Pencarian

Korban Gosip 1

Merivale Mall 05 Korban Gosip Bagian 1


Satu Lamanya serasa berabad-abad. Lori Randall, gadis berumur
enam belas tahun itu, memandangi jam dinding di atas pintu kelas,
menghitung sisa waktu. Sembilan menit lagi. Heran, pak Harris, guru
biologi yang membosankan itu, hari ini lebih membosankan dari
biasanya.
Bukan berarti Lori tak suka pelajaran biologi ? ia suka. Tapi
Pak Harris butuh waktu satu jam pembahasan, sedangkan orang lain
hanya butuh lima menit. Suaranya seperti seruling kecil yang panjang
dan monoton, menyakitkan telinga. Setengah dari isi kelas tampak
tertidur, setengahnya lagi terkantuk-kantuk.
Lori mengusap-usap mata birunya yang letih lalu meraih pensil
dan memberikan sentuhan akhir pada rancangan baju buatannya di
buku catatan. Disain rok mini dengan kerah besar berpinggang
ramping dihiasi ikat pinggang lebar. Lori membayangkan roknya
terbuat dari bahan suede dan ikat pinggangnya dari kulit buaya cokelat
tua. Ia menarik nafas. Bahan suede cocok sekali dengan rambut
panjangnya yang berwarna keemasan. Ini jelas di luar jangkauan
keuangannya. Semua pendapatan tambahannya habis ditabung untuk
biaya kuliahnya kelak."Sekarang, ada tugas penelitian," Pak Harris mengumumkan.
"Praktek lapangan yang menyenangkan."
Penelitian? Pasti main-main. Keluh Lori. Walaupun tugas dari
semua guru digabung jadi satu, tugas dari pak Haris selalu lebih
banyak.
"Kalian saya bagi, masing-masing dua orang dalam satu
kelompok ? " Sesaat suara pak Harris terdengar gembira. "Saya
harap setiap kelompok mengumpulkan contoh istimewa. Maksud
saya, jenis-jenis ganggang yang berbeda dari kolam ? lumut dari
kolam, lumut batu, lalu kalian beri nama! Semua kalian analisa dan
dilaporkan minggu depan. Ingat ? makin banyak ganggang yang
dikumpulkan, makin bagus nilainya. Setiap anggota kelompok harus
saling membantu membuat laporan penelitian."
Terdengar gerutuan memenuhi ruang kelas. Jelas tak ada yang
mendukung semangat pak Harris untuk mengumpulkan ganggang dan
membuat laporan penelitian. Lori memberengut, dia tak punya
bayangan tentang lumut batu dan juga tak ingin tahu!
Lori membereskan bukunya dan hanya setengah mendengarkan,
lalu suara pak Harris mengembalikannya ke alam nyata.
"Lori Randall dan Frank O'Conner."
Aduh. Lori menggigit bibirnya dengan gelisah.
Bekerja sama dengan Frank sama saja mendapat masalah.
Pemuda itu mengejar-ngejarnya sejak kelas delapan. Sekarang,
mungkin dia akan menganggap penelitian ini sebagai kesempatan
emas.
Kemudian Lori ingat bahwa bukan hanya dia yang dikejar-kejar
Frank. Dia suka semua gadis. Tampangnya keren ? jangkung,berbahu bidang, pirang. Bagaimana mungkin dengan penampilan
seperti itu ia sering terlibat keributan dengan para gadis? Tapi tak
mengherankan. Kelakuannya memang sangat menyebalkan ? ia
terlalu yakin bahwa para gadis mengagumi ketampanannya.
Beberapa minggu sebelumnya, Lori bertemu dengan Frank di
Merivale Mall dan pemuda itu mengajaknya berkencan, padahal ia
tahu Lori adalah pacar Nick Hobart. Kalau saja Lori mau merusak
hubungannya dengan pemuda paling tampan, paling manis, dan paling
setia di seluruh dunia ini, dia tinggal menyetujui ajakan kencan
pemuda yang mengira dirinya Romeo itu.
Mengapa, aduh, mengapa dia dikelompokkan dengan Frank di
penelitian biologi ini!
Dengan ragu-ragu Lori mengintip melalui bahunya kepada sang
"rekan". Frank yang duduk di bagian belakang kelas seperti biasanya,
menyandarkan punggung ke kursi, meregangkan badan, dan mengedip
genit kepadanya. Lori memutar mata kembali ke depan kelas.
Mustahil bisa jadi begini. Dia harus mencari jalan keluar, harus.
Bel berdentang. Sekarang harus bicara dengan pak Harris.
"Ingat, anak-anak ? contoh penelitian harus dikumpulkan
minggu depan!" pak Harris mengingatkan.
Dalam dua detik seisi kelas bangkit. Buset. Dua puluh anak
yang tadi hampir tertidur lelap selama satu jam bisa bangun seketika
dan mengosongkan kelas dalam sekejap.
Frank O'Conner tak segera pergi. Dia berjalan ke depan kelas
dan berdiri di sana menunggu Lori. Ia menyeringai. Lori berusaha
menjaga sikapnya ? dia ingin mengejar pak Harris untuk memohon
ganti pasangan."Kita untung, ya?" kata Frank, memiringkan kepalanya ke satu
sisi. Lori menduga-duga, kira-kira berapa kali Frank latihan
memiringkan kepala seperti itu di kaca kamar mandinya. "Sudah lama
aku pingin jadi partnermu, Lori. Aku benar-benar senang sekarang..."
Tangannya terjulur ke ujung lengan blus Lori.
Dengan kasar Lori menyentakkan tangan Frank, matanya
bersinar marah. "Dengar, Frank," ancamnya, "Tugas ya tugas, tahu?!"
Tangan Frank jatuh ke sisinya. "Hei," ? ia mengangkat bahu
? "Aku nggak punya maksud apa-apa. Aku cuma nggak sabar lagi
kerja sama kamu, itu aja, kok."
Pemuda itu tampak sangat menyesal, dan sesaat Lori merasa
bersalah karena bersikap kasar. "Asal kamu tahu aja," katanya.
"Sungguh," Frank meyakinkannya. "Nggak macam-macam.
Sebatas urusan biologi, kan?" ia mengedipkan mata.
"Frank O'Conner, kamu memang sialan!" teriak Lori. Ia
menghambur keluar menuju aula tanpa memberi kesempatan bicara
pada Frank. Pak Harris baru saja berbelok di sebuah sudut. Lori harus
segera meyakinkannya agar mengganti pasangannya. Satu kelompok
dengan Frank O'Conner selama seminggu, benar-benar nasib buruk!
"Pak Harris!" Guru itu segera berhenti ketika mendengar
namanya dipanggil. Lori cepat-cepat menghampiri, rambutnya yang
keemasan berkibar-kibar.
"Pak Harris, saya mau minta sesuatu," kata Lori memulai.
"Begini pak, pasangan saya untuk tugas penelitian ? Frank O'Conner
? saya, mmm...."TEENLITLAWAS.BLOGSPOT.COM
"Ya?" Pak Harris memandangnya penuh perhatian.Mengapa ia tak dapat bicara? Tampaknya terlalu picik kalau ia
minta ganti pasangan. Lori merasa sungkan mengatakan alasan
sebenarnya. "Mmm, apa saya bisa ganti pasangan?" tanyanya ragu-
ragu.
"Lori," Pak Harris tersenyum. "Kalau kamu saya ijinkan
memilih pasangan sendiri, maka anak lain juga harus saya ijinkan
memilih pasangan masing-masing. Tak bisa begitu, kan? Begini, saya
tahu Frank nggak begitu pintar, tapi kalau kamu tegas, dia pasti bisa
melaksanakan tugasnya. Lagipula ? "
Pak Haris melakukan kebiasaannya, bicara, bicara dan bicara,
lalu pada akhirnya akan berkata tidak. Dengan kecewa Lori menarik
nafas panjang. "Nggak apa-apa, pak Harris," katanya, memytuskan
kalimat gurunya. Dia sudah terlambat mengikuti kelas bahasa Inggris,
dan tak ingin lebih terlambat lagi. Ia juga tak ingin mengganggu
kegiatan pak Harris. Dia harus menyelesaikannya dengan Frank
sendiri.
*************
Frank menemuinya di ruang belajar. "Begini, Lori," bisiknya,
membungkuk mendekati Lori. "Aku punya rencana untuk proyek
kita."
"Oh?" Lori menatap lurus ke matanya, berusaha mencari
ketidakjujuran di sana. Mungkinkah Frank menyembunyikan akal
bulusnya dan benar-benar memikirkan proyek ganggang ini?
"Rencana apa?"
"Kamu pasti suka, Lor ? yakin, deh. Begini, si Harris itu
pingin dicarikan spesimen yang aneh, kan? Nah, semua anak pasti
mengambil contoh dari tempat yang itu-itu aja?di selokan belakangMall, di Finley's Marsh ? tapi aku tahu ada tempat yang
ganggangnya tumbuh di situ aja!"
Hmmm, pikir Lori, menembusi mata hijau Frank. Kayaknya dia
memang serius. "Oke, Frank, di mana kita ambil harta karun langka
itu?"
"Aha!" seru Frank agak terlalu keras. Beberapa anak yang
sedang serius menengok dengan marah. "Begini, kita pergi ke gunung,
sekitar Oakdale, di sana banyak kolam dan danau! Kamu bakalan
dapat A plus, deh, Lor."
"Oakdale, nggak salah tuh?" Lori menyerahkan keputusan pada
Frank: mengumpulkan contoh ganggang di luar kota. Mungkin ia
salah menduga pemuda itu .... "Kayaknya bagus juga. Kok tahu ada
tempat seperti itu di Oakdale?"
"Oh, aku sering ke sana, orangtuaku kan punya pondok di
sana..."
"Eh?sebentar, Frank!" potong Lori, tapi kemudian berhenti. Ia
ragu-ragu dan merasa tak enak, tapi lalu memutuskan untuk tak terlalu
berprasangka. Walau orangtua Frank punya pondok di sana, bukan
berarti mereka harus mendatangi tempat itu.
"Ah, Lori, aku nggak bermaksud apa-apa, sumpah! Aku cuma
cari cara gimana memenangkan proyek ini, cuma itu." Dia
mengangkat bahu dan menggeleng-geleng kecewa.
Lori memandangnya. Mungkin dia terlalu berprasangka.
Bagaimanapun, ini memang ide bagus, dan dia juga ingin mendapat
nilai A untuk pelajaran biologi.... Dia tersenyum dan mengangguk.
"Bagus, Lor!" seru Frank gembira, lagi-lagi beberapa kepala
menoleh dengan marah. "Aku telepon nanti malam untuk bikinrencana." Bel berbunyi dan Frank mengemasi bukunya lalu
melangkah keluar, langkah kakinya tampak bersemangat.
Lori mengikuti kepergian Frank dengan matanya, ia merasa
perutnya sakit. Frank pasti punya maksud tertentu ? apakah ia diam-
diam merencanakan sesuatu?Dua
"Kamu mau pergi kemana sama dia?" tanya Ann Larson dan
Patsy Donovan bersamaan, mereka menatap tak percaya dari seberang
meja.
"Ah, ini kan cuma tugas biologi," protes Lori pada kedua
temannya itu.
Mata cokelat Patsy berputar-putar. "Yah, aku nggak bisa bilang
apa-apa, semoga sukses, Lor." Patsy memutuskan tak banyak bicara.
Diambilnya sejumput salad dan menyuapnya. "Mmmm ?
Cornucopia's memang enak ya?" gumamnya mengganti pokok
pembicaraan. "Aku belum pernah makan salad seenak ini."
Lori menatap Ann dengan ceria. Mata abu-abu Ann yang lebar
mengedip. Ketiga gadis itu memang selalu makan makanan bergizi,
itu sebabnya mereka tak punya masalah berat badan. Ann seorang
gadis menarik yang bentuk tubuhnya selalu terjaga karena bekerja
sebagai instruktur senam aerobik di Body Shoppe. Sedangkan Lori ?
sistem metabolismenya membuat semua orang iri. Ia bisa makan apa
saja tanpa takut kelebihan berat badan.
Teman mereka Patsy, punya cerita berbeda. Baru-baru ini Patsy
mencalonkan diri sebagai Pengawas Berat Badan. Pekerjaannya di
Cookie Connection membuatnya menjadi gendut. Kemudian iaberhenti makan kue dagangannya sendiri. Secara tetap ia mengunjungi
Lori yang bekerja di Tio's Tacos dan selalu makan cheese enchiladas.
