Pencarian

Pahala Dan Murka 2

Pahala Dan Murka Karya Liang Ie Shen Bagian 2


Pui Keng tambah getol, ia minta Beng Ki ikut minum pula
beberapa cawan besar, sesudah itu baru ia perintahkan pasukannya
melanjutkan perjalanan.
Tidak lama kemudian mereka sampai pada jalan yang kedua
sampingnya adalah lereng bukit, tempat ini terkenal sebagai tempat
berbahaya, di atas' gunung banyak binatang dan burung, karena
kedatangan rombongan orang besar, binatang itu sama kabur jauh
jauh.
"Tempat ini kelihatan berbahaya, mungkin menjadi sarang
penjahat," ujar Beng Ki dengan takut.
"Jika ada kawanan penjahat berani muncul, itu berarti mereka
mencari kematian sendiri!" kata Pui Keng dengan bergelak tertawa.
"Apa Hengtai merasa takut?"
"Memang sebenarnya aku rada takut," sahut Beng Ki dengan
tertawa kikuk.Pahala dan Murka - 2 25
"Haha, kau lupa sedang berjalan bersama kami," kata Pui Keng
sambil mengakak. "Jika betul nanti ada penjahat, bisa berbuat apa
dengan gendewaku ini?"
Dalam keadaan sinting ia lantas minta, "Coba kasih lihat barang
mainanmu itu!"
Beng Ki tidak menolak, ia angsurkan gendewanya yang diminta.
"Jangan Taijin tertawai!" katanya sembari tersenyum.
Pui Keng pegang geridewa yang berwarna kehitam-hitaman itu,
segera ia rasakan bobot gendewa ini sangat berat, mau-tak-mau ia
terperanjat juga.
"Dibuat dari apakah ini?'" begitulah ia bergumam.
Ia coba menariknya dengan kuat, akan tetapi ternyata tidak
bergerak sedikit pun tali gendewa itu.
Harus diketahui Pui Keng sudah biasa mementang gendewa
besar, kedua lengannya memang bertenaga lima ratus kati, akan
tetapi tarikannya tidak mampu bikin bergerak gendewa itu, seketika
ia menjadi jengah hingga mukanya berubah merah, dalam keadaan
terkejut tercampur malu, rasa sintingnya pun tersadar sebagian.
"Kau, kau....." ia bergumam lagi dengan tak terang,
Akan tetapi Beng Ki keburu ambil kembali gendewa hitamnya
dan berkata, "Mungkin Taijin terlalu banyak minum arak hingga
tenaga tak dapat dikeluarkan seluruhnya, maaf, kumohon lihat juga
gendewa pusaka Taijin."
Dengan ragu dan terkejut, Pui Keng angsurkan gendewanya.
Gendewa baja Pui Keng memang berukuran besar, akan tetapi
siucai ini segera menarik dengan ringan saja, ia pentang gendewa
baja ini bulat-bulat.Pahala dan Murka - 2 26
"Memang gendewa bagus!" begitulah di mulut ia memuji. Tetapi
ketika ia tambahi tenaga tarikannya, tiba-tiba terdengar suara
peletak, gendewa itu tahu-tahu patah menjadi dua.
Saat itu rasa sinting Pui Keng sudah lenyap seluruhnya saking
kagetnya.
"Siapa kau sebenarnya?" bentaknya.
Akan tetapi Siucai itu tidak menjawab, ia banting gendewa patah
itu ke tanah, lalu mendongak dan bergelak tertawa, kemudian
mendadak ia tarik tali kudanya, serentak kuda yang kecil kurus itu
berlari secepat terbang dan kabur pergi.
"Lepaskan panah!" teriak Pui Keng memberi perintah.
Namun terlambat, anak panah tak bisa lagi mencapai
sasarannya.
Pada waktu itu juga mendadak terdengar suara suitan ramai
berulang, berbareng itu dari balik belukar di lereng bukit
menerobos keluar kawanan penjahat dari berbagai penjuru. Sedang
Beng Ki pun mendadak putar balik kudanya sambil tertawa lebar.
"Haha, kepandaianmu memanah tidak lebih hanya begitu saja.
Kami inilah perampok yang hendak membegal harta bendamu, apa
kau masih ingin coba-coba mengukur tenaga denganku?" seru Beng
Ki mengejek.
Dalam pada itu Pui Keng sudah jemput kembali gendewanya,
namun senjatanya kini sudah patah, tidak mungkin bisa
dipergunakan lagi, akan tetapi ia masih terus membentak-bentak
dan berusaha mempertahankan barisan prajurit agar tidak kacau.
Sementara itu di tengah suara bergelak tertawa terdengar suara
tali gendewa dipantang dan dilepaskan pula.
"Ini biar kaukenal kelihaianku!" terdengar Beng Ki berseru.Pahala dan Murka - 2 27
Menyusul mana sebuah anak panah laksana bintang meluncur
cepatnya mcnyambar tiba dengan membawa desir angin tajam,
tanpa ampun lagi perwira pembantu yang paling depan tertembus
batang lehernya, dengan menjerit ngeri perwira itu terguling dari
atas kudanya.
Ketika terdengar pula suara suitan Beng Ki yang panjang,
kembali gendewa berbunyi, perwira pembantu yang kedua juga
tertembus panah dari hulu hati sampai ke punggung.
Nampak kejadian itu, keruan para prajurit menjadi ketakutan,
dengan berteriak ramai mereka berlari kalang kabut.
"Ini rasakan panahku juga!" terdengar Beng Ki berseru pula.
Akan tetapi Pui Keng yang masih memegang gendewa patah
keburu menyampuk anak panah yang menyambarnya itu,
terdengar suara "peletak" yang keras karena beradunya anak panah
dengan gendewa baja hingga memercikkan lelatu api.
Namun segera gendewa berbunyi pula, secepat kilat anak panah
yang kedua kembali menyambar lagi ke mukanya, untuk
menyampok terang tidak keburu, lekas Pui Keng berusaha
menyelamatkan diri, ia jatuhkan diri dari atas kuda, anak panah itu
beberapa senti saja menyambar lewat di atas kepalanya,
"Mati aku kali ini!" keluh Pui Keng.
Namun dinanti-nanti anak panah aetiga ternyata tidak kunjung
tiba.
"Kau mampu menghindarkan dua panahku, terhitung juga lelaki
gagah, biar kuampuni jiwamu!" begitulah terdengar seruan Beng Ki
dengan gelak tertawanya.
Di tengah suara suitan yang bersahutan keadaan makin gaduh,
ternyata dari atas bukit batu besar dijelindingkan hingga jalananPahala dan Murka - 2 28
tersumbat buntu, menyusul mana sekawanan penjahat menerobos
keluar lagi.
Melihat keadaan berbahaya, lekas Pui Keng berguling ke bawah
tanpa pikir, dengan mati-matian ia menggelinding ke bawah lereng
bukit, ia dengar angin sambaran anak panah yang bertebaran di
udara, namun tiada satu pun melukainya.
Setelah Pui Keng berguling ke bawah lembah bukit, ia mendekam
di antara semak-semak, di atas tadi masih terdengar suara teriakan
orang dan ringkik kuda, keadaan ini selang setengah jam kemudian
baru mulai sepi, suara derapan kaki kuda yang riuh makin lama
makin jauh.
Kemudian waktu Pui Keng menongolkan kepalanya, sementara
itu sang dewi malam sudah menampakkan dirinya, sekeliling tiada
seorang pun , yang terdengar hanya bunyi serangga yang
bersahutan, hawa dingin di malam hari pun cukup merasuk tulang.
Pui Keng berusaha merangkak naik ke atas, di bawah sinar
rembulan muda yang remang-remang ia lihat mayat kedua perwira
pembantunya menggeletak di pinggir jalan, sedang yang lain-lain
satu pun tidak kelihatan,
Pui Keng terkejut, ia pikir tentu prajurit yang kubawa telah
ditawan semuanya. Ia coba memandang jauh ke sana, namun tiada
satn pun bayangan kawanan penjahat yang kelihatan.
Setelah rasa terkejutnya rada tentram kembali, menyusul ia
lantas berduka, ia telah menghilangkan empat ratus ribu tahil perak
yang menjadi tanggung jawabnya, perkara ini tidak enteng,
sedikitnya ia bisa dihukum mati.
Dalam keadan bingung Pui Keng hanya bisa garuk-garuk kepala,
hendak menangis, tapi tiada air mata.Pahala dan Murka - 2 29
''Mengapa kawanan perampok tadi tidak sekalian bunuh aku
saja, kan lebih baik dari pada sekarang!" demikian ia pikir.
Dengan termenung ia duduk di tepi jalan, ia kehilangan akal.
Sang dewi malam lambat laun sudah menghiasi tengah angkasa,
sesudah ia pikir pergi-datang, ia yakin akhirnya pasti tidak terluput
dari kematian, ia menghela napas sedih. Tiba-tiba ia dapat meraba
seutas tali kendali kuda, tanpa pikir lagi ia jiratkan ke leher sendiri
dan ujung yang lain ia ikat pada dahan pohon, nyata ia berniat
gantung diri.
Maka selang tak lama tubuhnya sudah tergantung, jiratan tali
makin lama pun semakin kencang, Pui Keng merasa dada merasa
sesak, napas buntu, kepala bukan main sakitnya seakan-akan
hendak pecah, rasanya sungguh menderita sekali.
Dalam keadaan demikian Pui Keng masih sempat berpikir,
"Sialan, jika sejak tadi tahu rasanya gantung diri begini menderita,
lebih baik terjun ke sungai saja."
Padahal di daerah utara yang beku pada waktu itu, terjun kc
sungai pun sama tidak enaknya
Pui Keng menggantung diri karena terpaksa, dalam hati
sebenarnya tidak ingin mati. Sementara itu jiratan tali sudah makin
kencang, aliran darah dalam tubuhnya bergerak cepat, ia tambah
menderita, kini ingin berteriak pun tidak bisa bersuara lagi, ia hanya
merasakan bayangan hitam di depan matanya makin lama semakin
lebar, tampaknya dengan segera jiwanya akan melayang.
Pada saat terakhir itulah tiba-tiba ia rasakan tubuhnya menjadi
enteng, seperti diangkat orang, kemudian dengan pelahan
diletakkan ke tanah. Pelahan Pui Keng mulai bisa bernapas kembali.Pahala dan Murka - 2 30
Sejenak kemudian, ketika ia pentang matanya, terlihatlah
olehnya seorang pemuda berpakaian dari kain kasar sedang berdiri
di sampingnya dan lagi tersenyum padanya.
"Untuk apa kau tolong aku??? kata Pui Keng sambil menghela
napas panjang.
"Mana boleh melihat orang hendak mati tanpa menolong?" sahut
pemuda itu dengan tertawa,
Walau Pui Keng telah mendapatkan nyawanya kembali, tetapi
bila teringat hukuman apa yang akan diterimanya nanti, ia menjadi
putus asa lagi dan ingin cari mati saja.
''Sudahlah, apapun jadinya aku tetap akan mati juga, ingin
kautolong pun tak bisa menolong terus menerus padaku," katanya
sembari melepaskan tangan si pemuda yang masih memegangi
bahunya.
"Sebab apa kaubunuh diri? Coba ceritakan padaku!? tanya si
pemuda. Berbareng ia pegang lebih erat sehingga Pui Keng tak
mampu berkutik.
Dengan gemas Pui Keng mengentak kaki.
"Jangan kaarintangi aku, kuceritakan pun tiada gunanya,"
ujarnya,
"Melihat corakmu rupanya kau seorang perwira pasukan
pemerintah," kata si pemuda sambil mendadak mengendurkan
pegangannya. "Ah, tahulah aku, tentu kau yang mengawal catu
tentara itu dan telah dirampok oleh kawanan bandit, oleh sebab itu
kau bosan hidup dan ingin mati!"
Mendengar kata-kata orang ini, seketika. Pui Keng melonjak
bangun.
"Dari mana kautahu?" tanyanya.Pahala dan Murka - 2 31
"Kalian biasa mengawal catu tentara ini setiapa tahun tentu
lewat tempat ini dua kali, dan tiap-tiap kali keadaan tempat ini pasti
menjadi kacau-balau, siapa lagi yang tidak tahu hal ini??? sahut si
pemuda.
"Kalau sudah tahu, seharusnya tidak perlu kautanya lagi," ujar
Pui Keng sambil tertawa getir.
Pemuda itu tidak pedulikan kata-katanya, ia bicara pula, "Meski
kalian selalu bikin kacau hingga keadaan setempat tidak aman,
tetapi apapun juga kalian mengawal catu untuk tentara yang
menjaga benteng perbatasan, jika tiada penjagaan tentara di sana,
mungkin pasukan asing akan menyerbu masuk, oleh karena itu
lebih baik jangan kaucari mati!"
Heran Pui Keng oleh penuturan orang ini, sekali tangan
bergerak, segera ia bermaksud jambret orang, akan tetapi ia
menubruk tempat kosong.
"Kauman apa?" tanya si pemuda.
"Siapa kau?" bentak Pui Keng, "dari mana kautahu catu tentara
dirampok?"
"Aku adalah penduduk tempat ini, semalam ada segerombolan
kawanan bandit menggiring banyak sekali keledai, bahkan banyak
pula prajurit yang ditawan, mereka melalui depan rumahku terus
menuju ke pegunungan, aku bukan orang tolol, melihat keadaan
begitu kan dapat kuterka apa yang terjadi?" jawab pemuda itu.
"Tahukah kau di mana sarang kawanan bandit itu?" tanya Pui
Keng.
"Aku bukan anggota kawanan bandit itu, dari mana kutahu?"
sahut si pemuda pula.Pahala dan Murka - 2 32
Pui Keng tertegun, pikirnya. "Sekalipun kutahu letak sarang
kawanan bandit itu, tetapi apa yang bisa kuperbuat?"
Karena itu, ia lantas berteriak-teriak hendak cari mampus lagi.
Lihat kelakuan orang, pemuda itu menjadi
geli.
"Jika harta benda yang kaukawal itu bisa diketemukan, tentu
engkau takkan cari mati bukan?" tiba-tiba ia tanya. "Cari kembali
harta itu lebih baik daripada cari mati, Nah, lebih baik kaupergi
mencari kembali harta itu saja!"
Pikiran Pui Keng jadi tergerak, batinnya,
"Aku biasa pentang gendewa yang berkekuatan lima ratus kati,
tenagaku jauh di atas orang lain, tetapi tadi hanya dipegang begitu
saja olehnya dengan pelahan, sedikit pun aku tak mampu berkutik,
tentu pemuda ini bukan sembarang orang!"
Setelah mengalami peristiwa kemarin, sifat Pui Keng yang
sombong sudah banyak berkurang, ia sudah tahu bahwa di atas
langit masih ada langit, di atas orang pandai masih ada yang lebih
pandai.
Bila rejeki tiba, orang bodoh pun segera berubah jadi cerdik,
cepat ia mem'seri hormat kepada orang.
"Aku Pui Keng memang tak becus dan tidak bisa melawan kepala
bandit itu, maka dengan sangat kumohon Hiapsu (pendekar) suka
turun tangan menolong jiwaku," demikian ia memohon.
