Pencarian

Pasangan Aneh 2

Girl Talk 07 Pasangan Aneh Bagian 2


berbulan-bulan tidak dicuci. Iapun kelihatan letih sekali. "Oh? Hallo
juga," sahutnya gugup.
"Hm...kau baik-baik saja kan Mark?" tanyaku khawatir melihat
keadaannya, "kau kelihatan kecapean."Mark merentangkan tangannya, menggeliat sedikit dan
menatapku dingin. "Apa urusanmu?" balasnya tak acuh.
"Aku cuma ingin tanya saja, sebagai teman," aku menelan
ludah, "lagipula kita kan satu tim."
"Yah...aku baik-baik saja," sahutnya kemudian, "Ada apa?"
"Aku ingin kau jaga telur ini untuk sementara waktu," kataku.
Wajahnya langsung berubah keruh. "Oh tidak bisa," tukasnya
cepat.
"Apa maksudmu dengan tidak bisa?" sentakku sambil bertolak
pinggang.
"Ya tidak bisa saja! Pokoknya hari ini tak bisa."
"Hei! jangan curang dong!" pekikku marah, "Aku kan belum
pikun. Kau sendiri yang berjanji bahwa aku bisa menyerahkannya
padamu kapan saja aku mau! Sekarang akan kuserahkan padamu!"
"Tidak, jangan hari ini!" ia balas membentakku.
Aku menarik nafas jengkel. "Memangnya ada apa sih dengan
hari ini?" desakku, "ada les piano? Yang jelas hari ini kan tidak ada
latihan basket. Apa kamu tak mau pulang ke rumah?"
Tiba-tiba saja kulihat bola matanya yang biru berubah menjadi
redup. ?Tentu saja aku pulang ke rumahku!" ujarnya sambil
mengatupkan giginya, "tapi aku tak bisa membawa telur itu pulang ke
rumah dan aku tak bisa menjelaskan alasanku padamu!"
"Aneh dong!" aku terus mendesak. "Apa salahnya kau bawa
telur ini pulang dan kau simpan di rumahmu untuk beberapa jam
saja?"
"Dengar Non," ujarnya dengan wajah memerah, "Barangkali
rumahku bukan seperti rumah orang lain di mana kita bisa menyimpansesuatu dengan leluasa. Mungkin rumahku memang selalu berantakan
dan kacau balau, tapi yang pasti itu bukan urusanmu!"
Saat itu aku menjadi betul-betul marah dan sama sekali tak
perduli dengan kata-katanya.
"Kau yang harus mendengarkan aku Mark," ujarku marah,
"Satu hal yang harus kau sadari adalah bahwa kita beruntung bahwa
kita bukanlah orang tua sungguhan. Tak ada yang lebih kubenci dalam
hidupku selain harus hidup bersama orang macam kau! Sebetulnya
sudah lama aku tak ingin berpasangan denganmu dan lebih baik
sendiri mengerjakan proyek ini seperti Allison!"
Dan wajah Mark menjadi makin merah dan tubuhnya gemetar
mendengar kalimatku yang tajam. Ia seperti balon yang siap meledak.
"Hati- hati kalau bicara padaku ya!" ia melangkah mundur
menjauhiku dengan mata menyipit dan rahang terkatup erat serta
wajah pucat pasi, "Kau sama sekali tidak tahu apa-apa tentang diriku,
jadi jangan menuduh macam-macam!" Matanya berkilat
menyambarku dan secepat kilat ia berlari meninggalkanku.
Kutendang lokernya dengan pikiran kalut. Tak dapat kupercaya
sikapnya benar-benar menyebalkan. Gara-gara dia aku jadi tak bisa
ikut ke Wild Wheels.
Saat berjalan menuju mobil Luke menemui Sam, Jason dan
Nick, perasaanku benar-benar kacau dan amarahku masih meluap.
Kulihat mereka tengah menungguku.
Sam melambaikan tangannya. "Hoi!" serunya memanggil.
"Kayak tentara saja jalanmu. Mau ke mana non?"
Kutolehkan kepala ke arahnya. "Lupakan saja semuanya,"
ujarku. "Aku tak bisa ikut.""Kenapa?" tanya Nick.
"Mark tidak mau menjaga telurku," gerutuku.
"Lalu?" Jason mengangkat bahu heran, "Apa hubungannya?"
"Ya,"sahut Sam. "Bawa saja telurmu. Di sana bisa kau cari
tempat aman untuk menyimpannya."
Beberapa menit aku merasa tergoda. Mungkin di sana ada
tempat yang aman di mana aku bisa menyimpan telurku sementara
aku main skate-board. Tapi tiba-tiba terlintas dalam benakku,
seseorang tanpa sengaja menginjak telurku atau melindasnya dengan
skateboard! Aku segera menggelengkan kepala pada Sam. Di tempat
macam Fitzies saja aku cemas membawa telurku, apalagi di tempat
main skateboard! Lagipula mana mungkin aku menikmati suasana di
sana sementara hatiku was-was memikirkan nasib si kecil telur ini?
"Nggak jadi ikut? Yang bener, ?" seru Jason heran.
Mulut Nick menganga takjub melihat gelengan kepalaku, "Kau
lewatkan kesempatan pergi ke Wild Wheels lantaran sebutir telur?"
tanyanya.
"Ya," anggukku mantap. "Sejauh ini aku telah berhasil menjaga
telurku dengan baik dan aku tak akan menghancurkan usahaku
sekarang. Hari akhir proyek ini sudah dekat."
"Terserahlah," ujar Sam akhirnya sambil mengangkat bahu dan
masuk ke dalam mobil.
Sempat kudengar Luke menyalakan mesin mobil dan suara itu
membuatku makin marah pada Mark. Aku telah melewatkan
kesempatan untuk main skateboard di tempat yang paling asyik!
Sambil berjalan pulang, aku terus memikirkan tentang sikap
Mark yang aneh. Awalnya aku hanya merasa marah saja, tapikemudian aku mulai memikirkan apa yang ada dibalik sikap anehnya
yang menjengkelkan itu. Kenapa sih dia bertingkah dan nggak mau
bekerja sama sekali? Mungkin saja ia merasa aku terlalu
memusingkan proyek ini. Seperti halnya Sam yang selalu
menganggap proyek ini main-main belaka. Tapi lebih dari itu aku
merasa Mark membenci proyek ini. Dan itu membuatku curiga.
Begitu tiba di rumah, kulihat Ibu masih asyik dalam studionya.
Rumah kami benar-benar luar biasa bentuknya. Sebetulnya rumah
kami adalah gudang yang amat besar dan tak ada ruang-ruang di
dalamnya. Jadi jika aku nonton TV di ruang tengah sementara Ibu
bekerja di studionya, kami seolah-olah tetap berada dalam satu
ruangan saja.
Aku masuk ke studionya dan melihat apa yang tengah
dikerjakan Ibu. Ia tengah asyik memahat sebongkah gips besar.
Agaknya ini adalah hal baru yang mengasyikkan buat Ibu. Biasanya
Ibu hanya melukis, tapi kini ia mengadakan terobosan baru dalam
dunia seni. Terutama sejak Ibu mendapat kesempatan untuk
mengadakan pameran tunggal di sebuah galeri seni di Minneapolis
baru-baru ini.
Ibu tampak asyik mengaduk bubuk gips dalam sebuah bak
plastik hijau. Bubuk-bubuk gips berwarna putih bertebaran di
sekelilingnya. Aku bersyukur bahwa Ibu dapat memiliki studio sendiri
di Acorn Falls ini. Dulu, di rumah kami di New York, Ibu tak bisa
mengerjakan apa-apa karena terbatasnya ruangan. Di sana Ibu hanya
bisa melukis kecil-kecilan dengan cat air di ruang makan kami. Hanya
itu."Hai M," sapaku sambil meletakkan ranselku di lantai. Sejak
kecil aku selalu memanggil Ibu dengan M. Entah kenapa. Ayahkupun
kupanggil hanya dengan sebuah huruf ?D?.
"Oh, hai Randy," sahut Ibu seraya menyibakkan rambut yang
menjurai di dahinya. "Apa khabar?"
Kuperhatikan wajah Ibu dilumuri bubuk gips dan beliau
kelihatan seperti trukang roti saja. Hi...hi...
"Baik...," jawabku seraya meletakkan telurku di sebuah rak
yang letaknya agak tinggi dan aman. Di situlah Ibu menyimpan alat-
alat memahatnya. Tiba-tiba saja aku teringat pada Mark dan kusadari
bahwa rumahku sendiri bukanlah tipe rumah yang rapih teratur di
mana kita bisa meletakkan segala sesuatu dengan aman. Sebab kadang
kala Ibu begitu hanyut dengan pekerjaannya sehingga mengabaikan
hal-hal lain. Kalau saja aku tak mengawasi, mungkin saja Ibu nanti
mencampur telurku dalam adonan gips untuk patungnya.
Ibu menatapku. "Cuma itu jawabanmu? Baik-baik saja?"
tanyanya sambil mengerutkan hidung.
"Yeah...," sahutku, "sebetulnya sih hari ini tak begitu
mengasyikkan. M, boleh aku menanyakan sesuatu?"
Ibu mengangguk dan mengaduk adonannya.
"Waktu aku masih bayi, kau dan D selalu membawaku ke mana
pun kalian pergi kan?"
"Ya," angguk ibu, "kadang-kadang kami meninggalkanmu di
rumah bersama pengasuh bayi tapi sedapat mungkin kami selalu
membawamu serta.""Tapi kalau kalian pergi ketempat-tempat yang tidak
memungkinkan untuk membawa seorang bayi dan tidak ada pengasuh
untuk menjagaku di rumah, ?gimana?"
Ibu menghentikan pekerjaannya sejenak dan mengangkat bahu.
"Yah...aku dan ayahmu tidak jadi pergi," sahutnya enteng.
"Betul? Kalian membatalkan rencana gara-gara seorang bayi?"
Ibu mengangguk dan kembali mengaduk adonannya lagi.
"Apakah kalian tidak merasa terganggu dengan keadaan macam
itu?" tanyaku penasaran.
Ibu menatapku dan kulihat di pipinya ada secuil gips yang
sudah mengeras dan retak saat beliau tersenyum lebar. "Yah tentu
saja, kadang- kadang..." kata Ibu, "Tapi kalau kau menyadari bahwa
ada sesuatu yang begitu tak berdaya dan amat membutuhkanmu,
sepertinya penyesalan itu tak terlalu terasa lagi."
