Pencarian

Pahala Dan Murka 3

Pahala Dan Murka Karya Liang Ie Shen Bagian 3


laun ia kewalahan dan tampaknya akan binasa di bawah gaitan
musuh.
Tengah pertarungan berjalan sengit, terdengar di tengah sawah
sebelah bawah sana riuh ramai dengan jerit tangis prajurit asing
yang digempur tunggang-langgang, rupanya Ciu Kian dan
pasukannya sedang unjuk ketangkasan dan telah mendapat
kemenangan besar.
Lega perasaan In Lui mendengar suara tanda kemenangan itu.Pahala dan Murka - 4 10
Dalam pada itu tiba-tiba terdengar raja asing tadi sedang
berseru, "Ciamtai-ciangkun, jangan bertempur lagi, Kim-to-lojat
telah datang!"
Menyusul di tengah suara teriakan dan betakan tertampaklah
Ciu Kian menerjang tiba dengan golok terhunus, sekali Kim-to atau
golok etnas bergerak, dengan tipu "Sam-yang-kai-thai" atau tiga
kambing menyeruduk gunung Thai, beruntun liga kali setangan
berantai ia kirim, maka terdengarlah suara "trang" yang keras,
kedua gaitan musuh kena ditangkis pergi, berbareng itu kaki
kanannya menendang.
"Pengkhianat, hari ini kalau aku tidak hancur-leburkan kau
pengkhianat ini, tentu akan berdosa terhadap golokku ini!" segera
ia memaki.
Karena serangan tadi, Ciamtai Biat-beng berkelit dan menggeser
mundur, sebenarnya ia berniat angkat kaki, tetapi demi mendengar
caci-maki orang, ia tertawa dingin, gaitannya balas menusuk lagi.
"Baik, justru aku ingin kenal kepandaian apa yang ada padamu?"
jengeknya.
Ia layani serangan Ciu Kian yang sementara itu sudah membanjir
tiba, ia menyampuk, menangkis, menggantol dan memotong
dengan cepat hingga beberapa kali serangan orang dapat
dipatahkan.
"Huh, Kim-to atau Gin-to (golok perak) segala, dalam
pandanganku tidak lebih hanya besi tua atau tembaga rongsokan
saja," kembali ia menyindir.
Menyusul sinar gaitan berkelebat lagi, dengan menerbitkan
suara "creng", ujung gaitan menggores pada mata golok lawan
hingga dekuk goresan tertampak jelas.Pahala dan Murka - 4 11
Gusar sekali Ciu Kian atas hinaan ini, sekonyong-konyong ia
melompet maju, sekaligus ia kirim tiga kali bacokan pada musuh. Di
samping lain In Lui pun tidak tinggal diam, ia ikut mengeroyok,
dengan cepat ia pun menusuk dua kali dengan pokiamnya.
Di sinilah Ciamtai Biat-beng telah unjuk ketangkasannya, di
bawah keroyokan dua lawan, dengan gaitannya yang kanan ia
gunakan untuk pienahan golok dan gaitan kiri ia tangkis pedang
orang, dengan tenang ia patahkan setiap serangan lawan. Sekalipun
Ciu Kian mempunyai tenaga beiar dan goloknya pun antap,
ditambah In Lui yang gesit dan pedangnya bergerak dengan cepat,
namun tetap tak mampu mengenai sasarannya.
Akhirnya ketiganya sama-sama hilang sabar, mereka berputar
seperti kitiran, dengan sepasang gaitan "siang-liong-hou-ciu-kau"
atau gaitan bertangkai pelindung tangan yang berbentuk naga,
C'iamtai Diat-beng melayani kerubutan pedang dan golok lawan,
dan ia masih lebih banyak menyerang daripada bertahan.
Diam-diam Ciu Kian dan In Lui terkesiap atas ketangkasan
lawan, pikir mereka, "Sudah lama orang ini terkenal sebagai
panglima paling gagah di negeri Watze, kini ternyata memang tidak
bernama kosong belaka, orang yang berbakat tinggi seperti dia ini
ternyata rela menjadi alat bangsa asing, sungguh sayang sekali!"
Dalam pada itu tiba-tiba terdengar si raja asing itu berseru pula,
"Ciamtai-ciangkun, waktu sudah tiba, tak perlu bertempur lebih
lama lagi!"
Mendengar suara orang, Ciu Kian tersadar, pikiranya, "Tangkap
penjahan harus tangkap pentolannya dahulu, buat apa aku
bertempur lagi dengan orang ini?"
Mendadak ia kirim sekali bacokan sepenuh tenaga, ia paksa
Cimtai Biat-beng mundur beberapa tindak.Pahala dan Murka - 4 12
"In Lui, kaulayani dia beberapa jurus," serunya, habis ini segera
ia melompat ke sana dangan golok membakok si raja asing tadi.
In Lui sangat cerdik, ia tahu maksud kawannya, maka cepat ia
gantikan tempat lowong, itu, ia ayun pedang dan menusuk dengan
cepat, semua tipu serangannya adalah tipu yang mematikan,
dengan demikian, sekalipun ilmu silat Ciamtai Biat-beng jauh lebih
tinggi daripada dia, sesaat itu dapat juga di halangi dan tak bisa
melepaskan diri.
Di sebelah sana, ketika si raja asing melihat Ciu Kian menerjang
tiba dan membacok, tanpa ayal ia pun angkat golok dan menangkis,
terdengarlah suara "trang" yang keras, kedua sama tergetar pergi,
keruan Ciu Kian terkejut.
"Sungguh besar tenaga raja asing ini!" batinnya. "Sesudah
terluka ternyata masih sanggup menahan seranganku ini!"
Ia tak tahu bahwa karena beradunya senjata tadi, tangan raja
asing itu kesakitan dan lebih kejut daripada Ciu Kian.
Sementara itu Ciu Kian terus putar golok dan beruntun
membacok tiga kali, makin lama semakin kuat, bacokan yang satu
lebih hebat dari bacokan yang lain, dan ketika bacokan ketiga
kalinya tiba, raja asing itu tak mampu menangkis lagi, goloknya
terbang tergetar oleh golok emas lawan, Ciu Kian gunakan ketika
baik ini, ia ayun golok emasnya terus memotong kepala orang
dengan sepenuh tenaga.
"Mati aku!" teriak raja asing itu.
Tetapi pada saat paling berbahaya ini ia masih berusaha
menyelamatkan diri, ia tidak ingat lagi rasa sakit pada kakinya,
segera ia jatuhkan diri ke tanah terus menggelinding pergi.
Dengan sindirinya bacokan Ciu Kian mengenai tempat kosong,
ketika ia menyerang lagi, tiba-tiba terdengar sambaran angin tajamPahala dan Murka - 4 13
dari belakang, tanpa pikir segera ia baliki tangan buat menangkis,
terdengarlah suara nyaring benturan kedua senjata, dalam pada itu
ia lihat Ciamtai Biat-beng melompat lewat di atas kepalanya dan
menghadang ke depan, tertampak pula ia selipkan gaitan ke
pinggang, dengan tangan kosong ia tarik raja asing itu diangkat
terus dilarikan.
Sudah tentu Ciu Kian tidak membiarkan musuh kabur, dengan
sekali lompat, goloknya membacok lagi. Namun Ciamtai Biat-beng
tidak menjadi gugup karena serangan ini, sekonyong-konyong
dengan gerakan "hong-hong-tiam-thau"? atau burung cendrawasih
memanggut kepala, ia mendakkan badannya, berbareng itu sebelah
telapak tangannya menampar ke samping.
Serangan ini sangat cepat, tempatnya ber bahaya pula, Ciu Kian
sudah telanjur menyerang dahulu tetapi luput, untuk menarik
kembali senjatanya tak kuburu lagi, dalam saat genting ini, terpaksa
ia keluarkan juga jurus penolong jiwa yang lihai, ia putar ujung
senjatanya ke dalam, sedang tangkai golok terus menyodok ke luar,
terdengarlah suara "plok" yang keras disusul dengan suara "duk"
sekali, pergelangan tangan Ciu Kian tersapu oleh telapak tangan
lawan hingga golok emasnya jatuh ke taDah, sebaliknya dada
Ciamtai Biat-beng pun kena disodok oleh gagang golok hingga
kesakitan, pandangan menjadi gelap, namun Ciam Biat-beng
memang gagah perkasa, mengeluh sedikit pun tidak, bahkan segera
ia gendong raja asing itu terus lari pula lebih cepat.
Di sebelah sana Jn Lui yang dikalahkan dalam sepuluh jurus,
dengan mata kepala sendiri ia lihat Siokco juga gagal dengan
serangannya, dari malu ia menjadi gusar, ia memburu maju lagi, ia
ayun tangannya, kembali tiga buah senjata rahasia Bwe-hoa-oh-
tiap-piau disambitkan.Pahala dan Murka - 4 14
Tetapi tanpa menoleh, sekali tangan membalik dan meraup,
dengan gampang saja Ciam-tai Biat-beng dapat menangkap semua
senjata rahasia itu, bahkan ia terus timpuk kembali dengan tenaga
yang lebih kuat.
In Lui sendiri tak berani menyambutnya, terpaksa ia berkelit ke
samping, maka terlihatlah ketiga Oh-tiap-piau itu mengenai sebuah
batu besar, begitu keras sambitan itu hingga muncrat lelatu api,
tetapi senjata rahasia itu belum lagi jatuh ke tanah melainkan
menancap masuk ke dalam batu.
Bukan main terperanjat In Lui melihat betapa besar tenaga
orang.
Sementara itu dengan menggendong tuannya Ciamtai Biat-beng
sudah kabur melintasi lereng gunung.
Selagi In Lui mengejar musuh, tiba-tiba terdengar di lembah
gunung sebelah timur sana ada suara letusan meriam hingga bumi
berguncang dan gunung tergetar.
"A Lui, musuh yang sudah kalah tak perlu dikejar lagi," seru Ciu
Kian.
Tidak lama kemudian, terdengar pula suara letusan meriam di
empat penjuru susul menyusul, dalam sekejap saja suara teriakan
membunuh menggema angkasa lagi. Dengan gembira Ciu Kian
menjemput kembali goloknya dan tertawa senang atas hasilnya ini.
"Biarpun mereka bangsa asing banyak tipu muslihatnya,
akhirnya tetap menjadi kura-kura dalam temporongku," katanya
tertawa.
Selagi In Lui hendak tanya, mendadak Ciu Kian berlari turun ke
bawah gunung dengan pecat.Pahala dan Murka - 4 15
"Lekas kemari buat menolong orang," serunya dengan
tangannya menggapai.
In Lui bingung oleh perbuatan orang tua ini, tetapi ia ikut juga
turun ke gunung, dilihatnya disitu mayat bergelimpangan, darah
membasahi lembah gunung, kebanyakan mayat ini adalah korban
golok Ciu Kian.
Gadis ini tak sampai hati malihat keadaan yang mengerikan ini,
ia berpaling ke samping.
"Hei, A Lui, apakah kaubawa obat penawar racun?" terdengar
Ciu Kian berteriak. Ketika orang tua ini. menoleh dan diketahui
sikap si gadis, ia tertawa, "A Lui, kenapa kau? Begini saja merasa
takut? Lalu bagaimana kalau kelak harus balas dendam!"
"Jika bertempur dengan musuh tidak kupikirkan, tetapi kalau
melihat mayat bergelimpangan begini, hatiku sungguh tidak tega,"
sahut In Lui.
"Ha, kau betul-betul pahlawan wanita yang berhati welas-asih,
tetapi ketahuilah bahwa di medan perang hal-hal yang lebih
mengerikan daripada ini masih banyak, bila sudah biasa tentu tidak
akan merasa mual."
In Lui menurut, ia menuju ke sana, ia lihat Cui Kian sedang
merangkul seorang Han yang berdandan sebagai "Bu-su" atau jago
silat, di punggung Bu-su ini terdapat sebatang panah yang
menancap masuk hampir separohnya.
"Apakah masih bisa tertolong?" tanya In Lui.
"Ia masih bernapas walaupun sangat lemah, biarlah kita coba,"
sahut Ciu Kian.
"Obat penawar racun selamanya tersedia padaku, cuma entah
berguna tidak?" kata In Lui pula.Pahala dan Murka - 4 16
Ciu Kian terima obat bubuk pemberian In Lui, pelahan ia cabut
panah yang menancap di punggung orang itu, tertampaklah darah
beku yang sudah hitam mengalir keluar bersama ujung panah itu.
"Berbisa sekali panah ini!" ujar Ciu Kian.
Lalu obat bubuk itu ia bubuhkan pada luka orang, ia pijat-pijat
tubuh si penderita untuk melancarkan jalan darahnya.
Selang tak lama, terlihat si penderita membuka matanya, tetapi
napasnya tetap sangat lemah, masih tak sanggup mengucapkan
sepetah kata pun.
Nampak keadaan orang, Ciu Kian menggeleng kepala.
"Bagaimana?" tanya In Lui.
"Ini panah berbisa Mongol yang jahat, bila masuk darah segera
akan menutup jalan pernapasan, bila tiada obat penawar dari
mereka sendiri tidak bisa tertolong lagi," tutur Ciu Kian. "Lwekang
orang ini lumayan, oleh karena itu ia mampu bertahan sampai
sekarang. Dengan obatmu dan cara kupijat badannya mungkin
masih bisa menolong dia tersadar sejenak, namun tetap tidak tahan
sampai besok."
Mendengar keterangan ini, In Lui jadi terharu.
"Apa pun akan mati juga, kalau begitu tak usah menolong dia
supaya ia tidak menderita lebih lama," ujarnya.
"Orang ini telah melarikan diri dari negeri asing dan diuber-
uber, padanya pasti terdapat sesuatu rahasia besar, mungkin mati
pun dia tidak tentram bila ia tidak diberi kesempatan buat
mengatakan rahasianya," kata Ciu Kian.
Habis itu ia merogoh keluar sepotong kolesom, ia iris menjadi
dua terus dijejalkan ke mulut orang ini, pelahan ia taruh penderita
ini di atas tanah.Pahala dan Murka - 4 17
Kolcsom gunanya untuk menambah kekuatan dan
memperpanjang nyawanya, rupanya Ciu Kian bermaksud pakai
kekuatan obat ini supaya orang bisa bertahan dan ada kesempatan
untuk menuturkan isi hatinya.
Sementara itu empat penjuru lembah gunung itu gemuruh suara
pertempuran mengguncang bumi, suara ringkik kuda bercampur
suara dentum meriam yang berkumandang di antara lembah
pegunungan memekak telinga.
"Tidak sampai terang tanah, pasukan asing pasti akan musnah
seluruhnya," dengan tertawa kata Ciu Kian, "In Lui, kini tentu kau
tahu maksud tujuanku merampas catu tentara Gan-bun-koan itu,
bukan?"
In Lui memang cerdas, setelah berpikir sejenak ia lantas
berkeplok tertawa.
"Memang bagus sekali akal Siokco ini!" serunya memuji.
"Engkau merampas catu tentara mereka, dengan sendirinya
Congpeng Gan-bun-koan itu akan menuruti perintahmu untuk
memperoleh kembali bahan sambung nyawa mereka ini. Tentara
asing telah bersekongkol dengan mereka dan akan mengerahkan
pasukan berbareng, sebaliknya engkau mengharuskan dia tinggal
diam dan tidak boleh menggerakan pasukan mereka, dengan
demikian engkau berada di pihak terang dan musuh dalam keadaan
gelap, rencana penyerbuan mereka pun sudah kauketahui dan
dikacaukan, maka kemenangan pertempuran ini berada pada
tanganmu."
