Pencarian

Jatuh Cinta 1

Girl Talk 10 Jatuh Cinta Bagian 1


YANG DIOBROLIN KALI INI....
RANDY : Hai Al, gimana kabar tentoring-mu dengan Billy
siang tadi.
ALLISON : Oh. Baik-baik aja....
RANDY : Baik-baik aja? Cuma itu....?
ALLISON : Sebetulnya enggak sih. Tapi agak ruwet juga....
RANDY : Agak ruwet gimana?
ALLISON : Entahlah. Yang jelas, aku baru saja mengundang
dia untuk belajar bersama di rumahku hari Kamis
besok!BAGIAN SATU
"Hai Allison! Kamu sudah tahu, siapa calon muridmu?" tanya
Katie Campbell, salah satu sahabatku, saat ia duduk di sampingku
untuk makan siang di kantin sekolah. Dibukanya sweat-shirt seragam
tim hoki Bradley Junior High yang dikenakannya. Lalu dirapihkannya
kaus kerah tinggi warna merah muda yang dikenakan di baliknya
sambil menggedikkan rambut pirangnya yang panjang itu ke
belakang. Aku dan teman-temanku adalah siswa di Bradley Junior
High School.
"Ya ? siapa sih?" tanya Sabrina Wells, sahabatku yang lain.
Dibetulkannya letak sirkam hijau menyala yang merosot dari rambut
keritingnya yang kemerah-merahan itu. "Menurutku, ini kesempatan
yang cukup luar biasa...," lanjut Sabs. Kuperhatikan, ternyata
sirkamnya amat serasi dengan jumper hijau yang dikenakannya. Sabs
adalah tipe cewek yang amat memperhatikan penampilan dan selalu
mengikuti trend mode. Sedang aku sendiri agak sedikit konservatif
dalam berpakaian.
"Apa nih yang luar biasa?" sambar sahabatku yang ketiga,
Randy Zak, sambil menghampiri meja kami dan ikut duduk. Di tangan
kanannya tergenggam segelas yogurt strawbery, dan Walkman di
tangan kiri. Randy mengenakan kaus hitam panjang menutupi lututdan legging yang juga berwarna hitam. Bahkan sepatu karetnya pun
berwarna hitam. Cuma kaus kakinya saja yang putih. Ia juga
mengenakan anting-anting bersimbol ?peace' sebagai pelengkap.
Hitam adalah warna favoritnya. Di antara kami berempat, Randy-lah
yang paling ?liar? penampilannya. Barangkali hal itu berkaitan dengan
kota asalnya, New York. Ia baru pindah ke Acorn Falls tahun ini
setelah orang tuanya bercerai.
"Program tentoring," sahutku sambil mengibaskan rambutku
yang hitam ke belakang. "Adalah program di mana seorang murid
membantu belajar murid lain yang punya masalah dalam pelajarannya.
Semacam kursus atau les tambahan, begitulah. Dan kebetulan, Bu
Staats, guru bahasa Inggris sekaligus wali kelas kami, telah
menunjukku sebagai salah satu mentor. Minggu lalu aku ikut serta
dalam rapat persiapan dan menurutku program itu cukup bagus dan
bermanfaat."
"Ngomong-ngomong, aku mau nanya Sekali lagi nih," desak
Sabs menggebu-gebu, "siapa muridmu? Siapa namanya?"
Inilah karakter khas Sabrina. Ia selalu bersemangat menghadapi
segala sesuatu dan bersikap seolah harus selalu tahu apa yang terjadi
setiap detik. Aneh juga ya, kita berempat bisa bersahabat. Soalnya
karakter kami semua berbeda-beda. Aku sendiri lebih pendiam dan
suka sekali membaca atau menulis puisi.
"Dia seorang cowok," sahutku perlahan. Aku menanti reaksi
Sabs dan ternyata dugaanku benar. Ia langsung berseru kaget.
"Seorang cowok!" pekiknya. "Asyik dong! Coba aku juga
terpilih jadi mentor ya?""Siapa namanya?" tanya Randy seraya menyendok yogurt
terakhir dari gelasnya.
"Aku belum mengenalnya," jawabku. Diam-diam, aku sendiri
merasa sedikit tegang. Lebih-lebih karena aku sama sekali tidak
mengenal ?calon murid?ku ini. Soal cewek atau cowok bagiku bukan
masalah. Lagipula aku kan sudah biasa bergaul dengan cowok.
Misalnya si Sam, kakak kembar Sabrina. Juga teman-teman Sam. Jadi
kenapa ya aku masih saja cemas memikirkan soal ini?
"Nah Al, kalau gitu siapa namanya?" sela Katie sambil
menatapku serius dengan mata birunya yang lebar itu. Katie tidak
terlalu banyak omong, agak mirip denganku. Tapi ia sempat
mengejutkan kami dengan ikut serta dalam tim hoki putra sekolah
kami tahun ini. Tak pernah kubayangkan hal itu. Bergabung dengan
tim olahraga yang cukup ?keras? dan semua anggotanya cowok!
"Namanya Billy Dixon," jawabku akhirnya, "aku belum pernah
bertemu dengannya. Lagipula menurut Bu Staats, Billy amat
ketinggalan. Hampir di semua mata pelajaran nilainya buruk. Pulang
sekolah nanti aku harus menemuinya dan ?"
Kubiarkan kalimatku terhenti dan menggantung. Sebab kulihat
ketiga sahabatku hanya melongo, menatapku dengan mulut menganga.
"Ada apa sih?" tanyaku heran.
"Aku sudah bisa menebak jalan ceritanya," ujar Sabs seraya
menghela nafas berat, "seharusnya aku juga mendaftarkan diri untuk
mengikuti program ini." Dikeluarkannya segenggam irisan wortel dari
kotak makan siangnya.
"Betapa beruntungnya kau Al," ujarKatie sambil tersenyum
padaku, "kedengarannya akan menarik sekali. Selain itu, Billy jugacukup keren dan jangkung." Kurasa Katie sengaja menekankan kata
?jangkung? di akhir kalimatnya, sebab tinggiku sendiri termasuk di
atas rata-rata. Di kelas tujuh ini, rasa-rasanya akulah cewek yang
bertubuh paling tinggi.
"Jadi, kalian kenal Billy?" tanyaku, dan seketika merasa agak
lega. Kusadari bahwa sedikit informasi tentang cowok, ini akan
mengurangi sedikit kecemasanku. "Kayak apa sih si dia?"
"Aku pernah dengar namanya," ujar Randy, "kudengar dia juga
termasuk keren," lalu ditambahkannya, "untuk ukuran Acorn Falls
lho...." Ia tersenyum ke arah kami bertiga, menunjukkan bahwa ia
cuma bercanda. Kami pun tahu bahwa Randy mulai menyukai Acorn
Falls.
"Rambutnya coklat tua dan matanya biru-kelabu...," lanjut
Sabrina berapi-api.
Aku, Katie dan Randy saling bertukar pandang melihat gaya
Sabs lantas tertawa bersama.
"Sabs," olok Katie, "kayaknya Al enggak nanya soal
penampilannya deh. Dia cuma perlu tahu latar belakang Billy sebagai
murid sekolah ini."
"Oh," tukas Sabs sambil menelan potongan wortel yang baru
digigitnya, "setahuku, Ibunya meninggal akibat kanker kira-kira lima
tahun lalu. Sekarang ia dan dua orang saudara laki-lakinya tinggal
bersama Ayahnya saja."
Tiba-tiba terdengar keributan di ujung kantin sekolah ini.
Semua anak serempak menoleh ke arah sumber suara itu untuk
melihat apa gerangan yang terjadi. Seorang cowok bertubuh tinggi
dengan jaket kulit coklat yang besar berdiri di dekat kasir, di ujungderetan antrian makan siang. Ia mencengkeram bahu seorang cowok
yang jauh lebih kecil tubuhnya, murid kelas delapan bernama Elliot
Barret, dan mengguncang-guncang bahu Elliot. Seluruh isi nampan
Elliot bergetar dan jatuh berantakan ke lantai.
"Hati-hati dong kalau jalan!" sergah cowok jangkung itu galak.
"Kau sendiri yang menabrakku!" Elliot protes.
"Dasar mata empat!" cemoohnya sambil menuding kaca mata
Elliot. "Kamu yang nggak punya mata! Sekarang, cepat bersihkan
kotoran ini dan ganti makan siangku yang jatuh. Awas, kalau tidak...,"
teriakannya terhenti. Seolah-olah mengancam.
"Tapi aku tidak...," Elliot masih mencoba mengelak.
"Jangan macam-macam deh. Aku sudah muak melihat
tampangmu!" geram si cowok bertubuh tinggi itu, "Kuberi kau
kesempatan sekali lagi...."
Tiba-tiba, Pak Grey, guru sejarah kami melangkah
menghampiri mereka. "Hentikan semua!" teriaknya seraya
memisahkan dua anak yang bertikai itu. Didorongnya bahu kedua
anak itu agar menjauh. "Kalian berdua ikut saya ke kantor sekarang!"
Pak Grey membawa kedua anak itu ke luar kantin sementara seorang
pelayan keluar dari dapur untuk membersihkan makanan yang
berserakan di lantai.
"Fuih...," Katie menghembuskan nafas setelah adegan
perkelahian itu selesai. "Sekarang pertanyaanmu sudah terjawab kan
Al?"
"Maksudmu?" tanyaku bingung.
"Kau kan pingin tahu, seperti apa Billy Dixon itu? Sekarang
kau sudah lihat sendiri...," sahut Randy.Aku menelan ludah, terkejut. Cowok jangkung, bermata biru
kelabu dengan jaket kulit coklat, yang baru saja membuat keributan di
kantin, dialah Billy Dixon!
"Emang sih dia sedikit kasar, tapi menurutku justru kelihatan
gagah," sembur Sabs tanpa kendali. "Tubuhnya tinggi besar dan
wajahnya ganteng. Lagipula ia juga berteman dengan anak-anak kelas
sembilan...."
"Yeah...doi memang benar-benar oke penampilannya," Randy
ikut berkomentar, "Spike, temanku, juga kenal sama Billy. Tahun lalu
Billy pacaran dengan salah satu cewek kelas delapan yang kebetulan
sekelas dengan Spike. Menurut Spike, Billy emang keren tapi agak
sedikit keras perangainya. Kau ngerti kan maksudku?" Randy
membuat kesimpulan. Sambil meneguk orange juice-nya ia melirik ke
arahku.
Tentu saja aku mengerti apa maksud Randy, setelah melihat
perkelahian antara Billy dan Elliot barusan. Billy Dixon benar-benar
berperangai keras.
Sekarang kecemasanku semakin menjadi-jadi. Tadinya kupikir,
program tentoring ini akan menjadi pengalaman yang menyenangkan.