Aku mengangguk tanda mengerti. Kurasa aku dapat menangkap
maksud Ibu. Aku mulai menyadari bahwa menjadi orang tua berarti
juga harus siap mengorbankan beberapa hal.
"Di samping itu," lanjut Ibu, "kami menyayangimu dan itu
sudah lebih dari segalanya."
Aku tersenyum. Mungkin memang ada perbedaan besar antara
menjaga sebutir telur dan menjaga seorang bayi. Jika kita begitu
menyayangi sesuatu, maka kita tak akan merasa keberatan
mengorbankan hal-hal lain. Dan aku bersyukur bahwa kedua orang
tuaku begitu mencintaiku sehingga tidak keberatan mengorbankan
hal-hal penting lain dalam kehidupan mereka demi aku. Kupandang
lagi Ibu yang kini mulai membentuk-bentuk adonan gipsnya. Dan saatitu aku merasa aku memandangnya sebagai seseorang yang lebih dari
sorang ibu.
"Terima kasih M, kau orang yang paling hebat di dunia," ujarku
sambil meraih telurku dan beranjak ke dapur untuk mencari cemilan.BAGIAN TUJUH
Hari berikutnya, ketika aku melangkah ke kelas menjelang jam
pelajaran PKK, kulihat anak-anak berkerumun di meja Stacy Hansen.
Katie telah menyediakan tempat duduk untukku sehingga aku tinggal
duduk dan mencoba mengabaikan Stacy dan badut-badutnya yang
menyebalkan itu.
"Aku dan Nick bukan saja pasangan yang serasi," desis Stacy
sombong. "Kami bahkan mendapat telur yang sempurna!" Ia
meletakkan telurnya di atas meja dan memutarnya. Telur itu berputar
beberapa saat dengan teratur dan perlahan-lahan berhenti. Seperti
gangsing saja! Eva, BZ dan Laurel, para badut pengekor Stacy
menatapnya dengan takjub.
"Wah wah..." seru BZ kagum.
"Hebat sekali Stacy," tambah Laurel.
"Kok bisa sih?" tanya Eva kagum.
Katie yang duduk di sebelahku hanya mengedip jengkel.
"Tak perlu heran kalau Si Hebat Stacy punya telur yang juga
hebat," kata Katie.
"Ya, sampai telurnya bisa berputar seperti gangsing," sahutku.
"Apa hebatnya sih? Gampang aja kan?" Kuletakkan telurku di atasmeja dan memutarnya. Tapi nyatanya telurku tidak berputar mulus
tapi malah terpelintir kacau sampai hampir jatuh dari atas meja.
"Lho kok?" desisku heran seraya memutarnya sekali lagi. Tapi
tetap saja gagal.
"Biar kucoba..." kata Katie sambil memutar telurnya.
Tapi telur Katie mengalami nasib yang sama seperti telurku.
Hampir jatuh dari meja!
"Aku nggak ngerti deh," tukasku.
"Nggak ngerti apa?" tanya Al yang tiba-tiba sudah masuk ke
kelas dan duduk di sebelahku.
"Telurku dan telur Katie tidak bisa berputar mulus," jelasku
seraya memutar lagi telurku di depan Al.
"Tentu saja tidak bisa," kata Al kalem.
"Kenapa?" Katie penasaran.
"Ini kan telur mentah. Isinya adalah cairan putih dan kuning
telur. Jika kalian memutarnya, isinya akan terkocok-kocok kacau
sehingga telur kehilangan keseimbangannya," Allison menjelaskan
dengan cermat. "Jika kalian ingin telur berputar mulus macam
gangsing, harus direbus dulu biar isinya padat."
Aku segera menoleh ke arah Katie dan begitu pula Katie. Kami
berdua langsung dapat menerka apa yang telah diperbuat Stacy atas
telurnya.
"Randy," desis Katie, "apakah yang kau pikirkan sama dengan
pikiranku?"
"Tentu saja. Dan aku yakin pikiranku betul," ujarku dengan
mata menyipit.
"Ada apa sih?" Al heran."Ada telur yang bisa berputar mulus seperti gangsing di kelas
ini," Katie memberi tahu.
"Ya," timpalku, "Dan tentu kau bisa menebak siapa
pemiliknya."
Tapi sebelum Al sempat menebak, terdengar suara sombong
Stacy yang berbicara pada Eva. "Mudah saja Eva, kalau kau mendapat
telur istimewa semuanya mudah saja kok."
"Penipu...," geramku sambil mengepal gemas.
"Berani betul dia melakukan itu," desis Katie sambil
mengangkat telurnya dari meja dan menggendongnya seperti
menggendong bayi.
"Stacy Hansen...,"desis Allison dengan senyum maklum. Al
kelihatan tidak terkejut. Ia sudah merasakan sendiri kelicikan Stacy
saat mereka berdua terpilih menjadi model untuk sebuah majalah
remaja, Belle. Kalian masih ingat kan?
"Apa yang harus kita lakukan dengan penipu itu?" tanya Katie
gemas.
Entahlah. Yang jelas Stacy melakukan hal itu sekedar untuk
menarik perhatian Bu Nelson. Tapi merebus telur berarti menipu. Dan
menipu itu sama sekali tindakan yang tidak terpuji. Tentu saja aku tak
akan membiarkan Stacy terus menipu anak-anak. Aku memang bukan
pahlawan, tapi aku tak sanggup membiarkannya berlagak. Maka aku
berdiri.
Tapi sebelum sempat melangkah, pintu kelas terbuka dan Sabs
masuk dengan tergesa-gesa.
Seperti biasanya, Sabs selalu berusaha untuk tidak terlambat.
Wajahnya kelihatan panik dan pagi ini ia mengenakan blus ala Mexicoyang baru saja dibelinya di Dare, pertokoan favoritnya. Lengan baju
itu bertumpuk-tumpuk tebal, memanjang hingga ke pergelangan
tangan. Sambil berlari ia melintas di depan meja Stacy dan kibasan
salah satu lengan baju Sabs menyentuh telur Stacy sehingga telur itu
tergulir dari atas meja dan?jatuh! Setelah kudengar suara ?debum?
kulihat telur itu sudah tak ada di atas meja.
"Oh Stacy...telurmu jatuh!" pekik BZ sambil melonjak dari
kursinya.
"Mari kubantu membersihkannya Stacy," ujar Laurel sambil
menawarkan sekotak tissue pada Stacy.
Pipi Stacy bersemu merah sambil secepat mungkin bangkit dari
kursinya. ?Tidak! Tidak perlu!" teriaknya panik. "Biar kubersihkan
sendiri saja! Awas jangan ada yang mendekat kesini!"
Tapi peringatannya itu terlambat. Beberapa anak sudah
mengerumuninya dan menatap ke bawah meja, berharap menemukan
genangan putih telur dan kuningnya di lantai tempat telur Stacy jatuh.
Aku tak akan melewatkan hal ini! Segera kuterobos kerumunan
anak-anak dan kulihat di lantai sama sekali tak ada bekas pecahan
telur. Hanya ada sebutir telur yang retak kulitnya. Tak dapat disangkal
lagi, Stacy Hansen telah merebus telurnya.


Girl Talk 07 Pasangan Aneh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Wah...wah Stacy," ujarku meringis senang dengan alis
terangkat. "Telurmu benar-benar hebat dan kuat. Padat lagi!"
Aku membungkuk dan mengangkat telur Stacy. "Kalau pecah
gampang pula dibersihkan," tambahku seraya melempar telur itu ke
tempat sampah di sudut ruang kelas seperti pemain basket ulung. Hop.
Masuk!Wajah Stacy memerah karena malu dan seperti biasanya ia siap
dengan alasan-alasannya. Tapi kali ini ia hanya menggerak-gerakkan
mulutnya tanpa sepatah kata pun keluar dari sana.
Nick menatap ke arah lantai dan ke arah Stacy berkali-kali
dengan mata terbelalak tak mengerti. "Stacy, apa yang telah kau
lakukan dengan telur kita?" desaknya penasaran.
Tiba-tiba pintu terbuka dan Bu Nelson masuk. Anak-anak diam
terpaku. Bu Nelson melihat anak-anak yang berkerumun di meja
Stacy.
"Ada apa di situ?" tanyanya sambil menatap Stacy yang
wajahnya masih memerah.
"Ti...tidak ada...," sahut Stacy gugup. "Tak ada apa-apa Bu,"
Stacy duduk ke kursinya dengan kepala tunduk dan berlagak
membaca catatannya.
"Oh, Stacy cuma sedikit kesal Bu Nelson," ujarku, "Telurnya
baru saja pecah," kucoba untuk bersikap simpatik tapi lewat ekor
mataku kulihat Katie ketawa cekikikan dan aku tak dapat menahan
tawaku lagi.
Bu Nelson menatap ke arah Stacy lagi. "Yah, ini merupakan
salah satu pelajaran buat kita semua," ujarnya sambil tersenyum
bijaksana. "Kau tak perlu menyesalinya Stacy. Lagipula tak ada
manusia yang sempurna kan?"
Sedapat mungkin kucoba untuk menutup mukaku sambil
berusaha kembali ke tempat dudukku. Aku tak berani melihat ke arah
Al, Sabs atau Katie lagi. Bisa-bisa aku terbahak-bahak dibuatnya. Tapi
saat melintasi kursi Mark, aku heran melihat iapun tertawa geli
melihat kejadian ini.Bu Nelson menyuruh kelas untuk tenang dan mulai membahas
pendapat kita atas proyek pertama ini. Stacy bungkam seribu bahasa.
Ia hanya terpaku, menunduk menatap buku catatannya.
"Jadi," ujar Bu Nelson seraya mengedarkan pandangan ke
seluruh ruangan, "ada yang mau membagi pengalaman selama dua
minggu mengasuh telur?"
Sabs mengacungkan tangannya. "Saya hanya mau bilang bahwa
Allison telah membuat kantung yang bagus sekali untuk membawa
telurnya ke mana-mana dengan aman," ujarnya.
Alis Bu Nelson terangkat. "Betulkah itu Allison?" tanyanya.
"Apakah kau membawanya sekarang? Bolehkah kami melihatnya?"
"Oh tidak," gumam Allison. Pasti ia merasa malu menjadi pusat
perhatian seisi kelas macam ini.
"Kalau begitu mungkin lain kali bisa kau perlihatkan pada kami
semua," kata Bu Nelson.
Al mengangguk.
"Ada yang lain?" lanjut Bu Nelson, "Bagaimana rasanya jadi
pasangan orang tua?"
Mike Epson mengangkat tangannya.