Senang sekali Cui Kian mendengar uraian orang yang jitu ini.
"Sebenarnya Teng Tay-ko tidak terlalu busuk, hanya karena ia
kemaruk kedudukan, pemerintah menghendaki dia membasmi
pangkalan kita, tetapi karena kekuatannya tidak cukup, maka iaPahala dan Murka - 4 18
bersekongkol dengan pihak asing," tutur Ciu Kian lagi dengan
tertawa. "Sesudah kurampas catu tentaranya, seorang diri aku
lantas menemui dia, kutanya dia apa ingin dicincang mampus oleh
prajuritnya sendiri yang kelaparan atau ingin melawan pihak asing
saja. Karena kepepet, terpaksa ia menuruti semua perintahku."
Habis berkata, ia tertawa geli.
"Apa yang kautertawai, Siokco?" tanya In Lui heran.
"Haha, sungguh lucu, dalam surat-menyurat Teng Tay-ko
biasanya menyebutku sebagai Kim-to-lojat, tapi waktu berhadapan
ia panggil aku sebagai atasannya!" kata Ciu Kian lagi.
Mendengar penjelasan ini, In Lui pun tertawa geli.
"Apa sebelum ini ia tahu juga bahwa Kim-to-lo-jat justru adalah
bekas atasannya?" tanya In Lui.
"Kedudukannya adalah berkat pengangkatanku dahulu, begitu ia


Pahala Dan Murka Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lihat golok emasku segera ia tahu akan diriku, cuma biasanya ia
sengaja pura-pura tidak tahu saja," sahut Ciu Kian. "Dalam
pertempuran yang sudah-sudah aku selalu memakai topeng,
perlunya agar pasakan pemerintah tidak mengenali diriku."
"Kenapa begitu?" tanya In Lui.
"Ya, jika sampai para prajurit itu mengetahui aku adalah bekas
perwiranya, maka dapat dipastikan sebagian besar segera akan
mihak padaku," Ciu Kian menerangkan adahal suatu benteng
pertahanan penting seoagai Gan-bun-koan ini harus dijaga baik-
baik oleh pasukan pemerintah. Oleh karena itu, ditempatku ini
hanya kuterima kaum jembel saja dan tidak menerima prajurit."
Usia In Lui masih terlalu muda, dalam hal ini ia pun masih hijau,
sudah tentu biasanya ia tidak kenal urusan semacamPahala dan Murka - 4 19
ini, maka keterangan Siokco dapat dirasakan pasti mengandung
maksud yang dalam, tanpa terasa ia jadi termangu-mangu.
"Nah, dia sudah sadar kembali!" tiba-tiba Ciu Kian berkata.
Waktu In Lui menoleh, dilihatnya orang tadi sedang membaik
tubuh, rupanya sudah siuman berkat kolesom tadi.
"Siapa kalian? Harap lekas membawaku menemui Kim-to-cecu,"
dengan suara serak orang itu memohon.
"Aku sendiri Kim-to-cecu," kata Ciu Kian.
"Kalau begitu apa kautahu kemana perginya cucu perempuan In
Ceng yang bernama In Lui?" tanya orang itu lagi.
In Lui terkejut mendengar namanya disebut.
"Akulah In Lui sendiri!" cepat ia menukas.
Mendengar bahwa orang yang dia cari justru berada di
hadapannya, mata orang itu terbelalak.
"Hah, kau In Lui? Ah, bagus, bagus sekali! Kalau begitu matipun
aku bisa tentram," ujar orang itu. "Engkomu masih hidup dengan
baik, kini ia sedang menuju ke kotaraja buat ikut menempuh ujian,
lekas kaupergi mencarinya."
Kembali In Lui terkejut.
Kiranya gadis ini memang masih punya seorang kakak lelaki,
namanya In Tiong, pada waktu sang kakak berumur lima tahun,
ayah mereka, In Teng, telah mengirim kakaknya kepada seorang
Suhengnya untuk dijadikan murid. Hal ini ia dengar dari gurunya
pada waktu mereka akan berpisah.
Kakek gurunya, Hian-ki It-su, seluruhnya mempunyai lima
orang murid, kecuali ayahnya, In Teng, yang belum tamat belajar
sudah keburu menuju ke negeri asing buat menolong sang ayah,Pahala dan Murka - 4 20
keempat murid yang lain masing-masing memperoleh semacam
pelajaran kungfu sendiri-sendiri dari kakek gurunya itu.
Tiau-im Hwesio menurut urutan adalah murid kedua, ia
memperoleh pelajaran Hok-mo-tiang-hoat, ilmu permainan
tongkat penakluk iblis, dan tenaga luar yang hebat.
Cia Thian-hoa adalah murid ketiga dan Hui-thian-liong-li Yap
Eng-eng adalah murid keempat, mereka masing-masing
mendapatkan pelajaran ilmu permainan pedang.
Sedang anak murid yang pertama bernama Tang Gak,
kepandaian sang guru yanj di wariskan padanya adalah Tay-lik-eng-
jiau-kang, yakni ilmu pukulan yang mengutamakan tenaga raksasa
dengan jari tangan yang lihai. Dan In Tiong adalah muridnya.
Sesudah Tang Gak sampai di daerah Mongol. ia mengembara
pula ke daerah Tibet dan daerah perbatasan yang lain, selama
belasan tahun ini jarang terdengar kabar ceritanya, bagaimana
keadaan In Tiong juga tidak ada yang tahu. Siapa duga mendadak di
tempat ini bisa mendengar berita mengenai engkohnya yang belum
pernah dijumpainya itu, sudah tentu ia merasa girang tercampur
kaget.
"Siapakah kau ini?" cepat ia tanya orang itu.
"Aku adalah Suheng engkohmu," sahut orang itu lemah.
"O, dan kalau begitu kau pun terhitung Suhengku," ujar In Lui.
Dan selagi gadis ini hendak tanya lebih lanjut, tiba-tiba kedua
mata orang itu sudah mendelik.
"Ma . . . masih ada urusan yang. . . yang lebih penting," demikian
dengan suara terputus-putus orang itu berkata lagi, "musuh akan
mengepung dan . . . dan menyerang bentengmu, hendak memotong
pula sumber airmu."Pahala dan Murka - 4 21
"Aku sudah tahu hal ini, dengarkah kau suara meriam itu? Kita
sudah mendapat kemenangan besar," sahut Ciu Kian tersenyum.
Air muka orang itu pun mengunjuk senyum bersyukur. Lalu
dengan terputus-putus dan serak ia menyambung lagi.
"Me . . . mereka hendak menggempur kerajaan Beng, kau . . , kau
harus melapor kepada Sri Baginda. Aku . , . aku masih ada sepucuk
surat buat kau. Se . . . sesudah bertemu dengan kalian aku boleh
pergilah."
Makin lama suaranya makin lemah, dan mangkatlah orang ini
dengan wajah tersenyum puas.
Melihat napas orang sudah putus Ciu Kian menghela napas, ia
buka sampul surat yang dimaksudkan orang tadi, ia bikin api
dengan batu api.
"Ternyata tulisan Toasupekmu (paman guru teriua),?? kata Ciu
Kian begitu membaca surat itu sekilas.
Tulisan surat itu kurang rajin, agaknya ditulis dalam keadaan
terburu-buru.
Isi surat itu berbunyi:
Tang Gak seorang pegunungan yang kasar, kini berada di gurun
tandus, tiada sesuatu yang dibuat hiburan, yang ada hanya
sekedar minum sampai mabuk. Selama hidupku tiada sesuatu
penyesalan, yang harus disayangkan hanya belum pernah kenal
dengan Anda ....
Membaca sampai di sini, Ciu Kian membatin, "Tang Gak ini
tampaknya boleh juga."
Lalu ia membaca iagi.
Walaupun saudara belum pernah berjumpa denganku, tetapi dari
Thian-hoa sudah kukenal budi pekerti dan perbuatan mulaiPahala dan Murka - 4 22
saudara yang mengagumkan di kalangan kalangan kangouw.
Meski saudara berdiri sendiri di atas gunung untuk melawan Han
dan menahan Oh (bangsa asing) dan meski pemerintah tidak
kenal kebaikan dan lupa akan jasamu. namun kuyakin saudara
pasti tidak sudi menyaksikan bangsa Oh menyerbu ke selatan
sehingga benua tengah bangsa Han dikuasai penjajah asing.."
Ciu Kian menghela napas, katanya, "Di kolong langit ini rasanya
cuma orang inilah yang paham akan diriku."
Lalu ia baca terus.
Negeri Watze sejak meninggalnya Tofan, kekuasaan telah
digantikan putranya, Yasan, semula ia menjadi perdana menteri,
kemudian ia angkat dirinya sendiri menjadi Koksu (imam
negara), ia pegang semua kekuasaan militer dan sipil, ia latih
pasukan dengan giat dan berminat menyerbu ke Tionggoan
(daerah tengah, Tiongkok), paling akhir ini telah mengadakan
wajib militer lagi dan mengumpulkan perbekalan, hari
bergeraknya agaknya sudah tidak lama lagi. Dalam keadaan
musuh sedang siap menyerbu ini, para menteri pemerintah kita
justru berada dalam alam mimpi dan tidak mau tahu, apakah ini
tidak harus disesalkan.
Membaca sampai di sini kembali Ciu Kian berhenti dengan
terharu. Katanya, "Memang pembesar kita masih berada dtlam
mimpi dan belum sadar kembali."
Dan ia membaca lagi.
Muridku In Tiong, karena ingat pada sakit hati orang tuanya,
dengan meninggalkan surat diam-diam ia kembali ke tanah air,
usianya masih terlalu muda dan pengalamannya cetek, mana ia
tahu bahwa pembesar dorna sedang berkuasa. Harap saudara
ingat pada orang tuanya dan suka memberi petunjuk seperlunya.Pahala dan Murka - 4 23
Kabarnya In Teng masih mempunyai seorang adik bernama In
Lui, jika saudara tahu akan jejaknya, harap beritahukan tentang
kakaknya ini. Ada lagi tentang Thian-hoa Sute, sejak bertemu
sepuluh tahun yang lalu di negeri asing, sampai kini lantas putus
perhubungan dan tiada kabar beritanya. Konon dia terbunuh oleh
bangsat she Thio, ada pula yang bilang ia terkurung di istana Oh,
oleh karena Tang Gak hanya seorang diri, maka tak berdaya
menolongnya. Harap saudara suka sampaikan berita ini agar
Tiau-im ajak adik Eng ditang ke negeri asing ini. Semuanya perlu
bantuan saudara, banyak terima kasih.
Habis membaca, Ciu Kian termangu-mangu sambil memegangi
surat itu.
"Jika demikian halnya, biarlah aku pergi ke kotaraja dahulu
untuk mencari Koko (kakak)", ujar In Lui.
Ciu Kian tidak lantas menjawab, ia pandang gadis ini sekejap,
mpaknya sedang memikirkan sesuatu.
"Boleh juga," katanya kemudian.
Melihat sikap orang tua ini, In Lui merasa heran.
"Kabarnya kaisar yang sekarang ini telah memberi titah untuk
mencari orang pandai dan tenaga yang berbakat, dalam musim
rontok nanti akan diadakan ujian silat untuk kemudian diberi
pangkat, bagi orang yang belum punya sesuatu gelar pangkat,
sesudah melalui ujian permulaan dan ujian ulangan boleh juga ikut
dalam pertandingan untuk merebut gelar Conggoan (gelar bagi
pemenang pertama)," tutur Ciu Kian. "Kakakmu itu mungkin
bermaksud mencari jalan melalui ujian ini untuk kemudian
memimpin pasukan tentara buat membalaskan sakit hati
kakekmu".Pahala dan Murka - 4 24
"Pemerintah sengaja menawarkan pangkat karena kegentingan
di daerah perbatasan, dalam keadaan memerlukan tenaga ini,
tunjuannya memang baik, tetapi kekuasaan berada di tangan
pembesar dorna, tampaknya hanya ada nama tetapi tanpa isi,"
berkata sampai di sini Ciu Kian menengadah memandang bintang
yang sudah jarang itu, kemudian tiba-tiba ia tanya, "A Lui,
pernahkah kau baca surat jawaban Li Leng kepada So-Bu?"
In Lui mengangguk.
"Dahulu Li Teng dengan lima ribu prajurit melawan pasukan
musuh yang berjumlah ratusan ribu, meski demikian semula ia bisa
menghancurkan musuh dan menguber sampai ke utara, kemudian
karena jumlah sedikit tidak mampu melawan musuh yang jauh
lebih banyak, akhirnya ia tertawan musuh, tetapi ia pantang
menyerah," demikian cerita Ciu Kian pula. "Akan tetapi pemerintah
Han ternyata tidak tahu maksud baiknya dan malah menghukum
mati seluruh sanak keluarganya. Oleh karena inilah Li Leng menjadi
putus asa tidak mau pulang ke tanah air lagi. Dalam suratnya
kepada So Bu ia bilang, ?Kalau mengingat ibu yang usianya sudah
lanjut masih dibunuh dan istri tanpa berdosa dihukum mati pula,
berjuang untuk negara, tetapi akhirnya harus terima nasib begini.
Saudara pulang dengan gilang-gemilang, tetapi aku tetap tinggal
terhina, agaknya sudah takdir!? Beberapa kata-katanya ini sungguh
mengharukan. Walaupun tindakan Li Leng dapat dimengerti, tetapi
sebenar sangat menyedihkan!"
Habis berkata. Ciu Kian menengadah dan menghela napas
panjang.
"Siokco, engkau selamanya melawan musuh sepenuh tenaga,
mana bisa Li Leng dibanding denganmu," ujar In Lui.
"Pada waktu berumur tujuh tahun pernah kaudengar cerita
tentang engkongmu, kini kuceritakan juga kisahku sendiriPahala dan Murka - 4 25
padamu," tutur Ciu Kian lagi. "Dahulu aku menjaga benteng
perbatasan ini, berpuluh kali pertempuran besar maupun kecil telah
kualami dan setiap kali selalu menang, siapa duga Sri Baginda telah
menuruti hasutan pembesar dorna, dengan secarik surat
pemerintah aku dipecat. Ini belum apa-apa, engkongmu boleh
dibandingkan So Bu dalam hal kesetiaan, akan tetapi nasibnya lebih
mengenaskan, ia malah dihadiahi kematian oleh Sri Baginda,
apakah ini adil? Oleh karena itulah saking gusarnya aku lantas
memberontak di tapal batas sini. Tatkala mana sebenarnya aku
tiada niat merebut gunung buat tempat bercokolku, tetapi
kemudian kaisar mencontoh caranya penguasa dulu menghukum Li
Leng, semua sanak keluargaku telah dihukum mati juga, syukur ada
salah satu hambaku yang setia, akhirnya putra bungsuku dapat
diselamatkan, dia bukan lain adalah pemuda yang memancingmu
ke atas gunung kemarin dulu itu,"
Mendengar cerita yang memilukan ini, In Lui mengembeng air
mata, tanpa bicara ia pandang wajah Ciu Kian yang rawan itu.
"Akan tetapi panji pertandaanku masih tetap Jit-goat-ki!"
terdengar pula Ciu Kian berkata sambil menunjuk sepasang
bendera yang berkibar di puncak bukit sana dan sedang melambai
tertiup angin hingga menerbitkan suara gemersik.
In Lui pandang bendera yang berkibar itu, yang sebelah pakai
tanda matahari dan yang lain tanda bulan, kedua simbol ini bila
digabung akan menjadi huruf "Beng" (dalam huruf Tionghoa huruf
Beng terdiri dari gabungan huruf matahari dan rembulan).