Lalu Patsy berubah karenanya, tentu saja. Sekarang Patsy Donovan
menjadi contoh gadis yang sukses dengan progam dietnya. Ia berhasil
menghilangkan kelebihan berat badan dan dinobatkan sebagai Miss
Merivale Mall, mengalahkan gadis-gadis cantik di kota ini, termasuk
sepupu Lori yang kaya raya, Danielle Sharp. Sekarang, jika ketiga
gadis itu berkumpul pada saat makan siang, mereka hanya makan
salad di Cornucopia. Lori dan Ann jelas agak bosan, tapi demi Patsy
mereka ikut makan sayur-sayuran hijau itu. Di atas segalanya, mereka
bertiga memang bersahabat baik.
"Jadi kapan kamu pergi sama Frank O'Conner?" tanya Ann
yang memandang roti Perancisnya dengan sedih, ia menyelipkan
rambut cokelatnya di belakang telinga.
"Nggak tahu. Mungkin hari Minggu ini, nanti malam dia mau
menelepon. Yah, kayaknya aku harus minta ijin sehari dari Tio's ? "
"Nick juga," komentar Patsy. "Ngomong-ngomong, Nick sudah
tahu rencanamu?"
"Hei, Pats, ini bukan rencanaku, tahu! Semuanya ide Frank.
Kupikir, yah, cukup bagus ? jadi kita bisa dapat nilai A."
"Lori, apa artinya nilai A kalau ini berarti selesainya
hubunganmu sama Nick?" tanya Ann. Wajahnya berubah serius.
"Ah, ayo dong, Nick pasti ngerti. Ia kan percaya banget sama
aku, ya nggak?"
"Kamu sudah bilang Nick belum?" desak Patsy lagi."Eehh, belum. Tadi kutelepon, tapi telat. Lagi pula besok Sabtu
dia harus ngambil persediaan barang ke gudang ayahnya. Jadi kami
memang nggak bisa jalan berdua. Aku yakin ia nggak apa-apa?"
"Oke, Lor," Ann menanggapi dengan ragu. "Terserah, asal
kamu yakin aja ?"
"Sebaiknya kamu kasih tahu dulu," Patsy mengingatkan.
"Walaupun dia cowok paling pengertian di dunia, belum tentu bisa
nerima kalau baru tahu sesudah kejadian. Lagi pula Frank O'Conner
nggak akan dijuluki Tuan Penjilat kalau nggak ada apa-apanya, tahu
sendiri, deh."
Mata Lori berputar-putar gelisah. "Aduh, sudah belum?" Ia
tertawa. "Kami toh nggak menginap ? cuma pergi sehari!"
"Apapun istilahmu, Lor," kata Ann. "Bukan kami yang harus
diberi penjelasan ? tapi Nick."
Selesai makan, Patsy mengeluarkan topi Chocolat-chip-
cookienya yang besar lalu lari menuju tempat kerjanya.
"Daaah," teriak Lori dan Ann.
Ann berjalan santai menuju Body Shoppe di tingkat tiga
pertokoan itu, sedangkan Lori menuju ke lantai dasar. Ia berjalan ke
Hobart Electronics yang berada di seberang Tio's. "Nick ada?"
tanyanya pada seorang pramuniaga.
"Oh, baru saja berangkat ke gudang dengan ayahnya. Ada
pesan?" Lori terdiam sesaat. Lagi-lagi terlambat. "Nggak usah deh."
Dia akan menunggu telepon dari Frank, lalu menelepon Nick. Tapi
sekarang waktunya bekerja.
"Lori!"Lori menoleh mendengar suara yang dikenalnya, dilihatnya
Danielle Sharp, sepupunya, lari mendekat. Rambutnya yang merah
tergerai melambai-lambai.
"Hai, Dan! Lama nggak ketemu," sapa Lori sambil mencium
pipi sepupunya itu.
Benar. Mereka sudah berhari-hari tak bertemu. Dulu mereka
berdua sangat akrab, lebih mirip kakak beradik daripada sepupu. Tapi
sejak ayah Danielle sukses dalam bisnis, Danielle dimasukkan ke
sekolah swasta. Sekarang hubungan kedua gadis itu semakin renggang
karena Danielle hanya bergaul dengan gadis-gadis kaya di Atwood
Academy seperti Teresa Woods dan Heather Barron. Ia tak pernah
mengajak Lori bergabung dengan mereka. Selain itu Lori juga tahu
bahwa sebenarnya Danielle malu punya sepupu dari sekolah negeri
dan bekerja di Merivale Mall.
"Apa kabar, Lor?" tanya Danielle, pipinya memerah akibat
berlari-lari.
"Yah, rasanya baik-baik saja ? " ujar Lori sambil menduga-
duga kenapa Danielle mampir. Danielle pasti membutuhkan sesuatu
darinya.
"Lor, aku nggak bisa tertipu, kayaknya kamu dapat musibah.
Ada apa?"
"Oh, nggak apa-apa. Aku harus bikin penelitian biologi sama
Frank O'Conner, cuma itu, kami mau ke gunung ? "
"Cuma itu, katamu?" Mata hijau Danielle melebar, ia
menggerak-gerakkan tangan pada lengan jaketnya yang baru. "Kamu
sama Frank, berdua ke gunung? Apa kamu putus sama Nick?"Ah! pikir Lori. Danielle pasti sudah dengar, itu sebabnya dia ke
sini. Lori tahu persis pikiran Danielle. Kalau Lori memang putus
dengan Nick, mungkin Danielle akan berusaha jadi pacar Nick


Merivale Mall 05 Korban Gosip di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

secepatnya!
"Bukan begitu! Nick sama aku baik-baik saja kok Dan," Lori
meyakinkan sepupunya. Tampaknya Danielle kecewa, atau dia hanya
berkhayal?
"Syukur, kalau begitu," kata Danielle asal-asalan. "Kasih tahu
kalau ada apa-apa yah? Aku suka dengerin kisah cintamu, Lor."
Jelas, pikir Lori. Selama menyangkut Nick Hobart.
"Aku harus pergi sekarang," lanjut Danielle lagi. "Senang
ketemu kamu Lor, nanti kita ketemu lagi."
"Kapan?" tanya Lori lugu, ia tahu Danielle tak sungguh-
sungguh ingin bertemu lagi.
"Oh. Astaga. Secepatnya. Nanti aku telpon dulu ? oke?" Dan
ia segera lari secepat dia datang tadi.
Ketika Lori berjalan ke Tio's Tacos, Danielle tersenyum. Dia
berkaca pada kotak bedaknya, membubuhkan lipstik kemudian segera
menyelinap ke Video Arcade. Ia melihat-lihat dulu kalau-kalau ada
Teresa, Heather atau teman-temannya yang lain. Danielle tak ingin
terlihat oleh teman-temannya yang super kaya dan sombong.
Nah itu dia! Berdiri di belakang game Power Drive, berusaha
memenangkan angka. Wajahnya keras dan tampan: Don James. Ia
selalu menarik perhatian Danielle, tapi hal itu tak merubah keadaan.
Mereka tetap tak mungkin berhubungan.
Lagipula ia adalah Danielle Sharp, gadis paling populer di
Atwood Academy, pusat perhatian di kelas ?Dan pemuda itu, Don James, adalah anak sekolah negeri yang
selalu memakai jaket kulit. Tinggal di rumah pertanian di pinggir kota
bersama beberapa orang pemuda lain, dan bercita-cita menjadi montir
mobil. Tak seorang gadis pun akan tergila-gila padanya.
Tapi, wow, dia memang keren, dan ? Danielle tak pernah
sanggup menghindarinya. Baik karena mata hitamnya, rambutnya
yang berkilau, tubuhnya yang gagah, juga rasa humor dan
kelembutannya. Danielle tak dapat mengungkapkannya dengan kata-
kata. Yang ia tahu pemuda itu betul-betul menarik dan ia harus mati-
matian menghindarinya ? kalau ingin menjaga posisi dan reputasinya
di Atwood. Bagaimanapun ia tetap dapat menemui Don ? kalau
mereka bertemu secara kebetulan.
"Oh, hai, Don," tegur Danielle, sambil bergerak ke belakang
pemuda itu. Ia berusaha bersikap seolah-olah mereka bertemu secara
tak sengaja. Don James memalingkan wajah dari mesin game,
senyumnya yang samar muncul perlahan-lahan.
"Hei Red!" sapanya pelan. "Berubah niat, menemuiku disini?"
"Oh, enggak!" sahut Danielle dibuat-buat, "aku ? "
"Apa?" tanya Don. "Kenapa? Kamu ninggalin teman-teman
kayamu di tingkat atas dan jauh-jauh ke sini ? seperti mengejar harta
karun ? cuma mau bilang bahwa kamu bukan sedang mencari aku?"
"Ah, aku ? " Sialan! Pemuda itu selalu tahu hal yang
sebenarnya. Mungkin itu yang membuat Danielle tergila-gila.
"Ayo, Red," kata Don sambil bersandar pada video game dan
melipat tangannya di dada. "Aku tahu pendapat teman-temanmu
tentang aku, tapi itu kan salah ? aku cowok baik-baik, kok,
sungguh.""Yah, aku tahu, Don," jawab Danielle lembut. Memang benar.
Reputasi Don James sudah tersebar dan hanya sedikit yang benar.
Tapi kalau teman-temannya sampai tahu ia pergi dengan Don, itu
berarti bencana.
"Sudah deh ? mendingan kita pergi saja, gimana? Makan
pizza, melewatkan waktu istimewa ? "
"Aduh, nggak bisa, Don, maaf," potong Danielle.
"Karena teman-temanmu, kan?" desak Don. "Kalau nggak ada
mereka, kamu mau pergi sama aku. Aku tahu, sebenarnya kamu mau."
"Nggak ada hubungannya, sungguh!" Danielle berbohong.
Kalau ia mengakuinya, sama saja membenarkan bahwa ia adalah
seorang budak status.
Danielle menatapi lantai. Ia tak suka memikirkan hal itu. Tapi
mungkin saja komentar teman-temannya lebih penting dari pada
dirinya sendiri.
"Ayolah," pinta Don, suaranya terdengar menantang. "Kalau
kamu nggak mau, kamu nggak bakalan ketemu aku lagi."
Danielle merasa senang bersama Don karena selalu
membuatnya tertawa. Selain itu, ia memang ingin pergi, tapi ?
"Mmm ? oke," Danielle menyetujui sambil celingukan untuk
memastikan tak ada teman-temannya di sekitarnya.
"Kamu nggak akan menyesal!" Don menyentuh lengannya dan
mengelus punggungnya. "Malam Minggu, kujemput jam tujuh."
"Pakai mobilku saja, yah?" sela Danielle.
Satu-satu hal yang tak diinginkannya di dunia ini adalah terlihat
di dalam mobil T-Bird tua milik Don. BMW putihnya yang mulus
jauh lebih baik."Terserah kamulah." Don mengangkat bahu. "Jangan kuatir,
Red, aku pasti rapi."
Danielle menengadah menatap mata hitam Don dan melihat
kilatan senyum di dalamnya, lalu ia pun tersenyum. Jangan terlalu
sempurna, harapnya.Tiga
Hari Sabtu pagi. Rasanya cepat sekali. Lori merasa badannya
sangat berat, seperti tertindih batu. Bagaimana ia akan pergi sehari
penuh bersama Frank O'Conner?
Lori merosot turun dari tempat tidurnya lalu mandi. Waktu
kembali ke kamar didengarnya Mark, adik laki-lakinya yang berusia 8
tahun, berteriak dari bawah, "Ada cowok yang jemput, tuh!"
Lori melihat jam di radionya. Jam delapan empat puluh.
Seharusnya ia sudah siap jam delapan. "Bilangin aku belum siap,
Mark. Sedang dandan, nih," teriaknya lagi. Ia tak sempat menemui
Nick sepulang kerja hari Kamis kemarin, hari Jum'atnya juga. Dan
setiap kali menelepon ke rumah, Nick sudah berangkat kerja. Waktu
ditelepon ke tempat kerjanya, dia sudah pergi ke gudang. Tak ada
yang tahu Nick ada di mana.
Mustahil. Percuma meninggalkan pesan. Mau bilang apa?
"Tolong sampaikan, saya ke gunung dengan Frank O'Conner?"
Menurut pendapatnya, ia harus menceritakan sendiri apa yang terjadi
langsung pada Nick. Lori mengangkat gagang telepon dan memutar
nomor Nick. Tolong, jangan pergi dulu.
Ia menunggu sampai telepon berdering dua belas kali. Akhirnya
ia sadar Nick sudah pergi. Ditaruhnya gagang telepon. Pembicaraandengan Nick tertunda. Lori bertekad segera menghubungi Nick
sesampai di rumah nanti dan minta maaf karena tak sempat
memberitahukan kepergiannya. Dikenakannya celana jeans dan kaos
wol putih. Ia berkaca di depan cermin yang tergantung di pintu kamar
mandi. Uh. Nggak akan ada cowok yang tertarik dengan penampilan
seperti ini ? termasuk Frank O'Conner. Tapi baju ini cocok untuk
masuk rawa dan bergumul dengan lumpur.