"Mana aku kausebut Hiapsu segala, aku hanya orang gunung
biasa belaka," sahut si pemuda dengan gelak tertawa. Jika
perkataanmu tadi didengar kawan sekampung kami, mungkin kau
akan, ditertawai hingga gigi mereka copot!"Pahala dan Murka - 2 33
Pui Keng merasa kecewa atas jawaban ini, selagi ia hendak
memohon lagi, didengarnya pemuda itu telah buka suara pula.
"Melihat rupamu yang kasihan ini, sudahlah, biar kutunjukan
jalan terang bagimu!"
Pui Keng jadi kegirangan.
"Silakan Hengtai membcri petunjuk," sambutnya segera.
"Meski aku tidak bisa menolong kau, tetapi ada seorang kosen
yang tinggal tidak jauh dari sini, jika dapat kauperoleh kesanggupan
orang kosen ini, catu tentara yang sudah hilang itu pasti dapat
diketemukan kembali." pemuda itu menerangkan.
"Siapakah nama dan she orang kosen itu? Di mana tempat
tinggalnya? Mohon Hengtai memberi petunjuk!" tanya Pui Keng tak
sabar.
"Tabiat orang kosen ini sangat aneh, jika kau berani cari tahu


Pahala Dan Murka Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

namanya, nyawamu bisa melayang," tutur si pemuda.
Pui Keng terperanjat.
Kalau begitu, baiklah aku tidak mencari tahu namanya," ujarnya
cepat. "Mohon Hengtai suka mengantarku buat menemuinya."
?Apa kaukira begini gampang mohon bertemu padanya?"
"Lalu cara bagaimana memohonnya?"
Si pemuda tersenyum, mendadak ia ambil tali yang hendak
dibuat gantung diri oleh Pui Keng tadi
"Kau harus cari mati sekali lagi!" katanya kemudian.
"Apa katamu?" tanya Pui Keng dengan kagot, ia tidak percaya
atas pendengaran sendiri.
"Aku bilang kau harus cari mati sekali lagi," pemuda itu
mengulangi. "Besok pagi-pagi boleh kau berangkat dari sini danPahala dan Murka - 2 34
masuk ke lembah gunung sana, berjalanlah menuju ke jurusan
barat kira-kira sejauh tujuh-delapan li, di sana akan kaulihat hutan
Tho dan banyak tanaman bunga, tempat itu disebut ?Ouw-tiap-kok?
(lembah kupu-kupu). Di belakang hutan Tho itu ada sebuah rumah
mungil, orang kosen itu tinggal di rumah ini. Tetapi jangan kau
langsung menuju kesana buat mohon pertolongan. Ingat, di depan
hutan Tho ada sepotong batu padas besar berwarna merah yang
gampang sekali dikenali. Kau harus sembunyi di sela-sela antara
batu padas itu pada sebelum tang surya terbit. Jangan kaukeluar
dari sana sekalipun kau melihat seseorang, harus kau tunggu dulu
sampai sinar sang surya persis menyorot masuk ke sela-sela batu
itu baru boleh kau keluar, lalu pilih salah satu pohon Tho dan
lakukan caramu menggantung diri tadi, maka orang kosen itu akan
segera datang menolongmu. Sewaktu kaugantung diri sekali-kali
tidak boleh kelihatan pura-pura, kau harus pakai ikatan tali mati,
pendekya harus kaulakukan sama seperti caramu menjirat lehermu
tadi, hari ini harus kauingat belul-belul. Nanti bila orang kosen itu
tanya padamu sekali-kali jangan kaubilang ada orang yang memberi
petunjuk padamu."
Mendengar petunjuk-petunjuk itu, Pui Keng jadi sangsi dan tak
berani ambil keputusan.
"Bisa tidak kauselamatkan nyawamu, semua bergantung
rejekimu," terdengar pemuda itu berkata pula dengan tertawa.
"Baiklah, sekarang boleh tidur dulu, aku hendak pergi saja."
Nanti dulu!" seru Pui Keng cepat. Akan tetapi mana bisa
menahannya, dalam sekejap saja si pemuda sudah menghilang.
"Apapun toh aku akan mati juga, meski apa yang dikatakan si
pemuda tadi rada aneh namun tiada alangannya kucoba,'? demikian
Pui Keng membatin.Pahala dan Murka - 2 35
Meski sesungguhnya ia sangat mengantuk, tetapi karena ada
urusan, ia tak berani tidur, ia hanya mnegantuk sebentar, melihat
sang dewi malam sudah silam ke barat, segera ia berangkat, ia
menyusur ke lembah gunung, beberapa li ia menuju ke jurusan
barat, dilihatnya sisa bintang sudah lenyap, fajar pun menyingsing.
Pui Keng meneruskan lagi satu-dua li, sementara itu langit
sebelah timur sudah mulai terang, tiba-tiba ia mencium bau harum
semerbak, semangatnya terbangkit, ketika ia memandang ke sana,
betul juga di depan tertampak hutan Tho, di antara pohon Tho itu
tercampur pula tetumbuhan bunga yang tak dikenal namanya, ada
yang berwarna merah dan ada pula yang putih, indah sekali lautan
bunga ini seperti gumpalan awan berwarna.
Kemudian dilihatnya juga di depan hutan ada sepotong batu
padas besar, warnanya merah membara, tinggi batu ini kira-kira
melebihi tiga orang berdiri, di tengah batu padas ini terdapat
belahan celah-celah yang cukup untuk bersembunyi satu orang.
Setelah Pui Keng bersembunyi di tengah sela-sela batu itu,
hatinya berdebar-debar! matanya terbuka lebar, ia mengincar
keluar dari sela-sela batu itu untuk menantikan penemuan aneh!
Ia menunggu dan'menunggu pula, tetapi masih belum terlihat
ada sesuatu kejadian.
Setelah menunggu lagi sekian lama, tiba-tiba ada cahaya terang,
ia mengintai dari sela-sela batu dan dapat melihat sinar dari lanut,
tidak lama kemudian, sinar perak dalam awan memancar, udara di
sebelah timur yang tadinya remang-remang kini mulai berubah
menjadi merah, sang surya yang merah membara seperti sebuah
bola api besar mendadak muncul dari balik kabut pagi, pancaran
sinar yang beraneka warna segera memenuhi langit, mega yang
tersorot sinar dan terpantul balik makin menambah keindahan
alam yang sukar dilukiskan!Pahala dan Murka - 2 36
Dalam pada itu entah darimana ditangnya, banyak sekali kupu-
kupu yang beraneka warna beterbangan menggerombol di atas
pohon Tho dan menyusuri bunga, sekalipun Pui Keng adalah
seorang kasar yang hanya mcngerti ilmu silat, tidak urung ia
tertarik juga dan terpesona.
Selang tak lama sinar sang surya sudah menyorot masuk hutan,
tiba-tiba mata Pui Keng terbeliak lagi, entah dari mana munculnya,
mendadak dilihatnya di antara lautan bunga itu telah bertambah
dengan seorang gadis jelita, pakaiannya putih mulus dan melambai-
lambai tertiup angin pagi, cantik dan manis sekali gadis ini laksana
dewi kayangan!
Muka si gadis menghadap sinar matahari, terlihat ia
membungkuk dan menjulur tangan membuat beberapa gerakan,
habis itu mendadak ia berlari-lari mengitari pohon, makin lama
makin cepat larinya, saking cepatnya sampai Pui Keng dibikin kabur
pandangannya, meski tubuhnya menyelip di sela-sela batu, namun
ia seperti hendak ikut berputar bersama si gadis.
Selagi Pui Keng merasakan kepala puyeng, sekonyong-konyong
gadis itu berhenti, dengan pelahan gadis itu menggeliat, lalu
mendadak ia melompat ke atas pucuk pohon, dari pucuk pohon ini
kemudian melompat ke pucuk pohon yang lain dengan enteng sekali
laksana burung terbang dan segesit kera.
Sekali pun si gadis berlompatan di atas pohon-pohon Tho,
namun bunga Tho yang penuh bertumbuh itu setangkai saja tiada
yang rontok.
Keruan mulut Pui Keng ternganga dan mata terbelalak saking
kagumnya atas kepandaian orang yang luar biasa ini, pikirnya,
"Apakah mungkin orang kosen yang dikatakan pemuda itu ialah
gadis jelita ini?"Pahala dan Murka - 2 37
Waktu ia pandang lagi, sementara itu si gadis sudah melompat
turun dari atas pohon, gadis ini sedang berlenggang melambaikan
lengan bajunya yang panjang seperti dewi kayangan yang sedang
menari.
Selang tak lama lagi, tiba-tiba tertampak dahan pohon sedikit
tergetar seperti hembusan angin lembut, lalu bunga Tho dari atas
pohon rontok berhambaran, menyusul terdengar gadis itu tertawa
panjang sambil mengayun lengan bajunya, ternyata bunga rontok
itu telah tergulung semua ke dalam lengan bajunya, Sesudah itu
dengan tenang ia bersandar pada batang pohon dengan senyuman
manis di bibir dan mata mengerling dengan gaya yang
menggiurkan!
Pui Keng terpesona, pikirnya, "Sungguh tidak nyana di jagat ini
ada gadis secantik ini, bunga tho yang indah pun tenggelam tak
berarti lagi oleh kecantikannya."
Tidak lama rombongan kupu-kupu yang tadi terbang pergi
karena terkejut oleh gerak tubuh si gadis, kini terbang kembali kian
kemari mengerumuni bunga-bunga indah itu.
Mendadak tertampak si gadis mengebaskan kedua lengan
bajunya, bunga tho berhamburan dari dalam lengan baju dan
terdengar suara mencicit yang aneh berulang-ulang. kemudian
berjatuhanlah kupu-kupu itu berserakan memenuhi tanah.
Sekali ini kejut Pui Keng melebihi tadi, sungguh tidak pernah
dilihatnya sejak dulu hingga sekarang bahwa bunga tho bisa
digunakan sebagai senjata rahasia! Iapun merasa sayang bagi kupu-
kupu yang bagus itu, pikirnya kupu-kupu menari dan memetik sari
bunga adalah pemandangan yang indah, kini kupu-kupu itu dibikin
mati, sungguh rada keterlaluan!Pahala dan Murka - 2 38
Akan tetapi di luar dugaannya, dalam sekejap saja kupu-kupu
telah berserakan ke tanah tadi tiba-tiba membentang sayap dan
terbang kembali.
"Haha, kupu-kupu! Kalian tentu terkejut, baiklah aku tidak bikin
susah kalian lagi!" terdengar si gadis bergumam dengan tertawa.
Lalu pelahan ia jalan menyusuri semak-semak tanaman bunga
itu dan masuk ke dalam rumah kecil di balik hutan Tho.
Pui Keng menarik napas lega setelah orang pergi, tetapi tiba-tiba
ia rasakan sinar matahari menyilaukan mata, ternyata sinar sang
betara surya sudah menembus masuk ke sela-sela batu.
Pui Keng terheran-heran, ia pikir perhitungan si pemuda
sungguh lepat sekali, baru saja gadis tadi masuk ke rumah, saat ini
juga sinar matahari lantas menembus masuk ke sela-sela batu ini.
Dalam keadaan demikian, keinginan hidup dan perasaan heran
bercampur aduk dalam hati Pui Keng, lekas ia keluar dari sela-sela
batu itu, ia ambil tali yang dibawanya, ia jeratkan ke leher dengan
ikat tali pati, ia gantung dirinya di atas pohon.
Keruan dalam sekejap saja jeratan tali itu jadi mengencang,
napasnya mulai sesak, rasanya tidak enak sekali, mata Pui Keng
sudah mendelik, namun si gadis yang diharap-harapkan ternyata
belum keluar buat menolongnya.
Sebenarnya Pui Keng ingin berteriak, tetapi tak bisa bersuara
lagi, jeratan tali pun semakin erat, ia rasakan matanya mulai
berkunang-kunang, bumi dirasakan seperti berputar dan langit
terbalik, namun di hutan Tho ini masih tetap sunyi senyap tanpa
sesosok bayangan manusia pun.
Pui Keng jadi menyesal, ia membatin, "Jangan-jangan pemuda
itu sengaja mempermainkan diriku supaya aku merasakan lagi
penderitaan jeratan tali!"Pahala dan Murka - 2 39
Saking tak tahan akhirnya kaki Pui Keng memancal dan
menendang serabutan hingga bunga di atas pohon terguncang
rontok semua. Makin ia meronta jeratan tali pun semakin kencang,
maka akhirnya pandangan Pui Keng menjadi gelap, ingatan pelahan
pun kabur.
Pada detik terakhir itulah tiba-tiba ia rasakan ada orang
mengebut pelahan tubuhnya,
tali gantung pun putus seperti kena digunting oleh sebuah
gunting tajam, maka pernapasannya segera lancar kembali.
Mulut Pui Keng terbuka, tapi tak mampu mengucapkan sepatah
kata pun, kiranya ia megap-megap oleh karena jeratan tali yarig
terlalu kencang tadi.
Selang sejenak, pelahan tenaga Pui Keng mulai pulih, ketika ia
pentang mata, terlihat seorang berdiri di depannya, siapa lagi kalau
bukan si gadis jelita yang dilihatnya tadi.
Dengan suara rendah Pei Keng mengucapkan terima kasih atas
pertolongan orang, akan tetapi sinar mata gadis itu seperti senjata
tajam sedang menatapnya.
"He, kauperwira ini mengapa cari mampus di sini?" tegur si
gadis.
Cepat Pui Keng bertekus lutut dan menyembah, ia memaparkan
tentang kehilangan empat ratus ribu tahil perak catu tentara, kalau
harus dihukum menurut peraturan militer, tentu akan dihukum
mati.
Atas penuturan ini, si gadis berkerut kening, tiba-tiba ia
mengebaskan lengan bajunya sambil berkata, "Urusan ini aku tidak
ikut campur!"Pahala dan Murka - 2 40
Pui Keng menjadi gugup, cepat ia memburu maju dan menarik
ujung kun (gaun), orang, akan tetapi mana ia mampu menahan
orang, si gadis lantas bertindak pergi.
"Tolonglah, aku masih punya ibu yang sudah tua dan ada anak
kecil, kalau nona tak peduli, dunia ini pasti akan bertambah tiga
setan penasaran!" Pui Keng memohon dengan suara serak dan
hampir menangis.
"Apa betul katamu?" tiba-tiba si gadis berpaling pelahan.
"Jika aku bohong, biar aku tersiksa sekali lagi oleh jeratan tali!"
sahut Pui Keng cepat.
Lalu tertampak air muka si gadis berubah.
"Aku memang harus mencari mereka, baiklah, sekali ini aku ikut
campur urusanmu," demikian ia bergumam.
Pui Kengjadi girang, cepat ia menyembah pula dan mengucapkan
terima kasih.
"Aku bukan orang mati, buat apa kau menyembah padaku?"
omel si gadis. "Hm, tadi kau bilang tersiksa sekali lagi oleh jiratan
tali? Hm, siapakah sebenarnya yang suruh kau datang memohon
pertolonganku?"
"Tidak, tidak ada," sahut Pui Keng gugup.
"Sudah berapa kali kau menggantung diri?" tanya gadis itu.
"Hanya .... hanya sekali ini, nona," jawab Pui Keng.
Si gadis terdiam sejenak, tiba-tiba ia tertawa.
