberapa hari kemudian, aku malah punya alasan yang lebih
kuat untuk tidak menyukai Todd. Dan untuk merasa takut padanya.Hari-hari berlalu lamban. Aku akan menghadapi ujian penting
dalam mata pelajaran kimia dan matematika tingkat lanjut. Tapi aku
merasa beruntung juga, sebab kesibukan belajar bisa membantuku
melupakan peristiwa kecelakaan itu.
Pada hari Selasa, Todd mencegat aku dan Randee di luar ruang
olahraga. Setelah memastikan tidak ada orang lain di dekat-dekat situ,
ia memberitahu kami bahwa tekad Walikota untuk menemukan
pembunuh saudara perempuannya semakin kuat. Beliau bahkan
menawarkan bonus istimewa untuk petugas polisi mana pun yang bisa
memberikan petunjuk penting.
"Ayahku agak cemas melihat keadaan Walikota," kata Todd.
"Beliau dan saudara perempuannya itu sangat dekat. Walikota Coletti
selalu saja membicarakan saudarinya itu."
Ucapan Todd membuatku merinding.
Kalau sang walikota begitu terobsesi, berarti dia tidak akan
menghentikan pencarian, pikirku. Berapa lama lagi sebelum dia
berhasil mencium jejak kami?
Berapa lama lagi?
***********
Hari Jumat malam, sesudah makan, aku mengemasi pakaian
untuk berakhir minggu di pondok berburu itu. Cuaca sangat dingin
menggigit. Tanah dilapisi hamparan salju halus yang tebal.
Aku membawa semua sweater dan pakaian paling tebal yang
kumiliki. Aku ingat bahwa pondok Paman George bukanlah tempat
yang hangat.
Aku masih terus berdebat dalam hati, apakah aku akan senang
menghadapi akhir minggu ini. Aku kecewa karena Keith tidak ikutpergi. Tapi ada Randee dan Gillian. Dan kupikir perubahan suasana
mungkin bisa membantu kami melupakan rahasia mengerikan itu.
Hampir seminggu sudah berlalu, kataku pada diri sendiri,
sambil dengan susah payah berusaha menutup tasku yang kecil. Dan
menurut ayah Todd, polisi masih belum mendapatkan petunjuk.
Mungkin kami akan baik-baik saja, kataku pada diri sendiri.
Mungkin kami bisa hidup seperti biasa.
Lalu telepon berdering. Dari Todd. Membawa kabar buruk.Bab 10
CUMA BERCANDA?
"KITA mesti bertindak terhadap Carlo," bisik Todd.
"Apa?" Aku tidak yakin telah mendengar ucapannya dengan
benar. Kata-katanya tidak masuk akal. "Kau bisa bicara lebih keras,
tidak?" tuntutku.
"Tidak," bisiknya. "Diamlah dan dengarkan, Natalie."
Dasar si Todd. Selalu "manis" seperti biasa.
"Kita mesti bertindak terhadap Carlo," ia mengulangi. Suaranya
kedengaran mendesak. Tegang. Belum pernah aku mendengar ia
bicara seperti itu.
"Memangnya ada apa?" tanyaku sambil mendekatkan pesawat
telepon ke telingaku.
"Carlo meneleponku sesudah makan malam," Todd
melanjutkan, masih dalam bisikan tegang dan menakutkan itu.
"Katanya dia tidak tahan lagi."
"Maksudmu tentang...?" Aku tak bisa menyambung kalimatku.
"Ya," sahut Todd cepat. "Katanya hal itu menyiksanya. Dia jadi
tidak bisa makan. Tidak bisa tidur." Todd memperdengarkan erangan
sinis. "Carlo memang payah," gerutunya.
"Dia... dia akan melakukan apa?" tanyaku terbata-bata."Melapor ke polisi," ujar Todd.
Lama aku tidak menjawab. Aku berusaha menyerap berita ini.
"Mungkin itu yang terbaik," kataku akhirnya. "Tapi Randee pasti tidak
akan senang mendengarnya."
"Sudah pasti," Todd menggerutu sinis. "Dengar, Natalie... temui
aku di Pete's Pizza lima belas menit lagi. Oke?"
