Pencarian

Korban Gosip 2

Merivale Mall 05 Korban Gosip Bagian 2


di sana. Berhasil! Sekarang mencari Don. Danielle berjalan di antara
mesin-mesin game yang berdering dan berdengung. Diperiksanya
semua sudut. Mungkinkah Teresa dan Heather sudah sampai, lalu
pergi ? dengan Don?
Tidak, belum. Danielle menarik nafas lega. Di pojok belakang,
terlihat sesosok tubuh bidang, berambut hitam dan tampak menonjol.
Don duduk di depan game Star Pirates, bertempur mati-matian.
"Don!" jeritnya.
"Hei, Red!" jawab Don, kemudian memperhatikan Danielle dari
atas ke bawah. "Aku merasa, bakalan ketemu kamu di sini." Don
tersenyum malu. "Mungkin gara-gara badai listrik hari Sabtu kemarin
? "
Don membicarakan perasaan mereka, Danielle harus mengakui
bahwa Don betul. Tapi tak ada jalan lain, ia tak boleh membiarkan
dirinya terseret oleh daya tarik Don. Nanti dan sampai kapan pun.
"Don, tolong aku," rengek Danielle.
Wajah Don langsung serius. "Ada apa, Red?"
Sambil berpikir cepat, Danielle mengisak, "Mobilku, tuh.
Bunyinya aneh," tipuan jelek, tapi apa lagi yang dapat dilakukannya?
"Oke, nanti aku lihat. Kutembak dulu beberapa pengendara ini.
Nanti kita ke sana sama-sama."
"Oh, jangan!" tukas Danielle sambil menoleh ke pintu dengan
gugup. "Kamu lihat sekarang aja, deh. Jangan-jangan mesinnya rontok
selagi kita ngomong ? kayaknya parah, deh. Mobilnya kuparkir dekat
Aunti Pasta's. Aku mau menelepon ke rumah dulu, mau bilang, nanti
pulang telat. Kutunggu di Facades, gimana?"Mata Don bersinar lembut, Danielle tahu ? sandiwaranya
seratus persen sempurna. "Oke ? BMW jangan takut. Abang besar
datang."
"Trims, Don." Danielle mendekur, mengulurkan kunci mobil,
"Mau nggak kamu coba putar-putar dulu di sekitar sini ? bisa nggak
untuk jalan." Don mengusapkan tangan pada kantong belakang celana
jeansnya lalu berjalan santai ke pintu. Ia berhenti sebentar untuk
mengedipkan matanya pada Danielle. Sesaat Danielle merasa luluh.
Begitu Don menghilang, dilihatnya Teresa dan Heather tergesa-
gesa menuju arcade. Danielle merunduk di balik mesin Star Pirates
agar teman-temannya tak tahu bahwa ia telah menemui Don.
"Sial, macet di eskalator sampai lima menit. Gara-gara orang-
orang bego SMA Merivale." Teresa geram.
Heather tampak muak. "Memang, sial banget."
"Kayaknya yang pendek tadi mau ngajakin kamu kencan!"
Teresa cekikikan, dia geli sekarang.
Heather juga tertawa, "Hei! Kalau yang diajak Danielle, pasti
mau. Kamu tahu jenis kesukaaannya. Ngomong-ngomong ? mana
Don?"
"Kalau nggak ada di sini. Mungkin di bawah mobil," kata
Teresa. Mereka menganggap hal itu lucu sekali.
Seandainya mereka tahu, memang begitu kenyataannya, pikir
Danielle melihat teman-temannya cekikikan.
"Sebenarnya ia keren, lho," komentar Heather, menghela nafas.
"Idih! Aku nggak bakalan mau sama dia ? tangannya penuh oli ? ""Aku juga," Teresa menyetujui. "Tapi Danielle kan lain.
Beberapa tahun yang lalu, keluarganya nggak beda jauh sama Don
James ? "
Danielle hampir meledak. Dia tak semiskin itu! Keluarganya
termasuk kelas menengah. Bagaimana caranya supaya teman-
temannya melupakan kesederhanaan masa lalunya?
Danielle menarik nafas. Orang selalu mengira jadi anak orang
kaya nggak pernah punya masalah.... Danielle mengintip dari balik
mesin Star Pirates. Gawat ? Teresa dan Heather menghampirinya!
Danielle menahan nafas dan menunduk lebih dalam ? hampir rata
dengan lantai. Ia tak bergerak sedikit pun waktu Teresa meletakkan
tas kulit buayanya di samping mesin Star Pirates.
Heather menarik nafas kecewa, "Kayaknya Don nggak ke sini."
"Coba kita hubung-hubungkan ceritanya," tambah Teresa. "Aku
yakin sekali, waktu itu memang Danielle yang jalan sama Don. Nggak
mungkin kalau bukan dia. Don pasti mau cerita. Yuk, pergi aja."
Jantung Danielle serasa 'melompat ke leher'. Ia tahu maksud
Teresa. Walau mereka berteman, Teresa akan tetap menantangnya.
Danielle harus melawannya. Seperti kata pepatah 'berenang atau
tenggelam'.
Danielle meneliti seluruh ruangan dan lari ke pintu arcade lalu
kembali ke tangga darurat. Ia menaiki dua-tiga anak tangga sekaligus.
Sesampai di atas ia menghambur masuk Facades, dan langsung
berkeliling, melihat-lihat, seakan tak pernah meninggalkan tempat itu.
Sempurna, pikirnya sambil menengok ke jendela. Teresa dan
Heather baru saja keluar dari lift. Mereka berjalan di atas karpet merah
Facades dan Danielle menemui mereka dengan penuh keyakinan."Nah, sekarang kalian tahu teman kencan Don, nggak usah
dibicarakan lagi, deh."
Heather tak dapat menyembunyikan kekecewaannya. "Don
nggak ada di arcade."
"Wah, sayang sekali, ya!" Danielle mencemooh.
"Kamu belum bebas tuduhan, Dan." Teresa memperingatkan. Ia
mengacungkan kaleng Coca Cola dan menunjuk Danielle dengan jari
tengahnya.
"Aku sudah bilang," Danielle berkeras, "Aku nggak dekat-dekat
Westview malam Minggu kemarin." Dia berhenti sebentar dan
berusaha keras menunjukkan tampang sangat terluka. "Kalau kalian
nggak percaya, mau apa lagi?"
Teresa dan Heather menatapnya tak percaya. Danielle harus
melakukan sesuatu untuk mengalihkan perhatian mereka? Itu dia!
pikirnya, menjentikkan jari. Lori tersayang, jadi penyelamat lagi.
Trims sepupuku yang manis, atas gosip akhir pekanmu di gunung!
"Aku baru saja dengar gosip dari Jane Haggerty. Tapi mungkin
nggak menarik, kayaknya kalian lebih bernafsu melihat kejatuhanku."
"Apa? Gosip?" Telinga Teresa langsung 'naik'.
"Kalian bisa dipercaya, nggak?" goda Danielle.
"Sudah deh, Dan. Cerita aja," kata Heather.
Tanpa malu-malu Teresa mendesak. "Kami bakalan tutup
mulut. Dijamin, deh."
Tentu saja, pikir Danielle pahit. Seperti kalian menyimpan
kasusku dengan Don, kalau saja kalian tahu ?
Danielle merasa tak enak menceritakan gosip yang menimpa
Lori, sepupunya. Ia tahu gosip itu tak benar, tapi Danielle nekat. Loripasti mau mengerti? dia selalu penuh pengertian. Toh, cepat atau
lambat gosip ini akan tetap menyebar ke seluruh kota.
"Yah," Danielle memulai, "Nggak ada ruginya. Tapi ingat, ini
rahasia tingkat tinggi."
*************
Begitu Danielle menyelesaikan ceritanya tentang Lori dan
Frank, Teresa menghela nafas. "Wow! Hei, Dan, berarti Nick Hobart
bisa digaet, dong? Kamu masih tertarik? Atau aku saja yang maju?"
Danielle tak menjawab. Juga tak mendengarkan. Di luar
Facade, di belakang Heather dan Teresa tampak Don James berdiri
sambil mengayun-ayunkan kunci mobil.
Danielle berusaha tetap tenang. Jangan sampai mereka melihat
Don! Ayo dong, cari akal. Jangan macet. Dengan gelisah ia meneliti
ruangan dan matanya terhenti pada kaleng Coca Cola di tangan
Teresa. Kaleng itu belum dibuka.
"Boleh minta sedikit?" tanyanya, "Haus banget."
"Boleh," kata Teresa.
Diam-diam Danielle mengocok kaleng itu. Berhasil lagi! Dia
menyibukkan mereka dengan pernak-pernik gosip Lori.
"Di pondok itu cuma ada satu kamar tidur!"
Waktu Heather dan Teresa bertukar pandang, Danielle menarik
pin pada tutup kaleng dan menyemprot mereka dengan Coca Cola!
"Aaah!" pekik Heather. "Basah, dong! Lengket, nih!"
Danielle mati-matian menahan tawa dan berpura-pura
menyesal. Akhirnya ia bisa membalas, tapi sebaiknya tak lama-lama.
"Aduh, sori. Nggak terpikir kalau kamu tadi mengocoknya!"
"Celana suedeku!" jerit Teresa. "Kamu rusakin!""Sori berat," Danielle berusaha kelihatan sangat menyesal.
"Aku nggak nyangka."
Teresa dan Heather segera masuk ke kamar kecil di bagian
belakang Facades. Paling tidak mereka butuh waktu setengah jam
untuk membersihkan diri! Waw! Saat itu juga Don melompat ke
dalam untuk menemuinya. Selamat, pikirnya. Paling tidak untuk saat
ini....
"Kabar bagus, Red," Don memberitahukan.
"Mobilmu nggak apa-apa, kok."
Danielle memandangi deretan gigi Don yang rapi dan berpindah
ke hidung, lalu ke matanya yang hitam. Ia merasa melayang-layang.
Danielle mendekat, dan melingkarkan tangannya ke leher Don sambil
mendaratkan sebuah ciuman kilat. "Nah!" katanya sambil terhuyung-
huyung. "Seharusnya ini kuberikan malam Minggu kemarin."
Kenapa aku ini, pikirnya tanpa dapat mengalihkan
pandangannya dari mata Don. Dia tetap bergayut di bahu Don. Apa
aku jatuh cinta?Sembilan
Sudah dua puluh menit Lori menunggu Nick di O'Burger. Dia
tak mempersoalkannya karena dapat mengerjakan tugas sekolah di
situ. Sepanjang hari Minggu ia membuat laporan penelitian biologi
sehingga tak sempat mengerjakan tugas yang lain. Kini ia mengejar
ketinggalannya.
Setelah pekerjaannya selesai, ia memesan soda. Mana Nick,
pikirnya. Mudah-mudahan nggak ada apa-apa. Selama ini Nick nggak
pernah telat.
Lori sudah berniat mencari Nick waktu pemuda itu muncul di
pintu. Ia tampak lelah waktu melambai dan menghampiri meja di
dekat kamar kecil, ia dan Lori biasa duduk di sana.
"Hei," sapa Lori. "Ada apa?"
"Nggak apa-apa," gumam Nick. "Waktu mau pergi tadi toko
sedang penuh. Ada yang beli peralatan untuk grup drama Atwood, jadi
aku harus nungguin. Tahu sendiri, setia kawan-lah. Kami kasih
discount lima belas persen."
"Oh," kata Lori, "ada yang aku kenal?" Anak-anak Merivale
High dan Atwood Academy biasanya tak saling mengenal, Lori
mengenal beberapa orang lewat Nick."Teresa Woods, Heather Barron, lalu cewek yang namanya Jane
Haggerty ? satu geng."
"Oh." Mereka adalah gadis-gadis elit, jago gosip di Atwood
Academy. Mungkin mereka ingin tahu apakah Nick sudah mendengar
kasus Lori dan Frank. "Kayaknya mereka nggak pernah main drama."