"Lori?" suara ibunya terdengar ragu-ragu.
"Masuk, Bu!" panggil Lori sambil menyisir rambut pirangnya
yang panjang lalu meraih sebuah topi baret.
"Ibu bawakan kue muffin. Jangan sampai lupa sarapan," kata
ibunya sambil meletakkan sepiring kue di meja Lori.
"Aduh, betul-betul perawat tulen. Saya sih, mau-mau aja,"
jawab Lori tersenyum, ia mengambil sebuah kue dan menggigitnya.
"Coba lihat, mendingan bawa sweater lagi ? "
"Oh, iya, tadi Nick menelepon." Ibunya tampak bersungguh-
gungguh.
"Nick menelepon? Kapan?" Lori berusaha bicara tenang, tapi
gagal.
Mata biru nyonya Randall melebar. "Barusan."
"Oh, Bu!" keluh Lori. "Kenapa nggak kasih tahu?"
"Kamu sedang mandi, sayang."
"Yah, sudah deh, nggak apa-apa," kata Lori, tetap berusaha tak
terdengar uring-uringan sambil mengenakan sepatu hikingnya. Hari
ini tampaknya tak dapat dimulai dengan menyenangkan.
"Hei, Lori!" jerit Mark. "Cepetan! Frank nungguin, tuh.""Bilangin, sebentar lagi, oke?" kata Lori, diraihnya pulpen dan
buku catatan. "Nah, sebaiknya saya berangkat."
Ibu Lori memandang anaknya dengan tajam, "Kamu yakin mau
pergi 'yang? Menurut ramalan cuaca, hari ini bakalan ada hujan salju
di gunung. Gimana kalau pergi lain kali saja...."
Lori menarik nafas. Kalau saja ia bisa menunda sampai hari
Minggu ? ia akan punya waktu untuk memberitahu Nick tentang
kepergiannya dan tak perlu menemui Frank sekarang. Tapi terlanjur.
Ia sudah minta libur kepada Ernie Boldbloom, bossnya di Tio's, dan
Ernie sudah mengatur pergantian tempat. Kalau ia pergi besok, berarti
upahnya berkurang sehari.
Lagipula, tampaknya semua baik-baik saja. Kalau cuaca
memang jelek, mereka bisa pulang lebih awal.
"Nggak bisa lain kali, bu. Hasil penelitian harus dikumpulkan
minggu depan. Kami nggak akan lama-lama, kok. Nggak ada asyiknya
ngumpulin ganggang sama Frank O'Conner. Oh, iya, Bu, kalau Nick
menelepon lagi, bilangin nanti saya telepon balik waktu pulang.
Jangan kuatir, saya nggak pulang malam-malam, kok."
"Baiklah," jawab ibunya. "Hati-hati, Lor."
"Yap!" Lori memeluk dan mencium ibunya lalu bergegas
menuju ruang tamu. Dilihatnya Mark sedang mendengarkan Frank
dengan penuh perhatian. "Jadi si pitcher segera menaiki gundukan
tanah dan, bam! Oh, hai, Lori! Nah, Mark kita lanjutkan besok," kata
Frank sambil menarik topi baseball Mark sampai ke bawah, "kami
mau berangkat."
"Hai, Frank," Lori berusaha mengumpulkan semangatnya."Hei Lor. Wah, kamu cantik. Aku suka warna bajumu, cocok
sama matamu. Sudah sarapan belum?"
"Yah, sudah." Mungkin dia salah menilai. Seorang pemuda
yang bersikap manis pada Mark dan begitu penuh perhatian padanya
tak akan terlalu licik ? bukan? "Nah, aku siap."
"Oke, kalau begitu. Kita berangkat." Sambil tersenyum ramah,
Frank menuju pintu dan membukakannya. Timbul rasa bersalah di
dada Lori karena telah berpikir yang bukan-bukan tentang Frank.
Mungkin ia terlalu berlebihan menilai perjalanan ini. Mungkin Frank
bertingkah aneh karena merasa terancam atau ada sesuatu....
Frank memegang sebuah peta dalam mobil Chevy Nord
hitamnya. Ia telah menandai tujuan mereka, Oakdale, dengan sebuah
lingkaran. "Hei, Lor mau lihat tujuan kita? Lewat sini, mudah-
mudahan kita nggak kesasar." Frank berkedip kepada Lori yang
menggelengkan kepalanya sambil tertawa.
"Soalnya mungkin kamu harus kasih tahu di mana aku harus
belok ? biasanya ayahku yang nyetir, aku tidur."
"Kubantu, deh," Lori menyetujui sambil.berharap agar mereka
tak salah jalan. Itu yang paling jelek ? Hei! pikir Lori tiba-tiba.
Mungkin justru itu yang diinginkan Frank. Dibuangnya pikiran buruk
itu jauh-jauh. Jangan gila, pikirnya sambil meratakan peta di
pangkuannya. Mobil mulai melingkari bukit di sisi Merivale.
"Ibuku bilang akhir-akhir ini banyak salju turun. Jadi sebaiknya
kita jangan lama-lama," kata Lori waktu mereka memasuki
persimpangan antara Route 73 dan jalan utama. Walaupun pemanas
dalam mobil dinyalakan, Lori tetap dapat melihat hembusan napasnya
sendiri."Nggak masalah, kalau kamu sudah mau pulang, bilang aja,"
sahut. Frank.
Untuk pertama kalinya, Lori merasa santai. Frank nggak begitu
jelek, putusnya, kelakuannya saja yang agak menjengkelkan.
Perlahan-lahan mereka menaiki kaki bukit, meninggalkan
daerah pinggiran kota yang dipenuhi bangunan-bangunan tak
beraturan dan pusat-pusat perbelanjaan. Pemandangan mulai
digantikan oleh tempat-tempat pertanian, gudang-gudang dan pohon-
pohon mati yang seolah-olah menembus langit mendung dengan
cabang-cabangnya yang runcing. Pertanian-pertanian kecil itu
kelihatan seperti oase di tengah-tengah padang tandus.
Pemandangan itu segera menghilang saat mereka memasuki
daerah gunung. Tiba-tiba Lori merasa terhibur berada di luar kota.
Setelah satu jam lebih menanjak, mereka sampai di sebuah
persimpangan. Route 73 sudah habis, sekarang jalan terbagi menjadi
dua jalan kecil.
"Oke Lori, yang mana sekarang?" tanya Frank. Lori cepat-cepat
membaca peta, ditetapkannya jalan terbaik menuju Oakdale. "Yang
kanan 'Bear' ? itu menuju Stony Ridge Lane."
"Yakin?" tanya Frank bingung. "Kayaknya salah, deh, Lor.
Coba lihat." Frank menghentikan mobil ke sisi jalan dan
mencondongkan badan ke seberang sehingga bersandar pada Lori.
Ditelitinya peta, dan ditunjuknya Stony Ridge Lane dan jalan lain.
Pada saat yang sama tangannya menyentuh pundak Lori, lalu
membelai rambutnya.
"Hei, apa-apaan, nih?" tegur Lori,"Nggak apa-apa." jawab Frank lugu. "Cuma berteman ? cuma
itu." Jarinya sampai ke kerah jaket wol merah Lori.
"Berhenti," tegur Lori lagi, di dorongnya tangan Frank
menjauh. "Kamu lupa, aku sudah punya pacar. Namanya
NickHobart."
Frank mengangkat bahu dan bersandar lagi pada Lori, "Ayo
Lor. Apa cuma karena punya pacar kamu nggak bisa ? yah, berteman
sama aku? Kamu cantik, deh ?"
Astaga. Wajah Frank O'Conner hanya tinggal dua inci di
depannya, pemuda itu akan menciumnya. "Kita bisa aja berteman, tapi
cuma teman. Sudah ah, jalan lagi." Lori menyikut pemuda itu dengan
halus.
"Oh, Lori, barusan aku mau ? " Mata Frank tertutup dan
bibirnya mendekati wajah Lori. Lori menarik nafas dan menyentakkan
kepalanya, detik itu pula dibukanya pintu mobil dan cepat-cepat
keluar.
Frank terjatuh, badannya telungkup di atas jok mobil, tangannya
terjulur ke pintu.
"Berhenti, Frank. Stop!" Dasar brengsek! Nafas Lori tersengal-
sengal, hembusan nafasnya tampakdi sela-sela kalimatnya. Lori tahu
Frank memang licik, tapi tak dikiranya akan berlaku serendah itu.
Frank menarik tubuhnya, membungkuk, berpikir lalu mulai
mengatakan sesuatu pada Lori. Ia menyipitkan mata dan memandang
Lori dengan marah sebelum kembali ke belakang stir. Dipegangnya
stir mobil dengan keras, lalu menyalakan mesin waktu Lori masuk
kembali. Lori melihat keluar jendela. Selama satu setengah jam
berikutnya mereka tak saling bicara."Kita sampai," kata Frank. Dia membelokkan mobil ke sebuah
pondok kayu yang terletak di tengah-tengah hutan pinus dan cemara-
cemara beracun.
Lori terpana, ia tak mengira mereka benar-benar akan ke
pondok! Oh, ia harus menjaga diri, harus. Dilihatnya teras panjang di
depan pondok. Tampak tumpukan labu kuning dekat tiang di tangga
teratas, terapit pintu rotan.
Bagus sekali, tapi Lori tak ingin mengatakannya pada Frank.
Jangan-jangan nanti Frank salah tafsir dan mengira bahwa ia mau
melanggar batas kesopanan.
"Lori," kata Frank canggung, "maafkan kejadian barusan. Kita
bisa baikan?"
Lori terdiam sesaat, dipandangnya Frank. Ia tampak jujur dan
mungkin saja tadi cuma khilaf.
"Oke," Lori setuju.
"Tempat ini sudah bertahun-tahun jadi milik keluargaku," Frank
menjelaskan saat mereka menyusuri jalan setapak terbuat dari kerikil
putih. "Ayahku yang membangun pondok itu."
"Bagus sekali," Lori mengakui dengan tulus. Mereka berdua
masuk ke dalam. Walaupun di luar dingin, di dalam terasa nyaman.
Lori meniup-niup tangannya dan memandang ke sekeliling.
Dinding pondok terbuat dari kayu yang tampaknya berasal dari
satu pohon. Setiap jendela ditutup tirai katun, dan perabotannya dibuat
dari kayu pohon oak tua. Ada perapian batu yang besar di tengah-


Merivale Mall 05 Korban Gosip di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tengah ruang utama. Indah sekali, tapi Lori merasa tak enak melihat
kepala rusa yang seolah menatapnya dari atas rak dekat perapian."Ayahku suka berburu. Tahun lalu ia dapat beruang besar."
Frank menunjuk sebuah foto. Ayah Frank tampak berdiri di sisi seekor
beruang yang sudah mati. Lori mengalihkan pandangannya. Soal
berburu tak pernah terlintas dalam pikirannya. "Oh, begitu." Ia
memutuskan memberi sedikit komentar.
Tiba-tiba Frank melingkarkan tangannya pada bahu Lori.
"Jangan kuatir, kamu akan kulindungi," janji?. Lori melepaskan diri
dengan kasar, rupanya Frank mulai jahil lagi.
"Aku memilih punya seekor beruang yang melin-ungiku dari
kamu," ujarnya pendek. "Nah mana ganggangnya? Lebih baik kita
mulai kerja."
Sambil mengernyitkan wajah, Frank memimpin Lori menuju
pintu belakang yang terbuka menuju dek, "Ada kolam sekitar setengah
mil dari sini," ujarnya. "Kita lewat jalan setapak itu."
"Ayo, berangkat," ajak Lori. Ia melangkah ke dek dan menatap
lebatnya hutan.
Lori tak tahu mana yang lebih buruk, hutan lebat penuh
binatang buas di depannya ? atau Frank di belakangnya.Empat
"Kamu sebut ini setengah mil?"
Frank menoleh dan meringis. "Sori, aku nggak tahu persis."
Ini sih, sudah 2 mil lebih, pikir Lori waktu mereka sampai di
danau. Untung danau itu tidak beku.
Saat-saat berikutnya, Frank hanya berdiri, mengawasi dan
menunjuk-nunjuk, sedangkan Lori sibuk melakukan pekerjaan kotor,
seperti mengumpulkan contoh-contoh ganggang sampai sepatu botnya
kotor terendam air danau. Sebenarnya Lori bisa minta bantuan Frank,
tapi keinginan satu-satunya adalah menyelesaikan pekerjaan secepat
mungkin. Awan gelap mulai muncul, ia tak ingin terjebak dalam
badai.