"Ha? Buat apa, Todd?"
Ia tidak mengacuhkan pertanyaanku. "Aku akan menghubungi
yang lain-lain," ia melanjutkan, tetap dengan berbisik. Dari seberang
sana kudengar adik perempuan Todd memanggil-manggil. "Lima
belas menit lagi. Oke?"
Kukatakan aku akan mencoba, lalu aku menutup telepon.
Seluruh tubuhku gemetar. Baru saja aku merasa lebih baik, sekarang...
Tidak banyak manfaatnya mengadakan pertemuan, kataku pada
diri sendiri, sambil menyikat rambutku dengan cepat dan gugup.
Kuambil parka merahku dari lemari, lalu kukenakan.
Kalau Carlo merasa harus melapor ke polisi, apa yang bisa kami
lakukan? pikirku sambil mendesah panjang. Mungkin kami semua
seharusnya mengikuti jejaknya.
Aku menuruni tangga. Dad mengangkat wajah dari majalah
komputer yang sedang dibacanya dan menatapku dari kursinya. "Mau
ke mana?"
"Eh... menemui Randee di mall," sahutku. Tidak seratus persen
bohong sih.
Dad melihat arlojinya dan mengerutkan kening. "Randee ada
perlu sedikit," kataku.Dad mengangguk dan kembali membaca majalahnya. Kudengar
Mom sedang bersenandung sendiri di meja makan, sambil
membereskan album foto keluarga. Mestinya sudah dua tahun yang
lalu dibereskan, pikirku. Foto-foto bertebaran di sekitar Mom.
Suasana yang tenang dan nyaman, pikirku dengan getir sambil
keluar ke udara dingin. Kalau saja mereka tahu...
***********
Aku yang datang paling akhir. Kulihat Randee, Gillian, dan
Todd berada di booth merah panjang di bagian belakang restoran piza
itu. Aku bergegas menghampiri mereka.
Randee tidak melepaskan mantel hangatnya. Gillian
mengenakan sweater lavender yang sangat sesuai dengan rambutnya
yang merah kecokelatan.
Dari ekspresi wajah mereka yang tegang dan tidak bahagia, aku
bisa menduga bahwa pembicaraan sudah dimulai. "Kita tidak bisa
membiarkan Carlo menghancurkan semuanya," kata Randee ketika
aku duduk di sampingnya.
"Tapi apa yang bisa kita lakukan?" tuntut Gillian dengan nada
tinggi. "Aku bicara dengannya tadi, sepulang sekolah. Aku sudah
memohon-mohon dan mengemis-ngemis. Sungguh."
Hanya Gillian yang sebenarnya bisa membujuk Carlo.
"Lalu? Apa katanya?" tanyaku tak sabar.
Gillian menunduk. "Kata Carlo, dia sudah membulatkan tekad.
Katanya dia tidak tahan menanggung rasa bersalah. Dia tidak bisa
mempertahankan sumpah kita. Dia harus melapor ke polisi."Aku memandang Todd. Sejak aku datang, ia belum
mengucapkan sepatah kata pun. Ia duduk di seberangku, memutar-
mutar botol lada di tangannya.
Akhirnya Todd mengangkat mata birunya. Wajahnya tetap
kosong. Tanpa ekspresi. "Mungkin Carlo mesti mengalami kecelakaan
juga," katanya pelan.
Kami bertiga terkesiap.
Kupandangi Todd dengan tajam. Kucoba membaca pikirannya.
Sekonyong-konyong matanya tampak sangat dingin dan wajahnya
keras.
Randee tertawa nyaring dan gugup. Gillian ternganga karena
sangat terkejut.
"Kau cuma bercanda, kan?" tuntutku. "Todd... kau bercanda?"
"Benar," kata Todd akhirnya, sambil tersenyum tipis. "Memang
cuma bercanda. Apa lagi?"Bab 11
TEMBAKAN PERTAMA
HARI Sabtu, pagi-pagi sekali, kami pergi ke pondok berburu
paman Carlo, dengan naik Jeep Todd. Matahari bersinar rendah bagai
bola merah di langit pagi, menerangi tanah yang berselimut salju halus
dan tampak gemerlapan bagaikan perak.
