Pencarian

Pahala Dan Murka 6

Pahala Dan Murka Karya Liang Ie Shen Bagian 6


ikut terharu, ia merasa berterima kasih dan juga kasihan padanya.
Biarlah nanti kalau dia sudah ceritakan asal-usulnya, tentu akan
menghibur dia baik-baik," demikian katanya di dalam hati.
"Sudah baikan tidak?" ia dengar Tan-hong bertanya dengan
tersenyum waktu lihat gadis ini mendusin.
"Sudah banyak baikan," sahut In Lui. "Toako, semalam apa kau
tidak tidur dengan enak?"
"Sudahlah, tak usah urus aku,, beberapa hari aku tidak tidur atau
sekali tidur selama beberapa hari, bagiku sudah biasa," kata Tan-
hong. "Coba ulurkan kakimu!"
In Lui menurut, ia ulurkan kaki kirinya.
"Bukan, kaki kanan," kata Tan-hong.
Kemudian pemuda ini lantas mencopot sepatu orang, ia memijat
dari jari jempol kaki orang terus diurut ke atas sampai mata kaki
terus ke betis pula, ia mengurut berulang-ulang secara demikian,
selang tak lama maka terasalah In Lui semacam rasa enak
merembes ke seluruh tubuhnya hingga badan terasa segar dan
pikiran terang.
"Sekarang sudah cukup, besok akan kusembuhkan urat nadimu
yang lain hari ini kau boleh berlatih sendiri sajalah," kata Tan-hong
akhirnya.
Lalu ia tinggalkan In Lui dan duduk di lantai, dikeluarkan lukisan
itu dari bajunya.
Dengan sebelah tangan memegang lilin, dengan penuh perhatian
ia mengamat-amati lukisan itu, ia pandang sampai lama sekali
seperti sedang mencari sesuatu di atas gambar, kalau In Lui sudahPahala dan Murka - 9 6
berlatih selengah hari, maka selama itu pula Tan-hong memandangi
lukisannya.
Dalam pada itu tiba-tiba terdengar dari luar ada suara tindakan
orang lagi, dengan menghela napas kelihatan Tan-hong
menggulung kembali lukisannya.
"Kenapa ada orang yang justru suka pada rumah setan ini?"
demikian ia bergumam sendirian. Berbareng ia menggoyang-
goyang tangannya memberi tanda pada In Lui dengan maksud agar
gadis ini jangan bersuara.
Sementara itu orang yang datang di luar kuburan itu agaknya
tidak hanya seorang saja, mereka sedang menggali tanah bersama.
Selang tak lama kemudian, terdengarlah suara gemuruh yang keras,
pintu batu ternyata sudah terbuka didorong, walaupun tanah sudah
menjadi longgar karena digali, tetapi tenaga dorongan orang itu
sungguh tidak lemah.
Setelah pintu terbuka, kelihatan orang yang di luar jumlah
semuanya ada lima orang, berturut-turut mereka berjalan masuk.
Waktu In Lui awasi, ia lihat yang empat orang adalah empat
saudagar emas-intan begundal Oh-pek-Mako, dengan dua di depan
dan dua di belakang mengapit seorang lainnya di tengah sedang
melangkah masuk, orang yang diapit di tengah ini bukan lain adalah
cengcu dari Hek-sek-ceng, Cio Eng adanya.
Keruan In Lai heran dan kuatir, ia pikir "Keempat saudagar ini
tentu mengetahui kamar rahasia ini, jika nanti Cio Eng suruh aku
kembali ke rumahnya, lalu bagaimana?"
Dalam pada itu terdengar salah seorang saudagar yang jalan di
depan telah buka suara, "Mereka berdua tentu masih disini. Cio-
locengcu, silakan bertindak saja."Pahala dan Murka - 9 7
Kiranya sesudah Mako Hitam-putih mengalami kekalahan,
dalam keadaan gusar dan malu mereka lantas kembali ke Tibet.
Sedang keempat saudagar pembantunya ini ditugaskan menuju ke
daerah selatan untuk mengurusi perusahaannya. Maklumlah
sesudah mereka mangalami kekalahan harta benda yang tersimpan
dalam kuburan kuno ini, kekayaan mereka sudah ludes, mereka
sudah tiada modal lagi buat melakukan perdagangan batu mestika
yang istimewa dari kalangan hek-to ini.
Akan tetapi keempat saudagar pembantunya itu ternyata merasa
penasaran, kebetulan di tengah jalan mereka berjumpa dengan Cio
Eng yang lagi menyusul puterinya, maka mereka lantas mohon Cio
Eng suka tampil ke muka membela mereka. Kiranya mereka masih
menyangka Thio Tan-hong adalah orang yang mencuri pusaka ke
rumah Cio Eng tempo hari, meski kepandaian Cio Eng tidak lebih
tinggi daripada Oh-pek Mako, tetapi seluruh orang gagah kalangan
berandal di daerah Soasay dan Siamsay sama tunduk pada
perintahnya, asal bisa membikin gusar Cio Eng, begitu orang tua ini
menyebarkan Lok-lim-lengci atau panah perintah kalangan lok-lim,
maka dapat dipastikan biarpun Tan-hong berkepandaian lebih
tinggi lagi bersayap pun tidak bisa kabur.
Tak mereka duga, Cio Eng sendiri justru ingin sekali melihat
wajah asli Tan-hong, apalagi jejak In Lui, anak "menantunya" ini,
baru bisa diketemukan setelah bertemu dengan Tan-hong, maka
orang tua ini lantas pura-pura terima hasutan mereka dan suruh
keempat saudagar itu membawanya datang ke kuburan ini.
Begitulah, maka sesudah berada di ruangan dalam kuburan,
keempat saudagar emas-intan itu lantas mengitar sekali ruangan
besar itu.
"Ayo bocah yang berani tepuk lalat diatas kepala harimau, lekas
unjuk batang hidungmu!" demikian mereka lantas berteriak-teriak.Pahala dan Murka - 9 8
Akan tetapi lekas mereka dicegah oleh Cio Eng, malahan Cio Eng
lantas memberi hormat tanpa ada orangnya, katanya, "Thio-
kongcu, silakan keluarlah, aku orang tua ingin sekali bertemu,
biarlah aku mengakurkan persengketaan kalian berdua pihak!"
Keruan keempat saudara itu tertegun bingung, mereka tidak
mengerti mendadak Cio Eng menaruh hormat kepada orang.
"Cio-locengcu," segera satu di antaranya yang menjadi kepala
mengisiki Cio Eng. "hendaklah jangan kuatir, jika mereka berdua
dalam keadaan baik, dua pedang mereka bergabung, kita berlima
memang bukan tandingannya, tetapi kini menantumu sudah dilukai
Mako Putih, seorang diri dia bukan tandingan kita. He, Cio-
loenghiong, tentang luka menantumu itu kami tanggung bisa
menyembuhkan dia asal bocah berkuda putih itu menyerahkan
kembali semua harta mestika yang dirampasnya dari kami itu."
Tadinya karena kuatir Gio Eng akan marah, maka keempat
saudagar ini belum berani memberilahukan tentang lukanya In Lui,
tetapi sesudah melihat perubahan sikap Cio Eng tadi, mereka
menyangka orang tua ini takut pada musuh yang terlalu tangguh,
maka tak berani berlawanan dengan Tan-hong, akhirnya terpaksa
mereka menceritakan apa yang terjadi sebenarnya.
Sebaliknya demi mengetahui In Lui terluka, Cio Eng menjadi
gugup.
"Thio-kongcu, silakan keluarlah," demikian ia memanggil lagi.
"Tempo hari Siausay (menantuku yang rendah) kurang mengerti
dan bikin ribut padamu, hendaklah suka kaumaafkan."
Akan tetapi meski orang sudah memanggil berulang kali, Tan-
hong yang berada dalam kamar rahasia tetap tinggal diam.Pahala dan Murka - 9 9
"Baik, kalau kau tetap tak mau keluar, biarlah kami yang masuk
untuk memaksa kau keluar?" seru keempat satudagar itu dengan
gemas.
Segera mereka ambil lonjoran batu dan dipalangkan ke dinding
yang dekuk itu terus diputar sekuatnya, akan tetapi sebelum orang
berhasil membuka, setelah Tan-hong memberi pesan beberapa kata
pada In Lui, dengan cepat ia lantas singkirkan palang batu terus
membuka pintu, menyusul ia sendiri lantas melompat keluar dan
sekalian merapatkan lagi daun pintu batu dari kamar rahasia itu.
Keempat saudagar itu sebenarnya sedang berputar dan
mengangkat sekuat tenaga, ketika mendadak pintu terbuka hingga
mereka kehilangan imbangan badan, mereka jatuh tersungkur.
Ketika mereka bangun berdiri lagi, mereka nampak Tan-hong
sedang goyang-goyang kipasnya, di tubuh pemuda ini memakai
baju ringkas bersulam dua naga, yakni baju yang dipakainya
semalam waktu bertarung dengan Mako Hitam.
Dengan gugup keempat saudagar ini lekas melompat pergi terus
ambil kedudukan di empat sudut, kedudukan yang mengepung, asal
pemuda ini bergebrak dengan Cio Eng, segera mereka akan maju
mengeroyok.
Di luar dugaan, Tan-hong berlaku tenang saja, di bawah api lilin
yang terang wajah pemuda ini tampak semakin ganteng.
"Cio-cengcu, budi selama beberapa puluh tahun, biarlah aku
mewakili leluhurku menghaturkan terima kasih di sini," demikian
terdengar Tan-hong buka suara dengan bersenyum sambil goyang
goyang kipasnya.
Kini dengan terang Cio Eng bisa memandang wajah asli pemuda
ini, mendadak ia menangis hingga bersuara, seketika ia menubruk
maju, ia menjatuhkan diri, berlutut dan menjura empat kali.Pahala dan Murka - 9 10
"Siau . . . Siau ...."
Demikian sebenarnya Cio Eng hendak bicara tapi sebelum ia
berucap lebih lanjut, ia lihat Tan-hong sudah goyang-goyang
tangannya memberi tanda agar jangan menyebut asal-usul dirinva.
Pemuda ini membiarkan Cio Eng menjura empat kali, habis ini baru
ia menariknya bangun sambil membungkuk badan membalas
hormat sekali, meski sikap balas menghormatnya seperti sungguh-
sungguh, tetapi tidak balas hormat dengan berlutut, terang sekali
adat penghormatan antara atasan terhadap kaum hamba.
Keruan kelakuan Hong-thian-lui Cio Eng ini membuat terkejut
semua orang, baik di luar maupun di dalam kamar rahasia.
Hanya In Lui yang di dalam kamar rahasia, selain terkejut ia pun
terhibur pula, ia pikir, "Ah, ternyata Toako memang bukan orang
jahat, sebagaimana tertampak penghormatan Cio-loenghiong
kepadanya! Cuma Toako pun agak terlalu, dia masih semuda ini,
mana boleh dia terima panghormatan begitu dari Cio-loenghiong?"
Di lain pihak keempat saudagar tadi makin lama semakin heran
dan gugup, sama sekali tidak mereka duga, Cio Eng yang mereka
jagoi siapa tahu justru adalah kawan musuh, hanya seorang Thio
Tan-hong saja mereka sudah tak mampu melawan apalagi kini
ditambah pula bantuan Cio Eng.
Sementara itu, mereka lihat Tan-hong telah bersenyum
menghadapi mereka.
"Nah, kebetulan Cio-cengcu berada disini, kalian boleh tanya dia,
apakah aku ini manusia yang tamak harta dan suka curi pusaka?"
kata pemuda itu.
Dalam keadaan serba salah dan gugup, keempat saudagar itu
memberi hormat terus menerus.
"Ya, kami yang salah sangka," berulang kali mereka minta maaf.Pahala dan Murka - 9 11
Tan-hong bergelak tertawa.
"Haha, sekarang kalian boleh tunggu, hanya sedikit barang tak
berarti milik Oh-pek-Mako itu sama sekali belum terpandang
olehku," ujarnya.
Habis berkata pelahan ia membuka pintu kamar rahasia lagi, ia
hanya buka tiba cukup untuk dimasuki tubuhnya. Kamar rahasia itu
sangat luas, In Lui sendiri duduk di pojok sana, maka orang yang di
luar tidak bisa melihatnya.
Keempat saudagar dan Cio Eng pun tak berani coba melongok ke
dalam, sebentar kemudian, tertampaklah Tan hong menyapu keluar
sekumpulan benda mestika dan barang antik lainnya yang mahal
harganya yang semula berserakan di pojok kamar, laksana
menyapu sampah saja oleh Tan-hong disapu keluar.
"Haha, orang hidup paling suka harta, hanya aku yang paling
sayang pada ilmu," sambil berkata pemuda ini bergelak tertawa lagi.
"Nah, inilah, kalian boleh coba menghitung apa ada yang kurang
atau tidak?"
Sudah tentu tidak kepalang rasa girang keempat saudagar itu,
mereka amvil benda mestika itu dan dimasukkan kantung terus
digendong.
"Lekas enyah dari sini," bentak Tan-hong, "Sampaikan pada Oh-
pek Mako, suruh mereka hidup secara baik-baik, sekali-kali tidak
boleh berdagang dengan cara tidak halal."
"Ya, ya!" demikian keempat saudagar itu berulang-ulang
mengiakan. Habis ini mereka cari muka dulu, "Dan bagaimana
dengan keadaan luka kawanmu? Kami kisa menyembuhkannya."
"Apa hanya kalian yang bisa menyembuhkan dia?" sahut Tan-
hong, "Sudah lama kusembuhkan dia, tak perlu omong lagi, lekas
enyah!"Pahala dan Murka - 9 12
Kembali keempat saudagar ini mengiakan sambil membungkuk-
bungkuk memberi hormat mereka terus lari keluar kuburan itu,
"Haha, barang-barang yang makan tempat ini sudah bersih,
sekarang hatiku baru merasa puas! Harta yang tak halal, jangan
takut memakainya, cuma harus digunakan tepat pada tempatnya,
Cio-loenghiong, betul tidak?" dengan tertawa Tan-hong bertanya.
"Pengajaran Siaucu (tuan muda) memang betul." sahut Cio Eng
dengan laku sangat hormat.
"Nah, baiklah, kini kau sudah melihat diriku, kaupun boleh
berangkatlah," tiba-tiba Tan-hong berkata lagi.
"Mohon Siaucu suka lepaskan Siausay," dengan membungkuk
Cio Eng memohon.
"Jangan kuatir," sahut Tan-hong, "perjodohan puterimu
terjamin pada diriku dan In Lui, pasti kuberikan seorang menantu
yang baik. Kini aku tak ingin kau tinggal lebih lama di sini, lekas kau
pergi!"
Berkata sampai pada "pergi", nadanya mirip seperti pemberian
perintah saja.
"Kalau begitu baiklah hamba segera pergi," sahut Cio Eng sambil
membungkuk pula "Masih ada pesan apa lagi, Siaucu?"
Tidak kepalang rasa heran In Lui oleh apa sang disaksikannya
ini, pikirnya, "Jelek-jelek Cio Eng adalah pemimpin dunia persilatan
di darrah Soasay dan Siamsay, ilmu silatnya tidak dibawah Tan-
hung, tapi kenapa orang tua ini begitu menghormat padanya dan
begitu takut, berulang-ulang ia malah menyebut orang sebagai
Siaucu, apakah dahulu orang tua ini pernah menghamba di rumah
Toako?"Pahala dan Murka - 9 13
Sementara itu ta dengar Tan-hong sedang menjawab ucapan Cio
Eng tadi, "Tidak ada lagi!"