"Aku lapar," ujar Lori sekitar jam dua. "Mana makan
siangnya?"
Frank memberikan roti isi buatan ibu Lori, lalu mereka makan
? Lori menghabiskan rotinya cepat-cepat, ia ingin segera pulang,
sedangkan Frank mencari-cari kesempatan lagi.
"Ada satu atau dua tempat lagi yang bisa kita coba," usulnya
sesudah makan.
"Frank, ini sudah cukup. Kalau boleh, aku mau cepat-cepat
pulang. Kakiku beku, dan kalau aku nggak kena pneumonia, itu ajaib.""Hei, Lor, kamu kan mau dapat nilai A?" tanya Frank lugu.
"Buat apa kita jauh-jauh ke sini kalau nggak dimanfaatkan sebaik-
baiknya?"
Nah, nah, mau apa lagi dia, pikir Lori. Semua kata-kata Frank
pasti punya maksud lain.
"Oke, tapi setengah jam saja." tukas Lori. "Sekarang, gimana
kalau kamu bantu ngumpulin barang-barang itu?"
"Aku sih, mau-mau saja Lor," keluh Frank, "Tapi baunya bikin
aku mau muntah, sori ya?"
Setelah itu Frank menutup mulutnya dengan selembar tisu dan
berjalan di depan, mengelilingi danau. Sambil mengikuti Frank, Lori
menengadah dan melihat bahwa awan mendung semakin gelap. Ia
merapatkan jaket dan menaikkan kerahnya tinggi-tinggi.
Waktu mereka selesai dan berjalan kembali ke pondok, butir-
butir salju mulai turun, cahaya yang semula samar-samar mulai pudar.
Udara dingin menusuk punggung waktu mereka menuju mobil. Lori
nyaris tak dapat merasakan jari-jari kakinya lagi, tangannya juga kaku
sekali. Diletakkannya contoh ganggang di jok belakang mobil, lalu
menutup pintu. Untung aku pakai baju hangat, renungnya, ditepuk-
tepuknya kedua tangannya agar hangat.
Dilihatnya Frank seperti mau melompat kepadanya. "Jangan,
Frank," tegurnya sebelum pemuda itu muai bicara. "Nggak usah
pegang-pegang, tanganku sudah hangat, kok."
Frank mengangkat tangannya, memprotes Lori, "Hei, kayaknya
aku nggak ngomong apa-apa?""Antar aku pulang," kata Lori, kemudian masuk ke mobil.
Frank menghidupkan mesin mobil dan menyalakan pemanas sebelum
lari ke pondok, mengunci pintu.
Salju mulai tebal waktu Frank memutar mobil ke jalan raya.
Frank memutar radio. "Kami ulangi lagi, badai pertama yang
hebat dengan cepat memasuki daerah Oakdale, mengakibatkan
terjadinya timbunan salju dengan kedalaman kurang lebih satu kaki.
Di East Ridge kedalaman mencapai tiga inci. Bagi Anda yang sedang
berada dalam perjalanan diharapkan berhati-hati supaya tidak selip.
Tetaplah pada gelombang kami untuk mendapatkan informasi terakhir
? "
"East Ridge itu di mana, sih?" tanya Lori panik.
"Dua mil lagi," sahut Frank, "Sebaiknya kita jangan pulang
sekarang, Lor," usulnya, "Bahaya, nyetir dalam badai begini."
Lori menegakkan badannya, lebih baik pulang sekarang, jadi
Frank tak mendapat kesempatan untuk berduaan dengannya.
"Huh!" Lori berkeras. "Pokoknya enggak, deh, kita harus
pulang sekarang, makanya pelan-pelan aja, hati-hati."
Rahang Frank mengeras, "Terserah," katanya kesal sambil
menggosok-gosok kaca depan mobil yang tersaput kabut.
Mereka sudah berjalan kira-kira dua mil. Lori merasa bersalah
karena memaksa pulang di tengah-tengah badai. Kipas air di kaca
tertutup salju. Kalau mereka sampai celaka malam ini, itu akibat
kesalahannya.
Tiba-tiba mereka dikejutkan oleh cahaya lampu mobil patroli
yang menghadang di depan. Mereka mendekat dan melihat sebuah vantergelincir masuk selokan. Frank membuka kaca mobil dan
memanggil salah seorang petugas polisi. "Ada yang luka, pak?"
"Untung, nggak ada," ujar si petugas. "Tapi cuaca bisa lebih
buruk lagi... jalan raya nggak bisa dilewati. Kalian mau ke mana?"
"Merivale," jawab Frank.
"Merivale? Jangan harap," petugas tadi menggeleng-geleng.
"Semua jalan ditutup, mulai dari sini sampai rute 73. Tampaknya
kalian harus putar arah, cari tempat perlindungan secepatnya.
Mungkin akan ada badai salju!"
Lori tak mempercayai telinganya. Ini mimpi buruk! katanya
dalam hati. Mereka bisa mati kedinginan. Lori menimbang-nimbang,
mana yang lebih buruk: terperangkap di tengah hutan, atau hanya
berdua dengan Frank O'Conner?
*************
Danielle berkaca, kemudian tersenyum malu. Bajunya cukup
bagus untuk berkencan dengan Don James. Ia memakai rok mini
hitam dari kulit, kaos wol hitam model turtleneck, anting-anting perak
bulat dan jaket gombrong dengan lengan digulung.
Tak seperti baju yang biasa dipakainya kalau berkencan dengan
para pemuda di Atwood. Tapi malam ini sangat istimewa ? sama
istimewanya dengan Don.
Danielle sengaja mengusutkan rambut merahnya dan
membubuhkan sedikit mousse, meniru gaya Fallen Angle. Diliriknya
jam digitalnya, tujuh dua puluh, sudah terlambat, bagus ? memang
lebih baik membiarkan teman kencannya menunggu sebentar.
Ia meraih kunci mobil BMWnya, menyangkutkan jaket di bahu,
lalu lari turun ke ruang kerja ayahnya."Yah, aku pergi."
Pak Mike Sharp mengalihkan perhatian dari blue print yang
dipegangnya dan mengangkat mata cokelatnya. "Siapa cowok yang
beruntung kali ini, Danielle?" beliau bertanya.
"Ah, biasa ..." jawab Danielle pelan. Ayahnya tak akan tahu
soal Don James, tapi....
"Kalau begitu, selamat bersenang-senang," jawab beliau pelan
lalu mencium pipi Danielle.
"Mike! Kan sudah kubilang, kita janji ke Martin jam delapan!"
suara Bu Serena Sharp terdengar memecah kesunyian. Tak lama
kemudian Ibunya muncul di samping Danielle mengenakan gaun
malam dengan model bahu terbuka dari bahan berkilauan dilengkapi
anting berlian dan bros ? tapi sayang wajahnya berkerut kesal.
"Oh, hei, Danielle. Kamu mau pergi?" tanya ibunya yang
tampak kesal pada gelang berliannya.
"Yap, mau nonton."
"Nah, selamat bersenang-senang sayang. Ayo, Mike, aku sudah
mulai jengkel, nih." Ia tak menyembunyikan kekesalan dalam
suaranya, "Pakai setelan jas, dong. Astaga, kamu belum dandan sama
sekali!"
Danielle menarik nafas dan menjauhi kedua orangtuanya.
"Sampai nanti!" teriaknya.
"Ya, sayang," Ibunya menyahut acuh tak acuh. Kadang-kadang
Danielle ingin menjerit. Heran, cepat sekali orangtuanya
melupakannya. Mereka terlalu sibuk, sibuk mengurus diri sendiri, juga
acuh tak acuh. Kadang-kadang Danielle ingin berteriak: Lihat aku!Aku di sini! Tapi makin sering ia berusaha menarik perhatian
orangtuanya, sesering itu pula kecewa, mereka tetap acuh-tak acuh.
Suara pintu tertutup di belakangnya bagaikan suara musik bagi
Danielle. Malam ini ia akan jauh dari keramaian Wood Hollow Hills
dan Atwood Academy.
Ia segera duduk di jok mobilnya yang berlapis kulit. Sekali lagi
meneliti riasan wajahnya di kaca. Lipstik warna peachnya kelihatan
bagus sekali. Ia menyalakan radio WMER, radio rock lokal, lalu
menjalankan mobilnya menuju pinggiran kota untuk menjemput Don.
"Informasi untuk Anda yang bepergian ke pegunungan bagian
barat Merivale, akan ada badai salju yang datang sangat cepat. Kalau
Anda berada di lembah, bawalah payung ? karena diperkirakan hujan
akan turun dengan deras. Dan sekarang, kita dengarkan lagu terbaru
The Golden Ponies Chained Lovedi WMER. Ayo ? rock?rock?
baby!" suara DJ menghilang perlahan, digantikan dentuman lagu rock
berirama cepat menghentak-hentak. Danielle tersenyum kecil. Ia
merasa begitu bebas dan senang waktu mengarahkan mobil menuju
rumah Don.
Yang pertama dilihatnya adalah deretan sepeda motor Harley
terparkir di depan rumah. Kedua, serambi rumah yang sudah
melengkung. Bagaimanapun dia tak akan menginjakkan kakinya di
sana.
TUT-TUT! Danielle berharap Don segera muncul. Dan
memang, ia tak perlu menunggu lama. Don James keluar dari dalam
rumah, tanpa topi berjalan di bawah gerimis yang mulai turun. Don
tersenyum santai dan mengedipkan matanya, lalu membuka pintu
mobil."Hai, Red ? wah, kamu benar-benar datang," katanya sambil
bersandar. Apakah dia berkhayal, atau memang suara Don begitu
riang?
"Oh, tentu, dong, kita kan sudah janji?"
"Yap, tapi kamu suka aneh, cewek berduit...." Mata Don yang
hitam dan misterius menatap Danielle yang tak sanggup berlama-lama
memandang wajah Don yang tampan. Sinar lampu kabin memperkuat
garis wajah dan rahangnya. Jantung Danielle berdegup kencang.
"Sayang, hujan," kata Don sambil menaikkan kerah jaket
kulitnya. "Tadinya kupikir kita bisa putar-putar naik Harley. Tapi
mungkin bisa lain kali."
Lain kali? Mana mungkin ada lain kali ? cukup sekali saja
bertualang. Danielle tahu, ini tindakan gila, pergi bersama Don walau
hanya sekali. Tapi, beginilah ? sekarang mereka di sini berdua.
Lalu, kenapa pemuda ini tak segera masuk? "Masuklah," tegur
Danielle malu-malu. "Nanti pulangnya kamu yang nyetir."
"Kita kemana, Red?" tanya Don, masuk ke mobil, lalu
meluruskan badan supaya lebih nyaman. "Jangan kuatir," candanya,
"Aku sudah mandi, kok. Jadi jok ini nggak akan kotor."
Danielle tersenyum, sekedar menanggapi, tapi merasa tak enak
dengan kata-kata Don. Bau jaket kulit Don bercampur dengan after
shave mengacaukan perasaan Danielle. Dia heran mengapa dari sekian
banyak pemuda Atwood yang berkencan dengannya tak ada yang
seperti Don.
"Kamu cuma pakai itu?" tanya Danielle, menujukan kalimatnya
pada jaket kulit Don. "Kayaknya mau hujan deras.""Nggak apa-apa Red, pacarku bisa menghangatkanku." Don
mengedipkan mata dan bersandar pada jok mobil. "Nah, kita mau
kemana?"
Sambil memundurkan mobil, Danielle mengawasi kedua sisi
mobil, menghindari deretan sepeda motor dan mobil T-bird putih
panjang milik Don. "Kalau nonton gimana?" usulnya.
"Boleh," jawab Don, "Di Six-Plex?"
Nggak mungkin! Malam minggu begini hampir semua anak
Atwood Academy pasti ada di Six-Plex. Memang ia berkencan dengan
Don untuk bersenang-senang, tapi ia tak mau ketahuan anak-anak lain.
"Sebenarnya," usul Danielle, "Aku lebih suka nonton di
Westview Art Cinema deh ? lebih bebas."
"Yah ? bebas, nggak ada popcorn, kursinya nggak ada yang
nggak rusak," gerutu Don. "Tapi yang paling penting kamu nggak
bakalan ketemu teman-temanmu yang sok itu, anak-anak Atwood
Academy." Don tertawa kecil.
Danielle terkejut, bagaimana mungkin Don tahu alasan yang
sebenarnya? Danielle melirik Don, tapi pemuda itu sedang melihat
keluar jendela sambil bersenandung kecil.