"Hari ini pasti indah," kata Randee sambil menguap. Ia duduk
di depan, di samping Todd.
Gillian dan aku duduk di belakang, meringkuk mengantuk di
kursi mobil. "Sayang Keith tidak bisa ikut," kata Gillian sambil
memandangi pertanian-pertanian yang kami lewati.
Aku mengangguk. "Yeah. Sayang sekali."
Todd mencibir. "Ingat tidak, tahun lalu Paman George
mengajak kita berburu? Keith hampir menembak kakinya sendiri."
"Apa yang lucu dari peristiwa itu?" tanyaku dengan nada
marah, melebihi yang kumaksudkan.
Sambil nyengir lebar, Todd menggeleng-gelengkan kepala.
"Mestinya kau ada di sana waktu itu. Kejadiannya lumayan lucu."
"Tapi lebih lucu lagi ketika kau lari tunggang-langgang
mengejar chipmunk," komentar Gillian. Rambutnya yang merah
kecokelatan bersinar bagai nyala api ketika matahari menyoroti Jeepkami. "Kau mengejarnya seolah-olah binatang itu seekor kijang
buruan."
"Dari mana kau mendengar itu?" tuntut Todd.
"Oh, diberi tahu oleh seekor burung bernama Carlo," sahut
Gillian penuh arti. "Carlo selalu menceritakan semuanya padaku."
"Aku cuma bercanda," kata Todd sambil mengerutkan kening.
"Aku tidak benar-benar mencoba menembak binatang itu. Aku cuma
ingin senang-senang."
"Senang-senang? Dengan menembaki seekor chipmunk kecil
yang lucu?" gerutuku.
"Binatang itu galak sekali," Todd bergurau. "Aku mesti
membunuhnya, atau aku yang dibunuh."
Randee mengerutkan kening. "Jadi, kalian mau berburu tahun
ini?"
"Sementara itu, kami gadis-gadis ditinggal untuk berkeliaran di
sekitar pondok," Gillian mengeluh.
"Anak perempuan tidak usah berburu," kata Todd padanya.
"Anak perempuan tinggal di rumah saja, menunggu kaum pria
membawa pulang makanan."
Dasar manusia purba! Kupikir ia benar-benar serius.
"Siapa tahu aku lebih pandai berburu daripada kau!" tantang
Randee.
Todd mencibir dan menggelengkan kepala. "Masa?" gumamnya
sinis.
"Randee, apa kau serius? Masa kau sampai hati menembak
binatang buruan yang tidak berdosa?" Gillian bertanya dengan
terkejut."Mungkin saja," sahut Randee sambil berpikir-pikir. "Pada
musim panas yang lalu, kami pergi ke karnaval. Di sana ada arena
tembak. Kau tahu, kan, permainan menembakkan senapan angin ke
objek yang bergerak. Aku mahir sekali melakukannya. Orangtuaku
menggodaku terus selama berhari-hari. Kata mereka, aku punya
insting pembunuh."
Ucapan Randee kembali mengingatkanku akan peristiwa tabrak
lari yang kami lakukan. Sambil bersandar di bangku mobil, aku
memejamkan mata dan berusaha mengenyahkan bayangan
menakutkan itu dari pikiranku.
"Tidak usah berburu tahun ini," gumamku. "Mari kita jalan-
jalan dan bersenang-senang saja."
Tidak ada yang banyak bicara selama sisa perjalanan itu.
Menjelang pukul sepuluh, Todd menghentikan Jeep di jalan kerikil
panjang yang menuju pondok berburu tersebut.
Kami turun dan meregangkan badan serta kaki sambil
melayangkan pandang ke hutan. Pohon-pohon yang gundul
menimbulkan bayang-bayang biru yang panjang di sekitar kami. "Pagi
yang indah sekali," kata Gillian. "Tidak terlalu dingin malah."
"Menurutku sebaiknya kita berjalan-jalan jauh ke hutan," aku
mengusulkan.