"Jika Siaucu perlukan sesuatu, asal hamba menyebarkan panah
perintah Lok-lim, kawan-kawan golongan hek-to dari dua propinsi
sedikit-banyak tentu akan memberi muka padaku," terdengar Cio
Eng berkata lagi.
Diluar dugaan, Tan hong bergelak-tawa pula.
"Ya. ya, tetapi kejadian saben-saben timbul diluar dugaan orang,
mungkin pada waktu perlu, siapapun tiada yang mampu
membantuku!" katanya kemudian.
Karena jawaban ini, tiba-tiba air muka Cio Eng berubah serba
salah
"Ya, meski hamba tak punya kepandaian, tapi asal Siaucu
memberi perintah, meski masuk ke air mendidih atau terjun ke
lautan api sekalipun tidak nanti hamba tolak," katanya lagi tegas.
"Sudahlah, maksud baikmu kuterima di dalam hati, sekarang
kau boleh pergilah!" kata Tan-hong dengan lesu sambil memberi
tanda.
Maka sesudah memberi hormat sekali lagi segera Cio Eng
undurkan diri.
Menyaksikan kejadian ini, hati In Lui jadi terguncang, tak
tentram.
"Toako, Cio Eng tanya padamu ada sesuatu pesan atau tidak,
kenapa tidak kauminta dia melakukan sesuatu?" segera ia tanya


Pahala Dan Murka Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

begitu Tan-hong melangkah masuk ke dalam kamar rahasia.
"Urusan apa maksudmu?" tanya Tan-hong heran.Pahala dan Murka - 9 14
"Em, itu pemuda yang kemarin datang bersama Cui-hong itu,
bukankah pernah dia berkata tentang panah perintah Lok-lim
bukan?" sahut In Lui dengan suara tak lancar.
"O, kau maksudkan Siaucecu (pemimpin muda) she Ciu dari luar
Gan-bun-koan itu?" kata Tan-hong dengan tertawa. "Ya, mereka
ayah dan anak berdua terhitung juga orang gagah. Dia hendak
minta Cio Eng menyebarkan panah perintah kaum Lok-lim dan
bikin susah diriku, hal ini sudah lama dalam dugaanku. Selama
hidupku tidak mau memohon pada orang lain, apalagi pinjam
tenaga orang untuk menyelamatkan diri, terhadap diriku
sendiripun aku malu. Terus terang saja, kalau aku takut mereka
menyebarkan panah perintah segala, begitu keluar tadi segera
kubikin melayang jiwa Gihengmu itu, tetapi aku justru membiarkan
mereka melakukan apa yang meresa kehendaki. Eh, kalau Cui-hong
dijodohkan Ciu San-bin tampaknya sangat tepat, pantas malaman
pengantin selalu kau sebut tentang Gihengmu."
Demikian Tan-hong bicara dengan bangga, tetapi juga terus
terang tanpa ragu.
"Eh, kiranya sudah lama ia tahu asal-usul San-bin, pada waktu
San-bin mencaci-maki dia, syukur juga dia masih sabar," demikian
In Lui berpikir.
Tetapi diam-diam ia pun sedih, ia tidak tahu di antara Tan-hong
dan Ciu Kian ada perselisihan paham apa sehingga mereka
bermusuhan.
"Em, cahaya mukamu sudah bertambah baik, kau boleh berlatih
dengan giat, nanti sesudah bersantap malam akan kuceritakan
kisah yang kedua," dengan tersenyum Tan-hong berkata.
Lwekang In Lui cukup kuat alas-dasarnya, sampai waktu makan
malam, penyakitnya sudah sembuh tujuh atau delapan bagian, iaPahala dan Murka - 9 15
sudah boleh makan nasi, sambil melayani gadis ini makan, Tan-
hong mulai dengan ceritanya lagi.
"Lama dan lama berselang ada satu negara, pada negara itu ada
seorang pembesar setia, siapa she dan namanya disini tidak perlu
kusebutkan, sebab pada tiap jaman toh selalu ada pembesar setia
seperti dia ini, mungkin dia she Thio, bisa juga she Li, mungkin pula
she Ong atau boleh jadi she In . . ."
"Selain itu ada pula satu negara yang bertetangga dengan negara
yang duluan tadi, antara kedua negara ini sering berperang,
kadang-kadang negara ini yang menjajah negara tadi dan tempo-
tempo negara yang lain melanggar wilayah negeri satunya lagi,
tetapi tidak peduli siapa yang benar dan negara mana yang menang,
yang tetap dan selalu menderita adalah rakyat jelata kedua negeri
itu."
"Pada waktu cerita ini terjadi, kedudukan negara di mana
pembesar setia tadi berada jauh lebih kuat, karenanya negara yang
lain diharuskan tiap-tiap tahun membayar upeti. Agaknya negara
yang kalah ini belum takluk benar-benar, diam-diam ia mencari
orang pandai dan pelahan negaranya pun menjadi kuat lagi. Melihat
gelagat tidak menguntungkan, pembesar setia tadi oleh negaranya
diutus keluar negeri sebagai duta untuk menghubungi negara tadi,
di samping berusaha mendekati antar negera, diam-diam juga
mencari berita rahasia keadaan dalam negeri musuh ini. Tak
terduga sekali berangkat pembesar setia ini lantas dua puluh tahun
.... Eh, adik cilik, kenapa kau? .... Tahukah kau kenapa kepergiannya
ini makan tempo dua puluh tahun? Sebaliknya. .. eh, adik Lui, adik
cilik!"
Kiranya sambil bercerita Tan-hong terus memandangi In Lui dan
tertampak wajah gadis ini semakin berubah, bahkan sampai pada
waktu ia berkata "dua puluh tahun", ia lihat muka In Lui menjadiPahala dan Murka - 9 16
pucat dan terhuyung-huyung hendak roboh. Keruan bukan main
kejut Tan-hong, lekas ia ulur tangan memegang.
"Ya, tahukah kau kenapa begitu dia pergi sekaligus makan tempo
dua puluh tahun, sebab ternyata dia ditahan orang untuk
mengangon kuda di tanah salju dan bumi es sana!" tiba-tiba
terdengar In Lui menyambung ceritanya tadi. "Sudahlah Toako, tak
perlu kau teruskan lagi, cerita ini aku tidak ingin mendengarkan."
Seketika muka Tan-hong juga berubah pucat lesi, kedua alisnya
terkerut rapat, tampaknya seperti suatu hal yang sudah lama
dicurigai dan kini mendadak terbukti dan seperti mendadak dia
terjaga dari impian yang buruk.
"O, kiranya cerita ini sudah kau ketahui, adik cilik," katanya
kemudian dengan pandangannya yang dalam pada In Lui. Kalau
begitu, biar besok malam kuceritakan lagi kisah yang ketiga,
sesudah itu segalanya akan menjadi jelas. Em, adik cilik, hendaklah
kau tenangkan diri, sekarang jangan kau tanya apa-apa dan jangan
bicara pula, kau masih perlu melancarkan tiga urat nadi yang lain,
tak boleh kau gunakan pikiran dan letihkan semangat. Adik cilik,
marilah kubantu kau berlatih."
Habis ini dengan kedua telapak tangannya ia tahan telapak
tangan In Lui, ia rasakan telapak tangan gadis ini sepanas api, sinar
matanya pun buvar laksana orang mabuk.
"Adik cilik, perasaanmu rupanya terlalu kesal, baiknva
sementara tak usah kau latih pernapasan," demikian kata Tan-hong.
Lalu ia tarik kembali tangannya, ia jalan mondar-mandir di
dalam kamar dan tiada hentinya mengitar.
Perlu diketahui bahwa pemuda ini lagi kualir, sebab In Lui yang
harus kumpul semangat untuk menyembuhkan lukanya, saat ini
tiba pada detik yang paling gawat, jika tak bisa membikin tenangPahala dan Murka - 9 17
gadis ini, maka keadaan penyakitnya tentu akan kambuh dan
bertambah parah.
Melihat Tan Hong mondar-mandir dalam kamar dengan wajah
kuatir, In Lui mengerti tentu orang lagi sedih atas dirinya,
sebenarnya banyak sekali pertanyaan yang hendak diajukan pada
pemuda ini, tetapi untuk sementara dia tahan.
"Toako, baiklah kau tidur siangan sedikit, aku akan bersabar
menanti ceritamu lagi besok malam," dengan senyum manis ia
lantas berkata kepada Tan-liong sambil membetulkan rambutnya
yang agak kusut. Dari lagu suaranya pun jelas kelihatan
perasaannya sudah banyak lebih tentram.
Tan-hong menjadi girang, ia pun tersenyum lalu ia ambil sebuah
khim (kecapi), dari atas meja batu, ia setel senar alat musik ini,
kemudian sambil memetik sembari menyanyi.
Ia menyanyikan lagu gubahan penyair besar di jaman Song yang
memuji keindahan alam di Hangciu dengan telaga Se-oh, ia
menyanyi dengan riang, suara khim dan nyanyiannya yang merdu
laksana embusan angin semilir menyapu bersih semua awan
kemaigulan hati si gadis, pelahan In Lui lupa atas kesedihannya,
kemudian ia lihat Tan-hong meletakkan kembali khim yang di
petiknya dan mendekatinya.
"Tidurlah adik cilik, tidurlah!" demikian kata pemuda itu sambil
membelai rambut orang, bagaikan kena hipnotis saja, tidak lama
kemudian In Lui betul lantas pulas.
Besok paginya ketika mendusin, karena bisa tidur nyenyak, In
Lui tertampak penuh bersemangat.
"Adik cilik," segera Tan-hong berkata padanya dengan
tersenyum, "hari ini duduk diam sehari lagi dan tentu kau akanPahala dan Murka - 9 18
sembuh, kepandaianmu bukan saja tidak bakal berkurang, bahkan
akan tambah maju daripada dulu-dulu."
Begitulah, lalu tiap selang satu jam, Tan-hong lantas memijat
dan mengurut urat nadi In Lui untuk melancarkan darahnya,
selewatnya lohor, berturut-turut ia sudah lancarkan ketiga jalan
darah In Lui. Pelahan cahaya muka gadis ini pun mulai bersemu
merah.
"Adik cilik, keadaanmu sungguh maju dengan cepat, lewat dua
jam lagi, kau tentu akan baik seluruhnya," dengan girang Tan-hong
memberitahukan.
Kemudian dengan duduk tenang In Lui mengumpulkan tenaga
lagi, sedang Tan-hong sendiri duduk di samping dan mengamat-
amati lukisannya pula. Selang setengah jam, mendadak terdengar
di luar ada suara orang lagi.
"Kembali ada orang datang mengganggu pula!" ujar Tan-hong
dengan berkerut dahi.
Belum habis ucapannya, tiba-tiba ia dengar suara ringkik kuda
Ciau-ya-say-cu-ma, menyusul pula suara gemuruh keras,
mendadak pintu batu mencelat terbuka, di antara debu pasir yang
berhamburan seekor kuda putih menerjang masuk dengan
membawa seorang ke satria berbaju hitam.
Sungguhpun tanah di luar pintu kuburan itu sudah tergali
longgar kemarin, tetapi dengan tenaga seorang saja sudah bisa
membuka pintu batu itu, maka betapa tinggi kepandaian orang yang
datang ini sudah cukup membikin orang jeri. Yang lebih
mengherankan adalah kuda Ciau-ya-sai-cu-ma yang begitu bagus
dan gagah, biasanya selain majikan sendiri terhadap siapa saja tak
mau tunduk dan menurut, tetapi sekarang ternyata bisa ditaklukkan
oleh orang ini.Pahala dan Murka - 9 19
Begitulah, maka seketika air muka Tan-hong dan In Lui yang
berada dalam kamar rahasia sama berubah, mereka melihat kuda
putih itu meringkik panjang terus berlari menerjang masuk ke
ruangan tengah, disini kesatria baju hitam itu lantas melompat
turun.
"Tan hong, Tan-hong!" terdengar ia memanggil
Waktu bayangan orang ini muncul di cermin, di mana In Lui bisa
lihat dengan jelas, ternyata kesatria baju hitam ini bukan lain adalah
perwira yang paling gagah di negeri Watze, Ciamtai Biat-beng.
Keruan kejut In Lui bukan buatan, dengan teriakan tajam
seketika ia melompat bangun, akan tetapi sebelum ia bertindak atau
mendadak dirasakan pinggangnya kaku kesemutan dan tak bisa
berkutik lagi, kiranya dengan cepat Tan-hong telah menutuknya.
"Adik cilik, jangan sembarang bergerak, kau latih diri saja baik-
baik, segera aku kembali, nantikan ceritaku yang ketiga!" demikian
Tan-hong berbisik di tepi telinganya.
"Tan-hong, dengan siapa kau berada di dalam ?" terdengar
Ciamtai Biat-beng memanggil-mangil di luar, malahan lilin besar di
tengah ruangan sudah dinyalakan.
Meski untuk sementara In Lui tak bisa bersuara karena tutukan
Tan-hong, tapi matanya bisa melihat dengan jelas, tertampak
olehnya kuda putih sedang menggosok-gosokkan lehernya di
samping Ciamtai Biat-beng, rupanya akrab sekali di antara mereka.
Dalam pada itu dengan cepat Tan-hong telah buka pintu kamar
terus melompat keluar, menyusul terdengar ia mendesis.
"Tan-hong, Siangya (perdana menteri) ......" ucapan Ciamtai
Biat-beng sekonyong-konyong terputus karena suara mendesis
Tan-hong itu.Pahala dan Murka - 9 20
"Ya, Tan-hong, ayahmu suruh kau pulang!" terdengar Ciamtai
Biat-beng ganti perkataannya tadi.
"Ciamtai-ciangkun," Tan-hong menyahut "harap saja kau
sampaikan pada beliau, aku sudah tinggalkan Mongol, hidupku
sudah terang berada di Tiongkok dan tidak mungkin kembali ke
sana lagi."
"Tan-hong, sekalipun tidak kau pikirkan ayahmu, sedikitnya
harus berpikir atas dirimu sendiri," terdengar Ciamtai Biat-beng
berkata lagi. "Kau sendirian masuk ke daerah pedalaman, siapa di
antara orang gagah di Tionggoan (daerah Tiongkok) yang mau tahu
kemauanmu dan siapa yang bisa memahami maksudmu?"
"Ya, meski aku akan mati dengan mayat tercincang, toh akhirnya
aku terkubur di tanah tumpah darah sendiri daripada terkubur di
negeri asing dan meninggalkan nama busuk di negeri orang,"
dengan suara berat Tan-hong menyahut. "Harap saja kau
sampaikan pada ayah, supaya dia suka jaga diri baik-baik."
Mendengar percakapan orang ini In Lui menjadi ragu-ragu dan
tidak mengerti, tiba-tiba ia pikir, "Jika dia adalah partisan bangsa
Han yang tinggal di negeri Mongol, mana bisa Ciamtai Biat-beng
begini baik terhadapnya? Siangya, Siangya? Apa mungkin dia."
Tetapi baru ia berpikir sampai di sini, mendadak terdengar suara
gertakan Ciamtai Biat-beng yang keras hingga renungan In Lui
terputus, dilihatnya waktu itu Ciamtai Biat-beng sedang mengirim
pukulan terhadap Tan-hong,
"Betul kau tidak mau ikut pulang?" ia membentak lagi.
"Ciamtai-ciangkun, kenapa kau mendesak padaku!" dengan
suara pedih Tan-hong telah menjawab sembari hindarkan dua kali
pukulan orang.Pahala dan Murka - 9 21
Sementara itu kembali Ciamtai Biat-beng memukul pula dada
Tan-hong dengan cepat, waktu pemuda ini hendak menangkis,
tahu-tahu Ciamtai Biat-beng sudah ubah kepalan menjadi telapak
tangan dan menyabet leher orang.