"Jangan bego," bantahnya, Don menoleh dan mengangkat
matanya. "Aku sih, nggak peduli kita mau ke mana," sambung
Danielle menutupi maksudnya. "Tapi di sana ada film Bold Fire, asal
kamu tahu saja, itu film pertama Jeremy Simons."
"Yap, kalah deh." Film Inggris betul-betul tak terlintas dalam
pikiran Don, tapi apa lagi yang bisa mereka lakukan?
"Mulainya jam sembilan, jadi kita masih punya banyak waktu,"
ujar Danielle setelah melihat jam pada dashboard."Bagus," jawab Don, tanpa melepaskan pandangan dari wajah
Danielle yang menjalankan mobilnya di bawah rintik-rintik hujan,
kipas kaca bergerak perlahan-lahan. Don tak berkata apa-apa lagi, tapi
Danielle tahu mata Don memancarkan kebosanan padanya? bahaya!
Sadarkah Don bahwa dia telah membuatnya tergila-gila!
Danielle menepuk stir mobil dengan gugup, lalu menoleh dan bertatap
mata dengan Don. Mereka sedang melewati sebuah lampu jalan dan
wajah Don kelihatan jelas sesaat. Pemuda itu tersenyum nakal. Sial,
Don tahu perasaannya! Dasar tikus!
Don mulai tertawa, Danielle pun ikut tertawa. Pemuda itu tahu
betul cara menghangatkan suasana. Waktu memasuki lapangan parkir,
mereka masih tetap tertawa terbahak-bahak sampai keluar air mata.
Don membuka pintu mobil dan melangkah keluar, Danielle
menunggu pemuda itu membukakan pintu untuknya, tapi Don hanya
berdiri sambil meringis, air hujan menetes membasahi wajahnya.
Akhirnya Danielle membuka pintu mobil dan lari ke pintu
masuk bioskop.
"Masih sepi, nih, mau Coca Cola nggak?" tanya Don. Ia
menggeleng-geleng seperti anjing kebasahan sehingga airnya
memerciki wajah Danielle yang menggigil karena ada air yang
mengalir di punggungnya. Perasaan Danielle terlambung sesaat,
kemudian kembali lagi ke bumi. Ia tertawa sekali lagi dan sangat
senang bersama Don. Tapi dia harus memutuskan soal Coca Cola. Di
seberang jalan ada rumah makan, tapi selalu penuh. Lagipula mungkin
saja ada anak Atwood di sana, maka Danielle memutuskan tetap
berada di tempatnya."Mmm ? sebenarnya aku pingin beli cat kuku di toko obat,
boleh nggak?"
"Sekarang?" Don tampak bingung.
"Ya ? harus. Dandananku nggak ada unsur warna pinknya,
rasanya ada yang kurang, tuh," ujar Danielle, membuat lelucon
tentang dirinya sendiri.
Don mengangkat matanya, dengan halus meraih tangan
Danielle dan meneliti jemarinya dengan seksama.
"Menurutku sih, enggak apa-apa."
Danielle cekikikan, dan menarik tangannya. Genggaman tangan


Merivale Mall 05 Korban Gosip di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pemuda itu membuatnya makin berdebar.
"Kenapa Red? Kamu gugup?"
"Jangan GR, ya," bantah Danielle, memberanikan diri
memegang tangan Don lagi. Mereka toh, tak akan bertemu lagi, jadi
kenapa harus bingung?
"Ayo."
Danielle menggandeng Don menyeberangi lapangan parkir
menuju Brady's Drugs. Dengan cepat matanya menyapu seluruh
ruangan toko untuk memastikan bahwa tak seorang pun temannya ada
di sana.
Setelah yakin, ditariknya Don menuju rak pemulas kuku dan
mencari warna yang diinginkannya.
"Nah, ini dia," seru Don, sambil meraih sesuatu dari rak. "Jelek
sekali. Kamu pernah coba nggak pakai benda-benda ini, Red?
Sebenarnya kamu nggak perlu pakai make-up dan tetek bengek ini,
kamu kan sudah cantik."Wajah Danielle memerah dari kening sampai ke dagu. Kenapa?
Danielle tahu, wajahnya memang oke, sudah banyak yang bilang, tapi
kenapa dia malu waktu Don yang mengatakannya?
Don meletakkan pemulas kuku di telapak tangan Danielle,
menutupkan jemari Danielle ke sekeliling botol itu, lalu tetap
memegangnya sambil menatap dalam-dalam. Keduanya diam.
"Bikin foto, yuk," akhirnya Don memecah kesunyian.
Dibimbingnya Danielle ke ruang foto dekat bagian lipstik.
"Aduh, gimana, ya?" rengek Danielle.
"Eh, asyik, lho. Jadinya aku punya kenang-kenangan." Danielle
mencibir, "Tapi di situ tampangku jadi jelek."
"Nggak mungkin, yuk!"
Tanpa sadar, Danielle sudah berada di balik tirai dalam ruang
foto kecil bersama Don.
"Nah!" kata Don mengacak-acak rambut Danielle dan
menggelitik pinggangnya.
"Don!" jerit Danielle, tertawa kecil.
Cklik!
"Nah, lagi ? " sekarang Don melingkarkan tangannya di bahu
Danielle, bergaya seperti pegulat. Danielle tertawa cekikikan seperti
orang gila waktu lampu blitz menyala.
Mereka berusaha berpose serius, tapi pada detik-detik terakhir
Don berteriak, "Ayo, lihat, ada burung keciill!" Danielle tertawa lagi.
"Tunggu dulu!" pekik Danielle setelah foto yang ketiga.
Dielusnya kening Don dengan lembut, merapikan rambutnya yang
basah dan berantakan. Tak sengaja mereka bertatapan. Mesin foto
berbunyi, mengabadikan tatapan mereka yang penuh arti."Hebat, nggak rugi deh. Lihat ini, gaya Danielle."
Danielle ? pemuda itu menyebut namanya, biasanya ia
menyebut Red. Panggilan itu meluluhkan hati Danielle.
Danielle melirik jam tangannya, sudah jam sembilan kurang
lima belas. Cepat sekali rasanya. Bisa-bisa mereka terlambat.
Sebenarnya bukan itu masalahnya. Filmnya pasti membosankan ?
kecuali kalau Don mengajak pergi ke tempat yang sepi, menghabiskan
dua jam berikutnya dalam gelap.
"Ayo, ah!" rengek Danielle, menaruh kembali pemulas kuku
dan menarik Don keluar.
Beberapa saat kemudian, sesudah berlari-lari, mereka duduk
mengatur nafas di dalam bioskop. Lagi-lagi Don meraih tangan
Danielle, saat itu terasa sangat menyenangkan, nyaman sekali. Cuma
malam ini saja, kata Danielle dalam hati, ia tersenyum. Cuma malam
ini saja. Kemudian lampu padam satu persatu, ruangan itu makin
gelap....Lima
Ketika Lori dan Frank kembali ke pondok, hari sudah gelap
gulita. Lampu mobil harus tetap dinyalakan waktu mereka
membersihkan timbunan salju dari depan tangga sampai ke teras.
Lori kedinginan. Jari-jarinya nyeri dan kakinya mati rasa.
Ia ingin berada di rumah, meringkuk di tempat tidur dan
menikmati cokelat panas. Ia kesal pada dirinya sendiri, mengapa
bertindak sebodoh ini? Bagaimana ia bisa terjatuh dalam rencana
buruk Frank?
Ia tak dapat membayangkan tetap di tempat ini bersama Frank
? sepanjang malam. Sesudah mengalami perjalanan yang
menyeramkan tadi, pondok kayu di hutan itu jadi tampak lebih
menyenangkan.
"Mana sih, saklarnya?" tanya Lori sambil meraba-raba dinding.
"Nggak ada tombol sama sekali," kata Frank sambil mengangkat bahu.
"Lalu, gimana caranya menyalakan lampu?" tanya Lori nyaris
berteriak.
"Kami memang nggak pakai listrik," jawab Frank jujur. "Ayah
termasuk salah satu penganut hidup 'kembali ke alam'."
"Sudah deh, Frank, aku sudah terlalu capek bercanda."
"Aku serius, Lor, sori...."Lori segera sadar bahwa Frank memang serius.
"Lalu, kita mau pakai apa? Lilin?"
"Ngapain pakai lampu segala?" Kata Frank, menjengkelkan,
"Aku suka gelap-gelap."
"Frank O'Conner, jangan main-main! Semua udah nggak karuan
sekarang ? bisa-bisa kita terdampar berhari-hari di sini."
Mata hijau Frank berkedip licik. "Yah, itu kalau nasib kita
bagus."
Lori gusar, "Oh, begitu."
"Jangan marah, Lor. Cuma bercanda, kok," kata Frank. "Kita
punya lentera kemping, pakai minyak tanah. Lihat."
Frank mengambil sebatang korek api dari saku dan
menyalakannya. Ia berjalan ke meja ruang tamu untuk menyalakan
sebuah gelas aneh. Cahaya putih yang terang mulai berpijar.
"Lumayan kan? Di pondok ini ada beberapa buah."
Lenteranya bagus, pikir Lori. Tapi ia tak ingin
mengutarakannya pada Frank.
Tiba-tiba terlintas sesuatu dalam pikirannya. "Jangan-jangan ?
kita nggak punya pemanas."
"Memang nggak ada," Frank menyeringai. Dalam cahaya
lentera yang pudar, wajahnya mirip setan. "Perapian ini bisa
memanaskan ruangan, hangat? dan romantis sekali."
"Udah, deh, Frank," pinta Lori. "Selagi kamu ngisi perapian,
gimana kalau aku menelepon ke rumah? Di mana teleponnya?"
"Kira-kira tiga mil dari sini, di jalan dekat rumah makan yang
khusus jual makan malam." Frank menjawab pendek, memusnahkan
harapan Lori.Lori berdiri mematung, "Nggak ada telepon sama sekali?"
"Yah, kalau kamu nggak percaya, lihat saja sendiri," lanjut
Frank sedikit tersinggung. "Jujur aja deh, Lor. Kayaknya kamu anggap
aku yang bikin badai salju ini, biar kita bisa berduaan di sini."
Lori menjadi marah, "Sebenarnya kamu sudah tahu, kan?
Nggak heran, deh."
Lori tahu, bukan salah Frank kalau mereka sampai terperangkap
dalam badai. Seharusnya dia jangan menyetujui ide datang ke tempat
ini. Orang tuanya pasti sangat cemas, termasuk Nick. Andai saja ia
bisa menelpon dan memberi penjelasan pada mereka!
Frank menyalakan korek api. Dia membuat perapian yang
segera menerangi seluruh ruangan dengan warna merah yang lembut.
Akhirnya Frank bisa melakukan sesuatu yang benar, kata Lori dalam
hati. Ia pun duduk dekat perapian, menyisir rambutnya yang basah
dengan jemari tangannya supaya dapat kering oleh panas dari
perapian. Ia senang karena merasa agak hangat, tapi ingin agar Frank
menjauh.
Frank membungkuk di samping Lori. "Bajumu basah. Mau
ganti?" tanyanya.
"Nggak usah, deh," tukas Lori tegas.
Frank menunduk kesal, "Kamu nggak perlu curiga terus sama
aku."
"Kamu nggak tahu reputasimu sendiri selama ini?" balas Lori
kasar.
Frank tersenyum, "Yah, kadang-kadang reputasi lebih baik dari
keadaan yang sebenarnya," jawabnya, menatap Lori penuh arti.Lori terkesiap mendengar ucapan Frank, mungkin Frank
sengaja menjaga reputasinya agar tak ada yang tahu tentang dirinya
yang sebenarnya? Lalu, kenyataannya seperti apa?
"Tunggu di sini," kata Frank ketika berjalan ke kamar. Lori
mengawasi, tak yakin harus berpikir apa.
Tak lama kemudian Frank kembali membawa kaos kaki wol,
sepasang celana jeans tua dan kaos flanel kotak-kotak berwarna biru.
"Lihat," katanya, mengangkat kaos itu meminta persetujuan
Lori. "Oke nggak?"
Kenapa dia sebenarnya? Mungkinkah dia berbuat baik tanpa
pamrih? Apakah, sebenarnya dia pemuda yang baik?
Tentu saja Lori gembira bisa memakai baju yang hangat dan
kering.
"Boleh juga, trims," jawabnya.
"Aku juga harus ganti baju, nih. Bau lumpur." Frank berdiri dan
melepaskan sweaternya.
"Hei! Tunggu dulu! Kamu mau apa?" tanya Lori ragu-ragu.
"Ganti, dong," jawab Frank acuh tak acuh.
Lori melompat, "Aku ke kamar dulu, kalau boleh."