"Setahuku juga begitu, tapi mereka beli VCR sama kamera
remote."
"Oh..."
Nick berusaha tersenyum, tapi gagal. "Nick?" tanya Lori. "Ada
masalah ya? Gara-gara cewek-cewek itu?"
Pasti gosip, Lori tahu dari reaksi Nick. Dia tak dapat
menutupinya. Lori yakin.
"Nggak, nggak apa-apa ? sungguh." Nick tampak gelisah, ia
mengaduk-aduk es dalam gelas sambil menatap Lori.
"Oh." Lori berusaha santai dan mempercayainya.
Sesaat kemudian pelayan muncul mengantarkan makanan.
Pesanan Nick dan Lori tak pernah berubah, jadi tak perlu meminta
lagi.
Setelah pelayan pergi, Lori memandang Nick dan tersenyum,
tapi senyum itu terasa terlalu dibuat-buat sehingga mirip seringai
mengejek. Nick tampak masa bodoh. Mereka duduk diam-diam
seperti dua orang asing.
Nggak asyik, nih, pikir Lori.
Suasana makin menekan. Akhirnya Lori tak tahan lagi, "Nick,
apa Teresa dan Heather ngomong tentang ? itu tuh ? sama Frank?"
Sial. Lori membaca wajah Nick. "Sedikit," gumam Nick.
"Cuma gosip norak ? tahu sendiri.""Nggak. Aku nggak tahu, gosip norak yang mana?"
Nick terdiam. "Begini Lori, kamu kan bilang cuma cari contoh
ganggang di gunung. Tapi nggak tahunya di sana seharian. Rupanya
kamu memang rencanain mau di sana seharian."
"Memang, harus ? " Lori membela diri. "Kata Frank banyak
ganggang eksotis di kolam dekat Oakdale. Kan jauh, tuh, dari
Merivale."
"Memangnya nggak bisa cari di kolam bebek Merivale sini?
Atau di hutan lindung? Kan di sana banyak ganggang."
Nick benar, jelas. Toh, Lori tetap berusaha menjelaskan
alasannya saat itu. "Ini kesempatan dapat nilai A. Nilai Biologiku
tahun ini harus A biar aku dapat beasiswa perguruan tinggi."
"Lori ? " Nick menahan diri untuk tidak bicara banyak. Ia
meletakkan gelasnya dan bergumam, "Sudahlah, nggak usah
diperpanjang."
Pelayan mengantar cheese burger dan onion rings. "Nick," kata
Lori sebelum mengambil burgernya. "Aku mengaku salah, pergi sama
Frank?"
Nick jadi marah.
"Bahkan aku nggak tahu sama sekali kalau bajumu basah.
Kamu pakai baju Frank? Kalau iya, lalu dia pakai apa?" tanya Nick,
memaksa diri tidak bersuara keras.
"Pakai bajunya sendiri, dong," Lori melapor. "Aku pakai baju
ayahnya."
Nick menaikkan sebelah alis matanya dan menatap Lori dengan
sorot yang membuatnya risih. "Lalu cahaya api yang remang-remang
waktu makan malam? Wah, kayaknya ? romantis banget.""Kami kan harus makan? Di sana nggak ada pemanas ruangan,
jadi kami bikin perapian!"
Nick jadi lain! Cemburuan. Lori sama sekali tak suka. Ia harus
bicara untuk meyakinkan Nick. Apa Nick tak tahu bahwa ia tak akan
menodai hubungan mereka?
"Begini, Nick," ujar Lori lagi, ia membungkuk dan berbisik
sehingga suaranya tak terdengar orang lain. "Masalah ini bikin
jengkel. Kamu pikir aku berbuat kotor di sana, kan? Kenapa nggak
terus terang aja?"
Lori tak berniat berkata demikian. Ia berusaha bertahan dan
tampak aneh.
"Tenang, Lor ? aku kan nggak tahu gimana kejadiannya di
sana. Itu maksudku." Lori menunduk memandang burgernya yang
belum dimakan. Kalau apa yang didengarnya betul, berarti Nick
meragukan penjelasannya. Memang menyakitkan.
"Tapi aku kan sudah ceritakan semuanya tadi pagi!"
"Sebuah pondok di tengah hutan, tanpa listrik, makan malam
dekat perapian, kayaknya romantis sekali!" Wajah Nick memerah dan
rahangnya bergerak-gerak menahan emosi. Nick tampak siap meledak
saat itu juga. Lori hampir-hampir tak percaya sedang menghadapi
Nick.
"Sama sekali enggak romantis ? kalau kamu masih enggak
percaya lebih baik kita putus!" Suara Lori agak keras sehingga
beberapa kepala menoleh kepada mereka.
Sesaat setelah kata tadi keluar dari bibirnya, Lori merasa ingin
melompati meja dan melingkarkan tangannya di leher Nick,menyatakan cintanya. Bagaimana mungkin gosip seperti itu bisa
beredar?
Nick bersandar di kursinya, tangannya terlipat di atas meja, jari-
jarinya memucat.
"Kamu pingin putus Lori?" kata-katanya mengalir pelan, ia
menggigit bibir. "Oke, kalau maumu begitu!"
Apa? Benarkah dia berkata seperti itu? Jangan, Nick?jangan
begitu!
"Bagus!" Ia dilanda kecemasan waktu berdiri mengambil baju
hangatnya. "Jadi, kita putus sekarang! Aku nggak mau punya cowok


Merivale Mall 05 Korban Gosip di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang nggak percaya sama aku," katanya sambil berusaha keras
menahan air mata.
"Aku percaya sama kamu, Lor. Kamu salah mengerti. Tapi aku
merasa ditertawakan, semua orang membicarakan kamu seperti itu."
Lori menghapus air matanya.
"Nick, kamu pikir gimana perasaanku? Akulah yang mereka
gosipkan, aku, bukan orang lain."
"Yah, tapi kamu tahu kebenarannya."
Lori terguncang. "Lalu, kamu merasa enggak tahu?" tanyanya,
kembali lagi ke sudut supaya tak terdengar. Nick menatapi piringnya.
"Entah, Lor. Aku percaya ceritamu, tapi nggak persis ? kayaknya
kebenaran nggak berarti lagi, pikiran orang jelek melulu."
Air mata mengalir deras di pipinya. Lori mengusap wajahnya
dengan tisu. "Kusangka kamu bisa mengerti," katanya serak. 'Tapi
kalau perasaanmu kayak gitu, Nick, lebih baik hubungan kita sampai
di sini saja."Lori berdiri dan beranjak ke luar. Ia menunduk supaya tak ada
yang melihat air mata yang mengaburkan pandangannya.
"Hei, Lori!" seseorang memanggilnya dari meja di sebelah kiri.
Ia melihat Gina Nichols bersama gadis-gadis lain dari Merivale
High. Lori enggan bertegur sapa, jadi ia tetap bergegas pergi. Tega
betul Nick melepasnya seperti ini? Memang begitu! Lori mendorong
pintu O'Burgers dan lari sekuat-kuatnya di antara orang- orang yang
lalu lalang.Sepuluh
"Hei, Red!" Danielle sedang menuju Body Shoppe di lantai
dasar yang dikunjunginya dua kali seminggu secara tetap. Ia berhenti
mendengar panggilan Don. Dilihatnya pemuda itu berlari-lari kecil ke
arahnya. Secara naluriah Danielle celingukan meyakinkan diri bahwa
tak seorang pun temannya berada di sana.
Aman, tetapi Danielle tetap diam. Walaupun telah mencium
Don di Facades hari Senin, ia tak mau seluruh dunia mengetahuinya di
hari Selasa ini. TEENLITLAWAS.BLOGSPOT.COM
Don sampai, Danielle meraih dan menarik tangannya di tengah-
tengah pengunjung Mall. Mereka lewat pintu besi lalu masuk ke
bagian Mall yang jarang digunakan, gudang.
"Oh, jadi kamu pingin berduaan sama aku, heh? Kenapa enggak
ber-hush-hush lagi, Red?" Don menyeringai sambil menyingkirkan
rambutnya yang berkilat dari alis. "Sudah telat kalau mau nutupin
hubungan kita. Kayaknya teman-temanmu sudah tahu." Wajah
Danielle memerah, Heather dan Teresa tak mungkin yakin dialah yang
mereka lihat di tempat parkir malam itu. Ia sudah begitu bersusah
payah membohongi mereka!
"Aku nggak ngerti maksudmu, Don," sahut Danielle. Ia
berusaha tetap tenang. Akan lebih malu lagi kalau Don sampai tahubagaimana ia bersikeras menutupi kencan mereka. Selain itu Danielle
memang sangat menyukai Don, ia tak ingin menyakiti hatinya.
"Apa maksudmu, 'mereka tahu semuanya'?"
Mata cokelat Don mengatakan bahwa ia tahu segalanya.
Apakah ia membuka rahasia kencan mereka pada teman-temannya?
Kalau sudah, Danielle merasa harus pindah ke luar kota atau masuk
sekolah berasrama.
"Aku mau ke Arcade, lalu ketemu sama Teresa dan Heather,"
Don mulai bercerita. Matanya menembus mata Danielle untuk
mengetahui bagaimana perasaan gadis itu. "Mereka pura-pura minta
diajarin main Star Pirates, tapi kayaknya mereka cuma pingin tahu
siapa teman kencanku malam Minggu kemarin."
Jantung Danielle serasa melompat ke leher. "Lalu, kamu bilang
apa?" bisiknya serak.
Don berdiri menatapnya, tampak seringai kecil di wajahnya
yang tampan. "Kamu lucu, deh, tahu nggak, Red?" katanya, lalu
dengan lembut meletakkan tangannya ke bahu Danielle. "Aku tahu
kamu tergila-gila sama aku ? kamu nggak bisa pura-pura ? tapi
kamu menyembunyikannya dari orang-orang. Nggak usah
menyangkal, aku tahu, kok."
Danielle memindah-mindahkan tas sekolah dari satu bahu ke
bahu yang lain sambil menatap tangga.
Mau bilang apa? Don tahu semuanya. Dia tak dapat berpura-
pura lagi. Danielle mengangkat mata hijaunya dan menatap Don
dengan pasrah.
"Don, kamu nggak bilang apa-apa kan?" tanyanya pelan.Don membuang muka dan menggeleng. "Nggak, Red, aku
nggak bilang apa-apa. Aku cuma bilang apa adanya ? dengan siapa
pun aku pergi malam Minggu kemarin, itu bukan urusan mereka."
Danielle ingin sekali mengatakan kepada semua orang bahwa ia
sangat menyukai Don ? karena lucu, penuh perhatian, lembut dan
dewasa. Tapi dia tak sanggup. Ia merasa sedih dan hampa karenanya.
Yang dapat dilakukan sekarang hanyalah menggumamkan rasa
terimakasihnya.
"Don, aku memang payah. Maksudku ? "
"Kamu bohong, Red. Terus terang aku memang agak kecewa.
Kukira kamu nggak sejelek itu."
"Memang, Don. Maafin, ya ? tolong, jangan marah."
Don menyandarkan salah satu lengannya di dinding dan
tersenyum malas. "Jangan pikirin aku, Red. Aku bangga sama diriku
sendiri. Pikirin dirimu sendiri."
Dan sebelum Danielle sempat menjawab, Don sudah pergi
meninggalkannya.
*************
Selasa pagi. Lori bangun dengan sakit kepala berat. Ia bermimpi
buruk semalam penuh. Dan yang terburuk adalah mimpi tentang Nick.
Di satu pihak ia melihat Nick dan Frank O'Conner berbisik-bisik
membicarakan dan menertawakannya. Di lain pihak ia melihat Nick
mencium seorang gadis anggota football, wajah gadis itu tak terlihat
jelas. Lalu ia sendiri mencium Nick ? tapi wajah Nick berubah
menjadi Frank dan rambutnya menjadi ganggang yang berdiri kaku
dan bau.Pantas aku pusing, pikir Lori sambil berjalan ke kamar mandi.