Tapi Billy Dixon kelihatannya bukan tipe anak yang menginginkan
bantuanku. Apa sebenarnya yang telah kulakukan? Aku seperti masuk
ke kandang singa!BAGIAN DUA
Pernahkah kalian menyadari bahwa hari seolah berjalan amat
lambat jika kita hendak melakukan sesuatu yang menarik sepulang
sekolah? Tapi sebaliknya, waktu seolah berjalan amat cepat jika kita
akan menghadapi sesuatu yang menakutkan. Seperti yang kualami
hari ini. Menit demi menit berlalu secepat kilat. Tanpa kusadari, tahu-
tahu sekolah pun usai.
Aku berdiri di depan ruang 212 yang telah diatur Bu Staats
sebagai ruang pertemuan antara aku dan Billy. Pintu masih tertutup,
tapi menurutku Billy sudah menunggu di dalam. Sambil menarik nafas
panjang, kurencanakan apa yang akan kuucapkan pertama kali
padanya. Aku sudah merencanakannya berhari-hari yang lalu, tapi itu
sebelum aku tahu bahwa aku akan menjadi mentor untuk Billy Dixon.
Kemudian kuingat juga bagaimana perilaku Billy di hadapan
Pak Grey siang tadi. Dia sama sekali tidak kelihatan takut, bahkan
sebaliknya, ia malah kelihatan bosan dan ogah-ogahan berurusan
dengan guru. Jika seorang guru tidak dapat membuat Billy takut,
bagaimana dengan aku? Jika Billy berperangai keras, maka aku pun
harus keras terhadapnya, supaya ia menghormatiku.
Tiba-tiba kusadari bahwa aku sudah membayangkan hal-hal
yang buruk padahal sama sekali belum bertemu dan berkenalandengan Billy Dixon. Kuteguhkan perasaanku. Aku akan melangkah
tegap ke dalam kelas, dan mengajar Billy tanpa perduli apakah ia suka
atau tidak. Sambil menarik nafas dalam-dalam, kukancingkan jaket
merahku. Dengan penampilan rapih macam ini aku merasa lebih
?resmi? dan siap sebagai mentor. Kutarik nafas dalam sekali lagi untuk
meneguhkan hati, lalu kubuka pintu.
Billy duduk dengan sebelah kaki di atas meja, membelakangi
pintu. Ia tengah menatap ke luar jendela. Rambut coklatnya sedikit
kusut, seolah baru diacak-acaknya sendiri. Ia mengenakan jeans
hitam, t-shirt putih dengan tulisan hitam ?NO? (tidak) di bagian
belakangnya dan sepatu basket dengan tali yang berjuntai. Ia tengah
mendengarkan Walkman, yang disetel amat keras sehingga dari jauh
pun aku sudah bisa mendengar lagu yang dipasangnya. Tentu saja ia
tak mendengar kehadiranku.
Karena satu dan lain hal, Billy mengingatkanku pada Randy
saat pertama kali kami berjumpa. Randy mengenakan pakaian serba
hitam dan mendengarkan Walkman juga. Tapi ada satu hal lagi yang
mirip antara Randy dan Billy. Mereka berdua bersikap amat
menantang, seolah hendak mengajak berkelahi siapa pun.
Randy adalah sahabat terbaikku. Aku amat memahami sifatnya
sehingga aku tahu, di balik sikapnya yang keras itu tersimpan bekas-
bekas luka dan duka yang membuatnya sensitif. Melihat kesamaan
Billy dan Randy ini, aku jadi agak yakin dalam menghadapi Billy dan
melakukan yang terbaik.
Kuletakkan buku-bukuku ke atas meja di samping Billy. Lalu
kuulurkan tangan untuk menepuk bahunya perlahan."Haaah!" teriaknya sambil melompat dari tempat duduknya,
melepaskan Walkman-nya dan berbalik cepat menatap tajam ke
arahku. "Ngapain sih ngagetin orang?" tanyanya geram.
"Aku tak bermaksud untuk...," aku mulai bicara sambil
melangkah mundur. Aku sungguh-sungguh tak bermaksud
mengejutkannya.
"Nggak pernah diajar sopan ya?" tukas Billy memotong
kalimatku sambil tetap menatapku tajam. Sepasang matanya yang
paling indah yang pernah kulihat. Warnanya unik. Biru sekaligus
kelabu.
"Maaf, aku cuma...," kucoba melanjutkan.
"Ngapain kamu di sini?" tanya Billy tiba-tiba sambil mematikan
kaset Walkman-nya yang masih berbunyi keras. "Siapa kamu?"
"Saya memang harus ke ruangan ini," sahutku cepat. Kalau
tidak bicara dengan cepat, Billy pasti memotong kalimatku lagi seperti
tadi. "Menurut Bu Staats...."
"Si Staats lagi. Uhh," komentar Billy dengan mimik bosan,
"kalau kau ke mari untuk menunggu mentor-mu, silahkan keluar.
Soalnya aku harus menunggu mentor, yang sebetulnya tak
kubutuhkan, di ruangan ini," lanjutnya dengan cepat. "Aku harus
memilih antara menerima hukuman atau mengikuti program tentoring
ini." Ia mengangkat bahu, "Setidaknya, program ini lebih baik
daripada menjalani hukuman."
"Kau tidak mengerti," ujarku dengan pusing. Apakah Billy mau
menemuiku hanya karena ancaman hukuman? Keyakinan yang
tadinya kumiliki mulai luntur. "Akulah mentormu," ujarku dengan
suara gemetar. "Namaku Allison Cloud dan....""Kau? Kau belum cukup umur untuk menjadi guru!" tuduh
Billy tak percaya, "Mana mungkin kau jadi mentor-ku? Sekarang
hentikan permainan konyol ini dan pergilah. Banyak hal lain yang
lebih penting untuk kulakukan...." Billy hendak memasang lagi
Walkman ke telinganya.
"Tunggu!" pekikku. Billy menghentikan gerakannya,
menaikkan sebelah alisnya dan menatapku dengan heran. "Aku tidak
bergurau. Akulah mentormu itu," ujarku tergesa-gesa. "Ini adalah
program tentoring di mana mentor dan muridnya berasal dari kelas
yang sederajat."
"Aneh amat...," sahut Billy sambil meletakkan Walkman-nya ke
atas meja di hadapannya. "Jadi apa yang akan kau ajarkan padaku,
Nona ?Cerdik Pandai??" tanyanya sinis.
"Aku mh...aku...," aku tergagap dan berpikir keras untuk
menemukan kalimat yang tepat. Ini bukanlah sebuah awal yang
kurencanakan. "Matematika," kataku akhirnya sambil mengeluarkan
sebuah buku dari tumpukan buku bawaanku. Barangkali jika aku
langsung pada pokok permasalahannya, semua akan berjalan lebih
lancar.
Kutarik nafas dalam, "Bu Staats membuatkan daftar matematika
yang harus kau ulangi. Jadi sekarang kita mulai dengan perkalian
bilangan pecahan," kubuka bukuku, lalu aku memilih soal dan mulai
menuliskannya di papan tulis.
"Kau tahu, sudah dua minggu aku tidak menyerahkan tugas-
tugasku," ujar Billy dengan nada bangga. Aku tak menyahut.


Girl Talk 10 Jatuh Cinta di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kulirikkan mataku sedikit ke kiri dan kulihat ia kembali ke tempat
duduknya dan memandang ke luar jendela lagi."Menurutku, cara terbaik untuk menyelesaikan soal-soal
perkalian antar bilangan pecahan adalah dengan membulatkan
pecahan itu sedapat mungkin," aku mulai mengajar dengan agak
gugup. Agak sulit untuk berkonsentrasi pada soal yang kukerjakan,
sementara Billy dengan abainya duduk membelakangiku. Tapi aku
sudah membulatkan tekad untuk mengajarkan sesuatu pada Billy hari
ini. Terserah apakah ia suka atau tidak, ia harus belajar sesuatu dariku!
Kubacakan soalnya keras-keras dan langsung mengerjakannya di
papan tulis. "Dan jawabannya adalah delapan tiga perlima," ujarku
mengakhiri soal.
"Salah," tukas Billy dengan suara ogah-ogahan.
"Apa katamu?" tanyaku agak kaget. Aku sama sekali tak
mengira ia mendengarkan semua ucapanku.
Billy membalikkan tubuhnya dan menatapku dengan senyum
mengejek yang seolah mencemoohkan jawabanku, "Aku bilang,"
ulangnya dengan perlahan dan jelas, "jawabanmu salah! Jawabannya
adalah enam tiga perlima, bukan delapan tiga perlima."
Dengan terperanjat, kutatap buku catatanku dan kubaca kembali
baris demi baris hitungan penyelesaian yang kukerjakan barusan.
Dalam salah satu bagian, aku telah melewatkan sebuah angka. Billy
benar! Kutatap Billy dengan mulut terbuka kagum. Bagaimana
mungkin? Bahkan tanpa mengerjakan soalnya, dan juga tidak
mengintip hasil hitunganku. Jadi ia menghitungnya luar kepala! Aku
yang termasuk murid terpandai untuk pelajaran matematika-pun tak
sanggup menghitung perkalian bilangan pecahan luar kepala!"Mentor macam apa sih kamu?" tanya Billy, "Soal matematika
yang paling sederhana saja tak dapat kau selesaikan dengan benar!" ia
menyeringai senang.
Aku benar-benar merasa malu. Kutundukkan kepala menatap
buku catatanku dan berusaha menahan air mata. Bagaimana mungkin
aku melakukan kesalahan sebodoh ini?
"Aku kan sudah bilang, aku nggak butuh mentor segala!" teriak
Billy geram. Ditinggalkannya kursinya lalu menghentak menuju pintu
keluar tubuhnya menghadapku, "Aku dapat menghitung luar kepala.
Asal kau tahu saja! Dasar anak sok pinter kesayangan guru!" desisnya
sambil menatapku dengan sorot mata setajam silet, "Sudah cukup
banyak orang yang mengatur dan mencampuri kehidupanku. Dan aku
sama sekali tidak membutuhkan seorang ?cerdik pandai? untuk
mencoba mengajarkan sesuatu padaku!"
Diam-diam, sebutir air mata menggulir di pipiku dan menetes
ke atas buku catatan di hadapanku. Kututupi tetesan air mata di atas
buku sambil berharap agar Billy tidak melihatnya.
"Kau tahu," lanjut Billy sambil tertawa keras-keras, "tadinya
kukira sekolah akan berbeda dari sekolah sebelumnya. Guru yang
berbeda, teman-teman yang berbeda...tapi nyatanya sama saja. Seolah-
olah tiap murid sudah punya sebuah tanda, yang cuma bisa terlihat
oleh guru-guru. Jika tandamu nilai A, apa pun yang kau lakukan,
nilaimu selalu akan A pula. Tapi jika tanda itu ?si pengacau?..." ia
berhenti sebentar lalu sambil tertawa sinis dengan suara yang
membuatku merinding, "...yah...jika tanda itu sudah melekat padamu,"
lanjut Billy, "lupakan sajalah segala harapanmu! Sebab takkan ada
lagi yang mau peduli di sekolah ini. Tak seorang pun!"Setetes air mata lagi jatuh ke tanganku yang masih menutupi
bekas tetesan pertama di buku. Lewat sudut mataku, kulihat Billy
kembali ke tempat duduknya untuk mengambil jaket dan buku-
bukunya, lalu ia menyeberangi ruangan, membuka pintu dan
membantingnya.