Di dalam kamar, Lori cepat-cepat mengunci pintu. Mungkin
Frank tak begitu brengsek, tapi Lori tetap tak dapat mempercayainya.
Ia melepaskan kaosnya yang basah dan mengenakan kaos biru
tadi. Ukurannya terlalu besar empat nomor, juga celananya. Tapi ia
tak peduli. Kaos kaki wol itu menghangatkan kakinya yang merah.
Lori merasa nyaman sekarang. Ia memandang wajahnya dalam kaca,
diacak-acaknya rambut sehingga menutupi sebagian wajahnya, lalu
tertawa. Dia kelihatan jelek sekali.Ketika keluar kamar, dilihatnya Frank sedang menunduk di
dekat perapian, tangannya memegang tangkai penggorengan. "Makan
malamnya sebentar lagi siap," jelasnya. "Mudah-mudahan kamu
doyan makanan kaleng."
"Mmmmm ? " kata Lori, merebahkan badan. Makan siang
rasanya sudah lewat lama sekali, air liurnya menetes melihat
makanan.
"Nih, kamu pasti sudah lapar," Frank menaruh seporsi besar
kacang panggang di piring Lori. "Jangan sampai kamu kelaparan."
"Trims," sahut Lori, meraih piringnya.
"Kembali," jawab Frank pendek. Sambil tersenyum ia
menuangkan segelas jus apel untuk Lori lalu minum.
Sebenarnya cowok ini keren juga, pikir Lori, meneliti wajah
Frank dan matanya yang hijau tajam di bawah cahaya perapian yang
menari-nari. Ia memang tampan dan saat ini sedang berusaha
bertingkah manis.
"Tahu nggak? Kamu cocok pakai celana baggy," komentar
Frank sambil tersenyum kecil.
Lori tertawa. "Sekarang aku tahu, kamu memang gila."
"Ngaku aja deh, Lor, kamu jatuh cinta sama aku, kan?"
Lori menggulirkan bola matanya, "Kamu sebenarnya betul-
betul oke kalau nggak banyak tingkah. Aku berani taruhan, suatu saat
nanti kamu bakalan punya pacar. Kamu tinggal berusaha bersikap
lebih ramah."
"Ah, Lor, hadapi saja kenyataan. Kamulah yang bisa bikin aku
jadi baik. Kalau aku punya cewek seperti kamu, aku bakalan betul-
betul jadi cowok baik." Frank menatap Lori penuh arti."Jangan harap, Frank, aku sudah punya cowok. Kalau kamu
kesepian, kan banyak cewek di sekitarmu. Tunjukkan sifat-sifat
baikmu, mereka pasti mau kasih kesempatan."
Frank tampak jengkel. "Kesepian? Siapa bilang! Aku nggak
kesepian!"
Dari reaksinya, Lori tahu Frank mengingkari hal yang
sebenarnya. Itu sebabnya Frank kelihatan marah sekali ? ia memang
kesepian. Lori merasa prihatin.
Setelah menghabiskan kacang polongnya Lori menguap. "Kamu
gimana, Frank? Aku sudah ngantuk."
Frank meletakkan tangannya di atas tangan Lori, "Aku juga,"
katanya, matanya lebar dan bersinar.
"Jangan macam-macam!" Lori tertawa waktu berdiri. Sekarang
sesudah tahu bahwa Frank tak sungguh-sungguh, ia tak begitu kuatir
lagi. Tak secemas sebelumnya.
"Bercanda, kok, sungguh. Aku mau tidur di sini, di sofa. Kamu
bisa tidur di kamar."
Lori masuk ke kamar berukuran kecil itu, lalu menutup pintu
dan menguncinya. Ia segera berselimut dan merasa sangat nyaman.
Didengarnya Frank mengetuk pintu.
"Apa lagi?" tanyanya.
"Buka saja pintunya." usul Frank
"Nggak bakalan, memangnya aku bodoh?"
"Yah, kalau nggak, kamu pasti beku. Perapiannya di luar sini,
kan?"
Sial. Lori membuka pintu. Frank berdiri di depan pintu dan
tersenyum padanya. "Selamat malam, cantik." ujarnya lembut.Lori berbalik tanpa menjawab dan naik ke tempat tidur,
berselimut rapat. Diletakkannya kepala di bantal, tapi matanya susah
sekali terpejam. Percuma. Walaupun Frank tak begitu buruk, ia tahu
tak akan dapat memejamkan matanya sekejap pun dengan adanya
Frank di kamar sebelah.
*************
Menurut Danielle, Bold Fire hanyalah rangkaian gambar yang
terputus-putus dan pemeran yang bicara tentang segala hal yang tak
dimengertinya.
Ia bosan karena tak dapat mengikuti jalan cerita. Kalau mereka
pergi ke Six-Plex pasti bisa nonton film bagus, tapi resikonya terlalu
besar.
Sepanjang jam pertunjukan, Danielle lebih banyak memandangi
wajah Don. Dia mengira Don pasti sama bosannya dengan dia, tapi
ternyata tidak. Don tampak serius, ia betul-betul menikmati film itu!
Bagaimana mungkin?
Tak sekalipun Don berusaha melingkarkan tangan di bahunya.
Danielle semakin kesal, ingin rasanya meninggalkan pemuda itu.
Berani betul mengabaikannya! Mereka ke sini kan bukan untuk
menonton pertunjukan seni?
Waktu film betul-betul selesai, Danielle tak tahan lagi. Ia
berdiri dan bermaksud cepat-cepat keluar, tapi Don menariknya
kembali. "Tunggu dulu, biar nggak terlalu ramai," katanya.
Kira-kira hanya ada tiga puluh orang penonton. Danielle
mengira Don ingin melakukan sesuatu padanya. Tapi ketika ia
menoleh, pemuda itu tampak sedang berpikir keras sambil membaca
nama-nama orang yang terlibat dalam pembuatan film itu."Bagus," komentarnya, meraih jaket kulitnya dari sandaran
tempat duduk.
Danielle menoleh dan mencibir. "Menurutku sih, film itu aneh."
"Kamu nggak ngeliat para pendukungnya, Red?"
"Memangnya kamu lihat?" tanya Danielle heran, ia lupa
kekesalannya pada pemuda itu.
"Aku suka sutradaranya, kupikir khayalannya cukup
sensasional."
Jadi itu bagian yang aneh tadi, Danielle baru sadar. Mungkin
film ini harus dipahami dengan perasaan. Danielle menatap Don.
Mungkin penilaiannya terhadap pemuda ini terlalu rendah....
"Adegan cewek lari di tengah kebun jagung tadi betul-betul
hebat. Lalu waktu si cowok menunjukkan dua tempat pada waktu
yang sama... Itu yang bikin film ini jadi hebat." Don tampak sangat
bersemangat membicarakan film tadi, sampai tak merangkul Danielle
waktu mereka keluar dari bioskop. Danielle begitu terpesona melihat
sisi baru Don yang tak pernah terlintas dalam pikirannya.
Begitu sampai di tempat parkir hujan telah berhenti, Danielle
berusaha mengikuti pembicaraan Don dengan mengajukan sedikit


Merivale Mall 05 Korban Gosip di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pertanyaan berbobot agar tak kelihatan bodoh.
"Ide bagus, Red. Kamu tahu film mana yang canggih."
Don melingkarkan lengannya yang berotot ke bahu Danielle
dan menariknya lebih rapat. Danielle menemukan dirinya meringkuk
dalam kelembutan jaket kulit Don. Ia merasa kacau karena terlalu
dekat dengan Don. Wajahnya menyemburat merah dan ia tak henti-
hentinya tersenyum. Danielle melepaskan dirinya sejenak, lalu
memandang mata Don yang cemerlang.Don menyeringai kembali, "Yuu-Huuu," teriaknya, "Ini baru
cewek."
"Lihat, siapa itu!" terdengar suara seorang gadis di belakang
mereka, suara itu sangat akrab di telinga Danielle. Ia tak perlu
menoleh untuk mengetahui bahwa yang bicara adalah Teresa Woods.
"Itu Danielle, Teresa. Kamu betul!" tambah suara kedua yang
juga tak asing bagi Danielle. Asalnya dari tengah-tengah lapangan
parkir.
Wah, gawat! Ada Heather Barron juga! Mau apa mereka di
Westview?
"Danielle!" panggil Teresa.
Danielle seakan membeku seketika, otaknya berputar mencari
jalan keluar. "Ayo Don, lari ? " bisiknya.
"Kenapa, sih?" tanya Don heran, ia menengok ke lapangan
parkir. Ia menumpahkan perhatian sepenuhnya pada Danielle sampai
tak mendengar panggilan gadis-gadis itu.
"Nggak apa-apa. Nggak usah nengok-nengok! Cewek-cewek
Atwood itu memang suka minta nebeng pulang."
Kebohongannya cukup sempurna, Danielle berharap Don tak
mengetahuinya.
Don mengangguk dan mulai lari, "Ayo, deh," ujarnya sambil
menggandeng Danielle.
Begitu sampai di mobil, mereka segera masuk dan bersembunyi
di kursi depan. Kalau Danielle langsung menyalakan mobil dan keluar
dari tempat parkir, mereka akan segera mengenali mobilnya. Di kota
itu hanya ada beberapa buah mobil BMW putih. Danielle menegakkan
badannya sejenak dan membetulkan kaca spion dengan gugup. BaikTeresa maupun Heather tak kelihatan lagi. Bisakah ia nanti berbohong
dan menyatakan berada di tempat lain? Ia harus berhasil meyakinkan
mereka, kalau tidak, semuanya akan berakhir.
Danielle mengarahkan mobil kembali ke rumah Don. Perutnya
terasa mual. Seluruh hidupnya, semua yang telah dilakukannya di
Atwood, akan hancur total kalau sampai Teresa dan Heather melihat
Don. "Hei, Red, tenang, dong. Semua bakalan beres ? nggak ada
masalah yang nggak bisa dipecahkan," Don mendekat dan meraih
tangannya. Danielle merasa sedikit terhibur. Don tahu tanpa harus
diberitahu apa yang sebenarnya terjadi. Dan ia tak kelihatan kecewa.
Mungkin dia betul juga. Bagaimanapun juga tempat parkir tadi
gelap, selain itu Heather dan Teresa cukup jauh dari mereka. Bisa jadi
mereka tak benar-benar tahu bahwa itu tadi Danielle.
Siapa tahu mereka hanya menebak-nebak. Mungkin juga
mereka tak mengenal Don. Lagipula kalau mereka tahu, mungkin ia
masih bisa menyangkal.
Mungkin, mungkin... Tapi, Danielle tahu, segala macam
kemungkinan tak dapat diperhitungkan. Banyak kemungkinan saja
takkan mengeluarkannya dari masalah. Ia sendirian ? dan,
masalahnya tak terlalu parah. Lagipula, ia adalah Danielle Sharp!Enam
Esok paginya, Lori membanting pintu depan rumahnya sampai
berdebam. "Hallo, saya pulang!" teriaknya. Ia tahu, orang tuanya pasti
cemas. Lori merasa lega ketika mobil Frank berdecit menjauh. Terima
kasih Tuhan, sekarang hari Minggu dan ia tak akan bertemu Frank
seharian. Pertemuan berikutnya, waktu pelajaran Biologi, baginya
tampak seperti sejuta tahun lagi.
Ketika tak seorang pun menemuinya, Lori meraih tas
belanjanya yang penuh stoples-stoples yang saling berdentingan.
Dengan sangat berhati-hati dibawanya ke teras belakang. Ia
menumpahkan sepercik air danau ke atas karpet. Sialan si Frank,
keluh lori ketika mengeluarkan stoples-stoples dari dalam tas dan
meletakkannya di dekat perlengkapan baseball Mark. Frank bukan
saja merusak akhir pekannya tapi juga membuatnya terpaksa
menganalisa benda-benda yang mereka kumpulkan.
Dari pada harus melewatkan waktu dengan Frank lagi, Lori
memilih untuk mengerjakan sendiri laporan penelitian secara sukarela.
"Lori!" ibunya tergopoh-gopoh menuju teras dan memeluknya.
Ketika melepaskan diri, Lori sadar bahwa beliau tidak tidur
semalaman. Matanya merah dan kulitnya pucat. Wajahnya tampak
sangat gelisah.Di belakangnya, ayah Lori menyusul. Beliau menarik nafas
dengan berat dan tampak dilanda kegelisahan yang sama.
"Ya Tuhan, ada apa?" ayahnya bertanya, ingin tahu. "Sadar
nggak kamu, Ibumu jadi kuatir sekali ? "
Lori tak dapat menduga, ayahnya marah atau hanya kecewa.