Padahal berapa kali kaugantung diripun tidak kupeduli. Tetapi
sekali kubilang mau menolongmu, biarpun ada orang yang suruh
kau ke sini, tetap akan kutolong kau sampai selesainya urusan! Eh,Pahala dan Murka - 2 41
gantung diri bukan permainan yang enak, lain kali jangan kau coba-
coba lagi!"
(Bersambung Jilid ke 3)Pahala dan Murka - 3 0Pahala dan Murka - 3 1
PAHALA DAN MURKA
Oleh : gan k.l.
Jilid ke 3
ADAHAL berapa kali kaugantung diri pun tidak
kupeduli. Tetapi sekali kubilang mau menolongmu, biar
pun ada orang yang suruh kau ke sini, tetap kutolong
kau sampai selesainya urusan! Eh. gantung diri bukan permainan
yang enak, lain kali jangan kaucoba-coba lagi!"
Usia gadis ini paling banyak baru 16-17 tahun, pada waktu bicara
dan tersenyum wajahnya kelihatan masih kekanak-kanakan, maka
diam-diam Pui Keng berbalik kuatir kalau-kalau gadis yang masih
muda belia ini tidak sanggup melawan kawanan berandal itu.
"Baiklah, mari ikut aku!" terdengar gadil itu bersuara lagi.
Pui Keng menurut, ia ikut si gadis masuk ke rumah kecil di balik
hutan itu.
"Tentu kau sudah lapar, bolah kautangsal perutmu dulu dengan
sedikit daging macan panggang!" kata pula anak dara itu.
Ketika Pui Keng memandang ke sana, tertampaklah di pojok
ruangan menggeletak seekor harimau kumbang besar. Keruan ia
terkejut.
"Ini macan tak bernyawa, apa yang perlu ditakuti ??" anak dara
itu tertawa. "Apa kau bisa mengupas kulit macan?"
"Pernah aku melihat pemburu mengupas," sahut Pui Keng.
"Baik, kalau begitu kerjakanlah," kata gadis itu, "Melihat
tenagamu memancal dan menendang pohon tadi, harimau seberat
tiga ratus kati ini tentu mampu kau jungkirkan."Pahala dan Murka - 3 2
Mendengar ucapan ini, kembali Pui Keng terkejut, anak gadis
membunuh macan sudah merupakan kejadian aneh, kini hanya
sekali pandang saja orang mengetahui betapa besar tenaganya
sungguh seperti seorang ahli saja.
Setelah makan daging macan panggang, waktu sudah dekat
lohor, si gadis menurunkan sebatang pedang deri gantungannya di
dinding.
"Ikut aku," katanya, "mari kita pergi mencari kawanan bandit
untuk minta kembali empat ratus ribu tahil perak itu."
Pui Keng mengikut di belakang anak dara itu, mereka mendaki


Pahala Dan Murka Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bukit dari lembah tempat mereka berada tadi terus memasuki hutan
lebat di daerah pegunungan luas, setelah lebih satu jam mereka
berjalan, tertampaklah dua puncak bukit berdiri tegak berhadapan,
di bawah puncak itu terdapat tebing yang curam, di bawah tebing
terdapat sebuah gua batu, di depan gua itu sebaliknya adalah tanah
lapang.
"Tempat inilah mungkin tempat kawanan bandit itu
menyembunyikan hartanya," ujar si gadis.
Lalu dengan langkah lebar ia maju terus ke sana.
"Berhenti!" tiba-tiba terdengar suara bentakan dari semak-
semak sana. Habis itu mendadak melompat keluar dua orang laki-
laki, dengan pentung mereka lantas mengemplang dengan cepat
luar biasa!
Tetapi dengan gampang saja serangan ini dapat dielakkan si
gadis dengan berputar, kedua pentung tadi mengenai tempat
kosong, menyusul si gadi mengebaskan lengan bajunya karena
terlalu nafsu menyerang, kedua laki-laki itu tak sempat menahan
diri, di tambah pula terbawa oleh tenaga kebutan lengan baju, kedua
orang itu terbanting roboh.Pahala dan Murka - 3 3
Anak dara itu tertawa dingin, tanpa menoleh lagi dan tanpa
berhenti ia terus menuju ke depan. Di depan gua penuh berserakan
batu pegunungan yang aneh, ada yang mirip binatang buas, ada
pula yang sama seperti hewan piaraan, jumlahnya tidak terhitung
banyaknya mengitari tanah lapang.
Namun anak dara itu tikak pedulikan keadaan itu. tanpa berhenti
terus menerobos ke tengah barisan batu aneh itu.
"Berhenti!" sekonyong-konyong terdengar bentakan lagi seperti
tadi.
Berbareng dengan itu dari belakang batu aneh yang berserakan
itu berpuluh senjata menyambar keluar, ada golok yang membacok
dada, ada pula tombak yang menyabat dengkulnya.
Tetapi dengan sekali lompat sambil kebaskan lengan bajunya si
gadis dapat menghindarkan serangan itu.
"Masa kalian mampu menahan diriku?" katanya dengan tertawa
menyindir.
Dua laki-laki melompat keluar dengan senjata golok dan tombak,
meski serangan mereka tetap luput, tapi mereka bisa menahan diri
untuk kemudian menubruk maju pula, tidak seperti kedua orang
pertama yang terbanting roboh itu.
Melihat serangan beruntun itu, Pui Keng jadi berdebar-debar, ia
merandek tak berani maju.
"Ayo kemari!" anak dara itu menggapaikan tangan padanya.
"Kau adalah orang yang kehilangan uang perak itu, kalau kau tidak
kemari, kepada siapa mereka harus mengembalikannya?"
Terpaksa Pui Keng tabahkan hati, ia ikut masuk ke tengah
gerombolan batu aneh itu, sementara itu ia lihat si gadis sudah
saling gebrak lagi dengan empat laki-laki tadi. Keempat laki-laki ituPahala dan Murka - 3 4
masing-masing menempati satu sudut, mereka mengepung si gadis
di tengah, dengan dua pentung, satu golok dan satu lagi tombak
mereka menyerang dengan ganas.
Sekalipun pada pinggang anak dara itu menyandang pokiam
atau pedang, tetapi ia tidak lolos senjatanya buat melayani musuh,
ia hanya melayang kian kemari di antara sinar golok dan bayangan
tombak dan pentung lawan laksana kupu-kupu yang menari di
tengah tangkai bunga dan seperti kecapung bermain di atas air,
ditambah lagi lengan bajunya yang melambai-lambai tertiup angin,
maka indah sekali kelihatannya!
Sungguhpun Pui Keng paham ilmu silat, tetapi sebentar saja ia
menyaksikan pertarungan ini sudah dirasakan kepala pusing. Lekas
ia alihkan pandangannya ke jurusan lain. Setelah berhenti sejenak,
kemudian baru berani menonton lagi.
Gerak tubuh si gadis ternyata gesit luar biasa dan enteng sekali,
meski ia dihujani serangan senjata lawan yang banyak namun ujung
bajunya saja tidak bisa tersenggol.
Setelah pertempuran berjalan sejenak lagi mendadak terdengar
gadis itu membentak nyaring, sekonyong-sekonyong sebelah
telapak tangannya menghantam lelaki yang bersenjata pentang di
sebelah kiri. Dalam pada itu laki-laki yang menggunakan golok di
sebelah kanan sedang menabas dengan senjatanya, sedang laki-laki
bertombak di samping lain pun lagi menyabet.
Lelaki bersenjata pentung yang disampuk tadi, ketika melasakan
sambaran angin keras, tahu-tahu telapak tangan si gadis sudah
sampai di atas kepalanya. Keruan tidak kepalang terperanjatnya,
lekas ia menjatuhkan dirinya ke tanah, dan justru pada saat itu pula
golok dan tombak tadi menyambar tiba bersama, dalam keadaan
berbahaya ini, si gadis sempat lolos di bawah ancaman golok dan
tombak.Pahala dan Murka - 3 5
Lelaki yang menggunakan pentung tadi meski sudah cukup cepat
menghindarkan diri, tapi tidak urung pundaknya keserempet juga
oleh sambaran telapak tangan orang, setelah menjatuhkan diri dan
berguling sejauh beberapa tombak, bukan main terkejutnya
tercampur gusar pula, ia melompat bangun, syukur tidak sampai
terluka.
Karena gebrakan tadi, keempat laki-laki itu menjadi jeri,
sebaliknya si gadis makin tangkas, ia tuding ke timur tapi pukul ke
barat, ia mengarah ke selatan, tapi tahu-tahu tang diincar adalah
jurusan utara, ia bergerak dengan cepat dan menyerang dengan
lincah.
Pertarungan ramai ini kembali membikin mata Pui Keng
berkunang-kunang dan kepala pusing lagi, ia alihkan tatapannya ke
jurusan lain, tiba-tiba dilihatnya di depan mulut gua tadi sudah
berdiri seorang dengan membentang busur siap membidikan anak
panahnya. Orang ini ternyata bukan lain adalah Beng Ki, pemuda
yang menyamar sebagai Siucai, tetapi kemudian mematahkan
gendewa baja Pui Keng itu.
Bukan main terkejut Pui Keng.
"Awas, ada orang hendak membokong!" lekas ia berseru kepada
si gadis.
Sementara itu sudah terdengar jepretan gendewa. Beng Ki sudah
melepaskan panahnya yang meluncur dengan cepat.
Sungguh pun demikian, si gadis berbaju putih sedikit pun tidak
menaruh perhatian atas kejadian ini, setelah anak panah orang
sudah mendekat, mendadak tangannya meraup dan terpeganglah
anak panah itu olehnya, saat itu pula terdengar gendewa menjepret
lagi, panah kedua dari Beng Ki secepat kilat menyambar pula.Pahala dan Murka - 3 6
Pui Keng adalah ahli memanah, ia lihat ilmu memanah secara
berantai yang lihai ini, ia menjadi ketakutan.
Tak tersangka si gadis yang berada di bawah kerubutan senjata
golok, tombak dan pentung dan tampaknya sukar menghindarkan
malapetaka sambaran anak panah, tahu-tahu kelihatan ghdis jelita
ini menjentikkan kedua jarinya, anak panah yang dipegangnya tadi
tiba-tiba disentilkan, dengan demikian maka dua anak panah
bertemu di udara dan saling bentur dengan tepat, kemudian kedua
anak panah terpental jatuh ke tanah.
Ternyata dengan tenaga sentilan jarinya si gadis sanggup
menahan kekuatan panah yang dibidikan dengan busur, sungguh
tenaga dalam yang mengejutkan, mau-tak-mau Beng Ki memuji
juga.
"Bagus!" teriaknya. Berbareng itu secepat kilat anak panah yang
ketiga kembali dibidikkan lagi, sekali ini ia arah tenggorokan orang
dan tampaknya akan kena sasarannya dengan tepat!
Pui Keng menjerit kaget. Akan tetapi mendadak terlihat si gadis
membuka mulutnya yang kecil dan meniup, maka terpental
kembalilah anak panah tadi.
Beruntun-runtun gadis berbaju putih diserang tiga anak panah
oleh Beng Ki, akhirnya ia menjadi gusar juga.
"Kalau diberi tanpa membalas berarti kurang hormat!" tiba-tiba
ia berseru, sekaligus ia angkat tangannya, maka tertampaklah lima
atau enam buah senjata rahasia berupa bunga bwe menyebar di
angkasa dan berhamburan ke bawah.
Belum lagi Pui Keng melihat jelas, mendadak ia mendengar
orang menjerit "aduh" berulang-ulang, terkecuali Beng Ki seorang,
keempat lelaki yang mengerubuti si gadis baju putih ternyata sudah
terguling semua.Pahala dan Murka - 3 7
"Sau-hoa-li-hiap, sungguh hebat!" terdengar Beng Ki berseru
memuji sesudah menghindarkan sambaran keempat buah senjata
rahasia berbentuk bunga Bwe itu.
Habis berkata, keempat lelaki kawannya itu pun melompat
bangun semua, di tangan masing-masing ternyata sama mencomot
salah sebuah senjata rahasia tadi.
"Terima kasih atas kemurahan hati Lihiap, baiklah kaini
mengaku kalah!" demikian mereka berkata berbareng.
Kiranya mereka berempat telah diroboh kan oleh si gadis dengan
gerak tangan "Thian-li-san-hoa" atau dewi kayangan
menghamburkan bunga dan tepat menganai hiat-to atau jalan
darah mereka. Sungguhpun senjata rahasia tadi darangnya cepat
sekait, tapi tatkala mengenai tubuh mereka ternyata hanya enteng
saja, namun terkena hiat-to secara jitu, walaupun tidak berbahaya,
mereka merasakan linu dan kesemutan, maka mereka sadar bahwa
si gadis baju putih ini sengaja memberi kelonggaran kepada mereka.
"Ha, kiranya kalian sudah mengetahui akan diriku," sambut si
gadi dengan tersenyum, "Kalau begitu, harta kawan ini apa bisa
dikembalikan?"
"Sayang kedatanganmu agak terlambat, uang perak itu sudah
dipindahkan tadi pagi," jawab Beng Ki sambil menuding ke gua
batu.
Air muka si gadis bersungut mendengar jawaban orar.g, selagi ia
hendak buka suara pula, terdengar Beng Ki melanjutkan lagi.
"Maka terpaksa harus bikin susah padamu, kami sudah sidiakan
kuda di sana. Pui-taijin (tuan besar Pui), tentunya semalam telah
bikin terkejut padamu,"
Muka Pui Keng menjadi merah padam.Pahala dan Murka - 3 8
"Kalau begitu, baiklah aku akan menemui Cecu kalian, mari
sekarang juga kita berangkat!" kata si gadis kemudian.
Maka terlihatlah Beng Ki bersuit dengan memencet bibirnya,
segera dari belakang batu pegunungan itu ada orang membawakan
beberapa ekor kuda.
Tanpa berkata lagi si gadis baju putih mencemplak ke atas kuda
yang disediakan ini terus dilarikan mengikuti mereka melalui jalan
pegunungan yang berliku-liku dan melintasi lereng bukit, berada di
atas kuda dan melalui jalan yang demikian ini laksana melayang-
layang saja di awang-awang, sekalipun Pui Keng adalah keturunan
keluarga militer, tidak urung ia merasa jeri juga. Sebaliknya kuda
yang mereka tunggangi ternyata kuda yang sudah terlatih baik,
dengan mengikuti kuda tunggangan Beng Ki yang membuka ja lan
di depan dengan mendaki gunung dan melompat lewat parit,
binatang-binatang ini ternyata sanggup lari dengan cepat laksana
berlari di tanah datar saja.
Kira-kira sejam kemudian mereka melarikan kuda, sementara
sang surya sudah berada di tengah langit.
"Di bawah sana adalah Gan-bun-koan, Teng-congpeng besok
akan membayarkan gaji tentaranya, saat ini tentunya dia sedang
kelabakan menantikan datangnya catu tentara itu!" terdengar Beng
Ki berkata di atas kuda nya sambil menudingkan cambuk kudanya
ke bawah bukit.
Mendengar penuturan ini, Pui Keng terkejut.
"Apa kita sudah melewati Gan-bun-koan?" ia tanya. "Kau, kalian
semua apakah anak buah Jit-goat-ki Kim-to-cecu?"