Ia menelan dua pil aspirin. Nah, sekarang aku harus tidur seharian ?
istirahat total!
Lori bercermin, matanya merah dan bengkak. Pasti dia
menangis dalam tidurnya ? di dunia ini tak setiap hari ada gadis yang
putus cinta dengan kekasihnya.
Dan yang lebih parah, ia harus tetap sekolah dan berpura-pura
segalanya baik-baik saja.
Nggak adil, pikirnya. Hidupnya hancur hanya gara-gara gosip
murahan itu.
Sesampai di sekolah, ia melihat Ann Larson menunggu di pintu.
Paling tidak, ia dapat menceritakan tentang putusnya dia dengan Nick.
Lori tahu, Ann dan Patsy akan menghibur dan membantunya
menghadapi saat-saat buruk ini dan menunjukkan segi-segi positif
bagi hidupnya nanti.
"Lori, aku mau bicara sebentar," Ann mendahului bicara, mata
abu-abunya meneliti wajah Lori dan menangkap bekas-bekas air mata
semalam.
"Boleh. Bilang aja. Ada apa?"
Ann menarik Lori ke sisi aula. "Ada gosip lagi tentang kamu.
Sebaiknya kamu dengar dari temanmu dulu daripada dengar dari
orang lain."
Mau gosip seperti apa lagi, Lori heran, ia membuang muka.
"Oke, cerita aja. Berita hangat apa lagi tentang kisah kasih Lori
Randall dan Frank O'Conner?"
"Ini bukan tentang kamu sama Frank, Lor?" Ann menjelaskan
dengan ragu. "Ini masalah kamu sama Nick. Kabarnya kalian putus."Lori menoleh menghadapinya, "Apa? Tapi ? bisa-bisanya ada
yang tahu?"
Wajah Ann berubah prihatin. "Maksudmu, memang betul?"
tanyanya.
Lori menjawab sambil terisak-isak. "Memang betul," bisiknya.
"Tapi masa orang-orang langsung tahu?"
"Pasti ada yang dengar kalian bertengkar semalam."
Lori mengusap pipinya dengan malu. "Maksudmu ? tapi kami
memang bertengkar di O'Burgers," ratapnya.
"Soal apa? Kalian kan nggak pernah ribut."
"Soal Frank," Lori mengakui. "Nick nggak tahan lagi dengar
gosip itu. Jadi. Aku ? eh, kami putus, begitu kenyataannya." Matanya
basah.
"Nih," kata Ann mengulurkan saputangannya. "Pakai ini.
Angkat kepalamu, Lor. Jangan sampai terpukul gosip, tahu? Jangan
menyerah, Patsy juga dukung kamu. Nggak ada untungnya mikirin
gosip. Aku yakin Nick bakalan sadar kalau sudah tenang nanti."
Lori mengusap air matanya. "Ann," gumamnya. "Kamu teman
paling baik, aku sudah pernah bilang belum?"
"Jangan pikirin aku," jawab Ann cepat. "Kita harus
menghentikan gosip ini ? kamu nggak bisa kembali sama Nick kalau
orang-orang masih menggosipkan kamu."
"Oh, dia nggak mau ketemu aku lagi," sahut Lori putus asa.
"Sudah lewat, aku harus menghadapi kenyataan."
"Jangan langsung menyerah, Lori." Ann memberi semangat.
"Kalau aku yang mereka gosipin, apa kamu suruh aku
menyerah dan pasrah?""Enggak, dong." Lori tertawa sambil menangis.
"Nah, sekarang kita cari sumbernya, oke? Kira-kira siapa yang
memulai gosip ini? Siapa yang ada di O'Burger waktu kalian
bertengkar?"
Lori tak perlu berpikir lama, "Gina!" pekiknya. "Gina Nichols,
tikus satu itu ? pasti dia!"
Lori yakin karena sejak pertandingan sepak bola antara
Merivale dan Atwood, Gina tak pernah melepaskan Lori sedetik pun.
Tampaknya dialah yang menyebarkan berita krisis hubungan Lori dan
Nick.
"Harus kamu bereskan sama Gina," Ann meyakinkannya.
Tapi sesaat kemudian pikiran buruk melintas dalam benak Lori,
"Ann," katanya, "sekarang orang-orang tahu aku sama Nick putus,
mereka pasti percaya gosip itu benar. Nick pun nggak percaya sama
aku, apalagi orang lain. Aku nggak bisa membuktikan kejadian
sebenarnya. Yang paling parah, aku bakalan kehilangan Nick
selamanya!"
"Jangan ngomong begitu, Lor!" tegur Ann. "Kamu bisa kalah
bertempur, tapi perang belum selesai."
"Jadi, sekarang mau apa?" tanya Lori.
"Nah, pertama-tama, kamu harus bicara sama Gina."
Lori terdiam sesaat. "Iya, deh," katanya pelan, menabahkan diri,
"kayaknya memang harus begitu."
************
Baru jam delapan lewat lima belas menit. Lori masih punya
waktu. Dengan tubuh gemetar menahan emosi, ia berjalan melintasi
aula menuju loker Gina. Ia berdiri di depannya selama dua menitsampai Cheerleader Merivale itu muncul. Rambutnya yang kuning
kemerahan dikucir ekor kuda, bergoyang-goyang, "Oh, hai, Lor. Apa
kabar? Bajumu bagus."
Pujian palsu, pikir Lori. "Gina ? " tegur Lori langsung pada
sasaran. "Kenapa kamu ceritain masalahku sama Nick ke orang lain?
Sekarang aku minta kamu tutup mulut." Nah, dia berhasil
mengatakannya. Teman-teman Gina berkerumun di sekeliling mereka.
"Tapi, Lor," tukas Gina, "apa maksudmu? Aku nggak pernah
ngomong secuil pun tentang kamu dan Nick, iya kan?" tanyanya pada
cheerleader lain yang baru saja muncul.
Dasar pembohong besar, Lori dan Gina sama-sama
mengetahuinya. "Begini, Gina, hidupku bukan urusanmu sama sekali."
Gerombolan gadis-gadis yang sebagian besar teman Gina itu
berkumpul dan menelan setiap kata dengan serius.
"Aduh, maaf Lor. Mana aku tahu kalau putusnya kamu sama
Nick itu rahasia," Gina berkotek.
"Lori sama Nick Hobart putus!" Lori mendengar gerombolan
gadis itu saling berbisik.
Benar-benar mimpi buruk! Kalau dia bicara dengan lembut,
mungkin Gina akan mengimbanginya?
"Gina," ujarnya pelan. "Kamu tahu kan? Kalau semua orang
tahu aku dan Nick putus, mereka bakalan percaya bahwa gosip
tentang aku dan Frank betul!"
"Wah, astaga, Lori," Gina tersenyum dan mencemooh. "Kamu
sadar nggak, semua orang berhak mempercayai sesuatu yang mereka
yakini?"Uhh. Lori tersentak, pembicaraan ini tak ada hasilnya. Ia
berusaha bicara tentang nilai-nilai kemanusiaan, tetapi keadaannya
malah memburuk. Lebih baik mencoba bicara dengan Frank.
"Lupakan saja, Gina," akhirnya Lori berkata, ia menerobos
kerumunan kawan-kawan Gina. "Maaf, aku ada janji!"
************
Ketika bel berbunyi tiga kali, Lori pergi ke lokernya,
mengumpulkan ganggang dan laporan penelitian, kemudian menuju
kelas, biologi. Frank sedang mengobrol dengan salah satu teman
sekelasnya. "Frank, maaf, bisa bicara sebentar?" tanya Lori, berusaha
ramah.
"Oh, pasti, Lor," jawab Frank sambil memberikan senyum yang
dianggapnya seksi.
"Berdua aja, bisa ? "
"Wow ? oke!" Frank melirik temannya seolah-olah berkata,
Sekarang kamu percaya gosip itu kan?
Mereka berjalan ke ujung aula, di sana pembicaraan mereka tak
dapat didengar orang.
"Oke, Frank," Lori membuka pembicaraan setelah yakin
mereka hanya berdua. "Ini harus dihentikan. Betul-betul dihentikan."
"Apa, Lor? Soal apa, nih?"
"Aku sama Nick putus, Frank, itu gara-gara ? "
"Kamu sama Nick? Putus? Aduh, sedih sekali. Tapi kalau kamu
butuh teman kencan malam Minggu nanti, aku siap, oke?" Frank
memperlihatkan salah satu senyum nakalnya. "Tahu nggak, hari ini
kamu cantik sekali."
"Jangan sembarangan, Frank," sentak Lori. "Ini serius.""Oke," jawab Frank memaksakan diri tersenyum. "Jadi, kita
mulai lagi. Kamu sama Nick putus, memang sedih. Tapi kamu harus
tahu, Lor ? kamu terlalu baik untuk Nick. Apa sih kelebihannya
selain otak dan tampang?"
Tentu saja Nick Hobart punya banyak kelebihan, tetapi Lori tak
mau memperdebatkannya dengan Frank O'Conner. "Aku pingin gosip
tentang kita di pondok itu berhenti, Frank," ujarnya, suaranya sedikit
lebih rendah dari biasanya. "Aku serius. Aku pingin gosip itu berhenti
hari ini!"
"Tapi, Lori, aku kan sudah bilang, nggak ada yang percaya
sama aku! Kalau kubantah, mereka malah makin percaya," Frank
mengangkat bahu. "Seharusnya kita nggak bertengkar, lebih baik
kencan aja." Frank tersenyum perlahan-lahan sehingga Lori ingin
meninju hidungnya.
"Trims, Frank," desis Lori, kemarahannya memuncak seketika,
"Kamu memang teman yang baik."
"Jangan salahkan aku kalau orang-orang berpikir jelek, Lori,"
kata Frank, berusaha kelihatan jujur. "Sifat orang kan lain-lain, tahu
sendiri."
Percuma bicara sama si brengsek ini, pikir Lori. "Oke, Frank,"
gumam Lori, ia segera berlalu.
Ketika ia masuk kelas dan mengambil tempat duduk, beberapa
pasang mata menatapnya. Lori menarik nafas panjang, berusaha
menahan diri. Ia tak tahu lagi bagaimana menghadapi hari-harinya
saat itu. Benar-benar tak tahu.Sebelas
Lori menuang secangkir coklat hangat lalu menjatuhkan diri di
kursi formika tua menghadapi meja dapur, otot-otot tubuhnya terasa
lemah. Kalau ini bukan musibah, pasti kelihatan lucu. Dua jam
sebelumnya ia marah sekali sampai ingin melemparkan semua barang,


Merivale Mall 05 Korban Gosip di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sekarang mengaduk minuman pun rasanya tak mampu.
Biasanya, kalau sedang menghadapi masalah, ia menelepon
Nick. Rasanya tenang mendengar suara pemuda itu. Nick penuh
pengertian ? atau, setidak-tidaknya, dia memang ingin meneleponnya
kemarin malam. Tapi sekarang? Percuma.
Lori tak mendengar ibunya masuk ke ruangan itu. Ia begitu
sibuk memikirkan bagaimana ia sampai kehilangan Nick. Ini
kehilangan yang terberat dalam hidupnya, dan ia yakin akan tetap
sakit hati sampai hari tuanya nanti. Nick terlalu baik untuk dilepaskan.
"Hei, Lori. Lori? Halo." Bu Randall berdiri di pintu dapur
membawa dua kantong kertas penuh barang belanjaan. Ia masih
memakai seragam dan sepatu perawat.
"Oh, hai," sambut Lori, ia melompat membantu ibunya.
"Kenapa cemberut?" tanya ibunya lembut.Lori menarik nafas. Ia tak ingin ibunya terlibat dalam
masalahnya. "Oh, nggak apa-apa, Bu," katanya dengan suara super
kecil.