Dalam keadaan begini, perasaan In Lui menjadi kusut, ia kuatir,
girang, dan curiga pula. Yang dikuatirkan karena Ciamtai Biat-beng
begini perkasa laksana singa, bahkan lebih lihai daripada Oh-pek
Mako, pasti Tan-hong bukan tandingannya.
Ia girang karena Thio Tan-hong berani melawan secara tegas,
maka jelas pemuda ini bukan orang segolongan dengan Ciamtai
Biat-beng, sedang yang membuat dia curiga adalah kata "Siangya"
atau perdana mentri tadi, kata-kata ini laksana belati tajam yang
tiba-tiba menubles ke ulu hatinya hingga membikin dia ragu
terhadap asal-usul Tan-hong.
Sementara itu ia lihat Tan-hong sekuat tenaga telah menangkis
dan melawan, bayangan orang berkelebat kian kemari, angin
pukulan menderu-deru hingga menggetarkan dinding tembok,
Ciamtai Biat-beng telah unjuk kegagahannya, ia melangkah segesit
kera, tetapi pukulannya segalak harimau, tenaganya besar dan
pukulannya kuat, ia merangsak dengan hebat dan berubah-ubah
hingga Tan-hong terdesak mundur terus.
In Lui menjadi kuatir, ia menyesal tak sanggup melompat
bangun buat membantu pemuda itu, ia tidak berpikir lagi apa
berhasil atau tidak, segera coba kumpulkan tenaga dalamnya buat
menjebol tutukan Tan-hong tadi, ia harap bisa melepaskan diri.
Selagi ia kuatir dengan hati berdebar, mendadak dilihatnya
Ciamtai Biat-beng mengulurkan tangan terus menyambretnya
sambil membentak, "Pergi!"Pahala dan Murka - 9 22
Menyusul mana tertampak tubuh Tan-hong kena diangkat terus
dilemparkan ke udura seenteng melempar bola.
Saking kagetnya sampai In Lui tak berani memandang lagi, ia
pejamkan mala, akan tetapi ia menjadi terheran-heran waktu
membuka mata lagi, ternyata dengan enak saja Tan-hong sudah
berdiri kembali di sana, sedikit pun tidak terluka.
Kiranya lemparan Ciamtai Biat-beng meski kelihatan hebat dan
berbahaya, tapi sebenarnya diam-diam menggunakan tenaga yang
aneh, ia melemparkan Tan-hong ke udara hingga berjumpalitan,
akan tetapi waktu turun tepat kepala di atas dan kaki di bawah,
dengan demikian secara enteng dan selamat pemuda ini bisa
tancapkan kaki di tanah.
Kejadian ini bukan saja diluar dugaan In Lui, bahkan Tan-hong
sendiripun sama sekali tidak menyangka.
"Tan-hong, memang tidak percuma gurumu melatih kau dengan
susah payah, kepandaianmu ternyata ada istimewanya sendiri, kau
bisa menerima lebih lima puluh gebrakanku, kau sudah boleh
berkelana di kangouw," Ciamtai Biat-beng mendekati pemuda ini
sambil bersenyum. "Baiklah jaga dirimu dengan hati-hati,


Pahala Dan Murka Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dihadapan ayahmu nanti akan kujelaskan, jangan kuatir."
Mendengar penuturan ini barulah Tan-hong mengerti bahwa
labrakan Ciamtai Biat-beng padanya tadi hanya bermaksud hendak
menjajal kepandaiannya apa cukup aman untuk berkelana di dunia
kangouw.
"Baiklah, Ciamtai-ciangkun, kalau begitu kumohon
pertolonganmu," sahut Tan Hong sambil memberi hormat.
"Dan siapa lagi orang yang berada dalam kamar?" tiba-tiba
Ciamtai Biat-beng bertanya lagi.Pahala dan Murka - 9 23
"O, dia adalah seorang kawan, tetapi dia tidak ingin berjumpa
denganmu, harap kauingat ataw diriku, jangan kaukejutkan dia,"
sahut Tan-hong rada gugup.
"Kalau tidak ingin bertemu, aku pun tidak memaksa," ujar
Ciamtai Biat-beng, "mengenai urusan kita, menurut maksud
Siangya, pada bulan sepuluh ...."
Sampai di sini kembali terdengar suara Tan-hong yang mendesis
hingga ucapan Ciamtai Biat-beng berhenti.
"Kita pun belum tahu sampai kapan lagi baru bisa berjumpa,
marilah kau ikut keluar omong-omong sebentar," terdengar
Ciamtai Biat-beng buka suara lagi dengan tertawa.
Habis ini tanpa menunggu jawaban Tan-hong, dengan sekali
ulur tangan ia angkat Tan-hong ke atas kudanya terus dilarikan
keluar kuburan dengan cepat.
Melihat orang sudah pergi, In Lui baru menghela napas lega,
akan tetapi msndadak perasaannya menjadi berat sekali bagaikan
ditindih batu besar seberat ribuan kati, lekas ia tenangkan diri dan
kumpulkan semangat, ia atur napas buat melancarkan jalan darah,
dan membebaskan tutukan Tan-hong tadi.
Sebenarnya ilmu tiam-hiat, yakni ilmu menutuk jalan darah,
masing-masing mempunyai caranya sendiri dan tidak gampang
untuk dipunahkan oleh orang lain. Tetapi aneh, setelah In Lui
gunakan cara dari perguruan sendiri dan mengerahkan tenaganya
berulangkali, akhirnya berhasil dengan baik, tentu saja ini sama
sekali di luar dugaannya.
Saking tak sabar, begitu bebas bergerak, seketika pula In Lui
melompat bangun. "Hm, biar aku sendiri yang membongkar rahasia
asal-usul dirimu!" demikian ia berkata dalam hati.Pahala dan Murka - 9 24
Waktu ia memandang sekitar kamar rahasia, ia lihat pokiam atau
pedang pusaka Tan-hong masih tertinggal di dalam kamar ini,
tatkala ia ambil dan diperiksanya, kelihatan pada tangkai pedang itu
terukir dua huruf 'pek in".
Pedang pusaka "Ching-yan" dan ?Pek-in? adalah dua pedang
gemblengan Hian-ki It-su sendiri, yang satu diberikan kepada Cia
Thian-hoa dan yang lain kepada Yap Eng-eng.
Karena itu, demi nampak dua huruf yang terukir ini, kembali hati
In Lu i terguncang, "He, dari manakah dia peroleh pedang ini? Apa
mungkin dia memang murid Samsupek?"
Waktu dia periksa lagi, terlihat pada pangkal gagang pokiam ini
tergantung pula sebuah anting-anting hiasan pedang yang terbuat
dari batu giok yang bagus dan terukir bentuk naga.
In Lui bolak-balik memeriksanya, akhirnya dapat dilihat pula
pada batu anting-anting ini terdapat empat huruf ukiran "Yu-cai-
siang-hu" yaug berarti istana wakil perdana mentri, di samping
empat huruf ini terdapat pula sebaris tulisan kecil yang
menerangkan hal ikhwal batu giok pusaka ini tulisan ini berbunyi,
"Atas kelahiran anak Hong, anugerah dari kepala negara".
Setelah membaca semua ini, seketika kaki-tangan In Lui menjadi
lemas dan gemetar, "trang" pedang yang dia pegang jatuh tanpa
terasa. Sekarang sudah jelas semuanya, kiranya Thio Tan-hong
yang selama ini berjalan bersama dan kawan sekamar rahasia ini
ternyata adalah putera "pengkhianat besar" Thio Cong-ciu, putra
Thio Cong-ciu yang menjadi musuh besar keluarga In!
Sesaat In Lui menjadi hampa perasaannya, ia seperti kehilangan
semua miliknya, dalam sekejap jagat ini seperti tidak ada lagi,
semua terasa kosong belaka, tanpa terasa pula tangannya
menyentuh sesuatu benda keras di depan dadanya, benda ini bukanPahala dan Murka - 9 25
lain adalah surat berdarah tinggalan engkongnya yang tertulis di
atas kulit kambing, barang yang selama belasan tahun ini tak
pernah berpisah dengan dirinya. Di atas surat darah ini dengan
tegas tertulis, "siapa saja asal keturunan keluarga In, jika ketemu
keturunan Thio Cong-ciu, tidak peduli tua-muda, laki atau
perempuan, semuanya harus dibunuh bersih!"
Walaupun sudah lewat sepuluh tahun dan teraling oleh kain
bajunya, namun sayup-sayup In Lui seperti masih mencium bau
anyir darah di atas kulit kambing itu!
In Lui merasakan semacam hawa dingin menembus
sanubarinya. Ai, sungguh menakutkan sekali, surat darah ini seperti
segumpal es yang ingin mengelilingi tubuhnya, membungkus
jiwanya, seperti juga sebuah perintah tak mungkin dibantah yang
mengharuskan dia turun tangan sendiri membunuh Thio Tan-hong.
Dalam pada itu di luar terdengar suara ringkik kuda lagi,
tentunya Tan-hong telah balik lagi.
In Lui coba tenangkan diri, ia kertak gigi sambil duduk
menunduk, tampaknya dia seperti sedang bersemadi, tetapi
sebenarnya ia berusaha agar Tan-hong tidak melihat mukanya yang
pucat,
Sementara itu Tan-hong telah dorong pintu pelalian dan masuk,
"Hah, adik cilik, cerita ketiga itu akan kuuraikan lebih cepat dari
pada rencana semula," demikian dengan tertawa pemuda ini buka
suara. Bagaimanakah dengan keadaanmu, adik cilik?"
Sembari berkata ia jalan menuju ke depan kaca perunggu,
dengan bercermin ia hendak membetulkan rambutnya yang kusut.
Akan tetapi di cermin mendadak ia lihat ada bayangan In Lui,
gadis ini dengan mata mendelik sedang ayun pedang menusuk
padanya dari belakang!Pahala dan Murka - 9 26
Terdengarlah suara gemerantang, kiranya tangan In Lui jadi
gemetar hingga ujung senjatanya menceng, tusukannya lewat di
pinggir leher Tan-hong dan mengenai cermin perunggu hingga
pecah berantakan.
Segera pula Tan-hong berpaling. "Adik cilik, adik cilik, dengarlah
kataku . . . ."
Demikian sebenarnya Tan-hong hendak menerangkan, akan
tetapi In Lui tidak membiarkan orang berkata lagi, susul menyusul
ia telah menusuk pula tiga kali.
Untuk menghindari serangan orang yang kalap ini, dengan cepat
Tan-hong melompat ke sebelah meja lain.
"Sekarang aku sudah mengerti seluruhnya, cerita ketiga tidak
perlu kaututurkan lagi!" demikian terdengar In Lui menangis
sambil berkata. Menyusul ia memburu maju terus menusuk pula.
Di lain pihak sesudah melihat dan mendengar kelakuan dan kata-
kata orang, Tan-hong menghela napas.
"Apa kau cucu perempuan In Ceng?" ia tanya.
"Ya, dan kau adalah putra musuh keluarga kami!" teriak In Lui.
Habis ini ujung senjatanya mengarah pula ke dada Tan-hong.
Akan tetapi sekali ini Tan-hong tidak berusaha menghindar lagi,
pemuda ini malah membusungkan dada dan papaki senjata orang.
"Baiklah, adik cilik, tusuklah! Aku tak akan minta ampun
padamu!" serunya.
Namun tiba-tiba terdengar suara "sret". tahu-tahu tusukan
pedang menceng ke samping kanan hingga lengan Tan-hong
tergores luka.
"Adik cilik, sesudah kau bunuh aku, sekali-kali jangan kau bikin
guncang tenaga dalammu," demikian Tan-hong memberi pesanPahala dan Murka - 9 27
meski terancam oleh senjata orang, "kau masih harus duduk tenang
selama satu jam, di atas meja marmer sana terdapat sebuah botol
perak kecil, di dalam botol itu kutinggalkan obat yang bisa
membantu menambah tenaga dalammu! Baiklah, adik cilik, aku
takkan minta ampun, nah, tusuklah!"
Tak tertahan lagi air mata In Lui bercucuran, hatinya hancur dan
tangannya gemetar, hampir saja pokiam ikut terjatuh ke lantai,
akan tetapi mendadak pula ia merasakan surat darah kulit domba
yang berada dalam baju itu bagaikan sebuah gunung yang menindih
hatinya dengan berat, tindihan hati yang luar biasa ini memaksa dia
harus menuntut balas sakit bati ini!
"Ambil pedangmu, aku tidak pernah membunuh orang yang tak
bersenjata!" teriaknya dengan pedang gemetar.
Sebenarnya In Lui cukup tahu ilmu silat Tan-hong masih jauh
lebih tinggi daripadanya, jika harus saling labrak dan bertanding
pedang, maka kematian pasti tidak akan menimpa Tan-hong
melainkan dirinya. Tetapi entah mengapa, justru ia berkeras ingin
bertanding dengan pedang Tan-hong, seakan-akan kalau sudah
terjadi perarungan sengit, jika dirinya harus mati di bawah senjata
pemuda ini, maka boleh dikatakan dia sudah melakukan kewajiban
sebagaimana pesan engkongnya.
Namun meski orang sudah menantang dan mendesak berulang
kali, Tan-hong masih tetap duduk terpaku di tempatnya tanpa
bergerak sedikit pun, air mukanya mengunjuk seperti hendak
menangis dan tertawa hingga In Lui tak berani menatapnya.
Ahirnya dengan mengertak gigi In Lui jemput Pek-hun-pokiam
dari lantai terus dilemparkan pada Tan-hong.Pahala dan Murka - 9 28
"Permusuhan kedua keluarga kita sukar diukur dalamnya, kini
kalau bukan kau yang mati, biarlah aku yang binasa, lekas angkat
senjatamu!" demikian teriaknya.
Mau-tak-mau Tan-hong menyambut pedang yang dilemparkan
ini. "Adik cilik," katanya kemudian dengan perasaan pedih, "aku
bersumpah selama hidup tidak akan bergebrak denganmu, jika kau
mau bunuh aku, lekas bunuhlah, kalau tak mau geraki tanganmu,
biar aku pergi saja!"
Segera In Lui putar senjata dengan serangan pancingan, sinar
pedang sekonyong-konyong menyamber ke muka Tan-hong,
namun tetap menyambar menceng ke samping saja. Karena itu,
Tan-hong tidak melayaninya, ia tarik napas panjang sekali, habis ini
ia melompat ke luar dari kamar rahasia itu terus mencemplak ke
atas kudanya,
"Adik cilik, jagalah dirimu baik-baik, aku pergi sekarang!"
demikian Tan-hong berseru dari luar sebelum melarikan kudanya,
In Lui sendiri hanya terkesima seperti patung saja, pedangnya
mendadak jatuh ke lantai, pandangannya menjadi gelap, pikiranpun
melayang-layang jauh.
Suara ringkik kuda makin lama makin jauh, pelahan keadaan
menjadi sepi, Tan-hong sudah tidak kelihatan lagi, harap saja
selanjutnya Tan-hong tak kelihatan lagi, harap saja di dunia ini
selamanya tidak terdapat seorang Thio Tan-hong.
Sungguh pikiran yang aneh, Thio Tan hong yang jelas-jelas
berdarah-daging dan Thio Tan-hong yang selama tiga hari
berkawan dengan dia di dalam kamar rahasia, mengapa bisa tidak
ada selama ini?Pahala dan Murka - 9 29
Ya, meski Tan-hong sudah pergi jauh, Tan-hong sudah tak
kelihatan pula, akan tetapi apakah betul dia sudah tak kelihatan?