"Saya berpasangan dengan Michelle Mackintosh, dan kami
mengatur agar tiap hari kita saling bergantian menjaga telur itu. Hari
ini saya, besok Michelle dan lusanya saya lagi. Begitu seterusnya.
Mulanya sih lancar," Mike bercerita, "tapi saya selalu lupa hari ini
giliran siapa, dan hari ini hari apa," tambahnya sambil nyengir.
Beberapa anak tertawa. Kurasa tak heran kalau Mike Epson tak
bisa mengingat nama hari. Ingatannya lemah sekali. Sudah dua kali
tinggal kelas dan malasnya minta ampun. Hi...hi...Beberapa anak lain menjadi sukarelawan untuk berbagi
pengalaman tentang cara mereka mengatur pembagian tanggung
jawab dalam menjaga telurnya selama dua minggu penuh. Ada yang
membawa telurnya ke mana-mana dalam gelas plastik yang dipenuhi
kapas agar tidak pecah. Menurutku itu ide cemerlang. Sesaat
kemudian suasana kelas hening kembali. Bu Nelson memandang
murid-muridnya sampai melihat Cheryl Waterman mengangkat
tangan.
"Saya berpasangan dengan David Kingston," ujarnya perlahan,
"Dan tadi malam ia menduduki telur kami sampai pecah..." ucap
Cheryl terbata-bata seperti mau menangis.
"Aku kan tidak sengaja," gumam David malu. Dia menoleh ke
arah Cheryl yang menggigit bibirnya menahan air mata. "Sumpah deh,
aku tak sengaja sama sekali. Telur itu kuletakkan di pegangan kursi
sementara aku duduk menonton televisi. Waktu iklan diputar, aku
tinggalkan televisi sebentar untuk mengambil cemilan ke dapur dan
meminta adikku untuk menjagai telurku. Begitu aku kembali ke ruang
duduk, kulihat film sudah dimulai. Mana aku tahu adikku telah
memindahkan letak telur itu, hingga waktu kuletakkan tubuhku ke atas
kursi aku...aku..." suaranya meninggi.
"Kau mendudukinya! Ha...ha..ha." lanjut seseorang dari barisan
belakang. Semua anak, kecuali Cheryl dan David tertawa terbahak-
bahak. Dapat kubayangkan semua cerita David. David Kingston
adalah anak yang bertubuh terbesar dalam team sepak bola Bradley. Ia
masuk tergesa ke ruang duduk dengan piring penuh popcorn,
melompat ke kursinya dan?Krek? menduduki telurnya sampai
pecah mengotori celananya. Hi...hi...Bu Nelson mengangkat tangannya dan menyuruh anak-anak
diam. "Saya rasa kita semua telah mempelajari beberapa hal penting.
Ada lagi yang mau bercerita?" tanyanya.
"Ya! saya!" teriak Sara. "Kita telah belajar untuk hati-hati
sebelum duduk!" Kelas ramai lagi. Bahkan Cherylpun kali ini ikut
tertawa sampai kemudian David mengangkat tangannya.
"Saya tahu apa yang telah saya pelajari," katanya lirih,
"Pertama-tama, jika hendak meninggalkan anak, terlebih dulu kalian
harus menugasi seseorang yang terpercaya untuk menjaganya. Orang
itu harus tahu banyak tentang anak kalian dan apapun yang kalian
lakukan kalian harus selalu ingat bahwa ada anak-anak di sekeliling
kita yang butuh perlindungan."
"Bagus sekali!" puji Bu Nelson sambil tersenyum ramah pada
David, "Ada yang lain?" tanyanya. Tak seorangpun mengacungkan
tangan.
Tiba-tiba beliau menunjukku. "Namamu Randy kan?" ujarnya.
"Nah Randy, kenapa tidak kau ceritakan pengalamanmu bersama
pasanganmu?" Aku melirik ke arah Mark yang berlagak asyik
mencatat. Tiba-tiba saja aku merasakan kembali amarahku. Kutarik
nafas panjang.
"Yah, sebenarnya," ujarku, "semua berjalan tidak begitu lancar.
Mark, pasanganku, sama sekali tidak mau membantuku. Jadi terpaksa
saya yang menjaga telur itu selama dua minggu penuh!"
Bu Nelson menatap Mark dengan serius. Tadinya kupikir Bu
Nelson akan menceramahi Mark, tapi anehnya Bu Nelson malah
kembali menoleh ke arahku dan tersenyum manis."Yah, setidaknya ini akan jadi contoh bahwa menjadi pasangan
suami istri dan orangtua yang baik tidaklah mudah. Saya hanya bisa
menyarankan agar kalian berdua meluangkan waktu bersama untuk
berdiskusi mengenai hal ini dan mencari jalan keluarnya bersama."
Aku menghela nafas. Mana mungkin aku dan Mark bisa
berdiskusi? Sejauh pengetahuanku, Mark, pasanganku itu adalah
mahluk yang luar biasa aneh sikapnya dan sama sekali tidak bisa
diajak bekerja sama!BAGIAN DELAPAN
Selama seminggu berikutnya, aku hampir tidak melakukan apa-
apa selain makan, tidur dan pergi ke sekolah, memainkan drumku dan
menjagai telurku. Seolah-olah aku dituntut untuk menjadi orang tua
terbaik di seluruh dunia. Dan akan kutunjukkan pada tuan siswa
teladan yang terhormat, Mark Wright, bahwa aku sama sekali tidak
membutuhkan bantuannya. Akupun hanya bertemu dengan Katie,
Sabs dan Allison di sekolah saja. Soalnya Sabrina sendiri sibuk
menjaga telurnya. Ia tidak berani membiarkan Sam menjaga telur itu.
Sedangkan Katie tiap pulang sekolah dipaksa oleh Winslow untuk
mengadakan diskusi tentang proyek telur mereka. Allison seperti
biasanya, selain harus menjaga telurnya seorang diri, iapun bertugas
menjaga adiknya, Charlie.
Pada pelajaran bahasa Inggris hari Jumat, Bu Staats
mengumumkan lewat kaca mata minus tebalnya bahwa hari Senin
depan akan diadakan ulangan.
Aku menghela nafas. Aku sama sekali tidak menyukai cara
guru-guru di Bradley ini memberi ulangan, ulangan dan ulangaaaan
melulu. Di sekolahku yang lama di New York, kami sama sekali tidak
pernah mendapat ulangan, tapi lebih banyak diberi tugas untuk
mengerjakan proyek-proyek percobaan sendiri dan guru hanyabertugas menguji apakah kami berhasil mempelajari sesuatu dari
proyek tersebut.
Namun sekarang aku menyadari bahwa tugas-tugas yang
diberikan di sekolahku yang lama kadang terlalu kekanak-kanakan
dan tak ada gunanya sama sekali. Misalnya tugas pelajaran
matematika. Selama satu tahun ajaran kami hanya ditugaskan untuk
membuat kalender dengan tema ?wanita dan matematika?. Kebetulan
aku yang bertugas sebagai tukang gambarnya. Tugas itu
menyenangkan sekali karena kita hanya perlu menggambar wajah
tokoh-tokoh wanita yang menjadi legenda dalam sejarah matematika.
Setiap bulan harus menyerahkan satu gambar saja. Mudah kan?
Terlalu mudah malah.
Tapi walaupun demikian, bukan berarti aku suka dengan tradisi
di Bradley ini. Selain itu tugas-tugas yang diberikan juga
membosankan sekali, misalnya tugas membuat diagram-diagram
kalimat. Menurutku ide membuat diagram dari kalimat-kalimat adalah
ide yang cukup aneh dan sama sekali tak ada tujuannya. Lagipula
kalau kalimatnya terlalu panjang, dalam diagram hanya akan terlihat
seperti kumpulan titik-titik di atas sehelai kertas. Dan nggak terbaca
sama sekali. Jadi apa gunanya sih?
Tidak perlu diragukan lagi, aku bukan seorang murid yang
pandai di bidang tata kalimat. Juga dalam pelajaran bahasa Inggris,
nilaiku tak terlalu baik. Agaknya Bu Staats sudah mengetahui hal ini.
Aku harus belajar keras untuk memperoleh angka yang lumayan Senin
depan.
Untunglah, aku punya seorang sahabat seperti Allison. Menurut
pendapatku, Al adalah anak terpandai untuk pelajaran bahasa Inggris.Dia sama sekali tidak pernah mendapat kesulitan untuk memahami
penggunaan kata sifat, kata depan dan preposisi yang cukup rumit itu.
Begitu kami merapihkan buku-buku dan bersiap meninggalkan
kelas, aku menoleh ke arah Allison dan berpikir keras, bagaimana
caranya meminta bantuannya untuk ulangan minggu depan.
"Randy," ujar Allison, "Gimana kalau kamu main ke rumahku
pulang sekolah nanti? Kan kita bisa belajar bersama untuk ulangan
minggu depan."
Aku menyeringai. Kurasa aku benar-benar beruntung punya
kawan seperti Allison. Belum diminta sudah memberi pertolongan.
Beberapa saat kemudian, ketika aku sedang duduk di kantin
bersama Sabrina, Katie dan Allison, sesuatu yang aneh terjadi. Makan
siang kami hari ini terdiri dari daging giling dan kari kentang, salah
satu menu langganan di kantin sekolah Bradley. Dan seperti biasa tak
seorang pun di antara kami yang menikmati makan itu. Tiba-tiba
Sabrina menghentikan suapannya dan mengangkat kepala.
"Sst...kamu jangan nengok ya Randy," bisiknya, "pasanganmu
dalam proyek telur sedang melangkah memasuki ruangan?dan
agaknya ia akan menuju ke tempat kita..."
"Mark?" tanyaku sambil memutar posisi dudukku.
Ternyata memang benar. Mark sedang melangkah ke tempat
dudukku. Mulanya aku ragu, soalnya tampangnya hari ini beda sekali
dari kemarin-kemarin. Aku terpaku memandangnya. Sejak hari
pertama bertemu, Mark selalu nampak uring-uringan dan
menyebalkan. Tapi hari ini ia kelihatan tersenyum!
"Hai Randy," tegurnya sambil senyum lebar.Beberapa saat aku tak dapat berkata sepatah pun. Aku hanya
menggerakkan tanganku sedikit menjawab sapaannya.
Ia menghampiri tempat dudukku dan mengambil tempat di
sampingku.
"Begini," ujarnya, "Aku hanya ingin kau tahu, bahwa aku sadar
telah melanggar janjiku padamu."
"Tentu saja," gumamku.