"Ibu tahu, kamu pasti sedang sedih. Kenapa nggak cerita?"
"Oh, macam-macam," gumam Lori. "Orang-orang tolol, dan ?
oh ? "
"Kamu mau cerita kan, Lori?"
"Kayaknya percuma. Trims, Bu." Lori tahu ibunya sangat
penuh perhatian, tapi Lori masih merasa sungkan akibat pertengkaran
mereka pada hari Minggu pagi yang lalu.
"Ayo, cerita," bujuk Bu Randall. "Barang-barang ini dibereskan
nanti saja," katanya, menunjuk barang-barang belanjaannya.
Kemudian beliau melepaskan baju hangatnya dan duduk di sebuah
bangku dekat Lori.
"Sudahlah, nggak usah terlalu dipikirkan." Pandangan iba dari
ibunya membuat Lori tak tahan lagi.
"Benar-benar kacau, Bu. Nggak tahu gimana awalnya.
Kayaknya gara-gara hari Sabtu kemarin," kata Lori dengan suara
bergetar. "Di sekolah semua orang menggunjingkan Frank dan saya
yang terjebak di pondok semalaman. Sekarang ? yah, semua
menganggap ada hubungan khusus antara saya dan Frank. Padahal
enggak! Betul-betul nggak ada hubungan apa-apa!"
"Ibu percaya, Lori," kata ibunya singkat.
"Terima kasih Tuhan, Ibu percaya!" seru Lori. "Cuma Ibu, Ann
dan Patsy yang percaya.""Oh, ya? Nick gimana?" Wajah ibunya seakan tertutup
mendung, dan Lori tahu ia harus menceritakan hal yang sebenarnya.
"Kalian bertengkar gara-gara itu?"
Lori tak tahan lagi. Suaranya serak, "Kami putus semalam.
Tadinya Nick bilang dia percaya padaku, tapi lama-lama dia merasa
semua orang menertawakannya. Dia anggap itu sudah keterlaluan!"
Sekali Lori membuka dirinya, ia tak ingin berhenti. "Tahu
nggak, semua orang memusuhi, padahal saya nggak melakukan apa-
apa. Rasanya saya harus membela diri terus seharian, tapi masih tetap
ada yang nggak percaya. Bahkan pacar pun enggak percaya! Bekas
pacar, maksud saya!" gerutunya.
Nyonya Randall menatap putrinya dengan penuh perhatian,
"Lori, boleh nggak Ibu kasih sedikit nasihat?"
"Boleh."
"Jangan bela dirimu sendiri. Kalau orang sibuk membela
dirinya sendiri, orang lain akan berpikiran salah. Tapi kalau kamu
diamkan, akhirnya justru kamu yang menang. Kalau masih ada yang
nggak sadar juga? Anggap nggak ada. Teman yang sebenarnya akan
tetap mendampingimu, Lori. Termasuk Nick." Suara ibunya tenang,
yakin dengan kata-katanya.
"Masa, sih?" Mungkin ibunya betul. Selama ini semua usahanya
gagal ? mungkin ia salah perhitungan. Atau terlalu keras berusaha.
"Tergantung dari tindakanmu, Lori, bukan kata-katamu."
"Tapi bu, gimana caranya pura-pura nggak kecewa? Nggak
marah? Padahal saya kecewa dan marah.""Memang susah, Lori. Tapi sepadan. Katakan pada dirimu
sendiri bahwa kamu melakukan yang benar. Kamu anak baik dan
punya harga diri. Itu yang diperhitungkan orang."
"Trims, Bu," Lori merasa lebih tenang. Dibereskannya barang-
barang belanjaan waktu ibunya ganti baju.
Mulai sekarang, janji Lori, tak perduli bagaimana pun sakitnya,
ia tak akan menyangkal gosip itu lagi. Siapa yang percaya padanya,
percayalah dan siapa yang tidak, masa bodohlah.
Seandainya saja Nick percaya... Apakah ia benar-benar akan
kehilangan Nick? Apakah hubungan mereka akan berakhir
selamanya?
Setelah selesai merapikan belanjaan, Lori mencium ibunya, lalu
mengambil jaket dan pergi bekerja naik Spitfire-nya. Bekerja ?
benar-benar bekerja, keluar rumah dan bertemu orang banyak? ini
yang paling tak ingin dilakukannya malam ini. Ia ingin menyendiri di
kamar, berselubung selimut, menutup telinga dari segalanya, serasa di
sorga.
Tapi dalam perjalanan ke Mall Lori berpikir lagi, mungkin
dengan bekerja akan baik untuknya. Dia bisa mempraktekkan saran
ibunya.
Lori menyalakan radio, tapi ketika radio WMER memutar lagu
Losing You Forever, Lori mematikannya kembali. Untuk tidak
menangis malam ini pun sudah merupakan tantangan yang cukup
berat, apalagi kalau dibarengi mendengarkan lagu-lagu cinta.
Jangan peduli gosip, saran ibunya terngiang kembali di telinga
waktu ia memarkir mobil dan berjalan ke Mall. Lori menegakkan
kepala waktu mendorong pintu Tio's."Halo, semua!" teriaknya.
Itu memang kebiasaannya dan malam ini harus tetap dilakukan.
"Hai, Lori," sahut Ernie dari belakang counter. Paling enggak
Ernie tak tahu menahu masalah ini. Lori mengingatkan dirinya.
"Selesai!" Isabel Vasquez muncul dari dapur membawa baki
berisi enchiladas panas. Rambut panjangnya yang dikucir ekor kuda
bergoyang-goyang saat ia meletakkan nampan makanan di counter.
Lori mendekat untuk menyalaminya.
"Ini resep baru, Lor. Moga-moga nggak keasinan," kata Isabel.
"Ernie ngusulin pakai merica jalapeno. Cicip, deh, rasanya gimana."
"Oke," kata Lori. "Baunya enak."
"Kamu pasti lapar," Isabel mengerutkan hidung, "Oh, Lori, aku
ikut sedih karena kamu putus sama Nick," tambahnya iba. "Kukira
kalian bakalan rukun selamanya. Kalian berdua betul-betul cocok."
"Yah, nggak ada yang abadi di dunia ini, Isabel." Hanya itu
yang dapat dikatakannya. Rasanya tak pantas menceritakan
kesedihannya pada pada jam kerja.
"Ahem ? "
Lori mengangkat matanya dan melihat Jack Baxter berdiri di
sisi meja kasir. Jack adalah pacar Gina Nichols, penyerang belakang
regu Merivale Viking. Lori tak pernah berbicara dengan pemuda itu.
"Sudah siap?" tanyanya sambil tersenyum. "Maksudku, makanannya."
"Tentu saja. Enchiladas ini baru saja selesai dibuat. Enak," kata
Lori.
"Aku pesan dua," pinta Jack, sambil bersandar di counter
berwarna oranye terang itu.
"Jadi, kamu kerja sampai jam berapa?"Lori terpana sejenak. Apa perlunya Jack Baxter menanyakan
hal itu?
"Sekitar jam sebelas," jawabnya.
"Mau kuantar pulang?" tanyanya lagi.
Itu dia. Lori menyiapkan pesanannya. "Nggak, trims. Aku bawa
mobil sendiri."
"Kita bisa putar-putar sebentar, lalu kamu kuantar ke sini lagi?
" suaranya parau.
Lori langsung menatap wajah Jack. Kalau Jack Baxter berusaha
mengajaknya kencan, itu salah besar! "Nggak, trims."
"Aku dengar kamu sama Nick putus ? "
Oh-oh, pikir Lori. Ini dia.
"Mungkin kamu mau ke Overlook ? maksudku, sekarang
waktu yang paling pas, soalnya kamu ? tahu kan maksudku ? lagi
kosong."
Berani-beraninya! Secara tak langsung Jack Baxter telah
menghinanya, tak tahu malu, dan kasar.
Bagaimana pun, dia benar-benar seperti penjilat.
Lori hampir saja melontarkan apa yang ada dalam pikirannya,
tapi dia ingat pada janji yang dibuatnya sendiri.
"Maaf," katanya sesopan mungkin, diulurkannya pesanan Jack.
"Bayarnya di kasir." Lori berbalik menghadapi counter minuman.
"Lori ? " didengarnya Jack berkata dengan nada hinaan yang
sama. "Kalau kamu berubah pikiran, bilang aja."
Kurang ajar. Lori ingin berteriak. Tapi ia berpura-pura
mengatur gelas seolah-olah tak mendengar kata-kata Jack.Secara naluriah ia menatap ke seberang Mall, ke toko Hobart
Electronics. Sekilas ia melihat Nick. Untung, pikirnya, ia tersedak
melihat Nick mengangkat kardus yang berat ke meja counter depan.
Mimpikah ia, atau memang betul Nick kelihatan sedih. Sesedih
dirinya sendiri?
Ia teringat saat-saat manis yang mereka lalui bersama ? pesta-
pesta, pertandingan football, jalan-jalan ? semuanya. Mungkinkah
semuanya akan berlalu? Lori sangat merindukan Nick.
"Hai," ia mendengar suara asing menyapa.
Lori menghapus air mata dengan jarinya supaya tak jatuh ke
pipi. Waktu menengadah, dilihatnya pemuda asing berdiri di seberang
counter. Pemuda itu pendek dan tampak canggung. Mungkin anak
Atwood, pikirnya.
"Kamu Lori, kan?"
"Ah-ha," gumam Lori, "Kamu mau pesan apa? Taco?
Enchilada? Kami sediakan menu khusus malam ini."
"Eh, namaku Jeff ? kamu mau nggak ? maksudku, kalau
kamu nggak sibuk malam Minggu nanti, aku mau ?"
"Cukup!" Lori memotong, dibantingnya buku nota. "Dengar,
Jeff atau siapa pun kamu, aku yakin kamu anak baik-baik. Tapi siapa
pun yang bilang sama kamu bahwa aku 'kosong' sekarang, dia pasti
gila, tahu?"
Jeff tampak kecewa. "Oh," katanya, wajahnya memerah. "Tapi
kata mereka kamu ? "
"Aku nggak mau tahu mereka bilang apa, Jeff? Aku nggak mau
kemana-mana malam Minggu nanti ? jelas? Nah, sekarang kalau
boleh, aku mau kerja."Sial sekali, Jeff bukan pemuda terakhir yang mengajaknya
kencan malam itu. Mungkin ada lagi sekitar satu setengah lusin, dan
lebih parah lagi, gadis-gadis dari sekolahnya pun ikut melontarkan
hinaan. Lori merasa terasing. Rencananya tak berjalan seperti yang
diinginkan. Ia tahu bahwa tak akan mudah melaksanakannya tapi juga
tak mengira akan sesulit ini.
Menjelang jam pulang, Lori melihat Nick sekali lagi. Dia
sedang keluar dari toko Hobart's dan berjalan ke eskalator. Biasanya
Nick menunggu Lori di situ, Lori tak dapat menahan diri
membayangkan Nick akan menemui orang lain. Hatinya pilu. Semua
serba salah. Kenapa tak seperti biasanya saja? Kenapa mereka tak
dapat tetap bersama-sama?
Ia berjalan ke pintu Tio's dan mengikuti Nick dengan matanya
ketika pemuda itu menaiki eskalator.
Menerima kenyataan adalah salah satu masalah, gumamnya
pada diri sendiri, ia tak dapat menahan air matanya. Menjalani hidup
dengan kenyataan adalah masalah yang lain lagi.Dua belas
Di toko Bootery, Danielle bingung memilih 2 pasang sepatu di
rak pajangan. Biasanya ia menghilangkan kekesalan dan masalahnya
dengan berbelanja. Tapi sekarang justru sebaliknya.
Memilih. Itu masalah kehidupan, sama seperti berbelanja. Kalau
ia tak segera memilih antara Don James dan teman-temannya, dia tak
akan mendapatkan apa-apa.