"Sabar, yah, biar aku yang mengurus," potong ibunya. Beliau
berjalan ke dapur dengan tangan masih melingkar di pinggang Lori.
Mereka bertiga duduk menghadapi meja bundar. "Nah, sayang,
sebenarnya ada apa? Kami kecewa sekali, kamu pergi semalam
penuh."
"Saya tahu, Ayah Ibu pasti kecewa," jawab Lori, "Kami
terjebak badai salju. Kami terpaksa menginap di pondok milik orang
tua Frank. Cuma begitu aja."
"Begini, Lori ? Ibu percaya sama kamu ? tapi ? " kata
ibunya.
"Kami belum kenal anak laki-laki itu!" tambah ayahnya.
"Orang tuanya menelepon ke sini, menanyakan apa kamu sudah
pulang ? " lanjut ibunya.
"Sungguh, kami kena hujan salju. Saya sudah mau menelepon,
tapi di sana nggak ada teleponnya. Kami juga nggak bisa ke luar lagi.
Yang jelas, kami berusaha pulang kemarin malam, tapi polisi
menyuruh kami kembali. Jadi kami menginap di pondok dan cepat-
cepat pulang pagi ini," Lori menjelaskan.
Pak Randall tampak curiga. "Cuma itu? Kamu juga nggak bisa
menelepon pagi ini?" suaranya penuh arti.
"Maaf, Yah, memang nggak terpikir. Saya cuma pingin cepat-
cepat sampai di rumah."Beberapa saat kemudian mereka terdiam. Bu Randall
memecahkan kesunyian itu. "Kamu yakin nggak terjadi apa-apa di
pondok itu, Lori? jujur saja sama Ibu ? ini penting sekali."
Air mata menetes dari mata Lori ketika ia menyadari apa yang
ada dalam pikiran orang tuanya.
"Saya nggak suka sama Frank. Nggak ada kejadian apa-apa di
pondok itu! Nggak ada apa-apa! Saya makan sepiring kacang polong
kalengan, lalu tidur. Sungguh, saya sudah ceritakan semuanya!" Lori
tergagap-gagap. "Sekarang saya pingin tidur. Tadi malam saya sama
sekali enggak bisa tidur karena jengkel dan takut sekaligus. Tapi mau
apa lagi? Apa saya mau pulang ke Merivale naik ski? Semuanya serba
nggak memungkinkan!"
"Boleh, sayang ? tidur aja dulu," gumam Ibunya. "Tapi, peluk
Ibu dulu."
Lori memeluk ibunya dan mencium ayahnya dengan cepat lalu
beranjak ke kamar tidurnya. Ketika dia berlalu, ayahnya berkata, "Aku
nggak suka cara ini Bu, nggak bagus."
Ibunya menjawab, "Dia anak baik-baik, kalau dia bilang nggak
ada apa-apa ? berarti memang nggak ada apa-apa."
Lori berbaring di tempat tidur, ia tahu orang tuanya berhak
kecewa terhadapnya. Bagaimanapun dia memang berduaan dengan
Frank O'Conner, sekarang dia bisa menelepon Nick untuk
menjelaskan masalahnya. Mungkin Nick tak akan senang
mendengarnya, tapi paling tidak Nick mempercayainya.
Lori melirik jam dinding. Sepuluh lewat tiga puluh lima.
Percuma menelepon sekarang. Hari Minggu begini biasanya Nick
bersama keluarganya mengunjungi neneknya di luar kota. Sayang iatak tahu nama belakang nenek Nick, apalagi neneknya itu dari pihak
ibu. Bayangan tentang danau dan wajah Nick bercampur baur dalam
benaknya sampai ia jatuh tertidur dan bermimpi.... Dia bersama Nick
berenang di danau di musim panas yang cerah ? Pak Harris juga ada
di sana, mengumpulkan ganggang....
*************
Hari Senin pagi, ada yang aneh di kelas kesenian Lori. Dia
merasa ada seseorang yang mengawasinya. Aneh sekali. Dia
mengangkat matanya dan mencari-cari, tapi tak seorangpun sedang
melihat kepadanya. Ia mulai gelisah. Mungkin, katanya dalam hati, ini
akibat akhir pekannya yang tak menyenangkan bersama Frank
O'Conner. Rasanya ingin sekali bicara dengan Patsy atau Ann saat itu
juga. Mereka bisa diandalkan untuk memecahkan masalahnya.
Ketika bel berbunyi, Lori menyusuri aula menuju kantin. Ada
yang aneh lagi. Stu Henderson tersenyum dan melambai padanya ?
padahal dia yakin Stu tak menyukainya. Tom Darrel juga tersenyum-
senyum padanya. Mereka juga tak pernah saling menyapa. Hey, ada
apa? Mary Ryan dan Betsy McCall benar-benar mengabaikannya. Ada
apa ini? Apa aku sudah gila?
"Yuu-huu!" Suara bernada tinggi dan tajam itu pasti milik Gina
Nichols, pemimpin cheerleader SM A Merivale. Dia menghampiri
Lori di luar kantin, Gina tersenyum lebar sekali, dari telinga kanan
sampai telinga kiri. "Aku dengar malam Minggumu menyenangkan."
Gina cekikikan. "Gimana, enak?"
Sekarang Lori menyadari apa yang terjadi. Gina Nichols tak
pernah bicara padanya ? bagaimanapun, Gina benar-benar takmenyukai Lori. "Maksudmu mengumpulkan ganggang?" Semua berita
beredar cepat sekali di SMA Merivale. Pasti.
"Kamu keterlaluan!" Gina cekikikan lagi. "Maksudku Frank.
Kamu sama dia. Kabarnya ciumannya hebat ?'tul nggak?"
Lori terpaku di tempatnya. Benarkah Gina bicara seperti itu?
Memang! Gila! "Mana aku tahu? Aku ngumpulin ganggang, bukan
ciuman!" Matanya menembus ke mata Gina, tapi cheerleader itu
bergeming.
"Ayo, Lori, ceritain dong."
Gina Nichols tidak termasuk orang yang disukai oleh Lori ?
khususnya sejak dia mengacaukan hidup Lori selama pertandingan
football antara Atwood?Merivale. Tentu saja kesetiaan Lori kepada
Merivale runtuh. Nick adalah kapten tim Cougar Atwood, dan banyak
orang ? yang dipengaruhi Gina ? menyebabkan kencannya dengan
Nick kacau.
"Maaf, aku mau makan siang sama teman-temanku," kata Lori
sesopan mungkin.
"Huh, jangan sombong begitu," Gina mendengus. "Nggak
bakalan ada cewek yang mau ngomong sama kamu setelah kamu
menginap semalaman sama cowok. Lagipula, ceritamu tentang
penelitian biologi itu nggak masuk akal, Lori."
Gina berpaling, meninggalkan Lori yang terguncang dan tetap
berdiri sendirian di aula.
Lori menyadari masalahnya ketika memasuki kantin. Ia
mendengar gumam yang berdengung dari meja ke meja. Ketika dia
memasuki pintu, semua mata langsung terarah kepadanya.Untung, Ann dan Patsy sudah mendapat meja. Tanpa ikut antri
makanan, Lori langsung menghampiri kedua temannya.
"Wow," kata Patsy penuh simpati. "Berat sekali ya, Lor ? "
"Gimana sih, kejadian sebenarnya di sana?" tanya Ann sambil
menyentuh lengan Lori dengan lembut. "Aku tahu, itu pasti cuma
gosip murahan."
Dengan perasaan kacau Lori duduk sambil memegang ujung
meja, "Memangnya mereka bilang apa, Ann?"
"Sialan si Frank O'Conner itu." Ann menggigit bibir dengan
gugup. "Pagi ini dia cerita ke orang-orang bahwa kamu menginap
sama dia ? berduaan ? di pondok orang tuanya."
"Ah, tahu sendiri kan si Cepat Frankie itu? omongannya selalu
kotor." Patsy nimbrung.
"Tapi memang begitu, aku memang menginap di sana, terpaksa.
Kami sudah berusaha turun ke kota secepatnya, tapi kata polisi jalan
ditutup karena timbunan salju tebal." Lori tergagap-gagap.
"Dia nggak ceritain bagian itu, tuh." sahut Ann serak.
"Kayaknya dia lebih sibuk menggambarkan makan malam yang
romantis di dekat perapian, dan gimana kamu melepas bajumu yang
basah."
"Apa?" jerit Lori marah. "Oooo ? dasar nafsu rendah!"
"Lori," kata Ann pelan supaya kata-katanya tak terdengar orang
lain, "Lebih baik kamu selesaikan masalah ini sama Frank ? sebelum
semua jadi runyam."
Lori berdiri, wajahnya geram dan penuh tekad. "Oke, aku mau
menemuinya sekarang."
*************"Frank O'Conner! Apa maksudmu nyebarin cerita bohong
tentang aku ke seantero sekolah?"
Frank menatapnya seakan-akan Lori mahluk Mars. "Apa? Aku
nggak ngerti maksudmu, Lori."
"Jangan menghindar, kamu cerita bahwa kita menginap di
pondok itu berduaan," desaknya.
"Wah, itu bukan salahku," protes Frank. "Mereka memaksa,
pingin tahu."
"Percaya, deh," kata Lori, matanya menatap jijik. "Berani
taruhan, kamu pasti langsung menyebarkan cerita itu ke mana-mana.
Nggak heran kalau kamu bumbu-bumbuin segala biar tambah seru.
Ngaku aja, Frank. Kamu nggak mau merusak reputasimu selama ini,
ya kan?"
"Kejadiannya enggak begitu, Lor. Sungguh."
"Oh, ya?"
"Aku udah menjelaskan kejadian sebenarnya sama anak-anak,
nggak ada kejadian apa-apa antara kita berdua."
"Kamu pikir aku percaya?"
"Tapi kan memang begitu kenyataannya?"
"Lalu kenapa cowok-cowok ngeliatin aku kayak begitu?
Termasuk anak-anak baru?"
"Pukul aku. Aku sudah ribuan kali bilang sama mereka, nggak
ada apa-apa ? nggak ada apa-apa... mau apa lagi kalau nggak ada
yang percaya!"
Lori menatap Frank, berusaha menangkap kebenaran kata-kata
Frank. Terngiang pernyataannya pada orang tuanya: "Nggak ada apa-apa ? nggak ada apa-apa..." Mereka juga susah percaya padanya ?
padahal mereka orang tuanya!
Lori sadar, bahwa makin keras mereka menyangkal berita itu,
orang-orang justru akan makin mempercayainya. Kalau ia tak
menyangkalnya...? Ia akan mati kutu.Tujuh
Di lantai empat Mall, Dannielle sibuk berbelanja, bakat
terbaiknya. Itu dilakukannya di tempat belanja terbaik?Facades,
butik terkenal di Merivale Mall. Kalau Facades tak memiliki barang-
barang bagus, ia tak akan ada di sana.
Hari Senin ini, rasanya ia butuh belanja. Untuk terapi kejiwaan.
Rasanya menyenangkan, walau hanya sekedar berjalan-jalan di tempat
yang sudah sangat dikenalnya itu. Lagipula, Facades lebih terasa
sebagai rumahnya sendiri dari pada rumah di Wood Hollow Hills yang
bersuasana panas akibat pertengkaran kedua orang tuanya. Danielle
memperhatikan setelan celana gombrong berwarna biru tua. Jelek,
nggak bagus, ia sudah punya setelan lain dengan warna itu.
Ia merasa hidupnya tertekan. Masa bodoh dengan para orang
tua ? tak perlu dipikirkan. Statusnya di sekolah benar-benar rusak!
Begitu juga kehidupan cintanya, tak peduli apa pun kesenangan
yang didapatnya dari Don James, dia tak akan menemuinya lagi.
Kencan dengan Don terlalu berbahaya.
Kalau ia bisa menemukan satu baju yang hebat ?satu saja ?
mungkin akan menolongnya melupakan akhir pekannya yang seram.
Danielle mengambil sehelai gaun beludru dari rak. Hebat, tapi


Merivale Mall 05 Korban Gosip di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lengannya terlalu gembung ? jadi jelek.Hari Minggu ini sinar matahari temaram, Danielle benar-benar
sadar bahwa Teresa dan Heather memang melihatnya kemarin.
Kenapa kejadian kayak gini menimpaku? Danielle mengeluh dan
menarik rok mini merah dari rak. Terlalu ? merah...
"Ada yang lain nggak?" pinta Danielle pada pramuniaga setelah
memegang-megang semua barang yang ada.
"Pagi ini ada kiriman sweater rajutan dari Milan," jawab
pramuniaga. "Karena Anda langganan kami..."