"Asal hartamu bisa kembali, perlu apa kautanya-tanya!" sahut
Beng Ki.Pahala dan Murka - 3 9
Pui Keng jadi berdebar dan kuatir atas jawaban orang. Pikirnya,
"Si berandal Kim-t0 (golok emas) ini selamanya tidak pernah
merampas catu tentara, entah mengapa kali ini telah melanggar
kebiasaannya? Sudah lama diketahui berandal tua Kim-to ini adalah
bandit besar yang tak takut pada langit atau gentar pada bumi,
bangsa Mongol dan pasukan kerajaan (Beng) tiada yang berani
coba-coba menyenggol kumis macannya, jika betul ia sengaja
merampas catu tentara ini, sekalipun dikerahkan ratusan ribu
tentara juga belum tentu dapat memintanya kembali, kepergian
sekarang ini tampaknya banyak celakanya daripada selamat!"
Selang tak lama lagi, tiba-tiba tanah di depan mereka
membentang lapang, di tengah bukit yang mengeliling itu ternyata
ada sawah yang luss, bahkan tertampak ada orang sedang bercocok
tanam di tengah sawah.
Bagi orang yang pertama kali melihat tentu akan mengira tempat
demikian ini adalah surga di dunia lain, siapa duga justru tempat ini
adalah sarang berandal yang disegani oleh kedua bangsa Mongol
dan Han.
Iringan kuda mereka terus menuju ke depan, mereka berputar
melalui jalanan yang melingkari bukit itu, dari kedua samping jalan
senantiasa tertampak berkelebatnya bayangan orang dengan tanda-
tanda bendera. Tidak lama lagi, sampailah mereka di depan sarang
berandal.
Di atas gunung ternyata rapat dikitari dengan dinding benteng
yang terbuat dari tumpukan batu pegunungan mengikuti keadaan
tanah pegunungan, penjagaan ketat dan seram.
Di antara mereka, Pui Keng yang paling tidak tentram
pikirannya, hatinya berdebar-debar, ia mengikut di belakang Beng
Ki dan si gadis baju putih.Pahala dan Murka - 3 10
Setelah mereka turun dari kuda mereka masuk ke dalam benteng
berandal itu, sementara mereka disongsong menuju ke depan
markas. terdengarlah suara genta berbunyi, gerbang terpentang,
dua barisan berandal menyambut mereka dengan berbaris di kedua
samping, senjata mereka mengkilap dan seragam mereka haru dan
bersih.
Gadis baju putih tersenyum atas sambutan ini, seperti tidak
terjadi apa-apa ia jalan terus di tengah pasukan bersenjata lengkap
ini. Sebaliknya Pui Keng tampak takut, tapi terpaksa ia harus
memberanikan dirinya, ia ikut di belakang si gadis menu ju ke
tengah ruangan pendopo.
Di ruang besar ternyata sudah disediakan kursi yang berlapiskan
kulit harimau, akan tetapi tiada seorang pun yang menanti
kedatangan mereka.
Melihat keadaan ani, si gadis merasa kurang senang.
"Di mana Locecu kalian?" segera ia tanya.
Beng Ki tidak menjawab, ia hanya tersenyum, sementara itu
terlihat dua lelaki berperawakan tinggi besar menerobos masuk dari
belakang dengan menyingkap tabir yang terbuat dari kulit harimau.
Lelaki yang di depan mengangkat seguci arak berwarna coklat
keemasan, rupanya terbikin dari tembaga, tampaknya benda ini
sedikitnya mempunyai berat lima sampai tujuh puluh kati?
Sedang lelaki yang di belakang ternyata membawa sebuah
nampan besar yang berisi daging panggang yang masih panas dan
mengepulkan asap, pada tiap irisan daging panggang itu menancap
sebilah pisau yang tajam mengkilap.
Lebih dulu kedua lelaki ini memberi hormat kepada si gadis, lalu
dengan suara lantang berkata, "Tamu agung datang dari jauh, maafPahala dan Murka - 3 11
tiada sesuatu yang dapat disuguhkan, silakan minum secawan arak
putih saja!"
Habis berkata mendadak lelaki yang berada di depan angkat


Pahala Dan Murka Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kedua tangannya, guci arak yang besar itu dilemparkan begitu saja
kepada si gadis baju putih.
Pui Keng menjerit terkejut, tapi si gadis ternyata tenang saja
tanpa berubah sedikitpun air mukanya.
"Terima kasih!" katanya, berbareng itu sedikit meraih tepi guci
dengan telapak tangannya, maka berputarlah guci itu menempel di
telapak tangan si gadis, guci tidak jatuh tapi terus berputar seperti
gangsingan.
Tenaga lemparan guci arak yang dilakukan lelaki itu sebenarnya
sangat mengejutkan, orang harus berkekuatan beberapa ratus kati
baru berani menangkapnya, tak terduga si gadis hanya sedikit
meraih dengan telapak tangannya, tenaga raksasa lemparan guci
arak itu telah dipatahkan, balikan anak dara itu tetap tersenyum
manis, ia menghirup seteguk arak dalam guci, sudah itu ia baru
berkata lagi, "Ehm, sungguh arak bagus!"
Kedua lelaki tadi tercengapg, tapi lelaki yang disebelah belakang
segera melangkah maju.
"Ini hidangan untuk teman arak!" serunya, sekali tangannya
bergerak, dua bilah pisau yang menancap di atas daging tiba-tiba
mencelat.
Kembali si gadis tersenyum, mulutnya yang kecil sedikit mengap,
"kreek" kedua pisau yang membawa daging itu terjepit di antaranya
giginya, ketika ia pentang mulut lagi dan menyembur, kedua pisau
itu terbang ke atas dan tepat menancap di belandar rumah.
Keruan kungfu luar biasa yang dipertontonkan si gadis ini
membikin kedua lelaki ta di ketakutan.Pahala dan Murka - 3 12
"Ini aku pun suguh kalian secawan!" tiba-tiba si gadis
membentak.
Mendadak ia tolak guci arak yang dipegangnya, guci meluncur
dengan membawa deru angin santar, sudah tentu kedua lelaki itu
tidak berani menyambut timpukan kembali guci ini dan tampaknya
guci itu sudah menyambar tiba, untuk menghindar sudah tak
keburu lagi.
Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara ?trang" yang nyaring,
seorang pemuda berlari keluar dari ruangan belakang dan
mengangkat sebelah telapak tangannya, guci arak terdorong ke
samping, lalu dengan kaki kiri ia gantol guci arak dan dengan
pelahan diturunkan ke lantai, guci yang penuh berisi arak itu
setetespun tidak tercecer.
Setelah unjuk ketangkasannya ini, kemudian pemuda itu
berpaling dan mendamprat kedua lelaki tadi, "Kalian sungguh tolol,
menyuguh tamu saja tidak tahu aturan, bikin malu saja di sini!"
Segera ia memberi honnat kepada si gadis. "Harap maaf bila
kurang honnat pada Lihiap!"
Ketika Pui Keng mengenali siapa pemuda ini, hampir saja ia
menjerit kaget.
Pemuda ini ternyata bukan lain ialah orang yang semalam
menolong jiwanya dan memberi petunjuk pula agar minta bantuan
kepada si gadis baju putih itu. Cuma semalam ia berdandan sebagai
petani, sebaliknya kini sudah berubah menjadi seorang Kongcu atau
putra bangsawan yang berpakaian perlente dan agung sikapnya,
dengaa sendirinya berlainan sekali keadaannya.
"Bagus sekali kepandaian Kongcu tadi!" ujar si gadis sambil
membalas hormat.Pahala dan Murka - 3 13
Dan ketika didengarnya kedua lelaki tadi mengundurkan diri
sambil memanggil pemuda ini sebagai "Siaucecu" atau tuan muda
(cccu berarti kepala gerommbolan berandal), maka berkata pula si
gadis dengan tertawa, "Aha, sekali ini betul-betul telah kutemukan
tuannya, harta empat ratus ribu tahil perak kawan ini tentunya
dapat Siaucecu mengembalikannya!"
"Hanya sedikit harta yang tik berarti itu, kiranya tidak perlu
dipersoalkan," sahut pemuda itu. "Nona, silakan duduk dahulu."
Habis iru ia lantas berseru memanggil orang, dan ketika sinar
matanya beralih ke jurusan Pui Kcng, ia menyapa juga perwira ini,
tetapi di balik sinar matanya saperti hendak berkata kepada Pui
Keng, "Tidak salah bukan apa yang kutunjukkan?"
Sementara itu Pui Keng sedang tercengang, timbul rasa
curiganya, ia tidak habis mengerti bila pemuda ini betul Siaucecu
berandal sini, setelah merampok harta bendanya, mengapa
menolongnya lagi? Bahkan sengaja pancing si gadis baju putih itu
ke sini? Jangan-jangan hal ini cuma tipu muslihat untuk menjebak
musuh?
Akan tetapi kini ia sudah berada di dalam gua macan dm sarang
naga, di luar dikelilingi kawanan berandal, ia tidak dapat
membayangkan apa yang bakal menimpa dirinya ditambah pjla
terdengar suara senjata berbunyi di luar, tak tertahan ia mengkirik,
bulu roma sana berdiri.
Selang tidak lama sepasukan berandal membawakan harta yang
dirampoknya itu.
"Siaucecu memang orang yang bijaksana, terima kasih!" kata si
gadis.
"Nanti dulu!" kata pemuda itu tiba-tiba sambil bersuit.Pahala dan Murka - 3 14
Si gadi melengak, dilihatnya seorang anggota berandal
menancapkan duabuah panji kecil di atas tumpukan uang perak itu,
pada sebelah panji itu bergambar matahari dan panji lain
terlukiskan rembulan, kedua bendera yang bergambar matahari
dan rembulan ini tidak salah lagi adalah panji pengenal kawanan
berandal gunung ini.
Kemudian si pemuda tersenyum, dari atas meja ia angkat sebuah
pori arak dan menuang dua cawan penuh, lebih dulu ia sendiri
minum secawan, lalu berkata, "Empat ratus ribu tahil perak ini
meski tiada artinya, namun kedua panji ?Jit-goat-ki? ini mempunyai
nilai yang tak tertunggal"
Bola mata si gadis mengerling, dilihatnya kawanan berandal
yang berada di ruangan ini dengan sikap khidmat sedang
memandang padanya, ia merasa tidak mengerti.
"Apakah maksud perkataanmu tadi?" ia tanya.
Pemuda itu tidak menjawab dan tetap tersenyum saja.
"Ya, kedua panji ini memang bendera tanda pengenal kalian,
memang betul benda yang tidak bisa dinilai dengan emas," kata si
gadis setelah berpikir sejenak. "Tetapi ada hubungan apakah panji
ini dengan kami?"
Si pemuda tetap tidak menjawab dan tetap bersenyum,
sebaliknya kawanan berandal yang berada di halaman sama
mengunjuk rasa gusar.
Pui Keng menyaksikan semua itu, diam-diam ia mengeluh,
pikirnya, "Meski ilmu silat gadis ini sangat tinggi, tetapi ia masih
muda belia, masih hijau, ia tidak kenal peraturan hek-to (kalangan
hitam) yang umum ini. Kalian kawanan berandal sudah
menancapkan bendera pertandaan mereka di atas tumpukan harta,
ini berarti jika kau mampu dan punya kepandaian, maka boleh cobaPahala dan Murka - 3 15
cabut bendera ini dan harta ini boleh dibawa pergi, sebaliknya kalau
tak berani, maka lekas enyahlah dari sini. Jelaslah orang telah
menantang bergebrak! Wah celaka! Sekali ini betul-betul lebih
banyak celaka dari pada selamatnya!"
Meski sudah bertanya dua kali dan tetap tak dijawab orang, gadis
berbaju putih tampak naik darah juga, wajahnya yang masih
kekanak-kanakan mulai bersemu merah, alisnya menegak, ia
berdiri dan menggapai pada Pui Reng, katanya. "Hartamu sudah
berada dt sini, mengapa kau diam saja? Lekas cocokkan jumlahnya,
sedangkan panji itu adalah milik mereka, boleh tinggalkan saja di
situ."
Dan baru saja ia hendak melangkah pergi, tiba-tiba si pemuda
bergelak tertawa, dengan tetap memegangi poci arak, sekali lompat
ia mengadang di depan si gadis.
"Nona, harap tetap duduk saja dan minum arak?" katanya
dengan lantang.
"Aku tidak mau minum, siapa berani paksa aku?" si gadis
menjawab sambil terus melangkah lagi.
Namun pemuda itu angkat poci arak ke depan dan tangan yang
lain sodorkan cawan sambil berseru, "Masa secawan saja tidak
sudi?"
Menyusul mana poci arak mengarah ke dada dan cawan arak
menyodok ke muka orang, seketika ia melancarkan dua jurus
serangan lihai pada si gadis.
Tetapi anak dara ini segera menggeser ke samping sehingga
pemuda itu menubruk tempat kosong, cawan araknya tahu-tahu
jatuh terbanting hingga pecah berantakan, kiranya cawannya kena
tersampuk oleh tangan si gadis.Pahala dan Murka - 3 16
Namun pemuda itu pun tidak lemah, ia berputar ke samping
untuk kemudian maju lagi, kembali ia cegat jalan pergi si gadis,
bahkan ujung corong poci mengarah ke bawah buah dada si gadis.
Atas serangan lihai ini, gadis berbaju putih sekonyong-konyong
mendak ke bawah, kedua jarinya menyentil dan telapak tangannya
menampar, tutup poci menjeplalc terbaka, arak pun mucrat keluar
hingga membasahi lantai, bau arak menusuk hidung dan para
berandal yang menyaksikan pun sama terkejut. Namun poci arak
ternyata masih tetap tergenggam kencang di tangan si pemuda.
Setelah berlangsung beberapa gebrakan ini sudah terang kungfu
si gadis baju putih lebih unggul setingkat, akan tetapi meski ia
menggunakan tenaga dalam sepenuhnya ternyata tidak bisa
menghantam jatuh poci yang dipegangi orang, maka dapat
dimengerti ilmu silat si pemuda juga bukan kaum lemah, bahkan ia
tetap memakai poci araknya sebagai senjata, sekali berputar
kembali ia mencegat di depan si gadis lagi.
"Secawan ini apa pun juga hendaknya kau sudi meminumnya."
lagi-lagi ia bujuk orang minum.
Setelah mengegos dua kali, akhirnya si gadis menjadi gusar,
alisnya menegak dan mukanya merah, dengan cepat ia lolos
pedangnya, pemuda itu menyurut mundur dua tindak, dengan poci
berjaga rapat dirinya.
"Kau tidak tahu adat, mari kita coba-coba lagi!" bentak si gadis
dengan pedang menuding.
Sementara itu kawanan berandal serentak mundur ke pinggir,
tampaknya ingin meluangkan tempat agar mereka bisa bergebrak
lebih leluasa, tetapi sebenarnya mengambil posisi mengepung, bila
kelihatan si pemuda tak sanggup melawan seketika kawanan
berandal ini akan maju sekaligus.Pahala dan Murka - 3 17
Keruan yang paling ketakutan adalah Pui Keng, saking takutnya
hingga mukanya pucat lesi seperti kertas, ia pikir sekali pun anak
dara ini memiliki kepandaian setinggi langit sulit juga untuk
menerjang keluar dari gua macan dan sarang naga ini, nanti bila
kawanan berandal itu menyerbu bersama, mungkin mereka berdua
bisa dicencang menjadi bergedel.