Tidak, lihatlah! Dia sudah datang lagi! Bayangannya pelahan
menyelip ke lubuk hati In Lui, sesaat itu bayangan gelap surat darah
kulit domba itu pun tertutup hilang oleh bayangan pemuda itu.
Demikianlah pikiran In Lui melayang-layang, karena benci atau
cinta? Karena duka atau suka? Entahlah, sukar dibedakan lagi, budi
dan dendam sudah terjalin erat, suka dan duka tak bisa dibedakan
dan tak bisa dipisahkan. Sekejap itu, mendadak segala pergolakan
perasaan hilang lenyap, In Lui merasakan kepalanya kosong dan
tidak bisa memikirkan sesuatu lagi, akan tetapi lamat-lamat ia
seperti melihat Thio Tan-hong mendatanginya dan berbisik-bisik di
telinganya, "Adik cilik, adik cilik ...."
Suaranya seperti suara sang kakek yang kereng, seperti juga
kasih ibu pula! Siapa pula di dunia ini yang pernah memanggilnya
dengan suara yang begitu lembut dan sayang? Siapakah yang
pernah memandang dirinya dengan sinar mata yang demikian
mesra?
Pelahan sinar mata In Lui mulai bergerak, tiba-tiba tertampak
olehnya botol perak kecil di atas meja marmer yang ditinggalkan
Thin Tan-hong itu, dalam botol itu berisi obat yang sengaja
diberikan oleh pemuda itu.
"Ini adalah milik musuh, tidak, tidak dapat kuterima! .... Tetapi
pemberian ini adalah maksud baik Thio Tan-hong yang terakhir,
tidak, tidak seharusnya aku menolaknya."
Demikianlah dua macam pikiran bergelut dan bertentangan
dalam benak In Lui, tiba-tiba seperti terbayang pula Tan-hong
sedang menatapnya, lalu seperti berbisik di telinganya, "Adik cilik,
meski lukamu sudah baik, tapi tenagamu belum putih, makanlahPahala dan Murka - 9 30
obat ini, makanlah . . . ." Sinar matanya seperti tak bisa dilawan,
suaranya seperti tak dapat dibantah.
Tanpa terasa In Lui ambil botol perak itu, ia tuang keluar tiga biji
pil berwarna merah terus dimasukan ke mulut.
Entah berapa lama In Lui duduk di lantai ketika ia lihat sinar
sang surya di luar pintu kuburan itu sudah bergeser ke sebelah
barat, ia pikir tentu sudah dekat magrib.
Pada saat itu juga, mendadak terdengar di luar ada suara ringkik
kuda, seketika hati In Lui tergetar, dengan cepat ia melompat
bangun, "Mungkinkah dia kembali lagi?" pikirnya.
Namun segera ia dengar suara orang bersorak senang, dilihatnya
Ciu San-bin berlari masuk.
"In-moaymoay, betul engkau masih berada di sini!" demikian
segera pemuda itu berseru. "Haya, apa kau telah terkena cara keji
keparat itu?"
Namun In Lui hanya tersenyum saja sambil geleng kepala.
San-bin mendekat dan duduk di samping orang, ia memandangi
muka gadis ini, diamat-amati berulang, agaknya wajah yang kurus
lesu tak bersemangat ini telah membikin pemuda iui sangat kuatir.
In Lui coba tenangkan dirinya, sementara ia dengar San-bin telah
buka suara lagi.
"Kiranya kau sembunyi di dalam kuburan ini bersama dia? Apa
kau tidak dipedayai olehnya?" tanya pemuda itu. "Apa kau tahu
siapakah dia itu? Dia bukan lain adalah putra pengkhianat besar
Thio Cong-ciu, musuh terbesar Engkongmu!"
Dengan penuturan ini, Ciu San-bin mengira si gadis pasti akan
melonjak terkejut. Siapa tahu dugaannya ternyata meleset.Pahala dan Murka - 9 31
"Em, memang aku sudah tahu," demikian In Lui menjawab
dengan suara pelahap.
Karena ini, San-bin yang berbalik kaget.
"Apa kau bilang? Kau sudah tahu?" teriaknya. "Sejak kapan kau
tahu?"
In Lui tenang saja, kembali ia menjawab dengan suara pelahan,
"Baru saja Ciamtai Biat-beng datang ke sini . . . ."
Penjelasan ini agaknya membikin San-bin merasa lega.
"O, kiranya demikian," katanya. "Memang sudah kuduga jika
sejak semula kutahu dia adalah musuhmu, mana mungkin kau
berkawan dengan dia bukan? Dan kau sudah bergebrak dengan dia"
Betulkan kau tidak terluka?"
"Aku terluka oleh karena pukulan keji Pek Mako, dan dia yang
menyembuhkan aku," sahut In Lui.
"Dia?" tanya San-bin tak mengerti. "Dia siapa?"
"Musuh besar Engkongku!" sahut In Lui singkat.


Pahala Dan Murka Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Seketika Ciu San-bin tercengang.
"Dan dia sendiri tak tahu kau adalah cucu perempuan In Ceng?"
tanyanya pula.
"Telah kutusuk dia dengan pedangku, dia sudah tahu!"
Kembali San-bin tercengang oleh jawaban ini, akan tetapi segera
ia seperti sadar dan mengetahui persoalannya.
"O, mengertilah aku sekarang," ujarnya. "Bangsat ini semula
tidak mengetahui kau adalah musuhnya, oleh karenanya kau dipelet
dengan maksud memperalat dirimu. Dan sesudah kau tusuk dengan
senjatamu, karena dia bukan tandinganmu, maka ia lantas
melarikan diri. Cuma sayang lukamu baru sembuh, mungkinPahala dan Murka - 9 32
terjagamu belum pulih, jika tidak, pasti sekali tusuk bisa
kaumampuskan dia, jika demikian, tentu aku tidak perlu buang
tenaga lagi"
In Lui diam saja, ia menunduk dan tutup mulut, ia biarkan
pemuda ini menebak sendiri.
Ia dengar Ciu San-bin melanjutkan lagi dengan tertawa senang,
"Haha, kalau sejak mula mengeahui ilmu silatnya hanya begini saja
tentu aku tidak perlu buang tenaga percuma meminta Hong-thian-
lui Cio Eng menyebarkan Lok-lim-ci segala!"
Karena kata-kata orang yang terakhir ini, In Lui terkejut. "Apa
katamu? Lok-lim-ci?" ia menegas.
"Ya," sahut San-bin dengan tertawa, "agaknya pengalamanmu di
kalangan kangouw masih cetek, maka kau tidak kenal apakah Lok-
lim-ci itu. Lok-lim-ci adalah panah tanda perintah yang disebarkan
oleh pemimpin kalangan Lok-lim, jika melihat panah ini, siapapun
harus melaksanakan perintah itu dengan baik, meski harus terjun
ke air mendidih atau lautan api sekalipun. Hah, In-moaymoay,
sungguh seakan-akan ditakdirkan, putra Thio Cong-ciu ternyata
berani berkeliaran memasuki daerah pedalaman seorang diri, maka
sakit hatimu itu pasti bisa dibalas!"
Setelah mendengar penuturan ini, tiba-tiba bayangan gelap surat
darah kulit domba itu melebar pula dalam benaknya, ia tidak
mengetahui kabar ini membikin dia suka atau duka tetapi satu hal
sudah pasti, pesan tinggalan Engkongnya tidak mungkin dibantah
dan diingkari, keturunan keluarga Thio seorangpun tak boleh
diampuni, demikian biarlah dia dibunuh orang lain saja, supaya
dirinya tidak perlu turun tangan sendiri? Akan tetapi bila terpikir
olehnya bahwa Thio Tan-hong harus mati dicincang oleh senjata
para Enghiong dari Lok-lim, maka ia menjadi ngeri dan tak berani
membayangkan bagaimana jadinya nanti.Pahala dan Murka - 9 33
"In-moaymoay, sejak kau turun gunung, senantiasa aku
terkenang padamu," demikian ia dengar San-bin sedang berkata.
Suaranya halus dan hangat kedengarannya.
"Hm, banyak terima kasih atas kebaikanmu," sahut In Lui
dengan lemas sambil sedikit angkat kepalanya.
Karena jawaban si gadis yang tak bersemangat ini, agaknya Ciu
San-bin sangat kecewa. Namun ia berkata lagi, "Aku selalu ingin
berjumpa kau lagi, tetapi urusan di markas kita terlalu sibuk, mana
bisa keinginanku terkabul? Bulan yang lalu pengintai kita di daerah
perbatasan melaporkan bahwa putra Thio Cong-ciu seorang diri
telah memasuki daerah pedalaman dengan menyamar sebagai
seorang Siucai dan menunggang seekor kuda putih yang sangat
gagah. Sesudah ayahku berunding dengan para kawan, semua
berpendapat jika putra Thio Cong-ciu berani menerobos masuk ke
pedalaman, maka pasti tidak bermaksud baik, tentu mempunyai
maksud jahat terhadap negeri kita. Karena itulah ayah
memerintahkan aku menguntitnya dan menghubungi para
pemimpin Lok-lim untuk bersama-sama menyebarkan Lok-lim-
leng-ci dan berusaha menawannya.
"Daerah ini adalah daerah Soasay, sedang pemimpin tertinggi
Hu-lim di daerah Soasay dan Siamsay sini bukan lain ialah Cio Eng,
justru pada waktu kucari ke rumahnya, kebetulan dia tak berada di
Hek-sek-ceng. Seludah bertemu dengan putri Cio Eng baru kutahu
bahwa kau sudah menjadi menantu Cio Eng, bahkan sewaktu aku
mencari Cio Eng, orang tua ini sendiri juga sedang mencari kau.
Haha, In-moaymoay, leluconmu ini agak keterlaluan, saking gelinya
perutku sampai mulas. Haha, malahan Cio-siocia itu tampaknya
betul-betul sangat mencintaimu!"
Karena ucapan orang yang terakhir ini, In Lui tersenyum.Pahala dan Murka - 9 34
"Dan bagaimana pandanganmu atas Cio-siocia itu?" tanyanya
kemudian.
"Masih boleh juga ilmu silatnya," sahut San-bin.
"Selain itu?" tanya In Lui lagi.
"Selain itu? Mana kutahu!" sahut San bin. "Kenal saja baru tadi."
Karena jawaban ini, In Lui tersenyum lagi, sebenarnya ia hendak
jelaskan maksudnya, tapi urung, sebab ia kuatir urusan "Lok-lim-
ci" itu, ia pun merasa tidak mengerti Cio Eng yang begitu
menghormat pada Tan-hong mengapa mendadak-sontak bisa
menyebarkan Lok-lim-ci bersama Ciu San-bin?
Oleh karena hal ini perlu diketahuinya, maka dia tidak
memotong penuturan orang, ia membiarkan San-bin bercerita
terus.
"Hari itu aku bersama nona Cio mengejar murid Ciamtai Biat-
beng," demikian San-bin melanjutkan, "karena kuda tunggangan-
nya adalah kuda pilihan maka sesudah beberapa puluh li kami
mengejar, akhirnya kuda kami kewalahan, sebaliknya kuda orang
masih berlari secepat terbang, terang kami tidak mampu
menyusulnya!"
"Dan bagaimana dengan nona Cio?" sela In Lui tiba-tiba.
"Ya, istrimu agaknya mempunyai pandangan tertentu atas
diriku," sahut Sau-bin ketawa, "sepanjang jalan ia terus bentrok saja
denganku, dari kata-katanya, rupanya dia sangat tidak senang aku
bisa menjadi saudara angkatmu, sudah tentu hal ini membikin aku
merasa bingung, aku adalah engkoh angkatmu, urusan ini peduli
apa dengan dia, bukan?"
Diam-diam In Lui tertawa geli oleh cerita San-bin ini, sama sekali
tak terduga bahwa sejak malam pengantin di mana dia seringPahala dan Murka - 9 35
menyebut "Ci-heng" atau engkoh angkat pada Cui-hong, tak
tahunya maksud baiknya berbalik menjadi runyam.
"Dan karena tak bisa menyusul musuh," demikian tutur San-bin
lagi dengan penasaran sembari angkat pundak, "dia lantas cekcok
lagi denganku, dia bilang ingin pulang rumah sendiri dan tak sudi
membawaku pergi menemui ayahnya, balikan ia ribut menghendaki
aku kembalikan bunga karang itu padanya, seakan-akan bunga
karang itu adalah nyawanya saja."
Tanpa tertahan In Lui tertawa geli dengan mendekap mulutnya
oleh cerita pemuda ini.
"Tetapi kutahu bunga karang itu kau berikan padanya sebagai
tanda mata, sedang dia memang sangat mencintai kau dengan
sungguh-sungguh, pantas dia begitu sayang pada barang tanda
mata itu," kata San-bin lagi.
"Tetapi sekali ini tanda mata itu kau berikan padanya langsung
dan bukan pemberianku," ujar In Lui dengan tertawa.
Keruan merah muka Ciu San-bin oleh seloroh ini.
"Setan cilik, jangan kau sembarang omong, lihat kalau aku tidak
merobek mulutmu," omel pemuda itu sambil ulur tangan pura-pura
hendak menangkap orang. Tetapi dengan tertawa In Lui menyingkir
pergi.
"Omong yang benar saja," katanya kemudian, "karena nona Cio
tak mau membawamu pergi menemui ayahnva, lalu Lok lim-ci itu
kauperoleh dari mana?"
"Ya, soalnya memang sangat kebetulan," sahut San-bin, "tak
lama setelah nona Cio tinggalkan aku sendirian dan selagi
melanjutkan perjalanan ke barat, tidak sampai lama aku bertemu
dengan Hong-thian-lui Cio Eng sendiri, ternyata sama sekali ia tidak
mengetahui bahwa putrinya pernah berada bersamaku. AgaknyaPahala dan Murka - 9 36
mereka ayah dan anak menempuh perjalanan sendiri-sendiri, maka
tidak bertemu di tengah jalan."
"Bukankah Cio Eng jalan bersama keempat saudagar itu?" tanya
In Lui.
"Ya, memang," sahut San-bin, "ia menempuh perjalanan dengan
tergesa seperti ada sesuatu urusan penting dan tidak sempat bicara
banyak denganku. Ketika aku meminta Lok lim-ci padanya dan
hendak bercerita padanya, siapa tahu ia telah goyang tangan dan
berkata. "Sudahlah, nama besar Kim-to-cecu siapa di jagat ini yang
tidak kenal. Jika kalian ingin menangkapnya maka dapat dipastikan
kalian adalah orang jahat yang tak terampuni, tidak perlu omong
lagi, ambil saja Lok lim-ci disini!. Aku masih ada urusan penting
lain, maaf tak bisa kutinggal lama disini. Siau-cecu, nanti kalau
urusanmu sudah beres, kelak boleh kau datang lagi ke Hek-sek-ceng
untuk bicara lagi yang lebih jelas " ? Begitulah tanpa bertanya
ia terus serahkan Lok lim-ci padaku dan segera melanjutkan
perjalanan dengan keempat saudagar itu".
Maka baru In Lui tahu akan duduknya perkara, ia pikir, jika
waktu itu Cio Eng mau tanya dan mengetahui siapa gerangan yang
hendak diudak dan ditangkap Ciu San-bin, maka soalnya pasti tidak
sampai sedemikian jauh hingga banyak menimbulkan salah paham.