"Yah," lanjutnya, "itu sebabnya sekarang aku datang untuk
mengatakan padamu, bahwa jika kau mau, aku bersedia menjaga telur
itu sekarang. Biarpun proyek ini hampir selesai, setidaknya aku bisa
membantumu sedikit. Hm?"
Aku mengangguk. "Tentu saja boleh. Nih..."
Kuambil telur itu dari nampan makan siangku dan kuletakkan
ke tangannya sambil berusaha bersikap biasa-biasa saja, untuk
menutupi kekagetanku. Aku tak ingin ia ge-er dan merasa dirinya
pahlawan hanya dengan membantu menjagai telur itu untukku.
"Terimakasih Randy," ucapnya sambil menatapku dengan mata
birunya. Lantas ia berlalu dan meninggalkan kantin.
"Ada apa sih sebenarnya?" tanya Sabrina begitu Mark pergi.
"Mana aku tahu?" sahutku, "dan aku nggak mau tahu kenapa.
Yang penting akhirnya ia mendapat gilirannya, menjagai telur!"
Aku melirik ke arah Al, tapi ia kelihatan tengah berkonsentrasi
mengupas buah jeruknya. Dan agaknya iapun tidak begitu menaruh
perhatian terhadap apa yang baru saja terjadi.
***************
"Masuklah," tukas Allison sambil membuka pintu depan
rumahnya.Kami melepas jaket masing-masing dan langsung ke dapur
untuk mengambil makanan kecil. Seperti biasa, sepulang sekolah pasti
perutku keroncongan. Entah kenapa tiap kali tiba di rumah rasanya
aku siap melahap apa pun!
Setiba kami tiba di dapur, nenek Allison sedang asyik
mengaduk sesuatu dalam sebuah mangkuk. Nenek Allison adalah juru
masak yang hebat. Kalian masih ingat waktu bus yang kami tumpangi
menuju Gunung Elang itu mogok selama beberapa jam dan kami
kelaparan di tengah salju? Allison lah yang menyelamatkan kami dari
kelaparan dengan kue jagung buatan neneknya ini.
"Hai Nooma," sapa Allison sambil meletakkan ranselnya ke
lantai dan melangkah mendekati lemari es. Al dan keluarganya
memanggil neneknya dengan sebutan ?Nooma?. Kata Al, itulah kata
?nenek? dalam bahasa suku Indian Chipewwa.
Al mengeluarkan stoples selai kacang dari kulkas dan
sebungkus biskuit dari lemari makan. Kami masing-masing
mengambil segelas limun dan memutuskan untuk menikmati makanan
kami di kamar Al saja.
Begitu kami tiba di kamar, Al melepas ?papoose?-nya dari leher
dan meletakkan telurnya hati-hati di sebuah keranjang kecil di meja
riasnya. Lalu kami berdua duduk berhadapan di ambang jendela
kamar sambil menikmati cemilan dan mulai belajar.
"Randy," ujar Al di sela gigitan biskuit dan selai kacangnya,
"menurutmu apa yang menyebabkan Mark mau menjaga telur itu
akhirnya?"
Aku menatapnya dengan kaget. Sepertinya waktu di kantin
siang tadi Al sama sekali tidak menaruh perhatian terhadap Mark.Tapi agaknya Al bukanlah tipe orang yang menunjukkan perhatiannya
dengan kata-kata tapi cukup dengan perasaan.
"Entahlah," jawabku sambil mengolesi biskuit dengan selai
kacang dan memasukkannya ke mulut. "Kurasa, ia ingin mengubah
sikapnya dari monster menjadi orang yang menyenangkan," ujarku
dengan mulut penuh. Cepat-cepat kuteguk limunku. "Udah deh, nggak
usah ngomongin soal dia. Lebih baik kita segera mulai belajar."
Al menatapku sejenak kemudian membuka buku bahasa
Inggrisnya. Aneh deh, kok kali ini jadi aku yang mendesak untuk
segera belajar. Biasanya aku paling susah disuruh belajar. Tapi yang
jelas aku lebih suka belajar daripada ngomongin soal si Mark.
"Baiklah," ujar Al, "Kita mulai saja dari preposition, atau kata


Girl Talk 07 Pasangan Aneh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

depan. Salah satu cara termudah untuk mengetahui apakah sebuah
kata merupakan preposition, adalah dengan meletakkannya dalam
sebuah kalimat; Misalnya: The mouse ran under the piano. Nah, kata-
kata seperti under, behind, over, through, dan around merupakan kata
yang termasuk preposition."
Sekitar duapuluh menit kami menghabiskan waktu untuk
belajar. Setelah itu aku sepenuhnya memahami materi preposition.
Terbukti, cara Allison menerangkan jauh lebih jelas dan gamblang
ketimbang cara Bu Staats.
Tiba-tiba Al menutup bukunya dan menatapku. "Kau tahu,"
tukasnya, "apa yang sedang kupikir?"
Kualihkan pandanganku dari buku yang ada di tanganku.
"Tentang apa?" tanyaku.
"Tentang Mark Wright." sahutnya.
"Oh, dia..." gumamku."Iya. Menurutku ia jadi bersikap aneh karena kedua orang
tuanya bercerai," ujar Allison datar.
Aku menatapnya kaget. "Orang tuanya bercerai?" tanyaku
dengan suara tinggi.
"Ya, bercerai," lanjut Al. "Saat ini sih belum, tapi mereka sudah
memutuskan untuk berpisah. Jadi, menurutku inilah yang
menyebabkan tingkah lakunya jadi uring-uringan belakangan ini."
"Dari mana kau tahu kalau orang tuanya akan bercerai?"
tanyaku heran.
"Kudengar dari Ayahku. Salah satu pengacara di kantor
Ayahku-lah yang menangani kasus perceraian mereka."
Lagi-lagi aku menatapnya heran. "Al, kau sudah mengetahui hal
ini dari dulu?" tanyaku.
Ia mengangguk.
"Lalu kenapa baru kau katakan sekarang?" desakku penasaran
dengan sikapnya.
"Tadinya kupikir hal ini amat bersifat pribadi. Maksudku, aku
sendiri enggak tahu gimana perasaanku kalau aku jadi dia. Mendengar
orang tuaku ribut saja, aku belum pernah. Tapi kau kan lain. Aku takut
kau tersinggung mendengar kata ?perceraian?. Kau kadang-kadang
jadi sensitif karena kedua orang tuamu juga bercerai. Nah menurutku
begitu pula perasaan Mark. Sensitif. Aneh. Uring-uringan."
Aku menghela nafas.
"Tapi Al, kau kan bisa mengatakannya padaku. Itu kan bukan
ngegosip namanya," kilahku. "Kan aku pasangannya dalam proyek
telur ini. Tidakkah menurutmu semua akan lebih baik jika aku tahu
keadaannya sebenarnya?"Al mengangguk. "Yah. Kau benar. Itulah sebabnya setelah
cukup lama mempertimbangkan akhirnya kuputuskan untuk
memberitahukannya padamu."
Ganti aku yang mengangguk maklum. Agaknya Al memang
seorang gadis yang dewasa dan bijaksana. Selalu berhati-hati dan
menimbang masak-masak sebelum membuat keputusan.
Kami pun kembali menekuni pelajaran, tapi kali ini agak sulit
bagiku untuk memahami direct object dan indirect object. Aku sibuk
memikirkan tentang kata-kata Allison padaku barusan. Dulu, saat
pertama kali orang tuaku mengumumkan rencana perceraian mereka,
aku menjadi marah pada mereka. Menurut pendapatku mereka amat
memikirkan diri sendiri dan egois, seenaknya saja membuyarkan
sebuah keluarga. Dan menurutku itu amat tidak adil buat sang anak.
Kalau mereka sungguh-sungguh mencintaiku, mereka harus bersatu
kembali. TEENLITLAWAS.BLOGSPOT.COM
Tapi aku juga amat ketakutan. Apa yang akan terjadi padaku
setelah perceraian ini? Soalnya aku mencintai mereka, kedua-duanya.
Aku tidak bisa memilih salah satu di antara mereka. Akan ikut siapa?
Ibu atau Ayah? Benar-benar suatu keadaan yang sulit. Aku begitu
merindukan Ayahku.
Untuk sementara aku menarik diri dari teman-temanku di New
York. Kupikir aku butuh waktu untuk menyendiri. Kemudian aku dan
M pindah ke Acorn Falls. Awalnya aku sama sekali tak mau berteman
dengan siapa pun. Aku masih merasa sakit hati dan terbuang. Bahkan
hingga saat ini perasaan itu kadang masih ada.
"Randy," tukas Allison perlahan, membuyarkan lamunanku.
"Menurutku lebih baik kita selesaikan saja hari Minggu siang."Aku menatapnya. "Ya, kurasa kau benar. Aku tidak bisa
konsentrasi, nih."
Al mengangguk dan membantuku membereskan buku-bukuku.
Setelah pamit, aku langsung pulang ke rumah. Sepanjang perjalanan
pulang aku terus memikirkan bagaimana perasaanku saat kedua orang
tuaku bercerai. Dan tahu-tahu aku jadi memikirkan Mark dan
keanehan tingkah lakunya belakangan ini. Tentu saja ia berubah jadi
kasar dan menjengkelkan. Itu cukup masuk akal untuk seorang anak
yang menghadapi kenyataan pahit dalam keluarganya. Dan perlahan-
lahan aku dapat memakluminya.
Aku ingat saat terakhir kali aku mengunjungi Ayah di New
York. Aku benar-benar muak dengan kekasih baru Ayah, Leighton.
Soalnya ia selalu menempel ke manapun Ayah pergi sehingga Ayah
tak punya waktu khusus berdua bersamaku. Maka kemudian aku
mulai bersikap acuh tak acuh pada Ayah. Bahkan aku pulang ke
Acorn Falls sehari lebih awal dari rencana sebelumnya. Aku yakin
Ayah bingung dengan sikapku, tapi aku tak pernah menceritakan apa
sebabnya.
Dan kenyataannya orangtua memang kadang-kadang
membuatku bingung. Aku jadi ingat juga saat Ibu memutuskan untuk
menetap di Acorn Falls selamanya. Padahal sebelumnya Ibu bilang
kami hanya tinggal sementara di Acorn Falls untuk menenangkan
pikirannya dari perceraian itu. Tapi setelah mendapat kesempatan
mengadakan pameran lukisan tunggal, Ibu mengubah rencananya
seketika. Bagiku cukup sulit untuk memilih antara tetap tinggal
bersama Ibu atau kembali ke New York ke tempat Ayah. Tapi yang
pasti aku tak akan tahan menghadapi Leighton. Saat itu jugamerupakan saat yang sulit dan perubahan sikapku pun tentu cukup
menjengkelkan sobat-sobatku: Sabrina, Katie dan Allison.