Tengah ia merasa kuatir, tiba-tiba ia rasakan suasana dalam
ruangan mendadak berubah lain, sunyi senyap dan menakutkan,
ketika ia berpaling, dilihatnya pemuda tadi hanya berjaga dan tidak
menyerang, sedang kawanan berandal juga cuma mengepung saja
dan berdiri tegak dengan tangan lurus ke bawah, dari luar terdengar
suara terompet.
"Tai-ong tiba!" sekonyong-konyong tci dengar orang berseru.
Cepat pemuda tadi melompat ke samping, menyusul
tertampaklah dari luar masuk serombongan orang dengan dikepalai
seorang tua berjenggot panjang melambai tertiup angin, sikapnya
gagah dan kereng, tampaknya usianya sudah lebih enam puluhan,
tetapi badannya sehat kuat dan bersemangat.
Si gadis baju putih dapat menduga siapa gerangan orang tua ini.
"Apa yang datang ini Lo-cecu adanya?" segera ia tanya sembari
memberi hormat.
Kakek berjenggot panjang ini kelihatan tersenyum.
"Kabarnya nona naik gunung hari ini, maafkan bila aku tidak
menyambut," katanya kemudian sembari mengamat-amati si gadis
dengan sikap yang aneh.
Karena dipandang orang secara aneh, si gadis baju putih merasa
kikuk.Pahala dan Murka - 3 18
"Sudah lama kudengar nama kebesaran Locecu yang berbudi,
beruntung hari ini dapat bertemu, sekalian kumohon kemurahan
hati Locecu di sini," segera ia menjawab dengan memegang
pedangnya.
''Mana, mana," kata si kakek, tiba-tiba ia tanya, "Tahun ini nona
berumur berapa? Bukankah shio kambing?"
Pertanyaan ini sungguh di luar dugaan si gadis baju putih, ia jadi
tercengang.
"Apakah Locecu maksudkan aku terlalu muda dan kurang
berpengalaman, maka tidak setimpal naik ke gunung sini untuk
memohon kemurahan hatimu?" sahutnya kemudian dengan
mendongkol.
Kakek itu tertawa lebar, "Perkataan nona agak berlebihan."
"Keempat ratus ribu tahil perak yang berada di sini adalah catu
tentara Gan-bun-koan," kata si gadis, "tetapi dengan campur tangan
Locecu ini, bukan saja telah membahayakan jiwa tuan pembesar ini,
bahkan beberapa puluh ribu perwira dan prajurit di Gan-bun-koan
mungkin harus makan angin pula!"
"Haha, masa aku tidak tahu hal ini!" ujar si kakek dengan
tertawa.
"Kalau Locecu sudah tahu baik-buruknya, sepatutnya suka
menyerahkan kembali uang perak ini!" sambung si gadis.
"Nona, agaknya ada juga yang tidak kau ketahui," tiba-tiba si
kakek berkata sambil mengelus jenggotnya.
"Silakan Locecu menjelaskan." pinta si gadis.
"Menurut peraturan kalangan lok-lim. barang yang sudah
dirampas tidak mungkin dikembalikan begitu saja hanya dengan
sepatah-dua kata," ujar si kakek sambil menunjuk panji Jit-goat-ki,Pahala dan Murka - 3 19
"Urusan uang perak adalah soal kecil, tetapi soal nama dan wibawa
adalah urusan besar. Bila nona sudah mewakili tuan pembesar ini
untuk memohon kembali harta benda ini, sedikitnya kau harus
unjuk sejurus dua jurus dulu, kalau tidak, bila uang perak ini
kukembalikan begini saja, kawan-kawanku tentu tidak rela."
Mendengar ucapan orang yang bersifat menantang ini, si gadis
menjadi gusar.
"Hm, semula kukira daripada mendengar namanya lebih baik
bertemu muka, siapa tahu bertemu muka ternyata tidak lebih baik
daripada mendengar namanya," jengek si gadis, "Bagus, bagus
sekali! Kalau begitu silakan Lo-cecu menjelaskan cara-caranya!"
Kakek itu kembali bergelak tertawa.
"Haha, nona cilik, di kolong langit ini masih banyak hal-hal yang
bertemu muka tidak lebih baik daripada dengar nama saya, apa
kaukira hanya aku saja yang demikian! Apakah kau menyesal
karena aku tidak menyerahkan kembali begitu saja harta ini?"
Gadis baju putih itu tidak menanggapi ucapan orang, sebaliknya
ia alihkan tatapannya ke jurusan lain, seperti anak kecil yang lagi
ngambek, ia diam saja seperti membenarkan ucapan orang.
Kakek berjenggot panjang itu tertawa.
"Baiklah, biar kuberikan satu cara yang paling gampang,"
katanya kemudian. "Karena kau naik ke gunung dengan membawa
pedang, maka dalam hal ilmu pedang tentu engkau dapat
diandalkan. Nah, biar kupakai golok emas ini menerima beberapa
jurus ilmu pedangmu. Dalam hal ilmu tiada persoalan belajar lebih
dulu atau lebih belakang, yang penting siapa yang lebih pintar
dialah yang unggul. Maka jangan kauanggap usiaku sudah lanjut


Pahala Dan Murka Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lantas kau sengaja mengalah. Jika nanti kau menang, maka empatPahala dan Murka - 3 20
ratus ribu tahil perak ini dengan segera kukembalikan, tidak kurang
setahil pun."
Sembari berkata ia pun menuang arak, habis berkata, dua cawan
arak sudah ia minum, menyusul mendadak ia angkat kedua cawan
kosong itu dan dilemparkan ke atas.
"Belandar bagus, siapa yang menancapkan dua bilah pisau di
situ?" katanya dengan bengis.
Cawan arak yang melayang dari tangannya itu menerbitkan
suara nyaring riuh, pecahan beling berhamburan kedua belah pisau
yang menancap di belandarpun jatuh tergetar ke bawah bersama
pecahan beling cawan arak itu, Cawan arak adalah benda yang
gampang pecah bila beradu dengan benda keras, akan tetapi demi
membentur belandar ternyata bisa menggetar jatuh belati yang
menancap di situ, maka dapat dibayangkan betapa hebat lwekang
atau tenaga dalam si kakek.
Keruan tanpa terasa si gadis baju putih tercengang juga, semula
sebenarnya ia bermaksud melayani orang dengan bertangan
kosong, tetapi sesudah menyaksikan orang unjuk kepandaian ini,
seketika lenyap pandangannya yang anggap enteng musuh, segera
ia lolos pedangnya dan melompat ke tengah ruangan, "Silakan
Locecu memberi petunjuk," katanya dengan memberi hormat.
"Pedang bagus!" kakek itu memuji sambil melirik senjata si
gadis.
Ketika ia lambaikan sebelah tangannya, segera dua anggota
berandal menggotong keluar sebatang golok emas bersinar
mengkilat, si kakek angkat Kim-to atau golok emas yang digotong
maju ini, dengan dua jari menyentil mata golok.
"Hai, Kim-to, kali ini kau betul-betul ketemu tandingan!" katanya
dengan bergelak tertawa lagi.Pahala dan Murka - 3 21
Setelah masing-masing mengambil tempat dan pasang kuda-
kuda, si gadis tahu orang tua ini anggap dirinya sebagai cianpwe
atau kaum angkatan tua, tentu tidak sudi buka serangan lebih dulu,
maka tanpa sungkan lagi gadis jelita ini memutar pedangnya, ujung
senjata mengacung ke bawah dan sebelah tangan yang lain meraba
batang pedang, ini adalah gaya menghormat sebagai kaum muda
yang bergebrak melawan orang yang lebih tua.
Baru si orang tua melangkah mundur setindak, terdengarlah
suara mendesir menyambar tiba, dengan gerak tipu "cai-tiap-coan-
hoa" atau kupu-kupu menerobos bunga, si gadis baju putih telah
melancarkan tusukan pedangnya dengan gesit sekali.
"Bagus," sambut si kakek berjenggot panjang. Dengan gerakan
"hong-hong-tau-ko" atau burung Hong berebutan sarang, begitu ia
geser ke samping, segera ia menyerobot maju dan merebut tempat
kedudukan si gadis tadi.
Terkejut si gadis oleh kecepatan orang tua ini, sama sekali tidak
terduga Kim-to-cecu yang usianya sudah lanjut ini gerak tubuhnya
masih begini cepat dan tidak kalah daripada orang muda, dengan
gerak merebut tempat kedudukannya, kini tiga jurusan kanan-kiri
dan tengah si gadi sudah berada di bawah ancaman golok emasnya.
Kawanan berandal yang menyaksikan ketangkasan pemimpin
tua mereka ini serentak bersorak sorai. Akan tetapi dalam sekejap
saja mereka kembali diam, keadian menjadi sunyi senyap lagi.
Tertampak si gadis baju putih mengapung ke udara, ia putar
pedangnya hingga berupa satu lingkaran sinar dengan pancaran
beribu bintik putih menghambur dari atas kepala, di tengah sinar
pedang dan bayangan golok terdengarlah suara gemerincing
beradunya benda logam hingga memekak telinga, ketika semua
orang menegasi, terlihat si gadis sudah berada di tempat sejauh
setombak lebih, sedang si kakek dengan golok melintang di depanPahala dan Murka - 3 22
dada sedang beseru, "Pedang bagus, kiam-hoat hebat, Gebrakan
tadi sama kuat, ayo coba lagi, marilah maju!"
Ilmu silat Pui Keng rendah, maka tidak dapat melihat hasil
gebrakan tadi, sebaliknya di antara kawanan berandal yang
berkepandaian tinggi sama terkejut.
Si gadis baju putih tadi sebenarnya berada di bawah ancaman
senjata lawan, tetapi mendadak ia bisa lolos, sungguh suatu gerakan
yang sangat sukar dipelajari, bahkan bag; mereka yang bermata
tajam dapat melihat pula pada mata golok emas Locecu telah
tergumpil, tentu saja mereka tambah terkejut.
Sementara itu si gadis baju putih juga rada terengah napasnya,
sekalipun ia berhasil bikin gumpil mata golok lawan, tetapi dirinya
terdesak hingga terpaksa harus melompat mundur sejauh lebih
setombak, bahkan hampir tak mampu kendalikan diri, dalam hal
keuletan, jelas dirinya lebih asor daripada si kakek.
Begitulah, maka sesudah saling gebrak sekali, mereka lantas
sama lebih waspada, bila kemudian saling gebrak lagi, keadaan
sudah berubah lain. Kini si gadis menerobos kian-kemari seperti
kupu-kupu menari-nari di antara tangkai bunga, sedang sinar
pedangnya mengkilat menyilaukan mata, gerak tubuhnya makin
lama makin cepat dan gesit, saking cepatnya ia berputar sampai
para penonton dibikin pusing dan penglihatan kabur. Sebaliknya
Kim-to-cecu ternyata tidak dipengaruhi oleh gerak tubuh lawan, ia
tetap berdiri di tempatnya dengan mantap seperti gunung, sama
sekali tidak tergoyah.
Dalam pada itu mendadak terdengar si gadis membentak
nyaring, sinar pedang tiba-tiba menjulur panjang, ia
menyerangldengan serentak seperti arus ombak yang bergulung-
gulung, yang tertampak hanya gemerdapnya sinar pedang.Pahala dan Murka - 3 23
Sebaliknya Kim-to-cecu tetap tenang saja, ia putar goloknya
dengan pelahan, tetapi, kakinya seperti terpantek kukuh di atas
tanah, biarpun daya serangan pedang lawan laksana hujan lebat dan
angin puyuh yang menimpa dirinya, namun setengah langkah pun
ia tidak bergeser. Sekalipun gerak goloknya lambat, tetapi desir
angin yang dibawanya ternyata mendenging memekak telinga dan
mendebarkan hati. Sungguhpun si gadis sudah manyerang lima-
enam puluh jurus, tetap tidak mampu menembus pertahanan si
kakek.
Nampak keadaan demikian, kawanan berandal menghela napas
lega, mereka yakin Lo-cecu mereka pasti akan mendapat
kemenangan.
Di pihak lain, meski Pui Keng tidak paham daya serangan
masing-masing, tetapi dari air muka kawanan berandal yang
semula tegang lain berubah menjadi tenang dan lega, dalam hati ia
pun dapat meraba gelagat tidak menguntungkan. Tanpa terasa ia
jadi gemetar ketakutan, giginya gemertuk saling beradu seperti
orang yang kedinginan duduk di atas gunung es.
"Pergi!" mendadak terdengar si kakek berjenggot panjang
membentak.
Di tengah berkelebatnya sinar emas, cahaya putih melayang
mundur secepat kilat, tubuh si gadis ternyata sudah mencelat pergi
sejauh lebih setombak lagi, tanpa diperintah kembali kawanan
berandal bersorak-sorai.
Setelah melompat pergi, segera si gadis menubruk maju lagi,
dengan goloknya yang menyerang dengan hebat tadi, Kim-to-cecu
ternyata tidak berhasil menjatuhkan senjata lawan, diam-diam ia
terheran-heran.Pahala dan Murka - 3 24
Dalam pada itu setelah menubruk maju lagi, kiam-hoat si gadis
lantas berubah, kini hanya tertampak pedangnya menabas dan
memotong dari samping seperti angin puyuh menggulung daun,
pedangnya menusuk laksana hujan lebat merusak bunga, di antara
sinar pedangnya yang bergulung-gulung tertampak di segenap
penjuru penuh dengan bayangan si gadis, sinar pedangnya tiba-tiba
mengarah sebelah timur, lalu menjurus ke barat, kadang-kadang
terhimpun, mendadak terpencar kembali, saking cepatnya ia putar
pedangnya, bukan saja pandangan orang yang menonton di bikin
kabur, bahkan Kim-to-cecu sendiri terkejut oleh ketangkasan si
gadis.
Ia terheran-heran oleh Kiam-hoat yang luar biasa ini, tampaknya
si gadis hanya menjaga diri dengan rapat, tetapi tahu-tahu
menyerang dengan cepat, sungguh sukar diduga lebih dahulu.
Karena itu terpaksa Kim-to-cecu harus bertahan rapat, dengan
tenang ia layani lawannya, sementara itu si gadis susul menyusul
menyerang pula belasan jurus dengan berbagai tipu serangan yang
tiada habis-habisnya, namun Kim-to-cecu tetap tidak bergeser
setengah langkah pun, hanya air mukanya terunjuk lebih prihatin,
suatu tanda kini ia pun cukup makan tenaga menghadapi lawannya.
Mendadak Kim-to-cecu memotong dari samping dengan golok
emasnya, tetapi tiba tiba golok ditempel oleh ujung pedang lawan
hingga goloknya kena tertarik pergi, sebenarnya tenaga serangan
goloknya telah dikeluarkannya delapan bagian, tetapi mendadak
mengenai tempat kosong, bahkan dengan enteng saja tenaga
serangannya dipatahkan oleh lawan, tanpa kuasa lagi tubuh Kim-
to-cecu ikut mendoyong dan menubruk maju dua langkah, sungguh
pun segera ia bisa tancapkan kakinya lagi dengan kuat, akan tetapi
daya pertahanannya sudah goyah, penjagaannya pun tidak rapat
lagi.Pahala dan Murka - 3 25
Sementara itu gerak pedang si gadis berubah menjadi pelahan
juga, dengan ujung senjatanya ia tempel mata golok lawan terui
diputar kian-kemari, si kakek berusaha memuntir goloknya, ia
desak mundur si gadis, tetapi senjata golok dan pedang kedua pihak
yang menempel itu belum dapat dipisahkan, karena itu serangan
dan pertahanan kedua pihak pun sama lambat, kalau yang satu
mendesak maju, yang lain lantas mundur.