Sementara itu ia dengar Ciu San-bin telah menyambung pula,
"Tempat pertemuan dengan Cio eng itu berada disekitar Beng-
liang-kang, di situ adalah daerah pengaruh Na Thian-sek Cecu,
maka sesudah kuserahkan Lok-lim-ci pada Na-cecu, kuberikan
tempo tiga hari padanya untuk menyiarkan Leng-ci itu pada semua
kawan Lok-lim. Aku tinggal satu hari di pasanggrahannya untuk
menanti kabar, ternyata urusan itu berjalan dengan lancar,
memang dengan nama gabungan Cio Eng dan ayahku, sampai
beberapa gembong Lok-lim yang biasanya merajai suatu daerahPahala dan Murka - 9 37
tersendiri dan selamanya tidak sudi diperintah orang, kini telah
sediakan diri pula buat membantu. Maka dapatlah dipastikan, In
moay-moay, sakit hati keluargamu yang maha besar itu sekali ini
pasti akan terbalas! He, kenapakah kau? Mengapa kau kelihatan
kurang senang?"
Pertanyaan ini ia ajukan karena terlihat air muka In Lui tiba-tiba
berubah mejadi pucat.
Lekas gadis ini tenangkan diri dan unjuk muka tertawa.
"Ehm, aku kurang enak badan, tetapi kini sudah baik. Aku sangat
senang!"
"Sesudah Lok-lim-ci diteruskan satu persatu oleh kawan
kalangan Lok-lim, maka aku tidak perlu banyak urus lagi," kata San-
bin. "Karena itu aku lantas teringat pada kudamu yang kudapatkan
di sini tempo hari, segera aku balik kembali ke sini untuk mencari
kau, berkat kemurahan Thian, betul juga kutemukan kau."
Sama sekali In Lui tidak menjawab penuturan orang ini, ia
tinggal bungkam saja. Dan selagi Ciu San-bin hendak mengutarakan
isi hatinya yang terkandung selama ini, tiba-tiba ia seperti
mendengar sesuatu, dengan cepat ia tengkurap ke atas tanah.
"Apakah ada orang datang lagi? Kenapa aku tidak mendengar?"
tanya In Lui.
"Orang yang datang ini masih sejauh tujuh-delapan li," sahut
San-bin sesudah berdiri kembali. Lalu dengan tenang ia, tutup pintu
batu bagian luar itu.
Kepandaian cara mendengarkan dengan mendekam di atas
tanah itu adalah kepandaian istimewa bagi cabang atas kaum lok-
lim, dan juga bergantung pada pensalaman yang luas, meski In Lui
pernah belajar juga, tetapi kalau dibandingkan San-bin terang ia
masih kalah jauh.Pahala dan Murka - 9 38
"Kini perlukah kau tukar pakaian dulu?" tanya San-bin
kemudian dengan tersenyum sambil memandang In Lui sekejap.
Memang sejak gadis ini unjuk corak aslinya pada Tan-hong
tempo hari, ia sudah tukar dandanan sebagai kaum wanita, kini
demi diingatkan Ciu San-bin, tanpa terasa mukanya berubah
muram, maka dengan kepala menunduk malu ia masuk ke kamar
rahasia dan menutup rapat pintu di dalam.
Ciu San-bin yang seorang diri ditinggal diluar diam-diam merasa
sangsi dan curiga, ia pikir jangan jangan sebelum gadis mengetahui
orang adalah musuh besarnya sudah berhubungan rapat dengan
pemuda itu luar batas.
Dalam pada itu di kamar rahasianya In Lui sedang membuka
rangselnya, tanpa terasa bayangan Tan-hong yang seperti tertawa
itu terkenang pula olehnya, "Adik cilik, adik cilik ...." suara
panggilan yang menggiurkan itu kembali seperti mendenging di
telinganya.
Sekenanya In Lui tarik keluar beberapa potong pakaian wanita,
tetapi dengan gemas satu persatu dirobek-robeknya. Apa yang
membuatnya benci? Apa benci pada baju-baju ini? Tidak! Ia sendiri
tidak tahu apa yang dia benci? Cuma dengan merobek-robek
bajunya itu rasa hatinya yang masgul itu seperti ikut buyar terbawa
oleh suara robeknya kain baju ini. Dengan merobek-robek baju itu,
sama juga seperti telah merobek dan menghancurkan kenang-
kenangannya, sungguh ia berharap dirinya bisa menjadi seorang
laki-laki, mungkin akan mengurangi kerisauan hatinya.
Begitulah sepotong demi sepotong bajunya itu ia robek,
mendadak ia berhenti ketika tangannya memegang sepotong baju
berwarna ungu, ia ingat, pada waktu dia kembali pada corak aslinya,
baju yang dia pakai pada malam pertama bukan lain adalah baju ini,Pahala dan Murka - 9 39
ia ingat pula tatkala mana Tan-hong telah mengunjuk sinar mata
yang berlainan dan berulang memuiji kecantikannya.
In Lui menghela napas, ia bentang baju itu, ia lihat dan dilihat
lagi, apa baju ini harus dirobek juga, tetapi ini adalah baju yang
pernah dinikmati dan dipuji Thio Tan-hong!
Akhirnya dengan pelahan ia meraba kain baju sutera yang halus
itu, dengan pelahan pula ia lipat dengan hati-hati dan disimpan
kembali.
Dalam pada itu di luar kamar rahasia terdengar suara tindakan
Ciu San-bin yang lagi mondar-mandir.
Tiba-tiba In Lui tersadar, ia ingat San-bin sedang menunggu
diluar, "Jangan aku berbuat linglung lagi disini, padahal Ciu-toako
sudah tak sabar menunggu!"
Segera ia bongkar buntalannya dan keluarkan seperangkat baju
pria, buru-buru ia ganti pakaian terus keluar kembali.
(Bersambung Jilid ke 10)Pahala dan Murka - 10 0Pahala dan Murka - 10 1
PAHALA DAN MURKA
Oleh : gan k.l.
Jilid ke 10
EMENTARA ia dengar San-bin berkata padanya dengan
bersandar di ambang pintu batu bagian luar itu.
"Dengarkan derapan kaki kuda itu, orang yang datang ini
sudah berada dekat antara satu li saja, orang yang mendalangi
kuburan ini pasti orang luar biasa, bagaimana dengan tenagamu,
apa sanggup menggunakan pedang?"
"Masih sanggup juga," sahut In Lui. "Ciu-toako, coba ceritakan
lagi tentang Lok-lim-ci itu."
Sudah tentu permintaan ini tidak diduga oleh San-bin, ia tidak
mengerti dalam keadaan demikian ini In Lui masih iseng ajak bicara
padanya.
"He, bukankah Lok-lim-ci saat ini mungkin sudah tersebar di
seluruh tempat, apalagi yang mau diceritakan?" sahutnya kemudian
dengan heran.
"Di propinsi Soasay ini terdapat Lok-Iim-enghiong siapa saja
yang lihai?" tanya In Lui.


Pahala Dan Murka Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"O, apa kau gagal membalas sakit hatimu itu?" sahut San-bin
dengan tertawa "Mengenai gembong kalangan Lok-lim di daerah
Soasay boleh dibilang sangat banyak! Aha, aku lupa
memberitahukan sesuatu padamu bahwa kau punya Jisupek Tiau-
im Taysubaru saja pulang dari Mongol, ia pun kebetulan berada di
daerah sini, mungkin ia sudah mengetahui juga urusan penyebaran
Lok-lim-ci kita ini."
In Lui menjadi heran oleh kabar ini.Pahala dan Murka - 10 2
"He, apa betul?" ia tanya. "Sejak kapan dia pergi ke Mongol? Apa
kau bertemu dengan dia?"
"Aku tak pernah bertemu dengan dia melainkan mendengar dari
orang lain," sahut San-bin. "Ssst. jangan bicara lagi, dengarkan, di
luar ada orang memanggil namamu!"
Betul juga, baru habis ia berkata, tiba-tiba di luar terdengar ada
orang lagi berseru, "In Lui, In Luil Kau ada di mana?"
Tidak salah lagi itulah suara Ciu Cui-hong, keruan seketika In Lui
tertegun. Dan selagi ia hendak bilang pada San-bin agar jangan buka
pintu, namun sudah terlambat, pemuda itu sudah membiarkan Cui-
hong masuk.
Secepat angin Cui-hong berlari masuk, begitu melihat In Lui
berada di dalam, sungguh bukan buatan rasa girangnya.
"O, In-siangkong, betul juga kau masih berada di sini!" demikian
serunya kegirangan, tanpa terasa ia pun meneteskan air mata.
"In-siangkoan baru saja sembuh dari lukanya, jangan kau
ganggu dia!" tiba-tiba Ciu San-bin menyela dari samping.
Mendengar suara orang, baru Cui-hong memperhatikan bahwa
masih ada seorang Ciu San-bin berdiri di sebelah. Akan tetapi segera
ia menjadi gemas dengan alis menegak.
"Aku bicara dengan suamiku, peduli apa dengan kau!"
damperatnya. Habis ini ia mendekati In Lui, dengan suara rendah ia
tanya lagi, "In-siangkong, apa kau dilukai oleh Oh-pek Mako?"
"Jangan kuatir, kini sudah sembuh seluruhnya," sahut In Lui.
Kemudian ia tarik tangan Cui-hong dengan pelahan. "Memang betul
juga kata Ciu-toako, sebetulnya kuingin mengaso dulu, Lihatlah,
hari pun sudah malam."Pahala dan Murka - 10 3
Muka Cui-hong mejadi merah mendengar kata orang. "Hm.
memangnya kau selalu membela engkoh angkatmu, sama sekali tak
Dikirkan diriku," demikian pikirnya dengan gusar. Akan tetapi
karena In Lui sudah berkata demikian, tak enak baginya bicara lagi.
Diam-diam Ciu San-bin tertawa geli di samping.
Sudah tentu Cui-hong semakin mendongkol, ia mendeliki
pemuda itu.
"Apa yang kautertawai?" damperatnya.
Supaya keadaan jangan runyam, lekas In Lui menyela.
"Ah, perutku menjadi lapar, nona Cio, terpaksa bikin repot
padamu untuk memasak bagiku, di sini sudah ada beras, ada
dendeng dan sosis. Sementara aku akan mengaso, kalau nasi sudah
siap, panggil aku."
Habis ini tanpa menghiraukan orang lain ia lanta3 masuk ke
kamar. San-bin ingin ikut inasuk, tetapi baru saja ia melangkah,
mendadak Cui-hong berteriak dengan gusar.
"Hai, kau bantu aku menimba air dan mencuci beras!"
Keruan San-bin serba salah, terpaksa ia mundur kembali.
In Lui tersenyum geli, ia senang sekali seperti anak kecil yang
berbuat sesuatu yang lucu nakal.
Sudah tentu San-bin sangat mendongkol, mau-tak-mau ia bantu
Cui-hong mencuci beras, menyalakan api dan menanak nasi,
sebaliknya Cui-hong bungkam dalam seribu bahasa, sama sekali ia
tidak gubris orang, nyata gadis ini masih marah padanya.
Di lain pihak In Lu; seorang diri sedang berpikir di kamar, ia
sedang memikirkan cara bagaimana merangkap jodoh sepasang
muda-mudi ini, tetapi bila ia dengar di luar sepi-sepi saja, kedua
orang ternyata tidak saling menyapa dan bicara, diam-diam iaPahala dan Murka - 10 4
tertatva geli. Ia mengerti agaknya Cui-hong keki pada San-bin dan
anggap aku terlalu membelanya, sebab itulah ia iri dan gemas, kalau
saja ia tahu bahwa aku sebenarnya sejenis dengan dirinya, apa dia
tidak akan tertawa geli juga.
Begitulah ia berpikir-pikir, pada lain saat tiba-tiba terbayang
juga keadaan pada waktu dirinya bertemu dengan Tan-hong,
semula iapun merasa benci kepada pemuda ini, tak tertahan ia
menghela napas pelahan. Ia termenung-menung hingga lama,
ketika tiba-tiba terdengar suara pintu diketok Cui-hong, dari luar
gadis ini sedang memanggilnya.
"In-siangkong, nasi sudah siap!" teriak Cui-hong
In Lui buka pintu dan melihat Cui-hong dan San-bin saling tidak
gubris dan dalam keadaan yang serba canggung, tanpa terasa ia jadi
tertawa geli pula.
Tatkala In Lui hendak makan, kembali Cui-hong dan Ciu San-bin
berebutan hendak mengisi nasi di mangkoknya, Cui-hong telah
pelototi San-bin lagi. Tentu saja ln Lui menjadi geli pula, ia
tersenyum dan menyambut mangkok yang sudah diisikan oleh Cui-
hong.
Teringat dalam hal ini dirinya memang terlampau kaku kuatir
ditertawai In Lui, muka San-bin menjadi merah.
"Cui-hong," kata In Lui kemudian, "Ciu-toakp ini adalah Kim-to
Siaucecu dari Jit-goat-liang-ki, pengalamannya banyak dan
pengetahuannya luas, orangnya juga sangat baik, seharusnya kau
mesti banyak meminta petunjuknya."
"Hm, aku sudah tahu," sahut Cui-hong dengan ketus, "kau punya
Gi-heng sudah tentu seorang kesatria gagah perkasa, jika tidak,
mana bisa kau begitu menurut padanya!"Pahala dan Murka - 10 5
Mendengar kata orang yang tajam dan sifatnya menyindir ini,
San-bin hanya tertawa getir dan serba salah, tapi lekas In Lui coba
alihkan pembicaraannya.
"Kata Ciu-toako, hari itu kau buru-buru pulang, kenapa sekarang
kaukeluar lagi?" tanyanya pada Cui-hong dengan tertawa.
"Ya, setiba di rumah, tidak antara lama ayah pulang juga," sahut
Cui-hong. "Tetapi wajah ayah kelihatan masam saja seperti ada
sesuatu urusan yang maha besar yang mengganjal hatinya. Waktu
kutanya apakah dia ketemukan dirimu, dia bilang tidak, cuma sudah
mengetahui betul-betul bahwa engkau masih berada di dalam
kuburan kuno Oh-pek Mako, hanya saja ada seorang tidak
memperkenankan dia menemuimu, sudah tentu aku terheran-
heran oleh penuturannya itu."
Cerita ini membikin Ciu San-bin merasa heran juga, karena itu
ia menyela. "Ilmu silat ayahmu luar biasa dan namanya disegani
kalangan Lok-lim, siapakah orangnya yang berani merintangi dia?"
Mendengar pemuda ini memuji ayahnya, Cui-hong menjadi
senang, kesan jeleknya pada San-bin agak berkurang juga.
Walaupun demi kian, ia masih tidak gubris pertanyaannya,
sebaliknya ia meneruskan penuturannya kepada In Lui.
"Sudah berulang kali kutanya ayah siapakah orang itu, tapi ayah
tetap takmau menerangkan. Ia hanya bilang biarpun tak takut bumi
dan tak gentar langit, kata-kata orang itu tidak boleh tidak harus
diturut. Ia menerangkan pula bahwa orang itu telah bilang padanya
bahwa ?Soal perjodohan tanggung di tangannya bersama In-
siangkong?, oleh karenanya aku disuruh jangan kuatir."
Berkata sampai di sini kedua pipi Cui-hong menjadi merah, ia
menunduk dan pura-pura main bajunya, ia tak berani menatap
sinar mata In Lui yang tengah memandangnya.Pahala dan Murka - 10 6
Diam-diam In Lui tertawa geli tercampur girang pula, tetapi juga
berduka. Ia geli atas sikap Cui-hong yang malu-malu kucing itu,
girangnya karena Cio Eng begitu menghormat kepada Thio Tan-
hong, dan dukanya mengingat alas nasib dirinya sendiri.
Sudah tentu In Lui mengerti orang yang diceritakan itu ialah
Thio Tan-hong, tetapi ia tidak ingin menerangkannya.