Begitu aku tiba di rumah, kuputuskan untuk mengajak Mark
bicara pada hari Senin. Saat ini aku belum tahu mau ngomong apa,
yang jelas aku harus bicara padanya. Ia perlu tahu bahwa ada orang
yang memahami dan memaklumi serta tidak menyalahkannya.
Akhirnya hari Senin datang juga. Terimakasihku untuk Al, aku
sukses mengerjakan ulangan bahasa Inggris berkat arahannya. Begitu
sekolah usai, aku langsung merapihkan buku-bukuku dan bergegas
menuju loker Mark. Ia belum kelihatan, maka kutunggu saja sekitar
lima belas menit. Tapi ia tetap tidak muncul.
Aku yakin, aku tiba kepagian di lokernya. Ke mana sih dia?
Oh...mungkin saja ada latihan basket atau acara lainnya. Namun
ketika kuintip ke ruang olah raga, tak kutemukan juga. Mungkin ia
memperoleh hukuman lagi? Boleh jadi. Dengan sikapnya yang
menjengkelkan belakangan ini, bukan tidak mungkin ia dapat
hukuman lagi.
Segera saja aku menuju ke ruang hukuman. Lewat jendela kaca
kulihat Bu Montgomery sedang duduk di mejanya sambil mengacung-
acungkan jarinya yang kurus dan berteriak marah. Tiba-tiba Andy
Grant melihatku. Ia menjulurkan lidahnya dan melemparkan sebuah
kapal-kapalan kertas ke arahku. Menurut penglihatanku Mark tak ada
di ruangan ini. Maka sebelum Bu Montgomery memarahi Andy dan
mencari tahu siapa gerangan yang mengintip, cepat-cepat
kutinggalkan tempat itu.
Di mana sih si Mark? Sudah lelah aku keliling-keliling
mencarinya. Kucoba mengingat-ingat, tempat macam apa yang seringkukunjungi untuk menyepi saat orang tuaku dulu bercerai. Mungkin
bisa jadi petunjuk, di mana kini Mark berada. Aku ingat, aku
menghabiskan banyak waktu untuk memainkan drumku?sekeras
mungkin?dan juga main skate board ke mana-mana. Dan tiba-tiba
kutepuk dahiku. Pasti Mark sedang main piano! Segera saja aku
menuju ke ruang musik. Mudah-mudahan kutemukan ia di sana.
Saat aku melangkah di koridor menuju ruang musik, kudengar
seseorang memainkan piano. Kuhentikan langkahku di depan pintu di
mana suara itu berasal, dan perlahan kubuka pintunya.
Ternyata Mark memang ada di situ! Ia begitu asyik memainkan
tuts pianonya sehingga tak menyadari kehadiranku di situ. Tangannya
bergerak lincah dan kepalanya terayun ayun ke kiri dan ke kanan
mengikuti irama musik. Di hadapannya, di atas piano, tergeletak telur
kami. Dipagari dua buah buku tebal. Lucu deh. Seolah-olah Mark
memainkan pertunjukkan musik untuk ditonton si telur. Hi...hi..hi....
Dari Al, aku sudah mendapat informasi bahwa jenis musik yang
disukai Mark bertolak belakang dengan musikku. Tapi ada yang
kusukai dalam lagu yang dimainkan Mark. Membuatku teringat akan
suara badai, atau setidaknya begitulah irama yang kurasakan dalam
hatiku saat meluncur di atas skate board melalui turunan curam dan
tajam. Musiknya memberikan perasaan yang aneh dan menakjubkan
dan aku tak ingin berhenti mendengarkannya.
Begitu selesai, Mark menatapku dan tersenyum. "Hai," sapanya
perlahan dan lembut, "kau datang untuk memeriksa telur itu kan?"
Diambilnya telur itu dan disodorkannya padaku. "Nih dia. Kau bisa
memeriksanya sendiri. Tidak lecet, tidak retak dan tidak tergores sama
sekali."Hati-hati kuterima telur yang disodorkannya dan duduk di salah
satu kursi lipat yang biasa untuk latihan musik. Mark masih duduk di
depan piano dan mulai menekan-nekan tuts-tuts piano. Kugeser
sebuah penyangga partitur agar aku dapat menatapnya dari tempat
dudukku.
"Kau tahu," kataku setelah mendehem, "Ada yang ingin
kukatakan padamu." Jari-jarinya pun berhenti bermain. Pandangannya
beralih padaku. "Eh... tentang.. .ucapanku tempo hari. Kau ingat?"
"Ya, kau bilang lebih baik menjadi orang tua tunggal seperti Allison
daripada berpasangan denganku," tukas Mark sambil tersenyum. Aku
tersipu. Kulihat matanya meredup.
"Yah...dan ...dan aku ingin kau tahu, aku tidak bersungguh-
sungguh kok. Lagipula bukan cuma Al yang bisa jadi orangtua
tunggal, kebetulan Ibuku pun sendiri mengasuhku sekarang," lanjutku.
Ia menatapku dengan kening berkerut. "Maksudmu?" tanya
Mark.
"Ya begitulah," ulangku. Sebagai salah satu murid juara kelas,
aku heran kok Mark bisa begitu tolol dan tidak mengerti maksud kata-
kataku? Aneh. Aku berdiri dan mulai berjalan menghampirinya. "Aku
hidup berdua, hanya dengan Ibuku," jelasku. "Dan Ayahku tinggal di
New York."
Matanya kini terbelalak lebar. "Maksudmu, kedua orangtuamu
telah bercerai?" tanyanya.
"Ya," aku mengangguk. Aku tak keberatan ia tahu masalah
keluargaku walau sebetulnya aku sudah tak mau mengungkit-ungkit
hal ini lagi."Tapi bagaimana mungkin kau bisa bersikap begitu tenang?"
tanyanya penasaran. "Maksudku, apa kau tidak merasa seolah ingin
meledak dengan keadaan itu?"
"Bagiku itu bukan persoalan besar," jawabku, "Di New York
begitu banyak orang tua yang bercerai. Jadi bagiku bukan hal yang
aneh lagi."
Aku melangkah makin dekat dan perlahan-lahan meletakkan
telur itu kembali ke posisi semula. Di antara dua buku tebal. Kulihat
Mark menggigit bibir bawahnya.
"Tapi di Acorn Falls ini perceraian agak langka dan jarang
terjadi," tambahku, "jadi agak sulit bagi seorang anak untuk
menerimanya."
Mark diam.
Saat aku mulai melangkah menuju pintu keluar, kusempatkan
untuk memalingkan tubuhku dan menatapnya sekali lagi. "Eh,
ngomong-ngomong, lagu apa sih yang kau mainkan barusan tadi?"
tanyaku.
Ia menoleh. "Symphoni Jupiter?" sahutnya ragu.
"Apapun judulnya, aku menyukainya. Terdengar liar dan
menakjubkan!" pujiku.
Mark mengangguk dan tersenyum kecil. "Yeah... Lagu itu
adalah ciptaan Mozart. Mozart sendiri adalah seniman yang cukup liar
dan eksentrik," sahutnya.
"Mungkin itu sebabnya aku suka," tambahku.
"Aku juga amat menyukainya," kata Mark.
Saat keluar dari ruangan musik, kusadari bahwa akhirnya antara
aku dan Mark bisa juga tercipta percakapan yang normal. Dan aku punmulai tertawa saat membayangkan, jangan-jangan orang tua Mozart
pun bercerai sampai ia bisa menciptakan lagu yang disukai oleh anak-
anak yang orang tuanya bercerai macam aku dan Mark.BAGIAN SEMBILAN
Akhirnya tibalah hari Kamis yang ditunggu-tunggu itu. Hari
terakhir dari proyek telur, gagasan Bu Nelson, dalam pelajaran PKK.
Bu Nelson duduk di mejanya yang terletak di depan kelas.
Pakaiannya serba hitam, seperti biasa. Ia memakai jumpsuit katun
hitam dan jaket berukuran besar yang juga berwarna hitam dengan
strip merah. Pita besar merah mengikat rambutnya tinggi ke belakang.
Pas benar dengan sepatu merahnya. Rasa-rasanya ingin kutanya di
mana ia membeli barang-barang sebagus itu.
Aku, Sabrina, Katie dan Allison duduk berdampingan. Mark
duduk beberapa deret di muka dengan telur yang diletakkannya di
tempat yang aman, di atas mejanya.
Bu Nelson menatap seisi kelas. "Nah," ujarnya memulai
pelajaran, "sekarang kita telah melewati masa dua minggu. Sebagian
besar dari kalian telah menjalankan proyek telur ini dengan sukses." Ia
berhenti sebentar. "Dan sebagian besar dari telur-telur itu selamat."
Terdengar sedikit kasak-kusuk dan beberapa anak menoleh ke
arah Stacy. Stacy pura-pura sibuk mencatat dan tak berani
menengadahkan kepalanya dengan sombong lagi setelah kejadian
tempo hari. David Kingston yang menduduki telurnya tersipu malu"Maka, saya pikir kita pantas untuk merayakan pesta
keberhasilan kita menjaga telur selama dua minggu ini. Bagaimana
kalau kita adakan hari Jum?at seusai sekolah nanti?" tanya Bu Nelson.
Anak-anak bersorak.
"Tapi sebelumnya," Bu Nelson melanjutkan, "mari kita
dengarkan beberapa pengalaman dari mereka yang berhasil menjaga
telurnya. Ada sukarelawan?"
Sam Wells mengangkat tangannya. "Menurut saya, proyek ini
cukup bagus," ujarnya sambil nyengir. "Tak begitu sulit tapi
menyenangkan."
Sabrina langsung mengacungkan jarinya. ! "Jangan percaya
omongannya!" serunya marah, "tentu saja tidak sulit baginya. Soalnya
dia cuma mempermainkan telur itu. Melempar-lemparnya dan
melupakan gilirannya untuk menjaga telur itu, sehingga sayalah yang
terpaksa menjagainya sepanjang waktu!"
Sam menoleh ke arah Sabrina. "Itu sebabnya kau tidak
merasakan kenikmatan tugas ini Sabrina. Habis kau terlalu
mencemaskan segala sesuatu, sih," kilah Sam.