Sambil mengerutkan dahi, Danielle mengalihkan perhatian dari
kedua pasang sepatu itu. Dua-duanya kurang bagus. Semua tak ada
yang bagus. Ia jadi tertekan karenanya.
"Selamat sore, Nona Sharp," sapa pramuniaga yang biasa
melayaninya. "Mau lihat barang baru?"
"Jangan sekarang, deh, Charles." Danielle menghela nafas,
"Lagi nggak mood, nih. Besok saja, deh."
"Baik," sahut Charles kecewa sambil membukakan pintu,
Danielle ke luar bergabung dengan orang-orang di jalan. Sesampai di
eskalator, ia teringat pada lelucon yang dibuatnya menggunakan Coca
Cola Teresa. Danielle merasa tak enak, tapi di satu sisi, ada gunanya
juga. Ia harus menyembunyikan hubungannya dengan Don, dan
asyiknya, saat itu Heather dan Teresa tampak lucu sekali. Ketika
melewati Tio's Tacos di lantai dasar, pikirannya beralih padasepupunya, Lori. Masih ada orang lain yang punya masalah lebih
besar dari dia. Pemikiran ini agak menghiburnya. Ia pun tetap merasa
bersalah karena ikut menyebarkan gosip tentang Lori dan Frank
O'Conner.
Yang jelas, Nick Hobart sedang 'kosong' sekarang. Tapi ia
sudah tak tertarik lagi. Ia hanya memikirkan Don James, bau jaket
kulitnya yang lembut, senyumnya yang samar dan jenaka, dan
matanya...
Tanpa sadar, ia memasuki Tio's Tacos yang kebetulan sedang
sepi. Entah mengapa ? dia tak lapar, dan kalau pun lapar ? ia tak
akan makan di Tio's. Memang makanannya sudah jauh lebih enak
sejak Isabel Vaquez menjadi koki di sana, tapi tempat itu tetap
berkesan murahan. Teresa dan Heather tak mungkin ditemukan di
sana.
Saat itulah ia melihat wajah Lori basah air mata. Seketika
semua masalah terbang dari kepalanya.
"Lori!" pekiknya. "Kenapa? Kamu sedih sekali!"
Lori berdiri di belakang counter, sibuk menyeka air mata yang
terus mengalir. "Oh, hei, Dani. Aku memang lagi sedih. Kamu tahu
masalahku ? semua orang juga tahu."
"Oh, Lori," kata Danielle. Ia memegang tangan sepupunya.
"Aku ikut prihatin."
Danielle merasa bersalah. Ia menggigit bibir. Malu, karena ia
sendiri juga menyebarkan gosip tentang Lori. Bagaimana pun, Lori
adalah teman terbaiknya di dunia ini, dan selalu baik padanya.
"Aku tahu, omongan orang tentang kamu sama Frank nggak ada
yang betul," tambah Danielle."Trims, Dan," sahut Lori, lagi-lagi menghapus air mata dengan
punggung tangannya. "Senang rasanya, kamu bilang begitu."
Danielle menatap sepupunya dengan seksama. Kalau sampai
terjadi padaku, kalau sampai ada yang menggosipkan hubunganku
dengan Don ? kalau sampai Don mendepakku, pikirnya sedih.
"Ada apa, Dan?" Lori menanyai sepupunya, "aku lagi ada
masalah, tapi kamu punya masalah juga."
Danielle teringat kembali pada masalahnya sendiri. "Oh!"
pekiknya, ia meraih bedak padat dari tas. "Kelihatan, ya?"
"Nggak juga, sih," jawab Lori, berbohong sedikit. "Tapi kan,
biasanya kamu nggak ke sini, kecuali..."
"Kecuali kalau butuh sesuatu?"
"Oh, bukan! Bukan itu maksudku."
"Nggak apa-apa, Lor," kata Danielle. Mungkin karena
perasaannya pada Don, sekarang ia bisa lebih mengerti perasaan Lori.
"Tapi memang. Menurutku aku bukan sepupu ? atau teman yang
baik."
"Hei, kamu baik, kok," Lori berkeras.
"Nggak juga," Danielle juga berkeras. "Sebenarnya, ada yang
mengganggu pikiranku. Mungkin kamu bisa kasih saran ? lagipula
masalahmu hampir sama."
"Masa?" Lori Heran. "Tapi, Dan. Aku nggak dengar apa-apa
tentang kamu."
"Belum, belum aja," Danielle menarik nafas, membenamkan


Merivale Mall 05 Korban Gosip di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

diri pada sebuah kursi. "Kamu ada waktu nggak?"
Lori memandang restoran yang sedang sepi. Lima belas menit
lagi waktu tutup. "Pasti," jawabnya sambil berjalan keluar dari counterdan menarik Danielle ke sebuah meja. Lori duduk berseberangan
dengan sepupunya. "Jadi, ada masalah apa?"
"Oh, ini soal Don James. Malam Minggu kemarin aku kencan
sama dia, aku nggak mau ada yang tahu. Tapi Teresa sama Heather
melihat kami. Mereka memang nggak yakin kalau itu aku, tapi mereka
betul-betul curiga, ini cuma masalah waktu aja..."
Lori mendengarkan penuh perhatian. Mata birunya terbuka
lebar. Danielle sudah lupa bagaimana asyiknya punya teman seperti
Lori, yang memang mencintainya apa adanya.
"Jadi, kupikir, apa memang aku harus memilih?"
"Kayaknya begitu," jawab Lori. "Jadi, sekarang gimana?"
"Aku nggak tahu!" keluh Danielle sambil meremas rambutnya.
"Don sangat, berbeda sekali sama dengan aku. Gaya hidupku
nggak cocok untuk dia, jadi, kalau aku kencan sama dia lagi ? aku
bakalan dibuang sama teman-temanku. Seperti membuang bara!"
Lori tertawa sedih, "Jadi mereka bukan teman yang baik, kan?"
Danielle menggigit bibir. Sulit menerima kenyataan itu, tapi
Lori benar.
"Kamu betul-betul suka sama Don?" tanya Lori lagi.
"Yah, rasanya begitu, Lor," Jawab Danielle. "Tapi, maksudku,
aku belum kenal betul sama dia."
"Nah, lebih baik kamu pergi lagi sama dia, coba lebih akrab
lagi. Percaya deh, kalau nanti kamu sudah ketemu cowok yang pas,
jangan lepaskan ? apa pun alasannya. Sungguh!"
Danielle menatap wajah Lori yang tampak jujur. "Aku pingin
mengakui yang sebenarnya, Lor. Kalau Heather sama Teresa nggak
bisa ngerti juga, apa boleh buat."Lori tersenyum. "Ya, mudah-mudahan kamu berhasil,"
sahutnya pelan.
Danielle bangkit, memutuskan berbuat sesuatu. "Trims, Lori.
Moga-moga aku bisa bantu kamu."
Lori tersenyum. "Moga-moga, deh," jawabnya lembut.
**************
Waktu Danielle masuk ke mobil, dilihatnya sesuatu yang
berkilat di jok belakang. Ternyata foto-fotonya bersama Don yang
mereka buat malam Minggu kemarin. Pasti Don yang naruh! pikirnya.
Danielle mengamatinya dan merasakan aliran hangat menjalari
seluruh tubuhnya. Ia ingat pada kegembiraan yang dinikmatinya
bersama Don malam itu.
Pada salah satu foto tampak Don memeluknya. Danielle
tersenyum, ia berangan-angan berada dalam pelukan pemuda itu lagi.
Don selalu membuatnya merasa istimewa. Mungkin itu yang
membuatnya tergila-gila. Dan ia pun tahu, Don akan tetap
menyukainya seandainya ia miskin, tak berdandan dan tak berpakaian
mewah.
Sesaat ia dilanda rasa bersalah. Ia berharap punya cukup
keberanian di hadapan Teresa dan Heather untuk mengakui
kencannya. Kenapa takut? Don memang tak cocok dengan gengnya.
Seandainya dia telah mengaku pada Teresa dan Heather, semuanya
akan serba terbuka. Lalu tak usah kuatir lagi kalau berkencan dengan
Don. Apakah mereka akan bisa mengerti? Atau mereka akan
memutarbalikkan fakta untuk menyerang? pikirnya. Untuk Lori,
berterus terang adalah masalah gampang, tapi sanggupkah ia? Yangjelas ? Danielle tak ingin mengalami masalah seperti Lori, semua
orang menjelek-jelekkannya!
Ia bersandar pada BMW-nya dan menarik nafas ketika melihat
foto itu sekali lagi. Ibu nggak bakalan setuju, dia tahu. Ayah juga.
Bukan cuma Teresa dan Heather yang tak setuju ? tapi juga semua
aspek kehidupannya!
Dengan geram dilemparkannya foto itu ke jok belakang dan
segera masuk ke mobil. Ia membanting pintu dan menyalakan mesin.
Kata-kata Lori masih terngiang di telinganya. Kalau kamu ketemu
cowok yang pas, jangan lepaskan ? apa pun alasannya....
Tapi sanggupkah ia membeberkan kisah cintanya pada para
sahabatnya? Sanggupkah?Tiga belas
Danielle menuju loker mengambil buku bahasa Perancisnya. Ia
menghela nafas. Menghindari Teresa dan Heather di Atwood betul-
betul melelahkan. Mungkin lebih baik ia mengatakan hal sebenarnya
pada mereka.
Dikeluarkannya lipstik berwarna pink dari dompet dan memoles
bibir, kemudian tersenyum di depan kaca. Bagus, pikirnya, paling
tidak ia masih tetap cantik.
"Hai, Danielle," ia cukup mengenal suara yang terdengar jantan
itu. Dulu, ia bisa berdebar-debar mendengarnya. Tapi sekarang tidak
lagi. Hanya Don yang dapat membuatnya demikian.
"Hai, Nick," balasnya, ia meneliti wajah mantan pacar Lori.
"Kamu ikut kelas bahasa Perancis?"
"Iya," jawab Nick bingung. "Kutunggu kamu, deh." Ia menegur
salah seorang anggota football yang lewat.
"Aku prihatin karena kamu putus sama Lori, Nick. Sungguh,"
ujar Danielle sambil menatap mata biru laut Nick dengan iba. Danielle
tak habis pikir. Bagaimana mungkin gosip bisa menghancurkan
hubungan orang.
"Trims," gumamnya. "Akulah yang paling sedih.""Tapi kan belum tentu putus selamanya. Menurutku kamu sama
Lori betul-betul serasi. Mungkin masalah kalian bisa diselesaikan."
Danielle menutup pintu lokernya, lalu bermaksud bergabung dengan
rombongan anak-anak yang menuju kelas. Nick tampak tertarik
dengan kata-kata Danielle.
"Kamu habis ketemu dia?" tanyanya pelan sehingga tak ada
yang dapat mendengar. "Dia bilang apa?"
Danielle menghela nafas. "Oh, Nick, dia sedih sekali!
Kayaknya, lebih baik kalian bicarakan lagi."
Saat itu pula Teresa dan Heather muncul dari tengah
gerombolan murid dan berdiri di depan Nick dan Danielle. Ketika
melihat Danielle bersama Nick, keduanya merapat dan berbisik-bisik.
"Lihat itu," celetuk Teresa agak keras sehingga Danielle, Nick,
bahkan orang lain yang berada di dekat mereka dapat mendengar.
"Wah, kayaknya Danielle nggak buang-buang waktu."
Pipi Danielle memanas.
Secara naluriah Nick meraih bahu Danielle dan menariknya ke
tengah lalu lalang arus anak-anak lain.
"Nick, mudah-mudahan kamu nggak mengira ? " Danielle
menggerutu. Dulu ia sering merayu Nick. Tapi itu cerita lama,
sekarang ia merasa malu kalau ingat hal itu.
"Cuekin aja," gerutu Nick. "Aku sebel sama orang-orang yang
suka gosip," ia meninju buku catatannya.
"Hei, jangan begitu!" Danielle cekikikan. "Jangan sampai
tangan pemain andalan kita luka."