Kurogoh saku jaketku untuk meraih tissue dan kuhapus air mata
dari pipiku. Aku tak percaya bahwa semuanya bisa menjadi bencana
begini. Billy Dixon telah membuatku takut, bingung dan malu. Dan
aku hanya bisa menangis. Tak akan kubiarkan ia melakukan hal ini
terhadapku lagi, aku berjanji pada diriku sendiri. Aku tak perduli jika
tahun ini Billy terpaksa tinggal kelas lagi. Tapi tiba-tiba saja di
telingaku terngiang-ngiang kalimat terakhir yang diucapkan Billy:
"Tak seorang pun akan peduli! Tak seorang pun!"
Itu tidak benar! Bantahku. Aku ingin mempedulikannya. Aku
prihatin jika Billy tinggal kelas lagi tahun ini. Walaupun ia telah
bersikap amat menjengkelkan, ada sesuatu dalam dirinya yang
membuatku penasaran. Aku yakin ia cukup pandai, sebab belum
pernah kutemui seseorang yang bisa mengalikan bilangan pecahan
secara luar kepala. Dan jika Billy memang anak pandai, tak
seharusnya nilai-nilainya buruk dan terancam tidak naik kelas seperti
sekarang.
Bagaimanapun, takkan kubiarkan Billy begitu saja. Aku tak
akan menyerah. Kuucapkan hal itu berkali-kali dalam hati.
Kurapihkan buku-bukuku, lalu aku bangkit dari kursiku. Besok akan
kuhadapi Billy di ruangan ini lagi, dan akan kubuat dia menyadari
bahwa aku adalah mentor terbaik yang pernah ditemuinya. Ini
memang salah satu sifatku. Aku menyukai tantangan dan pantangmenyerah. Jika aku berhasil menghadapinya, Billy Dixon akan naik ke
kelas delapan dengan nilai memuaskan. Mungkin sebagai juara kelas!BAGIAN TIGA
Waktu aku memasuki Fitzie?s beberapa menit kemudian, segera
kulihat Sabs, Katie dan Randy. Mereka duduk di sudut belakang
seperti biasanya, di dekat kotak musik otomat kuno. Meja-meja lain
kelihatan penuh, tapi jalan-jalan di antara meja-meja nampak leluasa.
Maklum, sudah jam empat sore. Anak-anak biasanya sudah pulang ke
rumah masing-masing. Walau begitu, suasana masih tetap ramai.
"Hai Al!" panggil Sabs begitu melihatku menghampiri meja
mereka. "Kau udah denger belum? OSIS akan memutar dua film di
sekolah kita hari Jum?at depan!"
"Mereka akan mengubah ruang olah raga menjadi bioskop,"
tambah Katie.
"Dan film yang akan diputar adalah Nightmare on Elm Street,"
ujar Randy senang, "siapa pun pemilihnya, pasti punya selera tinggi!"
"Kita bisa mendaftar sebagai penjual karcis, permen atau bisa
juga sebagai penyobek karcis," lanjut Sabs dengan amat antusias.
"Tapi sayangnya Stacy Hansen-lah yang mengatur semua itu, sebab ia
pengurus OSIS," Sabs mengakhiri kalimatnya dengan helaan nafas.
Stacy Hansen adalah cewek pirang, cukup populer dan juga anggota
pasukan pembawa bendera di sekolah kami. Kebetulan dia juga putri
tunggal Pak Hansen, kepala sekolah di Bradley ini. Semua itumembuat Stacy menjadi besar kepala dan dengan berbagai alasan ia
tidak menyukai kelompok kami. Aku, Sabs, Katie dan Randy.
Katie mencebik jijik. "Bayangkan, sementara kalian bekerja, si
Stacy mondar-mandir menjadi boss! Iih...amit-amit!"
"Pasti lebih mengerikan daripada mimpi diganggu hantu
Freddie," komentar Randy. Kami semua tertawa. Freddie adalah
pembunuh berkelainan jiwa yang menjadi teror dalam film Nightmare
on Elm Street. Aku sendiri baru mengenal tokoh Freddie itu dari
Randy, yang amat menyukai film horor. Baginya, makin seram berarti
makin seru!
Pelayan datang dan aku memesan bubur susu vanilla. Katie,
Sabs dan Randy semuanya memesan es krim.
"Gimana acara tentoringmu Al?" tanya Sabs.
"Mh...baik...," sahutku perlahan sambil berlagak mengamati
serbet yang kuletakkan di atas pangkuanku. Aku benar-benar tak ingin
membicarakan soal itu, sebab aku sendiri ingin melupakannya.
Randy menatapku lekat-lekat. "Biasa saja?" tanyanya.
"Yah...pertama-tama aku harus menjumpai Billy," aku mulai
bercerita.
"Sendirian?" tanya Sabs.
Aku mengangguk. "Bu Staats ingin kami berdua menjalani
minggu pertama tanpa campur tangan guru lainnya. Lalu setiap dua
minggu, kami berdua harus menghadap Bu Staats untuk melaporkan
perkembangannya."
"Apa yang kau katakan padanya?" tanya Katie.
"Ia menatapku dan mengatakan bahwa aku salah alamat.""Dia bilang begitu?" tanya Sabs terkejut, "Lantas kau bilang
apa?"
"Kukatakan siapa diriku yang sebenarnya," jawabku, "dia tak
percaya bahwa aku adalah mentornya." Setelah mengucapkan kalimat
itu, kusadari bahwa sebetulnya aku marah pada Billy. Marah atas
sikapnya yang menjengkelkan dan sama sekali tidak berusaha untuk
mengerjakan tugas rumahnya. Ayahku selalu berpesan bahwa untuk
meraih sesuatu kita harus bekerja keras. Dan aku percaya hal itu.
"Lalu kau bilang apa lagi?" tanya Katie. Kuangkat bahuku,
"Langsung saja kukeluarkan buku matematik dan menyuruhnya untuk
memulai pelajaran. Lalu kuperingatkan dia bahwa pelajarannya amat
tertinggal. Dia bilang, sudah dua minggu ia sama sekali tak
mengerjakan tugas-tugas sekolahnya!"
"Kok bisa?" seru Randy heran, "Guru-guru di Bradley kan
langsung menghukum murid yang tidak mengerjakan pekerjaan
rumahnya. Biarpun baru satu kali."
"Tentu saja ia mendapat hukuman," tukas Katie, "dia harus
mengikuti program tentoring ini kan?"
"Lalu," kulanjutkan ceritaku, "aku mulai membacakan sebuah
soal matematik, tapi Billy tak mengacuhkanku sama sekali. Saking
bingungnya, aku jadi salah menghitung tapi Billy yang tak
mengerjakan apa-apa malah menjawab dengan benar!"
"Oh ya?" Katie terperanjat.
"Ya," aku mengangguk, "Billy bilang, aku tak mungkin
menjadi mentornya jika belum mampu mengerjakan soal matematik
yang paling mudah sekalipun. Ia membuatku benar-benar marah dan
jengkel sampai-sampai aku menangis...""Oh Al, kedengarannya menyedihkan sekali...," ujar Sabs penuh
rasa simpati. Bola matanya yang coklat kehijauan nampak amat
prihatin menatapku.
"Berikutnya yang aku tahu cuma bahwa ia pergi
meninggalkanku. Cuma itu," kusudahi ceritaku.
"Benar-benar brengsek," komentar Sabs, "mula-mula ia sengaja
melontarkan kata-kata sinis untuk mengusirmu, lalu ia mencari-cari
kesalahannmu...."
"Kedengarannya cowok satu ini benar-benar tukang cari
masalah," timpal Randy saat pelayan datang mengantarkan pesanan
kami.TEENLITLAWAS.BLOGSPOT.COM
"Apakah besok kau akan menemuinya lagi?" tanya Katie sambil
menyendok es krim vanili dan buah-buah strawberry dari gelasnya.
"Tentu saja," sahutku segera.
"Kau benar Al," seru Randy bangga sambil menepuk bahuku,
"jangan menyerah!"
"Ya," aku setuju pada perkataan Randy, "Billy Dixon tak akan
membuatku menyerah. Aku harus menyusun strategi agar ia mau
bekerja sama denganku."
Katie mulai tersenyum geli, "Aku bisa meminta bantuan salah
satu anggota tim hoki untuk menemanimu berbicara dengan Billy,"
usulnya.
Kubayangkan aku melangkah memasuki ruangan 212 dikawal
seorang bodyguard kekar yang memegang tongkat hoki. Lucu sekali!
Aku jadi tertawa sendiri.
"Bisa-bisa Billy jadi amat ketakutan dan nggak bisa ngapa-
ngapain sama sekali," sambung Sabs disela tawanya."Iya...," timpal Randy, "atau mungkin dia malah tertawa geli
melihat Al dan pengawalnya. Menurutku Billy Dixon bukan tipe
orang yang mudah ditakut-takuti."
Hal itu memang benar sekali. Aku teringat kembali saat Billy
membentak Elliot di depan semua orang yang ada di kantin tadi siang.
Aku juga ingat bagaimana ia menatap Pak Grey dengan berani, tanpa
rasa takut sama sekali. Tidak mungkin aku memaksa Billy untuk
belajar dengan menakut-nakuti dan mengancamnya.
"Kenapa sih ia amat ketinggalan hampir dalam setiap mata
pelajaran?" tanya Katie.
"Barangkali ia benci sekolah," sahut Randy, "kata Spike, Billy
Dixon selalu menghindari jam-jam pelajaran. Bahkan kadang bolos
sama sekali. BIlly selalu bilang ia benci sekolah dan ia akan segera
keluar setelah berusia enam belas tahun. Mengikuti jejak kakak
tertuanya, Tom."
"Iya...," timpal Sabs. Dihabiskannya es krimnya dan berusaha
mencari buah cherry yang tersisa di gelasnya, "Menurutku Billy
Dixon juga meniru jejak kakak-kakaknya."
"Bagaimanapun, aku akan berusaha menyelidikinya," ujarku
pada Sabs. Tapi tak lama kemudian aku kembali ingat kata-kata Billy.
Bayangkan, bagaimana rasanya berada di sebuah sekolah di mana
semua guru menuduh kita sebagai murid bandel, hanya karena ulah
kakak-kakak kita yang bandel. Barangkali aku pun akan benci sekolah
jika berada dalam posisi itu, walaupun sebetulnya aku amat suka
belajar."Hai Al," tukas Randy, membuyarkan lamunanku, "jika Billy
Dixon amat membenci sekolah, kenapa kau tidak mengajaknya
bertemu di luar sekolah?"