"Ai, meski Siokco menjadi bandit di pegunungan, tetapi tidak
pernah melupakan kerajaan Beng," demikian In Lui merasa terharu
juga atas kesetiaan orang.
Dalam pada itu ia dengar Ciu Kian bersuara lagi.Pahala dan Murka - 4 26
"Jika kau ketemu dengan kakakmu itu, katakan padanya agar
jangan ikut merebut pangkat Bu-cong-goan segala, lebih baik
kembalilah ke tempatku ini," kata orang tua ini. "Coba pikirkan cara
pemerintah memperlakukan engkohmu dahulu, apakah kalian tidak
merasa ngeri?"
"Memang tidak salah kata Siokco." ujar In Lui.
Ciu Kian melipat surat yang dibacanya tadi, lalu dimasukkan ke
dalam baju. Habis ini ia berkata lagi.
"Kau punya Samsupek (paman guru ketiga), Cia Thian-hoa,
memang gagah dan berbudi luhur, ia pun termasuk orang yang
kukagumi, sepuluh tahun yang lalu ia berjanji dengan Tiau-im
Taysu bahwa yang satu membesarkan anak piatu dan yang lain
menuntut balas. Kini Tiau-im Taysu sudah menyuruh Sumoaynya
merawat dan membesarkan kau, tetapi tugas membalas dendam
Thian-hoa sampai kini malah belum ada kabar beritanya, sungguh
membikin orang berduka saja."
"Biarlah kuberitahukan Suhu agar dia dan Jisupek bersama-
sama berangkat ke negeri musuh untuk mencari Samsupek," ujar
In Lui.
"Tetapi kau hanya seorang diri, mana bisa kerjakan dua urusan
sekaligus?" kata Ciu Kian. "Begini saja, kau tetap pergi mencari
kakakmu dan kupergi memberitahukan gurumu."
"Baik sekali kalau begitu, besok pagi segera kuberangkat," sahut
In Lui.
Ciu Kian tertawa oleh ketidak sabaran orang, ia berkata lagi.
"Baiknya kau mengaso beberapa hari lagi. Soal ilmu silat aku
tidak melebihimu, tetapi ada hal lain yang harus kau belajar dariku."Pahala dan Murka - 4 27
Sementara itu sudah terang tanah, suara meriam pun reda, Ciu
Kian dan In Lui telah kembali ke pangkalannya.
Pada waktu lohor, pasukan dari empat penjuru telah kembali
melaporkan kemenangan mereka, betul juga musuh telah digempur
hingga kocar-kacir, tidak sedikit tawanan dan senjata yang mereka
rampas. Ciu Kian memberi perintah kasih hadiah kepada prajurit
yang ikut berjuang, setelah repot setengah harian baru semua
teratur beres.
"Meski ilmu silatmu tinggi, tetapi terhadap peraturan kangouw
kau masih hijau, biarlah kusuruh San-bin mengajarkan kau," kata
Ciu Kian akhirnya kepada In Lui.


Pahala Dan Murka Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sejak itulah berturut-turut tiga hari Ciu San-bin telah
menerangkan dan menceritakan semua pantangan, tiap golongan
dan aliran, kata rahasia yang biasa digunakan para kesatria di
kalangan kangouw beserta hubungan satu sama lain dan seluk
beluknya, semuanya ia ceritakan dengan sangat jelas kepada In Lui.
Gadis ini memang pintar, ingatannya pun tajam, maka setelah
tiga hari belajar, terhadap segala urusan kalangan kangouw ia
sudah apal sekali.
Ciu Kian kuatir anak dara ini belum cukup berpengalaman,
kenalan pun tidak banyak, maka ia memberi padanya sepasang Jit-
goat-ki atau panji matahati dan rembulan.
"Para orang gagah dari sungai dan darat di lima propinsi utara
kalau melihat panji ini tentu mengalah beberapa bagian padamu,
jika kau alami bahaya, boleh kau perlihatkan panji ini," demikian
pesan Ciu Kian. "Cuma, kalau tidak perlu jangan sembarangan
digunakan."
Karena pemberian ini, diam-diam In Lui membatin, "Aku
mengembara di Kangouw, perlunya justru ingin mencariPahala dan Murka - 4 28
pengalaman, jika harus berlindung dibawah panji kebesaranmu,
lalu apa gunanya?"
Akan tetapi tidak enah untuk menolak maksud baik Siokconya,
terpaksa ia terima juga.
Habis itu Ciu Kian lantas mengeluarkan beberapa potong
pakaian orang lelaki dan beberapa barang berharga sebangsa emas
perak dan mutiara mustika.
"Seorang gadis luntang-lantung sendirian menuju ke kotaraja
tentu akan menarik perhatian orang," ujar Ciu Kian dengan
tersenyum, "Sebaiknya kautukar pakaian saja. Sedikit emas perak
ini boleh dibuat bekal di tengah perjalanan."
In Lu i pikir memang tidak salah kata orang, maka ia lantas ganti
pakaian yang disediakan ini dan terima emas peraknya, kemudian
ia mohon diri dan turun gunung.
"San-bin, antar dia," pesan Ciu Kian kepada putranya sebelum
orang berangkat.
Begitulah sesudah keluar dari gunung pangkalan itu dan
berganti kuda, pada waktu lohor mereka sudah lewat Gan-bun-koan
dan menginjak jalan raya yaog menuju ke kotaraja.
"Siok-siok (paman), kau boleh kembali saja," ujar In Lui kepada
San Bin,
Dengan terharu Ciu San-bin memandang In Lui sekejap.
"Kelak hendaklah kau kembali lagi!" sahutnya kemudian.
Namun ia masih terus melarikan kudanya sejajar dengan In Lui
menuju ke depan, rupanya ia sayang buat berpisah.
"Sudahlah, Siok-siok, banyak terima kasih padamu, kini kau
boleh kembalilah," kata In Lui pula setelah agak jauh.Pahala dan Murka - 4 29
Mendengar orang berulang kali memanggil paman padanya,
tiba-tiba muka San-bin bersemu merah.
"Sebenarnya aku hanya lebih tua beberapa tahun saja darimu,
meski orang tua kita bersahabat karib, tetapi bukan saudara,"
katanya kemudian dengan tertawa, "Jika dihitung menurut umur
kita, lebih baik kita saling menyebut kakak adik saya lebih sesuai,"
In Lui menjadi heran, tiba-tiba ia teringat bahwa dalam beberapa
hari ini sikap San-bin terhadapnya sangat memperhatikan. Pikirnya
"Paman ini sangat baik orangnya, hanya kata-katanya yang rada
tidak wajar."
Usia In Lu i masih muda, dengan sendirinya ia tidak tahu maksud
hati orang. Oleh karena itu, dengan tertawa ia lantas menjawab, Apa
kau jadi lebih tua bila kupanggil Siok-siok. Baiklah kalau begitu,
kelak bila aku kembali, sesudah melapor kepada Siokco, akan
kuganti cara memanggil kau."
Keruan Ciu San-bin menjadi merah jengah, sedang In Lui lantas
melarikan kudanya dengan cepat, waktu ia menoleh, dilihatnya
San-bin sedang memandangnya dari jauh dengan terkesima.
Sepanjang jalan tanpa sesuatu kejadian, pada hari ketiga In Lui
sudah sampai di Yang-kiok, propinsi Soa-say, tempat ini adalah kota
industri minuman keras, maka begitu gadis ini masuk kota, segera
terlihat di mana-mana terpampang panji reklame arak yang
berkibar.
Memangnya In Lui sedang lapar dan haus, pikirnya, "Sudah lama
kudengar arak keluaran Soa-say termashur, hari ini betul-betul bisa
kurasakan sepuasnya."
Ketika sampai di suatu kedai arak, ia lihat di luar kedai itu
tertambat seekor kuda putih mulus, bahkan keempat tapalnya pun
putih laksana salju, kuda ini sangat gagah, waktu In Lui mendekatPahala dan Murka - 4 30
untuk melihatnya, tiba-tiba tertampak olehnya pada pojok dinding
terdapat tanda rahasia yang biasa dilakukan oleh orang kangouw.
In Lui jadi tertarik, ia pun memasuki kedai arak itu.
Sampai di atas loteng, terlihat olehnya ada seorang Suseng atau
pemuda pelajar, seorang diri sedang minum arak pada suatu meja
di sebelah selatan yang dekat jendela. Sedang di sebelah timur
terdapat dua tetamu lelaki yang kasar, satu gendut dan yang lain
kurus, mereka asyik minum arak juga, lengan baju mereka digulung
dan dada terbuka, kadang-kadang mengeluarkan kata-kata kasar
hingga membikin keadaan berisik.
Sebagai penonttj In Lui dapat malihat jelas kedua lelaki ini meski
lagaknya minum arak dan bikin onar, tetapi sering melirik ke arah
si pemuda sastrawan.
Dandanan pemuda sastrawan ini sangai mewah, tampaknya
sebangsa Kongcu atau putra hartawan. Ia minum sendirian,
secawan demi secawan arak membasahi tenggorokannya, tubuhnya
tertampak sudah terhuyung, agaknya ludah rada sinting, tiba-tiba
ia bersanjak dengan suara keras.
Aku dilahirkan dengan pandai pasti berguna. Beribu tahil emas
terhambur segera kembali lagi.
Sembelih kambing potong kerbau buat hiburan. Sekali minum
harus tiga ratus cawan.
Habis ini ia menggeleng dan mengangguk-anggukkan kepalanya,
gerak-geriknya menggelikan. Lalu dengan sekaligus ia tenggak pula
secawan araknya.
Melihat kelakuan orang, diam-diam In Lui geli dan membatin,
"Siucai berbau kecut ini betul-betul tidak tahu bahaya, sudah terang
kawanan perampok sedang mengincar di samping, tetapi ia masih
minum arak tanpa pikir."Pahala dan Murka - 4 31
Karena sanjak pemuda tadi, sekonyong-konyong lelaki kurus di
sebelah timur itu pun tertarik.
"Sekali minum tiga ratus cawan. Basus! Nah, saudaraku, orang
sekaligus minum tiga ratus cawan, apa tiga cawan ini saja tidak
kauhabiskan?"
Tetapi kawannya lantas melonjak bangun.
"Ngaco-belo. kauminum secawan, kenapa aku harus minum tiga
cawan?" teriaknya gusar.
"Sudah tentu." sahut yang kurus. "Badanmu tiga kali lebih besar
daripadaku, aku minum secawan, harus kauminum tiga cawan!"
"Kentut, kentut busuk! Tidak sudi aku minum!" kata yang
gendut.
"Kau mau minum tidak?" bentak si kurus.
Habis ini ia angkat poci arak terus hendak mencekoki kawannya
secara paksa.
Keruan si gendut menjadi gusar, sekuatnya ia dorong poci arak,
karena itu isi araknya lantas tumpah berhamburan, kedua orang
pun saling bergumul dan bergenjotan, karena dorong mendorong
itu, akhirnya mereka menubruk ke arah si pemuda sastrawan.
"Kurangajar!" semprot pemuda itu dengan gusar.
Dalam pada itu tiba-tiba terdengar suara nyaring, ternyata
sebuah dompet milik pemuda itu jatuh ke lantai, isinya beberapa
potong uang emas dan serenceng mutiara menggelinding
berhamburan, uang emas itu masih mendingan tetapi mutiara itu
bersinar mengkilat hingga menyilaukan mata, meski di tengah hari
yang terang benderang, sinar mutiara yang berkilauan tidak
menjadi berkurang.Pahala dan Murka - 4 32
Sementara itu dengan cepat kaki si pemuda sastrawan
menginjak pada dompetnya sambil berjongkok untuk menjemput
uang emas dan mutiaranya.
"He, apa kalian hendak rebut barangku?" teriaknya.
Karena teriakan ini, mendadak kedua lelaki tadi berhenti
bergumul.
"Siapa hendak rebut barangmu?" balas mereka membetak.
"Berani kau tuduh orang baik-baik? Ini rasakan kepalanku!"
Habis im mereka lantas hendak memukul.
Akan tetapi sebelum mereka ayun bogemnya, tetamu lain secara
beramai-ramai memburu maju ke tengah untuk memisah.
Diam-diam In Lui merasa geli, pikirnya, "Kalian berdua ini
terang adalah kawanan bandit dan pura-pura mabuk untuk
menubruk jatuh dompet orang perlunya ingin cari tahu isi kantung
pemuda sastrawan itu. Tetapi aku berada di sini, jangan harap
kalian akan beraksi sesukanya."
Kemudian In Lui pun maju ke tengah untuk melerai.
"Hai, kenapa kalian mabuk arak dan bergumul sampai di tempat
orang?" tegur In Lui sambil mendorong dengan kedua telapak
tangannya.
Ia pura-pura mendorong, tetapi sekalian ia menggerayangi pula
saku kedua lelaki itu hingga semua isi kantung berpindah tempat.
Gerak tangan In Lui gesit dan enteng sekali, ia curi uang orang
dalam keadaan ribut itu, ternyata tiada seorang pun yang
mengetahui.
Karena dorongan In Lui tadi, dada kedua lelaki itu kesakitan,
mereka terkejut dan tak berani bikin onar lagi.Pahala dan Murka - 4 33
"Siapa suruh dia tuduh kami hendak rebut barangnya?"
demikian mereka menggerundel.
"Sudahlah, jelas kalian yang salah karena menumbuk orang lebih
dulu, lekas kembali ke tempat sendiri dan minum lagi," demikian
orang lain ikut menentramkan suasana.
Setelah keadaan tenang kembali, segera pemuda sastrawan tadi
angkat cawannya dan mengajak minum pada In Lui
"Marilah saudara, silakan minum," katanya sambil menenggak
araknya hingga bau arak berhamburan.
''Terima kasih," sambut In Lui, ia kembali ke tempatnya sendiri
untuk melihat lebih jauh apa yang hendak diperbuat kedua lelaki
tadi.
Kedua lelaki itu melototi In Lui, rupanya mereka masih
penasaran.
"Hei, kasir, bikin perhitungan!" kemudian mereka berseru.
Si kurus lantas merogoh saku hendak ambil uang, akan tetapi
tiba-tiba mukanya pucat karena kantungnya kosong, nampak
gelagat jelek kawannya, si gemuk pun merogoh saku, akan tetapi
dompetnya pun sudah hilang tanpa bekas, keduanya menjadi kaget
dan saling pandang dengan bingung.
Kedua orang ini memaug begundal kawanan penjahat, mereka
tidak berhasil mencuri sebaliknya malah kehilangan, mereka tahu
tentu perbuatan In Lui, tetapi karena urusan kecil ini bisa membikin
runyam pekerjaan mereka, maka mereka tidak berani tarik urat.
Sementara itu kasir kedai arak lantas mendekati mereka.
"Harap membayar satu tahil tiga uang perak." kata si kasir
dengan rekeningnya.Pahala dan Murka - 4 34
Kedua lelaki itu menjadi serba salah, tangan mereka masih
tertusuk di dalam saku, namun sukar ditarik keluar.
"Kedua tuan ini, jumlah seluruhnya satu tahil tiga uang perak,"
kasir itu mengulangi perkatannya.
"Bolehkah utang dulu?" dengan kikuk akhirnya tercetus dari
mulut si kurus.
Seketika air muka si kasir berubah.
"Apa, utang? Hm, kalau semua tetamu main utang, lalu kami
makan angin saja!" jengek kasir ini.