Nick tersenyum. "Tahu nggak, Danielle, kamu memang cewek
baik. Pantas Lori selalu bilang begitu."Wajah Danielle memerah. "Sudah, ah," katanya merendah
sambil mengibaskan rambut merahnya dengan sebelah tangan.
"Eh, serius lho," ulang Nick lagi. "Cowok yang jadi pacarmu
pasti bangga."
Ironis sekali, pikir Danielle. Sebenarnya ia bisa memanfaatkan
kesempatan ini untuk mendekati Nick. Tapi sekarang ia
melewatkannya. Satu-satunya cowok yang diinginkannya adalah Don.
Walaupun hubungan mereka tampak mustahil, Danielle tetap ingin
melanjutkannya secara sembunyi-sembunyi. Nick sendiri, adalah
pacar Lori dan tetap begitu ? walaupun mereka sudah putus.
"Jadi menurut kamu, Lori bakalan kasih kesempatan untuk
aku?" tanya Nick, matanya bersinar penuh harap. "Tindakanku bodoh
sekali waktu ketemu dia terakhir kali."
"Mungkin aja, kalau kamu berlutut dan menyembahnya," gurau
Danielle. "Enggak, kok. Sungguh, Nick. Coba aja bicara sama Lori.
Kurasa dia mau dengar."
Danielle merasa bersalah ikut menyebarkan gosip tentang Lori
dan Frank, itu sebabnya dia ingin Lori dan Nick bersatu lagi.
"Kucoba, deh," ujar Nick dan tiba-tiba tersenyum. "Trims,
Danielle."
"Eh, bukan begitu," Danielle mengoreksi kata-kata Nick waktu
mereka masuk ke kelas bahasa Perancis. "Yang betul: 'Merci,
Danielle'."
*************
"Bagus, Lori dan Frank dapat nilai A plus!" wajah Pak Harris
berseri-seri waktu mengembalikan laporan Lori."Betul kan, Lor? Apa kubilang?" kata Frank waktu Pak Harris
pindah ke meja berikutnya. "Berkat ideku yang hebat dan ketrampilan
mengetikmu, kita berhasil dapat A plus. Lain kali kita harus kerja
sama lagi!"
"Ketrampilan mengetik?" ulang Lori. "Dengar tuan sok kece,
kalau nggak satu tim sama aku mungkin kamu dapat F. Aku kerja
sendirian. Tahu nggak, Frank, waktu di pondok aku sempat mengira
kamu cowok baik. Kukira kamu brengsek cuma karena kesepian. Tapi
ternyata aku salah. Sekarang aku tahu, kamu brengsek karena memang
brengsek. Terus terang, aku nggak sabar lagi pingin buang botol-botol
ganggang sialan ini ke toilet, selesai!"
***************
Pekerjaan Lori hari itu tak mengharuskannya pulang terlambat.
Tapi sepulang sekolah ia pergi berbelanja ke Mall, berharap dapat
melupakan masalahnya untuk sesaat. Dua minggu sebelumnya ia
merasa hidupnya sangat beruntung. Tapi, sekarang segalanya berubah.
Lori keluar masuk toko mencari-cari benda yang menarik
perhatiannya. Sebenarnya ia punya simpanan uang cukup banyak dan
dapat menggunakannya kalau mau. Tapi tak ada barang bagus. Ia tak
menemukan apa-apa. Hidup tanpa Nick terasa menyedihkan.
Lori sedang melewati Aunti Pasta's waktu mendengar suara dua
orang pemuda dari balik tanaman hias. Ia berbalik dan memandang ke
tempat yang agak lapang. Lori sangat mengenal suara Nick. Dan suara
satunya lagi, setahu Lori adalah suara Frank O'Conner.
"Kamu bilang apa?" tantang Nick pada Frank. "Kamu takut
bicara sama aku? Begitu?" Lori tak pernah mendengar Nick bicara
begitu kasar sebelumnya. Ia menunduk di belakang sebuah pilar besardan mengintip kedua lelaki itu. Frank menunduk memandangi kakinya
sehingga tak bertatapan mata dengan Nick. Mata Nick tertuju lurus ke
wajah Frank.
"Lalu gimana?" tanya Frank, menurut Lori ia berusaha bersikap
acuh tak acuh. "Aku tadi sudah bilang, Hobart, nggak ada urusan apa-
apa di antara kita."
"Justru itu kesalahanmu!" kata Nick, ditariknya Frank ke
sebuah bangku, lalu mereka duduk. "Banyak yang harus dibicarakan!"
Lori bersandar pada pilar. Nick tampak berusaha menahan kemarahan.
"Pertama, aku mau tahu kenapa kamu bikin gosip tentang
kepergianmu dengan Lori ke gunung. Nggak terjadi apa-apa antara
kalian berdua, tapi kenapa kamu bikin orang-orang beranggapan
bahwa ada sesuatu di antara kalian berdua?"
Jadi Nick mempercayaiku! Jantung Lori berdetak kencang.
"Tapi aku nggak bilang apa-apa, Nick, sungguh!" Frank
tergagap. "Aku nggak bisa apa-apa kalau orang menafsirkan lain."
"Oh, kamu pasti bisa," ini dia Nick yang sebenarnya, yang
percaya padanya. Lori berseri-seri.
"Aku sudah coba, Nick, sungguh." Kasihan Frank, suaranya
pilu. Menurut Lori, Frank pasti menyangka Nick akan memukulnya.
"Kamu tahu nggak akibat perbuatanmu itu?" Nick mendekatkan
wajahnya pada Frank, berusaha menekan suaranya, "Tahu nggak?"
Frank berusaha tersenyum, tapi yang kelihatan adalah seringai.
"Aku nggak bermaksud ?aku cuma pikir ? "
"Bohong. Kamu memang nggak punya otak! Dan jeleknya
kamu nggak mau tahu! Yang kamu pikir cuma gimana caranya jadi
cowok nomor satu di kampus. Tapi percuma, O'Conner, semua orangtahu bahwa kamu pengecut. Seorang ksatria nggak bakalan berkeliling
nyebarin gosip soal cewek ? apalagi cewek kayak Lori."
"Kalau kamu suruh aku minta maaf, Nick?" Dari jauh Lori
mendengar suara Frank ketakutan.
"Aku mau kamu sadari perbuatanmu. Kamu nyakitin Lori!
Padahal dia nggak pantas diperlakukan seperti itu. Lagipula, kamu
juga nyakitin orang lain ? contohnya aku! Kamu cuma pingin
senang-senang dan menaikkan reputasimu. Sekarang, kamu punya
masalah, O'Conner, kamu harus tanggung akibatnya." Nick berdiri dan
menarik leher baju Frank.
"Kamu mau apa? Mau mukul?" tanya Frank, hidungnya
berhadapan dengan hidung Nick. "Ayo silakan, semen itu juga cukup
keras, kok. Dengan begini semua orang tahu kalau gosip itu betul."
Lori tetap mengintip. Nick masih tetap memegang Frank dan
menatap matanya tajam-tajam, tangan kanannya mengepal. Ia
menepukkan kepalannya ke kaki. Gerahamnya tampak mengeras.
Nasib Frank ada di tangannya. Akhirnya, kepalannya terbuka dan dia
melepaskan Frank.
"Kamu merasa pintar ya, O'Conner?" geram Nick. "Mungkin
aku nggak akan puas mukulin mukamu itu ? tapi kamu harus tahu
aku nggak sudi melihat kamu lagi. Jauh-jauh aja dari aku, kamu
memang penjilat paling memuakkan di dunia."
Nick berdiri, lalu berbaur dengan para pengunjung Mall. Lori
tetap berdiri, terpaku oleh apa yang dilihat dan didengarnya. Frank
pergi diam-diam ke sudut, bertingkah seolah-olah ia telah dipukul
orang.Lori tahu, setelah kejadian ini segalanya akan beres. Hanya
tinggal soal waktu saja ....Empat belas
Setelah berhasil menghindari Teresa dan Heather selama
seminggu, akhirnya Danielle memutuskan menghadapi mereka. Ia
lelah bermain kucing-kucingan. Setelah lima belas menit sibuk
mencari teman-temannya itu, akhirnya ia menemukan mereka duduk
di depan Cookie Conection, pipi mereka ternoda oleh sundae cokelat.
Tempat itu memang strategis untuk melihat pengunjung Mall
yang lalu lalang di lantai bawah. Apa saja yang terlihat di sana bisa
dijadikan bahan gosip. Itu sebabnya Danielle dan teman-temannya
sering menghabiskan waktu di sana. Tentu saja dilengkapi dengan
sundae.
"Hei, halo!" teriak Danielle, sambil bergabung dengan teman-
temannya, "Gimana kabarnya?"
Heather mengibaskan rambut hitamnya dan memandang Teresa
dengan mata menyipit. Apa maunya Danielle? tampaknya dia berpikir
demikian. "Teresa," katanya, "Kamu mau memaafkan orang yang
merusak baju kita?"
Teresa mencibir, dan meletakkan jari telunjuk di pipinya. "Yah,
boleh juga, asal dia mau bersikap manis mulai sekarang."
"Aduh, trims!" pekik Danielle, ia duduk di sebelah Heather,
"Sini, aku bantuin membersihkan gelasmu." Danielle meraih sendokdan menyuap sundae sebelum kedua temannya sempat mengatakan
apa-apa.
"Beri satu inci aja, nanti punyamu dihabisin," sindir Teresa
sambil menjauhkan sundae-nya dari jangkauan Danielle. "Lapar gara-
gara lagi jatuh cinta, Dani?"
"Iya," kata Heather, "orang bilang, kalau pingin dicium, tapi
nggak ada yang mencium, lebih baik cari yang manis-manis saja."
"Bisa diam enggak, sih?" kata Danielle, melirik dan meletakkan
sendoknya. "Kapan kalian bisa berhenti ngoceh?"
"Kalau kamu sudah ngaku memang pergi sama Don James
malam Minggu kemarin," kata Teresa sambil bersandar menatap mata
Danielle.
"Kenapa sih, Dan?" tambah Heather, "Kami nggak peduli kamu
kencan sama siapa. Bahkan kalau kamu mau kencan sama monyet-
monyet kebun binatang, kami juga nggak apa-apa."
"Don James bukan monyet!" sergah Danielle.
Teresa dan Heather saling memandang dengan senang, "Jadi,


Merivale Mall 05 Korban Gosip di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

persis kayak apa, Dan?" desak Teresa. "Cerita dong ? ciumannya
hebat nggak?"
"Pelukannya kuat dan hangat nggak?"
"Apa dia membisikkan kata-kata manis di telingamu?"
Kedua gadis itu tertawa cekikikan. Danielle terpaku di kursinya,
memaksa diri tersenyum walau sebenarnya merasa sangat terluka.
Ia harus mengakui hal sebenarnya pada mereka, tapi sebelum
sempat berkata-kata mereka sudah mengolok-oloknya."Oke, aku memang pergi sama Don James malam Minggu
kemarin ? dan aku memang enggak mengakui ? kenapa? Kalian
memang usil. Tapi coba terus terang ? Don cakep juga kan?"
Teresa meletakkan tangannya yang terawat rapi di atas lengan
Heather dan bergumam, "Oh, jelas, dia memang cakep. Kalau enggak
kotor dan ber-oli."
Heather menyela, "Aku nggak bakalan mau pergi sama dia
walaupun dia cowok tercakep di dunia ? soalnya dia, begitu ? "
"Dia apa?" tanya Danielle panas. "Kenapa kamu nggak terus
terang, Heather? Alasanmu sebenarnya karena dia miskin! Dia miskin,
itu sebabnya. Lalu kenapa kalau dia memang miskin? Dia lebih baik
dari cowok-cowok kencanmu!"
Sesaat kedua gadis itu terdiam seperti batu. Teresa memainkan
sendoknya sedangkan Heather mencabik-cabik tisu.