"Misalnya?" tanya Sabs curiga.
"Entahlah...," sahut Randy seraya mengangkat bahu, "di sini
misalnya?"
"Di Fitzie?s?" tanyaku tak mempercayai pendengaranku.
"Di Fitzie?s?" ulang Katie. "Bagaimana mungkin seseorang bisa
belajar di tempat macam ini? Terlalu ribut dan berisik...."
Randy mengangkat bahunya lagi. "Aku malah tak bisa belajar
di tempat yang terlalu sepi. Biasanya, sambil belajar, aku memutar
kaset lagu Rock kiriman si Sheck dari New York."
Kadang-kadang aneh juga ya, antara aku dan Randy ada
perbedaan yang amat menyolok. Maksudku, aku sama sekali tak bisa
belajar jika suasananya tidak benar-benar tenang. Biasanya aku duduk
di depan jendela kamarku, di mana aku bisa menatap pemandangan di
luar jendela, untuk mendapatkan kedamaian dan kenyamanan
sehingga memudahkan berkonsentrasi pada pelajaran.
Menurutku, suasana macam itu pula yang diperlukan Billy.
Sebuah tempat di mana ia merasa tenang untuk belajar. Sebuah tempat
di mana ia tak perlu mengingat-ingat soal sekolah. Dan tiba-tiba saja
sebuah gagasan muncul di benakku. Mungkin sebaiknya aku
mengundang Billy ke rumahku.
Tiba-tiba aku merinding. Billy Dixon di rumahku? Mungkin
aku sudah sinting sampai memikirkan gagasan itu! Tapi
bagaimanapun, aku yakin, mengajaknya belajar di sekolah akan sia-siasaja. Barangkali aku memang harus mencoba gagasanku itu. Aku
hanya perlu mengajaknya. Itu saja.
"Aduh...!" pekik Sabrina membuyarkan angan-anganku,
"Hentikan Sam!" ia memutar tubuhnya dan menatap marah pada
kakak kembarnya, Sam, seraya mengelus-elus bagian belakang
kepalanya. "Kan sudah kuperingatkan berkali-kali, jangan menjambak
rambutku!" katanya.
"Sudahlah Blabs...sahut Sam sambil nyengir kuda, "kan nggak
sakit...." Sam memang biasa memanggil Sabrina dengan nama
?Blabs?. Soalnya Sabrina kadang bicara amat cepat dan cerewet.
Bla..Bla..Bla, maka jadilah nama itu, ?Blabs?.
"Kamu sih emang nggak sakit!" protes Sabs, "Tapi aku bisa
botak kalau sering dijambak. Menyesal aku punya empat saudara
cowok!" keluh Sabs.
"Menurutku sih, kau malah beruntung," kilah Sam sambil
mengangkat bahunya jenaka. Sam lahir empat menit sebelum Sabrina.
Karena itu Sabrina adalah adik Sam, sekaligus anak bungsu dan satu-
satunya cewek dalam keluarga mereka. Sam selalu mengingatkan hal
itu pada Sabs. Wajah mereka berdua amat mirip. Mereka sama-sama
berambut kemerahan, bola mata hijau-kecoklatan, dan bintik-bintik di
wajahnya. Mereka berdua juga agak konyol, sering bertengkar tapi
sebetulnya sih saling menyayangi.
"Pergi jauh-jauh, gih...," ujar Sabs seraya mengibas-ngibaskan
tangannya mengusir. "Kita lagi ngobrol nih...jangan nguping!"
"Iya deh...iya. Aku pergi," Sam menghela nafas dengan gaya
dramatis. Pura-pura sedih. "Berarti kalian harus menunggu khabargembira yang tadinya akan kusampaikan sekarang." Ia membalikan


Girl Talk 10 Jatuh Cinta di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tubuh dan melangkah menjauhi meja kami.
Aku tersenyum. Sam tahu betul cara menarik perhatian Sabs.
Sabrina selalu penasaran terhadap segala sesuatu yang diketahui orang
lain tapi belum diketahuinya.
"Tunggu dulu!" panggil Sabs menahan Sam, "Khabar gembira
apa?"
"Oh.. .nggak ada apa-apa kok," goda Sam sengaja membuat
Sabs makin penasaran, "aku tak mau disebut penguping dan
pengganggu pembicaraan kalian."
"Sam!" Katie ikut memohon, "Katakanlah. Kabar apa sih?"
"Gimana ya...," Sam berlagak ragu-ragu sambil mengedip-
ngedipkan matanya sejenak. "Baiklah," akhirnya ia kembali dan
berdiri di ujung meja kami. "Masih ingat tempat main boling yang
ditutup musim panas tahun lalu? Lois Lane?s?"
"Ya, aku ingat," tukas Katie. "Dulu aku sering ke sana."
"Aku juga," timpal Sabs. "Lantas, ada apa?"
"Nick baru saja menceritakan padaku. Seorang pengusaha dari
Minneapolis mengambil alih tempat boling itu dan telah membukanya
kembali minggu lalu!"
"Asyiiik!" seru Randy senang, "Aku suka sekali main Bowling.
Aku dan Sheck sering main berdua."
"Kita harus ke sana," ujar Sabs dengan ekspresi bersemangat.
"Sebelum ditutup, Lois Lane?s adalah tempat yang
menyenangkan," cerita Katie. "Di sana sering diadakan pesta."
"Kalian belum mendengar khabar yang terbaik!" lanjut Sam,
"Pemiliknya ingin agar tempat itu kembali ramai dikunjungi orang.Maka ia mengadakan acara-acara istimewa. Murid dari sekolah
Bradley mendapat discount setengah harga tiap hari Jum?at dari jam
enam sampai jam sembilan malam!"
"Luar biasa!" seru Sabrina.
"Jadi, aku, Nick, Jason dan Greg akan menunjukkan pada kalian
semua." Sam menyelesaikan khabar gembiranya.
"Apa maksudmu dengan ?menunjukkan??" tanya Sabs curiga.
Keningnya berkerut dan ia menatap kakaknya sambil melipat tangan
di dada.
"Maksudku," Sam nyengir lagi, "kami, cowok-cowok,
menantang kalian bertanding. Cowok versus cewek. Walaupun kalian
pasti kalah, yang jelas pasti seru acaranya."
"Aku terima tantangan itu!" sahut Randy dan Katie bersamaan.
"Apa maksudmu, kita pasti kalah?" tanya Sabs emosional.
"Kami justru akan menghancurkan kalian!"
"Yaa...tentu saja...," tiba-tiba Greg Loggins nimbrung ke meja
kami dan berseru dengan nada mengejek. Dikibaskannya rambut
pirangnya yang panjang menutupi wajahnya dan menatap kami
dengan gaya menyebalkan. "Jangan pernah punya pikiran itu deh."
"Kalian lihat saja nanti!" ujar Sabs dengan wajah bersemu
merah.
"Hei!" tukas Sam sambil tertawa. "Inikan pertandingan
persahabatan bukan duel maut! Yuk kita cari Nick dan Jason untuk
mulai latihan boling," ajak Sam pada Greg. "Sampai ketemu ya...."
"Daah...," kami berempat melambai padanya.
"Brengsek betul si Greg Loggins," omel Sabs setelah cowok-
cowok itu keluar dari Fitzie?s. "Seenaknya meremehkan kita!"Katie cekikikan, "Aku masih ingat, dulu kau pernah naksir dia
kan?"
"Enak saja. Nggak pernah kok!" bantah Sabs dengan wajah
memerah.
"Pernah kok," aku ikut menggoda. "Waktu kita piknik ke
gunung Elang, Greg Logginslah yang selalu jadi topik
pembicaraanmu!"
"Tapi sekarang kan udah nggak lagi," kilah Sabs serius. "Aku
akan mengalahkannya dalam pertandingan boling Jum?at besok di
Lois Lane?s."
"Uh...ngomong-ngomong...," ujarku ragu, "...rasanya aku nggak
bisa ikut main boling dengan kalian deh."
"Kenapa?" tanya Randy kaget.
"Aku belum pernah main boling," sahutku, "aku nggak bisa
sama sekali. Barangkali sebaiknya kalian mengajak orang lain untuk
bergabung dalam tim kalian dan menghadapi tim cowok itu...."
"Al! Jangan ngaco deh!" sela Katie memotong kalimatku,
"Main boling itu nggak susah kok. Gampang sekali," Katie
menjentikkan jarinya.
"Kita akan mengajarimu," usul Sabs.
"Ya. Pasti asyik deh," Randy berusaha meyakinkanku, "dan
menurut perasaanku, kau akan menjadi pemain boling yang hebat Al,"
ujar Randy menyimpulkan.
"Hari mulai malam nih," ujar Katie setelah melirik arlojinya,
"lebih baik kita pulang dan mulai mengerjakan pekerjaan rumah," ia
berdiri dan meraih tasnya.Sabs menguap. "Untung kau ingat waktu. Hampir lupa, aku
janji akan membantu Ibu menyiapkan makan malam. Jadi aku harus
segera pulang!"
"Yuk...," timpal Randy seraya menggantungkan ranselnya ke
bahu.
Kami berempat meninggalkan Fitzie?s dan berjalan bersama
lewat beberapa blok. Kemudian berpisah ke arah yang berbeda-beda.
Dalam benakku masih terbayang bagaimana cara mengundang Billy
belajar bersama di rumahku. Entah mana yang lebih sulit: belajar main
boling atau menolong Billy Dixon. Tapi hal itu tak menjadi masalah
buatku. Aku hanya perlu kerja keras untuk dapat mengatasi semua itu.
Begitu kata Ayahku.BAGIAN EMPAT
Selama makan malam, kedua orang tuaku terus menanyakan
soal program tentoring. Walaupun aku tahu, mereka sekedar
menunjukkan perhatian, namun tetap saja aku merasa agak malu untuk
menceritakannya. Terutama karena perilaku Billy tadi siang rasanya
sulit sekali untuk diceritakan kembali. Akhirnya aku hanya
menceritakan sedikit tentang Billy dan menyatakan bahwa aku amat
ingin menolongnya.
"Pertama-tama kau harus meyakinkan Billy bahwa kau
menaruh perhatian atas apa yang terjadi pada dirinya," ujar Ibu sambil
menolong Charlie menyendok kentang dari piringnya, "jika ia sudah
mempercayaimu, otomatis ia akan menerima bantuanmu."
Sebelum adikku Charlie lahir, Ibu adalah seorang guru.
Menurut Ibu, Billy lebih membutuhkan seorang teman daripada
seorang guru untuk mengajarnya.
Sambil meneguk air minum, kupertimbangkan saran Ibu, "Tapi
bagaimana caranya membuat Billy percaya padaku?" tanyaku.
Seorang cowok seperti Billy bisa mempercayaiku? Rasanya mustahil.
Mengajaknya bicara saja sudah susah sekali.