Setelah pertempuran berjalan lagi sekian lama, melihat si gadis
baju putih berulang-ulang dipaksa mundur. Pui Keng semakin
ketakutan, tetapi ketika didengarnya seluruh ruangan sunyi senyap,
kawanan berandal yang berkerumun itu sama menonton tanpa
mengeluarkan suara sedikit pun, tiada seorangpun di antara
mereka berani bicara mempersoalkan pertarungan ini, melihat
galagatnya agaknya Kim-to-cecu juga tidak berada di atas angin.
Kawanan berandal menyaksikan Kiam-boa si gadis yang'bebat
luar biasa, ada kombinasi Tat-mo-kiam-hoat dari Siau-lim-pai, ada
pula tipu serangan Thay-kek-kiam-hoat dari Bu-tong-pai, diantara
senjata yang menyambar seperti tercampur pula tipu serangan
berbagai perguruan yang lain.
Begitu hebat dan aneh tipu serangannya yang berganti-ganti
dengan aneka ragamnya, kawanan berandal itu terheran-heran dan
berkuatir pula bagi pemimpin mereka. Akan tetapi Kim-to-cecu
masih ayun goloknya dan membacok berulang-ulang dengan hebat,
belum menunjuk tanda-tanda bakal kalah.
Waktu itu dengan hati-hati sekali Kim-to-cecu sedang mendesak
maju selangkah demi selangkah, mendadak tubuh si gadis baju
putih mendoyong ke belakang, sekonyong-konyong ia menarik
pokiamnya.
"Awas Cecu!" seru jagoan kelas tinggi di antara kawanan
berandal.Pahala dan Murka - 3 26
Pada saat itu juga secepat kilat tubuh si gadis melompat ke atas,
sinar pidang membayang seperti pelangi, segera ia menikam dari
atas.
Tetapi serangan ini disambut tertawa oleh Kim-to-cecu.
"Lepas tangan!" mendadak ia menggertak. Ia mendakkan
tubuhnya, ketika si gadis menikam turun, sekonyong-konyong ia
ayun goloknya ntenabas pinggang orang yang ramping itu,
serangan ini begitu cepat lagi lihai, kecuali si gadis lemparkan
pedangnya buat menangkis galok lawan baru bisa menghindarkan
diri dari bahaya, kalau tidak jelas tiada jalan lain untuk menahan
serangan ini.
Kim-to-cecu sudah berlatih berpuluh tahun, pengalamannya
sangat luas, serangan ini adalah hasil renungannya untuk
menundukan musuh seludah bertempur setengah harian ini.
Jagoan pandai dari kawanan berandal yang tadi kuatir itu, demi
melihat pemimpin mereka mengeluarkan tipu serangan yang tiada
taranya ini, tidak tertahan lagi, kembali mereka bersorak riuh
rendah.
Tidak terduga, belum lagi lenyap suara sorakan mereka,
mendadak keadaaan berubah, entah dengan gerak tipu apa, tiba-
tiba terdengar si gadis pun membentak, "Lepas tangan!"
Berbareng itu betul juga golok emas Kim-to-cecu lantas mencelat
terlepas dari tangannya, dengan membawa sambaran angin keras
senjata itu tepat menancap di belandar rumah.
Kiranya setelah sekian lama gadis itu belum juga menundukkan
lawannya, ia pun menyadari tidak bisa melayani musuh cara begini,
digunakannya akal untuk melawan akal dan mengeluarkan tipu
serangan penyelamat yang paling berbahaya dari perguruannya,
pada waktu golok emas musuh menabas, dengan pelahan ia tutulPahala dan Murka - 3 27
ujung golok orang dengan kakinya, berbareng itu ia putar pedang
dan menusuk pergelangan tangan musuh, dengan tipu serangan
yang hebat ini, seketika juga dari pihak terancam ia berkalik jadi
pihak mengancam.
Sama sekali Kim-tocecu tak menduga bahwa lawannya bisa
mengeluarkan tipu serangan luar biasa ini, dalam keadaan
demikian, tiada jalan lain baginya terkecuali harus membuang golok
emasnya.
Begitulah setelah berhasil membikin senjata orang terpental,
gadis itu tertawa riang dan berdiri tegak membali, ia berpaling dan
mestinya hendak berkata, "?Locecu, terima kasih engkau sudi
mengalah!"
Tetapi belum sampai ia ucapkan perkataan itu, tiba-tiba
dilihatnya Kim-to-cecu tertawa sedih, matapun berkaca
mengembeng butiran air mata, karena itu si gadis jadi terkejut.
"Mengapa seorang gagah perkasa yang disegani kedua bangsa di
wilayah ini, hanya kalah bergebrak saja lantas menangis?" demikian
ia membatin.
Ia menyesal, apa yang hendak diucapkan jadi urung.
Sementara itu Kim-to-cecu sedang menatapnya dengan wajah
seperti tertawa tetapi juga seperti menangis, pelahan ia menyingkap
jubahnya, ia lolos keluar sebatang tongkat bambu, tongkat bambu
ini pendek sekali, ujung bawahnya bekas retak dan tidak rata,
agaknya tadinya tongkat bambu ini agak panjang, tetapi kemudian
ditekuk patah oleh orang, pada ujung atas tongkat bambu
tertampak masih ada beberapa lembar bulu burung yang renggang-
renggang.Pahala dan Murka - 3 28
Demi nampak tongkat bambu ini, sekonyong-konyong air muka
si gadis berubah hebat, tiba-tiba ia menangis dan bertekuk lutut di
lantai.
Kejadian mendadak ini sungguh menggemparkan dan di luar
dugaan.
Sementara itu Kim-to-cecu dengan tangan kiri memegang
tongkat bambu, dengan tangan kanan ia tarik bangun si gadis
dengan pelahan, tiba-tiba ia bergelak tertawa dan berkata "Halia, In
Ceng mempunyai cucu perempuan seperti ini, di alam baka pun ia
boleh pejamkan mata dengan tentram."
Di lain pihak si gadis masih menangis tergerung-gerung, begitu
melihat tongkat bambu ini ia lantas ingat kejadian sepuluh tahun
yang lalu tatkala itu ia masih anak kecil yang berumur tujuh tahun
saja, engkong atau kakeknya, In Ceng, membawanya kabur pulang
dari Mongol, di atas kereta keledai kakeknya pernah
memperlihatkan batang bambu yang disebut "su-ciat" ini dan
menceritakan kisahnya mengangon kuda di negeri asing. Maka kini


Pahala Dan Murka Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

demi melihat batang bambu itu, lamat-lamat ia merasa seperti
berjumpa kembali dengan kakeknya, sudah tentu hal ini
membuatnya berduka.
"Kini kau bukan anak kecil lagi, tetapi sekarang kau adalah
pahlawan yang minta kembali harta perak ke atas gunung, engkau
tidak boleh menangis." tida-tiba Kim-to-cecu berkata dengan suara
lantang, "Lekaslah usap air matamu, urusan kita masih belum
selesai!"
Sekali si gadis baju putih berputar, mendadak ia melompat ke
atas, dengan sebelah tangan ia menahan di belandar dan tangan lain
mencabut golok, lalu berjalan ke depan Locecu dan berlutut dengan
mengangkat golok emas itu di atas kepala, "Terserah pada Siokco-
taijin (kakek paman) untuk memutuskannya!" demikian serunya.Pahala dan Murka - 3 29
Keruan perkataannya ini membikin Pui Keng ketakutan,
pikirnya, "Celaka! Tadi kuandalkan gadis ini sebagai sandaranku,
tak tahunya mereka adalah orang sendiri!"
Dalam pada itu Kim-to-cecu telah terima golok yang
dipersembahkan itu.
"Bangunlah dan simpanlah baik-baik potongan bambu ini,"
katanya. "Meski batang bambu ini membikin orang berduka dan
dendam, namun bagaimanapun adalah benda peninggalan
kakekmu."
Si gadis menurut, ia terima bambu patah itu dan mengusap air
matanya.
"Pui Keng, mari maju sini!" tiba-tiba Kim-to-cecu menggapai
perwira itu.
Dalam takutnya Pui Keng jadi gemetar, kedua kakinya lemas dan
lumpuh. Melihat sikap orang yang lucu ini Kim-to-cecu tertawa geli,
ia perintahkan dua anak buahnya memayang Pui Keng ke
hadapannya.
"Ini empat ratus ribu tahil perak berada di sini semua, boleh
ambil kembali saja," kata pemimpin berandal itu.
Baru sekarang tidak kepalang rasa girang Pui Keng, seketika
semangatnya bangkit kembali, segera ia berlutut dan mengucapkan
terima kasih, tetapi tiba-tiba ia ingat bahwa dirinya sudah
sebatangkara, mana sanggup mengawal kembali harta benda yang
dikembalikan ini?
Agaknya Kim-to-cecu dapat menebak isi hatinya, ia berkata
beberapa patah kata kepada seorang anak buahnya, pintu gerbang
markaspun dibuka, selang tak lama, tertampaklah sebarisan
prajurit dengan menggiring serombongan keledai siap di luar
markas sarang berandal ini.Pahala dan Murka - 3 30
"Hartanya dan orangnya kini sudah kukembalikan semua,
apakah kau perlu cocokkan jumlahnya?" tanya Kim-to-cecu dengan
tersenyum.
Saking girangnya Pui Keng teringat lagi sesuatu, ia coba
bertanya, "Empat ratus ribu tahil perak sudah berada di sini, tetapi
masih ada belasan ekor keledai yang mengangkut barang milik
Teng-congpeng pribadi, bila dapat harap Locecu sudi sekalian
mengembalikannya."
Kim -to-cecu bergelak tertawa.
"Barang dagangan selundupan Teng-congpeng itu maksudmu?"
sahutnya kemudian. "Barang-barang itu cocok untuk digunakan
kami, maka kami tahan seluruhnya!"
Pui Keng terkejut oleh jawaban ini, meski catu tentara sudah
didapatkan kembali, tetapi bila barang Teng-congpeng hilang, susah
juga untuk terhindar dari hukuman mati nanti, terpaksa ia
memohon lagi.
"Harap Cecu suka bermurah hati dan menolong jiwaku ini!"
pintanya dengan meratap dan mohon kasihan.
"Haha, lucu sekali kau ini, Teng-congpeng sendiri rela
memberikan padaku, masa engkau malah keberatan?" kata Kim-to-
cecu dengan tertawa.
Habis itu ia mengeluarkan sebuah sampul surat dan melolos
keluar sehelai kartu merah.
Ketika Pui Keng mengawasi, ia dapat melihat di atas kartu merah
itu tertulis, "Dengan hormat mempersembahkan hadiah sepuluh
angkutan. Dihaturkan pada Ciu-lotaijin. Tertanda hamba Teng Tai-
ko."Pahala dan Murka - 3 31
Bukan main terkejut Pui Keng, ia tidak mengerti mengapa
seorang Congpeng Gan-bun-koan yang merupakan panglima
perang pemerintah yang menjaga benteng tapal batas sepenting ini
bisa tunduk pada seorang bandit, bahkan menyebut diri sendiri
sebagai hnmba, sungguh ganjil dan tidak dapat dipahaminya.
Sudah tentu tidak pernah terpikir olehnya bahwa Kim-to-cecu ini
bukan lain ialah Congpeng Gan-bun-koan sepuluh tahun yang lalu,
Ciu Kian adanya, tatkala ia menjabat Ceng-peng benteng perbatasan
itu, Congpeng yang sekarang ini, Teng Tai-ko, tidak lebih hanya
seorang perwira bawahannya saja.
"Rupanya kau belum mau percaya?" kata Ciu Kian sambil
mengelus jenggotnya, "Baiklah, akan kuperlihatkan satu orang
lagi."
Habis itu ia lantas memberi perintah, tidak lama seorang perwira
sudah dihadapkan, segera Pui Keng mengenali perwira ini adalah
perwira penerima catu tentara yang dia kawal ini dan bertugas
mengurus rangsum tentara di Gan-bun-koan.
"Semua uang perak ini sudah diperiksa dan dicocokkan olehnya,
tentunya kau tidak perlu kuatir lagi!" demikian Ciu Kian berkata
pula kepada Put Keng.
Perwira yang dihadapkan ini memang sudah dikenal Pui Keng
tetapi sama sekali tidak terduga akan berjumpa disini dan bahkan
melakukan "timbang-terima" di sarang berandal ini, nyata dari sial
ia berubah jadi beruntung sehingga banyak mengirit tenaga.
Kemudian Ciu Kian berdiri dari tempat duduknya, ia antar
keberangkatan tetamunya. Si perwira tadi dan Pui Keng berulang
mengucap terima kasih lagi.
"Hendaknya sampaikan pada atasanmu bahwa musuh asing
yang harus dihadapi bersama, maka lebih baik kita bersatu sajaPahala dan Murka - 3 32
untuk melayani musuh dari luar," pesan Ciu Kian pada perwira itu.
"Dan jangan lupa pada janji kemarin itu!"
Perwira itu berulang kali mengiakan dengan hormat.
"Beng Ki, boleh wakilkan aku mengantar mereka turun gunung,"
Ciu Kian memberi perintah kepada bawahannya ini. "Biarlah Jit-
goat-ki boleh dibawa hingga mereka tiba di Gan-bun-koan."
Pui Keng mengerti betapa besar manfaat panji pengenal itu,
dengan membawa panji kecil itu sama saja seperti Kim-to-cecu
sendiri yang mengawal mereka, perjalanan selanjutnya dapat
dipastikan akan aman, maka kembali ia berpaling dan
menghaturkan terima kasih.
Dengan tertawa Beng Ki terima perintah pimpinannya tadi, ia
berbangkit dari kursinya dan berjalan keluar bersama Pui Keng.
"Pui-taijin, setelah kau pulang ke rumah, hendaknya berlatih lagi
ilmu panahmu!" dengan tertawa ia goda perwira ini.
Keruan Pui Keng jadi jengah, mukanya merah. Tempo hari ia
telah buka suara besar dan busur bajanya dipatahkan orang, adegan
itu terbayang pula dalam benaknya.
Menunggu setelah rombongan orang berangkat pergi, kemudian
Ciu Kian berpaling dan berkata kepada si gadis baju putih dengan
tertawa, "In Lui, kebetulan sekali kedatanganmu ini!"
Mendengar orang memanggil namanya, si gadis baju putih
merasa heran dan sangsi, memang sepuluh tahun yang lampau ia
bertemu sekali dengan Ciu Kian di depan Gan-bun-koan, pertemuan
waktu itu dilakukan di tengah medan pertempuran yang sengit. In
Lui sendiri masih terlalu kecil karena baru berusia tujuh tahun, air
mukanya saja tidak jelas, tak terduga orang tua ini masih kenal
padanya.Pahala dan Murka - 3 33
Agaknya Ciu Kian tahu apa yang sedang dipikir oleh gadis ini,
dengan tersenyum ia berkata lagi, "Hari ini kalau tidak sengaja
kupancing kau naik gunung dan paksa kau mainkan kiam-boat
ajaran Hian-ki It-su, tentu aku masih belum berani mengenalimu!"