"Oke," kata Danielle lagi. "Percuma ribut-ribut. Memangnya
kenapa kalau aku pergi sama Don James? Cuma sekali aja. Nggak
berlanjut."
"Lalu kenapa kamu bohong?" Teresa melemparkan pandangan
menghina.
"Iya. Kita kan sobat. Harus saling terbuka, dong!" komentar
Heather.
"Begini," sahut Danielle ragu. "Kukira kalian bakalan
menentang."
"Memang, aku kaget juga, Danielle," kata Teresa. "Apa
alasanmu mau pergi sama dia?"
Danielle tahu mereka tak akan mengerti, tapi setidak-tidaknya
mereka mau mendengarkan. Lalu akan berhenti menggodanya."Susah juga, sih," katanya. "Don lain dibanding cowok-cowok
yang pernah kencan sama aku."
"Aku nggak bakalan menentang," kata Heather.
Danielle tak menanggapi. "Bukan karena ia keren ? atau apa.
Cuma ? kayaknya dia punya keistimewaan. Dia lucu, periang, ramah.
Lagipula dia satu-satunya cowok yang nggak peduli sama
kekayaanku, di mana sekolahku ? pokoknya tetek bengek kayak gitu.
Don suka aku apa adanya. Aku merasa diistimewakan ? kayak nggak
ada cewek lain di dunia ini."
Mata cokiat Teresa melebar. "Oooo, Heather, hati-hati ?
cewek ini lagi jatuh cinta!"
Danielle memukul meja dengan tangannya, "Itu dia," pekiknya.
"Itu yang aku maksud. Gimana aku bisa terus terang kalau belum apa-
apa kalian sudah mengejek?"
Teresa mengangkat tangan dan mengangguk. "Oke, Danielle,
aku memang nggak ngerti. Tapi aku berusaha mendengarkan karena
kita berteman."
Danielle meneruskan. "Aku nggak jatuh cinta sama dia, aku
cuma ? suka. Anggap saja begitu."
"Oh, manis sekali," kata Heather sedikit berlebihan.
"Sungguh. Kamu harus tahu reputasi Don," suara Teresa kering.
"Dia nggak jelek, kok," bantah Danielle. "Cuma agak ? lain.
Jauh di dalamnya, dia baik." Danielle akan meneruskan kata-katanya
ketika dilihatnya Teresa menatap langit-langit.
Danielle sadar, dia hanya memboroskan nafas saja."Ayo dong, Dan, bangun. Semua orang tahu Don James bukan
pramuka," potong Teresa. "Apa nggak terpikir sama kamu, pergi sama
dia berarti merusak reputasimu?"
"Memang iya," balas Danielle. "Makanya aku menutupi kencan
kami. Kuharap kalian nggak cerita sama siapa-siapa."
"Oh, jangan kuatir, Dan. Kami tutup mulut," janji Heather.
"Pasti," tambah Teresa sambil menganggukkan kepalanya.
Danielle menangkap kedipan penuh arti kedua gadis itu.
Danielle tahu arti kedipan itu, dan ia mulai panik. Sebaiknya mereka
tutup mulut, katanya pada diri sendiri. Atau aku akan jadi sejarah
kalau berita ini sampai tersebar.
Suara Jane Haggerty yang nyaring memecahkan lamunannya.
"Sedang apa, nih?" sapa Jane sambil tertawa. Jane, adalah gadis
penyebar gosip di Atwood, ia ditemani sahabatnya, Ashley Shepard.
Keduanya hampir selalu bersama-sama.
"Duduk, deh." Teresa menunjuk kursi kosong di meja mereka.
"Ini sih, nggak kayak di L'Argent," sindir Jane. "Tapi boleh
juga, deh." Ia membersihkan remah-remah kue di kursinya sebelum
duduk.
"Nah, apa gosip barunya?" tanya Heather.
"Wah, di Atwood sih, nggak ada yang baru. Tapi kamu udah
dengar kabar terakhir Nick Hobart? Dia sudah putus sama Lori."
Teresa menguap. "Itu sih, kuno, Jane!" tegasnya. "Cerita yang
kita belum tahu, dong."
Jane menoleh kebelakang. "Ada Patsy nggak? Dia kan sobat
Lori.""Kamu lupa," sela Danielle, "Aku kan sepupu Lori. Jadi,
ceritain aja yang mau kamu bilang, oke?"
"Oh, tapi, Dan, susah percaya kalau kamu bersaudara sama
Lori. Kamu lain sekali sama dia!"
Danielle tersenyum, tapi ingatannya melayang pada saat
pembicaraan terakhir dengan Lori dan memutuskan bahwa mereka
berdua sebenarnya tak terlalu jauh berbeda.
"Lalu? Jangan lama-lama dong. Gimana ceritanya?" desak
Teresa.
"Kayaknya sekarang Lori memburu Jack Baxter. Mereka sudah
jalan ke Overlook," bisik Jane, gadis-gadis itu cekikikan. "Tunggu
saja sampai Gina Nichols tahu."
"Kayak cerita fiksi aja, Jane." kata Danielle sewajar mungkin.
Kasihan Lori! Kapan orang-orang ini berhenti merendahkannya?
"Eh," sela Ashley Shepard. "Mau lihat lomba lari Atwood
nggak? Sekarang sudah jam empat tiga puluh ? sebentar lagi, nih."
"Naik mobilku saja yuk!" Danielle menawarkan diri, berusaha
mengganti pokok pembicaraan. Dia sudah sangat bosan dengan segala
macam gosip.
Don pasti akan menertawakan tampang konyol mereka,
pikirnya gelisah saat membawa teman-temannya ke tempat parkir.
"Mobilmu hebat deh, Dan," puji Teresa sungguh-sungguh saat
mereka menuju mobil BMW putih dengan tulisan SHARP 1 di plat
nomornya.
"Trims, baru saja diservis ? "
Waktu Danielle memasukkan kunci dan memutarnya, ia melihat
foto-fotonya bersama Don James tergeletak di jok belakang!Terlambat. Ia sudah membuka pintu mobil. Jane sudah masuk ke
belakang!
"Tunggu, kubersihkan dulu joknya ? berantakan," kata
Danielle, dipanjatnya jok dan menjulurkan tangan.
"Lho, katanya habis diservis?" sindir Teresa.
Danielle telah menyentuhnya, jari-jarinya telah meraih
pinggiran foto, tapi tetap tak terjangkau.
"Cepetan dong, Dan," kata Ashley dari belakangnya. "Kita pasti
ketinggalan setengah perlombaan. Kamu cari apa, sih?"
"Eh, enggak," sanggah Danielle, ia berusaha memajukan jarinya
setengah inci lagi.
"Hei!" pekik Jane waktu ia meluncur ke dalam mobil. "Apaan
nih? Hampir saja tanganmu kududuki!"
Bagus! pikir Danielle. Aku berharap tanganku yang ada di atas
foto itu.
Tapi, terlambat. "Hei, tunggu dulu ? apaan nih?" kata Jane
nyinyir.
Danielle terkejut dan berusaha merebut foto-foto di tangan Jane.
"Bukan main!" teriak Jane riang. "Gimana mungkin! Lihat
gambar-gambar ini, Ashley. Ini halusinasiku, atau apa!"
"Bawa kesini," pinta Danielle. Ia melompat keluar dari mobil
dan menyerbu Ashley yang sekarang memegang foto-foto itu.
"Danielle ? sama Don James!" pekik Ashley, matanya melebar
sebesar piring makan. "Danielle, ada apa?"
Danielle merasa ingin lenyap ke dalam tanah. Teresa dan
Heather mungkin bisa disuap supaya tetap memegang rahasia, tapi
sekarang Ashley Shepard, dan sahabatnya Jane Haggerty tahu.Tinggal menunggu waktu saja kapan semua orang di Atwood
Academy ? bahkan ? semua orang di kota ini ? mengetahui
segalanya yang terjadi antara dia dan Don James, dan mungkin,
ditambah gosip-gosip yang sebenarnya tak pernah terjadi!
Danielle tenggelam, betul-betul tenggelam.Lima belas
Jam kerjanya di Tio's seolah-olah tak akan berakhir. Lori
berharap Nick sewaktu-waktu berjalan memasuki pintu. Ia yakin Nick
akan datang malam ini, tapi Nick tetap tak muncul walau hari semakin
malam, ia mulai ragu-ragu.
Mungkin Nick menganggap sudah terlambat. Sudah terlalu
banyak kesalahan yang terjadi dan tak ada kecocokan lagi di antara
mereka. Dan Lori tak dapat menyalahkan kalau Nick berpikir
demikian.
Lori tenggelam dalam perenungannya sampai tak melihat Don
James masuk dan berdiri di depannya.
"Hei, Lor," sapanya malu-malu. "Apa kabar?"
"Oh, hei, Don. Nggak begitu bagus, nih," sahut Lori, ia merasa
senang bertemu pemuda itu. Lori menyukai Don tanpa peduli dengan
reputasinya.
"Aduh. Kasihan," kata Don, ia tetap di tempatnya, "Eh, bisa
bicara sebentar nggak? Ini soal sepupumu ? "
Begitu tahu Don tak menyinggung-nyinggung masalahnya, Lori
memanggil bosnya, "Ernie, boleh istirahat sebentar?"
"Boleh, lima belas menit saja, oke?""Trims." Diajaknya Don ke sebuah meja dan segera duduk di
hadapannya.
"Nah," kata Lori, dilipatnya tangan di atas meja. "Soal
Danielle?"
"Iya," Don tampak malu menceritakan masalahnya pada Lori.
Lori menduga bahwa Don terbiasa memecahkan masalahnya sendiri.
"Begini," mulainya, memandangi tangan Lori. Diangkatnya
kepala, menoleh ke pintu, kemudian menatap mata Lori. "Aku tahu
Danielle suka sama aku. Aku yakin karena dia pernah mencium aku di
Facades. Tapi sekarang, kalau ketemu dia malah kabur ? walaupun
nggak ada teman-temannya yang sok itu. Padahal aku nggak berbuat
apa-apa, cuma ?aku nggak tahu harus gimana."
Don menunduk lagi dan memandangi meja dengan tatapan
bosan. "Kamu kan sepupunya ? maksudku, teman-temannya nggak
bakalan mau bicara sama aku ? jadi, kupikir aku mau minta pendapat
sama kamu, kalau kamu nggak keberatan."
"Oh, enggak. Enggak apa-apa," Lori tersenyum. "Kalau aku jadi
kamu, aku nggak bakalan kuatir. Kebetulan Dani ke sini beberapa hari
yang lalu, dan kami membicarakan ? kamu. Sungguh."
"Masa?" Don mengangkat wajahnya dengan terkejut. "Dia
bilang apa? Kalau boleh tahu, lho."
"Boleh-boleh aja," Lori meyakinkannya. "Dia suka sama kamu,
Don ? suka sekali. Dia bilang begitu, dan walau dia nggak
mengatakannya, aku bisa menilai dari wajahnya. Percaya nggak?
Sebenarnya dia suka banget sama kamu."
"Tapi?" tanya Don, seolah mendengar kata "tapi" dalam nada
suara Lori."Yah, dia bingung," Lori menambahkan. "Kamu tahu, Danielle
menomorsatukan kehidupan sosial Atwood."
"Aku tahu. Aku sendiri nggak pernah memalukan dia di depan
teman-temannya. Tapi perhatiannya kepada gengnya terlalu besar,
kalau kamu pingin tahu," gerutu Don kesal.
"Setuju, tapi nggak ada bedanya kan? Maksudku, Danielle tetap
Danielle, tunggu saja sampai dia menyelesaikan masalah ini ? tahu
maksudku?" Lori tersenyum kecil pada Don.
"Saranku sih, jangan paksa dia. Aku punya perasaan Danielle
bakalan berterus terang sama teman-temannya. Sesudah itu dia nggak
perlu bersandiwara lagi ? "
"Maksudmu, Dani bakalan mau jalan sama aku lagi?"