"Kalian berdua ini apa memang sengaja membikin onar dan mau
makan minum percuma?" si pelayan pun ikut membentak. "Sudah
bikin onar, mabuk arak dan kini hendak makan-minum percuma
lagi, tidak bayar pun boleh asal tinggalkan bajumu!"
Mendengar kata-kata terakhir ini, semua tetamu bergelak
tertawa, mereka pun bilang ialah kedua lelaki itu sendiri.
Karena tiada jalan lain, terpaksa kedua orang itu betul-betul
mencopot pakaian mereka.
"Kedua potong baju ini masih belum cukup," ujar si pelayan,
berbareng ia copot sekalian topi orang, lalu menyambung lagi,
"Nah, sudahlah, hitung-hitung kami yang sial, lekas enyah dari
sini!"
Begitulah maka dengan setengah telanjang kedua lelaki itu cepat
bertindak ptrgi di bawah tiupan angin yang dingin.
Senang sekali rasanya In Lui menyaksikan kejadian tadi, seorang
diri ia habiskan araknya dua cawan lagi, dilihatnya si pemuda
sastrawan juga minum terus araknya, tiba-tiba In Lui ingat bahwa
kedua lelaki tadi tidak lebih hanya anak buah kawanan bandit,
sesudah mengalami kejadian tadi, tentu mereka akan pulangPahala dan Murka - 4 35
melapor kepada pemimpin mereka, harta benda pemuda sastrawan
ini bakal berbahaya.
Oleh karena itu ia lantas berbangkit dan bergegas berangkat.
"Kasir, hitung semua!" serunya, Rupanya ia telah ambil
keputusan hendak mengikuti jejak kedua kawanan bandit tadi.
Melihat dandanan In Lui yang perlente dan seperti putra
hartawan, dengan muka berseri si kasir lantas datang.
"Harap bayar satu tahil dua uang perak," katanya dengan
perhitungannya.
Segera In Lui merogoh sakunya, akan tetapi tidak kepalang
terkejutnya. Ia ingat dengan baik bahwa emas perak dan barang
berharga pemberian Ciu Kian ia bungkus dengan saputangan, akari
tetapi kini sudah hilang semua. Waktu ia merogoh saku sebelah lain,
beberapa tahil perak bolehnya mencopet dari kedua lelaki tadi pun
sudah lenyap.
Keruan kejutnya bukan buatan, meski waktu itu hawa cukup
dingin, tetapi jidatnya segera berkeringat saking gugupnya.
Kasir kedai itu menjadi curiga, tetapi melihat pakaian In Lui yang
mentereng, terang bukan seorang yang tak punya uang.
"Apa tuan tidak punya uang receh? Emas lantakan atau perak
bongkotan pun boleh, biar kedai kami menukarnya, tanggung tidak
menipu karatannya," dengan ragu tanya si kasir.
Karena desakan ini, In Lui semakin gugup, ia kuatir bisa-bisa
pakaiannya pun disuruh copot, hal ini tentu akan bikin malu
padanya.
Melihat In Lui hanya rogoh sebelah sini dan raba sebelah sana,
akhirnya muka si kasir berubah kurang senang.
"Toaya (tuan), kenapa kau?" tanyanya dengan tertawa dingin.Pahala dan Murka - 4 36
Akan tetapi sebelum keadaan telanjur runyam, keburu si pemuda
sastrawan tadi mendekati dengan jalan berlenggang.
"Ai, di empat penjuru lautan adalah kawan, beribu tahil emas
terhambur mudah diperoleh kembali, rekening saudara ini biarlah
aku yang bayar," seperti bersajak ia berkata pada si kasir kedai.
Berbareng ia la lantas merogoh keluar serenceng uang perak
lebih dari sepuluh tahil.
"Ini pembayaranku, lebihnya boleh ambil saja!" katanya sambil
melemparkannya kepada si kasir.
Keruan kasir itu kegirangan, berulang ia ucapkan terima


Pahala Dan Murka Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kasihnya.
In Lui menjadi malu, mukanya merah, dengan suara pelahan ia
pun menghaturkan terima kasih.
"Terima kasih apa? Ini, kuajarkan suatu rahasia padamu. Lain
kali kalau minum arak lagi, hendaknya kaupakai baju rangkap,
dengan demikian pada waktu bikin pembayaran tidak perlu lagi
kuatir uang akan dicopet," kata pemuda sastrawan itu dengan bau
araknya yang tersembur dari mulutnya.
Habis ini ia tidak urus In Lui lagi, dengan sempoyongan ia
bertindak pergi sendiri.
Diam-diam In Lui mendongkol oleh kelakuan pemuda ini,
katanya di dalam hati, "Betul-betul pemuda dugal yang tak tahu
sopan-santun, tadi kalau aku tidak tolong kau, mungkin barangmu
sudah kena direbut orang."
Waktu In Lui mengamati sekitar ruangan kedai arak ini,
dilihatnya tiada , seorang pun menimbulkan curiga, dalam hati ia
merasa kesal, tidak terduga olehnya bahwa di tempat ini akan
ketemukan si tangan panjang yang lihai.Pahala dan Murka - 4 37
Karena rasa kesalnya itu, urusan kawanan bandit tadi tidak
menarik perhatiannya lagi, ia keluar dari kedai arak itu, ia cemplak
kudanya dan melanjutkan perjalanannya.
Setiba di luar kota, mendadak tertampak si pemuda sastrawan
dengan kuda putihnyapun berada di depan, seketika hati In Lui
tergerak.
"Jangan-jangan perbuatan si pemuda sastrawan ini? Akan tetapi
tampaknya juga bukan!" demikian ia menduga-duga.
Lalu ia larikan kudanya menyusul ke depan, sesudah dekat, tiba-
tiba ia ayun pecutnya pura-pura hendak menyabet kuda
tunggangannya, tetapi pucuk cambuk sengaja ia sabetkan ke urat
nadi berbahaya di bawah bahu pemuda itu.
Dengan pecutan ini sebenarnya In Lui hendak menjajal tinggi-
rendah ilmu silat pemuda ini, ujung cambuk sengaja mengarah ke
tempat yang membahayakan jiwa orang, jika pemuda itu seorang
pesilat, pasti akan berkelit atau menangkis.
Di luar dugaan, begitu ia menyabat, mendadak pemuda itu
menjerit, sama sekali ia tidak berkelit hingga ujung cambuk sudah
hampir menyentuh bajunya, syukur secara diam-diam In Lui tarik
kembali tenaga yang dikeluarkannya, maka walaupun serangan itu
cukup keras, tetapi sewaktu menempel baju orang sudah tidak
bertenaga lagi.
Sekalipun begitu, tidak urung pemuda sastrawan itu pun
terguncang dan hampir terperosot dari atas kuda.
Karena itu berbalik In Lui merasa menyesal. "Tak sengaja kau
kena sabat, harap suka memaafkan," lekas ia minta maaf.
Waktu pemuda itu memandang dan mengenali orang, tiba-tiba
ia berseru, "Eh, tukang makan gratis, ketemu lagi! Jangan kau-kira
aku punya duit lantas kau ikuti aku terus, duitku ini hanya buatPahala dan Murka - 4 38
berkawan dengan orang baik, tidak seperti kau ini, sudah makan
dibayari, kini hendak pukul orang lagi, wah, lebih baik tak usah ya!"
In Lui menjadi geli tercampur mangkel.
"Kau masih mabuk bukan?" tanyanya.
Akan tetapi kembali pemuda itu bersanjak lagi dengan lagak
yang lucu dan menertawakan.
In Lui menjadi bingung oleh kelakuan orang, selagi ia hendak
membetulkan cara duduk orang supaya tidak keperosot dari
kudanya, mendadak pemuda itu mengempit kencang kakinya,
segera kuda putih itu lari ke depan secepat terbang. Meski kuda In
Lui sendiri adalah kuda pilihan, namun tidak mampu mengejarnya.
''Orang ini tidak paham ilmu silat, tetapi kudanya bukan kuda
sembarangan!" pikir In Lui.
Oleh karena kehilangan uangnya, In Lui tetap merasa kesal, ia
keprak kudanya melanjutkan perjalanan pula.
Setelah ia berjalan setengah hari lagi, waktu mendongak, sang
surya sudah hampir terbenam, asap telah banyak mengepul dari
cerobong rumah penduduk, suatu tanda penghuninya sedang
menanak nasi, ia pikir hendak bermalam di rumah penduduk, tetapi
apa daya ia tak punya uang sepeser pun.
Dalam Keadaan serba sulit itu, sekonyong-konyong didengarnya
suara ringkik kuda, ia lihat di depan ada hutan yang lebat, dalam
hutan terrampak ada sebuah kelenteng, di luar rumah berhala itu
terdapat seekor kuda putih sedang makan rumput.
"Eh, kiranya dia juga berada di sini," gumam In Lui. "Rupanya
padri kelenteng ini suka terima tamu, biar aku pun bermalam saja
di sini."Pahala dan Murka - 4 39
Kudanya segera ia tambat di luar kelenteng, kemudian ia dorong
pintu kuil ini dan masuk ke dalam, ia lihat pemuda sastrawan iiu
sedang menyalakan gundukan api dan lagi bakar ubi.
Waktu melihat In Lu i masuk, segera ia bersanjak lagi, "Ai, orang
hidup di mana-mana selalu bertemu! kita kembali berjumpa lagi!"
"Kau sudah sadar dari mabukmu?" sahut In Lui sambil
memandang sekejap padanya.
"Kapan aku mabuk?" kata pemuda itu. "Aku masih kenal dirimu
sebagai orang yang makan gratis."
In Lui menjadi marah.
"HIH, kautahu apa? Ada penjahat hendak merampok harta
bendamu, tahu?" sahutnya mendongkol.
"Apa, ada penjahat?" kata pemuda itu sambil melonjak bangun
"Di kelenteng ini seorang hwesio saja tidak ada, jika penjahat betul-
betul datang, tentu aku bisa celaka. Wah lebih baik aku tidak tinggal
di sini."
In Lui geli tercampur mendongkol oleh kedogolan orang.
"Kau hendak ke mana? Di luar lebih-lebih tiada seorang pun yang
bisa menolongmu," katanya kemudian. "Lebih baik tinggal saja
disini, sedikitnya aku akan mengawasimu, meski ada puluhan atau
ratusan penjahat pun tidak perlu takut."
Tiba-tiba mata pemuda sastrawan ini terpentang lebar-lebar,
lalu tertawa cekakakan.
"Haha, begini besar kepandianmu, tapi mengapa makan secara
cuma-cuma?"
"Sebab uangku dicopet orang," sahut In Lui.
Jawaban ini membuat pemuda itu tambah terpingkal-pingkal.Pahala dan Murka - 4 40
"Haha, katamu puluhan atau ratusan penjahat pun tidak perlu
takut, kenapa uangmu bisa dicopet orang?" ia tertawa sambil
menuding In Lui. "Haha, caramu membual ternyata tidak lebih
pandai dari pada caramu menipu makanan!"
Habis berkata ia seperti hendak bertindak pergi, tetapi tidak jadi,
malah terus duduk kembali.
"Sudahlah, tidak kupeduli ocehanmu lagi, dunia yang aman
tentram ini mana ada perampok atau pencopet?" ujarnya dengan
kemalas-malasan sambil makan ubi bakarnya.
Sudah tentu In Lui semakin mendongkol oleh sikap orang.
"Tidak mau percaya boleh terserah padamu, aku pun tidak paksa
kau percaya!" lahut In Lui dengan gemas.
Sementara itu bau ubi bakar yang sedap tercium oleh In Lui,
sudah setengah hari ia tempuh perjalanan, perutnya sudah lapar,
keruan bau ubi tambah membangkitkan seleranya, tetapi ia tahan
sebisanya, ia telan ludah saja, tidak enak baginya untuk minta
bagian ubi bakar kepada pemuda itu.
Kelenteng ini sudah bobrok dan sudah lama ditinggalkan
penghuninya, sudah tentu tidak bisa diketemukan sesuatu barang
makanan.
(Bersambung Jilid ke 5)Pahala dan Murka - 5 0Pahala dan Murka - 5 1
PAHALA DAN MURKA
Oleh : gan k.l.
Jilid ke 5
ALAM pada itu setelah makan ubi bakarnya, dengan
menggeleng kepala pamuda sastrawan itu kembali komat-
kamit bicara sendiri.
"Arak kuning bisa bikin mabuk, arak bening pun bisa mabuk,
ikan daging memang enak, ubi bakar terlebih enak. Ha, sedap amat,
lezat sekali!"
Mendengar ocehan orang seakan-akan sengaja mengiming-
ngimingnya, In Lui melototi orang sekejap, lalu ia berpaling ke
jurusan lain.
"Hei, tukang makan gratis, ini ubi bakar buatmu," terdengar
pemuda sastrawan itu berseru.
Berbareng ia melemparkan sepotong ubi yang sudah dibakar
matang kepada In Lui.
"Siapa ingin makan ubimu?" sahut In Lui dengan gusar.
Tapi ia telan air liur lagi, ia duduk bersila dan bersemedi serta
mengatur pernapasan, dengan tidak gampang akhirnya ia bisa
mengatasi rasa laparnya.
Lwekang In Lui adalah ajaran aliran persilatan yang baik, maka
setelah selesai ia menjalankan latihan itu, ia rasakan seluruh badan
segar dan nyaman. Waktu ia buka matanya, ia lihat pemuda itu
sudah menggoros, ubi yang dibakarnya tadi terserak di lantai.
In Lui jadi tertarik, ia melelrt lidahnya, selagi ia hendak ulur
tangan buat ambil sepotong dua ubi bakar itu, mendadak si pemuda
sastrawan membalik tubuh, habis ini ia terpulas lagi.Pahala dan Murka - 5 2
Bukan main mendongkol In Lui, dirasakan orang seperti sedang
mempermainkan dirinya.
"Biar kulapar semalaman, tidak akan menjadi soal!" pikir gadis
itu. Didengarnya suara dengkuran pemuda itu semakin keras, meski
In Lui ingin tidur juga, namun ia tak bisa pulas oleh karena suara
ngorok orang yang keras.
"Dandanan pemuda ini mentereng, ia pun hawa harta-benda
yang berharga, tapi kenapa tidak membawa pengawal?" demikian
timbul pikiran dalam hati In Lui. "Pula mengapa berani bermalam
di kelenteng di tengah hutan belukar ini dan makan ubi bakar yang
tak berharga ini? Apa dia sengaja berlagak tidak paham ilmu silat?
Tetapi tampaknya juga tidak seperti sengaja pura-pura!"
Pelahan In Lui berdiri, ia bermaksud geledah badan orang, akan
tetapi sebelum ia berbuat, tiba-tiba pemuda itu membalik tubuh
lagi.
"Jika sampai ia terkejut dan mendusin, apa ia takkan mendakwa
aku mencuri barangnya?" demikian In Lui berpikir lagi.
Tengah serba salah dan maju-mundur, tiba-tiba terdengar di
luar kelenteng ada suara, suitan aneh. Waktu In Lui lirik si pemuda
sastrawan. dilihatnya orang masih mendengkur seperti babi
mampus.
"Hni, mestinya tidak kuurus kau, tapi tampaknya kasihan.
Haiklah, hitung-hitung kau mujur, biar nonamu wakilkan kau
mengusir kawanan penjahat itu," kata In Lui dengan tertawa dingin.
Habis ini ia lantas keluar dari kelenteng, sekali lompat ia
sembunyikan diri di atas pohon lebat untuk menanti datangnya
musuh.Pahala dan Murka - 5 3
Sejenak kemudian, di bawah sinar rembulan yang remang-
remang tertampaklah dua penjahat bertopeng sedang mendatangi.