Aku memandangi pondok berburu yang dibuat dari kayu-kayu
berwarna gelap itu. Bangunannya rendah. Asap putih mengepul keluar
dari cerobong di salah satu sisinya. Sebuah kereta sorong tua yang
sudah berkarat dan penuh dengan kayu api berdiri di samping beranda
depan yang rendah, yang memenuhi sepanjang bangunan.Seekor tupai berdiri dengan kaki belakangnya di pagar kayu di
depan beranda. Binatang itu melompat dan menghilang ke dalam
hutan ketika pintu terbuka. Carlo dan Paman George-nya bergegas
keluar untuk menyambut kami.
Paman George bertubuh jangkung dan berwajah merah, dengan
kumis putih tipis. Ia mengenakan jaket berburu dari bahan flanel
merah dan topi dengan penutup telinga dari bulu binatang, seperti
yang biasa dikenakan pemburu di film-film kartun.
Carlo mengenakan jeans belel dan jaket denim. Ia tersenyum
menyambut kami, tapi menurutku ia kelihatan pucat dan tegang.
Rambut hitamnya tidak disikat, dan ia menyipitkan mata karena silau
oleh cahaya matahari yang menembus kacamatanya.
Carlo dan Gillian bertukar pandang penuh arti. Aku sama sekali
tak bisa menebak apa yang mereka rahasiakan.
Paman George bersuara lantang. Ia menyambut kami semua
dengan hangat dan memimpin jalan menuju pondok. "Sepanjang pagi
aku dan Carlo bekerja keras membuat sarapan di tungku yang panas,"
katanya.
"Apa sarapannya?" tanyaku.
"Salju beku," sahut Carlo.
Kami tertawa.
Semua orang tampaknya sedang gembira. Mungkin hari ini
tidak akan terlalu buruk, pikirku penuh harap.
Pondok itu masih berdebu dan lusuh, seperti yang kuingat
selama ini. Paman George tidak terlalu teliti mengurus rumah. Tapi
kurasa itu tidak penting bagi para pemburu yang hanya menghabiskan
satu-dua malam untuk berburu di hutan.Sarapan kami cukup enak?sereal, muffin blueberry yang
hangat, dan kopi di mug-mug besar. Paman George menceritakan
kisah-kisah lucu tentang beberapa pemburu aneh yang pernah
menginap di pondok ini.
Api di perapian batu yang besar bergemeretak dan
menimbulkan suara yang menyenangkan. Sementara duduk di depan
meja kayu ek yang besar di tengah ruang makan, aku bisa merasakan
kehangatan lidah api di punggungku.
Sesudah sarapan, Paman George mengantar kami ke kamar,
untuk membongkar barang-barang bawaan. Aku berpikir-pikir tentang
Carlo sambil mengeluarkan beberapa barang yang kubawa ke lemari
kayu pinus yang kecil. Tadi Carlo tidak ikut mengobrol atau tertawa
saat sarapan. Biasanya pun ia memang pendiam, tapi kulihat hari ini ia
bukan hanya diam... tapi juga murung.
Sering kali ia menatap Gillian sekilas, seolah-olah berusaha
mengatakan sesuatu padanya. Apakah mereka berdua sudah
membicarakan lebih lanjut tentang keputusan Carlo untuk melapor ke
polisi? Apakah Gillian sudah berhasil membujuk Carlo untuk
membatalkan niatnya? Atau ia masih berusaha membujuk?
Aku tak bisa menebak dari isyarat mata mereka.
Dan aku tak bisa lama-lama mereka-reka. Paman George sudah
memanggil-manggil kami semua dengan suara lantang.
Aku menemukan ia di ruang senapan. Ia telah membuka pintu
lemari kaca dan sedang membagikan senapan pada anak-anak laki-
laki ketika aku masuk.
Oh, tidak, pikirku tak senang. Haruskah mereka pergi berburu
lagi? Membosankan."Natalie, apa kau mau bergabung dengan kami tahun ini?"


Fear Street Jalan Buntu Dead End di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Paman George bertanya sambil mengangkat mata ke arahku.
Aku menggeleng. Melihat senapan masih tetap membuat
perasaanku tidak enak. "Mungkin aku mau jalan-jalan saja," sahutku.
"Aku juga," kata Gillian. "Natalie dan aku sama-sama penakut."