Mendengar penuturan ini baru In Lui tahu duduknya perkara,
"Hanya untuk memancingku kesini ia sengaja bergurau begitu luar
biasa dengan Congpeng Gan-bun-koan, sungguh kelakuan Siokco
ini memang lain daripada yang lain."
Gadis ini baru mulai berkecimpung di kalangan kangouw, sifat
kekanak-kanakannya masih belum hilang, oleh karena itu, meski ia
tidak berkata di mulut, namun pada mukanya terunjuk tanda
kurang senang.
Akan tetapi segera terdengar Ciu Kian bergelak tertawa pula.
"Haha, Titsunli (cucu keponakan perempuan) yang baik, apa
kautahu mengapa aku melakukan pembegalan atas catu tentara
itu?" ia tanya.
"Bukankah sudah kaukatakan untuk memancing aku naik ke
gunung sini?" sahut In Lui. "Padahal seumpama tidak kaupancing,
aku tetap akan kemari juga."
"Sebabnya?" Ciu Kian jadi heran.
"Sepuluh tahun yang lalu, setelah aku dibawa kabur oleh Tiau-
im Taisu, aku dibawanya dan diserahkan kepada guruku di Siau-
han-san di utara Sucoan," demikian In Lui menerangkan.
"Bukankah gurumu ialah Yap Eng-eng yang berjuluk Hui-thian-
liong-li?" tanya Ciu Kian.
"Ya," sahut In Lui mengangguk. "Setelah belajar selama sepuluh
tahun, Suhu lantas memerintahkan aku turun gunung. Beliau
menyerahkan surat darah tinggalan Yaya (kakek) padaku, ia bilangPahala dan Murka - 3 34
meski orang yang paling dibenci kakek adalah Tio Cong-ciu yang
menyiksanya mengangon kuda selama dua puluh tahun, tetapi
orang yang membunuh dia adalah Ong Cin dari kerajaan sendiri.
Cuma saja kejadian yang sebenarnya Suhu sendiripun tidak jelas. Ia
bilang engkau adalah sobat kakek paling karib, justru karena
kematian kakek yang mengenaskan itu maka engkau memberontak
dan kabur dari benteng pertahanan itu, ia dengar kabar bahwa
engkau telah menjadi berandal, cuma kebenarannya beliau tak tahu
pasti, oleh sebab itu ia pesan setelah kuturun gunung, orang
pertama yang harus kucari adalah engkau."
Mendengar penuturan si gadis, Ciu Kian menggeleng kepala
sambil tersenyum getir.
In Lui jadi tercengang,
"Kakekmu sudah tewas selama sepuluh tahun, namun persoalan
ini masih terkatung-katung," kata orang tua itu, lalu ia ceritakan apa
yang terjadi tatkala itu. Katanya lagi, "Thio Cong-ciu dan Ong Cin
jelas bersekongkol, tetapi kalau melihat kejadian waktu itu,
kematian kakekmu sesungguhnya sangat membingungkan, di
antara kedua orang itu siapakah yang merupakan algojo yang
sebenarnya, sungguh aku sendiri pun tidak tahu."
"Keduanya kupandang sebagai musuh, di antara mereka berdua
Thio Cong-ciu merupakan musuh yang utama," ujar In Lui.
"Ya, tetapi sakii hati ini tidak gampang, membalasnya!" kata Ciu
Kian pula.
"Aku memikul kewajiban membalas sakit hati dua keturunan,
aku akan berusaha sepenuh tenagaku hingga titik darahku yang
penghabisan," sahut In Lui tegas.
Atas ucapan yang gagah berani ini, Ciu Kian menghela napas
pelahan.Pahala dan Murka - 3 35
"Begitu aku sampai di luar Gan-bun-koan sini, segera kudengar
nama panji Jit-goat-ki dari Kim-to-cecu yang disegani, aku lantas
menduga tentu Siokcu (kakek paman) yang mendirikan pangkalan
di sini," sambung In Lui pula. "Cuma aku belum berani percaya
sepenuhnya, maka aku lantas tinggal di Oh-tiap-kok untuk
sementara sambil menyelidiki hingga jelas dan kemudian akan
menemuimu."
"Soal ini sudah lama kuketahui," kata Ciu Kian. "Apa kautahu,
sejak kauturun gunung, karena pernah kaukalahkan beberapa
kawanan bandit di beberapa tempat dengan senjata rahasiamu yang
berbentuk Bwe-hoa, maka di kalangan Kang-ouw kau telah dijuluki
sebagai San-hoa-li-hiap!"
"Nama ini enak juga didengar, tetapi aku sendiri sama sekali
tidak tahu," sahut In Lui.
"Kau tinggal di Oh-tiap-kok (lembah kupu-kupu), bawahanku
sudah lama memperhatikan gerak-gerikmu," tutur Ciu Kian lagi.
"Cuma saja, termasuk aku sendiri tiada menyangka akan dirimu.
Oleh karena itulah aku lantas cari akal buat memancing kau ke sini
untuk menguji ilmu silatmu dan melihat siapakah kau sebenarnya."
"Justru karena pancinganmu ini, aku malah menyangka semua
dugaanku salah seluruhnya," hata In Lui. "Sebab kupikir jika betul
Siokco adanya, maka dapat dipastikan tidak akan merampas catu
tentara itu, oleh sebab itu pula aku berani bergebrak dengan
Siokco." Kembali Ciu Kian bergelak tertawa. "Selamanya aku belum
pernah merampas catu tentara Gan-bun-koan," katanya kemudian,
perampasan kali ini meski boleh dikatakan lantaran dirimu, tetapi
juga tidak seluruhnya karena dirimu, dalam hal ini masih ada
sangkut-pautnya dengan urusan lain!"
"Urusan apakah?" tanya In Lui.Pahala dan Murka - 3 36
"Urusan penting," sahut Ciu Kian. "Sedikitnya menyangkut
kemusnahan Gan-bun-koan dan pangkalanku ini, bahkan
menyangkut nasib negara dan bangsa."
"Apa?" In Lu i terperanjat.
Akan tetapi Ciu Kiam tidak menerangkan lebih lanjut, ia
mendongak dan memandang cuaca.
"Sudahlah, waktu tidak siang lagi, lekas kaupergi tidur sebentar
untuk mengumpul semangatmu, nanti aku masih perlu bantuanmu
mengerjakan sesuatu urusan besar," katanya kemudian.
Lalu ia memberi tanda, di atas gunung seketika bergemuruh
dengan suara tambur dan genta, pemuda yang tadi bergebrak
dengan In Lui bersama seorang maju melapor, "Silakan Cecu
mengutus panglima dan mengirim pasukan!"
Ciu Kian mengangguk menerima laporan itu.
"Dia bernama Ciu San-bin, terhitung pamanmu, tetapi usianya
hanya beberapa tahun lebih tua daripadamu," ia perkenalkan pada
In Lui dengan menuding si pemuda.
"Maaf," ujar In Lui sembari memberi hormat.
"Hahn, enghiong (pahlawan) timbul dari kalangan wanita dan
enghiong terjadi padi kaum muda, kau keponakan perempuan ini
jauh lebih kuat daripada aku yang menjadi paman ini," ujar Ciu San-
bin dengan tertawa.
Kemudian ia perintahkan bawahannya membawa In Lui
mengaso ke belakang. Akan tetapi demi mendengar suara tambur
dan terompet yang berbunyi riuh, seluruh gunung bergemuruh
dengan suara berlarinya manusia dan kuda, mana In Lui bisa tidur
seperti apa yang diminta Ciu Kian.Pahala dan Murka - 3 37
Malamnya, sehabis makan, di markas berandal ini keadaan
kosong dan sepi, hanya tertinggal beberapa orang penjaga saja. In
Lui menjadi heran melihat keadaan ini.
"Apakah hendak bertempur melawan pasukan pemerintah?" ia
tanya.
"Bukan," jawab Ciu Kian.
"Kalau begitu apa akan perang dengan bangsa asing?" tanya In
Lui lagi.
"Itu pun belum diketahui," kata Ciu Kian.
Atas jawaban ini, In Lui jadi semakin curiga dan heran.
"Kalau begitu Siokco mengirim panglima dan atur pasukan


Pahala Dan Murka Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

untuk apa?" tanyanya pula.
"Jangan kautanya dulu, marilah ikut aku ke suatu tempat." sahut
Ciu Kian dengan tertawa.
Habis itu ia dan In Lui lantas tukar pakaian peranti berjalan
malam, ketika mereka keluar dari perkemahan markas itu,
tertampaklah cakrawala penuh bintang bertaburan, waktu itu
sudah dekat tengah malam.
Ciu Kian membawa In Lui mendaki puncak gunung sebelah
timur, mereka menyusuri semak belukar, makin lama semakin jauh
memasuki pegunungan itu dan makin lama makin sukar ditempuh
perjalanan yang berbahaya ini, heran sekali In Lui, ia pikir Siokco
adalah pemimpin pangkalan ini, sesudah mengirim pasukan,
mengapa ia sendiri tidak berjaga di gunungnya, sebaliknya seorang
diri menempuh perjalanan malam ini, sungguh bikin orang seribu
kali tidak mengerti.
Di tengah malam yang sunyi senyap di pegunungan ini, tiba-tiba
terdengar suara gemerciknya air, di kejauhan terdengar suara anehPahala dan Murka - 3 38
berbunyi serentak, rupanya seperti ada orang sedang bersuit
panjang, juga mirip bunyi "oh-ka" (semacam alat tiup bangsa utara)
yang ditiup cepat.
Sementara itu Ciu Kian telah menarik In Lui agar bersembunyi
di belakang batu padas yang besar.
Di bawah sinar rembulan muda dan bintang yang tersebar
jarang, remang-remang air muka Ciu Kian terlihat tegang dan
prihatin, ia mendekam di atas tanah untuk mendengarkan.
?'Eh," tiba-tiba ia bersuara heran dan berkata pada diri sendiri,
"Apakah mungkin dugaanku yang salah?"
In Lui coba ikut mendengarkan dengan cermat, tetapi suara aneh
tadi sudah hilang, keadaan sunyi kembali.
"Apakah yang Siokco dengar?" tanyanya dengan heran.
"Lihat itu," sahut Ciu Kian sembari menuding ke bawah.
Apa yang ditunjuk itu ternyata tempat di bawah tebing yang
curam, yaitu lembah yang dikelilingi gunung gemunung, di tengah
lembah itu tertampak sawah berkotak-kotak dan bergaris-garis,
pada tempat yang dekat dengan gunung sana terdapat waduk
buatan manusia, tanggul waduk dari batu itu tingginya kira-kira
sama dengan rumah bertingkat dua, meski waduk ini tidak terlalu
besar, tetapi luasnya ratusan hektar, air waduk yang memutih
gemilapan tertampak dengan jelas di malam hari.
"Tanah pegunungan ini tergantung atas air waduk ini sebagai
pengairan ke sawah, kami hidup bertani, oleh karenanya waduk ini
sesungguhnya adalah urat nadi pangkalanku ini." tutur Ciu Kian.
Kiranya selama sepuluh tahun Ciu Kian bercokol di pegunungan
ini, ia telah mengubah tanah pegunungan menjadi sawah yangPahala dan Murka - 3 39
menghasilkan, maka kalau berbicara tentang waduk ini, ia merasa
gembira dan bangga sekali.
Tetapi kemudian dengan menghela napas ia sambung lagi,
"Namun baik dari pihak bangsa asing maupun pemerintah sendiri
justru tidak memberi kami hidup tentram di sini, beberapa hari
yang lalu kuterima laporan rahasia bahwa musuh asing akan kirim
jago kelas tinggi ke sini untuk menghancurkan waduk ini."
"Apakah bisa, tampaknya waduk ini tidak gampang dihancurkan
hanya oleh beberapa orang saja," ujar In Lui.
"Rupanya kau tidak tahu," tutur Ciu Kian pula, "Kini sudah injak
musim semi, tiap-tiap tahun pada waktu musim semi di sini pasti
terjangkit banjir air bah, pada bagian hulu kami sudah membangun
bendugan di beberapa tempat untuk menahan bahaya tersebut,
tetapi bila bendungan itu dibobol dengan sebuah lubang saja, bila
air bah meluap, lembah ini segera akan tergenang, sawah yang
ribuan ha luasnya ini seketika pun akan terendam air seluruhnya."
''Betul-betul menggemaskan, bila mereka berani datang, akan ku
persen mereka sekali tusukan," kata In Lui dengan mengertak gigi
demi mendengar cerita itu.
"Kekejaman mereka masih tidak terbatas dalam hal ini saja,"
kala Ciu Kian pula.
Tengah berbicara, tiba-tiba terdengar suara aneh tadi timbul
kembali.
"Aneh!" ujar Ciu Kian setelah mendengarkan.
"Apanya yang aneh?" tanya In Lui.
"Dari suara ini, rupanya seperti ada belasan penunggang kuda
sedang menguber seorang pelarian," tutur Ciu Kian.
"Kedengarannya tadi menuju ke barat, tetapi kini justru menuju kePahala dan Murka - 3 40
jurusan kita sini. He, agaknya orang ini tidak paham jalanan di sini,
mereka hanya berputar-putar disana. Kini suaranya mulai jauh lagi,
dapatkah kaumendengar?"
In Lui menggeleng kepala.
"Selanjutnya untuk merantau di kangouw, kepandaian
mendengarkan dengan mendekam di atas tanah harus kaupelajari
dengan baik!" dengan tertawa Ciu Kian berkata. Lalu ia sambung
lagi, "Sudah kuperhitungkan bahwa malam mi mereka pasti akan
menyabot ke sini, tetapi dari suara tadi, ternyata mereka sedang
menguber kaum pelarian, jangan-jangan terjadi sesuatu di antara
kawan mereka sendiri."
(Bersambung Jilid ke 4)Pahala dan Murka - 4 0Pahala dan Murka - 4 1
PAHALA DAN MURKA
Oleh : gan k.l.
Jilid ke 4
ELAGI In Lui hendak tanya Ciu Kian dari mana bisa
memperhitungkan akan kedatangan musuh malam ini,
sekonyong-konyong dilihatnya Ciu Kian memberi tanda
padanya agar jangan buka suara, lalu tuding-tuding ke depan.
Tertampaklah di atas puncak tujuh-delapan tombak di depan
sana tiba-tiba muncul dua tosok bayangan orang.
Dengan kepandaian Ciu Kian yang mahir ilmu mendengarkan
suara dengan mendekam di tanah, sesudah orang berada dalam
jarak dekat baru ketahuan, maka dapat dibayangkan betapa tinggi
gingkang kedua orang ini.
Di bawah sinar rembulan remang-remang terlihat dua orang
asing dengan berdiri berjajar di puncak sana dan sedang berbicara.
"Besok siang, tanah seluas ratusan H. ini segera akan rata
menjadi tanah lapang. Haha, kali ini Thian betul-betul membantu
kita, tak terduga dan tak tersangka Congpeng Gan-bun-koan
ternyata bisa minta bantuan kita lebih dulu," terdengar seorang di
antaranya berkata sambil menudingkan cambuk yang dipegangnya,
"Biarlah sesudah kita hancurkan Kim-to-lo-cat (si tua bangka golok
emas), kemudian kita serang Gan-bun-koan dengan gampang
seperti membalik telapak tangan sendiri kalau Gan-bun-koan jatuh,
jalan menuju ke ibukota sana tentu tiada rintangan yang berarti
lagi, tanah air seluas sembilan puluh ribu li dari kerajaan Beng pasti
akan menjadi milik kita. Haha, Ciamtai-ciangkun, jasamu kali ini
sungguh tidak kecil!"Pahala dan Murka - 4 2
Habis berkata ia tertawa terbahak-bahak, suaranya menggetar
lembah pegunungan.