"Memang selama belasan hari ini, kelakuan ayahku tampak
sangat aneh," terdengar Cui-hong menyambung pula, "sehari-hari
biasanya dia suka bicara padaku tentang apa saja, tetapi belasan hari
ini segala apa ia tidak beritahukan padaku. Misalnya tentang asal-
usul bangsat cilik berkuda putih itu, tentang asal-usul lukisan dan
siapa orang yang merintangi dia, semua kejadian ini sama sekali tak
diceritakan padaku. Meski aku marah-marah, namun ia pun tidak
pedulikan aku. Sebaliknya ayah malah menyuruhku segera
mengirim surat baginya."
"Kirim surat?" tanya In Lui heran. "Kirim surat kepada siapa?"
Cui-hong tersenyum, ia sennng melihat "'kekasihnya" tertarik
oleh hal ini.
"Kirim kepada seorang kosen yang termashur di kalangan
kangouw," sahutnya kemudian. "Sekarang tidak perlu
kuberitahukan padamu, jika kau ingin bertemu dengan orang kosen
itu, besok juga boleh kau ikut pergi denganku."
"Di daerah Soasay ini mana ada orang kosen tersohor?" tiba-tiba
San-bin menyela. "Apa maksudmu Na-taihiap? Atau Cio-cengcu?
Atau..."
"Hm, tidak perlu kauterka secara ngawur," sahut Cui-hong.
"Meski engkau terkenal sebagai Kim-to-siaucecu, juga belum tentu
kau kenal seluruh orang kosen di dunia kangouw."
Karena diolok-olok, San-bin menjadi bungkam dan mendongkol.Pahala dan Murka - 10 7
"Sudahlah kalian jangan adu mulut lagi," kata In Lui segera. "Jika
begitu, besok aku dan Ciu-toako ikut serta denganmu. Sudah larut
malam, aku ingin tidur sekarang."
Habis berkata, ia dorong pintu dan masuk ke kamarnya.
Cui-hong ragu-ragu sejenak, lalu ia hendak ikut masuk ke dalam,
di luar dugaan In Lui lantas mencegahnya.
"Hong-cici, di sebelah sana masih ada sebuah kamar," kata In Lui
dengan suara halus.
Keruan Cui-hong menjadi malu dan juga gusar, seketika ia
terpaku di tempatnya, selagi ia hendak buka suara, tiba-tiba
terdengar San-bin berteriak.
"Aha, kuburan kuno ini betul-betul seperti suatu dunia lain,
seperti istana di bawah tanah saja. Selain ruangan besar ini, masih
terdapat pula beberapa buah kamar lain. Sungguh bagus sekali,"
demikian seru pemuda itu. "Baiklah kalian tidur satu kamar, aku
akan tidur di ruangan besar ini sebagai penjaga malam kalian.
Hiante, lukamu baru sembuh, kau masih perlu istirahat, hendaklah
tidur siangan, jangan banyak buang tenaga dan banyak bicara lagi."
Karena kata-kata yang lebih mirip berolok-olok ini, muka Cui-
hong menjadi merah, dengan cepat ia lompat keluar kembali, maka
tertampaklah olehnya Ciu San-bin lagi memandangnya dengan
roman seperti tertawa tetapi bukan tertawa, dan tidak buka suara
lagi, sudah tentu gemas sekali Cui-hong, ia ingin sekali bacok bikin
tubuh pemuda ini putus menjadi dua, maka dengan marah-marah
ia dorong pintu kamar, bahkan sampai jauh malam ia belum bisa
pulas memikirkan kejadian itu.
Esok paginya sesudah mereka bertiga bangun, In Lui bercakap-
cakap seperti biasa dengan Ciu San-bin dan Cui-hong, sebaliknya
kedua orang ini saling tidak menggubris dan t dak taling menyapa.Pahala dan Murka - 10 8
Setelah sarapan pagi seadanya dan selagi mereka bergegas-gegas
hendak berangkat, tiba-tiba dari jauh terdengar pula suara ringkik
kuda.
"He, cepat sekali datangnya kuda ini!" seru San-bin melonjak
kaget.
Belum habis ia brrkata atau suara derapan kuda sudah semakin
dekat dan kembali terdengar dua kali kuda meringkik lagi.
Mendengar suara kuda ini, Cui-hong men jadi heran.
"Eh, kenapa seperti suara ringkik kuda pu tih itu!" ujarnya.
Seketika juga muka ln Lui kelihatan pucat pasi, ia terhuyung-
huyung hendak roboh.
"Dagus, dia telah mendahului tnencari kita ke sini, marilah kita
kerubut dia bersama!" seru San-bin sembari cabut goloknya.
In Lui juga hendak lolos pedangnya, tetapi baru jari menyentuh
gagang senjata, tangan menjadi gemetar, belum sempat pedangnya
ditarik mendadak sudah terdengar suara gemuruh, tahu-tahu pintu
batu di luar sudah didobrak terbuka oleh seorang pendatang, saking
keras dobrakan pintu batu itu hingga pasir batu beterbangan,
menyusul mana secepat terbang seekor kuda putih menerjang
masuk.
Tiba-tiba terdengar seruan Ciu San-bin, namun dia tidak geraki
senjatanya melainkan terus maju memberi hormat kepada orang
ini. Waktu In Lui mengawasi, ternyata penunggang kuda ini bukan
Thio Tan-hong melainkan Tiau-im Hwesio yang tak terduga, karena
itu semacam rasa girang dan kecewa mendadak bercampur aduk
dalam hati anak dara ini hingga ia tercengang berdiri dihadapan
Tiau-im, sesaat tak sanggup mengucapkan sepatah katapun.Pahala dan Murka - 10 9
Sebaliknya ketika melihat In Lui yang menyamar sebagai pria,
agaknya Tiau-im Hwesio seketika juga tercengang, terdengar ia
bersuara heran sekali, dan sedang ia hendak buka suara, lekas Ciu
San-bin menarik jubahnya dan ditariknya ke samping, pemuda ini
membisikkan beberapa kata padanya, habis itu mendadak Tiau-im
tertawa terbahak-bahak.
"Sini, Lui-ji," katanya kemudian kepada In Lui. "coba lihat sini,
sudah berapa tahun tidak bertemu, kini kau sudah dewasa!"
Karena itu In Lui lantas memanggil Supek sambil maju memberi
hormat, Cui-hong ikut juga di belakang In Lui dan memberi hormat
sambil memperkenalkan diri.
Sementara itu Tiau-im sedang memandang Cui-hong, habis ini
mendadak ia bergelak tertawa lagi.
"Haha, memang sangat cantik, cuma entah bisa menanak nasi
tidak?" serunya berseloroh.
"Adik ipar ini pandai sekali, tidak cuma menanak nasi, bahkan
bisa mengolah sayur-mayur lezat," tiba-tiba San-bin menyambung.
"Bagus, bagus!" ujar Tiau-im pula. "Dalam dua hari ini sudah
tujuh-delapan ratus li kutempuh, perutku sedang kelaparan. Nah,
lekas pergi menanak nasi dan membuat sayur!"
Sejenak Cui-hong menjadi bingung, "Biarpun perutmu lapar juga
tidak pantas bersikap kasar cara begini, ayahku sendiri belum
pernah memerintah aku dengan lagu suara kasar begini," demikian
pikir gadis ini dengan mendongkol.
Sesudah menambat kudanya, Tiau-im Hwesio lantas ambil
tempat duduk, habis ini kembali ia mendesak lagi.Pahala dan Murka - 10 10
"San-bin hiantit, kaupun boleh membantu Tithu (istri
keponakan) menanak nasi, berasnya perlu tiga kati, sayurnya tidak
perlu banyak-banyak, kalau enam-tujuh macam sudah cukup!"
Begitulah dengan tidak sungkan-sungkan Tiau-im Hwesio
memberi perintah pada Cui-hong keruan gadis ini menjadi kikuk
dan serba salah.
"Kenapa Supek dan Giheng In Lui orang kasar begini semua,
sama-sama orang aneh yang tak punya sopan santun!" demikian di
dalam hati Cui-hong menggerutu. Tetapi di hadapan In Lui ia tak
berani banyak omong, terpaksa dengan mulm menjengkit kurang
rela ia pergi ke dapur buat mengolah santapan.
Dalam pada itu seperti diperintah Tiau-im tadi, San-bin telah
ikut masuk dapur juga, Cui-hong yang sudah kadung gemas, tiba
tiba ia tumplekkan amarahnya kepada pemuda ini.
"Tidak perlu bantuanmu!" teriaknya gusar.
"Ssst, pelahan serlikit," sahut San-b mendesis dengan tertawa,
"Masa kau tidak tahu Supek In Lui adalah Hwesio kasar? Jika kau
bikin ribut dengan aku di sini, bila dia tahu, tentu akan


Pahala Dan Murka Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mendamperatmu di hadapan In Lui."
Betul juga, karena ditakut-takuti. Cui-hong tak berani pentang
mulut lagi, tetapi dengan muka merengut ia melototi San-bin.
"Pula napsu makan Hwesio itu sangat besar, coba, enam-tujuh
macam sayur ia bilang tidak perlu banyak-banyak, apakah seorang
kau sanggup menyelesaikannya?" dengan tertawa San-bin tambahi
pula.
Mendengar nasehat ini, Cui-hong pikir memang benar juga,
namun masih belum hilang rasa mendongkolnya, ia mencibir ke
jurusan di mana Tiau-im duduk.Pahala dan Murka - 10 11
"Sssst, mereka berdua Supek dan Sutit sedang bicara, jangan
kaugangeu mereka," kembali San-bin mendesis lagi. "Watak Hwesio
kasar ini tidak enak diladeni, kau harus hati hati."
Saking mangkelnya hampir saja Cui-hong berteriak menangis.
"Bagus, kalian bertiga Supek dan Sutit dan bersaudara pula,
hanya aku saja orang luar, biar kutanyai In Lui," demikian ia
ngambek.
Tapi pada waktu itu juga di luar sana tiba-tiba Tiau-im Hwesio
berdehem sekali, Sebenarnya Cui-hong hanya gertak sambel saja,
seketika ia mengkeret dan terpaksa masak dibantu Ciu San-bin.
Diam-diam San-bin tertawa geli, ia sengaja membujuk dan
menasehati Cui-hong, tujuan sebenarnya tidak lain supaya Tiau-im
Hwesio bisa bicara lebih leluasa dengan In Lui.
Dia tidak tahu bahwa In Lui mempunyai tujuan sendiri, ia justru
sengaja membiarkan pemuda ini lebih berdekatan dengan Cui-
hong. Selagi San-bin dan Cui-hong masuk dapur memasak, ia lantas
ceritakan pada Supeknya tentang cara bagaimana ia dipungut
mantu di Hek-san-ceng. Keruan cerita ini membikin Tiau-im
Hwesio terbahak-bahak saking geli.
Sehabis tertawa, tiba-tiba Hwesio ini berkata kepada In Lui
dengan sungguh-sungguh. "Enak sekali kau berada di sini, tetapi
lantaran dirimu aku hampir mati kaku dibikin marah di Mongol"
Tentu saja In Lui terkejut.
"Lui-ji," terdengar Tiau-im meneruskan, "masih ingatkah pada
waktu kau kembali ke Tiongkok dengan Engkongmu dahulu?"
"Ingat, tatkala itu adalah tahun ketiga Ceng-thong (tahun
kerajaan)," sahut In Lui.
"Dan tahun ini?" tanya Tiau-im pula.Pahala dan Murka - 10 12
"Tahun ini adalah tahun ke-13 Ceng-thong!"
"Ya, tepat sekali, hanya sekejap saja sudah genap sepuluh tahun."
kata Tiau-im dengan menghela napas. "Sepuluh tahun yang lalu,
dengan Samsupekmu Cia Thian-lioa pernah aku berjanji di luar
Gan-bun-koan bahwa yang satu membesarkan anak piatu dan yang
lain membalas dendam, aku bertugas membawamu kembali ke
Siau-han-san untuk diserahkan kepada Simoay, sedang dia
berkewajiban jauh menuju ke Mongol untuk membunuh
pengkhianat Thio Cong-ciu untuk membalas sakit hatimu. Kejadian
ini oleh gurumu tentu sudah lama diceritakan padamu bukan?"
Menyinggung urusan ini, mata In Lui menjadi basah.
"Ya, sudah lama dia ceritakan, banyak terimakasih kepada para
Supek yang telah menaruh perhatian atas diriku," sahutnya
kemudian.
"Ha, tetapi terima kasihmu ini agak dini kauucapkan," kata Tiau-
im dengan menghela napas. Ia merandek sejenak, lalu sambungnya
lagi, "Aku telah berjanji dengan Thian-hoa Sute dalam tempo
sepuluh tahun kemudian, jadi tahun ini, untuk bertemu kembali di
Suatu tempat di luar Gan-bun-koan. Tidak terduga setiba waktu
yang dijanjikan, dia tidak tampak batang hidungnya, sedang
menurut berita yang bersimpang-siur tersiar, ada yang bilang mati-
hidupnya tidak diketahui, ada pula yang bilang dia sudah ditawan
Thio Cong-ciu. Oleh sebab itu seorang diri aku lantas pergi ke negeri
musuh itu, aku telah mengintai ke negeri Watze, sebab kuanggap
jika sampai terjadi sesuatu atas diri Thian-hoa Sute, maka
kewajiban membalas dendam itu terpaksa harus kuambil alih."
"Kata Suhu, ilmu silat Cia-supek sangat tinggi, perkasa dan
cerdik pula, agaknya beliau tidak sampai mengalami nasib malang
di negeri musuh?" sela In Lui.Pahala dan Murka - 10 13
"Ya, memang ilmu silat Thian-hoa sangat tinggi, kalau tidak,
tentu aku sajalah membalaskan sakit hatimu," kata Tiau-im.
In Lui menjadi heran oleh jawaban ini.
"Kata-kata Jisupek ini membikin aku tidak mengerti." tanyanya
segera.
Mendadak Tiau-im menggebrak meja hingga sebagian ujung
meja marmer itu sempal.
"Aku pun sangat tidak mengerti," seru Tiau-im. Habis ini lagi-
lagi ia menghela napas dan meneruskan penuturannya. "Setelah
aku menyelundup masuk ke Watze, diam-diam aku mencari kabar,
tetapi sampai lama belum menemukan jejak Thian-hoa Sute. Ingin
membalas dendam, bangsat Thio Clong-ciu itu selalu dijaga Ciamtai
Biat-beng, penjagaan di sekitar istananya sangat rapat pula hingga
tidak gampang buat turun tangan. Hatiku sudah gelisah sekali,
sehari seperti setahun saja kulewatkan di Watze. Tak terduga,
sampai pada bulan yang lalu, tiba-tiba aku memperoleh kabar
bahwa Ciamtai Biat-beng sudah tidak berada di samping Thio Cong-
ciu lagi, mungkin ditugaskan oleh bangsat itu ke suatu tempat.
Setelah kuselidiki dan memang benar, maka pada suatu malam yang
gelap-gulita dengan angin meniup santer, seorang diri aku lantas
memasuki istana wakil perdana menteri bangsat she Thio itu."
"Istana bangsat itu ternyata sangat luas, ia pun pandai
menikmati segala keindahan, di negeri dingin seperti itu telah
dibangunnya sebuah taman besar yang mirip seperti taman di
daerah Kanglam, gedung perdana menteri yang dibangun juga
meniru bentuk loteng susun di daerah Sohciu dau Haugciu. Setelah
aku tubruk sini dan teriang sana, akhirnya aku dapat menangkap
seorang kacung, dari kacung inilah baru kudapat tahu bangsat she
Thio itu tinggal di suatu gedung susun pada ujung timur taman itu.Pahala dan Murka - 10 14
"Saat itu sudah antara jam tiga pagi, tetapi aneh sekali, aku
dapatkan bangsat itu masih belum tidur, seorang diri ia duduk di
kamar dan sedang menulis dengan menunduk, sedikitpun ia tidak
merasa bahwa di luar jendela ada orang sedang mengincar jiwanya.