"Allison, menurut Ibu, hal itu harus kau pikirkan sendiri," ujar
Ibu seraya tersenyum menatapku.Usai makan malam, setelah kuselesaikan pekerjaan rumahku,
aku duduk di depan jendela kamar tidur sambil membaca sebuah buku
berjudul Phantom Tollbooth. Cerita ini merupakan salah satu legenda
yang amat kusukai. Isinya menceritakan tentang seorang anak laki-
laki bernama Milo yang merasa bosan dengan kehidupannya.
Kemudian seseorang mengirimnya ke alam yang lain. Saat itu barulah
Milo menyadari betapa pentingnya mempelajari semua hal kecil di
sekeliling kita. Misalnya mempelajari suara, kata-kata, bilangan dan
hukum-hukum alam seperti arah terbit dan tenggelamnya matahari.
Menjelang tidur, aku terus memikirkan Billy. Pernahkah Billy Dixon
membaca buku seperti ini?
Hari berikutnya, Rabu, aku terus mengingatkan diriku sendiri
bahwa hari ini akan berjalan lancar seperti biasa. Namun bayangan
Billy Dixon terus menghantuiku. Bagaimana cara mengundangnya
datang ke rumahku? Sepanjang jam pelajaran, sulit sekali bagiku
untuk memusatkan perhatian. Satu-satunya hal yang kuingat dengan
jelas adalah bahwa Bu Staats memanggilku menghadap ke mejanya
saat pelajaran bahasa Inggris berakhir.
"Allison," Bu Staats mulai berbicara, "saya harap acara
tentoring pertamamu kemarin berjalan lancar. Dan...oh ya...," beliau
melanjutkan sebelum aku sempat menjawab pertanyaannya, "sebelum
saya lupa, saya ingin memberitahukan sedikit perubahan. Kalian
berdua tidak bisa menggunakan ruang 212 hari ini. Salah satu guru
akan menggunakannya untuk mengadakan test siang nanti. Saya sudah
memberitahu Billy bahwa kalian akan bertemu di perpustakaan pulang
sekolah nanti." Sejenak Bu Staats ragu. "Saya tahu, bekerja sama
dengan Billy bukan hal yang mudah bagimu. Tapi jangan kecil hati.Saya telah memilihmu sebagai mentornya karena saya yakin kau
mampu."
Setelah itu, Bu Staats mengangkat tasnya. "Sekarang saya harus
menghadiri pertemuan guru dan orang tua murid di aula," katanya
sambil melangkah ke pintu ke luar, "sampai ketemu besok Allison."
Kemudian Bu Staats menghilang di keramaian koridor.
Tanpa kusadari, waktu telah menunjukkan jam tiga siang. Aku
berhenti di loker untuk mengambil buku-buku yang kuperlukan untuk
belajar di rumah, lalu bergegas menuju perpustakaan untuk menemui
Billy. Kali ini, aku datang duluan.
Kupilih sebuah meja di sudut ruangan. Ruang baca di
perpustakaan ini dibagi menjadi dua. Antar ruangan dibatasi dengan
dua rak buku besar. Kukeluarkan buku sejarahku dan mulai membaca
bab Koloni Amerika. Aku amat tertarik dengan kisah suku bangsa asli
Amerika, bangsa Indian, yang menolong pendatang kulit putih
pertama di daerah Plymouth. Tentu saja hal itu tak ada hubungannya
dengan diriku. Sebab suku Indian itu jelas bukan suku Chippewa
seperti aku. Suku Chippewa mendiami bagian Barat Daya.
Begitu asyiknya membaca sampai-sampai aku tak menyadari
kehadiran Billy sampai kudengar suaranya.
"Ehem...," Billy mendehem keras-keras.
Kutengadahkan kepalaku dengan cepat. Billy berdiri di
seberang mejaku. Kulihat ia masih mengenakan jaket kulit coklatnya
yang kebesaran. Di balik jaket itu ia mengenakan kaos warna hitam
dan celana jeans belel yang sobek-sobek.
"Akhirnya kau datang juga," sahutku dengan serius. Berusaha
menunjukkan sedikit wibawa. Kucoba untuk mengenyahkan segalaingatan tentang tingkahnya yang menjengkelkan kemarin. "Hari
Jum?at besok akan diadakan ulangan sejarah. Jadi sebaiknya hari ini
kita mulai belajar sejarah." Nah, ujarku dalam hati, sekarang aku
kelihatan mulai dapat mengendalikan diri dan sedikit percaya diri.
Billy melompat ke hadapanku, bersandar di kursi sambil
tersenyum. Saat itu kusadari bahwa dia memang amat jangkung. Aku
sendiri sudah cukup tinggi. Tapi untuk menatap mata Billy, aku masih
harus agak menengadah. Berdekatan begini dengan Billy, membuatku
sedikit deg-degan. "Aku sudah tahu banyak tentang sejarah," sahutnya
mantap.
Kita lihat saja nanti, pikirku sambil mengubah posisi kursiku
sehingga sekarang kami berhadap-hadapan. Setidak-tidaknya,
sikapnya hari ini lebih baik dari kemarin. Menurut Bu Staats, sudah
dua kali gagal dalam ulangan sejarah. "Baiklah, sekarang sebutkan,
tahun berapa bangsa kulit putih pilgrim pertama kali mendarat di
benua Amerika?" tanyaku cepat.
"Kapal Mayflower mendarat bulan Desember tahun 1620,"
sahut Billy dengan amat cepat.
"Di mana?" tanyaku lagi.
"Tanjung Cape Cod," jawabnya sambil nyengir, "mereka tidak
langsung menuju Plymouth sebelum akhirnya memutuskan untuk
tidak menetap di Cape Cod."
Aku terus menanyakan beberapa pertanyaan dan Billy pun terus
menjawabnya dengan benar. Ia benar-benar menguasai pelajaran
sejarah rupanya. "Rasanya cukup," ujarku akhirnya, "tapi kau harus
ingat, Pak Grey mungkin akan menanyakan soal Squanto, Samoset
dan Massasoit."Billy mendekatkan diri ke meja. "Apa itu?" tanyanya dengan
kening berkerut. "Kok dia nggak pernah membicarakan itu di kelas?"
"Squanto, Samoset dan Massasoit adalah suku-suku Indian
pertama yang dijumpai orang-orang pilgrim," aku menjelaskan sambil
menunjuk ke salah satu bagian buku yang masih terbuka di
hadapanku, "kau bisa membacanya dalam buku."
Billy ikut melihat ke dalam buku beberapa detik. "Ah, malas
ah!" tukasnya pendek, "Sebaiknya kita lakukan hal lain."
"Kenapa sih kau tak suka membaca?" tanyaku sambil
menatapnya.
"Entahlah," sahutnya cuek, sambil mengangkat bahu. Nada
suaranya jadi sedikit aneh, mendadak seperti parau. Ia juga tak berani
menatapku.
Kucoba membayangkan apa yang terjadi pada seseorang yang
tak suka membaca. Buatku sih hal itu tidak mungkin terjadi.
Sepanjang musim panas antara kelas enam dan kelas tujuh, aku
menghabiskan lebih dari seratus buku. Aku menikmatinya sebagai
suatu kesenangan, bukan keharusan. Kadang-kadang aku juga
menghabiskan banyak waktu luangku untuk membaca di
perpustakaan.
"Lebih baik sekarang belajar matematik saja," usul Billy sambil
duduk di sebelahku dan mengeluarkan buku matematika dari
tumpukan dan menyerahkannya padaku.
"Sebaiknya kita selesaikan pelajaran sejarah dulu. Lagipula kau
harus baca buku teksnya sampai selesai," aku tak setuju dengan
usulnya."Dengar baik-baik Nona Allison Cloud," seru Billy, "kau mau
mengajar atau tidak?"
Kuanggukkan kepala perlahan.
"Kalau begitu sekarang kita lupakan soal sejarah dan ganti ke
matematik!" Tiba-tiba ia tersenyum. "Sudah lama aku tak
menyerahkan tugas-tugasku pada Si Perawan Tua Munson itu. Yang
masih kuingat cuma kejadian konyol di mana ia mengerami sebuah
telur. Hi...hi...."
Aku jadi ikut tersenyum geli, membayangkan Bu Munson, guru
matematik kami, duduk di atas sebutir telur yang cukup besar dan
memarahi Billy. "Baiklah," ujarku akhirnya sambil tetap menjaga
wibawaku. Kubuka buku matematikaku dan mulai membacakan soal
pertama dengan agak keras.
"Seorang anak mempunyai apel yang jumlahnya sepertiga dari
kakaknya dan setengah dari jumlah apel yang dimiliki adiknya.
Jumlah apel yang dimiliki ketiga anak itu adalah delapan belas buah.
Berapa banyak apel yang dimiliki tiap-tiap anak?" kutatap Billy.
Tatapannya tampak menerawang serius dan keningnya berkerut.
Kelihatannya ia agak bingung, maka kuputuskan untuk membantunya
menjelaskan cara menyelesaikan soal tadi.
"Pertama-tama, kau sudah tahu jumlah apel ketiga anak itu,"
aku mulai menjelaskan, "anggaplah jumlah apel anak itu sebagai ?x?,
lalu...."
"Tiga, enam dan sembilan," sahut Billy tiba-tiba.
"Apa?" tanyaku tak mengerti.
"Anak itu memiliki tiga apel, adiknya enam apel dan kakaknya
sembilan apel," jawabnya dengan mata berbinar. Lantasdisandarkannya tubuhnya pada sandaran kursi. "Silahkan kau periksa
sendiri jawabanku. Pasti benar."
Dengan tak habis pikir, kukerjakan soal itu di atas kertas. x + 2x
+ 3x = 18. Berarti 6x = 18 dan x = 3. Kutatap Billy dengan rasa tak
percaya. "Kau benar! Tapi barusan kau bilang kau sama sekali tak
pernah mengerjakan tugas matematikmu?"
"Itu pun benar," Billy mengangguk.
"Lantas, kok kamu bisa menjawab dengan cepat?" tanyaku
heran.
"Aku menghitungnya luar kepala," sahutnya sambil mengetuk-
ngetukkan sebuah jari ke samping kepalanya. "Matematika itu soal
gampang...."
"Kalau memang gampang, kenapa tugas-tugasmu tak pernah
kau kerjakan?" tanyaku dengan rasa penasaran. Menurut Bu Staats,


Girl Talk 10 Jatuh Cinta di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Billy Dixon termasuk murid yang terancam tidak naik kelas tahun ini.
Sepanjang yang kuketahui, anak ini mestinya mendapat nilai tinggi
untuk tiap mata pelajaran dengan otaknya yang cemerlang ini.
Billy mengibas-ngibaskan tangannya di udara.
"Ah...menuliskan jawaban di kertas membutuhkan waktu lama,"
ujarnya, "aku cukup mengerjakannya di kepala, sementara si Munson
itu menuliskan jawabannya panjang lebar di papan tulis," senyumnya
semakin lebar. "Dan si Munson itu tak tahu bahwa aku telah tahu
jawabannya sebelum ia selesai menghitung."