"Kami bukan penakut. Kami hanya tidak suka kekerasan," aku
mengoreksi.
"Kau memang penakut," goda Todd sambil nyengir lebar.
"Randee mau ikut berburu."
"Apa?" Gillian dan aku terperangah memandang Randee.
Randee menghindari tatapan kami.
Todd mulai memberi kuliah pada Randee tentang mekanisme
senjata yang dipegangnya.
Todd melingkarkan lengan di bahu Randee untuk
mendemonstrasikan cara membidikkan senjata itu. Menurutku itu
cuma alasan agar ia bisa merangkul Randee. Randee sendiri
tampaknya sama sekali tidak keberatan.
Aku bertanya-tanya, apakah Randee melakukan ini hanya untuk
membuat Todd terkesan?
Dalam hati aku heran, bagaimana mungkin ia bisa menyukai
Todd. Randee dan aku sudah lama bersahabat, dan kami selalu berbagi
pikiran dan perasaan, hingga yang paling dalam sekalipun.
Tapi aku menyadari bahwa kita tak pernah bisa memahami,
mengapa orang bisa tertarik pada seseorang lain.
Carlo sudah menyandang sepucuk senapan di bahunya. Ia
berdiri di ambang pintu, bicara pelan dengan Gillian.Paman George sedang mengotak-atik kunci pengaman sepucuk
senapan pendek dan ramping yang kelihatannya lebih baru daripada
senapan-senapan yang lain. Ia mengangkat senapan itu untuk
memperlihatkannya pada Randee. "Mungkin kau mau mencoba yang
ini," katanya. "Senapan ini lebih ringan."
"Oh, tidak, aku yang ini saja," sahut Randee sambil mengangkat
senapannya dengan satu tangan.
"Apa kau benar-benar akan menembakkan benda itu?" tanya
Gillian.
Randee angkat bahu. "Mungkin. Atau mungkin juga aku akan
ketakutan sendiri setelah melihat binatang buruan yang sebenarnya."
"Kita semua tidak bakal melihat apa-apa kalau kita tidak segera
mulai," kata Paman George. Ia berjalan bergegas ke pintu sambil
mengepit senapannya di bawah lengan jaket flanelnya. "Kalian tahu,
kebanyakan pemburu sudah berada di hutan sebelum fajar."
Kami semua mengikutinya keluar. Sambil berjalan, Todd
memperlihatkan pada Randee cara memegang senapan yang benar.
Sambil mengenakan parkaku, aku berhenti di tengah beranda.
"Aku perlu pakai sarung tangan," kataku. "Tidak lama kok."
Tanganku selalu kedinginan. Aku sudah mengenakan sarung
tangan begitu bulan September tiba. Randee selalu menggodaku
karenanya. "Memangnya kenapa kalau tanganmu dingin?" tanyanya.
Aku tidak pernah punya jawaban yang bagus. Pokoknya aku
tidak suka tanganku kedinginan.
Aku lari kembali ke pondok dan bergegas ke kamarku untuk
mengambil sarung tangan.Beberapa detik kemudian, aku keluar kembali ke beranda. Tiba-
tiba terdengar suara ledakan keras.
Disusul sebuah jeritan ketakutan.Bab 12
DI MANA KEPALANYA?
"OH! Wow! Sori!" seru Todd. Aku memandangi mereka satu
per satu. Kusadari bahwa Gillian-lah yang berteriak.
Todd ternganga memandangi senapan di tangannya. Ia
memegangi benda itu di hadapannya dengan tangan gemetar.
"Senapannya... meletus begitu saja," ia terbata-bata. "Aku tidak
mengira..."
"Coba kulihat," kata Paman George dengan tegas sambil
mengerutkan kening. Ia meletakkan senapannya di tanah dan
mengambil senapan Todd. "Mungkin kunci pengamannya lepas,"
gumamnya sambil mengamati senapan itu.
"Aku hampir jatuh tadi," kata Todd sambil menggeleng-
gelengkan kepala. "Tidak kusangka senjata itu akan meletus." Ia
menekankan satu tangannya ke dada. "Jantungku berdebar kencang
sekali."