"Waktu itu ditanganku sudah siap tiga buah Kim-ci-piau (senjata
gelap bentuk mata uang) demi melihat kesempatan baik itu, tanpa
ayal lagi segera kutimpuk dengan cara berantai, ku arah dia punya
?ciang-tai-hiat, ?soan-ki-hiat? dan ?kim-coan-hiat?, seranganku
selamanya seratus kali timpuk seratus kali kena, jangankan dia
sedang menulis dengan tekun, seumpama orang yang berilmu silat
tinggi sekalipun dan sudah berjaga-jaga sebelumnya, sukar juga
menghindarkan seranganku.
"Siapa tahu begitu senjata rahasia menyambar, segera terdengar
suara ?crang-creng? tiga kali dengan nyaring dan keras, tiga mata
uang yang kutimpukan itu telah jatuh semua di hadapan bangsat
itu. Dalam kamar itu ternyata dipasang pula pintu rahasia dan
dinding berlapis, ketika bangsat she Thio mundur ke dekat dinding,
lalu ia menghilang ke bagian lain. Waktu kulompat masuk dengan
cepat dan menjambret, tetapi hanya berhasil menarik robek ujung
bajunya saja, dan pada waktu itu juga, mendadak melompat keluar
seorang terus memukul, sekali hantam dia bikin aku jatuh
tersungkur. Lui-ji, coba terka, siapakah orang itu?"
"Jangan-jangan Giamtai Biat-beng sebenarnya tidak pernah
pergi melainkan sengaja pasang perangkap untuk menjebakmu?"
sahut In Lui tanpa pikir.
Tetapi sehabis mengucapkan kata-kata ini, mendadak teringat
olehnya pada permulaan bulan yang lalu, sewaktu di luar Gan-bun-
koan bersama-sama dengan Kim-to Ciu Kian, mereka berdua sudah
pernah menempur Ciamtai Biat-beng, maka terkaannya tadi terang
salah, karena itulah ia menjadi heran dan sangsi.Pahala dan Murka - 10 15
"Mungkinkah Ciamtai Biat-beng memliiki ilmu gaib yang bisa
membagi tubuhnya menjadi dua?" ia menyambung lagi, "Tetapi
kalau bukan Ciamtai Biat-beng, habis siapa lagi yang mempunyai
ilmu silat begitu tinggi?"
Namun Tiau-im Hwesio lantai mendengus.
"Jika Ciamtai Biat-beng, tentu tidak perlu dibuat heran," katanya
kemudian dengan gemas. "Orang ini justru adalah saudara
seperguruanku yang mirip saudara sekandung sendiri, Cia Thian-
hoa adanya!"
"Dia Samsupek?" In Lui menegas dengan mata terbelalak.
"Ya, dia Cia Thian-hoa! Karena itulah maka aku hampir mati
dibikin gusar," katanya lagi. "Dan waktu kubentak menanyai dia,
Apa janji sepuluh tahun yang lalu sudah kau lupakan? Kau ingin
balas dendam atau memupuk dendam?? ? Siapa duga ia balas
membentakku dengan mata melotot, susul-menyusul tiga kali
sambaran pedangnya mendesak aku keluar dari gedung itu dan
dengan kencang ia terus mengudak. Di antara saudara seperguruan
dia memamg punya ilmu silat yang paling kuat, dengan sendirinya
aku tahu sekali-kali bukan tandingannya, tetapi tatkala mana aku
sudah terlalu gemas dan kalap, karena itulah aku jadi lupa daratan,
begitu kuputar tubuh, segera aku mengadu jiwa dengan dia!"
"Tetapi aneh juga, kalau di dalam gedung tadi dia serang aku
secara kejam dan tak kenal ampun, sebaliknya sesudah di luar
rumah sekarang dia tidak balas seranganku, berulang kali ia
berkelit, malah mendadak ia berkata padaku dengan suara tertahan,
'Apa kautahu siapakah Thio Gong-ciu ini?? ? Saking sengitnya aku
damperat dia, ?Apapun juga katamu, tidak mungkin bangsat she
Thio itu kaujadikan orang baik-baik!?Pahala dan Murka - 10 16
"Segera pula aku membacok dengan golokku. Oleh karena
kuharus menggunakan ginkang dan berjalan malam, maka tidak
leluasa kubawa tongkatku yang berat, aku hanya membawa golok
pendek, karenanya aku tidak biasa memakainya, sudah tentu tidak
bisa kulukai dia. Sesudah kuserang lagi dua kali, mendadak
terdengar dia berkata pula dengan suara tertahan ?Hm, sungguh
Suheng yang ceroboh!?
Habis itu ia mendesak maju, sekali ulur tangan ia tutuk aku
punya Nui-moa-hiat hingga seketika aku lemas kesemutan, segera
ia gendong aku di punggungnya, sementara itu suara girang di
gedung perdana menteri itu sudah riuh ramai, para jago pengawal
yang dinas malam telah terkejut dan berbondong-bondong datang.
"Cepat dia gendong aku dan melayang pergi, sesudah berputar
dan menikung beberapa kali, sekejap saja sudah sampai di suatu
sudut taman yang terpencil dan sepi, di sana masih terdapat sebuah
kandang kuda yang terbikin bagus. Dari kandang kuda ia tuntun
keluar seekor kuda putih dan diserahkan padaku setelah lebih dulu
melepaskan tutukannya atas diriku. Habis itu ia bisiki padaku pula.
?Sudah bersaudara sekian lamanya, masa belum kenal orang macam
apa diriku ini? Lekas lari, lekas!?
"Tetapi aku tidak rela naik kuda begitu saja, kataku padanya,
'Sebelum kaujelaskan padaku, betapapun aku takmau pergi!??
Karena ini air mukanya berubah, mendadak dengan suara bengis ia
berkata lagi, ?Jika tidak segera kaupergi, jangan kausesalkan aku tak
berbudi, tidak saja kau harus keluar dari istana ini, bahkan kuberi
batas tempo padamu tiga hari harus kautinggalkan Mongolia, jika
tidak, nyawamu akan melayang!?
"Aku menjadi gusar, segera kuserang dia pula dengan golokku,
namun berbalik senjataku direbutnya dan dipatahkan, seketika pulaPahala dan Murka - 10 17
aku dilemparkan ke atas kuda sambil membentak padaku ?Apa betul
kau tidak ingin hidup lagi??
"Sungguh tidak pernah kuduga bahwa dia bisa bersikap kejam
dan tak berbudi, pikirku, kalau dia sudah ingkar janji dan khianati
kawan, jika betul nyawaku melayang percuma di sini, lalu siapa
yang mengetahui dia adalah murid murtad dari perguruanku?
Tidakkah sementara ini kuhindari dia dulu, kelak baru kucari dia
lagi untuk bikin perhitungan.
"Kuda putih yang dia berikan padaku ternyata gagah luar biasa,
pula tidak gampang menurut pada penunggangnya, untung aku ada
sedikit kemampuan hingga dengan paksa kutaklukkan dia, dengan
kuda itulah kuterjang keluar dari istana perdana menteri itu, di
belakangku dikejar ratusan orang, malahan terdengar pula mereka
berteriak dan membentak-bentak, ?Hai, bangsat, besar sekali
nyalimu berani mencuri kuda pusaka Caisiang!?
"Ha, kiranya kuda putih ini adalah binatang tunggangan Thio
Cong-ciu sendiri, pantas begitu bagus. Sesudah binatang ini
kutaklukkan, ia lari secepat terbang, sungguh lain daripada yang
lain kuda ini, maka tidak antara lama para pengejar itu sudah
tertinggal jauh di belakang dan tidak mungkin bisa menyusulku lagi.
Malam itu benar-benar aku hampir mati dibikin gusar olehnya,
tetapi di luar dugaan malah mendapatkan seekor kuda mestika."
Kuda putih yang dibuat cerita olehnya itu justru ditambat di
pelataran, agaknya binatang ini seperti mengerti Tiau-im lagi bicara
tentang dia, maka kembali ia meringkik sekali lagi.
Waktu In Lui menoleh, ia lihat kuda putih ini sangat mirip
dengan kuda Tan-hong "Ciau-ya-sai-cu-ma", hanya pada kuda ini
bulu lehernya bertambah secomot berwarna coklat, agaknya
asalnya suatu keturunan.Pahala dan Murka - 10 18
"Lui-ji, apa yang sedang kaupikirkan?" tanya Tiau-im kemudian
ketika melihat In Lui termenung-menung.
"Aku sedang berpikir kalau Samsupek sudi bekerja pada musuh,
mana mungkin dia memberikan kuda mestika ini padamu, padahal
kuda ini katanya milik Thio Cong-ciu," sahut si gadis.
"Ya, memang aku juga merasa tidak mengerti" ujar Tiau-im.
"Tanpa kuda mestika ini aku pun tak bisa lolos dari Mongol."
"Sunggguh hal ini sangat mencurigakan orang!" kata In Lui lagi
dengan menggeleng kepala. "Siapakah manusia Thio Cong-ciu itu!
Apakah dia . . . ."
Tiba-tiba Tiau-im gebrak meja lagi hingga meja marmer itu
sempal pula sebagian.
"Hm, itu Thio Cong-ciu terang adalah penghianat yang turun
tumurun menjadi pembesar di negeri Watze serta membantu negeri
itu mencaplok negara kita, seorang pengkhianat besar yang dikena!
rakyat seluruh negeri, apa kaukira dia seorang baik?" katanya
dengan gusar.
Demi ingat nasib Engkongnya yang tersiksa selama dua puluh
tahun disuruh angon kuda di tanah bersalju itu, hati In Lui menjadi
sakit seperti diiris-iris.
"Ya, dia adalah penjahat yang tidak bisa diampuni, dan juga
musuh besar keluargaku!" katanya kemudian dengan suara rada
gemetar. "Tetapi, apa tidak kau lihat asal-usul dirinya?"
Karena pertanyaan ini, biji mata Tiau-im kelihatan berputar,
tiba-tiba seperti ingat sesuatu, dari saku dikeluarkannya segulung
kertas.
"Melain itu waktu hendak kubunuh Thio Cong-ciu," demikian ia
menutur sambil membentang kertas itu, "karena tidak kenaPahala dan Murka - 10 19
sasarannya dan aku didorong pergi oleh pukulan Thian-hoa,
kebetulan sekali aku jatuh di atas meja tulis Thio Cong-ciu,
tanganku meraih sekenanya, tahu-tahu dapat kusamber kertas tulis
ini, yakni apa yang ditulis Thio Cong-ciu waktu itu. Aku pikir
bangsat itu tidak tidur sepanjang malam. Apa yang ditulis ini
mungkin surat rahasia, maka telah kumasukkan saku kertas surat
ini. Sialan, tulisannya ruwet seperti cakar ayam, meski dapat kubaca
beberapa huruf, tetapi apa yang ditulis olehnya satu hurufpun tidak
kukenal. Coba kaubaca, tiap-tiap baris tulisannya terdiri dari tujuh
huruf, tak banyak tak kurang, seluruhnya terdiri dari 28 huruf,


Pahala Dan Murka Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jangan-jangan bukan sesuatu rahasia melainkan apa yang disebut
syair atau sanjak segala."
Karena kata-kata Tiau-im yang lucu ini, In Lui tertawa, ia terima
juga kertas tulis itu dan dibacanya dengan teliti, habis ini ia hanya
diam saja.
"Apa yang ditulis anak kura-kura itu?" tanya Tiau-im.
"Sebuah syair," sahut In Lui. Lalu dengan suara pelahan ia
dendangkan syair itu.
Ternyata syair ini adalah syair yang pernah dinyanyikan oleh
Tan-hong di hadapan In Lui tatkala terharu sambil memandangi
lukisan tempo hari itu.
"Sepanjang malam pengkhianat itu tidak tidur, apa perlunya
cuma menulis syair ini?" ujar Tiau-im sambil berkerut kening. "Apa
maksud syairnya?"
Selelah termangu-mangu sejenak, kemudian baru In Lui
menerangkan.
"Syair ini sebenarnya sebuah syair jaman Song, tetapi bait
pertama dan terakhir masing-masing telah diganti satu huruf oleh
Thio Cong-ciu. Baris pertama sebenarnya melulu terdapat kataPahala dan Murka - 10 20
Hangciu, tetapi olehnya sengaja ditambah lagi dengan Sohciu. Inilah
yang sangat mengherankan, apakah sebabnya ia berbuat demikian?
Ah, Cong-ciu .. . Cong-ciu ...."
"Untuk apa berulang-ulang kau sebut nama pengkhianat ini?"
Tiau-im menjadi heran.
"Tadi kau bilang istana Thio Cong-ciu dibangun sebuah taman
raya seperti apa yang terdapat di daerah Kangiam bukan?" tiba-tiba
In Lui bertanya. "Aku belum pernah ke Sohciu, tapi kutahu juga
taman di Sohciu sangat terkenal, entah apa yang dibangun oleh Thio
Cong-ciu itu serupa dengan taman di Sohciu?"
"Ya. ya, sama," sahut Tiau-im. "Tampaknya bangsat she Thio
sangat menyukai Sohciu."
Karena jawaban ini, In Lui termangu-mangu lagi, dengan
menunduk kembali ia menyebut, "Cong-ciu . . . Cong-ciu . . ."
"He, Lui-ji, apa kau linglung?" tanya Tiau-im kaget.
Kiranya sesaat itu apa yang pernah diceritakan Tan-hong
padanya sekilas berkelebat dalam sanubarinya. Mendadak In Lui
mendongak.
"Ah, sekarang tahulah aku. Thio Cong-ciu adalah keturunan Thio
Su-seng!" katanya tiba-tiba.
Tatkala itu kira-kira baru 70-80 tahun sejak dinasti Beng
didirikan Beng-thay-co Cu Goan-ciang, maka peristiwa tentang Thio
Su-seng masih banyak dibuat cerita di kalangan rakyat. Keruan
Tiau-im tercengang mendeng kata In Lui tadi.
"Thio Su-seng?" ia menegas. "Thio Su-seng yang berebutan tahta
dengan Gu Goan-ciang itu?"
"Ya, dahulu Thio Su-seng menjadi raja di negeri Tay Ciu (Ciu
raja), nama Thio Cong-ciu ini bukankah sudah jelas mengatakanPahala dan Murka - 10 21
bahwa apa yang dia ?Cong? (puja) adalah Tay Ciu yang didirikan
leluhurnya, dan bukan, ?Tay Beng? (Beng raya) yang didirikan oleh
Cu Goan-ciang?"
"Hei, kenapa kau berpikir sampai begitu jauh? Seperti main teka-
teki saja," ujar Tiat-im Hwesio heran.
Tetapi In Lui masih menunduk dan berpikir pula, tanpa gubris
kata-kata orang.
"Peduli apa dia keturunan Thio Su-seng atau bukan, sudah
terang dia bantu Watze, apa pun dia bukan orang baik-baik," teriak
Tiau-im.
"Memang betul katamu Jisupek," sahut In Lui dengan perasaan
yang kesal dan kusut.
Bila dia terkenang pada tingkah laku Thio Tan-hong waktu
mereka dalam perjalanan bersama, ia pikir, "Kalau Tan-hong sudah
berkeras melarikan diri dari Mongol, agaknya dia bukan orang
segolongan ayahnya. Tetapi Thian-hoa Supek yang namanya
terkena! di seluruh negeri, jika Thio Gong-riu adalah pengkhianat
yang harus dibunuh, mengapa Samsupek tidak mampuskan dia,
tapi malah melindunginya?"