"Lihat, kuda putihnya berada di sini, tentu orangnya di sini pula,"
terdengar satu di antaranya berkata.
"Jika dia tidak mau menurut, lalu bagaimana?" kata yang lain.
"Kalau terpaksa penggal saja kepalanya," kata pula yang duluan.
"Wah, mana boleh?" ujar orang kedua. "Tapi kalau diberi tanda
sedikit masih boleh juga."
Mendengar percakapan kedua orang ini, seketika In Lu i menjadi
gusar. Pikirnya, "Hm, kawanan bandit yang kejam, sudah
merencanakan merampok harta-benda, hendak membunuh orang
pula!"
Dalam pada itu mer d idak terdengar seorang di antaranya
berseru, "Awas, ada orang di atas pohon!"
Pada saat itu juga, dua buah oh-tiap-piau berbentuk kupu-kupu
segera In Lui timpukkan.
Tetapi kedua orang berkedok itu pun cukup gesit dan cepat,,
dengan sedikit mengegos mereka sudah menghindarkan sambitan
piau.
Sementara itu dengan gerak tipu "Peng-bok-kiau-siau" atau
burung garuda menyamber udara, segera In Lui menyergap dari
atas, sekaligus ia incar kedua lawan dengan dua kali tusukan.
Kedua manusia bertopeng ini yang satu memakai senjata tongkat
dan yang lain menggunakan sepasang gaitan.
Segera senjata mereka terangkat untuk menangkis, karena
beradunya senjata lelatu bercipratan, tongkat orang itu ternyata
gempil, kedua gaitan pun ikut tertarik kesamping.Pahala dan Murka - 5 4
"Kedua penjahat ini ternyata tidak lemah," demikian In Lui
membatin.
Sebaliknya kedua orang bertopeng ini terlebih terkejut ketika
insaf ketemu lawan keras, selagi mereka hendak bertanya, namun
pokiam In Lui sudah menyambar lagi dengan cepat.
Pokiam atau pedang pusaka yang dipakai In Lui adalah satu di
antara sepasang pedang pusaka jantan dan betina hasil gemblengan
Hian-ki It-su, namanya "Ceng-beng", senjata biasa bila beradu pasti
akan terkutung olehnya.
Karena itulah, meski tongkat orang itu adalah senjata berat, tapi
ia tak bermi coba membenturnya lagi, hanya lawan yang memakai
gaitan itu yang kelihatan tidak lemah, ia mengait ke sini dan
menahan ke sana, ia menyerang sambil menjaga diri, dangan demi?
kian pokiam In Lui ternyata takbisa membentur senjatanya.
Akhirnya In Lui keluarkan gerak tipu "hui-hoa-pok-tiap" atau
bunga berhamburan mengurung kupu-kupu, ia menyusup kian
kemari di bawah senjata musuh dan berputar dengan cepat, sinar
pedang bergulung-gulung, kedua lawannya terdesak hingga main
mundur ke belakang. Akan tetapi tongkat orang cukup berat dan
gaitannya pun berputar dengan sebat, mereka dapat bekerja sama
dengan rapat, dengan demikian In Lui pun tak sanggup
mengalahkan mereka begitu saja.
Pertarungan ini semakin sengit, mendadak In Lui menabas dari
samping, ia Berang penjahat bertopeng yang bersenjata gaitan itu
dengan tipu yang mematikan, tipu serangan ini cepat lagi ganas,
tidak peduli musuh menubruk maju atau berkelit ke belakang, sama
sekali sukar untuk mengindarkan diri, ini memang tipu serangan
pencabut nyawa yang hebat ajaran guru In Lui, Hui-thian-liong-li.Pahala dan Murka - 5 5
Sebenarnya In Lui tidak ingin membunuh kedua penjahat
bertopeng ini, tetapi dalam keadaan demikian kalau dia tidak
membunuh salah satu dahulu, rasanya ia tak bisa memperoleh
kemenangan, maka terpaksa ia harus keluarkan tipu serangan maut
ini. Tanpa pikir lagi musuh ini lari terbirit-birit, namun In Lui tidak
biarkan orang lari begitu saja, ia ayun taugan, tiga buah "Oh-tiap-
piau" diarahkan ke punggung musuh.
In Lui yakin timpukannya pasti akan mengenai musuh, di luar
dugaannya tiba-tiba terdengar suara gemerincing beruntun-
runtun, piau berbentuk kupu-kupu yang disambitkan itu entah
terkena benda apa telah terbentur jatuh, maka dalam sekejap saja
musuh itu lantas menghilang.
In Lui jadi bingung dan terheran-heran.
Tadi waktu tusukannya yang cukup ganas itu mengarah musuh,
ia kira lawan pemakai tongkat tadi sanggup menangkisaya, di luar
dugaan mendadak musuh menurunkan tongkat ke bawah, seperti
perbuatan setan saja orang itu binasa di bawah pedangnya.


Pahala Dan Murka Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Makin dipikir In Lui makin heran, "Jangan-jangan ada orang
membantuku secara diam-diam? Tetapi kenapa ketiga senjata
rahasiaku tadi mendadak jatuh juga pada waktu hampir mengenai
sasarannya, apa ada orang pandai yang diam-diam bantu dirinya,
lalu bantu musuh pula? Tetapi hal ini jelas sama sekali tidak masuk
akal.
Waktu kemudian In Lui periksa mayat yang menggeletak itu,
dengan pedang ia singkap topeng orang, betul juga ia lihat 6eorang
asing adanya.
In Lui jadi curiga, terang sekali ini bukan penjahat sembarangan
yang hendak merampok harta benda. Kemudian ia coba periksaPahala dan Murka - 5 6
badan orang, ia dapatkan beberapa tahil perak pecahan dan
sebungkus rangsum kering, kecuali ini tiada lagi barang lain.
"Kebetulan memenuhi kebutuhanku," ujar In Lui tertawa
sendiri. Ia lantas makan rangsum kering rampasan ini dan simpan
uang perak itu ke dalam bajunya.
Dalam pada itu sekonyong-konyong terdengar suara aneh
berjangkit pula dari hutan sana, tertampak dua penjahat bertopeng
mendatangi secepat terbang.
"Hai, kawan segolongan, kalau ada air harap diminum bersama!"
terdengar kedua orang bertopeng ini berseru dari jauh.
Dengan kata-kata mereka itu maksudnya kalau ada barang
rampokan jangan di makan sendiri, tetapi harus dibagi bersama.
In Lui menjadi gusar, ia balas membentak, "Bagus, masih ada
berapa orang di antara kalian, semua boleh makan .... !"
Sebenarnya ia hendak berkata, "makan pedang nonamu", namun
keburu teringat olehnya bahwa dirinya menyamar sebagai laki-laki,
kata "nona" yang hampir diucapkan dia telan, kembali mentah-
mentah.
Mendengar In Lui dengan gampang saja terima permintaan
mereka, kedua penjahat itu menjadi girang.
"Haha, inilah baru kawan sejati, marilah kita makan bersama,"
seru mereka dengan bergelak tertawa.
Kemudian mereka mendekat terus ulur tangan hendak
menerima bagian.
Tapi sebagai sambutannya, dengan tertawa dingin pedang In Lui
segera menusuk.
Kedua kawanan bandit ini yang satu pakai golok tunggal dan
yang lain bertangan kosong.Pahala dan Murka - 5 7
Waktu pedang In Lui menusuk segera terasa olehnya angin keras
menyambar tiba, ternyata musuh bertangan kosong itu telah
berputar dan menubruk maju, ia sampuk telapak tangan kanannya,
sepeiti memotong dan seperti menghantam, yang dia pakai adalah
gerak tipu "Tai-kim-na-jiu", ilmu cara menangkap dan menawan
yang lihai.
In Lui kaget, ia tak berani pandang enteng musuh lagi, ia tarik
pokiam terus menyabet pula dari samping.
"Lawan keras!" terdengar orang bergolok itu berteriak pada
kawannya dengan kata rahasia dunia kangouw.
Berbareng itu goloknya membacok pula, gaya serangannya
ternyata lihai juga.
Akan tetapi In Lui telah keluarkan gerak langkah "coan-hoa-jiau-
su", menyusur di antara bunga dan melingkari pohon, begitu
pedang mengenai tempat kosong, dengan cepat sekali ia menggeser
pergi, ia hindarkan Kim-na-jiu musuh sebelah kiri, lalu mengelak
pula bacokan golok lawan sebelah kanan.
Meski kepandaian kedua orang ini tidak lemah, tetapi pedang In
Lui menyabat kian kemari tidak menentu sehingga kedua penjahat
ini merasa seperti dirinya sendiri selalu diincar.
Setelah beberapa puluh jurus berlalu, jelas kelihatan kedua
kawanan bandit terdesak.
"Baiklah, biar kau telan sendirian," seru lawan bertangan kosong
itu, "coba perkenalkan namamu, supaya kita tetap bersahabat."
"Kesalahan merampok harta benda boleh diampuni, tetapi
dosamu bersekongkol dengan musuh dan khianati negara tidak bisa
dibiarkan, siapa sudi bersahabat dengan kau!" sabut In Lui dengan
gusar.Pahala dan Murka - 5 8
Berbareng ini cepat sekali dengan gerak tipu "hun-hoa-hut-liu"
atau menyingkirkan bunga mengebut dahan liu, kelihatan menusuk
ke kiri, tetapi tahn-tahu mengarah sebelah kanan lagi, sekali
tusuk ternyata mengarah dua musuh sekaligus. Maka tanpa ampun
lagi musuh pemakai golok itu menjerit, pergelangan tangannya
terkena senjata hingga golok terlepas dari tangannya, sedang
musuh yang bertangan kosong itu lebih licin, dengan sedikit
mendak tubuhnya ia hindarkan tusukan In Lui.
Tetapi tipu serangan In Lui adulah tusukan segera disusul lagi
tusukan berantai, susul-menyusul, satu tusukan segera disusul oleh
tusukan yang lain, terus menerus tidak berhenti.
In Lui menyangka kedua orang ini adalah komplotan kedua
penjahat yang duluan tadi, maka serangannya sama sekali tidak
kenal ampun, suatu kali tusukan pedangnya secepat kilat jelas
sudah menempel di punggung musuh tetapi mendadak ia dengar
suara mendesir perlahan sekali, tiba-tiba pergelangan tangan
sendiri seperti kena digigit semut, sekonyong-konyong arah
pedangnya menceng ke samping, keruan kedua penjahat itu sempat
melarikan diri terbirit-birit, dalam sekejap saja menghilang di balik
hutan.
"Ayo, bangsat kecil yang membokong tadi, lekas keluar!"
demikian In Lui berseru drngan gusar. Ia tahu rasa sakit seperti
digigit semut tadi tentu perbuatan seorang.
Akan tetapi keadaan ternyata sunyi senyap, sekelilingnya tenang
saja tanpa bayangan apa pun. In Lui menanti sejenak, tetapi masih
tiada sesuatu sahutan, waktu ia periksa tangannya, ia lihat sedikit
bendul sebesar kedelai, agaknya terkena semacam senjata rahasia
yang sangat kecil dap lembut. Waktu sa coba cari di tanah, tiada
sesuatu yang ia temukan.Pahala dan Murka - 5 9
Dua kali pertempuran ini telah dimenangkan oleh In Lui, tetapi
diam-diam ia dipermainkan orang, inilah yang membuatnya
penasaran. Dengan masgul kemudian ia masuk lagi ke dalam
kelenteng, ia lihat pemuda sastrawan itu masih tidur pulas, suara
menggerosnya makin menjadi-jadi.
"Hei, kau babi mampus ini, sungguh enak 6ekali tidurmu!" In Lui
berteriak padanya.
Rupanya karena suara berisik ini, pemuda itu baru mendusin, ia
menguap.
"Telah kedatangan bandit, tahu tidak?" seru In Lui dengan
mendongdol melihat sikap pemuda yang acuh-tak-acuh ini.
Tetapi pemuda itu masih merasa ngantuk, kemudian ia duduk
dengan kemalas-malaaan.
"Ahm, tidur enak terjaga dari mimpi, apa yang terjadi aku sendiri
mengerti," dengan menguap ia bersanjak pula.
"Kau mengerti apa? Telah kedatangan bandit!" jengek In Lui
dengan mendongkol.
"Tengah malam kaubikin ribut orang yang sedang tidur, he,
kenapa kau selalu menganggu aku?" pemuda itu menegur sambil
mengucak-ucak matanya yang sepat.
Ternyata sama sekali ia tidak percaya pada kata In Lui tadi,
bukannya ia berterima kasih, sebaliknya ia mengomel. Keruan In
Lui tambah mendongkol.
Jika kau tidat percaya boleh periksa keluar, kita sudah
kedatangan perampok!" kata In Lui dengan gemas.
Si pemuda mengulet pinggang, habis ini mendadak ia tertawa.
"Kalau ludah datang, tentu tiada terjadi apa-apa, kenapa
kaubangunkan aku pula?" katanya.Pahala dan Murka - 5 10
"Akulah yang bikin kocar-kacir mereka," teriak In Lui mangkel.
"Haha, apa betul? Bagus, bagus sekali!" ujar pemuda itu tertawa.
"Nah, sekarang boleh kaumakan sepolong ubi, kali ini engkau boleh
terima hadiah karena berjasa, tidak nanti kukatakan kaumakan
percuma lagi!"
Berbareng ini ia lantas melemparkan sepotong ubi bakarnya.
In Lui menjadi gusar, dengan sekali tepuk ia bikin ubi yang
dilemparkan itu mencelat pergi.
"Hm, kaukira aku berguyon denganmu?" kata In Lui lagi. "Hei,
coba katakan, kau she apa dan namamu siapa? Dari mana
kaudatang?"
Mendengar pertanyaan ini, mata pemuda pelajar ini jadi melotot.
"Hai, coba katakan, kau she apa dan namamu siapa? Dari mana
kau datang?" tiba-tiba iapun balas tanya dengan menuding dan
menirukan lagak-lagu In Lui.
"Apa maksudmu?" sahut In Lui dengan gusar, "Hm, kau boleh
tanya aku, masa aku tidak boleh tanya kau? Memangnya kau ini
hakim, memangnya kau dilahirkan hanya untuk tanya orang?" kata
pemuda itu dengan tertawa dingin.
In Lui kewalahan dan bungkam, kata-kata pemuda itu betul-
betul membuatnya mati kutu dan tak bisa menjawab. Dalam hati ia
pikir, "Asal-usul diriku mana boleh kuceritakan padamu?"
Sementara itu ia lihat si pemuda sedang melirik padanya,
sikapnya yang tertawa tidak dan menangis tidak itu membikin
orang mangkel dan geli.
Kemudian In Lui berpikir lagi, "Asal-usul diriku tidak bisa
diceritakan padanya, mungkin pula asal-usulnya tidak boleh
dikatakan padaku. Apa yang aku tidak mau lakukan mengapa harusPahala dan Murka - 5 11
kusuruh Orang melakukannya? Kedua orang asing tadi jauh-jauh
telah menguntitnya ke sini, jangan-jangan ia pun bangsa Han,
serupa seperti engkongku yang melarikan diri dari Mongol sana?"
Karena pikiran ini, tanpa terasa timbul rasa hormatnya kepada
pemuda sastrawan ini, tetapi bila ia lihat sikap orang yang kemalas-
malasan sedang melirik padanya dengan muka seperti tertawa tapi
tidak tertawa, ia merasa jemu lagi.
Sesudah berpikir, kemudian ia keluarkan sepasang "Jit-goat-ki"
pemberian Ciu Kian tempo hari dan dilemparkan kepada si pemuda.