Bu Nelson tersenyum. "Di sini kita melihat dua pendekatan
yang berbeda dalam mengasuh," ujar beliau, "Sam adalah tipe calon
ayah yang selalu siap bermain bersama anak-anaknya. Dan ia
menikmati hal ini. Mengajak anaknya jalan-jalan ke taman hiburan
dan sama sekali tak keberatan membiarkan anaknya main sepeda
berroda satu!"
"Yap! Itulah saya!" seru Sam sambil lagi-lagi nyengir kuda.Kulihat Sabs sedikit kecewa. Tadinya ia begitu bangga
memiliki guru bekas model macam Bu Nelson, namun nyatanya
sekarang Bu Nelson berpihak pada Sam.
Bu Nelson meneruskan obrolannya, "Di lain pihak Sabrina
kelihatan lebih berhati-hati."
"Tentu saja saya tak berani seenaknya melempar-lempar anak
ke udara seperti yang dilakukan Sam terhadap telur kami!" tukas Sabs
emosional, sehingga seisi kelas tertawa melihat reaksinya.
"Untuk membesarkan anak, kita membutuhkan dua tipe orang
tua," kata Bu Nelson lagi, "Sementara Sam berani membiarkan


Girl Talk 07 Pasangan Aneh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

anaknya menunggang gajah di kebun binatang, mungkin ia lupa
memberi makannya. Dan inilah peranan Sabrina untuk mengingatkan
Sam. Dan mungkin Sabrina pula yang ingat untuk membawa anaknya
ke dokter secara teratur."
Sabs tersenyum. Aku yakin kini ia kembali menyukai Bu
Nelson yang bijaksana.
Katie mengangkat tangannya. "Sepertinya saya mempunyai
masalah yang sebaliknya dengan pasangan saya," katanya.
Winslow terkejut mendengar ucapan Katie. Kaca matanya
merosot turun dari batang hidungnya. "Katie, apa maksudmu? Kau
akan mengatakan ada masalah denganku?" tanyanya kaget. "Akulah
yang membuat berbagai diagram dan daftar kebutuhan telur kita. Aku
adalah pasangan yang paling memperhatikan dan bertanggung
jawab!" Katie balas menatap Winslow dengan meringis, "Maaf
Winslow," ujarnya, "tapi justru di situ letak permasalahannya. Kau
terlalu yakin dengan segala rencanamu sehingga sama sekali tidakmempercayaiku untuk menyusun rencana mengenai telur kita. Aku
cuma jadi kambing congek saja..."
"Yaahh kalau aku butuh bantuanmu kan aku akan minta," sahut
Winslow sambil menaikkan kaca matanya yang melorot.
"Saya rasa, menurut Katie, mengasuh anak adalah membagi
tanggung jawab," Bu Nelson melerai. "Setidaknya dalam beberapa hal
kalian memang harus pandai membagi tanggung jawab dan tugas.
Tapi tentu saja tidak dalam segala hal." Bu Nelson lalu menoleh pada
Allison. "Ngomong-ngomong, kita belum mendengar cerita dari orang
tua tunggal kita, si Ibu tanpa suami..."
Al mendehem. "Sebetulnya, pada awalnya, saya pikir semua
akan berjalan lancar. Saya yakin bisa mengurus telur ini sendirian.
Tapi akhirnya saya mulai percaya bahwa saya membutuhkan
seseorang untuk berbagi tanggung jawab. Itulah sebabnya saya
membuat kantung ini untuk membawa telur ke mana-mana dengan
aman dan mudah," lanjutnya sambil mengangkat kantung itu agak
tinggi sehingga anak-anak lain dapat melihatnya. "Kan tidak mungkin
saya tinggalkan telur itu sendirian. Sementara saya tak punya
pasangan yang bisa saya mintai pertolongan untuk menjaganya. Di
lain pihak kadang-kadang saya memerlukan dua tangan saya
sekaligus. Suatu hari adikku hampir menginjaknya. Dan saya merasa
amat lega ketika berhasil menyelamatkannya. Bahkan di saat lega dan
bahagia pun saya tak punya seseorang untuk berbagi perasaan."
"Jadi, kelihatannya menjadi orang tua tunggal tak semudah
yang kau bayangkan ya?" tanya Bu Nelson.
Al mengangguk. "Saya merasa kesepian," ujarnya."Bagaimana dengan yang lain?" Bu Nelson bertanya lagi,
"Adakah yang menyadari bahwa mengasuh ternyata adalah pekeijaan
yang sulit?"
Beberapa anak mengacungkan tangannya, termasuk aku.
"Oke Randy, ceritakanlah pengalamanmu," kata Bu Nelson,
menyilakan.
Kutarik nafas panjang. Aku telah banyak belajar dari
pengalaman, tapi entah dari mana harus memulai cerita ini.
"Pertama-tama menurut saya segalanya akan menjadi lebih
mudah apabila punya dua orang tua," aku memulai. "Tapi jika
terpaksa melakukannya sendiri pun bukanlah halangan."
Aku melirik ke arah Mark. Kulihat Mark tengah tertunduk
menatap meja. "Saya tahu hal ini, sebab Ibu saya menjaga saya
seorang diri setelah bercerai dari Ayah," lanjutku. "Ayah tinggal di
New York sehingga kami jarang bertemu."
Bu Nelson mengangguk. "Bagaimana perasaanmu?" tanyanya.
"Yah..gimana ya..." sahutku ragu, "Mulanya saya merasa marah
dengan keadaan itu. Saya benci kedua orang tua saya yang bercerai
dan saya ingin melakukan apa saja untuk mencegahnya. Kadang-
kadang saya seperti ingin meledak saja..."
Saat itu, tiba-tiba kusadari ruangan kelas berubah menjadi
hening sekali. Semua anak mendengarkan ceritaku dengan serius dan
berhenti membicarakan hal-hal lain. Aku jadi malu dan ingin berhenti
bercerita.
Tapi kemudian aku melihat Mark yang telah memutar kursinya
dan menatap lurus ke arahku. Aku menarik nafas panjang dan
melanjutkan ceritaku."Awalnya memang sedikit sulit," ujarku, "Perceraian seperti
mengubah seluruh siklus kehidupan kita. Kita akan menuduh orang
tua kita tega bercerai karena tidak menyayangi dan memperhatikan
kita. Karena itu biasanya kita akan menghabiskan banyak waktu untuk
menyendiri, berharap agar kedua orang tua kita bersatu lagi. Itu
sebabnya kita juga jadi mengabaikan kebiasaan-kebiasaan kita. Tapi
nyatanya, kadang-kadang perceraian adalah jalan keluar yang baik
bagi orang tua kita jika mereka benar-benar tak cocok satu sama lain.
Dan perlahan-lahan kita akan jadi terbiasa dan akhirnya menyadari
bahwa masih banyak orang-orang yang menyenangkan dalam hidup
ini."
Aku menatap sekelilingku. Katie, Al dan Sabs tersenyum ke
arahku. Aku nyengir kuda.
"Nah Randy," tukas Bu Nelson, "Kedengarannya kau telah
belajar cukup banyak dari latihan menjaga telur ini, hmm?"
"Saya pun demikian Bu Nelson," celetuk Mark, lalu berbisik
padaku, "Thanks berat Randy."BAGIAN SEPULUH
Randy menilpon Allison
CHARLIE : (bernyanyi)Titik hujan di atas mawar dan kumis
pada kucing...
RANDY : Apakah itu lagu favoritmu Charlie? Hei, aku
mau bicara dengan kakakmu.
ALLISON : (merebut gagang telepon) Hallo? (tertawa) Hai
Al, ini aku, Randy.
RANDY : Eh Non, aku punya ide cemerlang.
ALLISON : Apa?
RANDY : Kau ingat ucapan Bu Nelson, bahwa kita perlu
merayakan berakhirnya proyek telur ini hari
Jumat sepulang sekolah?
ALLISON : Ya aku ingat.
RANDY : Aku punya gagasan, bagaimana kalau pestanya
kita selenggarakan di rumahku?
ALLISON : Wah itu gagasan sih gagasan bagus sekali, Rand!
Pasti lebih asyik merayakannya di rumahmu dari
pada di sekolah.
RANDY : Itulah. Ibuku juga sudah setuju. Asal beliau
nggak perlu masak-masak sih, beliau setuju danmengijinkan. Aku yakin soal makanan itu bisa
kita atasi sendiri. Iya kan?
ALLISON : (berpikir) Hmmm.... Kita bikin beberapa grup
kerja, lalu kita organisir tugas-tugasnya, agar
lebih ringan. Gimana kalau aku dan Sabs
mengurus soal makanan dan kau bersama Katie
menangani dekorasi dan musik?
RANDY : Kedengarannya boleh juga tuh. O ya sebaiknya
kuberi tahu Katie dan Sabrina dulu deh. Gitu aja
dulu ya? Kalau ada apa-apa lagi, tolong kabari
aku ya!
ALLISON : Oke, nanti kukabari. Sampai ketemu lagi Randy.
RANDY : Ciao.
Randy menilpon Katie
KATIE : Hallo?
RANDY : Fuih...akhirnya! Dari tadi aku putar-putar nomer
tilponmu kok enggak nyambung-nyambung, sih?
Siapa sih yang menelpon segitu lama di rumahmu?
KATIE : (menghela nafas) Yah, memang, aku tahu. Biasa,
Emily kakakku, yang lagi sibuk telpon-telponan
sama pacarnya.
RANDY : Iya?lah! Tapi dengar dulu deh. Kau tahu nggak,
rencanaku tentang pesta akhir proyek telur kita.
KATIE : O ya? Apa? Idemu pasti hebat deh Randy!
RANDY : Iya dong, siapa dulu...
KATIE : Hu...ge-erRANDY : Aku udah membicarakannya dengan Al. Katanya ia
dan Sabs akan menangani soal makanan sedangkan
kau dan aku yang mengurus dekorasi ruangan.
Setuju nggak?
KATIE : Tentu saja aku setuju! Hei, aku punya ide menarik
untuk dekorasi. Musim semi lalu, Ibu membeli
banyak sekali hiasan untuk paskah. Semuanya
dipenuhi gambar telur. Doakan, semoga beliau
masih menyimpannya.
RANDY : Wah makasih banyak Katie. Tapi kurasa kita nggak
perlu memasang hiasan bergambar kelinci paskah
segala kan?
KATIE : Ya nggak perlu. Tapi kita bisa memakai hiasan
bernuansa telur.
RANDY : Nah itu baru kedengarannya seru! Aku akan
mencari ide-ide lain. Sekarang udah dulu ya...
KATIE : Hei Randy, boleh nggak aku nanya sesuatu?