Kutatap Billy dengan terheran-heran. Apakah ia bicara jujur?
Matematik bukanlah pelajaran favoritku, tapi aku selalu mendapat
nilai yang bagus. Namun tetap saja aku tak bisa mengerjakannya di
luar kepala seperti Billy. Billy benar-benar aneh, pikirku."Kau tahu," ujarku perlahan, "Bu Munson tidak akan tahu
bahwa kau bisa jika kau tidak mengerjakan tugasmu."
"Sudah kucoba mengerjakan tugasku," sahut Billy sambil
sedikit cemberut. "Kutuliskan semua jawabannya dan mengumpulkan
tugasku bersama anak-anak lainnya. Tapi tiap kali aku dapat nilai nol!
Si Munson malah memperingatkan aku untuk tidak menyontek
pekerjaan anak lain dan mengerjakan tugasku sendiri." Ia mengangkat
bahu, "Sejak itu aku tak pernah lagi mengerjakan tugasku."
"Kau hanya menuliskan jawabannya saja?" tanyaku.
Billy mengangguk. "Bu Munson kan ingin melihat hasil
pekerjaanmu." Kucoba menjelaskan padanya, "Ia ingin tahu dari mana
kau memperoleh jawaban itu."
"Tapi aku kan menghitungnya di kepala," sahut Billy dengan
tak sabar, "ngapain capek-capek menuliskan di kertas segala?"
"Karena memang itu yang ditugaskan Bu Munson," sahutku.
Meskipun aku tahu jawabanku itu tak akan mempengaruhi pendapat
Billy sama sekali.
"Yah...setidaknya aku lebih pandai daripada si Tua Munson
itu," gumam Billy, "ngapain harus ngikutin kemauannya? Yuk kita
kerjakan soal yang lain," ajaknya sambil memeriksa buku-bukuku
yang lain.
Dengan bingung, kucoba untuk menyimpulkan sikap Billy. Di
satu pihak, Billy terancam tidak naik kelas. Dan ia pun kelihatan amat
membenci sekolah. Ia juga benci membaca. Tapi di pihak lain, ia
mampu mengingat segala yang diajarkan Pak Grey tentang Kolonisasi
Amerika dalam pelajaran sejarah. Dan ia dapat mengerjakan soalmatematik di luar kepalanya, jauh lebih cepat dari hitunganku di atas
kertas. Apa pun yang terjadi, yang jelas benar-benar aneh.
"Doorr!" bisik Billy agak keras, membuyarkan lamunanku,
"Sadar dong Allison!"
"A...appa?" aku malah balik bertanya. Kutolehkan kepala
menatapnya dan aku jadi amat terkejut. Ternyata Billy menyorongkan
tubuhnya mendekatiku sehingga wajah kami hampir bersentuhan.
Jarak antara wajah kami tinggal beberapa senti saja. Begitu
terkejutnya aku, sampai-sampai tak bisa berkedip.
Billy tertawa melihatnya dan kembali duduk di kursinya.
"Sekarang, bolehkah aku keluar dari ruangan ini? Teman-temanku
sudah menunggu di luar," ia bangkit berdiri dari kursinya.
"Billy! Tunggu!" panggilku. Ia tak bisa pergi begitu saja
sebelum aku mengutarakan maksudku untuk mengundangnya ke
rumah.
Billy menaikkan alisnya dan kembali duduk. "Allison," ujarnya,
"tak usah coba-coba memaksaku membaca buku teks deh. Soalnya
aku tidak bakalan mau. Dan kau tak akan bisa memaksaku. Aku tidak
suka sekolah. Kalau pun suka, aku tetap tak mau tinggal lebih lama
dan belajar di ruangan ini. Nah, sekarang jelas kan? Aku tidak
berminat jadi juara kelas."
"Kau tidak mengerti...," ujarku perlahan.
"O ya?" Billy melipat tangannya di dada dan menatapku dengan
sebelah alis terangkat dan senyum mencemooh. "Kalau begitu tolong
kau jelaskan maksudmu?"
"Sekarang aku tahu, dalam pelajaran matematik kau jauh lebih
pandai dariku," kataku. "Mungkin juga dalam pelajaran sejarah. Kauhanya perlu mengubah kebiasaan belajarmu," kuselesaikan kalimatku
dengan cepat sebelum aku kehilangan keberanian. Dalam hati aku
terus berdoa agar Billy mau mengerti. "Dan menurutku, kau butuh
sebuah tempat di mana kau bisa belajar dengan tenang. Dan aku
merencanakan untuk mengajakmu belajar di rumahku pulang sekolah
besok," ucapku tergesa-gesa. Tak dapat kupercaya, akhirnya
kuucapkan juga ajakan itu!
Beberapa saat, kami berdua terdiam. Billy hanya duduk dengan
senyum sinis. Lalu ia berdiri. Jantungku berhenti berdetak. Pasti Billy
menolak ajakanku. Gagasan mengundangnya ke rumahku adalah
gagasan yang tolol sekali, pikirku.
"Di mana alamatmu?" tanya Billy tiba-tiba.
"Spencer Avenue," sahutku dengan cepat, "nomer 42."
"Aku akan datang besok," kata Billy, lalu dibalikkannya
tubuhnya dan ditinggalkannya ruang perpustakaan.
Menatap kepergiannya, aku menghela nafas lega. Aku benar-
benar tegang. Menghadapi Billy Dixon jauh lebih sulit ketimbang
menghadapi Charlie, adikku. Aku pun selalu merasakan gejolak yang
aneh dalam perutku jika menghadapi situasi yang menegangkan.
Misalnya saat seorang cowok mengajakku pulang bersama seusai
pemotretan untuk majalah Belle beberapa waktu lalu. Namanya
Moose dan ia cukup keren. Kami berdua terlibat dalam pemotretan itu.
Dan sekarang, entah kenapa aku merasakan gejolak yang sama dalam
perutku. Malah lebih dahsyat lagi. Mungkin hal ini terjadi karena aku
berada di pihak yang mengajak, bukan menerima ajakan seorang
cowok. Entahlah.BAGIAN LIMA
" Bu...aku pulang!" seruku begitu memasuki pintu rumah,
sepulang sekolah hari berikutnya. Tercium olehku aroma sedap. Pasti
Ibu tengah memanggang kue kacang dan mentega, sampai seluruh
rumah dipenuhi bau lezat begini.
"Hai sayang," sahut Ibu dari dapur. "Ayo, cicipi kue bikinan
Ibu ini. Masih hangat, baru diangkat dari oven."
Sebelum masuk ke dapur, kugantungkan jaketku di lemari dekat
pintu masuk, dan kubiarkan tasku tergeletak di lantai.
"Kau lihat Charlie di halaman tadi?" tanya Ibu.
"Ya. Lagi main di taman," jawabku. Charlie baru berusia tujuh
tahun dan amat tergila-gila pada tokoh-tokoh film kartun. Tadi kulihat
Charlie mengenakan pakaian serba hijau, dengan kantung plastik hijau
tergantung di punggungnya. Seolah-olah ia menjelma jadi Kura-Kura
Ninja.
"Jadikah Billy datang ke mari nanti?" tanya Ibu lagi.
"Kurasa ia akan datang," sahutku sambil beranjak duduk ke
meja makan.
"Kalau ia nanti datang, sebaiknya kalian belajar di ruang tamu
saja," usul Ibu sambil menyodorkan sepiring penuh kue yang masih
hangat. "Ibu akan menjaga agar Charlie tidak mengganggu kalian.""Trims Bu," ucapku senang. Saat itu bel pintu berbunyi. "Biar
saya yang buka," seruku sambil melompat berdiri dan berlari
menyongsong pintu. Begitu tiba di depan pintu, aku berhenti sejenak
untuk menarik nafas dalam sebelum membukanya. Tiba-tiba saja
kurasakan gejolak yang sama di perutku.
Ketika pintu kubuka, terlihat Billy tengah bersandar di pintu
sambil menyilangkan kaki. Kulihat, sama tegangnya seperti aku. Dan
ketika ia melihat siapa yang membuka pintu, ia langsung tersenyum.
Ia masih tetap mengenakan jaket kulit coklatnya, celana baggy belel
dan sweatshirt biru terang yang membuat bola matanya tampak
menjadi kebiru-biruan.
"Nah, aku sudah datang...," ujarnya. Persis seperti ucapannya di
perpustakaan tempo hari. Mendengar suaranya, perutku jadi makin
bergolak.
"Masuklah," sapaku berusaha setenang mungkin.
"Yang lagi bermain di taman itu adikmu ya?" tanyanya sambil
melangkah masuk. "Dia bilang namanya Charlie."
"Ya. Charlie memang adikku. Umurnya baru tujuh tahun tapi
kadang-kadang membuat kesulitan yang besar buatku," kataku.
"Masa? Aku suka padanya," ungkap Billy. Diangkatnya ransel
hitam. "Di mana kita akan belajar?"
"Di ruang tamu. Sebelah situ..." kuangkat tasku sendiri dan
kuajak Billy menuju ke ruang tamu. Kami berdua duduk di hadapan
sebuah meja. "Kau biasa belajar di tempat ini?" tanya Billy sambil
memperhatikan ruang tamu rumahku. Lantai dan dinding dari kayu
berwarna gelap memang membuat ruangan ini kelihatan sedikit formal
dan memberi suasana yang kaku. Tapi Ibu berusaha membuatnyasedikit lebih cerah dengan tanaman dan bunga-bunga segar. Juga
keranjang bambu dan hiasan dinding warna-warni.
"Kadang-kadang memang aku belajar di sini. Tapi lebih sering
di kamarku sendiri. Ada tempat duduk persis di depan jendela. Tempat
itu terasa amat tenang dan nyaman untukku."
"Kedengarannya boleh juga," sahut Billy sambil nyengir, "aku
juga ingin tahu, apa betul tempat duduk di depan jendela itu nyaman."
Aku membalas senyumnya. "Tempat untuk belajar haruslah
tenang dan nyaman. Begitu kata Ibuku. Sebelum menikah Ibu pernah
jadi guru."
Billy hanya mengangguk.
"Kupikir sebaiknya kita mulai dengan matematika," ujarku
sambil mengeluarkan buku matematika dan beberapa lembar kertas
dari tas sekolahku. "Karena kau harus menunjukkan cara kerja dan
setiap perhitungan dari tiap soal, bagaimana kalau kau mulai
menceritakan padaku caramu menyelesaikan soal dan menuliskannya
di kertas." Billy kelihatan bingung. "Maksudmu, sambil
menyelesaikan hitungan di kepalaku aku harus berbicara keras-keras?
Wah., mana aku bisa...?"
"Coba dulu deh," kucoba untuk meyakinkannya. "Soal pertama:
Empat orang pengusaha menanam modal untuk sebuah jenis usaha.