"Yap, saya mau lihat barangnya," perintah Danielle. "Aku cuma
mau barang yang super."
"Mau ada acara khusus, Nona Sharp?" pramuniaga itu ingin
berbasa-basi, tetapi Danielle salah mengerti.
"Itu urusanku," jawabnya, dipandangnya pramuniaga dengan
sorot mata angkuh.
Pramuniaga itu cepat-cepat mengambil sweater yang dimaksud.
Danielle berkeliling toko seperti seekor singa yang gelisah. Kemudian
dia melihat jumpsuit dari bahan suede. Ini baru hebat.
Dilihatnya label harga. Seratus delapan puluh dolar. Untuk
selembar kulit, ini sama saja dengan pemerasan. Dia sudah mendapat
uang saku, jadi tak ada masalah.
"Tunggu, saya mau coba yang ini dulu." Danielle menarik dua
jumpsuit dari rak, satu berwarna emas, satu lagi warna merah anggur.
Dia menyelinap ke ruang pas dan cepat-cepat mencoba yang berwarna
merah anggur. Rasanya kurang nyaman, tetapi dia tetap ingin melihat
penampilannya dengan baju itu.
Ketika keluar dari kamar ganti, Danielle seketika membeku di
tempatnya. Ia melihat Teresa dengan tumpukan baju yangmenggunung di salah satu tangannya. Heather Barron mengikuti
Teresa, perhiasan peraknya berdencing ketika ia menarik rambut
hitamnya ke belakang.
"Danielle! Kemana aja kamu seharian?" Biasanya, Teresa,
Heather, dan Danielle berkumpul sesering mungkin di sekolah. Hari
itu Danielle pura-pura sakit kepala, jadi bisa menghindari Heather dan
Teresa di kelas berikutnya. Kemudian ia makan sandwich di mobilnya
sehingga tak bertemu dengan teman-temannya di kantin.
Bagaimanapun, ia tak dapat terus menerus menghindar. Danielle
berdiri tegak dan tersenyum. Serangan yang baik adalah pembelaan
terbaik. "Kemana aja kamu seharian, kamu tanya begitu? Aku cari-
cari kalian waktu makan siang." Tak sulit bagi Danielle untuk
berbohong. Tetapi ia tetap merasa tak enak.
"Astaga, Danielle," Teresa tersenyum licik, "kita sering
selisihan jalan. Di sekolah, di Westview ? "
Wajah Danielle memerah. Ia membelalakkan mata hijaunya
agar kelihatan kaget. "Westview?" dia bertanya seolah-olah baru kali
ini mendengar nama itu.
"Sabtu malam ? Bold Fire ? " Teresa hampir tak dapat
menahan tawanya.
"Hah?" ulang Danielle, mati-matian mencari jalan keluar.
"Kami lihat kamu jalan sama Don James, Danielle," kata
Heather rendah.
"Aku? Sama Don James? Kamu mimpi. Ngapain aku di
Westview ? sama Don James?"
"Oh, jalan berdekatan, tertawa berdua ? " Teresa sangat
menikmati detik-detik pembantaian itu."Itu gila!"
Heather tak tahan lagi. "Udah deh, Dan. Ngaku aja. Kita kan
sobatan."
"Kalian pasti salah lihat, Don pasti jalan sama cewek lain."
"Siapa?" tantang Teresa.
"Mana aku tahu?!" dengan lagak kesal ia membuang tangannya
ke udara.
"Oke, terserah kamu," cemooh Teresa, "Kalau kamu nggak mau
terus terang, kami tanya aja langsung ke orangnya. Yuk, Heather, kita
ke Video Arcade."
Teresa melemparkan baju-baju yang dibawanya ke sebuah kursi
kosong.
Jangan. Mereka tak boleh ke sana. Tetapi mereka memang ke
sana, ke Video Arcade. Mungkin Don juga ada di sana. Danielle
dalam kesulitan besar ? dan dia harus berpikir cepat!
**********
"Lori ? itu Enchilada, bukan taco." Ernie Goldbloom, pemilik
Tio's yang bertubuh pendek gemuk dan berkepala botak itu tampak
kuatir, sudah tiga kali Lori melakukan kesalahan hari itu.
"Maaf, Ernie, biar kubereskan." Lori menarik nafas berat dan
berusaha memusatkan pikiran pada pekerjaannya di Tio's Tacos.
Heran, gosip kecil seperti itu bisa mengacaukan orang, pikir
Lori.
"Lori ? pesanan ini sudah harus diantar, kan?"
"Maaf, Isabel," gumam Lori pada Isabel Vasquez, koki kepala
restoran berusia 16 tahun itu. "Ini kantongnya.""Lori, kamu nggak apa-apa kan?" tanya Isabel hati-hati.
"Kudengar kamu dapat hukuman dua bulan dari orang tuamu, gara-
gara menginap di pondok sama Frank." Mata cokelat Isabel
menyorotkan rasa simpati.
"Apa?" jawab Lori. "Dihukum? Enggak. Orang tuaku nggak
marah besar, kok. Mereka cuma ? kecewa ? Nanti deh, aku cerita,
kalau udah agak sepi." Lori ingat bahwa ia belum menceritakan apa-
apa tentang kejadian di akhir pekannya pada Isabel. Berarti para
penggosip di Merivale benar-benar sedang sibuk.
Waktu menuju meja kasir, Lori melirik Hobart Elektronics' di
seberang, toko milik ayah Nick. Kadang-kadang ia bisa melihat
bayangan Nick kalau ia sedang berada di bagian VCR. Tapi bukan
sekarang. Dia belum ada di sana.
Bagaimana kalau dia sudah dengar gosip itu? Lori merasa
perutnya mulas. Bagaimana kalau Nick marah?
Lori melirik toko Hobart lagi dan sekarang ia melihat Nick
memasuki toko. Nick tidak tersenyum seperti biasanya, wajahnya
kesal dan dahinya ber-kerut.
"Ernie, boleh nggak istirahat sekarang?" Lori tak tahan lagi, ia
ingin bicara dengan Nick. Ia harus memberi penjelasan.
"Aduh, Lori, sebentar lagi pasti ramai, waktunya makan
malam." Tapi Ernie memang baik hati, ia tersenyum malu pada Lori.
Sifat khasnya inilah yang membuat para pegawainya betah.
"Aku harus bicara sama pacarku sebentar. Penting!" pinta Lori.
"Dasar anak-anak ? " Erni berusaha tegas, "Boleh. Lima belas
menit, oke?"
"Trims berat, Ernie," kata Lori.Lori berjalan memutari air mancur, lalu menyeberangi mall.
Beberapa anak dari SMA Merivale duduk mengobrol di sebuah
bangku batu. Benarkah mereka mengawasinya ketika ia lewat? jangan
gila, Randall! Katanya pada diri sendiri. Nick sedang membungkus
sebuah VCR di counter depan.
"Hei, Nick!" Lori berjuang agar tak terdengar cemas, tapi
melihat ekspresi wajah Nick, ia tahu bahwa pemuda itu telah
mendengar cerita tentang dirinya dan Frank.
Nick tampak berusaha keras menahan emosinya.
"Hei, Lori," sahutnya datar sambil memasang tanda obral.
"Dari tadi aku cari-cari kamu," kata Lori waktu pembeli yang
dilayani Nick pergi. Lori berdiri memandang Nick, sambil bersandar
pada counter yang memisahkan mereka.
"Aku tahu, aku juga."
"Trims, kamu baik," Nick kelihatan agak malu-malu.
"Kamu bisa istirahat sekarang nggak, jadi kita bisa ngobrol?"
Nick melambai kepada ayahnya lalu menunjuk Lori. Pak
Hobart tersenyum, melambai kembali pada mereka berdua lalu
menunjuk ke pintu. "Jangan lama-lama," teriaknya.
Tanpa berkata-kata, Nick dan Lori pergi ke tangga belakang.
Tangga ini menuju dok bawah tanah, di situlah Nick pertama kali
mengajak Lori berkencan. Tak seperti biasanya kalau lama tak
berjumpa, kali ini Nick tak menggandeng tangan Lori.
Mereka menuruni tangga. Nick menemukan sebuah peti lalu
duduk di atasnya. Lori duduk di peti di seberang Nick. Lutut mereka
hampir bersentuhan. Keduanya terdiam beberapa saat sebelum
berbicara."Gimana?" tanya Nick, mata birunya bertemu mata Lori.
"Yah, kukira kamu sudah dengar gosip norak di luaran tentang
malam Mingguku kemarin." Sorot mata Nick menandakan bahwa ia
telah mendengarnya. "Begini, Nick. Nggak ada kejadian apa-apa. Aku
nggak melakukan apa-apa di pondok itu. Sebenarnya aku nggak akan
menginap di sana kalau polisi nggak menutup jalan. Sungguh ? aku
nggak bohong ? semuanya jujur, tiada yang lain selain kejujuranku,"
Lori mengakhiri kalimatnya sambil berusaha bercanda.
Nick menatapnya penuh pengertian, ia mendengarkan kata demi
kata. "Aku nggak akan sembarangan menuduh sampai aku dengar
sendiri dari kamu," jawabnya.
"Nah, kamu sudah dengar," Lori menggigit bibirnya. "Maaf,
kalau kamu jadi sakit hati."
"Ngapain aja kamu di sana?" Suara Nick bergetar.
"Kami satu kelompok dalam praktek biologi, harus
mengumpulkan ganggang, dan batang-batang sialan sejenis itu. Aku
sudah berusaha memberi tahu kamu lewat telepon...."
Nick terdiam.
"Aku heran sekali sama Frank O'Conner," tambah Lori
bersungut- sungut. "Dia cowok paling brengsek di dunia." Lori
memandang Nick dan air matanya menetes. Sadarkah Frank, berapa
orang yang disakitinya dengan gosip murahan itu, pikir Lori.
"Begini, Lor," akhirnya Nick bicara, diraihnya tangan Lori.
"Kalau gosip itu makin santer, biarin aja, kebenaran adalah
segalanya."
Lori memandang kekasihnya dan luluh seketika. Nick percaya,
Nick percaya padanya ? begitu sederhana dan lugu. Bagi Frank,reputasi lebih baik dari pada kebenaran. Tapi bagi Nick, kebenaran
adalah segalanya.
Lori bersandar pada Nick dan menciumnya dengan penuh
perasaan. Sesudah itu diusapnya rambut Nick yang berwarna kuning
kecokelatan. "Kamu cowok terbaik," bisiknya di telinga Nick. "Yang
paling baik."
"Trims," jawab Nick, wajahnya berubah tenang dan ia
tersenyum. "Kamu juga. Sekarang lupain saja semua gosip sialan itu.
Mau nggak jalan-jalan habis kerja nanti?"
"Pasti!"
"Kita ke O'Burgers lalu putar-putar naik mobil, oke?"
"Setuju!"
Waktu kembali ke atas, Lori bernafas lega. Mungkin semua
akan beres. Tapi ia tetap tak bisa menghilangkan kekesalannya pada
Frank O'Conner ? juga gosip kotor yang mengguncang Merivale itu!Delapan
Dengan telapak tangan basah oleh keringat, Danielle celingukan
di pintu Facades. Tampak Teresa dan Heather tergesa-gesa menuju lift
kaca. Danielle berharap mereka tak akan mencapai lift, tapi dia tahu ia
tak akan seberuntung itu. Ia harus melakukan sesuatu, hanya ada
waktu beberapa detik.
Untung, otaknya bekerja cepat, apalagi kalau ditantang Teresa.
Dengan gugup dicarinya jalan keluar. Ia melihat tulisan TANGGA
DARURAT di sebuah pintu. Tanpa ragu sedikitpun ia melesat ke
sana.
"Nona Sharp! jump suit-nya!" pramuniaga toko mengikutinya
ke koridor. Ia masih memakai jump suit merah anggur tadi. Danielle
menarik label harga, lalu melemparkannya ke pramuniaga sambil
berteriak, "Tagih ke rekening saya, titip barang-barang saya dulu."
Sambil menahan nafas, ia lari menuruni tangga ? tiga undakan
sekaligus ? rambutnya yang indah melambai-lambai. Hanya satu
yang dipikirnya ? mendahului Teresa dan Heather ke Video Arcade,
kalau tidak ? hidupnya di Atwood akan berantakan. Otot-ototnya
menegang waktu melihat angka 1 besar berwarna merah pada pintu
abu-abu. Dibukanya pintu itu dan menghambur melintasi Mall. Ia
menubruk seorang wanita tua waktu lari ke Video Arcade.Ditelitinya seluruh ruangan, Heather maupun Teresa tidak ada
Walet Emas Perak 7 Pendekar Kembar 14 Rahasia Dedengkot Iblis Muridku Macho 1
^