Keraguan inilah yang membikin In Lui tidak habis mengerti.
Tetapi tidak peduli Thio Cong-ciu dan Thio Tan-hong baik atau
busuk, bagaimanapun juga mereka adalah musuh besar keluarga In,
ini adalah pesan tertulis dalam surat darah yang ditinggalkan
Engkong In Lui Sendiri dan dengan tegas menyatakan siapa saja
dari keluarga Thio harus dibunuh habis-habisan. Pertentangan
batin inilah yang membikin susah hati gadis ini.
Sementara itu terdengar Tiau-int Hwes menghela napas dan
berkata pula.Pahala dan Murka - 10 22
"Sama sekali tidak pernah kupikirkan bahwa Thian-hoa Sute bisa
tersesat sebegitu rupa dan ternyata bisa melindungi bangsat itu,
Kini hubunganku sebagai saudara perguruan dengan dia sudah
putus, kembaliku ini justru memohon pada Suco (kakek guru) agar
tiga tahun lebih cepat mengijinkan gurumu turun gunung. Ilmu silat
gurumu kira-kira setaraf dengan Thian-hoa, kalau ditambah aku
lagi pasti dapat membinasakan dia!"
Karena orang menyebut gurunya, mendadak In Lui jadi teringat
pada Suhunya. Ia ingat pada malam sebelum dirinya turun gunung,
gurunya telah mengadakan perjamuan perpisahan, dalam
mabuknya menuturkan semua kisahnya. Dari cerita gurunya itu, ia
menarik kesimpulan bahwasanya sang guru yang sudah dihukum
selama sepuluh tahun tidak boleh keluar rumah toh tidak urung
masih terkenang kepada Thian-hoa Supek, maka dapat
dibayangkan betapa dalamnya percintaan mereka, jika gurunya
mengetahui juga urusan sekarang ini, entah betapa dia akan
berduka hati!
"Kuda yang dia berikan ini kini justru berguna sekali, dengan
kuda ini menuju ke Siau-han-san, tidak sampai sebulan akan sampai
di sana," demikian Tiau-im Hwesio buka suara lagi dengan tertawa.
"Haha, sungguh seekor kuda bagus. Haha!"
Begitulah setelah mereka mengobrol agak lama, Cui-hong dan
San-bin akhirnya mengantarkan santapan yang sudah selesai
dimasak, sehabis taruh nasi dan sayurnya, segera San-bin
mendekati kuda putih itu sambil tiada hentinya memuji akan
kebagusannya.
Sebaliknya tanpa sungkan lagi Tiau-im egera makan masakan
yang disajikan itu, tidak seberapa lama, seluruh nasi dari beras tiga
kati itu disapu bersih.Pahala dan Murka - 10 23
"Ha, boleh juga masakanmu! Nasinya wangi, sayurnya lezat
pula!" demikian ia memuji Cui-hong sambil tepuk-tepuk perutnya
yang melembung.
Rasa mendongkol Cui-hong rupanya masih belum hilang, ia
hanya balas dengan senyum tawar saja, habis ini ia berpaling ke
jurusan lain untuk melihat kuda mestika itu.
"Kuda mestika ini sudah bagus, tapi masih ada kuda mestika lain
yang terlebih bagus dari dia, sungguh sekali ini aku si Hwesio harus
mengaku kalah!" demikian Tiau-im Hwesio berkata lagi dengan
tertawa.
"Apa masih ada kuda lain yang lebih bagus?" tanya San-bin
heran, pemuda ini ahli dalam hal memilih kuda, ia tahu kuda putih
ini lain daripada yang lain.
"Ya, ternyata di jagat ini masih terdapat kuda yang lebih bagus
dari ini!" sahut Tiau-im. "San-bin, kaugunakan nama Kim-to-cecu
dan nama Cio Eng telah menyebarkan Lok-lim-ci, hal ini baru
kemarin dulu kuketahui. Para tokoh terkemuka kalangan Hek-to di
Soasai semua kukenal, aku si Hwesio biasanya memang suka cari
tahu, maka dengan kuda ini telah kuselidiki, kiranya tujuan kalian
menyebarkan Leng-ci adalah hendak menangkap seorang pemuda
sastrawan berkuda putih juga, orang ini betul-betul terlalu berani,
kini bahkan ia sudah melakukan sesuatu yang bikin geger seluruh
Lok-lim!"
Cui-hong, San-bin dan In Lui bertiga jadi tertarik oleh cerita ini.
"Apa yang telah dia lakukan?" tanya mereka berbareng.
"Ciu-hiantit, Pek-ma-suseng (pemuda sastrawan berkuda putih)
yang kalian uber itu orang macam apa, biarlah sementara ini aku
tidak perlu tanya, tetapi kalau melihat tindak-tanduknya, betul-
betul ia seorang kesatria sejati!" kata Tiau-im Hwesio kemudian,Pahala dan Murka - 10 24
"Pikir saja, kalau orang diuber oleh para tokoh kalangan Lok-lim
dengan menyebarkan Lok-lim-ci, melarikan diri saja kuatir
terlambat, tapi ia berbalik mendatangi tempat orang!"
"Mendatangi tempat orang? Siapa yang dia ditangi?" tanya San-
bin pula terheran-heran.
"Bukan mustahil semua orang yang terima perintah Lok-lim-ci
yang kukirim sudah dia datangi seluruhnya!" sahut Tiau-im
Hwesio. Kemarin dulu waktu aku mencari tahu kediaman Na-
taihiap, justru dia baru saja menerima surat belati (surat yang
disertai tancapan belati) dari Pek-ma-suseng itu yang menjanjikan
padanya tujuh hari kemudian supaya bertemu di rumah ?Cin-san-
kai Pit To-hoan."
"Apa? Cin-san-kai Pit To-hoan?" seru San-bin dan Cui-hong
berbareng dengan kaget.
Manusia macam apakah "Cin-sam-kai" Pit To-hoan ini meski
tidak diketahui oleh In Lui, tapi dari wajah mereka yang terkejut
demi mendengar nama itu, ia dapat menduga pasti bukan orang
sembarangan.
"Ya, betul, Cin-sam-kai Pit To-hoan," sahut Tiau-im. "Coba
bukankah nyalinya terlalu besar? Maka sesudah kuberangkat dari
tempat Na-taihiap, petangnya aku tiba di tempat Liong-cecu, ia pun
baru saja menerima surat-belati dari Pek-ma-suseng dan juga
berjanji tujuh hari lagi bertemu di rumah Cin-san-kai Pit To-hoan,
Na-taihiap dan Liong-cecu keduanya adalah jago terkemuka dunia
persilatan, sudah tentu ilmu silat mereka bukan macam jago silat
tukang jual jamu, tapi toh rumahnya dimasuki pemuda berkuda
putih ilu dan ditinggalkan surat dengan tancapan belati, habis ini
baru mereka tahu, dari sini tidaklah bisa dibayangkan ilmu
kepandaian Pek-ma-suseng itu betul-betul sangat mengejutkan
orang?"Pahala dan Murka - 10 25
Cerita terakhir ini sudah tentu tidak mengejulkan In Lui, sebab
anak dara ini pada pertama kali berjumpa dengan Tan-hong sudah
pernah dipermainkan beberapa kali, maka ia sudah kenal betapa
hebat ilmu entengi tubuh Tan-hong. Sebaliknya tidak demikian
dengan Ciu San-bin dan Cio Cui-hong, mereka berdua inilah sampai
ternganga saking heran.
"Dan karena rasa ingin belajar kenal, dengan andalan kudaku
yang bisa lari cepat, segera aku mengudak Peh-ma-suseng itu,"
Tiau-im melanjutkan lagi. "Betul juga akhirnya di tanah datar
sebelah utara Hing-koan aku menemukan jejaknya, aku percepat
kudaku dau mengejar seperti terbang, akan tetapi bila aku cepat, dia
ternyata terlebih cepat, sepanjang jalan hanya terdengar suara
tertawanya yang panjang dan tiada hentinya, bahkan dari jauh dia
berteriak padaku. ?Hai, apa kau juga sudah terima Lok-lim-ci dari
Hong-thian-lui? Sayang aku belum tahu tempat kediamanmu, maka
aku belum mengunjungimu, biarlah tujuh hari kemudian datang
saja ke rumah Cin-sam-kay Pit To-hoanl"
"Nyata ia anggap aku sebagai orang yang hendak
menangkapnya, Namun aku masih terus mengudak, tetapi kudanya
memang lebih cepat, maka tidak berapa lama, di tanah datar itu
hanya kelihatan satu titik putih saja yang semakin jauh, tidak
mungkin untuk menyusulnya! Malamnya aku tiba di tempat Hek-
ceng-cu di Saykoan, di situ baru aku tahu bahwa pada waktu magrib
Hck-ceng-cu juga baru saja menerima surat-belati dari Pek-ma
suseng itu, tampaknya kuda putihnya dibandingkan kuda putihku
ini masih lebih cepat setengah hari!"
"Sungguh hebat," ujar Ciu San-bin. "Cin-sam-kai Pit To-hoan
biasanya berdiri di luar garis Pek-to dan Hek-to, jejaknya selama ini
sangat dirahasiakan, sedang bangsat berkuda putih ini baru sajaPahala dan Murka - 10 26
datang dari Mongol, cara bagaimana dia bisa mengetahui kediaman
Pit To-hoan?"
Karena ucapan pemuda ini, Tiau-im Hwesio dan Cio Cui-hong
merasa heran dan terkejut. Tiai-im Hvvesio terkejut oleh karena
mendengar kata "Mongol", sedang Cui-hong heran sebab
mendengar San-bin menyebut nama Cin-sam-kai Pit To-hoan,
agaknya pemuda ini sudah cukup kenal juga siapa orang kosen ini.
"Pit To-hoan tinggal di suatu pedusunan kecil bernama ?Hou-lok?
yang terletak di antara tapal batas propinsi Hopak dan Soasay,"
tutur Tiau-im lebih lanjut, "hal inipun baru kuketahui kemarin dulu
dari Na-taihiap, tetapi dia yang baru datang dari Mongol, kenapa
bisa mengetahui begitu jelas setiap tokoh terkemuka di daerah
Tioriggoan ini? Sungguh hal ini sangat mencurigakan, jangan-
jangan-. ..."
Tiba-tiba Tiau-im Hwesio tidak meneruskan perkaiaannya.
Karena itu In Lui lantas menyela.
"Kalian terus bicara tentang Cin-sam-kai Pit To-hoan,
sebenarnya Cin-sam-kai Pit To-hoan ini manusia macam apa?"
"Tidak kautanya pun akan kuceritakan," sahut Tiau-im Hwesio.
"Keluarga Cin-sam-kai Pit To-hoan ini adalah satu keluarga yang
paling aneh kelakuannya di kalangan Bu-lim. Keluarganya turun
temurun selalu patuh pada suatu peraturan yang aneh luar biasa,
yakni asal lelaki, bila sudah menginjak usia enam belas tahun harus
dicukur gundul dan menjadi Hwesio pengembara, sesudah genap
setengah tahun baru diperbolehkan piara rambut dan kembali
hidup preman lagi, tetapi belum juga boleh berumah tangga
melainkan harus jadi pengemis selama sepuluh tahun lagi, halau
genap sepuluh tahun menjadi pengemis, habis ini baru boleh
menikah dan berumah tangga. Oleh sebab itulah lelaki dari keluargaPahala dan Murka - 10 27
Pit paling cepat harus berumur 36 tahunan haru bisa menikah.
Rupanya keturunan keluarga Pit yang selama ini tidak subur dan
selalu seorang berputera seorang bukan mustahil banyak
berhubungan dengan kelambatan perkawinan mereka itu.
"Imu silat Pit To-hoan sangat tinggi dan sukar diukur, sepuluh
tahun ia menjadi Hwesio dan sepuluh tahun pula menjadi
pengemis, akhirnya kembali menjadi preman dan mengasingkan
diri, oleh karena dia banyak melakukan hal-hal yang aneh dalam
kalangan padri, pengemis dan umum, maka dia memperoleh nama
julukan sebagai ?Cin-sam-kai? artinya penggoncang tiga kalangan).
Ciu-hiantit, Pit To-hoan ini sudah lama tinggalkan kalangan padri,
pengemis dan partikelir, ia pun tidak merupakan orang aneh lagi di
kalangan Hek-to dan Pek-to, apa mungkin dia mau terima sebaran
Lok-lim-ci kalian dan ikut campur tangan dalam uruan ini""
"Mana berani kukirim Lok-lim-ci padanya!" sahut Ciu San-bin.
"Tetapi kalau Pit-locianpwe mau turun tangan membantu, itulah
yang kuharapkan mana berani kubilang mengundangnya."
"Kau sudah minta ayahku ikut menyebarkan Lok-limci, soalnya
sebenarnya untuk urusan apa-?" tiba-tiba Cui-hong bertanya. "Si
bangsat cilik berkuda putih itu sebenarnya siapa?"
"Sebab hendak membalaskan sakit hati suamimu!" sahut Ciu
San-bin dengan tersenyum.
"Mengenai bangsat cilik berkuda putih itu, dia adalah putera
satu-satunya dari pengkhianat besar Thio Cong-ciu, juga musuh
besar In Lui Hiante!"
Ia merandek sejenak, termenung, habis ini baru berkata lagi.
"Menurut pandanganku, Pit-locianpwe pasti akan turun tangan
membantu. Cuma sayang aku tidak tahu dia tinggal di desa Hou-lok,Pahala dan Murka - 10 28
jika tahu, tentu aku sudah mohon Cio-locianpwe bersama ayah


Pahala Dan Murka Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menulis surat padanya."
"In-siangkong, apa betul bangsat berkuda putih itu adalah
musuh besarmu?" tiba-tiba Cui-hong tanya In Lui.
Seketika air muka In Lui pucat pasi.
"Em, ya . . . ya betul! Dia adalah musuh keluargaku!" sahutnya
kemudian dengan suara lak lancar.
Di luar dugaan keterangan ini malah membikin Cui-hong merasa
senang.
"Kalau begitu, seharusnya kau berterima kasih padaku," katanya
dengan tertawa. Habis ini ia merogoh keluar sepucuk surat yang
terlekat rapat dengan sampulnya dan berkata pula. "Memang
ayahku sudah lama ingat pada Pit-locianpwe, kalian tak berani
mengundang dia, biar akulah yang mengundangnya."
Waktu San-bin melirik, ia lihat pada sam pul surat itu tertulis
dengan rajin tulisan, "Di sampaikan kepada Cin-sam-kai Pit To-
hoan yang terhormat!"
"Haha, ternyata lengkap sekali pikiran Cio-locianpwe sehingga
sudah latna mengatur langkah ini," katanya segera dengan bertepuk
tangan senang. "Jika begitu, bangsat cilik ini sekali ini pasti akan
masuk jaring sendiri, dan kau Hiante, kaupun bisa balas sakit hati
dengan tanganmu sendiri!"
"Memangnya, begitu aku pulang sampai di rumah, ayah segera
menulis surat ini dan seketika aku di suruh mengirimkannya," tutur
Cui-houg dengan berseri-seri. "Tadinya aku heran mengapa dia
begitu terburu-buru, kiranya ingin lekas membalaskan sakit
hatinya. Sungguh ayah yang baik, dia malah tak mau menceritakan
asal-usul bangsat cilik itu padaku, siapa duga dia adalah musuhmu
yang terbesar! Baiklah, sebentar lagi beramai-ramai kita lantasPahala dan Murka - 10 29
Eksperimen The Experiment 3 Peristiwa Merah Salju Karya Gu Long Api Di Bukit Menoreh 24
^