"Ini buat kau, aku takkan jalan bersamamu lagi," katanya.
Pemuda itu memandang sekejap pada panji yang dilemparkan
padanya itu.
"Aku bukan pemain sandiwara, untuk apa kedua panji ini?"
ujarnya.
"Kau jalan sendirian terlalu berbahaya, dengan panji ini kau
tidak perlu takut kawanan bandit akan merampok barangmu lagi,"
sahut In Lui.
"Ha, masa panji ini adalah Sengci (surat titah raja)?" tanya si
pemuda.
"Mungkin jauh lebih berguna daripada Sengci!" sahut In Lui
dengan tertawa. "Ini adalah Jit-goat-ki dari Kim-lo-cecu, kau datang
dari utara, masa tidak pernah dengar orang bercerita? Kim-to-cecu
adalah pemimpin kaum bandit di utara dan orang gagah perkasa
dari lok-lim (sebutan lain bagi kaum bandit), siapa saja tentu
mengalah dan menghormati dia." Dengan memberikan panji
matahari dan rembulan ini sebenarnya In Lui bermaksud baik, di
luar dugaan, tiba-tiba air muka si pemuda berubah, sambil tertawa
dingin ia ambil panji itu.Pahala dan Murka - 5 12
"Hm. seorang lelaki harus hidup atas kekuatan sendiri, mana
boleh berlindung di bawah naungan kawanan bandit? Apa engkau
tidak pernah membaca kitab ajaran Khong (Hu-cu) dan Beng (cu)?"
Ia menjengek dan tangannya bekerja, sekali robek ia bikin kedua
panji itu menjadi empat helai, bendera matahari dan rembulan yang
mengguncangkan daerah Han dan Oh itu telah dirobek begitu saja!
. Keruan tidak kepalang gusar In Lui hingga mukanya merah
padam,
"Kim-to-cecu disegani di wilayah Han dan Oh, ia adalah seorang
Enghiong (pahlawan) yang gagah perkasa, mana boleh dihina
manusia berbau kecut seperti kau ini," damperatnya, berbareng ia
angkat tangannya terus hendak menampar.
Tetapi sebelum tangannya terayun, tiba-tiba dilihatnya wajah
orang yang putih bersih seperti susu, ia menjadi ragu, pikirnya,
"Dengan tamparanku ini bukankah akan mengingatkan cap lima
jari di mukanya, tentu akan menjadi jelek sekali!"
Karena pikiran itu, tangan yang sudah terangkat ia turunkan
kembali,
"Sudahlah, aku tidak sepandangan drngan kaum lemah dan
berbau kecut seperti kau ini, kuampuni kau sekali ini," katanya
kemudian dengan mendongkol, "Biarlah kelak bila kau dirampok di
tengah jalan dan terbunuh, itupun kaucari mampus sendiri, tidak
nanti kupedulikan lagi!"
Habis ini ia putar tubuh terus bertindak pergi dengan cepat.
Maksud baiknya telah dibikin kecewa, hatinya menjadi risau. Ia
tidak sudi memandang lagi kepada pemuda itu.
Dengan pandangan tajam si pemuda sastrawan menyaksikan In
Lui bertindak keluar kelenteng itu, dengan pelahan ia pun bangkit
berdiri, dalam hati sebenarnya ia ingin berseru memanggil, tetapiPahala dan Murka - 5 13
mendadak ia tertawa dingin, ia tahan keinginannya itu dan urung
memanggil.
Waktu In Lui larikan kudanya keluar dari hutan itu, tiba-tiba dari
dalam hutan yang lebat itu menyamber suara angin melayang lewat
di atas kepalanya, segera In Lui tahan kudanya.
"Ayo, bangsat kecil yang suka membokong, kalau berani
keluarlah!" teriaknya sengit.
Akan tetapi sebagai jawaban tiba-tiba di atas kepalanya terbit
suara "plak" yang keras, waktu In Lui putar kudanya dan berkelit,
ia lihat sebuah dahan pohon telah patah jatuh, di atas dahan pohon
terikat sebuah buntalan kecil bersulam bunga indah.
In Lui terkejut, ia kenal inilah miliknya sendiri. Lekas ia
mengambilnya dan dibuka, terlihat emas perak dan barang
berharga lain pemberian Ciu Kian masih utuh berada dalam
bungkusan itu, malah beberapa perak hasil dia mencopetpun berada
di dalamnya.
Seketika itu juga In Lui melompat dari atas kudanya, ia melayang
ke pucuk pohon, ia pandang jauh sekelilingnya, akan tetapi yang
tertampak hanya sisa sinar bintang yang berkelap-kelip dan cahaya
rembulan yang suram, angin malam meniup silir tetapi tidak
tertampak bayangan manusia.
"Ai, betul-betul di atas langit masih ada langit pula, sungguh
tidak terduga di tempat kecil ini bisa ketemu orang pandai seperti
ini," gumamnya dengan menghela napas kecewa.
Apabila kemudian sudah keluar dari hutan itu, di luar cuaca
sudah terang, fajar sudah tiba.
In Lui melanjutkan perjalanan dalam suasana pagi yang segar
ini, ia terus menuju ke barat mengikuti jalan raya. Sepanjang jalanPahala dan Murka - 5 14
ia lihat hilir mudik ramai sekali dengan orang berlalu lalang, semna
orang tampak gagah dan kuat, begitu melihat orang akan tahu
mereka tentu kaum Ho-han atau orang gagah dari Sam-san-ngo-
gak (tiga bukit dan lima gunung).
In Lui jadi teringat kepada "pengetahuan umum dunia kangouw"
yang pernah "dikuliahkan" oleh Ciu San-bin tempo hari, pikirnya,
"Melihat gelagatnya, kalau bukan pertemuan besar kalangan Bu-
lim, tentu ada upacara besar perkumpulan rahasia"
Orang-orang gagah itu melarikan kuda mereka melampaui In
Lui, mereka pun tidak memperhatikan gadis ini.
Setelah melanjutkan perjalanan lagi In Lui merasa lapar dan
dahaga, ia makan kenyang seadanya.
"Hari ini tentu laris bukan? Tidak sedikit tetamu yang berlalu di


Pahala Dan Murka Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sini hari ini," In Lui coba pasang omong dengan tukang kedai.
"Tuan tamu, apa engkau bukan hendak pergi ke Hek-sek-ceng?"
sahut tukang kedai dengan tersenyum.
"Hek-sek-ceng apa?" tanya In Lui tidak mengerti.
"Tentunya tuan tamu datang dari tempat jauh, maka tidak
mengetahui," cerita si tukang kedai, "hari ini Cio-toaya dari Hek-
sek-ceng lagi merayakan hari ulang tahun, banyak sekali sobat-
andai datang memberi selamat padanya."
Hati In Lui tergerak oleh penuturan orang.
"Apa yang kaumaksudkan Hong-tian-lui Cio Eng, Cio-
loenghiong?" tanyanya.
Mendengar nama Cio Eng disebut, tukang kedai itu bersikap
sangat hormat.
"Kiranya tuan tamu juga sobat Cio-toaya," katanya merendah.Pahala dan Murka - 5 15
"Siapa yang tidak kenal nama Cio-loenghiong, meski aku datang
dari tempat jauh, pernah juga kudengar namanya yang tersohor,"
sahut In Lui.
"Memang, terlalu luas pergaulan Cio-toaya, tokoh dari mana
pun, tidak peduli kenal atau tidak, jika mengunjungi kediamannya,
tidak pernah dia tolak," cerita si tukang kedai pula.
In Lui sudah mendengar juga dari Ciu San-bin bahwa Cio Eng
tersohor dalam dunia persilatan karena ilmu pedang Liap-hun-kiam
yang terkenal sebagai suatu kepandaian khas di dunia persilatan.
Senjata rahasianya, Hui-hong-cio, batu belalang terbang, juga
sangat lihai, laksana peluru meriam saja kalau mengenai orang, oleh
sebab itulah ia dijuluki orang sebagai Hong-thian-lui atau guntur
menggelegar di langit.
Cio Eng ini tidak saja tinggi ilmu silatnya, bahkan sangat berbudi
dan murah hati, hanya tabiatnya saja agak aneh.
"Kiranya orang ini tinggal di luar kota Yangkiok, biarlah aku pun
pergi memberi selamat padanya," demikian pikir In Lui. "Para
enghiong dari Sam-san-ngo-gak sama datang secara besar-besaran,
mungkin pula orang pandai yang menggoda diriku juga berada di
antara mereka, jangan kulewatkan kesempatan baik ini."
Setelah ambil keputusan, ia lantas minta kertas dan pit (pensil)
dari tukang kedai, ia tulis sebuah kartu ucapan selamat. Kemudian
ia tanya jelas jalan yang menuju ke Hek-sek-ceng, perkampungan
batu hitam, ia bayar uang minum, lalu cemplak kudanya dan
menuju ke Hek-sek-ceng.
Memang ramai sekali tetamu yang berduyun-duyun membanjiri
Hek-sek-ceng, saking repotnya pelayan yang menerima barang
sumbangan tidak sempat tanya-tanya lagi, begitu habis membaca
kartu pemberian selamat, tanpa banyak omong tetamu lantasPahala dan Murka - 5 16
dipersilakan masuk dan dibawa ke sebuah taman bunga yang luas,
di situ diadakan perjamuan.
Kedatangan In Lui tepat pada waktunya, tatkala itu baru akan
dimulai perjamuan meriah dengan ratusan meja itu.
In Lui disilakan duduk pada suatu sudut, orang yang semeja
dengan dia ternyata tiada yang kenal. Ia dengar mereka asyik
mengobrol.
"Kabarnya hari ini bukan saja Cio-loeng-hiong merayakan hari
ulang tahun, bahkan akan memilih menantu sekalian," terdengar
seorang diantaranya berkata.
"Tetapi orang tua ini bakal pusing kepala juga. Coba, Se-cecu,
Han-tocu dan Lim-cengcu ketiga-tiganya telah datang melamar
berbareng, lalu cara bagaimana dia akan melayaninya?" ujar
seorang lain.
"Hong-thian-lui tentu mempunyai caranya sendiri, tidak perlu
kauikut kuatir baginya," timbrung seorang lagi. Habis ini ia
menuding pula ke sana dan berkata, "Lihat itu!"
Waktu In Lui mengikuti arah yang ditunjuk, tertampak di tengah
taman itu sudah terpasang sebuah Lui-tai atau panggung
pertandingan yang tingginya lebih dua tombak.
"Konon Hong-thian-lui pun orang gampangan, secara terang-
terangan ia mengadakan sayembara, telah ditentukannya barang
siapa pun dapat mengalahkan putrinya, dialah menantunya, baik
sanak-kadang atau sobat-andai tidak ada pilih kasih, karena itu tiga
keluarga yang hendak melamar itu pun tak bisa berbuat lain,"
dengan tertawa tutur pula orang pertama tadi.
"Hah, kalau begitu, sebentar lagi tentu kita bakal menikmati
tontonan yang menarik," sahut yang lain dengan tertawa gembira.Pahala dan Murka - 5 17
Berbareng itu jari tangannya pelahan kena mcnutuk pelipis Lim
To-an, tanpa ampun pemuda ini menjerit, mata menjadi
berkunang-kunang, seketika ia jatuh semaput.
Menyaksikan putranya yang sudah unggul mendadak berbalik
dirobohkan, Lim-cengcu sangat gusar, tetapi tidak berani
mengumbar marahnya.
Semetara itu Ciu Eng sudah melangkah maju lagi, ia bangunkan
Lim To-an dan memijat tengkuknya.
"Tidak apa, tidak apa?" katanya, "Hong-ji, kenapa kauturun
tangan semaunya, selalu pukul tempat yang berbahaya!"
Tatkala itu Lim To-an sudah sadar kembali.
"Nona Cio, banyak terima kasih atas pengajaranmu!" dengan
tertawa dingin ia berkata.
Habis ini bersama ayahnya mereka lantas melompat turun daai
panggung pertandingan itu.
Menyaksikan kelakuan orang, Cio Eng hanya geleng-geleng
kepala.
"Beruntung anaku menang dua kali pertandingan, sekarang
menjadi giliran saudara
Bu-ki untuk mengajarnya, hendaklah jangan kaubiarkan dia
kelewat senang!" katanya dengan tertawa sambil mengelus jenggot.
Bu-ki adalah nama putra Se-cecu, di antara tiga calon menantu
ini Bu-ki yang paling disukai Cio Eng, yang masih dianggap kurang
hanya pemuda ini terlalu kejam dan entengan tangan, di kalangan
lok-lim ia hanya disegani tapi tidak dikagumi.
Cto Eng pikir mana ada manusia yang sempurna, jika bisa
mendapatkan seorang anak mantu seperti Se Bu-ki ini sudah boleh
dikata cukup baik.Pahala dan Murka - 5 18
Cio Eng tahu bahwa ilmu silat Se Bu-ki masih berada di atas
putrinya, ia mengira pemuda inj pasti akan maju k? tengah, tak
terduga lantas terlihat Bu-ki berkerut kening.
"Sudahlah, tidak usah bertanding, kalau harus bertanding hari
ini juga, maka Siautit (keponakan yang rendah) terima kalah saja!"
demikian Bu-ki berkaja pula dengan tersenyum getir.
Karena kata-kata ini, tiada satu pun di antara orang gagah yang
hadir ini yang tidak pierasa heran. Cio Eng pun kurang senang.
"Mengapakah Hiantit (keponakan yang baik) bilang demikian,
apakah anakku memang tiada harganya buat minta
pengajaranmu?" katanya kemudian.
Tetapi Se Bu-ki tidak menjawab, kembali ia unjuk senyum getir,
lalu mengulung lengan baju dengan pelahan, maka tertampaklah
pada lengan kanannya terdapat goresan luka yang memanjang
sampai pergelangan tangan, tempat di mana lukanya mendalam
hambar kelihatan tulangnya.
Cio Eng terkejut oleh luka orang ini.
"Cara bagaimanakah Hiantit terluka in?" segera ia tanya.
Bun-ki tidak segera menerangkan, lebih dulu ia melirik ke bawah
panggung.
"Hm, kemarin terjadi kapal terbalik di selokan, kukena
diseiomoti oleh seorang bangsat cilik," katanya kemudian dengan
menjengek.
"Ya, kemarin kusuruh Oh-loji dan Bu-ki pergi memburu
kambing yang datang dari utara (kambing adalah kata rahasia kaum
bandit, maksudnya sasaran), tak terduga diam-diam orang
membawa pengawal yang lihai, maka Bu-ki telah kena dilukai,"
terdengar Se-cecu, Se To, bertutur.Pahala dan Murka - 5 19
Masih satu lagi, yakni Se-cecu, semula ia rada ragu, tapi akhirnya
ia bawa putranya melompat juga ke atas panggung.
Lui-tai itu tingginya lebih dari dua tombak, dengan sekali lompat,
Se-cccu sudah tancapkan kakinya di atas panggung, tetapi putranya
itu ternyata lain, ujung kaki pemuda ini menginjak tepi panggung
dan terhuyung-huyung hampir jatuh terjungkal kembali ke bawah.
Menyaksikan kejadian ini, semua orang kaget dan heran.
Se-cecu ini di kalangan hek-to terhitung tokoh terkemuka, ilmu
silatnya tinggi sekali hal ini cukup diketahui orang, anaknya yang
mendapatkan ajarannya, malahan berhati lebih kejam dan ganas,
ditambah orangnya masih muda dan kuat namanya di kalangan
hek-to boleh dibilang sudah melampaui ayahnya.