"Untung tidak ada yang berdiri di depanmu," kata Paman
George. Ia masih mengamati senapan itu beberapa saat, kemudian ia
menyerahkannya kembali pada Todd. "Hati-hatilah, oke?"
"Mungkin sebaiknya Todd jalan di depan," gurau Randee. "Aku
tidak mau dia jalan di belakangku.""Jangan bercanda," Carlo berkata dengan tegang sambil melirik
Gillian sekilas. "Maksudku, senapan meledak seperti itu tidak bisa
dianggap lucu."
"Carlo benar," Todd cepat-cepat menyetujui. "Mulai sekarang,
aku akan ekstra hati-hati," ia berjanji. "Sungguh deh."
Paman George membagikan surat izin berburu sementara yang
sudah diurusnya untuk kami. "Surat izin ini kuperoleh dari temanku
Chuck di balai kota," katanya. "Kita melanggar hukum sedikit. Tapi
kurasa Chuck akan pura-pura tidak tahu. Mungkin hari ini dia sendiri
juga akan berburu sedikit."
Paman George memimpin jalan ke hutan. "Ada tempat terbuka
yang dikelilingi semak-semak rendah dan rumput ilalang di depan
sana," katanya, suaranya berbisik. "Kita akan bersembunyi di
belakang semak-semak dan menunggu sebentar."
"Hei... lihat ini! Jejak-jejak apa ini?" tanya Todd sambil
menunjuk beberapa goresan di tanah. "Apa ini jejak kaki kijang?"
Paman George melihat jejak-jejak itu sejenak. "Itu tapak kaki
anjing," katanya sambil tersenyum lebar. "Hati-hati, jangan sampai
hari ini kau menembak anjing, Todd, oke?"
Kami semua tertawa. Bahkan kulihat Carlo pun tersenyum.
Kurasa sepanjang pagi ini baru sekaranglah ia tersenyum.
Dedaunan cokelat yang basah melesak di bawah sepatu-sepatu
kami saat kami mengikuti Paman George masuk lebih jauh ke dalam
hutan. Udara dingin dan hening. Sama sekali tidak ada angin.
Aku melangkah panjang-panjang, berusaha tetap dekat dengan
Gillian. Kami menguakkan semak-semak kering dan cabang-cabang
rendah pepohonan yang menghalangi jalan kami, sementara kamimengikuti yang lainnya menyusuri jalan setapak yang sempit dan
berliku-liku.
Aku pernah mendapat pengalaman yang sangat menakutkan di
hutan. Sejak saat itu, aku tidak mau berada sendirian di hutan.
Peristiwanya terjadi pada acara wisata alam bersama sekolah di kelas
tiga dulu.
Waktu itu kami menyusuri jejak alam di salah satu kebun raya
yang letaknya sekitar dua puluh mil dari Shadyside. Aku berhenti
untuk mengamati sebuah tanaman yang katanya pohon ek beracun.
Entah kenapa, sejak dulu aku terpesona pada poison ivy dan tanaman-
tanaman lain yang katanya berbahaya bagi manusia.
Ketika aku tersadar, teman-teman sekelasku sudah pergi.
Aku memanggil-manggil mereka. Aku lari untuk mengejar
mereka. Tapi rupanya aku salah arah. Kudapati diriku dikelilingi oleh
cabang-cabang pohon yang saling mengait dan semak-semak berduri.
Aku terus memanggil-manggil.
Tapi tidak ada tanda-tanda anak-anak lainnya, maupun kedua
guru yang membawa kami kemari.
Lengan dan kakiku tergores-gores. Karena terburu-buru dan
ketakutan ingin segera menemukan teman-temanku, aku membentur
sebatang cabang pohon yang tergantung rendah. Dahiku luka
karenanya.
Darah hangat mengalir di dahiku, masuk ke mata. Aku terus
berlari membabi buta, sambil berseru-seru memanggil kedua guruku.
Ketika tiba di sebuah tempat terbuka yang kecil, aku berhenti dengan
terengah-engah, sambil menyeka darah di dahiku. Lalu aku memasang
telinga.Kucoba mendengarkan suara teman-temanku. Atau panggilan
kedua guruku.