RANDY : Tanya saja.
KATIE : Apakah perkataanmu di kelas tadi sungguh-
sungguh? Bahwa saat orang tuamu bercerai kau
merasa seperti mau meledak?
RANDY : Aduh udah deh...kalau kita ngomongin soal itu
lagi, bisa-bisa persiapan pestanya tertunda...
KATIE : Iya deh iya. Sorry ya. Kurasa, sebaiknya sekarang
aku mulai membongkar gudang tuaku untuk
mencari hiasan-hiasan itu.
RANDY : Ciao...Allison menilpon Sabrina
BU WELLS : Hallo?
ALLISON : Hallo, di sini Allison Cloud, bisa bicara dengan
Sabrina?
BU WELLS : Oh tentu saja Allison manis, tunggu sebentar ya?
(berteriak) Sabrina!! Tilpon dari Allison!
SABRINA : Hai Allison, ada apa?
ALLISON : Hai Sabrina. Aku cuma ingin ngasih tahu, bahwa
si Randy punya ide untuk merayakan pesta telur
di rumahnya.
SABRINA : Wah hebat dong!
ALLISON : Dan aku bersamamu bertugas menyiapkan
makanannya.
SABRINA : Wah...wah bakalan seru nih. Eh, tapi tunggu
dulu!
ALLISON : Ada apa?
SABRINA : Eh...anu, aku hanya ingin mengingatkan bahwa
sebaiknya kita tidak menghidangkan makanan
yang terbuat dari telur deh.
ALLISON : Jangan aneh deh, suatu hari nanti toh kau harus
kembali makan telur.
SABRINA : Bagaimana mungkin? Setelah dua minggu
menjaga dan menyayangi telur membuatku mau
muntah melihat roti isi telur dadar.
ALLISON : Kalau begitu, gimana kalau kita membuat
sesuatu dari telur yang nggak mungkin
dilewatkan begitu saja oleh anak-anak?SABRINA : Misalnya?
ALLISON : Misalnya...kue tart! Kan salah satu bahannya
adalah telur!
SABRINA : Boleh juga idemu. Gimana kalau kau sekarang
mampir ke rumahku dan kita membuatnya
bersama. Mungkin kita bisa membuatnya dengan
bentuk sebutir telur raksasa dan mengoleskan
gula putih sebagai pelapisnya agar nampak
seperti kulit telur sungguhan. Kemudian kita
tentunya harus menuliskan ucapan di atasnya
misalnya...mh... ?Selamat atas Proyek telur?...
ALLISON : (tertawa) Gimana kalau ucapannya berbunyi,
?Selamat atas keberhasilan kita??
SABRINA : Ya boleh juga. Kita pikirin aja lagi nanti. Sampai
ketemu ya!BAB SEBELAS
"Nah!" seru Katie sambil turun dari kursinya, lalu berdiri tegak
menatap hasil kerjanya. Ia baru saja selesai memasang kertas crepe
hiasan dinding bergambar telur-telur paskah di sepanjang ruang duduk
rumahku yang terpilih sebagai ajang lokasi pesta kami.
Kami berempat langsung kemari sepulang sekolah tadi, dan
berusaha menyelesaikan segala sesuatunya sebelum Bu Nelson dan
anak-anak lain tiba. Harus kuakui, rumahku jadi tampak istimewa.
Aku dan Katie menggantungkan balon-balon putih di tiap sudut
ruangan dan dinding dipenuhi dengan tempelan poster-poster
keluarga. Baik keluarga manusia maupun keluarga binatang.
Gagasan untuk mengenakan pakaian serba putih demi
menghormati sang telur, datang dari Sabrina. Aku cukup mendapat
kesulitan untuk mencari pakaian serba putih. Soalnya kebanyakan
koleksi busanaku terdiri dari warna hitam sih! Tapi akhirnya berhasil
juga kutemukan kemeja putih gading bekas milik ayah, topi kapten
warna putih yang kubeli di toko pakaian favoritku di New York,
celana kaus ketat warna putih dan sepasang sepatu kets tumit tinggi
warna kuning menyala.
Menurutku warna kuning pada sepatuku mewakili kuning telur.
Hi hi hii... TEENLITLAWAS.BLOGSPOT.COMKatie mengenakan blus kerah tinggi warna putih, jeans putih
dan pita putih di rambutnya. Sabrina mengenakan switer putih, rok
mini putih dan stocking putih serta sepatu datar yang juga berwarna
putih. Rambutnyapun diangkat ke atas dan dibungkus dengan topi
baret pelukis yang berwarna putih, karena menurut si Sabs, rambutnya
yang ikal kemerahan bisa merusak tema pakaian yang serba putih itu.
Tapi tetap saja rambutnya kelihatan karena tutup kepala itu merosot
terus!
Allison mengenakan gaun terusan warna putih dengan kerah
yang menutup leher dan terbuat dari bahan rajutan. Dengan rambut
panjangnya yang hitam lebat ia kelihatan cantik sekali.
Al dan Sabs baru saja menyelesaikan kue tart berbentuk telur
dan meletakkannya di meja, di sebelah mangkuk sari buah berwarna
pink. Untuk minuman, kurasa mereka menemui kesulitan untuk
membuat warna putih. Jadi biar saja merah muda begitu.
"Nah, beres!" seru Sabrina sambil menjatuhkan tubuhnya di
kursi, dan melepas nafas panjang. Ia tampak lega.
"Sekarang tinggal menunggu tamu," tambah Katie.
"Ya," tukasku, "aku masih sulit untuk percaya, hari ini seluruh
kelas akan datang bertamu ke rumahku!"
"Semuanya, kecuali empat orang," ralat Sabrina.
"Yah," Allison tersenyum, "suatu kebetulan yang janggal dan
mustahil, bahwa Stacy, Laurel, BZ dan Eva secara mendadak sudah
punya janji untuk ke dokter gigi pada saat yang bersamaan."
Aku tertawa. Aku sendiri tak ingin mengundang Stacy ke
pestaku, tapi Al mendesak, katanya ini kan pesta yang harus dirayakan
seluruh kelas bukan pesta pribadiku. Tapi tentu saja Stacy tidak akanmau menghadiri suatu pesta di mana ia tak akan menjadi bintang
perhatian utama. Dan ketiga badut-badutnya agaknya cukup tolol juga.
Terbukti dengan alasan mereka untuk tak hadir di pestaku ini, yang
sama dengan alasan si Hebat Stacy!
Saat itu Ibu keluar dari studionya. Ia sedang menyelesaikan
patung kreasi terbarunya dan wajah serta rambutnya nampak dikotori
oleh debu-debu gips. Ia mengenakan pakaian kerjanya dan celana
panjang abu-abu serta blus dari bahan flanel yang sudah kusam dan
dikotori percikan cat di mana-mana. Beberapa saat lamanya aku
merasa agak malu dan ingin menyuruh Ibu berganti pakaian.
Ibu menatap sekeliling ruangan dan tersenyum. "Wah bagus


Girl Talk 07 Pasangan Aneh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sekali ruangan ini," pujinya.
Aku meringis. Itulah salah satu sifat Ibu yang kusukai. Beliau
selalu bisa menghargai hasil kerja orang lain. Sekalipun kami
menggunakan bekas hiasan pesta paskah di tengah musim dingin
seperti ini. Maka kuputuskan untuk tidak mengomentari pakaian Ibu.
Bu Nelson dan anak-anak lain pasti maklum.
Kemudian Ibu menyadari bahwa selain ada aku, ada pula Al,
Sabs dan Katie. Seperti yang sudah kukatakan, jika sedang
mengerjakan proyek seninya, Ibu bisa jadi orang linglung.
"Oh..hallo semua!" sapanya ramah.
Aku diam menunggu reaksi teman-temanku. Pada saat seperti
ini biasanya mereka menjadi agak aneh. Soalnya Ibu telah
mengingatkan agar teman-temanku cukup memanggil beliau dengan
nama saja. Tapi tentu saja teman-temanku agak canggung
melakukannya, kecuali Sabs.Dan dengan penuh percaya diri Sabrina menjawab santai, "Hai
Olivia."
"Uhm...Hai..." balas Katie ragu.
Yang amat membuatku kaget adalah cara Al menjawab.
Biasanya ia cuma tersipu-sipu dan tetap memanggil Ibu dengan
sebutan ?nyonya Zak?. Tapi hari ini ia dengan ringan menjawab, "Hai
Olivia."
Aku berbalik menatapnya dengan terkejut, tapi ia tak berkata
apa-apa, hanya tersenyum dan mengangkat bahunya. Kadang-kadang
aku merasa Al sedikit berubah sejak bergaul dengan aku, Katie dan
Sabrina. Tapi kurasa aku pun juga banyak berubah, sejak bersahabat
dengan mereka bertiga. Mau tak mau, tanpa sadar, kami saling
mempengaruhi.
Kemudian terdengar suara-suara di luar rumah dan ketukan di
pintu.
"Saya harap kalian tak keberatan kalau saya lanjutkan pekerjaan
saya," ujar Ibu sambil kembali masuk ke studionya, "saya tengah
menyelesaikan tahap akhir."
Saat membuka pintu, hatiku terasa agak berdebar-debar. Tiba-
tiba saja aku sadar, bahwa sebelumnya tak seorang pun penduduk
Acorn Falls pernah datang ke rumahku. Selain Sabs, Katie dan Al
tentunya! Akupun yakin, tak ada seorang pun siswa dari sekolah
Bradley yang tinggal di sebuah rumah berbentuk gudang besar dan
mempunyai Ibu yang seluruh badannya berlumur cat dan gips. Aku
menarik nafas panjang dan kubuka pintu.
Orang pertama yang masuk adalah Bu Nelson. Di belakangnya
kelihatan Mark, Sam, Mike Epson, Cheryl, David, Winslow dan anak-anak lain. Dan yang membuatku terkejut adalah kehadiran BZ
Latimer, yang masuk paling akhir.
"Hai," sapaku begitu ia masuk, "kukira kau tak dapat hadir."
Ia tersenyum pasrah, "Randy, jangan bilang-bilang sama Stacy
kalau aku datang ya? Aku benar-benar tak dapat menahan
keinginanku untuk hadir di pesta ini. Aku menyukai proyek telur itu
dan tak mungkin melewatkan akhir dari proyek yang menyenangkan
ini."
Aku menatapnya takjub. Sebelumnya, kukira semua teman
Stacy sama menyebalkannya. Namun agaknya BZ tidaklah demikian.
"Tentu saja," ujarku akhirnya. "Masuklah."