Oleh karena itulah bagi orang yang kenal mereka tentu akan
menduga hari ini pasti dia akan mendapatkan kemenangan, siapa
duga baru saja melompat ke lui-tai lantas unjuk kekalahan
dibandingkan putra Han-tocu dan Lim-cengcu, lompatannya tadi
ternyata tidak memadai kebesaran namanya, hal ini betul-betul di
luar dugaan orang.
Nampak kejadian tadi, Se-cecu sendiri pun berkerut kening, ia
hendak buka suara, tetapi putra Han-tocu, Han Toa-hay, keburu
tampil ke muka panggung.
"Cio-lopek suka gampangan, maka aku pun tidak sungkan lagi,
bolehlah aku minta petunjuk beberapa jurus pada Semoay (adik
sanak), harap Semoay suka berlaku murah hati sedikit!" begitulah
pemuda itu menyapa dengan hormat kepada Cio Eng, juga kepada
putrinya, Cio Cui-hong.
"Mana, justru aku suka pada orang yang gampangan dan mau
terus terang," sahut Cio Eng dengan tertawa. "Masing-masing tidakPahala dan Murka - 5 20
perlu sungkan, punya kepandaian apa boleh diunjukkan
seluruhnya, kalau terluka aku yang mengobati."
Han Toa-hay mengiakan sekali, lalu ia rangkap tangannya
memberi hormat, dengan gaya "ong-cu-pai-kwan-im" atau anak
menyembah budha Kwan-im, kedua tangannya segera memukul ke
depan.
Gerak tipu ini adalah cara pemberian hormat tetapi sekaligus
juga tipu serangan yang lihai.
"Bagus!" Cio Eng memuji.
Sebaliknya Se-cecu ayah dan anak saling pandang dengan
tertawa getir, apa yang tadinya hendak diucapkan menjadi urung.
Sementara itu atas serangan tadi, dengan cepat dan licin Cio Cui-
hong memutar ke belakang Han Toa-hay. Pemuda ini masih terus
berputar dan melancarkan beberapa kali pukulan, ia serang dari kiri
dan hantam ke kanan, akan tetapi ujung baju Cui-hong saja tidak
bisa disenggolnya.
Menyaksikan gerak tubuh gadis ini, diam-diam In Lui membatin,
"Eh, kiranya apa yang dia latih sama dengan punyaku, semuanya
berasal dari Pat-kwa-yu-sin-ciang!"
Memang apa yang dilatih In Lui di dalam hutan tho tempo hari,
"coan-hoa-jiau-su" atau menyusur bunga melingkari pohon,
asalnya adalah dari "Pat-kwa-yu-sin-ciang", ilmu pukulan yang
berputar-putar menurut lukisan Pat-kwa, meski asalnya dari Pat-
kwa-yu-sin-ciang tetapi sebenarnya kepandiannya sudah di atas
ilmu induknya ini, oleh karena itulah meski Cio Cui-hong melingkar
dan menyusur kian kemari di atas Lui-tai, namun tiap serangan dan
gerakan dapat dilihat In Lui dengan jelas.
Adalah tidak demikian dengan Han Toa-hay, ia menjadi bingung
dan mata berkunang-kunang, pandangannya kabur oleh gerakPahala dan Murka - 5 21
tubuh lawan yang berputar dengan cepat, ia rasakan seluruh
penjuru penuh dengan bayangan Cui-liong.
Setelah menyassikan sejenak lagi, diam-diam In Lui merasa geli,
ia lihat Han Toa-hay melulu berputar saja mengikuti Cui-houg,
makin lama makin runyam, tetapi ia masih bertahan sebisanya,
masih tidak mau mengaku kalah.
Agaknya Han-tocu sendiri mengerti putranya sudah tiada
harapan lagi, ia pun berkerut kening melihat ketololan anaknya ini.
"Tolol, kau bukan tandingan Cio-kohnio (nona Cio), lekas
undurkan diri?" segera ia bentak.
Karena suaranya ini, gerak tubuh Cio Cui-hong sengaja
dilambatkan sedikit, tak tahunya mendadak Han Toa-hay malah
melompat dan menubruk maju, beruntun ia menghantam tiga kali,
dalam kekalahannya ternyata ia bermaksud mencari kemenangan.
Sudah tentu In Lui tambah geli, katanya di dalam hati, "Betul-
betul goblok, orang mengalah padanya dia tak sadar."
Sementara itu tertampak Cui-hong telah mengegos ke samping,
berbareng itu ia sodok dengan siku kirinya, tanpa ampun lagi tubuh
Han Toa-hay sebesar kerbau itu roboh terguling.
Karena itu lekas Cio Eng memburu maju, ia bangunkan pemuda
itu. "Hong-ji (anak Hong), tidak lekas kau minta maaf?" katanya
pada sang putri
"Tidak apa," teriak Han Toa-hay malu-malu. "Kepandaianmu
memang hebat, nona Cio, aku . . . aku. . . ."
Si tolol ini sebenarnya hendak bilang "aku tidak berani
beristrikan kau", tapi sebelum ia ucapkan keburu dipendeliki
ayahnya, ia menjadi ketakutan dan bungkam.Pahala dan Murka - 5 22
Di lain pihak putra Lim-censcu, Lim To An, mengebas kipasnya
pelahan dan tampil ke muka.
"Aku pun minta petunjuk beberapa gebrak, harap Semoay
mengalah sedikit!" segera ia buka ?uara dengan lagak lagu yang
banci.
Lim To An orangnya halus dan lemah-lembut, suaranya pun
mirip orang perempuan, tetapi kepandaian tiam-hiat atau menutuk
urat nadi justru sangat lihai dan jitu sekali.
Dalam pada itu tertampak ia rapatkan kipasnya, begitu ujung
kipas menuding, tahu-tahu ia arah tempat "nui-moa-hiat" di bawah
iga Cio Cui-hong.
Kembali Cui-hong keluarkan gerak langkah Pat-kwa-yu-sin-
ciang. ia berputar mengelilingi orang. Namun Lim To-an cukup
cerdik, ia berjaga rapat diri sendiri dan tidak ikut berputar, hanya
kadang-kadang mendadik ia menutuk dengan kipasnya, tempat
yang diarah selalu urat nadi yang fatal, sorot matanya yang jalang
terus mengincar tuhuh Cui-hong yang montok.
Cui-hong menjaki gopoh dan tak sabar, ia pikir, "Tampaknya
orang ini bukan orang baik-baik, kedua matanya saja sudah
membikin muak orang."
Begitulah Cui-hong merasa tidak sudi menjadi istrinya, maka
ciang-hoat atau ilmu pukulannya semakin gencar ia mainkan.
Tetapi Lim To-an ini memang bukan lawan lemah, maka setelah
lewat tujuh puluhan jurus, masih juga Cui-hong tak mampu
mengalahkan orang.
Sebaliknya serupa orang berjudi, bagi Lim To-an pertandingan
ini sudah sembilan bagian tergenggam di tangannya. Pikirnya
dalam hati, "Coba berapa besar tenaga kaum wanita seperti kau ini
mampu bertahan?"Pahala dan Murka - 5 23
Malahan ia terus tarik kipasnya, ia berlaku tenang saja, ia tunggu
saat baik bila Cui-hong mulai letih dan menjadi lengah, segera ia
hendak tutuk roboh padanya.
Dalam pertarungan yang berlangsung seru ini, mendadak Cui-
hong menerjang maju, ia tersenyum manis hingga sebaris giginya
yang putih laksana mutiara tertampak jelas, dekik di pipinya
menambah kecantikannya, seketika hati Lim To-an terguncang.
"Dengan ketampanan dan kepandaian ilmu silatku ini tentu
menggiurkan dia," demikian pemuda tidak tahu diri ini berpikir.


Pahala Dan Murka Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ia mengira dengan senyuman Cui-hong ini gadis ini hendak
mengaku kalah, maka dengan kipasnya ia tolak terjangan orang,
berbareng ia balas bersenyum.
Tidak terduga olehnya mendadak Cui-hong tertawa sembari
berkata, "Maaf!"
Diam-diam In Lui pun merasa geli, ia heran di dunia ini ada cara
pemilihan anak menantu demikian ini, jika yang terpilih kemudian
adalah seorang burik, apakah tidak bikin penasaran putrinya?
Sang surya pelahan telah bergeser ke barat, waktu itulah tiba-
tiba terdengar suara ramai orang mengucapkan selamat, hadirin
pun sama berdiri, ketika In Lui berjinjit dan memandang ke depan,
terlihat seorang tua yang bermuka merah berjalan keluar sambil
menggandeng seorang gadis, mereka memisahkan diri diantara pira
tamu terus melompat ke atas Lui-tai.
Si gadis sangat cantik, raut mukanya bundar, alisnya lentik
panjang sampai pelipis, In Lui jadi tertarik, ia mendesak maju ke
depan, ia lihat gadis ini bersikap wajar saja di antara tetamu yang
banyak, sikapnya tampak gagah, sedikit pun ia tidak malu-malu
atau kikuk menghadapi tetamu di bawah panggung.Pahala dan Murka - 5 24
Sementara itu dari pembicaraan orang di sampingnya In Lui
mendapat tahu bahwa orang tua bermuka merah itu bukan lain
ialah Cengcu atau kepala perkampungan Hek-sek-ceng, Hong-
thian-lui Cio Eng adanya, dan gadis itupun putrinya yang bernama
Cio Cui-hong.
Diam-diam In Lui memuji kecantikan gadis itu, dalam hati ia geli
juga mengapa kakek yang bermuka merah dan bermulut moncong
persis seperti Lui-kong (malaikat geledek) dalam lukisan bisa
mempunyai seorang anak perempuan secantik molek mi!
Dalam pada itu tertampak Cio Eng telah merangkap kepala
memberi hormat pada tetamunya di bawah panggung sambil
mengucapkan sekadar kata sambutan.
"Hari ini adalah shejit (hari lahir) aku si tua, atas kesudian
saudara sekalian berkunjung ke perkampunganku yang jelek ini,
lebih dulu silakan minum tiga cawan!"
Dengan suara gemuruh para tamu di bawah panggung
menyambut dengan baik, masing-masing segera menenggak dan
habiskan arak mereka.
"Hek-sek-ceng kami ini adalah tempat terpencil yang miskin,
tiada sesuatu yang dapat dibuat menghibur saudara-saudara, harap
jangan dibuat buah tertawaan kalian," terdengar Cio Eng
menyambung lagi dengan mengelus jenggotnya. "Anak
perempuanku ini masih bisa memainkan beberapa jurus pukulan
dan tendangan, biarlah suruh dia unjak sedikit kemahirannya yang
cetek iai untuk menghibur para paman dan mamak sambil minum
arak, bagaimana?"
Seketika tetamu di bawah panggung bersuara gemuruh
menyambut dengan baik.Pahala dan Murka - 5 25
"Tetapi hanya seorang diri saja yang bermain tentu kurang
menarik, harap saja ketiga putra Se-ceeu, Han-tocu dan Lim-cengcu
suka memberi petunjuk beberapa jurus, coba lihat siapa yang paling
hebat, aku pun ada sedia sedikit hadiah, entah bagaimana dengan
pikiran ketiga saudara muda?"
Cio Eng berkata dengan tertawa. Meski tidak terang-terangan ia
bilang "pi-bu-ciau-jin" atau bertanding silat untuk mencari jodoh,
tetapi para orang gagah yang hadir sudah cukup mengetahui
maksud kemauannya.
"Bagus, bagus sekali!" seru Han-tocu dan Lim-cengcu
mendahului, berbareng itu dengan membawa putra masing-masing
mereka lantas melompat ke atas panggung dari gerombolan orang
banyak, gerak tubuhnya ternyata cepat dan sangat gesit.
Cio Eng menjadi lebih terkejut oleh penuturannya, ia kenal baik
kepandaian Oh-loji, wakil utama Se To, ilmu silatnya masih di atas
Se Bu-ki, tetapi dengan kekuatan mereka berdua masih juga
menderita kekalahan terhadap seorang piausu atau pengawal,
inilah yang dia tidak habis mengerti.
"Toako, menurut pendapatmu lalu bagaimana?" terdengar Se To
bertanya dengan suara dingin.
Cio Eng tercengang oleh pertanyaan tiba-tiba ini, tetapi segera
pula ia tertawa terbahak-bahak.
"Kalau begitu, piausu itu tentu seorang yang pandai juga. Cuma
tidak tahu dari mana asal-usulnya? Sekarang berada di mana? Aku
pun ingin menjumpainya dan mengakurkan kalian kedua pihak,"
katanya kemudian.
Air muka Se Bu-ki rada berubah.
"Semenjak Siautit terjun ke kangouw, belum pernah
mendapatkan hinaan semacam ini, pengakuran ini tidak bisaPahala dan Murka - 5 26
dilaksanakan lagi!" Habis ini mendadak ia menuding ke bawah
panggung dan berseru, "Ini dia adanya, bangsat ini rupanya sudah
telan hati serigala dan makan empedu harimau, dia berani mati
datang kesini."
"Kami ayah dan anak keluarga Se masih ingin menjumpaimu
yang berkepandaian tinggi, hendak ke mana kau?" segera Se To
membentak.
Berbareng itu dua hayangan orang telah menubruk ke bawah
panggung disusul dengan suara ributnya tetamu, suasana menjadi
kacau-balau.
"Di mana orangnya?" beramai-ramai para tamu berteriak.
Di antara tetamu itu sebagian besar adalah kei.alan Se-cecu,
karena itu berduyun-duyun mereka merubung maju hendak
membantu.
Dalam pada itu, dengan kecepatan luar biasa Se To sudah
menerjang sampai di depan In Lui, kelima jarinya laksana cakar
segera mencengkeram ke atas kepala orang,
Tetapi In Lui sangat gesit dan cepat, dengan sekali mengegos ia
menghindarkan diri.
Di lain pihak Se Bu-ki pun sudah menyusul tiba, begilu bergerak,
segera ia menusuk dengan belatinya.
"Hab, kiranya bangsat kecil bertopeng kemarin malam itu adalah
kau!" kata In Lui dengan tertawa demi mengenali gerak-gerik
orang.
Berbareng ia berputar dengan cepat, ketika tangan menyampok
balik, maka terdengarlah suara nyaring yang keras, belati Bu-ki
sudah terpukul jatuh.Pahala dan Murka - 5 27
In Lui masih terus menyerang, begitu membalik tubuh lagi,
sambil menyikut dan mendepak, ia bikin teijungkal dua orang yang
dalang hendak membantu, habis ini ia lantas melompat pergi
melalui sebuah meja.
Se To tidak tinggal diam, ia lolos golok terus mengejar, menyusul
ia kirim sekali bacokan.
"Hm, tidak punya muka, apa kalian hanya pandai mengeroyok?"
teriak In Lui mengejek.
Ia tarik meja di depannya dan didomplangkan, keruan seisi meja
berantakan dan menerbitkan suara gemerantang. Se To tak keburu
menyingkir, badannya menjadi basah kuyup oleh sayur mayur yang
tumpah berhamburan. Ia merljadi murka, dengan cepat ia kirim dua
kali bacokan, To-hoat atau ilmu permainan goloknya memang cepat
sekali.
Terpaksa In Lui melawan juga, segera ia sambut serangan orang,
tetapi Se To sudah ganti tipu serangan lagi, sekonyong-konyong ia
mendak ke bawah terus memotong, ia hendak tangkap kedua kaki
In Lui.
"Kejam sekali kau bandit anjing ini!" damperat In Lui gusar.