"Wah, yang itu sih, aku belum tahu," Lori mengangkat
bahunya. "Tapi kalau aku jadi kamu, aku tetap sabar. Yah, mungkin
dia butuh waktu. Tapi cepat atau lambat, dia bakalan mengikuti
kemauannya sendiri ? bukan kemauan teman-temannya. Moga-moga
begitu, deh. Menurutku kamu cocok sama dia."
Don menunjukkan senyumnya. "Trims, Lor." katanya pelan.
"Tahu nggak? Nick Hobart memang beruntung."
Perut Lori melilit. Don James termasuk beberapa gelintir orang
di kota ini yang tak tahu bahwa ia sudah putus dengan Nick.
"Aku sama Nick ? kami putus," bisiknya sedih.
Don memandangnya dengan sungguh-sungguh untuk beberapa
lama. "Aku punya saran, Lori," katanya, dia meletakkan telunjuknya
di dagu Lori lalu mengangkatnya sehingga gadis itu terpaksa menatap
matanya. "Bertahanlah." Setelah memberikan tepukan kecil di pipiLori, dia bangkit dan beranjak keluar, langkahnya ringan dan penuh
semangat. TEENLITLAWAS.BLOGSPOT.COM
Lori memandang kepergian Don sambil tersenyum. Yah,
pikirnya, Don James cowok rapi. Dia bakalan cocok buat Danielle....
**************
Jam delapan, selesai bekerja, Lori keluyuran di dok, di sana
kisah cintanya dengan Nick bermula. Ini tempat mereka, tempatnya
tak menyenangkan, jelas. Dan masih tetap tak menyenangkan tapi
penuh kenangan indah baginya. Sekarang, bagaimana pun, dengan
berdiri di situ lagi, dalam keremangan, membuatnya makin sedih.
"Lori?"
Lori terkesiap waktu mendengar bisikan yang dekat sekali di
telinganya. Ia menoleh, dan langsung bertatapan dengan Nick. Tangan
Nick tergantung gelisah, matanya menatap Lori. Mereka berdua tetap
berdiri di tempat masing-masing tanpa mengucapkan sepatah kata pun
sampai sekitar satu menit.
"Aku tahu kamu pasti ke sini," kata Nick memecah kesunyian.
"Aku baru pulang kerja."
"Aku tahu. Aku tadi ke Tio's."
Lori terkejut. "Masa?"
"Aku mau bicara sama kamu, Lori."
"Boleh."
"Aku minta maaf," kata Nick lembut. "Aku nggak boleh
termakan gosip."
Lori menahan nafas beberapa saat, airmata mulai tergenang di
matanya. Benar-benar terlalu indah untuk jadi kenyataan!"Gimana gosip norak Merivale itu?" tanya Lori, lalu duduk di
atas sebuah peti, ia tak yakin kakinya kuat menyangga badannya.
Nick duduk di sampingnya, tanpa menyentuh. "Begini, Lori,
aku sudah pikir baik-baik, lalu ? kurasa aku memang brengsek. Aku
sedang bingung sekali waktu di O'Burgers."
"Kamu pikir aku bodoh? Kukira kamu mengutamakan
perasaanmu di atas segalanya," kata Lori, melemparkan tatapan tajam.
Mata biru Nick berputar-putar gelisah, dan tampak basah waktu
menatap tembok di seberangnya.
"Biar kujelaskan. Masalahnya bukan gosip itu. Tapi akibatnya
pada perasaanku. Aku tahu kedengarannya egois, tapi aku merasa
terhina. Semua orang membicarakan kamu, lalu aku sendiri nggak
bisa apa-apa. Aku nggak pernah meragukan kamu semenit pun, Lor.
Sungguh. Tapi gosip itu bikin aku kayak orang bodoh."
"Kamu pikir, seperti apa perasaanku? Akulah yang jadi bahan
perbincangan."
"Aku tahu. Seharusnya aku lebih mengerti, mungkin aku harus


Merivale Mall 05 Korban Gosip di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berusaha membantu, tapi aku nggak tahu harus apa." Tiba-tiba Nick
menoleh dan menatapnya, tersenyum penuh rahasia.
Lori merasa kesal. "Bisa-bisanya kamu tertawa, Nick? Apanya
yang lucu?"
"Rasanya aku nggak mau mengakui ini, tapi kupikir masalah
utamanya adalah aku ? mmm, cemburu, betul-betul cemburu."
"Cemburu?" tanya Lori heran.
"Yah. Maksudku, kalau sampai reputasimu jelek, seandainya
terjadi seperti itu, seharusnya karena kamu pergi sama aku, bukan
sama O'Conner si penjilat itu."Mereka berdua tertawa terbahak-bahak.
"Nick Hobart, kamu ini harus kuapakan?"
"Pertama-tama, maafkan aku."
"Wah, gimana ya?" goda Lori. "Aku mengerti maksudmu. Tapi
kamu harus tahu, aku merasa serba salah belakangan ini. Aku juga
sama egoisnya sama kamu. Aku terus-terusan memikirkan
perasaanmu. Kamu mau memaafkan aku?"
Sebelum Lori berkata-kata lagi, Nick memeluk dan
menciumnya dengan lembut. Jantung Lori berdebar-debar.
"Pertanyaanmu sudah terjawab kan?"
"Sudah," jawab Lori sambil tersenyum hangat. "Tapi, ada satu
hal yang aku nggak tahu."
"Apa itu?"
"Kenapa kamu nggak jelasin sebelumnya?"
"Waktu itu aku belum sadar," Nick mengakui. "Aku bingung."
"Aku juga," Lori membeo. "Pikiranku kacau!"
"Aku kesal kalau ingat O'Conner," kata Nick. "Aku nggak
sanggup menghajar dia walau tadi sudah dapat kesempatan. Aku
sadar, itu nggak akan menyembuhkan perasaanku. Lalu aku tahu
masalah ini harus dipecahkan sama kamu."
Lori tersenyum. "Tadi aku lihat kamu, kok," bisiknya sambil
terkikik.
Nick melotot, "Masa?" tanyanya, "Kalau aku pukul dia kamu
mau apa?"
"Oh, teriak 'kali," sahut Lori. "Aku tahu kamu akan hajar dia
demi aku, dan aku tahu Frank nggak bakalan melawan.
Bagaimanapun, perkelahian nggak akan menyelesaikan masalah.""Aku tahu," kata Nick, mengangguk.
Lori tertawa, dielusnya pipi Nick dengan punggung tangannya.
"Kamu keterlaluan, Nick Hobart, tahu nggak?"
"Kita sama-sama lagi kan, Lori?" kata Nick sambil meraih
tangan Nick. "Benar-benar bersama lagi."
"Iya. Aku kangen kamu, Nick."
"Aku juga. Tapi janji dulu."
"Apa?" tanyanya.
"Nggak ada praktek biologi di gunung lagi, ya?"
Lori tersenyum malu. "Janji."
"Dan kalau kita liburan, aku nggak mau pergi ke gunung!
Mungkin ke pantai..."
Mereka tertawa terbahak-bahak dan saling berpegangan tangan,
kembali ke atas bersama-sama.Enam belas
Lori merasa seperti menjejakkan kakinya kembali ke bumi
ketika dia dan Nick membaur dalam arus pengunjung Mall. Ia tak tahu
bagaimana menghadapi hari-harinya tanpa Nick.
Dia tak dapat berbuat banyak untuk menghadapi gosip yang
beredar. Dia tahu tetap menjadi bahan perbincangan utama di
Merivale. Memang tak adil, tapi itu bukan masalah lagi. Nick sudah
kembali padanya, dan Patsy serta Ann berada di belakang mereka.
Kedua orang tuanya ada di sisi lain ? jadi sisanya yang lain di dunia
ini tak terlalu berarti baginya.
Mungkin kalau orang melihat dia dan Nick bersama lagi,
mereka akan sadar bahwa semua gosip itu tidak benar. Butuh waktu
lama. Akan banyak masalah yang muncul.
"Masih ingat air mancur ini?" tanya Nick waktu mereka
melewati air mancur.
"Kamu main-main ya? Mana mungkin aku lupa? Kita kan
kenalan di situ."
Nick tertawa. "The Old Man and the Sea-mu masuk air ?
sayang sekali."
"Untung kamu menyelamatkan aku. Kalau enggak, nilaiku pasti
jatuh."Nick mengambil sekeping uang logam dari saku bajunya, lalu
melemparkannya ke kolam. "Cepat. Minta sesuatu," katanya.
Lori menutup mata. Yang paling kuinginkan di dunia ini adalah
aku dan Nick akan bersama selamanya.
"Kamu minta apa?" tanya Nick.
"Nggak boleh bilang, dong," Lori merajuk.
"Memangnya kenapa?"
"Tabu, kan?" gumamnya. "Untuk yang satu ini, aku benar-benar
pingin bisa jadi kenyataan."
Nick tersenyum, meremas tangan Lori dengan lembut. "Oh, ini
kan cuma kepercayaan."
"Oke, lalu, kamu sendiri minta apa?" tanya Lori.
Nick menyingkirkan helai-helai rambut yang jatuh di wajah
Lori. "Aku berharap semoga apa yang kamu inginkan bisa jadi
kenyataan."
Lori menatap mata Nick yang hijau kebiruan dan tersenyum.
"Kamu memang yang terbaik, tahu nggak?"
Sesaat kemudian terdengar suara yang tinggi melengking
memanggil mereka. "Nick! Lori! Yuu-huu!"
Jane Haggerty mendatangi mereka. "Kalian kembali lagi, ya?"
tanyanya. "Bukan main! Sebentar lagi semua orang bakalan tahu. Oh,
Nick, kamu memang pemaaf!"
Lori dan Nick saling bertukar senyum. Jane Haggerty memang
keterlaluan.
"Wah, ini nggak boleh dilewatkan," Jane berceracau gembira.
"Kalian sudah dengar berita panas yang terbaru? Lori, sepupumu ? "Jane menatap Lori penuh arti. "Belum?" tanyanya ragu-ragu.
"Mmm, begini ? Danielle kencan sama Don James! Seru nggak?
Atau apa?"
Lori mengerutkan dahi. Apakah gosip ini akan menyakiti hati
Danielle seperti yang telah dialaminya? Ia berharap tidak.
"Kalau begitu aku mau kasih kabar sama yang lain," kata Jane
senang. "Ta-ta. Selamat, ya? Kalian berdua!" Dalam sekejap dia
menghilang.
"Lori," panggil Nick. "Kayaknya jam pertunjukanmu sudah
selesai."
"Syukurlah," desah Lori. "Sekarang aku bisa melewati aula
tanpa ada yang mengawasi lagi ? tapi, ah, kasihan Danielle!"
"Mmmm ? " kata Nick, menggeleng dan meremas tangan Lori.
"Aku malu juga, sih. Tapi akhirnya aku mulai sadar bahwa sepupumu
sebenarnya orang yang menyenangkan."
Lori memandang Nick, terkejut.
"Kami sempat bicara, sedikit," Nick menjelaskan.
Lori tersenyum. "Aku merasa bersalah karena mendorongnya
berterus terang sama teman-temannya."
"Kamu bilang begitu?"
"Iya. Sekarang lihat akibatnya."
Nick meraih Lori dalam pelukannya. "Jangan kuatir, Randall.
Semua masalah ada pemecahannya. Danielle pasti bisa jaga diri. Don
James juga."
Memang, Lori juga setuju. Danielle gadis pemberani. Walaupun
ada gosip yang menimpanya, dia akan baik-baik saja. Lori yakin."Lagipula," tambah Nick, "Saranmu bagus. Kebenaran adalah
segalanya, dan cuma kita yang paling tahu tentang itu."END
Pedang Kiri 15 Pendekar Mata Keranjang 12 Datuk Lembah Neraka Kutukan Sang Badik 1
^