In Lui terkejut oleh suara orang yang keras ini. dalam pada itu
terdengar orang yang lain ikut buka suara.
"Perhitungan Ongya (paduka tuan) yang tepat memang sukar
dibandingi siapa pun, meski demikian perlu juga berlaku hati-hati.
Jika besok pasukan Gan-bun-koan tidak datang membantu, pasukan
kita bukankah akan terjebak di tempat yang berbahaya ini? Kalau
kita gabungkan empat penjuru pasukan menjadi dua jurusan,
agaknya tidak perlu terlalu kuatir."
Lalu terdengar orang pertama tadi bergelak tertawa lagi.
"Kerajaan Beng ingin sekali menghancurkan Kim-to-lo-jat ini,
namun pasukan tentara di Gan-bun-koan kurang tenaga, karena
tiada jalan, mereka bersekongkol dengan kita untuk mengepung,
aku tidak kuatir mereka akan mungkir janji," demikian ia berkata,
"Ini adalah kesempatan yang sukar dicari, seorang panglima perang
sekali-kali tidak boleh kuatir ini dan kuatir itu?"
Habis berkata kembali ia umbar tertawanya pula.
Tergerak hati In Lui, pikirnya, "Ciamtai-ciangkun ini jangan-
jangan adalah Ciamtai Biat-beng yang sering disebut oleh Jisupek
itu? Jika betul dia adanya, maka ia pun merupakan salah seorang
musuh pembunuh ayahku, malam ini tidak boleh kulepaskan dia."
Sementara itu terdengar orang yang dipanggil sebagai "Ciamtai-
ciangkun" tadi telah buka suara pula, "Ada baiknya bila Ongya suka
berlaku hati-hati, karena tempat ini justru berada dalam daerah
kekuasaan mereka."
"Justru kukuatir mereka takkan muncul," ujar orang tadi sambil
tertawa, "Memangnya kita siap hendak menghancurkan bendungan
air mereka, tujuannya adalah menyerang tempat yang harusPahala dan Murka - 4 3
mereka tolong, jika mereka datang mengepung kita, maka dengan
kekuatan kita yang hanya belasan orang segera akan menarik
kekuatan induk mereka di sini, sedang empat jurusan pasukan kita
akan menerjang masuk seperti memasuki daerah tak berpenduduk.
Dengan kepandaian silat kita berdua masa kita dapat ditawan
mereka? Paling banyak hanya berkorban belasan prajurit yang
menghancurkan bendungan air itu saja."
Mendengar penuturan orang, diam-diam In Lui mencaci maki
kekejian orang dan tipu muslihatnya yang jahat, ia lantas sadar juga
atas tindakan yang diambil Ciu Kian malam ini.
Ia pikir, "Kiranya Siokco mengatur pasukan dan mengirim
panglima hari ini memang untuk melayani patukan musuh yang
datang dari empat jurusan secara diam-diam itu, sedang aku diajak
kemari adalah untuk berjaga-jaga bila musuh menghancurkan
tanggul bendungan, sungguh Siokco memang seorang panglima
perang sejati."
Segera ia memegang tangkai pedangnya, dilihatnya wajah Ciu
Kian sangat tegang, orang tua ini mengoyangkan kepala memberi
tanda supaya jangan sembarang bergerak.
"He, mengapa mereka masih belum datang?" terdengar Ciamtai-
ciangkun bersuara pula.
Dalam pada itu Ongya atau pangeran itu sedang mondar-mandir
di puncak bukit tampaknya seperti gelisah juga.
"He, mereka sedang mengejar siapa?" tiba-tiba Ciamtai-
ciangkun berkata pula.
Maka terdengarlah suara derapan kuda yang ramai dari jauh
mendekat, sekonyong-koyong di antara lembah gunung di bawah
sana menerobos keluar seorang penungang kuda, di belakangnyaPahala dan Murka - 4 4
ada pula belasan penungang kuda yang sedang mengejar hingga
kuda mereka melompat masuk ke tengah sawah.
"Tolol!" terdengar Ongya itu mengomel, berbareng itu ia lantas
pentang busurnya.
"Ongya, jangan bunuh dia!" lekas Ciamtai Biat beng berseru
mencegah.
Akan tetapi sudah terlambat, baru saja ia berseru atau Ongya itu
sudah melepaskan panahnya secepat kilat.
Pada saat itu juga Ciu Kian menepuk pundak In Lui sambil
berkata padanya, "Bunuh raja asing itu!"
Serentak mereka melompat keluar dari tempat persembunyian,
tubuh In Lui seenteng burung walet, hanya dengan sekali lompatan
naik-turun ia sudah melayang naik ke atas puncak bukit, belum
sampai orangnya senjata rahasianya sudah dihamburkan, dengan
enam buah "Bwe-hoa-oh-tiap-piau", piauw kupu-kupu yang
berbentuk bunga Bwe, segera ia mengarah tiga jurusan pada tubuh
Ciamtai Biat-beng dan raja bangsa asing itu.
Karena benci pada Ciamtai Biat-beng sebagai salah seorang
musuh pembunuh ayahnya, In Lui tidak menghiraukan pesan Ciu
Kian, senjata rahasianya bukan mengincar si taja.bangsa asing itu,
sebaliknya ia bagi dua jurusan dan sekaligus mengarah dua musuh.
Akan tetapi lantas tedengar Ciamtai Biat-beng tertawa terbahak-
bahak, begitu gaitannya bergerak, tiga buah Bwe-hoa-oh-tiap-piau
itu kena disampuk terpental, sedang Ongya itu berteriak kaget,
busurnya terlempar di tanah dan tubuhnya terhuyung-huyung ke
depan, seperti hendak jatuh tetapi tiba-tiba berdiri tegak lagi.
"Pengecut, berani membokong!" ia memaki Habis ini ia cabut
golok di pinggangnya terus hendak menerjang maju, tetapi baru
bergerak lantas berhenti.Pahala dan Murka - 4 5
Kiranya senjata rahasia tunggal "Bwe-hoa-oh-tiap-piau" yang
digunakan In Lui itu adalah ajaran khusus gurunya, "Hui-thian-
liong-li" Yap Eng-eng, si putri naga terbang di angkasa, senjata
rahasia ini dapat mengarah ke-36 jalan darah besar di tubuh orang,
senjata rahasia yang sangat lihai.
Ilmu silat raja asing itu sebenarnya sangat tinggi, tetapi karena
ia sedang tarik busur hendak memanah, pula ia tidak menyangka
kedatangan In Lui bisa begitu cepat, maka ketiga buah senjata piau
dapat disampul? satu, yang satu lagi dapat dihindarinya, namun
yang terakhir telah mengenai "nui-moa-hiat" pada lututnya,
narr.un berkat lweltangnya yang terlatih tinggi ia tidak sampai
jatuh terjungkal, sekalipun demikian ia rasakan kedua kakinya
kesemutan dan sukar buat melangkah.
Mungkin dia memang belum ditakdirkan harus mati, bila In Lui
menuruti pesan Ciu Kian tadi, yakni semua senjata rahasia
diarahkan kepada raja asing ini melulu, maka dapat dipastikan
jiwanya sudah melayang.
Sesudah In Lui hamburkan enam buah piaunya, tetapi kedua
musuh tiada satu pun berhasil dirobohkan, tentu saja ia terkejut.
Sementara itu ia lihat Ciamtai Biat-beng bersuit aneh, mendadak
orang ini melayang ke depannya, kecepatannya sungguh jauh
berada di atas dirinya.
In Lui mengertak gigi, dengan cepat pedangnya menusuk.
Ciamtai Biat-beng angkat gaitan dan menangkis, melihat
penyerangnya adalah seorang gadis muda-belia, ia lantas
membentak, "Lekas suruh orang tuamu maju sendiri, gaitanku
tidak biasa membunuh manusia yang tak terkenal!"Pahala dan Murka - 4 6
Akan.tetapi In Lui tidak menggubris bentakannya, sebagai
jawaban bahkan ia putar senjatanya dengan cepat, berulang ia tusuk
lawan.
"Budak liar, apa kaucari mampus?" bentak Ciamcai Biat-beng
sembari menangkis dengan gaitannya, dengan tenaga dalamnya ia
tolak pokiam In Lui.
Namun In Lui tak gentar'sedikitpun, dengan tipu "pek-hong-
koan-jit" atau pelangi putih menembus sinar matahari, kembali ia
mendesak maju.
Ciamtai Biat-beng segera putar kedua gaitannya, dengan cepat
sekali laksana dua ekor naga keluar dari lautan, dalam sekejap saja
pedang lawan tergulung di tengah, tetapi In Lui tidak gentar,
pedangnya mendadak menusuk lagi melalui lowongan antara kedua
gaitan.
Ciamtai Biat-beng heran, ia surung gaitan kiri dan gaitan kanan
ditarik, dengan demikian senjata In Lui ditolak ke samping, bahkan
gadis ini terdesak mundur.
Tetapi In Lui tidak kenal takut, belum sampai musuh merangsak
maju lebih dekat, segera ia mendahului melompat ke atas, sinar
pedang menyambar pula ke muka musuh.
"Siapa yang ajarkan kau menyerang cara demikian?" tanya
Ciamtai Biat-beng dengan berkerut kening, ia heran cara serangan
In Lui ini. "Dengan cara begitu apa sengaja hendak mengadu jiwa,
mana bisa kauhadapi lawan tangguh?"
"Justru aku ingin adu jiwa denganmu!" sahut In Lui gemas.
Ciamtai Biat-beng mendongkol melihat kebandelan gadis ini, ia


Pahala Dan Murka Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pikir, akan kukunci pedangmu hingga terlepas, coba apa kauberani
bandel lagi. Kemudian akan kutanya lagi mengapa ingin adu jiwa
denganku?Pahala dan Murka - 4 7
Setelah ambil keputusan ini, kedua gaitannya lantas berputar ke
kanan dan ke kiri, kembali ia kurung pokiam si gadis di tengah. Tak
terduga, In Lui ternyata cukup cerdik, sesudah merasakan kelihaian
lawan, ia tidak gampang terpedaya lagi, meski tampaknya ia
ceroboh, namun sebenarnya sangat teliti, begitu ia tekan senjatanya
ke bawah, seketika juga serangan lawan dipatahkannya bahkan
sekalian pedangnya menabas ke atas, keruan saja segera terdengar
suara "trang" yang keras, bagian gaitan yang melengkung sebelah
kiri ternyata tertabas kutung.
"Kiam-hoat bagus!" seru Ciamtai Biat-beng, berbareng kedua
gaitannya lantas menyampuk ke samping.
Segera dirasakan oleh In Lui kekuatan yang besar sekali
mendesak tiba, genggaman tangannya terasa pedas, sinar gaitan
musuh yang gemerlapan sudah menyambar sampai di depan
dadanya.
Dalam keadaan demikian In Lui hendak angkat pedang buat
menangkis pun tak keburu lagi, jelas dalam sekejap lagi ia akan
roboh di bawah senjata musuh. Tak terduga, sekonyong-konyong
Ciamtai Biat-beng membentak, "Apa hubunganmu dengan Hian-ki
It-su?"
In Lui menggunakan kesempatan pada waktu orang membentak,
pedangnya secepat kilat berputar balik, maka terlepaslah dia dari
ancaman gaitan lawan.
"Hm, orang semacam kau setimpal menyebut gelar kakek guru?"
sahutnya dengan gusar.
Ciamtai Biat-beng tertawa mendengar jawaban orang, ia putar
gaitannya sedemikian cepat sehingga In Lui terpaksa harus
mengikuti gerak senjatanya dan tak mampu balas menyerang.Pahala dan Murka - 4 8
Akan tetapi In Lui memang bandel, makin kececar semakin
nekat, kalau Ciamtai Biat-beng mendesaknya mundur tiga langkah,
ia berbalik menubruk maju empat tindak.
"Aha, anak perempuan, apakah kau tahu bahwa gurumu pun
bukan tandinganku." kata Ciamtai Biat-beng dengan tertawa.
Apa yang dikatakan Ciamtai Biat-beng ini sebenarnya rada
berlebihan, bila ilmu silatnya dikatakan setingkat dengan Cia Thian-
hoa dan Hui-thian-liong-li Yap Eng-eng memang tidak salah, tetapi
kalau bilang lebih tinggi dari pada kedua orang ini, jelas dia sengaja
menepuk dada sendiri.
In Lui tidak mempedulilran kata orang tadi apa betul lebih
pandai daripada sang guru atau tidak, ia tetap putar pokiamnya
dengan, cepat dan berulang mengeluarkan tipu serangan
berbahaya.
Lama kelamaan rupanya Ciamtai Biat-beng naik darah juga
karena rangsakan si gadis, ia putar kedua gaitannya, seketika sinar
terang memanjang laksana ular perak melingkar In Lui di tengah,
kemikian berjalan belasan jurus lagi, akhirnya In Lui jadi
kewalahan, tenaganya tidak mencukupi, untuk memangkispun
mulai susah.
Ciamtai Biat-beng tidak menyia-nyiakan kesempatan ini, segera
ia melancarkan tipu serangan mematikan, dengan gaitan kiri
menahan senjata lu Lui, gaitan kanan segera menghantam batok
kepala lawan.
Menyadari dirinya terancam bahaya dan tidak mungkin
menghindarkan diri lagi, In Lui meratap, "Tia-tia (ayah), putrimu
tidak bisa membalaskan sakit hatimu lagi!"Pahala dan Murka - 4 9
Sekalipun ia sudah putus harapan, namun sekuat tenaga ia
berusaha menangkis, sungguhpun ia tahu serangan musuh yang
lihai dan kuat ini, menangkis pun tak berguna.
Sama sekali tak terduga, begitu senjata kedua, pihak saling
beradu, tahu-tahu ia rasakan tenaga serangan lawan ternyata tidak
sehebat sebagaimana yang disangkakan.
"Hai, kau budak cilik ini apakah cucu perempuan In Ceng?"
terdengar Ciamtai Biat-beng membentak.
In Lui menusuk sebelum menjawab, "Pengkhianat, masih ada
muka kau sebut nama Yayaku!"
Karena caci-maki ini, Ciamtai Biat-beng menjadi murka.
"Hm, memangnya aku Ciamtai Biat-beng harus menerima caci-
maki orang yang mengaku sebagai pahlawan dan patriot ini, bila
kubunuh lagi dirimu yang keturunan patriot pun bukan sesuatu
yang luar biasa!" demikian ia menjengek.
Ia putar gaitannya, ia sabat ke kiri dan memotong ke kanan, kini
betul-betul ia serang lawan tanpa kenal ampun.
Sudah tentu In Lui tidak mampu membendung rangsakan itu
meski kiam-hoatnya cukup lihai dan terlatih baik, maka lambat-
Malaikat Jubah Keramat 3 Tamu Dari Gurun Pasir To Liong Keng Hong Karya Opa Sepasang Rajah Naga 9
^