Pengusaha A mempunyai saham sebanyak 3 kali dari saham yang
dimiliki pengusaha B. Pengusaha C mempunyai saham 4 kali dari
saham yang dimiliki pengusaha A dan pengusaha D mempunyai satu
setengah kali saham yang dimiliki pengusaha A. Berapa persen saham
yang dimiliki masing-masing pengusaha itu?"Sesaat Billy kelihatan merenung seperti halnya kemarin-
kemarin.
"Billy, ceritakan padaku bagaimana kau menghitungnya,"
bisikku perlahan.
Di tengah konsentrasi, Billy kelihatan ragu untuk mulai bicara.
"Saham yang dimiliki keempat pengusaha itu seluruhnya berjumlah
100 persen. Jadi jumlah totalnya seratus," ia mulai bicara, untuk
menjelaskan pola berpikirnya dalam berhitung sementara aku menulis
apa yang dikatakannya di atas kertas. "Pengusaha A memiliki 30 %,
pengusaha B 10%, pengusaha C 15% dan pengu-saha D memiliki 45
% dari seluruh saham," ia menyimpulkan jawabannya seraya
menyibakkan rambut coklat yang menjuntai menutupi matanya sambil
menatapku dengan tegang.
"Bagus sekali!" seruku sambil mengacungkan kertas yang berisi
penyelesaian Billy. "Jawabanmu betul sekali!"
"Fuih...," Billy menghela nafas. "Untuk mengucapkannya aku
membutuhkan waktu lebih lama daripada menghitungnya di luar
kepala," protesnya.
"Aku tahu. Tapi setidaknya besok kau bisa mengumpulkan
pekerjaan rumahmu," ujarku mengingatkannya. "Ayo kita teruskan
soal berikutnya."
Dua puluh menit kemudian, kami telah menyelesaikan 8 soal
matematika. Dan Billy sama sekali tidak membuat satu kesalahan pun.
"Nah," seruku lega, sambil menyerahkan kertas jawaban itu padanya,
"sekarang kau tinggal menyalinnya kembali."
"Trims banget," ucap Billy. Dilipatnya kertas itu beberapa kali
dan diselipkannya ke saku jaketnya. Kemudian ia mulai tertawa. "Akunggak sabar untuk melihat reaksi Bu Munson jika melihat pekerjaan
rumahku ini!"
Aku pun ikut tertawa. Suara tawanya kedengaran keras dan
bernada gembira. Dan aku amat senang mendengarnya. Aku pun
senang melihat wajahnya saat tertawa. Sudut-sudut matanya jadi
berkerut manis jika ia tertawa dan matanya menyipit.
"Apa lagi nih?" tanyanya setelah tawa kami reda.
"Bahasa Inggris," sahutku mantap sambil menyiapkan diri.
"Segen, ah!" tukas Billy sama mantapnya.
"Allison?" panggil Ibu dari arah dapur, "Kau dan Billy belum
mau istirahat dulu? Ibu baru saja menyelesaikan beberapa potong kue
lagi."
Billy tertawa. "Selamat deh ogut" kelakarnya. "Kita istirahat
dulu yuk. Aku lapar nih," mohonnya sambil berdiri.
"Yah...," sesaat aku berlagak ragu, "bolehlah. Asal kau janji,
setelah istirahat nanti kau mau belajar bahasa Inggris. Oke?"
"Lihat saja nanti...," sahut Billy saat kami berdua melangkah ke
dapur, sambil menyeringai kuda.
"Bu, kenalkan ini Billy Dixon," kukenalkan Billy pada ibu,
"Billy, ini Ibuku."
"Hallo Billy," sapa Ibu, masih sambil memegang sepiring
penuh kue.
"Hai Bu Cloud," sapa Billy. "Trims atas kue-kuenya."
"Tolong tuangkan susu untuk Billy, Allison," usul Ibu, "gimana
acara belajar bersamanya? Lancar?" tanya Ibu pada Billy."Lumayan," sahutnya, "Allison adalah guru yang baik," ia
menatapku dan mengedipkan mata saat kuberikan segelas susu
padanya.
"Baguslah kalau begitu," ujar Ibu, "ambillah lagi beberapa
potong kue dan kembalilah belajar." Ujar Ibu seraya mengusir kami
dari dapur untuk segera kembali ke ruang tamu.
Aku dan Billy duduk di meja ruang tamu. Kuletakkan kue dan
gelasku di sampingku, kemudian kuambil buku bahasa Inggrisku.
Billy meraung.
"Aduh...biarkanlah aku makan kue dengan tenang...," ujarnya,
"kalau kuenya sudah habis, siapa tahu waktu untuk pulang pun sudah
tiba."
Aku tertawa, "Kenapa sih kau tak suka pelajaran bahasa
Inggris?"
"Karena aku tidak bisa," sahutnya sambil merengut.
"Aku bisa," terdengar suara yang amat kukenal, entah dari
mana asalnya. "Aku murid terbaik di kelasku."
"Charlie?" tanyaku sambil celingukan ke penjuru ruangan. Aku
yakin telah mendengar suara Charlie, tapi tak dapat menemukan
sosoknya. "Di mana sih kamu?"
"Di sini!" sahut Charlie sambil merangkak keluar dari kolong
meja. "Kata Ibu, kau dan Billy sedang belajar. Aku juga mau belajar
bersama Billy," Charlie mendekap sebuah buku di dadanya.
"Ibu kan melarangmu mengganggu kami," tukasku mulai
jengkel.
"Tapi aku mau belajar bersama Billy!" Charlie merengek keras-
keras.Aku memandang pasrah ke arah Billy. Kadang-kadang
melarang Charlie memang tak ada gunanya. Dan sebelum sempat
kuucapkan apa-apa, Charlie sudah naik ke kursi di samping Billy dan
membuka bukunya. Sebuah buku pelajaran bahasa Inggris untuk anak-
anak.
"Terry and Patty are friends. They like toplay together," Charlie
membaca bukunya.
Billy melirikku. Aku hanya menggelengkan kepala dan
mengangkat bahu. Billy membuka mulutnya namun mengatupkannya
kembali. Lalu ia mengalihkan perhatian pada Charlie. Aku benar-
benar tidak mengerti Billy. Ia kelihatan berubah. Sama sekali berbeda
dengan Billy yang kutemui sedang marah-marah di kantin sekolah
tempo hari. Coba lihat, sekarang ia malah duduk manis dan dengan
sabar mendengarkan celoteh adikku yang membacakan buku bahasa
Inggris untuk anak-anak. Billy serius sekali. Seolah-olah tengah


Girl Talk 10 Jatuh Cinta di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mendengarkan cerita yang menarik saja. Sebenarnya memang cerita
yang dibacakan Charlie cukup lucu juga. Aku dan Charlie pernah
membaca bersama tiga atau empat kali.
"Ini kata apa sih Billy?" tanya Charlie tiba-tiba. Billy
mengerutkan keningnya dan mendekatkan matanya pada buku.
Kulihat bibirnya bergerak-gerak.
"Masa kamu nggak tahu?" ia balas bertanya pada Charlie
setelah beberapa detik.
"Belum diajarin," Charlie menggeleng. "Kau harus
memberitahukannya padaku."
Billy membaca tulisan dalam buku itu sekali lagi. "Dolls,"
ujarnya akhirnya, "artinya: Boneka."Charlie kembali membaca dan memulai kalimat itu sekali lagi.
"Patty and Terry take turns playing with their dolls," ia menatap Billy
dengan heran, "masa Terry main boneka? Terry kan anak laki-laki?"
tanyanya.
"Anak laki-laki juga kadang bermain boneka Charlie," tukasku
memotong pertanyaan Charlie.
Pasti buku yang dibaca Charlie kali ini adalah cerita yang baru
tentang Patty dan Terry. Buku yang pernah kubaca sama sekali tidak
menceritakan tentang bermain boneka.
"Nggak mungkin," Charlie ngotot. "Anak laki-laki main bola
dan video games, ya nggak Billy?" Billy melirikku sejenak dan
kembali menoleh ke arah Charlie. "Sebaiknya kali ini kau dengar apa
kata kakakmu," ujarnya memberi saran dengan wajah jenaka,
"teruskan lagi ceritanya...."
"Patty took the ball away from Terry," Charlie mulai membaca,
"Terry did not like that at all. He was...." Charlie berhenti lagi
membaca dan menunjuk sebuah kata lagi yang tidak dimengertinya.
"Apa ini Billy?" tanyanya.
Billy menatap kata yang ditunjuk Charlie, "Itu., mh.. Annoyed."
"Apa artinya?" tanya Charlie lagi.
"Terganggu," sahut Billy.
"Terry was annoyed," Charlie melanjutkan. Annoyed? Itu
adalah sebuah kata yang terlalu sulit untuk bacaan anak-anak.
Memang artinya ?terganggu? seperti terjemahan Billy tadi. Tapi
biasanya digunakan kata lain yang lebih sederhana untuk anak-anak.
Misalnya ?angry?.
"Apa betul ditulis begitu?" tanyaku pada Billy."Sstt!" Charlie menempelkan telunjuk di bibirnya. "Aku lagi
membaca, diam dong!"
Charlie melanjutkan bacaannya tanpa kesulitan sampai halaman
terakhir. "Aduh...kata apa lagi ini?" tanyanya seraya menatap Billy.
"Kali ini tanyakan pada Allison saja," usul Billy sambil
mendorong buku itu dari hadapannya.
"Tapi aku mau kau yang mengajarku," desak Charlie.
Billy menghela nafas, mendekatkan buku itu lagi dan
membacanya selama beberapa detik sebelum mengembalikannya
kembali pada Charlie. "Close."
"Terry and Patty are close friend. The end, " Charlie
membacanya lagi.
"Tunggu dulu Charlie," tukasku. Mendengar apa yang
dibacakan Charlie, aku yakin bahwa buku itu adalah buku yang
pernah kami baca bersama dulu. Dan aku yakin, kalimat terakhirnya
seharusnya tidak berbunyi seperti tadi. Kuambil buku itu dari tangan
Charlie dan membacanya keras-keras, "Terry and Patty are best
friends. The end. Bukan ?close? Billy, tapi 'best'," ujarku perlahan.
"Kau salah membacanya."
Billy bangkit berdiri. "Kan sudah kubilang, aku nggak suka
pelajaran bahasa Inggris!" ujarnya marah. "Rasanya tentoring hari ini
cukup sampai di sini saja. Aku nggak punya waktu lagi!" Diangkatnya
ransel hitamnya dan disandangnya ke bahu.
"Tapi Billy, kita kan belum...."
"Sampai ketemu lagi!" tukasnya dengan nada tak acuh. "Daah
Charlie," ia mengucek-ucek rambut adikku sebelum membalikkan
tubuhnya dan melangkah meninggalkan ruang tamu."Aku suka pada Billy," ujar Charlie seraya mencomot sebuah
kue kacang yang ditinggalkan Billy.
"Aku juga," sahutku.
"Kenapa dia tiba-tiba marah?" tanya Charlie dengan mulut
penuh.