Tapi yang terdengar hanyalah suara gemeresik dari semak-
semak, dan dengusan pelan seekor binatang.
Beruangkah? Atau serigala?
Aku, yang ketika itu baru berusia delapan tahun, mulai
membayangkan yang tidak-tidak.
Dengan terpaku ketakutan aku mendengarkan suara geraman
atau dengusan menakutkan itu. Langkah-langkah kaki gemeresak itu
semakin dekat.
Aku mulai berlari lagi. Masuk lebih jauh ke dalam hutan. Lebih
jauh.
Berusaha menyelamatkan diri.
Malam itu kuhabiskan dengan meringkuk ketakutan di sebuah
batu pipih, menangis sampai tubuhku sakit, dan terus memasang
telinga. Mendengarkan suara-suara binatang-binatang yang mendekat.
Malam itu adalah malam paling menakutkan dalam hidupku.
Malam dengan seribu satu mimpi buruk.
Keesokan harinya para polisi hutan menemukanku, tepat
sesudah fajar. Aku kedinginan, tubuhku kotor dan tergores-gores, dan
aku gemetar ketakutan. Sejak saat itu aku tidak menyukai hutan.
Pengalaman itu menunjukkan padaku bahwa hutan adalah
tempat tinggal binatang-binatang liar. Tempat di mana manusia sama
sekali tidak berkuasa.
Maka aku perlu mengerahkan keberanianku untuk mengikuti
Paman George dan teman-temanku masuk ke dalam hutan hari ini.Aku sudah lama berusaha memerangi rasa takutku. Menurutku ini
penting sekali.
Tapi aku tetap saja berusaha tidak terpisah jauh dengan Gillian.
Mataku terus kuarahkan padanya sementara mengikuti jalan setapak
yang berliku-liku itu. Aku juga meringkuk di dekatnya ketika semua
orang berjongkok di balik semak-semak untuk mengintai ayam hutan.
Kemudian, entah bagaimana aku bisa kehilangan jejak Gillian,
juga jejak yang lainnya.
Aku mulai bosan menunggu munculnya ayam hutan, dan
pikiranku mulai melayang-layang. Aku teringat peristiwa mengerikan
di kelas tiga dulu.
Suara letusan senapan di kejauhan membuyarkan lamunanku.
Aku sedang duduk bersila di balik segerumbul semak-semak
kering. Tapi bunyi senapan itu membuatku terlonjak kaget.
Aku memandang berkeliling. Rasa panik menusuk perutku
ketika aku tidak melihat Gillian dan yang lainnya.
Kusadari mereka pasti sudah pindah ke tempat lain. Sambil
berusaha menekan rasa takutku, aku mulai berjalan.
Aku membuka mulut untuk berseru memanggil-manggil, tapi
lalu mengurungkannya ketika teringat bahwa dalam berburu justru
diperlukan kesunyian. Kalau aku berteriak-teriak, tidak akan ada ayam
hutan yang muncul.
Tenanglah, Natalie, kataku pada diri sendiri. Kau kan bukan
anak kelas tiga lagi. Tidak ada beruang atau serigala bersembunyi di
antara pepohonan untuk menerkammu. Kau bisa dengan mudah
menemukan jalan kembali ke pondok.Ya, aku memutuskan, itulah yang akan kulakukan. Aku akan
kembali ke pondok dan menunggu yang lainnya di sana.
Aku tersandung tonjolan di jalan tanah itu. Aku meraih
sebatang pohon agar tidak terjatuh. Sambil menarik napas dalam-
dalam, aku membalikkan tubuh dan mulai berjalan ke arah pondok,
kali ini dengan lebih hati-hati.
Setelah berjalan sekitar sepuluh menit, kudengar suara
tembakan lain dari arah depan. Matahari muncul melalui celah di
antara pepohonan.
Aku mengambil arah yang salah, pikirku.
Aku memang tidak terlalu mahir menentukan arah.
Sambil menggerutu sendiri, aku berbalik melewati segerumbul
Cerita Gila Seorang Gamers 1 Cinta Nasi Lemak Karya Nizam Zakaria Tusuk Kondai Pusaka 10
^