Kemudian Mark menghampiriku. Ia tersenyum manis dan
kelihatan jauh lebih baik dari hari-hari sebelumnya di mana kami
bertengkar terus.
"Aku suka sekali tempat ini," pujinya.
"Aku juga," jawabku singkat. Tinggal dalam rumah berbentuk
gudang besar merupakan salah satu sisi yang menyenangkan bagiku,
selama tinggal di Acorn Falls ini. Memang, kadang-kadang aku masih
teringat pada rumahku yang lama di New York, tapi menurutku rumah
gudangku ini terasa lebih berkarakter dan istimewa.
"Mau keliling-keliling melihat rumahku?" tanyaku. Ia
mengangguk.
Aku mengajaknya mengitari rumah. Mulai dari dapur, lalu ke
studio Ibuku, dan kembali ke ruang tengah. Lantas kami pun naik ke
atas, ke kamar tidurku.
Mark kelihatan begitu bersemangat dan tertarik, entah kenapa."Ini kamarmu?" tanyanya. Matanya yang biru nampak begitu
menikmati suasana kamarku.
Aku mengangguk.
"Wah...,"serunya ketika melihat set peralatan drum-ku di sudut
kamar. "Kau biasa memainkannya?"
"Tentu," sahutku.
"Kapan-kapan kita harus main musik bersama."
Aku menatapnya sambil tersenyum. "Mark, jenis musik
kegemaran maupun yang kita mainkan, amat berbeda," kilahku.
Ia menyeringai. "Yah, mungkin kau bisa sedikit mengajariku
tentang musikmu dan aku mengajarmu sedikit tentang musikku,"
ujarnya, "Oh ya, aku jadi ingat sesuatu."
Dirogohnya saku jaketnya dan dikeluarkannya sebuah pita
kaset. "Nih," ia menyerahkan pita kaset itu padaku, "untukmu."
Kuambil kaset yang disodorkannya dan kubaca tulisan yang
tertera di atasnya. "Symphony Jupiter?" aku mengeja, "Wah, terima
kasih ya!"
"Kembali. Eh, serius lho aku bener-bener suka kamarmu ini,"
pujinya lagi, "suasananya benar-benar mencerminkan pemiliknya."
"O ya?" aku tersenyum agak bangga. "Mungkin kau benar.
Cukup lama juga untuk menatanya. Kamar tidurku di New York,
ukurannya jauh lebih besar dan pemandangan dari jendela kamarku
amat bagus. Menghadap ke taman kota."
"Sudah berapa lama kau tinggal di sini?"
"Sejak bulan Juni tahun lalu," jawabku.
Ia menghela nafas. "Yah mudah-mudahan aku pun dapat segera
membiasakan diri dengan kamar tidurku yang baru," bisiknya."Kau pindah rumah?"
"Ya," sahutnya perlahan. "Seminggu yang lalu."
Kulihat pipinya merona merah sedikit. "Itulah sebabnya aku tak
dapat membawa telur itu pulang ke rumah tempo hari. Aku dan Ibuku
baru pindah rumah. Kau tahu, Ayahku adalah seorang dokter sehingga
membutuhkan banyak ruangan. Rumah kami yang dulu digunakan
untuk tempat prakteknya sehingga Ibu memutuskan untuk
membawaku pindah ke rumah yang lebih kecil setelah mereka
bercerai. Ibu bilang rumah baru kami lebih menyenangkan. Tapi
entahlah...aku sih belum terbiasa..."
"Aku mengerti," kataku tenang, "Menghadapi orang tua yang
baru bercerai memang sulit. Banyak perubahan yang terjadi.
Tapi...setidaknya kau kan tak perlu pindah sekolah dan mencari
teman-teman baru kan? Seperti apa sih kamar barumu itu?" tanyaku
mencoba mengalihkan pembicaraan soal perceraian orang tua.
"Jauh lebih kecil dari kamarku sebelumnya. Aku sendiri belum
selesai membongkar barang-barang bawaanku. Tapi yang jelas semua
perabot lamaku tak dapat kugunakan lagi. Misalnya lemari pakaianku
yang besar itu. Sekarang aku masih bingung, di mana akan
menyimpan barang-barangku tanpa lemari besar itu."
"Eh," seruku mendapat ide untuk menolongnya. "Kau harus
melihat ini."
Tanganku merogoh bagian bawah dari tempat tidurku dan
menarik keluar beberapa tabung plastik berwarna putih yang
kugunakan untuk menyimpan kaos, t-shirt dan pakaian-pakaian
lainnya. Tabung-tabung inilah yang digunakan Ibu untuk mengaduk
campuran gipsnya."Waw! Dari mana kau mendapatkannya?" seru Mark kagum.
"Ibu yang memesannya dari toko alat seni rupa di New York,"
ujarku, "tapi mungkin sekarang pun Ibu masih punya katalognya
sehingga kita bisa membelinya lewat pos wesel. Kalau kau mau aku
bisa meminjamkannya padamu."
Ia menatapku dan tersenyum. "Thanks Randy," katanya.
Menurut perasaanku ucapan terima kasihnya itu bukan hanya untuk
tawaran katalog, tapi lebih dari itu.
Tiba-tiba kudengar teriakan Sabrina. "Ayo, ayo, kita potong
kuenya!"
"Hei Mark," tukasku, "boleh aku menanyakan sesuatu
padamu?"
"Tentu."
"Kalau kau keberatan, kau tak perlu menjawabnya. Terus
terang, sudah selama dua minggu ini aku penasaran dibuatnya,"
tanyaku. "Apa sih yang kau perbuat sampai mendapat hukuman tempo
hari?"
"Oh," matanya tampak meredup beberapa saat, "Aku mencoret-
coret meja. Hal itu kulakukan tanpa kusadari dan kusengaja.
Malamnya Ibu baru saja memberitahu aku tentang rencana kepindahan
kami dan rencana perceraian mereka. Aku begitu kacau dan tak punya
teman untuk berbagi perasaan. Karena itu aku pun tak dapat
memusatkan perhatian pada pelajaran, esok harinya. Kepalaku serasa
terbungkus suatu balon besar hingga tak dapat mendengar sedikit pun
ucapan Pak Grey. Tahu-tahu ia sudah ada di hadapanku dan di mejaku
sudah ada coretan yang kubuat sendiri tanpa sadar.""Yah...aku mengerti," sahutku. "Waktu pertama kali mendengar
rencana kepindahan dari Ibu, aku pun merasa kacau balau. Aku
mengunci diri dalam kamar dan membanting semua benda yang ada di
sekitarku. Sampai akhirnya tanpa sengaja aku memecahkan kaca
lemariku. Rasanya seolah aku tak dapat mengendalikan tindakanku
sama sekali."
Mark menyeringai lebar. "O...o," serunya lucu. "Kata orang-
orang dulu, memecahkan cermin berarti sial tujuh tahun lho!"
"Mulanya aku pun merasa demikian. Di Acorn Falls ini nasibku
selalu sial awalnya," aku tersenyum. "Tapi kini aku tak percaya lagi
pada tahyul itu."
Kami berdua pun kemudian turun ke bawah, berkumpul dengan
anak-anak lain mengelilingi meja,. "Mana Bu Nelson?" tanyaku.
"Iya ya, seharusnya Bu Nelson mengucapkan pidato pembukaan
sebelum memotong kue," sambung Sam.
"Itu dia!" tunjuk Katie ke arah studio Ibuku.
Kulihat Bu Nelson sedang berdiri mengamati patung Ibu sambil
memegang segelas minuman. Tangannya yang lain bergerak-gerak
menunjuk bagian-bagian dari patung sambil mengomentari patung
Ibuku. Di sampingnya, Ibu kelihatan manggut-manggut sambil
menggenggam segelas minuman yang sama. Kelihatannya mereka
tengah terlibat dalam satu pembicaraan yang serius sekali.
"Udah deh," putusku. "Kita tinggal saja Bu Nelson."
"Potong dong kuenya!" seru Andy Grant.
"Biar aku saja yang memotongnya!" kata Sabs sambil meraih
pisau kue."Dan biar aku saja yang akan mengucapkan pidato
pembukaan," sambar Sam seraya langsung naik ke atas kursi dan
bertepuk-tepuk tangan untuk menarik perhatian anak-anak lain. Ia
mendehem dan mengangkat kedua lengannya, meniru gaya Bu
Nelson. "Pertama-tama, saya ingin mengucapkan Selamat Hari Telur!
Pada kalian semua yang telah berhasil menyelesaikan proyek ini."
"Huuu..." terdengar cemoohan anak-anak.
Sam cuek dan terus berpidato, "Saya pikir, kita semua telah
berhasil menyelesaikan tugas dengan baik sekali."
Sesaat Sam kewalahan mendengar suara-suara cemoohan anak-
anak.
"Hei...hei..." serunya kecewa, "kalian tidak menyukai
pidatoku?"
Anak-anakpun makin gencar meneriakkan "Huuuu..."
Kemudian Sabs yang baru saja selesai memotong kue berteriak
memanggil Sam. "Hei Sam! Kemarilah, cepat!"
Sam menoleh ke bawah.
"Tangkap nih!" teriak Sabrina seraya melemparkan sepotong
kue ke arahnya.
Sam berusaha menangkap kue yang melayang- ayang di udara
itu dan akhirnya...Hup! Kue itu berhasil ditangkapnya, tapi coba lihat
bajunya berlumur percikan gula kue tart dan kuenya sendiri gepeng di
tangannya.
Ia menatap Sabs dengan marah dari kursinya. "Oh...ngajak
perang nih?" teriaknya sambil melompat turun dan menghampiri meja
kue.Untunglah aku segera menyadari apa yang akan terjadi. Secepat
mungkin kuangkat piring kue dari atas meja dan berlari ke pintu
depan.
"Perang kuenya di luar aja ya!" teriakku. Al membukakan pintu
dan aku berlari ke halaman.
Anak-anak menjadi histeris dan berlari mengikutiku ke luar
rumah. Aku bersyukur mempunyai seorang Ibu yang cuek dan
memaklumi anak-anak. Aku pun senang sekali dengan ide untuk
perang lempar-lemparan kue di halaman.
Mengasyikkan sekali memang. Semakin lama aku tinggal di
Acorn Falls, semakin banyak kejutan menyenangkan yang kualami di
sini. Dan aku pun semakin menyadari bahwa tinggal di Acorn Falls
tidaklah seburuk yang kubayangkan sebelumnya.END
Jejak Tapak Biru 1 Gento Guyon 27 Sengkala Angin Darah Love United 1
^