"Kalau lagi makan, jangan ngomong Charlie," kataku
mengingatkan. Kusadari bahwa sebenarnya aku pun punya pertanyaan
yang sama. Kenapa Billy mendadak marah seperti tadi? Aku kan
cuma membetulkan kesalahannya? Kuraih buku cerita bahasa Inggris
yang terletak di hadapanku dan kubaca lagi kalimat terakhirnya. Terry
and Patty are best friends. The end. Apakah aku dan Billy juga masih
bersahabat? Entahlah.
Tiba-tiba Ibu masuk ke ruang tamu. "Ah, rupanya kau di sini
Charlie! Kan Ibu sudah bilang, jangan mengganggu Allison dan
Billy," teriak Ibu agak marah. Lantas Ibu celingukan beberapa saat.
"Lho? Mana si Billy? Ibu baru saja akan mengajaknya ikut makan
malam."
"Dia sudah pulang," ujarku, "kelihatannya dia marah."
"Marah?" Ibu ikut duduk di sampingku, "Kenapa? Gara-gara
Charlie ya?"
"Bukan. Bukan gara-gara Charlie," tukasku. "Charlie cuma
minta tolong Billy membacakan buku bahasa Inggrisnya," kucoba
menjelaskan apa yang terjadi pada Ibu. Kuceritakan juga tentang
kesulitan membaca yang dilakukan Billy beberapa kali. "Ia lantas
marah begitu aku memperbaiki kesalahannya. Lalu pergi begitu saja.
Aneh ya Bu?""Kesalahan macam apa yang dilakukan Billy?" tanya Ibu seraya
tersenyum.
Kutuliskan semua kata-kata yang dibaca salah oleh Billy, ke
atas kertas. Billy mengucapkan ?dolls? padahal seharusnya ?toys?;
?annoyed? padahal seharusnya ?angry?, dan ?close? padahal mestinya
?best?, Ibu membaca kata-kata yang kutulis kemudian menatapku.
"Pernahkah Billy mengikuti test ?kesulitan membaca??" tanya
Ibu serius.
"Kesalahan membaca?" tanyaku terkejut. "Entah ya. Emangnya
kenapa sih Bu?"
"Lihatlah. Ada semacam pola yang sama dalam tiap kesulitan
yang dibuat Billy," Ibu menjelaskan, "kata yang dibacakan Billy
mempunyai makna yang sama dengan kata yang seharusnya tertulis
dalam buku. Hal itu memang terjadi pada orang yang punya
kecenderungan ?sulit?. Biasanya disebut ?reading disorder?."
"Apakah itu berarti Billy tidak bisa membaca? Buta huruf?"
tanyaku curiga.
"Tentu saja kita tidak tahu. Billy harus menjalankan test dulu,"
ujar Ibu sambil menggelengkan kepala. "Kalau ternyata betul, artinya
ia harus menjalani pendidikan tambahan. Belajar membaca dengan
benar sesuai dengan tulisan."
"Jadi apa yang harus saya lakukan?" tanyaku bingung.
"Lebih baik kau bicarakan dengan guru yang bertanggung
jawab atas program tentoring ini," usul Ibu. "Pasti gurumu akan
memberikan test itu pada Billy."
"Besok akan kusampaikan pada Bu Staats ucapku menyetujui
usul Ibu."Allison," ujar Charlie menghampiriku, "apakah Billy masih
mau datang dan mengajarku membaca lagi?"
"Mudah-mudahan Charlie," sahutku mencoba tersenyum. Entah
apa jadinya jika seorang pemberang seperti Billy tahu bahwa dirinya
mempunyai kesulitan membaca. Sekarang saja ia sudah marah besar
terhadapku. Kenyataan ini tentu akan membuatnya semakin marah.BAGIAN ENAM
Hari Jumat, aku tak sempat menemui Bu Staats karena beliau
harus mengikuti acara di Minneapolis. Maka kuputuskan untuk pergi
ke perpustakaan dan mencari informasi tentang ?kesulitan membaca?
lewat buku-buku. Aku ingin tahu pasti apa yang dimaksud dengan
?reading disorder? atau ?kesulitan membaca? itu.
Di perpustakaan, kutemukan sebuah buku besar yang tebal
dengan judul Mengajar Membaca: Strategi dan Hambatannya.
Kalimat-kalimat dalam buku itu amat sulit dan teoritis. Informasi lain
yang dapat kutemukan adalah sebuah artikel dalam ensiklopedi. Tapi
informasi itu sama saja dengan penjelasan Ibu tempo hari. Maka
kuputuskan untuk pergi ke perpustakaan kota akhir minggu ini.
Perpustakaan Acorn Falls tentunya lebih lengkap daripada
perpustakaan sekolah.
Sepanjang hari Sabs, Katie dan Randy terus menerus
membicarakan soal pertandingan boling di Lois Lane?s nanti malam.
Aku pun jadi tegang memikirkannya. Jam 6.15 kami berempat
berangkat menuju arena boling.
"Menegangkan sekali!" seru Randy. "Rasanya seperti di New
York!""Di kota ini kita juga punya acara-acara yang asyiik lho...," ujar
Sabs bangga.
Nyatanya tempat itu memang kelihatan istimewa. Seluruh
ruangan ditata dalam nuansa tahun limapuluhan. Bar tahun
limapuluhan, kotak musik otomatis kuno dan foto hitam putih dari
artis-artis tahun limapuluhan ikut menyemarakkan ruangan. Di satu
sudut juga nampak deretan mesin dingdong dan video games. Begitu
banyak anak-anak dari sekolah kami yang datang sehingga rasanya
seperti sedang merayakan sebuah pesta saja.
"Aku senang sekali tempat ini dibuka kembali," seru Sabs.
"Pasti akan menyenangkan. Yuk kita ganti sepatu dulu. Barangkali
kita sempat latihan sebentar sebelum cowok-cowok itu muncul."
"Siapa bilang kita perlu latihan?" tanya Randy sok yakin saat
kami melangkah menuju deretan line boling. "Cowok-cowok itu harus
berdoa supaya menang."
"Akan kita sapu bersih mereka," Katie mengangguk setuju.
Kemudian kami memberikan nomer sepatu masing-masing pada
penjaga counter sepatu. Untuk main boling, kita harus memakai
sepatu khusus.
"Menurutku, sebaiknya kita perlu sedikit pemanasan sebelum
bertanding," ujarku.
"Astaga Al. Jadi kau masih memikirkan soal belajar boling itu
ya?" tanya Sabs setengah menggoda. Kami berempat duduk untuk
menukar sepatu. "Nggak susah kok!"
"Kau pasti bisa," timpal Katie.
"Kau tahu, aku dulu biasa mengenakan sepatu macam ini,"
Randy menunjuk sepatu boling berwarna merah-hijau yangdikenakannya. "Aku membelinya dari toko barang bekas di East
Village. Waktu itu aku enggak tahu bahwa ini adalah sepatu boling.
Jadi kupakai ke mana-mana seperti sepatu biasa."
"Yang bener?" Sabs cekikikan, "Kau jalan-jalan dengan sepatu
macam ini?"
"Kenapa heran? Randy biasa memakai sepatu warna-warni ke
sekolah. Yang motifnya kulit macan juga pernah," Katie ikut tertawa.
"Memakai sepatu boling bukan hal yang aneh buat orang macam
Randy."
"Pernahkah kalian melihatku memakai sepatu pantofel?" tanya
Randy. Dan kami semuapun tertawa membayangkan Randy memakai
sepatu pantofel yang feminin seperti sekretaris.
Setelah siap dengan sepatu boling, kami segera beranjak untuk
mencari jalur yang masih kosong. Tiba-tiba kudengar Sam
memanggil.
"Hei! Mari! Kami sudah mendapatkan jalur!"
Sabs menyeringai. "Oh... kita jadi nggak sempat melakukan
pemanasan deh."
Randy menatapku. "Jangan takut Al. Soal kecil...," bisiknya.
Aku balas tersenyum. Randy memang tidak pernah cemas
menghadapi apa pun, namun ia selalu tahu kalau aku mudah cemas.
Dan seperti biasa, ia pun pandai membesarkan hatiku.
"Kalian sudah lama ya?" tanya Katie sambil melangkah
bersama kami ke tempat Sam dan teman-temannya. Mereka duduk di
jalur tujuh belas dan delapan belas."Baru saja kok," sahut Sam sambil meringis, "dari tadi kita
nunggu. Maunya sih pemanasan dulu. Tapi nggak adil kan kalau kita
latihan dulu."
"Ah...sudahlah Sam. Jangan curang dong!" sela Nick Robbins
sambil tersenyum. Lesung pipinya kelihatan. "Kita tadi kan sempat
latihan. Jadi mereka juga harus diberi kesempatan latihan pemanasan
dong."
"Sam Wells!" seru Sabs marah sambil berkacak pinggang. "Tak
kusangka kau mau curang!"
"Soalnya mereka takut kalah Sabs," sela Katie, "dan kita pasti
menang!"
"Ayolah Al," kata Randy, "akan kupilihkan bola untukmu,"
Randy mengajakku ke rak bola boling. Aneh, banyak sekali bola di
atas rak. Kira-kira lebih dari seratus buah. Yang mana harus kupilih?
"Kok banyak banget Randy?" tanyaku, "Bola sebanyak ini tak
sebanding dengan jumlah jalur boling yang ada."
"Oh. Beratnya bermacam-macam Al," Randy menjelaskan,
"ada yang senang menggunakan bola yang ringan, dan ada yang lebih
suka bola yang berat. Nah, cobalah ini," ujarnya seraya memberikan
sebuah bola merah bernomor sepuluh.
Kami kembali ke jalur delapan belas di mana Katie dan Sabs
tengah menunggu. Mereka telah mendapatkan bola masing-masing.
"Kau duluan," ujar Randy mendorongku sambil duduk di kursi.
"Aku? Aku kan belum tahu apa-apa?" protesku panik.
"Kalau begitu, aku duluan deh...," Katie mengajukan diri, "kau
perhatikan gerakanku ya Al. "
"Ya," seruku senang."Ayo Katie!" teriak Sabs begitu Katie melangkah mendekati
jalur bola.
Kuperhatikan posisi Katie baik-baik. Ia menempatkan diri di
tengah jalur, lalu menunduk. Matanya terarah pada kesepuluh pin
boling yang harus dijatuhkan dengan bola. Lalu ia maju beberapa
langkah dan mengayunkan tangannya ke belakang. Bolanya
dilontarkan ke depan, menggelinding di atas jalur dan kemudian
terdengar suara pin-pin berjatuhan. Katie berhasil menjatuhkan ke
sepuluh pin tersebut!
"Hebat!" seru Sabrina. "Strike yang jitu sekali! Sekarang
giliranku," Sabs mengambil bolanya dan melangkah maju.
Siluman Teluk Gonggo 3 Legenda Kematian Karya Gu Long Datuk Pulau Ular 1
^