Ia lantas melompat ke atas, dengan gerakan "yan-cu-sia-hui"
atau burung seriti terbang miring, di bawah ancaman golok musuh
yang bersinar kemilau ia menerjang maju, begitu pedang bergerak,
ia menikam ke dada musuh.
Gerak serangan pedangnya ternyata lebih cepat daripada
serangan golok orang, keruan Se To kaget, lekas ia mendak ke
bawah buat hindarkan diri, namun segera ia dengar suara
gemerantang nyaring, goloknya ternyata terkutung menjadi dua
oleh pokiam In Lui.Pahala dan Murka - 5 28
In Lui tidak mau melukai orang, maka hanya senjatanya yang
dipatahkan. Akan tetapi Se To ternyata tidak mau mengerti,
sekonyong-konyong ia melompat ke atas, ia ulur tangan dan
mencakar pula.
Lekas In Lui putar senjatanya, dengan gerak tipu "tau-seng-
koan-heng" atau bintang meluncur pindah tempat, ia memotong
dari samping.
Se To tahu senjata orang adalah pedang pusaka, maka lebih dulu
ia sudah berjaga-jaga, begitu pedang orang menyabet, segera ia
tarik kembali serangannya dan berganti memukul tempat lain,
dalam sekeiap saja sudah silih berganti beberapa tipu serangan.
Dalam keadaan demikian, seketika In Lui tidak mampu pukul
mundur lawannya.
Sementara itu dari samping telah datang pula beberapa orang
hendak mengeroyok, karena itu In Lui jadi kurang leluasa, ia dengar
Se To lagi menggertak, telapak tangannya membalik terus
menghantam.
Waktu In Lui melirik ia lihat telapak tangan Se To merah
membara seperti darah, ia tahu orang berlatih "Tok-se-ciang", ilmu
pukulan pasir berbisa, hantamannyasekali-kali tidak boleh terkena,
maka cepat ia ulur tangan menarik, ia tarik seorang pengeroyok
terus didorong ke depan untuk menerima hantaman Se To.
Mengetahui bakal menghantam kawan sendiri lekas Se To tarik
kembali tangannya, tapi dengan cepat In Lui jadi lantas melompat
pergi dari kepungan yang bobol ini, ia lompat lewat sebuah meja,
habis ini ia ambil mangkok piring yang terdapat di atas meja, terus
disambitkan serabutan, keruan kawanan pengeroyok itu menjadi
kelabakan, mereka sama basah kuyup oleh isi mangkok piring dan
babak belur karena tertimpuk.Pahala dan Murka - 5 29
"Wah, kacau?" terdengar tetamu lain sama berteriak karena
suasana menjadi kalang-kabut ini.
Waktu itu Se Bu-ki telah sambar sebuah kursi terus menerjang
maju lagi, dengan gemas ia kepruk kepala lawan.
Tetapi dengan cepat In Lui gunakan gerak tipu "Hong-hong-
tiam-tau" atau burung cendrawasih memanggut kepala, ia
hindarkan keprukan kursi ini terus dibarengi pula membelah
dengan pedangnya, sudah tentu kursi itu berantakan terbelah
menjadi dua.
Di samping lain, begitu gerahi kedua telapak tangannya, susul
menyusul Se To memukul pula. In Lui tidak ganti gerak tipu lagi
pedangnya.sekalian ditusukkan ke samping.
Tetapi pada saat itu jnga tiba-tiba ada bayangan orang menubruk
ketengah. berbareng kedua tangannya menolak ke samping, kontan
In Lui dan Se To sama melompat mundur.
?Se-toako, harap memberi muka padaku, engkoh cilik ini pun
hendaknya berhenti," terdengar Cio Eng berseru di tengah
kalangan.
"Baik, Toako, kau yang putuskan urusan ini, kami ayah dan anak
pun percaya pada sepatah-katamu," ujar Se To dengan penasaran.
Ketika Cio Eng memandang In Lui sekejap, orang tua ini jadi
tertarik.
"Di dunia ini ternyata terdapat lelaki secakap ini, kalau tidak lihat
sendiri kepandaiannya, orang tidak nanti percaya dia bisa
mengalahkan ayah dan anak keluarga Se dengan gilang-gemilang,"
demikian pikir pula orang tua ini.
Karena itu, ia jadi ragu.Pahala dan Murka - 5 30
"Cio-cengcu, maafkan aku telah bikin susah tetamumu," segera
In Lui buka suara, "Kedatanganku ke sini dengan maksud memberi
selamat, maka sekali-kali tidak berani bergebrak dengan engkau
orang tua, hendak kau bunuh atau kausembelih, boleh terserah
padamu."
Menurut peraturan kangouw, In Lui datang memberi selamat,
maka ia pun terhitung tamu Cio Eng. meski ada urusan betapapun
besarnya, Cio Eng harus bertanggung jawab segalanya.
Begitulah maka diam-diam Se To mencaci-maki atas kelicikan
bangsat cilik ini.
"Cio-toako, bolehkah kutanya engkoh cilik ini siapa namanya dan
she apa, siapa pula Suhunya?" dengan mata melotot tiba-tiba ia
tanya.
Cio Eng menjadi bingung. "Mana aku tahu?" sahutnya kemudian.
Se To bergelak tertawa.
"Ha, kiranya Cio-toako juga tidak kenal dia," katanya lagi, "Kalau
begitu, siapa di antara hadirin yang kenal padanya?"
Waktu itu seluruh tetamu di taman ini sudah merubungi In Lui
untuk melihatnya, tetapi tiada seorang pun yang kenal dia.
"Toako sudah jelas bukan? Bocah ini pura-pura menjadi tamu
yang hendak memberi selamat, tetapi sebenarnya ingin berlindung
saja," dengan tertawa Se To berkata lagi, "Adalah soal kecil ia makan
percuma di sinij tetapi kalau kejadian ini tersiar, lantas muka kaum
hek-to kita di Soasay ini harus ditaruh ke mana?"
Cio Eng kurang senang oleh ocehan orang yang bersifat
mengadu domba itu.
"Lalu kalau menurut pendapat Toako harus bagaimana?"
tanyanya.Pahala dan Murka - 5 31
"Gampang," sahut Se To. "Suruh dia serahkan kuda ?Ciau-ya-say-
cu-ma? dan mutiara mestika milik majikannya yang dia kawal, lalu
biarkan Bu-ki menggores sekali pada lengannya dan semua urusan
akan menjadi beres."
Mendengar disebut-sebutnya "Ciau-ya-say-cu-ma" atau kuda si
singa bercahaya waktu malam, diam-diam ia berpikir, "Sudah lama
kudengar Ciau-ya-say-cu-ma adalah kuda ternama yang jarang ada
bandingannya di Mongol, itupun kuda ini asalnya dari barang upeti,
meski berani bayar ribuan tahil emas pun sukar diperoleh, tidak
nyana kuda putih pemuda sastrawan ini adalah Ciau-ya-sayicu-ma
yang termashur itu."
Karena pikiran ini, terbayang olehnya wajah pemuda sastr'wan
yang tertawa tidak tertawa, sikapnya yang kemalas-malasan dan
menggelikan itu, teringat pula olehnya kejadian tempo hari, maka
terhadap diri pemuda itu ia tambah curiga.
Melihat In Lu i sedang termangu-mangu, Cio Eng mengira dia
ketakutan, maka dengan pelahan ia menepuk pundaknya.
"Engkoh cilik, apalagi yang hendak kaukatakan?" tegurnya.
"Dia membegal dan aku menolong orang, apa lagi yang perlu
kukatakan?" sahut In Lui. "Jika mereka tidak terima, boleh silakan
maju, asal mereka ayah dan anak bisa menangkap diriku, jangankan
hanya digores sekali di lengan, sekalipun akan dicencang tidak nanti
aku lari."
Karena tantangan ini, seketika Cio Eng menarik muka, pikirnya,
"Hah, bocah ini ternyata anak ayam yang baru netes, ia tidak tahu
sesudah berada di sini, segala urusan akulah yang bertanggung
jawab, aku sudah bilang sedia pikul semua urusan, kini kau sendiri
menantang mereka, ini kan berarti menantang aku juga?"
Betul juga, segera terdengar ScTo bergelak tertawa.Pahala dan Murka - 5 32
"Apa yang kau tertawa i?" damperat In Lui dengan mata melotot.
"Kalian ayah dan anak boleh maju saja, memangnya aku keder
padamu?"
Kiranya In Lui telah gunakan apa yang pernah diajarkan Ciu San-
bin padanya, ia ingat peraturan kangouw yang diceritakan San-bin
bahwa kalau ketemu pihak lawan yang jumlahnya lebih banyak,


Pahala Dan Murka Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bahkan tokoh terkemuka, maka boleh mendahului menantang saja
untuk bertarung satu lawan satu.
Karena itulah In Lui pikir ayah beranak she Se berdua saja bukan
tandingannya, kenapa tidak sekalian tantang mereka maju sekaligus
saja. Ia tidak tahu bahwa "pengetahuan umum mengembara
kangouw" yang diajarkan Ciu San-bin itu hanya mengenai keadaan
umumnya saja, tetapi tidak sesuai untuk dipakai dalam suasana hari
ini. Dalam pada itu Se To sedang bergelak tertawa, lalu dengan suara
lantang ia berkata, "Nah, Cio-toako, sudah kaudengar bukan?
Dalam pandangan bocah ini bukan saja anggap enteng kami ayah
dan anak she Se, bahkan Cio-toakopun dihinanya!"
Kembali Cio Eng tarik muka atas kata-kata yang bernada
mengadu domba ini.
"Aku sendiri ada usul," katanya kemudian. "Hei, kau engkoh cilik
ini, kau ingin bertanding pedang atau bertanding pukulan?"
"Apa? Bertanding denganmu?" sahut In Lui bingung. "Ah,
Cengcu, kau punya Liap-hun-kiam tersohor di kolong langit, mana
aku berani bergebrak dengan kau. Aku hanya ingin ukur tenaga
dengan mereka saja!"
"Tutup mulut!" bentak Cio Eng mendadak. "Siapa saja yang
berani main kepalan dan senjata di sini boleh maju menghadapiku
dulu."Pahala dan Murka - 5 33
Habis berkata ia memandang sekelilingnya. Meski kata-katanya
ini seperti ditujukan pada In Lui, tetapi diam-diam juga
dimaksudkan ayah dan anak orang she Se itu.
In Lui tertegun bingung, ia tidak tahu apa yang harus dilakukan.
"Kalau jeri pada Liap hun-kiam-hoatku, baiklah boleh bertanding
pukulan saja," demikian Cio Eng berkata pula.
"Wah, wanpwe tidak berani," sahut In Lui.
"Tidak bisa, kau harus berani!" ujar Cio Eng sungguh-sungguh.
"Curas mengingat engkau adalah orang muda, aku pun tidak sudi
bergebrak denganmu. Baiklah, Hong-ji, maju dan coba beberapa
gebrakannya! Nah, anak muda, lekas naik ke lui-tai!"
Serentetan kata-kata Cio Eng ini snngguh di luar dugaan orang
banyak.
Se To dan Se Bu-ki pun gusar hingga muka mereka merah
padam.
Harus diketahui bahwa maksud tujuan lui-tai yang diadakan Cio
Eng ini bukan lain adalah untuk cari menantu, meski maksud ini
tidak terang-terangan diumumkan namun semua orang sudah tahu
juga.
Cio Eng hanya melirik sekejap pada ayah dan anak orang she Se
ini dan tidak pedulikan mereka, ia terus mendesak In Lui lekas naik
ke atas panggung.
"Hayo, lekas naik! Kau berani masuk ke Hek-sek-ceng sini, tentu
kauberani juga naik lui-tai untuk unjuk kepandaianmu. Eh, kenapa
tidak lekas naik, apa perlu kulemparkan kau ke atas?"
Cara bicaranya garang dan mendesak, tapi tetamu di sekitarnya
menjadi geli dalam hati, mereka mengerti maksud orang tua ini,
terang dia sudah penujui In Lui untuk menjadi menantunya.Pahala dan Murka - 5 34
Ketika In Lui mendongak memandang ke panggung, ia lihat
wajah Cio Cui-hong yang cantik bersemu merah, pandangannya
pun sedang menatap padanya. Tiba-tiba tergerak hati In Lui, timbul
suatu pikirannya, segera ia rapikan pakaiannya dan siap naik
panggung.
"Baiklah, biar aku coba beberapa gebrakan dari Siocia," katanya
kemudian. Semua orang lantas memberi jalan padanya, In Lui pun
tidak kikuk-kikuk lagi, dengan sekali lompat ia melayang ke atas lui-
tai. Dalam pada itu Cio Eng sedang bisik-bisik pada koan-keh atau
kepala pengurus rumah tangganya, habis ini baru ia duduk di
samping Se To.
"Se-toako, sudah lama kita bergaul, tidak nanti kubikin kaurugi,"
dengan mengelus jenggotnya ia berkata pada kenalan lamanya ini.
Se To masih gusar, tapi tak dapat umbar amarahnya ini.
"Sudahlah, orang pandai angkatan muda harus kita pupuk juga,"
kata Cio Eng pula dengan tersenyum, "Jika karena sedikit
perselisihan kita harus membunuhnya, bukankah akan
menunjukkan kepicikan kita belaka?"
Cio Eng adalah pemimpin Bu-lim atau dunia persilatan daerah
Soasay dan Siamsay, maka mau-tidak-mau Se To harus menyerah.
"Betul juga ujar Toako! Banyak terima kasih atas petunjukmu,
aku mohon diri saja!" sahut Se To kemudian dengan menahan rasa
gusar.
Sudah tentu Cio Eng tidak biarkan orang pergi begitu saja, ia
coba menahannya.
"Saksikan dulu babak pertandingan ini, lihatlah, ramai sekali
pertarungan mereka!" ujarnya.Pahala dan Murka - 5 35
Sementara itu di atas lui-tai dua bayangan orang sedang
berputar kian kemari dengan cepat hingga membikin pandangan
sama kabur. Gerak tubuh kedua orang ternyata tidak banyak
berbeda, mereka mengitar panggung dengan cepat dan licin, kalau
In Lui memakai pakaian putih mulus adapun Cio Cui-hong berbaju
hijau dan .bercelana merah, ujung baju melambai-lambai tertiup
angin, cara berputar mereka pun makin lama makin cepat laksana
segumpal avran putih menyongsong cahaya merah yang bergulung-
gulung di atas lautan biru menghijau hingga membikin pandangan
orang jadi silau.
Dengan kepandaian In Lui sebenarnya ia bisa jatuhkan Cui-hong
dalam lima puluh jurus saja, tetapi In Lui bermaksud melihat gerak
tubuh Cui-hong yang disebut "liap-hun-po" atau gerak langkah
awan meluncur, oleh sebab itu ia sengaja berlaku lambat, serangan
pun tidak membahayakan.
"Liap-hun-po-hoat" juga berasal dari pat-kwa-yu-sin-hoat yang
diubah dan juga mengutamakan kcentcngan tubuh dan kegesitan,
bersama ilmu pukulan "Bi-cong-kun" disebut dua ilmu
mengentengkan tubuh yang tinggi di daerah utara. Cio Eng tersohor
karena "Liap-hun-kiam-hoat" tidak lain berdasarkan gerak langkah
yang gesit ini.
Walaupun Cui-hong hanya mendapat lima-enam bagian
kepandaian ayahnya, namun sudah cukup membikin pandangan
Pedang Kiri Pedang Kanan 12 Dracula Karya Bram Stoker Liang Maut Di Bukit Kalingga 1
^